karakterisasi pertumbuhan mikroalga dan … · 2013-07-25 · suryana manalu. f34060147....
TRANSCRIPT
KARAKTERISASI PERTUMBUHAN MIKROALGA DAN
ELIMINASI NUTRIEN DARI LIMBAH CAIR PETERNAKAN
DENGAN SISTEM SEMI KONTINU
Oleh
SURYANA MANALU
F34060147
2010
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
SURYANA MANALU. F34060147. Karakterisasi Pertumbuhan Mikroalga dan
Eliminasi Nutrien dari Limbah Cair Peternakan dengan Sistem Semi Kontinu. Di
bawah bimbingan Muhammad Romli dan Suprihatin. 2010
RINGKASAN
Salah satu cara pengolahan limbah cair adalah pengolahan secara biologis
dengan bantuan mikroorganisme misalnya kombinasi bakteri dan mikroalga.
Degradasi kandungan organik limbah cair dilakukan oleh bakteri dan kemudian hasil
degradasi oleh bakteri berupa nitrat dan CO2 dimanfaatkan oleh mikroalga.
Mikroalga juga akan menghasilkan O2 sebagai hasil fotosintesis yang dapat
digunakan bakteri. Pertumbuhan mikroalga sangat erat kaitannya dengan
ketersediaan unsur hara makro dan mikro serta dipengaruhi oleh kondisi lingkungan.
Unsur hara yang dibutuhkan mikroalga terdiri atas unsur hara makro (N, P, K, S, Fe,
Mg, Si dan Ca) dan unsur hara mikro (Mn, Zn, Co, Bo, Mo, B, Cu, dan lain-lain).
Faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroalga, antara
lain cahaya, suhu, pH air, dan salinitas.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik pertumbuhan
mikroalga pada limbah cair peternakan dan mengetahui karakteristik laju eliminasi
nutrien dari limbah cair peternakan pada kultivasi mikroalga dengan sistem semi
kontinu.
Pada penelitian ini dilakukan kultivasi mikroalga, dengan menggunakan
inokulum mikroalga dari Danau LSI IPB dan menggunakan limbah cair peternakan
sapi dari MT Farm Ciampea. Limbah cair di-pretreatment terlebih dahulu pada
tangki aerator selama lima minggu. Tujuan dari pretreatment ini untuk mengurangi
bau yang ditimbulkan limbah cair dan mengurangi kandungan bahan organik. Pada
penelitian pendahuluan kultivasi mikroalga dilakukan dengan dua perlakuan yaitu
pada bak I (75% limbah cair: 25% inokulum mikroalga) dan bak II (50% limbah cair:
50% inokulum mikroalga). Teknik kultur mikroalga dilakukan secara semi kontinu.
Pemanenan dilakukan secara periodik, dan dilakukan penambahan nutrien ke volume
kultur semula sebanyak jumlah yang dipanen. Dari dua perlakuan penelitian
pendahuluan diperoleh metode kultivasi yang terbaik adalah pada bak I, dimana
kelimpahan mikroalga lebih banyak dibandingkan dengan bak II.
Pada penelitian utama dengan menggunakan perbandingan limbah 75% :
mikroalga 25% terlihat kelimpahan mikroalga pada percobaan awal H-12 dan
dilakukan pemanenan sebanyak 25% dengan sistem semi kontinu, dan pada H-16
dilakukan lagi pemanenan dengan sistem semi kontinu juga sebanyak 75%. Dari
perlakuan ini terlihat pertumbuhan mikroalga lebih cepat setelah pemanenan
mikroalga sebanyak 75%, karena limbah yang ditambahkan juga banyak (75% =
sebanding dengan yang dipanen) sehingga nutrien yang tersedia juga semakin
banyak untuk pertumbuhan mikroalga. Pada percobaan pertama dengan waktu
detensi 12 hari penurunan kadar nitrogen 5,79%, penurunan kadar ortofosfat 0,34%,
dan penurunan kadar COD 75%. Pada percobaan kedua dengan waktu detensi 2 hari
penurunan kadar nitrogen 0,63%, penurunan kadar ortofosfat 0,15%, dan penurunan
kadar COD 33%. Pada percobaan ketiga dengan waktu detensi 6 hari penurunan
kadar nitrogen 3,14%, penurunan kadar ortofosfat 0,42%, dan penurunan kadar COD
78%. Hasil pemanenan dengan pengujian TSS pada H-12 kelimpahan mikroalga
2135 mg/L.
Mikroalga baik digunakan untuk penanganan limbah cair yang memiliki
kandungan nutrien yang tinggi. Selain kandungan nutrien yang terdapat dalam
mediakultivasi, cahaya, suhu, dan pH merupakan faktor penting juga dalam kultivasi
mikroalga. Untuk meningkatkan kemampuan mikroalga mengeliminasi nutrien yang
terdapat dalam limbah cair, perbandingan volume limbah harus lebih besar dari
volume mikroalga. Teknik kultur mikroalga sebaiknya digunakan secara bertahap,
supaya mikroalga yang digunakan sudah beradaptasi terlebih dahulu dengan
lingkungannya (limbah cair peternakan).
Kata kunci : Pertumbuhan mikroalga, limbah cair peternakan sapi, nutrien
SURYANA MANALU. F34060147. Microalgae Growth Characterization and
Elimination of Nutrients from Animal Wastewater with Semi-Continuous System.
Under the guidance of Muhammad Romli and Suprihatin. 2010
ABSTRACT
One way of wastewater treatment is a biological process with the help of a
combination of microorganism such as bacteria and microalgae. Degradation
organic content of waste water by bacteria and then the result of degradation by
bacteria in the form of nitrate and CO2 utilized by microalgae. Microalgae also
produce O2 as a result of photosynthetic bacteria that can be used. The growth of
microalgae is very closely related to the availability of macro and micro nutrients as
well as influenced by environmental conditions. Microalgae needed nutrients consist
of macro nutrients (N, P, K, S, Fe, Mg, Si and Ca) and micro nutrients (Mn, Zn, Co,
Bo, Mo, B, Cu, etc. ). Environmental factors that influence the growth of microalgae,
including light, temperature, water pH, and salinity.
The purpose of this research to know microalgae growth caracterization in
wastewater cattle breeding and to know nutrient eliminate caracterization from
wastewater cattle breeding on microalgae cultivation with semi-continuous system.
In this research, microalgae was cultivated, using microalgae inoculum from
Lake LSI IPB and use wastewater of cattle breeding from MT Farm Ciampea.
Pretreatment wastewater used aerator in a tank for five weeks. The purpose of this
pretreatment to reduce odor generated liquid waste and reduce organic matter
content. In a preliminary study done by two microalgae cultivation treatments on the
vessel I (75% wastewater: 25% inoculum microalgae) and the vessel II (50%
wastewater: 50% inoculum microalgae). Techniques of microalgae culture has done
semi continuous. Harvesting was conducted periodically, and the addition of
nutrients to the volume culture as much as the amount have harvested. Of the two
treatment obtained a preliminary study of the best cultivation method is in the vessel
I, where the abundance of microalgae were compared with the second vessel.
At the main study by using waste ratio 75%: 25% visible microalgae
abundance of microalgae in the early experiments of H-12 and the harvesting of 25%
with semi-continuous system, and the H-16 was again semi-continuous harvesting
system as well as 75%. From this treatment more quickly visible growth after
harvesting microalgae microalgae as much as 75%, because the waste was added too
many (75% = proportional to that harvested). In the first experiment with detention
time of 12 days nitrogen concentration was decreased 5.79%, orthophosphate
concentration was decreased 0.34%, and COD concentration was decreased 75%. In
the second experiment with two days detention time nitrogen concentration was
decreased 0.63%, orthophosphate concentration was decreased 0.15%, and COD
concentration was decreased 33%. In the third experiment with detention time of 6
days the nitrogen concentration was decreased 3.14%, orthophosphate concentration
was decreased 0.42%, and COD concentration was decreased 78%. Harvesting with
the test results of TSS in H-12 abundance of microalgae in 2135 mg / L.
Microalgae are good for handling wastewater has a high nutrient content. In
addition nutrient content that have contained in mediakultivasi, light, temperature
and pH are important factors also in microalgae cultivation. To enhance the ability of
microalgae to eliminate the nutrient contained in the wastewater, waste volume ratio
must be greater than the volume of microalgae. Microalgae culture technique should
be used in the scale-up, so that microalgae used was first to adapt to its environment
(farm waste).
Key words : Microalgae growth, wastewater of cattle breeding, nutrient.
KARAKTERISASI PERTUMBUHAN MIKROALGA DAN
ELIMINASI NUTRIEN DARI LIMBAH CAIR PETERNAKAN
DENGAN SISTEM SEMI KONTINU
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Jurusan Teknologi Industri Pertanian,
Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor
Oleh
SURYANA MANALU
F34060147
2010
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Judul Skripsi : Karakterisasi Pertumbuhan Mikroalga dan Eliminasi Nutrien dari
Limbah Cair Peternakan dengan Sistem Semi Kontinu
Nama : Suryana Manalu
NIM : F34060147
Menyetujui
Pembimbing I,
( Dr. Ir. Muhammad Romli, MSc. St )
NIP: 196012051986091001
Pembimbing II,
( Dr. Ir. Suprihatin, Dipl. Ing )
NIP : 196312211990031003
Mengetahui :
Ketua Departemen,
( Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti)
NIP : 196210091989032001
Tanggal Lulus :
BIODATA PENULIS
Suryana Manalu. Penulis dilahirkan di Tarutung pada tanggal 18 Maret
1988 dan merupakan anak kedua dari lima bersaudara, dari pasangan Mangiring
Manalu dan Lermin Sianturi.
Pendidikan dasar penulis diperoleh di SD Negeri 175742 Sipoholon.
Penulis kemudian melanjutkan pendidikan ke SMP Negeri 2 Tarutung, kemudian
melanjutkan pendidikan ke SMA Negeri 1 Tarutung. Penulis kemudian
melanjutkan pendidikan ke Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB (Seleksi
Penerimaan Mahasiswa Baru) tahun 2006. Pada tahun kedua lewat program
mayor-minor, penulis diterima di mayor departemen Teknologi Industri Pertanian
, Fakultas Teknologi Pertanian dengan minor Ekonomi Pertanian dari Departemen
Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan.
Selama masa studi penulis aktif di berbagai kegiatan, organisasi, dan
kepanitiaan baik di lingkungan kampus maupun di luar kampus. Kegiatan yang
penulis ikuti antara lain panitia Malam Sukacita Paskah IPB 2008 sebagai
sekretaris, panitia Techno-F 2008 Fakultas Teknologi Pertanian sebagai divisi
Tata tertib, panitia Hari Warga Industri (HAGATRI) 2008 Himpunan Mahasiswa
Teknologi Industri (Himalogin) sebagai divisi konsumsi, panitia fieldtrip
mahasiswa/i Teknologi Industri Pertanian Jawa-Bali 2009 divisi logistik dan
transportasi. Penulis juga pernah menjabat sebagai wakil ketua organisasi
mahasiswa Parsadaan Anak Rantau Tarutung (PARTARU) Bogor periode jabatan
2008/2009, pemerhati Komisi Literatur persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK)
IPB periode jabatan 2008/2009. Selain itu, penulis juga pernah sebagai asisten
praktikum agama Kristen Protestan pada semester ganjil tahun ajaran 2007/2008,
asisten praktikum Teknik Pengemasan dan Transportasi pada semester ganjil
tahun ajaran 2008/2009, dan asisten praktikum Teknik Penyimpanan dan
Penggudangan pada semester genap tahun ajaran 2009/2010.
iii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ......................................................................................... i
DAFTAR TABEL ............................................................................................... v
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... vi
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... vii
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG ............................................................................. 1
B. TUJUAN PENELITIAN .......................................................................... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. LIMBAH PETERNAKAN ....................................................................... 3
B. MIKROALGA .......................................................................................... 3
1. Pengertian Mikroalga ............................................................................ 3
2. Karakteristik Mikroalga ........................................................................ 3
C. KONDISI KULTUR MIKROALGA ........................................................ 5
D. FAKTOR KONDISI LINGKUNGAN YANG MEMPENGARUHI
PERTUMBUHAN MIKROALGA ........................................................... 6
1. Intensitas Cahaya .................................................................................. 6
2. Suhu ....................................................................................................... 6
3. pH .......................................................................................................... 7
4. Unsur Hara ............................................................................................ 7
E. KARAKTERISASI PERTUMBUHAN MIKROALGA .......................... 10
F. ELIMINASI NUTRIEN DARI LIMBAH CAIR PETERNAKAN ........... 14
III. METODOLOGI
A. BAHAN DAN ALAT ............................................................................... 18
1. Bahan ..................................................................................................... 18
2. Alat ........................................................................................................ 18
B. METODE PENELITIAN .......................................................................... 19
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. KARAKTERISASI LIMBAH PETERNAKAN ...................................... 24
B. KARAKTERISASI PERTUMBUHAN MIKROALGA .......................... 25
iv
1. Karakterisasi Inokulum Mikroalga ........................................................ 25
2. Pertumbuhan Mikroalga pada Limbah Cair Peternakan ....................... 27
C. ELIMINASI NUTRIEN DARI IMBAH CAIR PETERNAKAN ............. 32
1. Eliminasi Nitrogen ................................................................................ 33
2. Eliminasi Fosfat ..................................................................................... 37
3. Eliminasi Kalium ................................................................................... 49
4. Eliminasi COD....................................................................................... 40
E. BIOMASSA ALGA .................................................................................. 41
1. Jenis Mikroalga ..................................................................................... 41
2. Kelimpahan Mikroalga .......................................................................... 43
3. Proksimat Mikroalga ............................................................................. 50
F. KAJIAN UMUM ....................................................................................... 51
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN ......................................................................................... 56
B. SARAN ..................................................................................................... 57
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 58
LAMPIRAN ......................................................................................................... 61
v
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1. Perbedaan Sifat Fisiologis antara Alga dan Bakteri............................ 4
Tabel 2.2. Kondisi Umum Kultur Mikroalga ....................................................... 5
Tabel 2.3. Beberapa Mikronutrien dan Peranannya pada Pertumbuhan
Mikroalga ............................................................................................ 10
Tabel 4.1. HasilKarakterisasi Limbah Cair Peternakan ....................................... 24
Tabel 4.2. Hasil Karakterisasi Air Danau LSI IPB .............................................. 26
Tabel 4.3. Hasil Analisis Prevalensi dan Dominasi Mikroalga dalam
Konsorsium ......................................................................................... 27
Tabel 4.4. Hasil Analisis Prevalensi Dominansi Kultivasi Mikroalga dari
Limbah Cair Peternakan ...................................................................... 42
Tabel 4.5. Hasil Perhitungan Analisis Mikroalga ................................................ 43
Tabel 4.6. Hasil Analisis TSS pada Media Kultivasi Mikroalga ......................... 44
Tabel 4.7. Hasil Analisis Proksimat Mikroalga ................................................... 50
Tabel 4.8. Hasil Analisis Eliminasi Nutrien dan Pertumbuhan Mikroalga .......... 52
vi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1. Karakteristik Pertumbuhan Kultur Mikroalga.................................. 12
Gambar 3.1. Tangki Pre-treatment Limbah Cair Peternakan ............................... 19
Gambar 3.2. Bak Media Kultivasi Mikroalga ....................................................... 20
Gambar 4.1. Danau LSI IPB ................................................................................. 26
Gambar 4.2. Kurva Pertumbuhan Mikroalga dalam Media Limbah Cair
Peternakan ........................................................................................ 28
Gambar 4.3. Pertumbuhan Mikroalga pada Skala Kecil. ...................................... 30
Gambar 4.4. Kurva Total Suspended Solid pada Bak I (75%;25%) ..................... 30
Gambar 4.5. Kurva Total Suspended Solid pada Bak II (50%:50%).................... 31
Gambar 4.6 Suhu dan pH media kultivasi ........................................................... 32
Gambar 4.7. Kurva Eliminasi Nitrat dari Limbah Cair Peternakan ..................... 35
Gambar 4.8. Kurva Eliminasi Nitrogen dari Limbah Cair Peternakan ................. 36
Gambar 4.9. Kurva Eliminasi Ortofosfat dari Limbah Cair Peternakan ............... 38
Gambar 4.10. Kurva Eliminasi Kalium dari Limbah Cair Peternakan ................. 39
Gambar 4.11. Kurva Eliminasi COD dari Limbah Cair Peternakan ..................... 41
Gambar 4.12. Hasil Foto Sampel Mikroalga ........................................................ 43
Gambar 4.13. Sampel Perubahan Warna Media Kultivasi Mikroalga .................. 44
Gambar 4.14. Kurva TSS Pada Media Kultivasi Mikroalga ................................ 45
Gambar 4.15. Kurva Pertumbuhan Mikroalga dalam Media Limbah Cair
Peternakan ..................................................................................... 46
Gambar 4.16. Perubahan Warna Media Kultivasi Mikroalga ............................... 48
Gambar 4.17. Mikroalga yang Sudah Dikeringkan .............................................. 50
Gambar 4.18. Kurva Pertumbuhan Mikroalga dan Eliminasi Kalium
Percobaan I .................................................................................... 53
Gambar 4.19. Kurva Pertumbuhan Mikroalga dan Eliminasi Nitrogen
Percobaan I .................................................................................... 53
Gambar 4.20. Kurva Pertumbuhan Mikroalga dan Eliminasi Ortofosfat
Percobaan I .................................................................................... 54
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Prosedur Analisis Nitrogen Organik, N-NH3, N-NO3, Ortofosfat
TSS, Kerapatan Sel, COD ............................................................... 62
Lampiran 2. Analisis Mikroalga ......................................................................... 68
Lampiran 3. Data Hasila Pengamatan Kultivasi Mikroalga Skala Kecil ............ 70
Lampiran 4. Data Kerapatan Sel Pada Media Sakla Kecil.................................. 72
Lampiran 5. Data TSS Pada Media Skala Kecil ................................................. 73
Lampiran 6. Data Hasil Pengukuran Suhu dan pH Media Kultivasi .................. 74
Lampiran 7. Data Hasil Analisis Kadar Nitrogen Media Kultivasi .................... 75
Lampiran 8. Data Hasil Analisis Kadar Ortofosfat Media Kultivasi .................. 76
Lampiran 9. Data Hasil Analisis COD Media Kultivasi ..................................... 77
Lampiran 10. Data Hasil Analisis Penelitian Utama ............................................ 78
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang
melimpahkan segala berkat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan skripsi ini. Skripsi ini disusun berdasarkan hasil penelitian yang
dilaksanakan pada bulan Februari-Juni 2010 di laboratorium Teknologi Industri
Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB.
Penulisan skripsi ini dapat selesai atas bantuan banyak pihak. Oleh karena itu,
pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :
1. Mama dan Papa serta saudara saya tercinta ( Agus, Fernando, Penata, dan Daniel),
yang telah memberikan dukungan melalui doa serta dukungan moral dan material.
2. Dr. Ir. Muhammad Romli, MSc. St. sebagai dosen pembimbing I dan Dr. Ir.
Suprihatin, Dipl. Ing sebagai dosen pembimbing II atas segala bimbingan,
perhatian, dan bantuannya selama penulisan skripsi ini.
3. Dr. H. Ono Suparno S.Tp,. M.T. sebagai dosen penguji, terimakasih atas semua
saran dan kritik yang diberikan untuk penyempurnaan skripsi ini.
4. Seluruh laboran TIN : Pak Yogi, Pak Dicky, Pak Edi, Pak Gun, Pak Sugi, Pak
Angga, Bu Ega, Bu Sri, dan Bu Rini atas segala bantuan dan kerjasamanya.
5. Wynda, Ajiz, Praja, kak Ajizah teman satu tim dan satu bimbingan dalam
penelitian saya, terimakasih atas semua dukungan dan bantuannya.
6. Evi, Laura, Bernadetha, Endah terimakasih atas persahabatan yang telah kita jalin
selama menuntut ilmu di TIN.
7. Terimakasih buat teman-temanku seperjuangan yang tetap mendukung dalam
study saya sampai selesai (Aron, Esther, Golda, Goldy, Gusty, Grace, Jonathan,
Marhon, Tiur, Windy).
8. Kelompok kecilku Kak Triva, Desna, Kartika dan teman-temanku di Komisi
Literatur PMK IPB terimakasih atas dukungan dan doanya.
9. Keluargaku tercinta penghuni Rumah Qyu-Qyu (Ririn, Tiur, Rosi, Vivin, Eva,
Rina, Sry dan Siska) terimakasih atas segala dukungan dan doanya.
10. Terimakasih buat saudariku Erika Batubara, Esther Tampubolon, dan Gusty
Simanjuntak atas dukungan dan doanya, semoga kita tetap dapat menjaga
persahabatan kita sampai selamanya.
11. Seluruh teman-teman TIN 43 Kompak yang telah memberikan dukungan,
semangat, dan doa kepada saya baik saat penulisan skripsi ini.
12. Seluruh pihak yang membantu dalam penulisan skripsi ini yang tidak dapat saya
sebutkan satu persatu.
Akhirnya kritik dan saran sangat penulis harapkan demi perbaikan tulisan
selanjutnya. Penulis berharap karya ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang
membutuhkannya.
Bogor, Agustus 2010 Penulis
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Limbah peternakan adalah seluruh sisa buangan dari usaha kegiatan
peternakan, baik berupa limbah cair, limbah padat, maupun berupa gas. Menurut
Hidayatullah et al. (2005) limbah padat adalah semua limbah yang berbentuk
padatan atau dalam fase padat (kotoran ternak, ternak yang sudah mati, atau isi
perut dari pemotongan ternak). Limbah cair adalah semua limbah yang berbentuk
cairan atau berada dalam fase cair (air seni atau urine, air pencucian alat-alat).
Limbah gas adalah semua gas yang berbentuk gas atau berada dalam fase gas.
Kehadiran bahan pencemar di dalam air dalam jumlah yang tidak normal
mengakibatkan air dinyatakan terpolusi (Anonim, 2007). Satu ekor sapi dengan
bobot 400-500 kg dapat menghasilkan limbah padat dan cair sebesar 27,7-30 kg/
hari. Diantara ketiga jenis limbah peternakan ini, limbah cair merupakan imbah
yang paling banyak dihasilkan dan limbah cair dari usaha kegiatan peternakan ini
diyakini masih banyak terdapat kandungan bahan mineral yang dapat digunakan
mikroalga untuk pertumbuhan hidupnya.
Penanganan limbah cair yang memiliki kandungan mineral yang tinggi
biasa dilakukan dengan cara kimiawi dan biologis. Penanganan secara kimiawi
dapat menimbulkan jenis limbah baru lagi, sedangkan penanganan secara biologis
relatif lebih ramah lingkungan. Untuk menangani limbah cair yang memiliki
kandungan mineral yang tinggi secara biologis, umumnya menggunakan
organisme yang mampu memanfaatkan mineral tersebut. Organisme dari
kelompok vegetasi sering digunakan dalam kegiatan ini, karena organisme flora
dengan aktivitas fotosintesis mampu mensintesis bahan-bahan anorganik
(mineral) yang terkandung dalam limbah menjadi senyawa organik dengan
bantuan zat hijau daun (klorofil) yang dimilikinya dan energi cahaya.
Menurut Kabinawa (2001), diantara mikroorganisme yang melakukan
fotosintesis, mikroalga merupakan mikroorganisme yang paling efisien dalam
menggunakan sinar matahari, yaitu sekitar 7% dengan kemampuan produksi 60-
80 ton berat kering/Ha/th, sedangkan tanaman budidaya secara konvensional
2
berkisar antara 10-30 ton berat kering/Ha/th. Mikroalga merupakan vegetasi
tingkat rendah yang sering digunakan dalam pengolahan limbah cair yang kaya
kandungan mineral, karena sifat mineral yang larut dalam air, dan mikroalga
sebagai pemanfaat mineral yang mampu hidup dalam kolom air, mulai dari
permukaan air sampai batas daya tembus cahaya di badan air tersebut. Mikroalga
adalah koloni tumbuhan renik yang dapat hidup di seluruh wilayah perairan tawar,
payau, ataupun yang asin (laut).
Keberhasilan teknik kultur bergantung pada kesesuaian antara jenis
mikroalga yang dibudidayakan dan beberapa faktor lingkungan yang perlu
diperhatikan. Teknik kultur mikroalga yang digunakan pada penelitian ini adalah
teknik semi kontinu, yaitu teknik pemanenan mikroalga pada saat akhir fase
eksponensial yang diikuti dengan penambahan jumlah nutrien (limbah cair
peternakan) sebanyak jumlah yang dipanen. Berdasarkan permasalahan
penanganan limbah cair peternakan di atas penelitian ini diharapkan dapat
memberikan solusi penanganan limbah cair usaha kegiatan peternakan secara
biologis. Selain itu dapat juga sebagai informasi bagi pemerintah dan swasta
dalam pengembangan sistem usaha peternakan yang ramah lingkungan dan juga
usaha dalam budidaya mikroalga yang dapat digunakan sebagai sumber energy
terbaharukan.
B. Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik
pertumbuhan mikroalga pada limbah cair peternakan dan mengetahui karakteristik
laju eliminasi nutrien dari limbah cair peternakan pada kultivasi mikroalga dengan
sistem semi kontinu.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. LIMBAH PETERNAKAN
Limbah peternakan umumnya meliputi semua kotoran yang dihasilkan dari
suatu usaha kegiatan peternakan, baik berupa limbah padat, cairan, gas ataupun
sisa pakan (Soehadji, 1992). Menurut Juheini dan Sakryanu (1998), sebanyak
56,67% dari jumlah usaha peternakan sapi perah membuang limbah ke badan
sungai tanpa pengelolaan, sehingga terjadi pencemaran lingkungan. Pencemaran
ini disebabkan oleh aktivitas peternakan, terutama berasal dari limbah yang
dikeluarkan oleh ternak yaitu feses, urin, sisa pakan, dan sisa air pembersihan
ternak dan kandang (Prasetyo dan Padmono, 1993). Feses dan urin yang
dihasilkan sapi sebesar 10% dari berat ternak (Mubaroq, 2009).
B. MIKROALGA
1. Pengertian Mikroalga
Mikroalga adalah koloni tumbuhan renik yang hidup di seluruh wilayah
perairan tawar, payau, ataupun yang asin (laut). Ganggang mikro yang tak
kasatmata itu lazim disebut fitoplankton (Hidayat dan Hidayat, 2008). Mikroalga
umumnya bersel satu atau berbentuk benang, sebagai tumbuhan dan dikenal
sebagai fitoplankton. Mikroalga dikelompokkan dalam filum thallophyta karena
tidak memiliki akar, batang, dan daun sejati, namun memiliki zat pigmen klorofil
yang mampu melakukan fotosintesis (Kabinawa, 2001).
2. Karakteristik Mikroalga
Mikroalga memiliki klorofil sehingga mampu melakukan fotosintesis
dengan bantuan air, CO2 dan sinar matahari, serta menggunakan bahan anorganik
seperti NO3-, NH4
-, dan PO4
-, sehingga menghasilkan energi kimiawi dalam
bentuk biomassa seperti karbohidrat, lemak, protein, dan lain-lain. Kemudian
energi tersebut digunakan untuk biosintesis sel, pertumbuhan dan pertambahan
sel, bergerak dan berpindah serta reproduksi (Kabinawa, 2001).
4
Tumbuhan ini umumnya terdiri dari satu sel atau berbentuk seperti benang.
Mikroalga dapat ditemukan di seluruh massa air mulai dari permukaan laut
sampai pada kedalaman dengan intensitas cahaya yang masih memungkinkan
terjadinya proses fotosintesis. Dominasi kelompok mikroalga tertentu dapat
menyebabkan perairan tampak berwarna indah sesuai dengan zat warna atau
pigmen yang dikandungnya. Warna hijau muda disebabkan oleh Dunaliela sp.
dan Chlorella sp. ada juga warna kuning kecoklatan yang disebabkan oleh
Chaetoceros sp., Skeletonema sp., Nitzschia sp. serta berbagai jenis lainnya
(Borowitzka dan Borowitzka, 1988).
Mikroalga tertentu, seperti Botryococcus sp., mampu menghasilkan
hidrokarbon dengan rantai C23-C40, misalnya n-alkadiena dan n-alkena.
Kemampuan ini membuat Botryococcus amat potensial sebagai sumber bahan
bakar cair terbarukan, menggantikan bahan bakar minyak fosil, seperti minyak
bumi, gas dan batu bara. Mikroalga yang terkenal sebagai penghasil hidrokarbon,
sumber biodiesel ini, adalah diatom, cocolith, dan chlorofita, seperti Botryococcus
braunii. Sel mikroalga mengandung protein, asam lemak tak jenuh, pigmen, dan
vitamin tinggi sehingga dapat dijadikan suplemen pangan bergizi tinggi. (Anonim,
2009). Sifat fisiologis antara mikroalga dengan bakteri dapat dilihat pada Tabel
2.1.
Tabel 2.1. Perbedaan Sifat Fisiologis antara Alga dan Bakteri
Karakteristik Alga Bakteri
pH optimum 4 – 11 6.5 – 7.5
Suhu optimum 20 – 30oC 20 – 37
oC
Kebutuhan oksigen Aerobik Aerobik atau anaerobik
Cahaya Sebagian besar Sebagian kecil
Sumber karbon Kebanyakan organik Organik dan anorganik
Dinding Sel Sebagian besar selulosa,
beberapa digantikan oleh
xilan dan manan.
Peptidoglikan
Sumber: Pelczar dan Chan (2007)
5
C. KONDISI KULTUR MIKROALGA
Proses kultur sebaiknya dilakukan pada kondisi indoor karena mudah
dikontrol dan diprediksi hasilnya. Sebagian besar mikroalga membutuhkan cahaya
untuk proses fotosintesa. Gelombang cahaya yang biasa digunakan untuk kultur
alga berkisar 400 – 700 nm yang menggunakan warna merah dan biru. Dalam
kondisi indoor sumber cahaya berasal dari lampu flourecent bulb antara 20 – 40
watt (Becker, 1994).
Secara umum, terdapat beberapa parameter kondisi yang umumnya harus
terpenuhi dalam sistem kultur mikroalga. Kondisi-kondisi tersebut dapat dilihat
pada Tabel 2.2. Bentuk wadah kultur yang ideal adalah bentuk silinder lonjong
dengan bentuk dasar darat / rata atau konkav, warna transparan tembus cahaya dan
mempunyai tutup tabung. Bentuk dan ukuran wasah kultur ini berhubungan
dengan sistem sirkulais, aerasi, pencahayaan, pengoperasian, dan khususnya untuk
mengoptimalkan agar wadah kultur dapat menghasilkan kelimpahan sel yang
tinggi per satuan volume media kultur yang digunakan (Fox, 1985).
Tabel 2.2. Kondisi Umum Kultur Mikroalga
Parameter Kisaran Nilai Optimal
Temperatur (oC) 16 – 27 18 – 24
Salinitas (g.l-1
) 12 – 40 20 – 24
Intensitas Cahaya (lux) 1,000 – 10,000 (tergantung
volume dan densitas)
2,500 – 5,000
Periode Pencahayaan
(terang; gelap, jam)
- 16 : 8 (minimum)
24 : 0 (maximum)
pH 7 – 9 8.2 – 8.7
Sumber: Anonim (1991) dalam FAO (1996)
D. FAKTOR KONDISI LINGKUNGAN YANG MEMPENGARUHI
PERTUMBUHAN MIKROALGA
Secara umum komunitas fitoplankton dan mikroalga pada umumnya di
suatu perairan dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang ada. Suhu, intensitas
cahaya, pH, konsentrasi zat hara anorganik, senyawa pemacu dan penghambat
6
pertumbuhan, serta adanya pemangsaan akan mempengaruhi kondisi alga tersebut
(Welch, 1980).
1. Intensitas Cahaya
Cahaya bersama dengan klorofil sangat berperan dalam proses fotosintesis
pada alga. Pemanfaatan cahaya dalam proses fotosinteis melibatkan reaksi fisik
dan kimia. Dimulai dengan absorbsi dan transfer energi di dalam klorofil hingga
proses konversinya menjadi energi kimia yang terlibat dalam proses pembentukan
karbohidrat (Krisanti, 2003). Menurut Tjahjo et al. (2002) mikroalga merupakan
organisme autotrof yang mampu membentuk senyawa organik melalui proses
fotosintesis. Keberadaan cahaya menentukan bentuk kurva pertumbuhan bagi
mikroalga yang melakukan fotosintesis.
Setiap jenis alga membutuhkan suhu dan cahaya tertentu untuk
pertumbuhan maksimumnya (Fogg, 1975). Diatom akan mendominasi perairan
pada saat intensitas cahaya tinggi dan suhu rendah. Alga hijau melimpah pada
kondisi intensitas cahaya tinggi dan suhu tinggi, sedangkan alga biru akan
mendominasi apabila intensitas cahaya rendah dan suhu tinggi (Welch, 1980).
2. Suhu
Laju fotosintesis alga selain dipengaruhi intensitas cahaya juga
dipengaruhi oleh suhu. Berbagai proses dalam sel sangat tergantung pada suhu.
Kecepatan proses-proses ini bertambah sejalan dengan meningkatnya suhu. Nilai
maksimum kecepatan proses fotosintesis terjadi pada kisaran suhu 25-40oC
(Reynolds, 1990). Suhu secara langsung mempengaruhi efisiensi fotosintesis
dan faktor yang menentukan pertumbuhan. Suhu optimum untuk kultur
mikroalga antara 25-32oC (Fogg, 1975). Kenaikan temperatur akan meningkatkan
kecepatan reaksi. Umumnya setiap kali kenaikan 10oC dapat mempercepat reaksi
2-3 kali lipat. Akan tetapi, temperatur tinggi yang melebihi temperatur
maksimum akan menyebabkan proses metabolisme sel terganggu. Krisanti (2003)
menyatakan bahwa suhu tidak menjadi faktor pembatas pada alga alami selama
banyak spesies mampu tumbuh dalam kondisi lingkungan lain yang sesuai, namun
demikian suhu sangat berpengaruh terhadap cepat lambatnya pertumbuhan dan
7
reproduksi. Menurut Fogg (1975) intensitas cahaya dan konsentrasi nutrien
tertentu dapat menyebabkan perubahan temperatur optimal bagi pertumbuhan
fitoplankton, dan fitoplankton tersebut dapat beradaptasi terhadap temperatur
tinggi atau rendah yang kadang-kadang terjadi.
3. pH
Proses fotosintesis mengambil karbondioksida terlarut dalam air, yang
mengakibatkan penurunan kandungan CO2 terlarut dalam air. Penurunan ini akan
meningkatkan nilai pH berkaitan dengan keseimbangan CO2 terlarut, bikarbonat
(HCO3-
) dan ion karbonat (CO2-
) dalam air. Oleh karena itu laju, fotosintesis akan
terbatas oleh penurunan karbon dalam hal ini karbondioksida, perubahan bentuk
karbon yang ada diperairan dan tingginya nilai pH (Talling, 1976 dalam
Reynolds, 1990).
Menurut Boyd (1984) kesetimbangan karbonat akan bertindak sebagai
buffer (penyangga) pH. Dalam keadaan basa ion bikarbonat akan membentuk ion
karbonat dan melepaskan ion hidrogen yang bersifat asam sehingga keadaan
menjadi netral. Sebaliknya dalam keadaan terlalu asam, ion karbonat akan
mengalami hidrolisis menjadi ion bikarbonat dan melepaskan ion hidrogen oksida
yang bersifat basa, sehingga keadaan netral kembali, seperti terlihat reaksi berikut:
HCO3 H+ + CO3
=
CO3=
+ H2O HCO3= + OH
-
4. Unsur Hara
4.1. Sumber Karbon
Bentuk karbon utama yang digunakan oleh alga adalah CO2, bahkan
beberapa peneliti yakin bahwa hanya CO2 yang dapat digunakan secara
langsung oleh alga (Richmond, 1986). Alga mendapatkan CO2 melalui
absorpsi dari udara, hasil respirasi organisme, dan alkalinitas senyawa
bikarbonat (Loehr, 1974). Karbondioksida di dalam air bisa berbentuk
senyawa gabungan C, H, dan O, yakni H2CO3, HCO3-, atau CO3
- yang
konsentrasinya tergantung nilai pH air (Richmond, 1986).
8
4.2. Sumber Nitrogen
Nitrogen adalah nutrien penting dalam sistem biologis. Nitrogen akan
terdapat sebagai nitrogen organik dan nitrogen ammonia dalam air limbah,
proporsinya tergantung degradasi bahan organik yang yang berlangsung.
Senyawa nitrogen organik dapat ditransformasi menjadi nitrogen amonium dan
dioksidasi menjadi nitrogen nitrit dan nitrat dalam sistem biologis (Jenie dan
Rahayu, 1993).
Nitrogen merupakan unsur penyusun yang penting dalam sintesis protein,
karena itu diperlukan data tentang nitrogen dan siklusnya agar dapat tercapai
pengolahan air limbah yang tepat. Sebagian besar dari nitrogen total dalam air
terikat sebagai nitrogen organik, yaitu dalam bahan-bahan yang berprotein.
Sumber-sumber nitrogen dalam air dapat bermacam-macam, meliputi hancuran
bahan organik, buangan domestik, limbah industri, limbah perikanan, limbah
peternakan dan pupuk. Bentuk utama nitrogen di air limbah adalah material
protein dan urea. Umur dari air limbah dapat ditentukan dari jumlah amonia
yang ada. Bakteri dapat mengoksidasi amonia menjadi nitrit dan nitrat dalam
lingkungan yang aerobik. Jumlah nitrogen nitrat yang lebih banyak
menunjukkan bahwa air limbah telah distabilkan dengan keberadaan oksigen.
Nitrat sebagai nutrien dapat digunakan oleh binatang untuk memebentuk N-
organik yaitu protein (Metcalf dan Eddy, 2004).
Menurut Davis dan Conwell (1991), jika NH3 dalam kondisi rendah, NO3
bertindak sebagai nutrien untuk pertumbuhan ganggang secara eksesif dan
konversi dari NH3 menjadi NO3 menggunakan sejumlah besar oksigen terlarut.
Menurut Richmond (1986), kebanyakan mikroalga mempunyai kemampuan
menggunakan ammonium (NH4), nitrat (NO3), dan nitrit (NO2), sedangkan
kemampuan mengikat nitrogen dari udara hanya dimiliki oleh mikroalga
prokariotik. Anonim (2009) menjelaskan bahwa N sangat diperlukan dalam
pembentukan protein dan DNA dalam sel mikroalga. Beberapa mikroalga
dapat menggunakan berbagai senyawa N-organik seperti amida, urea,
glutamin, dan asparagin sebagai sumber nitrogen Richmond, 1986).
9
4.3. Sumber Fosfor
Fosfor adalah salah satu elemen penting yang dibutuhkan untuk
pertumbuhan baik oleh tanaman maupun hewan. Fosfor dalam bentuk dasarnya
sangat toksik dan penyebab bioakumulasi (Quevauviller, et.all, 2006). Fosfor
merupakan salah satu elemen utama yang diperlukan untuk pertumbuhan
mikroalga secara normal. Menurut Richmond (1986) kekurangan fosfor dapat
menyebabkan perubahan morfologi sel, misalnya perubahan bentuk dan ukuran
sel, karena fosfor berperan dalam transfer energi dan sintesa asam nukleat.
Bentuk fosfor utama yang digunakan mikroalga adalah P-anorganik.
4.4. Makronutrien Lain
Makronutrien lain yang esensial bagi pertumbuhan mikroalga yakni Ca,
Mg, Na, K, S, dan Cl. Khusus untuk sulfur (S), Bezrra (2007) menyatakan
bahwa sulfur juga merupakan unsur yang diperlukan oleh mikroalga untuk
melakukan biosintesa. Sulfur ditemukan di dalam sel dalam bentuk asam
amino tertentu yang strukturnya mengandung gugus sulfohydril (-SH),
misalnya sistin, sistein, dan metionin.
4.5. Mikronutrien
Beberapa mikronutrien yang esensial terhadap pertumbuhan alga dapat
dilihat pada Tabel 2.3. Selain logam-logam mineral yang terdapat pada Tabel
2.3. mikronutrien lain yang juga sangat penting bagi pertumbuhan mikroalga
adalah thiamin (vitamin B1), cyanocobalamin (vitamin B12), dan terkadang
biotin (FAO, 1996). Menurut Richmond (1986), vitamin B12 dan thiamin
(vitamin B1) diperlukan secara terpisah atau bersama, tetapi vitamin B12 lebih
sering diperlukan dibanding dengan thiamin.
10
Tabel 2. 3. Beberapa Mikronutrien dan Peranannya pada Pertumbuhan
Mikroalga
Unsur Peranan
Besi (Fe) Asimilasi nitrogen, fotosintesis, sintesa pigmen
fotosintesis utama (klorofil-A)
Bohr (B) Diperlukan oleh beberapa cyanobacteria dan diatom,
tetapi tidak diperlukan oleh alga hijau.
Mangan dan Tembaga
(Mn dan Cu)
Komponen penting dalam transfer elektrom fotosintesis,
sebagai komponen dan kofaktor beberapa enzim dan
diperlukan oleh semua alga.
Molibden (Mo) Diperlukan alga untuk reduksi nitrat dan fiksasi nitrogen
Vanadium (V) Penting bagi alga tertentu.
Kobalt (Co) Diperlukan beberapa alga Cyanobacterium, seperti
Calotrix parientina, Coccochloris peniocystic,
Diplocystis aeruginosa.
Silikon Komponen utama dinding sel diatom
Selenium Meningkatkan Cyanobacterium dan menurunkan diatom
Sumber: Richmond (1986)
E. KARAKTERISASI PERTUMBUHAN MIKROALGA
Selama periode kultur sel mikro alga terjadi lima tipe fase pertumbuhan
(Anonim, 2007). Lima fase tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut dan dapat
dilihat pada Gambar 2.1:
1. Pertumbuhan phase lag, yaitu pertumbuhan fase awal dimana penambahan
kelimpahan sel yang terjadi jumlahnya sedikit. Fase ini mudah diobservasi
ketika suatu kultur alga ditransfer dari suatu tempat ke suatu media kultur.
pada fase ini biasanya terjadi stressing fisiologi karena terjadi perubahan
kondisi lingkungan media hidup dari satu media awal ke media yang baru.
Dilain pihak kelarutan mineral dan nutrien mungkin lebih banyak daripada
sebelumnya, sehingga akan mempengaruhi sintesis metabolik dari konsentrasi
11
rendah ke konsentrasi yang tinggi. Dari perubahan-perubahan inilah, maka sel
alga mengalami proses penyesuaian.
2. Setelah fase lag, alga kultur akan mengalami pertumbuhan secara cepat, atau
yang disebut fase pertumbuhan eksponensial. Hal ini ditandai dengan
penambahan jumlah sel yang sangat cepat melalui pembelahan sel alga dan
apabila dihitung secara matematis membentuk fungsi logaritma. Untuk
kepentingan budidaya sebaiknya sel alga dipanen pada akhir fase
eksponensial. Karena pada fase ini, struktur sel masih normal secara nutrisi
terjadi keseimbangan antara nutrien dalam media dan kandungan nutrisi
dalam sel. Selain itu berdasarkan hasil penelitian, pada fase akhir
eksponensial, didapatkan kandungan protein dalam sel sangat tinggi, sehingga
kualitas sel alga benar-benar terjaga untuk kepentingan kultivasi budidaya
lebih lanjut.
3. Pada tahapan pola pertumbuhan terjadi pengurangan kecepatan pertumbuhan
sampai mencapai fase awal pertumbuhan yang stagnan. Pada fase ini disebut
Declining Growth Phase. Pada fase ini ditandai dengan berkurangnya nutrien
dalam media sehinga memengaruhi kemampuan pembelahan sel sehinga hasil
produksi sel semakin berkurang. Walaupun kelimpahan sel masih terjadi
pertambahan namun nilai nutrisi dalam sel mengalami penurunan, maka
untuk kepentingan budidaya perikanan pada fase ini adalah alternatif kedua
untuk dilakukan pemanenan.
4. Stationery phase adalah fase pertumbuhan ketika kelimpahan sel mengalami
pertumbuhan konstan akibat dari kesimbangan katabolisme dan anabolisme
sel. Pada fase ini ditandai dengan rendahnya tingkat nutrien dalam sel dan
biasanya untuk kelimpahan sel alga yang rendah dalam kultur tejadi fase
stationery yang pendek sehingga menyulitkan didalam pemanenan.
Disarankan jangan melakukan pemanenan sel pada fase ini karena bukan
merupakan sumber pakan yang mengandung nutrisi yang tinggi.
5. Death phase adalah fase kematian sel karena tejadi perubahan kualitas air
yang semakin memburuk, penurunan nutrien dalam media kultur dan
kemampuan sel yang sudah tua untuk melakukan metabolisme. Kenyataan ini
biasanya ditandai dengan penurunan jumlah sel yang cepat. Secara morfologi
12
pada fase ini sel alga banyak terjadi kematian dari pada melakukan
pembelahan, warna air kultur berubah, terjadi buih dipermukaan media kultur
dan warna yang pudar serta gumpalan sel alga yang mengendap didasar
wadah kultur. Untuk kepentingan bididaya perikanan pada fase ini dilarang
untuk digunakan sebagai pakan kultivan budidaya. (Anonim, 2007)
Gambar 2.1 . Karakteristik Pertumbuhan Kultur Mikroalga (FAO, 1996)
Menurut Fogg (1975), fase pertumbuhan eksponensial mikroalga pada
kultur volume yang terbatas akan berakhir. Beberapa faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan mikroalga antara lain: kehabisan nutrien, laju suplai CO2 dan O2,
perubahan pH, intensitas cahaya, serta auto-inhibisi.
1. Kehabisan Nutrien
Fogg (1975) menerangkan bahwa nitrat dan besi biasanya membatasi
pertumbuhan eksponensial mikroalga. Penambahan nutrien tersebut dapat
memperpanjang fase eksponensial sampai terjadi faktor pembatas lain. Besi
unchelated ferric diendapkan sebagai fosfat dalam media basa. Bentuk besi
tersebut tidak tersedia cukup banyak pada mikroalga, sehingga sulit
menjamin kecukupan suplai besi. Pemberian bahan pengkelat seperti ethylene
diamine tetraacetic acid (EDTA) atau versene memungkinkan jumlah ion
besi dan unsur kelumit (trace element) cukup tersedia untuk memperpanjang
pertumbuhan eksponensial tanpa memberikan efek toksik. Vitamin B12 juga
merupakan faktor pembatas pertumbuhan eksponensial mikroalga.
13
2. Laju Suplai CO2 atau O2
Laju difusi CO2 dari udara ke dalam media menjadi pembatas pertumbuhan
kultur mikroalga pada densitas populasi yang rendah. Peningkatan laju aerasi
kultur secara pengocokan atau pengadukan, atau penggelembungan udara
akan memperpanjang pertumbuhan eksponensial. Suplai CO2 udara yang
diperkaya, diperlukan untuk menjaga pertumbuhan eksponensial kultur padat
mikroalga. Kultur mikroalga biasanya menyuplai 1 – 5 persen CO2, tetapi
konsentrasi setinggi itu bisa menimbulkan efek inhibisi pada beberapa spesies
mikroalga seperti Anabaena cylindrica. Oksigen juga dapat menjadi faktor
pembatas pada kultur mikroalga heterotrop dan aerasi dapat memperpanjang
pertumbuhan eksponensial (Fogg, 1975).
3. Perubahan pH
Perubahan pH media disebabkan oleh penyerapan komponen tertentu.
Penyerapan garam-garam atau ion ammonium sebagai sumber nitrogen
menyebabkan penurunan pH (media terlalu asam). Penyerapan ion nitrat
menyebabkan peningkatan pH, tetapi hal ini dapat disangga dengan
pengambilan CO2 oleh media, sehingga jarang mempengaruhi pertumbuhan.
Keterbatasan CO2 merangsang penggunaan bikarbonat dalam fotosintesis
yang dapat meningkatkan pH media hingga pH 11 atau lebih sehingga
pertumbuhan mikroalga terhenti. Penggunaan beberapa asam organik tanpa
memperhatikan jumlah kation juga meningkatkan pH, sehingga media terlalu
basa (Fogg, 1975).
4. Kekurangan Cahaya
Fogg (1975) menyatakan bahwa sinar matahari tidak dapat diterima secara
penuh pada kultur mikroalga yang padat, sehingga fotosintesis hanya
dilakukan oleh sel alga yang terletak di bagian atas atau permukaan media.
Kultur yang sangat padat menyebabkan bagian bawah media menjadi gelap,
sehingga pertumbuhan eksponensial berubah menjadi pertumbuhan linier,
yaitu pertumbuhan yang proporsional dengan waktu, sampai timbul faktor
pembatas lain.
14
5. Autoinhibisi
Beberapa alga telah terbukti menghasilkan bahan-bahan toksik terhadap
dirinya dalam proses metabolismenya. Akumulasi bahan beracun tersebut
mengakibatkan pertumbuhan eksponensial terhenti. Kasus autoinhibisi dalam
kultur tidak murni telah ditemukan pada beberapa mikroalga, misalnya
Nostoc punctiforme, Chlorella vulgaris dan Nitzschia palea (Fogg, 1975).
Jika terjadi autoinhibisi, pertumbuhan akan terhenti pada saat konsentrasi sel
tertentu telah tercapai. Kasus ini dapat diatasi dengan melakukan pemanenan
mikroalga atau pengenceran media tanpa menambahkan nutrien. FAO (1986)
menambahkan bahwa intensitas cahaya yang terlalu tinggi juga dapat
mengakibatkan autoinhibisi cahaya (foto-inhibisi).
F. ELIMINASI NUTRIEN DARI LIMBAH CAIR PETERNAKAN
Kebanyakan usaha kegiatan industri menghasilkan limbah cair yang
mengandung beberapa macam garam dan bahan organik, demikian juga limbah
cair usaha peternakan sapi, oleh karena itu jenis limbah cair ini dapat dijadikan
medium pertumbuhan mikroalga ( Aspuranto, 1980). Nutrien yang berlebihan
akan mendorong untuk terjadinya pertumbuhan alga yang pesat yang pada
akhirnya akan mengakibatkan penurunan kandungan DO (Metcalf dan Eddy,
2004).
1. Degradasi Senyawa Karbon
Degradasi senyawa karbon terjadi ketika senyawa-senyawa organik
diuraikan dan dioksidasi oleh mikroorganisme heterotropik pada proses aerasi.
Mikroorganisme tersebut menggunakan sumber karbon yang sama, baik untuk
sintesis sel menghasilkan sel-sel baru maupun untuk oksidasi (Qin, 2005).
Menurut Widianingsih (2008), degradasi senyawa organik aerobik secara
sederhana dapat dituliskan dengan reaksi berikut :
Karbohidrat
Protein
Hidrokarbon Mikroorganisme
O2
CO2 + H2O + mineral + biomassa baru
Karbohidrat
Protein
Hidrokarbon Mikroorganisme
O2
15
2. Proses Penyisihan Nitrogen Secara Biologis
Degradasi limbah secara biologis merupakan proses yang berlangsung
secara alamiah. Sistem biologis yang terkendali dan tak terkendali merupakan
sistem yang utama yang digunakan untuk menangani limbah organik. Dalam
sistem biologis, mikroorganisme mnenggunakan limbah untuk bahan selular baru
dan menyediakan energi untuk sintesis (Jenie dan Rahayu, 1993).
Prorses penyisihan limbah secara biologis terbagi menjadi tiga jenis
berdasarkan kebutuhan proses terhadap keberadaan oksigen terlarut, yaitu:
a. Oksidasi bahan-bahan organik menggunakan oksigen sebagai akseptor elektron
merupakan mekanisme untuk menghasilkan energi kimiawi bagi
mikroorganisme yang berperan dalam proses pengolahan secara aerobik.
b. Oksidasi bahan-bahan organik menggunakan pengoksidasi selain oksigen
seperti karbondioksida, senyawa-senyawa organik yang telah teroksidasi
sebagian sulfat dan nitrat dapat digunakan oleh kelompok mikroorganisnme
yang berperan dalam proses pengolahan secara anaerobik.
c. Proses pengolahan limbah yang menggunakan mikroorganisme yang bersifat
obligat aerob dan obligat anaerob atau fakultatif. Mikroorganisme-
mikrorganisme tersebut dapat melakukan metabolisme terhadap bahan-bahan
organik secara sempurna dengan adanya oksigen terlarut (Quevauviller, 2006).
Dekomposisi bahan organik yang mengandung nitrogen ditunjukkan oleh
terbentuknya ammonia. Pada kondisi aerobik bakteri nitrifikasi merombak
ammonia menjadi nitrit selanjutnya masih dalam kondisi aerobik nitrit dioksidasi
menjadi nitrat. Proses selanjutnya pada kondisi aerobik atau anoksik bahan
organik dioksidasi dan nitrat digunakan sebagai aseptor hidrogen untuk
membebaskan gas nitrogen (Becker, 1994).
Transformasi bentuk senyawa nitrogen dapat dijadikan sebagai prinsip
untuk penyisihan nutrien secara biologis. Perubahan tersebut dapat digambarkan
dengan siklus nitrogen dalam proses oksidasi, sebagaimana ditunjukkan pada
Gambar 2.2. Nitrogen dalam limbahn cair yang tidak ditangani biasanya dalam
bentuk amoinia atau nitrogen organik, baik dalam bentuk terlarut maupun partikel.
Nitrogen dapat terjadi dalam berbagai bentuk dalam limbah cair dan mengalami
16
transformasi dalam penaganan limbah cair. Transformasi ini mengikuti konversi
amonia-nitrogen untuk produk yang dapat dengan mudah dibuang dari limbah cair.
Dua mekanisme yang utama dalam pembuangan atau penyisihan nitrogen adalah
asimilasi dan proses nitrifikasi-denitrifikasi (Metcalf dan Eddy, 2004).
Transformasi nitrogen diantaranya dipengaruhi oleh keseimbangan oksigen terlarut.
Gambar 2.2. Siklus nitrogen dalam proses oksidasi biologis (Eckenfelder, 1989)
1.1. Nitrifikasi
Nitrifikasi dapat didefinisikan sebagai konversi biologis nitrogen dari
komponen organik atau dari bentuk tereduksi ke bentuk teroksidasi. Pada
penanganan pencemaran air, nitrifikasi adalah proses biologis yang akan
mengoksidasi ion amoniak menjadi nitrit atau nitrat. Pada dasarnya, faktor-faktor
yang berpengaruh pada proses nitrifikasi antara lain konsentrasi amonia dan nitrit,
konsentrasi oksigen terlarut, suhu, pH dan waktu retensi (Jenie dan Rahayu,
1993). Menurut Metcalf dan Eddy (1991), faktor pengendali nitrifikasi antara
lain: konsentrasi amonia/nitrit, konsentrasi DO, pH, temperatur, dan rasio BOD5/
TKN. Konsentrasi DO diatas 1 mg/L adalah syarat untuk terjadinya nitrifikasi.
Nitrogen Organik
Bahan Organik + O2 + NH3 Sel CH2O + O2 + H2O
Sel + CO2 + H2O
NH3 + CO2 + H2O
NO2
NO3
Sintesis
otoksidasi
nitrifikasi
denitrifikasi
+CH2O
N2 + N2O
17
1.2. Denitrifikasi
Denitrifikasi adalah proses reduksi nitrat menjadi gas nitrogen. Konversi ini
melalui beberapa sneyawa antara yaitu HNO2, NO, N2O. Proses denitrifikasi
memerlukan elektron donor yang berasal dari bahan organik atau senyawa-
senyawa tereduksi seperti sulfida atau hidrogen. Karena terbatasnya elektron
donor sehingga senyawa antara tersebut sangat mudah terbentuk (Boyd,1984).
Denitrifikasi merupakan langkah kedua dalam penyisihan nitrogen setelah
proses nitrifikasi. Pembuangan nitrogen dalam bentuk nitrat dikonversi menjadi
gas nitrogen dalam kondisi anoksik (tanpa oksigen). Reaksi untuk pengurangan
nitrat:
NO3- NO2
- NO N2O N2
Tiga senyawa terkahir merupakan produk gas yang dapat dilepas ke
atmosfer. Faktor-faktor yang berpengaruh pada proses denitrifikasi antara lain
konsentrasi bahan organik, konsentrasi oksigen terlarut, suhu, pH dan waktu
retensi (Jenie dan Rahayu, 1993).
3. Penyisihan Fosfat
Keberadaan fosfor dalam bentuk fosfat yang bersamaan dengan nitrat
seakan memacu pertumbuhan alga pada badan air. Limbah cair umumnya
mengandung fosfor dalam bentuk fosfat, polifosfat, dan senyawa-senyawa organik
fosfor. Konsentrasi PO4-3
0,5 mg/L dapat mencegah pertumbuhan alga,
sedangkan pertumbuhan alga dapat dihentikan pada konsentrasi PO4-3
dibawah
0,005 mg/L (Reynolds, 1990).
Penyisihan fosfat dilakukan pada kondisis aerobik karena pada kondisi
anaerobik terjadi pembebasan ortofosfat sehingga kandungan ortofosfat pada
sistem penanganan limbah cair akan meningkat. Pada kondisi aerobik terjadi
pemanfaatan ortofosfat untuk sintesis sel dan disimpan untuk kebutuhan dimasa
mendatang, bersamaan dengan penyisihan senyawa organik. Proses aerobik
mampu menurunkan kandungan fosfat dalam limbah cair sekitar 10-30%. Proses
penyisihan tidak akan berjalan pada konsentrasi oksigen terlarut sebesar 0,2-
0,4mg/L. Efisiensi penyisihan fosfat dipengaruhi oleh oksigen terlarut, pH,
konsentrasi biomassa dan laju aliran udara (Quevauviller dan Andre, 2006).
III. METODOLOGI
A. BAHAN DAN ALAT
1. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Limbah cair usaha kegiatan peternakan dari MT Farm Ciampea
b. Air Danau LSI IPB.
c. Aquades
d. Bahan kimia untuk analisis COD yaitu larutan K2Cr2O7 0.0167 M,
reagen H2SO4, indikator ferroin, larutan FAS 0.1 M.
e. Bahan kimia untuk analisis kadar nitrogen yaitu digestion reagen,
larutan NaOH 6N, larutan H2SO4 0.02 N, larutan H3BO3 2%.
f. Bahan kimia untuk analisis kadar ortofosfat yaitu larutan ammonium
molibdat, larutan SnCl2.
g. Bahan kimia untuk analisis kadar nitrat yaitu larutan standar nitrat,
larutan NaCl 30%, larutan H2SO4, reagen brusin-asam sulfanilat.
h. Bahan kimia untuk kerapatan sel metode haemacytometer yaitu larutan
lugol 2%.
i. Kertas milipore (0.45 μm) untuk mengetahui konsentrasi sel metode
TSS.
2. Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Tangki aerator untuk pretreatment limbah.
b. Bak kultivasi berbahan kaca dan fiberglass.
c. Alat-alat untuk analisis laboratorium (erlenmeyer, gelas piala, gelas
ukur, labu takar, pipet mohr, pipet tetes, mikropipet manual, bulp, buret,
haemacytometer, tabung ulir)
d. Spektrofotometer DR 2000
e. Spektrofotometer HACH
f. Alat destilasi Kjeldhal
19
g. Oven
h. Pompa Vakum
i. Penangas Air
j. Mikroskop
k. Reaktor COD
B. METODE PENELITIAN
1. Pembuatan Tangki Aerator
Tangki aerator terbuat dari torn berbahan plastik yang dilengkapi dengan
pipa paralon berbahan PVC, pompa aerator, dan kran untuk mengatur
aliran udara ke dalam torn, dalam tangki aerator dilengkapi dengan pipa
paralon untuk membantu distribusi aerasi (Gambar 3.1). Pre-treatment ini
bertujuan untuk mengurangi kandungan bahan organik, mengurangi bau
dari limbah, dan pengkondisian media untuk kultivasi mikroalga.
Tangki Pre Treatment
Kran pengatur udara
BlowerKran pengeluaran limbah Paralon distribusi udara
Gambar 3.1. Tangki Pre-Treatment Limbah Cair Peternakan
20
2. Pembuatan Bak Kultivasi
Bak kultivasi untuk kultur konsorsium mikroalga didesain berbahan kaca
dengan dimensi (25 x 40 x 50) cm3 = 50.000 cm
3 = 50 L untuk penelitian
pendahuluan dan fiberglass dengan dimensi (100 x 60 x 40) cm3 =
240.000 cm3 = 240 L untuk penelitian utama. Bentuk bak kultivasi dapat
dilihat pada Gambar 3.2.
Gambar 3.2. Bak Media Kultivasi Mikroalga
3. Pengambilan Limbah Cair Organik
Limbah cair organik yang dipakai sebagai nutrien dalam sistem kultur
konsorsium mikroalga ini diambil dari usaha kegiatan peternakan sapi
pedaging MT Farm, Ciampea. Limbah sumber ini diduga merupakan
penyebab algae blooming secara alami. Sehingga dapat dipastikan limbah
ini mengandung nutrien yang dibutuhkan mikroalga secara umum.
4. Analisis Karakterisasi Limbah Organik dan Pre-treatment
Sebelum limbah dipakai sebagai nutrien, terlebih dahulu dilakukan
karakterisasi limbah dari segi nutrien, COD, TSS dan pH. Hal ini
dilakukan untuk menduga perlu atau tidaknya faktor pengenceran serta
pengendalian pH yang tepat terhadap limbah, sebelum diumpankan
sebagai nutrien ke dalam sistem kultur konsorsium mikroalga. Pengujian
kadar nutrien limbah untuk analisis kadar nitrogen dilakukan dengan
metode TKN, analisis kadar fosfor dilakukan dengan metode Ortofosfat/
a. Skala Kecil (28 L) b. Skala Besar (240
L)
21
Stannous Chloride), analisis kadar kalium dilakukan dengan metode
Absorption Spectrophotometry (AAS) oleh laboratorium CDSAP,
Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi
Pertanian,Institut Pertanian Bogor dan análisis kadar nitrat dilakukan
dengan metode Brusin. Pengukuran TSS limbah dilakukan dengan
menggunakan kertas saring milipore (0.45 μm) dan metode
spektrofotometer DR 2000. Pengukuran pH dilakukan dengan pH meter
Beckman terkalibrasi. Setelah selesai dilakukan pengujian karakterisasi
limbah cair, dilanjutkan dengan pre-treatment yang bertujuan untuk
mengurangi kandungan bahan organik dalam limbah dan bau dari limbah
cair peternakan.
5. Media Pertumbuhan
Media pertumbuhan yang digunakan adalah limbah cair kegiatan
peternakan. Kadar nutrien N, P, K serta pH yang telah diketahui dari
limbah, kemudian dibandingkan dengan kadar nutrien N, P, K serta pH
yang optimum bagi pertumbuhan mikroalga pada literatur. Hal ini
dilakukan untuk menentukan faktor pengenceran serta pengendalian pH
yang tepat. Volume keseluruhan media dalam kolam sebanyak 100 liter,
dimana volume limbah cair 75% ( 75 liter).
6. Inokulum Mikroalga diambil
Sampel konsorsium mikroalga dalam sistem kultur ini berasal dari Danau
LSI IPB yang diduga memiliki banyak kandungan mikroalga dengan
parameter badan air yang ditandai dengan warna hijau tua. Sampling
dilakukan di lima titik acak dengan jumlah 25% dari volume keseluruhan
kultur per kolam yakni 25 L.
7. Analisis Kualitas Media Kultur (Eliminasi Nutrien)
Limbah yang dipakai sebagai nutrien dalam kultur mikroalga diukur
parameter eliminasi nutriennya seperti kadar oksigen terlarut (Dissolved
Oxygen/ DO), chemical oxygen demand (COD), total suspenden solid
22
(TSS), kadar N-organik, kadar N-NH3, kadar N-NO3-, kadar fosfat, kadar
kalium, pH, serta suhu. Metode analisis kadar N-organik, N-NH3, N-NO3,
fosfat, kalium, COD, TSS, dan pH dijelaskan di Lampiran 1. Untuk
analisis DO menggunakan DO meter, pengukuran suhu menggunakan
termometer, dan analisis kadar kalium diuji oleh CDSAP Teknologi
Industri Pertanian IPB, dengan metode APHA ed 20th 311B, 2005.
8. Analisis Pertumbuhan Mikroalga
Pertumbuhan mikroalga dari kedua kolam dicek pertumbuhannya setiap
dua hari (mulai hari ke-0 sampai hari ke-24) dan menerapkan sistem semi
kontinu pada saat pertumbuhan mikroalga memasuki fase stasioner.
Pengamatan pertumbuhan mikroalga dilakukan di laboratorium melalui
perhitungan kerapatan sel dengan metode Haemacytometer, konsentrasi sel
dengan metode TSS (metode spektrofotometer dan menggunakan kertas
saring milipore) dan prevalensi/dominasi jenis mikroalga dalam
konsorsium dengan metode SRC. Penentuan prevalensi dan dominasi
jenis mikroalga dalam konsorsium dilakukan oleh Laboratorium
Produktivitas dan Lingkungan Perairan (ProLing), Departemen
Manajemen Sumberdaya dan Perairan, Fakultas Perikanan IPB.
9. Teknik Kultivasi Mikroalga dengan Sistem Semi Kontinu
Kultivasi mikroalga dilakukan denga tiga kali percobaan secara semi
kontinu. Percobaan I dilakukan dengan membuat media pertumuhan yaitu
75% limbah cair peternakan ditambah 25% kultur mikroalga. Setelah
mencapai pertumbuhan maksimum dilakukan pemanenan sebanyak 25%
secara semi kontinu. Dilanjutkan dengan percobaan II yaitu setelah
penambahan nutrien (limbah cair peternakan sebanyak 25%) dan diamati
pertumbuhan mikroalga setelah mulai kehabisan nutrien dan pertumbuhan
mikroalga mulai berkurang dilakukan pemanenan sebanyak 75% secara
semi kontinu, supaya mikroalga yang mati tidak menjadi toksik bagi
lingkungannya. Setelah ditambah nutrien (limbah cair peternakan)
sebanyak 75% dilakukan percobaan III dan diamati sampai media
23
kehabisan nutrien untuk pertumbuhan mikroalga, hal ini dapat dilihat dari
mikroalga yang sudah memasuki fase kematian.
10. Teknik Pemanenan Mikroalga
Teknik pemanenan mikroalga dilakukan dengan cara sentrifugasi, yaitu
dengan cara memasukkan kultur hasil panen ke dalam tabung sentrifuse,
kemudian diputar pada kecepatan yang tinggi (2500 rpm) selama 20 menit.
Setelah selesai disentrifuse air pada yang sudah terpisah dari endapan
mikroalga dipipet, mikroalga yang mengendap pada bagian dasar tabung
dipindahkan ke dalam cawan petri, kemudian dikeringkan di oven pada
suhu ± 650C, sampai mikrolaga terlihat kering secara fisik.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. KARAKTERISASI LIMBAH PETERNAKAN
Limbah yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah cair yang berasal
dari usaha kegiatan peternakan sapi pedaging di MT Farm, Ciampea. Limbah cair
yang digunakan berupa urin sapi, air bekas pembersihan sapi dan pembersihan
kandang sapi. Volume urin yang dihasilkan oleh sapi pedaging pada kegiatan usaha
peternakan sapi MT Farm Ciampea ini 5-10 liter/ekor/sapi. Menurut Mubaroq
(2009), volume urin dari sapi perah sebanyak 10-20 liter/ekor/hari. Secara garis
besar tujuan dari pengolahan limbah cair secara biologis adalah untuk perombakan
ikatan karbon (eliminasi BOD atau COD), eliminasi nitrogen (nitrifikasi dan
denitrifikasi), eliminasi fosfor, pemisahan partikel tersuspensi, dan disinfeksi.
Pengolahan limbah cair peternakan ini dilakukan dengan memanfaatkannya sebagai
media kultivasi mikroalga. Sebelum limbah tersebut digunakan dalam penelitian,
limbah di-treatment terlebih dahulu untuk mengurangi kandungan bahan organik dan
bau yang ditimbulkan limbah. Limbah di-treatment pada tangki aerator selama lima
minggu. Setelah limbah di-treatment dilakukan karakterisasi limbah untuk
mengetahui kandungan nutrien yang terdapat dalam limbah. Hasil pengujian
karakterisasi limbah cair peternakan tersaji pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1. Hasil Karakterisasi Limbah Cair Peternakan
Parameter
Nilai (mg/L)
Sebelum
pretreatment
Sesudah
pretreatment
Ortofosfat 12,78 11,12
N-NH3 10,95 4,09
N-NO3 3,54 5,14
N-Organik 13,65 6,82
COD 1846 989
TSS Millipore 385 160
TSS Spektrofotometer 380 100
25
Dari Tabel 4.1 dapat dilihat nilai kandungan bahan nutrien dalam limbah cair
peternakan berkurang kecuali kandungan N-NO3, jumlahnya meningkat. Kenaikan
kadar N-NO3 ini disebabkan adanya reduksi kandungan N-organik dalam limbah
menjadi N-NH3 melalui proses hidrolisis. Kadar N-NH3 berkurang karena terjadi
proses nitrifikasi yang menghasilkan produk akhir N-NO3 sehingga kadar N-NO3
dalam limbah cair ya di-treatment ini meningkat.
Pospat dan N-NO3 menunjukkan kandungan bahan nutrien dalam limbah cair.
Dari nilai COD dapat diketahui total kandungan bahan organik termasuk total
nitrogen organik yang terdapat dalam limbah cair. Nilai TSS (Total Suspended
Solid) atau total padatan tersuspensi menunjukkan padatan yang tersuspensi di dalam
limbah cair berupa bahan-bahan organik dan anorganik. Materi yang tersuspensi
mempunyai dampak buruk terhadap kualitas air karena mengurangi penetrasi
matahari/ cahaya ke dalam air, kekeruhan air meningkat yang menyebabkan
gangguan pertumbuhan bagi organisme produser yang terdapat dalam perairan.
B. KARAKTERISASI PERTUMBUHAN MIKROALGA
Mikroalga merupakan tumbuhan air yang berukuran mikroskopik, memiliki
berbagai potensi yang dapat dikembangkan, baik sebagai sumber pangan, pakan,
farmasi, dan saat ini sudah mulai dikembangkan sebagai sumber bahan bakar alternatif
(biofuel). Mikroorganisme ini berfotosintesis untuk mengubah cahaya matahari dan
karbondioksida menjadi karbohidrat sebagai sumber energi untuk kelangsungan
hidupnya. Budidaya mikroalga sangat menarik karena tingkat pertumbuhan yang tinggi
dan cepat, dan mampu beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan lingkungan yang
bervariasi.
1. Karakterisasi Inokulum Mikroalga
Mikroalga yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari air danau LSI
IPB. Pemilihan inokulum dari danau ini karena jumlahnya tersedia dalam jumlah
banyak, dan diyakini banyak terdapat mikroalga dalam danau LSI IPB, hal ini dapat
dilihat dari penampakan air danau secara fisik yang berwarna hijau seperti pada
Gambar 4.1. Jenis mikroalga ini juga sudah beradaptasi dengan iklim lingkungan di
Bogor. Hasil pengujian karakterisasi air danau LSI IPB tersaji pada Tabel 4.2 dan
26
hasil analisisi dominasi dan prevalensi konsorsium mikroalga danau LSI IPB tersaji
paba Tabel 4.3.
Gambar 4.1. Danau LSI IPB
Tabel 4.2. Hasil Karakterisasi Air Danau LSI IPB
Karakteristik Hasil
Fosfat 10,7 mg/L
N-Organik 4,09 mg/L
N-NH3 2,73 mg/L
N-NO3 0,289 mg/L
COD 4614 mg/L
TSS-millipore 60 mg/L
TSS-spektrofotometer 46 mg/L
Kerapatan sel 361111 ind/ml
(Sumber : Rachmad Danu Subrata, 2010)
Sampel inokulum mikroalga dari danau LSI dilakukan juga analisis
prevalensi dan dominansi untuk mengetahuia jenis mikroalga yang terdapat dalam
inokulum yang aka digunakan. Hasil pengujian tersaji pada Tabel 4.3. Dari hasil
analisis ini terdapat 13 taksa mikroalga yang terdapat dalam konsorsium mikroalga
dari air danau LSI IPB. Jumlah total mikroalga yang terdapat dalam sampel yang
diuji sebanyak 46.688 individu/liter. Indeks keragaman sebesar 1,87; indeks
keseragaman sebesar 0,73. Dari hasil nilai perhitungan analisis mikroalga ini,
keragaman mikroalga masih tergolong rendah, ditunjukkan dari nilai keragaman
masih dibawah 2,3026 (keterangan nilai ketentuan keragaman dapat dilihat di
Lampiran 2). Nilai keseragaman berkisar antara 0-1, dan dari hasil perhitungan
analisis mikroalga ini nilai keseragaman mendekati satu (0,73), maka jumlah setiap
spesies/taksa hampir sama. Dari 13 taksa ini tidak ada jenis mikroalga yang
27
mendominasi, walaupun jumlah Selenastrum sp dan Ankristodesmus lebih banyak
dibandingkan jenis mikroalga yang lain, namun kedua jenis mikroalga belum cukup
mendominasi dari total seluruh mikroalga yang terdapat dalam konsorsium ini. Hal
ini ditunjukkan dari data indeks dominasi yang bernilai 0,206 (masih dibawah 0,5).
Untuk ketentuan nilai dan cara pernitungan indeks keragaman, indeks keseragaman,
dan indeks dominansi tersaji di Lampiran 2.
Tabel 4.3. Hasil Analisis Prevalensi dan Dominasi Mikroalga dalam Konsorsium
Organisme Kelimpahan (ind/l)
CYANOPHYCEAE
Microcystis sp.
EUGLENOPHYCEAE
Euglena sp.
Trachelomonas sp.
CHOLOPHYCEAE
Ankistrodesmus
Dictyosphaerium sp.
Gloeocystis
Westella sp.
Gloeotilla sp.
Kirchneriella sp.
Selenastrum sp.
XANTHOHYCEAE
Centritractus sp.
CRYPTOPHYCEAE
Cryptomonas sp.
DINOPHYCEAE
Glenodinium sp.
4444
356
178
8800
5600
266
4622
3733
2311
18400
89
711
178
Jumlah Taksa 13
Kelimpahan Total (ind/l) 49688
Indeks Keragaman 1.87
Indeks Keseragaman 0.73
Indeks Dominasi 0.206
2. Pertumbuhan Mikroalga pada Limbah Cair Peternakan
Mikroalga merupakan komponen dasar dalam rantai makanan dalam
lingkungan air. Organisme ini menyimpan energi selama fotosintesis dan berguna
sebagai produsen dalam jaring-jaring makanan. Pertumbuhan adalah bertambahnya
28
susbtansi sebagai akibat dari metabolisme biota tersebut. Menurut Dwidjoseputro
(1986), pertumbuhan untuk organisme bersel satu (unisel) diartikan sebagai
pertambahan jumlah sel. Laju pertumbuhan untuk organisme bersel satu adalah
jumlah sel persatuan waktu. Laju pertumbuhan mikroalga akan membentuk kurva
pertumbuhan mulai dari fase lag (fase adaptasi), fase eksponensial, fase penurunan
pertumbuhan, fase stasioner, dan fase kematian. Pertumbuhan mikroalga
dipengaruhi oleh konsentrasi DO, pH, suhu, kekeruhan, keadaan di permukaan air,
dan ketersediaan nutrien dalam air tersebut.
Pola pertumbuhan mikroalga pada penelitian ini diketahui dengan cara
menghitung jumlah sel dibawah mikroskop dengan menggunakan hemasitometer.
Untuk mengetahui pola dan waktu pertumbuhan mikroalga pada limbah cair
peternakan, terlebih dahulu dilakukan penelitian pendahuluan, yaitu kultivasi pada
skala kecil dengan menggunakan bak aquarium. Pada penelitian pendahuluan ini ada
dua perlakuan konsentrasi: bak I (75% limbah : 25% mikroalga), bak II (50% limbah
: 50% mikroalga). Pada penelitian pendahuluan ini perhitungan jumlah sel dilakukan
pada hari pertama dan setelah media mulai terlihat berwarna hijau. Hasil
perhitungan dari sampel yang diamati tersaji pada Lampiran 4. Kurva pertumbuhan
mikroalga dalam penelitian pendahuluan ini dapat dilihat pada Gambar 4.2.
Gambar 4.2. Kurva Pertumbuhan Mikroalga dalam Media Limbah Cair Peternakan
Keterangan : = pemanenan mikroalga
= pemanenan mikroalga dan penambahan nutrien
0
200,000
400,000
600,000
800,000
1,000,000
1,200,000
1,400,000
1,600,000
1,800,000
2,000,000
0 5 10 15 20 25
Ke
rap
atan
se
l (in
d/m
l)
Hari ke-
75%:25%
50%:50%
1 L
1L
2L
29
Sel mikroalga sangat tahan dalam kondisis lingkungan yang tidak sesuai bagi
pertumbuhan optimumnya, karena dapat membentuk spora dorman yang tahan
terhadap kodisi lingkungan yang buruk. Hal ini ditunjukkan dapat bertahannya
kultur mikroalga pada media limbah cair, saat fase adaptasi mulai dari H-0 sampai
H-11. Pada penelitian pendahuluan ini setelah terjadi pertumbuhan mikroalga yang
mulai melimpah dilihat dari penampakan fisik seperti pada Gambar 4.3, dilakukan
pemanenan mikroalga yang tumbuh dipermukaan media mulai H-13 tanpa
penambahan nutrien dan juga pada H-17. Setelah mikroalga dipanen dilakukan
pengadukan media, supaya nutrien yang mengendap dibagian bawah tercampur
keseluruh bagian media. Teknik pemanenan seperti ini dilakukan untuk memastikan
nutrien yang tersedia dalam media sudah berkurang sampai batas minimum
kemampuan mikroalga hidup. Pemanenan mikroalga di bagian atas juga bertujuan
membantu penetrasi cahaya ke dalam media. Pada H-19 dilakukan pemanenan
diikuti dengan penambahan nutrien. Dari grafik kelimpahan mikroalga terlihat
setelah pemanenan mikroalga tanpa penambahan nutrien pertumbuhan mikroalga
semakin menurun (memasuki fase kematian), hal ini menunjukkan bahwa
ketersediaan nutrien pada media semakin sedikit. Sementara pemanenan yang diikuti
dengan penambahan nutrien pada H-19, terlihat lagi pertumbuhan mikroalga
(memasuki fase eksponensial).
Pada bak I kelimpahan mikroalga lebih banyak dibandingkan bak II. Dari
dua perlakuan konsentrasi ini, bak I menjadi pilihan untuk penelitian utama karena
kelimpahan mikroalga lebih banyak dibandingkan dengan bak II, selain itu juga
jumlah limbah yang didegradasi lebih banyak, sehingga lebih banyak manfaatnya
untuk penanganan limbah cair peternakan.
Pengukuran biomassa pada penelitian ini didasarkan pada biomassa kasar,
karena teknik kultur alga murni sulit diterapkan, khusunya pada skala besar (skala
lapangan). Biomassa kasar masih mengandung bahan-bahan organik dan anorganik,
bakteri serta mikroorganisme lainnya seperti jamur dan kadang-kadang protozoa.
Selain dari perhitungan kerapatan sel dengan hemasitometer, kelimpahan mikroalga
juga dapat diketahui dengan menghitung total suspenden solid (TSS) pada media ini.
TSS adalah padatan yang tersuspensi di dalam air berupa bahan-bahan organik dan
anorganik yang dapat disaring dengan kertas millipore berpori-pori 0,45μm. Data
30
hasil pengamatan pada kultivasi mikroalga skala kecil dapat dilihat di Lampiran 3.
Untuk TSS pada kedua perlakuan ini tersaji pada Gambar 4.4 dan 4.5.
Gambar 4.3. Pertumbuhan Mikroalga pada Skala Kecil.
Keterangan : = pemanenan mikroalga
= pemanenan mikroalga dan penambahan nutrien
Gambar 4.4. Kurva Total Suspended Solid pada Bak I (75% : 25%)
0
500
1000
1500
2000
2500
0 5 10 15 20 25
TSS
(mg/
L)
Millipore
Spektrofotometer
Hari ke-
1L 1L 2L
31
Keterangan : = pemanenan mikroalga
= pemanenan mikroalga dan penambahan nutrien
Gambar 4.5. Kurva Total Suspended Solid pada Bak II (50% : 50%)
Cahaya dan klorofil merupakan faktor penting dalam proses fotosintesis
mikroalga. Mikroalga mampu mengasimilasi karbon inorganik untuk dikonversi
menjadi senyawa-senyawa organik. Oleh karena itu sangat penting untuk
memperhatikan intensitas cahaya, serta periode pencahayaan dalam sistem kultur
mikroalga. Keberadaan cahaya menentukan bentuk kurva pertumbuhan mikroalga
yang melakukan fotosintesis. Kebutuhan cahaya tergantung pada kedalaman dan
kepadatan kultur, semakin dalam kultur dan semakin tinggi kepadatan kultur,
intensitas cahaya yang dibutuhkan semakin tinggi.
Pada penelitian ini yang terlihat secara fisik adalah pertumbuhan mikroalga
hijau. Mikroalga hijau akan melimpah pada kondisi suhu dan cahaya yang tinggi.
Suhu optimum untuk pertumbuhan mikroalga berkisar antara 20-300C. Suhu
mempengaruhi kecepatan reaksi kimia dan biokimia yang terjadi dalam air dan
organisme yang hidup di dalamnya. Peningkatan suhu air dapat meningkatkan
aktifitas mikroalga, karena reaksi kimia dan biokimia yang terjadi dalam tubuh
mikroalga semakin cepat. Dalam penelitian ini suhu media pertumbuhan mikroalga
cenderung fluktuatif yaitu berada pada kisaran 24-320C, hal ini disebabkan karena
penelitian ini dilakukan dengan metode pendekatan lapangan, jadi sangat tergantung
dengan suhu lingkungan. pH optimum untuk pertumbuhan mikroalga berada pada
kisaran 4-11.
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
1800
2000
0 5 10 15 20 25
TSS
(mg/
L)
75% Limbah (Bak I)
50% Limbah (Bak II)
Hari ke-
1L2L
1L
32
Gambar 4.6. Suhu dan pH media kultivasi
Dalam penelitian ini pH media pertumbuhan mikroalga berada pada kisaran
7-11, dan pH media pertumbuhan mikroalga cenderung naik (data hasil pengukuran
pH tersaji di Lampiran 6). Perubahan pH media disebabkan oleh penyerapan
komponen tertentu. Penyerapan garam-garam atau ion ammonium sebagai sumber
nitrogen menyebabkan penurunan pH (media terlalu asam). Penyerapan ion nitrat
menyebabkan peningkatan pH, tetapi hal ini dapat disangga dengan pengambilan
CO2 oleh media, sehingga jarang mempengaruhi pertumbuhan. Keterbatasan CO2
merangsang penggunaan bikarbonat dalam fotosintesis yang dapat meningkatkan pH
media hingga pH 11 atau lebih sehingga pertumbuhan mikroalga terhenti.
Peningkatan nilai pH ini disebabkan oleh penurunan kandungan CO2. Kandungan
CO2 berkurang karena proses fotosintesis mikroalga menggunakan CO2 yang terlarut
dalam air limbah.
C. ELIMINASI NUTRIEN DARI LIMBAH CAIR PETERNAKAN
Nutrien merupakan substansi yang dibutuhkan organisme untuk bertahan
hidup atau yang dibutuhkan untuk sintesis komponen organik sel (pertumbuhan sel).
Nutrien yang dibutuhkan mikroalga untuk pertumbuhan sel ada unsur hara makro (C,
H, N, P, K, S, Mg, dan Ca) dan unsur hara mikro (Fe, Cu, Mn, Zn, Co, Mo, Bo, Vn,
dan Si). Diantara unsur makro ini N dan P sering menjadi faktor pembatas
pertumbuhan mikroalga (Reynolds, 1990).
0
5
10
15
20
25
30
35
0 2 4 6 8 1012141618202224
Suh
u (
°C)
Hari ke-
0
2
4
6
8
10
12
0 2 4 6 8 1012141618202224
pH
Hari ke-
33
1. Eliminasi Nitrogen
Nitrogen merupakan unsur makronutrien yang berpengaruh terhadap kegiatan
metabolisme sel yaitu proses transportasi, katabolisme, asimilasi, dan khusunya
biosintesis protein (Agustini dan Kabinawa, 2002). Nitrogen merupakan
nutrien, karenanya mikroorganisme hadir dalam proses penanganan yang akan
mengasimilasi amonia-nitrogen dan memasukkannya ke dalam massa sel.
Nitrogen yang terdapat dalam berbagai bentuk di alam seperti nitrogen organik,
amonia (NH3), ion amonium (NH4+), ion nitrit (NO2
-), ion nitrat (NO3
-),
merupakan nutrien yang harus dibatasi jumlahnya dalam air limbah (air
buangan), supaya pertumbuhan alga dapat dikontrol dalam badan air.
Kandungan nitrogen dalam badan air perlu dibatasi karena N-NH3 dalam jumlah
yang tinggi bersifat racun bagi ikan, NH3 dalam jumlah rendah dan NO3-
merupakan nutrien untuk pertumbuhan alga yang melampaui batas, dan konversi
NH4+ menjadi NO3
- mengkonsumsi DO dalam jumlah yang tinggi. Eliminasi
nitrogen di alam dapat terjadi secara kimia dan biologis. Mekanisme eliminasi
nitrogen yang terdapat dalam limbah tergantung dari bentuk nitrogen yang ada
(nitrogen organik, amonia, atau nitrat). Eliminasi nitrogen dapat terjadi melalui
proses nitrifikasi dan denitrifikasi.
Nitrifikasi adalah oksidasi ammonium dan nitrat ke nitrit, karena ammonium
merupakan polutan pengkonsumsi oksigen dan penghasil racun bagi ikan, jika
pH>7. Nitrat bersifat relatif tidak toksik.
Dasar-dasar nitrifikasi
Hirolisis
N-organik + H2O NH4+ + OH
-
Nitrifikasi tahap I oleh nitrosomonas
NH4+ + 1.5 O2 NO2
- + 2H
+ + H2O + energi
Nitrifikasi tahap II oleh nitrobakter
NO2- + 0.5O2 NO3
- + energi
Reaksi total
NH4+ + 2O2 NO3
- + 2 H
+ + H2O + energi
Nitrat adalah indikasi terjadinya nitrifikasi yaitu amonia dalam air limbah
dioksidasi menjadi nitrit kemudian menjadi nitrat. Nitrat merupakan produk
34
akhir dekomposisi aerobik dari senyawa nitrogen organik. Menurut
Sastrawijaya (1991) nitrat air terbanyak diproduksi oleh mikrooragnisme. Kadar
nitrat yang tinggi dapat disebabkan oleh pembusukan sisa tanaman dan hewan,
limbah industri, kotoran hewan, dan pengotor dari lahan pertanian.
Eliminasi nitrogen dalam bentuk nitrat dengan mengkonversi menjadi gas
nitrogen dapat dicapai pada kondisi anoksik (kondisi tidak adanya oksigen
terlarut). Proses ini dikenal sebagai denitrifikasi. Tahap denitrifikasi adalah
produksi nitrik oksida, nitrous oksida, dan gas nitrogen. Reaksi penguraian
adalah sebagai berikut:
NO3-
NO2- NO N2O N2
Beberapa mikroorganisme yang terlibat dalam denitrifikasi adalah
Achromobacter, Aerobacter, Alcaligenes, Bacillus, Brevibacterium,
Flavobacterium, Lactobacillus, Micrococcus, Proteus, dan Spirillum. (Metcalf
dan Eddy, 1991). Kondisi temperatur mempengaruhi laju eliminasi nitrat dan
laju pertumbuhan mikroorganisme, karena mikroorganisme sensitif terhadap
perubahan temperatur. Eliminasi nitrat dalam media kultivasi ini terjadi karena
mikroalga yang tumbuh mengikat nitrat yang tersedia dalam lingkungannya.
Nitrat menjadi sumber nutrien utama dalam pertumbuhan mikroalga, berperan
dalam pembentuka protein sel.
Nitrogen yang ada dalam komponen organik bisa dikatakan nitrogen organik.
Nitrogen tersebut termasuk nitrogen dalam asam amino, amida, imida,dan
turunan nitro (Sawyer et al., 2001). Nitrogen organik bisa berhubungan dengan
padatan tersuspensi dalam air limbah dihilangkan dengan sedimentasi dan
filtrasi. Beberapa nitrogen organik dihidrolisis menjadi asam amino yang larut
dan memungkinkan pemecahan lebih lanjut untuk melepas amonium (NH4+)
(Metcalf dan Eddy, 1991). Selama proses penguraian mikrobiologis baik secara
alamiah di dalam air sungai, maupun diatur dalam sistem pengolahan air
buangan, zat organik tersebut melepaskan nitrogen sebagai amonia (NH3).
Nitrogen dalam air limbah umumnya dalam bentuk N-organik dan N-
amonium (N-NH4+). N-organik dan NH4
+ merupakan bahan pengkonsumsi
oksigen, sehingga mengganggu kesetimbangan ekosistem badan air. Nitrogen
terlarut dalam limbah cair akan dikonversi menjadi beberapa bentuk yaitu
35
amonia (NH3), ion nitrit (NO2-), ion nitrat (NO3
-) dan molekul organik seperti
asama amino. Pada sistem perairan alami, nitrat merupakan senyawa yang
paling dominan dan selanjutnya amonia dan nitrit. Pada penelitian ini jenis
nitrogen terlarut dalam limbah cair peternakan yang diuji adalah N-organik, N-
NH3, dan N-NO3. Dari ketiga jenis nitrogen ini pada H-0 kadar N-organik
paling tinggi yaitu 5,46 mg/L, namun untuk data secara keseluruhan selama
kultivasi mikroalga pada limbah cair peternakan kandungan N-nitrat lebih tinggi
diantara ketiga jenis nitrogen yang diuji ini. Data hasil pengujian nitrogen tersaji
pada Lampiran 7.
Keterangan = pemanenan mikroalga dan penambahan nutrien
Gambar 4.7. Kurva Eliminasi Nitrat dari Limbah Cair Peternakan
Nitrat merupakan nutrien utama untuk pertumbuhan tanaman air. Nitrat
adalah senyawa stabil dan merupakan salah satu unsur penting untuk sintesis
protein dalam tumbuhan dan hewan. Jenis nitrogen yang langsung diikat oleh
mikroalga adalah dalam bentuk nitrat. Kadar N-NO3 yang tersedia dalam jumlah
yang lebih banyak dibandingkan jenis nitrogen lain, akan menyebabkan
mikroalga terbiasa terlebih dulu menggunakan N-NO3 sebagai sumber nitrogen
utama untuk pertumbuhan sel. Pada awal kultivasi (H-0) kandungan nitrat pada
media kultivasi 4,54 mg/l dan pada H-12 kandungan nitrat pada media turun
menjadi 3,68, terjadi penurunan kadar nitrat sebesar 18,9% selama 12 hari.
0.00
3.00
6.00
9.00
12.00
15.00
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24
kon
sen
tras
i (m
g/L)
Hari ke-
25 L 75 L
36
Seperti yang tersaji pada Gambar 4.7 (data hasil pengukuran kadar nitrogen
tersaji pada Lampiran 7). Kurva kadar nitrat pada media ini cenderung
menurun. Pada H-14 dan H-18 terjadi kenaikan kurva nitrat karena adanya
penambahan limbah cair peternakan (sebagai nutrien untuk kultivasi mikroalga)
sebanyak jumlah yang dipanen yaitu 25 liter pada H-12 dan 75 liter pada H-16.
Dari H-18 dengan kadar nitrat 4,02 mg/L sampai H-24 dengan kadar nitrat 3,33
mg/L terjadi penurunan kadar nitrat sebesar 17,2% selama 6 hari. Berdasarkan
hasil pengukuran, penurunan kadar nitrat pada penelitian ini dipengaruhi oleh
waktu detensi.
Keterangan = pemanenan mikroalga dan penambahan nutrien
Gambar 4.8. Kurva Eliminasi Nitrogen dari Limbah Cair Peternakan
Persensate penurunan mulai kadar nitrogen pada percobaan I yaitu mulai H-0
sampai H-12 sebesar 50,8%, pada percobaan kedua yaitu H-14 sampai ke-16
sebesar 11,1 %, dan pada percobaan ketiga yaitu mulai dari H-18 sampai H-24
sebesar 39,3%. Data hasil pengujian nitrogen tersaji pada Lampiran 7. Dari
data ini terlihat perbedaan persentase penurunan kadar nitrogen dari media
limbah cair pada masing-masing percobaan. Hal ini terjadi karena waktu
masing-masing percobaan juga berbeda. Rata-rata laju penurunan kadar
nitrogen dari media limbah cair peternakan ini yang digunakan untuk kultivasi
mikroalga mulai dari H-0 sampai H-24 sebasar 5,45%/hari atau 0,44 mg/hari.
0
2
4
6
8
10
12
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24
kad
ar N
(m
g/L)
N-organik
N-NH₃
N-NO₃
Total Nitrogen
Hari ke-
25 L75 L
37
Transformasi bentuk senyawa nitrogen dapat dijadikan sebagai prinsip untuk
penyisihan nutrien secara biologis. Amonia merupakan senyawa nitrogen yang
menjadi NH4+ pada pH rendah dan disebut amonium. Amonia dapat
mengakibatkan keadaan kekurangan oksigen pada air karena konversi amonia
menjadi nitrat membutuhkan 4,5 bagian oksigen untuk setiap bagian amonia.
Dengan keadaan tersebut maka kadar oksigen terlarut dalam cairan akan turun.
Dari data hasil pengamatan seperti yang tersaji pada Lampiran 7, terlihat
penurunan kadar N-NH3 dari 1,40 mg/l menjadi 0,56 mg/l (pengurangan sebesar
60%). Penurunan kadar NH3 ini karena terjadinya proses nitrifikasi sehingga
terbentuk NO3 yang menjadi sumber nutrien untuk pertumbuhan mikroalga.
2. Eliminasi Fosfat
Fosfor di dalam limbah cair terdapat dalam bentuk ortofosfat (PO43-
),
polifosfat, dan fosfor yang terikat secara organik. Mikroorganisme
menggunakan fosfor selama sintesa sel dan transport energi berlangsung. Fosfor
merupakan bagian dari unsur hara anorganik sebagai unsur pembatas yang
dibutuhkan mikroalga untuk tumbuh dan berproduksi. Fosfor diperoleh
mikroalga dari senyawa fosfor organik (ion ortofosfat) dan ada juga dari fosfor
organik terlarut. Fosfor berperan dalam proses pembentukan sel mikroalga dan
juga dalam proses pengalihan energi di dalam sel. Menurut Krisanti, 2003
kekurangan fosfor akan mengakibatkan kekerdilan dan kematangan tertunda.
Fosfor yang tersedia dalam limbah cair akan diikat oleh mikroalga untuk
kebutuhan pembentukan, pertumbuhan, dan pematangan sel. Pada awal
percobaan pada penelitian utama terjadi penurunan kadar orfosfat media sebesar
3,26% yaitu dari H-0 (10,42 mg/L) menjadi (10,08 mg/L) pada H-12, dan pada
H-12 dilakukan pemanenan sebanyak 25% secara semi kontinu yaitu dengan
penambahan nutrien kedalam media sebanyak jumalah yang dipanen. Data
penurunan kadar ortofosfat tersaji pada Lampiran 8 dan Gambar 4.9.
38
Keterangan = pemanenan mikroalga dan penambahan nutrien
Gambar 4.9. Kurva Eliminasi Ortofosfat dari Media
Dari hasil analisis ini terlihat penurunan kandungan ortofosfat, karena dalam
media ini jumlah mikroalga semakin banyak yang tumbuh sehingga kebutuhan
akan nutrien fosfor juga semakin besar. Pada H-12kadar ortofosfat meningkat
karena penambahan nutrien sebanyak 25%, setelah dilakukan pemanenan pada
H-12. Dari H-14 sampai H-16 penurunan kadar ortofosfat sebesar 1,49%. Pada
H-16 dilakukan lagi pemanenan sebanyak 75% secara semi kontinu, dan pada H-
18 terlihat peningkatan kadar orfofosfat dari 9,93 mg/l (H-16) menjadi
10,57mg/l (H-18). Pengamatan dilakukan sampai terlihat pertumbuhan
mikroalga pada media sudah sangat sedikit (berada pada fase kematian) yaitu
pada H-24, dan kadar ortofosfat pada H-24 sebesar 10,15 mg/l. Dari data ini
penurunan kadar ortofosfat mulai dai H-18 samapi H-24 sebesar 3,97%.
Penurunan kadar ortofosfat terlihat paling tinggi pada percobaan III (pemanenan
sebanyak 75%), hal ini dapat disebabkan karena pertumbuhan mikroalga pada
percobaan III ini lebih melimpah dibandingkan percobaan I dan II, dan juga
karena mikroalga yang digunakan sudah beradaptasi dengan media limbah cair
peternakan. Laju penurunan kadar ortofosfat dari limbah cair peternakan yang
9.60
9.80
10.00
10.20
10.40
10.60
10.80
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24
kon
sen
tras
i (m
g/L)
Hari ke-
25 L75 L
39
digunakan sebagai media kultivasi mikroalga sebesar 0,34%/hari atau 0,06
mg/hari. Untuk data lengkap hasil pengukuran analisis kadar ortofosfat dapat
dilihat pada Lampiran 8.
3. Eliminasi Kalium
Pada kultur mikroalga kalium dibutuhkan untuk metabolisme karbohidrat .
(Becker, 1994). Mulai dari H-0 sampai H-12 seperti yang tersaji pada Gambar
4.11 terlihat penurunan kurva konsentrasi kalium pada media limbah cair
peternakan sebesar 36% yaitu dari 698 mg/L pada H-0 menjadi 446 mg/L pada
H-12. Data hasil pengujian kadar kalium tersaji pada Lampiran 10. Setelah H-
12 terjadi kenaikan kurva konsentrasi kalium pada media limbah cair peternakan
karena adanya penambahan nutrien (limbah cair peternakan) pada H-12 dan H-
16 setelah dilakukan pemanenan. Sampel yang diuji untuk analisis kadar kalium
pada H-12 dan H-16 adalah sampel sebelum dilakukan penambahan nutrien.
Eliminasi kalium berbanding terbalik dengan pertumbuhan mikroalga yang
terdapat pada mediakultivasi. Semakin banyak mikroalga yang tumbuh dalam
media kultivasi maka metabolisme karbohidrat semakin banyak yang terjadi, dan
untuk metabolisme ini sel mikroalga mengikat kalium yang terdapat dalam
media pertumbuhannya (limbah cair peternakan).
Keterangan = pemanenan mikroalga dan penambahan nutrien
Gambar 4.10. Kurva Eliminasi Kalium dari Limbah Cair Peternakan
0
100
200
300
400
500
600
700
800
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20
kon
sen
tras
i (m
g/L)
Hari ke-
25 L75 L
40
4. Eliminasi COD
Chemical Oxygen Demand (COD) adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan
untuk mengoksidasi zat-zat organik yang terdapat dalam perairan secara
kimiawi. Kadar bahan organik yang terkandung dalam limbah cair dapat diukur
dari nilai COD. Nilai COD akan meningkat sejalan dengan meningkatnya bahan
organik di perairan. COD merupakan indikator pencemaran di badan air. Nilai
COD menunjukkan keberadaan zat-zat organik yang secara ilmiah dapat
dioksidasi melalui proses mikrobiologis sehingga mengakibatkan berkurangnya
oksigen terlarut di perairan. COD juga menggambarkan banyaknya zat organik
yang tidak mengalami penguraian dalam air.
Nilai COD yang semakin rendah menunjukkan bahwa kandungan bahan
organik dalam air tersebut semakin sedikit, dan hal ini juga menunjukkan bahwa
tingkat pencemaran diperairan rendah. Pengurangan kandungan COD dalam
limbah cair peternakan dapat dilihat pada Gambar 4.12. Pada kurva ini terlihat
nilai COD paling rendah terdapat pada H-8, H-12, H-16, dan H- 24 yaitu
sebesar 165 mg/L, untuk data hasil analisis dapat dilihat di Lampiran 9. Pada
H-12 dan H-16 dilakukan pemanenan secara semi kontinu, sehingga pada H-14
dan H-18 terjadi kenaikan nilai COD, karena penambahan limbah cair
peternakan ke dalam media kultivasi, dengan penambahan limbah cair ini
kandungan bahan organik dalam media akan meningkat juga. Mulai H-18
sampai H-24 kandungan COD dalam media kultivasi limbah peternakan ini
semakin menurun terus, ini menunjukkan bahan organik yang tersedia dalam
media semakin berkurang terus. Pada H-24 nilai COD mencapai titik terendah
lagi, menunjukkan bahwa kandungan bahan organik sudah mencapai titik
terendah yang dapat dieliminasi oleh mikroorganisme yang terdapat dalam
media kultivasivasi yang sudah tidak terlihat hijau lagi. Pada titik ini juga
mikroalga sudah berada pada fase kematian, terlihat dari jumlah biomassa,
kerapatan sel, dan penampakan media kultur. Hal ini menunjukkan bahwa
kemampuan mikroalga pada penelitian ini mampu mengurangi kandungan bahan
organik pada limbah cair peternakan sampai mencapai titik konsentrasi COD
165 mg/L.
41
Keterangan = pemanenan mikroalga dan penambahan nutrien
Gambar 4.11. Kurva Eliminasi COD dari Limbah Cair Peternakan
Bahan organik bertindak sebagai donor elektron dalam proses denitrifikasi
nitrogen teroksidasi. Bahan organik adalah senyawa organik yang dapat
bertindak sebagai sumber energi bagi mikroba yang melakukan denitrifikasi
(Curds dan Hawkes, 1983). Pada proses anaerobik karbon yang terdapat dalam
limbah diubah menjadi asam-asam organik, CO2 dan CH4, pada proses
denitrifikasi komponen karbon digunakan sebagai donor elektron, dan pada
proses nitrifikasi komponen karbon digunakan untuk pertumbuhan sel
organisme. Terjadinya peningkatan kadar COD dalam media kultivasi, seperti
yang terlihat pada Gambar 4.11, yaitu pada H-6 dan H-10 tanpa adanya
penambahan nutrien, dapat disebabkan meningkatnya kandungan bahan organik
yang berasal dari degradasi sel mikroalga yang mati.
D. BIOMASSA ALGA
1. Jenis Mikroalga
Mikroalga sangat toleransi terhadap perubahan lingkungan, namun tidak
semua jenis mikroalga dapat tumbuh dalam suatu media. Mikroalga hasil
kultivasi dengan menggunakan media limbah cair peternakan dianalisis dengan
metode pencacahan Strip-SRC di Laboratorium Produktivitas dan lingkungan
0
100
200
300
400
500
600
700
800
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24
CO
D (
mg/
L)
Hari ke-
25 L 75 L
42
perairan Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan IPB. Hasil
analisis jenis mikroalga tersaji pada Tabel 4.4
Tabel 4.4. Hasil Analisis Prevalensi Dominansi Kultivasi Mikroalga dari
Limbah Cair Peternakan
Organisme Kelimpahan (ind/100 ml sampel)
Euglenophyceae
Euglena sp
535.294
Bacillariophyceae
Fragilaria sp
110.294
Jumlah taksa 2
Kelimpahan 645.288
Indeks keragaman 0,46
Indeks keseragaman 0,66
Indeks dominansi 0,72
Dari hasil analisis terdapat dua jenis mikroalga yang tumbuh dalam media
kultivasi limbah cair peternakan, hal ini menunjukkan bahwa tidak semua jenis
mikroalga dapat tumbuh pada suatu jenis media. Pada awal kultivasi mikroaga
yang digunakan dari air danau LSI IPB terdapat 13 jenis mikroalga, dan disini
mikroalga yang dapat bertahan adalah Euglena sp. Indeks keragaman dengan
nilai 0,46 masih tergolong rendah karena berada dibawah 2,3026 (keterangan
nilai ketentuan tersaji pada Lampiran 2). Indeks keseragaman pada jenis
mikroalga ini 0,66 nilai ini mendekati satu, maka jumlah setiap spesies hampir
sama. Indeks dominansi bernilai 0,72 ini menunjukkan adanya jenis
fitoplankton yang mendominasi karena nilai indeks dominansi diatas 0,5. Jenis
fitoplankton yang mendominasi adalah Euglena sp. Perhitungan analisis
mikroalga pada sampel tersaji pada Tabel 4.5 dan rumus untuk perhitungan
analisis mikroalga tersaji pada Lampiran 2 dan foto dari sampel mikroalga hasil
kultivasi yang dapat bertahan pada limbah cair peternakan dapat dilihat pada
Gambar 4.12.
43
Tabel 4.5. Hasil Perhitungan Analisis Mikroalga
ORGANISME
Kode
Sampel ni/N ln
(ni/N) Pi lnPi Pi*Pi
Peternakan
EUGLENOPHYCEAE
Euglena sp 535.294 0,83 -0,19 0,16 0,69
BACILLARIOPHYCEAE
Fragilaria sp 110.294 0,17 -1,77 0,30 0,03
Jumlah Taksa 2
Kelimpahan (Ind/sampel) 645.588
Indeks Keragaman 0,46
Indeks Keseragaman 0,66
Indeks Dominansi 0,72
Gambar 4.12. Hasil Foto Sampel Mikroalga
2. Kelimpahan Mikroalga
Kelimpahan mikroalga dapat dilihat dari penampakan fisik, pengujian TSS,
dan perhitungan kerapatan sel. Perkembangan kelimpahan mikroalga dilihat dari
perubahan kelimpahan setiap 2 hari pengamatan. Dari penampakan secara fisik
dalam penelitian utama pertumbuhan mikroalga sudah mulai terlihat pada H-4
44
pada permukaan media, dan kelimpahan paling tinggi pada H-12, dimana
permukaan media sudah dipenuhi dengan mikroalga dan media pertumbuhan
terlihat lebih hijau dibandingkan hari sebelumnya. Perubahan warna media
mulai dari H-0 sampai H-24 dapat dilihat pada Gambar 4.13.
Gambar 4.13. Sampel Perubahan Warna Media Kultivasi Mikroalga
Tabel 4. 6. Hasil Analisis TSS pada Media Kultivasi Mikroalga
Hari TSS-Peternakan (mg/L) Keterangan
Spektrofotometer Millipore
0 32 100
2 31 92
4 36 192
6 192 416
8 268 532
10 346 616
12 1350 2135
Pemanenan dan penambahan
nutrient (limbah)
14 870 1200
16 850 380
Pemanenan dan penambahan
nutrient (limbah)
18 162 210
20 1450 1500
22 138 205
24 63 115
45
Pertumbuhan mikroalga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan seperti
cahaya, pH, suhu, DO, ketersediaan unsur hara (seperti nitrat dan fosfor), dan
lain-lain. Tidak semua jenis mikroalga dapat tumbuh pada satu kondisi
lingkungan. Jadi hanya jenis mikroalga tertentu yang dapat tumbuh pada
lingkungan tertentu juga. Dari penampakan secara fisik jenis mikroalga yang
tumbuh pada media limbah cair peternakan ini didominasi oleh mikroalga hijau.
Pengujian kelimpahan mikroalga dengan TSS menggunakan kertas saring
millipore, kelimpahan paling banyak pada H-12 dan H-20. Ini merupakan titik
pertumbuhan maksimum mikroalga, seperti yang tersaji pada Gambar 4.14.
Pada H-12 saat pertumbuhan maksimum dilakukan pemanenan sebanyak 25%
yang diikuti dengan penambahan nutrien (limbah cair peternakan) sebanyak
yang dipanen, disini masih terlihat pertumbuhan mikroalga namun tingkat
kematian lebih tinggi dari tingkat pertumbuhan, hal ini dapat disebabkan karena
nutrien yang tersedia tidak mencukupi kebutuhan mikroalga secara maksimal.
Pada H-16 dilakukan lagi pemanenan secara semi kontinu sebanyak 75%, dan
dari hasil percobaan ini terlihat pertumbuhan mikroalga yang sangat cepat dan
tinggi yaitu pada H-20 (H-4 dari percobaan III), dan setelah titik maksimum ini
pertumbuhan mikroalga langsung menurun drastis berada pada fase kematian,
hal ini disebabkan karena kebutuhan nutrien yang tersedia dalam media limbah
cair peternakan sudah semakin sedikit.
Keterangan = pemanenan mikroalga dan penambahan nutrien
Gambar 4.14. Kurva TSS Pada Media Kultivasi Mikroalga
0
500
1000
1500
2000
2500
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24
TSS
(mg/
L)
Millipore
Spektrofotometer
Hari ke-
25 L
75 L
46
Kelimpahan mikroalga juga dihitung dengan mengetahui kerapatan sel
menggunakan metode haemasitometer yaitu mengitung jumlah sel dibawah
mikroskop. Pada penelitian utama seperti tersaji pada Gambar 4.15 fase lag
terlihat mulai dari hari pertama sampai H-8, H-8 sampai H-12 merupakan fase
pertumbuhan eksponensial. Pada H-12 dilakukan pemanenan sebanyak 25% (25
liter) kemudian ke dalam media kultivasi mikroalga ditambahkan limbah cair
peternakan sebanyak 25 liter. Setelah pemanenan terlihat penurunan
pertumbuhan mikroalga mulai dari H-12 sampai H-16. Pada fase ini masih tetap
terjadi pertumbuhan mikroalga, namun jumlah mikroalga yang mati lebih
banyak dibandingkan jumlah mikroalga yang tumbuh. Hal ini dapat disebabkan
karena sudah mulai terjadi kekurangan nutrien dalam media. Pada H-16
dilakukan lagi pemanenan sebanyak 75% (75 liter), setelah pemanenan
ditambahkan limbah sebanyak 75 liter ke dalam bak media kultivasi mikroalga.
Pada H 18 mulai terlihat lagi pertumbuhan mikroalga. Dari kurva ini terlihat
fase lag pada H-16 sampai H-18.
Keterangan = pemanenan mikroalga dan penambahan nutrien
Gambar 4.15. Kurva Pertumbuhan Mikroalga dalam Media Limbah Cair
Peternakan
0
2,000,000
4,000,000
6,000,000
8,000,000
10,000,000
12,000,000
14,000,000
16,000,000
18,000,000
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24
kera
pat
an s
el (
ind
/ml)
Hari ke-
25 L
75 L
47
Adaptasi mikroalga di dalam media terlihat lebih cepat pada percobaan ke-2
dibandingkan dengan percobaan pertama, hal ini dapat disebabkan karena
mikroalga yang terdapat dalam media sudah beradaptasi dengan limbah cair
peternakan. Fase eksponensial terjadi pada H-18 sampi H-20, dimana pada fase
ini terlihat pertumbuhan mikroalga terlihat jauh lebih tinggi dibandingkan
mikroalga yang mati. Mulai H-20 sudah memasuki fase kematian, yaitu fase
dimana jumlah mikroalga yang mati lebih banyak dibandingkan yang tumbuh.
Jumlah kerapatan sel paling tinggi dari keseluruhan kurva pertumbuhan
mikroalga ini adalah pada H-12 yaitu sebanyak 4.972.222 individu/ml, dan pada
H-20 sebanyak 16.944.444 individu/ml (data hasil pengujian TSS dan kerapatan
sel tersaji pada Lampiran 10).
Terdapat perbedaan nilai kelimpahan konsorsium mikroalga yang terdapat
dalam media kultivasi limbah dengan metode TSS millipore dan dengan metode
hemasitometer. Pada metode TSS dengan menggunakan kertas millipore
kelimpahan paling banyak terdapat pada H-12 yaitu 2135 mg/l sementara pada
H-20 1500 mg/l. Dari cara ini kita dapat mengetahui biomassa sel mikroalga.
Dengan menggunakan metode hemasitometer jumlah sel paling banyak
terdapat pada H-20 yaitu 16.944.444 individu/ml, sementara pada H-12
sebanyak 4.972.222 individu/ml. Perbedaan ini dapat disebabkan karena ukuran
sel mikroalga pada sampel hasil kultivasi pada H-12 lebih besar dari pada
ukuran mikroalga pada sampel H-20, sehingga dengan ukuran sel yang lebih
besar, maka massa mikroalga akan lebih besar juga. Sementara ukuran
mikroalga pada H-20 terlihat lebih halus (sangat kecil), jadi walaupun jumlahnya
banyak (secara individu) beratnya akan lebih kecil dibandingkan ukuran
mikroalga yang lebih besar.
Perubahan warna media dan pertumbuhan mikroalga dapat dilihat pada
Gambar 4.16. Dari Gambar 4.16 terlihat perubahan warna media kultivasi
mikroalga pada H-0, media terlihat berwarna coklat, pada H-4 sudah mulai
terlihat pertumbuhan mikroalga pada permukaan media sampai H-6 mikroalga
sudah mulai menutupi permukaan media. Pada H-8 selain pada permukaan
mikroalga sudah mulai tumbuh pada seluruh bagian media, terlihat dari warna
media limbah yang sudah mulai hijau
48
Gambar 4.16. Perubahan Warna Media Kultivasi Mikroalga
Mikroalga dapat mulai tumbuh pada seluruh bagian media karena cahaya
sudah mulai dapat menembuh media sapai batas yang lebih dalam, hal ini dapat
disebabkan karena permukaan media sudah mulai jernih. Pada H-10 hampir
seluruh permukaan media ditumbuhi mikroalga dan pada H-12, mikroalga pada
permukaan media mulai berkurang namun larutan media mulai terlihat lebih
hijau dibandingkan hari sebelumnya. Berkurangnya jumlah mikroalga pada
permukaan media menunjukkan bahwa mikroalga pada permukaan ini sudah
mulai mati. Pada H-12 pemanenan secara semi kontinu dilakukan sebanyak
25% (bagian atas media). Setelah dilakukan penambahan limbah cair
peternakan sebanyak 25% media terlihat agak kecoklatan lagi, pada H-14 mulai
terlihat pertumbuhan lagi. Pada H-16 terlihat pertumbuhan mikroalga yang
melimpah pada permukaan media dan juga warna media secara keseluruhan
semakin hijau dibanding H-14, namun tidak lebih hijau dari warna media pada
H-14 H-20 H-18 H-16
H-0 H-2 H-4 H-6 H-8
H-10
H-18
H-12
H-20 H-22 H-24
H-14 H-16 Setelah
di+nutrien 25%
Setelah di+nutrien 75%
49
H-12. Hal ini dapat disebabkan karena ketersediaan nutrien dalam media tidak
mencukupi untuk perumbuhan mikroalga yang optimum.
Pemanenan tahap II dilakukan pada H-16 secara semikontinu sebanyak 75%,
setelah dilakukan penambahan limbah cair peternakan sebanyak 75% ke dalam
media sisa hasil pemanenan terlihat media kultivasi menjadi coklat kehijauan
lagi. Dalam dua hari setelah penambahan nutrien (H-18) sudah mulai terlihat
pertumbuhan mikroalga pada permukaan dan juga pada seluruh badan media
kultivasi. Saat H-20 pertumbuhan mikroalga mulai terlihat lagi lebih banyak
terlihat dari warna media yang lebih hijau, mikroalga lebih banyak tumbuh pada
badan media dari pada di permukaan media seperti hari-hari sebelumnya.
Pertumbuhan yang cepat ini dapat disebabkan karena mikroalga yang terdapat
dalam media kultivasi sudah beradaptasi dengan lingkungannya yaitu limbah
cair peternakan yang sudah ditreatment, dan juga jumlah nutrien yang terdapat
dalam media mencukupi kebutuhan mikroalga untuk pertumbuhan yang baik
dengan penambahan limbah cair yang banyak yaitu 75% sebanding jumlah
yang dipanen. Setelah H-20 mikroalga memasuki fase kematian dimana
jumlah mikroalga yang mati lebih banyak dibandingkan mikroalga yang tumbuh.
Hal ini terlihat dari perubahan warna media yang semakin bening. Keadaan ini
dapat mengindikasikan bahwa nutrien yang terdapat dalam media sudah mulai
habis (tidak mencukupi lagi untuk kelangsungan hidup mikroalga).
Metode pemanenan mikroalga untuk mendapatkan biomassanya dapat
dilakukan dengan empat cara yaitu: filtrasi, sentrifugasi, flokulasi, dan suara
ultrasonik. Filtrasi adalah pemisihan mikroalga dari kultur media cair dengan
menggunakan alat berpori. Teknik penyaringan ini didasarkan pada perbedaan
ukuran partikel. Sentrifugasi adalah teknik pemisahan yang digunakan untuk
memisahkan suspensi yang jumlahnya sedikit. Kultur mikroalga dimasukkan ke
dalam tabung sentrifuse kemudian diputar dengan kecepatan tinggi. Sentrifugasi
yang cepat menghasilkan gaya sentrifugal yang besar sehinggapartikel
tersuspensi mengendap di dasar tabung kemudian cairan di bagian atas dipipet.
Flokulasi adalah proses pembentukan flok. Pemisahan menggunakan suara
ultrasonik dengan gelombang pada frekuensi tertentu untuk mengakumulasikan
mikroalga, dengan pemisahan dari media kultur.
50
Dari keempat metode pemisahan ini, teknik pemisahan yang dipilih pada
penelitian ini adalah teknik sentrifugasi. Sampel mikroalga disentrifuse selama
20 menit dengan kecepatan 2500 rpm. Endapan hasil sentrifugasi dikeringkan
untuk mendapatkan biomassa mikroalga untuk pengujian selanjutnya.
Mikroalga hasil sentrifugasi yang sudah dikeringkan dapat dilihat pada Gambar
4.17.
Gambar 4.17. Mikroalga yang Sudah dikeringkan
3. Proksimat Mikroalga
Analisis proksimat dilakukan untuk mengetahui komposisi kimia yang
terdapat dalam mikroalga hasil kultivasi dari limbah cair peternakan. Mikroalga
yang dipanen disentrifuse untuk memperoleh endapan mikrolaga, dan mikroalga
hasil sentrifuse dikeringkan di oven pada suhu 650C sampai terlihat tidak ada
lagi air. Bahan yang sudah kering ini digunakan sebagai sampel untuk analisis
proksimat. Hasil analisis proksimat mikroalga sebagai hasil pemanenan dari
kultivasi mikroalga pada limbah cair peternakan disajikan pada Tabel 4.7.
Tabel 4.7. Hasil Analisis Proksimat Mikroalga
Parameter Nilai (% b/b)
Kadar air 7,31
Kadar abu 40,11
Kadar protein 18,27
Kadar lemak 2,09
Kadar serat kasar 6,34
Kadar karbohidrat 25,88
51
Dari hasil analisis proksimat di atas terlihat kadar abu dari konsorsium
mikroalga yg dikultivasi pada limbah cair peternakan merupakan persentase
yang paling tinggi (40,11% b/b), kadar protein sebesar 18,27% b/b dan kadar
minyak sebesar 2,09 % b/b. Abu merupakan zat-zat organik yang berupa logam
ataupun mineral-mineral yang terikat di dalam mikroalga yang tidak diharapkan
ada didalam mikroalga. Zat-zat anorganik dan mineral-mineral tersebut
dianggap sebagai pengotor yang bergabung dengan mikroalga pada saat
pemanenan. Untuk memperkecil kadar abu, sebaiknya sampel mikroalga yang
akan dianalisis dicuci terlebih dahulu supaya garam-garam mineral terlepas dari
mikroalga.
Besarnya kandungan unsur N pada media pemeliharaan mikroalga
mengakibatkan rendahnya kandungan lemak dan sebaliknya apabila ada
pembatas unsur N pada media pemeliharaan dalam kondisi terkontrol dapat
meningkatkan kandungan lemak (Qin, 2005). Menurut Bezerra et. al (2007)
kandungan lipid akan menurun bila intensitas cahaya tinggi. Ketersediaan unsur
nutrien yang lengkap pada media pemeliharaan mikroalga khususnya unsur N
dan P akan meningkatkan pembentukan protein dalam sel mikroalga
(Widianingsih, dkk. 2008). Kadar minyak dari mikroalga hasil pemanenan pada
saat TSS media 105 mg/L dan kadar air 98,8% sebesar 0,149 mg/l (12% b/b).
Pengujian dilakukan di CDSAP Teknologi Industri Pertanian IPB dengan
menggunakan SNI 01,2891.1992. Kadar minyak ini masihlebih rendah
dibandingkan kadar minyak mikroalga dari kelas Euglenophyceae ( 14-20% b/b)
dan Bacillariophyceae (14-38% b/b) (Becker, 1994).
F. KAJIAN UMUM
Berdasarkan hasil penelitian ini mikroalga merupakan fitoplankton yang baik
digunakan untuk penanganan limbah cair peternakan. Perbandingan jumlah volume
limbah cair peternakan yang lebih tinggi dari jumlah volume kultur mikroalga,
karena hal ini akan meningkatkan kemampuan mikroalga untuk mendegradasi
nutrien yang terdapat dalam limbah cair. Euglena sp dan Flagiraria sp adalah dua
jenis mikroalga yang ditemukan dalam sampel mikroalga hasil kultivasi, diduga
52
kedua jenis mikroalga ini sebagai mikroalga yang berperan dalam proses stabilisasi
limbah cair peternakan.
Karakteristik pertumbuhan mikroalga pada penelitian ini dipengaruhi oleh
suhu, pH, dan kandungan nutrien yang terdapat pada limbah cair. Ketersediaan
nutrien dalam limbah cair peternakan khusunya kadar nitrat dan kadar ortofosfat
yang tinggi mendukung pertumbuhan mikroalga dalam media ini. Pada percobaan I
fase adaptasi (fase lag) pertumbuhan mikroalga terjadi dari H-0 sampai H-8, fase
eksponensial mulai dari H-8 sampai H-12, setelah H-12 terjadi penurunan laju
pertumbuhan. Hal ini diakibatkan berkurangnya ketersediaan nutrien dalam media
(data pengujian tersaji pada Lampiran 10) dan dapat juga karena kekurangan cahaya.
Kultur yang sangat padat menyebabkan media bagian bawah menjadi gelap, sehingga
fotosintesis hanya terjadi pada bagian permukaan atas. Dengan sistem semi kontinu
fase pertumbuhan akan semakin singkat karena fase lag (adaptasi akan menjadi lebih
singkat). Ini terjadi karena mikroalga yang digunakan untuk percobaan II dan
percobaan III sudah beradaptasi dengan limbah cair peternakan (media
pertumbuhannya). Biomassa mikroalga dapat ditingkatkan dengan memodifikasi
kultur yaitu penambahan nutrien pada media kultivasi sebanyak 75% dari volume
total setelah dilakukan pemanenan mikroalga yang keberadaannya sudah terlihat
padat pada media sebanyak 75%. Pemanenan ini juga bertujuan untuk membantu
penetrasi cahaya pada media kultivasi.
Dari penelitian ini dapat dihitung nilai konversi mg biomassa mikroalga/ mg
nutrien yaitu dengan menghitung selisih pertambahan biomassa mikroalga dari nilai
TSS dengan menggunakan kertas millipore dan dibagi dengan selisih penurunan
kandungan nutrien dalam limbah.
Tabel 4.8. Hasil Analisis Eliminasi Nutrien dan Pertumbuhan Mikroalga
Hari Nutrien (mg/L) Biomassa
sel (mg/L) K N P
0 698 11,4 10,42 100
4 676 5,98 10,37 192
8 602 5,56 10,24 532
12 446 5,61 10,28 2135
53
Perhitungan konversi biomassa mikroalga/kalium
mg TSS millipore
mg total kalium=
TSS (H12 − H0)
K (H0 − H12)=
2135 − 100
698 − 446= 8,1
mg mikroalga
mg kalium
Gambar 4.18. Kurva Pertumbuhan Mikroalga dan Eliminasi Kalium Percobaan I
Perhitungan konversi biomassa mikroalga/nitrogen
mg TSS millipore
mg total nitrogen=
TSS (H12 − H0)
N (H0 − H12)=
2135 − 100
11,4 − 5,6= 351
mg mikroalga
mg nitrogen
Gambar 4.19. Kurva Pertumbuhan Mikroalga dan Eliminasi Nitrogen Percobaan I
0
100
200
300
400
500
600
700
800
0
500
1000
1500
2000
2500
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20
Kal
ium
(m
g/L)
TSS
(mg/
L)
TSS (mg/L)
Kalium (mg/L)
Hari ke-
0
2
4
6
8
10
12
0
500
1000
1500
2000
2500
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20
Nit
roge
n (
mg/
L)
TSS
(mg/
L)
TSS (mg/L)
Nitrogen (mg/L)
Hari ke-
54
Perhitungan konversi biomassa mikroalga/ortofosfat
mg TSS millipore
mg ortofosfat=
TSS (H12 − H0)
ortofosfat (H0 − H12)=
2135 − 100
10,42 − 10,08
= 5985mg mikroalga
mg ortofosfat
Gambar 4.20. Kurva Pertumbuhan Mikroalga dan Eliminasi Ortofosfat Percobaan I
Berdasarkan penelitian ini kebutuhan nutrien unsur kalium untuk
pertumbuhan mikroalga mulai dari H-0 sampai H-12 adalah 8,1mg mikroalga/mg
kalium. Jadi dari hasil penelitian ini dalam kultivasi dengan media limbah cair
peternakan dengan pertumbuhan mikroalga sebanyak 8,1 mg mampu mengeliminasi
kalium terlarut dalam limbah sebanyak 1 mg. Pada penelitian ini kebutuhan nutrien
unsur nitrogen untuk pertumbuhan mikroalga mulai dari H-0 sampai H-12 adalah
351mg mikroalga/mg nitrogen dan kebutuhan nutrien ortofosfat 5985 mg mikroalga/
mg ortofosfat. Jadi dari hasil penelitian ini dalam kultivasi dengan media limbah cair
peternakan dengan pertumbuhan mikroalga sebanyak 351 mg mampu mengeliminasi
kandungan nitrogen terlarut dalam limbah sebanyak 1 mg. Untuk pertumbuhan 5985
mg mikroalga dapat mengeliminasi kandungan ortofosfat sebanyak 1 mg, atau senilai
dengan pertumbuhan mikroalga sebanyak 351 mg mampu mengeliminasi kandungan
ortofosfat yang terdapat dalam limbah cair peternakan sebanyak 0,06 mg.
Eliminasi nutrien dari limbah cair peternakan dipengaruhi oleh laju
pertumbuhan mikroalga. Semakin cepat dan semakin banyak pertumbuhan
9.6
9.7
9.8
9.9
10
10.1
10.2
10.3
10.4
10.5
0
500
1000
1500
2000
2500
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20O
rto
fosf
at (
mg/
L)
TSS
(mg/
L)
TSS (mg/L)
Ortofosfat (mg/L)
Hari ke-
55
mikroalga maka jumlah nutrien yang dapat dieliminasi akan semakin banyak. Waktu
detensi yang terlalu singkat juga akan menghasilkan eliminasi nutrien yang sedikit
seperti hasil pada percobaan II (Data tersaji pada Lampiran 10). Dari kurva gambar
diatas terlihat perbandingan antara peningkatan pertumbuhan mikroalga dan
penurunan nutrien pada media kultivasi limbah cair peternakan berbanding terbalik.
Pada H-8 sampai H-12 terlihat pertumbuhan mikroalga paling tinggi (berada pada
fase eksponensial. Dalam pemilihan jenis mikroalga yang akan dikultivasi
karakteristik yang perlu diperhatikan adalah mikroalga memiliki komponen dasar
minyak/protein/karbohidrat yang tinggi (sesuai dengan tujuan pengembangan
mikroalga), mampu bertahan dengan baik terhadap perubahan lingkungan, dan
tingkat pertumbuhan yang tinggi.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Mikroalga merupakan jenis mikroorganisme yang tepat untuk menangani
limbah cair peternakan, karena fitoplankton ini lebih toleran terhadap perubahan
lingkungan dan pertumbuhannya yang cepat kira-kira 4-14 hari. Untuk kultivasi
mikroalga dalam media limbah cair peternakan digunakan secara bertahap, supaya
mikroalga yang digunakan sudah beradaptasi dengan lingkungannya yaitu limbah
cair peternakan. Sebelum digunakan sebagai media pertumbuhan mikroalga. Limbah
cair peternakan harus di-pretreatmen dulu untuk mengurangi kadar COD dan
menghilangkan bau yang ditimbulkan limbah cair dengan cara aerasi. Faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan mikroalga antara lain: cahaya, suhu, pH, dan
ketersediaan unsur hara dalam media kultivasi. Unsur hara tersebut meliputi: karbon,
nitrogen, fosfor, makronutrien lain (Mg, K, Cl, Ca, S) dan mikronutrien (Fe,B, Mn,
Cu, V, Co). Kultivasi dalam skala lapangan sangat dipengaruhi oleh cuaca (cahaya
dan suhu). Ketersediaan cahaya yang cukup akan mempercepat pertumbuhan
mikroalga, karena proses fotosintesis semakin baik dan suhu mempengaruhi
kecepatan reaksi kimia dan biokimia yang terjadi dalam air dan organisme yang
hidup di dalamnya. Untuk meningkatkan kemampuan mikroalga mengeliminasi
nutrien yang terdapat dalam limbah cair peternakan jumlah limbah dalam media
harus lebih banyak dari pada jumlah mikroalga (75% limbah : 25% mikroalga).
Dengan perlakuan ini mikroalga akan meningkatkan kemampuannya untuk
menyerap nutrien lebih banyak dari lingkungan yang tersedia.
Teknik kultivasi mikroalga digunakan dengan sistem bertahap yaitu dimulai
dari skala kultur yang kecil, kemudian ditingkatkan volume kultur media kultivasi
secara bertahap. Hal ini bertujuan supaya mikroalga yang digunakan untuk
menangani limbah sudah berdaptasi terlebih dahulu dengan lingkungannya (limbah
cair peternakan) dan juga supaya perubahan lingkungan media pertumbuhannya tidak
terlalu drastis perubahannya. Dengan kultivasi sistem semi kontinu, pada percobaan
II dan III pertumbuhan mikroalga lebih cepat daripada percobaan I, hal ini terjadi
57
karena mikroalga yang digunakan untuk kultur II dan III sudah beradaptasi dengan
limbah cair peternakan.
B. SARAN
Penghitungan jumlah sel untuk mengetahui pola pertumbuhan mikroalga
sebaiknya menggunakan metode turbidimetri dengan spektrofotometer karena
hasilnya lebih baik dibandingkan dengan metode haemasitometer, karena mikroalga
uniseluler kadang-kadang terikat dalam suatu lendir sehingga penyebarannya tidak
merata. Untuk mendapatkan jenis mikroalga yang tepat untuk menangani limbah
cair peternakan dan mikroalga yang memiliki kadar minyak yang tinggi, sebaiknya
jenis mikroalga yang digunakan diisolasi terlebih dahulu sesuai yang diinginkan.
Kultivasi sebaiknya dilakukan mulai dari skala laboratorium-skala pilot plan-skala
lapangan.
.
LAMPIRAN
62
Lampiran 1. Prosedur Analisis Nitrogen Organik, N-NH3, N-NO3, Ortofosfat,
TSS , Kerapatan Sel, COD.
a. Analisis Nitrogen Organik (APHA ed. 20th
4500-Norg C, 1998)
1. Pembuatan larutan Digestion Reagent: sebanyak 134 gram K2SO4 dan 11.41
gram CuSO4.5H2O dilarutkan dalam 800 ml aquades. Tambahkan 134 ml
H2SO4 pekat, kemudian dilarutkan kembali dengan aquadea hingga volume 1
liter.
2. Pembuatan larutan NaOH 6N: sebanyak 240 gram NaOH dilarutkan dalam
aquades hingga volume 1 liter.
3. Pembuatan larutan H2SO4 0.02N: sebanyak 0.56 ml H2SO4 pekat dilarutkan
dalam aquades hingga volume 1 liter.
4. Pembuatan larutan H3BO3 2%: sebanyak 20 gram H3BO3 dilarutkan dalam 1
liter aquades.
5. Sebanyak 1 - 4 sampel diambil kemudian ditambahkan 10 ml Digestion
Reagent lalu dididihkan dengan labu Kjeldahl hingga warna bening
kehijauan. Cairan tersebut kemudian dilarutkan dengan aquades kira-kira
<25 ml kemudian dimasukkan ke dalam tabung destilasi. Tabung beserta
erlenmeyer 250 ml untuk penampung kemudian dipasang pada alat auto
destillation. Waktu destilasi normal diatur selama 4 menit dengan mode
AUTO (untuk awal running diatur selama 6 – 7 menit). NaOH 6 N kemudian
disalurkan ke dalam tabung berisi sampel yang telah diencerkan dengan cara
menekan tombol NaOH pada alat. Secara otomatis H3BO3 2% dengan
indikator mengsel (berwarna ungu) kemudian akan mengalir ke dalam
erlenmeyer penampung. Destilasi dibiarkan hingga set waktu habis dengan
petunjuk warna asam borat berubah dari ungu menjadi hijau. Selanjutnya
larutan kemudian dititrasi dengan H2SO4 0,02 N terstandar hingga berwarna
ungu. Prosedur tersebut dilakukan juga pada blanko. Kadar nitrogen organik
dihitung dengan persamaan sebagai berikut.
63
b. Analisis N-NH3 (APHA ed. 20th
4500-Norg C, 1998)
1. Pembuatan larutan NaOH 6N: sebanyak 240 gram NaOH dilarutkan dalam
aquades hingga volume 1 liter.
2. Pembuatan larutan H2SO4 0.02N: sebanyak 0.56 ml H2SO4 pekat dilarutkan
dalam aquades hingga volume 1 liter.
3. Pembuatan larutan H3BO3 2%: sebanyak 20 gram H3BO3 dilarutkan dalam 1
liter aquades.
4. 25 ml sampel dimasukkan ke dalam tabung destilasi. Tabung beserta
erlenmeyer 250 ml untuk penampung kemudian dipasang pada alat auto
destillation. Waktu destilasi normal diatur selama 4 menit dengan mode
AUTO (untuk awal running diatur selama 6 – 7 menit). NaOH 6 N kemudian
disalurkan ke dalam tabung berisi sampel yang telah diencerkan dengan cara
menekan tombol NaOH pada alat. Secara otomatis H3BO3 2% dengan
indikator mengsel (berwarna ungu) kemudian akan mengalir ke dalam
erlenmeyer penampung. Destilasi dibiarkan hingga set waktu habis dengan
petunjuk warna asam borat berubah dari ungu menjadi hijau. Selanjutnya
larutan kemudian dititrasi dengan H2SO4 0,02 N terstandar hingga berwarna
ungu. Prosedur tersebut dilakukan juga pada blanko. Kadar nitrogen organik
dihitung dengan persamaan sebagai berikut.
N − NH₃ =(ml titrasi sampel −ml titrasi blanko
volume sampel𝑥280
c. Analisis NO3-N (APHA, 1992)
1. Pembuatan larutan standar nitrat 100 mg/L: 721,8 mg KNO3 dalam 100 ml
aquades dan diencerkan sampai volume 1.000 ml. konsentrasi nitrat untuk
pembuatan kurva kalibrasi adalah 0,0-1,0 mg/L.
2. Pembuatan reangen brusin-asam sulfanilat: sebanyak 1 gram brusin sulfat dan
0,1 gram asam sulfanilat dilarutkan dalam 70 ml aquades panas mendidih.
Tambahkan 3 ml HCl pekat kemudian larutkan kembali dengan aquades
hingga volume 100 ml.
3. Sebelum melakukan analisis kadar NO3 terlebih dahulu dibuat kurva kalibrasi
dengan cara sebagai berikut. Larutan standar NO3 diencerkan hingga 0.0, 0.2,
0.4, 0.8, dan 1.0 mg/L. Dari masing-masing konsentrasi tersebut dipipet
64
sebanyak 10 ml. Kemudian ditambahkan 2 ml NaCl 30% dan 10 ml H2SO4,
diaduk kemudian dibiarkan hingga dingin. Sebanyak 0.5 ml reagen brusin-
asam sulfanilat ditambahkan, kemudian dipanaskan pada penangas air pada
suhu 95oC selama 20 menit, lalu didinginkan. Ukur intensitas warna yang
timbul dengan spektrofotometer pada λ = 410 nm. Setelah itu dibuat kurva
kalibrasi dari hubungan konsentrasi dan absorbansi larutan standar, kemudian
ditentukan persamaan regresi liniernya.
Gambar : Kurva Standar Nitrat
4. Untuk mengetahui kadar NO3 pada sampel, sebanyak 10 ml sampel
ditambahkan dengan 2 ml NaCl 30% dan 10 ml H2SO4, diaduk kemudian
dibiarkan hingga dingin. Sebanyak 0.5 ml reagen brusin-asam sulfanilat
ditambahkan, kemudian dipanaskan pada penangas air pada suhu 95oC
selama 20 menit, lalu didinginkan. Ukur intensitas warna yang timbul dengan
spektrofotometer pada λ = 410 nm. Kadar NO3 pada sampel ditentukan
dengan memasukkan nilai absorbansi sampel ke dalam persamaan regresi
linier kurva kalibrasi.
d. Analisis Ortofpsfat (APHA ed. 20th
4500-P D, 1998)
1. Pembuatan larutan amonium molibdat: sebanyak 2.5 gram
(NH4)6MO7O24.4H2O dilarutkan dalam 17.5 ml aquades. Sementara itu
sebanyak 28 ml H2SO4 diencerkan dalam 40 ml aquades. Kedua larutan
dicampurkan dan dilartkan dengan aquades hingga volume 100 ml.
y = 0.115x + 0.033R² = 0.992
0
0.02
0.04
0.06
0.08
0.1
0.12
0.14
0.16
0 0.5 1 1.5
Ab
s
ppm
65
2. Pembuatan Larutan SnCl2: sebanyak 2.5 gram SnCl2.2H2O dilarutkan dalam
100 ml gliserol/gliserin.
3. Sebelum melakukan analisis ortofosfat terlebih dahulu dibuat kurva kalibrasi
dengan cara sebagai berikut. Larutan standar fosfat diencerkan hingga
konsentrasi bervariasi dari 0.0 – 2.0 mg/L PO4. Dari masing-masing standar
dipipet sebanyak 25 ml dan diukur intensitas warna biru yang terbentuk
akibat pencampurannya dengan larutan amonium molibdat dan SnCl2 pada
panjang gelombang yang sama (660 – 690 nm). Dibuat kurva kalibrasi antara
konsentrasi dan absorbansi. Kemudian dapatkan persamaan regresi linier dari
kurva tersebut.
4. Untuk mengetahui kadar ortofosfat pada sampel, sebanyak 25 ml sampel
diambil kemudian ditambahkan 1 ml amonium molibdat serta 0.125 (± 3
tetes) SnCl2. Larutan kemudian dikocok hingga merata, kemudian didiamkan
selama 10 menit. Warna biru yang terjadi diukur intensitasnya pada panjang
gelombang 660–690 nm. Kadar ortofosfat ditentukan dengan memasukkan
nilai absorbansi hasil pengukuran sampel ke dalam persamaan linier kurva
kalibrasi.
e. Konsentrasi Sel Metode Total Soluble Solid (TSS)
Milipore dengan ukuran pori-pori 0.45 µm terlebih dahulu dikeringkan pada
oven 100 - 105°C selama ± 30 menit. Kemudian ditimbang dan dicatat berat
awal milipore (a). Pompa vakum dan wadah penyaring TSS kemudian dipasang
y = 0.022x + 0.069R² = 0.991
0
0.02
0.04
0.06
0.08
0.1
0.12
0.14
0 0.5 1 1.5 2 2.5
Ab
sorb
ansi
(A
bs)
Konsentrasi (ppm)
Kuva Standar Ortofosfat
Series1
66
ke erlenmeyer penampung. Sisipkan milipore ke wadah penyaring TSS,
kemudian pompa vakum dinyalakan. Sebanyak 25 ml sampel dimasukkan
perlahan ke dalam wadah penyaring kemudian ditunggu hingga cairan tersaring
seluruhnya. Milipore dengan endapan hasil saringan kemudian dikeringkan pada
suhu 100-105oC selama ± 1 jam atau hingga berat konstan. Kemudian ditimbang
dan dicatat berat akhir milipore (b). Konsentrasi sel kemudian dihitung dengan
rumus sebagai berikut.
f. Analisis TSS Metode Spektrofotometer
Analisis TSS ini dilakukan dengan spektrofotometer HACH model DR 2000.
Setelah power DR 2000 dihidupkan, kemudian dimasukkan nomor program
(tertera pada cover DR 2000) untuk parameter Suspended Solid (mg/L). Panjang
gelombang (λ) disesuaikan pada 810 nm. Aquades sebanyak ± 10 ml
dimasukkan pada kuvet, kemudian dimasukkan ke dalam alat lalu ditutup dan
ditekan tombol ZERO. Setelah itu aquades pada kuvet diganti dengan sampel
yang akan diperiksa TSS nya, tekan READ/ENTER, lalu baca nilai TSS dalam
mg/L pada layar.
g. Kerapatan Sel (Metode Haemacytometer)
Sebanyak 1 ml dari 10 ml kultur yang telah dicampur dengan 2 ml larutan
preservatif Lugol, diambil menggunakan pipet Pasteur kemudian diletakkan ke
dalam kamar hitung Improved Neubauer pada Haemacytometer. Sel dihitung
dengan bantuan mikroskop pada perbesaran 100 x dengan alur hitung silang
pada 9 buah kotak hitung 1/10.000 ml. Sel yang dihitung adalah seluruh sel yang
hidup, berwarna kehitaman, baik dalam bentuk uniseluler atau koloni.
Data jumlah sel yang diperoleh dari hasil penghitungan jumlah sel menggunakan
kamar hitung Improved Neubauer pada Haemacytometer, selanjutnya digunakan
untuk menghitung kerapatan sel.
67
h. Analisis COD (Metode Titrasi FAS)
1. Pembuatan larutan K2Cr2O7 0.0167 M: timbang 0.4913 gram K2Cr2O7,
kemudian dikeringkan pada suhu 1030C selama 2 jam, setelah itu larutkan
dengan aquades hingga volume 50 ml. tambhakan 16.7 ml H2SO4 pekat dan
0.33 gram HgSO4, lalu dilarutkan dengan aquades hingga volume total 100
ml.
2. Pembuatan reagen H2SO4: sebanyak 1.012 gram Ag2SO4 dilarutkan dalam
100 ml H2SO4 pekat.
3. Indikator Ferroin: tersedia dalam bentuk yang sudah jadi
4. Larutan FAS 0.1 M: sebanyak 39.2 gram Fe(NH3)2SO4.7H2O dilarutkan
dalam aquades, kemudian ditambahkan dengan 20 ml H2SO4 pekat.
Dinginkan dan larutkan dengan aquades kembali hingga volume 1 liter.
5. Sebanyak 2.5 ml sampel dimasukkan ke dalam tabung COD mikro, kemudian
ditambahkan 1.5 ml larutan K2Cr2O7 dan 3.5 ml pereaksi H2SO4 (asam
COD). Setelah itu dipanaskan selama 2 jam pada suhu 148oC. Setelah dingin,
larutan dituang ke erlenmeyer 100 ml, kemudian ditambahkan dengan
indikator ferroin 1 – 2 tetes. Larutan kemudian dititrasi dengan larutan Ferro
Aluminium Sulfat (FAS) 0.1 M hingga warna kecoklatan. Proses diulangi
pada blanko akuades. Perhitungan kadar COD dilakukan dengan rumus
berikut.
Dimana A adalah ml FAS untuk titrasi blanko, B adalah ml FAS untuk titrasi
sampel, dan M adalah molaritas FAS.
Sebelum digunakan untuk titrasi, larutan FAS perlu distandarisasi.
Standarisasi dilakukan sama seperti langkah-langkah penentuan COD, namun
sampelnya adalah akuades, serta tanpa adanya pemanasan.
68
Lampiran 2. Analisis Mikroalga
1. Kelimpahan Mikroalga
Kelimpahan mikroalga diuji ole laboratorium produksi lingkungan
departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan IPB.
2. Indeks Keragaman
Indeks Shannom-Wiener digunakan untuk menentukan keanekaragaman
fitoplankton dalam suatu komunitas. Persamaan indeks Shannom-Wiener (Odum,
1971).
H’= -∑Pi ln Pi
H’ = indeks keragaman
Pi = ni /N
Ni = jumlah individu ke-i
N = jumlah individu
Kisaran nilai indeks keragaman dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
H’ < 2,3026 = rendah
2,3026 ≤ H’ ≤ 6,9078 = sedang
H’ > 6,9078 = tinggi
3. Indeks Keseragaman
Digunakan untuk mengetahui berapa besar kesamaan penyebaran jumlah
individu pada tingkat komunitas. Formulasi indeks keseragaman adalah sebagai
berikut (Odnum, 1971).
E =H′
Hmax
E = indeks keseragaman
Hmax = nilai keragaman max (ln S)
S = ∑ jumlah spesies
Nilai indeks ini berkisar antara 0-1. Bila indeks keseragaman mendekati nol,
maka ada beberapa jenis biota yang memiliki jumlah individu yang banyak,
69
sementara beberapa jenis biota lainnya sedikit. Jika mendekati satu, maka jumlah
setiap spesies sama atau hampir sama.
4. Indeks Dominansi
Indeks ini diperoleh dengan menggunakan formulasi Simpson (Odum, 1971).
C = ∑ (Pi)2
C = indeks dominansi
Pi = ni /N
Nilai C berkisar 0-1, jika mendekati nol (C<0,5) maka tidak ada jenis
fitoplankton yang mendominasi perairan dan jika mendekati satu atau (C>0,5)
berarti ada jenis fitoplankton yang mendominasi perairan.
Tabel. Hasil Perhitungan Analisis Mikroalga
Organisme Kelimpahan Ni /N
ln
(ni/N) -Pi ln Pi E Pi
2
CYANOPHYCEAE
Microcystis sp. 4444 0,08944 -2,4142 0,21592 0,007999
EUGLENOPHYCEAE
Euglena sp. 356 0,00716 -4,9386 0,03538 0,000051
Trachelomonas sp. 178 0,00358 -5,6317 0,02017 0,000013
CHOLOPHYCEAE
Ankistrodesmus 8800 0,17711 -1,731 0,30657 0,031366
Dictyosphaerium sp. 5600 0,1127 -2,183 0,24603 0,012702
Gloeocystis 266 0,00535 -5,23 0,028 0,000029
Westella sp. 4622 0,09302 -2,3749 0,22092 0,008653
Gloeotilla sp. 3733 0,07513 -2,5886 0,19447 0,005644
Kirchneriella sp. 2311 0,04651 -3,0681 0,1427 0,002163
Selenastrum sp. 18400 0,37031 -0,9934 0,36787 0,137130
XANTHOHYCEAE
Centritractus sp. 89 0,00179 -6,3249 0,01133 0,000003
CRYPTOPHYCEAE
Cryptomonas sp. 711 0,01431 -4,2468 0,06077 0,000205
DINOPHYCEAE
Glenodinium sp. 178 0,00358 -5,6317 0,02017 0,000013
Jumlah 49688 1,87 0,73 0,206
70
Lampiran 3. Data Hasil Pengamatan Kultivasi Mikroalga Skala Kecil
Limbah peternakan 75% : Air Danau LSI IPB25%
Hari Suhu
ºC pH
COD
(mg/L)
Nutrien (mg/L) TSS (mg/L) Kerapatan
Sel (ind/ml) N-NH₃ N-N0₃ N-Organik Total N Fosfor Millipore Spektrofotometer
0 26,5 7,2 989 2,73 4,88 15,01 22,62 11,0 620 590 111.111
6 26,8 7,8 - - - - - - - - -
8 27,6 8 - - - - - - - - -
11 28,6 8,4 330 2,73 4,74 15,01 22,5 11,0 284 86 250.000
13 29,8 8,9 329 0 4,34 9,56 13,9 10,79 468 355 416.666
15 33,2 9,5 659 0 3,86 4,09 8,0 10,69 872 496 944.444
17 31,5 9,1 494 1,37 2,39 4,09 7,9 10,35 500 309 777.777
19 28,8 9,1 330 1,37 5,03 1,37 7,8 10,26 404 157 472.222
22 30 9,3 330 1,37 3,33 1,37 6,1 10,3 1940 910 1.777.777
24 30 9,5 165 0 3,57 1,37 4,9 10,23 925 623 1.277.777
26 30,2 9,3 165 0 3,49 1,37 4,9 10,17 250 130 472.222
71
Limbah peternakan 50% : Air Danau LSI IPB 50%
hari suhu
ºC pH
COD
(mg/L)
Nutrien (mg/L) TSS (mg/L) Kerapatan
Sel (ind/ml) NH₃ N-N0₃ N-Organik Total N Fosfor Millipore Spektrofotometer
0 26,5 7,6 989 5,46 4,34 6,83 16,63 10,6 412 360 138.888
6 26,6 8,1 - - - - - - - - -
8 27,6 9 659 5,46 4,14 6,83 16,43 10,57 220 27 250.000
11 28,4 8,7 659 0 4,13 9,56 13,69 10,44 328 91 305.555
13 29,7 8,5 989 0 3,58 6,83 10,41 10,4 692 265 583.333
15 33,4 9,3 659 2,73 3,73 4,09 10,55 10,24 400 212 416.666
17 31,3 9,4 494 1,37 5,03 2,73 9,13 10,23 332 131 333.333
19 28,8 9,6 330 1,37 4,15 1,37 6,89 10,2 300 71 277.777
22 29,5 9,5 330 1,37 3,39 1,37 6,13 10,19 175 100 305.555
24 30 9,5 330 0 3,36 1,37 4,73 10,16 435 246 527.777
26 30,4 9,4 165 0 4,10 1,37 5,47 10,11 105 85 277.777
72
Lampiran 4. Data Kerapatan Sel Pada Media Sakla Kecil
Tabel. Hasil Analisis Kerapatan Sel Pada Media Skala Kecil
Hari
Kerapatan sel (Ind/ ml)
75% Limbah
(Bak I)
50% Limbah
(Bak II)
0 111111 138888
11 250000 305555
13 416666 583333
15 944444 416666
17 777777 333333
19 472222 277777
22 1777777 305555
24 1277777 527777
26 472222 277777
73
Lampiran 5. Data TSS Pada Media Skala Kecil
Tabel 4.5. Hasil Pengukuran TSS Pada Media Skala Kecil
Hari
75% Limbah (Bak I) 50% Limbah (Bak II)
TSS (mg/L) TSS (mg/L)
Millipore Spektrofotometer Millipore Spektrofotometer
0 620 590 412 360
11 284 86 328 91
13 468 355 692 265
15 872 496 400 212
17 500 309 332 131
19 404 157 300 71
22 1940 910 175 100
24 925 623 435 246
26 250 130 105 85
74
Lampiran 6. Data Hasil Pengukuran Suhu dan pH Media Kultivasi
Tabel. Hasil Pengukuran Suhu dan pH media kultivasi
Tanggal Hari Suhu (°C) pH
14 Juni 2010 0 29,5 7,8
16 Juni 2010 2 24,6 8,3
18 Juni 2010 4 27,0 8,5
20 Juni 2010 6 28,0 8,6
22 Juni 2010 8 32,1 9,5
24 Juni 2010 10 28,9 10,2
26 Juni 2010 12 27,0 9,6
28 Juni 2010 14 27,1 9,8
30 Juni 2010 16 28,1 9,5
02 Juli 2010 18 29,5 9,2
04 Juli 2010 20 28,5 9,8
6 Juli 2010 22 28,4 9,7
8 Juli 2010 24 28,3 9,4
Keterangan:
: Pemanenan Mikroalga dan Penambahan Nutrien (Limbah
cair peternakan)
75
Lampiran 7. Data Hasil Analisis Kadar Nitrogen
Tabel. Hasil Analisis Kadar Nitrogen dalam Media Limbah Cair Peternakan
Tanggal Hari
Nitrogen (mg/L) Total
N
(mg/L)
N-
organik
N-
NH₃
N-
NO₃
14 Juni 2010 0 5,46 1,40 4,54 11,4
16 Juni 2010 2 2,73 1,12 4,35 8,20
18 Juni 2010 4 1,37 0,56 4,05 5,98
20 Juni 2010 6 1,37 0,56 3,86 5,79
22 Juni 2010 8 1,37 0,56 3,71 5,64
24 Juni 2010 10 1,37 0,56 3,69 5,62
26 Juni 2010 12 1,37 0,56 3,68 5,61
28 Juni 2010 14 1,37 0,56 3,74 5,67
30 Juni 2010 16 0,69 0,56 3,79 5,04
02 Juli 2010 18 1,73 2,24 4,02 7,99
04 Juli 2010 20 1,73 1,40 3,88 7,01
6 Juli 2010 22 1,73 1,12 3,38 6,23
8 Juli 2010 24 0,68 0,84 3,33 4,85
Keterangan:
: Pemanenan Mikroalga dan Penambahan Nutrien (Limbah
cair peternakan)
76
Lampiran 8. Data Hasil Analisis Kadar Ortofosfat
Tabel : Hasil Pengujian Ortofosfat dalam Media Kultivasi
Tanggal Hari Ulangan Kadar
Ortofosfat P1 P2
14 Juni 2010 0 10,36 10,47 10,42
16 Juni 2010 2 10,34 10,45 10,40
18 Juni 2010 4 10,30 10,43 10,37
20 Juni 2010 6 10,25 10,34 10,30
22 Juni 2010 8 10,22 10,26 10,24
24 Juni 2010 10 10,22 10,34 10,28
26 Juni 2010 12 10,14 10,02 10,08
28 Juni 2010 14 10,14 10,01 10,08
30 Juni 2010 16 9,93 9,93 9,93
02 Juli 2010 18 10,59 10,55 10,57
04 Juli 2010 20 10,35 10,43 10,39
6 Juli 2010 22 10,18 10,19 10,19
8 Juli 2010 24 10,13 10,16 10,15
Keterangan:
: Pemanenan Mikroalga dan Penambahan Nutrien (Limbah
cair peternakan)
77
Lampiran 9. Data Hasil Analisis COD
Tabel: Hasil Pengujian Kadar Ortofosfat dalm Media Kultivasi
Tanggal Hari Ulangan Kadar COD
(mg/L) P I P II
14 Juni 2010 0 659 659 659
16 Juni 2010 2 330 330 330
18 Juni 2010 4 165 321 243
20 Juni 2010 6 330 330 330
22 Juni 2010 8 330 165 248
24 Juni 2010 10 330 165 248
26 Juni 2010 12 165 165 165
28 Juni 2010 14 165 330 248
30 Juni 2010 16 165 165 165
02 Juli 2010 18 824 660 742
04 Juli 2010 20 660 660 660
6 Juli 2010 22 330 330 330
8 Juli 2010 24 165 165 165
Keterangan:
: Pemanenan Mikroalga dan Penambahan Nutrien (Limbah
cair peternakan)
78
Lampiran 10. Data Hasil Analisis Penelitian Utama
Tanggal Hari Suhu
(°C) pH
COD
(mg/L)
Nitrogen (mg/L) Total N
(mg/L)
Ortofosfat
(mg/L)
Kalium
(mg/L)
TSS (mg/L) Hemasitometer
N-
organik
N-
NH₃ N-
NO₃ Millipore
Spektrofo-
tometer (ind/ml)
14 Juni
2010 0 29,5 7,8 659 5,46 1,40 4,54 11,4
10,42 698 100 32 361.111
16 Juni
2010 2 24,6 8,3 330 2,73 1,12 4,35 8,20
10,40
92 31 388.888
18 Juni
2010 4 27,0 8,5 243 1,37 0,56 4,05 5,98
10,37 676 192 36 472.222
20 Juni
2010 6 28,0 8,6 330 1,37 0,56 3,86 5,79
10,31
416 192 694.444
22 Juni
2010 8 32,1 9,5 248 1,37 0,56 3,71 5,64
10,24 602 532 268 930.555
24 Juni
2010 10 28,9 10,2 248 1,37 0,56 3,69 5,62
10,28
616 346 1.986.111
26 Juni
2010 12 27,0 9,6 165 1,37 0,56 3,68 5,61
10,08 446 2135 1350 4.972.222
28 Juni
2010 14 27,1 9,8 248 1,37 0,56 3,74 5,67
10,08 1200 870 3.625.000
30 Juni
2010 16 28,1 9,5 165 0,69 0,56 3,79 5,04
9,93 506 380 850 1.611.111
02 Juli 2010 18 29,5 9,2 742 1,73 2,24 4,02 7,99 10,57 210 162 1.722.222
04 Juli 2010 20 28,5 9,8 660 1,73 1,40 3,88 7,01 10,39 520 1500 1450 16.944.444
6 Juli 2010 22 28,4 9,7 330 1,73 1,12 3,38 6,23 10,19 205 138 1.916.666
8 Juli 2010 24 28,3 9,4 165 0,68 0,84 3,33 4,85 10,15 115 63 1.305.555