jurnal ilmiah analisis putusan pengadilan agama …...pertimbangan hukum hakim dalam memutus perkara...
TRANSCRIPT
i
JURNAL ILMIAH
“ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA PRAYA
NOMOR 216/PDT.G/2009/PA.PRA MENGENAI PERCERAIAN
BAGI PNS MENURUT PP NOMOR 10 TAHUN 1983 JO PP
NOMOR 45 TAHUN 1990”
Program Studi Ilmu Hukum
Oleh :
Muhammad Imam Pikri Taupik
D1A012276
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MATARAM
2019
ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA PRAYA NOMOR
216/PDT.G/2009/PA.PRA MENGENAI PERCERAIAN BAGI PNS MENURUT PP
NOMOR 10 TAHUN 1983 JO PP NOMOR 45 TAHUN 1990
Program Studi Ilmu Hukum
Oleh :
Muhammad Imam Pikri Taupik
D1A012276
Menyetujui
Mataram, 2019
Pembimbing Pertama
( Sahruddin, SH., MH )
NIP: 196312311992031016
“ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA PRAYA
NOMOR 216/PDT.G/2009/PA.PRA MENGENAI PERCERAIAN
BAGI PNS MENURUT PP NOMOR 10 TAHUN 1983 JO PP
NOMOR 45 TAHUN 1990”
NAMA : MUHAMMAD IMAM PIKRI TAUPIK
NIM : D1A012276
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MATARAM
ABSTRAK
Tujuan Penelitian untuk menganalisis Putusan Pengadilan Agama Praya Nomor
216/PDT.G/2009/PA.PRA mengenai perceraian bagi PNS menurut PP Nomor 10 Tahun 1983
Jo PP Nomor 45 Tahun 1990 mengenai permasalahan dasar pertimbangan dalam memutus
perkara dan bagaimana pertanggung jawaban terhadap PNS yang melakukan perceraian tanpa
izin atasan atau pejabat, tujuan dan manfaat penelitian ini untuk mengetahui dasar
pertimbangan hukum hakim dalam memutus perkara ini dan untuk mengetahui sanksi bagi
Pegawai Negeri Sipil yang melakukan perceraian tanpa izin atasan . penelitian menggunakan
metode hukum normative, kesimpulan dalam penelitian ini dalam memutus perkara
perceraian Nomor 216/PDT.G/2009/PA.PRA, hakim memutus secara verstek dengan
berbagai pertimbangan hukum dan mendengarkan keterangan saksi, adapun sanksi yang di
jatuhkan kepada PNS yang melakukan perceraian tanpa izin atasan adalah hukum disiplin.
Kata Kunci : Putusan, Pengadilan
ANALYSIS OF THE PRAYA RELIGIUS COURT DECISION NUMBER
216/PDT.G/PA.PRA REGARDING DIVORCE FOR CIVIL SERVANTS
ACCORDING TO PP.10 OF 1983 JO PP. 45 OF 1990
Abstract
Research Objective to analyze the Praya Religion Court Decision Number 216 / PDT.G /
2009 / PA.PRA concerning divorce for Civil Servants according to PP No. 10 of 1983 Jo PP
No. 45 of 1990 concerning basic issues of consideration in deciding cases and how
accountability for Civil Servants who divorce without permission from their superiors or
officials, the purpose and benefits of this study are to find out the legal basis of judges in
deciding this case and to find out sanctions for Civil Servants who divorce without
permission from their superiors. study uses normative legal methods, the conclusions in this
study are in deciding divorce cases Number 216 / PDT.G / 2009 / PA.PRA, the judge decides
verstek with various legal considerations and hears the basic information of witnesses, as for
sanctions imposed on Civil servants who carry out divorce without the permission of their
superiors are disciplinary laws.
Keywords : Ruling, Court
i
I. PENDAHULUAN
Perkawinan dalam hukum Islam bukanlah perjanjian semata melainkan ikatan
suci yang terkait dengan keyakinan dan keimanan kepada Allah SWT, sehingga ada
dimensi ibadah dalam sebuah perkawinan, oleh karena itu dalam perkawinan terdapat
aspek horizontal dan vertikal. Kemudian perceraian pada hakikatnya adalah suatu
proses di mana hubungan suami istri tatkala tidak di temui lagi kehormatan dalam
perkawinan. Mengenai definisi perceraian Undang-Undang Perkawinan tidak
mengatur secara tegas melainkan hanya menentukan bahwa perceraian hanyalah
salah satu sebab dari putusnya perkawinan di samping sebab lain yakni kematian dan
putusan pengadilan.1
Pada dasarnya perundang-undangan di Indonesia bidang keluarga, utamanya
perkawinan bersifat umum yang maksudnya di peruntukkan bagi seluruh masyarkat di
Indonesia. Namun pada kenyataannya terdapat perundang-undangan yang bersifat
khusus seperti Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Jo Peraturan Pemerintah
Nomor 45 Tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri
Sipil termasuk di dalamnya pejabat.
Adanya pengkhususan ini di karenakan PNS dan pejabat merupakan unsur
aparatur negara dan abdi masyarakat yang harus menjadi teladan yang baik bagi
masyarakat dalam bertingkah laku, bertindak dan taat pada peraturan perundang-
undangan yang berlaku, PNS dan pejabat yang tidak mentaati atau melanggar
1 Amiur Nurudin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Kencana,Jakarta,
2004, hlm. 206
ii
ketentuan mengenai izin perkawinan perceraian PNS akan di jatuhi hukuman
disiplin2.
Sementara itu terkait dengan perceraian terdapat beberapa aturan yang di
tegaskan dan harus di patuhi oleh PNS, yakni untuk dapat melakukan perceraian PNS
harus memperoleh izin tertulis lebih dahulu dari pejabat. Surat permintaan izin
perceraian di ajukan kepada pejabat melalui jalur hirarki. permintaan izin perceraian
harus di lengkapi dengan salah satu atau lebih bahan pembuktian mengenai alasan-
alasan untuk melakukan perceraian seperti tersebut di atas. Salah Satu Perceraian PNS
terdapat dalam Putusan Nomor 216/PDT.G/2009/PA. PRA, perkara ini sudah di putus
oleh Pengadilan Agama Praya dan sudah inkracht, padahal penggugat yang berstatus
sebagai PNS belum mendapat izin dari atasan untuk melakukan perceraian. Hal ini
tidak sesuai dengan Pasal 3 Ayat (1) PP Nomor 10 tahun 1993 joPP Nomor 45 tahun
1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi PNS yang berbunyi :
Pegawai negeri sipil yang akan melakukan perceraian wajib memperoleh izin
atau surat keterangan lebih dahulu dari pejabat”. Pasal 3 (2) dalam hal ini
menyebutkan keharusan memperoleh izin untuk perceraian berlaku pada PNS
baik yang berkedudukan sebagai penggugat ataupun sebagai tergugat.3
Adapun berdasarkan latar belakang di atas, maka timbullah beberapa perkara
yang di angkat dalam penulisan ini adalah (1) Apakah dasar pertimbangan hukum
majelis hakim dalam Putusan Nomor 216/PDT.G/2009/PA. PRA, (2) Apakah sanksi
bagi Pegawai Negeri Sipil yang melakukan perceraian tanpa izin dari atasan atau
pejabat.
2M. Furkon, http://www.landasanteori.com/2015/10/syarat-perceraian-pegawai-negeri-sipil. 3 Indonesia, Peraturan Pemerintah Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No 10 Tahun 1983,
Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil, PP No. 45 Tahun 1990. TLN No. 3424, Psl.
3
iii
Tujuan dan manfaat yang ingin di capai dari penelitian ini adalah (a) Untuk
mengetahui dasar pertimbangan hukum majelis hakim mengabulkan permohonan
perceraian PNS pada putusan Nomor 216/PDT.G/21009/PA.PRA dan mengetahui
sanksi bagi Pegawai Negeri Sipil yang melakukan perceraian tanpa izin dari atasan
atau pejabat. (b) Diharapkan dapat bermanfaat bagi lembaga-lembaga hukum secara
umum untuk terus berupaya menyadarkan masyarakat pada umumnya dan Pegawai
Negeri Sipil pada khususnya tentang pelaksanaan peraturan dan Undang-Undang
secara maksimal guna mencapai masyarakat yang teratur dan kepastian hukum yang
terjamin di dalam masyarakat.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian normative yaitu hukum di konsepkan
sebagai kaedah atau norma yang merupakan patokan berprilaku manusia yang di
anggap pantas yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum skunder, bahan
hukum tersier.4
4 Amirudin dan Zaenal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada,
Depok, 2006, Hlm 118.
iv
II. PEMBAHASAN
Kasus Posisi Perkara Perceraian PNS Nomor 216/PDT.G/2009/PA.PRA
Pada umumnya perkawinan di dasarkan atas ikatan lahir dan bathin sebagaimana
di jelaskan dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang
menyebutkan :
“Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia
dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa.”
Namun pada perkara ini Sukiani berusia 33 tahun, beragama Islam sebagai
Penggugat yang bertempat tinggal di Desa Sisik, Kecamatan Pringgarata, Kabupaten
Lombok Tengah, yang bekerja sebagai Pegawai Honorer di Kantor Kecamatan
Pringgarata menggugat Hamdial Ansori S.Sos berusia 40 Tahun, beragama Islam yang
bertempat tinggal di Dusun Goak, Desa Sisik, Kecamatan Pringgarata, Kabupaten
Lombok Tengah, pekerjaan PNS di Satuan Pemadam Kebakaran Kota Mataram sejak
Tahun 2001. Adapun alasan Penggugat untuk menggugat cerai suaminya adalah
bahwa keadaan rumah tangga Penggugat dengan Tergugat semula berjalan lancar
rukun dan dami. Namun seiring berjalannya waktu ketidak harmonisan mulai terjadi
pada tanggal 19 April 2009, Penggugat dengan Tergugat langsung pisah tempat
tinggal yang di sebabkan karena: (1) Bahwa pada malam senin tanggal 19 April 2009
Penggugat di antar membeli bakso oleh teman kerja Penggugat dan pada saat itu
Tergugat melihat Penggugat sedang di bonceng dan pada tanggal 20 April 2009
v
Tergugat mentalak Penggugat di luar sidang Pengadilan Agama. (2) Bahwa setelah
Penggugat di talak oleh Tergugat, maka Penggugat langsung pulang dan tinggal di
rumah orang tua Penggugat sampai sekarang ± 3 bulan. (3) Bahwa selama Penggugat
berada di rumah orang tua, Tergugat tidak pernah datang untuk menjemput Penggugat
dan tidak ada nafkah dari Tergugat sehingga untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-
hari Penggugat mencari sendiri dan di bantu oleh orang tua Penggugat.
Prosedur Mengajukan Izin Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil
Pada perkara Nomor : 216/Pdt.G/2009/PA.PRA. antara Sukiani Binti H.
Maazzini yang di sebut sebagai Penggugat melawan Hamdial Ansyori. S.sos Bin Drs
Hajar Syafi’i SH.ST.Spd. Msi yang di sebut sebagai Tergugat. Hamdial Ansyori S.sos
sebagai Tergugat sekaligus Pegawai Negeri Sipil di Dinas Pemadam Kebakaran Kota
Mataram, tidak mengajukan izin untuk melakukan perceraian kepada atasannya sesuai
dengan yang di atur dalam PP Nomor 10 Tahun 1983 jo. PP Nomor 45 Tahun 1990.
Adapun prosedur pengajuan izin yang seharusnya di tempuh oleh Pegawai Negeri
Sipil yang bersangkutan adalah : (1) Pengajuan izin untuk melakukan perceraian
kepada Pejabat yang berwenang secara tertulis (sesuai dengan Pasal 3 ayat (2) PP
Nomor 10 Tahun 1983 jo. Pasal 3 ayat (2) PP Nomor 45 Tahun 1990). (2) Dalam
pengajuan surat izin untuk melakukan perceraian tersebut di cantumkan alasan
lengkap yang mendasari perceraian tersebut (sesuai dengan Pasal 3 ayat (3) PP Nomor
10 tahun 1983 jo .Pasal 3 ayat (2) PP Nomor 45 Tahun 1990). (3) Atasan yang
menerima permintaan izin dari Pegawai Negeri Sipil Yang bersangkutan memberikan
pertimbangan dan meneruskannya kepada Pejabat melalui saluran hierarki dalam
vi
jangka waktu selambat lambatnya 3(tiga) bulan terhitung mulai tanggal ia menerima
permintaan izin di maksud (sesuai dengan pasal 5 ayat (2) jo. PP Nomor 45 Tahun
1990). (4) Sebelum pengambilan keputusan pejabat yang berwenang atau atasan
Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan memanggil Pegawai Negeri Sipil yang
bersangkutan bersama dengan pasangannya (suami/isteri) untuk berupaya merukunkan
kembali (sesuai dengan Pasal 6 ayat (3) PP Nomor 10 tahun 1983). (5) Pemberian atau
penolakan surat izin untuk melakukan perceraian tersebut di lakukan oleh pejabat yang
berwenang secara tertulis paling lambat tiga bulan terhitung pada saat permintaan izin
tersebut di terima (sesuai dengan pasal 13 PP Nomor 10 tahun 1983 jo. PP Nomor 45
Tahun 1990).
Dasar Pertimbangan Hukum Majelis Hakim dalam Putusan Nomor
216/PDT.G/2009/PA.PRA
Adapun Hakim dalam memutus perkara Nomor 216/PDT.G/2009/PA.PRA sudah
melalui beberapa pertimbangan hukum yaitu : (1) Bahwa pada hari-hari persidangan
yang telah di tentukan Penggugat telah hadir di Persidangan dan telah memberikan
keterangan secukupnya disertai bukti-bukti sebagaimana tersebut di atas sedangkan
Tergugat telah tidak hadir di Persidangan meskipun menurut relaas penggilan Nomor
:216/Pdt.G/2009/PA.PRA tanggal 01 Juli 2009 dan tanggal 22 Juli 2009, telah di
panggil secara resmi dan patut, oleh karena itu berdasarkan ketentuan Pasal 149 RBg.
Perkara ini dapat di putus dengan verstek yaitu putusan yang di jatuhkan apabila
tergugat tidak hadir atau tidak juga mewakilkan kepada kuasanya meskipun tergugat
sudah di panggil dengan patut atau sesuai dengan prosedur yang seharusnya. (2)
vii
Bahwa meskipun Majelis Hukum telah berupaya agar Penggugat rukun lagi dalam
sebuah rumah tangga dengan tergugat dan telah pula di tempuh dengan upaya mediasi
oleh Saudara H.Lukman H. Abu Bakar, SH selaku ( Hakim ) sebagai mediatornya
pada tanggal 22 Juli 2009, akan tetapi upaya tersebut tidak berhasil karena pihak
kedua dalam hal ini Tergugat tidak hadir dalam mediasi tersebut sehingga upaya yang
di lakukan oleh mediator tidak dapat di lanjutkan, adapun pertimbangan tersebut di
atas merujuk pada Pasal 115 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa
perceraian hanya dapat di lakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah di
laksanakan upaya untuk damai oleh Majelis Hakim Pengadilan Agama tersebut namun
tidak berhasil5. (3) Bahwa dasar hukum yang di jadikan alasan Penggugat untuk
mengajukan gugatan cerai adalah karena terjadi perselisihan dan pertengkaran pada
malam senin tanggal 19 April 2009 Penggugat di antar membeli bakso oleh teman
kerja Penggugat dan pada saat itu Tergugat melihat Penggugat sedang di bonceng dan
pada tanggal 20 April 2009 Tergugat mentalak Penggugat di luar sidang Pengadilan
Agama, setelah Penggugat di talak oleh Tergugat, maka Penggugat langsung pulang
dan tinggal di rumah orang tua Penggugat sampai sekarang ± 3 bulan, selama
Penggugat berada di rumah orang tua, Tergugat tidak pernah datang untuk memenuhi
kebutuhan kehidupan sehari-hari Penggugat ataupun melakukan upaya perdamaian
dengan Tergugat ataupun keluarganya sehingga untuk memenuhi kebutuhannya
Penggugat mencari sendiri dan di bantu oleh orang tua Penggugat karena tidak ada
upaya perdamaian yang di lakukan baik dari pihak tergugat maupun dari pihak
5 Indonesia, Inpres tentang Kompilasi Hukum Islam, Inpres No 1 Tahun 1993, Psl. 115
viii
penggugat, dasar pertimbangan Hakim tersebut di atas merujuk pada PP Nomor 9
tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan yang memberikan hak juga kepada seorang istri untuk mengajukan
perceraian kepada Pengadilan6. (4) Bahwa apabila dalam sebuah rumah tangga salah
satu pihak apalagi kedua-duanya sudah bertekad untuk tidak mau lagi
mempertahankan perkawinannya, maka tujuan perkawinan sebagaimana di atur dalam
pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Jo. Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam
yaitu untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah akan sulit di
capai dan pilihan yang terbaik bagi kedua belah pihak adalah memutuskan
perkawinannya dengan perceraian meskipun perbuatan itu adalah hal yang sangat di
benci oleh Allah S.W.T. (5) Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas maka
alasan Penggugat untuk bercerai dari Tergugat telah sesuai dengan alasan perceraian
sebagaimana di atur dalam Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Jo. Pasal
19 Huruf (f) peraturan Pemerintah omor 9 Tahun 1975 Jo. Pasal 116 Huruf (f)
Kompilasi Hukum Islam, oleh karena itu Gugatan Penggugat Patut di kabulkan, dari
beberapa pertimbangan Hakim tersebut di atas maka hakim sudah dapat memutus
perkara perceraian nomor 216/PDT.G/2009/PA.PRA sesuai dengan alat bukti yang di
hadirkan dalam persidangan meskipun di sebutkan bahwa perceraian (talaq)
merupakan hak mutlak dari pihak suami untuk memutuskan hubungannya dengan istri,
namun gugatan yang di ajukan oleh pihak istri kepada Pengadilan Agama agar ikatan
perkawinannya dengan suaminya dapat di tetapkan berakhir oleh Pengadilan Agama
6Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang pelaksanaan Undang- Undang No.1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, PP No 9 Tahun 1975. LN No.12 Tahun 1975
ix
adalah hak seorag istri7, oleh karena perceraian merupakan salah satu dari tiga hal
yang dapat menyebabkan putusnya perkawinan maka hubungan suami istri yang
terjalin dalam suatu ikatan suci perkawinan dapat berakhir dengan terjadinya
perceraian tersebut.8
Sanksi Bagi PNS yang Melakukan Perceraian tanpa Izin dari Atasan atau
Pejabat
Menurut Pasal 4 PP Nomor 30 tahun 1990 tentang peraturan Disiplin Pegawai
Negeri Sipil di nyatakan bahwa setiap ucapan, tulisan, atau perbuatan Pegawai Negeri
Sipil yang melanggar ketentuan adalah pelanggaran disiplin dan dalam pasal 5
kemudian di jelaskan bahwa Pegawai Negeri Sipil yang melakukan pelanggaran
disiplin di jatuhi hukuman disiplin oleh pejabat yang berwenang.
Dalam hal ini tindakan Pegawai Negeri Sipil yang melakukan perceraian tanpa
izin atasan dapat di kategorikan sebagai sebuah tindakan pelanggaran disiplin karena
menurut aturan setiap Pegawai Negeri Sipil yang melaksanakan perceraian harus
memperoleh izin atasan seperti yang tercantum dalam PP Nomor 10 Tahun 1983 Pasal
3 Ayat (1) yang menyatakan bahwa:
“Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian wajib memperoleh
izin lebih dahulu dari pejabat yang berwenang.
Namun terdapat ketentuan yang mengatur bagi Pegawai-Pegawai tertentu
yang secara tegas mempersamakan Pegawai-Pegawai tertentu dengan Pegawai Negeri
7 Munti Ratna Batara Dan Hindun Anisah, Posisi Perempuan Dalam Hukum Islam di Indonesia, LBH-APIK,
Jakarta, 2005, Hlm. 79 8 Ghazaly Dan Abdul Rahman, Fikih Munakahat, Kencana, Jakarta, 2006, Hlm. 191
x
Sipil sehingga aturan perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil berlaku juga untuk
pegawai tertentu yang sudah di tentukan oleh Undang-Undang. Untuk sanksi terhadap
pelanggaran disiplin tersebut sudah di atur secara jelas dalam Pasal 16 PP Nomor 10
Tahun 1983 yang menyatakan bahwa:
“Pegawai Negeri Sipil yang melanggar ketentuan Pasal 3 ayat (1)
dan Pasal 4 ayat (1), Ayat (2), dan Ayat (3) di jatuhi hukuman
disiplin berupa pemberhentian dengan hormat tidak atas
permintaan sendiri sebagai Pegawai Negeri Sipil.
Kemudian di jelaskan kembali pada Pasal 15 PP Nomor 45 tahun 1990 yang
menyatakan bahwa:
“Pegawai Negeri Sipil yang melanggar salah satu atau lebih
kewajiban/ketentuan Pasal 2 Ayat (1),Ayat (2), Pasal 3 Ayat
(1),Pasal 4 Ayat (1), Pasal 14, tidak melaporkan perceraiannya
dalam jangka waktu selambat-lambatnya satu bulan terhitung
mulai terjadinya perceraian, dan tidak melaporkan perkawinannya
yang kedua/ketiga/keempat dalam jangka waktu selambat-
lambatnya satu tahun terhitung sejak perkawinan tersebut di
langsungkan, di jatuhi salah satu hukuman disiplin berat
berdasarkan PP Nomor 30 tahun 1980 tentang peraturan disiplin
Pegawai Negeri Sipil.
Berdasarkan Pasal 6 Ayat (1) PP Nomor 30 tahun 1980 hukuman disiplin di
klafikasikan menjadi : (1) Hukuman disiplin ringan. (2) Hukuman disiplin sedang. (3)
Hukuman disiplin berat.
Namun ketentuan PP Nomor 30 tahun 1980 sudah di nyatakan tidak berlaku
dan telah di ganti dengan PP Nomor. 53 tahun 2010, ini berarti bahwa “hukum disiplin
berat” yang di atur dalam PP Nomor 53 tahun 2010 dapat di jatuhkan kepada Pegawai
Negeri Sipil yang melanggar hukum khusus perceraian menurut Pasal 15 Ayat (1) PP
xi
Nomor 45 Tahun 1990 dan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 3 Ayat (1) PP
Nomor 10 tahun 1983 tentang Kewajiban Pegawai Negeri Sipil untuk memperoleh izin
atasan jika melakukan perceraian berdasarkan ketentuan PP Nomor 45 tahun 1990 jo,
PP Nomor 53 tahun 2010 adalah termasuk dalam pelanggaran disiplin berat, maka
sanksi yang akan di jatuhkan kepada Pegawai Negeri Sipil jika melakukan perceraian
tanpa izin atasan tersebut adalah hukuman disiplin berat yaitu : (1) Penurunan pangkat
pada pangkat yang setingkat lebih rendah untuk paling lama 3(tiga) tahun. (2)
Pemindahan dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih rendah. (3) Pembebasan
dari jabatan. (4) Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai
Pegawai Negeri Sipil. (5) Pemberhentian dengan tidak hormat sebagai Pegawai Negeri
Sipil.
Pegawai Negeri Sipil yang di jatuhi hukuman disiplin yang tersebut di atas
masih bisa mengajukan keberatan, seperti di atur dalam PP Nomor 30 tahun 1980
tentang peraturan disiplin Pegawai Negeri Sipil, yaitu:
Pasal 15 berbunyi :9
(2) Pegawai Negeri Sipil yang di jatuhi salah satu jenis hukuman disiplin sebagaimana
di maksud dalam pasal 6 ayat (3) dan ayat (4), dapat mengajukan keberatan kepada
atasan pejabat yang berwenang menghukum dalam jangka waktu 14 hari terhitung
,mulai tanggal ia menerima keputusan hukuma disiplin tersebut.
Pasal 16 berbunyi :10
Keberatan sebagaimana di maksud dalam pasal 15 ayat (2), di ajukan secara tertulis
melalui saluran hirarki.
Dalam surat keberatan sebagaimana di maksud dalam ayat (1), harus di muat alasan-
alasan dari keberatan itu.
9 Indonesia, Peraturan Pemerintah Tentang Peraturan disiplin Pegawai Negeri Sipil, PP No.30 Tahun 1980
Psl.15 10 Ibid
xii
III. PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian di atas disimpulkan bahwa Analisis putusan pengadilan agama praya
nomor 216/pdt.g/2009/pa.pra mengenai perceraian bagi pns menurut pp nomor 10
tahun 1983 jo pp nomor 45 tahun 1990, sebagai berikut : (1) Dasar Pertimbangan
hakim dalam memutus perkara perceraian Nomor 216/PDT.G/2009/PA.PRA adalah
bahwa di hari-hari persidangan penggugat telah hadir di persidangan dan memberikan
keterangan secukupnya namun pihak tergugat tidak pernah hadir selama persidangan
dari awal sampai akhir meskipun sudah di panggil secara resmi dan patut sehingga
hakim memutus perkara secara verstek karena tidak adanya iktikad baik dari pihak
penggugat maupun dari pihak tergugat untuk memperbaiki hubungan rumah tangga
mereka sesuai dengan tujuan dari Undang-Undang perkawinan No 1 Tahun 1974 pasal
1 yaitu membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
ketuhanan Yang Maha Esa. (2) Pegawai Negeri Sipil dapat mengajukan perceraian
kepada Pengadilan meskipun tidak melampirkan izin melakukan perceraian dari atasan
atau pejabat dengan catatan hakim menerima gugatan tersebut namun Pegawai Negeri
Sipil tersebut harus menerima konsekuensi terhadap pengajuan gugatan perceraian
yang tidak sesuai dengan aturan yang berlaku sehingga dapat di jatuhkan hukum
disiplin yaitu berupa hukum disiplin ringan, hukum disiplin sedang, maupun hukum
disiplin berat seperti penurunan pangkat atau bahkan pemberhentian dengan tidak
hormat.
xiii
Saran
Dari kesimpulan di atas maka penulis menyampaikan saran sebagai berikut :
(1) Kepada para Pegawai Negeri Sipil yang hendak melakukan perceraian hendaknya
harus mematuhi peraturan yang berlaku dalam hal ini adalah mengajukan surat izin
untuk melakukan perceraian kepada atasannya untuk menghindari di jatuhkannya
hukum disiplin yang dapat merugikan Pegawai Negeri Sipil itu sendiri. (2) Dalam
proses persidangan Majelis Hakim sebaiknya lebih menekankan kepada para Pegawai
Negeri Sipil untuk mendapatkan izin atasan terlebih dahulu sebelum mengajukan
permohonan atau gugatan cerai ke Pengadilan Agama. (3) Bagi para Pegawai Negeri
Sipil yang tetap melakukan perceraian tanpa izin atasan hendaknya pihak atasan
langsung harus memberikan sanksi maksimal kepada Pegawai Negeri Sipil yang
bersangkutan agar memberikan pelajaran kepada para Pegawai Negeri Sipil lain yang
ingin melakukan hal yang sama agar tetap patuh kepada aturan yang berlaku.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku :
Amirudin; Asikin Zaenal, Pengantar Metode Penelitian Hukum. PT Raja Grafindo
Persada, Depok, 2006.
Ghazaly; Rahman, Abdul, Fikih Munahakat, Kencana, Jakarta, 2006
Nuruddin, Amir; dan Tarigan Azhari Akmal, Hukum Perdata Islam Di Indonesia.
Kencana, Jakarta, 2004.
Ratna Barata Munti; dan Anisah, Hindun, Posisi Perempuan Dalam Hukum Islam
di Indonesia, LBH-APIK, Jakarta, 2005
Peraturan-Peraturan :
Indonesia, Peraturan Pemerintah Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah
No 10 Tahun 1983, Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi
Pegawai Negeri Sipil, PP No. 45 Tahun 1990. TLN No. 3424.
Indonesia, Inpres tentang Kompilasi Hukum Islam, Inpres No 1 Tahun 1991.
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang pelaksanaan Undang- Undang No.1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, PP No 9 Tahun 1975. LN No.12
Tahun 1975
Indonesia, Peraturan Pemerintah Tentang Peraturan disiplin Pegawai Negeri Sipil,
PP No.30 Tahun 1980
Internet dan Lainnya:
M. Furkon, http://www.landasanteori.com/2015/10/syarat-perceraian-pegawai-
negeri-sipil, diakses pada hari rabu 10 Oktober 2018, pada pukul 21.18
WITA