j kompleksitas punitas u r yudisial... · 2014-04-29 · ii j urnal yudisial adalah jurnal ilmiah...

126
Jl. Kramat Raya 57 Jakarta Pusat Telp. 021 390 5455, Fax. 021 390 5455 PO BOX 2685 email : [email protected] Vol-III/No-02/Agustus/2010 JURNAL YUDISIAL

Upload: others

Post on 24-Jan-2020

15 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

KOMPLEKSITAS PUNITAS

JY VOL - III/NO-02/AGUSTUS/2010 HLM. 93-206 JAKARTA ISSN 1978-6506 I I I I

Jl. Kramat Raya 57 Jakarta PusatTelp. 021 390 5455, Fax. 021 390 5455 PO BOX 2685

email : [email protected]

Vol-III/N

o-02/A

gustu

s/2010J

UR

NA

L Y

UD

IS

IA

L

DEMOKRASI, HAK ASASI MANUSIA, DAN PEMENUHAN TUJUAN HUKUM DALAM KASUS SEKTE AL-QIYADAHKajian Putusan Nomor 64/Pid.B/2008/PN.PDGFeri Amsari, Fakultas Hukum Universitas Andalas

PERANAN PUTUSAN PENGADILAN DALAM PROGRAM DERADIKALISASI TERORISME DI INDONESIA

Kajian Putusan Nomor 2189/Pid.B/2007/PN.Jkt.SelEndra Wijaya, Fakultas Hukum Universitas Pancasila

PENERAPAN DASAR PENGHAPUS PIDANA PERKARA KORUPSIKajian Putusan Nomor 199/PID.B/2008/PN.PWT

Saryono Hanadi, M.I. Wiwik Yuni Hastuti, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman

PENAFSIRAN FAKTA HUKUM DAN DISPARITAS PIDANAKajian Putusan Nomor 29/PID/2007/PT-BNA

Mirza Alfath S, Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh

PENERAPAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TERHADAP KASUS PEMBUNUHANKajian Putusan Nomor 39/Pid.B/2008/PN.BJM

Helmi, Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat

PENGGUNAAN HASIL PENYADAPAN SEBAGAIALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI Kajian Putusan Nomor 07/PID.B/TPK/2008/PN.JKT.PSTRicca Anggraeni, Fakultas Hukum Universitas Pancasila

PEMBUNUHAN BERENCANA DAN MUTILASIKajian Putusan Nomor 1036/PID/B/2008/PN.DPK

Rifkiyati Bachri, Fakultas Hukum Universitas Pancasila

Page 2: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

KOMPLEKSITAS PUNITAS

JY VOL - III/NO-02/AGUSTUS/2010 HLM. 93-206 JAKARTA ISSN 1978-6506 I I I I

Jl. Kramat Raya 57 Jakarta PusatTelp. 021 390 5455, Fax. 021 390 5455 PO BOX 2685

email : [email protected]

Vol-III/N

o-02/A

gustu

s/2010J

UR

NA

L Y

UD

IS

IA

L

DEMOKRASI, HAK ASASI MANUSIA, DAN PEMENUHAN TUJUAN HUKUM DALAM KASUS SEKTE AL-QIYADAHKajian Putusan Nomor 64/Pid.B/2008/PN.PDGFeri Amsari, Fakultas Hukum Universitas Andalas

PERANAN PUTUSAN PENGADILAN DALAM PROGRAM DERADIKALISASI TERORISME DI INDONESIA

Kajian Putusan Nomor 2189/Pid.B/2007/PN.Jkt.SelEndra Wijaya, Fakultas Hukum Universitas Pancasila

PENERAPAN DASAR PENGHAPUS PIDANA PERKARA KORUPSIKajian Putusan Nomor 199/PID.B/2008/PN.PWT

Saryono Hanadi, M.I. Wiwik Yuni Hastuti, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman

PENAFSIRAN FAKTA HUKUM DAN DISPARITAS PIDANAKajian Putusan Nomor 29/PID/2007/PT-BNA

Mirza Alfath S, Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh

PENERAPAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TERHADAP KASUS PEMBUNUHANKajian Putusan Nomor 39/Pid.B/2008/PN.BJM

Helmi, Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat

PENGGUNAAN HASIL PENYADAPAN SEBAGAIALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI Kajian Putusan Nomor 07/PID.B/TPK/2008/PN.JKT.PSTRicca Anggraeni, Fakultas Hukum Universitas Pancasila

PEMBUNUHAN BERENCANA DAN MUTILASIKajian Putusan Nomor 1036/PID/B/2008/PN.DPK

Rifkiyati Bachri, Fakultas Hukum Universitas Pancasila

Page 3: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

JURNAL YUDISIAL | Kompleksitas Punitas | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | I

Vol.III/No-02/Agustus/2010

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 1 5/16/2012 4:37:51 PM

Page 4: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

II

Jurnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal ini beredar pada setiap awal April, Agustus, dan Desember, memuat hasil kajian/riset atas putusan-

putusan pengadilan oleh jejaring peneliti dan pihak-pihak lain yang berkompeten. Penerbitan jurnal ini bertujuan untuk memberi ruang kontribusi bagi komunitas hukum Indonesia dalam mendukung eksistensi peradilan yang akuntabel, jujur, dan adil, yang pada gilirannya ikut membantu tugas dan wewenang Komisi Yudisial Republik Indonesia dalam menjaga dan menegakkan kode etik dan pedoman perilaku hakim.

Isi tulisan dalam jurnal sepenuhnya merupakan pandangan independen masing-masing penulis dan tidak merepresentasikan pendapat Komisi Yudisial Republik Indonesia. Sebagai ajang diskursus ilmiah, setiap hasil kajian/riset putusan yang dipublikasikan dalam jurnal ini tidak pula dimaksudkan sebagai intervensi atas kemandirian lembaga peradilan, sebagaimana telah dijamin oleh konstitusi dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat pada halaman akhir jurnal.

Alamat Redaksi:Gedung Komisi Yudisial Lantai 3

Jalan Kramat Raya Nomor 57 Jakarta Pusat

Telp. 021-3905876, Fax. 021-3906215

Email: [email protected]

DIS

CLA

IME

R

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 2 5/16/2012 4:37:51 PM

Page 5: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

III

DA

FTA

R IS

I Demokrasi, Hak asasi manusia, Dan PemenuHan Tujuan Hukum Dalam kasus sekTe al-QiyaDa ........................................... 93 Kajian Putusan Nomor 64/Pid.B/2008/PN.PDGFeri Amsari, Fakultas Hukum Universitas Andalas

Peranan PuTusan PenGaDilan DalamProGram DeraDikalisasi Terorisme Di inDonesia ...................................................... 109Kajian Putusan Nomor 2189/Pid.B/2007/PN.Jkt.SelEndra Wijaya, Fakultas Hukum Universitas Pancasila

PeneraPan Dasar PenGHaPus PiDana Perkara koruPsi .................................................... 122Kajian Putusan Nomor 199/PID.B/2008/PN.PWTSaryono Hanadi, M.I. Wiwik Yuni HastutiAlef Musyahadah Rahmah, Rahadi Wasi BintoroTedi Sudrajat, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman

PenaFsiran FakTa Hukum Dan DisPariTas PiDana ........................................................ 141Kajian Putusan Nomor 29/PID/2007/PT-BNAMirza Alfath S, Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh PeneraPan uu no. 23 TaHun 2004TerHaDaP kasus PemBunuHan .......................................... 156Kajian Putusan Nomor 39/Pid.B/2008/PN.BJMHelmi, Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat

PenGGunaan Hasil PenyaDaPan seBaGaialaT BukTi PeTunjuk Dalam Perkara TinDak PiDana koruPsi ....................................... 174Kajian Putusan Nomor 07/PID.B/TPK/2008/PN.JKT.PSTRicca Anggraeni, Fakultas Hukum Universitas Pancasila

PemBunuHan BerenCana Dan muTilasi ........................... 195Kajian Putusan Nomor 1036/PID/B/2008/PN.DPKRifkiyati Bachri, Fakultas Hukum Universitas Pancasila

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 3 5/16/2012 4:37:51 PM

Page 6: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

IV

PE

NG

AN

TAR KOMPLEKSITAS PUNITAS

Kecenderungan lazim ditemukan dari hasil penelitian ilmu-ilmu sosial dengan metode kualitatif. Kata kecenderungan senantiasa mengantisipasi kemunculan perubahan dan faktor-faktor yang senantiasa akan mempengaruhi

perkembangan dari jawaban atau temuan dalam social research. Sebaliknya, dalam hasil penelitian dengan metode kuantitatif dan atau ilmu alam, kata-kata kecenderungan jarang tersentuh dan atau tidak pernah digunakan sama sekali.

Dalam kerangka konsepsi dua metode penelitian di atas, penelitian hukum sangat jarang mengunakan pendekatan kuantitatif murni dengan rumusan matematis. Mengapa hal itu terjadi? Ada hal yang mendasar mengapa penelitian hukum sulit dijabarkan dengan pendekatan kuantitatif murni karena indikator, variable hingga faktor-faktor berbeda satu dengan yang lain dan terus berkembangan dari waktu ke waktu. Perubahan sosial memberikan pengaruh yang signifikan terhadap hasil dalam penelitian hukum atau sosial.

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa penelitian hukum dan atau social research terhadap kompleksitas persoalan. Kondisi itu juga terdapat dalam putusan hakim dalam perkara pidana maupun perdata. Perkara yang masuk ke pengadilan sangat variatif dan begitu komplek sehingga tidak mudah menarik kesimpulan. Jangan heran apabila dalam perkara yang sama dan melibatkan pelaku berbeda maka melahirkan putusan hakim yang berbeda. Seiring dengan cara pandang di atas, kompleksitas penghukuman atau kompleksitas punitas menjadi tema yang diusung dalam Jurnal Yudisial Vol-III/No-2/Agustus/2010. Pertimbangan kami untuk mengambil tema di atas karena tujuh judul dalam jurnal ini semuanya mengupas perkara pidana.

Hadirnya jurnal ini diharapkan menambah khasanah kajian akademis terhadap putusan pengadilan sehingga akan bermanfaat tidak hanya pada institusi pengadilan itu sendiri, tapi juga bagi mereka yang berkecimpung dalam dunia kampus. Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa jurnal ini bukan bermaksud mengupas putusan pengadilan yang melahirkan kesimpulan benar dan salah. Analisa argumentatif berdasarkan teori hukum yang lazim dibutuhkan dalam negara yang mengedepankan hukum dan demokrasi seperti Indonesia.

Dalam kerangka negara hukum sebagaimana termaktub di dalam konstitusi untuk mengupas semua aspek kehidupan termasuk putusan pengadilan sangat mungkin dilakukan karena putusan pengadilan bersifat publik domain. Dengan demikian, pada akhirnya jurnal ini diharapkan memberikan sumbangsih nyata terhadap perkembangan bangsa khususnya ilmu hukum. Di masa mendatang, Jurnal Yudisial diharapkan semakin berkualitas dan menjadi rujukan ilmiah. Akhir kata, penyusun mengucapkan terima kasih mitra bestari, serta pihak-pihak lain yang meluangkan wanal iniiktu demi penerbitan jurnal.

Tertanda

Redaksi Jurnal Yudisial

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 4 5/16/2012 4:37:51 PM

Page 7: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

V

PE

DO

MA

N P

EN

ULI

SA

N Jurnal Yudisial menerima naskah hasil penelitian atas putusan pengadilan (court decision) suatu kasus konkret yang memiliki kompleksitas permasalahan hukum, baik dari pengadilan di Indonesia maupun luar negeri.

FORMAT NASKAHI.

Naskah dituangkan dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris baku. Apabila ada kutipan langsung yang dipandang perlu untuk tetap ditulis dalam bahasa lain di luar bahasa Indonesia atau Inggris, maka kutipan tersebut dapat tetap dipertahankan dalam bahasa aslinya dengan dilengkapi terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris.

Naskah diketik di atas kertas ukuran kwarto (A-4) sepanjang 20 s.d. 25 halaman (sekitar 6.000 kata), dengan jarak antar-spasi 1,5. Ketikan menggunakan huruf (font) Times New Roman berukuran 12 poin.

Semua halaman naskah diberi nomor urut pada margin kanan bawah.

SISTEMATIKA NASKAH II.

Judul naskah

Judul utama ditulis di awal naskah dengan menggunakan huruf Times New Roman 14 poin, diketik dengan huruf kapital seluruhnya, ditebalkan (bold), dan diletakkan di tengah margin (center text). Tiap huruf awal anak judul ditulis dengan huruf kapital, ditebalkan, dengan menggunakan huruf Times New Roman 12 poin. Contoh:

PERSELISIHAN HUKUM MODERN DAN HUKUM ADAT

DALAM KASUS PENCURIAN SISA PANEN RANDU

Kajian Putusan Nomor 247/Pid.B/2009/PN.BTG

Nama dan identitas penulis

Nama penulis ditulis tanpa gelar akademik. Jumlah penulis dibolehkan maksimal dua orang. Setelah nama penulis, lengkapi dengan keterangan identitas penulis, yakni nama dan alamat lembaga tempat penulis bekerja, serta akun email yang bisa dihubungi! Nama penulis dicetak tebal (bold), tetapi identitas tidak perlu dicetak tebal. Semua keterangan ini diketik dengan huruf Times New Roman 12 poin, diletakkan di tengah margin. Contoh:

Mohammad Tarigan

Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Jalan S. Parman No. 1 Jakarta 11440,

email [email protected].

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 5 5/16/2012 4:37:51 PM

Page 8: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

VI

Abstrak

Abstrak ditulis dalam dua bahasa sekaligus, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Panjang abstrak dari masing-masing bahasa sekitar 200 kata, disertai dengan kata-kata kunci (keywords) sebanyak 3 s.d. 5 terma (legal terms). Jarak antar-spasi 1,0 dan dituangkan dalam satu paragraf.

PENDAHULUAN III.

Subbab ini berisi latar belakang dari rumusan masalah dan ringkasan jalannya peristiwa hukum (posisi kasus) yang menjadi inti permasalahan dalam putusan tersebut.

RUMUSAN MASALAH IV.

Subbab ini memuat formulasi permasalahan yang menjadi fokus utama yang akan dijawab nanti melalui studi pustaka dan analisis. Rumusan masalah sebaiknya diformulasikan dalam bentuk pertanyaan. Setiap rumusan masalah harus diberi latar belakang yang memadai dalam subbab sebelumnya.

STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS V.

Subbab ini diawali dengan studi pustaka, yakni tinjauan data/informasi yang diperoleh melalui bahan-bahan hukum seperti perundang-undangan dan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, juga hasil-hasil penelitian, buku, dan artikel yang relevan dan mutakhir. Paparan dalam studi pustaka tersebut harus menjadi kerangka analisis terhadap rumusan masalah yang ingin dijawab. Bagian berikutnya adalah analisis permasalahan. Analisis harus dikemas secara runtut, logis, dan terfokus, yang di dalamnya terkandung pandangan orisinal dari penulisnya. Bagian analisis ini harus menyita porsi terbesar dari keseluruhan substansi naskah.

KESIMPULANVI.

Subbab terakhir ini memuat jawaban secara lengkap dan singkat atas semua rumusan masalah.

PENGUTIPAN DAN DAFTAR PUSTAKA

Sumber kutipan ditulis dengan menggunakan sistem catatan perut (body note atau side note) dengan urutan nama penulis/lembaga, tahun terbit, dan halaman yang dikutip. Tata cara pengutipannya adalah sebagai berikut:

Satu penulis: (Grassian, 2009: 45); Menurut Grassian (2009: 45), ...

Dua penulis: (Abelson dan Friquegnon, 2010: 50-52);

Lebih dari dua penulis: (Hotstede. Et.al., 1990: 23);

Terbitan lembaga tertentu: (Cornell University Library, 2009: 10).

Kutipan tersebut harus ditunjukkan dalam daftar pustaka (bibliografi) pada akhir naskah. Tata

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 6 5/16/2012 4:37:51 PM

Page 9: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

VII

cara penulisan daftar pustaka dilakukan secara alfabetis, dengan contoh sebagai berikut:

Abelson, Raziel & Marie-Louise Friquegnon. Eds. 2010. Ethics for Modern Life. New York: St. Martin’s Press.

Grassian, Victor. 2009. Moral Reasoning: Ethical Theory and Some Contemporary Moral Problems. New Jersey: Prentice-Hall.

Cornell University Library. 2009. “Introduction to Research.” Akses 20 Januari 2010. <http://www.library.cornell.edu/resrch/intro>.

PENILAIAN

Semua naskah yang masuk akan dinilai dari segi format penulisannya oleh tim penyunting. Naskah yang memenuhi format selanjutnya diserahkan kepada mitra bestari untuk diberikan catatan terkait kualitas substansinya. Setiap penulis yang naskahnya diterbitkan dalam Jurnal Yudisial berhak mendapat honorarium dan beberapa eksemplar bukti cetak edisi jurnal tersebut.

CARA PENGIRIMAN NASKAH

Naskah dikirim dalam bentuk digital (softcopy) ke alamat e-mail:

[email protected]

dengan tembusan ke:

[email protected] dan [email protected].

Personalia yang dapat dihubungi (contact persons):

Nur Agus Susanto (085286793322);

Dinal Fedrian (085220562292); atau

Arnis (08121368480).

Alamat redaksi:

Pusat Data dan Layanan Informasi, Gd. Komisi Yudisial Lt. 3, Jl. Kramat Raya No. 57 Jakarta Pusat 10450, Fax. (021) 3906215.

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 7 5/16/2012 4:37:51 PM

Page 10: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

VIII

Penanggung Jawab : Muzayyin Mahbub.

Pemimpin Redaksi : Patmoko

Penyunting/Editor : 1. Hermansyah

2. Onni Roeslani

3. Heru Purnomo

4. Imron

5. Asep Rahmad Fajar

6. Suwantoro

Redaktur Pelaksana : Dinal Fedrian

Arnis Duwita

Sekretariat : 1. Sri Djuwati

2. Yuni Yulianita

3. Romlah Pelupessy.

4. Ahmad Baihaki

5. Arif Budiman.

6. Adi Sukandar

7. Aran Panji Jaya

8. Nur Agus Susanto

Desain Grafis & Fotografer : Widya Eka Putra

TIM

PE

NY

US

UN

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 8 5/16/2012 4:37:51 PM

Page 11: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

JURNAL YUDISIAL | Kompleksitas Punitas | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | 93

Demokrasi, Hak asasi manusia, Dan PemenuHan Tujuan Hukum Dalam kasus sekTe al-QiyaDaH

Feri AmsariFakultas Hukum Universitas Andalas, Kampus Limau Manis, Padang, Sumatera Barat

Email: [email protected]

kajian Putusan nomor: 64/Pid.B/2008/Pn.PDG

ABSTRACTThe relationship between state and religion is the main key to grasp the idea of democracy in a pluralistik state, like Indonesia. There is human right dimension in the relation, including the right to exist for any religion or religious streams. In the case of Al qiyadah sect, the judge should consider that wisely. This article analyses the lack concideration in the judge’s decision. In addition, among three objectives of law, namely legal certaninty, legal justice, and legal utility, apparently that of the fist mentioned is less given a place, as a result of differences in the roles of rhe accused in the crime of blasphemy

Keywords: freedom of faith, human right, blasphemy

ABSTRAKKeterkaitan antara negara dan merupakan kunci yang perlu dipegang oleh negara yang menganut faham demokrasi seperti Indonesia. Di dalam hubungan keduanya terdapat dimensi erat dengan hak asasi manusia, termasuk hak atas eksistensi kehidupan beragama. Dalam kajian ini, penulis mengambil kasus perkara yang melibatkan sekte Al qiyadah, hakim seyogyanya mempertimbangkan dengan sangat bijaksana. Penulis menilai ada kekurangan dalam memutuskan perkara. Sebagai tambahan, di antara tiga tujuan hukum yaitu kepastian hukum, keadilan sosial, dan kemanfaatan hukum, ada yang dilupakan yaitu keadilan terhadap subjek-subjek pelaku tindak pidana karena melupakan peran kedua terdakwa yang berbeda dalam kejahatan penghinaan terhadap agama.

Kata kunci: kekebasan beragama, hak asasi manusia, penghujatan/pemfitnahan

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 93 5/16/2012 4:37:51 PM

Page 12: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

94 | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | Kompleksitas Punitas | JURNAL YUDISIAL

PENDAHULUANI.

Perkara yang diangkat dalam kasus putusan No. 64/Pid.B/2008/PN.PDG ini bermula dari terungkapnya sebuah sempalan/sekte agama Islam yang meyakini bahwa telah muncul seorang nabi baru. Sekte bernama Al-Qiyadah Al-Islamiyah dipimpin oleh AM dengan pengikut yang menyebarluas di seluruh Indonesia. Banyaknya jumlah pengikut sekte ini telah menyebabkan banyak daerah ”gempar” dengan keberadaan sekte tersebut. Al-Qiyadah Al-Islamiyah antara lain tidak mewajibkan shalat lima waktu dan puasa di bulan Ramadhan. Demikian juga dengan pembayaran zakat, yang dipandang belum saatnya dilakukan. Selain itu masih ada beberapa hal lain yang bertentangan dengan ajaran Islam yang berlaku umum.

Al-Qiyadah terbentuk pada medio tahun 2000, buah dari perpecahan di antara kepemimpinan sekte Islam lainnya, yaitu NII KW IX. Menurut AM, ia mendapat mimpi setelah berpuasa (shaum) dan berkontemplasi (tahanuts) selama 40 hari di Gunung Bunder, Bogor, Jawa Barat. Setelah merasa mendapat ”wahyu” tersebut pada 23 Juli 2007, AM kemudian mendakwahkan ajarannya secara terang-terangan. Perkembangan ajaran ini sangat luar biasa, lebih dari 1.000 orang pengikut telah direkrut setiap bulan. Pengikut AM tersebar di Sumatera Barat, Jawa Timur, Yogyakarta, Riau, dan Sulawesi.

Sumatera Barat, salah satu merupakan salah satu tempat sekte Al-Qiyadah berkembang dengan banyak pengikut. Keberadaan sekte tersebut menimbulkan keresahan di masyarakat disebabkan pertentangan kepercayaan yang berlaku umum. Melihat semakin resahnya masyarakat, terutama dengan telah dikeluarkan fatwa Majelis Ulama Indonesia Sumatera Barat, maka aparat segera menindak para pengikut AM. Aparat bertindak untuk menghindari terjadinya upaya main hakim sendiri. Kitab Undang-undang Hukum Pidana dijadikan dasar hukum.

Hakim dalam putusannya menggunakan Pasal 156 a junctis Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Dalam hal ini para penasihat hukum meyakini penggunaan pasal tersebut terhadap perbuatan terdakwa adalah tidak tepat karena unsur pidana yang dikandung dalam pasal a quo tidak dapat ditemukan dari perbuatan terdakwa. Namun, majelis hakim dalam pertimbangannya menyatakan bahwa perbuatan terdakwa telah terbukti merupakan tindak pidana yang menyebabkan penistaan terhadap suatu agama tertentu.

RUMUSAN MASALAHII.

Analisis berikut ini akan mencoba mengurai mengenai hubungan negara dan agama berdasarkan putusan peradilan. Perkara yang diputuskan di Pengadilan Negeri Padang ini secara luas akan memberikan pengaruh antara hubungan negara dan agama. Hal itu terutama terkait dengan keberadaan sekte (sempalan) dalam agama-agama. Dalam kajian ini dapat pula dirumuskan beberapa permasalahan, yaitu;

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 94 5/16/2012 4:37:51 PM

Page 13: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

JURNAL YUDISIAL | Kompleksitas Punitas | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | 95

Apakah putusan tersebut sudah sesuai dengan semangat demokrasi dan perlindungan hak 1. asasi manusia?

Apakah putusan hakim dalam hal keberadaan sempalan/sekte agama telah mengakomodasi 2. tujuan penegakan hukum, yakni keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum?

STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS III.

Indonesia adalah negara yang menganut paham Pan-nasionalisme, hal itu dapat ”dibaca” melalui adagium ”bhinneka tunggal ika”, berbeda-beda namun satu jua. Pan (liga) yang ingin dibangun oleh para pendiri bangsa bukanlah Pan-Islamisme (Arabisme), Pan-Kristianisme, Pan-Hinduisme atau Pan-Sukuisme, melainkan sebuah liga dari komunitas yang mampu menyatukan perbedaan-perbedaan religiusitas maupun kelompok tersebut. Perbedaan yang dimaksud adalah keragaman budaya, agama serta suku yang telah tumbuh dan lestari bahkan sejak Indonesia belum merdeka. Jika ingin ditelusuri lebih dalam, maka akan ditemukan konsensus mengenai keberagaman hidup sebagai bangsa yang beragam (multi-etnis) dan beragama (religi) pada sidang-sidang para penyusun konstitusi (framers of constitution) di Badan untuk Menyelidiki Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) pada tanggal 28 Mei sampai dengan 1 Juni 1945. Indonesia jelas mengakui keberagaman hidup sebagai sebuah bangsa Nusantara tanpa melupakan identitas sebagai bangsa beragama. Hal itu terbukti dari keberadaan Pasal 29 ayat (1) UUD 1945, ”Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Di sisi lain, keberagaman etnis dan agama itu sendiri menjadi sebuah tantangan tersendiri dalam membangun negara hukum [Pasal 1 ayat (3) UUD 1945] yang tujuan pokoknya adalah ketertiban. Sebagaimana dinyatakan oleh Mochtar Kusumaatmadja (2006: 3) bahwa ketertiban merupakan tujuan utama dan pertama dari segala hukum. Kebutuhan terhadap ketertiban adalah syarat fundamental bagi adanya suatu masyarakat manusia yang teratur.

Lalu bagaimana hukum di Indonesia dapat dibangun di antara pelbagai perbedaan budaya, agama, cara berpikir, dan lain-lain perbedaan yang terus menyeruak dan bermunculan. Permasalahan keagamaan yang akhir-akhir ini semakin marak dapat menimbulkan keresahan antar-umat yang dapat berakibat ”musnahnya” ketertiban. Di sinilah letaknya fungsi hati nurani para pengadil, Yang Terhormat para hakim. Hukum tidak akan pernah memiliki ”hati nurani” apabila ruh hukum yang berkeadilan tidak pernah ditiupkan oleh para hakim ke dalam jasad pasal-pasal produk perundang-undangan. Itu sebabnya Satjipto Rahardjo sudah ”mewanti-wanti” agar jangan menerapkan hukum hanya mengikuti bunyi pasal tersebut sebagaimana dimuat dalam produk perundang-undangan.

Oleh karena itu, hakim kemudian menjadi figur yang sangat penting dalam penerapan peraturan perundang-undangan. Jika hakim tidak mampu memahami maksud sebuah peraturan itu dibentuk, maka hakim kemudian terjebak ke dalam ”kungkungan” aturan-aturan normatif,

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 95 5/16/2012 4:37:51 PM

Page 14: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

96 | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | Kompleksitas Punitas | JURNAL YUDISIAL

tanpa pernah mampu melihat hubungannya dengan kondisi terciptanya sebuah tindakan oleh subjek hukum.

Dalam perkara pidana, keadilan sebagai tujuan pokok dari hukum selain ketertiban, akan sangat sulit dijamah. Bahkan mungkin keadilan hanya akan menjadi text book dalam literatur-literatur ilmu hukum. Misalnya terhadap perkara pencurian yang diatur dalam Pasal 362 KUHP, jika hakim tidak membaca jiwa pasal tersebut, maka seorang hakim akan menjatuhkan hukuman yang sama terhadap setiap pelaku pencurian sebagaimana diatur dalam pasal a quo. Pencuri karena kelaparan akan dihukum sama dengan koruptor yang mencuri karena rakus. Dua hal yang berbeda dan memiliki substansi kasus yang berbeda. Terhadap hal demikian tidak akan pernah bisa dianggap adil apabila bagi kedua pelaku diterapkan hukuman yang sama.

Dalam mengkaji perkara ini, menarik dibahas elemen-elemen penting dalam penjatuhan sanksi terhadap pelaku tindak pidana tentang penistaan terhadap agama. Setidaknya akan digali pada putusan hakim perkara ini beberapa hal, yaitu mengenai hubungan negara dan agama, hak asasi manusia, dan kebebasan beragama, serta juga digali bagaimana nilai-nilai dasar hukum Gustav Radbruch berupa nilai keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum diterapkan oleh hakim dalam putusannya.

1. Relasi Agama dan Negara

Hakim dalam putusannya terhadap perkara ini semestinya juga memberikan pandangannya terhadap keberadaan agama dalam sebuah negara. Penting diketahui di sini mengenai perspektif hakim tentang kewenangan negara dalam kehidupan beragama warga negaranya. Apakah hakim menganut liberalisasi hak beragama warga negara, di mana negara memiliki dinding sekularitas yang memisahkan antara negara dan agama? Ataukah hakim berpandangan bahwa negara dalam masalah agama memiliki peran yang sangat penting tanpa mengabaikan hak-hak warga negara.

Dalam hal tersebut, terlihat bahwa putusan hakim hanya terkooptasi pada proses persidangan. Pernyataan terdakwa, dakwaan, dan tuntutan jaksa penuntut umum, serta keterangan saksi-saksi menjadi bagian utama bagi hakim dalam merangkai asumsinya dalam menilai perkara. Hakim sama sekali tidak menggali pandangan pribadinya mengenai keberadaan agama Islam versi Al-Qiyadah Al-Islamiyah yang dianggap telah menistakan agama lainnya (Islam). Rangkaian persidangan itulah yang kemudian membentuk pertimbangan, konklusi, dan diakhiri dengan amar hakim. Sayangnya, dalam putusan ini majelis hakim tidak memberikan pertimbangan yang menjelajahi hubungan keagamaan di negara ini. Hakim bahkan tidak memiliki teori atau pandangan-pandangan yang menguatkan pendirian hukum majelis hakim.

Menurut Karl Josef Partsch (2001: 240). terdapat empat bentuk utama hubungan antara negara dan komunitas-komunitas keagamaan, yaitu: (1) negara-negara yang komunitas sipil dan keagamaannya serupa yang aturan hukumnya berdasar pada dan mencerminkan kepercayaan

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 96 5/16/2012 4:37:51 PM

Page 15: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

JURNAL YUDISIAL | Kompleksitas Punitas | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | 97

agama; (2) negara-negara yang komunitas sipil dan keagamaannya secara formal terpisah, namun satu kepercayaan mendominasi filsafat umum; (3) negara-negara yang penduduknya merupakan umat lebih dari satu agama atau kepercayaan (dan ada pula yang sama sekali tidak beragama), dan kebebasan beragama diakui dengan kenyataan pemisahan negara dan agama; (4) negara-negara yang secara resmi ateis, namun mentolerir agama hingga batasan tertentu.

Indonesia dan Amerika Serikat memiliki perbedaan posisi dalam pengelompokan Partsch. Sejak rapat BPUPK, disadari bahwa Islam adalah agama terbesar di Indonesia, namun para pendiri bangsa sendiri (termasuk kalangan Islam) mengakui keberadaan agama-agama lainnya dalam negara. Walaupun terjadi perdebatan sengit antara tokoh keagamaan dan kalangan nasionalis mengenai fungsi agama dalam negara, akhirnya ditemukan saling pengertian. Secara tidak langsung para pendiri bangsa berkeyakinan bahwa sebagai bangsa kita akan mampu hidup berdampingan walaupun berbeda-beda agama.

Ibnu Taimiyah, salah satu ulama besar Islam menjelaskan mengenai kebutuhan masyarakat agama atas negara. Bahkan menurut Ibnu Taimiyah kebutuhan mengenai peran negara tersebut adalah hasrat universal semua manusia untuk bergabung, bekerja sama dan menikmati berbagai manfaat kepemimpinan tanpa peduli apakah mereka menganut suatu agama atau tidak (Khalid Ibrahim Jindan, 1999: 55). Dari pendapat Ibnu Taimiyah tersebut jelas dalam pandangan Islam peran negara dalam agama jelas sekali fungsinya.

Penciptaan ketertiban hubungan antar-agama adalah menjadi salah satu tugas penting negara. Warga negara menyerahkan sebagian hak-haknya agar negara mampu melindungi hak-hak yang lebih umum dan sifatnya publik. Philip Smith dan Kristin Natalier menjelaskan mengenai teori kontrak sosial J.J. Rosseau yang memaparkan mengenai perlindungan hak oleh negara. Smith dan Natalier selengkapnya menyatakan sebagai berikut:

The social contract was the term used to describe the arrangement whereby individuals gave up some of their liberties and powers to the state (or sovereign monarch) in return for physical security. The state would offer protection to all, operate justly and maintain peace by the impartial administration of the law and the enforcement, if need be, of order (Smith dan Natalier, 2005: 12).

Karena negara memiliki kewajiban dalam melindungi hak seluruh warga negara, dan warga negara harus pula mengorbankan haknya bagi kepentingan hak-hak yang lebih besar tersebut, maka harus dibedakan dengan baik hak yang harus dilindungi oleh negara dan hak yang mesti dikorbankan bagi kepentingan publik. Jika begitu semua warga negara harus tahu apa yang menjadi hak asasinya dan dilindungi oleh negara dan mana hak yang sudah dilepaskannya kepada negara.

Sesuai dengan yang dinyatakan oleh Smith dan Natalier maka hak asasi yang telah dibatasi oleh keberadaan produk perundang-undangan adalah hak personal yang tidak dapat difungsikan

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 97 5/16/2012 4:37:51 PM

Page 16: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

98 | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | Kompleksitas Punitas | JURNAL YUDISIAL

lagi sebagai hak asasi yang harus dimiliki oleh pribadi tertentu. Hak itu hapus demi kepentingan yang lebih luas dan umum.

Dalam perkara ini kebebasan memeluk agama dalam hal tertentu menjadi dibatasi walaupun Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 melindungi kebebasan tersebut. Ini memperlihatkan bahwa Pasal 29 ayat (2) a quo memiliki limitasi penerapan. Batasannya adalah apabila keagamaannya bersifat menimbulkan permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia (Pasal 156 huruf a KUHP). Negara memerlukan pembatasan tersebut demi terciptanya ketertiban. Jika itu tidak diatur maka kemungkinan besar timbul upaya main hakim sendiri (eigenrichting). Oleh karenanya kehadiran Pasal 156 huruf a tersebut penting bagi melindungi ketertiban yang lebih besar. Hal yang sama tentu saja tidak ditemukan dalam negara yang memiliki konsep demokrasi liberal, disebabkan founding father telah menyatakan memiliki konsep demokrasi yang berbeda.

Robert Dahl menyatakan bahwa ciri khas demokrasi adalah sikap tanggap pemerintah secara terus menerus terhadap preferensi atau keinginan warga negaranya (Mas’oed, 2003: 16). Namun, pertanyaannya adalah preferensi warga negara yang mana? Apakah bisa seluruh preferensi warga negara yang berbeda-beda ditampung? Pasti tidak mungkin! Oleh karena itu, preferensi di sini adalah keinginan warga negara yang mayoritas tanpa mengabaikan hak asasi minoritas. Tentu saja absolut sifatnya kehendak minoritas tidak boleh melecehkan hak asasi mayoritas. Begitu juga sebaliknya hak-hak kelompok minoritas tidak boleh sama sekali dilecehkan oleh kelompok mayoritas. Hal itu, sekali lagi, adalah demi terciptanya ketertiban. Para teoretis HAM, sebagaimana dinyatakan oleh Grotius bahwa diperlukan hukum negara dalam menciptakan perdamaian (May, 2006: 19).

Oleh karena itu keberadaan Pasal 156 huruf a KUHP dalam melindungi ketertiban kehidupan bernegara dalam jalinan keagamaan antar-agama merupakan pilihan paling bijaksana. Putusan hakim yang menyatakan perbuatan terdakwa-terdakwa merupakan tindakan yang menistakan agama tertentu juga dalam sudut ini sudah sangat tepat. Persoalan selanjutnya adalah: apakah putusan tersebut telah memenuhi semangat keadilan? Terhadap hal tersebut akan diulas lebih dalam dan menggunakan pendekatan keadilan substansial bukan prosedural semata.

2. HAM dan Kebebasan Beragama

Indonesia sebagaimana negara-negara lain tidak dapat melepaskan dirinya dari peran serta agama dalam mengelola negara begitu juga sebaliknya. Bahkan Amerika sekalipun yang mendeklarasikan dirinya sebagai negara sekuler tidak mampu sepenuhnya lepas dari nilai-nilai keagamaan.

Menurut David A.J. Richards dalam buku Foundations of American Constitutionalis (1989: 26) bapak pendiri bangsa Amerika (American founding fathers) meyakini peran agama

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 98 5/16/2012 4:37:51 PM

Page 17: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

JURNAL YUDISIAL | Kompleksitas Punitas | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | 99

bagi Amerika. Bahkan Amerika yang menganut konsep separation of church and state saja tidak sepenuhnya memberikan pembatas terhadap keberadaan nilai-nilai agama. Sebagian kalangan malah berpendapat bahwa konsep pemisahan (baca: sekulerisme) antara negara dengan agama bukan berarti nilai-nilai agama tidak diterapkan dalam bernegara. Namun sudah pasti di Amerika negara tidak diperbolehkan mencampuri urusan agama. Hal ini bermakna bahwa kebebasan beragama sangat liberal di Amerika. Bahkan menurut Sir Patrick Elias dan Jason Coppel kebebasan beragama adalah prinsip utama. Kata mereka, “Freedom of religion, and of conscience, has a claim to being one of the most important freedom of all (Elias dan Coppel, 2002: 52).”

Kebebasan beragama tersebut juga diatur dalam kehidupan bernegara kita. Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa; ”Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Kemudian dalam Pasal 28E ayat (1) disebutkan mengenai; ”Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya.” Sekalipun demikian, harus dipahami bahwa kebebasan beragama yang merupakan hak asasi manusia tersebut harus dipahami tidak sempit. Artinya tidak semua yang menjadi hak asasi dapat berdiri dengan bebas tanpa memerhatikan hak asasi lingkungan sosialnya. Untuk itu perlu juga diperjelas apa makna dari hak asasi itu sendiri. Ronald Dworkin menyatakan permasalahan yang sama dalam bukunya Talking Rights Seriously. Dworkin menceritakan sebagai berikut:

The term ’right’ is used in politics and philosophy in many different senses, some of which I have tried to disentangle elsewhere. In order sensibly to ask whether we have a right to liberty in the neutral sense, we must fix on some one meaning of ‘right’ (Dworkin, 1999: 268).

Keinginan Dworkin untuk memberikan pemaknaan yang sama mengenai hak asasi didasari keinginan penting dalam menegakkan hak asasi itu sendiri. Jika terdapat makna yang jelas mengenai hak asasi itu maka tentu pelanggaran terhadapnya dapat diketahui dengan baik.

Menurut Black’s Law Dictionary makna hak asasi (right) adalah; “A right that belongs to every human being [suatu hak yang melekat pada setiap manusia] (A. Garner, 2004: 1347),” yang selanjutnya dijelaskan dengan batasan, “that which is proper under law, morality, or ethics (A. Garner, 2004: 1347) (yang berkesesuaian dengan hukum, moral, atau etika yang berlaku).” Pemaknaan tersebut memperlihatkan terdapatnya pembatasan hak-hak asasi manusia (rights to every human being), di mana walaupun sebuah hak itu adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia namun hak tersebut harus berkesesuaian dengan aturan hukum, moral, dan etika yang berlaku secara umum.

Dalam Pasal 18 Konvenan Hak-hak Sipil dan Politik yang kemudian dijelaskan beberapa hak yang perlu dilindungi, sebagai berikut:

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 99 5/16/2012 4:37:52 PM

Page 18: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

100 | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | Kompleksitas Punitas | JURNAL YUDISIAL

“Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara individu maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum maupun tertutup, untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengalaman dan pengajaran (QC, 2002: 135).”

Jika kita memahami makna hak menurut Kamus Hukum Black serta Konvenan Hak-hak Sipil dan Politik dengan dilandasi pemahaman Dworkin, maka terdapat suatu hak yang dibatasi. Akibatnya pembatasan hak beragama sebagai suatu hal yang melekat pada masing-masing individu harus pula sesuai dengan aturan hukum, standar moral dan etika suatu masyarakat.

Al-Qiyadah Al-Islamiyah jika dipandang sekilas dari sudut Pasal 18 Konvenan Hak-hak Sipil dan Politik tersebut, jelas memiliki hak untuk menyebarkan agamanya, sekalipun di sini perlu pula dilihat posisi keberadaan hak agama lain. Agama Islam juga memiliki hak dalam melindungi keyakinannya. Artinya, keberadaan Pasal 18 tersebut adalah untuk agama-agama yang berbeda sama sekali keyakinannya. Misalnya terhadap agama Kristen dan Islam, Pasal 18 tersebut harus diberlakukan tanpa batasan (non-derogable). Di dalam suatu negara, penganut Islam tidak boleh mengganggu penganut agama Kristen, begitu juga sebaliknya.

Pasal 18 tersebut menurut Geoffrey Robertson (2002: 135) harus diberlakukan non-derogable. Namun keberadaan pasal tersebut pada implementasinya tidak dapat diterapkan secara buta dalam perkara Al-Qiyadah Al-Islamiyah karena keberadaan keyakinan tersebut menyentuh wilayah-wilayah berkeyakinan agama lain. Sifat non-derogable tersebut akhirnya harus dibatasi. Robertson sendiri menyadari bahwa diperlukan pembatasan hak sebagaimana dinyatakannya mengenai sebuah pelarangan terhadap Aliran Falun Gong di China serta pelarangan terhadap situs-situs yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Menurut Robertson, nilai-nilai kebebasaan dapat dikalahkan oleh pertimbangan-pertimbangan yang tergantung derajat kepentingan publik dan keamanan nasional (Robertson QC, 2002: 133).

Oleh karena itu keberadaan aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah dalam konsep HAM sendiri dapat dinyatakan sebagai sebuah aliran yang melakukan pelanggaran hak asasi bagi agama Islam. Dalam format hukum pidana, penistaan agama Islam oleh aliran tersebut menjadi nyata. Dalam putusan ini patut dicermati bagaimana cara hakim melihat konsep penistaan tersebut begitu sederhana. Semestinya hakim harus menjelaskan dalam pertimbangannya alasan yang menyebabkan aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah dijatuhkan sanksi dari sudut penegakan hak asasi manusia. Hal itu penting karena timbulnya perdebatan mengenai apakah keberadaan aliran tersebut merupakan hak asasi kelompok AM (Pemimpin Al-Qiyadah Al-Islamiyah) atau merupakan penistaan terhadap agama Islam. Sayangnya, putusan a quo hanya memandang sangat sederhana pembuktiannya dengan hanya menerapkan unsur-unsur dari Pasal 156 huruf a KUHP semata.

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 100 5/16/2012 4:37:52 PM

Page 19: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

JURNAL YUDISIAL | Kompleksitas Punitas | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | 101

Penilaian dalam perkara ini dari sudut “bunyi” Pasal 156 huruf a KUHP memang tepat, namun kesederhanaannya menggali perkara menyebabkan putusan terlihat sangat sederhana. Padahal dipahami bahwa perkara penistaan terhadap agama perlu digali lebih dalam dengan menilik pelbagai sudut pandang. Misalnya, dalam putusan a quo, tidak terlihat terdapat penjelasan dalam putusannya mengenai pernyataan Al-Quran, Sunnah, dan Ijtihad mengenai posisi pernyataan kenabian baru setelah kenabian Muhammad. Padahal Al-Quran, Sunnah Nabi, dan Ijtihad adalah tiga sumber utama dalam kajian keislaman (Achmad El Ghandur, 2006: 32). Bagaimana mungkin sesuatu perkara yang berkaitan dengan penistaan agama Islam, tidak dijadikan landasan dalam pertimbangan hukumnya mengenai nilai-nilai syariah keberadaan Al-Qiyadah Al-Islamiyah tersebut.

Akibatnya, putusan terkesan hanya mengikuti opini umum di masyarakat. Padahal dalam menjatuhkan putusan, tidak diperbolehkan terpengaruh opini semata. Pengadilan dalam pelbagai perkara harus menggali setiap perkara dengan lebih dalam, tidak bicara tekstual semata tetapi juga kontekstual. Di sini, tidak hanya perspektif masyarakat (kontekstual) saja yang diperhatikan, tetapi juga ketentuan hukum yang berlaku. Tidak hanya hukum negara tetapi juga hukum yang berlaku di masyarakat, termasuk dalam perkara ini hukum Islam.

3. Nilai Tujuan Hukum dari Radbruch

a. Actus Reus dan Mens Rea

Sebelum “menjelajahi” satu persatu nilai-nilai dasar hukum Radbruch, maka perlu dipahami terlebih dahulu dalam perkara ini mengenai apa itu tindak pidana (kejahatan). Menurut Roger Geary terdapat karakteristik paling sering digunakan untuk menyatakan bahwa sebuah perbuatan dapat dikatakan sebagai sebuah kejahatan. “One characteristic of a crime which is often emphasized is that it involved immoral conduct (Geary, 2002: 1).”

Tindakan berseberangan dengan nilai-nilai moral masyarakat umum tidak seluruhnya dapat dinyatakan sebagai sebuah tindak pidana. Geary menyatakan bahwa terdapat tiga poin yang harus dipenuhi oleh sebuah perbuatan sehingga dapat diklasifikasikan sebagai sebuah tindak pidana. Dengan menggunakan rumus “ala matematik”, Geary memperlihatkan tiga poin tersebut, sebagai berikut: Crime = actus reus + mens rea + absence of a valid defence.

Actus reus adalah tindakan yang menyimpang baik yang diatur oleh ketentuan negara ataupun moral yang berlaku di masyarakat. Mens rea adalah alasan melakukan perbuatan berupa unsur-unsur pidana seperti; mengetahui (knowingly), memiliki tujuan tertentu (intentionally), dan/atau dilakukan secara serampangan (recklessly) dan lain-lain sebagainya. Apabila sebuah perbuatan sudah memenuhi dua poin tersebut di atas, tapi terhadapnya belum dapat dinyatakan sebagai sebuah pidana hingga dapat dibuktikan bahwa tidak ada alasan pembenar untuk melakukan tindakan tersebut (absence of valid defence).

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 101 5/16/2012 4:37:52 PM

Page 20: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

102 | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | Kompleksitas Punitas | JURNAL YUDISIAL

Mike Molan, Duncan Bloy, dan Denis Lanser dalam buku mereka yang berjudul Modern Criminal Law menjelaskan mengenai actus reus dan mens rea yang berasal dari kalimat bahasa Latin yaitu actus non facit reum, nisi mens sit rea [an act not make a person quilty of committing an offence unless the mind is legally blameworthy] (Molan. Et.al., 2003: 25). Jika disimak hal tersebut merupakan perkembangan dari terminologi pemidanaan yang menyatakan bahwa seseorang tidak dapat dinyatakan bersalah sampai ditentukan oleh undang-undang. Dalam pemahaman teori actus reus dan mens rea unsur paling penting harus ada adalah kesengajaan (voluntary). Misalnya seorang yang mengendarai kendaraan di tempat umum dalam perjalanannya mengalami serangan jantung yang berakibat menabrak orang lain. Orang tersebut walaupun melakukan tindakan yang menyebabkan orang lain luka tetapi karena bukan dilakukan dengan sengaja (involuntary) maka ia tidak dapat dikenakan sebagai pelaku kejahatan (Molan. Et.al., 2003: 27-28). Konsep itu dapat dikatakan sebagai asas kulpabilitas (tiada pidana tanpa kesalahan).

Dalam perkara penistaan agama Islam oleh Jamaah Al-Qiyadah Al-Islamiyah, maka jelas sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 156 a junctis Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, maka jelas actus reus dan mens rea-nya. Nyata sekali memang bahwa perbuatan Terdakwa I dan Terdakwa II yang menyebarkan ajaran agama yang secara prinsip bertentangan dengan pemahaman umum agama Islam. Bagi kalangan agama Islam umum di negeri ini ajaran Al-Qiyadah Al-Islamiyah yang disebarkan terdakwa telah menistakan agama Islam itu sendiri.

Berdasarkan hal tersebut kemudian dikuatkan dengan keterangan saksi-saksi dan pengakuan terdakwa-terdakwa di dalam persidangan maka unsur voluntary sangat jelas terbukti. Artinya Terdakwa I berdasarkan ketentuan hukum memang bersalah, akan tetapi apakah terhadap Terdakwa II tidak terdapat unsur involuntary. Penting bagi pengadilan menggali lebih dalam, mengingat hubungan Terdakwa I dan Terdakwa II yang berupa bapak dan anak angkat tersebut. Di sini harus dibuktikan dalam persidangan pembelaan masing-masing terdakwa mengenai keterpaksaan atau tidak tatkala terdakwa melakukan perbuatan pidana.

Perlu pula ”diketemukan” dalam persidangan mengenai tidak terdapatnya pembelaan yang sah (valid) terhadap perbuatan terdakwa. Terhadap hal itu misalnya digali mengenai mentalitas kejiwaan, pergaulan, pengetahuan agama dan lain sebagainya dari pelaku. Hal itu terkait dengan konsep peradilan pidana, hakim dalam perkara pidana diminta untuk bersikap aktif, maknanya proses peradilan tidak hanya mengejar kesalahan-kesalahan terdakwa tetapi juga faktor-faktor apakah yang menjadi pembelaan terdakwa.

Dari paparan putusan, tampak jelas bahwa di dalam putusan sama sekali tidak mempertimbangkan hubungan bapak angkat antara Terdakwa I dan Terdakwa II yang mungkin terjalin akibat hubungan pekerjaan. Layaknya seorang pekerja maka tentu sulit bagi bawahan menolak permintaan pimpinannya. Belum lagi mestinya putusan tersebut harus pula menggali pengetahuan keagamaan kedua terdakwa. Apabila kedua terdakwa menyadari bahwa tindakannya

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 102 5/16/2012 4:37:52 PM

Page 21: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

JURNAL YUDISIAL | Kompleksitas Punitas | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | 103

merupakan penyimpangan dari pengetahuan agama, maka hukumannya bisa jadi lebih berat. Tapi hal tersebut akan berlaku sebaliknya, terdakwa akan dihukum lebih ringan bahkan dibebaskan apabila terbukti memiliki pengetahuan yang rendah dalam bidang agama. Oleh karena itu, unsur pembelaan (defence) para terdakwa harus dipertimbangkan.

Dalam putusan ini terasa janggal karena putusan sama sekali tidak mempertimbangkan posisi Terdakwa II terhadap Terdakwa I yang notabenenya adalah orang tua angkatnya. Elemen itu penting untuk digali karena berkaitan dengan dugaan penyebab Terdakwa II bergabung dalam Jamaah Al-Qiyadah tersebut. Jika alasannya keterpaksaan mengikuti keinginan orang tua angkat yang sekaligus bosnya itu, tentu majelis hakim harus mempertimbangkan memberi tingkat hukuman yang berbeda di antara terdakwa. Sayangnya dalam putusan, hal tersebut tidak terlihat digali lebih luas.

b. Nilai Kepastian Hukum

Perbuatan terdakwa yang menyatakan bahwa telah terdapat nabi baru telah menyebabkan terpenuhinya unsur-unsur pidana yang ditentukan dalam Pasal 156 huruf a KUHP mengenai penistaan suatu agama. Agama Islam meyakini bahwa Nabi Muhammad adalah nabi terakhir dan tidak akan ada nabi lain setelahnya. Ajaran tersebut dalam kepercayaan Islam merupakan ajaran pokok yang tidak dapat diganggu gugat. Oleh karena itu pernyataan kelompok (sekte) Al-Qiyadah Al-Islamiyah jelas menistakan keyakinan tersebut.

Dari sudut nilai kepastian hukum, putusan ini jelas telah menegakkan Pasal 156 huruf a KUHP tersebut. Namun sebagaimana dipahami oleh banyak pemikir hukum, untuk menerapkan tujuan substansi dari pembentukan hukum tidak cukup dengan hanya melihat hanya satu nilai hukum saja yang ditegakan. Oleh karena itu penting dikaji nilai-nilai tersebut secara komprehensif.

c. Nilai Kemanfaatan

Ronald J. Bacigal dalam “Criminal Law and Procedure” menjelaskan kemanfaatan penghukuman dalam hukum pidana. Menurut Bacigal terdapat 5 (lima) cara penghukuman untuk mengontrol tingkah laku, yaitu;

1. Incapacitation/restraint: Executing a criminal is the most extreme form of rendering a person incapable of committing future crimes. Criminals restrained in prison cannot cause futher harm to the general public during the length of their sentence.

(Pencegahan: Menjatuhkan hukuman kepada seorang kriminal adalah bentuk paling ekstrem dari upaya membuat seseorang tidak melakukan kejahatan lagi di masa depan. Pelaku kejahatan yang berada di dalam penjara dicegah untuk melakukan kejahatan yang berkelanjutan kepada masyarakat umum selama dalam penjara).

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 103 5/16/2012 4:37:52 PM

Page 22: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

104 | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | Kompleksitas Punitas | JURNAL YUDISIAL

2. Specific deterrence: By punishing the criminal for the crime, society demonstrates its ability and willingness to protect itself those who commit crimes. After being exposed to society’s power to punish, the criminal will be taught a lesson and will refrain from any future misconduct.

(Pencegahan Khusus: Dengan menjatuhi hukuman kepada pelaku kejahatan, masyarakat memperlihatkan kemampuan dan keinginan untuk melindungi diri mereka terhadap orang yang melakukan kejahatan. Setelah diperlihatkan kekuasaan publik untuk menghukum, maka pelaku kejahatan akan belajar dan akan menahan diri dari perbuatan khilaf di masa akan datang).

3. General deterrence: When the general public observes criminals being punished for their crimes the public is deterred from criminal conduct for fear of similar punishment. The effectiveness of this rationale depends on the degree of punishment and the degree of certainty that criminals will be caught, convicted, and punished.

(Pencegahan Umum: Ketika masyarakat melihat bagaimana seorang pelaku kejahatan dihukum terhadap kejahatannya, maka publik dicegah untuk melakukan perbuatan kriminal karena ketakutan terhadap hukuman yang sama).

4. Rehabilitation: Society may seek to prevent a criminal from committing other crimes by forcing that person to undergo training, psychological counseling, or some form of moral or social education as to the need for law abiding patterns of behavior.

(Rehabilitasi: Masyarakat akan mencari cara untuk mencegah seseorang penjahat melakukan kejahatan lainnya dengan meminta pelaku menjalani pelatihan, konsultasi kejiwaan, atau sesuatu yang berkaitan dengan pembelajaran terhadap tingkah laku moral di masyarakat sebagai sebuah aturan hukum tingkah laku yang telah lama hidup).

5. Retribution: Punishment may express the moral condemnation of the community and is a lawful means of avenging a wrong.

[Pembalasan: Penghukuman merupakan cara cepat dari sanksi moral masyarakat dan merupakan bentuk hukum membalas sebuah perbuatan yang salah] (Bacigal, 2002: 12).

Dalam kaitannya mengenai nilai-nilai kemafaatan sanksi pidana di atas, maka putusan peradilan harusnya mampu meyakinkan masyarakat (pelaku kejahatan dan yang belum melakukan) agar tidak melakukan kejahatan disebabkan sanksi tersebut. Dalam perkara ini, pengikut Al-Qiyadah Al-Islamiyah (di Padang) telah banyak yang bertobat (http://metrotvnews.com/main.php?metro=berita&id=48361, diunduh pada Rabu, 22 Juli 2009). Oleh karena itu jika ditinjau dari segi ikrar keagamaan Al-Qiyadah Al-Islamiyah adalah sebuah penistaan (tindak pidana), maka dengan banyaknya pihak yang bertobat, salah satu tujuan pemidanaan sebagaimana dikemukakan Bacigal telah terpenuhi, yaitu pelaku tidak mengulangi perbuatannya.

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 104 5/16/2012 4:37:52 PM

Page 23: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

JURNAL YUDISIAL | Kompleksitas Punitas | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | 105

Pemidanaan tersebut juga menyebabkan beberapa pengikut Islam waspada terhadap beberapa ajaran keislaman yang dianggap sempalan, akibatnya orang-orang mulai kembali mempelajari agamanya dengan baik. Hal itu memperlihatkan kemanfaatan yang dijelaskan Bacigal mengenai pentingnya pemidanaan. Oleh karena itu peneliti berpendapat bahwa pemidanaan dalam perkara-perkara penyimpangan keagamaan selain penting dalam menjaga stabilitas ketertiban dan keamanan dalam masyarakat, juga penting dalam menciptakan efek jera bagi pelaku, dan pertakut bagi orang-orang yang berkeinginan melakukan. Dalam hal penjatuhan putusan sepanjang berkaitan dengan pemidanaan, maka peneliti berpendapat hal itu telah tepat. Namun, apakah pemidanaan terhadap dua orang terdakwa sudah dapat dikatakan adil, maka perlu ditinjau kembali lebih dalam.

b. Nilai Keadilan

Peran moral dan etika yang dikemukakan Bacigal di atas memang penting, namun bagi John Rawls terhadap itu semua terdapat hal yang lebih penting lagi, yaitu mengenai keadilan. Bagi Rawls, meski teori moral diberlakukan sebagai teori umum (baca; basicnya) tetapi teori keadilan adalah lebih utama dalam memenuhi rasa keadilan kita sebagai manusia (Bur Rasuanto, 2005: 39).

Kemudian timbul pertanyaan, apa itu keadilan dan ketidakadilan itu? Jawaban atas pertanyaan ini banyak sekali diperdebatkan oleh kalangan hukum sebagaimana disitir oleh H.L.A Hart (Hart, 1997: 157). Menurut Hart, dari perdebatan tersebut dapat disimpulkan bahwa salah satu central element dalam membicarakan keadilan adalah adagium ”treat like cases alike and different cases differently”. Konsep memberlakukan setiap kasus sebagaimana mestinya tersebut dianggap Hart penting, karena pada kondisi tertentu manusia dapat dinyatakan memiliki kesamaan sebagai manusia yang harus diberlakukan sama. Terhadap situasi dan kondisi tertentu maka manusia yang satu dengan yang lainnya harus diperlakukan berbeda disebabkan faktor-faktor yang berbeda pula.

Hart mengemukakan alasan yang mendasari kenapa memperlakukan ”setiap kasus yang sama diperlakukan serupa dan memperlakukannya berbeda jika memang memiliki sebab-sebab yang berbeda pula” tersebut sebagai berikut:

”This is so because any set of human beings will resemble each other in some respects and differ from each other in others and, until it is established what resemblance and differences are relevant.”

Jika konsep elemen keadilan Hart itu ditarik kepada perkara ini, maka ada beberapa poin yang harus dipilah-pilah apakah hakim telah memenuhi elemen keadilan tersebut. Penggalian terhadap apakah ”nilai keadilan” telah dipenuhi dalam putusan hakim dapat dilihat melalui penerapan hukuman dua orang terdakwa yang berbeda terhadap kasus yang sama.

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 105 5/16/2012 4:37:52 PM

Page 24: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

106 | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | Kompleksitas Punitas | JURNAL YUDISIAL

Kasus yang sama dikarenakan kedua terdakwa dikenakan dakwaan telah menistakan agama tertentu. Dianggap berbeda dikarenakan peran terdakwa di dalam menistakan agama tertentu tersebut berbeda. Terdakwa I adalah ”guru” yang memiliki peran besar dalam menistakan agama dibandingkan Terdakwa II sebagai pengikut. Menurut Rawls dalam hal mencari keadilan dapat ditelusuri melalui dua prinsip, yaitu kesamaan (equality) dan ketidaksamaan/perbedaan (inequality). Tidak semua hal adalah adil dengan memberlakukan prinsip kesamaan. Begitu juga dalam penjatuhan pidana, di mana terhadap pelaku kejahatan dikenal dengan pemberlakuan asas proporsional. ”Otak” (baca-pemimpin/perencana) sebuah perbuatan pidana tidak dapat dijatuhi pidana yang kualitasnya sama dengan pelaksana tindakan pidana. Keadilan akan menemukan ruangnya apabila terhadap para pelaku dikenakan sanksi pidana yang berbeda. Pemimpin tindak pidana bagaimanapun harus dikenakan sanksi lebih besar daripada pelaku atau pengikut tindak pidana.

Dalam teori keadilan, adalah tidak adil jika ada hakim menjatuhkan hukuman yang sama terhadap ”otak” pelaku kejahatan dengan pengikut kejahatan. Logika keadilan kita menyatakan bahwa pemimpin pelaku haruslah dijatuhi hukuman yang lebih berat daripada pengikutnya. Pada perkara ini hukuman yang dijatuhkan kepada masing-masing terdakwa adalah 3 tahun penjara. Padahal peradilan tersebut membuktikan, sebagaimana dibaca dalam putusannya, telah diketahui bahwa Terdakwa II merupakan salah satu pengikut dari Terdakwa I (Putusan Perkara No. 64/Pid.B/2008/PN.PDG, halaman 33).

Oleh karena itu, pada bagian ini putusan terkesan terlalu dangkal jika hakim memaknai bahwa kedua terdakwa telah sama-sama menyebarkan perbuatan yang dengan terbuka menistakan agama tertentu. Penilaian putusan tersebut dalam mencari keadilan sangat positivistis semata, bahwa putusan tersebut hanya ”berhasrat” untuk mengulas pemenuhan unsur-unsur Pasal 156 huruf a jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Sebagaimana dikemukakan oleh Niklas Luhmann dalam ”Law As A Social System”, keadilan juga berkaitan dengan ketentuan normatif perundang-undangan.

Luhmann menyatakan bahwa: ”since it is the function of the legal system to stabilize normative expectations, it is also appropriate to treat justice as a relevant norm (Luhmann, 2004: 216),” namun bukan berarti substansi keadilan telah terpenuhi. Perlu galian yang lebih empiris. Ketentuan norma itu harus pula melihat poin-poin penting dalam setiap perkara pidana. Dalam perkara ini, pada putusan a quo tidak dikemukan logika hukum yang jelas dan tepat mengenai kenapa kedua terdakwa dijatuhkan hukuman yang sama. Oleh karena tidak terdapatnya alasan hukum yang dikemukan dalam putusan a quo, terlihat bahwa putusan ini masih belum memiliki ”semangat” nilai-nilai keadilan sesungguhnya. Sebagaimana yang menjadi prinsip pertama dan ketiga dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, yaitu berperilaku adil dan berperilaku arif dan bijaksana.

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 106 5/16/2012 4:37:52 PM

Page 25: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

JURNAL YUDISIAL | Kompleksitas Punitas | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | 107

SIMPULANIV.

Dalam negara demokrasi, kebebasan beragama merupakan hak asasi manusia yang wajib dihormati. Namun, dalam kasus sempalan/sekte Al-Qiyadah ini, hak asasi tersebut tidak boleh dipahami secara sempit. Artinya tidak semua yang menjadi hak asasi dapat berdiri dengan bebas tanpa memerhatikan hak asasi lingkungan sosialnya. Sekalipun putusan ini pada dasar telah sejalan dengan aturan hukum dan telah tepat dalam upaya menegakkan ketertiban sosial di masyarakat, kenyataannya putusan ini melupakan substansi paling utama yaitu keadilan terhadap subjek-subjek pelaku tindak pidana karena melupakan peran kedua terdakwa yang berbeda.

Selain itu, hakim sebagai profesi mulia tidak mendasarkan putusannya hanya pada nilai-nilai moral yang terdapat dalam kejiwaan personal hakim tersebut, tetapi juga pada pemikiran dan logika cemerlang dan bernas. Ini berarti, di dalam putusan semestinya terdapat kajian ilmu hukum apalagi perkara yang ditangani sangat besar sekali dan menasional.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU-BUKU

A. Garner, Bryan (Edt). 2004. Black’s Law Dictionary. Eighth Edition. Amerika: Thomson West Publishing.

A.J. Richards, David. 1989. Foundations of American Constitutionalism. New York: Oxford University Press.

Bacigal, Ronald J. 2002. Criminal Law and Procedure, An Introduction. Second Editon. Amerika: West Thomson Learning.

Beatson, Jack dan Yvonne Cripps (Edt). 2002. Freedom of Expression and Freedom of Information, Essays in Honour of Sir David Williams. New York: Oxford University Press.

Dworkin, Ronald. 1999. Talking Rights Seriously, Ltd. New Delhi: Universal Law Publishing Co. Pvt.

El Ghandur, Achmad. 2006. Perspektif Hukum Islam, Sebuah Pengantar. Alih Bahasa Ma’mun Muhammad Murai. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Fahima.

Geary, Roger. 2002. Understanding Criminal Law. London: Cavendish Publishing Limited.

Hart, H.L.A. 1997. The Concept of Law. New York: Oxford University Press.

Jindan, Khalid Ibrahim. 1999. Teori Politik Islam, Telaah Kritis Ibnu Taimiyah tentang Islam. Surabaya: Risalah Gusti.

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 107 5/16/2012 4:37:52 PM

Page 26: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

108 | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | Kompleksitas Punitas | JURNAL YUDISIAL

Kasim, Ifdhal (Edt). 2001. Hak Sipil dan Politik, Esai-esai Pilihan. Buku 1. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM).

Kusumaatmadja, Mochtar. 2006. Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan. Bandung: Penerbit Alumni.

Luhmann, Niklas. 2004. Law As A Social System. New York: Oxford University Press.

Mas’oed, Mochtar. 2003. Negara Kapital dan Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

May, Larry. 2006. Crimes Against Humanity, A Normative Account. Amerika: Cambridge University Press.

Molan, Mike, dan Duncan Bloy, serta Denis Lanser. 2003. Modern Criminal Law, London, Sydney, Portland, dan Oregon: Cavendish Publishing Limited.

Rasuanto, Bur. 2005. Keadilan Sosial, Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas, Dua Teori Filsafat Politik Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Robertson QC, Geoffrey. 2002. Kejahatan terhadap Kemanusiaan, Perjuangan untuk Mewujudkan Keadilan Global. Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.

Smith, Philip, dan Kristin Natalier. 2005. Understanding Criminal Justice, Sociological Perspective. London: Sage Publication.

Putusan:

Putusan Perkara No. 64/Pid.B/2008/PN.PDG.

Website:

http://metrotvnews.com/main.php?metro=berita&id=48361, diunduh pada Rabu, 22 Juli 2009.

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 108 5/16/2012 4:37:52 PM

Page 27: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

JURNAL YUDISIAL | Kompleksitas Punitas | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | 109

Peranan PuTusan PenGaDilan Dalam ProGram DeraDikalisasi Terorisme Di inDonesia

Endra WijayaFakultas Hukum Universitas Pancasila, Jalan Srengseng Sawah Jakarta Selatan, 12640

email: [email protected]

kajian Putusan nomor 2189/Pid.B/2007/Pn.jkt.sel

ABSTRACT Counter-terrorism often related to the represisive and physical treatment. But at present, it also has a “soft and cultural” approach, known as de deradicalization progam. Deradicalization consist of many programs, such as reeducation, motivation reorientation dan rehabilitation. Unfortunately, in fact, in de-radicalization program discourse, we rarely find the explanation about court decission aspect. Court Decision Number: 2189/Pid.B/2007/PN.Jkt.Sel ia an example decision of the case that the judge not only sent up the offender for punishing but also for reeducation him. This paper will explain the role of court decision in supporting deradicalization program.

Keyword : Counter-terrorism, deraicalization, the prosecution purpose

ABSTRAK Pemberantasan tindak pidana terorisme tidak hanya dalam pengertian tindakan yang represif dan perlakuan fisik. Dewasa ini, Pemberantasan tindak pidana terorisme memerlukan upaya lainnya yang kreatif yang lebih “humanis”, seperti melalui program deradikalisasi. Program ini sudah tentu memerlukan dukungan dari banyak pihak dengan melakukan pendidikan kembali, reorientasi terhadap motivasi, dan rahabilitasi, namun sangat disayangkan, dalam kenyataannya hanya menjadi wacana aja. Lain halnya dengan Putusan Pengadilan Nomor 2189/Pid.B/2007/PN/Jkt. Sel., sebagai salah satu putusan yang tidak hanya menghukum yang bersangkutan, tapi juga memberikan ruang redikalisasi. Tulisan ini akan menjelaskan peran putusan pengadilan untuk mendukung progam deradikalisasi.

Kata kunci : pemberantasan terorisme, deridikalisasi, tujuan penuntutan

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 109 5/16/2012 4:37:52 PM

Page 28: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

110 | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | Kompleksitas Punitas | JURNAL YUDISIAL

PENDAHULUANI.

Setelah terjadinya penyerangan terhadap gedung World Trade Center dan Pentagon di Amerika Serikat dengan menggunakan “pesawat sebagai misil”, pada tanggal 11 September 2001, isu terorisme kembali menjadi hangat. Propaganda perang melawan terorisme segera dihembuskan, dan akhirnya terorisme, hingga saat ini, telah menjadi pusat perhatian banyak pihak di seluruh dunia (Petras, 2009: 133).

Untuk para aparat penegak hukum, terorisme kemudian telah menjadi objek penanganan yang serius. Penanganan terhadap mereka yang dianggap atau telah terbukti menjadi pelaku tindak pidana terorisme biasanya lebih cenderung mengarah kepada penanganan yang represif. Apalagi di dalam pemberitaan di media-media massa, televisi atau surat kabar, yang lebih sering terangkat adalah berita penanganan tindak pidana terorisme yang dilakukan secara represif, seperti melalui penggeledahan (penggerebekan), pengepungan atau bahkan penembakan. Atau, kalaupun beritanya tentang proses hukum di pengadilan terhadap para terdakwa tindak pidana terorisme, maka yang lebih sering terungkap adalah tentang penjatuhan putusan pidana yang seberat-beratnya terhadap para terdakwa itu.

Pemikiran bahwa tindak pidana terorisme lebih sering terdengar ditangani secara represif seperti yang baru dijelaskan di atas, tentu merupakan hal yang wajar. Pemikiran seperti itu, jika dihubungkan dengan falsafah yang ada di dalam hukum pidana, juga ada tempatnya sendiri, yaitu pada falsafah pemidanaan yang bertujuan untuk membalas (teori retributif) atau membuat jera serta mencegah terulangnya suatu tindak pidana (teori relatif).

Namun demikian, pemikiran tersebut tidaklah lengkap. Perlu juga diketahui bahwa tindak pidana terorisme tidak melulu harus dihubungkan dengan penanganan yang represif. Ada kalanya, dengan beberapa alasan tertentu, justru tindak pidana terorisme ditangani secara lebih “humanis”. Salah satu bentuk dari upaya penanganan secara lebih “humanis” itu adalah apa yang dikenal dengan “program deradikalisasi terorisme” (untuk selanjutnya akan disebut program deradikalisasi).

Deradikalisasi dapat dipahami sebagai segala upaya untuk menetralisasi paham-paham radikal melalui pendekatan interdisipliner, seperti agama, psikologi, hukum serta sosiologi, yang ditujukan bagi mereka yang dipengaruhi paham radikal. Sebagai rangkaian program yang berkelanjutan, deradikalisasi ini meliputi banyak program yang terdiri dari reorientasi motivasi, reedukasi, resosialisasi, serta mengupayakan kesejahteraan sosial dan kesetaraan dengan masyarakat lain bagi mereka yang terlibat dengan tindak pidana terorisme (para terpidana tindak pidana terorisme) (Golose, 2009: 63).

Sayangnya penggunaan sarana hukum, sebagaimana terkandung juga dalam definisi program deradikalisasi di atas, lagi-lagi masih lebih menitikberatkan kepada sifatnya yang represif. Dalam

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 110 5/16/2012 4:37:52 PM

Page 29: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

JURNAL YUDISIAL | Kompleksitas Punitas | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | 111

contoh konkretnya, wajah hukum yang represif seperti itu diwujudkan melalui proses penegakan hukum yang sarat kekerasan, seperti aksi penangkapan yang sering diikuti dengan penembakan kepada para tersangka teroris.

Jika ada anggapan bahwa dengan bersikap represif lantas membuat penanganan tindak pidana terorisme menjadi lebih efektif, maka anggapan itu perlu dipikirkan kembali. Pada kasus penanganan terorisme di Indonesia, tindakan hukum yang represif justru berpotensi makin menguatnya paham radikal pada gerakan terorisme. Hal seperti itu setidaknya pernah diingatkan pula oleh Syaiful Anam alias Brekele, salah seorang terpidana kasus terorisme Poso, yang mengatakan bahwa dengan “digebuki” para “mujahid” justru akan menjadi kuat (Supriyanto. Et al., 2008: 30).

Apabila program deradikalisasi ingin ditempatkan sebagai suatu program penanganan tindak pidana terorisme yang lebih “humanis”, maka unsur hukum yang merupakan bagian dalam rangkaian program deradikalisasi tampaknya perlu pula coba diupayakan menjadi sarana yang tidak semata-mata represif. Hal itu berarti bahwa dalam program deradikalisasi unsur hukum juga harus dapat difungsikan sebagai suatu sarana yang dapat mengubah secara perlahan-lahan paham radikal yang ada di dalam diri terpidana tindak terorisme. Secara teoretis, fungsi hukum seperti itu sebenarnya telah lama dikenal, yaitu dengan menempatkan hukum sebagai sarana untuk mengubah pemahaman dan perilaku masyarakat (Soekanto, 2003: 122 dan 135).

Sebagai sarana untuk mengubah pemahaman dan perilaku masyarakat, maka hukum dipahami sebagai cara-cara untuk mempengaruhi masyarakat dengan sistem yang teratur dan direncanakan terlebih dahulu. Di sini berarti hukum itu diharapkan dapat memainkan pengaruhnya, baik langsung maupun tidak langsung, dalam mendorong terjadinya perubahan pemahaman dan perilaku dari individu-individu yang ada di dalam masyarakat (Soekanto, 2003: 122).

Wujud hukum yang dapat difungsikan sebagai sarana untuk mengubah pemahaman dan perilaku masyarakat tentu sangat beragam. Namun, khusus untuk konteks penanganan tindak pidana terorisme melalui program deradikalisasi, maka harus diakui bahwa di Indonesia belum ada instrumen hukum yang komprehensif yang bisa dijadikan sebagai dasar (payung hukum) dari program deradikalisasi (Golose, 2009: 86). Oleh karena itulah, maka sebagai salah satu wujud dari instrumen hukum, putusan pengadilan sebenarnya dapat dijadikan sebagai salah satu pengisi kebutuhan akan dasar hukum dari program deradikalisasi.

Bahkan posisinya bisa dikatakan cukup strategis, karena putusan pengadilan merupakan penentu apakah seseorang dapat menjadi terpidana tindak terorisme atau tidak. Sehingga dalam program deradikalisasi, putusan pengadilan itu kemudian dapat berfungsi sebagai “pintu masuk” bagi dijalankannya program deradikalisasi bagi mereka yang kemudian telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana terorisme.

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 111 5/16/2012 4:37:52 PM

Page 30: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

112 | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | Kompleksitas Punitas | JURNAL YUDISIAL

Dalam praktiknya, program deradikalisasi terhadap mereka yang terlibat tindak pidana terorisme “telah lebih dahulu dimulai” sejak proses persidangan di pengadilan. Ini berarti bahwa program deradikalisasi sangat membutuhkan kehadiran putusan pengadilan yang justru tidak memvonis mati para terdakwa tindak pidana terorisme. Putusan seperti itu, salah satu contoh konkretnya, dapat dilihat pada Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor: 2189/Pid.B/2007/PN.Jkt.Sel dengan terdakwa AD.

Apabila dilihat dari bagian isi pertimbangan hukumnya, Putusan Nomor: 2189/Pid.B/2007/PN.Jkt.Sel jelas membuka peluang bagi pelaksanaan program deradikalisasi lebih lanjut kepada si terpidana. Terdakwanya, yaitu AD, merupakan salah satu pimpinan penting dalam organisasi Al-Jama’ah Al-Islamiyah (JI). Dalam perkara ini, terdakwa telah didakwa melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Melalui Putusan Nomor: 2189/Pid.B/2007/PN.Jkt.Sel, terdakwa dijatuhi hukuman 15 (lima belas) tahun penjara oleh majelis hakim. Putusan ini lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) yang menginginkan terdakwa dijatuhi pidana penjara seumur hidup. Dalam pertimbangan hukumnya, majelis hakim menyatakan bahwa seluruh dakwaan JPU memang telah terbukti secara sah dan meyakinkan, tetapi karena pertimbangan terhadap faktor-faktor tertentu dan yang meringankan terdakwa, maka pada akhirnya majelis hakim hanya menjatuhkan hukuman 15 (lima belas) tahun penjara.

Putusan pengadilan yang memberikan peluang bagi dilaksanakannya program deradikalisasi semacam itu, ternyata sering dilupakan dalam pembahasan (diskusi) tentang deradikalisasi terhadap para terpidana tindak terorisme. Program deradikalisasi lebih sering dihubungkan dengan tindakan yang diambil oleh pihak kepolisian (pemerintah), para tokoh agama dan para akademisi yang saling bekerja sama untuk menanggulangi tindak pidana terorisme melalui program deradikalisasi tadi.

RUMUSAN MASALAHII.

Berdasarkan latar bekalang di atas, penulis mengajukan rumusan masalah sebagaimana berikut ini:

1. Bagaimana peran putusan pengadilan dalam program deradikalisasi terorisme di Indonesia?

2. Lantas, di manakah peran para hakim di pengadilan?

3. Melalui putusan yang dijatuhkannya, apakah para hakim juga berperan dalam program deradikalisasi itu?

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 112 5/16/2012 4:37:52 PM

Page 31: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

JURNAL YUDISIAL | Kompleksitas Punitas | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | 113

STUDI PUSTAKA DAN ANALISISIII.

A. Sekilas tentang Teori Tujuan Pemidanaan

Untuk dapat memahami secara lebih utuh hubungan antara hakim serta putusan pengadilan yang dibuatnya dengan masalah program deradikalisasi, ada baiknya terlebih dahulu diajukan pembahasan mengenai beberapa teori tujuan pemidanaan.

Diskursus mengenai tujuan pemidanaan telah sejak lama menjadi isu sentral dalam hukum pidana, karena pidana atau hukuman selalu berkenaan dengan tindakan-tindakan yang apabila tidak dilakukan oleh negara berlandaskan hukum maka justru akan menjadi tindakan yang bertentangan dengan moral. Oleh karena itulah teori pemidanaan berusaha mencari dasar pembenaran atas tindakan negara tersebut (rechtvaardiginggrond) (Moerad BM., 2005: 70).

Ada beberapa teori mengenai tujuan pemidanaan, yaitu (Kanter dan Sianturi, 2002: 59-63):

1. Teori retributif yang melegitimasi pemidanaan sebagai sarana pembalasan atas kejahatan yang telah dilakukan seseorang. Kejahatan dipandang sebagai sesuatu yang amoral dan asusila di dalam masyarakat, oleh karena itu pelaku kejahatan harus dibalas dengan menjatuhkan pidana. Tujuan pemidanaan dilepaskan dari tujuan apapun, sehingga tujuan pemidanaan hanyalah sebagai pembalasan. Dalam ajaran ini, pidana merupakan rea absoluta ab affectu futuro (suatu keniscayaan yang terlepas dari dampaknya di masa depan). Dilakukannya kejahatan maka membawa konsekuensi dijatuhkannya pemidanaan. Penjatuhan pidana bagi pelaku kejahatan dalam teori retributif ini memiliki alasan-alasan pembenar sebagai berikut (Atmasasmita, 1995: 83-84):

a. Dijatuhkannya pidana akan memuaskan perasan balas dendam bagi si korban, baik perasaan adil bagi dirinya, keluarga maupun kawan-kawan korban. Perasaan ini tidak dapat dijadikan alasan sebagai tidak menghargai hukum. Tipe aliran retributif ini disebut vindicative.

b. Penjatuhan pidana dimaksudkan sebagai peringatan bagi pelaku kejahatan dan anggota masyarakat yang lain bahwa setiap perbuatan yang merugikan orang lain atau mendatangkan keuntungan dari orang lain secara tidak wajar maka akan mendapat ganjarannya. Tipe aliran retributif ini disebut fairness.

c. Pemidanaan dimaksudkan untuk menunjukkan adanya kesebandingan antara beratnya suatu pelanggaran dan pidana yang dijatuhkan. Tipe aliran retributif ini disebut proportionality.

2. Teori relatif yang memandang bahwa pemidanaan memiliki tujuan yang lebih berarti dari sekedar pembalasan, yaitu perlindungan masyarakat dan pencegahan kejahatan, baik prevensi umum maupun prevensi khusus. Tujuan pemidanaan untuk prevensi umum diharapkan

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 113 5/16/2012 4:37:52 PM

Page 32: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

114 | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | Kompleksitas Punitas | JURNAL YUDISIAL

kepada masyarakat supaya tidak melakukan kejahatan. Prevensi khusus dimaksudkan bahwa dengan pemidanaan yang dijatuhkan akan memberikan detterence effect kepada si pelaku sehingga tidak mengulangi perbuatannya kembali (Mathiesen, 1995: 221). Sedangkan fungsi perlindungan kepada masyarakat memungkinkan bahwa dengan pidana pencabutan kebebasan selama beberapa waktu maka masyarakat akan terhindar dari kejahatan yang mungkin dilakukan si pelaku. Nigel Walker menamakan aliran ini sebagai aliran reduktif (reductivism) karena dasar pembenaran dijatuhkannya pidana dalam aliran ini adalah untuk mengurangi frekuensi kejahatan (Mulyadi, 2006: 9).

3. Teori gabungan yang berusaha meretas jalan dan menemukan benang merah antara kedua teori di atas. Teori gabungan mengakui bahwa pembalasan merupakan dasar dijatuhkannya pemidanaan, namun seharusnya juga perlu diperhatikan bahwa pemidanaan ini dapat bermanfaat untuk tujuan lain, misalnya untuk menciptakan keamanan, ketertiban dan kesejahteraan masyarakat.

Dalam praktik di pengadilan, setiap hakim tentu mempunyai pilihan masing-masing terhadap teori mengenai tujuan pemidanaan yang akan dijadikannya sebagai acuan dalam merumuskan isi putusan. Dan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi diri hakim dalam memilih teori tujuan pemidanaan serta merumuskan isi putusannya itu, di antaranya, adalah: faktor agama dan pendidikan informal (raw in-put), pekerjaan dan pendidikan formal (instrumental in-put), serta faktor lingkungan, sosial dan budaya (environment in-put) (Moerad BM., 2005: 116).

Faktor-faktor tersebut di atas sebenarnya merupakan unsur-unsur yang mengisi pengalaman pribadi hakim, yang pada suatu saat akan ikut menentukan sikapnya dalam pelaksanaan tugas-tugas sebagai hakim, termasuk ketika dia akan menjatuhkan suatu putusan (Sudirman, 2007: 37).

B. Analisis terhadap Putusan Pengadilan dan Program Deradikalisasi

Program deradikalisasi jelas berkaitan erat dengan apa yang disebut sebagai “sistem peradilan pidana”. Menurut Mardjono Reksodiputro, sistem peradilan pidana adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan pemasyarakatan terpidana (Susanto, 2004: 74).

Tujuan sistem peradilan pidana tersebut adalah untuk: pertama, mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan; kedua, menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana; serta yang ketiga, mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya (Susanto, 2004: 75). Dalam konteks penanggulangan tindak pidana terorisme, maka sistem peradilan pidana itu dapat diartikan sebagai upaya untuk mengendalikan (mencegah, menyelesaikan, dan membina terpidana) tindak terorisme dengan mengikutsertakan lembaga-lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan pemasyarakatan terpidana.

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 114 5/16/2012 4:37:52 PM

Page 33: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

JURNAL YUDISIAL | Kompleksitas Punitas | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | 115

Dalam program deradikalisasi, maka yang hendak dicapai adalah keseimbangan antara penerapan teori pemidanaan pembalasan (teori retributif) dan kemanfaatan (teori relatif) bagi upaya untuk menciptakan rasa aman, tertib dan sejahtera di masyarakat. Oleh karena itu, apabila dilihat dari perspektif teori-teori mengenai tujuan pemidanaan, maka program deradikalisasi dapatlah dikatakan cenderung mengarah kepada teori gabungan yang berusaha “meramu” antara teori retributif dan teori relatif.

Jika diamati lebih lanjut, program deradikalisasi sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari peran para hakim di pengadilan dalam menjatuhkan putusan terhadap terdakwa tindak pidana terorisme maupun falsafah pemidanaan yang dianut oleh masing-masing hakim tadi. Apabila dihubungkan dengan proses penjatuhan pidana bagi para terdakwa tindak pidana terorisme, maka para hakim akan dihadapkan pada 2 (dua) pilihan berikut:

Pertama, apabila hakim akhirnya menjatuhkan putusan berupa pidana mati bagi terdakwa tindak pidana terorisme, tentu putusan yang semacam ini justru cenderung tidak mendukung program deradikalisasi. Bahayanya, putusan pidana mati seperti yang telah dijatuhkan terhadap “trio bomber Bali” (Ali Ghufran, Imam Samudra, dan Amrozi) akan membuat para terpidana seakan-akan berhasil “memperoleh gelar martir”. Kalau begitu yang terjadi, program deradikalisasi menjadi terhambat, simpati kepada para terpidana bisa semakin bertambah (Purwanto, 2008: 196-197) dan “siklus dendam (vendetta cycle)” akan semakin menjadi-jadi.

Vendetta cycle, secara ringkas, dapat digambarkan sebagai sebuah siklus hubungan antara unsur-unsur: proses pemidanaan-hukuman mati-kisah sukses (syuhada)-teroris (Golose, 2009: 57). Hal itu, dalam kalimat yang lain, sejalan dengan penjelasan dari Yusuf Qardhawi yang menganggap bahwa “pembersihan fisik” hanya merupakan upaya yang “...justru membuat nyalanya [radikalisme] semakin berkobar-kobar ...mencukur sayap radikalisme itu dalam waktu sesaat, tetapi bulu-bulu sayap yang tercukur itu akan cepat tumbuh kembali” (Qardhawi, 2009: 141).

Kedua, apabila hakim menjatuhkan putusan pidana yang selain pidana mati, pidana semacam ini tentu dapat membuka pintu bagi dijalankannya program deradikalisasi. Program deradikalisasi, mau tidak mau, memang akan berhadapan pada kenyataan bahwa terpidana tindak pidana terorisme tidak dieksekusi mati. Program deradikalisasi justru membutuhkan terpidananya tetap hidup sehingga bisa menjalankan program deradikalisasi.

Salah satu contoh putusan yang dapat dikatakan sebagai putusan yang mendukung program deradikalisasi ini dapat dilihat pada Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor: 2189/Pid.B/2007/PN.Jkt.Sel dengan terdakwa AD. Selain itu, putusan yang dijatuhkan terhadap terdakwa LP dan II dalam kasus “permufakatan melakukan tindak pidana terorisme” dengan melakukan pembunuhan terhadap beberapa orang siswi SMA Kristen Poso, yaitu Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 2374/Pid.B/2006/PN.JKT.PST, juga dapat dianggap sebagai putusan yang mendukung program deradikalisasi.

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 115 5/16/2012 4:37:52 PM

Page 34: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

116 | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | Kompleksitas Punitas | JURNAL YUDISIAL

Bahkan yang menarik, pada Putusan Nomor: 2189/Pid.B/2007/PN.Jkt.Sel dengan terdakwa AD, hakim secara tidak langsung sudah menempatkan putusannya sebagai “pintu masuk” (pendukung) program deradikalisasi, yaitu dengan menyatakan dalam bagian pertimbangan hukum bahwa:

“Menimbang bahwa pidana yang dijatuhkan menurut pendapat majelis selain didasarkan atas asas mendidik, asas manfaat juga kesetimpalan atas kesalahan tersebut...

...hal ini sudah barang tentu dikaitkan dengan tujuan pemidanaan bukan semata-mata untuk balas dendam atau menjadikan terdakwa sebuah nestapa melainkan untuk memperbaiki atas kekeliruan terdakwa.

Menimbang bahwa terdakwa yang mempunyai potensi pendidikan dalam bidang agama sudah barang tentu masih ada dan dapat memberikan sumbangsih pengabdian kepada bangsa/negara serta agama, oleh karena itu majelis berkeyakinan bahwa terdakwa telah menyadari kekeliruan tersebut serta [dapat] memberikan ajakan kepada rekan-rekan terdakwa baik yang sudah ada di dalam lembaga pemasyarakatan ataupun yang masih ada di luar lembaga untuk sama-sama kembali kepada masyarakat dengan niat yang tulus setelah menjalani masa pidana” .

Dari beberapa “kalimat kunci” yang tercantum dalam bagian pertimbangan hukum Putusan Nomor: 2189/Pid.B/2007/PN.Jkt.Sel tersebut (bagian yang ditulis dengan huruf miring) dapat dilihat bahwa telah terdapat “kesepahaman” antara majelis hakim yang mengadili perkara Nomor: 2189/Pid.B/2007/PN.Jkt.Sel dengan program deradikalisasi. Program deradikalisasi yang di dalamnya meliputi banyak program, seperti reorientasi motivasi dan reedukasi, telah diberikan “ruang” di dalam Putusan Nomor: 2189/Pid.B/2007/PN.Jkt.Sel.

Dengan reorientasi motivasi, berarti terpidana tindak terorisme masih diberikan kesempatan untuk memperbaiki dan mengarahkan kembali motivasinya menuju ke hal-hal yang lebih positif. Sedangkan dengan reedukasi, berarti terpidana juga akan diberikan kesempatan kembali untuk mengenyam pendidikan, baik pendidikan agama maupun pengetahuan lain, sehingga akan membuka cakrawala berpikirnya. Hal-hal inilah yang menjadi nilai penting sekaligus positif yang dikandung di dalam Putusan Nomor: 2189/Pid.B/2007/PN.Jkt.Sel berkaitan dengan program deradikalisasi di Indonesia.

Tetapi tidak hanya program deradikalisasi saja yang diperhatikan oleh majelis hakim pada saat mengadili perkara Nomor: 2189/Pid.B/2007/PN.Jkt.Sel. Majelis hakim ternyata tetap memperhatikan juga pemenuhan rasa keadilan dari sisi masyarakat, yaitu dengan menjatuhkan pidana penjara selama 15 (lima belas) tahun kepada terdakwa AD. Dengan demikian, majelis hakim dalam perkara ini sesungguhnya telah mengupayakan terciptanya keseimbangan dalam

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 116 5/16/2012 4:37:52 PM

Page 35: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

JURNAL YUDISIAL | Kompleksitas Punitas | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | 117

penerapan teori pemidanaan pembalasan (teori retributif) dan kemanfaatan (teori relatif) melalui putusan yang diambilnya.

Sampai di sini telah dapat dilihat bahwa putusan yang memberikan peluang kepada program deradikalisasi, seperti halnya Putusan Nomor: 2189/Pid.B/2007/PN.Jkt.Sel, apabila diperhatikan dari sudut teori tujuan pemidanaan maka dia akan mengarah kepada upaya “meramu” antara teori retributif dan teori relatif. Selain itu, tentunya Putusan Nomor: 2189/Pid.B/2007/PN.Jkt.Sel juga akan lebih menarik lagi apabila diperhatikan dan dihubungkan dengan teori-teori yang menjelaskan mengenai faktor-faktor yang dipertimbangkan hakim dalam menjatuhkan putusan perkara pidana.

Menurut MacKenzie, terdapat beberapa teori yang membahas mengenai faktor-faktor yang dipertimbangkan hakim dalam menjatuhkan putusan untuk perkara pidana, yaitu (Ahmad Rifai, 2010: 105): teori keseimbangan, teori intuisi serta seni, teori pendekatan keilmuan, teori pendekatan pengalaman, dan teori ratio decidendi.

Teori intuisi serta seni, teori pendekatan keilmuan, dan teori pendekatan pengalaman dapat dikatakan sebagai teori yang menganggap putusan hakim dijatuhkan hanya karena berdasarkan faktor yang sifatnya parsial. Masing-masing teori menjelaskan bahwa dalam menjatuhkan putusannya hakim cenderung hanya mempertimbangkan faktor insting (“bisikan hati”), faktor keilmuan (wawasan) yang dimilikinya, dan faktor pengalamannya (Rifai, 2010: 106-110).

Berbeda dengan ketiga teori tersebut, teori keseimbangan dan teori ratio decidendi tampaknya merupakan 2 (dua) teori yang sama-sama mensyaratkan hakim untuk mempertimbangkan lebih banyak faktor sebelum dia menjatuhkan putusannya. Jadi, teori keseimbangan dan teori ratio decidendi ini mengharuskan pertimbangan yang lebih lengkap dalam sebuah putusan dibandingkan dengan teori intuisi serta seni, teori pendekatan keilmuan, dan teori pendekatan pengalaman. Namun demikian, perbedaan antara teori keseimbangan dan teori ratio decidendi tetap ada. Teori keseimbangan belum menyentuh faktor filosofis dan faktor motivasi hakim, sedangkan teori ratio decidendi sudah menyentuh kedua hal itu.

Teori keseimbangan pada intinya menjelaskan bahwa pada saat akan menjatuhkan putusannya hakim harus mempertimbangkan keseimbangan antara pemenuhan syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang berkaitan dengan perkara, seperti kepentingan masyarakat, kepentingan terdakwa, serta kepentingan korban (Rifai, 2010: 105).

Sedangkan teori ratio decidendi menjelaskan bahwa ketika akan menjatuhkan putusannya hakim harus mempertimbangkan landasan filsafat yang mendasar, yang berhubungan dengan dasar peraturan perundang-undangan yang relevan dengan pokok perkara, dan motivasi pada diri hakim yang jelas untuk menegakkan hukum serta memberikan keadilan bagi para pihak yang terkait dengan pokok perkara. Selain itu, teori ratio decidendi juga mengharuskan hakim

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 117 5/16/2012 4:37:52 PM

Page 36: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

118 | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | Kompleksitas Punitas | JURNAL YUDISIAL

untuk memperhatikan faktor-faktor pendidikan (edukasi), kemanusiaan, kemanfaatan, penegakan hukum, dan kepastian hukum dalam setiap putusan yang dijatuhkannya (Rifai, 2010: 110).

Apabila penjelasan tersebut di atas dibawa ke dalam konteks pembahasan hubungan antara program deradikalisasi dan putusan pengadilan perkara pidana, maka jelas hanya teori ratio decidendi yang dapat dijadikan acuannya. Penanganan tindak pidana terorisme melalui program deradikalisasi tidak mungkin hanya bisa bersandar kepada kepastian hukum semata, kepentingan korban semata, atau kepentingan masyarakat umum semata. Semuanya itu jelas harus dipertimbangkan, tetapi juga dengan tambahan harus ikut mempertimbangkan kepentingan terpidana tindak terorisme untuk mendapatkan pendidikan untuk memperbaiki kembali pemahamannya (reedukasi dan reorientasi motivasi). Untuk memenuhi hal itu semua, maka teori ratio decidendi merupakan pedoman pendekatan yang tepat yang dapat digunakan bagi hakim saat dia sedang mengadili perkara tindak pidana terorisme.

Rangkaian pertimbangan dari majelis hakim dalam menjatuhkan Putusan Nomor: 2189/Pid.B/2007/PN.Jkt.Sel dapat dikatakan telah menerapkan apa yang dikehendaki oleh teori ratio decidendi yang telah dijelaskan di atas. Majelis hakim dalam perkara ini telah mempertimbangkan banyak faktor.

Faktor filsafat tujuan pemidanaan telah diperhatikan oleh majelis hakim dengan mengupayakan terjadinya keseimbangan antara tujuan pemidanaan pembalasan (teori retributif) dan kemanfaatan (teori relatif). Hal itu dirumuskan oleh majelis hakim dalam kalimat:

“Menimbang bahwa pidana yang dijatuhkan menurut pendapat majelis selain didasarkan atas asas mendidik, asas manfaat juga kesetimpalan atas kesalahan tersebut...

...hal ini sudah barang tentu dikaitkan dengan tujuan pemidanaan bukan semata-mata untuk balas dendam atau menjadikan terdakwa sebuah nestapa melainkan untuk memperbaiki atas kekeliruan terdakwa”

Faktor peraturan perundang-undangan yang relevan dengan pokok perkara (kepastian hukum) telah diperhatikan oleh majelis hakim dengan mengambil dasar hukum penjatuhan putusannya pada Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Begitu pun dengan faktor kemanfaatan bagi masyarakat telah dipertimbangkan oleh majelis hakim dengan tetap menjatuhkan pidana penjara selama 15 (lima belas) tahun kepada terdakwa. Hal yang demikian tentu dapat memberikan rasa aman di dalam masyarakat karena yang bersangkutan tidak lagi mempunyai kesempatan untuk melakukan tindak pidana terorisme.

Berkaitan dengan program deradikalisasi, Putusan Nomor: 2189/Pid.B/2007/PN.Jkt.Sel jelas tidak memvonis mati terpidananya. Oleh karena itu, maka terpidana masih memiliki kesempatan untuk dapat menjalani program deradikalisasi, khususnya yang berbentuk reorientasi motivasi

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 118 5/16/2012 4:37:52 PM

Page 37: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

JURNAL YUDISIAL | Kompleksitas Punitas | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | 119

dan reedukasi. Selain bermanfaat bagi si terpidana, Putusan Nomor: 2189/Pid.B/2007/PN.Jkt.Sel juga dapat meminimalisasi berjalannya “siklus dendam (vendetta cycle)” karena salah satu rantai siklusnya, yaitu hukuman mati yang potensial memicu kelahiran teroris baru, ditiadakan.

Dilihat dari perspektif pedoman perilaku hakim, sebagaimana yang dimuat dalam Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor: KMA/104A/SK/XII/2006 tentang Pedoman Perilaku Hakim, maka perilaku majelis hakim dalam perkara Nomor: 2189/Pid.B/2007/PN.Jkt.Sel dapat dikatakan telah sejalan dengan butir-butir pedoman perilaku tersebut. Mengenai hal itu, salah satu contohnya, dapat dilihat dari upaya majelis hakim dalam menerapkan pedoman untuk “berperilaku adil” saat merumuskan isi Putusan Nomor: 2189/Pid.B/2007/PN.Jkt.Sel.

Majelis hakim yang mengadili perkara tindak pidana terorisme tentu harus memiliki perspektif keadilan bagi diri terdakwa, apabila dia ingin menjadikan putusannya nanti sebagai “pintu masuk” bagi pelaksanaan program deradikalisasi. Karena dengan memiliki perspektif keadilan bagi diri terdakwa itulah majelis hakim dapat memberikan alasan bagi tidak dijatuhinya hukuman mati bagi terdakwa tindak pidana terorisme, sehingga hal itu juga akan memberikan kesempatan bagi dia untuk menjalani sisa hidupnya selama dipidana dengan menempuh program reorientasi motivasi dan reedukasi.

Namun perspektif keadilan bagi diri terdakwa tersebut jelas harus diimbangi dengan pemenuhan rasa keadilan bagi diri korban serta kepentingan masyarakat umum. Untuk itu majelis hakim juga telah menjatuhkan pidana penjara selama 15 (lima belas) tahun kepada terdakwa. Pertimbangan majelis hakim terhadap berbagai macam faktor inilah yang telah nampak pada proses penjatuhan putusan bagi terdakwa dalam perkara Nomor: 2189/Pid.B/2007/PN.Jkt.Sel.

Terakhir, yang tidak kalah pentingnya adalah, bahwa upaya yang telah ditempuh oleh pengadilan dengan menghasilkan putusan yang mendukung program deradikalisasi harus pula diikuti dengan program pemasyarakatan yang dapat bersinergi dengan program deradikalisasi. Kembali perlu diingat bahwa keberhasilan program pembinaan narapidana oleh lembaga pemasyarakatan, tidak terkecuali narapidana tindak terorisme, juga akan sangat dipengaruhi oleh putusan hakim yang ada sebelumnya. Jadi, antara lembaga pemasyarakatan dan pengadilan ialah bagaikan beberapa mata rantai yang tidak bisa saling dipisahkan (Loqman, 2001: 74-75).

Penjelasan tersebut di atas tentunya merupakan konsekuensi apabila penanganan tindak pidana terorisme akan diwujudkan sebagai bagian dari sebuah sistem peradilan pidana, yang di dalamnya memuat rangkaian upaya untuk mengendalikan (mencegah, menyelesaikan, dan membina terpidana) tindak terorisme dengan mengikutsertakan lembaga-lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan pemasyarakatan terpidana.

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 119 5/16/2012 4:37:52 PM

Page 38: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

120 | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | Kompleksitas Punitas | JURNAL YUDISIAL

SIMPULANIV.

Dari sisi hukum, untuk masalah pemberantasan tindak pidana terorisme, harus diakui bahwa Indonesia telah memiliki peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukumnya, yaitu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang.

Perlu diingat, bahwa pemberantasan tindak pidana terorisme bukan melulu dalam pengertian tindakan yang represif saja. Pemberantasan tindak pidana terorisme juga memerlukan upaya lainnya yang kreatif, yang justru bersifat lebih “humanis”, seperti melalui program deradikalisasi. Dan program deradikalisasi ini sudah tentu memerlukan dukungan dari banyak pihak, termasuk dari pihak pengadilan melalui putusan-putusan yang dibuat oleh para hakimnya.

Para hakim melalui putusan yang dibuatnya juga memiliki peran yang penting pada program deradikalisasi. Dalam ikut mendukung program deradikalisasi, maka putusan hakim itu sebenarnya merupakan salah satu perwujudan konkret dari upaya untuk mencapai titik keseimbangan bagi penerapan beberapa teori tujuan pemidanaan yang ada. Lebih dari itu, putusan hakim yang memberikan peluang untuk dapat dijalankannya program deradikalisasi merupakan wujud dari penerapan teori ratio decidendi. Dengan penerapan teori ratio decidendi, maka dapat dihasilkan sebuah putusan yang di dalamnya mengandung pertimbangan yang lebih lengkap, mulai dari pertimbangan faktor filosofis, motivasi hakim, pendidikan, kemanusiaan, kemanfaatan, penegakan hukum, sampai ke faktor kepastian hukum.

Hingga sekarang program deradikalisasi ini belum memiliki dasar hukumnya sendiri yang komprehensif. Hal itulah yang perlu segera dibentuk oleh pihak pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Selain untuk lebih memberikan jaminan hukum (kepastian hukum), dasar hukum seperti itu juga akan menjadikan pelaksanaan program deradikalisasi lebih sinergis atau terpadu di antara lembaga-lembaga terkait.

DAFTAR PUSTAKA

Atmasasmita, Romli. 1995. Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi. Bandung: Mandar Maju.

BM., Pontang Moerad. 2005. Pembentukan Hukum melalui Putusan Pengadilan dalam Perkara Pidana. Bandung: PT. Alumni.

Golose, Petrus Reinhard. 2009. Deradikalisasi Terorisme: Humanis, Soul Approach dan Menyentuh Akar Rumput. Jakarta: Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian.

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 120 5/16/2012 4:37:53 PM

Page 39: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

JURNAL YUDISIAL | Kompleksitas Punitas | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | 121

Indonesia. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang.

---------. Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor: KMA/104A/SK/XII/2006 tentang Pedoman Perilaku Hakim.

---------. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 2374/Pid.B/2006/PN.JKT.PST.

---------. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor: 2189/Pid.B/2007/PN.Jkt.Sel.

Kanter, EY., dan SR. Sianturi. 2002. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Jakarta: Storia Grafika.

Loqman, Loebby. 2001. Pidana dan Pemidanaan. Jakarta: Datacom.

Mathiesen, T. 1995. “General Prevention as Communication”. Dalam RA. Duff and David Garland. A Reader on Punishment. New York: Oxford University Press, Inc.

Mulyadi, Mahmud. 2006. Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemidanaan dalam Penegakan Hukum Pidana di Indonesia. USU Repository.

Petras, James. 2009. Zionisme dan Keruntuhan Amerika. Jakarta: Zahra.

Purwanto, Wawan H. 2008. Kontroversi Seputar Hukuman Mati Amrozi Cs. Jakarta: CMB Press.

Qardhawi, Yusuf. 2009. Islam Radikal: Analisis terhadap Radikalisme dalam Berislam dan Upaya Pemecahannya. Solo: Era Adicitra Intermedia.

Rifai, Ahmad. 2010. Penemuan Hukum oleh Hakim: Dalam Perspektif Hukum Progresif. Jakarta: Sinar Grafika.

Soekanto, Soerjono. 2003. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Sudirman, Antonius. 2007. Hati Nurani Hakim dan Putusannya: Suatu Pendekatan dari Perspektif Ilmu Hukum Perilaku (Behavioral Jurisprudence) Kasus Hakim Bismar Siregar. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Supriyanto, Agus et al. 2008. “Sel Terbuka Jaringan Tertutup”. Tempo. No. 3738, Ed. 10-16 November.

Susanto, Anthon F. 2004. Wajah Peradilan Kita: Konstruksi Sosial tentang Penyimpangan, Mekanisme Kontrol dan Akuntabilitas Peradilan Pidana. Bandung: Refika Aditama.

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 121 5/16/2012 4:37:53 PM

Page 40: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

122 | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | Kompleksitas Punitas | JURNAL YUDISIAL

PeneraPan Dasar PenGHaPus PiDana Perkara koruPsi

Saryono Hanadi dan M.I. Wiwik Yuni HastutiFakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Jalan Prof. HR Bunyamin 993 Purwokerto, 53122

email : [email protected]

kajian Putusan nomor 199/PiD.B/2008/Pn.PWT

ABSTRACT The judge released the accussed from all the charges in the virdict analysed in this article. If correlated to an analysis of the application of basic criminal abolishment, the judge’s verdict was correct. However, the judge was less throught in applying doctrines of crimimal act and qualifying the accused’s act as a violation of Administrative Law and has entered the realm of civil law, because it is not supported by adequate reasons

Keywords: criminal abolishment factor, the doctrines of nature against the law, civil law

ABSTRAK Dalam kasus hakim melepaskan dari terdakwa dari semua tuduhan menjadi analisa dalam tulisan ini. Apabila terdapat korelasi dalam penerapan penghapusan dasar penerapan pidana maka analisa terhadap putusan hakim telat tepat. Akan tetapi, dalam putusan ini (Nomor 199/PID.B/2008/PN.PWT) hakim telah kurang cermat dalam menerapkan dalam doktrin hukum pidana, khususnya berkaitan dengan penerapan ajaran sifat melawan hukum, dan memberikan pertimbangan hukum yang cukup, khususnya dalam mengkualifikasikan perbuatan terdakwa. Perbuatan tersebut sebagai pelanggaran di lapangan hukum administrasi negara dan sudah masuk pada ranah hukum perdata, karena adanya penghapus pidana berupa alasan pemaaf dan alasan pembenar.

Kata kunci : faktor penerapan penghapusan pidana, ajaran sifat melawan hukum, hukum perdata

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 122 5/16/2012 4:37:53 PM

Page 41: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

JURNAL YUDISIAL | Kompleksitas Punitas | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | 123

PENDAHULUANI.

Di dalam UUD 1945 telah tercantum dengan jelas tentang kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan dengan diakuinya prinsip keadilan yang bebas dan tidak memihak. Penjabaran mengenai kekuasaan kehakiman dalam bentuk hukum positif, ditemukan dalam UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, khususnya Pasal 1 yang menegaskan bahwa, “Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”.

Berkaitan dengan itu, Hans Kelsen sendiri menjadikan satu dari empat syarat untuk adanya “Negara Hukum”, yaitu syarat lembaga peradilan yang bebas dan mandiri. Kebebasan dan kemandirian hakim mengandung makna bahwa putusan hakim tidak boleh atas dasar tekanan opini publik atau tekanan pernyataan-pernyataan yang menurut istilah Achmad Ali sebagai “pernyataan monopoli kebenaran”, yang ingin memaksakan kepentingannya agar hakim memutus sesuai kepentingan kelompok mereka. Di negara-negara hukum yang demokratis, bentuk tekanan apapun dan dari pihak manapun termasuk pakar, LSM, pers, pemerintah, legislatif, dan sebagainya, terhadap pengadilan dalam memutuskan perkara, dapat digolongkan sebagai contempt of court, yang secara ringkas dapat dimaknakan sebagai pelecehan terhadap kebebasan hakim dan kemerdekaan lembaga pengadilan.

Namun demikian, hakim sebagai salah satu aktor utama dalam penegakan hukum, sangat menarik untuk dijadikan objek kajian dalam kaitannya dengan putusan yang dijatuhkannya; sebab, sudah menjadi harapan setiap orang di manapun berada, putusan yang dijatuhkan oleh seorang hakim sangat ditunggu-tunggu oleh pencari keadilan. Seyogianya putusan hakim dapat memenuhi kehendak hati nurani rakyat, dalam arti bahwa putusan dijatuhkan dengan memenuhi rasa keadilan rakyat. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk membahas mengenai penerapan dasar penghapus pidana yang dijatuhkan oleh hakim dalam putusan hakim No. 199/Pid.B/2008/PN Pwt.

Dalam kasus ini, terdakwa, WPR, adalah Kepala Desa Pangebatan Kecamatan Karanglewas Kabupaten Banyumas, yang diangkat berdasarkan Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Banyumas Nomor: 141/349/1999 tanggal 19 April 1999. WPR secara melawan hukum didakwa telah melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, yang dilakukan terdakwa dengan cara-cara antara lain sebagai berikut:

a. Bermula ketika terdakwa sebagai Kepala Desa Pengebatan Kecamatan Karanglewas Kabupaten Banyumas dalam menjalankan roda Pemerintahan Desa Pangebatan sesuai dengan Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas, Nomor: 10 Tahun 2000 tentang sumber pendapatan desa, dalam Pasal 3 ayat (1) Kepala Desa mempunyai tugas pokok fungsi untuk melakukan pengurusan dan pengelolaan sumber pendapatan desa, dan hasilnya menjadi pendapatan

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 123 5/16/2012 4:37:53 PM

Page 42: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

124 | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | Kompleksitas Punitas | JURNAL YUDISIAL

desa. Dalam ayat (2) ditegaskan, pendapatan desa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikelola melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa yang digunakan sepenuhnya untuk penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan di desa.

b. Bahwa Desa Pangebatan Kecamatan Karanglewas Kabupaten Banyumas pada tahun 2004 telah menerima uang pendapatan desa berupa:

i. Dalam pengadaan tanah untuk keperluan perluasan jalan kereta api jalur Cirebon – Kroya (Double Track) Departemen Perhubungan Provinsi Jawa Tengah, Desa Pangebatan Kecamatan Karanglewas Kabupaten Banyumas telah melepas tanah kas desa seluas lebih kurang 2.643 m² dan mendapatkan uang ganti rugi yang seluruhnya diterima terdakwa pada bulan Oktober 2004 melalui BKK Kecamatan Karanglewas lebih kurang Rp.187.530.500,- dan pada bulan November 2004 dari panitia pengadaan tanah melalui S lebih kurang Rp. 48.821.500,- sehingga jumlah keseluruhan diterima terdakwa lebih kurang Rp. 236.352.000,-

ii. Sehubungan dengan pelepasan tanah kas Desa Pangebatan untuk keperluan perluasan jalan kereta api jalur Cirebon – Kroya (Double Track) kepada Departemen Perhubungan Provinsi Jawa Tengah, serta sesuai dengan Peraturan Desa Pangebatan Kecamatan Karanglewas Kabupaten Banyumas Nomor: 04 Tahun 2004 tentang macam-macam pungutan dan sumber dana pembangunan Desa Pangebatan pada bulan November 2004, Desa Pangebatan telah menerima uang pembangunan atau plogoro dari panitia pengadaan tanah melalui S yang seluruhnya diterima terdakwa berjumlah Rp.18.178.500,-

c. Pendapatan Desa Pangebatan yang berasal dari pelepasan tanah kas Desa Pangebatan Rp. 236.352.000,- dan pendapatan dana pembangunan desa/plogoro Rp.18.178.500,- berjumlah Rp. 254.530.500,- tersebut berdasarkan Pasal 3 ayat (1) dan (2) Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas, Nomor :10 Tahun 2000, seharusnya semua uang pendapatan Desa Pangebatan diserahkan seluruhnya kepada pemegang kas Desa Pangebatan, kemudian dikelola oleh kepala desa melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDES) Pangebatan Tahun 2004/2005 yang kemudian digunakan seluruhnya untuk penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan di Desa Pangebatan.

Ternyata terdakwa dalam menjalankan tugas sebagai Kepala Desa Pangebatan telah mengelola uang pendapatan desa tidak sesuai dengan ketentuan, sebab pada saat terdakwa menerima uang pendapatan desa sebesar lebih kurang Rp. 254.530.500,- terdakwa tidak menyerahkan kepada pemegang kas Desa Pangebatan dan tidak mengelolanya melalui APBDES Pangebatan Tahun 2004/2005, melainkan digunakan untuk kepentingan pribadi dan keluarganya.

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 124 5/16/2012 4:37:53 PM

Page 43: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

JURNAL YUDISIAL | Kompleksitas Punitas | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | 125

Sedangkan untuk kepentingan penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan di Desa Pangebatan hanya sebesar Rp. 216.792.250,-. Sisanya sebesar lebih kurang Rp. 37.738.250,- digunakan untuk kepentingan pribadi yakni untuk kebutuhan hidup sehari-hari terdakwa dan keluarganya, serta untuk kegiatan sosial seperti kondangan, dan sebagainya.

Perbuatan yang dilakukan terdakwa WPR, sebagaimana telah diuraikan tersebut di atas, telah menimbulkan kerugian keuangan negara c.q. Pemerintahan Desa Pangebatan Kecamatan Karanglewas Kabupaten Banyumas lebih kurang sebesar Rp. 37.738.250,- (Tiga puluh tujuh juta tujuh ratus tiga puluh delapan ribu dua ratus lima puluh rupiah) atau setidak-tidaknya berkisar sejumlah itu.

Perbuatan terdakwa sebagaimana tersebut di atas, kemudian diancam dengan dakwaan berlapis oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), yaitu dakwaan primair (Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) dan dakwaan subsidair (Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah dirubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).

Dalam tuntutannya, JPU menuntut terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah dirubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, menjatuhkan pidana terhadap terdakwa WPR oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dengan perintah agar terdakwa ditahan, terdakwa tidak dituntut membayar uang pengganti karena terdakwa sudah mengembalikan kerugian keuangan negara seluruhnya sejumlah Rp. 37.238.250,- (tiga puluh tujuh juta dua ratus tiga puluh delapan ribu dua ratus lima puluh rupiah).

Dalam putusan Nomor: 199/Pid.B/2008/PN.Pwt, majelis hakim menjatuhkan amar pada pokoknya sebagai berikut:

1. Membebaskan terdakwa dari Dakwaan Primair tersebut;

2. Menyatakan terdakwa WPR terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan perbuatan sebagaimana dalam Dakwaan Subsidair, akan tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana;

3. Melepaskan oleh karena itu terdakwa dari segala tuntutan hukum (Onslag van alle rechtsvervolging);

4. Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya.

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 125 5/16/2012 4:37:53 PM

Page 44: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

126 | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | Kompleksitas Punitas | JURNAL YUDISIAL

RUMUSAN MASALAHII.

Berdasarkan latar belakang tersebut, diajukan rumusan masalah bagaimana mengenai penerapan dasar penghapus pidana dalam putusan Nomor: 199/Pid.B/2008/PN Pwt?

STUDI PUSTAKA DAN ANALISISIII.

1. Studi Pustaka

Dalam rangka mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera perlu secara terus menerus ditingkatkan usaha pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pada umumnya serta tindak pidana korupsi pada khususnya. Pada saat ini korupsi tidak hanya dianggap masalah suatu negara, tetapi sudah merupakan masalah transnasional, di samping merupakan “core crime” yang berkaitan dengan tindak pidana-tindak pidana lain.

Undang-undang yang mengatur tentang pemberantasan tindak pidana korupsi diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah dirubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Sebelum penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 dinyatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat lagi oleh Mahkamah Konstitusi dengan putusan No. 003/PUU-IV/2006, ajaran sifat melawan hukum yang sebelumnya dianut oleh UU No. 31 Tahun 1999 adalah sifat melawan hukum formil dan sifat melawan hukum materiil. Pertimbangan pembentuk undang-undang mencantumkan perbuatan melawan hukum meliputi perbuatan melawan hukum materiil dan formil antara lain yaitu:

a. Mengingat korupsi terjadi secara sistematis dan meluas, tidak hanya merugikan keuangan dan perekonomian negara, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga digolongkan sebagai extraordinary crime. Oleh karena itu, pemberantasannya harus dilakukan dengan cara yang luar biasa.

b. Dampak tindak pidana korupsi selama ini, selain merugikan keuangan dan perekonomian negara, juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi.

c. Dalam upaya merespon perkembangan kebutuhan hukum di dalam masyarakat, agar dapat lebih memudahkan upaya pembuktian, sehingga dapat menjangkau berbagai modus operandi penyimpangan keuangan atau perekonomian negara yang semakin canggih dan rumit (Wicipto Setiadi, 2006: 4).

Namun kemudian, dengan dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 003/PUU-IV/2006, maka UU No. 31 Tahun 1999 hanya menganut ajaran sifat melawan hukum formil saja. Perlu diperhatikan di sini, bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi ini tidak bersifat surut.

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 126 5/16/2012 4:37:53 PM

Page 45: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

JURNAL YUDISIAL | Kompleksitas Punitas | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | 127

Sifat melawan hukum pada dasarnya adalah suatu perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perundang -undangan yang berlaku, bertentangan dengan rasa kepatutan masyarakat, bertentangan dengan kewenangan yang melekat pada si pelaku, bertentangan dengan kewajiban yang seharusnya dilakukan oleh pelaku.

Ajaran sifat melawan hukum yang formal mengandung maksud bahwa apabila suatu perbuatan tersebut telah memenuhi semua unsur yang termuat dalam tindak pidana dan perbuatan tersebut merupakan tindak pidana, apabila terdapat alasan-alasan pembenar di mana alasan -alasan tersebut harus juga disebutkan secara tegas dalam undang-undang. Sedangkan, ajaran sifat melawan hukum materiil artinya bahwa di samping memenuhi syarat-syarat formal, yaitu memenuhi semua unsur yang tercantum dalam rumusan delik, perbuatan itu harus dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut atau tercela.

Menurut Fockema Andreae kata korupsi berasal dari bahasa Latin corruption atau corruptus. Dari bahasa Latin itu turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris, yaitu corruption, corrupt; Perancis, yaitu corruption; dan Belanda yaitu corruptie (korruptie). Dari bahasa Belanda kata tersebut turun ke bahasa Indonesia, yaitu “korupsi”. Arti harafiah dari kata tersebut adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah seperti dapat dibaca dalam The Lexicon Webster Dictionary (Hamzah, 2005: 4).

Di antara kegiatan-kegiatan dalam sistem peradilan pidana, kegiatan pemeriksaan di pengadilan (tahap ajudikasi) merupakan kegiatan yang dominan, dimana hakim akan memeriksa dan menentukan putusan secara objektif berdasarkan bahan-bahan pemeriksaan di muka sidang pengadilan serta berdasarkan keyakinannya. Dalam hal ini maka hakim sangat berperan dalam menjatuhkan pemidanaan. Peran dan tugas hakim bukan hanya sebagai pembaca deretan huruf dalam undang-undang yang dibuat oleh badan legislatif. Tetapi dalam putusannya memikul tanggung jawab menjadi suara akal sehat dan mengartikulasikan sukma keadilan dalam kompleksitas dan dinamika kehidupan masyarakat. Hakim progresif akan mempergunakan hukum yang terbaik dalam keadaan yang paling buruk (Rahardjo, 2006: 56).

Peran hakim yang dominan ini mendapat sorotan dari Nagel yang menyebut hakim mempunyai kedudukan sentral dan menentukan dalam sistem peradilan pidana karena pembentuk undang-undang telah memberikan wewenang yang sangat besar kepada hakim pidana untuk menetapkan bentuk dan beratnya sanksi pidana yang akan dijatuhkan dalam batas maksimum ancaman pidana bagi setiap kejahatan dan batas minimum umum yang tersedia. Pembatas atas wewenang hakim pidana adalah hukum yang mengaturnya dan kegunaan penjatuhan sanksi pidana itu sendiri (Atmasasmita, 1996: 103).

Dalam ilmu hukum pidana dikenal alasan pembenar dan alasan pemaaf sebagai alasan penghapus pidana. Alasan pembenar berarti alasan yang menghilangkan sifat melawan hukum

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 127 5/16/2012 4:37:53 PM

Page 46: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

128 | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | Kompleksitas Punitas | JURNAL YUDISIAL

suatu tindak pidana, misalkan tindakan ‘pencabutan nyawa’ yang dilakukan eksekutor penembak mati. Sedangkan alasan pemaaf adalah alasan yang menghilangkan kesalahan dari suatu tindak pidana lantaran pelakunya tak waras atau gila. Jika alasan penghapus pidana ini terbukti, maka hakim akan mengeluarkan putusan yang melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging), bukan putusan bebas/vrijspraak.

Kitab undang-undang hukum pidana tidak menjelaskan pengertian alasan penghapus dan juga tidak membedakan antara alasan pembenar dan alasan pemaaf. KUHP hanya menyatakan beberapa pasal sebagai hal-hal yang menghapuskan pidana, yaitu Pasal 44 KUHP tentang tidak mampu bertanggung jawab, Pasal 48 KUHP tentang daya paksa atau overmacht, Pasal 49 ayat (1) KUHP tentang pembelaan terpaksa atau noodweer, Pasal 49 ayat (2) KUHP tentang pembelaan terpaksa yang melampaui batas atau noodweer exces, Pasal 50 KUHP tentang melaksanakan ketentuan undang-undang, Pasal 51 ayat (1) KUHP tentang menjalankan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, Pasal 51 ayat (2) KUHP tentang menjalankan perintah jabatan yang tidak sah.

Alasan penghapus pidana di luar KUHP yang diakui dalam hukum pidana positif muncul melalui doktrin dan yurisprudensi yang menjadi sangat penting dalam pengembangan hukum pidana, karena dapat mengisi kekosongan hukum yang ada dan disebabkan oleh perkembangan masyarakat. Perkembangan dalam hukum pidana sangat penting bagi hakim untuk menghasilkan putusan yang baik dan adil. Sedangkan yurisprudensi melalui metode penafsiran dan penggalian hukum tidak tertulis rechvinding sangat berharga bagi ilmu hukum yang pada akhirnya akan menjadi masukan untuk pembentukan hukum pidana yang akan datang (ius constituendum).

Alasan penghapus pidana dapat dibedakan menjadi dua, yaitu alasan penghapus pidana yang diatur dalam KUHP yang juga diakui dalam doktrin maupun yurisprudensi dan alasan penghapus pidana di luar KUHP berkembang dan diakui dalam doktrin dan yurisprudensi. Berdasarkan pembagian tersebut, maka jenis-jenis alasan penghapus pidana sebagai alasan pembenar dan alasan pemaaf dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Alasan pembenar

1). Alasan pembenar dalam KUHP

a). Keadaan darurat

Pada dasarnya hal ini tidak dinyatakan secara tegas diatur dalam Pasal 48 KUHP. Melalui doktrin dan yurisprudensi berkembang pandangan bahwa keadaan darurat merupakan bagian dari daya paksa yang relatif (vis compulsiva), namun bukan merupakan daya paksa psikis. Dalam keadaan darurat pelaku dihadapkan pada tiga pilihan yang saling berbenturan, yaitu: perbenturan antara kepentingan hukum dengan kepentingan hukum: seseorang yang dalam keadaan tertentu

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 128 5/16/2012 4:37:53 PM

Page 47: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

JURNAL YUDISIAL | Kompleksitas Punitas | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | 129

dihadapkan pada dua pilihan yang masing-masing dilindungi oleh hukum dan apabila yang satu ditegakkan, maka yang lain akan dilanggar atau dikorbankan. Perbenturan antara kepentingan hukum dengan kewajiban hukum: seseorang dihadapkan pada keadaan untuk memilih untuk menegakkan kepentingan hukum atau melaksanakan kewajiban hukum. Perbenturan antara kewajiban hukum dengan kewajiban hukum: seseorang dihadapkan pada dua pilihan yang masing-masing merupakan kewajiban hukum dan apabila yang satu ditegakkan maka yang lain akan dilanggar atau dikorbankan. Keadaan darurat merupakan alasan pembenar, karena lebih banyak berkaitan dengan perbuatannya daripada unsur subjektif pelakunya. Dalam keadaan darurat asas subsidiaritas (upaya terakhir) dan proporsionalitas (seimbang dan sebanding dengan serangan) harus dipenuhi.

b). Pembelaan terpaksa (Pasal 49 KUHP)

Berkaitan dengan prinsip pembelaan diri, dalam pembelaan terpaksa ada perbuatan yang melanggar kepentingan hukum orang lain, namun perbuatan tersebut dibenarkan oleh hukum karena memenuhi syarat-syarat yang ditentukan undang–undang, yakni: perbuatan tersebut dilakukan karena ada serangan atau ancaman serangan yang bersifat seketika serangan atau ancaman serangan tersebut bersifat melawan hukum serangan tersebut ditujukan terhadap diri sendiri atau orang lain, kehormatan kesusilaan, dan harta benda baik milik sendiri maupun orang lain pembelaan tersebut harus dilakukan dengan memperhatikan asas subsidiaritas dan proporsionalitas harus dipenuhi.

c). Melaksanakan ketentuan undang-undang (Pasal 50 KUHP)

Undang–undang dalam arti materiil, yaitu setiap peraturan yang dibentuk oleh pembentuk undang–undang yang berlaku dan mengikat umum. Orang yang melakukan perbuatan yang melanggar hukum dalam rangka melaksanakan undang-undang dapat dibenarkan. Asas subsidiaritas dan asas proporsionalitas harus dipenuhi.

d). Menjalankan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang (Pasal 51 ayat (1) KUHP). Hal dapat digunakan, bila ada hubungan subordinasi antara orang yang memberi perintah dan yang menerima perintah, serta berada dalam lingkungan pekerjaan yang sama.

2). Alasan pembenar di luar KUHP

a). Hak mendidik orang tua

Dalam mendidik anak dan murid mungkin saja orang tua, wali, atau guru

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 129 5/16/2012 4:37:53 PM

Page 48: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

130 | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | Kompleksitas Punitas | JURNAL YUDISIAL

melakukan suatu perbuatan yang melawan hukum, namun apabila perbuatan tersebut dilakukan dalam keadaan tertentu dan dilaksanakan secara mendidik dan terbatas, maka perbuatan tersebut dapat dibenarkan.

b). Hak jabatan dokter (gigi)

Dalam pelaksanaan tugasnya seorang dokter akan melakukan suatu perbuatan yang dalam keadaan lain merupakan tindak pidana, perbuatan tersebut dibenarkan apabila dilakukan untuk mengobati penyakit dan bukan untuk menganiaya.

c). Izin dari orang yang dirugikan

Suatu perbuatan yang melanggar ketentuan hukum tertentu hilang sifat melawan hukumnya bila ada izin dari orang yang dirugikan.

d). Mewakili urusan orang lain

Suatu perbuatan yang melawan hukum dapat dibenarkan bila dilakukan untuk mewakili urusan orang lain dalam rangka melindungi kepentingan hukum yang lebih besar.

e). Tidak adanya niat melawan hukum materiil

Alasan pembenar ini mengalami perkembangan yang pesat dalam ilmu hukum pidana baik melalui doktrin maupun yurisprudensi. Dalam doktrin alasan pembenar ini sejalan dengan ajaran sifat melawan hukum materiil, yang kemudian banyak digunakan oleh para hakim dalam memutuskan suatu perkara. Ajaran sifat melawan hukum yang berfungsi sebagai alasan pembenar adalah ajaran sifat melawan hukum negatif. Suatu perbuatan yang secara formal memenuhi rumusan tindak pidana dapat hilang sifat melawan hukumnya bila perbuatan tersebut secara materiil tidak melawan hukum.

b. Alasan Pemaaf

Digunakan bila tindak pidana yang didakwakan telah terbukti dan tidak ada alasan pembenar. Alasan pemaaf terdiri dari:

1). Alasan pemaaf dalam KUHP

a). Tidak mampu bertanggung jawab, diatur dalam Pasal 44 KUHP yang menentukan bahwa tidak dapat dipidana seseorang yang melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurnanya akal/jiwanya atau terganggu karena sakit. Seperti diketahu, M.v.T menyebutkan sebagai hak tak dapat dipertanggungjawabkan karena sebab yang terletak di

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 130 5/16/2012 4:37:53 PM

Page 49: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

JURNAL YUDISIAL | Kompleksitas Punitas | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | 131

dalam si pembuat sendiri. Yakni, mereka yang cacat jiwanya, baik disebabkan oleh gangguan psikis maupun gangguan fisik. Walaupun hakim tidak menjatuhkan pidana karena jiwanya cacat, hakim dapat menetapkan terdakwa dirawat di rumah sakit.

b). Daya paksa (Pasal 48 KUHP), daya paksa ini merupakan daya paksa psikis yang berasal dari luar dari si pelaku dan daya paksa tersebut lebih kuat dari padanya. Penafsiran dapat dilakukan dengan melihat penjelasan yang diberikan oleh pemerintah ketika KUHP (belanda) dibuat. Dalam M.v.T dilukiskan sebagai “setiap kekuatan, setiap paksaan atau tekanan yang tak dapat ditahan”, hal yang disebut terakhir ini “yang tidak dapat ditahan” memberi sifat kepada tekanan atau paksaan itu. Asas subsidiaritas dan proporsionalitas harus diperhatikan dan dipenuhi.

c). Pembelaan terpaksa yang melampaui batas.

Syarat yang harus dipenuhi adalah pelaku harus berada dalam situasi pembelaan terpaksa dan pembelaan yang melampaui batas tersebut dilakukan karena adanya goncangan jiwa yang hebat yang disebabkan oleh serangan atau ancaman serangan yang melawan hukum. Harus ada hubungan kausal antara serangan atau ancaman serangan dengan kegoncangan jiwa.

d). Menjalankan perintah jabatan yang tidak sah, perintah berasal dari penguasa yang tidak berwenang, namun pelaku menganggap bahwa perintah tersebut berasal dari penguasa yang berwenang. Pelaku dapat dimaafkan jika pelaku melaksanakan perintah tersebut dengan itikad baik, mengira bahwa perintah tersebut sah dan masih berada dalam lingkungan pekerjaannya.

2). Alasan pemaaf di luar KUHP

a). Alasan penghapus pidana putatif, terjadi bila seseorang mengira telah melakukan suatu perbuatan yang termasuk daya paksa atau pembelaan terpaksa atau menjalankan undang–undang dan lain-lain, kenyataannya tidak ada alasan penghapus pidana tersebut. Orang tersebut tidak dapat dijatuhi pidana bila perbuatan tersebut dapat diterima secara wajar. Dalam hal ini pelaku berlindung di bawah tidak ada kesalahan sama sekali.

b). Tidak ada kesalahan sama sekali, berasal dari pidana tanpa kesalahan, dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah AVAS (afwejigheid van alle schuld). Pelaku tidak dapat dipidana karena perbuatan tersebut tidak dapat dicelakan pada pelaku. Termasuk dalam pengertian ini adalah sesat yang dapat dimaafkan.

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 131 5/16/2012 4:37:53 PM

Page 50: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

132 | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | Kompleksitas Punitas | JURNAL YUDISIAL

Alasan–alasan penghapus pidana tersebut mempunyai peranan yang sangat penting dalam penegakan hukum dan keadilan. Tanpa adanya alasan penghapus pidana seseorang yang melakukan perbuatan yang memenuhi rumusan suatu tindak pidana dapat dijatuhi pidana walaupun tidak ada maksud untuk melanggar ketentuan hukum tersebut, atau telah dilakukan sikap hati–hati atau tidak ada kesalahan pada orang tersebut. Baik alasan penghapus pidana yang tertulis maupun tidak tertulis dapat mencegah adanya putusan hakim yang tidak adil.

Selain itu juga perlu diperhatikan asas tempos delictie dalam hukum pidana yang menekankan bahwa peraturan perundang-undangan yang berlaku pada tindak pidana pelaku adalah peraturan perundang-undangan yang sudah berlaku saat tindak pidana tersebut terjadi.

2. Analisis Hasil Penelitian

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa sifat ajaran melawan hukum yang dianut dalam UU No. 31 Tahun 1999 adalah ajaran sifat melawan hukum formil, sebagaimana telah diputuskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 003/PUU-IV/2006. Apabila hal ini dihubungkan dengan Putusan Nomor: 199/Pid.B/2008/PN.Pwt, maka pada dasarnya putusan ini menganut ajaran sifat melawan hukum formil sebagaimana telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi. Hal ini tampak dalam pertimbangan hakim berkaitan unsur melawan hukum dalam dakwaan primair sebagai berikut:

“Bahwa sifat melawan hukum dalam tindak pidana korupsi harus diartikan sebagai sifat melawan hukum formil karena Mahkamah Konstitusi telah mencabut sifat melawan hukum materiil dalam Undang-undang Korupsi ini sejak adanya Putusan dari Mahkamah Konstitusi pada bulan Juli 2006”

Namun demikian apabila dicermati waktu tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa dalam kasus posisi, maka tampak bahwa tindak pidana dilakukan dalam kurun waktu tahun 2004. Dengan demikian dapat diketahui, bahwa tempos delicti atau waktu dilakukannya tindak pidana korupsi terjadi pada tahun 2004. Oleh karena itu, ketentuan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 003/PUU-IV/2006, tidak dapat diterapkan dalam perkara a quo. Hal ini disebabkan terdapat asas retroaktif sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP yang menekankan bahwa ketentuan pidana tidak berlaku surut (strafrecht heeftgeen terugwerkende kracht).

Berdasarkan hasil penelitian, hakim berpandangan bahwa dakwaan primair tidak terbukti pada diri terdakwa, karena pada diri terdakwa tidak terdapat penambahan kekayaan, kemudian unsur-unsur dakwaan subsidair terbukti. Hakim kemudian mempertimbangkan lebih lanjut berkaitan dengan alasan pembenar dan alasan pemaaf sebagai penghapus pidana. Berkaitan dengan alasan pembenar dan alasan pemaaf, dalam perkara No. 199/Pid.B/2008/PN.Pwt., hakim memberikan pertimbangan sebagai berikut:

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 132 5/16/2012 4:37:53 PM

Page 51: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

JURNAL YUDISIAL | Kompleksitas Punitas | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | 133

“Menimbang, bahwa yang menjadi persoalan dalam perkara ini sebetulnya hanyalah dua masalah yaitu Rp. 34.000.000,- dan Rp. 3.238.250,-;”

“Menimbang, bahwa uang Rp. 3.238.250,- menurut Jaksa Penuntut Umum, apapun alasannya, hal tersebut merupakan penyimpangan. Sedang menurut terdakwa dan penasihat hukum terdakwa, dimaksudkan sebagai cadangan pembangunan gubug pasar, sama sekali terdakwa tidak bermaksud ingin memilikinya, karena terungkap di muka persidangan ini bahwa keberadaan uang sebesar Rp. 3.238.250,- yang hingga proses penyidikan masih di tangan terdakwa, karena memang kemauan dari warga masyarakat sendiri yang menghendaki agar sisa uang sebagai cadangan pembangunan gubug pasar tersebut untuk sementara tetap dipegang terdakwa, yang penting ketika lahan pembangunan pasar telah siap, masyarakat tahunya gubug pasarnya berdiri, dengan catatan apabila terdapat kekurangan dana maka terdakwa yang diminta untuk merombak, sebaliknya jika ada lebih diserahkan kepada terdakwa.

Bagi majelis hakim, ini sebuah tantangan pilihan antara melanggar yuridis formal, aturan nasional, dihadapkan dengan kearifan lokal;

Menimbang, bahwa juga uang yang sebesar Rp. 34.000.000,- menurut Jaksa Penuntut Umum, terdakwa telah mengorupsi uang kas desa, sedang sepengetahuan terdakwa merupakan uang tali asih dari masyarakat sehingga menjadi hak terdakwa bersama kawan-kawan di Tim 7;

Menimbang, bahwa fakta di persidangan adalah semenjak awal disosialisasikannya proyek ini terdakwa selalu melibatkan unsur Pemerintah Desa dalam hal ini BPD, LKMD, RW dan masyarakat utamanya warga dan tokoh masyarakat yang tanahnya langsung terkena proyek tersebut. Demikian juga dalam proses pemberian uang sebagai ganti harga tanah, terdakwa tidak merekayasa, karena negosiasi dilakukan oleh Tim 7 dengan pihak PT. Kereta Api, bukan oleh terdakwa selaku Kepala Desa. Di samping itu terdakwa selaku Kepala Desa secara ex officio berkedudukan sebagai anggota panitia tingkat Kabupaten yang diketuai oleh Sekretaris Daerah. Sehingga muncul sebuah fakta, bahwa yang tersedia pada rekening bank (In casu, BKK Karanglewas) atas nama terdakwa dan yang harus diambil oleh terdakwa memang hanya ada uang sebesar Rp. 187.538.500,-

Menimbang, bahwa di samping terdakwa mempergunakan Rp. 34.000.000,- juga dipergunakan:

1. Untuk pengaspalan jalan RW. 6 Rp. 7.000.000,-

2. Untuk Insentif Panitia 7 Rp. 7.500.000,-

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 133 5/16/2012 4:37:53 PM

Page 52: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

134 | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | Kompleksitas Punitas | JURNAL YUDISIAL

3. Untuk Sekretaris Desa Pangebatan Rp. 10.000.000,-

4. Untuk Muspika Kecamatan Karanglewas Rp. 5.000.000,-

5. Biaya-biaya rapat dan administrasi Rp. 3.000.000,-

Menimbang, bahwa dari uang yang diterima sejumlah Rp. 187.530.500,- peruntukan penggantian tanah adalah:

1. Untuk membeli tanah sawah, untuk mengganti tanah-tanah desa yang terkena proyek rel ganda seluas 3.850 m² seharga Rp. 90.090.000,-

2. Untuk ganti rugi tanah-tanah jalan Rt. 02 Rw. 7 sebesar Rp. 4.237.500,-

3. Untuk ganti tanah-tanah jalan Rt. 04 Rw. 7 sebesar Rp. 10.017.500,-

Menimbang, bahwa oleh karena terdakwa WPR dan semua anggota Muspika Kecamatan Karanglewas, BPD 13 orang, Sekretaris Desa Pangebatan dan Perangkat desanya sebanyak 15 orang, Panitia 7 telah menerima dana-dana dalam hukum (recht handeling) seperti tersebut dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum akan tetapi terbukti telah dirumuskan dalam Keputusan Desa Pangebatan Nomor: 141/07/2004 tanggal 10 Oktober 2004 tentang pelepasan tanah kas desa kepada Departemen Perhubungan Republik Indonesia/Perumka, serta merupakan hasil musyawarah antara Tim 7 dengan Panitia Pengadaan Tanah Proyek Rel Ganda bersama warga yang akan terkena proyek, sehingga cukup beralasan majelis hakim berkesimpulan bahwa perbuatan hukum (Rechts handeling) seperti tersebut dalam dakwaan Jaksa Penuntut umum di atas merupakan penerimaan yang sah;

Menimbang, bahwa berdasarkan fakta hukum terbukti terdakwa WPR telah mengembalikan dana pencairan seperti tersebut dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum, sehingga terdakwa dinyatakan harus menerima pengembalian dana tersebut dari negara;

Menimbang, bahwa berdasarkan alasan dan pertimbangan di atas, maka perbuatan terdakwa bukanlah merupakan pelanggaran hukum pidana akan tetapi merupakan pelanggaran di lapangan hukum administrasi negara dan sudah masuk pada ranah hukum perdata, dengan demikian ada alasan penghapus pidana (baik berupa Alasan Pembenar atau Pemaaf) bagi terdakwa dalam proses penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan di desa. Dengan demikian majelis berkesimpulan bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdawa bukan merupakan tindak pidana sesuai Pasal 191 ayat (2) KUHAP, oleh karena itu terdakwa WPR, harus diputus: ”Lepas dari tuntutan hukum (Onslag vanalle rechtsvervolging)”.

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 134 5/16/2012 4:37:53 PM

Page 53: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

JURNAL YUDISIAL | Kompleksitas Punitas | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | 135

Berdasarkan pertimbangan hakim tersebut, dapat diketahui, bahwa alasan pembenar yang digunakan oleh hakim dalam perkara mendasarkan pada:

a). Uang sebesar Rp. 3.238.250,- memang kemauan dari warga masyarakat sendiri yang menghendaki agar sisa uang sebagai cadangan pembangunan gubug pasar tersebut untuk sementara tetap dipegang terdakwa, yang penting ketika lahan pembangunan pasar telah siap. Dengan kata lain, masyarakat tahunya gubug pasarnya berdiri, dengan catatan apabila terdapat kekurangan dana maka terdakwa yang diminta untuk merombak, sebaliknya jika ada lebih diserahkan kepada terdakwa.

b). Semenjak awal disosialisasikannya proyek ini, terdakwa selalu melibatkan unsur Pemerintah Desa dalam hal ini BPD, LKMD, RW dan masyarakat utamanya warga dan tokoh masyarakat yang tanahnya langsung terkena proyek tersebut. Demikian juga dalam proses pemberian uang sebagai ganti harga tanah, terdakwa tidak merekayasa, karena negosiasi dilakukan oleh Tim 7 dengan pihak PT. Kereta Api, bukan oleh terdakwa selaku Kepala Desa. Di samping itu terdakwa selaku Kepala Desa secara ex officio berkedudukan sebagai anggota panitia tingkat Kabupaten yang diketuai oleh Sekretaris Daerah. Sehingga muncul sebuah fakta, bahwa yang tersedia pada rekening bank (In casu, BKK Karanglewas) atas nama terdakwa dan yang harus diambil oleh terdakwa memang hanya ada uang sebesar Rp. 187.538.500,-.

Apabila pertimbangan hakim tersebut dihubungkan dengan alasan pembenar menurut doktrin, maka alasan pembenar sebagaimana tersebut di atas, menurut penulis termasuk dalam izin dari orang yang dirugikan, di mana suatu perbuatan yang melanggar ketentuan hukum tertentu hilang sifat melawan hukumnya bila ada izin dari orang yang dirugikan. Dalam perkara a quo, terdakwa WPR, tetap memegang dana sisa pemberian ganti rugi dengan seizin dan sepengetahuan dari unsur Pemerintah Desa dalam hal ini BPD, LKMD, RW dan masyarakat utamanya warga dan tokoh masyarakat yang tanahnya langsung terkena proyek tersebut. Demikian juga dalam proses pemberian uang sebagai ganti harga tanah, terdakwa WPR, tidak merekayasa, karena negosiasi dilakukan oleh Tim 7 dengan pihak PT. Kereta Api, bukan oleh terdakwa WPR, selaku Kepala Desa.

Selain itu, alasan pembenar yang dijatuhkan oleh hakim dalam perkara a quo ini dapat dikualifikasikan sebagai alasan pembenar di mana tidak terdapat niat melawan hukum materiil dan sebagai alasan pemaaf sekaligus, karena tidak ada kesalahan sama sekali, di mana pelaku tidak dapat dipidana karena perbuatan tersebut tidak dapat dicelakan pada pelaku. Termasuk dalam pengertian ini adalah sesat yang dapat dimaafkan, sebagaimana terungkap dalam keterangan terdakwa dan fakta-fakta dalam persidangan sebagai berikut:

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 135 5/16/2012 4:37:53 PM

Page 54: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

136 | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | Kompleksitas Punitas | JURNAL YUDISIAL

Keterangan terdakwa:

“Bahwa oleh karena terdakwa beranggapan bahwa uang tersebut adalah uang pemberian masyarakat yang terkena proyek rel ganda untuk pribadi maka penggunaannya tidak dimusyawarahkan dan dipertanggungjawabkan dengan BPD Desa Pangebatan.”

Fakta dalam persidangan point 11:

“Bahwa uang sisanya dari Rp. 236.532.000,- sebesar Rp. 67.000.000,- diserahkan oleh saksi S kepada terdakwa dengan saksi HB yang ikut mengantarkannya;

Pada waktu menyerahkan uang sambil mengucapkan kepada terdakwa “ini buat embah” sedang ia sendiri telah memegang satu amplop lagi seraya menyatakan “yang ini buat saya”

Terdakwa berkeyakinan, uang tersebut menjadi haknya”

Oleh karena itu, adanya alasan pembenar ini dapat menghapus pidana.

Namun demikian, paragraf terakhir pertimbangan hukum sebagaimana dikutip penulis sebelumnya, menyatakan bahwa: “Menimbang, bahwa berdasarkan alasan dan pertimbangan di atas, maka perbuatan terdakwa WPR, bukanlah merupakan pelanggaran hukum pidana akan tetapi merupakan pelanggaran di lapangan hukum administrasi negara dan sudah masuk pada ranah hukum perdata,...” menunjukkan bahwa tidak ada hubungan dengan pertimbangan hukum hakim dalam paragraf sebelumnya.

Dalam paragraf sebelumnya hakim memberikan pertimbangan terkait dengan alasan pembenar dan memberikan penegasan kembali, bahwa uang tersebut harus dikembalikan kepada Desa Pangebatan. Namun dalam paragraf berikutnya hakim seolah-olah memberikan suatu kesimpulan bahwa berdasar pertimbangan dalam paragraf-paragraf sebelumnya, maka perbuatan terdakwa WPR, bukanlah pelanggaran hukum pidana akan tetapi merupakan pelanggaran di lapangan hukum administrasi negara dan sudah masuk pada ranah hukum perdata. Adanya penghapus pidana berupa alasan pemaaf dan alasan pembenar tidak berarti perkara tersebut bukanlah perkara pidana atau kewenangan pengadilan negeri dalam memeriksa perkara pidana.

Pasal 50 ayat (1) Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman merumuskan bahwa: “Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili”. Alasan-alasan atau argumentasi-argumentasi tersebut dimaksudkan sebagai pertanggungjawaban hakim atas putusan yang dijatuhkan kepada masyarakat, para pihak, pengadilan yang lebih tinggi dan ilmu hukum, sehingga mempunyai nilai obyektif.

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 136 5/16/2012 4:37:53 PM

Page 55: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

JURNAL YUDISIAL | Kompleksitas Punitas | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | 137

Dengan alasan-alasan itulah suatu putusan akan mempunyai wibawa. Dalam yurisprudensi juga dapat dijumpai, bahwa putusan yang tidak lengkap atau kurang cukup dipertimbangkan (onvoldoende gemotiveerd) merupakan alasan untuk kasasi dan harus dibatalkan. Hal ini dapat dijumpai dalam Putusan MA 22 Juli 1970 No. 638 K/Sip/1969, J.I. Pen III/70, hlm. 101, MA 16 Desember 1970 No. 492 K/Sip/1970, J.I. Pen 1/71 .

Pertimbangan hukum hakim terkait, bahwa perkara yang diajukan tidak termasuk kompetensi peradilan umum yang memeriksa perkara pidana, tanpa memberikan alasan-alasan atau pertimbangan-pertimbangan yang cukup menunjukkan bahwa hakim kurang cermat dalam memberikan pertimbangan. Dalam hal ini seharusnya hakim cukup menjelaskan dengan mengkualifikasikan alasan pembenar dan/atau pemaaf yang ada pada tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa.

Apabila Putusan Nomor: 199/Pid.B/2008/PN.Pwt dihubungkan dengan kode etik sebagaimana telah diatur dalam Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor: 047/KMA/SKB/IV/2009 – 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, maka hakim dalam menjatuhkan putusan a quo telah menegakkan beberapa kode etik dan sekaligus telah melanggar beberapa kode etik pula. Dalam perkara ini, hakim telah menegakkan kode etik, di antaranya yaitu:

a). Berperilaku adil

Hakim tidak memihak, karena dalam proses pemeriksaan tampak bahwa hakim telah memberikan kesempatan yang sama baik kepada terdakwa maupun JPU dan telah meletakkan kedudukan para pihak (terdakwa dan JPU) dalam posisi yang sama.

b). Berperilaku Arif dan Bijaksana

Dalam proses pemeriksaan tidak tampak adanya pengajuan hak ingkar, sehingga dapat diinterpretasikan bahwa seluruh pihak dalam persidangan tidak ada kaitannya dengan hakim yang memeriksa. Tentu saja kondisi ini dapat menghindarkan hakim dari situasi yang dapat menimbulkan kecurigaan atau sikap keberpihakan.

c). Bersikap Mandiri

Hakim bebas dari hubungan yang tidak patut dengan lembaga eksekutif maupun legislatif serta kelompok lain yang mengancam kemandirian hakim dan badan peradilan.

d). Berintegritas Tinggi

Tidak diajukannya hak ingkar dalam persidangan menunjukkan bahwa hakim tidak memiliki kepentingan terhadap pokok perkara maupun para pihak yang berperkara.

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 137 5/16/2012 4:37:53 PM

Page 56: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

138 | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | Kompleksitas Punitas | JURNAL YUDISIAL

e). Bertanggung Jawab

Tidak diajukannya hak ingkar dalam persidangan menunjukkan bahwa hakim tidak memiliki kepentingan terhadap pokok perkara maupun para pihak yang berperkara. Oleh karena itu, hakim cenderung untuk tidak menyalahgunakan jabatannya.

Namun demikian, sekalipun hakim yang memeriksa perkara a quo telah menegakkan kode etik tersebut di atas, akan tetapi hakim juga telah melakukan pelanggaran kode etik, berupa:

a). Berdisiplin Tinggi

Hakim seharusnya memahami pemberlakuan asas retroaktif (Pasal 1 ayat (2) KUHP) terhadap penerapan ketentuan pidana. Dalam perkara ini, hakim tidak memperhatikan waktu dilakukannya tindak pidana untuk menentukan ketentuan pidana yang akan diberlakukan kepada terdakwa, akan tetapi hakim langsung mengikuti putusan MK No. 003/PUU-IV/2006 yang menekankan bahwa ajaran sifat melawan hukum materiil dalam UU No. 31 Tahun 1999 tidak berlaku. Padahal, tindak pidana yang dilakukan terdakwa dilakukan pada tahun 2004 dan oleh karenanya tidak dapat diberlakukan ajaran sifat melawan hukum setelah dijatuhkannya putusan MK tersebut.

Berkaitan dengan hal tersebut, hakim relatif tidak melaksanakan tugas pokok yang baik menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal ini, hakim telah salah menerapkan ketentuan hukum, khususnya berkaitan dengan penerapan ajaran sifat melawan hukum yang berlaku bagi tindak pidana yang dilakukan terdakwa, sekalipun menurut hemat penulis memang tampak bahwa perbuatan yang dilakukan terdakwa tidak dapat dikualifikasikan dalam ajaran sifat melawan hukum materiil, karena perbuatan yang dilakukan terdakwa mendasarkan pada suatu kesepakatan bersama dan relatif menguntungkan bagi masyarakat setempat. Namun demikian, hal ini tetaplah harus dipertimbangkan dalam putusan hakim a quo.

b). Bersikap Profesional

Ketidak sinkronan pertimbangan hakim sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, menunjukkan bahwa hakim tidak memberikan alasan yang cukup, sehingga dalam hal ini penulis berpandangan bahwa hakim telah melakukan kekeliruan dalam memberikan pertimbangannya. Hal ini disebabkan pertimbangan yang diberikan oleh hakim tidak komprehensif. Dalam perkara ini, hakim memberikan pertimbangan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa bukanlah tindak pidana dan hakim langsung menyimpulkan bahwa perbuatan tersebut termasuk pelanggaran di lapangan hukum administrasi negara dan sudah masuk pada ranah hukum perdata tanpa memberikan alasan yang cukup. Perlu ditekankan di sini bahwa adanya penghapus pidana berupa alasan pemaaf dan alasan pembenar tidak berarti perkara tersebut bukanlah perkara pidana atau kewenangan pengadilan negeri dalam

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 138 5/16/2012 4:37:53 PM

Page 57: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

JURNAL YUDISIAL | Kompleksitas Punitas | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | 139

memeriksa perkara pidana.

SIMPULAN IV.

Putusan Hakim dalam perkara No. 199/Pid.B/2008/PN.Pwt pada dasarnya sudah tepat dalam menerapkan dasar penghapus pidana, akan tetapi dalam perkara ini hakim telah kurang cermat dalam:

a. menerapkan asas retroaktif, khususnya berkaitan dengan penerapan ajaran sifat melawan hukum, yaitu hanya menganut ajaran sifat melawan hukum formil saja sesuai dengan Putusan MK No. 003/PUU-IV/2006, padahal tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa dilakukan dalam kurun waktu tahun 2004.

b. memberikan pertimbangan hukum yang cukup, khususnya dalam mengkualifikasikan perbuatan terdakwa sebagai pelanggaran di lapangan hukum administrasi negara dan sudah masuk pada ranah hukum perdata, karena adanya penghapus pidana berupa alasan pemaaf dan alasan pembenar tidak berarti bahwa perkara tersebut bukan perkara pidana atau bukan kewenangan pengadilan negeri dalam memeriksa perkara pidana

Hakim harus cermat dalam memberikan pertimbangan hukumnya, sehingga putusan hakim yang dihasilkan dapat mengakomodir nilai keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Berkaitan dengan analisis yang telah dilakukan terhadap Putusan No. 199/Pid.B/2008/PN.Pwt, maka pada dasarnya terhadap hakim yang memeriksa diperlukan pembinaan kepada hakim yang memeriksa perkara a quo. Pembinaan hakim diperlukan khususnya terhadap pengetahuan hakim dalam melakukan interpretasi dan kecermatan dalam memberikan pertimbangan hukum, karena putusan hakim harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat dan ilmu hukum.

DAFTAR PUSTAKA

Atmasasmita, Romli. 1996. Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System); Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionis. Jakarta: Putra A. Bardin.

Cormick, Neil Mac. 1994. Legal Reasoning and Legal Theory. Oxford: Oxford University Press.

Hamzah, Andi. 2005. Pemberantasan Korupsi; Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional. Jakarta: PT. RajaGravindo Persada.

Karjadi dan Soesilo. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dengan Penjelasan Resmi dan Komentar. Bogor: Politeia.

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 139 5/16/2012 4:37:53 PM

Page 58: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

140 | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | Kompleksitas Punitas | JURNAL YUDISIAL

Mertokusumo, Sudikno. 1996. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Liberty.

Setiadi, Wicipto. 2006. Upaya Peningkatan Infrastruktur Hukum di Indonesia dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi di Sektor Swasta. Materi Seminar Nasional ”Pelaksanaan Konvensi PBB Menentang Korupsi : Pemberantasan Korupsi di Sektor Swasta” yang diselenggarakan pada 4 Agustus 2006.

Rahardjo, Satjipto. 2006. Membedah Hukum Progresif. Jakarta: Kompas.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Putusan Hakim

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 003/PUU-IV/2006.

Putusan MA 22 Juli 1970 No. 638 K/Sip/1969, J.I. Pen III/70, hlm. 101, MA 16 Desember 1970 No. 492 K/Sip/1970, J.I. Pen 1/71.

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 140 5/16/2012 4:37:54 PM

Page 59: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

JURNAL YUDISIAL | Kompleksitas Punitas | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | 141

ABSTRACT There is a disparity of the lenght of jail punishment between Banda Aceh District Court Judge’s Decision and Aceh High Court Judge’s Decision when both of them dealt with a torture case. They have a different interpretation regarding then death cause of the victim. Such a disparity shows minimal consideration in determining the severity of the lenght of sentence for accused, or the lack of legal doctrines.

Keywords: facts of law, disparity of sentence, legal doctrin

ABSTRAKSalah satu putusan yang menarik terjadi di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam karena ada perbedaan antara hukuman yang dijatuhkan oleh pengadilan tingkat pertama dan banding. Kedua putusan tersebut menghukum terdakwa yang melakukan pembunuhan, namun dua putusan tersebut terdapat dua perbedaan penilaian terhadap penyebab kematian korban. Misalnya, perbedaan yang dapat dilihat dalam pertimbangan hakim dalam menentukan berat-ringannya hukuman bagi terdakwa. Selain itu, putusan tersebut dilihat dari sudut pandang yang berbeda sehingga terdapat perbedaan dalam pengunaan doktrin hukum.

Kata kunci: fakta hukum, perbedaan penjatuhan hukuman, doktin hukum

PenaFsiran FakTa Hukum Dan DisPariTas PiDana

kajian Putusan nomor 29/PiD/2007/PT-Bna

Mirza Alfath SFakultas Hukum Universitas Malikussaleh Jalan Medan-Banda Aceh, Cot Tengku Nie, Releut, Aceh Utara

email: [email protected]

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 141 5/16/2012 4:37:54 PM

Page 60: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

142 | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | Kompleksitas Punitas | JURNAL YUDISIAL

PENDAHULUANI.

Tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan matinya orang lain merupakan salah satu bentuk tindak pidana umum yang bila ditelaah secara mendalam menarik juga untuk dibahas, terutama bila ada disparitas antara hukuman yang dijatuhkan oleh pengadilan tingkat pertama dan banding. Berkaitan dengan hal itu, putusan Pengadilan Tinggi Banda Aceh No. 29/PID/2007/PT-BNA adalah suatu putusan yang menarik untuk dikaji lebih lanjut.

Terdakwa FHS, pada hari Rabu tanggal 25 Oktober 2006 sekitar pukul 19.30 WIB, bertempat di belakang Pos Jaga Denma Rumah Dinas Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh Darussalam, Jl. Iskandar Muda Kelurahan Sukaramai, Kecamatan Baiturrahman Kota Banda Aceh, masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Banda Aceh, dengan sengaja melakukan penganiayaan yang mengakibatkan matinya korban M, dengan cara menampar, meninju dada korban, menendang secara melingkar yang mengenai pipi dan dada korban, sehingga korban muntah dan dirawat di rumah sakit, yang mengakibatkan korban meninggal dunia pada akhirnya tanggal 27 Oktober 2006. Terdakwa didakwa dengan dakwaan sebagaimana diancam dalam Pasal 351 (3) KUHPidana, yakni melakukan penganiayaan yang menjadikan matinya orang. Penganiayaan yang dilakukan terdakwa dipicu oleh perbuatan korban yang tidak sengaja melakukan kesalahan saat menaikkan bendera merah putih dengan posisi terbalik, putih di atas dan merah di bawah.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut terdakwa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana penganiayaan yang menyebabkan orang lain mati sebagaimana yang diatur dalam Pasal 351 ayat (3) KUHPidana; menjatuhkan pidana terhadap terdakwa berupa pidana penjara selama 6 (enam) tahun dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan dengan perintah agar terdakwa tetap ditahan; menyatakan barang bukti sepeda motor dan STNK dikembalikan kepada yang berhak, baju kaos dan celana jeans dikembalikan kepada keluarga korban, dan berkas/dokumen dan bendera tetap dilampirkan pada berkas perkara; menetapkan agar terdakwa membayar biaya perkara masing-masing sebesar Rp. 2.000,- (dua ribu rupiah).

Dalam perkara itu, Hakim Pengadilan Negeri Banda Aceh melalui putusan tertanggal 15 Februari 2007 No. 234/Pid.B/2006/PN-BNA telah memutuskan: terdakwa FHS telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana: ”Penganiayaan yang mengakibatkan matinya orang lain.”; Menjatuhi pidana penjara kepada terdakwa selama 4 (tahun); Menetapkan lamanya terdakwa ditahan dikurangkan segenapnya dari pidana yang dijatuhkan; Memerintahkan agar terdakwa tetap ditahan; Memerintahkan agar barang bukti sepeda motor dan STNK dikembalikan kepada yang berhak, baju kaos dan celana jeans dikembalikan kepada keluarga korban, dan berkas/dokumen dan bendera tetap dilampirkan pada berkas perkara; Membebankan terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah).

Terhadap putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh tersebut, terdakwa melalui penasehat

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 142 5/16/2012 4:37:54 PM

Page 61: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

JURNAL YUDISIAL | Kompleksitas Punitas | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | 143

hukumnya mengajukan permohonan banding yang berdasarkan Putusan Hakim Pengadilan Tinggi Banda Aceh Nomor: 29/PID/2007/PT-BNA: Menerima permohonan banding dari terdakwa; memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh mengenai pidana yang dijatuhkan, yakni dari 4 (empat) tahun menjadi 1 (satu) tahun; menguatkan putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh yang selebihnya; membebankan biaya perkara dalam dua tingkat peradilan, yang dalam tingkat banding sebesar Rp. 2.500,- (dua ribu lima ratus).

Tulisan ini mencoba untuk menganalisis secara mendalam putusan PT Banda Aceh No. 29/PID/2007/PT-BNA, terutama terkait dengan disparitas antara putusan PN Banda Aceh dengan putusan PT Banda Aceh dalam perkara penganiayaan yang mengakibatkan matinya orang lain.

RUMUSAN MASALAHII.

Berdasarkan latarbelakang di atas, penulis mengajukan rumusan masalah

1. Apakah putusan hakim telah didasarkan pada pertimbangan hukum materiil yang tepat dan benar?

2. Apakah proses menghasilkan putusan hakim telah dilakukan dalam proses persidangan yang fair, adil dan transparan sesuai aturan hukum formal yang berlaku dan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum dan doktrin-doktrin yang ada?

STUDI PUSTAKA DAN ANALISISIII.

Penelitian ini beranjak dari pengkajian putusan pengadilan atau putusan hakim, yang dapat dilakukan melalui pendekatan tradisional dan pendekatan non tradisional. Pendekatan tradisional adalah suatu studi hukum dan putusan pengadilan atau putusan hakim dari sudut pandang normatif semata-mata. Sedangkan pendekatan non tradisional adalah suatu studi hukum dan putusan hukum dari optik yang multidisiplin untuk memperoleh pemahaman yang komprehensif tentang ekstensitas dan intensitas bekerjanya hukum positif dan putusan hakim di dalam masyarakat (Sudirman, 2007: 27).

Pendekatan tradisional meliputi pendekatan yang dilakukan oleh mereka yang menganut ajaran legisme dan positivisme yuridis. Ajaran legisme menekankan bahwa hakikat hukum adalah hukum yang tertulis (undang-undang), di luar undang-undang tidak termasuk hukum. Sedangkan aliran positivisme yuridis atau ajaran hukum analitis menekankan bahwa hukum seyogianya dipandang dari segi hukum positif. Pendekatan tradisional tersebut memiliki memiliki kelemahan yakni tidak mampu mengungkapkan realitas hukum dan pengadilan secara lebih sempurna karena mengabaikan dimensi sosial hukum dan putusan hakim. Padahal dalam kenyataannya hukum dan putusan hakim tidak bisa menafikan hubungan timbal balik dengan masyarakat atau lingkungan sosial di mana hukum itu berlaku atau putusan pengadilan itu diterapkan.

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 143 5/16/2012 4:37:54 PM

Page 62: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

144 | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | Kompleksitas Punitas | JURNAL YUDISIAL

Pendekatan tradisional telah mengabaikan unsur hakim sebagai manusia sehingga besar kemungkinan sang hakim akan memberikan interpretasi sendiri tentang tugas yang diembannya karena pengaruh tingkat pendidikan, agama, latar belakang keluarga, sosial, pengalaman kerja, lingkungan tugas, afiliasi politik, situasi yang dihadapi ketika memutuskan perkara, dan sebagainya.

Guna mewujudkan peran ideal di atas, hakim dapat melakukan interpretasi terhadap peraturan perundang-undangan yang ada untuk diterapkan pada kasus-kasus konkret. Interpretasi adalah upaya menafsirkan perkataan perundang-undang dengan meyakini bahwa arti yang ditafsirkan itu memang berasal dari pembuat undang-undang. Adapun macam-macam interpretasi yang dapat digunakan untuk menafsirkan perundang-undangan, antara lain, penafsiran secara tata bahasa (grammaticale interpretatie), penafsiran secara historis (wethistoris atau rechthistoris), penafsiran sistematis, penafsiran teleologis atau sosiologis, penafsiran resmi (authentiek/officieel), penafsiran bebas (vrije interpretatie), penafsiran fungsional, penafsiran rasional, penafsiran antisipasi atau futuristis, penafsiran perbandingan hukum, dan penafsiran kreatif (Achmad, 1998: 86).

Namun apabila metode interpretasi tersebut tidak dapat diterapkan pada suatu kasus, hakim dapat mengadakan konstruksi hukum, yaitu suatu upaya untuk menggunakan penalaran logis untuk mengembangkan lebih lanjut suatu ketentuan undang-undang di mana tidak berpegang lagi pada bunyi peraturannya, tetapi dengan syarat tidak mengabaikan hukum sebagai suatu sistem. Konstruksi hukum adalah suatu upaya untuk menggunakan penalaran logis untuk mengembangkan lebih lanjut suatu ketentuan undang-undang, di mana tidak berpegang lagi pada bunyi peraturannya, tetapi dengan syarat tidak mengabaikan hukum sebagai suatu sistem (Ali, 1998: 86).

Guna mewujudkan hal tersebut, maka yang dibutuhkan dari seorang hakim adalah kemampuan untuk melakukan judicial discretion yang pada intinya seorang hakim dalam memutuskan perkara harus didasarkan pada intelegensia dan kemauan belajar, dikontrol oleh prinsip-prinsip hukum, didukung keberanian dan pikiran yang dingin, bebas dari pengaruh luar dan tidak goyah karena simpati ataupun prasangka pengaruh atau campur tangan dari luar, kecuali oleh keinginan besar untuk menjajakan keadilan (Frans Hendrawinata, 2003: 14-15). Adapun jenis-jenis konstruksi hukum, antara lain, argumentum per analogiam (analogi), argumentum acontrario, pengkonkretan aturan hukum (rechtsvervijning), dan fiksi hukum.

Teori negara hukum yang sekurang-kurangnya memuat prinsip-prinsip: pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia; peradilan yang bebas dan tidak memihak serta lepas dari pengaruh kekuasaan atau kekuatan lain; adanya asas legalitas, merupakan teori dasar bagi perlindungan warga negara. Guna melindungi setiap orang, maka negara membuat aturan hukum pidana yang mengatur tentang penjatuhan sanksi; ihwal penegakan norma-norma (aturan-aturan) oleh alat-alat kekuasaan (negara) yang ditujukan untuk melawan dan memberantas perilaku yang mengancam keberlakuan norma tersebut (Remmelink, 2003: 14).

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 144 5/16/2012 4:37:54 PM

Page 63: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

JURNAL YUDISIAL | Kompleksitas Punitas | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | 145

Aturan hukum pidana materiil merupakan payung hukum untuk melindungi HAM, terutama korban tindak pidana tertentu. Dengan demikian, adalah menjadi tugas dan tanggung jawab negara melalui badan peradilan untuk menghukum seseorang apabila telah melakukan kejahatan sebagaimana telah diatur oleh undang-undang.

Melalui sistem peradilan yang adil dan tidak memihak, maka hak-hak terdakwa maupun korban dihormati dan dijunjung tinggi. Dengan demikian, adalah hak bagi setiap orang untuk memperoleh keadilan di setiap proses peradilan, hal ini sebagaimana telah dikukuhkan di dalam UUD 1945, UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia serta Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi melalui UU No. 12 Tahun 2005.

Salah satu jenis kejahatan yang kerap terjadi di tengah kehidupan masyarakat adalah kejahatan terhadap tubuh dan nyawa orang. Diaturnya kejahatan terhadap tubuh manusia ini ditujukan bagi perlindungan kepentingan hukum atas tubuh dari perbuatan-perbuatan berupa penyerangan atas tubuh atau bagian dari tubuh yang mengakibatkan rasa sakit atau luka, bahkan karena luka yang sedemikian rupa pada tubuh dapat menimbulkan kematian (Chazawi, 2001: 7).

Berdasarkan atas unsur kesalahannya, kejahatan terhadap tubuh termuat di dalam: (1) Kejahatan terhadap tubuh yang dilakukan dengan sengaja sebagaimana yang tercantum dalam Bab XX Buku II KUHP, Pasal 351 s.d 358. (2) Kejahatan terhadap tubuh karena kelalaian, dimuat dalam Bab XXI, Pasal 360. Kejahatan terhadap tubuh yang dilakukan dengan sengaja (penganiayaan) dapat dijadikan menjadi 6 (enam) macam: (1) Penganiayaan biasa (Pasal 351); (2) Penganiayaan ringan (Pasal 352); (3) Penganiayaan berencana (Pasal 353); (4) Penganiayaan berat (Pasal 354); (5) Penganiayaan berat berencana (Pasal 355); (6) Penganiayaan dengan cara dan terhadap orang-orang yang berkualitas tertentu yang memberatkan (Pasal 356).

Hakim sebagaimana oleh HR 15 Okt. 1968, VR 1968, 121, memiliki kebebasan dalam menetapkan berat ringannya pidana yang akan ia jatuhkan. Dengan kebebasan yang dimilikinya, hakim tidak boleh menetapkan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan secara sewenang-wenang, meski pada akhirnya hakim harus menetapkan hukuman karena merupakan reaksi memadai atas tindak pidana yang dilakukan terdakwa. Tindak pidana tersebut tidak boleh menjadi alasan untuk, misalnya menjatuhkan pidana sangat tinggi yang tidak sebanding. Ini juga tidak akan sejalan dengan sistem perundang-undangan yang menetapkan pidana maksimum tertentu bagi tiap delik serta dengan asas bahwa pemidanaan mengandaikan adanya kesalahan. Di sini nyata bahwa pidana yang dijatuhkan harus sebanding secara wajar dengan delik yang dilakukan (Remmelink, 2003: 561).

Menurut Gustav Radbruch, ada tiga nilai dasar harus terdapat dalam hukum, yakni keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum (Ali, 1988: 9). Keadilan pada hakikatnya memberikan perlindungan atas hak dan saat yang sama mengarahkan kewajiban, sehingga terjadi keseimbangan

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 145 5/16/2012 4:37:54 PM

Page 64: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

146 | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | Kompleksitas Punitas | JURNAL YUDISIAL

antara hak dan kewajiban di dalam masyarakat. Melalui keadilan prosedural baru memberi jaminan kepastian dan ketertiban, terapi belum memberikan keadilan secara substansial (Sujata, 2006).

Dalam kenyataannya, ketiga unsur esensial hukum (keadilan, kepastian, dan kemanfaatan), sulit terwujud secara bersama, bahkan lebih sering konflik antara ketiganya. Biasanya konflik tersebut timbul karena pertama, hukum dalam arti perundang-undangan diciptakan untuk melindungi kepentingan politik bagi kelompok dan golongan tertentu yang cenderung mengabaikan realitas sosial dan kedua karena peraturan perundang-undangan yang ada sudah tidak relevan lagi dengan dinamika yang berkembang dalam masyarakat (Sudirman, 2007: 45).

Undang-undang telah mensyaratkan hakim untuk melandaskan penjatuhan pidana pada pertimbangan-pertimbangan yang cukup. Menurut ketentuan Pasal 183 KUHAP: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Sedangkan alat bukti yang sah sebagaimana dalam Pasal 184 KUHAP: (1) Alat bukti yang sah ialah: a. keterangan saksi; b. keterangan ahli; c. surat; d. petunjuk; e. keterangan terdakwa. (2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.

Timbulnya berbagai pandangan dan pertimbangan masing-masing hakim dapat dimaklumi, hal ini sebagaimana menurut Roscoe Pound dalam Lili Rasyidi yang mengklasifikasikan kepentingan-kepentingan yang dilindungi oleh hukum dalam 3 (tiga) kategori pokok, yakni: public interest (kepentingan umum), social interest (kepentingan masyarakat), private interest (kepentingan pribadi) (Rasyidi, 1998: 228). Undang-undang memang tidak memberikan rincian apa saja yang harus diperhatikan hakim, dan tidak pula mempersoalkan misalnya, mengenai besarnya tingkat kesalahan, perlunya prevensi umum, dan seterusnya. Hanya prinsip kemampuan finansial dari terdakwa yang dapat dipandang sebagai syarat yang menurut undang-undang wajib diperhatikan hakim. Oleh karena itu, penjatuhan pidana merupakan pemberian reaksi terhadap delik yang memadai dan bermakna.

Selain itu, pemidanaan berkaitan erat dengan upaya melindungi masyarakat umum, dan pada keniscayaan adanya perkataan wajar dan memadai antara sanksi pidana yang dijatuhkan dengan delik yang diperbuat. Di samping juga harus diperhatikan tuntutan bahwa pemidanaan merupakan pesan yang memuat pencelaan dan peringatan bagi calon-calon pelanggar hukum dalam rangka memperkecil kemungkinan pengulangan atau peniruan. Meskipun pemidanaan juga harus tetap merupakan reaksi yang pantas serta tetap manusiawi (Remmelink, 2003: 561-563).

Pertimbangan Hukum Materiil:

Pengadilan Negeri Banda Aceh maupun Pengadilan Tinggi Banda Aceh yang memeriksa perkara ini menggunakan Pasal 351 ayat (3) tentang penganiayaan yang mengakibatkan kematian

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 146 5/16/2012 4:37:54 PM

Page 65: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

JURNAL YUDISIAL | Kompleksitas Punitas | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | 147

pada orang lain. Adapun Pasal 351 merumuskan sebagai berikut: Ayat (1):”Penganiayaan dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 4.500,-” Ayat (3): ”Jika mengakibatkan mati, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 tahun”.

Undang-undang tidak memberi ketentuan apakah yang diartikan dengan penganiayaan itu. Kecuali dalam doktrin ilmu pengetahuan hukum pidana berdasarkan sejarah pembentukan dari pasal yang bersangkutan dan praktek pidana.

Definisi penganiayaan sebagaimana yang terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Aniaya diartikan sebagai perbuatan dzalim, perbuatan menyiksa dengan kejam, perbuatan bengis, perbuatan menindas, dsb. Menganiaya diartikan penindasan, penyiksaan. Dan teraniaya diartikan menderita karena teraniaya (Tim PrimaPena: 59). Kata siksa diartikan sebagai kesengsaraan sebagai hukuman. Menyiksa menghukum dengan penyiksaan; berbuat menyengsarakan; berbuat menyakitkan; menyusahkan hati. dan tersiksa diartikan teraniaya, telah mengalami siksa; menderita siksa, kena siksa (Tim PrimaPena: 709)

Diskursus HAM sendiri memberikan pengertian yang beda dari KBBI. Jika merujuk pada Konvensi Anti Penyiksaan yang telah diratifikasi melalui UU No. 05 Tahun 1997:

“penyiksaan diartikan sebagai setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari orang itu atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh orang itu atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa orang itu atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari dengan persetujuan, atau sepengetahuan pejabat publik”.

Sedangkan menurut penjelasan Pasal 9 huruf f UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, yang dimaksud dengan “penyiksaan” dalam ketentuan ini adalah dengan sengaja dan melawan hukum menimbulkan kesakitan atau penderitaan yang berat, baik fisik maupun mental, terhadap seorang tahanan atau seseorang yang berada di bawah pengawasan.

Maknanya setiap pejabat pemerintah yang melakukan kekerasan dengan tujuan mencari informasi dikategorikan sebagai tindakan penyiksaan. Misalnya penyiksaan yang sering terjadi di sel tahanan kepolisian saat interogasi. Sementara penganiayaan diartikan sebagai perbuatan yang sengaja dilakukan sehingga menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit atau luka. Dan dilakukan oleh siapapun (sipil) kecuali pejabat pemerintah. Contohnya, pemukulan yang dilakukan oleh antara masyarakat sipil.

Pengertian penganiayaan yang berlaku dalam praktek hukum maupun doktrin merupakan tindak pidana materiil. Akibat perbuatan menjadi sangat penting dalam rangka menentukan ada

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 147 5/16/2012 4:37:54 PM

Page 66: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

148 | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | Kompleksitas Punitas | JURNAL YUDISIAL

tidaknya penganiayaan. Syarat atau unsur adanya tujuan yang patut adalah merupakan syarat yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan. Dalam doktrin Ilmu Hukum Pidana, penganiayaan diartikan sebagai suatu perbuatan yang dilakukan dengan sengaja yang ditujukan untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh orang lain (Satochid Kartanegara: 509). Penganiayaan mempunyai unsur-unsur: (a) Adanya kesengajaan; (b) Adanya perbuatan; (c) Adanya akibat perbuatan (yang dituju), yakni: rasa sakit, tidak enak pada tubuh; lukanya tubuh; (d) akibat mana menjadi tujuan satu-satunya. Unsur (a) adanya kesengajaan dan (d) akibat mana menjadi tujuan satu-satunya adalah bersifat subyektif. Sedangkan unsur (b) adanya perbuatan; (c) adanya akibat perbuatan (yang dituju) bersifat obyektif.

Unsur kesengajaan itu boleh tidak disebutkan dalam surat dakwaan, tetapi tetap kesengajaan itu harus dibuktikan dalam persidangan oleh Jaksa Penuntut Umum, karena kesengajaan merupakan unsur yang sangat penting, dan sangat menentukan apakah suatu perbuatan itu merupakan penganiayaan atau bukan. (Chazawi, 2001: 11).

Walaupun disadari bahwa dari perbuatan yang sengaja dilakukan, menimbulkan rasa sakit ataupun luka, tetapi bila bukan itu yang menjadi tujuannya melainkan sebagai sarana untuk mencapai tujuan lain yang patut, maka di sini tidak ada penganiayaan. Dengan demikian pada perbuatan yang mengandung tujuan lain yang patut itu menjadi kehilangan sifat terlarangnya (melawan hukum), dan karenanya tidak dipidana (Chazawi, 2001: 14).

Tidak ada ukuran yang bersifat umum untuk menentukan telah adanya tujuan yang patut, melainkan bergantung pada akal pikiran dan kebiasaan yang wajar berlaku dalam masyarakat. Hakim adalah orang yang berhak menentukan perihal suatu perbuatan, bukan korban ataupun pelakunya. Pemikiran hakim harus mampu menangkap secara baik nilai-nilai kewajaran dalam masyarakat.

Fakta Hukum (Konstruksi Hukum)

Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Banda Aceh tidak sependapat dengan putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Banda Aceh dalam hal pemidanaan bagi terdakwa. Sedangkan terhadap hukum materiil yang diajukan oleh penuntut umum, Pengadilan Tinggi Banda Aceh tetap menggunakan Pasal 351 (3) KUHP, yaitu penganiayaan yang mengakibatkan matinya orang lain. Berdasarkan fakta hukum yang disarikan dari keterangan saksi-saksi DA (Satpam Dinsos), AR (Satpam Dinsos), WRS (Anggota Polisi), FPJ (Anggota Polisi), DD (Anggota Polisi), Dr. NM (Keterangan ahli), Dr. N (Keterangan ahli), dan Dr. F (Keterangan ahli), ternyata saling terkait dan menghasilkan fakta hukum, antara lain, yaitu:

Bahwa keterkaitan pihak lain yang mengawali penganiayaan oleh terdakwa, seperti yang 1. dilakukan oleh seseorang anggota TNI, yang memerintahkan korban melakukan push up 20 kali dan 20 kali menurut anggota TNI tersebut agar mencapai jumlah hitungan 100 kali;

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 148 5/16/2012 4:37:54 PM

Page 67: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

JURNAL YUDISIAL | Kompleksitas Punitas | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | 149

Bahwa begitu juga yang dilakukan saksi-saksi lain sesama anggota polisi, yang menyuruh 2. melakukan push up dan memukuli korban, berulang kali;

Bahwa keterangan saksi ahli tentang penderitaan korban. Menurut keterangan ahli, antara 3. lain menyimpulkan bahwa atas permintaan KARO OPS Polda NAD dengan surat tanggal 27 Oktober 2006 No. Pol. B/31/X/2006/Siaga Ops, untuk melakukan visum et repertum luar (bagian tubuh luar) bagi korban bernama M, yang berkesimpulan:

- Lebam di bagian punggung;

- Luka memar di bagian lengan atas, ukuran 4x4 cm;

- Luka memar di bagian dada kiri ukuran 3x4 cm;

- Luka memar di bagian rusuk kanan ukuran 4x4 cm;

- Luka memar pada korban akibat benturan benda tumpul;

- Jika seseorang dipukul di bagian dada secara bertubi-tubi bisa mengakibatkan gangguan di paru-paru atau jantung tergantung kondisi korban, apakah tulang dada yang patah atau selaput paru-paru yang koyak karena terkena pukulan;

- Jika bagian tubuh vital yang tidak normal, seperti jantung dan paru-paru tidak normal, dapat menyebabkan kematian;

- Bahwa sebelum kejadian dalam perkara ini, korban telah mengidap penyakit dalam;

- Bahwa untuk memastikan kematian korban, keluarganya tidak menghendaki dilakukan otopsi jenazah;

- Bahwa dengan demikian kematian korban belum tentu disebabkan karena penganiayaan oleh terdakwa.

Analisis terhadap putusan PT BA terhadap Putusan No. 29/PID/2007/PT-BNA tentang Penganiayaan yang Menyebabkan Matinya Orang Lain

Dalam amar putusannya PT Banda Aceh memutuskan sebagai berikut:

1. Menerima permohonan banding dari terdakwa;

2. Memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh tanggal 15 Februari 2007 No. 234/Pid.B/2006/PN-BNA sekedar mengenai pidana yang dijatuhkan, sehingga selengkapnya adalah:

- Menyatakan bahwa terdakwa FHS terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah telah melakukan tindak pidana: Penganiayaan menyebabkan matinya orang;

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 149 5/16/2012 4:37:54 PM

Page 68: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

150 | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | Kompleksitas Punitas | JURNAL YUDISIAL

- Menjatuhkan pidana penjara oleh karena itu kepada terdakwa tersebut selama: 1 (satu) tahun;

- Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh yang selebihnya;

- Membebankan biaya perkara dalam kedua tingkat peradilan, yang dalam tingkat banding sebesar Rp.2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah).

Di dalam perkara ini, Hakim Pengadilan Tinggi Banda Aceh sependapat dengan Pengadilan Negeri Banda Aceh bahwa pelaku telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan matinya orang lain, kecuali dalam hal lamanya pemidanaan. Pengadilan Negeri menjatuhi pidana penjara kepada terdakwa selama 4 (empat) tahun, sedangkan Pengadilan Tinggi Banda Aceh mengurangi pidana penjara menjadi 1 (satu) tahun.

Yurisprudensi Hakim Aceh mengenai perihal putusan yang dikuatkan adalah sebagai berikut:

1. Jika Pengadilan Tinggi dapat menyetujui alasan-alasan yang dikemukakan oleh Pengadilan Negeri dan dijadikan alasannya sendiri, maka putusan yang diambil oleh Pengadilan Negeri itu dapat dibenarkan (PT Banda Aceh, tgl. 4 November 1971 No. 9/1971/PT).

2. Jika Pengadilan Tinggi menganggap sudah cukup diberikan pertimbangan hukum dan sudah tepat pula bunyi diktum putusannya, sehingga Pengadilan Tinggi dapat menyetujui seluruh bunyi putusan tersebut, maka putusan Pengadilan Negeri harus dikuatkan (PN Sigli, tgl. 7 April 1970 No. 2/1970/Sumier PT Banda Aceh, tgl. 8 Juni 1971 No. 12/1970/Pid).

3. Pengadilan Tinggi dapat menyetujui putusan Pengadilan Negeri oleh karena telah diberikan pertimbangan-pertimbangan hukum yang secukupnya dan beratnya pidana yang dijatuhkan sudah setimpal dengan kesalahan tertuduh dan rasa keadilan serta bunyinya diktum putusan tersebutpun sudah tepat (PT Banda Aceh tgl. 23 Mei 1972 No. 2/1972 ).

4. Sedangkan alasan-alasan yang dikemukakan oleh hakim pertama, dapat disetujui oleh Pengadilan Tinggi dan dijadikan alasannya sendiri (PT Banda Aceh tgl. 21 Mei 1971 No. 3/1971).

Menurut peneliti pertimbangan majelis hakim PT Banda Aceh belum menganut doktrin-doktrin HAM yang diakui dalam asas-asas hukum yang berlaku universal, hal ini dapat dilihat bahwa tidak satu pun aturan-aturan hukum HAM yang dijadikan rujukan oleh hakim. Majelis Hakim Pengadilan Tinggi hanya mempertimbangkan hak-hak terdakwa saja, tanpa mempertimbangkan hak-hak korban dan/atau keluarga korban, misalnya doktrin yang menyatakan bahwa seorang akan dikenakan pemberatan pidana jika yang melakukan tindak pidana adalah aparat negara.

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 150 5/16/2012 4:37:54 PM

Page 69: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

JURNAL YUDISIAL | Kompleksitas Punitas | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | 151

Di sisi lain hakim PT tidak konsisten dalam menerapkan hukum materiil, hakim hanya mempertimbangkan fakta hukum yang terungkap dari keterangan ahli, bahwa kematian korban bukanlah semata-mata akibat penganiayaan, tetapi korban diduga memiliki penyakit dalam bawaan. Bagi orang normal, pukulan demikian tidak dapat menyebabkan kematian, namun bagi yang memiliki kelainan jantung atau paru-paru maka dapat menyebabkan kematian.

Menurut penulis, majelis hakim seharusnya dapat mengungkap fakta lain mengenai kondisi kesehatan korban sebelum korban diangkat sebagai satpam, hal ini mengingat sebelum seseorang diangkat menjadi satpam, ia harus memiliki syarat dan kriteria yang mutlak seperti berbadan sehat dan kuat sebagai konsekuensi mengemban pekerjaan di bidang pengamanan. Bahkan seorang satpam dituntut pula untuk dapat melakukan latihan fisik yang relatif lebih berat dibandingkan dengan pekerjaan maupun profesi lainnya. Di dalam persidangan, tidak pernah terungkap yang disertai alat bukti (catatan medis) yang dapat membuktikan bahwa korban pernah menderita penyakit dalam bawaan, misalnya apakah korban pernah mengeluh sakit yang dapat diindikasikan menderita penyakit dalam semasa hidupnya.

Jaksa Penuntut Umum dalam perkara ini kurang jeli dalam dakwaan maupun tuntutan. Mengingat di samping perbuatan penganiayaan dengan sengaja yang menjadikan matinya orang, terdakwa juga dapat didakwa dan dituntut dengan pasal lainnya, misalnya terdakwa yang notabene seorang polisi menggunakan sepeda motor dengan nomor plat polisi palsu, yang patut diduga sepeda motor tersebut diperoleh secara tidak sah dan melawan hukum yang digunakan untuk melakukan penganiayaan yang menyebabkan matinya orang lain.

Sedangkan dalam hal menentukan berat ringannya pemidanaan, hakim pengadilan tinggi kurang memperhatikan reaksi yang pantas dan manusiawi, serta harus adanya hubungan yang wajar dan memadai antara sanksi yang dijatuhkan dengan delik yang diperbuat, serta upaya perlindungan terhadap masyarakat hukum dan harus memuat pencelaan dan peringatan bagi calon-calon pelanggar hukum dalam rangka memperkecil kemungkinan pengulangan atau peniruan. Termasuk penilaian semua situasi dan kondisi yang relevan dari tindak pidana yang bersangkutan.

Artinya, keseluruhan fakta yang melingkupi delik yang harus diperhitungkan ketika mempertimbangkan jenis pidana yang akan dijatuhkan, berat ringannya, dan apakah layak dijatuhkan pidana bersyarat, dan sebagainya. Termasuk pula di dalamnya delik yang diperbuat, nilai dari kebendaan hukum yang terkait, cara bagaimana aturan dilanggar, kerusakan lebih lanjut. Selain itu juga termasuk, personalitas pelaku, umur, jenis kelamin dan kedudukannya dalam masyarakat. Ditambah lagi dengan mentalitas yang ditunjukkan, seperti rasa penyesalan, maupun catatan kriminalitas sebelumnya (Remmelink, 2003: 563).

Mengenai hal-hal yang meringankan maupun yang memberatkan terdakwa, yurisprudensi Daerah Istimewa Aceh, sebagaimana pernah disusun oleh Tim Pengadilan Tinggi Banda Aceh

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 151 5/16/2012 4:37:54 PM

Page 70: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

152 | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | Kompleksitas Punitas | JURNAL YUDISIAL

bekerja sama dengan Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Syiah Kuala Darussalam Banda Aceh:

1. Alasan-alasan yang meringankan: terdakwa belum pernah dihukum, terdakwa mempunyai tanggungan keluarga, terdakwa berusia muda, terdakwa bersikap sopan selama dalam persidangan (PN Bireuen tgl. 28 Januari 1969, No. 8/1969 dan PT Banda Aceh tgl. 24 Maret 1970 No. 6/1969). Terdakwa belum pernah dihukum dan mengakui secara terus terang segala perbuatannya (PN Banda Aceh, tgl. 31 Desember 1969 No. 130/1969, dan PT Banda Aceh, tgl. 13 Agustus 1970 No. 4/1970 ). Terdakwa tidak menyulitkan jalannya persidangan (PN Banda Aceh tgl. 21 Agustus 1971 No. 69/1971 (S) dan PT Banda Aceh tgl. 23 Mei 1972 No. 2/1972). Adanya perdamaian antara terdakwa serta ahli famili kedua belah pihak tidak membebaskan tertuduh dari penghukuman karena tujuan dari penghukuman itu selain dari pada untuk memperbaiki pribadi yang bersalah juga untuk mencegah supaya orang lain tidak akan menuruti jejak orang bersalah (PN Banda Aceh, tgl. 13 Agustus 1970 No. 82/1970 dan PT Banda Aceh, tgl. 29 April 1972 No. 14/1970). Adanya perdamaian antara terdakwa dengan orang tua si korban serta ahli famili kedua belah pihak merupakan unsur yang dapat meringankan hukuman (PT Banda Aceh, tgl. 29 April 1972 No. 14/1970). Terdakwa belum pernah dihukum, usia masih muda, dengan harapan dapat memperbaiki segala tindak tanduknya di masa yang akan datang (PT Banda Aceh, tgl 20 April 1972 No. 13/1971/Pid/PT). Terdakwa mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap hari depan keluarganya dan terdakwa seorang pensiunan TNI Angkatan Darat dan telah berjasa pada negara (PN Bireuen tgl. 24 Maret 1969 No. 32/1969, dan PT Banda Aceh, tgl 13 Juni 1970 No. 3/1969/Pid).

2. Sedangkan alasan-alasan yang memberatkan adalah: terdakwa mungkir atas segala tuduhan yang diberatkan; dan perbuatan yang dituduhkan dilakukan secara bersama-sama (PN Bireuen tgl. 28 Januari 1969 No. 8/1969; PT Banda Aceh tgl. 24 Maret 1970 No. 6/1969). Juga hal-hal yang memberatkan hukuman, adalah karena terdakwa sebagai mahasiswa dan guru, tidak memberikan contoh yang baik kepada masyarakat (PN Banda Aceh, tgl. 11 Juli 1972 No. 54/1972 (S), PT Banda Aceh, tgl. 11 Januari 1975 No. 25/1972). Terdakwa mungkir atas tuduhan, walaupun hal itu telah terbukti dan terdakwa telah pernah dihukum dalam perkara yang sama (PN Bireuen, tgl. 24 Maret 1969 No. 32/1969 dan PT Banda Aceh, tgl. 13 Juni 1970 No. 3/1969/Pid).

Dalam perkara ini, hakim Pengadilan Negeri telah memutuskan pidana penjara selama 4 (empat) tahun penjara, dari 6 (enam) tahun yang dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum, berdasarkan beberapa pertimbangan dari alat-alat bukti. Bila dibandingkan dengan ancaman KUHP Pasal 351 ayat (3), maksimal penjara adalah 7 (tujuh) tahun, yang dituntut adalah 6 (enam) tahun, dan yang diputuskan adalah 4 (empat) tahun, maka dapat dirasakan bahwa sudah cukup memadai. Hal ini tidak terlepas dari pertimbangan terhadap personalitas pelaku sebagai anggota kepolisian dapat

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 152 5/16/2012 4:37:54 PM

Page 71: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

JURNAL YUDISIAL | Kompleksitas Punitas | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | 153

memberatkan hukuman. Selain itu, pertimbangan bahwa penghukuman telah memenuhi upaya melindungi masyarakat hukum sekaligus merupakan pesan yang memuat pencelaan dan peringatan bagi calon-calon pelanggar hukum dalam rangka memperkecil kemungkinan pengulangan atau peniruan.

Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak terjadi pelanggaran berupa penganiayaan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum (kepolisian/TNI) terhadap masyarakat, terutama di wilayah Nangroe Aceh Darussalam yang pada saat itu baru saja merajut perdamaian setelah sekian lama didera konflik bersenjata. Suasana ketakutan masyarakat Aceh masih belum pulih akibat represifnya aparat keamanan. Di samping takut dan sungkan untuk mengadukan berbagai penganiayaan, masyarakat juga beranggapan bahwa akan sangat sulit untuk dapat menjerat para aparat kepolisian/TNI dengan mekanisme hukum yang adil. Selain itu proses pembuktian dan pemeriksaan di persidangan yang membutuhkan waktu lama, serta kemungkinan timbulnya intimidasi-intimidasi dari pihak yang digugat. Dengan dijatuhkannya hukuman yang cukup 4 (tahun), memberikan peringatan bagi aparat (TNI/Polri) lain jika ingin melakukan penganiayaan kepada masyarakat lainnya.

Di lain pihak, oleh hakim Pengadilan Tinggi, hukuman tersebut dikurangi menjadi 1 (satu) tahun. Hal ini tentu dipandang tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat. Pengadilan Tinggi sebagai pemantau atau pengontrol utama atas penetapan berat-ringannya pidana, sewajarnya memberikan pertimbangan yang lebih baik dari Pengadilan Negeri. Hakim Pengadilan Tinggi idealnya melakukan rujukan pada tingkat keseriusan tindak pidana yang dilakukan, situasi dan kondisi yang melatarbelakangi tindak pidana, termasuk kepribadian pelaku, situasi dan kondisi personal dari pelaku tindak pidana tersebut.

Dalam pertimbangannya, hakim Pengadilan Tinggi mencoba memberikan alasan yang meringankan hukuman terdakwa, yaitu berkaitan dengan kesaksian dari rekan sejawat pelaku (polisi dan TNI) dan keterangan ahli. Dalam kesaksian para rekan sejawat terdakwa, didapati sebuah fakta bahwa perbuatan penganiayaan terdakwa (menampar, memukul, menendang) adalah bentuk perbuatan yang biasa dilakukan dengan sesama rekan aparat. Tentu saja ini tidak relevan untuk dijadikan alasan untuk mengurangi jumlah pemidanaan, meskipun perbuatan tersebut biasa dilakukan oleh terdakwa dengan rekan-rekan sejawatnya (polisi/TNI), namun terdakwa melakukannya terhadap korban yang bukan anggota polisi/TNI, tapi seorang satpam (masyarakat sipil). Di samping itu, ”didikan model kekerasan” untuk tujuan kedisiplinan yang kerap berlaku di lingkungan TNI/Polri, juga pada dasarnya menghindari pukulan pada tempat-tempat yang vital (bagian dada dan kepala), karena dikhawatirkan dapat menimbulkan luka atau kematian.

Sebagai anggota Polri yang pernah menjalani latihan fisik dan pernah latihan bela diri, seharusnya terdakwa mengetahui resiko akan luka berat yang dapat menyebabkan kematian apabila memukul di bagian dada. Sehingga keterangan saksi ahli tidak dapat serta merta dijadikan

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 153 5/16/2012 4:37:54 PM

Page 72: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

154 | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | Kompleksitas Punitas | JURNAL YUDISIAL

alasan kematian korban bukan karena penganiayaan. Fakta ini jelas tidak dapat dijadikan alasan yang relevan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 351 ayat (3), bahwa terhadap penganiayaan biasa (Pasal 351 (1)), dapat diberikan pemberatan hukuman maksimal sampai 7 (tujuh) tahun, apabila mengakibatkan luka berat ataupun kematian.

Adapun luka berat atau kematian tersebut harus merupakan akibat yang tidak dimaksudkan oleh si pelaku penganiayaan. Maksudnya, walaupun si pelaku tidak bermaksud untuk menyebabkan kematian dengan perbuatannya (memukul, menampar dan menendang), perbuatan tersebut masih dikategorikan sebagai penganiayaan biasa dengan pemberatan, karena akibat perbuatan tersebut menyebabkan kematian pada si korban. Apabila akibat kematian tersebut memang menjadi tujuan dan sudah diperhitungkan oleh si pelaku, maka perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai pembunuhan (Pasal 338), atau bila luka berat tersebut sudah menjadi tujuan pelaku, maka dikategorikan sebagai penganiayaan berat (Pasal 354). Hal ini sebagaimana Yurisprudensi Hakim di Aceh terhadap penganiayaan berat: “Penganiayaan yang dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu yang menyebabkan kematian orangnya dapat dikwalifisir sebagai ”penganiayaan berat” (PN Bireuen tgl 10 Januari 1969 No. 176/68/Pid. dan PT Banda Aceh tgl 11 Agustus 1970 No. 12/1969/PT). Sedangkan untuk Pasal 359 KUHP yang menyebabkan mati/luka karena kelalaian. Tertuduh terbukti bersalah terhadap kejahatan karena salahnya menyebabkan matinya orang lain (PT Banda Aceh tgl 21 Oktober 1970 No. 17/1970/Pk).

SIMPULANIV.

Dalam kajian ini dapat disimpulkan dua hal sebagaimana berikut ini:

a. Putusan Hakim Pengadilan Tinggi Banda Aceh Nomor: 29/PID/2007/PT-BNA dipandang belum cukup memberikan pertimbangan hukum materiil yang tepat, karena kurangnya argumentasi dan pertimbangan yang relevan dalam penentuan berat-ringannya hukuman bagi terdakwa;

b. Proses menghasilkan putusan hakim telah dilakukan dalam proses persidangan yang fair, adil dan transparan sesuai aturan hukum formal yang berlaku.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Achmad. 1998. Perubahan Masyarakat, Perubahan Hukum dan Pertemuan Hukum oleh Hakim. Ujung Pandang: Lembaga Penerbit Universitas Hasanuddin.

Chazawi, Adami. 2002. Kejahatan terhadap Tubuh dan Nyawa. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Hendrawinata, Frans. 2003. Mencegah Judicial Corruption Melalui Eksaminasi Publik, Mungkinkah?. Dalam Susanti Adi Nugroho dkk. (penyunting). Eksaminasi Publik: Partisipasi

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 154 5/16/2012 4:37:54 PM

Page 73: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

JURNAL YUDISIAL | Kompleksitas Punitas | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | 155

Masyarakat Mengawasi Peradilan. Jakarta: Indonesia Corruption Watcht (ICW).

Kurnia, Titon Slamet. 2005. Reparasi (Reparation) terhadap Korban Pelanggaran HAM di Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Rasyidi, Lili. 1998. Filsafat hukum, Apakah Hukum itu?. Bandung: CV Remadja Karya.

Remmelink, Jan. 2003. Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Soerodibroto, R. Soenarto. 2006. KUHP dan KUHAP dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Sudirman, Antonius. 2007. Hati Nurani Hakim dan Putusannya Suatu Pendekatan dari Perspektif Ilmu Hukum Perilaku (Behavioral Jurisprudence) Kasus Hakim Bismar Siregar. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 155 5/16/2012 4:37:54 PM

Page 74: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

156 | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | Kompleksitas Punitas | JURNAL YUDISIAL

ABSTRACTVerdict studies in this research is concerning a crime on physical domestic violence. The verdict certified that the accused was guilty to commit a crime on physical domestic violence which has caused death to the victim as regulated in Article 44 Act 23 of year 2004. The findings of this research are as follows: (1) the verdict does not apply the provisions of procedural law (2) the verdict is not accurate in determining the material legal ground which becomes the basis to declare the accused is proven guilty because the fact revealed before the court is a delict of murder as regulated in Article 338 of Criminal Code; (3) this verdict does not at all rereflect the application of syllogism reasoning. (4) the verdict has accommodated the value of justice in its legal ground since no other provisions charged by the Public Prosecutor, nonetheless, in its punishment does not reflect the justice. The verdict has accommodated the value of utility with the aim of special prevention and general prevention.

Keywords: domestic violence, homicide, verdict

ABSTRAKKajian terhadap putusan dalam penelitian ini terkait dengan kekerasan dalam rumah tangga. Putusan ini telah menyatakan terdakwa bersalah melakukan kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana dalam pasal 44 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004. Penelitian yang dilakukan ini telah mendapatkan beberapa kesimpulan, 1). Ketentuan hukum acara tidak sepenuhnya diikuti oleh putusan ini khususnya berkenanan dengan ketentuan Pasal 197. 2). Putusan ini kurang tepat menentukan dasar hukum materiil yang mungkin disebabkan karena dakwaan penuntut umum bentuknya dakwaan tunggal yaitu Pasal 44 ayat (3) UU No. 23 Tahun 2004. 3). Putusan ini juga sama sekali kurang mencerminkan penalaran hukum yang logis. 4). Dalam putusan ini sekalipun telah mengakomodir nilai keadilan dalam dasar hukumnya, namun dari segi pidananya kurang mencerminkan nilai keadilan karena tidak mempertimbangkan provokasi korban sebagai pemicu terjadinya peristiswa ini. Meski demikian, putusan ini telah mengakomodasikan nilai-nilai kemanfatan sebagai tujuan dari pencegahan hal serupa terjadi.

Kata kunci: kekerasan dalam rumah tangga, pembunuhan, putusan pengadilan

PeneraPan uu no. 23 TaHun 2004TerHaDaP kasus PemBunuHan

kajian Putusan nomor 39/Pid.B/2008/Pn.Bjm

HelmiFakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat, Jalan Banjarmasin

email: [email protected]

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 156 5/16/2012 4:37:54 PM

Page 75: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

JURNAL YUDISIAL | Kompleksitas Punitas | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | 157

PENDAHULUANI.

Pada hari Senin tanggal 15 Oktober 2007 sekitar pukul 08.30 WITA di rumahnya jalan Jafri Zam Zam Simpang Rahmat RT 27 No. 01 Banjarmasin terdakwa J alias AI sekitar pukul 08.30 WITA, telah melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya dengan cara kekerasan fisik yang mengakibatkan matinya korban perbuatan mana dilakukan oleh terdakwa dengan cara sebagai berikut:

Terdakwa selaku suami sah korban yang bernama R binti J, telah melakukan kekerasan terhadap istrinya sendiri yang bernama R (korban) yaitu ketika terjadinya cekcok mulut antara terdakwa dan istrinya sehingga terdakwa menjadi emosi dan pisau yang ada di tangan terdakwa langsung ditusukkan ke tubuh istrinya beberapa kali dan pada saat kejadian tersebut datang saksi N keluarga korban menarik tangan terdakwa terus bergumul dengan istrinya sambil menindih tubuh korban dan karena saksi tidak mampu melerai yang akhirnya keluar rumah untuk meminta bantuan, sedangkan terdakwa terus melakukan penusukan ke tubuh korban sehingga korban mengalami luka-luka. Akibat luka tersebut korban di bawa ke rumah sakit Suaka Insan Banjarmasin dan korban meninggal dunia sesuai dengan visum et repartum yang dibuat oleh dokter rumah sakit Suaka Insan Banjarmasin dengan Nomor: 369/MR/17-X-2007, tertanggal 17 Oktober 2007.

Luka pada dada bagian tengah panjang 5 cm sampai tulang;•

Luka pada payudara sebelah kanan 2 cm sampai tulang;•

Luka pada ketiak, perut bagian kiri 12 cm, ulu hati 3 cm, paha dalam 4 cm.•

Pada visum et repartum tersebut disimpulkan bahwa: (1) Kematian kemungkinan besar disebabkan karena pendarahan yang banyak dalam waktu singkat, (2) Luka tersebut disebabkan oleh kekerasan dengan benda berujung tajam.

Dalam hal ini, dasar hukum yang digunakan oleh jaksa penuntut umum dalam menyusun surat dakwaan dan surat tuntutan ialah Pasal 44 ayat (3) UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

RUMUSAN MASALAHII.

Dalam penelitian ini pertanyaan–pertanyaan yang hendak dijawab sebagai berikut:

1. Apakah putusan hakim telah mengikuti prosedur hukum acara pidana (khususnya sebagaimana diatur dalam Pasal 197 jo Pasal 199 KUHAP)?

2. Apakah putusan hakim telah dapat membuktikan unsur tindak pidana dan kesalahan secara lengkap?

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 157 5/16/2012 4:37:54 PM

Page 76: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

158 | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | Kompleksitas Punitas | JURNAL YUDISIAL

3. Apakah putusan hakim telah mencerminkan penalaran hukum yang logis (runtut dan sistematis)?

4. Apakah putusan hakim telah mengakomodasi nilai keadilan dan kemanfaatan yang berpihak kepada penguatan masyarakat madani?

STUDI PUSTAKA DAN ANALISISIII.

A. Studi Pustaka

Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Salah satu indikator suatu rumah tangga dikatakan bahagia, adalah adanya “rasa aman, bebas dari segala bentuk kekerasan dan tidak adanya diskriminasi dalam rumah tangga tersebut.

Lingkup rumah tangga dapat terdiri dari: (a) Suami, istri, dan anak, (b) Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga, dan (c) orang yang bekerja membantu rumah tangga dalam menetap dalam rumah tangga tersebut.

Negara Republik Indonesia menganggap pentingnya perlindungan terhadap pribadi dan rasa aman ini, sehingga dituangkan dalam UUD 1945 Pasal 28 G ayat (1), yang menyatakan: “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”. Dalam rangka mengakomodir hak asasi tersebut, maka ditetapkanlah UU No. 23 Tahun 2994 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga yang berlaku sejak diundangkan tanggal 22 September 2004. Adapun latar belakang ditetapkannya undang-undang tersebut adalah sebagai berikut: (a) Setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan UUD RI Tahun 1945; (b) Segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus; (c) Korban kekerasan dalam rumah tangga yang kebanyakan adalah perempuan, harus mendapat perlindungan dari negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan.

Secara substansial, penetapan UU No. 23 Tahun 2004 ini merupakan usaha pembaharuan hukum pidana Indonesia, dikarenakan undang-undang yang sudah yakni KUHP sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat. UU No. 23 Tahun 2004 ini

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 158 5/16/2012 4:37:54 PM

Page 77: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

JURNAL YUDISIAL | Kompleksitas Punitas | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | 159

sangat erat kaitannya dengan beberapa undang-undang, misalnya dengan UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Penghapusan/segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women/CEDAW) serta UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Tujuan yang hendak dicapai dari UU No. 23 Tahun 2004 adalah: (a) Mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga; (b) Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga; (c) Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga; dan (d) Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.

Dalam Pasal 1 UU No. 23 Tahun 2004, kekerasan dalam rumah tangga diartikan: “Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”. Sedangkan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, menurut Pasal 1 ke 2 adalah: “jaminan yang diberikan Negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga”.

Secara konseptual apa beberapa hal yang perlu dipahami dalam konteks penelitian ini. Kerangka yang dimaksud dapat diilustrasikan dalam ragaan di bawah. Dalam ragaan itu terlihat bagaimana suatu putusan hakim itu dapat ditelaah. (Sidharta, 2008: 198, bandingkan Mertokusumo, 1991: 159). Ragaan tersebut dapat dibaca sebagai berikut:

1. Putusan hakim, khususnya ingin dikaji dalam penelitian ini adalah dokumen hukum yang berawal dari kasus-kasus konkret. Di mata para hakim, kasus demikian diawali dari materi yang dituntut oleh jaksa penuntut umum (JPU). Oleh karena hakim harus mendengar kasus ini dari kedua belah pihak, maka di samping kasus posisi yang disampaikan oleh JPU, hakim juga harus mendengar kasus posisi versi terdakwa/penasihat hukumnya. Atas dasar itulah lalu hakim berusaha mengkonstatasi fakta.

2. Dalam perkara pidana, setiap surat dakwaan JPU wajib dicantumkan dasar hukum yang digunakan untuk menuntut pertanggungjawaban terdakwa. JPU akan berusaha membuktikan unsur-unsur dakwaan ini, sebaliknya terdakwa/penasihat hukumnya biasa akan berusaha menolak argumentasi dari JPU. Dalam putusan hakim, kedua argumentasi ini wajib untuk diberi tempat dan pertimbangan-pertimbangan yang proporsional (audi et alteram partem).

3. Dasar hukum (lazimnya berupa undang-undang) tersebut membutuhkan penafsiran. Bentuk penafsiran hakim sangat bergantung pada kompleksitas perkara (Percznik. 1989: 19) dan kejelasan dasar hukum yang mengaturnya. Penafsiran yang paling sederhana adalah

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 159 5/16/2012 4:37:54 PM

Page 78: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

160 | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | Kompleksitas Punitas | JURNAL YUDISIAL

penafsiran gramatikal dan otentik. Pada tahap ini hakim mencocokkan struktur aturan dengan struktur kasusnya. Mekanisme pencocokan ini lazimnya dikenal dengan menggunakan pola silogisme. Premis mayor diderivasi dari struktur aturan, sedangkan premis minor diangkat dari struktur kasus. Sintesis dari kedua premis ini adalah konklusi (conclussio). Dalam kasus pidana, silogisme biasanya dilakukan dengan mereduksi suatu rumusan pasal sehingga menjadi unsur-unsur tindak pidana. Unsur-unsur ini diasumsikan sebagai syarat-syarat yang mencukupi (sufficient conditions) untuk terpenuhinya suatu kualifikasi tindak pidana. Dengan demikian, silogisme dapat terdiri dari beberapa buah sekaligus, bergantung dari banyak unsur-unsur yang harus dicarikan solusinya.

4. Mengingat pola silogisme sangat tergantung pada rumusan premis mayor, maka “keberanian” hakim untuk menemukan hukum dapat berbuah pada hasil-hasil konklusi yang berbeda dengan “kesimpulan” dari JPU atau terdakwa/penasihat hukumnya. Bahkan, di antara para hakim sendiri pun dapat terjadi perbedaan. Jika ada anggota majelis yang berbeda pendapat saat musyawarah dilakukan, maka dapat saja anggota ini lalu membuat pendapat yang berbeda. Di sinilah terlihat kemungkinan-kemungkinan alternatif yang dimunculkan. Peragaan penalaran hakim justru terjadi pada tahap ini, yakni pada saat mereka membuat pertimbangan-pertimbangan. Kualitas kognitif suatu putusan terutama terletak pada aspek pertimbangan-pertimbangan ini.

5. Pada akhirnya, sebanyak apapun alternatif konklusi yang dapat dihasilkan, majelis hakim harus mengambil sikap. Pada tahap ini hakim harus memperhatikan secara komprehensif semua hal yang melingkupi perkara yang tengah ditanganinya. Ada nilai-nilai keadilan dan kemanfaatan yang juga wajib diakomodasi, tidak semata-mata nilai kepastian hukum. Di luar itu, hakim juga harus melihat kondisi terdakwa, sehingga terkuak faktor-faktor apa saja yang dapat memberatkan dan meringankan hukum. Semua ini merupakan bekal bagi majelis hakim untuk menentukan falsafah pemidanaan seperti apa yang paling tepat untuk kasus tersebut. Mengingat pengabaian terhadap formalitas ini dapat berbuah pada putusan yang batal demi hokum.

6. Setelah sikap diambil, maka putusan pun kemudian diformulasikan ke dalam putusan akhir dengan mengikuti format yang telah ditentukan di dalam KUHAP. Jika diamati secara kronologis, formulasi demikian sesungguhnya adalah tahap terakhir yang dilakukan oleh majelis hakim, tetapi bagi peneliti, aspek yang paling kasatmata untuk ditelaah terlebih dahulu justru adalah segi-segi formalitas-formalitas tersebut, mengingat pengabaian terhadap formalitas ini dapat berbuah pada putusan yang batal demi hukum.

Melalui penjelasan jalinan kerangka konseptual di atas dapat ditarik paling tidak empat konsep besar yang memang saling terkait dalam penelitian ini. Keempat konsep itu adalah tentang: (1) Formalitas putusan (tercermin dari ketaatan majelis memformulasikan secara tertulis

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 160 5/16/2012 4:37:55 PM

Page 79: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

JURNAL YUDISIAL | Kompleksitas Punitas | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | 161

putusan akhirnya dengan mengikuti ketentuan KUHAP), (2) Material putusan (tercermin dari kelengkapan unsur-unsur pembuktian tindak pidana dan kesalahan yang dijadikan pertimbangan), (3) Penalaran hukum yang logis (runtut dan sistematis), dan (4) Pertimbangan unsur keadilan dan kemanfaatan dalam putusan hakim (dimensi aksilogis, termasuk falsafah pemidanaan di dalamnya).

B. Analisis

Pada bagian ini dilakukan analisis terhadap 4 (empat) pertanyaan hukum (legal issue) yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini, analisis dideskripsikan secara runtut sesuai dengan urutan pertanyaan hukum dalam rumusan masalah.

1. Penerapan Aturan Hukum Formal

Aturan hukum pidana formal pada prinsipnya memuat kewenangan dan tindakan aparat penegak hukum pidana dalam melaksanakan peradilan pidana melalui tahap penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di pengadilan, dan pelaksanaan putusan hakim.

Putusan hakim yang berisi pemidanaan harus memuat hal-hal sebagaimana ditentukan dalam Pasal 197 ayat (1) UU No. 8 Tahun 19981, yang berisi:

a. Kepala putusan yang dituliskan berbunyi: ‘DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”;

b. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan;

c. Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;

d. Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa;

e. Tuntutan pidana sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan;

f. Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa;

g. Hari dan tanggal diadakannya musyawarah mejelis hakim kecuali perkara yang diperiksa oleh hakim tunggal;

h. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 161 5/16/2012 4:37:55 PM

Page 80: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

162 | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | Kompleksitas Punitas | JURNAL YUDISIAL

rumusan tindak pidana disertai kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan;

i. Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlah yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti;

j. Keterangan bahwa seluruh surat dinyatakan palsu atau keterangan di mana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu;

k. Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan;

l. Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera.

Mencermati isi putusan Pengadilan Negeri Banjarmasin No. 39/Pid.B/2008/PN.BJM yang menjadi objek penelitian ini dapat dikatakan tidak mencantumkan secara keseluruhan butir-butir yang tercantum dalam Pasal 197 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981. Butir-butir yang tidak dicantumkan tersebut adalah:

1. Ketentuan huruf d yakni pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa;

2. Ketentuan huruf h yakni pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan;

Menurut penjelasan Pasal 197 ayat (1) d, yang dimaksud dengan dengan “fakta dan keadaan” adalah apa yang ada dan apa yang diketemukan di sidang oleh pihak dalam proses, antara lain penuntut umum, saksi, ahli, terdakwa, penasihat hukum, dan saksi korban.

Dalam putusan ini majelis hakim tidak menguraikan secara ringkas mengenai temuan fakta di pemeriksaan sidang pengadilan. Bahkan dalam putusan ini, majelis hakim tidak menyebutkan isi keterangan saksi-saksi yang diajukan di persidangan, hanya menyebutkan:

“Keterangan saksi tersebut di atas telah termuat seluruhnya dalam berita acara sidang yang untuk singkatnya dianggap termuat dalam putusan ini; -----------“.

Menurut peneliti, pencantuman pertimbangan seperti tersebut tidak dibolehkan oleh Pasal 197 ayat (1) d UU No. 8 Tahun 1981, karena ketentuan ini menyebutkan pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan. Tidak cukup apabila hanya dicantumkan dalam berita acara sidang, karena yang dibacakan di persidangan bukannya berita acara sidang melainkan putusan itu sendiri.

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 162 5/16/2012 4:37:55 PM

Page 81: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

JURNAL YUDISIAL | Kompleksitas Punitas | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | 163

Menurut Yahya Harahap, sekalipun dikatakan “pertimbangan yang disusun ringkas”, bukan berarti putusan itu benar-benar ringkas tanpa argumentasi dan kesimpulan yang jelas, terinci, dan utuh. Penguraian fakta dan keadaan serta alat pembuktian, bukan semata-mata berupa uraian deskriptif, tetapi semuanya dipertimbangkan secara argumentatif sebelum sampai kepada kesimpulan pendapat. Sebelum putusan sampai pada uraian pertimbangan yang menyimpulkan pendapat tentang kesalahan terdakwa, fakta dan keadaan serta alat pembuktian yang diperoleh dalam pemeriksaan sidang, semestinya dipertimbangkan secara argumentatif, sehingga jelas terbaca jalan pikiran yang logis dan reasoning yang mantap yang mendukung kesimpulan pertimbangan hakim (Yahya Harahap, 2008: 361).

Menurut Suhadibroto, fakta hukum itu dalam sistem hukum kita dikualifisir sebagai alat bukti. Apakah fakta hukum atau alat bukti itu cukup sebagai dasar bagi hakim mengambil putusan, sepenuhnya itu menjadi hak hakim. Dengan kata lain, apakah fakta hukum telah memenuhi unsur delik yang dirumuskan dalam undang-undang, sepenuhnya tergantung dari penilaian hakim. Di sini tugas hakim adalah mengkonkretkan unsur-unsur yang abstrak tersebut dengan fakta hukum atau sebaliknya mengabstraksikan fakta yang konkret ke dalam unsur-unsur yang dirumuskan dalam undang-undang. Hukum positif kita memberikan kewenangan kepada hakim untuk menilai fakta hukum sesuai dengan keyakinannya yang bersifat subjektif (Suhadibroto, 2008: 4).

Dalam putusan inipun majelis hakim tidak pula mencantumkan fakta hukum, dan bahkan tidak juga dalam berita acara persidangan. Fakta hukum diperoleh di persidangan berdasarkan kesesuaian antara alat bukti saksi, keterangan ahli, bukti surat ataupun keterangan terdakwa. Dalam penalaran hukum deduksi silogisme, fakta hukum merupakan premis minor yang kemudian dihubungkan dengan ketentuan undang-undang yang merupakan premis mayor (dalam hukum pidana berupa unsur-unsur delik), selanjutnya dibuat kesimpulan (konklusi).

Dalam putusan ini juga tidak disebutkan mengenai alat-alat bukti yang digunakan oleh majelis hakim untuk menyatakan terdakwa secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana.

Menurut Pasal 183 UU No. 8 Tahun 1981: “hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindakan pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Dalam teori hukum acara pidana, sistem pembuktian ini disebut dengan sistem pembuktian negatif menurut undang-undang.

Menurut Yahya Harahap, sistem pembuktian negatif menurut undang-undang ini merupakan teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan (conviction in time). Sistem pembuktian negatif menurut undang-undang merupakan keseimbangan antara kedua sistem yang saling bertolak belakang secara ekstrem, yang menggabungkan ke dalam dirinya secara terpadu antara sistem pembuktian menurut keyakinan

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 163 5/16/2012 4:37:55 PM

Page 82: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

164 | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | Kompleksitas Punitas | JURNAL YUDISIAL

dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif. Rumusan sistem pembuktian negatif menurut undang-undang berbunyi: “salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang (Yahya Harahap, 2008: 278-279).

Dengan demikian, maka tidak dapat pula diketahui tentang sistem pembuktian apa yang dipergunakan oleh majelis hakim dalam membuat diktum (amar) putusan menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana. Pernyataan yang menyatakan “telah terbukti secara sah”, berarti berdasarkan alat bukti menurut undang-undang sebagaimana disebut dalam Pasal 184 UU No. 8 Tahun 1981. Padahal dalam pertimbangan putusan, sama sekali tidak disebutkan alat-alat bukti yang diperoleh di persidangan.

Pada sisi lain, putusan ini memang telah mencantumkan tuntutan pidana penuntut umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 197 ayat (1) huruf e UU No. 8 Tahun 1981, akan tetapi dalam putusan ini terdapat kesalahan menyebut kualifikasi delik dan pasal sebagai dasar hukum. Dalam kesimpulan surat tuntutan pada butir 1 penuntut umum disebutkan: “Menyatakan terdakwa J terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “kekerasan dalam rumah tangga yang mengakibatkan matinya korban” melanggar sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 44 ayat (3) UU RI No. 23 Tahun 2004.” Sedangkan tuntutan pidana penuntut umum dalam putusan disebutkan: “Menyatakan terdakwa J terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “kekerasan dalam rumah tangga” melanggar Pasal 44 ayat (1) UU RI No. 23 Tahun 2004”.

Dasar hukum yang digunakan oleh penuntut umum (Pasal 41 ayat (3) UU No. 23 Tahun 2004) ini sama dengan dakwaan surat dakwaan (dakwaan tunggal). Kesalahan dalam penyebutan kualifikasi delik dan dasar hukum ini, juga ditemukan dalam pertimbangan hukum putusan ini, yang akan dibahas pada bagian lain. Dalam pertimbangan putusan ini tidak dicantumkan tentang pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 197 ayat (1) huruf h UU No. 8 Tahun 1981. Pernyataan tentang kesalahan terdakwa, kualifikasi delik, dan pemidanaan ini hanya dicantumkan pada diktum (amar) putusan.

Pasal 197 ayat (1) huruf h memang tidak menyebutkan pada bagian mana dicantumkan pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan. Namun sejauh yang peneliti ketahui, dalam praktik hal mengenai pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai kualifikasinya lazimnya dicantumkan pada bagian pertimbangan hukum, seperti terlihat dalam contoh putusan ini: ”Menimbang bahwa sebagaimana diuraikan dalam pertimbangan tersebut di atas semua unsur dakwaan primair telah terpenuhi, oleh karena itu dakwaan primair

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 164 5/16/2012 4:37:55 PM

Page 83: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

JURNAL YUDISIAL | Kompleksitas Punitas | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | 165

tersebut dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan dengan kualifikasi tindak pidana sebagaimana disebutkan dalam amar putusan ini” (Putusan No. 705/Pid.B/2005/PN.BJM). Hal ini berbeda dengan pernyataan terbukti bersalah yang dicantumkan dalam diktum (amar) putusan yang sama, yang menyatakan terdakwa I H. S, S.Sos. M.Si bin S; ............ tersebut di atas, telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut.

Menurut Pasal 197 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1981, “tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, k, dan l pasal ini mengakibatkan batal demi hukum”. Berdasarkan ketentuan ini, maka seharusnya putusannya batal demi hukum.

Menurut Yahya Harahap, suatu putusan yang batal demi hukum, mengembalikan semua hal dan keadaan kepada keadaan semula seolah-olah terdakwa tidak pernah diperiksa dan didakwa melakukan tindak pidana. Kedudukan terdakwa pulih dalam keadaan semua sebelum ia diperiksa dan didakwa. Demikian fatalnya akibat yang akan dialami putusan yang tidak mengindahkan ketentuan yang digariskan Pasal 197 ayat (1). Putusan yang dijatuhkan tidak mengikat dan tidak mempunyai kekuatan hukum, serta tidak mempunyai kekuatan daya eksekusi. Putusan yang batal demi hukum tidak dapat dieksekusi oleh penuntut umum, karena putusan itu sendiri tidak mempunyai akibat hukum (Harahap, 2008: 360).

2. Penerapan Aturan Hukum Materiil

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa terdakwa didakwa dengan dakwaan tunggal melakukan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang mengakibatkan matinya korban sebagaimana diatur dalam Pasal 44 ayat (3) UU No. 23 Tahun 2004.

Pasal 44 UU No. 23 Tahun 2004 menyatakan:

(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana pejara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah).

(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp. 45.000.000.000,- (empat puluh lima juta rupiah).

Penafsiran otentik tentang kekerasan fisik terdapat dalam Pasal 6 UU No. 23 Tahun 2004, yaitu perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Menurut Guse Prayudi, pengertian ini serupa tapi tidak sama dengan pengertian “penganiayaan” yang tercantum Pasal 351 KUHP (Prayudi, 2009: 37). Sebenarnya dalam KUHP (Pasal 351 KUHP) tidak ada disebutkan konstruksi delik penganiayaan, yang disebut dalam Pasal 351 ayat (1) hanyalah kualifikasi (nama

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 165 5/16/2012 4:37:55 PM

Page 84: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

166 | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | Kompleksitas Punitas | JURNAL YUDISIAL

delik) yaitu penganiayaan. Dalam doktrin, dirumuskan penganiayaan adalah setiap perbuatan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada orang lain. Sedangkan menurut arrest HR tgl10/2/11902: jika menimbulkan rasa sakit atau luka bukan menjadi tujuan melainkan suatu sarana untuk mencapai tujuan yang patut, maka tidaklah ada penganiayaan.

Dalam diktum (amar) putusan terdakwa dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang mengakibatkan matinya korban sebagaimana diatur dalam Pasal 44 ayat (3) UU No. 23 Tahun 2004. Dasar hukum yang digunakan oleh majelis hakim tersebut sesuai dengan dakwaan dan tuntutan penuntut umum, sehingga terdapat konsistensi antara dasar hukum dalam surat dakwaan, surat tuntutan dan putusan.

Permasalahannya yang perlu digali di sini adalah apakah dasar hukum yang digunakan oleh majelis hakim ini sudah tepat?

Dalam memeriksa dan memutus suatu perkara pidana, hakim terikat pada dakwan penuntut umum. Hakim juga memutus suatu perkara sesuai dengan fakta hukum yang terungkap dalam persidangan. Sebagaimana disebutkan pada bagian pertimbangan hukum, bahwa dalam putusan ini tidak disebutkan sama sekali fakta hukum, bahkan juga tidak disebutkan isi keterangan saksi-saksi dan keterangan terdakwa. Keterangan ini hanya dapat ditemukan di berita acara sidang yakni keterangan saksi S dan AH.

Saksi S menerangkan:

Bahwa benar saksi mengetahui bahwa terdakwa telah menganiaya ibu saya sampai • meninggal;

Bahwa benar kejadian itu terjadi pada hari Senin tanggal 15 Oktober 2007 sekitar pukul • 19.30 WITA bertempat di rumah orang tua saya sendiri Jl. Jafri Zam-Zam Banjarmasin;

Bahwa benar pada saat itu ayah saya minta tolong sama ibu ambilkan gunting kemudian ibu • marah-marah dan ayah saya tersenggol gelas dan pecah bertambah lagi ibu marah sambil mengomel dan menunjuk ke muka ayah saya kembalian dengan tidak sengaja ayah emosi dan kebetulan pisau ada di dekatnya sehingga terdakwa/ayah menusukkan pisau ke tubuh ibu saya beberapa kali.

Saksi AH menerangkan sebagai berikut:

Bahwa benar terdakwa telah menganiaya istri sampai meninggal;•

Bahwa benar kejadian itu terjadi pada hari Senin tanggal 15 Oktober 2007 sekitar pukul • 18.30 WITA bertempat di rumah orang tua saya sendiri Jl. Jafri Zam-Zam Banjarmasin;

Bahwa benar permasalahan sebelumnya hanya masalah keluarga;•

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 166 5/16/2012 4:37:55 PM

Page 85: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

JURNAL YUDISIAL | Kompleksitas Punitas | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | 167

Bahwa benar pada saat itu terdakwa datang ke rumah minta tolong sama istrinya ambilkan • gunting tapi istrinya malah marah-marah dan menonjok ke muka terdakwa kemudian terdakwa emosi dan langsung menusukkan pisau ke tubuh korban beberapa kali.

Visum et repartum yang dibuat oleh dokter rumah sakit Suaka Insan Banjarmasin menerangkan: luka pada dada bagian tengah panjang 5 cm sampai tulang, luka pada payudara sebelah kanan 2 cm sampai tulang, luka pada ketiak, perut bagian kiri 12 cm, ulu hati 3 cm, dan paha dalam 4 cm.

Pada visum et repartum tersebut dikesimpulkan bahwa: (1) Kematian kemungkinan besar disebabkan karena pendarahan yang banyak dalam waktu singkat, (2) Luka tersebut disebabkan oleh kekerasan dengan benda berujung tajam.

Menurut peneliti berdasarkan keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa dan bukti surat (visum et repartum) tersebut dapat ditarik fakta hukum sebagai berikut:

Bahwa peristiwa itu terjadi pada hari Senin tanggal 15 Oktober 2007 sekitar pukul 18.30 • WITA bertempat di rumah korban sendiri Jl. Jafri Zam-Zam Banjarmasin;

Bahwa pada saat itu terdakwa datang ke rumah, minta tolong sama istrinya ambilkan • gunting, akan tetapi istrinya malah marah-marah dan menonjok ke muka terdakwa;

Bahwa karena perbuatan korban (istri) tersebut, terdakwa emosi dan langsung menusukkan • pisau ke tubuh korban beberapa kali.

Bahwa korban mengalami luka pada dada bagian tengah panjang 5 cm sampai tulang, pada • panyudara sebelah kanan 2 cm sampai tulang, pada ketiak, pada perut bagian kiri 12 cm, pada ulu hati 3 cm dan, paha dalam 4 cm.

Bahwa luka tersebut disebabkan oleh kekerasan dengan benda berujung tajam yakni pisau;•

Bahwa akibat dari luka-luka tersebut korban meninggal dunia.•

Mencermati fakta hukum yakni letak (posisi) luka pada korban tersebut yaitu pada posisi dada dan sekitarnya, yang menjadi pertanyaan adalah apakah tepat perbuatan terdakwa dikualifikasikan sebagai kekerasan fisik dalam arti perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (3) jo Pasal 6 UU No. 23 Tahun 2004? Keadaan atau akibat matinya korban sebagaimana dalam Pasal 44 ayat (3), bukanlah sesuatu yang dikehendaki oleh pelaku.

Apabila matinya korban merupakan sesuatu yang dikehendaki oleh pelaku, maka perbuatan perlaku dikualifikasikan sebagai pembunuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 338 KUHP. Pasal 338 KUHP konstruksi deliknya menyatakan: “dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain”.

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 167 5/16/2012 4:37:55 PM

Page 86: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

168 | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | Kompleksitas Punitas | JURNAL YUDISIAL

Menurut Memorie van Toelichting (MvT), seseorang dinyatakan dengan sengaja melakukan perbuatan atau menimbulkan suatu akibat, apabila melakukan perbuatan dengan menghendaki (willen) dan mengetahui (wetens). Dalam konteks Pasal 338 KUHP, berarti melakukan suatu perbuatan pelaku menghendaki timbulnya suatu akibat dan mengetahui (dapat mengetahui) terjadinya akibat tersebut. Bagian dada adalah salah satu bagian vital tubuh manusia, dan dengan 5 (lima) luka di posisi dada dan sekitarnya, apakah terdakwa tidak menghendaki dan tidak dapat mengetahui akibat yang terjadi. Menurut peneliti hal ini tidak dapat diterima akal sehat. Berapa yurisprudensi menyatakan seperti: “apabila pelaku dengan sengaja menusukkan benda tajam (pisau) ke bagian dada korban yang kemudian mengakibatkan kematian, maka matinya korban tersebut suatu halnya dikehendaki oleh pelaku”.

Berdasarkan uraian tersebut, menurut peneliti dalam putusan ini terjadi kesalahan dalam menerapkan hukum. Namun dalam memeriksa dan memutus perkara ini, majelis hakim tidak ada pilihan lain karena surat dakwaan penuntut umum bentuknya tunggal yaitu hanya Pasal 44 ayat (3) UU No. 23 Tahun 2004.

Dalam putusan ini pula dapat ditemukan adanya disparitas pidana antara tuntutan penuntut umum dengan putusan hakim, yakni dalam tuntutan (requisitoir) penuntut umum, terdakwa dituntut pidana penjara 10 (sepuluh) tahun sedangkan dalam putusan hakim 7 (tujuh) tahun. Berarti ada perbedaan selama 3 (tiga) tahun atau 30%, suatu disparitas yang “tidak” terlalu besar.

Berkaitan dengan pembuktian unsur tindak pidana Pasal 44 ayat (3) UU No. 23 Tahun 2004 dan kesalahan, pada putusan ini sama sekali tidak didukung oleh fakta hukum, karena sebagaimana telah dikemukakan bahwa dalam putusan ini majelis hakim sama sekali tidak menyebutkan fakta hukum tersebut. Bahkan dapat dikatakan dalam putusan ini tidak ditemukan analisis pembuktian unsur-unsur delik dan pembuktian kesalahan.

Beranjak dari 2 (dua) hal pokok tersebut yaitu: (a) tidak disebutnya fakta hukum yang diperoleh dari pemeriksaan di persidangan, dan (b) tidak dilakukannya analisis pembuktian, maka pada putusan ini dapat dikatakan:

1. Tidak diketahuinya tentang apakah pembuktian unsur kesalahan dalam putusan ini menggunakan teori monisme.

2. Tidak menggunakan doktrin yang standar dalam memahami unsur tindak pidana.

3. Tidak dilakukan analisis keterkaitan unsur tindak pidana dengan doktrin.

4. Tidak menggunakan yurisprudensi dalam memahami unsur tindak pidana.

5. Tidak dianalisis keterkaitan unsur tindak pidana dengan yurisprudensi.

6. Tidak menggunakan doktrin yang standar dalam memahami unsur kesalahan.

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 168 5/16/2012 4:37:55 PM

Page 87: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

JURNAL YUDISIAL | Kompleksitas Punitas | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | 169

7. Tidak dianalisis keterkaitan unsur kesalahan dengan doktrin.

8. Tidak menggunakan yurisprudensi dalam memahami unsur kesalahan.

9. Tidak dianalisis keterkaitan unsur kesalahan dengan yurisprudensi.

2. Penerapan Penalaran Hukum

Peradilan tidak lain hanyalah merupakan bentuk silogisme. Undang-undang merupakan premis mayor, peristiwa yang konkret merupakan premis minor, sedangkan putusan hakim merupakan konklusi atau kesimpulan. Suatu kesimpulan logis tidak lebih dari apa yang terdapat dalam premis-premis tersebut. Demikian pula suatu putusan hakim tidak akan berisi atau meliputi lebih dari apa yang terdapat dalam undang-undang yang berhubungan dengan peristiwa konkret (Sudikno Mertokusumo, 1993: 6).

Sehubungan dengan pemikiran tersebut, seyogianya hakim memberikan makna terhadap setiap unsur delik yang hendak dibuktikan sebagaimana dicantumkan dalam surat dakwaan. Unsur delik merupakan premis mayor yang perlu dimaknai dengan melakukan interpretasi, kemudian memverifikasikan fakta hukum terhadap unsur-unsur yang telah ditafsirkan tadi.

Unsur-unsur tindak yang terdapat dalam Pasal 44 ayat (3) UU No. 23 Tahun 2004, sebagai berikut: (1) melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a; (2) mengakibatkan matinya korban.

Sehubungan dengan pemikiran tersebut, seyogianya putusan ini memberikan makna terhadap setiap unsur delik yang hendak dibuktikan sebagaimana dicantumkan dalam surat dakwaan. Unsur delik merupakan premis mayor yang perlu dimaknai dengan melakukan interpretasi, kemudian mengkostruksikan fakta hukum terhadap unsur-unsur yang telah ditafsirkan tadi yang selanjutnya ditarik kesimpulan.

Dalam konteks putusan yang diteliti ini dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut:

1. Pada putusan ini tidak ada analisis terhadap makna terhadap ketentuan sebagai dasar hukum, dengan demikian putusan tidak melakukan analisis terhadap unsur-unsur delik Pasal 44 ayat (3) UU No. 23 Tahun 2004.

2. Beranjak dari butir 1 tersebut, maka jelas tidak ditemukan penafsiran baru terhadap ketentuan dasar hukum yang digunakan.

3. Putusan ini tidak melakukan konstruksi dengan berangkat dari dasar hukum yang digunakan dalam memeriksa dan memutus perkara ini dengan terhadap fakta hukum, karena fakta hukumnya sendiri tidak disebutkan dalam putusan ini.

4. Pada putusan ini tidak diketemukan proses berpikir silogistis yang runtut sehingga semua

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 169 5/16/2012 4:37:55 PM

Page 88: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

170 | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | Kompleksitas Punitas | JURNAL YUDISIAL

unsur-unsur yang dituduhkan terhubung dengan fakta dan konklusinya.Tidak ada fakta hukum dinyatakan terungkap di pengadilan, tidak ada analisis unsur-unsur delik dan tidak melakukan konstruksi fakta hukum terhadap unsur-unsur. Dengan kata lain dalam memeriksa dan memutus perkara ini hakim sama sekali tidak menerapkan penalaran hukum. Suatu keadaan yang sangat aneh yang menunjukkan tidak profesionalnya hakim, jauh dari tugas dan kewajiban yang seharusnya dijalankan.

4. Aspek Keadilan dan Kemanfaatan

Menurut Gustav Radbruch, pada hukum dituntut memuat 3 (tiga) nilai, yaitu: keadilan (gerechtigkeit), kegunaan (zweckmassigkeit), dan kepastian hukum (rechtssicherheit) (Satjipto Raharjo, 2000: 1). Menurut Satjipto Raharjo, sekalipun ketiga-tiganya merupakan nilai dasar hukum, namun antara ketiganya terdapat suatu ketegangan (spannungsverhalnis) satu dengan yang lain. Hubungan keadaan yang demikian dapat dimengerti karena ketiga-tiganya berisi tuntutan yang berlainan satu sama lainnya yang mengandung potensi bertentangan.

Pada bagian analisis butir 2 mengenai penerapan hukum materiil telah dinyatakan bahwa majelis hakim telah menerapkan Pasal 44 ayat (3) UU No. 23 Tahun 2004 sebagaimana disebut dalam surat dakwaan dan tuntutan penuntut umum. Juga telah peneliti kemukakan bahwa majelis hakim tidak tepat menetapkan dasar hukum dalam putusan ini.

Sebagaimana diketahui bahwa penerapan suatu aturan delik apabila fakta hukum yang terungkap di persidangan memenuhi semua unsur delik yang didakwakan. Dalam surat dakwaan penuntut umum, terdakwa telah didakwakan dengan dakwaan tunggal yakni melakukan kekerasan fisik dalam rumah tangga yang mengakibatkan matinya korban sebagaimana diatur dalam Pasal 44 ayat (3) UU No. 23 Tahun 2004.

Dakwaan tunggal tersebut memang tidak ada alternatif lain bagi majelis hakim untuk mencari dasar hukum dalam memeriksa dan memutus perkara ini. Apabila majelis hakim menyatakan terdakwa tidak terbukti secara dan meyakinkan melakukan tindak pidana kekerasan fisik dalam rumah tangga yang mengakibatkan matinya korban dan yang terbukti adalah tindak pidana pembunuhan sebagaimana diatur dalam Pasal 338 KUHP, maka terdakwa harus bebas. Dalam hal demikian, maka dapat dikatakan putusan ini memenuhi nilai kepastian hukum namun mengenyampingkan nilai keadilan.

Penggunaan Pasal 44 ayat (3) UU No. 23 Tahun 2004 sebagai dasar hukum menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana kekerasan fisik dalam rumah tangga, menurut peneliti dapat dikatakan memenuhi nilai keadilan. Menurut peneliti, hal ini merupakan “kesalahan” penuntut umum dalam menyusun surat dakwaan yang tidak mencantumkan Pasal 338 KUHP. Seharusnya dakwaan yang disusun berbentuk dakwaan alternatif yaitu Pasal 338 KUHP atau Pasal 44 ayat (3) UU No. 23 Tahun 2004, sehingga majelis

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 170 5/16/2012 4:37:55 PM

Page 89: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

JURNAL YUDISIAL | Kompleksitas Punitas | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | 171

hakim dapat memilih dakwaan mana yang dinyatakan secara sah dan meyakinkan terbukti.

Sehubungan dengan pemidanaan yang dijatuhkan oleh majelis hakim yakni pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut:

1. Tidak mengakomodir nilai keadilan.

Menurut peneliti, pidana yang dijatuhkan oleh majelis hakim kurang adil, ditinjau dari latar belakang (sebab musabab) terdakwa melakukan tindak pidana ini yakni adanya provokasi dari korban yang sering dan pada saat kejadian marah-marah dan memaki-maki terdakwa (hal ini terdapat dalam surat tuntutan serta pleidoi penasihat hukum terdakwa). Bahkan dalam keterangan saksi-saksi yang juga merupakan anak korban dan anak terdakwa serta warga masyarakat yang termuat dalam surat tuntutan disebutkan membuat surat permohonan keringanan hukuman. Sekalipun untuk menentukan berat ringannya pidana tidak bisa ditakar secara matematis, namun seorang hakim seyogianya atas dasar profesionalisme dan hati nuraninya dapat menentukan pidana yang adil bagi terdakwa dengan memperhatikan semua aspek secara proporsional.

2. Terdapat nilai kemanfaatan.

Pemidanaan terhadap terdakwa selama 7 (tujuh) tahun, menurut peneliti sesuai dengan tujuan pemidanaan untuk speciale preventie dan generale preventie. Dalam perspektif speciale preventie adalah untuk tujuan resosialisasi bagi terpidana melalui pemasyarakatan dan general preventie yaitu sebagai pembelajaran bagi masyarakat konsekuensi apabila melakukan pelanggaran hukum.

3. Untuk mendukung penetapan lamanya pidana, tidak disebutkan faktor non yuridis, namun sebagaimana telah dikemukakan pada butir 1 bahwa saksi-saksi yang juga merupakan anak terdakwa dan anak korban serta warga masyarakat telah menyampaikan permohonan keringanan hukum kepada majelis hakim. Alasan permohonan keringanan ini adalah karena terdakwa orang yang sering diprovokasi (dimaki-maki) atau dilecehkan oleh korban, dan terdakwa bersosialisasi secara baik dengan masyarakat. Dalam perspektif viktimologi, suatu kejahatan dapat terjadi karena adanya peranan korban sendiri, misalnya korban telah memprovokasi pelaku. Menurut peneliti, seyogianya hal ini dimasukan sebagai pertimbangan yang meringankan dalam putusan oleh majelis hakim.

4. Menurut peneliti, pemidanaan yang dijatuhkan oleh majelis hakim mengacu pada falsafah pemidanaan retributif, yakni pidana yang dijatuhkan sebagai pembalasan, pidana yang dijatuhkan setimbal atau sebanding dengan bobot perbuatan dan kesalahan dari pelaku. Sanksi pidana menurut Pasal 44 ayat (3) UU No. 23 Tahun 2004 maksimum 15 (lima) tahun, sedangkan pidana yang dijatuhkan terhadap terdakwa 7 (tujuh) tahun. Sekalipun pidana yang dijatuhkan ini masih kurang dari 50% , menurut peneliti pemidanaan ini masih

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 171 5/16/2012 4:37:55 PM

Page 90: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

172 | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | Kompleksitas Punitas | JURNAL YUDISIAL

mencerminkan falsafah pemidanaan retributif. Hal ini alasannya dikaitkan dengan sebab musabab terdakwa melakukan tindak pidana ini karena adanya provokasi dari korban yang mana alasan ini tidak disebutkan oleh majelis hakim dalam pertimbangan hukum sebagai alasan yang meringankan.

5. Menurut peneliti falsafah pemidanaan retributif kurang tepat diterapkan dalam perkara yang diperiksa dan diputus oleh majelis hakim ini. Alasannya sebagaimana telah dikemukakan bahwa faktor provokasi korban sebagai pemicu terjadinya peristiwa ini, sehingga tidak seharusnya terdakwa diganjar dengan pidana yang setimpal (sebanding) dengan bobot perbuatannya.

SIMPULANIV.

Beranjak dari analisis yang telah dikemukakan, maka dapatlah ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Ketentuan hukum acara tidak sepenuhnya diikuti oleh putusan ini khususnya berkenanan dengan ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf d mengenai tidak disebutnya fakta dan keadaan serta alat bukti yang diterima di persidangan, dan huruf h KUHAP yang tidak menyebutkan pernyataan tentang terdakwa terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan, sehingga sesuai Pasal 197 ayat (2) putusan ini batal demi hukum.

2. Putusan ini kurang tepat menentukan dasar hukum materiil yang mungkin disebabkan karena dakwaan penuntut umum bentuknya dakwaan tunggal yaitu Pasal 44 ayat (3) UU No. 23 Tahun 2004. Dari fakta yang terungkap di persidangan lebih tepat digunakan Pasal 338 KUHP. Tidak dikemukakan analisis pembuktian, sehingga tidak terlihat penerapan doktrin ataupun yurisprudensi dalam putusan ini.

3. Putusan ini juga sama sekali kurang mencerminkan penalaran hukum yang logis karena tidak menerapkan logika silogisme, tidak mengalisis dasar hukum, tidak melakukan konstruksi untuk menghubungkan antara unsur delik dalam aturan hukum yang digunakan dengan fakta hukum yang terungkap di persidangan.

4. Dalam putusan ini sekalipun telah mengakomodir nilai keadilan dalam dasar hukumnya, namun dari segi pidananya kurang mencerminkan nilai keadilan karena tidak mempertimbangkan provokasi korban sebagai pemicu terjadinya peristiswa ini. Akan tetapi memuat nilai kemanfaatan dari perspektif specile preventie dan generale preventie. Falsafat pemidanaan yang dianut hakim ke arah falsafat retributif yang tidak tepat untuk perkara ini. Hakim tidak mempertimbangan faktor non yuridis dalam pemidanaan yaitu surat permohonan keringanan pidana yang diajukan oleh saksi-saksi (anak terdakwa dan korban) serta warga masyarakat.

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 172 5/16/2012 4:37:55 PM

Page 91: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

JURNAL YUDISIAL | Kompleksitas Punitas | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | 173

Berdasarkan kesimpulan tersebut, peneliti merekomendasikan agar putusan dalam perkara yang sama ke depan harus memperhatikan Pasal 197 ayat (1) KUHAP serta pendapat pakar dan yurisprudensi yang sudah diakui dan praktik peradilan agar putusan yang dibuat dapat dipertanggungjawabkan secara akademik dan yuridik.

DAFTAR PUSTAKA

Hamzah, Andi. 2004. Hukum Acara Pidana Indonesia. Edisi Revisi. Jakarta: Sinar Grafika.

Hararap, M. Yahya. 2008. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika.

_______________. 2008. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Bagian Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Jakarta: Sinar Grafika.

Merto Kusumo, Sudikno. 1993. Bab-Bab tentang Penemuan Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Moeljatno. 1982. Azas-Azas Hukum Pidana.

Nusantara, Abdul Hakim Garuda dkk. 1992. KUHAP dan Peraturan-Peraturan Pelaksana. Cetakan ke 2. Jakarta: Djambatan.

Prayudi, Guse. 2009. Berbagai Asepek Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Yogjakarta: Merkid Press.

Raharjo, Satjipto. 2000. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.

_____________. 2006. Membedah Hukum Progresif. Jakarta: Kompas.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamuji. 1986. Metode Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: Rajawali.

Suhadibroto. 2008. “Catatan Terhadap Hasil Evaluasi atas Penelitian Putusan-Putusan Hakim”. Makalah. Disampaikan pada Pelatihan Investigator dan Penelitian Komisi Yudisial di Jakarta 2 Februari 2008.

Sunggono, Bambang. 2003. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Rajagrafindo Persada.

Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 173 5/16/2012 4:37:55 PM

Page 92: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

174 | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | Kompleksitas Punitas | JURNAL YUDISIAL

PenGGunaan Hasil PenyaDaPan seBaGaialaT BukTi PeTunjuk Dalam Perkara

TinDak PiDana koruPsi

kajian Putusan nomor 07/PiD.B/TPk/2008/Pn.jkT.PsT

Ricca AnggraeniFakultas Hukum Universitas Pancasila, Jalan Srengseng Sawah Jakarta Selatan, 12640

email:[email protected]

ABSTRACTAs an extraordinary crime, case of corruption requires extraordinary handlings as well. Those particular treatments are for examples, modifying the law and legislation in the field of corruption, and establishing an independent institution to fight against corruption, known these days as the Corruption Eradication Commission (KPK). KPK has the authority to spy, investigate, and prosecute criminal act of corruption. To implement this function, KPK has also the authority to conduct, for example, a tapping, which results in form of evidence. Judges may use the results of KPK’s tapping as other evidence out of the Code of Criminal Procedure (KUHAP) to proceed the criminal case of corruption. Using the tapping results as evidence is allowed and not considered a violation of human rights, because according to the law of the human rights, provisions concerning human rights regulated in the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia can be put aside if it is done to run the constitution.

Keywords: tapping, Judge’s conviction, human rights.

ABSTRAKSebagai kejahatan extraordinary, kasus korupsi juga membutuhkan penanganan yang ekstraordinary. Beberapa cara penanganan perkara korupsi seperti, melakukan modifikasi hukum dan peraturan di area korupsi, dan memperkuat institusi untuk melawan terhadap korupsi yang saat ini dikenal dengan nama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK memililiki wewenang untuk memata-matai, investigasi, dan menuntut aksi kejahatan korupsi. Untuk menjalankan fungsi tersebut, KPK juga memiliki wewenang yang terkait hal tersebut seperti penyadapan sebagai bukti dari perkara korupsi. Hakim menilai hasil penyadapan yang dilakukan oleh KPK merupakan bukti lain di luar yang ditentukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum untuk memproses perkara korupsi. Pengunaan penyadapan sebagai bukti telah diijinkan dan bukan merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.

Kata kunci: penyadapan, keyakinan hakim, hak asasi manusia

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 174 5/16/2012 4:37:55 PM

Page 93: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

JURNAL YUDISIAL | Kompleksitas Punitas | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | 175

PENDAHULUANI.

Apabila masyarakat Indonesia membaca buku yang ditulis oleh Adam Schwartz, maka masyarakat akan tercengang melihat gambaran korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang dilakukan oleh keluarga mantan Presiden Soeharto beserta kroninya. Masyarakat akan makin dibuat tercengang ketika mendapati realitas bahwa dalam setiap lini Pemerintahan Indonesia telah menggejala perilaku korupsi ini. Perilaku korup yang kronis ini juga didukung oleh sistem hukum Indonesia yang lemah. Artinya, meluasnya korupsi di Indonesia, tidak hanya disebabkan oleh satu faktor saja, misalnya pemerintah atau alat penegak hukum, melainkan oleh beberapa faktor sekaligus, termasuk kultur masyarakat Indonesia.

Korupsi berasal dari bahasa latin yaitu corrumpere (KPK, 2007: 12), yang kemudian dalam kamus hukum diartikan sebagai buruk, rusak, suka menerima uang sogok, menyelewengkan uang/barang dengan menggunakan jabatannya untuk kepentingan pribadi, dan penyelewengan atau penggelapan uang negara atau perusahaan sebagai tempat seseorang bekerja untuk keuntungan pribadi atau orang lain.

Jika mengacu pada ketentuan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, korupsi adalah perbuatan secara melawan hukum dengan maksud untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Merujuk pada pemahaman di atas, korupsi tidak hanya dapat dilakukan oleh pejabat publik yang menyalahgunakan kewenangannya, tetapi juga oleh orang perorangan yang melakukan suap kepada pejabat publik agar pejabat itu menyalahgunakan wewenangnya sehingga menguntungkan kepentingan orang perorangan tadi.

Tindakan suap kepada pejabat publik semacam itu dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi yang disebut dengan gratifikasi. Gratifikasi dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dimaksudkan sebagai pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat, komisi, pinjaman uang tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya, baik yang diterima di dalam maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.

Masyarakat Indonesia secara tidak sadar telah turut andil dalam membudayakan korupsi ala gratifikasi karena terbiasa memberikan uang tanda “terima kasih” dan uang pelicin kepada pejabat publik. Menyikapi gratifikasi, Plato berujar, “Para pelayan bangsa harus memberikan pelayanan mereka tanpa menerima hadiah, kalau terbukti bersalah, dibunuh tanpa upacara”.

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 175 5/16/2012 4:37:55 PM

Page 94: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

176 | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | Kompleksitas Punitas | JURNAL YUDISIAL

Lemahnya sistem hukum di Indonesia, membuat tindak pidana korupsi di Indonesia sudah mengkristal dalam sendi-sendi kehidupan, hal ini menyebabkan perekonomian negara hancur, mengancam lingkungan hidup, lembaga-lembaga demokrasi, hak-hak asasi manusia dan hak-hak dasar kemerdekaan dan yang paling buruk adalah menghambat jalannya pembangunan dan memperparah kemiskinan. Ini mengindikasikan bahwa korupsi telah benar-benar menjadi permasalahan akut yang sangat membahayakan dan merugikan negara. Bahkan dalam kajian Romli Atmasasmita, tindak pidana korupsi sudah merupakan tindak pidana luar biasa (extraordinary crime), karena korupsi telah melemahkan kemampuan negara untuk memberikan pelayanan umum yang baik dan menghambat berfungsinya penyelenggaraan negara secara efektif. Terlebih lagi korupsi akan menimbulkan beban ekonomi yang berat karena menciptakan tingginya ekonomi makro yang membahayakan stabilitas keuangan, keamanan umum, hukum dan ketertiban (Mukhtar, 2009: 8).

Dipandangnya tindak pidana korupsi sebagai extraordinary crime menuntut penanganan yang juga extraordinary, seperti dibentuknya undang-undang yang berfungsi sebagai lex specialis dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Undang-Undang Hukum Acara Pidana yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan undang-undang ini, maka dibentuklah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 yang akhirnya melahirkan sebuah komisi yang bertugas untuk memberantas tindak pidana korupsi yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (untuk selanjutnya disebut dengan KPK). Selain itu, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga mengamanatkan dibentuknya Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi.

Pembentukan KPK sebagai lembaga khusus bertujuan agar pemberantasan tindak pidana korupsi lebih berdaya guna dan berhasil guna, sehingga untuk mencapai tujuan itu, KPK dalam hal penyelidikan, penyidikan dan penuntutan oleh undang-undang diberikan wewenang salah satunya untuk melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan.

Pemberantasan tindak pidana korupsi tidak bisa jika hanya mengandalkan pada satu lembaga yaitu KPK. Merujuk pada teori Friedmann, bahwa efektivitas sistem hukum dipengaruhi oleh tiga unsur, yaitu substansi, struktur, dan budaya hukum (legal substance, legal structure, legal culture). Dapat diartikan bahwa agar pemberantasan korupsi berjalan efektif diperlukan sinergi dari ketiga unsur ini, terlebih bagi unsur struktur yang terdiri dari pemerintah dan alat penegak hukum serta lembaganya, perannya diperhatikan karena merupakan garda terdepan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Peran ketiga unsur dalam sistem hukum akan sangat ditentukan dalam satu tempat yang namanya pengadilan oleh aktor yang bernama hakim.

Hakim dalam memeriksa dan mengadili tindak pidana korupsi harus melakukan perang yang bersifat spiritual dan individual subjektif. Perang batin dalam diri hakim ini pernah dirumuskan

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 176 5/16/2012 4:37:55 PM

Page 95: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

JURNAL YUDISIAL | Kompleksitas Punitas | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | 177

oleh Roeslan Saleh dengan “penjatuhan pidana adalah suatu pergulatan kemanusiaan” (Satjipto, 2006: 93). Dengan pernyataan itu dapat dikatakan bahwa dalam menjalankan tugasnya, hakim menjalani pergulatan batin, di mana hakim harus membuat pilihan-pilihan yang tidak mudah, dengan dihadapkan pada aturan hukum, fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan melalui alat bukti dan barang bukti, argumen penuntut umum, serta argumen terdakwa atau tim pembela terdakwa bahkan suara masyarakat yang menginginkan keadilan.

Dengan merujuk pada pernyataan ini, dalam penjatuhan pidana terhadap kasus tindak pidana korupsi, hakim harus berani menggunakan sesuatu yang dianggap baru untuk menambah keyakinan dirinya, walaupun terkadang oleh beberapa kelompok kepentingan dianggap sebagai sesuatu yang melanggar hak pribadi seseorang, seperti hasil penyadapan yang dilakukan oleh KPK, yang menurut Pasal 26A Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat digunakan sebagai alat bukti yang dianggap sah sebagai petunjuk bagi hakim sebagaimana diatur dalam Pasal 188 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Salah satu kasus gratifikasi yang menarik perhatian publik terkait dengan teknik penyadapan ini adalah kasus seorang perempuan berinisial AS alias A yang dijadikan terdakwa dalam putusan perkara tindak pidana korupsi dengan Nomor: 07/PID.B/TPK/2008/PN.JKT.PST. AS alias A didakwa telah melakukan tindak pidana korupsi berupa suap yaitu dengan memberikan uang sejumlah US$660.000 (enam ratus enam puluh ribu dollar Amerika Serikat) kepada seorang jaksa berinisial UTG. Pemberian uang yang dilakukan oleh terdakwa kepada jaksa UTG dimaksudkan agar jaksa UTG memberikan informasi rahasia tentang kasus Bank Penerima Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang melibatkan seseorang berinisial SN, dan meminta jaksa UTG membantu SN selaku mantan Presiden Direktur PT BDNI agar tidak dihadirkan dalam proses penyelidikan.

Perkara ini berawal dari diterbitkannya Surat Perintah Penyelidikan Nomor: Prin-27/F.2/Fd.I/07/2007 tanggal 18 Juli 2007 atas nama SN. Koordinator dan salah satu penyelidik kasus ini adalah Jaksa UTG. Kemudian, pada tanggal 5 Desember 2007, dalam rangka untuk mengurus kepentingan SN, terdakwa AS menghubungi Jaksa UTG dengan tujuan untuk meminta bantuan agar dipertemukan dengan saksi MS selaku Direktur Penyidikan pada Jampidsus Kejaksaan Agung. Hal ini terkait dengan undangan kepada SN untuk menghadap Kepala Sub-Direktorat Tindak Pidana Korupsi pada Direktorat Penyidikan Kejaksaan Agung RI pada tanggal 6 Desember 2007 (sesuai Surat Permintaan Keterangan Nomor: 989/F.2/FD.1/11/2007 tanggal 30 November 2007). Atas bantuan informasi Jaksa UTG dan Jaksa JW, akhirnya terdakwa berhasil menemui saksi MS dan saksi KYR selaku Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus. Lalu pada tanggal 6 Desember 2007, terdakwa AS mempertemukan Jaksa UTG dengan IN (isteri dari SN) di Hotel Shangrilla Jakarta berkenaan dengan undangan kepada SN sesuai Surat Permintaan Keterangan Nomor: B-989/F.2/Fd.1/11/2007 tanggal 30 November 2007.

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 177 5/16/2012 4:37:55 PM

Page 96: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

178 | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | Kompleksitas Punitas | JURNAL YUDISIAL

Tanggal 7 Desember 2007, terdakwa kembali menemui Jaksa UTG di Hotel Grand Mahakam Jakarta Selatan untuk menerima penyerahan Surat Permintaan Keterangan Nomor: 1002/F.2/Fd.1/12/2007 tanggal 6 Desember 2007 dari Jaksa UTG berupa undangan sebagai panggilan kedua kepada SN untuk menghadap tanggal 13 Desember 2007. Dalam pertemuan itu, terdakwa AS memberikan uang sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) sesuai kesepakatan antara terdakwa dengan Jaksa UTG. Tidak berhenti sampai di situ, karena pada tanggal 10 Desember 2007, terdakwa kembali menghubungi Jaksa UTG untuk menemuinya dengan tujuan membicarakan masalah panggilan kedua kepada SN untuk menghadap. Sebagai buah dari pertemuan ini, SN kembali tidak memenuhi panggilan kedua untuk menghadap tanggal 13 Desember 2007.

Tanggal 18 Desember 2007, terdakwa kemudian menghubungi kembali Jaksa UTG untuk membuat janji pertemuan pada tanggal 19 Desember 2007 di Hotel Millenium dengan maksud membicarakan mengenai perkembangan hasil penyelidikan dugaan tindak pidana korupsi dalam penyerahan aset oleh pemegang saham Bank Penerima BLBI kepada BPPN (II). Tanggal 19 Desember 2007, terdakwa dan Jaksa UTG sepakat bertemu di Hotel Millenium.

Di bulan Desember 2007 tepatnya tanggal 28, terdakwa kembali menghubungi Jaksa UTG dan menemui saksi MS selaku Direktur Penyidikan pada Jampidsus Kejaksaan Agung RI. Hal ini dimaksudkan untuk mencari informasi perkembangan hasil penyelidikan dugaan tindak pidana korupsi dalam penyerahan aset oleh pemegang saham Bank Penerima BLBI kepada BPPN (II) yang sedang ditangani oleh Jaksa UTG.

Tanggal 8 Januari 2008, terdakwa mendapatkan informasi dari Jaksa UTG bahwa ada perintah pimpinan untuk melakukan pemanggilan lagi kepada SN untuk dimintai keterangan pada tanggal 17 Januari 2008, yang mana atas informasi tersebut terdakwa meminta kepada Jaksa UTG agar SN tidak perlu dipanggil lagi, dan untuk memenuhi permintaan tersebut, Jaksa UTG membantu memberikan saran kepada terdakwa untuk menghindari panggilan tadi dengan menyatakan, “Nanti pengacaranya bersurat saja dalam keadaan sakit atau opo di Singapura gitu aja iyo tho”. Selanjutnya terdakwa meminta kepada Jaksa UTG agar surat panggilan yang ditujukan kepada SN diserahkan kepadanya.

Tanggal 9 Januari 2008, terdakwa menemui Jaksa UTG untuk menerima penyerahan Surat Permintaan Keterangan (panggilan ketiga) Nomor: B-06/F.2/Fd. 1/01/2008 tanggal 7 Januari 2008 yang ditujukan kepada SN. Terdakwa menulis tanda terima yang ditandatangani oleh terdakwa dengan mencantumkan nama A. Pada tanggal ini juga, terdakwa kembali mendapatkan informasi dari Jaksa UTG bahwa pada pukul dua, perkara BLBI (II) yang menyangkut SN akan diekspos di hadapan Jaksa Agung. Selanjutnya terdakwa meminta Jaksa UTG untuk membantu agar tidak timbul masalah yang merugikan kepentingan SN, dan atas permintaan itu Jaksa UTG menyanggupinya.

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 178 5/16/2012 4:37:55 PM

Page 97: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

JURNAL YUDISIAL | Kompleksitas Punitas | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | 179

Tanggal 15 Januari 2008, terdakwa menghubungi Jaksa UTG untuk menindaklanjuti kesepakatannya berkenaan dengan alasan ketidakhadiran SN sebagaimana Surat Permintaan Keterangan tertanggal 7 Januari 2008. Tanggal 25 Februari 2008, terdakwa menghubungi Jaksa UTG untuk meminta informasi perkembangan Kasus BLBI (II) dan mengingatkan kesepakatan agar Jaksa UTG membantu perkara berkaitan dengan SN tersebut.

Tanggal 27 Februari 2008, terdakwa menghubungi lagi Jaksa UTG untuk meminta informasi perihal perkembangan Kasus BLBI (II). Pada kesempatan tersebut Jaksa UTG memberikan informasi bahwa perkara dimaksud telah berhasil dibantu. Kemudian terdakwa meminta lagi agar Jaksa UTG mengambil uang yang jumlahnya telah disepakati untuk diserahkan kepada Jaksa UTG.

Tanggal 29 Februari 2008, terdakwa melakukan percakapan melalui telepon dengan Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung RI yang bernama MS, yang inti percakapannya yaitu membicarakan press release yang diumumkan oleh KYR bahwa untuk kasus BDNI dan BCA dihentikan penyelidikannya, sedangkan untuk kasus Bank Bali tetap berjalan supaya situasi menjadi berimbang.

Tanggal 1 Maret 2008, terdakwa pun melakukan percakapan dengan seorang perempuan (yang sampai putusan ini dijatuhkan belum diketahui identitasnya), yang inti percakapannya yaitu bahwa apa yang dipress releasekan ke masyarakat mengenai perkara BLBI (II) ternyata sesuai dengan informasi yang dibocorkan oleh Jaksa UTG (sesuai kesepakatan mereka). Terdakwa kemudian meminta kekurangan uang kepada perempuan tadi sebagai uang yang akan dibagikan ke sejumlah Jaksa Muda di Kejaksaan Agung RI, terutama Jaksa UTG. Masih pada tanggal yang sama, terdakwa pun menghubungi Jampidsus Kejaksaan Agung RI, yaitu KYR, perihal press release kasus yang melibatkan SN.

Tanggal 2 Maret 2008 sekitar pukul 12.21 WIB, terdakwa menghubungi Jaksa UTG berkaitan dengan kesepakatan penyerahan uang, dan terdakwa memberikan alamat tempat tinggalnya, yaitu di Jalan Terusan Hang Lekir Blok WG-9, Jakarta Selatan. Sekitar pukul 14.00 WIB, Jaksa UTG dengan mengendarai mobil Kijang No. Pol. DK 1832 CF tiba di tempat tinggalnya terdakwa. Kemudian di tempat itu terdakwa memberikan kardus warna putih bertulisan ADES yang berisi uang senilai US$660.000,- (enam ratus enam puluh ribu Dollar Amerika Serikat), yang terdiri dari uang pecahan US$100,- (seratus dollar Amerika Serikat) sebanyak 6.600 (enam ribu enam ratus) lembar kepada Jaksa UTG. Setelah itu, segera Jaksa UTG keluar dari tempat tinggal terdakwa. Pada tanggal itu juga, di Jalan Terusan Hang Lekir Blok WG-9, Jakarta Selatan, Jaksa UTG ditangkap oleh petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan di dalam mobil Jaksa UTG, petugas KPK menemukan barang bukti berupa kardus berwarna putih bertuliskan ADES yang berisi uang senilai US$660.000,- (enam ratus enam puluh ribu dollar Amerika Serikat).

Berdasarkan perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa, maka penuntut umum menuntut terdakwa dengan dakwaan subsidaritas, yang terdiri dari dakwaan primair dan subsidair. Dalam

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 179 5/16/2012 4:37:55 PM

Page 98: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

180 | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | Kompleksitas Punitas | JURNAL YUDISIAL

dakwaan primair, terdakwa didakwa melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 5 Ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan dalam dakwaan subsidair, terdakwa dituntut berdasarkan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Berdasarkan dakwaan subsidaritas di atas, Jaksa Penuntut Umum menuntut terdakwa dengan pidana penjara selama 5 (lima) tahun dan pidana denda sebesar Rp. 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah), subsidair pidana kurungan pengganti selama 5 (lima) bulan dengan perintah supaya terdakwa tetap ditahan. Dengan demikian, majelis hakim pun harus membuktikan terlebih dahulu dakwaan primair yaitu Pasal 5 Ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Setelah mempertimbangkan segala sesuatunya yang terungkap di persidangan, baik alat bukti berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat-surat dan keterangan terdakwa serta barang bukti, maupun pembelaan dari tim penasehat hukum terdakwa yang telah dinyatakan keberatan oleh majelis hakim melalui putusan sela bertanggal 30 Mei 2008, maka majelis hakim memiliki pertimbangan bahwa perbuatan terdakwa telah memenuhi unsur dakwaan primair, dengan kata lain terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi, selain itu, majelis hakim menilai bahwa tidak ada hal-hal atau alasan-alasan yang dapat menghapuskan sifat pertanggung jawaban pidana pada diri terdakwa sebagaimana diatur dalam KUHP. Selain mempertimbangkan fakta hukum yang terungkap di persidangan, majelis hakim pun mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa, dan ternyata dalam kasus ini, majelis hakim berpendapat tidak terdapat hal-hal yang meringankan terdakwa, sehingga akhirnya majelis hakim memutuskan:

Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana 1. korupsi sebagaimana didakwakan dalam dakwaan primair Pasal 5 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

Menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 5 (lima) tahun dan 2. denda sebesar Rp. 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah);

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 180 5/16/2012 4:37:56 PM

Page 99: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

JURNAL YUDISIAL | Kompleksitas Punitas | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | 181

Menetapkan masa penahanan yang telah dijalankan terdakwa dikurangkan seluruhnya dari 3. pidana yang dijatuhkan;

Menetapkan terdakwa tetap berada dalam tahanan;4.

Menyatakan barang bukti agar seluruhnya dikembalikan kepada penuntut umum untuk 5. dipergunakan dalam perkara lain atas nama terdakwa UTG; dan

Membebani terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 10.000,- (sepuluh ribu 6. rupiah).

Dari ilustrasi di atas, gratifikasi sebagai salah satu bentuk korupsi ternyata sudah demikian jauh menjangkau jauh ke jantung pemerintahan, termasuk aparat penegak hukum. Praktik yang sudah menjadi rahasia umum ini sebagian dijalankan secara terselubung yang sulit terkuak jika tidak dilakukan cara-cara tertentu.

Salah satu cara yang dimaksud adalah dengan teknik penyadapan. Rangkaian peristiwa yang diungkapkan di atas hampir tidak mungkin dapat terkuak ke hadapan publik dan hasilnya dihadirkan di persidangan untuk menambah keyakinan hakim apabila tidak menggunakan teknik penyadapan. Suatu teknik yang sempat menuai resistensi karena dianggap melanggar hak asasi manusia.

RUMUSAN MASALAHII.

Dengan demikian, menjadi pertanyaan sebagai pokok permasalahan dalam kajian ini adalah apakah penggunaan hasil penyadapan sebagai alat bukti petunjuk dapat menambah keyakinan hakim dalam memutuskan kasus tindak pidana korupsi bernomor perkara 07/PID.B/TPK/2008/PN.JKT.PST dan akhirnya dapat menjatuhkan pidana tanpa melanggar hak asasi manusia?

STUDI PUSTAKA DAN ANALISISIII.

Korupsi yang terjadi di Indonesia tidak dapat lagi dipandang sebagai kejahatan yang biasa terjadi di jalan, seperti pencurian. Korupsi yang terjadi benar-benar akut dan sistemik yang menyebabkan kerugian keuangan negara maupun masyarakat dan menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas demi mewujudkan tujuan negara yaitu masyarakat adil dan makmur.

Seriusnya kejahatan korupsi di Indonesia membuat beberapa ahli berpandangan bahwa korupsi merupakan extraordinary crime, sehingga penanganannya pun memerlukan upaya-upaya yang luar biasa, khususnya penjatuhan pidana dan keseriusan eksekusinya. Selain membutuhkan upaya yang luar biasa, dalam memberantas korupsi juga diperlukan komitmen utuh dari para penegak hukum dan elemen lainnya yang terangkum dalam unsur sistem hukum.

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 181 5/16/2012 4:37:56 PM

Page 100: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

182 | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | Kompleksitas Punitas | JURNAL YUDISIAL

Sebagaimana dikemukakan oleh Lawrence M. Friedmann bahwa sistem hukum menyuguhkan cara yang mudah untuk mencapai tujuan yang dinginkan. Sistem hukum ini mempunyai structure, substance dan legal culture, di mana ketiga unsur ini harus bersinergi satu sama lain, sehingga tujuan yang dinginkan dapat tercapai (Friedmann, 2001: 7). Namun, tentu saja yang menjadi ultimum remedium untuk menangani kasus korupsi adalah sistem peradilan pidana, karena hanya dengan cara ini tuntutan masyarakat atas rasa keadilan akan dapat diwujudkan. Perwujudan rasa keadilan di masyarakat melalui sistem peradilan pidana ini tentu saja sangat ditentukan oleh pemeran kunci, yaitu hakim yang akan menjatuhkan putusan, bukan jaksa penuntut umum, terdakwa, ataupun advokat.

Bergantungnya penuntasan kejahatan korupsi kepada sistem peradilan pidana, dengan hakim sebagai pemutusnya, tentu saja karena sistem peradilan pidana itu berfungsi sebagai pemberi efek jera sehingga masyarakat dapat stabil, strukturnya dapat terlindungi dan batas-batasnya dapat terjaga, sehingga peradilan pidana menempati posisi vital dalam setiap negara (Friedmann, 2001: 216-219). Penyelesaian melalui pengadilan pun merupakan simbol dari dianutnya asas supremasi hukum.

Hakim dalam sistem pengadilan yang bukan adversary mempunyai konsentrasi kekuasaan yang begitu besar. Indonesia, sebagai bekas jajahan Belanda, mempunyai sistem pengadilan yang memberikan kekuasaan besar kepada hakim untuk menjatuhkan putusan sesuai dengan keyakinannya. Dengan sistem yang seperti ini, sudah seharusnya hakim membuat putusan yang sifatnya progresif, memenuhi rasa keadilan di masyarakat. Namun, untuk memperoleh keyakinan itu, hakim harus didukung oleh sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP). Sistem pembuktian ini merupakan bagian terpenting dari proses pemeriksaan perkara pidana, karena sistem pembuktian ini menurut Martiman Prodjohamidjojo akan memberikan kebenaran materiil berupa:

1. Perbuatan-perbuatan manakah yang dianggap terbukti;

2. Apakah terdakwa bersalah atas perbuatan-perbuatan yang didakwakan kepadanya;

3. Delik apakah yang dilakukan sehubungan dengan perbuatan-perbuatan itu;

4. Pidana apakah yang harus dijatuhkan kepada terdakwa.

Sebelumnya, Martiman Prodjohamidjojo (2001: 98) menyatakan tentang pengertian sistem hukum pembuktian yang merupakan suatu keseluruhan dari unsur-unsur hukum pembuktian yang berkaitan dan berhubungan satu dengan yang lain serta saling mempengaruhi dalam suatu keseluruhan. Mengenai pengertian ini, Indriyanto Seno Adji (2003: 84) mengemukakan kesimpulannya dengan kata-kata:

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 182 5/16/2012 4:37:56 PM

Page 101: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

JURNAL YUDISIAL | Kompleksitas Punitas | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | 183

”Jadi sistem (hukum pembuktian) ini mengatur suatu proses terjadi dan bekerjanya alat bukti untuk selanjutnya dilakukan suatu persesuaian dengan perbuatan materiil yang dilakukan oleh terdakwa untuk pada akhirnya ditarik suatu kesimpulan mengenai terbukti atau tidaknya terdakwa melakukan perbuatan tindak pidana yang didakwakan kepadanya.”

Berdasarkan Pasal 184 KUHAP, terdapat lima alat bukti sah yang dapat digunakan oleh hakim dalam hukum pidana, yaitu:

1. Keterangan saksi;

2. Keterangan ahli;

3. Surat;

4. Petunjuk;

5. Keterangan terdakwa.

Selain alat bukti, yang dapat menambah keyakinan hakim adalah barang bukti (real evidence). Real evidence merupakan objek materiil dan biasanya berupa benda-benda berwujud. Real evidence ini biasa disebut sebagai bukti yang berbicara sendiri, namun KUHAP menyatakan bahwa real evidence bukan merupakan alat bukti. Berkaitan dengan alat bukti yang disebutkan di atas, perlulah kiranya dalam kajian ini diuraikan secara singkat perihal masing-masing alat bukti ini sebelum kemudian dikaitkan dengan “bukti” hasil penyadapan.

Mengenai alat bukti keterangan saksi, berdasarkan Pasal 186 KUHAP tidak semua orang dapat menjadi saksi, yaitu keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa. Selain itu, saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara dari ibu atau saudara dari ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan, dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga. Kemudian yang tidak dapat menjadi saksi adalah suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.

Di samping itu, Pasal 170 KUHAP pun menentukan bahwa mereka yang karena pekerjaan, harkat, martabat, atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban memberi keterangan sebagai saksi. Namun, untuk pekerjaan atau jabatan yang menentukan adanya kewajiban untuk menyimpan rahasia diberikan pengecualian relatif oleh KUHAP, artinya apabila mereka bersedia menjadi saksi, maka dapat diperiksa oleh hakim.

Menurut Pasal 160 ayat (3) KUHAP, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya. Pengucapan sumpah bagi saksi merupakan suatu syarat mutlak, sebagaimana telah ditetapkan dalam Pasal 161 ayat (1) dan (2) KUHAP. Keterangan

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 183 5/16/2012 4:37:56 PM

Page 102: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

184 | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | Kompleksitas Punitas | JURNAL YUDISIAL

saksi yang diperoleh dari orang lain (testimonium de auditu) bukanlah merupakan alat bukti yang sah, sehingga dapatlah dikatakan bahwa yang namanya keterangan saksi itu adalah keterangan tentang suatu peristiwa pidana yang ia lihat, rasakan dan dengar sendiri. Selain itu, batasan lain tentang keterangan saksi adalah bahwa satu saksi bukan saksi (unus testis nullus testis), artinya keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya. Namun, unus testis nullus testis ini tidak berlaku dalam acara pemeriksaan cepat.

Selanjutnya adalah mengenai keterangan ahli. Pasal 186 KUHAP menyatakan bahwa keterangan seorang ahli adalah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. Dalam hal ini, Andi Hamzah mengutip definisi tentang ahli dari California Evidence Code, yang mengatakan: “A person is qualified to testify as an expert if he has special knowledge, skill, experience, training or education to qualify him as an expert on the subject to which his testimony relates.” Dari definisi ini didapat pengertian bahwa seorang ahli dapat didengar keterangannya di persidangan mengenai hal tertentu, yang menurut pertimbangan hakim, orang itu mempunyai kemampuan khusus, pengetahuan, pengalaman, pelatihan dan pendidikan dalam hal itu. Ahli dalam memberikan keterangannya juga harus di bawah sumpah. Namun, keterangan ahli juga dapat diberikan secara tertulis di luar sidang, akan tetapi namanya bukan lagi keterangan ahli melainkan alat bukti surat.

Menurut Asser-Anema sebagaimana dikutip oleh Andi Hamzah, surat ialah segala sesuatu yang mengandung tanda-tanda baca yang dapat dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan isi pikiran (Andi Hamzah, 2006: 254). Menurut Pasal 187 KUHAP, yang termasuk dalam alat bukti surat adalah:

1. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat, atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu;

2. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;

3. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau keadaan yang diminta secara resmi daripadanya;

4. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.

Alat bukti sah selanjutnya adalah petunjuk. Petunjuk menurut Pasal 188 Ayat (1) KUHAP adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 184 5/16/2012 4:37:56 PM

Page 103: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

JURNAL YUDISIAL | Kompleksitas Punitas | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | 185

yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Alat bukti petunjuk ini dapat diperoleh hakim selama persidangan, apa yang telah dialami atau diketahui hakim sebelumnya tidak dapat dijadikan dasar pembuktian, kecuali kalau perbuatan itu telah diketahui oleh umum. Semula, berdasarkan Pasal 188 ayat (2), hakim hanya dapat memperoleh petunjuk dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa, namun seiring perkembangan zaman dan teknologi serta Pasal 188 ayat (3), hakim dalam menangani tindak pidana khusus seperti korupsi, dapat menggunakan alat bukti lain sebagai petunjuk yaitu hasil penyadapan KPK.

Selanjutnya adalah alat bukti keterangan terdakwa. Menurut Andi Hamzah, keterangan terdakwa ini bentuknya lebih luas dibandingkan dengan pengakuan terdakwa, karena dalam keterangan terdakwa, tidak hanya pengakuan terdakwa bahwa ia melakukan delik yang didakwakan serta bersalah, tetapi juga termasuk penyangkalan terdakwa.

Selain alat bukti yang sah, hal lain yang perlu diperhatikan dan diputuskan oleh hakim dalam proses pembuktian suatu fakta di pengadilan adalah mengenai relevansi alat bukti. Hal ini penting, karena hakim dapat menolak dimunculkannya suatu alat bukti dalam perkara apabila alat buktinya tidak relevan. Hakim pun berperan penting dalam memutuskan tentang relevansi alat bukti, karena dalam tata hukum Indonesia tidak ada indikator untuk menentukan alat bukti yang relevan.

Sebagaimana dikemukakan di atas, Pemerintah Indonesia memandang korupsi merupakan sebuah extraordinary crime. Hal ini terlihat dari upaya-upaya yang dilakukan untuk memberantas korupsi. Dimulai dari perbaikan aturannya, legislator Indonesia berusaha untuk memodifikasi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 yang dianggap sudah tidak mampu mengakomodasi nilai-nilai kekinian dengan membentuk Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun, pada tahun 2002 undang-undang itu pun harus diubah oleh legislator melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 karena dianggap kurang menjamin kepastian hukum dan menimbulkan multi-interpretasi di masyarakat.

Selain itu, untuk lebih mendayagunakan dan mengefektifkan pemberantasan korupsi di Indonesia, maka berdasarkan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, legislator Indonesia membentuk Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 yang akhirnya melahirkan sebuah komisi khusus untuk menangani korupsi yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Penanganan tindak pidana korupsi oleh KPK akan diselesaikan juga melalui pengadilan khusus yaitu Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Upaya lain yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk memberantas korupsi adalah dengan melekatkan kewenangan melakukan penyadapan oleh KPK dan penerapan beban pembuktian terbalik.

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 185 5/16/2012 4:37:56 PM

Page 104: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

186 | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | Kompleksitas Punitas | JURNAL YUDISIAL

Namun, lahirnya KPK, tidak secara serta merta membuat segala bentuk proses peradilan pidana dalam penanganan tindak pidana korupsi diserahkan kepada KPK dengan proses peradilan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, karena masih ada instansi lain yang berwenang menangani itu yaitu kepolisian dan kejaksaan yang proses peradilannya melalui peradilan umum. Perbedaan lain dalam penanganan tindak pidana korupsi antara kepolisian, kejaksaan dengan KPK adalah dalam proses penyidikan dan penuntutan, kepolisian dan kejaksaan berwenang menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3), sedangkan KPK tidak memiliki kewenangan itu. Kemudian, KPK berwenang untuk mengambil alih perkara korupsi yang sedang ditangani oleh kepolisian dan/atau kejaksaan, serta melakukan penyadapan dan rekaman pembicaraan, sedangkan kepolisian dan kejaksaan tidak berwenang untuk itu.

Melekatnya kewenangan untuk melakukan penyadapan dalam tubuh KPK ketika melakukan penyidikan berdasarkan Pasal 26A Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 12A Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, yang mana hasilnya dapat digunakan oleh hakim sebagai alat bukti sah berupa petunjuk dalam penanganan perkara korupsi, menimbulkan debatable di beberapa kalangan pemikir. Hal ini karena penyadapan dinilai tidak mempunyai kekuatan pembuktian berdasarkan Pasal 184 KUHAP dan dianggap bertentangan dengan hak asasi manusia.

Penyadapan yang merupakan salah satu teknik audit untuk mendapatkan informasi dalam upaya mengungkap kasus ataupun sebagai dasar menetapkan langkah audit/penyelidikan berikutnya. Rekaman hasil penyadapan tidak serta merta dapat menjadi alat bukti tersendiri dalam hukum pidana, namun informasi yang diperoleh dari hasil penyadapan yang berbentuk rekaman dapat dijadikan alat bukti KUHAP yaitu petunjuk, karena dari hasil penyadapan ini, hakim memperoleh kejelasan mengenai suatu tindak pidana korupsi, sehingga memberikan keyakinan pada hakim mengenai terjadinya tindak pidana korupsi (Audy Murfy, “Penyadapan, Pemberantasan Korupsi dan Hak Asasi Manusia”, http://www.balitbangham.go.id/, diunduh pada 30 Agustus 2010). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan juga terikat dengan KUHAP.

Mengenai penyadapan juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Menurut undang-undang itu, penyadapan adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi. Ternyata Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi juga mendasari untuk dilakukannya penyadapan dalam hal keperluan proses peradilan pidana. Pasal 42 ayat (2) huruf b undang-undang ini menyatakan bahwa untuk keperluan proses peradilan pidana,

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 186 5/16/2012 4:37:56 PM

Page 105: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

JURNAL YUDISIAL | Kompleksitas Punitas | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | 187

penyelenggara jasa telekomunikasi dapat merekam informasi yang dikirim dan atau diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat memberikan informasi yang diperlukan atas permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan undang-undang yang berlaku.

KPK dalam hal melakukan penyadapan tunduk pada Standard Operational Procedure (SOP) yang berdasarkan pada Keputusan KPK. Chandra M. Hamzah menyatakan bahwa proses penyadapan di KPK cukup ketat, ada formulirnya, jangka waktunya, pertimbangan, dan hasil yang diharapkan. Setiap tahun pelaksanaan penyadapan KPK juga diaudit oleh tim khusus yang dibentuk berdasarkan Permenkominfo No. 11/PER/M.KOMINFO/020/2006 (http://www.hukumonline.com/, diunduh pada 30 Agustus 2010). Keputusan untuk melakukan penyadapan oleh KPK didasarkan pada kebutuhan untuk memperkuat alat bukti dalam kegiatan penyelidikan.

Penyelidikan itu sendiri dilakukan setelah kegiatan pengumpulan data dan keterangan dilakukan setelah ditemukan indikasi tindak pidana korupsi. Artinya, pertimbangan lain dilakukannya penyadapan adalah sudah adanya dugaan kuat yang diperoleh dari laporan hasil pengawasan (indikasi) dan bukti permulaan yang cukup. Walaupun KPK secara legalitas formal mempunyai wewenang untuk melakukan penyadapan, tidak berarti KPK dapat sewenang-wenang dalam penggunaannya. Harus terdapat prosedur yang dapat dipertanggungjawabkan sebelum melakukan penyadapan.

Dengan demikian, penyadapan bukan merupakan langkah pertama yang dilakukan untuk mendapatkan bukti adanya suatu tindak pidana korupsi, dan keputusan untuk melakukannya bukanlah keputusan yang mudah (Antasari Azhar, “Upaya Pemberantasan Korupsi Seiring Kemajuan Tekhnologi Informasi”, http://www.djpp.depkumham.go.id/, diunduh pada tanggal 30 Agustus 2010).

Kewenangan penyadapan pada KPK oleh beberapa kalangan dinilai sebagai sesuatu yang melanggar hak asasi manusia. Bahkan Presiden Amerika Richard Nixon hampir dimakzulkan sebelum akhirnya mengundurkan diri karena telah menyadap pembicaraan lawan politiknya. Perbuatan yang dilakukan oleh Presiden Richard Nixon ini dianggap tercela dan melanggar HAM. Beberapa pemikir pun mengkontradiksikan penyadapan dengan Pasal 28F dan 28G UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pasal 28F UUD 1945 memberikan perlindungan kepada hak setiap orang untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Sedangkan Pasal 28G UUD 1945 menjamin hak setiap orang atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. Dengan penyadapan, artinya hak seseorang untuk berkomunikasi, memperoleh informasi dan

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 187 5/16/2012 4:37:56 PM

Page 106: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

188 | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | Kompleksitas Punitas | JURNAL YUDISIAL

menyampaikan informasi serta perlindungan atas diri pribadi seolah dikebiri. Bahkan menurut Edie OS Hiariej, pengajar Hukum Pidana di Fakultas Hukum UGM, penyadapan terkait dengan bewijsvoering dalam hukum pembuktian. Secara harfiah bewijsvoering berarti penguraian cara bagaimana menyampaikan alat-alat bukti kepada hakim di pengadilan. Bewijsvoering semata-mata menitikberatkan pada hal-hal formalistis, dengan konsekuensi selanjutnya, sering mengenyampingkan kebenaran dan fakta yang ada.

Seiring perkembangan teknlogi dan informasi serta meningkatnya kecanggihan kejahatan, delik-delik khusus (bijzondere delicten) yang diatur di luar Kitab Undang-undang Hukum Pidana membutuhkan penanganan khusus untuk mengungkap dan menuntaskannya, karena biasanya dilakukan lebih rapi, terorganisasi dan lebih sulit untuk membuktikannya. Misalnya korupsi. Dalam kejahatan ini yang terlibat justru adalah orang-orang yang menduduki area kekuasaan, sehingga dalam pengungkapannya seringkali penegak hukum mengalami “kesungkanan”.

Memang benar, bahwa penyadapan jika dibenturkan dengan UUD 1945, ada potensi untuk dianggap melanggar HAM. Walaupun demikian, perlu dicermati dalam kasus terorisme, misalnya, tatkala hakim memberlakukan undang-undang yang berlaku surut, hal itu dianggap tidak bertentangan dengan HAM. Dalam hal ini HAM dikesampingkan karena perbuatan terorisme begitu melukai rasa keadilan masyarakat dan tentu saja tindak pidana terorisme lebih mengakibatkan pelanggaran HAM. Pemikiran ini dapat diterapkan pada tindak pidana korupsi.

Korupsi di Indonesia tidak hanya merugikan keuangan dan perekonomian negara tetapi juga membuat masyarakat menderita karena telah mengakibatkan kesenjangan yang begitu curam, dan yang paling penting adalah korupsi telah mencederai nilai keadilan di masyarakat, sehingga demi terakomodasinya nilai keadilan di masyarakat, maka sudut pandang konstitusi dikesampingkan guna mengungkap kejahatan atas dasar ketentuan undang-undang. Selain itu, berdasarkan instrumen HAM, restriksi atau pengurangan hak tersebut dibolehkan sepanjang diatur oleh hukum, dilakukan demi kepentingan dan tujuan objektif yang sah, serta dilakukan dengan produk yang sah. Penyadapan yang melanggar HAM adalah penyadapan yang dilakukan secara liar dan ilegal oleh orang yang sama sekali tidak mempunyai hak untuk memasuki area pribadi orang lain. Kemudian, Amerika pun memperbolehkan penegak hukumnya melakukan penyadapan dengan syarat mengantongi izin dari dari pengadilan.

Dalam kasus tindak pidana korupsi bernomor perkara 07/PID.B/TPK/2008/PN.JKT.PST ini, terdakwa AS alias A telah didakwa melakukan perbuatan suap kepada jaksa UTG agar UTG memberikan informasi rahasia perihal penyelesaian kasus BLBI II yang melibatkan SN. Kasus suap yang dilakukan oleh AS alias A kepada jaksa UTG dapat terungkap berdasarkan penyadapan yang dilakukan oleh KPK. Dalam persidangannya, hakim memperoleh proporsi yang cukup besar sebagai penentu dari penjatuhan pidana terhadap terdakwa, oleh karena itu, dalam tahap inilah integritas hakim dalam titik yang paling rawan, selain terjadi perang batin karena harus membuat

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 188 5/16/2012 4:37:56 PM

Page 107: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

JURNAL YUDISIAL | Kompleksitas Punitas | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | 189

pilihan-pilihan yang sulit, hakim juga dihadapkan dengan peluang besar untuk melakukan korupsi, menekan para pihak untuk memberikan suap. Sebenarnya untuk mengantisipasi kemungkinan ini, Komisi Yudisial, yaitu lembaga negara yang mempunyai tugas utama untuk melakukan pengawasan eksternal dan internal terhadap perilaku hakim, telah merumuskan koridor dalam bentuk Kode Etik dan Perilaku Hakim. Dalam salah satu rumusannya, yaitu mengenai berperilaku jujur, hakim tidak boleh meminta dan/atau menerima serta harus mencegah suami dan/atau istrnya, orang tua, anak atau anggota keluarganya untuk meminta atau menerima janji, hadiah, hibah, warisan, pemberian, penghargaan dan pinjaman atau fasilitas dari advokat, penuntut umum, orang yang sedang diadili, pihak lain yang kemungkinan kuat akan diadili serta pihak yang memiliki kepentingan baik langsung maupun tidak langsung.

Hakim dalam perkara ini akhirnya menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan hukuman maksimum dari yang dituntut jaksa penuntut umum yaitu pidana penjara selama lima tahun dan pidana denda sebesar Rp. 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah). Hal ini disebabkan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana yang diatur dan diancam dalam dakwaan primair yaitu Pasal 5 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dalam mendapatkan keyakinan bahwa perbuatan terdakwa merupakan tindak pidana korupsi seperti yang diancamkan dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka berdasarkan Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, sekurang-kurangnya hakim harus didukung oleh dua alat bukti yang sah. Dalam penanganan kasus ini, hakim menggunakan lebih dari dua alat bukti yang sah, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, keterangan terdakwa dan petunjuk.

Petunjuk dalam KUHAP didefinisikan sebagai suatu perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Sebelumnya, masih dalam KUHAP, ditentukan bahwa alat bukti petunjuk, hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa. Namun, pembuat undang-undang ini memasukkan ayat (3) dari Pasal 188 yang berbunyi: “penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya”. Dengan demikian, kekuatan pembuktian dari alat bukti petunjuk sepenuhnya diserahkan kepada hakim setelah mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 189 5/16/2012 4:37:56 PM

Page 108: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

190 | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | Kompleksitas Punitas | JURNAL YUDISIAL

Oleh karena dalam penanganan kasus tindak pidana korupsi, hakim tidak hanya terikat pada hukum acara yang tertuang dalam KUHAP tetapi juga oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 (sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), maka dalam hal sistem pembuktian, hakim dapat menggunakan hasil penyadapan yang dilakukan oleh KPK sebagai alat bukti petunjuk. Hal ini sesuai sebagaimana diatur dalam Pasal 26A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Menurut pasal ini alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) KUHAP, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari:

1. Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan

2. Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.

Dengan demikian, hukum telah memodifikasi pengaturan sistem pembuktian melalui perangkat hukum tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan hakim dalam menjalankan tugasnya diharapkan dapat menerapkan hukum secara benar dan dapat memenuhi rasa keadilan bagi setiap pencari keadilan (KY, 2009: 127), termasuk menggunakan hasil penyadapan sebagai alat bukti petunjuk. Hakim dituntut untuk secara cermat dan saksama melihat relevansi, sehingga hasil penyadapan ini dapat digunakan sebagai alat bukti petunjuk untuk mengungkap tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh terdakwa.

Dalam kasus ini, berdasarkan hasil penyadapan KPK, banyak sekali percakapan-percakapan yang terekam antara terdakwa AS alias A dengan jaksa UTG, yang kemudian rekaman percakapan ini disimpan oleh KPK dalam bentuk alat optik yaitu CDR Verbatim. Hakim, setelah mendengar hasil penyadapan ini, tidak serta merta memperoleh keyakinan bahwa yang melakukan percakapan-percakapan itu adalah terdakwa AS alias A dengan jaksa UTG. Untuk menambah keyakinannya, hakim dalam perkara ini pun menggunakan keterangan ahli di bidang akustik yaitu sesuatu yang berhubungan dengan suara.

Dari hasil analisis keterangan ahli itu didapat kesimpulan bahwa benar yang melakukan rangkaian percakapan-percakapan yang terekam dalam alat optik sebagai hasil penyadapan adalah terdakwa AS alias A. Hakim, sebelum memutuskan bahwa terdakwa bersalah atau tidak dalam kasus ini, ingin memperoleh kesempurnaan pembuktian, sehingga keyakinan yang diperoleh bulat, dan akhirnya dapat memutuskan dengan memenuhi nilai-nilai keadilan di masyarakat.

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 190 5/16/2012 4:37:56 PM

Page 109: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

JURNAL YUDISIAL | Kompleksitas Punitas | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | 191

Pemecahan selanjutnya dalam kajian ini adalah, apakah dalam menggunakan hasil penyadapan sebagai alat bukti petunjuk telah melanggar hak asasi manusia dari si terdakwa dan yang berhubungan dengannya? Jawabannya adalah tidak, karena berdasarkan pemahaman di atas, bahwa korupsi merupakan tindak pidana yang tidak hanya menyebabkan kerugian negara tetapi juga membuat masyarakat menderita karena telah mengakibatkan kesenjangan yang begitu curam, dan yang paling penting adalah korupsi telah mencederai nilai keadilan di masyarakat maka ketentuan dalam UUD 1945 tepatnya Pasal 28F dan Pasal 28G dapat dikesampingkan demi terpenuhinya nilai keadilan di masyarakat. Tindakan hakim dalam kasus ini sama saja dengan hakim yang mengadili tindak pidana terorisme yang dilakukan oleh Amrozi, Cs., di mana hakim menggunakan undang-undang yang diberlakukan surut, padahal jelas-jelas menurut Pasal 28 I ayat (1) dikatakan bahwa:…..setiap orang berhak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut dan hak ini merupakan hak asasi menusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.

Terlebih dalam kasus ini, terdakwa telah melakukan suap kepada penegak hukum, apabila hakim tidak menggunakan hati nuraninya untuk kemudian secara cermat dan saksama menambah alat bukti lain sebagai petunjuk untuk menambah keyakinannya bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi, untuk kemudian menjatuhkan pidana yang tidak setimpal dengan perbuatannya, maka hakim dengan sendirinya telah membunuh hak asasi manusia dengan jumlah yang tidak sedikit.

SIMPULANIV.

Penyadapan telah dilegalkan oleh undang-undang untuk dilakukan oleh KPK dengan tujuan untuk mengungkap tindak pidana korupsi, dengan demikian berdasarkan instrumen HAM, restriksi atau pengurangan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28F dan Pasal 28G UUD 1945 dibolehkan sepanjang diatur oleh hukum, dilakukan demi kepentingan dan tujuan objektif yang sah, serta dilakukan dengan produk yang sah. Maka, yang dilakukan oleh hakim dalam kasus ini dengan menggunakan hasil penyadapan yang dilakukan oleh KPK demi memperoleh keyakinan hakim sehingga dapat menjatuhkan pidana maksimum dan memutuskan bahwa perbuatan terdakwa memenuhi unsur dakwaan primair, tidak merupakan pelanggaran HAM.

Pembentukan KPK sebagai lembaga khusus bertujuan agar pemberantasan tindak pidana korupsi lebih berdaya guna dan berhasil guna, sehingga untuk mencapai tujuan itu, KPK dalam hal penyelidikan, penyidikan dan penuntutan oleh undang-undang diberikan wewenang salah satunya untuk melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan. Penyadapan yang dilakukan oleh KPK, menurut beberapa kalangan dinilai sebagai sesuatu yang mencederai HAM.

Penanganan korupsi tidak berhenti sampai di tangan KPK, melainkan harus dituntaskan melalui peradilan tindak pidana korupsi dengan menggunakan sistem peradilan pidana, dengan

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 191 5/16/2012 4:37:56 PM

Page 110: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

192 | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | Kompleksitas Punitas | JURNAL YUDISIAL

hakim sebagai aktor utamanya. Hakim, untuk dapat menjatuhkan hukuman pidana kepada terdakwa diharuskan mendapatkan keyakinan melalui sekurang-kurangnya dua alat bukti. KUHAP menentukan bahwa hanya lima alat bukti yang sah, salah satunya adalah petunjuk. Sebagai lex specialis dari KUHAP, undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi telah menentukan penggunaan alat bukti selain yang dimaksud dalam KUHAP untuk tindak pidana khusus seperti korupsi sebagai petunjuk, yaitu hasil penyadapan yang disimpan secara elektronik atau yang serupa dengan itu dan dokumen. Artinya, hakim dapat menggunakan hasil penyadapan sebagai alat bukti petunjuk.

Dalam kasus ini, hakim menambah keyakinannya dengan menggunakan hasil penyadapan KPK terhadap percakapan-percakapan yang dilakukan oleh terdakwa dengan jaksa UTG. Namun, hasil penyadapan yang tersimpan dalam alat optik ini kemudian dipastikan kebenarannya dengan menggunakan keterangan ahli akustik, yang kemudian dalam kesaksiannya menyatakan bahwa suara yang terekam adalah suara terdakwa. Penggunaan hasil penyadapan sebagai alat bukti petunjuk, tidaklah melanggar HAM, sebagaimana yang dikemukakan oleh beberapa kalangan.

Hal ini dikarenakan kewenangan penyadapan yang dilakukan oleh KPK didapatkan dari ketentuan undang-undang dan kewenangan hakim untuk menggunakan hasil penyadapan sebagai alat bukti petunjuk pun berdasarkan undang-undang, sehingga berdasarkan instrumen HAM, restriksi atau pengurangan hak asasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 F dan Pasal 28 G UUD 1945 dibolehkan sepanjang diatur oleh hukum, dilakukan demi kepentingan dan tujuan objektif yang sah, serta dilakukan dengan produk yang sah.

Dengan demikian, dapatlah dikatakan di akhir kajian ini, bahwa dalam memutuskan suatu perkara, hakim terlibat perang batin, perang antara spiritualitas dan individualitas subjektif, terlibat dalam pilihan yang sulit, namun hakim sebagai pemeran kunci dalam sistem peradilan pidana sudah seharusnya menjadikan pengadilan yang menghasilkan kebenaran. Patutlah dikatakan oleh Roeslan Saleh bahwa penjatuhan pidana adalah pergulatan kemanusiaan.

DAFTAR PUSTAKA

Aji, Indriyanto Seno. 2003. Sekilas Korupsi dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Jakarta: Kantor Pengacara dan Konsultan Hukum Prof. Oemar Seno Adji.

Azhar, Antasari. “Upaya Pemberantasan Korupsi Seiring Kemajuan Tekhnologi Informasi”. http://www.djpp.depkumham.go.id/hukum-teknologi/667-upaya-pemberantasan-korupsi-seiring-kemajuan-teknologi-informasi.html. diunduh hari Senin tanggal 30 Agustus 2010.

Friedmann, Lawrence M. 2001. Hukum Amerika: Sebuah Pengantar. Jakarta: PT. Tata Nusa.

Hamzah, Andi. 2006. Hukum Acara Pidana Indonesia. Edisi Revisi. Jakarta: Sinar Grafika.

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 192 5/16/2012 4:37:56 PM

Page 111: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

JURNAL YUDISIAL | Kompleksitas Punitas | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | 193

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4b1e3ca1a2369. diunduh pada hari Senin, 30 Agustus 2010.

Irwan, Alexander. 2000. “Clean Governance dan Budaya Bisnis Asia.” Jurnal Reformasi Ekonomi. Vol. 1, No. 1. Hlm. 56-63.

Komisi Pemberantasan Korupsi. 2007. Mengenali dan Memberantas Korupsi. Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi.

Komisi Yudisial. 2009. “Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor 02/SKB/P.KY/IV/2009 Tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.” Jakarta.

Mukhtar, Akil. 2009. Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.

Murfy, Audy. “Penyadapan, Pemberantasan Korupsi dan Hak Asasi Manusia”. http://www.balitbangham.go.id/index/index.php?option=com_content&view=article&id=79:penyadapan-pemberantasan-korupsi-dan-hak-asasi-manusia&catid=3:newsflash. diunduh pada hari Senin, 30 Agustus 2010.

Prodjohamidjojo, Martiman. 2001. Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi. Bandung: CV. Mandar Maju.

Rahardjo, Satjipto. 2006. Membedah Hukum Progresif. Jakarta: Kompas Media Nusantara.

Reksodiputro, Mardjono. 1997. Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana: Kumpulan Karangan Buku Kelima. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia.

Perundang-undangan

Indonesia. 2008. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 Dilengkapi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Beserta Peraturan Pelaksanaannya. Jakarta: Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Departemen Hukum dan HAM RI.

-----------. Undang-Undang Republik Indonesia tentang Hukum Acara Pidana. Undang-Undang Nomor 8. Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 76. Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209.

----------. Undang-Undang Republik Indonesia tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Nomor 31. Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 140. Tambahan Lembaran Negara Nomor 3874.

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 193 5/16/2012 4:37:56 PM

Page 112: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

194 | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | Kompleksitas Punitas | JURNAL YUDISIAL

---------.Undang-Undang Republik Indonesia tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Nomor 20. Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 134. Tambahan Lembaran Negara Nomor 4150.

---------. Undang-Undang Republik Indonesia tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Nomor 30. Lembaran Negara tahun 2002 Nomor 137. Tambahan Lembaran Negara Nomor 4250.

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 194 5/16/2012 4:37:56 PM

Page 113: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

JURNAL YUDISIAL | Kompleksitas Punitas | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | 195

PemBunuHan BerenCana Dan muTilasi

kajian Putusan nomor 1036/PiD/B/2008/Pn.DPk

Rifkiyati BachriFakultas Hukum Universitas Pancasila, Jalan Srengseng Sawah Jakarta Selatan, 12640

email:[email protected]

ABSTRACThe court’s decision No. 1036/Pid/B/2008/PN.DPK has decided that the felony is a deliberate murder. The accused was committed the crime alleged as regulated in the Indonesian Criminal Codes. All facts and evidences showed that the defendant was a cruel murderer. He also mutilated the victim into seven parts. It is very appropriate that the accused got the maximum punishment of death penalty. Even, in the court’s proceeding, he admitted that he has killed other eleven people in respective areas.

Keywords: deliberate murder, mutilation, victim

ABSTRAK Putusan Pengadilan Nomor 1036/Pid/B/2008/PN.DPK memutuskan terdakwa telah melakukan kejahatan berat berupa pembunuan dengan sengaja. Tuduhan yang ditujukan kepada yang bersangkutan sesuai dengan kententuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Seluruh fakta dan bukti telah menunjukkan bahwa terdakwa melakukan pembunuhan dengan kejam. Terdakwa juga telah memotong-motong korban menjadi tujuh bagian yang dibuah secara terpisah. Melihat kejahatan yang dilakukannya, maka pantas baginya mendapatkan hukuman maksimal berupa hukuman mati. Bahkan, merujuk pada berita acara pengadilan, terdakwa juga mengakui telah membunuh tujuh orang lain di wilayah berbeda.

Kata kunci: pembunuhan dengan sengaja, mutilasi, korban

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 195 5/16/2012 4:37:56 PM

Page 114: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

196 | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | Kompleksitas Punitas | JURNAL YUDISIAL

PENDAHULUANI.

VIH (terdakwa) dalam Perkara Nomor: 1036/Pid/B/2008/PN.DPK telah didakwa melakukan tindak pidana pembunuhan berencana terhadap HS. Adapun kronologi kasus dalam Perkara Nomor: 1036/Pid/B/2008/PN.DPK ini adalah sebagai berikut:

Terdakwa pada tahun 2002 telah mengenal HS (korban) di Surabaya sebagai Manajer Artis 1. KDI TPI. Tetapi setelah itu keduanya sempat tidak berhubungan lagi hingga sekitar awal tahun 2008.

Pada tanggal 9 Juli 2008, terdakwa mulai kembali menghubungi atau mengadakan 2. komunikasi dengan korban melalui SMS atau handphone (HP). Korban dan terdakwa kemudian berjanjian, karena terdakwa akan memperkenalkan korban kepada seseorang, yaitu VM, yang tinggal di Apartemen Margonda Residence, Jalan Margonda Raya, Depok. Terdakwa dan NA (pacar terdakwa) juga tinggal di Margonda Residence di kamar Nomor 309 A, Blok C.

Pada tanggal 10 Juli 2008, sekitar pukul 21.00 WIB, terdakwa meminjam pisau kepada 3. saksi A (pelayan di Rumah Makan Simpang Anam) yang terletak di lantai dasar Apartemen Margonda Residence. Pada hari yang sama sekitar pukul 21.00 WIB, sepulang membeli makanan, terdakwa bertemu dengan VM. Ada pembicaraan antara terdakwa dengan VM, tetapi terdakwa tidak membicarakan rencana akan memperkenalkannya dengan korban.

Pada tanggal 11 Juli 2008, sekitar pukul 16.00 WIB, terdakwa kembali menghubungi 4. korban untuk datang ke Apartemen Margonda Residence, dan terdakwa mengatakan bahwa akan memperkenalkan korban dengan penghuni Apartemen Margonda Residence yang lain. Korbanpun jadi tertarik untuk datang ke Apartemen Margonda Residence. Korban tiba di tempat itu sekitar pukul 19.10 WIB dengan menggunakan mobil APV warna hitam dengan No. Pol. B 8986 AR, dan parkir di areal parkir P-2 Apartemen Margonda Residence.

Setelah tiba di kamar terdakwa, yaitu kamar Nomor 309 A, Blok C, terdakwa dan korban 5. berbincang-bincang sejenak. Saat sedang berbincang-bincang, korban tiba-tiba bertanya siapa pacar terdakwa. Lalu terdakwa menjawab bahwa pacarnya bernama NA, sambil memperlihatkan fotonya. Setelah melihat foto NA, korban menjadi tertarik dan mengatakan keinginannya untuk berkencan (tidur) dengan NA. Mendengar hal itu, terdakwa merasa tersinggung dan sakit hati, lalu terdakwa menampar korban dan korban pun membalas menampar terdakwa. Kemudian terjadilah perkelahian. Dalam perkelahian itu, terdakwa lalu meraih pisau yang ada di samping televisi, kemudian menusukkannya ke perut korban berkali-kali. Korban akhirnya terjatuh di sofa.

Selanjutnya, terdakwa menyeret tubuh korban ke kamar mandi, dan karena korban masih 6. berteriak, terdakwa kembali menusukkan pisau ke wajah dan mulut korban dengan tujuan

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 196 5/16/2012 4:37:56 PM

Page 115: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

JURNAL YUDISIAL | Kompleksitas Punitas | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | 197

agar korban tidak bisa berteriak lagi. Terdakwa kemudian memukul kepala korban berulang kali dengan gagang shower yang ada di kamar mandi, dan ternyata korban belum juga mati serta masih bergerak. Terdakwa lalu teringat dengan besi ulir sepanjang lebih kurang 51 cm yang ada di laci dapur, dan segera terdakwa mengambilnya lalu memukulkan besi ulir itu ke kepala korban secara berulang-ulang serta menusukkan besi ulir itu ke dada korban. Akhirnya korban tidak bergerak lagi.

Setelah korban tidak bergerak lagi, terdakwa berpikir bagaimana cara membawa mayat korban. 7. Untuk itulah kemudian terdakwa membuka seluruh pakaian korban dan mengambil pisau, serta selanjutnya memotong-motong tubuh korban menjadi 7 (tujuh) potongan (bagian).

Pada pukul 20.37 WIB, di saat terdakwa sedang memotong-motong tubuh korban, terdakwa 8. sempat menelpon NA untuk menjemputnya di depan Rumah Sakit Pondok Indah. Setelah tubuh korban dipotong menjadi 7 (tujuh) bagian, terdakwa lalu memasukkan potongan-potongan tubuh itu ke dalam beberapa tas (ada yang berupa tas koper dan ada juga yang hanya berupa tas plastik). Setelah selesai memasukkan potongan-potongan tubuh korban ke dalam tas, terdakwa lalu membersihkan darah yang berceceran di lantai kamar mandi dan kamar tidur.

Setelah membunuh, terdakwa juga mengambil dompet dan uang korban sebesar Rp. 9. 300.000,- (tiga ratus ribu rupiah), serta beberapa barang berharga milik korban lainnya, seperti Kartu Kredit BNI 46 atas nama korban, Kartu Belanja Nomor 5189 4399 0605 6405 atas nama korban, SIM A dan SIM C atas nama korban, kunci mobil Suzuki APV dan STNK mobil Suzuki APV No. Pol. B 8986 AR atas nama korban.

Terdakwa lalu membawa tas-tas yang berisi potongan mayat korban ke areal parkir P-2, 10. dan memasukkannya ke bagasi belakang mobil Suzuki APV warna hitam dengan No. Pol. B 8986 AR milik korban. Pada saat terdakwa akan menghidupkan mobil itu, ternyata mobil tidak mau hidup, sehingga terdakwa segera memanggil taksi untuk membawa potongan-potongan tubuh korban tadi.

Terdakwa memperoleh taksi bermerk Taxiku dengan No. Pol. B 2688 XU, Nomor Lambung 11. 088, yang dikemudikan oleh TS. Tas-tas yang tadinya berada di dalam bagasi mobil milik korban dipindahkan ke dalam bagasi taksi. Setelah itu, terdakwa meminta diantarkan menuju ke arah Pondok Indah. Dalam perjalanan menuju ke Pondok Indah, taksi melewati Jalan Raya Kebagusan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, sesuai dengan permintaan terdakwa.

Di Jalan Raya Kebagusan, setelah dekat sebuah kebun kosong yang tidak ada penerangan 12. lampunya (gelap), terdakwa minta berhenti sebentar dan turun dari taksi. Setelah turun dari taksi, terdakwa lalu membuang tas, koper dan plastik yang berisi potongan tubuh korban ke kebun kosong itu. Setelah membuang tas, koper dan plastik yang berisi potongan tubuh

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 197 5/16/2012 4:37:56 PM

Page 116: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

198 | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | Kompleksitas Punitas | JURNAL YUDISIAL

korban, perjalanan terdakwa dengan taksi dilanjutkan kembali. Taksi menuju ke arah Pondok Indah, dan sekitar pukul 00.00 WIB, terdakwa tiba di Rumah Sakit Pondok Indah serta bertemu dengan NA. Mereka kemudian kembali ke Apartemen Margonda Residence.

Pada tanggal 12 Juli 2008, sekitar pukul 07.30 WIB, di sebuah kebun kosong di Jalan 13. Kebagusan Raya, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, ditemukan mayat terpotong 7 (tujuh) yang kemudian diketahui bernama HS.

Pada 12 Juli 2008, pukul 11.00 WIB, dr. Abdul Mun’im Indries, Sp.F. (dokter spesialis 14. forensik pada Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RSCM) melakukan pemeriksaan terhadap mayat yang ditemukan di Jalan Raya Kebagusan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan tersebut. Hasil pemeriksaan itu dituangkan ke dalam Laporan Hasil Visum Et Repertum/Bedah Mayat Nomor: 955/SK.II/VII/2-2008 tanggal 11 Agustus 2008. Beberapa kesimpulan dalam Laporan Hasil Visum Et Repertum/Bedah Mayat itu, antara lain, adalah:

a. Korban adalah mayat laki-laki berumur sekitar 40 (empat puluh) tahun, dengan golongan darah O, dan dalam keadaan terpotong-potong menjadi 7 (tujuh) bagian, didapati luka-luka lecet, memar, luka terbuka, patah tulang dada, tulang dahi, tulang dasar tengkorak serta perdarahan dalam rongga tengkorak akibat kekerasan tumpul.

b. Pada pemeriksaan selanjutnya, didapati pula luka-luka terbuka serta terpotongnya hati akibat kekerasan tajam.

c. Sayatan-sayatan yang memenuhi seluruh wajah dan memotong mulut tepat pada kedua sudut bibirnya disebabkan oleh kekerasan tajam.

d. Berdasarkan ciri-ciri dari lukanya, kekerasan tajam yang memisahkan tubuh korban menjadi 7 (tujuh) bagian dilakukan tidak dengan sekali sayatan atau sekali potongan. Hal ini membuktikan bahwa senjata tajam yang digunakan bukan senjata tajam yang besar dan berat.

e. Sebab matinya laki-laki ini akibat kekerasan tajam yang berulang pada daerah leher. Kekerasan tumpul pada daerah dahi secara tersendiri dapat menyebabkan kematian.

Pada tanggal 15 Juli 2008, terdakwa ditangkap.15.

Berdasarkan temuan-temuan yang dimulai dari proses penyelidikan dan penyidikan, maka Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam Surat Dakwaan Nomor Register: PDM-52/Depok/11/2008 tanggal 11 November 2008 mendakwa terdakwa dengan dakwaan berlapis yang disusun secara kombinasi subsidaritas alternatif, yaitu:

1. Dakwaan ke satu, yang terdiri dari: dakwaan primair sebagaimana diatur dan diancam

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 198 5/16/2012 4:37:56 PM

Page 117: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

JURNAL YUDISIAL | Kompleksitas Punitas | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | 199

pidana dalam Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dakwaan subsidair sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 339 KUHP, dan dakwaan lebih subsidair sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 338 KUHP, atau;

2. Dakwaan ke dua sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 365 Ayat (3) KUHP.

Karena dakwaan JPU bersifat kombinasi, maka berarti majelis hakim terlebih dahulu akan mempertimbangkan dakwaan ke satu primair, yaitu Pasal 340 KUHP. Dengan terbuktinya terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan, maka terdakwa harus dijatuhi pidana yang setimpal dengan perbuatanya. JPU dalam surat tuntutannya telah menuntut terdakwa dengan pidana mati.

Pada akhirnya, majelis hakim dalam perkara ini menjatuhkan putusan sebagai berikut:

1. Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan berencana.

2. Menjatuhkan pidana mati terhadap terdakwa atas perbuatannya tersebut.

3. Memerintah terdakwa tetap berada dalam tahanan.

4. Memerintahkan agar terhadap barang bukti, yang antara lain berupa:

a. 1 (satu) batang besi ulir panjang 51 cm, 1 (satu) buah pisau bergagang kayu, 1 (satu) buah koper warna biru merk President, 1 (satu) buah tas plastik warna hitam, 1 (satu) buah tas warna abu-abu merk Adidas, dan 1 (satu) buah tas plastik warna merah merk Centro, dirampas untuk dimusnahkan.

b. 1 (satu) buah KTP No. 32.03.14.2012.281168.08812 atas nama HS, 1(satu) buah SIM A atas nama HS, Kartu Kredit BNI No. 4105 0500 0085 3896 atas nama HS, dan kartu belanja No. 5189 4399 0605 6405 atas nama HS, dikembalikan kepada saksi W.

c. 1 (satu) lembar struk transaksi pembelian Cosmos Rice Jar CRJ 600 seharga Rp. 304.900,- (tiga ratus empat ribu sembilan ratus rupiah) tertanggal 13 Juli 2008 dari pusat belanja Hero, cabang Giant Margo City, Depok, dan struk pembayaran 2 (dua) buah cermin tertanggal 13 Juli 2008 dengan menggunakan Kartu Kredit No. 5489 8888 0171 0648, tetap terlampir dalam berkas perkara.

5. Membebankan biaya perkara kepada negara sebesar Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah).

RUMUSAN MASALAHII.

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, di mana VIH sebagai terdakwa dalam perkara ini didakwa telah melakukan tindak pidana pembunuhan berencana, sebagaimana yang diatur

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 199 5/16/2012 4:37:56 PM

Page 118: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

200 | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | Kompleksitas Punitas | JURNAL YUDISIAL

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, terhadap HS (korban). Karena itu, terdakwa dituntut hukuman pidana mati. Adapun permasalahan yang akan dibahas lebih lanjut dalam tulisan ini adalah:

1. Apakah majelis hakim dalam Perkara Nomor: 1036/Pid/B/2008/PN.DPK telah mengikuti syarat formil hukum acara pidana serta dapatkah JPU membuktikan unsur tindak pidana dan kesalahan terdakwa (VIH) secara lengkap?

2. Apakah terhadap putusan Perkara Nomor: 1036/Pid/B/2008/PN.DPK telah dilakukan penalaran yang silogistis dan runut oleh majelis hakim sehingga putusan tersebut mencerminkan keadilan dan keamanan bagi masyarakat?

STUDI PUSTAKA DAN ANALISISIII.

Dalam pengertiannya yang sempit, hukum acara pidana adalah peraturan hukum tentang penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan sidang sampai putusan pengadilan dan eksekusi putusan hakim itu (Muhammad, 1997: 1).

Suatu putusan pengadilan merupakan output dari suatu proses sidang pengadilan yang meliputi pemeriksaan saksi-saksi, pemeriksaan terdakwa dan pemeriksaan barang bukti. Setiap putusan harus berdasarkan surat dakwaan, requisitoir JPU, serta segala fakta dan keadaan-keadaan yang terbukti dalam sidang pengadilan. Terhadap putusan yang mengandung pemidanaan, kesalahan terdakwa harus dibuktikan dengan minimal 2 (dua) alat bukti dan adanya keyakinan pada diri hakim atas kesalahan terdakwa berdasarkan alat bukti yang ada.

Dalam perkara pidana yang terjadi di dalam wilayah hukum (yurisdiksi) Pengadilan Negeri Depok dengan Putusan Nomor: 1036/Pid/B/2008/PN.DPK, secara jelas terlihat bahwa majelis hakim telah mengawali putusannya dengan memuat ketentuan formalitas yang mutlak ada di dalam suatu putusan pengadilan, yaitu (KUHAP,1981: Pasal 197 jo Pasal 199):

1. Kepala putusan yang dituliskan berbunyi: “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”;

2. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa;

3. Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;

4. Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa;

5. Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan;

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 200 5/16/2012 4:37:56 PM

Page 119: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

JURNAL YUDISIAL | Kompleksitas Punitas | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | 201

6. Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa;

7. Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim, kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal;

8. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan;

9. Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti;

10. Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu;

11. Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan;

12. Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera.

Secara sistematis dan eksplisit, ketentuan formalitas mengenai putusan dalam hukum acara pidana sudah dapat dilihat di dalam Putusan Perkara Nomor: 1036/Pid/B/2008/PN.DPK ini.

Dalam membuat Putusan Perkara Nomor: 1036/Pid/B/2008/PN.DPK, majelis hakim telah memenuhi syarat-syarat formal suatu putusan pengadilan, di mana putusan yang diambil harus didasarkan pada adanya surat dakwaan JPU. Atas surat dakwaan tersebut, penasehat hukum terdakwa melakukan keberatan (eksepsi), tetapi majelis hakim telah menjatuhkan putusan sela tertanggal 24 Desember 2008, yang pada pokoknya menyatakan menolak keberatan (eksepsi) terdakwa dan memerintahkan agar persidangan dilanjutkan, hingga akhirnya majelis hakim mengambil putusan. Terlihat bahwa majelis hakim dalam Perkara Nomor: 1036/Pid/B/2008/PN.DPK ini dalam mengambil putusan telah didahului dengan analisis secara proporsional, baik terhadap argumen dari JPU maupun dari penasehat hukum terdakwa.

Putusan yang diambil majelis hakim didasarkan pula pada requisitoir JPU, di mana terdakwa didakwa dengan dakwaan berlapis yang disusun secara kombinasi subsidaritas alternatif, yaitu:

1. Dakwaan ke satu, yang terdiri dari: dakwaan primair sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 340 KUHP, dakwaan subsidair sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 339 KUHP, dan dakwaan lebih subsidair sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 338 KUHP, atau;

2. Dakwaan ke dua sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 365 Ayat (3) KUHP.

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 201 5/16/2012 4:37:57 PM

Page 120: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

202 | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | Kompleksitas Punitas | JURNAL YUDISIAL

Dalam kasus ini (yang putusannya mengandung pemidanaan), sebelum mengambil putusan, majelis hakim telah mendengarkan keterangan dari para saksi, saksi ahli, keterangan dari terdakwa, memperhatikan bukti surat, serta ikut mempertimbangkan terhadap hal-hal yang memberatkan dan yang meringankan bagi terdakwa. Sehingga dengan demikian, putusan majelis hakim telah didukung dengan minimal 2 (dua) alat bukti yang sah sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 183 jo Pasal 185 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam putusannya ini pun, majelis hakim telah memenuhi ketentuan syarat-syarat isi putusan pengadilan yang diatur dalam Pasal 197 KUHAP, seperti yang telah disebutkan di atas.

Putusan Perkara Nomor: 1036/Pid/B/2008/PN.DPK diputuskan berdasarkan hasil musyawarah majelis hakim yang dilakukan pada tanggal 1 April 2009. Putusan itu kemudian diucapkan pada hari Senin, tanggal 6 April 2009, dalam persidangan yang terbuka untuk umum, sehingga di sini terlihat perbedaan antara hari dilaksanakannya musyawarah majelis hakim dengan hari pembacaan putusan oleh majelis hakim.

Terkait dengan hukum pidana materiil, maka hakim harus membuktikan unsur-unsur tindak pidana yang dilakukan terdakwa. Adapun yang dimaksud dengan tindak pidana (strafbaar feit) adalah yang pada waktu tertentu dalam konteks suatu budaya dianggap tidak dapat ditoleransi dan harus diperbaiki dengan mendayagunakan sarana-sarana yang disediakan oleh hukum pidana (Remmelink, 2003: 61).

Dalam hal penjatuhan pidana, maka kesalahan (Remmelink, 2003: 142) selalu menjadi dasar bagi penerapan hukum pidana (Remmelink, 2003: 146). Di Indonesia, pada prinsipnya (dalam KUHP) tidak mengenal adanya pemisahan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Berdasarkan hal itu pula, maka pada prinsipnya dalam pembuktian unsur kesalahan pada Perkara Nomor: 1036/Pid/B/2008/PN.DPK ini, majelis hakim menggunakan teori monisme, di mana tidak ada pemisahan antara perbuatan pidana dengan pertanggungjawaban pidana. Tetapi, terhadap perkara ini, menurut penulis, terdapat pengecualian, di mana dalam pertimbangan hukumnya majelis hakim terlebih dahulu mempertimbangkan unsur objektif perbuatan pidana (pertanggungjawaban pidana) yang dilakukan terdakwa. Hal ini terkait dengan faktor kejiwaan terdakwa, yang dirasa sangat penting karena berhubungan dengan kemampuan terdakwa untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Dalam Putusan Perkara Nomor: 1036/Pid/B/2008/PN.DPK telah terlihat adanya konsistensi majelis hakim dalam mengambil putusan, di mana dasar hukum yang dipakai oleh majelis hakim telah tepat dan sesuai dengan surat dakwaan dan requisitoir (tuntutan) dari JPU. Dalam putusan perkara ini juga tidak terdapat disparitas antara tuntutan dengan putusan majelis hakim. Hal itu bisa dilihat dari kesamaan antara tuntutan JPU yang menuntut terdakwa dengan hukuman mati dengan majelis hakim yang memutus bahwa terdakwa terbukti bersalah dan atas perbuatannya tersebut dia dijatuhi hukuman mati.

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 202 5/16/2012 4:37:57 PM

Page 121: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

JURNAL YUDISIAL | Kompleksitas Punitas | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | 203

Putusan hukuman mati yang dijatuhkan oleh majelis hakim dalam Perkara Nomor: 1036/Pid/B/2008/PN.DPK ini mempertimbangkan pula nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat terkait dengan pro dan kontra penjatuhan hukuman mati, dan juga hubungannya dengan isi Pasal 28 I Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945).

Menurut sistem yang dianut di Indonesia, maka hakim wajib untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat untuk menemukan hukum. Untuk menemukan hukum itu juga, maka hakim dapat bercermin pada yurisprudensi dan pendapat ahli hukum yang terkenal/doktrin (Andi Hamzah, 2008: 105). Dalam Perkara Nomor: 1036/Pid/B/2008/PN.DPK, majelis hakim pada saat menguraikan tindak pidana yang diduga dilakukan terdakwa telah didukung oleh doktrin, namun tidak dijelaskan doktrin dari siapa yang digunakan.

Penggunaan doktrin tersebut, dilakukan oleh majelis hakim pada saat menguraikan unsur dengan direncanakan terlebih dahulu, untuk mengetahui apakah perbuatan terdakwa direncanakan terlebih dahulu ataukah bersifat spontan (seketika) dilakukan (tanpa perencanaan).

Dalam penjatuhan sanksi terhadap terdakwa, majelis hakimpun mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan terdakwa, di antaranya seperti perbuatan terdakwa adalah dianggap sangat sadis (tidak berperikemanusiaan). Hal ini terlihat dari adanya fakta yang terungkap, di mana mayat korban ditemukan dalam keadaan telah terpotong menjadi 7 (tujuh) bagian. Kesadisan terdakwa juga nampak dari banyaknya luka yang ditemukan pada tubuh korban. Hal lainnya yang memberatkan terdakwa dalam penilaian majelis hakim adalah bahwa terdakwa tidak menunjukkan rasa penyesalan atas perbuatan yang telah dilakukannya. Bahkan di muka persidangan, terdakwa juga mengakui bahwa dia pernah melakukan serangkaian pembunuhan sebanyak 11 (sebelas) kali, termasuk di daerah Jombang, Jawa Timur. Majelis hakim dalam perkara ini, tidak melihat sama sekali adanya hal-hal yang bersifat dapat meringankan bagi terdakwa.

Melalui tahapan persidangan, majelis hakim dalam Perkara Nomor: 1036/Pid/B/2008/PN.DPK berusaha untuk membuktikan bahwa dakwaan yang ditujukan kepada terdakwa terbukti atau tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Untuk itulah, maka pemeriksaan dalam persidangan diajukan alat-alat bukti, yang antara lain berupa keterangan saksi, keterangan saksi a de charge (saksi yang meringankan terdakwa, dalam perkara ini adalah ibu kandung terdakwa), keterangan saksi ahli, serta barang-barang bukti yang telah dibenarkan oleh saksi-saksi dan terdakwa yang digunakan untuk memperkuat pembuktian. Dan semua fakta hukum yang terungkap di persidangan kemudian disusun secara sistematis oleh majelis hakim sehingga cukup mudah untuk dipahami.

Dalam pertimbangannya, majelis hakim mempertimbangkan terlebih dahulu mengenai kemampuan pertanggungjawaban pidana dari terdakwa. Hal ini dilakukan terkait dengan kondisi kejiwaan terdakwa. Setelah itu, baru majelis hakim mempertimbangkan mengenai unsur-unsur tindak pidana yang diduga dilakukan terdakwa, yaitu pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP).

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 203 5/16/2012 4:37:57 PM

Page 122: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

204 | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | Kompleksitas Punitas | JURNAL YUDISIAL

Dalam melakukan pertimbangan atau menganalisis unsur-unsur tindak pidana tersebut, majelis hakim menggunakan metode interpretasi gramatikal (Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo,1993: 18) dan interpretasi sistematis (Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, 1993: 16). Interpretasi gramatikal dapat dilihat, antara lain, pada saat majelis hakim menafsirkan unsur dengan sengaja. Sedangkan interpretasi sistematis dilakukan majelis hakim terkait dengan sanksi hukuman mati yang dijatuhkan kepada terdakwa, sehingga majelis hakim dalam pertimbangannya melihat pula kaitan perkara ini (keberadaan sanksi hukuman mati) dengan peraturan lain yang berlaku, yaitu Pasal 28 I UUD 1945.

Dalam beberapa tahapan pemeriksaan di muka persidangan yang didukung alat-alat bukti, majelis hakim melakukan penafsiran untuk memaknai dan membuat jelas unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa, sehingga bisa dilihat kesesuaian antara apa yang didakwakan dengan apa yang terungkap di persidangan, maka pada akhirnya putusanpun dijatuhkan dengan menyatakan bahwa terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan berencana, dan oleh karena itu terdakwa dijatuhi hukuman pidana mati.

Dari uraian di atas, jelas bahwa Putusan Perkara Nomor: 1036/Pid/B/2008/PN.DPK ini dibuat oleh majelis hakim dengan proses berpikir silogistis yang runut, di mana ketentuan Pasal 340 KUHP (sebagai premis mayor) yang dilanggar oleh terdakwa, setelah itu dibuktikan dengan fakta konkret yang ada, yaitu terbunuhnya korban (sebagai premis minor), kemudian berdasarkan hal itu akhirnya menghasilkan simpulan majelis hakim yang menyatakan bahwa terdakwa bersalah telah melakukan tindak pidana pembunuhan berencana dan atas perbuatannya itu dia dijatuhi hukum mati.

Dalam menegakkan hukum, ada 3 (tiga) unsur yang selalu harus diperhatikan, yaitu kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Masyarakat tentu mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan menjadi lebih tertib. Hukum adalah untuk manusia, maka dalam penegakan hukum itu harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Kemudian, yang perlu juga diperhatikan adalah masalah keadilan dalam penegakan hukum. Hukum itu bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan. Sedangkan keadilan bersifat subjektif, dan tidak menyamaratakan (Mertokusumo dan Pitlo, 1993: 2).

Permasalahan hukum dan keadilan merupakan permasalahan lama yang selalu tetap menarik dan aktual. Tidak dapat disangkal bahwa dalam kehidupan bersama antarmanusia tetap memerlukan hukum dan keadilan itu, seperti apa yang dinyatakan oleh Artidjo Alkostar bahwa pada dasarnya manusia selalu memerlukan keadilan, kebenaran dan hukum, karena hal itu merupakan nilai dan kebutuhan asasi bagi manusia yang beradab (Soejadi, 2008: 88). Tidak adanya keadilan akan menimbulkan kehancuran dan kekacauan di masyarakat.

Sebagian orang mungkin akan merasa lega hatinya karena hukum pidana dapat membalas dengan penerapan sanksi pidana kepada orang lain yang dinyatakan oleh yang berwenang telah

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 204 5/16/2012 4:37:57 PM

Page 123: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

JURNAL YUDISIAL | Kompleksitas Punitas | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | 205

melanggar peraturan perundang-undangan hukum pidana. Tetapi di sisi lain, ada sebagian orang yang merasa kecewa karena hukum pidana diterapkan dengan tidak tepat atau kurang adil. Dalam hal ini, hukum pidana berarti tidak hanya melihat penderitaan korban atau penderitaan terpidana saja, tetapi juga melihat ketenteraman masyarakat sebagai suatu kesatuan yang utuh.

Menurut Jeremy Bentham, hukum pidana hanya dipergunakan jika sudah dipertimbangkan kemanfaatannya ke arah asas utilitas. Pada intinya, Bentham menghendaki agar prinsip hukum tidak dipergunakan untuk pembalasan orang yang melakukan kejahatan, tetapi hanya untuk mencegah kejahatan. Melihat hal ini, maka tujuan penjatuhan hukuman dalam hukum pidana adalah untuk melindungi, memelihara ketertiban, dan mempertahankan keamanan masyarakat sebagai satu kesatuan (Marpaung, 2008: 4).

Putusan Perkara Nomor: 1036/Pid/B/2008/PN.DPK ini, menurut peneliti, sudah mencerminkan nilai keadilan dan kemanfaatan. Penjatuhan sanksi hukuman mati kepada terdakwa dalam perkara ini, dapat dianggap sebagai suatu bentuk penerapan nilai keadilan yang diusahakan oleh majelis hakim melalui putusannya. Dalam menghasilkan putusannya itu, majelis hakim terlihat telah manganalisis dengan cermat unsur-unsur tindak pidana pembunuhan berencana yang dilakukan secara sadis (dengan mutilasi) yang diduga dilakukan oleh terdakwa. Majelis hakim pun tidak menemukan ungkapan rasa penyesalan pada diri terdakwa. Oleh karena itulah, maka keadilan harus ditegakkan, terutama karena terdakwa telah melanggar hak hidup dari pihak korban, dan menimbulkan keresahan di masyarakat.

Adapun manfaat dari penjatuhan sanksi hukuman mati terhadap terdakwa dalam Putusan Perkara Nomor: 1036/Pid/B/2008/PN.DPK adalah bahwa putusan ini pada akhirnya dapat melindungi masyarakat secara umum agar mereka tidak lagi diresahkan dengan perbuatan terdakwa yang dinilai sangat sadis. Apalagi karena ternyata dalam persidangan perkara ini terungkap bahwa terdakwa pernah pula melakukan pembunuhan sebanyak 11 (sebelas) kali di daerah Jombang, Jawa Timur.

Dalam Putusan Perkara Nomor: 1036/Pid/B/2008/PN.DPK ini, jelas majelis hakim cenderung menerapkan falsafah pemidanaan retribusi. Hal ini terlihat dalam putusan, di mana terdapat kata kunci “menimbang bahwa oleh karena terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan, maka terhadap terdakwa harus dijatuhi pidana yang setimpal dengan perbuatannya.

Hal itu dilakukan sebagai pembalasan terhadap perbuatan terdakwa yang telah melakukan pembunuhan berencana yang dilakukan secara sadis (dengan mutilasi) yang mengakibatkan kesengsaraan bagi keluarga korban serta mengakibatkan keresahan di masyarakat pada umumnya.

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 205 5/16/2012 4:37:57 PM

Page 124: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

206 | Vol.III/No-02/Agustus/2010 | Kompleksitas Punitas | JURNAL YUDISIAL

SIMPULAN IV.

Putusan majelis hakim atas Perkara Nomor: 1036/Pid/B/2008/PN.DPK, secara umum, dapat dinilai telah mengikuti prosedur hukum acara pidana yang berlaku. Hal itu dapat terlihat dari telah dipenuhinya syarat-syarat formal suatu putusan pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 197 jo Pasal 199 KUHAP, serta telah dilaluinya proses pemeriksaan terhadap saksi-saksi, terhadap terdakwa dan pemeriksaan terhadap alat-alat bukti di muka persidangan.

Pembuktian terhadap unsur tindak pidana dan kesalahan dalam perkara pembunuhan berencana ini telah dilakukan secara lengkap oleh majelis hakim. Pembuktian unsur-unsur tindak pidana itu telah pula didukung oleh fakta-fakta hukum yang kuat. Terkait dengan sanksi hukuman mati yang diterima terdakwa, dalam hal ini majelis hakim perlu mendapatkan apresiasi. Putusan sanksi hukuman mati ini telah diambil dengan pertimbangan yang baik, yaitu dengan mempertimbangkan dasar hukum yang ada pada peraturan perundang-undangan maupun mempertimbangkan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat.

Falsafah pemidanaan yang diterapkan oleh majelis hakim dalam perkara ini cenderung kepada falsafah pemidanaan retribusi. Dari sisi keadilan dan kemanfaatan, maka Putusan Perkara Nomor: 1036/Pid/B/2008/PN.DPK ini juga dapat dianggap telah mengakomodasi nilai-nilai keadilan dan kemanfaatan tadi.

DAFTAR PUSTAKA

Hamzah, Andi. 2008. Hukum Acara Pidana Indonenesia. Jakarta: Sinar Grafika.

Marpaung, Leden. 2008. Asas, Teori, Praktik Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika.

Mertokusumo, Sudikno dan A. Pitlo. 1993. Bab-Bab tentang Penemuan Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Muhammad, H. Rusli. 1997. Hukum Acara Pidana Kontemporer. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Remmelink, Jan. 2003. Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Soejadi, HR. 2008. “Refleksi mengenai Hukum dan Keadilan: Aktualisasinya di Indonesia”, dalam Membangun Hukum Indonesia: Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum. Yogyakarta: Kreasi Total Media.

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 206 5/16/2012 4:37:57 PM

Page 125: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

BioDaTa Penulis

Feri Amsari, S.H., M.H., adalah Dosen Hukum Tata Negara dan Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang. Menyelesaikan strata 1 dan strata 2 di Universitas Andalas. Aktif menulis pelbagai media cetak nasional dan daerah, beberapa jurnal, dan tulisan-tulisan tersebut dapat diunduh di; www.feriamsari.wordpress.com.

Endra Wijaya, S.H., M.H., adalah staf pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Pancasila (FHUP), Jakarta. Selain itu, sekarang juga menjabat sebagai Sekretaris Bagian Hukum Tata Negara/Hukum Administrasi Negara FHUP, dan Wakil Ketua Dewan Pengurus Pusat Kajian Ilmu Hukum FHUP. Lulusan S-1 FHUP Program Kekhususan Transnasional, dan S-2 Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia Konsentrasi Hukum dan Kehidupan Kenegaraan. Beberapa karya tulis yang pernah dipublikasikan, antara lain, adalah: “Pokok Pemikiran Critical Legal Studies (CLS) dan Upaya Penerapannya: Melihat Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dari Sudut Pandang yang Ditawarkan oleh CLS” (Jurnal Hukum Themis, Vol. 1, November 2006), “Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik: Fungsinya dalam Sistem Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia” (Jurnal Hukum Themis, Vol. 3, Maret 2009), “Penundaan Pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara yang Sedang Digugat” (Jurnal Judicial, Fakultas Hukum Universitas Tama Jagakarsa, Jakarta, Vol. 3, No. 1, 2007), “Pengantar mengenai Teori Marxis tentang Hukum” (Jurnal Dinamika Hukum, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Vol. 8, No. 3, September 2008), dan buku Partai Politik Lokal di Indonesia (Bekasi: Penerbit F-Media, 2010).

Saryono Hanadi, S.H., M.H., lahir di Temanggung, 29 Maret 1957. Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, menyelesaikan S1 di Universitas Sebelas Maret Surakarta pada tahun 1986 dan S2 di Universitas Diponegoro Semarang pada tahun 2005. Pengalaman berorganisasi menjadi Ketua Bagian Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Ketua Pusat Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, dan Reviewer di lembaga Penelitian Universitas Jenderal Soedirman.

M.I. Wiwik Yuni Hastuti, S.H., lahir di Surakarta, 19 Juni 1959. Menyelesaikan S1 di Universitas Sebelas Maret Surakarta pada tahun 1987. Pengalaman berorganisasi menjadi Ketua Program Non Reguler Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, dan menjadi Bendahara Pusat Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 207 5/16/2012 4:37:57 PM

Page 126: J KOMPLEKSITAS PUNITAS U R Yudisial... · 2014-04-29 · II J urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal

Mirza Alfath S, S.H., M.H., lahir di Lhokseumawe, 15 April 1975. Menyelesaikan S1 di Universitas Islam Indonesia pada tahun 1998 dan S2 di Universitas Padjajaran pada tahun 2006. Dosen Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh (Unimal) ini pernah menjadi Tim Ahli Program Legislasi DPRK Aceh Utara, kerja sama BRR Satker Penguatan Kapasitas Lembaga tahun 2007. Dan saat ini ia menjadi bagian program LKBH Unimal dan tim editing Jurnal Suloh FH Unimal.

Helmi, S.H., M.Hum., lahir di Banjarmasin, 13 Mei 1960. Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat ini menjabat sebagai Lektor Kepala Mata Kuliah Hukum Pidana serta Pembantu Dekan I FH Universitas Lambung Mangkurat. Menyelesaikan S1 di Universitas Lambung Mangkurat pada tahun 1985 dan S2 di Universitas Airlangga pada tahun 1996.

Ricca Anggraeni, lahir di Jakarta, 1 Mei 1985. Menyelesaikan S1 dan S2 di Universitas Pancasila. Saat ini ia menjadi editor pada Jurnal Themis dan pengajar di Fakultas Hukum Universitas Pancasila pada Mata Kuliah Ilmu Perundang-Undangan dan Teori Perundang-Undangan. Tergabung dalam Pusat Kajian Ilmu Hukum Universitas Pancasila sebagai Assisten Peneliti.

Rifkiyati Bachri, lahir di Kupang, 9 Maret 1982. Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Pancasila (FHUP), selain itu, juga menjabat sebagai Sekretaris Dewan Pengurus Pusat Kajian Ilmu Hukum Universitas Pancasila FHUP dan Sekretaris Jurnal Hukum Themis FHUP. Menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Hukum Universitas Pancasila pada Tahun 2004 dan S2 Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Pancasila Kosentrasi Hukum Bisnis pada Tahun 2008.

JURNAL AGUSTUS.BARU. indd.indd 208 5/16/2012 4:37:57 PM