“ex fida bona” - komisi yudisial republik indonesia yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis...

150

Upload: phungkhue

Post on 04-Mar-2019

273 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,
Page 2: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

“EX FIDA BONA”

Vol. 10 No. 2 Agustus 2017 Hal. 115 - 234

Terakreditasi LIPI No. 706/AU/P2MI-LIPI/10/2015

p-ISSN 1978-6506 e-ISSN 2579-4868

Page 3: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,
Page 4: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

III

Jurnal Yudisial merupakan majalah ilmiah yang memuat hasil kajian/riset atas putusan-putusan pengadilan oleh jejaring peneliti dan pihak-pihak lain yang berkompeten. Jurnal Yudisial terbit berkala empat bulanan di bulan April, Agustus, dan Desember.

Penanggung Jawab: Danang Wijayanto, Ak., M.Si.

Sekretaris Jenderal Komisi Yudisial RI

Redaktur: 1. Roejito, S.Sos., M.Si. (Administrasi Negara dan Kebijakan Publik)

2. Drs. Hamka Kapopang (Komunikasi)

Penyunting: 1. Imran, S.H., M.H. (Hukum Pidana)

2. Dinal Fedrian, S.IP. (Ilmu Pemerintahan)

3. Muhammad Ilham, S.H. (Hukum Administrasi Negara)

4. Ikhsan Azhar, S.H. (Hukum Tata Negara)

5. Atika Nidyandari, S.H. (Hukum Dagang)

6. Nurasti Parlina, S.H. (Hukum Pidana dan Perdata)

Mitra Bestari: 1. Dr. Shidarta, S.H., M.Hum. (Filsafat Hukum dan Penalaran Hukum)

2. Dr. Anthon F. Susanto, S.H., M.Hum. (Metodologi Hukum dan Etika)

3. Dr. Yeni Widowaty, S.H., M.Hum. (Hukum Pidana dan Viktimologi)

4. Dr. Niken Savitri, S.H., M.CL. (Hukum Pidana, HAM dan Gender)

5. Hermansyah, S.H., M.Hum. (Hukum Ekonomi/Bisnis)

6. Dr. Widodo Dwi Putro, S.H., M.H. (Filsafat Hukum dan Sosiologi Hukum)

7. Prof. Dr. H. Yuliandri, S.H., M.H. (Ilmu Perundang-undangan)

p-ISSN 1978-6506 e-ISSN 2579-4868

Vol. 10 No. 2 Agustus 2017 Hal. 115 - 234

Page 5: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

IV

PEN

GA

NTA

R 8. Prof. Dr. Ronald Z. Titahelu, S.H., M.S. (Hukum Agraria dan Hukum Adat)

9. Dr. H. Mukti Fajar Nur Dewata, S.H., M.Hum. (Ilmu Hukum/Ilmu Politik)

10. Mohamad Nasir, S.H., M.H. (Hukum Lingkungan dan Sumber Daya

Alam)

Sekretariat: 1. Agus Susanto, S.Sos., M.Si.

2. Yuni Yulianita, S.S.

3. Noercholysh, S.H.

4. Wirawan Negoro, A.Md.

5. Didik Prayitno, A.Md.

6. Eka Desmi Hayati, A.Md.

Desain Grafis dan Fotografer: 1. Arnis Duwita Purnama, S.Kom.

2. Widya Eka Putra, A.Md.

Alamat:

Sekretariat Jurnal Yudisial

Komisi Yudisial Republik Indonesia

Jl. Kramat Raya No. 57 Jakarta Pusat, Telp. 021-3905876, Fax. 021-3906189

E-mail: [email protected]

Website: www.jurnal.komisiyudisial.go.id

Page 6: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

V

PEN

GA

NTA

R “EX FIDA BONA”

Dalam literatur hukum acara, khususnya dalam hukum acara perdata, dikenal asas yang memandu hakim untuk menjatuhkan putusan berdasarkan good business norms yang lazim disebut ex fida bona. Apabila para pihak memulai

hubungan kontraktual mereka dengan iktikad baik dan saling percaya satu sama lain, maka prinsip tersebut harus dijaga sampai pada titik akhir hubungan kontraktual mereka. Hakim sebagai pengambil putusan atas suatu sengketa hukum, wajib ikut menjaga penegakan asas ex fida bona ini, sehingga pihak yang bersikeras menjaga prinsip ini yang harus dimenangkan.

Dalam edisi Jurnal Yudisial kali ini, ada satu analisis tentang sengketa kompetensi absolut antara lembaga arbitrase dan peradilan umum. Asal muasal dari sengketa ini dapat ditelusuri karena adanya pergeseran (inkonsistensi) sikap para pihak dalam membina hubungan kontraktual. Sayangnya, hakim di dalam analisis ini dinilai tidak menunjukkan semangat yang cukup untuk memperhatikan ex fida bona tersebut. Sebagian besar analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik, seperti kasus pidana terkait hak beragama dan berkeyakinan bagi kaum minoritas, pertanggungjawaban pidana korporasi, tindak pidana pencucian uang, pengujian terhadap [sanksi] pidana mati, dan pengujian kewenangan pembatalan peraturan daerah. Lalu, apa relevansi antara putusan-putusan tersebut dengan asas ex fida bona?

Apabila hukum dimaknai sebagai norma kesepakatan sosial, maka perbuatan yang anti-sosial seperti kasus-kasus hukum pidana yang diangkat dalam berbagai analisis putusan tersebut, pada hakikatnya telah mencederai iktikad baik kita dalam pergaulan hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pencederaan itu tidak hanya dilakukan oleh orang perseorangan, tetapi sudah pula melibatkan korporasi dan komunitas luas warga masyarakat. Pelaku tindak pidana seperti tidak peduli bahwa perbuatan anti-sosial yang diperbuat, sangat merugikan kepentingan pihak lain atau kelompok masyarakat lain. Perilaku berhukum yang tidak menghormati hukum sebagai norma kesepakatan sosial, apakah itu ada di area hukum privat maupun publik, memperlihatkan rendahnya kualitas penegakan hukum di negeri yang baru melewati usia ke-72 tahun ini. Korps hakim dan aparatur penegak hukum lainnya jelas-jelas mengemban kewajiban untuk menghormati asas ini. Ex fida bona dalam berhukum secara sempit memang bermula di dalam kontrak perdata antar-individu, sedangkan ex fida bona dalam berhukum secara luas menghiasi kontrak sosial kita untuk menjadikan negara ini sebagai negara hukum (rechtsstaat).

Selamat membaca! Dirgahayu negara hukum Indonesia!

TertandaPemimpin Redaksi Jurnal Yudisial

Page 7: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

DA

FTA

R IS

I

Page 8: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

VII

DA

FTA

R IS

I Vol. 10 No. 2 Agustus 2017

PENYELESAIAN SENGKETA KOMPETENSI ABSOLUTANTARA ARBITRASE DAN PENGADILAN ................................... 115 - 134Kajian Putusan Nomor 10/PDT.G/2010/PN.JKT.PST jo. Putusan Nomor 629/PDT/2011/PT.DKI jo. Putusan Nomor 862 K/PDT/2013 jo. Putusan Nomor 238 PK/PDT/2014 dan Putusan BANI Nomor 547/XI/ARB-BANI/2013Cut MemiFakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Jakarta

PROBLEM MELINDUNGI HAK BERAGAMA DAN BERKEYAKINAN BAGI KELOMPOK MINORITAS MELALUI PENGADILAN .................................................................... 135 - 154Kajian Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPGEndra WijayaFakultas Hukum Universitas Pancasila, Jakarta

PENERAPAN PIDANA TAMBAHAN DALAM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASIPADA TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP ............................. 155 - 171Kajian Putusan Nomor 1554 K/PID.SUS/2015Hariman SatriaFakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari, Kendari

PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANGTANPA DAKWAAN TINDAK PIDANA ASAL .................................... 173 - 192Kajian Putusan Nomor 57/PID.SUS/2014/PN.SLRHalifFakultas Hukum Universitas Jember, Jember

KEBIJAKAN MODERASI PIDANA MATI ............................................ 193 - 215Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUU-V/2007Mei Susanto & Ajie RamdanFakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung

PERKEMBANGAN KEWENANGAN PEMBATALANPERATURAN DAERAH DAN PERATURAN KEPALA DAERAH .................................................................................. 217 - 234

p-ISSN 1978-6506/e-ISSN 2579-4868

Page 9: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

VIII

Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 137/PUU-XIII/2015 danNomor 56/PUU-XIV/2016Eka NAM SihombingFakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Medan

Page 10: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

IX

UDC 347.918; 340.142

Memi C (Fakultas Hukum, Universitas Tarumanagara, Jakarta)

Penyelesaian Sengketa Kompetensi Absolut Antara Arbitrase dan Pengadilan

Kajian Putusan Nomor 10/PDT.G/2010/PN.JKT.PST jo. Putusan Nomor 629/PDT/2011/PT.DKI jo. Putusan Nomor 862 K/PDT/2013 jo. Putusan Nomor 238 PK/PDT/2014 dan Putusan BANI Nomor 547/XI/ARB-BANI/2013

Jurnal Yudisial 2017 10(2), 115-134

Pasal 3 Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyatakan bahwa pengadilan negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dengan perjanjian arbitrase, akan tetapi sampai saat ini masih saja terdapat pertentangan kompetensi absolut antara arbitrase dan pengadilan. Sebagai contoh dan sekaligus fokus dalam pembahasan tulisan ini adalah dalam hal penanganan perkara antara PT B melawan PT CTPI. Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah metode penelitian hukum normatif. Berdasarkan Putusan Nomor 10/PDT.G/2010/PN.JKT.PST, perkara ini telah diputus oleh pengadilan dengan menyatakan bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berwenang mengadili perkara bahkan putusan ini kemudian dikuatkan sampai tingkat peninjauan kembali di Mahkamah Agung berdasarkan Putusan Nomor 238 PK/PDT/2014. Sementara di pihak lain perkara ini juga diputus oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dengan Putusan Nomor 547/XI/ARB-BANI/2013 yang menyatakan bahwa BANI berwenang dalam mengadili perkara yang sama. Pertentangan kompetensi absolut antara dua lembaga tersebut tentu perlu diselesaikan dengan menentukan lembaga mana yang sebenarnya berwenang dalam

menangani perkara bersangkutan. Berdasarkan kajian yang dilakukan dalam tulisan ini, diperoleh jawaban bahwa yang berwenang dalam mengadili perkara PT B melawan PT CTPI adalah BANI bukan pengadilan.

(Cut Memi)

Kata kunci: kompetensi absolut, arbitrase, pengadilan.

UDC 2.0

Wijaya E (Fakultas Hukum, Universitas Pancasila, Jakarta)

Problem Melindungi Hak Beragama dan Berkeyakinan Bagi Kelompok Minoritas Melalui Pengadilan

Kajian Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG

Jurnal Yudisial 2017 10(2), 135-154

Jaminan terhadap hak untuk memeluk agama dan keyakinan sudah dijamin melalui konstitusi Indonesia, tapi jaminan konstitusional itu belumlah cukup. Penegakan hak untuk memeluk agama dan keyakinan masih perlu didukung dengan instrumen hukum lainnya, dan salah satunya ialah putusan pengadilan. Dalam konteks seperti itu, maka keberadaan Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG menarik untuk dicermati. Putusan tersebut berkaitan erat dengan isu penegakan hak untuk memeluk agama dan keyakinan di Indonesia, terutama bagi kelompok minoritas. Fokus permasalahan dalam tulisan ini akan diarahkan kepada persoalan bagaimanakah substansi Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG dilihat dari perspektif penegakan hak asasi manusia, khususnya hak asasi manusia untuk secara bebas (tanpa tekanan) memilih dan memeluk suatu agama dan keyakinan. Dalam melakukan analisis,

JURNAL YUDISIAL

p-ISSN 1978-6506/e-ISSN 2579-4868 ........................................... Vol. 10 No. 2 Agustus 2017

Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya.

Page 11: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

X

penulis menggunakan metode kajian kepustakaan dengan bersandar pada data sekunder. Analisis akan dilakukan secara kualitatif dengan metode pendekatan peraturan perundang-undangan dan metode pendekatan konseptual. Kesimpulan yang didapat dari analisis ialah bahwa Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG cenderung masih berupaya mencapai aspek keadilan prosedural. Semangat untuk mengedepankan penegakan hak asasi manusia, khususnya hak beragama dan berkeyakinan bagi kelompok minoritas, tidak tampak dalam putusan tersebut.

(Endra Wijaya)

Kata kunci: hak beragama dan berkeyakinan, kelompok minoritas, putusan pengadilan.

UDC 349.601

Satria H (Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah Kendari, Kendari)

Penerapan Pidana Tambahan dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi pada Tindak Pidana Lingkungan Hidup

Kajian Putusan Nomor 1554 K/PID.SUS/2015

Jurnal Yudisial 2017 10(2), 155-171

Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor 1554 K/PID.SUS/2015 menghukum terdakwa PT KA yang diwakili oleh SR selaku direktur utama, karena melakukan pembakaran hutan yang merusak lingkungan hidup, dengan pidana denda sebesar Rp3.000.000.000,-. Permasalahan yang timbul adalah bagaimanakah penerapan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana lingkungan hidup, kaitannya dengan pidana tambahan berupa pemulihan kerugian akibat kerusakan lingkungan yang terjadi? Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan kasus dan pendekatan konseptual. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pertanggungjawaban pidana korporasi belum dilakukan secara maksimal karena didasari oleh tiga alasan. Pertama, terdakwa dipidana

denda dengan menggunakan ancaman pidana minimal sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 108 Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kedua, terdakwa tidak dikenai pidana tindakan tata tertib seperti perbaikan akibat tindak pidana guna memulihkan kerugian keuangan negara. Ketiga, terdakwa juga tidak dikenai pidana tambahan. Tegasnya putusan a quo belum maksimal baik dilihat dari sisi pemulihan kerugian keuangan negara, maupun dari sisi sanksi pidana denda kepada pelaku.

(Hariman Satria)

Kata kunci: pidana tambahan, pertanggungjawaban pidana, korporasi, lingkungan hidup.

UDC 336.74

Halif (Fakultas Hukum, Universitas Jember, Jember)

Pembuktian Tindak Pidana Pencucian Uang Tanpa Dakwaan Tindak Pidana Asal

Kajian Putusan Nomor 57/PID.SUS/2014/PN.SLR

Jurnal Yudisial 2017 10(2), 173-192

Dalam surat dakwaan Putusan Nomor 57/PID.SUS/2014/PN.SLR, penuntut umum mendakwa dengan pasal tindak pidana pencucian uang tanpa bersamaan dengan pasal tindak pidana asal, sebagaimana diatur secara limitatif dalam Pasal 2 Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Hal yang demikian berdampak kepada hakim dalam membuktikan unsur tindak pidana pencucian uang yang diketahui atau patut diduga hasil dari tindak pidana asal. Permasalahan yang menarik untuk dianalisis adalah 1) mengapa penentuan bentuk dakwaan menjadi penting dalam tindak pidana pencucian uang?; dan 2) bagaimanakah hakim membuktikan unsur tindak pidana pencucian uang jika tindak pidana asal tidak didakwakan? Untuk menganalisis permasalahan tersebut digunakanlah metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Penentuan bentuk dakwaan dalam tindak pidana pencucian uang

Page 12: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

XI

menjadi dasar bagi hakim untuk menentukan sistem pembuktian dalam membuktikan unsur. Dengan pembuktian yang tepat hakim dapat membuktikan unsur tindak pidana pencucian uang. Oleh karena itu, penyusunan surat dakwaan yang tepat dalam tindak pidana pencucian uang menjadi hal yang sangat penting.

(Halif)

Kata kunci: pencucian uang, dakwaan, pembuktian.

UDC 343.25

Susanto M & Ramdan A (Fakultas Hukum, Universitas Padjadjaran, Bandung)

Kebijakan Moderasi Pidana Mati

Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUU-V/2007

Jurnal Yudisial 2017 10(2), 193-215

Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007 selain menjadi dasar konstitusionalitas pidana mati, juga memberikan jalan tengah (moderasi) terhadap perdebatan antara kelompok yang ingin mempertahankan (retensionis) dan yang ingin menghapus (abolisionis) pidana mati. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana kebijakan moderasi pidana mati dalam putusan a quo dikaitkan dengan teori pemidanaan dan hak asasi manusia dan bagaimana kebijakan moderasi pidana mati dalam RKUHP tahun 2015 dikaitkan dengan putusan a quo. Penelitian ini merupakan penelitian doktrinal, dengan menggunakan bahan hukum primer dan sekunder, berupa peraturan perundang-undangan, literatur, dan hasil-hasil penelitian yang relevan dengan objek penelitian. Penelitian menyimpulkan, pertama, putusan a quo yang memuat kebijakan moderasi pidana mati telah sesuai dengan teori pemidanaan khususnya teori integratif dan teori hak asasi manusia di Indonesia di mana hak hidup tetap dibatasi oleh kewajiban asasi yang diatur dengan undang-undang. Kedua, model kebijakan moderasi pidana mati dalam RKUHP tahun 2015 beberapa di antaranya telah mengakomodasi amanat putusan a

quo, seperti penentuan pidana mati di luar pidana pokok, penundaan pidana mati, kemungkinan pengubahan pidana mati menjadi pidana seumur hidup atau penjara paling lama 20 tahun. Selain itu masih menimbulkan persoalan berkaitan dengan lembaga yang memberikan pengubahan pidana mati, persoalan grasi, lamanya penundaan pelaksanaan pidana mati, dan jenis pidana apa saja yang dapat diancamkan pidana mati.

(Mei Susanto & Ajie Ramdan)

Kata kunci: kebijakan, KUHP, moderasi, pidana mati.

UDC 352.075

Sihombing ENAM (Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Medan)

Perkembangan Kewenangan Pembatalan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah

Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 137/PUU-XIII/2015 dan Nomor 56/PUU-XIV/2016

Jurnal Yudisial 2017 10(2), 217-234

Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015 menyatakan Pasal 251 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah terkait dengan kewenangan pembatalan peraturan daerah kabupaten/kota tidak lagi bisa dibatalkan Menteri Dalam Negeri atau gubernur. Melengkapi putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 56/PUU-XIV/2016 menyatakan pemerintah pusat juga tidak lagi memiliki kewenangan untuk melakukan pembatalan peraturan daerah provinsi. Putusan tersebut tidak serta merta menyelesaikan persoalan terkait dengan kewenangan pembatalan peraturan daerah, hal ini dikarenakan putusan Mahkamah Konstitusi hanya berlaku bagi peraturan daerah provinsi dan peraturan daerah kabupaten/kota. Rumusan masalah yang akan diurai dalam tulisan ini adalah bagaimana kewenangan pembatalan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah oleh Menteri dan gubernur pasca Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015 dan Nomor 56/

Page 13: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

XII

PUU-XIV/2016. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian yuridis normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam negara dengan bentuk kesatuan memang sudah sepatutnya pemerintah yang tingkatannya lebih tinggi diberikan kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap regulasi yang lahir di daerah. Implementasi dari pengawasan tersebut dapat dilakukan dengan melakukan pembinaan kepada daerah melalui penguatan executive preview atau pengujian terhadap suatu norma hukum sebelum sah mengikat secara umum, hal ini sejalan dengan ruh ketentuan Pasal 24A UUD NRI 1945.

(Eka NAM Sihombing)

Kata kunci: pembatalan, peraturan daerah, peraturan kepala daerah.

Page 14: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

XIII

JURNAL YUDISIAL

p-ISSN 1978-6506/e-ISSN 2579-4868 ........................................... Vol. 10 No. 2 Agustus 2017

The Descriptors given are free terms. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge.

UDC 347.918; 340.142

Memi C (Fakultas Hukum, Universitas Tarumanagara, Jakarta)

The Resolution of Absolute Competence Dispute Between Arbitration Tribunal and Court of Law

An Analysis of Court Decisions Number 10/PDT.G/2010/PN.JKT.PST jo. Number 629/PDT/2011/PT.DKI jo. Number 862 K/PDT/2013 jo. Number 238 PK/PDT/2014 and Arbitral Award Number 547/XI/ARB-BANI/2013 (Org. Ind)

Jurnal Yudisial 2017 10(2), 115-134

Article 3 of Law on Arbitration and Alternative Dispute Resolution states that the district court is unlawful to decide dispute of parties bound by arbitration agreements, but to date, such absolute competence dispute between arbitration tribunal and court of law is still occurring. As an example, as well as the focus of discussion in this analysis is the case between PT B against PT CTPI. This study uses normative legal research methods. Based on Court Decision Number 10/PDT.G/2010/PN.JKT.PST, it was decided that the District Court of Central Jakarta has the authority to adjudicate the case. In fact, this decision is subsequently filed for an extraordinary request for review in the Supreme Court based on Court Decision Number 238 PK/PDT/2014. On the other hand, the case is also arbitrated by Indonesia National Board of Arbitration (BANI) by Arbitral Award Number 547/XI/ARB-BANI/2013 confirming its authority to adjudicate the same case. The absolute competence dispute between the two parties need to be resolved by determining which party is actually authorized in settling the case. Based on the analysis in this paper, it can be concluded that the case between PT B against PT CTPI is the authority of arbitration tribunal (BANI) to arbitrate, not court of law.

(Cut Memi)

Keywords: absolute competence, arbitration tribunal, court of law.

UDC 2.0

Wijaya E (Fakultas Hukum, Universitas Pancasila, Jakarta)

The Problem in Protecting the Right to Freedom of Religion and Belief for the Minority in Court of Law

An Analysis of Court Decision Number 69/PID.B/2012/PN.SPG (Org. Ind)

Jurnal Yudisial 2017 10(2), 135-154

The rights to freedom of religion and belief has been guaranteed under the Indonesian Constitution, although it is not enough. Enforcement of the right to religion and belief still needs to be supported by other legal instruments, one of which is the court ruling. In that context, Court Decision Number 69/PID.B/2012/PN.SPG is interesting to study. Decision Number 69/PID.B/2012/PN.SPG is closely related to the issue of enforcing the right to embrace religion and belief in Indonesia, especially for minority groups. The focus of the problem in this paper leads to the question of how the substance of Court Decision Number 69/PID.B/2012/PN.SPG is viewed from the perspective of human rights enforcement, especially the rights to freedom (without pressure) of religion and belief. The method of analysis employed is literature study by relying on secondary data. The analysis is conducted qualitatively by the legislation and conceptual approach. From the analysis largely it can be concluded that Court Decision Number 69/PID.B/2012/PN.SPG still tends to grasp the aspect of procedural justice. The spirit to encourage human rights enforcement, especially religious rights for minority groups is not evident in the decision.

Page 15: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

XIV

(Endra Wijaya)

Keywords: the right to freedom of religion and belief, minority, court decision.

UDC 349.601

Satria H (Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah Kendari, Kendari)

The Implementation of Additional Criminal Charges of Corporate Crime Liability in Environmental Crime

An Analysis of Court Decision Number 1554 K/PID.SUS/2015 (Org. Ind)

Jurnal Yudisial 2017 10(2), 155-171

Supreme Court convicted PT KA represented by SR as the President Director, through Court Decision Number 1554 K/PID.SUS/2015 on an environmentally-damaging forest fire to a maximum fine of Rp3,000,000,000,-. The problem addressed in this research analysis is how the implementation of corporate criminal liability in environmental crime related to additional criminal charges, in the form of compensation for environmental damage caused? The method used is a normative legal research, focusing on two approaches: case and conceptual approaches. The results indicated that corporate criminal liability has not performed optimally for three reasons. First, the defendant is subject to minimal criminal sanction as mentioned in Article 108 of Law on Environmental Protection and Management. Second, the defendant is not subject to sanction of disciplinary action, such as the restoration of state financial losses. Third, the defendant is also not subject to additional criminal charges. As a result, a quo decision is not maximal both in terms of state financial losses recovery and criminal sanction of fines to the offender.

(Hariman Satria)

Keywords: additional charges, criminal liability, corporate, environment.

UDC 336.74

Halif (Fakultas Hukum, Universitas Jember, Jember)

Proving Money Laundering Crime Without Accusation of Predicate Crime

An Analysis of Court Decison Number 57/PID.SUS/2014/PN.SLR (Org. Ind)

Jurnal Yudisial 2017 10(2), 173-192

In the accusation of Court Decision Number 57/PID.SUS/2014/PN.SLR, the prosecutor filed the accusation with the article of money laundering crime without referring to the article on the predicate crime, as regulated in Article 2 of Law on Money Laundering Crime. Such matters affect the judges in proving the elements of money laundering crime known or reasonably suspected to be the result of a predicate crime. Issues of interest to review in the analysis are: 1) why does determining the form of the accusation play important role in the money laundering crime?; and 2) how does the judge prove the element of money laundering crime if the predicate crime is not accused? To analyse these problems, the juridical-normative method with legislative and conceptual approaches was used in this analysis. The accusation form determination in money laundering crime becomes the basis for the judge to determine the proof system in proving the element. With the precise proof the judge can prove the element of money laundering crime. It is therefore vey important to precisely write the accusation letter in the money laundering crime. However in proving the money laundering crime the predicate crime should be proved first.

(Halif)

Keywords: money laundering, accusation, proof.

UDC 343.25

Susanto M & Ramdan A (Fakultas Hukum, Universitas Padjadjaran, Bandung)

The Moderation Policy of Capital Punishment

An Analysis of Constitutional Court’s Decision

Page 16: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

XV

Number 2-3/PUU-V/2007 (Org. Ind)

Jurnal Yudisial 2017 10(2), 193-215

Constitutional Court’s Decision Number 2-3/PUU-V/2007, in addition to being the basis of the constitutionality of capital punishment, also provides a moderate way of arguing between retentionist groups and those wishing to abolish the death penalty (abolitionist). The problem in this research is how the moderation policy of capital punishment in a quo decision is associated with the theory of punishment and human rights and how the moderation policy of capital punishment in the draft Criminal Code of 2015 (RKUHP) is related with the aquo decision. This study is doctrinal, using primary and secondary legal materials, in the form of legislation, literature and research results that are relevant to the object of analysis. This study concludes, firstly, the aquo decision containing the moderation policy of capital punishment has been in accordance with the theory of punishment, specificallyy the integrative theory and the theory of human rights in Indonesia, in which the right to life remains limited by the fundamental obligations set forth in the law. Secondly, some of the modes of moderation model of capital punishment in RKUHP of 2015 have accommodated the mandate of aquo decision, such as the determination of capital punishment outside the main punishment, postponement of capital punishment, the possibility of converting capital punishment to life imprisonment or imprisonment of 20 years. In addition, it still raises issues regarding the institutions that provide for conversion of capital punishment, pardon matters, length of delay in the execution of capital punishment, and any types of crime punishable by capital punishment.

(Mei Susanto & Ajie Ramdan)

Keywords: policy, criminal code, moderation, capital punishment.

UDC 352.075

Sihombing ENAM (Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Medan)

Development of Regulatory Authority Annulment of Local Regulations and Regional Head Regulations

An Analysis of Constitutional Court’s Decision Number 137/PUU-XIII/2015 and Number 56/PUU-XIV/2016 (Org. Ind)

Jurnal Yudisial 2017 10(2), 217-234

Constitutional Court Decision Number137/PUU-XIII/2015 stated in Article 251 of Law Number 23 of 2014 on Local Government related to the issue if regulatory authority annulment of local and leaders regulations can no longer be withdrawn by the Minister of Home Affairs or Governor. Completing the decision, the Constitutional Court through Decision Number 56/PUU-XIV/2016 stated that the Central Government also no longer has the authority to annul the Provincial Regulation. The Constitutional Court Decision does not necessarily solve the problems related to the authority annulment of the local regulations. This is because the Constitutional Court Decision only applies to the Provincial Regulation and District/City Regulation. The formulation of the problems elaborated through this analysis is how the Authority Annulment of Regional Regulation by the Minister and the Governor after the issuance of Court Decision Number 137/PUU-XIII/2015 and Constitutional Court Decision Number 56/PUU-XIV/2016. This analysis makes use of the legal juridical normative research method. The results show that in a state of unity it is appropriate that higher levels of government are given the authority to supervise the regulations set in the regions. The supervision can be implemented by conducting such a guidance to the region through the strengthening of executive preview or legal norm review before it is legally binding in general. This is in line with the spirit of Article 24A of the 1945 Constituition of the Republic of Indonesia.

(Eka NAM Sihombing)

Keywords: annulment, local regulation, regional head regulation.

Page 17: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,
Page 18: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

Penyelesaian Sengketa Kompetensi Absolut Antara Arbitrase dan Pengadilan (Cut Memi) | 115

ABSTRAK

Pasal 3 Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyatakan bahwa pengadilan negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dengan perjanjian arbitrase, akan tetapi sampai saat ini masih saja terdapat pertentangan kompetensi absolut antara arbitrase dan pengadilan. Sebagai contoh dan sekaligus fokus dalam pembahasan tulisan ini adalah dalam hal penanganan perkara antara PT B melawan PT CTPI. Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah metode penelitian hukum normatif. Berdasarkan Putusan Nomor 10/PDT.G/2010/PN.JKT.PST, perkara ini telah diputus oleh pengadilan dengan menyatakan bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berwenang mengadili perkara bahkan putusan ini kemudian dikuatkan sampai tingkat peninjauan kembali di Mahkamah Agung berdasarkan Putusan Nomor 238 PK/PDT/2014. Sementara di pihak lain perkara ini juga diputus oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dengan Putusan Nomor 547/XI/ARB-BANI/2013 yang menyatakan bahwa BANI berwenang dalam mengadili perkara yang sama. Pertentangan kompetensi absolut antara dua lembaga tersebut tentu perlu diselesaikan

dengan menentukan lembaga mana yang sebenarnya berwenang dalam menangani perkara bersangkutan. Berdasarkan kajian yang dilakukan dalam tulisan ini, diperoleh jawaban bahwa yang berwenang dalam mengadili perkara PT B melawan PT CTPI adalah BANI bukan pengadilan.

Kata kunci: kompetensi absolut, arbitrase, pengadilan.

ABSTRACT

Article 3 of Law on Arbitration and Alternative Dispute Resolution states that the district court is unlawful to decide dispute of parties bound by arbitration agreements, but to date, such absolute competence dispute between arbitration tribunal and court of law is still occurring. As an example, as well as the focus of discussion in this analysis is the case between PT B against PT CTPI. This study uses normative legal research methods. Based on Court Decision Number 10/PDT.G/2010/PN.JKT.PST, it was decided that the District Court of Central Jakarta has the authority to adjudicate the case. In fact, this decision is subsequently filed for an extraordinary request for review in the Supreme Court based on Court

PENYELESAIAN SENGKETA KOMPETENSI ABSOLUTANTARA ARBITRASE DAN PENGADILAN

Kajian Putusan Nomor 10/PDT.G/2010/PN.JKT.PST jo. Putusan Nomor 629/PDT/2011/PT.DKI jo. Putusan Nomor 862 K/PDT/2013 jo. Putusan Nomor 238 PK/PDT/2014

dan Putusan BANI Nomor 547/XI/ARB-BANI/2013

THE RESOLUTION OF ABSOLUTE COMPETENCE DISPUTEBETWEEN ARBITRATION TRIBUNAL AND COURT OF LAW

Cut MemiFakultas Hukum Universitas TarumanagaraJl. S. Parman No. 1 Grogol, Jakarta 114550

E-mail: [email protected]

An Analysis of Court Decisions Number 10/PDT.G/2010/PN.JKT.PST jo. Number 629/PDT/2011/PT.DKI jo. Number 862 K/PDT/2013 jo. Number 238 PK/PDT/2014 and

Arbitral Award Number 547/XI/ARB-BANI/2013

Naskah diterima: 21 Maret 2017; revisi: 14 Agustus 2017; disetujui 14 Agustus 2017

Page 19: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

116 | Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 115 - 134

Decision Number 238 PK/PDT/2014. On the other hand, the case is also arbitrated by Indonesia National Board of Arbitration (BANI) by Arbitral Award Number 547/XI/ARB-BANI/2013 confirming its authority to adjudicate the same case. The absolute competence dispute between the two parties need to be resolved by determining which party is actually authorized in

settling the case. Based on the analysis in this paper, it can be concluded that the case between PT B against PT CTPI is the authority of arbitration tribunal (BANI) to arbitrate, not court of law.

Keywords: absolute competence, arbitration tribunal, court of law.

I. PENDAHULUANA. Latar Belakang

Dalam praktik pembuatan perjanjian bisnis baik nasional maupun internasional sudah dikenal secara umum bahwa para pihak perlu menyepakati mekanisme sekiranya terjadi perselisihan di kemudian hari, meskipun perselisihan itu belum pasti akan terjadi. Upaya preventif menghadapi kemungkinan adanya perselisihan itu yaitu dengan mencantumkan klausul tentang penyelesaian sengketa dalam perjanjian mereka. Klausul itu diberi judul Settlement of Disputes yang isinya adalah kesepakatan tentang forum mana yang akan menyelesaikan perselisihan para pihak, apakah itu melalui pengadilan atau arbitrase.

Hal ini didasarkan atas asas kebebasan berkontrak yang merupakan salah satu prinsip universal yang telah diakui secara internasional (Adolf, 2016a: 17). Apabila penyelesaian sengketa yang dipilih adalah arbitrase, aturan yang mengatur itu terdapat dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 menyatakan bahwa pengadilan tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dengan perjanjian arbitrase. Terdapat beberapa arti penting yang terkandung dalam suatu klausul arbitrase yaitu:

1. Dengan adanya pencantuman klausul arbitrase, apabila terjadi perselisihan di antara para pihak, mereka telah sepakat untuk memilih arbitrase yang telah ditentukan untuk menyelesaikan perselisihan mereka, dan dengan demikian perkara tersebut secara absolut berada pada kewenangan arbitrase bukan pada lembaga peradilan biasa. Dengan adanya klausul arbitrase, para pihak tunduk kepada aturan yang berlaku pada lembaga arbitrase yang dipilih. Misalnya para pihak telah memilih Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) sebagai forum untuk menyelesaikan sengketa mereka, maka para pihak harus tunduk pada aturan (law of procedure) dari BANI;

2. Sesuai dengan asas pakta sunt servanda yang menyatakan bahwa perjanjian berlaku sebagai undang-undang, maka dengan adanya klausul arbitrase, para pihak terikat untuk menyelesaikan sengketa pada lembaga arbitrase yang telah disepakati.

Dalam praktik, sengketa yang telah terikat dengan perjanjian arbitrase komersial, tetap diajukan juga oleh salah satu pihak ke pengadilan di Indonesia dan kemudian diadili oleh pengadilan dan bukan di hadapan arbitrase yang telah dipilih oleh para pihak, bahkan putusan pengadilan yang menyatakan berwenang untuk mengadili perkara

Page 20: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

Penyelesaian Sengketa Kompetensi Absolut Antara Arbitrase dan Pengadilan (Cut Memi) | 117

tersebut dikuatkan sampai ke tingkat peninjauan kembali. Sementara pihak lain kemudian mengajukan perkara yang sama ke BANI.

Terjadi tarik-menarik atau perebutan kewenangan dalam mengadili perkara. Pihak pengadilan melalui Putusan Nomor 10/PDT.G/2010/PN.JKT.PST menyatakan bahwa pengadilan yang berwenang untuk mengadili perkara. Sedangkan BANI melalui Putusan Nomor 547/XI/ARB-BANI/2013 juga menyatakan berwenang untuk mengadili perkara dengan alasan bahwa di dalam investment agreement, para pihak telah sepakat untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase (BANI). Sebagai contoh kasus dan sekaligus merupakan fokus kajian dalam tulisan ini adalah perkara antara PT B melawan PT CTPI.

Perkara ini berawal dari terjadinya krisis ekonomi global tahun 1998, yang pada saat itu banyak bank dan perusahaan yang ditutup oleh pemerintah dan para pemegang sahamnya diwajibkan untuk menyelesaikan hutang-hutangnya. Salah satu yang terkena imbas dari krisis tersebut adalah grup usaha milik SHR (PT CTPI) yang hutang piutangnya kemudian diambil alih oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). SHR kemudian mencari investor dengan meminta pertolongan pada HT untuk menyelesaikan segala permasalahan mengenai hutang-hutang PT CTPI di BPPN. Sebagai kompensasinya SHR menjanjikan akan mengeluarkan 75% saham PT CTPI kepada investor yang dapat membantu menyelamatkan PT CTPI. Tanggal 23 Agustus 2002 di antara para pihak telah ditandatangani surat perjanjian (investment agreement) yang pada intinya menyepakati bahwa PT B berkewajiban untuk melaksanakan pembiayaan dan restrukturisasi hutang-hutang PT CTPI dan sebagai

kompensasinya PT B berhak mendapatkan 75% saham penyertaan pada PT CTPI. Sebagai tindak lanjut pelaksanaan investment agreement tersebut, SHR memberikan surat kuasa khusus yang tidak dapat dicabut kembali (irrevocable of power of attorney) tanggal 7 Februari 2003 dan 3 Juni 2003 kepada PT B, dengan mengenyampingkan Pasal 1813, 1814, dan 1816 KUHPerdata.

Selanjutnya untuk menyehatkan kondisi PT CTPI diperlukan juga berbagai prasarana serta program siaran agar perusahaan dapat berjalan. Atas dasar hal itu disepakati pula perubahan kewajiban PT B dari yang semula terdapat dalam investment agreement menjadi supplemental agreement. Selain itu dalam Pasal 13.2 dan 13.3 investment agreement, terdapat klausul arbitrase yang menyatakan:

13.2 All controversies arising between the Parties out of or in relation to this Agreement, including without limitation, any question relative to its interpretation, performance validity, effectiveness, and the termintation of the rights or obligations of any Party, shall be settled amicably by the Parties wherever practicable.

13.3 If such dispute cannot be resolved amicably by the Parties them, it shall be settled exclusively and finally by arbitration in Jakarta in accordance with the Rules of Badan Arbitrase Nasional Indonesia.

Dalam perjalanan waktu pelaksanaan perjanjian, PT B mendalilkan bahwa SHR dkk, ingin menguasai kembali PT CTPI dan tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana telah ditentukan dalam investment agreement dan supplemental agreement yakni menerbitkan dan mengeluarkan 75% saham baru kepada PT B. Sementara PT CTPI mendalilkan bahwa PT B telah melakukan perbuatan melawan hukum, karena telah menyelenggarakan dan menghadiri Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPS LB)

Page 21: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

118 | Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 115 - 134

tanggal 18 Maret 2005 secara tidak sah dengan menggunakan Surat Kuasa tanggal 3 Juni 2003 yang sudah tidak berlaku lagi. Oleh karena tidak ada titik temu di antara para pihak. Tahun 2010 SHR mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan Registrasi Perkara Nomor 10/PDT.G/2010/PN.JKT.PST. Terhadap gugatan tersebut, PT B mengajukan eksepsi dengan menyatakan bahwa kasus yang diajukan SHR dkk, bukan kewenangan pengadilan negeri karena para pihak telah terikat investment agreement yang di dalamnya terdapat klausul arbitrase.

Pasal 13.3 dari perjanjian investment agreement menyatakan: jika sengketa demikian tidak dapat diselesaikan secara kekeluargaan oleh para pihak, maka akan diselesaikan secara eksklusif dan final melalui arbitrase di Jakarta sesuai dengan aturan BANI. Akan tetapi pada tanggal 18 Agustus 2010, dalam Putusan Nomor 10/PDT.G/2010/PN.JKT.PST telah memutuskan menolak eksepsi kompetensi absolut dari tergugat turut tergugat I dan turut tergugat III; dan menyatakan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berwenang mengadili Putusan Nomor 10/PDT.G/2010/PN.JKT.PST.

Terhadap putusan tersebut, PT B mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI. Salah satu alasan yang diajukan dalam memori banding adalah karena para pihak telah terikat dalam investment agreement dan supplemental agreement yang mengandung klausul arbitrase, maka pengadilan negeri tidak memiliki kewenangan/kompetensi absolut terhadap perkara dimaksud. Pada akhirnya, melalui Putusan Nomor 629/PDT/2011/PT.DKI menerima permohonan banding dari PT B dan menyatakan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang dalam mengadili perkara, dan

membatalkan Putusan Nomor 10/PDT.G/2010/PN.JKT.PST. Atas putusan banding yang telah memenangkan PT B, SHR dkk mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Dalam Putusan Nomor 862 K/PDT/2013, Mahkamah Agung menganulir Putusan Pengadilan Tinggi, dengan alasan bahwa sengketa atas gugatan yang diajukan oleh PT CTPI, adalah sengketa yang berada di luar ruang lingkup investment agreement. Selanjutnya pada tahun 2014 PT B mengajukan permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.

Putusan Nomor 238 PK/PDT/2014 menguatkan Putusan Nomor 862 K/PDT/2013 dan menyatakan bahwa sengketa gugatan yang diajukan oleh SHR dkk, bukanlah sengketa mengenai hak berdasarkan investment agreement, sehingga pengadilan negeri berwenang memeriksa dan mengadili perkara. PT B kemudian menggugat SHR dengan mengajukan permohonan ke BANI agar perkara ini diselesaikan secara arbitrase, yang kemudian diterima oleh BANI dengan Putusan Nomor 547/XI/ARB-BANI/2013 yang menyatakan sah dan mengikat investment agreement tanggal 23 Agustus 2002 dan supplemental agreement tanggal 7 Februari 2003 terkait dengan sengketa kepemilikan saham PT CTPI yang bersumber dari investment agreement.

Adanya dua lembaga yang memutus perkara yang sama, terlihat bahwa di satu sisi pengadilan berpendapat bahwa pengadilan negeri yang berwenang mengadili perkara, sedangkan di sisi lain lembaga arbitrase berpendapat bahwa BANI yang berwenang dalam mengadili perkara. Tindakan tarik-menarik dan pertentangan kompetensi absolut dalam mengadili perkara sebagaimana dikemukakan di atas tentu perlu diselesaikan karena pada dasarnya

Page 22: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

Penyelesaian Sengketa Kompetensi Absolut Antara Arbitrase dan Pengadilan (Cut Memi) | 119

penyelenggaraan kewenangan kedua lembaga ini saling berbeda satu sama lain.

Penyelenggaraan pengadilan didasarkan pada kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Sedangkan penyelenggaraan arbitrase didasarkan atas dasar perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak, sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Para pihak yang menyepakati supaya sengketa mereka diselesaikan melalui arbitrase. Tanpa adanya kesepakatan itu, maka arbitrase tersebut tidak akan ada.

Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 mengatakan: Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Akan tetapi dengan telah diundangkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, maka berdasarkan Pasal 3 telah menyatakan secara tegas bahwa pengadilan negeri tidak berwenang mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dengan perjanjian arbitrase. Bertitik tolak dari pemikiran-pemikiran sebagaimana telah diuraikan di atas, telah pula menarik perhatian dan sekaligus menjadikan motivasi bagi penulis untuk mengkaji dan meneliti lebih lanjut permasalahan ini, khususnya untuk menemukan jawaban tentang lembaga mana yang sesungguhnya berwenang dalam mengadili perkara.

B. Rumusan Masalah

Lembaga mana yang memiliki kewenangan absolut untuk mengadili perkara antara PT B melawan PT CTPI, arbitrase atau pengadilan?

C. Tujuan dan Kegunaan

Tujuan tulisan ini adalah untuk meneliti dan mengkaji lembaga yang memiliki kewenangan absolut dalam mengadili perkara antara PT B melawan PT CTPI. Tulisan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi baik secara teoritis, kepada disiplin ilmu hukum yang ditekuni oleh penulis maupun secara praktis kepada para hakim pengadilan negeri untuk dapat dijadikan acuan dalam praktik, khususnya mengenai lembaga yang berkompeten dalam mengadili perkara yang telah terikat dengan perjanjian arbitrase.

D. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian Kompetensi Absolut

Kompetensi dari peradilan yang berwenang untuk mengadili suatu perkara adalah hal yang sangat penting dalam pengajuan gugatan atas suatu perkara, karena apabila gugatan atas suatu perkara diajukan kepada peradilan yang tidak berwenang untuk itu, maka akan mengakibatkan ditolaknya perkara tersebut oleh badan peradilan. Dalam hukum acara perdata dikenal dua macam kewenangan yaitu:

a. Wewenang mutlak atau absolute competentie.

b. Wewenang relatif atau relative competentie (Sutantio & Kartawinata, 2002: 11).

Wewenang mutlak adalah menyangkut pembagian kekuasaan antar badan-badan peradilan, dilihat dari macamnya pengadilan menyangkut pemberian kekuasaan untuk mengadili (attributie van rechts macht). Wewenang mutlak atau kompetensi absolut ini diatur dalam Pasal 133 dan 134 HIR. Wewenang relatif mengatur pembagian kekuasaan mengadili

Page 23: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

120 | Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 115 - 134

antara pengadilan serupa, tergantung dari tempat tinggal tergugat. Wewenang relatif ini diatur dalam Pasal 118 HIR.

2. Istilah dan Pengertian Arbitrase

Di Indonesia, konsep arbitrase sebagai penyelesaian sengketa atau beda pendapat ini sejalan dengan ajaran tentang musyawarah yang dikenal dalam masyarakat dan budaya Indonesia, dan bahkan merupakan sendi pokok dari falsafah Negara Republik Indonesia yang tercantum dalam UUD NRI 1945 (Abdurrasyid, 2011: xvi).

Keberadaan arbitrase ini telah diakui dan diperkuat dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Pengaturan hal ini sejalan pula dengan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 yang menyatakan: bahwa penyelesaian sengketa perdata dapat dilakukan di luar pengadilan negara melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa. Terdapat beberapa pengertian tentang arbitrase. Abdurrasyid (2011, 76) mengatakan bahwa arbitrase adalah suatu tindakan hukum di mana ada pihak yang menyerahkan sengketa atau selisih pendapat antara dua orang atau lebih maupun dua kelompok atau lebih kepada seorang atau beberapa ahli yang disepakati bersama dengan tujuan memperoleh satu keputusan final dan mengikat.

Setiawan (2003: 50) mengatakan bahwa arbitrase adalah suatu proses privat untuk menyelesaikan sengketa antara pihak-pihak yang didasarkan pada suatu perjanjian atau klausul arbitrase dalam suatu perjanjian. Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, bahwa yang dimaksud dengan arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa di luar pengadilan umum yang didasarkan atas

perjanjian dari pihak yang bersengketa. Pasal tersebut, memberikan isyarat bahwa arbitrase yang telah ditentukan oleh para pihak adalah merupakan suatu perjanjian, perjanjian tersebut harus berbentuk tertulis, dan sebagaimana dikemukakan oleh Adolf (2014: 83), persyaratan tertulis ini merupakan karakteristik terpenting dan telah berlaku secara universal baik nasional maupun internasional.

3. Perbedaan antara Arbitrase dan Pengadilan

Terdapat beberapa perbedaan prinsip antara arbitrase dan pengadilan yaitu:

a. Pengadilan memfungsikan suatu lembaga kontrol dalam persidangannya melalui sifat terbuka untuk umum (open baar). Kedua belah pihak harus didengar keterangannya di depan persidangan. Sebaliknya, di dalam persidangan arbitrase meskipun asas bahwa kedua belah pihak harus didengar keterangannya, namun persidangan arbitrase bersifat tertutup untuk umum, sehingga kerahasiaan (confidential) para pihak dapat terjaga.

b. Tuntutan perkara ke arbitrase hanya bisa dilakukan jika di antara para pihak yang bersengketa terdapat perjanjian (klausul) arbitrase, sedangkan tuntutan perkara ke pengadilan bisa diajukan tanpa syarat dan oleh siapapun.

c. Proses beracara di pengadilan lebih bersifat formal dan sangat kaku, sedangkan proses beracara di arbitrase lebih bersifat informal sehingga terbuka untuk memperoleh cara penyelesaian secara kekeluargaan dan damai (amicable) serta memberi

Page 24: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

Penyelesaian Sengketa Kompetensi Absolut Antara Arbitrase dan Pengadilan (Cut Memi) | 121

kesempatan luas untuk meneruskan hubungan komersial para pihak di kemudian hari setelah berakhirnya proses penyelesaian sengketa (Kolopaking, 2013: 76).

4. Pemilihan Arbitrase sebagai Forum Penyelesaian Sengketa

Penyelesaian sengketa melalui arbitrase diasumsikan memberikan beberapa keuntungan bagi pihak pengusaha, yaitu: 1) penyelesaian sengketa melalui arbitrase berlangsung relatif lebih cepat dibandingkan dengan proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan; 2) putusan arbitrase bersifat final dan mengikat kedua belah pihak serta tidak dapat diganggu gugat lagi; dan 3) secara relatif, proses arbitrase dianggap lebih murah apabila dibandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkan jika penyelesaian dilakukan di pengadilan. Namun demikian, suatu hal yang perlu diluruskan adalah bahwa arbitrase bukanlah saingan dari pengadilan, karena peran arbitrase hanya terbatas pada kewenangan untuk menyelesaikan sengketa dagang saja (Adolf, 2016b: 26).

5. Aturan Hukum Arbitrase di Indonesia

Aturan yang mengatur tentang arbitrase di Indonesia terdapat dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Sebagai dasar pertimbangan diundangkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 adalah Pasal 58 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 yang mengatakan bahwa upaya penyelesaian sengketa perdata dapat dilakukan di luar pengadilan negara melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa.

Berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, maka ketentuan-ketentuan mengenai

arbitrase yang diatur dalam aturan sebelumnya menjadi tidak berlaku. Aturan-aturan yang dimaksud adalah Pasal 615-651 Reglement Acara Perdata (Reglement op de Rechtsvordering Stb. Nomor 52 Tahun 1847), Pasal 377 Reglement Indonesia yang diperbaharui (Het Herziene Indonesisch Reglement, Stb. Nomor 44 Tahun 1941), serta Pasal 705 Reglement acara untuk daerah luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement Builen Gewesten, Stb. Nomor 227 Tahun 1927).

6. Filosofi dan Prinsip-Prinsip DasarArbitrase

Filosofi arbitrase dari Jakubowski sebagai berikut:

a. Teori Kewenangan Arbitrase (authority not power).

Teori ini menegaskan bahwa dasar kewenangan antara arbitrase dan pengadilan berbeda satu sama lain. Kewenangan pengadilan didasarkan atas kekuasaan negara di bidang yudikatif, sedangkan kewenangan arbitrase justru berasal dari adanya kesepakatan para pihak yang memberikan kewenangan (authority) kepada arbitrase untuk mengadili perkara yang diajukan kepadanya. Atas dasar itu Nugroho (2016: 104) mengatakan bahwa perjanjian arbitrase merupakan dasar fundamental untuk dapat menyelesaikan sengketa melalui forum arbitrase.

b. Teori Arbitrase dan Hukum

Teori ini mengatakan bahwa arbitrase adalah suatu lembaga hukum (bagian dari hukum perdagangan). Sebagai lembaga hukum, arbitrase memiliki atau mengeluarkan seperangkat produk peraturan arbitrase,

Page 25: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

122 | Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 115 - 134

antara lain seperti Badan Arbitrase ICC, ICSID, dan BANI. Lembaga ini memiliki hukum acaranya sendiri (Arbitration Rules and Procedures) (Adolf, 2014: 54).

c. Teori Arbitrase dan Pihak Ketiga

Sifat dasar arbitrase yang dikemukakan dalam teori ini adalah bahwa sifat kerahasiaan (prinsip confidentiality). Pihak ketiga, pengadilan, bahkan negara, tidak dapat mencampuri jalannya persidangan arbitrase (Adolf, 2014: 62).

Dalam penyelenggaraan arbitrase terdapat beberapa prinsip penting dan sangat mendasar sebagai berikut:

a. Prinsip Final and binding

Prinsip ini mengandung arti bahwa putusan arbitrase bersifat final (akhir) dan mengikat. Dengan demikian, terhadap putusan arbitrase tidak bisa diajukan banding apalagi kasasi dan peninjauan kembali.

b. Prinsip Kerahasiaan (Confidenciality)

Prinsip kerahasiaan ini diatur dalam Pasal 27 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 yang menyatakan semua pemeriksaan sengketa oleh arbitrase atau majelis arbitrase dilakukan secara tertutup. Hal ini bertolak belakang dengan prinsip yang dianut dalam persidangan di pengadilan yang dilakukan secara terbuka untuk umum (open baar).

c. Prinsip Iktikad Baik

Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 menyatakan bahwa sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan

pada iktikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di pengadilan negeri. Prinsip ini berlaku tidak hanya dalam jangka waktu pelaksanaan perjanjian, tetapi juga berlaku pada saat pelaksanaan putusan. Prinsip ini merupakan tonggak dasar dari arbitrase, sehingga tanpa adanya iktikad baik maka arbitrase tidak akan ada gunanya sama sekali.

d. Prinsip Efisiensi

Prinsip ini diatur dalam Pasal 48 ayat (1) yang menyatakan bahwa pemeriksaan atas sengketa harus diselesaikan dalam waktu paling lama 180 hari sejak arbitrase atau majelis arbitrase terbentuk. Ketentuan ini juga sejalan dengan aturan dan prosedur yang ada pada BANI.

Berdasarkan hasil wawancara (2015) yang dilakukan oleh penulis dengan Husseyn Umar yang mengatakan bahwa pada prinsipnya arbitrase sama seperti pengadilan, hanya saja sifatnya privat atau swasta. Pertanyaannya adalah bagaimana menentukan kewenangan arbitrase yang bersifat swasta itu. Hal penentuan wewenang oleh badan arbitrase lazim disebut dengan doktrin competence-competence. Atas dasar kewenangan yang lahir dari penunjukan para pihak sebagaimana dikemukakan di atas, badan arbitrase dapat menentukan dirinya sendiri sebagai badan atau pihak yang berwenang untuk menentukan hal-hal apa saja yang menjadi kewenangan kompetensinya. Dalam perkembangannya, doktrin competence-competence ini telah pula dijadikan sebagai prinsip dasar dalam modern law arbitration yang menentukan bahwa pengadilan arbitrase berwenang untuk menentukan yuridiksi atau kompetensinya sendiri.

Page 26: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

Penyelesaian Sengketa Kompetensi Absolut Antara Arbitrase dan Pengadilan (Cut Memi) | 123

Lembaga pertama yang menentukan bahwa arbitrase itu berwenang atau tidak, adalah arbitrase itu sendiri bukan pengadilan. Akan tetapi jika dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, doktrin competence-competence tidak diatur secara eksplisit, namun doktrin tersebut justru tercantum dalam Pasal 18 Rules & Prosedures BANI yang mengatakan sebagai berikut: “Kompetensi-kompetensi: Majelis berhak menyatakan keberatan atas pernyataan bahwa ia tidak berwenang, termasuk keberatan yang berhubungan dengan adanya atau keabsahan perjanjian arbitrase jika terdapat alasan untuk itu.”

7. Kewenangan Pengadilan dalam Mengadili Sengketa dengan Klausul Arbitrase

Kewenangan mutlak atau absolute competent merupakan wewenang yang menyangkut pembagian kekuasaan antar badan-badan peradilan, dilihat dari macamnya pengadilan menyangkut pemberian kekuasaan untuk mengadili (Hasibuan, 2006: 25). Kewenangan absolut pengadilan dilakukan atas dasar kekuasaan negara di bidang yudikatif (judicial power) yang diberikan oleh kekuasaan negara berdasarkan konstitusi yang selanjutnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009.

Selanjutnya, terdapat pula kewenangan absolut extra judicial berdasarkan yurisdiksi khusus (spesific jurisdiction) oleh undang-undang, yang mengatur bahwa selain pengadilan negara yang berada di dalam lingkungan kekuasaan kehakiman yang digariskan pada Pasal 24 ayat (2) UUD NRI 1945, terdapat juga sistem penyelesaian sengketa berdasarkan yurisdiksi khusus yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan.

Badan yang bertindak melakukan penyelesaian itu disebut peradilan semu atau extra judicial, di mana kedudukan dan organisasinya berada di luar kekuasaan kehakiman. Arbitrase merupakan salah satu bentuk extra judicial yang memiliki yurisdiki absolut untuk menyelesaikan sengketa sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Eksistensi dari arbitrase ini diperkuat dengan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 yang menyatakan: upaya penyelesaian sengketa perdata dapat dilakukan di luar pengadilan negara melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa. Akan tetapi di sisi lain, di dalam Pasal 10 ayat (1) menyatakan bahwa pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.

Pasal 10 mengandung asas curia ius novit yang artinya hakim dianggap mengetahui hukum dan dapat mengambil keputusan berdasarkan ilmu pengetahuannya dan keyakinannya sendiri sehingga hakim harus memutus perkara yang diajukan kepadanya (Wisana, Aburaera, & Karim, 2011: 6-7). Atas dasar itu, jika salah satu pihak mengajukan perkara ke pengadilan negeri, sedangkan para pihak telah terikat dengan perjanjian arbitrase, maka pengadilan negeri tetap memeriksa sengketa tersebut karena hakim mempunyai kewajiban memeriksa perkara tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) tersebut.

II. METODE

Metode yang digunakan dalam tulisan ini adalah metode penelitian yuridis normatif. Bahan hukum yang digunakan dalam tulisan ini adalah

Page 27: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

124 | Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 115 - 134

bahan hukum primer yang meliputi peraturan perundang-undangan berkenaan dengan arbitrase, putusan pengadilan, mengenai arbitrase, pendapat para ahli (doktrin) yang diperoleh melalui literatur, serta bahan non-hukum berupa catatan hasil wawancara dengan para ahli maupun kebiasaan-kebiasaan yang diterapkan dalam praktik hukum khususnya dalam penyelesaian sengketa arbitrase internasional.

Atas dasar hal itu, hasil pengumpulan dan penemuan bahan hukum serta informasi melalui studi kepustakaan dilakukan secara deduktif argumentatif pada berbagai teori yang digunakan, dan sesuai dengan bahan hukum yang diteliti, maka tulisan ini bersifat deskriptif guna menggambarkan secara detail dan mendalam tentang permasalahan yang diteliti.

Teknik pengumpulan bahan hukum dalam tulisan ini, dilakukan melalui penelaahan bahan hukum yang diperoleh dari bahan hukum primer yang bersifat autoritatif (mempunyai otoritas) dan bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen resmi, maupun bahan non-hukum yang terdiri atas:

a) Bahan hukum primer dalam tulisan ini yaitu: Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 dan putusan pengadilan;

b) Bahan hukum sekunder yang meliputi buku-buku teks, kamus hukum, jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan yang terkait dengan masalah yang diteliti; dan

c) Bahan non-hukum berupa catatan hasil wawancara dengan berbagai ahli (Marzuki, 2013: 181).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Dasar pertimbangan hukum yang digunakan hakim pada tingkat pengadilan negeri adalah sebagai berikut:

Menimbang materi gugatan penggugat pada pokoknya mempermasalahkan tentang perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh PT B dan PT SRD karena mengadakan RUPS LB tanggal 18 Maret 2005 dan RUPS lain yang menurut SHR dkk memiliki cacat hukum dan hal tersebut merugikan para pihak, adanya pemblokiran SISMINBAKUM Departemen Hukum dan HAM yang dilakukan oleh PT SRD selaku operator SISMINBAKUM;

Menimbang, bahwa para pihak yang terkait dalam gugatan a quo dan para pihak yang terkait dalam investment agreement terdapat perbedaan;

Menimbang, bahwa dengan demikian para pihak tersebut tidak terikat dengan investment agreement yang diadakan oleh PT B dan SHR dkk;

Menimbang, bahwa dengan demikian apabila dalam dokumen tidak terdapat pihak-pihak yang termasuk dalam perjanjian maka pihak tersebut tentu saja tidak terikat dengan ketentuan tentang arbitrase;

Menimbang, bahwa dengan perkara a quo, pihak-pihak yang tidak terikat dengan investment agreement tidak terikat dan tunduk pada ketentuan yang terdapat pada investment agreement;

Menimbang, bahwa suatu gugatan perbuatan melawan hukum sama sekali berbeda dengan gugatan wanprestasi. Perbuatan melawan hukum tidak terkait dengan pada adanya suatu perjanjian melainkan merujuk pada kriteria dari suatu perbuatan melawan hukum, sedangkan wanprestasi terkait dengan pihak-pihak yang melakukan suatu perjanjian;

Menimbang, bahwa dari pertimbangan di atas maka menurut majelis oleh karena materi gugatan a quo berbeda dengan materi pelaksana investment agreement dan para pihak yang terdapat dalam gugatan juga

Page 28: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

Penyelesaian Sengketa Kompetensi Absolut Antara Arbitrase dan Pengadilan (Cut Memi) | 125

berbeda dengan para pihak dalam investment agreement, maka menurut majelis pengadilan negeri tidak terikat dengan ketentuan Pasal 3 dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 dan oleh karena gugatan memenuhi ketentuan 118 ayat (2) HIR yaitu salah satu tergugat bertempat tinggal di wilayah hukum Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, maka Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berwenang mengadili gugatan a quo.

Terhadap pertimbangan hakim tersebut, PT B berpendapat bahwa hakim sama sekali tidak menyinggung tentang keberlakuan dan pelaksanaan investment agreement dan supplemental agreement dari para pihak. Atas dasar alasan tersebut PT B tidak menerima putusan hakim tersebut, dan kemudian mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta. Dalam eksepsinya SHR dkk, menyatakan bahwa kewenangan absolut untuk mengadili perkara ini berada pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, karena sengketa yang diajukan terkait dengan perbuatan melawan hukum yang telah dilakukan oleh PT B sehingga menimbulkan kerugian.

Atas permohonan banding yang diajukan oleh PT B, majelis hakim memberikan pertimbangan yang pada intinya menyatakan sebagai berikut:

Menimbang, bahwa karena sengketa yang digugat oleh PT B dalam perkara ini terbukti dalam sengketa yang berhubungan dengan pelaksanaan investment agreement;

Menimbang, bahwa yang menjadi dasar dari PT B untuk mengadakan RUPS LB tanggal 18 Maret 2005 yang menjadi pokok sengketa antara PT B dan SHR dalam perkara a quo adalah didasarkan atas adanya surat kuasa khusus tertanggal 3 Juni 2003 yang dibuat dan ditandatangani oleh SHR;

Menimbang, bahwa perkara ini adalah sengketa yang berkaitan dan berhubungan dengan pelaksanaan investment agreement tertanggal 23 Agustus 2002 yang telah

disetujui antara PT B dan SHR dkk, dan telah ditentukan bahwa setiap sengketa yang timbul akan diselesaikan melalui arbitrase dengan ketentuan BANI.

Menimbang, bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 sudah terbukti bahwa gugatan dalam perkara ini adalah merupakan sengketa yang telah terikat dengan perjanjian arbitrase maka Pengadilan Negeri Jakarta Pusat harus dinyatakan secara absolut tidak berwenang untuk mengadili sengketa yang digugat dalam perkara ini.

Atas dasar pertimbangan tersebut di atas, melalui Putusan Nomor 629/PDT/2011/PT.DKI memberikan amar putusan yang membatalkan Putusan Nomor 10/PDT.G/2010/PN.JKT.PST.Pihak SHR dkk, tidak menerima hasil putusan Pengadilan Tinggi Jakarta tersebut dan kemudian mengajukan kasasi. Dalam eksepsinya PT B menyatakan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak memiliki kewenangan absolut karena perkara a quo merupakan pelaksanaan dari investment agreement yang mengandung klausul arbitrase secara tegas. Selain itu pokok gugatan yang diajukan oleh SHR dkk, mengenai keabsahan surat kuasa tanggal 3 Juni 2003 dan RUPS LB tanggal 18 Maret 2005, merupakan realisasi atas investment agreement dan supplemental agreement sebagai perjanjian pokoknya.

Atas permohonan kasasi yang diajukan oleh SHR dkk, Mahkamah Agung memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

Menimbang bahwa alasan kasasi dapat dibenarkan, pengadilan tinggi telah salah dalam menerapkan hukumnya dengan alasan bahwa pengadilan tinggi telah keliru menafsirkan isi kesepakatan investment agreement tanggal 23 Agustus 2002;

Menimbang, bahwa masalah pokok dalam perkara ini adalah tentang hasil RUPS LB tanggal 17 Maret 2005 yang dilakukan oleh SHR dkk, atas PT CTPI dan akses

Page 29: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

126 | Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 115 - 134

SISMINBAKUM yang diblokir oleh PT SRD atas kemauan PT B, sehingga pendaftaran hasil RUPS LB tersebut tidak dapat didaftarkan kepada Departemen Hukum dan HAM;

Menimbang, bahwa selanjutnya PT B mengadakan RUPS LB sendiri pada tanggal 18 Maret 2005 dan akses SISMINBAKUM dibuka oleh PT SRD dan langsung didaftarkan kepada Departemen Hukum dan HAM;

Menimbang, bahwa perbuatan tersebut termasuk lingkup perbuatan melawan hukum, yang berada di luar isi kesepakatan investment agreement tanggal 23 Agustus 2002, sehingga sengketa ini adalah merupakan kewenangan peradilan umum.

Atas dasar pertimbangan hukum tersebut, kemudian majelis hakim memutus perkara tersebut dalam Putusan Nomor 862 K/PDT/2013, yang amar putusannya menyatakan membatalkan Putusan Nomor 629/PDT/2011/PT.DKI yang membatalkan Putusan Nomor 10/PDT.G/2010/PN.JKT.PST dan menguatkan putusan pengadilan negeri. Membaca putusan kasasi seperti demikian, PT B kemudian menggugat SHR dengan mengajukan permohonan ke BANI agar perkara ini diselesaikan secara arbitrase, yang kemudian diterima oleh BANI dengan Putusan Nomor 547/XI/ARB-BANI/2013. Pertimbangan hukum hakim pada tingkat peninjauan kembali. Oleh karena PT B tidak menerima putusan kasasi tersebut, maka pada tahun 2014 PT B mengajukan permohonan peninjauan kembali, dengan alasan sebagai berikut:

1) Mengenai ruang lingkup kompetensi absolut. Menurut PT B dalam putusan kasasi, majelis kasasi melakukan kekhilafan atau kekeliruan yang nyata dengan menyatakan sengketa ini merupakan kewenangan peradilan umum dan bukan kewenangan arbitrase;

2) Mengenai keabsahan RUPS LB tanggal 17 Maret 2005, dalam putusan kasasi, majelis kasasi telah melakukan kekeliruan, di mana telah menyatakan RUPS LB tanggal 17 Maret 2005 sah adanya dengan pertimbangan kehadiran dan persetujuan SHR dkk tanpa terlebih dahulu mempertimbangkan bahwa SHR dkk, dan PT B telah terikat pada investment agreement (serta klausul-klausulnya) dan surat kuasa yang tidak dapat dicabut kembali;

3) Mengenai keabsahan RUPS LB tanggal 18 Maret 2005, majelis kasasi telah melakukan kekeliruan dengan menyatakan bahwa RUPS LB tanggal 18 Maret 2005 tidah sah hanya dengan mempertimbangkan bahwa surat kuasa yang telah diberikan SHR dkk, telah dicabut, tanpa mempertimbangkan adanya investment agreement yang menyebabkan PT B berhak untuk menyelenggarakan RUPS LB tanggal 18 Maret 2005 dan berhak atas 75% saham di PT CTPI;

4) Mengenai adanya pemblokiran SISMINBAKUM oleh PT SRD. Dalam putusan kasasi, majelis kasasi juga melakukan kekeliruan di mana majelis mempertimbangkan bahwa telah terjadi pemblokiran akses SISMINBAKUM terkait proses pencatatan hasil RUPS LB tanggal 18 Maret 2005 yang telah dilakukan oleh PT SRD berdasarkan perintah HT, hanya berdasarkan surat keterangan dari Menteri Hukum dan HAM tanpa pernah diuji kebenarannya di hadapan persidangan dan juga berdasarkan keterangan YW.

Akan tetapi sebelum putusan arbitrase diputuskan pada tanggal 12 Desember 2014, pada tanggal 29 Oktober 2014 Mahkamah

Page 30: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

Penyelesaian Sengketa Kompetensi Absolut Antara Arbitrase dan Pengadilan (Cut Memi) | 127

Agung dalam Putusan Nomor 238 PK/PDT/2014 dengan amar putusan yang berbunyi: bahwa majelis hakim menolak permohonan yang diajukan oleh PT B dan menghukum PT B untuk membayar biaya perkara dalam pemeriksaan peninjuan kembali. Adapun pertimbangan hukum yang digunakan hakim adalah sebagai berikut:

Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan peninjauan kembali tersebut Mahkamah Agung berpendapat bahwa alasan-alasan peninjauan kembali dari PT B tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti dengan saksama memori peninjauan kembali dihubungkan dengan pertimbangan putusan dalam tingkat kasasi dan putusan pengadilan, dalam perkara a quo, ternyata tidak terdapat adanya kekhilafan hakim dengan pertimbangan bahwa sengketa dalam perkara a quo adalah tentang perbuatan melawan hukum dan bukan merupakan sengketa mengenai hak berdasarkan investment agreement;

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, maka permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh pemohon peninjauan kembali PT B tersebut adalah tidak beralasan sehingga harus ditolak;

Menimbang, bahwa oleh karena permohonan peninjauan kembali dari pemohon peninjauan kembali ditolak, maka pemohon peninjauan kembali dihukum untuk membayar biaya perkara dalam pemeriksaan peninjauan kembali ini.

PT B mempertanyakan mengapa majelis hakim pada tingkat kasasi dan peninjauan kembali membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta dan menyatakan peradilan umum berwenang memeriksa dan mengadili gugatan SHR dkk, sedangkan

di sisi lain BANI juga tengah memeriksa dan kemudian memutus permohonan arbitrase yang diajukan oleh PT B dalam Putusan Nomor 547/XI/ARB-BANI/2013. Jawaban yang disampaikan oleh majelis hakim adalah bahwa, perkara atau pokok sengketa yang diperiksa di peradilan umum berbeda dengan sengketa yang diperiksa dan diputus oleh BANI di dalam Putusan Nomor 547/XI/ARB-BANI/2013.

Sengketa di peradilan umum adalah sengketa perbuatan melawan hukum tentang prosedur pelaksanaan dan pencatatan hasil RUPS LB yang juga melibatkan pihak-pihak di luar investment agreement. Sedangkan perkara yang diperiksa di BANI adalah sengketa tentang wanprestasi dan pelaksanaan isi investment agreement, di mana sengketa di BANI diuji berdasarkan ketentuan-ketentuan di dalam investment agreement.

5) Dasar pertimbangan hukum yang digunakan oleh BANI. Pada tanggal 12 Desember 2014, BANI telah memutuskan perkara ini dengan amar putusan yang pada intinya berbunyi sebagai berikut:

Menyatakan sah dan mengikat investment agreement tanggal 23 Agustus 2002 dan supplemental agreement tanggal 7 Februari 2003;

Menyatakan sah dan mengikat surat kuasa tanggal 3 Juni 2003 dan surat kuasa tanggal 7 Februari 2003;

Menyatakan pemohon adalah pemohon yang beriktikad baik dan telah melaksanakan ketentuan-ketentuan di dalam investment agreement tanggal 23 Agustus 2002 dan supplemental agreement tanggal 7 Februari 2003;

Page 31: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

128 | Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 115 - 134

Menyatakan pemohon berhak atas 75% saham di PT CTPI sampai dengan sebelum pemohon mengalihkan saham tersebut kepada pihak ketiga yaitu PT MNC, Tbk.;

Menyatakan para termohon telah melakukan cidera janji terhadap pemohon dengan mencabut surat kuasa tanggal 3 Juni 2003 yang bertentangan dengan investment agreement tanggal 23 Agustus 2002.

Dasar pertimbangan hukum yang digunakan oleh majelis arbitrase adalah sebagai berikut:

Menimbang, bahwa putusan majelis perkara a quo mendasarkan kepada kewenangannya yang diamanatkan dan diatur oleh peraturan perundang-undangan, khususnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999;

Menimbang, bahwa kesimpulan hasil pemeriksaan fakta dalam perkara a quo, majelis berpendapat cukup alasan untuk mengabulkan sebagian permohonan pemohon (PT B);

Menimbang, bahwa dengan demikian sebagian permohonan pemohon (PT B) dinyatakan terbukti;

Mengingat dan memperhatikan prosedur BANI, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 serta segenap peraturan perundang-undangan lainnya.

Terhadap dua putusan yang saling bertentangan sebagaimana dikemukakan di atas, hal pertama yang perlu dijelaskan terlebih dahulu adalah tentang objek perjanjian yang dipersengketakan oleh kedua belah pihak, apakah perjanjian bersangkutan merupakan investment agreement atau perjanjian tentang hutang piutang. Setelah meneliti isi perjanjian para pihak sebagaimana dikemukakan dalam Putusan Nomor 547/XI/ARB-BANI/2013 jelas bahwa perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak adalah perjanjian investment agreement.

Hal tersebut dinyatakan dalam Pasal 2.4 jo. Pasal 3.1.1 di mana pemohon (PT B) diwajibkan untuk melaksanakan pembiayaan dan restrukturisasi hutang-hutang PT CTPI dengan batas pengeluaran sampai US$55.000.000 dan untuk itu PT B berhak mendapatkan 75% saham penyertaan pada PT CTPI melalui pengeluaran saham baru. Secara lengkap bunyi pasal tersebut adalah sebagai berikut:

2.4. The investor proposes to make available financing through various schemes and forms of up to US$55.000.000 for the TPI Debts Restructuring to be allocated as follows.

3.1.1. Subject to the terms of the share subscription agreement, the investor shall subscribe for and TPI shall issue to the investor, shares in TPI constituting 75% (the “initial investor stake”) of TPI’s total issued share capital, post subscription on a fully diluted basis (the “subscription shares”).

Berdasarkan ketentuan pasal perjanjian tersebut di atas, maka hal yang akan diperoleh PT B adalah 75% dari penyertaan modal yang diberikan pada PT CTPI dengan cara mengeluarkan saham baru. Kewajiban dari pihak PT B adalah menyediakan pembiayaan dengan jumlah maksimal US$55.000.000 bagi keperluan restrukturisasi hutang PT CTPI. Dengan demikian, hubungan hukum antara PT B dan PT CTPI adalah dalam rangka investasi dan bukan dalam rangka pemberian fasilitas kredit (hutang) sebab konsekuensi dari utang tentunya berupa adanya bunga dari pinjaman yang diberikan, sedangkan dalam perjanjian para pihak tidak mengatur sama sekali tentang bunga, melainkan adalah berupa saham sebagai konsekuensi dari investasi atau penanaman modal yang dimasukkan ke dalam perusahaan yang bersangkutan.

Persoalan selanjutnya yang juga perlu didudukkan terlebih dahulu adalah bagaimana

Page 32: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

Penyelesaian Sengketa Kompetensi Absolut Antara Arbitrase dan Pengadilan (Cut Memi) | 129

konsekuensi dari timbulnya perselisihan yang berkaitan dengan saham, di mana dalam perkara ini berujung kepada gugatan tentang keabsahan dari RUPS yang kemudian mengakibatkan terjadinya pemblokiran dalam proses perubahan anggaran dasar di SISMINBAKUM.

Pihak PT CTPI mendalilkan bahwa tindakan pemblokiran yang dilakukan oleh SISMINBAKUM atas permintaan PT B adalah perbuatan melawan hukum dan bukan merupakan persoalan yang timbul dari perjanjian investment agreement. Oleh sebab itu, persoalan yang muncul dalam perkara ini tidak termasuk ke dalam ruang lingkup perkara yang harus ditangani oleh arbitrase. Dalil yang dikemukakan oleh pihak PT CTPI ini kemudian dibenarkan oleh hakim dalam amar Putusan Nomor 10/PDT.G/2010/PN.JKT.PST yang menyatakan bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berwenang mengadili perkara.

Penulis berpendapat bahwa kasus ini muncul dari adanya perjanjian investment agreement, jadi persoalan atau perselisihan mengenai saham, muncul dari adanya perjanjian pokok (main contract), tanpa adanya perjanjian investment agreement, maka tidak akan ada persoalan tentang saham. Dengan demikian baik hasil RUPS LB maupun RUPS lainnya telah menyimpang dari perjanjian investasi yang telah ditandatangani sebelumnya oleh para pihak. Oleh sebab itu, hakim seharusnya tidak melihat persoalan dalam kasus ini secara terpisah satu sama lain karena persoalan saham terkait erat dengan perjanjian investment agreement berikut perubahannya yang telah disepakati oleh para pihak. Selanjutnya terhadap pertimbangan hukum hakim yang menyatakan bahwa dasar gugatan penggugat adalah karena adanya perbuatan melawan hukum dan bukan merupakan perselisihan yang timbul dari perjanjian investment, penulis berpendapat

bahwa hakim pertama-tama harus menjelaskan terlebih dahulu apakah yang dimaksudkan dengan perbuatan melawan hukum dalam putusan perkara tersebut.

Istilah perbuatan melawan hukum lazim diartikan dari bahasa Belanda yaitu onrechtmatige daad. Akan tetapi perlu diluruskan bahwa perbuatan melawan hukum tidak sama dengan perbuatan melanggar hukum. Kata “onrechtmatige daad” dalam bahasa Belanda lazim mempunyai arti yang sempit yaitu perbuatan melanggar hukum, mengingat perkataan onrechtmatige daad hanya tertuju pada perbuatan yang langsung melanggar suatu peraturan hukum.

Sejak tahun 1919 dengan adanya peristiwa Cohen dan Lindenbaum (Arrest Hoge Road tanggal 31 Januari 1919), istilah perbuatan melanggar hukum itu ditafsirkan secara luas, sehingga meliputi juga perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan atau yang dianggap pantas dalam pergaulan masyarakat. Berdasarkan arrest tersebut di atas, maka penulis berpendapat bahwa pengertian yang dimaksud dalam Pasal 1365 BW Indonesia (Pasal 1401 BW Nederland), bukanlah perbuatan melawan hukum melainkan perbuatan melanggar hukum yang di dalamnya juga termasuk perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan (goede zeden) atau yang dianggap pantas dalam pergaulan masyarakat.

Berbeda halnya dengan perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum adalah terminus pidana yang diartikan dari bahasa Belanda yaitu wederrechtelijkheid. Istilah ini terlihat jelas dalam Pasal 2 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan: Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau

Page 33: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

130 | Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 115 - 134

suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 milyar.

Atas dasar hal itu dapat dikatakan bahwa perbuatan melawan hukum berada dalam ranah hukum pidana. Selanjutnya jika ketentuan tersebut di atas diterapkan kepada alasan pertimbangan hukum hakim yang mengabaikan klausul arbitrase atas alasan perbuatan melawan hukum sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, maka penulis berpendapat bahwa alangkah tidak benarnya, apabila konsep perbuatan melawan hukum (yang ada dalam lingkup hukum pidana) dijadikan dasar oleh hakim sebagai alasan untuk mengabaikan klausul arbitrase dan menyatakan berwenang dalam mengadili perkara para pihak yang terikat dengan perjanjian arbitrase BANI, padahal bidang arbitrase tersebut berada dalam lingkup hukum perdata (Purbacaraka, 1986: 42-43).

Pasal 13.3 perjanjian investment agreement manyatakan bahwa: all controversies arising between the parties out of or in relation to this agreement... (semua perselisihan yang muncul di antara para pihak yang berasal dari atau terkait dengan perjanjian ini...) shall be settled by arbitration in Jakarta accordance with the rules of Badan Arbitrase Nasional Indonesia.Arti rumusan klausul arbitrase tersebut adalah bahwa semua sengketa (tanpa terkecuali) termasuk juga tentang adanya dugaan perbuatan melawan hukum adalah ruang lingkup perkara yang harus diselesaikan secara arbitrase dan otomatis merupakan kewenangan arbitrase untuk mengadilinya berdasarkan mandat yang diberikan oleh para pihak sebagaimana tertera di dalam

perjanjian. Para pihaklah yang menghendaki dan menentukan sendiri bahwa penyelesaian sengketa mereka akan diselesaikan melalui arbitrase. Hal ini diperkuat pula oleh ketentuan Pasal II ayat (1) Konvensi New York 1958 yang menyatakan:

“Each Contracting State shall recognize an agreement in writing under which the parties undertake to submit to arbitration all or any differences which have arisen or which may arise between them in respect of a defined legal relationship, whether contractual or not, concerning a subject matter capable of settlement by arbitration.”

Alasan perbuatan melanggar hukum tidak dapat dijadikan alasan pembenar oleh pengadilan negeri untuk mengabaikan klausul arbitrase dan menyatakan diri berwenang dalam mengadili perkara arbitrase. Selain itu, sebagai konsekuensi logis dari asas pakta sunt servanda, penulis berpendapat bahwa apabila salah satu pihak tetap mengajukan sengketa ke pengadilan sedangkan para pihak telah terikat dengan perjanjian arbitrase, maka tindakan tersebut dapat dikatakan sebagai suatu wanprestasi karena tidak melaksanakan kesepakatan sebagaimana diatur dalam perjanjian (breach of contract). Tindakan ini sekaligus juga menunjukkan adanya iktikad tidak baik (te kwader trouw) dari salah satu pihak untuk melaksanakan perjanjian arbitrase sebagaimana mestinya.

Prinsip iktikad baik merupakan tonggak dasar (the corner stone) dari arbitrase (Adolf, 2014: 144) karena tujuan arbitrase baru dapat tercapai jika didasari dengan adanya iktikad baik. Dengan demikian, apabila tidak ada iktikad baik dari kedua belah pihak yang berperkara maka arbitrase tidak akan ada gunanya sama sekali. Selanjutnya, apabila perkara akhirnya disidangkan di pengadilan negeri, maka prinsip kerahasiaan dari arbitrase tidak dapat diwujudkan

Page 34: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

Penyelesaian Sengketa Kompetensi Absolut Antara Arbitrase dan Pengadilan (Cut Memi) | 131

karena persidangan di pengadilan bersifat terbuka untuk umum.

Kondisi ini sangat bertentangan dengan sifat dasar dari arbitrase yaitu prinsip konfidensialitas yang sangat dijunjung tinggi oleh para pelaku bisnis. Atas dasar itu, apabila perkara yang telah terikat dengan perjanjian arbitrase tetap disidangkan oleh pengadilan, maka tindakan tersebut sangat bertentangan dengan filosofi dan tujuan semula dibentuknya arbitrase itu sendiri.Berdasarkan teori arbitrase dan hukum dikatakan bahwa arbitrase adalah suatu lembaga hukum. Sebagai suatu lembaga hukum, arbitrase memiliki seperangkat peraturan arbitrase. Dikaitkan dengan perkara yang dibahas dalam tulisan ini di mana arbitrase yang telah disepakati oleh para pihak adalah BANI, maka sebagai suatu lembaga, BANI mempunyai aturan prosedural tersendiri dalam mengadili perkara yang diajukan kepadanya.

Pasal 17 Rules & Procedures BANI mengatur: Dalam waktu paling lama 30 hari, termohon harus mengajukan surat jawaban kepada BANI untuk disampaikan kepada majelis dan pemohon. Kemudian, Pasal 11 Rules & Procedures BANI menyatakan bahwa: Setiap arbiter dapat diingkari apabila terdapat suatu keadaan tertentu yang menimbulkan keraguan terhadap netralitas dan/atau kemandirian arbiter tersebut. Selain ketentuan tersebut di atas juga terdapat tentang batasan waktu sidang yaitu pada Pasal 4 angka (7) yang mengatur bahwa: Kecuali secara tegas disepakati para pihak, persidangan akan diselesaikan dalam waktu paling lama 180 hari sejak tanggal majelis selengkapnya terbentuk (Umar, 2013: 115).

Apabila para pihak telah sepakat untuk menyelesaikan sengketa mereka melalui BANI, maka para pihak terikat untuk mematuhi aturan

prosedural yang telah ditentukan oleh BANI. Atas dasar itu, maka apabila perkara yang bersangkutan diadili oleh pengadilan, persoalan mendasar yang muncul ke permukaan adalah aturan prosedural mana yang akan diterapkan oleh pengadilan dalam menangani perkara yang bersangkutan. Dalam penanganan kasus ini terlihat bahwa pengadilan negeri secara serta-merta menerapkan aturan prosedural yang berlaku bagi perkara biasa sehari-hari, sedangkan dalam perjanjian para pihak telah sepakat untuk menggunakan aturan prosedural BANI. Tindakan hakim seperti demikian tentu tidak dapat dibenarkan karena tidak ada dasar acuan yang digunakan hakim untuk itu, sehingga terjadi peradilan yang sesat.

Tindakan hakim tersebut juga bertentangan dengan prinsip dasar dari arbitrase yang menyatakan bahwa putusan arbitrase bersifat final and binding sebagaimana juga ditegaskan dalam Pasal 32 Aturan Prosedural BANI. Sehingga pelanggaran terhadap prinsip dasar arbitrase tersebut telah mengakibatkan berlarut-larutnya penanganan perkara sampai ke tingkat peninjauan kembali. Dalam arbitrase dikenal suatu doktrin yaitu kompetenz-kompetenz/competence-competence. Doktrin tentang kompetenz-kompetenz ini tidak diatur sama sekali secara eksplisit dalam undang-undang yang bersangkutan. Doktrin tersebut justru terdapat dalam Pasal 18 Rules & Procedures BANI yang mengatakan: Majelis berhak menyatakan keberatan atas pernyataan bahwa ia tidak berwenang, termasuk keberatan yang berhubungan dengan adanya atau keabsahan perjanjian arbitrase jika terdapat alasan untuk itu.

Berdasarkan Pasal 18 sebagaimana dikemukakan di atas, maka penulis berpendapat bahwa hakim pengadilan negeri yang tetap mengadili perkara ini tidak mempunyai dasar

Page 35: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

132 | Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 115 - 134

kewenangan untuk mengadili perkara, karena berdasarkan doktrin ini untuk menentukan apakah perjanjian para pihak merupakan investment agreement atau bukan adalah kewenangan arbitrase itu sendiri, bukan pengadilan. Permasalahan mendasar yang perlu dibahas lebih lanjut adalah bagaimana jika prinsip-prinsip tersebut di atas dibandingkan dengan prinsip yang dianut oleh pengadilan. Setelah melakukan kajian lebih lanjut terhadap kewenangan pengadilan sebagaimana telah diuraikan di atas, penulis berpendapat bahwa jika dibandingkan antara Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, seolah-olah terdapat suatu pertentangan padahal sebenarnya tidak bertentangan.

Satu sisi hakim dilarang menolak perkara berdasarkan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman, sedangkan di sisi lain dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 menyatakan bahwa pengadilan negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Akan tetapi meskipun acuan dasar dari pelaksanaan kewenangan pengadilan didasarkan pada Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman, dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 maka berlaku asas lex spesialis derogat legi generalis. Adanya ketentuan Pasal 3 tersebut, dapat diartikan bahwa kompetensi absolut arbitrase lahir ketika para pihak membuat perjanjian yang dengan tegas menyatakan bahwa mereka akan menyelesaikan perselisihan mereka melalui forum arbitrase, sehingga pengadilan tidak memiliki kewenangan untuk memeriksa dan mengadili sengketa tersebut (Khairandy, 2007: 45).

Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 disebutkan bahwa adanya

perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke pengadilan negeri. Pada ayat (2) juga disebutkan bahwa pengadilan negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.

Berdasarkan hasil wawancara (2015) penulis dengan Husseyn Umar (Wakil Ketua BANI) jauh sebelum terjadinya sengketa antara PT B dengan PT CTPI, ditegaskan bahwa dengan kewenangan arbitrase seperti demikian, bukan berarti bahwa pengadilan sama sekali tidak berperan penting dalam hal arbitrase. Oleh karena itu, hal yang perlu dijelaskan lebih lanjut sehubungan dengan kewenangan arbitrase tersebut adalah apakah kewenangan arbitrase yang dimaksud sedemikian luas tanpa ada batasannya. Tentang hal ini ternyata undang-undang membatasinya. Pembatasan itu antara lain terdapat dalam Pasal 61 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 yang mengatakan: Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah ketua pengadilan negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa. Dengan demikian meskipun berdasarkan doktrin competence-competence, arbitrase berwenang untuk menentukan yurisdiksinya sendiri, bukan berarti kewenangan itu juga mencakup sampai ke tahap pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase.

Hal pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase, baik nasional maupun internasional, tetap berada pada kewenangan pengadilan. Arbitrase tidak mempunyai kewenangan dan tidak dapat melakukan upaya memaksa terhadap

Page 36: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

Penyelesaian Sengketa Kompetensi Absolut Antara Arbitrase dan Pengadilan (Cut Memi) | 133

para pihak untuk melaksanakan putusan. Oleh sebab itu peranan pengadilan sangat penting dan menentukan. Tanpa adanya peran pengadilan, pelaksanaan putusan arbitrase akan menjadi sia-sia.

Pasal 14 ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 disebutkan bahwa: Apabila dalam waktu paling lama 14 hari setelah termohon menerima usul pemohon sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) para pihak tidak berhasil menentukan arbiter tunggal, atas permohonan dari salah satu pihak, ketua pengadilan negeri dapat mengangkat arbiter tunggal. Dalam Pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.

Pasal 5 ayat (1) ini memang tidak memberikan penjelasan tentang pengertian “perdagangan,” melainkan di dalam penjelasan Pasal 66 huruf (b) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, yang menjelaskan “ruang lingkup hukum perdagangan” adalah kegiatan-kegiatan antara lain di bidang perniagaan; perbankan; keuangan; penanaman modal; industri; dan hak kekayaan intelektual. Adapun yang dimaksud dengan sengketa perdagangan adalah sengketa yang muncul sebagai akibat adanya pelanggaran terhadap perjanjian maupun terhadap undang-undang yang berkenaan dengan kegiatan ekonomi, khususnya jual-beli dalam rangka mencari keuntungan (Rahmadi, Hafidah, & Djumadi, 2016: 43). Mengambil contoh di Indonesia, hal-hal yang menurut hukum Indonesia tidak dapat diselesaikan secara arbitrase adalah persoalan-persoalan di bidang status personil, yaitu segala perbuatan di bidang hukum keluarga yang

meliputi perceraian, waris, perwalian, termasuk masalah-masalah yang timbul antara wali dan ahli waris (Abdurrasyid, 2011: 3-4).

Perjanjian arbitrase erat kaitannya dengan kompetensi pengadilan. Sehubungan dengan itu, Mertokusumo (2002: 15) menjelaskan masalah pengaplikasian kompetensi peradilan: Apabila suatu perkara diajukan kepada hakim yang secara absolut tidak berwenang memeriksa perkara tersebut, hakim harus menyatakan dirinya tidak berwenang secara ex officio untuk memeriksanya, dan tidak tergantung pada ada atau tidaknya eksepsi dari tergugat tentang ketidakwenangannya itu. Setiap saat selama persidangan berlangsung dapat diajukan tangkisan bahwa hakim tidak berwenang memeriksa perkara tersebut (Pasal 132 Tv, 134 HIR, 160 Rbg).

IV. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa lembaga yang memiliki kompetensi absolut untuk mengadili perkara antara PT B melawan PT CTPI adalah BANI bukan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Hal ini diperkuat dengan teori kewenangan arbitrase, teori arbitrase dan hukum, teori arbitrase dan pihak ketiga, prinsip-prinsip dasar arbitrase doktrin competence-competence serta dengan membandingkan prinsip dan dasar kewenangan yang dianut oleh pengadilan.

Putusan yang menyatakan bahwa pengadilan negeri tetap berwenang dalam mengadili perkara yang telah terikat dengan perjanjian arbitrase, tidak dapat dibenarkan dan diharapkan tidak terjadi lagi di masa yang akan datang. Putusan tersebut telah menyebabkan terjadinya kesalahan dalam penerapan hukum baik prosedural maupun substansial sehingga berlarut-larutnya

Page 37: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

134 | Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 115 - 134

penanganan perkara sampai ke tingkat peninjauan kembali. Tindakan hakim seperti demikian sangat bertentangan dengan sifat dasar dari arbitrase yaitu prinsip final and bindung yang mengandung arti bahwa putusan arbitrase tidak dapat diajukan banding apalagi kasasi dan peninjauan kembali.

Atas dasar hal itu terhadap perkara-perkara yang tetap diajukan oleh salah satu pihak ke pengadilan sedangkan mereka telah terikat dengan perjanjian arbitrase, maka pengadilan harus menolak untuk mengadili perkara dan meminta para pihak agar menyelesaikannya melalui lembaga arbitrase sebagaimana yang telah disepakati oleh para pihak di dalam perjanjian.

Penulis merekomendasikan agar para hakim di pengadilan dapat menerapkan teori-teori dan prinsip-prinsip dasar arbitrase sebagai acuan dalam memutus perkara yang telah terikat dengan perjanjian arbitrase di masa yang akan datang.

DAFTAR ACUAN

Abdurrasyid, H.P. (2011). Arbitrase & alternatif penyelesaian sengketa suatu pengantar. Edisi Kedua. Jakarta: Fikahati Aneska.

Adolf, H. (2014). Dasar-dasar, prinsip & filosofi arbitrase. Bandung: Keni Media.

________. (2016a). Hukum arbitrase komersial internasional. Bandung: Keni Media.

________. (2016b). Hukum perdagangan internasional. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Hasibuan, F.Y. (2006). Hukum acara perdata. Jakarta: Yayasan Pustaka Hukum Indonesia.

Khairandy, R. (2007). Kompetensi absolut dalam penyelesaian sengketa di perusahaan Joint

Venture. Jurnal Hukum Bisnis, 26(4), 45.

Kolopaking, A.D.A. (2013). Asas iktikad baik dalam penyelesaian sengketa kontrak melalui arbitrase. Bandung: Alumni.

Marzuki, P.M. (2013). Penelitian hukum. Edisi Revisi. Jakarta: Kencana Pranada Media Group.

Mertokusumo, S. (2002). Hukum acara perdata Indonesia. Ed. VI, Cet. I. Yogyakarta: Liberty.

Nugroho, S.A. (2016). Penyelesaian sengketa arbitrase & penerapan hukumnya. Jakarta: Prenada Media.

Purbacaraka, P. (1986). Penggarapan disiplin hukum & filsafat hukum bagi pendidikan hukum. Ed. Cet. 1. Jakarta: Rajawali.

Rahmadi, Hafidah, N., & Djumadi. (2016, April). Hubungan kausalitas dalam penyelesaian sengketa kepemilikan saham PT CTPI: Studi Putusan Kasasi M.A.R.I Nomor 862 K/Pdt/2013. Badamai Law Journal, 1(1), 43.

Setiawan, R. (2003). Beberapa catatan hukum tentang klausul arbitrase. Makalah. Sayuthi, W. (Ed). Kapita selekta arbitrase & permasalahannya. Jakarta: Mahkamah Agung RI.

Sutantio, R.W., & Kartawinata, I.O. (2002). Hukum acara perdata dalam teori & praktek. Bandung: Mandar Maju.

Umar, M.H. (2013). BANI & penyelesaian sengketa. Jakarta: Fikahati Aneska.

Wisana, F., Aburaera, S., & Karim, M.S. (2011). Kewenangan badan peradilan memeriksa sengketa dengan klausula arbitrase. Jurnal Pasca Sarjana Universitas Hasanudin, http://pasca.unhas.ac.id/jurnal/files/85987e0a735579aa1c407c750129c985.pdf

Wawancara. (2015, Januari 19). Wawancara dengan M. Husseyn Umar, (Wakil Ketua BANI).

Page 38: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

Problem Melindungi Hak Beragama dan Berkeyakinan Bagi Kelompok Minoritas (Endra Wijaya) | 135

ABSTRAK

Jaminan terhadap hak untuk memeluk agama dan keyakinan sudah dijamin melalui konstitusi Indonesia, tapi jaminan konstitusional itu belumlah cukup. Penegakan hak untuk memeluk agama dan keyakinan masih perlu didukung dengan instrumen hukum lainnya, dan salah satunya ialah putusan pengadilan. Dalam konteks seperti itu, maka keberadaan Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG menarik untuk dicermati. Putusan tersebut berkaitan erat dengan isu penegakan hak untuk memeluk agama dan keyakinan di Indonesia, terutama bagi kelompok minoritas. Fokus permasalahan dalam tulisan ini akan diarahkan kepada persoalan bagaimanakah substansi Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG dilihat dari perspektif penegakan hak asasi manusia, khususnya hak asasi manusia untuk secara bebas (tanpa tekanan) memilih dan memeluk suatu agama dan keyakinan. Dalam melakukan analisis, penulis menggunakan metode kajian kepustakaan dengan bersandar pada data sekunder. Analisis akan dilakukan secara kualitatif dengan metode pendekatan peraturan perundang-undangan dan metode pendekatan konseptual. Kesimpulan yang didapat dari analisis ialah bahwa Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG cenderung masih berupaya mencapai aspek keadilan prosedural. Semangat untuk mengedepankan penegakan hak asasi manusia, khususnya hak beragama dan

berkeyakinan bagi kelompok minoritas, tidak tampak dalam putusan tersebut.

Kata kunci: hak beragama dan berkeyakinan, kelompok minoritas, putusan pengadilan.

ABSTRACT

The rights to freedom of religion and belief has been guaranteed under the Indonesian Constitution, although it is not enough. Enforcement of the right to religion and belief still needs to be supported by other legal instruments, one of which is the court ruling. In that context, Court Decision Number 69/PID.B/2012/PN.SPG is interesting to study. Decision Number 69/PID.B/2012/PN.SPG is closely related to the issue of enforcing the right to embrace religion and belief in Indonesia, especially for minority groups. The focus of the problem in this paper leads to the question of how the substance of Court Decision Number 69/PID.B/2012/PN.SPG is viewed from the perspective of human rights enforcement, especially the rights to freedom (without pressure) of religion and belief. The method of analysis employed is literature study by relying on secondary data. The analysis is conducted qualitatively by the legislation and conceptual approach. From the analysis largely it can be concluded that Court Decision Number 69/PID.B/2012/PN.SPG still tends to grasp the aspect of

PROBLEM MELINDUNGI HAK BERAGAMA DAN BERKEYAKINAN BAGI KELOMPOK MINORITAS MELALUI PENGADILAN

Kajian Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG

THE PROBLEM IN PROTECTING THE RIGHT TO FREEDOM OF RELIGION AND BELIEF FOR THE MINORITY IN COURT OF LAW

Endra WijayaFakultas Hukum Universitas Pancasila

Jl. Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta 12640E-mail: [email protected]

An Analysis of Court Decision Number 69/PID.B/2012/PN.SPG

Naskah diterima: 1 Juli 2017; revisi: 16 Agustus 2017; disetujui 16 Agustus 2017

Page 39: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

136 | Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 135 - 154

procedural justice. The spirit to encourage human rights enforcement, especially religious rights for minority groups is not evident in the decision.

Keywords: the right to freedom of religion and belief, minority, court decision.

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk, termasuk dalam hal agama dan keyakinan. Keberagaman agama dan keyakinan yang ada di masyarakat tidak selamanya mudah untuk diharmoniskan, karena ada kalanya hal tersebut justru menjadi pemicu terjadinya ketegangan antaranggota masyarakat. Untuk merespons kemajemukan dalam masyarakat Indonesia, para tokoh pendiri bangsa telah menetapkan Pancasila menjadi falsafah negara yang dianggap paling sesuai sebagai pemersatu seluruh anggota masyarakat yang memiliki latar belakang yang berbeda-beda. Perumusan Pancasila sebagai dasar negara dilakukan oleh para tokoh pendiri bangsa yang sebagian besar beragama Islam. Hal yang demikian secara implisit menginformasikan bahwa Pancasila itu pada dasarnya tidak bertentangan, tapi sejalan dengan ajaran-ajaran Islam (Ahmad, 2011: 278).

Sejalan dengan hal tersebut di atas, semboyan Bhinneka Tunggal Ika lantas dipilih sebagai spirit pedoman yang mengingatkan dua hal penting kepada seluruh bangsa Indonesia, yaitu: pertama, bangsa Indonesia mengandung (memiliki) keberagaman di dalamnya (poin faktual sosial), dan kedua, untuk dapat menjadi suatu bangsa besar dan kuat, maka masyarakat Indonesia yang beragam itu harus mampu bersatu serta merasa saling senasib sepenanggungan (poin nasionalisme) (Lestari, 2015: 35; Shofa, 2016: 37-38; Widiatmaka, 2016: 27). Selain

Pancasila dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, dalam level yang lebih konkret telah terdapat juga jaminan dalam bentuk pasal-pasal dalam UUD NRI 1945 bagi keberagaman dalam masyarakat Indonesia, termasuk dalam hal agama dan keyakinan (Kadarudin, 2015: 8). UUD NRI 1945 melalui beberapa pasalnya telah mengupayakan jaminan bagi penegakan hak asasi manusia secara konstitusional dalam hal kebebasan untuk memilih dan memeluk suatu agama dan keyakinan tertentu. Pasal-pasal itu ialah Pasal 28E, Pasal 28I, Pasal 28J, dan Pasal 29, yang mana keberadaannya dimaksudkan untuk menjamin sekaligus menjaga agar keberagaman agama dan keyakinan dalam masyarakat Indonesia dapat berjalan harmonis (Abdullah & Wijaya, 2014: 67).

Jaminan secara konstitusional melalui pasal-pasal dalam UUD NRI 1945 tersebut lalu diterjemahkan lagi ke dalam produk hukum (peraturan perundang-undangan) yang lebih rinci, seperti melalui Undang-Undang Nomor 39 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, yang juga memberikan perhatian terhadap kemungkinan munculnya persoalan yang berkaitan dengan agama dan keyakinan. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tersebut memandang persoalan agama sebagai salah satu potensi konflik, baik melalui perseteruan antarumat beragama maupun interumat beragama (Wahyudi, 2013: 3-4). Memang dalam praktiknya, hidup yang harmonis dalam keberagaman merupakan hal yang tidak mudah untuk diwujudkan dalam

Page 40: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

Problem Melindungi Hak Beragama dan Berkeyakinan Bagi Kelompok Minoritas (Endra Wijaya) | 137

masyarakat Indonesia, walaupun sudah ada Pancasila dan UUD NRI 1945.

Kesulitan (kendala) mengelola dan mewujudkan kehidupan harmonis dalam keberagaman agama dan keyakinan di masyarakat Indonesia dapat diindikasikan, antara lain, dari masih adanya praktik diskriminasi (intoleransi) terhadap kelompok agama dan keyakinan tertentu sampai dengan saat ini. Terkait dengan hal tersebut, menurut laporan Setara Institute yang dirilis pada tanggal 29 Januari 2017, sepanjang tahun 2016 terjadi 208 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan dengan 270 bentuk tindakan, yang tersebar di 24 provinsi. Sebagian besar pelanggaran terjadi di Provinsi Jawa Barat, yaitu dengan 41 pelanggaran, peristiwa serupa dengan angka tinggi juga terjadi di Jakarta dengan 31 pelanggaran, dan Jawa Timur dengan 22 pelanggaran (Setara Institute, 2017).

Kesulitan tersebut di atas merupakan masalah yang tentunya perlu diupayakan antisipasi dan solusinya oleh banyak pihak. Dalam konteks bidang hukum, pihak-pihak seperti para pembuat peraturan perundang-undangan (law and policy maker) maupun para aparat penegak hukum (law and policy executor) sudah melakukan beberapa upaya untuk dijadikan sebagai solusi bagi mengatasi masalah mewujudkan kehidupan harmonis dalam keberagaman agama dan keyakinan di masyarakat Indonesia.

Salah satu upaya yang ditempuh oleh aparat penegak hukum, sebagaimana yang akan menjadi fokus dalam tulisan ini, ialah upaya (tindakan) penjatuhan putusan pengadilan oleh hakim dalam perkara pidana yang kasusnya berkaitan dengan permasalahan karena adanya keberagaman agama dan keyakinan di masyarakat Indonesia.

Putusan pengadilan bukanlah semata-mata hanya merupakan bagian akhir dari proses memeriksa dan mengadili (menyelesaikan) perkara hukum. Lebih dari itu, putusan pengadilan dapat pula dipahami sebagai salah satu wujud konkret dari upaya menegakkan hak asasi manusia, sebagaimana telah dijamin oleh konstitusi, melalui tangan para aparat di lingkungan kekuasaan yudikatif. Peran dari para aparat di lingkungan kekuasaan yudikatif, dalam hal ini melalui putusan pengadilan yang dijatuhkannya, tentunya bisa dipahami pula sebagai upaya aktif yang penting untuk dilakukan dalam rangka memperkuat komponen-komponen pembentuk bangunan negara hukum Indonesia.

Sebagaimana diungkapkan dalam kajian Djafar mengenai negara hukum Indonesia, bahwa beberapa komponen pembentuk bangunan negara hukum Indonesia terindikasikan masih berada dalam keadaan yang lemah, terutama komponen-komponen yang berkaitan dengan isu hak asasi manusia. Dalam kajiannya, dipaparkan bahwa gambaran mengenai situasi negara hukum Indonesia dapat dijelaskan keadaan komponen-komponennya sebagai berikut:

1. Jaminan konstitusional: kuat.

2. Pembatasan kekuasaan: sedang.

3. Perlindungan hak asasi manusia: lemah.

4. Akses terhadap keadilan: lemah (Djafar, 2010: 170)

Masih menurut Djafar (2010: 170) yang terjadi dalam konteks saat ini ialah negara, yang salah satunya melalui cabang kekuasaan yudikatifnya, justru melakukan kebijakan “over kriminalisasi” yang telah menyeret ribuan rakyat dari kelompok marginal (kelompok

Page 41: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

138 | Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 135 - 154

rentan) tidak menikmati hak-haknya sebagai warga negara, bahkan menjebloskan mereka ke dalam penjara. Begitu pun dengan kebijakan legislasi yang diterapkan saat ini, memiliki kecenderungan bahwa setiap undang-undang yang mengatur publik akan selalu disertai dengan sanksi pidana yang samar pengaturannya, sehingga tumbuh menjadi “pasal karet,” yang mudah disalahgunakan. Dengan kata lain, ada kecenderungan bahwa hukum memang tidak diciptakan untuk melindungi mereka yang termasuk sebagai kelompok rentan.

Memperhatikan bahwa sudah kuatnya jaminan yang diberikan melalui konstitusi, namun belum dibarengi dengan kuatnya praktik perlindungan hak asasi manusia serta akses terhadap keadilan, maka yang diperlukan kemudian ialah upaya untuk membuat kedua poin yang masih lemah tersebut menjadi lebih kuat. Pada poin itulah perihal aktivitas hakim memeriksa, mengadili, dan menjatuhkan putusan menjadi penting pula untuk diperkuat dalam rangka untuk menegakkan hak asasi manusia secara lebih maksimal.

Sehubungan dengan paparan tersebut di atas, maka perkara pada Pengadilan Negeri Sampang dengan Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG menjadi menarik untuk dicermati. Latar belakang peristiwa dari Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG berkaitan erat dengan peran pengadilan yang sebenarnya juga potensial untuk mendorong tegaknya hak asasi manusia dalam beragama dan berkeyakinan. Dengan bertempat di sekitar wilayah yang menjadi wewenang Pengadilan Negeri Sampang, perkara ini mendudukkan TM sebagai terdakwa dari tindak pidana penodaan agama. TM merupakan tokoh agama bermazhab Syiah, yang keyakinan mazhabnya itu termasuk ke dalam kategori kelompok minoritas.

Dalam pertimbangan hukumnya, secara umum dapat dikatakan bahwa majelis hakim dalam perkara ini telah “mengadili” apa yang menjadi keyakinan terdakwa TM, hal mana sebenarnya merupakan hak yang sudah dijamin di dalam Konstitusi Indonesia. Amar dalam Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG ini pada akhirnya membebankan pidana penjara kepada TM. Dan tentunya dengan adanya Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG ini menjadi sinyal bahwa upaya penegakan hak asasi manusia dalam beragama dan berkeyakinan, khususnya bagi kelompok minoritas di Indonesia, masih harus menempuh “perjalanan panjang yang berliku.”

B. Rumusan Masalah

Kajian terhadap suatu putusan pengadilan bisa diarahkan kepada beberapa hal yang ada pada putusan tersebut. Apabila merujuk pada kajian yang dilakukan oleh Susanto (2005: 144-145) maupun oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia (2014: 8), maka ada tiga hal yang dapat diamati dari suatu putusan pengadilan. Ketiga hal itu ialah berhubungan dengan soal efektivitas, efisiensi, dan kejujuran yang terkandung dalam putusan pengadilan. Dalam tulisan ini, dengan mempertimbangkan beberapa hal teknis, maka yang akan menjadi fokus pembahasan lebih lanjut hanya akan dibatasi pada hal-hal yang termasuk dalam lingkup soal efektivitas dari suatu putusan pengadilan. Dan, poin efektivitasnya tersebut juga akan dibahas secara terbatas, yaitu hanya dalam konteks upaya penegakan hak asasi manusia untuk beragama dan berkeyakinan.

Kajian Susanto (2005: 144-145) dan Komisi Yudisial Republik Indonesia (2014: 8) memaparkan bahwa yang dimaksud dengan persoalan efektivitas pengadilan ialah persoalan

Page 42: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

Problem Melindungi Hak Beragama dan Berkeyakinan Bagi Kelompok Minoritas (Endra Wijaya) | 139

penilaian dalam segi apakah pengadilan bisa mencapai tujuan untuk apa ia didirikan. Persoalan efektivitas ini lantas berhubungan erat dengan kemampuan pengadilan untuk menjadi pilar hukum, yaitu kemampuannya untuk benar-benar menjawab kegelisahan masyarakat.

Berdasarkan pembatasan tersebut, pokok permasalahan yang akan dibahas lebih lanjut dalam kajian ini adalah:

1. Bagaimanakah substansi Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG dilihat dari perspektif penegakan hak asasi manusia, khususnya hak asasi manusia untuk secara bebas (tanpa tekanan) memeluk suatu agama dan keyakinan?

2. Sudahkan putusan tersebut ikut berkontribusi secara positif dalam upaya penegakan hak asasi manusia, terutama bagi kelompok agama dan keyakinan minoritas?

C. Tujuan dan Kegunaan

Jika dihubungkan dengan rumusan masalah, maka tujuan yang hendak dicapai melalui pembahasan dalam tulisan ini ialah untuk mendapatkan pengetahuan dan pemahaman mengenai substansi Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG dilihat dari perspektif penegakan hak asasi manusia, terutama hak untuk memeluk suatu agama dan keyakinan. Termasuk, diharapkan pula akan diketahui apakah putusan tersebut sudah atau belum berkontribusi secara positif terhadap upaya penegakan hak asasi manusia, khususnya bagi kelompok agama dan keyakinan minoritas.

Kajian dalam tulisan ini juga diharapkan akan membawa kegunaan (manfaat), antara lain, berupa:

1. Semakin diperolehnya pemahaman yang lebih komprehensif terhadap objek Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG, yang untuk beberapa pihak, seperti para pemerhati isu-isu hak asasi manusia, menarik untuk dicermati. Hal tersebut mengingat Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG berhubungan erat dengan isu perlindungan hak untuk beragama dan berkeyakinan bagi kelompok minoritas di Indonesia.

2. Melengkapi kajian yang sudah ada sebelumnya yang objeknya juga berupa Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG, sebagaimana nanti akan dijelaskan lebih lanjut dalam tulisan ini.

3. Memberikan sedikit tambahan pengetahuan mengenai bagaimana substansi Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG jika dilihat dari perspektif penegakan hak asasi manusia, khususnya hak asasi manusia untuk secara bebas (tanpa tekanan) memeluk suatu agama dan keyakinan, terutama bagi kelompok minoritas.

D. Tinjauan Pustaka

Dua variabel yang akan dielaborasi keterkaitannya dalam kajian ini ialah variabel putusan pengadilan dan hak asasi manusia, khususnya hak-hak untuk beragama dan berkeyakinan. Oleh karena itu, kajian terdahulu yang akan dipaparkan adalah beberapa kajian yang materinya mengenai kedua variabel dimaksud.

Putusan pengadilan sudah tidak bisa lagi dipahami hanya sebagai tahap akhir dari suatu sengketa hukum yang terjadi. Tetapi lebih dari

Page 43: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

140 | Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 135 - 154

itu, putusan pengadilan sebenarnya memiliki banyak makna atau peran. Berikut ini akan dicoba dijelaskan beberapa makna atau peran dari putusan pengadilan tersebut:

Pertama, putusan pengadilan dapat dipahami sebagai tahap akhir dari suatu sengketa hukum, terutama bagi putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (Latifiani, 2015: 20). Tumpa berpendapat bahwa putusan hakim merupakan bagian akhir dari suatu sengketa yang diperiksa melalui serangkaian acara di muka persidangan di pengadilan. Putusan hakim itu juga sekaligus menjadi titik tumpu dari suatu eksekusi yang tujuannya akan menyudahi sengketa yang terjadi antara para pihak (Tumpa, 2010: 1 dan 6). Pengertian putusan pengadilan seperti ini dapat dipahami sebagai pengertian yang “klasik” dan cenderung “sempit.”

Salah satu alasan mengapa pengertian putusan pengadilan yang memosisikannya hanya sebagai hasil akhir sengketa hukum dikatakan sempit ialah karena pengertian seperti itu menempatkan putusan pengadilan hanya berpengaruh terhadap para pihak yang terlibat langsung dengan sengketa hukum yang terjadi. Hal seperti ini lazimnya berlaku dalam sistem hukum acara pada peradilan umum untuk perkara perdata (Tjandra, 2009: 79). Mengenai dampak putusan pengadilan tersebut di luar para pihak yang terlibat, misalnya kepada pihak masyarakat umum, yang berarti ini juga ialah berdampak sosial, pendapat yang pertama ini tidak memperhatikannya. Padahal, dalam praktiknya, memperlihatkan pula bahwa suatu putusan pengadilan yang awalnya hanya ditujukan langsung bagi para pihak yang bersengketa, setelah putusan tersebut diputus justru ternyata membawa pengaruh (berdampak) juga kepada pihak lain di luar sengketa (memiliki dampak

sosial). Alur berpikir yang demikian itulah yang diadopsi ke dalam bidang hukum acara peradilan tata usaha negara dan juga Mahkamah Konstitusi melalui asas erga omnes.

Asas erga omnes dalam sistem peradilan tata usaha negara adalah asas yang menyatakan bahwa putusan pengadilan juga memiliki daya berlaku dan mengikat secara publik, di samping mengikat para pihak yang bersengketa (Tjandra, 2009: 73; Marbun, 2011: 233-234; Abdoellah, 2016: 115; Suwito, 2016: 87). Hal yang serupa juga diterapkan dalam sistem pengujian undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi, di mana Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara pengujian undang-undang mengikat semua komponen bangsa, baik penyelenggara negara maupun warga negara (Gumbira, 2016: 116).

Kedua, putusan pengadilan dapat pula dipahami sebagai instrumen yang potensial memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Dalam penelitian yang telah dipublikasikan dalam bentuk buku yang berjudul “Pancasila dalam Putusan Mahkamah Konstitusi: Kajian terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara yang Berkaitan dengan Perlindungan Hak Kelompok Marjinal,” Arizona, Wijaya, & Sebastian (2014: 106) menyimpulkan bahwa putusan pengadilan, yang dalam penelitian mereka tertuju pada Putusan Mahkamah Konstitusi, sesungguhnya memiliki peran yang sangat potensial untuk dapat melindungi hak asasi manusia. Walaupun memang dalam praktiknya belum bisa diwujudkan secara maksimal Jaminan hak asasi manusia yang sudah diberikan oleh konstitusi sebenarnya belumlah bisa dikatakan cukup untuk dapat benar-benar melindungi hak asasi manusia setiap warga negara. Sebagaimana kajian dari McGann, ia menjelaskan bahwa konstitusi belum bisa secara pasti dan nyata

Page 44: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

Problem Melindungi Hak Beragama dan Berkeyakinan Bagi Kelompok Minoritas (Endra Wijaya) | 141

melindungi hak-hak asasi manusia, dan oleh karena itu, maka jaminan perlindungan hak asasi manusia masih memerlukan tindakan nyata lainnya, seperti tindakan nyata dari lembaga-lembaga pemerintah atau pengadilan (McGann, 2006: 104-105). Pada poin inilah kemudian peran dari hakim di pengadilan akan memiliki arti yang penting pula untuk ikut menegakkan nilai-nilai hak asasi manusia yang telah dijamin melalui konstitusi (Isra, 2014: 426; Eddyono, 2015: 144).

Sejalan dengan penjelasan di atas, Ginsburg (2003: 32-33) dalam kajiannya mengenai peran Mahkamah Konstitusi di beberapa negara di Asia, dalam salah satu bab pada kajiannya tersebut, juga menyimpulkan (mengungkapkan) bahwa lembaga (mekanisme) judicial review benar-benar dapat menjadi salah satu tumpuan kelompok minoritas untuk melindungi kepentingan mereka yang sebenarnya telah dijamin secara konstitusional. Melalui kajian Ginsburg, secara implisit, dapat dipahami bahwa melalui aktivitas memeriksa, mengadili, dan memutus melalui putusannya, hakim di pengadilan bisa berperan sebagai semacam aktor “penjamin (asuransi)” hak-hak konstitusional dari minoritas. Ginsburg (2003: 25) menyebut hal tersebut dengan istilah “insurance model of judicial review.”

Dari paparan tersebut di atas, dapat dipahami bahwa keberadaan putusan pengadilan selain memang mengemban fungsi untuk menyelesaikan sengketa, ternyata juga memiliki fungsi sebagai salah satu sarana untuk menegakkan (mewujudkan) secara nyata jaminan hak-hak asasi manusia sebagaimana tercantum dalam konstitusi. Sudah ada beberapa kajian yang dilakukan oleh penulis lain yang objek penelitiannya berupa Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG, dan berikut ini ialah paparan dua kajian tersebut secara singkat:

Subki, Muntahaa, & Azizah (2014: 54-65) dalam kajiannya yang berjudul “Analisis Yuridis Tindak Pidana Penodaan Agama (Putusan Pengadilan Negeri Sampang Nomor: 69/PID.B/2012/PN.SPGg)” menyoroti perihal bagaimana perkara tindak pidana penodaan agama dengan terdakwa TM diselesaikan secara yuridis prosedural, dan dihubungkan pula dengan persoalan tujuan pemidanaan. Namun demikian, analisis kajian dari para peneliti tersebut belum menggali lebih jauh keterkaitan antara isu hak asasi manusia dengan perkara pada Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG. Celah pada pembahasan mengenai isu hak asasi manusia itulah yang coba diangkat oleh penulis melalui tulisan kali ini.

Kajian dari Jufri (2016: 102-110) dengan judul “Analisis Putusan Pengadilan Negeri Sampang Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG. Perspektif Hak Kebebasan Beragama di Indonesia” membahas mengenai apakah Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG mengenyampingkan prinsip-prinsip hak kebebasan dan berkeyakinan. Melalui kajian itu, penulis sudah mencoba menghubungkan Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG dengan persoalan mengenai hak asasi manusia, dan dengan menggunakan metode pendekatan normatif yang merujuk kepada UUD NRI 1945, Undang-Undang Nomor 39 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, serta metode pendekatan konseptual yang difokuskan kepada konsep negara hukum.

Hal yang belum dieksplorasi lebih jauh di dalam kajian dari Jufri tersebut ialah pembahasan yang mendudukkan (meletakkan) putusan pengadilan, dalam hal ini Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG, sebagai salah satu instrumen untuk menegakkan hak asasi manusia.

Page 45: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

142 | Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 135 - 154

Pada poin itulah terdapat perbedaan antara kajian yang dilakukan oleh Jufri dengan kajian yang dilakukan oleh penulis dalam tulisan ini.

II. METODE

Dalam melakukan analisis, penulis menggunakan metode kajian kepustakaan dengan bersandar pada data sekunder. Sehubungan dengan data sekunder tersebut, penulis kemudian merujuk pada beberapa jenis bahan hukum, terutama bahan hukum primer, yang berupa putusan pengadilan serta beberapa peraturan perundang-undangan, dan bahan sekunder, yang berupa kajian dari para sarjana yang telah dipublikasikan dalam bentuk buku serta tulisan di jurnal. Untuk melengkapi pembahasan, penulis juga akan mengungkapkan informasi yang sebenarnya telah penulis dapatkan pada tahun 2013 melalui wawancara dengan narasumber yang relevan, yang saat diwawancarai sedang menjabat sebagai salah seorang pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat. Informasi tersebut belum pernah penulis publikasikan, dan dalam tulisan ini, informasi itu akan penulis hubungkan dengan sebagian poin penjelasan pada bagian analisis.

Objek berupa Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG akan dianalisis secara kualitatif beberapa bagiannya, terutama bagian pertimbangan hukum dengan menghubungkannya pada beberapa peraturan perundang-undangan dan konsep atau pendapat sarjana yang relevan.Jika dicoba dimasukkan ke dalam kategori pembagian metode pendekatan dalam melakukan analisis, maka metode pendekatan yang digunakan oleh penulis dalam tulisan ini ialah termasuk dalam kategori metode pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Posisi Kasus dalam Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG

Perkara dalam Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG terjadi di Dusun Nangkrenang, Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben, Kabupaten Sampang, Jawa Timur. Terdakwa dalam perkara ini ialah TM yang merupakan seorang tokoh agama (guru agama) dan bertempat tinggal di Dusun Nangkrenang. TM mempunyai banyak pengikut atau murid (santri) di lingkungan sekitar tempat ia menetap.Mayoritas penduduk di Dusun Nangkrenang dan sekitarnya merupakan orang-orang yang memeluk agama Islam (muslim). Namun, dari sudut mazhab, penduduk daerah tersebut secara garis besar dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu pemeluk mazhab Sunni dan mazhab Syiah.

Terdakwa TM pada hari dan tanggal yang tidak dapat ditentukan dengan pasti antara tahun 2003 sampai dengan 29 Desember 2011, atau setidak-tidaknya pada waktu lain antara tahun 2003 sampai dengan tahun 2011, bertempat di Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben, Kabupaten Sampang, dan di Desa Kampung Gedding Laok Desa Blu’uran, Kecamatan Karang Penang, Kabupaten Sampang atau pada tempat di mana Pengadilan Negeri Sampang berwenang memeriksa dan mengadili, didakwa telah dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia, dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Tindak pidana yang didakwakan kepada TM merupakan serangkaian perbuatan yang dapat

Page 46: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

Problem Melindungi Hak Beragama dan Berkeyakinan Bagi Kelompok Minoritas (Endra Wijaya) | 143

dijelaskan secara ringkas sebagai berikut: TM yang telah lulus belajar dari Arab Saudi selama enam tahun, pada tahun 2003 mulai mengajarkan (menerapkan ajaran yang dipahaminya) kepada beberapa santri yang sebelumnya telah menjadi santri di sebuah pondok pesantren. Ajaran yang diajarkan oleh TM lambat laun mulai dicurigai oleh beberapa pihak sebagai ajaran yang menyimpang dari agama Islam.

Penyampaian ajaran tersebut dilakukan TM di sebuah rumah di Dusun Nangkrenang, Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben, Kabupaten Sampang, yang digunakan untuk belajar mengaji dan sekaligus sebagai tempat TM menyampaikan ajaran-ajarannya di hadapan para pengikut atau santrinya. Selain itu, juga penyampaian ajaran-ajaran TM dilakukan di Masjid Banyuarrum Desa Blu’uran, Kecamatan Karang Penang, Kabupaten Sampang, pada saat ada perkumpulan dengan para pengikutnya yang biasanya diadakan setiap malam Jumat dan malam Selasa, sedangkan untuk kegiatan di luar pondok pesantren TM, biasanya pada acara khusus yang dilakukan tiga kali pada setiap tahunnya pada bulan Syuro, Safar, dan Dzulhijjah.

Masyarakat di sekitar tempat TM menyebarkan ajaran tersebut lalu menjadi resah, baik para ulama, para kiai, dan tokoh masyarakat, sehingga terjadi pertentangan (konflik) antara ajaran yang disampaikan TM dengan ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Sunni) yang pada umumnya dianut oleh masyarakat Sampang. Para ulama, para kiai dan tokoh masyarakat lalu menganggap bahwa TM telah melukai perasaan umat Islam karena telah mengajarkan ajaran yang menyimpang dari agama Islam, hal mana sebagaimana dicantumkan dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Sampang Nomor A-035/MUI/Spg/I/2012 tanggal 1

Januari 2012 yang menyatakan bahwa ajaran yang disebarluaskan oleh TM ialah sesat dan menyesatkan, serta ajaran yang disebarluaskan oleh TM merupakan penistaan dan penodaan terhadap agama Islam.

Perbuatan terdakwa TM tersebut sudah dianggap memenuhi unsur-unsur delik, sehingga TM didakwa dengan ketentuan sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Atau, sebagai dakwaan alternatif yang kedua, TM telah didakwa dengan melawan hak memaksa orang lain untuk melakukan, tidak melakukan atau membiarkan barang sesuatu apa dengan kekerasan, dengan sesuatu perbuatan lain ataupun dengan perbuatan yang tidak menyenangkan atau dengan ancaman kekerasan, ancaman dengan sesuatu perbuatan lain, ataupun ancaman dengan perbuatan yang tidak menyenangkan akan melakukan sesuatu itu baik terhadap orang itu maupun terhadap orang lain. Perbuatan terdakwa TM tersebut ialah sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 335 ayat (1) ke-1 KUHP.

Penuntut umum menyusun dakwaan secara alternatif, yaitu dakwaan kesatu, terdakwa TM didakwa melanggar Pasal 156a KUHP, atau dalam dakwaan kedua, terdakwa TM didakwa melanggar Pasal 335 ayat (1) KUHP. Sebagaimana lazimnya dalam praktik, terhadap dakwaan yang bersifat alternatif, majelis hakim dalam perkara ini memiliki kebebasan untuk menentukan dakwaan mana yang akan dipertimbangkan yang dipandang paling mendekati dengan fakta hukum yang terungkap di persidangan. Pada intinya, dalam pertimbangan hukumnya setelah melalui serangkaian pemeriksaan di muka persidangan, majelis hakim berpendapat bahwa terdakwa TM telah terbukti dengan sengaja di muka umum

Page 47: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

144 | Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 135 - 154

melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia, atau dengan kata lain, terdakwa TM sudah memenuhi semua unsur dalam Pasal 156a KUHP sebagaimana yang menjadi dakwaan kesatu dari penuntut umum. Oleh karena dakwaan kesatu telah terbukti, maka dakwaan keduanya tidak perlu dipertimbangkan lagi.

Berdasarkan pertimbangan hukum yang telah dirumuskan, maka kemudian pada amar putusannya majelis hakim menjatuhkan putusan sebagai berikut:

1. Menyatakan terdakwa TM alias H. AM terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat penodaan terhadap agama Islam.”

2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama dua tahun.

3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.

4. Menetapkan agar terdakwa tetap berada dalam tahanan.

5. Memerintahkan agar barang-barang bukti dalam perkara ini tetap terlampir dalam berkas perkara.

6. Membebankan biaya perkara kepada terdakwa.

Perkara yang diperiksa di Pengadilan Negeri Sampang yang telah diputus dengan Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG itu lalu dimintakan upaya hukum lanjutannya, yaitu upaya hukum banding di Pengadilan Tinggi Surabaya, dan kasasi di Mahkamah Agung. Dalam upaya

hukum terhadap perkara ini, Pengadilan Tinggi Surabaya sudah menjatuhkan Putusan Nomor 481/PID/2012/PT.SBY, dan Mahkamah Agung menjatuhkan Putusan Nomor 1787 K/PID/2012. Namun, secara garis besar, kedua tingkat upaya hukum tersebut menghasilkan putusan yang relatif sama, yaitu tetap menjatuhkan pidana penjara kepada TM. Bahkan, pada pemeriksaan tingkat banding, majelis hakim di Pengadilan Tinggi Surabaya dalam perkara ini menjadikan pidana penjara yang dijatuhkan kepada TM menjadi empat tahun penjara.

B. Analisis

Dari hal-hal yang sudah dipaparkan di atas, terdapat beberapa hal yang menarik untuk dicermati lebih lanjut. Untuk mempermudah pembahasan, maka analisis akan disajikan, namun dibatasi dan diarahkan, kepada hal-hal berikut:

Pertama, objek yang dikaji ialah hanya Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG. Putusan pada tingkat banding dan kasasi dalam perkara ini tidak akan dibahas secara detil mengingat substansi amar putusan dari kedua putusan tersebut cenderung sama dengan substansi Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG sebagai pengadilan tingkat pertama. Sekilas terkesan bahwa Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG secara prosedural telah memenuhi syarat-syarat yang diperlukan bagi penyelesaian suatu perkara pidana melalui mekanisme pemeriksaan di pengadilan (di muka persidangan). Semua syarat yang harus dimuat di dalam putusan pengadilan (syarat formal), sebagaimana diatur dalam Pasal 197 jo. Pasal 199 KUHAP sudah dipenuhi. Sebagai bagian dari proses memeriksa dan mengadili perkara di pengadilan, pengambilan suatu putusan pengadilan terlebih dulu harus

Page 48: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

Problem Melindungi Hak Beragama dan Berkeyakinan Bagi Kelompok Minoritas (Endra Wijaya) | 145

melalui beberapa proses, yang meliputi pemeriksaan saksi, pemeriksaan terdakwa, dan pemeriksaan barang bukti. Dalam perkara ini, majelis hakim telah melakukan pemeriksaan di muka persidangan, dan sudah juga didukung oleh beberapa alat bukti yang sah, sebagaimana diatur dalam Pasal 183 jo. Pasal 185 KUHAP.

Dalam pemeriksaan, ada beberapa poin dakwaan yang memang terbukti, namun ada pula yang tidak terbukti dengan mengingat keberadaan beberapa alat bukti yang dihadirkan di muka persidangan. Poin-poin dakwaan yang dianggap terbukti oleh majelis hakim, antara lain, tertuju kepada persoalan ajaran dari TM mengenai:

1. Rukun Iman ada lima, yaitu: tawhidullah/ma’rifatullah, annubuwwah (kenabian), al-imamah (ke-imamah-an), al-‘adl (keadilan Tuhan), al-ma’aad (hari pembalasan);

2. Rukun Islam ada delapan, yaitu: shalat, puasa, zakat, khumus, haji, amar ma’ruf nahi mungkar, jihad, dan al-wilayah.

Mengenai dianggap terbuktinya poin dakwaan itu agak sulit untuk ditemukan penjelasan (analisis) dari majelis hakim yang mendalam terhadap hal itu di dalam Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG. Kedua poin dakwaan yang dianggap terbukti oleh majelis hakim tersebut, jika dibaca dari isi Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG, merupakan dua poin dakwaan dari rangkaian delapan poin dakwaan yang menyasar ajaran yang dianggap diyakini dan diajarkan oleh TM. Mengenai dakwaan terhadap ajaran TM itu, lengkapnya ialah berbunyi sebagai berikut (Putusan Nomor 69/Pid.B/2012/PN.Spg: 89-90):

“Menimbang, bahwa dalam surat dakwaannya penuntut umum mendakwa terdakwa telah menyampaikan ajaran yang

pada pokoknya sebagai berikut:

a. Kitab suci Al Quran yang berada di tangan kaum muslimin saat ini tidak otentik (istilahnya aqidah tahrif Al Quran), yang otentik sedang dibawa oleh Imam al-Mahdi al-Muntadhor yang sekarang ini ghaib;

b. Dua kalimat syahadat yang ditambah dengan: “wa asyhadu anna aliyyan waliyyullah wa asyhadu anna aliyyan hujjatullah”;

c. Wajib mengkafirkan sahabat-sahabat dan para mertua serta beberapa istri Nabi Muhammad SAW;

d. Wajib berbohong atau ber-taqiyah terhadap kaum muslimin Ahli Sunnah Waljama’ah;

e. Rukun Iman ada lima, yaitu: tawhidullah/ma’rifatullah, an-nubuwwah (kenabian), al-imamah (ke-imamah-an), al-‘adli (keadilan Tuhan), dan al-ma’aad (hari pembalasan);

f. Rukun Islam ada delapan yaitu: sholat, shoum (puasa), zakat, khumus, haji, amar ma’ruf nahi munkar, jihad, dan al-wilayah;

g. Al-fidha;

h. Ar-roji’ah; …

Menimbang, bahwa mengenai dakwaan bahwa terdakwa telah menyampaikan ajaran: “dua kalimat syahadat yang ditambah dengan “waasyhaduanna aliyyan waliyyullah wa asyhadu anna aliyyan hujjatullah,” wajib mengkafirkan sahabat-sahabat dan para mertua serta beberapa istri Nabi Muhammad SAW, al-fidha, dan ar-roji’ah,” majelis hakim memandang tidak cukup bukti, mengingat hal tersebut hanya didasarkan pada keterangan saksi RA dan saksi tersebut tidak disumpah, sehingga tidak memenuhi ketentuan minimum dua alat bukti yang sah; …” (huruf italic dan bold dari penulis).

Jika diamati seluruh isi Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG, majelis hakim yang

Page 49: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

146 | Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 135 - 154

memeriksa dan mengadili perkara memang sudah mengajukan argumentasi yang dirumuskan secara, di satu sisi, “menyetujui” dakwaan, dan sekaligus di sisi lain, “menolak” dakwaan dari jaksa penuntut umum dengan mempertimbangkan keberadaan alat-alat bukti yang dihadirkan di persidangan.

Argumentasi seperti itu tentunya dapat dipahami mengingat majelis hakim sedang menghadapi perkara yang cukup kompleks, baik dari perspektif pengetahuan bidang agama, sosial, maupun dari perspektif yuridis. Bahkan sebagaimana kajian dari Jufri, ia menduga bahwa dalam rangkaian proses persidangan perkara ini ada beberapa bentuk upaya untuk memengaruhi secara sistematis jalannya proses persidangan. Jufri (2016: 108) menyebut bentuk-bentuk upaya seperti itu dengan istilah upaya “hegemoni mayoritas.” Dapat diamati pula melalui isi Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG ialah masih belum maksimalnya majelis hakim mengeksplorasi lebih dalam informasi dari beberapa alat bukti yang dihadirkan dalam persidangan, misalnya yang bersumber dari pendapat dari para ahli bidang agama dan literatur (bahan hukum sekunder), seperti Risalah Amman dan buku “Sunnah-Syiah, Bergandeng Tangan! Mungkinkah,” yang juga menjadi barang-barang bukti.

Hal yang baru saja dipaparkan di atas tampak sejalan dengan pendapat dari Bredemeier, yang dikutip dalam kajian Susanto, di mana ia menyayangkan banyaknya hasil penelitian yang telah dihasilkan oleh para ahli namun hasil penelitian tersebut “tetap saja tersimpan dan tertinggal rapat-rapat dalam tembok kamar fakultas-fakultas hukum dan di dalam majalah hukum…” (Susanto, 2005: 148), atau dengan kata lain, bahan-bahan itu tidak dijadikan sebagai

rujukan yang memadai dalam proses mengadili di pengadilan.

Kedua, saat majelis hakim membahas beberapa fakta hukum yang penting untuk dapat membuktikan bahwa TM memang benar telah “melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat penodaan terhadap agama Islam” terkesan masih terdapat kelemahan pada argumentasi yang dibangun oleh majelis hakim. Dalam salah satu bagian pertimbangan hukumnya, majelis hakim merumuskan bahwa:

“Menimbang, bahwa mengenai ajaran tentang Rukun Iman dan Rukun Islam, majelis sependapat dengan penasihat hukum terdakwa yang mendasarkan pada keterangan ahli Dr. Zaenal Abidin Bagir, M.A., Dr. Umar Shahab, M.A., dan Prof. Dr. Zainun Kamal, M.A., serta barang bukti dan surat bukti buku Risalah Ammandan buku Sunnah-Syiah, Bergandeng Tangan! Mungkinkah (penulis M. Quraish Shihab) yang pada pokoknya menyatakan bahwa rumusan lima Rukun Iman dan delapan Rukun Islam secara subtansi ada kesamaan dengan rumusan enam Rukun Iman dan lima Rukun Islam yang secara umum dikenal oleh umat Islam Indonesia, perbedaan jumlah tersebut lebih pada perbedaan pandangan dan tafsir atas Al Quran dan Hadis Nabi;

Menimbang, bahwa mengenai perbuatan terdakwa menyampaikan atau mengajarkan bahwa Al Quran yang ada sekarang tidak asli (tidak orisinil), majelis memandang bahwa perbuatan terdakwa tersebut telah jelas merendahkan, mengotori dan merusak keagungan Al Quran, mengingat sebagaimana menjadi pengetahuan umum, bahwa Al Quran merupakan kitab suci bagi umat Islam yang terjaga kemurniannya karena sudah dijamin pemeliharaan (kemurniannya) oleh Allah SWT, sebagaimana disebutkan dalam Al Quran Surat Al-Hijr [15] ayat 9;…”

Kutipan pertimbangan hukum tersebut merupakan salah satu bagian di mana majelis

Page 50: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

Problem Melindungi Hak Beragama dan Berkeyakinan Bagi Kelompok Minoritas (Endra Wijaya) | 147

hakim berupaya untuk berargumentasi bahwa TM telah benar-benar melakukan tindak penodaan terhadap agama Islam. Namun demikian, jika dicermati, maka sebenarnya pertimbangan hukum itu mengandung beberapa kelemahan sebagai berikut: Dalam Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG ternyata majelis hakim tidak mengelaborasi konsep penodaan, terutama dalam kaitannya dengan aktivitas agama dan keyakinan yang ada di masyarakat. Elaborasi terhadap konsep penodaan menjadi sangat penting untuk dilakukan mengingat perkara yang sedang diadili ini merupakan perkara dugaan tindak pidana penodaan terhadap agama Islam. Dan juga sebagaimana sudah menjadi fakta historis dan sosial, di level pemeluk agama Islam terjadi (terdapat) banyak mazhab (aliran) yang cenderung disalahpahami eksistensinya.

Sehubungan dengan fakta keberagaman mazhab dalam umat Islam tersebut, maka ketergesa-gesaan atau ketidakcermatan dalam memahami konsep penodaan dapat berakibat dengan mudahnya mazhab tertentu dianggap negatif (sesat). Penulis mendapat kesan bahwa majelis hakim dalam perkara ini telah pula melakukan simplifikasi atas konsep penodaan, bahkan dengan “menyamakan” makna antara konsep penodaan (agama) dan konsep perbedaan (mazhab).

Simplifikasi dengan “menyamakan” makna antara konsep penodaan (agama) dan konsep perbedaan (mazhab) tentunya dapat berakibat pada menafikan fakta adanya perbedaan dalam tubuh umat Islam, bahkan cenderung dapat mengecap salah (sesat) mazhab tertentu. Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG memperlihatkan hal yang demikian, di mana pada akhirnya TM yang bermazhab Syiah dinyatakan telah melakukan penodaan terhadap agama Islam. Jika majelis

hakim mau kembali merujuk kepada Risalah Amman dan buku “Sunnah-Syiah, Bergandeng Tangan! Mungkinkah” yang sudah diajukan sebagai alat bukti dalam persidangan perkara ini, maka ketergesa-gesaan atau ketidakcermatan dalam memahami konsep penodaan bisa dihindari. Di dalam kedua dokumen itu dijelaskan fakta-fakta bahwa memang di dalam tubuh umat Islam itu terdapat perbedaan mazhab, antara lain yaitu mazhab Sunni dan Syiah (Shihab, 2014: 35-36). Dan terhadap kenyataan adanya mazhab-mazhab tersebut, sedang terus diupayakan pendekatan untuk mewujudkan keadaan “saling berdialog” di antara keduanya, bukan malah justru saling menyalahkan (Shihab, 2014: 264-268).

Kelemahan selanjutnya yang dapat dicermati pada pertimbangan hukum yang telah dikutip tersebut di atas ialah berkaitan dengan dakwaan bahwa TM sudah menyampaikan atau mengajarkan bahwa Al Quran yang ada sekarang tidak asli (tidak orisinil). Terkait dengan hal tersebut, majelis hakim kembali tidak melakukan elaborasi mengenai poin dakwaan itu, dan langsung melompat pada simpulan bahwa TM telah jelas-jelas merendahkan, mengotori, dan merusak keagungan Al Quran.

Dasar argumentasi dari majelis hakim mengenai poin tersebut hanya bersandarkan pada keterangan saksi-saksi yang diajukan oleh penuntut umum dan beberapa barang bukti berupa surat-surat. Lantas, bagaimanakah Al Quran “versi asli” sesuai keyakinannya TM? Mengenai hal itu, baik majelis hakim maupun penuntut umum, tidak dapat menghadirkannya di muka persidangan. Sehubungan dengan problem “keaslian” Al Quran tersebut, yang biasanya dilekatkan kepada mereka yang bermazhab Syiah, kiranya menarik untuk dicermati pula penjelasan yang penulis peroleh dari wawancara

Page 51: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

148 | Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 135 - 154

terhadap seorang narasumber yang relevan, di mana ia menjelaskan bahwa, “Saya pernah bawa asisten saya untuk pergi ke Iran dan mencari semua Al Quran yang ada di tiap-tiap daerah di sana. Sampai ada sepuluh Al Quran yang dibawa. Dan semuanya sama dengan Al Quran kita…” (wawancara, 2013). Oleh karena itulah, maka tentu akan lebih menarik lagi jika dalam Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG, majelis hakim melakukan penggalian yang lebih mendalam mengenai problem “keaslian” Al Quran yang didakwakan kepada terdakwa TM.

Upaya pihak terdakwa TM untuk menghadirkan saksi-saksi dan barang bukti berupa Al Quran dalam menyangkal dakwaan telah merendahkan, mengotori dan merusak keagungan Al Quran pun tidak dapat diterima oleh majelis hakim. Al Quran yang diajukan sebagai barang bukti oleh TM dianggap oleh majelis hakim sebagai “tidak serta-merta dapat menjadi bukti,” sedangkan saksi-saksi yang diajukan oleh TM juga dianggap tidak dapat dipercaya keterangannya, karena majelis hakim langsung mengaitkan mereka dengan ajaran taqiyah.

Ketiga, potensi dampak dikeluarkannya Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG terhadap persoalan penegakan hak asasi manusia, khususnya hak asasi manusia untuk beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Substansi perkara dalam Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG sangat berhubungan dengan persoalan kemerdekaan untuk memeluk agama dan keyakinan, sebagaimana telah diatur dalam Pasal 28E, Pasal 28I, Pasal 28J, dan Pasal 29 UUD NRI 1945. Di satu sisi, terdakwa TM yang merupakan pemeluk mazhab Syiah, karena ajaran yang ia pahami dan ia ajarkan kepada para pengikut dan santrinya, menjadikan ia diadili dan dijatuhi putusan pidana karena dianggap terbukti

melakukan tindak pidana “melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat penodaan terhadap agama Islam.” Pada poin ini, dapat terkesan bahwa proses hukum yang dikenakan terhadap TM merupakan proses mengadili apa yang menjadi keyakinan (mazhab yang dipeluk) TM. Pada sisi yang lain, jaksa penuntut umum merespons (menjawab) keresahan sebagian masyarakat, yang apabila dicermati dalam perkara ini dapat dipahami bahwa mereka berpaham Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Sunni), melalui dakwaan terhadap TM, yang mana dakwaannya mengarah kepada tindak pidana penodaan agama sebagaimana diatur dalam Pasal 156a KUHP, dan juga tindak pidana yang diatur dalam Pasal 335 ayat (1) KUHP.

Dari paparan tersebut, dapat dipahami pula, bahwa perkara pada Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG, mau tidak mau, bersinggungan dengan problem hubungan antarmazhab yang ada di dalam tubuh umat Islam, yaitu mazhab Sunni yang pemeluknya mayoritas dan Syiah yang pemeluknya minoritas, khususnya dalam konteks tempat terjadinya perkara di Sampang.

Alur pikiran yang terbaca pada beberapa bagian dari Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG ialah bahwa majelis hakim pun menggunakan “perspektif mayoritas minoritas” saat mengadili perkara ini. Hal tersebut dapat terbaca setidaknya pada rumusan yang ada di dalam Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG yang menyatakan (huruf italic dan bold dari penulis):

“Bahwa akibat perbuatan terdakwa menyampaikan ajaran yang berbeda dengan ajaran umat Islam pada umumnya, telah menimbulkan keresahan dan pertentangan di masyarakat, …” (Putusan Nomor 69/Pid.B/2012/PN.Spg: 84).

Page 52: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

Problem Melindungi Hak Beragama dan Berkeyakinan Bagi Kelompok Minoritas (Endra Wijaya) | 149

“Bahwa akibat perbuatan terdakwa mengajarkan ajaran yang berbeda dengan ajaran umat Islam pada umumnya (khususnya masyarakat sekitar Omben dan Karang Penang), telah menimbulkan keresahan dan pertentangan di masyarakat, …” (Putusan Nomor 69/Pid.B/2012/PN.Spg: 88).

“Menimbang, bahwa demikian halnya berdasarkan fakta hukum yang telah diuraikan di atas, majelis hakim memandang bahwa terdakwa sebagai seorang guru atau kiai patut kiranya mengetahui bahwa perbuatan yang dilakukannya, yaitu mendakwahkan atau menyampaikan ajaran yang berbeda dengan ajaran masyarakat pada umumnya akan menimbulkan gangguan ketertiban umum atau mengganggu kedamaian umat beragama (dalam hal ini umat Islam), …” (Putusan Nomor 69/Pid.B/2012/PN.Spg: 88).

“Menimbang, bahwa berdasarkan kesesuaian antara keterangan saksi-saksi dan bukti-bukti surat di atas, majelis hakim memperoleh petunjuk bahwa terdakwa telah menyampaikan ajaran yang tidak sesuai dengan ajaran Islam pada umumnya; …” (Putusan Nomor 69/Pid.B/2012/PN.Spg: 91).

Penggunaan frase “pada umumnya” secara implisit menjelaskan bahwa secara faktual, memang ada kelompok mayoritas yang dalam perkara ini kepentingannya merasa diganggu oleh TM dengan segala ajarannya (yang berada dalam posisi minoritas). Jadi, dalam perkara ini, tampak ada hubungan ketegangan yang terjadi antara kelompok Sunni mayoritas dan Syiah yang minoritas. Memang karena beberapa alasan, hubungan antara kelompok Sunni mayoritas dan Syiah yang minoritas merupakan hubungan yang kompleks, yang telah pula menghasilkan beragam pendekatan untuk merespons atau “menyelesaikannya.”

Perkara pada Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG ini, putusan yang

dijatuhkan oleh majelis hakim justru malah terkesan “menjauh” dari menyelesaikan persoalan hubungan antara Sunni dan Syiah di Indonesia (Herawati, 2014: 37). Bahkan, bisa jadi, melalui putusan ini potensi yang sebenarnya ada pada pengadilan, melalui putusannya, untuk menjadi salah satu instrumen penegakan hak asasi manusia, khususnya hak untuk secara bebas (tanpa tekanan) memeluk suatu agama dan keyakinan, menjadi terhambat perwujudannya.

Kecenderungan terhambatnya potensi lembaga pengadilan, melalui putusannya, untuk ikut menegakkan hak asasi manusia untuk secara bebas (tanpa tekanan) memeluk suatu agama dan keyakinan, antara lain, dapat dilihat dari penggunaan Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG sebagai dasar untuk memberikan stigma negatif kepada mazhab Syiah beserta para pemeluknya di dalam beberapa media yang dipublikasikan secara umum.

Kajian dari Afdillah (2016: 70) menjelaskan bahwa gerakan-gerakan “anti-ajaran Tajul” bahkan semakin menguat setelah adanya Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG. Kemudian, putusan tersebut juga pada faktanya membawa dampak negatif lanjutan terhadap upaya penegakan hukum hak asasi manusia, antara lain, yaitu dalam bentuk: pertama, penggunaan persoalan hukum (perkara pidana) yang dihadapi TM sebagai “barang dagangan politik” untuk mencari dukungan massa saat proses pemilihan umum kepala daerah berlangsung (Afdillah, 2016: 77).

Hal itu jelas mencerminkan adanya upaya untuk kembali menempatkan supremasi hukum di posisi bawah (subordinat) dari politik. Kedua, Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG pada akhirnya digunakan pula sebagai “justifikasi”

Page 53: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

150 | Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 135 - 154

bagi upaya mengurangi hak-hak asasi manusia para pemeluk Syiah di tempat kejadian perkara, yang konkretnya berupa merelokasi mereka secara paksa dari kampung halaman mereka sendiri (Afdillah, 2016: 91). Hal ini tentunya sekaligus mencabut secara paksa akar sosial dan sumber ekonomi mereka yang sudah bertahun-tahun dibina di kampung halamannya. Substansi Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG menarik juga untuk dicermati dengan menghubungkannya dengan konsep forum internum dan forum externum yang dikenal dalam lingkup pembahasan hukum hak asasi manusia.

Secara prinsip, sudah jelas tidak boleh ada perlakuan yang berbeda yang merugikan bagi para pemeluk agama dan keyakinan, baik bagi mereka yang mayoritas ataupun minoritas. Pada level hukum internasional, sudah ada beberapa pengaturan mengenai hak asasi manusia untuk beragama dan berkeyakinan. Pada Article 18 dari Universal Declaration of Human Rights 1948, ditegaskan bahwa:

“Everyone has the right to freedom of thought, conscience and religion; this right includes freedom to change his religion or belief, and freedom, either alone or in community with others and in public or private, to manifest his religion or belief in teaching, practice, worship and observance.”

Selanjutnya, ada pula International Covenant on Civil and Political Rights 1966 yang pada Article 18-nya menegaskan bahwa:

1) Everyone shall have the right to freedom of thought, conscience and religion. This right shall include freedom to have or to adopt a religion or belief of his choice, and freedom, either individually or in community with others and in public or private, to manifest his religion or belief in worship, observance, practice and teaching.

2) No one shall be subject to coercion which would impair his freedom to have or to adopt a religion or belief of his choice.

3) Freedom to manifest one’s religion or beliefs may be subject only to such limitations as are prescribed by law and are necessary to protect public safety, order, health, or morals or the fundamental rights and freedoms of others.

4) The States Parties to the present Covenant undertake to have respect for the liberty of parents and, when applicable, legal guardians to ensure the religious and moral education of their children in conformity with their own convictions.

Begitu juga pada level nasional, hak beragama dan berkeyakinan sudah dijamin dan diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan, antara lain, UUD NRI 1945, Undang-Undang Nomor 39 tentang Hak Asasi Manusia, dan bahkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial.

Dalam konteks hukum hak asasi manusia, hak beragama dan berkeyakinan termasuk ke dalam kelompok non-derogable rights, yang berarti merupakan hak yang bersifat mutlak (absolut), dan oleh karenanya, tidak dapat ditangguhkan atau ditunda dalam situasi atau kondisi apapun. Dengan demikian, segala jenis tindakan yang dapat mengakibatkan hilangnya hak seseorang ataupun sekelompok orang untuk bebas beragama dapat digolongkan sebagai pelanggaran hak asasi manusia (Tim Peneliti Setara Institute, 2011: 16-17).

Terkait dengan konsep non-derogable rights, dalam perkembangannya, lalu dibentuk pedoman untuk mengatur hak-hak tersebut dengan pertimbangan adanya kepentingan umum. Secara garis besar, pedoman itu mengandung dua macam lingkup, yaitu forum internum dan forum externum.

Page 54: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

Problem Melindungi Hak Beragama dan Berkeyakinan Bagi Kelompok Minoritas (Endra Wijaya) | 151

Forum internum (kebebasan internal) adalah kebebasan di mana tidak ada satu pihakpun yang dibolehkan campur tangan (intervensi) terhadap perwujudan dan dinikmatinya hak-hak dan kebebasan ini. Yang termasuk dalam rumpun kebebasan internal ialah: hak untuk bebas menganut serta berpindah agama, dan hak untuk tidak dipaksa menganut atau tidak menganut suatu agama (Tim Peneliti Setara Institute, 2011: 17).

Forum externum (kebebasan eksternal) adalah kebebasan, yang dalam situasi khusus, negara diperbolehkan membatasi atau mengekang hak-hak dan kebebasan ini, tapi dengan prasyarat yang ketat dan legitimate berdasarkan prinsip siracusa. Prinsip siracusa menekankan bahwa hak-hak yang dapat ditunda atau ditangguhkan hanya dapat diberlakukan pada situasi atau kondisi tertentu yang dianggap dapat membahayakan kepentingan umum (Tim Peneliti Setara Institute, 2011: 16). Contoh kebebasan eksternal ialah: kebebasan untuk beribadah baik secara pribadi maupun bersama-sama, baik secara tertutup maupun terbuka, kebebasan untuk mendirikan tempat ibadah, kebebasan untuk menggunakan simbol-simbol agama, kebebasan untuk merayakan hari besar agama, kebebasan untuk menetapkan pemimpin agama, hak untuk mengajarkan serta menyebarkan ajaran agama, hak orang tua untuk mendidik agama kepada anaknya, hak untuk mendirikan serta mengelola organisasi atau perkumpulan keagamaan, dan hak untuk menyampaikan kepada pribadi atau kelompok materi-materi keagamaan (Tim Peneliti Setara Institute, 2011: 17-18).

Mencari “titik keseimbangan” di antara forum internum dan forum externum memang bukanlah urusan yang mudah. Jika dicermati perkara pada Putusan Nomor 69/PID.B/2012/

PN.SPG tersirat bahwa majelis hakim pada akhirnya lebih menekankan kepada pemenuhan (melindungi) forum externum daripada forum internum. Hal itu setidaknya dapat dilihat (tercermin) dari pencantuman frase “menimbulkan gangguan ketertiban umum” di dalam salah satu bagian pertimbangan hukumnya. Tapi, yang patut dikritisi ialah, bahwa sayangnya majelis hakim dalam perkara ini menyandarkan pilihannya yang cenderung untuk melindungi forum externum hanya pada ketentuan Pasal 156a KUHP.

Pasal 156a KUHP tersebut merupakan pasal yang disisipkan melalui Penetapan Presiden Nomor 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, yang oleh beberapa sarjana dianggap cenderung dapat memperlemah upaya perlindungan hak asasi manusia, khususnya hak untuk beragama dan berkeyakinan bagi kelompok minoritas. Maria Farida Indrati bahkan pernah mengajukan dissenting opinion dalam Putusan Mahkamah Konstitusi, dengan menyatakan bahwa Penetapan Presiden Nomor 1/PNPS Tahun 1965 seharusnya inkonstitusional, karena dengan tegas mendiskriminasi minoritas-minoritas agama dan akan memaksa individu-individu meninggalkan keyakinan tradisional dan kepercayaan minoritas, yang berarti melawan keinginan mereka sendiri (HRW, 2013: 31).

Sehubungan paparan tersebut di atas, dalam kajian yang dilakukan oleh Yonesta et.al., diungkapkan pula fakta-fakta bahwa dalam beberapa peristiwa yang berujung pada penegakan hukum terhadap Pasal 156a KUHP, dalam peristiwa itu selalu didahului (disertai) dengan adanya tekanan dari pihak-pihak tertentu, seperti melalui pengerahan massa, terhadap aparat penegak hukum (Yonesta et.al., 2012: 23). Hal mana bisa mengindikasikan bahwa Pasal

Page 55: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

152 | Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 135 - 154

156a KUHP merupakan ketentuan yang dapat dengan mudah dijadikan sebagai “alat” untuk membungkam hak-hak kelompok agama dan keyakinan minoritas di Indonesia.

Jika keadaan seperti itu tetap dibiarkan, maka upaya penegakan hukum hak asasi manusia melalui pengadilan, terutama bagi kelompok agama dan keyakinan minoritas, menjadi semakin sulit untuk diwujudkan. Sebagaimana telah juga diingatkan oleh Perry (2007: 94-95), bahwa hak asasi manusia, termasuk hak-hak kelompok minoritas agama dan keyakinan, tidak bisa secara optimal dilindungi, walaupun suatu negara telah menjadi demokratis, kecuali sistem pengadilannya benar-benar independen dari tekanan atau kekuasaan lainnya, pun tidak cukup jika hanya menyandarkan diri pada sekedar sudah adanya prosedur hukum yang formalitas.

IV. KESIMPULAN

Keberagaman yang ada dalam masyarakat Indonesia, termasuk dalam hal beragama dan berkeyakinan, sudah sejak lama menjadi perhatian serius mulai dari para tokoh pendiri bangsa, sarjana, sampai ke masyarakat awam. Di dalam keberagaman tersebut, tentunya terkandung isu bagaimana hak asasi manusia berupa hak untuk secara bebas (tanpa tekanan) memeluk suatu agama dan keyakinan dapat ditegakkan (diwujudkan).

Jaminan terhadap hak untuk secara bebas (tanpa tekanan) memeluk suatu agama dan keyakinan secara konstitusional tentu dapat dikatakan masih jauh dari cukup. Produk hukum lainnya masih harus ada dan diperlukan untuk mendukung jaminan yang telah diberikan oleh konstitusi tersebut, dan salah satunya ialah putusan pengadilan. Dalam konteks pemahaman yang

seperti itulah Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG ini ditempatkan.

Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG menjadi menarik saat dilihat dari perspektif upaya penegakan hak asasi manusia, khususnya hak beragama dan berkeyakinan. Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG terkesan masih cenderung berupaya memenuhi hanya aspek keadilan prosedural, dan semangat untuk mengedepankan penegakan hak asasi manusia, khususnya hak beragama dan berkeyakinan, tidak tampak dalam putusan tersebut. Atau, dengan kata lain, majelis hakim dalam perkara ini memang cenderung belum mampu mewujudkan peran yang lebih konkret dari lembaga yudikatif sebagai salah satu penyedia instrumen bagi penegakan nilai-nilai hak asasi manusia, terutama bagi kelompok agama dan keyakinan minoritas.

DAFTAR ACUAN

Abdoellah, P. (2016). Revitalisasi kewenangan peradilan tata usaha negara: Gagasan perluasan kompetensi peradilan tata usaha negara. Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka.

Abdullah, Z., & Wijaya, E. (2014). Problem keadilan bermazhab di Indonesia. Jakarta: Lentera Hukum Indonesia.

Afdillah, M. (2016). Dari masjid ke panggung politik: Melacak akar-akar kekerasan agama antara komunitas Sunni & Syiah di Sampang, Jawa Timur. Yogyakarta: Center for Religious and Cross-Cultural Studies, Sekolah Pascasarjana Lintas Disiplin Universitas Gadjah Mada.

Ahmad, L.O.I. (2011). Relasi agama dengan negara dalam pemikiran Islam (Studi atas konteks ke-

Page 56: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

Problem Melindungi Hak Beragama dan Berkeyakinan Bagi Kelompok Minoritas (Endra Wijaya) | 153

Indonesia-an). Jurnal Millah, 10(2), 278.

Arizona, Y., Wijaya, E., & Sebastian, T. (2014). Pancasila dalam Putusan Mahkamah Konstitusi: Kajian terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara yang berkaitan dengan perlindungan hak kelompok marjinal. Jakarta: Epistema Institute dan Yayasan Tifa.

Djafar, W. (2010). Menegaskan kembali komitmen negara hukum: Sebuah catatan atas kecenderungan defisit negara hukum di Indonesia. Jurnal Konstitusi, 7(5), 170.

Eddyono, L.W. (2015). The first ten years of the Constitutional Court of Indonesia: the Establishment of the principle of equality & the prohibition of discrimination. Constitutional Review, 1(2), 144.

Ginsburg, T. (2003). Judicial review in new democracies: Constitutional Courts in Asian cases. New York: Cambridge University Press.

Gumbira, S.W. (2016). Problematika peninjauan kembali dalam sistem peradilan pidana pasca Putusan Mahkamah Konstitusi & Pasca SEMA RI No. 7 Tahun 2014 (Suatu analisa yuridis & asas-asas dalam hukum peradilan pidana). Jurnal Hukum dan Pembangunan, 46(1), 116.

Herawati, A. (2014). Analisa Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 3320/Pid.B/2012/Pn.Sby dengan terdakwa H. Roies Al Hukama. Dimuat dalam Kompilasi hasil penelitian putusan pengadilan & kebijakan daerah terkait hak-hak atas kebebasan beragama/berkeyakinan. Aminah, S. (Ed). Jakarta: The Indonesian Legal Resource Center dan Hivos People Unlimited.

Human Rights Watch (HRW). (2013). Atas nama agama: Pelanggaran terhadap minoritas agama di Indonesia. Tanpa keterangan kota:

Human Rights Watch.

Isra, S. (2014). Peran Mahkamah Konstitusi dalam penguatan hak asasi manusia di Indonesia. Jurnal Konstitusi, 11(3), 426.

Jufri, M. (2016). Analisis Putusan Pengadilan Negeri Sampang Nomor 69/Pid.B/2012/PN.Spg. Perspektif hak kebebasan beragama di Indonesia. Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, 1(2), 102-110.

Kadarudin. (2015). Legal guarantees & inconsistency of state recognition to the right of religion/belief in Indonesia. Hasanuddin Law Review, 1(1), 8.

Komisi Yudisial Republik Indonesia [KYRI]. (2014). Kualitas hakim dalam putusan: Laporan penelitian putusan hakim tahun 2012. Jakarta: Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial Republik Indonesia.

Latifiani, D. (2015). Permasalahan pelaksanaan putusan hakim. Jurnal Adhaper, 1(1), 20.

Lestari, G. (2015). Bhinnekha Tunggal Ika: Khasanah multikultural Indonesia di tengah kehidupan SARA. Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, 28(1), 35.

Marbun, S.F. (2011). Peradilan administrasi negara & upaya administratif di Indonesia. Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Press.

McGann, A. (2006). The logic of democracy: Reconciling equality, deliberation, & minority protection. Michigan: The University of Michigan Press.

Perry, M.J. (2007). Toward a theory of human rights: Religion, law, courts. New York: Cambridge University Press.

Setara Institute. (2017). Kondisi kebebasan beragama di Indonesia 2016. Diakses dari <http://

Page 57: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

154 | Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 135 - 154

setara-institute.org/kondisi-kebebasan-beragamaberkeyakinan-dan-minori tas-keagamaan-di-indonesia-2016/>.

Shihab, M.Q. (2014). Sunnah-Syiah bergandengan tangan! Mungkinkah? Kajian atas konsep ajaran & pemikiran. Tangerang: Lentera Hati.

Shofa, A.M.A. (2016). Memaknai kembali multikulturalisme Indonesia dalam bingkai Pancasila. Jurnal Pancasila dan Kewarganegaraan, 1(1), 37-38.

Subki, T., Muntahaa, M., & Azizah, A. (2014). Analisis yuridis tindak pidana penodaan agama (Putusan Pengadilan Negeri Sampang Nomor: 69/Pid.B/2012/PN.Spg). Jurnal Lentera Hukum, 1(1), 54-65.

Susanto, A.F. (2005). Semiotika hukum: Dari dekonstruksi teks menuju progresivitas makna. Bandung: Refika Aditama.

Suwito, D.D.P. (2016). Perselisihan internal partai politik dalam berbagai putusan pengadilan. Jakarta: Adhi Sarana Nusantara.

Tim Peneliti Setara Institute. (2011). Mengatur kehidupan beragama; Menjamin kebebasan? Urgensi kebutuhan RUU Jaminan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan. Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara.

Tjandra, W.R. (2009). Peradilan tata usaha negara mendorong terwujudnya pemerintahan yang bersih & berwibawa. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Tumpa, H.A. (2010). Memahami eksistensi uang paksa (Dwangsom) & implementasinya di Indonesia. Jakarta: Kencana.

Wahyudi, A. (2013). Quo vadis jaminan Konstitusi hak atas kebebasan beragama/berkeyakinan: Menguji peran negara. Jurnal Keadilan Sosial, III, 3-4.

Wawancara. (2013, Juli 28). Wawancara dengan Umar Syihab (Ketua Bidang Ukhuwah Islamiyah Majelis Ulama Indonesia Pusat).

Widiatmaka, P. (2016). Pembangunan karakter Nasionalisme peserta didik di sekolah berbasis agama Islam. Jurnal Pancasila dan Kewarganegaraan, 1(1), 27.

Yonesta, F. et.al. (2012). Agama, negara, & hak asasi manusia: Proses pengujian UU 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan, dan/atau Penodaan Agama di Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Lembaga Bantuan Hukum Jakarta dan Yayasan Tifa.

Page 58: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

Penerapan Pidana Tambahan dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Hariman Satria) | 155

ABSTRAK

Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor 1554 K/PID.SUS/2015 menghukum terdakwa PT KA yang diwakili oleh SR selaku direktur utama, karena melakukan pembakaran hutan yang merusak lingkungan hidup, dengan pidana denda sebesar Rp3.000.000.000,- Permasalahan yang timbul adalah bagaimanakah penerapan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana lingkungan hidup, kaitannya dengan pidana tambahan berupa pemulihan kerugian akibat kerusakan lingkungan yang terjadi? Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan kasus dan pendekatan konseptual. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pertanggungjawaban pidana korporasi belum dilakukan secara maksimal karena didasari oleh tiga alasan. Pertama, terdakwa dipidana denda dengan menggunakan ancaman pidana minimal sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 108 Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kedua, terdakwa tidak dikenai pidana tindakan tata tertib seperti perbaikan akibat tindak pidana guna memulihkan kerugian keuangan negara. Ketiga, terdakwa juga tidak dikenai pidana tambahan. Tegasnya putusan a quo belum maksimal baik dilihat dari sisi

pemulihan kerugian keuangan negara, maupun dari sisi sanksi pidana denda kepada pelaku.

Kata kunci: pidana tambahan, pertanggungjawaban pidana, korporasi, lingkungan hidup.

ABSTRACT

Supreme Court convicted PT KA represented by SR as the President Director, through Court Decision Number 1554 K/PID.SUS/2015 on an environmentally-damaging forest fire to a maximum fine of Rp3,000,000,000,- The problem addressed in this research analysis is how the implementation of corporate criminal liability in environmental crime related to additional criminal charges, in the form of compensation for environmental damage caused? The method used is a normative legal research, focusing on two approaches: case and conceptual approaches. The results indicated that corporate criminal liability has not performed optimally for three reasons. First, the defendant is subject to minimal criminal sanction as mentioned in Article 108 of Law on Environmental Protection and Management. Second, the defendant is not subject to sanction of disciplinary action, such as the restoration of state financial losses. Third, the defendant is also not

PENERAPAN PIDANA TAMBAHAN DALAM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

PADA TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP

Kajian Putusan Nomor 1554 K/PID.SUS/2015

THE IMPLEMENTATION OF ADDITIONAL CRIMINAL CHARGESOF CORPORATE CRIME LIABLITY IN ENVIRONMENTAL CRIME

Hariman SatriaFakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari

Jl. KH. Ahmad Dahlan No. 10, Kendari 93117E-mail: [email protected]

An Analysis of Court Decision Number 1554 K/PID.SUS/2015

Naskah diterima: 23 Januari 2017; revisi: 14 Agustus 2017; disetujui 14 Agustus 2017

Page 59: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

156 | Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 155 - 171

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berbicara mengenai tindak pidana lingkungan hidup, tentunya tidak dapat dipisahkan dari aktor atau pelakunya (dader). Akhir-akhir ini aktor kerusakan lingkungan mengerucut pada dua subjek hukum yakni manusia (naturalijke person) dan badan hukum (recht person). Atas dasar itu, dalam Pasal 1 butir 32 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyebutkan bahwa setiap orang adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.

Pendeknya peraturan lingkungan hidup telah mengidentifikasi sejak awal bahwa pelaku kejahatan, tidak melulu manusia, tetapi bisa juga badan usaha/korporasi. Oleh karena itu, penegakan hukum lingkungan adresatnya adalah manusia dan korporasi. Namun demikian, sejak Indonesia memberlakukan undang-undang lingkungan hidup, sangat sedikit di antara korporasi yang diproses pidana – padahal aroma keterlibatan korporasi pada sejumlah tindak pidana lingkungan sangat kental terasa.

Tercatat hanya ada dua korporasi yang telah diproses pidana karena dugaan perusakan lingkungan yakni PT NMR (Putusan Nomor 284/Pid.B/2005/PN.Mdo) dan PT KA (Putusan Nomor 1554 K/Pid.Sus/2015). Kecuali PT KA, PT NMR oleh putusan Pengadilan Negeri Manado dinyatakan tidak bersalah secara sah dan

meyakinkan (Satria, 2016: 290). Itu artinya sejak undang-undang lingkungan hidup diformulasi dan diberlakukan, hanya ada satu korporasi yang dipidana yakni PT KA.

Menelusuri jejak keterlibatan PT KA, dalam tindak pidana lingkungan hidup di Kabupaten Nagan Raya, Meulaboh –dapat dilihat melalui pertimbangan hukum (ratio decidendi) majelis hakim melalui Putusan Nomor 1554 K/Pid.Sus/2015. Berawal dari pembukaan lahan dengan cara membakar semak-semak dan jalur-jalur rumpukan yang terletak dalam blok milik PT KA. Kemudian api menyebar dengan cepat sehingga membakar hutan yang ada di sekeliling wilayah usaha PT KA.

Peristiwa ini terjadi berulang kali sehingga mengakibatkan kebakaran yang semakin meluas. Dari kebakaran ini telah dilakukan penyelidikan oleh PPNS Kehutanan dan penyidik Polres Meulaboh, kemudian didapati fakta bahwa pelakunya bernama KY, yang notabene adalah karyawan PT KA. KY sendiri dalam persidangan mengakui, bahwa ia hanya menjalankan kebijakan perusahaan PT KA dalam hal melakukan pembakaran lahan. Atas perbuatannya KY ditersangkakan sebagai pelaku tindak pidana pembakaran hutan yang merusak lingkungan.

Penyidik dan penuntut umum, kemudian menghadirkan ahli di bidang kehutanan untuk menganalisis dan memberi penjelasan tentang kebakaran hutan tersebut. Adapun ahli yang dihadirkan adalah Bambang Hero Sahardjo (guru

subject to additional criminal charges. As a result, a quo decision is not maximal both in terms of state financial losses recovery and criminal sanction of fines to the

offender.

Keywords: additional charges, criminal liability, corporate, environment.

Page 60: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

Penerapan Pidana Tambahan dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Hariman Satria) | 157

besar Fakultas Kehutanan IPB Bogor) yang pada intinya menekankan empat hal. Pertama, dari hasil pengamatan dan analisa sampel didapati bukti, bahwa telah terjadi perusakan lingkungan akibat pembakaran tanah gambut dalam pembuatan kebun kelapa sawit.

Kedua, hasil analisa juga menunjukkan bahwa tanah yang dibakar menimbulkan kerusakan lingkungan sifat fisik, kimia, dan biologi. Ketiga, akibat yang lain adalah kerusakan aspek flora dan keragaman spesies sehingga menyebabkan hutan dan populasi menjadi hilang seketika. Keempat, PT KA sama sekali tidak punya menara pengawas api yang memadai sehingga ketika terjadi kebakaran, sulit dihindari.

Atas kejadian ini, negara ditaksir mengalami kerugian sebesar Rp366.098.669.000,- termasuk di dalamnya adalah biaya yang dibutuhkan untuk pemulihan kondisi lingkungan. Dalam kasus kebakaran lahan ini, penyidik selain menersangkakan KY selaku karyawan PT KA, penyidik juga ikut menersangkakan PT KA yang diwakili oleh SR selaku direktur utama, dengan tuduhan melanggar Pasal 108 jo. Pasal 69 ayat (1) huruf h, Pasal 116 ayat (1) huruf a, Pasal 118, dan Pasal 119 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP. Dalam perkembangannya, merujuk pada fakta persidangan di Pengadilan Negeri Meulaboh, diketahui bahwa PT KA yang diwakili oleh SR dijatuhi pidana denda sebesar Rp3 miliar. Putusan ini kemudian dikuatkan dalam Putusan Nomor 1554 K/PID.SUS/2015.

Terkait dengan Putusan Nomor 1554 K/PID.SUS/2015 ini, secara eksplisit menunjukkan adanya suatu progresif positif dalam upaya melakukan penuntutan dan penghukuman kepada

koporasi dengan menggunakan sarana hukum pidana. Namun demikian, bagi penulis masih terdapat beberapa hal yang menarik untuk dikaji sehubungan dengan putusan tersebut. Paling tidak terdapat lima pertimbangan majelis hakim yang menunjukkan adanya suatu kontradiksi yang mesti dianalisis. Pertama, majelis hakim menegaskan bahwa PT KA telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana membuka lahan untuk perkebunan kelapa sawit dengan cara merusak lingkungan secara berlanjut. Kedua, PT KA kemudian dijatuhi pidana denda sebesar Rp3 miliar. Dalam putusan a quo juga ditegaskan, bahwa PT KA diwakili oleh SR selaku direktur.

Ketiga, majelis hakim mengakui dalam pandangannya, bahwa kerugian negara dalam tindak pidana tersebut berjumlah Rp366.098.669.000,- Keempat, karena kerugian keuangan negara dalam bentuk rehabilitasi telah dibebankan dalam Putusan Nomor 651 K/PDT/2015 yang berhubungan dengan perkara a quo, maka dalam perkara a quo tidak dibebankan lagi. Kelima, majelis hakim tidak memperbaiki putusan pidana Pengadilan Negeri Meulaboh yang tidak memberikan pidana tambahan kepada terdakwa PT KA padahal hal itu menjadi pintu masuk untuk meminta ganti rugi.

Bertalian dengan Putusan Nomor 651 K/PDT/2015 tersebut, dapat penulis abstraksikan, bahwa PT KA digugat oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup dengan dalih melakukan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) sesuai dengan Pasal 1365 Burgelijk Wetboek jo. Pasal 90 Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup berupa pembukaan lahan dengan cara membakar yang merusak lingkungan. Pengadilan kemudian memutuskan, bahwa PT KA terbukti melakukan

Page 61: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

158 | Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 155 - 171

perbuatan melawan hukum tersebut. PT KA selaku tergugat kemudian dikenai hukuman ganti kerugian sebesar Rp251.765.250.000,-. Jumlah ini diperhitungkan sebagai biaya pemulihan lingkungan atas kebakaran lahan yang terjadi. Namun demikian, dalam putusan a quo sama sekali tidak menyebutkan bahwa dengan adanya sanksi ganti kerugian ini maka tergugat (PT KA) sudah tidak dapat diproses hukum lagi untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Kembali pada putusan perkara pidana, menurut penulis dalam putusan a quo, pertimbangan majelis hakim menyimpan sejumlah masalah serius dan cenderung ambigu. Di satu sisi majelis hakim meyakini bahwa perbuatan terdakwa PT KA menimbulkan kerugian negara dalam jumlah yang tidak sedikit yaitu sebesar Rp366.098.669.000,-. Di sisi yang lain, majelis hakim justru menguatkan putusan Pengadilan Negeri Meulaboh yang menghukum terdakwa untuk membayar pidana denda hanya sebesar Rp3 miliar.

Putusan ini tentu jumlahnya tergolong sedikit sebab setara dengan ancaman pidana minimal pada Pasal 108 Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Padahal majelis hakim sebetulnya masih bisa mengenakan ancaman pidana denda yang lebih berat. Sebab dalam Pasal 108 a quo ancaman pidana denda maksimalnya sebesar Rp10 miliar.

Cara pandang hakim dalam menilai perlu tidaknya, terdakwa PT KA membayar biaya pemulihan ternyata dipengaruhi oleh kenyataan bahwa terdakwa juga telah dihukum secara perdata dan diwajibkan membayar biaya pemulihan. Jadi majelis hakim dalam perkara a quo menyerahkan biaya pemulihan kepada majelis hakim yang menangani gugatan keperdataan terhadap PT

KA. Dengan demikian kerugian negara termasuk biaya pemulihan belum terselesaikan dengan baik.

Pasal 119 huruf c Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, membuka kemungkinan penjatuhan pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa perbaikan akibat tindak pidana. Di sinilah letak permasalahannya, sebab putusan perkara pidana hanya berupa pidana denda dalam jumlah yang minimal tanpa ada pidana tambahan kepada terdakwa PT KA. Inilah salah satu alasan yang mendasari penulis sehingga melakukan penelitian dalam putusan a quo.

B. Rumusan Masalah

Merujuk pada latar belakang di atas, permasalahan yang akan diteliti dalam tulisan ini adalah bagaimanakah penerapan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana lingkungan hidup kaitannya dengan pidana tambahan berupa pemulihan kerugian akibat kerusakan lingkungan yang terjadi?

C. Tujuan dan Kegunaan

Tujuan tulisan ini adalah untuk mengetahui, mengidentifikasi, dan menganalisis penerapan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana lingkungan hidup kaitannya dengan pidana tambahan berupa pemulihan kerugian akibat kerusakan lingkungan yang terjadi.

Kegunaan bagi ilmu pengetahuan adalah diharapkan hasil penelitian ini dapat memperkaya pemahaman filosofis, teoritik, dan praktis serta dapat memberikan wacana yang utuh mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana lingkungan hidup.

Page 62: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

Penerapan Pidana Tambahan dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Hariman Satria) | 159

D. Tinjauan Pustaka

1. Teori-Teori Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

Secara etimologis, kata korporasi berasal dari bahasa latin, corporatio. Kata ini berasal dari bahasa latin yang lebih tua yakni corporare. Corporare sendiri berasal dari kata corpus yang berarti memberikan badan atau membadankan (Stone, 2005: 17). Dari kata corporatio tersebut diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di Eropa, seperti corporatie (Belanda), corporation (Inggris), corporation (Jerman). Dapat diduga dari kata corporatie (Belanda) tersebut akhirnya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi korporasi. Thomas W. Dunfee mendefinisikan korporasi sebagai personae fictie, latin for fictious legal persons entities which the law threat, in most cacses, as being separate and distinct from the shareholders who own them (Sjawie, 2013: 32).

Awal mulanya, gagasan pertanggungjawaban pidana korporasi mengalami penolakan dengan berpegang pada asas universitas delinquere non potest artinya korporasi tidak dapat dipidana dan asas societes delinqere non potest artinya korporasi tidak mungkin melakukan tindak pidana, yang sangat dipengaruhi oleh ajaran Savigny. Savigny berpendapat bahwa badan hukum hanyalah suatu fiksi saja (persona ficta; legal fiction). Bahwa kepribadian hukum sebagai satu kesatuan dengan manusia hanya khayalan semata. Kepribadian yang sebenarnya hanya ada pada manusia (Remmelink, 2003: 272).

Schaffmeister, Keijzer, & Sutorius (1995: 274-276) menyebutkan bahwa proses penerimaan korporasi sebagai subjek hukum pidana terbagi dalam tiga tahap. Pertama, yaitu sejak KUHP dibentuk tahun 1886. Pada tahap

ini ditandai dengan usaha-usaha agar perbuatan pidana yang dilakukan badan hukum, dibatasi pada perorangan (naturalijek persoon).

Kedua, pasca Perang Dunia I. Pada tahap ini dalam undang-undang telah ditentukan bahwa suatu perbuatan pidana dapat dilakukan oleh korporasi namun tanggung jawab untuk itu masih menjadi beban dari pengurus atau anggota pimpinan dari badan hukum tersebut. Ketiga, pada waktu dan sesudah Perang Dunia II, tanggung jawab pidana langsung dari korporasi dianut juga. Secara kumulatif korporasi dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana, di samping mereka yang memberi perintah atau memimpin secara nyata telah berperan dalam perbuatan pidana itu. Apabila kita memperhatikan narasi pengakuan korporasi sebagai subjek hukum pidana, berikut tahapan pertanggungjawabannya yang dikemukakan oleh Schaffmeister, Keijzer, & Sutorius tersebut, sekilas kita dapat menyimpulkan bahwa korporasi dapat melakukan kejahatan. Dikatakan demikian karena ia mulai diakui sebagai subjek hukum sehingga dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Pertanyaan kemudian adalah apakah kejahatan korporasi itu? Simpson (2005: 6), mengatakan: corporate crime is type of white collar crime. Demikian pula Braithwaite (1984: 6), mengatakan bahwa corporate crime is the conduct of a corporation, or of employees acting on behalf of a corporation, which is prescribed and punishible by law.

Menyangkut istilah white collar crime, sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dari seorang sosio kriminolog yang bernama Sutherland. Pada tahun 1939 di hadapan American Sociological Society, Sutherland berpidato dan memperkenalkan istilah white collar crime dengan mengatakan bahwa the concept of white

Page 63: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

160 | Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 155 - 171

collar crime are to describe criminal activity by persons of high social status and respectability who use their occupational position as a means violate the law (Sutherland & Cressey, 1955: 82).

Secara teoritis dikenal tiga prototipe kejahatan korporasi yaitu: crimes for corporation, crimes against corporation, dan criminal corportions. Pada dasarnya crimes for corporation inilah yang disebut sebagai kejahatan korporasi. Dalam hal ini dapat dikatakan corporate crime are clearly commited for the corporate, and not against. Kejahatan korporasi dilakukan untuk kepentingan korporasi bukan sebaliknya. Sementara itu crimes against corporation adalah kejahatan yang dilakukan oleh pengurus korporasi itu sendiri (employes crime). Dalam hal ini korporasi sebagai korban dan pengurus sebagai pelaku. Sedangkan criminal corporation adalah korporasi yang sengaja dibentuk untuk melakukan kejahatan (Simpson & Weisburd, 2009: 3).

Secara substantif terdapat tiga model pertanggungjawaban pidana korporasi. Pertama, pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggung jawab. Gagasan ini dilandasi oleh pemikiran bahwa badan hukum tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, karena penguruslah yang akan selalu dianggap sebagai pelaku dari delik tersebut. Kedua, korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggung jawab. Jadi model ini menyadari bahwa korporasi sebagai pembuat namun untuk pertanggungjawabannya diserahkan kepada pengurus. Ketiga, korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggung jawab. Model ini memperhatikan perkembangan korporasi itu sendiri, karena ternyata hanya dengan menetapkan pengurus sebagai yang bertanggung jawab, tidaklah cukup (Muladi & Priyatno, 2010: 148)

Masih mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi, pada dasarnya ada lima teori. Pertama, teori identifikasi (identification theory) biasa disebut dengan direct corporate criminal liablity atau pertanggungjawaban pidana korporasi secara langsung (Pinto & Evans, 2003: 46). Menurut teori ini korporasi bisa melakukan sejumlah delik secara langsung melalui pengurus yang sangat berhubungan erat dengan korporasi, bertindak untuk dan atas nama korporasi sehingga dipandang sebagai perusahaan itu sendiri (Reid, 1995: 53).

Kedua, strict liability. Smith & Hogan (1998: 79), mendefinisikan strict liability sebagai crimes which do not require intention, recklessness or even negligent or more element in the actus reus. Karena itu strict liability diartikan sebagai pertanggungjawaban yang ketat menurut undang-undang tanpa memandang siapa yang melakukan kesalahan. Berkenaan dengan itu Dobson (2008: 22) menarasikan strict liability sebagai some crimes for which with regard to at least one element of the actus reus, no mens rea is required.

Ketiga, vicarious liability. Pada dasarnya ajaran ini erat hubungannya dengan doctrine of respondeat superior yaitu adanya hubungan antara master dan servant atau antara principal dan agent. Hubungan itu kemudian dikuatkan oleh adagium yang berbunyi qui facit per alium facit per se artinya seseorang yang berbuat melalui orang lain dianggap dia sendiri yang melakukan perbuatan itu (Sjahdeini, 2006: 84).

Menurut LaFave (2003: 224), vicarious liability is one wherein one person, though without personal fault, is more liable for the counduct of another. Intinya adalah bahwa vicarious liability merupakan pengecualian pertanggungjawaban individu yang dianut dalam hukum pidana

Page 64: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

Penerapan Pidana Tambahan dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Hariman Satria) | 161

berdasarkan adagium nemo puniturpro alieno delicto (artinya: tidak ada seorang pun yang dihukum karena perbuatan orang lain).

Keempat, teori agregasi. Ajaran ini memungkinkan agregasi atau kombinasi kesalahan dari sejumlah orang, untuk diatribusikan kepada korporasi sehingga korporasi dapat dibebani pertanggungjawaban (Sjahdeini, 2006: 108). Intinya, doktrin ini menekankan bahwa semua perbuatan dan semua unsur mental (mens rea) dari berbagai orang yang terkait secara relevan dalam lingkungan perusahaan dianggap dilakukan oleh satu orang saja (Clarkson & Keating, 2007: 242-260).

Kelima, doktrin corporate cultural model atau model budaya kerja. Doktrin ini pada intinya menegaskan bahwa badan hukum dapat dipertanggungjawabkan secara pidana apabila tindakan seseorang memiliki dasar yang rasional bahwa badan hukum tersebut memberikan wewenang atau mengizinkan perbuatan dilakukan (Hiariej, 2014: 207). Secara gamblang diuraikan oleh Laufer (2006: 44), corporate culture is an attitude, policy, rule, course of conduct or practice existing within the body corporate generally or within the area of the body corporate in which the relevant activities take places. Inti dari ajaran ini adalah kebijakan badan hukum yang tersurat dan tersirat memengaruhi cara kerja badan hukum tersebut.

2. Konsep Tindak Pidana Lingkungan Hidup

Terminologi tindak pidana pada dasarnya diterjemahkan dari kata strafbaar feit dalam hukum pidana Belanda (Poernomo, 1993: 90-91). Mengenai strafbaar feit ini, para ahli hukum pidana Indonesia memiliki pandangan

yang berbeda-beda. Moeljatno (2008: 59-61) mengartikan strafbaar feit sebagai perbuatan pidana. Prodjodikoro (2003: 59), menyebutnya sebagai tindak pidana. Sementara Saleh (1980: 13), di samping memakai istilah perbuatan pidana juga menggunakan istilah delik. Sedangkan Hiariej (2014: 121), memiliki pandangan yang sama dengan Moeljatno (2008) dan Saleh (1980), yang mengartikan strafbaar feit sebagai perbuatan pidana.

Terkait dengan perbedaan pemaknaan strafbaar feit oleh beberapa ahli hukum pidana maka Sudarto mengatakan, pemakaian istilah yang berbeda-beda di atas sebaiknya tidak perlu dipersoalkan, sepanjang mengetahui isi dari pengertian istilah tersebut. Tindak pidana merupakan suatu pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana adalah suatu pengertian yuridis yang berbeda dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan yang dapat dimaknai secara yuridis atau kriminologis (Supriyadi, 2015: 159). Menurut Moeljatno (2008: 20) perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang dalam undang-undang dan diancam dengan pidana barang siapa yang melanggar larangan itu.

Senada dengan Moeljatno, ahli hukum pidana Indonesia yang lain – Saleh (1980: 13), menyebut perbuatan pidana sebagai perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dinyatakan sebagai perbuatan yang terlarang. Sementara itu Jonkers mendefinisikan perbuatan pidana dalam dua bentuk. Pertama, definisi singkat –sempit. Kedua, definisi panjang –luas. Definisi singkat: perbuatan pidana adalah perbuatan yang menurut undang-undang dapat dijatuhi pidana. Definisi luas: perbuatan pidana adalah suatu perbuatan dengan sengaja atau alpa yang dilakukan dengan melawan hukum oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan. Tegasnya dalam

Page 65: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

162 | Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 155 - 171

definisi singkat, Jonkers hanya menyinggung soal perbuatan pidana tetapi pada definisi luas ia mulai menyinggung pertanggungjawaban pidana (Jonkers, 1987: 135).

Merujuk pada uraian perbuatan pidana di atas, maka kontekstual perbuatan pidana lingkungan hidup adalah suatu perbuatan yang dilarang dalam undang-undang lingkungan hidup atau peraturan lain yang terkait dengan itu, yang mana pelanggaran atas larangan tersebut diancam dengan pidana oleh badan yang berhak. Rahmadi (2014: 221) kemudian menegaskan bahwa perbuatan pidana lingkungan hidup adalah perintah dan larangan undang-undang kepada subjek hukum yang jika dilanggar diancam dengan penjatuhan sanksi-sanksi pidana dengan tujuan melindungi lingkungan hidup secara keseluruhan.

II. METODE

Menurut Istanto (2007: 29), penelitian hukum adalah penelitian yang diterapkan atau diberlakukan khusus pada ilmu hukum. Cohen & Olson (1992: 1) mendefinisikan penelitian hukum sebagai the process of identifing and retrieving information necessary to support legal decision-making.

Berangkat dari pemikiran Istanto dan Cohen tersebut, maka usulan penelitian ini merupakan penelitian hukum (legal research). Sesuai dengan permasalahan yang diteliti, maka penelitian ini merupakan penilitian hukum normatif (normative law research). Untuk mencari dan menemukan jawaban permasalahan dalam penelitian ini maka penulis menggunakan dua metode pendekatan.

Pertama, pendekatan kasus (case approach). Dalam menggunakan pendekatan

kasus bertolak pada ratio decidendi yaitu alasan hukum yang digunakan oleh hakim sampai pada putusannya. Menurut Goodheart, ratio decidendi dapat diketemukan dengan memperhatikan fakta materiil (Mcleod, 1999: 144).

Kedua, pendekatan konseptual (conceptual approach). Pendekatan konseptual adalah bertolak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum. Pemahaman terhadap pandangan dan doktrin tersebut dapat menjadi sandaran dalam membangun dan memecahkan permasalahan penelitian (Marzuki, 2014: 95).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Apabila kita memperhatikan dengan saksama Putusan Nomor 1554 K/PID.SUS/2015, kelihatannya tidak ada masalah serius. Putusan ini bahkan boleh dikatakan sebagai salah satu putusan yang paling progresif dan membawa angin segar dalam upaya menuntut dan menghukum korporasi nakal. Dikatakan demikian, sebab untuk pertama kalinya pengadilan memidana korporasi sebagai pelaku tindak pidana lingkungan hidup. Karena itu kita patut mengapresiasi majelis hakim dalam perkara a quo, yang secara responsif memberi putusan yang monumental.

Putusan a quo tetap saja dapat dianalisis secara kritis sehingga dapat bermanfaat bagi peradilan dan masyarakat pada umumnya. Singkatnya bahwa di satu sisi kita menghargai terobosan majelis hakim dalam menghukum korporasi, tetapi di sisi yang lain masih ada sejumlah catatan kritis yang perlu disoroti. Secara praktis ada dua alasan yang menarik sehingga putusan a quo layak dianalisis, yaitu: 1) telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde); dan 2) secara substantif menyangkut pemidanaan

Page 66: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

Penerapan Pidana Tambahan dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Hariman Satria) | 163

kepada korporasi yang melakukan tindak pidana lingkungan hidup (crime of enviroment).

Secara sistematis, dalam putusan a quo tertuang tiga hal, yaitu: 1) surat dakwaan; 2) surat tuntutan; dan 3) amar putusan majelis hakim. Tiga poin ini saling berkorelasi satu sama lain sehingga perlu disampaikan dalam ulasan ini. Namun demikian fokus utama analisis adalah terhadap pertimbangan hukum majelis hakim (ratio decidendi) sehingga sampai pada amar putusan yang memidana PT KA (terdakwa).

A. Surat Dakwaan

Terdakwa (PT KA) didakwa melakukan perbuatan sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 108 jo. Pasal 69 ayat (1) huruf h, Pasal 116 ayat (1) huruf a, Pasal 118, dan Pasal 119 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta Pasal 64 ayat (1) KUHP. Secara substantif Pasal 108 menyangkut tindakan setiap orang yang melakukan pembakaran lahan; Pasal 116 ayat (1) huruf a bertalian dengan tuntutan dan sanksi pidana kepada badan usaha; Pasal 118 terkait dengan pengurus yang mewakili korporasi jika terjadi tindak pidana atas nama badan usaha; Pasal 119 berhubungan dengan pidana tambahan. Sedangkan Pasal 64 KUHP bertalian dengan perbuatan berlanjut. Bila dihubungkan dengan surat dakwaan pada putusan a quo, dengan jelas menunjukkan bahwa baik syarat formal maupun syarat materiil telah terpenuhi.

Pasal 143 ayat (1) dan (2) KUHAP disebutkan ada dua syarat sahnya surat dakwaan yakni syarat formal dan syarat materiil. Syarat formal harus memuat hal-hal sebagai berikut: 1) diberi tanggal dan ditandatangani oleh penuntut umum; dan 2) menyebutkan identitas terdakwa

yakni nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka.

Syarat materiil terdiri atas dua yaitu: 1) uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan; dan 2) menyebut waktu dan tempat tindak pidana dilakukan (locus delicti dan tempus delicti). Jika syarat formal tidak terpenuhi maka surat dakwaan dapat dibatalkan (vernietigebaar), sedangkan bila syarat materiil tidak terpenuhi, maka sesuai ketentuan Pasal 143 ayat (3), surat dakwaan tersebut batal demi hukum atau null and void (Harahap, 2009: 391). Itu berarti surat dakwaan dianggap tidak pernah ada.

Dilihat dari bentuk surat dakwaan maka dakwaan yang digunakan penuntut umum dalam perkara a quo adalah dakwaan kumulatif (cummulative en lettslegging) yaitu surat dakwaan yang disusun secara berlapis dan seluruhnya harus dibuktikan. Dengan kata lain penuntut umum menggunakan dakwaan kumulatif dalam concursus idealis yaitu satu perbuatan yang melanggar lebih dari satu pasal peraturan pidana, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 63 ayat (1) KUHP. In qasu a quo terdakwa melanggar Pasal 108 jo. Pasal 116 ayat 1 huruf a dan Pasal 64 ayat (1) KUHP. Dalam hal ini, terdakwa melakukan pembakaran lahan secara berlanjut. Jadi kita dapat menyimpulkan bahwa penuntut umum dalam menyusun surat dakwaan secara kumulatif berbentuk concursus idealis dan perbuatan berlanjut (vooertgezettehandeling). Dimulai dari Pasal 108 jo. Pasal 116 Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, kemudian diikuti dengan penerapan ketentuan Pasal 64 ayat (1) KUHP. Dengan kata lain penuntut umum meyakini bahwa terdakwa secara berlanjut melakukan perbuatan

Page 67: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

164 | Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 155 - 171

pembakaran lahan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pembakaran lahan tersebut kemudian menimbulkan kerusakan lingkungan sehingga terdakwa dituntut secara pidana.

B. Surat Tuntutan

Tercatat ada empat poin penting yang menjadi tuntutan penuntut umum dalam perkara a quo, yaitu:

1. Menyatakan terdakwa PT KA yang diwakili oleh SR selaku direktur telah terbukti melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h yang dilakukan secara berlanjut sebagaimana diatur dalam Pasal 108 jo. Pasal 69 ayat (1) huruf h, Pasal 116 ayat (1) huruf a, Pasal 118, Pasal 119 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pasal 64 KUHP;

2. Menjatuhkan pidana denda terhadap terdakwa PT KA yang diwakili oleh SR selaku direktur, dengan pidana denda sebesar Rp3 miliar;

3. Menyatakan barang bukti PT KA nomor 1 sampai dengan 9 tetap terlampir dalam berkas perkara; dan

4. Menetapkan supaya terdakwa PT KA yang diwakili oleh SR dibebani biaya perkara sebesar sepuluh ribu rupiah.

Berdasarkan surat tuntutan di atas terdapat beberapa hal penting yang dianalisis secara kritis, yaitu:

1. Secara sistematis ada korelasi positif antara surat dakwaan dan surat tuntutan penuntut

umum sehingga tidak menyulitkan majelis hakim dalam pembuktian.

2. Dalam surat tuntutan disebutkan bahwa terdakwa diwakili oleh direkturnya yang bernama SR. Hal ini telah sesuai pula dengan ketentuan dalam Pasal 116 ayat (1) huruf a sebagaimana disebutkan dalam surat dakwaan. Bahwa ketika korporasi yang dituntut maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurusnya. In qasu a quo diwakili oleh direktur PT KA (SR). Dengan demikian surat tuntutan penuntut umum adalah tepat.

3. Tuntutan pidana denda kepada terdakwa (PT KA) sebesar Rp3 miliar. Bila dihubungkan dengan ketentuan Pasal 108 Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup maka pada dasarnya jumlah tuntutan pidana denda kepada terdakwa tentu masih jauh perbedaannya. Sebab dalam peraturan a quo kisaran ancaman pidana dendanya adalah minimal Rp3 miliar dan maksimal Rp10 miliar.

Artinya penuntut umum menuntut terdakwa dengan ancaman pidana denda minimal. Hal ini sebetulnya masih terlalu ringan bagi korporasi sebab mengingat perbuatannya berupa pembakaran lahan secara berlanjut sehingga menimbulkan kerusakan lingkungan yang luar biasa, maka sudah sepantasnya terdakwa dituntut pidana denda yang lebih berat, misalnya dengan mengikuti ancaman pidana denda maksimal sebagaimana disebutkan dalam Pasal 108 tersebut.

Penggunaan ancaman pidana denda maksimal ini secara teori dapat dibenarkan sebab peraturan a quo mengadopsi stelsel strafmaat berupa indeterminate sentence

Page 68: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

Penerapan Pidana Tambahan dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Hariman Satria) | 165

artinya pembentuk undang-undang menentukan batas minimum khusus dan maksimum khusus pidana yang dapat dijatuhkan oleh hakim (Frankel, 1993: 90).

Penuntutan dan penjatuhan pidana secara maksimal akan memberikan efek jera kepada pelaku. Hal ini selaras dengan teori relatif (doel theorien) yang pada intinya menegaskan bahwa pencegahan ditujukan kepada masyarakat sebagai pencegahan umum atau generale preventie dan pencegahan yang ditujukan kepada si penjahat itu sendiri sebagai pencegahan khusus atau speciale preventie (Samaha, 2014: 26).

Terkait dengan pencegahan ini von Feuerbach mengenalkan teori de psicologische dwang atau paksaan psikologis yang berarti adanya pidana yang dijatuhkan kepada seseorang yang melakukan kejahatan akan memberikan rasa takut kepada orang lain untuk tidak berbuat jahat (Fletcher, 2000: 652).

4. Tidak ada tuntutan pidana tambahan berupa tindakan tata tertib sementara, seperti perbaikan akibat tindak pidana dan penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 119 Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Padahal pembentuk undang-undang, jauh-jauh hari secara sengaja menggunakan konsep double track system atau sistem dua jalur dalam menyusun pemidanaan kepada badan usaha. Artinya jika badan usaha yang melakukan tindak pidana lingkungan hidup maka selain dikenai sanksi pidana, dikenai pula sanksi tindakan tata tertib.

Remmelink kemudian menguraikan bahwa sanksi pidana (straf) berkenaan dengan pembalasan berupa pemberian derita atau nestapa sebagai upaya menjaga ketenteraman masyarakat sehingga lebih condong pada prevensi umum (general preventie). Sedangkan sanksi tindakan (maatregel) meskipun tetap memberikan derita kepada terpidana tetapi lebih condong pada prevensi khusus atau speciale preventie (Remmelink, 2003: 458). Masih mengenai double track system, pada hakikatnya sistem ini menghendaki agar unsur pencelaan/penderitaan dan unsur pembinaan sama-sama diakomodasi. Inilah yang menjadi dasar penjelasan mengapa dalam double track system dituntut adanya kesetaraan antara sanksi pidana dan sanksi tindakan (Sholehuddin, 2004: 23).

Dalam konteks perkara a quo, tuntutan penuntut umum seharusnya tidak hanya fokus pada sanksi pidana semata tetapi juga sanksi tindakan seperti kewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak (pembayaran biaya pemulihan lingkungan) dan penutupan seluruh atau sebagain tempat usaha.

C. Ratio Decidendi Majelis Hakim

Paling tidak terdapat lima pertimbangan hukum majelis hakim yang menarik disoroti dan dianalisis dalam putusan a quo. Sebab ratio decidendi tersebut akhirnya menjadi jalan lapang dalam menjatuhkan pidana kepada terdakwa (PT KA).

Pertama, majelis hakim berpendapat bahwa cara-cara kebiasaan yang selama ini dilakukan oleh perusahaan, termasuk PT KA adalah

Page 69: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

166 | Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 155 - 171

merupakan perbuatan melanggar hukum karena hasilnya tidak dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan prinsip lingkungan hidup. Terkait dengan prinsip lingkungan hidup ini, majelis hakim tidak menyebutkannya secara tegas, prinsip mana yang dianggap dilanggar oleh terdakwa (PT KA). Dalam bayangan penulis, salah satu prinsip yang secara nyata dilanggar adalah prinsip kehati-hatian (precautionary principle).

Prinsip ini dihasilkan dari United Nations Conference on Enviroment and Development (UNCED) di Rio de Janeiro, Brazil, tanggal 3-4 Juni 1992. Secara gamblang dinyatakan bahwa in order to protect the enviroment, the precautionary approach shall be widely applied by states according to their capabilities. Where there are threats of serious or irreversible damage, lack of full scientific certainty shall not be used as a reason for postponing cost-effective measures to prevent envirometal degradation (Frestone, 1994: 193-200).

Merujuk pada Deklarasi Rio tersebut, maka White (2011: 123-128) mengatakan bahwa the essence of precautionary concept, the precautionary principle, is that once a risk has been identified the lack of the scientific proof of cause and effect shall not be used as a reason for not taking action to protect the enviroment.

Tegasnya, dalam prinsip kehati-hatian terkandung tiga hal, yaitu: 1) apabila telah diidentifikasi potensi kerugian yang akan terjadi; 2) ada ancaman serius atau kerugian yang sulit dipulihkan kembali sehingga berdampak selamanya pada lingkungan hidup; dan 3) apabila tidak ada kemampuan untuk menganalisis kemungkinan adanya akibat.

Intinya bahwa prinsip kehati-hatian tidak hanya dibebankan kepada negara dalam

memproduksi kebijakan di bidang lingkungan hidup tetapi ditujukan juga kepada siapapun yang dalam kegiatannya memberi dampak terhadap kualitas lingkungan hidup. Apalagi dampak tersebut sulit dicegah maka prinsip kehatian-hatian mesti menjadi patronnya. Pendeknya prinsip kehati-hatian sasarannya adalah mencegah agar tidak terjadi kerusakan lingkungan hidup.

In qasu a quo, terdakwa sama sekali tidak menggunakan prinsip ini dalam melaksanakan kegiatannya. Dengan demikian, ia layak dihukum atau dipidana atas kesalahannya. Sebab telah menimbulkan kerusakan lingkungan yang massif dan merugikan negara dalam jumlah yang signifikan.

Kedua, bahwa perbuatan terdakwa PT KA sebagai akibat terjadinya kebakaran lahan telah merugikan keuangan negara dalam bentuk biaya pemulihan rehabilitasi lahan guna memfungsikan kembali ekologi yang rusak sebesar Rp366.098.669.000,-. Dalam pertimbangan selanjutnya majelis hakim menyatakan bahwa karena kerugian keuangan negara dalam bentuk pemulihan/rehabilitasi telah dibebankan dalam Putusan Nomor 651 K/PDT/2015 yang berhubungan dengan perkara a quo maka tidak dibebankan lagi.

Dua pertimbangan majelis hakim tersebut, intinya menegaskan bahwa di satu sisi negara mengalami kerugian akibat ulah terdakwa PT KA yang melakukan pembakaran lahan sehingga merusak lingkungan tetapi karena terdakwa telah dihukum secara perdata untuk memulihkan atau merehabilitasi lingkungan hidup, maka terdakwa tidak lagi dikenai pidana denda dalam jumlah yang lebih besar. Ratio logis yang dibangun oleh majelis hakim dalam perkara a quo rasanya terlalu sumir dan ambigu. Sebab meskipun

Page 70: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

Penerapan Pidana Tambahan dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Hariman Satria) | 167

terdakwa dalam perkara perdata telah dibebani tanggung jawab pemulihan lingkungan tetapi hal itu tidak menghilangkan kewenangan hakim pidana untuk menjatuhkan hukuman yang serius kepada terdakwa. Artinya bahwa di sini ada dua rezim hukum yang sama-sama harus dihormati.

Rezim hukum keperdataan telah membuktikan bahwa PT KA merusak lingkungan sehingga dibebani biaya pemulihan lingkungan hidup melalui Putusan Nomor 651 K/PDT/2015. Namun demikian rezim hukum pidana juga mengatur sanksi pidana sendiri yang tentu berbeda dengan sanksi perdata. Jadi sanksi pidana kepada terdakwa juga harus maksimal sehingga menghilangkan atau paling tidak mengurangi niat jahat (dolus malus) terdakwa atau korporasi lain untuk melakukan tindakan yang serupa.

Singkat kata, seharusnya majelis hakim dalam perkara a quo memberi sanksi pidana yang berat kepada terdakwa berupa pidana denda maksimal sebagaimana disebutkan dalam Pasal 108 Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Denda makismal ini akan lebih efektif dan logis bila jumlahnya disesuaikan dengan kerugian negara yang ditimbulkan.

Ketiga, bahwa pertanggungjawaban korporasi harus memiliki kewajiban untuk membuat kebijakan dan melakukan langkah-langkah yang harus diambilnya. Direktur tidak dapat melepaskan diri dan tanggung jawab pidana dalam hal terjadi tindak pidana pencemaran atau kerusakan lingkungan berupa pembakaran, karena direksi memiliki kemampuan dan kewajiban untuk mengawasi kegiatan korporasi termasuk kewajiban untuk melakukan pelestarian lingkungan. Bahwa dalam hal terjadi kebakaran lahan yang bertanggung jawab adalah pemilik lahan (pengurus dan korporasi).

Pertimbangan majelis hakim tersebut bila dihubungkan dengan ketentuan dalam Pasal 116 ayat (1) huruf a dan b Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang pada intinya menyebutkan bahwa apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha dan/atau orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut.

Ketentuan ini ditegaskan kembali dalam Pasal 118 Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang berbunyi: terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf a, sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha yang diwakili oleh pengurus yang berwenang mewakili di dalam dan di luar pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan selaku pelaku fungsional.

Dalam perkara a quo, majelis hakim telah menghukum terdakwa yang diwakili oleh SR selaku direktur PT KA. Artinya proses hukum kepada pelaku sudah sesuai dengan ketentuan Pasal 116 ayat (1) huruf a jo. Pasal 118 Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Hal ini selaras dengan ajaran kepelakuan fungsional (functioneel daderschap) yang dikemukakan oleh Roling (Kelsen, 2006: 96). Ajaran ini pada pokoknya menegaskan bahwa pertanggungjawaban pidana diperluas kepada yang memberikan perintah atau pimpinan dalam suatu badan hukum yang secara fisik bukanlah sebagai pelaku tindak pidana (fysieke daderschap).

Shofie (2011: 31-32) mengatakan bahwa ajaran ini memberi ruang yang lebih luas bagi

Page 71: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

168 | Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 155 - 171

penerapan asas geen straf zonder schuld karena kesalahan individu pimpinan atau pengurus korporasi yang memberi perintah pada suatu badan hukum atau yang menjalankan perintah (pelaku fisik) diatribusikan sebagai kesalahan korporasi tersebut. Menurut Wolter sebagaimana dikutip oleh Sahetapy, bahwa kepelakuan fungsional adalah karya interpretasi kehakiman. Hakim menginterpretasikan tindak pidana itu sedemikian rupa sehingga pemidanaannya memenuhi tuntutan masyarakat (Sahetapy, 2002: 37-38).

Dalam perkara a quo, bila dianalisis secara normatif dan doktrinal –keputusan majelis hakim yang menghukum terdakwa PT KA yang diwakili oleh SR sebagai direktur sudah sangat tepat. Namun demikian majelis hakim seharusnya bisa mengeksplorasi lebih jauh keterangan para saksi apakah pembakaran lahan tersebut semata-mata hanya diketahui oleh direktur atau ada pihak lain yang memerintahkan suatu tindakan. Bila ada yang memberi perintah maka seharusnya ia ikut diproses hukum sebagaimana ditekankan pada Pasal 116 ayat (1) huruf b Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Proses hukum kepada pemberi perintah ini, secara doktrin juga dapat dibenarkan karena hal ini didukung oleh ajaran functioneel daderschap baik yang dikemukakan oleh Roling maupun oleh Wolter.

Keempat, bahwa membuka lahan perkebunan dengan cara merusak lingkungan, dapat dibuktikan berdasarkan keterangan beberapa orang saksi, keterangan ahli, dan saksi ahli yang diperoleh berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium. Pertimbangan ini secara implisit mengarah pada alat-alat bukti dan sistem pembuktian yang disebutkan dalam Pasal 184 jo. Pasal 183 Undang-Undang Nomor

8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pada perkara a quo, pembuktian adanya tindak pidana lingkungan hidup ditempuh melalui tiga alat bukti yakni keterangan saksi, keterangan ahli, dan surat berupa hasil pemeriksaan laboratorium.

Ketiga alat bukti inilah yang mendukung keyakinan majelis hakim sehingga memidana terdakwa PT KA. Dengan kata lain sistem pembuktian negatief wettelijk bewijs theorie yaitu pembuktian menurut keyakinan hakim yang timbul dari alat-alat bukti dalam undang-undang secara negatif telah diadopsi oleh majelis hakim dalam perkara a quo.

Kelima, pertimbangan majelis hakim yang lain dan menarik dianalisis adalah ihwal perdebatan antara penuntut umum dan terdakwa yang menyoal adanya dugaan pelanggaran asas nebis in idem dalam putusan a quo. Munculnya dugaan ini disebabkan oleh adanya gugatan perdata terlebih dahulu terhadap PT KA dengan reg Nomor 12/Pdt.G/2012, PN. Mbo.

Terdakwa PT KA dituntut secara pidana atas tuduhan melanggar Pasal 108 jo. Pasal 116 ayat (1) huruf a Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pasal 64 KUHP dengan locus dan tempus yang sama. Melihat perdebatan tersebut majelis hakim dalam pertimbangannya menyatakan bahwa perkara a quo tidaklah melanggar prinsip nebis in idem sebab ada perbedaan ranah hukum yakni ranah hukum perdata dan ranah hukum pidana.

Komentar penulis atas pertimbangan majelis hakim tersebut sebagai berikut: bahwa asas nebis in idem atau nemo debet bis vexari berarti tidak seorangpun atas perbuatannya dapat dituntut untuk kedua kalinya. Dalam sistem hukum Anglo Saxon istilah ini diterjemahkan

Page 72: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

Penerapan Pidana Tambahan dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Hariman Satria) | 169

menjadi no one could be put twice in jeopardy for the some offence/double jeopardy.

Hal ini selaras dengan postulat nihil in lege intolerabilius est (quam) eandem rem diverso jure censeri artinya hukum tidak membiarkan kasus yang sama diadili di beberapa pengadilan. Secara teori, ada tiga tujuan perumusan asas nebis in idem, yaitu:

1. Untuk menjaga kehormatan dan keluhuran martabat hakim yang telah memutus suatu perkara. Res judicata in criminalibus: hakim tidak dipaksa untuk mengulang-ulang dalam memeriksa suatu kasus atau membantah pandangan-pandangan hakim lain (Remmelink, 2003: 425).

2. Untuk menjamin hak asasi manusia. Dalam hal ini seorang individu tidak dapat lagi diadili atas perkaranya yang telah berkekuatan hukum tetap.

3. Negara harus memberikan kepastian hukum (Hiariej, 2014: 423). Tegasnya syarat adanya nebis in idem adalah res judicata artinya ada suatu tindak pidana yang telah diperiksa dan diputus oleh pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).

4. Dalam konteks perkara a quo, pemeriksaan terhadap terdakwa sama sekali tidak dapat dikaitkan melanggar asas nebis in idem. Sebab perkara tindak pidana lingkungan hidup yang dilakukan oleh terdakwa PT KA belum pernah diperiksa dan diputus oleh pengadilan lain. Meskipun di saat bersamaan ada gugatan perdata kepada terdakwa tetapi hal itu adalah dua hal yang berbeda. Dengan demikian proses hukum kepada terdakwa PT KA adalah tepat dan

tidak melanggar asas nebis in idem atau double jeopardy.

IV. KESIMPULAN

Dalam Putusan Nomor 1554 K/Pid.Sus/2015, terdakwa PT KA yang diwakili oleh SR selaku direktur, dipidana dengan pidana denda sebesar Rp3 miliar. Artinya, bahwa terdakwa dipidana dengan menggunakan ancaman pidana minimal sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 108 Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Padahal selain ancaman pidana minimal peraturan a quo juga mengadopsi ancaman pidana maksimal. Karena perbuatan terdakwa menimbulkan akibat yang sangat signifikan maka idealnya ia dijatuhi pidana maksimal, sehingga mampu memberi efek jera baik kepada terdakwa maupun kepada perusahaan lain.

Demikian pula, terdakwa tidak dikenai pidana tindakan tata tertib seperti perbaikan akibat tindak pidana guna memulihkan kerugian keuangan negara. Terdakwa juga tidak dikenai pidana tambahan berupa pencabutan seluruh atau sebagai tempat usaha, padahal Pasal 119 Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup telah membuka kemungkinan penjatuhan sanksi tindakan tata tertib atau pidana tambahan. Padahal dalam Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup secara ekspressive verbis telah mengakomodasi konsep double track system atau sistem dua jalur yakni penjatuhan sanksi pidana dan tindakan secara bersamaan kepada pelaku tindak pidana lingkungan hidup. Namun demikian dalam putusan a quo belum maksimal baik dilihat dari sisi pemulihan kerugian keuangan negara maupun dari sisi sanksi pidana denda kepada pelaku.

Page 73: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

170 | Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 155 - 171

DAFTAR PUSTAKA

Braithwaite, J. (1984). Corporate crime in the pharmaceutical industry. London: Routledge & Kegan Paul.

Clarkson & Keating. (2007). Criminal law: Text and material. London: Sweet and Maxwell.

Cohen, M.L., & Olson, K.C. (1992). Legal research. New York: West Thompson Publishing Company.

Dobson, P. (2008). Criminal law (Eight edition). London: Thomson Sweet and Maxwell.

Fletcher, G.P. (2000). Rethinking criminal law. New York: Oxford University Press.

Frankel, M.E. (1993). Criminal sentences: Law without order (Third edition). New York: Hill and Wang.

Frestone, D. (1994). The road from Rio: International enviromental law after the earth summit. Journal of Enviromental Law, 6, 193-200.

Harahap, M.Y. (2009). Pembahasan permasalahan & penerapan KUHAP: Penyidikan & penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika.

Hiariej, E.O.S. (2014). Prinsip-prinsip hukum pidana. Yogyakarta: Cahya Atma Pustaka.

Istanto, F.S. (2007). Penelitian hukum. Yogyakarta: CV Ganda.

Jonkers, J.E. (1987). Buku pedoman hukum pidana Hindia Belanda. Jakarta: PT Bina Aksara.

Kelsen, H. (2006). General theory of law & state. New York: Russel & Russel.

LaFave, W.R. (2003). Principle of criminal law (Second edition). New York: West A Thomson Reuters Bussines.

Laufer, W.S. (2006). Corporate bodies & guilty

mind: The failure of corporate criminal libility. Chicago & London: The University of Chicago Press.

Marzuki, P.M. (2014). Penelitian hukum (Edisi revisi). Jakarta: Kencana Pernada Media.

Mcleod, T.I. (1999). Legal theory. London: Macmillan.

Moeljatno. (2008). Asas-asas hukum pidana. Edisi Revisi. Jakarta: Rineka Cipta.

Muladi & Priyatno, D. (2010). Pertanggungjawaban pidana korporasi (Edisi revisi). Jakarta: Kencana Pernada Media Group.

Pinto, A., & Evans, M. (2003). Corporate criminal liability. London: Sweet and Maxwell.

Poernomo, B (1993). Asas-asas hukum pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Prodjodikoro, W. (2003). Asas-asas hukum pidana di Indonesia. Bandung: Refika Aditama.

Rahmadi, T. (2014). Hukum lingkungan di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Reid, S.T. (1995). Criminal law (Third edition). New York: Prentice Hall.

Remmelink, J. (2003). Hukum pidana: Komentar atas pasal-pasal terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda & padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Sahetapy, J.E. (2002). Kejahatan korporasi. Bandung: Refika Aditama.

Saleh, R. (1980). Perbuatan pidana & pertanggungjawaban pidana: Dua pengertian dasar dalam hukum pidana. Jakarta: Aksara Baru.

Samaha, J. (2014). Criminal law (11th edition).

Page 74: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

Penerapan Pidana Tambahan dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Hariman Satria) | 171

United States-Minesota: Wadsworth Cengage Learning.

Satria, H. (2016, Juni). Pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana sumber daya alam. Jurnal Mimbar Hukum, 28(2), 288-300.

Schaffmeister, D., Keijzer, N., & Sutorius, E.P.H. (1995). Hukum Pidana. Sahetapy, J.E. (Ed). Yogyakarta: Liberty.

Shofie, Y (2011). Tanggung jawab pidana korporasi dalam hukum perlindungan konsumen di Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

Sholehuddin, M. (2004). Sistem sanksi dalam hukum pidana: Ide dasar double track system & implementasinya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Simpson, S.S., & David Weisburd. (2009). The Criminology of White-Collar Crime, New York: Springer Science and Business Media.

Simpson, S.S. (2005). Corporate crime, law, and social control. New York: Cambridge University Press.

Sjahdeini, S.R. (2006). Pertanggungjawaban pidana korporasi. Jakarta: Grafiti Pers.

Sjawie, H.F. (2013). Direksi perseroan terbatas serta pertanggungjawaban pidana korporasi. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

Smith, J.C., & Hogan, B. (1998). Criminal law (Fourth edition). London: Butterworths.

Stone, J.R. (2005). Dictionary of Latin quotations: The illiterati’s guide to Latin maxims, mottoes, proverbs, & sayings. New York: Routledge Taylor and Francis Group.

Supriyadi. (2015). Reformulasi kewenangan mengadili tindak pidana umum oleh militer di Indonesia. Disertasi. Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada.

Sutherland, E.H., & Cressey, D.R. (1955). Criminology (Sixth edition). New York: JB Lippincott Company.

White, R. (2011). Transnational enviromental crime: Toward an eco-global criminology. London dan New York: Routledge Taylor and Francis Group.

Page 75: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,
Page 76: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

Pembuktian Tindak Pidana Pencucian Uang Tanpa Dakwaan Tindak Pidana Asal (Halif ) | 173

ABSTRAK

Dalam surat dakwaan Putusan Nomor 57/PID.SUS/2014/PN.SLR, penuntut umum mendakwa dengan pasal tindak pidana pencucian uang tanpa bersamaan dengan pasal tindak pidana asal, sebagaimana diatur secara limitatif dalam Pasal 2 Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Hal yang demikian berdampak kepada hakim dalam membuktikan unsur tindak pidana pencucian uang yang diketahui atau patut diduga hasil dari tindak pidana asal. Permasalahan yang menarik untuk dianalisis adalah 1) mengapa penentuan bentuk dakwaan menjadi penting dalam tindak pidana pencucian uang?; dan 2) bagaimanakah hakim membuktikan unsur tindak pidana pencucian uang jika tindak pidana asal tidak didakwakan? Untuk menganalisis permasalahan tersebut digunakanlah metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Penentuan bentuk dakwaan dalam tindak pidana pencucian uang menjadi dasar bagi hakim untuk menentukan sistem pembuktian dalam membuktikan unsur. Dengan pembuktian yang tepat hakim dapat membuktikan unsur tindak pidana pencucian uang. Oleh karena itu, penyusunan surat dakwaan yang tepat dalam tindak pidana pencucian uang menjadi hal yang sangat penting.

Kata kunci: pencucian uang, dakwaan, pembuktian.

ABSTRACT

In the accusation of Court Decision Number 57/PID.SUS/2014/PN.SLR, the prosecutor filed the accusation with the article of money laundering crime without referring to the article on the predicate crime, as regulated in Article 2 of Law on Money Laundering Crime. Such matters affect the judges in proving the elements of money laundering crime known or reasonably suspected to be the result of a predicate crime. Issues of interest to review in the analysis are: 1) why does determining the form of the accusation play important role in the money laundering crime? and 2) how does the judge prove the element of money laundering crime if the predicate crime is not accused? To analyse these problems, the juridical-normative method with legislative and conceptual approaches was used in this analysis. The accusation form determination in money laundering crime becomes the basis for the judge to determine the proof system in proving the element. With the precise proof the judge can prove the element of money laundering crime. It is therefore vey important to precisely write the accusation letter in the money laundering crime. However in proving the money laundering crime the predicate crime should be proved first.

Keywords: money laundering, accusation, proof.

PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANGTANPA DAKWAAN TINDAK PIDANA ASAL

Kajian Putusan Nomor 57/PID.SUS/2014/PN.SLR

PROVING MONEY LAUNDERING CRIMEWITHOUT ACCUSATION OF PREDICATE CRIME

HalifFakultas Hukum Universitas Jember

Jl. Kalimantan 37 Kampus Bumi Tegalboto, Jember 68121E-mail: [email protected]

An Analysis of Court Decision Number 57/PID.SUS/2014/PN.SLR

Naskah diterima: 16 Februari 2017; revisi: 14 Agustus 2017; disetujui 14 Agustus 2017

Page 77: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

174 | Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 173 - 192

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tindak pidana pencucian uang merupakan proses penyembunyian atau penyamaran harta kekayaan yang dihasilkan dari tindak pidana asal, seperti tindak pidana korupsi, tindak pidana perdagangan narkoba atau tindak pidana perdagangan orang, baik melalui sistem keuangan maupun melalui sistem non- keuangan, sehingga harta kekayaan tersebut seolah-olah menjadi sah.

Sebagaimana kesimpulan yang dirumuskan Sjahdeini (2007: 5) dari beberapa pendapat tentang pengertian pencucian uang, bahwa pencucian uang adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi terhadap uang yang dihasilkan dari tindak pidana yang tujuannya untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul dari penegak hukum dengan cara memasukkan uang tersebut ke dalam sistem keuangan (financial system) sehingga nantinya menjadi uang yang halal.

Dari pengertian tersebut nampak bahwa pencucian uang mengandung dua tindak pidana, sebagaimana rumusan pencucian uang di negara-negara ASEAN, yang merumuskan tindak pidana pencucian uang dengan tindak pidana asal (predicate offence), meskipun jenis tindak pidana asal yang dirumuskan berbeda-beda (Arief, 2013: 144-146).

Pertama, tindak pidana asal (predicate offence), tindak pidana ini merupakan tindak pidana yang menjadi sumber asal dari harta haram (dirty money) atau hasil tindak pidana (criminal proceeds) yang kemudian dicuci (Arief, 2013: 144). Jenis tindak pidana asal secara limitatif diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan

Pemberatasan Tindak Pidana Pencucian Uang, seperti tindak pidana korupsi, tindak pidana perdagangan narkoba atau tindak pidana lain yang diancam pidana penjara empat tahun atau lebih.

Kedua, tindak pidana pencucian uang, tindak pidana ini merupakan tindakan atau perbuatan menyamarkan atau menyembunyikan harta kekayaan hasil tindak pidana asal dengan tujuan agar asal usul harta kekayaan tidak diketahui, sehingga harta kekayaan yang sebenarnya hasil dari tindak pidana (ilegal) menjadi seolah-olah harta kekayaan yang sah.

Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa antara tindak pidana pencucian uang dengan tindak pidana asal memiliki hubungan yang erat. Bagaimana mungkin akan terjadi tindak pidana pencucian uang jika tidak didahului oleh tindak pidana asal terlebih dahulu, sementara objek tindak pidana pencucian uang adalah harta kekayaan yang dihasilkan dari tindak pidana asal. Artinya, tindak pidana pencucian uang tidak akan terjadi jikalau tidak didahului oleh tindak pidana asal.

Hubungan tersebut ternyata menimbulkan permasalahan dalam penegakan hukum, baik pada tingkat penyidikan, penuntutan atau pada saat pembuktian di sidang pengadilan. Pada tingkat penyidikan, penyidik berada pada dua pilihan, melakukan penyidikan secara bersamaan antara tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana asal atau hanya menyidik tindak pidana pencucian uang. Demikian juga dalam penyusunan surat dakwaan, penuntut umum berada pada dua pilihan, mendakwa secara bersamaan antara tindak pidana asal dan tindak pidana pencucian uang atau hanya mendakwa tindak pidana pencucian uang.

Page 78: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

Pembuktian Tindak Pidana Pencucian Uang Tanpa Dakwaan Tindak Pidana Asal (Halif ) | 175

Hal demikian juga dihadapi oleh hakim pada saat membuktikan unsur tindak pidana, hakim berada pada dua pilihan, membuktikan tindak pidana asal terlebih dahulu dan dilanjutkan dengan membuktikan tindak pidana pencucian uang, jika keduanya didakwakan secara bersamaan, atau hanya membuktikan tindak pidana pencucian uang saja, karena tindak pidana asal tidak didakwakan.

Berkenaan dengan permasalahan di atas, terdapat satu putusan yang menarik untuk dikaji dan dianalisis, putusan tersebut adalah Putusan Nomor 57/Pid.Sus/2014/PN.Slr. Terdakwa dalam putusan ini adalah R (48 tahun), seorang pedagang pupuk dari Kabupaten Selayar. Perdagangan pupuk yang dilakukan R merupakan hasil penyelundupan dari Malaysia yang dibawa melalui kapal menuju Flores, Nusa Tenggara Timur untuk dijual. Hasil dari penjualan pupuk tersebut ditransfer melalui rekening pinjaman kepada orang lain atas nama AR dengan Nomor Rekening 0257-01-006306-603 Bank BRI Selayar. Transfer tersebut dilakukan dua kali, yaitu: pertama, pada tanggal 2 Januari 2014 sebesar Rp54.000.000,- Kedua, pada tanggal 3 Januari 2014 sebesar Rp75.000.000,- Jadi jumlah keseluruhan uang yang ditransfer teman R ke rekening AR berjumlah Rp129.000.000,-

Berdasarkan apa yang dilakukan R, penuntut umum mendakwanya dengan bentuk surat dakwaan subsider, primer Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, subsider Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010.

Hakim mempertimbangkan bahwa dakwaan primer Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tidak terbukti dengan pertimbangannya bahwa perbuatan yang dilakukan terdakwa tidak tergolong sebagai perbuatan aktif, sementara Pasal 3 diperuntukkan bagi pelaku aktif. Sedangkan

dakwaan subsider Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, hakim mempertimbangkan bahwa unsur Pasal 4 telah terpenuhi dan terbukti dengan pertimbangan bahwa terdakwa yang meminjam rekening AR dan menyuruh temannya untuk mentransfer uang yang diduga harta hasil tindak pidana penyelundupan pupuk ke rekening BRI milik AR.

Hal menarik untuk dianalisis dari uraian di atas, mengenai penentuan bentuk surat dakwaan dalam tindak pidana pencucian uang dan pembuktian unsur tindak pidana pencucian. Penuntut umum menyusun surat dakwaannya dengan bentuk subsider, primer Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, sedangkan subsider Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010. Antara tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana asal memiliki hubungan yang erat, meskipun keduanya berdiri sendiri-sendiri. Sementara terhadap pembuktian unsur tindak pidana pencucian uang, hakim membuktikannya tanpa terlebih dahulu membuktikan tindak pidana asalnya. Bahkan hakim menyatakan terdakwa terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang “meskipun tindak pidana asalnya tidak dibuktikan terlebih dahulu.”

B. Rumusan Masalah

Setelah meyimak latar belakang di atas dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Mengapa penentuan bentuk surat dakwaan terhadap tindak pidana pencucian uang dalam Putusan Nomor 57/PID.SUS/2014/PN.SLR menjadi penting?

2. Bagaimanakah hakim membuktikan unsur tindak pidana pencucian uang dalam

Page 79: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

176 | Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 173 - 192

Putusan Nomor 57/PID.SUS/2014/PN.SLR jika tindak pidana asal tidak didakwakan?

C. Tujuan dan Kegunaan

Setiap penelitian pasti memiliki tujuan sebagai suatu sasaran yang ingin dicapai, adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui dan menganalisa penentuan bentuk surat dakwaan terhadap tindak pidana pencucian uang dalam Putusan Nomor 57/PID.SUS/2014/PN.SLR menjadi penting.

2. Mengetahui dan menganalisa hakim dalam membuktikan unsur tindak pidana pencucian uang dalam Putusan Nomor 57/PID.SUS/2014/PN.SLR jika tindak pidana asal tidak didakwakan.

Selain tujuan tentunya penelitian ini memiliki kegunaan atau manfaat, adapun kegunaan dari penelitian ini adalah:

1. Secara teoritis, penelitian ini dapat memberi sumbangsih pemikiran tentang karakteristik tindak pidana pencucian uang, serta hubungannya dengan tindak pidana asal.

2. Secara praktis, penelitian ini dapat dijadikan acuan oleh penegak hukum, baik pada tingkat penyidikan, penuntutan maupun pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana pencucian uang.

D. Tinjauan Pustaka

Istilah tindak pidana pencucian uang berasal dari terjemahan money laundering, dalam bahasa Indonesia diartikan pencucian uang. Steel

menceritakan bahwa istilah money laundering awalnya dari tempat usaha pencucian pakaian secara otomatis di AS yang disebut dengan laundromats. Usaha yang berkedok pencucian pakaian otomatis ini dipilih oleh para mafia untuk menyamarkan uang hasil tindak pidana yang dilakukannya menjadi seolah-olah uang yang sah (Darwin, 2012: 12). Namun, menurut Robinson cerita yang demikian hanyalah cerita bohong, menurutnya pencucian uang bukanlah yang seperti disebutkan di atas akan tetapi penempatan uang hasil kejahatan melalui sirkulasi transaksi yang akhirnya uang hasil kejahatan tersebut seolah-olah menjadi uang yang sah (Sjahdeini, 2007: 6).

Menurut Willing pengertian pencucian uang adalah proses penyembunyian keberadaan, sumber tindak sah, atau aplikasi pendapatan tidak sah, sehingga pendapatan itu menjadi nampak sah. Demikian juga menurut Fraser, pencucian uang adalah sebuah proses yang sungguh sederhana di mana uang kotor diproses atau dicuci melalui sumber yang sah atau bersih sehingga orang dapat menikmati keuntungan tidak halal itu dengan aman (Harmadi, 2011: 26).

Menurut Bucy mendefinisikan pencucian uang adalah perahasiaan dari keberadaan, sumber yang tidak sah tentang dana gelap sedemikian rupa sehingga dana tersebut akan tampak sah jika ditemukan. Tidak berbeda dengan pendapat Chaikin yang mendefinisikan pencucian uang sebagai suatu proses dengan mana satu penyembunyian atau penyamaran sumber, disposisi, pergerakan, atau uang kepemilikan untuk alasan apapun juga (Harmadi, 2011: 26).

Proses penyamaran atau penyembunyian atas uang hasil tindak pidana tersebut dapat dilakukan melalui tiga tahapan (Uly & Tanya, 2009:

Page 80: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

Pembuktian Tindak Pidana Pencucian Uang Tanpa Dakwaan Tindak Pidana Asal (Halif ) | 177

13-17), yaitu: 1) placemen, yakni kegiatan untuk menempatkan uang hasil tindak pidana ke sistem keuangan atau non-sistem keuangan; 2) layering, yakni kegiatan pelapisan dengan mentransfer uang hasil tindak pidana yang telah diletakkan di sistem keuangan (bank) lalu ditransfer ke sistem keuangan yang lain (bank), baik di lingkup dalam negeri maupun di luar negeri; dan 3) integration, yakni kegiatan penyatuan uang hasil tindak pidana yang telah diproses dalam sistem keuangan ditarik dan dimasukkan ke perusahaan yang sah.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang mempertegas pengertian tindak pidana pencucian uang secara yuridis, pada Pasal 1 angka (1) dinyatakan bahwa: “Pencucian uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini,” yakni Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010.

Menurut Husein pada saat sosialisasi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 di Fakultas Hukum Universitas Jember tahun 2011 menyatakan bahwa Pasal 3 merupakan delik aktif, sedangkan Pasal 5 merupakan delik pasif. Penentuan yang demikian dapat memudahkan penegak hukum dalam membuktikan perbuatan tindak pidana pencucian uang. Sedangkan Pasal 4 merupakan delik baru untuk menjerat pelaku yang menyembunyikan asal usul, sumber dan lainya, tetapi pelaku bukanlah pelaku tindak pidana asal (Husein, 2011).

Dalam konteks pidana materiil, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 sepintas bersifat kontradiktif, Pasal 69 menyatakan: “Untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak

pidana pencucian uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya.”

Berdasarkan pasal ini dapat disimpulkan bahwa perkara tindak pidana pencucian uang dapat dilakukan penyidikan juga penuntutan bahkan dilakukan proses persidangan meskipun tindak pidana asal dari tindak pidana pencucian uang tidak dibuktikan terlebih dahulu. Dengan kata lain, tindak pidana pencucian uang dapat dilakukan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan secara mandiri tanpa bersamaan dengan tindak pidana asal.

Pasal 75 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 menyatakan: “Dalam hal penyidikan menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana asal, penyidik menggabungkan penyidikan tindak pidana asal dengan penyidikan tindak pidana pencucian uang dan memberitahukannya kepada PPATK.” Pasal ini memberi peluang kepada tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana asal dilakukan penyidikan secara bersamaan, dengan syarat apabila telah ada bukti permulaan yang cukup terhadap tindak pidana asal. Pasal tersebut juga berimplikasi pada penyusunan bentuk surat dakwaan oleh penuntut umum, berpijak pada pasal tersebut, bentuk surat dakwaan yang disusun penuntut umum berbentuk kumulatif, yakni mendakwa secara bersama antara tindak pidana asal dan tindak pidana pencucian uang.

Dua pasal di atas seolah-olah bersifat kontradiktif, Pasal 69 memperkenankan untuk dilakukan penyidikan, bahkan penuntutan apalagi pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana pencucian uang meskipun tidak dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya. Sedangkan Pasal 75 juga memperkenankan dilakukan

Page 81: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

178 | Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 173 - 192

penyidikan secara bersamaan antara tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana asal, dengan syarat penyidik telah menemukan bukti permulaan yang cukup terhadap tindak pidana asal. Harus dipahami bahwa keberadaan Pasal 69 tidak bisa berdiri sendiri, harus disandingkan dengan Pasal 77 dan Pasal 78 (pembalikan beban pembuktian). Perumus Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 beranggapan bahwa pada akhirnya tindak pidana pencucian uang tetap didasari oleh adanya tindak pidana asal, maka pada tahap pemeriksaan di sidang pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77: “untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana.”

Terdakwa tindak pidana pencucian uang wajib membuktikan harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana alias tindak pidana asal. Selain itu, Pasal 69 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 berfungsi sebagai perampasan aset dengan cara keperdataan (civil forfectur) (Utomo, 2013: 62) yang dikhususkan terhadap tindak pidana illicit enrichment, yakni pejabat negara yang memiliki harta kekayaan melebihi dari profil pekerjaan dan penghasilannya, sehingga harta kekayaan yang lebih tersebut diduga hasil dari tindak pidana. Namun sangat disayangkan tindak pidana tersebut belum diberlakukan di Indonesia, sehingga Pasal 69 tidak berfungsi (Atmasasmita, 2013: 24).

II. METODE

Metode dalam suatu penelitian menjadi hal yang mutlak harus ada, sebagaimana yang disampaikan oleh Soekanto (2010:6) “metodologi merupakan suatu unsur yang mutlak harus ada di dalam penelitian dan pengembangan ilmu

pengetahuan.” Demikian juga yang disampaikan Ibrahim (2006: 26), terdapat dua hal yang sangat penting sebelum melakukan penelitian ilmiah, pertama, menguasai dasar-dasar ilmu pengetahuan yang akan ditelitinya, dan kedua, menguasai metodologi disiplin ilmu pengetahuan yang akan diteliti.

Penelitian yang penulis lakukan adalah penelitian terhadap Putusan Nomor 57/PID.SUS/2014/PN.SLR yang penulis peroleh dari Direktori Putusan Mahkamah Agung. Putusan ini diidentifikasi masalah hukum yang terkandung di dalamnya lalu dilakukan penalaran hukum dan menganalisanya untuk dipecahkan melalui kaidah-kaidah hukum yang berlaku dan relevan dengan permasalahan hukum yang ingin dipecahkan, sehingga luaran dari hasil analisisnya berbentuk preskripsi. Tipe penelitian yang demikian menurut Marzuki (2016: 60) disebut dengan penelitian yuridis normatif.

Untuk menganalisis permasalahan hukum yang ada dalam Putusan Nomor 57/PID.SUS/2014/PN.SLR, penulis menggunakan dua pendekatan, pertama, pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan ini dilakukan dengan cara menelaah undang-undang dan regulasi yang berhubungan dengan permasalahan hukum yang penulis angkat. Kedua, pendekatan konseptual (conceptual approach), pendekatan yang menggunakan pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum yang membentuk pengertian ilmu hukum, konsep-konsep hukum dan asas-asas hukum. Untuk menganalisis rumusan masalah yang menjadi objek penelitian dibutuhkan bahan hukum, baik yang bersifat bahan hukum primer maupun yang bersifat bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat

Page 82: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

Pembuktian Tindak Pidana Pencucian Uang Tanpa Dakwaan Tindak Pidana Asal (Halif ) | 179

autoritatif yakni memiliki otoritas. Sedangkan bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, risalah pembuatan perundang-undangan dan putusan hakim (Marzuki, 2016: 181).

Bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah KUHAP, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, dan Putusan Nomor 57/PID.SUS/2014/PN.SLR. Sedangkan bahan hukum sekunder adalah semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi, seperti buku-buku teks, jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan (Marzuki, 2016: 181). Bahan hukum sekunder dari penelitian ini terdiri dari buku-buku hukum, jurnal yang ada hubungan dengan rumusan masalah.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Urgensi Penentuan Bentuk Surat Dakwaan terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang dalam Putusan Nomor 57/PID.SUS/2014/PN.SLR

Penuntut umum memiliki kewenangan mutlak dalam merumuskan surat dakwaan sebagai tindak lanjut dari proses penyidikan untuk dilimpahkan ke pengadilan agar diperiksa dan diputus. Pasal 140 KUHAP menyatakan: “Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan.”

Menurut Harahap (2010: 386), pasal di atas merupakan bagian dari kegiatan penuntutan, kegiatan tersebut terdiri dari tahapan proses pemeriksaan atas suatu tindak pidana yang dimulai dari tahapan pemeriksaan penyidikan ke tingkat proses pemeriksaan di sidang pengadilan yang dilakukan oleh hakim guna mengambil

putusan atas perkara tindak pidana. Akan tetapi sebelum sampai pada proses pelimpahan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, penuntut umum terlebih dulu mempelajari berkas hasil penyidikan, apakah telah lengkap atau belum. Jika telah dinyatakan lengkap, penuntut umum mempersiapkan surat dakwaan dan surat pelimpahan perkara kepada pengadilan. Artinya, sebelum suatu perkara pidana dilimpahkan dan diperiksa di pengadilan, tugas pokok penuntut umum adalah mempersiapkan surat dakwaan.Pada hakikatnya fungsi surat dakwaan adalah sebagai dasar bagi hakim dalam memeriksa dan memutus. Harahap (2010: 389) mengatakan bahwa surat dakwaan sebagai landasan dan titik tolak pemeriksaan terdakwa dalam sidang pengadilan.

Hamzah (2010: 167) juga menyatakan: bahwa surat dakwaan merupakan dasar penting hukum acara pidana karena berdasarkan hal yang dimuat dalam surat dakwaan, hakim akan memeriksa. Hal yang sama diungkapkan oleh Muhammad (2007: 83), setiap penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan selalu disertai dengan surat dakwaan sebagai dasar pemeriksaan yang dilakukan oleh hakim di pengadilan.

Penyusunan surat dakwaan dalam perkara tindak pidana pencucian uang tidaklah mudah. Karena tindak pidana pencucian uang memiliki karakteristik yang berbeda dengan tindak pidana lain, tindak pidana ini terdiri dari dua tindak pidana, pertama, tindak pidana asal secara limitatif disebutkan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, dari tindak pidana asal inilah harta kekayaan yang tidak sah dihasilkan. Kedua, tindak pidana pencucian uang, yakni tindak pidana yang menyembunyikan atau menyamarkan harta kekayaan yang dihasilkan

Page 83: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

180 | Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 173 - 192

oleh tindak pidana asal agar seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah.

Dua tindak pidana tersebut memiliki hubungan yang erat, sehingga “seolah-olah” tidak akan terjadi tindak pidana pencucian uang jikalau tidak didahului oleh tindak pidana asal terlebih dahulu. Hal tersebut berdampak pada penyusunan surat dakwaan, apakah antara tindak pidana pencucian uang dengan tindak pidana asal didakwa secara bersamaan atau hanya tindak pidana pencucian uang yang didakwakan tanpa tindak pidana asal.

Harus diingat bahwa penentuan atau penyusunan surat dakwaan dalam tindak pidana pencucian uang memiliki konsekuensi kepada hakim untuk menentukan sistem pembuktian yang telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010. Jika dakwaan yang disusun menggabungkan antara tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana asal, maka pembuktiannya menggunakan sistem pembuktian yang diatur dalam KUHAP, namun jika dakwaan yang disusun hanya mendakwa tindak pidana pencucian uang, maka pembuktiannya menerapkan sistem pembalikan beban pembuktian. Pada Putusan Nomor 57/PID.SUS/2014/PN.SLR penuntut umum menyusun surat dakwaan berbentuk subsider, primer Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, yaitu:

“Setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling

lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,-”

Sedangkan subsider Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, yaitu:

“Setiap orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,-”

Jikalau merujuk pada ketentuan hukum acara yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, penuntut umum diberi kewenangan yang bebas, mendakwa pelaku tindak pidana pencucian uang dengan hanya mendakwa tindak pidana pencucian uang atau mendakwa bersamaan dengan tindak pidana asal, sebagaimana diatur dalam Pasal 69 dan Pasal 75 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010.

Pasal 69 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 menyatakan bahwa: “Untuk dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana pencucian uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya.” Pasal ini menyatakan bahwa proses penyidikan, penuntutan bahkan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana pencucian uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya. Artinya, penyidik diperkenankan melakukan penyidikan terhadap tindak pidana pencucian uang meskipun tidak dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya, demikian juga penuntut umum dan hakim dalam melakukan penuntutan dan pememeriksa di sidang pengadilan.

Page 84: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

Pembuktian Tindak Pidana Pencucian Uang Tanpa Dakwaan Tindak Pidana Asal (Halif ) | 181

Jika merujuk pada Pasal 75 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 yang menyatakan: “Dalam hal penyidik menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana asal, penyidik menggabungkan penyidikan tindak pidana asal dengan penyidikan tindak pidana pencucian uang dan memberitahukannya kepada PPATK.” Penyidik dapat melakukan penyidikan secara bersamaan antara tindak pidana asal dengan tindak pidana pencucian uang, demikian pula penuntut umum, juga dapat menyusun surat dakwaan secara bersamaan (kumulasi) antara tindak pidana asal dan tindak pidana pencucian uang.

Tidak menjadi persoalan jikalau penuntut umum dalam menyusun surat dakwaan dalam Putusan Nomor 57/PID.SUS/2014/PN.SLR hanya mendakwa pasal tindak pidana pencucian uang tanpa menyertakan tindak pidana asal, sebagaimana diatur dalam Pasal 69 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010. Namun demikian, hakim harus menerapkan Pasal 77, artinya hakim dapat menerapkan pembalikan beban pembuktian. Mengapa demikian karena eksistensi Pasal 69 memiliki korelasi dengan Pasal 77.

Pasal 69 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 harus dipahami secara konprehensif oleh para penegak hukum, khususnya hakim, agar penerapannya benar-benar sesuai dengan rasio legis pada saat pasal tersebut dirumuskan. Sebagaimana kritik yang disampaikan Atmasasmita (2013: 7) terhadap penerapan hukum tindak pidana pencucian uang:

“Merujuk kelemahan-kelemahan dalam penanganan perkara tindak pidana pencucian uang sehingga harus terjadi perubahan kedua kali, menurut pendapat saya, bukanlah perubahan undang-undang yang menjadi masalah dalam pembentukan undang-undang ini (Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 2010, penulis), melainkan pada pemahaman dan persepsi para ahli hukum pidana dan praktisi hukum terhadap filosofi, visi, misi, dan karakter tindak pidana pencucian uang.”

Pasal 69 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 sebenarnya mengatur tentang perampasan aset dengan cara keperdataan (civil forfeiture/in rem). Menurut Atmasasmita (2013: 23), hakikat pasal tersebut adalah untuk merampas aset hasil tindak pidana asal (yang dicuci) melalui keperdataan (civil forfeiture/in rem), selama ini perampasan aset yang selalu digunakan adalah in personam/criminal forfeiture, perampasan aset setelah adanya putusan hakim dalam perkara pidana. Karena ketentuan tersebut menegaskan bahwa sasaran Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 adalah bukan pada perbuatan (kesalahan) terdakwa, melainkan pada harta kekayaan yang diduga berasal dari atau terkait dengan tindak pidana asal.

Model perampasan seperti ini menitikberatkan pada “benda” (thing), di mana benda dalam konteks ini merupakan fiksi hukum yang menegaskan bahwa, benda tersebut (harta hasil tindak pidana asal) dianggap sebagai “subjek hukum” yang memiliki kesadaran atau niat, layaknya seperti seorang manusia sehingga patut dipertanggungjawabkan status hukumnya (Atmasasmita, 2010: 59).

Model perampasan aset yang demikian, sebagaimana yang dianut dalam Pasal 69 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 didasari oleh pandangan yang mengatakan “tidak seseorangpun berhak memiliki kekayaan yang tidak patut dimilikinya.” Pandangan ini tercermin dari beberapa istilah, crime shouldn’t pay; unjust enrichment atau illicit enrichment; no one benifit from his own wrongdoing. Teori yang melandasi

Page 85: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

182 | Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 173 - 192

pandangan ini disebut rational choice theory (Atmasasmita, 2010: 58). Sehingga original intent antara tindak pidana asal dengan tindak pidana pencucian uang memiliki perbedaan. Original intent pada tindak pidana asal masih bertumpu pada segi perbuatan dan pembuatnya (daad-dader strafrecht). Sedangkan objek tindak pidana pencucian uang adalah harta kekayaan yang diduga berasal atau diperoleh dari tindak pidana asal.

Perbedaan objek kedua tindak pidana tersebut berdampak terhadap pembuktian secara normatif, yaitu pembuktian atas tindak pidana asal adalah perbuatan dan kesalahan pelaku tindak pidana asal, sedangkan pembuktian atas tindak pidana pencucian uang adalah pada perolehan kekayaan yang diduga berasal dari tindak pidana. Dengan demikian, tindak pidana pencucian uang yang didakwakan secara mandiri tanpa bersamaan dengan tindak pidana asalnya lebih kepada perampasan aset (harta kekayaan yang dicuci) sarana keperdataan (civil forfeiture) dengan didukung oleh pembalikan beban pembuktian. Di samping itu, tindak pidana pencucian uang yang didakwa secara mandiri tanpa bersamaan dengan tindak pidana asalnya tidak membuktikan perbuatan dan kesalahan pelaku tindak pidana pencucian uang.

Sangat disayangkan, hakim dalam Putusan Nomor 57/PID.SUS/2014/PN.SLR tidak menerapkan pembalikan beban pembuktian sebagaimana diatur dalam Pasal 77 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, meskipun pembalikan beban pembuktian tersebut hanya untuk merampas aset hasil tindak pidana melalui keperdataan, dan pembalikan beban pembuktian tersebut tidak membuktikan kesalahan R sebagai terdakwa.

Hakim menerapkan sistem pembuktian sebagaimana yang diatur dalam KUHAP, padahal penerapan pembuktian sebagaimana diatur dalam KUHAP apabila penuntut umum mendakwa terdakwa dengan pasal tindak pidana pencucian uang dengan tindak pidana asal (kumulatif). Jikalau hakim menerapkan sistem pembuktiannya dengan menggunakan sistem pembuktian sebagaimana diatur dalam KUHAP, maka penuntut umum dalam mendakwa terdakwa pelaku tindak pidana pencucian uang dalam Putusan Nomor 57/PID.SUS/2014/PN.SLR dengan bentuk surat dakwaan kumulatif, dakwaan pertama terdakwa didakwa dengan tindak pidana penyelundupan, karena terdakwa telah diduga melakukan tindak pidana penyelundupan pupuk matahari dari negara Malaysia ke Indonesia. Sedangkan dakwaan kedua, terdakwa didakwa dengan pasal tindak pidana pencucian uang baik Pasal 3 atau Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010.

Hakikatnya tindak pidana pencucian uang tidak berdiri sendiri sebagaimana tindak pidana lainnya, melainkan tindak pidana ini berhubungan dengan tindak pidana lainnya (tindak pidana asal/predicative offence), sehingga tepat jika dinyatakan bahwa tindak pidana pencucian uang merupakan condition sine qua non (berhubungan) dengan tindak pidana asal sebagaimana telah diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 (Atmasasmita, 2013: 7).

Demikian juga yang disampaikan oleh Garnasih, tindak pidana pencucian uang merupakan kejahatan yang mempunyai karakteristik berbeda dengan jenis kejahatan pada umumnya, terutama bahwa tindak pidana ini bukan merupakan tindak pidana tunggal tetapi kejahatan ganda. Namun demikian antara tindak pidana asal dan tindak pidana pencucian uang merupakan kejahatan yang

Page 86: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

Pembuktian Tindak Pidana Pencucian Uang Tanpa Dakwaan Tindak Pidana Asal (Halif ) | 183

berdiri sendiri (Garnasih, 2013: 4). Artinya tindak pidana pencucian uang memiliki karakter khusus, bahwa tindak pidana ini sangat berhubungan dengan tindak pidana asal, meskipun tindak pidana pencucian uang dengan tindak pidana asalnya berdiri sendiri-sendiri.

Hubungan antara tindak pidana pencucian uang dengan tindak pidana asalnya tidak memiliki satu kehendak jahat atau mens rea yang sama, karena kehendak melakukan tindak pidana asal yang diwujudkan dalam perbuatannya berbeda dengan kehendak untuk melakukan tindak pidana pencucian uang yang diatur dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010.

Menurut Atmasasmita (2013: 7), dengan alasan tersebut tindak pidana pencucian uang tidak termasuk tindak pidana berlanjut (vogezette handeling), karena tidak memiliki niat jahat yang sama. Namun kedua tindak pidana tersebut merupakan tindak pidana yang berbarengan (concursus realis), yakni dua tindak pidana yang berdiri sendiri dan ada hubungannya satu sama yang lain. Dari sisi hukum pidana formil, adanya tindak pidana dalam bentuk concursus (berbarengan) menuntut penuntut umum dalam menyusun surat dakwaannya berbentuk kumulasi, sebagai konsekuensi dari berbarengan tindak pidana tersebut sebagai aspek pemidanaan.

Pelanggaran atas pengajuan dakwaan bentuk kumulatif dalam perkara yang mengandung concursus (berbarengan) tindak pidana, dengan sendirinya merupakan cara yang tidak tepat dalam menjatuhkan hukuman. Karena setiap bentuk peristiwa pidana yang mengandung concursus (berbarengan) tindak pidana, sudah ditentukan cara atau sistem pemidanaannya (Harahap, 2010: 409).

Implikasi hubungan tindak pidana asal dengan tindak pidana pencucian uang terhadap penyusunan surat dakwaan, sebagaimana disampaikan oleh Garnasih, bahwa tindak pidana pencucian uang dengan tindak pidana asalnya harus disusun dakwaan dalam bentuk kumulatif, karena tujuan pelaku memproses tindak pidana pencucian uang adalah untuk menyembunyikan atau menyamarkan hasil dari predicate offence (tindak pidana asal) agar tidak diketahui asal usulnya untuk selanjutnya dapat digunakan, jadi bukan untuk tujuan menyembunyikan saja tapi merubah performance atau asal usul hasil kejahatan untuk tujuan selanjutnya dan menghilangkan hubungan langsung dengan tindak pidana asalnya.

Dengan demikian jelas bahwa berbagai kejahatan keuangan (interprise crimes) hampir pasti akan dilakukan pencucian uang atau paling tidak harus sesegera mungkin dilakukan pencucian uang untuk menyembunyikan harta hasil tindak pidana asal itu agar terhindar dari penuntutan petugas (Garnasih, 2013: 4).

Dalam praktik, sebagaimana yang ditulis oleh Sapardjaja (2013: 5-6), bahwa akhir-akhir ini perkara tindak pidana pencucian uang banyak masuk ke pengadilan. Dakwaan tindak pidana pencucian uang menjadi dakwaan kumulasi kedua di samping dakwaan terhadap tindak pidana asalnya. Beberapa contoh perkara yang telah diputus oleh pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung antara lain:

1. Putusan Nomor 507 K/PID.SUS/2009 yang berhubungan dengan Putusan Nomor 498 K/PID.SUS/2009 dan Nomor 499 K/PID.SUS/2009, dakwaan tindak pidana pencucian uang sebagai dakwaan kumulatif kedua terbukti dengan mudah karena tindak

Page 87: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

184 | Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 173 - 192

pidana asalnya, yaitu penggelapan sebagai dakwaan kesatu dapat dibuktikan;

2. Putusan Nomor 248 K/PID.SUS/2011 yang berhubungan dengan Nomor 2486 K/PID.SUS/2011 dan Nomor 2480 K/PID.SUS/2011 adalah perkara di mana para terdakwa penerima hasil tindak pidana pembobolan Bank Permata Bandung yang dilakukan oleh orang lain tetapi para terdakwa tersebut mengetahui bahwa harta kekayaan berupa keuntungan 10% berasal dari transfer fiktif yang diketahuinya berasal dari tindak pidana penipuan;

3. Putusan Nomor 1607 K/PID. SUS/2012 berasal dari tindak pidana pemalsuan/pencatatan palsu atas rekening para nasabah yang kemudian ditarik dan ditempatkan dalam rekening terdakwa sendiri, pacarnya, adiknya, padahal uang tersebut bukan kekayaannya sendiri yang dibelanjakan dalam bentuk mobil mewah dan properti lainnya. Jaksa penuntut umum berhasil melakukan pembuktian bahwa penarikan uang yang ditempatkan dalam rekening pribadi terdakwa dan pihak lainnya sebanyak 117 kali, dan berhasil menelusuri aset yang berasal dari tindak pidana asal.

Berdasarkan uraian di atas, penentuan bentuk surat dakwaan dan pasal yang didakwakan menjadi hal yang penting dalam perkara tindak pidana pencucian uang. Bentuk surat dakwaan dan pasal yang didakwakan terhadap perkara tindak pidana pencucian uang berdampak pada kecermatan hakim dalam memilih sistem pembuktian. Ketepatan dalam menentukan bentuk surat dakwaan dan pasal yang didakwakan menjadi hal yang penting dalam perkara tindak pidana pencucian uang.

B. Pembuktian Unsur Tindak Pidana Pencucian Uang dalam Putusan Nomor 57/PID.SUS/2014/PN.SLR jika Tindak Pidana Asal Tidak Didakwakan

Perumusan tindak pidana dalam suatu undang-undang, terkadang dirumuskan dengan menguraikan unsur-unsur dan elemen dari tindak pidana, terkadang pula hanya dirumuskan dengan menyebutkan kualifikasi tindak pidananya saja. Moeljatno (2009: 71) mengatakan, bahwa rumusan perbuatan beserta sanksinya yang dijumpai dalam aturan pidana dimaksudkan untuk menunjukkan perbuatan-perbuatan mana yang dilarang dan pantang dilakukan. Pada umumnya maksud tersebut dapat dicapai dengan menentukan beberapa elemen, unsur atau syarat yang menjadi ciri atau sifat khas dari larangan tersebut. Sehingga dapat dibedakan dari perbuatan-perbuatan lain yang tidak dilarang.

Perbedaan dari istilah unsur, elemen dan kualifikasi yang menjadi rumusan dari tindak pidana. Menurut Hiariej perbedaan antara unsur dan elemen terletak pada keluasan cangkupan antara elemen dengan unsur. Elemen dalam suatu tindak pidana adalah unsur-unsur yang terdapat dalam suatu tindak pidana, unsur tersebut baik tertulis maupun tidak tertulis dalam rumusan tindak pidana. Sedangkan unsur adalah bestandeel yakni unsur tindak pidana yang secara expressiv verbis tertuang dalam suatu rumusan tindak pidana (Hiariej, 2014: 97).

Para ahli hukum pidana membagi unsur tindak pidana tersebut menjadi dua, pertama, unsur objektif, yakni unsur tindak pidana yang berada di luar diri pelaku tindak pidana. Unsur objektif terdiri dari: 1) perbuatan dan akibat; 2) hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan; 3) keadaan tambahan yang memberatkan pidana;

Page 88: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

Pembuktian Tindak Pidana Pencucian Uang Tanpa Dakwaan Tindak Pidana Asal (Halif ) | 185

dan 4) sifat melawan hukum (Moejatno, 2009: 69). Kedua, unsur subjektif, yakni unsur tindak pidana yang berada dalam diri pelaku tindak pidana. unsur subjektif ini terdiri dari kesengajaan atau kealpaan (dolus atau culpa) dan degradasinya.

Hiariej (2014:97) melanjutkan pendapatnya, perumusan tindak pidana dengan menguraikan unsur-unsur ataupun kualifikasi memiliki fungsi, yaitu: 1) rumusan delik sebagai pengejawantahan dari asas legalitas; dan 2) rumusan tindak pidana berfungsi sebagai unjuk bukti dalam konteks hukum acara pidana. Dengan adanya rumusan tindak pidana dalam bentuk unsur-unsur maupun kualifikasi tindak pidana menjadi hal yang harus dibuktikan dalam persidangan untuk menentukan apakah pelaku dari tindak pidana telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang telah dilakukan antau tidak. Hal ini nantinya menjadikan dasar bagi hakim dalam menentukan putusannya.

Putusan Nomor 57/PID.SUS/2014/PN.SLR dengan terdakwa R didakwa oleh penuntut umum dengan dakwaan primer Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 dan dakwaan sekunder Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010. Karena dakwaan primer Pasal 3 dibuktikan oleh hakim dengan menguraikan unsur-unsur Pasal 3 dan membuktikan satu-persatu unsur-unsur tersebut. Unsur-unsur Pasal 3 dirumuskan oleh hakim sebagai berikut: 1) setiap orang; 2) yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1); dan 3) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan.

Unsur setiap orang menurut pertimbangan hakim telah terbukti. Sedangkan unsur “yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) menurut hakim tidak terbukti.

Hakim mempertimbangkan bahwa proses transfer harta kekayaan yang diduga dari hasil tindak pidana penyelundupan dilakukan oleh rekan terdakwa di Maumere ke rekening BRI atas nama AR total sebesar Rp129.000.000,- Hal ini menandakan bahwa kegiatan pentransferan ini bukan merupakan sikap aktif dari terdakwa R, namun dari saksi AR yang diminta tolong oleh terdakwa. Jadi transfer tersebut tidak dilakukan oleh terdakwa tetapi dilakukan oleh rekan dan tanpa terdakwa. Sehingga hakim mempertimbangkan bahwa unsur ini tidak terbukti. Karena satu unsur dinyatakan tidak terbukti maka unsur berikutnya tidak dibuktikan oleh hakim, sehingga disimpulkan oleh hakim bahwa tindak pidana pencucian uang sebagaimana diatur dalam Pasal 3 tidak terbukti.

Bentuk surat dakwaan yang disusun oleh penuntut umum berbentuk surat dakwaan subsider, maka hakim memiliki kewenangan untuk membuktikan dakwaan subsider sebagai dakwaan pengganti dari dakwaan primer yang tidak terbukti tersebut. Hakim mengulas dan membuktikan unsur-unsur Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 sebagai dakwaan subsider sebagai berikut:

1. Unsur setiap orang;

2. Unsur menyembunyikan atau menyamarkan

Page 89: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

186 | Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 173 - 192

asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas harta kekayaan yang diketahuinya;

3. Unsur patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).

Unsur “setiap orang” menurut hakim telah terbukti. Sedangkan unsur “menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas harta kekayaan yang diketahuinya” berdasarkan fakta dan keadaan yang terungkap di persidangan yang satu dengan yang lain saling bersesuaian antara keterangan saksi-saksi dan keterangan terdakwa (Putusan Nomor 57/PID.SUS/2014//PN.SLR):

• Bahwa pada tanggal 3 Januari 2014 saksi AR melakukan transaksi penarikan uang di Bank BRI, pertama sebesar Rp54.000.000,- dan kedua, sebesar Rp75.000.000,-;

• Bahwa sebelum penarikan uang itu terjadi, saksi AR bertemu dengan terdakwa R di pelabuhan Rauf Rahman Benteng Selayar, lalu terdakwa menanyakan kepada saksi AR memiliki nomor rekening bank karena akan ada orang yang mau mentransfer uang kepada terdakwa dan saksi memberikan nomor rekening BRI-nya kepada terdakwa;

• Bahwa setelah terdakwa mendapat kabar dari rekannya di Maumere uangnya telah ditransfer, terdakwa menyuruh saksi AR untuk mengecek kebenaran adanya transfer uang tersebut. Ternyata, transfer uang dari rekan terdakwa memang ada dan saksi mengambil uang tersebut dan menyerahkan kepada terdakwa dan penarikan itu

dilakukan dua kali. Setelah uang tersebut diserahkan kepada terdakwa oleh saksi, maka saksi meninggalkan terdakwa tanpa meminta dan memperoleh imbalan dari terdakwa.

Uang yang ditransfer dari teman terdakwa di Flores/Maumere kepada melalui rekening saksi AR diduga merupakan uang hasil dari penjualan pupuk cap Matahari yang dilakukan oleh terdakwa di Flores/Maumere Nusa Tenggara Timur. Dari fakta-fakta tersebut, hakim mempertimbangkan bahwa unsur “menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas harta kekayaan yang diketahuinya” telah terbukti.

Unsur “patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) menurut pembuktian dan pertimbangan hakim telah terbukti. Bahwa harta kekayaan yang ditransfer oleh rekan terdakwa di Flores/Maumere merupakan hasil tindak pidana di bidang kelautan dan perikanan. Karena terdakwa telah mengakui beberapa kali pernah ke Batam sebagaimana tiket pesawat Lion Air pada tanggal 06 Februari 2012 bersama P, M, S, dan A via Ujung Pandang transit Jakarta menuju Batam. Serta dalam Berita Acara Penyidik yang telah diakui oleh terdakwa, bahwa terdakwa melakukan transaksi memesan barang yang patut diduga adalah pupuk cap Matahari dari Malaysia. Sebelum menganalisa pembuktian yang dilakukan hakim terhadap “unsur diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), di mana tindak pidana asalnya, yakni tindak pidana penyelundupan pupuk atau tindak pidana di bidang kelautan dan perikanan tidak didakwakan dan tidak dibuktikan, terdapat beberapa hal yang sangat penting untuk dianalisa.

Page 90: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

Pembuktian Tindak Pidana Pencucian Uang Tanpa Dakwaan Tindak Pidana Asal (Halif ) | 187

Pertama, mengenai penguraian unsur Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010. Hakim dalam menguraikan unsur-unsur Pasal 3 dan Pasal 4 tersebut kurang begitu sesuai dengan prinsip unsur-unsur tindak pidana, hakim dalam menguraikan unsur yang didakwakan terlalu bersifat umum sehingga pembuktiannya kurang begitu detail. Seharusnya uraian unsur Pasal 3 adalah sebagai berikut:

1. Unsur setiap orang;

2. Menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain (bersifat alternatif);

3. Unsur harta kekayaan;

4. Unsur diketahuinya atau patut diduganya hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1); dan

5. Unsur dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan.

Sedangkan ulasan unsur Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 adalah sebagai berikut:

1. Unsur setiap orang;

2. Unsur menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya;

3. Unsur harta kekayaan;

4. Unsur diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).

Kedua, tipologi yang dilakukan oleh terdakwa dan tipologi yang dilakukan oleh rekan terdakwa di Flores/Maumere Nusa Tenggara Timur yang mentransfer uang milik terdakwa melalui rekening saksi AR merupakan tahapan yang berbeda dalam tahapan tindak pidana pencucian uang. Tahapan-tahapan tindak pidana pencucian uang sebagai berikut:

1. Tahapan placament (penempatan), yaitu menempatkan harta hasil kejahatan ke dalam sistem keuangan, seperti menempatkan harta hasil korupsi ke rekening bank atas nama istri atau anaknya;

2. Tahapan layering (pelapisan), yakni menyamarkan dan menyembunyikan asal usul harta hasil kejahatan melalui transaksi keuangan dari satu bank ke bank yang lain, bahkan dari bank satu negara ke bank negara lain sampai para penegak hukum tidak dapat mendeteksi harta hasil kejahatan tersebut;

3. Tahapan integration (penyatuan), yakni menghimpun kembali harta hasil kejahatan yang disamarkan atau disembunyikan melalui tahapan placement (penempatan) dan layering (pelapisan) ke sistem keuangan yang sah atau legal, seperti dijadikan modal perusahaan-perusahaan yang legal dan hasilnya seolah-olah telah menjadi harta yang sah.

Tiga tahapan tersebut telah diadopsi oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 dalam Pasal 3 untuk placement (penempatan), Pasal 4 untuk layering (pelapisan), dan Pasal 5 untuk integration (penyatuan). Jika dianalisa dengan tipologi tahapan tersebut maka tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh terdakwa adalah tahapan placement (penempatan),

Page 91: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

188 | Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 173 - 192

terdakwa sebagai pelaku aktif, artinya terdakwa melakukan tindak pidana asal, yakni tindak pidana penyelundupan pupuk atau tindak pidana di bidang kelautan dan perikanan.

Harta kekayaan yang dihasilkan dari salah satu tindak pidana asal tersebut terdakwa tempatkan atau menitipkan atau perbuatan lain melalui teman terdakwa di Flores/Maumere. Perlu diperhatikan perbuatan yang menjadi unsur pada Pasal 3 tidak hanya mentransfer tapi juga menempatkan atau menitipkan bahkan perbuatan-perbuatan lain yang tujuannya ingin menyembunyikan atau menyamarkan. Jadi menurut penulis terdakwa lebih memenuhi unsur-unsur Pasal 3.

Sementara perbuatan yang dilakukan oleh rekan terdakwa dan saksi AR merupakan tahapan layering (pelapisan) sebagaimana diatur dalam Pasal 4, perbuatan yang dilakukan rekan terdakwa ingin menyembunyikan atau menyamarkan asal usul kepemilikan harta tersebut dari pemilik aslinya. Jika penegak hukum sungguh-sungguh mau menegakkan hukum, maka rekan terdakwa dan saksi AR dapat dimintai pertanggungjawaban pidana terhadap dugaan tindak pidana pencucian uang yang dilakukannya. Jadi rekan terdakwa dan saksi AR dapat diancam dengan Pasal 4. Namun demikian harus dibuktikan unsur “diketahui atau patut menduganya” bahwa harta yang ditransfer oleh rekan terdakwa kepada saksi AR berasal dari tindak pidana penyelundupan atau tindak pidana di bidang perikanan dan kelautan.

Selain dua permasalahan di atas, permasalahan utama yang harus dianalisis penulis, yakni apakah pembuktian unsur “diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)” dapat dibuktikan jikalau tindak pidana asalnya tidak dibuktikan terlebih dahulu.

Hakim dalam membuktikan Pasal 4 khususnya unsur “diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)” dalam Putusan Nomor 57/PID.SUS/2014/PN.SLR menyatakan telah terbukti meskipun tindak pidana asalnya tidak dibuktikan terlebih dahulu, hakim meyakinkan bahwa unsur tersebut telah terbukti hanya berdasarkan pernyataan terdakwa dalam BAP, bahwa terdakwa diduga pernah melakukan perjalanan ke Batam dan dilanjutkan ke Malaysia, dari kegiatan tersebut terdakwa diduga menyelundupkan pupuk cap Matahari dari Malaysia ke Indonesia. Harta kekayaan hasil dari tindak pidana tersebut yang dicuci oleh terdakwa.

Menurut Garnasih rumusan pada delik tindak pidana pencucian uang yakni Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 menimbulkan karakteristik yang berbeda dengan tindak pidana yang lain, bahwa tindak pidana pencucian uang merupakan follow up crime, sedangkan hasil kejahatan yang diproses pencucian uang disebut sebagai core crimes atau predicate offence atau disebut sebagai unlawful activity. Jika dilihat dari kronologi perbuatan maka tidak mungkin terjadi tindak pidana pencucian uang tanpa terjadi predicate offence (no money laundering without core crime) terlebih dahulu (Garnasih, 2013: 6).

Tindak pidana asal (predicate offence) di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 disebutkan secara limitatif dalam Pasal 2 yaitu terdiri dari 26 jenis tindak pidana dan ditambah “semua tindak pidana yang ancaman pidananya empat tahun ke atas. Predicate offence (tindak pidana asal) menurut Arief adalah “delik-delik yang menjadi sumber dari uang haram (dirty money) atau hasil kejahatan (criminal proceeds) yang kemudian dicuci.” Beberapa negara ASEAN

Page 92: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

Pembuktian Tindak Pidana Pencucian Uang Tanpa Dakwaan Tindak Pidana Asal (Halif ) | 189

dalam merumuskan tindak pidana pencucian uang juga merumuskan tindak pidana asal (predicate offence) (Arief, 2013: 127-145), arti umumnya di negara-negara ASEAN mengakui bahwa tindak pidana pencucian uang selalu didahului oleh tindak pidana asalnya.

Garnasih melanjutkan pendapatnya di atas, perlu dipahami bahwa tindak pidana pencucian uang merupakan kejahatan lanjutan (follow up crime) yang terjadinya sangat tergantung pada adanya tindak pidana asal, meskipun antara keduanya masing-masing dikualifikasikan sebagai tindak pidana yang berdiri-sendiri, oleh karena itu, dalam memeriksa tindak pidana tersebut sebaiknya bersamaan (antara tindak pidana asal dengan tindak pidana pencucian uang) dan dibuat dalam satu bentuk dakwaan dengan bentuk surat dakwaan kumulatif. Pemahaman ini akan berimplikasi langsung pada pembuktian yaitu bahwa masing-masing tindak pidana baik tindak pidana asal maupun tindak pidana pencucian uang harus dibuktikan sebagai konsekuensi dari bentuk dakwaan kumulatif (Garnasih, 2013: 6).

Bentuk surat dakwaan kumulatif terhadap tindak pidana asal dan tindak pidana pencucian uang dapat mempermudah hakim dalam membuktikan unsur “harta kekayaan yang diketahui atau patut diduganya berasal dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010.”

Hakim terlebih dahulu membuktikan unsur-unsur tindak pidana asal dan kemudian dengan mudah membuktikan bahwa harta kekayaan hasil dari tindak pidana asal benar-benar dia cuci melalui perbuatan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 maupun Pasal 4, di samping itu pelaku telah dianggap mengetahui atau

patut menduganya bahwa harta kekayaan yang dicuci telah berasal dari tindak pidana asal pada dakwaan kumulatif pertama tersebut.

Hakim sangat kesulitan untuk membuktikan unsur “harta kekayaan yang diketahui atau patut diduganya berasal dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010,” jika tindak pidana asalnya tidak didakwa dan tidak dibuktikan terlebih dahulu. Kecuali pada tindak pidana illicit enrichment yakni suatu instrumen hukum yang mngkriminalisasi pejabat publik yang memiliki kekayaan dan/atau peningkatan kekayaan dalam jumlah tidak wajar (tidak sesuai dengan sumber pemasukannya) tanpa mampu membuktikan bahwa aset tersebut diperoleh secara legal/sah (bukan dari tindak pidana) (Yusuf, 2013: 85).

Menurut Atmasasmita tindak pidana sebagaimana disebut sebagai illicit enrichment belum diatur di Indonesia. Dengan demikian Pasal 69 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tidak dapat diterapkan, penyidik penuntut umum dan hakim tidak dapat melakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan terhadap tindak pidana pencucian uang tanpa dibuktikan tindak pidana asalnya terlebih dahulu karena tindak pidana asal yang tidak dibuktikan terlebih dahulu adalah tindak pidana illicit enrichment dan di Indonesia belum dinyatakan sebagai tindak pidana. Dengan demikian membuktikan unsur “harta kekayaan yang diketahui atau patut diduganya berasal dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010” terhadap terdakwa R tidak dapat dibuktikan kecuali tindak pidana asalnya didakwakan bersamaan dengan tindak pidana pencucian uang dan dibuktikan oleh hakim.

Page 93: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

190 | Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 173 - 192

Sapardjaja sebagai hakim agung menyatakan kesulitan dalam membuktikan unsur tindak pidana pencucian uang khususnya unsur “harta kekayaan yang diketahui atau patut diduganya berasal dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010” jika tidak didakwa bersamaan dengan tindak pidana asalnya (dakwaan kumulatif).

Jika penuntut umum mendakwa secara bersamaan antara tindak pidana asal dengan tindak pidana pencucian uang hakim dengan mudah memperoleh keyakinan untuk memutus terdakwa bersalah, karena selain unsur tindak pidana pencucian uang terbukti, juga tindak pidana asalnya sangat jelas. Dengan alat bukti dan barang bukti yang cukup yang diajukan oleh penuntut umum, masalah beban pembuktian terbalik hampir tidak diperlukan lagi. Pembuktian tindak pidana pencucian uang sangatlah sulit jika dihubungkan dengan illicit enrichment, penuntut umum hanya mendakwa tindak pidana pencucian uang tanpa tindak pidana asalnya. Hakim sangat sulit membuktikan tindak pidana pencucian uang meskipun diberi wewenang untuk menerapkan pembalikan beban pembuktian.

Sapardjaja (2013: 7) melanjutkan pendapatnya dengan menegaskan bahwa pembalikan beban pembuktian yang digunakan jikalau tindak pidana pencucian uang tidak didakwa bersamaan dengan tindak pidana asalnya merupakan masalah yang sangat pelik yang harus mendapat kajian akademik. Demikian juga menurut Atmasasmita, dalam memahami tindak pidana pencucian uang perumus Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 telah menyamakan tindak pidana pencucian uang dengan tindak pidana penadahan Pasal 480 KUHP. Padahal tindak pidana pencucian uang merupakan derivatif

dari tindak pidana asal (predicate offence) yang secara limitatif telah dicantumkan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010.

Tindak pidana penadahan merupakan tindak pidana yang berdiri dan merupakan tindak pidana selesai (voltooid delicten). Namun dalam tindak pidana penadahan, unsur “memperoleh dan seterusnya” harus dilakukan dengan sengaja sedangkan pelaku sendiri tidak perlu mengetahui asal usul benda tersebut diperoleh dari tindak pidana asal. Dengan demikian, secara teoritik hukum pidana, tindak pidana asal dalam tindak pidana pencucian uang harus dibuktikan. Namun dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 pembentuk undang-undang telah meniadakan kewajiban membuktikan tindak pidana asal sebagaimana diatur dalam Pasal 69.

Berdasarkan beberapa pendapat dari ahli hukum pidana dapat disimpulkan bahwa tindak pidana pencucian uang memiliki hubungan yang sangat erat dengan tindak pidana asal, bahkan tidak akan terjadi tindak pidana pencucian uang jikalau tidak didahului oleh tindak pidana asal. Di samping itu pembuktian tindak pidana pencucian uang tanpa dibuktikan terlebih dahulu sangatlah kesulitan meskipun hakim diberi kewenangan untuk menerapkan pembalikan beban pembuktian kecuali terhadap tindak pidana illicit enrichment, namun sangat disayangkan karena tindak pidana tersebut belum diatur di Indonesia.

Dengan demikian pembuktian terhadap tindak pidana pencucian uang baik pada Pasal 3 maupun Pasal 4 yang dilakukan terdakwa R dalam Putusan Nomor 57/PID.SUS/2014/PN.SLR tidak terbukti karena unsur “harta kekayaan yang diketahui atau patut diduganya berasal dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010”

Page 94: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

Pembuktian Tindak Pidana Pencucian Uang Tanpa Dakwaan Tindak Pidana Asal (Halif ) | 191

tidak terbukti. Kenapa demikian, karena penuntut umum tidak mendakwakan pasal tindak pidana asal dari tindak pidana pencucian uang yang dilakukan terdakwa sehingga hakim tidak bisa membuktikan bahwa harta kekayaan yang dicuci melalui transfer yang dilakukan teman terdakwa kepada rekening saksi AR tidak dibuktikan bahwa hasil dari tindak pidana penyelundupan pupuk cap Matahari dari Malaysia ke Indonesia atau tindak pidana di bidang kelautan dan perikanan.

IV. KESIMPULAN

Berdasarkan ulasan dalam pembahasan di atas dapat dirumuskan beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Bahwa penyusunan surat dakwaan pada tindak pidana pencucian uang penting untuk ditentukan pasal yang didakwakan, baik pasal tindak pidana pencucian uang bersamaan dengan pasal tindak pidana asal maupun hanya pasal tindak pidana saja. Karena hal tersebut berdampak pada bentuk pembuktian pembuktian yang dilakukan oleh hakim terhadap unsur tindak pidana pencucian uang.

2. Bahwa pembuktian unsur tindak pidana pencucian uang, khususnya unsur “harta kekayaan yang diketahui atau patut diduganya berasal dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010” tidak dapat dibuktikan jikalau tindak pidana asalnya tidak dibuktikan terlebih dahulu, tindak pidana asal tidak akan dibuktikan oleh hakim jikalau tindak pidana asalnya tidak didakwakan secara bersamaan dengan tindak pidana pencucian uang.

V. SARAN

Berdasarkan uraian dalam pembahasan dan kesimpulan di atas dapat dirumuskan saran-saran sebagai berikut:

1. Hakim dalam membuktikan perkara tindak pidana pencucian uang harus menyesuaikan dengan surat dakwaan yang disusun oleh penuntut umum.

2. Sedangkan hakim dalam membuktikan tindak pidana pencucian uang hendaknya membuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya, sehingga harta kekayaan yang menjadi objek pencucian uang benar-benar berasal dari tindak pidana asal sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010.

DAFTAR ACUAN

Arief, B.N. (2013). Kapita selekta hukum pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Atmasasmita, R. (2010). Globalisasi & kejahatan bisnis. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

______________. (2013, September 10). Analisis hukum UU RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan & Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Makalah Seminar Nasional tentang Kajian Tindak Pidana Pencucian Uang dari Teori Hukum Pidana & Praktik. Surakarta.

Darwin, P. (2012). Money laundering. Tanpa kota penerbit: Sinar Ilmu.

Garnasih, Y. (2013, September 10). Tindak pidana pencucian uang dalam teori & praktik. Makalah Seminar Nasional tentang Kajian Tindak Pidana Pencucian Uang dari Teori Hukum Pidana &

Page 95: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

192 | Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 173 - 192

Praktik. Surakarta.

Hamzah, A. (2010). Hukum acara pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

Harahap, Y. (2010). Pembahasan permasalahan & penerapan KUHP. Jakarta: Sinar Grafika.

Harmadi. (2011). Kejahatan pencucian uang. Malang: Setara Press.

Hiariej, E.O.S. (2014). Prinsip-prinsip hukum pidana. Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka.

Husein, Y. (2011, Februari 18). Peran PPATK Dalam Mencegah & Memberantas Tindak Pidana Pencucian Uang Berdasarkan UU No. 8 Tahun 2010. Makalah. disampaikan di Fakultas Hukum Universitas Jember.

Ibrahim, J. (2006). Teori & metodologi penelitian hukum normatif. Malang: Bayumidia.

Marzuki, P.M. (2016). Penelitian hukum. Jakarta: Prenadamedia Group.

Moeljatno. (2009). Asas-asas hukum pidana. Jakarta: Rineka Cipta.

Muhammad, R. (2007). Hukum acara pidana kontemporer. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Sapardjaja, K.E. (2013, September 10). Beban pembuktian terbalik dalam praktik. Makalah Seminar Nasional tentang Kajian Tindak Pidana Pencucian Uang dari Teori Hukum Pidana & Praktik. Surakarta.

Sjahdeini, S.R. (2007). Seluk-beluk tindak pidana pencucian uang & pembiayaan terorisme. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Soekanto, S. (2010). Pengantar penelitian hukum. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Uly, J. & Tanya, B.L. (2009). Money laundering. Surabaya: Laros.

Utomo, P. (2013). Memahami asset recovery & gatekeeper. Jakarta: Indonesia Legal Roundtable.

Yusuf, M. (2013). Merampas aset korupsi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Page 96: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

Kebijakan Moderasi Pidana Mati (Mei Susanto & Ajie Ramdan) | 193

ABSTRAK

Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007 selain menjadi dasar konstitusionalitas pidana mati, juga memberikan jalan tengah (moderasi) terhadap perdebatan antara kelompok yang ingin mempertahankan (retensionis) dan yang ingin menghapus (abolisionis) pidana mati. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana kebijakan moderasi pidana mati dalam putusan a quo dikaitkan dengan teori pemidanaan dan hak asasi manusia dan bagaimana kebijakan moderasi pidana mati dalam RKUHP tahun 2015 dikaitkan dengan putusan a quo. Penelitian ini merupakan penelitian doktrinal, dengan menggunakan bahan hukum primer dan sekunder, berupa peraturan perundang-undangan, literatur, dan hasil-hasil penelitian yang relevan dengan objek penelitian. Penelitian menyimpulkan, pertama, putusan a quo yang memuat kebijakan moderasi pidana mati telah sesuai dengan teori pemidanaan khususnya teori integratif dan teori hak asasi manusia di Indonesia di mana hak hidup tetap dibatasi oleh kewajiban asasi yang diatur dengan undang-undang. Kedua, model kebijakan moderasi pidana mati dalam RKUHP tahun 2015 beberapa di antaranya telah mengakomodasi amanat putusan a quo, seperti penentuan pidana mati di luar pidana pokok, penundaan pidana mati, kemungkinan pengubahan pidana mati menjadi pidana seumur hidup atau penjara paling lama 20 tahun. Selain itu masih menimbulkan persoalan berkaitan dengan lembaga yang memberikan pengubahan pidana mati, persoalan grasi,

lamanya penundaan pelaksanaan pidana mati, dan jenis pidana apa saja yang dapat diancamkan pidana mati.

Kata kunci: kebijakan, KUHP, moderasi, pidana mati.

ABSTRACT

Constitutional Court’s Decision Number 2-3/PUU-V/2007, in addition to being the basis of the constitutionality of capital punishment, also provides a moderate way of arguing between retentionist groups and those wishing to abolish the death penalty (abolitionist). The problem in this research is how the moderation policy of capital punishment in aquo decision is associated with the theory of punishment and human rights and how the moderation policy of capital punishment in the draft Criminal Code of 2015 (RKUHP) is related with the aquo decision. This study is doctrinal, using primary and secondary legal materials, in the form of legislation, literature and research results that are relevant to the object of analysis. This study concludes, firstly, the aquo decision containing the moderation policy of capital punishment has been in accordance with the theory of punishment, specificallyy the integrative theory and the theory of human rights in Indonesia, in which the right to life remains limited by the fundamental obligations set forth in the law. Secondly, some of the modes of moderation model of capital punishment in RKUHP of 2015 have accommodated the mandate of aquo decision, such as the determination

KEBIJAKAN MODERASI PIDANA MATI

Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUU-V/2007

THE MODERATION POLICY OF CAPITAL PUNISHMENT

Mei Susanto & Ajie RamdanFakultas Hukum Universitas PadjadjaranJl. Dipati Ukur No. 35, Bandung 40135

E-mail: [email protected]; [email protected]

An Analysis of Constitutional Court’s Decision Number 2-3/PUU-V/2007

Naskah diterima: 13 Maret 2017; revisi: 14 Agustus 2017; disetujui 14 Agustus 2017

Page 97: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

194 | Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 193 - 215

of capital punishment outside the main punishment, postponement of capital punishment, the possibility of converting capital punishment to life imprisonment or imprisonment of 20 years. In addition, it still raises issues regarding the institutions that provide for conversion of

capital punishment, pardon matters, length of delay in the execution of capital punishment, and any types of crime punishable by capital punishment.

Keywords: policy, criminal code, moderation, capital punishment.

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perdebatan mengenai pidana mati dalam sistem hukum Indonesia selalu menarik untuk dikaji. Apalagi terdapat kelompok yang saling bertentangan yaitu yang tetap mempertahankan pidana mati dan kelompok yang ingin menghapuskan pidana mati saling memberikan argumentasinya terhadap eksistensi pidana mati tersebut. Salah satu puncak dari perdebatan tersebut adalah dengan adanya pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika pada tahun 2007 di Mahkamah Konstitusi, yang kemudian diputus dalam Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007 yang intinya pidana mati konstitusional dalam sistem hukum Indonesia. Dengan demikian, pidana mati tetap dipertahankan dalam sistem hukum Indonesia. Selain memberikan dasar konstitusionalitas pidana mati, Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007 juga memberikan semacam petunjuk (guideline), yang mengarahkan agar pidana mati diupayakan untuk dimoderasikan. Hal tersebut dapat dilihat dari salah satu pertimbangan dalam putusan tersebut, yang menyatakan:

“Menimbang pula bahwa dengan memperhatikan sifat irrevocable pidana mati, terlepas dari pendapat mahkamah perihal tidak bertentangannya pidana mati dengan UUD NRI 1945 bagi kejahatan-kejahatan tertentu dalam Undang-Undang Narkotika yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo, mahkamah

berpendapat bahwa ke depan, dalam rangka pembaruan hukum pidana nasional dan harmonisasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pidana mati, maka perumusan, penerapan, maupun pelaksanaan pidana mati dalam sistem peradilan pidana di Indonesia hendaklah memperhatikan dengan sungguh-sungguh hal-hal berikut:

a. pidana mati bukan lagi merupakan pidana pokok, melainkan sebagai pidana yang bersifat khusus dan alternatif;

b. pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun yang apabila terpidana berkelakuan terpuji dapat diubah dengan pidana penjara seumur hidup atau selama 20 tahun;

c. pidana mati tidak dapat dijatuhkan terhadap anak-anak yang belum dewasa;

d. eksekusi pidana mati terhadap perempuan hamil dan seseorang yang sakit jiwa ditangguhkan sampai perempuan hamil tersebut melahirkan dan terpidana yang sakit jiwa tersebut sembuh.”

Pertimbangan tersebut menunjukkan bahwa pidana mati haruslah dimoderasikan dalam artian mengambil jalan tengah terhadap persoalan pidana mati, yang secara ekstrem di satu sisi ingin mempertahankannya (kelompok retensionisme) dan di sisi yang lain ingin menghapuskannya (kelompok abolisionisme).

Kebijakan jalan tengah tersebut terutama terlihat dari poin a dan b yaitu pidana mati bukan

Page 98: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

Kebijakan Moderasi Pidana Mati (Mei Susanto & Ajie Ramdan) | 195

lagi merupakan pidana pokok, melainkan sebagai pidana yang bersifat khusus dan alternatif serta pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun yang apabila terpidana berkelakuan terpuji dapat diubah dengan penjara seumur hidup atau selama 20 tahun.

Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian ini hendak menganalisis pertimbangan Mahkamah Konstitusi yang memberikan perintah memoderasikan pidana mati dapat dibenarkan dari aspek teoritis khususnya tujuan pemidanaan dan perkembangan hak asasi manusia. Mengingat putusan tersebut juga menjadi dasar pembentukan peraturan perundang-undangan khususnya berkaitan dengan pidana mati, maka dengan adanya Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang diajukan pemerintah kepada DPR pada pertengahan tahun 2015, di mana telah mengakomodir upaya untuk melakukan moderasi pidana mati. Karena itu, tulisan ini juga akan melihat apakah konsep moderasi pidana mati dalam RKUHP tersebut sudah tepat dan sesuai dengan arahan dalam Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007 tersebut.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah dalam tulisan ini adalah:

1. Bagaimana kebijakan moderasi pidana mati dalam Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007 dikaitkan dengan teori pemidanaan dan hak asasi manusia?

2. Bagaimana kebijakan moderasi pidana mati dalam RKUHP tahun 2015 dikaitkan dengan Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007?

C. Tujuan dan Kegunaan

Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis Putusan Nomor 2-3/PUUV/2007 yang tidak hanya menjadi dasar konstitusionalitas pidana mati di Indonesia namun juga memerintahkan adanya kebijakan moderasi pidana mati. Kebijakan tersebut dianalisis dengan menggunakan teori tujuan pemidanaan dan hak asasi manusia sehingga akan dapat diperoleh gambaran ketepatan dalam moderasi pidana mati.

Kebijakan moderasi pidana mati tersebut akan dikontekskan dengan RKUHP yang diajukan pemerintah ke DPR. Lebih lanjut tulisan ini diharapkan memiliki kegunaan, yaitu: 1) sumbangsih pemikiran berkaitan dengan pidana mati dan hak asasi manusia; dan 2) akan dapat memberikan masukan terhadap konstitusionalitas moderasi pidana mati serta penerapannya dalam RKUHP yang sedang dibahas DPR dan pemerintah.

D. Tinjauan Pustaka

Tulisan ini akan menggunakan dua teori, yaitu teori pemidanaan dan teori hak asasi manusia (HAM), di mana keduanya memiliki kaitan yang sangat erat dalam persoalan pidana mati. Walau bagaimanapun juga pidana mati dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku akan selalu berkaitan dengan tujuan pemidanaan yang hendak dicapai dalam membentuk peraturan perundang-undangan tersebut. Sementara teori HAM hampir selalu mengiringi perdebatan pidana mati, dengan pertanyaan apakah pidana mati melanggar prinsip-prinsip HAM atau tidak.

Dalam teori pidana, setidaknya terdapat empat teori yang dapat dipergunakan, yaitu teori

Page 99: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

196 | Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 193 - 215

absolut, teori tujuan, teori perbaikan, dan teori gabungan atau integratif. Pertama adalah teori absolut. Ciri khas dari teori ini adalah keyakinan mutlak akan keniscayaan pidana, sekalipun pemidanaan sebenarnya tidak berguna, bahkan bilapun membuat keadaan pelaku kejahatan menjadi lebih buruk. Negara yang berdaulat jelas tidak memiliki tugas mendidik. Kejahatan adalah peristiwa yang berdiri sendiri, ada kesalahan yang harus dipertanggungjawabkan, dengan cara ini persoalan dituntaskan. Kesalahan (dosa) hanya dapat ditebus dengan menjalani penderitaan (Lamintang, 1988: 22-29).

Menurut Muladi & Arief yang dikutip Priyanto (2006: 24), dalam teori absolut ini, pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana (quia peccatumest). Menurut teori absolut ini setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana, tidak boleh tidak, tanpa tawar-menawar. Seseorang mendapat pidana oleh karena melakukan kejahatan. Tidak dilihat akibat-akibat apapun yang timbul dengan dijatuhkannya pidana, tidak peduli apakah masyarakat mungkin akan dirugikan.

Kedua, teori tujuan atau doeltheorieen. Teori ini berusaha mencari dasar pembenaran dari suatu pidana itu semata-mata pada satu tujuan tertentu, di mana tujuan tersebut dapat berupa: a) tujuan untuk memulihkan kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan; b) tujuan untuk mencegah agar orang lain tidak melakukan kejahatan (Priyanto, 2006: 24).

Teori-teori yang berusaha mencari dasar pembenaran dari suatu pidana semata-mata pada satu tujuan tertentu seperti dimaksudkan di atas, selanjutnya masih dapat dibagi menjadi dua macam teori, yakni: a) teori-teori pencegahan

umum atau algemene preventive theorieen, yang ingin mencapai tujuan dari pidana yaitu semata-mata dengan membuat jera setiap orang agar mereka itu tidak melakukan kejahatan-kejahatan; dan b) teori-teori pencegahan khusus atau bijzondere preventive theorieen, yang ingin mencapai tujuan dari pidana itu dengan membuat jera, dengan memperbaiki dan dengan membuat penjahatnya itu sendiri menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahatan-kejahatan lagi. Dalam teori ini, tujuan pemidanaan bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Jadi dasar pembenaran pidana menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan quia peccatum est (karena orang membuat kejahatan) melainkan ne peccatum (supaya orang jangan melakukan kejahatan).

Berkaitan dengan teori pemidanaan ini, Van Bemmelen telah berpikir lebih maju, yakni dengan tidak melihat pidana itu semata-mata sebagai pemidanaan saja, melainkan telah mengaitkan lembaga-lembaga pidana atau pemidanaan itu dengan tujuan yang ingin dicapai. Pada dasarnya terdapat tiga pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai dengan suatu pemidanaan, yaitu: a) untuk memperbaiki pribadi dari penjahat itu sendiri; b) untuk membuat orang menjadi jera untuk melakukan kejahatan-kejahatan; dan c) untuk membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahatan-kejahatan yang lain, yakni penjahat-penjahat yang dengan cara-cara yang lain sudah tidak dapat diperbaiki lagi (Van Bemmelen dalam Lamintang, 1988: 22).

Ketiga, teori perbaikan/prevensi khusus. Teori perbaikan murni (zuivere

Page 100: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

Kebijakan Moderasi Pidana Mati (Mei Susanto & Ajie Ramdan) | 197

verbeteringstheorieen) yang bersifat preventif khusus yang dahulu banyak dianut, ternyata juga sempit dalam penetapan tujuan dan sama tidak terarah dalam kemanfaatannya. Hukum pidana tidak perlu setiap saat dan niscaya ditujukan pada upaya memperbaiki (perilaku ataupun sikap) semua delinkuen, terutama bila menyangkut mereka yang hanya bersalah melakukan tindak pidana ringan.

Hukum pidana tidak mungkin memperbaiki semua delinkuen, terutama karena tidak semua cocok dan dapat diperbaiki dengan obat (hukum pidana) yang sama. Lagipula, jika perbaikan dapat dilaksanakan dengan menjatuhkan tindakan (maatregel), maka pengenaan penderitaan melalui pidana dalam pandangan di atas akan kehilangan landasan pembenarannya (Remmelink, 2003: 609-610).

Keempat, teori gabungan atau juga dikenal dengan teori integratif (Priyanto, 2006: 26-27). Menurut Priyanto, penulis yang pertama kali mengajukan teori gabungan ini ialah Pellegrino Rossi (1787—1848). Sekalipun Rossi tetap menganggap pembalasan sebagai asas dari pidana dan bahwa beratnya pidana tidak boleh melampaui suatu pembalasan yang adil, namun dia berpendirian bahwa pidana mempunyai berbagai pengaruh antara lain perbaikan sesuatu yang rusak dalam masyarakat dan prevensi general (Rossi dalam Priyanto, 2006: 26-27).

Muladi (1984) dalam disertasinya yang berjudul “Lembaga Pidana Bersyarat sebagai Faktor yang Mempengaruhi Proses Hukum Pidana yang Berperikemanusiaan” memperkenalkan teori tujuan pemidanaan yang integratif (kemanusiaan dalam sistem Pancasila) yang tepat untuk diterapkan di Indonesia karena mendasarkannya pada nilai-nilai yang dianut

dan berkembang di tengah-tengah masyarakat Indonesia.

Teori ini mengatakan bahwa pemidanaan menjadi sangat kompleks sebagai akibat dari usaha untuk lebih memperhatikan faktor-faktor yang menyangkut hak asasi manusia, serta menjadikan pidana bersifat operasional dan fungsional. Untuk ini diperlukan pendekatan multidimensional yang bersifat mendasar terhadap dampak pemidanaan, baik yang menyangkut dampak yang bersifat individual maupun dampak yang bersifat sosial.

Pendekatan semacam ini mengakibatkan adanya keharusan untuk memilih teori integratif tentang tujuan pemidanaan yang dapat mempengaruhi fungsinya dalam rangka mengatasi kerusakan-kerusakan yang diakibatkan oleh tindak pidana (individual and social damages).

Teori HAM berangkat dari konsepsi dasar HAM di mana setiap orang/manusia sejak lahir memiliki hak utama yang melekat dan suci, yaitu hak hidup dari Tuhan dan hak-hak lainnya demi pemenuhan kebutuhan lahir batinnya, maka tidak ada kelompok/golongan/kekuatan apapun/manapun dan juga orang per orang yang berhak dan mampu mencabutnya. Hanya dengan landasan/dasar hukum dan konstitusional, adil dan benar lewat proses legal, pencabutan, baik untuk sementara maupun seterusnya, dapat dibenarkan (Effendi, 2005: 76).

Menurut Budiardjo (1977: 120), HAM adalah hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahiran atau kehadirannya di dalam kehidupan masyarakat. Sedangkan Setiardja (1993: 73) mengemukakan bahwa HAM berarti hak-hak yang melekat pada manusia berdasarkan kodratnya, jadi hak-hak yang dimiliki manusia sebagai manusia.

Page 101: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

198 | Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 193 - 215

Hook (1987: 19) mengemukakan bahwa HAM adalah tuntutan yang secara moral bisa dibenarkan, agar seluruh manusia dapat menikmati dan melaksanakan kebebasan dasar mereka yang dipandang perlu untuk mencapai harkat kemanusiaan. Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 disebutkan bahwa hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Affandi (2013: 22) mengatakan bahwa HAM adalah hak-hak manusia yang penting dan mendasar sebagai pemberian Tuhan pada saat kelahiran yang diperlukan untuk menjaga harkat dan martabat kemanusiaan. Dan menganggap bahwa tidak semua hak adalah HAM, tetapi HAM adalah salah satu jenis hak. HAM merupakan hak yang penting dan mendasar, karena tidak semua hak bersifat penting dan mendasar sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai HAM.

Muladi (2002: 56-57) menyatakan bahwa HAM adalah hak yang melekat (inherent) secara alamiah pada diri manusia sejak manusia lahir dan tanpa hak tersebut manusia tidak dapat tumbuh dan berkembang sebagai manusia yang utuh. Demikian pentingnya keberadaan HAM, tanpa HAM manusia tidak dapat mengembangkan bakat-bakat dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.

Selain dasar teoritik tersebut, perlu juga menjelaskan apa yang dimaksud dengan “moderasi” dalam tulisan ini. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), istilah moderasi mengandung arti “pengurangan kekerasan”

atau “penghindaran keekstreman” (KBBI, 2017). Dengan demikian, dalam tulisan ini yang dimaksud dengan moderasi pidana mati adalah upaya untuk mengambil jalan tengah terhadap persoalan pidana mati, yang secara ekstrem di satu sisi ingin mempertahankannya (kelompok retensionisme) dan di sisi lain ingin menghapuskannya (kelompok abolisionisme).

II. METODE

Sesuai dengan permasalahan yang diteliti, tulisan ini merupakan penelitian hukum (legal research). Istanto (2007: 29) mengatakan penelitian hukum adalah penelitian yang diterapkan atau diberlakukan khusus pada ilmu hukum. Sejalan dengan Istanto, Marzuki (2005: 35) mengatakan penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu-isu hukum yang dihadapi.

Berangkat dari pemahaman tersebut, maka tulisan ini termasuk ke dalam penelitian hukum guna mencari jawaban persoalan moderasi pidana mati, melalui aturan hukum, prinsip hukum maupun doktrin hukum terutama yang mencuat dalam Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007 serta dalam RKUHP tahun 2015. Oleh karena itu, tulisan ini termasuk ke dalam penelitian hukum dengan pendekatan doktrinal yang condong bersifat kualitatif berdasarkan data sekunder (Supranto, 2003: 2).

Jenis penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah penelitian pustaka (library research). Library research berarti penelitian yang menggunakan dokumen tertulis sebagai data, dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini mencakup bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

Page 102: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

Kebijakan Moderasi Pidana Mati (Mei Susanto & Ajie Ramdan) | 199

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mengikat atau yang membuat orang taat hukum, meliputi produk hukum yang menjadi bahan kajian dan produk hukum sebagai alat kritiknya. Bahan hukum sekunder meliputi penjelasan bahan hukum primer berupa doktrin para ahli yang ditemukan dalam buku, jurnal, dan dalam website.

Cohen mengatakan dalam penelitian hukum (legal research) terdapat beberapa pendekatan yang digunakan, yaitu statute approach, conceptual approach, analitycal approach, comparative approach, hystorical approach, philosophical approach, dan case approach (dalam Marzuki, 2005: 93). Merujuk pada pendekatan-pendekatan tersebut, penulis menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan filosofis (philosophical approach).

Pendekatan perundang-undangan (statute research), digunakan untuk meneliti, mendalami, dan menelaah berbagai peraturan perundang-undangan yang berbicara mengenai pidana mati. Ibrahim (2006) menyatakan bahwa statute research diperlukan untuk meneliti berbagai aturan hukum yang fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian. Untuk itu, karena fokus dan tema sentral tulisan ini adalah mengenai moderasi pidana mati, maka akan diteliti dan dievaluasi berbagai aturan mengenai hal tersebut seperti RKUHP, KUHP, termasuk juga Putusan Nomor 2-3/PUU-V-2007.

Pendekatan konseptual (conceptual approach) digunakan untuk mendalami kebijakan moderasi pidana mati yang sesuai dengan politik hukum pemidanaan nasional dan konsep hak asasi manusia. Pendekatan filosofis

(philosophical approach) digunakan untuk melihat konsep kebijakan moderasi pidana mati dari aspek filosofi dan ideologi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang terdapat dalam Pancasila.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Analisis Kebijakan Moderasi Pidana Mati dalam Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007

Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007 adalah putusan yang menguji konstitusionalitas pidana mati dalam sistem hukum Indonesia yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Walaupun yang diuji hanya terhadap satu undang-undang saja, putusan ini memberikan dampak yang besar terhadap konstitusionalitas pidana mati yang terdapat di dalam berbagai undang-undang lainnya.

Tercatat ada sekitar 12 undang-undang lain yang mengatur mengenai pidana mati, yaitu:

1. KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana);

2. KUHPM (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer);

3. Undang-Undang Nomor 12/Drt/1951 tentang Senjata Api;

4. Penetapan Presiden Nomor 5 Tahun 1959 tentang Wewenang Jaksa Agung/Jaksa Tentara Agung dalam Hal Memperberat Ancaman Hukuman terhadap Tindak Pidana yang Membahayakan Pelaksanaan Perlengkapan Sandang Pangan;

5. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 21 Tahun 1959

Page 103: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

200 | Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 193 - 215

tentang Memperberat Ancaman Hukuman terhadap Tindak Pidana Ekonomi;

6. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal dalam KUHP Bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-Undangan Pidana Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan;

7. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

8. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia;

9. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme;

10. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika;

11. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; dan

12. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang.

Banyaknya undang-undang yang terkait serta sensitifnya isu pidana mati dalam sistem hukum Indonesia yang tidak hanya berbicara soal hukum semata, melainkan juga berkaitan dengan ideologi dan pandangan hidup masyarakat

Indonesia, Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007 ini dapat dianggap sebagai salah satu putusan dari Mahkamah Konstitusi yang sangat penting, bahkan dianggap sebagai landmark decision karena persoalan konstitusionalitas pidana mati dalam sistem hukum Indonesia akan selalu mengacu kepada putusan ini. Selain itu, sebagaimana telah disebutkan di awal, putusan ini juga penting yang memberikan petunjuk perlunya kebijakan moderasi pidana mati dalam sistem hukum Indonesia di masa yang akan datang.

Mengingat putusan ini menguji suatu kebijakan yang sifatnya sensitif dan ideologis, maka majelis hakim cukup berhati-hati dalam mengambil keputusan. Bahkan untuk sampai pada pertimbangan yang bersifat rekomendasi yaitu pidana mati konstitusional dalam sistem hukum Indonesia dan di masa yang akan datang harus dimoderasikan, majelis hakim butuh bekerja keras dalam melakukan penafsiran terhadap pasal-pasal terkait dengan berbagai macam konsep dalam hal pemidanaan, hak asasi manusia, konstitusi, dan prinsip-prinsip internasional.

Apalagi, sebagaimana disebutkan oleh Lindsay & Santosa (2008: 2-3), sistem hukum Indonesia sangatlah kompleks, tidak hanya menerapkan sistem hukum Eropa Kontinental (Civil Law System) yang merupakan warisan sistem hukum kolonial Belanda, namun juga secara campuran mengombinasikan penerapan hukum adat (traditional customary law) dan juga hukum Islam (Syariah).

Selain tiga sistem hukum tersebut, standar hukum internasional juga sering kali dipergunakan sebagai acuan dalam sistem hukum Indonesia, khususnya ketika berkaitan dengan persoalan hak asasi manusia (Zerial, 2008: 219). Karena itulah, Zerial mendeskripsikan sistem hukum Indonesia

Page 104: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

Kebijakan Moderasi Pidana Mati (Mei Susanto & Ajie Ramdan) | 201

sebagai produk yang menarik karena adanya keragaman pengaruh “The Indonesian legal system is a fascinating product of a diversity of influences” (Zerial, 2008: 219).

Sistem hukum yang sinkretis dalam rangka penyesuaian dan mencapai keseimbangan ini kemudian didukung dengan adanya Pancasila yang memuat prinsip-prinsip ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi perwakilan, dan keadilan sosial. Kelima prinsip ini dibuat untuk membentuk karakter nasional terhadap masyarakat yang heterogen. Pada masa Soeharto, Pancasila ditempatkan sebagai sumber hukum yang tertinggi, namun pada masa reformasi, Pancasila dimasukkan ke dalam UUD NRI 1945 sebagai bagian yang tidak terpisahkan ketika menafsirkan konstitusi (Zerial, 2008: 219).

Mengingat sistem hukum Indonesia yang kompleks tersebut, maka apabila dicermati dalam Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007 tersebut, kehati-hatian dan kedalaman pemikiran mengenai konstitusionalitas pidana mati sampai pada rekomendasi pidana mati harus dimoderasikan, dapat dilihat dari teknis putusan, berupa teknis waktu dan jumlah halaman, banyaknya pertimbangan yang diminta, sampai dengan adanya perbedaan pendapat dari para hakim.

Pertama, berkaitan dengan teknis putusan yaitu berupa waktu lamanya putusan dan jumlah halaman. Putusan ini menggabungkan dua permohonan yang sama yaitu perkara Nomor 2/PUU-V/2007 yang didaftarkan pada 16 Januari 2007 dan perkara Nomor 3/PUU-V/2007 yang didaftarkan pada 30 Januari 2007, yang kemudian diputuskan pada rapat permusyawaratan hakim pada 23 Oktober 2007 dan diucapkan pada sidang pleno terbuka untuk umum pada 30 Oktober 2007. Ini artinya, majelis hakim membutuhkan

waktu hampir 10 bulan untuk dapat mengambil putusan.

Berdasarkan Laporan 6 Tahun Mahkamah Konstitusi, pada tahun 2007 Mahkamah Konstitusi memutus 29 perkara, jangka waktu yang paling cepat adalah kurang dari satu bulan sejumlah satu perkara, sedangkan jangka waktu yang paling lama adalah 10 bulan sejumlah tiga perkara salah satunya adalah Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007. Jangka waktu pemeriksaan sampai diputus yang bervariasi tersebut, bergantung pada kompleksitas substansi perkara (MKRI, 2008: 19-20). Dengan demikian, kompleksitas persoalan konstitusionalitas pidana mati membuat Mahkamah Konstitusi membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengambil putusan. Bahkan kompleksitas tersebut dapat dilihat dari jumlah halaman putusan sebanyak 471 halaman.

Kedua, berkaitan dengan banyaknya pertimbangan yang diminta. Hal ini dapat terlihat dari 23 orang ahli yang dihadirkan dalam persidangan (empat orang di antaranya merupakan ahli dari luar negeri, sementara 19 orang adalah ahli dalam negeri). Bahkan, pihak pemerintah yang biasanya hanya diwakili sendiri, juga melibatkan lembaga-lembaga lainnya, yaitu Badan Narkotika Nasional, Kejaksaan Agung, dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Selain itu juga ada keterangan DPR. Dengan demikian ada sekitar 28 pihak baik personal maupun kelembagaan yang dimintai pendapatnya berkaitan dengan persoalan pidana mati.

Ketiga, perbedaan pendapat dari para hakim atau dissenting opinion. Dapat dilihat, dari 9 hakim konstitusi, 5 orang hakim menyatakan pidana mati adalah konstitusional dalam sistem hukum Indonesia, namun 4 orang

Page 105: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

202 | Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 193 - 215

hakim menyatakan pendapat yang berbeda alias pidana mati inkonstitusional dalam sistem hukum Indonesia. Perbandingan 5:4 dalam pengambilan keputusan tersebut menunjukkan bahwa persoalan konstitusionalitas pidana mati tidaklah diambil secara bulat oleh seluruh hakim konstitusi, bahkan jumlahnya sangat tipis antara mayoritas hakim yang menyatakan pidana mati konstitusional dengan minoritas hakim yang menyatakan inkonstitusional.

Apabila dicermati secara substantif, memang memutuskan persoalan pidana mati konstitusional tidaklah mudah. Apalagi, gelombang reformasi tahun 1998 yang mengakhiri rezim otoriter Soeharto telah mengantarkan kepada penghormatan yang tinggi terhadap kedudukan hak asasi manusia dalam kehidupan bernegara di Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat dengan dimasukkannya poin-poin jaminan hak asasi manusia dalam Perubahan UUD NRI 1945. Khusus persoalan pidana mati, sangat erat kaitannya dengan hak hidup yang dijamin dalam Pasal 28A dan Pasal 28I UUD NRI 1945.

Pasal 28A: “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.”

Pasal 28I ayat (1): “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun” (garis miring penulis).

Dua pasal tersebut menunjukkan adanya jaminan hak hidup bagi setiap orang yang berada dalam wilayah hukum Indonesia. Bahkan hak hidup tersebut merupakan “hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun” atau yang dikenal dengan non derogable

rights. Karenanya, dengan adanya dua pasal dalam UUD NRI 1945 ini menjadi alasan yang sangat logis untuk dapat menguji ketentuan dalam sebuah undang-undang yang masih mengatur ancaman pidana mati. Walau demikian, dalam membaca UUD NRI 1945 khususnya berkaitan dengan pasal-pasal mengenai hak asasi manusia, tidak dapat dilepaskan dari ketentuan Pasal 28J yang menyebutkan:

Pasal 28J

ayat (1): “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”.

ayat (2): “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis” (garis miring penulis).

Formulasi ketentuan dalam Pasal 28J UUD NRI 1945 inilah yang sering kali luput dalam membaca pasal-pasal jaminan hak asasi manusia. Mengingat perdebatan dan kedalaman pertimbangan dalam persoalan konstitusionalitas pidana mati dalam Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007, menarik untuk mencermati analisis yang dibuat oleh Zerial dalam Australian International Law Journal yang berjudul “Decision No. 2-3/PUU-V/2007 [2007] (Indonesian Constitutional Court).”

Analisis tersebut juga telah diulas oleh Faiz (2015) dalam rubrik Khazanah Majalah Konstitusi No. 96 – Februari 2015 dengan judul “Pendekatan MK Terhadap Konstitusionalitas Hukuman Mati.” Dalam artikel tersebut Zerial

Page 106: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

Kebijakan Moderasi Pidana Mati (Mei Susanto & Ajie Ramdan) | 203

menyebutkan ada tiga isu penting yang termuat di dalam Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007 yaitu:

1. Keseimbangan Masyarakat terhadap Individu

Menurut Zerial, keseimbangan antara HAM individu dengan kesejahteraan masyarakat merupakan isu yang sering menjadi karakteristik perdebatan tentang HAM di Asia. Isu inilah yang dinilai oleh Zerial sebagai isu utama yang diambil oleh mayoritas hakim.

Perspektif ini memperhadapkan antara hak untuk hidup dari mereka yang dijatuhi hukuman dengan hak-hak para korban sebagai individu ataupun hak dari ‘masyarakat sebagai korban’ (society as victims).

Mengutip pendapat Eldridge (2002), Zerial mengatakan bahwa sistem perlindungan HAM di Indonesia sangat dipengaruhi oleh isu-isu tentang kemiskinan, budaya, agama, stabilitas, dan ketertiban nasional. Pentingnya isu-isu tersebut nampak terlihat pada pertimbangan hukum putusan mengenai apakah negara dapat menjatuhkan hukuman mati kepada individu, khususnya dalam konteks kejahatan narkotika (dalam Faiz, 2015: 65-66).

Zerial juga berpendapat bahwa perhatian Mahkamah Konstitusi terhadap kesejahteraan masyarakat Indonesia dapat dilihat ketika Mahkamah Konstitusi membantah dalil para pemohon, yang mengatakan tujuan utama dari hukuman pidana adalah rehabilitasi, dengan argumentasi bahwa setiap kejahatan merupakan serangan terhadap harmoni sosial masyarakat (social harmony of society) yang menimbulkan luka (wound) atau sakit (illness) di masyarakat. Selain itu, Mahkamah Konstitusi

juga mempertimbangkan bahwa hukuman pidana yang dijatuhkan kepada pelaku kejahatan juga harus dilihat sebagai upaya untuk mengembalikan harmoni sosial yang terganggu akibat dari kejahatan itu (dalam Faiz, 2015: 66).

Menurut Zerial, pendekatan ini terefleksi dari pendapat ahli Didik Purwo Laksono yang menyimpulkan seolah-olah secara gramatikal (tata bahasa) ancaman pidana mati dalam Undang-Undang Narkotika bertentangan dengan Pasal 28A dan 28I ayat (1) UUD NRI 1945. Namun, menurut Laksono, kalau ditinjau dari segi politik hukumnya, landasan filosofis, landasan sosiologis, maksud dan tujuan pembentuk undang-undang, Pasal 28A dan Pasal 28I UUD NRI 1945 tidak dimaksudkan untuk melindungi pelaku tindak pidana yang telah membahayakan hak hidup negara, masyarakat, dan individu yang menjadi korban tindak pidana narkotika (Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007: 389).

Zerial juga menyebutkan keseimbangan antara masyarakat dan individu juga terlihat dari penekanan terhadap akibat serius dari tindak pidana narkotika. Hal tersebut dikemukakan Zerial dengan melihat pendapat ahli Arief Amrullah yang menjelaskan tindak pidana narkotika sebagai tindak pidana (kejahatan) terhadap pembangunan dan kesejahteraan sosial (crimes against social development and prosperty) (Zerial, 2008: 222).

Hal tersebut menurut Amrullah dikarenakan tindak pidana narkotika merupakan bagian dari kejahatan terorganisasi dengan ruang lingkup dan dimensi yang luas, sehingga kegiatannya mengandung ciri sebagai organized crime, white collar crime, corporate crime, dan transnational crime. Bahkan dengan kemajuan teknologi informasi, kejahatan narkotika dapat menjadi

Page 107: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

204 | Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 193 - 215

salah satu bentuk dari cyber crime (Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007: 390).

Badan Narkotika Nasional berpendapat tidak jauh berbeda, dengan menyebutkan bahwa secara filosofis pidana mati bertujuan untuk kepentingan prevensi umum, agar orang lain tidak ikut melakukan kejahatan. Di samping itu, seorang dihukum mati berdasarkan hukum yang berlaku, bukan karena membalas dendam kepada si terhukum, akan tetapi supaya orang lain tidak ikut melakukan kejahatan yang sama dan meresahkan masyarakat yang dapat mengganggu keseimbangan masyarakat. Hal ini apabila dikaitkan dengan nilai-nilai hukum adat, keseimbangan masyarakat itu harus dijaga jangan sampai rusak (Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007: 203).

Menurut Zerial, keterangan Badan Narkotika Nasional dalam persidangan memberikan bukti-bukti akibat pelaku pengedar narkotika dengan dampak dari ketergantungan dan pengaruh narkotika telah menghilangkan hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, dan hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum (Zerial, 2008: 22). Bagi Zerial, pembahasan yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi terhadap isu-isu terkait HAM dan hukuman mati menunjukkan bahwa Mahkamah Konstitusi mempercayai HAM haruslah dibatasi, setidaknya untuk sebagian, sepanjang pembatasan tersebut dapat melayani kebutuhan masyarakat sebagaimana terkonseptualisasi di dalam budaya dan sejarah Indonesia (dalam Faiz, 2015: 66).

2. Peran dan Pengaruh Agama

Dalam putusan tersebut, Zerial juga menyimpulkan adanya pengaruh dari ajaran agama dalam pertimbangan hukum yang diambil

oleh Mahkamah Konstitusi. Zerial memahami bahwa agama memiliki tempat penting dalam hukum dan masyarakat Indonesia. Dengan adanya Pancasila maka tidak dapat dipisahkan antara penafsiran hukum dan konstitusi dari perspektif agama. Walaupun hukum Islam memiliki pengaruh besar dalam hukum Indonesia, namun Islam tidak menjadi agama negara ataupun konstitusi negara. Penyebabnya, ajaran agama-agama lainnya juga memberikan pengaruh terhadap hukum Indonesia (dalam Faiz, 2015: 66). “Islam is not the the state religion nor is it the constitution of the state’ and other religions - Buddhism, Hinduism and Christianity - have an influence on Indonesian law” (Zerial, 2008: 222).

Pandangan Zerial tersebut ditarik dari pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi yang menegaskan bahwa posisi bangsa Indonesia terhadap hak asasi manusia, khususnya hak untuk hidup, diambil dari ajaran agama, nilai moral universal, dan nilai luhur budaya bangsa. Mahkamah Konstitusi juga mengakui bahwa sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia merujuk secara khusus pada Deklarasi Kairo tentang Hak-Hak Asasi Manusia dalam Islam yang dalam Pasal 8 huruf (a) menyatakan: “Kehidupan adalah berkah Tuhan dan hak untuk hidup dijamin bagi setiap umat manusia. Adalah tugas dari individu, masyarakat, dan negara-negara untuk melindungi hak-hak ini dari setiap pelanggaran apa pun, dan dilarang untuk mencabut kehidupan kecuali berdasarkan syariat” (dalam Faiz, 2015: 66).

Berdasarkan pengamatan Zerial, beberapa ahli yang diperdengarkan dalam persidanganpun mengemukakan kesucian hidup manusia yang merupakan identitas keyakinan Islam (Zerial, 2008: 222). Menurut Zerial, baik Mahkamah Konstitusi maupun para ahli mencoba untuk

Page 108: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

Kebijakan Moderasi Pidana Mati (Mei Susanto & Ajie Ramdan) | 205

‘mendamaikan’ pertentangan antara kesucian hidup dengan pidana (hukuman) mati. Salah satu caranya dengan mempertimbangkan adanya prasyarat proses peradilan yang adil. Metode lainnya yaitu dengan memindahkan tanggung jawab dari negara sebagai eksekutor kepada pelaku kejahatan dengan penekanan bahwa hukuman mati lebih merupakan hasil dari keputusan yang dibuat dari seorang individu, bukan dari kebijakan negara (dalam Faiz, 2015: 66).

Analisis Zerial ini didasarkan pada pendapat Mahmud Mulyadi, yang didasarkan pada argumentasi bahwa hidup mati seseorang memang telah ditentukan oleh Tuhan, tetapi cara untuk hidup dan cara untuk matinya ditentukan oleh orang tersebut karena Tuhan telah memberikan pilihan-pilihan dan acuan-acuan dalam menjalani kehidupan ini. Oleh karena itu, ketika seseorang dijatuhi pidana mati oleh negara atas kejahatan yang diatur dalam Undang-Undang Narkotika, tidak berarti bahwa negara yang menentukan hidup matinya seseorang, melainkan bahwa orang tersebut telah menentukan sendiri secara sadar cara untuk matinya (Zerial, 2008: 222 dan Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007: 394).

Pembahasan yang juga menarik perhatian Zerial dalam konteks agama datang dari dissenting opinion yang disampaikan oleh Hakim Roestandi mengenai hubungan antara negara hukum (state law) dan hukum Islam (Shariah law). Hakim Roestandi mengakui fakta bahwa hukum Islam membolehkan adanya hukuman mati. Namun demikian, dia menyatakan bahwa terdapat perbedaan antara norma agama yang bersifat internal terkait dengan motivasi dan niat, dengan norma hukum yang bersifat eksternal terkait dengan pelaksanaan secara lahiriyah.

Secara khusus, Hakim Roestandi juga mengatakan bahwa masyarakat Indonesia sangat pluralistik dan telah membuat kesepakatan nasional di dalam Pancasila dan UUD NRI 1945 sebagai hukum tertinggi. Dengan demikian, seharusnya tidak ada kontradiksi antara hukum Islam yang membolehkan hukuman mati dengan hukum sekuler yang melarangnya (dalam Faiz, 2015: 66). Dalam hukum pidana Islam, hukuman tidak hanya berfungsi sebagai pembalasan, tetapi juga memiliki fungsi pencegahan (umum dan khusus) serta perbaikan. Dalam kenyataannya juga sangat melindungi masyarakat dari tindakan jahat serta pelanggaran hukum (fungsi perlindungan) (Santoso, 2016: 150).

3. Hukum Internasional

Menurut Zerial, perspektif mengenai HAM internasional memiliki peran kunci dalam pembuatan Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007. Seluruh hakim konstitusi yang terlibat dalam memutus perkara tersebut sepakat untuk menggunakan pendekatan melalui instrumen internasional guna memperkaya cakrawala dalam menafsirkan UUD NRI 1945. Mahkamah Konstitusi juga mempertimbangkan bahwa walaupun penafsiran konstitusi merupakan isu utama dalam perkara ini, namun Mahkamah Konstitusi perlu menegaskan posisinya apakah hukuman mati bertentangan dengan kewajiban Indonesia dalam hukum internasional (dalam Faiz, 2015: 66).

Dalam pembahasannya, Mahkamah Konstitusi menyimpulkan bahwa hak untuk hidup tidaklah mutlak sebagaimana tertuang di sejumlah instrumen hukum internasional, di antaranya: International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR); Protocol Additional I to the

Page 109: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

206 | Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 193 - 215

1949 Conventions and Relating to the Protection of Victims of International Armed Conflict; Protocol Additional II to the 1949 Conventions and Relating to the Protection of Victims of Non-International Armed Conflict; Rome Statute of International Criminal Court; Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms (European Convention on Human Rights); American Convention on Human Rights; Protocol No. 6 to the Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms Concerning the Abolition of the Death Penalty.

Mahkamah Konstitusi juga menyimpulkan bahwa instrumen internasional tersebut memuat ketentuan tentang hukuman mati dengan batasan-batasan tertentu, sehingga tidak dapat dikatakan bahwa penghapusan hukuman mati telah menjadi norma hukum yang diterima secara universal oleh masyarakat internasional (dalam Faiz, 2015: 66). Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Konstitusi memosisikan diri untuk menilai apakah penjatuhan hukuman mati merupakan pelanggaran bagi negara Indonesia terhadap instrumen hukum internasional, khususnya ICCPR. Walaupun mengakui bahwa semangat dari ICCPR adalah untuk menghapuskan hukuman mati, namun Mahkamah Konstitusi berpendapat Pasal 6 ayat (2) ICCPR menyediakan ruang bagi penjatuhan hukuman mati khusus terhadap kejahatan-kejahatan yang paling serius (the most serious crimes).

Selanjutnya, Mahkamah Konstitusi menilai apakah kejahatan narkotika yang dapat dihukum dengan pidana mati merupakan jenis kejahatan paling serius. Menurut Mahkamah Konstitusi, frasa “kejahatan yang paling serius” harus dibaca juga dengan frasa “sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat kejahatan itu dilakukan.”

Mahkamah Konstitusi menilai bahwa hukum yang berlaku pada saat itu di tingkat nasional adalah Undang-Undang Narkotika dan untuk tingkat internasional adalah Konvensi Narkotika dan Psikotropika yang telah diratifikasi oleh Indonesia tahun 1997 (dalam Faiz, 2015: 67).Dalam konteks ini, Mahkamah Konstitusi merujuk pada Pasal 3 ayat (5) dan ayat (6) serta Pasal 24 Konvensi tersebut yang memuat ketentuan bagi negara pihak untuk dapat memaksimalkan efektivitas penegakan hukum terkait tindak pidana narkotika dan psikotropika, termasuk dengan menerapkan langkah-langkah lebih keras yang dalam hal ini menurut Mahkamah Konstitusi termasuk dengan ancaman pidana mati.

Mahkamah Konstitusi juga merujuk pada Pembukaan Konvensi untuk menyatakan bahwa pada faktanya kejahatan narkotika merupakan kejahatan yang sangat serius (particularly serious) dengan menyandingkan antara kejahatan narkotika dengan genosida (genocide crime) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity). Sebab, menurut Mahkamah Konstitusi, ketiga jenis kejahatan tersebut secara negatif dapat memengaruhi “economic, cultural, and political foundation of society and cause a danger of incalculable gravity” (dalam Faiz, 2015: 67).

Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa keikutsertaan Indonesia dalam Konvensi Narkotika dan Psikotropika, yang memberikan mandat untuk mengambil langkah nasional secara keras dalam memberantas kejahatan narkotika, memiliki kedudukan lebih tinggi berdasarkan Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional apabila dibandingkan dengan Komisi HAM PBB yang berpendapat bahwa kejahatan terhadap obat-obatan terlarang tidak termasuk dalam kejahatan yang paling serius.

Page 110: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

Kebijakan Moderasi Pidana Mati (Mei Susanto & Ajie Ramdan) | 207

Terhadap argumentasi ini, Zerial berpendapat bahwa kesimpulan Mahkamah Konstitusi cukup bermasalah untuk beberapa alasan. Mahkamah Konstitusi dinilainya telah mengabaikan pendapat dari Komisi HAM PBB yang termuat di dalam General Comment 6 yang diadopsi pada 1982 dan beberapa laporan negara anggota, di mana penafsiran secara langsung terhadap “most serious crimes” merujuk pada ICCPR dan HAM, sedangkan Konvensi Narkotika dan Psikotropika merujuk pada konteks keseriusan kejahatan narkotika secara umum (dalam Faiz, 2015: 67).

Tiga isu penting yang telah dibahas oleh Zerial tersebut semakin menunjukkan kedalaman pembahasan dan pertimbangan yang dilakukan oleh para hakim konstitusi dalam memutus perkara konstitusionalitas pidana mati. Yang paling menarik menurut penulis adalah bagaimana mayoritas hakim mengkonstruksikan pidana mati tetap konstitusional, walaupun Pasal 28I UUD NRI 1945 menyebut hak hidup sebagai hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam bentuk apapun.

Sebagaimana telah disebutkan, mayoritas hakim berpendirian Pasal 28I UUD NRI 1945 tersebut harus dibaca secara satu kesatuan dengan Pasal 28J UUD NRI 1945 di mana pelaksanaan hak asasi manusia harus tunduk pula dengan kewajiban asasi manusia yang diatur dengan undang-undang. Apalagi, nyata-nyata ketentuan internasional yang mengatur perihal yang samapun masih memberikan pengecualian pembolehan pidana mati khususnya kepada tindak pidana serius. Pengecualian inilah yang kemudian menjadi salah satu titik kulminasi yang membuat pidana mati ke depannya seharusnya dimoderasikan dalam arti tetap dipertahankan namun hanya untuk tindak pidana tertentu saja.

Moderasi pidana mati dalam sistem hukum Indonesia di masa yang akan datang sebagaimana disebutkan dalam Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007 tersebut juga dapat dilihat dari beberapa ahli yang diundang dalam persidangan sesuai dengan kapasitasnya sebagai penyusun RKUHP baru sebagai pengganti KUHP lama warisan Kolonial Belanda.

Terdapat tiga orang ahli, yaitu Nyoman Serikat Putrajaya, Muzdzakir dan Mardjono Reksodiputro. Salah satu pendapat menarik diungkapkan Mudzakkir yang menyatakan: “... tim perumus mencoba mengelaborasi dari yang ketat terhadap pidana mati kepada pidana mati yang bersifat lunak dengan prinsip tidak menghapuskan pidana mati tetapi bagaimana pidana mati itu tetap juga menjadi bagian di dalamnya, sehingga unsur keadilan (justice) dalam kehidupan masyarakat tetap...”.

Dalam persidangan, ketiga ahli tersebut pada intinya menyebutkan bahwa dalam RKUHP baru yang telah disusun telah terjadi kesepakatan bersama bahwa untuk menjembatani tuntutan penghapusan pidana mati di satu sisi dan mempertahankan pidana mati di sisi lain, maka kebijakan pidana mati berbentuk: 1) pidana mati dikeluarkan dari pidana pokok dan selalu diancamkan selalu alternatif; 2) hanya tindak pidana tertentu saja yang dapat diancamkan dengan pidana mati; 3) adanya penundaan pelaksanaan pidana mati; dan 4) kemungkinan diubahnya pidana mati menjadi pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun.

Dengan demikian, para hakim konstitusi juga mempertimbangkan pendapat-pendapat yang bersifat ke depan (futuristik), mengingat sebagaimana telah disebutkan persoalan pidana mati tidak hanya berkaitan dengan Undang-

Page 111: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

208 | Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 193 - 215

Undang Narkotika yang sedang diuji, melainkan juga berkaitan dengan banyak undang-undang lainnya.

Menurut Arief (2005: 293) dilihat dari tujuan pemidanaan, pidana mati pada hakikatnya bukan sarana utama/pokok untuk mengatur, menertibkan, dan memperbaiki individu/masyarakat. Pidana mati hanya merupakan sarana terakhir/perkecualian. Hal ini dapat diidentikkan dengan amputasi/operasi di bidang kedokteran, yang pada hakikatnya juga bukan sarana/obat utama, tetapi hanya merupakan upaya perkecualian sebagai sarana/obat terakhir. Dengan melihat berbagai macam analisis berkaitan dengan kehati-hatian dan kedalaman Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007, maka dapat dikatakan persoalan konstitusionalitas pidana mati sampai dengan perlunya kebijakan moderasi pidana mati ke depan telah sesuai dengan teori integratif yang dikemukakan oleh Muladi, tepatnya teori tujuan pemidanaan yang integratif berdasarkan kemanusiaan dalam Sistem Pancasila.

Teori ini sebagaimana telah disebutkan, menjelaskan persoalan pidana dalam konteks kekinian sangat kompleks sebagai akibat dari usaha untuk lebih memperhatikan faktor-faktor yang menyangkut hak asasi manusia, serta menjadikan pidana bersifat operasional dan fungsional. Untuk itu diperlukan pendekatan multidimensional yang bersifat mendasar terhadap dampak pemidanaan, baik yang menyangkut dampak yang bersifat individual maupun dampak yang bersifat sosial.

Pendekatan semacam ini mengakibatkan adanya keharusan untuk memilih teori integratif tentang tujuan pemidanaan yang dapat mempengaruhi fungsinya dalam rangka mengatasi kerusakan-kerusakan yang diakibatkan oleh

tindak pidana (individual and social damages) (Priyanto, 2006: 27).

Hal tersebut sebagaimana telah diulas dapat dilihat dari bagaimana cara para hakim konstitusi mengambil keputusan dengan mempertimbangkan beragam macam pendapat dan masukan, baik yang sifatnya filosofis, yuridis, sosiologis, bahkan termasuk pertimbangan dari perspektif internasional. Dengan menggunakan teori integratif ini, persoalan konstitusionalitas pidana mati dan pidana mati di masa yang akan datang harus dimoderasikan menemui landasannya.

B. Analisis Kebijakan Moderasi Pidana Mati dalam RKUHP Tahun 2015

Sebagaimana sempat disinggung, saat ini Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) telah diajukan pemerintah ke DPR pada pertengahan 2015 sebagai upaya mengganti KUHP warisan Kolonial Belanda. Salah satu muatan dalam RKUHP tersebut adalah mengenai pidana mati. Berdasarkan uraian mengenai analisis Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007, persoalan pidana mati haruslah dimoderasikan sebagai upaya menengahi tuntutan antara dipertahankannya pidana mati dan dihapuskannya pidana mati dalam sistem hukum Indonesia.

Apabila dilihat dari RKUHP yang saat ini sedang dibahas di DPR, model kebijakan moderasi pidana mati antara lain berbentuk: 1) penempatan pidana mati secara tersendiri di luar pidana pokok yang umum; 2) berkaitan dengan pelaksanaan pidana mati yang dapat dilaksanakan setelah permohonan grasi bagi terpidana ditolak oleh presiden; 3) pelaksanaan pidana mati dapat ditunda

Page 112: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

Kebijakan Moderasi Pidana Mati (Mei Susanto & Ajie Ramdan) | 209

dengan masa percobaan selama sepuluh tahun; 4) perubahan pidana mati menjadi pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun dengan keputusan menteri sebagai konsekuensi penundaan pelaksanaan pidana mati dengan masa percobaan selama sepuluh tahun pada poin 3; dan 5) perubahan pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup dengan Keputusan Presiden jika permohonan grasi terpidana mati ditolak dan pidana mati dilaksanakan selama sepuluh tahun bukan karena terpidana melarikan diri.

Konsep moderasi pidana mati tersebut telah menimbulkan pro kontra di tengah masyarakat. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa pernyataan misalnya yang mendukung Supriyadi Widodo, anggota Aliansi Nasional Reformasi KUHP, yang menilai moderasi hukuman mati sebagai langkah maju (Widodo, 2016). Sementara itu yang menolak walaupun tidak tegas misalnya Nasir Djamil, anggota DPR, yang menilai pasal-pasal yang memoderasi pidana mati perlu diperdalam dan diperdebatkan lagi mengingat ini dapat dikatakan sebagai penyelundupan hukum (Djamil, 2016).

Hakim Agung Topane Gayus Lumbuun pun mengingatkan pengambil kebijakan agar memperjelas pengertian kelakuan baik bagi terpidana mati, untuk menjamin kepastian hukum dan prinsip prudensial (Lumbuun, 2016). Perdebatan tersebut tentu sangat wajar, mengingat persoalan pidana mati mengandung dimensi politik dan ideologi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

Untuk dapat melihat ketepatan terhadap kebijakan moderasi pidana mati dalam RKUHP tersebut, maka perlu untuk mengingatkan salah satu pertimbangan dalam Putusan Nomor 2-3/

PUU-V/2007 yang berpendapat agar di masa mendatang dalam rangka pembaharuan hukum pidana nasional, beberapa hal harus sungguh-sungguh menjadi perhatian, yaitu: 1) pidana mati bukan lagi merupakan pidana pokok, melainkan sebagai pidana yang bersifat khusus dan alternatif; 2) pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun yang apabila terpidana berkelakuan terpuji dapat diubah dengan pidana penjara seumur hidup atau selama 20 tahun; 3) pidana mati tidak dapat dijatuhkan terhadap anak-anak yang belum dewasa; dan 4) eksekusi pidana mati terhadap perempuan hamil dan seseorang yang sakit jiwa ditangguhkan sampai perempuan hamil tersebut melahirkan dan terpidana yang sakit jiwa tersebut sembuh.

Selanjutnya akan dianalisis moderasi pidana mati dalam RKUHP terhadap Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007, yaitu: Pertama, penempatan pidana mati secara tersendiri di luar pidana pokok yang umum. Hal tersebut dapat dilihat dari Pasal 66 RKUHP yang menyebutkan jenis pidana pokok terdiri atas: a) pidana penjara; b) pidana tutupan; c) pidana pengawasan; d) pidana denda; dan d) pidana kerja sosial.

Pidana mati sendiri dimasukkan ke dalam pasal terpisah yaitu Pasal 67 RKUHP yang menyebutkan: “Pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif.” Dalam penjelasan Pasal 67 RKUHP sendiri, disebutkan mengapa pidana mati dicantumkan dalam pasal tersendiri, tidak lain untuk menunjukkan bahwa jenis pidana ini benar-benar bersifat khusus. Lebih lanjut menurut penjelasan tersebut dikatakan “jika dibandingkan dengan jenis pidana yang lain, pidana mati merupakan jenis pidana yang paling berat. Oleh karena itu, harus selalu diancamkan secara alternatif dengan

Page 113: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

210 | Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 193 - 215

jenis pidana lainnya yakni pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun.”

Penempatan pidana mati secara khusus dan tersendiri tersebut adalah tepat sesuai dengan pertimbangan dalam Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007. Dalam pembahasan RKUHP di DPR, rumusan sementara yang telah disepakati berupa: Pasal 65A “Pidana terdiri atas: a) Pidana pokok; b) Pidana tambahan; dan c) Pidana yang bersifat khusus untuk tindak pidana tertentu yang ditentukan dalam Undang-Undang ini.” Adapun Pasal 69A yaitu: “Pidana yang bersifat khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65A huruf c adalah pidana mati yang selalu diancamkan secara alternatif” (DPR, 2016).

Kedua, berkaitan dengan pelaksanaan pidana mati yang dapat dilaksanakan setelah permohonan grasi bagi terpidana ditolak oleh presiden. Hal tersebut disebutkan dalam Pasal 90 ayat (1) RKUHP. Ketentuan ini sendiri sebagai konsekuensi Pasal 89 RKUHP yang menyebut pidana mati secara alternatif dijatuhkan sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat.

Penjelasan Pasal 90 RKUHP menyebutkan: “... mengingat beratnya pidana mati dan tidak mungkin dapat diperbaiki lagi apabila ada kekeliruan, maka pelaksanaannya baru dapat dilakukan setelah presiden menolak permohonan grasi orang yang bersangkutan. Berkaitan dengan pidana mati, Indonesia sudah mengikuti konvensi Safeguards Quaranteeing Protection on the Rights of those Facing the Death Penalty Economic and Social Council Resolution 1984/50, adopted 25 May 1984.” Apabila dilihat, ketentuan berkaitan

dengan pelaksanaan pidana mati yang dapat dilaksanakan setelah grasi ditolak presiden tidak terdapat dalam pertimbangan Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007. Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, Pasal 13 menyebutkan: “Bagi terpidana mati, kuasa hukum atau keluarga terpidana yang mengajukan permohonan grasi, pidana mati tidak dapat dilaksanakan sebelum Keputusan Presiden tentang penolakan permohonan grasi diterima oleh terpidana.”

Pengaturan dalam Undang-Undang Grasi tersebut sebenarnya tidak menegaskan bahwa eksekusi pidana mati dapat dilaksanakan setelah grasi ditolak presiden, melainkan pengaturan yang sifatnya administratif di mana terpidana mati yang mengajukan grasi tidak dieksekusi jika Keputusan Presiden tentang penolakan permohonan grasi diterima oleh terpidana. Walau demikian, apabila menggunakan pendekatan kebijakan, maka pengaturan eksekusi pidana mati hanya dapat dilakukan ketika ada penolakan grasi dari presiden, merupakan kebijakan yang dapat dibenarkan, dengan pertimbangan telah melalui proses hukum yang benar, dan memberikan kesempatan bagi terpidana untuk mengakui dan menyatakan permohonan maaf kepada presiden selaku kepala negara.

Kebijakan ini adalah open legal policy yang tidak diatur secara tegas dalam konstitusi. Walau demikian, masih menimbulkan persoalan terutama ketika terpidana mati tidak berkehendak mengajukan grasi ke presiden. Padahal nyata-nyata misalnya pidana dilakukan secara keji dan kejam disertai tidak adanya alasan yang meringankan bagi terpidana, bahkan terpidana tidak menunjukkan rasa menyesal. Karenanya klausul pelaksanaan pidana mati dapat dilaksanakan setelah grasi ditolak oleh

Page 114: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

Kebijakan Moderasi Pidana Mati (Mei Susanto & Ajie Ramdan) | 211

presiden tetap harus memberikan klausul yang mengecualikannya. Dalam pembahasan di DPR, rumusan sementara yang disepakati masih berupa: “Pidana mati dapat dilaksanakan setelah permohonan grasi bagi terpidana ditolak oleh presiden” yang terdapat dalam Pasal 100 ayat (1) (DPR, 2016).

Ketiga, pelaksanaan pidana mati dapat ditunda dengan masa percobaan selama sepuluh tahun. Hal tersebut terdapat dalam Pasal 91 RKUHP, yang menyebutkan beberapa prasyarat penundaan masa pelaksanaan pidana mati, yaitu jika: a) reaksi masyarakat terhadap terpidana tidak terlalu besar; b) terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki; c) kedudukan terpidana dalam penyertaan tindak pidana tidak terlalu penting; dan d) ada alasan yang meringankan.

Beberapa prasyarat tersebut masih menimbulkan pertanyaan mengenai ukuran objektif dan subjektif. Jika dilihat, ketentuan penundaan pelaksanaan pidana mati dengan masa percobaan selama sepuluh tahun tersebut sudah sesuai dengan Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007, walau demikian putusan tersebut tidak memberikan prasyarat dalam hal penundaan masa pelaksanaan pidana mati.

Pengaturan prasyarat penundaan masa pelaksanaan pidana mati dalam RKUHP tersebut patut dipertanyakan, apalagi ukurannya yang tidak jelas dan sangat subjektif. Misalnya berkaitan dengan “reaksi masyarakat terhadap terpidana tidak terlalu besar” menimbulkan persoalan mengingat reaksi masyarakat sangatlah beragam dan dalam kondisi kekinian sangat mungkin ada setting khusus dalam memberikan reaksi terhadap terpidana mati. Apalagi prasyarat tersebut menggunakan kata penghubung “dan,”

yang artinya bersifat kumulatif bukan alternatif (pilihan).

Seharusnya prasyarat untuk memberikan penundaan pelaksanaan pidana mati perlu memperhatikan pertimbangan yang lebih objektif lagi. Dalam pembahasan di DPR sendiri, rumusan sementara yang disepakati terdapat dalam Pasal 101 ayat (1) yang menyebutkan: “Dalam hal grasi ditolak maka pelaksanaan pidana mati dapat ditunda dengan masa percobaan selama sepuluh tahun, jika: a) terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki; b) reaksi masyarakat terhadap terpidana tidak terlalu besar; dan c) ada alasan yang meringankan” (DPR, 2016).

Keempat, perubahan pidana mati menjadi pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun dengan keputusan menteri sebagai konsekuensi penundaan pelaksanaan pidana mati dengan masa percobaan selama sepuluh tahun tersebut di mana terpidana menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji. Hal ini diatur dalam Pasal 91 ayat (2).

Kebijakan semacam ini sebenarnya tepat dan logis sebagai implikasi dari penundaan pelaksanaan pidana mati, serta sesuai dengan pertimbangan dalam Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007. Walau demikian, apabila dilihat dari teori hukum tata negara, khususnya berkaitan dengan pejabat yang memberikan keputusan, maka ini menimbulkan masalah. Walau bagaimanapun, putusan mengenai seseorang dijatuhkan pidana mati dikeluarkan oleh hakim atas nama negara, karena itu pengubahan status putusan tersebut hanya dapat dilakukan oleh pejabat atas nama negara juga, bukan oleh menteri yang sifatnya administratif. Dengan demikian, yang tepat adalah Keputusan Presiden selaku kepala negara.

Page 115: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

212 | Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 193 - 215

Dalam pembahasan di DPR sendiri, rumusan sementara yang telah disepakati terdapat dalam Pasal 101 ayat (2) yaitu: “Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji maka pidana mati dapat diubah menjadi seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun dengan Keputusan Presiden” (DPR, 2016).

Walaupun dari aspek kelembagaan tepat, namun apabila dicermati, klausul ini masih menyisakan persoalan yang sifatnya politis, mengingat perubahan pidana mati tersebut sebagai akibat penundaan eksekusi setelah grasi ditolak oleh presiden dengan jangka waktu sepuluh tahun. Itu artinya, penolakan grasi oleh presiden dapat diubah oleh Keputusan Presiden setelah sepuluh tahun, di mana dalam ketatanegaraan Indonesia, presiden masa jabatannya maksimal dua kali lima tahun, sehingga Keputusan Presiden yang mengubah pidana mati tersebut dapat dikatakan menggugurkan penolakan grasi oleh presiden sebelumnya.

Dalam hal ini, dapat terjadi penurunan wibawa penolakan grasi oleh presiden sebelumnya, bahkan dalam hal tertentu sangat dimungkinkan untuk melakukan kampanye-kampanye tertentu dengan dasar akan memberikan perubahan pidana mati sebagai perbedaan sikap terhadap terpidana mati.

Kelima, perubahan pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup dengan Keputusan Presiden jika permohonan grasi terpidana mati ditolak dan pidana mati dilaksanakan selama sepuluh tahun bukan karena terpidana melarikan diri. Hal ini diatur dalam Pasal 92. Ketentuan ini telah dibahas di poin empat sebelumnya.

Menariknya, dalam pembahasan di DPR, muncul ketentuan hasil kesepakatan sementara

yang diatur dalam Pasal 102 ayat (1): “Dalam hal syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (1) tidak dipenuhi, pidana mati dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung; ayat (2): “Apabila pidana mati sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan selama sepuluh tahun bukan karena terpidana melarikan diri, pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup dengan Keputusan Presiden.” Ketentuan ini kembali menimbulkan persoalan karena proses pelaksanaan pidana mati dapat diulur-ulur, dan apabila tidak dilaksanakan juga selama sepuluh tahun, maka dimungkinkan kembali perubahan pidana mati.

Berdasarkan analisis yang telah dikemukakan, maka moderasi pidana mati dalam RKUHP yang diajukan pemerintah ke DPR pada pertengahan 2015 maupun hasil pembahasan sementara di DPR (sampai dengan awal tahun 2017), menunjukkan telah memuat beberapa prinsip yang diamanatkan Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007. Walau demikian, model yang dimunculkan masih menimbulkan berbagai macam persoalan, khususnya berkaitan ukuran objektivitas dan konsistensi dalam mengubah pidana mati menjadi pidana seumur hidup ataupun penjara maksimal 20 tahun, serta proses penundaan pelaksanaan yang cukup lama.

Selain itu, amanat putusan tersebut yang menyatakan pidana mati hanya dapat diterapkan pada jenis tindak pidana yang paling serius (the most serious crime), belum dirumuskan secara tepat. Hal tersebut setidaknya terlihat dari belum disepakatinya tindak pidana apa saja yang termasuk the most serious crime yang dapat diancamkan dengan pidana mati.

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menelisik ada 26 pasal yang memuat ancaman

Page 116: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

Kebijakan Moderasi Pidana Mati (Mei Susanto & Ajie Ramdan) | 213

pidana mati, yaitu: Pasal 222 berkaitan Makar terhadap Presiden dan Wakil Presiden; Pasal 223 berkaitan Makar terhadap NKRI; Pasal 235 ayat (2) berkaitan dengan Pengkhianatan terhadap Negara dan Pembocoran Rahasia Negara; Pasal 244 ayat (3) berkaitan dengan Sabotase dan Tindak Pidana pada Waktu Perang; Pasal 249 berkaitan Terorisme; Pasal 253 berkaitan dengan Terorisme dengan Menggunakan Bahan Kimia; Pasal 256 berkaitan dengan Pendanaan Untuk Terorisme; Pasal 258 berkaitan dengan Penggerakan, Pemberian Bantuan, dan Kemudahan Untuk Terorisme; Pasal 261 ayat (2) berkaitan dengan Perluasan Tindak Pidana Terorisme; Pasal 267 ayat (2) berkaitan dengn Makar terhadap Kepala Negara Sahabat; Pasal 400 ayat (1) berkaitan dengan Genosida; Pasal 400 ayat (2) berkaitan dengan Percobaan Genodisa; Pasal 401 ayat (1) berkaitan dengan Tindak Pidana terhadap Kemanusiaan; Pasal 401 ayat (2) berkaitan dengan Percobaan Tindak Pidana terhadap Kemanusiaan; Pasal 402 berkaitan dengan Tindak Pidana dalam Masa Perang atau Konflik Bersenjata; Pasal 209 ayat (2); Pasal 510 ayat (2); Pasal 512 ayat (2); Pasal 514 ayat (2), Pasal 515 ayat (2); Pasal 517 ayat (2) berkaitan dengan Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika; Pasal 526 tentang Tindak Pidana Penyalahgunaan Psikotropika; Pasal 584 tentang Pembunuhan Berencana; Pasal 609 ayat (5) berkaitan dengan Tindak Pidana Pemerasan dan Pengancaman; Pasal 687 ayat (2) berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi; dan Pasal 755 ayat (2) berkaitan dengan Perbuatan yang Membahayakan Keselamatan Penerbangan (Eddyono et.al., 2015: 38-39).

Menurut Eddyono dan kawan-kawan, ancaman pidana mati terhadap beberapa tindak pidana di RKUHP tersebut tidak jelas indikator penetapannya, apakah berdasarkan dampak

kejahatan atau lebih dikarenakan melihat tingkat keseriusan kejahatan (gravity of the crimes). Di samping itu, juga terlihat tidak adanya konsistensi dalam menentukan kategori penetapan ancaman hukuman mati (Eddyono et.al., 2015: 39).

Penilaian ICJR tersebut ada benarnya, apalagi jika digunakan pendekatan ketentuan hukum internasional dalam ICCPR yang hanya membolehkan pidana mati hanya untuk the most serious crime. Karena itu, seharusnya pemerintah dan DPR menentukan dulu dari aspek politik hukum, tindak pidana apa saja yang dalam konteks Indonesia dikategorikan sebagai the most serious crime, sehingga memiliki indikator yang jelas, dapat berasal dari sumber hukum internasional atau menentukan sendiri indikator sesuai dengan kedaulatan hukum Indonesia.

IV. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pembahasan, maka dapat disimpulkan, pertama, Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007 yang memuat kebijakan moderasi pidana mati telah sesuai dengan teori pemidanaan khususnya teori integratif dikarenakan sistem hukum Indonesia merupakan campuran berbagai macam sistem hukum, yaitu sistem hukum Belanda, sistem hukum adat, dan sistem hukum Islam, sehingga menentukan suatu kebijakan hukum tidak dapat lepas dari beragam sistem hukum tersebut, termasuk juga pengaruh dari ketentuan internasional. Kebijakan moderasi pidana mati merupakan upaya jalan tengah untuk mengintegrasikan berbagai macam sistem hukum yang berpengaruh terhadap sistem hukum Indonesia.

Kedua, kebijakan moderasi pidana mati yang terdapat dalam RKUHP yang saat ini dibahas di DPR beberapa di antaranya telah

Page 117: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

214 | Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 193 - 215

mengakomodir amanat Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007, seperti penentuan pidana mati di luar pidana pokok, penundaan pidana mati, kemungkinan pengubahan pidana mati menjadi pidana seumur hidup atau penjara paling lama 20 tahun.

Kebijakan moderasi tersebut masih menimbulkan persoalan berkaitan dengan lembaga yang memberikan pengubahan pidana mati, persoalan grasi, dan lamanya penundaan pelaksanaan pidana mati. Namun demikian, Dalam RKUHP belum ada kesepakatan yang jelas mengenai tindak pidana apa saja yang memiliki indikator tertentu sehingga dapat dijatuhkan pidana mati. Hal inilah yang tidak sesuai dengan rekomendasi Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007 yang menyebut pidana mati hanya berlaku untuk kejahatan paling serius saja.

DAFTAR ACUAN

Affandi, H. (2013). Hak asasi manusia, pemerintahan yang baik, & demokrasi di Indonesia. Bandung: CV. Kancana Salakadomas.

Arief, B.N. (2005). Pembaharuan hukum pidana dalam perspektif kajian perbandingan. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

Budiardjo, M. (1977). Dasar-dasar ilmu politik. Jakarta: PT. Gramedia.

Djamil, N. (2016). Moderasi hukuman mati dipertanyakan. Diakses dari h t t p : / / m e d i a i n d o n e s i a . c o m / n e w s r e a d / 3 6 7 3 8 / m o d e r a s i - h u k u m a n - m a t i dipertanyakan/2016-03-28#.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). (2016). Pembahasan Buku I RKUHP.

Eddyono, S.W. et.al. (2015). Hukuman mati dalam RKUHP, jalan tengah yang meragukan. Jakarta: ICJR.

Effendi, A.M. (2005). Perkembangan dimensi hak asasi manusia (HAM) & proses dinamika penyusunan hukum hak asasi manusia. Bogor: Ghalia Indonesia.

Eldridge, P. (2002). Human rights in post-Suharto Indonesia. The Brown Journal of World Affairs, IX(1), 127-139.

Faiz, P.M. (2015, Februari). Pendekatan MK terhadap konstitusionalitas hukuman mati. Kolom Khazanah pada Majalah Konstitusi, No. 96.

Hook, S. (1987). Hak asasi manusia dalam Islam. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Ibrahim, J. (2006). Teori & metodologi penelitian hukum normatif. Malang: Bayumedia.

Istanto, F.S. (2007). Penelitian hukum. Yogyakarta: CV. Ganda.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Daring. (2017). Diakses dari http://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/moderasi.

Lamintang, P.AF. (1988). Hukum penitensier Indonesia. Bandung: Armico.

Lindsay, T., & Santosa, M.A. (2008). The trajectory of law reform in Indonesia: A short overview of legal systems & change in Indonesia. Lindsay, T. (Ed). Indonesia Law & society (2nd ed). NSW: Federation Press.

Lumbuun, T.G. (2016). Moderasi hukuman mati dipertanyakan. Diakses dari h t t p : / / m e d i a i n d o n e s i a . c o m / n e w s r ead /36738 /moderas i -hukuman-mat i -dipertanyakan/2016-03-28#.

Mahkamah Konstitusi RI (MKRI). (2008). Enam

Page 118: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

Kebijakan Moderasi Pidana Mati (Mei Susanto & Ajie Ramdan) | 215

tahun mengawal konstitusi & demokrasi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.

Marzuki, P.M. (2005). Penelitian hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Muladi. (1984). Lembaga pidana bersyarat sebagai faktor yang mempengaruhi proses hukum pidana yang berperikemanusiaan. Bandung: Disertasi Univrsitas Padjadjaran.

______. (2002). Demokratisasi, hak asasi manusia, & reformasi hukum di Indonesia. Jakarta: The Habibie Center.

Priyanto, D. (2006). Sistem pelaksanaan pidana penjara di Indonesia. Bandung: Refika Aditama.

Remmelink, J. (2003). Hukum pidana, komentar atas pasal-pasal terpenting dari kitab undang-undang hukum pidana Belanda & padanannya dalam kitab undang-undang hukum pidana Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka.

Santoso, T. (2016). Asas-asas hukum pidana Islam. Jakarta: Rajawali Pers.

Supranto, J. (2003). Metode penelitian hukum & statistik. Cet. I. Jakarta: Penerbit Rinek Cipta.

Setiardja, A.G. (1993). Hak-hak asasi manusia berdasarkan ideologi Pancasila. Yogyakarta: Kanisius.

Widodo, S. (2016). Hukuman mati dapat diubah menjadi hukuman seumur hidup. Diakses dari https://beritagar.id/artikel/berita/hukuman-mati-dapat-diubah-menjadi-hukuman-seumur-hidup.

Zerial, N. (2008). Decision No. 2-3/PUU-VI/2007 [2007] (Indonesian Constitutional Court). Australian International Law Journal, 14, 217-226.

Page 119: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,
Page 120: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

Perkembangan Kewenangan Pembatalan Peraturan Daerah (Eka NAM Sihombing) | 217

ABSTRAK

Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015 menyatakan Pasal 251 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah terkait dengan kewenangan pembatalan peraturan daerah kabupaten/kota tidak lagi bisa dibatalkan Menteri Dalam Negeri atau gubernur. Melengkapi putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 56/PUU-XIV/2016 menyatakan pemerintah pusat juga tidak lagi memiliki kewenangan untuk melakukan pembatalan peraturan daerah provinsi. Putusan tersebut tidak serta merta menyelesaikan persoalan terkait dengan kewenangan pembatalan peraturan daerah, hal ini dikarenakan putusan Mahkamah Konstitusi hanya berlaku bagi peraturan daerah provinsi dan peraturan daerah kabupaten/kota. Rumusan masalah yang akan diurai dalam tulisan ini adalah bagaimana kewenangan pembatalan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah oleh Menteri dan gubernur pasca Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015 dan Nomor 56/PUU-XIV/2016. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian yuridis normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam negara dengan bentuk kesatuan memang sudah sepatutnya pemerintah yang tingkatannya lebih tinggi diberikan kewenangan

untuk melakukan pengawasan terhadap regulasi yang lahir di daerah. Implementasi dari pengawasan tersebut dapat dilakukan dengan melakukan pembinaan kepada daerah melalui penguatan executive preview atau pengujian terhadap suatu norma hukum sebelum sah mengikat secara umum, hal ini sejalan dengan ruh ketentuan Pasal 24A UUD NRI 1945.

Kata kunci: pembatalan, peraturan daerah, peraturan kepala daerah.

ABSTRACT

Constitutional Court Decision Number137/PUU-XIII/2015 stated in Article 251 of Law Number 23 of 2014 on Local Government related to the issue if regulatory authority annulment of local and leaders regulations can no longer be withdrawn by the Minister of Home Affairs or Governor. Completing the decision, the Constitutional Court through Decision Number 56/PUU-XIV/2016 stated that the Central Government also no longer has the authority to annul the Provincial Regulation. The Constitutional Court Decision does not necessarily solve the problems related to the authority annulment of the local regulations. This is because

PERKEMBANGAN KEWENANGAN PEMBATALANPERATURAN DAERAH DAN PERATURAN KEPALA DAERAH

Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 137/PUU-XIII/2015 dan Nomor 56/PUU-XIV/2016

DEVELOPMENT OF REGULATORY AUTHORITY ANNULMENT OF LOCAL REGULATIONS AND REGIONAL HEAD REGULATIONS

Eka NAM SihombingFakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara

Jl. Kapten Muchtar Basri No. 3, Medan 20238E-mail: [email protected]

An Analysis of Constitutional Court DecisionNumber 137/PUU-XIII/2015 and Number 56/PUU-XIV/2016

Naskah diterima: 28 April 2017; revisi: 15 Agustus 2017; disetujui 15 Agustus 2017

Page 121: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

218 | Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 217 - 234

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, secara eksplisit memberikan kewenangan bagi Menteri Dalam Negeri dan gubernur secara berjenjang untuk membatalkan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum dan/atau kesusilaan. Pembatalan suatu peraturan daerah merupakan kewenangan pemerintah dalam kaitannya melaksanakan proses pengawasan kepada daerah (Budiputra, 2015: 4).

Pengawasan terhadap peraturan daerah maupun peraturan kepala daerah ini lahir dari kewenangan pengawasan pemerintah pusat terhadap penyelenggaraan pemerintah daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia khususnya mengenai peraturan yang dibuat daerah. Namun dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi yang terbuka untuk umum pada tanggal 5 April 2017, melalui Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015 menyatakan Pasal 251 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah terkait dengan kewenangan pembatalan peraturan daerah

kabupaten/kota tidak lagi bisa dibatalkan Menteri Dalam Negeri atau gubernur.

Mahkamah Konstitusi dalam amar putusannya menyatakan bahwa frase “peraturan daerah kabupaten/kota dan” dalam ketentuan Pasal 251 ayat (2) dan (4), frase “peraturan daerah kabupaten/kota dan/atau” dalam Pasal 251 ayat (3), dan frase “penyelenggara pemerintahan daerah kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan peraturan daerah kabupaten/kota dan” Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Putusan Mahkamah Konsttusi ini tidak bulat, karena diwarnai dengan pendapat berbeda (dissenting opinion) dari empat hakim konstitusi yang menolak mencabut kewenangan Menteri Dalam Negeri dalam membatalkan peraturan daerah. Alasannya, dalam otonomi daerah, tanggung jawab penyelenggaraan pemerintah berakhir di presiden. Selanjutnya, melengkapi Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 56/PUU-XIV/2016 menyatakan pemerintah pusat tidak lagi memiliki kewenangan untuk melakukan pembatalan peraturan daerah provinsi.

the Constitutional Court Decision only applies to the Provincial Regulation and District/City Regulation. The formulation of the problems elaborated through this analysis is how the Authority Annulment of Regional Regulation by the Minister and the Governor after the issuance of Court Decision Number 137/PUU-XIII/2015 and Constitutional Court Decision Number 56/PUU-XIV/2016. This analysis makes use of the legal juridical normative research method. The results show that in a state of unity it is appropriate that higher levels

of government are given the authority to supervise the regulations set in the regions. The supervision can be implemented by conducting such a guidance to the region through the strengthening of executive preview or legal norm review before it is legally binding in general. This is in line with the spirit of Article 24A of the 1945 Constituition of the Republic of Indonesia.

Keywords: annulment, local regulation, regional head regulation.

Page 122: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

Perkembangan Kewenangan Pembatalan Peraturan Daerah (Eka NAM Sihombing) | 219

Putusan tersebut tidak serta merta menyelesaikan persoalan terkait dengan kewenangan pemerintah dalam produk hukum daerah, hal ini dikarenakan putusan Mahkamah Konstitusi hanya berlaku bagi peraturan daerah provinsi dan peraturan daerah kabupaten/kota, sedangkan peraturan kepala daerah (peraturan gubernur dan peraturan bupati/wali kota), gubernur maupun Menteri Dalam Negeri masih berwenang membatalkannya. Mahkamah Konstitusi berpendapat dalam pertimbangannya bahwa:

“...oleh karena peraturan kepala daerah merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan berdasarkan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, akan tetapi oleh karena dibentuk oleh kepala daerah sebagai satuan bestuur yang lebih tinggi memiliki kewenangan untuk membatalkan peraturan kepala daerah. Pembatalan dan mekanisme pengajuan keberatan pembatalan peraturan kepala daerah dalam Undang-Undang Pemerintah Daerah merupakan bagian dari mekanisme pengajuan keberatan pembatalan peraturan kepala daerah dalam Undang-Undang Pemerintah Daerah merupakan bagian dari mekanisme pengawasan dari presiden atau menteri dan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat kepada pemerintah daerah atau dengan kata lain sebagai suatu bentuk pengawasan, bukan pengujian peraturan perundang-undangan dalam lingkungan bestuur yang lebih tinggi terhadap satuan bestuur yang lebih rendah.”

Problematika kewenangan pembatalan terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah pasca putusan Mahkamah Konstitusi tersebut di atas menarik untuk dikupas lebih dalam, terutama apabila dikaitkan dengan aspek konstitusionalitas kewenangan pembatalan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang berdasarkan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945 diberikan kepada Mahkamah Agung.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut, yaitu: bagaimana kewenangan pembatalan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah pasca Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015 dan Nomor 56/PUU-XIV/2016?

C. Tujuan dan Kegunaan

Tulisan ini bertujuan untuk menelusuri konstitusionalitas kewenangan pembatalan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah oleh Menteri dan gubernur pasca Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015 dan Nomor 56/PUU-XIV/2016. Lebih lanjut, tulisan ini diharapkan memiliki kegunaan sebagai berikut:

1. Secara teoritis hasil penelitian ini adalah untuk memberikan pengembangan ilmu hukum khususnya yang terkait dengan kewenangan pembatalan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah.

2. Secara praktis, hasil penelitian ini juga akan berguna bagi kalangan praktisi, baik itu DPRD, pemerintah daerah maupun bagi siapa saja yang menaruh minat dalam bidang ini.

D. Tinjauan Pustaka

1. Teori Jenjang Norma

Kelsen mengemukakan bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dikenal teori jenjang hukum (stufentheorie). Dalam teori tersebut Kelsen berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan) dalam arti suatu norma yang lebih tinggi berlaku,

Page 123: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

220 | Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 217 - 234

bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotetis dan fiktif, yaitu norma dasar (grundnorm). “The grundnorm is not constitution, it is simply the presuppotion, demanded by theory, that this constitution ought to be obeyed” (Dias, 1985: 365).

Norma dasar merupakan norma tertinggi dalam suatu sistem norma tersebut tidak lagi dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi, tetapi norma dasar itu ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat sebagai norma dasar yang merupakan gantungan bagi norma-norma yang berada di bawahnya, sehingga suatu norma dasar itu dikatakan pre-supposed (Farida, 2010: 41).

Menurut Kelsen suatu norma hukum itu selalu bersumber dan berdasar pada norma yang di atasnya, tetapi ke bawah norma hukum itu juga menjadi sumber dan menjadi dasar bagi norma yang lebih rendah daripadanya. Dalam hal tata susunan/hierarki sistem norma, norma yang tertinggi (norma dasar) itu menjadi tempat bergantungnya norma-norma di bawahnya, sehingga apabila norma dasar itu berubah akan menjadi rusaklah sistem norma yang ada di bawahnya (Farida, 2010: 41).

Nawiasky mengembangkan teori Kelsen tentang jenjang norma dalam kaitannya dengan norma hukum suatu negara yang menyatakan suatu norma hukum dari negara manapun selalu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang. Norma yang di bawah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada suatu norma yang tertinggi yang disebut norma dasar. Sebagai murid Kelsen, teori yang dikembangkan Nawiasky selain norma itu berlapis-lapis dan

berjenjang-jenjang, norma hukum dari suatu negara itu juga berkelompok-kelompok, dan pengelompokan norma hukum dalam suatu negara itu terdiri atas empat kelompok besar antara lain (Farida, 2010: 41):

a. Staatsfundamentalnorm (norma fundamental negara);

b. Staatsgrundgesetz (aturan dasar/aturan pokok negara);

c. Formell gesetz (undang-undang ”formal”);

d. Verordnung & Autonome satzung (aturan pelaksana/aturan otonom).

Menurut Nawiasky, isi staatsfundamentalnorm ialah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau undang-undang dasar dari suatu negara (staatsverfassung), termasuk norma pengubahannya. Hakikat hukum suatu staats-fundamentalnorm ialah syarat bagi berlakunya suatu konstitusi atau undang-undang dasar. Ia ada terlebih dulu sebelum adanya konstitusi atau undang-undang dasar (Farida, 2010: 41). Selanjutnya Nawiasky mengatakan norma tertinggi yang oleh Kelsen disebut sebagai norma dasar (basic norm) dalam suatu negara sebaiknya tidak disebut sebagai staatsgrundnorm melainkan staatsfundamentalnorm atau norma fundamental negara. Grundnorm mempunyai kecenderungan untuk tidak berubah atau bersifat tetap, sedangkan di dalam suatu negara norma fundamental negara itu dapat berubah sewaktu-waktu karena adanya pemberontakan, kudeta, dan sebagainya (Farida, 2010: 41).

Indonesia sebagai negara hukum yang menganut ajaran negara berkonstitusi seperti negara-negara modern lainnya, memiliki

Page 124: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

Perkembangan Kewenangan Pembatalan Peraturan Daerah (Eka NAM Sihombing) | 221

konstitusi tertulis yang disebut UUD NRI 1945. UUD NRI 1945 ini ditempatkan sebagai fundamental law sehingga menjadi hukum dasar atau sumber pembuatan hukum-hukum yang lainnya dan sebagai higher law UUD NRI 1945 merupakan hukum tertinggi dalam tata urutan perundang-undangan Republik Indonesia (Manan, 1993: 41-42). Secara kontekstual dalam sistem hierarki peraturan perundang-undangan dikenal dengan tiga asas mendasar. Adapun tiga asas sebagaimana dimaksud antara lain asas lex superior de rogat lex inferior, lex specialist derogat lex generalis, lex posterior de rogat lex priori (Hamidi et.al., 2012: 19).

Berdasarkan studi ilmu hukum tiga asas sebagaimana dimaksud merupakan pilar penting dalam memahami konstruksi hukum perundang-undangan di Indonesia secara detail dapat dijelaskan bahwa (Hamidi et.al., 2012: 19):

a. Asas lex superior de rogat lex inferior, peraturan yang lebih tinggi akan mengesampingkan peraturan yang lebih rendah apabila mengatur substansi yang sama dan bertentangan.

b. Asas lex specialist derogat lex generalis, peraturan yang lebih khusus akan mengesampingkan peraturan yang umum apabila mengatur substansi yang sama dan bertentangan.

c. Asas lex posterior de rogat lex priori, peraturan yang baru akan mengesampingkan peraturan yang lama.

Dengan demikian, dalam setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan sistem hierarki peraturan perundang-undangan, sehingga tercipta keharmonisan antara peraturan perundang-

undangan yang dibentuk dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi maupun yang setara. Dalam hal ini, UUD NRI 1945 dijadikan sebagai hukum dasar dalam peraturan perundang-undangan.

UUD NRI 1945 sebagai hukum dasar peraturan perundang-undangan mengatur tentang kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusannya, dalam Pasal 18 ayat (2) UUD NRI 1945 disebutkan bahwa pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan (Asshiddiqie, 2009: 58). Lebih lanjut Pasal 18 ayat (6) menegaskan pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan (Asshiddiqie, 2009: 58).

Berlakunya prinsip otonomi dalam negara Indonesia yang membagi kewenangan antara pusat dan daerah diharapkan segala urusan baik yang bersifat wajib ataupun pilihan dapat dilaksanakan sesuai dengan kewenangan masing-masing yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Kewenangan daerah dalam pelaksanaan otonomi ini telah diisyaratkan oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah di dalam penjelasan umum disebutkan bahwa daerah sebagai satu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai otonomi, berwenang mengatur dan mengurus daerahnya sesuai aspirasi dan kepentingan masyarakatnya sepanjang tidak bertentangan dengan tatanan hukum nasional dan kepentingan umum.

Dalam rangka memberikan ruang yang lebih luas kepada daerah untuk mengatur dan

Page 125: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

222 | Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 217 - 234

mengurus kehidupan warganya maka pemerintah pusat dalam membentuk kebijakan harus memperhatikan kearifan lokal dan sebaliknya daerah ketika membentuk kebijakan daerah baik dalam bentuk peraturan daerah maupun kebijakan lainnya hendaknya juga memperhatikan kepentingan nasional. Dengan demikian akan tercipta keseimbangan antara kepentingan nasional yang sinergis dan tetap memperhatikan kondisi, kekhasan, dan kearifan lokal dalam penyelenggaraan pemerintahan secara keseluruhan (Penjelasan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014). Daerah melaksanakan otonomi daerah yang berasal dari kewenangan presiden yang memegang kekuasaan pemerintahan.

Mengingat tanggung jawab akhir penyelenggaraan pemerintahan ada di tangan presiden, maka konsekuensi logisnya kewenangan untuk membatalkan peraturan daerah ada di tangan presiden. Adalah tidak efisien apabila presiden yang langsung membatalkan peraturan daerah. Presiden melimpahkan kewenangan pembatalan peraturan daerah provinsi kepada Menteri sebagai pembantu presiden yang bertanggung jawab atas otonomi daerah. Sedangkan untuk pembatalan peraturan daerah kabupaten/kota, presiden melimpahkan kewenangannya kepada gubernur selaku wakil pemerintah pusat di daerah (Penjelasan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014).

2. Perkembangan Kewenangan Pengujian Peraturan Perundang-undangan

Dalam konteks ilmu perundang-undangan telah dikenal istilah hak menguji (toetsingrecht) dan juga dikenal istilah Judicial Review (Sinamo, 2016: 157). Jika diartikan secara etimologis dan terminologis, toetsingrecht berarti hak

menguji terhadap peraturan perundang-undangan khususnya undang-undang dan peraturan lain di bawah undang-undang, sebaliknya judicial review berarti peninjauan terhadap peraturan perundang-undangan oleh lembaga pengadilan (Sinamo, 2016: 157). Sehingga pada dasarnya menurut Fatmawati (2005: 5) kedua istilah tersebut mengandung arti yang sama, yaitu kewenangan untuk menguji atau meninjau.

Perbedaannya adalah dalam istilah judicial review sudah secara spesifik ditentukan bahwa kewenangan tersebut dimiliki oleh pelaksana lembaga pengadilan (Fatmawati, 2005: 5). Huda (2009: 115) menyatakan istilah “hak menguji” berbeda dengan “judicial review.” Kalau kita berbicara mengenai hak menguji, orientasinya ialah ke Kontinental Eropa (Belanda), sedangkan judicial review orientasinya ialah ke Amerika Serikat. Walau tujuannya sama, dalam perkembangan selanjutnya apa yang dilaksanakan oleh negara-negara Eropa yang menganut sistem civil law berbeda dengan negara-negara yang menganut sistem common law (Huda, 2009: 115).

Dalam sejarah konstitusi dan peraturan perundang-undangan kita, pemikiran mengenai pengujian ini pernah dilontarkan oleh Mohammad Yamin pada saat pembahasan rancangan undang-undang dasar di Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Mohamad Yamin melontarkan pemikiran mengenai perlunya suatu lembaga yang melakukan pengujian konstitusionalitas undang-undang sekaligus mengusulkan agar masuk dalam rumusan rancangan undang-undang dasar yang tengah disusun (Natabaya, 2008: 185-186).

Mohammad Yamin membicarakan tentang alat perlengkapan negara Indonesia yang

Page 126: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

Perkembangan Kewenangan Pembatalan Peraturan Daerah (Eka NAM Sihombing) | 223

disebutnya dengan enam kekuasaan (the six powers of the Republic of Indonesia), khusus tentang Balai Agung dan Mahkamah Tinggi mengatakan (Rauta, 2016: 85): Mahkamah inilah yang setinggi-tingginya sehingga dalam membanding undang-undang, maka Balai Agung inilah yang akan memutus apakah sejalan dengan hukum adat, syariah, dan Undang-Undang Dasar. Namun gagasan Mohammad Yamin tersebut ditolak oleh Soepomo dengan alasan lembaga ini tidak sesuai dengan sistem berpikir undang-undang dasar yang saat itu disusun atas dasar prinsip supremasi parlemen dengan menempatkan MPR sebagai Lembaga Negara Tertinggi (Natabaya, 2008: 185-186).

Soepomo menambahkan argumentasi bahwa kondisi dari negara Indonesia diawal kemerdekaan yang belum memiliki sarjana hukum yang banyak dan memiliki pengalaman dalam judicial review, sehingga keputusannya saat itu Mahkamah Agung tidak diberikan kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar (Farida, tt: 1.7). Dengan perkataan lain kewenangan menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar maupun peraturan perundang-undangan lainnya terhadap undang-undang tidak dicantumkan dalam UUD NRI 1945 sebelum perubahan.Lebih lanjut Farida menyatakan bahwa sesuatu yang menarik untuk menjadi sejarah dalam ketatanegaraan yang pernah ada di Indonesia adalah pada saat konstitusi RIS berlaku, pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar sempat dikenal, walaupun dengan batasan hanya pada pengujian terhadap undang-undang negara bagian kepada konstitusi sebagaimana diatur pada Pasal 156, Pasal 157, dan Pasal 158 Konstitusi RIS.

Setelah berlakunya kembali UUD NRI 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, pengujian

terhadap undang-undang juga tidak diatur dan dianut dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Dalam kurun 1970-1998 pengujian peraturan perundang-undangan dalam perspektif pembagian kekuasaan yang dianut oleh UUD NRI 1945, tidak mengenal pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar, tetapi pengujian peraturan di bawah undang-undang. Hal ini didasarkan pada perolehan kekuasaan di masing-masing lembaga negara yang menurut UUD NRI 1945 diberikan atas dasar delegasi kewenangan dari MPR sebagai pemegang kedaulatan rakyat (Hoesein, 2009: 304).

Kekuasaan negara yang timbul (sebelum Amandemen UUD Tahun 1945:sic) pada dasarnya bermuara pada MPR, dan MPR selanjutnya membagi-bagi kekuasaan tersebut kepada lembaga negara untuk dilaksanakan dalam rangka menjalankan amanat UUD NRI 1945 (Hoesein, 2009: 304). Lebih lanjut Hoesein (2009: 304-305) menyatakan bahwa kewenangan yang timbul dan dilekatkan pada lembaga negara, pada hakikatnya kewenangan-kewenangan yang secara eksplisit diserahkan kepada badan atau lembaga negara yang bersangkutan, seperti kewenangan di bidang kehakiman diserahkan kepada lembaga Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan di bawahnya.

Hoesein (2009: 305) menyatakan pengujian peraturan perundang-undangan memiliki posisi, tugas, dan fungsi yang sangat penting dalam perspektif ketatanegaraan Indonesia pasca perubahan UUD NRI 1945. Dalam hubungan ini pengujian peraturan perundang-undangan merupakan kontrol normatif terhadap segala bentuk produk hukum sesuai dengan tingkatan atau hierarki normatifnya, sehingga dominasi mayoritas dapat dihindari dan rasa keadilan serta kebenaran dapat ditegakkan oleh lembaga yang berwibawa (Hoesein, 2009: 305).

Page 127: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

224 | Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 217 - 234

Seiring dengan dilakukannya perubahan terhadap UUD NRI 1945 pada tahun 1999 sampai dengan 2002. Kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan, oleh UUD NRI 1945 diberikan kepada lembaga Mahkamah Konstitusi untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar dan Mahkamah Agung untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.

3. Pengujian terhadap Peraturan Perundang-Undangan di Bawah Undang-Undang

Sebagai sebuah sistem peraturan perundang-undangan, Soebechi (2012: 180) menyatakan bahwa kesatuan tatanan hukum seharusnya tidak ada pertentangan antara norma hukum satu sama lainnya. Dalam praktiknya, tidak dapat dipungkiri bahwa pertentangan antara norma hukum sering terjadi.

Menurut Kelsen, tidak ada jaminan absolut bahwa norma yang lebih sesuai dengan norma yang lebih tinggi. Hal tersebut dapat terjadi karena organ hukum yang berwenang membuat norma hukum menciptakan norma-norma yang bertentangan (Soebechi, 2012: 180).

Antara satu norma hukum dengan norma hukum lainnya bahwa dimungkinkan terjadi ketidaksamaan (ketidakharmonisan:sic), dalam hal ini Kelsen menyebutnya dengan terjadinya konflik antar norma hukum dari berbagai tingkatan (Soebechi, 2012: 180). Untuk menghindari terjadinya konflik antar norma hukum (disharmoni antar norma hukum) dalam hal ini peraturan perundang-undangan, dapat dilakukan sebelum atau sesudah peraturan perundang-undangan tersebut diundangkan. Upaya yang dilakukan sebelum peraturan

perundang-undangan tersebut diundangkan adalah dengan melakukan seluruh rangkaian proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang berpedoman pada asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik maupun asas materi muatan peraturan perundang-undangan. Sedangkan upaya yang dapat dilakukan setelah peraturan perundang-undangan tersebut diberlakukan adalah melalui permohonan pengujian peraturan perundang-undangan kepada lembaga kehakiman.

Sekalipun pengujian terhadap peraturan perundang-undangan sebenarnya tidak masuk dalam definisi pembentukan peraturan perundang-undangan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, namun mengingat adanya kebutuhan hukum, masukan, keresahan, dan keberatan sebagian besar pemangku kepentingan terkait dengan pembatalan dan/atau pencabutan peraturan perundang-undangan di bawah UU, terutama peraturan daerah provinsi dan/atau peraturan daerah kabupaten/kota yang dibatalkan dan atau dicabut dengan perpres atau permendagri, maka substansi mengenai uji materi peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 (Yani, 2013: 74-75). Lebih lanjut Yani (2013) menyatakan bahwa substansi uji materiil atas peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 dapat disebut sebagai terobosan hukum, sebab pengujian peraturan perundang-undangan terintegrasi dalam sistem pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.

Ketentuan tentang uji materiil atas peraturan perundang-undangan di bawah undang-

Page 128: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

Perkembangan Kewenangan Pembatalan Peraturan Daerah (Eka NAM Sihombing) | 225

undang paling tidak menjawab kebutuhan untuk menyelesaikan masalah uji materiil secara benar berdasarkan konstitusi, serta harapan agar ke depan hal-hal yang dianggap bertentangan atau tidak sesuai dengan kebijakan regulasi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang hanya dapat dicabut dan/atau dibatalkan oleh Mahkamah Agung (Yani, 2013: 74-75). Ketentuan tersebut berdasarkan amanat Pasal 24A UUD NRI 1945 yang secara tegas menentukan bahwa pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang merupakan kewenangan Mahkamah Agung, yaitu lembaga yudikatif bukan eksekutif (Yani, 2013: 74-75).

Berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh ketentuan Pasal 24A UUD NRI 1945, Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan daerah provinsi dan peraturan daerah kabupaten/kota yang secara hierarki berada di bawah undang-undang (Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011) dan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, yang masing-masing berbunyi sebagai berikut:

“Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. U n d a n g - U n d a n g / P e r a t u r a n Pemerintah Pengganti;

d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan

g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.”

Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 menyebutkan bahwa:

“Jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan undang-undang atau pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Wali kota, Kepala Desa atau yang setingkat.”

Penjabaran lebih lanjut mengenai kewenangan pengujian oleh Mahkamah Agung diatur dalam Pasal 20 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi: Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang (Ketentuan ini mengatur mengenai hak uji Mahkamah Agung terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dari undang-undang.

Hak uji dapat dilakukan baik terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi maupun terhadap pembentukan peraturan perundang-undangan). Instrumen yang dijadikan batu uji dalam pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang adalah undang-undang dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dari peraturan perundang-undangan yang diuji.

Page 129: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

226 | Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 217 - 234

II. METODE

Metode yang digunakan dalam tulisan ini adalah metode penelitian hukum yuridis normatif. Penelitian hukum normatif yaitu pendekatan yang dilakukan berdasarkan bahan hukum utama dengan cara menelaah teori-teori, konsep-konsep asas-asas hukum, norma, kaidah dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian serta.

Mengambil istilah Dworkin, penelitian semacam ini juga disebut dengan istilah penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu penelitian yang menganalisis hukum, baik yang tertulis di dalam buku (law as it is written in the book). Dalam penelitian ini bahan kepustakaan dan studi dokumen dijadikan sebagai bahan utama.

Adapun sifat penelitian yang dipergunakan dalam tulisan ini adalah preskriptif, berpegang pada karakteristik ilmu hukum sebagai ilmu terapan, preskripsi yang diberikan di dalam kegiatan penelitian hukum harus dapat dan mungkin untuk diterapkan (Marzuki, 2011: 251). Oleh karena itu yang dihasilkan oleh penelitian hukum, sekalipun bukan asas hukum yang baru atau teori baru, paling tidak argumentasi baru (Marzuki, 2011: 251).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kewenangan Pembatalan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah Pasca Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015 dan Nomor 56/PUU-XIV/2016

Ketentuan Pasal 18 ayat (2) UUD NRI 1945 menyebutkan bahwa pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Berlakunya

prinsip otonomi dalam negara Indonesia yang membagi kewenangan antara pusat dan daerah diharapkan segala urusan baik yang bersifat wajib ataupun pilihan dapat dilaksanakan sesuai dengan kewenangan masing-masing yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Kewenangan daerah dalam pelaksanaan otonomi ini telah diisyaratkan oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam penjelasan umum disebutkan bahwa daerah sebagai satu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai otonomi berwenang mengatur dan mengurus daerahnya sesuai aspirasi dan kepentingan masyarakatnya sepanjang tidak bertentangan dengan tatanan hukum nasional dan kepentingan umum.

Dalam rangka memberikan ruang yang lebih luas kepada daerah untuk mengatur dan mengurus kehidupan warganya maka pemerintah pusat dalam membentuk kebijakan harus memperhatikan kearifan lokal dan sebaliknya daerah ketika membentuk kebijakan daerah baik dalam bentuk peraturan daerah maupun kebijakan lainnya hendaknya juga memperhatikan kepentingan nasional. Dengan demikian akan tercipta keseimbangan antara kepentingan nasional yang sinergis dan tetap memperhatikan kondisi, kekhasan, dan kearifan lokal dalam penyelenggaraan pemerintahan secara keseluruhan.

Urusan pemerintahan dibagi atas tiga antara lain: urusan pemerintahan absolut, konkuren, dan umum. Urusan pemerintahan yang konkuren adalah urusan pemerintahan yang dibagi antara pemerintah pusat, daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota. Urusan pemerintahan konkuren ini dibagi antara lain yang bersifat wajib dan

Page 130: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

Perkembangan Kewenangan Pembatalan Peraturan Daerah (Eka NAM Sihombing) | 227

pilihan untuk dilaksanakan oleh pemerintahan daerah dalam bentuk peraturan daerah. Situasi ini membuat peraturan daerah makin mempunyai kedudukan yang strategis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara atau dengan kata lain peran peraturan daerah dalam melaksanakan urusan pemerintahan menjadi sangat besar.

Kedudukan yang strategis dari peraturan daerah dalam menjalankan urusan pemerintahan dapat menjadi baik jika pembentukan peraturan daerah tersebut dilakukan dengan baik dan menjadi bumerang jika dilakukan dengan tidak baik (Pakpahan, 2010: 5). Selain mempunyai kedudukan yang strategis, peraturan daerah juga mempunyai berbagai fungsi yaitu (DJPP Kemenkum dan HAM RI, 2011: 9):

1. Sebagai instrumen kebijakan untuk melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan sebagaimana diamanatkan dalam UUD NRI 1945 dan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah;

2. Merupakan peraturan pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dalam fungsi ini, peraturan daerah tunduk pada ketentuan hierarki peraturan perundang-undangan. Dengan demikian peraturan daerah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;

3. Sebagai penampung kekhususan dan keragaman daerah, namun dalam pengaturannya tetap dalam koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD NRI 1945;

4. Sebagai alat pembangunan dalam meningkatkan kesejahteraan daerah.

Selain mempunyai kedudukan strategis dan berbagai fungsi, peraturan daerah juga mempunyai materi muatan tersendiri. Menurut Soehino, materi yang dapat diatur dalam peraturan daerah meliputi:

1. Materi-materi atau hal-hal yang memberi beban kepada penduduk, misalnya pajak daerah dan retribusi daerah;

2. Materi-materi atau hal-hal yang mengurangi kebebasan penduduk, misalnya mengadakan larangan-larangan dan kewajiban-kewajiban yang biasanya disertai dengan ancaman atau sanksi pidana;

3. Materi-materi atau hal-hal yang membatasi hak-hak penduduk, misalnya penetapan garis sepadan;

4. Materi-materi atau hal-hal yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang sederajat dan tingkatannya lebih tinggi, harus diatur dengan peraturan daerah (Soehino, 1997: 8).

Secara normatif, materi muatan peraturan daerah dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pada pasal tersebut dijelaskan bahwa materi muatan peraturan daerah provinsi maupun peraturan daerah kabupaten/kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Selanjutnya Sihombing & Marwan (2017: 137) menguraikan bahwa:

“Materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan

Page 131: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

228 | Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 217 - 234

tugas pembantuan mengandung makna bahwa pembentukan peraturan daerah harus didasarkan pada pembagian urusan antara pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan perundang-undangan lainnya. Berkaitan dengan materi muatan dalam rangka menampung kondisi khusus daerah, mengandung makna bahwa peraturan daerah sebagai peraturan yang mengabstraksi nilai-nilai masyarakat di daerah yang berisi materi muatan nilai-nilai yang diidentifikasi sebagai kondisi khusus daerah. Berkaitan dengan penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi bermakna bahwa secara yuridis pembentukan peraturan daerah bersumber kepada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dengan kata lain pembentukan peraturan daerah harus berdasarkan pendelegasian dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.”

Dalam ketentuan Pasal 236 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menentukan bahwa materi muatan peraturan daerah adalah sebagai berikut:

1. Untuk menyelenggarakan otonomi daerah dan tugas pembantuan, daerah membentuk peraturan daerah.

2. Peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama kepala daerah.

3. Peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat materi muatan:

a. Penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan; dan

b. Penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

4. Selain materi muatan sebagaimana

dimaksud pada ayat (3) peraturan daerah dapat memuat materi muatan lokal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Materi muatan peraturan kepala daerah berdasarkan ketentuan Pasal 246 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 adalah materi untuk melaksanakan peraturan daerah atau atas kuasa peraturan perundang-undangan. Kewenangan pemerintah daerah dalam menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain (termasuk peraturan kepala daerah) telah diakui secara konstitusional. Akan tetapi, Sabarno (2007: 197) menyatakan bahwa pembentukan peraturan daerah tidak dapat bersandarkan pada kewenangannya sendiri, karena daerah berada pada kuasa lingkungan hukum publik nasional. Dalam pembentukannya telah ditetapkan serangkaian asas meliputi kejelasan tujuan, kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, kesesuaian antara jenis dan materi muatan, dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan serta keterbukaan. Di samping itu juga, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Semua parameter tersebut tentunya bertujuan agar konsep otonomi daerah berjalan pada jalur yang telah ditetapkan, semakin mendekatkan pelayanan pemerintah daerah kepada masyarakat dan yang terpenting tidak mengancam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk menjamin agar peraturan daerah maupun peraturan kepala daerah tetap dalam kerangka sistem hukum nasional maka dimungkinkan untuk melakukan pembatalan peraturan dimaksud, apabila bertentangan dengan parameter yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.

Page 132: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

Perkembangan Kewenangan Pembatalan Peraturan Daerah (Eka NAM Sihombing) | 229

Pengaturan mengenai pembatalan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah dapat ditemui dalam rumusan ketentuan Bab IX Bagian Ketiga Pasal 249-252 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, dalam ketentuan tersebut dinyatakan bahwa peraturan daerah maupun peraturan kepala daerah dilarang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan. Apabila peraturan daerah maupun peraturan kepala daerah bertentangan dengan ketentuan dimaksud, maka gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dapat membatalkan peraturan daerah atau peraturan kepala daerah kabupaten/kota, dan Menteri Dalam Negeri dapat membatalkan peraturan daerah atau peraturan kepala daerah provinsi.

Peraturan daerah atau peraturan kepala daerah kabupaten/kota yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan tidak dibatalkan oleh gubernur, maka Menteri membatalkan peraturan daerah atau peraturan kepala daerah kabupaten/kota tersebut. Adapun pembatalan peraturan daerah provinsi dan peraturan gubernur ditetapkan dengan keputusan Menteri dan pembatalan peraturan daerah kabupaten/kota dan peraturan bupati/wali kota ditetapkan dengan keputusan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat.

Selanjutnya dalam ketentuan Bab XI Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah disebutkan bahwa dalam hal peraturan daerah provinsi atau peraturan gubernur setelah ditetapkan, dalam jangka waktu tujuh hari setelah ditetapkan harus disampaikan kepada Menteri.

Direktur Jenderal Otonomi Daerah atas nama Menteri Dalam Negeri membentuk tim pembatalan

peraturan daerah provinsi dan peraturan gubernur yang anggotanya terdiri atas komponen lingkup Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian terkait sesuai kebutuhan. Demikian pula halnya dengan peraturan daerah kabupaten/kota dan peraturan kepala daerah setelah ditetapkan dalam jangka waktu tujuh hari setelah ditetapkan harus disampaikan kepada gubernur, sekretaris daerah atas nama gubernur membentuk tim pembatalan peraturan daerah kabupaten/kota dan peraturan bupati/wali kota yang keanggotaannya terdiri atas komponen lingkup perangkat daerah dan instansi terkait sesuai kebutuhan.

Penggunaan istilah tim pembatalan peraturan daerah maupun peraturan kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Permendagri Nomor 80 Tahun 2015 menurut penulis tidaklah tepat, mengingat tugas dari tim pembatalan adalah untuk melakukan kajian terhadap peraturan daerah maupun peraturan kepala daerah yang tidak semuanya berujung pada pembatalan.

Hasil kajian tim pembatalan peraturan daerah atau peraturan kepala daerah dapat berupa pernyataan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan dan dapat pula berupa pernyataan bertentangan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan.

Permendagri Nomor 80 Tahun 2015 ini juga mengatur mengenai instrumen pembatalan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah melalui Keputusan Gubernur atau Keputusan Menteri. Pembatalan peraturan daerah dan peraturn kepala daerah melalui instrumen Keputusan Gubernur atau Keputusan Menteri patut dianggap bertentangan dengan rezim peraturan perundang-undangan yang ada di

Page 133: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

230 | Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 217 - 234

Indonesia, hal ini sejalan dengan Huda (2008) menyatakan karena peraturan daerah itu termasuk kategori peraturan yang hierarkinya berada di bawah undang-undang, maka dapat timbul penafsiran bahwa pemerintah pusat sudah seharusnya tidak diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk menilai dan mencabut peraturan daerah sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Pemerintahan Daerah.

B. Pembatalan Peraturan Daerah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi

Telah diuraikan terdahulu, bahwa dalam Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015 menyatakan bahwa frase “peraturan daerah kabupaten/kota dan” dalam ketentuan Pasal 251 ayat (2) dan (4), frase “peraturan daerah kabupaten/kota dan/atau” dalam Pasal 251 ayat (3), dan frase “penyelenggara pemerintahan daerah kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan peraturan daerah kabupaten/kota dan” Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan demikian baik Menteri Dalam Negeri maupun gubernur tidak lagi berwenang membatalkan peraturan daerah kabupaten/kota.

Pembatalan peraturan daerah harus dilakukan melalui mekanisme judicial review di Mahkamah Agung. Setelah Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015, Mahkamah Konstitusi pada tanggal 14 Juni 2017 juga mengeluarkan Putusan Nomor 56/PUU-XIV/2016 tentang Pengujian atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Para pemohon dalam perkara ini kembali mempermasalahkan konstitusionalitas dari ketentuan mengenai

pembatalan peraturan daerah baik peraturan daerah provinsi maupun peraturan daerah kabupaten/kota yang diatur di dalam Pasal 251 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Putusan Nomor 56/PUU-XIV/2016 ini sekaligus melengkapi Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015, sehingga pemerintah pusat tidak lagi memiliki kewenangan untuk melakukan pembatalan peraturan daerah baik peraturan daerah provinsi maupun peraturan daerah kabupaten/kota. Sekilas, putusan ini telah mengembalikan ruh kewenangan pembatalan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang kepada Mahkamah Agung sebagaimana dicantumkan secara eksplisit dalam ketentuan Pasal 24A UUD NRI 1945. Akan tetapi apabila ditelaah secara mendalam, maka putusan ini justru tidak sepenuhnya mengembalikan kewenangan pembatalan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang kepada Mahkamah Agung.

Hal ini dikarenakan putusan Mahkamah Konstitusi hanya berlaku terhadap peraturan daerah provinsi dan peraturan daerah kabupaten/kota, sedangkan terhadap peraturan kepala daerah (peraturan gubernur serta peraturan bupati/wali kota) masih tetap dapat dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri maupun gubernur secara berjenjang. Dan bahkan antara pertimbangan dengan putusan dapat dikatakan inkonsisten.Dalam pertimbangan Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015 dinyatakan:

“… bahwa pembatalan peraturan daerah kabupaten/kota melalui keputusan gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 251 ayat (4) Undang-Undang Pemerintah Daerah, menurut Mahkamah Konstitusi tidak sesuai dengan rezim peraturan perundang-undangan yang dianut. Pasal 7

Page 134: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

Perkembangan Kewenangan Pembatalan Peraturan Daerah (Eka NAM Sihombing) | 231

ayat (1) dan Pasal 8 ayat (2) tidak mengenal keputusan gubernur sebagai salah satu jenis hierarki peraturan perundang-undangan maupun Keputusan Menteri sebagai peraturan perundang-undangan. Dengan demikian kedudukan keputusan gubernur bukanlah bagian dari rezim peraturan perundang-undangan, sehingga tidak dapat dijadikan produk hukum untuk membatalkan peraturan daerah kabupaten/kota. Dengan kata lain, menurut Mahkamah Konstitusi terjadi kekeliruan di mana peraturan daerah kabupaten/kota sebagai produk hukum yang berbentuk pengaturan (regeling) dapat dibatalkan dengan keputusan gubernur sebagai bentuk produk hukum yang berbentuk keputusan (beschikking) ...”

“… bahwa oleh karena peraturan kepala daerah merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan berdasarkan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, akan tetapi oleh karena dibentuk hanya oleh kepala daerah sebagai satuan bestuur dalam rangka mengimplementasikan peraturan daerah dan urusan pemerintahan wajib sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Pemerintah Daerah, sehingga dalam Negara Kesatuan pemerintah pusat sebagai satuan bestuur yang lebih tinggi memiliki kewenangan untuk membatalkan peraturan kepala daerah. Pembatalan dan mekanisme pengajuan keberatan pembatalan peraturan kepala daerah dalam Undang-Undang Pemerintah Daerah merupakan bagian dari mekanisme pengawasan dari presiden atau menteri dan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat kepada pemerintah daerah atau dengan kata lain sebagai suatu bentuk pengawasan, bukan pengujian peraturan perundang-undangan dalam lingkungan bestuur oleh satuan bestuur yang lebih tinggi terhadap satuan bestuur yang lebih rendah ...”

Lebih lanjut dalam Putusan Nomor 56/PUU-XIV/2016 dengan mendasarkan pada pertimbangan hukum dalam Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015 yang menyatakan bahwa pembatalan peraturan daerah kabupaten/kota

melalui executive review adalah bertentangan dengan UUD NRI 1945. Oleh karena dalam Pasal 251 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengatur mengenai pembatalan peraturan daerah provinsi juga melalui executive review maka pertimbangan hukum dalam Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015 berlaku pula pada Putusan Nomor 56/PUU-XIV/2016, sehingga Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Pasal 251 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sepanjang frasa “peraturan daerah provinsi dan” bertentangan dengan UUD NRI 1945.

Mahkamah Konsitusi dalam putusannya, tidak menyatakan bahwa frase “… dan peraturan gubernur …” dan frase “… peraturan bupati/wali kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan keputusan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat” dalam ketentuan Pasal 251 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tidak memiliki kekuatan mengikat.

Selain itu Mahkamah Konstitusi seharusnya juga memutus bahwa frase “… dan peraturan gubernur” dan “… dan peraturan bupati/wali kota” sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 251 ayat (1) dan (2), serta frase “penyelenggara pemerintahan daerah provinsi tidak dapat menerima keputusan pembatalan peraturan daerah provinsi dan peraturan gubernur” dan frase “penyelenggara pemerintahan daerah kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan peraturan daerah kabupaten/kota dan peraturan bupati/wali kota” sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan (8) Undang-Undang Pemerintah Daerah bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Page 135: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

232 | Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 217 - 234

Peraturan bupati/wali kota merupakan salah satu bentuk peraturan perundang-undangan yang memuat norma hukum mengikat secara umum dan ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan, selain itu secara hierarki kedudukan peraturan bupati/wali kota berada di bawah undang-undang sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang berbunyi:

“Jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Wali kota, Kepala Desa atau yang setingkat.”

Sehingga, sudah seharusnya pembatalan peraturan gubernur maupun peraturan bupati/wali kota dilakukan melalui mekanisme judicial review di Mahkamah Agung.

Dalam negara dengan bentuk kesatuan memang sudah sepatutnya pemerintah yang tingkatannya lebih tinggi diberikan kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap regulasi (termasuk peraturan daerah dan peraturan kepala daerah) yang lahir di daerah. Implementasi dari pengawasan tersebut dapat dilakukan dengan melakukan pembinaan kepada daerah melalui penguatan executive preview atau pengujian terhadap suatu norma hukum sebelum sah mengikat secara umum.

Mengingat proses pembentukan suatu produk hukum daerah membutuhkan waktu, biaya, dan tenaga yang tidak sedikit. Sehingga jauh lebih efektif dan efisien apabila pengujian dilakukan oleh pemerintah pada saat sebelum produk hukum daerah tersebut diundangkan. Hal ini sejalan dengan ruh ketentuan Pasal 24A UUD NRI 1945 yang sama sekali tidak memberikan delegasi kewenangan pengujian terhadap peraturan daerah maupun peraturan kepala daerah kepada lembaga eksekutif.

IV. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pasca Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015 dan Nomor 56/PUU-XIV/2016, Menteri Dalam Negeri maupun gubernur tidak lagi berwenang membatalkan peraturan daerah provinsi dan peraturan daerah kabupaten/kota. Putusan ini tidak serta merta menyelesaikan permasalahan konstitusionalitas kewenangan pengujian terhadap produk hukum daerah yang notabene secara hierarki berada di bawah undang-undang. Hal ini dikarenakan Menteri Dalam Negeri masih tetap dapat membatalkan peraturan gubernur serta gubernur masih dapat membatalkan peraturan bupati/wali kota.

Putusan ini sekilas mengembalikan ruh kewenangan pengujian kepada Mahkamah Agung sebagaimana diamanahkan oleh Pasal 24A UUD NRI 1945, akan tetapi apabila dicermati justru putusan ini tidak benar-benar mendudukkan kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang hanya kepada Mahkamah Agung. Seharusnya Mahkamah Konstitusi, menyatakan peraturan kepala daerah tidak lagi dapat dibatalkan oleh pemerintah yang tingkatannya lebih tinggi,

Page 136: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

Perkembangan Kewenangan Pembatalan Peraturan Daerah (Eka NAM Sihombing) | 233

hal ini dikarenakan peraturan kepala daerah merupakan jenis peraturan perundang-undangan yang mengikat secara umum dan hierarkinya berada di bawah undang-undang, sehingga untuk mengajukan pembatalannya harus melalui proses judicial review di Mahkamah Agung. Adapun pemerintah yang tingkatannya lebih tinggi masih dapat diberikan kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap regulasi (termasuk peraturan daerah dan peraturan kepala daerah) yang lahir di daerah melalui penguatan executive preview atau pengujian terhadap suatu norma hukum sebelum sah mengikat secara umum dengan melibatkan instansi vertikal yang tugas dan fungsinya berkaitan dengan peraturan perundang-undangan (dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM). Hal ini sejalan dengan ruh ketentuan Pasal 24A UUD NRI 1945 yang sama sekali tidak memberikan delegasi kewenangan pengujian terhadap peraturan daerah maupun peraturan kepala daerah kepada lembaga eksekutif.

DAFTAR ACUAN

Asshiddiqie, J. (2009). Komentar atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Sinar Grafika.

Budiputra, I.G.E. (2015). Dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan presiden & peraturan Menteri Dalam Negeri. Tesis. Bali: PPS Univeritas Udayana.

Dias, R.W.M. (1985), Jurisprudence. Fifth Edition. London: Butterworths.

Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan HAM RI [DJPP Kemenkum dan HAM RI]. (2011). Panduan praktis memahami perancangan peraturan

daerah. Edisi Kelima. Jakarta: Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kemenkum dan HAM.

Farida, M. (2010). Ilmu perundang-undangan: Jenis, fungsi, & materi muatan. Yogyakarta: Kanisius.

________. (tt). Modul I: Pengujian peraturan perundang-undangan. Diakses dari http://repository.ut.ac.id/4116/1/HKUM4404-M1.pdf

Fatmawati. (2005). Hak menguji (Toetsingrecht) yang dimiliki hakim dalam sistem hukum Indonesia. Jakarta: Rajagrafindo Persada.

Hamidi, J. et.al. (2012). Teori & hukum perancangan perda. Cetakan Pertama. Malang: Universitas Brawijaya Press (UB Press).

Hoesein, Z.A. (2009). Judicial review di Mahkamah Agung RI. Jakarta: Rajagrafindo Persada.

Huda, N. (2008, Juni). Problematika yuridis di seputar pembatalan perda. Jurnal Konstitusi, 5(1), 45-62.

_______. (2009). Hukum pemerintahan daerah. Bandung: Nusa Media.

Manan, B. (1993). Beberapa masalah hukum tata negara Indonesia. Bandung: Alumni.

Marzuki, P.M. (2011). Penelitian hukum, Jakarta: Prenadamedia Group.

Natabaya, H.A.S. (2008). Sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press.

Pakpahan, R.H. (2010). Pengujian peraturan daerah oleh lembaga eksekutif & yudikatif. Tesis. Universitas Sumatera Utara.

Rauta, U. (2016). Konstitusionalitas pengujian peraturan daerah. Yogyakarta: Genta Publishing.

Page 137: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

234 | Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 217 - 234

Sabarno, H. (2007). Memandu otonomi daerah menjaga kesatuan bangsa. Cet. I. Jakarta: Sinar Grafika.

Sihombing, E.N.A.M., & Marwan, A. (2017). Ilmu perundang-undangan. Medan: Pustaka Prima.

Sinamo, N. (2016). Ilmu perundang-undangan. Jakarta: Jala Permata Aksara.

Soebechi, I. (2012). Judicial review peraturan daerah pajak & retribusi daerah. Jakarta: Sinar Grafika.

Soehino. (1997). Hukum tata negara, penyusunan & penetapan peraturan daerah. Yogyakarta: Liberty.

Yani, A. (2013). Pembentukan peraturan perundang-undangan yang responsif (Anotasi terhadap UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan). Cetakan I. Jakarta: Konstitusi Press.

Page 138: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

Aabsolute competence XIII, 115, 116, 235accusation XIV, 173, 235additional charges XIV, 156, 235annulment XV, 217, 218, 235arbitrase V, IX, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 121, 122,

123, 124, 125, 126, 127, 128, 129, 130, 131, 132, 133, 134, 235, 239

arbitration tribunal XIII, 115, 116, 235

Ccapital punishment XV, 194corporate XIV, 155, 156, 159, 160, 161, 170, 203, 235court decision XIV, 136, 235court of law XIII, 116criminal code XV, 194, 235criminal liability XIV, 155, 156, 170, 235

Ddakwaan X, XI, 143, 144, 145, 146, 147, 148, 163, 164,

173, 174, 175, 176, 177, 179, 180, 181, 182, 183, 184, 185, 189, 190, 191, 235

Eenvironment XIV, 156

Hhak beragama dan berkeyakinan V, X, 135, 150, 152, 235

Kkebijakan XI, 137, 138, 153, 156, 161, 166, 167, 193,

195, 199, 200, 205, 207, 208, 209, 210, 213, 222, 225, 226, 227, 235, 244

kelompok minoritas IX, X, 135, 138, 139, 141, 151, 152, 235

kompetensi absolut V, IX, 115, 118, 119, 126, 132, 133, 235

korporasi V, X, 130, 155, 156, 158, 159, 160, 161, 162, 163, 164, 167, 168, 170, 171, 235

KUHP XI, 143, 144, 148, 151, 152, 157, 159, 163, 164, 168, 190, 192, 193, 199, 200, 207, 208, 209, 235

Llingkungan hidup X, 155, 156, 158, 162, 163, 165, 166,

167, 168, 169, 235local regulation XV, 218, 235

Mminority XIII, XIV, 135, 136, 153, 235moderasi XI, 193

moderation XV, 193, 194, 235money laundering XIV, 173, 176, 188, 235

Ppembatalan V, XI, XII, 217, 218, 219, 222, 224, 228, 229,

230, 231, 232, 233, 235pembuktian XI, 164, 168, 173, 174, 175, 178, 180, 181,

182, 184, 186, 188, 189, 190, 191, 192, 235pencucian uang V, XI, 173, 174, 175, 176, 179, 180, 181,

191pengadilan III, IX, X, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 121,

122, 123, 124, 125, 126, 127, 130, 131, 132, 133, 134, 135, 137, 138, 139, 140, 141, 142, 144, 146, 149, 152, 153, 154, 162, 167, 169, 174, 176, 177, 178, 179, 180, 183, 189, 222, 226, 235, 243, 244

peraturan daerah V, XI, XII, 217, 218, 219, 221, 222, 224, 225, 226, 227, 228, 229, 230, 231, 232, 233, 234, 235

peraturan kepala daerah XI, XII, 217, 218, 219, 228, 229, 230, 231, 232, 233, 235

pertanggungjawaban pidana V, X, 155, 158, 159, 160, 162, 167, 170, 171, 188, 235

pidana mati XI, 193, 195, 199, 201, 202, 206, 207, 208, 211, 212, 214

pidana tambahan X, 155, 157, 158, 163, 165, 169, 235policy XV, 137, 161, 193, 194, 210, 235proof XIV, 173putusan pengadilan III, IX, X, 116, 124, 126, 127, 135,

137, 138, 139, 140, 141, 142, 144, 152, 153, 154, 226, 235, 244

Rregional head regulation XV, 218

Tthe right to freedom of religion and belief XIV, 136

INDEKS

Page 139: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,
Page 140: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

UCAPAN TERIMA KASIH KEPADA MITRA BESTARI

Segenap pengelola Jurnal Yudisial menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya atas sumbangsih Mitra Bestari yang telah melakukan review terhadap naskah Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017. Semoga bantuan mereka mendapatkan balasan dari Allah SWT.

1. Dr. Shidarta, S.H., M.Hum.

2. Dr. Anthon F. Susanto, S.H., M.Hum.

3. Dr. Yeni Widowaty, S.H., M.Hum.

4. Dr. Niken Savitri, S.H., M.CL.

5. Hermansyah, S.H., M.Hum

6. Prof. Dr. H. Yuliandri, S.H., M.H.

7. Prof. Dr. Ronald Z. Titahelu, S.H., M.S.

8. Dr. Widodo Dwi Putro, S.H., M.H.

9. Dr. H. Mukti Fajar Nur Dewata, S.H., M.Hum.

p-ISSN 1978-6506 e-ISSN 2579-4868

Vol. 10 No. 2 Agustus 2017 Hal. 115 - 234

Page 141: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,
Page 142: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

BIODATA PENULIS

Cut Memi, lahir di Kota Payakumbuh Sumatera Barat tanggal 24 April 1958. Menamatkan pendidikan S1 pada Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang Sumatera Barat dan lulus pada tahun 1982. Setelah menamatkan pendidikan S1, penulis bekerja di Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Departemen Kehakiman, dan pada tahun 1987 mengikuti pendidikan Wetgevingsleer di Belanda (Netherland). Sejak tahun 1990 sampai sekarang menjadi dosen tetap di Universitas Tarumanagara, dengan mata kuliah yang diampu yaitu Hukum Perdata Internasional dan Ilmu Perundang-undangan. Pendidikan S2 penulis lalui di Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Tarumanagara dan lulus pada tahun 2001. Saat ini penulis sedang menyelesaikan penulisan disertasi pada Program Pasca Sarjana S3 Ilmu Hukum di Universitas Katholik Parahyangan, dengan mengambil spesialisasi di bidang arbitrase.

Endra Wijaya adalah dosen pada Fakultas Hukum Universitas Pancasila (FHUP), Jakarta. Pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Pengurus Pusat Kajian Ilmu Hukum FHUP (2008-2012), dan pernah pula menjadi peneliti di Yayasan Lentera Hukum Indonesia (2012-2016). Lulusan S1 FHUP Program Kekhususan Transnasional, dan S2 Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia Konsentrasi Hukum dan Kehidupan Kenegaraan. Meminati isu perlindungan hak minoritas. Beberapa karya tulis yang pernah dipublikasikan, baik yang ditulis sendiri maupun bersama-sama penulis lain, antara lain: “Menggugat Diskriminasi atas Nama Agama: Konsep Keadilan dalam Islam, Perlindungan terhadap Kaum Minoritas, dan Negara Hukum Pancasila” (Digest Epistema, Vol. 4, 2013); “Pancasila dalam Putusan Mahkamah Konstitusi: Kajian terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara yang Berkaitan dengan Perlindungan Hak Kelompok Marjinal (Jakarta: Epistema Institute dan Yayasan Tifa, 2014); “Partai Politik dan Problem Keadilan bagi Mazhab Minoritas di Indonesia (Sebuah Kajian Awal)” (Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 11, No. 3, 2014); “Problem Pengesahan Bendera Aceh dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pemetaan Permasalahan)” (Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 3, No. 1, 2016); dan “Efektivitas Pengaturan Masalah Kerukunan Umat Beragama dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia” (Jurnal Pandecta, Vol. 11, No. 2, 2016).

Hariman Satria, lahir di Muna 4 Oktober 1985. Memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Universitas Haluoleo tahun 2007. Lex Legibus Magister (LL.M) diperoleh dari Fakultas Hukum Universita Gadjah Mada (UGM) pada tahun 2011. Sejak 2015 terdaftar sebagai mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum UGM. Pada saat ini berkarya sebagai tenaga pengajar di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari (UMK). Mengampu mata kuliah: Hukum Pidana, Hukum Pidana Khusus, Hukum Pidana Internasional, Hukum Pidana Ekonomi, Hukum Acara Pidana, Hukum dan HAM, dan Pendidikan Anti Korupsi. Dalam bidang penelitian, banyak melakukan riset antara lain: Deradikalisasi Terorisme (Kajian Terhadap Peran Pesantren dan Lembaga Pemasyarakatan) pada tahun 2012; Riset bersama ICW tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah: Mewujudkan Birokrasi Anti Korupsi

Page 143: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

pada tahun 2013; dan Kajian bersama KPK, Eksaminasi Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Gorontalo dan Kendari) tahun 2014. Sampai dengan saat ini telah menulis puluhan karya ilmiah dan artikel telah dimuat pada majalah ilmiah dan berbagai media cetak, di antaranya Republika, Koran Sindo, Geotimes, dan Majalah Integrito KPK. Pernah menulis di beberapa jurnal seperti Jurnal Konstitusi, Jurnal Integritas KPK, Jurnal Mimbar Hukum UGM, dan Jurnal Legitime Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari. Buku yang pernah ditulis adalah “Penerbitan SKPP oleh Kejaksaan dalam Proses Peradilan Pidana” (2012); dan “Anatomi Hukum Pidana Khusus” (2014).

Halif, lahir di Pamekasan Madura, 5 Juli 1979. Menyelesaikan pendidikan S1 Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (2004), sementara pendidikan S2 Ilmu Hukum penulis selesaikan di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang (2007). Saat ini penulis tercatat sebagai dosen Fakultas Hukum Universitas Jember pada Jurusan/Bagian Pidana. Mata kuliah yang diampu di antaranya adalah hukum pidana, hukum acara pidana dan tindak pidana pencucian uang. Penulis menjabat sebagai Ketua Biro Pelayanan dan Bantuan Hukum (BPBH) Fakultas Hukum Universitas Jember. Di samping itu, penulis aktif menulis di beberapa jurnal di antaranya: “Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Melalui Undang-Undang Pencucian Uang” (Jurnal Anti Korupsi Fakultas Hukum Universitas Jember); “Pembuktian Terbalik Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang” (Jurnal Fainess and Justice Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jember); dan beberapa jurnal lainnya.

Mei Susanto adalah dosen pada Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung. Menamatkan S1 pada Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (2010), dan S2 pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia (2013). Aktif dalam melakukan penelitian khususnya dalam bidang hukum tata negara dan hukum pidana. Beberapa karya tulis yang pernah dipublikasikan anatara lain: “Hak Budget Parlemen di Indonesia” (Jakarta: Sinar Grafika, 2013); “Eksistensi Hak Budget DPR dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia” (Jurnal PJIH, 2016); “Perkembangan Pemaknaan Hak Prerogatif Presiden” (Jurnal Yudisial, 2016); “Hak Budget DPR dalam Pengelolaan Keuangan Negara” (Jurnal Rechtsvinding, 2016); book chapter dengan judul “Pelembagaan Oposisi dalam Badan Perwakilan Rakyat Indonesia” (2016); dan beberapa opini di media cetak. Selain itu terlibat aktif dalam berbagai penelitian misalnya mengenai perubahan Undang-Undang Pos, Raperda Kota Bandung, Raperda Provinsi Jawa Barat, dan lain-lain.

Ajie Ramdan adalah dosen pada Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung. Menamatkan S1 pada Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (2010), dan S2 pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia (2014). Aktif dalam melakukan penelitian khususnya dalam bidang hukum tata negara dan hukum pidana. Beberapa karya tulis yang pernah dipublikasikan anatara lain: “Bantuan Hukum sebagai Kewajiban Negara untuk Memenuhi Hak Konstitusional Fakir Miskin” (Jurnal Konstitusi, 2014); “The Influence of the Constitutional Court Decision Against Combating Money Laundering in the Context of Criminal Law Reform” (Jurnal Internasional Constitutional Review, 2015); “Gagasan Pemikiran Muhammad Yamin Pemberian Kewenangan Judicial Review Kepada Lembaga Yudikatif” (Prosiding Nasional, Pusat Studi Tokoh Hukum & UNISBA, 2015); “Syarat Pemberian Grasi dalam

Page 144: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

Perspektif Hukum Konstitusi dan Hukum Pidana” (Penelitian Mahkamah Konstitusi, 2016); dan opini di Majalah Konstitusi.

Eka NAM Sihombing, lahir di Medan tanggal 11 November 1979. Pendidikan S1 Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (2003), kemudian melanjutkan pendidikan S2 pada Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara Program Studi Ilmu Hukum (2008), Mahasiswa Program S3 Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (2015-sekarang), Pendidikan lain yang pernah diikuti adalah Diklat Legal Drafter di Medan (2007), Diklat Penyusun dan Perancang Peraturan Perundang-undangan di Jakarta (2009), Diklat Penguatan Perancang Peraturan Perundang-Undangan di Jakarta (2013), dan Diklat ToT Perancang Peraturan Perundang-Undangan di Jakarta (2015). Pada saat ini menjabat sebagai Kasubbid Fasilitasi Pembentukan Produk Hukum Daerah/ Perancang Peraturan Perundang-undangan Madya pada Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Utara, Ketua Majelis Pengawas Notaris Daerah Kota Sibolga dan Kabupaten Tapanuli Tengah (2014-2017). Mengajar di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara Medan (2008-sekarang). Menulis Buku “Ilmu Perundang-Undangan” bersama Ali Marwan yang diterbitkan oleh Pustaka Prima (2017) dan aktif menulis di berbagai artikel atau jurnal. Dapat dihubungi melalui e-mail: [email protected].

Page 145: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,
Page 146: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

PEDOMAN PENULISAN

1. Naskah merupakan hasil penelitian putusan hakim atas suatu kasus konkret yang memiliki aktualitas dan kompleksitas permasalahan hukum, baik dari pengadilan di Indonesia maupun luar negeri dan merupakan artikel asli (belum pernah dipublikasikan).

2. Naskah yang masuk akan melalui tiga tahap penilaian yang dilakukan oleh tim penyunting dan mitra bestari. Rapat Redaksi akan menentukan diterbitkan atau tidaknya naskah dalam Jurnal Yudisial. Setiap penulis yang naskahnya diterbitkan dalam Jurnal Yudisial berhak mendapat honorarium dan beberapa eksemplar bukti cetak edisi jurnal tersebut.

3. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris baku. Apabila ada kutipan langsung yang dipandang perlu untuk tetap ditulis dalam bahasa lain di luar bahasa Indonesia atau Inggris, maka kutipan tersebut dapat tetap dipertahankan dalam bahasa aslinya dengan dilengkapi terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris.

4. Pengiriman naskah disertai biodata penulis dalam bentuk narasi dengan panjang 150 s.d. 250 kata.

5. Naskah ditulis di atas kertas ukuran A4 sepanjang 20 s.d. 25 halaman (sekitar 6.000 kata), dengan margin halaman, kiri 3 cm, atas 2 cm, kanan 2 cm, bawah 2 cm, dan jarak antar-spasi 1,5. Ditulis menggunakan huruf Times New Roman 12. Semua halaman naskah diberi nomor urut pada margin kanan bawah.

6. Sistematika penulisan naskah sebagai berikut:

a. Judul dan anak judul dalam bahasa Indonesia.

b. Judul dan anak judul dalam bahasa Inggris.

c. Nama penulis.

d. Nama lembaga/instansi.

e. Alamat lembaga/instansi.

f. Akun e-mail penulis.

g. Abstrak (5% dari keseluruhan naskah) ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris sebanyak 150 s.d. 200 kata, disertai kata kunci (3 s.d. 5 kata). Isi abstrak meliputi unsur-unsur: 1) latar belakang masalah, 2) rumusan masalah, 3) metode, dan 4) kesimpulan.

h. Pendahuluan (35%), memuat isu hukum yang dianggap menarik sebagai latar belakang dari putusan hakim yang akan dijadikan objek kajian dalam tulisan ini, yang kemudian

Page 147: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

diikuti dengan paparan duduk perkara, pertimbangan hukum yang selektif dan problematis, identifikasi permasalahan, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, dan tinjauan pustaka terkait konsep-konsep hukum yang relevan. Sistematika pendahuluan ini terdiri dari:

1) Latar Belakang (5%);

2) Rumusan Masalah (5%);

3) Tujuan dan Kegunaan (5%); dan

4) Tinjauan Pustaka (20%).

i. Metode (15%), memuat penjelasan tentang pilihan metode yang digunakan untuk keperluan penelitian terhadap putusan hakim. Secara umum metode penelitian yang digunakan adalah studi kasus (case study), yang objek putusannya sengaja dipilih secara purposif. Walaupun demikian, penulis dapat saja memperdalam analisisnya dengan melakukan pengayaan data, dengan menggunakan dokumen lain di luar putusan hakim tersebut dan/atau data primer di luar dokumen (contoh: wawancara dan/atau observasi). Apabila penulis melakukan pengayaan data di luar putusan hakim, harus dijelaskan cakupan/besaran sumber data, teknik pengumpulan data, prosedur pengumpulan data, dan metode analisis data.

j. Hasil dan Pembahasan (40%), memuat lebih detail temuan-temuan problematis yang berhasil diidentifikasi oleh penulis terkait duduk perkara dan pertimbangan-pertimbangan hakim di dalam putusan tersebut, serta analisis yang dilakukan untuk menjawab rumusan masalah. Dalam pembahasan, tinjauan pustaka harus digunakan untuk mempertajam analisis. Pembahasan harus dikemas secara runtut, logis, dan terfokus, yang di dalamnya terkandung pandangan orisinal dari penulisnya. Bagian pembahasan ini harus mencakup porsi terbesar dari keseluruhan substansi tulisan.

k. Kesimpulan (5%), mencakup penyampaian singkat dalam bentuk kalimat utuh atau dalam bentuk butir-butir jawaban rumusan masalah secara berurutan.

l. Saran (jika perlu), berisi rekomendasi akademik, tindak lanjut nyata, atau implikasi kebijakan atas kesimpulan yang diperoleh. Isi dari saran harus sejalan dengan pembahasan.

m. Daftar Acuan, merupakan publikasi yang digunakan sebagai referensi yang digunakan dalam penulisan tersebut. Acuan paling sedikit berjumlah lima belas, tidak termasuk peraturan perundang-undangan, peraturan kebijakan, dan/atau putusan pengadilan, dan acuan primer paling sedikit 80% dari total acuan.

7. Penulisan kutipan menggunakan model body note atau side note. Kutipan tersebut harus ditunjukkan dalam daftar acuan.

Page 148: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

Contoh:

Satu penulis: (Grassian, 2009: 45); Menurut Grassian (2009: 45), “..........”

Dua penulis: (Abelson & Friquegnon, 2010: 50-52).

Lebih dari dua penulis: (Tanya, Parera, & Lena, 2015).

Lebih dari tiga penulis: (Hotstede et al., 1990: 23).

Terbitan lembaga tertentu: (Cornell University Library, 2009: 10).

8. Penulisan daftar acuan menggunakan aturan dari Harvard-American Psycological Association (APA).

Contoh:

a. Buku

Grassian, V. (2009). Moral reasoning: Ethical theory and some contemporary moral problems. New Jersey, NJ: Prentice-Hall.

Tanya, B.L., Parera, T.Y., & Lena, S.F. (2015). Pancasila bingkai hukum Indonesia. Yogyakarta: Genta Publishing.

Komisi Pemberantasan Korupsi. (2009). Laporan tahunan 2009: Perjuangan melawan korupsi tak pernah berhenti. Jakarta: KPK.

b. Jurnal

Melani. (2014, Agustus). Disparitas putusan terkait penafsiran Pasal 2 dan 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jurnal Yudisial, 7 (2), 103-116.

c. Majalah/Surat Kabar

Marzuki, S. (2014, November-Desember). Pengadilan yang fair untuk keadilan. Majalah Komisi Yudisial, 11-15.

d. Internet

Cornell University Library. (2009). Introduction to research. Diakses dari http://www.library.cornell.edu/resrch/intro.

9. Naskah diunggah melalui http://jurnal.komisiyudisial.go.id dan dikirim tembusan ke alamat e-mail: [email protected].

Alamat redaksi:

Pusat Analisis dan Layanan Informasi, Gd. Komisi Yudisial Lt. 3, Jl. Kramat Raya No. 57

Page 149: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,

Jakarta Pusat 10450, Fax. (021) 3906189. Narahubung (contact persons):

• Ikhsan (085299618833);

• Arnis (08121368480); atau

• Yuni (085220055969).

Page 150: “EX FIDA BONA” - Komisi Yudisial Republik Indonesia Yudisial/jurnal-agust-2017... · analisis yang tampil dalam edisi Jurnal Yudisial ini memang berada dalam ranah hukum publik,