hipogonadisme sekunder pada akromegali
DESCRIPTION
Hipogonadisme sekunder pada akromegaliTRANSCRIPT
KASUS
Judul : Hipogonadisme sekunder pada pasien akromegali
Penulis : Diana Susanto, Prof. dr. Suzanna Immanuel, SpPK(K)
Tn. ADP, 36 tahun melakukan pemeriksaan laboratorium tanggal 24 April
2013 dengan keterangan klinis akromegali.
Hasil laboratorium:
Hormon Reproduksi
PARAMETER HASIL NILAI RUJUKAN
(♂)
LH <0,1 1,7-8,6 mIU/mL
FSH 0,8 1,5-12,4 mIU/mL
Testosteron <0,025 2,8-8 ng/mL
Kesan: - Hipogonadisme sekunder curiga kelainan hipofisis.
Saran: - Insulin like growth factor (IGF)-1
- Prolaktin, Thyroid stimulating hormone (TSH), kortisol
DATA TAMBAHAN
Anamnesis (8 April 2013)
Keluhan utama: Lemas memberat sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit
(smrs).
Riwayat penyakit sekarang:
Sejak 5 bulan smrs pasien merasakan lemas dan sulit bangun dari tempat
tidur. Lemas dirasakan di seluruh tubuh dan memberat sejak 4 hari smrs. Nafsu
makan baik, tetapi berat badan dirasakan menurun.
1
Sejak 1 tahun smrs pasien terdapat gejala poliuria, polidipsia, polifagia,
dinyatakan DM dan menggunakan insulin 3x10 unit. Pasien berhenti
menggunakan insulin karena keterbatasan dana.
Sejak usia 17 tahun, pasien terus bertambah tinggi dan melebihi teman
sebayanya, dagu dan dahi menonjol, tangan dan kaki membesar. Sakit kepala
kadang-kadang. Tidak ada riwayat pandangan ganda, mual dan muntah. Pasien
selalu berkeringat, tangan gemetar (-), berdebar-debar (-).
Riwayat penyakit dahulu: Hipertensi (-), asma (-), paru (-)
Riwayat penyakit keluarga: Pasien adalah empat bersaudara, kakak dan adiknya
tidak ada yang berperawakan sama.
Riwayat sosial ekonomi: Pasien belum menikah.
Pemeriksaan fisik (tanggal 8 April 2012)
Kesadaran : compos mentis
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Tekanan darah : 130/100 mmHg
Suhu : 36oC
Nadi : 96 x/menit
Napas : 30 x/menit
Tinggi badan : 195 cm
Berat badan : 110 kg
Kepala : sesuai akromegali
Mata : konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik
THT : makrognatia
Leher : tiroid tidak teraba membesar
Jantung : bunyi jantung I-II regular, murmur (-), gallop (-).
Paru : vesikular, rhonki basah kasar +/+, wheezing -/-
Abdomen : lemas, hati/limpa tidak teraba, bising usus (+)/normal
2
Ekstremitas : edema (-)
Hasil laboratorium IGD (tanggal 8 April 2012)
Hematologi
PARAMETER HASIL NILAI RUJUKAN
Kadar hemoglobin 15,3 13 - 16 g/dL
Hematokrit 41,3 40-48 %
MCV 83,9 82-92 fL
MCH 30,2 27-31 pg
MCHC 35,1 32-36 g/dL
Jumlah trombosit 263000 150.000-400.000/μL
Jumlah leukosit 7180 5.000 – 10.000/ μL
Hitung Jenis Leukosit
Basofil 0 0 - 1 %
Eosinofil 1 1 - 3 %
Batang 3 2 – 6 %
Segmen 58 50 – 70 %
Limfosit 30 20-40 %
Monosit 8 2 – 8 %
Kimia klinik dan elektrolit
PARAMETER HASIL NILAI RUJUKAN
SGOT 17 0-33 U/L
SGPT
Glukosa darah sewaktu
20
696
0-50 U/L
<110 mg/dL
Keton 1 0,0-0,6 mmol/L
Natrium 130 136,0 – 145,0 mEq/L
Kalium 4,8 3,30 – 5,10 mEq/L
3
Klorida 89 98,0 – 106,0 mEq/L
Analisis Gas Darah
PARAMETER HASIL NILAI RUJUKAN
pH 7,308 7,350-7,450
pCO2
pO2
34,9
122,6
35,00-45,00
75,00-100,00
Saturasi O2 97,5
Base excess -7,2 (-)2,5-(+)2,5
Standard base excess -8,8
Standard HCO3 18,6
HCO3 17,7 21,00-26,00
Total CO2 18,7 21,00-25,00
Anion Gap = [Na+] + [K+]– [Cl-] – [HCO3-]
= 139,5 + 4,8 - 89 – 17,7
= 37,6
Roentgen Thorax (8 April 2013)
Kesan:
Jantung tidak membesar, infiltrat parahiler kedua lapang paru, sudut
kostofrenikus kanan tumpul sugestif efusi pleura kanan
Daftar Masalah (dari rekam medik penyakit dalam):
1. Ketoasidosis diabetik pada DM tipe lain
2. Community Acquired Pneumoniae (CAP) dd/Tb paru
3. Hipertensi Grade II
4. Akromegali
4
Penatalaksanaan
1. Loading NaCl 0,9% 2000 cc lanjutkan dengan IVFD insulin 50 unit dalam
NaCl 0,9% 500 cc (2 unit/jam).
2. Periksa GDS/jam
3. Cefotaxim 3x1 gram i.v
4. Azithromycin 1x500 mg per oral
5. Diet DM 1900 kkal/hari
6. Pasang kondom kateter
7. Balans cairan seimbang/24 jam
8. Diet rendah garam II
9. Captopril 3x12,5mg per oral
Hasil laboratorium Gedung A (12 April 2013)
Hormon
PARAMETER HASIL NILAI RUJUKAN
T4 bebas 0,950 0,930-1,700 ng/dL
TSH sensitive
Prolaktin
2,310
438,6
0,270-4,200 μIU/mL
4,04-15,2 ng/mL
Mikrobiologi
Pulasan Gram (Sputum)
Hasil: Batang Gram (-) : jarang
Coccus Gram (+) : jarang
Leukosit : 30-40/lpk
Epitel : 4-5/lpk
Biakan+Res Aerob Sputum
5
Isolat 1: Pseudomonas aeruginosa
Sensitif terhadap antibiotik:
Gentamicin, Amikacin, Aztreonam, Ceftriaxone, Ceftazidime, Cefoperazone,
Ciprofloxacin, Piperacillin/Tazobactam, Cefoperazone/Sulbactam, Doripenem,
Cefepime, Cefpirome, Meropenem, Imipenem, Levofloxacin, Moxifloxacin
Resisten terhadap antibiotik:
Chloramphenicol, Cotrimoxazole, Kanamycin, Tetracycline, Sulbactam/Ampicilin,
Cephalotin, Amox.+clavulanic acid
Isolat 2: Klebsiella pneumonia
Sensitif terhadap antibiotik:
Chloramphenicol, Cotrimoxazole, Gentamicin, Kanamycin, Tetracycline,
Amikacin, Aztreonam, Sulbactam/Ampicilin, Cephalotin, Amox.+ clavulanic acid,
Ceftriaxone, Ceftazidime, Cefoperazone, Ciprofloxacin, Piperacillin/Tazobactam,
Cefoperazone/Sulbactam, Doripenem, Cefepime, Cefpirome, Meropenem,
Imipenem, Levofloxacin, Moxifloxacin
Pulasan Tahan Asam
Spesimen Tanggal Hasil
1 12/4/2013 Negatif
2 13/4/2013 Negatif
3 13/4/2013 Negatif
Hasil Laboratorium swasta (16 April 2013)
PARAMETER HASIL NILAI RUJUKAN
IGF-1 1451,0 109-284 ng/mL
MRI Kepala (22 April 2013)
6
Terdapat massa di intrasella ukuran 1,3 x 1,2x 0,8 cm
Kesan setelah mendapat data tambahan:
- Asidosis metabolik
- Ketonemia
- Diabetes mellitus tidak terkontrol
- Hiponatremia dan hipokloremia dilusional
- Hiperprolaktinemia, peningkatan IGF-1, dan hipogonadisme sekunder
curiga tumor hipofisis
Saran:
- Asam Laktat
- Kortisol
- HbA1C
- Profil lipid
TEORI SINGKAT
HIPOGONADISME SEKUNDER
Hipogonadisme sekunder atau hipogonadotropik hipogonadisme (HH)
didefinisikan sebagai sindrom klinis yang disebabkan oleh terganggunya gonad
akibat penurunan kadar hormon gonadotropin hipofisis. Kondisi ini dapat terjadi
akibat tidak ada atau kurangnya sekresi GnRH (gonadotropin releasing hormone)
dari hipotalamus atau terganggunya sekresi gonadotropin dari hipofisis.1
Etiopatogenesis
Hipogonadisme sekunder dibedakan atas kelainan kongenital dan
kelainan didapat. Kelainan didapat, yang jauh lebih sering ditemukan, dapat
mencerminkan keberadaan tumor di regio hipotalamus hipofisis atau suatu
kelainan sistemik. Sebagian besar HH kongenital bersifat idiopatik, tetapi
terdapat pula HH familial yang dapat diturunkan secara X-linked (20%), resesif
autosom (30%), dan dominan autosom (50%).2
7
Kondisi sakit berat, stress, malnutrisi, dan latihan fisik dapat
menyebabkan defisiensi gonadotropin reversibel. Penyakit kronik yang
berhubungan dengan kadar testosteron rendah adalah infeksi HIV, penyakit
ginjal terminal, penyakit paru obstruktif kronik, keganasan, dan penyakit yang
diterapi dengan glukokortikoid. Pria dengan obesitas ringan-sedang mengalami
penurunan kadar sex hormone binding globulin (SHBG) sebanding dengan derajat
obesitasnya sehingga menyebabkan penurunan kadar testosteron total, tetapi
kadar testosteron bebas biasanya dalam batas normal. Peningkatan hormon
prolaktin (PRL) menyebabkan HH melalui mekanisme hambatan langsung sekresi
GnRH hipotalamus. Tumor pensekresi PRL juga dapat merusak gonadotrop
sekitarnya melalui invasi atau penekanan pada tangkai hipofisis. 2
Pada orang dewasa, adenoma hipofisis merupakan space-occupying
lesion (SOL) terbanyak yang mempengaruhi gonadotropin dan produksi hormon
hipofisis lainnya. Adenoma hipofisis yang meluas ke regio suprasella dapat
mengganggu sekresi GnRH dan menyebabkan peningkatan ringan sekresi PRL
karena terganggunya inhibisi oleh jalur dopaminergik. Tumor ini dibedakan dari
prolaktinoma yang mensekresikan PRL dalam kadar yang lebih tinggi (biasanya
>50 g/L). 2
Fisiologi aksis hipotalamus-hipofisis-testis
GnRH hipotalamus mengatur produksi gonadotropin hipofisis: luteinizing
hormone (LH) dan follicle stimulating hormone (FSH). GnRH dilepaskan secara
pulsatil setiap 2 jam menghasilkan sekresi LH dan FSH yang pulsatil. LH dan FSH
berperan dalam perkembangan sel germinal. FSH bekerja langsung pada epitel
germinal, sedangkan LH merangsang sel Leydig untuk mensintesis testosteron
yang diperlukan dalam spermatogenesis dan virilisasi. FSH merangsang sel sertoli
untuk mendukung proses spermatogenesis dan mensekresi inhibin B, yang
bekerja secara selektif menekan FSH hipofisis (Gambar 1).1,2
8
Gambar 1. Aksis hipotalamus-hipofisis-testis.2
Diagnosis Klinis dan Laboratorium
Hipogonadisme pada pria ditandai oleh gangguan fungsi testis yang dapat
mempengaruhi spermatogenesis dan/atau sintesis testosteron. Gejala yang ada
meliputi penurunan libido, gangguan fungsi ereksi, kelemahan otot, peningkatan
adipositas, penurunan mood, dan penurunan vitalitas. Diagnosis hipogonadisme
ditegakkan berdasarkan kadar testosteron darah yang rendah, khususnya kadar
testosteron bebas. Kadar testosteron yang rendah mengindikasikan pemeriksaan
kadar FSH dan LH. 1 Kadar LH dapat membedakan hipogonadisme sekunder (LH
9
rendah atau normal) dari hipogonadisme primer (LH tinggi). Pulsasi LH terjadi
setiap 1-3 jam pada pria normal. FSH bersifat kurang pulsatil dibanding LH karena
waktu paruh yang lebih panjang. 2
Integritas aksis hipotalamus-hipofisis tidak dapat diperiksa melalui
pemeriksaan GnRH secara langsung karena GnRH terbatas dalam sistem porta
hipofisis dan memiliki waktu paruh 2-4 menit dalam darah. Sebagai alternatif,
dapat dilakukan pemeriksaan stimulasi GnRH yang dilakukan melalui pengukuran
kadar LH dan FSH basal, serta 30 dan 60 menit setelah injeksi 100 mcg GnRH
intravena. Respons normal yang masih dapat diterima berupa peningkatan kadar
LH dua kali lipat dan kadar FSH sebanyak 50%. Pada masa prapubertas atau
defisiensi GnRH berat, tidak dijumpai respons gonadotrop pada pemberian bolus
tunggal GnRH. Respons GnRH baru timbul setelah pemberian GnRH pulsatil.2
Penatalaksanaan
Terapi pada HH tergantung pada keinginan pasien untuk memiliki
keturunan. Kadar testosteron normal, perkembangan karakteristik sex sekunder
(pada kasus hipogonadisme yang terjadi sebelum pubertas), dan kondisi eugonad
dapat dicapai dengan pemberian testosteron. Kadar testosteron normal
berhubungan dengan aktivitas seksual yang baik, peningkatan kekuatan otot dan
massa tubuh tanpa lemak. Terapi GnRH atau gonadotropin diperlukan untuk
stimulasi produksi sperma dan merupakan terapi pilihan bagi penderita HH yang
ingin memiliki keturunan.1
TUMOR HIPOFISIS
Adenoma hipofisis adalah neoplasma yang berasal dari salah satu sel
hipofisis anterior dan merupakan penyebab tersering sindrom hipersekresi dan
hiposekresi hormon hipofisis pada orang dewasa.2 Kelainan ini meliputi 90% lesi
di sella tursica atau parasella. Massa intrasella lainnya dapat berupa kista
kantong Rathke, kraniofaringioma, meningioma, dan metastasis keganasan ke
kelenjar hipofisis.3 Berdasarkan ukurannya, adenoma hipofisis dibagi menjadi
mikroadenoma (dimensi <1 cm) dan makroadenoma (dimensi ≥1 cm). Namun,
10
klasifikasi telah diperluas dengan adanya pemeriksaan imunohistokimia dan
mikroskop elektron.4
Etiologi & Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dan biokimia adenoma hipofisis tergantung pada jenis
sel asalnya. Tumor yang berasal dari sel laktotrop (PRL), somatotrop (GH),
kortikotrop (ACTH), tirotrop (TSH), atau gonadotrop (LH, FSH) mensekresi
hormon-hormon yang biasa disekresikan sel tersebut dalam kondisi normal
secara berlebihan (Tabel 1).5
Tabel 1. Klasifikasi adenoma hipofisis (diurutkan berdasarkan frekuensi terbanyak).5
Asal sel adenoma Produk hormon Sindrom klinis
Laktotrop PRL Hipogonadisme, galaktorea
Gonadotrop FSH, LH Hipogonadisme, hipergonadisme,
atau tanpa gejala
Somatotrop GH Akromegali/gigantisme
Kortikotrop ACTH Penyakit Cushing
Mixed growth hormone and
prolactin cell
GH, PRL Akromegali, hipogonadisme,
galaktorea
Sel plurihormonal lain Apapun Beragam
Acidophil stem cell PRL, GH Hipogonadisme, galaktorea,
akromegali
Mammosomatotrop PRL, GH Hipogonadisme, galaktorea,
akromegali
Tirotrop TSH Tirotoksikosis
Null cell Tidak ada Gangguan hipofisis
Oncocytoma Tidak ada Gangguan hipofisis
Pada sebagian kasus, tumor bersifat plurihormonal dan menimbulkan
sindrom klinis yang merupakan gabungan manifestasi hipersekresi dari hormon-
hormon tersebut. Tumor yang aktif secara hormonal mensekresikan hormon
secara autonom dan kurang merespons jalur hambatan fisiologik. Sekitar
11
sepertiga kasus adenoma bersifat non-fungsional dan tidak menyebabkan
sindrom hipersekretorik.5
Selain berhubungan dengan disfungsi endokrin dari hormon terkait,
gejala yang timbul dapat pula disebabkan oleh penekanan massa yang meluas ke
area di sekitar hipofisis (terutama nervus opticus dan kiasma optik) dan
peningkatan tekanan intrakranial.6 Perluasan adenoma hipofisis ke area
suprasella menyebabkan sakit kepala dan gangguan penglihatan. Penekanan
pada tangkai hipofisis dapat mengganggu aliran pembuluh darah porta dan
memutus akses hipofisis ke hormon hipotalamus dan dopamin. Kondisi tersebut
menimbulkan hiperprolaktinemia dan hiposekresi berbagai hormon hipofisis.5
Diagnosis
Magnetic Resonance Imaging (MRI) merupakan modalitas pencitraan
terpilih untuk diagnosis gangguan hipofisis. Gambaran hipointensitas fokal dalam
kelenjar hipofisis dianggap abnormal dan mengindikasikan adenoma.3 Pada
kecurigaan adenoma hipofisis melalui MRI, dilakukan pemeriksaan hormon awal
yang mencakup PRL, insulin-like growth factor (IGF)-1, kortisol bebas urine 24
jam dan/atau tes supresi deksametason oral (1 mg), FSH dan LH, dan tes fungsi
tiroid. Keberadaan massa di sella tanpa manifestasi klinis akibat hipersekresi
hormon memerlukan pemeriksaan laboratorium untuk menentukan sifat tumor
dan menilai ada tidaknya hipopituitarisme. Defisiensi hormon hipofisis mungkin
memerlukan terapi sulih hormon sebelum terapi bedah.5
Pewarnaan imunohistokimia dari spesimen tumor hipofisis yang diambil
melalui prosedur bedah transsfenoid memastikan gambaran klinis dan
laboratorium yang sudah ada dan memberikan diagnosis secara histologis saat
pemeriksaan hormon tidak sesuai klinis atau pada kasus tumor non-fungsional.5
Penatalaksanaan
Sasaran penatalaksanaan meliputi normalisasi sekresi hipofisis,
pengurangan gejala dan tanda sindrom hipersekresi hormon, dan pengecilan
atau ablasi massa tumor untuk meredakan gejala akibat kompresi struktur
12
sekitar hipofisis. Pembedahan transsfenoid merupakan prosedur terpilih dalam
penatalaksanaan tumor hipofisis.5
AKROMEGALI
Akromegali merupakan kelainan klinis pada orang dewasa yang ditandai
dengan perubahan pada wajah dan ekstremitas yang disebabkan oleh kelebihan
sekresi GH. Hipersekresi GH yang terjadi sebelum fusi lempeng epifisis disebut
gigantisme hipofisis. Pada orang dewasa, kelebihan sekresi GH biasanya
disebabkan oleh adenoma hipofisis yang mensekresi GH.7
Gejala awal akromegali biasanya tidak spesifik seperti rasa lelah,
berkeringat, dan nyeri muskuloskeletal. Hipersekresi GH merangsang sekresi
insulin-like growth factor-1 (IGF-1) di hati, yang menyebabkan pertumbuhan
berlebihan jaringan lunak akral pada orang dewasa. Gambaran akromegali yang
khas berupa pelebaran rigi supraorbital, pelebaran hidung, prognatisme,
makroglosia, serta membesarnya tangan dan kaki. Akromegali yang tidak diterapi
menimbulkan berbagai komplikasi, antara lain: gangguan respirasi (sleep apnea),
kardiovaskular (hipertensi, kardiomiopati, aritmia, gagal jantung), metabolik
(diabetes mellitus, gangguan lipid), dan muskuloskeletal (artropati dan carpal
tunnel syndrome).7
Toleransi glukosa terganggu dan diabetes mellitus adalah kelainan
metabolik yang sering ditemukan pada populasi akromegali. Resistensi insulin
akibat hipersekresi GH terjadi di hati dan perifer menimbulkan hiperinsulinisme
dan peningkatan turnover glukosa pada kondisi post-absorbsi basal.8 Resistensi
insulin mengganggu kemampuan insulin untuk menekan produksi glukosa dan
menstimulasi pengunaan glukosa.7 Hiperinsulinisme merupakan tahap awal
perkembangan diabetes mellitus pada pasien akromegali. Tahap ini ditandai
dengan toleransi glukosa normal atau perbatasan (borderline) dan puncak insulin
yang lebih tinggi dan lebih cepat tercapai pasca loading glukosa yang lebih
lambat kembali ke normal dibandingkan populasi kontrol. Tahapan berikut
ditandai dengan respons insulin yang lambat terhadap glukosa menimbulkan
13
gangguan toleransi glukosa. Hiperinsulinisme, resistensi insulin, dan diabetes
mellitus merupakan faktor risiko kardiovaskular dan faktor mortalitas pada
akromegali.8
Diagnosis akromegali diawali dari kecurigaan klinis fitur akromegali yang
dikonfirmasi dengan pemeriksaan IGF-1 dan kadar GH serum. GH dihasilkan oleh
sel somatotrop kelenjar hipofisis secara pulsatil dan kadar normal dalam darah
berkisar 0,1-0,2 μg/L.9 Produksi maksimal terjadi di malam hari saat tidur, tetapi
setiap hari terdapat 6-10 kali lonjakan mencapai 5-30 μg/L, yang mungkin
tumpang tindih dengan kadar pada pasien akromegali.10 GH dalam sirkulasi
merangsang sekresi IGF-1 hati. Secara umum terdapat hubungan linear antara
kadar GH serum dan IGF-1, terutama pada kadar GH <20 ng/mL. Kadar IGF-1
plateau pada kadar GH >40 ng/mL.9
Pemeriksaan GH nadir pasca tes toleransi glukosa oral (TTGO) merupakan
pemeriksaan baku emas untuk akromegali. Pemeriksaan GH dilakukan pada
kadar baseline, kemudian setiap 30 menit hingga total 120 menit setelah
pemberian glukosa 75 g.9 Sekresi GH merupakan bagian dari mekanisme counter-
regulatory terhadap hipoglikemia dan sekresi GH fisiologis dihambat dengan
hiperglikemia. Pada akromegali atau gigantisme, sekresi GH bersifat autonom
dan tidak ditekan. Kadar GH nadir ≥0,4 μg/L disertai kecurigaan klinis dan kadar
IGF-1 yang tinggi memastikan diagnosis akromegali. 11 Panduan praktik diagnosis
dan penatalaksanaan akromegali menyatakan IGF-1 sebagai pemeriksaan yang
ideal karena kadarnya tetap stabil sepanjang hari, memiliki waktu paruh yang
panjang 18-20 jam (dibandingkan GH, 20 menit), dan pengukurannya tidak
memerlukan puasa. Peningkatan IGF-1 pada penderita dengan gambaran klinis
akromegali yang jelas tidak memerlukan pemeriksaan GH pasca TTGO untuk
diagnosis akromegali.9
DISKUSI
Pasien laki-laki berusia 36 tahun dirawat di gedung A lantai 7 dengan
keluhan utama lemas yang semakin memberat sejak 4 hari smrs. Lemas
14
dirasakan sejak 5 bulan lalu hingga sulit bangun dari tempat tidur dan terdapat
penurunan berat badan walaupun nafsu makan baik. Pasien didiagnosis DM sejak
1 tahun lalu dengan gejala poliuria, polifagia, polidipsia dan mendapat terapi
insulin yang dihentikan sendiri karena keterbatasan dana. Sejak usia 17 tahun,
pasien terus bertambah tinggi, dagu dan dahi menonjol, tangan dan kaki
membesar. Pasien sering berkeringat dan kadang-kadang sakit kepala. Keluarga
pasien tidak ada yang berperawakan sama.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tinggi badan 195 cm, hipertensi,
takikardia, takipneu, kepala sesuai akromegali, makrognatia, dan rhonki basah
kasar di kedua lapang paru. Pada pemeriksaan laboratorium tidak ditemukan
kelainan hematologi, terdapat hiperglikemia, ketosis, dan asidosis metabolik,
hiponatremia dan hipokloremia, hiperprolaktinemia, peningkatan IGF-1, fungsi
tiroid normal, serta penurunan gonadotropin dan testosteron. Pemeriksaan
Roentgen toraks mendapatkan infiltrat parahiler di kedua lapang paru,
sedangkan MRI menemukan massa intrasella ukuran 1,3 x 1,2 x 0,8 cm.
Diagnosis hipogonadisme sekunder didasarkan atas penurunan
testosteron disertai dengan penurunan FSH dan LH. Pada rekam medik pasien
tidak ada data mengenai aktivitas seksual dan perkembangan seks sekunder
pasien, tetapi pasien belum menikah. Hipogonadisme sekunder pada pasien
diduga berhubungan dengan kondisi akromegali yang dialami. Penurunan sekresi
gonadotropin disertai manifestasi klinis akromegali mengindikasikan suatu
kelainan di hipofisis. Kelainan pada pasien dikonfirmasi melalui pemeriksaan MRI
dengan temuan massa intrasella.
Peningkatan kadar GH pada orang dewasa biasanya disebabkan oleh
adenoma hipofisis yang mensekresi GH. Gejala klinis yang ditemukan pada
pengidap adenoma hipofisis berkaitan dengan jenis sel hipofisis yang menjadi
aktif dan melakukan hipersekresi hormon. Pada pasien ini tidak dilakukan
pemeriksaan GH, tetapi didapatkan peningkatan IGF-1. Manifestasi akromegali
yang ditemukan berupa tubuh yang terus bertambah tinggi sejak usia 17 tahun
15
melebihi teman sebaya, dagu dan dahi yang menonjol, tangan dan kaki
membesar, tubuh terasa lemas dan sering berkeringat. Dari gambaran klinisnya,
adenoma hipofisis pasien dipikirkan berasal dari sel somatotrop yang meluas
sampai ke suprasella sehingga menyebabkan penekanan sekresi gonadotropin
dan peningkatan ringan prolaktin. Perluasan massa tumor ke suprasella menekan
tangkai hipofisis dan memutus akses hipofisis ke hormon hipotalamus dan
dopamin. Namun, kepastian sel yang menjadi penyebab didapatkan melalui
pemeriksaan histologis dari jaringan yang diambil melalui bedah transsfenoid.
Pada pasien dijumpai peningkatan PRL 438,6 ng/mL atau 4,386 x 10-4 g/L.
Peningkatan bukan disebabkan oleh tumor pensekresi PRL karena kadarnya tidak
cukup tinggi (<50 g/L). Peningkatan PRL terjadi akibat terganggunya jalur
dopaminergik tuberoinfundibular oleh massa tumor pada tangkai hipofisis.
Peningkatan ini turut berkontribusi menyebabkan hipogonadisme sekunder
melalui mekanisme hambatan langsung sekresi GnRH hipotalamus.
Hiponatremia dan hipokloremia pada pasien merupakan tipe dilusional
yang terjadi akibat kondisi hiperglikemia yang dialami. Glukosa hipertonik dalam
darah menyebabkan peningkatan tekanan osmotik ekstraselular dan menarik air
dalam sel keluar. Kadar natrium darah dikoreksi dengan menambahkan 1,6
mmol/L untuk setiap peningkatan 100 mg/dL glukosa pada kadar glukosa di atas
100 mg/dL. Ion klor mengikuti natrium dalam sistem kompartemen tubuh. Kadar
natrium terkoreksi pada pasien dihitung dengan rumus (Natrium terkoreksi =
Natrium terukur + 1,6 (glukosa -100)/100) dan didapatkan hasil 139,5 mmol/L.
Hasil analisis gas darah memperlihatkan penurunan pH dan HCO3 yang
sesuai dengan asidosis metabolik. Penurunan pCO2 terjadi karena mekanisme
kompensasi dengan cara hiperventilasi untuk mengeluarkan CO2 dalam tubuh.
Pada kondisi asidosis metabolik, setiap penurunan 1 mmol/L HCO3, diharapkan
akan menyebabkan kompensasi penurunan pCO2 sebesar 1,0-1,5 mmHg. Apabila
kompensasi pCO2 di luar target, gangguan asam basa yang terjadi kemungkinan
merupakan tipe campuran. Pada pasien ini, didapatkan nilai HCO3 sebesar 17,7
16
maka ∆HCO3 yang dihitung dengan pengurangan nilai tengah HCO3 normal (24)
dengan nilai HCO3 yang didapat adalah 6,3. Kompensasi penurunan pCO2
dihitung dengan mengalikan ∆HCO3 dengan 1 mmHg (6,3 x 1 = 6,3 mmHg) dan
1,5 mmHg (6,3 x 1,5 = 9,5 mmHg). Nilai pCO2 setelah terkompensasi dihitung
dengan mengurangi nilai tengah PCO2 normal dengan nilai kompensasi sehingga
didapatkan target kompensasi pCO2 yaitu 32,5-35,7 mmHg. Nilai pCO2 pasien
adalah 34,9 maka gangguan asam basa yang dialami pasien merupakan simple
metabolic acidosis.
Diabetes mellitus tidak terkontrol didasarkan atas peningkatan kadar
glukosa dan keton darah. Peningkatan keton darah pada ketosis biasanya >3
mmol/L. Kadar keton pasien (1 mmol/L) menunjukkan suatu ketonemia, tetapi
belum layak disebut ketosis. Asidosis metabolik dengan anion gap yang tinggi
(37,6) disebabkan oleh penumpukan asam dan pada DM yang tersering adalah
benda keton atau asam laktat. Oleh karena itu, disarankan pemeriksaan asam
laktat untuk mengetahui apakah terjadi asidosis laktat.
Hasil pemeriksaan mikrobiologi sputum mendapatkan dua jenis kuman
penyebab infeksi paru Pseudomonas aeruginosa dan Klebsiella pneumoniae yang
sensitif terhadap sebagian besar antibiotik. Pasien telah mendapat terapi
antibiotik empirik cefotaxim dan azithromycin sebelumnya. Terapi empirik
sebaiknya diganti dengan terapi definitif, yaitu antibiotik lini pertama yang masih
sensitif (gentamicin) untuk menghindari resistensi antibiotik akibat pemakaian
antibiotik spektrum luas yang tidak bijaksana.
Sebelum mendapat data tambahan, anjuran pemeriksaan bagi pasien
adalah IGF-1, prolaktin, TSH, dan kortisol darah. Pemeriksaan IGF-1 untuk
menegakkan diagnosis akromegali. Pemeriksaan hormon lainnya disarankan
untuk mencari kelainan hipofisis dan mendeteksi adanya hiper/hiposekresi
hormon hipofisis untuk kepentingan terapi. Setelah mendapatkan data
tambahan, disarankan pemeriksaan asam laktat, kortisol, HbA1C, dan profil lipid.
Pemeriksaan HbA1C disarankan untuk melihat status glikemik darah dan
17
mencegah komplikasi jangka panjang DM pada pasien. Pemeriksaan profil lipid
untuk melihat adanya dislipidemia dan memungkinkan intervensi sejak dini.
Pemeriksaan GH pasca TTGO tidak disarankan karena adanya gambaran klinis
akromegali yang jelas disertai peningkatan kadar IGF-1 telah memastikan
diagnosis akromegali pada pasien.
KESIMPULAN
Telah dikemukakan pasien laki-laki, 36 tahun dengan hipogonadisme
sekunder dan akromegali. Diagnosis hipogonadisme sekunder didasarkan atas
penurunan testosteron disertai penurunan FSH dan LH. Pasien merupakan
penderita akromegali akibat tumor di kelenjar hipofisis. Pada pemeriksaan
laboratorium didapatkan peningkatan IGF-1, peningkatan ringan prolaktin, dan
fungsi tiroid yang normal. Asidosis metabolik dengan peningkatan anion gap
disebabkan oleh penumpukan asam, dengan keton dan asam laktat yang
tersering pada DM. Pada pasien hanya didapatkan ketonemia sehingga
kemungkinan belum terjadi ketoasidosis diabetik. Pemeriksaan asam laktat
disarankan untuk mencari penyebab asidosis metabolik.
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Fraietta R, Zylberstejn DS, Esteves SC. Hypogonadotropic hypogonadism
revisited. Clinics 2013; 68(S1):81-88.
2. Bhasin S, Jameson JL. Disorders of the testes and male reproductive system.
Dalam: Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL, Longo DL, Hauser SL, Lameson JL,
Loscalzo J, editor. Harrison’s principle of internal medicine. Edisi ketujuh
belas. New York: The McGraw-Hill Companies; 2008. p.2310-24
3. Famini P, Maya MM, Melmed S. Pituitary magnetic resonance imaging for
sellar and parasellar masses: ten-year experience in 2598 patients. J Clin
Endocrinol Metab 2011; 96(6):1633–41.
4. Ezzat S, Asa SL, Couldwell WT, Barr CE, Dodge WE, Vance ML, et al. The
prevalence of pituitary adenomas: A systematic review. Cancer 2004; 101
(3):613-9.
5. Melmed S, Jameson JL. Disorders of the anterior pituitary and
hypothalamus. Dalam: Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL, Longo DL, Hauser
SL, Lameson JL, Loscalzo J, editor. Harrison’s principle of internal medicine.
Edisi ketujuh belas. New York: The McGraw-Hill Companies; 2008. p.2195-
296.
6. Ironside JW. Pituitary gland pathology. J Clin Pathol 2003; 56:561–8.
7. Wass JAH. Acromegaly: easily missed. BMJ 2010; 341:c4189.
8. Colao A, ferone D, marzullo P, Lombardi G. Systemic complications of
acromegaly: epidemiology, pathogenesis, and management. Endocrine
Reviews 25(1):102–52.
9. Katznelson L, Atkinson JLD, Cook DM, Ezzat SZ, Hamrahian AH, Miller KK.
AACE Acromegaly guidelines, Endocr. Pract 2011; 17 (suppl 4).
10. Lugo G, Pena L, Cordido F. Clinical manifestations and diagnosis of
acromegaly. Intl J Endocrinology 2012; 1-11.
11. Oral GTT for the diagnosis of growth hormone excess. Diunduh pada tanggal
24 Juni 2013. Tersedia di http://www.pathology.leedsth.nhs.uk/
19
dnn_bilm/Investigationprotocols
/ Pituitaryprotocols/GlucoseToleranceTestforAcromegaly.aspx.
20