bab 1 endokrin akromegali
TRANSCRIPT
BAB 1PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit kelenjar hipofisis jarang ditemukan
dan dapat ditandai dengan kegagalan hipofisis selektif
atau total (panhipopituitarisme), gangguan
penglihatan, terdapat kelebihan selektif hormon yang
terkait hipofisis (tumor) dan hiperprolaktinemia
(akibat lesi yang luas). Penyakit hipofisis termasuk
gigantisme, akromegali dan diabetes insipidus.
(Davey. 2002). Akromegali merupakan penyakit kronis yang ditandai oleh pertumbuhan tulang
ekstremitas, muka, rahang, dan jaringan lunak secara berlebihan sesudah terjadi penutupan
lempeng epifisis (Sudiono. 2007). Gigantisme adalah kelainan yang disebabkan oleh karena
sekresi Growth Hormone (GH) yang berlebihan dan terjadi sebelum dewasa atau sebelum
proses penutupan epifisis.
Diabetes insipidus merupakan kelainan dimana terdapat kekurangan hormonantidiuretik yang
menyebabkan rasa haus yang berlebihan (polidipsi) dan pengeluaran sejumlah besar urin yang
sangat encer (poliuri).
Prevalensi akromegali mendekati 40 kasus untuk 1 juta populasi dan
insidennya tiga kasus per satu juta penduduk per tahun. Penyakit ini dapat
terjadi pada pria dan wanita. Umur rata-rata gangguan ini diketahui adalah
40 tahun, dan penyakitnya berlangsung selama 5-10 tahun. Kelainan
serupa gigantisme terjadi pada anak dengan terjadinya pertumbuhan
berlebih dari tulang panjang tubuh. (Sudiono. 2007).
Masalah pada kelenjar hipofisis yang meliputi gigantisme, akromegali dan diabetes
insipidus akan mempengaruhi kelenjar lain yang berhubungan dengan kelenjar hipofisis.
Kelainan yang terjadi juga akan mengakibatkan meningkatnya metabolisme tubuh dan
terganggunya keseimbangan tubuh. Asuhan keperawatan yang tepat sangat diperlukan untuk
mengatasi masalah yang muncul akibat gangguan hipofisis yang terjadi. Penatalaksanaan
keperawatan yang tepat dan cepat diperlukan agar pasien dapat kembali memenuhi kebutuhan
dasarnya secara mandiri. Selain tim medis yang mendiagnosa penyakit dan menangani secara
kuratif, peran perawat juga diperlukan untuk memberikan asuhan keperawatan yang efektif.
Oleh karena itu, penulis mencoba untuk menjelaskan asuhan keperawatan pada pasien
dengan gangguan kelenjar hipofisis yang terdiri dari akromegali, gigantisme dan diabetes
insipidus. Melalui makalah ini diharapkan mahasiswa mengerti dan memahami asuhan asuhan
keperawatan pada pasien dengan gangguan kelenjar hipofisis dengan baik dan benar.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Mahasiswa mengetahui, memahami dan mampu mengaplikasikan penatalaksanaan
pasien dengan pasien gangguan hipofisis yang terdiri akromegali, gigantisme dan
diabetes insipidus
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui dan memahami definisi gangguan hipofisis yang terdiri akromegali,
gigantisme dan diabetes insipidus.
2. Mengetahui dan memahami etiologi gangguan hipofisis yang terdiri akromegali,
gigantisme dan diabetes insipidus
3. Mengetahui dan memahami patofisiologi, manifestasi klinis dan komplikasi
gangguan hipofisis yang terdiri akromegali, gigantisme dan diabetes insipidus
4. Mengetahui dan memahami pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang dan
penatalaksanaan pada gangguan hipofisis yang terdiri akromegali, gigantisme dan
diabetes insipidus
5. Mengetahui dan memahami asuhan keperawatan pada gangguan hipofisis yang
terdiri akromegali, gigantisme dan diabetes insipidus
6. Mengetahui dan memahami penatalaksanaan pada gangguan hipofisis yang terdiri
akromegali, gigantisme dan diabetes insipidus
7. Mengetahui komplikasi yang ditimbulkan dari gangguan hipofisis yang terdiri
akromegali, gigantisme dan diabetes insipidus
8. Mengetahui prognosis dari gangguan hipofisis yang terdiri akromegali, gigantisme
dan diabetes insipidus
9. Mengetahui asuhan keperawatan pada pasien gangguan hipofisis yang terdiri
akromegali, gigantisme dan diabetes insipidus
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi Kelenjar Hipofisis
Kelenjar Hipofisis terdapat di sela tursika bertulang yang berada di bawah
lapisan dura mater. Kelenjar ini terbagi menajdi tiga lobus, yaitu lobus anterior, lobus
inferior, dan lobus intermediat. Namun, lobus intermediat ini rudimenter (tidak
berkembang) pada manusia (Karch, 2010).
a. Lobus Anterior (Adenohipofisis)
Hormon yang menstimulasi dan menghambat hipofisis mengalir dalam
sistem porta pembuluh darah dari hypothalamus mengendalikan hormon
yang dihasilkan oleh lobus anterior kelenjar hipofisis.
Enam hormon yang dihasilkan oleh hipofisis anterior termasuk empat
hormon yang merangsang struktur endokrin lain (hormon tropik), yaitu:
1. Hormon Adenokortikotropik (ACTH)
2. Thyroid Stimulating Hormone (TSH)
3. Gonadotropine Hormone, yaitu Follicle Stimulating Hormone (FSH)
dan Lutienizing Hormone (LH)
Dan dua hormon sisanya bekerja pada jaringan lain, yaitu:
1. Hormon Pertumbuhan (Growth Hormone)
2. Prolaktin
b. Lobus Posterior (Neurohipofisis)
Lobus posterior tidak menghasilkan hormon, tetapi menyimpan dan
menyekresi dua hormon, yaitu Antidiuretic Hormone dan Oksitosin. Kedua
hormon tersebut dihasilkan di hipothalamusn dan mengalir dalam serabut
tangkai ke hipofisis posterior. Pelepasan hormon tersebut dari hypothalamus
dikendalikan oleh saraf dari hypothalamus (Brooker, 2008).
2.2 Gigantisme dan Akromegali
2.2.1 Definisi
Gigantisme dan akromegali adalah kelainan yang disebabkan oleh
karena sekresi Growth Hormone (GH) yang berlebihan. (Sudoyo, 2009).
Gigantisme dan akromegali merupakan peningkatan hormon protein
dalam banyak jaringan, meningkatkan penguraian asam lemak dan jaringan
adiposa dan kadar glukosa darah. (Bruner&Suddarth, 2001)
Gigantisme adalah pertumbuhan abnormal, terutama dalam tinggi badan
(melebihi 2,14 m) yang disebabkan oleh karena sekresi Growth Hormone (GH)
yang berlebihan dan terjadi sebelum dewasa atau sebelum proses penutupan
epifisis (Brooker, 2008).
Akromegali berasal dari bahasa Yunani, akros yang berarti ekstremitas,
dan megas, yang berarti besar. Penyakit ini merupakan penyakit kronis yang
ditandai oleh pertumbuhan tulang ekstremitas, muka, rahang, dan jaringan lunak
secara berlebihan dan kelainan metabolik sekunder akibat hipersekresi hormone
pertumbuhan yang berlebihan sesudah terjadi penutupan lempeng epifiseal
(Sudiono, 2007).
Perbedaan antara akromegali dan gigantisme adalah akromegali timbul
apabila hipersekresi Growth Hormone terjadi pada masa dewasa dan mengenai
pertumbuhan jaringan lunak dan struktur tulang, misalnya hidung, bibir, rahang,
dahi, tangan , dan kaki, karena pertumbuhan atau pembesaran berlangsung
secara progresif. Sedangkan gigantisme terjadi pada masa kanak-kanak dan
masa pubertas sebelum lapisan epifisis menutup, sehingga pertumbuhan tulang
proporsional (Baradero, 2005).
2.2.2 Etiologi
Gigantisme disebabkan oleh sekresi Growth Hormone yang berlebihan
pada masa kanak-kanak sebelum tertutupnya lempeng epifisis. Penyakit,
kelainan, dan kondisi yang menyebabkan kelebihan sekresi Growth Hormone
adalah:
a. Tumor jinak pada kelenjar hipofisis
Tumor ini menekan kelenjar hipofisis dan menyebabkan sekresi
Growth Hormone yang berlebih. Inilah penyebab utama gigantisme.
b. Carney Complex
Carney Complex merupakan mutasi gen yang jarang ditemukan,
dapat menyebabkan risiko tinggi tumor, termasuk hipofisis adenoma.
c. Multiple endocrine neoplasia type 1
Kelainan yang diturunkan yang dapat menyebabkan tumor di
kelenjar endokrin dan menyekresikan hormon secara hiperaktif,
teemasuk Growth Hormone.
d. Neurofibromatosis
Kelainan genetis yang dapat menyebabkan tumor.
Sedangkan akromegali disebabkan oleh sekresi Growth Hormone
berlebih oleh kelenjar hipofisis. Sekresi yang berlebih ini menurut National
Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases (NIDDK), 95 %
disebabkan karena adanya hipofisis adenoma, yaitu tumor jinak di kelenjar
hipofisis. Tumor di luar kelenjar hipofisis juga dapat menyebabkan akromegali,
namun hal ini jarang ditemukan.
2.2.3 Manifestasi Klinis
Klien dengan gigantisme dapat memiliki manifestasi klinis sebagai
berikut.
a. Berperawakan tinggi lebih dari 2 meter, dengan proporsi tubuh yang
normal. Hal ini terjadi karena jaringan lunak seperti otot tetap
tumbuh.
b. Memiliki gangguan penglihatan, seperti diplopia atau penglihatan
ganda apabila tumor pada kelenjar hipofisis menekan chiasma
opticum yang merupakan jalur saraf mata.
c. Hiperhidrosis
Gigantisme dapat menyebabkan hipermetabolisme pada tubuh
penderita, termasuk hiperhidrosis. Hiperhidrosis adalah keadaaan
dimana terjadi pengeluaran keringat yang berlebih (Schwartz, 1999)
d. Jadwal menstruasi yang tidak teratur pada usia remaja.
e. Rahang yang membesar, tulang dahi yang menonjol, dan
penampakan wajah yang kasar.
f. Kelemahan dan sensasi kesemutan di lengan dan kaki akibat
perbesaran jaringan dan saraf yang tertekan
g. Sakit kepala akibat tekanan dari tumor yang menyebabkan kenaikan
tekanan intrakranial
h. Galacthorrea, atau keluarnya air susu secara spontan saat kanak-
kanak.
i. Endocrinopathies (misalnya, hipogonadisme, diabetes dan / atau
toleransi glukosa, hiperprolaktinemia)\
j. Ditemukan juga manifestasi klinis sesuai dengan pembesaran tumor,
yaitu:
1. Pembesaran keatas (Superior)
a. Sakit kepala
b. Gangguan penglihatan
2. Pembesaran ke lateral
a. Kelumpuhan saraf III, IV, V, dan VI
b. Penyumbatan pembuluh darah (sinus kavenosus)
c. Kejang (temporal lobe seizures)
3. Pertumbuhan ke inferior (dasar sella), menimbulkan CSF
Rinorea
4. Pertumbuhan ke anterior, menyebabkan perubahan kepribadian
Manifestasi klinis akromegali dapat muncul selama 5-10 tahun
menyebabkan terdapatnya rentang waktu yang lama antara diagnosis dan waktu
awal terjadinya penyakit. Pada hampir 70% kasus saat diagnosis akromegali
ditegakkan, ukuran tumor telah mencapai >10 mm (makro adenoma) (Rahmat,
2010). Manifestasi klinis akromegali yaitu sebagai berikut.
a. Perubahan pada bentuk wajah: hidung, bibir, dahi, rahang, serta
lipatan kulit menjadi besar dan kasar secara progresif. Rahang
bawah menjadi besar dan menonjol ke depan sehingga gigi
renggang. Jaringan lunak juga tumbuh sehingga wajah nampak
seperti edema.
b. Tangan dan kaki yang membesar secara progresif.
c. Lidah, kelenjar ludah, limpa, jantung, ginjal, hepar, dan organ
lainnya juga membesar.
d. Gangguan toleransi glukosa bisa berkembang hingga diabetes
mellitus.
e. Gangguan metabolisme lemak dengan akibat hiperlipidemia.
f. Rambut di tubuh menjadi kasar
g. Warna kulit menggelap
h. Hiperhidrasi dan bau badan
i. Suara menjadi lebih dalam
j. Tulang rusuk menjadi lebih tebal, menunjukkan adanya barrel
chest
k. Nyeri pada persendian
l. Snoring
m. Sakit kepala
n. Impoten pada pasien akromegali laki-laki, apabila tumor
menggeser sel penyekresi gonadotropin di hipofisis anterior.
o. Penyakit kardiovaskuler mencakup hipertensi, LVH dan
kardiomiopati. Kardiomiopati ditandai oleh disfungsi diastolik
dan aritmia.
2.2.4 Patofisiologi
Gigantisme dapat terjadi bila keadaan kelebihan Growth Hormone
terjadi sebelum lempeng epifisis tulang menutup atau masih dalam masa
pertumbuhan. Penyebab kelebihan produksi Growth Hormone terutama adalah
tumor pada sel-sel somatrotop yang menghasilkan Growth Hormone.
Neoplasma penghasil GH, termasuk tumor yang menghasilkan campuran GH
dan hormon lain, misalnya prolaktin merupakan tipe adenoma hipofisis
fungsional kedua tersering.
Secara mikroskopis, adenoma penghasil GH terdiri atas sel bergranula
padat atau jarang, dan pewarnaan imunohistokimia memperlihatkan GH
didalam sitoplasma sel neoplastik (Robbins, 2007).
Sekitar 40% adenoma sel somatotrof memperlihatkan mutasi mutasi
pengaktifan pada gen GNAS1 di kromosom 20q13, yang mengkode sebuah
subunit α protein G heterodimerik stimulatorik yang dikenal sebagai G . Protein
G berperan penting dalam transduksi sinyal , dan pengaktifan protein G
dikaitkan dengan peningkatan enzim intrasel adenil-siklase dan produknya,
adenosine monofosfat siklik (cAMP). AMP siklik bekerja sebagai stimulant
mitogenik kuat bagi somatotrof hipofisis.
Jika adenoma penghasil GH terjadi sebelum epifisis menutup, seperti
pada anak prapubertas menutup, seperti pada anak prapubertas, kadar GH yang
berkelibahan menyebabkan gigantisme. Hal ini ditandai dengan peningkatan
umum ukuran tubuh serta lengan dan tungkai yang memanjang berlebihan. Jika
peningkatan kadar GH, atau terdapat setelah penutupan epifisis, pasien
mengalami akromegali, yang pertumbuhannya terutama terjadi pada jaringan
lunak, kulit, dan visera, serta pada tulang wajah, tangan ,dan kaki (Robbins,
2007).
Sekresi GH oleh sel-sel somatotrop hipofisis anterior dikendalikan oleh
2 faktor dari hipotalamus, yaitu :
1. GHRH, yang merangsang sekresi GH
2. Somatostatin yang menghambat sekresi GH.
GH merangsang produksi IGF-1 (= somatomedin C = SM-C) di hati
(terutama) dan jaringan lain. IGF merupakan mediator utama bagi efek GH
dalam merangsang pertumbuhan.
Lebih dari 95% kasus akromegali disebabkan oleh adenoma hipofisis
yang menghasilkan GH secara berlebihan. Pada saat diagnosis ditegakkan, 75%
pasien akromegali menunjukkan adanya makroadenoma (diameter tumor > 1
cm) dan sebagiannya telah meluas ke daerah paraselar dan supraselar. Amat
jarang akromegali disebabkan oleh GH/GHRH ektopik yang diproduksi oleh
tumor-tumor ganas. Peningkatan kadar GH dalam darah pada penderita
akromegali semata-mata akibat produksi GH yang berlebihan, bukan akibat
gangguan distribusi atau klirens GH.
Efek patologis dari kelebihan GH antara lain pertumbuhan berlebihan di
daerah acral (macrognathia, pembesaran struktur tulang muka, pembesaran
tangan dan kaki, pertumbuhan berlebihan alat-alat viseral, (seperti makroglosia,
pembesaran otot jantung, thyroid, hati, ginjal), antagonisme insulin, retensi
nitrogen dan peningkatan risiko polip / tumor kolon.
Melihat besarnya tumor, adenoma hipofisis dapat dibedakan dalam 2
bentuk, yakni; mikroadenoma dengan diameter lebih kecil dari 10 mm dan
makroadenoma kalau diameternya lebih dari 10 mm.
Adenoma hipofisis merupakan penyebab yang paling sering. Tumor
pada umumnya dijumpai di sayap lateral sella tursica. Kadang – kadang tumor
ektopik dapat pula dijumpai di garis rathke’s pouch yaitu di sinus sfenoidalis,
dan di daerah parafarings.
Kadar GH mempunyai korelasi dengan besarnya tumor pada saat
diagnosis ditegakkan. Kebanyakan (75%) kasus adenoma somatotrofik berupa
makroadenoma, di antaranya 70% dengan ukuran kurang dari 20 mm.
2.2.5 Web of Causation
2.2.5.1 Gigantisme
2.2.5.2 Akromegali
2.2.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan akromegali dan gigantisme ditekankan
pada pengembalian fungsi hormon pertumbuhan pada kondisi
yang normal dan mengembalikan fungsi normal hipofisis. Terapi
hiperekskresi growth hormone dapat dilakukan dengan cara:
1. Eksisi Tumor
Eksisi tumor dilakukan untuk mengangkat tumor
pada hipofisis yang mengekskresikan hormon
pertumbuhan
2. Radiasi
Eksisi paling umum yakni bedah trans-sfenoidal
yang dapat memberikan respon cepat, yaitu
membuang jaringan hiperekskresi. Radiasi hipofisis
yang besar yang tidak seluruh tumor bisa diangkat.
Delapan puluh persen dari pasien dengan
akromegali dapat disembuhkan dengan radiasi.
Selain mual dan muntah, efek samping radiasi yang
paling sering ditemukan adalah hipopitutarisme
(Mary,2009).
3. Medikamentosa
Selain pembedahan dan radiasi, terapi
medikamentosa pada akromegali terdiri atas tiga
golongan, yakni agonis dopamin, analog
somatostatin dan antagonis reseptor hormon
pertumbuhan (Melmed, 2009).
a. Agonis Dopamin
Terdiri dari bromokriptin dan cabergoline.
Pasien yang menolak menggunakan
tindakan operasi dapat memilih tindakan
medikamentosa. Bromokriptin dapat
menurunkan kadar growth hormone
dalam 60 sampai 80 persen pasien, tetapi
hanya pada sekitar 40% kadarnya menjadi
normal (Sabiston, 1995).
b. Analog Somatostatin
Bekerja menyerupai hormon somatostatin
yakni menghambat sekresi growth
hormone. Obat ini memiliki kemampuan
70% dalam menormalisasi GH. Selain itu
analog somatostatin juga dapat
mengecilkan ukuran tumor (80%),
perbaikan fungsi jantung, tekanan darah,
serta profil lipid (Colao, 2009).
c. Antagonis Reseptor
Dapat digunakan dalam kasus akromegali
yang tidak dapat dikontrol dengan terapi
pembedahan, penggunaan obat agonis
dopamin dan analog somatostatin.
2.3 Diabetes Insipidus
2.3.1 Definisi
Diabetes insipidus merupakan suatu kondisi kronik dimana terjadi
peningkatan rasa haus (polidipsi) dan peningkatan kuantitas urin dengan berat
jenis yang rendah (poliuri). Kondisi ini merupakan manifestasi klinis dari
defisiensi pitresin (ADH) yang diproduksi oleh hipofisis lobus posterior yang
berperan dalam mengatur metabolisme air di tubuh atau merupakan kondisi
klinis akibat dari ketidakpekaan tubulus ginjal terhadap ADH (Fitriani, 2009).
Diabetes insipidus juga bisa terjadi jika kadar hormon antidiuretik
normal tetapi ginjal tidak memberikan respon yang normal terhadap hormon ini
(keadaan ini disebut diabetes insipidus nefrogenik).
2.3.2 Etiologi
Penyebab diabetes insipidus dapat diklasifikasikan menjadi tiga
golongan,yaitu :
1. Kelainan organis
Setiap lesi yang merusak unit neurohipofisis dan hipotalamus
dapat mengakibatkan diabetes insipidus.
Kerusakan ini dapat terjadi sebagai akibat dari :
a. Operasi (bersifat sementara)
b. Penyakit infeksi (meningitis, ensefalitis, tuberkulosis, lues, sarkoidosis, aktinomikosis,
dan lain-lain)
c. Tumor atau kista di daerah kiasma optika, infundibulum, ventrikel III, atau korpus
pinealis (terutama kraniofaringioma, glioma optik, dangerminoma). Terutama tumor
supraselar (30% kasus).
d. Xantomatosis (hand-schuller-christian),
e. Leukimia
f. Hodgkin
g. Pelagra
h. Trauma pada kepala terutama fraktur basis cranii, atau setelah suatu prosedur operatif
dekat kelenjar pituitaria atau hipotalamus
i. Sindrom laurence-moon riedel
j. Idiopatik DI (30% kasus)
k. Ensefalopati iskemik atau hipoksia
l. Familial DI
m.Radiasi
n. Edema serebri
o. Perdarahan intracranial
Keadaan tersebut akan berakibat gangguan dalam :
a. Pengangkutan ADH/AVP yang tidak bekerja dengan baik
akibat rusaknya akson pada traktus supraoptikohipofisealis
b. Sintesis ADH terganggu
c. Kerusakan pada nukleus supraoptik paraventricular
d. Gagalnya pengeluaran vasopressin
2. Kelainan ginjal (diabetes insipidus nefrogenik)
Diabetes insipidus nefrogenik adalah suatu kelainan dimana
ginjal menghasilkan sejumlah besar air kemih yang encer karena
ginjal gagal memberikan respon terhadap hormon antidiuretik dan
tidak mampu memekatkan air kemih.
Penyebab lain dari diabetes insipidus nefrogenik adalah
keadaan tertentu yang bisa menyebabkan kerusakan pada ginjal,
diantaranya penyebab primer, yaitu: primary familial: x-linked
recessive dimana bentuk berat terdapat pada anak laik-laki, dan
bentuk yang lebih ringan terdapat pada anak perempuan. Dan
penyebab sekunder, yaitu: Penyakit ginjal kronik (Penyakit ginjal
polikistik), medullary cystic disease, pielonefretis, obstruksi ureteral,
gagal ginjal lanjut.
3. Idiopatik
Selain karena penyebab sentral dan nefrogen, beberapa kasus
diabetes insipidus tidak diketahui penyebabnya. Pada sejumlah kecil
kasus, diabetes insipidus merupakan kelainan herediter. Bentuk
autosom dominan ditandai dengan onsetnya yang bervariasi mulai
sejak lahir sampai umur beberapa tahun, dan semakin lama ada
variasi keparahan dalam keluarga dan individu.
Gejala menurun pada dekade ke-3 dan ke-5. Kadar AVP
mungkin tidak ada (<0,5 pg/mL) atau menurun secara bervariasi.
Gena berada pada kromosom nomor 20, dan praprotein
yangmengkode berisi AVP dan neurofisin (NPII), protein pembawa
hormon.
Rantai tunggal pembawa polipeptide ini terbelah dalam granula
sekretoridan kemudian disambung lagi ke dalam kompleks AVP-NP
sebelum sekresi. Mutasi yang meyebabkan diabetes insipidus
autosom dominan telah dilokalisasi di bagian NP II. Meskipun
mutasi hanya melibatkan satu allele, mutan kompleks AVP NP II
mengganggu fungsi allele normal, mengakibatkan pewarisan atosom
dominan (Ramli, 2010).
2.3.3 Klasifikasi
Diabetes insipidus dapat diklasifikasikan menjadi 4 jenis, yaitu:
a. Diabetes insipidus sentral
Merupakan bentuk tersering dari diabetes insipidus dan biasanya
berakibat fatal.
Diabetes insipidus sentral merupakan manifestasi dari kerusakan
hipofisis yang berakibat terganggunya sintesis dan penyimpanan ADH.
Hal ini bisa disebabkan oleh kerusakan nucleus supraoptik,
paraventrikular, dan filiformis hipotalamus yang mensistesis ADH.
Selain itu, diabetes insipidus sentral (DIS) juga timbul karena gangguan
pengangkutan ADH akibat kerusakan pada akson traktus
supraoptikohipofisealis dan aksonhipofisis posterior di mana ADH
disimpan untuk sewaktu-waktu dilepaskan ke dalam sirkulasi jika
dibutuhkan.
DIS dapat juga terjadi karena tidak adanya sintesis ADH, atau
sintesis ADH yang kuantitatif tidak mencukupikebutuhan, atau
kuantitatif cukup tetapi tidak berfungsi normal. Terakhir, ditemukan
bahwa DIS dapat juga terjadi karena terbentuknya antibody terhadap
ADH.
b. Diabetes insipidus nefrogenik
Keadaan ini terjadi bila ginjal kurang peka terhadap ADH. Halini
dapat disebabkan oleh konsumsi obat seperti lithium, atau proses kronik
ginjal seperti penyakit ginjal polikistik, gagal ginjal, blok parsial ureter,
sickle-cell disease, dan kelainan genetik, maupun idiopatik.
c. Diabetes insipidus dipsogenik
Kelainan ini disebabkan oleh kerusakan dalam mekanisme haus
dihipotalamus. Defek ini mengakibatkan peningkatan rasa haus yang
abnormal sehingga terjadi supresi sekresi ADH dan peningkatan output
urin.
d. Diabetes insipidus gestasional
Diabetes insipidus gestasional terjadi hanya saat hamil jika
enzim yang dibuat plasenta merusak ADH ibu.
2.3.4 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis klien dengan diabetes insipidus dapat berupa:
a. Poliuria dan polidipsia
Keluhan dan gejala utama diabetes insipidus adalah poliuria dan
polidipsia.
Jumlah cairan yang diminum maupun produksi urin per 24 jam sangat
banyak, dapat mencapai 5–10 liter sehari. Berat jenis urin biasanya sangat
rendah, berkisar antara 1,001 – 1,005 atau 50 – 200 mOsmol/kg berat badan.
b. Dehidrasi
c. Hipertermia
d. Nyeri kepala, lemah dan lesu, nyeri otot, hipotermia dan takikardia
e. Berat badan turun dengan cepat
f. Enuresis, pada anak yang telah dapat mengendalikan kandung kencing
g. Tidak berkeringat atau keringat sedikit, sehingga kulit kering dan pucat
h. Anoreksia, lebih menyukai karbohidrat
i. Gejala dan tanda lain tergantung pada lesi primer, misalnya penderita
dengan tumor daerah hipotalamus akan mengalami gangguan pertumbuhan,
obesitas, atau kakheksia progresif, hiperpireksia, gangguan tidur, seksual
prekoks, atau gangguan emosional. Lesi yang pada awalnya menyebabkan
diabetes insipidus akhirnya dapat merusak hipofisis anterior, pada keadaan
demikian diabetes insipidus cenderung lebih ringan atau hilang sama sekali
(Ramli, 2010).
2.4.5 Patofisiologi
Fungsi utama ADH adalah meningkatkan reabsorbsi air di tubulus ginjal
dan mengontrol tekanan osmotik cairan extra selular. Ketika produksi ADH
menurun secara berlebihan, tubulus ginjal tidak mereabsorbsi air, sehingga air
banyak diekskresikan menjadi urine, urinenya menjadi sangat encer dan banyak
(poliuria) sehingga menyebabkan dehidrasi dan peningkatan osmalaitas serum.
Peningkatan osmolalitas serum akan merangsang chemoreseptor dan sensasi
haus kortek cerebral. Sehingga akan meningkatkan intake cairan peroral
(polidipsi). Akan tetapi bila mekanisme ini tidak adekuat atau tidak ada,
dehidrasi akan semakin memburuk. Pada diabetes militus urine banyak
mengandung glukosa sedangkan pada deabetes insipidus urinenya sangat tidak
mengandung glukosa dan sangat encer (Ramli, 2010).
2.4.6 Web of Causation
2.4.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan diabetes insipidus dilakukan berdasarkan
klasifikasinya, yaitu:
a. Diabetes insipidus sentral
Penanganan pada keadaan DI sentral adalah dengan
pemberiansintetik ADH (desmopressin) yang tersedia dalam bentuk
injeksi, nasal spray,maupun pil. Selama mengkonsumsi
desmopressin, pasien harus minum hanya jika haus. Mekanisme obat
ini yaitu menghambat ekskresi air sehinggaginjal mengekskresikan
sedikit urin dan kurang peka terhadap perubahankeseimbangan
cairan dalam tubuh.
b. Diabetes insipidus nefrogenik
Pada keadaan ini, terapi desmopressin tidak akan berpengaruh.
Penderita diterapi dengan hydrochlorothiazide (HCTZ) atau
indomethacin. HCTZ kadangdikombinasikan dengan amiloride. Saat
mengkonsumsi obat ini, pasien hanya boleh minum jika haus untuk
mengatasi terjadinya volume overload.
c. Diabetes insipidus disprogenik
Desmopressin tidak boleh digunakan untuk penanganan diabetes
insipidus dipsogenik karena akan menurunkan output urin tetapi
tidak menekan rasa haus. Akibatnya, input air akan terus bertambah
sehingga terjadi volume overload yang berakibat intoksikasi air
(suatu kondisi dimana konsentrasi Na dalam darah
rendah/hiponatremia) dan dapat berefek fatal pada otak. Belum
ditemukan pengobatan yang tepat untuk diabetes insipidus
dipsogenik.
d. Diabetes insipidus gestasional
Kebanyakan kasus diabetes insipidus pada kehamilan membaik
diterapi dengan desmopressin. Pada kasus dimana terdapat
abnormalitas dari mekanisme haus, desmopresin tidak boleh
digunakan sebagai terapi.
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Asuhan Keperawatan Klien dengan Gigantisme
3.1.1 Pengkajian
Pengkajian meliputi:
1. Riwayat penyakit dahulu
2. Riwayat penyakit sekarang
3. Riwayat penyakit keluarga
4. Riwayat tumbuh kembang
5. Apakah klien mengalami penambahan pada lingkar kepala
6. Apakah klien mengalami pembesaran hidung
7. Apakah mandibular klien mengalami pembesaran yang berlebihan
8. Apakah klien memiliki gigi yang terpisah-pisah
9. Apakah jari dan ibu jari tumbuh menebal
10. Apakah klien mengalami kifosis
11. Apakah klien mengalami kelelahan dan kelemahan pada gejala awal
12. Apakah klian mengalami hipogonadisme
13. Apakah klien mengalami keterlambatan maturasi seksual
14. Apakah terjadi tanda-tanda peningkatan intra cranial
15. Apakah klien mengalami kehilangan penglihatan pada o\pemeriksaan
lapang pandang
3.1.2Diagnosis keperawatan
Diagnosis yang dapat dirumuskan yaitu:
1. Defisit kepercayaan diri berhubungan denagn perubahan tubuh yang
abnormal
a. Tujuan : Klien memiliki rasa percaya diri
b. Kriteria hasil :
1. Klien dapat menerima perubahan diri
2. Klien mau bersosialisasi dengan lingkungan
c. Intervensi :
1. Pertahankan lingkungan yang kondusif untuk membicarakan
perubahan citra tubuh
2. Bantu klien dalam mengembangkan mekanisme koping untuk
mengatasi perubahan fisik
2. Resiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
peningkatan metabolisme.
a. Tujuan : nutrisi klien adekuat
b. Kriteria hasil :
1. Klien tidak mengalami penurunan berat badan yang signifikan
2. Nafsu makan dan pola diet klien terjaga dengan baik
c. Intervensi :
1. Beri makanan sedikit tapi sering
2. Masukkan makanan kesukaan dalam diet
3. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan keluarga dengan
gigantisme
a. Tujuan : mempersiapkan keluarga untuk dapat merawat klien
b. Kriteria Hasil :
1. Keluarga dapat beradaptasi dengan penyakit yang diderita klien
2. Keluarga dapat mengatasi masalah yang timbul dari adanya tanda
dan gejala yang muncul dan memberikan atau menyediakan
lingkungan yang sesuai dengan kondisi klien
c. Intervensi :
1. Berikan dukungan emosianal pada keluarga dan klien
2. Berikan edukasi mengenai gigantisme dan penyebabnya
3. Anjurkan keluarga dan klien untuk bersosialisasi dengan sekitar
4. Kelelahan berhubungan dengan hipermetabolik dengan peningkatan
kebutuhan energi
a. Tujuan :
Klien mampu berpartisipasi secara mandiri dalam melakukan
aktivitasnya dan memenuhi kebutuhan dasarnya sendiri.
b. Kriteria hasil :
1. Tidak terjadi kelelahan pada klien setelah beraktivitas
2. Klien tidak merasa enggan saat akan melakukan aktivitas
c. Intervensi :
1. Kaji tanda-tanda vital klien
2. Menciptakan lingkungan yang kondusif bagi klien
3. Anjurkan klien untuk melakukan aktivitas yang menyenangkan
misalnya mendengarkan radio, menonton televisi dan lainnya.
3.2 Asuhan Keperawatan Klien dengan Akromegali
3.2.1 Pengkajian
a. Data demografi
Meliputi nama, usia, jenis kelamin, suku/bangsa, agama, pendidikan,
pekerjaan, dan alamat
b. Keluhan utama
Pasien yang mengalami akromegali pada umumnya akan mengeluh dan
memperlihatkan pembesaran tangan dan kaki.
c. Riwayat penyakit dahulu
Pasien pernah menderita tumor hipofise jinak atau adanya disfungsi
hypothalamus.
d. Riwayat penyakit sekarang
Tulang mengalami kelainan bentuk bukan memanjang, gambaran tulang
wajah kasar, tangan dan kaki membengkak.
e. Riwayat penyakit keluarga
Akromegali tidak diturunkan dari riwayat keluarga yang memiliki penyakit
akromegali.
3.2.2 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan fisik
persistem seperti berikut.
a. B1 (Breath)
Apabila tumornya kecil biasanya tidak terjadi perubahan pola
napas.
Namun apabila tumor hipofisis membesar akan terjadi gangguan
pola napas.
b. B2 (Blood)
Jantung membesar dan biasanya fungsi jantung terganggu sehingga
akan timbul gagal jantung
c. B3 (Brain)
Pada tumor hipofisis yang mengakibatkan akromegali biasanya
terjadi nyeri kepala bitemporal, gangguan penglihatan disertai hemi-
anopsia bitemporal akibat penyebaran supraselar tumor dan
penekanan kiasma optikum
d. B4 (Bladder)
Penurunan libido, impotensi, oligomenorea, infertilitas, nyeri
senggama pada wanita, batu ginjal.
e. B5 (Bowel) : tidak ditemukan masalah keperawatan
f. B6 (Bone)
Pembesaran pada kaki dan tangan perubahan bentuk raut wajah,
sinus frontalis dan sinus paranasalis membesar.
a
3.2.3 Diagnosis Keperawatan dan Intervensi
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi pada jalan napas
a. Data subjektif : Pasien mengeluhkan dispnea
b. Data objektif :
1. Perubahan gerak dada
2. Fase ekspirasi yang lama
3. Napas cuping hidung
c. Kriteria hasil :
1. Menunjukkan pola napas yang efektif
2. Status pernapasan dan ventilasi tidak terganggu
d. Intervensi dan Rasionalisasi
Intervensi RasionalisasiPantau kecepatan, irama, kedalaman, usaha
respirasi.
Mengetahui dan memantau pola napas
Pantau pola pernapasan;bradipnea;takipnea Memantau pola napas, status
pernapasan dan ventilasi
Kolaborasi ; bronkodilator Melebarkan jalan napas sehingga pola
napas pasien dapat efektif
2. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan adanya pertumbuhan organ-
organ yang berlebihan.
a. Data subjektif :
1. Mengungkapkan perasaan bahwa ada yang menganggu pasien.
2. Mengungkapkan ada perubahan dalam gaya hidupnya.
3. Mengungkapkan perasaan yang buruk tentang tubuhnya.
b. Data objektif :
1. Perubahan dalam lingkungan sosial
2. Kehilangan rasa percaya diri
c. Kriteria hasil :
1. Mengerti perubahan tubuhnya.
2. Mengungkapkan penerimaan terhadap dirinya sendiri.
d. Intervensi dan Rasionalisasi
Intervensi RasionalisasiKaji mental dan kondisi emosional
pasien (beri rentang 1-10)
Dengan mengkaji mental pasien,
perawat akan mengetahui kondisi
emosional pasien dan menentukan terapi
yang tepat untuk pasien agar bisa
menerima dirinya sendiri.
Memberikan pengetahuan dan
bekerjasama dengan pasien mengenai
konsep diri dan melihat kemajuan pasien
Pasien akan lebih mengerti tentang
perubahan tubuhnya.
3. Gangguan persepsi sensori;penglihatan berhubungan dengan gangguan
tranmisi impuls sebagai akibat penekanan tumor pada kiasma optikum.
a. Data subjektif :
Mengeluhkan perubahan persepsi sensori (terutama penglihatan)
b. Data objektif :
1. Perubahan ketajaman penglihatan
2. Konsentrasi rendah
3. Penurunan keseimbangan penglihatan
c. Kriteria hasil :
1. Pasien akan berpartisipasi dalam program pengobatan.
2. Pasien akan mempertahankan lapang ketajaman penglihatan.
d. Intervensi dan Rasionalisasi
Intervensi RasionalisasiPastikan derajat/tipe kehilangan
penglihatan.
Mengetahui perubahan berkurangnya
ketajaman penglihatan pasien.
Dorong mengekspresikan perasaan
tentang kehilangan / kemungkinan
kehilangan penglihatan.
Agar pasien tidak mengalami shock
menghadapi kemungkinan / mengalami
pengalaman kehilangan penglihatan
sebagian atau total.
Tunjukkan pengobatan untuk mata yang
benar.
Untuk menghindari efek samping /
reaksi merugikan dari pengobatan
(penurunan nafsu makan, mual /
muntah, kelemahan, jantung tak teratur,
dll).
4. Disfungsi seksual berhubungan dengan penurunan fungsi reproduksi.
a. Data subjektif :
1. Mengungkapkan secara verbal tentang masalah yang dialami
(penurunan libido dan sexualitas)
2. Merasa mengalami penurunan seksual
b. Kriteria hasil :
1. Mampu memvisualisasikan dengan kata-kata tentang anatomi dan
fisiologi dari sistem reproduksi dan tiap perubahan yang bisa
menganggu fungsi normalnya.
2. Mengidentifikasi stresor yang mempengaruhi disfungsi seksual.
c. Intervensi dan Rasionalisasi
Intervensi RasionalisasiKaji faktor/stresor yang
mempengaruhi disfungsi seksual.
Dengan mengetahui faktor yang
mempengaruhi, akan dapat cepat
mengurangi/mengobatinya.
Kaji pengetahuan pasien tentang
anatomi dan fisiologi dari anatomi
sistem reproduksi
Biasanya pasien belum mengerti tentang
anatomi dan fisiologi sitem reproduksi.
Agar pasien memahami bagaimana kerja
dari sistem reproduksi.
Berikan informasi yang faktual tentang
keadaan pasien
Agar pasien bisa membuat keputusan
sendiri tentang apa yang dirasakan.
5. Ansietas yang berhubungan dengan perubahan struktur tubuh/ perubahan
status kesehatan.
a. Data Subjektif:
1. Mengungkapkan perubahan tingkah laku, misalnya cepat marah,
cemas dan khawatir
2. Mengungkapkan terjadinya perubahan tangan dan kaki yang
semakin membesar.
3. Mengungkapkan perubahan status kesehatan
b. Data Objektif
1. Meningkatnya tekanan darah, pola napas
2. Ukuran tangan dan kaki yang membesar
3. Fokus pada diri sendiri
c. Kriteria Hasil
Klien akan:
1. Mengungkapkan bahwa tingkat kecemasan bisa ditoleransi, tidurnya
cukup, dan memakai strategi yang cocok untuk mengurangi
kecemasan.
2. Bicara positif tentang dirinya serta menerima perubahan yang
reversibel dan yang ireversibel.
3. Menggunakan support sistem yang efektif.
d. Intervensi keperawatan dan rasional
Intervensi RasionalisasiKaji stresor yang ada dan strategi
yang dipakai pasien untuk mengatasi
stresor
Dengan mengetahui stresor pasien,
kecemasan pasien dapat berkurang dan
dapat teratasi dengan menggunakan
strategi yang dipakai pasien untuk
mengatasi stresor.Kaji tingkat kecemasan pasien dengan
memberi rentang skala (misal 1-10)
Dengan mengetahui tingkat
kecemasan akan lebih efektif
membantu dan menggunakan support
sistem untuk mengurangi tingkat
kecemasan pasien. Untuk pasien yang
tingkat kepanikannya mencapai 10,
pasien bisa saja fokus pada dirinya
sendiri.Beri kesempatan pada pasien untuk
mengungkapkan masalah yang
dialaminya dan gunakan sumber yang
bisa membantu
Dengan mengajak pasien
mengungkapkan apa yang dirasakan,
pasien akan merasa bahwa apa yang
dialami tidak seberat dengan apa yang
difikirkan sehingga akan mengurangi
beban dan kecemasan pasien, selain itu
pasien akan lebih menerima dengan
apa yang terjadi padanya.
6. Kurang pengetahuan berhubungan dengan proses penyakit, pengobatan dan
perawatan di rumah.
a. Data subjektif : Mengungkapkan masalah secara verbal
b. Data objektif
1. Tidak mengikuti instruksi yang diberikan secara akurat
2. Tidak tepat atau terlalu berlebihannya perilaku, misalnya: histeris,
agitasi, dan apatis.
c. Kriteria Hasil:
Klien atau keluarga akan:
1. Mengidentifikasi keperluan untuk penambahan informasi menurut
penanganan yang dianjurkan, misalnya informasi tentang diet.
2. Menunjukkan kemampuan… (sebutkan keahlian atau perilakunya)
d. Intervensi dan Rasionalisasi
Intervensi RasionalisasiMembantu klien dalam memahami
informasi yang berhubungan dengan
proses timbulnya penyakit secara khusus.
Agar klien dapat memahami kondisi
yang terjadi dalam tubuhnya sehingga
dapat bekerjasama dengan tenaga
kesehatan untuk peningkatan kualitas
kesehatannya.Membantu klien untuk memahami dan Dengan mengetahui seluk beluk
mengetahui secara mental mengenai
pembedahan serta metode pemulihan
pascaoperasi.
pembedahan, diharapkan klien dapat
memiliki mental yang kuat untuk
dilakukan pembedahan.Mengikutsertakan keluarga atau anggota
keluarga lain bila memungkinkan
Bila perawat telah memberikan edukasi
kepada klien namun tidak memberikan
dampak yang signifikan, maka keluarga
dapat menjadi orang kepercayaan klien
yang dapat diandalkan.
3.3 Asuhan Keperawatan Klien dengan Diabetes Insipidus
3.3.1 Pengkajian
1. Data Demografi
Identitas pada klien yang harus diketahui diantaranya: nama, umur,
agama, pendidikan, pekerjaan, suku/bangsa, alamat, jenis kelamin, status
perkawinan, dan penanggung biaya.
2. Riwayat Sakit dan Kesehatan
a. Keluhan utama
Biasanya pasien merasa haus, pengeluaran air kemih yang berlebihan,
sering kram dan lemas jika minum tidak banyak.
b. Riwayat penyakit saat ini
Pasien mengalami poliuria, polidipsia, nocturia, kelelahan, konstipasi
3. Riwayat penyakit dahulu
Klien pernah mengalami cedera otak, tumor, tuberculosis,
aneurisma/penghambatan arteri menuju otak, hipotalamus mengalami
kelainan fungsi dan menghasilkan terlalu sedikit hormone antidiuretik,
kelenjar hipofisa gagal melepaskan hormon antidiuretik kedalam aliran
darah, kerusakan hipotalamus maupun kelenjar hipofisa akibat pembedahan
dan beberapa bentuk ensefalitis maupun meningitis.
4. Riwayat penyakit keluarga
Adakah penyakit yang diderita oleh anggota keluarga yang mungkin ada
hubungannya dengan penyakit klien sekarang, yaitu riwayat keluarga dengan
diabetes insipidus.
5. Pengkajian psiko-sosio-spiritual
Perubahan kepribadian dan perilaku klien, perubahan mental, kesulitan
mengambil keputusan, kecemasan dan ketakutan hospitalisasi, diagnostic test
dan prosedur pembedahan, adanya perubahan peran.
3.3.2 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada klien dengan diabetes insipidus meliputi pemeriksaan
fisik umum persistem dari observasi keadaan umum, pemeriksaan tanda-tanda
vital, B1 (breathing), B2 (Blood), B3 (Brain), B4 (Bladder), B5 (Bowel), dan
B6 (Bone).
1. Pernapasan B1 (breath)
RR = 20 x/mnt, tidak ada sesak napas, tidak ada batuk pilek, tidak memiliki
riwayat asma dan suara napas normal.
2. Kardiovaskular B2 (blood)
TD = 130/80 mmHg, nadi = 84 x/mnt, suhu = 36,5 oC, suara jantung
vesikuler. Perfusi perifer baik, turgor kulit buruk, intake= <2500 cc perhari,
output= 3000 cc perhari, IWL = 500 cc perhari, klien tampak gelisah.
3. Persarafan B3 (brain)
Kadang pasien merasa pusing, bentuk kepala simetris, GCS= 4 5 6, pupil
normal, orientasi tempat-waktu-orang baik, reflek bicara baik, pendengaran
baik, penglihatan baik, penghidu baik.
4. Perkemihan B4 (bladder)
Poliuria sangat encer ( 4- 30 liter ) dengan berat jenis 1.010 osmolalitas urin
50-150 mosmol/L
5. Pencernaan B5 (bowel)
Nafsu makan baik, tidak ada mual/muntah, BAB 2 x perhari pagi dan sore.
Klien tidak ada sakit maag.
6. Muskuloskeletal/integument B6 (bone)
Mandi 2 kali sehari pagi dan sore, kulit bersih, turgor kulit buruk, tidak ada
nyeri otot dan persendian.
3.3.3 Data Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil sebagai berikut
a. osmolalitas urin 50-150 mosmol/L (n= 300-450 mosmol/L)
b. osmolalitas plasma >295 mosmol/L (n= <290 mosmol/L)
c. Urea N: <3 mg/dl.(normal= 3 - 7,5 mmol/L)
d. Kreatinin serum: 75 IU/L. (n= <70 IU/L)
e. Bilirubin direk: 0,08 mg/dl. (n= 0,1 - 0,3 mg/dl)
f. Bilirubin total: 0,01 mg/dl. (n= 0,3 – 1 mg/dl)
g. SGOT: 38 U/L. (n= 0 - 25 IU/L)
h. SGPT: 18 U/L. (n= 0 - 25 IU/L)
3.3.4 Analisis Data
No. Data Etiologi Masalah Keperawatan
1. Data Subjektif : pasien mengatakan haus, badan terasa lesu.
Data Objektif : intake= <2500 cc perhari, output= 3000 cc perhari, IWL = 500 cc perhari, turgor kulit buruk.
Diabetes Insipidus
Hiperosmolaritas serum
Merangsang haus
Pergantian air tidak adekuat
Volume cairan tubuh berkurang
kurangnya volume cairan dalam tubuh
2. Data Subjektif : pasien mengatakan sering kencing terlebih pada malam hari.
Data Objektif : Poliuria sangat
encer( 3000cc perhari +IWL 500cc
perhari), dengan berat jenis 1.010,
osmolalitas urin 50-150 mosmol/L.
Diabetes Insipidus
Penurunan osmolaritas urin
Hilangnya banyak cairan (urin)
poliuria
Perubahan eliminasi urin
3. Data Subjektif : pasien mengatakan tidak tahu tentang pengobatan dan perawatan penyakitnya
Data Objektif : klien tidak mengikuti instruksi secara akurat
Riwayat Diabetes Insipidus keluarga
Minimnya informasi tentang pengobatan dan perawatan DI
Kurang pengetahuan
3.3.5 Diagnosis dan Intervensi
a. Kurangnya volume cairan dalam tubuh berhubungan dengan ekskresi yang
meningkat dan intake cairan yang tidak adekuat.
1. Tujuan : Menyeimbangkan masukan dan pengeluaran cairan
2. Kriteria Hasil :
a. Intake dan output seimbang
b. Tidak terdapat tanda-tanda dehidrasi ( turgor baik, mata tidak cowong)
c. TTV dalam batas normal (n =120/80mmHg).
3. Intervensi dan rasionalisasi
Intervensi Rasional
1.Mandiri
a. Pantau BB (input dan output)
b. Pantau tanda-tanda dehidrasi
c. Pantau TTV
1. Kolaborasi
a. Berikan terapi cairan dengan
mengganti vasopressin atau dengan
1.Mandiri
a. Untuk mengetahui tingkat dehidrasi
b. Untuk mengetahui tingkat dehidrasi
c. Memantau keadaan pasien
2. Kolaburasi
a. Menghindari dehidrasi
3.Menghindari dehidrasi
penyuntikan intramuskuler ADH.
2. HE
Anjurkan pasien untuk minum banyak
(2000-2500 cc/hari)
b. Perubahan eliminasi urine berhubungan dengan penurunan produksi ADH
1. Tujuan : Eliminasi urine kembali normal
2. Kriteria Hasil : eliminasi urine kembali normal (0,5-1 cc/kg BB/jam)
3. Intervensi dan Rasionalisasi
Intervensi Rasional
1. Mandiri
a. Pantau eliminasi urine yang meliputi
frekuensi, konsistensi, bau, volume,
dan warna dengan tepat.
2. Kolaborasi
a. Berikan terapi vasopressin atau
dengan penyuntikan intramuskuler
ADH.
b. Tes deprivasi cairan dilakukan dengan
cara menghentikan pemberian cairan
selama 8-12 jam atau sampai terjadi
penurunan BB.
1. Mandiri
a. Untuk mengetahui perubahan
kondisi pasien
b. Untuk mengembalikan pola normal
eliminasi urine.
2. Kolaburasi
a. Untuk mengetahui respon ginjal
terhadap pemberian hormon ADH
b. Untuk menghindari gagal ginjal
c. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi mengenai proses
penyakit, pengobatan dan perawatan diri.
1. Tujuan: Memberi pemahaman kepada pasien terhadap penyakit pasien
2. Kriteria Hasil:
Klien dapat mengungkapkan mengerti tentang proses penyakit dan
mengikuti instrukasi yang diberikan secara akurat. Pengarahan obat-obatan,
gejala untuk dilaporkan dan perlunya mendapatkan gelang waspada medis.
3. Intervensi dan Rasionalisasi
Intervensi Rasional
1. Mandiri:
a. Jelaskan konsep dasar proses
penyakit.
b. Jelaskan pentingnya tindak lanjut
rawat jalan yang teratur.
c. Jelaskan perlunya untuk
menghindari obat yang dijual
bebas.
1.Mandiri
a. Memberi pemahaman kepada pasien
b. Agar pasien tahu pentingnya pemantauan
penyakit
c. Untuk menghindari semakin parahnya
penyakit
BAB 4
PENUTUP
Kesimpulan
Kelenjar hipofisis merupakan kelenjar yang sangat berperan dalam produksi hormon,
terutama pada adenohipofisis yang memproduksi sebagian besar hormon yang berfungsi
sebagai homeostasis tubuh. Apabila terdapat gangguan pada organ ini, maka homeostasis
terganggu dan dapat mengakibatkan berbagai penyakit terkait dengan produksi hormon, seperti
hipersekresi Growth Hormone yang bila terjadinya pada masa anak-anak dinamakan
gigantisme, dan bila terjadinya saat lempeng epifisis sudah tertutup, maka kelainan ini disebut
akromegali. Selain itu bila sintesis dan penyimpanan ADH terganggu, maka hal ini dapat
mengakibatkan Diabetes Insipidus.
DAFTAR PUSTAKA
Behrman, Richard E, kliegman, Robert M. 2000. Ilmu Kesehatan Anak edisi 15 Vol.3. Jakarta:
EGC
Corwin J, Elizabeth. 2000. Patofisiologi. Jakarta : EGC
Davey, Patrick. 2005. At A Glance Medicine. Jakarta : Erlangga
Doenges E, Marilyn. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC
Guyton, A.C & Hall, J.E. 2006. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Philadelphia:
Elsevier-Saunders
Persatuan Ahli Penyakit Dalam. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 2. Jilid 1.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI: 799-807.
Price, S. A & Wilson, L. M. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi 6.
Volume 2. Philadelphia : Elsevier-Saunders.
Price, Sylviana Anderson dan Wilson , Lorraine McCarty. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis
Prosse-Proses Penyakit edisi 6 Vol.2. Jakarta : EGC
Robbins, Staney L, khumar, vinnay, cotran, ramzi S. 2007. Buku Ajar Patologi edisi 7 vol.2.
Jakarta : EGC.
Suddarth & Bruner. 2000. Keperawatan Medikal Bedah, edisi 8. Jakarta : EGC
Sudiono, J. 2009. Gangguan Tumbuh Kembang Dentokraniofasial. Jakarta : EGC
Suyono, Slamet. 2001. Ilmu Penyakit Dalam, jilid 1. Jakarta : Balai Penerbit FKUI
Wilson & Price. 2005. Patofisiologi dan Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, edisi 6.
Jakarta :EGC