halaman merge combined - core.ac.uk fileiv persembahan skripsi ini saya persembahkan untuk bapak...
TRANSCRIPT
i
SEJARAH SALATIGA
Dari Kota Militer Hingga Kota Pengepul Hasil Bumi
Tahun 1746-1917
Skripsi
Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan
memperoleh gelar Sarjana Sejarah pada
Program Studi Sejarah
Disusun oleh:
Aprian Prayogo
124314005
PROGRAM STUDI SEJARAH
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2017
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iv
PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan untuk Bapak Bambang Prihono (1960-2010), Ibu
terkasih Siti Arbiyati, Dimas Prasetya, dan tempat yang selalu menyajikan
kenyaman dan kegembiraan, Kota Salatiga.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
v
MOTTO
“I have to remind myself that some birds arent meant to be caged.”
(Ellis Boyd “Red” Redding)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vii
ABSTRAK
Aprian Prayogo, Sejarah Salatiga; Dari Kota Militer Hingga Kota Pengepul
Hasil Bumi 1746-1917. Skripsi. Yogyakarta: Program Studi Sejarah, Fakultas
Sastra, Universita Sanata Dharma, 2017.
Penulisan mengenai Sejarah Salatiga ini bertujuan untuk menjawab dan
menjelaskan tiga pokok permasalahan. Pertama, mengapa Salatiga mengalami
perubahan identitas dari Kota Militer menuju Kota Pengepul Hasil Bumi. Kedua,
bagaimana proses perubahan identitas yang terjadi di Salatiga. Ketiga, apa saja
dampak yang dialami masyarakat Salatiga akibat perubahan identitas tersebut.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi arsip. Arsip yang
berupa dokumen dan foto-foto tersebut diperoleh dari lembaga-lembaga
pengarsipan, perpustakaan, dan beberapa tokoh pemerhati sejarah Salatiga.
Analisis dilakukan dengan cara melihat otentisitas dan kredibilitas data sebelum
melakukan pembandingan dan interpretasi terhadap sumber yang didapat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan identitas kota yang
dialami Salatiga berawal dari berlakunya Sistem Tanam Paksa di Jawa pada tahun
1830. Sistem tersebut dibangun sebagai bentuk usaha pemulihan perekonomian
pemerintah Belanda yang sempat melemah. Perubahan identitas tersebut juga
didukung oleh kondisi wilayah Salatiga dan sekitarnya yang memilki kapasitas
untuk dijadikan sebagai wilayah aktivitas perkebunan.
Peristiwa perubahan Kota Militer menjadi Kota Pengepul Hasil Bumi
membawa dampak pada masyarakat di Salatiga. Hingga saat ini, dampak
perubahan tersebut masih dapat dijumpai di wilayah Salatiga dan sekitarnya.
Rumah-rumah Belanda, perkebunan-perkebunan, dan rel kereta api menunjukkan
bahwa Salatiga pernah menduduki posisi penting dalam perjalanan sejarah
perkebunan di Indonesia.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
viii
ABSTRACT
Aprian Prayogo, History of Salatiga; From Military City Until The City of
Harvest’s Collective Trader 1746-1917, Undergraduate Thesis, Yogyakarta;
Department of History, Faculty of Letters, Sanata Dharma University, 2017.
The objective of this research is to answer three important questions. First,
why the identity of Salatiga has turned from Military City to The City of
Harvest’s Collective Trader. Second, how did the process of identity changing
occurred in Salatiga. Third, what is the impact of identity changing to Salatiga’s
society.
Method of this research is an archives study. The archives that consist of
documents and pictures are obtained from the archive institutions, library, and
some Salatiga’s history observers. Data analysis is done by checking the
authenticity and credibility before comparing and interpreting it.
The result of this research shows that the identity changing in Salatiga
began from Cultuurstelses that happened in Java, 1830. The system was born as
an effort to reconstruct the economic by Nederlansch Goverment that used to be
weak. Identity changing was also supported by environmental condition in
Salatiga that had capability as a region for plantation activities.
The phenomenon of the identity changing from Military City became The
city of Harvest’s Collective Trader had many impacts to Salatiga’s society. Until
this day, the impact still can be found in the region of Salatiga and its environs.
Dutch Indies country houses, plantations, and railways show that Salatiga used to
be important place in the history of Indonesian plantation’s journey.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ix
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
x
KATA PENGANTAR
Kota Salatiga merupakan kota yang ideal bagi saya, bukan karena saya
lahir dan berkembang di sana, namun terdapat banyak alasan lain yang
menyebabkan tingginya rasa senang terhadap kota tersebut. Setelah lama tinggal
dan menetap di kota ini, terdapat perasaan bangga yang selalu muncul ketika ada
kesempatan diajak membandingkan kota kelahiran dengan kota-kota lain. Selain
memilki lingkungan yang indah dan menarik perhatian, Salatiga juga memiliki
sejarah panjang yang juga menarik untuk dipelajari. Berangkat dari hal tersebut,
saya memilih sejarah Kota Salatiga sebagai topik penulisan skripsi ini dengan
tujuan selain ingin mengerti dan memahami sejarah kota kelahiran, juga ingin
menghasilkan historiografi yang memperkaya khasanah sejarah Kota Salatiga.
Skripsi mengenai Kota Salatiga yang saya tulis, sempat mengalami
beberapa kali pergantian tema dan judul. Hal ini terjadi karena banyaknya sejarah
Salatiga yang sangat menarik untuk diteliti, namun tidak semua dapat diakses
data-datanya. Setelah kurang lebih 9 bulan mencari celah dan data-data untuk
menulis sejarah kota ini, pada akhirnya saya mendapatkan bahan penelitian yang
tepat untuk skripsi saya. Proses pencarian data dan penulisan skripsi ini tidak saya
lakukan sendirian. Terdapat banyak pihak yang sangat membantu kelancaran
penelitian mengenai sejarah Kota Salatiga ini, maka dari itu, saya sebagai penulis
berterima kasih kepada:
Allah SWT yang telah melindungi, memperlancar, dan memberikan jalan
petunjuk selama proses penulisan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xi
Ibu Siti Arbiyati, atas “apapun” yang terjadi tetap memberikan
kepercayaan penuh pada anak-anaknya.
Keluarga besar Ibu Maryam yang senantiasa memberi nasihat dan
dukungan.
Segenap Dosen Jurusan Sejarah Universitas Sanata Dharma; Dr. Lucia
Juningsih, M.Hum, Drs. Silverio R. L Aji Sampurna, M.Hum, Drs. Hb
Hery Santosa, M.Hum, Dr. H. Purwanta, M.A, Dr. Yerry Wirawan, dan
Drs. Heri Priyatmoko M.A, atas segala pelajaran dan bimbingan yang
telah diberikan.
Staf sekretariat Fakultas Sastra, dan Perpustakaan Universitas Sanata
Dharma, yang telah banyak membantu kelancaran penulisan skripsi ini.
Bapak Edi Supangat selaku penulis dan pemerhati Sejarah Salatiga, Bapak
Slamet Rahardjo selaku sejarawan Salatiga, dan Bapak Bagus selaku
pengurus Arsip Daerah Kota Salatiga, atas bantuannya memberi banyak
informasi penting seputar sejarah Salatiga.
0298 Crew yang selalu memberi hiburan dan semangat baru ditengah
tuntutan perkuliahan.
Kartel Krangkungan; Hernowo Adi Saputro, Thomas Kevinar, Pade
Ainun, Jay “The old man”, Krisna Ramadhananda, Lemon, Blackyjol, dan
Yarenda, atas pengertiannya memberikan dukungan dan bantuan yang luar
biasa dalam proses pengerjaan skripsi.
Cak Rowi, atas hiburan-hiburan yang diberikan selama pengerjaan skripsi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xii
Yohanes de Britto Tambunan, Alfonsus Mario Eljiyananto, Prasetya
Bagus “Bagong”, dan Maria Puspitasari, yang selalu memberi masukan
dan bersedia diajak berdiskusi.
Teman-teman dan alumnus Jurusan Sejarah, Sastra Indonesia, dan Sastra
Inggris Universitas Sanata Dharma yang kapan saja dapat memberikan
ruang untuk belajar dan menimba pengalaman baru.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL………………………………………………… i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING…………………… ii
HALAMAN PENGESAHAN………………………………………. iii
HALAMAN PERSEMBAHAN…………………………………...... iv
HALAMAN MOTTO……………………………………………….. v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA…………………………….. vi
ABSTRAK…………………………………………………………… vii
ABSTACT…………………………………………………………… viii
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI………………….. ix
KATA PENGANTAR………………………………………………. x
DAFTAR ISI………………………………………………………… xiii
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang............................................................................ 1
B. Identifikasi & Pembatasan Masalah........................................... 7
B.1 Identifikasi Masalah............................................................. 7
B.2 Batasan Masalah.................................................................. 7
C. Rumusan Masalah...................................................................... 8
D. Tujuan Penulisan........................................................................ 8
E. Manfaat Penulisan...................................................................... 9
F. Kajian Pusataka.......................................................................... 9
G. Landasan Teori........................................................................... 12
H. Metode Penelitian....................................................................... 14
I. Sistem Penelitian....................................................................... 15
BAB II. SALATIGA SEBAGAI KOTA MILITER
TAHUN 1746-1852
A. Kondisi Lingkungan Salatiga..................................................... 17
B. Asal-usul Salatiga...................................................................... 20
C. Pembangunan Sebuah Kota....................................................... 22
D. Salatiga Sebagai Basis Militer VOC.......................................... 23
D.1 Kekuasaan VOC di Salatiga................................................ 25
D.1.2 Pembangunan Basis Militer di Salatiga........................... 26
BAB III. SALATIGA SEBAGAI KOTA MILITER HINGGA
KOTA PENGEPUL HASIL BUMI
A. Keadaan Militer di Salatiga abad ke-19..................................... 29
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiv
B. Kondisi Ekonomi Pemerintah Belanda tahun 1825-1830........ 32
B.1 Perang Melawan Pangeran Diponegoro.............................. 32
B.2 Pemberontakan Masyarakat Belgia..................................... 35
C. Solusi Untuk Mengembalikan Kondisi Keuangan
Pemerintah Belanda.................................................................... 36
C.1 Aturan Sistem Tanam Paksa................................................ 38
D. Peran Salatiga Pada Masa Sistem Tanam Paksa......................... 40
D.1 Berlakunya Undang-undang Agraria .................................. 42
BAB IV. DAMPAK SALATIGA SEBAGAI KOTA PENGEPUL
HASIL BUMI BAGI MASYARAKATNYA
A. Dampak Ekonomi....................................................................... 48
A.1 Beredarnya Uang di Salatiga............................................... 50
A.2 Kondisi Sosial Masyarakat di Salatiga................................ 52
A.3 Lahirnya Pasar Tradisional……………………………….. 54
A.4 Lahirnya Transportasi Modern............................................ 56
B. Salatiga Kota Prestisius.............................................................. 62
B.1 Salatiga Mendapat Status Sebagai Kota Praja atau
Gemeente.................................................................................... 64
BAB V. KESIMPULAN....................................................................... 68
DAFTAR PUSTAKA
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1
Bab I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Salatiga merupakan salah satu kota di Jawa Tengah yang dikelilingi oleh
beberapa kota besar, yakni Semarang, Surakarta, Magelang, dan Yogyakarta.
Letak Salatiga yang demikian, menyebabkan kota dengan luas wilayah 17,87 km²
ini mudah dijumpai ketika melakukan perjalanan ke sekitar kota-kota besar
tersebut. Selain letaknya di sekitar kota-kota besar, Salatiga yang pada tahun 2010
berpenduduk 170.332 orang ini1 berada dekat dengan gunung-gunung dan
perbukitan, antara lain Gunung Merbabu, Gunung Merapi, Gunung Telomoyo,
Bukit Andong, Bukit Kendil, dan Gunung Ungaran.
Berdasarkan letak geografis, sekitar 20% tanah yang ada di Salatiga
merupakan tanah miring dan berada pada ketinggian 525-675 meter di atas
permukaan laut, dan dengan suhu rata-rata 23-24ºC.2 Hal tersebut menjadikan
Salatiga sebagai kota yang indah dan memiliki suhu udara yang sejuk, bahkan
ketika berstatus Gemeente pada 1917, Salatiga tumbuh menjadi wilayah yang
indah dan terencana secara baik, sehingga mendapat julukan Solotigo de
Schoonste Stad van Midden Java atau Kota Terindah se Jawa Tengah.3
1Suara merdeka.com, 21 Junia 2011, Seputar Salatiga:Penduduk Miskin 8,28 Persen,
(diakses pada 16 Juni 2017 pukul 01.39 WIB) 2Suwarti, “Peran Pendudukan Militer Jepang Dalam Meningkatkan Militasi Pemuda
Salatiga 1942-1945”,Skripsi FKIP Universitas Kristen Satya Wacana, 2004, hlm 37. 3Hari Jadi Kota Salatiga 24 juli 750, Salatiga ; Pemerintah Kota Madia Tingkat II
Salatiga, 1975 hlm 33.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
Berada di sekitar kota-kota besar dan memiliki lingkungan seperti di
Eropa, menyebabkan Salatiga menjadi pilihan VOC untuk dijadikan sebagai basis
militer pada tahun 1746 dan wilayah perkebunan oleh pemerintah Hindia Belanda
setelah tahun 1830. Posisi Salatiga yang berada di jalur persimpangan kota-kota
besar dianggap oleh VOC sebagai tempat yang tepat untuk dijadikan tempat
persinggahan para pedagang. Singgahnya para pedagang tersebut, dimanfaatkan
VOC untuk mengontrol barang dagangan yang beredar di Jawa Tengah. Selain
itu, VOC juga menilai bahwa Salatiga merupakan jalur penghubung kota-kota
pedalaman Jawa Tengah dengan kota-kota Pantai Utara Jawa.4 Dengan alasan
tersebut, VOC membangun sebuah benteng bernama De Hersteller di Salatiga
pada tahun 1746.5
Pembangunan benteng tersebut merupakan awal dari dijadikannya Salatiga
sebagai Kota Militer. Berdasarkan bukti-bukti arkeologis yang ditemukan di
beberapa tempat di Salatiga, yakni bangunan-bangunan militer yang kini menjadi
Kompleks Angkatan Darat 414 dan Korem 073 Makutarama6, menunjukan bahwa
pada abad ke- 18 sudah terdapat aktivitas militer yang kuat di Salatiga. Selain
membangun benteng dan bangunan-bangunan lainnya untuk kepentingan militer,
pemerintah kolonial juga pernah menjadikan Salatiga sebagai pusat pemerintahan,
serta tempat peristirahatan bagi para pembesar dan penguasa onderneming yang
sedang melakukan perjalanan jauh. Salatiga dijadikan tempat peristirahatan karena
4Emy Wuryani, ”Distrik Salatiga 1900-1942”, Thesis Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta,
2006, hlm 26-27. 5VOC juga membangun benteng-benteng militer lain di wilayah Jawa Tengah pada abad
ke-18, seperti Benteng Van Der Wick di Gombong, dan Benteng Willem II di Ungaran. 6Suwarti, Op,cit., hlm 52.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
selain berada di jalur antar kota, kota ini memiliki udara sejuk yang disukai oleh
orang-orang Eropa.7
Benteng militer De Hersteller dibangun untuk mengawasi jalur
perdagangan. Hal tersebut merupakan sebuah usaha VOC untuk menjamin
keamanan dan kelancaran kegiatan lalu lintas perdagangan dari pedalaman Jawa
Tengah sampai Pantai Utara, sehingga ketika terjadi sebuah ancaman di jalur
perdagangan mereka, dengan mudah pasukan militer datang untuk mengatasinya.
Pembangunan benteng ini juga tidak terlepas dari peristiwa Geger Pacinan.
Seperti yang diketahui bahwa Salatiga pernah dikuasai oleh pasukan gabungan
pada tahun 1742, sehingga setelah hal tersebut berlalu VOC merasa perlu
membangun basis militer di kota tersebut.8
Keberadaan benteng De Hersteller mulai diabaikan oleh pemerintah Hindia
Belanda pada awal abad 19. Benteng tersebut terletak di sebuah dataran yang
lebih tinggi daripada wilayah yang disekitarnya, sehingga menyebabkan
terganggunya sistem pengairan di dalam benteng tersebut. Pada tahun 1857,
benteng megah tersebut dirubuhkan oleh pemerintah Hindia Belanda, dan
kemudian diganti dengan mendirikan tangsi-tangsi yang berintikan pasukan
kavaleri dan gedung perkantoran di bagian barat sebuah lapangan yang berada di
wilayah bekas benteng De Hersteller pada tahun 1885. Tangsi ini dilengkapi
7Kantor Statistik Kodya Salatiga, 1893, Monografi Kotamadya Salatiga 1893, hlm 3-4.
8Daradjadi, Geger Pacinan 1740-1743, Jakarta, Kompas Media Nusantara, 2013, hlm
219.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
dengan sistem sanitasi di tempat pemukiman dan kandang kuda dengan sumber
air dari Senjoyo9, yang merupakan salah satu mata air besar di Salatiga.
Pada tahun 1830, secara perlahan Sistem Tanam Paksa mulai
diperkenalkan di Pulau Jawa, termasuk Salatiga dan sekitarnya. Hal ini terjadi
setelah Johanes van den Bosch yang ditunjuk oleh Raja Belanda sebagai pencari
solusi dari masalah keuangan Belanda, menyampaikan kepada Raja Belanda
tentang usulan-usulan yang kelak disebut Cultuurstelsel pada tahun 1829.10
Pemerintah Hindia Belanda mengembangkan fokus mereka di sekitar Salatiga dari
bidang militer ke bidang perkebunan. Kondisi lingkungan Salatiga dan sekitarnya
yang berada di ketinggian 525-675 meter diatas permukaan laut dan memiliki
suhu yang baik untuk tanaman, menyebabkan wilayah di sekitar Salatiga
dijadikan pusat sejumlah perkebunan oleh pemerintah kolonial. Perkebunan-
perkebunan tersebut berada di Getas, Ngasinan, Tlogo, Noborejo, Gebugan,
Banaran, Barukan, Gesangan, dan Mblambang Ampel.11
Seluruh hasil bumi yang
berasal dari perkebunan-perkebunan tersebut dikumpulkan di Salatiga, sebelum
kemudian dikirim ke Semarang. Salatiga dipilih sebagai Kota Pengepul12
Hasil
Bumi karena letaknya yang berdekatan dengan perkebunan, dan pada saat itu
9Mata air senjoyo adalah mata iar yang terletak di Salatiga. Debit air yang keluar dari air
mata ini cukup besar, sebagian airnya digunakan oleh PDAM Salatiga dan sebagian masuk ke
saluran irigasi, dan selebihnya mengalir di beberapa sungai Senjoyo dan menyebar ke seluruh
wilayah Salatiga. Daerah recharge mata air ini meliputi lereng timut Gunung Merbabu, yang
merupakan daerah resapan porus dengan luar sekitar 40 km2, yang menyimpan air hujan selama
musim hujan dan dikeluarkan di Mata Air Senjoyo. 10
M.C. Ricklef, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, Jakarta, Serambi Ilmu Semesta,
2008, hlm 260. 11
Karyono, “Studi Tentang Perkembangan Kota Kolonial 1917-1942”, Thesis, Pasca
Sarjana UGM, Yogyakarta, 2002, hlm 2-3. 12
Dalam istilah perdagangan, pengepul adalah bandar dagang yang tugasnya
mengumpulkan barang-barang yang kemudian dijual atau didistribusikan ke tempat lain.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
dianggap aman oleh pemerintah kolonial karena ada kekuatan militer di kota
tersebut.
Apabila dilihat dengan batas-batas wilayah kota Salatiga saat ini,
perkebunan-perkebunan tersebut bukan berada atau tidak merupakan bagian dari
kota Salatiga yang saat ini statusnya adalah Kotamadya. Pada periode sebelum
Salatiga diangkat menjadi Gemeente atau Kota Praja, yaitu pada tahun 1917,
Salatiga pernah berstatus kota kabupaten hingga tahun 1895, dan kemudian
menjadi wilayah kabupaten Semarang, atau dikenal dengan sebutan Afdeeling,
yaitu anak daerah dari Kota Semarang. Ketika Salatiga menjadi kota kabupaten,
perkebunan-perkebunan sudah mulai berkembang di wilayah tersebut, namun
tidak di wilayah pusat kota melainkan di daerah pinggiran yang masih merupakan
bagian dari wilayah kabupaten.
Masyarakat sekitar Salatiga tidak bisa membedakan atau melihat batas-
batas wilayah pada waktu itu, sehingga perkebunan yang berada di pinggiran atau
di luar Salatiga, tetap saja disebut dan dinyatakan berada di wilayah Salatiga. Hal
tersebut tidak lepas dari ketenaran Salatiga ketimbang wilayah-wilayah di
sekitarnya pada waktu itu, sehingga banyak yang menganggap dulunya Salatiga
juga merupakan Kota Perkebunan.
Pada tahun 1867 pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk membuat
jalur kereta api yang diawali dari Semarang. Pembuatan jalaur kereta api tersebut
merupakan salah satu akibat dari hasil bumi yang terus menumpuk di Salatiga.
Hingga tahun 1900, terdapat 32 buah perkebunan. Maraknya pertumbuhan
perkebunan di sekitar Salatiga, membuat semakin banyak orang kulit putih
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
datang dan membangun rumah di wilayah perkotaan Salatiga. Mereka yang
datang ke Salatiga, biasanya adalah orang-orang yang ditugaskan oleh pemerinah
Belanda untuk mengelola perkebunan di tempat tersebut. Kehadiran rumah-rumah
bergaya arsitektur Eropa di Salatiga membuat perkebunan-perkebunan di
sekitarnya menjadi tampak menawan.13
Berkembangnya Salatiga menjadi kota dengan hasil bumi yang melimpah,
tidak mengubah kekuatan militer yang ada pada kota ini. Pemerintah Hindia
Belanda tetap membangun bangunan militer untuk kepentingan mereka pada
tahun 1830. Bangunan militer ini berupa benteng yang diberi nama Fort Hock.
Benteng yang berukuran 1.000 meter persegi di atas tanah seluas 20.000 meter
persegi ini sejak awal hanya difungsikan untuk asrama prajurit pemerintah, bukan
untuk fasilitas pertahanan wilayah.14
Pada tahun 1947 hingga sekarang, benteng
ini menjadi Kantor Polisi Lalu Lintas (Polantas), yang letaknya di tepi Jalan
Diponegoro, jalur utama Kota Salatiga menuju Kota Semarang. Kondisinya saat
ini mungkin sudah tidak sebaik pada masanya, namun pemerintah dan pihak
kepolisian merawat bangunan tersebut dengan menggunakannya sebagai kantor
yang digunakan untuk mengurus segala sesuatu mengenai surat ijin mengendarai
kendaraan bermotor.
Salatiga menjadi menarik karena sebuah kota yang kecil wilayahnya dan
jumlah penduduk yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan kota-kota
sekitarnya, ternyata pernah menjadi kota yang kuat secara militer dan kemudian
menonjol di bidang perkebunan pada periode 1746 hingga 1900-an. Tidak banyak
13
Edi Supangat, Galeria Salatiga, Salatiga, Griya Media, 2010, hlm 23. 14
Ibid, hlm 158.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
yang mengetahui bahwa Salatiga yang memiliki keindahan di beberapa
wilayahnya, merupakan kota yang di dalamnya memiliki kekuatan militer yang
kuat, dan tidak banyak yang mengetahui juga bahwa Salatiga yang kini menjadi
sasaran bisnis dan lekat dengan pertokoan, dahulu pernah menjadi kota yang
memiliki hasil bumi yang sangat melimpah.
B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah
B.1 Identifikasi Masalah
VOC memilih Salatiga sebagai basis militer pada tahun 1746. Salatiga
yang berada di wilayah strategis, yaitu persimpangan jalur kota-kota besar di Jawa
Tengah, merupakan salah satu alasan VOC membangun kekuatan militer di
tempat tersebut. Basis militer ini difungsikan untuk menjaga keamanan jalur
perdagangan mereka di Jawa Tengah hingga pantai utara Jawa. Selain letaknya
yang strategis, keadaan alam di Salatiga yang sejuk juga mempengaruhi VOC
untuk memilih tempat tersebut sebagai tempat transit para pedagang dan pejabat
kolonial. Pada tahun 1830 pemerintah Hindia Belanda memberlakukan Sistem
Tanam Paksa di Jawa. Peristiwa tersebut merupakan titik awal lahirnya
perkebunan-perkebunan di sekitar Salatiga. Sistem tersebut dibangun sebagai
usaha rekondisi perekonomian mereka pasca perang melawan Pangeran
Diponegoro, pemisahan wilayah oleh masyarakat Belgia di Belanda, dan beberapa
masalah lainnya yang mereka alami di Eropa.
B.2 Pembatasan Masalah
Penulisan ini dimulai pada tahun 1746 dimana Salatiga mulai mendapat
julukan sebagai Kota Militer, yang ditandai dengan dibangunnya sebuah benteng
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
bernama De Hersteller. Setelah membahas latar belakang mengapa Salatiga
menjadi Kota Militer, akan dibahas tentang proses perubahan Salatiga sebelum
menjadi Kota Pengepul Hasil Bumi pada pertengahan abad ke-19. Tahun 1830
merupakan titik berangkat Salatiga menjadi Kota Pengepul Hasil Bumi. Hal
tersebut merupakan akibat dari banyaknya perkebunan di sekitarnya yang terus
berkembang di tahun-tahun berikutnya. Dampak dari perubahan identitas tersebut
bagi masyarakat Salatiga akan dibahas hingga tahun 1917.
C. Perumusan Masalah
Berangkat dari uraian di atas, lahir beberapa permasalahan untuk menjadi
fokus dalam penelitian ini;
1. Mengapa Salatiga mengalami perubahan identitas dari Kota Militer
menjadi Kota Pengepul Hasil Bumi?
2. Bagaimana proses perubahan identitas Salatiga dari Kota Militer ke
Kota Pengepul Hasil Bumi?
3. Apa saja dampak Salatiga sebagai Kota Pengepul Hasil Bumi bagi
masyarakatnya hingga tahun 1917?
D. Tujuan Penulisan
1. Menjelaskan perubahan identitas Kota Salatiga dari Kota Militer
menjadi Kota Pengepul Hasil Bumi.
2. Menjelaskan proses perubahan identitas Salatiga dari Kota Militer
menjadi Kota Pengepul Hasil Bumi.
3. Memaparkan dampak dari perubahan identitas kota bagi masyarakat
Salatiga.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
E. Manfaat Penelitian
Penelitian yang membahas salah satu sejarah Salatiga ini memiliki
beberapa manfaat. Pertama, secara keilmuan, penelitian ini memberi sumbangan
terhadap penulisan sejarah lokal yang mengenai perubahan sebuah identitas kota.
Kedua, bagi mahasiswa ilmu sejarah dan pemerhati sejarah, penelitian ini dapat
menambah wawasan tentang pengetahuan yang berkaitan dengan perubahan
sebuah identitas kota. Ketiga, bagi masyarakat umum hasil penelitian dapat
digunakan untuk membantu mereka yang ingin memahami sejarah Salatiga pada
periode 1746-1917.
F. Kajian Pustaka
Terdapat beberapa kajian tentang sejarah Kota Salatiga, antara lain yang
dilakukan oleh Eddy Supangat yang berjudul Salatiga Sketsa Kota15
dan Galeria
Salatiga16
. Buku Salatiga Sketsa Kota Lama memaparkan kondisi dan suasana
Salatiga pada periode kolonial, menjelaskan bangunan dan jalan-jalan era kolonial
dan pasca proklamasi, serta menceritakan beberapa tokoh yang memiliki prestasi
di ranah nasional yang berasal dari Salatiga. Buku ini membahas tentang Salatiga
sebagai Kota Militer dan Kota Perkebunan, namun tidak menjelaskan secara
mendalam mengenai proses perubahannya.
Dalam karyanya yang lain berjudul Galeria Salatiga, Edy Supangat juga
banyak menjelaskan tentang gedung dan jalan di Salatiga, namun yang
membedakan dari Salatiga Sketsa Kota Lama adalah jumlah foto yang disuguhkan
di buku tersebut. Galeria Salatiga memiliki banyak foto tentang bangunan, jalan,
15Edi Supangat, Salatiga Sketsa Kota Lama, Salatiga, Griya Media, 2010.
16Edi Supangat, Galeria Salatiga, Salatiga, Griya Media, 2010.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
dan kondisi Salatiga pada periode kolonial, tetapi dengan periode yang kurang
jelas dan tidak kronologis. Buku ini juga memperlihatkan Salatiga sebagai Kota
Militer dan Kota Perkebunan, namun seperti buku tentang Salatiga yang dibuat
sebelumnya, Edy Supangat tidak menjelaskan secara mendalam bagaimana proses
perubahan Kota militer menjadi Kota Perkebunan, ia hanya memberikan tahun
dimana perkebunan mulai tumbuh di Salatiga.
Selain kedua buku tersebut, terdapat sejumlah skripsi dan tesis yang juga
membahas mengenai Sejarah Salatiga yang tidak dibahas oleh Edy Supangat.
Skripsi berjudul “Peranan Pendudukan Militer Jepang dalam meningkatkan
Militansi Pemuda Salatiga 1942-1945”17
yang ditulis oleh Suwarti, menjelaskan
pendudukan Jepang di Jawa, dan terutama di Salatiga. Suwarti banyak
menjelaskan bagaimana pendudukan militer Jepang di Salatiga dan bagaimana
peran mereka di kota kecil tersebut. Ia juga memaparkan kondisi geografis dan
pemerintahan kolonial Salatiga hingga tahun 1917. Dalam skripsi ini, sejarah
transportasi darat seperti kereta api di sekitar Salatiga yang merupakan dampak
dari kebijakan adanya perkebunan tidak dibicarakan, namun kemudian dibahas
secara baik oleh Sindie Astuti dalam skripsinya yang berjudul “Sejarah
Transportasi Kereta Api di Karesidenan Semarang Tahun 1870-1900”18
. Dalam
skripsi ini dijelaskan sejarah munculnya perusahaan kereta api di wilayah sekitar
Salatiga yang diawali dari Semarang. Jika Sindie Astuti hanya bicara kereta api di
wilayah sekitar Salatiga, terdapat skripsi yang ditulis oleh Mia Nuraini dengan
17
Suwarti, “Peranan Pendudukan Militer Jepang dalam Meningkatkan Militasi Pemuda
Salatiga 1942-1945”, Skripsi, Program Studi Sejarah,FKIP-UKSW, Salatiga, 2004. 18
Sindie Astuti, “Sejarah Transportasi Kereta Api di Karesidenan Semarang Tahun 1870-
1900”, Skripsi, Program Studi Sejarah, FKIP-UKSW, Salatiga, 2012.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
judul “Perkembangan Transportasi di Salatiga Tahun 1900-1942”19
, yang
menjelaskan tentang transportasi dan aktivitas ekonomi di Salatiga periode
tersebut sebagai dampak dari perkebunan swasta yang telah berkembang.
Selain beberapa skripsi di atas, ada dua tesis yang juga membahas sejarah
Salatiga periode kolonial. Tesis yang pertama ditulis oleh Emy Wuryani dengan
judul “Distrik Salatiga 1900-1942”20
. Dalam tesisnya, selain banyak membahas
Kota Salatiga periode tersebut, Emy juga memberikan gambaran mengenai
Salatiga yang pernah menjadi Kota Militer. Tesis ini tidak banyak memberikan
pembahasan tentang perkebunan, namun dibahas dalam tesis lain milik Karyono
yang berjudul “Studi Tentang Perkembangan Kota Kolonial 1917-1942”21
. Selain
menjelaskan perkembangan-perkembangan kota akibat kebijakan kolonial,
Karyono juga membahas perkebunan-perkebunan di Salatiga dan sekitarnya.
Kajian-kajian tersebut di atas, meski sama-sama membahas tentang Kota
Salatiga pada periode kolonial, terdapat kekurangan seperti sedikitnya
pembahasan mengenai proses perjalanan Salatiga dari Kota Militer menjadi Kota
Hasil Bumi. Kekurangan tersebut akan dibahas dalam penelitian ini dengan
menjelaskan bagaimana proses Salatiga mengalami perubahan identitas dari Kota
Militer ke Kota Pengepul Hasil Bumi. Berbeda dengan kajian-kajian yang ada di
atas, penelitian ini akan menggunakan istilah Salatiga sebagai Kota Pengepul
19
Mia Nuraini, Skripsi, “Perkembangan Transportasi di Salatiga Tahun 1900-1942”,
Program Studi Sejarah, FKIP-UKSW, Salatiga, 2012. 20
Emy Wuryani, ”Distrik Salatiga 1900-1942”, Thesis Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta,
2006. 21
Karyono, “Studi Tentang Perkembangan Kota Kolonial 1917-1942”, Thesis Pasca
Sarjana UGM, Yogyakarta, 2002.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
Hasil Bumi, bukan Kota Perkebunan, dengan alasan melihat letak perkebunan-
perkebunan yang ada pada periode kolonial.
G. Landasan Teori
Konsep Kota Menurut John Brickerhoff Jackon tahun 1984 adalah sebuah
manifestasi dari perencanaan dan perancangan yang dipenuhi oleh berbagai unsur
seperti bangunan, jalan, dan ruang terbuka hijau.22
Dengan melihat tiga unsur
tersebut untuk membangun sebuah kota, tentu akan berimbas pada identitas kota
yang nantinya dibangun. Kota sebagai suatu lingkungan fisik memiliki berbagai
aspek yang dapat mengangkat, mengembangkan dan mencirikan kota itu sendiri,
seperti nilai historis dan aspek-aspek yang bersifat faktual lainnya yang
membuahkan suatu identitas bagi kota.23
Menurut Kevin Lynch, kota yang memiliki identitas yang spesifik dapat
digunakan untuk membedakan suatu tempat dengan tempat lainnya. Dalam hal ini
masing-masing lingkungan tentu memiliki identitas, sesuatu yang melahirkan
karakter yang membedakan dengan kota lainnya. Memahami citra dan identitas
kota tidak hanya berorientasi pada keberadaan elemen-elemen fisik maupun
kejelasan struktur kotanya namun yang lebih penting bagaimana keberjalinan
antara manusia dengan artefak fisik dapat terbangun.24
Kota bisa berkembang diikuti pertambahan populasi dan bentuk fisiknya.
Tentu hal ini juga memiliki dampak pada identitas. Karena identitas dapat
22
Aida Izzul Imah, Konsep dan Pengertian Kota Menurut Para Ahli, Academia.edu, hlm
3. (diakses pada 14 Mei 2017 pukul 22.19 WIB) 23
Kabupung, Sonny Fernando, “Studi Citra Kota Maumere di Nusa Tenggara Timur”,
Thesis UAJY, Yogyakarta, 2012, hlm 43. 24
I Wayan Yudi Artana, Transformasi Struktur dan Kultural Masyarakat Peri Urban
Badung Dalam Pembentukan Identitas Kekotaannya.Transformasi Spasial; Determinan
Perubahan Struktur dan Kultural Peri Urban Badung, Jurnal, hlm 4.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
berwujud bermacam-macam,tidak metutup kemungkinan bahwa perkembangan
kota bisa melahirkan identitas baru. Identitas kota atau kawasan tidak harus
merupakan suatu hal yang selalu sama. Tidak bisa dipungkiri, bahwa kota mampu
berkembang menjadi kota yang lebih besar, kota yang lebih baik maupun menjadi
kota yang lebih buruk. Hal ini memungkinkan pudarnya identitas yang melekat
sebelumnya pada suatu kota oleh sesuatu yang baru. Misalnya, identitas fisik
suatu kawasan bisa berubah dengan adanya pembangunan-pembangunan yang
bersifat fisik pada kawasan tersebut.
Dibangunnya Salatiga sebagai Kota Militer tidak lepas dari apa yang telah
disampaikan oleh John Brickerhoff Jackon, bahwa kota dibangun karena unsur
bangunan, jalan, dan ruang hijau terbuka. Unsur jalan yang dimaksud adalah
Salatiga berada di wilayah yang strategis karena berada di jalan persimpangan
menuju kota-kota besar, serta berada di wilayah gunung dan perbukitan. Kota
yang seperti ini dimanfaatkan oleh VOC sebagai kota untuk mengawasi jalur
perdagangan dan sebagai kota untuk bertahan dari ancaman pihak luar. VOC
membangun benteng dan bangunan-bangunan yang dipenuhi oleh para prajurit.
Banyaknya aktivitas militer di Salatiga pada periode 1746, berimbas pada
identitas Salatiga sebagai Kota Militer.
Pada periode pemerintahan Hindia Belanda unsur ruang terbuka hijau dan
berada di sekitar gunung dan perbukitan, menyebabkan perkembangan identitas
Salatiga sebagai Kota Pengepul Hasil Bumi. Udara yang sejuk dan banyaknya
lahan terbuka di kota tersebut menyebabkan Salatiga dan sekitarnya dimanfaatkan
oleh pemerintah kolonial sebagai penghasil tanaman komoditas dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
banyaknya perkebunan yang dibangun di berbagai wilayah pinggiran Salatiga. Hal
tersebut merupakan bentuk usaha merekondisi keuangan mereka yang sempat
turun. Identitas sebagai Kota Pengepul Hasil Bumi didapat karena Salatiga
merupakan wilayah untuk menampung hasil bumi dari perkebunan-perkebunan di
sekitarnya, sebelum dikirim ke Semarang.
H. Metode Penelitian
Menurut Kuntowijoyo, penulisan sejarah mempunyai lima tahap, yaitu
pemilihan topik, pengumpulan sumber, verifikasi data atau kritik sumber,
interpretasi, penulisan.25
Tahap pertama adalah pemilihan topik. Pemilihan topik
mengenai Salatiga sebagai Kota Militer dan perubahannya menjadi Kota Pengepul
Hasil Bumi berawal dari kedekatan personal dan kedekatan intelektual dengan
kota tersebut, sehingga ingin menulis sesuatu tentang kota kelahiran. Salatiga
memiliki banyak sejarah yang menarik untuk dibahas, terlebih topik yang dipilih
belum banyak yang membahas secara mendalam.
Setelah pemilihan topik, tahap kedua yang dilakukan adalah pengumpulan
sumber. Penelitian ini banyak menggunakan studi pustaka sebagai sumber, seperti
buku-buku sejarah, arsip, skripsi, jurnal, tesis, dan artikel-artikel tentang Salatiga.
Sumber-sumber tersebut dapat diakses melalui media online seperti suara
merdeka.com, salatiga.nl, repository.uksw, dan PTPN IX Getas - Salatiga. Selain
media online, sumber-sumber yang telah didipakai juga didapatkan di
perpustakaan, dan mendatangi langsung institusi yang bersangkutan seperti Arsip
Nasional di Jakarta, Arsip Daerah Semarang, dan Arsip Daerah Salatiga. Setelah
datang ke institusi-institusi di atas, tidak banyak data mengenai sejarah Salatiga
25
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta, Tiara Wacana, 2013, hlm 69.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
yang dapat diakses. Meskti demikian, ditemukan foto-foto tentang Salatiga era
kolonial yang didapat dari kantor-kantor arsip yang telah dikunjungi. Foto-foto
tersebut membantu menjelaskan peristiwa-peristiwa yang ada di kota Salatiga.
Setelah proses pengumpulan data dilakukan, maka langkah berikutnya
adalah melakukan kritik sumber. Kritik sumber dibagi menjadi dua bagian. Yang
pertama adalah kritik eksternal, yaitu memperhatikan otentisitas atau keaslian
sumber, misalnya dengan melihat kondisi fisik sebuah foto yang telah diperoleh,
apakah kertas foto tersebut sama dengan tahun dimana foto tersebut diambil.
Yang kedua adalah kritik internal, yaitu memperhatikan kredibilitas isi sumber
dengan peristiwa sejarah yang diteliti dapat dipercaya atau tidak. Data-data yang
telah diverifikasi, kemudian dibaca secara menyeluruh dalam tahapan interpretasi.
Dari pembacaan tersebut baru kemudian diperoleh makna mengenai data-data
yang telah didapat. Data-data yang telah diuji kebenarannya, kemudian
diinterpretasikan dan dijadikan bahan penulisan sejarah atau disebut juga dengan
tahap historiografi.
I. Sistematika Penulisan
Penelitian ini akan ditulis ke dalam lima Bab. Diawali dengan Bab I, yang
berisi pendahuluan, yakni latar belakang masalah, identifikasi dan pembatasan
masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, landasan teori, tinjauan
pustaka berisi sumber-sumber yang dipergunakan dalam penelitian, metode yang
digunakan untuk penelitian, dan sistematika penulisan.
Dalam Bab II dibahas hubungan letak Salatiga secara geografis dan
klimatologis dengan basis militer yang didirikan oleh VOC di kota tersebut pada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
tahun 1746. Pada bab III, dibahas bagaimana proses perjalanan Salatiga dari Kota
Militer menjadi Kota Hasil Bumi setelah tahun 1830.
Setelah menjadi Kota Pengepul Hasil Bumi, di dalam Bab IV akan
dijelaskan dampak yang terjadi akibat perubahan tersebut bagi masyarakat
Salatiga hingga tahun 1917, seperti dampak ekonomi, sosial, dan trasnportasi di
kota tersebut. Sebagai penutup, di bab V berisi kesimpulan yang merupakan
jawaban atas perumusan masalah yang telah disampaikan di bab pendahuluan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
BAB II
Salatiga sebagai Kota Militer tahun 1746-1852
A. Kondisi lingkungan Salatiga
Secara geografis Salatiga terletak di kaki Gunung Merbabu di Provinsi
Jawa Tengah dengan titik kordinat 7°.16’ .4” -- 7°.21’ .48” garis Lintang Selatan
dan 110°.29’ .39” -- 110° .32’ .79” garis Bujur Timur.26
Wilayah yang berbatasan
sepenuhnya dengan Kabupaten Semarang ini memiliki luas wilayah 5.678,11 Ha.
Salatiga berada di jalan utama yang menghubungkan Kota Semarang dan Kota
Surakarta. Jarak Salatiga dengan Kota Semarang adalah 49km, sedangkan jarak
Salatiga dengan Kota Surakarta adalah 52 km. Dari jarak tersebut Salatiga hampir
berada di tengah-tengah antara Kota Semarang dan Kota Surakarta, sehingga
ketika melakukan perjalanan dari atau menuju ke dua kota tersebut, maka akan
menjumpai Salatiga di tengah-tengah perjalanan.
Dari segi klimatologi, daerah ini dibagi menjadi dua golongan, yaitu
daerah pegunungan dengan ketinggian di atas 900 meter dari permukaan laut yang
rata-rata hawanya dingin dengan suhu 19°C dan daerah dataran dan bergelombang
yang berketinggian di atas 900 meter hingga 500 meter dari permukaan laut
dengan hawa yang sejuk dengan suhu 24°C. Di musim panas, udara Salatiga tidak
begitu panas, karena letaknya yang berada di sekitar kaki gunung dengan suhu
26
Chusnul Hajati, dkk., Peranan Masyarakat Desa di Jawa Tengah Dalam Perjuangan
Kemerdekaan Tahun 1945-1949; Daerah Kendal dan Salatiga, Proyek Inventaris dan
Dokumentasi Sejarah Nasional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Jakarta, 1996, hlm 97.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
rata-rata daerah ini antara 17,5°C hingga 28°C.27
Letak Kota Salatiga dapat dilihat
dalam peta Jawa Tengah berikut ini;
Peta 1. Peta Provinsi Jawa Tengah.
Sumber; www.kopi-ireng.com/2016/11/peta-jawa-tengah-lengkap-beserta-kabupaten-
dan-kota.html (diakses pada 17 Januari 2017)
Peta diatas menunjukan Salatiga (warna merah muda) dikelilingi oleh
Kabupaten Semarang. Salatiga terdiri dari 4 kecamatan, yakni Kecamatan
Argomulyo, Kecamatan Tingkir, Kecamatan Sidomukti, dan Kecamatan Sidorejo.
Salatiga yang kini berstatus sebagai Kotamadya berbatasan langsung dengan
kecamatan-kecamatan yang termasuk dalam wilayah Kabupaten Semarang, yakni
Kecamatan Pabelan (Desa Pabelan dan Pejanten) dan Kecamatan Tuntang
(Kesongo dan Watu Agung) di sebelah utara, sebelah timur berbatasan dengan
Kecamatan Pabelan (Ujung-Ujung, Sukoharjo, Glawang) dan Kecamatan
Tengaran (Bener, Tegal Waton, Nyamat), sebelah selatan berbatasan dengan
Kecamatan Getasan (Sumogawe, Samirono, Jetak) serta Kecamatan Tengaran
27
Chusnul Hajati, dkk.,Loc,cit.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
(Patemon, Karang Duren), dan di sebelah barat, Salatiga berbatasan dengan
Kecamatan Tuntang (Candirejo, Jombor, Sraten, Gedongan) dan Kecamatan
Getas (Desa Polobogo).28
Peta Salatiga dan batas-batasnya dapat dilihat dalam peta
berikut ini;
Peta 2. Peta Kota Salatiga.
Sumber; Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Salatiga Tahun 2010-1030, Pemerintah
Kota Salatiga
Secara Geomorfologi, Salatiga berada di daerah kaki Gunung Merbabu dan
gunung-gunung kecil lainnya, yakni Gajah Mungkur, Telomoyo, Andong, Kendil,
Payung, dan Rong, dengan struktur tanah yang terdiri dari tanah datar (0-20%),
28
Lampiran Peraturan Walikota Salatiga nomor 10 Tahun 2016, Rencana Kerja
Pemerintah Daerah (RKPD) tahun 2015, Pemerintah Kota Salatiga, 2016, hlm 16.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
tanah bergelombang (2-15%), tanah curam (15-40%), dan sangat curam (40%)29
.
Sebagian besar tanah di Salatiga terbentuk dari bahan vulkanis, terutama tufa30
dan abu vulkanis yang mudah lapuk, sehingga tanah mudah diresapi oleh air. Jenis
tanah dan suhu yang seperti ini cocok untuk ditanami sayur-sayuran, buah-
buahan, tanaman bunga. Kegiatan bertanam di Salatiga juga didukung oleh
adanya potensi hidrologi yang cukup besar, selain mata air Senjoyo yang dikenal
cukup besar, ada tiga sumber air lain di Salatiga, yakni Kalitaman, Kalisombo,
dan Benoyo.31
B. Asal-usul Salatiga
Sejarah mengenai asal-usul Salatiga terdapat dalam sebuah prasasti yang
bernama Plumpungan.32
Prasasti ini berada di Kauman Kidul, Sidorejo, daerah
yang tidak jauh dari pusat kota Salatiga. Berdasarkan prasasti tersebut, Hampra
atau yang saat ini dikenal dengan Salatiga ada sejak tahun 750 Masehi.33
Salatiga
yang pada waktu itu merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram Kuno
disebut sebagai wilayah perdikan. Perdikan adalah wilayah yang dibebaskan dari
segala kewajiban pajak atau upeti karena memiliki keistimewaan tertentu sesuai
dengan perintah kerajaan. Selain karena keistimewaannya, pemberian tanah
perdikan kepada suatu wilayah merupakan sebuah kebijakan seorang pemimpin
29
Eye Mualif, ”Pengembangan Sektor Pertanian di Kota Salatiga Dengan Pendekatan
Tipologi Klassen”, Skripsi, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2010, hlm
28. 30
Tufa adalah endapan dari sumber air panas dan debu vulkanik yang terbentuk ketika
terjadi letusan gunung. 31
Chusnul Hajati, dkk.,Op Cit., hlm 98. 32
Batu Plumpungan merupakan batu jenis andesit dengan ukuran panjang 170 cm, lebar
160 cm, dan garis lingkar 5 m. 33
Asmara Dewi, dkk, Kajian dan Identifikasi Bangunan Bersejarah, Bapeda Kota
Salatiga dan BP3 Jawa Tengah, 2009,hlm 7.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
untuk mensejahterakan rakyatnya.34
Raja yang memiliki kuasa atas Hampra pada
waktu itu bernama Raja Bhanu. Ia adalah raja pertama dan pendiri Dinasti
Syailendra Mahayana, yang kemudian berkuasa di Kerajaan Mataram Kuno. Raja
Bhanu adalah orang yang memberikan hadiah berupa status perdikan kepada
Hampra atau Salatiga demi mensejahterakan rakyatnya yang tinggal daerah
tersebut.
Raja Bhanu pada saat itu terkenal sebagai pemimpin yang
mempertemukan relasi agama dan negara, khususnya di daerah Hampra. Dalam
Prasasti Plumpungan, Raja Bhanu menulis sebuah mandat tentang tanah perdikan,
yang isinya sebagai berikut;
//Srīr = astu swasti prajābyah śakakālātīta 672/4/31/..(..)
maddhyāham //O//
//dharmmārthaṃ kṣetradānaṃ yad = udayajananaṃ yo
dadātiśabhaktya
hampragramaṃ trigrāmyamahitaṃ = anumatam sīddhadewyāśca
tasyāh
kośāmrāgrāwalekhāksarawidhiwidhita prāntasimāwidhānam
tasyaitad = bhānunāmno bhuwi bhawatu yaśo jiwitamcaiwa nityam35
Pengertian dari tulisan di atas adalah Raja Bhanu menuliskan sebuah
mandat untuk menjadikan desa Hampra yang berada di wilayah Trigramyama
sebagai daerah perdikan. Pemberian status perdikan kepada desa Hampra
merupakan dampak dari adanya bangunan suci untuk memuja Siddha Dewi di
daerah tersebut. Masyarakat Hampra tidak lagi harus membayar pajak kepada
penguasa, karena telah merawat bangunan suci Siddha Dewi.
34
Hati Beriman, Belajar dari Kepemimpinan Raja Bhanu, Majalah Berita Warga Kota
Salatiga, Edisi III Tahun 2007, hlm 5. 35
Asmara Dewi, Loc, cit.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
Tulisan dalam prasasti tersebut juga menjadi dasar untuk penetapan hari
jadi Kota Hampra atau Salatiga yaitu pada 24 juli tahun 750 Masehi.Ketetapan
tanggal tersebut disahkan dengan Peraturan Daerah Tingkat II Salatiga Nomor 15
Tahun 1995, yang kemudian menjadi tanggal Hari Jadi Kota Salatiga. Diceritakan
dalam sejarah lisan yang populer di Salatiga, bahwa perubahan nama Hampra
menjadi Salatiga merupakan akibat dari adanya 3 kesalahan yang dilakukan oleh
Pandanaran dan istrinya ketika sedang melakukan perjalanan dari Semarang
menuju ke Selatan. Kesalahan-kesalahan tersebut terjadi di suatu tempat yang
tidak jauh dari Semarang, sehingga Sunan Kalijaga yang merupakan guru dari
Pandanaran menamani tempat tersebut menjadi Salah Tiga atau Salatiga. Ada juga
yang beranggapan bahwa nama Salatiga memang sudah tertera di dalam Prasasti
Plumpungan. Pendapat-pendapat lain mengatakan bahwa nama Salatiga tertera
dalam prasasti dengan kata Tri Sala, Tri Gramya, dan Tri Gostya, yang kemudian
menjadi Salatiga.
C. Pembangunan Sebuah Kota
Posisi kota terbentuk dari hubungan antara kota dengan berbagai alam di
sekitarnya, baik di masa lampau maupun di masa sekarang, yang kemudian
mempengaruhi perkembangan di kota tersebut.36
Posisi merupakan suatu
pengertian mengenai nilai-nilai yang bersifat relatif yang perumusannya
didasarkan atas faktor-faktor kenyataan dari gejala urbanisasi dan proses
perkembangan kota. Lokasi pemilihan sebuah kota ditentukan oleh kerangka
topografis yang dimiliki oleh kota sejak didirikan. Dalam pertumbuhannya, kota
36
Daldjoeni, Seluk Beluk Masyarakat Kota (Pusparagan Sosiologi Kota dan Ekologi
Kota), Bandung, Penerbit Alumni, 1978, hlm 104.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
dapat bergeser fungsi atau perannya berdasarkan perkembangan jaman, seperti
menjadi kota sebagai pusat pemerintahan kemudian berkembang menjadi pusat
pertahanan militer, atau pusat aktivitas perdagangan.37
Selain faktor alam yang menjadi menentu dibangunnya sebuah kota atau
lahirnya peran dalam sebuah kota, terdapat faktor lain yakni jaringan lalu lintas.
Lalu lintas merupakan jaminan pelaksanaan pindahnya manusia dan barang-
barang. Berkembangnya suatu aktivitas perdagangan selalu dipengaruhi oleh
pentingnya peran jalan raya sebagai tempat berlangsungnya aktivitas keluar
masuk barang-barang mentah ataupun produksi. Kota yang berada di
persimpangan jalan raya memberikan keleluasaan kepada pengangkutan dan
pemasaran barang. Berdasarkan kepentingannya, kemudian terjadi pembagian atas
jaringan jalan raya berdasarkan strategi ekonomi, pemerintah, atau militer.38
D. Salatiga sebagai Basis Militer VOC
Letak dan kondisi wilayah Salatiga yang telah memiliki faktor-faktor
seperti di atas, menarik pemerintah kolonial untuk menetap di tempat tersebut.
Terdapat 3 alasan bagi Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) untuk
memilih Salatiga sebagai basis militer, yakni wilayahnya lebih tinggi dari pada
kota-kota di sekitarnya, berada di jalur antar kota-kota besar, dan terletak di
wilayah perbatasan antara VOC dan Kerajaan Mataram. Tempat yang tinggi dan
berbukit sangat menguntungkan VOC dalam mengawasi aktivitas apapun yang
bergerak di sekitaran wilayah mereka. Terlebih Salatiga merupakan wilayah
37
Djoko Marihandono, Perubahan Peran dan Fungsi Benteng Dalam Tata ruang Kota,
Makalah Seminar Kebudayaan Maritim yang diselenggarakan oleh Universitas Hasanuddin,
Makassar pada tanggal 26 - 28 Oktober 2007, hlm 2. 38
Daldjoeni, Op, cit, hlm 108.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
perbatasan dengan Kerajaan Mataram, sehingga VOC dapat melihat pergerakan
mereka dari atas bukit. Upaya pengawasan wilayah kekuasaan tersebut dilakukan
dengan cara membangun benteng militer di wilayah perbukitan.
Alasan berikutnya adalah letak Salatiga yang berada di jalan utama yang
menghubungkan kota-kota besar, yakni Surakarta, Semarang, Magelang, dan
Yogyakarta. Hal tersebut dimanfaatkan oleh pemerintah kolonial untuk menjadi
tempat persinggahan bagi para pedagang dan pegawai pemerintah karena letak
kota yang mudah dijumpai. VOC juga merasa perlu menjaga keamanan jalur
tersebut karena selain menjamin keamanan para pegawai pemerintah mereka yang
sedang melintas, jalur tersebut merupakan jalur utama lalu lintas perdagangan
VOC dari pedalaman Jawa Tengah menuju Pantai Utara Jawa. Prajurit militer
yang ada di Salatiga menjadi pengawal atau pengaman ketika terjadi masalah
yang terjadi di jalur perdagangan mereka. Letak benteng yang dibangun VOC di
Salatiga dapat dilihat dalam gambar berikut ini;
Gambar 1. Sebuah benteng di Salatiga yang berada di daerah perbukitan.
(Dilukis oleh W. Thorn pada tahun 1815)
Sumber; Perpustakaan Nasional, Album; 85A-1058.10.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
D.1 Kekuasaan VOC di Salatiga
Pada tahun 1705, VOC mulai berkuasa di Salatiga. Pada waktu itu terjadi
penyerahan Kabupaten Semarang oleh Susuhunan Pakubuwono I kepada pihak
VOC. Penyerahan kekuasaan ini mengakibatkan Salatiga juga berada di bawah
kuasa VOC karena desa-desa di sepanjang jalan antara Semarang sampai
Kartasura telah diserahkan oleh Susunahan Pakubuwana I kepada Bupati
Semarang (Adipati Suradimenggala).39
Pemerintah VOC mengenal Salatiga
sebagai kota yang memiliki manfaat untuk kelangsungan kekuasaannya setelah
Susuhunan Amangkurat IV membuat kesepakatan dengan VOC pada tahun 1723.
Kesepakatan tersebut membuat status yuridiksi Salatiga menjadi netral dan
menetapkan kota kecil ini sebagai titik perbatasan antara VOC dan Kerajaan
Mataram. Keberadaan Salatiga di wilayah perbatasan dan statusnya yang netral,
menyebabkan kota ini menjadi wilayah yang sangat dinamis bagi pemerintahan
VOC.
Babad Keraton menceritakan peran Salatiga dalam perjuangan melawan
pemerintahan kolonial. Dalam peristiwa Geger Pacinan, Salatiga sempat dikuasai
oleh sebuah pasukan gabungan dari para pejabat, Raden Mas Said, Raden Mas
Garendi, serta Laskar Cina dari Batavia dan Jawa Tengah pada pertengahan tahun
1742. Pada waktu itu, Pakubuwono II yang semula berpihak pada pasukan
gabungan, berkhianat dan berbalik berpihak pada VOC setelah melihat kekalahan
pasukan gabungan yang ada di Semarang. Kegigihan dari pasukan gabungan yang
melakukan perlawanan tanpa henti di wilayah Jawa Tengah, tidak merubah
39
Asmara Dewi, dkk, Op,cit, hlm 8.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
keputusan Sunan Pakubowo II dalam Perjanjian Ponorogo. Perjanjian tersebut
terjadi pada tanggal 11 November 1743. Hasil dari perjanjian dengan pihak VOC
tersebut menyatakan bahwa Mataram menyerahkan seluruh wilayah Madura dan
Pantai Utara Jawa, seperti Salatiga, Semarang, Jepara, Rembang, Surabaya,
hingga ujung timur Pulau Jawa. Sejak saat itu, secara resmi Salatiga kembali
berada di bawah kuasa pemerintah VOC.40
Kekuasaan VOC di Jawa Tengah,
berlanjut pada dipilihnya Salatiga sebagai kota dengan basis militer yang kuat.
D.1.1 Pembangunan Basis Militer di Salatiga
Pada dasarnya, kesadaran kolonial muncul setelah menyadari akan
pentingnya penguasaan politik dan militer terhadap wilayah-wilayah produksi
pertanian dan perkebunan di pedalaman Jawa. Mereka, pihak kolonial,
membangun wilayah-wilayah pertahanan dengan meletakkan garnisum dan
benteng sehingga terbentuklah kota-kota garnisum di pedalaman Jawa41
. Di
Salatiga, VOC mendirikan sebuah benteng militer bernama De Hersteller pada
tahun 1746 untuk memperkuat pertahanan mereka dari musuh-musuhnya, serta
menjaga jalur-jalur perdagangan mereka di sekitar tempat tersebut.
Nama Benteng De Hersteller ini diambil dari nama sebuah kapal yang
dipakai oleh Gubernur Jenderal yang berkuasa pada tahun 1743-1745. Pasukan
yang bertugas di benteng tersebut sebagian besar terdiri dari pasukan berkuda atau
kavaleri42
, yang tugasnya menjaga keamanan jalur perdagangan yang
40
Asmara Dewi, dkk ,Op, cit, hlm 9 41
Rony Gunawan Sunaryo, dkk, Pengaruh kolonialisme pada morfologi ruang kota jawa,
periode 1600-1942, seminar Nasional Riset Arsiektur dan Perencanaan, 22-23 agustus 2014,
Jurusan Teknik Arsitektur dan Perncanaan UGM, hlm 332. 42
Dilihat dalam koleksi foto tentang Pasukan Militer di Salatiga pada masa VOC, milik
seorang fotografer dari Belanda bernama H. Graaf. (diakses pada 7 Oktober 2016 di situs
Salatiga.nl)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
menghubungkan kota-kota besar di Jawa Tengah. Jumlah pasukan berkuda atau
kavaleri di Salatiga pada waktu itu tergolong besar. Sebagai penunjuk bahwa di
sana ada markas kavaleri, ruas jalan di sisi selatan Benteng De Hersteller berada,
dahulu diberi nama Cavalereweg, yang artinya banyak aktivitas pasukan berkuda
di tempat tersebut.
Jalan Cavalereweg saat ini telah berubah nama menjadi Jalan Veteran43
,
yang letaknya didekat Batalyon Infanteri Mekanis 411/Pandawa Salatiga.
Banyaknya pasukan berkuda dimaksudkan untuk memudahkan operasi militer
mereka di wilayah Salatiga dan sekitarnya, karena memang pada waktu itu
kendaraan seperti mobil, sepeda motor, atau transportasi mesin lainnya belum
diproduksi. Para perwira dalam pasukan berkuda diberi fasilitas berupa kuda-kuda
besar yang didatangkan dari Australia.44
Benteng De Hersteller yang diperkuat oleh pasukan kavaleri dan
dilengkapi dengan pasukan infantri, serta artileri menyebabkan Salatiga menjadi
kota yang benar-benar memiliki kekuatan militer yang kuat, sehingga tidak sedikit
pejabat-pejabat Hindia Belanda yang mengklaim bahwa Salatiga adalah kota yang
aman. Keadaan kota yang demikian, pada tanggal 17 Maret 1757 Salatiga
digunakan sebagai tempat perundingan antara Sunan Pakubuwana III dengan
Raden Mas Said, yang kemudian dikenal dengan nama perjanjian Salatiga.45
Penandatangan perjanjian ini dilakukan di Gedung Pakuwon, yang saat ini
bangunan tersebut terletak di sekitar alun-alun Salatiga. Pertemuan Pakubuwana
43
Edi Supangat, Op Cit., hlm 4. 44
Semarang Metro, Senin 3 November 2014, Nostalgia Salatiga; Ngebul, Markas
Kesatuan Elite Belanda, hlm 30. 45
Emy Wuryani, Op Cit., hlm 25.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
III dan Raden Mas Said merupakan sebuah usaha penyelesaian serangkaian
konflik perebutan yang mengakhiri Kesultanan Mataram.Perjanjian tersebut
dimediatori oleh Gubernur Hartingh dari pihak VOC, yang kemudian hasilnya
adalah melahirkan kerajaan baru Mangkunegaran di Surakarta.46
46
Lutvia Maharani, “Pengambilan Kota Salatiga dari kekuasaan Belanda ke Pemerintah
Republik Indonesia tahun 1945-1950”, Skripsi, Jurusan Sejarah, Universitas Negeri Semarang,
Semarang, 2009, hlm 38.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
BAB III
Salatiga sebagai Kota Militer
hingga Kota Pengepul Hasil Bumi
A. Keadaan Militer di Salatiga abad ke-19.
Memasuki tahun 1857, De Hersteller dibongkar oleh pemerintah Hindia
Belanda setelah terlantar bertahun-tahun pasca dibubarkannya VOC pada 31
Desember 1799 karena beban hutang mereka yang mencapai 136,7 juta gulden.
Benteng yang memiliki banyak manfaat bagi pemerintahan VOC dalam menjaga
dan mengawasi jalur perdagangan ini dihancurkan karena kondisinya yang sudah
rusak dan tidak berfungsi.Terganggunya sistem pengairan juga merupakan salah
satu faktor pembongkaran bangunan megah tersebut.Letaknya yang berada di atas
bukit, merupakan akibat dari terganggunya sistem pengairan pada bangunan
tersebut.
Setelah De Hersteller diruntuhkan, pemerintah Hindia Belanda mendirikan
tangsi-tangsi militer yang berintikan pasukan kavaleri dan gedung perkantoran
yang berada di bagian barat sebuah lapangan dalam tangsi tersebut.Tangsi ini
dibangun menyusul dibangunnya sebuah bangunan yang difungsikan sebagai
asrama militer bernama Fort Hock pada tahun 1830. Tangsi yang dibangun di
wilayah De Hersteller diperkirakan berkembang pada tahun 1885 sesuai tanda
pada bangunan utama yang menunjukan angka tahun 1885.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
Salah satu bangunan tangsi bertuliskan ''Menege'', yang berarti tempat
untuk latihan berkuda. Bangunan ini dilengkapi dengan sistem sanitasi di tenpat
pemukiman dan kandang kuda dengan suplai air dari salah satu sumber mata air di
Salatiga, Senjoyo. Tangsi tersebut beralih fungsi menjadi Batalyon Infanteri
Mekanis 411/Pandawa pada tahun 1950-an hingga saat ini.
Bangunan bertuliskan “Menege” yang telah disinggung di atas,
merupakan salah satu bangunan besar di tangsi tersebut, yang saat ini kondisinya
telah usang. Bangunan dengan cat yang sudah luntur dan ditumbuhi banyak lumut
itu kini dimanfaatkan oleh Batalyon 411 Salatiga sebagai salah satu tempat untuk
pelatihan menembak para prajurit di sana. Berikut adalah foto salah satu bangunan
utama yang telah usang di dalam tangsi bekas benteng De Hersteller;
Gambar 2. Salah satu bangunan di tangsi Salatiga yang dibangun di area Benteng De
Hersteller.
Sumber; Dokumen Pribadi. (diambil pada bulan Maret 2016)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
Di tempat yang berbeda, yaitu daerah Ngentak, pemerintah Hindia
Belanda mendirikan pula rumah sakit tentara dan perumahan pada tahun 1880-an.
Rumah sakit tersebut dikhususkan untuk para tentara pemerintah Hindia Belanda
yang terluka atau mengalami gangguan kesehatan. Sementara perumahan yang
dibangun di sekitar rumah sakit tersebut dibangun untuk tenaga medis yang
bekerja di rumah sakit, serta membangun pusat-pusat pemakaman yang terpisah
sesuai kebangsaannya. Untuk makam orang-orang Eropa, pemerintah
menyediakan tanah di dekat rumah sakit itu yang disebut Kerkhof47
, atau yang
saat ini dikenal masyarakat Salatiga sebagai Taman Makam Pahlawan di daerah
Ngentak.
Pembangunan asrama militer dan markas militer pada 1830 dan 1885,
serta disusul berdirinya rumah sakit tentara pada 1880-an, memperlihatkan bahwa
meskipun pemerintahan telah beralih ke tangan pemerintah Hindia Belanda,
kekuatan militer yang dibangun oleh VOC di Salatiga tidak hilang begitu saja.
Namun, fungsi militer pada periode ini berbeda dengan periode VOC. Jika pada
abad ke-18 militer digunakan untuk menjaga jalur perdagangan, dan mengawasi
pergerakan musuh di perbatasan, pada abd ke-19 militer lebih mengarah pada
penjagaan atau pengawalan hasil bumi yang diantarkan ke luar kota. Hal tersebut
juga dikarenakan pemberontakan sudah tidak banyak seperti pada periode
sebelumnya, serta pada masa pemerintahan Hindia Belanda ini wilayah Salatiga
dan sekitarnya didominasi oleh perkebunan dan hasil bumi, sehingga wajah
47
Emy Wuryani, Op, cit, hlm 26-17.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
Salatiga yang terekspose di publik adalah perannya sebagai pengepul hasil bumi
dari perkebunan-perkebunan di sekitarnya, ketimbang menjadi Kota Militer.
B. Kondisi ekonomi pemerintah Belanda tahun 1825-1830
B.1 Perang Melawan Pangeran Diponegoro.
Pada tahun 1825-1830 terjadi perang antara pemerintahan Hindia Belanda
melawan Pangeran Diponegoro. Perang dengan durasi 5 tahun tersebut yang
kemudian disebut dengan Perang Jawa. Perlawanan Pangeran Diponegoro
merupakan akibat dari banyaknya persoalan yang dibuat oleh Pemerintah Hindia
Belanda. Orang-orang Belanda begitu rajin melakukan campur tangan mereka
dalam aturan dan kehidupan di Kasultanan Yogyakarta. Keputusan-keputusan
dalam membuat kebijakan justru menjadi persoalan baru ketika orang-orang
Belanda ikut campur dalam pemerintahan keraton. Hukum adat istiadat semakin
menurun sementara kehidupan masyarakat pedesaan dianggap rendah.
Terdapat kebijakan-kebijakan ekonomi yang mulai tidak pada tempatnya
dan merugikan masyarakat kelas bawah, seperti penyewaan tanah kerajaan dan
apanage kepada penyewa asing, pengumpulan pajak serta pungutan bea lainnya
dilakukan secara besar-besaran. Pembuatan gerbang-gerbang pajak (tol poorten)
semakin banyak, yang kemudian disewakan kepada orang-orang Cina.48
Begitu
banyak bangsawan yang tiba-tiba menjadi kaya dari hasil penyewaan tanah,
sedangkan beban kehidupan masyarakat lapisan bawah semakin berat. Para
bangsawan mulai meninggalkan nilai dan norma-norma kehidupan Jawa dan
48
Saleh A. Djamhari, Strategi Menjinakkan Diponergoro; Stelsel Benteng 1827-1830,
Jakarta, Komunitas Bambu, 2004, hlm 38.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
Islam yang disakralkan karena banyak hal yang telah terpengaruh oleh orang-
orang Belanda.
Salah satu kesewenang-wenangan pemerintah Hindia Belanda yang
mempengaruhi Diponegoro untuk melakukan perlawanan adalah ketika tanggal 19
Desember 1823 terjadi penobatan Hamangkubawana V. Pangeran Diponegoro
memiliki kekecewaan yang mendalam dan merasa terhina saat ditunjuk sebagai
wali dari keponakannya yang masih balita. Kekecewaan Diponegoro disebabkan
oleh dinobatkannya seorang balita usia dua tahun di takhta keraton hanya karena
ia lahir dari seorang istri resmi, sedangkan tetangganya di Surakarta, hanya
setahun kemudian, seorang dari istri tidak resmi diangkat sebagai Susuhan
Pakubuwono VI.
Penguasa Belanda juga tidak menghormati hak-hak Pangeran Diponegoro
sebagai putra tertua Sultan HM III, hak yang semestinya pantas ia gunakan untuk
dihormati sebagai paman tertua dan wali Sultan HM V.49
Perlakuan-perlakuan
pejabat Hindia Belanda yang tidak kompeten seperti itulah yang membuat
Pangeran Diponegoro memutuskan untuk berbuat sesuatu dan merebut kembali
Pulau Jawa dari campur tangan asing, dengan merencanakan sebuah perlawanan
melawan pemerintah kolonial.
Ketika Perang Jawa sedang berlangsung, Salatiga dan sekitarnya dijadikan
sebagai salah satu basis pasukan Belanda untuk menghadapi gerakan pasukan
Diponegoro. Pemerintah Hindia Belanda juga mengadakan perundingan di
Salatiga pada tahun 1826 yang dihadiri oleh para residen yang daerah
49
Peter Carey, Takdir; Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855), Jakarta, Kompas
Media Nusantara, 2014, hlm 260.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
kekuasaannya terlibat dalam perang Diponegoro.50
Kota yang memilki wilayah
yang kecil tersebut dipilih sebagai tempat perundingan konflik yang dialami
pemerintah kolonial karena dianggap sebagai kota yang aman dengan benteng
pertahanan yang kuat.
Perlawanan Pangeran Diponegoro pada akhirnya harus selesai pada bulan
Maret tahun 1830. Bukan karena ia menyerah atau kalah, namun karena dijebak
dan kemudian diasingkan. Pada tahun tersebut Diponegoro menerima tawaran
berunding dengan pemerintah kolonial di Magelang, meskipun sebenarnya ia
tidak tahu pasti apa tujuan dari perundingan tersebut. Banyak sahabatnya yang
telah menyerah kepada pemerintah karena tidak ada kejelasan tentang masa depan
pemberontakan, mengatakan bahwa perundingan itu adalah sebuah jebakan. Hal
tersebut terbukti, Pangeran Diponegoro diasingkan ke Manado setelah
perundingan selesai, dan Perang Jawa pun berakhir.
Meski telah selesai dengan Diponegoro, Perang Jawa membawa dampak
besar bagi perekonomian Belanda. Negeri Kincir Angin tersebut mengalami
kerugian yang cukup menggelisahkan keuangan negara mereka. Merosotnya
perekonomian akibat Perang Jawa terhitung sekitar 20 juta gulden.51
Perang ini
juga telah menghabiskan 8.000 nyawa prajurit berkebangsaan Eropa dan 7.000
berkebangsaan Indonesia.52
Kondisi ekonomi tersebut semakin parah ketika pada
tahun yang sama terjadi pemberontakan orang-orang Belgia terhadap pemerintah
Belanda.
50
Sagimun, M.D., Pahlawan Diponegoro Berdjuang, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Yogyakarta, 1960, hlm 30. 51
Parakitri T. Simbolon, Menjadi Indonesia, Jakarta, Grasindo Kompas, 2006, hlm, 123. 52
Ricklef, Op, cit, 256.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
B.2. Pemberontakan Masyarakat Belgia.
Belgia yang awalnya merupakan negara bagian dari Belanda, merasa harus
memerdekakan dirinya karena cukup banyak masalah yang buntu dan tidak
terselesaikan.53
Masalah-masalah yang ada di kedua pihak berawal dari adanya
perbedaan sosial budaya yang sangat kontras pada saat kedua negara tersebut
menyatu, yang kemudian semakin memperburuk setelah pemerintah Belanda
menolak masukan rakyat Belgia agar menaikkan pajak pada barang impor. Pada
waktu itu, banyak wilayah Belanda yang didominasi oleh para pedagang,
sedangkan wilayah Belgia terdiri dari beberapa kompleks industri. Usulan
mengenai kenaikan pajak impor diutarakan karena masuknya produk-produk
impor dari Inggris terlalu banyak, sehingga hasil poduk dari industri-industri milik
Belgia kesulitan dalam bersaing di pasar lokal. Usulan yang tidak diamini oleh
pemerintah Belanda memunculkan interpretasi bahwa Belanda lebih memilih
mengutamakan kepentingan ekonomi wilayah mereka sendiri ketimbang
kesejahteraan ekonomi rakyat Belgia.
Rakyat Belgia yang termotivasi oleh perjuangan rakyat Napoli melawan
Perancis, melakukan permberontakan kepada pemerintah Belanda pada tanggal 25
Agustus 1830 yang sekaligus menandai lahirnya Revolusi Belgia. Belanda yang
gagal menggunakan jalur diplomasi untuk meredam pemberontakan, mengirim
pasukan pada tanggal 23 September, namun dipukul mundur pada 27 September
karena Belgia mendapat dukungan dari relawan luar daerah mereka.54
Rakyat
53
The Brussels Journal; The Voice of Conservatism in Europe, Crisis in Belgium:
Resurgam, Flanders Gains Momentum, Reuters, 18 September 2007. 54
Belgium.Be; Official Information and Service, Belgium’s Independence (1830-Present
Time).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
Belgia yang semakin percaya diri, segera mendeklarasikan kemerdekaan mereka
pada 4 Oktober 1830. Dalam perang ini, selain kehilangan negara bagian, Belanda
juga mengalami kerugian ekonomi akibat kontak senjata dengan para
pemberontak.
Merosotnya perekonomian Belanda juga tidak lepas dari meledaknya
Revolusi Perancis di Eropa dan turunnya harga kopi di Eropa pada tahun 1920-an.
Belanda kehilangan perannya sebagai distributor hasil produksi Eropa dan Asia
Tenggara akibat Revolusi Perancis. Negara-negara di sana mulai mengembangkan
perusahaannya sendiri, sehingga tidak lagi bergantung pada Belanda sebagai
pedagang perantara, sedangkan jatuhnya harga kopi yang hebat di Eropa memberi
pukulan hebat pada perekonomian Belanda karena kopi merupakan andalan
pendapatan mereka pada waktu itu. Belanda terus mengalami penurunan dalam
bidang keuangan dari tahun ke tahun, yang dimulai pada tahun 1799 ketika
Persekutuan Dagang Hindia Timur Belanda (VOC) dibubarkan dan kekayaan
serta utang-utangnya diambil alih oleh pemerintah Hindia Belanda.55
C. Solusi untuk mengembalikan kondisi keuangan pemerintah
Belanda.
Awal abad ke- 19 benar-benar merupakan suatu zaman di mana Belanda
membutuhkan sebuah sistem yang berguna untuk menjadikan Jawa lebih
menguntungkan. Melihat kondisi ekonomi Hindia Belanda yang begitu buruk,
pemerintah Belanda menunjuk seorang bernama van den Bosch untuk membantu
menemukan solusi. Van den Bosch merupakan pengelola perkebunan pemerintah
55
Robert van Niel, Sistem Tanam Paksa di Jawa, Jakarta, Pustaka LP3ES Indonesia,
2003, hlm 156.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
Belanda di Kepulauan Karibia dan yang memiliki reputasi yang baik terhadap
urusan perkebunan.56
Pada tahun 1829, van den Bosch memberikan sebuah
gagasan bernama Cultuurstelsel atau yang kemudian disebut Sistem Tanam Paksa
kepada Raja Belanda.
Van den Bosch berpendapat bahwa Sistem Tanam Paksa mengarah pada
penamanan dan penyetoran wajib sebagai soko guru pemerintah seperti yang dulu
pernah dilaksanakan oleh VOC.57
Ia juga menambahkan kembalinya praktik
politik pada masa itu, sependapat dengan pemungutan upeti yang dihadapan para
petani desa sudah menjadi hal yang lumrah sejak dahulu. Jawa merupakan aset
yang menguntungkan bagi pemerintah Hindia Belanda. Bosch mengangap Jawa
dapat menghasilkan komoditi pertanian tropis dalam waktu singkat.
Pada awal abad ke-19, komoditas yang paling dianggap laku dan memiliki
potensi ekspor adalah kopi, nila, gula, dan beras. Semua hasil bumi didasarkan
atas penanaman dan penyerahan hasil bumi secara paksa kepada pemerintah
kolonial, dan dengan harga yang sangat murah sehingga Hindia Belanda dapat
bersaing dengan produk-produk serupa dari berbagai belahan dunia.58
Dalam
memori jabatan pertengahan tahun 1830 van den Bosch menyatakan bahwa tidak
hanya tanaman komoditas yang mendapat perhatian lebih, namun tanaman lain
juga harus mendapat dorongan, seperti kapas, sutera, dan teh, kemudian ditambah
56
Zulkarnain, Serba-Serbi Tanam Paksa, Jurnal, hlm 4. 57
Jan Breman, Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa; Sistem Priangan dari Tanam
Paksa Kopi di Jawa, 1720-1870, Jakarta, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014, hlm 205. 58
Zulkarnain, “Sejarah Sosial Ekonomi”, Makalah Diskusi, Jurusan Pendidikan Sejarah,
Universitas Negeri Yogyakarta, hlm 3.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
dengan tembakau, lada, kayumanis, Dactylopius coccus (sejenis serangga untuk
bahan cat) dan kina.59
Raja Belanda menyetujui Sistem Tanam Paksa tersebut dan mengangkat
van den Bosch sebagai jenderal baru di tanah Jawa pada Januari tahun1830.
Sistem Tanam Paksa merupakan solusi yang sangat cepat dalam menanggapi
permasalahan pemerintah Belanda, bahkan sebelum pemberontakan masyarakat
Belgia pecah. Saat tiba di Jawa, van den Bosch memberikan pedoman untuk para
pejabat pemerintah mengenai sistem yang ia bawa.
Secara keseluruhan, pedoman tersebut dengan jelas menunjukan bahwa
van den Bosch begitu berambisi untuk mengembalikan kehormatan para pejabat
pemerintah Hindia Belanda dengan memanfaatkan kekuasaan untuk memajukan
potensi tanaman dagang agar dapat diekspor ke luar wilayah Jawa. Untuk
mendapatkan tanaman dagang yang bisa diekspor dan laku terjual, Sistem Tanam
Paksa mewajibkan masyarakat desa Jawa menanam sebagian dari tanah mereka
dengan tanaman wajib yang ditentukan oleh pemerintah.
C.1 Aturan Sistem Tanam Paksa
Menurut perhitungan yang diperoleh dari beberapa data, tanah yang
diperlukan untuk kepentingan Sistem Tanam Paksa adalah seperlima dari ukuran
tanah desa, dengan porsi berkisar dari nol sampai hampir separuhnya, tergantung
pada keberhasilan penanaman tanaman tertentu di daerah tertentu.60
Terdapat lima
persen dari rata-rata tanah pemerintah di Jawa yang ditanamai dengan tanaman
59
Jan breman, Op,cit, hlm 211. 60
Robert van niel, Measurement of Change Under the Cultivation System in Java, 1837-
1851, dalam bahasa Indonesia, 14 oktober 1972, hlm 89-109.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
pemerintah. Perhitungan ini tidak termasuk daerah penanaman kopi, karena kopi
tidak ditanam di tanah-tanah garapan desa.61
Warga desa yang bersangkutan, memiliki kewajiban untuk merawat
tanaman pemerintah hingga masa panen yang telah ditentukan. Ketika masa panen
telah datang, mereka juga tugaskan untuk memetik dan mengirim hasil bumi ke
pabrik pengolahan atau penampungan setempat. Para petani desa yang
menyerahkan seperlima tanah mereka dan bersedia meluangkan seperlima waktu
kerja mereka untuk memproduksi tanaman wajib, akan mendapat nasib lebih baik
dari pada keadaan sebelumnya. Nasib yang lebih baik adalah janji pemerintah
kolonial untuk melunakkan para pribumi supaya bersedia mengerjakan apa yang
menjadi kepentingan mereka, dan pada akhirnya pribumilah yang tetap
mengalami kerugian.
Para petani penggarap akan menerima pembayaran berupa uang dari hasil
bumi yang mereka petik. Pembayaran tersebut telah dihitung ketika tanaman
wajib masih tegak berdiri di ladang. Van den Bosch menyatakan bahwa uang
yang dibayarkan kepada para petani cukup untuk menutup utang sewa tanah atas
seluruh luas tanah desa, yang meliputi lahan yang ditanami tanaman sendiri dan
lahan yang ditanami tanaman pemerintah. Apabila pembayaran tanaman wajib
lebih besar dari sewa tanah yang sudah dihitung, maka para petani desa berhak
mengambil selisihnya, namun jika pembayaran di bawah perhitungan sewa tanah,
maka para petani wajib menutup kekurangannya.
61
Ibid, hlm 176.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
Kegagalan dalam urusan hasil bumi, merupakan hal yang diluar kuasa
petani, tidak akan akan terkena pajak dan pemberian ganti rugi. Hal tersebut di
atas adalah aturan formal dari Sistem Tanam Paksa, namun pada pelaksanaannya
selalu ada penyelewengan-penyelewengan aturan yang dilakukan oleh para
pejabat pemerintahan, dan kembali lagi para pribumilah yang harus menanggung
kerugian mereka.
D. Peran Salatiga pada masa Sistem Tanam Paksa.
Salatiga memiliki wilayah dengan suhu udara dan keadaan tanah yang
cocok untuk aktivitas perkebunan. Keadaan yang demikian dibuktikan pada masa
jauh sebelum Tanam Paksa berlaku di Jawa, VOC berhasil menjadikan sekitar
Salatiga sebagai pusat penanaman kopi dengan jumlah tanaman mencapai 240.000
batang.62
Penanaman ini merupakan hasil karya orang VOC bernama Pierre
Hamar de la Brethoniere, yang kemudian mendapat julukan sebagai Raja Kopi
Salatiga.Keberhasilan dalam menghasilkan kopi menyebabkan Salatiga pada
tahun 1792 disebut-sebut sebagai lumbung kopi VOC.63
Pada periode ini, Salatiga telah menjadi tempat dikumpulkannya kopi-kopi
dari wilayah di sekitarnya. Meski begitu, para penulis sejarah Salatiga sepakat
bahwa pada saat itu kota tersebut belum bisa dikatakan sebagai pengepul hasil
bumi, karena hasil dari perkebunan utama yang dikumpulkan hanyalah kopi.
Salatiga lebih pantas jika disebut sebagai lumbung kopi VOC. Kejayaan sebagai
tempat penyimpanan kopi tersebut tidak berlangsung lama, karena pada 1799
62
Edi Supangat, Op, cit, hlm 13. 63
Berita Pemkot Salatiga, Nostalgia Salatiga; Kebun Getas Punya Laboratorium Kakao
Sendiri, Senin 27 Oktober 2014.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
VOC dinyatakan bubar karena terdapat banyak masalah yang tidak terselesaikan
di dalam pemerintahannya, yakni hutang dan korupsi.
Pada periode pemerintahan Hindia Belanda, kondisi geografis Salatiga
yang dikenal menguntungkan, dimanfaatkan untuk ladang eksekusi proyek Sistem
Tanam Paksa. Sistem ini diperkenalkan sejak tahun 1830 dan memasuki tahun
1840 secara perlahan mulai berjalan di Pulau Jawa.64
Belum ada data yang
menunjukan ketetapan tahun dimana Salatiga mulai terpengaruh oleh sistem ini,
namun pada tahun 1852-1856 Salatiga sudah dikenal kembali menjadi salah satu
penghasil kopi terbesar di Jawa. Melihat periodesasi tersebut, tahun 1830 hingga
1850 wajah Salatiga masih merupakan wajah Kota Militer, karena masih ada
pembangunan-pembangunan yang sifatnya untuk kepentingan militer, seperti
pembangunan asrama tentara dan renovasi-renovasi bangunan militer. Selain itu,
hingga tahun 1850 perkebunan belum banyak muncul di wilayah-wilayah sekitar
Salatiga sebagai akibat dari berlakunya Sistem Tanam Paksa.
Memasuki tahun 1852, pemerintah Hindia Belanda menunjukan bahwa
Salatiga dan sekitarnya sejak awal memang sudah menjadi salah satu tempat
pilihan bagi mereka untuk pengepul hasil bumi dan membangun perkebunan.
Pencapaian Salatiga sebagai penghasil kopi tersebar di Jawa untuk kedua kalinya,
tidak lepas dari peran pemimpin Salatiga pada periode tersebut, yaitu Bupati
Raden Ngabehi Parbodiwidjo yang cakap dalam mengkoordinir penanaman
kopi.65
64
Linbald, J. Thomas, Sejarah Ekonomi Modern Indonesia Berbagai Tantangan Baru,
Jakarta, LP3S, 2000, hlm 80. 65
Edi Supangat, Op, cit, hlm 15.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
Bupati tersebut terkenal berhasil membawa kemajuan bagi daerahnya di
bidang administrasi, hal tersebut tidak lepas dari kinerjanya yang rajin,
berperilaku dan berpendidikan baik, sehingga mampu memimpin rakyatnya
dengan bijak.66
Pada periode ini, identitas Salatiga sebagai Kota Militer bergeser
ke Kota Pengepul Hasil Bumi. Identitas yang baru ini semakin terlihat dan
menonjol jika dibandingkan saat periode VOC, karena hasil bumi yang
dikumpulkan di Salatiga bukan hanya kopi, namun terdapat teh, kina, karet,
coklat, lada, kapas, dan tembakau.
D.1 Berlakunya Undang-Undang Agraria di tanah Jawa.
Perkebunan di Salatiga semakin berkembang setelah memasuki tahun
1870. Banyak perusahaan swasta yang aktif dalam bidang perkebunan. Hal
tersebut merupakan akibat dari berlakunya Undang-Undang Agraria
(Agrarischewet) yang menggantikan Sistem Tanam Paksa pada tahun 1870, yang
mana ketika itu para pemilik modal swasta diberi peluang untuk mengembangkan
usaha mereka, salah satunya adalah perkebunan. Kebebasan dan kemanan para
pengusaha pada waktu itu mendapat jaminan. Hanya orang-orang Indonesialah
yang dapat memiliki tanah, tetapi orang-orang asing diperkenankan menyewanya
dari pemerintah dalam durasi waktu 75 tahun atau menyewa dari para pribumi
pemilik tanah dengan masa sewa paling lama antara 5 dan 20 tahun, tergantung
pada persyaratan hak kepemilikan tanah.67
Peralihan Sistem Tanam Paksa ke sistem perusahaan swasta yang sesuai
dengan Undang-Undang Agraria, sejalan dengan bergesernya kebijakan politik
66
Edi Supangat, Salatiga Sketsa Kota Lama, Salatiga, Griya Media, 2010, hlm 7. 67
M.C. Ricklef, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, Jakarta, Serambi Ilmu Semesta,
2008, hlm 271.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
kolonial dari tangan kaum konservatif ke tangan kaum liberal yang menentang
sistem eksploitasi tanah Jawa oleh pemerintah. Meskipun sistemnya berbeda,
akantetapi tujuannya sama yakni menggali sumber kekayaan tanah jajahan untuk
keuntungan negeri Belanda.68
Pembukaan tanah jajahan bagi penanaman modal swasta, dan pembukaan
perusahaan perkebunan di Indonesia sejak 1870, merupakan gejala perkembangan
baru di tanah jajahan yang memperngaruhi perubahan masyarakat Indonesia.69
Politik Liberal yang mengakibatkan berkembangnya perusahaan-perusahaan
swasta, berdampak pada dibutuhkannya banyak tenaga buruh untuk bekerja di
perusahaan-perusahaan tersebut. Tenaga buruh kasar yang dibutuhkan untuk
mengerjakan irigasi, pembuatan jalan, dan kepentingan perusahaan lainnya,
diambil dari desa-desa di Jawa.
Tenaga birokrasi perkantoran golongan rendah maupun menengah diambil
dari suku Jawa yang berpendidikan sekolah, sedangkan pejabat tinggi lainnya
banyak didatangkan dari negeri Belanda. Dengan tersebarnya aparat pemerintah
Belanda ke berbagai daerah di Jawa, berkembanglah percampuran gaya hidup
Belanda dan orang Jawa yang disebut gaya hidup indis.70
Pada masa sekarang,
hal-hal yang masih merupakan budaya Indis di Salatiga, dapat dilihat dalam
bentuk bangunan-bangunan di sekitar jalan Diponegoro atau Jendral Sudirman.
68
Hendra Kurniawan, Dampak Sistem Tanam Paksa terhadap Dinamika Perekonomian
Petani Jawa 1830-1870, USD, SOCIA (jurnal ilmu-ilmu sosial), September 2014, Vol. 11, No. 2, hlm 171.
69Sartono Kartodirdjo, dan Djoko Suryo, Sejarah Perkebunan di Indonesia, Kajian Sosial
Ekonomi, Yogyakarta, Aditya Media, 1991, hlm 72. 70
Djoko Soekiman, Kebudayaan Indis; Dari Zaman Kompeni sampai Revolusi,
Yogyakarta, Komunitas Bambu, 2011, hlm 3.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
Setelah memasuki tahun 1870, perkebunan-perkebunan yang berkembang
cukup pesat diantaranya berada di Getas, Ngasinan, Tlogo, Noborejo, Gebugan,
Banaran, Barukan, Gesangan, dan Mblambang Ampel.71
Secara umum,
perkebunan yang ada di Getas, Assinan, dan Banaran berada pada ketinggian 300
hingga 800 meter diatas permukaan laut dengan topografi datar, bergelombang,
dan berbukit. Ditambah dengan letak Salatiga dan sekitarnya yang berada di
wilayah vulkanisme Merapi-Merbabu. Kegiatan vulkanik Gunung Merbabu di
masa lalu dan erupsi Gunung Merapi yang bersifat periodik membawa pengaruh
kesuburan pada tanah, di samping udara yang sejuk dan curah hujan yang cukup.72
Menurut penelitian yang dilakuan oleh lembaga RC Getas, jenis tanah yang ada di
tempat tersebut adalah aluvial, regosol, mediteran latosol, andosol, dan grumosol
dengan pH antara 6-7, struktur tanah remah, temperatur berkisar antara 23°-26° C,
kelembaban relatif berkisar 80-81%, dan penyinaran matahari 60-65%.
Kondisi lingkungan yang seperti itu, sangat mendukung pertumbuhan
tanaman-tanaman perkebunan. Kebun Getas didirikan oleh FA.HG. Th. Crone
yang berkedudukan di Amsterdam Belanda dengan nama CO. Getas (Cultuur
Ordeneming Getas) dan berkantor pusat di Kota Semarang. Selain mengelola
kebun Getas, Crone juga mengelola kebun Ngobo, Jatirunggo, Assinan, dan
Batujamus.73
Perkebunan-perkebunan tersebut merupakan penghasil kina, karet,
coklat, lada, kapas, dan tembakau. Selain Crone dengan CO. Getasnya yang
memiliki sejumlah perkebunan di Salatiga, NV Bibitonderneming yang berlokasi
71
Karyono, Op, cit, hlm 2-3. 72
Endang Setyawati, “Perkembangan Fungsi Bangunan Istana Djoeng Eng di Salatiga
pada tahun 1921-1968”, Skripsi, Program Studi Pendidikan Sejarah, Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, UKSW, Salatiga, 2012, hlm 18. 73
PTPN IX GETAS – SALATIGA (diakses pada 23 April 2017)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
di Banyubiru, Ambarawa, juga merupakan perusahaan perkebunan yang memiliki
kuasa di beberapa wilayah perkebunan di Ambarawa dan Salatiga.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, setelah bertahun-tahun dijuluki
sebagai Kota Garnisun atau Kota Militer karena terdapat banyak aktivitas militer
di dalamnya, pada periode ini Salatiga dan sekitarnya menjadi kawasan
perkebunan karena terdapat banyak wilayah yang ditumbuhi tanaman komoditi
sesuai kepentingan pemerintah Hindia Belanda. Sebelum banyak macam
perkebunan, tanaman teh dan kopi merupakan wajah bagi Salatiga.
Berkembangnya bermacam-macam perkebunan yang tersebar di berbagai
wilayah sekitar Salatiga, menyebabkan Salatiga menjadi pusat pengumpulan hasil
bumi dari perkebunan-perkebunan di sekitarnya. Hampir seluruh hasil bumi yang
berasal dari perkebunan di sekitar Salatiga, akan dibawa menuju ke kota tersebut,
terutama yang letaknya jauh dari wilayah Tuntang dan Ambarawa. Perkebunan-
perkebunan yang dekat dengan Tuntang dan Ambarawa, akan membawa hasil
buminya langsung ke tempat tersebut.
Perlu diketahui, berdasarkan surat keputusan pemerintah Hindia Belanda
dengan Staatsblad No. 35/1895 bahwa hingga tahun 1895 Salatiga masih berstatus
kota kabupaten. Sederhananya adalah perkebunan-perkebunan yang dimaksud di
atas berada di wilayah kabupaten dan berkembang di wilayah tersebut, sedangkan
kota Salatiga sendiri berperan sebagai wilayah pengepul hasil bumi. Seluruh hasil
bumi yang dikumpulkan di Salatiga tersebut, nantinya akan dikirim ke pelabuhan
di Kota Semarang. Salah satu perkebunan yang berkembang pesat setelah tahun
1870 dapat dilihat pada foto berikut ini
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
Gambar 3. Perkebunan di wilayah Getas yang semakin berkembang setelah tahun 1870.
Sumber: Edi Supangat, Galeria Salatiga, Griya Media, Salatiga, 2010.
Hasil bumi yang terus melonjak dari tahun ke tahun, secara perlahan
memperbaiki kondisi perekonomian pemerintah Hindia Belanda. Hal tersebut
dapat dilihat dari saldo keuntungan antara tahun 1832-1867 yang diperkirakan
sudah mencapai angka 967 juta Gulden, sehingga kas negara terisi kembali,
bahkan hutang-hutang luar negeri Belanda dapat dilunasi dan sisanya digunakan
untuk modal usaha-usaha industri di Belanda.74
Selain itu, keberhasilan ini dapat
dilihat dari jumlah perkebunan terbesar di Salatiga yang sudah mencapai 12
perkebunan. Pada titik ini usulan van den Bosch tentang Sistem Tanam Paksa
dianggap berhasil menerbangkan kembali perekonomian Belanda yang sempat
jatuh pasca beberapa konflik yang mereka alami pada tahun 1825 hingga 1830,
merosotnya harga barang-barang komoditas di Eropa, dan hilangnya perang
74
Wawasan Sosial, Indonesia Pada Masa Kolonial Eropa, hlm 232. (diakses pada 22
Desember 2016)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
negeri Belanda sebagai pedagang perantara di pasar Eropa dan Asia Tenggara,
ditambah tanggungan hutang-hutang milik VOC yang belum terbayar.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
BAB IV
Dampak Salatiga sebagai Kota Pengepul Hasil Bumi
bagi Masyarakatnya.
A. Dampak Ekonomi
Menurut penelitian sejarah, sistem tanam paksa adalah sebuah sistem yang
revolusioner dan merupakan cikal bakal atas sebuah perubahan tradisi dalam
masyarakat jawa, khususnya di wilayah pedesaan. Sistam Tanam Paksa secara
umum telah mempengaruhi dua unsur pokok dalam kehidupan agraris pedesaan
Jawa, yaitu tanah dan tenaga kerja.75
Sistem yang dibuat untuk merekondisi
perekonomian Belanda pasca perang tersebut mewajibkan masyarakat
menyerahkan tanah mereka demi kepentingan tanaman komoditi. Tuntutan akan
kebutuhan tanah pertanian untuk penanaman tanaman ekspor yang dilakukan
dengan menggunakan ikatan desa, telah memperngaruhi pergeseran kepemilikan
dan penguasaan tanah di kalangan petani pedesaan.76
Hal tersebut terjadi karena adanya pertukaran atau pembagian tanah-tanah
pertanian untuk perataan pembagian kewajiban penyediaan tanah dan kerja
kepada pemerintah, dan adanya kecenderungan perubahan kepemilikan tanah
perseorangan menjadi tanah komunal desa. Salah satu penyebab terjadinya
pergeseran tanah milik perseorangan menjadi tanah komunal adalah banyaknya
masyarakat yang bermigrasi ke daerah lain.77
Migrasi tersebut merupakan bentuk
75
Hendra Kurniawan,Op, cit, hlm 169. 76
Sartono Kartodirdjo, dan Djoko Suryo, Op, cit, hlm 66. 77
Hendra Kurniawan, Op,cit, hlm 67.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
usaha masyarakat untuk menghindarkan diri dari tugas wajib yang diberikan
pemerintah akibat berlakunya Sistem Tanam Paksa.
Dalam hal tenaga kerja, Sistem Tanam Paksa benar-benar membutuhkan
tenaga kerja yang banyak untuk penggarapan lahan, penanaman, pengangkutan
dan pengolahan. Pengerahan tenaga kerja ini dilakukan dengan menggunakan
ikatan organisasi desa, supaya dapat menyentuh kehidupan masyarakat agraris di
pedesaan. Cara ini sangat memberatkan penduduk, selain karena tidak diberi
upah, juga karena tugas pekerjaan yang harus dikerjakan secara fisik cukup berat,
dan secara sederhana semua praktek yang dijalankan merupakan sistem kerja
paksa.78
Secara tidak langsung pelaksanaan Sistem Tanam Paksa, telah
mengenalkan teknologi baru, terutama dalam pengenalan terhadap biji-bijian
tanaman perdagangan, seperti tebu, indigo, dan tembakau, beserta cara
penanamannya. Selain itu, sejalan dengan tuntutan terhadap peningkatan produksi
tanaman perdagangan dan pertanian pada umumnya, pelaksanaan sistem ini
banyak melakukan atau perbaikan irigasi, jalan, dan jembatan, yang
memperlancar transportasi dan komunikasi antara daerah pedalaman dengan
daerah pelabuhan, atau antara daerah pedesaan perkebunan dengan daerah
perkotaan yang ada di sekitarnya.
Setelah berbicara dampak Sistem Tanam Paksa secara umum, berikut akan
membahas dampak-dampak yang lebih spesifik dan nyata terjadi di Salatiga.
Dampak-dampak tersebut tidak serta merta terjadi tepat setelah Sistem Tanam
78
Sartono Kartodirdjo, dan Djoko Suryo, Loc, cit.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
Paksa berlaku di Jawa. Hal tersebut baru dapat dilihat setelah beberapa tahun,
terlebih setelah tahun 1870, yang mana Undang-undang Agraria menyebabkan
banyak perusahaan swasta muncul dan bergerak di bidang perkebunan.
A.1 Beredarnya Uang di Salatiga
Di balik pelaksanaan Sistem Tanam Paksa yang cukup berat bagi
masyarakat, terdapat sisi positif yang sebenarnya membantu masyarakat itu
sendiri. Terdapat pembaharuan dalam sistem administrasi pemerintahan desa
sebagai akibat dari campur tangan pemerintahan kolonial.79
Kehidupan
perekonomian desa yang semula masih tradisional, secara perlahan berkenalan
dengan ekonomi uang melalui proses penjualan produksi pertanian dan harga
pasaran kerja. Dua hal tersebut telah menjadi pintu utama masuknya peredaran
uang ke daerah pedesaan secara luas, yang besar pengaruhnya dalam membawa
pergeseran perekonomian desa ke arah ekonomi pasar.
Peredaran uang tersebut masuk antara lain melalui sistem pembayaran
upah tanaman kepada petani penanam atau plantloon, pembayaran uang
penggalak tanaman atau cultuurprocenten kepada para pejabat, pembayaran upah
kerja bebas dan dalam perkembangan terakhir pembayaran sewa tanah kepada
petani. Uang yang terlah beredar di masyarakat kemudian memiliki fungsi yang
beragam, yakni untuk membayar pajak, berbelanja barang kebutuhan, dan untuk
keperluan hidup lainnya. Masyarakat tidak perlu lagi menggunakan barang-barang
mereka sebagai alat tukar untuk mendapatkan barang atau keperluan yang
dibutuhkan seperti yang dilakukan sebelum beredarnya uang.
79
Hendra Kurniawan, Op., Cit, hlm 170.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
Berikut ini adalah Mata Uang yang beredar setelah perkebunan
berkembang di Salatiga, yang diketahui mulai beredar di Salatiga tahun 1890
ketika Ratu Wihelmimma berkuasa di Belanda;80
No. Nama Mata Uang Nilai Mata Uang
Dalam Sen
1. Bil 1 Bil = 0,5 Sen
2. Benggol 1 Benggol = 2,5 Sen
3. Kelip 1 Kelip = 5 Sen
4. Kethip 1 Kethip = 25 Sen
5. Setali 1 Setali = 50 Sen
6. Suku 1 Suku = 50 Sen
7. Gulden 1 Gulden = 5 Sen
Kemunculan uang yang memiliki fungsi sebagai alat penukaran
merupakan suatu solusi atas hambatan dalam penerapan sistem barter di
masyarakat, dimana pada waktu itu pertukaran barang dengan barang yang lain
secara langsung tanpa menggunakan alat pertukaran, dipandang kurang efektif
dalam pelaksanaannya karena membutuhkan tenaga dan waktu yang relatif lama
dalam prosesnya, sehingga dalam kenyataannya tidak banyak terjadi transaksi
atau kegiatan perdagangan yang mungkin dapat dilakukan apabila sistem barter
ini digunakan sebagai satu-satunya cara atau media dalam melakukan kegiatan
pertukaran dalam kurun waktu yang lama.81
Setelah uang mendapatkan perannya sebagai alat penghitungan, uang
dapat menyederhanakan praktek-praktek perhitungan dan penetapan harga. Nilai
semua barang dapat diperhitungkan dengan uang dan pembukuan dapat diadakan
80
Endang Setyawati,Op cit, hlm 29. 81
Agus Susanto Pranoto, “Impliaksi Pengaturan Tentang Mata Uang Dalam Undang-
Undang Tersendiri (Currency Act) Terhadap Tugas dan Kewenangan Bank Indonesia di Bidang
Pengedaran Uang”, Thesis, Fakultas Hukum, Program Studi Magister Ilmu Hukum, Kekhususan
Hukum Ekonomi, Universitas Indonesia, 2009, hlm 19.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
dengan cara yang sama. Uang menjadi denominator umum atau yang para ahli
ekonomi uang menyebutnya sebagai unit fungsi perhitungan.82
Selain memilki peran sebagai alat perhitungan, uang juga memiliki peran
sebagai alat pertukaran atau Medium of Exhange. Uang membantu melakukan
alokasi sumber daya yang langka secara optimal, menyalurkan barang dan jasa
secara efisien, dan membuka kebebasan dalam perekonomian untuk memperoleh
barang dan jasa.83
Dengan menggunakan uang, seseorang dapat secara langsung
menukarkan udang tersebut dengan barang dan jasa yang dibutuhkannya kepada
orang lain yang menghasilkan barang tersebut sesuai dengan perhitungan yang
ada, misalnya ketika masyarakat Salatiga yang akan menggunakan jasa kereta api,
bisa menukarkan uang mereka di stasiun untuk mendapatkan tiket perjalanan
mereka.
A.2 Kondisi Sosial Masyarakat di Salatiga.
Dalam kehidupan masyarakat di Salatiga, lahirnya perkebunan di kota
tersebut dan sekitarnya, membawa dampak sosial dalam kehidupan
masyarakatnya. Banyak petani pribumi yang kemudian beralih profesi sebagai
buruh ordeneming, pedagang hasil bumi antar desa, dan membuka usaha kecil di
tempat-tempat tertentu.84
Terdapat 70% orang pribumi yang menjadi petani, 30%
lainnya bekerja sebagai pedagang, pegawai pemerintah, dan pegawai
swasta.Orang-orang Tionghoa di Salatiga, sebesar 90% dari mereka berkutat di
82
Dudley G. Luckett, Uang dan Perbankan, Edisi Kedua (Money and Banking, 2nd
Edition), Amerika Serikat: MCGraw –Hill, Inc, 1976, diterjemahkan oleh Paul C. Rosyadi,
Penerbit Erlangga, Jakarta, 1981, hlm 254. 83
Eugene A. Diulio, Uang dan Bank (Theory and Problems of Money and Banking),
Amerika Serikat: MCGraw-Hill, Inc, 1987, diterjemahkan oleh Burhanuddin Abdullah, Penerbit
Erlangga, Jakarta, 1990, hlm 2-3. 84
Chusnul Hajati, MS., dkk, Op, cit, hlm 106.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
bidang perdagangan, baik sebagai kolektor hasil bumi maupun distributor barang
buatan pabrik.85
Hampir keseluruhan warga pribumi yang tinggal di sekitar
wilayah perkebunan menjadi sasaran pemerintah kolonial untuk menjadi buruh
tani atau buruh kasar lainnya yang secara paksa diwajibkan mengurus
perkebunan-perkebunan di wilayah tersebut.
Bagi penduduk pribumi, setelah perkebunan ramai di wilayah Salatiga dan
sekitarnya mereka tidak hanya menjadi petani, namun juga menjadi kuli panggul
atau buruh pikul yang biasanya bekerja kepada orang-orang Tionghoa yang
mayoritas merupakan pengepul hasil bumi. Setelah memasuki tahun 1870, di
beberapa daerah perkebunan, kebutuhan pengangkutan hasil bumi telah
mendorong tumbuhnya pengusaha pengangkutan di kalangan para petani mampu,
dengan pengadaan alat transportasi berupa gerobak atau cikar yang ditarik oleh
binatang ternak. Para pengusaha pengangkutan mendapat borongan pengangkutan
produksi perkebunan dari lahan ke tempat pengolahan, atau ke pusat-pusat
penimpunan produksi, yang didapat dari pihak pemerintah atau pengusaha pabrik.
Berbeda dengan masyarakat Tionghoa di Salatiga, pemerintah Hindia
Belanda menganggap mereka sebagai pihak yang memiliki peran penting dalam
aktivitas perekonomian kolonial di tanah jajahan.Semenjak orang-orang Belanda
masuk ke Salatiga, masyarakat Tionghoa dimanfaatkan sebagai perantara
hubungan dagang mereka dengan penduduk pribumi yang mayoritas adalah
produsen hasil bumi, serta sebagai tukang-tukang untuk pembuatan dan
85
Chusnul Hajati, dkk, Loc, cit.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
pemeliharaan rumah-rumah dan kota-kota yang didirikan.86
Orang-orang
Tionghoa secara sengaja ditempatkan pada satu pemukiman di sekitar jalan
Soloshceweg atau yang sekarang dikenal Jalan Jenderal Sudirman. Rumah-rumah
yang dibangun mayoritas kecil dan tidak memiliki halaman. Hal tersebut
dikarenakan rumah yang mereka dirikan, tidak hanya menjadi hunian namun juga
tempat berdagang atau membuka usaha. Rumah terebut didisain sesuai dengan
fungsinya, bagian depan untuk berdagang, sedangkan bagian belakang sebagai
tempat tinggal. Komplek orang-orang Tionghoa yang saat ini disebut Pecinan
oleh orang-orang di Salatiga tersebut, sejak dahulu menjadi pusat aktivitas
perdagangan masyarakat di kota tersebut.
A.3. Lahirnya Pasar Tradisional
Hasil bumi yang melimpah dari perkebunan-perkebunan di sekitar
Salatiga, menyebabkan lahirnya pasar untuk dijadikan sebagai tempat
mengumpulkan hasil bumi dan sebagai aktivitas perdagangan masyarakat di
Salatiga. Pasar tersebut dikenal dengan nama Pasar Kalicacing, yang berada di
lingkungan Pecinan, yakni yang kini disebut dengan Jalan Jenderal Sudirman.
Menurut informasi yang didapat dari beberapa narasumber, hasil bumi yang akan
dikirim ke Semarang, sebelumnya di kumpulkan di pasar tersebut. Barang-barang
berupa hasil bumi tersebut dibawa menggunakan gerobak-gerobak menuju ke
stasiun terdekat sebelum dikirim ke luar kota. Gerobak-gerobak tersebut dibawa
oleh orang-orang pribumi yang dikawal oleh beberapa prajurit berkuda milik
pemerintah Hindia Belanda.
86
Endang Setyawati, Op., Cit, hlm 28.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
Sebelum lahirnya pasar, hasil bumi yang ada di Salatiga hanya
dikumpulkan di gudang-gudang penyimpanan di beberapa wilayah. Untuk
menampung kuota hasil bumi yang semakin besar dan memusatkan aktivitas
ekonomi mereka, maka pemerintah Hindia Belanda membuka pasar di wilayah
Kalicacing. Pembangunan pasar tidak lepas dari pertimbangan pihak kolonial
yang melihat banyaknya jumlah orang Tionghoa di daerah itu. Dengan adanya
orang-orang Tionghoa yang mahir dalam aktivitas perdagangan, pemerintah
kolonial memanfaatkan mereka sebagai pengatur lalu lintas hasil bumi dari
pingiran Salatiga menuju ke luar kota, yakni Semarang. Gambar pasar Kalicacing
yang berada di wilayah Jalan Jenderal Sudirman dapat dilihat dalam gambar
berikut ini;
Gambar 4.Tempat pengumpulan hasil bumi di Pasar Kalicacing, yang terletak di sekitar
wilayah Pecinan pada akhir abad ke-19.
Sumber; Dokumen pribadi milik Sejawaran Salatiga, Slamet Rahardjo.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
A.4 Lahirnya Transportasi Modern
Membaiknya kondisi ekonomi Belanda, mendorong pemerintahan mereka
di Hindia Belanda melakukan pembangunan fasilitas transportasi darat di wilayah
Hindia Belanda.87
Fasilitas-fasilitas yang dibangun merupakan salah satu bentuk
usaha untuk terus melanggengkan kesuksesan mereka di bidang perkebunan.
Fasilitas transportasi darat yang dibangun salah satunya adalah kereta api. Kereta
apidibangun baru bisa dimanfaatkan oleh pemerintah kolonial di Salatiga pada
tahun 1870 dimana Undang-undang Agraria mulai berlaku di kota tersebut, itupun
tidak dibangun di pusat aktivitas perdagangan di Salatiga. Jalur kereta api yang
didirikan meliputi Kedung Jati-Tempuran-Gododalem-Beringn-Tuntang-Williem
atau Ambarawa. Stasiun yang ada di Kedungjati hingga Ambarawa merupakan
stasiun kereta api milik Nederlansch Indissche Spoorweg Maatschappij (NIS).
Sebelum kereta api lahir, terdapat beberapa transportasi darat yang
menjadi andalan masyarakat Salatiga dan sekitarnya pada periode ini, yakni
dokar, gerobak, kuda, dan tandu.88
Transportasi tersebut bukan hanya digunakan
untuk mengangkut manusia saja, namun juga untuk mengangkut barang dan hasil
bumi. Dokar menjadi transportasi paling beken sebelum lahirnya kereta api.
Sirkulasi jalur yang dilalui dokar pada waktu itu bukan hanya dalam kota saja,
namun bisa juga ke luar kota, seperti contoh ketika ada seseorang yang akan
bepergian ke solo, ia harus naik dokar jurusan Boyolali dan turun di tempat
tersebut. Kemudian ia mencari dokar lain yang melayani rute Boyolali-Solo atau
87
Recharduz Deaz Prabowo, “Sejarah dan Perkembangan Stasiun Kereta Api Tugu di
Yogyakarta 1887-1930”, Skripsi, Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra, Universitas Sanata
Dharma, Yogyakarta, 2013, hlm 30. 88
Mia Nuraini, Op, cit, hlm 41-52.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
yang disebut oper dokar lain. Rute yang relatif jauh, menyebabkan dokar hanya
bisa beroperasi sekali dalam sehari, sehingga pada saat bekerja ia harus menunggu
penumpang penuh terlebih dahulu sebelum berangkat menuju tujuan.89
Orang-orang Belanda yang hendak bepergian ke luar kota menggunakan
dokar, mendapat keistimewaan jika mereka mempunyai uang lebih. Perlakuan
khusus tersebut mereka dapatkan dari menyewa dokar tersebut hingga sampai di
tujuan. Menggunakan sistem sewamembuat mereka tidak perlu berbaur dengan
pribumi lain yang sama-sama menjadi penumpang dokar, serta waktu tempuh
yang dijalani akan lebih cepat sebab bebab yang dibawa oleh dokar juga tidak
terlalu banyak.
Setelah kereta api lahir, masyarakat Salatiga dan sekitarnya yang akan
pergi ke luar kota, khususnya menuju Semarang, tidak lagi menggunakan sistem
oper dokar untuk sampai ke sana. Mereka cukup menggunakan dokar sampai ke
stasiun-stasiun yang letaknya tidak jauh dari Salatiga, seperti Tuntang,
Ambarawa, atau Beringin, dan kemudian menuju ke Kota Semarang
mengggunakan jasa kereta api. Begitu pula dengan pengiriman hasil bumi dari
Salatiga ke Semarang. Hasil bumi tidak lagi dibawa menggunakan dokar,
gerobak, dan kuda hingga Semarang, namun cukup diantar menuju Stasiun
Tuntang, sebelum kemudian dikirim ke Semarang melewati Kedungjati.
Jalur kereta api yang dibangun tidak melewati Salatiga keadaan
wilayahnya yang bergelombang dan berbukit. Salatiga yang memiliki wilayah
alam yang berbukit dan tidak merata digambarkan dalam sebuah nama hotel
89
Edi Supangat, Salatiga Sketsa Kota Lama, Op, cit, hlm 58-59.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
megah yang dibangun oleh pemerintahan Hindia Belanda pada awal abad ke-20
dengan nama Berg en Dal, yang memiliki arti bukit dan lembah.90
Nama hotel
Berg en Dal menggambarkan keadaan wilayah Salatiga pada saat itu yang
memiliki banyak wilayah lembah dan berbukit. Rute kereta api dari Ambarawa
atau Stasiun Williem hingga Semarang dapat di lihat dalam peta berikut ini;
Peta 3. Jalur kereta api Ambarawa-Kedung Jati-Semarang.
Sumber; http://versesofuniverse.blogspot.co.id/2012/02/kereta-api-wisata-ambarawa.html
(diakses pada tanggal 29 Mei 2017).
Peta diatas menunjukkan rute pengiriman hasil bumi dari Assiten Residen
Salatiga melalui jalur kereta api berawal Stasiun Ambarawa – Tuntang – Bringin
– Gogodalem – Kedung Jati – Semarang, namun menurut beberapa sejawaran dan
penulis sejarah di Salatiga, hasil bumi yang akan dikirim ke Semarang banyak
90
Ibid, hlm 3.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
juga yang langsung diantarkan ke Stasiun Tuntang menggunakan kereta kuda
yang dikawal oleh beberpa prajurit militer, tidak melalui Stasiun Williem atau
Stasiun Ambarawa. Hal tersebut dikarenakan jarak yang harus ditempuh menuju
Tuntang lebih pendek daripada menuju ke Ambarawa.
Pada periode kolonial, Stasiun Tuntang merupakan stasiun yang menjadi
tempat penampungan mayoritas hasil bumi dari Salatiga dan sekitarnya sebelum
diberangkatkan ke Semarang. Tempat tersebut dilengkapi dengan bangunan-
bangunan yang difungsikan sebagai gudang untuk menyimpan barang-barang,
karena stasiun ini selalu dikaitkan dengan fungsinya sebagai pos pengangkutan
komoditas hasil bumi.91
Letak Stasiun Tuntang berada di Dusun Daleman,
Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang atau berada diantara Ambarawa dan
Beringin.
Saat ini kondisi Stasiun Tuntang tengah menjalani renovasi. Terdapat
wacana bahwa jalur kereta dari Kedungjati-Tuntang-Ambarawa akan kembali
diaktifkan setelah sekian lama tidak difungsikan sebagai alat transportasi.
Rencana tersebut bermula dari penataan dan pengembangan Stasiun Tuntang dan
Stasiun Ambarawa demi mempermudah masyarakat mengakses kedua tempat
tersebut, baik untuk kepentingan wisata maupun kepentingan lainnya. Pengaktifan
jalur Kedungjati-Tuntang-Ambarawa diharapkan dapat mendorong pemerintah
untuk membuka jalur-jalur lain yang telah mati.92
91
Pusat Arkeologi Nasional, Distribusi Hasil Bumi di Semarang Dengan Wilayah
Sekitarnya, Jakarta Selatan, 2015, hlm 33. 92
Akhmad Sujadi, Museum KA Uap Ambawara Satu-satunya di Dunia, Kompasiana, 18
Juni 2015.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
Gambar.5 Stasiun Tuntang yang digunakan untuk mengangkut hasil bumi dari perkebunan-
perkebunan Salatiga dan sekitarnya menuju pelabuhan di Semarang.
Sumber; Arsip Daerah dan Perpustakaan Kota Salatiga tahun 1930.
Setiap hasil bumi di Salatiga yang akan dikirim ke luar kota dikumpulkan
di satu tempat bernama Pasar Kalicacing yang para pengepulnya merupakan
orang-orang Tionghoa, kemudian diantarkan menuju Stasiun Tuntang yang
jaraknya tidak jauh dari Salatiga menggunakan gerobak yang ditarik oleh kuda
ataupun lembu. Pengiriman seluruh hasil bumi tersebut dikawal oleh pasukan
berkuda milik pemerintah Hindia Belanda guna mengantisipasi terjadinya hal-hal
yang membahayakan hasil bumi.
Seluruh hasil bumi yang telah terkumpul di stasiun tersebut, segara akan
diberangkatkan menuju pelabuhan di Kota Semarang, dan diangkut oleh kapal-
kapal besar menyebrangi lautan lepas. Hasil bumi yang dibawa oleh kapal-kapal
besar tidak hanya ditujukan kepada satu lokasi, namun menyebar ke lokasi-lokasi
lain seperti Asia Tenggara dan Eropa yang merupakan pusat aktivitas
perdagangan internasional.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
Berikut ini adalah tabel yang menunjukan jumlah hasil bumi berupa kopi,
teh, coklat, lada, karet, kapas, dan kina yang diangkut dari Salatiga menuju
Semarang dari tahun 1870-1879 dalam hitungan volume93
dikali 100;
Nama
Stasiun
Tahun
1870 1871 1872 1873 1874 1875 1876 1877 1878 1879
Ambarawa 2,5 6,0 5,4 9,6 6,9 3,5 5,7
Tuntang 1,2 2,0 2,3 4,0 0,3 3,2 9,3
Bringin 2,2 2,7 1,7 0,9 1,8 0,9 0,8 0,7 1,1
Gododalem 0 0 0,1 0,1 0,1 0,2 0,1 0,0 0,0
Tempuran 0,3 3,2 9,3 9,1 10,2 8,2 9,7 2,5 1,0
Padas 0,8 0,0 0,1 0,8 0,9 1,3 2,7 2,7 1,3 1,4
Kedung Jati 13,8 11,7 11,5 8,2 10,1 6,7 9,7 10,5 12,3 11,6
Tabel 2.Sumber; Sindie, Astuti, “Sejarah Transportasi Kereta Api di Karesidenan Semarang
Tahun 1870-1900”, Skripsi, Program Studi Pendidikan Sejarah, Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, UKSW, Salatiga, 2012, hlm 39.
Selain untuk melanggengkan kesuksesannya di tanah Jawa, pembangunan
fasilitas kereta api ini juga bertujuan untuk mendukung kemampuan bersaing
Belanda di tengah-tengah persaingan perdagangan hasil bumi di wilayah Asia,
karena semakin lancarnya arus transportasi hasil bumi semakin lancar pula
komoditas tersebut dapat dikapalkan dan tersedia di pasar dunia.94
Dengan begitu,
hasil dari penjualan komoditas di tanah Jawa yang sifatnya sangat eksploitatif ini
dapat segera diterima oleh pemerintah kolonial. Disamping itu, perluasan jaringan
jalan rel didasarkan bukan hanya pada kepentingan ekonomi, namun juga
93
Volume merupakan hitungan sebuah paket atau barang yang akan dikirim menggunakan
jasa pengiriman seperti kereta api. Barang yang dikirim beratnya tidak dihitung sesuai dengan
berat sebenarnya, namun dihitung dengan rumus (Panjang x Lebar x Tinggi) dibagi 6000, dan
hasilnya akan ditentukan dalam satuan kilogram. 94
Pusat Arkeologi Nasional, Loc, cit, hlm 31.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
menyangkut masalah pasifikasi atau pengamanan daerah-daerah yang banyak
mengalami pergolakan, dan pembukaan daerah-daerah baru serta pengembangan
administrasi pemerintahan dan pengembangan kota.95
B. Salatiga Kota Prestisius.
Kota Salatiga dipilih oleh seorang pengusaha besar untuk mendirikan N.V.
KHTHM yang berkutat di bidang hasil bumi. Pengusaha tersebut bernama Djoeng
Eng, ia datang ke Salatiga pada pertengahan abad ke-19. Ia berasal dari Taiwan
yang sebelumnya menetap di Semarang, meski telah merambah di dunia ekspor
hasil bumi, mereka berfokus pada perdagangan gula. Djoeng Eng memilih
Salatiga untuk melanjutkan bisnisnya dan membangun istana disana karena suatu
hal.Pertama, merupakan sebuah kebanggaan karena dapat hidup di wilayah yang
didominasi oleh orang Eropa. Kedua, letak Salatiga yang berada di ketinggian 850
meter diatas permukaan laut, membuat udara di Kota Salatiga benar-benar sejuk
yang membuat penghuninya nyaman, ditambah wilayah yang kondusif dengan
kendaraan yang pada waktu itu tidak terlalu banyak.96
Selain itu, begitu banyak warga Eropa yang tinggal di Salatiga setelah
maraknya perusahaan swasta. Warga Eropa yang didominasi oleh orang-orang
Belanda tersebut merupakan para pengelola perkebunan, pekerja pemerintahan,
dan para ahli agama yang menjalankan misi-misi kristen. Hal ini menyebabkan
pengkotak-kotakan dalam hal wilayah tempat tinggal. Orang-orang kulit putih
tersebut menetap di wilayah Toentangscheweg atau yang kini dikenal sebagai
95
Sartono, Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900, Dari Emporium
Sampai Imoerium, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1992, hlm 364. 96
Bambang Setyawan, Menengok Istana Konglomerat Salatiga Jaman Kolonial,
Kompasiana, 15 April 2016.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
Jalan Diponegoro. Saat ini masih dapat dilihat, sepanjang jalan tersebut berjejer
bangunan-bangunan Indis yang apik, meskipun beberapa sudah dirubuhkan atau
direnovasi demi kepentingan industri. Sebuah bangunan di wilayah
Toentangscheweg yang merupakan rumah hunian bagi pejabat pemerintah
kolonial dapat dilihat dalam gambar berikut ini;
Gambar 6. Rumah Assistent Resindent di Salatiga yang kini menjadi rumah dinas Walikota
Salatiga.
Sumber; www.salatiga.nl (diakses pada 29 Mei 2017)
Di wilayah ini, pada periode kolonial pribumi sama sekali tidak
dibolehkan tinggal atau membangun rumah. Para pribumi membangun
pemukiman mereka sendiri yang banyak terpusat di wilayah-wilayah seperti
Krajan, Mrican, Togaten, Pancuran dan Kalitaman. Berbeda dengan warga
Tionghoa, yang sudah sejak lama berada wilayah yang dekat dengan pusat
aktivitas ekonomi. Sejak lama mereka dipusatkan di wilayah tersebut oleh
pemerintah kolonial karena peran mereka sebagai tangan kanan sangat dibutuhkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
dalam urusan perekonomian. Ketelitian dan kerja keras mereka dimanfaatkan oleh
pemerintah kolonial untuk menjaga kestabilan perdagangan mereka di Salatiga.
Kini warga Tionghoa masih banyak yang menetap di wilayah yang disebut
Kalicacing dan sepanjang Jalan Solocheweg atau yang saat ini dikenal dengan
Jalan Jenderal Sudirman, dimana terdapat banyak sekali aktivitas ekonomi di
tempat tersebut.
B.1 Salatiga mendapat status sebagai Kota Praja (Gemeente).
Banyaknya orang kulit putih yang tinggal di Salatiga, menyebabkan
wilayah tersebut mendapat perhatian dari pemerintah Hindia Belanda. Puncaknya
terjadi pada tahun 1917 atau awal abad 20, Gubernur Jenderal Belanda melalui
Staatsblad No. 266 menjadikan Salatiga sebagai sebagai Gemeente atau Kota
Praja yang dipimpin oleh Burgemeester (walikota) dengan didampingi oleh
Gemeenteraad (dewan kota).97
Terdapat 3 syarat untuk menjadi Gemeente, yaitu
faktor penduduk, faktor keadaan tempat, dan faktor keuangan, namun
ditetapkannya Salatiga sebagai Kota Praja memiliki hubungan dengan adanya
kebijakan pemerintah Belanda dalam upaya memperluas desentralisasi di wilayah
Hindia Belanda.98
Faktor penduduk dilihat dari jumlah orang kulit putih, bukan sekedar
orang Belanda saja, namun juga orang-orang kulit putih dari Eropa lainnya,
termasuk orang-orang etnis Tionghoa. Hingga tahun 1900, lebih dari 600 orang
Eropa, dan lebih dari 1000 orang Tionghoa bertempat tinggal di Salatiga.
Banyaknya masyarakat Eropa pada waktu itu tidak lepas dari berkembangnya
97
Edi Supangat ,Salatiga Sketsa Kota Lama, Op, cit, hlm 12. 98
Emy Wuryani, Op, cit, hlm 57.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
perkebunan di sekitar Salatiga. Rumah-rumah dinas untuk para pengelola
perkebunan muncul dimana-mana. Hal tersebut juga didukung oleh pembukaan
Terusan Suez pada tahun 1869, serta adanya perkembangan pelayaran dengan
kapal uap, sehingga semakin banyak orang-orang Eropa yang dengan mudah
datang ke wilayah Hindia Belanda. Hal tersebut cukup menyebabkan Salatiga
memenuhi salah satu syarat menjadi Gemeente.
Faktor kedua adalah faktor keadaan setempat, yang artinya Gemeente
memiliki syarat bahwa daerah yang bersangkutan harus memiliki banyak wilayah
perkebunan.Terhitung hingga tahun 1900, Salatiga sudah memiliki lebih dari 40
perkebunan swasta yang dikelola oleh orang-orang kulit putih. Selain banyaknya
perkebunan di sana, suhu dan keadaan udara juga menjadi bagian dari faktor
kedua. Salatiga yang terletak di kaki Gunung Merbabu, memiliki suhu dan udara
yang mirip dengan tempat tinggal orang-orang kulit putih di Eropa, sehingga
mereka merasa berada di kampung mereka sendiri ketika tinggal di Salatiga.
Faktor ketiga adalah faktor keuangan, yang sangat erat kaitannya dengan
perpajakan di wilayah yang bersangkutan. Adanya orang kulit putih di Salatiga
dalam jumlah yang banyak, menimbulkan sumber pendapatan bagi pemerintah
setempat. Pendapatan tersebut didapat dari berbagai berbagai bidang, seperti;
i. Pendapatan Pajak, meliputi pajak; tanah, pasar, tontonan, reklame,
minuman keras, kendaraan bak bermotor, rumah, dan jalan raya.
ii. Penggunaan fasilitas pemerintah; air ledeng, listrik, dan telepon.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
iii. Permohonan perijinan; ijin mendirikan bangunan tempat tinggal,
kegiatan usaha ekonomi, dan transportasi.99
Menjadi kota dengan gelar Gemeente adalah sebuah pencapaian yang
besar bagi kota kecil seperti Salatiga. Hal tersebut tidak lepas dari
peranperkebunan yang telah lahir di Salatiga dan sekitarnya, terlebih setelah
Sistem Tanam Paksa dan Undang-undang Agraria berlaku di Pulau Jawa.Dengan
status ini nantinya membuat Salatiga mendapat penghargaan de Schoonste Stad
van Midden Java yang artinya kota terintah di Jawa Tengah. Penghargaan tersebut
didapat karena setelah menjadi Gemeente, Salatiga secara terus menerus
mengalami perkembangan, dan juga merupakan akibat dari dukungan finansial
yang sangat besar untuk ukuran kota yang kecil.100
Sebelum tahun 1900-an, Kota Salatiga masih merupakan wilayah kecil di
pedalaman karisidenan Semarang, tipe kota Salatiga digambarkan tidak banyak
berbeda dengan lingkungan pedesaan sekitarnya, hanya rumah bupati dan
sekitarnya yang menonjol. Bentuk rumah kebanyakan masih tradisional.
Pemukiman ini terdiri atas kumpulan rumah bambu yang beratap daun pohon
nipah dan terletak tersebar di antara kebun-kebun buah dan kelapa serta sawah.101
Banyaknya orang-orang Eropa yang tinggal Salatiga semakin mendukung
perluasan sistem pemerintahan kolonial lengkap dengan birokrasinya, yang
kemudian menyebabkan wajah kota mulai berubah. Pusat kota Salatiga bertambah
dengan bangunan baru terutama gedung pemerintahan dan kediaman para pejabat
99
Edi Supangat, Op, cit, hlm 15. 100
Suara Merdeka, Salatiga Kota Terindah di Jawa Tengah, Semarang Metro, 8 September
2014. 101
W.F Wertheim, The Indonesian Town, Studies in Urban Sociology (A. Manteau, S.H.
Bruxell, W. van Hoeve Ltd, 1958) hlm 81.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
pribumi maupun Belanda. Bentuk fisik kota mengalami perubahan, seperi sarana
transportasi, perumahan, perkantoran, jalan-jalan, dan pergedungan.102
102
Karyono, Op, cit, hlm 3-4.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
BAB V
Kesimpulan
Perubahan identitas dari Kota Militer ke Kota Pengepul Hasil Bumi di
Salatiga merupakan dampak dari sistem ekonomi politik yang diterapkan
pemerintah Hindia Belada di Jawa pada tahun 1830, yakni Sistem Tanam Paksa.
Sistem ini lahir sebagai bentuk usaha pemerintah Belanda untuk merekondisi kas
negara mereka yang sempat menurun pada tahun 1825. Turunnya perekonomian
negeri Belanda tersebut merupakan imbas dari beberapa peristiwa yang terjadi
sekitar tahun 1825 hingga 1830. Peristiwa-peristiwa tersebut antara lain jatuhnya
harga kopi di pasar Eropa, hilangya peran Belanda sebagai distributor utama hasil
bumi di beberapa wilayah di Eropa dan Asia Tenggara, perlawanan Pangeran
Diponegoro dan rakyatnya di Pulau Jawa, dan pemberontakan masyarakat Belgia
yang ingin memerdekakan diri.
Salatiga dipilih sebagai wilayah pengepul oleh pemerintah Hindia Belanda
bukan tanpa alasan. Wilayah Salatiga dan sekitarnya yang memiliki kapasitas
untuk aktivitas perkebunan kemudian dipilih oleh pemerintah untuk mendukung
kebijakan Sistem Tanam Paksa. Mereka membangun perkebunan-perkebunan di
sekitar Salatiga dengan maksud supaya Salatiga yang berada di wilayah strategis
dapat dijadikan sebagai tempat untuk mengumpulkan barang-barang hasil bumi
dan sebagai pengelola kegiatan di perkebunan-perkebunan tersebut.
Secara konstitusi, perubahan identitas yang dialami oleh Salatiga dimulai
pada tahun 1830. Perubahan tersebut yang ditandai dengan diberlakukannya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
Sistem Tanam Paksa oleh pemerintah Hindia Belanda di tanah Jawa. Namun,
secara fisik salatiga mengalami perubahan identitas dari Kota Militer ke Kota
Pengepul Hasil Bumi pada tahun 1852. Perubahan secara fisik tersebut ditandai
dengan banyaknya perkebunan di sekitar Salatiga. Pada awalnya, perkebunan-
perkebunan tersebut ditanami teh dan kopi, namun kemudian lahir perkebunan-
perkebunan lain, seperti karet, kapas, dan kina.
Perubahan identitas kota di Salatiga terjadi dalam waktu yang cukup cepat,
yaitu 22 tahun. Untuk Kota Salatiga, 22 tahun merupakan waktu yang relatif cepat
jika dibandingkan dengan perubahan sebelumnya, yaitu ketika Salatiga
merupakan daerah perdikan milik Kerajaan Mataram yang kemudian berubah
menjadi Kota Militer pada masa kejayaan VOC. Perubahan tersebut
membutuhkan waktu ratusan tahun.
Perubahan dari Kota Militer ke Kota Pengepul Hasil Bumi merupakan hal
yang tidak direncanakan sebelumnya. Sistem Tanam Paksa tidak akan dibangun
jika tidak ada kerugian ekonomi yang hebat di pihak pemerintah Belanda,
sehingga sebenarnya tidak ada rencana yang telah dibangun jauh-jauh hari
mengenai Sistem Tanam Paksa. Kondisi tersebut menunjukan bahwa perubahan
identitas Salatiga dari Kota Militer ke Kota Pengepul Hasil Bumi ini sifatnya
adalah revolutif.103
Perubahan identitas Salatiga dari Kota Militer ke Kota Pengepul Hasil
Bumi diakibatkan oleh adanya perombakan dan pembaharuan sistem hukum dan
administrasi yang dilakukan oleh pemerintah kolonial. Salah satu pembaharuan
103
Perubahan Revolutif adalah perubahan yang berlangsung secara cepat dan tidak ada perencanaan sebelumnya, dan diinginkan oleh sebagian masyarakat atas kondisi ketidakpuasan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
tersebut adalah diberlakukannya Sistem Tanam Paksa di tanah Jawa pada tahun
1830. Peristiwa perubahan tersebut kemudian berdampak pada berubahnya sistem
tata kota dan sistem sosial di Salatiga.
Perubahan tata kota dilihat pada pergeseran fungsi bangunan-bangunan
yang memiliki peran besar di wilayah Salatiga, salah satunya yakni benteng
militer. Pada masa VOC Benteng tersebut lebih banyak berfungsi sebagai alat
pengawas wilayah kekuasaan, kemudian pada masa pemerintahan Hindia Belanda
berubah menjadi markas militer. Fungsinya dari markas militer tersebut tidak
hanya untuk menjaga wilayah kekuasaan mereka, namun juga berkembang
menjadi bagian dari aktivitas ekonomi kota, seperti menjadi pengawal distribusi
hasil bumi ke wilayah luar.
Selain perubahan sistem tata kota, dampak dari perubahan identitas juga
mengarah ke sistem sosial di Salatiga. Perubahan Salatiga dari Kota Militer ke
Kota Pengepul Hasil Bumi telah menegaskan stratifikasi masyarakat sosial yang
sebenarnya sudah ada, yaitu dengan ditandai oleh bertambahnya populasi dan
perubahan peranan dalam tiap-tiap kelas sosial. Masyarakat pribumi yang dulunya
banyak berkutat di perkebunan, berkembang menjadi buruh pikul dan buruh
pengantar hasil bumi.
Orang-orang Tionghoa yang pada masa VOC lebih banyak berdagang dan
berbisnis demi kepentingan keluarganya, pada saat perubahan identitas kota
terjadi mereka banyak yang menjadi tangan kanan pemerintah kolonial dengan
menjadi pekerja yang dipercaya mengurus hasil bumi di Salatiga. Sedangkan
orang-orang Eropa semakin banyak yang tinggal di Salatiga setelah perubahan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
identitas terjadi. Mereka bukan hanya merupakan pejabat-pejabat pemerintahan,
namun merupakan pemilik dan pengelola perkebunan-perkebunan yang ada di
sekitar Salatiga.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
Daftar Pustaka
Arsip:
Foto koleksi W. Thorn tahun 1815, kode album; 85A-1058.10.
Oudheidkundige kaart van west en midden Java, 1891.
Staatsblad Van Nederlandsch-Indie No. 35, Binnenlandsch Bestuur. Semarang.
1885.
Staatsblad Van Nederlandsch-Indie No. 13, Vereenigingen. Reglementen.
Semarang. Goedkeuring wijziging van de statuten de societeit Harmonie te
Salatiga, 1891
The Cog Railway dan Vicinity of Ambarawa, 1900.
Buku:
Chusnul Hajati, dkk., Peranan Masyarakat Desa di Jawa Tengah Dalam
Perjuangan Kemerdekaan Tahun 1945-1949; Daerah Kendal dan
Salatiga, Proyek Inventaris dan Dokumentasi Sejarah Nasional Direktorat
Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta,
1996.
Daldjoeni, Seluk Beluk Masyarakat Kota (Pusparagan Sosiologi Kota dan
Ekologi Kota), Bandung, Penerbit Alumni, 1978.
Daradjadi, Geger Pacinan 1740-1743, Jakarta, Kompas Media Nusantara, 2013.
Djoko Soekiman, Kebudayaan Indis; Dari Zaman Kompeni sampai Revolusi,
Yogyakarta, Komunitas Bambu, 2011.
Dudley G. Luckett, Uang dan Perbankan, Edisi Kedua (Money and Banking, 2nd
Edition),
Amerika Serikat: MCGraw –Hill, Inc, 1976, diterjemahkan oleh Paul C. Rosyadi,
Penerbit Erlangga, Jakarta, 1981.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
Edi Supangat, Galeria Salatiga, Salatiga, Griya Media, 2010.
___________, Salatiga Sketsa Kota Lama, Salatiga, Griya Media, 2010.
......................, Salatiga Kota Seribu Nuansa, Salatiga, Planet Salatiga, 2002.
Eugene A. Diulio, Uang dan Bank (Theory and Problems of Money and Banking),
Amerika Serikat: MCGraw-Hill, Inc, 1987, diterjemahkan oleh
Burhanuddin Abdullah, Penerbit Erlangga, Jakarta, 1990.
Jan Breman, Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa; Sistem Priangan dari
Tanam Paksa Kopi di Jawa, 1720-1870, Jakarta, Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, 2014.
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta, Tiara Wacana, 2013.
Linbald, J. Thomas, “Sejarah Ekonomi Modern Indonesia Berbagai Tantangan
Baru”, Jakarta, LP3ES, 2000.
Parakitri T. Simbolon, Menjadi Indonesia, Jakarta, Grasindo Kompas, 2006.
Peter Carey, Takdir; Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855), Jakarta,
Kompas Media Nusantara, 2014.
Peter Carey, Kuasa Ramalan (jilid I); Pengeran Diponegoro dan Akhir Tatanan
Lama di Jawa, 1785-1855, Jakarta, PT Gramedia, 2011.
Ricklef, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, Jakarta, Serambi Ilmu Semesta,
2008.
Robert van Niel, Sistem Tanam Paksa di Jawa, Jakarta, Pustaka LP3ES Indonesia,
2003.
Sagimun, M.D., Pahlawan Diponegoro Berdjuang, Yogyakarta, Departmen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1960.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
Saleh A. Djamhari, Strategi Menjinakkan Diponergoro; Stelsel Benteng 1827-
1830, Jakarta, Komunitas Bambu, 2004.
Sartono Kartodirdjo, dan Djoko Suryo, Sejarah Perkebunan di Indonesia, Kajian
Sosial Ekonomi, Yogyakarta, Aditya Media, 1991.
Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900, Dari
Emporium Sampai Imperium, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1992.
Tri Widiarto, Herman Waluyo, dkk, Legenda Kota Salatiga; Perjalanan Ziarah
Ki Ageng Pandanaran, Salatiga, Widya Sari Press, 2014.
Skripsi, Thesis:
Agus Susanto Pranoto, “Impliaksi Pengaturan Tentang Mata Uang Dalam
Undang-Undang Tersendiri (Currency Act) Terhadap Tugas dan
Kewenangan Bank Indonesia di Bidang Pengedaran Uang”, Thesis,
Fakultas Hukum, Program Studi Magister Ilmu Hukum, Kekhususan
Hukum Ekonomi, Universitas Indonesia, 2009.
Emy Wuryani, ”Distrik Salatiga 1900-1942”, Thesis, Pasca Sarjana UGM,
Yogyakarta, 2006.
Endang Setyawati, ”Perkembangan Fungsi Bangunan Istana Djoeng Eng di
Salatiga pada tahun 1921-1968”, Skripsi, Program Studi Pendidikan
Sejarah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, UKSW, Salatiga, 2012.
Eye Mualif, ”Pengembangan Sektor Pertanian di Kota Salatiga Dengan
Pendekatan Tipologi Klassen”, Skripsi, Fakultas Pertanian, Universitas
Sebelas Maret, Surakart, 2010.
Kabupung, Sonny Fernando, ”Studi Citra Kota Maumere di Nusa Tenggara
Timur”, Thesis, UAJY, Yogyakarta, 2012.
Karyono, “Studi Tentang Perkembangan Kota Kolonial 1917-1942”, Thesis,
Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta, 2002.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
Lutvia Maharani, ”Pengambilan Kota Salatiga dari kekuasaan Belanda ke
Pemerintah Republik Indonesia tahun 1945-1950”, Skripsi, Jurusan
Sejarah, Universitas Negeri Semarang, Semarang, 2009, hlm 38.
Sindie Astuti, “Sejarah Transportasi Kereta Api di Karesidenan Semarang Tahun
1870-1900”, Skripsi, Program Studi Sejarah,FKIP-UKSW, Salatiga, 2012.
Mia Nuraini, Skripsi, “Perkembangan Transportasi di Salatiga Tahun 1900-1942,
Program Studi Sejarah”, FKIP-UKSW, Salatiga, 2012.
Recharduz Deaz Prabowo, ”Sejarah dan Perkembangan Stasiun Kereta Api Tugu
di Yogyakarta 1887-1930”, Skripsi Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra,
Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 2013.
Suwarti, “Peranan Pendudukan Militer Jepang dalam Meningkatkan Militasi
Pemuda Salatiga 1942-1945”, Skripsi, Jurusan Studi Sejarah,FKIP-
UKSW, Salatiga, 2004.
Yohanes Chandra Widjie, “Perkembangan Fungsi Kota Salatiga dalam Abad
XX”, Skripsi, Jurusan Studi Sejarah, FKIP-UKSW, Salatiga, 1979.
Artikel, Jurnal, Makalah :
Aida Izzul Imah, Konsep dan Pengertian Kota Menurut Para Ahli, Academia.edu.
Akhmad Sujadi, Museum KA Uap Ambawara Satu-satunya di Dunia,
Kompasiana, 18 juni 2015.
Asmara Dewi, dkk, Kajian dan Identifikasi Bangunan Bersejarah, Bapeda Kota
Salatiga dan BP3 Jawa Tengah, 2009
Bambang Setyawan, Menengok Istana Konglomerat Salatiga Jaman Kolonial,
Kompasiana, 15 April 2016.
Belgium.Be; Official Information and Service, Belgium’s Independence (1830-
Present Time).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
Berita Pemkot Salatiga, Nostalgia Salatiga; Kebun Getas Punya Laboratorium
Kakao Sendiri, Senin 27 Oktober 2014.
Djoko Marihandono, Perubahan Peran dan Fungsi Benteng Dalam Tata ruang
Kota, Makalah Seminar Kebudayaan Maritim yang diselenggarakan oleh
Universitas Hasanuddin, Makassar pada tanggal 26 - 28 Oktober 2007.
Pemerintah Kota Madia Tingkat II Salatiga, Hari Jadi Kota Salatiga 24 juli 750,
Salatiga, 1975.
Hati Beriman, Belajar dari Kepemimpinan Raja Bhanu, Majalah Berita Warga
Kota Salatiga, Edisi III Tahun 2007.
Hendra Kurniawan, Dampak Sistem Tanam Paksa terhadap Dinamika
Perekonomian Petani Jawa 1830-1870, USD, SOCIA(jurnal ilmu-ilmu
sosial), September 2014, Vol. 11, No. 2.
Informasi Kajian Masalah Pendidikan dan Ilmu Sosial, No. 1 xxxvii th. 2011.
I Wayan Yudi Artana, Transformasi Struktur dan Kultural Masyarakat Peri
Urban Badung Dalam Pembentukan Identitas Kekotaannya, Transformasi
Spasial; Determinan Perubahan Struktur dan Kultural Peri Urban
Badung.
Kantor Statistik Kodya Salatiga, 1893, Monografi Kota Madya Salatiga 1893.
Lampiran Peraturan Walikota Salatiga nomor 10 Tahun 2016, Rencana Kerja
Pemerintah Daerah (RKPD) tahun 2015, Pemerintah Kota Salatiga, 2016.
Muhamad Ahwan Anas, Penggambaran Cerita Rakyat “Legenda Asal Mula
Salatiga” Dalam Bentuk Film Kartun 2D, Naskah Publikasi,
JurusanTeknik Informatika, Amikom, Yogyakarta, 2011.
Pusat Arkeologi Nasional, Distribusi Hasil Bumi di Semarang Dengan Wilayah
Sekitarnya, Jakarta Selatan, 2015.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
Robert van niel, Measurement of Change Under the Cultivation System in Java,
1837-1851, dalam bahasa Indonesia, 14 oktober 1972.
Rony Gunawan Sunaryo, dkk, Pengaruh kolonialisme pada morfologi ruang kota
jawa, periode 1600-1942, seminar Nasional Riset Arsiektur dan
Perencanaan, 22-23 agustus 2014, Jurusan Teknik Arsitektur dan
Perncanaan UGM.
Semarang Metro, Nostalgia Salatiga; Ngebul, Markas Kesatuan Elite Belanda, 3
November 2014.
Suara Merdeka; Semarang Metro, Salatiga Kota Terindah di Jawa Tengah, 8
September 2014.
Suara merdeka.com, Seputar Salatiga:Penduduk Miskin 8,28 Persen, 21 Juni
2011.
The Brussels Journal; The Voice of Conservatism in Europe, Crisis in Belgium:
Resurgam, Flanders Gains Momentum, Reuters, 18 September 2007.
Wawasan Sosial, Indonesia Pada Masa Kolonial Eropa.
W.F Wertheim, The Indonesian Town, Studies in Urban Sociology (A. Manteau,
S.H. Bruxell, W. van Hoeve Ltd, 1958).
Zulkarnain, Sejarah Sosial Ekonomi, Makalah Diskusi, Jurusan Pendidikan
Sejarah, Universitas Negeri Yogyakarta.
WEB:
PTPN IX GETAS – SALATIGA
Suara Merdeka.com
versesofuniverse.blogspot.co.id
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
www.kopi-ireng.com
www.salatiga.nl
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI