grand case urologi bph

55
Grand Case BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA Oleh : Azhiimil Akbar 0810312120 Pembimbing : dr. Dody Efmansyah, Sp.B, Sp.U BAGIAN ILMU BEDAH RSUP DR. M.DJAMIL PADANG 0

Upload: aghniajolanda

Post on 12-Jan-2016

37 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

bedah fk unand

TRANSCRIPT

Page 1: Grand Case urologi BPH

Grand Case

BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA

Oleh :

Azhiimil Akbar 0810312120

Pembimbing : dr. Dody Efmansyah, Sp.B, Sp.U

BAGIAN ILMU BEDAH

RSUP DR. M.DJAMIL PADANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

2015

0

Page 2: Grand Case urologi BPH

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembesaran kelenjar prostat mempunyai angka morbiditas yang bermakna

pada populasi pria lanjut usia. Gejalanya merupakan keluhan yang umum dalam

bidang bedah urologi.

Hiperplasia prostat merupakan salah satu masalah kesehatan utama bagi

pria diatas usia 50 tahun dan berperan dalam penurunan kualitas hidup seseorang.

Suatu penelitian menyebutkan bahwa sepertiga dari pria berusia antara 50 dan 79

tahun mengalami hiperplasia prostat.

Adanya hiperplasia ini akan menyebabkan terjadinya obstruksi saluran

kemih dan untuk mengatasi obstruksi ini dapat dilakukan dengan berbagai cara

mulai dari tindakan yang paling ringan yaitu secara konservatif (non operatif)

sampai tindakan yang paling berat yaitu operasi.

Saat ini terdapat pilihan tindakan non operatif seiring dengan kemajuan

teknologi dibidang urologi, sehingga merupakan suatu pilihan alternatif untuk

penderita muda, kegiatan seksual aktif, gangguan obstruksi ringan, high risk

operasi dan pada penderita yang menolak operasi.

1.2 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui dan memahami tentang

hiperplasia prostat.

1.3 Manfaat Penulisan

Manfaat penulisan ini adalah untuk menambah pengetahuan dan

pemahaman mengenai hiperplasia prostat.

1.4 Metode Penulisan

Metode penulisan ini adalah tinjauan kepustakaan yang merujuk dari

berbagai literatur.

1

Page 3: Grand Case urologi BPH

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) sebenarnya adalah suatu keadaan

dimana kelenjar periuretral prostat mengalami hiperplasia yang akan mendesak

jaringan prostat yang asli ke perifer dan menjadi simpai bedah. 1,2

2.2 Anatomi

Prostat merupakan kelenjar berbentuk konus terbalik yang dilapisi oleh

kapsul fibromuskuler yang terletak disebelah inferior vesika urinaria, mengelilingi

bagian proksimal uretra (uretra pars prostatika) dan berada disebelah anterior

rektum. Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa

kurang lebih 20 gram, dengan jarak basis ke apex kurang lebih 3 cm, lebar yang

paling jauh 4 cm dengan tebal 2,5 cm.12

Kelenjar prostat terbagi menjadi 5 lobus :

1. Lobus medius

2. Lobus lateralis (2 lobus)

3. Lobus anterior

4. Lobus posterior 8,12

2

Page 4: Grand Case urologi BPH

Selama perkembangannya lobus medius, lobus anterior, lobus posterior

akan menjadi satu dan disebut lobus medius saja. Pada penampang, lobus medius

kadang-kadang tak tampak karena terlalu kecil dan lobus lain tampak homogen

berwarna abu-abu, dengan kista kecil berisi cairan seperti susu, kista ini disebut

kelenjar prostat.8

Mc Neal (1976) membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara

lain adalah : zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler

anterior, dan zona periuretral. Sebagian besar hiperplasia prostat terdapat pada

zona transisional yang letaknya proximal dari spincter externus di kedua sisi dari

verumontanum dan di zona periuretral. Kedua zona tersebut hanya merupakan 2%

dari seluruh volume prostat. Sedangkan pertumbuhan karsinoma prostat berasal

dari zona perifer.7,11

Prostat mempunyai kurang lebih 20 duktus yang bermuara dikanan dari

verumontanum dibagian posterior dari uretra pars prostatika. Disebelah depan

didapatkan ligamentum pubo prostatika, disebelah bawah ligamentum triangulare

inferior dan disebelah belakang didapatkan fascia denonvilliers.

Fascia denonvilliers terdiri dari 2 lembar, lembar depan melekat erat

dengan prostat dan vesika seminalis, sedangkan lembar belakang melekat secara

longgar dengan fascia pelvis dan memisahkan prostat dengan rektum.

Antara fascia endopelvic dan kapsul sebenarnya dari prostat didapatkan

jaringan peri prostat yang berisi pleksus prostatovesikal.8

Pada potongan melintang kelenjar prostat terdiri dari :

1. Kapsul anatomi

2. Jaringan stroma yang terdiri dari jaringan fibrosa dan jaringan muskuler

3. Jaringan kelenjar yang terbagi atas 3 kelompok bagian,

a. Bagian luar disebut kelenjar prostat sebenarnya.

b. Bagian tengah disebut kelenjar submukosa, lapisan ini disebut juga

sebagai adenomatous zone

c. Disekitar uretra disebut periurethral gland 12

3

Page 5: Grand Case urologi BPH

Pada BPH kapsul pada prostat terdiri dari 3 lapis :

1. Kapsul anatomis

2. Kapsul chirurgicum, ini terjadi akibat terjepitnya kelenjar prostat yang

sebenarnya (outer zone) sehingga terbentuk kapsul

3. Kapsul yang terbentuk dari jaringan fibromuskuler antara bagian

dalam (inner zone) dan bagian luar (outer zone) dari kelenjar prostat.12

BPH sering terjadi pada lobus lateralis dan lobus medialis karena

mengandung banyak jaringan kelenjar, tetapi tidak mengalami pembesaran pada

bagian posterior daripada lobus medius (lobus posterior) yang merupakan bagian

tersering terjadinya perkembangan suatu keganasan prostat. Sedangkan lobus

anterior kurang mengalami hiperplasi karena sedikit mengandung jaringan

kelenjar.8,12

2.3 Epidemiologi

Hiperplasia prostat merupakan penyakit pada pria tua dan jarang

ditemukan sebelum usia 40 tahun. Prostat normal pada pria mengalami

peningkatan ukuran yang lambat dari lahir sampai pubertas, waktu itu ada

peningkatan cepat dalam ukuran, yang kontinyu sampai usia akhir 30-an.

Pertengahan dasawarsa ke-5, prostat bisa mengalami perubahan hiperplasi.4

Prevalensi yang pasti di Indonesia belum diketahui tetapi berdasarkan

kepustakaan luar negeri diperkirakan semenjak umur 50 tahun 20%-30%

penderita akan memerlukan pengobatan untuk prostat hiperplasia. Yang jelas

prevalensi sangat tergantung pada golongan umur. Sebenarnya perubahan-

perubahan kearah terjadinya pembesaran prostat sudah dimulai sejak dini, dimulai

pada perubahan-perubahan mikroskopik yang kemudian bermanifestasi menjadi

kelainan makroskopik (kelenjar membesar) dan kemudian baru manifes dengan

gejala klinik.7

Berdasarkan angka autopsi perubahan mikroskopik pada prostat sudah

dapat ditemukan pada usia 30 – 40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini terus

berkembang akan terjadi perubahan patologi anatomi. Pada pria usia 50 tahun

angka kejadiannya sekitar 50%, dan pada usia 80 tahun sekitar 80%. Sekitar 50%

dari angka tersebut diatas akan menyebabkan gejala dan tanda klinik.1

2.4 Etiologi

4

Page 6: Grand Case urologi BPH

Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya

hiperplasia prostat, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia

prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan

proses aging (menjadi tua).11

Beberapa teori atau hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya

hiperplasia prostat adalah:

1. Teori Hormonal

Teori ini dibuktikan bahwa sebelum pubertas dilakukan kastrasi maka tidak

terjadi BPH, juga terjadinya regresi BPH bila dilakukan kastrasi. Selain

androgen (testosteron/DHT), estrogen juga berperan untuk terjadinya BPH.

Dengan bertambahnya usia akan terjadi perubahan keseimbangan hormonal,

yaitu antara hormon testosteron dan hormon estrogen, karena produksi

testosteron menurun dan terjadi konversi testosteron menjadi estrogen pada

jaringan adiposa di perifer dengan pertolongan enzim aromatase, dimana

sifat estrogen ini akan merangsang terjadinya hiperplasia pada stroma,

sehingga timbul dugaan bahwa testosteron diperlukan untuk inisiasi

terjadinya proliferasi sel tetapi kemudian estrogenlah yang berperan untuk

perkembangan stroma. Kemungkinan lain ialah perubahan konsentrasi

relatif testosteron dan estrogen akan menyebabkan produksi dan potensiasi

faktor pertumbuhan lain yang dapat menyebabkan terjadinya pembesaran

prostat.

Dari berbagai percobaan dan penemuan klinis dapat diperoleh kesimpulan,

bahwa dalam keadaan normal hormon gonadotropin hipofise akan

menyebabkan produksi hormon androgen testis yang akan mengontrol

pertumbuhan prostat. Dengan makin bertambahnya usia, akan terjadi

penurunan dari fungsi testikuler (spermatogenesis) yang akan menyebabkan

penurunan yang progresif dari sekresi androgen. Hal ini mengakibatkan

hormon gonadotropin akan sangat merangsang produksi hormon estrogen

oleh sel sertoli. Dilihat dari fungsional histologis, prostat terdiri dari dua

bagian yaitu sentral sekitar uretra yang bereaksi terhadap estrogen dan

bagian perifer yang tidak bereaksi terhadap estrogen.

2. Teori Growth Factor (faktor pertumbuhan)

5

Page 7: Grand Case urologi BPH

Peranan dari growth factor ini sebagai pemacu pertumbuhan stroma

kelenjar prostat. Terdapat empat peptic growth factor yaitu; basic

transforming growth factor, transforming growth factor 1,

transforming growth factor 2, dan epidermal growth factor.

3. Teori Peningkatan Lama Hidup Sel-sel Prostat karena Berkurangnya Sel

yang Mati

4. Teori Sel Stem (stem cell hypothesis)

Seperti pada organ lain, prostat dalam hal ini kelenjar periuretral pada

seorang dewasa berada dalam keadaan keseimbangan “steady state”,

antara pertumbuhan sel dan sel yang mati, keseimbangan ini disebabkan

adanya kadar testosteron tertentu dalam jaringan prostat yang dapat

mempengaruhi sel stem sehingga dapat berproliferasi. Pada keadaan

tertentu jumlah sel stem ini dapat bertambah sehingga terjadi proliferasi

lebih cepat. Terjadinya proliferasi abnormal sel stem sehingga

menyebabkan produksi atau proliferasi sel stroma dan sel epitel kelenjar

periuretral prostat menjadi berlebihan.

5. Teori Dihydro Testosteron (DHT)

Testosteron yang dihasilkan oleh sel leydig pada testis (90%) dan

sebagian dari kelenjar adrenal (10%) masuk dalam peredaran darah dan

98% akan terikat oleh globulin menjadi sex hormon binding globulin

(SHBG). Sedang hanya 2% dalam keadaan testosteron bebas.

Testosteron bebas inilah yang bisa masuk ke dalam “target cell” yaitu sel

prostat melewati membran sel langsung masuk kedalam sitoplasma, di

dalam sel, testosteron direduksi oleh enzim 5 alpha reductase menjadi 5

dyhidro testosteron yang kemudian bertemu dengan reseptor sitoplasma

menjadi “hormone receptor complex”. Kemudian “hormone receptor

complex” ini mengalami transformasi reseptor, menjadi “nuclear

receptor” yang masuk kedalam inti yang kemudian melekat pada

chromatin dan menyebabkan transkripsi m-RNA. RNA ini akan

menyebabkan sintese protein menyebabkan terjadinya pertumbuhan

kelenjar prostat.

6. Teori Reawakening

6

Page 8: Grand Case urologi BPH

Mc Neal tahun 1978 menulis bahwa lesi pertama bukan pembesaran

stroma pada kelenjar periuretral (zone transisi) melainkan suatu

mekanisme “glandular budding” kemudian bercabang yang

menyebabkan timbulnya alveoli pada zona preprostatik. Persamaan

epiteleal budding dan “glandular morphogenesis” yang terjadi pada

embrio dengan perkembangan prostat ini, menimbulkan perkiraan

adanya “reawakening” yaitu jaringan kembali seperti perkembangan

pada masa tingkat embriologik, sehingga jaringan periuretral dapat

tumbuh lebih cepat dari jaringan sekitarnya, sehingga teori ini terkenal

dengan nama teori reawakening of embryonic induction potential of

prostatic stroma during adult hood.

Selain teori-teori di atas masih banyak lagi teori yang menerangkan

tentang penyebab terjadinya BPH seperti; teori tumor jinak, teori rasial

dan faktor sosial, teori infeksi dari zat-zat yang belum diketahui, teori

yang berhubungan dengan aktifitas hubungan seks, teori peningkatan

kolesterol, dan Zn yang kesemuanya tersebut masih belum jelas

hubungan sebab-akibatnya.3,7,8,12

2.5 Patofisiologi

Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra pars

prostatika dan akan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan

peningkatan tekanan intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urin, buli-buli harus

berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus-menerus

ini menyebabkan perubahan anatomik dari buli-buli berupa hipertrofi otot

detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli. Fase

penebalan otot detrusor ini disebut fase kompensasi.

Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan oleh pasien sebagai keluhan

pada saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS)

yang dahulu dikenal dengan gejala-gejala prostatismus.

Dengan semakin meningkatnya resistensi uretra, otot detrusor masuk ke

dalam fase dekompensasi dan akhirnya tidak mampu lagi untuk berkontraksi

sehingga terjadi retensi urin. Tekanan intravesikal yang semakin tinggi akan

diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter.

7

Page 9: Grand Case urologi BPH

Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urin dari

buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesico-ureter. Keadaan ini jika berlangsung

terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh

ke dalam gagal ginjal.2,11

Pada BPH terdapat dua komponen yang berpengaruh untuk terjadinya

gejala yaitu komponen mekanik dan komponen dinamik. Komponen mekanik ini

berhubungan dengan adanya pembesaran kelenjar periuretra yang akan mendesak

uretra pars prostatika sehingga terjadi gangguan aliran urine (obstruksi infra

vesikal) sedangkan komponen dinamik meliputi tonus otot polos prostat dan

kapsulnya, yang merupakan alpha adrenergik reseptor. Stimulasi pada alpha

adrenergik reseptor akan menghasilkan kontraksi otot polos prostat ataupun

kenaikan tonus. Komponen dinamik ini tergantung dari stimulasi syaraf simpatis,

yang juga tergantung dari beratnya obstruksi oleh komponen mekanik.8

2.6 Gambaran Klinis

2.6.1 Gejala

Gejala hiperplasia prostat menurut Boyarsky dkk pada tahun 1977 dibagi

atas gejala obstruktif dan gejala iritatif.

Gejala obstruktif disebabkan oleh karena penyempitan uretara pars

prostatika karena didesak oleh prostat yang membesar dan kegagalan otot detrusor

untuk berkontraksi cukup kuat dan atau cukup lama sehingga kontraksi terputus-

putus. Gejalanya ialah :

1. Harus menunggu pada permulaan miksi (Hesistency)

2. Pancaran miksi yang lemah (Poor stream)

3. Miksi terputus (Intermittency)

4. Menetes pada akhir miksi (Terminal dribbling)

5. Rasa belum puas sehabis miksi (Sensation of incomplete bladder

emptying).2,3

Manifestasi klinis berupa obstruksi pada penderita hiperplasia prostat

masih tergantung tiga faktor yaitu :

1. Volume kelenjar periuretral

2. Elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat

8

Page 10: Grand Case urologi BPH

3. Kekuatan kontraksi otot detrusor

Tidak semua prostat yang membesar akan menimbulkan gejala obstruksi,

sehingga meskipun volume kelenjar periuretal sudah membesar dan elastisitas

leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat menurun, tetapi apabila masih

dikompensasi dengan kenaikan daya kontraksi otot detrusor maka gejala obstruksi

belum dirasakan.7

Pemeriksaan derajat beratnya obstruksi prostat dapat diperkirakan dengan

cara mengukur :

a. Residual urine yaitu jumlah sisa urin setelah penderita miksi spontan. Sisa

urin ini dapat dihitung dengan pengukuran langsung yaitu dengan cara

melakukan kateterisasi setelah miksi spontan atau ditentukan dengan

pemeriksaan ultrasonografi setelah miksi, dapat pula dilakukan dengan

membuat foto post voiding pada waktu membuat IVP. Pada orang

normal sisa urin biasanya kosong, sedang pada retensi urin total sisa urin

dapat melebihi kapasitas normal vesika. Sisa urin lebih dari 100 cc

biasanya dianggap sebagai batas indikasi untuk melakukan intervensi

pada penderita prostat hipertrofi.

b. Pancaran urin atau flow rate dapat dihitung secara sederhana yaitu dengan

menghitung jumlah urin dibagi dengan lamanya miksi berlangsung

(ml/detik) atau dengan alat uroflowmetri yang menyajikan gambaran

grafik pancaran urin. Untuk dapat melakukan pemeriksaan uroflow

dengan baik diperlukan jumlah urin minimal di dalam vesika 125 sampai

150 ml. Angka normal untuk flow rata-rata (average flow rate) 10

sampai 12 ml/detik dan flow maksimal sampai sekitar 20 ml/detik. Pada

obstruksi ringan flow rate dapat menurun sampai average flow antara 6-

8 ml/detik, sedang maksimal flow menjadi 15 mm/detik atau kurang.

Dengan pengukuran flow rate tidak dapat dibedakan antara kelemahan

detrusor dengan obstruksi infravesikal.

Obstruksi uretra menyebabkan bendungan saluran kemih sehingga

mengganggu faal ginjal karena hidronefrosis, menyebabkan infeksi dan

urolithiasis. Tindakan untuk menentukan diagnosis penyebab obstruksi maupun

menentukan kemungkinan penyulit harus dilakukan secara teratur.1,3,11

9

Page 11: Grand Case urologi BPH

Gejala iritatif disebabkan oleh karena pengosongan vesica urinaris yang

tidak sempurna pada saat miksi atau disebabkan oleh karena hipersensitifitas otot

detrusor karena pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada vesica,

sehingga vesica sering berkontraksi meskipun belum penuh., gejalanya ialah :

1. Bertambahnya frekuensi miksi (Frequency)

2. Nokturia

3. Miksi sulit ditahan (Urgency)

4. Disuria (Nyeri pada waktu miksi) (P/UI)

Gejala-gejala tersebut diatas sering disebut sindroma prostatismus.

Secara klinis derajat berat gejala prostatismus itu dibagi menjadi :

Grade I : Gejala prostatismus + sisa kencing 0 - 50 ml

Grade II : Gejala prostatismus + sisa kencing > 50 ml

Grade III : Retensi urin dengan sudah ada gangguan saluran kemih bagian

atas + sisa urin > 150 ml 7

Derajat berat gejala klinik prostat hiperplasia ini dipakai untuk

menentukan derajat berat keluhan subyektif, yang ternyata tidak selalu sesuai

dengan besarnya volume prostat. Gejala iritatif yang sering dijumpai ialah

bertambahnya frekuensi miksi yang biasanya lebih dirasakan pada malam hari.

Sering miksi pada malam hari disebut nocturia, hal ini disebabkan oleh

menurunnya hambatan kortikal selama tidur dan juga menurunnya tonus spingter

dan uretra. Simptom obstruksi biasanya lebih disebabkan oleh karena prostat

dengan volume besar. Apabila vesica menjadi dekompensasi maka akan terjadi

retensi urin sehingga pada akhir miksi masih ditemukan sisa urin didalam vesica,

hal ini menyebabkan rasa tidak bebas pada akhir miksi. Jika keadaan ini berlanjut

pada suatu saat akan terjadi kemacetan total, sehingga penderita tidak mampu lagi

miksi. Oleh karena produksi urin akan terus terjadi maka pada suatu saat vesica

tidak mampu lagi menampung urin sehingga tekanan intravesica akan naik terus

dan apabila tekanan vesica menjadi lebih tinggi daripada tekanan spingter akan

terjadi inkontinensia paradoks (over flow incontinence). Retensi kronik dapat

menyebabkan terjadinya refluk vesico uretra dan meyebabkan dilatasi ureter dan

sistem pelviokalises ginjal dan akibat tekanan intravesical yang diteruskam ke

ureter dari ginjal maka ginjal akan rusak dan terjadi gagal ginjal. Proses kerusakan

10

Page 12: Grand Case urologi BPH

ginjal dapat dipercepat bila ada infeksi. Disamping kerusakan tractus urinarius

bagian atas akibat dari obstruksi kronik penderita harus selalu mengedan pada

waktu miksi, maka tekanan intra abdomen dapat menjadi meningkat dan lama

kelamaan akan menyebabkan terjadinya hernia, hemoroid. Oleh karena selalu

terdapat sisa urin dalam vesica maka dapat terbentuk batu endapan didalam vesica

dan batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuri.

Disamping pembentukan batu, retensi kronik dapat pula menyebabkan terjadinya

infeksi sehingga terjadi systitis dan apabila terjadi refluk dapat terjadi juga

pielonefritis.3

Keluhan-keluhan diatas biasanya disusun dalam bentuk skor simptom.

Terdapat beberapa jenis klasifikasi yang dapat digunakan untuk membantu

diagnosis dan menentukan tingkat beratnya penyakit, diantaranya adalah skor

internasional gejala-gajala prostat WHO (International Prostate Symptom Score,

IPSS) dan skor Madsen Iversen.

Tabel 1. Skor Madsen Iversen dalam bahasa Indonesia

Pertanyaan 1 2 3 4 5

Pancaran Normal Berubah-ubah Lemah Menetes

Mengedan pada saat berkemih

Tidak Ya

Harus menunggu pada saat akan kencing

Tidak Ya

Buang air kecil terputus-putus

Tidak Ya

Kencing tidak lampias

Tidak tahu

Berubah-ubah Tidak lampias

1 kali retensi

>1 kali retensi

Inkontinensia Ya

Kencing sulit ditunda

Tidak ada Ringan Sedang Berat

Kencing malam hari

0-1 2 3-4 >4

Kencing siang hari

>3 jam sekali

Setiap 2-3 jam sekali

Setiap 1-2 jam sekali

<1>

11

Page 13: Grand Case urologi BPH

Tabel 2. Skor internasional gejala-gejala prostat WHO (International

Prostate Symptom Score, IPSS)

Pertanyaan

Keluhan pada bulan terakhir

Tidak sama sekali

Kurang dari 20% waktu

20-30% waktu

50% waktu

> 50% waktu Hampir selalu

Adakah anda merasa buli-buli tidak kosong setelah buang air kecil

0 1 2 3 4 5

Berapa kali anda hendak buang air kecil lagi dalam waktu 2 jam setelah buang air kecil

0 1 2 3 4 5

Berapa kali terjadi air kencing berhenti sewaktu buang air kecil

0 1 2 3 4 5

Berapa kali anda tidak dapat menahan keinginan buang air kecil

0 1 2 3 4 5

Berapa kali arus air seni lemah sekali sewaktu buang kecil

0 1 2 3 4 5

Berapa kali terjadi anda mengalami kesulitan memulai buang air kecil (harus mengejan)

0 1 2 3 4 5

Berapa kali anda bangun untuk buang air kacil di waktu malam

0 1 2 3 4 5

Andaikata hal yang anda alami sekarang akan tetap berlangsung seumur hidup, bagaimana perasaan anda

Sangat senang

Cukup senag

Biasa saja

Agak tidak senang

Tidak menyenangkan

Sangat tidak menyenangkan

Dari skor I-PSS itu dapat dikelompokkan gejala LUTS dalam 3 derajat, yaitu

1. Ringan : skor 0 – 7

12

Page 14: Grand Case urologi BPH

2. Sedang : skor 8 – 19

3. Berat : skor 20 – 35

2.6.2 Tanda

1. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan colok dubur atau Digital Rectal Examination (DRE) sangat

penting. Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan gambaran tentang keadaan

tonus spingter ani, reflek bulbo cavernosus, mukosa rektum, adanya kelainan lain

seperti benjolan pada di dalam rektum dan tentu saja teraba prostat. Pada perabaan

prostat harus diperhatikan :

a. Konsistensi prostat (pada hiperplasia prostat konsistensinya kenyal)

b. Adakah asimetris

c. Adakah nodul pada prostate

d. Apakah batas atas dapat diraba

e. Sulcus medianus prostate

f. Adakah krepitasi

Colok dubur pada hiperplasia prostat menunjukkan konsistensi prostat

kenyal seperti meraba ujung hidung, lobus kanan dan kiri simetris dan tidak

didapatkan nodul. Sedangkan pada carcinoma prostat, konsistensi prostat keras

dan atau teraba nodul dan diantara lobus prostat tidak simetris. Sedangkan pada

batu prostat akan teraba krepitasi.

Pemeriksaan fisik apabila sudah terjadi kelainan pada traktus urinaria

bagian atas kadang-kadang ginjal dapat teraba dan apabila sudah terjadi

pnielonefritis akan disertai sakit pinggang dan nyeri ketok pada pinggang. Vesica

urinaria dapat teraba apabila sudah terjadi retensi total, daerah inguinal harus

mulai diperhatikan untuk mengetahui adanya hernia. Genitalia eksterna harus pula

diperiksa untuk melihat adanya kemungkinan sebab yang lain yang dapat

menyebabkan gangguan miksi seperti batu di fossa navikularis atau uretra

anterior, fibrosis daerah uretra, fimosis, condiloma di daerah meatus.

Pada pemeriksaan abdomen ditemukan kandung kencing yang terisi

penuh dan teraba masa kistus di daerah supra simfisis akibat retensio urin dan

kadang terdapat nyeri tekan supra simfisis.

13

Page 15: Grand Case urologi BPH

2. Pemeriksaan laboratorium

a. Darah : - Ureum dan Kreatinin

- Elektrolit

- Blood urea nitrogen

- Prostate Specific Antigen (PSA)

- Gula darah

b. Urin : - Kultur urin + sensitifitas test

- Urinalisis dan pemeriksaan mikroskopik

- Sedimen

3. Pemeriksaan pencitraan

a. Foto polos abdomen (BNO)

Dari sini dapat diperoleh keterangan mengenai penyakit ikutan misalnya

batu saluran kemih, hidronefrosis, atau divertikel kandung kemih juga

dapat untuk menghetahui adanya metastasis ke tulang dari carsinoma

prostat.

b. Pielografi Intravena (IVP)

Pembesaran prostat dapat dilihat sebagai lesi defek isian kontras

(filling defect/indentasi prostat) pada dasar kandung kemih atau

ujung distal ureter membelok keatas berbentuk seperti mata kail

(hooked fish).

Mengetahui adanya kelainan pada ginjal maupun ureter berupa

hidroureter ataupun hidronefrosis serta penyulit yang terjadi pada

buli – buli yaitu adanya trabekulasi, divertikel atau sakulasi buli –

buli.

Foto setelah miksi dapat dilihat adanya residu urin

c. Sistogram retrograde

Apabila penderita sudah dipasang kateter oleh karena retensi urin, maka

sistogram retrograd dapat pula memberi gambaran indentasi.

d. Transrektal Ultrasonografi (TRUS)

- deteksi pembesaran prostat

14

Page 16: Grand Case urologi BPH

- mengukur volume residu urin

e. MRI atau CT jarang dilakukan

Digunakan untuk melihat pembesaran prostat dan dengan bermacam –

macam potongan.

4. Pemeriksaan lain

a. Uroflowmetri

Untuk mengukur laju pancaran urin miksi. Laju pancaran urin ditentukan

oleh :

- daya kontraksi otot detrusor

- tekanan intravesica

- resistensi uretra

Angka normal laju pancaran urin ialah 12 ml/detik dengan puncak laju

pancaran mendekati 20 ml/detik. Pada obstruksi ringan, laju pancaran

melemah menjadi 6 – 8 ml/detik dengan puncaknya sekitar 11 – 15

ml/detik. Semakin berat derajat obstruksi semakin lemah pancaran urin

yang dihasilkan.

b. Pemeriksaan Tekanan Pancaran (Pressure Flow Studies)

Pancaran urin melemah yang diperoleh atas dasar pemeriksaan

uroflowmetri tidak dapat membedakan apakah penyebabnya adalah

obstruksi atau daya kontraksi otot detrusor yang melemah. Untuk

membedakan kedua hal tersebut dilakukan pemeriksaan tekanan pancaran

dengan menggunakan Abrams-Griffiths Nomogram. Dengan cara ini maka

sekaligus tekanan intravesica dan laju pancaran urin dapat diukur.

c. Pemeriksaan Volume Residu Urin

Volume residu urin setelah miksi spontan dapat ditentukan dengan cara

sangat sederhana dengan memasang kateter uretra dan mengukur berapa

volume urin yang masih tinggal. Pemeriksaan sisa urin dapat juga

diperiksa (meskipun kurang akurat) dengan membuat foto post voiding

atau USG.1,2,3,7,8

2.7 Diagnosis

Diagnosis hiperplasia prostat dapat ditegakkan melalui :

15

Page 17: Grand Case urologi BPH

1. Anamnesis : gejala obstruktif dan gejala iritatif

2. Pemeriksaan fisik : terutama colok dubur ; hiperplasia prostat teraba

sebagai prostat yang membesar, konsistensi kenyal, permukaan rata,

asimetri dan menonjol ke dalam rektum. Semakin berat derajat

hiperplasia prostat batas atas semakin sulit untuk diraba.

3. Pemeriksaan laboratorium : berperan dalam menentukan ada tidaknya

komplikasi.

4. Pemeriksaan pencitraan :

Pada pielografi intravena terlihat adanya lesi defek isian kontras pada

dasar kandung kemih atau ujung distal ureter membelok ke atas

berbentuk seperti mata kail. Dengan trans rectal ultra sonography

(TRUS), dapat terlihat prostat yang membesar.

5. Uroflowmetri : tampak laju pancaran urin berkurang.

6. Mengukur volume residu urin : Pada hiperplasi prostat terdapat volume

residu urin yang meningkat sesuai dengan beratnya obstruksi (lebih dari

150 ml dianggap sebagai batas indikasi untuk melakukan intervensi).2

2.8 Diagnosis Banding

1. Kelemahan detrusor kandung kemih

a. kelainan medula spinalis

b. neuropatia diabetes mellitus

c. pasca bedah radikal di pelvis

d. farmakologik

2. Kandung kemih neuropati, disebabkan oleh :

a. kelainan neurologik

b. neuropati perifer

c. diabetes mellitus

d. alkoholisme

e. farmakologik (obat penenang, penghambat alfa dan parasimpatolitik)

3. Obstruksi fungsional :

a. dis-sinergi detrusor-sfingter terganggunya koordinasi antara kontraksi

detrusor dengan relaksasi sfingter

16

Page 18: Grand Case urologi BPH

b. ketidakstabilan detrusor

4. Kekakuan leher kandung kemih :

a. fibrosis

5. Resistensi uretra yang meningkat disebabkan oleh :

a. hiperplasia prostat jinak atau ganas

b. kelainan yang menyumbatkan uretra

c. uretralitiasis

d. uretritis akut atau kronik

e. striktur uretra

6. Prostatitis akut atau kronis 1,2

2.9 Kompikasi

Dilihat dari sudut pandang perjalanan penyakitnya, hiperplasia prostat

dapat menimbulkan komplikasi sebagai berikut :

1. Inkontinensia Paradoks

2. Batu Kandung Kemih

3. Hematuria

4. Sistitis

5. Pielonefritis

6. Retensi Urin Akut Atau Kronik

7. Refluks Vesiko-Ureter

8. Hidroureter

9. Hidronefrosis

10. Gagal Ginjal 2

2.10 Penatalaksanaan

Tidak semua pasien hiperplasia prostat perlu menjalani tindakan medik.

Kadang-kadang mereka yang mengeluh LUTS ringan dapat sembuh sendiri tanpa

mendapatkan terapi apapun atau hanya dengan nasehat dan konsultasi saja.

Namun, diantara mereka akhirnya ada yang membutuhkan terapi medikamentosa

atau tindakan medik yang lain karena keluhannya semakin parah.1,2,4

Tujuan terapi pada pasien hiperplasia prostat adalah (1) memperbaiki

keluhan miksi, (2) meningkatkan kualitas hidup, (3) mengurangi obstruksi 17

Page 19: Grand Case urologi BPH

infravesika, (4) mengembalikan fungsi ginjal jika terjadi gagal ginjal, (5)

mengurangi volume residu urine setelah miksi, dan (6) mencegah progresifitas

penyakit. Hal ini dapat dicapai dengan cara medikamentosa, pembedahan, atau

tindakan endourologi yang kurang invasif. 1,2,4

Watchfull waiting

Pilihan terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS dibawah

7, yaitu keluhan ringan yang tidak mengganggu aktivitas sehari-hari. Pasien tidak

mendapatkan terapi apapun dan hanya diberi penjelasan mengenai sesuatu hal

yang mungkin dapat memperburuk keluhannya, misalnya (1) jangan

mengkonsumsi kopi atau alkohol setelah makan malam, (2) kurangi konsumsi

makanan atau minuman yang mengiritasi buli-buli (kopi atau cokelat), (3) batasi

penggunaan obat-obat influenza yang mengandung fenilpropanolamin, (4) kurangi

makanan pedas dan asin, dan (5) jangan menahan kencing terlalu lama.

Secara periodik pasien diminta untuk datang kontrol dengan ditanya

keluhannya apakah menjadi lebih baik (sebaiknya memakai skor yang baku),

disamping itu dilakukan pemeriksaan laboratorium, residu urine, arau

uroflowmetri. Jika keluhan miksi bertambah jelek daripada sebelumnya, mungkin

perlu dipikirkan untuk memilih terapi yang lain.

Medikamentosa

Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk : (1) mengurangi

resistensi otot polos prostat sebagai komponen dinamik penyebab obstruksi

infravesika dengan obat-obatan penghambat adrenergik alfa dan (2) mengurangi

volume prostat sebagai komponen statik dengan cara menurunkan hormon

testosteron / dihdrotestosteron (DHT) melalui penghambat 5α-reduktase.

- Penghambat reseptor adrenergik-α

Fenoksibenzamin yaitu penghambat alfa yang tidak selektif yang ternyata

mampu memperbaiki laju pancaran miksi dan mengurangi keluhan miksi. Obat

ini tidak disenangi karena menyebabkan komplikasi sistemik yang tidak

diharapkan, diantaranya adalah hipotensi postural dan kelainan kardiovaskular

lain.

18

Page 20: Grand Case urologi BPH

Ditemukannya obat penghambat adrenergik-α1 dapat mengurangi penyulit

sistemik yang diakibatkan oleh efek hambatan pada α2 dari fenoksibenzamin.

Beberapa golongan obat penghambat adrenergik-α1 adalah : prasozin yang

diberikan dua kali sehari, terazosin, afluzosin, dan doksazosin yang diberikan

sekali sehari. Obat-obatan golongan ini dapat memperbaiki keluhan miksi dan

laju pancaran urine.

Akhir-akhir ini telah ditemukan golongan penghambat adrenergik-α1A,

yaitu tamsulosin yang sangat selektif terhadap otot polos prostat. Dilaporkan

bahwa obat ini mampu memperbaiki pancaran miksi tanpa menimbulkan efek

terhadap tekanan darah maupun denyut jantung.

- Penghambat 5α-reduktase

Obat ini bekerja dengan cara menghambat pembentukan dihidrotestosteron

(DHT) dari testosteron yang dikatalisis oleh enzim 5 α- reduktase didalam sel-

sel prostat. Menurunnya kadar DHT menyebabkan sintesis protein dan

replikasi sel-sel prostat menurun.

Dilaporkan bahwa pemberian obat finasterid 5mg sehari yang diberikan

sekali setelah enam bulan mampu menyebabkan penurunan prostat hingga

28%; hal ini memperbaiki keluhan miksi dan pancaran miksi.

Operasi

Pembedahan

19

Page 21: Grand Case urologi BPH

Penyelesaian masalah pasien hiperplasia prostat jangka panjang yang

paling baik saat ini adalah pembedahan, karena pemberian obat-obatan atau terapi

non invasif lainnya membutuhkan jangka waktu sangat lama untuk melihat hasil

terapi.

Desobstruksi kelenjar prostat akan menyembuhkan gejala obstruksi dan

miksi yang tidak tuntas. Hal ini dapat dikerjakan dengan cara operasi terbuka,

reseksi prostat transuretra (TURP), atau insisi prostat transuretra (TUIP atau BNI).

Pembedahan direkomendasikan pada pasien-pasien BPH yang : (1) tidak

menunjukkan perbaikan setelah terapi medikamentosa, (2) mengalami retensi

urine, (3) infeksi saluran kemih berulang, (4) hematuria, (5) gagal ginjal, dan (6)

timbulnya batu saluran kemih atau penyulit lain akibat obstruksi saluran kemih

bagian bawah.

Pembedahan terbuka

Beberapa macam teknik operasi prostatektomi terbuka adalah metode dari

Millin yaitu melakukan enukleasi kelenjar prostat melalui pendekatan retropubik

infravesika, Freyer melalui pendekatan suprapubik transvesika, atau transperineal.

Prostatekstomi terbuka adalah tindakan paling invasif, dan paling efisien sebagai

terapi BPH. Prostatektomi terbuka dapat dilakukan melalui pendekatan

suprapubik transvesikal (Freyer) atau retropubik infravesikel (Millin).

Prostatektomi terbuka dianjurkan untuk prostat yang sangat besar (>100 gram).

Penyulit yang dapat terjadi setelah prostatektomi adalah : inkontinensia

urine (3%), impotensi (5-10%), ejakulasi retrograde (60-80%) dan kontraktur

leher buli-buli (3-5%). Dibandingkan TURP dan BNI, penyulit yang terjadi

berupa striktur uretra dan ejakulasi retrograde lebih banyak dijumpai pada

prostatektomi terbuka. Perbaikan gejala klinis sebanyak 85-100%, dan angka

mortalitas sebanyak 2%.

20

Page 22: Grand Case urologi BPH

Pembedahan Endourologi

TURP saat ini merupakan tindakan yang paling banyak dikerjakan.

Operasi ini lebih disenangi karena tidak diperlukan insisi pada kulit perut, massa

mondok lebih cepat, dan memberikan hasil yang tidak banyak berbeda dengan

tindakan operasi terbuka. Pembedahan endourologi transuretra dapat dilakukan

dengan memakai tenaga elektrik TURP (Transurethral Resection of the Prostate)

atau dengan memakai energi Laser. Operasi terhadap prostat berupa reseksi

(TURP), Insisi (TUIP), atau evaporasi.

- TURP (Transurethral Resection of the Prostate)

Reseksi kelenjar prostat dilakukan transuretra dengan mempergunakan

cairan irigan (pembilas) agar daerah yang akan direseksi tetap terang dan tidak

tertutup oleh darah. Cairan yang dipergunakan adalah berupa larutan non ionic,

yang dimaksudkan agar tidak terjadi hantaran listrik pada saat operasi. Cairan

yang sering dipakai dan harganya cukup murah yaitu H2O steril (aquades).

Salah satu kerugian dari aquades adalah sifatnya yang hipotonik sehingga

cairan ini dapat masuk ke sirkulasi sistemik melalui pembuluh darah vena yang

terbuka pada saat reseksi. Kelebihan H2O dapat menyebabkan terjadinya

hiponatremia relatif atau gejala intoksikasi air atau dikenal dengan sindroma

TURP. Sindroma ini ditandai dengan pasien yang mulai gelisah, kesadaran

somnolen, takanan darah meningkat, dan terdapat bradikardia. Jika tidak segera

diatasi, pasien akan mengalami edema otak yang akhirnya jatuh dalam koma

dan meninggal. Angka mortalitas sindroma TURP ini adalah sebesar 0,99%.

Untuk mengurangi resiko timbulnya sindroma TURP operator harus

membatasi diri ini untuk tidak melakukan reseksi lebih dari 1 jam. Disamping

itu operator memasang sistostomi suprapubik terlebih dahulu sebelum reseksi

diharapkan dapat mengurangi penyerapan air ke sirkulasi sistemik. Penggunaan

cairan non ionik lain selain H2O yaitu glisin dapat mengurangi resiko

hiponatremia pada TURP, tetapi harganya cukup mahal.

Selain sindroma TURP beberapa penyulit bisa terjadi pada saat operasi,

pasca bedah dini, ataupun pasca bedah lanjut

21

Page 23: Grand Case urologi BPH

Selama Operasi Pasca Bedah Dini Pasca Bedah Lanjut

o Perdarahan

o Sindroma TURP

o Perforasi

o Perdarahan

o Infeksi lokal atau

sistemik

o Inkontinensia

o Disfungsi ereksi

o Ejakulasi

Retrograd

o Striktur Uretra

Pada hiperplasia prostat yang tidak begitu besar, tanpa ada pembesaran

lobus medius, dan pada pasien yang umurnya masih muda hanya diperlukan

insisi kelenjar prostat atau TUIP (Transurethral Incision of the Prostate) atau

insisi leher buli-buli atau BNI (Bladder Neck Incision). Sebelum melakukan

tindakan ini, harus disingkirkan kemungkinkan adanya karsinoma prostat

dengan melakukan colok dubur, melakukan pemeriksaan ultrasonografi

transrektal, atau pengukuran kadar PSA.

TURP (Transurethral Resection of the Prostate)

TUIP ( Transurethral Incision of the Prostate )

- Elektrovaporisasi prostat

22

Page 24: Grand Case urologi BPH

Cara elektrovaporisasi prostat adalah sama dengan TURP, hanya saja

teknik ini memakai roller ball yang spesifik dan dengan mesin diatermi yang

cukup kuat, sehingga mampu membuat vaporisasi kelenjar prostat. Teknik ini

cukup aman, tidak banyak menimbulkan perdarahan pada saat operasi, dan

masa mondok di rumah sakit singkat. Namun teknik ini hanya diperutukkan

pada prostat yang tidak terlalu besar (<50 gram) dan membutuhkan waktu

operasi yang lebih lama.

- Laser Prostatektomi

Terdapat 4 jenis energi yang dipakai : Nd:YAG, Holmium: YAG,

KTP:YAG, dan diode yang dapat dipancarkan melalui bare fibre, right angle

fibre, atau interstitial fibre. Kelenjar prostat pada suhu 60-65oC akan

mengalami koagulasi dan pada suhu yang lebih tinggi dari 100oC mengalami

vaporasasi.

Jika dibandingkan dengan pembedahan, pamakaian laser ternyata lebih

sedikit menimbulkan komplikasi, dapat dikerjakan secara poliklinis,

penyembuhan lebih cepat, dan dengan hasil yang kurang lebih sama.

Sayangnya terapi ini membutuhkan terapi ulang 2% setiap tahun.

Kekurangannya adalah : tidak dapat diperoleh jaringan untuk pemeriksaan

patologi (kecuali pada Ho:YAG). Sering banyak menimbukkan disuria pasca

bedah yang dapat berlangsung sampai 2 bulan, tidak langsung dapat miksi

spontan setelah operasi, dan peak flow rate lebih rendah dari pada pasca TURP.

Tindakan Invasif Minimal

Termoterapi

Termoterapi kelanjar prostat adalah pemanasan dengan gelombang mikro

pada frekuensi 915-1296 Mhz yang dipancarkan melalui antena yang diletakkan

di dalam uretra. Dengan pemanasan yang melebihi 44oC menyebabkan destruksi

jaringan pada zona transisional prostat karena nekrosis koagulasi.

Energi panas yang bersamaan dengan gelombang mikro dipancarkan

melalui kateter yang terpasang didalam uretra. Besar dan arah pancaran energi

23

Page 25: Grand Case urologi BPH

diatur melalui sebuah komputer sehingga dapat melunakkan jaringan prostat yang

membuntu uretra. Cara ini direkomendasikan bagi prostat yang ukurannya kecil.

TUNA (Transurethral Needle Ablation of the Prostate)

Teknik ini memakai energi dari frekuensi radio yang menimbulkan panas

sampai mencapai 100oC, sehingga menyebabkan nekrosis jaringan prostat. Sistem

ini terdiri atas kateter TUNA yang dihubungkan dengan generator yang dapat

membangkitkan energi pada frekuensi radio 490 kHz. Kateter dimasukkan

kedalam uretra melalui sistoskopi dengan pemberian anestesi topikal xylocaine

sehingga jarum yang terletak pada ujung kateter terletak pada kelenjar prostat.

Pasien sering kali masih mengeluh hematuria, disuria, kadang-kadang retensi

urine, dan epididimo-orkitis.

Stent

Stent prostat dipasang pada uretra prostatika untuk mengatasi obstruksi

karena pembesaran prostat. Stent dipasang intraluminal di antara leher buli-buli

dan di sebelah proksimal verumontanum sehingga urine dapat leluasa melewati

lumen uretra prostatika. Stent dapat dipasang secara temporer atau permanen.

24

Page 26: Grand Case urologi BPH

Yang temporer dipasang selama 6-36 bulan dan terbuat dari bahan yang tidak

diserap atau tidak mengadakan reaksi dengan jaringan. Alat ini dipasang dan

dilepas kembali secara endoskopi.

Stent yang permanen terbuat dari anyaman dari bahan logam super alloy,

nikel, atau titanium. Dalam jangka waktu lama bahan ini akan diliputi oleh

urotelium sehingga jika suatu saat ingin dilepas harus membutuhkan anestesi

umum atau regional.

Pemasangan alat ini diperuntukkan bagi pasien yang tidak mungkin

menjalani operasi karena resiko pembedahan yang cukup tinggi. Seringkali stent

dapat terlepas dari insersinya di uretra posterior atau mengalami enkrustasi.

Sayangnya setelah pemasangan kateter ini, pasien masih merasakan keluhan miksi

berupa gejala iritatif, perdarahan uretra, atau rasa tidak enak di daerah penis.

HIFU (High Intensity Focused Ultrasound)

Energi panas yang ditujukan untuk menimbulkan nekrosis pada prostat

berasal dari gelombang ultrasonografi dan transduser piezokeramik yang

mempunyai frekuensi 0,5-10 MHz. Energi dipancarkan melalui alat yang

diletakkan transrektal dan difokuskan ke kelenjar prostat. Teknik ini memerlukan

anestesi umum. Data klinis menunjukkan terjadi perbaikan gejala klinis 50-60%

dan Qmax rata-rata meningkat 40-50%. Efek lebih lanjut dari tindakan belum

diketahui, dan sementara tercatat bahwa kegagalan terapi terjadi sebanyak 10%

setiap tahun.

TUBD (Transurethral balloon dilation of the prostate)

25

Page 27: Grand Case urologi BPH

Balon dilator prostat ditempatkan dengan kateter khusus yang dapat

melebarkan fossa prostatika dan leher buli-buli. Lebih efektif pada prostat yang

ukurannya kecil (<40cm3). Teknik ini jarang digunakan sekarang ini.

Terapi non bedah dianjurkan bila WHO PSS tetap dibawah 15, untuk itu

dianjurkan untuk melakukan kontrol dengan menentukan WHO PSS. Terapi

bedah dianjurkan bila WHO PSS 25 keatas atau bila timbul obstruksi.

Derajat berat Hiperplasia Prostat berdasarkan Gambaran Klinis

Derajat Colok Dubur Sisa Volume Urin

I Penonjolan prostat , batas atas mudah

diraba

< 50 ml

II Penonjolan prostat jelas, batas atas dapat

dicapai

50-100 ml

III Batas atas prostat tidak dapat diraba > 100 ml

IV Retensi urin total

Penderita derajat satu biasanya belum memerlukan tindak bedah diberikan

pengobatan konservatif, misalnya dengan penghambat adrenoreseptor alfa

seperti alfazosin, prazosin, terazosin, dan tamsulosin. Keuntungan obat

penghambat adrenoreseptor alfa ialah efek positif segera terhadap keluhan,

tetapi tidak mempengaruhi proses hiperplasia prostat sedikitpun. Pemberian

obat ini dapat menyebabkan hipotensi. Kekurangannya ialah obat ini tidak

dianjurkan untuk pemakaian lama.

26

Page 28: Grand Case urologi BPH

Derajat dua merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan, biasanya

dianjurkan reseksi endoskopik melalui uretra ( Trans Urethral Resection, TUR

). Kadang derajat dua dapat dicoba dengan pengobatan konservatif.

Derajat tiga, reseksi endoskopik dapat dikerjakan. Apabila diperkirakan prostat

sudah cukup besar sehingga reseksi tidak akan selesai dalam satu jam,

sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka melalui transvesikal, retropubik atau

perineal.

Derajat empat, tindakan pertama yang harus dikerjakan ialah membebaskan

penderita dari retensi urin total dengan memasang kateter atau sistostomi.

Setelah itu, dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk melengkapi diagnosis,

kemudian terapi definitif dengan TUR atau Pembedahan Terbuka.

Penderita yang keadaan umumnya tidak memungkinkan untuk dilakukan

pembedahan, dapat diusahakan pengobatan konservatif dengan memberikan obat

penghambat alfa adrenoreseptor. Efek samping obat ini ialah gejala hipotensi,

seperti pusing, lemas, palpitasi, dan rasa lemah.

Pengobatan konservatif lain ialah dengan pemberian obat antiandrogen

yang menekan produksi LH. Kesulitan pengobatan konservatif ini adalah

menentukan berapa lama obat harus diberikan dan efek samping obat. Pada

tingkat yang lebih rendah dapat diberikan obat anti androgen yang mekanisme

kerjanya mencegah hidrolise testosteron menjadi DHT dengan memberikan

penghambat 5-a reduktase inhibitors, sehingga jumlah DHT berkurang, contohnya

obat tersebut adalah finesterid, Proscar. Obat antiandrogen lain yang juga bekerja

pada tingkat prostat ialah obat yang mempunyai mekanisme kerja sebagai

inhibitor kompetitif terhadap reseptor DHT sehingga DHT tidak dapat

membentuk kompleks DHT-Reseptor.

Pengobatan lain yang invasif minimal ialah

Pemanasan prostat dengan gelombang mikro yang disalurkan ke kelenjar

prostat melalui antena yang dipasang pada ujung kateter. Transurethral

27

Page 29: Grand Case urologi BPH

microwave thermotherapy (TUMT) ini diperoleh hasil perbaikan kira-kira 75%

untuk gejala objektif.

Transurethral ultrasound guided laser induced prostatectomy (TULIP)

digunakan cahaya laser.

Uretra di daerah prostat dapat didilatasikan dengan menggunakan balon yang

dikembangkan didalamnya (transurethtral balloon dilatation, TUBD),

biasanya hanya memberikan perbaikan yang bersifat sementara.

Kontrol Berkala

Setiap pasien hiperplasia prostat yang telah mendapatkan pengobatan perlu

kontrol secara teratur untuk mengetahui perkembangan penyakitnya. Jadwal

kontrol tergantung pada tindakan apa yang sudah dijalaninya.

Pasien yang hanya mendapatkan pengawasan (watchfull waiting)

dianjurkan kontrol setelah 6 bulan, kemudian setiap tahun untuk mengetahui

apakah terjadi perbaikan klinis. Penilaian dilakukan dengan pemeriksaan skor

IPSS, uroflometri, dan residu urin pasca miksi.

Pasien yang mendapatkan terapi penghambat 5α-reduktase harus dikontrol

pada minggu ke 12 dan bulan ke 6 untuk menilai respon terhadap terapi.

Kemudian setiap tahun untuk menilai perbaikan gejala miksi. Pasien yang

menjalani pengobatan penghambat 5α-adrenergik harus dinilai respon terhadap

pengobatan setelah 6 minggu dengan melakukan pemeriksaan IPSS, uroflometri,

dan residu urine paska miksi. Kalau terjadi perbaikan gejala tanpa menunjukkan

penyulit yang berarti, pengobatan dapat diteruskan. Selanjutnya kontrol dilakukan

setelah 6 bulan dan kemudian setiap tahun. Pasien setelah menerima pengobatan

secara medikamentosa dan tidak menunjukkan tanda-tanda perbaikan perlu

dipikirkan tindakan pembedahan atau terapi intervensi yang lain.

Setelah pembedahan, pasien harus menjalani kontrol paling lambat 6

minggu pasaca operasi untuk mengetahui kemungkinan terjadinya penyulit.

Kontrol selanjutnya setelah 3 bulan untuk mengetahui hasil akhir operasi.

Pasien yang mendapatkan terapi invasif minimal harus menjalani kontrol

secara teratur dalam jangka waktu lama, yaitu setelah 6 minggu, 3 bulan, 6 bulan,

28

Page 30: Grand Case urologi BPH

dan setiap tahun. Pada pasien yang mendapatkan terapi invasif minimal, selain

dilakukan penilaian terhadap skor miksi, dilakukan pemeriksaan kultur urine.

BAB III

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS

Nama : Tn. K

Usia : 61 tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

29

Page 31: Grand Case urologi BPH

Status : Menikah

Alamat : Muko-muko

No. RM : 916261

II. ANAMNESIS

a. Keluhan Utama:

Tidak dapat buang air kecil sejak 1 hari yang lalu.

b. Riwayat Penyakit Sekarang :

Tidak dapat buang air kecil sejak 1 hari yang lalu.

Awalnya pasien dikonsulkan rumah sakit muko-muko dengan

apendisitis akut.

Pasien sulit buang air kecil sejak ± 1 tahun yang lalu.

Buang air kecil dirasakan tidak lancar, untuk keluarnya air seni harus

menunggu terlebih dahulu dan juga harus mengedan, air seni keluar

terputus-putus, pancaran keluarnya dirasakan lemah dan diakhir

kencing pasien mengaku kencing menetes. Setelah selesai buang air

kecil pasien juga mengaku perut terasa masih berisi sehingga sering

ingin buang air kecil kembali, hal ini juga dirasakan pada malam hari,

pasien mengaku pada malam hari cukup sering buang air kecil

sehingga pasien sulit untuk tidur.

Buang air besar normal.

Nyeri perut kanan bawah tidak ada.

b. Riwayat penyakit dahulu

- Riwayat Diabetes Melitus disangkal

- Riwayat Hipertensi disangkal

- Riwayat Kencing Berpasir atau Kencing Batu disangkal

c. Riwayat penyakit keluarga

Tidak ada anggota keluarga yang memiliki sakit sama dengan pasien

sekarang.

30

Page 32: Grand Case urologi BPH

III. PEMERIKSAAN FISIK

Kesadaran : GCS (E4V5M6 = 15) Compos Mentis, sedang, gizi kurang.

Vital sign :

- TD : 130/80

- T : 36.7oC

- RR : 18x/menit

- Nadi : 90x/menit

a. KEPALA DAN LEHER

- Kepala : tidak ada kelainan

- Rambut : beruban tidak mudah dicabut

- Mata : conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

- Telinga : tidak ada kelainan

- Hidung : tidak ada kelainan

- Mulut : tidak ada kelainan

- Leher : tidak ada pembesaran kelenjar limfe

b. THORAX

- Jantung : dalam batas normal

- Paru : dalam batas normal

c. ABDOMEN

- Inspeksi : datar, tak tampak massa dan sikatriks

- Auskultasi : Bising usus (+) normal

- Perkusi : Timpani Seluruh lapang abdomen, Nyeri ketuk (-)

- Palpasi : Dinding abdomen supel, defans muscular (-),

organomegali (-), nyeri tekan (-), nyeri lepas (-)

d. EKSTREMITAS

Akral hangat, tidak sianosis, tidak edema

e. STATUS LOKALIS (STATUS UROLOGIKUS)

31

Page 33: Grand Case urologi BPH

- Regio Costo Vertebrae Angle (CVA) sinistra et dextra:

Inspeksi: Bulging (-/-)

Palpasi : Ballotement (-/-)

Palpasi : Nyeri ketok (-/-)

- Regio suprapubik

Inspeksi : Datar, tidak tampak massa

Palpasi : Nyeri tekan (-), tidak teraba massa

Perkusi : Timpani

- Regio anal

Inspeksi : Tidak tampak massa

Palpasi : Tidak ada nyeri tekan

Rectal Toucher : Anus tampak tenang, tonus sfingter

ani cukup menjepit, ampula recti tidak kolaps, mukosa

rectum licin. Prostat : teraba membesar di anterior ± 40

gr, tanpa nodul, pole atas tidak dapat diraba, kenyal,

permukaan licin, sulkus medianus teraba.

Sarung tangan : feses tidak ada, darah tidak ada,

lendir tidak ada.

IV. DIAGNOSIS KERJA

Retensio Urin ec. Suspek Benign Prostat Hyperplasia

V. PEMERIKSAAN LAB

Hb : 11,8 gr%

Leukosit : 7.800/mm3

Trombosit : 178.000/mm3

Hematokrit : 38%

PT : 10,3 detik

APTT : 35,8 detik

GD Puasa : 77 mg/dl

32

Page 34: Grand Case urologi BPH

GD 2 jam PP : 92 mg/dl

Ureum : 46 mg/dl

Kreatinin : 0,9 mg/dl

Kalsium : 8,5 mg/dl

Natrium : 138 mmol/L

Kalium : 4,1 mmol/L

Klorida : 105 mmol/L

Total protein : 5,8 g/dl

Albumin : 3,2 g/dl

Globulin : 2,6 g/dl

SGOT : 18 u/l

SGPT : 14 u/L

Total Kolesterol : 116 mg/dl

HDL-kolesterol : 29 mg/dl

LDL-kolesterol : 71 mg/dl

Trigliserida : 79 mg/dl

Asam urat : 3,5 mg/dl

PSA : 1,15 ng/dl

33

Page 35: Grand Case urologi BPH

VI. DIAGNOSIS

Benign Prostat Hyperplasia

VII. TERAPI

Rencana TURP

VIII. PROGNOSIS

Quo ad vitam : dubia ad bonamQuo ad functionam : dubia ad bonamQuo ad sanam : dubia ad bonam

34

Page 36: Grand Case urologi BPH

DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi revisi, Jakarta :

EGC, 1997.

2. Tenggara T. Gambaran Klinis dan Penatalaksanaan Hipertrofi Prostat,

Majalah Kedokteran Indonesia volume: 48, Jakarta : IDI, 1998.

3. Reksoprodjo S. Prostat Hipertrofi, Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah cetakan

pertama, Jakarta : Binarupa Aksara, 1995.

4. Sabiston, David C. Hipertrofi Prostat Benigna, Buku Ajar Bedah bagian 2,

Jakarta : EGC, 1994.

5. Katzung, Bertram G. Farmakologi Dasar dan Klinik edisi VI, Jakarta : EGC,

1997.

6. Rahardja K, Tan Hoan Tjay. Obat – Obat Penting; Khasiat, Penggunaan,

dan Efek – Efek Sampingnya edisi V, Jakarta : Gramedia, 2002.

7. Rahardjo D. Pembesaran Prostat Jinak; Beberapa Perkembangan Cara

Pengobatan, Jakarta : Kuliah Staf Subbagian Urologi Bagian Bedah FK UI

R.S. Dr. Cipto Mangunkusumo, 1993.

8. Priyanto J.E. Benigna Prostat Hiperplasi, Semarang : Sub Bagian Bedah

Urologi FK UNDIP.

9. Nasution I. Pendekatan Farmakologis Pada Benign Prostatic Hyperplasia

(BPH), Semarang : Bagian Farmakologi dan Terapeutik FK UNDIP.

10. Soebadi D.M. Fitoterapi Dalam Pengobatan BPH, Surabaya : SMF/Lab.

Urologi RSUD Dr. Soetomo-FK Universitas Airlangga, 2002.

11. Purnomo B.P. Buku Kuliah Dasar – Dasar Urologi, Jakarta : CV.Sagung

Seto, 2000.

12. Anonim. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah Khusus, Jakarta : Aksara Medisina,

1997.

13. Hugh. A.F. Dudley. Hamilton Bailey’s Emergency Surgery 11th edition,

Gadjah Mada University Press, 1992.

35

Page 37: Grand Case urologi BPH

14. Mansjuoer Akan, Suprohaita, Wardhani W.I, Setiowulan W., Kapita Selekta

Kedokteran, 3rd edition,Jakarta : Media Aesculapius FK-UI, 2000

36