filsafat sejarah : kebebasan dan keniscayaan

Upload: watashi-wa-fatoni-detsu

Post on 10-Mar-2016

224 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

berisi tentang filsafat sejarah

TRANSCRIPT

Nama: Achmad Fatoni (14040284073) Ahmad Tanfidzi D P (14040284084)Kelas: S1 Pendidikan Sejarah B

Hubungan Antara Kebebasan dan Keniscayaan dalam SejarahSejarah Tak TerelakkanPada masa klasik, para pujangga Gereja (seperti Augustinus), telah bergelut dengan persoalan yang berhubungan dengan konsep kebebasan dan keniscayaan. Bila Tuhan mahatahu, maka keyakinan kta dalam memilih suatu tindakan dapat dengan bebas kita lakukan, toh kita akan mengalami hasil yang sama dengan tindakan di masa depan yang telah tersurat. Materi ini tidak dapat dibahas denfan tuntas karena bahasannya yang terlalu luas.Banyak sekali terjadi diskusi antara para filsuf-filsuf sejarah yang kurang memuaskan karena perbedaan ini yang tidak disadari. Istilah keniscayaan memiliki dua arti, pertama, dapat berarti bahwa apa yang terjadi pada masa silam, masa kini, dan masa depan adalah niscaya (tentu, pasti), karena arus sejarah secara pasti mengikuti suatu garis yang tak dapat kita ubah, dalam penafsiran ini dapat dikenal dengan doktrin sejarah yang tak terelakkan. Kedua, kita dapat mengatakan bahwa kejadian yang terjadi pada masa kini, masa silam, dan masa depan niscaya terjadi demikian, karena pada prinsipnya segala sesuatau yang terjadi pada masa silam dan masa yang akan datang dapat diterangkan secara rasional, sedangkan dalam penafsiran ini dikenal sebagai tesis (suatu teori yang didukung oleh argumen) mengenai determinisme. Seperti yang akan diterangkan di bawah ini, perbedaan itu harus diadakan, karena pendirian pertama lebih jauh jangkauannya daripada yang kedua. Guna menghindari salah paham, maka tidak akan dijelaskan lagi istilah keniscayaan, melainkan paham tak terelakkan dan paham determinisme.Sejarah yang tak terelakkan, filsuf Inggris, bernama G. Ryle, menggambarkan dengan jelas paham tersebut. Bila ada seorang pelaut yang tidak mau belajar berenang. Bila bertanya padanya, mengapa tidak mau belajar berenang, maka ia menjawab adapun dua kemungkinan, saya akan mati tenggelam, atau saya tidak mati tenggelam. Bila mati tenggelam, maka tak ada gunanya belajar berenang. Kalau tidak mati tenggelam, maka percuma saya belajar berenang. Pokok dari peljaran pelaut ini adalah Que Sera Sera. Ia akan mati tenggelam atau tidak, lepas dari usahanya untuk belajar berenang. Secara umum penalaran ini dapat dirumuskan: sejarah akan berkembang menurut arusnya yang tak terelakkan, lepas dari usaha manusia. Demikian juga kaum marxismengatakan, bahwa kapitalisme akan runtuh, ini tak terelakkan, dan di atas puing-puingnya akan dibangun masyarakat tanpa kelas. Dalam kalangan marxis sendiri muncul perdebatan mengenai peranan manusia. Ada yang bernalar bahwa aksi-aksi mogok tak ada gunanya, karena kedatangan revolusi tak terelakkan, namun marxis lain berbeda pendapat dengan mengatakan bahwa aksi-aksi serupa itu mutlak perlu. Padahal Marx justru memperlihatkan, bahwa kedatangan masyarakat tanpa kelas itu tak dapat disangsikan.Perdebatan itu tak ada gunanya, seketika tahu bahwa doktrin Que Sera Sera harus ditolak. Kembali ke pelaut, pelaut itu benar, bahwa ia akan mati karena tenggelam atau tidak. Que Sera memang Sera dan segala ucapan kita mengenai hari depan, kini sudah benar. Hanya dalam arti itu kita dapat mengatakan, bahwa hari depan sudah pasti. Tetapi itu tidak berarti bahwa wujud hari depan selalu sama. Bila pelaut belajar berenang, maka mungkin ia tidak akan mati tenggelam, bila ia jatuh ke dalam air. Que Sera Sera tidak berarti bahwa hari depan tidak tergantung dari perbuatan kita. Kita berkemampuan untuk mencampuri urusan sejarah. Berdasarkan pertimbangan ini, maka tak ada alasan menyetujui doktrin mengenai perkembangan sejarah yang tak terelakkan.Sekalipun demikian terdapat alasan lain untuk mendukung doktrin mengenai sejarah tak terelakkan. Namun hal ini seolah-olah terlihat dengan menerima secara konsekuen paham determinisme, akhirnya menjurus juga ke arah paham mengenai sejarah tak terelakkan. Berlin mengemukakan bahwa bila setiap peristiwa ada sebabnya, tambahan pula masa kini, masa silam, dan masa depan dikaitkan oleh suatu rantai sebab dan akibat, maka hari depan sudah pasti. Memang masa depan tidak dapat meramalkan, karena tidak dapat mengandalkannya data, faktor, dan pola-pola hukum, tetapi pada prinsipnya hari depan sudah pasti. Pada prinsipnya, seseorang dapat diramalkan hari depannya asalkan mengetahui segala faktor dan data, kalau dapat diramalkan, maka sudah pasti dan tak terelakkan. Jadi bila mendukung determinisme, maka harus mendukung pula paham Que Sera Sera.Memang dapat diterangkan menurut sebab dan akibat terhadap suatu hal yang terjadi dalam sejarah, tetapi ini tidak berarti bahwa pada prinsipnya juga dapat meramalkan hari depan yang tak terelakkan. Terdapat beberapa keberatan mengenai hal tersebut, pertama, hendaknya menyadari bahwa paham tak terelakkan dan determinisme, memiliki status logis yang yang berbeda, dan oleh karena itu tak dapat dibanding-bandingkan. Doktrin mengenai sejarah tak terelakkan merupakan suatu teori metafisis mengenai sifat proses historis. Sedangkan determinisme merupakan suatu teori mengenai sifat pengetahuan kita mengenai kenyataan, yakni menurut konsep sebab dan akibat. Berdasarkan pertimbangan teori pengetahuan, tidak begitu saja dapat menyimpulkan pendapat dari teori metafisis, dan sebaliknya.Secara singkat dapat dikatakan bahwa doktrin mengenai sejarah tak terelakkan merupakan suatu teori yang sangat tidak masuk akal, karena melepaskan perkembangan sejarah dari perbuatan kita. Maka dari itu doktrin mengenai sejarah tak terelakkan baiknya dilupakan saja.DeterminismeMenurut J. Stuart Mill (1806-1873) berpendapat bahwa determinisme merupakan suatu pola hukum, sekalipun pada suatu tata keadaan yang lebih tinggi, ada hukum-hukum alam (gravitasi, daya tarik, dan sebagainya). Demikianpun ada hukum, setiap peristiwa disebabkan oleh suatu peristiwa lain. Namun tidaklah sukar untuk menggugurkan pola hukum determinisme, yakni tidak semua peristiwa disebabkan oleh suatu peristiwa lain atau dalam kata lain tidak diketahui sebabnya. Namun hal itu bisa ditangkis oleh para determinisme dengan mengatakan bahwa ketidaktahuan akan sebab-sebab itu belum membuktikan bahwa sebab-sebab itu juga tidak ada, melainkan belum diketahui. Oleh karena itulah diadakan perdebatan agar terus menerus mengadakan penelitian ilmiah mengenai sebab-sebab yang mengakibatkan kejadian-kejadian yang diamati. Masih ada dua keberatan lain yang diajukan terhadap determinisme. Ingat, misal kita membuang dadu, maka akan terjadi kemungkinan. Bila kita menyebutkan kemungkinan, berarti tidak adanya sebab, yang ada hanyalah gerak tangan kita yang membuang dadu dan akibat perbuatan kita. Namun keberatan ini dapat dibantah dengan kita dapat mengatakan itu kemungkinan juga, bahwa misal angka 6 mangka kemungkinan 1:6, jadi akibatnya dalam batas-batas tertentu memang dapat diramalkan. Sedangkan untuk sebab dapat didapat dari berbagai hal, antara lain berat, sudut batu undi, kekuatan tangan kita, dan sebagainya. Keberatan kedua mengajukan kasus-kasus dalam sejarah yang kebetulan terjadi karena nasib buruk seperti Raja Karl XII dari Swedia yang tewas karena peluru nyasar. Akibat peluru nyasar pula terdapat kejadian Inigo dari Loyola, ketika mempertahankan benteng Pamplona dari serangan Perancis, lututnya terkena peluru. Dan berbulan-bulan dirawat. Dan karena itu pula ia mulai mengalami tekanan batin dan bertekad membaktikan dirinya kepada Tuhan. Lalu mendirikan Serikat Yesus pada abad 16. Memang kedua kejadian tersebut terjadi kebetulan dan tak terduga, namun secara fisik dapat disusun kembali dan itupun dapat diterangkan secara kausal. Tetapi pada prinsipnya, faktor kebetulan tidak dapat menjadi alasan kuat yang dapat menggugurkan determinisme.Kebebasan dan keniscayaanKeberatan yang paling umum diajukan terhadap determinisme ialah bahwa determinisme melenyapkan kebebasan manusia dan tanggung jawab moralnya. Andaikata segala sesuatu dapat diterngkan secara kasual, tiada tempat lagi bagi kebebasan untuk memilih dan bertanggung jawab. Setiap orang akan merasa keberatan, anadaikata ia harus melepaskan paham kebebasan dan bertanggung jawab. Doktrin mengenai arus sejarah yang tak terelakkan, memang menyisikan kepercayaan kita akan kebebasan manusia yang dapat memilih antara beberapa alternatif. Andaikata sejarah memang menempuh jalan yang tak terelakkan, sedangkan usaha manusia entah individual entah kolektif, tidak dapat mengubah jalan sejarah itu, maka kebebasan memilih dan bertanggung jawab moral tinggal bayangan saja. Kita tidak bertanggung jawab mengenai hal-hal yang terjadi di luar kekuasaan dan kemauan kita. Sekalipun demikian, pernah ada usaha untuk menyelamatkan kebebasan di dalam kerangka sejarah yang tak terelakkan (faktor tanggung jawab moral memang terpaksa dikorbankan) menurut hegel dan Marx, kebebasan justru berartri, bahwa manusia memaklumi bahwa arus sejarah tak terelakkan. Menerima doktrin itu, justru merupakan syarat agar kebebasan dapat dilaksanakan. Penegetahuan selalu mengandung faktor kebebasan. Dengan memaklumi hukum-hukum alam, manusia dapat membuat mobil-mobil dan pesawat-pesawat terbang dan dengan demikian lingku kebebesan kita diperluas. Mengetahui alam raya seisinya, memperluas kemungkinan-kemungkinan yang dapat kita pilih. Tetapi dengan mengetahui bahwa sejarah menempuh suatu arah yang tak terelakkan, kebebasan kita tidak diperbesar melainkan justru di non-aktifkan. Jadi ruapanya paham kebebasan memilih dan doktrin mengenai sejarah yang tak terelakkan tidak dapat dirukunkan.Boleh dikatakan bahwa paham determinisme justru memberi relief tersendiri kepada kebebasan manusia. Kita ingin berbuat secara rasional berdasarkan alasan-alasan yang masuk akal. Andaikata perbuatan dan kelakuan kita tiada alasan maka kita di cap sebagai oran gila. Bertindak secara rasional berarti bahwa kita menerima prinsip-prinsip tertentu yang mengatur kelakuan individual dan sosial kita. Perlu diperinci lebih lanjut konse kebebasan. Siapa yang kita sebut bebas? Orang yang melakukan sesuatu karena tidak terpaksa, pertama dari paksaan luar kemudian juga paksaan dari dalam misalnya oleh karena kelainan jiwa. Dalam pemilu kita bebas memilih karena tidak ada paksaan fisik dari luar, tiada intimidasi dari pasukan-pasukan yan menjadikan kita takut. Seorang yang berkelaina jiwa tidak bebas dan oleh karena itu tanggun jawabnya juga terbatas. Seorang kleptoman secara terpaksa dari dalam (karena menderita neurosis) mencuri barang-barang tetapi oleh hakim ia tidak dijatuhi hukuman penjara karena ia tidak bebas dan tidak bertanggung jawab atas perbuatannya. Tetapi bertindak dengan bebas bukan berartri bahwa perbuatan-perbuatannya tidak dapat diterangkan bahwa tiada alasan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa paham determinisme tidak bertentangan dengan konsep kebebasan dan tanggung jaab moral melainkan justru merupakan dasarnya.KESANGSIAN Bagi negara yang menggunakan bahasa Inggris, kebanyakan filsuf semenjak Davis Hume (1712-1776) berkeyakinan bahwa kebebasan dan determinisme saling mengandaikan. Sekalipun demikian, akhir-akhir ini timbul kesangsian. Misal ada seorang Kleptoman, ia pasti tidak bebas karena kelainan jiwa tersebut, dan ia pun tidak dapat berbuat apa-apa. Namun bagaimana dengan Hitler dan Stalin? Adakah mereka bebas berbuat lain dari pada apa yang mereka perbuat dalam kenyataan? Batas antara kebebasan dan paksaan intern dan ekstern tidaklah jelas. Terdapat struktur sosial dan mental yang seolah memaksa seseorang melakukan hal tersebut. Namun ia tidak harus melakukan yang sesuai dengan dengan pikiran dan masyarakat, ia juga dapat mendobrak hal-hal yang menjadi patokan masyarakat. Kant pernah berkata, kalau kau dapat berbuat sesuatu, kau juga berkewajiban berbuat itu. Disini, kebebasan mematahkan rangkaian alasan-alasan kausal, yang bagi determinis, merupakan satu-satunya titik pangkal untuk mendekati kelakuan manusia.Dalam hidup kita ada dua pilihan, pilihan-pilihan tersebut sederhana. Misal, seorang suami berkewajiban terhadap istri, anak, masyarakat dan sesama. Kebebasan dan determinisme tidak terbentur. Tetapi kadang manusia dihadapkan dengan masalah yang fundamental. Ingat, algojo dalam kamp konsentrasi pada zamannya Hitler. Pada suatu saat, ia mulai menyadari, bahwa pembantaian ini tidak harus diteruskan lagi. Sanngupkah dan beranikah ia melawan arus tersebut? Dalam kasus yang sama manusia mengatasi determinisme.kelakuannya hanya dapat diterangkan dari sudut etika, mengapa ia membanting stir dan melawan arus.

Kelebihan dan kekuranganKelebihan dalam buku Filsafat Sejarah ini, dijelaskan secara gamblang bagaimana kebebasan dan keniscayaan, bahkan diberikan contoh dan pengantar yang menjelaskan lebih rinci mengenai kebebasan dan keniscayaan agar tidak terjadi kebingungan.Kekurangan dalam buku filsafat sejarah ini adalah masih adanya kerancuan dalam penjelasan determinisme yang seolah mereka salah atau benar. Dalam buku ini mereka diulas cukup jelas bagaimana mereka dapat dikalahkan dan bagaimana mereka dapat menjawab sebuah pertanyaan sulit. Jadi tidak ditemukan apa yang harus dilakukan dengan para determinisme apakah diikuti atau tidak. DAFTAR PUSTAKAAnkersemit F.R, 1987,Refleksi Tentang Sejarah: Pendapat-Pendapat tentang Filsafat diterjemahkan Dick Hartoko, Jakarta:Gramedia.http://isnunophiasebastian.blogspot.co.id/2011/11/kebebasan-dan-keniscayaan http://terjeru.blogspot.co.id/2013/filsafat;sebuah-keniscayaan-sejarah