ejak pemasaran obat

8
ejak Pemasaran Obat Ethical Kamis, 28 Juni 2007 Oleh : Dyah Hasto Palupi Hampir semua medical representative (medrep) berlomba memberikan “layanan” terbaiknya untuk dokter, apoteker, apotek dan rumah sakit. Bagaimana batas etika dan pengawasannya? Tidak seperti biasanya, pertemuan siang menjelang sore itu hampir tidak ada senda gurau. Sejumlah tokoh yang hadir dari kalangan pengusaha farmasi, pengurus Ikatan Dokter Indonesia (IDI), ataupun dari pemerintah yang diwakili Drs. Richard Panjaitan Apt., SKM, Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Depkes, terlihat serius dan sedikit tegang. Maklumlah, acara yang dilakukan di gedung Departemen Kesehatan pada 11 Juni 2007 ini memang cukup sensitif, yakni membahas seputar etika promosi. Mereka diminta hadir menyaksikan penandatanganan kesepakatan bersama antara Gabungan Pengusaha Farmasi Indonesia (GPFI) dan IDI. Ada 7 poin yang disepakati. Di antaranya: dokter dilarang menjuruskan pasien membeli obat tertentu karena dokter telah menerima komisi dari perusahaan farmasi; dukungan perusahaan farmasi pada pertemuan ilmiah dokter tidak boleh dikaitkan dengan kewajiban mempromosikan atau meresepkan suatu produk; perusahaan farmasi dilarang memberikan honorarium kepada dokter; donasi pada profesi kedokteran tidak boleh dikaitkan dengan penulisan resep atau penggunaan produk perusahaan tertentu; dan beberapa poin kesepakatan lainnya. Dokter tidak boleh terima komisi? Bagaimana membuktikannya? Richard menengarai, masalah etika memang sulit dibuktikan. Kesepakatan yang dilakukan GPFI dengan IDI lebih sekadar saling mengingatkan. Toh, ia menegaskan, seorang dokter dalam melakukan pekerjaannya memang tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi.

Upload: muhamad-irwan-prima

Post on 30-Nov-2015

23 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

majalah

TRANSCRIPT

Page 1: ejak Pemasaran Obat

ejak Pemasaran Obat Ethical

Kamis, 28 Juni 2007Oleh : Dyah Hasto Palupi

Hampir semua medical representative (medrep) berlomba memberikan “layanan” terbaiknya untuk dokter, apoteker, apotek dan rumah sakit. Bagaimana batas etika dan pengawasannya?

Tidak seperti biasanya, pertemuan siang menjelang sore itu hampir tidak ada senda gurau. Sejumlah tokoh yang hadir dari kalangan pengusaha farmasi, pengurus Ikatan Dokter Indonesia (IDI), ataupun dari pemerintah yang diwakili Drs. Richard Panjaitan Apt., SKM, Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Depkes, terlihat serius dan sedikit tegang.

Maklumlah, acara yang dilakukan di gedung Departemen Kesehatan pada 11 Juni 2007 ini memang cukup sensitif, yakni membahas seputar etika promosi. Mereka diminta hadir menyaksikan penandatanganan kesepakatan bersama antara Gabungan Pengusaha Farmasi Indonesia (GPFI) dan IDI.

Ada 7 poin yang disepakati. Di antaranya: dokter dilarang menjuruskan pasien membeli obat tertentu karena dokter telah menerima komisi dari perusahaan farmasi; dukungan perusahaan farmasi pada pertemuan ilmiah dokter tidak boleh dikaitkan dengan kewajiban mempromosikan atau meresepkan suatu produk; perusahaan farmasi dilarang memberikan honorarium kepada dokter; donasi pada profesi kedokteran tidak boleh dikaitkan dengan penulisan resep atau penggunaan produk perusahaan tertentu; dan beberapa poin kesepakatan lainnya.

Dokter tidak boleh terima komisi? Bagaimana membuktikannya? Richard menengarai, masalah etika memang sulit dibuktikan. Kesepakatan yang dilakukan GPFI dengan IDI lebih sekadar saling mengingatkan. Toh, ia menegaskan, seorang dokter dalam melakukan pekerjaannya memang tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi.

Pertanyaan yang menarik, mengapa tiba-tiba dibuat kesepakatan baru? Anthony Ch. Sunaryo, Ketua Umum GPFI, menjawab hati-hati, “Sebagai penegasan saja. Kami perlu mengembalikan ini (promosi obat) kepada kode etik itu. Sebab, walaupun kode etik sudah lama diterapkan, saat ini perlu dibuatkan penegasan kembali untuk lebih mengingatkan banyak pihak.”

Bisa jadi Anthony cuma berkilah. Sebab, di “luar sana”, bisik-bisik terdengar sangat kencang. Sumber SWA yang seorang praktisi di bidang farmasi, meyakini, deklarasi itu muncul akibat kegelisahan banyak kalangan terhadap situasi persaingan yang tidak sehat belakangan ini. Jorjoran dan pertarungan memperebutkan dokter, rumah sakit, apotek dan apoteker semakin tak terkendali. “Lingkaran setan ini harus segera diputus,” ujarnya.

Begitu pula dikatakan Dr. Kartono Mohammad, mantan Ketua Umum IDI. Ia merasa prihatin melihat perkembangan yang terjadi, terutama pada perusahaan farmasi dan dokter praktik. Pada perusahaan farmasi, selain makin agresif “menggarap” dokter, cara bermain mereka juga makin kasar. Misalnya, mereka meminta dan mengumpulkan salinan resep dokter dari karbon. Lalu,

Page 2: ejak Pemasaran Obat

mengecek ke apotek untuk mendeteksi siapa menjual berapa, dan sebagainya. “Bayangkan, apakah sikap seperti itu masih bisa ditoleransi,” tandasnya.

Anthony mengakui, sekarang memang makin sulit mengontrol pelanggaran kode etik. “Kami tidak punya data ataupun bukti,” katanya menyesalkan. Tanpa data dan bukti, ia kesulitan memberikan sanksi kepada anggotanya. “Kami hanya bisa melakukan pengontrolan dan pemantauan dari jauh,” lanjutnya seraya menunjuk kesepakatan yang dibuat itu juga merupakan bagian dari alat kontrol.

DR. Dr. Fachmi Indris, M. Kes. yang juga Ketua IDI setali tiga uang. Ia pun mengaku tidak bisa bertindak apa-apa, meski mendengar berbagai keluhan yang berkembang. “Ya bisa disimpulkan sendirilah dengan logika, kenapa kami sampai harus mengeluarkan kesepakatan bersama itu,” tulisnya lewat SMS kepada SWA. “Kesepakatan itu dituangkan pasti karena ada pihak-pihak yang diduga merasa dirugikan,” katanya. “Kami para dokter tidak mau kredibilitas profesi ini tercemar oleh ulah ‘segelintir’ individu dokter yang mengabaikan kode etik profesi hanya untuk meraih kekayaan harta dan karier pribadi,” Fachmy menjawab pertanyaan secara tertulis dengan tegas.

Agaknya situasi ini seperti telur dan ayam, sulit ditemukan ujung-pangkalnya. Ferry Soetikno, Direktur Pengelola Dexa Medica, mencoba berpikir positif dengan memaknai kesepakatan itu sebagai bertepuknya dua buah telapak tangan. Jika selama ini masing-masing asosiasi sudah punya aturan sendiri-sendiri, kini dipertemukan. “Nah, sekarang diingatkan lagi apa yang boleh dan yang tidak boleh dalam konteks etika,” ungkapnya. Ferry melihat ini sebagai ide yang bagus.

Bagi Ferry, deklarasi bukan reaksi dari sebuah kejadian. Ia bukan lahir karena persaingan tidak sehat antarperusahaan farmasi. “Pemicu utamanya, ya etika ini memang harus ditegakkan,” tandasnya. Ferry justru lebih melihatnya sebagai tindakan preventif, sebab industri farmasi itu luas dan berjalan di dalam satu koridor yang cukup lebar. “Banyak sekali yang dibolehkan, tapi ada juga yang tidak boleh,” ujarnya.

Benarkah alasannya sesederhana itu? Sebagian sumber yang dihubungi SWA menjawab, tidak demikian. Menurut mereka – para sumber yang tidak mau disebutkan namanya dari kalangan dokter dan apoteker – baik GPFI maupun IDI makin gerah, sebab muncul efek domino dari terjadinya praktik pelanggaran etika, yakni harga obat makin membubung tinggi, dan akibatnya konsumen berteriak keras.

“Betul, harga obat di Indonesia sangat mahal,” Dr. Marius Widjajarta, SE, Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia, membenarkan. Harga obat di Indonesia, menurutnya, benar-benar lepas bebas, bahkan ada yang sampai ratusan kali dari harga yang wajar. Terutama untuk obat bermerek, harganya bisa 200 kali lipat dari generiknya. “Konsumen selama ini dibohongi,” ucapnya kesal.

Semua itu, diyakini Marius, gara-gara permainan antara dokter dengan perusahaan farmasi. Contoh kecil saja, ia pun pernah melakukan survei terhadap dokter baru di seluruh Indonesia. Ternyata hasilnya sungguh fantastis. Ada dokter di daerah sangat terpencil di Sulawesi, memperoleh penghasilan tambahan Rp 500 ribu per bulan. Apalagi pendapatan dokter di kota-

Page 3: ejak Pemasaran Obat

kota besar, berkali-kali lipat tentunya. Menurut Marius, semua itu karena iming-iming dan kongkalikong antara perusahaan obat dengan oknum dokter. “Iming-iming bisa mulai dari uang tunai, rumah, mobil, laptop, keliling dunia, hingga perempuan,” ungkapnya seraya menjelaskan bahwa ia pernah mendengar ada seorang dokter yang mendapat fasilitas jalan-jalan ke luar negeri dengan membawa pembantu dan baby sitter-nya.

Layanan dan fasilitas itu tentu bukan tanpa biaya. Ia diambilkan dari biaya pemasaran yang ujung-ujungnya menyatu dengan harga obat. Umumnya, aktivitas promosi dan pemasaran mengambil 10% dari penjualan. Pada obat ethical yang dilarang beriklan, justru mengalokasikan anggaran lebih besar lagi – ada yang sampai 50% untuk cara promosi dan pemasaran ala obat ethical. “Dengan demikian, bagaimana harga obat ethical bisa murah?” komentar salah seorang sumber SWA.

Soal bentuk promosi dan strategi pemasaran obat ethical sangat mudah penjabarannya, mulai dari yang paling sederhana hingga yang komplikatif; atau mulai dari yang halus/sopan hingga yang vulgar.

Intinya telah terjadi kongkalikong antara perusahaan farmasi dengan dokter. Tidak jarang pula antara perusahaan farmasi dengan rumah sakit. Biasanya, cara yang dilakukan untuk rumah sakit cukup halus, yakni berupa keterlibatan pensponsoran seminar, ulang tahun rumah sakit, dan sebagainya. Perusahaan farmasi bersedia memberikan sejumlah dana, tapi rumah sakit diminta memakai produk dari perusahaan yang menyumbang. “Rumah sakit saja bisa dibeli, apalagi dokternya,” ujar Marius yang melihatnya sebagai rahasia umum, semua orang tahu sama tahu.

Jejak cara pemasaran obat ethical sebenarnya mudah ditelisik. SWA menjumpai puluhan dokter dan medrep dari berbagai perusahaan farmasi, ternyata jawaban mereka hampir sama. “Ya, begitulah praktik kami selama ini,” seorang medrep mengakui.

Fungsi medrep sesungguhnya sebagai agen penjualan obat ethical kepada target pasar, yakni apotek dan rumah sakit. Tugas mereka jelas, memperkenalkan produk, baik dari sisi fungsi, manfaat, maupun efek samping, karena produk itu memang tidak diiklankan.

Namun, peran mereka rupanya dari waktu ke waktu makin bergeser. Tidak lagi sekadar agen obat, melainkan juga fasilitator untuk banyak kepentingan, baik dari sisi dokter/rumah sakit maupun dari sisi produsen. Mereka bekerja untuk mempertemukan dua kepentingan yang sama: fulus.

Praktik yang dijalankan medrep seolah-olah sangat wajar. Misalnya, memperkenalkan produk dengan membawa makanan kecil ke apotek atau rumah sakit. Perkenalan diteruskan dengan bincang-bincang intens menyangkut hobi dan kesukaan. Tidak ketinggalan, meminta apotek membeli obat yang direkomendasikan dengan iming-iming diskon, atau bahkan menjanjikan setengah penjualan obat itu untuk apotek.

Hebatnya lagi, medrep tidak membiarkan apotek bekerja sendiri dengan menunggu pembeli. Lewat medrep pula, perusahaan farmasi mendorong dokter dan rumah sakit di sekitar apotek untuk menggunakan/meresepkan obat yang sama. Kemudian, kepada apotek yang bersangkutan,

Page 4: ejak Pemasaran Obat

medrep berupaya meyakinkan bahwa dalam 2-3 hari pasti akan ada pembeli obat yang datang. “Klop, jadi cara kerja medrep rapi sekali, semua dibantu dan diuntungkan, kecuali konsumen,” ujar seorang apoteker yang mengelola beberapa apotek.

Setiap langkah medrep pasti berbau fulus. Seorang dokter spesialis dari Tangerang, mengatakan, medrep sekarang makin terus terang, bergerak cepat dan langsung to the point. “Mereka tanpa ragu-ragu minta ‘bantuan’ kami,” cerita sang dokter. Namun hebatnya, bukan berarti mereka datang tanpa data. Biasanya medrep sudah mengantongi data lengkap pasien yang berkunjung ke dokter, tempat praktik, dan informasi tentang keluarga. “Diam-diam mereka mengamati saya,” imbuh sang dokter.

Bagi dokter yang dianggap unggulan (level satu) karena memiliki potensi pasien besar (sekitar 200 pasien setiap hari), digunakan pendekatan yang lebih seru, yakni mengundang jamuan makan malam. Pada pertemuan informal itu, bukan medrep lagi yang menemui, melainkan seorang manajer atau bahkan manajer senior. Pertemuan itu dimaksudkan untuk langsung mempromosikan keunggulan obat dan hitung-hitungan reward yang bakal diberikan. “Mereka bicara blak-blakan, tanpa malu-malu. Seperti bernegosiasi,” ungkapnya. “Bisa jadi negosiasinya berupa terima gaji bulanan dari pabrik obat yang bersangkutan,” sumber SWA yang mengelak disebutkan namanya itu menambahkan.

Dari pengalaman selama didekati perusahaan farmasi, seorang dokter pria “memuji”, perusahaan farmasi kini makin “pintar” memilih iming-iming hadiah. Seperti yang baru saja dialaminya, tiba-tiba ia mendapat bonus notebook Apple Mac dengan ucapan selamat hari Natal dan terima kasih telah membantu mereka. “Bagaimana mereka bisa tahu kalau anak saya membutuhkan notebook seri terbaru itu tahun lalu, padahal saya tidak pernah menceritakan kalau saya berencana akan membelinya buat anak saya,” paparnya keheranan.

Ada lagi seorang dokter muda flamboyan yang memperoleh hadiah Jaguar. Dari mana bisa? “Dokter itu memang gaya dan sangat terkenal di kotanya. Nggak tahulah, setiap tahun dia juga bisa liburan ke luar negeri dari perusahaan farmasi yang sama,” ungkap seorang pemilik apotek terheran-heran dengan hadiah yang menggiurkan itu.

Seorang mantan direktur keuangan sebuah rumah sakit swasta juga tidak heran dengan taktik medrep tersebut. Menurutnya, amat mudah melacak kebutuhan keluarga dokter. Dalam hal ini, lanjutnya, yang penting adalah hitung-hitungan bisnis. “Selama permintaan atau kebutuhan itu sesuai dengan bujet, hadiah dalam bentuk apa pun tidak masalah,” katanya. Dia mengamati, bonus bukan hanya berupa mobil mewah, tapi bisa jadi rumah mewah, dibangunkan klinik, atau malah uang tunai sehingga bisa memilih barang sendiri. “Ujung-ujungnya no limit,” ia menandaskan.

Kepada apotek dan rumah sakit, sering kali pabrik obat tidak berani sevulgar itu berhadapan dengan dokter. Alasannya kuat, sebab mereka bekerja sama dengan organisasi, sehingga agak sulit mengatur dan menjaga kerahasiaannya.

Seorang pengelola apotek dari Yogyakarta mengeluh, walaupun tidak vulgar, ia tetap merasa, bargaining position dia makin lama makin lemah. “Selama ini kami seakan-akan hanya menjadi

Page 5: ejak Pemasaran Obat

tukang penyimpan dan penyalur obat,” katanya mengeluhkan. “Karena apotek tidak memiliki kemampuan terhadap kebijakan harga, margin yang kami terima sangat kecil, hanya 1,5%-2,5%,” sambungnya. Yang menyedihkan lagi, apotek juga hanya mendapat informasi sedikit tentang obat-obat yang direkomendasikan dokter. “Selama ini hampir tidak pernah ada pelatihan product knowledge yang dijalankan, terutama dari Sanbe,” tandasnya.

Sebagai apotek jaringan yang memiliki cabang di beberapa kota di Indonesia, ia menyesalkan posisi apotek makin lama makin dipinggirkan. Menurutnya, apotek adalah chain yang berperan penting dalam mekanisme distribusi. Semestinya, sebagai salah satu gerai, apotek juga memiliki peran membantu dan mengedukasi konsumen. Celakanya, hal itu mustahil terjadi. Bahkan, dia menyebut, produk-produk Sanbe yang menjadi favorit para dokter di Yogyakarta, tidak satu pun masuk dalam buku Indonesian Index of Medical Specialities. “Anehnya, produk yang tidak tercatat itu justru dikenal baik oleh dokter dan mendapat citra baik,” kata sumber SWA seraya menunjukkan rasa herannya bagaimana hal itu bisa terjadi.

Ia akhirnya menyimpulkan, Sanbe memiliki bargaining position sangat tinggi terhadap apotek. Mereka merasa pede (percaya diri) menjadikan apotek sekadar tempat memajang barang. “Karena sudah merasa yakin bahwa kamilah yang membutuhkan produk mereka, bukan mereka lagi,” ia menjelaskan.

Pemilik kekuatan terbesar di industri farmasi memang pabrik obat itu sendiri. Secara bisnis, dikatakan Anthony, total penjualan obat mencapai hampir Rp 25 triliun di tahun 2006. Angka sebesar ini diperkirakan akan terus meningkat setiap tahun. “Tumbuh 8%-10% saja sudah bagus,” ujarnya dalam sebuah kesempatan.

Yang menarik lagi, dikatakan Andreas Halim Djamwari, Presdir Grup SOHO, dan Hindriarto Lukas, Direktur Pemasaran Grup SOHO, pasar dalam negeri kini jauh lebih menjanjikan ketimbang pasar luar negeri. Ada beberapa penyebabnya. Pertama, meningkatnya kemampuan pabrik obat dalam negeri membuat obat sendiri. Kedua, layanan yang lebih baik kepada dokter. “Pendekatan perusahaan Indonesia sepertinya lebih manusiawi,” ujar mereka. Dan alasan ketiga, harga obat dari pabrik dalam negeri masih lebih murah ketimbang dari luar. Bahkan, beberapa bulan lalu ada 34 jenis obat dalam negeri yang diturunkan harganya.

Tentu pernyataan Andreas dan Hindriarto bukan jawaban atas masalah praktik pemasaran obat ethical yang berlangsung saat ini. Yang dibutuhkan di sini adalah keterbukaan industri obat menyangkut mekanisme dan aktivitas usahanya. Bagaimanapun, konsumen yang merasakan akibat yang ditimbulkan dari terjadinya persaingan bisnis. Dan, cara pemasaran yang elegan jauh lebih bermanfaat jangka panjang ketimbang kepentingan sesaat.