efektifitas penyuluhan terhadap peningkatan pengetahuan
TRANSCRIPT
Efektifitas Penyuluhan terhadap Peningkatan Pengetahuan Santri Mengenai Trichuris trichiura di Pesantren X, Jakarta Timur
Rio Wikanjaya1, Saleha Sungkar2
1. Program Studi Sarjana Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 2. Departemen Parasitologi Klinik, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
E-mail: [email protected]
Abstrak
Pengetahuan sangat penting dalam mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang, begitu juga dengan pengetahuan mengenai T. trichiura dan upaya pencegahannya. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui efektivitas penyuluhan dalam meningkatkan pengetahuan mengenai T. trichiura. Penelitian dilakukan di pesantren X, Jakarta Timur dengan desain pre-post study. Data diambil pada tanggal 22 Januari 2011 dengan memberikan kuesioner kepada 154 santri (total sampling). Kuesioner berisi pertanyaan mengenai morfologi dan siklus hidup T. trichiura; diberikan sebelum (pre-test) dan setelah penyuluhan (post-test). Hasil penelitian menunjukkan jumlah santri laki-laki 91 orang (59,1%) dan perempuan 63 orang (40,1%). Sebelum penyuluhan, santri yang memiliki tingkat pengetahuan baik mengenai T. trichiura adalah 1 orang (0,6%), cukup 6 orang (3,9%), dan kurang 147 orang (95,5%). Setelah penyuluhan, santri yang memiliki tingkat pengetahuan baik menjadi 11 orang (7,1%), cukup 44 orang (28,6%), dan kurang 99 orang (64,3%). Pada uji marginal homogeneity, terdapat perbedaan bermakna antara tingkat pengetahuan mengenai T. trichiura sebelum dan setelah penyuluhan (p<0,01). Disimpulkan bahwa penyuluhan efektif dalam meningkatkan pengetahuan santri mengenai T. trichiura.
Effectiveness of Health Promotion towards the Knowledge Improvement of Students Regarding Trichuris trichiura in X Moslem School, East Jakarta
Abstract
Knowledge is crucial in affecting one’s attitude and behavior, including knowledge regarding T. trichiura and deterrence attempts. The goal of this research is to find out the health promotion effectiveness in improving knowledge regarding T. trichiura. This research was held in X Islamic Boarding School; pre-post study method was used. Data collection was done on the 22nd of January 2011 by handing out questionnaires to 154 students of X Muslim School that were picked out with the total sampling method. The questionnaires were about the morphology and the life cicle of T. trichiura. The result shows that the respondent has 91 (59.1%) boys and 63 (40.1%) girls. Before the health promotion, 1 student (0.6%) had good knowledge regarding T. trichiura, 6 students (3.9%) had adequate knowledge, and 147 students (95.5%) had poor knowledge. After the health promotion, the students that had good knowledge increased to 11 (7.1%), adequate knowledge increased to 44 students (28.6%), and poor knowledge decreased to 99 students (64.3%). On the marginal homogenity test, there is significant difference on the knowledge regarding T. trichiura before and after health promotion (p<0.01). Based on the result, health promotion is effective in improving knowledge level of students regarding T. trichiura. Keywords: health promotion; knowledge, knowledge level; T. trichiura; trichiurasis.
Efektivitas penyuluhan…, Rio Wikanjaya, FK UI, 2014
Pendahuluan Trikuriasis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing Trichuris trichiura, yang
juga dikenal dengan cacing cambuk. Penyakit tersebut tersebar di seluruh dunia dengan
prevalensi 25% dan mayoritas menginfeksi penduduk di daerah tropis dan subtropis karena
beriklim hangat dan lembab.1
Trikuriasis endemis di berbagai negara di dunia, baik negara maju maupun berkembang. Data
Worms and Human Disease2 menyebutkan bahwa 25% penduduk Amerika Selatan dan
Amerika Tengah terinfeksi trikuriasis. Di Benua Afrika, sekitar 31% penduduknya terinfeksi
trikuriasis, diantaranya 76% di Nigeria dan 70% di Kamerun. Di kawasan Timur Tengah dan
India Selatan, prevalensi trikuriasis masing-masing sekitar 12%. Di Bangladesh tercatat 36%
penduduknya terinfeksi trikuriasis dan 58% penduduk Asia Tenggara (termasuk Indonesia)
terinfeksi trikuriasis. Pada riset tersebut, Ekpo et al3 melaporkan bahwa anak-anak usia SD
memiliki prevalensi infeksi cacing (termasuk trikuriasis) yang lebih tinggi. Hal tersebut
disebabkan kesadaran akan kebersihan diri mereka sangat rendah dan mereka juga sering
berkontak dengan tanah saat bermain. Dari penelitian tersebut Ekpo et al3 juga menyarankan
agar dilakukan suatu program untuk meingkatkan pengetahuan anak-anak tersebut, salah
satunya melalui penyuluhan.3
Di Indonesia, T. trichiura banyak menginfeksi penduduk di daerah padat dengan kebersihan
lingkungan dan sanitasi yang buruk. Dengan kondisi lingkungan di Indonesia yang
kebanyakan berupa tanah liat, trikuriasis banyak menginfeksi anak-anak karena mereka sering
kontak dengan tanah yang tercemar telur cacing saat bermain. Hasil survey Departemen
Kesehatan RI di 40 sekolah dasar pada 10 provinsi menunjukkan bahwa prevalensi cacingan
(termasuk trikuriasis) berkisar antara 2,2%-96,3%.4 Di lain pihak, prevalensi trikuriasis di
Jakarta pada murid sekolah dasar tergolong tinggi. Departemen Kesehatan RI melakukan
survey di suatu SD Kecamatan Kalibaru Jakarta Utara dan menghasilkan bahwa murid yang
terinfeksi cacing usus (termasuk trikuriasis) adalah sebanyak 65%. Di Jakarta Timur,
prevalensi trikuriasis pada anak usia sekolah sebesar 51,6%.5
Penderita trikuriasis, yang pada umumnya anak, sering mengalami diare dan apabila dalam
keadaan infeksi berat dapat menyebabkan berat badan menurun, anemia berat, perforasi usus,
serta sindrom disentri dengan komplikasi prolapsus rekti.2,6 Oleh karena itu upaya
Efektivitas penyuluhan…, Rio Wikanjaya, FK UI, 2014
pemberantasan dan pencegahan perlu dilakukan. Supaya pemberantasan dan pencegahan
memberikan hasil yang efektif dan efisien, masyarakat perlu dibekali dengan pengetahuan
mengenai trikuriasis. Berbagai media seperti media elektronik, media cetak dan ceramah
(penyuluhan kesehatan) dapat digunakan untuk memberikan berbagai pengetahuan, termasuk
pengetahuan mengenai trikuriasis.7,8
Pesantren adalah institusi pendidikan Islam yang muridnya (santri) tinggal di asrama.9
Umumnya lingkungan asrama tempat santri melakukan kegiatan sehari-hari memiliki kondisi
yang padat dengan sanitasi yang kurang baik sehingga mereka mudah terinfeksi cacingan
antara lain T. trichiura.
Di Jakarta Timur terdapat pesantren dengan tingkat kepadatan santri yang tinggi. Dengan
kondisi tanah liat, pesantren di Jakarta Timur merupakan lingkungan yang sesuai untuk siklus
hidup T. trichiura sehingga santri berpotensi terinfeksi cacing tersebut. Oleh karena itu, agar
santri terhindar dari trikuriasis mereka perlu diberikan pengetahuan mengenai T. trichiura,
siklus hidup, gejala klinis, pengobatan, dan pencegahan melalui penyuluhan. Untuk
mengetahui efektivitas penyuluhan, perlu dilakukan survei sebagai alat ukur untuk
mengetahui tingkat pengetahuan santri mengenai trikuriasis sebelum dan sesudah
penyuluhan.
Tinjauan Teoritis
T. trichiura ialah cacing yang dapat menginfeksi manusia dan menyebabkan trikuriasis. T.
trichiura berbentuk seperti cambuk sehingga memiliki nama lain cacing cambuk. 4 Cacing
cambuk dewasa yang berwarna merah muda memiliki bagian kepala yang halus dan bagian
ekor yang gemuk.1 Bagian kepala yang halus ini berfungsi untuk melekat pada dinding sekum
dan pada dinding apendiks, kolon atau bagian posterior ileum.6 Terdapat perbedaan morfologi
antara cacing cambuk jantan dan betina, yaitu bentuk ekor cacing jantan yang melingkar
sementara cacing betina memiliki ujung ekor yang membulat. Cacing cambuk jantan juga
memiliki spikulum.6 Di bagian posterior cacing cambuk memiliki struktur yang lebih tebal
dan berisi usus dan alat reproduksi.7 T. trichiura jantan memiliki panjang tubuh sekitar 30-45
mm, sementara T. trichiura betina memiliki panjang tubuh yang lebih besar, yaitu sekitar 35-
50 mm.6 T. trichiura dapat hidup selama 1-5 tahun di usus manusia.1
Efektivitas penyuluhan…, Rio Wikanjaya, FK UI, 2014
Di bagian kepala cacing cambuk terdapat mulut yang sederhana, tanpa bibir namun terdapat
bagian tubuh bernama stylet yang berfungsi untuk penetrasi mukosa usus. Esofagus cacing
cambuk juga sederhana yang tersusun tanpa otot namun dilapisi oleh epitel batang selapis.
Esofagus tersebut terletak di dua pertiga anterior tubuh cacing cambuk.2
Seekor cacing betina memiliki uterus yang mengandung sekitar 60 000 telur namun telur yang
dihasilkan per harinya sekitar 2 000 sampai 20 000 butir.2 Telur yang dihasilkan berukuran
50-54µ x 23µ7 dan Telur T.trichiura memiliki bentuk menyerupai tong dengan tonjolan yang
jernih di kedua kutubnya. Kulit telur bagian luar berwarna kekuning-kuningan dan bagian
dalamnya jernih.6
Hospes utama T. trichiura ialah manusia, namun terkadang ada pula yang menginfeksi kera
dan babi.5 Gambar 1 menjelaskan siklus hidup cacing cambuk. Siklus hidup T. trichiura
dimulai ketika telur keluar bersama feses manusia dan akhirnya tersimpan di dalam tanah dan
akan berubah menjadi infektif pada 10 sampai 14 hari di dalam tanah. Apabila telur yang
infektif itu tertelan dan masuk kedalam saluran pencernaan manusia, telur itu akan menetas
pada usus halus. Kemudian, larva T. trichiura berkembang di usus halus dan setelah dewasa,
menetap di usus besar. Butuh waktu tiga bulan bagi T. trichiura untuk berkembang dari
menetas hingga dewasa.1 Siklus hidup T. trichiura dapat dilihat di Gambar 1.
Gambar 1. Siklus hidup T. trichiura
Efektivitas penyuluhan…, Rio Wikanjaya, FK UI, 2014
T. trichiura telah menginfeksi sekitar seperempat penduduk dunia. Di dunia, tercatat 800 juta
sampai 1.3 milyar kasus trikuriasis dengan jumlah kematian mencapai 10 000 jiwa per tahun.
Persebaran penyakit tersebut meliputi 25% penduduk Amerika Selatan dan Amerika Tengah,
76% penduduk Nigeria, 70% penduduk Kamerun, 12 % penduduk India Selatan, 12%
penduduk Timur Tengah, 36% penduduk Bangladesh, 0.01% penduduk jepang dan 58%
penduduk Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Dapat diperhatikan bahwa dari sebaran
penyakit tersebut, negara yang memiliki iklim tropis dan subtropis dengan curah hujan tinggi
dan temperatur antara 22-28oC memiliki prevalensi yang tinggi.
Penelitian di Nigeria menunjukkan bahwa anak-anak lebih mudah terinfeksi trikuriasis. Hal
tersebut disebabkan anak-anak sering bermain di luar rumah dan sering kontak langsung
dengan tanah tanpa memerhatikan kebersihan diri.
Di Jakarta, prevalensi trikuriasis pada anak SD cukup tinggi; di Jakarta Utara 20%, Jakarta
Barat 25,30%, Jakarta Selatan 33,58%, dan Jakarta Timur 47,67%.10
Infeksi ringan tidak menyebabkan gejala klinis yang khas kecuali diare. Pada infeksi ringan,
telur yang ditemukan pada sampel feses juga sedikit namun sudah terjadi peningkatan
eosinofil sebanyak 25%.2 Pada infeksi berat dan menahun menyebabkan disentri, perdarahan
usus, prolapsus rekti, apendisitis, anemia berat, nyeri abdomen, pusing, anoreksia, kehilangan
berat badan, mual, dan muntah.1,2,6 Disentri yang terjadi dapat berupa amebiasis. Meskipun
larva cacing cambuk sempat memasuki intestinum tenue, perkembangan larva T.trichiura di
dalam usus biasanya tidak memberikan gejala klinik yang berarti. Trauma di dinding usus
terjadi karena cacing membenamkan kepalanya di mukosa usus. Pada infeksi ringan
kerusakan mukosa usus hanya sedikit.2
Infeksi ringan trikuriasis dapat didiagnosis dengan pemeriksaan tinja dibawah mikroskop
untuk mencari telur cacing cambuk yang berbentuk seperti tong. Jumlah telur saat
pemeriksaan berpengaruh dalam menentukan ringan atau beratnya infeksi, semakin banyak
telur yang ditemukan saat pemeriksaan, semakin berat pula infeksi yang diderita.2 Pada
infeksi berat, sigmoidoskopi dapat digunakan untuk melihat cacing cambuk yang melekat di
mukosa usus.2
Efektivitas penyuluhan…, Rio Wikanjaya, FK UI, 2014
Untuk mengobati trikuriasis obat yang digunakan adalah albendazol dan mebendazol. Untuk
pengobatan menggunakan albendazol, dosis yang diberikan merupakan dosis tunggal 400 mg
atau 1 x 200 mg selama 3 hari. Albendazol juga dapat dikombinasikan dengan ivermectin dan
memberikan efek yang lebih baik daripada hanya dengan monoterapi albendazol.2
Mebendazol diberikan dengan dosis tunggal 500 mg atau 2 x 100 mg selama tiga hari
berturut-turut. Setelah pengobatan dianjurkan ada tindakan lanjutan berupa pemeriksaan tinja
2-4 minggu.2,12 Albendazol dan mebendazol tidak dianjurkan diberikan kepada ibu hamil dan
anak dengan usia di bawah 2 tahun.
Dengan memperhatikan siklus hidup cacing cambuk, langkah pencegahan dapat ditentukan
melalui banyak cara. Upaya pencegahan yang paling utama adalah jangan sampai menelan
telur cacing cambuk yang dapat dilakukan dengan mencuci tangan sebelum makan dan
setelah buang air, mencuci sayur sebelum dimakan mentah, memasak makanan sampai
matang, memperhatikan kesehatan diri, dan lain-lain.7
Secara bahasa, kata pesantren berasal dari kata santri dengan awalan pe- dan akhiran -an
(pesantrian). Pesantrian memiliki arti tempat tinggal para santri. Kata santri berasal kata
“sastri” yang dalam Bahasa Sansekerta artinya melek huruf. Menurut Majid (dikutip dari
Fahmi13) hal tersebut didasarkan atas kaum santri yang berusaha mendalami agama melalui
kitab-kitab bertulisan dan berbahasa Arab. Ada pula yang mengatakan bahwa kata santri
berasal dari kata cantrik yang dalam Bahasa Jawa artinya seseorang yang selalu mengikuti
seorang guru kemana guru itu pergi menetap
Secara istilah, Nasr (dikutip dari Fahmi13) berpendapat bahwa pesantren merupakan dunia
tradisional Islam. Maksudnya, pesantren merupakan dunia yang mewarisi dan memelihara
kelangsungan tradisi Islam yang dikembangkan ulama (kyai) dari masa ke masa, tidak
terbatas pada periode tertentu dalam sejarah Islam.
Berdasarkan KBBI, penyuluhan adalah proses, cara, perbuatan menyuluh atau menerangkan
sesuatu. Depkes (dikutip dari Yustina14) mendefinisikan penyuluhan kesehatan sebagai
penambahan pengetahuan dan kemampuan seseorang melalui teknik praktik belajar atau
instruksi dengan tujuan mengubah atau memengaruhi perilaku manusia secara individu,
kelompok, maupun masyarakat untuk dapat lebih mandiri dalam mencapai tujuan hidup sehat.
Efektivitas penyuluhan…, Rio Wikanjaya, FK UI, 2014
Berbagai metode dapat digunakan untuk melakukan penyuluhan kesehatan. Berdasarkan
media penyampaiannya, metode penyuluhan dapat melalui media cetak, media lisan, dan
media terproyeksi. Berdasarkan hubungan penyuluh dan sasarannya, penyuluhan penyuluhan
dapat dilakukan secara langsung berupa tatap muka atau telepon maupun secara tak langsung
melalui leaflet, booklet, surat, dan sebagainya. Berdasarkan sasarannya, penyuluhan dapat
ditujukan secara individual, kelompok, dan penyuluhan masyarakat.15
Menurut KBBI, pengetahuan berarti segala sesuatu yang diketahui berkaitan dengan suatu
hal. Menurut Keraf (dikutip dari Pulungan15), pengetahuan adalah keseluruhan pemikiran,
gagasan, konsep, dan pemahaman yang dimiliki manusia mengenai dunia dan isinya,
termasuk manusia dan kehidupannya. Pendapat lain mengenai pengetahuan menurut
Notoatmodjo (dikutip dari Pulungan15) adalah hasil tahu seseorang terhadap suatu obyek
melalui indera yang dimilikinya dan dipengaruhi oleh persepsi dan intensitas perhatiannya
terhadap objek tersebut.
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan desain pre-post study karena peneliti ingin mengetahui pengaruh
pemberian penyuluhan terhadap tingkat pengetahuan santri mengenai T. trichiura. Penelitian
dilakukan di pesantren X, Jakarta Timur dan data diambil pada tanggal 22 Januari 2011.
Pemilihan tempat didasarkan atas kesesuaian lokasi geografis dan sebaran karakteristik
responden yang dianggap sesuai baik dari segi usia dan intelektual apabila diberikan materi
penyuluhan mengenai cacing cambuk. Populasi target penelitian ini adalah santri Pesantren X,
Jakarta Timur. Sedangkan populasi terjangkaunya adalah seluruh santri Pesantren X, Jakarta
Timur yang datang saat pengambilan data dilakukan. Sampel penelitian diambil dengan
menggunakan total sampling dan tidak ada kriteria inklusi maupun eksklusi.
Pengambilan data dilakukan di tempat penelitian, yaitu di pesantren X Jakarta Timur.
Sebelum pengambilan data, peneliti menjelaskan mengenai apa yang akan dilakukan lalu
meminta kesediaan subjek untuk mengikuti penelitian. Setelah mendapat persetujuan, peneliti
memberikan kuesioner pre-test yang berisi pertanyaan mengenai T. trichiura yaitu morfologi
dan siklus hidupnya.
Efektivitas penyuluhan…, Rio Wikanjaya, FK UI, 2014
Setelah pengisian selesai, kuesioner dikumpulkan dan diperiksa kelengkapannya. Apabila
terdapat subjek yang mengosongkan satu nomor atau lebih pertanyaan dalam kuesioner,
subjek diminta untuk mengisinya sampai terisi penuh. Selanjutnya, santri diberikan
penyuluhan mengenai trikuriasis oleh tenaga kesehatan (dokter) yang berpengalaman. Setelah
penyuluhan selesai, subjek diberikan kuesioner post-test yang pertanyaannya sama dengan
pre-test. Apabila terdapat subjek yang mengosongkan satu nomor atau lebih pertanyaan dalam
kuesioner, subjek diminta untuk mengisinya sampai penuh. Setelah semua kuesioner
dinyatakan lengkap, peneliti memberikan cinderamata kepada responden
Variabel bebas yang dipakai adalah penyuluhan, variabel tergantung adalah tingkat
pengetahuan mengenai T. trichiura, sedangkan variabel perancunya antara lain usia, jenis
kelamin, dan tingkat pendidikan.
Data selanjutnya diolah dan dianalisis menggunakan SPSS for Windows ver.18. Analisis data
dimulai dengan menggunakan analisis univariat untuk melihat penyajian distribusi frekuensi
dari analisis variabel bebas dan variabel tergantung. Selanjutnya dilakukan analisis bivariat
untuk melihat hubungan antara variabel bebas dan tergantung. Uji analisis bivariat yang
digunakan adalah uji marginal homogenity.
Hasil Pesantren memiliki 220 santri yang terdiri atas 120 santri Madrasah Tsanawiyah dan 100
santri Madrasah Aliyah dengan program penjurusan hanya IPS. Jumlah guru pesantren
berjumlah 36 orang dan pengurus pesantren berjumlah 15 orang. Meskipun kegiatan santri
terpusat di pondok pesantren, saat penelitian sebagian santri sedang pulang kerumah masing-
masing karena pengambilan data dilakukan pada hari Sabtu sehingga jumlah santri yang
diikutsertakan dalam penelitian sebanyak 154 orang.
Survei dilakukan kepada responden yang berjumlah 154 orang, dengan jumlah laki-laki
sebesar 91 orang (59,1%) dan perempuan 63 orang (40,1%) dengan usia berkisar antara 12
sampai 20 tahun. Berdasarkan tingkat pendidikan, jumlah responden yang berada pada tingkat
madrasah tsanawiyah adalah 81 (52,6%) orang dan madrasah aliyah 73 (47,4%) orang. Survei
sebaran responden berdasarkan sumber informasi disajikan pada tabel 1.
Efektivitas penyuluhan…, Rio Wikanjaya, FK UI, 2014
Tabel 1. Sebaran Responden Berdasarkan Jumlah Sumber Informasi
Jumlah Sumber Informasi Jumlah Tidak mendapat informasi 0 (0%) 1 sumber informasi 1 (0,6%) 2 sumber informasi 26 (16,9%) 3 sumber informasi 77 (50%) 4 sumber informasi 33 (21,4%) 5 sumber informasi 11 (7,1%) 6 sumber informasi 7 sumber informasi 8 sumber informasi
4 (2,6%) 1 (0,6%) 1 (0,6%)
Data pada tabel menyatakan bahwa semua santri mendapatkan informasi mengenai T. trichiura.
Setengah dari jumlah santri (50%) mendapat informasi mengenai T. trichiura dari 3 sumber.
Sedangkan untuk sumber informasi yang paling berkesan bagi responden disajikan pada tabel 2
dengan 51,9% santri merasa dokter adalah sumber informasi yang paling berkesan.
Tabel 2 Sebaran Responden Berdasarkan Sumber Informasi
Paling Berkesan
Sumber Informasi Paling Berkesan Jumlah Guru 19 (12,3%) Dokter 80 (51,9%) Teman 1 (0,6%) Orang tua 42 (27,3%) Radio Internet
0 (0%) 6 (3,9%)
Televisi 5 (3,2%) Koran Majalah Lain-lain
1 (0,6%) 0 (0%) 0 (0%)
Pada Tabel 3 menunjukkan bahwa pengetahuan santri meningkat pasca penyuluhan.Uji
marginal homogenity menunjukkan p<0,01 yang berarti pengetahuan santri sebelum dan
setelah penyuluhan memiliki peningkatan yang bermakna. Hal tersebut menunjukkan
penyuluhan efektif dalam meningkatkan pengetahuan santri mengenai trikuriasis.
Efektivitas penyuluhan…, Rio Wikanjaya, FK UI, 2014
Tabel 3 Tingkat Pengetahuan Santri Mengenai Trikuriasis
Sebelum dan Sesudah Penyuluhan
Variabel Tingkat Pengetahuan Uji Baik Cukup Kurang
Sebelum 1 (0,6%) 6 (3,9%) 147 (95,5%) Marginal homogenity
(p<0,01) Sesudah 11 (7,1%) 44 (28,6%) 99 (64,3%)
Dari tabel 4 tampak semua skor pengetahuan santri meningkat setelah penyuluhan kecuali
skor pada pertanyaan no 10. Peningkatan skor tertinggi pada pertanyaan no. 7 dengan
peningkatan sebesar 245 (32%). Meskipun demikian terdapat skor yang menurun sebesar 90
(12%) yaitu pada pertanyaan no. 10.
Tabel 4 Proporsi Skor Jawaban Terhadap Pertanyaan Mengenai T. trichiura
No Pertanyaan Skor total Skor maks
Persentase
Pre Post Pre Post
6 Cacing cambuk paling banyak ditemukan pada...
225 250 770 29 32
7 Cacing yang bentuknya seperti cambuk disebut… 245 490 770 32 64
8 Cacing cambuk hidup di… 380 440 770 49 57 9 Manusia dapat terinfeksi
cacing cambuk dengan cara… 415 450 770 54 58
10
Cacing cambuk memperoleh makanan dengan cara… 266 176 770 35 23
Pembahasan Pengetahuan sangat penting dalam mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang. Pengetahuan,
dalam hal ini mengenai T. trichiura, dapat ditingkatkan dengan berbagai cara antara lain
dengan penyuluhan. Peningkatan pengetahuan tersebut diharapkan dapat membuat
masyarakat mengenal cacing cambuk sehingga dapat terhindar dari infeksi trikuriasis.
Efektivitas penyuluhan…, Rio Wikanjaya, FK UI, 2014
Sekartini et al19 meneliti pengetahuan, sikap dan perilaku ibu yang memiliki anak usia SD.
Hasilnya menunjukkan bahwa responden yang memiliki tingkat pengetahuan yang lebih baik
mengenai cacingan memiliki perilaku untuk mencegah cacingan. Selain itu, dalam penelitian
tersebut responden juga telah mengetahui pengobatan infeksi cacingan dan menerapkannya.
Benthem et al20 yang meneliti tingkat pengetahuan masyarakat di Thailand mengenai
pemberantasan dan pencegahan DBD melaporkan bahwa masyarakat yang memiliki tingkat
pengetahuan yang lebih baik mengenai DBD memiliki upaya pencegahan yang jauh lebih
baik. Hal tersebut juga sesuai dengan penelitian Konraadt et al (dikutip dari Fadhlan20) yang
menyatakan bahwa pengetahuan mengenai pencegahan DBD berbanding lurus dengan upaya
melakukan pemberantasan sarang nyamuk.
Pada penelitian ini, jumlah responden yang memiliki tingkat pengetahuan kurang mengenai
T. trichiura adalah 95,5%, cukup 3,9%, dan baik hanya 0,6%. Hasil tersebut disebabkan
kurikulum pesantren yang hanya membahas ilmu sosial dan tidak membahas materi IPA
sehingga santri tidak pernah membahas cacingan, termasuk trikuriasis. Pihak pesantren juga
hanya memiliki dokter yang tidak memiliki ikatan dinas tetap di poskestren dan tidak
memiliki program penyuluhan kesehatan yang berkala.
Sumber informasi yang paling berkesan bagi santri adalah dokter karena sumber informasi
kesehatan di pesantren hanya dari dokter poskestren. Hal tersebut disebabkan kegiatan santri
yang terpusat di pondok pesantren sehingga santri terisolasi dari lingkungan sekitarnya. Oleh
karena itu, santri hanya mendapat tersebut sehingga informasi dari dokter lah yang menjadi
informasi paling banyak dan berkesan.
Ginting17 dalam penelitiannya menyarankan pemerintah melakukan program pemeriksaan,
pencegahan, dan penanggulangan cacingan. Penanggulangan salah satunya dapat berupa
penyuluhan kesehatan, sebagaimana juga disarankan Mardiana et al.10
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penyuluhan efektif dalam meningkatkan
pengetahuan santri mengenai T. trichiura. Hal tersebut disebabkan santri yang mengikuti
penyuluhan adalah murid madrasah tsanawiyah dan aliyah yang telah terbiasa mendapat
materi berupa ceramah sehingga mereka dapat menyimak penyuluhan dengan baik. Hal lain
yang mempengaruhi peningkatan pengetahuan adalah santri mendapat informasi baru yang
belum pernah didapat sehingga mereka antusias mengikuti penyuluhan. Selain itu penyuluhan
Efektivitas penyuluhan…, Rio Wikanjaya, FK UI, 2014
diberikan oleh dokter yang berpengalaman sehingga dapat memberikan informasi dengan baik
dan menarik. Suprapto (dikutip dari Pasaribu21) menyatakan bahwa pada metode ceramah
interaktif memberikan hasil yang baik karena terjadi komunikasi dua arah antara penyuluh
dan responden. Hasil penelitian ini sesuai dengan laporan Pasaribu bahwa metode penyuluhan
kesehatan dengan cara ceramah memiliki pengaruh terhadap tingkat pengetahuan responden.21
Penelitian Pasaribu21 yang mengenai metode penyuluhan dengan ceramah dan buku bacaan
menarik (komik) menunjukkan bahwa kedua metode penyuluhan tersebut meningkatkan
pengetahuan responden secara bermakna. Meskipun demikian, pada ceramah terjadi
komunikasi dua arah sehingga dikatakan lebih baik daripada komik.
Pengetahuan yang meningkat tidak selalu diikuti dengan perilaku yang baik. Pasaribu21
melaporkan bahwa siswa SD yang memiliki tingkat pengetahuan yang tergolong baik belum
tentu menerapkan pengetahuannya dalam mencegah infeksi cacingan karena pada umumnya
siswa tersebut belum mendapat kebebasan dalam melakukan hal-hal yang diketahuinya.
Selain itu, kemauan seseorang untuk menerapkan apa yang telah diketahuinya juga
berpengaruh dalam perilaku. Oleh karena itu, pendidikan perilaku juga harus diberikan
bersamaan dengan penyuluha.
Pada penelitian ini digunakan kuesioner yang berisi lima butir soal mengenai T. trichiura.
Sebelum penyuluhan, secara umum responden banyak yang salah menjawab sehingga tingkat
pengetahuan mereka tergolong rendah. Setelah penyuluhan, tingkat pengetahuan responden
meningkat dan secara statistik dikatakan bermakna.
Pertanyaan pertama (nomor 6) adalah mengenai prevalensi trikuriasis apakah lebih banyak
pada bayi, anak balita atau anak sekolah dasar. Sebanyak 53 responden menjawab kurang
tepat karena menjawab anak usia sekolah dasar memiliki prevalensi tertinggi dan sebanyak 47
responden menjawab tidak tahu. Setelah penyuluhan, persentase skor meningkat sebanyak 3%
karena responden yang menjawab tidak tahu berkurang menjadi 18 orang dan responden yang
menjawab bayi, balita, dan anak usia sekolah dasar berturut-turut sebanyak 18, 40, dan 74.
Tampak bahwa terdapat penurunan jawaban benar, yaitu balita. Peningkatan justru terjadi
pada jumlah responden yang menjawab kurang tepat, yakni anak usia sekolah dasar. Hal itu
disebabkan santri kurang aktif bertanya kepada penyuluh sehingga terjadi salah paham.
Meskipun jawaban itu kurang tepat, skor yang responden dapat dengan menjawab soal ini
Efektivitas penyuluhan…, Rio Wikanjaya, FK UI, 2014
dengan jawaban tersebut adalah 1. Hal itu menyebabkan peningkatan pengetahuan yang
rendah (hanya 3%).
Pada pertanyaan kedua (nomor 7) yang mengenai morfologi cacing yang menyerupai cambuk
itu apakah Ascaris lumbricoides, T. trichiura, atau Oxyuris vermicularis, sebelum penyuluhan
sebanyak 67 responden menjawab tidak tahu bentuk cacing yang menyerupai cambuk,
meskipun 49 responden menjawab benar, T. trichiura. Apabila dilihat dari jumlah responden
yang banyak menjawab tidak tahu, soal ini dapat dikategorikan sebagai soal sulit. Setelah
penyuluhan, responden yang menjawab tidak tahu berkurang menjadi 26 dan yang menjawab
T. trichiura bertambah menjadi 98. Hal tersebut menyebabkan presentase skor keseluruhan
yang mulanya 32% meningkat menjadi 64%. Peningkatan tersebut merupakan peningkatan
terbesar dari kelima soal kuesioner dan disebabkan oleh penyuluh yang relatif sering
menyebutkan cacing cambuk atau T. trichiura pada saat penyuluhan. Penyebab lain adalah
soal ini tergolong sulit sehingga responden penasaran dengan jawabannya. Rasa penasaran
inilah yang membuat responden menunggu jawaban soal ini dari penyuluh dan mengingatnya.
Pertanyaan ketiga (nomor 8) adalah mengenai tempat cacing cambuk menginfeksi dalam
tubuh manusia apakah di dalam usus halus, usus besar, atau anus. Sebelum penyuluhan,
sebanyak 76 responden telah menjawab benar yaitu di usus besar meskipun terdapat 35
responden menjawab di usus halus dan 27 menjawab di anus yang keduanya merupakan
jawaban salah. Setelah penyuluhan, reponden yang menjawab usus besar meningkat menjadi
88, usus halus menjadi 27, dan anus menjadi 28. Skor keseluruhan pada soal ini meningkat
dari 380 (49%) menjadi 440 (57%). Peningkatan tersebut dapat dikategorikan kurang dan
membutuhkan penyuluhan lebih lanjut untuk meningkatkan kategori tingkat pengetahuan
menjadi baik. Penyebab hal tersebut adalah penyuluhan tentang trikuriasis seperti ini baru
dilakukan di pesantren untuk pertama kalinya sehingga kemungkinan santri mengalami
kebingungan akan materi yang terlalu dalam.
Pertanyaan keempat (nomor 9) adalah mengenai cara cacing cambuk menginfeksi manusia
apakah dengan cara tertelan telurnya, larva yang menembus kulit, atau tertelan cacing
cambuk. Sebelum penyuluhan, sebanyak 82 responden telah menjawab benar yaitu tertelan
telur cacing, 41 responden menjawab larva yang menembus kulit, dan sebanyak 24
responden menjawab tidak tahu. Setelah penyuluhan, terdapat peningkatan responden yang
menjawab benar menjadi 88, yang menjawab larva menembus kulit dan tidak tahu masing-
Efektivitas penyuluhan…, Rio Wikanjaya, FK UI, 2014
masing sebanyak 41 dan 13 responden. Tampak bahwa jumlah responden yang menjawab
tidak tahu menurun dan jumlah responden yang menjawab larva menembus kulit berjumlah
tetap. Persentase skor setelah penyuluhan secara umum meningkat dari 54% menjadi 58%.
Meskipun demikian, tingkat pengetahuan santri masih tergolong rendah. Hal tersebut dapat
terjadi karena responden mengalami lupa karena materi disampaikan secara berturut-turut
dengan materi tentang skabies. Dengan demikian, dibutuhkan penyuluhan lebih lanjut agar
peningkatan pengetahuan responden menjadi besar dan tergolong baik.
Pertanyaan kelima (nomor 10) adalah mengenai cara cacing cambuk mendapat makanan
apakah dengan menghisap darah, menghisap zat gizi, atau memakan dinding usus. Jawaban
benar pada soal ini adalah menghisap zat gizi, namun responden yang menjawab benar
ternyata mengalami penurunan yang mulanya 59 menjadi 28. Sedangkan untuk jawaban
menghisap darah terjadi peningkatan dari 29 menjadi 44 responden. Begitu juga dengan
jawaban memakan dinding usus yang mengalami peningkatan dari 45 menjadi 56 responden.
Hal tersebut disebabkan karena responden salah persepsi dan kurang mengerti pada saat
penyuluhan berlangsung. Responden juga sama sekali tidak mengajukan pertanyaan kepada
penyuluh saat penyuluhan. Penyebab lainnya karena penyuluh, dalam hal ini dokter, kurang
jelas atau lupa menerangkan hal tersebut.
Dari kuesioner yang berisi lima pertanyaan tersebut, diketahui bahwa skor jawaban benar
umumnya meningkat namun masih sedikit santri yang memiliki kategori pengetahuan baik.
Maka dari itu, penyuluhan perlu dilakukan secara teratur supaya pengetahuan semua santri
dapat meningkat.
Kesimpulan Karakteristik santri adalah laki-laki 91 (59,1%), perempuan 63 (40,1); sebanyak 50%
responden mendapatkan 3 jenis sumber informasi dan dokter (51,9%) adalah sumber paling
berkesan. Sebelum penyuluhan, jumlah santri yang mempunyai tingkat pengetahuan baik 1
orang, cukup 6 orang, kurang 147 orang dan sesudah penyuluhan yang mempunyai tingkat
pengetahuan baik 11 orang, cukup 44 orang, dan kurang 99 orang. Penyuluhan dengan
metode ceramah efektif dalam meningkatkan pengetahuan santri mengenai T. trichiura.
Efektivitas penyuluhan…, Rio Wikanjaya, FK UI, 2014
Saran Tingkat pengetahuan santri Pesantren X perlu ditingkatkan agar mencapai kategori baik.
Penyuluhan diberikan kepada santri secara rutin dan teratur oleh tenaga kesehatan yang
berpengalaman. Perlu diadakan penelitian lebih lanjut mengenai sikap dan perilaku responden
yang berdampak pada upaya pencegahan trikuriasis.
Daftar Referensi
1. Feldmier H, Heukelbach J. Epidermal parasitic gut disease: a neglected category of
poverty-assosiated plagues. Bull World Health Organ. 2009; 87: 152-9.
2. Muller R, Wakelin D. Worms and human disease 2nd ed. New York: CABI Publishing;
2002.
3. Ekpo UF, Odoemene SN, Mafiana CF, Sam-Wobo SO. Helminthiasis and hygiene conditions of schools in Ikenne, Ogun State, Nigeria. PLoS Negl Trop Dis. 2008;2(1):146.
4. Prevalensi trikuriasis untuk anak usia sekolah dasar. [internet]. Diunduh dari
www.depkes.go.id (diakses pada 11 Januari 2011)
5. Trikuriasis di Jakarta. [internet]. Diunduh dari www.depkes.go.id (diakses pada 11
Januari 2011)
6. Guerrent RL, Walker DH, Weller DF. Tropical infectious disease: principle,
phatogens, and practice 2nd ed. Philadelphia: Churchill Livingston; 2006.
7. WHO. Prevention and control of schistomiasis and soil-transmitted helminthiasis.
Geneva: World Health Organization; 2002.
8. Prasetya L. Pengaruh program pemberantasan kecacingan terhadap perilaku orangtua
murid SD di Kelurahan Pisangan Baru Jakarta Timur tahun 1993 [tesis]. Jakarta:
Universitas Indonesia; 1993.
9. Parsons J. Peran pesantren dan cita-cita santri putri: sebuah pembandingan diantara
dua pondok pesantren di Jawa. [makalah]. Malang: Universitas Muhammadiyah;
2002.
10. Mardiana D. Prevalensi cacing usus pada murid sekolah dasar Wajib belajar pelayanan
gerakan terpadu pengentasan kemiskinan daerah kumuh di wilayah DKI Jakarta.
Jurnal Ekologi Kesehatan. 2008;7(2):69-74.
11. WHO. Preventive chemotherapy in human helminthiasis. Geneva: World Health
Organization; 2006.
Efektivitas penyuluhan…, Rio Wikanjaya, FK UI, 2014
12. Yunus R. Keefektifan albendazole pemberian sekali sehari selama 1, 2, dan 3 hari
pada anak sekolah dasar di Kecamatan Medan Tembung.[Tesis]. Medan: Pascasarjana
USU; 2008.
13. Fahmi MA. Modernisasi sistem pendidikan pesantren. [makalah]. Surabaya: Fakultas
Tarbiyah IAIN Sunan Ampel; 2009.
14. Yustina I. Perencanaan program penyuluhan. [makalah] Medan: FKM USU; 2003.
15. Pulungan R. Pengaruh metode penyuluhan terhadap nyamuk DBD di Kecamatan
Helvetia tahun 2007. [disertasi] [diunduh pada 13 Januari 2011]
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6813/1/09E01341.pdf
16. Sadjimin T. Gambaran epidemiologi kejadian kecacingan pada siswa sekolah dasar di
Kecamatan Ampana Kota Kabupaten Poso Sulawesi Tengah. Jurnal Epidemiologi
Indonesia. 2000;4(6):1-2
17. Ginting A. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian kecacingan pada anak
sekolah dasar di desa tertinggal Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir. [skripsi]
Medan: FKM USU; 2009
18. Pulungan R. Pengaruh metode penyuluhan terhadap peningkatan pengetahuan dan
sikap dokter kecil dalam pemberantasan sarang nyamuk demam berdarah (PSN-DBD)
di kecamatan Helvetia tahun 2007 [tesis]. Medan: Sekolah Pascasarjana USU; 2008
19. Sekartini R. Wawolumaya C. Kesume W. Memy YD. Yulianti. et al. Pengetahuan,
sikap, dan perilaku ibu yang memiliki anak usia sd tentang penyakit cacingan di
Kelurahan Pisangan Baru, Jaktim. Diunduh dari
http://www.tempo.co.id/medika/arsip/102002/art-1.htm. (diakses pada 12 Agustus
2011)
20. Fadhlan A. Tingkat pengetahuan siswa Madrasah Tsanawiyah Negeri Bayah mengenai
pemberantasan sarang nyamuk DBD setelah penyuluhan [skripsi]. Jakarta: FKUI; 2010. 21. Pasaribu HER. Perbandingan penyuluhan kesehatan metode ceramah tanya jawab
dengan penyuluhan kesehatan menggunakan buku kecacingan dalam mencegah
reinfeksi Ascaris lumbricoides [tesis]. Semarang: Pascasarjana Universitas
Diponegoro; 2005.
Efektivitas penyuluhan…, Rio Wikanjaya, FK UI, 2014