ebook ink sharia ed. 6

21

Upload: ink-sharia

Post on 09-Mar-2016

248 views

Category:

Documents


10 download

DESCRIPTION

referensi pemikiran mahasiswa

TRANSCRIPT

Page 1: Ebook ink sharia ed. 6
Page 2: Ebook ink sharia ed. 6

,Edisi 6/2014 3

Salam Redaksi 4

Editorial Masa Depan Gerakan Mahasiswa 5

Ink-Side 1 Mahasiswa Dalam Panggung Politik:Arah Perjuangan Utopis 7

Ink-Side 2 Ketika Pemuda Harus Memilih 11

Ink-Side 3 Pemilih Pemula, Pemilu, dan Perubahan 14

Ink-Side 4 Pemilu Demokrasi:Ajang Jual Beli Suara Rakyat 17

Ink-Side 5 Golput:Realita yang Menguat dan Kegagalan Akomodasi Pemilu Demokrasi 20

Galeri Aksi Mahasiswa 23

Soal Jawab Islam Ideologi 25

Open Opinion 1 Pemilu Demokrasi:Harus Kemana Sikap Politik Mahasiswa ? 28

Open Opinion 2 Bagaimana Muslim Menyikapi Pemilu 34

Ink-ternational Bukan Sekedar Pemilu 37Da

fta

r Is

i

Edisi 6/2014

Page 3: Ebook ink sharia ed. 6

Mahasiswa, kata orang dialah suara rakyat, suara ummat, seorang yang berseru dengan

lantang. Dialah seorang intelektual, seorang pemuda pengobar semangat, pendobrak peradaban, pencetus perubahan, dan masih banyak lagi julukan-julukan gagah yang termaktub pada mahasiswa. Namun, saat ini apakah julukan-julukan ini layak dimiliki seorang mahasiswa?

Banyak terbentuknya gerakan-gerakan mahasiswa yang memiliki tujuan tertentu. Baik dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, maupun politik. Namun apakah gerakan-gerakan itu memiliki kontribusi terhadap kemajuan Indonesia? Fakta menjawab, bahwa pergerakan mahasiswa saat ini dibelenggu oleh sikap pragmatis mereka. Berlagak menuntut, namun minim akan solusi.

Kumpulan mahasiswa dalam satu pergerakan memiliki tujuan tertentu, dan tak jarang justru dijadikan boneka atas kekuasaan kaum elit. Dengan bangga berdemo di tengah jalan atas nama

penindasan dan menuntut keadilan. Bersuara lantang atas nama kebebasan berpendapat. Di saat yang sama pengecaman mereka tidak memberikan solusi yang tepat. Yang ada hanyalah mengamankan diri dari keterjajahan atas haknya sebagai pemuda pendobrak peradaban. Mahasiswa hanya dijadikan sebagai mesin pencetak uang di sistem sekarang. Suara mereka pun terpecah, ada yang ke kanan, ada pula yang ke kiri. Tergantung elit kekuasaan mana yang menggerakannya. Jadilah mereka sebagai “suara bayaran”.

Permasalahan rakyat Indonesia tidaklah sedikit, mulai dari rakyat kecil berkasus hingga para pemimpinnya. Sejak awal kemerdakaan hingga kini pun telah melakukan berbagai upaya perubahan lewat pesta demokrasi (pemilu) namun perubahan menuju arah yang lebih baik pun hanya tinggal khayalan kosong. Yang ada justru kerusakan semakin nampak. Generasinya dibuat menjadi hedonis, individualis, bahkan merusak masa depan mereka sendiri. Kesalahan terbesar mahasiswa adalah tidak melihat akar

,Edisi 6/2014 5,Edisi 5/20144

Salam redaksi

Salam Mahasiswa !

Pelindung : Allah SWT. Penanggung Jawab : Ust. Arafah. Pemimpin redaksi : Indrawirawan. Redaksi : Harly Yudha Priono, Jayadi, Sulerski Monoarfa, Abdul Aslan, Hasbi As-war, Adi Wijaya, Kusanadi Ar-Razi, Ridha Zinnirah, Zahra Qonita, Risma Desmita, Izzah Al Mundzirah. Layouter : Mu’min Nursalim. Pracetak : Rustam Efendi, Itonroy.

inkCrew

Bulan April tensi pemilu demokrasi semakin meninggi. Berbagai manuver dan kampenye dilakukan dan digalakkan partai dan caleg peserta pemilu untuk mendapat raihan suara. Karena satu suara buat mereka sangat berarti.

Walaupun, satu suara itu hanya akan berarti di saat pra pemilihan umum namun menjadi suara sumbang jika diminta tagih atas janji-janji yang mereka tebar di tengah-tengah masyarakat.

Sesungguhnya, dengan melihat berbagai sepak terjang para politisi hari ini maka kita semua dapat menilai bahwa tidak ada jalan perubahan yang mereka usung. Slogan-slogan yang mereka lontarkan hanya sebuah slogan tak bermaknan karena tidak mampu mereka realisasikan. Slogan mereka absurd lagi khayali. Suara rakyat hanya formalitas dalam agenda pesta demokrasi yang mereka agungkan.

Dalam menyikapi semua itu, maka kami majalah Ink Sharia (Referensi Pemikiran Mahasiswa) kembali mengulik lebih dalam fakta-fakta terkait pemilu demokrasi. Membahas berbagai fenomena yang muncul. Golput masih menjadi posisi strategis, sikap pemuda dan pemilu (ketika pemuda harus memilih), posisi mahasiswa dalam panggung demokrasi, dan bagaimana keterkaitan antara pemilu dengan perubahan mendasar (taghir) dalam tatanan kehidupan masyarakat.

Akhirnya, kami hanya bisa berharap perubahan segera terjadi. Perubahan yang kita semua nanti, tumbangnya rezim-tirani dan sistem yang bercokol mengangkangi segala lini kehidupan kita. Dan kita akan memulainya dengan pembacaan (iqra’) tanda-tanda (ayat) yang bertebaran di langit dan bumi. Semoga majalah Ink Sharia turut memberikan sumbangsih tanda-tanda itu. “Kerusakan yang ada di muka bumi ini, bukan semata karena banyaknya orang yang bermaksiat. Tapi, karena diamnya orang-orang yang baik”. Mari menggaungkan kebenaran; lisan maupun tulisan.

Selamat membaca !

Wassalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.

Masa DepanGerakan Mahasiswa

EEditorialE

Page 4: Ebook ink sharia ed. 6

Editorial Ink Side

,Edisi 6/2014 7,Edisi 5/20146

masalah dari segala permasalahan yang muncul bak tumbuhnya jamur dimusim hujan. Sehingga jangankan menyerukan perubahan, memberikan solusi tepat saja tidak mampu. Bagaimana mungkin bisa menjadikan Indonesia lebih baik?

Ibarat seorang dokter yang ingin menyembuhkan namun tak tahu obatnya. Bagaimana mungkin bisa menyembukan sementara obatnya saja ia tak tahu. Apalagi jika dokter ini tak memiliki ilmu kedokteran, maka mustahil ia bisa disebut seorang dokter. Oleh karena itu, sudah saatnya mahasiswa tahu akar masalah yang ada pada Negeri ini. tidak hanya mengetahui, akan tetapi perubahan itu harus terusung dengan baik agar tujuan pergerakan mahasiswa terarah dalam melakukan perubahan. Mahasiswa harus mengetahui mana lawan dan mana kawan. Sebab sistem saat inilah yang menjadikan mereka terpecah, tak tentu arah dalam mengecam, dan tak tahu jalan mana yang harus dituju. Negeri ini telah kehilangan dokter ummat ketika mahasiswa diam, dan Negeri ini akan semakin sakit ketika mahasiswa / pemudanya terkena penyakit demokrasi. Bahkan Negeri ini akan hancur perlahan ketika pemuda/generasinya merasa aman dengan kehancuran pemikirannya.

Sadar atau tidak, sistem negeri inilah yang menina bobokan pemikiran

kritis mahasiswa. Membungkam hak politik mereka, tak lain hanya dijadikan sebagai ajang pemungutan suara. 69 tahun berlalu, dan kita akan memasuki masa pesta demokrasi (pemilu) untuk kesekian kalinya, yang noabene tidak pernah memberikan kesejahteraan pada rakyatnya, mulai dari era orde lama, orde baru hingga masa reformasi. Apakah pergerakan mahasiswa akan turut pula mengikuti alur permainan demokrasi yang rusak dan merusak ini? ataukah mereka kembali melakukan perubahan yang menyerukan solusi tepat dengan mengganti sistem yang diemban? Sungguh masa depan pergerakan mahasiswa ada pada pemikiran mereka. Sebab perubahan itu sungguh mudah jika mahasiswa bersatu menyuarakan yang sama. Sejarah sudah membuktikan bagaimana mahasiswa menjadi bagian yang tidak dapat terpisahkan dari pergolakan politik Indonesia. Sungguh mudah jika mahasiswa bersatu, menjadikan keganasan ideologis mereka adalah ketepatan dalam menyerukan kebenaran, menyuarakan satu seruan dalam perubahan Indonesia yang lebih baik dengan mengganti sistem beserta rezimnya dengan sistem yang menjadi satu-satunya solusi bagi seluruh problematika ummat, yaitu sistem Islam.

[Redaksi]

Mahasiswa Dalam Panggung Politik :Demokrasi Arah Perjuangan UtopisHarly Yudha Priono

Mahasiswa Dalam Panggung Politik :Demokrasi Arah Perjuangan Utopis

Organisasi mahasiswa begitu menjamur di Indonesia. Dalam klasifikasinya, organisasi

mahasiswa berunut dalam dua lingkup. Pertama, organisasi mahasiswa intra kampus merupakan organisasi mahasiswa yang umumnya mendapat legitimasi dari kampus untuk melaksanakan aktivitasnya. Aktivitas organisasi mahasiswa intra ini umumnya terkungkung pada kegiatan yang sifatnya menyalurkan hobi mahasiswa. Kedua, organisasi mahasiswa ekstra kampus. Umumnya organisasi ekstar kampus ia tidak terikat dengan kampus tempat ia beraktivitas, dan umumnya berhaluan pada gerakan moral, pendidikan, dan politik.

Gerakan politik mahasiswa yang bergerak atas dasar ideologinya masing-masing. Dapat kita sorot dari masing-masing zamannya. Pada awal gerakannya kata mahasiswa belum populer sehingga yang melekat tajam dalam adalah kata pemuda. Fase pra kemerdekaan pada tahun 1905 ditandai dengan berdirinya Sarekat Dagang Islam

yang kemudian hari bertransformasi menjadi Partai Sarekat Islam. Mulanya Sarekat Islam mengawali geraknya di pesantren yang merupakan basis dimana pemuda belajar Islam. Berdirinya SI sebagai dasar semangat perjuangan Islam untuk melawan kolonialisme dan imperialisme di tanah nusantara.

Tahun 1908 berdiri pula organisasi mahasiswa Budi Utomo (BU), yang merupakan hasil rundingan dari para pelajar-mahasiswa nusantara dari lembaga Stovia. Maksud didirikannya BU untuk menyelaraskan organisasi tersebut dengan bangsa (nusantara) untuk sebuah kemajuan di bidang pendidikan, pertanian, peternakan dan dagang, teknik dan industri, serta kebudayaan (Wikipedia.org). atau dengan kata lain organisasi ini berhimpun pada gerakan moral, tetapi tidak pula ia lepas dari pengaruh politik

Juga tidak samar terdengung yang terjadi di tahun 1928. Demikian karena tahun ini merupakan tahun beberapa organisasi mahasiswa yang suaranya dituangkan dalam Sumpah Pemuda.

Page 5: Ebook ink sharia ed. 6

Ink Side Ink Side

,Edisi 6/2014 9,Edisi 5/20148

yakni HMI, PMII, PMKRI, GMKI, Sekertaris Bersama Organisasi-organisasi Lokal (SOMAL), Mahasiswa Pancasila (Mapancas), dan Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI). Terbentuknya KAMI sebagai dasar perlawanan mahasiswa terhadap PKI agar lebih terkoordinasi dan memiliki kepemimpinan.

Perjuangan Mahasiswa 65/66 juga melibatkan dirinya dalam perjuangan mendirikan orde baru. Selang berjalannya perjuangan mahasiswa yang dikenal angkatan ’66 berhasil mendirikan orde baru menjadikan sebagian tokoh mahasiswa berada dalam lingkaran orde baru, diantaranya Cosmas Batubara (Eks. Ketua Presidium KAMI Pusat, Sofyan Wanandi, Yusuf Wanandi yang ketiganya dari PMKRI, Akbar Tanjung (Aktivis HMI), dll. Sebagai hadiah atas perjuangannya menumpas PKI.

Tahun 1974, 1977-1978, 1990, dan 1998 merupakan rangkuman perjuangan mahasiswa pra orde baru. Tergambar perjuangan yang penuh semangat dengan pengorbanan. Tetapi yang terlihat perjuangan mahasiswa pada saat itu mengalami jatuh bangun, dan yang paling krusial pembajakan perjuangan mahasiswa setelah tiupan reformasi yakni pengarahan demokrasi kearah yang makin liberal.

Kembali jadi Alat Politik Praktis di Era Reformasi

Era reformasi yang memberi angin

segar bagi mahasiswa pun tidak menjadikan gerak mahasiswa semakin tajam dan terarah. Malah menjadikan mahasiswa sebagai alat politik praktis partai. Terkhusus di tahun 2014, yang merupakan tahun PEMILU yakni pemilihan legislatif tingkat kabupaten/kota, provinsi, dan pusat. Pra kampanye partai politik, sebenarnya sudah jauh hari kampanye dilaku dengan memanfaatkan kekuatan organisasi mahasiswa.

Di Makassar sendiri, mulai pertengahan Februari sampai akhir Maret banyak kegiatan organisasi mahasiswa yang ujungnya mengarah mengkampanyekan sosok Caleg atau Presiden untuk dipilih. Tak jarang pula acara tersebut dibungkus agar sejauh mungkin terhindar dari unsur kampanye pada sudut promosinya, tetapi ketika sampai pada terlaksananya acara, terlihat sudah acara yang mengarah pada penyudutan tokoh parpol untuk dipilih.

Poin urgensitas membaca gerak mahasiswa yang terkontaminasi politik praktis. Organisasi mahasiswa, tidak memahami pemikiran (fiqrah) dan motode (thariqah) partai politik yang ia sebagai underbuow-nya. Nampak, hanya sebuah slogan tak bermutu berakhir gratis, gratis, dan gratis. Lebih parah lagi, organisasi mahasiswa yang hanya tinggal disuap fulus, ia rela menggadaikan idealismenya.

Organisasi mahasiswa tidak lagi jadi pengayom mengedukasi masyarakat. Malah menjadi aktor, biang kerusakan

Angkatan 28 atau Sumpah pemuda, berdiri atas beberapa gagasan jong (beberapa orang pemuda), yakni jong java, jong celebes, jong madura, jong tionghoa, jong islamiedin, dll. Pemuda angkatan 28 ini, bergerak atas dasar kesatuan nasionalisme yang bertujuan melawan penjajah dan memerdekakan Indonesia.

Ada pula angkatan kemerdekaan atau angkatan 1945. Tidak terlalu jauh membahas angkatan ini, masuk pada tahun 1955. Tahun 55, adalah tahun politik beragam warna. Beragam partai yang mewarnai percaturan politik pada tahun itu. Partai politik pada saat itu, tidak jarang menggaet gerakan mahasiswa atau mendirikan gerakan mahasiswa sebagai underbow partai mereka untuk meraih kekuasaan.

Beberapa organisasi mahasiswa yang menjadi underbow partai politik saat itu, seperti Perhimpunan Mahasiswa Kristen Republik Indonesia (PMKRI) dengan Partai Katholik, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dengan Partai Nasional Indonesia (PNI), Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), Gerakan Mahasiswa Sosialis Indonesia (Gemsos) dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dengan Partai NU, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dengan Masyumi, dll.

Mahasiswa, Alat Partai Politik dan

Kesalahan Perjuangan

Tahun 1955 sebagaimana yang telah dibahas, beberapa gerakan mahasiswa menjadi underbow dari partai politik. Pemilu pada saat itu, bisa dikatakan PKI tampil sebagai partai yang paling kuat. Sehingga menjadikan Concentrasi Gerakan Mahasiswa Nasional (CGMI) sebagai afiliasinya berbangga diri atas kemenangan PKI. Kebanggaan yang dirasakan CGMI membuatnya menjalankan konfrontasi politik dengan beberapa organisasi mahasiswa lainnya. Jauh kendali CGMI berusaha memengaruhi beberapa organisasi mahasiswa salah, satunya PPMI dan GMNI, bentuk pengaruh CGMI terhadap dua organisasi tersebut ditandai dengan adanya sejumlah kader maupun anggota CGMI yang menduduki jabatan berpengaruh di PPMI dan GMNI.

Kemenangan PKI dan bergrilyanya CGMI ke tubuh beberapa oganisasi mahasiswa, membuat ‘urat saraf’ Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) meninggi, melihat PKI dan underbow-nya menguasai rute perpolitikan Indonesia pada saat itu. Maka pada 25 Oktober 1966 melalui kesepakatan beberapa organisasi mahasiswa yang berhasil di akomodir oleh Mayjen dr. Syarief Thayeb yang merupakan Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pendidikan (PTIP) membentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang didalamnya terdapat sejumlah organisasi mahasiswa,

Page 6: Ebook ink sharia ed. 6

Ink Side

,Edisi 5/201410

negeri. Menjadi underbouw partai politik atau afiliasinya, tidaklah masalah tetapi kritislah berfikir, menganalisa apakah partai politik tersebut sejalan dengan Islam.

Kegagalan Partai Politik & Demokrasi

Syekhul Hujjah Taqiyuddin An-Nabhani rahimahullah dalam kitabnya At-takatul Hizbi/Pembentukan Partai Politik, memaparkan kegagalan partai politik : (1) Gerakan-gerakan tersebut berdiri atas fikrah (pemikiran) yang masih umum tanpa batasan yang jelas, sehingga muncul kekaburan atau pembiasan. Lebih dari itu, fikrah tersebut tidak cemerlang, tidak jernih, dan tidak murni. (2) Gerakan-gerakan tersebut tidak mengetahui thariqah (metode) bagi penerapan fikrahnya. Bahkan fikrahnya diterapkan dengan cara-cara yang menunjukkan ketidaksiapan gerakan tersebut dan penuh kesimpangsiuran. Lebih dari itu, thariqah gerakan-gerakan tersebut telah diliputi kekaburan dan ketidak jelasan. (3) Gerakan-gerakan tersebut bertumpu kepada orang-orang yang belum sepenuhnya mempunyai kesadaran yang benar. Mereka pun belum mempunyai niat yang benar. Bahkan mereka hanyalah orang-orang yang berbekal keinginan dan semangat belaka. (4) Orang-orang yang menjalankan tugas gerakan-gerakan tersebut tidak mempunyai ikatan yang benar. Ikatan yang ada hanya struktur

organisasi itu sendiri, disertai dengan sejumlah deskripsi mengenai tugas-tugas organisasi, dan sejumlah slogan-slogan organisasi.

Pernyataan Syekh Taqiyuddin An-Nabhani rahimahullah, menggambarkan jelas keadaan partai politik saat ini. Terkhusus di Indonesia, tergambar apa yang Syekh Taqiyuddin maksud. Sangat banyak di Indonesia partai politik yang berdiri tidak memiliki pemikiran dan metode yang jelas. Jika kita lihat partai politik saat ini sungguh mengutamakan kemaslahatan partai dan anggota partainya di banding ke maslahatan umat. Juga ada partai politik yang mengaku partai islam , tetapi jika gerak-geriknya di teropong sungguh jauh dari Islam. Mereka memasukan sejumlah orang non muslim untuk bergabung ke partainya.

Semuanya merupakan buah dari demokrasi, jalan perjuangan demokrasi merupakan jalan yang rusak dan tak akan membawa umat islam pada kemenangan. Umat muslim baik yang terjun di parlemen maupun organisasi mahasiswa yang mendukungnya seharusnya kritis melihat. Bahwa perjuangan demokrasi tidak akan pernah mendapat ridho dari Allah SWT. Sungguh karena demokrasi adalah sistem yang tidak berasal dari Islam dan sangat bertentangan dengan Islam. Wallahu a’lam []

Ink Side

,Edisi 6/2014 11

Pemilu, hajatan lima tahunan ini akan kembali digelar tahun 2014. Pada bulan April, pemilihan anggota

DPR, DPRD, dan DPD untuk periode jabatan 2014-2018. Sedangkan di bulan Juli 2014, pemilihan presiden pengganti SBY-Boediono. Hampir setiap hari di layar kaca, kita disuguhi iklan tentang pemilu. Belum lagi, spanduk dan baliho berjejeran di pinggir jalan hingga pelosok desa, bergambar wajah sumringah caleg dan capres. Lengkap dengan kopiah dan kerudung menambah kesan kesholihan. Ada wajah yang sudah lama malang melintang di dunia politik. Ada pula wajah muda dan energik sebagai pendatang baru.

Diantara sekian juta penduduk Indonesia yang terdaftar sebagai pemilih tetap. Pemilih pemula menjadi primadona incaran para caleg dan capres. Bukan tanpa alasan. Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang dilansir dalam pemilu.com menunjukkan, jumlah pemilih pemula pemilu 2014 yang berusia 17 sampai 20 tahun sekitar 14 juta orang. Sedangkan yang berusia 20 sampai 30 tahun sekitar 45,6 juta jiwa.Pada pemilu

2004, jumlah pemilih pemula mencapai sekitar 27 juta dari 147 juta pemilih. Pada pemilu 2009 sekitar 36 juta pemilih dari 171 juta pemilih. Kemudian data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010 penduduk berusia 15-19 tahun sebanyak 20.871.086 orang, dan usia 20-24 tahun sebanyak 19.878.417 orang. Jika dijumlahkan mencapai 40.749.503 orang. Pada Pemilu mendatang ini, jumlah pemuda yang mempunyai hak pilih bisa mencapai 40 sampai 42 persen.

Pertanyaan¬nya, apa yang akan terjadi jika angka sebesar itu dimobilitasi partai politik tententu? Maka bisa dipastikan itu men¬jadi tiket pemenangan kekuasaan. Maka tak heran jika iklan pemilu dan kampanye dikemas semenarik mungkin. Dari iklan jenaka simulasi pencoblosan hingga goyang yang lagi tren dikalangan muda-mudi. Tujuannya tak lain agar mereka terpikat dan memberikan suaranya pada partai.

Politik Literacy

Ada keresahan dan kekhawatiran tersendiri bagi beberapa kalangan terkait kuantitas pemilih pemula. Bagi mereka

Izzah Al-Mundzirah

Ketika Pemuda Harus Memilih

Page 7: Ebook ink sharia ed. 6

Ink Side

,Edisi 5/201412

pemilih pemula/pemuda tidak selayaknya apatis. Menurut Edi Sugianto, Aktivis Demokrasi di Indonesian Community for Democracy (KID), Jumlah yang begitu besar akan menentukan nasib demokrasi ke depan. Citra demokrasi akan menjadi elok bila pemilih pemula dapat berpartisipasi dengan sehat dan baik. Sebaliknya, wajah demokrasi akan tercoreng bila pemilih pemula terpasung dalam lingka¬ran mobilitasi partai politik berbayar

Hingga solusi yang ditawarkan tak lain adalah penggalakan ‘politik literacy’ atau bahasa sederhananya ‘melek’ politik. Lewat iklan layanan masyarakat sampai seminar-seminar pra pemilu, pelajar dan mahasiswa dilibatkan aktif. Harapannya agar pemuda tidak lagi memandang ‘politik itu kotor’, memaknai betul arti demokrasi sehingga tidak golput dan menggunakan hak pilihnya secara sadar untuk memilih wakil dan pemimpin yang tepat.

Namun, kita tentu tak boleh menyalahkan sepenuhnya keapatisan pemuda ini. Sebab pada faktanya, demokrasi di Indonesia melahirkan kehidupan perpolitikan yang jauh dari kata bersih alias kotor dan menjijikkan. Korupsi merajalela di tubuh elit politik, dari yang paling rendah hingga pucuk penegak hukum, Mahkamah konstitusi. Boleh jadi keapatisan pemuda muncul dari sini. Mereka muak dengan janji-janji para caleg dan capres yang tak jua terealisasi.

Mari buka lagi lembaran sejarah pemilu Indonesia, sudah kurang lebih sepuluh kali Indonesia menggelar pesta demokrasi, terhitung sejak 1955 hingga 2009. Akan tetapi, selalu saja pemilu hanya berujung pilu. Penguasa yang terpilih tidak benar-benar melaksanakan amanah rakyat. Biaya jutaan hingga milyaran yang dikeluarkan saat kampanye, mutlak harus kembali ke kantong mereka. Maka tak heran korupsi jadi pilihan. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan memeras rakyat jelata. Bagaimana dengan caleg dan capres yang tidak terpilih? Kebanyakan berujung menjadi penghuni Rumah Sakit Jiwa. Dan ironisnya, masih saja banyak kalangan yang percaya bahwa demokrasi mampu membawa kesejahteraan. Begitupun Politik literacy demokrasi untuk memahamkan pemuda akan perannya dalam kancah perpolitikan tak lebih sebuah kecelakaan berpikir.

Menjadi pemuda ‘melek’ politik

Tak berlebihan kiranya Ir. soekarno dalam sebuah pidatonya yang sangat terkenal “Berikan kepadaku seribu orang tua maka akan kucabut semeru dari akarnya, tetapi berikan kepadaku sepuluh orang pemuda maka akan kuguncangkan dunia”, Bung Karno jelas tidak sedang menghina kalangan orang tua. Namun, baginya pemuda adalah simbol kekuatan. Garda terdepan dalam memajukan bangsa ini. pemuda tak selayaknya hanya menjadi penyumbang suara terbanyak dalam pemilu. Dan setelah pesta usai, kembali bungkam,

Ink Side

,Edisi 6/2014 13

tak bersuara. Maka menjadi sebuah keharusan, pemuda melek politik. Tentu melek yang sesungguhnya bukan sekadar ikut-ikutan.

Menurut pengertian bahasa, politik adalah ‘pemeliharaan/pengurusan’. Adapun maksud siyasah menurut istilah/syara’ adalah ri’ayah asy-syu’un al-ummah dakhiliyyan wa kharijiyan (mengatur/memelihara urusan umat sama ada dalam atau luar negeri) [Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur]. Pengertian ini diambil dari beberapa hadis di mana Rasulullah saw menggunakan lafaz ‘siyasah’ untuk menunjukkan maksud pengurusan/pemeliharaan urusan umat, antaranya hadis riwayat Bukhari dan Muslim.

Dan politik bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. Ibarat dua sisi mata uang logam, agama di satu sisinya, sedang politik disi yang lainnya, keduanya tak dapat dipisahkan. Politik dan agama adalah ibarat dua saudara kembar [Lihat: Imam al-Ghazali, Al-Iqtishad fî al-I‘tiqad, hlm. 199]. Dikatakan “Jika kekuasaan (as-sulthan) terpisah dari agama atau jika agama terpisah dari kekuasaan, niscaya keadaan manusia akan rusak” [Lihat: Ibn Taimiyah, Majmu‘ al-Fatawa, 28/394]

Jadi sekarang jelas bahwa berpolitik adalah urusan seluruh lapisan masyarakat tak terkecuali bagi pemuda. Tidak ada jalan bagi apatis, sebab pengurusan ummat mesti terus dilakukan. Kita tidak boleh tinggal diam, harus ambil bagian dalam perbaikan masyarakat.

Jika demikian, berarti adalah sebuah kewajiban untuk turut serta memilih wakil rakyat dalam pemilu 2014 ini?. Nanti dulu, jangan gegabah memaknainya. Memang benar, pemilu merupakan salah satu uslub dalam memilih wakil rakyat. hukumnya mubah. Akan tetapi pada pemilu kali ini, perlu diperhatikan wakalah/pewakilan pekerjaan kita. Dan memahami bagaimana syara’ memandang pekerjaan dewan legislatif dan eksekutif tersebut. Pemilu dalam sistem demokrasi tak lain bertujuan untuk melaksanakan legislasi. Perkara yang diharamkan oleh Allah SWT terhadap manusia. Sedangkan pemilu dalam sistem Islam adalah wujud representasi, dimana umat memberikan kekuasaan (kepala negara) kepada orang yang mereka pilih untuk mengurusi urusan mereka. Dengan pemilu itu, umat mewakilkan kepada orang yang akan mewakilinya dalam mengoreksi dan menyampaikan pendapat dan bukan untuk membuat kebijakan atau peraturan.

Duhai pemuda, sungguh Islam telah datang untuk memberi kemuliaan. Siapa yang mencari kemuliaan dengan cara lain maka ia hanya akan mendapati kehinaan. Dan hukum menegakan khilafah dan berbai’at pada khalifah sudah jelas kewajibannya. Seharusnya itu lebih kita fikirkan ketimbang bergelut dalam demokrasi bagi orang-orang yang berharap kemuliaan.[]

Page 8: Ebook ink sharia ed. 6

Ink Side

,Edisi 5/201414

Di indonesia jumlah daftar pemilih tetap (DPT) menurut data KPU bisa mencapai 186,5 juta, sekitar

10% itu adalah pemilih pemula. Generasi muda yang baru diberi hak memilih ini, sebagian besarnya itu berstatus pelajar dan mahasiswa.

Angka Golput atau pemilih yang tidak menggunakan hak suaranya pada pemilihan tahun 2009 mencapai 39% atau 66.9 juta suara dari jumlah pemilih 171 juta. menurut KPU dan para pengamat angka ini akan terus bertambah pada pemilu 2014 nanti. Sadar akan fakta tersebut, pihak KPU kelihatannya sangat gelisah.

Langkah-langkah strategis sudah mulai di galangkangkan untuk meminimumkan angka golput, diantaranya adalah jalan sehat berdorprishe, Iklan di berbagai media elektronik dan media cetak, serta beragam bentuk sosialisasi yang sangat masif hingga ancaman pidana bagi para penyeru golput. Tak ketinggalan juga fatwa haram golput MUI yang terus di dengungkan oleh para kontestan pemilu

yang takut akan kehilangan suara.

Melihat pemilu pemula yang sangat potensial serta mencapai angka 18,3 juta pemilih. KPU telah menyiapkan program khusus untuk para generasi muda ini agar tidak golput. Karena dipandang sebagai salah satu pemilih yang kritis, sosialisasi dalam bentuk seminar atau dialog intelektual coba di selenggarakan di kampus dan sekolah, disamping itu merekapun di rangkul oleh KPU untuk terlibat secara aktif sebagai relawan pemilu.

Cerdas memilih

Suksesnya pemilihan umum sejatinya tidak lepas dari kualitas para peserta pemilu dalam menjatuhkan pilihannya, yang secara otomatis tentunya dapat melahirkan pemimpin yang sejati. Cerdas memilih akan terwujud melalui edukasi yang benar oleh seluruh pihak baik itu dari penyelenggara KPU, penegak hukum, kontestan pemilu yakni partai politik dan pihak-pihak terkait lainnya.

Namun dengan sistem demokrasi

Ink Side

,Edisi 6/2014 15

liberal saat ini, sangat sulit mendapatkan edukasi yang benar. Pihak penyelenggara cukup susah untuk berposisi netral, ditambah dengan pihak penjaga hukum konstitusi negara juga semakin rapuh, kasus suap pilkada yang menjerat ketua MK Akil Mukhtar kemarin, sesungguhnya hanya penegasan secara terbuka saja, masih banyak tindakan-tindakan serupa yang belum terungkap terkait godaan harta, wanita serta di tambah dengan ancaman dari para kontestan pemilu, bisa membuat pihak-pihak tersebut akhirnya mengambil jalan yang tidak seharusnya di lakukan.

Disisi lain walaupun mengusung motto perubahan, para kontestan partai politik di hari menjelang pemungutan suara 9 april mendatang, masih menggunakan cara-cara basi, seperti politik uang dan kampanye vulgar dengan menampilkan artis seksi dan goyang erotis di panggung-panggung orasi. Disamping itu, ada juga yang masih menggunakan ilmu-ilmu gaib dan ritual sesembahan jin.

Lebih jauh, demi meraup suara yang banyak untuk bisa berkuasa, kebanyakan partai politik hari ini rela ideologi dan visi partainya terabaikan dengan membuka seluas-luasnya pintu partai untuk dimasuki orang-orang kapitalis tanpa melalui proses pengkaderan dan langsung di jadikan pimpinan partai, diantaranya Hary Tanoe bos MNC Grup di Hanura, Bos Lion Air

Grup Rusdi Kirana di PKB dan lain-lain. Tentu dengan gelontoran modal besar yang di titip oleh para bos (kapitalis) ini, bukanlah sesuatu yang gratis dan jelas mengharapkan konpensasi dalam kemajuan bisnis jangka panjang.

Masalah demi masalah yang terkait satu dengan yang lain, seharusnya bisa menyadarkan kita bahwa ini adalah persoalan sistemik dan harus di selesaikan dengan mengubah sistem demokrasi liberal saat ini. Sistem ini sungguh sangat rusak, karena lahir dari produk akal manusia yang sangat lemah.

Perubahan Instan atau Hakiki

Kebanyakan makanan-makanan instan siap saji yang di konsumsi dalam jumlah banyak tentunya tidak baik untuk kesehatan kita. Begitupun kalau kita hanya berharap pada pemilu atau pilkada/pilpres untuk merubah tatanan negara semakin baik itu adalah hal yang mustahil karena dengan begitu kita sedang menempuh jalan yang instan.

Pemilihan demi pemilihan legislatif dan eksekutif yang kita lalui bersama telah membuktikan kepada kita bahwa pemilihan hanyalah acara seremonial pergantian pemimpin yang berbiaya besar. Menurut Ketua KPU Pusat 09/01 pesta demokrasi 2014 menganggarkan uang rakyat Rp 14,4 Triliun yang berasal dari APBN. Belum lagi untuk pengamanan dibutuhkan sekitar Rp

Sulerski Monoarfa

Pemilih Pemula, Pemilu dan Perubahan

Page 9: Ebook ink sharia ed. 6

Ink Side

,Edisi 6/2014 17,Edisi 5/201416

2 Triliun ujar Kapolri 16/01. Selain itu belakangan sedang diproses kucuran dana saksi sebesar Rp 700 Miliar.

Kerusakan ini telah menjadi rahasia umum bagi rakyat indonesia. Kebanyakan warga yang ekonominya menengah kebawah, moment tersebut sering di manfaatkan untuk mencari amplop-amplop tipis. Hal itu terjadi karena kepercayaan masyarakat terhadap pemilu menurun, harapan kesejahteraan menurut mereka sebenarnya hanya terdapat disaat pemilu. Setelah terpilih mereka kebanyakan sibuk dengan pribadi dan pembagian kue kekuasaannya masing-masing.

Bagi orang-orang yang cerdas, hal diatas telah cukup menjadi alasan bagi mereka untuk tidak memberikan hak suaranya, karena takut bersalah di dunia hingga pertanggung jawaban di akhirat. Ironisnya, penyakit ini juga telah sedikit banyak menyerang para pemilih pemula, serta secara bertahap akan menghacurkan masa depan bangsa kita mendatang.

Budaya ini tentunya tidak bisa terus terjadi. Generasi muda yang juga pemilih pemula harusnya mengambil peran lebih menjadi pendidik yang benar dan sakti bagi masyarakat, jangan terbawa arus mayoritas yang rusak. Sebab, sekarang orang yang sebenarnya harus mendidik justru balik membodohi.

Ajak masyarakat untuk merubah pola pikir tentang sistem (peraturan-peraturan) rusak ini, agar mereka tidak membiarkan orang jahat masuk ke parlemen untuk melanggengkan sistem yang hanya membuat orang kaya semakin kaya dan orang miskin tetap tertidas dan melarat.

Dengan bangkitnya pola pikir masyarakat, secara otomatis akan menjadikan mereka pemilih yang cerdas. Hal tersebut juga akan berimpilikasi kepada lahirnya pemimpin bangsa yang sejati, amanah dan beraklhakul karimah dan tentu membutuh perjuangan yang panjang bukan instan.[]

Sebentar lagi Indonesia akan melakukan ritual 5 tahunan. Ritual besar ini sangat urgent di mata

para peserta yang duduk di kursi “calon” perwakilan rakyat. Mulai dari pemimpin negara beserta konco-konconya, hingga ribuan rakyat yang tergabung dalam partainya masing-masing. Setiap partai memiliki karakter tersendiri, ada yang katanya memperjuangkan hak rakyat kecil, hak petani, hak nelayan, dan lain sebagainya. Gambar-gambar di emperan jalan pun berjajar dengan kata-kata yang begitu menggiurkan. Demi kesejahteraan rakyat katanya. Bahkan ada kalimat yang bertuliskan “tingkatkan terus kesejahteraan rakyat”. Subhanallah, ini kesalahan survey yang mengatakan bahwa kemiskinan di Jawa Barat mencapai 4,5 juta jiwa (BPS, 2010) atau kesalahan tulisan di baliho salah satu partai di Indonesia itu yah? Itu baru kemiskinan di Jawa Barat yang tercatat, belum lagi di berbagai provinsi di Indonesia. Bahkan itu baru yang tercatat oleh BPS, belum lagi yang tidak terkena garap survey.

Lebih dari 60 tahun, Indonesia telah melakukan beberapa kali berbenah. Setidaknya telah melakukan 10 kali upaya perubahan melalui pesta besar-besaran ini, yakni pesta demokrasi (pemilu). Walhasil, jangankan menjadi Negara terkemuka, menjadikan rakyatnya sejahtera saja tidak sanggup. Mulai dari orde lama, orde baru, hingga reformasi, hembusan angin sejahtera tak pernah muncul, yang datang justru angin tornado yang memporak-porandakan kehidupan rakyat di Negeri ini. Kriminal tiada henti, kemerosotan berfikir oleh para intelektualnya, kemiskinan terus meningkat, generasi mudanya sibuk akan hal-hal yang menyesatkan dan merusak, bahkan pemerintahnya sendiri saling perang mendapatkan kursi hangat sebagai “perwakilan rakyat” katanya.

Kini, beberapa hari lagi kita akan kembali diperhadapkan dengan ritual pemilihan. Pemilihan wakil-wakil rakyat yang “katanya” memperjuangkan hak-hak rakyat. Yang sebenarnya fakta telah berbicara bahwa pemilihan ini tak pernah berpihak pada rakyat, melainkan ajang

Ink Side

Bagi orang-orang yang cerdas, hal diatas telah

cukup menjadi alasan bagi mereka untuk tidak

memberikan hak suaranya, karena takut bersalah di

dunia hingga pertanggung jawaban di akhirat

Zahra Qonita Al Maisaroh

Pemilu Demokrasi : Ajang Jual Beli Suara Rakyat

Page 10: Ebook ink sharia ed. 6

Ink Side Ink Side

,Edisi 6/2014 19,Edisi 5/201418

persaingan mendapatkan jabatan yang nantinya menjadi jembatan memperkaya diri dengan sikap koruptifnya, kolutif dan permisif. Setelah terpilih, janji manis itu sekan hanya sebuah tulisan dalam kertas yang akan habis dimakan rayap. Ya, beginilah kondisi negeri kita ini, yang katanya negeri yang kaya, hingga pernah di juluki sebagai zamrud katulistiwa. Kini, menjadi negeri ajang kampanye janji manis, yang hanya berujung pada kemerosotan.

Menjelang pemilu, berbagai bantuan disebar ke rakyat. Baik dalam bentuk beberapa lembar uang, hingga bagi-bagi motor. Berbagai kartu bantuan sosial mewarnai kampanye para calon pemimpin negeri. Maka tak heran, persaingan keras pun tampak di wajah-wajah partai. Di sosial media pun saling menjatuhkan untuk mendapatkan simpati dari rakyat. Sesuai dengan asasnya, yaitu demokrasi, “suara rakyat suara Tuhan” maka apapun caranya mereka akan lakukan demi mendapatkan suara dari rakyat. Satu suara saja sangat menentukan terpilihnya mereka, maka pemilu tidak lain hanyalah ajang jual beli suara rakyat. Dana kampanye yang diberikan adalah alat untuk membeli suara rakyat.

Demokrasi, sistem negeri ini telah berhasil menunjukkan kebobrokannya. “Ingatlah bahwa demokrasi tidak akan pernah bertahan lama, ia akan segera dibuang, kehilangan kekuatan,

dan akan menghabisi dirinya sendiri. Tidak akan pernah ada sebuah sistem demokrasi yang tidak menghabisi dirinya sendiri”, inilah kalimat tegas dari John Adams, Presiden Amerika Serikat kedua. Dengan jelas menggambarkan bahwa demokrasi sebenarnya adalah jalan menuju kehancuran. Bagaimana tidak, asasnya saja sudah mutlak salah. Demokrasi berasaskan “Kedaulatan Di Tangan Rakyat”. Ini berarti bahwa hak membuat hukum itu ada ditangan rakyat. Karena rakyat itu sangat banyak, maka dbuatlah perwakilan rakyat. Maka hukum yang dilegalisasi adalah hukum buatan manusia dengan populasi suara terbanyak. Bayangkan saja, manusia yang begitu lemahnya, dengan bangga membuat aturan sendiri untuk kehidupannya. Dimana peran Tuhan sebagai Pencipta? Yang Maha Mengetahui segala sesuatu tentang diri manusia.

Demokrasi menggeser peran Tuhan sebagai pengatur kehidupan yang telah Dia ciptakan. Padahal jelas, Allah menegaskan dalam surat Al-An’am :57 bahwa hak pembuat hukum itu hanyalah milik-Nya. Demokrasi 180o bertentangan dengan islam. Sebab di dalam islam, kedaulatan ada di tangan syara, yakni pembuat hukum adalah hak Allah SWT. Rakyat hanya berwenang menerapkan dan melaksanakan hukum syara tersebut. Dan sumber dari pelegalisasian hukum adalah dari Al-Qur’an dan As-Sunnah,

bukan dari suara kebanyakan manusia, yang notabene adalah makhluk terbatas, lemah dan kadang digerakkan dengan hawa nafsunya sendiri.

Islam, yang tidak hanya sekedar agama ritual, melainkan adalah agama sekaligus ideologi yang lengkap aturan-aturannya dalam kehidupan, adalah satu-satunya solusi bagi seluruh problematika yang ada, bahkan untuk menghentikan

jual-beli suara rakyat yang terjadi saat menjelang pemilu. Dalam islam, suara rakyat tidak dibeli dengan janji-janji manis, melainkan rakyat adalah bagian dari jama’ah yang melaksanakan hukum syara yang diterapkan secara kaffah. Hukum syara dapat terterapkan secara kaffah hanya dalam Negara Khilafah. Dengan adanya Majelis Ummah dalam Khilafah, rakyat memilih langsung anggota Majelis Ummah di wilayah masing-masing. Namun sangat berbeda dengan demokrasi yang perwakilannya untuk hukum. Dalam Majelis Ummah di Negara Khilafah, rakyat tidak memiliki hak legislating, melainkan hanya fungsi penyalur aspirasi ummat, dan memuhasabahi (pengoreksi). Segala ketentuan hukum bersumber pada Al-Quran dan As-Sunnah, baik yang telah jelas, maupun yang dilakukan melalui proses ijtihad.

Dengan kembali pada penerapan Islam secara kaffah, maka insya Allah segala keberkahan dilangit maupun bumi akan berdatangan. Tak ada lagi janji-janji manis ataupun jual-beli suara rakyat yang hanya berujung pada memperkaya diri para pemimpinnya. Demikian janji Allah dalam Surat Al-A’raaf:96 “Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.....”

Wallahu a’lam bi ash-shawab.

“Ingatlah bahwa demokrasi tidak akan pernah bertahan lama, ia akan segera dibuang, kehilangan kekuatan, dan akan menghabisi dirinya sendiri. Tidak akan pernah ada sebuah sistem demokrasi yang tidak menghabisi dirinya sendiri”, inilah kalimat tegas dari John Adams, Presiden Amerika Serikat kedua

Page 11: Ebook ink sharia ed. 6

Ink Side Ink Side

,Edisi 6/2014 21,Edisi 5/201420

Pemilu adalah salah satu instrumen yang digunakan untuk memilih atau mengganti penguasa dalam

salah satu negara. Pemilu ini menjadi posisi yang patut diperhitungkan dalam dunia demnokrasi, karena merupakan salah satu yang paling identik dari sistem pemerintahan ini. Sesuatu akan di cap demokratis jika mekanisme pemilihan penguasa dalam negeri tersebut dipilih langsung oleh masyarakat lewat perhelatan pemilu.

Menjelang pemilu, berbagai cara dilakukan oleh orang-orang yang berkepentingan untuk mencari sepucuk suara dari masyarakat. Bualan janji menjadi hal yang biasa, namun posisi orang yang memilih untuk tidak memilih dalam perhelatan ini pun semakin menguat.

Maka timbul rasa takut dari para parpol, para caleg maupun penguasa mengenai tingginya animo dan banyaknya masyarakat yang golput. Sikap pemilih yang apatis menjelang pemilu 2014 seperti mengesankan ancaman golput semakin nyata. Berbagai release survei menampilkan bahwa angka golput bukan menurun malah kian bertambah dan menanjak. Dikemukakan oleh Burhanuddin Muhtadi, pengamat politik dari Lembaga Survei Indonesia (LSI), memburuknya citra partai politik yang disertai munculnya sejumlah politisi yang terindikasi korupsi membuat kecenderung kelompok masyarakat yang tidak mau ikut memilih pada Pemilu 2014 semakin tinggi. Lanjut, Burhanuddin mencatat pada Pemilu 1999 jumlah mereka yang Golput masih

6,3%. Angka itu naik jadi 16% pada Pemilu 2004. Sedangkan pada Pemilu 2009, jumlah Golput melejit menjadi 29,1%, atau terjadi peningkatan lebih dari empat kali lipat dalam kurun dua periode Pemilu (Suarapembaruan.net).

Bentuk upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam meminimalisir angka golput terlihat dari bagaimana gencarnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mensosialisasikan anti golput. Di Makassar, reklame digital di hotel Grand Clarion memasang ajakan untuk menggunakan hak pilih pada pemilu 9 April mendatang. KPU semakin gencar melakukan sosialisasi menjelang hari-H pemilu (Tribunnews, 31/3/2014).

Tak hanya penyelenggara pemilu (KPU) yang mengkampanyekan anti golput, para parpol ataupun para caleg peserta kontestan pemilu juga melakukan hal yang sama. Di sela-sela mereka melakukan kampanye di tengah-tengah masyarakat, tak lupa mereka selipkan himbauan untuk menggunakan hak pilihnya dalam pemilu mendatang. Setidaknya, kampanye itu dilakukan dua caleg untuk DPR RI dari Dapil Sulsel 1. Mereka adalah Deniary R Alwi Hamu dari Partai Gerindra dan Dewie Yasin Limpo dari Partai Hanura. Dalam

setiap pertemuan dengan warga dan pedagang, Deniary mengajak mereka untuk menggunakan hak pilihnya di Tempat Pemungutan Suara (TPS) pada 9 April 2014. Dia mengingatkan bahwa satu suara warga sangat berarti dalam menentukan masa depan bangsa dan daerah (Fajar.co.id, 10/3/2014).

Tak hanya para parpol, caleg atau KPU saja yang gencar mengsosialisasikan untuk tidak golput. Elemen intelektual, akademisi dan mahasiswa pun dilibatkan. Lewat dialog dan deklarasi anti golput, Pengurus Cabang (PC) Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Kota Makassar menggaet Komisi Pemilihan Umum KPU) Sulsel menggelar Dialog Pemilu dan Deklarasi Gerakan Anti Golput, Senin (Tribunnews, 31/3/2014).

Lahirnya fenomena golput di masyarakat dan cenderung menguat bukan tanpa sebab. Ada beberapa alasan yang dapat dikemukakan mengapa terjadi golput. Setidaknya ada 3 alasan masyarakat golput, pertama adalah alasan teknis yang bisa berupa tidak terdaftarnya masyarakat sebagai Daftar Pemilih Tetap (DPT), kedua adalah golput secara psikologis yang dimotori karena akumulasi kekecewaan masyarakat

Indrawirawan

GOLPUT: Realita yang Menguatdan Kegagalan Akomodasi Pemilu Demokrasi

Page 12: Ebook ink sharia ed. 6

,Edisi 6/2014 23

Ink Side

,Edisi 5/201422

terhadap figur ataupun parpol, dan yang ketiga adalah golput karena alasan ideologis yang menyatakan bahwa perubahan bangsa Indonesia tidak akan berjalan jika masih menggunakan instrumen demokrasi sebagai wadahnya.

Rendahnya partisipasi masyarakat dalam pemilu demokrasi ditandai dengan tingginya angka golput mengindikasikan ada sesuatu yang salah. Uslub pemilihan dan pergantian penguasa demokrasi tidak mampu mengakomodir aspirasi masyarakat. Luka ketidak percayaan dan pengkhianatan dalam benak masyarakat semakin dalam. Masyarakat semakin tidak percaya dengan partai politik. Ketidakpercayaan itu disumbang lebih banyak oleh perilaku politisi yang tidak mempunyai komitmen yang jelas terhadap konstituen selain keterlibatan mereka dalam sejumlah kasus korupsi. Ketidakpastian pilihan masyarakat juga timbul akibat bermunculannya tokoh-tokoh muda dan politisi yang terindikasi korupsi. Sebelumnya masyarakat berharap pada tokoh-tokoh alternatif tersebut (Suarapembaruan.net).

Golput bukan berarti patah arang dan terkungkung dalam benak keputus asaan. Namun, saatnya mencari jalan baru perubahan. Nyatanya, pemilu demokrasi tidak membawa perubahan. Saatnya memilih... ! “Menitipkan barang (amanah) kepada para maling atau golput di pemilu demokrasi …”.[]

Golput bukan berarti patah arang dan terkungkung dalam benak keputus asaan. Namun, saatnya mencari jalan baru perubahan. Nyatanya, pemilu demokrasi tidak membawa perubahan.

Galeri Aksi Mahasiswa

Bandung. Ahad, 2 Maret 2014, Gerakan

Mahasiswa Pembebasan (Gema Pembebasan) Mengadakan

Kongres Mahasiswa Indonesia 2014 bertempat di depan Gedung

Sate, Bandung. Kegiatan ini dihadiri oleh ribuan mahasiswa

dari berbagai daerah di Indonesia.

Orasi dari perwakilan mahasiswa tiap daerah

Orasi dari Agung Wisnuwardana(Aktivis 98)

Page 13: Ebook ink sharia ed. 6

,Edisi 6/2014 25,Edisi 5/201424

Soal:

Assalamu’alaykum warahmatullaah

Bagaimana tinjauan syari’at mengenai pemilu demokrasi yang digelar setiap lima tahunan? Apakah perubahan revolusioner dapat terjadi melalui pemilu?

Jawab:

Assalamu’alaykum warahmatullaah

Salah satu pilar dari demokrasi adalah kekuasaan berada di tangan rakyat. Ini sebagai anti tesa dari sistem teokrasi dengan kekuasaan berada di tangan raja. Kekuasaan tunggal yang dipegang oleh raja atau kaisar telah melahirkan pemerintahan yang korup sebagaimana yang terjadi di Eropa abad pertengahan. Maka lahirlah konsep trias politica yang digagas oleh Mostesque, dengan pemisahan kekuasaan menjadi tiga bagian (yudikatif, legislatif, dan eksekutif) yang masing-masing berdiri secara independen. Dengan klaim bahwa ketiganya merupakan kekuasaan rakyat.

Agar rakyat dapat mengimplementasikan kekuasaannya, maka digelarlah pemilihan umum agar rakyat bisa memilih wakilnya untuk duduk di pemerintahan. Dalam pemilihan legislatif, rakyat berupaya mewujudkan kedaulatannya dengan melegislasi perundang-undangan. Inilah pilar kedua dari demokrasi yaitu kedaulatan berada di tangan rakyat.

Dalam tinjauan Islam, pemilihan umum dapat diserupakan dengan akad wakalah. Sebab di dalamnya sudah terpenuhi empat rukun wakalah di antaranya: dua pihak yang berakad (pihak yang mewakilkan/muwakkil) dan pihak yang mewakili/wakîl); perkara yang diwakilkan atau amal yang akan dilakukan oleh wakil atas perintah muwakkil; dan redaksi akad perwakilannya (shigat taukîl).

Akad wakalah hukumnya mubah (boleh). Berdasarkan hadits Rasulullaah Saw:

Jabir bin Abdillah ra. berkata, Aku hendak berangkat ke Khaibar, lalu aku menemui Nabi saw. Beliau bersabda, “Jika engkau menemui wakilku di Khaibar, ambillah

SOAL-JAWAB

Ustadz Kusnady Ar-Razi Ma’had Darul Muttaqin, Malang Koord. Resist (Research and Study of Islamic Thought and Civilizations)

Islam IdeologiMakassar.Ribuan mahasiswa memadati halaman depan Monumen Mandala Makassar, dalam kegiatan Kongres Mahasiswa Islam Sulawesi pada hari Sabtu, 15 Maret 2014, Kegiatan ini diadakan oleh Lajnah Khusus Mahasiswa HTI SulSelBar.

Orasi dari perwakilan mahasiswa tiap daerah

Orasi dari Ust. Ismail Yusanyto

Page 14: Ebook ink sharia ed. 6

,Edisi 6/2014 27,Edisi 5/201426

Soal Jawab

jalan bagi siapa pun yang berniat mengubah ideologi dan sistem. Fakta ini bisa kita cermati pada awal tahun 1990 di Aljazair. FIS sebagai partai islam pemenang pemilu dan bercita-cita menerapkan syari’ah, dijegal jalannya oleh rezim yang berkuasa. Hasil pemilu yang memenangkan FIS dianulir dan FIS dibubarkan. Sedangkan para anggotanya harus merasakan pahitnya penjara rezim.

Perubahan revolusioner selalu terjadi di luar parlemen, bukan melalui parlemen.

Bergantinya Orde lama menjadi Orde Baru terjadi bukan melalui pemilu. Runtuhnya rezim orde baru juga bukan lewat pemilu, tetapi melalu jalan ekstra parlemen. Revolusi Arab beberapa waktu yang lalu juga demikian, tidak diawali melalui pemilu atau parlemen. Ini menandakan bahwa perubahan fundamental hanya mungkin terjadi melalui ekstra parlemen.

Perubahan yang kita upayakan mestinya melalui “jalan umat”. Umat sebagai pemilik kekuasaan harus ditumbuhkan kesadaran politiknya bahwa sistem neo liberal hanya akan menyuburkan kedzoliman. Umat harus dididik dengan ideologi Islam agar perubahan tidak hanya lahir karena emosi, tapi karena kesadaran ideologi yang kuat. Dengan demikian, umat inilah yang akan mendorong rezim dan pemegang kekuasaan untuk mengganti ideologi dan sistem. Sebagai infra struktur dalam struktur politik negara, umat mempunyai kekuatan penekan yang kuat. Apalagi didukung oleh tokoh-tokoh politik dan intelektual. Maka perubahan yang asasi itu akan cepat terwujud.

Begitulah seharusnya paradigma kita. Pemilu bukanlah satu-satunya jalan perubahan. Perubahan mendasar hanya mungkin dilakukan dengan dakwah sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah Saw. Bukan dengan selainnya. []

Perubahan yang kita upayakan mestinya melalui “jalan umat”. Umat sebagai pemilik kekuasaan harus ditumbuhkan kesadaran politiknya bahwa sistem neo liberal hanya akan menyuburkan kedzoliman

olehmu darinya lima belas wasaq.” (HR Abu Dawud).

Tetapi untuk menilai apakah akad wakalah itu islami atau tidak harus dilihat dari amal yang dilakukan oleh wakil. Jika amal yang dilakukan oleh wakil tidak bertentangan dengan syari’at maka ia adalah wakalah yang islami, begitu juga sebaliknya.

Dalam pemilu legislatif, salah satu amal yang dilakukan oleh wakil rakyat setelah terpilih adalah legislasi hukum. Padahal menetapkan hukum adalah hak Allah, bukan hak manusia. Artinya, legislasi hukum merupakan bentuk pelanggaran terhadap syari’at Allah Swt.

Hukum itu hanyalah kepunyaan Allah (QS Yusuf [12]: 40).

Dalam kitab tafsir Fath al-Qadhiir, Imam al-Syawkani menjelaskan:

“[Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah] yakni tidak ada hukum dalam hal apapun kecuali hak Allah SWT…. dan maksudnya: Hukum yang memisahkan antara kebenaran dan kebatilan.”

Syaikh ‘Abdullah Al-Kaylani menjelaskan:

“Pemahaman Islam bertentangan dengan Demokrasi dari asas yang mendasari eksistensinya. Karena legislasi hukum dalam Islam (kedudukannya) di atas kehendak rakyat dan negara, Islam menghukumi semua dengan syari’atnya

yang bersifat ilahi, dan Islam tidak tunduk di bawah legislasi perundang-undangan positif.”

Karena itu, wakalah semacam ini tidak dibenarkan karena bertentangan dengan akidah Islam. Sama halnya dengan pemilihan untuk mengangkat presiden/wakil presiden karena akan menjadi perantara kepada amal yang diharamkan, yaitu pelaksanaan dan penetapan perundangan-undangan sekular.

Adapun wakalah untuk menjalankan fungsi koreksi, kontrol dan pengawasan kepada pemerintah hukumnya boleh. Dengan catatan, fungsi tersebut dilaksanakan dengan tujuan dakwah (amar ma’ruf dan nahi mungkar).

Apakah perubahan revolusioner dapat terjadi melalui pemilu?

Jika kita sepakati perubahan revolusioner adalah bergantinya ideologi dan sistem negara, maka rasanya mustahil perubahan demikian lahir dari pemilu. Mengapa? Sebab, pemilu digelar hanya untuk memilih person (individu) bukan untuk mengubah ideologi maupun sistem. Pemilu hanya menampilkan person baru, tetapi tetap melanggengkan sistem lama.

Demokrasi sebagai sebuah sistem akan menjaga ideologi dan nilai-nilai sekular. Para kapitalis sebagai pihak yang memiliki kepentingan menjaga eksistensi ideologi sekular akan menutup

Soal Jawab

Page 15: Ebook ink sharia ed. 6

,Edisi 6/2014 29,Edisi 5/201428

disebut, “tak ada kawan abadi, yang ada kepentingan abadi”. Demi kepentingan semua cara bisa jadi halal. Saat ini bukan hanya money politic yang diandalkan dalam berebut suara, tapi figur polesan dan pencitraan selangit menjadi mainan yang laris dilakoni parpol-parpol. Ini karena kepercayaan rakyat pada parpol-parpol yang jatuh merosot. Rakyat sudah tak peduli lagi dengan visi misi dan platform (prinsip) parpol-prapol yang berkubang dalam demokrasi.

Tak habis akal, parpol-parpol peserta pemilu kenal betul tipe masyarakat Indonesia yang melankolik dan gampang bersimpati akan keramahan figur-figur tertentu. Sebut saja Jokowi yang sekarang menjadi figur jagoan PDI Perjuangan. Awalnya menarik simpati karena menumpangi mobil Esemka, yang juga mengantarnya sampai di kursi 01 DKI. Bermodal kaki yang dibenamkan dalam banjir dan menerobos belantara kampung-kampung di Jakarta, cukup ampuh bagi Jokowi mengantongi pujian rakyat. Rakyat tak peduli lagi gelembung kemiskinan di kota Solo yang ditinggalkan Jokowi.

Rakyat cukup terhibur dengan figur pemimpin yang mampu membuang kemapanan protokoler-protokoler birokrat, walaupun minim hasil kerja. Parpol-parpol yang tidak memiliki

figur sekelas Jokowi, akan aduh kuat-kuatan dalam pencitraan. Klaim-klaim keberhasilan pemerintahan sebelumnya tentu milik parpol penguasa meskipun minus bukti.

Parpol lain, membangun citra dengan iklan-iklan kampanye yang penuh dengan janji-janji melangit, padahal secara luas rakyat mengetaui rapor mereka selama berkuasa. Tidak ada satu partai pun yang kadernya lolos dari kasus-kasus pelanggaran semisal korupsi. Jangankan bicara soal kinerja para anggota parlemen, berderetnya absen bolong sudah cukup bagi masyarakat untuk mengukur efektivitas kinerja mereka.

Inilah demokrasi, ingin dibuat benteng alasan setinggi apapun kerusakannya pasti terlihat. Dirubah ataupun dibuat bermacam-macam varian demokrasi, hasilnya tetap sama, saling berebut kepentingan dan keuntungan itu intinya. Maka jangan lagi pesta demokrasi disebut sebagai pesta rakyat. Kemeriahan dentuman musik dangdut yang mengiringi kampanye-kampanye terbuka tak lebih dari riasan menipu.

Boleh saja rakyat ikut berjoget bersama kemolekan biduan-biduan di atas panggung, tapi pasca itu rakyat siap balik bersumpah serapah pada wakil-wakil rakyat yang sudah mereka coblos

Open Opinion

2014 disebut menjadi tahun pesta rakyat, itu yang

sering tersosialisasi via media dan tenar juga disebut pesta demokrasi. Memang masih menjadi perdebatan terbuka untuk beberapa pihak, apa benar pesta demokrasi juga adalah pesta rakyat?. Karena acap kali tampak jelas jurang menganga yang memisahkan makna pesta demokrasi dan pesta rakyat. Klaim pesta demokrasi sebagai pesta rakyat jadi terasa dipaksaan pihak-pihak berkepentingan agar menjadi opini umum.

Bukan hal yang berlebihan jika pertanyaan dan pernyataan tersebut harus terlontar. Berkerumunnya masyarakat dalam kampanye-kampanye terbuka tidak bisa menjadi ukuran untuk partisipasi positif masyarakat dalam demokrasi. Aroma praktek busuk demokrasi dalam tiap kampanye sulit tak tercium. Seperti massa kampanye Partai

Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) yang kesal dan membuang kaos partai lantaran uang tranportasi dan makan sebesar Rp 25 ribu yang dijanjikan hanya diberikan sebesar Rp 15 ribu (merdeka.com 28/3/2014).

Aroma busuk serupa dapat tercium pada parpol lain, karena memang sudah menjadi tabiat demokrasi dan akan melekat juga pada pemeluknya. Karena saat ini sulit untuk mengelompokkan masyarakat menjadi massa dari partai tertentu. Keberpihakan masyarakat serba relatif, elektabilitas partai dapat berubah cepat sesuai kondisi. Kondisi yang dimakusd adalah usaha-usaha pragmatis parpol dalam menggiring dukungan rakyat. Usaha-usaha pragmatis menjadi sangat wajar karena kondisi parpol-parpol saat ini yang tidak memiliki basis kader yang ideologis.

Ditambah pertarungan dalam demokrasi yang menuntut persaingan ketat dan saling sikut yang sengit. Populernya

Open OpinionOpen Opinion

Open Opinion Open Opinion

Arief Shidiq Pahany

Pemilu Demokrasi: Harus Kemana Sikap Politik Mahasiswa?

Page 16: Ebook ink sharia ed. 6

,Edisi 6/2014 31,Edisi 5/201430

tertentu. Bukan rahasia lagi jika ada beberapa kelompok mahasiswa yang menjadi sayap parpol peserta pemilu di akar rumput mahasiswa.

Hampir dapat dipastikan massa dari kelompok mahasiswa yang menjalin patron client akan mengikuti garis kebijakan dari parpol di atasnya. Maka panas perebutan suara pun terasa sampai di kampus. Walaupun ada sebagian golongan mahasiswa yang masih menggugat independensi lembaga mahasiswa. Tapi harus dipahami dari sejarah awal berdirinya gerakan mahasiswa tidak bisa dipisahkan dari apiliasi dengan kelompok masyarakat lain diluar kelas mahasiswa, karena memang mahasiswa juga bagian dari masyarakat.

Melawan Demokrasi

Demokrasi merupakan perwujudan sekularisme. Demokrasi hanya mengakomodir kehendak manusia dan menjauhkan otoritas Pencipta atas kehidupan. Mengambil demokrasi adalah wujud dari kelemahan berfikir mahasiswa dan rakyat. Demokrasilah tembok masalah yang terus-terusan berbenturan mengagalkan perubahan yang diletupkan gerakan mahasiswa.

Mustahil berbicara keadilan jika demokrasi jurinya. Tercebur demokrasi

berarti tercebur dalam kompromi, jalan mendudukkan berbagai kepentingan. Keadilan dan kepentingan bagaikan air dan minyak, tak mungkin bersatu terlebih dalam wadah demokrasi. Dalam kelompok kecil mungkin saja demokrasi dapat mengakomodir kepentingan-kepentingan tiap anggotnya. Tapi jika telah menggelembung menjadi komunitas negara, kompromi kepentingan dalam demokrasi akan mengarah pada eksploitasi kaum kuat (baca penguasa) kepada kaum lemah (baca rakyat), karena hanya kepentingan kaum kuat saja yang diakomodir. Ini fakta yang selalu saja berdampingan dengan demokrasi dari masa ke masa.

Begitupula dalam pemilu demokrasi, janji-janji kesejahteraan hanyalah gincu dikala kampanye. Rezim sudah berkali-kali tumbang dan tumbuh, tapi teori-teori surga demokrasi tetap jadi bualan.

Open Opinion

Mustahil berbicara keadilan jika demokrasi jurinya. Tercebur demokrasi berarti tercebur dalam kompromi

Open Opinion

sebelumnya. Rekam sejarah demokrasi di negeri ini memang begitulah adanya, suara rakyat yang diambil lewat pemilu hanyalah menjadi cap stempel kekuasaan.

Posisi Mahasiswa

Dari semua pemilu demokrasi mahasiswa selalu memiliki nilai tawar yang tinggi. Para pemilih pemula biasanya berada pada usia-usia mahasiswa. Bagi mahasiswa dan pemilih pemula yang tidak terlalu ambil pusing dengan hiruk pikuk politik, pemilu menjadi pengalaman baru yang cukup menarik. Tapi bagi mahasiswa yang terbiasa dengan pergulatan pemikiran dan kritis pada kondisi pepolitikan, pemilu akan menjadi ajang kritikan dan penuh pertimbangan dalam menentukan pilihan.

Rekam jejak para calon legislatif (caleg) dan calon presiden berikut partai tunggangannya akan menjadi perhatian khusus mahasiswa yang kritis. Karena memang pada faktanya tidak sulit menilai prestasi para wakil rayat dan partai tunggangannya, karena mereka sendiri tanpa malu menunjukkan keborokannya pada rakyat. Ada golongan mahasiswa yang tetap memberikan suaranya dengan harapan perbaikan kelak dari caleg-caleg yang dipilihnya, ada juga yang enggan mampir di kotak suara atau

golput (golongan putih) karena paham perubahan yang diharapkan mustahil terjadi dalam bingkai sistem demokrasi.

Mahasiswa adalah kelas masyarakat yang memiliki kekhasan sendiri. Mahasiswa cenderung gambang berhimpun dalam kelompok juga fanatik terhadap kelompoknya. Ini karena memang situasi kampus yang kental dengan budaya kajian-kajian kritis dan ilmiah. Dengan situasi kampus seperti ini, nalar mahasiswa lebih peka dan terlatih dalam mengupas suatu masalah.

Mahasiswa yang berhimpun dalam banyak kelompok, ada yang bersifat organisasi mahasiswa kedaerahan, organisasi mahasiswa intra kampus setingkat BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) dan HMJ (Himpunan Mahasiswa Jurusan), organisasi mahasiswa ektra kampus seperti Gema Pembebasan, HMI, GMKI, GMNI, front-front aliansi dan banyak organisasi-organisasi lain bentukan mahasiswa.

Kondisi ini agaknya dipahami parpol-parpol peserta pemilu dan tak boleh dilewatkan begitu saja. Memulung suara dari kantung-katung mahasiswa dilakukan dengan berbbagai manuver. Yang cukup efektif adalah menjalin patron client (hubungan hirarkis) antara parpol dan kelompok mahasiswa

Page 17: Ebook ink sharia ed. 6

,Edisi 6/2014 33,Edisi 5/201432

menjadi pengikat kuat dalam perjuangan politik Islam, karena kesolehan menjadi sempurna dengan ritual-ritual yang telah digariskan Allah SWT. Dan menjadi ukuran kuat akan totalitas dalam memegang prinsip perjuangan.

Politik Islam adalah politik pengurusan kehidupan dengan cara Islam, berbalik belakang dengan politik sekuler yang betujuan pembodohan dan ekploitasi. Politik Islam mengariskan cara yang unik dan khas dalam tutunannya, semua perangkat tuntunannya harus terlaksana, jika hilang satu maka cacatlah

politik Islam. Bangunan politik Islam terbangun dari sistem ekonomi, sistem pendidikan, sistem hukum, sistem sosial kemasyarakatan, dan sistem pemerintahan. Sistem satu dan lainnya saling menjaga. Padu ragam unsur-unsur politik Islam akan menjaga dan mengentaskan kebocoran di setiap sisi kehidupan masyarakat.

Tidak ikut dalam mekanisme pemilu demokrasi bukan berati kehilangan hak politik dan tidak turut andil dalam

perubahan di negeri ini. Aktivitas politik tidak terkurung hanya pada kotak suara dan parlemen demokrasi. Mendidik masyarakat akan kerusakan demokrasi, mengajak membuang demokrasi dan akhirnya bergerak bersama-sama rakyat mengambil langkah revolusioner menuntut tegaknya Islam dan Khilafah adalah aktivitas politik yang nyata, inilah politik Islam.

Mahasiswa adalah pilar-pilar muda harapan seluruh rakyat, maka tak boleh salah mengambil langkah. Mahasiswa harus cerdas mengupas argumen-

argumen yang diterimanya. Tidak mengambil demokrasi bukan berarti jalan buntu, tapi berani angkat kaki dari kemapanan demokrasi menjadi langkah berani yang revolusioner. Kekuatan besar mahasiswa harus diarahkan pada pemahaman mendalam akan konsep Islam dan penghayatan akidah Islam. Hingga secara kolektif mahasiswa paham, bahwa hanya Islam saja yang memiliki rumusan ideal untuk perubahan ideal.

Open Opinion

Tidak ikut dalam mekanisme pemilu demokrasi bukan berati kehilangan hak politik dan tidak turut andil

dalam perubahan di negeri ini

Sudah cukup kekuasaan di negeri ini jadi panggung lawakan. Mahasiswa harus menyusun agenda dan bergerak melawan demokrasi. Mengembalikan kampus-kampus sebagai mesin paramu wacana sosial yang solutif. Kampus-kampus harus menjadi ladang-ladang revolusi, tempat berseminya benih-benih revolusioner.

Politik Islam Revolusioner

Hukum asal pemilu temasuk dalam hukum wakala (perwakilan) dalam syariat Islam. Ini berdasar dari hadits yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah ra, ia berkata:

“Aku hendak berangkat ke khaibar, lantas aku menemui Nabi saw. Maka beliau bersabda: “Jika engkau menemui wakilku di khaibar, maka ambillah darinya lima belas wasaq.” (HR. Abu Daud yang ia nilai shahih).

Dari hadist ini dapat diketahui bolehnya pemilu jika memenuhi semua rukun dan syaratnya. Rukun wakala ada tiga: pertama, dua pihak yang berakad yaitu pihak yang mewakili (al-muwakkil) dan pihak yang mewakili (al-wakil). Kedua, obyek akad, yaitu perkara yang diwakilkan oleh al-muwakkil kepada al-wakil. Ketiga, bentuk redaksi akad perwakilannya (shighat tawkil). Jika

lengkap semua rukunnya, maka harus diliat perkara apa yang diwakilkan dalam wakala, karena sah dan tidaknya wakala bergantung pada fakta perkara yang diwakilkan.

Dalam pemilu demkorasi jelas perkara yang diwakilkan adalah memilih wakil rakyat yang akan melakukan aktivitas legislasi atau membuat hukum diluar ketentuan Allah SWT. Proses kompromi atau musyawarah dalam demokrasi membunuh hak Allah sebagai otoritas hukum. Allah Berfirman:

“Menetapkan itu hanyalah hak Allah”. (TQS. Al-An’am [6]:57).

Maka bisa kita pahami demokrasi telah melakukan pembodohan kepada rakyat dan terkhusus bagi kita mahasiswa Islam. Dengan mekanisme demokrasi, kerusakan akan menjangkiti seluruh pelakunya. Maka pelakunya-pelakunya tak memiliki jualan politik yang bisa rakyat beli, lalu bagaimana bisa rakyat dipaksa memilih.

Ketika berbicara Politik Islam, maka tak sekedar membicarakan tentang bagaimana ritual-ritual peribadatan kepada Allah SWT. Cakupan pembicaraan akan lebih meluas merambah seluruh teknis dan prinsip bagaimana menjalani hidup. Ritual-ritual peribadatan memang

Open Opinion

Page 18: Ebook ink sharia ed. 6

,Edisi 6/2014 35,Edisi 5/201434

melakukan ritual ke tempat keramat meningkat menjelang pemilihan umum. Para calon wakil rakyat itu menanggalkan rasionalitas untuk mengejar jabatan (detikNews, 4/3).

Sementara jika caleg terpilih malahan hanya akan menjadi sumber masalah baru bagi rakyat. Anggota legislatif hampir di semua partai tak sungkan menggasak kekayaan rakyat, dengan berkolusi dengan pengusaha. Baik partai yang mengaku Islam, nasionalis dan sekuler tak ada bedanya. Ini sebagai dampak biaya kampanye yang mahal, sehingga membuat wakil rakyat ini “tersandera” oleh pemilik modal. Kebijakan yang dikeluarkannya pun tak akan pro rakyat. Lihat saja UU Migas, Kelistrikan, Penanaman modal, dll.

Fenomena yang “bersiklus” ini membuat keputusasaan di tengah-tengah masyarakat. Banyak masyrakat yang menyikapinya dengan tak mau berpartisipasi dalam pemilu (Golput). Tak sedikit pula yang menuntut perubahan sistem, karena menganggap demokrasilah sumber masalahnya.

Hukum memilih wakil rakyat dalam Islam

Hukum memilih wakil rakyat dapat disamakan dengan akad mewakilkan lainnya (wakalah). Hukum mewakilkan

adalah mubah dan tidak sampai wajib, mubah bila aktivitasnya untuk berdakwah, dalam rangka perubahan menuju ke sistem Islam. Caleg/partai yang akan melakukan aktivitas ini haruslah secara terbuka menyampaikan tujuannya tersebut pada masyarakat. Bukan dengan menyembunyikannya demi untuk mendapat dukungan secara maksimal. Akad mewakilkan tersebut bisa menjadi haram, bila aktivitasnya untuk mendukung, menerapkan, dan mempertahankan sistem sekular demokrasi.

Dalam sistem demokrasi sekarang ini, parlemen bukan hanya sekedar untuk menyampaikan aspirasi rakyat, akan tetapi juga untuk membuat hukum yang tidak berlandaskan atau bahkan bertentangan dengan hukum Islam. Sehingga dalam sistem ini semuanya akan dimusyawarkan, yang halal dalam Islam bisa menjadi haram dalam sistem ini dan sebaliknya. Karena penentuan baik dan buruknya sesuatu bukan berdasarkan hukum syarah, akan tetapi berdasarkan asas manfaat. Lain halnya dalam sistem Islam yang berhak menetapkan hukum adalah Allah swt bukanlah anggota parlemen. Dan tidak akan memusyawarahkan hal-hal yang sudah jelas hukumnya di dalam syariah.

Saat ini banyak parpol Islam yang

Open Opinion

Update terbaru masalah pemilu

Menjelang pemilihan calon legislatif tanggal 9 April mendatang semuanya terkena dampak hiruk-pikuk ritual lima tahunan ala demokrasi ini. Baik di dunia nyata, dunia maya, bahkan dunia gaib pun tak luput dari imbas penyambutan pesta demokrasi itu, yang katanya untuk kesejahtraan rakyat.

Di dunia nyata terlihat dari banyaknya atribut-atribut partai politik yang berseliweran di mana-mana, yang sangat mengganggu keelokan di seluruh penjuru negeri. Kampanye di jalan-jalan semakin memperparah kemacetan lalu lintas di kota-kota besar. Lain lagi beberapa partai politik yang berusaha mengumpulkan massa bayaran untuk memadati tempat-tempat yang wah, seperti Gelora Bung Karno. Media cetak maupun elektronik dibanjiri pula oleh iklan-iklan partai politik. Bahkan tak sedikit yang memanfaatkan media elektronik miliknya yang fokus memberitakan dirinya secara

berlebihan atau menjadikannya pemain sinetron dadakan. Hal ini berimbas dengan banyaknya surat teguran dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) terkait pelanggaran-pelanggaran hak siar.

Lain halnya di dunia maya, saling serang antara pendukung calon menjadi berita yang biasa di media sosial. Bahkan ada beberapa calon presiden yang menggunakan cyber army untuk mendongkrak popularitasnya di dunia maya. Tak sedikit caleg yang mengikuti praktek jual beli follower twitter (pemilu.okezone.com, 22/02). Followernya memang sangat banyak, akan tetapi setelah dicek kebanyakan follower fiktif, ini terlihat dari foto profil follower tersebut yang masih default twitter (gambar telur), tidak pernah ngetwit, dan followingnya hanya satu orang (yakni caleg tersebut).

Tak cukup di dunia nyata dan dunia maya, sang caleg juga merambah hingga dunia gaib. Fenomena calon anggota legislatif

Open Opinion

Andi Haerul

Bagaimana Muslim Menyikapi Pemilu ?

Page 19: Ebook ink sharia ed. 6

,Edisi 6/2014 37,Edisi 5/201436

Telah menjadi propaganda umum bahwa pemilu tanggal 9 April mendatang adalah saat-saat

menentukan bagi bangsa Indonesia untuk 5 tahun ke depan. Siapapun yang terpilih nantinya, maka merekalah yang akan menentukan nasib bangsa Indonesia. Kalimat ini sebagiannya benar, tapi lebih banyak lagi salahnya. Betul bahwa pemilu legislative ataupun presiden akan berpengaruh terhadap Indonesia mendatang. Tapi kadar pengaruhnya tidak terlalu signifikan. Khusus Indonesia, yang paling signifikan adalah faktor-faktor yang sifatnya eksternal, lingkungan politik atau systemic level.

Konteks politik global saat ini menjerat semua negara untuk saling ketergantungan satu sama lain, interdependensi atau lazim di kenal dengan era globalisasi. Era ini adalah era negara tidak lagi secara eksklusif bisa menentukan nasibnya sendiri karena lingkungan system politik dan ekonomi internasional mengharuskan negara-negara untuk mengikut roda sistem

global tersebut. Sedikit saja sebuah negara bertindak eksklusif maka, citranya akan jatuh dan akan berpengaruh terhadap hubungannya dengan negara-negara lain. Indonesia berada dalam jajaran negara yang tunduk terhadap sistem global tersebut sejak Indonesia memproklamasikan kemerdekaan hingga kini.

Posisi indonesia dalam politik internasional sebenarnya pernah sangat diperhitungkan utamanya saat presiden Soekarno menjabat menjadi Presiden. Ketika Soekarno menjabat berbagai kebijakan populis dibuat, seperti Nasionalisasi 264 perusahaan belanda. Menantang Inggris di Malaysia, Menantang belanda dalam sengketa Papua, membentuk aliansi negara-negara non-blok, dan keluar dari PBB dengan alasan lembaga itu antek barat. Tapi Soekarno kalah beradu dengan kekuatan barat akhirnya terhempas. Kemudian Soeharto naik mengendalikan keadaan dan mengarahkan lagi Indonesia dalam sistem global dan semakin kokoh hingga saat ini.

Inkternasional

Hasbi Aswar

Bukan Sekedar Pemilu

beranggapan bahwa masuk parlemen adalah satu-satunya jalan untuk memperjuangkan Islam. Sehingga tak sedikit yang menyalahkan kaum muslimin yang tidak berpartisipasi dalam pemilu. Padahal kaum muslim yang tidak berpartisipasi boleh jadi sebagai bentuk penolakan atas sistem demokrasi yang diterapkan ini, dan takut masuk dalam akad wakalah yang diharamkan.

Bagaimana sikap kaum muslimin

Sebagai kaum muslimin bukan berarti kita tidak boleh berpartisipasi sama sekali dalam pemilihan calon legislatif. Akan tetapi sikap kita sebagai kaum muslimin seharusnya selalu berpedoman kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena takut dimintai pertanggungjawaban dihari kemudian terhadap apa-apa yang dilakukan oleh caleg yang kita pilih. Apabila anggota legislatif tersebut nantinya tidak menjalankan hukum Allah swt.

Untuk meyakinkan kaum muslim dalam menentukan pilihannya partai-partai Islam seharus terang-terangan berjanji akan memperjuangkan syariat Islam, dan tidak akan berkoalisi dengan partai sekuler, tidak akan bermanismuka dengan asing. Bukan malah menyalahkan kaum muslimin yang tidak mau berpartisipasi dalam pemilu. Tak

sedikit juga kaum muslimin yang tidak mau berpartisipasi dalam pemilu, dan melakukan gerakan perubahan bukan melalu jalur parlemen akan tetapi dengan melakukan pembinaan secara langsung ditengah-tengah masyarakat

Pada sisi lainnya meskipun parlemen di negeri ini didominasi oleh orang-orang muslim, namun aturan yang ditepakan ditengah-tengah masyarakat bukanlah aturan Islam. Bagi kaum muslim yang terpenting bukanlah mempersoalkan ikut berpatisipasi dalam pemilu atau tidak, akan tetapi bagaimana mengubah mekanisme dan aturan pemerintahan menuju ke sistem Islam. Bukan sekedar menduduki jabatan-jabatan fungsional, akan tetapi tidak berdaya terhadap hukum-hukum non-Islam.

Keterlibatan kaum muslimin dalam pemilihan umum dan parlemen merupakan political trapping, yang justru akan semakin memperkokoh sistem demokrasi, yang seharusnya telah tumbang. Seandainya umat Islam tidak berpartisipasi dalam pemilu, lalu bergerak menegakkan kekuasaan Islam secara mandiri seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah saw, tentu tidak akan ada lagi yang bisa menghalangi terjadi peralihan kekuasaan menuju kekuasaan Islam. []

Open Opinion

Page 20: Ebook ink sharia ed. 6

,Edisi 5/201438

Dalam perspektif ekonomi politik, sistem global yang menjerat Indonesia saat ini tertuang dalam Konsensus Washington yang meliputi: kebijakan liberalisasi pasar, privatisasi, deregulasi, pengurangan subsidi, dan investasi asing langsung. Aplikasi undang-undangnya di Indonesia menjadi UU Penanaman Modal Asing , UU Minyak dan gas, UU Mineral dan batu bara dan UU Sumber Daya Alam, UU Sisdiknas dan UU BHP dalam bidang pendidikan dan UU SJSN dan BPJS di bidang kesehatan, UU pasar modal, uu perseroan terbatas, uu otonomi daerah, uu kelistrikan, uu larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, uu tindak pidanan pencucian uang, uu perlindungan konsumen, uu informasi dan transaksi elektronik, dan uu hak atas kekayaan intelektual. UU ini dibuat dalam pengawasan dan keterlibatan lembaga-lembaga internasional seperti IMF, USAID, WTO dan World Bank.

Peran dari aktor-aktor negara dalam berjalannya sistem tersebut tinggal menjadi eksekutor saja, atau dalam bahasa pewayangan, Lembaga dan aktor-aktor Internasional menjadi Dalang sementara politisi domestik menjadi wayang. Anggota DPR yang jumlahnya ratusan tinggal bersidang kemudian mengetuk palu, kemudian presiden tanda tangan dan mengeksekusi melalui para menteri dan seluruh jajarannya. Memahami fakta-fakta

yang telah dibeberkan rasanya kita tidak menemukan pentingnya pemilu. Karena yang terpilihpun tidak terlalu bisa berbuat banyak, Trias Politica has gone.

Pemilu sebenarnya hanyalah aspek teknis dalam memilih pemimpin bisa berubah-ubah sesuai kesepakatan bagaimana memilih pemimpin atau perwakilan secara efektif. Yang seharusnya menjadi Basis berfikir masyarakat adalah bagaimana membentuk sistem politik yang bisa melahirkan kebijakan-kebijakan yang berguna bagi masyarakat. Bagi Lee Kuan Yew mantan perdana menteri Singapura, demokrasi tidak baik untuk diterapkan, hanya menimbulkan huru-hara, kekacauan dsb dan tidak bermanfaat bagi kepentingan negara. Soekarno juga sama, sehingga dia lebih memilih demokrasi terpimpin (guided democracy). Kemudian Russia sejak 1985 menjadi negara terbuka dan demokratis di bawah pemerintah Gorbachev tapi terpuruk dengan berbagai krisis ekonomi yang terjadi hingga akhirnya, Vladimir Putin menjadi presiden dan mengangkat kembali Rusia menjadi negara superpower. Di bawah Putin, Russia bergelar negara otoriter dalam Democracy Index 2011. Kita bisa belajar dari tokoh-tokoh diatas mengenai kepemimpinan dan politik. Celakanya, di Indonesia politik hanya dimaknai sebagai ajang memilih pemimpin padahal pemilu cuma secuil nilainya.[]

Inkternasional

Page 21: Ebook ink sharia ed. 6