1
ANALISIS KETERANGAN SAKSI YANG TIDAK DISUMPAH
DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN ANAK
(Studi Putusan Nomor : 145/Pid.B/2011/PN.Pbg.)
SKRIPSI
Disusun Guna Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Oleh:
ALFIAN NUR GHOZALI
E1A109063
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2014
2
LEMBAR PENGESAHAN ISI DAN FORMAT
SKRIPSI
ANALISIS KETERANGAN SAKSI YANG TIDAK DISUMPAH
DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN ANAK
(Studi Putusan Nomor : 145/Pid.B/2011/PN.Pbg.)
Oleh :
ALFIAN NUR GHOZALI
E1A109063
Diterima dan Disahkan
Pada Tanggal, Februari 2014
Para Penguji/Pembimbing
Mengetahui,
Dekan Fakultas Hukum
Universitas Jendral Soedirman
Dr. Angkasa, S.H.,M.Hum.
NIP. 19640923 198901 1 001
Mengetahui,
Dekan Fakultas Hukum
Universitas Jendral Soedirman
Dr. Angkasa, S.H.,M.Hum.
NIP. 19640923 198901 1 001
Pembimbing I Pembimbing II Penguji
Hand Handri Wirastuti Sawitri. S.H., M.H. Dr. Hibnu Nugroho. S.H., M.H. Pranoto, S.H.,M.H.
NIP. 19581019 198702 2 001 NIP. 19640724 199002 1 001 NIP.19540305 198601 1 001
3
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Yang bertandatangan di bawah ini :
Nama : Alfian Nur Ghozali
NIM : E1A109063
SKS : 150
Program Studi : Ilmu Hukum
Bagian : Hukum Acara Pidana
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi ini benar-benar merupakan
hasil karya saya, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau pikiran orang
lain yang saya akui sebagai tulisan atau pikiran saya.
Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa skripsi ini
hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
Purwokerto, 24 Februari 2014
Yang Membuat Pernyataan,
AlfianNurGhozali
NIM. E1A109063
iii
4
ABSTRAK
ANALISIS KETERANGAN SAKSI YANG TIDAK DISUMPAH
DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN ANAK
(Studi Putusan Nomor:145/Pid.B/2011/PN.Pbg.)
Oleh :
Alfian Nur Ghozali
E1A109063
Penelitian ini mengambil judul “analisis keterangan saksi yang tidak
disumpah dalam perkara tindak pidana pembunuhan anak” (studi putusan nomor
:145/pid.b/2011/pn.pbg.)
Permasalahan pada penelitian ini adalah Apakah keterangan saksi yang
tidak disumpah dalam perkara tindak pidana pembunuhan anak dapat
diklasifikasikan sebagai alat bukti yang sah serta bagaimana kekuatan pembuktian
keterangan saksi yang tidak disumpah dalam perkara tindak pidana pembunuhan
anak. Untuk membahas permasalahan tersebut, maka metode yang digunakan
adalah yuridis normatif, dengan sumber data berupa data sekunder. Data disajikan
dalam bentuk uraian yang di susun secara sistematis dengan analisis kualitatif.
Hasil Penelitian ini adalah keterangan saksi yang tidak disumpah dalam
Putusan Nomor:145/Pid.B/2011/PN.Pbg) tidak dapat diklasifikasikan sebagai alat
bukti yang sah Keterangan tersebut sifatnya bukan merupakan alat bukti, tetapi
dapat bernilai dan bias dipergunakan sebagai tambahan alat bukti yang sah lainnya
sepanjang keterangan saksi yang dibacakan mempunyai persesuaian dengan alat
bukti yang sah dan alat bukti yang ada telah memenuhi batas minimum
pembuktian.
Kekuatan Pembuktian Keterangan saksi yang tidak disumpah dalam
Putusan Nomor:145/Pid.B/2011/PN.Pbg) nilai kekuatan pembuktian yang melekat
pada keterangan saksi yang dibacakan di siding pengadilan, sifatnya tetap bukan
merupakan alat bukti, tetapi nilai kekuatan pembuktian yang melekat padanya
dapat dipergunakan menguatkan keyakinan hakim saja.
.
Kata kunci: Keterangan Saksi, tidak disumpah , pembunuhan anak
iv
5
ABSTRACT
SWORN TESTIMONY OF WITNESSES WHO ARE NOT IN
THE CRIMINAL ACTS INFANTICIDE
By:
AlfianNurGhozali
E1A109063
This study analyzes take title sworn testimony of witnesses who are not in
the criminal acts infanticide ( the study verdict ID : 145/pid.b/2011/pn.pbg . )
The problem in this study are Is not sworn testimony in the murder of his
criminal acts can be classified as a valid proof , and how the strength of evidence
is not evidence of a sworn witness in the murder of his criminal acts .To discuss
the problem, then the method used is normative juridical , with data in the form of
secondary data sources . Data presented in the form of descriptions arranged
systematically with qualitative analysis .
The results of this study are not sworn testimony in Decision Number:
145/Pid.B/2011/PN.Pbg )can not be classified as a valid proof of evidence that
nature is not a proof tool , but can be valuable and can be used as an additional
other legal means of evidence during the testimony of witnesses who have read
compatibility with valid proof tools and gadgets available evidence has met the
minimum threshold of proof.
Proof of Evidence Strength witness who is sworn in Decision Number:
145/Pid.B/2011/PN.Pbg ) the strength of proof attached to the testimony that was
read in court , its still not a proof tool , but the strength of proof attached it can be
used to strengthen confidence in the judge alone\
Keywords: Witness Testimony, not sworn, the murder of children
v
6
MOTO PENULIS
BERUSAHALAH SELAGI MASIH ADA
KESEMPATAN
MELANGKAHLAH KEDEPAN SESEKALI
MENOLEH KEBELAKANG
TAK ADA YANG TAK MUNGKIN DIDUNIA INI
JIKA MAU BERUSAHA
RAIHLAH MIMPI KESUKSESAN HAKIKI
vi
7
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan anugerah-Nya
serta kepada Nabi Besar kita Muhammad SAW sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul :“Analisis Keterangan Saksi Yang Tidak
Disumpah Dalam Perkara Tindak Pidana Pembunuhan Anak”(Studi Putusan
Nomor :145/Pid.B/2011/Pn.Pbg.) Skripsi ini merupakan salah satu persyaratan
dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas
Jenderal Soedirman. Berbagai kesulitan dan hambatan penulis hadapi dalam
penyusunan skripsi ini. Namun berkat bimbingan, bantuan dan moril serta
pengarahan dari berbagai pihak, maka skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.
Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan terimakasih yang tulus kepada:
1. Dr. Angkasa, SH,M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal
Soedirman.
2. Handri Wirastuti Sawitri,.S.H.,M.H. selaku Dosen Pembimbing I atas segala
arahan dan masukan untuk skripsi ini.
3. Dr. Hibnu Nugroho. S.H., M.H selaku Dosen Pembimbing II atas segala
arahan dan masukan untuk skripsi ini.
4. Pranoto,.S.H,.M.H selaku pembimbing, motivator, dan sebagai keluarga,
selama saya belajar di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
5. Kedua orang tuasaya yang telah memberi motivasi saya untuk lulus dan
Keluarga Besar saya yang selalu memberikan dukungannya..
vii
8
Akhirnya, ibarat pepatah mengatakan tiada karya cipta yang sempurna
kecuali ciptaan-Nya, begitu juga dengan penyusunan Penelitian ini tentunya masih
jauh dari kesempurnaan. Meskipun demikian penulis berharap semoga hasil karya
penulis ini bias bermanfaat bagi pembaca sekalian.
Purwokerto,24 Februari 2014
Penulis
AlfianNurGhozali
viii
9
HALAMAN PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan pada:
1. Kedua Orang Tuaku Bapak Darko dan Ibu Tercinta
Sofariyah, terima kasih untuk kasih sayang,
nasehat, dukungan dan doanya.
2. Keluarga Besarku, Siti Purwati,Weni Agus
Herawati, Heru Sunarko, Tondi Barnadi,.S.E.,
Sasmita, Ananda Kiki Pradina Jiwog, Fahri Caprut,
Steven Ndut, dan semua keluarga yang tidak
mungkin saya sebutkan satu-persatu, terimakasih
banyak atas doa, bantuan dan dukunganya selama
ini.
3. Yuniarti Fat’ah My lopely yang special dan setia
menemaniku selama ini, terimakasih untuk
dukungan, kasih sayang, doa dan kesabarannya.
ix
10
4. SEmua teman-teman Paralel fakultas Hukum
Unsoed Terimakasih untuk dukungan dan doanya.
5. Semua teman saudara Libra, terima kasih untuk
dukungan dan doanya.
x
11
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... ii
SURAT PERNYATAAN........................................................................... iii
ABSTRAK ................................................................................................. iv
ABSTRACT ................................................................................................ v
MOTTO ..................................................................................................... vi
KATA PENGANTAR .............................................................................. vii
HALAMAN PERSEMBAHAN .............................................................. viii
DAFTAR ISI ............................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................ 1
B. Perumusan Masalah ........................................................................ 4
C. Tujuan Penelitian ............................................................................ 5
D. Kegunaan Penelitian........................................................................ 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Hukum Acara Pidana .................................................... 6
1.Tujuan dan Fungsi Hukum Acara Pidana .................................... 8
xi
12
2. Asas-asas Hukum Acara Pidana ................................................ 10
B. Pembuktian .................................................................................... 19
1. Pengertian Pembuktian ............................................................. 19
2. Teori dan Sistem Pembuktian ................................................... 21
C. Alat Bukti Menurut KUHAP ........................................................ 27
D. Tindak Pidana Pembunuhan anak ................................................. 36
E. Pengertian Anak ............................................................................ 46
F. Tinjauan Umum Alat Bukti Keterangan Saksi
Yang Tidak Disumpah .................................................................. 46
BAB III METODE PENELITIAN
1. Metode Pendekatan................................................................... 50
2. . Spesifikasi Penelitian................................................................ 50
3. Sumber Data ............................................................................. 50
4. Metode Pengumpulan Data ...................................................... 51
5. Metode Penyajian Data ............................................................. 51
6. Metode Analisis Data ............................................................... 52
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian............................................................................... 53
B. Pembahasan ..................................................................................... 77
BAB V PENUTUP
A. Simpulan ....................................................................................... 99
B. Saran ............................................................................................ 100
DAFTAR PUSTAKA
xii
13
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum acara pidana disebut juga hukum pidana formil, sedangkan
hukum pidana disebut hukum pidana materiil. Hukum pidana atau hukum
pidana materiil berisi petunjuk dan uraian tentang delik, peraturan tentang
syarat-syarat dapat dipidananya suatu perbuatan, dan aturan tentang
pemidanaan, Mengatur kepada siapa dan bagaimana pidana itu dapat
dijatuhkan. Hukum Acara Pidana atau hukum pidana formil mengatur
bagaimana Negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk
memidana dan menjatuhkan pidana.
Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan
mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, yaitu
kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan
menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan
tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan
suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan
putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu
14
tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa tersebut
dapat dipersalahkan”.1
Usaha yang dilakukan oleh penegak hukum untuk menemukan
kebenaran materiil adalah untuk menghindari kekeliruan dalam penjatuhan
pidana terhadap diri seseorang, hal ini sebagaimana ditentukan dalam
Undang – Undang Nomor. 48 Tahun 2009 tentang Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman Pasal 6 ayat (2) yang menyatakan :
“Tiada seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena
alat pembuktian yang sah menurut Undang-undang mendapat keyakinan
bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggungjawab, telah bersalah
atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya” 2
Hal ini dapat dilihat dari adanya berbagai usaha yang dilakukan oleh
aparat penegak hukum dalam memperoleh bukti-bukti yang dibutuhkan
untuk mengungkap suatu perkara baik pada tahap pemeriksaan pendahuluan
seperti penyidikan dan penuntutan maupun pada tahap persidangan perkara
tersebut3.
Dalam kenyataan sehari-hari, warga negara yang lalai atau sengaja
tidak melaksanakan kewajibannnya yang dapat menimbulkan kerugian bagi
orang lain atau masyarakat, dapat dikatakan bahwa warga negara tersebut
telah “melanggar hukum” karena untuk menjamin tegaknya kebenaran,
1 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia , Jakarta:Sinar Grafika, 2001,
hal.8
2M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP edisi
kedua., Jakarta, 2008, hal.72 3 http://gudangmakalah.blogspot.com/2009/08/skripsi.. diakses pada tanggal 25 Mei
2013 pada pukul 22.15 WIB.
15
keadilan dan kepastian hukum, bagi setiap warga negara wajib “menjunjung
hukum”, dan kewajiban tersebut telah ditentukan berdasarkan hukum4.
Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting
dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Melalui pembuktian
ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti
yang ditentukan undang-undang “tidak cukup” membuktikan kesalahan
yang didakwakan kepada terdakwa, maka terdakwa “dibebaskan” dari
hukuman.Sebaliknya, apabila kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan
alat-alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP, terdakwa dinyatakan
“bersalah”. Kepadanya akan dijatuhkan hukuman. Oleh karena itu, hukum
harus hati-hati, cermat, menilai dan mempertimbangkan nilai pembuktian.5
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sebagai produk bangsa
Indonesia telah menetapkan beberapa alat bukti yang sah dan dapat
dipergunakan untuk membuktikan salah tidaknya terdakwa. Adapun alat
bukti yang sah menurut undang-undang sesuai dengan apa yang disebut
dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP adalah :
1. Keterangan saksi
2. Keterangan ahli
3. Surat
4. Petunjuk
5. Keterangan terdakwa
4 Leden Marpaung, Proses penanganan perkara pidana (penyelidikan dan
penyidikan), Bagian pertama, Edisi kedua, Cetakan kedua, Sinar Grafika, 2009, Jakarta, hal.
22 5 M. Taufik Makaro dan Suharsil, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek,
Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004, hal, 102-103
16
Pasal 184 ayat (1) KUHAP tercantum alat-alat bukti yang sah antara
lain keterangan saksi. Pada umumnya keterangan saksi merupakan alat bukti
yang paling utama dalam perkara pidana, karena hampir semua pembuktian
perkara pidana selalu bersandar pada pemeriksaan keterangan
saksi6.sehingga keterlibatan seorang saksi mutlak diperlukan dalam
keseluruhan tingkatan pemeriksaan perkara pidana termasuk pemeriksaan di
pengadilan.alat bukti keterangan saksi kadang kala masih sering
menimbulkan permasalahan, baik mengenai eksistensinya sebagai alat bukti
yang sah.
Didalam putusan Nomor 145/Pid.B/2011/PN.Pbg, dimana terdakwa
KC Als ATN Binti NRM telah melakukan tindak pidana pembunuhan anak
di Dukuh Gewok Desa Bumisari, Kecamatan Bojongsari, Kabupaten
Purbalingga, salah satu saksi yang bernama GN als NN bin WM
memberikan keterangan tanpa mengangkat sumpah, padahal saksi ini
memegang peran yang penting karena pertama kali menemukan korban
pembunuhan tersebut di sungai kecil di Desa Bumisari Kecamatan
Bojongsari Kabupaten Purbalingga.
Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan
penulisan hukum dengan judul :
ANALISIS KETERANGAN SAKSI YANG TIDAK DISUMPAH
DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN ANAK
(Studi Putusan Nomor:145/Pid.B/2011/PN.Purbalingga)
6 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
(Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, Dan Peninjauan Kembali), Jakarta:
Sinar Grafika, 2008, hal., 286
17
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah terseburt di atas, maka dapat
dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana keterangan saksi yang tidak disumpah dapat diklasifikasikan
sebagai alat bukti yang sah dalam perkara No.145/Pid.B/2011/PN.
Purbalingga?
2. Bagaimana kekuatan pembuktian terhadap keterangan saksi yang tidak
disumpah dalam perkara No.145/Pid.B/2011/PN.Purbalingga?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui keterangan saksi yang tidak disumpah dapat
diklasifikasikan sebagai alat bukti yang sah dalam perkara No. 145/Pid.B/
2011/ PN. Purbalingga.
2. Untuk mengetahui kekuatan pembuktian terhadap keterangan saksi yang
tidak disumpah dalam perkara No. 145/Pid.B/ 2011/ PN. Purbalingga.
D. Kegunaan Penelitian
Adapun manfaat yang dapat diambil penulis dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut.
1. Manfaat Teoritis
a). Memberikan sumbangan pemikiran dalam perkembangan ilmu hukum,
khususnya yang berkaitan dengan masalah hukum pembuktian pidana
serta dapat menambah bahan-bahan kepustakaan.
b). Untuk mendalami teori-teori yang telah diperoleh penulis selama kuliah
di Fakultas Hukum Universitas Jendral Soedirman Purwokerto.
18
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan mempunyai nilai kemanfaatan di
dalam penegakan hukum acara khususnya hukum acara pidana tentang
penegakan hukum tindak pidana Pembunuhan anak.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian dan Asas Hukum Acara Pidana
Istilah hukum acara pidana jarang sekali diperkenalkan secara umum.
Hukum acara pidana sering dianggap sebagai ilmu hukum yang sempit dan
menjadi bagian dari ilmu pengetahuan hukum positif. Bahkan ada suatu
pendapat bahwa hukum acara pidana tidak dapat dipelajari sebagaimana
lazimnya sebagai ilmu karena berkedudukan sebagai hukum pelengkap
terhadap hukum pidana materiil. Hukum acara pidana memiliki ruang
lingkup yang sempit yaitu hanya mulai dari mencari kebenaran,
penyelidikan penyidikan, penuntutan, dan berakhir pada pelaksanaan pidana
(eksekusi). Pembinaan narapidana tidak termasuk hukum acara
pidana.Apalagi yang menyangkut perencanaan undang-undang pidana.7
KUHAP tidak menjelaskan pengertian hukum acara pidana,
melainkan hanya memberikan beberapa definisi yang merupakan dari
bagian hukum acara pidana seperti penyidikan, penuntutan, mengadili,
praperadilan, putusan pengadilan, upaya hukum, penyitaan, penangkapan,
7Andi Hamzah. 2010. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. hal.1.
19
penahanan, dan lain-lain yang semuanya merupakan satu kesatuan dalam
proses berlakunya hukum acara pidana.8
Menurut D. Simons9 sebagaimana dikutip dalam bukunya Andi
Hamzah sebagai berikut:
“Hukum pidana formal (hukum acara pidana) mengatur tentang bagaimana
Negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidanakan dan
menjatuhkan pidana.”
Pengertian hukum acara pidana dari para sarjana yang hampir lengkap
dan tepat adalah pengertian yang diberikan oleh Van Bemmelen, karena
merinci pula substansi hukum acara pidana itu, bukan permulaan dan
akhirnya saja. Pengertian hukum acara pidana menurut Van Bemmelen 10
sebagaimana dikutip dalam bukunya Andi Hamzah, adalah sebagai berikut:
“Ilmu hukum acara pidana mempelajari peraturan-perauran yang diciptakan
oleh Negara, karena adanya pelanggaran undang-undang pidana, yaitu
sebagai berikut:
a. Negara melalui alatnya yang menyidik kebenaran.
b. Sedapat mungkin menyidik pelaku yang melakukan perbuatan itu.
c. Mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap si pembuat
dan kalau perlu menahannya.
d. Mengumpulkan bahan-bahan bukti (bewijsmateriaal) yang telah
diperoleh pada penyidikan kebenaran guna dilimpahkan kepada hakim
dan membawa terdakwa ke depan hakim tersebut.
e. Hakim member keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan yang
dituduhkan kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkan pidana atau
tindakan tata tertib.
f. Upaya hukum untuk melawan keputusan tersebut.
g. Akhirnya melaksanakan keputusan tentang pidana dan tindakan tata
tertib.”
Jika diperhatikan rumusan pengertian dari Van Bemmelen tersebut
dapat ditunjukan bahwa yang terdapat pada poin 1 sampai dengan poin 4
8Andi Hamzah. 2009. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
hal..4. 9Ibid., hal. 4.
10Ibid., hal. 6.
20
adalah tahap penyelidikan, dan penuntutan.Oleh karena itu, batas
penyidikan dan penuntutan menjadi kabur, karena memang Van Bammelen
dapat digolongkan pada golongan pakar yang memandang penyidikan
sebagai bagian penuntutan dalam arti luas.Terlihat yang jelas terpisah adalah
pemeriksaan dan putusan hakim yang disebutkan pada poin 5. Begitu pula
upaya hukum yang disebutkan pada poin 6 dan eksekusi pada poin 7.
Adapun peninjauan kembali (herzeining) adalah hal khusus yang merupakan
upaya hukum luar biasa, yang mestinya jarang terjadi dalam peradilan
pidana yang normal.
Perlu dilihat lagi juga pengertian tentang hukum acara pidana yang
diberikan oleh pakar Indonesia, diambil dari sarjana senior yaitu Wirjono
Prodjodikoro, yang pernah menjadi Ketua Mahkamah Agung. Sebagaimana
dikutip dalam bukunya Andi Hamzah, pengertian hukum acara pidana
menurut
Wirjono Prodjodikoro11
adalah sebagai berikut:
“Hukum acara pidana berhubungan erat dengan adanya hukum pidana,
maka dari itu merupakan suatu rangkaian peraturan yang memuat cara
bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa, yaitu kepolisian,
kejaksaan, dan pengadilan harus bertindak gena mencapai tujuan Negara
dengan mengadakan hukum pidana.”
1. Tujuan dan Fungsi Hukum Acara Pidana
Menurut Soeparmono12
tujuan hukum acara pidana adalah :
Untuk mencari dan mendapatkan sejauh mungkin suatu kebenaran materiil
(materiele waarheid), ialah suatu kebenaran yang selengkap-lengkapnya
dari perkara pidana dengan menerapkan ketentuan-ketentuan hukum acara
11
Ibid., hal7. 12
R. Soeparmono, 2011. Keterangan Ahli dan Visum et Repertum dalam Aspek
Hukum Acara Pidana. Bandung: Mandar Maju. hal. 13.
21
pidana itu dengan tepat, serta bertujuan mencari pelaku sebagai terdakwa
yang telah dinyatakan melanggar hukum, dan selanjutnya dengan suatu
pemeriksaan dan putusan pengadilan .
Tujuan hukum acara pidana dalam Pedoman Pelaksanaan KUHAP
yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman adalah sebagai berikut:
Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan
atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang
selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan suatu
ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk
mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu
pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari
pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana
telah dilakukan dan apakah orang yang didakwakan itu dapat
dipersalahkan.13
Pengertian tersebut diatas merupakan kalimat yang terlalu panjang,
yang mestinya dapat disingkat. Kebenaran itu harus didapatkan dalam
menjalankan hukum acara pidana. Umumnya disebut “mencari kebenaran
materiil”, merupakan tujuan hukum acara pidana. Akan tetapi usaha hakim
untuk menemukan kebenaran materiil itu dibatasi oleh surat dakwaan jaksa.
Hakim tidak dapat menuntut agar jaksa mendakwa terdakwa dengan
dakwaan yang lain atau menambah perbuatan yang didakwakan.
Berkaitan dengan batas surat dakwaan, hakim harus benar-benar tidak
boleh puas dengan kebenaran formal. Agar dapat memperkuat
keyakinannya, hakim dapat meminta bukti-bukti dari kedua pihak yaitu
terdakwa dan penuntut umum, begitu pula dengan saksi-saksi yang diajukan
oleh kedua belah pihak.
13
Ibid., hal.. 7.
22
Menurut Van Bammelen14 sebagaimana dikutip dalam bukunya Andi
Hamzah, mengemukakan tiga fungsi hukum acara pidanasebagai berikut:
1. Mencari dan menemukan kebenaran.
2. Pemberian keputusan oleh hakim.
3. Pelaksanaan keputusan.
Dari ketiga fungsi di atas, yang paling penting karena menjadi
tumpuan kedua fungsi berikutnya, ialah “mencari kebenaran”. Setelah
menemukan kebenaran yang diperoleh melalui alat bukti dan bahan bukti
itulah, hakim akan sampai pada putusan (yang seharusnya adil dan tepat
untuk terdakwa), yang kemudian dilaksanakan oleh jaksa. Tujuan akhir
hukum acara pidana yang sebenarnya adalah mencapai suatu ketertiban,
ketentraman, kedamaian, keadilan, dan kesejahteraan dalam masyarakat.
2. Asas-asas Hukum Acara Pidana
a. Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan
Sebenarnya hal ini bukan merupakan hal baru dengan lahirnya
KUHAP, dari dulu sejak adanya HIR, sudah tersirat asas ini dengan kata-
kata yang lebih konkret dari pada yang dipakai di dalam KUHAP. Untuk
menunjukkan sistem peradilan cepat, banyak ketentuan di dalam KUHAP
yang memakai istilah “segera”. Dalam HIR, miasalnya pasal 71 dikatakan,
bahwa jika hulp magistraat melakukan penahanan, maka dalam waktu satu
kali dua puluh empat jam memberitahu jaksa.
14
Ibid., hal.. 8.
23
Istilah “satu kali dua puluh empat jam “ lebih pasti dari pada istilah
“segara”. Sehingga ketentuan yang sangat bagus ini perlu diwujudkan dalam
praktik oleh penegak hukum. Pencantuman peradilan cepat (contante justitie
; speedy trial) di dalam KUHAP cukup banyak yang diwujudkan dengan
istilah “segera” itu. Asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan yang
dianut di dalam KUHAP sebenarnya merupakan penjabaran Undang-undang
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Peradilan cepat (terutama untuk menghindari penahanan yang lama
sebelum ada keputusan hakim) nerupakan bagian dari hak asasi manusia.
Begitu pula peradilan bebas, jujur , dan tidak memihak yang ditonjolkan
dalam undang-undang tersebut.15
b. Asas Praduga Tidak Bersalah
Menurut M Yahya Harahap, asas Praduga tak Bersalah ditinjau dari segi
teknis yuridis ataupun dari segi teknis penyidikan dinamakan “pninsip
akusatur”. Prinsip Akusatur menempatkan kedudukan tersangka atau
terdakwa dalam setiap tingkat pemeriksaan adalah sebagai subyek, bukan
sebagai obyek pemeriksaan, karena itu tersangka atau terdakwa harus
didudukkan atau diperlakukan dalam kedudukan manusia yang mempunyai
harkat, martabat harga diri. Sedangkan yang menjadi objek pemeriksaan
dalam prinsip akusatur adalah kesalahan (tindakan pidana), yang dilakukan
oleh tersangka atau terdakwa. Kearah itulah pemerikasaan ditujukan.16
.
Asas ini disebut dalam Pasal 8 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman dan juga dalam Penjelasan Umum butir 3c
KUHAP yang merumuskan sebagai berikut:
“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/dihadapkan
dimuka sidang pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya
15
Ibid., hal.. 12. 16
. Yahya Harahap, Op, Cit, Hlm, 38-39
24
putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh
kekuatan hukum tetap”.17
c. Asas Oportunitas
Dalam hukum acara pidana mengenal suatu badan yang khusus diberi
wewenang untuk melakukan penuntutan pidana ke pengadilan yang disebut
penuntut umum. Di Indonesia penuntut umum itu disebut juga jaksa (Pasal 1
butir a dan b serta Pasal 137 dan seterusnya KUHAP).
Wewenang penuntutan dipegang oleh penuntut umum sebagai
monopili, artinya tidak ada badan lain yang boleh melakukan penuntutan.
Hal ini disebut dominus litis di tangan penuntut umum atau jaksa. Dominus
berasal dari bahasa latin yang artinya pemilik. Hakim tidak dapat meminta
supaya delik diajukan kepadanya. Jadi, hakim hanya menunggu saja
penuntutan dari penuntut umum.
Menurut A.Z. Abidin Farid18
sebagaimana dikutip dalam bukunya
Andi Hamzah adalah sebagai berikut:
“Asas hukum yang memberikan wewenang kepada penuntut umum untuk
menuntut atau tidak menuntut dengan atau tanpa syarat seseorang atau
korporasi yang telah mewujudkan delik demi kepentingan umum.”
Pasal 35c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia dengan tegas menyatakan asas oportunitas itu dianut di
Indonesia. Pasal tersebut merumuskan sebagai berikut:
“Jaksa Agung dapat menyampingkan perkara berdasarkan kepentingan
umum”.
17
Ibid., hal.. 14. 18
Op. Cit. hal.. 17.
25
Perlu dijelaskan apa yang dimaksud dengan “demi kepentingan
umum” dalam sebuah perkara. Pedoman Pelaksanaan KUHAP memberikan
penjelasan sebagai berikut:
“…Dengan demikian, kriteria demi kepentingan umum dalam
penerapan asas oportunitas di Negara kita adalah didasarkan untuk
kepentingan Negara dan masyarakat dan bukan untuk kepentingan
masyarakat”.
Hal tersebut mirip dengan pendapat Supomo19
yang dikutip dalam
bukunya Andi Hamzah sebagai berikut:
“Baik di negeri Belanda maupun di “Hindia Belanda” berlaku yang disebut
asas “oportunitas” dalam tuntutan pidana itu artinya Badan Penuntut Umum
wewenang tidak melakukan suatu penuntutan, jikalau adanya tuntutan itu
dianggap tidak “opportuun”, tidak guna kepentingan masyarakat”.
d. Asas Pemeriksaan Pengadilan Terbuka untuk Umum
Asas Pemeriksaan Pengadilan Terbuka Untuk Umum ialah asas yang
memerintahkan bahwa dalam tahap pemeriksaan, pengadilan terbuka untuk
umum maksudnya yaitu boleh disaksikan dan diikuti oleh siapapun, kecuali
dalam perkara yang menyangkut kesusilaan dan perkara yang terdakwanya
anak-anak.
Asas ini terdapat dalam Pasal 153 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang merumuskan
sebagai berikut :
“Untuk keperluan pemeriksaan, Hakim Ketua Sidang membuka
sidang dan menyataka terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai
kesusilaan atau terdakwanya anak-anak”.
19
Ibid., hal.. 20.
26
Uraian di atas mengemukakan bahwa saat membuka sidang hakim
ketua harus menyatakan “sidang terbuka untuk umum”. Pelanggaran atas
ketentuan ini atau tidak dipenuhinya ketentuan ini mengakibatkan putusan
pengadilan “batal demi hukum” (Pasal 153 ayat (4) KUHAP) ada
pengecualian dalam ketentuan ini yaitu sepanjang mengenai perkara yang
menyangkut kesusilaan atau terdakwanya adalah anak-anak, yang dalam hal
ini persidangan dapat dilakukan dengan pintu tertutup.
Andi Hamzah20
berpendapat mengenai hal ini bahwa :
“Seharusnya kepada hakim diberikan kebebasan untuk menentukan sesuai
situasi dan kondisi apakah sidang terbuka atau tertutup untuk umum.
Sebenarnya hakim dapat menetapkan apakah suatu sidang dinyatakan
seluruhnya atau sebagiannya tertutup untuk umum yang artinya persidangan
dilakukan di belakang pintu tertutup. Pertimbangan tersebut sepenuhnya
diserahkan kepada hakim. Hakim melakukan itu berdasarkan jabatannya
atau atas permintaan penuntut umum dan terdakwa. Saksi pun dapat
mengajukan permohonan agar sidang tertutup untuk umum dengan alasan
demi nama baik keluarganya. Misalnya dalam kasus perkosaan, saksi
korban memohon agar sidang tertutup untuk umum agar ia bebas
memberikan kesaksiannya”.
e. Semua Orang Diperlakukan Sama di Depan Hukum
Asas yang umum dianut di negara-negara yang berdasarkan hukum ini
tegas tercantum dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Pasal 4 ayat
(1) dan penjelasan umum butir 3 huruf a KUHAP. Asas ini lazim disebut
sebagai asas isonomia atau equality before the law. Penjelasan umum butir
3 huruf a merumuskan :
“Perlakuan yang sama atas diri setiap orang dimuka hukum tidak
mengadakan perbedaan perlakuan”.
Sedangkan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman merumuskan :
20
Andi Hamzah.Op cit.Hal. 18.
27
“Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan
orang.”
Melihat kedua pasal di atas, dapat dilihat bahwa dalam pelaksanaan
pemeriksaan dalam pengadilan itu sangat tidak dianjurkan adanya pembeda-
bedaan antara terdakwa, saksi, jaksa, polisi, pejabat sekelas bupati,
gubernur, bahkan sekalipun itu presiden. Semuanya dianggap sama di depan
hakim, semuanya melalui proses yang sama dalam pemeriksaan dan mereka
sama-sama memiliki kewajiban dan hak yang sama pula pada pemeriksaan
pengadilan.
Romli Atmasasmita21
dalam bukunya mengatakan bahwa :
“Asas persamaan di muka hakim tidak secara eksplisit tertuang dalam
KUHAP, akan tetapi asas ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
KUHAP. Ditempatkannya asas ini sebagai satu kesatuan menunjukan bahwa
betapa pentingnya asas ini dalam tata kehidupan Hukum Acara Pidana di
Indonesia.”
f. Peradilan Dilakukan oleh Hakim Karena Jabatannya dan Tetap
Pada asas ini pengambilan putusan salah tidaknya terdakwa dilakukan
oleh hakim karena jabatannya dan bersifat tetap. Untuk jabatan ini diangkat
hakim-hakim yang tetap oleh kepala Negara. Hal tersebut sesuai dengan
ketentuan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman. Berkaitan dengan sistem lain, yaitu sistem juri yang
menentukan salah tidaknya terdakwa ialah suatu dewan yang mewakili
golongan-golongan dalam masyarakat. Pada umumnya mereka adalah awam
tentang ilmu hukum.
21
Romli Atmasasmita. 1983. Bunga Rampai Hukum Acara Pidana : Bina Cipta,
hal.30.
28
Sistem hakim yang tetap di Indonesia mengikuti sistem di Negara
Belanda yang dahulu juga menganut sistem juri pula, tetapi sejak tahun
1813 dihapuskan.Sebaliknya Perancis sejak revolusi meniru sistem itu dari
Inggris.Karena banyaknya kelemahan-kelemahan sistem tersebut maka
Jerman juga tidak menganutnya.22
g. Tersangka/Terdakwa Berhak Mendapat Bantuan Hukum
Dalam Pasal 69 sampai dengan Pasal 74 KUHAP yang mengatur
tentang bantuan hukum, dimana tersangka/terdakwa mendapat kebebasan
yang sangat luas. Kebebasan itu antara lain sebagai berikut:
1. Bantuan hukum dapat diberikan sejak saat tersangka ditangkap atau
ditahan.
2. Bantuan hukum dapat diberikan pada semua tingkat pemeriksaan.
3. Penasihat hukum dapat menghubungi tersangka/terdakwa pada semua
tingkat pemeriksaan pada setiap waktu.
4. Pembicaraan penasihat hukum dan tersangka tidak didengar oleh
penyidik atau penuntut umum kecuali pada delik yang menyangkut
keamanan Negara.
5. Turunan berita acara diberikan kepada tersangka atau penasihat hukum
guna kepentingan pembelaan.
Penasihat hukum berhak mengirim atau menerima surat dari
tersangka/terdakwa.
22
Ibid., hal.. 22.
29
Pembatasan hanya dikenakan jika penasihat hukum menyalahgunakan
hak-haknya tersebut. Kebebasan-kebebasan dan kelonggaran-kelonggaran
ini hanya dari segi yuridis semata-mata, bukan dari segi politis, sosial, dan
ekonomis. Segi-segi yang disebut terakhir ini juga menjadi penghambat
pelaksanaan bantuan hukum secara merata.
Menurut Adnan Buyung Nasution23
, sebagaimana dikutip dalam
buku Andi Hamzah berpendapat sebagai berikut:
“…Setiap periode sejarah dengan sistem politiknya tersendiri, telah banyak
memberikan pengaruh atas masalah ini, persoalannya bertambah rumit
apabila kita melihat dari sudut ekonomi, disebabkan oleh kemiskinan yang
merembes luas, tingkat tuna huruf yang tinggi dan keadaan kesehatan yang
buruk”.
h. Asas Akusator dan Inkisitor
Pada sistem inquisitoir, seseorang yang sedang diperiksa akan
diperlakukan sebagai „objek‟ yang sekehendak hati si pemeriksa dapat
dianggapnya sudah berada dalam posisi bersalah, dia tak perlu diberi belas
kasihan, simpati, dan perlakuan baik. Tak dikenal disini hak dan martabat
manusia si terperiksa, sebagai orang yang belum tentu salah. Dia harus
dikalahkan untuk dipersalahkan oleh si pemeriksa, baik secara mental
psikologis, fisik, dan dari segala argumentasi. Si pemeriksa seakan sudah
memiliki segala data, keterangan, dan fakta apa pun yang diperbuat oleh si
terperiksa. Dia hanya perlu mengakui dan membenarkan segala tuduhan,
dan selanjutnya menguraikan lebih rinci bagaimana tuduhan itu benar
dilaksanakan oleh si terperiksa. Pengakuan si terperiksa akan menjadi bukti
23
Ibid., hal.. 24.
30
hukum untuk memeprsalahkannya, tetapi tidak akan bisa membebaskan dia
dari tuduhan (persecution)24
.
KUHAP menganut sistem pemeriksaan aquisitoir, yang berarti sisitem
dan cara pemeriksaanya lebih manusiawi dengan menghargai, menghormati,
dan melaksanakan hak-hak asasi manusia. Dalam pemeriksaan dengan cara
ini, si terperiksa bukan lagi objek, tetapi subjek yang memiliki hak-hak
selaku tersangka ataupun terdakwa. Justru, sistem aquisitoir ini dapat
dikatakan menjadi salah satu tolok ukur nilai baik KUHAP dibandingkan
acara pidana sebelumnya. Sistem pemeriksaan ini mengandalkan teknik dan
taktik scientific crime investigation25
i. Pemeriksaan Hakim yang Lisan dan Langsung.
Asas pemeriksaan hakim yang langsung dan lisan artinya yaitu, dalam
acara pemeriksaan pengadilan, pemeriksaan dilakukan oleh hakim secara
langsung kepada terdakwa dan saksi.Ini berbeda dengan acara perdata di
mana tergugat dapat mewakili oleh kuasanya. Sedangkan arti dari lisan
sendiri yaitu pemeriksaan hakim bukan dilakukan secara tertulis tetapi
secara lisan antara hakim dan terdakwa.
Asas ini diatur dalam Pasal 153 ayat (2) dalamUndang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan
bahwa :
24
Nikolas Simanjuntak ,Op. Cit hal. 116. 25
Ibid, hal..115.
31
a. Hakim ketua sidang memimpin pemeriksaan di sidang pengadilan yang
dilakukan secara lisan dalam bahasa Indonesia yang dimengerti oleh
terdakwa dan saksi.
b. Ia wajib menjaga supaya tidak dilakukan hal atau diajukan pertanyaan
yang mengakibatkan terdakwa atau saksi memberikan jawaban secara
tidak bebas.
Pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan oleh hakim secara
langsung, artinya langsung kepada terdakwa dan para saksi.Sedangkan
pemeriksaan hakim dilakukan secara lisan, artinya bukan tertulis antara
hakim dan terdakwa.
Pengecualian dari asas langsung adalah kemungkinan putusan
dijatuhkan tanpa hadirnya terdakwa, yaitu putusan verstek atau in absentia.
Bambang Poernomo26
berpendapat bahwa :
“Pemeriksaan perkara pidana antara para pihak yang terlibat dalam
persidangan harus dilakukan tidak secara tertulis tetapi harus dengan lisan
atau satu sama lain agar dapat diperoleh keterangan yang benar dari yang
bersangkutan tanpa tekanan dari pihak manapun. Tata cara pemeriksaan
perkara pidana dengan mendengarkan keterangan langsung adalah
memberikan kesempatan terutama kepada terdakwa untuk mengeluarkan
pendapatnya atau jika perlu memberikan keterangan ingkar karena pada
waktu pemeriksaan permulaan tidak bebas keterangannya yang diperiksa
secara tertutup.”
B. Pembuktian
1. Pengertian Pembuktian.
26
Bambang Poernomo,Pola Teori dan Asas Umum Hukum Acara Pidana,
Yogyakarta: Liberty, 1985.Hal. 79.
32
Pembuktian menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah proses,
perbuatan, cara membuktian, suatu usaha menentukan benar atau salahnya si
terdakwa dalam sidang pengadilan.
Membuktikan menurut Martiman Prodjohamidjojo27
yaitu:
“Mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran adalah suatu
peristiwa, sehingga dapat diterima oleh akal terhadap kebenaran peristiwa
tersebut. Dalam hukum acara pidana, acara pembuktian adalah dalam
rangka mencari kebenaran materiil dan KUHAP menetapkan tahapan dalam
mencari kebenaran sejati yaitu melalui:
1. Penyidikan;
2. Penuntutan;
3. Pemeriksaan di persidangan;
4. Pelaksanaan, pengamatan, dan pengawasan.
Sehingga acara pembuktian hanyalah merupakan salah satu fase dalam
hukum acara pidana secara keseluruhan.”
1. Penyidikan
Pasal 102 ayat (1) Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
menyebutkan :
“Penyelidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang
terjadinya suatu peristiwa yang 'patut diduga merupakan tindak pidana
wajib segera melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan.”
2. Penuntutan
Pasal 137 Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
menyebutkan :
“Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun
yangdidakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya
denganmelimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili.”
3. Pemeriksaan di Persidangan
Pasal 145 ayat (1) Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
menyebutkan :
27
Martiman Prodjohamidjojo.Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti.Jakarta:Ghalia
Indonesia.1983. Hal. 12.
33
“Pemberitahuan untuk datang ke sidang pengadilan dilakukan secara sah,
apabila disampaikan dengan surat panggilan kepada terdakwa di alamat
tempat tinggalnya atau apabila tempat tinggalnya tidak diketahui,
disampaikan di tempat kediaman terakhir.”
4. Pelaksanaan, Pengawasan, dan Pengamatan Putusan Pengadilan
Pelaksanaan putusan pengadailan diatur dalam Pasal 270 Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyebutkan bahwa
:“Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu panitera mengirimkan
salinan surat putusan kepadanya.”
Pengawasan, dan pengamatan putusan pengadilan diatur dalam pasal
277 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
yang menyebutkan bahwa :
(1) Pada setiap pengadilan harus ada hakim yang diberi tugas
khususuntuk membantu ketua dalam melakukan pengawasan
danpengamatan terhadap putusan pengadilan yang menjatuhkan
pidanaperampasan kemerdekaan.
(2) Hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang disebut
hakimpengawas dan pengamat, ditunjuk oleh ketua pengadilan
untuk palinglama dua tahun.
Menurut Nikolas Simanjuntak28
,
Sistem pembuktian yang dianut ketentuan Pasal 183 itu bermakna bahwa
keyakinan hakim ditujukan terhadap ditemukannya minimal dua alat bukti
yang sah (menurut KUHAP ada lima alat bukti). Keyakinan hakim
ditujukan terhadap benar terjadinya tindak pidana dan benar bahwa
terdakwa yang melakukannya.Dengan demikian, titik tolak keyakinan
hakim diperoleh dari dua alat bukti terjadinya tindak pidana dan dua alat
bukti itu juga membenarkan pelakunya adalah terdakwa.
Menurut M. Yahya Harahap29
pembuktian adalah :
“Ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-
cara yang dibenarkan undang-undang dalam membuktikan kesalahan yang
28
Nikolas Simanjuntak , Op. Cit. hal.. 244. 29
Yahya Harahap, 2009, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP.
Jakarta: Sinar Grafika. hal.. 273.
34
didakwakan kepada terdakwa.Pembuktian juga merupakan ketentuan yang
mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh
dipergunakan hakim dalam membuktikan kesalahan yang didakwakan”.
2. Teori dan Sistem Pembuktian
Menurut Andi Hamzah30
, Ilmu Hukum Acara Pidana dikenal ada
beberapa teori sistem pebuktian, yaitu :
a) Sistem atau Teori Pembuktian berdasarkan Undang- undang secara
positif (Positive Wettelijk Bewijstheorie)
Dalam menilai kekuatan pembuktian alat-alat bukti yang ada, dikenal
beberapa sistem atau teori pembuktian.Pembuktian yang didasarkan kepada
alat- alat bukti mululu kepada alat- alat pembuktian berdasarkan Undang-
undang secara positive (positief wettelijk bewijstheori).Dikatakan secara
positif, karena hanya didasarkan pada Undang- undang melulu. Artinya, jika
telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat- alat bukti yang disebut
oleh Undang- undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali.
Sistem ini disebut juga sistem pembuktian formal (formal bewijstheori)31
.
Sistem ini berusaha menyingkirkan semua pertimbangan subjektif
hakim dan mengikat hakim secara ketat menurut peraturan pembuktian yang
keras. Menurut D. Simons yang dikutip dalam buku Andi Hamzah32
:
“Sistem atau teori pembuktian berdasarkan Undang- undang secara positive
(positief wettelijk bewijstheori) ini berusaha untuk menyingkirkan semua
pertimbangan subjektif hakim dan mengikat hakim secara ketat menurut
peraturan- peraturan pembuktian yang keras.Dianut di Eropa pada waktu
berlakunya asas inkisitur (inquisitoir) dalam acara pidana”.
30
M. Yahya Harahap, Op.Cit, hal 277-278 31
Andi Hamzah, Op. Cit. hal.. 251 32
Loc Cit.
35
Hal tersebut ternyata tidak sejalan dengan pemikiran yang
dikemukakan oleh Wirjono Prodjodikoro33
yaitu:
“Bagaimana hakim dapat menetapkan kebenaran selain dengan cara
menyatakan kepada keyakinannya tentang hal kebenaran itu, lagi pula
keyakinan seorang hakim yang jujur dan berpengalaman mungkin sekali
adalah sesuai dengan keyakinan masyarakat.
Berdasarkan pendapatnya mengemukakan pembuktian berdasarkan
undang-undang secara positive (positief wettelijk bewijstheori) ini tidak
dianut di indonesia.
b) Sistem atau Teori pembuktian berdasarkan Keyakinan Hakim Melulu.
Berhadap- hadapan secara berlawanan dengan teori pembuktian
menurut Undang- undang positif, ialah teori pembuktian menurut keyakinan
hakim melulu, teori ini disebut juga conviction intime.
Disadari bahwa alat bukti berupa pengakuan terdakwa sendiri pun
tidak selalu membuktikan kebenaran. Pengakuanpun terkadang tidak
menjamin terdakwa benar- benar telah melakukan perbuatan yang
didakwakan. Oleh karena itu, diperlukan bagaimanapun juga keyakinan
hakim sendiri.
Bertolak pangkal pada pemikiran itulah, maka teori berdasarkan
keyakinan hakim melulu yang didasarkan kepada keyakinan hati nuraninya
sendiri ditetapkan bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang
didakwakan. Mengenai dari mana hakim mendapat keyakinannya, bukanlah
suatu permasalahan dalam sistem ini hakim dapat memperoleh
keyakinannya dari mana saja.
33
Loc Cit.
36
Menurut Wirjono Prodjodikoroyang dikutip dalam buku Andi
Hamzah34
,
Sistem pembuktian demikian pernah dianut di Indonesia, yaitu pada
peradilan distrik dan pengadilan kabupaten. Sistem ini katanya
memungkinkan hakim menyebut apa saja yang menjadi dasar keyakinan,
misalnya keterangan medium atau dukun. Sistem ini memberi kebebasan
kepada hakim terlalu besar, sehingga sulit diawasi. Di samping itu, terdakwa
atau penasihat hukumnya sulit untuk melakukan pembelaan. Dalam hal ini
hakim dapat memidana terdakwa berdasarkan keyakinannya bahwa ia telah
melakukan apa yang didakwakan. Praktik juri diPrancis membuat
pertimbangan berdasarkan metode ini dan mengakibatkan banyaknya
putusan- putusan bebas yang sangat aneh35
.
c) Sistem atau Teori pembuktian berdasarkan Keyakinan Hakim atas
alasan yang logis (Laconviction Raisonnee)
Sebagai jalan tengah, muncul sistem atau teori yang disebut
pembuktian yang berdasar keyakinan hakim sampai batas waktu tertentu.
Menurut teori ini, hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasarkan
keyakinanya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar- dasar pembuktian
disertai dengan suatu kesimpulan (conclusive) yang berlandaskan pada
peraturan- peraturan pembuktian tertentu. Jadi putusan hakim dijatuhkan
dengan suatu motivasi. Sistem yang disebut sebagai sistem pembuktian
jalan tengah ini disebut juga pembuktian bebas karena hakim diberi
kebebasan untuk menyebut alasan keyakinannya (vrije bewijstheorie)
Sistem pembuktian ini juga disebut sistem pembuktian bebas karena
hakim bebas untuk menyebut alasan- alasan keyakinannya (Vrije
Bewijstheori).
34
Loc Cit. 35
Loc Cit.
37
Sistem atau teori pembuktian jalan tengah atau yang berdasar
keyakinan hakim sampai batas tertentu ini terpecah kedua jurusan. Yang
pertama yaitu pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan yang logis
(conviction raisonne)dan yang kedua ialah teori pembuktian berdasarkan
Undang- undang secara negatif (negatief wettelijk bewijstheori).
Persamaan antara keduanya ialah sama-sama berdasarkan keyakinan
hakim, artinya terdakwa tidak mungkin dipidana tanpa adanya keyakinan
hakim bahwa ia bersalah. Sedangkan perbedaanya ada dua, yang pertama
pangkal tolaknya pada keyakinan hakim, sedangkan yang kedua pada
ketentuan undang- undang.Kemudian, pada yang pertama dasarnya ialah
suatu konklusi yang tidak didasarkan Undang- undang, sedangkan pada
yang kedua didasarkan kepada ketentuan undang- undang yang disebut
limitatif36
.
d) Teori pembuktian berdasarkan Undang- undang secara negatif
(Negatief Wettelijk)
Dalam sistem atau teori pembuktian yang berdasar undang- undang
secara negatif (negatief wettelijk) ini, pemidanaan didasarkan kepada
pembuktian yang berganda (dubbel en grondslag, kata D. Simons), yaitu
pada peraturan undang-undang dan pada prinsip keyakinan hakim, dan
menurut undang-undang, dasar keyakinan hakim itu bersumberkan pada
36
Andi Hamzah,Op. Cit. hal.. 253-254
38
peraturan undang- undang. Menurut P.A.F. Lamintang dan Theo
Lamintang37
berpendapat :
“Orang dapat mengetahui bahwa adanya dua alat bukti yang sah itu
adalah belum cukup bagi hakim untuk menjatuhkan pidana bagi
seseorang, tetapi dari alat-alat bukti yang sah itu hakim juga perlu
memperoleh keyakinan bahwa terdakwa telah bersalah melakukan
tindak pidana tersebut. Sebaliknya, adanya keyakinan hakim saja tidak
cukup apabila keyakinan tersebut tidak ditimbulkan oleh sekurang-
kurangnya alat bukti yang sah.”
Prinsip keyakinan hakim dalam teori pembuktian yang berdasar
undang-undang secara negatif, yakni masalah asas minimum pembuktian.
Minimum pembuktian yang dianggap cukup memadai untuk membuktikan
kesalahan terdakwa, sekurang-kurangnya atau paling sedikit dibuktikan
dengan dua alat bukti yang sah. Jelasnya, untuk membuktikan kesalahan
terdakwa harus merupakan:
1. Penjumlahan dari sekurang-kurangnya seorang saksi ditambah dengan
seorang ahli atau surat maupun petunjuk, dengan ketentuan penjumlahan
kedua alat bukti tersebut harus saling bersesuaian, saling menguatkan,
dan tidak saling bertentangan antara satu dengan yang lain;
2. Atau bisa juga, penjumlahan dua alat bukti itu merupakan keterangan dua
orang saksi yang saling berkesesuaian dan saling menguatkan, maupun
penggabungan antara keterangan seorang saksi dengan keterangan
terdakwa, asal keterangan keduanya saling berkesesuaian38
.
3. Oleh karena itu, para hakim harus hati-hati, cermat, dan matang menilai
dan mempertimbangkan masalah pembuktian.
Untuk Indonesia, yang sekarang ternyata telah dipertahankan oleh
KUHAP, Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa:
“Sistem pembuktian berdasar Undang- undang secara negatif (negatief
wettelijk) sebaiknya dipertahankan berdasarkan dua alasan, pertama
37
P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, 2010, Pembahasan KUHAP ( Menurut
Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana dan Yurisprudensi), Jakarta : Sinar Grafika, hal.. 408. 38
M. Yahya Harahap, Op. Cit. hal.. 262-263.
39
memang sudah selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang
kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana,
janganlah hakim terpaksa memidana orang sedangkan hakim tidak
yakin atas kesalahan terdakwa.Kedua ialah berfaedah, jika ada aturan
yang mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada
patokan- patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim dalam
melakukan peradilan39
.
KUHAP,HIR, dan Nederlandsche strafvordering(hukum acara pidana
Belanda) menganut teori sistem pembuktian berdasar undang-undang
negatif (negatief wetteljikebewis theorie). Keyakinan hakim tetap ada, tetapi
bukan atas keyakinan itu saja yang menjadi pembuktian final.Keyakinan itu
menjadi dasar pertimbangan untuk menilai apakah alat-alat bukti yang
ditentukan dalam undang-undang (limitatif) sudah terpenuhi. Dengan kata
lain, dapat dikatakan bahwa bukan keyakinan hati nurani yang menjadi alat
bukti, tetapi alat-alat bukti yang diyakini dengan sah. Negatif yang
dimaksudkan ialah tidak ada alat bukti diluar undang-undang dan tidak ada
keyakinan terhadap pengetahuan selain dari pada keyakinan terhadap alat-
alat bukti yang disebut undang-undang itu saja.
Dalam Pasal 183 KUHAP jo.294 HIR ditentukan bahwa hakim tidak
boleh menjahtuhkan pidana kepada seorang, kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan
bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang
bersalah melakukannya.Penjelasan dalam pasal itu menyetakan bahwa
39
Andi Hamzah, Op.Cit hal..257
40
ketentuan itu adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan, dan
kepastian hukum bagi seseorang.40
C. Alat Bukti Menurut KUHAP
Dalam KUHAP alat bukti yang sah secara limitatif diatur dalam Pasal
184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yaitu sebagai
berikut:
a. Keterangan Saksi
Pada umumnya, alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang
paling utama dalam perkara pidana. Boleh dikatakan tidak ada perkara
pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir
semua pembuktian perkara pidana selalu bersandar kepada pemeriksaan
keterangan saksi41
.
Menurut Pasa1 butir 27 KUHAP memberi pengertian tentang
keterangan saksi yaitu:
“Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana
yang berupa keterangan dan saksi mengenai suatu peristiwa pidana
yang ia dengar sendiri, ialihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan
menyebut alasan dan pengetahuannya.”
Ditinjau dari segi nilai dan kekuatan pembuktian atau „ the degree of
evidence‟keterangan saksi, agar keterangan saksi mempunyai nilai serta
kekuatan pembuktian, perlu diperhatikan beberapa pokok ketentuan yang
harus dipenuhi oleh seorang saksi. Artinya agar seorang saksi dapat sah
40
Nikolas Simanjuntak ,Op.Chit. hal. 243. 41
Yahya Harahap, 2002, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP.
Jakarta: Sinar Grafika. hal.. 286.
41
sebagai alat bukti yang memiliki nilai kekuatan pembuktian, harus
memenuhi ketentuan sebagi berikut :
1. Harus mengucapkan sumpah atau janji
Hal ini diatur dalam pasal 160 ayat (3), sebelum saksi memberikan
keterangan : “wajib mengucapkan” sumpah atau janji. Adapun sumpah
atau janji :
1. Dilakukan menurut cara agamanya masing-masing,
2. Lafal sumpah atau janji berisi bahwa saksi akan memberikan
keterangan yang sebenar-benarnya dan tidak lain dari pada yang
sebenarnya. Mengenai saksi yang menolak mengucapkan sumpah atau
janji, sudah diterangkan, yakni terhadap saksi yang menolak untuk
mengucapkan sumpah atau janji tanpa alasan yang sah :
1. Dapat dikenakan sandera,
2. Penyanderaan dilakukan berdasar “penetapan” hakim ketua sidang,
3. Penyanderaan dalam hal ini paling lama empat belas hari (pasal 161
KUHAP).
4. Keterangan saksi yang bernilai sebagai bukti
Tidak semua keterangan saksi mempunyai nilai sebagai alat bukti.
Keterangan saksi yang mempunyai nilai ialah keterangan yang sesuai
dengan apa yang dijelaskan pasal 1 angka 27 KUHAP :
1.Yang saksi lihat sendiri
2.Saksi dengar sendiri,
3.Dan saksi alami sendiri,
Serta menyebut alasan dari pengetahuannya itu.
Dari penegasan pasal 1 angka 27 dihubungkan dengan penjelasan pasal
185 ayat (1), dapat ditarik kesimpulan :
42
1.Setiap keterangan saksi diluar apa yang didengarnya sendiri dalam
peristiwa pidana yang terjadi atau diluar yang dilihatnya atau dialami
dalam peristiwa pidana yang terjadi, keterangan yang diberikan diluar
pendengaran, penglihatan, atau pengalaman sendiri mengenai suatu
peristiwa pidana yang terjadi,” tidak dapat dijadikan dan dinilai
sebagai alat bukti”. Keterangan semacam itu tidak mempunyai
kekuatan pembuktian,
2.“ Testimonium de auditu” atau keterangan saksi yang ia peroleh
sebagai hasil pendengaranya dari orang lain, “ tidak mempunyai nilai
sebagai alat bukti”.
3.“Pendapat atau “rekaan” yang saksi peroleh dari hasil pemikiran,
bukan merupakan keterangan saksi. Penegasan ini sesuai dengan
ketentuan pasal 185 ayat (5). Oleh karena itu, setiap keterangan saksi
yang bersifat pendapat atau hasil pemikiran saksi, harus
dikesampingkan dari pembuktian dalam membuktikan kesalahan
terdakwa42
.
4.Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan.
Agar supaya keterangan saksi dapat dinilai sebagai alat bukti,
keterangan itu harus yang “dinyatakan” di sidang pengadilan. Hal ini
sesuai dengan penegasan pasal 185 ayat (1) KUHAP. Sehingga,
keterangan saksi yang berisi penjelasan tentang apa yang didengarnya
sendiri, dilihatnya sendiri atau dialaminya sendiri mengenai suatu
42
Ibid. hal..287
43
peristiwa pidana, baru dapat dinilai sebagai alat bukti apabila
keterangan itu saksi nyatakan di sidang pengadilan. Keterangan yang
dinyatakan diluar pengadilan bukan alat bukti, tidak dapat
dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa.
5.Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup
Supaya keterangan saksi dianggap cukup membuktikan kesalahan
seorang terdakwa harus dipenuhi paling sedikit atau sekurang-
kurangnya dengan dua alat bukti. kalau begitu, keterangan seorang
saksi saja, baru bernilai sebagai satu alat bukti yang harus ditmbah dan
dicukupi dengan alat bukti lain. Jadi, bertitik tolak dari ketentuan
Pasal 185 ayat (2) KUHAP, keterangan saksi saja belum dapat
dianggap sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan
terdakwa, atau unus testis nullus testis. Ini berarti jika alat bukti yang
dikemukakan penuntut umum hanya terdiri seorang saksi saja tanpa
ditambah dengan keterangan saksi yang lain atau alat bukti lain,
“ kesaksian tunggal” yang seperti ini tidak dapat dinilai sebagai alat
bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa sehubungan
dengan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Jadi apabila
kesaksian tunggal itu tidak dicukupi dengan alat bukti lain, kesaksian
ini harus dinyatakan tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian atau
“unus testis nullus testis”. Lain halnya apabila kesaksian tunggal lalu
terdakwa memberikan keterangan yang mengakuai kesalahan yang
44
didakwakan kepadanya, karena kesaksian tunggal telah dicukupi
dengan alat bukti keterangan/pengakuan terdakwa43
.
6.Keterangan saksi yang berdiri sendiri
Sering terdapat kekeliruan pendapat sementara orang yang
beranggapan, dengan adanya beberapa saksi dianggap ketrangan saksi
yang banyak itu telah cukup membuktikan kesalahan terdakwa.
Pendapat yang demikian keliru, karena sekalipun saksi yang
dihadirkan dan didengar keterangannya di sidang pengadilan secara
“ kuantitatif” telah melampaui batas minimum pembuktian, belum
tentu keterangan mereka secara “ kualitatif” telah memadai sebagai
alat bukti yang sah membuktikan kesalahan terdakwa. Tidak ada
gunanya menghadirkan saksi yang banyak, jika secara “kualitatif”
keterangan mereka “ berdiri sendiri” tanpa adanya hubungan satu
dengan yang lainnya, yang dapat mewujudkan suatu kebenaran akan
adanya kejadian atau keadaan tertentu. Berapapun banyaknya saksi
yang diperiksa dan didengar keterangannya disidang pengadilan,
hanya pemborosan waktu jika masing-masing keterangan mereka itu
berdiri sendiri tanpa hubungan yang satu dengan yang lain44
. Jadi ,
bukan hanya mengumpulkan saksi yang banyak, tapi hanya
menyajikan keterangan yang saling berdiri sendiri. Hal yang seperti
inilah yang diperingatkan oleh Pasal 185 ayat (4), yang menegaskan :
43
Ibid. hal.. 288 44
Ibid hal.. 289-290
45
1. Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri tentang suatu
kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah,
dengan syarat,
2. apabila keterangan saksi itu “ada hubungannya” satu dengan yang
lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu
kejadian atau keadaan tertentu.
Dengan ketentuan pasal tersebut, jelaslah bahwa keterangan beberapa
orang saksi baru dapat dinilai sebagai alat bukti serta mempunyai kekuatan
pembuktian, apabila keterangan saksi tersebut mempunyai saling hubungan
serta saling menguatkan tentang kebenaran suatu keadaan atau kejadian
tertentu.
b. Keterangan Ahli
Keterangan seorang ahli disebut sebagai alat bukti pada urutan kedua
oleh Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Dalam ketentuan Pasal 186 KUHAP,
merumuskan sebagai berikut:
“Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di depan persidangan
pengadilan”.
Pasal tersebut tidak menjawab apa itu yang disebut ahli dan
keterangan ahli. Pada penjelasan pasal tersebut juga tidak menjelaskan hal
ini.Pasal 343 Ned. Sv. Memberikan definisi tentang apa yang dimaksud
dengan keterangan ahli sebagai berikut:
“Pendapat seorang ahli yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan yang
telah dipelajarinya, tentang sesuatu apa yang dimintai pertimbangannya”.
46
Menurut Wirjono Prodjodikoro45
sebagaimana dikutip oleh Andi
Hamzah dalam bukunya, yang menyatakan sebagai berikut:
“Isi keterangan seorang saksi dan seorang ahli berbeda.Keterangan seorang
saksi mengenai apa yang dialami saksi itu sendiri sedangkan keterangan
seorang ahli adalah mengenai suatu penilaian mengenai hal-hal yang sudah
nyata ada dan mengambil kesimpulan dari hal-hal itu.”
KUHAP membedakan keterangan seorang ahli dipersidangan sebagai
alat bukti “keterangan ahli”, yaitu yang dinyatakan dalam Pasal 186
KUHAP dengan keterangan seorang ahliyang diberikan secara tertulis di
luar sidangpengadilan sebagai alat bukti “surat”, yaitu yang dinyatakan
dalam Pasal 187 butir c KUHAP46
.
c. Alat Bukti Surat
Selain Pasal 184 KUHAP yang menyebutkan alat-alat bukti, maka
dalam KUHAP yang mengatur mengenai alat bukti surat hanya satu pasal
yaitu Pasal 187 KUHAP yang terdiri dari 4 ayat sebagai berikut:
1. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat
umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat
keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau
dialami sendiri, dosertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang
keterangan itu;
2. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau
surat yang dibuat pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana
yang menjadi tanggungjawabnya dan yang diperuntukan bagi
pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;
3. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan
keahliannya mengenai sesuatu hal atau keadaan yang diminta secara
resmi daripadanya;
4. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari
alat pembuktian yang lain.
d. Alat Bukti Petunjuk
45
Andi Hamzah. Op. Cit. hal.. 274. 46
Ibid. hal.. 274.
47
Petunjuk disebut oleh Pasal 184 KUHAP sebagai alat bukti yang
keempat.Dalam Pasal 188 ayat (1) KUHAP merumuskan definisi petunjuk
sebagai berikut:
“Petunjuk adalah perbuatan, kejadian dan keadaan, yang karena
persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan
tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak
pidana dan siapa pelakunya”.
Menurut KUHAP yang dapat dijadikan sebagai alat bukti petunjuk
adalah keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa. Hal tersebut
sesuaidengan ketentuan pada Pasal 188 ayat (2) KUHAP. Jika dilihat Pasal
188 ayat (3) KUHAP yang merumuskan sebagai berikut:
“Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap
keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia
mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan
berdasarkan hati nuraninya”.
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, tercermin bahwa pada akhirnya
persoalannya diserahkan kepada hakim. Dengan demikian menjadi sama
dengan pengamatan hakim sebagai alat bukti. Disebut pengamatan oleh
hakim (eigen warrneming van de rechter) yaitu harus dilakukan selama
sidang, apa yang telah dialami atau diketahui oleh hakim sebelumnya tidak
dapat dijadikan dasar pembuktian, kecuali kalau perbuatan atau peristiwa itu
telah diketahui oleh umum.47
e. Alat Bukti Keterangan Terdakwa
Alat bukti keterangan terdakwamerupakan urutan terakhir dalam Pasal
184 ayat (1)penempatannya pada ururtan terakhir inilah salah satu alasan
yang dipergunakan untuk menempatkan proses pemeriksaan keterangan
47
Ibid. hal.. 278.
48
terdakwa dilakukan belakangan sesudah pemeriksaan keterangan
saksi.Dapat dilihat dengan jelas bahwa “ keterangan terdakwa” sebagai alat
bukti tidak perlu sama atau berbentuk pengakuan, karena pengakuan sebagai
alat bukti mempunyaisyarat-syarat yaitu :
1. Mengaku ia yang melakukan delik yang didakwakan.
2. Mengaku ia bersalah48
.
Semua keterangan terdakwa hendaknya didengar. Apakah itu berupa
penyangkalan, pengakuan, ataupun pengakuan sebagaian dari perbuatan
atau keadaan. Pengertian keterangan terdakwa terdapat pada ketentuan
Pasal 189 ayat (1) KUHAP, yang merumuskan sebagai berikut:
“Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa menyatakan di sidang
tentang perbuatanyang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau
alami sendiri”.
Ditinjau dari segi pengertian bahasa, jelas terasa terdapat perbedaan
makna antara pengakuan dan keterangan. Pada pengakuan, terasa benar
mengandung pernyataan tentang apa yang dilakukan seseorang. Sedangkan
pada kata keterangan lebih bersifat suatu penjelasan akan apa yang telah
dilakukan seseorang49
.
D. Tindak Pidana
1. Pengertian Tindak Pidana
Perkataan Straafbeaarfeit dalam bahasa Belanda terdapat dua unsur
pembentuk kata, yaitu straafbaar dan feit. Perkataan feit dalam bahasa
Belanda diartikan sebagian dari kenyataan, sedang straafbaar berarti dapat
48
Loc Cit. 49
Yahya Harahap, Op Cit. hal. 318
49
dihukum, sehingga dapat dihukum.50
Menurut pendapat Wiryono
Prodjodikoro51
:
Tindak Pidana merupakan suatu perbuatan yang pelakunya dapat
dikenakan hukum pidana.
Pengertian tindak pidana menurut Kansil52
:
Strafbaar feit dalam istilah hukum pidana, diartikan sebagai delik/
peristiwa pidana/ perbuatan pidana.
Menurut Simons53
:
Tindak pidana adalah perbuatan manusia yang bertentangan dengan
hukum. Perbuatan mana dilakukan oleh seseorang yang
dipertanggungjawabkan, dapat diisyaratkan kepada si pembuatnya (si
pelaku).
2. Pengertian Tindak Pidana Pembunuhan
Pembunuhan secara terminologi berarti perkara membunuh, atau
perbuatan membunuh. Sedangkan dalam istilah KUHP pembunuhan adalah
kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain. Tindak pidana pembunuhan
dianggap sebagai delik material bila delik tersebut selesai dilakukan oleh
pelakunya dengan timbulnya akibat yang dilarang atau yang tidak
dikehendaki oleh undang-undang. Dalam KUHP, ketentuan-ketentuan
pidana tentang kejahatan yang ditujukan terhadap nyawa orang lain diatur
dalam buku II bab XIX, yang terdiri dari 13 Pasal, yakni Pasal 338 sampai
50
Evi Hartanti, 2007, Tindak Pidana Korupsi (Edisi Kedua), Sinar Grafika, Jakarta,
hal. 5 51
Mardani, 2005, Penyalahgunaan Narkoba dalam Perspektif Hukum Islam dan
Hukum Pidana Nasional, Jakarta : PT Raja Grafindo, hal.. 59. 52
C.S. T. Kansil, 2007, S.Hdan Christine S.T. Kansil, S.H.,Latian Ujian Hukum
Pidana,Jakarta, , hal.. 106. 53
Loc Cit.
50
Pasal 350 KUHP . Bentuk kesalahan tindak pidana menghilangkan nyawa
orang lain ini dapat berupa sengaja (dolus) dan tidak sengaja (alpa).
Kesengajaan adalah suatu perbuatan yang dapat terjadi dengan direncanakan
terlebih dahulu atau tidak direncanakan. Tetapi yang penting dari suatu
peristiwa itu adalah adanya niat yang diwujudkan melalui perbuatan yang
dilakukan sampai selesai. Berdasarkan unsur kesalahan, tindak pidana
pembunuhan dapat dibedakan menjadi:
a. Pembunuhan Biasa (Pasal 338 KUHP)
Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 338 KUHP merupakan tindak
pidana dalam bentuk yang pokok, yaitu delik yang telah dirumuskan secara
lengkap dengan semua unsur-unsurnya. Adapun rumusan dalam Pasal 338
KUHP adalah sebagai berikut : “Barangsiapa sengaja merampas nyawa
orang lain, diancam, karena pembunuhan, dengan pidana penjara paling
lama lima belas tahun”. Yang dapat digolongkan dengan pembunuhan ini
misalnya : seorang suami yang datang mendadak dirumahnya, mengetahui
istrinya sedang berzina dengan orang lain, kemudian membunuh istrinya
dan orang yang melakukan zina dengan istrinya tersebut.
Pasal 340 KUHP menyatakan sebagai berikut :
“Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa
orang lain diancam, karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan
pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu,
paling lama dua puluh tahun”.
Dari ketentuan dalam Pasal tersebut, maka unsur-unsur dalam
pembunuhan biasa adalah sebagai berikut :
a. Unsur subyektif (perbuatan dengan sengaja)
51
b. Unsur obyektif (perbuatan menghilangkan, nyawa, dan orang lain)
“Dengan sengaja” artinya bahwa perbuatan itu harus disengaja dan
kesengajaan itu harus timbul seketika itu juga, karena sengaja (opzet/dolus)
yang dimaksud dalam Pasal 338 adalah perbuatan sengaja yang telah
terbentuk tanpa direncanakan terlebih dahulu, sedangkan yang dimaksud
sengaja dalam Pasal 340 adalah suatu perbuatan yang disengaja untuk
menghilangkan nyawa orang lain yang terbentuk dengan direncanakan
terlebih dahulu.
Unsur obyektif yang pertama dari tindak pembunuhan, yaitu :
“menghilangkan”, unsur ini juga diliputi oleh kesengajaan; artinya pelaku
harus menghendaki, dengan sengaja, dilakukannya tindakan menghilangkan
tersebut, dan ia pun harus mengetahui, bahwa tindakannya itu bertujuan
untuk menghilangkan nyawa orang lain. Berkenaan dengan “nyawa orang
lain” maksudnya adalah nyawa orang lain dari si pembunuhan. Terhadap
siapa pembunuhan itu dilakukan tidak menjadi masalah,
meskipun pembunuhan itu dilakukan terhadap bapak/ibu sendiri, termasuk
juga pembunuhan yang dimaksud dalam Pasal 338 KUHP.
Dari pernyataan ini, maka undang-undang pidana kita tidak mengenal
ketentuan yang menyatakan bahwa seorang pembunuh akan dikenai sanksi
yang lebih berat karena telah membunuh dengan sengaja orang yang
mempunyai kedudukan tertentu atau mempunyai hubungan khusus dengan
pelaku. Berkenaan dengan unsur nyawa orang lain juga, melenyapkan
nyawa sendiri tidak termasuk perbuatan yang dapat dihukum, karena orang
52
yang bunuh diri dianggap orang yang sakit ingatan dan ia tidak dapat
dipertanggung jawabkan.
b. Pembunuhan Dengan Pemberatan
Hal ini diatur Pasal 339 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
“Pembunuhan yang diikuti, disertai, atau didahului oleh kejahatan dan yang
dilakukan dengan maksud untuk memudahkan perbuatan itu, jika tertangkap
tangan, untuk melepaskan diri sendiri atau pesertanya daripada hukuman,
atau supaya barang yang didapatkannya dengan melawan hukum tetap ada
dalam tangannya, dihukum dengan hukuman penjara seumur hidup atau
penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun.” Perbedaan dengan
pembunuhan Pasal 338 KUHP ialah : “diikuti, disertai, atau didahului oleh
kejahatan”. Kata “diikuti” dimaksudkan diikuti kejahatan lain. Pembunuhan
itu dimaksudkan untuk mempersiapkan dilakukannya kejahatan lain.
Misalnya : A hendak membunuh B; tetapi karena B dikawal oleh P
maka A lebih dahulu menembak P, baru kemudian membunuh B.
Kata “disertai” dimaksudkan, disertai kejahatan lain; pembunuhan itu
dimaksudkan untuk mempermudah terlaksananya kejahatan lain itu.
Misalnya : C hendak membongkar sebuah bank. Karena bank tersebut
ada penjaganya, maka C lebih dahulu membunuh penjaganya. Kata
“didahului” dimaksudkan didahului kejahatan lainnya atau menjamin agar
pelaku kejahatan tetap dapat menguasai barang-barang yang diperoleh dari
kejahatan.
53
Misalnya : D melarikan barang yang dirampok. Untuk menyelamatkan
barang yang dirampok tersebut, maka D menembak polisi yang
mengejarnya.
Unsur-unsur dari tindak pidana dengan keadaan-keadaan yang
memberatkan dalam rumusan Pasal 339 KUHP itu adalah sebagai berikut:
a. Unsur subyektif :
1) Dengan sengaja
2) Dengan maksud
b. Unsur obyektif :
1) Menghilangkan nyawa orang lain
2) Diikuti, disertai, dan didahului dengan tindak pidana lain
3) Untuk menyiapkan/memudahkan pelaksanaan dari tindak pidana yang
akan, sedang atau telah dilakukan
4) Untuk menjamin tidak dapat dipidananya diri sendiri atau lainnya
(peserta) dalam tindak pidana yang bersangkutan
5) Untuk dapat menjamin tetap dapat dikuasainya benda yang telah
diperoleh secara melawan hukum, dalam ia/mereka kepergok pada waktu
melaksanakan tindak pidana.
Unsur subyektif yang kedua “dengan maksud” harus diartikan sebagai
maksud pribadi dari pelaku; yakni maksud untuk mencapai salah satu tujuan
itu (unsur obyektif), dan untuk dapat dipidanakannya pelaku, seperti
dirumuskan dalam Pasal 339 KUHP, maksud pribadi itu tidak perlu telah
terwujud/selesai, tetapi unsur ini harus didakwakan oleh Penuntut Umum
54
dan harus dibuktikan di depan sidang pengadilan. Sedang unsur obyektif
yang kedua, “tindak pidana” dalam rumusan Pasal 339 KUHP, maka
termasuk pula dalam pengertiannya yaitu semua jenis tindak pidana yang
(oleh UU) telah ditetapkan sebagai pelanggaran-pelanggaran dan bukan
semata-mata jenis-jenis tindak pidana yang diklasifikasikan dalam
kejahatan-kejahatan. Sedang yang dimaksud dengan “lain-lain peserta”
adalah mereka yang disebutkan dalam Pasal 55 dan 56 KUHP, yakni
mereka yang melakukan (pleger), yang menyuruh melakukan (doenpleger),
yang menggerakkan/membujuk mereka untuk melakukan tindak pidana
yang bersangkutan (uitlokker), dan mereka yang membantu/turut serta
melaksanakan tindak pidana tersebut (medepleger).
Jika unsur-unsur subyektif atau obyektif yang menyebabkan
pembunuhan itu terbukti di Pengadilan, maka hal itu memberatkan tindak
pidana itu, sehingga ancaman hukumannya pun lebih berat dari
pembunuhan biasa, yaitu dengan hukuman seumur hidup atau selama-
lamanya dua puluh tahun. Dan jika unsur-unsur tersebut tidak dapat
dibuktikan, maka dapat memperingan atau bahkan menghilangkan
hukuman.
c. Pembunuhan Berencana
Hal ini diatur oleh Pasal 340 KUHP yang bunyinya sebagai berikut:
“Barangsiapa dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih dahulu
menghilangkan nyawa orang , karena bersalah melakukan pembunuhan
dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur
55
hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.
Mengenai arti kesengajaan, tidak ada keterangan sama sekali dalam KUHP.
Lain halnya dengan KUHP swiss dimana dalam pasal 18 dengan tegas
ditentukan: Barangsiapa melakukan perbuatan dengan mengetahui dan
menghendakinya, maka dia melakukan perbuatan itu dengan sengaja. Dalam
Memorie van toelicting (MvT) mendefinisikan bahwa pidana pada
umumnya hendaklah dijatuhkan hanya pada barangsiapa melakukan
perbuatan yang dilarang, dengan dikehendaki dan diketahui. Menurut teori
kehendak kesengajaan adalah kehendak yang diarahkan pada terwujudnya
perbuatan seperti yang dirumuskan dalam wet. (de op verwerkelijking der
wettelijke omschrijving gerichte wil).
Sejalan dengan pengertian lain, kesengajaan adalah kehendak untuk
berbuat dengan mengetahui unsur – unsur yang diperlukan menurut
rumusan wet (de wil tot handelen bj voorstelling van de tot de wettelijke
omschrijving behoorende bestandelen). Dari rumusan tersebut, maka unsur-
unsur pembunuhan berencana adalah sebagai berikut :
a. Unsur subyektif, yaitu dilakukan dengan sengaja dan direncanakan
terlebih dahulu
b. Unsur obyektif, yaitu menghilangkan nyawa orang lain.
Jika unsur-unsur di atas telah terpenuhi, dan seorang pelaku sadar dan
sengaja akan timbulnya suatu akibat tetapi ia tidak membatalkan niatnya,
maka ia dapat dikenai Pasal 340 KUHP.
d. Pembunuhan Bayi Oleh Ibunya (Kinder-Doodslag)
56
Hal ini diatur oleh Pasal 341 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
“Seorang ibu yang karena takut akan diketahui ia sudah melahirkan anak,
pada ketika anak itu dilahirkan atau tiada beberapa lama sesudah
dilahirkan, dengan sengaja menghilangkan nyawa anak itu dipidana
karena bersalah melakukan pembunuhan anak, dengan pidana penjara
selama – lamanya tujuh tahun.
”Unsur pokok yang ada dalam Pasal 341 tersebut adalah bahwa
seorang ibu dengan sengaja membunuh anak kandungnya sendiri pada saat
anak itu dilahirkan atau beberapa saat setelah anak itu
dilahirkan. Sedangkan unsur yang terpenting dalam rumusan Pasal tersebut
adalah bahwa perbuatannya si ibu harus didasarkan atas suatu alasan
(motief), yaitu didorong oleh perasaan takut akan diketahui atas kelahiran
anaknya. Jadi Pasal ini hanya berlaku jika anak yang dibunuh oleh si ibu
adalah anak kandungnya sendiri bukan anak orang lain, dan juga
pembunuhan tersebut haruslah pada saat anak itu dilahirkan atau belum
lama setelah dilahirkan. Apabila anak yang dibunuh itu telah lama
dilahirkan, maka pembunuhan tersebut tidak termasuk
dalam kinderdoodslag melainkan pembunuhan biasa menurut Pasal 338
KUHP.
e. Pembunuhan Bayi Oleh Ibunya Secara Berencana (Kinder-Moord)
Hal ini diatur oleh Pasal 342 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
Seorang ibu yang untuk menjalankan keputusan yang diambinya karena
takut diketahui orang bahwa ia tidak lama lagi akan melahirkan anak, pada
saat dilahirkan atau tidak lama kemudian daripada itu menghilangkan jiwa
anaknya itu dihukum karena bersalah melakukan pembunuhan anak
berencana dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun. Pasal
57
342 KUHP dengan Pasal 341 KUHP bedanya adalah bahwa Pasal 342
KUHP, telah direncanakan lebih dahulu, artinya sebelum melahirkan bayi
tersebut, telah dipikirkan dan telah ditentukan cara-cara melakukan
pembunuhan itu dan mempersiapkan alat –alatnya. Tetapi pembunuhan bayi
yang baru dilahirkan, tidak memerlukan peralatan khusus sehingga sangat
rumit untuk membedakannya dengan Pasal 341 KUHP khususnya dalam
pembuktian karena keputusan yang ditentukan hanya si ibu tersebut yang
mengetahuinya dan baru dapat dibuktikan jika si ibu tersebut telah
mempersiapkan alat-alatnya.
f. Pembunuhan Atas Permintaan Sendiri
Hal ini diatur oleh Pasal 344 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
Barangsiapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang lain itu
sendiri, yang disebutkan dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum
penjara selama-lamanya dua belas tahun. Pasal 344 KUHP ini
membicarakan mengenai pembunuhan atas permintaan dari yang
bersangkutan. Unsur khususnya, yaitu permintaan yang tegas dan
sungguh/nyata, artinya jika orang yang minta dibunuh itu permintaanya
tidak secara tegas dan nyata, tapi hanya atas persetujuan saja, maka dalam
hal ini tidak ada pelanggaran atas Pasal 344 KUHP, karena belum
memenuhi perumusan dari Pasal 344 KUHP , akan tetapi memenuhi
perumusan Pasal 338 KUHP (pembunuhan biasa). Contoh dari pelaksanaan
Pasal 344 KUHP adalah jika dalam sebuah pendakian (ekspedisi), dimana
kalau salah seorang anggotanya menderita sakit parah sehingga ia tidak ada
58
harapan untuk meneruskan pendakian mencapai puncak gunung, sedangkan
ia tidak suka membebani kawan-kawannya dalam mencapai
tujuan maka dalam hal ini mungkin ia minta dibunuh saja.
g. Penganjuran Agar Bunuh Diri
Hal ini diatur oleh Pasal 345 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
Barangsiapa dengan sengaja membujuk orang supaya membunuh diri, atau
menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberi ikhtiar kepadanya untuk
itu, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun, kalau
jadi orangnya bunuh diri yang dilarang dalam Pasal tersebut, adalah dengan
sengaja menganjurkan atau memberi daya upaya kepada orang lain, untuk
bunuh diri dan kalau bunuh diri itu benar terjadi. Jadi seseorang dapat
terlibat dalam persoalan itu dan kemudian dihukum karena kesalahannya,
apabila orang lain menggerakkan atau membantu atau memberi daya upaya
untuk bunuh diri dan baru dapat dipidana kalau nyatanya orang yang
digerakkan dan lain sebagainya itu membunuh diri dan mati
karenanya. Unsur “jika pembunuhan diri terjadi” merupakan “bijkomende
voor-waarde van strafbaarheid”, yaitu syarat tambahan yang harus
dipenuhi agar perbuatan yang terlarang/dilarang tadi dapat dipidana.
E. Anak
1. Pengertian Anak
Anak merupakan anugrah terindah yang di berikan oleh maha kuasa.
mengenai pengertian anak itu sendiri menurut wikipedia adalah seorang
laki-laki atau perempuan yang belum dewasa atau belum mengalami
59
pubertas54
. Berdasarkan ketentuan umum dalam Pasal 1 angka (1) Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang dimaksud
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan. Pengertian anak juga tertuang
dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
yang mengatur bahwa: Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur
21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin. Usia 21 (dua puluh satu)
tahun tersebut adalah usia di mana anak telah dianggap memiliki
kematangan sosial, kematangan pribadi, dan kematangan mental, sehingga
seseorang yang telah berusia melebihi 21 (dua puluh satu) tahun dianggap
telah dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya.
F. Tinjauan Umum Alat Bukti Keterangan Saksi Yang Tidak Disumpah
1. Pengertian Keterangan Saksi
Saksi adalah seseorang yang mempunyai informasi tangan pertama
mengenai suatu kejahatan atau kejadian dramatis melalui indera mereka
(mis. penglihatan, pendengaran, penciuman, sentuhan) dan dapat menolong
memastikan pertimbangan-pertimbangan penting dalam suatu kejahatan atau
kejadian. Seorang saksi yang melihat suatu kejadian secara langsung dikenal
juga sebagai saksi mata. Saksi sering dipanggil ke pengadilan untuk
memberikan kesaksiannya dalam suatu proses peradilan55
.
54
http://pelangi biru.net2011/02/anak. Pengertian- anak..html. Diakses pada tanggal
12maret 2012, pukul 23.10 WIB.
55
http://id.wikipedia.org/wiki/Saksi, diakses pada tanggal 26 Juli 2013 pada pukul
15. 28 WIB
60
Menurut Hibnu Nugroho56
menerangkan bahwa:
“Saksi adalah orang yang memberikan keterangan guna kepentingan
penyidikan,penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang
ia dengar sendiri,ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.”
2. Keterangan saksi yang tidak disumpah
Sebelum memberikan keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah
atau janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan
memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain dari pada yang
sebenarnya Pasal 160 ayat (3) KUHAP, Memang prinsip dan lazimnya,
sumpah atau janji diucapkan saksi sebelum memberikan keterangan. Prinsip
dan kelaziman inilah yang paling tepat. Apalagi jika ditinjau dari segi
kejiwaan, saksi yang lebih dulu disumpah sebelum memberikan keterangan
akan lebih menyadari diri dan hati sanubarinya untuk lebih bersikap jujur
dalam setiap keterangan yang diberikanya.
Jika pengadilan menganggap perlu, seorang saksi atau ahli wajib
bersumpah atau berjanji sesudah saksi atau ahli itu selesai memberikan
keterangan Pasal 160 ayat (4) KUHAP. Alasan sumpah memberikan
keterangan dihadapan majelis hakim yang memeriksa perkara tersebut
adalah jika pengadilan menganggap perlu, tetapi didalam KUHAP tidak
dijelaskan apa yang dimaksud dengan pengadilan menganggap perlu.
Kesaksian ini sama sekali tidak merasa dibebani oleh sesuatu yang suci dan
gaib, sekalipun nanti memang dia tetap disumpah setelah selesai
memberikan keterangan, namun suasana kejiwaanya saat meberikan
56
Hibnu Nugroho, Bunga Rampai Penegakan Hukum di Indonesia, Semarang
:BadanPenerbit Undip, 2010, hal. 34.
61
keterangan, seolah-olah tidak terikat oleh suatu beban moral yang
bersumber pada sumpah atau janji. Atas dasar inilah lebih baik pengucapan
sumpah dilakukan sebelum memberikan keterangan. Namun demikian,
terlepas dari hal itu, yang penting harus diingat bahwa saksi atau ahli wajib
mengucap sumpah atau janji57
.
3. Kekuatan Pembuktian Keterangan saksi yang tidak disumpah
Kewajiban hukum bagi setiap orang untuk menjadi saksi dalam
perkara pidana yang dibarengi pula dengan kewajiban mengucapkan
sumpah menurut agama yang dianutnya bahwa ia akan memberikan
keterangan yang sebenarnya tentang apa yang diketahui, dilihat, didengar,
dan dialaminya sehubungan dengan perkara yang bersangkutan. Pengucapan
sumpah atau janji merupakan kewajiban, tidak ada jalan lain bagi seorang
saksi untuk menolak mengucapkannya, kecuali penolakan itu mempunyai
alasan yang sah. Pihak yang boleh diperiksa memberi keterangan tanpa
sumpah, hanya mereka yang disebut pada Pasal 171 KUHAP, yaitu anak
yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin serta
orang sakit ingatan atau sakit jiwa.
“Keterangan saksi atau ahli yang tidak disumpah atau mngucapkan
janji, tidak dapat dianggap sebagai alat yang bukti yang sah, tetapi hanyalah
merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim.”
Ini berarti tidak merupakan kesaksian menurut undang-undang,
bahkan juga tidak merupakan petunjuk, karena hanya dapat memperkuat
57
M. Taufik Makaro dan Suharsil, Op. Cit., hal. 109-110
62
keyakinan hakim. Sedangkan kesaksian atau alat bukti yang lain merupakan
dasar atau sumber keyakinan hakim. Ketentuan tersebut dapat dibandingkan
dengan ketentuan dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi pasal 17 dan 18 mengatakan apabila terdakwa tidak dapat
membuktikan asal-usul harta bendanya, maka itu akan memperkuat
keterangna saksi lain bahwa ia telah korupsi.
BAB III
METODE PENELITIAN
1. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah yuridis
normatif yaitu pendekatan yang menggunakan konsep legistis positivis,
maka pendekatan yang digunakan ialah pendekatan perundang-undangan
(statue approach). Pendekatan tersebut melakukan pengkajian peraturan
perundang-undangan yang berhubungan dengan tema sentral penelitian.
63
Selain itu juga digunakan pendekatan lain yang diperlukan guna
memperjelas analisis ilmiah yang diperlukan dalam penelitian normatif.58
2. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi dalam penelitian yang digunakan adalah perskriptif, yaitu
dimana ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai
keadilan,validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma
hukum59
. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran atau
merumuskan masalah sesuai dengan keadaan atau fakta hukum yang ada
dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam hal ini ilmu hukum bukan hanya
menempatkan hukum sebagai suatu gejala sosial yang hanya dipandang dari
luar, melainkan masuk ke sisi instrinsik dari hukum.
3. Sumber Data
Berupa data yang meliputi :
1. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritif
artinya memiliki suatu otoritas, mutlak dan mengikat. Bahan hukum primer
yang digunakan dalam peneitian ini terdiri dari peraturan perundang-
undangan yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum
Acara Pidana (KUHAP), serta peraturan perundang-undangan lainnya yang
mendukung dalam penelitian ini.
2. Bahan Hukum Sekunder
58
Jhonny Ibrahim,.Teori dan Metodologi dan Penelitian Hukum Normatif.
Banyumedia Publishing. Cetakaan Kedua 2006, hal 95. 59
Peter, Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta : Kencana ,2005, hal. 22.
64
Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan
penjelasan terhadap bahan hukum primer yang terdiri dari pustaka di bidang
ilmu hukum seperti buku-buku literatur yang berkaitan dengan hukum acara
pidana.
4. Metode Pengumpulan Data
Data sekunder, diperoleh melalui studi pustaka dengan cara
mempelajari buku-buku, literatur-literatur maupun dokumen-dokumen yang
terkait dengan materi penelitian serta dalam Putusan nomor :145/
Pid.B/2011/PN.PBG.
5. Metode Penyajian Data
Data yang berupa bahan-bahan hukum yang telah diperoleh kemudian
disajikan dalam bentuk teks naratif, uraian-uraian yang disusun secara
sistematis, logis, dan rasional. Dalam arti keseluruhan data yang diperoleh
akan dihubungkan satu dengan yang lainnya disesuaikan dengan pokok
permasalahan yang diteliti sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh.
6. Metode Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah secara
kualitatif, yaitu pembahasan yang disusun secara logis dan sistematis
berdasarkan data-data yang diperoleh di lapangan, kemudian dihubungkan
dengan teori-teori hukum yang ada.
65
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian yang didasarkan pada data sekunder
terhadap Putusan Pengadilan Negeri Purbalingga Putusan Nomor Perkara :
145/Pid.B/2011/pn purbalingga diperoleh data sebagai berikut :
1) Duduk Perkara
Ia terdakwa KC Als ATN Binti NRM pada hari Sabtu tanggal 16 April
2011 sekira pukul 21.00 WIB atau setidak-tidaknya di suatu waktu dalam
bulan April 2011, bertempat di kamar mandi dalam rumah terdakwa di
66
Dukuh Gewok Desa Bumisari, Kecamatan Bojongsari, Kabupaten
Purbalingga setidaktidaknya disekitar tempat itu yang masih termasuk dalan
daerah Hukum Pengadilan Negeri Purbalingga, seorang ibu yang karena
takut akan ketahuan melahirkan anak, pada saat anak dilahirkan atau tidak
lama kemudian, dengan sengaja merampas nyawa anaknya, dengan caracara
sebagai berikut ,
Sekitar bulan Juni 2010 terdakwa KC Als ATN Binti NRM yang
berstatus gadis telah melakukan hubungan suami isteri dengan SD Bin BRJ
Als BRG di hotel Putra Asih 2 Baturaden Kabupaten Banyumas sehingga
terdakwa hamil, bahwa dengan keadaan terdakwa yang hamil diluar
pernikahan tersebut menyebabkan terdakwa merahasiakan kehamilannya
dari orang tua dan masyarakat sekitarnya sampai usia kehamilannya dari
orang tua dan masyarakat sekitarnya sampai usia kehamilannya menginjak 9
(sembilan) bulan, bahwa pada hari Sabtu tanggal 16 April 2011 sekitar
pukul 21.00 WIB, pada saat terdakwa berada dirumahnya yang terletak di
Dukuh Gewok Desa Bumisari, Kecamatan Bojongsari, Kabupaten
Purbalingga, terdakwa dengan kondisi kehamilannya memasuki 9
(Sembilan) bulan dan sudah waktunya melahirkan merasakan sakit perut
sehingga terdakwa minta tolong ayahnya untuk membelikan obat sakit diare
merk dulcolax, setelah meminum 2 tablet obat diare tersebut ternyata
terdakwa masih merasakan sakit perut dan karena sudah tidak tahan
merasakan sakit perut lalu terdakwa masuk kamar mandi lalu menurunkan
celana dalam kemudian jongkok dilantai kamar mandi dan merasakan perut
67
mules seperti akan buang air besar yang semakin lama semakin sakit lalu
terdakwa berusaha mengejang/ngeden, tetapi yang keluar bukan tinja dari
dubur tetapi seperti daging yang akan keluar dari kemaluan terdakwa
sehingga terdakwa semakin panic, dan terdakwa yang sudah mengetahui
kalau hendak melahirkan dengan sengaja tidak berusaha meminta tolong
kepada orang tuanya, keluarga atau orang lain untuk dibawa kedokter untuk
dilakukan pertolongan sampai akhirnya terdakwa melahirkan seorang bayi
perempuan dilantai kamar mandi dan oleh karena takut ketahuan telah
melahirkan lalu terdakwa mengangkat bayi perempuan tersebut lalu
digendong dan tanpa memberikan perawatan terhadap bayi yang baru
dilahirkan sebagaimana perawatan terhadap bayi sebagaimana mestinya
tetapi terdakwa justru membawa bayi tanpa dibungkus/dibalut dengan kain
tersebut kesungai/parit yang berada dibelakang rumah terdakwa, dan dalam
perjalanan dari rumah kesungai/parit bayi perempuan yang pada saat
dilahirkan dalam keadaan hidup tersebut tiba-tiba terdiam dan setelah
sampai di sungai/parit lalu terdakwa meletakan bayi perempuan yang telah
dilahirkannya tersebut diatas air sungai/parit dalam posisi terlentang,
selanjutnya terdakwa bergegas pulang kerumahnya dan beberapa hari
kemudian pada hari Jum‟at tanggal 22 April 2011 sekitar jam 13.00 WIB
bayi perempuan tersebut diketemukan oleh saksi Anggi Setiawan Als Anggi
Bin Sukarto disungai/parit tidak jauh dari rumah terdakwa dalam keadaan
sudah membusuk, sebagaimana Visum Et Repertum Nomor
68
:183/VER/RSUD/13/V/2011 tanggal 09 Mei 2011 yang ditandatangani oleh
dr. Setyo Dirahayu,
a) Dokter RSUD dr. R. Goeteng Taroenadibrata Purbalingga dengan hasil
pemeriksaan : Mayat bayi perempuan ;
b) Mayat sudah mengalami proses pembusukan sebagian organ dalam
(paru-paru dan hati) sudah rusak ;
Kesimpulan : sebab kematian diduga karena asfeksia.
2) Dakwaan Penuntut Umum
Terdakwa didakwa oleh Penuntut Umum dengan dakwaan yang
disusun secara Alternatif, yaitu :
KESATU :Pasal 341 KUHP atau
KEDUA :Pasal 359 KUHP atau
KETIGA : Pasal 181 KUHP
3) Pembuktian dengan memeriksa alat bukti berupa :
Hakim dalam perkara ini memeriksa beberapa alat bukti dan barang
bukti dalam persidangan, yaitu :
a) Keterangan Saksi-saksi
1. Saksi BRS als RW bin YA WA
Di persidangan memberikan keterangan di bawah sumpah yang pada
pokoknya sebagai berikut :
Saksi kenal dengan Terdakwa dan tidak ada hubungan keluarga, pada
hari Jum‟at tanggal 22 April 2011 sekitar jam 13.40 WIB Saksi telah
mendapat laporan dari Ki bahwa saksi AS dan Gn telah menemukan mayat
69
seorang bayi perempuan, setelah mendengar laporan tersebut, Saksi
langsung datang ketempat ditemukan mayat bayi perempuan yaitu diselokan
Desa Bumisari Dukuh Kewok Rt.12 Rw.06 Kecamatan Bojongsari
Kabupaten Purbalingga, setelah sampai dilokasi ternyata sudah banyak
orang dan benar memang ada mayat bayi perempuan yang sudah membusuk
dan pusarnya sudah bolong tidak ada ususnya, posisi mayat bayi perempuan
tersebut menyangkut disampah dan dalam keadaan tengkurap selanjutnya
Saksi memberitahukan kejadian tersebut ke Polisi, sepengetahuan Saksi,
Terdakwa belum pernah menikah.
2. Saksi GN als NN bin WM
Di persidangan memberikan keterangan tidak disumpah yang pada
pokoknya sebagai berikut :
Saksi kenal dengan Terdakwa tetapi tidak ada hubungan keluarga
pada hari Jum‟at tanggal 22 April 2011 sekitar jam 13.40 WIB Saksi
bersama dengan saksi Anggi Setiawan telah menemukan mayat perempuan
di sungai kecil di Desa Bumisari Kecamatan Bojongsari Kabupaten
Purbalingga, saat itu Saksi bersama dengan saksi Anggi Setiawan sedang
mencari ikan di sungai kecil tersebut dengan berjalan menyusuri sungai dan
mencium bau busuk yang sangat menyengat dan setelah didekati terlihat
seperti katak yang mati, Saksi kemudian penasaran dan bersama dengan
saksi Anggi Setiawan kemudian dengan menggunakan bambu membalik
bangkai tersebut setelah dibalik ternyata merupakan bayi perempuan yang
mukanya sudah berlubang dan pada bagian perutnya berlubang kemudian
70
Saksi pulang dan dijalan bertemu dengan Topo dan memberitahukan
penemuan tersebut.
3. Saksi AS als AI bin SO
Di persidangan memberikan keterangan di bawah sumpah yang pada
pokoknya sebagai berikut :
Saksi kenal dengan Terdakwa tetapi tidak ada hubungan keluarga
pada hari Jum‟at tanggal 22 April 2011 sekitar jam 13.40 WIB Saksi
bersama dengan saksi GN telah menemukan mayat perempuan di sungai
kecil di Desa Bumisari Kecamatan Bojongsari Kabupaten Purbalingga, saat
itu Saksi bersama dengan saksi GN sedang mencari ikan di sungai kecil
tersebut dengan berjalan menyusuri sungai dan mencium bau busuk yang
sangat menyengat dan setelah didekati terlihat seperti katak yang mati, Saksi
kemudian penasaran dan bersama dengan saksi GN kemudian dengan
menggunakan bambu membalik bangkai tersebut setelah dibalik ternyata
merupakan bayi perempuan yang mukanya sudah berlubang dan pada
bagian perutnya berlubang, kemudian Saksi pulang dan dijalan bertemu
dengan TO dan memberitahukan penemuan tersebut,
4. Saksi DTI als YTI binti SKD
Di persidangan memberikan keterangan di bawah sumpah yang pada
pokoknya sebagai berikut :
Saksi kenal dengan Terdakwa tetapi tidak ada hubungan keluarga,
Saksi pernah mendengar ributribut orang di Desa mengenai kehamilan
Terdakwa kemudian Saksi menanyakan hal tersebut kepada ibunya
71
Terdakwa yaitu SI tentang kebenaran kabar tersebut dan dijawab oleh ibu
Terdakwa bahwa anaknya tidak hamil karena sedang datang bulan pada hari
Kamis tanggal 14 April 2011 sekitar jam 19.00 WIB ketika Saksi berada
dirumah Terdakwa dan melihat Terdakwa dengan perut yang besar seperti
orang hamil, Saksi mengetahui tentang penemuan mayat bayi di sungai kecil
di Dukuh Gewok Desa Bumisari Kecamatan Bojongsari Kabupaten
Purbalingga dan mendatangi tempat kejadian bersama dengan warga lainnya
serta sempat melihat mayat bayi perempuan yang sudah membusuk tetapi
bentuk mukanya mirip Terdakwa tetapi Saksi tidak berani menanyakan hal
tersebut kepada Terdakwa maupun keluarganya.
5. Saksi SM als Ny. SKO binti MWI
Di persidangan memberikan keterangan di bawah sumpah yang pada
pokoknya sebagai berikut :
Saksi kenal dengan Terdakwa tetapi tidak ada hubungan keluarga,
pada hari dan tanggal lupa tetapi bulan April tahun 2011 telah ditemukan
mayat bayi perempuan di sungai kecil di Dukuh Gewok Desa Bumisari
Kecamatan Bojongsari Kabupaten Purbalingga, Saksi tidak mengetahui
siapa orang tua mayat bayi tersebut tetapi ketika Terdakwa dibawa Polisi,
orang tua Terdakwa mengatakan ibu dari mayat bayi tersebut adalah
Terdakwa, Saksi pernah melihat Terdakwa dengan perut yang membesar
dan timbul kecurigaan bahwa Terdakwa sedang hamil ;
6. Saksi SRD bin BWI als BR
72
Di persidangan memberikan keterangan di bawah sumpah yang pada
pokoknya sebagai berikut :
Saksi kenal dengan Terdakwa yang tidak lain juga pacar Saksi, Saksi
mengenal dengan Terdakwa pada bulan Januari 2010, Saksi pernah tiga kali
bertemu dengan Terdakwa masingmasing di Balai Desa Bumisari, di
Bojongsari dan di alunalun Purbalingga, kemudian Saksi dengan Terdakwa
pergi ke Baturaden dan melakukan hubungan layaknya suami isteri, setiap
diadakan pertemuan selalu janjian dengan SMS Saksi tidak mengetahui
Terdakwa sedang hamil akibat dari perbuatan Saksi dari hubungan layaknya
suami isteri sekitar bulan April 2010, setelah berhubungan tersebut, Saksi
tidak pernah bertemu dengan Terdakwa lagi atau putus Komunikasi,
menurut Saksi, Terdakwa pernah berhubungan dengan orang lain.
b) Petunjuk
Pengertian petunjuk seperti yang dirumuskan dalam Pasal 188 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
adalah :
“Petunjuk adalah perbuatan, kejadian yang karena persesuaian, baik
antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu
sendiri menandakan telah terjadi sesuatu tindak pidana dan siapa
pelakunya.”
Berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh dalam persidangan berupa
keterangan saksi-saksi, alat bukti surat visum et repertum dan keterangan
terdakwa, telah terdapat persesuaian antara yang satu dengan yang lain
bahwa telah terjadi tindak pidana pembunuhan anak pada hari Sabtu tanggal
16 April 2011 sekira pukul 21.00 WIB atau setidak-tidaknya di suatu waktu
73
dalam bulan April 2011, bertempat di kamar mandi dalam rumah terdakwa
di Dukuh Gewok Desa Bumisari, Kecamatan Bojongsari, Kabupaten
Purbalingga.
c) Alat Bukti Surat
Visum Et Repertum tertanggal 09 Mei 2011
No.183/VER/RSUD/13/V/2011 yang dibuat dan ditandatangani oleh dr.
Setyo Dirahayu dokter pada RSUD dr.R.GOETENG TAROENADIBRATA
Purbalingga dengan hasil pemeriksaan adalah :
1. Mayat bayi perempuan ;
2. Mayat sudah mengalami proses pembusukan sebagian organ dalam (paru-
paru dan hati) sudah rusak ; Kesimpulan sebab kematian diduga karena
asfeksia ; dan Visum Et Repertum Nomor :
B6/152/VER/RSUHIP/IV/2011 tanggal 27 April 2011 terhadap
Terdakwa dengan hasil pemeriksaan :
a. Payudara kanan dan kiri agak keras dan keluar air susu ;
b.Uterus (rahim membesar, tinggi fundus uterus 2 jari diatas tulang
kemaluan (diatas symphisis ospubis) ;
3. Ada bekas robekan dijalan lahir (diperineum) ;
4. Dari Vagina keluar darah sedikit campur lender kekuningan (lokhea)
berbau busuk ;
Kesimpulan dari hasil pemeriksaan diatas disimpulkan bahwa orang
terebut dalam kondisi habis melahirkan (post partum).
d) Keterangan Terdakwa
74
Keterangan terdakwa dalam perkara ini yaitu menyatakan bahwa
terdakwa mengakui segala perbuatannya sebagaimana yang didakwakan
oleh Jaksa Penuntut Umum dan terdakwa juga membenarkan keterangan
saksi-saksi yang dihadirkan di persidangan.
4) Tuntutan Jaksa Penuntut Umum
Jaksa Penuntut Umum telah mengajukan Tuntutan Pidana (Requisitor)
yang pada pokoknya mohon agar Majelis Hakim Pengadilan Negeri
Purbalingga yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan :
1. Menyatakan terdakwa KAMILATUN CHASANAH Als ATUN Binti
NURROCHIM bersalah melakukan tindak pidana “MEMBUNUH
ANAK SENDIRI”, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal
341 KUHP sebagaimana diuraikan dalam dakwaan Kesatu ;
2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa KAMILATUN CHASANAH
Als ATUN Binti NURROCHIM dengan pidana penjara selama 2 (dua)
Tahun dikurangi selama terdakwa ditahan dengan perintah agar terdakwa
tetap ditahan;
3. Menyatakan barang bukti berupa :
a. 1 (satu) potong kaos lengan pendek warna merah muda ;
b. 1 (satu) potong celana panjang warna abuabu ;
Dikembalikan kepada terdakwa Kamilatun Chasanah Als Atun Binti
Nurrochim ;
c. 1 (satu) potong BH warna hitam ;
75
Dijadikan barang bukti dalam perkara atas nama terdakwa Sardi Bin
Buwarji al Bureng ;
4 Menetapkan agar terdakwa dibebani untuk membayar biaya perkara
sebesar Rp.1.000, (seribu rupiah) ;
5) Putusan Pengadilan Negeri
a) Pertimbangan Hukum Hakim
Sesuai dengan konstruksi dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang
disusun secara Alternatif, Terdakwa didakwa melakukan tindak pidana yaitu
: PERTAMA : melanggar Pasal 341 KUHP Atau KEDUA : melanggar Pasal
359 KUHP Atau KETIGA : melanggar Pasal 181 KUHP ;
Berdasarkan atas surat tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum, Jaksa
Penuntut umum mempergunakan dakwaan Alternatif KESATU sebagai
dasar tuntutan terhadap Terdakwa yaitu melanggar Pasal 341 KUHP yang
unsur-unsurnya sebagai berikut :
Unsur Obyektif :
1 Unsur “seorang ibu” ;
2 Unsur “menghilangkan nyawa anaknya pada waktu atau segera setelah
kelahirannya” ;
Unsur Subyektif :
1 Unsur “takut diketahui telah melahirkan anak” ;
2 Unsur “dengan sengaja” ;
Ad.1.Tentang Unsur Obyektif ke1 “seorang ibu” ;
76
Yang dimaksud dengan unsur seorang ibu adalah wanita yang belum
menikah atau seorang wanita yang tidak menikah dalam hal wanita tersebut
melahirkan seorang anak ;
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum dipersidangan :
1. Terdakwa kenal dengan saksi Sardi di Balai Desa Bumisari kemudian
pacaran ;
2. Kurang lebih 3 (tiga) bulan pacaran kemudian saksi diajak Ke Baturaden
dan di Hotel Baturaden itu kemudian Terdakwa bersama saksi Sardi
melakukan hubungan layaknya suami isteri sebanyak 2 (dua) kali dalam
satu hari itu ;
3. Hubungan intim layaknya suami isteri tersebut dilakukan pada bulan Juni
2010 dan akibat dari hubungan layaknya suami isteri tersebut Terdakwa
hamil diluar nikah ;
4. Pada hari Sabtu tanggal 16 April 2011 sekitar jam 21.00 WIB saat
Terdakwa berada dirumahnya yang terletak di Dukuh Gewok Desa
Bumisari Rt.12 Rw.06 Kecamatan Bojongsari Kabupaten Purbalingga,
Terdakwa dengan kondisi kehamilannya memasuki 9 (sembila) bulan dan
sudah waktunya untuk melahirkan merasakan sakit perut sehingga
Terdakwa meminta tolong kepada ayahnya untuk membelikan obat sakit
diare merk dulcolax, setelah meminum 2 tablet obat sakit diare Terdakwa
masih merasakan sakit perut lalu Terdakwa kekamar mandi ;
5. Setelah Terdakwa berada dikamar mandi dan merasakan perut mules
seperti akan buang air besar yang semakin lama semakin sakit lalu
77
Terdakwa berusaha mengejan/ngeden tetapi yang keluar bukannya tinja
dari dubur tetapi seperti daging yang akan keluar dari kemaluan
Terdakwa sehingga Terdakwa panik lalu Terdakwa melahirkan seorang
bayi perempuan dilantai kamar mandi dengan kondisi bayi bernafas
tersengal-sengal ;
6. Terdakwa melahirkan anak tanpa memberitahukan kepada orang lain
termasuk orang tuanya karena Terdakwa takut kelahiran anaknya akan
diketahui oleh orang lain termasuk oleh orang tua kandungnya ;
Berdasarkan fakta hukum diatas jelaslah Terdakwa adalah seorang ibu
yang telah melahirkan anaknya tanpa terikat sebuah perikatan perkawinan
sehingga apabila dihubungkan dengan pengertian unsur ini maka unsur
obyektif ke1 ini telah terpenuhi oleh perbuatan Terdakwa ;
Ad.2.Tentang Unsur Obyektif ke2 “menghilangkan nyawa anaknya
pada waktu atau segera setelah kelahirannya” ;
Mengenai pengertian “menghilangkan” (nyawa anaknya) itu
disyaratkan adanya suatu “tindakan yang positif” ataukah tindakan tersebut
dapat dilakukan “tanpa orang tersebut melakukan sesuatu perbuatan. Delik-
delik omisi tidak murni itu hanya merupakan sebagian dari sejumlah besar
tindak pidanatindak pidana yang dapat dilakukan orang, baik dengan
melakukan sesuatu maupun tanpa melakukan sesuatu, delikdelik ini sendiri
merupakan perilaku menimbulkan suatu akibat, dimana perilaku seperti itu
pada umumnya adalah terlarang dan diancam pidana ;
78
Pengertian “pada waktu atau segera setelah kelahirannya adalah
selama jangka waktu ibu belum mengurus sendiri anaknya yang telah
dilahirkannya tersebut ;
Berdasarkan fakta-fakta hukum dipersidangan sebagai berikut :
Bahwa benar pada hari Sabtu tanggal 16 April 2011 sekitar jam 21.00 WIB
saat Terdakwa berada dirumahnya yang terletak di Dukuh Gewok Desa
Bumisari Rt.12 Rw.06 Kecamatan Bojongsari Kabupaten Purbalingga,
Terdakwa dengan kondisi kehamilannya memasuki 9 (sembila) bulan dan
sudah waktunya untuk melahirkan merasakan sakit perut sehingga
Terdakwa meminta tolong kepada ayahnya untuk membelikan obat sakit
diare merk dulcolax, setelah meminum 2 tablet obat sakit diare Terdakwa
masih merasakan sakit perut lalu Terdakwa kekamar mandi ; Bahwa benar
setelah Terdakwa berada dikamar mandi dan merasakan perut mules seperti
akan buang air besar yang semakin lama semakin sakit lalu Terdakwa
berusaha mengejan/ngeden tetapi yang keluar bukannya tinja dari dubur
tetapi seperti daging yang akan keluar dari kemaluan Terdakwa sehingga
Terdakwa panik lalu Terdakwa melahirkan seorang bayi perempuan dilantai
kamar mandi dengan kondisi bayi bernafas tersengalsengal ;
Terdakwa melahirkan anak tanpa memberitahukan kepada orang lain
termasuk orang tuanya karena Terdakwa takut kelahiran anaknya akan
diketahui oleh orang lain termasuk oleh orang tua kandungnya
Setelah itu bayi tersebut tanpa dibungkus kain dibawa kesungai/parit
yang berada dibelakang rumah Terdakwa ;
79
Dari perjalanan kesungai/parit tersebut bayi perempuan tersebut tiba-
tiba terdiam dan setelah sampai disungai/parit lalu Terdakwa meletakkan
bayi perempuan yang telah dilahirkannya tersebut disungai/parit dengan
posisi terlentang selanjutnya Terdakwa bergegas pulang kerumahnya ;
Kemudian bayi perempuan tersebut ditemukan pada hari Jum‟at
tanggal 22 April 2011 sekitar jam 13.30 WIB sudah dalam keadaan
meninggal dunia ;
Visum Et Repertum tertanggal 09 Mei 2011
No.183/VER/RSUD/13/V/2011 yang dibuat dan ditandatangani oleh dr.
Setyo Dirahayu dokter pada RSUD dr. R.GOETENG
TAROENADIBRATA Purbalingga dengan hasil pemeriksaan adalah :
1 Mayat bayi perempuan ;
2 Mayat sudah mengalami proses pembusukan sebagian organ dalam
(paruparu dan hati) sudah rusak ; Kesimpulan sebab kematian diduga
karena asfeksia ;
Visum Et Repertum Nomor : B6/152/VER/RSUHIP/ IV/2011 tanggal
27 April 2011 terhadap Terdakwa dengan hasil pemeriksaan :
1 Payudara kanan dan kiri agak keras dan keluar air susu ;
2 Uterus (rahim membesar, tinggi fundus uterus 2 jari diatas tulang
kemaluan (diatas symphisis os pubis) ;
3 Ada bekas robekan dijalan lahir (diperineum) ;
4 Dari Vagina keluar darah sedikit campur lender kekuningan (lokhea)
berbau busuk ;
80
5 Kesimpulan dari hasil pemeriksaan diatas disimpulkan bahwa orang
terebut dalam kondisi habis melahirkan (post partum).
Berdasarkan fakta hukum tersebut jelaslah bahwa Terdakwa telah
melahirkan seorang anak perempuan dan akibat dari tindakan yang
dilakukan Terdakwa bayi perempuan tersebut kemudian meninggal dunia
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas maka perbuatan Terdakwa
telah memenuhi unsur obyektif ke2 ini, sehingga unsur inipun terpenuhi ;
Ad.3.Tentang Unsur Subyektif ke1 “takut diketahui telah melahirkan
anak”;
“Perasaan takut diketahui telah melahirkan seorang anak” adalah
merupakan motif atau alasan yang pokok dalam Pasal 341 KUHP ini,
karena ini akan menjadi alasan yang meringankan dalam hukuman.
Masalahmasalahnya harus sedemikian rupa, bahwa mengandung/ hamilnya
pelaku merupakan suatu rahasia bagi wanita itu, tidak peduli bahwa orang
lain tahu asal wanita itu mengandung/hamil, tetapi pelaku tetap dapat
merahasiakan sampai kelahirannya dengan perasaan takut diketahui ;
Berdasarkan fakta-fakta hukum dipersidangan sebagai berikut :
Pada hari Sabtu tanggal 16 April 2011 sekitar jam 21.00 WIB saat
Terdakwa berada dirumahnya yang terletak di Dukuh Gewok Desa Bumisari
Rt.12 Rw.06 Kecamatan Bojongsari Kabupaten Purbalingga, Terdakwa
dengan kondisi kehamilannya memasuki 9 (sembilan) bulan dan sudah
waktunya untuk melahirkan merasakan sakit perut sehingga Terdakwa
meminta tolong kepada ayahnya untuk membelikan obat sakit diare merk
81
dulcolax, setelah meminum 2 tablet obat sakit diare Terdakwa masih
merasakan sakit perut lalu Terdakwa kekamar mandi.
Setelah Terdakwa berada dikamar mandi dan merasakan perut mules
seperti akan buang air besar yang semakin lama semakin sakit lalu
Terdakwa berusaha mengejan/ngeden tetapi yang keluar bukannya tinja dari
dubur tetapi seperti daging yang akan keluar dari kemaluan Terdakwa
sehingga Terdakwa panik lalu Terdakwa melahirkan seorang bayi
perempuan dilantai kamar mandi dengan kondisi bayi bernafas tersengal-
sengal, Terdakwa melahirkan anak tanpa memberitahukan kepada orang lain
Termasuk orang tuanya karena Terdakwa takut kelahiran anaknya akan
diketahui oleh orang lain termasuk oleh orang tua kandungnya
Setelah itu bayi tersebut tanpa dibungkus kain dibawa kesungai/parit
yang berada dibelakang rumah Terdakwa, dari perjalanan kesungai/parit
tersebut bayi perempuan tersebut tibatiba terdiam dan setelah sampai
disungai/parit lalu Terdakwa meletakkan bayi perempuan yang telah
dilahirkannya tersebut disungai/parit dengan posisi terlentang selanjutnya
Terdakwa bergegas pulang kerumahnya.
Kemudian bayi perempuan tersebut ditemukan pada hari Jum‟at
tanggal 22 April 2011 sekitar jam 13.30 WIB sudah dalam keadaan
meninggal dunia.
Berdasarkan fakta hukum tersebut maka dapatlah disimpulkan bahwa
perbuatan Terdakwa telah memenuhi rumusan unsur ke1 subyektif yaitu
”takut diketahui telah melahirkan anak”.
82
Ad.4.Tentang Unsur Subyektif ke2 “dengan sengaja” ;
Menurut Risalah Penjelasan UndangUndang (Mvt) sengaja atau opzet
berarti willens en wetens (menghendaki dan mengetahui) yang berarti si
pembuat harus menghendaki apayang dilakukannya dan harus mengetahui
apa yang dilakukannya sedangkan dalam doktrin hukum pidanapengertian
“dengan sengaja” dikenal dua teori yaitu :
a. Teori kehendak (Wilstheorie) dari Von Hippel guru besar di Gottingen
Jerman yang berpendapat bahwa kesengajaan (vortsatz) adalah kehendak
untuk melakukan suatu perbuatan dan kehendak untuk menimbulkan
akibat karena perbuatannya itu seperti dirumuskan di dalam undang-
undang hukum pidana Teori membayangkan/pengetahuan
(voorstellingstheorie) dari Frank guru besar di Tubingen Jerman, yang
didukung oleh Von Listiz. Menurut teori Frank, kesengajaan adalah
kehendak untuk berbuat dengan mengetahui unsurunsur yang diperlukan
menurut rumusan undang-undang (wet)60
.
Menurut Van Hattum yang disetujui pula oleh Prof. Moeljatno,
Utrecht dan sebagian besar sarjana hukum pidana, bahwa di dalam praktik
hasil yang dicapai oleh para penganut teori kehendak dan teori pengetahuan
(Prof.Moeljatno : teori membayangkan) adalah pada umumnya sama.
Perbedaannya hanyalah terletak di bidang psikologis dan bukan di bidang
hukum. Perbedaan lain telah dikemukakan oleh Moeljatno yaitu cara
60
Zainal, Abidin Farid, Hukum Pidana 1, Jakarta:Sinar Grafika, 2007, hal 282-284
83
membuktikan kesengajaan lebih mudah membuktikannya kalau digunakan
teori membayangkan atau teori pengetahuan61
.
Dengan memperhatikan pandanganpandangan tersebut di atas maka
untuk mengartikan unsur dengan sengaja tersebut, Majelis tetap mengacu
pada Risalah Penjelasan Undang-Undang (MvT) yang juga dianut oleh
doktrin dan Yurisprudensi, bahwa seseorang dapat dikatakan melakukan
perbuatan dengan sengaja apabila si pembuat menghendaki perbuatan yang
dilakukannya serta menginsafi akan akibat perbuatan itu.
Dengan pandangan-pandangan yang dikemukan di atas, maka Majelis
akan mempertimbangkan apakah unsur “dengan sengaja” tersebut terpenuhi
atau tidak sebagaimana fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan,
maka telah terbukti mengenai halhal sebagai berikut.
Terdakwa kenal dengan saksi Sardi di Balai Desa Bumisari kemudian
pacaran kurang lebih 3 (tiga) bulan pacaran kemudian saksi diajak ke
Baturaden dan di Hotel Baturaden itu kemudian Terdakwa bersama saksi
Sardi melakukan hubungan layaknya suami isteri sebanyak 2 (dua) kali
dalam satu hari itu ;• Bahwa benar hubungan intim layaknya suami isteri
tersebut dilakukan pada bulan Juni 2010 dan akibat dari hubungan layaknya
suami isteri tersebut Terdakwa hamil diluar nikah.
Pada hari Sabtu tanggal 16 April 2011 sekitar jam 21.00 WIB saat
Terdakwa berada dirumahnya yang terletak di Dukuh Gewok Desa Bumisari
Rt.12 Rw.06 Kecamatan Bojongsari Kabupaten Purbalingga, Terdakwa
61
Moeljatno, Asas-Asas Hukum PIdana, Jakarta: Rineka Cipta ,2002, hal. 172
84
dengan kondisi kehamilannya memasuki 9 (sembilan) bulan dan sudah
waktunya untuk melahirkan merasakan sakit perut sehingga Terdakwa
meminta tolong kepada ayahnya untuk membelikan obat sakit diare merk
dulcolax, setelah meminum 2 tablet obat sakit diare Terdakwa masih
merasakan sakit perut lalu Terdakwa kekamar mandi.
Setelah Terdakwa berada dikamar mandi dan merasakan perut mules
seperti akan buang air besar yang semakin lama semakin sakit lalu
Terdakwa berusaha mengejan/ngeden tetapi yang keluar bukannya tinja dari
dubur tetapi seperti daging yang akan keluar dari kemaluan Terdakwa
sehingga Terdakwa panik lalu Terdakwa melahirkan seorang bayi
perempuan dilantai kamar mandi dengan kondisi bayi bernafas tersengal-
sengal.
Terdakwa melahirkan anak tanpa memberitahukan kepada orang lain
termasuk orang tuanya karena Terdakwa takut kelahiran anaknya akan
diketahui oleh orang lain termasuk oleh orang tua kandungnya, setelah itu
bayi tersebut tanpa dibungkus kain dibawa kesungai/parit yang berada
dibelakang rumah Terdakwa.
Dari perjalanan kesungai/parit tersebut bayi perempuan tersebut
tibatiba terdiam dan setelah sampai disungai/parit lalu Terdakwa meletakkan
bayi perempuan yang telah dilahirkannya tersebut disungai/parit dengan
posisi terlentang selanjutnya Terdakwa bergegas pulang kerumahnya.
Kemudian bayi perempuan tersebut ditemukan pada hari Jum‟at
tanggal 22 April 20 Bahwa benar Visum Et Repertum tertanggal 09 Mei
85
2011 No.183/VER/RSUD/13/V/2011 yang dibuat dan ditandatangani oleh
dr. Setyo Dirahayu dokter pada RSUD dr. R.GOETENG
TAROENADIBRATA Purbalingga dengan hasil pemeriksaan adalah :
1 Mayat bayi perempuan ;
2 Mayat sudah mengalami proses pembusukan sebagian organ dalam
(paruparu dan hati) sudah rusak ; Kesimpulan sebab kematian diduga
karena asfeksia ;
Benar Visum Et Repertum Nomor : B6/152/VER/RSUHIP/ IV/2011
tanggal 27 April 2011 terhadap Terdakwa dengan hasil pemeriksaan :
1 Payudara kanan dan kiri agak keras dan keluar air susu ;
2 Uterus (rahim membesar, tinggi fundus uterus 2 jari diatas tulang
kemaluan (diatas symphisis os pubis) ;
3 Ada bekas robekan dijalan lahir (diperineum) ;
4 Dari Vagina keluar darah sedikit campur lender kekuningan (lokhea)
berbau busuk ;
5 Kesimpulan dari hasil pemeriksaan diatas disimpulkan bahwa orang
terebut dalam kondisi habis melahirkan (post partum).
Dari fakta-fakta hukum tersebut, maka telah nyata dan terbukti adanya
pengetahuan Terdakwa untuk melakukan perbuatan dan kehendak yang
menimbulkan akibat yakni ketika melakukan hubungan layaknya suami
isteri diluar ikatan perkawinan yang kemudian mengakibatkan hamil dan
kehamilan tersebut sampai waktu melahirkan dan kemudian melahirkan
86
tanpa diketahui orang tuanya dan selanjutnya bayi tersebut dibuang
disungai/parit dan menyebabkan meninggal dunia.
Dengan demikian unsur subyektif ke2 “dengan sengaja” telah
terpenuhi oleh perbuatan Terdakwa .
Berdasarkan seluruh uraian-uraian pertimbangan tersebut di atas,
semua unsur dari Pasal 341 KUHP sebagaimana didakwakan Jaksa Penuntut
Umum dalam dakwaan Alternatif PERTAMA telah terpenuhi, maka oleh
karena itu Majelis memperoleh keyakinan bahwa Terdakwa telah terbukti
melakukan tindak pidana “PEMBUNUHAN ANAK“ .
Oleh karena selama persidangan berlangsung, Terdakwa dapat
berkomunikasi dengan baik, menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya
dengan baik dan lancar, maka telah terbukti bahwa Terdakwa dalam
keadaan sehat baik badan maupun jiwanya sehingga Terdakwa dapat
dipertanggung jawabkan atas perbuatannya.
Oleh karena Terdakwa dapat dipertanggung jawabkan atas
perbuatannya, dan Majelis tidak menemukan adanya alasan pembenar
ataupun pemaaf yang dapat menghapus kesalahan dari perbuatan yang telah
dilakukannya, maka Terdakwa tersebut harus dinyatakan bersalah dan
dijatuhi pidana yang setimpal dengan kesalahannya.
Sebelum menjatuhkan pidana kepada Terdakwa, terlebih dahulu
Majelis akan mempertimbangkan halhal yang memberatkan dan yang
meringankan.
Hal-hal yang memberatkan :
87
• Perbuatan Terdakwa meresahkan masyarakat ;
Hal-hal yang meringankan :
• Terdakwa belum pernah dihukum dan masih muda sehingga masih
diharapkan untuk dapat memperbaiki perbuatannya dimasa yang akan
datang .
Berdasarkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan tersebut
dikaitkan dengan tujuan pemidanaan yang bukan merupakan pembalasan
atas perbuatan Terdakwa melainkan bertujuan untuk membina dan mendidik
agar Terdakwa menyadari dan menginsyafi kesalahannya sehingga dapat
menjadi anggota masyarakat yang baik dikemudian hari, serta sebagai upaya
preventif bagi anggota masyarakat lainnya maka Majelis memandang adil
dan patut apabila Terdakwa dijatuhi pidana sebagaimana yang akan
disebutkan dalam amar putusan ini.
Dalam perkara ini terhadap diri Terdakwa telah dikenakan penahanan
yang sah, maka masa penahanan tersebut harus dikurangkan seluruhnya dari
pidana yang dijatuhkan ;
Oleh karena tidak ada alasan untuk mengeluarkan Terdakwa dari
tahanan, atau menangguhkan penahanannya, maka Terdakwa harus tetap
berada dalam tahanan; 11 sekitar jam 13.30 WIB sudah dalam keadaan
meninggal dunia.
Barang bukti berupa : 1 (satu) potong kaos lengan pendek warna
merah muda dan 1 (satu) potong celana panjang warna abuabu karena
terbukti dipersidangan sebagai milik Terdakwa maka sudah seharusnya
88
dikembalikan kepada terdakwa Kamilatun Chasanah Als Atun Binti
Nurrochim sedangkan 1 (satu) potong BH warna hitam karena masih akan
dipergunakn dalam perkaran lain atas nama terdakwa Sardi Bin Buwarji al
Bureng maka sudah seharusnya dikembalikan kepada Jaksa Penuntut Umum
Oleh karena Terdakwa telah dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana, maka
biaya perkara ini dibebankan kepada Terdakwa.
Memperhatikan Pasal 341 KUHP, UndangUndang No. 8 tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor : 49 Tahun 2009
Tentang Perubahan Kedua UndangUndang Nomor : 2 Tahun 1986 Tentang
Peradilan Umum ;
b) Amar Putusan
Berdasarkan fakta-fakta hukum dan pertimbangan-pertimbangan
diatas, Majelis Hakim memutuskan :
1 . Menyatakan terdakwa KAMILATUN CHASANAH Als ATUN Binti
NURROCHIM telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana “PEMBUNUHAN ANAK”;
2 . Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana
penjara selama 1 (satu) Tahun dan 6 (enam) bulan ;
3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa dikurangkan
seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan ;
4. Menetapkan agar Terdakwa tetap berada dalam tahanan ;
5. Menetapkan agar barang bukti berupa :
1. 1 (satu) potong kaos lengan pendek warna merah muda ;
89
2. 1 (satu) potong celana panjang warna abuabu ; dikembalikan
kepada terdakwa Kamilatun Chasanah Als Atun Binti Nurrochim;
3. 1 (satu) potong BH warna hitam ;
Dikembalikan kepada Jaksa Penuntut Umum untuk dipergunakan
dalam perkara atas nama terdakwa Sardi Bin Buwarji al Bureng ;
6 .Membebankan biaya perkara kepada Terdakwa sebesar Rp.2.500, (dua
ribu lima ratus rupiah)
Demikian diputuskan dalam rapat permusyawaratan Majelis Hakim
Pengadilan Negeri Purbalingga pada hari JUM‟AT tanggal 7 OKTOBER
2011 oleh A.F.JOKO SUTRISNO,SH.,MH. sebagai Hakim Ketua, DIAN
ANGGRAINI,SH.,MH. dan MOCH. NUR AZIZI,SH. Masing-masing
sebagai Hakim Anggota, putusan mana diucapkan oleh Hakim Ketua dalam
sidang yang terbuka untuk umum pada hari SENIN tanggal 10 OKTOBER
2011, dengan didampingi oleh Hakim-Hakim Anggota tersebut, dibantu
oleh WURHANDONO,SH. Panitera Pengganti, dan dihadiri oleh ABDUL
BASIK,SH. Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Purbalingga,
Terdakwa serta Penasihat Hukumnya ;
B. Pembahasan
1) Keterangan Saksi Yang Tidak Disumpah Dapat Diklasifikasikan
Sebagai Alat Bukti Yang Sah dalam perkara tindak pidana
pembunuhan anak
Keterangan saksi merupakan salah satu alat bukti yang sah dalam
persidangan perkara pidana, alat bukti mana menjadi penting dalam rangka
90
membuktikan ada atau tidak adanya suatu peristiwa hukum. Ketentuan
yang berkaitan dengan saksi dan kesaksiannya di muka sidang dapat
ditemukan di dalam Undang-undang No. 8 tahun 1981 tentang Kitab
Hukum Acara Pidana Pasal 159 sampai dengan Pasal 188 KUHAP. Pada
prinsipnya setiap saksi yang memberikan keterangan di muka sidang wajib
mengucapkan sumpah/janji akan memberikan keterangan dengan
sebenarnya tiada lain dari pada yang sebenarnya sesuai dengan cara
agamanya masing-masing kecuali bagi mereka yang dibolehkan untuk
memberikan keterangan tanpa sumpah sebagaimana telah diatur dalam
ketentuan perundang-undangan.
Sehubungan dengan kewajiban sumpah bagi saksi tersebut secara
khusus diatur konsekuensi hukum apabila dilanggar oleh saksi dalam
pengertian saksi tersebut tidak memberikan keterangan dengan sebenarnya
sebagaimana lafadz sumpah yang telah ia ucapkan maka saksi yang
demikian itu dapat disangka melakukan kejahatan sumpah palsu atau
keterangan palsu yang diancam dengan pidana dalam Pasal 242 KUHP.
Syarat Sahnya Keterangan Saksi Sebagai Alat Bukti Agar supaya
keterangan yang diberikan seorang saksi dapat bernilai serta memiliki
kekuatan pembuktian, perlu diperhatikan beberapa ketentuan yang harus
dipenuhi oleh seorang saksi. Artinya, agar keterangan saksi dapat dianggap
sah sebagai alat bukti yang memiliki nilai kekuatan pembuktian, harus
dipenuhi beberapa ketentuan, yakni sebagai berikut :
1. Harus Mengucapkan Sumpah Atau Janji.
91
Redaksi Pasal 160 ayat (3) KUHAP menerangkan bahwa sebelum
saksi memberikan keterangan wajib mengucapkan sumpah atau janji yang
dilakukan menurut cara sesuai agamanya masing-masing dan lafaz sumpah
atau janji berisi bahwa saksi akan memberikan keterangan yang sebenar-
benarnya dan tidak lain dari pada yang sebenarnya. Dalam ketentuan Pasal
160 ayat (3) KUHAP, pada prinsipnya sumpah atau janji diucapkan oleh
saksi sebelum memberikan keterangan, akan tetapi dalam redaksi Pasal 160
ayat (4) KUHAP memberikan kemungkinan kepada saksi untuk
mengucapkan sumpah atau janji setelah saksi memberikan keterangan. Cara
penyumpahan sebelum memberikan keterangan di depan sidang pengadilan
disebut promissoris, artinya sanggup berkata benar. Alasan bahwa sumpah
yang diucapkan sebelum saksi memberikan keterangan di sidang pengadilan
adalah :
a. Saksi akan terpengaruh oleh sumpah atau janji yang diucapkan.
b. Saksi akan mengurangi niat untuk mengingkari janji
c. Bahwa keterangan yang diucapkan akan mempunyai kekuatan
pembuktian.
Makna sumpah atau janji yang diucapkan oleh saksi sesudah
memberikan keterangan di depan sidang pengadilan ialah bahwa sumpah
tersebut bersifat menguatkan keterangannya, kelemahannya apabila saksi
memberi keterangan tidak jujur pada waktu memberi keterangan yang
diberikan di depan persidangan. Cara penyumpahan seperti ini disebut
assetoris. Mendasari rumusan Pasal 160 ayat (3) dan ayat (4) KUHAP maka
92
seorang saksi pada prinsipnya wajib mengucapkan sumpah sebelum saksi
memberikan keterangan, namun apabila dalam hal dianggap perlu oleh
pengadilan, pengucapan sumpah atau janji yang diberikan oleh saksi dapat
dilakukan sesudah saksi memberi keterangan. Namun, apabila terdapat saksi
yang menolak untuk mengucapkan sumpah atau janji tanpa alasan yang sah
maka yang bersangkutan dapat dikenakan sandera berdasarkan penetapan
hakim ketua sidang dan penyanderaan kepada saksi dapat dikenakan paling
lama 14 (empat belas) hari (Pasal 161 KUHAP). Tujuan utama dilakukan
penyanderaan kepada saksi adalah merupakan peringatan bagi saksi akan
kewajibannya untuk mengucapkan sumpah. Sebenarnya peringatan untuk
mengucapkan sumpah dapat ditempuh ketua sidang dengan jalan memberi
penjelasan dan penyuluhan kepada saksi. Penyanderaan bukan satu-satunya
jalan yang dapat ditempuh hakim. Akan tetapi, setelah diberikan penyuluhan
dan peringatan, dan memberi kesempatan kepada saksi untuk
memikirkannya dalam suatu tenggang yang memadai (tiga hari atau
seminggu), namun tetap menolak mengucapkan sumpah, sehingga wajar
terhadapnya dikeluarkan perintah penyanderaan. Saksi yang dikenakan
sandera harus segera dibebaskan dari Rutan sekalipun masa penetapan
penyanderaan belum lampau, apabila saksi mengeluarkan pernyataan atau
membuat pernyataan tertulis, bahwa saksi akan bersedia mengucapkan
sumpah atau janji pada persidangan yang akan datang. Umpamanya seorang
saksi dikenakan sandera 10 (sepuluh) hari. Setelah 2 (dua) hari menjalani
sandera, saksi membuat pernyataan akan kesediaannya mengucapkan
93
sumpah pada hari sidang yang telah ditentukan. Dalam hal ini, ketua sidang
harus segera mengeluarkan surat penetapan pembebasan. Seandainya nanti
saksi yang dibebaskan itu ternyata menolak mengucapkan sumpah,
kepadanya masih tetap dapat dikeluarkan surat penetapan penyanderaan
sampai batas maksimum.
2. Keterangan Saksi Harus Diberikan Di Sidang Pengadilan.
Pada pokoknya, isi keterangan saksi adalah fakta yang
berhubungan/relevan dengan pembuktian tentang telah terjadinya tindak
pidana yang didakwakan, tentang terdakwa yang melakukannya dan tentang
kesalahan terdakwa melakukannya. Keterangan saksi yang berhubungan
dengan pembuktian telah terjadinya tindak pidana adalah semua keterangan
yang menyangkut unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan. Artinya,
keterangan yang memuat tentang fakta-fakta yang membuktikan tentang
adanya unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan.” Keterangan saksi
yang berhubungan dengan pembentukan keyakinan hakim bahwa terdakwa
yang melakukannya adalah semua keterangan yang memuat fakta-fakta
mengenai locus dan tempus tindak pidana berikut fakta-fakta yang
menandakan atau menunjukan bahwa terdakwalah yang melakukannya atau
ikut terlibat melakukannya. Sedangkan isi keterangan saksi yang diperlukan
hakim untuk membentuk keyakinannya tentang kesalahan terdakwa, adalah
semua keterangan yang menyangkut hal keadaan batin terdakwa sebelum
berbuat, seperti kehendak dan pengetahuan mengenai segala hal baik
mengenai perbuatan yang hendak dilakukannya maupun obyek tindak
94
pidana serta segala sesuatu yang ada disekitar perbuatan dan obyek
perbuatan sebagaimana yang ada dalam rumusan tindak pidana. keterangan
saksi ditinjau dari segi sah atau tidaknya adalah keterangan saksi yang
diberikan dalam sidang persidangan, keterangan saksi dapat dikelompokan
menjadi 2 (dua) jenis :
1) Keterangan saksi yang diberikan tanpa sumpah. Mengenai keterangan
saksi yang diberikan tanpa sumpah, bisa terjadi :
Karena saksi menolak bersumpah. Kemungkinan saksi menolak untuk
memberikan keterangan di bawah sumpah bisa terjadi sesuai ketentuan yang
diatur dalam Pasal 161 KUHAP yang menerangkan bahwa : Dalam hal saksi
atau ahli tanpa alasan yang sah menolak untuk bersumpah atau berjanji
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 160 ayat (3) dan ayat (4), maka
pemeriksaan terhadapnya tetap dilakukan, sedang ia dengan surat penetapan
hakim ketua sidang dapat dikenakan sandera di tempat rumah tahanan
negara paling lama empat belas hari. Dalam hal tenggang waktu
penyanderaan tersebut telah lampau dan saksi atau ahli tetap tidak mau
disumpah atau mengucapkan janji, maka keterangan yang telah diberikan
merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim. Dalam
konteks ini, bahwa sekalipun penolakan untuk bersumpah atau berjanji
tanpa alasan yang sah dan walaupun saksi telah disandera, namun saksi tetap
menolak untuk mengucapkan sumpah/janji sehingga pemeriksaan terhadap
saksi dapat dilakukan. Dalam keadaan seperti ini, menurut ketentuan dalam
Pasal 161 ayat (2) KUHAP, nilai keterangan saksi yang demikian dapat
95
menguatkan keyakinan hakim, apabila pembuktian yang ada telah
memenuhi batas minimum pembuktian. Keterangan yang diberikan tanpa
sumpah. Hal ini bisa terjadi seperti yang diatur dalam Pasal 161 KUHAP,
yakni saksi yang telah memberikan keterangan dalam pemeriksaan
penyidikan dengan tidak disumpah, ternyata tidak dapat dihadirkan
dipersidangan. Keterangan saksi yang terdapat dalam berita acara
penyidikan dibacakan di sidang pengadilan. Bertitik tolak dari ketentuan
Pasal 161 ayat (2) dan Pasal 185 ayat (7) KUHAP maka nilai kekuatan
pembuktian yang melekat pada keterangan saksi yang dibacakan di sidang
pengadilan, sifatnya bukan merupakan alat bukti, tetapi nilai kekuatan
pembuktian yang melekat padanya dapat dipergunakan untuk menguatkan
keyakinan hakim datau dapat bernilai dan dapat dipergunakan sebagai
tambahan alat bukti yang sah lainnya sepanjang keterangan saksi yang
dibacakan mempunyai persesuaian dengan alat bukti yang sah dan alat bukti
yang ada telah memenuhi batas minimum pembuktian.
2) Karena hubungan kekeluargaan. Keterangan saksi tanpa disumpah
lazimnya karena terdapat hubungan keluarga, sebagaimana Pasal 168,
Pasal 169, Pasal 185 ayat (7) dan Pasal 171 KUHAP. Adapun redaksi
pasal-pasal tersebut di atas adalah : Pasal 168 KUHAP : Kecuali
ditentukan lain dalam undang-undang ini, maka tidak dapat didengar
keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi:
96
a) Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke
bawah sarnpai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama
sebagai terdakwa.
b) Saudara dan terdakwa atau yang bérsama-sama sebagai terdakwa,
saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai
hubungan karena perkawinan dari anak-anak saudara terdakwa sampal
derajat ketiga
c) Suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang
bersama-sama sebagai terdakwa. Pasal 169 KUHAP :
1. Dalam hal mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 168
menghendakinya dan penuntut umum serta tegas menyetujuinya
dapat memberi keterangan di bawah sumpah.
2. Tanpa persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), mereka
diperbolehkan memberikan keterangan tanpa sumpah. Pasal 185
ayat (7) KUHAP : Keterangan dari saksi yang tidak disumpah
meskipun sesuai satu dengan yang lain tidak merupakan alat bukti
namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi
yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah
yang lain. Pasal 171 KUHAP : Yang boleh diperiksa untuk
memberi keterangan tanpa sumpah ialah :
a) Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum
pernah kawin;
97
b) Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang
ingatannya baik kembali.
Berdasarkan redaksi pasal-pasal tersebut di atas, maka keterangannya
tidak dapat dinilai sebagai alat bukti, tetapi dapat dipergunakan untuk
menguatkan keyakinan hakim atau bernilai sebagai tambahan menguatkan
alat bukti yang sah sepanjang mempunyai persesuaian dan telah memenuhi
batas minmum pembuktian. Lebih lanjut, apakah hakim terikat untuk
mempergunakan keterangan saksi tanpa sumpah atau janji, jika antara
keterangan itu terdapat saling persesuaian ? Tidak, sama sekali hakim tidak
terikat untuk mempergunakannya, tergantung kepada penilaian hakim,
dalam arti hakim bersifat bebas untuk mempergunakannya tetapi sebaliknya
dapat mengesampingkannya. Hakim tidak terikat untuk menilainya dan
dapat dipergunakan sebagai tambahan pembuktian atau menguatkan
keyakinan maupun sebagai petunjuk.
Dari semua uraian yang telah dijelaskan diatas, maka dapat ditarik
suatu kesimpulan, bahwa keterangan saksi yang diberikan di persidangan
dengan tanpa mengangkat sumpah tidak dapat diklasifikasikan sebagai alat
bukti yang sah, sifatnya bukan merupakan alat bukti, tetapi nilai kekuatan
pembuktian yang melekat padanya dapat dipergunakan untuk menguatkan
keyakinan hakim atau dapat bernilai dan dapat dipergunakan sebagai
tambahan alat bukti yang sah lainnya sepanjang keterangan saksi yang
dibacakan mempunyai persesuaian dengan alat bukti yang sah dan alat bukti
yang ada telah memenuhi batas minimum pembuktian, seperti yang termuat
98
dalam Pasal 185 ayat (7) KUHAP : Keterangan dari saksi yang tidak
disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain tidak merupakan alat bukti
namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang
disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain62
.
2) Kekuatan Pembuktian keterangan saksi yang tidak disumpah dalam
perkara tindak pidana pembunuhan anak (Studi Putusan Nomor
:145/Pid.B/2011/Pn.Pbg.)
Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan
yang didakwakan, merupakan bagian yang terpenting acara pidana. Dalam
hal ini pun hak asasi manusia dipertaruhkan, sehingga bagaimana akibatnya
jika seseorang yang didakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang
didakwakan akan tetapi hal tersebut tidak benar. Untuk inilah hukum acara
pidana berusaha mencari kebenaran materiil.Pembuktian juga merupakan
titik sentral hukum acara pidana.
Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan
pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan
kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan
ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang
yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan.
Persidangan pengadilan tidak boleh sesuka hati dan semena-mena
membuktikan kesalahan terdakwa63
.
62 62http://julimansipemshmh.blogspot.com diakses pada tanggal 13 november 2013 63 Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
(Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali), Jakarta:
Sinar Grafika, 2008, hal. 273.
99
Putusan Nomor :145/pid.b/2011/pn.Pbg, hakim memeriksa alat bukti
yakni 6 orang saksi dan alat bukti surat berupa Visum et Repertum Nomor
183/VER/RSUD/13/V/2011 Alat bukti tersebut di atas memenuhi rumusan
minimum pembuktian dan memperoleh keyakinan bahwa terdakwa terbukti
bersalah melakukan tindak dengan sengaja melakukan tindak pidana
“pembunuhan anak”, Aturan mengenai pembuktian saksi terdapat dalam
Pasal 185 ayat 1 sampai 7 KUHAP. Keterangan saksi yang dimaksud dalam
Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) ini adalah saksi sebagai alat bukti yang dihadirkan dalam
sidang pengadilan agar hakim dapat menilai keterangan-keterangan saksi
itu, yang ditinjau dari sudut dapat atau tidak dipercaya, berdasarkan tinjauan
terhadap pribadi, gerak geriknya dan yang lain-lain.
Saksi yang dihadirkan dalam persidangan nantinya akan disumpah
agar mempunyai kekuatan pembuktian yang kuat dan nantinya dapat
dijadikan pertimbangan hakim dalam memutus suatu perkara pidana.
Disebutkan dalam Pasal 160 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bahwa saksi wajib untuk disumpah
atau janji dalam setiap akan dimintai keterangannya di persidangan sesuai
dengan agamanya masing-masing. Kemudian lafal sumpah atau yang
diucapkan berisi bahwa saksi akan memberikan keterangan yang sebenar-
benarnya dan tidak lain dari yang sebenarnya yang dilakukan sebelum saksi
memberikan keterangannya dalam persidangan dan jika dalam keadaan
perlu oleh hakim pengadilan sumpah atau janji ini dapat diucapkan sesudah
100
saksi memberikan keterangannya sesuai dengan Pasal 160 ayat (4)Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Jika saksi yang dihadirkan tidak disumpah karena permintaan sendiri
atau pihak yang lain tidak bersedia saksi untuk disumpah karena saksi
ditakutkan akan berpihak pada salah satu pihak, maka keterangan dari saksi
tersebut tetap digunakan, akan tetapi sifatnya hanya digunakan sebagai
tambahan alat bukti sah yang lain.
Selain itu saksi yang karena jabatannya tidak dapat menjadi saksi akan
tetapi mereka tetap bersedia menjadi saksi maka dapat diperiksa oleh hakim
akan tetapi tidak disumpah karena itu merupakan perkecualian relatif karena
menyimpan rahasia jabatan. Saksi yang dihadirkan diharapkan sudah
dewasa sehingga keterangannya bisa dipercaya dan dapat dipertanggung
jawabkan.
Saksi yang menolak mengucapkan sumpah atau janji didepan
pengadilan saat akan diambil keterangannya tanpa suatu alasan yang sah
maka saksi tersebut dapat dikenakan sandera yang didasarkan penetapan
hakim ketua sidang, paling lama penyanderaan adalah empat belas hari
(Pasal 161 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana).
Pengertian umum keterangan saksi ada dalam Pasal 1 butir 27
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), yang merumuskan sebagai berikut :
"Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana
yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana
101
yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan
menyebut alasan dari pengetahuannya itu".
Pengertian keterangan saksi terdapat dalam Pasal 1 butir 27 KUHAP yang
merumuskan:
“Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana
yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana
yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan
menyebut alasan dari pengetahuannya itu”.
Menurut Hibnu Nugroho64
menerangkan bahwa:
“Saksi adalah orang yang memberikan keterangan guna kepentingan
penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana
yang ia dengan sendiri,ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”
Ditinjau dari segi nilai dan kekuatan pembuktian atau “the degree of
evidence” keterangan saksi, agar keterangan saksi atau kesaksian
mempunyai nilai serta kekuatan pembuktian, perlu diperhatikan beberapa
syarat- syarat yang harus dipenuhi oleh seorang saksi, yaitu sebagai
berikut65
;
a) Harus mengucapkan sumpah atau janji;
b) Keterangan saksi yang bernilai sebagi alat bukti.
Keterangan saksi yang mempunyai nilai ialah keterangan yang sesuai
dengan apa yang dijelaskan Pasal 1 angka 27 KUHAP:
1. Yang saksi lihat sendiri;
2. Saksi dengan sendiri;
3. Saksi alami sendiri;
4. Serta menyebut alasan dari pengetahuan itu;
5. Keterangan saksi harus diberikan disidang pengadilan
64
Hibnu Nugroho, Bunga Rampai Penegakan Hukum di Indonesia, Semarang :
BadanPenerbit Undip, 2010, hal. 34 65 M.Yahya HarapanOp cit,, hal. 265
102
Dengan demikian kesaksian yang didengar dari orang lain atau biasa
disebut dengan "testimonium de auditu" bukan merupakan keterangan saksi.
Begitu pula pendapat maupun rekaan yang diperoleh dari hasil pemikiran
saja bukan merupakan keterangan saksi (Pasal 185 ayat (5)Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana).
Mengenai keterangan saksi de auditu ini, Mr. S.M. Amin66
dalam
bukunya "Hukum Acara Pengadilan Negeri" telah memberikan penjelasan
sebagai berikut :
"Kesaksian de auditu adalah keterangan tentang kenyataan-kenyataan, dan
hal-hal yang didengar, dilihat atau dialami bukan oleh saksi sendiri akan
tetapi keterangan-keterangan yang disampaikan oleh orang lain kepadanya
mengenai kenyataan-kenyataan dan hal-hal yang didengar, dilihat atau
dialami sendiri oleh orang lain tersebut".
Dari penegasan rumusan Pasal 1 butir 27 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dihubungkan dengan
Pasal 135 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (KUHAP), Pidana dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Setiap keterangan saksi di luar dari yang didengarnya sendiri dalam
peristiwa pidana yang terjadi atau di luar dari yang dilihat dan
dialaminya dalam peristiwa pidana yang terjadi, keterangan yang
diberikan di luar pendengaran, penglihatan atau pengalaman sadar
mengenai suatu peristiwa pidana terjadi, tidak dapat dijadikan dan
dinilai sebagai alat bukti. Keterangan semacam ini tidak memiliki
kekuatan nilai pembuktian.
2. Testimonium de auditu keterangan saksi yang diperoleh sebagai hasil
pendengarannya dari orang lain, tidak mempunyai nilai sebagai alat
bukti. Keterangan saksi di sidang pengadilan berupa keterangan ulang
dari yang didengarnva dari orang lain, keterangan saksi seperti ini
tidak dapat dianggap sebagai alat bukti.
3. Pendapat atau rekaan yang saksi peroleh dari pemikiran bukan
merupakan keterangan. Penegasan ini sesuai dengan ketentuan Pasal
66 Leden Marpaung.Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana
Ekonomi.Jakarta :Sinar Grafika. Jakarta. 1994. Hal. 33.
103
185 ayat (5) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Oleh karena
itu setiap keterangan saksi yang bersifat pendapat atau hasil pemikiran
saksi harus dikesampingkan dari pernbuktian dalam membuktikan
kesalahan terdakwa. Keterangan yang bersifat dan berwarna pendapat
dan pemikiran pribadi saksi tidak dapat dinilai sebagai alat bukti67
.
Tidak setiap orang dapat menjadi saksi dalam persidangan, selain
karena ketidak cakapannya menjadi saksi, yang tidak dapat menjadi
terutama karena mempunyai hubungan dekat dengan terdakwa karena
cenderung tidak bernilai obyektif dan cenderung membela terdakwa.
Pasal 171 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) ditentukan saksi yang tidak disumpah yaitu:
1. Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah
kawin;
2. Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun ingatannya baik kembali.
Dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan bahwa anak yang belum
berumur lima belas tahun, demikian juga orang yang sakit ingatan,
sakit jiwa, sakit gila meskipun kadang-kadang saja, yang dalam ilmu
penyakit jiwa disebut psychopaat, mereka ini tidak dapat
dipertanggungjawabkan secara sempurna dalam hukum pidana maka
mereka tidak dapat diambil sumpah atau janji dalam memberikan
keterangan, karena itu keterangan mereka hanya dipakai sebagai
petunjuk saja.
Keterangan saksi agar menjadi kuat maka harus dihadirkan saksi lebih
dari seorang dan minimal ada dua alat bukti karena keterangan dari seorang
saksi saja tanpa ada alat bukti yang lain tidak cukup membuktikan bahwa
terdakwa benar-benar bersalah terhadap dakwaan yang didakwakan
kepadanya (unus testis nullus testis).
Dalam hal terdakwa memberikan keterangan yang mengakui
kesalahan yang didakwakan kepadanya, keterangan seorang saksi sudah
67
M. Yahya Harahap.Op.cit.Hal. 266.
104
cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa, karena disamping
keterangan saksi tunggal itu, telah terpenuhi ketentuan minimum
pembuktian dan the degree of evidence yakni keterangan saksi ditambah
dengan alat bukti keterangan terdakwa. Dengan ini dapat disimpulkan
bahwa persyaratan yang dikehendaki Pasal 185 ayat (2) adalah :
1. Untuk dapat membuktikan kesalahan terdakwa paling sedikit harus
didukung oleh dua orang saksi;
2. Atau kalau saksi yang ada hanya terdiri dari seorang saja maka
kesaksian tunggal itu harus dicukupi atau ditambah dengan salah satu
alat bukti yang lain68
.
Darwan Prints69
, mengemukakan beberapa syarat bagi saksi agar
kesaksiannya tersebut dipakai sebagai alat bukti, diantaranya yaitu :
1. Syarat formal
Bahwa keterangan saksi dapat dianggap sah, apabila keterangan
itudiberikan dibawah sumpah;
2. Syarat materiil
Bahwa keterangan seorang saksi saja tidak dapat dianggap sah sebagai
alatpambuktian, akan tetapi keterangan seorang saksi adalah cukup
untuk alatpembuktian untuk suatu kejahatan yang dituduhkan dan
keterangan saksi tersebut adalah yang dia lihat, dia dengar serta
dialamainya sendiri.
Keterangan saksi dapat dinilai sebagai alat bukti, keterangan itu harus
dinyatakan disidang pengadilan, hal ini sesuai dengan penjelasan Pasal 185
ayat (1) KUHAP, keterangan saksi yang berisi penjelasan tentang apa yang
didengar sendiri, dilihatnya sendiri atau dialaminya sendiri mengenai suatu
peristiwa pidana, baru dapat bernilai sebagai alat bukti apabila keterangan
itu saksi nyatakan disidang pengadilan.
68
Ibid. Hal.288. 69 Darwan prints, Op cit, hal 108.
105
1. Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup.
Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 185 ayat (2) KUHAP, keterangan
seorang saksi saja belum dapat diambil sebagai alat bukti yang cukup untuk
membuktikan kesalahan terdakwa atau “unnus testis nullus testis. Ini berarti
jika alat bukti yang dikemukakan penuntut umum hanya terdiri dari seorang
saksi tanpa ditambah dengan keterangan saksi yang lain atau alat bukti yang
lain, kesaksian tunggal yang seperti ini tidak dapat dinilai sebagai alat bukti
yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa sehubungan dengan
tindak pidana yang didakwakan kepadanya, memperhatikan uraian diatas
dapat ditarik kesimpulan, bahwa persyaratan yang dikehendaki oleh Pasal
185 ayat (2) KUHAP yaitu:
1. Untuk dapat membuktikan kesalahan terdakwa paling sedikit harus
didukung oleh dua orang saksi;
2. Atau saksi yang ada hanya terdiri dari seorang saja maka kesaksian
tunggal harus dicukupi atau ditambah dengan salah satu alat bukti
yang lain.
3. Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri
Dapat dilihat pada putusan Mahkamah Agung tanggal 17-4-1987, No
28 K/Kr./ 1977 yang menegaskan bahwa keterangan saksi satu saja, sedang
terdakwa memungkiri kejahatan yang dituduhkan kepadanya dan keterangan
saki-saksi lainya tidak memberi petunjuk terhadap kejahatan yang
dituduhkan, belum dapat dianggap cukup membuktikan kesalahan terdakwa,
disinilah dituntut kemampuan dari keterampilan penyidik untuk
106
mempersiapkan dan menyediakan saksi-saksi yang secara kualitatif dapat
memberikan keterangan yang saling berhubungan, hal seperti itu ditegaskan
dalam Pasal 185 ayat (4) KUHAP yaitu ;
1. Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri tentang suatu kejadian
atau keadaan dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah, dengan
syarat;
2. Apabila keterangan saksi itu ada hubunganya satu dengan yang lain
sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian
atau keadaan tertentu.
Keterangan saksi BRS als RW bin YA WA dalam Putusan Nomor:
145/Pid.B/2011/PN.Pbg. menerangkan Saksi kenal dengan Terdakwa dan
tidak ada hubungan keluarga, pada hari Jum‟at tanggal 22 April 2011 sekitar
jam 13.40 WIB Saksi telah mendapat laporan dari Ki bahwa saksi AS dan
Gn telah menemukan mayat seorang bayi perempuan, setelah mendengar
laporan tersebut, Saksi langsung datang ketempat ditemukan mayat bayi
perempuan yaitu diselokan Desa Bumisari Dukuh Kewok Rt.12 Rw.06
Kecamatan Bojongsari Kabupaten Purbalingga, setelah sampai dilokasi
ternyata sudah banyak orang dan benar memang ada mayat bayi perempuan
yang sudah membusuk dan pusarnya sudah bolong tidak ada ususnya, posisi
mayat bayi perempuan tersebut menyangkut disampah dan dalam keadaan
tengkurap selanjutnya Saksi memberitahukan kejadian tersebut ke Polisi,
sepengetahuan Saksi, Terdakwa belum pernah menikah.
107
Keterangan saksi GN als NN bin WM dalam Putusan Nomor:
145/Pid.B/2011/PN.Pbg. menerangkan, Saksi kenal dengan Terdakwa tetapi
tidak ada hubungan keluarga pada hari Jum‟at tanggal 22 April 2011 sekitar
jam 13.40 WIB Saksi bersama dengan saksi AS als AI bin SO telah
menemukan mayat perempuan di sungai kecil di Desa Bumisari Kecamatan
Bojongsari Kabupaten Purbalingga, saat itu Saksi bersama dengan saksi
Anggi Setiawan sedang mencari ikan di sungai kecil tersebut dengan
berjalan menyusuri sungai dan mencium bau busuk yang sangat menyengat
dan setelah didekati terlihat seperti katak yang mati, Saksi kemudian
penasaran dan bersama dengan saksi Anggi Setiawan kemudian dengan
menggunakan bambu membalik bangkai tersebut setelah dibalik ternyata
merupakan bayi perempuan yang mukanya sudah berlubang dan pada
bagian perutnya berlubang kemudian Saksi pulang dan dijalan bertemu
dengan Topo dan memberitahukan penemuan tersebut kedalaman sungai
kecil tersebut sekitar 70cm dengan lebar 1 meter dengan kondisi air keruh
dan ketinggian sekitar 30 cm.
Keterangan saksi AS als AI bin SO dalam Putusan Nomor:
145/Pid.B/2011/PN.Pbg. menerangkan Saksi kenal dengan Terdakwa tetapi
tidak ada hubungan keluarga pada hari Jum‟at tanggal 22 April 2011 sekitar
jam 13.40 WIB Saksi bersama dengan saksi GN telah menemukan mayat
perempuan di sungai kecil di Desa Bumisari Kecamatan Bojongsari
Kabupaten Purbalingga, saat itu Saksi bersama dengan saksi GN sedang
mencari ikan di sungai kecil tersebut dengan berjalan menyusuri sungai dan
108
mencium bau busuk yang sangat menyengat dan setelah didekati terlihat
seperti katak yang mati, Saksi kemudian penasaran dan bersama dengan
saksi GN kemudian dengan menggunakan bambu membalik bangkai
tersebut setelah dibalik ternyata merupakan bayi perempuan yang mukanya
sudah berlubang dan pada bagian perutnya berlubang, kemudian Saksi
pulang dan dijalan bertemu dengan TO dan memberitahukan penemuan
tersebut, kedalaman sungai kecil tersebut sekitar 70cm dengan lebar 1 meter
dengan kondisi air keruh dan ketinggian sekitar 30 cm.
Keterangan saksi DTI als YTI binti SKD dalam Putusan Nomor:
145/Pid.B/2011/PN.Pbg. menerangkan saksi kenal dengan Terdakwa tetapi
tidak ada hubungan keluarga, Saksi pernah mendengar ributribut orang di
Desa mengenai kehamilan Terdakwa kemudian Saksi menanyakan hal
tersebut kepada ibunya Terdakwa yaitu SI tentang kebenaran kabar tersebut
dan dijawab oleh ibu Terdakwa bahwa anaknya tidak hamil karena sedang
datang bulan pada hari Kamis tanggal 14 April 2011 sekitar jam 19.00 WIB
ketika Saksi berada dirumah Terdakwa dan melihat Terdakwa dengan perut
yang besar seperti orang hamil, Saksi mengetahui tentang penemuan mayat
bayi di sungai kecil di Dukuh Gewok Desa Bumisari Kecamatan Bojongsari
Kabupaten Purbalingga dan mendatangi tempat kejadian bersama dengan
warga lainnya serta sempat melihat mayat bayi perempuan yang sudah
membusuk tetapi bentuk mukanya mirip Terdakwa tetapi Saksi tidak berani
menanyakan hal tersebut kepada Terdakwa maupun keluarganya.
109
Keterangan saksi SM als Ny. SKO binti MWI dalam Putusan Nomor:
145/Pid.B/2011/PN.Pbg. menerangkan saksi kenal dengan Terdakwa tetapi
tidak ada hubungan keluarga, pada hari dan tanggal lupa tetapi bulan April
tahun 2011 telah ditemukan mayat bayi perempuan di sungai kecil di Dukuh
Gewok Desa Bumisari Kecamatan Bojongsari Kabupaten Purbalingga,
Saksi tidak mengetahui siapa orang tua mayat bayi tersebut tetapi ketika
Terdakwa dibawa Polisi orang tua Terdakwa mengatakan ibu dari mayat
bayi tersebut adalah Terdakwa, Saksi pernah melihat Terdakwa dengan
perut yang membesar dan timbul kecurigaan bahwa Terdakwa sedang hamil.
Keterangan saksi SRD bin BWI als BR dalam Putusan Nomor:
145/Pid.B/2011/PN.Pbg. menerangkan Saksi kenal dengan Terdakwa yang
tidak lain juga pacar Saksi, Saksi mengenal dengan Terdakwa pada bulan
Januari 2010, Saksi pernah tiga kali bertemu dengan Terdakwa masing-
masing di Balai Desa Bumisari, di Bojongsari dan di alunalun Purbalingga,
kemudian Saksi dengan Terdakwa pergi ke Baturaden dan melakukan
hubungan layaknya suami isteri, setiap diadakan pertemuan selalu janjian
dengan SMS, Saksi tidak mengetahui Terdakwa sedang hamil akibat dari
perbuatan Saksi dari hubungan layaknya suami isteri sekitar bulan April
2010, setelah berhubungan tersebut, Saksi tidak pernah bertemu dengan
Terdakwa lagi atau putus Komunikasi, menurut Saksi, Terdakwa pernah
berhubungan dengan orang lain.
Keterangan para saksi, salah satu dari ke-enam saksi yang
memberikan keterangan dalam persidangan yaitu saksi Gunawan Als Nawan
110
Bin Watim tidak mempunyai kekuatan pembuktian karena saksi tersebut
memberikan keterangan tanpa mengangkat sumpah , padahal saksi tersebut
dalam keadaan dewasa dan dalam keadaan sehat seperti termuat dalam Pasal
171 KUHAP yakni yang boleh diperiksa untuk memberi keterangan tanpa
mengangkat sumpah dan apabila dihubungkan dengan teori dari Darwan
Prints70
, yang mengemukakan beberapa syarat bagi saksi agar kesaksiannya
tersebut dipakai sebagai alat bukti, diantaranya yaitu :
1. Syarat formal
Bahwa keterangan saksi dapat dianggap sah, apabila keterangan itu
diberikan dibawah sumpah;
2. Syarat materiil
Bahwa keterangan seorang saksi saja tidak dapat dianggap sah sebagai
alat pambuktian, akan tetapi keterangan seorang saksi adalah cukup
untuk alatpembuktian untuk suatu kejahatan yang dituduhkan dan
keterangan saksi tersebut adalah yang dia lihat, dia dengar serta
dialamainya sendiri. dengar serta dialamainya sendiri.
Oleh karena itu, dari teori / doktrin dan juga dari peraturan
perundangan sebagaimana telah diuraikan diatas, maka keterangan saksi
dalam Putusan Nomor: 145/Pid.B/2011/PN.Pbg. Kalau bertitik tolak dari
ketentuan pasal 161 ayat (2) KUHAP dihubungkan dengan Pasal 185 ayat
(7) KUHAP, nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada keterangan saksi
yang dibacakan di sidang pengadilan, sekurang-kurangnya dapat
dipersamakan dengan keterangan saksi yang diberikan dipersidangan tanpa
sumpah. Jadi sifatnya tetap bukan merupakan alat bukti, tetapi nikai
kekuatan pembuktian yang melekat padanya dapat dipergunakan
menguatkan keyakinan hakim saja.
70 Darwan prints, Op cit, hal 108.
111
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap Putusan
Pengadilan Negeri Purbalingga No.145/Pid.B/2011/PN. Pbg maka penulis
dapat mengambil suatu kesimpulan sebagai berikut :
1) Keterangan saksi GN als NN bin WM yang tidak disumpah pada kasus
tindak pidana pembunuhan anak di atas tidak dapat diklasifikasikan
sebagai alat bukti yang sah karena:
112
a. Menurut Pasal 185 ayat (7) KUHAP, bahwa keterangan saksi yang
diberikan di persidangan dengan tanpa mengangkat sumpah seperti
yang diberikan saksi GN als NN bin WM tidak dapat diklasifikasikan
sebagai alat bukti yang sah,
b. Keterangan tersebut sifatnya bukan merupakan alat bukti, tetapi dapat
bernilai dan bisa dipergunakan sebagai tambahan alat bukti yang sah
lainnya sepanjang keterangan saksi yang dibacakan mempunyai
persesuaian dengan alat bukti yang sah dan alat bukti yang ada telah
memenuhi batas minimum pembuktian.
2) Kekuatan Pembuktian Keterangan saksi GN als NN bin WM yang tidak
disumpah menurut Pasal 161 ayat (2) KUHAP dihubungkan dengan
Pasal 185 ayat (7) KUHAP, nilai kekuatan pembuktian yang melekat
pada keterangan saksi yang dibacakan di sidang pengadilan, sekurang-
kurangnya dapat dipersamakan dengan keterangan saksi yang diberikan
dipersidangan tanpa sumpah. Jadi sifatnya tetap bukan merupakan alat
bukti, tetapi nikai kekuatan pembuktian yang melekat padanya dapat
dipergunakan menguatkan keyakinan hakim saja.
B. Saran
Hakim haruslah lebih hati-hati, cermat dan teliti dalam menilai suatu
alat bukti saksi serta menyesuaikannya dengan alat bukti yang sah lainnya,
karena sedikit banyak alat bukti saksi tersebut tetap akan berpengaruh
terhadapnya, dengan catatan minimal 2 alat bukti yang sah untuk
mendukungnya.
113
DAFTAR PUSTAKA
A. Literatur :
Farid, Zainal Abidin. 2007, Hukum Pidana 1, Jakarta: Sinar Grafika
Hamzah, Andi. 2001 ,Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika.
____________. 2008,Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika.
Harahap, M.Yahya. 2002, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
edisi kedua., Jakarta: Sinar Grafika.
_____________2008. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP.
Jakarta: Sinar Grafika.
____________.2009, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,
Jakarta: Sinar Grafika..
114
Hartanti, Evi. 2007, Tindak Pidana Korupsi (Edisi Kedua), Jakarta: Sinar
Grafika..
Ibrahim, Jhonny. 2006, Teori dan Metodologi dan Penelitian Hukum Normatif.
Banyumedia Publishing. Cetakan Kedua.
Kansil C.S.T., dan Christine S.T. Kansil,. 2007,,Latian Ujian Hukum
Pidana,Jakarta: Sinar Grafika
Lamintang Theo, dan P.A.F. Lamintang. 2010, Pembahasan KUHAP (
Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana dan Yurisprudensi), Jakarta :
Sinar Grafika.
Mardani, 2005, Penyalahgunaan Narkoba dalam Perspektif Hukum Islam dan
Hukum Pidana Nasional. Jakarta: PT Raja Grafindo
Mahmud Marzuki, Peter. 2005, Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana
Marpaung, Leden. 2009, Proses penanganan perkara pidana (penyelidikan
dan penyidikan), Bagian pertama, Edisi kedua, Cetakan kedua, Jakarta:
Sinar Grafika.
M. Taufik Makaro dan Suharsil, 2004, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan
Praktek. Jakarta: Ghalia Indonesia
Moeljatno, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta
Nugroho, Hibnu. 2010, Bunga Rampai Penegakan Hukum di Indonesia,
Semarang :Badan Penerbit Undip.
Prinst, Darwan. 1989, Hukum Acara Pidana dalam Praktik.Jakarta:
Djambatan.
Prodjohamidjojo, Martiman. 1993, Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti, ,
Jakarta: Ghalia Indonesia
Projodikoro, Wirjono. 1967, Hukum Acara Pidana di Indonesia. Jakarta:
Sumur Bandung
Purnomo, Bambang. 1985, Pokok-Pokok Tata Acara Peradilan Pidana
Indonesia Dalam UU No.8 Tahun 1981. Yogyakarta:
Liberty
Sasangka, Hary & Rosita Lyli.2003. Hukum Pembuktian Dalam Perkara
Pidana. Bandung : Mandar Maju.
115
Soeparmono, R. 2011, Keterangan Ahli dan Visum et Repertum dalam Aspek
Hukum Acara Pidana. Bandung: Mandar Maju.
B. Peraturan Perundang-Undangan :
Indonesia Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Hukum Pidana.
_______,Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.
_______,Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara
Pidana.
_______,Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
_______,Undang - Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman.
C. Sumber Lain
Putusan Pengadilan Negeri Purbalingga No. 145/Pid.B/2011/PN.Pbg
http://gudangmakalah.blogspot.com/2009/08/skripsi.(diakses pada tanggal 25
Mei 2013 pada pukul 22.15 WIB.)
http://pelangi biru.net2011/02/anak. Pengertian- anak..html. Diakses pada
tanggal 25 Juli 2013 pada pukul 22.15 WIB.)
http://id.wikipedia.org/wiki/Saksi, diakses pada tanggal 26 Juli 2013 pada
pukul 15. 28 WIB
http://julimansipemshmh.blogspot.com