Download - Sejarah Kerajaan Majapahit ~Tugas Pancasila
Sejarah Kerajaan Majapahit
Arinil Haq (1107135643)
Teknik Kimia S1 Kelas B
2013
Sejarah Kerajaan Majapahit
A. Asal Mula Kerajaan Majapahit
Berdirinya Kerajaan Majapahit tidak terlepas dari adanya Kerajaan
Singasari. Pada masa itu, Kerajaan Singasari menolak memberikan upeti kepada
Kubilai Khan, penguasa Dinasti Yuan di Tiongkok yang memicu kemarahan
Kubilai Khan hingga mengirimkan pasukannya ke Jawa.
Sementara itu, Jayakatwang, Adipati Kediri berhasil membunuh
Kertanegara, raja terakhir dari kerajaan Singasari. Raden Wijaya, menantu
Kertanegara bersama sisa-sisa pasukannya berhasil melarikan diri ke Madura dan
meminta perlindungan dari Arya Wiraraja. Raden Wijaya kemudian berpura-pura
menyerahkan diri dan mengabdi kepada Kertanegara, yang disambut baik oleh
Kertanegara dengan menghadiahi Raden Wijaya tanah di Hutan Tarik, Mojokerto,
yang kemudian diberi nama Majapahit. Asal kata Majapahit itu sendiri diyakini
berasal dari buah maja yang pahit yang bisa ditemukan di hutan tersebut.
Ketika pasukan Mongol yang dipimpin oleh Shih-Pi, Ike-Mise, dan Kau-
Hsing tiba, Raden Wijaya turut bertempur menjatuhkan Jayakatwang. Setelah
berhasil membunuh Jayakatwang, Raden Wijaya berbalik menyerang pasukan
mongol yang sedang lengah merayakan kemenangannya, hingga berhasil
memukul mundur pasukan mongol kembali ke negerinya.
Pada tanggal 15 bulan Kartika tahun 1215 Saka atau 10 November 1293
Raden Wijaya dinobatkan sebagai raja pertama dari Kerajaan Majapahit yang
bergelar Sri Kertarajasa Jayawardhana.
Untuk meredam kemungkinan terjadinya pemberontakan, Raden Wijaya
(Kertarajasa) mengawini empat putri Kertanegara dengan tujuan mencegah
terjadinya perebutan kekuasaan antar anggota keluarga raja. Putri sulung
Kertanegara, Dyah Sri Tribhuaneswari, dijadikan permaisuri dan putra dari
pernikahan tersebut, Jayanegara dijadikan putra mahkota.
Putri bungsu Kertanegara, Dyah Dewi Gayatri dijadikan Rajapatni. Dari
putri ini, Kertarajasa memiliki dua putri, Tribhuwanatunggadewi
Jayawisnuwardhani diangkat menjadi Bhre Kahuripan dan Rajadewi Maharajasa
diangkat menjadi Bhre Daha. Putri Kertanegara lainnya yang dinikahi Kertarajasa
adalah Dyah Dewi Narendraduhita dan Dyah Dewi Prajnaparamita. Dari kedua
putri ini, Kertarajasa tidak mempunyai putra.
Bentuk lain dari antisipasi pemberontakan oleh Kertarajasa yaitu
memberikan kedudukan dan hadiah yang pantas kepada para pendukungnya,
misalnya, Lurah Kudadu memperoleh tanah di Surabaya dan Arya Wiraraja diberi
kekuasaan atas daerah Lumajang sampai Blambangan.
Kepemimpinan Kertarajasa yang cukup bijaksana menjadikan kerajaan
aman dan tentram. Beliau wafat pada tahun 1309 dan dimakamkan di Simping
(Blitar) sebagai Siwa dan di Antahpura (dalam kota Majapahit) sebagai Buddha.
Arca perwujudannya adalah Harikaya, yaitu Wisnu dan Siwa digambarkan dalam
satu arca.
Setelah mangkat, Kertarajasa digantikan oleh putranya Jayanegara. Ketika
ayahnya masih memerintah, Jayanegara dinobatkan menjadi raja muda (yuwaraja)
di Kediri dengan nama Abhiseka Sri Jayanegara. Pada saat naik tahta, Jayawijaya
baru berusia 15 tahun.
Masa pemerintahan Jayanegara dipenuhi pemberontakan akibat
kepemimpinannya kurang berwibawa dan kurang bijaksana. Pemberontakan-
pemberontakan yang terjadi yaitu Pemberontakan Ranggalawe pada tahun 1231
yang baru dapat dipadamkan pada tahun 1309, Pemberontakan Lembu Sora pada
tahun 1311, Pemberontakan Juru Demung pada tahun 1313 disusul
Pemberontakan Gajah Biru, Pemberontakan Nambi yang merupkan Rakryan Patih
Majapahit pada tahun 1319 dan terakhir Pemberontakan Kuti pada tahun 1319.
Pemberontakan ini adalah yang paling besar dan berbahaya. Kuti berhasil
menduduki ibu kota kerajaan sehingga Jayanegara terpaksa melarikan diri ke
daerah Bedander.
Jayanegara kemudian dilindungi oleh pasukan Bhayangkari pimpinan
Gajah Mada. Berkat kepemimpinan Gajah Mada, Pemberontakan Kuti dapat
dipadamkan. Namun, meskipun berbagai pemberontakan tersebut berhasil
dipadamkan, Jayanegara justru meninggal akibat dibunuh oleh salah seorang
tabibnya yang bernama Tanca pada tahun 1328, yang kemudian dibunuh pula oleh
Gajah Mada. Jayanegara lalu dimakamkan di candi Singgapura di Kapopongan.
Jayanegara meninggal tanpa meninggalkan seorang putra pun. Pewaris
tahta yang berhak memimpin Majapahit selanjutnya yaitu Gayatri, ibu tiri
Jayanegara. Namun Gayatri yang telah menjadi biksuni menolak dan menunjuk
putrinya Tribuwanatunggadewi menjadi raja dengan dibantu suaminya
Kartawardhana.
Pada tahun 1331 timbul pemberontakan yang dipelopori oleh Sadeng dan
Keta. Pemberontakan ini berhasil ditumpas oleh Gajah Mada yang saat itu
menjabat Patih Daha. Atas jasanya ini, Gajah Mada diangkat menjadi Mahapatih
Kerajaan Majapahit menggantikan Pu Naga.
Gajah Mada menunjukkan kesetiannya kepada Kerajaan Majapahit dengan
bercita-cita menyatukan wilayah Nusantara yang dibantu oleh Mpu Nala dan
Adityawarman. Hal ini ditunjukkan dengan Gajah Mada bersumpah pada tahun
1339 tidak akan makan buah Palapa sebelum wilayah Nusantara bersatu dibawah
naungan Majapahit. Sumpahnya ini dikenal dengan Sumpah Palapa, yang
berbunyi “Lamun luwas kalah nusantara isum amakti palapa, lamun kalah ring
Gurun, ring Seram, ring Sunda, ring Palembang, ring Tumasik, samana sun
amukti palapa.”. Terbukti wilayah Kerajaan Majapahit kian luas dibawah
komando Gajah Mada. Sementara itu, Tribuwana yang telah turun tahta
digantikan oleh putranya Hayam Wuruk.
B. Kejayaan Kerajaan Majapahit
Hayam Wuruk, juga disebut Rajasanagara, memerintah Majapahit dari
tahun 1350 hingga 1389, yang diangkat menjadi raja pada umur 16 tahun. Pada
masanya Majapahit mencapai puncak kejayaannya dengan bantuan mahapatihnya,
Gajah Mada. Di bawah perintah Gajah Mada (1313-1364), Majapahit menguasai
lebih banyak wilayah.
Menurut Kakawin Nagarakretagama pupuh XIII-XV, daerah kekuasaan
Majapahit meliputi Sumatra, semenanjung Malaya, Kalimantan, Sulawesi,
kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Papua, Tumasik (Singapura) dan sebagian
kepulauan Filipina. Sumber ini menunjukkan batas terluas sekaligus puncak
kejayaan Kemaharajaan Majapahit.
Namun demikian, batasan alam dan ekonomi menunjukkan bahwa daerah-
daerah kekuasaan tersebut tampaknya tidaklah berada di bawah kekuasaan
terpusat Majapahit, tetapi terhubungkan satu sama lain oleh perdagangan yang
mungkin berupa monopoli oleh raja. Majapahit juga memiliki hubungan dengan
Campa, Kamboja, Siam, Birma bagian selatan, dan Vietnam, dan bahkan
mengirim duta-dutanya ke Tiongkok.
Selain melancarkan serangan dan ekspedisi militer, Majapahit juga
menempuh jalan diplomasi dan menjalin persekutuan. Kemungkinan karena
didorong alasan politik, Hayam Wuruk berhasrat mempersunting Citraresmi
(Pitaloka), putri Kerajaan Sunda sebagai permaisurinya. Pihak Sunda menganggap
lamaran ini sebagai perjanjian persekutuan. Pada 1357 rombongan raja Sunda
beserta keluarga dan pengawalnya bertolak ke Majapahit mengantarkan sang putri
untuk dinikahkan dengan Hayam Wuruk. Akan tetapi Gajah Mada melihat hal ini
sebagai peluang untuk memaksa kerajaan Sunda takluk di bawah Majapahit.
Pertarungan antara keluarga kerajaan Sunda dengan tentara Majapahit di lapangan
Bubat tidak terelakkan. Meski dengan gagah berani memberikan perlawanan,
keluarga kerajaan Sunda kewalahan dan akhirnya dikalahkan. Hampir seluruh
rombongan keluarga kerajaan Sunda dapat dibinasakan secara kejam. Tradisi
menyebutkan bahwa sang putri yang kecewa, dengan hati remuk redam
melakukan "bela pati", bunuh diri untuk membela kehormatan negaranya. Kisah
Pasunda Bubat menjadi tema utama dalam naskah Kidung Sunda yang disusun
pada zaman kemudian di Bali dan juga naskah Carita Parahiyangan. Kisah ini
disinggung dalam Pararaton tetapi sama sekali tidak disebutkan dalam
Nagarakretagama.
Kakawin Nagarakretagama yang disusun pada tahun 1365 menyebutkan
budaya keraton yang adiluhung, anggun, dan canggih, dengan cita rasa seni dan
sastra yang halus dan tinggi, serta sistem ritual keagamaan yang rumit. Sang
pujangga menggambarkan Majapahit sebagai pusat mandala raksasa yang
membentang dari Sumatera ke Papua, mencakup Semenanjung Malaya dan
Maluku. Tradisi lokal di berbagai daerah di Nusantara masih mencatat kisah
legenda mengenai kekuasaan Majapahit. Administrasi pemerintahan langsung
oleh kerajaan Majapahit hanya mencakup wilayah Jawa Timur dan Bali, di luar
daerah itu hanya semacam pemerintahan otonomi luas, pembayaran upeti berkala,
dan pengakuan kedaulatan Majapahit atas mereka.
C. Runtuhnya Kerajaan Majapahit
Kerajaan Majapahit mulai mengalami kemunduran setelah wafatnya Gajah
Mada pada tahun 1364, dimana Hayam Wuruk tidak berhasil menemukan
pengganti yang sepadan bagi Gajah Mada. Pada tahun 1377, beberapa tahun
setelah kematian Gajah Mada, Majapahit melancarkan serangan laut untuk
menumpas pemberontakan di Palembang.
Keadaan ini kian diperparah dengan meninggalnya Hayam Wuruk pada
tahun 1389 yang memicu konflik perebutan tahta diantara pewarisnya. Pewaris
Hayam Wuruk adalah putri mahkota Kusumawardhani, yang menikahi sepupunya
sendiri, pangeran Wikramawardhana. Hayam Wuruk juga memiliki seorang putra
dari selirnya Wirabhumi yang juga menuntut haknya atas takhta. Perang saudara
yang disebut Perang Paregreg diperkirakan terjadi pada tahun 1405-1406, antara
Wirabhumi melawan Wikramawardhana. Perang ini akhirnya dimenangi
Wikramawardhana, semetara Wirabhumi ditangkap dan kemudian dipancung.
Perang saudara ini melemahkan kendali Majapahit atas daerah-daerah
taklukannya di seberang.
Wikramawardhana memerintah hingga tahun 1426, dan diteruskan oleh
putrinya, Ratu Suhita, yang memerintah pada tahun 1426 sampai 1447. Ia adalah
putri kedua Wikramawardhana dari seorang selir yang juga putri kedua
Wirabhumi. Pada 1447, Suhita mangkat dan pemerintahan dilanjutkan oleh
Kertawijaya, adik laki-lakinya. Ia memerintah hingga tahun 1451. Setelah
Kertawijaya wafat, Bhre Pamotan menjadi raja dengan gelar Rajasawardhana dan
memerintah di Kahuripan. Ia wafat pada tahun 1453. Terjadi jeda waktu tiga
tahun tanpa raja akibat krisis pewarisan takhta. Girisawardhana, putra
Kertawijaya, naik takhta pada 1456. Ia kemudian wafat pada 1466 dan digantikan
oleh Singhawikramawardhana. Pada 1468 pangeran Kertabhumi memberontak
terhadap Singhawikramawardhana dan mengangkat dirinya sebagai raja
Majapahit.
Ketika Majapahit didirikan, pedagang Muslim dan para penyebar agama
sudah mulai memasuki Nusantara. Pada akhir abad ke-14 dan awal abad ke-15,
pengaruh Majapahit di seluruh Nusantara mulai berkurang. Pada saat bersamaan,
sebuah kerajaan perdagangan baru yang berdasarkan Islam, yaitu Kesultanan
Malaka, mulai muncul di bagian barat Nusantara. Di bagian barat kemaharajaan
yang mulai runtuh ini, Majapahit tak kuasa lagi membendung kebangkitan
Kesultanan Malaka yang pada pertengahan abad ke-15 mulai menguasai Selat
Malaka dan melebarkan kekuasaannya ke Sumatera. Sementara itu beberapa
jajahan dan daerah taklukan Majapahit di daerah lainnya di Nusantara, satu per
satu mulai melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit.
Singhawikramawardhana memindahkan ibu kota kerajaan lebih jauh ke
pedalaman di Daha (bekas ibu kota Kerajaan Kediri) dan terus memerintah disana
hingga digantikan oleh putranya Ranawijaya pada tahun 1474. Pada 1478
Ranawijaya mengalahkan Kertabhumi dan mempersatukan kembali Majapahit
menjadi satu kerajaan. Ranawijaya memerintah pada kurun waktu 1474 hingga
1519 dengan gelar Girindrawardhana. Meskipun demikian kekuatan Majapahit
telah melemah akibat konflik dinasti ini dan mulai bangkitnya kekuatan kerajaan-
kerajaan Islam di pantai utara Jawa.
Waktu berakhirnya Kemaharajaan Majapahit berkisar pada kurun waktu
tahun 1478 hingga tahun 1527.
D. Struktur Pemerintahan Kerajaan Majapahit
Kerajaan Majapahit dipimpin oleh raja yang dianggap sebagai penjelmaan
dewa dan memiliki otoritas tertinggi. Sebelum menduduki jabatan raja, putra
mahkota biasanya diberi kekuasaan sebagai raja muda (Rajakumara atau
Yuwaraja). Contohnya, sebelum dinobatkan menjadi raja, Hayam Wuruk terlebih
dahulu diangkat sebagai Rajakumara yang berkedudukan di Jimna.
Raja dibantu oleh sejumlah pejabat birokrasi dalam melaksanakan
pemerintahan, dengan para putra dan kerabat dekat raja memiliki kedudukan
tinggi. Perintah raja biasanya diturunkan kepada pejabat-pejabat di bawahnya,
antara lain yaitu:
Rakryan Mahamantri Katrini, biasanya dijabat putra-putra raja
Rakryan Mantri ri Pakira-kiran, dewan menteri yang melaksanakan
pemerintahan
Dharmmadhyaksa, para pejabat hukum keagamaan. Dharmadyaksa ri
Kasainan bertugas menangani urusan agama Siwa dan Dharmadyaksa ri
Kasogatan bertugas menangani urusan agama Buddha.
Dharmma-upapatti, para pejabat keagamaan, yaitu Sang Panget i Tirwan,
i Kandamulri, i Mangkuri, i Paratan, i Jambi, i Kandangan Rase, dan i
Kandangan Atuha.
Dalam Rakryan Mantri ri Pakira-kiran terdapat seorang pejabat yang
terpenting yaitu Rakryan Mapatih atau Patih Hamangkubhumi. Pejabat ini dapat
dikatakan sebagai perdana menteri yang bersama-sama raja dapat ikut
melaksanakan kebijaksanaan pemerintahan. Selain itu, terdapat pula semacam
dewan pertimbangan kerajaan yang anggotanya para sanak saudara raja, yang
disebut Bhattara Saptaprabhu.
Tiga lembaga pemerintahan tingkat atas di Majapahit sebagai berikut:
Sapta Prabu, merupakan sebuah dewan kerajaan. Anggota dewan ini
adalah keluarga raja yang bertugas mengurusi soal keluarga raja,
penggantian mahkota, dan urusan-urusan negara yang berhubungan
dengan kebijaksanaan negara.
Dewan Menteri Besar, menerima perintah raja. Anggotanya berjumlah
lima orang dan dipimpin oleh Mahapatih Gajah Mada. Dewan ini
bertugas mengepalai urusan tata negara merangkap urusan angkatan
perang dan kebijaksanaan.
Dewan Menteri Kecil, melanjutkan perintah raja. Beranggotakan tiga
orang dan bertugas sebagai pelaksana kebijaksanaan raja.
Di tingkat tengah terdapat pemerintahan daerah yang dikepalai oleh bupati.
Daerah ini biasanya disebut mancanegara. Adapun di tingkat bawah terdapat
pemerintahan desa yang dikepalai seorang kepala desa. Di samping itu, masih ada
jabatan raja-raja daerah atau disebut Paduka Bhatara. Mereka memerintah negara-
negara daerah jajahan dibantu sejumlah pejabat daerah. Raja Majapahit juga
dibantu oleh tiga mahamenteri, yakni i Hino, i Halu, dan i Sirikan. Biasanya yang
diangkat untuk menduduki jabatan ini adalah putra raja.
Mahamenteri i Hino memiliki kedudukan paling tinggi karena di samping
memiliki hubungan erat dengan raja, ia juga dapat mengeluarkan prasasti-prasasti.
Para maha menteri ini dibantu oleh para Rakryan Mantri atau sekelompok pejabat
tinggi kerajaan yang merupakan badan pelaksana pemerintahan. Badan ini terdiri
atas lima orang, yaitu Patih Amangkubumi, Rakyan Tumenggung, Rakryan
Demung, Rakryan Rangga, dan Rakryan Kanuruhan. Kelima pejabat ini disebut
Sang Panca ri Wilwatikta atau Mantri Amancanegara.
E. Peninggalan Kerajaan Majapahit
1. Candi Sukuh
Candi Sukuh adalah sebuah kompleks candi agama Hindu yang terletak di
wilayah Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Candi ini dikategorikan sebagai
candi Hindu karena ditemukannya obyek pujaan lingga dan yoni. Candi ini
digolongkan kontroversial karena bentuknya yang kurang lazim dan karena
banyaknya obyek-obyek lingga dan yoni yang melambangkan seksualitas. Candi
Sukuh telah diusulkan ke UNESCO untuk menjadi salah satu Situs Warisan Dunia
sejak tahun 1995.
2. Candi Cetho
Candi Cetho merupakan sebuah candi bercorak agama Hindu peninggalan
masa akhir pemerintahan Majapahit (abad ke-15). Laporan ilmiah pertama
mengenainya dibuat oleh Van de Vlies pada 1842. A.J. Bernet Kempers juga
melakukan penelitian mengenainya. Ekskavasi (penggalian) untuk kepentingan
rekonstruksi dilakukan pertama kali pada tahun 1928 oleh Dinas Purbakala Hindia
Belanda. Berdasarkan keadaannya ketika reruntuhannya mulai diteliti, candi ini
memiliki usia yang tidak jauh dengan Candi Sukuh. Lokasi candi berada di Dusun
Ceto, Desa Gumeng,Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar, pada ketinggian
1400m di atas permukaan laut.
3. Candi Pari
Candi Pari adalah sebuah peninggalan Masa Klasik Indonesia di Desa
Candi Pari, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Propinsi Jawa Timur. Lokasi
tersebut berada sekitar 2 km ke arah barat laut pusat semburan lumpur PT
Lapindo Brantas saat ini.
Dahulu, di atas gerbang ada batu dengan angka tahun 1293 Saka = 1371
Masehi. Merupakan peninggalan zaman Majapahit pada masa pemerintahan Prabu
Hayam Wuruk 1350-1389 M.
4. Candi Jabung
Candi hindu ini terletak di Desa Jabung, Kecamatan Paiton,Kabupaten
Probolinggo, Jawa Timur. Struktur bangunan candi yang hanya dari bata merah
ini mampu bertahan ratusan tahun. Menurut keagamaan,Agama Budha dalam
kitab Nagarakertagama Candi Jabung di sebutkan dengan nama
Bajrajinaparamitapura. Dalam kitab Nagarakertagama candi Jabung dikunjungi
oleh Raja Hayam Wuruk pada lawatannya keliling Jawa Timur pada tahun 1359
Masehi. Pada kitabPararaton disebut Sajabung yaitu tempat pemakaman Bhre
Gundal salah seorang keluarga raja.
Arsitektur bangunan candi ini hampir serupa dengan Candi Bahal yang ada
di Bahal, Sumatera Utara.
5. Gapura Wringin Lawang
Dalam bahasa Jawa, Wringin Lawang berarti ‘Pintu Beringin’. Gapura
agung ini terbuat dari bahan bata merah dengan luas dasar 13 x 11 meter dan
tinggi 15,5 meter. Diperkirakan dibangun pada abad ke-14. Gerbang ini lazim
disebut bergaya candi bentar atau tipe gerbang terbelah. Gaya arsitektur seperti ini
diduga muncul pada era Majapahit dan kini banyak ditemukan dalam arsitektur
Bali.
6. Gapura Bajang Ratu
Bangunan ini diperkirakan dibangun pada abad ke-14 dan adalah salah
satu gapura besar pada zaman keemasan Majapahit. Menurut catatan Badan
Pelestarian Peninggalan Purbakala Mojokerto, candi / gapura ini berfungsi sebagai
pintu masuk bagi bangunan suci untuk memperingati wafatnya Raja Jayanegara
yang dalamNegarakertagama disebut “kembali ke dunia Wisnu” tahun 1250 Saka
(sekitar tahun 1328 M). Namun sebenarnya sebelum wafatnya Jayanegara candi
ini dipergunakan sebagai pintu belakang kerajaan. Dugaan ini didukung adanya
relief “Sri Tanjung” dan sayap gapura yang melambangkan penglepasan dan
sampai sekarang di daerah Trowulan sudah menjadi suatu kebudayaan jika
melayat orang meninggal diharuskan lewat pintu belakang.
7. Candi Brahu
Nama candi ini, yaitu ‘brahu’, diduga berasal dari kata wanaru atau
warahu. Nama ini didapat dari sebutan sebuah bangunan suci yang disebut dalam
Prasasti Alasantan. Prasasti tersebut ditemukan tak jauh dari Candi Brahu.
8. Candi Tikus
Candi ini terletak di kompleks Trowulan, sekitar 13 km di sebelah
tenggara kota Mojokerto. Candi Tikus yang semula telah terkubur dalam tanah
ditemukan kembali pada tahun 1914. Penggalian situs dilakukan berdasarkan
laporan bupati Mojokerto, R.A.A. Kromojoyo Adinegoro, tentang ditemukannya
miniatur candi di sebuah pekuburan rakyat. Pemugaran secara menyeluruh
dilakukan pada tahun 1984 sampai dengan 1985. Nama ‘Tikus’ hanya merupakan
sebutan yang digunakan masyarakat setempat. Konon, pada saat ditemukan,
tempat candi tersebut berada merupakan sarang tikus.
9. Candi Surawana
Candi Surawana adalah candi Hindu yang terletak di Desa Canggu,
Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri, sekitar 25 km arah timur laut dari Kota
Kediri. Candi yang nama sesungguhnya adalah Wishnubhawanapura ini
diperkirakan dibangun pada abad 14 untuk memuliakan Bhre Wengker, seorang
raja dari Kerajaan Wengker yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit.
Raja Wengker ini mangkat pada tahun 1388 M. Dalam Negarakertagama
diceritakan bahwa pada tahun 1361 Raja Hayam Wuruk dari Majapahit pernah
berkunjung bahkan menginap di Candi Surawana. Candi Surawana saat ini
keadaannya sudah tidak utuh. Hanya bagian dasar yang telah direkonstruksi.
Daftar Pustaka
Anonim. (2013, Juli 13). Candi-Candi Peninggalan Kerajaan Majapahit. Dipetik September 12, 2013, dari yudhe.com: http://www.yudhe.com/candi-candi-peninggalan-kerajaan-majapahit/
Frediandika, F. (t.thn.). Sejarah Kerajaan Majapahit. Dipetik September 12, 2013, dari Wattpad: http://www.wattpad.com/19125593-sejarah-kerajaan-majapahit
Hamdi, H. (2013, Juli 25). Sejarah Kerajaan Majapahit. Dipetik September 12, 2013, dari Sibarasok Community: http://www.sibarasok.com/2013/07/sejarah-kerajaan-majapahit.html
WikiMedia. (2013, Agustus 4). Majapahit. Dipetik September 12, 2013, dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas: http://id.wikipedia.org/wiki/Majapahit