peninggalan kerajaan majapahit
TRANSCRIPT
KERAJAAN MAJAPAHIT
a. Perkembangan politik, sosial, dan ekonomi Politik dan pemerintahan
Majapahit telah mengembangkan sistem pemerintahan yang teratur. Raja memegang kekuasaan tertinggi dalam melaksanakan perintahnya dan dibantu oleh berbagai badan, sebagai berikut:
Rakryan Mahamantri Katrini, dijabat oleh para putra raja yang terdiri atas Rakryan Ihino, Rakryan Sirikan, dan Rakryan Ihalu.
Dewan Pelaksanaan, terdiri atas Rakryan Mapatih /Patih Mangkabumi, Rakryan Tumenggung, Rakryan Demung, Rakryan Rangga, dan Rakryan Kanuruhan, kelima pejabat ini dikenal sebagai sang panca ring wilwatika.
Struktur ini ada di pemerintahan pusat dan juga berlaku di daerah yang berada di bawah raja-raja untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan aman dibentuklah badan saptopati, selain itu disusun juga kitab kutaramanawa yang berupa kitab hukum bagi Majapahit.
Ada juga yang disebut Dharmadyaksa yang merupakan pejabat tinggi kerajaan khusus yang menangani persoalan agama. Ada 2 macam Dharmadyaksa:
Dharmadyaksa ring kasaiwan, mengurusi agama syiwa (hindu) Dharmadyaksa ring kasogatan, mengurusi agama buddha.
Kehidupan beragama di majapahit berkembang semarak, pemeluk yang beragama hindu maupun buddha saling bersatu, maka sejak saat itulah dikenal semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”.
b. Kehidupan sosial ekonomi Dibawah pemerintahan Hayam Wuruk, keamanan dan
kemakmuran rakyat sangat diutamakan. Untuk memajukan perekonomian dibidang perdagangan Hayam Wuruk jembatan dan jalan-jalan sebagai lalu lintas perdagangan. Dari daerah pantai berkembang perdagangan antar daerah, antar pulau, bahkan dari luar. Kemudian timbullah kota2 sebagai pusat pelayaran dan perdagangan. Kegiatan pertanian juga dikembangkan, sawah dan ladang di kerjakan secukupnya dan dikerjakan secara bergiliran. Hal ini maksudnya agar tanah tetap subur dan kehabisan lahan pertanian.
BULELENG
Ki Gusti Panji Sakti, seorang yang dijuluki banyak nama: Ki Barak, Gde Pasekan, Gusti Panji, Ki Panji Sakti, Ki Gusti Anglurah Panji Sakti,
Selama berkuasa di Den Bukit Panji Sakti sejak 1660an sampai 1697 sangat disegani kawan maupun lawan. Dengan pasukan Gowak yang diorganisir bersama rakyat, beliau menguasai kerajaan Blambangan, Pasuruan, Jembrana. Hingga tahun 1690an Panji Sakti menikmati kejayaannya.
Buleleng adalah nama puri yang dibangun Panji Sakti di tengah tegalan jagung gembal yang juga disebut juga buleleng. Letaknya tidak jauh dari sungai yang disebut juga tukad Buleleng. Purinya disebut Puri Buleleng.
Ki Gusti Panji sakti diperkirakan wafat tahun 1699 dengan meninggalkan banyak keturunan.
Namun sayang putra-putra Ki Gusti Panji Sakti mempunyai pikiran yang berbeda satu sama lain sehingga kerajaan Buleleng menjadi lemah. Kerajaan Buleleng terpecah belah.
Akhirnya dikuasai kerajaan Mengwi, termasuk Blambangan. Lepas dari genggaman Mengwi kemudian tahun 1783 jatuh ke tangan kerajaan Karangasem.
Sejak itu terjadi beberapa kali pergantian raja asal Karangasem. Salah seorang raja asal Karangasem yaitu I Gusti Gde Karang bertakhta sebagai raja Buleleng tahun 1806-1818. Sebagai raja Buleleng beliau juga menguasai kerajaan Karangasem dan Jembrana. Beliau dikenal berwatak keras dan curiga kepada bangsa asing. Memang pada jaman itu bangsa asing seperti Belanda dan Inggris ingin menguasai Bali melalui Buleleng dan Jembrana.
PENINGGALAN KERAJAAN MAJAPAHIT
1. CANDI SUKUH
Terletak di wilayah Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah
Telah diusulkan ke UNESCO untuk menjadi salah satu Situs Warisan Dunia sejak tahun 1995.
2. CANDI CETHO
Peninggalan masa akhir pemerintahan Majapahit (abad ke-15).
Berada di Dusun Ceto, Desa Gumeng,Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar, pada ketinggian 1400m di atas permukaan laut.
3. CANDI PARI Terletak di Desa
Candi Pari, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Propinsi Jawa Timur.
Lokasi tersebut berada sekitar 2 km ke arah barat laut pusat semburan lumpur PT Lapindo Brantas saat ini.
4. CANDI JABUNG Tterletak di Desa Jabung,
Kecamatan Paiton,Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur.
Menurut kitab Nagarakertagama Candi Jabung di sebutkan dengan nama Bajrajinaparamitapura.
Dalam kitab Nagarakertagama candi Jabung dikunjungi oleh Raja Hayam Wuruk pada lawatannya keliling Jawa Timur pada tahun 1359 Masehi.
Pada kitab Pararaton disebut Sajabung yaitu tempat pemakaman Bhre Gundal salah seorang keluarga raja.
5. GAPURA WRINGIN LAWANG
Dalam bahasa Jawa, Wringin Lawang berarti 'Pintu Beringin'.
Gapura ini terbuat dari bahan bata merah dengan luas dasar 13 x 11 meter dan tinggi 15,5 meter.
Diperkirakan dibangun pada abad ke-14.
6. GAPURA BAJANG RATU
Diperkirakan dibangun pada abad ke-14 dan adalah salah satu gapura besar pada zaman keemasan Majapahit.
Menurut catatan Badan Pelestarian Peninggalan Purbakala Mojokerto, candi / gapura ini berfungsi sebagai pintu masuk bagi bangunan suci untuk memperingati wafatnya Raja Jayanegara
Namun sebenarnya sebelum wafatnya Jayanegara candi ini dipergunakan sebagai pintu belakang kerajaan.
7. CANDI BRAHU
Nama candi ini, yaitu 'brahu', diduga berasal dari kata wanaru atau warahu.
Nama ini didapat dari sebutan sebuah bangunan suci yang disebut dalam Prasasti Alasantan.
Prasasti tersebut ditemukan tak jauh dari Candi Brahu.
8. CANDI TIKUS Candi ini terletak
di kompleks Trowulan, sekitar 13 km di sebelah tenggara kota Mojokerto.
Ditemukan pada tahun 1914.
Pada saat ditemukan, tempat candi tersebut berada merupakan sarang tikus.
9. CANDI SURAWANA
Terletak di Desa Canggu, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri, sekitar 25 km arah timur laut dari Kota Kediri.
Diperkirakan dibangun pada abad 14
Candi Surawana saat ini keadaannya sudah tidak utuh. Hanya bagian dasar yang telah direkonstruksi.
10. CANDI WRINGIN BRANJANG Terletak di Blitar, Jawa
Timur. tubuh dan atap candi
mempunyai ukuran panjang 400 cm, lebar 300 cm dan tingginya 500 cm. pintu masuknya berukuran lebar 1 m, tingginya 2 m
Diduga merupakan tempat penyimpanan alat-alat upacara dari zaman Kerajaan Majapahit yakni pada abad ke 15 M.
11. Celengan babi
12. Arca Harihara, dewa gabungan Siwa dan Wisnu sebagai penggambaran Kertaraisa. Berlokasi semula di Candi Simping, Blitar , kini menjadi koleksi Museum Nasional Republik Indonesia
13. Arca Bidadari Majapahit, cetakan Emasapsara (bidadari surgawi) gaya khas Majapahit menggambarkan dengan sempurna zaman kerajaan Majapahit sebagai "zaman keemasan" nusantara.
14. Terakota wajah yang dipercaya sebagai potret Gajah Mada.
15. Makam Putri Campa di Trowulan
16. Arca dewi Parwati sebagai perwujudan anumerta Tribhuwanottunggadewi, ratu Majapahit ibunda Hayam Wuruk.
17. Sepasang patung penjaga gerbang abad ke- 14 dari kuil Majapahit di Jawa Timur (Museum of Asian Art, San Francisco)
PENINGGALAN KERAJAAN BULELENG
1. Periuk Tanah Liat
Salah satu benda yang dipajang di Ruang Pra Sejarah adalah sebuah periuk (tengah). Periuk tanah liat ini dibuat dengan teknik roda pemutar dan teknik tatap. Peralatan memasak yang berasal dari zaman bercocok tanam ini ditemukan di situs Kalang Anyar, Desa Banjar Asem, Buleleng.
2. BONGPAI DAN STUPIKA
*Bongpai (kiri) dan Stupika (kanan)
Bongpai ditemukan di situs pabean kecamatan Sawan, Buleleng. Bongpai merupakan bagian dari kuburan etnis China ini terbuat dari batu granit yang bagian permukaannya ditatah dengan aksara China.
Stupika ditemukan di Situ Kalibukbuk, Buleleng.
3. Petaka Bale Prabu Pura Agung
Salah satu alat upacara yang menjadi koleksi museum Benda ini merupakan alat upacara yang didapatkan dari Desa Bungkulan, Buleleng.
4. Kempu Lengkap (atas) dan Jembung Kuningan ( bawah )
Merupakan perlengkapan upacara koleksi pribadi I Ketut Suharsana dari Kelurahan Beratan, Singaraja.
RAJA-RAJA YANG MEMERINTAH DI MAJAPAHIT (1293-1519 M)
Majapahit sebagai sebuah kerajaan memiliki masa pemerintahan yang berlangsung dari tahun 1293 M sampai 1519 M atau berlangsung selama 226 tahun, suata masa yang cukup panjang dalam satu dinasti pemerintahan. Raja-raja yang pernah berkuasa di Majapahit adalah sebagai berikut:
1. Raden Wijaya (bergelar Krtajasa Jayawarddhana), masa pemerintahan tahun 1293-1309 M, sebagai pendiri kerajaan Majapahit. Ia adalah keturunan penguasa Singhasari, anak Dyah Lembu Tal, cucu Mahisa Campaka (Narasinghamurti), jadi masih keturunan Ken Arok dan Ken Dedes secara langsung.
2. Jayanagara (bergelar Sri
Sundarapandyadewadhiswaranamarajabhise ka Wikramottungga-dewa), masa pemerintahan tahun 1309-1328 M, sebelumnya berkedudukan di Daha (Kadiri) dengan sebutan Bhre Daha. Ia dipersiapkan untuk menggantikan ayahandanya sehingga diangkat sebagai putra mahkota (rajakumara).
3. Tribhuwana Wijayottunggadewi (bergelar Tribhuwanottunggadewi Jayawisnuwarddhani), 1328-1350 M, sebelumnya berkedudukan di Kahuripan (Bhre Kahuripan).
4. Hayam Wuruk (bergelar Sri Rajasanagara), masa pemerintahan tahun 1350-1389 M, sebelumnya berkedudukan di Jiwana dan dikenal dengan nama Bhre Hyang Wekasing Sukha.
5. Wikramawarddhana (biasa disebut dengan Bhre Hyang Wisesa), masa pemerintahan tahun 1389-1400 M, sebelumnya berkedudukan di Lasem (Bhre Lasem sang Alemu) adalah menantu sekaligus keponakan raja Hayam Wuruk yang dikawinkan dengan putrinya, Kusumawarddhani (Bhre Kabalan) yang berkedudukan di Kabalan.
6. Suhita (dikenal juga dengan sebutan Prabhustri), masa pemerintahan tahun 1429-1447 M, anak dari Wikramawarddhana. Ia menggantikan kakaknya yang telah dinobatkan sebagai putra mahkota yaitu Bhre Hyang Wekasing Sukha II yang berkedudukan di Tumapel (Bhre Tumapel) tetapi sebelum diangkat menjadi raja telah meninggal terlebih dahulu pada tahun 1399 M.
7. Dyah Krtawijaya (bergelar Sri Wijayaparakramawarddhana), masa pemerintahan tahun 1447-1451 M, sebelumnya berkedudukan di Tumapel (Bhre Tumapel) adalah adik dari Suhita. Dia menggantikan kakaknya menjadi raja karena Suhita tidak memiliki anak.
8. Dyah Wijayakumara (bergelar Sri Rajasawarddhana), masa pemerintahan tahun 1451-1453 M, sebelumnya berkedudukan di Pamotan (Bhre Pamotan) serta di Keling Kahuripan dan juga dikenal dengan sebutan Sang Sinagara.
9. Dyah Suryawikrama (bergelar Sri Girisawarddhana), masa
pemerintahan tahun 1456-1466 M, sebelumnya berkedudukan di Wengker (Bhre Wengker), adalah anak dari Dyah Kertawijaya dan juga dikenal dengan sebutan Bhre Hyang Purwwawisesa.
10. Dyah Suraprabhawa (bergelar Sri Singhawikramawarddhana), masa pemerintahan tahun 1466-1474 M, sebelumnya berkedudukan di Tumapel (Bhre Tumapel), dan dikenal dengan sebutan Bhre Pandan Salas. Karena diserang Bhre Kertabhumi pusat pemerintahannya dipindahkanke Daha.
11. Bhre Kertabhumi, masa pemerintahan tahun 1468-1478 M, mengusir Sri Singhawikramawarddhana sehingga dia dapat berkuasa di Majapahit. ia adalah anak bungsu dari Sri Rajasawarddhana.
12. Dyah Ranawijaya (Sri Girindrawarddhana), masa pemerintahan tahun 1474-1519 M, sebelumnya berkedudukan di Kling (Bhatara i Kling), anak dari Dyah Suraprabhawa. Pusat pemerintahan sudah tidak di Majapahit tetapi di Kling karena Majapahit masih dikuasai oleh Bhre Kertabhumi. Berusaha mempersatukan kembali Majapahit pada tahun 1478 dengan menyerang Bhre Kertabhumi.
RAJA RAJA YANG MEMERINTAHKAN KERAJAAN BULELENG Wangsa Panji Sakti
1. Gusti Panji Śakti (c. 1660-1697/99)2. Gusti Panji Wayahan Danurdarastra (1697/99-1732)
[anak Gusti Panji Sakti]3. Gusti Alit Panji (1732-c. 1757/65) [anak Gusti Panji
Wayahan]Di bawah kekuasaan Mengwi paruh pertama abad ke-18 4. Gusti Ngurah Panji (di Sukasadda c. 1757/65) [anak
Gusti Alit Panji]Di bawah kekuasaan Karangasem c. 1757-1806 5. Gusti Ngurah Jelantik (di Singaraja c. 1757/65-c. 1780)
[saudara Gusti Ngurah Panji]6. Gusti Made Jelantik (c. 1780-1793) [anak Gusti Ngurah
Jelantik]7. Gusti Made Singaraja (1793-?) [kemenakan Gusti Made
Jelantik]
Wangsa Karangasem
1. Anak Agung Rai (?-1806) [anak Gusti Gede Ngurah Karangasem]
2. Gusti Gede Karang (1806–1818) [saudara Anak Agung Rai]
3. Gusti Gede Ngurah Pahang (1818–1822) [anak Gusti Gede Karang]
4. Gusti Made Oka Sori (1822–1825) [kemenakan Gusti Gede Karang]
5. Gusti Ngurah Made Karangasem (1825–1849) [kemenakan Gusti Gede Karang]
Wangsa Panji Sakti
1. Gusti Made Rahi (1849, 1851–1853) [canggah Gusti Ngurah Panji]Di bawah kekuasaan Bangli 1849-18542. Gusti Ketut Jelantik (1854–1873; regent 1853-1861; wafat 1893)
[keturunan dari Gusti Ngurah Jelantik]Di bawah pemerintahan langsung Belanda 1882-1929 1. Anak Agung Putu Jelantik (regent 1929-1938; menggunakan
gelar Anak Agung 1938-1944) [keturunan dari Gusti Ngurah Jelantik]
2. Anak Agung Nyoman Panji Tisna (1944–1947) [anak Anak Agung Putu Jelantik]
3. Ngurah Ketut Jelantik (1947–1950; wafat 1970) [saudara Anak Agung Panji Tisna]
4. Buleleng bergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia 1950
5. Anak Agung Nyoman Panji Tisna (kepala keluarga kerajaan 1950-1958; wafat 1978)
PERLUASAN
KERAJAAN
MAJAPAHIT
A. PEMBAGIAN WILAYAH
Dalam pembentukannya, kerajaan Majapahit merupakan
kelanjutan Singasari terdiri atas beberapa kawasan
tertentu di bagian timur dan bagian tengah Jawa. Daerah
ini diperintah oleh uparaja yang disebutPaduka
Bhattara yang bergelar Bhre atau “Bhatara i". Gelar ini
adalah gelar tertinggi bangsawan kerajaan. Biasanya
posisi ini hanyalah untuk kerabat dekat raja.
Tugas mereka adalah untuk mengelola kerajaan mereka,
memungut pajak, dan mengirimkan upeti ke pusat, dan
mengelola pertahanan di perbatasan daerah yang
mereka pimpin.
Selama masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350 s.d.
1389) ada 12 wilayah di Majapahit, yang dikelola oleh
kerabat dekat raja. Hierarki dalam pengklasifikasian
wilayah di kerajaan Majapahit dikenal sebagai berikut:
1. Bhumi: kerajaan, diperintah oleh Raja,
2. Nagara: diperintah oleh rajya (gubernur),
atau natha (tuan), atau bhre (pangeran
atau bangsawan),
3. Watek: dikelola oleh wiyasa,
4. Kuwu: dikelola oleh lurah,
5. Wanua: dikelola oleh thani,
6. Kabuyutan: dusun kecil atau tempat sakral.
Saat Majapahit memasuki era Kemaharajaan
Thalasokrasi saat pemerintahan Gajah Mada, beberapa
negara bagian di luar negeri juga termasuk dalam
lingkaran pengaruh Majapahit, sebagai hasilnya, konsep
teritorial yang lebih besar pun terbentuk:
1. Negara agung atau negara utama atau inti kerajaan.
Area awal Majapahit atau Majapahit Lama selama
masa pembentukannya sebelum memasuki era
kemaharajaan. Yang termasuk area ini adalah ibukota
kerajaan dan wilayah sekitarnya dimana raja secara
efektif menjalankan pemerintahannya. Area ini
meliputi setengah bagian timur Jawa, dengan semua
provinsinya yang dikelola oleh para Bhre (bangsawan),
yang merupakan kerabat dekat raja.
2. Mancanagara, area yang melingkupi Negara Agung.
Menurut kitab Pujasatra Nāgarakṛtāgama pupuh XIII
dan XIV, berikut adalah daerah-daerah nusa pranusa
pramuka “pulau demi pulau sebagai negara” bawahan
Majapahit disebut sebagai mañcanagara.
Negara-negara taklukan di Jawa tidak disebut
karena masih dianggap sebagai bagian dari
“mandala” kerajaan.
Hal yang menarik adalah tidak disebutkan sama
sekali mengenai Kerajaan Sunda dan Madura. Perlu
pula disadari bahwa nama-nama di kerajaan-
kerajaan ini adalah berdasarkan klaim Majapahit
dan belum pernah ditemukan bukti mengenai
pengakuan suatu daerah atas kekuasaan negara itu.
Buku ini membagi wilayah kekuasaan Majapahit dalam empat
kelompok wilayah:
1. Wilayah-wilayah Sumatera. Sumatra disebut
di Nāgarakṛtāgama sebagai “Melayu”
2. Wilayah-wilayah di Tanjung Negara (Kalimantan) dan
Tringgano (Trengganu). Kalimantan disebut
di Nāgarakṛtāgama sebagai “Nusa Tanjungnegara” dan/atau
“Pulau Tanjungpura”.
3. Semenanjung Malaya. Wilayah yang sekarang dikenal
sebagai Malaysia Barat ini disebut
di Nāgarakṛtāgama sebagai “Hujung Medini”.
4. Wilayah-wilayah di sebelah timur Pulau Jawa (Bali, Nusa
Tenggara, Sulawesi, Maluku sampai Irian).
Dengan demikian, orang akan melihat bahwa luas
wilayah Majapahit kurang lebih sama dengan
wilayah Hindia Belanda dikurangi dengan Jawa
Barat karena dalam daftar tak disebutkan nama
Pasundan.
Bahkan juga terungkap dalam catatan sejarah
bahwa pengaruh dalam kaitan sebagai negara-
negara Mitreka Satata.
3. Nusantara adalah area yang tidak mencerminkan
kebudayaan Jawa, tetapi termasuk ke dalam koloni
dan mereka harus membayar upeti tahunan. Mereka
menikmati otonomi yang cukup luas dan kebebasan
internal, dan Majapahit tidak merasa penting untuk
menempatkan birokratnya atau tentara militernya di
sini akan tetapi, tantangan apa pun yang terlihat
mengancam ketuanan Majapahit atas wilayah itu akan
menuai reaksi keras.
Termasuk dalam area ini adalah kerajaan kecil dan
koloni di Maluku, Kepulauan Nusa Tenggara,
Sulawesi, Kalimantan dan Semenanjung Malaya.
4. Mitreka Satata yang secara harafiah berarti "mitra
dengan tatanan (aturan) yang sama". Hal itu
menunjukkan negara independen luar negeri yang
dianggap setara oleh Majapahit, bukan sebagai
bawahan dalam kekuatan Majapahit. Menurut
Negarakertagama Pupuh 15, bangsa asing
adalah Syangkayodhyapura (Ayutthaya di Thailand),
Dharmmanagari (Kerajaan Nakhot di Tammarat),
Marutma, Rajapura dan Sinhanagari (Kerajaan di
Myanmar), Kerajaan Champa, Kamboja, dan Yawana
(Anam)
Mitreka Satata dapat dianggap sebagai
aliansi Majapahit, karena kerajaan asing di
luar negeri seperti China dan India tidak
termasuk dalam kategori ini meskipun
Majapahit telah melakukan hubungan luar
negeri dengan kedua bangsa ini.
Pola kesatuan politik khas sejarah Asia Tenggara purba
seperti ini kemudian diidentifikasi oleh sejarahwan
modern sebagai “mandala", yaitu kesatuan yang politik
ditentukan oleh pusat atau inti kekuasaannya daripada
perbatasannya, dan dapat tersusun atas beberapa unit
politik bawahan tanpa integrasi administratif lebih
lanjut. Daerah-daerah bawahan yang termasuk dalam
lingkup mandala Majapahit, yaitu wilayah Mancanegara
dan Nusantara, umumnya memiliki pemimpin asli
penguasa daerah tersebut yang menikmati kebebasan
internal cukup luas.
Wilayah-wilayah bawahan ini meskipun sedikit-
banyak dipengaruhi Majapahit, tetap menjalankan
sistem pemerintahannya sendiri tanpa
terintegrasi lebih lanjut oleh kekuasaan pusat di
ibu kota Majapahit. Pola kekuasaan mandala ini
juga ditemukan dalam kerajaan-kerajaan
sebelumnya, seperti Sriwijaya dan Angkor, serta
mandala-mandala tetangga Majapahit yang
sezaman, Ayutthaya dan Champa.
B. PERWUJUDAN CAKRAWALA MANDALA
NUSANTARA
Majapahit dalam abad 14 merupakan kekuasaan besar di
Asia Tenggara, menggantikan Mataram dan Sriwijaya, dua
buah Negara yang berbeda dasarnya, yang pertama
merupakan Negara pertanian, yang kedua adalah Negara
maritim, kedua ciri itu dimiliki oleh Majapahit.
Visi dan keinginan kuat untuk membangun kerajaan yang
mengedepankan kekuatanmaritim dan agraria telah
menjadi tekad Raden Wijaya, anak menantu Kertanegara.
Visi itu diwujudkan dengan memilih lokasi ibukota
Kerajaan Majapahit di daerah Trik/Tarik di hilir sungai
Brantas dengan maksud memudahkan pengawasan
perdagangan pesisir dan sekaligus dapat
mengendalikan produksi pertanian di pedalaman, selain
itu perluasan cakrawala mandala ke luar Pulau Jawa,
yang meliputi daerah seluruh dwipantara.
Puncak kejayaan bahari tercapai pada abad ke-14 ketika
Majapahit menguasai seluruh Nusantara bahkan
pengaruhnya meluas sampai ke negara-negara asing
tetangganya. Kerajaan Majapahit di bawah Raden
Wijaya, Hayam Wuruk, dan Gajah Mada, dan yang
berada di ujung terdepan armada laut Kerajaan
Majapahit adalah Kapal Perang Kerajaan yang dipimpin
oleh Senapati Sarwajala (Laksamana Laut) Mpu Nala
telah berkembang pesat menjadi kerajaan besar yang
mampu memberikan jaminan bagi keamanan
perdagangan di wilayah Nusantara.
Penyatuan Nusantara oleh Majapahit melalui
ekspedisi-ekspedisi bahari dimulai tak lama
setelah Mahapatih Gajah Mada
mengucapkan Sumpah Tan Ayun Amuktia
Palapa yang terkenal itu pada tahun 1334.
Keberhasilan Kerajaan Majapahit mewujudkan visi Sumpah
Palapa, selain dibakar semangat kebangsaan patriotik di
bawah komando Mahapatih Gajah Mada, juga banyak
disumbang oleh keberhasilan Majapahit dalam
mengembangkan teknologi bahari berupa kapal bercadik
yang menjadi tumpuan utama kekuatan armada lautnya.
Gambaran model konstruksi kapal bercadik sejak zaman
Sriwijaya, Singasari, dan Majapahit telah terpahat rapih
pada relief Candi Borobudur.
Armada laut Majapahit ini didukung oleh
persenjataan andalan berupa meriam hasil
rampasan dari bala tentara Kubilai Khan
ketika menyerang Kediri (atas tipudaya
Raden Wijaya) yang ditiru Majapahit dari
peralatan perang Kubilai Khan itu.
PERLUASAN KERAJAAN BULELENG
I Gusti Ngurah Panji menguasai wilayah Den Bukit dan
menjadikannya Kerajaan Buleleng, yang kekuasaannya
pernah meluas sampai ke ujung timur pulau
Jawa (Blambangan). Setelah I GustiNgurah Panji Sakti
wafat pada tahun 1704, Kerajaan Buleleng mulai goyah
karena putra-putranya punya pikiran yang saling berbeda.
Kerajaan Buleleng tahun 1732 dikuasai Kerajaan
Mengwi namun kembali merdeka pada tahun
1752.Selanjutnya jatuh ke dalam kekuasaan raja
Karangasem. Raja Karangasem, I Gusti Gede Karang
membangun istana dengan nama Puri Singaraja. Raja
berikutnya adalah putranya bernama I Gusti Pahang
Canang yang berkuasa sampai 1821.
PERKEMBANGAN POLITIK DAN PEMERINTAHAN KERAJAAN MAJAPAHIT
POLITIK 1. Pemerintahan Kertarajasa
Untuk meredam kemungkinan terjadinya pemberontakan, Raden Wijaya (Kertarajasa) melakukan langkah-langkah sebagai berikut.
a). Mengawini empat putri Kertanegara dengan tujuan
mencegah terjadinya perebutan kekuasaan antar anggota keluarga raja. Putri sulung Kertanegara, Dyah Sri Tribhuaneswari, dijadikan permaisuri dan putra dari pernikahan tersebut Jayanegara, dijadikan putra mahkota.
b) Memberikan kedudukan dan hadiah yang pantas kepada para pendukungnya, misalnya, Lurah Kudadu memperoleh tanah di Surabaya dan Arya Wiraraja diberi kekuasaan atas daerah Lumajang sampai Blambangan.
2. Pemerintahan Jayanegara
Masa pemerintahan Jayanegara dipenuhi pemberontakan akibat kepemimpinannya kurang berwibawa dan kurang bijaksana. Pemberontakan-pemberontakan itu sebagai berikut.
a) Pemberontakan Ranggalawe pada tahun 1231. Pemberontakan ini dapat dipadamkan pada tahun 1309.
b) Pemberontakan Lembu Sora pada tahun 1311. c) Pemberontakan Juru Demung (1313) disusul
Pemberontakan Gajah Biru. d) Pemberontakan Nambi pada tahun 1319. Nambi
adalah Rakryan Patih Majapahit sendiri. e) Pemberontakan Kuti pada tahun 1319.
Namun, meskipun berbagai pemberontakan tersebut berhasil dipadamkan, Jayanegara justru meninggal akibat dibunuh oleh salah seorang tabibnya yang bernama Tanca. Ia lalu dimakamkan di candi Singgapura di Kapopongan.
3. Pemerintahan Tribhuwanatunggadewi
Oleh karena Jayanegara tidak berputra, sementara Gayatri sebagai Rajapatni telah menjadi biksuni, takhta Kerajaan Majapahit diserahkan kepada Tribhuwanatunggadewi Jayawisnuwardhana (1328 – 1350) yang menjalankan pemerintahan dibantu suaminya, Kertawardhana. Masa pemerintahan Tribhuwanatunggadewi diwarnai permasalahan dalam negeri, yakni meletusnya Pemberontakan Sadeng. Pemberontakan ini dapat dipadamkan oleh Gajah Mada yang pada saat itu baru saja diangkat menjadi Patih Daha.
4. PEMERINTAHAN HAYAM WURUK
Dalam kitab Negarakertagama disebutkan bahwa pada zaman Hayam Wuruk, Kerajaan Majapahit mengalami masa kejayaan dan memiliki wilayah yang sangat luas. Luas kekuasaan Majapahit pada saat itu hampir sama dengan luas negara Republik Indonesia sekarang. Namun, sepeninggal Gajah Mada yang wafat pada tahun 1364, Hayam Wuruk tidak berhasil mendapatkan penggantinya yang setara. Kerajaan Majapahit pun mulai mengalami kemunduran.
Sepeninggalnya, Majapahit sering dilanda perang saudara dan satu per satu daerah kekuasaan Majapahit pun melepaskan diri. Pada tahun 1526, Kerajaan Majapahit runtuh setelah diserbu oleh pasukan Islam dari Demak di bawah pimpinan Raden Patah.
PEMERINTAHAN
Dalam Kerajaan Majapahit, raja memegang kekuasaan tertinggi dan dibantu oleh berbagai badan atau pejabat berikut.
Rakryan Mahamantri Katrini, yang dijabat oleh para putra raja yang terdiri atas Rakryan I Hino, Rakryan I Sirikan, dan Rakryan I Halu.
Dewan Pelaksana terdiri atas Rakryan Mapatih atau Patih Mangkabumi, Rakryan Tumenggung, Rakryan Demung, Rakryan Rangga, dan Rakryan Kanuruhan. Kelima pejabat itu dikenal Sang Panca ring Wilwatika.
Untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa, dibentuk badan peradilan Saptopapati. Selain itu disusun pula kitab hukum oleh Gajah Mada yang disebut Kitab Kutaramanawa. Untuk mengatur kehidupan beragama dibentuk badan Dharmadyaksa yaitu pejabat tinggi kerajaan yang khusus menangani persoalan keagamaan. Di Majapahit dikenal dua Dharmadyaksa yaitu :
Dharmadyaksa ring Kasaiwan, mengurusi agama Syiwa (Hindu),
Dharmadyaksa ring Kasogatan, mengurusi agama Buddha.
POLITIK DAN PEMERINTAHAN KERAJAAN BULELENG
Pada tahun 1846, kapal Belanda berlabuh di daerah kekuasaan kerajaan ini. Berdasarkan hukum Tawan Karang, setiap kapal yang berlabuh tanpa izin akan menjadi milik kerajaan Buleleng. Hal ini memicu peperangan antara kerajaan Buleleng dengan pihak Belanda. Peperangan yang dipimpin oleh I Gusti Ketut Jelantik akhirnya berakhir pada kemenangan.
Dua tahun kemudian, tepatnya tahun 1848 Belanda kembali melakukan penyerangan terhadap kerajaan Buleleng. Pada awal tahun 1849, Belanda berhasil menghancurkan benteng pertahanan kerajaan Buleleng. Hal ini membuat posisi Buleleng semakin lemah, kerajaan Buleleng akhirnya kalah dan sejak itu dikuasai oleh Belanda.
Selama berkuasa di Den Bukit Panji Sakti sejak 1660an sampai 1697 sangat disegani kawan maupun lawan. Ki Gusti Panji sakti diperkirakan wafat tahun 1699 dengan meninggalkan banyak keturunan.
Namun sayang putra-putra Ki Gusti Panji Sakti mempunyai pikiran yang berbeda satu sama lain sehingga kerajaan Buleleng menjadi lemah. Kerajaan Buleleng terpecah belah. Akhirnya dikuasai kerajaan Mengwi, termasuk Blambangan. Lepas dari genggaman Mengwi kemudian tahun 1783 jatuh ke tangan kerajaan Karangasem. Sejak itu terjadi beberapa kali pergantian raja asal Karangasem. Salah seorang raja asal Karangasem yaitu I Gusti Gde Karang bertakhta sebagai raja Buleleng tahun 1806-1818. Sebagai raja Buleleng beliau juga menguasai kerajaan Karangasem dan Jembrana. Beliau dikenal berwatak keras dan curiga kepada bangsa asing. Memang pada jaman itu bangsa asing seperti Belanda dan Inggris ingin menguasai Bali melalui Buleleng dan Jembrana.
PERKEMBANGAN AGAMA DI KERAJAAN MAJAPAHIT
Agama Hindu yang kita kenal di Indonesia berasal dari India. Di Indonesia pada saat ini, agama Hindu dipeluk oleh sebagian besar penduduk Pulau Bali dan juga penduduk Jawa serta beberapa pulau lainnya. Agama Hindu masuk ke Indonesia sekitar abad IV Masehi. Ini dibuktikan oleh adanya kerajaan Hindu yang pertama di Indonesia, yakni kerajaan yang terletak di Kalimantan Timur.
Perkembangan selanjutnya ialah di Jawa Barat, yakni di Kerajaan Tarumanegara, yang berdiri sekitar abad V Masehi. Rajanya yang terkenal ialah Purnawarman. Kemudian agama Hindu berkembang pula di Jawa Tengah. Raja pertama yang memeluk agama Hindu ialah Rakai Sanjaya. Perkembangan Agama Hindu di Jawa Tengah jauh lebih pesat. Ini terbukti dari banyaknya bangunan suci yang didirikan sebagai tempat pemujaan. Tempat pemujaan semacam ini disebut candi.
Seperti kerajaan-kerajaan lainnya yang ada di Jawa, kerajaan Mataram di Jawa Tengah itu adalah kerajaan agraris. Ini berarti bahwa mata pencaharian pokok penduduknya adalah bertani. Banyak candi yang didirikan. Candi yang terkenal ialah candi Prambanan. Candi ini disebut juga candi Lorojonggrang. Candi Lorojonggrang didirikan pada masa pemerintahan Rakai Pikatan. Bangunan yang megah seperti itu merupakan salah satu tanda kemajuan kerajaannya, bahwa kerajaan itu makmur. Jika tidak makmur tak mungkin dapat mendirikan bangunan suci semegah itu.
Setelah kerajaan Hindu di Jawa Tengah lenyap, pada abad X timbul kerajaan Hindu di Jawa Timur. Rajanya bernama Empu Sendok yang beragama Hindu. Raja ini mendirikan bangunan-bangunan suci, antara lain candi Songgoriti yang terletak di daerah Batu, Malang.
Empu Sendok diganti oleh Darmawangsa yang juga memeluk agama Hindu. Kemudian Darmawangsa digantikan oleh Airlangga. Airlangga berasal dari Bali. Kemudian ia menjadi raja di kerajaan Kahuripan. Pada masa pemerintahannya, hiduplah seorang pujangga yang terkenal, yaitu Empu Kanwa. Buku yang ditulisnya adalah Arjuna Wiwaha.
Airlangga juga mendirikan suatu pusat pertapaan yang letaknya di lereng Gunung Penanggungan. Tempat itu dikenal dengan nama candi Belahan.
Pada zaman Majapahit, seluruh wilayah nusantara bersatu di bawah kekuasaan raja Majapahit. Kebesaran Agama Hindu pada masa itu tercermin dengan adanya candi Penataran dan bangunan-bangunan suci lainnya.
Pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk, Majapahit mencapai zaman keemasan. Kemakmuran negara pada zaman itu dilukiskan sebagai "gemah ripah loh jinawi". Dengan didampingi seorang patih, Hayam Wuruk dapat memimpin Majapahit dengan berhasil. Patih tersebut adalah Maha Patih Gajah Mada.
Di bawah pemerintahannya seluruh Nusantara dapat dipersatukan. Patih yang termasyhur itu bersumpah di hadapan raja dan rakyatnya, yang terkenal dengan Sumpah Palapa.
Akhirnya apa yang menjadi impian itu terwujud. Gajah Mada dapat mempersatukan seluruh Nusantara. Bahkan Kerajaan Majapahit lebih luas daripada Kepulauan Indonesia sekarang.
KEHIDUPAN BERAGAMA DI KERAJAAN BULELENG Dalam bidang agama, pengaruh zaman prasejarah, terutama dari zaman
megalitikum masih terasa kuat. Kepercayaan pada zaman itu dititikberatkan kepada pemujaan roh nenek moyang yang disimboliskan dalam wujud bangunan pemujaan yang disebut teras piramid atau bangunan berundak-undak. Kadang-kadang di atas bangunan ditempatkan menhir, yaitu tiang batu monolit sebagai simbol roh nenek moyang mereka.
Diketahui pula nama-nama biksu yang memakai unsur nama Siwa, sebagai contoh biksu Piwakangsita Siwa, biksu Siwanirmala, dan biksu Siwaprajna. Berdasarkan hal ini, agama yang berkembang pada saat itu adalah agama Siwa. Baru lambat laun ada dua aliran agama besar yang dipeluk oleh penduduk, yaitu agama Siwa dan agama Budha. Keterangan ini diperoleh dari prasasti-prasastinya yang menyebutkan adanya mpungku Sewasogata (Siwa-Buddha) sebagai pembantu raja.
Berdasarkan bukti-bukti yang telah ditemukan dapat diketahui bahwa dalam masyarakat pada masa perundagian telah berkembang tradisi penguburan dengan cara-cara tertentu. Adapun cara penguburan yang pertama ialah dengan mempergunakan peti mayat atau sarkofagus yang dibuat dari batu padas yang lunak atau yang keras. Cara penguburannya ialah dengan mempergunakan tempayan yang dibuat dari tanah liat seperti ditemukan di tepi pantai Gilimanuk (Jembrana).