KORELASI ANTARA PENGETAHUAN DAN SIKAP
DENGAN PERILAKU DOKTER UMUM DI PUSKESMAS
WILAYAH KOTA BANDUNG MENGENAI RETINOPATI
DIABETIK
Oleh:
Degiana Syabdini Edwiza
NPM : 131221160009
TESIS
Untuk memenuhi salah satu syarat ujian Guna memperoleh gelar Dokter Spesialis
Program Pendidikan Dokter Spesialis 1
Bagian Kajian Utama Ilmu Kesehatan Mata
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS
KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN PUSAT
MATA NASIONAL RUMAH SAKIT MATA CICENDO
BANDUNG
2020
KORELASI ANTARA PENGETAHUAN DAN SIKAP
DENGAN PERILAKU DOKTER UMUM DI PUSKESMAS
WILAYAH KOTA BANDUNG MENGENAI RETINOPATI
DIABETIK
Oleh:
Degiana Syabdini Edwiza
NPM : 131221160009
TESIS
Untuk memenuhi salah satu syarat ujian Guna memperoleh gelar Dokter Spesialis
Program Pendidikan Dokter Spesialis 1
Bagian Kajian Utama Ilmu Kesehatan Mata
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS
KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN PUSAT
MATA NASIONAL RUMAH SAKIT MATA CICENDO
BANDUNG
2020
KORELASI ANTARA PENGETAHUAN DAN SIKAP
DENGAN PERILAKU DOKTER UMUM DI PUSKESMAS
WILAYAH KOTA BANDUNG MENGENAI RETINOPATI
DIABETIK
Oleh:
Degiana Syabdini Edwiza
NPM : 131221160009
TESIS
Untuk memenuhi salah satu syarat ujian Guna memperoleh gelar Dokter Spesialis
Program Pendidikan Dokter Spesialis 1
Bagian Kajian Utama Ilmu Kesehatan Mata
Telah disetujui oleh Tim Pembimbing
pada tanggal seperti yang tertera di bawah
Bandung, 10 Juli 2020
Dr. dr. Iwan Sovani, Sp.M(K), M.Kes, MM.
Pembimbing I
dr. Nina Ratnaningsih, Sp.M(K), M.Sc
Pembimbing II
iv
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Karya tulis saya Tesis ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk
mendapatkan gelar akdemik, baik dari Universitas Padjadjaran maupun di
Perguruan Tinggi lain.
2. Karya Tulis ini adalah murni gagasan, rumusan, dan penelitian saya sendiri tanpa
bantuan pihak lain, kecuali arahan Tim Pembimbing.
3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau
dipublikasikan orang lain kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan
sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan naskah pengarang dan
dicantumkan dalam daftar pustaka.
4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila di kemudian hari
terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya
bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah
diperoleh karena karya ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma berlaku di
perguruan tinggi ini.
Bandung, Juli 2020
Yang membuat pernyataan,
Materai
Rp. 6.000
Degiana Syabdini Edwiza
NPM 131221160009
v
ABSTRAK
Latar Belakang: Retinopati diabetik merupakan penyebab utama gangguan
penglihatan dan kebutaan pada penderita diabetes melitus. Gangguan penglihatan
dan kebutaan akibat retinopati diabetik dapat dicegah dengan deteksi dini retinopati
diabetik dan tatalaksana yang segera. Peran dokter umum sebagai ujung tombak di
pelayanan kesehatan primer menjadi sangat penting. Penerapan kegiatan program
deteksi dini DR diperlukan pengetahuan, sikap, dan perilaku dokter umum yang
mendukung terlaksananya program tersebut.
Tujuan: Untuk menganalisis korelasi antara pengetahuan dan sikap dengan
perilaku dokter umum di puskesmas-puskesmas wilayah kota Bandung mengenai
retinopati diabetik.
Metode: Penelitian cross-sectional observasional analitik yang dilakukan pada
dokter umum di Puskesmas wilayah kota Bandung pada bulan Mei 2020. Dokter
umum yang bersedia berpartisipasi melakukan pengisian mandiri kuesioner
knowledge, attitude, practice mengenai retinopati diabetik. Dilakukan penilaian
tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku dokter umum mengenai retinopati diabetik
dan uji analisis korelasi spearman’s antara pengetahuan dengan perilaku, dan sikap
dengan perilaku.
Hasil: Dari 115 dokter umum pada penelitian ini, 98 (85,2%) memiliki tingkat
pengetahuan baik, 115 (100%) memiliki sikap positif, dan 32% memiliki perilaku
baik. Uji korelasi spearman menghasilkan korelasi positif (r=0,178, nilai p=0,057)
antara pengetahuan dan perilaku, dan korelasi negatif (r=-0,009, nilai p=0,927)
antara sikap dan perilaku. Kedua korelasi tidak bermakna signifikan secara statistik.
Simpulan: Tidak terdapat korelasi yang bermakna secara statistik antara
pengetahuan dengan perilaku, dan antara sikap dengan perilaku. Faktor lain diluar
pengetahuan dan sikap yang mempengaruhi perilaku dokter umum terhadap
retinopati diabetik perlu dievaluasi lebih lanjut.
Kata kunci: retinopati diabetik, deteksi dini, pengetahuan, sikap, perilaku, dokter
umum.
vi
ABSTRACT
Introduction: Diabetic retinopathy is a major cause of visual impairment and
blindness in people with diabetes mellitus. Visual impairment and blindness due to
diabetic retinopathy can be prevented by early detection of diabetic retinopathy and
prompt management. The role of general practitioners as the spearhead in primary
health care is very important. The application of DR early detection program
activities requires knowledge, attitudes, and behavior of general practitioners who
support the implementation of the program.
Purpose: To analyze the correlation between knowledge and attitudes with the
practices of general practitioners in Primary Health Centers (PHC) in Bandung
regarding diabetic retinopathy.
Method: An analytic observational cross-sectional study conducted to general
practitioner at the PHCs in Bandung in May 2020. General practitioners
participated in self-filling questionnaires of knowledge, attitude, and practice
regarding diabetic retinopathy. An assessment of the level of knowledge, attitudes,
and practices of general practitioners regarding diabetic retinopathy and a
Spearman’s correlation analysis test between knowledge and practice, and between
attitudes and practice were done.
Results: Of the 115 general practitioners in this study, 98 (85.2%) had good levels
of knowledge, 115 (100%) had positive attitudes, and 32% had good practice.
Spearman’s correlation test obtained a positive correlation (r = 0.178, p-value =
0.057) between knowledge and practice, and negative correlation (r = -0.009, p-
value = 0.927) between attitude and practice. Both correlations were not
statistically significant.
Conclusion: There are no statistically significant correlation between knowledge
and practice, and between attitude and practice. Other factors beyond knowledge
and attitudes that influence general practitioners' practice towards diabetic
retinopathy need to be further evaluated.
Keywords: diabetic retinopathy, early detection, knowledge, attitude, practice,
general practitioner.
vii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis
ini. Tesis ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar
dokter spesialis Program Pendidikan Dokter Spesialis-1 (PPDS-1) Ilmu Kesehatan
Mata, Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Pusat Mata Nasional Rumah
Sakit Mata Cicendo.
Penulis menyampaikan rasa terima kasih sebesar-besarnya kepada semua pihak
yang telah mendidik, membimbing, dan membantu penulis dalam menyelesaikan
pendidikan dan tesis ini. Penulis menyampaikan terima kasih kepada Rektor
Universitas Padjadjaran, Prof. Dr. Rina Indiastuti, S.E., M.SIE dan Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Padjadjaran Dr. Med. Setiawan, dr, AIFM. yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program Pendidikan
Dokter Spesialis di bagian Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran.
Perkenankan pula penulis menghaturkan rasa terima kasih kepada (alm) Prof
Sugana Tjakrasudjatma, dr, Sp.M, Prof. Dr. Gantira Natadisastra,dr, Sp. M(K),
(alm) Prof Dr. Farida Sirlan, dr, Sp. M(K) dan Prof. Arief S. Kartasasmita, dr,
Sp.M(K), MM, M.Kes, PhD selaku guru besar Ilmu Kesehatan Mata Fakultas
Kedokteran Universitas Padjajaran yang senantiasa memberikan dukungan,
bimbingan dan suri tauladan yang tidak ternilai bagi penulis selama mengikuti
pendidikan spesialis mata hingga selesainya tesis ini.
viii
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada jajaran direksi Pusat Mata
Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung, Irayanti,dr., Sp.M(K),MARS
selaku Direktur Utama dan Dr. Feti Karfiati Memed, dr., Sp.M(K) selaku Direktur
Medik dan Keperawatan, dan Pendidikan yang telah memberikan kesempatan dan
kepercayaan kepada penulis untuk menggunakan sarana dan prasarana di Rumah
Sakit Mata Cicendo untuk belajar dan bekerja.
Terima kasih sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Dr. Budiman, dr,
Sp.M(K), M.Kes, selaku Kepala Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas
Kedokteran Universitas Padjadjaran dan Dr. Irawati Irfani, dr, Sp.M(K), M.Kes,
selaku Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran.
Penghargaan dan terima kasih yang tak terhingga penulis ucapkan kepada Dr.
Iwan Sovani, dr., Sp.M(K), M.Kes, MM., selaku Pembimbing I dan Nina
Ratnaningsih, dr., Sp.M(K), M.Sc., selalu Pembimbing II yang telah meluangkan
waktu dan dengan sabar memberikan bimbingan, arahan, dan masukan sehingga
penyusunan tesis ini dapat berlangsung dengan lancar hingga selesai. Terima kasih
pula penulis sampaikan kepada Dr. Elsa Gustianty, dr., Sp.M(K), M.Kes., dan
Emmy Dwi Sugiarti, dr, Sp.M(K) yang telah meluangkan waktu memberikan
banyak masukan yang bermanfaat dalam penyusunan tesis ini. Serta terima kasih
sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada Rova Virgana, dr., Sp.M(K), sebagai
Mentor penulis selama pendidikan yang telah memberikan banyak bimbingan,
dukungan, saran, serta motivasi yang bermanfaat selama penulis menjalani
pendidikan. Tak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada seluruh staf pengajar di
ix
Departemen Ilmu Kesehatan Mata yang telah senantiasa membimbing dan menjadi
teladan yang baik bagi penulis selama masa pendidikan.
Terima kasih kepada Nurvita Trianasari, S. Si, M. Stat atas bantuan analisis data
statistik. Terima kasih kepada Ibu Sri Ambarwati, Ibu Mumbaryatun, Bapak Ajat
Sudrajat, dan Kang Ludfi selaku staf sekretariat dan pustakawan Ilmu Kesehatan
Mata Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran yang banyak membantu penulis
selama masa pendidikan. Kepada seluruh perawat dan karyawan Pusat Mata
Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung, penulis mengucapkan terima kasih
atas segala bantuan dan kerjasama selama ini, dan terima kasih yang tak terhingga
kepada pasien-pasien RS Mata Cicendo yang merupakan sumber ilmu penulis
selama belajar. Terima kasih untuk Medissa, sahabat sekaligus tim penelitian tesis
ini. Terima kasih untuk responden dokter umum yang telah meluangkan waktu
untuk mengisi kuesioner penelitian kami saat menjadi garda terdepan dalam masa
pandemi covid ini.
Rasa sayang dan terima kasih sebesar – besarnya penulis ucapkan kepada seluruh
sahabat rekan sejawat residen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran
Universitas Padjadjaran, teristimewa untuk sahabat sekaligus keluarga di
perantauan, angkatan September 2016, Levandi, Medissa, Dina, Lohita, Astri, Mia,
Uni, dan Fatrin, yang telah sama – sama berjuang dari awal pendidikan hingga
selesai. Terima kasih untuk semua dukungan, motivasi, canda tawa dalam suka
ataupun duka, kebersamaan dan kesehariaan di semua momen – momen yang tidak
dapat disebutkan satu – persatu selama pendidikan. Semoga persahabatan ini tetap
terjalin walau kita telah terpisah jarak dan waktu.
x
Penghargaan dan terima kasih tak terhingga kepada Orangtua tercinta, Ir. H. Daz
Edwiza, M.Sc dan dr. Hj. Denawati, M.Kes atas kasih sayang dan kesabaran dalam
membesarkan, mendidik, membimbing serta menjadi teladan bagi penulis. Terima
kasih atas doa dan dukungan tiada henti yang selalu diberikan untuk kelancaran dan
keberhasilan penulis dalam menjalani kehidupan dan pendidikan. Terima kasih
untuk kakak dan adik penulis, M. Deza Pradana Edwiza, SE dan dr. Deviana
Suciani Edwiza, kakak ipar dan keponakan penulis, Rahmaniah Sake dan M. Alkahf
Zanichi Edwiza, yang telah memberikan perhatian, pengertian, dukungan serta doa
demi kelancaran pendidikan penulis.
Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada semua pihak yang tidak dapat
disebutkan satu – persatu yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan
pendidikan dan tesis ini.
Semoga Allah SWT memberikan balasan atas semua kebaikan yang telah
diberikan kepada penulis dan semoga tesis ini bermanfaat untuk Departemen Ilmu
Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran dan Pusat Mata
Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo.
Bandung, Juli 2020
Penulis,
Degiana Syabdini Edwiza
xi
DAFTAR ISI
JUDUL ................................................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ iii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................ iv
ABSTRAK ............................................................................................................. v
ABSTRACT .......................................................................................................... vi
KATA PENGANTAR ........................................................................................ vii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ xi
DAFTAR TABEL ............................................................................................. xiv
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xv
DAFTAR GRAFIK ........................................................................................... xvi
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xvii
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................. xviii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................................... 5
1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................................... 5
1.4 Kegunaan Penelitian ...................................................................................... 5
1.4.1 Kegunaan Ilmiah ............................................................................................ 5
1.4.2 Kegunaan Praktis ........................................................................................... 5
BAB II KAJIAN PUSTAKA,KERANGKA PEMIKIRAN,DAN
HIPOTESIS ............................................................................................................ 7
2.1 Kajian Pustaka ............................................................................................. 7
2.1.1 Retinopati Diabetik ..................................................................................... 7
2.1.1.1 Patogenesis Retinopati Diabetik .................................................................. 8
2.1.1.2 Klasifikasi Retinopati Diabetik ................................................................... 9
2.1.1.3 Tatalaksana Retinopati Diabetik ............................................................... 10
2.1.2 Skrining Retinopati Diabetik ..................................................................... 13
2.1.3 Knowledge, Attitude, Practice (KAP) ....................................................... 15
2.1.3.1 KAP Dokter Umum Terhadap Retinopati Diabetik .................................. 18
xii
2.1.4 Profil Kesehatan Kota Bandung ................................................................ 20
2.2 Kerangka Pemikiran .................................................................................. 21
2.3 Bagan Kerangka Pemikiran ....................................................................... 23
2.4 Premis dan Hipotesis ................................................................................. 24
2.4.1 Premis ........................................................................................................ 25
2.4.2 Hipotesis .................................................................................................... 25
BAB III SUBJEK, BAHAN, DAN, METODOLOGI PENELITIAN ............. 26
3.1 Subjek dan Sampel Penelitian ................................................................... 26
3.1.1 Subjek Penelitian ....................................................................................... 26
3.2.1 Sampel Penelitian ...................................................................................... 26
3.1.2.1 Perhitungan Sampel .................................................................................. 26
3.1.2.2 Pemilihan Sampel ..................................................................................... 27
3.1.2.3 Kriteria Inklusi .......................................................................................... 28
3.1.2.4 Kriteria Eksklusi ........................................................................................ 28
3.2 Metodologi Penelitian ............................................................................... 28
3.2.1 Rancangan Penelitian ................................................................................ 28
3.2.2 Identifikasi Variabel .................................................................................. 29
3.2.3 Definisi Operasional .................................................................................. 29
3.2.4 Alat Penelitian ........................................................................................... 30
3.2.4.1 Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner ................................................... 31
3.2.5 Cara Kerja dan Teknik Pengumpulan Data ............................................... 31
3.2.6 Rancangan Analisis Penelitian .................................................................. 32
3.3 Aspek Etik Penelitian ................................................................................ 34
3.4 Skema Alur Penelitian ............................................................................... 35
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .................................... 36
4.1 Hasil Penelitian ......................................................................................... 36
4.1.1 Karakteristik Subjek Penelitian ................................................................. 36
4.1.2 Uji Normalitas Data .................................................................................. 38
4.1.3 Hasil Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Dokter Umum Mengenai
Retinopati Diabetik ................................................................................... 38
4.1.3.1 Gambaran Pengetahuan Dokter Umum Mengenai Retinopati Diabetik ... 39
xiii
4.1.3.2 Gambaran Sikap Dokter Umum Mengenai Retinopati Diabetik .............. 41
4.1.3.3 Gambaran Perilaku Dokter Umum Mengenai Retinopati Diabetik .......... 42
4.1.4 Hambatan Deteksi Retinopati Diabetik di Puskesmas .............................. 43
4.1.5 Korelasi Antara Pengetahuan dan Sikap Terhadap Perilaku Dokter
Umum Mengenai Retinopati Diabetik ...................................................... 44
4.2 Pengujian Hipotesis ................................................................................... 46
4.3 Pembahasan ............................................................................................... 47
BAB V SIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 55
5.1 Simpulan .................................................................................................... 55
5.1.1 Simpulan Umum ....................................................................................... 55
5.1.2 Simpulan Tambahan .................................................................................. 55
5.2 Saran .......................................................................................................... 55
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 57
LAMPIRAN ......................................................................................................... 61
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ........................................................................... 73
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Klasifikasi Internasional Retinopati Diabetik .............................. 10
Tabel 2.2 Rekomendasi Pemeriksaan Mata pada Pasien DM ...................... 14
Tabel 2.3 Rekomendasi Rujukan dan skrining pemeriksaan mata pada pasien
DR berdasarkan ICO .................................................................... 15
Tabel 3.1 Definisi Operational Variabel Penelitian ...................................... 29
Tabel 4.1 Karakteristik Subjek Penelitian dan Gambaran Tingkat
Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku ................................................. 37
Tabel 4.2 Uji Normalitas .............................................................................. 38
Tabel 4.3 Gambaran Skor Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Dokter Umum
mengenai Retinopati Diabetik ...................................................... 38
Tabel 4.4 Tanggapan Dokter Umum Berdasarkan Variabel Pengetahuan
mengenai Retinopati Diabetik ...................................................... 39
Tabel 4.5 Tanggapan Dokter Umum Berdasarkan Indikator Variabel Sikap
Mengenai Retinopati Diabetik ...................................................... 41
Tabel 4.6 Tanggapan Dokter Umum Berdasarkan Indikator Variabel Perilaku
Mengenai Retinopati Diabetik ...................................................... 42
Tabel 4.7 Tabel Analisis Korelasi Pengetahuan dan Sikap Terhadap Perilaku
Dokter Umum Mengenai Retinopati Diabetik ............................. 45
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Bagan Kerangka Pemikiran ............................................................. 23
xvi
DAFTAR GRAFIK
Grafik 4.1 Pengetahuan mengenai organ yang terkena komplikasi vaskular DM 40
Grafik 4.2 Pengetahuan mengenai faktor yang memperberat DR ....................... 40
Grafik 4.3. Seberapa sering dokter umum melakukan pemeriksaan tajam
penglihatan dan fundus pasien DM ................................................... 43
Grafik 4.4. Hambatan Deteksi Dini Retinopati Diabetik di Puskesmas .............. 44
Grafik 4.5. Scatter Plot Pengetahuan – Perilaku .................................................. 46
Grafik 4.6. Scatter Plot Sikap – Perilaku .............................................................. 46
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Persetujuan Etik ............................................................................... 61
Lampiran 2. Informed Consent ............................................................................ 62
Lampiran 3. Data Penelitian ................................................................................. 63
Lampiran 4. Kuesioner Penelitian ........................................................................ 68
Lampiran 5. Daftar Riwayat Hidup ...................................................................... 73
xviii
DAFTAR SINGKATAN
DR : Diabetic Retinopathy/Retinopati Diabetik
DM : Diabetes Melitus
IDF : International Diabetes Federation
VTDR : Vision-Threatening Diabetic Retinopathy
PDB : Produk Domestik Bruto
ADA : American Diabetes Association
AAO : American Academy of Ophthalmology
KAP : Knowledge, Attitude, Practice
SKDI : Standar Kompetensi Dokter Indonesia
ICO : International Council of Ophthalmology
PDR : Proliferative Diabetic Retinopathy
DME : Diabetic Macular Edema
OCT-A : Ocular Coherence Tomography-Angiography
IRMA : Intraretinal Microvascular Abnormalities
VEGF : Vascular Endothelial Growth Factor
NPDR : Non-proliferative Diabetic Retinopathy
ILM : Internal Limitting Membrane
ETDRS : Early Treatment Diabetic Retinopathy Study
NVD : Neovascularization of the disc
NVE : Neovascularization elsewhere
DCCT : Diabetes Control and Complications Trial
UKPDS : United Kingdom Prospective Diabetes Study
xviii
hbA1c : hemoglobin A1c
PRP : Panretinal Photocoagulation
DRVS : Diabetic Retinopathy Vitrectomy Study
WHO : World Health Organization
BPS : Badan Pusat Statistik
BPJS : Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Prolanis : Program Penanggulangan Penyakit Kronis
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian
Retinopati Diabetik (Diabetic Retinopathy/DR) merupakan salah satu
komplikasi mikrovaskular yang umum terjadi pada pasien Diabetes Melitus (DM).
Berdasarkan International Diabetes Federation (IDF) prevalensi DM Indonesia
tahun 2019 adalah 10,7%. DR menjadi penyebab utama kebutaan pada kelompok
usia dewasa. Data dari 35 penelitian berbasis populasi di seluruh dunia dari tahun
1980 – 2008, menunjukkan prevalensi DR dan Vision-Threatening Diabetic
Retinopathy (VTDR) yaitu 35% dan 12%. Bila diproyeksikan pada penduduk
Indonesia tahun 2019, sebanyak 6,5 dan 1,9 juta jiwa yang menderita DR dan
VTDR pada usia produktif di Indonesia. Gangguan penglihatan akibat VTDR yang
tidak ditangani pada usia produktif akan berakibat kerugian ekonomi sebesar 114
Triliun per tahun dihitung berdasarkan Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita
tahun 2019.1–8
Besarnya masalah yang diakibatkan oleh gangguan penglihatan akibat DR dapat
diminimalisir dengan meningkatkan tindakan preventif. Gangguan penglihatan
pada tahap VTDR dapat dicegah atau diperlambat onsetnya dengan cara
peningkatan kapasitas deteksi dini retinopati diabetik diikuti dengan kontrol faktor
resiko sistemik seperti hiperglikemia, hipertensi, obesitas dan dislipidemia. Kontrol
gula darah dilakukan baik dengan medikamentosa ataupun dengan insulin, kontrol
hipertensi dan dislipidemia serta dengan deteksi dini retinopati melalui skrining,
2
pemeriksaan fundus secara berkala, serta intervensi dengan laser secara efektif pada
waktu yang tepat bila diperlukan. American Diabetes Association (ADA) dan
American Academy of Ophthalmology (AAO) merekomendasikan Dewasa dan
Anak-anak usia ≥10 tahun dengan DM tipe I harus melakukan pemeriksaan
oftalmologis komprehensif oleh oftalmologis dalam 3-5 tahun pertama diagnosis
DM dan pasien dengan DM Tipe 2 pada saat pertama terdiagnosis. Upaya
pengobatan DR oleh dokter mata seperti laser, tidak akan optimal bila tidak
dilakukan pencegahan primer yang baik.9–12
Penyedia layanan kesehatan primer memegang peranan penting dalam
pencegahan komplikasi kebutaan pada retinopati diabetik. Dokter layanan primer
merupakan tenaga medis pertama yang menangani pasien dengan diabetes, sumber
informasi pertama mengenai retinopati diabetik dan sumber rujukan utama pasien
untuk memeriksakan diri ke dokter mata. Studi mengenai knowledge, attitude,
practice (KAP) dokter terhadap retinopati diabetik oleh Pradhan di Nepal,
menunjukkan tingkat pengetahuan dokter yang baik mengenai retinopati diabetik,
98% tidak setuju pasien hanya memeriksakan mata jika ada keluhan, dan 44%
dokter tidak pernah melakukan pemeriksaan fundus terhadap pasien DM. Studi oleh
Abdulsalam di Nigeria menemukan 95,2% dokter tidak mengetahui pemeriksaan
baku emas skrining retinopati diabetik, dan 63,8% dokter tidak melakukan
pemeriksaan mata rutin terhadap pasien DM, dan hanya 3,7% dokter yang mampu
mendeteksi kelainan retina dari pemeriksaan oftalmoloskop. Studi KAP terhadap
retinopati diabetik pada pasien dan pada dokter menunjukkan perlunya suatu
mekanisme, di antara dokter dan pasien diabetes, untuk mendorong skrining rutin
3
fundus pasien diabetes. Skrining retinopati diabetes dan program pengobatan telah
terbukti sebagai intervensi cost-effective yang signifikan.9–18
Penilaian terhadap Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku (KAP) dokter umum
terhadap DM dan retinopati diabetik diperlukan untuk mengevaluasi pelayanan
yang sudah ada dan untuk meningkatkan kualitas pencegahan dan komplikasi
kebutaan akibat retinopati diabetik (Vision Threatning Retinopathy
Diabetic/VTDR). Penelitian oleh Abdulsalam di Nigeria menganalisis hubungan
antara pengetahuan, sikap, dan perilaku dokter umum terhadap DR. Pada penelitian
ini ‘sikap’ menunjukkan korelasi negatif terhadap ‘perilaku’. Studi ini
menunjukkan Dokter mempunyai pengetahuan yang baik tentang frekuensi
pemeriksaan pada pasien diabetes dan kontrol glukosa yang menunda timbulnya
DR. Namun hal ini tidak diikuti dengan perilaku merujuk pasien ke dokter spesialis
mata. Hal ini kontras dengan penelitian Khandekar di Oman yang menunjukkan
korelasi positif antara sikap dan perilaku dokter dalam skrining DR, namun tidak
ada hubungan dengan fasilitas sistem kesehatan yang lebih baik. Sikap dan perilaku
dalam manajemen DR dipengaruhi tingkat pengetahuan dokter umum terhadap DR
itu sendiri.9,15,17–20
Deteksi dini retinopati diabetik dapat dilakukan di Puskesmas. Sesuai Permenkes
No.75 tahun 2014, Puskesmas harus memiliki fasilitas pemeriksaan mata seperti;
snellen chart, lup binokuler, penlight/lampu senter, serta oftlamoskop. Sesuai
dengan Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) tahun 2012, Dokter umum
memiliki kompetensi 4A terhadap penyakit DM (mendiagnosis dan menatalaksana
secara mandiri dan tuntas), kompetensi 2A untuk menangani DR (mampu
4
mendiagnosis dan merujuk), dan kompetensi 4A untuk keterampilan funduskopi
yaitu dapat melakukan pemeriksaan papil saraf optik, pembuluh darah retina dan
makula, secara mandiri.21,22
Penelitian KAP dokter umum mengenai retinopati diabetik belum pernah
dilakukan di Indonesia. Berdasarkan penelitian yang sudah pernah dilakukan di
negara lain, terdapat hasil penelitian yang berbeda-beda mengenai korelasi
pengetahuan, sikap, dan perilaku. Oleh karena peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian mengenai korelasi antara Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku (Knowledge,
Attitude, and Practice/KAP) dokter umum terhadap retinopati diabetik di
Puskesmas wilayah kota Bandung. Sehingga dapat dievaluasi perilaku deteksi dini
retinopati diabetik oleh dokter umum di layanan kesehatan primer.21,22
Tema sentral pada penelitian ini :
Retinopati diabetik merupakan penyebab utama gangguan penglihatan dan
kebutaan pada penderita diabetes melitus. Gangguan penglihatan dan kebutaan
akibat retinopati diabetik dapat dicegah dengan deteksi dini retinopati diabetik dan
tatalaksana yang segera. Kasus DM sederhana tanpa penyulit dapat dikelola dengan
tuntas oleh dokter umum di pelayanan kesehatan primer. Peran dokter umum
sebagai ujung tombak di pelayanan kesehatan primer menjadi sangat penting.
Dokter yang menangani pasien diabetes memegang peranan penting dalam rujukan
pemeriksaan mata untuk deteksi dini retinopati diabetik. Penerapan kegiatan
program deteksi dini DR diperlukan pengetahuan, sikap, dan perilaku dokter umum
yang mendukung terlaksananya program tersebut. Korelasi pengetahuan dan sikap
terhadap perilaku berdasarkan penelelitian terdahulu masih kontroversi, dan di
Indonesia belum ada data terkait kondisi tersebut. Pada penelitian ini peneliti ingin
mengetahui korelasi antara pengetahuan dan sikap dengan perilaku dokter umum di
puskesmas di wilayah kota Bandung mengenai DR.
5
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana korelasi antara pengetahuan dengan perilaku dokter umum di
puskesmas-puskesmas wilayah kota Bandung mengenai retinopati diabetik?
2. Bagaimana korelasi antara sikap dengan perilaku dokter umum di puskesmas-
puskesmas wilayah kota Bandung mengenai retinopati diabetik?
1.3. Tujuan Penelitian
1. Untuk menganalisis korelasi antara pengetahuan dengan perilaku dokter umum
di puskesmas-puskesmas wilayah kota Bandung mengenai retinopati diabetik.
2. Untuk menganalisis korelasi antara sikap dengan perilaku dokter umum di
puskesmas-puskesmas wilayah kota Bandung mengenai retinopati diabetik.
1.4. Kegunaan Penelitian
1.4.1. Kegunaan Ilmiah
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi evaluasi skrining retinopati diabetik
dalam masyarakat, mengevaluasi pengetahuan, sikap, dan perilaku dokter umum
mengenai retinopati diabetik di masyarakat sehingga dapat menjadi acuan untuk
peningkatan pengetahuan, sikap, dan perilaku Dokter umum terhadap retinopati
diabetik.
1.4.2. Kegunaan Praktis
Tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku dokter umum di masyarakat dapat
menjadi dasar pertimbangan untuk dilakukan edukasi dan pelatihan kesehatan
6
mengenai retinopati diabetik terhadap dokter umum dalam masyarakat sehingga
dapat meningkatkan deteksi dini retinopati diabetik di layanan kesehatan primer.
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
2.1. Kajian Pustaka
2.1.1. Retinopati Diabetik
Retinopati diabetik (DR) merupakan komplikasi mikrovaskular utama diabetes
dan menyerang 1 dari 3 orang dengan Diabetes Melitus (DM). Retinopati diabetik
terjadi pada hampir seluruh penderita DM tipe 1 dan 77% pada DM tipe 2 yang
telah menderita DM 20 tahun. DR merupakan peringkat ke-lima dari penyebab
umum kebutaan yang dapat dicegah, dan penyebab tersering kelima gangguan
penglihatan sedang hingga berat. American Academy of Ophthalmology (AAO)
merekomendasikan penderita DM tipe 1 untuk melakukan pemeriksaan
oftalmologis sejak 5 tahun terdiagnosis, dan pada saat pertama terdiagnosis pada
DM tipe 2. International Council of Ophthalmology (ICO) merekomendasikan
evaluasi ulang berkala sesuai derajat DR.5,23,24
Di banyak negara, DR adalah penyebab paling sering kebutaan yang dapat
dicegah pada orang dewasa. Sebuah studi meta-analisis global melaporkan bahwa
1 dari 3 orang DM (34,6%) memiliki DR di Amerika Serikat, Australia, Eropa dan
Asia. Dilaporkan juga bahwa 1 dari 10 (10,2%) memiliki DR yang mengancam
penglihatan (VTDR) yaitu, Proliferative Diabetic Retinopathy (PDR) dan/atau
Diabetic Macular Edema (DME). Pada populasi diabetes dunia tahun 2010, lebih
dari 92 juta orang dewasa menderita DR, 17 juta menderita PDR, 20 juta menderita
DME, dan 28 juta menderita VTDR2,6,25,26
8
2.1.1.1.Patogenesis Retinopati Diabetik
Hiperglikemia kronis dikenal sebagai penyebab utama faktor yang menyebabkan
semua komplikasi mikrovaskular diabetes, termasuk retinopati diabetik. Paparan
hiperglikemia selama periode yang panjang menghasilkan perubahan jalur biokimia
dan molekuler, termasuk peningkatan stres oksidatif inflamasi, produk akhir glikasi
lanjut, dan jalur protein kinase-C yang akhirnya menyebabkan kerusakan endotel
dan kehilangan perisit. Abnormalitas hematologi juga berhubungan dengan onset
dan progresifitas retinopati, seperti peningkatan adhesi trombosit, peningkatan
agregasi eritrosit, dan gangguan fibrinolisis. Namun, mekanisme masing-masing
kelainan ini dalam patogenesis retinopati sampai saat ini belum dapat diejaslakan
lebih detail.24,27
Perubahan kapiler retina seperti penebalan membran basement dan hilangnya
selektif perisit menyebabkan oklusi kapiler dan nonperfusi retina. Pencitraan retina
resolusi tinggi pembuluh darah, seperti melalui Ocular Coherence Tomography-
Angiography (OCT-A) menunjukkan area remodeling vaskular bahkan di mata
dengan retinopati diabetik ringan. Abnormalitas vaskular terjadi baik pada pleksus
kapiler retina superfisial dan dalam. Perubahan ini memburuk dengan
meningkatnya tingkat keparahan retinopati. Kerusakan mikrovaskular mengarah ke
nonperfusi kapiler retina, cotton wool spots, peningkatan jumlah perdarahan,
abnormalitas vena, dan intraretinal microvascular abnormalities (IRMA). Selama
tahap ini, meningkatnya vasopermeabilitas dapat menyebabkan penebalan retina
(edema) dan atau eksudat yang dapat menyebabkan hilangnya ketajaman visual
sentral. Pada tahap proliferatif, neovaskularisasi retina terbentuk sebagai respon
9
terhadap peningkatan vascular endothelial growth factor (VEGF), yang diproduksi
oleh jaringan retina yang iskemik. Tahap proliferasi menghasilkan proliferasi
pembuluh darah baru pada diskus, retina, dan iris, dan di sudut filtrasi.
Neovaskularisasi ini kemudian dapat menyebabkan ablasio retina traksional dan
glaukoma neovaskular.24,27
2.1.1.2.Klasifikasi Retinopati Diabetik
Lesi retina klasik pada DR termasuk mikroaneurisma, perdarahan intraretina,
venous beading (perubahan kaliber vena yang terdiri dari area dilatasi dan
konstriksi vena), intraretinal microaneurysms abnormalities (IRMA), hard
exudates (deposit lipid), cotton wool spot (retina iskemik yang mengarah ke
akumulasi dari debris axoplasmic di dalam bundel yang berdekatan dengan akson
sel ganglion), dan neovaskularisasi retina.5,12,24
Perubahan mikrovaskuler retina yang terjadi pada nonproliferative diabetic
retinopathy (NPDR) terbatas pada retina dan tidak melewati internal limiting
membrane (ILM). NPDR ditandai oleh kelainan vaskular seperti mikroaneurisma,
perdarahan intraretinal (dot dan blot), cotton wool spot, area retina nonperfusi,
IRMA, abnormalitas arteriolar, dan dilatasi dan venous beading. Tingkat keparahan
NPDR (ringan, sedang, berat) dinilai berdasarkan tingkat dan keparahan temuan ini
dibandingkan dengan foto standar dari Early Treatment Diabetic Retinopathy Study
(ETDRS).5,12,24,27
Proliferative Diabetic Retinopathy (PDR) merupakan bentuk paling lanjut dari
DR, berupa suatu respon angiogenik terhadap retina dengan iskemik luas.
10
Neovaskularisasi retina biasanya ditandai dengan neovaskularisasi pada diskus
(NVD) atau neovaskularisasi “elsewhere” (NVE), sering terdapat di sekitar arkade
vaskular. Pembuluh darah baru sering mucul pada batas antara area perfusi dan
norperfusi retina. PDR terbagi atas early PDR, ditandai dengan adanya NVD atau
NVE, high-risk PDR ditandai dengan NVD ringan dengan perdarahan vitreus, NVD
sedang-berat dengan/tanpa perdarahan vitreus, dan NVE dengan perdarahan
vitreus. Sedangkan advanced PDR dikaitkan dengan penyakit kardiovaskular dan
komplikasinya, seperti infark myokardial, gangguan serebrovaskular, nefropati
diabetik, amputasi dan kematian.12,24
Tabel 2.1. Klasifikasi Internasional Retinopati Diabetik
Retinopati Diabetik Temuan Klinis pada Pemeriksaan Fundus
No DR Tidak ada kelainan
Mild NPDR Mikroaneurisma
Moderate NPDR Mikroaneurisma dan tanda klinis lain (perdarahan dot/blot, hard
exudates, cotton wool spot)
Severe NPDR Adanya 1 dari tanda klinis berikut:
Perdarahan retina berat dan mikroaneurisma di 4 kuadran
Venous beading di 2 kuadran atau lebih
IRMA di 1 kuadran atau lebih
PDR Severe NPDR dan 1 tanda berikut:
Neovaskularisasi
Perdarahan vitreus/preretinal
Sumber: Wong12
Edema makula diabetik (Diabetic macular edema/DME) merupakan manifestasi
yang mengancam penglihatan yang dinilai terpisah dari derajat DR-nya, karena
DME bisa terdapat pada derajat DR apapun. Berdasarkan International
Classification DR, DME diklasifikasikan berdasarkan pemeriksaan klinis atau
fundus fotografi didasarkan dari lokasinya dari fovea. Berdasarkan pedoman saat
ini, definisi dan klasifikasi DME diperbarui dengan informasi dari OCT; (1) tidak
11
ada DME, tidak ada penebalan retina atau hard exudate di daerah makula, (2) DME
tanpa keterlibatan central subfield zone (diameter 1mm), (3) DME dengan
keterlibatan central subfield zone. Penetuan tingkat keparahan DME berdasarkan 3
kategori ini akan menentukan kebutuhan rekomendasi pengobatan dan tindak
lanjut. Hal ini penting untuk diperhatikan bahwa DR tahap lanjut dan DME
mungkin dapat terjadi pada pasien yang tidak mengalami gejala visual. Vision-
Threatening Diabetic Retinopathy (VTDR) didefinisikan sebagai adanya PDR atau
edema makula pada derajat DR berapapun.5,12,24,27
2.1.1.3.Tatalaksana Retinopati Diabetik
Kontrol glikemik yang baik merupakan faktor paling penting dalam manajemen
medis retinopati diabetik, berdasarkan studi Diabetes Control and Complications
Trial (DCCT) dan United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS). Dalam
studi ini disebutkan bahwa kontrol glikemik intensif menurunan risiko timbulnya
retinopati baru dan mengurangi perkembangan retinopati yang ada pada orang
dengan DM tipe 1 dan 2. Perubahan dalam kadar hemoglobin A1c (HbA1c) yang
berkelanjutan ditemukan memiliki dampak besar pada perkembangan retinopati
diabetik. Berdasarkan hasil DCCT dan UKPDS, sebagian besar pasien dengan
diabetes sekarang direkomendasikan untuk mencapai tingkat HbA1c <7,0%.
Kontrol tekanan darah juga dikatakan memperlambat progresi retinopati dan
mengurangi risiko mikrovaskular dan makrovaskular dari diabetes.5,12,24,27
Rekomendasi manajemen untuk pasien DR disesuaikan dengan tingkat
keparahan retinopati serta keberadaan dan jenis DME. Laser panretinal
12
photocoagulation (PRP) masih dipertimbangan sebagai terapi pilihan pada derajat
severe NPDR dan PDR. Laser PRP bertujuan meregresi adanya neovaskularisasi.
Laser PRP menghancurkan retina iskemik, yang menghasilkan faktor pertumbuhan,
seperti vascular endothelial growth factors (VEGF), yang meningkatkan
progresifitas penyakit. PRP mengurangi konsumsi oksigen secara keseluruhan dan
meningkatkan difusi oksigen dari koroid di area bekas luka fotokoagulasi.5,12,24,27
Tatalaksana edema makula dapat berupa okular farmakologis dan laser
fotokoagulasi. Terapi diindikasikan pada edema makula dengan keterlibatan sentral
atau signifikan secara klinis. Faktor yang harus dipertimbangkan pada tatalaksana
edema makula termasuk lokasi eksudat terhadap fovea, status klinis mata
kontralateral, perencanaan operasi katarak, adanya high-risk PDR, dan risiko terapi.
Tatalaksana anti-VEGF dan kortikosteroid intravitreal menjadi lini terdepan dalam
manajemen DME berdasarkan bukti klinis yang menunjukkan manfaat dan
superioritas terapi ini dalam peningkatan hasil visual.5,12,24,27
Vitrektomi diindikasikan pada DR apabila terdapat; perdarahan vitreus
nonclearing, perdarahan vitreous berulang yang signifikan, meskipun sudah
dilakukan PRP maksimal, perdarahan subhyaloid premakula yang padat, ablasio
retina traksional yang melibatkan atau mengancam makula, kombinasi ablasio
retina traksional dan regmatogenus, glaukoma yang diinduksi sel darah merah
(erythroclastic) dan glaukoma "ghost cell", serta neovaskularisasi segmen anterior
dengan kekeruhan media yang menghalangi untuk dilaukan PRP. Diabetic
retinopathy vitrectomy study (DRVS) menunjukkan hasil yang lebih baik jika
13
vitrektomi pada perdarahan vitreus dilakukan dalam 1 sampai 6 bulan setelah onset,
dibandingkan dengan vitrektomi dalam 1 tahun.12,24,27
2.1.2. Skrining Retinopati Diabetika
Deteksi dini dan tatalaksana segera dapat mencegah gangguan penglihatan
akibat diabetes hingga 98%. Skrining DR dapat dilakukan oleh berbagai tenaga
medis seperti dokter umum, optometrist, perawat mata terlatih, atau fotografer
klinis. Berdasarkan International council of ophthalmology (ICO) skrining DR
meliputi pemeriksaan tajam penglihatan dengan koreksi terbaik, status
oftalmologis, funduskopi retina, pemeriksaan diabetes lengkap (termasuk HbA1c),
tekanan darah, profil lipid, riwayat merokok, dan komplikasi terkait diabetes
lainnya karena dapat memengaruhi urgensi rujukan dari layanan kesehatan primer
ke Dokter mata.12,13
Pemeriksaan funduskopi retina memerlukan keterampilan dari Dokter mata atau
perawat terlatih. Baku emas pemeriksaan retinopati diabetik adalah foto fundus
stereopsis tujuh lapang pandang dengan dilatasi pupil. Pilihan pemeriksaan skrining
lain dengan oftalmoskopi direk lebih mudah dan dapat dilakukan oleh perawat
terlatih namun sulit untuk memeriksa hingga ke bagian perifer retina. Pemeriksaan
dengan menggunakan oftalmoskopi indirek atau dengan lensa biomikroskop
dengan slit-lamp menghasilkan gambaran magnifikasi fundus dan dapat menilai
edema makula. Peralatan ini cukup mahal dan membutuhkan keterampilan Dokter
mata yang mana merupakan keterbatasan sumber daya pada skrining. Puskesmas
sebagai layanan kesehatan primer di Indonesia sesuai Permenkes No.75/2014, harus
14
memiliki fasilitas pemeriksaan mata seperti; snellen chart, lup binokuler,
penlight/lampu senter, serta oftlamoskop. Bedasarkan Standar Kompetensi Dokter
Indoensia, Dokter umum harus mampu menangani DR dengan kompetensi 2A
(mampu mendiagnosis dan merujuk), dan kompetensi 4A untuk keterampilan
funduskopi yaitu dapat melakukan pemeriksaan papil saraf optik, pembuluh darah
retina dan makula, secara mandiri.21,22,28,29
American Diabetes Association (ADA) dan American Academy of
Ophthalmology (AAO) merekomendasikan Dewasa dan Anak-anak usia ≥10 tahun
dengan DM tipe I harus melakukan pemeriksaan oftalmologis komprehensif oleh
Dokter mata dalam 3-5 tahun pertama sejak didiagnosis diabetes. Hal yang sama
pada DM tipe 2, pasien harus melakukan skrining DR pada saat pertama
terdiagnosis. Kehamilan dapat berhubungan dengan progresifitas DR, sehingga
pasien wanita dengan diabetes yang hamil membutuhkan pemeriksaan retina yang
lebih sering. Pemeriksaan mata direkomendasikan pada trimester pertama.
Pemeriksaan oftalmologis lengkap awal meliputi pemeriksaan fundus dilatasi dan
follow-up paling kurang setiap 1 tahun sesudahnya, namun frekuensi follow-up
tergantung dengan derajat DR, kontrol gula darah dan tekanan darah.10–12,24
Tabel 2.2 Rekomendasi pemeriksaan mata pada pasien DM
Tipe Diabetes Pemeriksaan pertama Follow-up Rutin
DM Tipe 1 5 tahun setelah terdiagnosis 1 tahun sekali
DM Tipe 2 Pada saat terdiagnosis
DM Tipe 1 atau 2 dan
Kehamilan
Segera setelah konsepsi dan
awal trimester pertama
kehamilan
Mild dan moderate NPDR:
setiap 3 – 12 bulan
Severe NPDR atau lebih berat:
setiap 1 – 3 bulan
Sumber: AAO24
15
Adanya DR (NPDR, PDR, dan edema makula) mengindikasikan rujukan ke
Dokter mata dan direkomendasikan evaluasi yang lebih sering. Pemeriksaan
berkala tiap tahun disarankan untuk penderita DM tanpa DR. Pemeriksaan berkala
direkomendasikan tiap 6, 3, <3 dan 1 bulan pada mild NPDR, moderate NPDR,
severe NPDR, dan PDR secara berurutan. Rekomendasi rujukan dilakukan
berdasarkan International Council of Ophthalmology (ICO) dengan kriteria: (1)
tajam penglihatan <6/12 atau mempunyai keluhan penglihatan; (2) derajat moderate
NPDR atau lebih berat; (3) bila tajam penglihatan atau pemeriksaan retina tidak
dapat diperoleh dari pemeriksaan skrining.5,12,24
Tabel 2.3. Rekomendasi rujukan dan skrining pemeriksaan mata pada pasien DR
berdasarkan ICO Klasifikasi Jadwal skrining/pemeriksaan
ulang
Rujukan ke Dokter Mata
No DR, mild NPDR dan No
DME
Pemeriksaan ulang dalam 1 – 2
tahun
Tidak dirujuk
Mild NPDR 1 – 2 tahun Tidak dirujuk
Moderate NPDR 6 – 12 bulan Dirujuk
Severe NPDR <3 bulan Dirujuk
PDR <1 bulan Dirujuk
DME tanpa keterlibatan sentral 3 bulan Rujukan direkomendasikan
apabila ada fasilitas laser
DME dengan keterlibatan
sentral
1 bulan Dirujuk
Sumber: Wong12
2.1.3. Knowledge, Attitude, and Practice (Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku)
Knowledge, attitude, dan practice (KAP) merupakan salah satu konsep yang
banyak diimplementasikan oleh para pendidik dan praktisi kesehatan yang
merupakan bagian dari teori dan model edukasi dan perilaku kesehatan. KAP
dikenal juga sebagai “rational model” yang didasarkan pada premis bahwa
meningkatkan pengetahuan seseorang akan mendukung perubahan perilaku
16
kesehatan. Teori perilaku berdasarkan psikologi merupakah totalitas pemahaman
dan aktivitas seseorang yang merupakan hasil bersama antara faktor eksternal
(dukungan lingkungan) dan faktor internal (kapasitas individu). Beberapa
teori/konsep dalam memodifikasi kapasitas individu pada tingkat intrapersonal
yaitu; kesadaran dan pengetahuan, kepercayaan, pendapat dan sikap, efikasi diri,
niat, dan keterampilan. Sedangkan dukungan lingkungan berupa peraturan,
ketentuan, dan pedoman, fasilitas dan layanan, dukungan sosial, serta insentif.30,31
Ranah Perilaku utama adalah kognitif, afektif (emosi), dan konasi (kehendak)
yang dalam bentuk operasionalnya dikenal dengan ranah pengetahuan, sikap, dan
praktik atau perilaku terbuka (knowledge, attitude, practice). Studi knowledge,
attitude, and practice (KAP) memberikan informasi mengenai apa yang diketahui
orang tentang hal-hal tertentu, bagaimana perasaan dan sikap mereka, dan juga
bagaimana mereka berperilaku terhadap hal tersebut.30–33
Tiga topik yang diukur oleh studi KAP adalah pengetahuan, sikap dan perilaku.
Pengetahuan adalah hasil pengindraan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap
objek melalui indera yang dimilikinya. Pengetahuan secara garis besar dibagi
menjadi beberapa tingkat pengetahuan yaitu; tahu, memahami, aplikasi, analisis,
sintesis, dan evaluasi. Sikap merupakan suatu respons tertutup seseorang terhadap
stimulus atau objek atau kondisi tertentu, melibatkan faktor pendapat dan emosi
yang bersangkutan (senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, baik-tidak baik), serta
ide apa pun yang terbentuk sebelumnya yang mungkin mereka miliki terhadap topik
tersebut dan kecenderungan untuk bertindak mereka terhadap suatu kondisi.
Pengetahuan dan sikap dapat diukur, diamati, dan dievaluasi. Hal ini membantu
17
memperlihatkan perilaku yang mungkin dilakukan apabila berada dalam suatu
kondisi. Perilaku mengacu pada cara mereka menunjukkan pengetahuan dan sikap
mereka melalui tindakan mereka. Dalam konsep edukasi kesehatan, perilaku
dianggap bergantung pada perubahan sikap, sikap bergantung pada tingkat
pengetahuan. Pemahaman tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku akan
memungkinkan proses pembentukan kesadaran yang lebih efisien sehingga
memungkinkan program kesehatan lebih disesuaikan dengan kebutuhan
masyarakat.30,32,33
Salah satu alasan mengapa para peneliti tertarik pada pengetahuan adalah karena
telah lama diasumsikan bahwa peningkatan pengetahuan terkait dengan pengaruh
sikap yang lebih besar terhadap perilaku. Beberapa penelitian yang mendukung
asumsi ini sebagai contoh, Kallgren dan Wood pada penelitiannya tentang perilaku
perlindungan terhadap lingkungan, menemukan bahwa sikap didasarkan pada
tingkat pengetahuan yang tinggi lebih memprediksi perilaku yang berhubungan
dengan lingkungan daripada sikap berdasarkan tingkat pengetahuan yang rendah.
Davidson menemukan bahwa sikap adalah prediktor perilaku yang lebih baik ketika
mereka didasarkan pada jumlah pengetahuan yang tinggi daripada saat mereka
didasarkan pada sedikit pengetahuan. World Health Organization (WHO) dalam
buku Health education: theoretical concepts, effective strategies and core
competencies menjelaskan praktisi dan pendidik kesehatan mengadaptasi berbagai
teori perilaku kesehatan dalam mengembangkan, mengelola, dan mengevaluasi
inetrvensi dalam perilaku kesehatan.30,31,34
18
2.1.3.1.KAP Dokter Umum Terhadap Retinopati Diabetik
Pencegahan primer merupakan aspek yang paling penting dalam pencegahan
dan penurunan progresifitas DR. Sejumlah penelitian multisenter telah
menunjukkan bahwa kehilangan penglihatan yang berat akibat retinopati diabetik
dapat dicegah jika penyakit terdeteksi dini dan diobati tepat waktu. Cara terbaik
untuk pencegahan retinopati diabetik adalah pencegahan primer oleh Dokter umum
dan tenaga medis yang pertama menangani pasien. Pada layanan kesehatan primer,
Dokter umum biasanya yang pertama memberikan informasi mengenai komplikasi
diabetes terhadap pasien diabetes. Sehingga, dibutuhkan pengetahuan yang baik
tentang komplikasi mikrovaskular diabetes, dan apabila kemampuan pemeriksaan
mata mereka baik, bahkan mereka dapat mendeteksi kelainan mikrovaskular pada
tahap awal retinopati, sehingga kebutaan akibat retinopati diabetik dapat
dicegah.9,15,18,35
Penelitian oleh Khandekar di Oman, menunjukkan secara umum hanya 54,5%
dokter umum yang mempunyai pengetahuan baik tentang DR dan pengetahuan
tentang pemeriksaan mata dengan oftalmoskop hanya pada 40% dokter. Penelitian
Abu-amara di Riyadh, menunjukkan pengetahuan tenaga medis tentang skrining
DR baik pada 54,3% partisipan dan buruk pada 45,6% partisipan. Partisipan yang
bekerja di rumah sakit dikatakan memiliki tingkat pengetahuan yang lebih tinggi.
Hambatan dalam melakukan skrining DR dari penelitian ini adalah kurangnya
fasilitas dan kurangnya pelatihan tentang DR. Partisipan pada penelitian (80,3%)
ini menyebutkan mereka membutuhkan hands-on training untuk skrining DR.9,18
19
Franzco menyebutkan 99% dokter umum di Yangon, Myanmar, mengetahui
bahaya diabetes terhadap kebutaan, namun hanya 49% yang pernah melakukan
pemeriksaan fundus pada pasien. Penelitian oleh Abdulsalam terhadap KAP dokter
umum di Barat Laut Nigeria menyebutkan 63,8% mengetahui tentang pencegahan
progresifitas DR dan 76,2% tahu harus seberapa sering pasien diabetes harus
memeriksakan mata. Sebanyak 81,9% menyebutkan pemeriksaan mata bukan
bagian dari tugas dokter umum dan lebih memilih untuk merujuk. Hanya 36,2%
yang melakukan pemeriksaan mata rutin, dan hanya 5,7% yang melakukan
pemeriksaan retina. Penelitian ini menganalisis hubungan antara pengetahuan,
sikap, dan perilaku Dokter umum terhadap DR. Pada penelitian ini ‘sikap’
menunjukkan korelasi negatif terhadap ‘perilaku’.15,17
Pradhan menyebutkan 100% partisipan Dokter umum pada penelitiannya di
Nepal mengetahui bahaya diabetes terhadap gangguan penglihatan, 98% tidak
setuju pemeriksaan mata baru dilakukan hanya jika ada keluhan penglihatan, dan
56% Dokter umum melakukan pemeriksaan oftalmoskop untuk pemeriksaan retina
pada tempat praktiknya. Dokter umum pada penelitian ini tidak mempunyai
pengetahuan adekuat tentang tatalaksana DR. Kurangnya perilaku pemeriksaan
fundus pada penelitian ini tidak seiring dengan pengetahuan yang cukup baik
tentang bahaya DR terhadap penglihatan. Hal ini diakibatkan karena kurangnya
pelatihan dalam pemeriksaan skrining DR pada Dokter umum.16,36
20
2.1.4. Profil Kesehatan Kota Bandung
Kota Bandung sebagai ibu kota provinsi Jawa Barat memiliki 30 kecamatan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik kota Bandung tahun 2018, kota Bandung
memiliki sarana kesehatan berupa 29 Rumah Sakit Umum dan Khusus, 30 Rumah
Sakit Bersalin, 115 Poliklinik, 78 Puskesmas, dan 14 Puskesmas pembantu. Jumlah
tenaga kesehatan kota Bandung pada tahun 2018 sebanyak 694 Dokter Umum,
1681 Dokter Spesialis, 275 Dokter Gigi, 217 Dokter Gigi Spesialis, 526 perawat,
420 bidan, 124 farmasi, dan 82 ahli gizi.37,38
Data penduduk Kota Bandung berdasarkan proyeksi/estimasi Penduduk
Indonesia 2010 – 2035 oleh Badan Pusat Statistik (BPS) yang tertuang dalam
Kepmenkes RI Nomor HK.02.02/MENKES/117/2015, adalah sebesar 2.503.708
dengan 1.262.479 jiwa Laki-laki (50,42%) dan 1.241.229 jiwa Perempuan
(49,58%).37,38
Berdasarkan Atlas IDF tahun 2019 prevalensi diabetes usia 20-79 tahun di
Indonesia sebesar 6,7%. Berdasarkan jumlah penduduk Kota Bandung rentang usia
20-79 tahun sebanyak 1.724.549 jiwa, diperkirakan jumlah orang dengan DM di
Kota Bandung sebanyak 115.544 orang. Penelitian observasional yang sebelumnya
dilakukan oleh Halim (2018) dan tim Oftalmologi Komunitas Rumah Sakit Mata
Cicendo Bandung didapatkan prevalensi orang dengan DR derajat apapun di
Bandung Raya (Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat
dan Cimahi) sebesar 24,7 %. Prevalensi orang dengan DME 8,8% dan 9% orang
dengan VTDR.39
21
2.2. Kerangka Pemikiran
Retinopati diabetik merupakan komplikasi mikrovaskular diabetes melitus yang
dapat mengakibatkan gangguan penglihatan dan kebutaan. American Academy of
Ophthalmology merekomendasikan pemeriksaan skrining DR dalam 5 tahun onset
pada penderita DM tipe 1 dan pada saat pertama terdiagnosis pada DM tipe 2.
International Council of Ophthalmology (ICO) merekomendasikan pemeriksaan
fundus berkala sesuai derajat DR. Kontrol faktor sistemik, pemeriksaan fundus
berkala, dan tatalaksana yang tepat merupakan faktor paling penting dalam
tatalaksana medis dan pencegahan progresifitas retinopati diabetik.5,10,12,24,27,28
Kebutaaan akibat retinopati diabetik dapat dicegah dengan deteksi dan
pengobatan secara dini. Peranan Dokter umum sangat penting dalam pencegahan
retinopati diabetik. Dokter umum seringkali menjadi lini pertama sumber informasi
tentang penyakit diabetes, penatalaksanaan, dan komplikasinya kepada pasien.
Kesadaran pasien untuk memeriksakan mata secara rutin bergantung atas saran dan
edukasi dari Dokter yang menanganinya. Pada penelitian-penelitian sebelumnya,
mayoritas pasien baru akan memeriksakan matanya hanya jika ada keluhan atau
jika disarankan oleh Dokter. Sehingga, Dokter yang menangani pasien diabetes
membutuhkan pengetahuan yang baik tentang komplikasi mikrovaskular diabetes
terutama terhadap gangguan penglihatan. Pengetahuan yang baik dan keterampilan
dalam pemeriksaan akan dapat mendeteksi abnormalitas pada mata sehingga dapat
menurunkan angka kebutaan akibat retinopati diabetik.14,24,36,40–43
Beberapa penelitian menunjukkan pengetahuan Dokter yang cukup baik
mengenai diabetes dan komplikasi retinopati dapat diikuti dengan sikap dan
22
perilaku yang berkorelasi positif ataupun negatif. Peningkatan pengetahuan terkait
dengan pengaruh sikap yang lebih besar terhadap perilaku. Korelasi positif ditandai
dengan perilaku pemeriksaan mata dan rujukan ke Dokter mata yang cukup baik.
Sedangkan korelasi negatif apabila pengetahuan yang baik tidak diikuti dengan
sikap dan perilaku yang tepat dalam menangani pasien DR.15,17,18,33,35
23
2.3. BAGAN KERANGKA PEMIKIRAN
Gambar 2.1. Bagan Kerangka Pemikiran
Pencegahan progresifitas
dan kebutaan akibat DR
Melakukan
deteksi dini DR
Pengetahuan Dokter
Umum mengenai DR
Bagaimana korelasi antara
pengetahuan dan sikap dengan
perilaku dokter umum terhadap
DR?
Peningkatan
kesadaran Pasien
Tidak melakukan
deteksi dini DR
Perilaku Dokter
Sikap Dokter Umum
mengenai DR
24
2.4.Premis dan Hipotesis
2.4.1. Premis
Berdasarkan tinjauan pustaka dan kerangka pemikiran di atas, maka dapat ditarik
premis sebagai berikut:
Premis 1 : Pencegahan gangguan penglihatan dan kebutaan akibat retinopati
diabetik dapat dicegah dengan deteksi secara dini dan penanganan
yang tepat.10,11,13,15,29,41
Premis 2 : Program deteksi dini retinopati diabetik idealnya dilakukan di
semua layanan kesehatan tingkat primer sesuai dengan kompetensi
dokter di layanan kesehatan tingkat primer berdasarkan SKDI 2012
dan Permenkes 75/2014 tentang Puskesmas.1,5,10,15,21,22,28
Premis 3 : Pengetahuan meningkatkan efektivitas dan efisiensi berjalannya
suatu program kesehatan.9,11,14–19,31,34
Premis 4 : Sikap pada dasarnya merupakan konsep diri yang dapat
memotivasi seseorang dalam merespon sesuatu, sehingga dapat
meningkatkan efektifitas dan efisiensi suatu program
kesehatan.9,16–18,31,35,36,44
Premis 5 : Perilaku kinerja terhadap program deteksi dini DR bersifat
dinamis baik efektifitas dan efisiensinya sehingga perlu dilakukan
evaluasi.9,15–18,30,31,35,36
25
2.4.2. Hipotesis
Dari premis-premis diatas dapat dideduksi hipotesis sebagai berikut:
1. Terdapat korelasi positif antara pengetahuan dengan perilaku dokter umum di
puskesmas-puskesmas wilayah kota Bandung mengenai retinopati diabetik.
2. Terdapat korelasi positif antara sikap dengan perilaku dokter umum di
puskesmas-puskesmas wilayah kota Bandung mengenai retinopati diabetik.
26
BAB III
SUBJEK, BAHAN, DAN METODE PENELITIAN
3.1. Subjek dan Sampel Penelitian
3.1.1. Subjek Penelitian
Populasi target pada penelitian ini adalah dokter umum. Populasi terjangkau
adalah seluruh dokter umum di Puskesmas wilayah kota Bandung. Sampel
penelitian adalah dokter umum di Puskesmas wilayah kota Bandung yang
memenuhi kriteria inklusi dan tidak termasuk kriteria eksklusi serta bersedia
mengikuti penelitian dengan mengisi lembar persetujuan penelitian.
3.1.2. Sampel Penelitian
3.1.2.1. Perhitungan Sampel
Besar sampel ditentukan sesuai tujuan penelitian yaitu untuk menguji apakah
terdapat hubungan antara variable. Rumus besar sampel berdasarkan rumus untuk
uji hipotesis menggunakan koefisien korelasi (r) dengan perhitungan ukuran sampel
dalam penelitian ini ditentukan dengan menggunakan analisis korelasi. Adapun
rumus untuk menentukan ukuran sampel pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
3
)1(
)1(ln5,0
2
r
r
ZZn
2
30.5ln(1 ) /(1 )
Z Zn
r r
27
𝑛 = [1.96 + 1.64
0.5 𝑙𝑛( 1 + 0.5)/(1 − 0.5)]2
+ 3
𝑛 = [3.6
0.5 𝑙𝑛 1 . 5/0.5]2
+ 3
𝑛 = 42,95 + 3 = 45,95 ≈ 46
Keterangan:
n = Jumlah sampel yang dibutuhkan dalam penelitian ini
Z = Derajat kepercayaan yaitu 95%(1,96)
Z = Kekuatan uji yaitu 95% (1,64)
r = Koefisien korelasi yang bermakna (0,5) berdasarkan statistik
Berdasarkan pendapat Gay n Diehl (1992) maka sampel penelitian ini minimal
untuk analisis korelasi adalah 30 orang. Berdasarkan rumus diatas maka jumlah
sampel 46 sudah cukup memadai.45
3.1.2.2.Pemilihan Sampel
Seluruh dokter umum di Puskesmas wilayah kota Bandung diminta kesediaan
untuk menjadi sampel penelitian. Terdapat 224 dokter umum dari 80 puskesmas di
wilayah kerja kota Bandung. Pengambilan sampel dilakukan secara purposive
sampling. Dokter umum akan diminta kesediaan untuk mengisi kuesioner, dokter
umum yang tidak dapat dihubungi, tidak ada respon, dan tidak bersedia akan
dieksklusi dari sampel. Jumlah sampel minimal berdasarkan rumus untuk uji
hipotesis menggunakan koefisien korelasi (r) dengan perhitungan ukuran sampel
dalam penelitian ini adalah 46 sampel. Namun semakin besar jumlah sampel
28
(semakin mendekati populasi) maka semakin kecil peluang kesalahan
generalisasi.46,47
3.1.2.3. Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah dokter umum pada Puskesmas
wilayah di Kota Bandung. Seluruh Dokter umum telah diberikan informasi dengan
baik dan bersedia mengikuti penelitian.
3.1.2.4. Kriteria Eksklusi
Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah dokter umum pada layanan primer
di Kota Bandung. Kriteria yang harus terpenuhi adalah sebagai berikut:
1. Dokter umum yang tidak ada data kontak telepon/email.
2. Dokter umum yang tidak bersedia mengisi kuesioner.
3. Dokter umum yang tidak ada respon setelah tiga kali dihubungi.
3.2. Metode Penelitian
3.2.1. Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan sebuat studi observasional analitik menggunakan
metode cross-sectional (potong lintang). Seluruh sampel yang telah memenuhi
kriteria inklusi dan eksklusi dimasukkan sebagai subjek penelitian. Konsep metode
potong lintang adalah untuk mengukur variabel independen dan dependen pada
waktu bersamaan. Data hasil penelitian setelah dianalisis, dideskripsikan
menggunakan tabel dan grafik sesuai dengan variabel yang diidentifikasi selama
29
penelitian. Seluruh sampel yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi
dimasukkan sebagai subjek penelitian. Dilihat dari hubungan antar variabelnya,
penelitian ini merupakan penelitian kausal atau sebab akibat, yaitu penelitian yang
diadakan untuk menjelaskan hubungan antar variabel, variabel yang satu
menyebabkan atau menentukan nilai variabel yang lain.48,49
3.2.2. Identifikasi Variabel
Variabel dalam penelitian ini antara lain:
1. Variabel bebas : pengetahuan dan sikap Dokter umum terhadap
retinopati diabetik.
2. Variabel tergantung : perilaku Dokter umum terhadap retinopati diabetik.
3. Variabel perancu : usia, lama bekerja, jenis kelamin, Wilayah
Puskesmas
3.2.3. Definisi Operasional
Definisi operasional variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
Tabel 3.1. Definisi Operational Variabel Penelitian Variabel Definisi operasional Alat ukur Hasil Ukur Skala
Pengetahuan/
knowledge
Kesadaran atau pemahaman
Dokter Umum tentang
retinopati diabetik, seperti
fakta, informasi, deskripsi,
atau keterampilan, yang
diperoleh melalui
pengalaman atau pendidikan
dengan memahami,
menemukan, atau belajar.
Kuesioner
bagian 2 (10
item
pertanyaan)
Skor 1 untuk
jawaban
benar, 0 =
jawaban
salah.
Baik: skor≥75%
Cukup:50-75%
Kurang: <50%
Kategorikal
30
Tabel 3.1. Definisi Operational Variabel Penelitian (lanjutan)
Sikap/attitude Perasaan seseorang terhadap
sebuah subjek, termasuk ide-
ide yang mungkin dimiliki
terhadap subjek tersebut dan
kecenderungan psikologis
yang diungkapkan oleh
mengevaluasi entitas tertentu
dengan beberapa tingkat
bantuan atau tidak disukai.
Kuesioner
bagian 3 (8
item
pertanyaan)
dihitung
dengan skala
Likert
Sikap positif:
skor >50%,
sikap negatif:
skor <50%
Kategorikal
Perilaku/
practice
Aksi atau perbuatan yang
merupakan respon seorang
dokter dalam penanganan
diabetes melitus dan
retinopati diabetik. Perilaku
dokter umum yang diukur
termasuk dalam
pemeriksaan, tatalaksana dan
perilaku pendidikan
kedokteran berkelanjutan
terhadap retinopati diabetik.
Kuesioner
bagian 4 (8
item
pertanyaan),
skor 1 =
dilakukan,
skor 0 =
tidak
dilakukan
Perilaku baik:
skor ≥50%,
Perilaku buruk:
skor <50%
Kategorikal
Usia Sesuai yang tertera pada
kartu identitas
Kuesioner
bagian 1
Tahun Kategorikal
Jenis kelamin Sesuai yang tertera pada
kartu identitas
Kuesioner
bagian 1
Laki-
laki/Perempuan
Kategorikal
Lama bekerja Lamanya dokter umum
bekerja di Puskesmas
Kuesioner
bagian 1
Tahun Kategorikal
Wilayah
Puskesmas
Pembagian wilayah
puskesmas berdasarkan sub-
wilayah kota Bandung
Kuesioner
bagian 1
Depalan sub-
wilayah kota
Bandung
Kategorikal
3.2.4. Alat Penelitian
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Data nama, alamat dan nomor telepon Puskesmas kota Bandung
2. Data nama, alamat dan nomor telepon Dokter umum di Puskesmas kota
Bandung
3. Kuesioner studi KAP
4. Telepon genggam dengan aplikasi google form
31
3.2.4.1. Uji Validitas dan Realibilitas Kuesioner
Adaptasi bahasa Indonesia dari kuesioner KAP survey dari beberapa Penelitian
tentang KAP terhadap DR disesuaikan dengan guideline KAP Study Protocol dari
vision 2020 e-resource. Proses penerjemahan dilakukan dengan metode forward-
backward translation dan dilakukan oleh dua orang penerjemah bilingual (dengan
bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu) yang memiliki sertifikat Cambridge English
for Speakers of Other Languages (ESOL). Kemudian hasil terjemahan dalam
Bahasa Inggris dibandingkan dengan versi kuesioner tersebut. Tahap selanjutnya,
dilakukan uji pendahuluan pada 30 orang Dokter umum untuk menilai respon dan
pengertian dari tiap pertanyaan pada kuesioner KAP survey versi Indonesia. Setelah
kuesioner yang akan digunakan dalam penelitian ini telah disusun, kemudian
dilakukan uji validitas dan reliabilitas. Dalam perhitungan statistika, pengujian
validitas ini dapat diukur dengan menggunakan rumus Pearson Product Moment.
Pengukuran koefisien reliabilitas yang digunakan adalah koefisien reliabilitas
Alpha Cronbach. Penelitian akan dilakukan setelah kuesioner dianggap valid
melalui uji pendahuluan.48–50
3.2.5. Cara Kerja dan Teknik Pengumpulan Data
1. Rancangan penelitian diajukan ke Komite Etik Penelitian Kesehatan (ethical
clearence).
2. Pendataaan Puskesmas dan jumlah seluruh Dokter umum di Puskesmas di Kota
Bandung.
32
3. Pengambilan data kuesioner ke seluruh dokter umum yang memiliki data
kontak/email. Dilakukan pengisian kuesioner dengan metode pengisian mandiri
melalui aplikasi google form untuk menilai pengetahuan, sikap, dan perilaku
Dokter umum mengenai retinopati diabetik. Kuesioner terbagi atas 4 bagian
(persetujuan pengisian kuesioner dan data demografi, pengetahuan, sikap, dan
perilaku).
3.2.6. Rancangan Analisis Data
Data yang sudah terkumpul diolah secara komputerisasi untuk mengubah data
menjadi informasi. Adapun langkah-langkah dalam pengolahan data dimulai dari:
1. Editing, yaitu peneliti memeriksa daftar kuesioner yang telah diisi, dilakukan
proses editing dengan memastikan bahwa data yang dikumpulkan sudah lengkap
dan benar.
2. Coding, yaitu mengubah data berbentuk kalimat atau huruf menjadi data angka
atau bilangan, sehingga memudahkan pengolahan data
3. Data entry yaitu memasukkan data yang telah di-coding ke dalam program
komputer.
4. Cleaning, yaitu melakukan pengecekan kembali utuk mengetahui apakah ada
kesalahan kode, kelengkapan, dan relevansi data.
Analisis yang dilakukan selanjutnya bertujuan untuk mendiskripsikan variabel-
variabel dependen dan independen sehingga dapat membantu analisis selanjutnya
secara lebih mendalam. Selain itu, analisis secara deskriptif ini juga digunakan
33
untuk mengetahui karakteristik subjek penelitian yang menjadi sampel penelitian.
Untuk data kategorik disajikan dengan jumlah/frekuensi dan persentase sedangkan
data numerik disajikan dengan median dan range. Analisis data kategorik pada
karakteristik subjek penelitian dilakukan dengan uji Chi-Square.
Analisis yang dilakukan harus sesuai dengan jenis masalah penelitian dan data
yang digunakan. Sebelum dilakukan uji statistika data tersebut dinilai dengan uji
normalitas dengan menggunakan Shapiro-Wilk test. Apabila data kurang dari 50,
alternatifnya adalah Kolmogorov Smirnov apabila data lebih dari 50, dimana uji ini
digunakan untuk menguji apakah data berdistribusi normal atau berdistribusi tidak
normal.
Analisis statistik dilakukan sesuai tujuan penelitian dan hipotesis. Uji statistik
yang bertujuan mengetahui korelasi antara data kategorikal dengan kategorikal
dengan data mengikuti distribusi normal maka digunakan uji statistika korelasi
Pearson Test sedangkan untuk data yang tidak normal maka menggunakan uji
korelasi Spearman. Interpretasi hasil uji hipotesis berdasarkan kekuatan korelasi,
arah korelasi, dan nilai p: Kekuatan korelasi (r) berdasarkan kriteri Guillford (1956)
yaitu : 0,0 -<0,2= sangat lemah; 0,2 - <0,4= lemah; 0,4 -<0,7= sedang; 0,7 - <0,9=
kuat; 0,9 -1,0= sangat kuat. Arah korelasi positif searah berarti semakin besar nilai
satu variabel, semakin besar pula nilai variabel lainnya. Arah korelasi negatif,
berlawanan arah berarti semakin besar nilai satu variabel, semakin kecil nilai
variabel lainnya.51
Adapun kriteria kemaknaan yang digunakan adalah nilai p apabila p≤0,05
artinya signifikan atau bermakna secara statistika, dan p>0,05 tidak signifikan atau
34
tidak bermakna secara statistik. Nilai p<0,05: terdapat korelasi yang bermakna
antara dua variabel yang diuji. Nilai p>0,05; tidak terdapat korelasi yang bermakna
antara dua variabel yang diuji. Data yang diperoleh dicatat dalam formulir khusus
kemudian diolah melalui program SPSS versi 24.0 for Windows.51
3.2.7. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Puskesmas Kota Bandung yang terdaftar dalam Dinas
Kesehatan Kota Bandung, dilakukan pada bulan Mei 2020.
3.3. Aspek Etik Penelitian
Penelitian ini berpedoman pada prinsip dasar penelitian dengan memperhatikan
hal-hal sebagai berikut:
A. Prinsip respect for person (menghormati harkat dan martabat manusia)
1. Subjek penelitian diberikan hak untuk bertanya dan berkonsultasi dengan
peneliti mengenai hal-hal yang berkaitan dengan penelitian.
2. Subjek penelitian menyatakan kesediaannya untuk mengikuti penelitian secara
sadar, sukarela, tanpa paksaan dari pihak manapun dan dapat menggunakan
haknya untuk menghentikan keikutsertaannya dalam penelitian.
B. Prinsip beneficiency (bermanfaat) dan non-maleficience (tidak merugikan)
Penelitian yang dilakukan akan memberikan manfaat pada subjek berupa
pemahaman dan pengetahuan, sikap, serta perilaku dokter umum yang terhadap
retinopati diabetik.
35
C. Prinsip justice (keadilan)
Seluruh subjek yang tergabung dalam penelitian ini mendapat perlakuan yang
sama.
Pengambilan data subjek pada penelitian ini merupakan tanggung jawab peneliti
dengan supervisi dari dokter spesialis mata. Pencatatan hasil penelitian akan dijaga
kerahasiaannya.
3.4. Skema Alur Penelitian
Uji Pendahuluan
Pendataan Puskesmas Kota Bandung
Pendataan Dokter Umum Kota Bandung
Perhitungan Sampel Minimal
Pusposive Sampling
Pengisian Kuesioner KAP oleh sampel terpilih
Pengolahan dan Analisis Data
Penyajian Hasil Penelitian
Uji Validitas dan Reabilitas
36
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Penelitian mengenai korelasi antara pengetahuan dan sikap dengan perilaku
dokter umum di Puskesmas wilayah kota Bandung mengenai retinopati diabetik
telah dilakukan pada bulan Mei 2020. Populasi dokter umum di 80 Puskesmas kota
Bandung sejumlah 224 orang. Kuesioner penelitian dalam bentuk google form
dikirimkan ke 195 dokter umum melalui aplikasi whatsapp dan email, didapatkan
respon kuesioner dari 115 subjek penelitian. Terdapat 29 dokter umum yang tidak
ada data telepon/email dan 80 dokter umum yang tidak bersedia melakukan
pengisian kuesioner, diesklusi dari penelitian ini.
4.1. Hasil Penelitian
Hasil penelitian yang akan disajikan meliputi karakteristik subjek penelitian dan
korelasi antara pengetahuan dan sikap terhadap perilaku dokter umum mengenai
retinopati diabetik.
4.1.1. Karakteristik Subjek Penelitian
Karakteristik subjek penelitian meliputi usia, jenis kelamin, lama bekerja, dan
pembagian puskesmas berdasarkan sub-wilayah kota Bandung di puskesmas dapat
dilihat pada tabel 4.1. Karakteristik subjek penelitian pada penelitian ini didapatkan
kelompok usia terbanyak adalah usia 25-30 tahun sebanyak 48 dokter umum
(41,7%). Jenis kelamin terbanyak pada penelitian ini adalah perempuan (79,1%).
Sebesar 50,4% dokter umum memiliki lama bekerja 1-5 tahun. Sebaran dokter
37
umum puskesmas berdasarkan pembagian sub-wilayah kota Bandung yaitu
terbanyak pada sub-wilayah Cibeunying sebanyak 22 dokter umum (19,1%). Untuk
analisis karakteristik subjek penelitian terhadap setiap kategori pengetahuan, sikap,
dan perilaku, didapatkan nilai p>0,05 bahwa tidak terdapat perbedaan dari setiap
kelompok subjek penelitian.
Tabel 4.1. Karakteristik Subjek Penelitian dan Gambaran Tingkat Pengetahuan,
Sikap, dan Perilaku
Variabel N=115
(%)
Pengetahuan
Nilai
P
Sikap
Nilai
P
Perilaku
Nilai
P
Baik
(n=98,
85,2%)
Cukup
(n=17,
14,8%)
Positif
(n=115,
100%)
Baik
(n=37
,
32%)
Buruk
(n=78,
68%)
Usia (tahun)
1.000
0.988
1.000
Median 31
Min - maks 25 - 58
25-30 tahun 48 (41,7) 43 5 48 14 34
31-35 tahun 39 (33,9) 32 7 39 10 29
36-40 tahun 11 (9,6) 9 2 11 5 6
>41 tahun 17 (14,8) 14 3 17 8 9
Jenis Kelamin
0.968
0.796
0.723 Laki-laki 24 (20,9) 21 3 24 7 17
Perempuan 91(79,1) 77 14 91 30 61
0.953
Lama Bekerja
0.999
0.996 1-5 tahun 58 (50,4) 52 6 58 21 37
6-10 tahun 33 (28,7) 26 7 33 7 26
>10 tahun 24 (20,9) 20 4 24 9 15
Sub-Wilayah Puskesmas
0.990
1.000
1.000
Arcamanik 15 (13) 12 3 15 5 10
Bojonagara 18 (15,7) 14 4 18 5 13
Cibeunying 22 (19,1) 16 6 22 3 19
Gedebage 1 (0,9) 1 - 1 - 1
Karees 16 (13,9) 14 2 16 7 9
Kordon 8 (6,9) 7 1 8 3 5
Tegalega 21 (18,3) 20 1 21 5 16
Ujungberung 14 (12,2) 14 - 14 9 5 Keterangan: untuk data numerik disajikan dengan median, data kategorik disajikan dengan jumlah dan
persentase, nilai p dihitung berdasarkan uji Chi-Square. Nilai kemaknaan berdasarkan nilai p<0,05.
38
4.1.2. Uji Normalitas Data
Untuk uji normalitas data numerik diuji dengan menggunakan uji Kolmogorov
Smirnov dengan jumlah data >50 yaitu skor pengetahuan, skor sikap dan skor
perilaku. Hasil uji normalitas pada kelompok penelitian diperoleh informasi nilai p
pada variabel Skor Pengetahuan, Skor Sikap dan Skor Perilaku lebih kecil dari 0.05
(nilai p<0.05) yang berarti distribusi data tidak berdistribusi normal.
Tabel 4.2 Uji Normalitas
Variabel Nilai P Distribusi Data
Skor Pengetahuan 0.0001** Tidak Normal
Skor Sikap 0.004** Tidak Normal
Skor Perilaku 0.0001** Tidak Normal
Keterangan: Nilai p dihitung berdasarkan uji Kolmogorov Smirnov, nilai p lebih dari 0.05 (p>0.05)
menunjukkan data berdistribusi normal, alternatif apabila nilai p kurang dari 0.05 (p<0.05) maka
menunjukkan data tidak berdistribusi normal. Nilai kemaknaan berdasarkan nilai p<0.05.
4.1.3. Hasil Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Dokter Umum Mengenai
Retinopati Diabetik
Peneliti menyebarkan kuesioner kepada 115 peserta yang terdiri dari 36
pertanyaan dari 10 pertanyaan mengenai pengetahuan, 8 pertanyaan mengenai
sikap, dan 8 pertanyaan mengenai perilaku dokter umum terhadap retinopati
diabetik. Hasil skor pengetahuan dokter umum mengenai retinopati diabetik dari
penelitian ini dijabarkan pada tabel 4.3 didapatkan nilai median sebesar 83,3 (52,8
– 97,2). Skor sikap memiliki nilai median 80 (60 – 100), sedangkan untuk skor
perilaku nilai median 33 (0 - 83). Dokter umum pada penelitian ini yang termasuk
ke dalam kategori baik sebanyak 85,2% dokter, 100% dokter termasuk ke dalam
kategori sikap positif, dan 32% dokter termasuk ke dalam kategori perilaku baik.
39
Tabel 4.3. Gambaran Skor Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Dokter Umum
mengenai Retinopati Diabetik Variabel N=115
Skor Pengetahuan 81,67
Median (min – maks) 83,3 (52,8 – 97,2)
Proporsi Pengetahuan Baik (≥75%) 98 (85,2%)
Proporsi Pengetahuan Cukup (50-75%) 17 (14,8%)
Skor Sikap 81,74
Median (min – maks) 80
Min – Maks 60 – 100
Proporsi Sikap Positif (>50%) 115(100%)
Skor Perilaku 33,48
Median (min – maks) 33 (0 – 83)
Proporsi Perilaku Baik (≥50%) 37 (32%)
Proporsi Perilaku Buruk (<50%) 78 (68%)
4.1.3.1. Gambaran Pengetahuan Dokter Umum Mengenai Retinopati Diabetik
Tabel 4.4 menunjukkan gambaran pengetahuan dokter umum mengenai
retinopati diabetik.
Tabel 4.4. Tanggapan Dokter Umum berdasarkan variabel Pengetahuan mengenai
Retinopati Diabetik
NO Pertanyaan Pengetahuan Respon (n=115)
Benar (%) Salah (%)
1 Komplikasi vaskular DM 88,1% 11,9%
2 Faktor yang memperberat DR 85,4% 14,6%
3 Deteksi DR pada DM tipe 2 79,1% 20,9%
4 Deteksi DR pada DM tipe 1 20.9% 79.1%
5 Deteksi DR pada DM dengan kehamilan 80.9% 19.1%
6 Gejala retinopati diabetik pada pasien DM 70.4% 29.6%
7 Perubahan retina yang diamati pada funduskopi 67.8% 32.2%
8 Kontrol rutin pemeriksaan funduskopi pasien DM tanpa DR 51.3% 48.7%
9 Pencegahan komplikasi DR 97.8% 2.2%
10 Penatalaksanaan DR 90.4% 9.6%
Keterangan: DM: Diabetes Melitus, DR: Diabetic Retinopathy/DR
Sebesar 88,1% dokter umum mengetahui organ yang terkena komplikasi
vaskular DM, 85,4% mempunyai pengetahuan yang baik mengenai faktor yang
memperberat DR, 79,1% dokter mengetahui bahwa pasien DM tipe 2 harus segera
40
melakukan pemeriksaan mata segera setelah terdiagnosis, 51,3% dokter
mengetahui pasien DM tanpa kelainan DR harus memeriksakan mata sekali dalam
setahun, dan 97,8% dokter mempunyai pengetahuan yang baik mengenai
pencegahan komplikasi DR.
Grafik 4.1. dan grafik 4.2 menjabarkan pengetahuan dokter umum mengenai
pengetahuan organ yang terkena komplikasi vaskular DM dan faktor yang
memperberat terjadinya retinopati diabetik.
0
20
40
60
80
100
120
Otak Ginjal Mata Saraf Perifer Kaki Perut Jantung
Grafik 4.1 Pengetahuan mengenai organ yang terkena komplikasi
vaskular DM
Benar Salah
0
20
40
60
80
100
120
Durasi DM Profil lipid Merokok Kontrol GulaDarah
Hipertensi Alkohol Obesitas
Grafik 4.2 Pengetahuan mengenai faktor yang memperberat DR
Benar Salah
41
4.1.3.2. Gambaran Sikap Dokter Umum Mengenai Retinopati Diabetik
Penelitian ini menunjukkan 83 (72,1%) dokter umum setuju bahwa semua pasien
diabetes melitus harus dirujuk ke dokter spesialis mata, 110 (95,6%) dokter umum
setuju bahwa kebutaan akibat retinopati diabetik dapat dicegah jika diabetes diobati
sejak dini, 85 (73,9%) dokter umum setuju bahwa pemeriksaan funduskopi oleh
non-dokter mata dapat membantu mendeteksi retinopati diabetik. Sebanyak 88
(78,2%) dokter umum tidak setuju apabila pemeriksaan mata dilakukan hanya jika
ada gangguan penglihatan, dan 76 (66,1%) dokter umum tidak setuju jika
pemeriksaan funduskopi hanya dilakukan oleh dokter mata. Hasil perhitungan skor
skala Likert pada variabel sikap adalah 81,74% termasuk ke dalam kategori sangat
baik.
Tabel 4.5. Tanggapan Dokter Umum Berdasarkan Indikator Variabel Sikap
Mengenai Retinopati Diabetik
Keterangan: STS: Sangat Tidak Setuju, TS: Tidak Setuju, RR: Ragu-ragu, S: Setuju, SS: Sangat Setuju
Penyataan Sikap STS TS RR S SS
Semua pasien diabetes harus dirujuk
ke dokter spesialis mata 2 (1,7%)
10
(8,7%)
20
(17,4%)
25
(21,7%)
58
(50,4%)
Meskipun diabetes terkendali, pasien
tetap harus melakukan pemeriksaan
mata rutin
0 (0%) 2 (1,7%) 2 (1,7%) 33
(28,7%)
78
(67,8%)
Jika dokter telah memberi tahu pasien
diabetes untuk datang dalam rangka
tindak lanjut rutin, pasien akan datang
0 (0%) 6 (5,2%) 26
(22,6%)
35
(30,4%)
48
(41,7%)
Jika diabetes diobati sejak dini,
kebutaan akibat retinopati diabetik
dapat dicegah
0 (0%) 0 (0%) 5 (4,3%) 13
(11,3%)
97
(84,3%)
Pemeriksaan funduskopi oleh non-
Dokter Mata dapat membantu
mendeteksi retinopati diabetik
5 (4,35) 4 (3,5%) 21
(18,3%)
30
(26,1%)
55
(47,8%)
Pemeriksaan mata diperlukan hanya
jika ada gangguan penglihatan
52
(45,2%)
38
(33%)
18
(15,7%)
4
(3,5%) 3 (2,6%)
Pemeriksaan funduskopi hanya
dilakukan oleh Dokter Mata
30
(26,1%)
46
(40%)
28
(24,3%)
6
(5,2%) 5 (4,3%)
Pelatihan oftalmologi saat pendidikan
kedokteran cukup melengkapi Dokter
dalam menangani pasien dengan
keluhan mata
16
(13,9%)
31
(27%)
29
(25,2%)
21
(18,3%)
18
(15,7%)
42
4.1.3.3. Gambaran Perilaku Dokter Umum Mengenai Retinopati Diabetik
Penelitian ini menunjukkan bahwa 70 (60,9%) dokter umum melakukan
pemeriksaan tajam penglihatan, terbanyak 40% melakukan pemeriksaan tajam
hanya jika pasien ada keluhan. Hanya 8 (7%) dokter umum yang melakukan
pemeriksaan fundus pada pasien, 4 dokter melakukan pemeriksaan fundus jika
pasien memiliki keluhan visual, 3 dokter melakukan saat pertama pasien
terdiagnosis, 1 dokter melakukan pemeriksaan fundus setiap tahun pada pasien DM.
Tabel 4.6 Tanggapan Dokter Umum Berdasarkan Indikator Variabel Perilaku
Mengenai Retinopati Diabetik
No Pernyataan Ya Tidak
1 Apakah Anda memeriksa tajam penglihatan pasien diabetes Anda 70 45
60.9% 39.1%
2 Apakah Anda memeriksa kondisi fundus (retina) pasien diabetes Anda 8 107
7.0% 93.0%
3 Apakah Anda merujuk pasien diabetes untuk pemeriksaan mata 98 17
85.2% 14.8%
4 Apakah Anda selalu memiliki akses oftalmoskop di tempat kerja Anda 17 98
14.8% 85.2%
5 Pernahkah Anda mencoba melakukan pemeriksaan kondisi fundus
(funduskopi) pada pasien diabetes Anda selama enam bulan terakhir
5 110
4.3% 95.7%
6 Apakah anda mengikuti seminar/pelatihan tentang diabetes dan
retinopati diabetik dalam satu tahun terakhir
33 82
28,7% 71.3%
Sebanyak 98 (85,2%) dokter selalu merujuk pasien diabetes untuk pemeriksaan
mata ke dokter spesialis mata, hanya 17 (14,8%) dokter yang memiliki akses
oftalmoskop di puskesmas tempat bekerja, dan hanya 33 (28,7%) dokter yang
mengikuti seminar atau pelatihan mengenai diabetes dan retinopati diabetik dalma
satu tahun terakhir. Lima puluh satu dokter memberikan alasan mengapa tidak
43
0.0%
10.0%
20.0%
30.0%
40.0%
50.0%
60.0%
70.0%
80.0%
90.0%
100.0%
Jika pasienmemilikikeluhan
visual
Saat pertamaterdiagnosis
Di setiapkunjungan
klinik
3 bulansetelah
diagnosis
6 bulansetelah
diagnosis
Setiap tahun Tidakdiperiksa
Grafik 4.3. Seberapa sering dokter umum melakukan pemeriksaan tajam
penglihatan dan fundus pasien DM
Pemeriksaan Tajam Penglihatan Pemeriksaan Fundus
dapat mengamati retina pada saat pemeriksaan funduskopi. Dua puluh delapan
orang menyebutkan tidak percaya diri dalam mengamati detail retina, 8 dokter tidak
memiliki waktu untuk melakukan pemeriksaan, 15 dokter mengatakan pupil tidak
lebar karena tidak tersedia tetes mata midriatik. Pertanyan mengenai perilaku
pemeriksaan tajam penglihatan dan pemeriksaan funduskopi oleh dokter umum di
Puskesmas dijabarkan dalam grafik 4.3.
4.1.4. Hambatan Deteksi Dini Retinopati Diabetik di Puskesmas
Penelitian ini menjabarkan beberapa hambatan deteksi dini retinopati diabetik di
puskesmas oleh Dokter umum. Hambatan terbanyak (59%) yang ditemukan adalah
keterbatasan sarana dan prasarana seperti tidak tersedianya fasilitas alat funduskopi,
tidak ada tetes mata midriatika, dan ruangan yang tidak memadai. Tujuh belas
dokter (15%) mengatakan tidak percaya diri melakukan pemeriksaan funduskopi
karena kurangnya pelatihan mengenai deteksi dini retinopati diabetik dan
44
59%
9%
14%
15%3%
Grafik 4.4. Hambatan Deteksi Dini Retinopati Diabetik di
Puskesmas
Keterbatasan sarana danprasarana
Keterbatasan waktu pemeriksaan
Pasien tidak bersediadirujuk/diperiksa
Tidak percaya diri dalammelakukan funduskopi
Keterbatasan sistem rujukan
penggunaan oftalmoskop. Enam belas dokter (14%) menyebutkan hambatan dari
pasien yang tidak mau dirujuk, jarang kontrol rutin, dan masalah ekonomi pasien.
Sepuluh orang dokter (9%) menyebutkan hambatan keterbatasan waktu
pemeriksaan dikarenakan pasien yang banyak dan kurangnya jumlah dokter di
puskesmas, serta tiga orang dokter menyebutkan sistem pembatasan rujukan oleh
sistem Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menjadi hambatan
untuk melakukan rujukan ke dokter spesialis mata.
4.1.5. Korelasi Antara Pengetahuan dan Sikap Terhadap Perilaku Dokter
Umum Mengenai Retinopati Diabetik
Hasil analisis uji korelasi antara variabel pengetahuan dengan perilaku dan
variabel sikap dengan perilaku Dokter diperoleh menggunakan uji korelasi
Spearman’s. Interpretasi hasil uji hipotesis berdasarkan kekuatan korelasi, arah
korelasi, dan nilai p.
45
Tabel 4.7 Tabel Analisis Korelasi Pengetahuan dan sikap terhadap perilaku dokter
umum mengenai retinopati diabetik
Variabel Korelasi R Nilai P
Korelasi Pengetahuan dengan Perilaku Dokter Spearman 0.178 0.057
Korelasi Sikap dengan Perilaku Dokter Spearman -0.009 0.927
Keterangan: nilai kemaknaan p<0,05. Tanda ** menunjukkan signifikan atau bermakna secara statistika. r:
koefisien korelasi.
Sesuai dengan tabel 4.7 diatas dari hasil analisis statistika uji korelasi
Spearman’s antara variabel pengetahuan dengan perilaku dokter diperoleh
koefisien korelasi R = 0,178, nilai kemaknaan atau nilai p sebesar 0.057 dimana
nilai p tersebut lebih besar dari 0,05 (nilai p>0,05). Dari nilai koefisien korelasi (R)
diperoleh informasi bahwa arah korelasi positif dengan kekuatan korelasi yang
sangat kecil dan bisa diabaikan. Hal ini menunjukkan korelasi yang tidak signifikan
atau tidak bermakna secara statistik. Maka dapat disimpulkan bahwa adanya
korelasi atau hubungan yang sangat kecil dan bisa diabaikan dan tidak signifikan
antara pengetahuan dengan perilaku Dokter.
Didapatkan nilai R untuk nilai korelasi sikap dengan perilaku Dokter sebesar -
0.009; nilai p= 0.927; hal ini menunjukan bahwa adanya korelasi yang tidak
signifikan dengan arah korelasi negatif dan yang sangat kecil dan bisa diabaikan
antara Sikap dengan Perilaku Dokter. Maka dapat disimpulkan bahwa adanya
korelasi atau hubungan yang sangat kecil dan bisa diabaikan dan tidak signifikan
antara Sikap dengan Perilaku Dokter. Dari Grafik Scatter Plot 4.5 dan 4.6 terlihat
data menunjukkan tidak ada korelasi linier antara variabel pengetahuan dengan
perilaku dan variabel sikap dengan perilaku.
46
4.2. Pengujian Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini yaitu terdapat korelasi positif antara pengetahuan
dan sikap dengan perilaku dokter umum di puskesmas-puskesmas wilayah kota
Bandung mengenai retinopati diabetik. Hasil analisis statistik dengan uji korelasi
0
5
10
15
20
25
30
35
40
0 1 2 3 4 5 6
Pengetahuan
Perilaku
pengetahuan Linear (pengetahuan)
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
0 1 2 3 4 5 6
Sikap
Perilaku
Sikap Linear (Sikap)
Grafik 4.5. Scatter Plot Pengetahuan - Perilaku
Grafik 4.6. Scatter Plot Sikap - Perilaku
47
Spearman’s menunjukkan adanya korelasi arah positif atau hubungan yang sangat
kecil dan bisa diabaikan dan tidak signifikan antara Pengetahuan dengan Perilaku
Dokter. Sedangkan hasil analisis uji korelasi antara Sikap dan Perilaku dokter
menunjukkan adanya korelasi arah negatif atau hubungan yang sangat kecil dan
bisa diabaikan dan tidak signifikan antara Sikap dengan Perilaku Dokter. Sehingga
berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa hipotesis peneliti tidak
diterima.
4.3. Pembahasan
Dokter umum pada penelitian ini berjumlah 115 orang dengan median usia 31
tahun, kelompok usia terbanyak usia 25 – 30 tahun (41,7%), seiring dengan durasi
lama bekerja yaitu terbanyak 1 – 5 tahun (50,4%). Temuan pada penelitian ini
dengan responden dokter umum terbanyak adalah kelompok lama bekerja <5 tahun,
disebabkan karena kelompok usia terbanyak responden dari dokter umum ini adalah
kelompok usia dibawah 30 tahun. Dokter umum yang baru lulus banyak yang ingin
bekerja di Puskesmas, dokter yang sudah lama bekerja di Puskesmas, bisa lebih
banyak bekerja di struktural atau melanjutkan sekolah spesialis. Pengalaman
bekerja dan lamanya bekerja dikatakan mempengaruhi kecapakan serta keahlian
seseorang dalam pekerjaannya. Pada penelitian ini tidak didapatkan perbedaan
tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku pada setiap kelompok usia dan lama
bekerja. Al Ghamdi dkk di Taif, Saudi Arabia pada penelitiannya mengenai KAP
dokter umum terhadap DR mendapatkan responden dokter umum terbanyak dengan
lama bekerja kurang dari 5 tahun sebesar 94,4%, sedangkan usia terbanyak
48
kelompok usia 35 – 45 tahun. Al Ghamdi menyatakan tidak terdapat perbedaan
antara lama bekerja <5 tahun dan >5 tahun terhadap pengetahuan dan sikap, namun
terdapat perbedaan bermakna pada variabel perilaku.30,31,52
Pada penelitian ini 85,2% dokter umum memiliki tingkat pengetahuan baik
mengenai retinopati diabetik. Sebanyak 94% dokter mengetahui komplikasi DM
mengenai mata, 79% mengetahui waktu yang tepat untuk deteksi DR pada pasien
DM tipe 2, 67,8% mengetahui perubahan yang dapat diamati pada funduskopi.
Pradhan dkk di Nigeria menyatakan 100% dokter mengetahui DM dapat
mengakibatkan gangguan penglihatan. Hal ini berlawanan dengan hasil penelitian
Khandekar dkk di Oman mendapatkan tingkat pengetahuan yang baik pada 33%
dokter umum dan Abu-amara dkk di Riyadh menyatakan hasil tingkat pengetahuan
dokter umum mengenai retinopati diabetik skirining dan tatalaksananya kurang dari
yang diharapkan dengan hasil 54,3% dokter memiliki pengetahuan baik. Ghosh dkk
di West Bengal, India menyatakan hanya 22% dokter memiliki pengetahuan yang
baik mengenai retinopati diabetik. Tingkat pengetahuan dokter umum yang baik
pada penelitian ini dapat disebabkan karena mayoritas dokter umum dengan
kelompok usia muda, dan lama bekerja yang pendek atau jarak waktu yang pendek
sejak kelulusan dari pendidikan kedokteran, sehingga responden dokter umum
masih mengingat pelajaran saat pendidikan kedokteran.9,16–18,43,53,54
Penelitian ini mendapatkan hasil seluruh responden dokter umum pada
penelitian ini memiliki sikap positif terhadap retinopati diabetik. Mayoritas dokter
umum setuju mengenai seluruh pasien DM harus dirujuk ke dokter mata (72,1%),
pemeriksaan mata rutin tidak hanya jika ada keluhan penglihatan (78,2%), dan
49
pemeriksaan funduskopi oleh non-dokter mata dapat membantu menurunkan
gangguan penglihatan akibat diabetes (73,9%). Hal ini sejalan dengan penelitian
oleh Abdulsalam dkk yang menyatakan 81,9% dokter tidak setuju jika pemeriksaan
mata bukan tugas dokter umum dan memilih untuk merujuk. Pradhan dkk
menyebutkan bahwa 98% dokter tidak setuju jika melakukan pemeriksaan hanya
jika ada keluhan penglihatan. Khandekar dkk menyatakan 74% dokter umum
memiliki sikap positif terhadap peran non-dokter mata dalam deteksi dini retinopati
diabetik. Sikap positif merupakan suatu respons tertutup serta kecenderungan
seorang dokter bertindak positif apabila dihadapkan pada suatu kondisi yang akan
dituangkan dalam respon terbuka atau perilaku. Dalam penelitian ini seluruh dokter
umum memiliki sikap positif terhadap deteksi retinopati diabetik pada pasien DM
yang diharapkan akan dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi program deteksi
dini DR.9,16,17,30,54
Pada penelitian ini didapatkan 73,9% dokter setuju bahwa pemeriksaan
funduskopi oleh non-dokter mata membantu deteksi retinopati diabetik, namun
hanya 34% dokter yang berpendapat bahwa pembelajaran oltalmologi saat
pendidikan kedokteran sudah cukup membantu menangangi pasien dengan keluhan
mata. Sejalan dengan penelitian oleh Nivonsavye di Burundi menyatakan 79%
dokter setuju bahwa pemeriksaan funduskopi oleh dokter umum dapat membantu
mendeteksi retinopati diabetik lebih awal, dan 71,6% dokter setuju bahwa
pembelajaran oftalmologi saat pendidikan kedokteran cukup membantu dalam
mendeteksi kelainan retinopati diabetik. Rendahnya jumlah dokter di penelitian ini
yang setuju bahwa pembelajaran oftalmologi saat pendidikan kedokteran sudah
50
cukup membantu dalam mendeteksi DR dapat mencerminkan bahwa dokter umum
pada penelitian ini merasa membutuhkan pembelajaran atau pelatihan tambahan
setelah lulus pendidikan kedokteran mengenai kesehatan mata khususnya retinopati
diabetik.30,31,35,43
Perilaku baik dokter umum pada penelitian ini didapatkan hanya pada 32%
dokter umum. Pada penelitian ini 70% dokter umum melakukan pemeriksaan tajam
penglihatan, terbanyak (40%) hanya jika pasien memiliki keluhan penglihatan,
hanya 6,1% yang melakukan pemeriksaan penglihatan saat pertama kali
terdiagnosis. Hal ini hampir serupa dengan penelitian Akun dkk di Kampala,
Uganda yang menyatakan 39% dokter umum melakukan pemeriksaan tajam
penglihatan hanya jika ada keluhan penglihatan, namun 17% yang melakukan pada
saat pertama kali terdiagnosis. Abdulsalam dkk menyatakan hanya sepertiga dokter
yang melakukan pemeriksaan tajam penglihatan dan hanya 5,7% dokter yang
melakukan pemeriksaan funduskopi. Mayoritas dokter umum (93%) pada
penelitian ini tidak pernah melakukan pemeriksaan funduskopi dan 85,2% lebih
memilih untuk merujuk pasien untuk pemeriksaan mata. Niyonsavye dan Akun
menyatakan hanya 4,9% dan 36% dokter umum memiliki akses oftalmoskop di
tempat praktiknya. Pada penelitian ini hasil yang lebih rendah ditemukan yaitu
hanya 14,8% dokter yang memiliki akses oftalmoskop di puskesmas mereka.
Rendahnya perilaku pemeriksaan tajam penglihatan dan pemeriksaan funduskopi
pada penelitian ini disebabkan karena sarana dan prasarana yang kurang memadai,
seperti ketidaktersediaan oftalmoskop, snellen chart, atau ruangan yang memadai
untuk pemeriksaan mata, sehingga mayoritas dokter umum memilih untuk merujuk
51
pasien jika memiliki gangguan penglihatan atau keluhan pada matanya. Dokter
umum pada penelitian ini yang memiliki akses oftalmoskop dan melakukan
pemeriksaan funduskopi, tidak dapat menilai detail retina dengan baik. Hal ini juga
dapat dipengaruhi tidak tersedianya obat tetes mata untuk pelebaran pupil di
Puskesmas dan kurangnya kompetensi dalam mengamati fundus dengan
oftalmoskop karena bukan termasuk pemeriksaan rutin yang sering dilakukan.
Program penanggulangan penyakit kronis (PROLANIS) di Puskesmas tidak selalu
dikoordinatori oleh dokter umum, bisa dipegang oleh paramedis, sehingga dokter
umum dengan pengetahuan dan sikap yang sudah baik, bisa memiliki perilaku yang
buruk mengenai DR karena tidak terlibat dalam program tersebut.9,16–18,35,43,54
Hambatan dalam deteksi dini retinopati diabetik di layanan kesehatan primer
disebutkan dalam berbagai penelitian. Banyak penelitian menyebutkan
pengetahuan yang cukup baik dan sikap yang positif tidak diiringi dengan perilaku
yang baik dalam deteksi dan manajemen komplikasi diabetik retinopati pada pasien
diabetes. Abu-amara dkk menyebutkan hambatan dalam skrining retinopati diabetik
pada layanan kesehatan terbanyak adalah kurangnya fasilitas pemeriksaan (75,2%)
seperti oftalmoskop dan tetes midriatik untuk pelebaran pupil, diikuti oleh
kurangnya pelatihan mengenai deteksi dini retinopati diabetik, kesibukan dokter
umum dengan isu kesehatan lain, kurang kompetensi dalam memeriksa funduskopi,
kekhawatiran memicu glaukoma pada pasien yang ditetes midriatika, serta pasien-
pasien yang tidak kooperatif. Hal yang serupa ditemukan pada penelitian ini, dari
115 dokter umum berbagai respon mengenai hambatan dalam melakukan skrining
di Puskesmas adalah kurangnya sarana dan prasarana (59%) mencakup
52
ketidaktersediaan oftalmoskop, tetes midriatika, dan ruangan pemeriksaan yang
memadai untuk pemeriksaan funduskopi atau pemeriksaan tajam penglihatan.
Hambatan lain yang ditemukan pada penelitian ini yaitu keterbatasan kompetensi
dalam pemeriksaan funduskopi (15%), dokter merasa tidak percaya diri dapat
mengamati detail retina karena jarang melakukan dan kurangnya pelatihan dalam
penggunaan oftlamoskop. Dokter umum di Puskesmas di wilayah kerja kota
Bandung pada penelitian ini mayoritas tidak memiliki waktu yang cukup untuk
melakukan pemeriksaan mata menyeluruh pada pasien diabetes karena jumlah
pasien yang banyak, kurangnya jumlah dokter, serta banyaknya program kesehatan
di Puskesmas. Pasien yang tidak bersedia diperiksa atau tidak mau dirujuk serta
keterbatasan sistem rujukan juga merupakan faktor yang menghambat rujukan dan
deteksi dini retinopati diabetik. Sistem rujukan melalui BPJS mempunya ketentuan
rujukan yang dibatasi maksimal 15% dari seluruh total pasien per-bulan.9,16–
18,43,44,55
Penelitian mengenai pengetahuan, sikap, dan perilaku dokter umum mengenai
retinopati diabetik banyak dilakukan diberbagai negara, namun penelitian dengan
pengukuran korelasi antar variabel masih terbatas. Hal yang sama ditemukan pada
penelitian Abdulsalam dkk bahwa tidak terdapat korelasi antara pengetahuan, sikap,
dan perilaku dokter umum mengenai retinopati diabetik. Sedangkan pada penelitian
Al-Ghamdi di Taif didapatkan korelasi bermakna antara pengetahuan terhadap
perilaku. Pada penelitian Al-Ghamdi sepertiga dokter umum pada penelitiannya
telah mengikuti pelatihan tambahan mengenai diabetes dan DR, sedangkan
responden dokter umum pada penelitian ini mayoritas tidak mengikuti
53
seminar/pelatihan mengenai DR, hal ini dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan
yang dimiliki dokter. Pada penelitian ini disimpulkan bahwa tidak terdapat korelasi
yang bermakna secara statistik antara pengetahuan dengan perilaku, dan antara
sikap dengan perilaku dokter umum terhadap retinopati diabetik. Faktor – faktor
lain selain pengetahuan dan sikap yang tidak dianalisis lebih lanjut pada penelitian
ini dapat mempengaruhi tingkat perilaku.9,15–18,31,34–36,43,54
Notoadmojo menjabarkan selain faktor pengetahuan dan sikap, banyak faktor
lain yang mempengaruhi perilaku. Perilaku terbentuk dari dua faktor utama yaitu
faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal termasuk pengetahuan dan
sikap, serta persepsi, minat, motivasi, kecerdasan, dan emosi. Faktor eksternal
merupakan faktor lingkungan, baik lingkungan fisik dan nonfisik antara lain seperti,
lingkungan tempat tinggal, lingkungan pekerjaan, pengalaman, sosialbudaya, serta
fasilitas yang tersedia. Evaluasi pengetahuan, sikap, dan perilaku pada dokter dan
tenaga medis di layanan kesehatan tingkat primer akan membantu dalam
merumuskan modul pedoman dan pelatihan serta perencanaan terhadap skrining
retinopati diabetik sehingga dapat membantu menurunkan komplikasi gangguan
penglihatan akibat diabetes.30,31,34
Kelebihan pada penelitian ini dibandingkan penelitian KAP mengenai retinopati
diabetik yang sudah dilakukan sebelumnya adalah dilakukannya analisis korelasi
serta adanya pembagian proporsi kategori pengetahuan, sikap, dan perilaku yang
diukur pada penelitian ini. Penelitian sebelumnya terbanyak merupakan penelitian
deskriptif tanpa melakukan analisis hubungan antar variabel. Penarikan kesimpulan
dari penelitian-penelitian sebelumnya juga harus dilakukan dengan hati-hati
54
mengingat kriteria inklusi, tempat penelitian yang tidak sama, metode penilaian,
serta pertanyaan kuesioner yang memiliki beberapa perbedaan.9,15–18,35,36,43,54
Keterbatasan pada penelitian ini adalah meskipun sudah mencukupi jumlah
sampel minimal yang dibutuhkan untuk uji korelasi, namun tidak semua dokter
umum di puskesmas wilayah kota Bandung yang berpartisipasi dalam penelitian
ini. Penelitian ini dilakukan bertepatan saat kondisi pandemik COVID-19, sehingga
dokter umum puskesmas sedang terfokus melakukan pemeriksaan dan penanganan
COVID-19, sehingga hal ini menyebabkan kurangnya respon terhadap penelitian
ini. Penelitian ini tidak menganalisis faktor internal dan eksternal lain yang dapat
mempengaruhi perilaku dokter umum terhadap retinopati diabetik.
55
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
5.1.1. Simpulan Umum
1. Tidak terdapat korelasi yang bermakna secara statistik antara pengetahuan
dengan perilaku dokter umum di Puskesmas wilayah kota Bandung mengenai
retinopati diabetik.
2. Tidak terdapat korelasi yang bermakna secara statistik antara sikap dengan
perilaku dokter umum di Puskesmas wilayah kota Bandung mengenai retinopati
diabetik.
5.1.2. Simpulan Khusus
1) Pengetahuan dokter umum di Puskesmas wilayah kota Bandung mengenai
retinopati diabetik pada penelitian ini termasuk dalam kategori baik.
2) Sikap dokter umum di Puskesmas wilayah kota Bandung mengenai retinopati
diabetik pada penelitian ini termasuk dalam kategori positif.
3) Perilaku dokter umum di Puskesmas wilayah kota Bandung mengenai retinopati
diabetik pada penelitian ini termasuk kategori buruk.
56
5.2 Saran
1) Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui faktor lain diluar
pengetahuan dan sikap yang dapat mempengaruhi perilaku dokter umum
mengenai retinopati diabetik.
2) Perlu ditingkatkan kepercayaan diri dokter umum di Puskesmas dalam berbagai
kegiatan deteksi dini retinopati diabetik.
3) Perlu dilakukan pemantauan kelengkapan fasilitas pemeriksaan sesuai standar
minimal di layanan kesehatan tingkat primer oleh Puskesmas dan Dinas
Kesehatan Kota Bandung.
57
DAFTAR PUSTAKA
1. Persatuan Endokrinologi Indonesia. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan
Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2015. Jakarta: PB Perkeni; 2019.
2. International Diabetes Federation. IDF Diabetes Atlas, 9th ed. Brussels,
Belgium: 2019.
3. IAPB. Diabetic Retinopathy – silently blinding millions of people world-wide.
IAPB vision atlas. Diakses dari http://atlas.iapb.org/vision-trends/diabetic-
retinopathy/ IMF.
4. Perbandingan per Kapita Indonesia dan Negara Maju. 2020. Diakses dari
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2020/02/28/berapa-perbandingan-
pdb-per-kapita-indonesia-dan-negara-maju
5. Wong TY, Sun J, Kawasaki R, Ruamviboonsuk P, Gupta N, Lansingh VC, et
al. Guidelines on Diabetic Eye Care The International Council of
Ophthalmology Recommendations for Screening , Follow-up , Referral , and
Treatment Based on Resource Settings. Am Acad Ophthalmol. 2018;Hal.1–15.
6. Sabanayagam C, Banu R, Chee ML, Lee R, Wang YX, Tan G, et al. Incidence
and progression of diabetic retinopathy : a systematic review. LANCET
Diabetes Endocrinol. 2018;8587(5):Hal.1–10.
7. Wat N, Wong RLM, Wong IYH. Associations between diabetic retinopathy
and systemic risk factors. Hongkong Med J. 2016;22(6):Hal.589–99.
8. Soewondo P, Ferrario A, Tahapary DL. Challenges in diabetes management in
Indonesia: a literature review. Global Health. 2013;9: Hal.63–80.
9. Khandekar R, Deshmukh R, Vora U, Harby S Al. Knowledge of Primary
Prevention of Diabetic Retinopathy among General Ophthalmologists, Mid
Level Eye Care Personnel and General Physicians in Oman. Middle East Afr J
Ophthalmol. 2011;18(3): Hal.204–9.
10. Gangwani RA, Lian JX, Mcghee SM, Wong D, Li KKW. Diabetic retinopathy
screening : global and local perspective. 2016;22(5).
11. Vashist P, Singh S, Gupta N, Saxena R. Role of Early Screening for Diabetic
Retinopathy in Patients with Diabetes Mellitus : An Overview. 2011;36(781).
12. Wong TY, Aiello LP, Ferris F, Gupta N, Kawasaki R, Lansingh V, et al.
Updated 2017 ICO Guidelines for Diabetic Eye Care. Int Counc Ophthalmol.
2017.
13. World Health Organization. Prevention of Blindness From Diabetes Mellitus.
2006.
14. Hussain R, Rajesh B, Giridhar A, Gopalakrishnan M, Sadasivan S, James J, et
al. Knowledge and awareness about diabetes mellitus and diabetic retinopathy
in suburban population of a South Indian state and its practice among the
58
patients with diabetes mellitus: A population-based study. Indian J Ophthalmol
2016;64: Hal.272-6.
15. Franzco JSM, Franzco HSN, Fafphm PR, Ramsay E, Aung M, Ophth D, et al.
Awareness of diabetic eye disease among general practitioners and diabetic
patients in Yangon , Myanmar. Clin Exp Ophthalmol. 2008;36(October 2007):
Hal.265–73
16. Pradhan E, Khatri A, Tuladhar J, Shrestha D. Diabetic Eye Disease Related
Knowledge, Attitudes and Practices among Physicians in Nepal. J Diabetes
Endocrinol Assoc Nepal. 2018;2(2).
17. Abdulsalam S, Ibrahim A, Saidu H, Muazu M, Aliyu U, Umar H, et al.
Knowledge, attitude, and practice of diabetic retinopathy among physicians in
Northwestern Nigeria. Niger J Clin Pract. 2018;21(4): Hal.478–83.
18. Abu-amara TB, Abdulaziz W, Rashed A, Khandekar R, Qabha HM.
Knowledge, attitude and practice among non-ophthalmic health care providers
regarding eye management of diabetics in private sector of Riyadh , Saudi
Arabia. BMC Health Serv Res. 2019;9: Hal.1–6.
19. Wiggins MN, Landes RD, Bhaleeya SD, Uwaydat SH. Primary care physicians
knowledge of the ophthalmic effects of diabetes. Can J Ophthalmol Can
d’ophtalmologie. 2013;48(4):Hal.265–8.
20. Preti RC, Saraiva F, Artur J, Junior T, Takahashi WY, Elizabeth M. Clinical
sciences: how much information do medical practitioners and endocrinologists
have about diabetic retinopathy?;2007;62(3): Hal. 273–8.
21. Kementrian Kesehatan. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 75 Tahun 2014. 2014. Hal. 1–108.
22. Konsil Kedokteran Indonesia. Standar Kompetensi Dokter Indonesia Konsil
Kedokteran Indonesia. 2012.
23. Punthakee Z, Goldenberg R, Katz P. Definition, Classification and Diagnosis
of Diabetes, Prediabetes and Metabolic Syndrome Diabetes Canada Clinical
Practice Guidelines Expert Committee. Can J Diabetes. 2018;42:S10–5.
Diabetes AA. Standards of medical care in diabetes — 2020. Diabetes Care.
2020;43.
24. American Academy of Ophthalmology. Retinal vascular disease: diabetic
retinopathy. In: Retina and Vitreous. San Francisco: American Academy of
Ophthalmology; 2018. Hal. 78–95.
25. Saeedi P, Petersohn I, Salpea P, Malanda B, Karuranga S, Unwin N, et al.
Global and regional diabetes prevalence estimates for 2019 and projections for
2030 and 2045 : Results from the International Diabetes Federation Diabetes
Atlas, 9 th edition. Diabetes Res Clin Pract. 2019;157.
26. Lee R, Wong TY, Sabanayagam C. Epidemiology of diabetic retinopathy,
diabetic macular edema and related vision loss. Eye Vis. 2015; Hal.1–25.
59
27. Bailey T, Representative RS, Fawzi A. Diabetic Retinopathy Preferred Practice
Pattern ®. Ophthalmology.2019.
28. Shu D, Ting W, Ophth M, Chui G, Cheung M. Diabetic retinopathy : global
prevalence, major risk factors, screening practices and public health
challenges : a review. Clin Exp Ophthalmol. 2016;44(December 2015):
Hal.260–77.
29. Mena WG. Preventing blindness from diabetic retinopathy through community
screening. South sudan Med J. 2019;12(2): Hal.52–7.
30. Notoadmojo S. Ilmu Perilaku Kesehatan. PT Rineka Cipta. Jakarta. 2014.
31. Organization WH. Health education: theoretical concepts, effective strategies
and core competencies. Cairo; 2012. Hal.1–75.
32. Lions aravind institute of community ophthalmology. KAP Study protocol.
Vision 20202 e-resource eyecare Manag Worldw.2004.
33. Kaliyaperumal K. Guideline for conducting a knowledge, attitude and practice
(KAP) study. AECS Illum. 2004.
34. Fabrigar LR, Petty RE, Smith SM. Understanding knowledge effects on
attitude-behavior consistency: The role of relevance, complexity , and amount
of knowledge Understanding Knowledge Effects on Attitude – Behavior
Consistency : The Role of Relevance , Complexity , and Amount of Knowledg.
J Pers Soc Psychol. 2006;(June 2014):Hal.556–75.
35. Niyonsavye L. Knowledge, attitudes, and practice on diabetic retinopathy
among general practitioners in district and regional hospitals in the northregion
of burundi. 2015.
36. Eisa A, Alshammari M, Murdi E, Alshammari A, Alshammari MF. A study on
awareness and practices of physicians about diabetic retinopathy in primary-
care centers Hail, Saudi Arabia. 2019;12(1): Hal.1–6.
37. Dinas Kesehatan. Profil Kesehatan kota Bandung 2018. 2018;
38. Badan Pusat Statistik. Kota Bandung dalam Angka Bandung Municipality in
Figures 2019. 2019.
39. Halim A. Risk Factors of Diabetic Retinopathy and Vision Theatening Diabetic
Retinopathy Based on Diabetic Retinopathy Screening Program in Greater
Bandung, West Java. 2018;1–14. (Unpublished)
40. Geethadevi M, Thampi B, Antony J, Raghavan R, Sasidharan RR, Mohan A.
A study of knowledge, attitude and practice in diabetic retinopathy among
patients attending a primary health care centre. Int J Res Med Sci.
2018;6(9):3020.
41. Srinivasan NK, John D, Rebekah G, Kujur ES, Paul P, John SS. Diabetes and
Diabetic Retinopathy : Knowledge, Attitude, Practice (KAP) among Diabetic
Patients in A Tertiary eye Care Centre. J Clin diagnostic Res. 2017;11(June
2013): Hal.1–7.
60
42. Çetin EN, Zencir M, Fenkçi S, Akin F, Yildirim C. Assessment of awareness
of diabetic retinopathy and utilization of eye care services among Turkish
diabetic patients. Prim Care Diabetes. 2013;7(4):297–302.
43. Akun V. Knowledge, attitude, and, practice of medical officers on diabetic
retinoathy in kampala district, uganda. 2018.
44. Yan X, Liu T, Gruber L, He M, COngdon N. Attitudes of Physicians, Patients,
and Village Health Workers Toward Glaucoma and Diabetic Retinopathy in
Rural China. Arch Ophthalmol. 2020;130(6):761–70.
45. Gay, L.R, Diehl, P.L. Research Methods for Business and. Management,
MacMillan Publishing Company, New York. 1992.
46. Sopiyudin D.Statistik untuk kedokteran dan kesehatan. Edisi ke-5. Salemba
Medika;2010.
47. Sudigdo S. Dasar-dasar metodologi Penelitian Klinis. Edisi ke-5, Sagung Seto;
2014
48. Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Penerbit
Alfabeta Bandung:2016.
49. Guilford,J.P., Psychometric Methods , Tata McGraw-Hill Publishing
Company Limited:1979.
50. Hair, Jr et.al. Multivariate Data Analysis (7th ed). United States : Pearson:
2010
51. Field, Andi. ”Discovering Statistics Using SPSS”, London: SAGE Publication
Ltd:2011.
52. Al Ghamdi A, Rabiu M, Qurashi AM Al, Zaydi M Al, Ghamdi AH Al, Gumaa
SA, et al. Knowledge, attitude and practice pattern among general health
practitioners regarding diabetic retinopathy Taif, Kingdom of Saudi Arabia.
Saudi J Heal Sci. 2017;44–51.
53. Ghosh S, Mukhopadhyay S, Maji D, Halder D. Awareness of diabetic
retinopathy among physicians and optometrists in a district of West Bengal.
Indian J Public Health. 2007;51(4):228–30.
54. Khandekar R, Shah S, Lawatti J Al. Retinal examination of diabetic patients :
knowledge, attitudes, and practices of physicians in Oman. 2008;14:850–7.
55. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan
Kesehatan.
61
LAMPIRAN 1. Persetujuan Etik
62
LAMPIRAN 2. Informed Consent
63
LAMPIRAN 3. Data Penelitian
No Jenis Kelamin Usia Asal Puskesmas Tahun Lulus Pendidikan Kedokteran
Lama bekerja Skor
Pengetahuan Skor Sikap
Skor Perilaku
1 Perempuan 44 Arcamanik 2003 >10 tahun 86.1% 90.0% 83%
2 Perempuan 27 Cibiru 2016 1 - 5 tahun 75.0% 77.5% 83%
3 Perempuan 58 Pasirkaliki 1989 >10 tahun 86.1% 75.0% 67%
4 Perempuan 45 Kujangsari 2003 >10 tahun 86.1% 80.0% 67%
5 Perempuan 33 Cinambo 2012 1 - 5 tahun 83.3% 92.5% 67%
6 Perempuan 27 Cinambo 2014 1 - 5 tahun 86.1% 80.0% 67%
7 Perempuan 26 Panghegar 2017 1 - 5 tahun 80.6% 80.0% 67%
8 Perempuan 39 Talagabodas 2005 >10 tahun 75.0% 90.0% 67%
9 Perempuan 30 Talagabodas 2015 1 - 5 tahun 55.6% 70.0% 67%
10 Perempuan 28 Babakan Tarogong 2015 1 - 5 tahun 88.9% 80.0% 50%
11 Perempuan 32 Pasirjati 2012 1 - 5 tahun 77.8% 95.0% 50%
12 Perempuan 28 Babakan sari 2017 1 - 5 tahun 75.0% 62.5% 50%
13 Laki-laki 32 Cijerah 2012 6 - 10 tahun 86.1% 95.0% 50%
14 Perempuan 47 Cilengkrang 2002 >10 tahun 88.9% 80.0% 50%
15 Laki-laki 26 Pagarsih 2011 1 - 5 tahun 88.9% 82.5% 50%
16 Laki-laki 47 Tamblong 1999 >10 tahun 88.9% 80.0% 50%
17 Perempuan 33 Gumuruh 2015 1 - 5 tahun 83.3% 70.0% 50%
18 Perempuan 28 Sindangjaya 2016 1 - 5 tahun 77.8% 87.5% 50%
19 Perempuan 27 Cinambo 2016 1 - 5 tahun 83.3% 70.0% 50%
64
20 Perempuan 48 Sekejati 1998 >10 tahun 72.2% 90.0% 50%
21 Laki-laki 37 Padasuka 2011 6 - 10 tahun 69.4% 60.0% 50%
22 Perempuan 27 Pamulang 2016 1 - 5 tahun 80.6% 77.5% 50%
23 Perempuan 58 Babatan 1989 >10 tahun 86.1% 90.0% 50%
24 Laki-laki 31 Garuda 2012 1 - 5 tahun 80.6% 90.0% 50%
25 Perempuan 34 Pasirkaliki 2014 6 - 10 tahun 69.4% 65.0% 50%
26 Laki-laki 29 Sindangjaya 2015 1 - 5 tahun 91.7% 77.5% 50%
27 Perempuan 41 Panyileukan 2010 1 - 5 tahun 86.1% 82.5% 50%
28 Perempuan 36 Cigondewah 2012 1 - 5 tahun 83.3% 80.0% 50%
29 Perempuan 39 Garuda 2006 >10 tahun 86.1% 80.0% 50%
30 Perempuan 29 Cijagra Baru 2013 6 - 10 tahun 88.9% 90.0% 50%
31 Laki-laki 30 Babakan sari 2013 1 - 5 tahun 86.1% 75.0% 50%
32 Perempuan 30 Sukahaji 2018 1 - 5 tahun 77.8% 80.0% 50%
33 Perempuan 33 Balaikota 2011 1 - 5 tahun 86.1% 87.5% 50%
34 Perempuan 36 Kujangsari 2009 6 - 10 tahun 83.3% 82.5% 50%
35 Perempuan 31 Pamulang 2013 1 - 5 tahun 88.9% 77.5% 50%
36 Perempuan 34 Ibrahim Adjie 2010 6 - 10 tahun 88.9% 82.5% 50%
37 Perempuan 34 Ujungberung Indah 2011 6 - 10 tahun 80.6% 75.0% 50%
38 Perempuan 27 Ledeng 2017 1 - 5 tahun 77.8% 77.5% 33%
39 Perempuan 34 Cigonwendah 2010 >10 tahun 88.9% 85.0% 33%
40 Perempuan 33 Sekeloa 2011 6 - 10 tahun 86.1% 85.0% 33%
41 Perempuan 35 Dago 2010 6 - 10 tahun 88.9% 87.5% 33%
42 Perempuan 28 Pasirlayung 2017 1 - 5 tahun 72.2% 87.5% 33%
43 Perempuan 29 Cibaduyut Kidul 2015 1 - 5 tahun 94.4% 80.0% 33%
44 Perempuan 28 Ahmad Yani 2015 1 - 5 tahun 88.9% 90.0% 33%
65
45 Laki-laki 32 Cipaku 2013 6 - 10 tahun 80.6% 87.5% 33%
46 Perempuan 30 Girimande 2013 1 - 5 tahun 86.1% 85.0% 33%
47 Perempuan 26 Garuda 2014 1 - 5 tahun 80.6% 80.0% 33%
48 Perempuan 26 Antapani 2016 1 - 5 tahun 75.0% 80.0% 33%
49 Laki-laki 42 Liogenteng 2007 >10 tahun 77.8% 90.0% 33%
50 Laki-laki 30 Sukawarna 2013 1 - 5 tahun 80.6% 85.0% 33%
51 Laki-laki 37 Babakan Tarogong 2007 >10 tahun 77.8% 90.0% 33%
52 Perempuan 41 Cibolerang 2007 >10 tahun 88.9% 65.0% 33%
53 Laki-laki 28 Puter 2015 1 - 5 tahun 77.8% 67.5% 33%
54 Perempuan 35 Mandalamekar 2009 6 - 10 tahun 88.9% 92.5% 33%
55 Laki-laki 28 Balaikota 2016 1 - 5 tahun 75.0% 100.0% 33%
56 Perempuan 31 Suryalaya 2011 6 - 10 tahun 91.7% 95.0% 33%
57 Perempuan 31 Arcamanik 2014 1 - 5 tahun 86.1% 90.0% 33%
58 Laki-laki 31 Astanaanyar 2014 1 - 5 tahun 72.2% 80.0% 33%
59 Perempuan 28 Cijerah 2015 1 - 5 tahun 83.3% 77.5% 33%
60 Perempuan 27 Ibrahim Adjie 2016 1 - 5 tahun 91.7% 72.5% 33%
61 Perempuan 44 Cibiru 2000 >10 tahun 88.9% 85.0% 33%
62 Perempuan 30 Margahayu Raya 2013 1 - 5 tahun 97.2% 87.5% 33%
63 Perempuan 31 Garuda 2013 6 - 10 tahun 72.2% 80.0% 33%
64 Perempuan 32 Margahayu Raya 2010 6 - 10 tahun 83.3% 90.0% 33%
65 Perempuan 31 Padasuka 2013 6 - 10 tahun 86.1% 82.5% 33%
66 Perempuan 35 Cigondewah 2008 6 - 10 tahun 86.1% 72.5% 33%
67 Perempuan 27 Padasuka 2016 1 - 5 tahun 80.6% 70.0% 33%
68 Perempuan 32 Neglasari 2012 6 - 10 tahun 80.6% 85.0% 33%
69 Perempuan 32 Tamansari 2012 6 - 10 tahun 86.1% 85.0% 33%
66
70 Perempuan 31 Sukajadi 2012 6 - 10 tahun 88.9% 72.5% 33%
71 Laki-laki 37 Ibrahim Adjie 2007 >10 tahun 77.8% 77.5% 33%
72 Perempuan 30 Margahayu Raya 2014 1 - 5 tahun 86.1% 80.0% 33%
73 Perempuan 34 Panyileukan 2010 6 - 10 tahun 91.7% 82.5% 33%
74 Perempuan 29 Arcamanik 2014 1 - 5 tahun 86.1% 85.0% 33%
75 Perempuan 32 Sukahaji 2013 1 - 5 tahun 83.3% 95.0% 33%
76 Perempuan 38 Pasundan 2006 >10 tahun 86.1% 67.5% 33%
77 Perempuan 25 Sukajadi 2017 1 - 5 tahun 83.3% 70.0% 33%
78 Laki-laki 31 Sukaraja 2013 6 - 10 tahun 83.3% 80.0% 33%
79 Perempuan 35 Pasundan 2009 6 - 10 tahun 83.3% 95.0% 33%
80 Laki-laki 42 Pasirluyu 2007 6 - 10 tahun 83.3% 77.5% 33%
81 Perempuan 28 Tamblong 2015 1 - 5 tahun 83.3% 80.0% 17%
82 Perempuan 37 Tamblong 2008 >10 tahun 63.9% 82.5% 17%
83 Perempuan 35 Padasuka 2010 6 - 10 tahun 66.7% 82.5% 17%
84 Perempuan 30 Dago 2013 1 - 5 tahun 86.1% 72.5% 17%
85 Perempuan 28 Pelindung Hewan 2015 1 - 5 tahun 75.0% 82.5% 17%
86 Perempuan 28 Cibuntu 2015 1 - 5 tahun 83.3% 100.0% 17%
87 Perempuan 46 Arcamanik 2003 >10 tahun 52.8% 90.0% 17%
88 Perempuan 41 Margahayu Raya 2005 >10 tahun 77.8% 70.0% 17%
89 Laki-laki 32 Garuda 2012 6 - 10 tahun 69.4% 77.5% 17%
90 Perempuan 30 Pasirluyu 2013 6 - 10 tahun 83.3% 97.5% 17%
91 Laki-laki 30 Garuda 2015 1 - 5 tahun 77.8% 72.5% 17%
92 Laki-laki 28 Ciumbuleuit 2017 1 - 5 tahun 80.6% 80.0% 17%
93 Perempuan 34 Pasirlayung 2010 6 - 10 tahun 72.2% 70.0% 17%
94 Perempuan 34 Riung Bandung 2012 6 - 10 tahun 86.1% 77.5% 17%
67
95 Perempuan 41 Tamblong 2003 >10 tahun 88.9% 87.5% 17%
96 Perempuan 27 Ujungberung Indah 2016 1 - 5 tahun 80.6% 80.0% 17%
97 Perempuan 32 Cibolerang 2011 6 - 10 tahun 75.0% 80.0% 17%
98 Perempuan 32 Cipadung 2011 6 - 10 tahun 86.1% 75.0% 17%
99 Perempuan 45 Neglasari 2002 >10 tahun 77.8% 95.0% 17%
100 Perempuan 33 Sukarasa 2010 >10 tahun 83.3% 92.5% 17%
101 Laki-laki 37 Cijerah 2008 6 - 10 tahun 75.0% 95.0% 17%
102 Perempuan 29 Karangsetra 2014 1 - 5 tahun 72.2% 95.0% 17%
103 Perempuan 29 Caringin 2014 1 - 5 tahun 94.4% 90.0% 17%
104 Perempuan 27 Ledeng 2016 1 - 5 tahun 94.4% 87.5% 0%
105 Perempuan 28 Ibrahim Adjie 2015 1 - 5 tahun 72.2% 77.5% 0%
106 Perempuan 33 Rusunawa 2010 6 - 10 tahun 69.4% 85.0% 0%
107 Laki-laki 28 Sukapakir 2014 1 - 5 tahun 80.6% 77.5% 0%
108 Perempuan 58 Sindangjaya 1988 >10 tahun 66.7% 70.0% 0%
109 Perempuan 29 Sekejati 2015 1 - 5 tahun 86.1% 75.0% 0%
110 Perempuan 40 Arcamanik 2005 >10 tahun 86.1% 90.0% 0%
111 Laki-laki 31 Cibaduyut Wetan 2013 6 - 10 tahun 77.8% 90.0% 0%
112 Perempuan 26 Rusunawa 2015 1 - 5 tahun 86.1% 72.5% 0%
113 Laki-laki 27 Sukajadi 2018 1 - 5 tahun 80.6% 75.0% 0%
114 Perempuan 27 Ujungberung Indah 2016 1 - 5 tahun 83.3% 72.5% 0%
115 Perempuan 27 Padasuka 2016 1 - 5 tahun 72.2% 72.5% 0%
Skor rata-rata 81.67% 81.74% 33.48%
68
Lampiran 4. Kuesioner Penelitian
KUESIONER PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PERILAKU DOKTER
UMUM MENGENAI RETINOPATI DIABETIK
Demografi
Tanggal pengisian :
Usia :
Jenis Kelamin : (a) Laki-laki (b) Perempuan
Asal Puskesmas :
Tahun Lulus :
Lama bekerja : (a) 1 – 5 tahun (b) 6 – 10 tahun (c) >10 tahun
Section 1 – Pengetahuan
1. Komplikasi vaskular diabetes melitus dapat mengenai organ-organ:
Otak (a) Ya (b) Tidak
Ginjal (a) Ya (b) Tidak
Mata (a) Ya (b) Tidak
Saraf Perifer (a) Ya (b) Tidak
Kaki (a) Ya (b) Tidak
Perut (a) Ya (b) Tidak
Jantung (a) Ya (b) Tidak
2. Faktor-faktor apakah yang memperberat kondisi retinopati diabetik?
Lamanya menderita diabetes (a) Ya (b) Tidak
Profil lipid (a) Ya (b) Tidak
Merokok (a) Ya (b) Tidak
Kontrol Gula darah (a) Ya (b) Tidak
Hipertensi (a) Ya (b) Tidak
Alkohol (a) Ya (b) Tidak
Obesitas (a) Ya (b) Tidak
3. Kapan waktu yang tepat pasien dengan DM tipe 2 memeriksakan mata ke Dokter
Mata?
(a) Segera setelah terdiagnosis
(b) 1 tahun setelah terdiagnosis
(c) 2 tahun setelah terdiagnosis
69
4. Kapan waktu yang tepat pasien dengan DM tipe 1 memeriksakan mata ke Dokter
Mata?
(a) Segera setelah terdiagnosis
(b) 1-2 tahun setelah terdiagnosis
(c) 3-5 tahun setelah terdiagnosis
5. Kapan waktu yang tepat pasien DM dengan kehamilan memeriksakan mata ke
Dokter Mata?
(a) Trimester pertama
(b) Trimester ke-dua
(c) Trimester ke-tiga
6. Bagaimanakah gejala retinopati diabetik pada pasien DM?
(a) Tidak ada gejala
(b) Buram perlahan dan tidak nyeri
(c) Buram mendadak dan tidak nyeri
(d) Buram perlahan dan nyeri
7. Apakah perubahan akibat diabetes melitus pada retina yang dapat diamati pada
pemeriksaan funduskopi?
Mikroaneurisma (a) Ya (b) Tidak
Vena berbentuk manik (a) Ya (b) Tidak
Degenerasi makula (a) Ya (b) Tidak
Perdarahan retina (a) Ya (b) Tidak
Ablasio retina (a) Ya (b) Tidak
Perdarahan vitreus (a) Ya (b) Tidak
Neovaskularisasi retina (a) Ya (b) Tidak
8. Jika tidak terdapat tanda-tanda retinopati diabetik, kapankah penderita DM
harus kontrol rutin untuk pemeriksaan funduskopi?
(a) Setiap 6 bulan
(b) Setiap 1 tahun
(c) Setiap 2 tahun
(d) Tidak perlu
9. Apa sajakah pencegahan komplikasi retinopati diabetik pada pasien diabetes
melitus?
Diagnosis dini dan rujukan ke Dokter Mata (a) Ya (b) Tidak
Menurunkan kadar serum lipid yang tinggi (a) Ya (b) Tidak
Menghindari merokok (a) Ya (b) Tidak
Mengontol Gula darah (a) Ya (b) Tidak
70
Mengontrol tekanan darah (a) Ya (b) Tidak
Mengontol obesitas (a) Ya (b) Tidak
10. Apa sajakah metode tatalaksana retinopati diabetik?
Laser fotokoagulasi (a) Ya (b) Tidak
Operasi mata (a) Ya (b) Tidak
Normalisasi tekanan darah (a) Ya (b) Tidak
Normalisasi Gula darah (a) Ya (b) Tidak
Section 2 – Sikap
1. Pemeriksaan mata diperlukan hanya jika ada gangguan penglihatan.
1) Sangat tidak setuju 2) Tidak setuju 3) Tidak Tahu 4) Cukup setuju 5) Sangat
setuju
2. Semua pasien diabetes melitus harus dirujuk ke dokter spesialis mata.
1) Sangat tidak setuju 2) Tidak setuju 3) Tidak Tahu 4) Cukup setuju 5) Sangat
setuju
3. Meskipun diabetes terkendali, pasien tetap harus melakukan pemeriksaan mata
rutin.
1) Sangat tidak setuju 2) Tidak setuju 3) Tidak Tahu 4) Cukup setuju 5) Sangat
setuju
4. Jika dokter telah memberi tahu pasien diabetes untuk datang dalam rangka tindak
lanjut rutin, pasien akan datang.
1) Sangat tidak setuju 2) Tidak setuju 3) Tidak Tahu 4) Cukup setuju 5) Sangat
setuju
5. Jika diabetes diobati sejak dini, kebutaan akibat retinopati diabetik dapat
dicegah.
1) Sangat tidak setuju 2) Tidak setuju 3) Tidak Tahu 4) Cukup setuju 5) Sangat
setuju
6. Pemeriksaan funduskopi hanya dilakukan oleh Dokter Mata.
1) Sangat tidak setuju 2) Tidak setuju 3) Tidak Tahu 4) Cukup setuju 5) Sangat
setuju
7. Pemeriksaan funduskopi oleh non-Dokter Mata dapat membantu mendeteksi
retinopati diabetik.
71
1) Sangat tidak setuju 2) Tidak setuju 3) Tidak Tahu 4) Cukup setuju 5) Sangat
setuju
8. Pelatihan oftalmologi saat pendidikan kedokteran cukup melengkapi Dokter
dalam menangani pasien dengan keluhan mata.
1) Sangat tidak setuju 2) Tidak setuju 3) Tidak Tahu 4) Cukup setuju 5) Sangat
setuju
Section 3 – Perilaku
1. Apakah Anda memeriksa tajam penglihatan pasien diabetes Anda?
(a) Ya (b) Tidak
Jika jawaban pertanyaan diatas adalah “Ya”, seberapa seringkah?
1) Saat pertama terdiagnosis 2) Di setiap kunjungan klinik
3) 3 bulan setelah diagnosis 4) 6 bulan setelah diagnosis
5) Setiap tahun 6) Jika pasien memiliki keluhan visual
2. Apakah Anda memeriksa kondisi fundus (retina) pasien diabetes Anda?
1) Ya 2) Tidak
Jika jawaban pertanyaan diatas adalah “Ya”, seberapa seringkah?
1) Saat pertama terdiagnosis 2) Di setiap kunjungan klinik
3) 3 bulan setelah diagnosis 4) 6 bulan setelah diagnosis
5) Setiap tahun 6) Jika pasien memiliki keluhan visual
3. Apakah Anda merujuk pasien diabetes untuk pemeriksaan mata?
1) Ya 2) Tidak
4. Apakah Anda selalu memiliki akses oftalmoskop di tempat kerja Anda?
1)Ya 2)Tidak
5. Pernahkah Anda mencoba melakukan pemeriksaan kondisi fundus (funduskopi)
pada pasien diabetes
1)Ya 2)Tidak
6.Jika jawaban pertanyaan no 5 diatas adalah “Ya” apakah Anda dapat mengamati
detail pada retina?
1)Ya 2)Tidak
Jika jawaban pertanyaan no 6 adalah “Tidak” apakah alasannya?
1) Pupil tidak lebar (tidak ada obat midriasis untuk pelebaran pupil)
2) Tidak memiliki waktu
72
3) Tidak percaya diri dalam mengamati detail fundus (retina)
4)Lainnya,
sebutkan__________________________________________________
7. Apakah Anda mengikuti seminar/pelatihan tentang diabetes dan retinopati
diabetik dalam satu tahun terakhir?
1)Ya 2)Tidak
8. Sebutkan faktor yang menghambat deteksi retinopati diabetik pada pasien
diabetes melitus di Puskesmas Anda!
73
73
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Degiana Syabdini Edwiza
NPM : 131221160009
Tempat & Tanggal Lahir : Padang, 24 Maret 1990
Alamat : Komplek Jondul IV Blok TT No. 11 Tabing, Padang
Nama Orang Tua : Ir. H. Daz Edwiza, M.Sc
dr. Hj. Denawati, M.Kes
Pendidikan Formal:
1. SD Pertiwi 2, Padang (1995 – 2001)
2. SMP Negeri 1, Padang (2001 – 2004)
3. SMA Negeri 2, Padang (2004 – 2007)
4. Program Studi Sarjana Kedokteran, Fakultas Kedokteran Universitas
Andalas, Padang (2007 – 2011)
5. Program Studi Profesi Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Andalas,
Padang (2011 – 2013)
6. Program Pendidikan Dokter Spesialis I, Ilmu Kesehatan Mata, Fakultas
Kedokteran Universitas Padjadjaran – Pusat Nasional Rumah Sakit Mata
Cicendo, Bandung (2016 – 2020)
Pengalaman Kerja
1. Dokter Internship RSUD Kota Pariaman, Sumatera Barat (2013 – 2014)
2. Dokter Internship Puskesmas Pauh Kota Pariaman, Sumatera Barat (2014)
3. Dokter Umum Semen Padang Hospital, Kota Padang, Sumatera Barat (2014
– 2016)
Penelitian
1. Changes in Retinal Vessel Density and Foveal Avascular Zone Area in
Ocular Coherence Tomography Angiography in Diabetic Retinopathy
Patients After Laser Panretinal Photocoagulation (2018)
74
2. Karakteristik Klinis Retinopati Diabetik Pada Penderita Diabetes Melitus di
Kecamatan Tempuran, Kabupaten Karawang, Jawa Barat (2019)
3. Korelasi antara Pengetahuan dan Sikap terhadap Perilaku Dokter Umum di
Puskesmas Wilayah Kota Bandung Mengenai Retinopati Diabetik (2020)
Presentasi Ilmiah
1. Free Paper Changes in Retinal Vessel Density and Foveal Avascular Zone
Area in Ocular Coherence Tomography Angiography in Diabetic
Retinopathy Patients After Laser Panretinal Photocoagulation (2019)
2. Free Paper Karakteristik Klinis Retinopati Diabetik Pada Penderita Diabetes
Melitus di Kecamatan Tempuran, Kabupaten Karawang, Jawa Barat (2019)
Seminar/Kongres/Pertemuan Ilmiah Nasional dan Internasional
2019 Peserta Seminar The 7th National Glaucoma Meeting and 4th INASOPRS
Meeting, Bali
2019 Peserta Pertemuan Ilmiah Tahunan ke-44 PERDAMI, Makassar (presentasi
Free Paper dan Poster Ilmiah)
2019 Peserta dan Panitia 1st Cicendo International Meeting (CIOM), Bandung
2018 Peserta Pertemuan Ilmiah Tahunan ke-43 PERDAMI, Padang (presentasi
Poster Ilmiah)
2016 Peserta Seminar INAPOSS, Scientific Meeting, Save Children’s Sight for
Our Future, Bandung
2016 Peserta Seminar Sumatera Ophthalmology Meeting, Medan
2014 Pelatihan Advance Cardial Life Support, PERKI, Padang
2013 Symposium and Didactic Course of Ophtalmology 2013 ”Meningkatkan
Kompetensi layanan Primer Dalam Ilmu Kesehatan Mata” – Departemen
Ilmu Kesehatan Mata FK UNAND