Download - Beda Perkembangan
14
PERBEDAAN PERKEMBANGAN ANAK BALITA PADA
IBU BEKERJA DAN IBU TIDAK BEKERJA
PENILAIAN MENGGUNAKAN METODE DENVER II
TESIS
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister
Program Studi Kedokteran Keluarga
OLEH :
ADHI ARIYANTI
S520908001
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
15
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di era globalisasi ini jumlah wanita yang bekerja semakin meningkat, baik di
sektor formal maupun informal. Berdasar hasil Survei Angkatan Kerja Nasional/
Sakernas tahun 2006, tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan adalah 48,63 %,
sedangkan berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional/Sakernas tahun 2007, tingkat
partisipasi angkatan kerja perempuan meningkat menjadi 49,5 %. (Badan Pusat
Statistik Republik Indonesia,2009). Di satu sisi mereka dituntut bekerja di luar rumah
dan di sisi lain mereka juga dituntut untuk mengerjakan pekerjaan rutin rumah tangga.
Peran ganda ini merupakan fenomena baru yang terjadi bukan hanya terjadi di kota
tetapi juga banyak terjadi di pedesaan. Hal ini perlu dicermati karena akan
menimbulkan dampak sosialnya bagi pembinaan keluarga serta pada perubahan
proses adaptasi di lingkungan pekerjaan maupun di lingkungan keluarga.
Masa lima tahun pertama kehidupan merupakan masa yang sangat peka
terhadap lingkungan dan masa ini berlangsung sangat pendek serta tidak dapat
diulang lagi, maka masa balita disebut sebagai ”Masa Keemasan” (Golden Period),
”Jendela Kesempatan”(Window of Opportunity) dan ”Masa Kritis” (Critical Period)
(Depkes RI,2005), diperlukan rangsangan/stimulasi yang berguna agar potensi
berkembang, sehingga perlu mendapat perhatian. Perkembangan anak akan optimal
bila interaksi sosial diusahakan sesuai dengan kebutuhan anak pada berbagai tahap
perkembangannya, bahkan sejak bayi masih didalam kandungan. Sedangkan
16
lingkungan yang tidak mendukung akan menghambat perkembangan anak.
(Soetjiningsih,1995)
Bekerja atau tidak bekerja setelah melahirkan merupakan dilema yang umum
dihadapi para ibu bekerja. Zaman sekarang sebagian besar para ibu memilih kembali
bekerja setelah melahirkan, meski menyadari kembali bekerja berarti harus
mempekerjakan tenaga pengasuh untuk merawat anak selama ibu bekerja. Pendapat
Kiong M.(2008), alasan bekerja bagi wanita yang sudah berkeluarga antara lain
karena harus membantu suami meringankan beban ekonomi keluarga yang semakin
sulit, alasan lain karena merasa perlu mengantisipasi kondisi terjelek jika, misalnya
suami dikeluarkan dari perkerjaan sehingga harus menggantikan posisi sebagai
pencari nafkah, atau terpaksa harus menjadi orang tua tunggal akibat perceraian, dan
lain-lain. Tidak dapat dipungkiri bahwa masalah ekonomi menempati posisi pertama
sebagai sumber masalah terbesar dalam kehidupan rumah tangga. Karena itu, kalau
seorang ibu rumah tangga tetap mempunyai andil dalam ekonomi keluarga, maka ibu
tersebut memiliki kesetaraan posisi dan peran sehingga istri lebih dihargai oleh suami.
Sebagai perbandingan dalam penelitian Gold,et.al.(1979), Birnbaum (1975),
dan Hoffman (1980) cit Atkinson,et.al.(1983) ditunjukkan bahwa memiliki seorang
ibu yang bekerja nampaknya lebih menguntungkan bagi anak perempuan daripada
bagi anak laki-laki dan anak perempuan yang mempunyai ibu yang bekerja cenderung
lebih dapat mandiri, lebih dapat menyesuaikan diri dalam pergaulan, cenderung
berprestasi baik secara akademis serta bercita-cita mencapai suatu karier
dibandingkan dengan anak perempuan yang memiliki ibu yang tidak bekerja.
Penelitian yang dilakukan oleh Brown (1970) dan Banducci (1967) cit
Atkinson,et.al.(1983) menunjukkan bahwa anak laki-laki yang memiliki ibu yang
17
bekerja juga lebih mandiri dan lebih dapat menyesuaikan diri daripada anak-anak
laki-laki yang memiliki ibu yang tidak bekerja, akan tetapi di sekolah dan dalam tes-
tes kemampuan kognitif mereka tidak begitu baik.
Cara penilaian perkembangan anak salah satunya menggunakan metode
Denver II, metode skrining terhadap kelainan perkembangan anak, perkembangan
anak disusun berdasarkan urutan perkembangan dan diatur dalam 4 kelompok besar
yang disebut sektor perkembangan, yang meliputi: Personal social (perilaku sosial),
Fine motor adaptive (gerakan motorik halus), Language (bahasa), Gross motor
(gerakan motorik kasar). (Soetjiningsih,1995)
Uraian di atas merujuk pada suatu kesimpulan bahwa ibu memiliki peranan
dalam perkembangan anak. Oleh karena itu peneliti bermaksud meneliti mengenai
perbedaan perkembangan anak balita pada ibu bekerja dan ibu tidak bekerja dengan
menggunakan metode Denver II.
A. Rumusan masalah
Adakah perbedaan perkembangan anak balita menggunakan metode Denver II
pada ibu bekerja dan ibu tidak bekerja?
B. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui berberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan anak
balita dengan menggunakan metode Denver II.
18
2. Tujuan Khusus
Untuk mengetahui perbedaan perkembangan anak balita menggunakan metode
Denver II pada ibu bekerja dan ibu tidak bekerja.
C. Manfaat Penelitian
1. Manfaat bidang akademik
Membuktikan secara empiris bahwa terdapat perbedaan perkembangan anak
balita pada ibu bekerja dan ibu tidak bekerja.
2. Manfaat bidang Pelayanan
Untuk pendampingan bagi ibu-ibu yang bekerja dalam merawat anak supaya
tumbuh kembang anak optimal.
19
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Perkembangan Anak Balita
1. Masa anak balita
Anak balita adalah anak dibawah lima tahun. Pada masa ini, kecepatan
pertumbuhan mulai menurun dan terdapat kemajuan dalam perkembangan motorik
(gerak kasar dan gerak halus) serta fungsi ekskresi. Periode penting dalam tumbuh
kembang anak adalah pada masa balita. Pertumbuhan dasar yang berlangsung pada
masa balita akan mempengaruhi dan menentukan perkembangan anak selanjutnya.
(Depkes RI,2005)
Setelah lahir terutama pada 3 tahun pertama kehidupan, pertumbuhan dan
perkembangan sel-sel otak masih berlangsung, dan terjadi pertumbuhan serabut-
serabut syaraf dan cabang-cabangnya, sehingga terbentuk jaringan syaraf dan otak
yang kompleks. Jumlah dan pengaturan hubungan-hubungan antar sel syaraf ini akan
sangat mempengaruhi segala kinerja otak, mulai dari kemampuan belajar, berjalan,
mengenal huruf, hingga bersosialisasi. (Depkes RI,2005)
Pada masa balita, perkembangan kemampuan bicara dan bahasa, kreativitas,
kesadaran sosial, emosional dan intelegensia berjalan sangat cepat dan merupakan
landasan perkembangan berikutnya. Perkembangan moral serta dasar-dasar
kepribadian anak juga dibentuk pada masa ini, sehingga setiap kelainan atau
penyimpangan sekecil apapun, bila tidak dideteksi serta tidak ditangani dengan baik,
akan mengurangi kualitas sumber daya manusia di kemudian hari. (Depkes RI,2005)
20
2. Definisi Perkembangan Anak
Menurut Soetjiningsih (1995), perkembangan adalah bertambahnya
kemampuan (skill) dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola
yang teratur dan dapat diramalkan, sebagai hasil dari proses pematangan. Disini
menyangkut adanya proses diferensiasi dari sel-sel tubuh, jaringan tubuh, organ-organ
dan sistem organ yang berkembang sedemikian rupa sehingga masing-masing dapat
memenuhi fungsinya. Termasuk juga perkembangan emosi, intelektual dan tingkah
laku sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya.
Pendapat Alva (2005), dalam istilah psikologi, perkembangan merupakan
serangkaian perubahan yang progresif akibat dari proses kematangan dan
pengalaman. Dengan kata lain tidak sekedar pertumbuhan fisik melainkan proses
yang kompleks dan terintegrasi.
Menurut Mussen,etal. (1984), perkembangan dapat didefinisikan sebagai
perubahan bentuk fisik, struktur saraf, perilaku dan sifat yang terbentuk secara teratur
dan berlangsung terus.
Kesimpulan dari definisi Perkembangan anak balita adalah perubahan yang
progresif dari bertambahnya kemampuan (skill) dalam struktur dan fungsi tubuh yang
lebih kompleks berupa perubahan bentuk fisik, struktur saraf, perilaku dan sifat dalam
pola yang teratur, berlangsung terus dan dapat diramalkan, sebagai hasil dari proses
pematangan dan pengalaman pada masa anak usia 0 – 59 bulan.
3. Aspek-aspek perkembangan anak balita
Sutji (1991) berpendapat, perkembangan anak balita pada tahun pertama yang
bisa kita amati adalah pertumbuhan fisik. Pertumbuhan fisik ini berupa pertumbuhan
21
tulang, pertumbuhan otot, yang diikuti oleh perkembangan kemampuan bergerak yang
lebih luas. Pada masa ini faktor kematangan biologis sangat berperan, artinya tanpa
latihan-latihan yang berarti, bayi akan menguasai gerakan-gerakan tertentu (misal:
tengkurap, duduk, merangkak dan lain sebagainya). Dalam hal ini faktor gizi sangat
memegang peranan penting.
Pendapat Soetjiningsih (1995), perkembangan anak balita berdasarkan skala
yaumil-mimi sebagai berikut:
1) Dari lahir sampai 3 bulan,
- belajar mengangkat kepala
- belajar mengikuti obyek dengan matanya
- melihat ke muka orang dengan tersenyum
- bereaksi terhadap suara/bunyi
- mengenal ibunya dengan penglihatan, penciuman, pendengaran, dan kontak
- menahan barang yang dipegangnya
- mengoceh spontan atau bereaksi dengan mengoceh
2) Dari 3 sampai 6 bulan,
- mengangkat kepala 90 derajat dan mengangkat dada dengan bertopang tangan
- mulai belajar meraih benda-benda yang ada dalam jangkauannya atau di luar
jangkauannya
- menaruh benda-benda di mulutnya
- berusaha memperluas lapangan pandangan
- tertawa dan menjerit karena gembira bila diajak bermain
- mulai berusaha mencari benda-benda yang hilang
3) Dari 6 sampai 9 bulan,
22
- dapat duduk tanpa dibantu
- dapat tengkurap dan berbalik sendiri
- dapat merangkak meraih benda atau mendekati seseorang
- memindahkan benda dari satu tangan ke tangan yang lain
- memegang benda kecil dengan ibu jari dan jari telunjuk
- bergembira dengan melempar benda-benda
- mengeluarkan kata-kata yang tanpa arti
- mengenal muka anggota-anggota keluarga dan takut kepada orang asing/lain
- mulai berpartisipasi dalam permainan tepuk tangan dan sembunyi-sembunyian
4) Dari 9 sampai 12 bulan,
- dapat berdiri sendiri tanpa dibantu
- dapat berjalan dengan dituntun
- menirukan suara
- mengulang bunyi yang didengarnya
- belajar menyatakan satu atau dua kata
- mengerti perintah sederhana atau larangan
- memperlihatkan minat yang besar dalam mengeksplorasi sekitarnya, ingin
menyentuh apa saja dan memasukkan benda-benda ke mulutnya
- berpartisipasi dalam permainan
5) Dari 12 sampai 18 bulan,
- berjalan dan mengeksplorasi rumah serta sekeliling rumah
- menyusun 2 atau 3 kotak
- dapat mengatakan 5 – 10 kata
- memperlihatkan rasa cemburu dan rasa bersaing
23
6) Dari 18 sampai 24 bulan
- naik turun tangga
- menyusun 6 kotak
- menunjuk mata dan hidungnya
- menyusun dua kata
- belajar makan sendiri
- menggambar garis di kertas atau pasir
- mulai belajar mengontrol buang air besar dan buang air kecil/kencing
- menaruh minat kepada apa yang dikerjakan oleh orang-orang yang lebih besar
- memperlihatkan minat kepada anak lain dan bermain-main dengan mereka
7) Dari 2 sampai 3 tahun,
- belajar meloncat, memanjat, melompat dengan satu kaki
- membuat jembatan dengan 3 kotak
- mampu menyusun kalimat
- mempergunakan kata-kata saya, bertanya, mengerti kata-kata yang ditujukan
kepadanya
- menggambar lingkaran
- bermain bersama dengan anak lain dan menyadari adanya lingkungan lain di
luar keluarganya
8) Dari 3 sampai 4 tahun,
- berjalan-jalan sendiri mengunjungi tetangga
- berjalan pada jari kaki
- belajar berpakaian dan membuka pakaian sendiri
- menggambar garis silang
24
- menggambar orang hanya kepala dan badan
- mengenal 2 atau 3 warna
- bicara dengan baik
- menyebut namanya, jenis kelamin dan umurnya
- banyak bertanya
- bertanya bagaimana anak dilahirkan
- mengenal sisi atas, sisi bawah, sisi muka, sisi belakang
- mendengarkan cerita-cerita
- bermain dengan anak lain
- menunjukkan rasa sayang kepada saudara-saudararnya
- dapat melaksanakan tugas-tugas sederhana
9) Dari 4 sampai 5 tahun,
- melompat dan menari
- menggambar orang terdiri dari kepala, lengan, badan
- menggambar segi empat dan segitiga
- pandai bicara
- dapat menghitung jari-jarinya
- dapat menyebut hari-hari dalam seminggu
- mendengar dan mengulang hal-hal penting dan cerita
- minat kepada kata baru dan artinya
- memprotes bila dilarang apa yang diingininya
- mengenal 4 warna
- memperkirakan bentuk dan besarnya benda, membedakan besar dan kecil
- menaruh minat kepada aktivitas orang dewasa.
25
Aspek-aspek perkembangan anak antara lain:
a. Perkembangan Motorik
Perkembangan Motorik. Pendapat Santrock (2007), menurut teori sistem
dinamik, perkembangan motorik bukanlah proses pasif di mana gen menentukan
penyempurnaan urutan keterampilan seiring berjalannya waktu, sebaliknya anak
secara aktif membangun keterampilan mencapai tujuan dalam batas yang ditentukan
oleh tubuh anak dan lingkungannya.
Perkembangan motorik merupakan proses tumbuh kembang kemampuan gerak
seorang anak. Setiap gerakan yang dilakukan anak merupakan hasil pola interaksi
yang kompleks dari berbagai bagian dan sistem dalam tubuh yang dikontrol oleh otak.
Perkembangan motorik meliputi perkembangan motorik kasar dan motorik halus.
1) Perkembangan motorik kasar. Perkembangan bayi tahun pertama. Pendapat
Santrock (2007), bayi yang baru lahir tidak dapat dengan sengaja mengendalikan
posturnya. Meskipun demikian, dalam beberapa minggu, bayi dapat menegakkan
kepala dan segera setelahnya bayi dapat mengangkat kepala ketika sedang
menelungkup.
Duduk. Pada usia 2 bulan, bayi dapat duduk jika disangga di atas pangkuan
atau dalam kursi bayi, tetapi mereka tidak dapat duduk sendiri hingga usia 6 sampai 7
bulan.
Merangkak dan merayap. Mussen (1984) berpendapat, usia rata-rata untuk
dapat merangkak (bergerak dengan perut terletak pada lantai) kurang lebih 9 bulan,
merayap dengan tangan dan lutut terlihat sekitar usia 10 bulan.
Berdiri. Pendapat Santrock (2007), berdiri juga berkembang secara bertahap
selama tahun pertama kehidupan. Saat usianya 8 bulan, bayi biasanya belajar
26
mengangkat dirinya sendiri ke atas dan berpegangan pada kursi dan banyak yang
sudah dapat berdiri sendiri sekitar usia 10 hingga 12 bulan.
Belajar Berjalan, menurut Santrock (2007), gerakan dan kendali postur tubuh
berhubungan dekat, terutama dalam berjalan lurus. Untuk berjalan lurus, bayi harus
mampu menyeimbangkan diri di atas satu kaki saat yang lain berayun ke depan dan
juga memindahkan berat badan dari satu kaki ke kaki yang lain. Bahkan bayi yang
masih kecil dapat membuat gerakan kaki yang berganti-ganti yang diperlukan ketika
berjalan. Jalan saraf yang mengendalikan pergantian kaki telah ada sejak usia yang
sangat dini, mungkin bahkan sejak lahir atau sebelumnya.
Pendapat Mussen (1984), rata-rata anak berdiri sendiri pada usia 11 bulan,
berjalan dengan dituntun satu tangan pada usia 1 tahun dan dapat berjalan sendiri,
walaupun dengan kesulitan pada usia 13 bulan. Hasan (2009) berpendapat, anak akan
belajar mundur pada usia 12 bulan 1 minggu sampai 16 bulan.
Menurut Mussen (1984), pada usia 18 bulan seorang anak dapat naik dan turun
tangga tanpa bantuan (dan biasanya tidak terjatuh) dan dapat menarik mainan
sepanjang lantai. Menurut Santrock (2007), bayi melakukan gerakan menendang
berganti-ganti yang cukup sering sepanjang enam bulan pertama kehidupan saat
mereka berbaring telentang. Juga ketika bayi berusia 1 atau 2 bulan dipegangi dengan
kaki menyentuh treadmill yang sedang bergerak, mereka menunjukkan langkah
berganti-ganti yang terkoordinasi dengan baik. Meskipun memiliki kemampuan dini
ini, kebanyakan bayi tidak belajar berjalan hingga sekitar ulang tahun pertama mereka
Perkembangan anak di tahun kedua. Santrock (2007) berpendapat, pencapaian
motorik pada tahun pertama menyebabkan meningkatnya kemandirian,
memungkinkan bayi untuk menjelajahi lingkungannya dengan lebih leluasa dan untuk
27
memulai interaksi dengan orang lain dengan lebih siap. Pada tahun kedua kehidupan,
anak balita menjadi lebih terampil secara motorik dan lebih aktif. Mereka tidak lagi
diam di satu tempat tetapi ingin bergerak ke seluruh ruangan. Ahli perkembangan
anak percaya bahwa aktivitas motorik selama tahun kedua berperan penting bagi
perkembangan kompetensi anak dan bahwa hanya sedikit batasan, kecuali untuk
keamanan, yang perlu diberikan dalam petualangan mereka.
Saat berusia 13 hingga 18 bulan, anak dapat menarik sebuah mainan yang
melekat pada seutas tali dan menggunakan tangan dan kakinya untuk memanjat
sejumlah anak tangga. Saat berusia 18 hingga 24 bulan, anak dapat berjalan cepat atau
berlari dengan kaku dengan jarak pendek, seimbang di atas kaki dalam posisi jongkok
saat bermain dengan objek di lantai, berjalan mundur tanpa kehilangan keseimbangan,
berdiri dan menendang bola tanpa jatuh, berdiri dan melempar bola, serta melompat-
lompat di tempat.
Saat berusia 3 tahun, anak menikmati gerakan sederhana, seperti loncat-
loncatan, melompat, dan lari ke sana kemari hanya demi kesenangan murni
melakukan aktivitas tersebut. Mereka mendapatkan rasa bangga dalam menunjukkan
bagaimana mereka dapat berlari melintasi ruangan dan melompat sejauh 6 inci.
Aktivitas berlari melompat tersebut merupakan sumber kebanggaan.
Saat berusia 4 tahun, anak masih menikmati aktivitas yang sama, tetapi mereka
menjadi lebih suka berpetualang. Mereka memanjat dengan tangkas, meskipun
mereka sudah lama mampu memanjat tangga dengan satu kaki di setiap anak tangga,
mereka baru mulai mampu menuruni tangga dengan cara yang sama.
Di usia 5 tahun, anak semakin menyukai petualangan dibandingkan ketika
mereka berusia 4 tahun. Bukanlah hal yang luar biasa bagi anak usia 5 tahun yang
28
percaya diri untuk melakukan adegan yang menakutkan seperti memanjat suatu objek.
Mereka berlari cepat dan menyenangi balapan satu sama lain dan dengan orang tua.
Otot-otot besar dan sebagian atau seluruh anggota tubuh digunakan oleh anak
untuk melakukan gerakan tubuh. Perkembangan motorik kasar dipengaruhi oleh
proses kematangan anak. Karena proses kematangan setiap anak berbeda, maka laju
perkembangan seorang anak bisa saja berbeda dengan anak lainnya.
2) Perkembangan motorik halus. Perkembangan motorik halus merupakan
perkembangan gerakan anak yang menggunakan otot-otot kecil atau sebagian anggota
tubuh tertentu. Keterampilan motorik halus melibatkan gerakan yang diatur secara
halus. Perkembangan pada aspek ini dipengaruhi oleh kesempatan anak untuk belajar
dan berlatih. Menggenggam mainan, mengancingkan baju atau melakukan
keterampilan tangan menunjukkan keterampilan motorik halus.
Masa Bayi, Santrock (2007) berpendapat, bayi sangat sedikit memiliki kontrol
terhadap keterampilan motorik halus sewaktu lahir, tetapi mereka memiliki banyak
komponen hal yang akan menjadi gerakan lengan, tangan dan jari yang terkoordinasi.
Awal mula meraih dan menggenggam menandai prestasi yang penting dalam interaksi
bayi. Selama dua tahun pertama kehidupan, bayi memperhalus tindakan meraih dan
menggenggam mereka
Sistem menggenggam bayi sangat fleksibel. Bayi membedakan genggamannya
pada objek tergantung pada ukuran dan bentuk objek tersebut, juga ukuran tangan
mereka sendiri dibandingkan dengan ukuran objek. Bayi menggenggam objek yang
kecil dengan ibu jari dan jari telunjuk mereka ( dan kadang jari tengah mereka juga ),
sedangkan objek yang besar dengan seluruh jari pada satu atau dua tangan.
Pengalaman memainkan peran penting dalam meraih dan menggenggam.
29
Masa kanak-kanak. Pendapat Santrock (2007), pada usia 3 tahun, anak telah
memiliki kemampuan untuk mengambil objek terkecil di antara ibu jari dan telunjuk
untuk beberapa waktu, tetapi mereka masih canggung melakukannya. Anak umur 3
tahun dapat membangun menara balok yang tinggi secara mengejutkan, tiap balok
diletakkan dengan konsentrasi tinggi tetapi sering tidak sepenuhnya berada pada garis
lurus. Saat anak berumur 3 tahun bermain dengan gambar bongkar pasang sederhana,
mereka agak kasar dalam meletakkan kepingan-kepingannya. Saat mereka mencoba
meletakkan sebuah keping pada tempat yang kosong, mereka sering mencoba
memaksakan keping tersebut atau menekannya dengan kuat.
Pada usia 4 tahun, koordinasi motorik halus anak lebih tepat. Kadang anak
berumur 4 tahun bermasalah dalam membangun menara tinggi dengan balok karena
keinginan mereka untuk meletakkan setiap balok dengan sempurna sehingga mereka
membongkar lagi balok yang sudah tersusun.
Saat berumur 5 tahun, koordinasi motorik halus anak semakin meningkat.
Tangan, lengan dan jari semua bergerak bersama di bawah perintah mata. Menara
sederhana tidak lagi menarik minat anak, sekarang anak ingin membangun sebuah
rumah atau gereja, lengkap dengan menaranya.
b. Perkembangan kognitif.
Pada aspek koginitif, perkembangan anak nampak pada kemampuannya dalam
menerima, mengolah, dan memahami informasi-informasi yang sampai kepadanya.
Kemampuan kognitif berkaitan dengan perkembangan berbahasa (bahasa lisan
maupun isyarat), memahami kata, dan berbicara.
Menurut Santrock (2007), Tahapan sensorimotor menurut Piget dibagi menjadi
enam sub tahapan yaitu:
30
1) Refleks-refleks sederhana (sub tahapan sensorimotor pertama), terjadi pada
masa-masa bulan pertama setelah kelahiran. Pada sub tahap ini, sensasi dan tindakan
dikoordinasikan melalui perilaku refleks seperti gerakan refleks menyusu. Segera
setelah itu, bayi menunjukkan perilaku-perilaku menyerupai gerak-gerak refleks
tersebut tanpa memerlukan stimulus yang lazimnya harus ada untuk memunculkan
gerak-gerak refleks tersebut. Contohnya, seorang bayi akan menyusu dari puting susu
ibunya atau dari botol dot hanya ketika benda-benda tersebut dimasukkan ke dalam
mulut bayi atau disentuhkan ke bibirnya. Akan tetapi segera setelah itu, bayi mungkin
akan melakukan gerakan menyusu ketika botol atau puting susu berada di dekatnya.
Bayi tersebut sedang mempelajari sebuah tindakan dan secara aktif sedang menyusun
berbagai pengalaman pada bulan pertama hidupnya.
2) Kebiasaan-kebiasaan pertama dan reaksi-reaksi sirkuler primer (sub tahapan
sensorimotor kedua), berkembang pada usia 1 sampai 4 bulan. Dalam sub tahap ini,
bayi mengkoordinasi sensasi dengan dua tipe skema yaitu reaksi-reaksi sirkuler
primer dan kebiasaan-kebiasaan. Kebiasaan adalah skema yang didasarkan pada suatu
refleks yang seluruhnya terpisah dari stimulus yang mendatangkannya. Contohnya
bayi-bayi pada sub tahap 1 melakukan gerak menyusu ketika botol susu didekatkan
pada bibir mereka atau ketika mereka melihat botol. Bayi-bayi pada sub tahapan 2
mungkin melakukan gerak menyusu bahkan ketika tidak ada botol. Reaksi sirkuler
primer adalah sebuah skema yang didasarkan pada usaha menghasilkan kembali suatu
kejadian yang awalnya terjadi secara kebetulan. Contohnya seorang bayi tiba-tiba
menghisap jarinya ketika jari itu diletakkan dekat mulut. Selanjutnya ia mencari jari-
jarinya untuk dihisap lagi, tetapi jari-jari tersebut tidak dapat bekerja sama karena
bayi itu belum dapat mengkoordinasikan tindakan-tindakan manual dan visual.
31
Reaksi-reaksi sirkuler dan kebiasaan dilakukan dengan duplikasi: bayi mengulangi
tindakan-tindakannya selalu dengan cara yang sama. Pada sub tahap ini tubuh bayi
sendiri merupakan perhatian sentral si bayi. Tidak ada ketertarikan terhadap kejadian-
kejadian di luar lingkungannya.
3) Reaksi sirkuler sekunder (sub tahap sensorimotor ketiga), berkembang antara usia
4 hingga 8 bulan. Pada sub tahap ini, bayi lebih berorientasi pada objek, berpindah
dari keasyikan pada dirinya sendiri. Secara kebetulan, seorang bayi mungkin
menggoyangkan mainannya hingga bergemerincing. Bayi akan mengulang tindakan
ini untuk kesenangannya. Bayi juga akan menirukan beberapa gerakan sederhana
seperti celoteh atau gumaman-gumaman orang dewasa dan gerakan-gerakan fisik
dengan meniru gerakan yang telah mampu dilakukannya. Saat bayi dihadapkan pada
objek-objek di lingkungannya, skema yang dibentuk oleh bayi tidaklah dibentuk
dengan sengaja.
4) Koordinasi reaksi-reaksi sirkuler sekunder (sub tahapan sensorimotor keempat),
berkembang antara usia 8 sampai 12 bulan. Untuk berkembang hingga sub tahap ini
bayi harus mengkoordinasikan pandangan dan sentuhan, tangan dan mata. Gerakan-
gerakan menjadi lebih terarah. Perubahan-perubahan penting selama sub tahap ini
meliputi koordinasi skema-skema dan kesengajaan. Contohnya bayi menggunakan
sebuah tongkat untuk mengambil mainan yang berada di luar jangkauannya atau
merubuhkan sebuah balok untuk mengambil dan memainkan mainan yang lain.
5) Reaksi-reaksi sirkuler tersier, kesenangan baru dan keingintahuan (sub tahapan
sensorimotor kelima), berkembang pada usia 12 hingga 18 bulan. Pada sub tahap ini
bayi tergugah minatnya dengan banyaknya objek di lingkungannya. Sebuah balok
dapat dijatuhkan, diputar, dipukulkan ke objek lain dan dilemparkan ke lantai. Sub
32
tahap ini merupakan skema di mana bayi secara sadar mengeksplorasi berbagai
kemungkinan baru atas objek-objek di sekitarnya. Pada tahap ini menandai
dimulainya masa keingintahuan manusia dan minat terhadap kesenangan baru.
6) Skema Internalisasi (sub tahapan sensorimotor keenam dan terakhir),
berkembang antara usia 18 hingga 24 bulan. Pada sub tahap ini bayi mengembangkan
kemampuan menggunakan simbol-simbol primitif. Bagi Piaget simbol adalah sebuah
gambar sensorik yang diinternalkan atau kata yang mewakili sebuah kejadian.
Simbol-simbol primitif menjadikan bayi mampu memanipulasi dan mengubah
kejadian-kejadian yang ada dalam cara-cara yang sederhana. Contoh bayi melihat
kotak korek api dibuka dan ditutup. Ia menirukan kejadian tersebut dengan membuka
dan menutup mulutnya. Ini merupakan ekspresi yang jelas atas gambarannya terhadap
kejadian tersebut. Permanensi Objek, pada akhir periode sensorimotor, bayi-bayi
mulai memahami bahwa objek-objek terpisah dari dirinya dan bersifat permanen.
Permanensi objek adalah suatu pemahaman bahwa objek-objek akan tetap eksis
bahkan ketika objek-objek tersebut tidak dapat dilihat, didengar, atau disentuh.
Permanensi objek merupakan salah satu pencapaian terpenting bagi bayi. Contoh
ketika objek yang menarik minatnya hilang dari pandangannya, maka bayi akan
mencari objek tersebut, diasumsikan bahwa bayi tersebut yakin objek tadi masih ada.
c. Perkembangan Emosi.
Menurut Santrock (2007), terdapat pembagian emosi menjadi 2 klasifikasi
yaitu:
1) Emosi primer, yang sering muncul pada manusia dan juga binatang, yang
termasuk emosi primer adalah terkejut, tertarik, senang, marah, sedih, takut dan
jijik. Semua emosi ini muncul pada usia 6 bulan pertama.
33
2) Emosi yang disadari, yang memerlukan kognisi, terutama kesadaran diri. Yang
termasuk jenis emosi ini adalah empati, cemburu dan kebingungan yang muncul
pada 1½ tahun pertama (setelah timbulnya kesadaran diri), selain itu ada juga
bangga, malu dan rasa bersalah yang mulai muncul pada 2½ tahun pertama.
Masa Bayi. Pendapat Santrock (2007), tangisan dan senyuman merupakan
ekspresi emosional awal yang ditampilkan oleh bayi ketika mereka berinteraksi
dengan orang tua atau orang-orang di sekitarnya.
Tangisan adalah mekanisme penting yang dimiliki oleh anak yang baru lahir
untuk berkomunikasi dengan dunia luar. Tangisan pertama bayi menunjukkan bahwa
paru-parunya sudah terisi udara. Tangisan juga memberikan informasi mengenai
sistem saraf pusat bayi. Ada tiga jenis tangisan bayi:
1) Tangisan biasa: pola ritmis yang biasanya terdiri dari tangisan, diikuti oleh
periode diam yang singkat, diikuti oleh desisan singkat lalu tangisan bernada
lebih tinggi dari tangisan awal, lalu istirahat sejenak sebelum diikuti dengan set
berikutnya. Rasa lapar merupakan salah satu kondisi yang menyebabkan tangisan
ini.
2) Tangisan marah: beberapa variasi tangisan biasa dengan lebih banyak udara
yang dipaksa melewati pita suara.
3) Tangisan kesakitan: tangisan tiba-tiba yang keras dan panjang, diikuti dengan
menahan nafas, tidak ada rengekan awal sebelum tangisan ini. Biasanya
disebabkan oleh stimulus dengan intensitas yang tinggi.
Senyuman, Santrock (2007) berpendapat, senyuman merupakan cara penting
dari seorang bayi untuk mengkomunikasikan emosi. Ada dua macam senyuman bayi:
34
1) Senyuman refleksif: senyuman yang tidak disebabkan oleh stimulus internal dan
muncul pada masa 1 bulan awal sesudah kelahiran, biasanya pada saat tidur.
2) Senyuman sosial: senyuman yang muncul karena stimulus eksternal, biasanya
adalah wajah yang dilihat oleh bayi yang masih muda.
Ketakutan. Pendapat Santrock (2007), katakutan merupakan salah satu emosi
awal pada bayi, yang biasanya muncul pada usia 6 bulan dan mencapai puncaknya
pada usia 18 bulan, ekspresi ketakutan yang paling sering muncul biasanya berkaitan
dengan kecemasan terhadap orang asing, di mana seorang bayi menunjukkan
ketakutan dan kegelisahan terhadap orang asing. Hal ini biasanya timbul secara
bertahap. Pertama kali muncul sekitar usia 6 bulan dalam bentuk reaksi gelisah. Pada
usia 9 bulan, ketakutan terhadap orang asing ini sering kali menjadi lebih sering dan
terus meningkat sampai ulang tahun pertama bayi tersebut. Tidak semua bayi
menunjukkan kegelisahan ketika menghadapi orang asing. Bayi akan lebih berani
berhadapan dengan orang asing jika mereka berada di lingkungan yang familiar.
Ketika bayi merasa aman maka akan lebih tahan menghadapi kecemasan terhadap
orang asing.
Kemarahan, Hurlock (1980) berpendapat, perangsang yang lazim
membangkitkan kemarahan bayi adalah campur tangan terhadap gerakan-gerakan,
menghalangi keinginannya, tidak mengijinkannya mengerti sendiri dan tidak
memperkenankannya melakukan apa yang dia inginkan. Bentuk kemarahan bayi
berupa menjerit, meronta-ronta, menendangkan kaki, mengibaskan tangan dan
memukul atau menendang apa saja yang ada di dekatnya. Pada tahun kedua bayi
dapat juga melonjak-lonjak, berguling-guling, meronta-ronta dan menahan nafas.
35
Rasa ingin tahu. pendapat Hurlock (1980), setiap mainan atau barang baru dan
tidak biasa adalah perangsang untuk keingintahuan, kecuali barang tersebut terlalu
tegas sehingga menimbulkan ketakutan. Bila rasa takut berkurang, maka akan
digantikan oleh rasa ingin tahu. Bayi mudah mengungkapkan rasa ingin tahunya
terutama melalui ekspresi wajah dengan menegangkan otot muka, membuka mulut
dan menjulurkan lidah. Kemudian bayi akan menangkap barang yang membangkitkan
rasa ingin tahunya tersebut, memegang, membolak-balik, melempar atau
memasukkannya ke dalam mulutnya.
Kegembiraan, menurut Hurlock (1980), kegembiraan dirangsang oleh
kesenangan fisik. Pada bulan kedua atau ketiga, bayi bereaksi pada orang yang
mengajaknya bercanda, menggelitik, mengamati dan memperhatikannya. Mereka
mengungkapkan rasa senang atau kegembiraan dengan tersenyum, tertawa dan
menggerakkan lengan serta kakinya. Bila rasa senang sangat besar, bayi berteriak
dengan gembira dan semua gerakan tubuh menjadi makin intensif.
Referensi sosial. Pendapat Santrock (2007), referensi sosial adalah cara
membaca petunjuk emosional dari orang lain sebagai referensi bagaimana berperilaku
dalam situasi tertentu. Bayi tidak hanya mengekspresikan emosi misalnya rasa takut
tetapi juga membaca tanda emosi dari orang lain. Misalnya ketika bayi berhadapan
dengan orang asing, apakah mereka harus merasa takut atau tidak terhadap orang
tersebut. Kemampuan melakukan referensi sosial ini akan berkembang dengan lebih
baik pada tahun kedua.
Afeksi (kasih sayang), Hurlock (1980) berpendapat, setiap orang yang
mengajak bayi bermain, mengurus kebutuhan jasmaninya atau memperlihatkan afeksi
akan merupakan perangsang untuk afeksi mereka. Kemudian mainan dan hewan
36
kesayangan keluarga mungkin juga menjadi objek cinta bagi mereka. Umumnya bayi
mengungkapkan afeksinya dengan memeluk, menepuk dan mencium barang atau
orang yang dicintai.
Pengaturan emosi dan coping. Santrock (2007) berpendapat, dalam kurun
waktu satu tahun pertama, bayi mulai mengembangkan kemampuan untuk menahan
atau mengurangi intensitas dan durasi reaksi emosional. Dari masa awal
kehidupannya bayi sudah bisa meletakkan ibu jari dalam mulut untuk menenangkan
dirinya. Meskipun begitu, biasanya bayi tetap tergantung kepada pengasuhnya untuk
menenangkan reaksi emosi yang dirasakannya, terutama di masa awal kehidupan,
seperti dengan mengayun-ayunkan bayi ketika menidurkan, menyanyikan lagu nina
bobo, membelai-belai, dan lain sebagainya. Pada usia dua tahun, seorang balita sudah
mampu menggunakan bahasa untuk menjelaskan keadaan emosi dan situasi yang
menggangu mereka. Misal seorang balita mungkin akan berkata ”Takut. Anjing
galak” Jenis komunikasi seperti ini akan membantu pengasuh dalam membantu anak
mengatur emosi mereka. Bayi akan sangat mudah terpengaruh oleh kelelahan, rasa
lapar, waktu, orang-orang yang ada di sekitar dan juga lingkungan di mana mereka
sedang berada. Bayi harus belajar untuk beradaptasi terhadap berbagai macam situasi
yang memerlukan pengaturan emosi, seiring dengan bertambahnya usia. Sebagai
contoh, jika bayi berusia 6 bulan tiba-tiba menjerit di tengah restoran maka orang
tuanya akan menganggap hal ini wajar, tetapi tidak wajar jika anak yang menjerit itu
sudah berusia 1½ tahun.
Masa Kanak-kanak awal (usia 2 sampai 5 tahun). Pendapat Santrock (2007)
bahwa emosi yang disadari adalah emosi yang membutuhkan kesadaran diri anak
bahwa mereka berbeda dengan orang lain. Misalnya bangga, malu, rasa bersalah,
37
pertama kali muncul pada usia 2½ tahun. Rasa bangga muncul ketika anak merasakan
kesenangan setelah sukses melakukan perilaku tertentu. Rasa malu muncul ketika
anak menganggap dirinya tidak mampu memenuhi standar atau target tertentu. Anak
yang sedang malu sering kali berharap mereka bisa bersembunyi atau menghilang dari
situasi tersebut. Rasa bersalah biasanya muncul ketika anak menilai perilakunya
sebagai sebuah kegagalan. Ketika anak mengalami perasaan bersalah maka mereka
biasanya akan melakukan gerakan-gerakan tertentu seakan berusaha memperbaiki
kegagalan mereka.
Bahasa dan pemahaman emosi pada anak-anak. Santrock (2007) berpendapat,
pada rentang usia 2-4 tahun, terjadi penambahan jumlah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan emosi. Mereka juga mulai belajar mengenai penyebab dan
konsekuensi dari perasaan-perasaan yang dialami. Ketika menginjak usia 4-5 tahun,
anak-anak mulai menunjukkan peningkatan kemampuan dalam merefleksi emosi.
Mereka juga mulai memahami bahwa kejadian yang sama dapat menimbulkan
perasaan yang berbeda terhadap orang yang berbeda. Lebih dari itu mereka juga mulai
menunjukkan kesadaran bahwa mereka harus mengatur emosi mereka untuk
memenuhi standar sosial.
Pada aspek ini, anak sangat dipengaruhi oleh interaksi dengan orang tua dan
orang-orang di sekitarnya. Emosi yang berkembang akan sesuai dengan impuls emosi
yang diterimanya. Misalnya, jika anak mendapatkan curahan kasih sayang, mereka
akan belajar untuk menyayangi.
d. Perkembangan sosial.
Hurlock (1978) berpendapat, perkembangan sosial berarti perolehan
kemampuan berperilaku yang sesuai dengan tuntutan sosial. Menjadi orang yang
38
mampu bermasyarakat memerlukan tiga proses. Masing-masing proses terpisah dan
sangat berbeda satu sama lain, tetapi saling berkaitan, sehingga kegagalan dalam satu
proses akan menurunkan kadar sosialisasi individu. Tiga proses sosialisasi antara lain:
1) Belajar berperilaku yang dapat diterima secara sosial.
Setiap kelompok sosial mempunyai standar bagi para anggotanya tentang
perilaku yang dapat diterima. Untuk dapat bermasyarakat anak tidak hanya harus
mengetahui perilaku yang dapat diterima, tetapi mereka juga harus menyesuaikan
perilaku dengan patokan yang dapat diterima.
2) Memainkan peran sosial yang dapat diterima.
Setiap kelompok sosial mempunyai pola kebiasaan yang telah ditentukan dengan
seksama oleh para anggotanya dan dituntut untuk dipatuhi. Sebagai contoh, ada
peran yang telah disetujui bersama bagi orang tua dan anak serta bagi guru dan
murid.
3) Perkembangan sikap sosial.
Untuk bermasyarakat/bergaul dengan baik anak-anak harus menyukai orang dan
aktivitas sosial. Jika mereka dapat melakukannya, mereka akan berhasil dalam
penyesuaian sosial yang baik dan diterima sebagai anggota kelompok sosial
tempat mereka menggabungkan diri.
Perkembangan sosial pada masa bayi:
1) Meniru. Bayi menjadi bagian dari kelompok sosial dengan cara menirukan bayi
lain. Pertama-tama mereka menirukan ekspresi wajah, kemudian isyarat dan
gerakan, selanjutnya suara pembicaraan dan akhirnya pola keseluruhan perilaku.
2) Rasa malu. Pada usia tiga atau enam bulan bayi dapat membedakan antara wajah
yang sudah biasa dikenal dengan yang tidak dikenal. Sampai pada akhir tahun
39
pertama mereka bereaksi terhadap orang yang tidak dikenal dengan cara
merengek, menangis, menyembunyikan kepala dan bergayut pada orang yang
membopong mereka.
3) Perilaku kelekatan. Tatkala bayi mampu membina hubungan yang hangat dan
penuh kasih sayang dengan ibu mereka atau pengganti ibu, kesenangan yang
mereka peroleh dari hubungan ini mendorong mereka untuk berusaha membina
hubungan yang bersahabat dengan orang/anak lain.
4) Ketergantungan. Semakin bayi diasuh oleh seseorang, semakin bergantung ia
kepada orang tersebut. Bayi memperlihatkan ketergantungan dengan bergayut
kepada orang yang mengasuhnya, menangis apabila ditinggalkan bersama orang
lain dan menuntut dilayani sekalipun ia mampu melakukannya sendiri.
5) Menerima otoritas. Bayi akan belajar menyesuaikan diri dengan tuntutan orang
yang mempunyai otoritas atas diri mereka, hal itu bergantung pada pengaruh
orang yang mempunyai otoritas untuk memaksakan kehendaknya. Sikap yang
permisif ( memberi kebebasan ) mendorong bayi untuk menolak otoritas.
6) Persaingan. Persaingan berkembang dalam hubungan dengan bayi lain atau anak-
anak. Hal ini terlihat pada bayi yang berusaha merebut mainan atau benda dari
bayi lain bukan karena menghendakinya, tetapi mungkin karena hal itu
menimbulkan kesenangan untuk menyatakan keunggulannya.
7) Mencari perhatian. Pada tahun kedua, bayi berusaha memperoleh perhatian orang
dewasa melalui suara terutama menangis, dengan menarik baju atau memukul
mereka dan dengan melakukan hal-hal yang dilarang. Jika mereka berhasil,
mereka memperlihatkan kepuasan dengan tersenyum atau tertawa.
40
8) Kerja sama sosial. Kerja sama dalam permainan antara bayi dengan orang dewasa
biasanya berhasil karena orang dewasa bersikap memberikan lebih banyak. Kerja
sama sosial dengan teman sebaya biasanya tidak berhasil karena teman sebaya
tidak mau mengalah.
9) Perilaku melawan. Pada pertengahan tahun kedua usia bayi, perilaku melawan
mulai timbul. Hal itu diekspresikan dengan menegangkan badan, menangis atau
menolak untuk patuh. Bila bayi tidak diberi kesempatan untuk bebas, perilaku
melawan biasanya menimbulkan sikap negatif.
Perkembangan sosial pada masa kanak-kanak awal:
1) Kerja sama. Sejumlah kecil anak belajar bermain atau bekerja secara bersama
dengan anak lain sampai mereka berumur 4 tahun. Semakin banyak kesempatan
yang mereka miliki untuk melakukan sesuatu bersama-sama, semakin cepat
mereka belajar melakukannya dengan cara bekerja sama.
2) Persaingan. Jika persaingan merupakan dorongan bagi anak-anak untuk berusaha
sebaik-baiknya, hal itu akan menambah sosialisasi mereka. Jika hal itu
diekspresikan dalam pertengkaran dan kesombongan, akan mengakibatkan
timbulnya sosialisasi yang buruk.
3) Kemurahan hati. Kemurahan hati, sebagaimana terlihat pada kesediaan untuk
berbagi sesuatu dengan anak lain, meningkat dan sikap mementingkan diri
sendiri semakin berkurang setelah anak belajar bahwa kemurahan hati
menghasilkan penerimaan sosial.
4) Hasrat akan penerimaan sosial. Jika hasrat untuk diterima kuat, hal itu
mendorong anak untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan sosial. Hasrat untuk
41
diterima oleh orang dewasa biasanya timbul lebih awal dibandingkan dengan
hasrat untuk diterima oleh teman sebaya.
5) Simpati. Anak kecil tidak mampu berperilaku simpati sampai mereka pernah
mengalami situasi yang mirip dengan duka cita. Mereka mengekspresikan
simpati dengan berusaha menolong atau menghibur seseorang yang sedang
bersedih.
6) Empati. Empati kemampuan meletakkan diri sendiri dalam posisi orang lain dan
menghayati pengalaman orang tersebut. Hal ini hanya berkembang jika anak
dapat memahami ekspresi wajah atau maksud pembicaraan orang lain.
7) Ketergantungan. Ketergantungan terhadap orang lain dalam hal bantuan,
perhatian dan kasih sayang mendorong anak untuk berperilaku dalam cara yang
diterima secara sosial. Anak berjiwa bebas kekurangan motivasi ini.
8) Sikap ramah. Anak kecil memperlihatkan sikap ramah melalui kesediaan
melakukan sesuatu untuk atau bersama anak/orang lain dan dengan
mengekspresikan kasih sayang kepada mereka.
9) Sikap tidak mementingkan diri sendiri. Anak yang mempunyai kesempatan dan
mendapat dorongan untuk membagi apa yang mereka miliki dan yang tidak terus-
menerus menjadi pusat perhatian keluarga, belajar memikirkan orang lain dan
berbuat untuk orang lain dan bukannya hanya memusatkan perhatian pada
kepentingan dan milik mereka sendiri.
10) Meniru. Dengan meniru seseorang yang diterima baik oleh kelompok sosial,
anak-anak mengembangkan sifat yang menambah penerimaan kelompok
terhadap diri mereka.
42
11) Perilaku kelekatan. Dari landasan yang diletakkan pada masa bayi, yaitu tatkala
bayi mengembangkan suatu kelekatan yang hangat dan penuh cinta kasih kepada
ibu atau pengganti ibu, anak kecil mengalihkan pola perilaku ini kepada
anak/orang lain dan belajar membina persahabatan dengan mereka.
Dengan mengetahui aspek-aspek perkembangan anak, orangtua dan pengasuh
bisa merancang dan memberikan rangsangan serta latihan agar keempat aspek
tersebut berkembang secara seimbang. Rangsangan atau latihan tidak bisa terfokus
hanya pada satu atau sebagian aspek. Tentunya, rangsangan dan latihan tersebut
diberikan dengan tetap memperhatikan kesiapan anak, bukan dengan paksaan.
4. Ciri-ciri Perkembangan Anak
Moersintowarti, dkk. (2008) berpendapat, perkembangan terjadi secara
simultan (bersamaan) dengan pertumbuhan. Perkembangan merupakan hasil interksi
kematangan susunan saraf pusat dengan organ yang dipengaruhinya, antara lain
meliputi perkembangan sistem neuromuskuler, bicara, emosi dan sosial. Kesemua
fungsi tersebut berperan penting dalam kehidupan manusia yang utuh. Ciri-ciri
perkembangan:
a. Perkembangan melibatkan perubahan. Karena perkembangan terjadi bersamaan
dengan pertumbuhan, maka setiap pertumbuhan disertai dengan perubahan fungsi.
Perkembangan sistem reproduksi misalnya, disertai dengan perubahan pada organ
kelamin, perkembangan inteligensia menyertai pertumbuhan otak dan serabut saraf.
Perubahan-perubahan ini meliputi perubahan ukuran tubuh secara umum, perubahan
proporsi tubuh, berubahnya ciri-ciri lama dan timbulnya ciri-ciri baru sebagai tanda
kematangan suatu organ tubuh tertentu.
43
b. Perkembangan awal menentukan pertumbuhan selanjutnya. Seseorang tidak akan
bisa melewati satu tahap perkembangan sebelum ia melewati tahapan sebelumnya.
Sebagai contoh, seorang anak tidak akan bisa berjalan sebelum ia bisa berdiri.
Perkembangan awal ini merupakan masa kritis karena akan menentukan
perkembangan selanjutnya.
c. Perkembangan mempunyai pola yang tetap. Perkembangan fungsi organ tubuh
terjadi menurut dua hukum yang tetap, yaitu:
1) Perkembangan terjadi lebih dahulu di daerah kepala, kemudian menuju ke arah
kaudal. Pola ini disebut pola sefalokaudal
2) Perkembangan terjadi lebih dahulu di daerah proksimal (gerakan kasar) lalu
berkembang ke bagian distal seperti jari-jari yang mempunyai kemampuan
dalam gerakan halus. Pola ini disebut pola proksimodistal.
d. Perkembangan memiliki tahap yang berurutan. Tahap ini dilalui seorang anak
mengikuti pola teratur dan berurutan, tahap-tahap tersebut tidak bisa terjadi terbalik,
misalnya anak terlebih dahulu mampu membuat lingkaran sebelum mampu membuat
kotak, berdiri sebelum berjalan dan sebagainya.
e. Perkembangan mempunyai kecepatan yang berbeda. Seperti halnya
pertumbuhan, perkembangan berlangsung dalam kecepatan yang berbeda-beda. Kaki
dan tangan berkembang pesat pada awal masa remaja, sedangkan bagian tubuh yang
lain mungkin berkembang pesat pada masa lainnya.
f. Perkembangan berkorelasi dengan pertumbuhan. Pada saat pertumbuhan
berlangsung cepat, perkembanganpun demikian, terjadi peningkatan mental, ingatan,
daya nalar, asosiasi dan lain-lain.
44
5. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan anak
Papalia, dkk. (2008) berpendapat, perkembangan merupakan sesuatu yang
kompleks dan terdapat berbagai faktor yang dibutuhkan seseorang untuk dapat
berkembang secara normal antara lain :
a. Keturunan
Kualitas genetik yang diwarisi dari orang tua biologis saat pembuahan.
b. Lingkungan
Pengaruh lain banyak berasal dari lingkungan, dimulai dari dalam kandungan,
dan pembelajaran yang didapat dari pengalaman.
c. Kematangan tubuh dan otak
Perbedaan individu akan semakin besar seiring dengan bertambahnya umur
seseorang, banyak perubahan mendasar dalam masa bayi dan anak-awal yang
tampaknya berhubungan langsung dengan kematangan tubuh dan otak, yaitu
terbukanya tahapan alamiah perubahan fisik dan pola perilaku, termasuk
didalamnya kesiapan untuk menguasai satu kemampuan baru seperti berbicara
dan berjalan. Seiring tumbuhnya seorang anak menjadi remaja kemudian dewasa.
Soetjiningsih (1995) berpendapat, faktor penentu kualitas tumbuh kembang
anak adalah faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor lingkungan dibagi menjadi:
a. faktor lingkungan pranatal yang berpengaruh terhadap tumbuh kembang janin
mulai dari konsepsi sampai lahir termasuk gizi ibu pada waktu hamil, faktor mekanis
(trauma dan cairan ketuban kurang, serta posisi janin dalam uterus) dapat
menyebabkan kelainan bawaan pada bayi yang dilahirkan, faktor toksin / zat kimia
sebagai zat teratogenik yang dapat menyebabkan kelainan bawaan, bayi berat badan
lahir rendah, lahir mati, cacat, atau retardasi mental, faktor endokrin seperti hormon
45
plasenta dapat mempengaruhi fungsi nutrisi plasenta, hormon tiroid dapat
mengakibatkan retardasi mental, faktor radiasi dapat menyebabkan cacat bawaan,
faktor infeksi juga dapat mengakibatkan cacat bawaan, faktor stres dapat
menyebabkan cacat bawaan dan kelainan jiwa, faktor imunitas sering menyebabkan
abortus dan lahir mati, faktor anoksia embrio menyebabkan bayi berat badan lahir
rendah.
b. faktor lingkungan post-natal, yang mempengaruhi tumbuh kembang anak secara
umum dapat digolongkan menjadi:
1) Lingkungan biologis,
a) Ras / suku bangsa
Bangsa kulit putih / ras Eropa mempunyai pertumbuhan somatik lebih tinggi
daripada bangsa Asia.
b) Jenis kelamin
Anak laki-laki lebih sering sakit dibandingkan anak perempuan, tetapi belum
diketahui secara pasti mengapa demikian.
c) Umur
Umur paling rawan adalah masa balita, oleh karena pada masa itu anak
mudah sakit dan mudah terjadi kurang gizi. Disamping itu masa balita
merupakan dasar pembentukan kepribadian anak, sehingga diperlukan
perhatian khusus.
d) Gizi
Makanan memegang peranan penting dalam tumbuh kembang anak, dimana
kebutuhan anak berbeda dengan orang dewasa, karena makanan bagi anak
dibutuhkan juga untuk pertumbuhan, dimana dipengaruhi oleh ketahanan
46
makanan keluarga yang mencakup pada ketersediaan makanan dan
pembagian yang adil makanan dalam keluarga, dimana seringkali kepentingan
budaya bertabrakan dengan kepentingan biologis anggota-anggota keluarga.
Satu aspek yang penting yang perlu ditambahkan adalah keamanan pangan
yang mencakup pembebasan makanan dari berbagai racun fisika, kimia dan
biologis, yang dapat mengancam kesehatan manusia.
e) Perawatan kesehatan
Perawatan kesehatan yang teratur, tidak saja kalau anak sakit, tetapi
pemeriksaan kesehatan dan menimbang anak secara rutin setiap bulan, akan
menunjang pada tumbuh kembang anak. Oleh karena itu pemanfaatan fasilitas
pelayanan kesehatan dianjurkan untuk dilakukan secara komprehensif, yang
mencakup aspek-aspek promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif.
f) Kepekaan terhadap penyakit
Dengan memberikan imunisasi, maka diharapkan anak terhindar dari
penyakit-penyakit yang sering menyebabkan cacat atau kematian. Dianjurkan
sebelum anak berumur satu tahun sudah mendapat imunisasi BCG, Polio 3
kali, DPT 3 kali, Hepatitis B 3 kali dan campak.
g) Penyakit kronis
Anak yang menderita penyakit menahun akan terganggu tumbuh kembangnya
dan pendidikannya, disamping itu anak juga mengalami stres yang
berkepanjangan akibat dari penyakitnya.
h) Fungsi metabolisme
47
Khusus pada anak, karena perbedaan yang mendasar dalam proses
metabolisme pada berbagai umur, maka kebutuhan akan berbagai nutrien
harus didasarkan atas perhitungan yang tepat atau setidak-tidaknya memadai.
i) Hormon
Hormon-hormon yang berpengaruh terhadap tumbuh kembang antara lain
adalah: Somatotropin atau hormon pertumbuhan, hormon tiroid,
gukokortikoid, hormon-hormon seks dan insulin like growth factor (IGFs).
2). Faktor fisik antara lain cuaca, musim, keadaan geografis suatu daerah, sanitasi
lingkungan, keadaan rumah, radiasi.
3) Faktor psikososial
a) Stimulasi
Stimulasi merupakan hal yang penting dalam tumbuh kembang anak. Anak
yang mendapat stimulasi yang terarah dan teratur akan lebih cepat
berkembang dibandingkan dengan anak yang kurang / tidak mendapat
stimulasi.
b) Motivasi belajar
Motivasi belajar dapat ditimbulkan sejak dini, dengan memberikan
lingkungan yang kondusif untuk belajar, misalnya adanya sekolah yang tidak
terlalu jauh, buku-buku, suasana yang tenang serta sarana lainnya.
c) Ganjaran atau hukuman yang wajar
Kalau anak berbuat benar, maka wajib kita memberi pujian, ciuman, belaian,
tepuk tangan dan sebagainya. Kalau anak berbuat salah dapat diberikan
hukuman yang diberikan secara obyektif, disertai pengertian dan maksud dari
hukuman tersebut, bukan hukuman untuk melampiaskan kebencian dan
48
kejengkelan terhadap anak. Sehingga anak tahu mana yang baik dan yang
tidak baik, akibatnya akan menimbulkan rasa percaya diri pada anak yang
penting untuk perkembangan kepribadian anak kelak kemudian hari.
d) Kelompok sebaya
Untuk proses sosialisasi dengan lingkungannya, anak memerlukan teman
sebaya. Tetapi perhatian dari orang tua tetap dibutuhkan untuk memantau
dengan siapa anak tersebut bergaul. Khususnya bagi remaja, aspek
lingkungan teman sebaya menjadi sangat penting dengan makin
meningkatnya kasus-kasus penyalahgunaan obat-obat atau narkotika.
e) Stres
Stres pada anak juga berpengaruh terhadap tumbuh kembangnya, misalnya
anak akan menarik diri, rendah diri, terlambat bicara, nafsu makan menurun
dan sebagainya.
f) Sekolah
Dengan adanya wajib belajar 9 tahun sekarang ini, diharapkan setiap anak
mendapat kesempatan duduk di bangku sekolah minimal 9 tahun. Yang
menjadi masalah sosial saat ini adalah masih banyaknya anak-anak yang
terpaksa meninggalkan bangku sekolah karena harus membantu mencari
nafkah untuk keluarganya.
g) Cinta dan kasih sayang
Salah satu hak anak untuk dicintai dan dilindungi. Anak memerlukan kasih
sayang dan perlakuan yang adil dari orang tuanya. Agar kelak kemudian hari
menjadi anak yang tidak sombong dan bisa memberikan kasih sayang pula
kepada sesamanya. Sebaliknya kasih sayang yang diberikan secara berlebihan
49
yang menjurus kearah memanjakan, akan menghambat bahkan mematikan
perkembangan kepribadian anak. Akibatnya anak akan menjadi manja, kurang
mandiri, pemboros, sombong dan kurang bisa menerima kenyataan.
h) Kualitas interaksi anak-orang tua.
Interaksi timbal balik antara anak dan orang tua, akan menimbulkan
keakraban dalam keluarga. Anak akan terbuka kepada orang tuanya sehingga
komunikasi bisa dua arah dan segala permasalahan dapat dipecahkan bersama
karena adanya keterdekatan dan kepercayaan antara orang tua dan anak.
Interaksi tidak ditentukan oleh seberapa lama kita bersama anak. Tetapi lebih
ditentukan oleh kualitas dari interaksi tersebut yaitu pemahaman terhadap
kebutuhan masing-masing dan upaya optimal untuk memenuhi kebutuhan
tersebut yang dilandasi oleh rasa saling menyayangi.
4) Faktor keluarga dan adat istiadat
a) Pekerjaan / pendapatan keluarga
Pendapatan keluarga yang memadai akan menunjang tumbuh kembang anak,
karena orang tua dapat menyediakan semua kebutuhan anak baik yang primer
maupun yang sekunder. Kesimpulan dari ahli sosiologis di negara Swedia
bahwa fakta yang terjadi pada anak dan bayi dengan ibu yang bekerja diluar
rumah serta tidak sepenuhnya konsentrasi sebagai ibu rumah tangga dapat
mempengaruhi perkembangan kognitif, kesehatan fisik serta perkembangan
sosial emosional anak.
b) Pendidikan ayah / ibu
Pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang penting dalam
tumbuh kembang anak. Karena dengan pendidikan yang baik, maka orang tua
50
dapat menerima segala informasi dari luar terutama tentang cara pengasuhan
anak yang baik, bagaimana menjaga kesehatan anak, pendidikannya dan
sebagainya.
c) Jumlah saudara.
Jumlah anak yang banyak pada keluarga yang keadaan sosial ekonominya
cukup, akan mengakibatkan berkurangnya perhatian dan kasih sayang yang
diterima anak. Lebih-lebih kalau jarak anak terlalu dekat. Sedangkan pada
keluarga dengan keadaan sosial ekonomi yang kurang, jumlah anak yang
banyak akan mengakibatkan selain kurangnya kasih sayang dan perhatian
pada anak, juga kebutuhan primer seperti makanan, sandang dan perumahan
pun tidak terpenuhi. Oleh karena itu Keluarga Berencana tetap diperlukan.
d) Jenis kelamin dalam keluarga.
Pada masyarakat tradisional, wanita mempunyai status yang lebih rendah
dibandingkan laki-laki, sehingga angka kematian bayi dan malnutrisi masih
tinggi pada wanita. Demikian pula dengan pendidikan, masih banyak
ditemukan wanita yang buta huruf.
e) Stabilitas rumah tangga.
Stabilitas dan keharmonisan rumah tangga mempengaruhi tumbuh kembang
anak. Tumbuh kembang anak akan berbeda pada keluarga yang harmonis,
dibandingkan dengan mereka yang kurang harmonis.
f) Kepribadian ayah / ibu.
Kepribadian ayah dan ibu yang terbuka tentu pengaruhnya berbeda terhadap
tumbuh kembang anak, bila dibandingkan dengan mereka yang
kepribadiannya tertutup.
51
g) Adat-istiadat, norma-norma.
Adat-istiadat yang berlaku di tiap daerah akan berpengaruh terhadap tumbuh
kembang anak. Misalnya di Bali karena seringnya upacara agama diadakan
oleh suatu keluarga, dimana harus disediakan berbagai makanan dan buah-
buahan, maka sangat jarang terdapat anak yang gizi buruk karena makanan
maupun buah-buahan, maka sangat jarang terdapat anak yang gizi buruk
karena makanan maupun buah-buahan tersebut akan dimakan bersama setelah
selesai upacara. Demikian pula dengan norma-norma maupun tabu-tabu yang
berlaku di masyarakat, berpengaruh pula terhadap tumbuh kembang anak.
h) Agama.
Pengajaran agama harus sudah ditanamkan pada anak-anak sedini mungkin,
karena dengan memahami agama akan menuntun umatnya untuk berbuat
kebaikan dan kebajikan.
i) Urbanisasi.
Salah satu dampak dari urbanisasi adalah kemiskinan dengan segala
permasalahannya.
j) Kehidupan politik dalam masyarakat yang mempengaruhi prioritas
kepentingan anak, anggaran, dan lain-lain .
Hurlock (1978) berpendapat, lingkungan tempat anak hidup selama tahun-
tahun pembentukan awal hidupnya mempunyai pengaruh kuat pada kemampuan
bawaan mereka. Terdapat enam faktor lingkungan yang sangat penting, diantaranya:
a. Hubungan antar pribadi yang menyenangkan.
Hubungan dengan masyarakat yang menyenangkan, terutama dengan anggota
keluarga, akan mendorong anak mengembangkan kecenderungan menjadi
52
terbuka dan menjadi lebih berorientasi kepada orang lain, karakteristik yang
mengarah ke penyesuaian pribadi dan sosial yang baik.
b. Keadaan Emosi.
Ketiadaan hubungan emosional akibat penolakan anggota keluarga atau
perpisahan dengan orang tua, seringkali menimbulkan gangguan kepribadian.
Sebaliknya pemuasan emosional mendorong perkembangan kepribadian.
c. Metode Melatih Anak.
Anak-anak yang dibesarkan orang tua yang permisif ketika besar cenderung
kehilangan rasa tanggung jawab, mempunyai kendali emosional yang buruk, dan
sering berprestasi rendah dalam melakukan sesuatu. Mereka yang dibebaskan
oleh orang tua yang demokratik atau sedikit otoriter penyesuaian pribadi dan
sosialnya lebih baik.
d. Peran yang dini.
Anak pertama yang seringkali diharapkan bertanggung jawab di rumah dan
menjaga anak yang lebih kecil, dapat mempunyai kepercayaan diri yang lebih
besar daripada saudaranya yang lahir sesudahnya tetapi mungkin juga
mempunyai kecenderungan untuk mengembangkan kebiasaan memerintah
sepanjang hidupnya.
e. Struktur keluarga di masa kanak-kanak.
Seorang anak yang berasal dari sebuah keluarga yang besar, sikap dan
perilakunya cenderung otoriter, sedangkan yang berasal dari keluarga yang
bercerai atau berpisah menjadi anak yang cemas, tidak mudah percaya, dan
sedikit kaku.
f. Rangsangan Lingkungan.
53
Lingkungan yang merangsang merupakan salah satu pendorong perkembangan
kemampuan anak yang diturunkan. Bercakap-cakap dengan bayi atau
menunjukkan gambar cerita pada seorang anak pra sekolah mendorong minat
dalam belajar berbicara dan keinginan untuk membaca. Lingkungan yang
merangsang mendorong perkembangan fisik dan mental yang baik, sedangkan
lingkungan yang tidak merangsang menyebabkan perkembangan anak di bawah
kemampuannya.
Pendapat Hurlock (1978), terdapat beberapa kondisi yang mempengaruhi laju
perkembangan motorik, antara lain:
a. Sifat dasar genetik, termasuk bentuk tubuh dan kecerdasan mempunyai pengaruh
yang menonjol terhadap laju perkembangan motorik.
b. Seandainya dalam awal kehidupan pasca lahir tidak ada hambatan kondisi
lingkungan yang tidak menguntungkan, semakin aktif janin semakin cepat
perkembangan motorik anak.
c. Kondisi pra lahir yang menyenangkan, khususnya gizi makanan sang ibu, lebih
mendorong perkembangan motorik yang lebih cepat pada masa pasca lahir.
d. Kelahiran yang sukar, khususnya apabila ada kerusakan pada otak akan
memperlambat perkembangan motorik.
e. Seandainya tidak ada gangguan lingkungan, maka kesehatan dan gizi yang baik
selama awal kehidupan pasca lahir akan mempercepat perkembangan motorik.
f. Anak yang IQ-nya tinggi menunjukkan perkembangan yang lebih cepat
daripada anak yang IQ-nya normal atau di bawah normal.
g. Adanya rangsangan, dorongan dan kesempatan untuk menggerakkan semua
bagian tubuh akan mempercepat perkembangan motorik.
54
h. Perlindungan yang berlebihan akan melumpuhkan kesiapan berkembangnya
kemampuan motorik.
i. Karena rangsangan dan dorongan yang lebih banyak dari orang tua, maka
perkembangan motorik anak yang pertama cenderung lebih baik daripada
perkembangan motorik anak yang lahir kemudian.
j. Kelahiran sebelum waktunya biasanya memperlambat perkembangan motorik
karena tingkat perkembangan motorik pada waktu lahir berada di bawah tingkat
perkembangan bayi yang lahir tepat waktunya.
k. Cacat fisik, seperti kebutaan akan memperlambat perkembangan motorik.
l. Dalam perkembangan motorik, perbedaan jenis kelamin, warna kulit dan sosial
ekonomi lebih banyak disebabkan oleh perbedaan motivasi dan metode pelatihan
anak daripada karena perbedaan bawaan.
Hurlock (1978) berpendapat, terdapat kondisi yang menimbulkan perbedaan
dalam belajar berbicara, antara lain:
a. Kesehatan
Anak yang sehat, lebih cepat belajar berbicara daripada anak yang tidak sehat,
karena motivasinya lebih kuat untuk menjadi anggota kelompok sosial dan
berkomunikasi dengan anggota kelompok tersebut.
b. Kecerdasan
Anak yang memiliki kecerdasan tinggi, belajar berbicara lebih cepat dan
memperlihatkan penguasaan bahasa yang lebih unggul daripada anak yang
tingkat kecerdasannya rendah.
c. Keadaan sosial ekonomi
55
Anak dari kelompok dengan keadaan sosial ekonominya tinggi lebih mudah
belajar berbicara, mengungkapkan dirinya lebih baik, dan lebih banyak bicara
daripada anak dari kelompok dengan keadaan sosial ekonominya lebih rendah.
Penyebab utamanya adalah bahwa anak dari kelompok yang lebih tinggi, lebih
banyak didorong untuk berbicara dan lebih banyak dibimbing melakukannya.
d. Jenis kelamin
Dibandingkan dengan anak perempuan, anak laki-laki tertinggal dalam belajar
berbicara. Pada setiap jenjang umur, kalimat anak laki-laki lebih pendek dan
kurang betul tata bahasanya, kosa kata yang diucapkan lebih sedikit dan
pengucapannya kurang tepat daripada anak perempuan.
e. Keinginan berkomunikasi
Semakin kuat keinginan untuk berkomunikasi dengan orang lain semakin kuat
motivasi anak untuk belajar berbicara dan semakin bersedia menyisihkan waktu
dan usaha yang diperlukan untuk belajar.
f. Dorongan
Semakin banyak anak didorong untuk berbicara dengan mengajaknya bicara dan
didorong menanggapinya, akan semakin awal mereka belajar berbicara dan
semakin baik kualitas bicaranya.
g. Ukuran keluarga
Anak tunggal atau anak dari keluarga kecil biasanya berbicara lebih awal dan
lebih baik daripada anak dari keluarga besar, karena orang tua dapat menyisihkan
waktu yang lebih banyak untuk mengajar anaknya berbicara.
h. Urutan kelahiran
56
Dalam keluarga yang sama, anak pertama lebih unggul daripada anak yang lahir
kemudian. Ini karena orang tua dapat menyisihkan waktunya yang lebih banyak
untuk mengajar dan mendorong anak yang lahir pertama dalam belajar berbicara
daripada untuk anak yang lahir kemudian.
i. Metode pelatihan anak
Anak-anak dilatih secara otoriter yang menekankan bahwa ”anak harus dilihat
dan bukan didengar” merupakan hambatan belajar, sedangkan pelatihan yang
memberikan keleluasaan dan demokratis akan mendorong anak untuk belajar.
j. Kelahiran kembar
Anak yang lahir kembar umumnya terlambat dalam perkembangan bicaranya
terutama karena mereka lebih banyak bergaul dengan saudara kembarnya dan
hanya memahami logat khusus yang mereka miliki. Ini melemahkan motivasi
mereka untuk belajar berbicara agar orang lain dapat memahami mereka.
k. Hubungan dengan teman sebaya
Semakin banyak hubungan anak dengan teman sebayanya dan semakin besar
keinginan mereka untuk diterima sebagai anggota kelompok sebaya, akan
semakin kuat motivasi mereka untuk belajar berbicara.
l. Kepribadian
Anak yang dapat meyesuaikan diri dengan baik cenderung kemampuan bicaranya
lebih baik, baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif, daripada anak yang
penyesuaian dirinya jelek. Kenyataannya, bicara seringkali dipandang sebagai
salah satu petunjuk anak yang sehat mental.
Pendapat Hurlock (1978), terdapat kondisi yang ikut mempengaruhi emosi
dominan, antara lain:
57
a. Kondisi kesehatan
Kesehatan yang baik mendorong emosi yang menyenangkan menjadi dominan,
sedangkan kesehatan yang buruk menyebabkan emosi yang tidak menyenangkan
menjadi dominan.
b. Suasana rumah
Jika anak-anak tumbuh dalam lingkungan rumah yang lebih banyak berisi
kebahagiaan dan apabila pertengkaran, kecemburuan, dendam dan perasaan lain
yang tidak menyenangkan diusahakan sesedikit mungkin, maka anak akan lebih
banyak mempunyai kesempatan untuk menjadi anak yang bahagia.
c. Cara mendidik anak
Mendidik anak secara otoriter, yang menggunakan metode hukuman untuk
memperkuat kepatuhan secara ketat, akan mendorong emosi yang tidak
menyenangkan menjadi dominan. Cara mendidik anak yang bersifat demokratis
dan permisif akan menimbulkan suasana rumah yang lebih santai yang akan
menunjang bagi ekspresi emosi yang menyenangkan.
d. Hubungan dengan para anggota keluarga
Hubungan yang tidak rukun dengan orang tua atau saudara akan lebih banyak
menimbulkan kemarahan dan kecemburuan sehingga emosi ini akan cenderung
menguasai kehidupan anak di rumah.
e. Hubungan dengan teman sebaya
Jika anak diterima dengan baik oleh kelompok teman sebaya maka emosi yang
menyenangkan akan menjadi dominan padanya, sedangkan jika anak ditolak atau
diabaikan oleh kelompok teman sebaya maka emosi yang tidak menyenangkan
akan menjadi dominan padanya.
58
f. Perlindungan yang berlebih-lebihan
Orang tua yang melindungi anak secara berlebihan, yang hidup dalam prasangka
bahaya terhadap segala sesuatu, akan menimbulkan rasa takut pada anak menjadi
dominan.
g. Aspirasi orang tua
Jika orang tua mempunyai aspirasi tinggi yang tidak realistis bagi anak-anaknya,
anak akan menjadi malu, canggung dan merasa bersalah bila mereka menyadari
kritik orang tua bahwa mereka tidak dapat memenuhi harapan tersebut.
Pengalaman semacam ini yang terjadi berulang kali dengan segera akan
menyebabkan emosi yang tidak menyenangkan menjadi dominan dalam
kehidupan anak.
h. Bimbingan
Bimbingan dengan titik berat pada penanaman pengertian bahwa mengalami
frustasi diperlukan sekali-kali dapat mencegah kemarahan, kebencian menjadi
emosi yang dominan. Tanpa bimbingan semacam ini, emosi tersebut akan
menjadi dominan terutama apabila frustasi yang dialami dirasakan tidak adil bagi
seorang anak.
Hurlock E.B.(1978) berpendapat, faktor yang ikut mempengaruhi perbedaan
pengaruh kelompok sosial, antara lain:
a. Kemampuan untuk dapat diterima kelompok
Anak-anak yang populer dan melihat kemungkinan memperoleh penerimaan
kelompok lebih dipengaruhi kelompok dan kurang dipengaruhi keluarga
dibandingkan dengan anak-anak yang pergaulannya dengan kelompok tidak
begitu akrab. Anak-anak yang hanya melihat adanya kesempatan kecil untuk
59
dapat diterima kelompok mempunyai motivasi yang kecil pula untuk
menyesuaikan diri dengan standar kelompok.
b. Keamanan karena status dalam kelompok
Anak-anak yang merasa aman di dalam kelompok akan merasa bebas
mengekspresikan ketidakcocokan mereka dengan pendapat anggota lainnya.
Sebaliknya mereka yang merasa tidak aman akan menyesuaikan diri sebaik
mungkin dan akan mengikuti anggota lainnya.
c. Tipe kelompok
Pengaruh kelompok berasal dari jarak sosial yaitu derajat hubungan kasih sayang
di antara para anggota kelompok. Pada kelompok primer (antara lain keluarga
atau kelompok teman sebaya) ikatan hubungan dalam kelompok lebih kuat
dibandingkan dengan pada kelompok sekunder (antara lain kelompok bermain
yang diorganisasikan atau perkumpulan sosial) atau pada kelompok tersier
(antara lain orang-orang yang berhubungan dengan anak di dalam bus, kereta api
dan sebagainya). Akibatnya kelompok primer mempunyai pengaruh terkuat
terhadap anak-anak.
d. Perbedaan keanggotaan dalam kelompok
Dalam sebuh kelompok, pengaruh terbesar biasanya timbul dari pemimpin
kelompok dan pengaruh yang terkecil berasal dari anggota yang paling tidak
populer.
e. Kepribadian
Anak-anak yang merasa tidak mampu atau rendah diri lebih banyak dipengaruhi
oleh kelompok dibandingkan dengan mereka yang memiliki kepercayaan pada
diri sendiri yang besar dan yang lebih menerima diri sendiri. Anak dengan pola
60
kepribadian otoriter paling dipengaruhi kelompok karena mereka selalu merasa
takut kalau-kalau tidak disukai teman sebaya.
f. Motif menggabungkan diri
Semakin kuat motif anak-anak untuk menggabungkan diri yaitu keinginan untuk
diterima, semakin rentan mereka terhadap pengaruh anggota lainnya, terutama
pengaruh dari mereka yang mempunyai status tinggi dalam kelompok. Semakin
menarik kelompok itu bagi anak-anak, semakin ingin mereka diterima dan
bersedia dipengaruhi oleh kelompok tersebut.
6. Kebutuhan Dasar Anak
Moersintowarti, dkk. (2008) berpendapat, kebutuhan dasar anak untuk tumbuh
kembang secara umum digolongkan menjadi 3 kebutuhan dasar:
a. Kebutuhan fisik-biomedis ( ASUH )
1) Nutrisi yang adekuat dan seimbang. Merupakan kebutuhan akan “asuh” yang
terpenting. Nutrisi adalah termasuk pembangun tubuh yang mempunyai
pengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan, terutama pada tahun-
tahun pertama kehidupan diamana anak sedang mengalami pertumbuhan yang
sangat pesat terutama pertumbuhan otak. Keberhasilan perkembangan anak
ditentukan oleh keberhasilan pertumbuhan dan perkembangan otak. Jadi dapat
dikatakan bahwa nutrisi, selain mempengaruhi pertumbuhan, juga
mempengaruhi perkembangan otak.
2) Perawatan Kesehatan Dasar
61
a) Pemberian imunisasi pada anak adalah penting untuk mengurangi
morbiditas dan mortalitas terhadap penyakit-penyakit yang bisa dicegah
dengan imunisasi.
b) Pengobatan bila anak sakit. Anak yang sehat pada umumnya akan tumbuh
dengan baik.
3) Pakaian
Pakaian yang layak, bersih dan aman (tidak mudah terbakar, tanpa pernik-
pernik yang mudah menyebabkan anak kemasukan benda asing)
4) Perumahan.
Keadaan perumahan yang layak dengan konstruksi bangunan yang tidak
membahayakan penghuninya, akan menjamin keselamatan dan kesehatan
penghuninya. Misalnya ventilasi dan pencahayaan yang cukup, tidak penuh
sesak, cukup leluasa untuk anak bermain, bebas polusi, maka akan menjamin
tumbuh kembang anak.
5) Higiene diri dan sanitasi lingkungan.
Kebersihan, baik kebersihan diri maupun lingkungan memegang peranan
penting pada tumbuh kembang anak. Kebersihan perorangan yang kurang
akan memudahkan terjadinya penyakit-penyakit kulit dan saluran pencernaan
seperti diare, cacing, dll. Sedangkan kebersihan lingkungan erat hubungannya
dengan penyakit saluran pernapasan, saluran pencernaan, serta penyakit
akibat nyamuk.
6) Kesegaran jasmani : olah raga, rekreasi.
b. Kebutuhan emosi / kasih sayang (ASIH)
1) Kasih sayang orang tua.
62
Kasih sayang orang tua yang hidup rukun berbahagia dan sejahtera yang
memberi bimbingan, perlindungan, perasaan aman kepada anak merupakan
salah satu kebutuhann yang diperluan anak untuk tumbuh dan berkembang
seoptimal mungkin. Bayi yang normal biasanya akan mulai menampakkan
rasa cemas bila ditinggalkan ibunya pada umur antar 7 sampai 9 bulan.
Hubungan antar ibu dan anak pada dua tahun pertama dalam kehidupan si
anak harus cukup memberikan kepercayaan pada si anak, akan tetapi bila
berlebihan dapat menyebabkan anak menjadi manja. Bila seorang ibu oleh
karena bekerja harus meninggalkan anaknya, maka hal ini tidak akan
mengakibatkan kelainan pada anak asal si ibu setiap hari masih dapat bertemu
dan bergaul dengan si anak dalam waktu-waktu tertentu. Bila si ibu harus
berpisah dalam waktu yang lama, diperlukan seorang pengasuh / substitusi
ibu yang tetap.
2) Rasa Aman
Seorang anak akan merasa diterima oleh orang tuanya bila ia merasa bahwa
kepentingannya diperhatikan serta merasa ada hubungan yang erat antara ia
dan keluarganya.
3) Harga Diri
Setiap anak ingin merasa bahwa ia mempunyai tempat dalam keluarga,
keinginannya diperhatikan, apa yang dikatakannya ingin didengar orang tua,
tidak diacuhkan.
4) Kebutuhan akan sukses
Setiap anak ingin merasa bahwa apa yang diharapkan daripadanya dapat
dilakukannya, dan ia merasa sukses mencapai sesuatu yang diinginkan orang
63
tua. Janganlah anak dipaksa melakukan sesuatu diluar kemampuannya. Oleh
karena besar kemungkinan ia gagal. Jika kegagalan terjadi berulang-ulang, ia
akan merasa kecewa dan akhirnya merasa kehilangan kepercayaan dirinya. Ia
akan merasa rendah diri dari pergaulan dengan teman-temannya.
5) Mandiri
Kemandirian pada anak hendaknya selalu didasarkan pada perkembangan
anak. Apabila orang tua masih menuntut anaknya mandiri melampaui
kemampuannya, maka anak dapat menjadi tertekan. Anak masih perlu
bantuan untuk belajar mandiri, belajar untuk memahami persoalan,
memahami apa yang harus diperhatikan dan kesemuanya itu memerlukan
waktu.
6) Dorongan
Anak membutuhkan dorongan dari orang-orang sekelilingnya apabila tidak
mampu menghadapi situasi/masalah. Tentu saja dorongan yang diberikan
bukan merupakann bantuan yang seutuhnya sehingga anak tinggal menerima
jadi, tetapi dapat berupa langkah-langkah yang dapat diambil memberi
semangat bahwa dia dahulu dapat mengatasi dengan baik, dan sebagainya.
Dengan demikian anak merasa dapat dorongan dan mempunyai semangat
untuk menghadapi situasi-situasi atau masalah.
7) Kebutuhan mendapatkan kesempatan dan pengalaman
Anak-anak membutuhkan dorongan orang tua dan orang-orang
disekelilingnya dengan diberikan kesempatan dan pengalaman dapat
mengembangkan sifat-sifat bawaannya. Apabila anak menerima hasil tanpa
64
usaha, anak justru tidak senang. Dia ingin diberi kesempatan menunjukkan
kemampuan dan ingin mempunyai pengalaman.
8) Rasa memiliki
Kebutuhan anak akan rasa memiliki sesuatu (betapapun kecilnya) harus
diperhatikan. Semua benda-benda miliknya yang dianggap berharga harus
dapat dia miliki sendiri (bagi orang tua barang-barang tersebut tidak berharga
sama sekali). Orang tua harus dapat memberikan rasa memiliki pada anak.
Penghargaan orang tua pada benda milik anak sangat diperlukan anak.
Ikatan ibu-anak yang erat, mesra, selaras, seawal dan sepermanen
mungkin sangatlah penting karena:
1) Turut menentukan perilaku anak di kemudian hari
2) Merangsang perkembangan otak anak
3) Merangsang perhatian anak kepada dunia luar.
Pemenuhan kebutuhan emosi (asih) ini dapat dilakukan sedini-seawal
mungkin yaitu dengan mendekapkan bayi pada ibunya sesegera mungkin setelah
lahir. Keadaan ini akan menimbulkan kontak fisis (kontak kulit) dan psikis
(kontak mata) sedini mungkin. Bahkan dimasa pranatal pun kebutuhan emosi
anak (janin) seharusnya sudah harus dipenuhi yaitu dengan mengupayakan agar
kehamilannya merupakan kehamilan yang diinginkan, sewaktu hamil ibu
berbicara dengan bayi yang dikandungnya.
c. Kebutuhan akan stimulasi mental (ASAH)
Merupakan cikal bakal proses pembelajaran anak : pendidikan dan
pelatihan. Yang dimaksud dengan stimulasi di sini adalah perangsangan yang
datang dari lingkungan luar anak antara lain berupa latihan atau bermain.
65
Stimulasi merupakan hal yang sangat penting dalam tumbuh kembang anak.
Anak yang banyak mendapat stimulasi yang terarah akan cepat berkembang
dibandingkan dengan anak yang kurang atau bahkan tidak mendapat stimulasi.
Stimulasi juga dapat berfungsi sebagai penguat yang bermanfaat bagi
perkembangan anak. Stimulasi harus dilaksanakan dengan penuh perhatian dan
kasih sayang. Bermain, mengajak anak berbicara (komunikasi verbal) dengan
penuh kasih sayang adalah hal yang penting bagi perkembangan anak, seperti
halnya kebutuhan makanan untuk pertumbuhan badan. Bermain bagi anak tidak
hanya sekedar mengisi waktu luang anak saja, tetapi melalui bermain anak bisa
belajar mengendalikan dan mengkoordinasikan otot-ototnya melibatkan perasaan,
emosi dan pikiran.
Dengan demikian melalui bermain anak mendapat berbagai pengalaman
hidup. Manfaat lain dari bermain apabila dilakukan bersama orang tuanya adalah
hubungan orang tua dan anak menjadi semakin akrab dan juga orang tua akan
mengetahui sejak dini kalau anaknya mengalami gangguan perkembangan. Agar
dapat bermain, diperlukan pula tersedianya alat permainan edukatif dan kreatif
yang layak sesuai dengan kematangan mental anak. Stimulasi mental ini
diperlukan seawal dan sedini mungkin, terutama sampai 4 – 5 tahun pertama
setelah lahir. Bahkan sewaktu dalam kandungan, asah ini sudah diperlukan. Hal
ini dapat dilakukan dengan berbicara pada anak dalam kandungan serta
memperdengarkan jenis-jenis musik klasik yang untuk merangsang hemisfer
(belahan) otak kanan. Setelah lahir stimulasi mental sudah dapat diberikan
dengan sedini mungkin (setelah bayi dibersihkan) menetekkan bayi pada ibunya.
Tindakan ini pada bayi akan asah yang akan menyempurnakan refleks
66
menghisap, refleks menelan dan refleks menemukan puting susu. Karena asah ini
diperlukan sedini mungkin (sampai 4 – 5 tahun setelah lahir) maka periode ini
sering disebut sebagai tahun-tahun keemasan (golden years). Stimulasi mental
akan menunjang perkembangan mental-psikososial antara lain: sifat agamis,
moral, etika, budi luhur, kepribadian mantap, kecerdasan (kognitif, emosi-sosial,
spiritual dan sebagainya), kemandirian, kreativitas, ketrampilan, produktivitas
dan sebagainya.
7. Cara Penilaian Perkembangan Anak Balita
Soetjiningsih (1995) berpendapat, cara penilaian perkembangan anak balita,
antara lain :
a. Tes Intelegensia Stanford-Binet (The Stanford-Binet Test). Test ini merupakan tes
yang tertua dan digunakan secara luas di hampir semua tempat. Test ini digunakan
mulai umur 2 tahun sampai dewasa. Walaupun sebagian besar terdiri dari unsur-unsur
verbal, maka tes ini tidak bermanfaat untuk anak dengan gangguan bahasa dan bicara,
serta tidak dapat menjelaskan anak yang mengalami kesulitan belajar. Nilai yang
didapat dati test ini adalah IQ dan umur mental. Pada test ini juga terdapat beberapa
skema yang secara mandiri digunakan untuk menganalisis kekuatan dan keterbatasan
seorang anak, tetapi karena distribusi berbagai jenis soal tidak merata, maka
mengakibatkan pemeriksaaan jawaban menjadi sulit. Untuk anak yang buta digunakan
modifikasi tes Binet, yaitu tes Hayes-Binet dan tes Perkins-Binet.
b. Skala Intelegensi Wechsler untuk anak prasekolah dan sekolah. The Wechsler
Intelligence Scale for children (WPPSI), dipakai setelah Davit Wechsler
menggunakan tes ini secara luas pada anak-anak yang lebih besar dan dewasa,
67
kemudian mengembangkan untuk anak-anak prasekolah (umur 4-6½ tahun). WPPSI
mempunyai 11 sub-tes dibagi menjadi skala verbal dan performance, dengan nilai IQ
yang menggambarkan keseluruhan penilaian hasil tes. Walaupun memerlukan waktu
yang cukup lama untuk melaksanakan tes ini, tes ini memberikan informasi diagnostik
yang berguna untuk penilaian anak yang mengalami kesulitan belajar dan retardasi
mental.
c. Skala Perkembangan menurut Gesel (Gesell Infant Scale). Skala perkembangan
metode Arnold Gesell bertujuan untuk menentukan tahap kematangan dan
kelengkapan kegiatan suatu sistem yang sedang berkembang. Skala Gesell
berdasarkan pengalaman selama bertahun-tahun terhadap anak normal, agak normal
dan anak dengan masalah. Skala Gesell menggambarkan taraf kematangan dari
bidang-bidang terpenting dari perilaku seorang anak. Gesell tidak hanya meninjau
dari aspek diagnostik, tetapi juga aspek prognosis dan kemungkinan pengobatannya.
Skala ini di terbitkan pertama kali pada tahun 1925 dan dapat digunakan dari umur 4
minggu sampai 6 tahun. Dalam tahun pertama pembagian tahapan perkembangan
anak tiap 4 minggu, tahun kedua tiap 3 bulan dan selanjutnya tiap 6 bulan. Karena
perkembangan bayi pada satu tahun pertama jauh lebih pesat dibandingkan dengan
perkembangan anak yang lebih besar.
Dalam skala Gesell dibagi menurut 4 pengelompokan yang dianggap sebagai
perilaku utama, yaitu:
1) Perilaku motorik (motorik behavior), termasuk motorik halus dan kasar.
2) Perilaku adaptif (adaptive behavior), adalah penyesuaian terhadap objek dengan
alat sensorimotorik, maupun penyesuaian terhadap masalah-masalah biasa.
68
3) Perilaku bahasa (language behavior), tidak saja menyangkut bahasa yang
diucapkan, tetapi juga ekspresi wajah dan sikap-sikap yang berkaitan.
4) Perilaku sosial (personal social behavior), adalah reaksi pribadi anak terhadap
lingkungan sosial di mana anak itu hidup.
Pada pelaksanaan pemeriksaan dengan metode Gesell dipakai alat yang dikenal
dengan kotak Gesell. Keuntungan pemakaian skala Gesell adalah ciri-ciri perilaku
yang dipakai telah dikembangkan dalam rangka pemeriksaan diagnostik
perkembangan, di mana ciri-ciri perilaku tersebut bersifat menyeluruh dan
mempergunakan kriteria somatik dan fisiologis. Dalam diagnostik perkembangan
Gesell, bentuk perilaku anak berdasarkan derajat maturitas dan hasilnya dinyatakan
sebagai koefisien perkembangan, yaitu:
Koefisien perkembangan (KP) = Umur maturitas x 100
Umur kronologis
d. Skala Bayley (Bayley Infant Scale of Development). Skala ini dibuat untuk anak
umur 8 minggu sampai 30 bulan (2½ tahun). Tujuan dari program diagnostik
perkembangan ini adalah untuk menentukan kemampuan perkembangan mental dan
motorik seorang anak dan mencari penyimpangan dari perkembangan yang normal.
Skala Bayley dibagi dalam 3 bagian yang saling melengkapi, yaitu:
1) Skala perkembangan mental (Mental Scale)
2) Skala perkembangan motorik (Motoric scale)
3) Rekaman perilaku anak (Infant behavior record)
Untuk perkembangan skala mental, dihitung indeks perkembangan mental
(Mental development index). Untuk perkembangan motorik, dihitung indeks
perkembangan psikomotorik (Psychomotor Development Index). Sedangkan untuk
69
perilaku anak, dipakai sebuah tabel yang menunjukkan persentase angka-angka dari
tiap penggolongan perilaku anak. Persentase ini diperoleh dari hasil uji coba pada
anak-anak. Dengan cara ini dapat diketahui apakah seorang anak menunjukkan
perilaku yang sesuai atau tidak sesuai dengan suatu standar. Hasil penggunaan skala
Bayley hanya memberi petunjuk, apakah bayi atau anak yang diperiksa itu
perkembangannya lebih atau kurang dari normal. Hasil tersebut tidak memberikan
pegangan yang nyata untuk dimulainya suatu terapi menurut bidang fungsi tertentu.
e. Diagnostik perkembangan fungsi Munchen tahun pertama. Aspek perkembangan
yang dinilai adalah:
1) Umur merangkak : sebagai ukuran perkembangan merangkak dan
merayap.
2) Umur duduk : sebagai ukuran perkembangan duduk
3) Umur berjalan : sebagai ukuran perkembangan berdiri dan
berjalan.
4) Umur memegang : sebagai ukuran perkembangan memegang.
5) Umur berbicara : sebagai ukuran perkembangan ungkapan vokal
dan fungsi bicara.
6) Umur pengertian bahasa : sebagai ukuran perkembangan pengertian
bahasa
7) Umur sosialisasi : sebagai ukuran perkembangan perilaku sosial
Umur bayi prematur adalah umur post natal kronologis yang sudah terkoreksi.
Misalnya umur kronologis bayi 6 bulan, tetapi bayi tersebut lahir pada kehamilan 8
bulan, berarti 1 bulan lebih cepat, maka pada pencatatan bayi tersebut disesuaikan
70
dengan bayi 6 bulan – 1 bulan = 5 bulan. Persyaratan untuk diagnostik perkembangan
fungsi Munchen tahun pertama:
1) Bayi (bangun, tidak mengantuk, lelah, disertai ibunya/pengasuh yang sudah akrab
dengan bayi tersebut).
2) Ruangan tenang, suhu dan cahaya cukup.
3) Pemeriksa (tidak tergesa-gesa, tenang).
Alat-alat yang digunakan untuk Diagnostik perkembangan fungsi Munchen
tahun pertama:
1) Sebuah lonceng
2) Sebuah kericikan merah
3) Sebuah gelang untuk dipegang dengan garis tengah 12 cm
4) Beberapa kubus kayu berwarna polos dengan sisi 3 cm
5) Kepingan plastik bulat berwarna dengan garis tengah 26 mm di dalam kotak
bundar yang bagian dalamnya bergaris tengah 4,6 cm
6) Sebuah boneka.
7) Sebuah kubus terbuka dengan sisi 7,5 cm
8) Selembar popok bayi
9) Mobil kayu disertai tali penarik sepanjang 14 cm
10) Selembar kertas lemas
Penafsiran hasil tes diagnostik perkembangan fungsi Munchen tahun pertama,
Dengan menggunakan dua catatan, yaitu:
1) Formulir penilaian hasil pemeriksaan.
2) Formulir pencatatan grafik perkembangan
71
f. Tes bentuk geometrik. Tes ini merupakan suatu prosedur yang sederhana untuk
mengetahui kemampuan anak-anak umur 2½ tahun sampai 7 tahun dengan cara
meniru bentuk geometrik yang sederhana. Anak diberi pensil dan kertas dan
diperintahkan untuk meniru 7 bentuk geometrik yang berbeda pada waktu yang
bersamaan pada setiap kertas putih yang berukuran 3 x 6 inchi. Gambaran garis
vertikal biasanya dapat dibuat oleh anak umur 2½ tahun sampai 3 tahun, lingkaran
oleh anak umur 3 tahun, garis menyilang oleh anak umur 3½ tahun, bentuk “V” oleh
anak umur 4 tahun, bentuk segi empat oleh anak umur 5 tahun dan bentuk permata
oleh kebanyakan anak umur 7 tahun. Tes ini dapat sebagai indikator perkembangan
intelegensia dan perkembangan motorik halus.
g. Tes motor visual Bender Gestalt. Tes ini untuk menilai dan skrining anak-anak
yang mengalami kesulitan persepsi motorik yang dimulai pada umur 5 tahun dan yang
lebih tua. Seperti pada tes bentuk geometrik, anak diberikan pensil dan kertas dan
diperintahkan untuk meniru 9 bentuk yang diberikan pada waktu yang bersamaan.
Disain ini digambar pada kertas putih ukuran 3 x 6 inchi dan terdiri dari bentuk-
bentuk yang berbeda seperti lingkaran, titik-titik, garis bergelombang yang
berpotongan, bentuk permata, segi empat yang berdekatan dan lebih rumit. Kartu
yang sama ini dapat digunakan sebagai tes memori dengan cara meminta anak untuk
mengulang/mengingat seberapa banyak yang dia bisa.
h. Tes menggambar orang (Draw A Man Test). Tes ini relatif sederhana. Pada anak
berumur 3 tahun 3 bulan diberikan pensil dan kertas dan diperintahkan untuk
menggambar seorang laki-laki. Menurut sistem skoring Good enough yang normal,
apabila seorang anak dapat menggambar kepala maka dia telah mencapai usia mental
minimal 3 tahun 3 bulan. Sesuai dengan sistem skoring, kredit umur 3 bulan
72
ditambahkan setiap bagian tubuh yang sesuai, juga untuk pakaian dan asesoris
ditambahkan nilai yang sama seperti bagian tubuh lainnya. Jadi makin cerdas seorang
anak ia akan membuat gambar yang lebih baik yang mencerminkan kapasitas
intelektual yang lebih tinggi yang sudah ada secara intrinsik di dalam dirinya.
i. Tes perkembangan adaptasi sosial. Adaptasi adalah suatu proses yang kontinu
(berkelanjutan), yang dimulai sejak anak dilahirkan. Kematangan sosial merupakan
suatu evolusi perkembangan perilaku, di mana nantinya seorang anak dapat
mengekspresikan pengalamannya secara utuh dan dia belajar secara bertahap untuk
meningkatkan kemampuannya untuk mandiri, bekerja sama dengan orang lain dan
bertanggung jawab terhadap kelompoknya. Suatu skala pengukuran yang baik untuk
perkembangan sosial adalah skala maturitas sosial dari Vineland (Vineland Social
Maturity Scale). Pada tes ini diperlukan jawaban/informasi yang dapat dipercaya dari
orang tua anak, mengenai perkembangan anaknya mulai dari tahun-tahun pertama
sampai pada saat tes dilakukan. Alat tes ini mengkategorikan kemampuan motorik
dan perkembangan sosial anak dari lahir sampai dewasa. Kualitas hasil pemeriksaan
tergantung pada kemampuan si penguji dan ayah/ibu yang memberi jawaban.
Kegunaan skala ini adalah tes psikologi anak-anak yang mengalami deviasi
perkembangannya. Skala maturitas sosial dari Vineland ini dibagi menjadi 8 kategori
(Lampiran 2) sebagai berikut:
1) Self-help general (SHG): eating and dressing oneself. (Mampu menolong dirinya
sendiri: makan dan berpakaian sendiri)
2) Self-help eating (SHE): the child can feed himself. (Mampu makan sendiri)
3) Self-help dressing (SHD): the child can dress himself. (Mampu berpakaian
sendiri)
73
4) Self-direction (SD): the chid can spend money and assume responsibilities.
(Mampu memimpin dirinya sendiri: misalnya mengatur keuangannya dan
memikul tanggung jawab sendiri)
5) Occupation (O): the child does things for himself, cuts things, uses a pencil and
transfers objects. (Mampu melakukan pekerjaan untuk dirinya, menggunting,
menggunakan pensil, memindahkan benda-benda)
6) Communication (C): the child talks, laughs and reads. (Mampu berkomunikasi
seperti berbicara, tertawa dan membaca)
7) Locomotion (L): the child can move about where he wants to go. (Gerakan
motorik: anak mampu bergerak ke mana pun ia inginkan)
8) Socialization (S): the child seeks the company of others, engages in play and
competes. (Mampu bersosialisasi: berteman, terlibat dalam permainan dan
berkompetisi)
Dari 8 kategori tersebut, kemampuan bersosialisasi dan berkomunikasi sangat
penting bila anak diharapkan mempunyai kemampuan perkembangan sosial yang
normal.
Sebagai contoh pada tes adaptasi sosial menurut Vineland yang dimulai pada
umur satu bulan dan dilanjutkan sampai 12 bulan, terdapat 17 item dari 8 kategori
tersebut di atas. Dari 17 item tersebut terdapat 12 kemampuan bersosialisasi (2S) dan
3 kemampuan berkomunikasi (3C). Kemampuan bersosialisasi pada satu tahun
pertama tersebut adalah: mendekati orang-orang yang dikenal dan minta diperhatikan.
Sedangkan kemampuan berkomunikasi adalah: mendekat/tertawa, bicara/meniru
suara-suara dan mengikuti petunjuk/perintah yang sederhana.
74
Sesudah umur 2 tahun, terlihat perkembangan sosial anak sangat pesat, antara
lain:
1) Sejak usia 2-3 tahun anak dapat menceritakan pengalamannya dan
berkomunikasi.
2) Sejak usia 3-4 tahun anak mulai bermain bersama dengan teman-temannya pada
taraf taman kanak-kanak dan dapat melakukan sesuatu untuk teman-teman
lainnya.
3) Sejak usia 4-5 tahun anak terlibat dalam permainan yang bersifat kompetitif.
4) Sejak usia 5-6 tahun menulis kata-kata sederhana dan ikut permainan meja
(seperti halma, kuartet dan lain-lain) serta komunikasi dan sosialisasi yang
meningkat.
5) Sejak usia 6-7 tahun dapat menggunakan pensil untuk menulis dan
berkomunikasi.
6) Sejak usia 7-8 tahun, norma-norma sosial lebih meningkat lagi, dapat membaca
atas inisiatifnya sendiri, berpartisipasi pada permainan anak pra remaja.
j. Tes skrining perkembangan menurut Denver (Denver Developmental Screening
Test/DDST). DDST adalah salah satu dari metode skrining terhadap kelainan
perkembangan anak, tes ini bukanlah tes diagnostik atau tes IQ. Frankenburg et
al.(1990) berpendapat, untuk menilai perkembangan anak balita digunakan Denver II
yang merupakan revisi dan restandarisasi dari DDST (Denver Developmentalm
Screening Test). Aspek perkembangan yang dinilai terdiri dari 125 tugas
perkembangan, dimana semua tugas perkembangan itu disusun berdasarkan urutan
perkembangan dan diatur dalam 4 kelompok besar yang disebut sektor
perkembangan, yang meliputi:
75
1) Personal social (perilaku sosial)
Aspek yang berhubungan dengan kemampuan mandiri, bersosialisasi dan
berinteraksi dengan lingkungannya
2) Fine motor adaptive (gerakan motorik halus)
Aspek yang berhubungan dengan kemampuan anak untuk mengamati sesuatu,
melakukan gerakan yang melibatkan bagian-bagian tubuh tertentu saja dan
dilakukan otot-otot kecil, tetapi memerlukan kooordinasi yang cermat. Misalnya
kemampuan untuk menggambar, memegang sesuatu benda, dan lain-lain.
3) Language (bahasa)
Kemampuan untuk memberikan respon terhadap suara, mengikuti perintah dan
berbicara spontan.
4) Gross motor (gerakan motorik kasar)
Aspek yang berhubungan dengan pergerakan dan sikap tubuh
Setiap tugas (kemampuan) digambarkan dalam bentuk kotak persegi panjang
horisontal yang berurutan menurut umur, dalam lembar Denver II. Pada umumnya
pada waktu tes, tugas yang perlu diperiksa pada setiap kali skrining hanya berkisar
antara 25-30 tugas saja, sehingga tidak memakan waktu lama hanya sekitar 15-20
menit saja, alat yang digunakan:
1) Alat peraga: benang wol merah, kismis/manik-manik, kubus warna merah-
kuning-hijau-biru, permainan anak, botol kecil, bola tenis, bel kecil, kertas dan
pensil.
2) Lembar formulir Denver II
3) Manual Denver sebagai referensi yang menjelaskan cara-cara melakukan tes dan
cara penilaiannya.
76
Penilaian metode Denver II. Manual Denver dari Soetjiningsih (1995) dan
Frankenburg, et al. (1990) terdapat penjelasan tentang bagaimana melakukan
penilaian apakah lulus (Passed = P), gagal (Fail = F), ataukah anak tidak dapat
kesempatan melakukan tugas (No Opportunity = N.O.). Kemudian ditarik garis
berdasarkan umur kronologis yang memotong garis horisontal tugas perkembangan
pada formulir Denver II. Setelah itu dihitung pada masing-masing sektor, berapa yang
P dan berapa yang F, selanjutnya berdasarkan pedoman, hasil tes diklasifikasi dalam:
1) Normal: semua yang tidak tercantum dalam kriteria tersebut dibawah.
2) Meragukan: bila pada 1 sektor didapatkan 2 keterlambatan atau lebih atau bila
pada 1 sektor atau lebih didapatkan 1 keterlambatan dan pada sektor yang sama
tidak ada yang lulus pada kotak yang berpotongan dengan garis vertikal usia.
3) Tidak Normal: bila didapatkan 2 atau lebih keterlambatan pada 2 sektor atau
lebih, atau bila dalam 1 sektor atau lebih didapatkan 2 atau lebih keterlambatan
ditambah 1 sektor atau lebih dengan 1 keterlambatan dan pada sektor yang sama
tersebut tidak ada yang lulus pada kotak yang berpotongan dengan garis vertikal
usia.
Dalam pelaksanaan skrining dengan Denver II ini, umur anak perlu ditetapkan
terlebih dahulu, dengan menggunakan patokan 30 hari untuk satu bulan dan 12 bulan
untuk satu tahun. Bila dalam perhitungan umur kurang dari 15 hari dibulatkan ke
bawah dan sama dengan atau lebih dari 15 hari dibulatkan keatas. Perhitungan umur
adalah sebagai berikuta: Misalnya Budi lahir pada tanggal 23 Mei 1992 dari
kehamilan yang cukup bulan dan tes dilakukan pada tanggal 5 Oktober 1994, maka
umur Budi 2 tahun 4 bulan 12 hari, karena 12 hari adalah lebih kecil dari 15 hari,
maka dibulatkan kebawah, sehingga umur Budi adalah 2 tahun 4 bulan. Kemudian
77
garis umur ditarik vertikal pada formulir Denver II yang memotong kotak-kotak tugas
perkembangan pada ke-4 sektor. Tugas-tugas yang terletak di sebelah kiri garis itu,
pada umumnya telah dapat dikerjakan oleh anak-anak seusia Budi ( 2 tahun 4 bulan ).
Apabila Budi gagal mengerjakan beberapa tugas-tugas tersebut ( F ), maka berarti
suatu keterlambatan pada tugas tersebut. Bila tugas-tugas yang gagal dikerjakan
berada pada kotak yang terpotong oleh garis vertikal umur, maka ini bukan suatu
keterlambatan , karena pada kontrol lebih lanjut masih mungkin terdapat
perkembangan lagi. Begitu pula pada kotak-kotak di sebelah kanan garis umur. Pada
ujung kotak sebelah kiri terdapat kode-kode R dan nomor. Kalau terdapat kode R
maka tugas perkembangan cukup ditanyakan pada orang tuanya, sedangkan bila
terdapat kode nomor maka tugas perkembangan dites sesuai petunjuk dibaliknya
formulir.
B. Ibu bekerja dan tidak bekerja.
Pendapat Sam. (2009), Ibu bekerja artinya kegiatan yang dilakukan oleh
seorang ibu rumah tangga baik secara langsung atau secara tidak langsung untuk
mendapatkan penghasilan dalam bentuk uang atau barang, mengeluarkan energi dan
mempunyai nilai waktu. Ibu sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya, ibu mempunyai
peranan untuk mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh dan pendidik anak-
anaknya, pelindung dan sebagai salah satu kelompok dari peranan sosialnya serta
sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya, disamping itu juga ibu dapat
berperan sebagai pencari nafkah tambahan dalam keluarganya.
Menurut dinas tenaga kerja dan transmigrasi bahwa bekerja adalah mereka
yang melakukan pekerjaan dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh
78
penghasilan atau keuntungan selama paling sedikit satu jam secara terus menerus
dalam seminggu. (termasuk pekerjaan keluarga tanpa upah yang membantu dalam
suatu usaha/kegiatan ekonomi). Menurut Marsha Sinetar cit Rich (2006) bahwa
bekerja sebenarnya menjual waktu, tenaga, mental, spiritual untuk mendapatkan uang.
Menurut UU Ketenagakerjaan (2003), waktu kerja adalah 7 jam sehari selama
6 hari atau 40 jam seminggu atau 8 jam sehari selama 5 hari atau 40 jam seminggu.
Kesimpulan dari definisi ibu bekerja adalah kegiatan yang dilakukan oleh
seorang ibu rumah tangga baik secara langsung atau secara tidak langsung, dengan
mengeluarkan tenaga atau energi dan mempunyai nilai waktu untuk mendapatkan
penghasilan dalam bentuk uang / barang atau keuntungan dengan waktu kerja adalah
7 jam sehari selama 6 hari atau 40 jam seminggu atau 8 jam sehari selama 5 hari atau
40 jam seminggu.
Ibu yang tidak bekerja adalah ibu rumah tangga yang tidak memiliki aktifitas
yang secara langsung menghasilkan uang atau barang yang dapat menyumbang
penghasilan keluarga.
C. Hubungan perkembangan anak balita dan pekerjaan ibu
Pengaruh signifikan terhadap atmosfir di rumah adalah Bekerjanya salah satu
atau kedua orang tua untuk mencari nafkah. Pekerjaan orang tua menentukan lebih
banyak dari sekedar sumber keuangan keluarga. Banyak waktu, tenaga, dan
keterlibatan emosional orang dewasa dicurahkan kepada pekerjaan mereka. Pekerjaan
orang tua dan pengaturan pengasuhan anak mereka dapat mempengaruhi seorang
anak.
79
Ibu-ibu yang bekerja menyediakan berbagai persiapan untuk perawatan anak-
anak mereka. Sebagian besar meninggalkan anak-anak mereka yang berusia
prasekolah di rumah di bawah pengawasan seorang pengasuh atau seorang saudara
selama mereka bekerja. Ibu-ibu lainnya menyerahkan anak-anak mereka ke pusat
penitipan anak sepanjang hari. Jelaslah bahwa pengaruh bekerjanya ibu terhadap
perkembangan anak sebagian besar tergantung pada kualitas perawatan pengganti.
Hasil penelitian Gold,et.al.(1979), Birnbaum (1975), dan Hoffman (1980) cit
Atkinson,et.al.(1983) menunjukkan bahwa memiliki seorang ibu yang bekerja
nampaknya lebih menguntungkan bagi anak perempuan daripada bagi anak laki-laki.
Anak-anak perempuan yang mempunyai ibu yang bekerja cenderung lebih dapat
mandiri, lebih dapat menyesuaikan diri dalam pergaulan, cenderung berprestasi baik
secara akademis serta bercita-cita mencapai suatu karier dibandingkan dengan anak
perempuan yang memiliki ibu yang tidak bekerja. Penelitian yang dilakukan oleh
Brown (1970) dan Banducci (1967) cit Atkinson,et.al.(1983) menunjukkan bahwa
anak laki-laki yang memiliki ibu yang bekerja juga lebih mandiri dan lebih dapat
menyesuaikan diri daripada anak-anak laki-laki yang memiliki ibu yang tidak bekerja,
akan tetapi di sekolah dan dalam tes-tes kemampuan kognitif mereka tidak begitu
baik.
Penelitian yang dilakukan oleh Goldberg (1978) cit Atkinson,et.al.(1983)
mendukung pernyataan bahwa prestasi di sekolah dari anak laki-laki yang mempunyai
ibu yang bekerja tidak sebaik anak dari ibu yang tidak bekerja adalah benar bagi anak-
anak yang berasal dari keluarga kelas menengah, anak laki-laki yang berasal dari
keluarga berpenghasilan sangat rendah, yang ibunya bekerja, sebaliknya mencapai
skor lebih tinggi dalam tes-tes kemampuan kognitif. Sejumlah faktor ikut berpengaruh
80
terhadap berbagai perbedaan yang diakibatkan oleh bekerjanya ibu, tetapi suatu faktor
penting ialah peran ibu sebagai seorang guru. Para ibu kelas menengah lebih
berpendidikan dibandingkan dengan ibu-ibu kelas rendah; mereka merupakan guru
yang lebih efektif dan merupakan suatu sumber stimulasi intelektual yang lebih luas
bagi anak-anak mereka. Jadi bekerjanya ibu mungkin lebih banyak merugikan anak
dari kelas menengah daripada anak dari kelas rendah. Jika anak dari kelas rendah
diberi suatu lingkungan yang memberi stimulasi yang lebih intelektual pada waktu
ibunya tidak ada (misalnya dititipkan pada suatu yayasan penitipan anak yang baik
dengan guru-guru yang terlatih), dengan harapan terjadi perbaikan dalam ketrampilan
akademis.
Di beberapa negara seperti Cina, Rusia, Israel, para ibu dapat menitipkan bayi-
bayi mereka pada tempat penitipan anak di tempat mereka bekerja begitu bayi mereka
menginjak usia dua bulan. Para ibu mendatangi tempat penitipan anak pada waktu
istirahat untuk menyusui bayi mereka. Menginjak usia 2 atau 3 tahun, sebagian besar
bayi itu diantarkan ke yayasan penitipan anak dekat rumah pada pagi hari dan
dijemput oleh orang tua mereka setelah selesai bekerja pada waktu petang hari. Di
Israel, anak-anak dirawat sejak bayi oleh perawat profesional dalam rumah-rumah
yang terpisah dari orang tua mereka. Selama satu tahun pertama, ibu menyediakan
sebagian besar makanan dan perawatan anaknya, meskipun bayinya ditempatkan
dalam tempat perawatan komunal. Setelah tahun pertama, ibu bekerja penuh dan
orang tua bertemu dengan anak mereka terutama pada petang hari dan setiap hari
Sabtu. Penelitian yang dilakukan oleh Kohen-Raz (1968) cit Papalia, et al. (2008)
menunjukkan bahwa kemampuan fisik dan mental anak-anak dari tempat perawatan
komunal sama dengan anak-anak Israel yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga
81
sendiri, dan kedua kelompok lebih unggul jika dibandingkan dengan anak-anak yang
dirawat di yayasan yatim piatu. Pada studi-studi sebelumnya telah menunjukkan
bahwa anak-anak yang dibesarkan di rumah yatim piatu menjadi terbelakang dalam
perkembangan sosial dan intelektualnya, mereka yang bertanggung jawab terhadap
pendirian yayasan penitipan anak dalam tempat perawatan komunal terutama
mementingkan penyediaan hubungan hangat dengan pengganti ibu serta stimulasi
intelektual yang cukup. Akibatnya, para perawat memperoleh pendidikan khusus
dalam bidang perkembangan anak.
National Longitudinal Survey of Youth (NLSY) adalah survei tahunan terhadap
sekitar 12.600 wanita, diikuti dengan penilaian terhadap anak mereka. Sebuah analisis
data NLSY tahun 1994 (Papalia, et al., 2008), menemukan sedikit pengaruh atau
bahkan tidak ada pengaruh dari ibu yang bekerja pada masa awal perkembangan bayi
terhadap kepatuhan anak, masalah perilaku, kepercayaan diri, perkembangan kognitif,
atau prestasi akademik. Bahkan dalam sejumlah studi lain, ibu yang bekerja pada
masa awal anak tampaknya memberikan manfaat kepada anak yang berada dalam
keluarga berpenghasilan rendah dengan meningkatkan sumber keuangan keluarga.
Santrock (2002) berpendapat, anak-anak bertumbuh dalam keluarga yang
berbeda-beda. Sebagian anak tinggal dalam keluarga yang belum pernah mengalami
perceraian, sebagian anak yang lain sepanjang masa-masa awal anak-anak benar-
benar tinggal dalam keluarga orang tua tunggal, dan sebagian anak tinggal dalam
keluarga tiri. Beberapa anak hidup di dalam kemiskinan, anak-anak lain hidup dalam
keluarga yang beruntung secara ekonomis. Sebagian ibu bekerja penuh waktu dan
menitipkan anak-anaknya di panti rawat siang, sementara ibu-ibu lain tinggal di
rumah bersama anak-anaknya. Beberapa anak bertumbuh dalam kebudayaan Anglo-
82
Amerika, anak-anak lain bertumbuh di dalam kebudayaan minoritas etnis. Sebagian
anak memiliki saudara kandung, yang lain tidak memiliki. Beberapa orang tua
memperlakukan anak-anak dengan kasar dan menyiksa mereka, sementara anak-anak
lain memiliki orang tua yang mengasuh dan mendukung mereka.
Berdasarkan penelitian dari NICHD Early Child Care Reaserch Network
(1997b) cit Papalia, et al. (2008), efek dari penitipan anak di masa awal tergantung
kepada tipe, jumlah, kualitas keseluruhan, dan stabilitas pengasuhan, serta usia saat si
anak menerima pengasuhan tersebut. Dalam penyusunan rumah, tempat yang paling
disukai si anak, kualitas dari pengasuh berkaitan dengan pemasukan keluarga. Dengan
kata lain, semakin tinggi pemasukan, semakin baik pengasuhan yang akan diterima si
anak. Hal ini tidak sepenuhnya benar dalam pusat penitipan anak, yang biasanya
digunakan bagi anak-anak masa pra-sekolah, di tempat itu anak-anak keluarga miskin
yang mendapatkan tunjangan subsidi federal akan menerima pengasuhan yang lebih
baik dibanding dengan anak-anak yang berasal dari keluarga kelas menengah. Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Bergen, et al. (2000) dan NICHD Early Child Care
Reaserch Network (1998c) cit Papalia, et al. (2008), sebagian besar pusat penitipan
anak tidak memenuhi seluruh rekomendasi panduan tentang rasio anak-staf pengasuh,
besar kelompok, pelatihan guru, dan pendidikan guru. Hasil penelitian yang dilakukan
oleh Burchinal, et al. (1996) dan Howes, et al. (1994) cit Papalia, et al. (2008), elemen
paling krusial dalam pusat penitipan anak adalah kualitas pengasuh. Sebab,
merangsang interaksi dengan orang dewasa yang responsif amat penting bagi
perkembangan awal kognitif, bahasa, dan psikososial si anak. Rendahnya tingkat
keluar-masuk staf pengasuhan juga merupakan hal penting, karena bayi membutuhkan
83
pengasuhan yang konsisten untuk mengembangkan rasa percaya dan keterikatan yang
aman.
Penelitian yang dilakukan oleh Peth-Pierce (1998) cit Papalia, et al. (2008),
untuk mengukur kontribusi yang dibuat oleh tempat penitipan anak terhadap
perkembangan, terlepas dari pengaruh karakteristik keluarga, karakteristik si anak,
dan pengasuhan yang diterima oleh sang anak di rumah. Melalui observasi,
wawancara, kuesioner, dan tes, periset mengukur perkembangan fisik, emosional, dan
kognitif anak dalam interval tertentu dari 1 bulan sampai kira-kira berusia 7 tahun.
Kuantitas dan kualitas pengasuhan yang diterima si anak, juga tipe dan stabilitas
pengasuhan, mempengaruhi aspek perkembangan tertentu. Penelitian yang dilakukan
oleh NICHD Early Child Care Reaserch Network (1998a) cit Papalia, et al. (2008),
terdapat berbagai faktor yang terkait dengan pengasuhan anak tampaknya kurang
berpengaruh dibandingkan dengan karakteristik keluarga, seperti pemasukan
keluarga. Karakteristik-karakteristik ini dapat dengan kuat memprediksi hasil
perkembangan, terlepas dari seberapa banyak waktu yang dihabiskan anak di tempat
penitipan anak.
Penelitian yang dilakukan oleh NICHD Early Child Care Reaserch Network,
(1997a;2001b) cit Papalia, et al. (2008), Sensitivitas maternal juga merupakan alat
prediksi keterikatan yang paling kuat. Penitipan anak tidak memiliki efek langsung
kepada keterikatan (sebagaimana bayi-bayi berusia antara 15 sampai 30 bulan yang
diukur dengan menggunakan strange situation), terlepas seberapa dini usia anak
ketika memasuki pengasuhan anak dan berapa jam yang dihabiskannya di dalam
tempat itu. Masalah kualitas dan stabilitas juga tidak menimbulkan pengaruh dalam
diri atau mempengaruhi mereka. Akan tetapi jika ketidakstabilan, buruknya kualitas
84
pengasuhan, atau jumlah jam pengasuhan yang melebihi batas minimal ( 10 jam atau
lebih ) ditambahkan dengan pengaruh ibu yang kurang sensitif dan tidak responsif,
maka keterikatan yang tidak aman cenderung terjadi.
Penelitian yang dilakukan oleh NICHD Early Child Care Reaserch Network
(2002); Peisner-Feinberg, etal.(2001) cit Papalia, et al. (2008), kualitas pusat
penitipan anak memang memberikan kontribusi terhadap perkembangan kognitif dan
psikososial. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh NICHD Early Child Care
Reaserch Network (1999a;2000;2002) cit Papalia, et al. (2008) menyimpulkan bahwa
anak yang berada dalam tempat penitipan anak dengan rasio staf-anak yang lebih
kecil, jumlah kelompok yang lebih kecil, dan pengasuh terlatih, sensitif, dan
responsif, yang memberikan interaksi positif dan stimulasi bahasa, kognisi, dan
kesiapan untuk bersekolah; serta lebih sedikit masalah dalam laporan ibu-ibu mereka.
Penelitian yang dilakukan oleh NICHD Early Child Care Reaserch Network (2002)
cit Papalia, et al. (2008), pemasukan keluarga, kosakata sang ibu, lingkungan rumah,
dan jumlah stimulus mental yang diberikan oleh sang ibu memiliki pengaruh jauh
lebih besar.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh NICHD Early Child Care
Reaserch Network (2001a) cit Papalia, et al. (2008), bukanlah hal yang mengejutkan
apabila apa yang di permukaan tampak sebagai efek dari penitipan anak sebenarnya
merupakan efek dari karakteristik keluarga. Lagi pula, keluarga yang stabil dengan
penghasilan besar dan latar belakang pendidikan yang tinggi serta lingkungan rumah
yang nyaman lebih mampu, dan karena itu, lebih cenderung memberikan pengasuhan
berkualitas tinggi kepada anaknya. Satu bidang yang tampaknya terpengaruh secara
langsung oleh pengasuhan anak, terlepas dari karakteristik keluarga dan anak adalah
85
interaksi dengan teman sebaya. Anak berusia antara 2 sampai 3 tahun yang memiliki
pengasuh yang sensitif dan responsif cenderung menjadi lebih positif dan kompeten
dalam cara mereka bermain bersama anak lain dibandingkan sebelum mereka diasuh.
Sebagian besar keluarga dapat dikatakan sebagai keluarga inti. Keluarga inti
didefinisikan sebagai kelompok yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak yang belum
menikah. Jika dalam keluarga terjadi kesenjangan hubungan, perlu diimbangi dengan
peningkatan kualitas dan intensitas hubungan sehingga ketidakberadaan ayah dan ibu
dan kebersamaan keluarga di rumah tetap dirasakan kehadirannya dan dihayati secara
psikologis. Ini diperlukan agar pengaruh, arahan, bimbingan, dan sistem nilai yang
direalisasikan orang tua senantiasa tetap dihormati, mewarnai sikap dan pola perilaku
anak-anaknya.
Peranan keluarga terutama ibu dalam mengasuh anak sangat menentukan
tumbuh kembang anak. Suatu contoh klasik terjadi di Rusia tentang anak-anak yang
berasal dari keluarga miskin yang ditampung di Panti Asuhan. Setiap petugas
mengasuh rata-rata 20 anak yang berumur di bawah 3 tahun. Karena sangat sibuknya
pengasuh, anak-anak jarang mendapat kasih sayang. Anak-anak jarang diajak
berkomunikasi, dan harus diam. Anak yang diam adalah anak yang manis. Akhirnya
anak menjadi anak yang pendiam, terlambat kemampuan berbahasa, terlambat
perkembangan sosial dan motoriknya, dam mengalami gangguan pertumbuhan. Anak-
anak tersebut kemudian diadopsi oleh keluarga-keluarga Kanada dan dibawa ke
negerinya. Setelah satu tahun menetap di Kanada, pertambahan baik perkembangan
anak tampak sangat nyata. Pertambahan baik ini tergantung kepada lamanya anak
diasuh di Panti Asuhan sebelum diadopsi. Makin lama anak diasuh di panti makin
persisten dan lambat perkembangannya, serta memerlukan waktu lebih lama untuk
86
mengejar keterlambatan dalam hal sosialisasi dan berbahasa dibandingkan dengan
anak yang tumbuh normal. Dari hasil pengamatan ini tampak bahwa pengasuhan,
kesehatan, dan makanan pada tahun pertama kehidupan sangat krusial untuk
perkembangan anak.
Pengasuhan anak didefinisikan sebagai perilaku yang dipraktekkan oleh
pengasuh (ibu, bapak, nenek, atau orang lain) dalam memberikan makanan,
pemeliharaan kesehatan, memberikan stimuli serta dukungan emosional yang
dibutuhkan anak untuk tumbuh-kembang. Juga termasuk di dalamnya tentang kasih
sayang dan tanggung-jawab orang-tua.
Pendapat Najmulhayah (2010), pengasuhan yang baik sangat penting untuk
dapat menjamin tumbuh-kembang anak yang optimal. Misalnya pada keluarga
miskin, yang ketersediaan pangan di rumah tangga belum tentu mencukupi, namun
ibu yang tahu bagaimana mengasuh anaknya, dapat memanfaatkan sumber-sumber
yang terbatas untuk dapat menjamin tumbuh-kembang anak yang optimal. Sebagai
contoh, menyusui anak adalah praktik memberikan makanan, kesehatan, dan
pengasuhan yang terjadi bersamaan. Perilaku ibu seperti cara memelihara kebersihan
rumah, higiene makanan, kebersihan perorangan, dan praktik psikososial adalah
faktor-faktor penting yang berpengaruh terhadap proses tumbuh-kembang anak.
Demikian pula faktor lingkungan seperti ketersediaan air bersih di dalam rumah,
bahan pangan yang tersedia untuk makanan sehari-hari, dan pengetahuan ibu atau
pengasuh lainnya. Latar belakang pendidikan ibu, serta keadaan kesehatan fisik dan
mental, dan kemampuan ibu mempraktikan pengetahuan yang dipunyainya dalam
kehidupan sehari-hari, serta hubungan emosional anggota keluarga lainnya, tetangga
87
dan masyarakat, semuanya berakumulasi dalam membentuk kualitas tumbuh
kembang anak.
Kesimpulan dari penelitian yang dilakukan oleh Halpern,et al. (2008), terjadi
penurunan prevalensi perkembangan anak terlambat 37,1% pada 1993 menjadi 21,4%
pada 2004. Penurunan prevalensi keterlambatan perkembangan mencerminkan
adanya faktor antara lain; peningkatan perawatan neonatal, peningkatan cakupan
pemantauan perkembangan pada tahun pertama kehidupan, dan durasi menyusui
lama.
Kesimpulan dari penelitian yang dilakukan oleh Schirmer, et al. (2006), anak-
anak yang lahir preterm (kurang bulan) dengan berat badan lahir rendah memiliki
resiko keterlambatan bahasa, dan juga menurunkan nilai kognitif dan perilaku anak.
Kesimpulan dari penelitian yang dilakukan oleh Amel Yanis, dkk. (2008),
dengan jumlah anak yang lebih banyak maka perhatian dan stimulasi yang diberikan
ibu akan berkurang baik jumlah maupun kualitasnya, hal ini akan berpengaruh
terhadap tumbuh kembang anak, dengan kata lain bahwa hubungan ibu dan anak
mempunyai peran besar untuk terjadinya gagal tumbuh.
Kesimpulan dari penelitian yang dilakukan oleh Gunanti, dkk (2005), tingkat
pengetahuan dan keterampilan pembantu rumah tangga (PRT) tentang pengasuhan
anak tergolong rendah. Sikap PRT tentang pengasuhan anak tergolong tinggi. Status
gizi sebagian besar anak yang diasuh adalah normal, namun masih ditemukan adanya
anak dengan status gizi lebih, sedang dan kurang. Perkembangan sebagian besar anak
yang diasuh adalah normal tetapi masih djumpai adanya keterlambatan perkembangan
pada sebagian anak yang diasuh.
88
Kesimpulan dari penelitian yang dilakukan oleh Youngblut, et al. (2009),
terdapat berbagai efek negatif dari ibu bekerja terhadap anak mempunyai alasan
karena berbagai hal antara lain karena berpenghasilan rendah serta kondisi orang tua
tunggal.
Kesimpulan dari penelitian yang dilakukan oleh Rhum (2008), ibu yang
bekerja keras di luar rumah diperkirakan lebih memiliki efek yang tidak begitu baik
terhadap perkembangan kognitif anak sampai masa remaja dikarenakan kurangnya
waktu berinteraksi dengan anak.
Kesimpulan dari penelitian yang dilakukan oleh Daniel, et al. (2009), ibu yang
kembali bekerja dengan pengaturan jadwal pada anak yang berusia 6 bulan
mempunyai waktu rata-rata 35 jam per minggu selama 6 bulan sampai 3 tahun pada
anak usia 2 tahun dan 3 tahun, ibu bekerja yang mempunyai anak-anak mempunyai
jadwal non standar dapat mempengaruhi perilaku internal dan eksternal anak, dimana
anak dengan ibu bekerja lebih reaktif temperamental.
Kesimpulan dari penelitian yang dilakukan oleh Brooks-Gunn, et al. (2002),
dengan subjek 900 anak Eropa-Amerika usia 15 bulan sampai 3 tahun dengan ibu
yang bekerja selama 30 jam atau lebih pada tahun pertama menunjukkan bahwa
kualitas perawatan anak, pengaruh lingkungan rumah dan sensitivitas ibu menjadi
alasan terjadinya efek negatif terhadap perkembangan kognitif.
Kesimpulan dari penelitian yang dilakukan oleh Harvey (1999), orang tua yang
bekerja ditemukan sedikit pengaruh pada anak. Ibu yang bekerja keras yang tidak
konsisten terhadap perkembangan anak dapat menimbulkan berbagai masalah
perilaku. Ibu bekerja yang dapat membagi waktu dapat mengetahui tingkat
perkembangan anak walaupun menjadi orang tua tunggal dan berpenghasilan rendah.
89
Kesimpulan dari penelitian yang dilakukan oleh Hill, et al. (2005), ibu yang
setelah melahirkan dan bekerja penuh waktu setelah anak berusia 3 tahun mempunyai
perkembangan kognitif yang lebih baik daripada ibu bekerja penuh waktu setelah
anak berusia 1 tahun.
Kesimpulan dari penelitian yang dilakukan oleh Han (2005), pengaturan
jadwal ibu bekerja pada 1 tahun pertama berpengaruh terhadap perkembangan
kognitif anak yang berusia 2 tahun dan kemampuan berbahasa anak pada usia 3 tahun.
Pengaruh negatif terjadi karena kurangnya perawatan anak.
Kesimpukan dari penelitian yang dilakukan oleh Yoshikawa (1999), tingkat
kesejahteraan sangat berpengaruh pada perkembangan kognitif anak, disamping
pengaruh gender, dimana perkembangan kognitif anak laki-laki lebih rendah daripada
anak perempuan walaupun orang tua bekerja di luar rumah tetapi apabila tingkat
kesejahteraannya tinggi maka tidak akan mempengaruhi perkembangan kognitif anak
karena peranan baby siter dan terpenuhinya fasilitas anak terpenuhi dibandingkan
dengan tingkat kesejahteraan yang rendah.
90
D. Kerangka Pemikiran
Gambar 1.1 Kerangka Pemikiran
E. Hipotesis Penelitian
Terdapat perbedaan perkembangan anak balita dengan menggunakan metode
Denver II pada ibu bekerja dan ibu tidak bekerja.
PEKERJAAN IBU
PERKEMBANGAN ANAK BALITA: - Perlaku Sosial - Motorik Halus - Bahasa - Motorik Kasar
ALOKASI WAKTU
KUALITAS INTERAKSI IBU-ANAK
Faktor lingkungan pranatal
Asuh
Asih
Asah
Genetik lingkungan biologis
Faktor fisik
Faktor psikososial
Faktor keluarga dan adat istiadat
91
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan pendekatan
cross sectional untuk mengamati subjek hanya satu kali saja tetapi tidak harus tepat
pada satu waktu bersamaan kemudian hasilnya dianalisa. (Saryono, 2008)
B. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian adalah Rukun Warga (RW) VI, Kelurahan Semanggi,
Kecamatan Pasar Kliwon, Surakarta.
C. Populasi Penelitian, Subjek Penelitian dan Teknik Pengambilan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah anak - anak balita yang ibunya bekerja
dan ibunya tidak bekerja di RW VI, Kelurahan Semanggi, Kecamatan Pasar Kliwon,
Surakarta. Pengambilan subyek penelitian dengan mengambil dari populasi yang
diperoleh dari data anak balita di RW VI, Surakarta, kemudian dipilih subyek yang
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi (Purposive) hingga terpenuhinya jumlah
(Quota) yang telah ditentukan. Besar sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi hingga terpenuhinya jumlah sebanyak 30 sampel untuk anak balita dengan
ibu bekerja dan 30 sampel untuk anak balita dengan ibu tidak bekerja sehingga
peneliti menggunakan teknik Puposive Quota Non Random Sampling. (Notoatmodjo
S., 2005; Saryono, 2008 Ibnu F., dkk, 2009).
92
Adapun Kriteria inklusi dan ekslusi adalah:
1. Untuk Anak:
a. Kriteria inklusi adalah anak balita mendapat izin dari orang tua atau wali
untuk ikut dalam penelitian.
b. Kriteria ekskusi adalah anak balita yang menderita penyakit-penyakit sistemik,
gangguan metabolik.
2. Untuk Ibu:
a. Ibu bekerja
1) Kriteria Inklusi adalah:
a) Pendidikan formal ibu minimal SMP (Sekolah Menengah Pertama)
b) Bekerja di luar rumah dan bekerja penuh waktu (7 jam sehari selama 6
hari atau 40 jam atau 8 jam sehari selama 5 hari atau 40 jam )
c) Tinggal serumah dengan anaknya yang masih balita
2) Kriteria Eksklusi adalah: Ibu tidak bekerja.
b. Ibu tidak bekerja
1) Kriteria Inklusi adalah:
a) Pendidikan formal ibu minimal SMP (Sekolah Menengah Pertama)
b) Tinggal serumah dengan anaknya yang masih balita
2) Kriteria Eksklusi adalah: Bekerja di dalam rumah atau di luar rumah.
D. Identifikasi Variabel Penelitian
Variabel-variabel dalam penelitian ini meliputi:
1. Variabel terikat (dependent): status perkembangan anak balita.
2. Varibel bebas (independent): ibu bekerja dan ibu tidak bekerja.
93
E. Definisi Operasional Variabel Penelitian
Definisi operasional dari penelitian ini adalah:
1. Perkembangan anak balita
Definisi Perkembangan anak balita adalah perubahan yang progresif dari
bertambahnya kemampuan (skill) dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih
kompleks berupa perubahan bentuk fisik, struktur saraf, perilaku dan sifat dalam
pola yang teratur, berlangsung terus dan dapat diramalkan, sebagai hasil dari
proses pematangan dan pengalaman pada masa anak usia 0 – 59 bulan.
Alat Ukur : Metode Denver II
Skala pengukuran : Nominal
Kategori : 1 = Normal, 2 = Meragukan, 3 = Tidak Normal.
2. Ibu bekerja
Ibu bekerja adalah kegiatan yang dilakukan oleh seorang ibu rumah tangga baik
secara langsung atau secara tidak langsung, dengan mengeluarkan tenaga atau
energi dan mempunyai nilai waktu untuk mendapatkan penghasilan dalam bentuk
uang / barang atau keuntungan dengan waktu kerja adalah 7 jam sehari selama 6
hari atau 40 jam seminggu atau 8 jam sehari selama 5 hari atau 40 jam seminggu.
Alat Ukur : Kuesioner
Skala pengukuran : Nominal
3. Ibu tidak bekerja
Ibu yang tidak bekerja adalah ibu rumah tangga yang tidak memiliki aktifitas
yang secara langsung menghasilkan uang atau barang yang dapat menyumbang
penghasilan keluarga.
Alat Ukur : Kuesioner
94
Skala pengukuran : Nominal
F. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Kuesioner
Kuesioner Penelitian merupakan lembar isian untuk memperoleh identitas masing-
masing subyek penelitian, meliputi nama anak balita, umur, anak ke berapa,
riwayat sakit anak balita, nama ibu, nama ayah, alamat, pendidikan terakhir ibu,
ibu bekerja atau tidak, ayah bekerja atau tidak, bila ibu/ayah bekerja, status
pekerjaan , waktu kerja, gaji, status pengasuh anak balita.
2. Observasi (Pengamatan)
Peneliti melakukan pengamatan dengan dasar lembar formulir Denver II pada
subjek penelitian yang dapat dilihat pada kuesioner penelitian yang telah diisi
sebelumnya oleh peneliti. Awalnya peneliti menentukan umur anak balita
kemudian pada lembar formulir Denver II ditarik garis vertikal yang memotong
umur tersebut sehingga memotong 4 sektor perkembangan (perilaku sosial,
gerakan motorik halus, bahasa, gerakan motorik kasar). Kemudian dilakukan
pengamatan pada masing-masing sektor perkembangan, dimana tiap sektor
perkembangan terdapat tugas (kemampuan) perkembangan yang digambarkan
dalam bentuk kotak persegi panjang horisontal yang berurutan menurut umur.
Pengamatan dilakukan mulai dari awal 0 bulan menuju ke umur selanjutnya
kemudian apabila anak balita dapat mengerjakan tugas perkembangan maka diberi
tanda P (Passed = lulus) dan bila tidak dapat mengerjakan tugas perkembangan
maka diberi tanda F (Fail = gagal). Bila anak balita sudah melakukan 3 kali F
95
maka pengamatan dihentikan dan dilihat P sebelum F yang pertama ditarik garis
vertikal sampai memotong umur dan semua tugas perkembangan. Hasilnya dilihat
apabila anak dapat melewati semua pada tiap sektor dikategorikan normal, apabila
terlambatnya perkembangan pada tiap sektor perkembangan lebih dari 6 bulan
dikategorikan tidak normal, kurang dari 6 bulan dikategorikan meragukan.
G. Teknik Pengumpulan Data
Peneliti melakukan pengumpulan data dengan cara:
1. Peneliti mendata subjek penelitian di RW VI yang terdiri dari RT I, RT II, RT III,
RT IV,RT V melalui kuesioner.
2. Peneliti memilih data kuesioner yang sesuai kriteria inklusi kemudian dilakukan
pengamatan (observasi) dengan metode Denver II.
H. Kerangka Penelitian
Anak Balita dengan ibu bekerja dan Ibu tidak bekerja (N)
Anak balita Anak balita dengan ibu bekerja (n1) dengan ibu tidak bekerja (n2)
Perkembangan anak balita Perkembangan anak balita ( Denver II ) ( Denver II ) - Perilaku Sosial - Perilaku Sosial - Gerakan Motorik Halus - Gerakan Motorik Halus - Bahasa - Bahasa - Gerakan Motorik Kasar - Gerakan Motorik Kasar
Gambar 2.1 Kerangka Penelitian
OpenEpi versi 2.2 dengan Tabel 2 x 2
96
I. Metode Analisa Data
Metode analisis data penelitian menggunakan uji chi kuadrat bantuan OpenEpi
versi 2.2 dengan Tabel 2 x 2 untuk menguji secara statistik antara perkembangan anak
balita dengan ibu bekerja dan ibu tidak bekerja, baik dalam aspek perilaku sosial,
motorik halus, bahasa maupun motorik kasar.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Karakteristik Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah anak balita yang mempunyai ibu
bekerja dan ibu tidak bekerja di RW VI, Kelurahan Semanggi, Kecamatan Pasar
Kliwon, Surakarta. Jumlah subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi
sebanyak 60 orang, yang dibagi menjadi kelompok anak balita dengan ibu bekerja
sebanyak 30 orang dan kelompok anak balita dengan ibu tidak bekerja sebanyak
30 orang.
a. Jenis Kelamin Subjek Penelitian
Distribusi jenis kelamin pada kelompok anak balita dengan ibu bekerja
lebih banyak laki-laki, sedangkan pada kelompok anak balita dengan ibu tidak
bekerja lebih banyak perempuan. Sebaran jenis kelamin secara lebih jelas
dapat dilihat pada Tabel 4.1.
97
Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Subjek Penelitian
Jenis
Kelamin
Balita dengan Ibu
Bekerja
Balita dengan Ibu Tak
Bekerja
n % n %
Laki-
laki
16 53,3 11 36,7
Peremp
uan
14 46,7 19 63,3
Total 30 100 30 100
b. Usia Subjek Penelitian
Usia subjek penelitian pada kelompok anak balita dengan ibu bekerja
rata-rata 28,2 bulan dengan rentang usia antara 3 sampai 56 bulan, sedangkan
pada kelompok balita dengan ibu tidak bekerja rata-rata 24,97 bulan dengan
rentang usia antara 4 sampai 36 bulan. Perbandingan tersebut secara lebih jelas
dapat dilihat pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2 Rerata dan Simpangan Baku Usia (bulan) Subjek Penelitian
Statistik
Kelompok
Balita dengan Ibu
Bekerja
Balita dengan Ibu
Tak Bekerja
Rerata 28,2 24,9
Simpanga 14,0 13,5
98
n Baku
c. Posisi Subjek Penelitian dalam Keluarga
Subjek penelitian pada kelompok anak balita dengan ibu bekerja
sebagian besar adalah anak pertama. Demikian pula pada kelompok anak
balita dengan ibu tidak bekerja.
Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Urutan Anak Subjek Penelitian
An
ak Ke-
Balita dengan Ibu
Bekerja
Balita dengan Ibu Tak
Bekerja
n % n %
Per
tama
14 43,
3
14 46,7
Ke
dua
Ket
iga
Ke
empat
Kel
ima
7
4
4
2
23,
3
13,
3
13,
3
6,8
11
4
1
0
36,7
13,3
3,3
0
Tot
al
30 10
0
30 100
d. Jumlah Saudara
99
Subjek penelitian pada kelompok anak balita dengan ibu bekerja
sebagian besar memiliki 1 saudara kandung. Demikian pula pada kelompok
anak balita dengan ibu tidak bekerja. Sebaran jumlah saudara kandung
tersebut secara lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 4.4
Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Jumlah Saudara Kandung Subjek Penelitian
Ju
mlah
Saudara
Balita dengan Ibu
Bekerja
Balita dengan Ibu Tak
Bekerja
n % n %
Sat
u
12 40 12 40
Du
a
Tig
a
Em
pat
Li
ma
Ena
m
7
5
4
1
1
23,
3
16,
7
13,
3
3,3
3,3
11
6
1
0
0
36,7
20
3,3
0
0
100
Tot
al
30 10
0
30 100
e. Pendidikan Ibu
Ibu pada kelompok anak balita dengan ibu bekerja sebagian besar
berpendidikan SLTA. Demikian pula pada kelompok anak balita dengan ibu
tidak bekerja. Sebarannya secara lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 4.5.
Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Urutan Anak Subjek Penelitian
Pendi
dikan Ibu
Balita dengan Ibu
Bekerja
Balita dengan Ibu Tak
Bekerja
n % n %
S2 1 3,3 0 0
S1
D3
D2
D1
SLT
A
SLT
P
1
3
0
0
14
11
3,3
10
0
0
46,
6
36,
7
1
0
1
2
17
9
3,3
0
3,3
6,7
56,7
30
Total 30 10
0
30 100
f. Penghasilan Orang Tua
101
Penghasilan orang tua pada kelompok anak balita dengan ibu bekerja
rata-rata Rp 1.653.333, sedangkan pada kelompok balita dengan ibu tidak
bekerja rata-rata Rp 1.250.000.
2. Perkembangan Subjek PenelitianPengukuran perkembangan anak balita dengan
metode Denver II meliputi 4 aspek, yaitu kemampuan perilaku sosial, motorik
halus, bahasa dan kemampuan motorik kasar.
a. Perkembangan Perilaku Sosial
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh data bahwa sebagian besar
subjek penelitian pada kelompok anak balita dengan ibu bekerja memiliki
perkembangan perilaku sosial yang normal, hanya 2 subjek yang mengalami
perkembangan tidak normal. Demikian pula pada kelompok anak balita
dengan ibu tidak bekerja, dimana hanya 1 subjek penelitian yang mengalami
perkembangan tidak normal. Perbedaan perkembangan perilaku sosial pada
kedua kelompok secara statistik tidak bermakna ( p = 0,277 ). Selengkapnya
tersaji dalam Tabel 4.6.
Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Perkembangan Perilaku Sosial Anak Balita
Katego
ri
Balita (Ibu
Bekerja)
Balita (Ibu Tak
Bekerja)
2 n %
n %
Normal 2
8
9
3,3
29 96,
7 ,35 ,277
102
Tidak
Normal
2 6
,7
1 3,3
Total 3
0
1
00
30 10
0
b. Perkembangan Motorik Halus Subjek Penelitian
Sebagian besar subjek penelitian pada kelompok anak balita dengan
ibu bekerja memiliki perkembangan motorik halus yang normal, hanya 1
subjek yang mengalami perkembangan tidak normal. Demikian pula pada
kelompok anak balita dengan ibu tidak bekerja. Perbedaan perkembangan
motorik halus pada kedua kelompok secara statistik tidak bermakna ( p =
0,754 ). Selengkapnya tersaji dalam Tabel 4.7.
Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Perkembangan Motorik Halus Anak Balita
Kategori
Balita (Ibu
Bekerja)
Balita (Ibu Tak
Bekerja)
2 n %
n %
Normal 2
9
9
6,7
29 96,
7 ,754
Tidak
Normal
1 3
,3
1 3,3
Total 3
0
1
00
30 10
0
103
c. Perkembangan Bahasa Subjek Penelitian
Perkembangan bahasa subjek penelitian pada kelompok anak balita
dengan ibu bekerja sebagian besar normal, hanya 2 orang yang mengalami
perkembangan tidak normal. Demikian pula pada kelompok anak balita
dengan ibu tidak bekerja, dimana hanya 1 orang yang mengalami
perkembangan tidak normal. Perbedaan perkembangan bahasa pada kedua
kelompok secara statistik tidak bermakna ( p = 0,277 ). Selengkapnya tersaji
dalam Tabel 4.8.
Tabel 4.8 Distribusi Frekuensi Perkembangan Bahasa Anak Balita
Katego
ri
Balita (Ibu
Bekerja)
Balita (Ibu Tak
Bekerja)
2 n %
n %
Normal 28 9
3,3
29 96,
7 ,35 ,277
Tidak
Normal
2 6
,7
1 3,3
Total 30 1
00
30 10
0
d. Perkembangan Motorik Kasar Subjek Penelitian
Sebagian besar subjek penelitian pada kelompok anak balita dengan
ibu bekerja memiliki perkembangan motorik kasar yang normal, hanya 2
104
subjek yang mengalami perkembangan tidak normal. Demikian pula pada
kelompok anak balita dengan ibu tidak bekerja, dimana hanya 1 subjek
penelitian yang mengalami perkembangan tidak normal. Perbedaan
perkembangan motorik kasar pada kedua kelompok secara statistik tidak
bermakna ( p = 0,277 ). Selengkapnya tersaji dalam Tabel 4.9.
Tabel 4.9 Distribusi Frekuensi Perkembangan Motorik Kasar Anak Balita
Katego
ri
Balita (Ibu
Bekerja)
Balita (Ibu Tak
Bekerja)
2 n %
n
Normal 28 9
3,3
29
6,7 ,35 ,277
Tidak
Normal
2 6
,7
1
,3
Total 30 1
00
30
00
B. Pembahasan
1. Karakteristik Subjek Penelitian
Penelitian ini adalah studi analitik, dimana penarikan kesimpulan tentang
hubungan atau pengaruh variabel dilakukan dengan metode perbandingan
kelompok-kelompok yang berbeda. Syarat perbandingan yang valid adalah bahwa
kelompok-kelompok studi yang dibandingkan itu harus sebanding (comparable)
105
dalam faktor-faktor tertentu, yaitu faktor-faktor yang berhubungan dengan
variabel dependen dan variabel independen utama yang diteliti (Murti, 2006).
Oleh karena itu, disamping data utama berupa hasil pengukuran perkembangan
anak balita menggunakan metode Denver II, digali juga data tentang karakteristik
subjek penelitian, untuk mengetahui sejauh mana tingkat perbandingan antara
kelompok balita dengan ibu bekerja dan kelompok balita dengan ibu tidak bekerja.
Berdasarkan analisis data tentang karakteristik subjek penelitian diketahui
bahwa jenis kelamin subjek penelitian pada kelompok anak balita dengan ibu
bekerja lebih banyak laki-laki, sedangkan pada kelompok anak balita dengan ibu
tidak bekerja lebih banyak perempuan, dapat disimpulkan bahwa data jenis
kelamin subjek penelitian pada kedua kelompok tidak homogen. Variabel jenis
kelamin mempengaruhi tumbuh kembang anak balita. Hal ini didasari oleh
pendapat Rusmil (2008) dan Soetjiningsih (1995), bahwa salah satu faktor yang
mempengaruhi kualitas tumbuh kembang anak adalah jenis kelamin.
Sedangkan usia subjek penelitian pada kelompok anak balita dengan ibu
bekerja rata-rata 28,2 bulan dan pada kelompok balita dengan ibu tidak bekerja
rata-rata 24,97 bulan, dapat disimpulkan bahwa data usia subjek penelitian pada
kedua kelompok tidak homogen. Variabel usia mempengaruhi tumbuh kembang
anak balita, sesuai konsep Soetjiningsih (1995) dan Rusmil (2008), dimana salah
satu faktor yang mempengaruhi kualitas tumbuh kembang anak adalah umur.
Karakteristik lain dari subjek penelitian urutan atau posisi anak dalam
keluarga, apakah anak pertama, kedua dan seterusnya serta jumlah saudara
kandung. Urutan dan jumlah saudara kandung ini penting diperhatikan karena
terkait erat dengan faktor cinta dan kasih sayang yang diberikan orang tua
106
terhadap anak balita serta faktor kualitas interaksi anak dengan orang tua, sejalan
dengan konsep Soetjiningsih (1995). Pengalaman empiris membuktikan bahwa
cinta, kasih sayang dan kualitas interaksi orang tua terhadap anak pertama akan
berbeda dengan anak kedua dan seterusnya. Demikian pula pada jumlah saudara
kandung, jika anak lebih dari satu tentu perhatian yang diberikan orang tua tentu
saja berbeda.
Sesuai dengan pendapat Soetjiningsih (1995) bahwa pendidikan orang tua
merupakan salah satu faktor yang penting dalam tumbuh kembang anak. Karena
dengan pendidikan yang baik, maka orang tua dapat menerima segala informasi
dari luar terutama tentang cara pengasuhan anak yang baik, bagaimana menjaga
kesehatan anak, pendidikannya dan sebagainya. Sejalan juga dengan pendapat
Rusmil (2008), bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas tumbuh
kembang anak adalah ketidaktahuan yang erat kaitannya dengan tingkat
pendidikan ibu atau pengasuh anak.
Karakteristik subjek penelitian yang terakhir dikaji pengaruhnya adalah
penghasilan atau pendapatan keluarga atau orang tua. Hal ini sesuai dengan
konsep Rusmil (2008) dan Revina (2010) yang menyatakan bahwa kualitas
tumbuh kembang anak dipengaruhi oleh faktor sosial ekonomi keluarga,
kemiskinan selalu berkaitan erat dengan kekurangan makanan, lingkungan yang
jelek dan ketidaktahuan, yang akan menghambat pertumbuhan dan perkembangan
anak. Juga sejalan dengan pendapat Soetjiningsih (1995), pendapatan keluarga
yang memadai akan menunjang tumbuh kembang anak, karena orang tua dapat
menyediakan semua kebutuhan anak baik yang primer maupun yang sekunder.
2. Perkembangan Subjek Penelitian
107
Perkembangan subjek penelitian diukur menggunakan metode Denver II.
Aspek perkembangan yang dinilai terdiri dari 125 tugas perkembangan, dimana
semua tugas perkembangan itu disusun berdasarkan urutan perkembangan dan
diatur dalam 4 kelompok besar yang disebut sektor perkembangan, yang meliputi:
1) Personal social (perilaku sosial), yaitu aspek yang berhubungan dengan
kemampuan mandiri, bersosialisasi dan berinteraksi dengan lingkungannya.
2) Fine motor adaptive (gerakan motorik halus), yaitu aspek yang berhubungan
dengan kemampuan anak untuk mengamati sesuatu, melakukan gerakan yang
melibatkan bagian-bagian tubuh tertentu saja dan dilakukan otot-otot kecil,
tetapi memerlukan kooordinasi yang cermat. Misalnya kemampuan untuk
menggambar, memegang sesuatu benda, dan lain-lain.
3) Language (bahasa), yaitu kemampuan untuk memberikan respon terhadap
suara, mengikuti perintah dan berbicara spontan.
4) Gross motor (gerakan motorik kasar), yaitu aspek yang berhubungan dengan
pergerakan dan sikap tubuh.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh data bahwa terdapat 2 subjek
penelitian yang mengalami perkembangan perilaku sosial tidak normal pada
kelompok anak balita dengan ibu bekerja. Sedangkan pada kelompok anak balita
dengan ibu tidak bekerja, terdapat 1 subjek penelitian yang mengalami
perkembangan perilaku sosial tidak normal. Sedangkan hasil pengukuran aspek
motorik halus didapati 1 subjek yang mengalami perkembangan tidak normal,
baik pada kelompok anak balita dengan ibu bekerja maupun pada kelompok anak
balita dengan ibu tidak bekerja. Hasil pengukuran perkembangan bahasa subjek
penelitian pada kelompok anak balita dengan ibu bekerja dijumpai 2 orang yang
108
mengalami perkembangan tidak normal, dan pada kelompok anak balita dengan
ibu tidak bekerja dijumpai 1 orang yang mengalami perkembangan tidak normal.
Demikian pula hasil pengukuran aspek motorik kasar pada kelompok anak balita
dengan ibu bekerja, diketahui ada 2 subjek yang mengalami perkembangan tidak
normal dan pada kelompok anak balita dengan ibu tidak bekerja, terdapat 1 subjek
penelitian yang mengalami perkembangan tidak normal.
Berdasarkan analisis data penelitian menggunakan uji OpenEpi versi 2.2
dengan Tabel 2 x 2, diperoleh hasil bahwa tidak terdapat perbedaan antara
perkembangan anak balita dengan ibu bekerja dan ibu tidak bekerja, baik dalam
aspek perilaku sosial, motorik halus, bahasa maupun motorik kasar. Hal ini
disebabkan oleh adanya varibel luar yang tidak dapat dikendalikan seperti faktor
genetik, perbedaan kuantitas dan intensitas perhatian, kasih sayang, interaksi
anak-ibu, stimulasi dini dan faktor-faktor psikososial lain yang diterima oleh anak
balita. Faktor-faktor perancu tersebut mungkin berbeda pada kelompok anak balita
dengan ibu bekerja dan pada kelompok anak balita dengan ibu tidak bekerja,
sehingga menutupi perbedaan perkembangan yang sesungguhnya.
Faktor psikososial dapat dikatakan tidak mempengaruhi perkembangan
anak balita, sehingga sesuai dengan pendapat Rusmil (2008) dan Soetjiningsih
(1995) bahwa perkembangan anak balita sangat dipengaruhi oleh faktor
psikososial seperti stimulasi, cinta dan kasih sayang, serta kualitas interaksi anak
dengan orang tua. Anak yang mendapat stimulasi yang terarah dan teratur akan
lebih cepat berkembang dibandingkan dengan anak yang kurang mendapat
stimulasi. Anak juga memerlukan kasih sayang dan perlakuan yang adil dari orang
tuanya, agar kelak kemudian hari menjadi anak yang tidak sombong dan bisa
109
memberikan kasih sayang pula kepada sesamanya. Interaksi timbal balik antara
anak dan orang tua, akan menimbulkan keakraban dalam keluarga. Anak akan
terbuka kepada orang tuanya sehingga komunikasi bisa dua arah dan segala
permasalahan dapat dipecahkan bersama karena adanya keterdekatan dan
kepercayaan antara orang tua dan anak. Interaksi tidak ditentukan oleh seberapa
lama kita bersama anak. Tetapi lebih ditentukan oleh kualitas dari interaksi
tersebut yaitu pemahaman terhadap kebutuhan masing-masing dan upaya optimal
untuk memenuhi kebutuhan tersebut yang dilandasi oleh rasa saling menyayangi.
Hasil penelitian Brooks-Gunn, Han, & Waldfogel (2002) menunjukkan
bahwa terdapat efek negatif terhadap perkembangan kognitif pada usia 15 bulan
sampai 3 tahun dari bayi berusia sembilan bulan dengan ibu yang bekerja lebih
dari 30 jam seminggu. Hal tersebut disebabkan sensitivitas maternal, kualitas
lingkungan rumah, dan kualitas pengasuhan anak membuat perbedaan yang
berarti. Ibu yang bekerja memiliki kuantitas interaksi dengan anak yang lebih
sedikit jika dibanding ibu yang tidak berkerja.
Penelitian ini juga berhasil mengidentifikasi pengasuh pengganti ibu
selama ibu bekerja, dimana dari 30 subjek penelitian, 22 orang diasuh oleh
neneknya, 5 orang oleh bapaknya, 2 orang diasuh oleh pembantu dan 1 orang
diasuh oleh saudara ibu. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
pengasuhan yang diterima anak balita ketika ibu bekerja tidak mempengaruhi
kualitas perkembangan anak balita. Meskipun asuhan yang diberikan langsung
oleh ibu tentu sangat berbeda dengan asuhan yang diberikan orang lain.
Menurut Najmulhayah (2010), pengasuhan anak didefinisikan sebagai perilaku
yang dipraktekkan oleh pengasuh (ibu, bapak, nenek, atau orang lain) dalam
110
memberikan makanan, pemeliharaan kesehatan, memberikan stimuli serta dukungan
emosional yang dibutuhkan anak untuk tumbuh-kembang. Juga termasuk di dalamnya
tentang kasih sayang dan tanggung-jawab orang-tua. Pengasuhan yang baik sangat
penting untuk dapat menjamin tumbuh-kembang anak yang optimal. Perilaku ibu
seperti cara memelihara kebersihan rumah, higiene makanan, kebersihan perorangan,
dan praktik psikososial adalah faktor-faktor penting yang berpengaruh terhadap
proses tumbuh-kembang anak tidak dapat tergantikan oleh pengasuh lainnya
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa tidak ditemukan
adanya perbedaan perkembangan anak balita, dalam aspek perilaku sosial, motorik
halus, bahasa dan motorik kasar, baik pada anak balita yang ibunya bekerja maupun
tidak bekerja. Kesimpulan ini tidak bersifat definitif, karena sejumlah faktor perancu
seperti faktor genetik, kuantitas dan intensitas perhatian, kasih sayang, interaksi anak
dan ibu, stimulasi dini, dan faktor-faktor psikososial lainnya, mungkin menutupi
111
perbedaan perkembangan yang sesungguhnya terjadi pada anak balita dari kedua
kelompok tersebut.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka dapat disarankan bahwa:
1. Bagi akademik
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang pengaruh lamanya
perkerjaan ibu di luar rumah terhadap perkembangan anak balita dengan
mengontrol faktor perancu seperti faktor genetik, kuntitas dan intensitas perhatian,
kasih sayang, interaksi anak dan ibu, stimulasi dini, dan faktor-faktor psikososial
lainnya, disarankan untuk menggunakan metode multivariat untuk mengontrol
aneka faktor perancu tersebut.
2. Bagi Ibu-ibu yang mempunyai anak balita
Supaya perkembangan anak balita baik, jangan terfokus pada lamanya
asuhan tetapi juga perlu memperhatikan kualitas asuhannya
3. Bagi para dokter keluarga
Para doter keluarga disarankan untuk memperhatikan tidak hanya faktor-
faktor yang ada di dalam keluarga tetapi juga faktor-faktor lain di luar rumah misal,
faktor lain di tempat kerja yang secara tidak langsung dapat mempengaruhi
perkembangan anak balita.
112
DAFTAR PUSTAKA
Alva N., 2005, Seminar dan Diskusi dengan tema Perkembangan Balita Yang Ideal, Suatu Tinjauan Psikologis, diselenggarakan oleh LSM Kharisma Women and Education.
Amel Yanis, Edith Pleyte W., Ika Widyawati, Kusdinar A. 2008, Peranan Hubungan
Ibu-Anak pada Gagal Tumbuh Anak 0-36 bulan, Cermin Dunia Kedokteran, 162vol. 35 no. 3, Jakarta: Kalbe Farma.
Atkinson R.L..Atkinson, R.C., Hilgard, E.R,. 1983, Introduction to Psychology,
Jakarta: Penerbit Erlangga. Badan Pusat Statistik Republik Indonesia ( BPS RI ), 2009,
http://www.bps.go.id/aboutus.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=06 Brooks-Gunn J., Han WJ., Waldfogel J., 2002, Maternal employment and child
cognitive outcomes in the first three years of life: the NICHD Study of Early Child Care. National Institute of Child Health and Human Development, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12146733 ( 13 Januari 2010 )
Daniel S.S.,Grzywacz J., Leerkes E., Tucker J., Han W.J., 2009, Nonstandard
maternal work schedules during infancy: Implications for children's early behavior problems, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2659722/pdf/nihms-98750.pdf
( 12 Januari 2010 ) Depkes RI, 2005, Pedoman Pelaksanaan Stimulasi, Deteksi dan Intervensi Dini
Tumbuh Kembang Anak Di Tingkat Pelayanan Kesehatan Dasar, Jakarta. Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi,
http://dinasnakertrans.jakarta.go.id/website/pages/konsep-dan-definisi.php Frankenburg W.K., Dodds J., Archer P., Bresnick B., Maschka P., Edelman N.,
Shapiro H., 1990, Denver II ( Technical Manual ), Denver: Denver Development Materials, Incorporated.
113
Gunanti, Inong Retno, 2005, Pengetahuan, Sikap dan Ketrampilan Pembantu Rumah Tangga ( PRT ) dalam Pengasuhan Anak serta Hubungannya dengan Status Gizi dan Perkembangan Anak usia 2 – 5 tahun.
http://www.adln.lib.unair.ac.id/go.php?id=jiptunair-gdl-res-2005-gunantiino-1593&node=242&start=226&PHPSESSID=696b204be303b286f6d82cc4b6cb92eb
Hadi H, 2005, Beban Ganda Masalah Gizi dan Implikasinya terhadap Kebijakan
Pembangunan Kesehatan Nasional, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, http://www.gizi.net/download/Beban%20ganda%20masalah%20gizi.pdf
Halpern R., Barros A.J.D., Matijasevich A., Santos I.S., Victora C.G., Barros F.C.,
2008, Developmental status at age 12 months according to birth weight and family income: a comparison of two Brazilian birth cohorts, http://www.scielosp.org/scielo.php?script=sci_arttext&pid=S0102-311X2008001500010&lng=en&nrm=iso&tlng=en ( 10 Nopember 2009 )
Han WJ., 2005, Maternal nonstandard work schedules and child cognitive outcomes., http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15693763?ordinalpos=1&itool=EntrezSystem2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_SingleItemSupl.Pubmed_Discovery_RA&linkpos=3&log$=relatedarticles&logdbfrom=pubmed ( 17 Januari 2010 )
Harvey E., 1999, Short-term and long-term effects of early parental employment on children of the National Longitudinal Survey of Youth, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10082015?ordinalpos=1&itool=EntrezSystem2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_SingleItemSupl.Pubmed_Discovery_RA&linkpos=2&log$=relatedarticles&logdbfrom=pubmed ( 14 Januari 2010 )
Hill JL, Waldfogel J, Brooks-Gunn J, Han WJ., 2005, Maternal employment and child
development: a fresh look using newer methods, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16351331 ( 16 Januari 2010 )
Hasan M, 2009, PAUD ( Pendidikan Anak Usia Dini ), cetakan pertama, Jogjakarta:
DIVA Press. Hurlock E.B., 1978, Perkembangan Anak, jilid 1, Jakarta: Erlangga. ___________, 1980, Psikologi Perkembangan ( Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang
Kehidupan ), Jakarta: Erlangga. Ibnu F., Isnaeni DTN, Astutik P., Isman A., Rudy S.B., Anom A., Sugeng I., 2009,
Statistik untuk Praktisi Kesehatan, Yogyakarta: Graha Ilmu.
114
Youngblut J.M., Brooten D., Singer L.T., Standing T., Lee H., Rodgers W.L., 2009, Effects of Maternal Employment and Prematurity on Child Outcomes in Single Parent Families, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11725936 ( 10 Januari 2010 )
Kiong M.,2008, Siapa Bilang Ibu Bekerja Tidak Bisa Mendidik Anak dengan Baik,
Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Moersintowarti B. Narendra, Titi S. Sularyo, Soetjiningsih, Hariyono Suyitno, Gde
Ranuh, Sambas Wiradisuria, 2008, Tumbuh Kembang Anak dan Remaja, Jakarta: CV. Sagung Seto.
Murti B., 2006, Desain dan Ukuran Sampel Untuk Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif di Bidang Kesehatan, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Mussen P.H., Conger J.J., Kagan J., Huston A.C.,1984, Perkembangan Anak dan
Kepribadian Anak, jilid 1, Jakarta: Erlangga. Najmulhayah, 2010, Optimalisasi Proses Perkembangan Anak Guna Membangun
Sumber Daya Manusia Yang Lebih Baik, http://najmulhayah.wordpress.com/2010/02/09/optimalisasi-proses-perkembangan-anak-guna-membangun-sumber-daya-manusia-yg-lebih-baik/
Notoatmodjo S., 2005, Metodologi Penelitian Kesehatan, Jakarta: PT. Rineka Cipta. Papalia D.E., Old S.W., Feldman R.D.,2008, Human Development ( Psikologi
Perkembangan ), Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Revina P., 2010, Faktor Perkembangan Anak, http://bidanku.com/index.php?/Faktor-
Perkembangan-Anak Rich A.,2006, Bekerja dengan Cinta, cetakan pertama, Yogyakarta: Cakrawala. Ruhm C.J., 2008, Maternal Employment and Adolescent Development, Labour Econ;
15(5): 958–983. doi:10.1016/j.labeco.2007.07.008. ( 11 Januari 2010 ) Rusmil K., 2008, Pertumbuhan dan Perkembangan Anak, http://www.
aqilaputri.rachdian.com/index2.php Sam A., 2009, Pengertian keluarga, http://sobatbaru.blogspot.com/2009/01/pengertian-
keluarga.html Santrock J.W.,2002, Life-Span Development, Perkembangan Masa Hidup, Jilid 1,
Jakarta: Erlangga. ____________,2007, Perkembangan Anak, Edisi kesebelas, Jilid 1, Jakarta: Erlangga. ____________,2007, Perkembangan Anak, Edisi kesebelas, Jilid 2, Jakarta: Erlangga.
115
Saryono, 2008, Metodologi Penelitian Kesehatan (Penuntun Praktis Bagi Pemula),
Yogyakarta: Mitra Cendikia Press. Schirmer C.R., Portuguez M.W., Nunes M.L., 2006, Clinical assessment of language
development in children at age 3 years that were born preterm http://www.scielo.br/scielo.php?script=sci_arttext&pid=S0004-282X2006000600007&lng=en&nrm=iso&tlng=en ( 11 Nopember 2009 )
Soetjiningsih, 1995, Tumbuh Kembang Anak, Jakarta: Buku kedokteran ECG. Sutji M.W., 1991, Mengenali Perkembangan Balita (sebagai dasar bagi usaha
pengembangan bangsa yang berkualitas), Pelatihan Deteksi Dini dan Stimulasi Tumbuh Kembang Balita, http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/10/mengenali_perkembangan_balita.pdf
Undang-Undang Ketenagakerjaan, 2003, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
13 Tahun 2003, Jakarta: Cemerlang. Yacub N,2003, Hubungan Pola Asuh dengan Status Gizi Bayi Usia 4 – 12 bulan di
Desa Lero Kecamatan Suppa Kabupaten Pinrang Sulawesi Selatan Tahun 2003, Jurnal Media Kesehatan Masyarakat Indonesia. Vol 1 No 1 2005. http://forbetterhealth.files.wordpress.com/2009/02/perkembangan-anak-usia pra-sekolah.pdf
Yoshikawa H., 1999, Welfare Dynamics, Support Services, Mothers' Earnings, and
Child Cognitive Development: Implications for Contemporary Welfare Reform, http://www3.interscience.wiley.com/journal/119058810/abstract ( 26 Januari 2010 )
116
117