disertasi

495
11-12 Desember 2009 Auditorium Gedung M.Si dan Doktor Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada Narasumber: Prof. Dr. Jogiyanto H.M.,M.B.A. Prof. Dr. Suwardjono, M.Sc Dr. Hani. Handoko, M.B.A. Dr. B. M. Purwanto, M. B. A. Dr. Rimawan Pradiptyo, M.Sc Dr. Tri Widodo, Mec. Dev. (Kand.) Dr. Kuntari Erimurti, Dra, M.M. (Kand.) Dr. Gancar Candra Premananto, S.E., M.Si (Kand.) Dr. Meinarni Asnawi, S.E., M.Si (Kand.) Dr. Margani Pinasti, S.E., M.Si

Upload: hariyadihamid

Post on 19-Jun-2015

5.743 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: DISERTASI

11-12 Desember 2009Auditorium Gedung M.Si dan Doktor

Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada

Narasumber:

Prof. Dr. Jogiyanto H.M.,M.B.A.

Prof. Dr. Suwardjono, M.Sc

Dr. Hani. Handoko, M.B.A.

Dr. B. M. Purwanto, M. B. A.

Dr. Rimawan Pradiptyo, M.Sc

Dr. Tri Widodo, Mec. Dev.

(Kand.) Dr. Kuntari Erimurti, Dra, M.M.

(Kand.) Dr. Gancar Candra Premananto, S.E., M.Si

(Kand.) Dr. Meinarni Asnawi, S.E., M.Si

(Kand.) Dr. Margani Pinasti, S.E., M.Si

Page 2: DISERTASI

 

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 i

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Kata Pengantar

Assalamualaikum Wr.wb.

Kata syukur pada Tuhan Yang Maha Esa adalah pertama kali kami ucapkan atas terlaksananya acara kolokium nasional yang mengangkat tema tentang pengukuran. Tak lupa kami atas nama seluruh panitia juga mengucapkan terima kasih kepada Pengelola Program Doktor Ilmu-Ilmu Ekonomika dan Bisnis UGM yang telah mempercayakan kepada kami untuk melaksanakan acara yang sangat penting bagi pengembangan keilmuan ini.

Pengukuran adalah sebuah mata rantai penting dalam proses pelaksanaan sebuah riset. Tidak sedikit bias dalam hasil riset yang disebabkan oleh kegagalan dalam pengukuran variable-variabel yang diteliti. Banyak pertanyaan yang belum terjawab seputar isu tentang pengukuran. Semoga upaya kami dengan mengadakan kegiatan kolokium nasional ini mampu memberikan wadah untuk mendiskusikan berbagai permasalahan pengukuran dalam riset. Pada akhirnya harapan kami adalah tercipta dinamika dan diskusi untuk mendorong upaya peningkatkan kontribusi dari riset-riset, khususnya disertasi, untuk masa mendatang. Tidak kalah penting adalah terjalinnya silaturahmi antar mahasiswa doktoral maupun diantara seluruh insan akademika sehingga dapat tercipta atmosphere yang baik untuk bersama memperbaiki kualitas penelitian di tanah air tercinta.

Tidak ada gading yang tak retak, jika ada kekurangan dalam pelaksanaan acara Kolokium Program Doktor tentang isu pengukuran ini, kami segenap panitia memohon maaf dan semoga kegiatan ke depan lebih baik dan bermanfaat. Tidak lupa kami ucapkan terimakasih kepada seluruh peserta dan pendukung acara ini. Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan karunia rahmat kebijaksanaan pada kita semua. Amin

Wassalamualaikum Wr.wb.

Yogyakarta, 4 Desember 2009

Panitia Kolokium

Page 3: DISERTASI

 

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 ii

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Daftar Isi

Ilmu Akuntansi

Analisis Keputusan Kepatuhan Pajak: Strategi Audit, Level Audit, Perceived Probability of Audit dan Pemahaman Etika Pajak (Studi Eksperimen Laboratorium) 1 Meinarni Asnawi Pengaruh Pertimbangan Identitas terhadap Kekenduran Anggaran: Peran Akurasi dan Pengurangan Bias 30 Monika Palupi Murniati Ilmu Manajemen Anteseden dan Konsekwensi Etika Kerja Islam 54 Siti Djamilah Aplikasi Model Risiko Kredit untuk Mengestimasi Harga Premi Penjaminan Simpanan Wajar (fair) dan Pengujian Moral Hazard 90 Firman Pribadi Event-Time Approach dan Calendar-Time Approach dalam Mengukur Kinerja Jangka Panjang IPO 121 Suherman Karakteristik Inovasi, Pengetahuan, Komunikasi Pemasaran, Persepsi Risiko Dan Stockout Dalam Keputusan Penundaan Adopsi Inovasi 135 Dyah Sugandini Model Sikap Konsumen pada Kegiatan Causes-Brand Alliances 170 Singgih Santoso Measuring the Behavior of individual and Group Performance: Hierarchical Linier Modelling Approach 204 Setyabudi Indartono

Page 4: DISERTASI

 

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 iii

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Pengembangan dan Validasi Ukuran Iklim Keadilan Organisasional pada Setting Kelompok Kerja 214 J. Eko Nugroho Studi Integrasi Pasar Modal Indonesia Dengan Modifikasi Asset Pricing Cheung & Lee (1993) 243 Ignatius roni setyawan Ilmu Ekonomi Dampak Kebijakan Energi Terhadap Perekonomian di Indonesia: Model Komputasi Keseimbangan Umum 268 Agus Sugiyono Estimasi Pengaruh Kewirausahaan terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah: Pendekatan Teori Modal Kewirausahaan (Studi Kasus Subosukasraten 1993-2005) 297 Hery Sulistio Jati Nugroho Sriwiyanto Ketegaran Upah Nominal Pekerja Produksi dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi (Studi Kasus: Industri Kimia di Indonesia 1997-2005) 327 Joko Susanto Permintaan Energi Listrik Rumah Tangga (Studi Kasus pada Pengguna Kelompok Rumah Tangga Listrik PT PLN (Persero) di Kota Medan) 362 Tongam Sihol Nababan Makalah Seminar Social Desirability Bias: Apa, Penyebab, Konsekuensi dan Solusi? 410 Gancar Candra Premananto Spesifikasi Model Pengukuran Formatif vs Reflektif untuk Konstruk Laten Need for Closure 423 Kuntari Erimurti Pengukuran Konstruk Kualitas Laba dan Isu Pengukuran Fair Value Dalam Akuntansi 460 Margani Pinasti dan Meinarni Asnawi

Page 5: DISERTASI
Page 6: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 1

ANALISIS KEPUTUSAN KEPATUHAN PAJAK: STRATEGI AUDIT, LEVEL AUDIT, PERCEIVED PROBABILITY OF AUDIT

DAN PEMAHAMAN ETIKA PAJAK (Studi Eksperimen Laboratorium)

Meinarni Asnawi∗

Prof.Dr. Zaki Baridwan, Dr. Supriyadi .M.Sc, Dr. Ertambang.M.Sc.∗∗

Abstract This paper will examine what experiments on tax compliance decisions have

revealed about compliance behavior. The development of tax decision models has focused on economic factors (audit strategy, audit level and perceived probability of audit) and the personality or behavioral factors (tax ethical beliefs) traits of taxpayer affecting tax compliance.

We will use experiment laboratory method for this research. We plan 150 respondents participation in this experiment from the magister sains and doctoral program and accounting magister of FEB UGM Yogyakarta. Experiment will use standard of fieldwork media for software and tax film. The six times experiment implementable in the computer laboratory magister sains and doctoral program FEB UGM. We beliefs that proposed model provides an important contribution by providing a framework that outlines the routes which audit strategy, audit level perceived probability of audit and tax ethical beliefs impacts to tax compliance decisions. Keywords: audit strategy, audit level, perceived probability of audit, tax ethical beliefs

and tax compliance decisions

∗ Mahasiswa Program Doktor Ilmu-ilmu Ekonomi Program Studi Akuntansi FEB UGM Yogyakarta dan Dosen pada Fakultas Ekonomi , Jurusan Akuntansi Univ. Cenderawasih Jayapura Papua ∗∗ Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Page 7: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 2

PENDAHULUAN

Latar belakang Ide riset ini muncul sebagai akibat adanya peningkatan kebutuhan

pelayanan publik yang memadai serta peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui penyediaan sarana dan prasarana yang layak. Konsekuensi logis dari kondisi di atas adalah pemerintah harus meningkatkan pendapatan negara. Salah satu medianya adalah melalui peningkatan penerimaan pajak, karena pembiayaan melalui utang akan menimbulkan biaya baru yang harus ditanggung pemerintah.Potensi pajak di Indonesia yang dapat dipungut dari masyarakat masih memiliki peluang yang sangat besar, karena dari 222 juta penduduk Indonesia, jumlah wajib pajak (WP) pribadi masih belum mencapai 13% WP.

Adanya tuntutan pada APBN yang membebani penerimaan dari sektor pajak hingga mencapai ± 90 % bukan hal yang mudah bagi Dirjen Pajak sebagai lembaga yang berwenang dalam penagihan pajak, apalagi pertumbuhan ekonomi hanya mencapai sekitar 5%. Walaupun ada peningkatan target penerimaan dari sektor pajak namun pemerintah tidak berencana menaikkan tarif pajak. Sebaliknya pemerintah menurunkan tarif pajak serta berupaya melakukan peningkatan penerimaan pajak dengan meningkatkan kepatuhan wajib pajak dari 30% menjadi 40% dan pemberlakuan ekstensifikasi pajak (Gunadi, 2006).

Kepatuhan wajib pajak dapat ditingkatkan melalui beberapa aspek psikologis dan ekonomi. Beberapa riset yang menggunakan indikator psikologis seperti sikap, etika, moral yang berkaitan dengan kepatuhan pajak telah diteliti oleh Hanno dan Violette, (1996), Milliron (1985), Milliron dkk, (1988). Alm (1998) mengklasifikasi kepatuhan pajak dalam dua katagori yaitu berdasarkan pendekatan internal norm (moral behavior) dan external norm (government decision).

Berbagai uraian di atas mengungkapkan bahwa upaya peningkatan kepatuhan pajak merupakan salah satu alternatif peningkatan pendapatan negara. Isu perilaku kepatuhan pajak tidak dapat dilakukan hanya dengan menggunakan data sekunder, karena tidak dapat mengamati secara langsung perilaku wajib pajak. Untuk itu riset ini menggunakan pendekatan eksperimen untuk melihat perubahan perilaku setelah adanya perlakuan yang diberikan

Page 8: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 3

dengan mengacu pada 4 masalah utama yaitu: (1) Apakah Strategi audit, level audit dan pemahaman etika pajak individu berpengaruh dalam peningkatan keputusan kepatuhan pajak? (2) Apakah strategi audit dan perceived probability of audit mempengaruhi keputusan kepatuhan pajak? (3)Apakah level audit dan perceived probability of audit mempengaruhi keputusan kepatuhan pajak? (4) Apakah pemahaman etika pajak individu memoderasi hubungan antara perceived probability of audit dan keputusan kepatuhan pajak ?

Riset ini ingin menunjukkan bahwa isu perilaku individual dari sudut pandang psikologi (etika) dan variabel ekonomi seperti strategi audit, level audit dan perceived probability of audit tidak dapat diabaikan dalam upaya peningkatan kepatuhan wajib pajak. Dari uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa tujuan khusus dari riset ini adalah: (1) Menginvestigasi apakah strategi audit, level audit (audit rate) dan pemahaman etika pajak individu berpengaruh dalam peningkatan keputusan kepatuhan pajak. (2) Menginvestigasi apakah strategi audit dan perceived probability of audit mempengaruhi keputusan kepatuhan pajak. (3) Membuktikan bahwa tingkat/level audit dan perceived probability of audit mempengaruhi keputusan kepatuhan pajak. (4) Membuktikan apakah pemahaman etika pajak memoderasi hubungan antara perceived probability of audit dan keputusan kepatuhan pajak.

Hasil riset ini diharapkan memberikan kontribusi bagi pemerintah dalam proses pembuatan peraturan pajak agar tidak hanya dilandaskan pada faktor ekonomi semata tetapi juga perlu mempertimbangkan faktor psikologis wajib pajak. Selain itu software pajak yang dibuat untuk tritmen dapat digunakan untuk simulasi dalam proses pembelajaran pajak. Video Etika Pemahaman Pajak juga dapat digunakan untuk meningkatkan keputusan kepatuhan pajak dari wajib pajak.

Kerangka Pemikiran Fokus riset ini adalah mencoba menguji efek perilaku kepatuhan pajak.

Riset sebelumnya (Asnawi, 2006) hanya menyimpulkan berbagai faktor yang diprediksi dapat meningkatkan kepatuhan pajak. Hasilnya menyimpulkan bahwa terdapat 7 faktor yang dapat membuat wajib pajak mau membayar pajak atau sebaliknya tidak mau membayar yaitu strategi audit, probabilitas audit, motivasi (harapan dan keadilan), kompleksitas peraturan, norma-norma sosial, dan etika pajak.

Page 9: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 4

Tingkat kepatuhan wajib pajak di Indonesia masih rendah. Data menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan pajak individu/perorangan di Indonesia masih jauh tertinggal dari negara-negara Asia lainnya seperti India. Walaupun pendapatan perkapita India lebih rendah (US $390) dibandingkan dengan Indonesia (US$1,110) tetapi India ternyata mampu mencapai tingkat kepatuhan 2,5% dari populasi yang terdaftar sebagai wajib pajak sedangkan di Indonesia hanya sekitar 0.392 % (Uppal, 2005).

Data di atas menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan pajak masih perlu ditingkatkan. Selama ini penghindaran pajak diduga lebih banyak berasal dari para pedagang kecil dan sekelompok masyarakat berpendapatan menengah, namun kenyataannya terdapat juga orang kaya dalam hal ini legislator, para menteri dan pejabat tinggi pemerintahan juga melakukan ketidakpatuhan yang disengaja melalui penghindaran pajak (Direktur Jenderal Pajak, 2000).

Mengapa ketidakpatuhan terjadi? ketidakpatuhan dapat disebabkan tidak adanya manfaat langsung yang diterima wajib pajak atas pajak yang dibayarkan. Sehingga harapan dari para wajib pajak atas apa yang telah mereka bayarkan tidak dapat dirasakan dalam bentuk pelayanan publik yang memadai. Selain itu ketidakpatuhan pajak juga bisa terjadi karena kompleksnya peraturan pajak serta terjadi negosiasi yang dapat dilakukan antara Wajib Pajak dan petugas pajak.

Proses individu untuk memilih patuh atau tidak patuh merupakan suatu perilaku kognitif yang dikontrol dalam individu itu sendiri. Pada saat membuat keputusan kepatuhan, wajib pajak akan memilih patuh jika mereka memperoleh kepercayaan tentang hasil dan evaluasi yang diperoleh dari kepatuhan yang mereka lakukan. Sebaliknya akan menunjukkan ketidakpatuhan jika serta merasa pesimis karena tidak adanya sistem kontrol yang baik dari sistem pajak yang berlaku (Alm, 1998).

Pendekatan ekpektasi utilitas juga dapat menjelaskan bahwa seseorang yang memiliki sejumlah pendapatan tetap dan diperhadapkan dengan kesempatan untuk melakukan self assessment akan memiliki kemungkinan untuk membuat under report (laporan pendapatan lebih rendah dari yang seharusnya) sehingga terdapat kemungkinan terjadinya ketidakpatuhan pajak (Allingham, 1972). Dengan demikian prinsip self-assesment system yang diterapkan memiliki potensi untuk terjadinya ketidakpatuhan pajak. Prinsip ini selain memiliki kelebihan juga memiliki kelemahan karena dengan memberikan

Page 10: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 5

kepercayaan kepada wajib pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan kewajiban pajaknya memungkinkan potensi timbulnya perilaku ketidakpatuhan.

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa seseorang yang diberi kesempatan untuk melaporkan sendiri jumlah pendapatannya akan memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk menyembunyikan informasi mengenai jumlah pendapatan yang seharusnya disampaikan dalam laporan pendapatan kena pajaknya. Tujuannya adalah ingin memaksimisasi utilitas dirinya dan menghindar dari pembayaran pajak yang seharusnya. Untuk itu seorang individu memerlukan suatu sistem pemeriksaan yang memadai dan tidak bersifat interograsi atas apa yang dilaporkan (self assesment) dari pendapatan yang diterimanya.

Dengan demikian asumsi perilaku bounded rationality dan perilaku opportunistik yang dikemukakan oleh Williamson (2000) bukanlah tanpa alasan, self assesment system yang diterapkan dapat memicu terjadinya asimetris informasi di antara wajib pajak dan prinsipal (Direkorat Jenderal Pajak) karena dapat memicu terjadinya moral hazard dan adverse selection.

Berbagai temuan di atas menunjukkan bahwa isu perilaku individual dari sudut pandang psikologi (etika dan norma sosial) maupun variabel ekonomi yang berkaitan dengan berbagai peraturan pajak seperti strategi audit, level audit dan perceived probability of audit tidak dapat diabaikan dalam upaya peningkatan kepatuhan wajib pajak. Pentingnya riset ini adalah untuk menunjukkan bahwa berbagai peraturan perpajakan yang diberlakukan sebaiknya mempertimbangkan aspek psikologis wajib pajak, mengingat kepatuhan pajak dapat digunakan untuk mengestimasi determinan moral wajib pajak.

Selain itu desain eksperimen yang dipilih dalam studi ini merupakan suatu pendekatan yang didesain khusus dengan memungkinkan peneliti untuk memanipulasi variabel-variabel tertentu, dan mengisolasi hubungan kausalitas tersebut dari berbagai pengaruh variabel penganggu, yang pada dasarnya tidak mungkin dapat dicapai dengan observasi terhadap data masa lalu atau penggunaan metode survei. Studi eksperimental terhadap topik ini belum pernah dilakukan di Indonesia, sehingga menjadi daya tarik yang lebih besar untuk dilakukan, karena riset ini mencoba mngidentifikasi perubahan perilaku individu dalam proses pembuatan keputusan kepatuhan pajak.

Page 11: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 6

Gambar. 1 Model Keputusan Kepatuhan Pajak

LANDASAN TEORI Berbagai teori yang menjelaskan tentang keputusan kepatuhan pajak

banyak dihubungkan dengan pendekatan ekonomi tradisional dan didasarkan pada teori utilitas telah valid. Walaupun terdapat berbagai penjelasan tentang mengapa para pembayar pajak patuh atau tidak patuh terhadap peraturan-peraturan pajak, namun penjelasan secara ekonomis tidaklah cukup dan lengkap dalam menjelaskan keputusan kepatuhan pajak.

Riset ini mencoba untuk mengkombinasikan berbagai faktor ekonomi seperti strategi audit, level audit, perceived probability of audit (probabilitas audit cerapan) dan faktor psikologi yaitu pemahaman etika pajak dalam suatu pengujian rasionalitas keputusan kepatuhan pajak. Berikut ini penjelasan dari setiap variabel yang digunakan dan yang dihipotesiskan akan dijelaskan dengan terperinci.

Keputusan Kepatuhan Pajak Ketidakpatuhan dapat dilakukan dengan berbagai cara salah satunya

adalah dengan sengaja mengurangi jumlah kewajiban pajak (Hyman, 1993). Hal ini dapat dilakukan dengan cara memanipulasi laporan keuangan yang akan digunakan untuk kepentingan pajak. Atas dasar inilah keputusan kepatuhan pajak atau ketidakpatuhan dapat dipengaruhi oleh faktor internal individu (psikologis) dan faktor eksternal individu atau dalam beberapa riset disebut dengan faktor non-ekonomi dan ekonomi (Alm, 1995).

Beberapa studi yang telah dikemukakan sebelumnya membuktikan bahwa kepatuhan pajak tidak hanya dapat dilihat dari sudut pandang ekonomi saja (Allingham, 1972; Yithaki,1974 ;Cowell,1988), melainkan juga faktor non-

STRATEGIAUDIT

AUDIT RATE

PERCEIVED PROBABILITY OF AUDIT

KEPUTUSAN KEPATUHAN PAJAK

PEMAHAMAN ETIKA PAJAK

Page 12: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 7

ekonomi. Studi yang menginvestagi perilaku individu melalui eksperimen laboratorium untuk melihat pengaruh non-ekonomi (individu) terhadap kepatuhan (Alm,1998;1995) (Ghosh dan Terry, 1996), juga membuktikan bahwa faktor non-ekonomi seperti rasa keadilan dan standar etika merupakan faktor yang tidak dapat diabaikan dalam pertimbangan kepatuhan pajak.

Sejak ditemukannya bukti-bukti empiris yang terkait dengan faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan, maka terdapat banyak riset yang mulai mendasarkan risetnya pada beberapa model yang dikemukakan sebagai penjelasan terjadinya ketidakpatuhan pajak, antara lain dilakukan oleh (Milliron dan Daniel , 1988) yang mengembangkan dua model pengujian kepatuhan yaitu economic deterence model dan fiscal psychology model dan membuktikan bahwa fiscal psychology model merupakan kunci untuk meningkatkan kepatuhan pajak.

Sour (2001) mengembangkan model Allingham dan Sandmo (1972) dengan menggunakan metode eksperimen untuk melihat perilaku kepatuhan pajak di tiga negara yaitu meksiko dan kemudian dibandingkan dengan Spanyol dan Amerika Serikat. Hasil studinya menyimpulkan bahwa keputusan yang berkaitan dengan kepatuhan membayar pajak adalah kejujuran, rasa malu, dan keadilan, dan pada sisi lain diasumsikan bahwa pemberian insentif atau reward terhadap perilaku positif pembayar pajak akan meningkatkan kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak.

Riset kepatuhan pajak di Indonesia yang mengukur tingkat kepatuhan dengan rasio dari wajib pajak yang mengisi laporan pajak dengan jumlah wajib pajak potensial yang terdaftar, menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan pajak di Indonesia hanya sebesar 2.5 % dari populasi yang mendaftarkan diri sebagai wajib pajak (Uppal, 2005), konsekuensi rendahnya kepatuhan pajak dapat berdampak pada hilangnya potensi pendapatan, sistem perpajakan menjadi kurang prospektif dan tidak dapat diandalkan sebagai sumber pendapatan.

Penelitian lainnya yang berkaitan dengan kepatuhan pajak diteliti oleh Makhfatih (2005) yang berfokus pada penggelapan pajak membuktikan bahwa perilaku penggelapan pajak dipengaruhi oleh probabilita terdeteksi, pinalti, tarif pajak, negosiasi dan insentif, riset ini lebih menekankan faktor ekonomi dalam kepatuhan pajak.

Dari berbagai hasil riset di atas dapat dikatakan bahwa terdapat banyak kasus yang berkaitan dengan kepatuhan atau sebaliknya ketidakpatuhan pajak.

Page 13: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 8

ketidakpatuhan pajak dapat dilakukan dengan cara tidak melaporkan atau mela-porkan namun tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya atas pendapatan yang bisa dikenai pajak. Hal ini bisa saja terjadi karena perhitungan pajak sampai saat ini masih menggunakan self-assesment system. Sistem ini memungkinkan seorang wajib pajak dapat menghitung dan menentukan sendiri besarnya pendapatan yang akan dilaporkan sebagai pendapatan kena pajak. Dampaknya bisa terjadi informasi asimetris antara lembaga pajak dan wajib pajak dan dapat memunculkan adanya moral hazard.

Strategi Audit Beberapa riset awal yang berkaitan dengan kepatuhan pajak pada

dasarnya menggambarkan model kepatuhan pajak sebagai suatu permainan (simulasi) antara wajib pajak dan insititusi pajak, karena di satu sisi kepatuhan pajak diperhadapkan dengan maksimisasi kesejahteraan wajib pajak dan di pihak lain institusi berupaya untuk memaksimisasi penerimaan pemerintah melalui strategi audit yang tepat (Beck; 1989, Reiganum; 1985).

Alm dkk. (1993) mengemukakan bahwa terdapat beberapa cara atau strategi untuk seleksi audit pajak yaitu dengan random audit rule dan fixed audit rule. Beberapa riset membuktikan bahwa strategi audit yang bersifat random akan meningkatkan kepatuhan pajak karena wajib pajak yang berada pada kondisi ketidakpastian akan cenderung untuk menghindari risiko pinalti (Ghosh dan Terry;1996, Beck;1991, Jackson;1986).

Untuk lebih memahami strategi audit dengan pendekatan random. Alm dkk. (1993) menggunakan economics-of-crime methodology yang pertama kali dikembangkan oleh Allingham dan Sandmo (1972). Mereka menemukan bahwa individu yang diasumsikan menerima pendapatan tetap akan menggunakan kewenangan pajak untuk melakukan underreported income dengan cara memaksimisasi fungsi utilitasnya dan menanggung akibatnya jika penghindaran pajaknya terdeteksi dan dikenakan pinalti.

Berbagai hasil riset di atas memperjelas bahwa asumsi informasi assimetris yang terjadi dalam konteks hubungan antara Dirjen Pajak sebagai prinsipal dan wajib pajak sebagai agen seperti yang dijelaskan dalam teori keagenan memungkinkan perlu adanya monitoring. Tujuan dilakukan monitoring adalah untuk melihat dengan lebih akurat apakah wajib pajak melakukan kepatuhan ataukah sebaliknya.

Page 14: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 9

Monitoring dalam konteks pajak identik dengan pemeriksaan yang dilakukan oleh Dirjen pajak terhadap wajib pajak. Tujuan dilakukan pemeriksaan adalah untuk menghindari kemungkinan terjadinya moral hazard atau adverse selection yang bisa saja dilakukan oleh wajib pajak dalam pengisian SPT. Dengan demikian strategi pemeriksaan yang tepat menjadi hal yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan kapan dan mengapa seorang WP perlu diperiksa.

Beberapa hasil riset di atas juga menyimpulkan bahwa strategi audit yang digunakan adalah untuk meningkatkan probabilitas terdeteksi melalui audit yang dilakukan secara random dan meningkatkan level audit merupakan faktor penting untuk memprediksi perilaku individu terhadap peningkatan kepatuhan pajak. Dari berbagai penjelasan di atas maka hipotesis yang akan diuji adalah: H1a. Strategi audit random berpengaruh terhadap peningkatan keputusan kepatuhan pajak H1b. Strategi audit fixed berpengaruh terhadap peningkatan keputusan kepatuhan pajak H1c. Strategy audit random lebih berpengaruh terhadap peningkatan keputusan kepatuhan pajak dibandingkan dengan strategi audit fixed

Level Audit Teori standar tentang kepatuhan pajak banyak didasarkan pada hasil

riset Allingham dan Sandmo (1972). Individu diasumsikan memiliki jumlah yang telah ditetapkan terhadap pendapatannya dan memiliki kewenangan untuk memutuskan besarnya pendapatan yang akan dilaporkan sebagai pendapatn kena pajak dengan tujuan untuk maksimisasi utilitasnya.

Laporan pendapatan tidak kena pajak akan semakin berkurang jika individu (taxpayer) diperhadapkan dengan level audit yang tinggi atau dengan kata lain kepatuhan pajak meningkat jika level audit meningkat. Karena dengan semakin tinggi level audit maka semakin besar pula kemungkinan bagi WP tersebut di periksa sehingga tingkat kepastian untuk diperiksa semakin tinggi pula dan berdampak pada sikap WP yang akan menjadi semakin konservatif.

Friedland dan Rutenberg (1978) menemukan bahwa setiap penurunan level audit pada saat strategi audit random akan berdampak pada probabilita terjadi peningkatan under reporting dalam laporan pendapatan kena pajak. Riset

Page 15: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 10

lainnya yang juga menemukan hasil yang sama yaitu semakin tinggi level audit pada saat strategi audit random akan mengarah pada peningkatan kepatuhan pajak dilakukan oleh Beck (1991), Alm (1991), Alm dkk. (1992a) dan Alm dkk. (1993).

Temuan lain dari Alm dkk. (1992b) berbeda dengan riset sebelumnya. Mereka menemukan bahwa dampak dari level audit sangat kecil dan tidak linear, sehingga efek penghindaran pajak dari level audit yang tinggi secara perlahan-lahan dapat hilang. Namun mereka juga menegaskan bahwa pembayar pajak akan lebih patuh pada saat terdapat adanya kecenderungan diaudit (perasaan akan diaudit). Dengan kata lain kepatuhan pajak lebih dapat diprediksi melalui perceived probability of audit dibandingkan dengan yang dijelaskan oleh teori utilitas.

Hasil temuan Alm dkk. (1992b) memperkuat temuan Spicer dan Hero (1985) dan Robben (1987) yang menyimpulkan bahwa individu yang laporannya diaudit akan melaporkan pendapatannya dengan lebih jujur setelah diaudit dibandingkan dengan individual yang tidak diaudit. Riset yang dilakukan oleh Dubin dkk.(1990) mencoba mengestimasi dampak level audit yang tinggi terhadap perilaku kepatuhan pajak menyimpulkan bahwa penurunan level audit secara signifikan berdampak pada penurunan pengumpulan pajak pendapatan.

Hasil riset Dubin (2004) memperkuat hasil temuan sebelumnya bahwa penurunan level audit akan berdampak pada penurunan keputusan kepatuhan pajak. Upaya untuk menguji secara langsung efek deterrence dari audit juga dilakukan oleh Slemrod dkk. (2001) dengan menggunakan 2000 pembayar pajak sebagai sampel. Tetapi hasilnya tidak memberikan informasi aktual tentang kepatuhan pajak individu karena dalam eksperimen yang dilakukan hanya menggunakan data pajak yang dilaporkan dan bukan data pajak yang sebenarnya.

Simpulan dari hasil riset Dubin (2004) dan Slemrod dkk. (2001) meyatakan bahwa investigasi terhadap pelaporan pendapatan kena pajak oleh pembayar pajak merupakan pengukuran tidak langsung terhadap kepatuhan pajak karena dapat diprediksi melalui tingginya probabilitas level audit yang akan dikenakan. Dari berbagai penjelasan di atas maka hipotesis yang akan diuji dalam riset ini adalah:

Page 16: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 11

H2a Level audit berpengaruh dalam peningkatan keputusan kepatuhan pajak H2b Semakin tinggi level audit berpengaruh pada peningkatan keputusan kepatuhan pajak

Perceived probability of audit (Probabilitas audit cerapan) Sistem self assessment yang diterapkan dalam perhitungan pajak

individu maupun badan memungkinkan terjadinya ketidakpatuhan pajak. Seseorang dapat melaporkan lebih rendah atau tidak melaporkan pendapatan kena pajaknya yang seharusnya dilaporkan apalagi jika individu tersebut merasa bahwa laporan pen-dapatan yang diajukan tidak akan diaudit karena telah memenuhi standar pelaporan pajak yang ditetapkan.

Beberapa bukti riset menjelaskan bahwa pengaruh probabilita audit yang diterima dengan kepatuhan pajak. Milliron dan Toy (1988) menginvestigasi tujuh faktor kepatuhan pajak yang terdiri dari deduction permitted, IRS information services, withholding and information reporting, the probability of audit, preparer responsibilities, tax rates and taxpayer penalties. Variabel-variabel di atas kemudian dikelompokkan dalam dua pendekatan yaitu economic deterrence model and psychology paradigm. Hasil riset mereka menyimpulkan bahwa probability of audit merupakan salah faktor penentu keputusan kepatuhan pajak.

Berbeda dengan Milliron dkk. (1988), riset Alm (1988) terkait dengan perceived probability of audit didasarkan pada model hubungan antara principal (institusi pajak) dan agent (pembayar pajak). Hubungan ini menghasilkan suatu aturan yang berkaitan dengan seleksi audit. Jika individu melaporkan pendapatan yang diterima lebih rendah dari batas minimum atau ”cutoff level” maka akan memiliki kemungkinan diaudit lebih besar dan sebaliknya.

Penjelasan di atas mengasumsikan bahwa pembayar pajak (agent) dan prinsipal akan berinteraksi dalam suatu permainan dimana insititusi pajak akan mempelajari bagaimana para pembayar pajak menentukan besarnya pajak yang akan dibayarkan melalui self-assesment pelaporan pajak dan dipihak lain para pembayar pajak melihat kecenderungan probabilitas audit yang akan diterima sebagai kebijakan pembayar pajak untuk memilih diaudit atau tidak atas laporan yang dibuat oleh mereka.

Untuk memberikan pemahaman bagaimana cara individu menerima suatu probabilita dijelaskan dengan rinci oleh Kahneman dan Tversky (1979).

Page 17: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 12

Mereka membuktikan secara psikologi bahwa individu telah menyadari bahwa probabilita mereka untuk diaudit adalah rendah sehingga secara sistimatis individu bisa saja merasa bahwa probabilita audit mereka lebih tinggi dibandingkan probabilita aktualnya. Penjelasan di atas membuktikan bahwa individu akan membuat pelaporan pendapatan yang memungkinkannya untuk tidak di audit dengan mempertimbangkan berapa besar kemungkinan mereka akan diaudit. Namun hal ini akan berbeda jika individu tidak mengetahui dengan pasti kapan atau mengapa mereka diaudit. Dengan metode random WP akan lebih bersikap konservatif dalam membuat keputusan pajaknya.

Hasil temuan ini sejalan dengan temuan Ghosh dan Terry (1996) yang membuktikan bahwa semakin tinggi perceived probability of audit semakin rendah tingkat ketidakpatuhan pajak. Analisis yang dilakukan Beck dan Jung (1991) juga membuktikan bahwa pendapatan yang dilaporkan mengalami peningkatan pada saat adanya peningkatan probabilita yang diterima dan tarif pinalti. Jackson dan Milliron (1986) dan Beck dkk. (1989) juga menemukan hasil yang sama. Mereka menemukan bahwa pembayar pajak yang berada di bawah kondisi ketidapastian atas probabilitas audit yang diterima akan lebih cenderung konservatis dan menjauhi ketidakpatuhan. Dari berbagai penjelasan di atas maka hipotesis yang akan diuji dalam riset ini adalah: H3a Perceived probability of audit berhubungan positif dengan perilaku keputusan kepatuhan pajak H3b Melalui perceived probability of audit strategi audit random berpengaruh positif dalam meningkatkan keputusan kepatuhan pajak H3c Melalui perceived probability of audit strategi audit fixed berpengaruh positif dalam meningkatkan keputusan kepatuhan pajak H3d Melalui perceived probability of audit peningkatan level audit berpengaruh positif dalam meningkatkan keputusan kepatuhan pajak

Pemahaman Etika Pajak Secara umum pemahaman terhadap etika dapat diartikan sebagai suatu

refleksi dari suatu kumpulan kepercayaan yang terdapat dalam diri individu tentang benar dan salah. Sedangkan pengertian secara kontekstual, pemahaman

Page 18: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 13

etika merupakan kepercayaan yang ada dalam diri individu yang merefleksikan kepercayaan etika yang lebih spesifik tentang dan dalam konteks perilaku kepatuhan pajak (Henderson; 2005).

Riset awal yang menguji peran etika dalam kepatuhan pajak diteliti oleh Schwartz dan Orleans (1967) yang berfokus pada aspek komitmen sosial terhadap kepatuhan pajak. Jackson dan Milliron (1986) selanjutnya mengembangkan riset ini dengan mencoba mendefenisikan etika dalam dua pengukuran yaitu orientasi etika dan evaluasi etika.

Orientasi etika mengarah pada pengertian etika secara umum atau lebih dikaitkan dengan teori–teori psikologi tentang konsistensi antara tindakan dan kepercayaan yang dimiliki (Lindzey; 1985). Sedangkan pengertian evaluasi etika lebih terfokus pada pengertian etika secara kontekstual yaitu menghubungkan sikap individu dan kepercayaan yang bisa saja berbeda tergantung dari situasi yang dihadapi (misalnya ketidakpatuhan pajak dapat dibedakan dengan bentuk kriminal lainnya).

Grasmick dan Green (1980), Grasmick dan Scott (1982), Kaplan dan Reckers (1985) serta Reckers dkk. (1994), mendefinisikan etika dalam konteks perilaku ketidakpatuhan pajak sebagai sesuatu yang secara moral adalah salah atau tidak bermoral. Hasil riset mereka menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara etika dan kepatuhan pajak, sedangkan riset yang menunjukkan hasil negatif ditunjukkan oleh Webley dan Eidjar (2001).

Riset yang dilakukan oleh Ghosh and Terry (1996) mendefinisikan etika sebagai perasaan apakah seseorang akan melakukan manipulasi untuk mencapai tujuannya yang dalam hal ini dikontekskan sebagai ketidakpatuhan pajak yang disengaja membuktikan bahwa seseorang yang memiliki standar etika yang tinggi serta memiliki kemungkinan diaudit akan memiliki ketidakpatuhan yang rendah dan sebaliknya.

Riset yang menggunakan etika untuk memprediksi kepatuhan pajak secara spesifik dilakukan oleh Henderson (2005) yang menginvestigasi effek dari orientasi etika dan evaluasi etika membuktikan bahwa orientasi etika mempengaruhi etika evaluasi dan selanjutnya secara positif mempengaruhi kepatuhan pajak. Riset ini mencoba membangun suatu model yang menggambarkan hubungan langsung maupun tidak langsung antara orientasi etika, evaluasi etika dan kepatuhan pajak. Dari penjelasan di atas menunjukkan

Page 19: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 14

bahwa pada dasarnya perilaku individu berperan dalam menentukan keputusan yang akan diambil berkaitan dengan kepatuhan pajak.

Lembaga pajak secara sistimatik dapat mempengaruhi moral atau etika pajak sehingga para pembayar pajak secara sukarela bersedia membayar pajak. Pada dasarnya terdapat kontrak psikologis antara pembayar pajak dan lembaga pajak dalam hal menetapkan perubahan fiskal tercakup didalamnya loyalti dan etika antara pihak-pihak yang melakukan kontrak Feld dan Frey (2005).

Teori etika seperti teori teological memberikan pemahaman mendasar tentang bagaimana individu membuat keputusan dan menyadari dengan sepenuhnya atas setiap konsekuensi yang akan diterima dari setiap keputusan yang dibuatnya. Dengan demikian pemahaman ini sesuai dengan keputusan individu yang berkaitan dengan keputusan kepatuhan pajak, karena setiap keputusan yang akan diambilnya baik patuh atau tidak memiliki konsekuensi yang harus diterima.

Walaupun terdapat bukti-bukti tentang hubungan antara pemahaman etika dan perilaku kepatuhan pajak namun masih diperlukan suatu investigasi yang lebih mendalam antara hubungan antara evaluasi etika atau pemahaman etika dengan keputusan kepatuhan pajak. Dalam konteks kepatuhan pajak, etika evaluasi di bagi dalam tiga dimensi yaitu moral equity, relativism, contractualism, atau yang disebut dengan multi-dimensional ethics scale (MES).

Pengukuran MES pada awalnya digunakan oleh Reidenbach (1988) dengan setting riset pemasaran. Perkembangan selanjutnya, Flory (1992) menggunakan MES dalam setting akuntansi, risetnya menguji judgment dari para akuntan manajemen dan membuktikan bahwa dimensi MES secara signifikan positif dihubungkan dengan intensions behavioral. MES juga digunakan oleh Henderson (2005) dan membuktikan bahwa MES memiliki potensi untuk memberikan bukti terhadap keputusan kepatuhan pajak. Hal ini ditunjukkan dalam hasil risetnya yang membuktikan adanya hubungan positif dan signifikan antara evaluasi etika dan kepatuhan pajak.

Shaub (1994) mengungkapkan bahwa penggunaan pengukuran MES dalam mengukur variabel etika lebih baik dibandingkan pengukuran lainnya (seperti defining issues test atau ethics general) karena MES secara speseifik dapat mengidentifikasi rasionalitas dibalik alasan moral dan memberikan pemahaman mengapa responden meyakini tindakan tertentu sebagai tindakan etis. Selain itu MES dianggap mampu menguji orientasi etika dari dari

Page 20: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 15

beberapa konstruk moral seperti justice, deontologi, relativism, dan egoism. (Cohen 1998).

Dari berbagai hasil riset di atas maka hipotesis yang akan diuji adalah: H4a. Pemahaman Etika Pajak berpengaruh terhadap peningkatan keputusan kepatuhan pajak H4b. Pemahaman etika pajak memoderasi hubungan antara perceived

probability of audit dan keputusan kepatuhan pajak sebagai akibat adanya strategi audit random

H4c. Pemahaman etika pajak memoderasi hubungan antara perceived probability of audit dan keputusan kepatuhan pajak sebagai akibat adanya strategi audit fixed

METODOLOGI PENELITIAN Penelitian tentang kepatuhan pajak dapat dilihat dari dua pendekatan

yaitu pendekatan ekonomi dan pendekatan non-ekonomi (psikologi). Riset ini mencoba untuk mengungkapkan pengaruh kedua pendekatan tersebut terhadap kebijakan kepatuhan pajak. Tujuannya adalah untuk mengkonfirmasi kembali atau memperkuat beberapa teori keputusan yang telah ada serta memberikan bukti empiris untuk memperjelas temuan riset sebelumnya.

Definisi Variabel Untuk mempermudah pemahaman tentang berbagai faktor yang

berpengaruh terhadap keputusan kepatuhan pajak yang digunakan dalam riset ini, maka berikut ini diberikan definisi yang berhubungan dengan variabel-variabel riset tersebut: 1. Keputusan kepatuhan pajak, yaitu keputusan etis yang dibuat oleh

pembayar pajak (wajib pajak/fiskus) untuk taat pada peraturan-peraturan pajak yang berlaku dan yang dikenakan terhadap pendapatan fiskus sehubungan dengan pelaporan pendapatan kena pajak yang dilaporkan di mana fiskus berdomisili.

2. Perceived probability of audit yaitu perasaan pembayar pajak (fiskus) bahwa pelaporan pendapatan kena pajak yang dilaporkan memiliki kemungkinan untuk diaudit.

3. Strategi audit pajak yaitu strategi audit pajak yang dapat berbentuk random atau tetap (fixed) yang ditentukan oleh institusi pajak untuk memeriksa

Page 21: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 16

kebenaran dari setiap laporan pendapatan kena pajak yang dilaporkan oleh individu pembayar pajak. - Strategi audit random dapat didefinisikan sebagai suatu bentuk

pemeriksaan wajib pajak dengan kemungkinan semua wajib pajak individu akan diaudit.

- Strategi audit tetap dapat didefinisikan sebagai bahwa wajib pajak memiliki kemungkinan di audit jika membayar pajak di bawah standar minimal pajak (sesuai UU pajak penghasilan individu) yang seharusnya dibayarkan.

4. Tingkat/level audit didefinisikan sebagai besarnya presentasi pemeriksaan terhadap wajib pajak.

5. Pemahaman etika pajak didefinisikan dalam bentuk pemahaman terhadap etika pajak yang merefleksikan perilaku kepatuhan pajak dari individu terhadap peraturan-peraturan dan undang-undang perpajakan yang berlaku atau dengan kata lain merepresentasikan etika individu yang spesifik berkaitan dengan kepatuhan pajak.

Pengukuran Variabel 1. Strategi audit merupakan tritmen dalam bentuk random dan fixed yang

diberikan kepada partisipan. Untuk strategi random partisipan akan diberitahu bahwa mereka memiliki kemungkinan yang sama untuk dipilih (random) dalam pemeriksaan (diaudit) laporan pajak mereka. Sedangkan untuk strategi fixed, partisipan yang melaporkan jumlah pendapatan kena pajak di bawah standar atau “cut off” yang telah ditetapkan akan diaudit. Selanjutnya partisipan akan diukur dengan menggunakan item pertanyaan yang telah diuji validitasnya pada riset sebelumnya.

2. Level audit merupakan perlakuan yang diberikan dalam bentuk peningkatan level audit (level kemungkinan diperiksa) di mulai dari 10% sampai dengan 30%.

3. Pemahaman Etika Pajak, merupakan gambaran tentang etika pajak yang dibuat dalam bentuk video dengan memberi gambaran tentang bagaimana seharusnya mengisi SPT, menetapkan penghasilan tidak kena pajak dan manfaat pajak serta pemeriksaan pajak. Gambaran tentang etika pajak disesuaikan dengan instrumen Multi Ethical Scale (MES) yang

Page 22: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 17

dikembangkan oleh Reidenbach (1988) dan kemudian dikembangkan dalam riset-riset akuntansi oleh Flory (1992) dan Henderson (2005).

4. Perceived Probability of Audit (probabilitas audit cerapan) merupakan suatu kondisi yang menggambarkan perasaan partisipan untuk diperiksa. Instrumen yang digunakan dalam riset ini dikembangkan dari instrumen yang digunakan oleh Milliron dan Toy (1988) dengan skala pilihan 1 – 7.

5. Keputusan Kepatuhan Pajak dikembangkan menggunakan ratio perbandingan antara jumlah pendapatan yang dilaporkan dengan pendapatan kena pajak yang sebenarnya serta beberapa item instrumen yang dikembangkan dari Alm (1998).

Tahapan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan mengunakan metode riset eksperimen.

Tujuannya adalah untuk lebih memperjelas arah hubungan dari model keputusan kepatuhan pajak. Riset-riset keperilakuan dengan menggunakan data sekunder telah banyak dilakukan namun memiliki kelemahaan karena mengukur kepatuhan pajak dari rasio pembayaran pajak dan jumlah pajak. Penggunaan data sekunder tersebut tidak dapat menggambarkan kondisi riil mengapa seseorang atau individu tidak mau membayar pajak.

Pengujian dengan eksperimen untuk riset keperilakuan memiliki beberapa kelebihan antara lain, peneliti dapat melakukan manipulasi terhadap variabel independen sehingga kemungkinan adanya perubahan pada variabel dependen benar-benar merupakan fungsi adanya peningkatan perlakuan (treatment) manipulasi. Selain itu dengan riset eksperimen, variabel-variabel yang dapat menimbulkan bias terhadap hasil dapat dikontrol sehingga lebih effektif dibandingkan dengan desain riset lainnya. Keuntungan lainnya adalah memiliki kemampuan replikasi yang tinggi dengan setting partisipan, waktu dan situasi yang berbeda.

Selain memiliki keunggulan, riset eksperimen juga memiliki kelemahan terutama masalah generalisasi hasil, kelemahan lainnya dalam riset manajemen dan akuntansi atau bidang sosial lainnya terdapat keterbatasan dalam masalah manipulasi dan kontrol, dengan demikian riset-riset eksperimen tidak dapat dilakukan untuk riset-riset yang berkaitan dengan prediksi dan tujuan-tujuan tertentu (Cooper dan Schindler; 2006)

Page 23: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 18

Riset Eksperimen Untuk meningkatkan kemampuan validitas internal dan eksternal

dalam riset eksperimen, maka desain eksperimen harus didesain dengan memper-imbangkan berbagai faktor yang tujuannya adalah meningkatkan kemampuan kedua jenis validitas tersebut.

Menurut Cooper dan Schindler (2006) untuk meningkatkan kemampuan validitas internal sebaiknya desain eksperimen perlu memperhatikan: history, maturity, testing, instrumentation, selection, statistical regression dan experimental mortality. Untuk memperjelas upaya yang dikerjakan untuk memperkuat validitas internal, berikut ini dikemukakan beberapa hal yang dilakukan untuk menjaga validitas internal : - History, merupakan suatu kejadian diluar lingkungan eksperimen yang

terbawa dan dapat mempengaruhi partisipan pada saat eksperimen berlangsung. Untuk menjaga agar kondisi dan situasi tetap sama pada setiap pelaksanaan eksperimen maka waktu dan tempat dan adalah sama. Selain itu sebelum eksperimen berlangsung partisipan diberikan semacam penyegaran agar pada saat eksperimen berlangsung, partisipan telah berada kondisi tidak terpengaruh pada kejadian-kejadian sebelum eksperimen berlangsung.

- Maturity, Unsur kebosanan yang kemungkinan muncul dalam riset akan dihindari dengan membuat desain eksperimen yang menarik seperti selain menggunakan komputer juga menggunakan media video untuk memberikan gambaran tentang etika pajak. selain itu waktu pelaksanaan eksperimen didesain tidak terlalu lama.

- Testing, untuk menghindari terjadi pengaruh pengujian awal pada saat eksperimen berlangsung maka riset eksperimen ini tidak melakukan pengujian awal sehingga proses pembelajaran yang diperoleh pada saat pengujian awal berlangsung tidak akan terjadi.

- Instrumen, masalah pengukuran yang digunakan telah diuji coba dengan menggunakan pilot test sehingga masalah pengukuran sudah dapat diantisipasi sejak awal.

- Selection, seleksi random yang digunakan untuk seleksi partisipan dalam eksperimen ini diharapkan dapat mengurangi bias dalam perlakuan.

Page 24: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 19

- Statistical Regresion, proses uji awal melalui pilot test merupakan salah satu cara untuk menghindari terjadinya ekstrim skor untuk variabel yang digunakan dalam riset.

- Experimental Mortality, merupakan suatu kejadian yang memungkinkan seorang partisipan tidak dapat menyelesaikan tahapan eksperimen (misalnya ada janji dengan pihak lain, dll). Untuk mencegah subjek keluar pada saat eksperimen berlangsung maka sejak awal partisipan yang diminta untuk mengikuti eksperimen adalah partisipan yang dengan sukarela menyediakan waktu untuk mengikuti eksperimen hingga selesai. Untuk validitas eksternal perlu memperhatikan faktor reaktivitas dari

pengujian, interaksi dari seleksi dan faktor-faktor yang dapat menimbulkan reaksi yang lain dari perlakuan yang diberikan dari variabel yang dimanipulasi. Berikut ini akan dijelaskan berbagai prosedur yang akan digunakan dalam riset ini dengan tujuan untuk meningkatkan validitas internal dan eksternal.

Seleksi Partisipan

Riset ini akan menggunakan partisipan yang diambil dari mahasiswa S2 dan S3 baik dilingkungan UGM maupun beberapa universitas swasta yang ada di Yogyakarta dengan jumlah partisipan direncanakan sebanyak 210 partisipan. Sedangkan untuk pengujian software eksperimen (pilot test) dan videp pemahaman etika pajak akan digunakan partisipan dari mahasiswa S1 dengan latar pendidikan ekonomi. Beberapa riset sebelumnya yang menggunakan mahasiswa sebagai partisipan dengan desain riset eksperimen perpajakan antara lain dilakukan oleh Alm (1998), Milliron (1985), serta Jackson dan Milliron (1986).

Pengumpulan Data Pengumpulan data melalui eksperimen terutama untuk riset-riset

keperilakuan telah banyak dilakukan, pengumpulan data melalui eksperimen biasanya melibatkan peneliti sebagai individu yang bertugas dalam penyusunan skenario dengan berbagai perlakuan untuk melihat respon dari variabel yang diteliti.

Teknik pengumpulan data ini memiliki beberapa kelebihan antara lain memperkuat validitas internal dan memperjelas serta membuktikan analisis hubungan kausalitas antara variabel dependen dan independen. Selain itu dalam

Page 25: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 20

teknik ini peneliti dapat melakukan kontrol variabel dengan lebih mudah sehingga dapat mencegah adanya pengaruh di luar variabel yang diteliti. Teknik ini memiliki beberapa kelemahan antara lain memiliki keterbatasan pada objek eksperimen. Artinya setting skenario yang dilakukan dengan objek keputusan kepatuhan pajak tidak dapat digunakan untuk menguji perilaku individu untuk jenis keputusan lainnya seperti keputusan membeli dll.

Tahapan Eksperimen. Eksperimen dalam riset ini terbagi dalam empat (4) tahap, tujuan

untuk menggunakan empat tahap/sesi dalam eksperimen ini adalah untuk memudahkan partisipan dalam memahami desain eksperimen yang digunakan dalam riset ini. Tahap pertama:

Pada sesi ini setelah mengisi daftar hadir partisipan akan mendapatkan buku petunjuk yang didalamnya tersedia informasi nomor pasword, nomor komputer, berbagai petunjuk dalam pelaksanaan eksperimen serta hadiah dan sanksi. Tahap Kedua:

Sesi ini merupakan sesi utama eksperimen, setelah partisipan menduduki tempat masing-masing, partisipan akan diberikan penjelasan mengenai eksperimen yang dilakukan dengan tujuan agar pada saat eksperimen berlangsung partisipan telah memahami setiap tugas dan langkah yang harus ditempuh. Setiap partisipan akan berhadapan dengan 1 unit komputer yang telah berisi program yang dibuat khusus untuk eksperimen ini.

Partisipan akan diminta untuk menjawab beberapa item pertanyaan yang berkaitan dengan pengujian variabel penelitian setelah partisipan mendapatkan tritmen. Untuk mengetahui perubahan perilaku partisipan, maka di setiap tahapan tritmen, partisipan akan diminta untuk menjawab beberapa item pertanyaan yang berkaitan dengan cek manipulasi. Tujuannya adalah untuk mengetahui keberhasilan dari tritmen yang dilakukan apakah dapat merubah perilaku partisipan ataukah tidak.

Skenario eksperimen yang dibuat bertujuan untuk mengamati respon atas besarnya laporan pendapatan kena pajak atas pendapatan yang sebenarnya diterima dihubungkan dengan berbagai perlakuan (treatment) yang diberikan. Agar partisipan bersungguh-sungguh dalam mengikuti eksperimen, maka semua

Page 26: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 21

partisipan akan mendapatkan 5 tiket (vouchers) dan bagi partisipan yang terpilih untuk diaudit dan kedapatan melakukan ketidakpatuhan pajak maka yang bersangkutan akan dikenakan sanksi yaitu pengambilan 1 tiket untuk setiap ketidakpatuhan yang dilakukan.

Dengan demikian pada akhir sesi eksperimen jika seorang partisipan tidak lagi memiliki tiket maka yang bersangkutan tidak akan diikutsertakan dalam proses pengundian untuk mendapatkan insentif menarik berupa 4 GB dan 2 GB serta buku riset eksperimen. Sebagai ucapan terima kasih tetap mendapatkan soufenir lain yang disediakan yaitu 1 cd berisi 11 buku eksperimen bidang ekonomi, manajemen dan akuntansi serta buku penunjang riset lainnya, Semua partisipan akan mendapatkan fasilitas snack dan makan siang. Tahap Ketiga:

Tahap ketiga merupakan tahap post test eksperimen dimana partisipan diminta untuk menjawab dan mengisi kuesioner yang berkaitan demografi partisipan seperti umur, jenis kelamin dan pendidikan. Selain itu partisipan juga akan mengisi kuesioner yang berhubungan dengan kegiatan eksperimen yang telah berlangsung seperti perlakuan yang diberikan, cek manipulasi untuk prosedur eksperimen, sikap yang berhubungan dengan kepatuhan pajak dan kompensasi yang dijanjikan. Pada kesempatan ini akan dipilih secara acak beberapa partisipan untuk mendapatkan insentif yang disediakan.

Tahap keempat:

Tahap terakhir dari riset ini merupakan tahap penyegaran partisipan, yaitu tahap dimana partisipan akan diberikan penjelasan tentang mengapa mereka diberikan berbagai perlakuan eksperimen. Selain itu partisipan juga diminta untuk tidak membicarakan berbagai hal yang berkaitan dengan eksperimen ini kepada pihak lain. Tujuan dari diberikan penjelasan ini adalah untuk mengembalikan situasi dan emosi partisipan pada kondisi semula seperti sebelum mendapatkan perlakuan. Akhir dari tahapan eksperimen ini adalah penyerahan cindera mata dan hadiah sebagai ucapan terima kasih.

Desain Eksperimen Desain eksperimen dalam riset disesuaikan tahapan eksperimen yang

telah dijelaskan di atas. Partisipan akan dibagi dalam dua kelompok dan setiap

Page 27: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 22

kelaompok akan menerima 5 kali tritmen. Tabel berikut ini merupakan gambaran dari desain eksperimen yang akan digunakan dalam riset ini:

Tabel 3.1 Desain eksperimen

Kelompok Random Subjek 75 Orang Perlakuan Strategi Audit Random Level Audit 10 % 20 % 30 % Perceived Prob. of audit

Partisipan akan mengisi kuesioner tentang berapa persen mereka merasa akan diaudit/diperiksa

Pemahaman Etika pajak

Partisipan akan diperlihatkan melalui video yang menjelaskan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan peraturan maupun kecurangan pajak yang dilakukan. setelah melihat video tersebut partisipan akan mengisi kuesioner etika dan kemudian menentukan jumlah pendapatan yang akan dilaporkan sebagai pendapatan kena pajak

Kelompok Fixed Subjek 75 Orang Perlakuan Strategi Audit Fixed Level Audit 10 % 20 % 30 % Perceived Prob. of audit

Partisipan akan mengisi kuesioner tentang berapa persen mereka merasa akan diaudit/diperiksa

Pemahaman Etika pajak

Partisipan akan diperlihatkan melalui video yang menjelaskan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan peraturan maupun kecurangan pajak yang dilakukan. setelah melihat video tersebut partisipan akan mengisi kuesioner etika dan kemudian menentukan jumlah pendapatan yang akan dilaporkan sebagai pendapatan kena pajak

Tabel di atas menunjukkan bahwa setiap kelompok (between subject)

akan mendapat 4 (empat) kali tritmen level audit (tanpa diberitahukan level audit, diberitahu level audit 10%, 20% dan 30%, selanjutnya tritmen level audit akan menjadi stimuli untuk mengukur Perceived Probability of audit (probabalitas audit cerapan). Selanjutnya partisipan atau subjek akan diberi tritmen berupa informasi etika pajak yang disampaikan melalui video/film dan selanjutnya partisipan diminta untuk menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan etika pajak. Sebelum dan sesudah tritmen akan diberikan cek manipulasi

Page 28: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 23

untuk melihat apakah tritmen yang diberikan dapat merubah perilaku partisipan ataukah tidak, jika tidak berarti tritmen yang diberikan belum berhasil.

Untuk mengetahui validitas dari alat/fasilitas dan instrumen yang akan digunakan dalam eksperimen sebelumnya telah dilakukan pilot test/uji coba sehingga validitas dan realibilitasnya tetap terjaga.

Kontrol Variabel Beberapa riset sebelumnya mengindentifikasi sejumlah variabel yang

memungkinkan mempengaruhi keputusan kepatuhan pajak (Jackson dan Milliron; 1986, Long dan Swingen; 1991, Alm dan McKee; 1998, Reckers dkk; 1994) sehingga dalam riset ini terdapat beberapa variabel yang perlu dikontrol, variabel- variabel tersebut adalah: 1. Tarif Pajak dan Tarif pinalti (denda)

Riset sebelumnya yang dilakukan oleh Jackson dan Milliron (1986) dan Reckers dkk (1994) menunjukkan bahwa ketidakpatuhan pajak menurun secara monotonik dengan meningkatkan tingkat penalti dan sebaliknya dengan tarif pajak. dalam riset ini kedua variabel tersebut didesain dengan tingkat yang sama baik untuk tingkat pinalti yaitu 200 % dan tarif pajak sesuai dengan pasal 17 UU PPh 2000 yang berlaku di Indonesia. 2. Pendapatan

Reckers dkk. (1994) dan Madeo (1987) menemukan bahwa semakin tinggi pendapatan seseorang maka terdapat kemungkinan yang lebih besar untuk berkeinginan memaksimilisasi utilitas individunya. Dengan demikian dalam riset ini semua partisipan didesain memiliki jumlah pendapatan yang sama. Tujuannya adalah agar partisipan memiliki kesempatan yang sama dalam menentukan jumlah pendapatan yang akan dikenakan pajak sehingga bias pendapatan dapat dihindari.

Analisa Data Eksperimen

Untuk menguji hubungan langsung dan tidak langsung dalam riset ini akan menggunakan model untuk analisis path. Untuk mengestimasi hubungan antara variabel-variabel yang diuji akan digunakan Partial Least Square (PLS) dalam pengujian hipotesis. Alasan penggunaan PLS karena merupakan alat yang handal untuk menguji model prediksi dan dapat menggunakan ukuran sampel yang kecil dengan bentuk konstruk yang formatif dan reflektif

Page 29: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 24

(Tenenhahaus M., 2005). Karena riset ini menggunakan konstruk yang formatif dan reflektif dan model yang diajukan masih bersifat prediktif, maka penggunaan PLS merupakan alasan adalah tepat.

RANCANGAN EKSPERIMEN Rancangan Sistem

Untuk mendapatkan hasil yang diinginkan, maka rancangan perlakuan dalam eksperimen dibuat berbasis web (web system). Sistem ini digunakan karena lebih mempermudah peneliti untuk melihat perubahan perilaku partisipan pada saat diberi perlakuan (treatment). Sistem web juga memungkinkan data partisipan dapat langsung terhubung dengan server peneliti dan mempermudah pengacakan atau penentuan partisipan yang akan diaudit.

Selain itu sistem ini juga memudahkan peneliti untuk mendapatkan dan menyimpan data secara langsung (bank data) sehingga lebih mempermudah proses pengolahan data. Selain itu penggunaan web system design dengan basis intranet memberikan kelebihan tersendiri karena tidak terpengaruh pada kesibukan jaringan internet sehingga partisipan dapat menjalani eksperimen dengan baik tanpa gangguan jaringan.

Rancangan Software dan video Pajak Pembuatan software dipercayakan kepada tenaga 2 (dua) teknis dari

Techno Gama. Nama Program yang digunakan adalah SQLyog, dengan menggunakan bahasa pemograman php dan database mysql. Software tersebut berisi perlakuan strategi audit, level audit perceived probability of audit dan pemahaman etika pajak beserta item pengukuran dan item cek manipulasi, yang dihubungkan dengan keputusan kepatuhan pajak. Sedangkan untuk mengukur pemahaman etika pajak, partisipan akan diberikan stimuli dengan menonton video yang berisi konsep dan manfaat pajak (lihat narasi video,hal.23). Selain itu terdapat juga item pertanyaan yang berkaitan data demografi partisipan. Rancangan Software

Rancangan software pajak dibagi dalam 6 bagian utama yaitu: 1. Umum. Software dibuka dengan ucapan selamat datang. Pada kesempatan

ini partisipan tidak bertindak sebagai dirinya sendiri tetapi menjadi seseorang yang diperankan dalam skenario/kasus pajak. Partisipan akan mendapat 5 buah voucher yang akan digunakan untuk pengundian hadiah

Page 30: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 25

setelah eksperimen berakhir. Setiap peserta diharapkan dapat mempertahankan voucher yang diperoleh karena setiap kesalahan atau kekeliruan dalam penentuan besarnya penghasilan kena pajak dan akan kehilangan 1 voucher.

2. Pelaksanaan Eksperimen. Pada bagian ini partisipan telah terbagai ke dalam 2 kelompok audit, dan selanjutnya partisipan akan mendapatkan treatmen/perlakuan untuk strategi audit, level audit dan perceived probability of audit. Partisipan akan diaudit untuk setiap level audit dan partisipan yang ditemukan membuat kesalahan akan kehilangan 1 voucher.

3. Informasi Penghasilan Kena Pajak (PTKP). Bagian ini berisi informasi tentang bagaimana cara menghitung dan menentukan PTKP. Informasi ini tidak langsung muncul di komputer melainkan menggunakan sistem login, artinya jika partisipan menginginkan informasi tersebut maka yang bersangkutan dapat mengklik login untuk mendapatkan informasi PTKP dan sebaliknya jika tidak memerlukan informasi PTKP maka tidak perlu mengklik login.

4. Data. Bagian ini merupakan bank data dari berbagai hasil eksperimen yang berisi data strategi audit, level audit dan perceived probability of audit serta data pemahaman etika pajak dan keputusan kepatuhan pajak. Selain itu terdapat pula data penghasilan kena pajak, data cek manipulasi, data preferensi risiko partisipan dan data partisipan (data demografi partisipan).

5. Hadiah. Bagian ini berisi hasil randomisasi penentuan partisipan yang mendapatkan hadiah. Penetuan partisipan yang mendapatkan hadiah delakukan dengan sistem acak dari vouchers yang dimiliki.

6. Penutup. Pada bagian ini berisi ucapan terima kasih untuk partisipasi dan pesan singkat mengenai pelaksanaan eksperimen ini.

Rancangan Video Pemahaman Etika Pajak Rancangan untuk narasi bagi pembuatan video pemahaman etika pajak

didasarkan pada instrumen multidimensi etika yang digunakan oleh Henderson (2005). Narasi digambarkan dalam 3 dimensi yaitu relativism, contranctual dan moral equity ekuitas. Gambaran untuk relativism dibangun dengan memberikan pemahaman pajak pada level pendidikan terendah yaitu SD, Hal ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman dini tentang pajak sehingga

Page 31: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 26

diharapkan akan memberi makna bahwa setiap warga negara memiliki kewajiban untuk membayar pajak.

Dimensi kontraktual digambarkan tentang mengapa seseorang perlu menjadi wajib pajak, mengapa harus membayar pajak dan bagaimana seharusnya pajak dihitung dan dibayar. Dimensi equity ekuitas lebih ditekankan pada manfaat pajak dari sudut pandang agama dan sosial masyarakat yang dilihat dari sisi manfaat yang diperoleh dengan membayar pajak.

Atas dasar dimensi etika di atas, maka narasi dari video pemahaman etika pajak dibuat seperti berikut:

“ Siswa/i SD mendapat pelajaran tentang sumber pendapatan negara, salah satunya adalah mengenai pajak. Mereka kemudian mendapat tugas untuk membuat tulisan pendek berkaitan dengan pajak. setelah selesai (bubaran) sekolah, mereka bercerita kepada ibunya (yang datang menjemput) bahwa tadi mereka belajar tentang sumber Pendapatan Negara, salah satunya dari pajak. Anak-anak kemudian menyampaikan bahwa mereka ditugaskan untuk membuat semacam karya ilmiah yang berkaitan dengan pajak, dimulai dari apa itu pajak, manfaat, perbedaannya dengan retribusi sampai dengan bagaimana membayar pajak yang benar. Ibunya anak2 kemudian mengajak anak-anak ke kantor kantor pajak untuk mendapatkan penjelasan yang lebih banyak tentang pajak. Disepanjang perjalanan si ibu menjelaskan tentang mengapa harus membayar pajak (sambil menunjukkan pembangunan yang sedang dilakukan seperti perbaikan jalan, pembangunan sekolah rumah sakit dll, selain itu juga ditunjukkan manfaat pajak melalui pembangunan non fisik seperti pembayaran biaya rumah sakit untuk masyarakat miskin-askeskin, atau pemberian subsidi atau BLT, dll) ditunjukkan dengan gambar . Untuk lebih lebih jelas tentang perpajakan, anak-anak kemudian di ajak ibunya ke kantor pajak, di tempat ini mereka diperkenalkan dengan petugas pajak dan kemudian mendapatkan penjelasan tambahan tentang bagaimana membayar pajak, kenapa harus membayar pajak dan manfaat pajak. Pada kesempatan itu dijelaskan juga tentang perbedaan antara pajak dan zakat atau pengeluaran sosial lainnya anak2 kemudian mengajukan berbagai pertanyaan) Manfaat pajak digambarkan dengan detail baik untuk kepentingan pembanguan sarana dan prasarana maupun bagi Wajib Pajak itu sendiri. Gambaran dibuat semenarik mungkin sehingga menyadarkan wajib pajak akan pentingnya membayar pajak.

Page 32: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 27

Desain Buku Petunjuk Pelaksanaan Eksperimen Buku petunjuk eksperimen berisi 5 bagian yaitu: 1. Halaman depan (cover), pada bagian ini berisi Judul buku, isi buku dan

nama program dan nama Fakultas serta nama Universitas. 2. Tata tertib. Pada bagian ini berisi hal-hal yang boleh dan tidak boleh

dilakukan oleh partisipan pada saat mengikuti eksperimen. 3. Pernyataan partisipan. Bagian ini berisi surat pernyataan dan partisipan

diharapkan menandatangani pernyataan untuk bersedia mengikuti eksperimen hingga selesai.

4. Bagaimana menjalankan Program. Bagian ini berisi penjelasab tentang pilihan tempat duduk (komputer), nomor user, password untuk membuka program dan NPWP untuk partisipan.

5. Petunjuk pelaksanaan eksperimen. Bagian ini berisi langkah-langkah memulai eksperimen hingga eksperimen berakhir.

DAFTAR PUSTAKA  Allingham, M. G., dan Sandmo, Agnar. 1972. Income Tax Evasion: A

Theoritical Analysis. Journal of Public Economics, 1: 323-338. Alm, J., dan., Michael McKee. 1998. Extending the Lessons of Laboratory

Experiments on Tax Compliance to Managerial and Decision Economics. Managerial dan decision Economics, 19(June-August): 259-275.

Alm James, B. R., Jackson, dan M.,McKee,. 1992. Estimating the Determinants of Taxpayer Compliance With Experimental Data. National Tax Journal, 45: 107-114.

Alm James, M. B., Cronshaw, dan M.,McKee,. 1993. Tax Compliance With Endogenous Selection Rules. KYKLOS, 46(1): 27-45.

Alm James., I., Sanchez., dan Ana De Juan,. 1995. Economic and Non-economic Factors in Tax Compliance. KYKLOS, 48(1): 8-18.

Alm., J. 1988. Uncertain Tax Policies, Individual behavior and Welfare. The American Economic Review, 27: 237 - 245.

Alm., J. 1991. A Perspective on the Experimental Analysis of Taxpayer Reporting. The Accounting Review, 66(3): 577-593.

Asnawi, Meinarni. 2006. Analisis Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan pajak. Unpublished Article.

Beck, P., J dan., W. Jung. 1991. Experimental Evidence on Tax Payer Reporting Under Uncertainty. The Accounting Review, 66: 535 - 558.

Page 33: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 28

Becker, W. H. B., dan S. Sleeking. 1987. The Impact of Public Transfer Expenditures on Tax Evasion: An Experimental Approach. Journal of Public Economics, 34: 243-252.

Cohen, J., L. Pant, dan D. Sharp. 1991. An Empirical Investigation of Attitudinal Factors Affecting Course Coverage of International Issues. International Journal of Accounting: 286-301.

Cowell Frank, A., dan James P.Gordon. 1988. Unwillingness To Pay Tax`Evasion and Public Good Provision. Journal of Public Economics: 305-321.

Dean, P., T. Keenan., dan F. Kenny. 1980. Taxpayer's Attitudes to Income Tax Evasion : An Empirical Study. British Tax Review: 28 - 44.

Direktur Jenderal Pajak. 2000, Jakarta Post, Vol. July 31. Elster, J. 1989. Social Norms and Economic Theory. The Journal of Economic

Perspectives, 3: 99-117. Fishbein, M., dan I. Ijzen. 1975. Beliefs, Attitudes, Intention and Behavior: An

Introduction To Theory and Research: Reading, MA : Addison-Wesley. Franzoni, L. A. 1999. Tax Evasion and Tax Compliance, In B.Boukaert and

DeGeest (Eds). Encyclopedia of Law and Economics, Cheltenham, UK: Edward Elgar: 52-94.

Ghosh Dipankar dan Terry L., C. 1996. Experimental Investigation of Ethical Standards and Perceived Probability of Audit on Intentional Noncompliance. Behavioral Research in Accounting, 8(Supplement 1996): 219-244.

Glack, K., dan Ryan S. Burg. 2006. Social Norms of Taxation: Perceptions of Cost and Duty, Department of Legal Studies and Business Ethics, University of Pennsylvania: 1-21. Philadelphia.

Gunadi. 2006. Pokok Pikiran Pembaharuan Perpajakan Menuju Kesinambungan Penerimaan Negara. Paper presented at the Seminar Nasional Perpajakan Indoensia: Reformasi Perpajakan Menuju Kesinambungan Fiskal Indonesia, Yogjakarta.

Hadibroto, A. 2000. Perubahan Undang-Undang Pajak Harus Adil dan Berkepastian Hukum. Berita Pajak, 1418(XXXII): 6.

Hessing, D. J., H. Elffers, dan R.H. Weigel. 1988. Exploring The Limits of Self-Reports and Reasoned Action : Investigation of the Psychology of Tax Evasion Behavior. Journal of Personality and Social Psychology: 405-413.

Hyman, D., N. 1993. Public Finance: A Contemporary Application of Theory To Policy (Fourth ed.): The Eryden Press.

Jackson, B. R., dan V.C. Milliron. 1986. Tax Compliance Research: Findings, Problems and Prospect. Journal of Accounting Literature, 5: 125-157.

Page 34: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 29

Kahneman, D., dan A. Tversky. 1979. Prospect Theory: An Analysis of Decision Under Risk. Econometrica, 47: 263-291.

Makhfatih, A. 2005. Penggelapan Pajak di Indonesia : Studi Pajak Hotel Non Bintang. Unpublished Disertasi, Universitas Gadjah Mada, Yogjakarta.

May J.Peter. 2005. Regulation and Compliance Motivations: Examining Different Approaches. Public Administration Review, 65(1 Jan/Feb): 31-44.

Milliron Valerie C. 1985. A Behavioral Study of The Meaning and Influence of Tax Complexity. Journal of Accounting Research, 23(2 Autumn).

Milliron Valerie C. dan Daniel R, T. 1988. Tax Compliance: An Investigation of Key Features. The Journal of the American Taxation Association(Spring): 84-104.

Palfrey, T., dan Howard Rosenthal. 1984. Participation amd The Provision of Discreate Public Goods. Journal of Public Economics, 24: 171-193.

Randall, D. M. 1989. Taking Stock: Can Theory of Reasoned action explain unethical conduct ? Journal of Business Ethics, 8: 873-882.

Scotchmer, S., dan., J, Slemrod. 1989. Randomness in Tax Enforcement. Journal of Public Economics, 38: 17 -32.

Song, Y., dan T.E. Yarbrough. 1978. Tax Ethics and Taxpayer Attitudes : A Survey. Public Administration Review, 38: 442 - 457.

Tenenhahaus M., V. E.-M. (2005). PLS Path Modelling. Computational Statistics and Data Analysis , 48, 159-205.

Torgler Benno. 2003. Tax`Morale and Tax Compliance: A Cross Culture Comparison. Paper presented at the Tax Institute of America Proceedings, America. Trivedi, V. U., Mohamed, Shehata., dan Bernadette Lynn. 2003. Impact of

Personal and Situational Factors on Taxpayer Compliance : An Experimental Analysis. Journal of Business Ethics, 47(3): 175-197.

Uppal, J. S. 2005. Kasus Penghindaran Pajak di Indonesia. Economic Review Journal, 201: 1 - 5.

Weigel, R. H., D.J. Hessing, dan H. Elffers. 1987. Tax Evasion Research: A Critical Appraisal and Theoritical Model. Journal of Economic Psychology: 215-235.

Williamson, O. E. 2000. The New Institutional Economics: Taking Stock, Looking Ahead. Journal of Economic Literature, 38(3).

Winter, S. C., dan Peter. J. May. 2001. Motivation for Compliance with Environmental Regulations. Journal of Policy Analysis and Management, 20(4): 675-698.

Yithaki, S. 1974. A Note on Income Tax Evasion A Theoretical Analysis. Journal of Public Economics, 36: 201-202.

Page 35: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 30

PENGARUH PERTIMBANGAN IDENTITAS TERHADAP KEKENDURAN ANGGARAN: PERAN AKURASI DAN

PENGURANGAN BIAS

Monika Palupi Murniati∗

ABSTRAK This research based on practice phenomenon that practitioner need to improve budgeting. Identity theory explained individual behavior from instrumental and non-instrumental perspectives. Identity draw an interactive perspective for explaining the dynamics of identity building and maintaining it through procedural justice fairness. Group engagement explained for why procedural justice shapes cooperation in group and reduces budgetary slack. Experiment method was used to examine these hypothesises. This research consist of a 2x2x2 between subject design with manipulations of bias suppression on procedural justice judgment, outcome satisfaction and respect. Each cell consisted of 30 participants that randomly assignment in 8 cells. Keywords: identity, procedural justice judgment, outcome satisfaction, budgetary slack, accuracy, bias suppression.

1. Pendahuluan Fenomena praktik yang disajikan (Hansen, Otley, & Stede, 2003)

mengenai anggaran membuat para praktisi merasa perlu melakukan banyak perbaikan dalam proses penyusunan anggaran. Partisipasi anggaran sebagai bentuk perbaikan dari proses penyusunan anggaran oleh atasan ternyata tidak selalu mampu memberikan benefit bagi kelompok. Kenyataan ini didukung oleh banyak temuan penelitian mengenai partisipasi anggaran yang tidak konklusif (Brownell, 1982; Murrary, 1990 dan Lau & Eggleton, 2003).

Asimetri informasi antara informasi yang dimiliki bawahan dan atasan menjadi argumentasi mengapa partisipasi dibutuhkan dalam proses penyusunan anggaran. Partisipasi anggaran merupakan pemberian kesempatan bagi bawahan untuk ikut serta dalam penetapan tujuan sehingga komitmen bawahan untuk mencapai tujuan terbentuk. Chow & Waller (1988) menyatakan bahwa

∗ Penulis adalah mahasiswa Program Doktor Ilmu-Ilmu Ekonomi Program Studi Akuntansi FEB UGM dan staf pengajar di UNIKA Soegijapranata Semarang

Page 36: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 31

partisipasi merupakan cara manajer untuk mengkomunikasikan informasi yang dimiliki subordinat sehingga asimetri informasi akan berkurang. Pandangan lain menyatakan bahwa partisipasi dalam penyusunan anggaran dapat dipahami sebagai bentuk internalisasi tujuan individu (bawahan) kedalam tujuan kelompok yang dapat menimbulkan kekenduran anggaran.

Teori keagenan menjelaskan bahwa partisipasi hanya akan bermanfaat ketika atasan mampu menggunakan informasi privat yang diperoleh untuk memperbaiki perencanaan, koordinasi dan evaluasi kinerja. Asumsi self interested behavior menjelaskan mengapa dalam partisipasi penyusunan anggaran, bawahan memiliki kecenderungan melakukan kekenduran anggaran karena mereka memiliki informasi privat dan kesempatan untuk memperoleh keuntungan (Eisenhart, 1989). Partisipasi oleh teori keperilakuan dipandang sebagai bentuk motivasi kepada bawahan untuk memberikan informasi privat dan memperoleh informasi relevan dari lingkungan eksternal, supervisor anggaran, bawahan lain dan atasan.

Penelitian mengenai partisipasi anggaran banyak didominasi oleh pengujian dan penjelasan dari model instrumental melalui teori keagenan. Partisipasi dapat dipahami sebagai peluang bagi bawahan untuk mengatur seberapa besar informasi privat yang akan diberikan kepada atasan untuk menetapkan anggaran. Alasan instrumental, reward, menjadi penjelasan bagi perilaku kekenduran anggaran. Beberapa penelitian kemudian menggunakan beberapa teori motivasi untuk menjelaskan perilaku kekenduran anggaran dengan banyak variabel kontijensi. Penelitian ini akan memberikan pengujian dan penjelasan mengenai perilaku kekenduran anggaran dari model non instrumental melalui kebutuhan individu akan identitas.

Banyak alasan bagi individu untuk memutuskan menjadi anggota dari suatu kelompok dan alasan identitas akan menjadi fokus dalam penelitian ini. Kelompok dipandang sebagai sumber identitas karena individu mempunyai kecenderungan mengidentifikasi individu lain melalui keanggotaannya dalam kelompok. Kebutuhan individu akan identitas menjadi argumen bagi individu untuk bergabung dengan kelompok yang mampu membentuk dan menjaga identitas anggotanya sehingga perilaku positif yang memberikan benefit bagi kelompok terbentuk. Hal ini berarti pertimbangan individu akan identitas menjadi faktor penting yang mempengaruhi perilaku individu dalam kelompok.

Page 37: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 32

Individu memberikan pertimbangan atas identitas yang akan diterima dari kelompok melalui prosedur, distribusi pendapatan dan perilaku atasan yang dalam penelitian ini disebut dengan keadilan prosedural, kepuasan atas pendapatan dan respek. Group engagement menjelaskan bahwa model non instrumental mampu membuat individu sebagai anggota kelompok untuk bekerja sama mencapai tujuan kelompok (Tyler dan Blader, 2003). Keadilan prosedural menjadi informasi bagi individu mengenai proses pembuatan keputusan dan perlakuan yang akan diterima oleh individu sebagai anggota kelompok. Lind dan Tyler (1988) menjelaskan bahwa keadilan prosedural menunjukkan konsekuensi psikologis dari variasi prosedur yang mempunyai pengaruh terhadap pertimbangan yang wajar. Pernyataan di atas memberikan pemahaman bahwa kewajaran menjadi pertimbangan penting bagi individu untuk membuat keputusan apakah kelompok mampu memberikan dan memelihara identitas yang dibutuhkan.

Merchant (1985) menyatakan bahwa kecenderungan melakukan kekenduran anggaran dipengaruhi oleh desain dan implementasi dari sistem penyusunan anggaran yang dimiliki oleh suatu perusahaan. Pendapat Merchant didukung oleh Groake (1990) dalam Vermeulen dan Coetzee (2006) yang menyatakan satu alasan penting terjadinya sikap dan perilaku negatif adalah persepsi individu bahwa organisai tidak memiliki komitmen terhadap kewajaran. Pernyataan ini menunjukkan bahwa kewajaran menjadi penting bagi keadilan prosedural untuk memberikan informasi mengenai identitas yang akan diterima ketika menjadi anggota dalam suatu kelompok.

Penelitian ini utamanya akan menguji alasan identitas sebagai variabel yang diduga mampu mengurangi perilaku kekenduran anggaran melalui pertimbangan yang wajar terhadap keadilan prosedural, kepuasan atas pendapatan dan respek sebagai bentuk interaksi atasan dan bawahan. Penelitian ini menjadi penting karena beberapa alasan berikut: (1) Alasan identitas dalam banyak penelitian psikologi digunakan untuk menjelaskan pembentukan perilaku positif, tetapi dalam penelitian ini alasan identitas digunakan untuk menjelaskan perilaku negatif (2) Group engagement banyak diterapkan dalam penelitian psikologi dan penelitian ini dilakukan dalam kerangka partisipasi anggaran (3) Dalam banyak penelitian, keadilan prosedural dievaluasi dengan voice dan choice tetapi penelitian ini menggunakan 2 item Leventhal yaitu akurasi dan pengurangan bias.

Page 38: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 33

2. Telaah Literatur dan Perumusan Hipotesis

Pengaruh penting keadilan terhadap perilaku individu atau kelompok ditunjukkan oleh beberapa riset keadilan sosial. Folger dan Konovsky (1989), Tyler dan Smith (1997), Tyler et al. (1997), Tyler (2000), Van den Bos (2001), Colquitt et al. (2001) dan Van den Bos dan Lind (2002) menemukan bahwa informasi mengenai keadilan mempunyai pengaruh terhadap pembentukan pemikiran, rasa dan perilaku individu melalui pertimbangan terhadap keadilan. Temuan tersebut mendukung tinjauan Tyler, Degoey dan Smith (1996) yang menunjukkan bahwa, ketika individu merasa menerima perlakuan yang wajar maka mereka bersedia menerima dan melaksanakan keputusan yang dibuat dengan prosedur yang wajar (Greenberg, 1990 dan Lind et al., 1993), individu merasa puas dengan prosedur yang wajar (Thibaut dan Walker, 1975), individu akan mentaati aturan perusahaan (Tyler, 1990 dan Tyler dan Degoey, 1995), bersedia untuk tetap tinggal dalam kelompok (Brocker, Tyler dan Cooper, 1992) dan individu bersedia untuk membantu kelompok bahkan ketika hal itu menjadi biaya bagi individu (Tyler dan Degoey, 1995).

Keadilan mempunyai dua tipe utama, yaitu keadilan distributif dan keadilan prosedural. Keadilan distributif merupakan konsep proporsionalitas yang mendasarkan pada teori ekuitas (Adam, 1965 dalam Hopkins dan Weathington, 2006). Teori ekuitas dideskripsikan sebagai keyakinan bahwa distribusi pendapatan harus didasarkan pada kontribusi individu kepada kelompok. Kewajaran terjadi ketika pendapatan yang diterima mempunyai proporsi yang sama dengan masukan yang diberikan oleh individu. Keadilan prosedural berkaitan dengan persepsi bawahan mengenai kewajaran prosedur yang digunakan oleh atasan untuk melakukan evaluasi kinerja, memberikan umpan balik dan membuat keputusan mengenai pendapatan yang akan diterima oleh bawahan (McFarlin dan Sweeny, 1992). Keadilan distributif menjadi fokus awal studi keadilan dengan argumentasi kebutuhan ekonomi. Pendapatan yang diterima menjadi dasar bagi individu untuk memberikan pertimbangan yang wajar. Walster, Walster dan Berscheid (1978) menemukan bahwa individu merasa puas ketika pendapatan didistribusikan dengan wajar. Thibaut dan Walker (1975) menyatakan bahwa reaksi individu terhadap atasan dan keputusan penyelesaian suatu masalah dipengaruhi oleh kewajaran dari keputusan dan prosedur pembuatan keputusan.

Page 39: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 34

Pernyataan Thibaut dan Walker ini menjadi awal perkembangan riset keadilan prosedural yang mengusulkan model psikologikal. Model ini memberikan argumentasi bahwa prosedur merupakan karakteristik utama dari kewajaran meskipun studi Thibaut dan Walker masih terbatas pada prosedur alokasi pendapatan (Tyler dan Blader, 2003). Model ini kemudian dikenal dengan model instrumental keadilan prosedural. 2.1. Keadilan Prosedural Tinjauan riset mengenai keadilan prosedural yang dilakukan oleh Lind dan Tyler (1988) dan Van den Boss et al. (1997) menjelaskan bahwa efek proses yang wajar (fair process effect) menjadi argumentasi penting dalam perkembangan penelitian keadilan prosedural. Efek proses yang wajar menjelaskan bahwa respon terhadap pendapatan dipengaruhi oleh pertimbangan prosedural. Ketika sebuah prosedur dipersepsikan wajar, maka individu akan bereaksi positif terhadap pendapatan meskipun pendapatan yang diterima tidak memuaskan. Isu keadilan prosedural kemudian berkembang dengan melihat prosedur dari sudut pandang relasional. Keadilan prosedural dapat dijelaskan dengan dua model, yaitu model instrumental dan model non-instrumental. Model instrumental berkaitan dengan prosedur alokasi pendapatan yang telah dijelaskan oleh teori Thibaut dan Walker (1975). Prosedur dipandang sebagai instrumen untuk memperoleh pendapatan yang wajar melalui kontrol terhadap keputusan yang dibuat. Fokus riset keadilan prosedural terletak pada pengaruh prosedur dan aturan terhadap pertimbangan kewajaran dalam proses pembuatan keputusan. Dua aspek penting dalam proses pembuatan keputusan adalah tersedianya peraturan dan prosedur yang mengatur proses pembuatan keputusan dan aplikasi aturan dan prosedur tersebut. Ketika suatu kelompok mempunyai aturan dan prosedur yang menjadi dasar proses pembuatan keputusan, maka kelompok tersebut akan dipersepsikan lebih wajar daripada kelompok yang tidak memiliki aturan dan prosedur dalam proses pembuatan keputusan. Temuan Lind, Lissak dan Conlon (1983) dan Tyler, Rasinski dan Spodick (1985) menyatakan bahwa hubungan antar individu dan pembuat keputusan dalam suatu kelompok memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap pertimbangan keadilan prosedural daripada pertimbangan instrumental prosedur kontrol dan alokasi pendapatan (Tyler, 1994). Hal ini berarti alasan non-

Page 40: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 35

instrumental mempunyai pengaruh yang dominan (Tyler, 2000). Model non-instrumental dapat dijelaskan dengan tiga model keadilan prosedural, yaitu group value model, model relasional dan group engagement model (Tyler dan Blader, 2003). Penelitian ini menggunakan group engagement dalam mengembangkan hipotesis penelitian. Alasan penggunaan model ini akan dijelaskan pada bagian di bawah ini. 2.1.1. Group Engagement Group engagement merupakan model yang mengintegrasikan group value model dan model relasional dengan menjelaskan bagaimana keadilan prosedural membentuk kerjasama dalam suatu kelompok (Tyler dan Blader, 2003). Tujuan model ini adalah mengidentifikasi dan menguji anteseden dari sikap, nilai dan perilaku kooperatif individu dalam suatu kelompok melalui kebutuhan identitas sosial individu. Group engagement tidak hanya menjelaskan perilaku negatif individu yang disebabkan oleh ketidakpuasan terhadap pendapatan (Thibaut dan Kelley, 1959) tetapi menjelaskan pula motivasi internal individu yang mendorong perilaku positif dan mempunyai nilai bagi kelompok (Tyler dan Blader, 2000). Kebutuhan individu untuk dihargai, merasa bahagia, produktif dan kreatif menjadi dasar model ini untuk membangun perilaku positif dalam kelompok. Motivasi internal untuk memperoleh identitas sosial menjadi dasar untuk menjelaskan keterlibatan individu dalam kelompok dan perilaku yang memberikan benefit bagi kelompok. Fuller et al. (2006) menyatakan bahwa kepercayaan atasan terhadap kontribusi bawahan, partisipasi dalam pembuatan keputusan dan kesempatan untuk mengembangkan pengetahuan dan ketrampilan merupakan bentuk dari respek yang diberikan atasan kepada bawahan. Respek merupakan salah satu kebutuhan sosial individu untuk dihargai, dan kebutuhan ini dapat dipenuhi ketika berada dalam suatu kelompok dengan status tertentu. Hal ini berarti motivasi individu untuk bergabung dalam suatu kelompok tidak semata-mata alasan ekonomis, tetapi juga alasan non-ekonomis. Motivasi non-ekonomi menjadi argumentasi bagi group engagement untuk memahami hubungan individu dan kelompok dalam jangka panjang. Kelompok dilihat sebagai sumber informasi mengenai anggota-anggota dalam kelompok dan sarana untuk memelihara identitas individu. Ketika individu

Page 41: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 36

sebagai anggota mempunyai orientasi hubungan jangka panjang dengan kelompok maka individu akan cenderung berperilaku positif. Model ini memberikan pemahaman mengenai hubungan individu sebagai anggota dan kelompoknya dengan dua aspek penting, yaitu identitas (Hogg dan Abrams, 1988) dan pendapatan (Thibaut dan Kelley, 1959) dalam Tyler dan Blader (2003). Pernyataan di atas menjadi alasan mengapa group engagement merupakan model yang tepat untuk digunakan dalam penelitian ini. 2.1.1.1. Teori Identitas Sosial

Salah satu motivasi individu untuk bergabung dalam suatu kelompok adalah memperoleh dan menjaga identitas sosial individu yang dijelaskan oleh teori identitas sosial. Pada awalnya teori identitas sosial digunakan untuk menjelaskan hubungan antar kelompok, tetapi Tyler mengembangkan teori ini untuk menjelaskan hubungan individu dan kelompok dengan group engagement. Teori ini menjelaskan bahwa individu menggunakan kelompok sebagai sumber informasi mengenai anggota-anggota kelompok (Tyler, 1996). Perspektif ini menyatakan bahwa anggota kelompok akan menggunakan status atau kedudukan sosial dalam kelompok untuk membangun harga diri individu. Group engagement memprediksi bahwa keinginan individu untuk bekerjasama dalam suatu kelompok dipengaruhi oleh informasi mengenai identitas yang akan diterima dari kelompok. Festinger (1954) dalam Nahartyo (2003) menyatakan bahwa alasan utama individu untuk bergabung dalam suatu kelompok adalah validasi diri yang dapat diperoleh individu ketika menjadi anggota kelompok, yaitu identitas dan harga diri. Hal ini didukung oleh Deaux (1996) dalam Tyler dan Blader (2001) yang menyatakan bahwa kelompok mempunyai fungsi penting bagi individu dengan mendefinisikan dan memberikan self worth bagi anggota kelompok. Individu menggunakan dimensi penting kelompok untuk mendefinisikan dirinya (Hogg dan Abrams, 1988). Motivasi untuk memiliki dan menjaga harga diri menjadi argumen bahwa individu dalam suatu kelompok akan melakukan suatu aktivitas yang menguntungkan kelompok. Identifikasi didefinisikan sebagai tingkat keinginan individu secara kognitif untuk menggabungkan dirinya dengan kelompok. Ketika individu diidentifikasi melalui kelompoknya, maka individu memiliki motivasi untuk bekerjasama meningkatkan kinerja kelompok. Semakin kuat identifikasi

Page 42: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 37

individu melalui kelompok, semakin penting fungsi kelompok bagi anggotanya. Fungsi penting kelompok akan mendorong individu untuk memikirkan kelangsungan kelompok melalui perbaikan kinerja. Individu akan memikirkan kepentingan kelompok seperti mereka memikirkan kepentingannya sendiri. Hal ini berarti perilaku individu dibentuk oleh tingkat identifikasi individu dengan kelompoknya. Studi Abrams, Ando dan Hinkle (1998) memberikan bukti bahwa identitas akan membentuk perilaku yang ditunjukkan oleh rendahnya keinginan berpindah yang rendah ketika ketika individu mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok. Konsep kedua dari teori identitas sosial adalah status. Ketika individu memandang bahwa kelompok mempunyai fungsi penting untuk memperoleh dan menjaga identitas sosialnya, maka individu akan melakukan evaluasi terhadap status kelompok. Evaluasi terhadap status kelompok akan mempengaruhi identifikasi. Ketika individu memiliki pertimbangan yang positif terhadap status, maka tingkat identifikasi individu terhadap kelompoknya akan tinggi. Kondisi ini akan mempengaruhi sikap dan perilaku individu dalam kelompok. Respek menjelaskan pertimbangan mengenai status individu dalam kelompok. Respek yang diberikan kelompok kepada anggotanya akan membentuk identitas personal yang berkaitan dengan reputasi anggota dalam kelompok. Hal ini mendorong individu berperilaku kreatif dan memiliki pemikiran yang unik untuk membentuk reputasi diantara anggota kelompok. Individu yang merasa dihargai oleh individu lain dan kelompoknya akan memiliki komitmen yang tinggi terhadap kelompoknya dan secara sukarela termotivasi untuk berperilaku yang memberikan manfaat bagi kelompoknya. Respek menjelaskan perilaku diskresioner individu yang terjadi karena motivasi internal individu bukan karena peraturan dalam kelompok. Teori identitas sosial menjelaskan proses dinamis yang membentuk perilaku diskresioner. Kebutuhan sosial dan psikologis akan identitas sosial ini, mendorong individu untuk membangun relasi jangka panjang karena individu ingin terus menerus menjaga identitasnya. Argumen ini menjadi motivasi bagi individu untuk berperilaku positif yang menguntungkan kelompok melalui proses identifikasi. Perilaku positif akan membuat individu memiliki perhatian terhadap kewajaran prosedur, perlakuan dan pendapatan yang ada dalam kelompok. Robinson (1996) menjelaskan hubungan organisasi dan karyawan sebagai kontrak psikologis, yaitu hubungan yang tidak hanya didasarkan pada

Page 43: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 38

kontrak tertulis tetapi juga kesepakatan yang tak tertulis antara karyawan dan organisasi. Ketika terjadi pelanggaran atas kontrak, maka akan muncul ketidakpercayaan karyawan terhadap organisasinya. Kepercayaan didefinisikan sebagai harapan, asumsi dan keyakinan mengenai kemungkinan keuntungan yang akan diperoleh pada masa yang akan datang. Aryee et al. (2002) menjelaskan kepercayaan sebagai kombinasi dari dasar kognitif dan afeksi. Aspek kognitif berkaitan dengan evaluasi individu terhadap kemampuan organisasi untuk memenuhi kuwajibannya. Evaluasi ini akan menunjukkan seberapa besar organisasi dapat dipercaya dan diandalkan oleh individu ketika menjadi anggota organisasi. Aspek afeksi berkaitan dengan perhatian dan kepedulian antara organisasi dan anggotanya. Berdasarkan penjelasan di atas, kepercayaan dapat dipahami sebagai proses kognitif dan afektif individu terhadap perilaku organisasi. 2.1.1.2. Teori Pertukaran Sosial Motivasi kedua dalam group engagement didasarkan pada teori pertukaran sosial untuk menjelaskan keinginan individu bergabung dalam suatu kelompok. Teori pertukaran sosial memandang hubungan individu dalam suatu kelompok sebagai suatu pertukaran sumber daya. Teori ini mempunyai asumsi bahwa setiap individu secara sukarela akan bergabung dalam suatu kelompok hanya ketika hubungan tersebut memberikan kepuasan dalam hal ganjaran dan biaya yang diterima.

Kelly dan Thibaut pertama kali memperkenalkan teori pertukaran sosial dengan memberikan argumentasi mengapa individu mau bergabung dalam suatu kelompok dari perspektif sumber daya. Teori ini memandang hubungan antara individu dan kelompok sebagai pertukaran sumberdaya, yaitu antara kinerja individu dan pendapatan yang diberikan oleh kelompok (Thibaut dan Kelly, 1959 dalam Tyler dan Blader, 2001). Hal ini berarti pendapatan menjadi pertimbangan bagi individu bergabung dalam suatu kelompok dan membuat keputusan untuk tetap tinggal dalam kelompok atau keluar dari kelompok. Rusbult dan Van Lange (1996) dalam Tyler dan Blader (2001) menyatakan bahwa model motivasi ini menjelaskan perilaku individu dalam kelompok dibentuk oleh pertimbangan mengenai pendapatan yang telah dan akan diterima individu sebagai anggota kelompok. Pernyataan Blau mendukung pendapat Thibaut dan Kelly bahwa motivasi awal individu untuk bergabung dalam suatu

Page 44: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 39

kelompok adalah motivasi ekonomi dan selanjutnya akan bergeser menjadi motivasi sosial. Perspektif sumber daya memprediksi bahwa tingkat kerjasama individu dengan kelompok dibentuk oleh tingkat pendapatan yang diterima dari kelompok. Penelitian ini menggunakan teori pertukaran sosial yang memandang hubungan individu sebagai pertukaran sumber daya dan membentuk pertimbangan sumber daya. 2.3. Pengembangan Hipotesis

Pertimbangan Keadilan Prosedural Akurasi dan pengurangan bias merupakan faktor yang diusulkan oleh Leventhal (1980) untuk melakukan evaluasi terhadap kewajaran pembuatan keputusan melalui aturan prosedur pembuatan keputusan. Vermunt et al. (1993) menyatakan bahwa akurasi dan pengurangan bias merupakan faktor penting dalam melakukan evaluasi prosedur pembuatan keputusan. Akurasi menjelaskan bahwa pembuatan keputusan harus didasarkan pada semua informasi akurat dan dapat dipercaya (Cremer, 2004). Pengurangan bias berkaitan dengan perilaku atasan dalam pembuatan keputusan yang tidak melibatkan kepentingan pribadi atau pihak-pihak tertentu dalam kelompok, sehingga keputusan yang dihasilkan netral. Individu sangat sensitif terhadap prosedur negatif daripada prosedur positif (Folger, 1984, Van den Bos, Vermunt dan Wilke, 1997 dan Folger dan Cropanzano, 1998). Van Prooijen (2001) menemukan bahwa prosedur negatif mempunyai pengaruh terhadap perilaku negatif individu karena prosedur dipersepsikan tidak wajar. Hal ini berarti prosedur mempunyai pengaruh terhadap proses pembuatan keputusan individu (Prooijen et al., 2006). Proses penyusunan anggaran merupakan proses pembuatan keputusan yang membutuhkan informasi yang akurat dan bebas dari kepentingan pihak tertentu untuk menentukan tujuan anggaran. Bias dalam pembuatan keputusan merupakan salah satu bentuk implementasi negatif prosedur karena keputusan dibuat berdasarkan kepentingan pihak tertentu. Prosedur dapat dipersepsikan tidak wajar oleh individu sebagai anggota kelompok, ketika implementasi prosedur oleh atasan bias. Group engagement menjelaskan bias dalam kerangka hubungan antara bawahan dan atasan. Perilaku bias atasan akan membuat bawahan memiliki

Page 45: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 40

persepsi negatif tentang proses pembuatan keputusan dan hal ini diasosiasikan oleh bawahan sebagai prosedur yang tidak wajar (Lind dan Tyler, 1992 dan Tyler dan Blader, 2004). Hal ini berarti, keadilan prosedural sebagai informasi bagi bawahan mengenai nilai dan respek yang akan diterima individu dari kelompok tidak memberikan informasi positif. Prosedur yang bias akan memberikan implikasi terhadap perlakuan yang akan diterima oleh bawahan karena atasan dipersepsikan memiliki sikap negatif sehingga bawahan memiliki persepsi yang tidak wajar terhadap prosedur (Tyler, 1994). Cremer (2004) menemukan bahwa prosedur yang wajar dipengaruhi oleh tingkat akurasi prosedur. Temuan ini didukung oleh penelitian Cremer dan Knippenberg (2003), Van den Boss (2000) dan Van den Boss et al. (1997). Prosedur pembuatan keputusan yang akurat adalah prosedur yang mempertimbangkan semua informasi yang tersedia. Studi Cremer menemukan bahwa pertimbangan yang wajar terhadap suatu prosedur dipengaruhi oleh tingkat akurasi prosedur hanya ketika atasan dipersepsikan tidak bias oleh bawahan. Pada kondisi bawahan memiliki persepsi yang bias terhadap atasan, maka tingkat akurasi tidak memiliki pengaruh terhadap pertimbangan keadilan prosedural. Hal ini dapat dijelaskan bahwa persepsi individu terhadap atasan yang bias menunjukkan ketidakpercayaan individu terhadap atasan dan keputusan yang diambil, meskipun keputusan tersebut didasarkan pada informasi yang lengkap. Pernyataan di atas menjelaskan bahwa bawahan sensitif terhadap perilaku bias atasan. Bawahan akan merasa diperlakukan tidak adil ketika atasan lebih mementingkan pihak tertentu dalam kelompok meskipun atasan mengimplementasikan prosedur dengan akurat. Berdasarkan penjelasan di atas, hipotesis pertama penelitian ini adalah: H1: Pengurangan bias pada prosedur yang akurat mempunyai pengaruh terhadap pertimbangan keadilan prosedural. Mediasi Pertimbangan Identitas Van den Boss et al. (1998), Van den Boss dan Meidema (2000) dan Blader dan Tyler (2003) menyatakan bahwa keadilan prosedural sebagai informasi mempunyai fungsi penting yang mendeskripsikan kewajaran proses pembuatan keputusan dan perlakuan kelompok terhadap individu sebagai anggota kelompok. Deskripsi prosedur ini akan membentuk pertimbangan individu

Page 46: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 41

mengenai kewajaran proses pembuatan keputusan. Demikian pula perlakuan kelompok terhadap para anggotanya akan mempengaruhi pertimbangan individu terhadap keadilan prosedural yang dimiliki oleh kelompok. Individu memiliki sensitivitas yang lebih kuat terhadap kewajaran keadilan prosedural. Hal ini didukung oleh pernyataan Tyler dan Lind (1992) dan Tyler dan Blader (2000, 2003) bahwa individu akan menggunakan informasi keadilan prosedural untuk mengevaluasi hubungannya dengan kelompok dan atasannya melalui prosedur yang berlaku. Pertimbangan keadilan prosedural yang wajar merupakan evaluasi individu terhadap prosedur pembuatan keputusan yang dilakukan oleh atasan. Tyler dan Blader (2000) menjelaskan aspek non-instrumental keadilan prosedural bahwa perlakuan dan proses pembuatan keputusan yang wajar terhadap anggota kelompok merupakan informasi mengenai status individu dalam kelompok. Temuan Clayton dan Opotow (2003) mendukung pentingnya keadilan prosedural dalam membentuk identitas individu. Argumentasi yang mendasari adalah keikutsertaan individu dalam proses pembuatan keputusan dan umpan balik yang diberikan merupakan bentuk penghargaan yang menunjukkan status individu dalam kelompok. Alasan ini membuat keadilan prosedural menjadi penting bagi individu untuk percaya bahwa kelompok mampu memberikan dan menjaga identitasnya. Pertimbangan yang wajar terhadap keadilan prosedural akan memberikan keyakinan kepada individu bahwa kelompok akan memberikan identitas sosial yang positif. Pernyataan ini didukung oleh pendapat Tajfel dan Turner (1979) bahwa keadilan prosedural mempunyai peran penting dalam mengembangkan dan menjaga identitas sosial yang positif. Group engagement menjelaskan bahwa kewajaran keadilan prosedural yang terdapat dalam suatu kelompok mempengaruhi identifikasi individu terhadap kelompoknya. Individu mempunyai fokus terhadap keadilan prosedural dalam kelompok karena keadilan prosedural merupakan informasi mengenai identitas yang dapat diterima individu. Hal ini didukung oleh temuan Lind dan Tyler (1988) dan Smith dan Huo (1997) yang menyatakan bahwa pertimbangan individu terhadap keadilan prosedural mempengaruhi pemikiran, rasa dan perilaku individu dalam kelompok. Pertimbangan yang wajar terhadap keadilan prosedural akan membentuk seberapa besar individu akan mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok. Rupp dan Cropanzano (2002) menyatakan bahwa pertimbangan terhadap prosedur dan implementasi prosedur yang wajar

Page 47: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 42

memberikan suatu keyakinan bahwa kelompok akan memberikan identitas yang positif bagi individu melalui perlakuan yang wajar. Individu akan merasa aman untuk mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok ketika kelompok mempunyai prosedur dan implikasi prosedur yang wajar. Penelitian Tyler dan Blader (2003) menemukan bahwa individu akan memandang secara positif terhadap kelompok dan keanggotaannya ketika kelompok mempunyai prosedur yang diaplikasikan dengan wajar. Kondisi ini akan mendorong individu untuk mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok. Temuan Tyler dan Blader didukung oleh Hogg (2000) menyatakan bahwa keadilan prosedural merupakan faktor penting yang mendasari proses identifikasi dan seberapa besar individu mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok. Seberapa besar individu mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok akan mempengaruhi sikap individu sebagai anggota kelompok, dalam penelitian ini adalah kepercayaan. Kepercayaan inidividu sebagai anggota kelompok terbentuk karena individu memperoleh identitas dari kelompok yang memiliki prosedur dan implementasi prosedur yang wajar. Berdasarkan penjelasan di atas, maka hipotesis yang diusulkan adalah: H2: Pertimbangan identitas memediasi pengaruh pertimbangan keadilan prosedural terhadap kepercayaan individu. Kelly dan Thibaut (1958) dalam Cremer (2004) menyatakan bahwa aspek ekonomi menjadi alasan awal bagi individu untuk bergabung dalam suatu kelompok. Perilaku ini didasarkan pada kebutuhan individu untuk memperoleh pendapatan yang dijelaskan oleh teori pertukaran sosial. Teori ini memandang hubungan individu dan kelompok sebagai pertukaran sumber daya yang dimiliki oleh kedua pihak. Hal ini berarti pendapatan yang akan diterima menjadi dasar bagi individu untuk bergabung dan bekerjasama dalam suatu kelompok. Ketika hubungan antara individu dan kelompoknya terfokus pada pertukaran sumber daya, maka aturan alokasi sumber daya yang dimiliki oleh kelompok menjadi perhatian penting karena memberikan informasi mengenai kemungkinan pendapatan yang akan diterima. Tyler dan Blader (2003) menyatakan bahwa pendapatan yang diinginkan oleh individu adalah pendapatan yang wajar. Pendapatan yang wajar dapat dijelaskan oleh teori ekuitas. Aturan proporsionalitas dalam teori ekuitas menjadi dasar kewajaran pendapatan, yaitu penerimaan pendapatan yang sama dengan input yang telah

Page 48: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 43

diberikan individu kepada kelompok. Warner dan Ones (2000) menyatakan bahwa kewajaran terjadi ketika kinerja yang berbeda disertai dengan penerimaan pendapatan yang berbeda pula. Hal ini berarti individu akan mempunyai pertimbangan yang wajar terhadap pendapatan yang diterima ketika individu mempunyai proporsi yang sama mengenai sumber daya yang diterima dan dikeluarkan. Hopkins dan Weathington (2006) menjelaskan bahwa kepuasan mempunyai dua komponen, yaitu afektif dan kognitif (Schleicher et al., 2004). Komponen afektif berkaitan dengan apa yang dirasakan seseorang, sedangkan komponen kognitif berkaitan dengan keyakinan dan pemikiran sesorang mengenai perlakuan yang diberikan. Kombinasi dari apa yang dirasakan, dipercaya dan dipikirkan individu akan menentukan tingkat kepuasan yang dapat diperoleh bawahan dari kelompok. Cohen dan Spector (2001) menemukan bahwa kepuasan berkaitan dengan keadilan distributif dan prosedural. Semakin tinggi tingkat kepuasan maka semakin tinggi kelompok memberikan keyakinan kepada bawahan bahwa distribusi sumber daya dan prosedur dalam kelompok wajar. Miceli dan Lane (1991) dalam Warner dan Ones (2000) menyatakan bahwa kepuasan individu terhadap pendapatan yang diterima mempunyai korelasi positif dengan kewajaran pembayaran. Hal ini berarti kepuasan individu terhadap pendapatan yang diterima dapat menceminkan kewajaran alokasi pendapatan yang dimiliki oleh kelompok. Group engagement memberikan argumentasi bahwa salah satu motivasi individu bergabung dalam suatu kelompok adalah pendapatan yang akan diterima. Perspektif pertukaran sosial dalam group engagement menjelaskan pengaruh kepuasan terhadap pendapatan dalam membentuk pertimbangan identitas. Tyler dan Blader (2003) menyatakan bahwa umpan-balik ekonomi merupakan cara individu untuk memperoleh dan memelihara identitasnya dalam suatu kelompok. Hal ini berarti pendapatan yang wajar akan menjaga identitas individu secara ekonomi yang akan mempengaruhi pertimbangan individu terhadap identitas yang dapat diberikan oleh kelompok. Ketika kelompok mampu memberikan kepuasan pendapatan kepada anggota-anggotanya, maka individu cenderung mengidentifikasikan dirinya secara ekonomis dengan kelompoknya.

Page 49: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 44

Lewicki dan Bunker (1996) dan Kramer dan Wei (1999) dalam Tanis dan Postmes (2005) menyatakan bahwa kepercayaan individu tidak hanya didasarkan pada pertimbangan ekonomi dari hubungan individu dengan kelompoknya tetapi pada keanggotaan individu dalam kelompok yang mampu memberikan identitas. Hal ini berarti pertimbangan individu mengenai identitas yang dapat diterima dari kelompok akan mempengaruhi kepercayaan individu terhadap kelompoknya. Ketika individu memiliki pertimbangan bahwa kelompok mampu memberikan dan memelihara identitas sosial anggota-anggotanya, maka individu akan percaya bahwa kelompok mampu memenuhi kebutuhannya akan identitas. Hal ini didukung oleh studi Tyler dan Blader (2003) yang menyatakan bahwa pertimbangan individu terhadap pendapatan yang diterima tidak secara langsung mempengaruhi sikap individu tetapi dimediasi oleh pertimbangan individu mengenai identitas yang diperoleh dari kelompok. Pernyataan tersebut didukung oleh temuan Tanis dan Postmes (2005) bahwa identifikasi individu memiliki pengaruh terhadap kepercayaan individu kepada kelompok. Semakin kuat identifikasi individu terhadap kelompok, maka individu semakin percaya akan peran penting peran kelompok bagi individu. Hal ini mendorong individu untuk membina hubungan jangka panjang dengan kelompok dengan berperilaku positif, karena kepentingan kelompok merupakan kepentingan anggota kelompok. Identitas yang dibentuk oleh kepuasan terhadap pendapatan menjadi alasan penting bagi individu untuk percaya bahwa kelompok mampu memelihara identitasnya sehingga mendorong perilaku yang positif. Berdasarkan penjelasan di atas, hipotesis yang diusulkan mengenai pertimbangan identitas dan kepercayaan individu adalah: H3: Pertimbangan identitas memediasi pengaruh kepuasan pendapatan terhadap kepercayaan individu. Respek dan Pertimbangan Identitas Group engagement menggunakan teori identitas sosial untuk menjelaskan hubungan individu sebagai anggota dengan kelompoknya. Keanggotaan dalam suatu kelompok merupakan salah satu cara yang digunakan oleh individu untuk mendapatkan dan memelihara identitasnya. Hal ini berarti individu akan mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok, ketika kelompok mampu memberikan identitas sosial yang menjadi kebutuhannya. Tyler dan Blader

Page 50: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 45

(2001) menyatakan bahwa status yang diberikan kelompok kepada individu dapat membentuk identitas individu dengan kelompoknya. Respek yang diberikan kelompok dapat merefleksikan status individu dalam suatu kelompok. Respek yang diterima individu menunjukkan bagaimana individu dihargai oleh kelompoknya. Para peneliti identitas sosial memberikan pendapat bahwa individu akan merasa senang ketika individu lain dalam kelompok menghargai keberadaannya. Tyler et al. (1996) dan Tyler dan Blader (2000) mendukung pernyataan di atas bahwa respek akan membentuk harga diri. Noel et al. (1995) menemukan bahwa individu sangat memperhatikan tentang apa yang dipikirkan oleh individu lain mengenai dirinya. Temuan-temuan penelitian di atas dapat menunjukkan pentingnya respek bagi individu untuk menunjukkan statusnya dalam suatu kelompok. Fuller et al. (2006) menyatakan bahwa persepsi individu mengenai respek yang diberikan oleh kelompok akan mempengaruhi seberapa besar individu mengidentifikasikan dirinya secara kognitif dengan atribut-atribut yang dimiliki oleh kelompok. Seta dan Seta (1996) menyatakan bahwa respek merupakan faktor penting dalam proses identifikasi individu terhadap kelompoknya. Respek yang menunjukkan penghargaan kelompok kepada individu akan mendorong individu untuk berfikir mengenai cara menjaga identitasnya. Motivasi ini akan mendorong individu secara sukarela berperilaku positif yang memberikan manfaat bagi kelompok dan mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok. Tyler dan Blader (2002) menyatakan bahwa penelitian-penelitian terdahulu menemukan adanya korelasi yang positif antara respek dan identifikasi terhadap kelompok. Group engagement memberikan pemahaman bahwa keanggotaan dalam suatu kelompok memberikan pandangan yang positif terhadap individu. Respek yang diberikan kelompok akan digunakan sebagai evaluasi status individu dalam kelompok. Status individu dalam kelompok akan membentuk harga diri yang dibutuhkan oleh individu untuk memperoleh dan menjaga identitasnya. Ketika kelompok diakui mampu memberikan identitas melalui status individu dalam kelompok, maka evaluasi individu terhadap statusnya dalam kelompok akan mempengaruhi pertimbangan identitas. Hipotesis yang diusulkan mengenai respek dan pertimbangan identitas adalah: H4: Respek mempunyai pengaruh terhadap pertimbangan identitas individu

Page 51: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 46

Kepercayaan dan Kekenduran anggaran Studi Brewer dan Kramer (1986) menunjukkan bahwa individu yang mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok dan memberikan evaluasi positif terhadap perlakuan dan prosedur, akan memiliki kecenderungan untuk menginternalisasikan kepentingan kelompok dalam kepentingan pribadinya. Hal ini berarti respek yang membentuk identitas sosial individu dalam kelompok mempunyai pengaruh terhadap sikap individu terhadap kelompok. Kepercayaan individu terhadap kelompok dibentuk oleh kemampuan kognitif dan pengalaman individu dalam mengevaluasi kewajaran prosedur dan perlakuan sebagai informasi yang mengkomunikasikan respek yang akan diterima (Aryee et al., 2002). Studi Tyler dan Blader (2001) menemukan bahwa identifikasi individu terhadap kelompok secara signifikan mempengaruhi komitmen individu dan kepuasan terhadap atasan. Hal ini ditunjukkan oleh pengaruh signifikan respek terhadap ketaatan dan perilaku diskresioner individu dalam kelompok. Studi ini juga menemukan bahwa identitas individu dalam kelompok mempunyai pengaruh dalam membentuk perilaku individu dalam kelompok. Brockner dan Siegel (1996) menyatakan bahwa prosedur pembuatan keputusan yang wajar tidak hanya memberikan keuntungan material tetapi juga keuntungan psikologis dengan memperoleh identitas diri. Ketika individu mempunyai informasi mengenai kewajaran keadilan prosedural, distributif dan respek maka individu tersebut memiliki pertimbangan identitas. Pertimbangan identitas yang wajar akan mendorong individu untuk mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok karena alasan psikologis. Hal ini akan mendorong individu untuk fokus terhadap hubungan jangka panjang dengan kelompok karena mereka percaya bahwa kelompok mampu memenuhi kebutuhan ekonomis dan psikologis. Konsekuensi dari kondisi ini adalah perilaku negatif individu akan berkurang. Berdasarkan penjelasan di atas, maka hipotesis yang diusulkan adalah: H5: Kepercayaan individu mempunyai pengaruh terhadap kecenderungan individu melakukan kekenduran anggaran.

Page 52: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 47

3. Metodologi Penelitian 3.1. Partisipan Partisipan dalam riset eksperimen ini adalah mahasiswa S-1 Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi dan Manajemen yang minimal telah menempuh lima semester. Pemilihan mahasiswa sebagai partisipan didasarkan pada artikel Ashton dan Kremer (1996) yang menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan antara mahasiswa dan pelaku bisnis dalam melakukan tugas eksperimen. Tugas eksperimen dalam penelitian ini adalah pengkodaan, yaitu menterjemahkan simbol ke dalam abjad. Pengkodaan ini sangat mudah dipahami oleh mahasiswa pada sesi pelatihan sehingga mahasiswa dapat menjalankan tugas eksperimen ini sebagai bentuk partisipasi dalam penyusunan anggaran dengan baik. Alasan lain pemilihan mahasiswa sebagai partisipan adalah fokus penelitian ini pada perilaku individu ketika berada dalam kondisi pengurangan bias, skema pendapatan dan respek tertentu tanpa melihat kapasitas praktis dan profesi. Partisipan yang terlibat dalam eksperimen adalah mahasiswa yang telah menyatakan kesediaannya untuk terlibat dalam eksperimen ini. 3.2. Desain Eksperimen Studi ini menggunakan metoda eksperimen untuk menjelaskan kekenduran anggaran yang dilakukan oleh bawahan dengan cara melakukan intervensi terhadap variabel-variabel penelitian melalui manipulasi. Manipulasi dilakukan pada pengurangan bias, respek dan kepuasan terhadap pendapatan. Desain eksperimental penelitian ini adalah 2 x 2 x 2 between subject seperti tabel di bawah ini:

Tabel 3.1. Desain Eksperimen

Pengurangan Bias-Tinggi Pengurangan Bias-Rendah

Skema Pendapatan

Respek Tidak

Menerima Respek

Respek Tidak

Menerima Respek

Tetap 1 2 3 4 Variabel 5 6 7 8

Page 53: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 48

3.3. Variabel-Variabel Penelitian dan Pengukuran Variabel Pada bagian ini akan dijelaskan definisi operasional dan pengukuran variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini. 1. Pertimbangan keadilan prosedural didefinisikan sebagai pertimbangan

terhadap prosedur proses pembuatan keputusan dan implementasinya. Pertimbangan keadilan prosedural dalam penelitian ini dimanipulasi dengan memberikan skenario mengenai prosedur yang akurat dengan pengurangan bias yang berbeda. Manipulasi terhadap akurasi dan pengurangan bias didasarkan pada studi Vermunt et al. (1996). Cek manipulasi dilakukan dengan memberikan pertanyaan kepada partisipan: ”Bapak Hadi bias dalam membuat keputusan penerimaan mahasiswa sebagai asisten peneliti.” Pertimbangan keadilan prosedural diukur dengan memberikan pertanyaan kepada partisipan mengenai pertimbangan mereka terhadap prosedur dan implementasinya dalam skenario yang telah disiapkan berdasarkan studi Cremer (2004)

2. Kepuasan terhadap pendapatan dan respek. Kepuasan terhadap pendapatan merupakan variabel yang mewakili aspek instrumental. Kepuasan terhadap pendapatan didefinisikan berdasarkan teori ekuitas, yaitu kepuasan individu terhadap proporsi pendapatan yang diterima dengan usaha yang telah dilakukan. Manipulasi dilakukan dengan memberikan skema kompensasi yang berbeda, yaitu fixed rate dan piece rate. Skema kompensasi piece rate mewakili kondisi proporsional dan fixed rate mewakili kondisi kompensasi yang tidak proporsional. Kepuasan terhadap pendapatan akan diukur dengan memberikan pertanyaan kepada partisipan berdasarkan item-item dalam studi Arnold dan Spell (2006). Cek manipulasi dilakukan dengan memberikan tugas perolehan kompensasi untuk mengetahui pemahaman partisipan mengenai kompensasi yang akan diterima.

3. Respek didefinisikan sebagai penghargaan kelompok terhadap individu dengan memberikan status tertentu yang membedakan peran individu dengan individu lain. Manipulasi terhadap respek dilakukan dengan cara memberikan peran yang berbeda dari partisipan lain, yaitu memberikan pendapat mengenai hasil dan estimasi pengkodaan yang dilakukan partisipan lain. Respek diukur dengan memberikan pertanyaan kepada

Page 54: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 49

partisipan berdasarkan item-item yang digunakan dalam studi Platow (2006). Cek manipulasi terhadap respek dilakukan dengan memberikan pertanyaan kepada partisipan, yaitu: ”Lembaga Penelitian Fakultas memberikan peran penting bagi anda dalam menetapkan jumlah pengkodaan benar.”

4. Pertimbangan identitas merupakan pertimbangan individu terhadap identitas sosial yang diterima dari kelompok. Individu akan mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok dimana mereka menjadi anggota dan posisi individu dalam kelompok. Kebutuhan akan identitas ini mendorong individu untuk membina hubungan jangka panjang dengan membangun perilaku positif yang memberikan keuntungan bagi kelompok. Pertimbangan identitas ini diukur dengan item yang dikembangkan oleh Doodje, Ellemers dan Spears (1995) dalam Platow (2006).

5. Kepercayaan individu dalam penelitian ini didefinisikan sebagai keyakinan individu sebagai anggota kelompok bahwa atasan tidak mengeksploitasi bawahan dan bekerja untuk kepentingan kelompok. Pertimbangan individu terhadap identitas akan mempengaruhi kepercayaan individu terhadap kelompok melalui kebutuhan individu terhadap identitas. Ketika individu merasa bahwa kelompok memberikan identitas yang positif, maka individu percaya bahwa kebutuhan identitasnya akan terjaga dengan menjadi anggota kelompok. Kepercayaan individu diukur dengan item yang dikembangkan oleh Robinson (1996).

6. Kekenduran anggaran merupakan perilaku individu untuk menetapkan anggaran yang lebih rendah dari anggaran yang sebenarnya dapat dicapai. Definisi Anthony dan Govindradjan (2001) digunakan dalam penelitian ini untuk menjelaskan kekenduran anggaran, yaitu perbedaan anggaran yang diajukan oleh bawahan dengan estimasi terbaik atasan. Bawahan cenderung mengajukan anggaran yang lebih rendah dari kemampuan optimal bawahan sehingga anggaran mudah dicapai. Kekenduran anggaran dalam penelitian ini didefinisikan sebagai selisih antara jumlah estimasi data terbaik yang dikumpulkan oleh asisten peneliti dan data yang diperkirakan dapat dikumpulkan oleh asisten peneliti.

Page 55: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 50

3.4. Validitas dan Reliabilitas Validitas internal dalam studi eksperimen ini digunakan untuk menjamin bahwa variabel dependen hanya dipengaruhi oleh manipulasi variabel independen. Hal ini berarti variabel ekstrani harus dihilangkan dalam suatu hubungan kausal. Studi ini menggunakan randomisasi untuk meminimalkan atau bahkan menghilangkan pengaruh dari variabel ekstrani dalam hubungan kausal (Christensen, 1988; Hartono, 2004). Randomisasi dilakukan dengan menempatkan partisipan secara random pada sel-sel dengan perlakuan yang berbeda. Validitas isi dilakukan dengan menterjemahkan item pertanyaan dari Bahasa Inggris ke dalam Bahasa Indonesia dan diterjemahkan kembali kedalam Bahasa Inggris oleh orang yang berbeda dan mempunyai kemampuan Bahasa Inggris yang baik. Pertanyaan ini digunakan dalam pilot study untuk mendapat masukan dari para partisipan.Validitas konstruk dan reliablitas dalam penelitian ini dilakukan dalam model pengukuran partial least square. 3.5. Alat Analisis Pengujian terhadap hipotesis-hipotesis penelitian ini dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut: 1. Hipotesis 1 menguji pengaruh prosedur yang akurat terhadap pertimbangan

keadilan prosedural dengan memperhatikan tingkat pengurangan bias dalam penelitian akan diuji dengan t- test. Pengujian dengan t-test digunakan karena dalam hipotesis 1 hanya terdapat satu variabel dependen, yaitu pertimbangan keadilan prosedural, dengan perlakuan tingkat pengurangan bias yang berbeda. Pengujian kausalitas ini didasarkan pada method of difference (Christensen, 1988).

2. Hipotesis 2 sampai dengan hipotesis 8 dalam penelitian ini akan diuji dengan persamaan struktural (partial least square).

DAFTAR PUSTAKA

Abrams, D., Ando, K. dan Hinkle, S.(1998),”Psychological Attachment to Group: Cross Cultural Differences in Organizational Identification and Subjective Norms as Predictors of Workers’ Turnover Intentions,”Personality and Social Psychology Bulletine, 24.

Ashton , R.H dan Kremer S, (1996),”Student Surrogates in Behavioral Accounting Research: Some Evidance,”Journal of Accounting Research, 18.

Page 56: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 51

Blader, Steven L. dan Tom R. Tyler, (2003), ” A Four-Component Model of Procedural Justice: Defining the Meaning of a “Fair” Process,” Personality and Social Psychology Bulletin,Vol. 29.

Brewer, M.B, dan Kramer, R.M, (1986), ”Choice Behavior in Social Dillemas: Effects of Social Identity, Group Size and Decision Faming,” Journal of Personality and Social Psychology, 50.

Brockner, J dan Woesenfeld, B.M, (1996),”An Integrative Framework for Explaining Reaction to Decisions: Interactive Effect of Outcomes and Procedures,”Psychological Bulletine, Vol.120.2,p.189-208

Brownell,P,(1982),”Participation in the Budgeting Process: When it Works and When it doesn’t,”Journal of Accounting Literature, Vol.1,pp.124-153

Chow,C., J.Cooper dan W. Waller,1988,”Participative Budgeting: Effects of Thruth-inducing Pay Scheme and Information Asymmetry on Slack and Performance,”The Accounting Review, Januari:63,pp:111-121

Cohen, C. Y dan Spector, P.E, (2001),”The Role of Justice on Organizations: A Meta Analysis,”Organizational Behavior and Human Decions Processes, 86.

Colquitt et al. (2001),”On the Dimensionality of Organizational Justice: A Construct Validation of a Measure,”,”Journal of Applied Psychology, 86.

Cremer, Davis, (2004),”The Influence of Accuracy as a Function of Leader’s Bias: The Role of Trustworthiness in the Psychology of Procedural Justice,”Personality and Social Psychology Bulletin,Vol.30,p.293-303.

Cremer, David , dan Daan van Knippenberg, (2003), “Coperation with leaders in social dilemmas: On the effects of procedural fairness and outcome favorability in sturctural cooperation”, Organizational behavior dan Human Decision Processes 91

Eisenhart,K,(1989),”Agency Theory:An Assessment and Review,”Academy of Management Review,Vol.14:57-74

Folger,R dan Kanovsky,M.A,(1989),”Effect of Procedural and Distributive Justice on Reaction to Pay Rate Decision,”Academy of Management Journal,Vol.53:110130

Fuller et al.,(2006),”Perceived External Prestige and Internal Respect: New Insight into the Organizational Identification Process,”Human Relation, 59.

Govindarajan, V, (1986),”Impact of Participation in the Budgetary Process on Managerial Attitudes and Performance: Universalistic and Contingency Perspective, Decision Sciences, 17.

Greenberg, J,1990,”Employee Theft as a Reaction to Underpayment of Inequity,”Journal of Apllied Psychology,Vol:75,pp.561-568

Page 57: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 52

Hansen, Otley dan Stede, (2003),”Practice Developments in Budgeting: An Overview and Research Perspective,” Journal of Management Accounting Research, Vol.XV,pp.95-116

Hogg, M.A,(2001),”A Social Identity Theory of Leadership,” Personality and Social Psychology Review, 5

Hopkins Sharon M dan Bart L. Weathington, (2006), “The Relationships Between Justice Perception, Trust, and Employee Attitudes in a Downsized Organization,”The jounal of Psychology, 140.

McFarlin dan Sweeney (1992) McFarlin, Dean B dan Paul D.Sweeny,(1992),“Does Having A Say Matter Only If You Predictor of Satisfaction with Personal and Organizational Outcomes,”Academy of Management Journal, Vol.35:626-637.

Merchant, K.A., (1985),”Budgeting and the Propensity to Create Slack,”Accounting, Organizations and Society, 10.

Murrary,D,1990,”The Performance Effects of Participative Budgeting: An Integration of Intervening and Moderating Variables.”Behavioral Research in Accounting,Vol.2,p:104-123.

Nahartyo,Ertambang,(2004),”Budgetary Participation and Strech Target: The Effect of Procedural Justice on Budget Commitment and Performance under A Strech Budget Condition,”Disertasi.

Platow, Michael J, et.al, (2006), “Non-Instrumental Voice and extra-role Behaviour,” European Journal of Social Psychology, 36.

Prooijen Jan-Willem Van, Kees Van den Bos dan Henk A. M. Wilke, (2007), “Procedural Justice in Authority Relations: The Strength of Outcome Dependece Influences People’s Reactions to Voice, “European Journal of Social Psychology.

Seta, J.J, dan Seta, C.E., (1996),”A Social Hierarchy Analysis of Intergroup Bias,” Journal of Personality and Social Psychology,81.

Tyler Tom R dan Steven L. Blader, (2001), “Identity and Cooperative Behavior in Groups,” Group Processes & Intergroup Relations, 4.

Tyler Tom R dan Steven L. Blader, (2004), ”The Group Engagement Model: Procedural Justice, Social Identity, and Cooperative Behavior,” Personality and Social Psychology Review, Vol.7

Tyler, T.R, Degoey, P., dan Smith, H.(1995), “Understanding Why the Justice of Group Procedures Matters,” Journal of Personality and Social Psychology, 70.

Tyler, Tom, et. al, (1996), “Understanding Why the Justice of Group Procedures Matters: A Test of the Psychological Dynamics of the Group-Value Model,” Journal of Personality and Social Psychology, 70

Page 58: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 53

Tyler, T.R, (1994), ”Psychological Models of The Justice Motive,”Journal of Personality and Social Psychology, 67.

Van den Bos (2001), “The Influence of Uncertainty Salience on Relations to Perceived Procedural Fairness,” Journal of Personality and Social Psychology, 80.

Van den Bos dan Lind, E.A, (2002), Van den Bos, Vermunt, R. dan Wilke H.A.M,(1997),”Procedural and

Distributive Justice: What is Fair depends more on What Comes First than on What Comes Next,” Journal of Personality and Social Psychology, 72

Van den Bos (1998), “When Do We Need Prosedural Fairness?: The Role of Trust in Authority,” Journal of Personality and Social Psychology, 75

Vermeulen, L.P dan M. Coetzee, (2006),”Percetions of the Dimensions of the Fairness of Affirmative Action: A Pilot Study,”Journal of Business Management,Vol:37.

Warner dan Ones (2000) Werner, Steve dan Deniz S. Ones,(2000),” Determinants of Perceived Pay Inequities: The Effects of Comparison Other Characteristics and Pay-System Communications,” Journal of Applied Social Psychology,Vol.30(6).

Page 59: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 54

ANTESEDEN DAN KONSEKWENSI ETIKA KERJA ISLAM Siti Djamilah•

ABSTRACT

This research had four studies of Islamic work ethic. The first study pooled items of Islamic work ethics. The second study tested face validity. The third of study was measure purification and measure validation. The final of study was examined the model of the antecedents and consequences of Islamic work ethic. Until now, researcher had done two studies of Islamic work ethics. The third and fourth of studies will be done latter. The first study done by searching literature about Islamic work ethic. The initial pooled items were 125 items adopted from 6 authors of Indonesia and 1 author from USA. Next step, the researcher tested face validity to the experts (ulama, lectures of Islamic University and employee of Islamic institution) in Jakarta, Yogyakarta, Surabaya and Malang. Questionnaires of face validty test were distributed to 20 respondens and 17 questionnaires was returned. Beside that, researcher had interviewed the experts. The result of face validity showed that 92 of 125 items had content validity ratio (CVR) above 70% and inter rater reliability above 85%. Next step the researcher determined indicators were reflective or formative and examined measure validation. Key Words: Islamic work ethic, work individualism, internal locus of control, job performance, organizational citizenship behavior, job satisfaction, role ambiguity, reflective indicators.

PENDAHULUAN Latar Belakang Riset

Etika berasal dari bahasa Yunani ethos yang berarti adat istiadat atau kebiasaan (Keraf, 1998). Menurut Trevino dan Nelson (1999), etika adalah konsep mengenai perbuatan seseorang benar atau salah. Etika berguna untuk mengarahkan tingkah laku manusia ke arah kebaikan dan kemanfaatan kehidupan. Etika juga diperlukan dalam mengarahkan aktivitas seseorang dalam bekerja. Tanpa etika, yang terjadi adalah orang akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan bahkan bisa jadi merugikan orang lain. Seseorang yang mempunyai etika kerja akan memandang positif pekerjaan dan mempunyai nilai intrinsik (Hill & Fout, 2005). Etika kerja menurut Hill dan

• Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Wijaya Kusuma Surabaya dan sedang menempuh S3 MSDM FEB UGM Yogyakarta sejak tahun 2006

Page 60: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 55

Fout (2005) adalah suatu set karakteristik sikap pekerja yang memandang pentingnya pekerjaan bagi dirinya. Etika kerja adalah totalitas kepribadian seseorang, cara mengekspresikan, memandang, meyakini dan memberikan makna pada sesuatu, yang mendorong dirinya untuk bertindak dan meraih kinerja tinggi (Tasmara, 2002).

Etika kerja merupakan refleksi kondisi pendidikan, politik, budaya dan terutama agama (Elizur, et al., 1991 dalam Abu-Saad, 1998), contohnya etika kerja Protestan (Protestant Work Ethic disingkat PWE) yang dikembangkan oleh Weber tahun 1904. Ia mengembangkan teori etika kerja berdasarkan ide Martin Luther yang menyatakan bahwa bekerja merupakan suatu ‘panggilan dari Tuhan’ (Weber, 1905 dalam Fouts, 2004). Dengan demikian, satu-satunya cara untuk hidup yang dapat diterima Tuhan adalah melalui ketaatan pada panggilan. Kebanyakan riset etika kerja dilakukan di negara-negara barat dan berfokus pada agama Kristen Protestan. Diperlukan riset yang mengatasi gap penelitian dalam literatur. Menurut Mubyarto (2002), topik tentang ekonomi Islam termuat dalam lebih dari seperlima ayat-ayat yang dimuat dalam Al-Quran, namun pengkajian ekonomi dalam ajaran Islam terutama tentang etika kerja Islam masih kurang. Oleh karena itu diperlukan riset etika kerja di negara-negara timur dan berfokus pada ajaran agama yang dominan di timur, contohnya Islam. Konsep etika kerja Islam diambil dari Al Qur’an kitab suci pemeluk agama Islam yang merupakan firman Allah dan Hadist yang bersumber dari perilaku Nabi Muhammad SAW utusan Allah.

Etika kerja Islam mempercayai bahwa kerja keras akan mengurangi dosa-dosa tertentu dan tidak seorangpun makan-makanan yang lebih baik, kecuali ia makan dari hasil kerjanya (Yousef, 2000a). Afzulurrahman (1995) dalam Arifuddin, et al. (2002) mengungkapkan bahwa banyak ayat di Al Qur’an yang menekankan pentingnya seseorang bekerja. Contohnya Q.S. An-Najm: 39-40: ‘bahwasannya seorang manusia tiada memperoleh selain yang telah diusahakannya dan bahwasannya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya)’. Ayat tersebut menjadi dasar bahwa, satu-satunya cara untuk menghasilkan sesuatu dari alam adalah dengan bekerja keras. Dengan kata lain, etika kerja Islam berpendapat bahwa melakukan aktivitas ekonomi merupakan suatu kewajiban, tidak membuang waktu untuk aktivitas tidak produktif dan menentang perilaku ‘minta-minta’ dan menekankan kerjasama dalam bekerja.

Page 61: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 56

Alasan lain yang mendorong pentingnya riset etika kerja Islam adalah masalah pengukuran. Pengukuran etika kerja Islam seringkali menggunakan skala IWE (Islamic work ethic) dari Ali (1988) yang berasal dari Indiana University dan kebanyakan divalidasi pada sampel dari negara-negara Arab. Oleh karena itu, perlu penggalian konsep etika kerja Islam dari penulis-penulis di Indonesia sendiri yang diharapkan lebih mampu mencerminkan penerapan ajaran Islam dalam budaya Indonesia dan kemudian divalidasi pada sampel orang-orang Indonesia. Dengan demikian, tujuan penelitian ini adalah validasi pengukuran skala baru dalam etika kerja Islam.

Isu lain dalam pengukuran adalah tentang multidimensionalitas etika kerja Islam. Riset-riset terdahulu menemukan bahwa etika kerja merupakan konstruk multidimensional (Furnham & Koritsas, 1990), namun riset-riset umumnya memperlakukan etika kerja sebagai konstruk unidimensional, bukannya multidimensional. Adanya tendensi untuk melaporkan composite etika kerja secara keseluruhan menyebabkan hanya ada sedikit riset yang meneliti hubungan antara dimensi-dimensi etika kerja dengan variabel komitmen kerja yang lain dan variabel organisasional (Hirschfeld & Feild, 2000; Shamir, 1985 dalam Hudspeth, 2003). Penggunaan skor tunggal secara keseluruhan berpotensi menyebabkan hilangnya informasi terkait etika kerja dan hubungannya dengan konstruk lain (Miller, 1997). Selain itu penggunaan skor tunggal dalam studi yang menggunakan instrumen berbeda untuk mengukur etika kerja hanya menjelaskan sebagian hasil yang ditemukan di literatur (Furnham, 1984). Isu multidimensionalitas dalam etika kerja Islam hanya dilakukan oleh Abu –Saad (1998) dengan menggunakan skala IWE dari Ali (1988) dan menghasilkan 3 faktor yaitu: 1) Personal and organizational obligations 2) Personal investment and dividens 3) Personal effort and achievement. Oleh karena itu, peneliti sekarang juga akan menyertakan isu multidimensionalitas etika kerja Islam.

Isu berikutnya dalam pengukuran adalah tentang indikator suatu konstruk berbentuk formatif atau reflektif. Indikator reflektif merupakan indikator efek yang merupakan fungsi variabel laten (Diamantopoulos & Siguaw, 2006). Perubahan dalam laten variabel direfleksikan (diwujudkan) dalam perubahan indikator yang teramati. Dikatakan indikator tersebut reflektif jika mempunyai anteseden dan konsekwensi yang sama dan dapat saling dipertukarkan serta covary satu sama lain (Podsakoff, et al. 2003). Sedangkan

Page 62: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 57

indikator formatif adalah penyebab variabel laten (Diamantopoulos & Siguaw, 2006). Perubahan dalam indikator menentukan perubahan dalam nilai variabel laten. Indikator formatif terjadi jika tiap indikator mencerminkan bagian khusus dari facet konstruk, sehingga tidak dapat dipertukarkan. Hal ini berarti indikator-indikator tidak diharapkan covary satu sama lain (Podsakoff, et al. 2003). Hasil penelitian Podsakoff, et al. (2003) menunjukkan bahwa 47% penelitian yang seharusnya berindikator formatif dimodelkan sebagai reflektif, namun sebaliknya tidak ada kesalahan (0%) yang seharusnya berindikator reflektif namun salah diindikasikan sebagai formatif. Dengan demikian lebih banyak peneliti yang melakukan kesalahan ketika mengindikasikan indikator suatu konstruk adalah reflektif. Oleh karena itu, peneliti sekarang akan menentukan apakah indikator-indikator atau dimensi-dimensi etika kerja Islam merupakan konstruk dengan indikator reflektif atau formatif. Podsakoff, et al. (2003) menekankan pentingnya pengukuran yang bebas dari misspecification yang berupa kesalahan dalam menetapkan indikator suatu konstruk berbentuk formatif atau reflektif. Kesalahan dalam spesifikasi akan berakibat bias pada estimasi parameter dan mengarah pada penilaian yang tidak tepat hubungan antara variabel tersebut dengan anteseden dan konsekwensinya (Podsakoff, et al., 2003; Diamantopoulos & Siguaw, 2006). Selain itu kesalahan dalam penetapan indikator menyebabkan rendahnya validitas konten, validitas konstruk dan validitas kriterion, dan pada akhirnya mempunyai kegunaan teori manajemen yang rendah bagi peneliti dan praktisi bisnis terkait dengan relevansi untuk pengambilan keputusan manajerial (Coltman et al., 2008). Oleh karena itu, penelitian sekarang juga akan membahas isu bentuk indikator formatif atau reflektif dalam validasi pengukuran etika kerja Islam.

Adapun persamaan dan perbedaan pengukuran etika kerja Islam dari Ali (1988) dengan peneliti sekarang maupun dengan etika kerja Protestan dan etika kerja kontemporer dapat dilihat di tabel 1.

Setelah validasi pengukuran skala baru dalam etika kerja Islam, penelitian ini juga akan menguji model yaitu anteseden (terdiri dari: internal locus of control dan individualisme kerja) dan konsekwensi etika kerja Islam (terdiri dari kinerja pekerja, organizational citizenship behavior/OCB, kepuasan kerja dan role ambiguity). Penelitian anteseden dan sekaligus konsekwensi etika kerja bisa dikatakan sangat kurang, di etika kerja Protestan, etika kerja kontemporer dan etika kerja Islam. Kurangnya penelitian anteseden dan

Page 63: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 58

sekaligus konsekwensi etika kerja Islam menyebabkan pemahaman yang kurang komprehensif tentang penyebab (anteseden) tinggi rendahnya etika kerja Islam, maupun dampak (konsekwensi) dari etika kerja Islam. Dengan demikian penelitian sekarang akan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan di bidang MSDM umumnya dan etika kerja pada khususnya; membantu organisasi atau perusahaan (khususnya perusahaan multinasional yang didirikan di pasar yang didominasi umat Islam) dalam merekrut, menyeleksi, melatih dan mempertahankan tenaga kerja berkualitas; dan dalam melakukan intervensi untuk meningkatkan etika kerja Islam; serta memperoleh outcome atas hasil dari pekerja dengan etika kerja Islam yang tinggi.

Anteseden etika kerja, etika kerja Protestan atau etika kerja Islam yang seringkali diteliti adalah variabel demografi, baik pada level individu, level organisasi maupun level negara. Pada level individu contohnya gender, tingkat pendidikan, pengalaman kerja, umur, pendapatan, dan lain-lain. Pada level organisasi contohnya umur organisasi, tipe organisasi dan kepemilikan organisasi, dan lain-lain. Sedangkan pada level negara contohnya perbedaan etika kerja berdasar asal negara, warga negara dan budaya negara. Anteseden selain demografi, seperti kepribadian (contohnya locus of conrol), sikap kerja (contohnya keterlibatan kerja) dan hasil kerja (contohnya indeks kesuksesan), merupakan variabel-variabel yang jarang diuji. Oleh karena itu penelitian sekarang tidak lagi menggunakan variabel demografi sebagai variabel anteseden etika kerja Islam, tapi lebih pada variabel kepribadian seperti individualisme kerja dan locus of control.

Isu yang ingin diangkat dalam penelitian ini terutama adalah konsekwensi berupa kinerja pekerja dan perilaku kewarganegaraan (organizational citizenship behavior disingkat OCB). Selama ini penelitian-penelitian etika kerja baik etika kerja Protestan, etika kerja kontemporer maupun etika kerja Islam lebih mengarah pada konsekwensi berupa sikap kerja seperti kepuasan kerja, komitmen organisasional dan keterlibatan kerja. Alasan yang muncul atas kurangnya riset konsekwensi berupa kinerja pekerja adalah kurangnya pembedaan antara kinerja tugas dengan aspek kontekstual kinerja pekerjaan (kinerja kontekstual) (Scotler, et al., 2000 dalam Suwito, 2005). Oleh karena itu, hasil-hasil riset terdahulu menyarankan perlunya meneliti hubungan antara etika kerja dengan kinerja tugas dan kinerja kontekstual yang terwujud dalam bentuk OCB. Dengan demikian, penelitian hubungan etika kerja Islam

Page 64: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 59

dengan kinerja dan OCB sebagai variabel konsekwensi, masih dimungkinkan dalam penelitian sekarang ini. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Apa saja komponen-komponen konstruk etika kerja Islam berdasarkan pengembangan ukuran yang dilakukan Ali (1988) dan penafsiran Al Qur’an dan hadist dari penulis-penulis di Indonesia?

2. Bagaimana hasil face validity ukuran baru etika kerja Islam yang dikembangkan peneliti sekarang?

3. Bagaimana hasil validasi pengukuran etika kerja Islam yang dikembangkan peneliti sekarang?

4. Studi selanjutnya bermaksud untuk menguji model yang menunjukkan hubungan etika kerja Islam dengan anteseden dan konsekwensinya yaitu: a. Apakah internal locus of control berpengaruh positif pada etika kerja

Islam? b. Apakah individualisme kerja berpengaruh negatif pada etika kerja

Islam? c. Apakah etika kerja Islam berpengaruh positif pada kinerja pekerja? d. Apakah etika kerja Islam berpengaruh positif pada perilaku

kewarganegaraan (organizational citizenship behavior)? e. Apakah etika kerja Islam berpengaruh positif pada kepuasan kerja? f. Apakah etika kerja Islam berpengaruh negatif pada ambiguitas peran

(role ambiguity)?

RERANGKA TEORITIS DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS Hubungan Etika Kerja dan Agama

Riset etika kerja di berbagai setting budaya menunjukkan bahwa etika kerja merupakan refleksi kondisi pendidikan, politik, budaya dan agama (Elizur, et al., 1991 dalam Abu-Saad, 1998). Etika sebagai ajaran baik-buruk, benar-salah, atau ajaran tentang moral khususnya dalam perilaku ekonomi, bersumber terutama dari ajaran agama. Namun Bernstein (1988) dalam Kegans (2006) berargumen bahwa, pengembangan etika kerja kurang dipengaruhi agama. Menurut mereka, setelah berlangsung bertahun-tahun, etika kerja Protestan yang

Page 65: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 60

berupa spirit kerja keras bercampur dengan norma budaya barat dan tidak lagi diatributkan pada agama tertentu. Muncul pertanyaan apakah etika kerja Protestan (Protestant work ethic atau PWE) masih didominasi penganut Protestan ataukah sudah merupakan konstruk yang berbagi secara universal. Pada akhirnya hasil riset mengarah pada dukungan yang kuat atas hubungan etika kerja dengan afiliasi agama (Niles 1999; Arslan 2001). Hubungan Anteseden Individualisme Kerja dengan Etika Kerja Islam

Anteseden selain demografi yang perlu diteliti dalam etika kerja Islam adalah individualisme kerja dan locus of control. Skala individualisme kerja menunjukkan individualisme di tempat kerja yang berupa: menekankan keterandalan diri sendiri, kebahagiaan diri sendiri, independen dengan yang lain, lebih menekankan penghargaan individu dibanding penghargaan kelompok, bangga pada aktivitas sendiri dan loyalitas pada diri sendiri dan keluarga (Ali 1988). Lawan dari individualisme adalah kolektivisme yaitu atribut budaya nasional yang menggambarkan suatu kerangka sosial yang ketat, dimana orang mengharapkan orang lain di kelompok yang merupakan anggota kelompok, harus mendapat perhatian dan perlindungan.

Hasil riset terdahulu tentang hubungan individualisme kerja dengan etika kerja Islam menunjukkan hasil yang kontradiktif, karena ada hasil riset yang mendukung hubungan dan ada yang tidak mendukung hubungan. Hasil tersebut mungkin disebabkan sampel penelitian adalah orang-orang timur dengan budaya kolektivis, namun tinggal di negara dengan budaya individualisme yang tinggi seperti di Amerika dan Israel, sehingga mengalami benturan budaya nasional. Oleh karena itu diperlukan suatu penelitian tentang hubungan tersebut, terutama pada budaya kolektivis, seperti di Indonesia dan pekerja tersebut tinggal di Indonesia, sehingga diharapkan tidak mengalami benturan budaya nasional. Apalagi Islam sebagai agama yang dominan di Indonesia, juga menekankan pentingnya hubungan sosial, terlihat dari ajaran-ajaran Islam yang menunjukkan pentingnya kelompok. Contohnya sholat berjamaah (berkelompok) mempunyai nilai pahala yang lebih tinggi dibanding sholat sendirian. Etika kerja Islam juga menekankan pentingnya kerjasama dan perhatian dengan orang lain, bahkan hasil kerjapun mesti dipotong dengan kewajiban zakat yang diperuntukkan bagi orang lain. Berdasarkan argumen-argumen tersebut di atas, diajukan hipotesis: H1: individualisme kerja berpengaruh negatif pada etika kerja Islam.

Page 66: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 61

Hubungan Anteseden Internal Locus of Control dengan Etika Kerja Islam Menurut Spector (1988), locus of control (letak kendali) atau disingkat

LOC adalah seberapa besar kepercayaan seseorang bahwa ia dapat mempengaruhi secara langsung lingkungannya. Letak kendali seseorang mencerminkan tingkat kepercayaan bahwa perilaku seseorang mempengaruhi apa yang terjadi pada diri sendiri (Gibson, Ivancevich & Donnely, JR., 1996). Ada 2 jenis LOC (Gibson, Ivancevich & Donnely, JR., 1996 & Robbins, 1998), yaitu LOC internal dan eksternal. LOC internal yaitu seseorang yang yakin bahwa ia dapat mengendalikan apa yang terjadi pada dirinya. Sedangkan LOC ekternal meyakini bahwa apa yang terjadi pada dirinya terkendali oleh kekuatan di luar dirinya, seperti nasib/kesempatan atau perilaku orang lain.

Mc Cuddy dan Peery (1996) dalam Yousef (2000a) menyatakan bahwa seseorang yang mempunyai LOC internal akan mempunyai standar etika kerja yang lebih tinggi daripada LOC eksternal. Seseorang dengan locus of control internal kurang mengalami ketegangan emosional sebab mereka percaya bahwa mereka mempunyai pengendalian atas lingkungannya dan mempunyai kecenderungan untuk menerima hubungan langsung antara usaha/kinerja dengan penghargaan yang mereka terima. Jones (1997) dalam Yousef (2000) membuktikan bahwa ada hubungan antara nilai etika Protestan dengan LOC internal dan bahwa LOC eksternal lebih terikat dalam perilaku tidak etis. Sedangkan hasil penelitian Yousef (2000a) menunjukkan bahwa, pekerja yang mempunyai internal locus of control akan mempunyai dukungan yang lebih kuat untuk etika kerja Islam daripada pekerja dengan external locus of control. Locus of control dapat menjadi faktor penting dalam mengevaluasi individu selama masa rekruitmen dan seleksi, jika organisasi berkeinginan untuk merekrut pekerja yang beretika kerja Islam tinggi. H2: internal locus of control berpengaruh positif pada etika kerja Islam. Hubungan Etika Kerja Islam dengan Konsekwensi Kinerja dan OCB

Riset sekarang akan membahas konsekwensi berupa perilaku kerja yang jarang diteliti dalam etika kerja Islam. Penelitian hubungan etika kerja, kinerja dan OCB dimungkinkan ketika kinerja dapat dibedakan menjadi kinerja tugas dan kinerja kontekstual. Kinerja tugas mengarah pada kinerja berupa hasil (output) sesuai dengan tugas formal yang diemban, sedangkan kinerja kontekstual mengarah pada kinerja di luar tugas formal atau perilaku

Page 67: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 62

kewarganegaraan (OCB), contohnya membantu mengerjakan aktivitas tugas yang bukan merupakan bagian pekerjaan secara formal dan membantu serta bekerja sama dengan yang lain

Argumentasi terkait hubungan etika kerja Islam dengan kinerja adalah konsep bahwa dalam etika kerja Islam menuntut adanya usaha yang sungguh-sungguh dalam bekerja yang dikaitkan dengan amanah dan ibadah, sehingga akan muncul profesionalisme. Profesionalisme meliputi tuntutan penguasaan keahlian terutama pada teknologi baru, sikap proaktif terkait dengan pekerjaan, dan peningkatan ilmu pengetahuan. Implikasi etika kerja Islam adalah bahwa bekerja bukan hanya berharap imbalan dunia, tapi juga imbalan di akherat, sehingga akan mencegah seseorang untuk melakukan pekerjaan yang tidak diridloi, mendorong seseorang lebih bertanggung jawab dan berdedikasi. Dengan demikian etika kerja Islam diharapkan akan meningkatkan kinerja pekerja.

Penelitian hubungan etika kerja Islam dengan OCB dimungkinkan, karena salah satu dimensi etika kerja Islam menurut Abu –Saad (1998) berdasarkan skala IWE (Islamic work ethic) dari Ali (1988) adalah faktor kewajiban personal dan organisasional (personal and organizational obligations) yang menunjukkan perlunya pekerja muslim bekerja sama dan saling tolong menolong dengan orang lain. Hal tersebut tercermin dalam Al Quran surat At Taubah: 71. Etika kerja Islam menekankan pentingnya saling bekerja sama dalam pekerjaan, memberikan kemudahan bagi orang lain dalam bekerja (Q.S. Al Baqarah: 280) dan berempati (Q.S. Al Hasyr: 9). Dengan demikian pekerja dengan etika kerja Islam diharapkan akan mempunyai kinerja extra role atau OCB yang tinggi juga. H3: etika kerja Islam berpengaruh positif pada kinerja pekerja H4: etika kerja Islam berpengaruh positif pada perilaku kewarganegaraan Hubungan Etika Kerja Islam dengan Konsekwensi Kepuasan Kerja dan Ambiguitas peran

Validitas prediktif etika kerja Islam dapat dikatakan masih kurang kuat, karena belum didukung oleh penelitian-penelitian lain yang sejenis. Oleh karena itu, penelitian sekarang pada etika kerja Islam, sebagian konsekwensinya sama dengan peneliti etika kerja Islam terdahulu yaitu kepuasan kerja dan role ambiguity sebagai konsekwensi etika kerja Islam.

Page 68: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 63

Etika kerja memainkan peran integral dalam mempengaruhi respon afeksi pekerja di tempat kerja (Aldag & Brief, 1975 dalam Hudspeth, 2003) dan preferensi terhadap pekerjaan (Furnham & Korsitas, 1990). Berdasarkan pendapat ini, etika kerja seharusnya berkorelasi dengan variabel sikap kerja seperti kepuasan kerja. Kepuasan kerja menunjukkan tingkat kesenangan atau kesukaan seseorang pada pekerjaan (Warr, Cook & Wall, 1979 dalam Hudspeth, 2003) atau keadaan emosional yang menyenangkan (positif) atas hasil penilaian seseorang terhadap pekerjaannya (Locke dalam Luthans, 1995). Hasil penelitian Blood (1969) dalam Miller (1997) menemukan bahwa: semakin besar etika kerja, semakin puas mereka pada pekerjaan dan juga kehidupan secara umum. Namun, Ganster (1980) dalam Miller (1997) menemukan tidak ada bukti yang mendukung hubungan etika kerja dengan kepuasan kerja. Dapat dikatakan bahwa hasil-hasil penelitian terdahulu tentang hubungan etika kerja dengan kepuasan kerja belum konklusif.

Ahmad (1976) dalam (Yousef, 2001) berargumen bahwa etika kerja Islam tidak menyarankan penolakan kehidupan, tapi justru menyarankan pemenuhan kehidupan dan memegang motivasi berbisnis dalam penghargaan yang tinggi. Etika kerja Islam juga menganggap bekerja dipertimbangkan sebagai sumber independensi, meningkatkan pertumbuhan pribadi, harga diri, kepuasan dan pemenuhan diri. Selain itu, etika kerja Islam menekankan kerja kreatif sebagai sumber kebahagiaan dan pemenuhan diri (Yousef, 2001). Oleh karena itu seseorang yang mempunyai etika kerja Islam, akan lebih puas dengan pekerjaanya. H5: etika kerja Islam berpengaruh positif pada kepuasan kerja. Hubungan Etika Kerja Islam dengan Konsekwensi Ambiguitas Peran

Konsekwensi etika kerja Islam yang juga pernah diteliti adalah ambiguitas peran (role ambiguity). Ambiguitas peran adalah ketidakpahaman seseorang tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban mereka dalam mengerjakan suatu pekerjaan (Gibson, Ivancevich & Donnely, JR., 1996). Menurut Robbins (1998), ambiguitas peran terjadi jika pekerja tidak yakin dengan apa yang diharapkan dan bagaimana sistem imbalannya. Ambiguitas peran menyebabkan situasi dimana seseorang tidak mempunyai arah yang jelas tentang harapan atas perannya dalam pekerjaan atau organisasi dan pekerja tidak pasti mengenai apa yang harus dikerjakannya. Ambiguitas peran terkait

Page 69: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 64

dengan tekanan yang diberikan pada seseorang sebagai fungsi dari peran tertentu yang dimainkan dalam organisasi tersebut.

Hasil penelitian Yousef (2000a) membuktikan bahwa etika kerja Islam berhubungan negatif dengan ambiguitas peran (role ambiguity). Etika kerja Islam menekankan kerja sama dalam bekerja dan konsultasi pada atasan sebagai salah satu cara untuk mengatasi kesulitan dan menghindari kesalahan. Oleh karena itu, seseorang yang mempunyai etika kerja Islam akan melakukan konsultasi pada atasan untuk memahami peran yang harus dijalankan, mengetahui hak dan kewajiban dalam mengerjakan suatu pekerjaan. Dengan demikian etika kerja Islam akan menurunkan ambiguitas peran. H6: etika kerja Islam berpengaruh negatif pada ambiguitas peran. METODA RISET Disain Studi Penelitian ini terdiri dari 4 studi yaitu: 1. Mengkonseptualisasi dan mengidentifikasi konstruk etika kerja Islam

berdasarkan kajian literatur termasuk di dalam Qur’an dan hadist. 2. Melakukan face validity dari ukuran etika kerja Islam yang sudah ada (dari

Ali, 1988) dan dari ukuran yang dikembangkan peneliti berdasar kajian literatur. Face validity yaitu pertimbangan komunitas para ahli bahwa indikator benar-benar mengukur konstruk. Para ahli yang dimaksud terdiri dari: ulama, akademisi dan praktisi dengan berbagai latar belakang kelompok keagamaan Islam yang ada di Jakarta, Surabaya, Yogyakarta dan Malang. Kelompok-kelompok Islam tersebut antara lain: yang mewakili organisasi Islam terbesar di Indonesia yaitu NU dan Muhammadiyah; dan jika memungkinkan kelompok lainnya, seperti Tarbiyah, Hizbut Tahrir, Jaringan Islam Liberal (JIL). Dengan mempertimbangkan pendapat berbagai kelompok keagamaan dalam Islam, diharapakan akan ada ukuran etika kerja Islam yang komprehensif dan mewakili pendapat semua kelompok Islam. Reliabilitas antar penilai pada tiap item kuisioner yang digunakan, sebaiknya mempunyai rata-rata persetujuan antar penilai lebih besar dari persyaratan minimum yaitu 85% (Kassarjian, 1977 dalam So, 2004). Inter rater reliability yang lebih besar dari 85% berarti menunjukkan konsistensi yang tinggi antar penilai. Selain itu dilakukan perhitungan content validity ratio (CVR) yang diharapkan > 0,7 agar

Page 70: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 65

validitas konten terpenuhi (Lawshe, 1975 dalam Templeton, Lewis & Synder, 2002).

3. Dilakukan pemurnian ukuran (measure purification) dan validasi ukuran (measure validation), termasuk penentuan indikator reflektif dan formatif berdasarkan teori dan penentuan multidimensionalitas etika kerja Islam. Jika indikator reflektif, maka dilakukan dilakukan uji analisis faktor (factor analysis). Tujuan analisis faktor adalah mengeliminasi item-item yang tidak penting dan untuk mengetahui apakah etika kerja Islam merupakan konstruk unidimensional atau multidimensional. Kemudian melakukan CFA (confirmatory factor analysis) dari item yang tersisa (berloading tinggi). Sedangkan jika indikator formatif, dilakukan perhitungan multikolinieritas dan multiple indicators multiple causes (MIMIC) model yang diestimasi dengan menggunakan indikator sebagai proxi anteseden. Penentuan indikator reflektif atau formatif selain oleh teori, juga akan diperkuat oleh hasil empiris berupa validitas kriterion dengan menggunakan analisa regresi untuk menguji magnitude dan signifikansi hubungan antar ukuran. Hasil regresi yang berupa R2 (koefisien determinasi) indikator reflektif dibandingkan R2 (koefisien determinasi) dengan indikator formatif, untuk menentukan mana yang terbaik.

4. Melakukan uji model yang merupakan rangkaian pengujian hipotesis 1 sampai dengan hipotesis 6 dengan menggunakan structural equation modeling (SEM) progam Amos. Model yang disajikan akan menunjukkan anteseden dan konsekwensi dari etika kerja Islam, sehingga dapat diketahui secara komprehensif pendorong tinggi rendahnya etika kerja Islam dan pengaruh dari tinggi rendahnya etika kerja Islam. Oleh karena itu penelitian ini akan menguji hipotesis hubungan etika kerja Islam dengan anteseden internal locus of control dan individualisme dan konsekwensi kinerja pekerja, OCB, kepuasan kerja dan role ambiguity.

Sampel Sampel penelitian untuk tiap studi adalah: 1. Studi 2

Studi 2 berisi uji face validity dari ukuran etika kerja Islam yang sudah ada (dari Ali, 1988) dan dari ukuran yang dikembangkan peneliti berdasar kajian literatur di studi 1, dengan berdasar pertimbangan komunitas para ahli.

Page 71: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 66

Para ahli yang dimaksud terdiri dari: 1. Ulama: dengan pertimbangan bahwa para ulama yang memahami Qur’an

dan Hadist yang menjadi pedoman umat Islam dalam menjalani kehidupan di dunia. Para ulama yang dimintai pertimbangan berasal dari berbagai aliran pemikiran (mahzab) dalam Islam atau berbagai organisasi (kelompok) Islam yang terdiri dari: NU (Nahdatul Ulama), Muhammadiyah, Tarbiyah, Hizbut Tahrir, Jaringan Islam Liberal (JIL) dan kelompok Independen.

2. Akademisi perguruan tinggi: selain penguasaan teori dalam etika kerja Islam baik dari kajian empiris yang sudah ada, maupun Qur’an dan hadist, para akademisi diharapkan dapat menyempurnakan pengembangan ukuran (kuisioner) etika kerja Islam yang memenuhi ketentuan pembuatan kuisioner dalam metode penelitian. Para akademisi ini juga akan diambil dari berbagai perguruan tinggi yang mempunyai latar belakang Islam, seperti Universitas Muhammadiyah, UIN (Universitas Islam Negeri), Universitas Paramadina Jakarta dan Universitas Airlangga Surabaya yang mempunyai fakultas ekonomi dengan konsentrasi ekonomi Islam.

3. Praktisi yang berada dalam perusahaan berlatar belakang Islam, seperti pimpinan Bank Muamalah. Diharapkan dengan melibatkan praktisi, ukuran etika kerja Islam dapat diterapkan di dunia kerja.

Pada studi 2 (face validity), kuisioner akan disebarkan pada 20 orang dan berharap kembali minimal 12 orang yang terdiri dari 4 ulama, 4 akademisi dan 4 praktisi yang berasal dari berbagai kelompok Islam. 2. Studi 3

Studi 3 berupa pemurnian ukuran (measure purification) dan validasi ukuran (measure validation) Disain dalam penelitian ini memiliki aplikasi pada setting tertentu. Setting ini menunjukkan konteks tertentu dan spesifik. Konteks ini berkaitan dengan karakteristik subyek Semua model penelitian teoritis harus dibatasi oleh asumsi tertentu meliputi nilai-nilai implisit yang diajukan oleh peneliti yang berupa ruang dan waktu (Bacharah, 1989). Karakteristik subyek penelitian menunjukkan profil responden dalam model penelitian yang diajukan. Untuk validasi ukuran, diperlukan subyek yang beragam, sehingga ukuran tersebut dikatakan valid jika mampu membedakan subyek dengan karakteristik berbeda. Sampel dalam validasi ukuran akan dipilih pekerja Islam

Page 72: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 67

dari organisasi/perusahaan yang ekstrim yaitu dari organisasi/perusahaan Islam dan dari perusahaan yang kehalalannya dipertanyakan seperti pabrik minuman keras. Hasil yang diharapkan adalah etika kerja Islam diharapkan akan lebih tinggi pada pekerja Islam dari organisasi/perusahaan Islam daripada pekerja Islam dari pabrik minuman keras.

Metode yang digunakan untuk memilih sampel penelitian dalam studi ini adalah purposive sampling. Penelitian dengan purposive sampling digunakan jika sampel yang dipilih mempunyai kriteria atau syarat seperti yang diinginkan sesuai dengan tujuan penelitian (Sekaran, 1992). Sampling ini memiliki aspek non probabilitas yang memenuhi suatu kriteria tertentu (Cooper & Schindler, 2001). Kriteria tersebut adalah pekerja beragama Islam dan bekerja di perusahaan atau organisasi berlatar belakang Islam atau bekerja di pabrik minuman keras. Dalam studi ini diharapkan sample size sebesar 300 orang (150 orang dari perusahaan berlatar belakang Islam dan 150 orang dari pabrik minuman keras) 3. Studi 4

Studi 4 bertujuan melakukan uji model berupa hipotesis etika kerja Islam sebagai variabel mediasi hubungan antara internal locus of control dan individualisme dengan kinerja pekerja, OCB, kepuasan kerja dan role ambiguity. Target populasi dalam studi ini adalah semua pekerja beragama Islam dan bekerja di perusahaan atau organisasi berlatar belakang Islam di Surabaya dan Yogyakarta. Sedangkan sampel penelitian pada studi 3 adalah: 1. Dosen dan Karyawan di perguruan tinggi Islam di Yogyakarta dan

Surabaya. 2. Pegawai Bank Muamalat di Surabaya. 3. Pekerja di perusahaan/tempat kerja berlatar belakang Islam, contohnya

Toko Al Fath Yogyakarta dan Toko Alib Surabaya 4. Para mahasiswa yang beragama Islam, bekerja di instansi Islam dan sedang

menempuh perkuliahan di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta atau di Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.

Sample size diharapkan minimal sebesar 200 orang, sehingga bisa memenuhi kriteria minimum penggunaan metode SEM sebesar 100 orang responden.

Page 73: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 68

Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan sumber data primer berupa survei yang

berupa pembagian kuisioner untuk semua studi dan diperkuat dengan wawancara pada studi2. Kuisioner mempunyai kelebihan: tidak mahal, sederhana dan dapat anonim. Kelemahannya: tidak ada jaminan kuisioner dipahami dan respon rate rendah. Prinsip pembuatan pertanyaan adalah menghindari: jargon dan singkatan; ambiguitas; emosional dan bias prestise; double barreled question; pertanyaan mengarahkan; bertanya diluar kemampuan responden; bertanya keinginan yang akan datang; double negative dan overlapping serta mengurangi social desirability bias dengan menghindari penggunaan kata ‘saya’ dan kuisioner bersifat anonim.

Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel Etika Kerja Islam Etika kerja Islam merupakan suatu set karakteristik sikap pekerja yang memandang pentingnya pekerjaan berdasarkan Al Qur’an dan Hadist. Pengukuran Etika kerja Islam menggunakan 2 skor (ya dan bukan) dalam arti apakah tiap item pernyataan yang disajikan merupakan komponen atau bukan komponen etika kerja Islam. Pengukuran etika kerja Islam berdasarkan hasil studi 1 terdiri dari: 1. IWE scale (Islamic work ethic scale) yang dikembangkan oleh Ali (1988).

Ada 47 item. Contoh item pernyataan: “kerja sama merupakan kebaikan dalam bekerja”.

2. Etika Kerja Islam merupakan skala yang dikembangkan oleh peneliti berdasarkan: a. Sahat (1997): 13 item, contoh item: “tujuan bekerja adalah beribadah”. b. Ali (2008): 13 item, contoh item: “seorang muslim mempunyai amanat

untuk memakmurkan kehidupan di dunia”. c. Muttaqin (2008): 14 item, contoh item: “memiliki dan mengembangkan

jiwa kepemimpinan” d. Nurcholis Majid: 9 item, contoh item: “bekerja dengan didasarkan pada

tauhid (kepercayaan pada keesaan Allah)”. e. Hamzah (2005): 5 item, contoh item: “bekerja adalah perwujudan rasa

syukur kepada nikmat Allah SWT”. f. Tasmara (2002): 24 item, contoh item pernyataan: “tidak malu bekerja

kasar”.

Page 74: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 69

ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian yang akan disajikan di bawah ini adalah hasil penelitian

dari studi 1 yang akan diuraikan secara ringkas dan hasil studi 2 yang terdiri dari uraian karakteristik responden, penjelasan hasil uji face validity, content validity dan inter rater reliability serta pembahasan hasil studi 2. Berikut ini uraian hasil studi 1 dan 2. Hasil Studi 1

Hasil kajian literatur dalam studi 1 menghasilkan kuisioner yang berasal dari kajian Qur’an dan hadist yang sudah dilakukan penulis-penulis terdahulu baik yang dilakukan oleh orang Indonesia maupun oleh orang barat. Penulis-penulis dari Indonesia terdiri dari: Sahat (1997), Ali (2008), Muttaqin (2008), Nurcholis Majid, Hamzah (2005) dan Tasmara (2002). Sedangkan penulis dari barat adalah Ali (1988) yang berasal dari Indiana University. Kuisioner selengkapnya dari hasil kajian literatur dapat dilihat di lampiran Hasil Studi 2

Hasil penelitian yang akan diuraikan di bawah ini merupakan hasil studi 2 yang berupa uji face validity dari ukuran etika kerja Islam yang sudah ada (dari Ali, 1988) dan dari ukuran yang dikembangkan peneliti berdasar kajian literatur di studi 1. Uji face validity dilakukan berdasar pertimbangan komunitas para ahli. Para ahli yang dimaksud terdiri dari: ulama, akademisi dan praktisi berbasis institusi Islam. Prosedur pengumpulan data yang dilakukan dalam studi 2 terdiri dari beberapa tahapan, yaitu: 1. Mengkonfirmasi kesediaan para ahli untuk memvalidasi hasil kuisioner yang

diperoleh dari kajian literatur yang dilakukan pada studi 1. 2. Setelah bersedia menjadi responden, peneliti memberikan kuisioner dan

memberikan tenggang waktu pada responden untuk mempelajari kuisioner terlebih dahulu, namun tahapan ini dapat dilewati jika responden merasa mampu memahami isi kuisioner pada saat itu.

3. Responden mengkonfirmasi waktu pengisian kuisioner agar peneliti mendampingi saat pengisian kuisioner. Pendampingan peneliti pada saat pengisian kuisioner perlu dilakukan dengan harapan responden memahami kuisioner dan langsung menanyakan pada peneliti, jika tidak memahami isi

Page 75: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 70

kuisioner. Selain itu, pendampingan bermanfaat untuk mengetahui alasan yang diajukan responden apabila ada item pernyataan yang dianggap bukan komponen etika kerja Islam dan juga mengetahui revisi kata/kalimat yang sebaiknya dilakukan peneliti supaya sesuai dengan interpretasi Qur’an, hadist atau sesuai dengan kaidah tata bahasa Indonesia ataupun sesuai dengan kaidah penyusunan kuisioner. Namun terkadang responden menolak untuk didampingi karena satu dan lain hal, seperti hanya punya waktu luang malam hari untuk mengisi kuisioner atau mempunyai kesibukan yang banyak sehingga mengisi kuisioner sewaktu-waktu responden mempunyai waktu luang dan berbagai alasan lainnya. Sekalipun tidak didampingi, responden biasanya tetap memberikan revisi yang diperlukan atau memberi komentar atas ketidaksetujuan item tertentu sebagai komponen etika kerja Islam. Meskipun target sampel sebanyak 12 orang yang terdiri dari 4 ulama, 4

akademisi dan 4 praktisi, namun peneliti menyebarkan kuisioner pada 20 orang. Sampai dengan waktu pengolahan data, ada 17 eksemplar kuisioner yang kembali, sedangkan 3 eksemplar kuisioner lainnya belum kembali dengan alasan kesibukan. Meskipun demikian 2 orang dari praktisi Bank Muamalah menjanjikan mengembalikan kuisioner dalam waktu dekat. Dengan demikian response rate sebesar 85% (17/20), dapat dikatakan kuisioner tersebut mendapat tanggapan yang bagus, apalagi jumlah 17 orang melebihi dari target sampel sebanyak 12 orang.

Berikut ini akan dijelaskan karakteristik responden dan hasil uji face validity, content validity dan inter rater reliability yang merupakan hasil penelitian studi 2. Selain itu dilakukan pembahasan atas hasil studi 2. 1. Karakteristik Responden

Teknik pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan menyebarkan kuisioner pada para ahli yang terdiri dari: ulama, akademisi dan praktisi berbasis institusi Islam. Dari 20 eksemplar kuisioner, 17 eksemplar kuisioner yang kembali atau respon rate 85%. Tujuh belas responden tersebut berasal dari kota Jakarta sebanyak 6 orang, 1 orang dari Yogyakarta, 7 orang dari Surabaya dan 3 orang dari Malang. Dari kalangan ulama sebanyak 5 orang, akademisi 11 orang dan praktisi 1 orang. Adapun karakteristik responden selengkapnya adalah sebagai berikut:

Page 76: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 71

a. Ulama Para ulama dipertimbangkan mempunyai pemahaman yang baik tentang

Qur’an dan Hadist yang menjadi pedoman umat Islam dalam menjalani kehidupan di dunia. Lima ulama yang menjadi responden rata-rata berusia 45 tahun dan berasal dari kelompok Islam seperti NU (Nahdatul Ulama) Yogyakarta sebanyak 1 orang, 3 orang dari kelompok independen yang ada di Surabaya dan Malang dan 1 orang dari Shalafiyah Surabaya. Para ulama yang menjadi responden merupakan pimpinan pondok pesantren dan atau pimpinan majlis taklim (kelompok pengajian). b. Akademisi perguruan tinggi

Para akademisi (dosen) yang dijadikan responden mempunyai penguasaan teori dalam etika kerja Islam baik dari kajian empiris yang sudah ada, maupun Qur’an dan hadist. Selain itu, para akademisi diharapkan dapat menyempurnakan pengembangan ukuran (kuisioner) etika kerja Islam yang memenuhi ketentuan pembuatan kuisioner dalam metode penelitian dan kaidah tata bahasa. Dari 11 orang akademisi ini, sebanyak 1 orang dari Universitas Muhammadiyah Surabaya, UIN (Universitas Islam Negeri) Malang sebanyak 2 orang, sebanyak 6 orang dari Universitas Paramadina Jakarta yang didirikan oleh Nurcholis Majid yang merupakan tokoh JIL (Jaringan Islam Liberal) dan 2 orang dari Universitas Airlangga Surabaya yang mempunyai fakultas ekonomi dengan konsentrasi ekonomi Islam. Para akademisi ini berasal dari kelompok keagamaan Islam: 5 orang dari Muhammadiyah, 3 orang dari NU, 1 orang jamaah Tabligh, 1 orang dari kelompok Syiah dan 1 orang dari kelompok independen. Responden mempunyai latar belakang pendidikan S2 sebanyak 7 orang, sedang menempuh S3 sebanyak 2 orang dan 2 orang merupakan guru besar (profesor) di fakultas ekonomi. Beberapa responden merupakan lulusan studi Islam di Mesir dan beberapa responden lainnya mendalami bidang ilmu ekonomi Islam. Jabatan struktural/akademik yang sekarang dijabat oleh responden terdiri dari: Kepala Program Studi Doktor Ilmu Ekonomi Islam, Guru Besar Fakultas Ekonomi, Pembantu Rektor, Pembantu Dekan dan Ketua Jurusan. Rata-rata usia responden adalah 45 tahun. c. Praktisi

Praktisi yang dijadikan sampel harus berada dalam institusi berlatar belakang Islam, seperti pimpinan Bank Muamalat dan yayasan pendidikan Islam. Diharapkan dengan melibatkan praktisi dalam institusi Islam, ukuran

Page 77: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 72

etika kerja Islam dapat diterapkan di dunia kerja. Pendistribusian kuisioner pada praktisi dapat dikatakan kurang mendapat tanggapan yang cepat dikarenakan kesibukan mereka pada dunia kerja, apalagi jika mempunyai jabatan tinggi, contohnya sebagai direktur Bank Muamalat. Oleh karena itu hanya ada 1 kuisioner dari praktisi yang kembali, sedangkan 3 kuisioner yang lain, dijanjikan kembali dalam waktu dekat. Responden tersebut merupakan direktur lembaga pendidikan Islam Al Haromain di Surabaya, berpendidikan S1 fakultas ekonomi dan berusia 42 tahun. 2. Hasil Uji Face Validity, Inter Rater Reliability dan Content Validity

Face validity dilakukan dengan mempertimbangkan pendapat para ahli (ulama, dosen dan praktisi) dari berbagai kelompok keagamaan dalam Islam, sehingga diharapakan akan ada ukuran etika kerja Islam yang komprehensif dan mewakili pendapat semua kelompok Islam.

Selain face validity dilakukan validitas konten (content validity). Content validity adalah pengujian apakah isi dari definisi yang diwujudkan dalam ukuran mampu menangkap keseluruhan arti. Pengujian content validity ratio dilakukan dengan menghitung content validity ratio/CVR (Lawshe, 1975 dalam Templeton, Lewis & Synder, 2002). Validitas konten instrumen pengukuran dilakukan dengan menggunakan prosedur yang dikembangkan Lawshe (1975). Teknik ini menggunakan evaluasi konten dari sekelompok individu-individu yang mengetahui tentang konsep yang diukur. Kelompok (panel) terdiri dari para ahli yaitu ulama yang mendalami Al Qur'an dan hadist, akademisi dan praktisi yang berbasis institusi Islam. Para ahli diminta menelaah apakah item-item yang disajikan dalam kuisioner merupakan item-item etika kerja Islam atau bukan. Jika terjadi kesepakatan (CVR > 0,7), maka validitas konten terpenuhi. Rumus perhitungan CVR dapat dilihat di lampiran 1.

Selain uji validitas, juga dilakukan uji reliabilitas. Reliabilitas adalah sesuatu yang sama terjadi pada kondisi yang sama (konsistensi dan stabilitas). Pengujian reliabilitas dilakukan dengan inter rater reliability. Diharapkan ada kesaman penilaian antar rater (dalam hal ini adalah para ahli yang terdiri dari ulama, akademisi dan praktisi). Hasil uji Reliabilitas antar penilai pada tiap item kuisioner yang digunakan, sebaiknya mempunyai rata-rata persetujuan antar penilai lebih besar dari persyaratan minimum yaitu 85% (Kassarjian, 1977 dalam So, 2004). Inter rater reliability yang lebih besar dari 85% berarti

Page 78: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 73

menunjukkan konsistensi yang tinggi antar penilai. Rumus inter rater reliability untuk tiap-tiap item etika kerja Islam secara ringkas dapat dilihat di lampiran 1.

Dari total 125 item etika kerja Islam, yang akhirnya dibuang adalah sebanyak 33 item, karena kurang memenuhi inter rater reliability sebesar minimal 85% atau minimal 15 responden (15/17 = 88%) dan memenuhi CVR minimal 70% atau minimal 15 responden [(15-17/2)/(17/2) = 76%]. Dengan demikian item etika kerja Islam yang mempunyai inter rater reliability lebih besar dari 85% dan CVR lebih besar dari 70% adalah sebanyak 92 item (125 – 33). Item-item etika kerja Islam yang akhirnya dibuang (tidak dipakai dalam penelitian selanjutnya) berdasarkan kesepakatan para ahli disajikan dalam lampiran 2. Pembahasan Hasil studi 2 sebenarnya ada 4 bagian, yang terdiri dari: 1. Argumentasi atau penjelasan atas penolakan beberapa item sebagai

komponen etika kerja Islam 2. Revisi kata atau frasa dalam suatu item, sehingga item tersebut dapat

menjadi suatu komponen etika kerja Islam. Selain itu, revisi berguna untuk memudahkan responden dari studi-studi berikutnya, sehingga menjadi lebih mampu memahami kalimat pernyataan dalam item tersebut.

3. Bagian lain-lain, menunjukkan argumentasi yang memperkuat pernyataan item tersebut sebagai komponen etika kerja Islam.

4. Melakukan pengelompokan item etika kerja Islam menjadi beberapa dimensi etika kerja Islam, sehingga dapat dilakukan argumentasi maupun penjelasan secara lebih spesifik. Dimensi-dimensi tersebut dibentuk berdasarkan item-item yang diterima oleh para ahli (ulama, akademisi dan praktisi) sebagai komponen etika kerja Islam. Sedangkan item-item yang ditolak oleh para ahli sebagai komponen etika kerja Islam tidak dimasukkan sebagai suatu dimensi.

Namun karena keterbatasan tempat, riset ini hanya akan membahas bagian 4 yaitu pengelompokan etika kerja Islam berdasarkan dimensi-dimensinya. Pengelompokan Item-Item Menjadi Dimensi-Dimensi Etika Kerja Islam

Melakukan pengelompokan item-item menjadi beberapa dimensi etika kerja Islam, sehingga dapat dilakukan argumentasi maupun penjelasan secara lebih spesifik. Dimensi-dimensi tersebut dibentuk berdasarkan item-item yang

Page 79: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 74

diterima oleh para ahli sebagai komponen etika kerja Islam. Sedangkan item-item yang ditolak oleh para ahli, tidak dimasukkan sebagai suatu dimensi etika kerja Islam.

Pengelompokan dimensi-dimensi etika kerja Islam terdiri dari (lamp.3): 1) Tujuan bekerja

Dimensi ini menunjukkan item-item yang mendasari orang bekerja, kenapa orang bekerja dan niat (motivasi) yang mendorong orang bekerja. Tujuan bekerja etika kerja Islam mempunyai keunikan dalam penekanan pada niat dalam bekerja. Dalam suatu hadist diungkapkan “innamal ‘amalu binniyat” yang berarti “Sesungguhnya setiap amal itu dengan niatnya, dan setiap perkara tergantung pada apa yang ia niatkan”. Oleh karena itu sebelum bekerja, seorang pekerja muslim perlu menata niat, sehingga apa yang dikerjakannya merupakan suatu amalan ibadah yang bernilai pahala, meskipun yang dikerjakan adalah hal yang bersifat duniawi.

Namun demikian niat yang baik harus disertai proses yang baik. Contohnya niat bekerja adalah mendapatkan uang untuk mendirikan masjid, namun ia bekerja di tempat yang tidak halal, misalnya berjualan minuman keras, maka niat tersebut menjadi sesuatu yang tidak baik, karena bercampur antara suatu kebatilan bercampur dengan suatu kebaikan. Niat ibadah dalam bekerja juga berarti uang bukanlah satu-satunya motivasi dalam bekerja, artinya usaha bekerja sebaik mungkin, namun tentang uang/pendapatan yang diperoleh adalah pemberian Allah, sehingga perlu tawakkal dan ikhlas menerima berapapun penghasilan yang diperoleh.

Ada suatu pengkritisan atas ikhlas menerima penghasilan yang diperoleh, bukan merupakan pembenar bagi pemekerja untuk seenaknya memberi gaji pekerjanya. Dengan dalih ikhlas menerima penghasilan, pemekerja menekan gaji yang serendah mungkin. Bukan demikian yang dituju, namun keadilan dan kelayakan gaji pekerja sesuai kinerja atau ketrampilannya. Etika kerja Islam menekankan perlunya seorang bekerja untuk mendapatkan keridhaan Allah, bekerja merupakan perwujudan rasa syukur atas nikmat yang diberikan Allah. Perintah dalam syariat Islam adalah memanfaatkan harta dengan mengelola sebaik mungkin dan dilarang menelantarkan harta, misalnya mempunyai sebidang tanah yang dibiarkan tidak terurus. Contoh pemanfaatan harta pada sebidang tanah tadi adalah menanam pepohonan yang hasilnya bisa dipanen, baik itu pepohonan yang ditanam dan

Page 80: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 75

dipanen sendiri oleh pemilik, maupun memberikan kesempatan orang lain untuk memanfaatkan tanah tersebut. 2) Cara bekerja Dimensi ini menunjukkan item-item yang menunjukkan apa yang harus dilakukan orang ketika bekerja. Dimensi ini terdiri dari sub dimensi: A. Pekerjaan: seorang pekerja muslim tidak boleh sembarangan dalam memilih pekerjaan. Hal ini berarti yang ditekankan dalam etika kerja Islam bukan sekedar bekerja, tetapi harus memilih pekerjaan sesuai syariah Islam. Dengan demikian tidak dibenarkan dan bahkan bisa jadi diharamkan bagi pekerja muslim untuk bekerja dalam pekerjaan tertentu, contohnya: menjual minuman keras,transaksi riba, dll.. Selain itu, Islam melarang aktivitas yang haram, seperti berjudi, korupsi dll.

Ketika seorang mulim bekerja maka menjadi kewajibannya untuk mencari rejeki yang halal dan menghindari pekerjaan yang haram. Yang penting bukanlah pekerjaan yang menghasilkan banyak uang, tapi pekerjaan yang halal sesuai syariah agama agar rejekinya berkah (ada di saat diperlukan). Dalam bekerja, seseorang perlu menghindari usaha yang haram, misalnya korupsi, menyuap, berjudi, menghindarkan diri dari transaksi riba. Melakukan apa saja yang diyakini dalam bekerja selama tidak bertentangan dengan syariat Allah, misalnya bekerja memotong bisa menggunakan pisau atau gergaji, boleh-boleh saja. Bahkan akan lebih utama saat mengucapkan nama Allah (bismillah) setiap awal pekerjaannya. Dalam Islam dikenal dengan istilah Hijrah atau perpindahan. Hal ini berarti Islam menyukai perubahan selagi itu membawa pada kebaikan. Oleh karena itu pekerja muslim seharusnya senang berada dalam lingkungan yang menantang penuh perubahan dan dinamis daripada keadaan yang lamban atau statis.

Bekerja keras merupakan suatu tuntunan dalam Islam. Bahkan bekerja kasar bukanlah suatu kehinaan asalkan hal itu halal (sesuai syariah Islam). Dalam bekerja, seorang pekerja muslim dituntut untuk mengerahkan usaha dengan meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan dalam bekerja. Hal ini berarti effort oriented dan bukan result oriented. Perlu juga kareakteristik kepribadian Islam seperti jujur dalam bekerja, keterbukaan (transparansi), bertanggungjawab, mengembangkan jiwa kepemimpinan, percaya diri, sikap

Page 81: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 76

mental yang positif dan sabar, tidak mudah untuk berputus asa (menyerah) dan bekerja yang efisien, amanah, disiplin dalam segala hal, tepat waktu dalam bekerja, berkomitmen dengan janji dan tdak malu bekerja kasar. B. Kepribadian atau investasi personal: dalam melakukan pekerjaan, seorang pekerja muslim perlu memperhatikan karaakteristik seperti apa yang diharapkan ada pada pekerja muslim, contohnya selalu berusaha meningkatkan kemampuan dengan belajar, mempunyai kepribadian yang baik seperti jujur dan amanah, dan lain-lain. C. Hubungan pekerja dengan orang lain: Islam selalu menekankan perlunya berjamaah (berkelompok). Hal itu terlihat dari nilai pahala ketika melakukan aktivitas beribadah berjamaah lebih besar daripada ketika melakukan aktivitas beribadah sendirian, contohnya pahala sholat berjamaah lebih tinggi daripada sholat sendirian. Oleh karena itu, dalam Islam kerja sama antara satu orang dengan orang lain sangat ditekankan, tentu saja kerja sama dalam kebaikan, bukan kejahatan (kemaksiatan).

Islam menekankan pentingnya saling bekerja sama dalam pekerjaan, memberikan kemudahan bagi orang lain dalam bekerja (berempati), adil pada semua mitra kerja dan seimbang antara bekerja, beribadah, kebutuhan keluarga, istirahat dan bermasyarakat. Selain itu juga menekankan musyawarh dengan konsultasi pada orang lain membuat seseorang mampu mengatasi kesulitan dan menghindari kekeliruan. D. Hubungan pekerja dengan organisasi: menunjukkan perlunya kerja sama antara pekerja dengan organisasi, sehingga terjadi kemitraan dan keadilan antar pihak. Etika kerja Islam menekankan hubungan kemitraan kerja yang baik, saling menguntungkan antar pihak: bagi pekerja hendaknya memenuhi hak-hak organisasi/perusahaan. Sehingga pemekerja dan pekerja saling diuntungkan. Oleh karena itu upah atas hasil pekerjaan seseorang tidak boleh diabaikan, perlu menegakkan keadilan di tempat kerja dan tidak mengeksploitasi pekerja. 3) Hasil atau prestasi yang diperoleh dari bekerja Dimensi ini menunjukkan apa yang harus dilakukan pekerja muslim atas pendapatan yang diperoleh. Setelah bekerja dan memperoleh penghasilan, masih ada kewajiban yang lain yaitu mengeluarkan zakat atas hasil kerja, jika sudah memenuhi nisobnya (batas ketentuan pengeluaran zakat). Hal itu berarti hasil dari pekerjaan adalah untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya dalam rangka ibadah kepada Allah.

Page 82: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 77

SIMPULAN, KETERBATASAN DAN IMPLIKASI

Simpulan 1. Hasil studi 1 menghasilkan kumpulan item etika kerja Islam sebanyak 125

item etika kerja Islam yang diadopsi dari Ali (1988) dan 6 penulis dari Indonesia. Rinciannya adalah 47 IWE scale (Islamic work ethic scale) yang dikembangkan oleh Ali (1988); Sahat (1997): 13 item; Ali (2008): 13 item; Muttaqin (2008): 14 item; Nurcholis Majid: 9 item; Hamzah (2005): 5 item; dan Tasmara (2002): 24 item.

2. Hasil studi 2 menunjukkan: 92 item yang memenuhi inter rater reliability minimal 85% dan content validity ratio (CVR) minimal 70% dan sebanyak 33 item dibuang, karena tidak memenuhi persyaratan tersebut.

3. Ada 3 dimensi etika kerja Islam yang dibuat oleh peneliti sekarang yaitu: 1) tujuan bekerja 2) cara bekerja yang terdiri dari sub dimensi: pekerjaan, kepribadian atau investasi personal, hubungan pekerja dengan orang lain dan hubungan pekerja dengan organisasi 3) hasil atau prestasi yang diperoleh pekerja dari bekerja.

Keterbatasan 1. Kesulitan dalam menentukan responden para ahli dan kesulitan

menetapkan jadwal pertemuan dengan para ahli terutama dari praktisi. Selain itu ada kendala kesediaan berwawancara dengan ulama yang umumnya pria dan enggan bertemu dengan peneliti sekarang (wanita).

2. Item etika kerja Islam yang banyak menyebabkan responden umumnya tidak dapat menyelesaikan dalam waktu singkat, sehingga terkadang dibutuhkan waktu berhari-hari untuk mendalami pernyataan-pernyataan etika kerja Islam.

3. Kalimat yang digunakan peneliti kebanyakan masih asli dari penulisnya, sehingga diperlukan revisi baik dari peneliti sendiri, maupun usulan dari para ahli (responden).

Implikasi 1. Hasil kuisioner yang diperoleh dari studi 1 dan uji face validity pada studi

2 dapat digunakan untuk studi berikutnya yaitu studi 3 berupa validasi pengukuran dan studi 4 berupa uji model.

2. Peneliti lain dapat menggunakan kuisioner yang diperoleh untuk dilakukan validasi pengukuran, termasuk melakukan uji validitas kriterion.

Page 83: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 78

DAFTAR REFERENSI

Abu-Saad, I. (1998). Individualism and Islamic work belief. Journal of Cross-Cultural Psychology, 29(2): p377(7)

Ali, M. (2008). Etika Bisnis dalam Islam. Download di http://eprints.ums.ac.id/281/

Ali, A. (1988). Scaling an Islamic work ethic. The Journal of Social Psychology, 128 (5): 575-583

Arifuddin, Anik, S. & Wahyudin, Y. (2002). Analisa pengaruh komitmen organisasi dan keterlibatan kerja terhadap hubungan antara etika kerja Islam dengan sikap perubahan organisasi. Simposium Nasional Akuntansi, 5: 718-736

Arslan, M. (2001). The work ethic values of Protestant British, Catholic Irish and Muslim Turkish managers. Journal of Business Ethics, 31(4): 321-339.

Coltman, T., Devinney, T.M., Midgley, D.F. & Venaik, S. 2008. Formative versus reflective measurement models: two appications of formative measurement. Journal of Business Research, 61: 1250-1262.

Diamantopoulos, A. & Siguaw, J.A. (2006). Formative versus reflective indicators in organizational measure development: a comparison and empirical illustration. British Journal of Management, Vol 17: 263-282

Fouts, S.F. (2004). Differences in work ethic among jobseekers grouped by employment status and age and gender. Dissertation. North Carolina State University.

Furnham, A. (1984). Work values and beliefs in Britain. Journal of Occupational Behaviour, 5(4): 281-291.

Furnham, A. & Koritsas, E. (1990). The Protestant work ethic and vocational preference. Journal of Organizational Behavior, 11(1): 43-55.

Gibson, J.L., Ivancevich, J.M. & Donnely, JR., J.H. (1996). Organizations: Behavior, Structure and Process. Ninth edition. Boston: Irwin.

Hamzah, M. (2005). 5 Prinsip Kerja Seorang Muslim. Download di http://mhamzah.multiply.com/journal/item/18

Hill, R.B. & Fout, S. (2005). Work ethic & employment status: a study of job seekers. Journal of Industrial Teacher Education, 42(3): 48-65.

Hirschfeld R.R. & Field, H.S. (2000). Work centrality and work alienation: distinct aspects of a general commitment to work. Journal of Organizational Behavior, 21(7):789-800.Hudspeth, N. A. (2003). Examining the MWEP: further validation of the multidimensional work ethic profile. Thesis. Texas A & M University.

Kegans, L. (2006). A study of the relationship between work experience and occupational work ethic characteristics of baccalaureate nursing students. Dissertation, University of North Texas. U.M.I.: number 3214483

Page 84: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 79

Keraf, S. (1998). Etika Bisnis, Tuntutan dan Relevansinya. Yogyakarta: Penerbit Kanisius Luthans, F.(1995). Organizational Behavior. Seventh edition. New york: Mc Graw- Hill.

Miller, M.J. (1997). Work ethic: the development and evaluation of a multidimensional measure. Dissertation. Texas A & M University. U.M.I Number: 9815809.

Mubyarto (2002). Penerapan ajaran ekonomi Islam di Indonesia. Jurnal Ekonomi Rakyat, I(1).

Muttaqin, S.M. (2008). Etos Kerja Muslim. Download di http://saifulmmuttaqin.blogspot.com/2008/05/etos-kerja-muslim.html

Niles, F.S. (1994). The work ethic in Australia and Sri Lanka. The Journal of Social Psychology, 134(1): 55-59.

Podsakoff, P.M., MacKenzie, S.B., Paine, J.B. & Bacharach, D.G. (2000). Organizational citizenship behaviors: a critical review of the theoretical and emperical literature and suggestions for future research. Journal of

Management, 26(3): 513-563.Robbins, S. P. (1998). Organizational Behavior: Concepts, Controversies,

Applications. Eighth edition. New Jersey: Upper Saddle River.Spector, P. (1988). Development of the WLOC scale. Journal of Occupational Psychology, 61: 335-340.

Suwito (2005). Pengaruh kemampuan, orientasi tujuan, kepribadian dan motivasi berprestasi dalam self efficacy dan penetapan tujuan terhadap kinerja. Tesis. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada

Tasmara, T. (2002). Membudayakan Etos Kerja Islam. Edisi pertama. Jakarta: Gema Insani Press Templeton, G.F., Lewis, B.R. & Snyder, C.A. ( 2002) Development of a measure for the organizational learning construct. Journal of Management Information Systems, 19(2): 175-218.

Trevino, L.K. & Nelson, K.A. (1999). Managing Business Ethics: Straight Talk About How to Do It Right. New York: John Wiley & Sons, Inc.Yousef, D.

A.(2000 a). The Islamic work ethic as a mediator of the relationship between locus of control, role conflict and role ambiguity. Journal of Management Psychology, 15(4): 283-302.

Yousef, D. A.(2001). Islamic work ethic: a moderator between organizational commitment and job satisfaction in cross cultural context. Personnel Review, 30(2): 152-169.

Yousef, D.A. (2000 b). Organizational commitment as a mediator of the relationship between Islamic work ethic and attitudes toward organizational change. Human Relations, 53(4): 513-537

Page 85: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 80

Tabel 1 Pengukuran Etika Kerja Protestan, Etika Kerja Kontemporer, Etika Kerja Islam

dari Ali (1988) dan Etika Kerja Islam dari Peneliti Sekarang (Siti Djamilah, 2009)

No Keterangan Skala Etika Kerja Protestan Skala Etika Kerja

Kontemporer

Skala IWE dari Ali (1988)

Skala Pengembangan Etika Kerja Islam (Siti Djamilah,

2009) 1. Skala etika

kerja MWEP (multidimensional work ethic profile) yang dikembangkan oleh Miller (1997) yang terdiri dari 65 item dengan 7 skala: a. Protestant ethic scale dari

Goldstein dan Eichhorn (1961) b. Pro Protestant ethic scale

(Blood, 1969) c. Protestant work ethic scale

(Mirels & Garrett, 1971) d. Spirit of capitalism (Hammond

& Williams, 1976) e. Work ethic (Buchholz, 1978) f. Eclectic Protestant ethic scale

(Ray, 1982) g. Australian work ethic scale (Ho

& Lloyd, 1984).

OWEI (Occupational Work Ethic Inventory) dikembangkan oleh Petty (1991) berisi 50 deskriptor berkata tunggal yang mengukur ekspresi diri seseorang dalam kebiasaan kerja, sikap dan nilai kerja.

Skala IWE (Islamic work ethic) yang terdiri dari 46 item yang dibuat oleh Ali (1988) dari Indiana University

Skala etika kerja Islam terdiri dari 125 item yang dibuat oleh Ali (1988) dan penulis Indonesia: Sahat (1997), Ali (2008), Muttaqin (2008), Nurcholis Majid, Hamzah (2005), Tasmara (2002)

2. Sampel Analisis konten direview oleh sampel mahasiswa psikologi dan validasi pengukuran dilakukan pada sampel mahasiswa dan pekerja

Validitas konten direview oleh sampel panel ahli dan Validasi pengukuran

a. Pada saat pembuatan kuisioner, sampelnya adalah ulama atau peneliti di Amerika Serikat b. Pada saat validasi

a. Pada saat pembuatan kuisioner, validitas konten direview oleh ulama, akademisi (dosen) dan praktisi di institusi Islam yang ada di Surabaya,

Page 86: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 81

dengan sampel pekerja dari 6 jenis pekerjaan

pengukuran, sampelnya adalah mahasiswa yang berasal dari Arab yang sudah bekerja di negara asal atau di Amerika

Malang, Yogyakarta dan Jakarta b. Pada saat validasi adalah pekerja Islam di institusi Islam dan atau mahasiswa yang bekerja di institusi Islam

3. Reliabilitas Konsistensi internal dengan alpha berkisar antara 0,69 hingga 0,89

Konsistensi internal dengan alpha berkisar antara 0,9 (Hatcher, 1995 dalam Boatwright & Slate, 2000) hingga 0,95 (Hill, 1992 dalam Boatwright & Slate, 2000)

Tidak dijelaskan pada saat pembuatan kuisioner, hanya dijelaskan uji reliabilitas dengan menggunakan Cronbach alpha untuk validasi pengukuran. Peneliti yang telah menguji reliabilitas IWE a.l.: Ali (1992), Abu –Saad (1998), Yousef (2000a&2000b) dan Yousef (2001)

Uji reliabitas: a. Pada saat pembuatan kuisioner menggunakan inter rater reliability dengan standar minimal 0,85 b. Pada saat validasi pengukuran menggunakan Cronbach alpha

4. Validitas Uji validitas konstruk dengan analisis faktor dan CFA (confirmatory factor analysis) yang memenuhi kriteria goodness of fit indeces, lalu uji validitas konvergen dan diskriminan serta validitas prediktif. Validasi pengukuran juga dilakukan oleh Hudspeth (2003)

OWEI telah direview beberapa kali oleh panel ahli dan diuji berulangkali dengan faktor analisis dengan standar loading minimal 0,3 oleh Petty (1995), Hill dan Petty (1995),

a. Face validity: terdiri dari ulama (imam masjid) atau peneliti budaya Arab dan Islam yang tinggal di Amerika Serikat dari berbagai Negara b. Validitas konstruk dengan korelasi antara item & total item untuk validasi pengukuran.

a. Face validity menggunakan ulama (pengasuh pondok pesantren atau majlis ta’lim); akademisi (dosen) di institusi Islam dan memahami Al Qur’an dan Hadist serta memahami etika kerja Islam; dan praktisi di institusi Islam, contoh bank syariah (muamalat) b. Validitas konstruk:

Page 87: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 82

Hill (1996), Hatcher (1995) & Dawson (1999).

Pada saat pembuatan kuisioner menggunakan content validity ratio (CVR) dengan standar minimal 0,70 Pada saat validasi pengukuran menggunakan uji korelasi antar pengukuran etika kerja Islam (Ali dengan Penulis lain) dan menggunakan analisis faktor

5. Dimensi Multidimensional: Kerja keras; mengandalkan diri sendiri; menunda kesenangan; moralitas/etika; pusat kerja; bersenang-senang; membuang-buang waktu

Multidimensional: - Dapat diandalkan (dependable) - Interpersonal skill - Inisiatif

Unidimensional Multidimensional dengan penentuan bentuk reflektif atau formatif

Sumber: data diolah

Page 88: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 83

LAMPIRAN 1

RUMUS INTER RATER RELIABILITY DAN CONTENT VALIDITY RATIO

a. Inter Rater Reliability

Inter rater reliability dihitung dengan rumus: Inter rater reliability = n/N

Keterangan: n = Total responden yang sepakat dengan item tersebut sebagai komponen

etika kerja Islam N = Total responden yang mengisi kuisioner

Contoh: total responden sebanyak 17 orang dan jika yang sepakat 14 orang, maka inter rater reliability sebesar 14/17 atau 0,82 Item tersebut diakui sebagai komponen etika kerja Islam, jika mempunyai inter rater reliability ≥ 0,85.

b. Content Validity Ratio (CVR)

Content Validity Ratio (CVR) dihitung dengan rumus: CVR = (n – N/2) / (N/2)

Keterangan: n = Total responden yang sepakat dengan item tersebut sebagai komponen

etika kerja Islam N = Total responden yang mengisi kuisioner

Contoh: total responden sebanyak 17 orang dan jika yang sepakat 14 orang, maka Content Validity Ratio (CVR) sebesar (14 – 17/2) / (17/2) = 0,6471 atau 64,71%. Item tersebut diakui sebagai komponen etika kerja Islam, jika mempunyai content validity ratio (CVR) ≥ 0,70.

Page 89: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 84

LAMPIRAN 2 ITEM-ITEM YANG DITOLAK SEBAGAI KOMPONEN

ETIKA KERJA ISLAM

NO NO ITEM

ITEM – ITEM YANG DITOLAK SEBAGAI KOMPONEN ETIKA KERJA ISLAM

PENULIS RESPONDEN YANG

MENOLAK

1. 1 Tujuan bekerja adalah beribadah Sahat (1997) R2, R5 & R17 2. 2 Dapat diandalkan Hamzah

(2005) R2, R15 &R17

3. 3 Pengabdian pada pekerjaan merupakan kebaikan

Ali (1988) R15, R16 & R17

4. 6 Negara harus menyediakan pekerjaan untuk setiap orang yang bersedia bekerja

Ali (1988) R2, R7, R10, R14, R15 & R17

5. 11 Kerjasama akan menciptakan kepuasan dan keuntungan bagi masyarakat

Ali (1988) R15, R16 & R17

6. 12 Persaingan untuk meningkatkan kualitas harus didorong dan dihargai

Ali (1988) R10, R13, R16 & R17

7. 13 Perjuangan yang terus menerus untuk aktualisasi cita-cita dan kesetiaan kerja menjamin kesuksesan

Ali (1988) R11, R13, R14, R16 & R17

8. 14 Mayarakat kita akan memiliki masalah sedikit jika masing-masing orang berkomitmen pada pekerjaan dan menghindari penyelewengan

Ali (1988) R4, R6, R14, R15 & R17

9. 15 Seseorang seharusnya berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi

Ali (1988) R2, R10, R15 & R17

10. 20 Orang yang tidak bekerja adalah tidak berguna bagi masyarakat

Ali (1988) R2, R3, R4, R10, R14, R15, R16 & R17

11. 22 Seseorang dapat mengatasi kesulitan dalam kehidupan dengan melakukan pekerjaan sebaik mungkin

Ali (1988) R2, R3, R15, R16

12. 24 Kerja keras adalah kebaikan dalam sudut pandang manusia

Ali (1988) R7, R16 & R17

13. 25 Bekerja adalah sumber kepuasan atau pemenuhan diri

Ali (1988) R2, R3, R4, R10, R13, R15, R16 & R17

14. 27 Hidup tiada arti tanpa pekerjaan Ali (1988) R3, R4, R10,

Page 90: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 85

R15, R16 & R17

15. 28 Waktu senggang untuk bersenang-senang yang banyak merupakan hal yang tidak baik

Ali (1988) R13, R15 & R17

16. 31 Bekerja memudahkan seseorang untuk mengontrol lingkungan

Ali (1988) R8, R9, R11, R13, R14, R15, R16 & R17

17. 35 Yang tidak bekerja keras, akan sering gagal dalam kehidupan

Ali (1988) R3, R7, R14, R16 & R17

18. 36 Bekerja menjadikan seseorang mandiri Ali (1988) R3, R9, R15 & R17

19. 37 Bekerja merupakan sumber penghargaan diri

Ali (1988) R3, R13, R15 & R17

20. 38 Kecerobohan menjadi sesuatu yang tidak bermanfaat dalam kehidupan seseorang

Ali (1988) R3, R13 & R15

21. 39 Waktu senggang yang lebih adalah tidak bagus bagi seseorang

Ali (1988) R7, R13, R14 & R15

22. 40 Orang yang sukses adalah orang yang mampu memenuhi batas waktu (deadline) kerja

Ali (1988) R2, R3, R11, R12, R13, R15 & R17

NO NO ITEM

ITEM – ITEM YANG DITOLAK SEBAGAI KOMPONEN ETIKA KERJA ISLAM

PENULIS RESPONDEN YANG

MENOLAK

23. 41 Kerja keras akan menjamin kesuksesan Ali (1988) R3, R4, R11, R12, R13, R15 & R17

24. 42 Seseorang seharusnya terus menerus bekerja keras untuk memenuhi tanggung jawabnya

Ali (1988) R2, R7, R13 & R17

25. 43 Kemajuan bekerja dapat diperoleh melalui percaya diri

Ali (1988) R3, R15 & R17

26. 46 Nilai kerja diperoleh dari niat yang menyertai, bukan dari hasil kerja

Ali (1988) R10, R15 & R17

27. 2 Berorientasi pada hasil Tasmara (2002)

R1, R2, R4, R7, R8, R11, R13, R15, R16 & R17

28. 5 Independen dalam mencari penghasilan (tidak tergantung belas kasihan orang lain)

Tasmara (2002)

R2, R3 & R15

29. 7 Bekerja dengan semangat bersaing Tasmara R2, R3, R7,

Page 91: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 86

(2002) R10, R12, R13, R14, R15, R16 & R17

30. 8 Mampu belajar dari kegagalan dalam persaingan

Tasmara (2002)

R13, R16 & R17

31. 9 Menyisihkan sebagian dari penghasilan dalam bentuk tabungan atau deposito

Tasmara (2002)

R1, R2, R4, R11 & R17

32. 10 Memiliki motto: berakit-rakit dahulu bersenang-senang kemudian

Tasmara (2002)

R9, R13 & R17

33. 15 Menginginkan pekerjaan yang menantang

Tasmara (2002)

R2, R11 & R16

Sumber: Data diolah

LAMPIRAN 3

DIMENSI-DIMENSI ETIKA KERJA ISLAM

1) Tujuan Bekerja NO ETIKA KERJA ISLAM PENULIS 1. Bekerja adalah suatu usaha untuk mewujudkan keseimbangan

antara pemenuhan kebutuhan jasamani dan jiwa/rohani Sahat (1997)

2. Orang seharusnya menjaga hartanya dengan memanfaatkan sebaik-baiknya ***

Sahat (1997)

3. Seorang muslim mempunyai amanat untuk memakmurkan kehidupan di dunia

Ali (2008)

4. Bekerja bukan merupakan tujuan, melainkan hanya sarana untuk mencari keridhaan Allah

Ali (2008)

5. Kekayaan bukan merupakan suatu kemuliaan, jika tidak digunakan di jalan Allah

Ali (2008)

6. Tidak menelantarkan harta yang diperoleh *** Ali (2008) 7. Bekerja dengan didasarkan pada tauhid (kepercayaan pada

keesaan Allah) Majid

8. Bekerja diniatkan sebagai ibadah Majid 9. Bekerja adalah perwujudan rasa syukur kepada nikmat Allah

SWT Hamzah (2005)

10. Bekerja merupakan suatu aktivitas wajib bagi setiap orang yang mampu

Ali (1988)

11. Uang bukanlah satu-satunya motivasi dalam bekerja Tasmara (2002)

Page 92: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 87

2) Cara Bekerja A. Pekerjaan NO ETIKA KERJA ISLAM PENULIS 1. Mencari rejeki yang halal merupakan suatu kewajiban ** Sahat (1997) 2. Dalam bekerja, seseorang perlu menghindari usaha yang haram

(misalnya korupsi, berjudi, dll.) Sahat (1997)

3. Dalam bekerja, orang harus menghindarkan diri dari transaksi riba

Sahat (1997)

4. Bekerja pada pekerjaan yang halal ** Ali (2008) 5. Melakukan apa saja yang diyakini dalam bekerja selama tidak

bertentangan dengan kehendak Allah Majid

6. Mengucapkan nama Allah (bismillah) setiap awal pekerjaannya Majid 7. Uang yang diperoleh lewat penyuapan merupakan perbuatan

yang tidak wajar Ali (1988)

8. Judi membahayakan bagi masyarakat Ali (1988) 9. Senang berada dalam lingkungan yang menantang penuh

perubahan dan dinamis daripada keadaan yang lamban atau statis Tasmara (2002)

B. Kepribadian atau investasi personal NO ETIKA KERJA ISLAM PENULIS 1. Bekerja keras merupakan suatu tuntunan dalam Islam ** Sahat (1997) 2. Bekerja perlu disertai doa dan tawakkal Sahat (1997) 3. Kemiskinan bukan merupakan kehinaan, jika ia sudah bekerja

keras Ali (2008)

4. Jujur dalam bekerja Ali (2008) 5. Keterbukaan (transparansi) Ali (2008) 6. Bertanggungjawab Ali (2008) 7. Memiliki dan mengembangkan jiwa kepemimpinan Muttaqin (2008) 8. Usaha untuk menggunakan sumber daya yang dimilikinya secara

optimal Muttaqin (2008)

9. Menghargai waktu * Muttaqin (2008) 10. Bekerja lebih baik dibanding sebelumnya Muttaqin (2008) 11. Percaya diri Muttaqin (2008) 12. Meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan dalam bekerja ### Muttaqin (2008) 13. Mempunyai sikap mental yang positif dan sabar Muttaqin (2008) 14. Tidak terbelenggu oleh prestasi kerja sesaat Muttaqin (2008) 15. Memelihara kesehatan dan memperhatikan gizi Muttaqin (2008) 16. Tidak mudah untuk berputus asa (menyerah) Muttaqin (2008) 17. Diorientasikan kepada produktivitas atau hasil terbaik Muttaqin (2008) 18. Bekerja yang efisien Muttaqin (2008) 19. Bekerja yang didasarkan pada kualitas kerja terbaik *** Majid 20. Keberanian diri dalam hal yang benar Majid 21. Tidak malas dalam bekerja $$ Majid

Page 93: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 88

22. Bekerja keras ** Majid 23. Amanah Hamzah (2005) 24. Bekerja secara terencana Hamzah (2005) 25. Memanfaatkan segenap sumberdaya yang ada Hamzah (2005) 26. Kemalasan merupakan tindakan yang tidak baik dalam bekerja Ali (1988) 27. Seseorang seharusnya berusaha untuk mencapai hasil yang

lebih baik Ali (1988)

28. Pekerjaan harus dilakukan dengan usaha sungguh-sungguh Ali (1988) 29. Seseorang seharusnya menjalankan pekerjaan dengan

kemampuan yang terbaik dari yang dimilikinya Ali (1988)

30. Pengabdian pada kualitas kerja merupakan kebaikan *** Ali (1988) 31. Seluruh perhatian dikerahkan untuk menjadi manusia yang

produktif Tasmara (2002)

32. Terobsesi untuk bekerja lebih baik dan lebih baik lagi Tasmara (2002) 33. Berusaha belajar, baik dengan cara membaca buku, menghadiri

seminar, pelatihan atau diskusi ### Tasmara (2002)

34. Bersedia mengambil risiko yang telah diperhitungkan Tasmara (2002) 35. Berani menyatakan gagasan dan pikiran, walaupun dalam situasi

yang sangat menekan Tasmara (2002)

36. Disiplin dalam segala hal ^^^ Tasmara (2002) 37. Tepat waktu dalam bekerja ^^^ Tasmara (2002) 38. Tidak takut dengan perubahan Tasmara (2002) 39. Berkomitmen dengan janji Tasmara (2002) 40. Tidak ada waktu luang, kecuali diisi dengan hal yang

bermanfaat* Tasmara (2002)

41. Tidak malu bekerja kasar Tasmara (2002) 42. Mencoba gagasan baru dalam bekerja Tasmara (2002)

C. Hubungan pekerja dengan orang lain NO ETIKA KERJA ISLAM PENULIS 1. Saling bekerja sama dalam pekerjaan Sahat (1997) 2. Memberikan kemudahan bagi orang lain dalam bekerja

(berempati) Sahat (1997)

3. Bersifat adil pada semua mitra kerja Sahat (1997) 4. Seimbang antara bekerja, beribadah, kebutuhan keluarga,

istirahat dan bermasyarakat Ali (2008)

5. Bekerja sama Ali (2008) 6. Seseorang seharusnya memperhatikan urusan kemasyarakatan

dalam melakukan pekerjaan Ali (1988)

7. Kerjasama merupakan kebaikan dalam bekerja Ali (1988) 8. Pekerjaan yang bagus menguntungkan bagi diri sendiri dan juga

orang lain Ali (1988)

9. Pekerjaan bukan tujuan akhir, tetapi merupakan cara untuk Ali (1988)

Page 94: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 89

memperkuat pengembangan diri dan hubungan sosial 10. Seseorang seharusnya tidak menghabiskan seluruh waktunya

untuk bekerja Ali (1988)

11. Kerja yang hanya untuk kerja itu sendiri akan melemahkan kehidupan seseorang

Ali (1988)

12. Konsultasi pada orang lain membuat seseorang mampu mengatasi kesulitan dan menghindari kekeliruan

Ali (1988)

13. Kerja keras merupakan kebutuhan untuk menciptakan keseimbangan kehidupan individu dan kehidupan sosial

Ali (1988)

14. Dalam setiap situasi, ingin berarti bagi orang lain *** Tasmara (2002) 15. Menawarkan jasa pelayanan yang ia mampu pada orang lain *** Tasmara (2002)

D. Hubungan pekerja dengan organisasi NO ETIKA KERJA ISLAM PENULIS 1. Membuat perjanjian dalam hubungan kemitraan kerja Sahat (1997) 2. Saling menguntungkan antar pihak: bagi pekerja hendaknya

memenuhi hak-hak organisasi/perusahaan Sahat (1997)

3. Upah atas hasil pekerjaan seseorang tidak boleh diabaikan Ali (1988) 4. Keadilan dan kedermawanan di tempat kerja merupakan kondisi

yang perlu untuk kesejahteraan masyarakat Ali (1988)

5. Hubungan manusia dalam organisasi harus ditekankan dan didukung

Ali (1988)

6. Eksploitasi dalam bekerja merupakan perbuatan tidak terpuji Ali (1988) 3) Hasil atau prestasi yang diperoleh dari bekerja NO ETIKA KERJA ISLAM PENULIS 1. Mengeluarkan zakat atas hasil kerja, jika sudah memenuhi

nisobnya (batas ketentuan pengeluaran zakat) Sahat (1997)

2. Hasil dari pekerjaan adalah untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya dalam rangka ibadah kepada Allah

Ali (2008)

3. Bersyukur atas pendapatan yang diperoleh dari bekerja Muttaqin (2008) 4. Hidup hemat Muttaqin (2008) 5. Bekerja dengan semangat beramal soleh Majid 6. Menghasilkan lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan diri

dapat menyumbang kemakmuran masyarakat secara keseluruhan Ali (1988)

7. Kerja kreatif merupakan sumber kebahagiaan & prestasi Ali (1988) 8. Seseorang yang bekerja sungguh-sungguh, memungkinkan

hidupnya maju ke depan Ali (1988)

9. Uang hanyalah ‘akibat sampingan’ atas prestasi dan hasil kerja Tasmara (2002) Sumber: Data diolah

Page 95: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 90

Aplikasi Model Risiko Kredit Untuk Mengestimasi Harga Premi Penjaminan Simpanan Wajar (fair) dan Pengujian Moral hazard

Firman Pribadi∗

Abstract

This study uses a credit risk model (credit Value at Risk models) to estimate the fair price premium of Deposit Insurance and the proper claim reserve funds, as well as, to test moral hazard behavior for banks after explicitly applying the Deposit Insurance system in Indonesia's banking system. Theory and empirical evidence indicate that if the Deposit Insurance system is not designed well, in the long-term it will encourage moral hazard. There are two are good design features of Deposit Insurance system that could be linked directly to the current presence of Indonesia Deposit Insurance Corporation (IDIC), which is reasonable Deposit Insurance’s fair premiums price based on risk and coverage limit. The results of this study are expected to provide input for the IDIC about how to design a Deposit Insurance system in Indonesia in order to minimize moral hazard behavior, through the determination of reasonable Deposit Insurance’s fair price premiums, proper claims reserve and the optimal coverage limit for LPS. Keyword: Credit Risk Model, Fair Price Premium of Deposit Insurance, Claim Reserve, Indonesia Deposit Insurance Corporation

PENDAHULUAN

Krisis Moneter yang melanda Indonesia beberapa waktu lalu telah menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap dunia perbankan. Untuk mencegah terjadinya bank run (bank rush) dan efek berantainya yang tidak diinginkan, pemerintah Indonesia membentuk jaring pengaman keuangan dalam bentuk blanket guarantee1. Dengan terbitnya UU No 24 tahun 2004 tentang Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) mendorong pemerintah untuk membentuk sistem Penjaminan Simpanan eksplisit sebagai ganti dari kebijakan

∗ Mahasiswa Program Doktor Ilmu-ilmu Ekonomi Program Studi Manajemen FEB UGM dan staf pengajar Universitas Islam Batik Surakarta 1 Blanket guarantee dalam terminologi Penjaminan Simpanan dikenal sebagai bentuk

Penjaminan Simpanan implisit, yaitu menjamin atau mengambil alih dana nasabah dari bank-bank gagal yang dilakukan secara non formal tanpa adanya UU khusus untuk hal tersebut. Lawannya adalah Penjaminan Simpanan eksplisit, yaitu menjamin dana nasabah dari bank-bank gagal yang dilakukan secara formal oleh suatu Negara dalam suatu UU.

Page 96: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 91

blanket guarantee sebelumnya. Hal ini ditandai dengan didirikannya Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) Indonesia atau Indonesia Deposit Insurance Corporation (IDIC). Teori dan bukti empiris di banyak negara menunjukan bahwa sistem Penjaminan Simpanan, dalam jangka panjang telah mendorong timbulnya moral hazard (Lovett (1989); White (1995)), apalagi jika tidak didisanin dengan baik (Mc Coy (2007)). Moral hazard dalam terminologi Penjaminan Simpanan dapat didefinisikan sebagai hazard yang ditimbulkan oleh aktivitas bank yang tidak diinginkan dari sudut pandang Lembaga Penjamin Simpanan. Karena menimbulkan kemungkinan terjadinya pemindahan risiko dari bank kepada Lembaga Penjamin Simpanan (Saunders dan Cornet (2003); Mc Coy (2007)).

Hovakimian, Kane dan Laeven (2003) menyatakan bahwa pemindahan risiko terjadi jika penjamin terekspos terhadap rugi tanpa menerima kompensasi yang cukup. Di sini salah satu pemicu utama timbulnya moral hazard adalah ketika Lembaga Penjamin Simpanan menerapkan sistem premi tarip tetap (flate rate). Kane (1985) mengkritik FDIC2 karena telah menerapkan sistem premi tarip tetap ini, sehingga telah mendorong terjadinya moral hazard yang berdampak pada tingginya kegagalan bank di Amerika Serikat pada awal tahun 1980-an. Di sisi lain premi tarip tetap ini menyebabkan timbulnya subsidi dari bank yang mempunyai risiko rendah kepada bank yang mempunyai risiko tinggi (Blair dan Fissel, 1991). Walaupuan sistem Penjaminan Simpanan mendorong timbulnya moral hazard, namun sejarah telah menunjukan bahwa sistem ini bermanfaat untuk menjaga stabilitas sistem keuangan suatu negara (Diamond dan Dybvig, 1983; Berger, Herring dan Szego (1995); Calomiris (1999); Flannery dan Sorescu (1996); Santomero (1997); Demirguc-Kunt dan Sobaci (2000); Santos (2000); Hancock dan Kwast (2001); Swidler dan Wilcox (2002)). Oleh karena itu untuk dapat mengaplikasikan sistem ini dengan baik perlu didisain sistem Penjaminan Simpanan yang memperhatikan saling tukar (trade off) antara moral hazard dan stabilitas.

2 Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC) adalah Lembaga Penjaminan

Simpanan Amerika Serikat yang berdiri semenjak tahun 1930. Namun White (1995) menunjukan bahwa dalam sejarah perbankan AS jauh sebelumnya, yaitu sekitar abad 18 telah berdiri lembaga-lembaga sejenis yang didirikan oleh beberapa negara bagian di AS.

Page 97: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 92

Penelitian yang dilakukan oleh Mishra dan Urutia (1995), Kunt dan Detrigiache (2000), Laeven (2001), Cooper dan Ross (2002), Kunt dan Kane (2002), Hovakimian, Kane dan Laeven (2003),menunjukan bahwa sistem Penjaminan Simpanan yang didisain dengan baik dapat mengurangi terjadinya moral hazard. Fitur disain tersebut adalah perlunya membentuk sistem premi yang wajar yang berbasikan pada risiko, kecukupan modal bank, batas penjaminan (coverage limit), koasuransi, dan regulasi prudensial yang ketat yang didukung oleh intitusi pengawas yang kuat. Sebaliknya Penelitian mereka menunjukan juga bahwa pada lingkungan yang lemah dan penegakan regulasi yang tidak tepat untuk tidak mendirikan Penjaminan Simpanan, karena hanya akan memperburuk stabilitas sistem keuangan dalam jangka panjang. Sebagai lembaga yang masih baru LPS dalam menerapkan preminya masih memakai sistem tarip tetap dan cadangan klaimnya masih ditentukan secara arbitrer. Di sisi lain perlu bagi LPS untuk melihat apakah ada indikasi moral hazard dengan sistem disain Penjaminan Simpanan saat ini. Karenanya penyusunan sistem premi yang wajar, penentuan cadangan klaim yang tepat dan pengujian moral hazard menjadi penting bagi LPS untuk membentuk disain sistem Penjaminan Simpanan yang dapat mengurangi timbulnya moral hazard. Karena dari disain fitur di atas yang terkait langsung dan dapat dilaksanakan segera oleh LPS adalah fitur premi yang disesuaikan dengan profil risiko dan fitur batas penjaminan3.

Model Risiko Kredit akan digunakan dalam penelitian ini untuk menyusun sistem premi yang wajar dan cadangan klaim yang tepat. Selanjutnya premi wajar ini akan digunakan untuk menguji perilaku moral hazard. Model Risiko Kredit telah mulai banyak diteliti untuk dapat diaplikasikan pada sistem Penjaminan Simpanan (Bennett (2001); Kuritzkes, Schuermann dan Weiner (2002); Sironi dan Zazzara (2004)). Model ini merupakan model yang masih berkembang dan mempunyai banyak ragam, karena modeling bergantung pada tujuan penggunaan model. Model risiko kredit ini digunakan sebagai pengganti atau model alternatif bagi model sebelumnya yang berbasiskan pada teori opsi 3 Mulai 22 Maret 2007 dana pihak ketiga yang dijamin LPS adalah sebesar maksimal

Rp 100 juta per rekening. Namun pada tagal 13 Oktober 2008 LPS menaikan jumlah penjaminan menjadi hingga Rp 2 milyar per rekening, dan dengan disahkannya UU No 7 tahun 2009 memungkinkan bagi LPS untuk meningkatkan batas panjaminan simpanan hingga mencapai nilai yang dianggap mampu untuk mencegah terjadinya bank run.

Page 98: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 93

yang berasal dari studi Merton (1977, 1978) yang kemudian dikembangkan oleh Marcus dan Shaked (1984), Pyle (1983), Pennachi (1978a, 1978b).

Pengujian indikasi perilaku moral hazard dengan menggunakan model risiko kredit merupakan hal yang pertama kali dilakukan dalam penelitian sejenis. Karena model-model premi yang wajar pada penelitian sebelumnya yang biasa digunakan untuk menguji indikasi moral hazard adalah model Marcus dan Shaked (1984), Ron dan Verma (1986), Duan, Moreau dan Sealy (1992), Laeven (2002) yang menggunakan model opsi jual (put option) periode tunggal seperti yang dikembangkan dari model Merton (1977). Untuk model-model premi wajar yang menggunakan model multi periode dapat dilihat pada penelitian dari Pennachi (1987a, 1987b), Duan dan Yu (1994), Cooperstain, Pennachi dan Redburn (1995), Saunders dan Wilson (1995), Hovakimian dan Kane (2002).

Model risiko kredit yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah model risiko kredit dalam kerangka VaR (model kredit VaR) untuk menentukan premi Penjaminan Simpanan wajar. Hasil premi Penjaminan Simpanan wajar dari model risiko kredit penelitian ini selanjutnya akan digunakan untuk menguji permasalahan penelitian apakah penentuan harga premi Penjaminan Simpanan wajar yang ditentukan berdasarkan model risiko kredit penelitian dapat mengindikasikan adanya perilaku moral hazard dari bank-bank anggota LPS kepada LPS setelah diterapkannya sistem Penjaminan Simpanan eksplisit di Indonesia.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji apakah penentuan premi Penjaminan Simpanan wajar yang ditentukan melalui model risiko kredit dapat mengindikasikan adanya perilaku moral hazard pada bank-bank anggota LPS kepada LPS setelah diterapkannya sistem Penjaminan Simpanan eksplisit.

Kontribusi yang diharapkan dari penelitian ini adalah akan memberikan manfaat tidak hanya bagi pengembangan teori model risiko kredit dan kontribusi empiris model Risiko Kredit pada pengujian indikasi perilaku moral hazard. Namun juga akan bermanfaat bagi pengambilan kebijakan LPS dalam menyusun disain fitur sistem Penjaminan Simpanan. Karena hasil dari penelitian ini akan memberikan masukan bagi LPS dalam membentuk sistem Penjaminan Simpana yang memperhatikan trade off antara moral hazard dan stabilitas melalui disain fitur Premi Penjaminan Simpanan yang wajar, yaitu premi yang berbasiskan risiko, pembentukan cadangan klaim yang tepat, dan

Page 99: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 94

penentuan batas penjaminan (coverage limit) yang optimal bagi sistem Penjaminan Simpanan. Oleh karenanya penelitian ini akan memberikan masukan yang berharga tidak hanya bagi pemerintah, tetapi juga rakyat, khususnya rakyat pembayar pajak. Karena menurunya perilaku moral hazard akan menurunkan eksprosiasi/pencurian dari bank yang tidak sehat kepada kekayaan rakyat melalui penggunaan APBN untuk hal yang tidak semestinya, yaitu mengganti dana nasabah yang hilang karena perilaku moral hazard.

TELAAH PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

Studi-Studi Empiris Perilaku Pemindahan Risiko Bank Seperti yang telah diungkapkan oleh para ahli bahwa sistem premi tarip

tetap akan mendorong terjadinya moral hazard. Moral hazard terjadi jika terjadi perilaku pemindahan risiko. Pemindahan risiko terjadi ketika bank menaikan risikonya tanpa diikuti oleh kenaikan biaya atau premi Penjaminan Simpanan. Dengan terjadinya pemindahan risiko ini berarti bank mengeksproriasi kesejahteraan Lembaga Penjamin Simpanan yang akhirnya mengekspropriasi kesejahteraan masyarakat atau pembayar pajak. Mekanisme ekspropriasi pembayar pajak ini terjadi ketika bank yang mengambil risiko lebih akan memindahkan beban kerugian terbesarnya pada Lembaga Penjamin Simpanan. Dalam hal ini jika bank mengalami keuntungan maka keuntungan ini akan didapatkan oleh bank, sebaliknya jika bank mengalami kerugian maka kerugian terbesar akan ditanggung oleh Lembaga Penjamin Simpanan. Sebagian besar kerugian yang harus ditanggung oleh Lembaga Penjamin Simpanan akan ditutupi oleh dana dari premi yang dikumpulkan, jika dana dari Lembaga Penjamin Simpanan ini tidak cukup maka akan dibayarkan oleh pemerintah yang dananya diambilkan dari dana rakyat atau dana pembayar pajak.

Untuk mencegah terjadinya pemindahan risiko ini Lembaga Penjaminan Simpanan harus menentukan preminya dengan berbasiskan pada risiko. Merton (1977) adalah orang yang pertama kali menunjukkan bahwa Penjaminan Simpanan yang diberikan oleh FDIC ekuivalen dengan opsi jual (put option) yang diterbitkan (writer) atas aset bank. Dalam modelnya ini Merton menunjukkan ada dua tipe risiko yang secara potensial dapat dipindahkan ke FDIC, yaitu risiko aset (σV) dan risiko pengungkitan (leverage) (D/V). Perubahan dari risiko aset akan mempengaruhi variabilitas return dari aset acuan (underlying asset), dan perubahan dari risiko pengungkitan akan

Page 100: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 95

mempengaruhi exercise price dari opsi jual (put option). Dengan menggunakan analisis statik komparatif Merton menunjukkan bahwa sumber risiko ini berhubungan positif dengan biaya Penjaminan Simpanan, yaitu kenaikan dari dua sumber risiko ini akan diikuti oleh kenaikan biaya asuransi.

Alat utama untuk mengidentifikasi perilaku pemindahan risiko dari bank ini adalah dengan menentukan apakah terjadi harga Penjaminan Simpanan yang mempunyai harga lebih (overprice) atau harga kurang (underprice) dibandingkan dengan nilai aktuarialnya. Karena tujuan dari pemindahan risiko adalah dengan membuat nilai aktuarial Penjaminan Simpanan lebih besar dari biaya aktualnya, kalau ini terjadi maka harga kurang biasanya dijadikan sebagai bukti adanya pemindahan risiko.

Dengan berbasiskan pada model Merton (1977) Duan dkk (1992) memberikan kerangka yang berbeda untuk mengidentifikasi perilaku pemindahan risiko pada bank-bank komersial. Dalam studinya Duan dkk (1992) menyatakan bahwa pemindahan risiko oleh bank kepada Lembaga Penjamin Simpanan yang ditujukan untuk mengeskproriasi kesejahteraan Lembaga Penjamin Simpanan dilakukan dengan meningkatkan risiko aset (σV) dan risiko pengungkitan (D/V). Pemindahan risiko akan berhasil jika berakibat pada kenaikan nilai aktuarial dari Penjaminan Simpanan yang diberikan oleh LPS tidak diikuti oleh kenaikan premi aktual. Berdasarkan pada model studinya Duan dkk mengajukan dua hipotesis yaitu: Hipotesis 1: α1 ≥ 0 dan Hipotesis 2: β1 ≤ 0, pemindahan risiko terjadi jika β1 > 0. Penolakan hipotesis 1 mengindikasikan bahwa pemindahan risiko dapat dicegah, tetapi pencegahan ini tidak cukup untuk menyimpulkan bahwa tidak ada pemindahan risiko. Penolakan hipotesis 2 menunjukkan adanya pemindahan risiko. Terdapat dua persamaan dasar yang dikembangkan berdasarkan hipotesis ini adalah: pertama persamaan yang menunjukkan hubungan antara risiko aset (σV) dan risiko pengungkitan (D/V). Kedua persamaan yang menunjukkan hubungan antara risiko aset (σV) dan premi Penjaminan Simpanan wajar. Karena pemindahan risiko hanya terjadi ketika β1 > 0, maka konklusi akhir tentang adanya pemindahan risiko bank bergantung pada persamaan kedua. Untuk menguji hipotesis mereka ini, Duan dkk (1992) menguji sampel yang terdiri dari 30 bank-bank besar di AS dalam perioda 1976-1986. Dengan menggunakan OLS mereka menemukan hanya satu bank yang mempunyai hubungan positif dan signifikan antara risiko aset dan risiko pengungkitan.

Page 101: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 96

Hasil ini mengindikasikan bahwa bank ini telah berhasil memindahkan risikonya, tetapi tidak cukup kondisi untuk membuat konklusi umum. Selanjutnya berdasarkan regresi OLS pada hubungan kedua, mereka menemukan enam bank yang menunjukkan hubungan positif yang signifikan antara risiko aset dan premi Penjaminan Simpanan wajar, termasuk satu bank yang menunjukkan hubungan positif dan signifikan antara risiko aset dan risiko pengungkitan dari pengujian hipotesis 1. Oleh karenanya Duan dkk (1992) menyimpulkan bahwa secara umum pemindahan risiko tidak terjadi secara luas. Hovakimian dan Kane (2000) menggunakan sampel 123 bank-bank di AS dalam perioda tahun 1985-1994 untuk menguji apakah ada insentif untuk pemindahan risiko, dan apakah disiplin regulasi dan disiplin dari luar (pasar) dapat mengawasi pemindahan risiko. Hovakiman dan Kane ini juga menggunakan metodologi yang berbasiskan pada opsi untuk harga masing-masing liabilitas (liability) aktuarial bank bagi Penjaminan Simpanan, dan menjalankan regresi OLS untuk menguji hipotesis pemindahan risiko. Namun mereka menggunakan pendekatan yang sedikit berbeda dibandingkan dengan Duan dkk (1992) yaitu seluruh variabel seperti risiko aset, risiko pengungkitan dan premi Penjaminan Simpanan dalam studi mereka dinyatakan dalam bentuk perubahan atau Δ dalam posisi waktu tertentu. Dalam menguji model dua persamaan Hovakimian dan Kane (2000) menguji (1) hubungan antara perubahan dalam risiko aset dan perubahan dalam risiko pengungkitan, dan (2) hubungan antara perubahan dalam risiko aset dan perubahan dalam premi Penjaminan Simpanan wajar. Terkait dengan pengujian ini mereka menawarkan dua hipotesis (1) hipotesis 1: α1< 0 dan hiptesis 2 β1 ≤ 0. Hovakimian dan Kane (2000) berpedapat bahwa kegagalan untuk menolak hipotesis 1 menunjukkan bahwa pengekangan risiko pada risiko pengungkitan (D/V) berhasil dengan melakukan beberapa perluasan usaha pendisiplinan untuk meningkatkan volatilitas dari return bank (σV). Walaupun α1 negatif, insentif pemindahan risiko masih ada jika β1 positif. Hasil mereka menunjukkan bahwa isentif pemindahan risiko ada. Pada margin bank yang agresif tampak bank-bank ini mengambil subsidi dari Penjaminan Simpanan. Sebagai tambahan insentif pengambilan risiko menunjukkan bukti yang sangat kuat terjadi pada bank-bank bermasalah dan pada bank yang memiliki rasio deposito terhadap hutang yang tinggi. Mereka juga menemukan bahwa regulasi kapital tidak mencegah bank-bank besar dari pemindahan risiko pada jaring

Page 102: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 97

pengaman, tetapi disiplin pasar dan regulatori (regulatory) menekan pengambilan risiko bank ini. Hovakimian, Kane, dan Leaven (2003) menguji bagaimana karakteristik negara dan jaring pengaman mempengaruhi pemindahan risiko bank. Mereka meneliti bagaimana otoritas di 56 negara mengekang insentif pemindahan risiko bank dalam perioda tahun 1991-1999. Mereka memfokuskan pada peran disiplin pasar dan peran regulatori dalam menetralisir insentif pemindahan risiko. Dalam penelitian mereka ini mereka tidak menawarkan hipotesis, tetapi mengindikasikan bahwa dua kondisi harus dipenuhi untuk pasar dan regulatori untuk menetralisir insentif pemindahan risiko bank: (1) kenaikan kapital dengan volatilitas: α1 < 0, dan (2) nilai jaminan tidak meningkat dengan volatilitas β1 ≤ 0, jika β1 negatif maka insentif pemindahan risiko secara penuh dapat dinetralisir. Studi mereka menggunakan metodologi data panel untuk menguji hubungan antara risiko aset dan risiko pengungkitan, dan hubungan antara risiko aset dan premi Penjaminan Simpanan wajar. Mereka menemukan bahwa walaupun signifikan pemindahan risiko secara rata-rata, variasi substansial ada dalam keefektivan kontrol risiko untuk seluruh negara. Mereka juga menemukan bahwa kecenderungan Penjaminan Simpanan yang eksplisit akan memperburuk pemindahan risiko yang disebabkan oleh tidak adanya fitur kontrol seperti kepekaan risiko, batas jaminan dan koasuransi (coinsurance). Gueyie dan Lai (2003) dengan menggunakan hipotesis pemindahan risiko bank menguji efek diaplikasikannya Penjaminan Simpanan pada tahun 1967 pada moral hazard bank di Kanada. Mereka menggunakan sampel 5 bank terbesar dalam perioda 1959-1982. Mereka menguji dua sub hipotesis: (1) sub hipotesis 1: α1 < 0, dan (2) sub hipotesis 2: β1 ≤ 0, mengindikasikan terjadi pemindahan risiko jika β1 > 0. Dalam menguji sub hipotesis 1, Gueyie dan Lai (2003) menggunakan rasio kapital (rasio nilai pasar ekuiti bank terhadap nilai pasar aset bank) sebagai pengganti rasio pengungkitan (D/V), dan mengikuti Duan dkk (1992) yang meneliti hubungan antara risiko aset dan risiko pengungkitan. Namun untuk pengujian sub hipotesis 2, mereka mengikuti Hovakimian dan Kane (2000) yang menguji hubungan antara perubahan risiko aset dan perubahan dari premi Penjaminan Simpanan wajar. Mereka menemukan hubungan positif antara risiko aset dan rasio modal bank, mengindikasikan bahwa bank-bank di Kanada

Page 103: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 98

melakukan penyesuaian kapitalisasi aset mereka dengan risiko aset. Mereka juga menemukan hubungan negatif antara perubahan dalam risiko aset dan perubahan dalam premi Penjaminan Simpanan wajar, menunjukkan bahwa pemindahan risiko tidak terjadi. Kesimpulan menyeluruh dari hasil mereka adalah bahwa mereka tidak dapat mendeteksi adanya moral hazard pada industri perbankan di Kanada setelah diterapkannya Penjaminan Simpanan. Agusman, Gasbarro dan Zumwalt (2005) menguji perilaku pemindahan risiko pada bank-bank di Asia menggunakan sub hipotesis 1: α1 < 0, dan sub hipotesis 2: β1 > 0. Agusman dkk (2005) dengan menggunakan sampel 46 bank dari 10 negara di Asia dalam tahun 1998-2003 dan menerapkan metodologi data panel dan memperlakukan outliers dengan rank transformation. Hasil mendukung hipotesis 1 adanya hubungan negatif antara pengungkitan dan risiko aset. Temuan ini menunjukkan bahwa disiplin pasar dan disiplin regulatori bekerja untuk membatasi pengambilan risiko dengan memaksa bank-bank di Asia untuk menyesuaikan tingkat pengungkitan (tingkat modal) dengan risiko aset. Untuk hipotesis 2 hasil temuan menunjukkan adanya hubungan positif antara premi Penjaminan Simpanan wajar dengan risiko aset. Hasil ini menunjukkan adanya moral hazard pada bank-bank di Asia. Berdasarkan hasil ini mereka menyimpulkan bahwa bank-bank di Asia termasuk Indonesia telah melakukan eksploitasi terhadap jaring pengaman dengan meningkatkan risiko aset dan memindahkan beberapa bagian dari risiko mereka ke jaring pengaman. Perumusan Hipotesis

Seperti studi-studi empiris sebelumnya yang mengembangkan model Duan dkk (1992) untuk menguji perilaku moral hazard melalui perilaku pemindahan risiko, maka penelitian inipun akan menggunakan model yang sama untuk menguji hipotesis penelitian. Duan dkk (1992) mengembangkan modelnya ini berdasarkan pada model Merton (1977) yang menganalogikan Penjaminan Simpanan sebagai opsi jual Eropa atas aset bank. Merton (1977) mengembangkan hubungan antara Penjaminan Simpanan dan opsi jual Eropa atas aset bank berdasarkan model opsi Black dan Scholes (1973).

Dalam modelnya Merton (1977) menyatakan bahwa sebuah bank hanya menerbitkan satu bentuk hutang yang homogenus, dan mengasumsikan nilai aset bank (V) mengikuti proses lognormal dengan mean dan parameter volatilitas (σV) diketahui. Opsi jual mempunyai waktu maturitas yang sama

Page 104: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 99

dengan perioda audit atau maturitas terjadi pada saat perioda audit (T) dan execise price sama dengan nilai hutang pada saat maturitas. Model ini juga mengasumsikan bahwa deposito (dana pihak ketiga) sama dengan hutang bank total (D) yaitu pokok (principal) dan bunga yang diasuransikan. Selanjutnya Merton menyatakan bahwa nilai premi Penjaminan Simpanan per dolar dari deposito yang diasuransikan (FP) dapat diekspresikan dalam persamaan berikut:

( ) ( ) )(/( yNDVTyNFP V −+= σ (1)

Dimana:

( ) ( )[ ] TTVDy VV σσ /2//ln 2−≡

N = fungsi densitas normal standar kumulatif (the cumulative standard normal density function)

dari persamaan (1) Merton di atas Duan dkk (1992) menyatakan bahwa ada dua sumber risiko yang secara potensial dapat dimanipulasi oleh bank untuk tujuan pemindahan risiko, yaitu risiko aset (σV) dan risiko pengungkitan (D/V). Usaha bank untuk memindahkan risiko dikatakan berhasil jika efek bersih dari manipulasi atas risiko aset (σV) dan risiko pengungkitan (D/V) adalah terjadinya kenaikan risiko dengan pembayaran premi Penjaminan Simpanan yang sesuai dengan keinginan bank. Jika sistem premi yang diterapkan oleh Lembaga Penjamin Simpanan tarip tetap maka tidak ada kaitan antara manipulasi dari kedua sumber risiko ini dengan premi Penjaminan Simpanan. Di sini bank akan meningkatkan kedua sumber risiko ini untuk mengeksproriasi kesejahteraan Lembaga Penjamin Simpanan tanpa perlu memanipulasi risikonya untuk membayar premi yang disesuaikan dengan keinginannya. Namun jika ada usaha penghindaran atau pengekangan terhadap perilaku pemindahan risiko maka kenaikan dari risiko aset (σV) harus ditutupi oleh penurunan risiko pengungkitan (D/V) atau hubungan kedua risiko ini diharapkan berbentuk negatif.

Untuk menganalisis perilaku pemindahan risiko ini, Duan dkk (1992) memulainya dengan memperkirakan perubahan per dolar dari premi Penjaminan Simpanan (ΔFP) terhadap perubahan risiko aset (ΔσV), seperti bentuk persamaan berikut:

( )( )

VV

VV d

VDdVD

FPFPFP σσ

σσ

Δ∂∂

+Δ∂∂

≅Δ/(

/ (2)

Kemudian mereka menunjukkan ( ){ }VdVDd σα //1 ≡ (3)

Oleh karenanya, persamaan (2) dapat dinyatakan kembali sebagai:

Page 105: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 100

VFP σβ Δ≅Δ 1 (4)

dalam hal ini,

11 )/(α

σβ

VDFPFP

V ∂∂

+∂∂

= (4a)

Dari persamaan di atas tampak terdapat dua persamaan dasar yang dikembangkan, pertama persamaan (3) yang menunjukkan hubungan antara risiko aset (σV) dan risiko pengungkitan (D/V) yang ditunjukan melalui notasi α1. Kedua persamaan (4 dan 4a) yang menunjukkan hubungan antara risiko aset (σV) dan premi Penjaminan Simpanan yang ditunjukan melalui β1. Persamaan (4a) menunjukan bahwa perubahan kecil pada risiko aset (σV) akan diikuti oleh perubahan kecil premi Penjaminan Simpanan (FP) ditambah perubahan kecil pada risiko pengungkitan (D/V) akan diikuti oleh perubahan kecil pada premi Penjaminan Simpanan (FP) dikali α1 dari persamaan (3). Selanjutnya Duan dkk (1992) menekankan bahwa pemindahan risiko oleh bank akan terjadi ketika β1 > 0. Karena { }VFP σ∂∂ / dan ( ){ }VDFP //∂∂

positif dari hasil komparatif statik pada persamaan (1), maka tanda dari β1 akan bergantung pada tanda dan besaran (magnitude) dari bentuk α1. Seperti telah disebutkan sebelumnya jika ada atau terdapat faktor-faktor yang membatasi perilaku pemindahan risiko atas bank, maka faktor-faktor yang membatasi perilaku pemindahan risiko ini akan menyebabkan hubungan risiko aset (σV) dan risiko pengungkitan (D/V) bervariasi secara negatif. Besaran negatif ini diharapkan cukup untuk membuat β1 lebih kecil atau sama dengan nol untuk mengindikasikan tidak terjadinya pemindahan risiko. Dengan kata lain penting tetapi bukan kondisi cukup bagi β1 untuk lebih kecil atau sama dengan nol jika α1 negatif. Kondisi cukup di sini membutuhkan nilai absolut negatif α1 yang cukup besar untuk menyebabkan β1 lebih kecil atau sama dengan nol.

Dari bentuk kedua dalam persamaan (4a) pada β1 tampak bahwa premi yang wajar yang berbasiskan pada risiko lebih sensitif terhadap perubahan risiko keuangan yang ditunjukan melalui resiko pengungkitan dibandingkan dengan risiko bisnis yang ditunjukan melalui risiko aset. Hal ini ditunjukan melalui perubahan yang kecil dari risiko keuangan akan diikuti oleh perubahan yang kecil dari premi yang wajar dikali dengan α1 yang diharapkan akan menghasilkan nilai yang negatif. Sensitivitas bank terhadap risiko keuangan ini terjadi karena bank tidak mungkin dibiayai oleh 100% ekuitas.

Page 106: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 101

Dengan latar belakang teoritikal di atas maka Duan dkk (1992) dapat membentuk dua hipotesis nol yang dapat digunakan untuk menguji perilaku pemindahan risiko yaitu: Ho1: α1 ≥ 0 dan Ho2: β1 ≤ 0. Penolakan terhadap hipotesis nol 1 mengindikasikan bahwa pemindahan risiko dapat dicegah, tetapi pencegahan ini tidak cukup untuk menyimpulkan bahwa tidak ada pemindahan risiko. Penolakan terhadap hipotesis nol 2 menunjukkan adanya pemindahan risiko. Karena pemindahan risiko hanya terjadi ketika β1 > 0, maka konklusi akhir tentang adanya pemindahan risiko akan bergantung pada persamaan dua. Di sini tampak bahwa hipotesis nol 1 (α1 ≥ 0) adalah penting tetapi bukan kondisi cukup untuk hipotesis nol 2 (β1 ≤ 0).

Krisis moneter telah mendorong negara Indonesia untuk memperbaiki sistem pengawasan perbankannya dengan mengadopsi standar pengawasan perbankan internasional. Pangestu (2003) menunjukan bahwa ketika mengalami krisis IMF telah mewajibkan pemerintah Indonesia untuk mengimplementasikan program-programnya yang dikenal dengan Washington consensus yang difokuskan pada tata kelola yang baik (corporate governance), prosedur kebangkrutan, hubungan bisnis – pemerintah, regulasi dan prudensial yang ketat. Dengan bantuan IMF langkah awal untuk memperbaiki kondisi sistem perbankan dalam masa krisis adalah dengan didirikannya Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN/IBRA) oleh pemerintah. BPPN ini bertugas untuk menyehatkan bank-bank bermasalah agar Bank Indonesia (BI) dapat berkonsentrasi pada tugas-tugas pokoknya.

Langkah penyehatan perbankan dilakukan dengan merestrukturisasi sistem perbankan melalui dua program utamanya. Pertama program penyehatan perbankan yang berupa restrukturisasi kredit, program rekapitulasi, dan program blanket guarantee. Kedua program penguatan sistem perbankan berupa program pengembangan infrastruktur, peningkatan mutu pengelolaan perbankan, dan pemantapan dan pengawasan bank. Restrukturisasi perbankan yang dijalankan ini berhasil memperbaiki indutri perbankan yang ditunjukan melalui indikator-indikator perbankan termasuk meningkatnya CAR perbankan di atas 8%. Sejalan dengan program restrukturisasi dan untuk memperkuat sistem perbankan BI juga melakukan penguatan stabilisasi keuangan melalui program: peningkatan efektivitas supervisi perbankan, restrukturisasi bank dan perusahaan, peningkatan disiplin pasar, peningkatan sistem hukum, dan pengurangan kepemilikan pemerintah dalam sistem perbankan, serta ditambah

Page 107: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 102

dengan aplikasi kebijakan untuk mengurangi too big atau too importan to fail (Adiningsih, Rahutami, Anwar, Wijaya, dan Wardani, 2008).

Nam dan Lam (2005) menggambarkan bahwa bank sentral di negara Indonesia, Malaysia, Korea Selatan dan Thailand telah memberikan prioritas yang tinggi terhadap perubahan regulasi yang mendorong terjadinya keterbukaan informasi yang relevan terkait dengan pelaksanaan tata kelola yang baik. Perbaikan standar pengawasan perbankan, peningkatan kapital bank, kebijakan yang mengurangi too big to fail, dan meningkatnya keterbukaan yang berdampak pada peningkatan disiplin pasar menunjukan adanya pengekangan risiko yang dilakukan oleh BI. Adanya pengekangan risiko oleh regulator ini menjadikan hubungan antara resiko pengungkitan dan resiko aset menjadi negatif.

Agusman dkk (2005) menyatakan bahwa usaha-usaha yang dilakukan oleh regulator di negara-negara Asia termasuk Indonesia di atas belumlah efektif untuk mengurangi moral hazard . Hal ini disebabkan oleh dua alasan, pertama bahwa moral hazard merupakan kisah panjang dari bank-bank di Asia. Kedua program restrukturisasi dan tata kelola yang baik merupakan program yang datang dari luar negara terutama karena adanya tekanan IMF. Oleh karenanya negara-negara yang mengalami krisis perlu waktu untuk proses pembelajaran dan konsekuensinya kebijakan yang dijalankan tidak dapat secara langsung efektif mencegah moral hazard. Di sisi lain setelah diterapkanya sistem Penjaminan Simpanan eksplisit dengan premi tarip tetap, secara teori akan mendorong terjadinya moral hazard. Moral hazard diindikasikan terjadi jika bank berhasil meningkatkan resiko asetnya dengan pembayaran premi asuransi yang sesuai dengan keinginan bank. Karena sistem premi yang ditetapkan oleh LPS tarip tetap maka tidak ada kaitan antara resiko aset dengan premi Penjaminan Simpanan. Di sini pemindahan risiko terjadi jika ada hubungan positif antara risiko aset dan premi Penjamian Simpanan yang wajar. Tanda positif di sini menunjukan bahwa premi yang wajar dapat merespon adanya peningkatan risiko aset yang tidak ada pada sistem premi tarip tetap. Oleh karenanya hipotesis penelitian yang dapat disusun adalah: H1: Ada perilaku pemindahan risiko yang dilakukan oleh bank-bank

anggota LPS kepada LPS. dengan sub hipotesis:

Page 108: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 103

H1.1: Terdapat hubungan negatif antara risiko aset dan risiko pengungkitan pada bank-bank anggota LPS.

H1.2: Terdapat hubungan positif antara risiko aset dan premi yang wajar yang diestimasi berdasarkan model risiko kredit.

METODE PENELITIAN

Data dan Sampel Penelitian ini akan menggunakan data sekunder yang berasal dari pasar

modal dan laporan keuangan yang telah diaudit. Adapaun data yang dibutuhkan adalah: liabilitas bank baik jangka pendek dan jangka panjang, kapitalisasi pasar, laporan keuangan dengan rasio neraca yang telah diaudit oleh akuntan publik, harga saham penutupan dari perdagangan bulanan, SBI sebagai proksi tingkat bebas risiko, dan beta saham (β), dan terakhir data dana pihak ketiga bank yang dijamin Penjaminan Simpanan (LPS).

Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh bank terbuka yang beroperasi di Indonesia yang sahamnya tercatat dilantai Bursa dengan waktu pencatatan minimal 1 tahun pada saat penelitian dilakukan. Metodologi Penelitian

Langkah awal sebelum melakukan pengujian indikasi perilaku moral hazard adalah membentuk premi Penjaminan Simpanan wajar terlebih dahulu dengan menggunakan model risiko kredit penelitian (model kredit VaR). Model pengukuran risiko kredit dapat dikelompokan menjadi dua kategori utama, pertama default mode (DM). Kedua mark-to-market model (MTM). Dalam konsep Default Mode (DM) risiko kredit identik dengan risiko gagal dan mengadopsi pendekatan binomial. Oleh karenanya dalam model ini hanya ada dua kejadian yang mungkin akan terjadi gagal atau bertahan (survive), dan kerugian timbul hanya ketika terjadi gagal.

Di sisi lain konsep Mark to Market (MTM) risiko kredit diidentifikasi melalui penurunan atau memburuknya rating atau memburuknya kelayakan kredit (creditwhorthiness) dari debitur menjelang terjadinya gagal yang secara teknis disebut sebagai migrasi kredit. Model MTM ini adalah model multinomial dalam hal ini rugi terjadi ketika terjadi migrasi kredit (Basel Committee on Banking Supervision (1999, 2001).

Langkah pertama dari model risiko kredit adalah membentuk distribusi rugi atau fungsi densitas probabilitas dan pembentukan interval keyakinan

Page 109: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 104

dalam kerangka VaR dari LPS. Guna dari distribusi rugi adalah untuk menentukan kapital ekonomik yang tepat. Secara konsep kapital ekonomik adalah cadangan ekuiti atau modal yang ditujukan untuk melindungi LPS terhadap rugi kejutan yang tidak diharapkan yang akan terjadi di masa yang akan datang pada tingkat keyakinan yang telah dipilih (Falkeinstein, 1999; Schroeck, 2002; Burns, 2004).

Secara khusus kapital ekonomik dapat didefinisikan sebagai rugi maksimal dikurangi rugi harapan. Rugi maksimal adalah hasil dari rugi kejutan dikali pengali modal (capital multiplier), sehingga kapital ekonomik terkadang diacu pula sebagai bentuk dari hasil perkalian ini. Pengali modal merupakan jarak antara expected outcome dan interval keyakinan yang dipilih (Schroeck, 2002). Di sisi lain Kuritzkes, Schuermann dan Weiner (2002) menyatakan bahwa kapital ekonomik menunjukkan jarak antara rugi harapan dan titik kritis (critical point). Jarak antara rugi harapan dan titik kritis ini menunjukkan berapa cadangan dana atau modal atau kapital ekonomik yang harus dimiliki untuk menjaga tingkat solvensi yang diinginkan yang biasanya dinyatakan dalam interval keyakinan atau probabilitas “ekor”. Pemilihan interval keyakinan atau penentuan probabilitas “ekor” yang diinginkan dalam kerangka VaR akan dinyatakan dalam tingkat presentil misalkan sebesar 99,97%. Besaran persentil ini menunjukkan bahwa LPS hanya bersedia menerima 3 dari 10.000 probabilitas bank akan menjadi insolven dalam dua belas bulan kemudian. Pernyataan dalam bentuk interval keyakinan ini menunjukkan bahwa tidak mungkin bagi LPS untuk memiliki solvensi sebesar 100%. karena memiliki tingkat solvensi 100% berarti memiliki kapital sebesar risiko yang dihadapi oleh LPS yaitu sebesar dana simpanan yang dijamin yang ada dalam sistem. Distribusi kerugian ini selanjutnya dapat digunakan untuk menentukan harga premi Penjaminan Simpanan wajar.

Langkah awal dari distribusi rugi adalah membentuk model distribusi rugi. Pemodelan distribusi rugi harus diawali dengan mengetahui profil risiko dari LPS. Penganalisaan profil risiko LPS adalah untuk mengetahui bahwa dana Penjaminan Simpanan adalah portofolio risiko mitra (counterparty). Profil risiko mitra ini terdiri dari eksposur bank-bank yang menjadi anggota LPS yang dihitung berdasarkan parameter probabilitas gagal (EDF), eksposur (Exposure (EXP)) dan rugi berian gagal (Loss Given Default (LGD)). Masing-masing bank ini secara pasti (non-zero) mempunyai kemungkinan akan merugikan LPS

Page 110: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 105

walaupun kemungkinannya kecil. Portofolio risiko dari mitra LPS ini akan menjadi portofolio risiko LPS yang terdiri dari jumlah “ekor” (“tail”) risiko gagal bank-bank anggota LPS dalam distribusi rugi.

Dari distribusi rugi atau fungsi densitas probabilitas LPS dapat menghitung rugi harapan (EL) dan rugi kejutan (UL). Rugi harapan (EL) sama dengan mean dari distribusi rugi atau fungsi densitas probabilitas yaitu jumlah kerugian yang diharapkan akan dialami dalam portofolio LPS dalam horison waktu yang telah ditetapkan. Rugi kejutan (UL) merupakan deviasi standar dari distribusi rugi atau fungsi densitas probabilitas. Rugi harapan portofolio (ELp) dan rugi kejutan portofolio (ULp) ini selanjutnya digunakan untuk menghitung level kapital ekonomik yang tepat dan dasar untuk menentukan harga premi Penjaminan Simpanan wajar. Penentuan kapital ekonomik dilakukan dengan mengali rugi kejutan portofolio dengan pengali modal (Capital Multiplier (CM)) dikurangi rugi harapan portofolio (ELp). Oleh karena jumlah kontribusi rugi kejutan individual (Unexpected Loss Contribution Individual (ULCi)) sama dengan rugi kejutan portofolio (ULp) maka kapital ekonomik yang dibutuhkan dapat pula dikaitkan pada level transaksi individual seperti berikut:

Kapital ekonomik portofolio = ULp . CM – ELp

Pada level individual Kapital ekonomik individual = ULCi . CM – ELi

Gambar 1 berikut menunjukkan hubungan antara distribusi rugi kapital ekonomik, dan tingkat keyakinan dalam kerangka VaR. Pemodelan distribusi rugi berikut akan menggambarkan risiko LPS pada level individual mitra dan level portofolio.

Gambar 1

Gambar diadaptasi dan dikembangkan dari Munniksma, K.P.P., (2006); Schroeck., (2002)

VaR

ELp

Confidence

ULp = σloss

losses

Page 111: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 106

Keluaran utama dari model risiko kredit ini adalah distribusi rugi atau fungsi densitas probabilitas. Dari analisis distribusi rugi ini LPS dapat mengestimasi rugi harapan (expected loss) dan rugi kejutan (unexpected loss) dari portofolio kreditnya. Di bawah ini akan dijelaskan bentuk persamaan rugi harapan dan rugi kejutan baik pada level individual ataupun level portofolio. Risiko pada Level Individual Bank Pemodelan distribusi rugi pada level individual mitra merupakan estimasi risiko rugi harapan (EL) dan rugi kejutan (UL) yang dihitung dari masing-masing mitra. Rugi harapan individual (ELi) merupakan hasil kali dari frekuensi gagal harapan (expected default frequency (EDF)), eksposur (exposure (EXP)), dan rugi berian gagal (loss given default (LGD)) yang dapat dilihat dalam persamaan berikut:

LGDEDFEXPELi ∗∗= (5)

Rugi kejutan individual (ULi) merupakan hasil perkalian dari eksposur (EXP), rugi berian gagal (LGD) dan deviasi standar. Rugi kejutan ini sama dengan deviasi standar rugi, dengan mengasumsikan rugi berian gagal sebagai variabel deterministik maka persamaan rugi kejutan individual akan tampak seperti berikut:

)1( EDFEDFLGDEXPULi −∗∗∗= (6)

Oleh karenanya distribusi rugi kumulatif LPS merupakan penjumlahan dari eksposur individual-individual bank. Seperti distribusi rugi kumulatif kredit pada sebuah bank, distribusi rugi kumulatif LPS ini akan merefleksikan rugi harapan bank-bank individual anggota LPS, ukuran eksposur individual bank-bank tersebut, dan korelasi rugi dalam portofolio. Distribusi kerugian LPS diharapkan akan berbentuk miring (skewed) dengan bentuk distribusi yang tidak halus yang merefleksikan kontribusi individual dari bank-bank besar (ULCi bank-bank besar) terhadap probabilitas rugi dana Penjaminan Simpanan juga besar (lihat pernyataan Kuritkez, Schuermann dan Weiner, 2002; Bennett, 2001). Risiko pada Level Portofolio Karena rugi harapan (EL) tidak dipengaruhi oleh korelasi maka rugi harapan portofolio (ELp) adalah jumlah dari N rugi harapan individual bank dengan bentuk persamaan berikut:

Page 112: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 107

∑−

=N

iiiip LGDEDFEXPEL

1.. (7)

Pada level portofolio perhitungan rugi kejutan (ULp) harus mempertimbangkan korelasi rugi antar individual yang berjumlah N bank dalam portofolio. Pada level ini volatilitas eksposur rugi individual dikombinasikan ke dalam volatilitas rugi dari seluruh portofolio dengan menggunakan korelasi gagal dari berbagai eksposur, ρij, dengan bentuk persamaan berikut:

∑∑==

=N

tjiji

N

tp ULULUL

1.

1..ρ (7)

rugi kejutan portofolio (ULp), dapat juga diekspresikan sebagai jumlah rugi kejutan marginal (marginal unexpected loss (ULCi)), yang berhubungan dengan masing-masing eksposur individual dalam portofolio seperti persamaan berikut:

∑=

=N

ip ULCiUL

1 (8)

dalam hal ini

ii

pi UL

ULUL

ULC .∂

∂= (9)

dengan cara ini, rugi kejutan marginal dari eksposur individual adalah hasil derivatif (derivative) parsial dari rugi kejutan portofolio berkenaan dengan rugi kejutan dari eksposur yang sama. Ong (1999) memecahkan derivatif parsial ini dan berhasil mendapatkan formula berikut untuk menghitung rugi kejutan marjinal dari masing-masing eksposur individual:

p

n

j jijii UL

ULULULC

∑ == 1 . ).(. ρ (10)

kontribusi risiko dari portofolio Lembaga Penjamin Simpanan yang ditentukan oleh bank individual sesungguhnya tidak bergantung pada rugi harapan (EL), tetapi lebih bergantung pada rugi kejutan (UL). Khususnya kontribusi rugi kejutan bank individual (ULCi) terhadap risiko portofolio yang merupakan fungsi dari dua variabel: (1) rugi kejutan dari bank individual, yang ditimbulkan dari fungsi probabilitas gagal bank individual dan eksposurnya terhadap dana Penjaminan Simpanan, (2) tingkat korelasi rugi dengan sisa bank yang ada dalam portofolio. ULCi ini bagi risiko portofolio merupakan parameter

Page 113: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 108

mendasar untuk mendefinisikan sistem penentuan harga premi Penjaminan Simpanan wajar. Mengestimasi probabilitas gagal individual bank

Probabilitas gagal (EDF) dalam penelitian ini akan menggunakan gabungan model Farmen dkk (2004), dan KMV (lihat Crosbie dan Bohan (2003); Bohn, Arora, Karablev (2005); Arora, Bohn dan Zhu (2005); Crouhy dkk (2000)) untuk mencari probabilitas gagal riil atau EDF riil yang dibutuhkan dalam model risiko kredit. Model ini merupakan model yang berbasiskan pada model opsi Black dan Scholes dan Merton (BSM model). Probabilitas gagal riil atau EDF riil tidak dapat diobservasi secara langsung, maka untuk mendapatkan EDF riil ini dilakukan dengan mengobservasi probabilitas gagal risk neutral terlebih dahulu. Untuk menghitung EDF riil perlu ditentukan variabel-variabel berikut terlebih dahulu:

1. nilai aset (V) 2. volatilitas nilai aset (σV) 3. drift nilai aset (μV)

untuk mendapatkan nilai-nilai variabel di atas dilakukan melalui dua tahapan langkah. Pertama mencari nilai aset perusahaan dan volatilitasnya, nilai keduanya dapat dihitung dengan menggunakan nilai ekuiti dan volatilitas ekuiti. Kedua mencari drift nilai aset. A. Estimasi nilai aset dan probabilitas aset dengan langkah numerik

(numerical steps) Model Merton (1974) menyatakan bahwa ekuiti perusahaan merupakan opsi atas nilai aset perusahaan. Jika VT < D, maka secara teoritis perusahaan dinyatakan gagal atas kewajiban hutangnya pada waktu T, di sini nilai ekuiti akan menjadi nol. Sebaliknya jika VT > D, perusahaan akan membayar kembali hutangnya pada waktu T, nilai ekuiti setelah pembayaran hutang adalah sebesar VT – D, notasi VT menunjukkan nilai pasar aset dan D adalah nilai buku hutang. Di bawah ukuran probabilitas gagal risk neutral return harapan dari hutang dan ekuitas adalah tingkat bebas risiko (r) Dalam kerangka ini probabilitas gagal dinyatakan sebagai:

[ ]DVP Tdefault ≤= Pr (11)

model mengasumsikan bahwa log-retun normal pada waktu T berdistribusi normal dengan mean 0 dan variansi 1. Jika probabilitas gagal dari persamaan

Page 114: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 109

(11) ditransformasikan sebagai ambang batas normal dengan mean 0 dan variansi 1, maka akan didapatkan persamaan berikut:

⎥⎥⎥⎥

⎢⎢⎢⎢

≥⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛−−⎟

⎠⎞

⎜⎝⎛

== tV

V

Default ZT

trDV

σ2

lnPr

20

(12)

atau

)(2

ln

2

20

dNt

trDV

ZNPV

V

tDefault −≡

⎥⎥⎥⎥

⎢⎢⎢⎢

⎡⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛−+⎟

⎠⎞

⎜⎝⎛

−≤=σ

σ

(13)

Model Merton selanjutnya menyatakan bahwa nilai ekuiti perusahaan pada waktu T akan seperti persamaan berikut:

ET = max (VT – D,0) (14) Persamaan (14) menunjukan bahwa nilai ekuiti perusahaan pada waktu T (ET) identik atau sama dengan opsi beli Eropa atas nilai aset dengan exercise price atau strike price sama dengan pembayaran hutang (D). Jika pada tanggal jatuh tempo nilai aset perusahaan (VT) lebih kecil daripada pembayaran hutang (D), maka secara teoritis perusahaan dinyatakan gagal atas kewajiban hutangnya pada tanggal jatuh tempo T, dalam hal ini nilai ekuiti akan menjadi nol. Sebaliknya jika pada tanggal jatuh tempo nilai aset perusahaan (VT) lebih besar dari pada pembayaran hutang (D), maka perusahaan akan membayar kembali hutangnya pada tanggal jatuh tempo, nilai ekuiti setelah pembayaran hutang adalah sebesar VT – D. Tanda 0 menunjukan bahwa jika opsi beli tidak dieksekusi (exercise) pada tanggal jatuh tempo maka kontrak akan menjadi kadaluarsa dan opsi beli menjadi tidak berharga. Nilai opsi beli pada saat jatuh tempo akan bergantung pada harga saham, dalam hal ini nilai awal (sebelumnya) hingga saat jatuh tempo akan bergantung pada distribusi probabilitas range harga saham pada tanggal jatuh tempo. Persamaan ini dapat dipecahkan dengan menggunakan analogi argumen yang sama dengan Black dan Scholes (1973) yang menyatakan nilai ekuiti sebagai:

Page 115: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 110

)()( 2100 dNDedNVE rT−−= (15)

dimana

T

TrDV

dV

V

σ

σ⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛++⎟

⎠⎞

⎜⎝⎛

=2

ln2

0

1 (15a)

Tdd Vσ−= 12 (15b) Atau

T

TrDV

dV

V

σ

σ⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛−+⎟

⎠⎞

⎜⎝⎛

=2

ln2

0

2 (15c)

nilai pasar hutang saat ini adalah : D = V0 – E0 probabilitas gagal risk neutral atas hutang adalah : N(-d2). Nilai E0 dapat diamati jika bank mempedagangkan sahamnya kepada publik, sehingga volatilitas ekuiti dapat diestimasi melalui Ito’s Lemma berikut:

00 VVEE VE σσ∂∂

= (16)

010 )( VdNE VE σσ = (17)

Untuk memecahkan sistem dua persamaan non linear dari persamaan (15) dan (17) di atas Hull (2002, 2003) menyarankan untuk menggunakan algoritma Newton Rhapson dengan bentuk f(x,y) = 0 dan G(x,y) = 0 guna mendapatkan nilai dari dua variabel yang tidak diketahui yaitu: nilai pasar aset (V) dan volatilitas aset (σV). Dengan menggunakan algoritma program yang tidak terlalu rumit pada beberapa software komputer yang telah ada model dua persamaan non linier ini dapat dipecahkan dengan mudah.

Selanjutnya dalam penelitian ini perioda maturitas (T) diasumsikan sama dengan 1 tahun dengan tujuan agar EDF dapat diestimasi dalam bentuk tahunan dan notasi D menunjukkan titik gagal. Titik gagal dalam penelitian ini didefinisikan sebagai jumlah hutang jangka pendek dan separuh hutang jangka panjang. Hutang jangka pendek adalah hutang-hutang yang jatuh tempo atau

Page 116: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 111

akan dibayarkan kembali dalam waktu satu tahun dan hutang jangka panjang yang jatuh tempo dalam tahun dilakukannya penelitian. Hutang jangka panjang adalah perbedaan antara total hutang jangka panjang dan hutang jangka pendek. Untuk tingkat bebas risiko (r) akan digunakan SBI 30 hari. B. Pencarian drift (drift) aset dan probabilitas gagal riil (atau EDF riil) Setelah nilai aset, V dan nilai volatilitas aset, σV, dapat ditemukan maka langkah selanjutnya adalah mendapatkan probabilitas gagal riil yang akan dilakukan dengan mencari drift nilai aset μV terlebih dahulu. Drift nilai aset ini dapat diestimasi dengan memecahkan dua persamaan (18) dan (19) seperti bentuk berikut:

dEt = μEEtdt + σEEtdZt (18) bentuk persamaan di atas menunjukkan bahwa ekuiti mengikuti proses stokastik persamaan diferensial. Di sini Et mewakili nilai ekuiti dan σE mewakili volatilitas ekuiti. Maka melalui hubungan definisi di atas akan dihasilkan: Vt = Et + Dt dan dVt = dEt + dDt. bahwa nilai dari aset perusahaan harus sama dengan nilai hutang dan ekuiti dan perubahan dalam nilai aset harus sama dengan perubahan dari nilai ekuiti dan hutang.

Melalui Ito’s Lemma, selanjutnya proses ekuiti dapat diwakili dengan persamaan berikut:

ttvtvtvt dZVEVdt

VEV

VEV

tEdE

∂∂

+⎥⎦

⎤⎢⎣

⎡∂∂

+∂∂

+∂∂

= σσμ 2

222

21 (19)

dengan membandingkan bentuk difusi dari proses ekuiti dari persamaan (18) dan (19), didapatkan hubungan dalam persamaan berikut:

( )1dNVVEVE tvtvtE σσσ =∂∂

= (20)

dari bentuk di atas notasi N(d1) merupakan rasio lindung nilai (hedge) dari delta ekuiti (ΔE) (menunjukkan ΔE = N(d1)) dalam terminologi opsi standar. Dalam langkah selanjutnya akan didapatkan gama ekuiti dengan menggunakan persamaan berikut: ekuiti gama:

( )TV

dnV

E

v

E

σ1

2

2

=∂∂

=Γ (21)

Page 117: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 112

dan ekuiti teta:

)(2

)(2

1 dNrDeT

dVntE rTvE −−−=∂∂

=Θσ

(22)

persamaan di atas menunjukkan bahwa:

21

121

21)(

)( d

edVdN −==

∂∂

π

∫∞

−=

x zexN

2

21

21)(π

Q dz menunjukkan fungsi distribusi dari distribusi

standar normal. Ukuran di atas sama dengan ukuran sensitivitas standar dalam greek option dari opsi beli Eropa. Setelah menemukan notasi atau ekspresi dari

,,&, EEE ΘΓΔ maka selanjutnya akan dikomparasikan bentuk drift dari

persamaan (18) dan (19) dan mencari pemecahan drift nilai aset vμ :

2

222

21

VEV

VEV

tEE vvtE ∂

∂+

∂∂

+∂∂

= σμμ (23)

Ev

Ev

EE VVE Γ+Δ+Θ= 2

21σμμ (24)

E

Ev

EE

v V

VE

Δ

Γ−Θ−=⇒

22

21σμ

μ (25)

drift ekuiti (tingkat pertumbuhan harapan ekuiti) atau Eμ dapat diestimasi dari

informasi pasar saham. Untuk mengestimasi Eμ akan digunakan Model Penentuan Harga Aset Kapital (CAPM), terkait dengan CAPM maka akan dicari beta dari model persamaan berikut:

βπμ =− rE (26)

Page 118: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 113

notasi β adalah beta ekuiti yang dicari dengan bentuk persamaan berikut:

;)var(

),cov(

M

E

M

ME

RRR

σσ

ρβ == notasi RE dan RM masing-masing menunjukkan

return ekuiti dan return pasar, sedangkan σE , σM dan ρ masing-masing menunjukkan volatilitas ekuiti, volatilitas portofolio pasar, dan korelasi antara return ekuiti dan return pasar. Return ekuiti dihasilkan dari return bulanan saham dengan menggunakan formula )/ln( 1−ttt RR . Return pasar dihasilkan dari

return Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dengan formula )/ln( 1−MtM RR . Deviasi standar dari return bulanan dirujuk sebagai volatilitas bulanan. Estimasi beta saham akan didapatkan dengan meregresikan return pasar (RM) dengan return saham (RE). Notasi π menunjukkan premi risiko pasar untuk beta risiko atau harga pasar dari risiko, yang ditetapkan melalui bentuk persamaan berikut:

πμ =− rM (27)

notasi Mμ menunjukkan return harapan dari portofolio pasar yang merupakan mean return dari IHSG.

Dengan mendapatkan nilai β dan π, langkah selanjutnya adalah menggunakan SBI 30 hari sebagai tingkat bebas resiko (r) dan dengan

menggunakan persamaan (26) dan (27) akan didapatkan drift ekuiti Eμ . Langkah berikutnya adalah memasukan drift ekuiti Eμ bersama dengan ekuiti teta dan delta dan gama ke dalam persamaan (25) untuk mendapatkan drift nilai

aset vμ . Setelah menemukan V, σv dan vμ , maka akan dapat dihitung probabilitas gagal rii (EDF riil) dengan persamaan berikut:

( )

⎥⎥⎥⎥

⎢⎢⎢⎢

⎡⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛−+

=T

TDV

NdNV

Vv

σ

σμ2

ln)(

2

2

(28)

Eksposur Eksposur dalam penelitian ini adalah total dana pihak ketiga bank yang

dijamin oleh Penjaminan Simpanan (LPS). Nilai total dana pihak ketiga dari

Page 119: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 114

masing-masing individual bank ini merupakan proksi dari dana Penjaminan Simpanan yang akan digunakan untuk menutupi atau mengganti (reimburse) kerugian dalam kasus bank gagal. Rugi Berian Gagal (LGD)

Tingkat pemulihan yang akan digunakan dalam penelitian ini diasumsikan sebesar 30%. Besaran 30% ini merupakan nilai tingkat pemulihan maksimal dalam kejadian kegagalan bank. Nilai 30% ini diambil berdasarkan pengalaman historis Indonesia4. Meng-generate Distribusi Rugi Portofolio

Setelah menyelesaikan perhitungan pada level individual mitra langkah selanjutnya adalah memodelkan ketergantungan dan interaksi dari individual-individual mitra pada level portofolio. Dalam tahap ini akan digunakan simulasi Monte Carlo untuk meng-generate distribusi rugi dan mendapatkan skenario rugi yang berbeda dan level persentil yang diinginkan. Untuk simulasi Monte Carlo ini penelitian akan menggunakan model simulasi yang dilakukan oleh Sironi dan Zazzara (2004). Simulasi dalam model risiko kredit biasanya dilakukan karena perhitungan analitik distribusi rugi sangat sulit dilakukan karena adanya interelasi yang kompleks dari komponen-komponen portofolio (Whershpon, 2002; Ieda, Marumo, Yoshiba, 2000). Langkah-lankah yang dilakukan dalam tahap ini adalah:

1. mencari matriks korelasi aset 2. meng-generate angka random korelasi dengan memfaktorisasi matrik

korelasi return aset dengan Cholesky Decomposition. 3. menentukan ambang batas gagal (default treshold) untuk masing-

masing bank. 4. memberikan nilai 0 atau 1 dari variabel random Bernaulli (Di) dengan

kriteria: angka random korelasi > dari ambang batas gagal = 0 (bank tidak masuk kriteria gagal) ; angka random korelasi < ambang batas gagal = 1 (bank masuk kriteria gagal).

5. mengestimasi jumlah total rugi yang terjadi dalam siklus 6. membuat histogram frekuensi dengan menjumlah keluaran simulasi

4 nilai 30% ini berdasarkan pengalaman historis BPPN, dan nilai ini juga digunakan

oleh LPS untuk menentukan tingkat pemulihan jika terjadi bank gagal.

Page 120: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 115

Penentuan Harga premi Penjaminan Simpanan wajar bagi Bank-bank Individual

Penentuan premi Penjaminan Simpanan wajar dalam penelitian ini akan ditentukan berdasarkan pada bentuk persamaan berikut:

VaRRELFP premiumii ∗+= (29)

Model Empirik Pengujian Hipotesis

Pengujian hipotesis penelitian akan digunakan model empirik seperti berikut:

LEVRISK = α0 + α1ASSRISK + ε (30) FP = β0 + β1ASSRISK + ε (31)

Dari dua model empirik di atas tampak ada tiga variabel yang harus diketahui nilainya, yaitu LEVRISK dan FP yang merupakan variabel dependen dari persamaan (30) dan (31) serta ASSRISK yang merupakan variabel independen bagi kedua persamaan tersebut. Notasi LEVRISK menunjukkan risiko pengungkitan yang diukur dengan rasio nilai simpanan yang dijamin (D) terhadap nilai pasar aset (V)5. ASSRISK merupakan risiko aset yang ditunjukan dengan nilai volatilitas aset (σV). Nilai pasar aset (V) dan nilai volatilitas aset (σV) adalah nilai yang tidak dapat diamati secara langsung. Kedua nilai ini dapat diestimasi dengan menggunakan nilai pasar ekuitas dan volatilitas ekuitas melalui model Merton (1974) seperti pada persamaan (15a) hingga persamaan (15c). Notasi FP adalah harga premi wajar dari Penjaminan Simpanan yang dihasilkan dari model risiko kredit penelitian ini melalui bentuk persamaan (29). 5 Nilai simpanan yang dijamin (D) dalam pengujian hipotesis ini akan menggunakan

dua nilai penjaminan. Hal ini sebagai bentuk simulasi atas nilai batas penjaminan (coverage limit) dari sistem Penjaminan Simpanan di Indonesia. Pertama nilai penjaminan yang digunakan adalah hingga maksimal 100 juta rupiah per rekening. Dan kedua nilai penjaminan akan dinaikan hingga 1 milyar rupiah per rekening. Hal ini dilakukan karena undang-undang no 7 tahun 2009 memungkinkan bagi LPS untuk meningkatkan batas panjaminan simpanan hingga mencapai nilai yang dianggap mampu untuk mencegah terjadinya bank run. Tanggal 13 Oktober 2008 LPS telah menaikan jumlah batas penjaminan simpanan hingga maksimal 2 milyar rupiah per rekening. Digunakanya nilai hingga maksimal 1 milyar rupiah di atas dikarenakan masalah bentuk ketersediaan data.

Page 121: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 116

Setelah nilai dari ketiga variabel dalam model empirik diketahui, maka ketiga nilai ini akan digunakan untuk menguji sub hipotesis H1.1 pada persamaan (30) dan sub hipotesis H1.2 pada persamaan (31). Konsisten dengan hipotesis penelitian, penelitian ini mengharapkan tanda koefisien estimasi α1 dari sub hipotesis H1.1 akan menunjukkan tanda negatif. Besaran tanda negatif dari koefisien estimasi α1 ini diharapkan tidak cukup besar untuk menjadikan tanda koefisien β1 dari sub hipotesis H1.2 untuk menjadi negatif.

Konsisten dengan teori, negatifnya nilai tanda koefisien α1 menunjukkan adanya pengekangan terhadap risiko yang dilakukan oleh regulator. Di sini bank-bank yang mempunyai risiko aset (risko bisnis) yang tinggi akan ditekan oleh rugulator untuk mengurangi risiko pengungkitannya (risiko keuangannya), sehingga variasi hubungan kedua risiko ini akan menunjukkan tanda negatif. Di sisi lain positifnya tanda koefisien estimasi β1

mengindikasikan adanya perilaku pemindahan risiko dari bank-bank yang menjadi anggota LPS kepada LPS. Hal ini menunjukkan bahwa premi Penjaminan Simpanan yang wajar yang ditentukan melalui model penelitian sensitif terhadap perubahan kedua risiko baik risiko aset (risiko bisnis) ataupun risiko pengungkitan (risiko keuangan), terutama terhadap perubahan risiko pengungkitan (risiko keuangan). Secara keseluruhan penelitian ini diharapkan akan memberikan kesimpulan bahwa, premi Penjaminan Simpanan wajar yang ditentukan melalui model penelitian dapat mengindikasikan adanya perilaku moral hazard dari bank-bank anggota LPS kepada LPS setelah diterapkannya sistem Penjaminan Simpanan eksplisit di Indonesia.

Daftar Pustaka

Adiningsih, Sri., Rutami, Ika A., Anwar, Ratih Pratiwi., Wijaya, A Awang Susatya dan Wardani, Ekoningtyias Margu., (2008), "Satu Dekade Pasca - Krisis Indonesia: Badai Pasti Berlalu, Penerbit Kanisius.

Agusman, A., Gasbarro, D., dan Zumwalt, J, K., (2005), "Bank Moral hazard and the Disciplining Factors of Risk Taking: Evidence from Asian Bank during 1998-2003", Working Paper.

Arora, N., Bohn, R, J., Zhu, F., (2005), "Reduce Form VS Structural Models of Credit Risk: A Case Study of Three Models", Journal of Investment Management, Fourth Quarter.

Page 122: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 117

Basel Committee on Banking Supervision (1999), "Credit Risk Modeling: Current Practices and Application.

Basel Committee on Banking Supervision (2001), "The New Basel Capital Accord", Consultative Documentary, January.

Bennet, L., R, 2001, "Evaluating the Adequacy of Deposit Insurance Fund: A Credit-Risk Modeling Approach", Working Paper.

Berger, A. N., Herring, R. J., dan Szego, G.P., 1995, "The Role of Capital in Financial Institution", Journal of Banking and Finance, 19, 393 - 430.

Black, F dan Scholes, M., 1973, "The Pricing Option and Corporate Liabilities", Journal of Political Economy", 637-654.

Blair dan Fissel, 1991, "A Framework for Analyzing Deposit Insurance Pricing", FDIC Banking Review, 25 - 35.

Bohn, J., Arora, N dan Korablev, I., (2005), "Power and Level Validation of The EDFTM Credit Measure in The U.S. Market", Moody's K.M.V.

Burns, R,L, CFA, CPA., 2004, " Supervisory Insight: Economic Capital and the Assessment of Capital Adequacy", supervisory [email protected].

Calomiris, C.W., 1999, "Building an incentive-compatible safety net", Journal of Banking and Finance, 25, 1499-1519.

Cooper, Russell dan Ross, W Thomas., (2002), "Bank Runs: Deposit Insurance and Capital Requirements", International Economic Review, Vol 43, No 1.

Cooperstein, Robert., Pennachi, George dan Redburn, Steve., (1995), "The Aggregate Cost of Deposit Insurance: A Multiperiod Analysis", Journal Of Financial Intermediation, 4, pp. 242 - 271.

Crosbie, Peter dan Bohn, Jeff., (2003), "Modeling Default Risk: Modeling Methodology", Moody"s KMV.

Crouhy, M., Galai, D., dan Mark, R., (2000), "A Comparative Analysis of Current Risk Model ", Journal of Banking and Finance , Vol. 24.

Demirguc-Kunt dan Sobaci, 2000, "Deposit Insurance Around the World: A Data Base", Working Paper.

Diamond, D.W., dan Dybvig, P.H., 1983, "Bank Runs, Deposit Insurance and Liquidity", Journal of Political Economy 91,401 - 419.

Duan, J, C., Moreau, A, F., dan Sealy, C, W., (1992), "Fixed Rate Deposit Insurance and Risk-Shifting Behavior at Commercial Banks", Journal of Banking and Finance, No. 16. 715 - 742.

Duan, Jin Chuan dan Yu, Min-Teh., (1994), "Forberance and Pricing Deposit Insurance in a Multiperiod Framework", The Journal of Risk and Insurance, Vol. 61. No. 4, pp. 575 - 591.

Falkeinstein, E., 1999, "Capital Priorities: Practical Advice on Implementing RAROC", Capital Allocation and Quantitative Analysis, KeyCorp, Cleveland, OHIO.

Page 123: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 118

Fermen, T.E.S., Westgaard, S.F.S., dan Wijst, N.V., 2004, "Kegagalan (default) Greeks under an Objective Probability Measure", Norwy, Working Paper.

Flannery, M., dan Sorescu, S., 1996, "Evidence of Bank Market Dicipline in Subordinated Debenture Yields: 11983-1991", Journal of Finance, 51(4), 2347-1377.

Gueyie, J, P., dan Lai, V, S., (2003), "Bank Moral hazard and The Introduction of Official Deposit Insurance in Canada", International Review of Economics and Finance, No. 12. 247-273.

Hancock, D., dan Kwast, M.L., 2001, "Using Subordinate Debt to Monitor Bank Holding Company:Is it Feasible?", Journal of Financial Service Research 20(2/3), 147-197.

Hovakimian, A., dan Kane, E, J., (2000), "Effectiveness of Capital Regulation at U.S. Commercial Bank, 1985 to 1994", The Journal of Finance", Vol. 55, No.1. 451-468.

Hovakimian, A., dan Kane, E, J., dan Leaven, L., (2003), "How Country Safety-Net Characteristics Affect Bank Risk-Shifting", Journal of Financial Service Research, Volume 23, No.3. 177-204.

Hovakimian, Armen dan Kane, E, J., (2000), "Effectiveness of Capital Regulation at U.S. Commercial Banks, 1985 to 1994", The Journal of Finance", Vol. LV. No.1.

Hovakimian, Armen., Kane, E, J, dan Laeven, L., (2003), "How Country and Safety-Net Characteristics Affect Bank Risk Shifting", Journal of Financial Service Research 23:3 177 - 204.

Hull, J., C, 2002, " Fundamentals of Futures and Options, Future Market", 4th Ed, Prentice Hall College Div: Upper Saddle River, NJ.

Hull, J., C, 2003, " Option, Future, and Other Derivative", 5th Ed, Prentice Hall College Div: Upper Saddle River, NJ.

IEDA, A., MARUMO, K., YOSHIBA, T., 2000, "A Simplified Method for Calculating the Credit Risk of Lending Portfolio", Discussion Paper No. 2000-E-10, Institute for Monetary and Economic Studies Bank of Japan. C.P.O Box 203 Tokyo 100-8630 Japan.

Kane, Edward J., (1985), "The Gathering Crisis in Federal Deposit Insurance". Cambridge Mess. MIT Press.

Kunt, Demirgüç Asli dan Kane, E, J., (2002), " Deposit Insurance Around the Globe: Where Does It Work?”, Journal of Economic Perspectives - Volume 16, Number 2 - Spring - pp 175 - 195.

Kunt, Demirgüç Asli dan Detrigiache, Enrica., (2000), "Does Deposit Insurance Increase Banking System Stability?, IMF Working Paper.

Page 124: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 119

Kuritzkes, A., Schuermann, T., dan Weiner, S., 2002, "Deposit Insurance and Risk Management of the US Banking System: How much? What price? Who pays", Working Paper.

Laeven, Luc., (2001), "International Evidence on Value of Deposit Insurance", World Bank Working Paper.

Marcus, J, A., dan Shaked, I., (1984), "The Valuation of FDIC Deposit Insurance Using Option-Pricing Estimates", Journal of Money, Credit and Banking, Vol 16, No.4. p 446 - 460.

Mc Coy, A. Patricia., (2006), "The Moral hazard Implications of Deposit Insurance: Theory and Evidence", Seminar on Current Developments in Monetarry and Financial Law Washington, D.C., Working Paper.

Merton, R, C., (1974) "On the Pricing of Corporate Debt: The Risk Structure of Interest Rates", Journal of Finance, Vol 29 (2), pp. 449 - 470.

Merton, R, C., (1977) "An analytic Derivation of The Cost of Deposit Insurance and Loan Guarantees", Journal of Banking and Finance, 3 - 11.

Merton, Robert., 1978, "On The Cost of Deposit Insurance When There are Surveillance Cost", Journal of Business, 51, pp. 439 - 452.

Mishra, Chandrasekhar, dan Urrutia L. Jorge., (1995), "Deposit Insurance Subsidies, Moral hazard, and Bank Regulation", Journal of Economics and Finance. Volume 19, Number 1, pp. 63 - 74.

Munniksma, K.P.P., (2006), "Credit Risk Measurement Under Bassel II", BMI Working Paper.

Nam, S, W, dan Lum C, S., (2005), “Survey of Banks’ Corporate Governance in Indonesia, Republic of Korea, Malaysia, and Thailand”, the Asian Development Bank Institute (ADBI), http:// www.adbi.org/files/2005.07.05. survey.corporate governance.bank.asia.pdf.

Ong, M., 1999, "Internal Credit Risk Models: Capital Allocation and Performance Measurement", Risk Books.

Pangestu, Mari., (2003), "The Indonesian Bank Crisis and Restructuring: Lessons and Implications for Other Developing Countries", G-24 Discussion Paper Series, Research Papers for Intergovernmental Group of Twenty-Four on International Monetary Affairs, United Nation Working Paper.

Pennachi (1987a), "A Reexamination of Over-(or Under-) Pricing of Deposit Insurance", Journal of Money, Credit and Banking, No. 19, 340-360.

Pennacchi, George., (1987b), "Alternative forms of Deposit Insurance: Pricing and Bank Incentive Issues, Journal of Banking and Finance, 11, pp. 291 - 312.

Pyle, David., (1983), “Pricing Deposit Insurance: The Effects of Mismeasurement. “University of California Berkeley, Working Paper.

Page 125: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 120

Ronn, Ehud dan Verma, Avinash., (1986), "Pricing Risk-Adjusted Deposit Insurance: An Option-Based Model", Journal of Finance, 41, pp. 871 - 895.

Santomero, A. M., 1997, "Deposit Insurance: Do We Need It and Why?", Working Paper.

Santos, J.A.C., 2000, "Bank Capital Regulation in Contemporary Banking Theory: A Review of the Literature", Financial Market, Institution & Instrument 10(2), 41-84.

Saunders, A., dan Cornet, M.M., 2003, " Financial Institution Management", McGraw Hill.

Saunders, Anthony, dan Wilson, Berry., (1995), "If History Could be Rerun: The Provision and Pricing of Deposit Insurance in 1933", Journal of Financial Intermediation, 4, pp. 396 - 413.

Schroeck, G (2002), "Risk Management and Value Creation in Financial Institution", Hoboken, New Jersey: John Willy & Son.

Sironi, A., dan Zazzara, C., 2004, "Applying Credit Risk Model to Deposit Insurance Pricing: Empirical Evidence from the Italian Banking System", Journal of International Banking Regulation, Vol6, no1, pp. 10 - 32.

Swidler, S., dan Wilcox, J.A., 2002, "Information About Bank Risk in Option Prices", Journal of Banking and Finance 26, 1033 -1057.

Wershpohn, U,V., (2002), "Credit Risk Evaluation: Modeling-Analysis-Management”, Inaugural Disertation", Universitat Heidelberg.

White, Eugene., (1995), "Deposit Insurance", The World Bank Policy Research Departement Finance and Private Sector Development Division and Financial Sector Development Departement, Policy Research Working Paper.

Lovett, A, W. (1989), "Moral hazard, Bank Supervision and Risk Based Capital Requirement", Ohio ST.L.J. 1365.

Page 126: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 121

Event-Time Approach dan Calendar-Time Approach dalam Mengukur Kinerja Jangka Panjang IPO

Suherman∗

Abstract

Recently, long-run performance has been analysed using a methodological approach. Among them, Brav and Gompers (1997), Barber and Lyon (1997), Brav, Geczy and Gompers (2000), Gompers and Lerner (2003), Ahmad-Zaluki, Campbell, and Goodacre (2007), and Jegadeesh and Karceski (2009) have argued that the choice of a performance measurement methodology directly determines both the size and power of statistical tests. In that context, Lyon, Barber and Tsai (1999) point out that no winner has emerged as the optimal methodology in terms of statistical properties, and that the analysis of long-run abnormal returns is “treacherous”. Fama (1998) critically reviews the anomalies literature and concludes that “apparent anomalies can be due to methodology and most long-term return anomalies tend to disappear with reasonable changes in technique” (p.283). Previous studies found that long-run share price performance of Indonesian initial public offerings (IPOs) underperformed (among them; Manurung and Soepriyono, 2006; Suroso, 2005; Martani, 2004; Pujiharjanto, 2003). Those studies only use event-time approach to measure long-run performance, returns are equally-weighted, conventional t-statistics, and market benchmark. This research (work-in-progress), to my knowledge, is the first paper to use various methods and statistical tests when measuring long run performance of IPOs in Indonesia. I use both event-time (CARs and BHARs) and calendar-time (Fama-French Three Factors) approaches to measure long run performance of Indonesian IPOs, returns are equally- and value-weighted, matching-company benchmark and market benchmark. Moreover, in this study I use three different procedures to calculate the statistical significance of the mean buy-and-hold abnormal returns to check the robustness of the results; (i)the conventional t-statistic, (ii)the bootstrapped skewness-adjusted t-statistic as suggested by Lyon, Barber and Tsai (1999), and (iii)the heteroskedasticity and serial correlation consistent t-statistics as proposed by Jegadeesh and Karceski (2009). Sample of this study made IPO between 1999 and 2005. The number of IPO firms through that period is 101. Data are obtained from Jakarta Stock Exchange (JSX) statistics, Indonesian Capital Market Directory (ICMD), and prospectus. Monthly returns are calculated based on date of IPOs, instead of at the end of each month.

∗ Alumni Program Doktor FE Universitas Padjadjaran dan staf pengajar di FE Universitas Negeri Jakarta

Page 127: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 122

1. Pengantar

Banyak peneliti memperdebatkan kinerja IPO (Initial Public Offering – Penawaran Umum Perdana), terutama dalam jangka panjang. Semua studi jangka panjang di Indonesia mengungkapkan terjadinya underperformance setelah IPO (diantaranya adalah Manurung dan Soepriyono, 2006; Suroso, 2005; Martani 2004; Pujiharjanto, 2003). Mereka mendukung argumentansi yang dikemukakan oleh Ritter (1991) bahwa kinerja jangka panjang IPO yang underperformed disebabkan oleh para investor yang sangat optimis dan ini menyebabkan harga saham naik. Dalam jangka panjang harga saham tersebut akan mengkoreksi kesalahannya sehingga return menjadi lebih rendah.

Dari sudut pandang lain, Barber dan Lyon (1997), Kothari dan Warner (1997), Lyon, Barber, dan Tsai (1999), Brav, Geczy, dan Gompers (2000), Loughran dan Ritter (2000), Eckbo, Masulis dan Norli (2000), Mitchell dan Stafford (2000), Gompers dan Lerner (2003), Ahmad-Zaluki, Campbell, dan Goodacre (2007) mengungkapkan bahwa return jangka panjang IPO tergantung pada metode pengukuran yang digunakan. Besar kecilnya abnormal return dan keandalan kesimpulan statistik adalah berbeda antara satu metode dengan metode lainnya.

Kontroversi mengenai underperform atau outperform setelah penawaran perdana saham belum berakhir dan untuk itu masih diperlukan riset lanjutan, khususnya di Indonesia. Seperti yang dikemukakan oleh Brav dan Gompers (1997), Fama (1998), Eckbo, Masulis dan Norli (2000), Jenkinson dan Ljungqvist (2001), Gompers dan Lerner (2003), dan Ahmad-Zaluki, Campbell, dan Goodacre (2007) bahwa penurunan return bukanlah efek yang pasti terjadi setelah penawaran perdana saham dan kebanyakan anomali return jangka panjang cenderung akan hilang ketika teknik penelitian yang digunakan berbeda-beda.

Penelitian kinerja jangka panjang pasca IPO di Bursa Efek Indonesia (BEI) menjadi sangat menarik karena selama ini studi kinerja jangka panjang IPO di Indonesia hanya menggunakan event-time approach (yaitu CARs dan BHARs), equally-weighted returns, market benchmark, dan t-statistik konvensional. Padahal, penelitian-penelitian kinerja jangka panjang IPO (dan lainnya seperti kinerja jangka panjang seasoned equity offerings dan cross-listing firms) (khususnya yang terbit di jurnal-jurnal keuangan top dunia, diantaranya adalah

Page 128: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 123

Journal of Finance, Journal of Financial Economics, Review of Financial Studies, dan Journal of Financial and Quantitative Analysis), sedikitnya menggunakan 1)event-time approach dan calendar-time approach, 2)equally- dan value-weighted returns, 3)market benchmarks dan matching-company benchmark, 4)t-statistik konvensional dan bootstrapped-skewness-adjusted t-statistics ketika menguji signifikansi BHAR, dan 5)t-statistik yang digunakan oleh Ritter (1991) ketika menguji signifikansi CAR.

Berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya di Indonesia, pada penelitian ini saya akan menggunakan; 1)event-time approach (CARs dan BHARs) dan calendar-time approach (FFTFM), 2)equally-weighted & value-weighted returns, 3)t-statistik yang digunakan Ritter (1991) di mana t-statistik ini secara otomatis meng-adjust standar error autokorelasi, dan 4)bootstrapped-skewness-adjusted t-statistics di mana t-statistik ini meng-adjust skewness. 2. Kajian Literatur

Menggunakan sampel sebanyak 1526 perusahaan Amerika Serikat yang melakukan penawaran umum perdana antara tahun 1975 dan 1984, Ritter (1991) menemukan bahwa return rata-rata selama tiga tahun setelah IPO secara signifikan lebih rendah dibanding return rata-rata pasar. Dengan menggunakan metode pengukuran CAR, ditemukan bahwa kinerja satu, dua dan tiga tahun berturut-turut setelah IPO underperformed sebesar 10,23%, 16,89%, dan 29,13%.

Loughran (1993) mengungkapkan terjadinya underperformance selama enam tahun setelah IPO yaitu sebesar 17,29% dibandingkan return pasar yang sebesar 76,23%. Penelitiannya menggunakan sampel 3556 yang tercatat di NASDAQ dalam periode 1967-1987. Servaes dan Rajan (1997) meneliti IPO dari tahun 1975-1987. Mereka menemukan kinerja perusahaan setelah IPO selama 5 tahun hanya 24%, sedangkan return pasar (NYSE index) mencapai 71%.

Loughran dan Ritter (1995) memperluas temuan Ritter (1991). Loughran dan Ritter (1995) meneliti IPO tahun 1970-1990 dengan sampel 4753 perusahaan dan menemukan terjadinya underperformance. Mereka mengatakan bahwa setelah IPO return rata-rata sebesar 5% pertahun selama 5 tahun, sedangkan return pasar 12% setiap tahun selama lima tahun. Levis (1993) meneliti 712 perusahaan yang melakukan IPO di United Kingdom selama 1980-

Page 129: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 124

1988. Ia menemukan underperformance sebesar antara 8,3%-23%, tergantung patok duga yang dipilih.

Uhlir (1989) mengungkapkan adanya underperformance sebesar 7,4% setelah setahun perusahaan melakukan IPO tahun 1977-1987 di Jerman. Finn dan Higham (1988) meneliti IPO di Australia sebanyak 93 perusahaan dari tahun 1966-1978. Mereka mengatakan underperformance terjadi setelah satu tahun IPO tetapi tidak signifikan. Underperformance nya sebesar 6,52% dibawah return pasar.

Kunz dan Aggarwal (1994) menyatakan bahwa 42 perusahaan yang melakukan IPO tahun 1983-1989 di Swiss mengalami underperformance sebesar 6,1%. Keloharju (1993) mengatakan setelah tiga tahun IPO di Finlandia, perusahaan-perusahaan tersebut mengalami underperformance rata-rata sebesar 22,4% dibandingkan return pasar yang mengalami kerugian sebesar 1,6%.

Underperformance tidak hanya terjadi di pasar-pasar modal yang maju tetapi juga terjadi di pasar-pasar modal berkembang. Aggarwal, Leal, dan Hernandez (1993) menemukan bahwa kinerja perusahaan IPO di Brazil mengalami underperformance sebesar 47% setelah tiga tahun. Sedangkan di Chile, underperformance setelah tiga tahun rata-rata sebesar 23,7%, dan di Mexico underperformance rata-rata sebesar 19,6% setahun setelah IPO. Dawson (1987) meneliti kinerja IPO di Hong Kong dan Singapura. Ia menemukan underperformance yang tidak signifikan di Hong Kong sebesar 9,3%, dan di Singapura 2,7% setelah satu tahun IPO. Sampel penelitiannya adalah sampel yang melakukan IPO antara tahun 1978-1984.

Manurung dan Soepriyono (2006) meneliti kinerja jangka panjang IPO di Indonesia dengan periode 2000-2002 dengan sampel 71 perusahaan. Dengan menggunakan perhitungan EWBHAR, mereka mengungkapkan bahwa performa emiten non privatisasi setelah satu, dua, dan tiga tahun IPO mengalami underperformance sebesar 8,27%, 26,60%, dan 47,42%. Return pasar yang digunakan sebagai benchmark ialah return IHSG.

Suroso (2005) mengungkapkan bahwa kinerja perusahaan satu tahun pasca IPO yang diukur dengan EWBHAR adalah underperformed sebesar 18,95% untuk seluruh perusahaan yang melakukan IPO tahun 1992-2002 yang berjumlah 216. Untuk sampel manufaktur, perusahaan yang melakukan IPO tahun 1992-1996 mengalami underperformance sebesar 13,81% setelah satu tahun, tahun 1997-1999 underperformed 14,95%, dan tahun 2000-2002

Page 130: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 125

underperformed sebesar 24,28%. Jadi, rata-rata underperformance ketiga periode tersebut adalah 17,68%. Return pasar yang digunakan sebagai benchmark ialah return IHSG.

Martani (2004) mengukur kinerja jangka panjang dengan periode pengamatan 250 hari, 500 hari, 750 hari, 1000 hari, dan 1250 hari pasca IPO. Hasilnya menunjukkan bahwa umumnya kinerja jangka panjang mengalami underperformance. Dengan metode EWBHAR, kinerja jangka panjang pada periode pengamatan di atas adalah -0,07%; -9,15%; -17,58%; -32,77%; dan -35,37%. Sedangkan dengan pengukuran EWCAR adalah 1,9%; -1,66%; -11,05%; -22,86%; dan -19,93%. Return pasar yang digunakan sebagai benchmark ialah return IHSG. Sampel penelitian ini adalah 297 perusahaan yang melakukan IPO tahun 1989 – 2000.

Hartanto dan Ediningsih (2004) menemukan bahwa setelah satu tahun melakukan IPO, kinerja perusahaan underperformed sebesar 7,83% untuk periode 1992-2001. Selama periode sebelum krisis moneter, 1992-Juni 1996, kinerja perusahaan underperformed sebesar 10,00%. Sedangkan periode Juli 1997-2001 kinerja perusahaan juga underperformed sebesar 5,79%. Returns dihitung secara equally-weighted. Return pasar yang digunakan sebagai benchmark ialah return IHSG.

Pujiharjanto (2003), yang juga menggunakan metode perhitungan EWCAR, mengatakan bahwa kinerja perusahaan setelah dua belas bulan IPO mengalami underperformance sebesar 9,78% di BEJ. Return pasar yang digunakan sebagai benchmark ialah return IHSG. Periode penelitiannya tahun 1992-1998. Sampel sebanyak 124 perusahaan manufaktur.

Berlainan dengan hasil penelitian di atas, penelitian-penelitian terkini di banyak negara menunjukkan bahwa kinerja jangka panjang IPO tergantung pada metode pengukuran yang digunakan (diantaranya adalah Ahmad-Zaluki, Campbell, dan Goodacre (2007), Ang, Gu dan Hochberg (2005), Gompers dan Lerner (2003), Espenlaub, Gregory, dan Tonks (2000), Brav (1999)). Mereka mengemukakan bahwa kinerja jangka panjang IPO tergantung pada metode dan alat statistik yang digunakan dalam mengukur kinerja IPOs.

Ahmad-Zaluki, Campbell, dan Goodacre (2007) menginvestigasi kinerja harga saham jangka panjang pada 454 perusahaan IPO Malaysia yang tercatat di KLSE selama periode tahun 1990-2000. Hasilnya adalah IPO Malaysia secara signifikan outperform dibanding return pasar ketika kinerja diukur dengan

Page 131: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 126

menggunakan EWCAR dan EWBHAR. Namun demikian, overperformance yang signifikan tersebut hilang ketika returns dihitung berdasarkan pada VWCAR, VWBHAR dan diregresikan kedalam model Fama-French (1993). Jelic, Saadouni, dan Briston (2001), dan Corhay, Teo, dan Tourani-Rad (2002) juga menyatakan outperformance terjadi di pasar modal Malaysia sebesar 24,83%, dan 41,71%.

Ang, Gu dan Hochberg (2005) meneliti kinerja selama lima tahun setelah IPO dengan jumlah sampel 4843 perusahaan yang melakukan penawaran perdana pada periode 1970 sampai 1996 di NYSE, AMEX, dan NASDAQ. Mereka mengatakan bahwa underperformance dan outperformance terjadi tergantung pada metode pengukuran dan benchmark yang digunakan. Perhitungan return pasca IPO menggunakan event-time dan calendar time approach. Benchmarks yang digunakan adalah value-weighted NYSE dan AMEX index, value-weighted NASDAQ index, dan smallest decile NYSE.

Gompers dan Lerner (2003) meneliti 3661 perusahaan IPO dari 1935 sampai 1972 untuk periode pengamatan lima tahun setelah IPO. Temuan-temuan mereka memberitahukan bahwa kinerja IPO tergantung pada metode yang dipakai untuk mengukur returns. Hasil-nya menunjukkan underperformance terjadi ketika return diukur dengan VWBHAR. Tetapi, underperformance hilang ketika EWBHAR. Return IPO menjadi sama dengan pasar ketika menggunakan calendar-time analysis (FFTFM).

Espenlaub, Gregory, dan Tonks (2000) memberikan bukti kinerja jangka panjang sehubungan dengan metode yang dipakai. Menggunakan data 588 perusahaan IPO di Inggris selama periode 1985 sampai 1992, mereka membandingkan return abnormal berdasarkan pada lima patok duga (benchmarks) yang memakai event-time approach dan calender-time approach. Selama lima tahun setelah IPO, underperformance tergantung pada patok duga yang dipakai yaitu ketika return diukur dengan pendekatan event-time tingkat underperformance tinggi, dan ketika return diukur dengan calender-time approach tingkat underperformance rendah.

Brav dan Gompers (1997) mengatakan bahwa underperformance atau outperformance sangat mungkin tergantung pada metode yang digunakan dalam menghitung abnormal return. Oleh karena itu, penting, untuk lebih jauh melakukan uji robustness terhadap hasil-hasil penelitian di Amerika Serikat dan negara-negara lainnya.

Page 132: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 127

Brav (1999) berpendapat bahwa uji underperformance berdasarkan buy-and-hold returns adalah bias. Dengan memakai model penetapan harga tiga faktor yang ditemukan oleh Fama dan French (1993), mereka tidak menemukan bukti underperformance yang signifikan dan menyimpulkan bahwa temuan-temuan underperformance jangka panjang tergantung pada metodologi yang digunakan. 3. Sampel dan Data

Populasi penelitian ini adalah perusahaan yang tercatat di Bursa Efek Indonesia. Sampel diambil berdasarkan purposive sampling yang mempunyai kriteria bahwa perusahaan melakukan IPO saham biasa, dan periode IPO adalah tahun 1989 – 2008. Jumlah perusahaan yang melakukan IPO selama periode tersebut adalah 367 perusahaan.

Data yang dipergunakan untuk keperluan penelitian ini adalah data sekunder. Kinerja jangka panjang membutuhkan data return bulanan berdasarkan tanggal IPO perusahaan, bukan setiap akhir bulan. Misal; PT. Mitra Adiperkasa (MAPI) go public tanggal 10 November 2004. Maka menghitung return bulanan nya diambil harga saham tanggal 10 November 2004, 10 Desember 2004, dan seterusnya.

Karena pengukuran kinerja jangka panjang di atas disesuaikan dengan return pasar, maka dibutuhkan harga pasar. Harga pasar pada penelitian ini menggunakan proksi nilai IHSG dan LQ45. Tanggal data IHSG disesuaikan dengan tanggal data harga saham perusahaan. Misal; jika PT. Mitra Adiperkasa (MAPI) memerlukan data harga saham tanggal 10 November 2004, 10 Desember 2004, dan seterusnya, maka data IHSG yang dipakai adalah 10 November 2004, 10 Desember 2004, dan seterusnya.

Data SBI (suku bunga Sertifikat Bank Indonesia) dibutuhkan ketika pengukuran kinerja menggunakan calendar-time approach. Tanggal data SBI disesuaikan dengan tanggal data harga saham perusahaan IPO. Misal; jika PT. Mitra Adiperkasa (MAPI) memerlukan data harga saham tanggal 10 November 2004, 10 Desember 2004, dan seterusnya, maka data SBI yang dipakai adalah 10 November 2004, 10 Desember 2004, dan seterusnya. SBI yang digunakan adalah SBI 30 hari. Suku bunga SBI dibagi 12 bulan untuk mendapatkan suku bunga bebas risiko bulanan.

Page 133: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 128

4. Metode Analisis Kinerja jangka panjang perusahaan pasca IPO dihitung berdasarkan

event-time approach dan calendar-time approach. Yang termasuk event-time adalah cumulative abnormal returns dan buy-and-hold abnormal returns. Sedangkan yang termasuk calendar-time adalah Fama-French Three Factor Pricing Model. a. Cumulative Abnormal Returns (CARs)

CARs merupakan salah satu metode untuk menghitung kinerja jangka panjang sekuritas. Pertama, hitung return bulanan pasca IPO selama tiga tahun periode pengamatan. Return bulanan sekuritas i periode t dihitung sebagai berikut:

1,1,,, /)( −−−= titititi PPPr (1)

dimana Pi,t adalah harga sekuritas i periode bulan t, dan Pi,t-1 ialah harga sekuritas i periode bulan t-1. Kemudian return bulanan sekuritas i yang disesuaikan return pasar dikalkulasi sebagai berikut:

tmtiti rrar ,,, −= (2)

dimana ri,t adalah return perusahaan i pada periode bulan t, dan rm,t adalah return pasar pada periode bulan t. Return pasar menggunakan proksi IHSG dan LQ45. Lalu return abnormal rata-rata portofolio periode t adalah:

tAR = n1 ∑

=

n

itiar

1, (3)

Selanjutnya, CAR (yang telah disesuaikan) adalah total return rata-rata (yang telah disesuaikan) setiap bulan selama tiga tahun adalah :

tCAR = ∑=

t

ssAR

1

(4)

Page 134: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 129

Perhitungan CAR diatas mengasumsikan bahwa investor mengalokasikan dananya sama besar untuk setiap sekuritas dalam portofolio (equally-weighted). Nyatanya, banyak investor berinvestasi tidak sama besar pada setiap asset di suatu portofolio. Karena itu, selain menggunakan EWCAR diatas, juga digunakan VWCAR. Berikut ini perhitungan value-weighted abnormal return (VWAR):

tVWAR = ∑

=−

=−

n

iti

n

ititi

MKTCAP

arxMKTCAP

11,

1,1,

(5)

VWAR dihitung dengan membobotkan setiap return yang telah disesuaikan dengan kapitalisasi pasar perusahaan (MKTCAPi) pada periode sebelumnya. Selanjutnya, VWCAR adalah:

∑=

=t

sst VWARVWCAR

1 (6)

Ketika menggunakan CAR, t hitung dicari dengan memakai rumus yang digunakan oleh Ritter (1991), yaitu sebagai berikut:

tttt csdnCARCARhitt /*)( ,1,1 =− (7)

dimana nt ialah jumlah perusahaan di bulan t, dan csdt dicari dengan rumus berikut:

csdt = [t * var + 2 * (t-1) * cov]0,5 (8)

dimana t adalah bulan ke t, var ialah rata-rata varian selama periode pengamatan, dan cov yaitu auto-kovarians order pertama dari ARt (the first-order autocovariance of the ARt series). b. Buy-and-Hold Abnormal Returns (BHARs)

Penelitian ini juga menggunakan metode BHARs untuk mengukur kinerja jangka panjang. BHAR dipakai untuk mengurangi bias statistik dalam mengukur kinerja kumulatif jangka panjang pada metode CARs (Conrad dan Kaul, 1993).

Market adjusted buy-and-hold return perusahaan i pada bulan t dihitung sebagai berikut:

Page 135: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 130

tiBHAR , = ∏∏==

+−+T

ttm

T

tti rr

1,

1, )1()1( (9)

dimana ri,t adalah return mentah bulanan perusahaan i pada bulan t; rm,t merupakan return pasar pada bulan t; dan T adalah bulan ke 12, 24, dan 36. Metode ini mengukur total return dari strategi buy-and-hold dimana saham dibeli pada harga penutupan di hari listing dan ditahan sampai pada tahun 1, 2, dan 3.

Setelah mendapatkan BHARi,t kemudian menghitung mean buy-and-hold abnormal return untuk period t sebagai berikut:

tBHAR = ti

n

ii BHAR ,

1∑=

ω (10)

Ketika return dihitung secara tertimbang rata-rata (equally-weighted), ωi = 1/n, dan bila dihitung berdasarkan value-weighted, ωi = MVi / ∑iMVi, dimana MVi adalah nilai kapitalisasi pasar saham perusahaan yang IPO pada hari pertama perdagangan.

Ketika BHAR dipakai untuk mengukur kinerja, maka t hitung yang digunakan adalah t hitung konvensional dan t hitung yang disesuaikan dengan skewness (bootstrapped skewness-adjusted t-statistic) (Lyon, Barber, dan Tsai, 1999) yaitu sebagai berikut:

⎟⎠⎞

⎜⎝⎛ ++=−

∧∧

γγn

SSnhitt61

31 2 ( 11)

dimana; )( t

t

BHARBHAR

= , (12)

31

3,

)(

)(

t

n

itti

BHARn

BHARBHAR

σγ

∑=

∧−

= (13)

dimana ŷ adalah estimasi koefisien skewness, n0.5S merupakan t hitung konvensional. c. Fama-French Three Factor Model (FFTFM)

Mitchell dan Stafford (2000) mengatakan bahwa penggunaan metode CAR dan BHAR menghasilkan signifikansi yang berlebihan pada abnormal

Page 136: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 131

return yang disebabkan adanya ketergantungan observasi. Fama (1998) menyarankan untuk membentuk portofolio bulanan berdasarkan waktu kalender (calendar-time approach) untuk menghitung kinerja jangka panjang. FFTFM digunakan untuk mengontrol kluster peristiwa (event clustering) dan korelasi antar returns IPO. FFTFM telah banyak digunakan untuk mengukur kinerja IPO jangka panjang antara lain oleh Brav dan Gompers (1997), Espenlaub, Gregory, dan Tonks (2000), Brav, Geczy, dan Gompers (2000), Gompers dan Lerner (2003), Ang, Gu dan Hochberg (2005), dan Ahmad-Zaluki, Campbell, dan Goodacre (2007).

FFTFM adalah sebagai berikut: Rp,t – Rrf,t = ap + βp (Rm,t – Rrf,t) + sp SMBt + hp HMLt + ep,t (14)

Variabel dependen adalah excess return portofolio (return portofolio periode t dikurangi return bebas risiko/Sertifikat Bank Indonesia periode t). Variabel independennya adalah excess market return, SMB (size), dan HML (book-to-market ratio). SBI yang digunakan adalah SBI 30 hari. Return pasar yang digunakan ialah return IHSG. SMB (Small Minus Big) adalah return portofolio perusahaan kecil (small firms) dikurangi return portofolio perusahaan besar (big firms). HML (High Minus Low) ialah return portofolio perusahaan dengan rasio book-to-market tinggi dikurangi return portofolio perusahaan dengan rasio book-to-market rendah. Perusahaan diurutkan berdasarkan ukuran (size) dan rasio book-to-market. Kemudian berdasarkan ukuran, perusahaan dibagi menjadi dua kelompok. Perusahaan yang ukurannya lebih besar daripada rata-rata ukuran seluruh perusahaan dikategorikan perusahaan besar (B), sedangkan yang ukurannya lebih kecil dari rata-rata ukuran seluruh perusahaan dikategorikan perusahaan kecil (S). Perusahaan dengan rasio book-to-market diatas titik potong 70 persen (the 70 percent book-to-market breakpoint) diberi label H (high atau tinggi), 40 persen ditengah diberi label M (Medium), dan perusahaan dibawah titik potong 30 persen diberi label L (low atau rendah). Kemudian dibentuk enam portofolio yaitu berdasarkan S/L, S/M, S/H, B/L, B/M, dan B/H. SMB=[(S/L-B/L)+(S/M-B/M)+(S/H-B/H)]/3, dan HML=[(S/H-S/L)+(B/H-B/L)]/2. Alpha (αp) mengindikasikan abnormal return. Jika uji t menunjukkan ap signifikan (tidak signifikan), berarti overperformance atau underperformance signifikan (tidak signifikan).

Page 137: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 132

Daftar Pustaka

Aggarwal, R., R. Leal, dan F. Hernandez. 1993. The Aftermarket Performance of Initial Public Offerings in Latin America. Financial Management, 22, pp.42-53.

Ahmad-Zaluki, N., Campbell, K., dan Goodacre, A. 2007. The Long Run Share Price Performance of Malaysian Initial Public Offerings (IPOs). Journal of Business Finance & Accounting, vol. 34., Iss.1-2, pp. 78-110.

Ang, A., Gu, Li, dan Hochberg Y. 2005. Is IPO Underperformance a Peso Problem?. Working Paper, National Bureau of Economic Research (NBER)

Barber, B.M., and J.D. Lyon. 1997. Detecting Long-Run Abnormal Stock Returns: The Empirical Power and Specification of Test Statistics. Journal of Financial Economics, vol. 43, no. 3, pp. 341–372.

Brav, A., dan Gompers, P.A. 1997. Myth or Reality? The Long-Run Underperformance of Initial Public Offerings: Evidence from Venture and Non-Venture Capital-Backed Companies. Journal of Finance, vol.56, pp.1791-1821.

Brav, A. 1999. Inference in Long-Horizon Event Studies: A Parametric Bootstrap Approach with Application to Initial Public Offerings. Journal of Finance, 54.

Brav, A., Geczy, C., dan Gompers, P.A. 2000. Is the Abnormal Return Following Equity Issuances Anomalous?. Journal of Financial Economics, vol.56, pp.209-249.

Conrad, J., and Kaul, G. 1993. Long-Term Market Overreaction or Biases in Computed Returns?. Journal of Finance, 48, pp.39-63.

Corhay, A., Teo, S. and Tourani-Rad. 2002. The Long Run Performance of Malaysian Initial Public Offerings (IPO): Value and Growth Effects. Managerial Finance, vol.28, pp.52-65.

Dawson, S.M. 1987. Secondary Stock Market Performance of Initial Public Offers, Hong Kong, Singapore, and Malaysia: 1978-1984. Journal of Business Finance and Accounting, vol.40, pp.65-162.

Eckbo, B.E., Masulis, R.W., dan Norli, O. 2000. Seasoned Public Offerings: Resolution of the ‘New Issue Puzzle’. Journal of Financial Economics, vol.56, pp.251-291.

Page 138: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 133

Espenlaub, S., Gregory, A., dan Tonks, I. 2000. Re-Assessing the Long Term Underperformance of UK Initial Public Offerings. European Financial Management, 6, pp.319-342

Fama, E. F. dan French, K. 1993. Common Risk Factors in the Returs on Bonds and Stocks. Journal of Financial Economics, 33, pp.3-56.

Fama, E. F. 1998. Market Efficiency, Long Term Return, and Behavioral Finance. Journal of Financial Economics, 49, pp.283-306.

Finn, Frank J. & Higham, Ron. 1988. The Performance of Unseasoned New Equity Issues-Cum-Stock Exchange Listings in Australia. Journal of Banking & Finance, vol. 12, pp.333-351.

Gompers, P.A., dan Lerner, J. 2003. The Really Long Run Performance of Initial Public Offerings: The Pre-Nasdaq Evidence. Journal of Finance, vol.58, pp.1355-1392.

Hartanto, I. B. & Ediningsih, S. I. 2004. Kinerja harga saham setelah penawaran perdana (IPO) pada Bursa Efek Jakarta. Usahawan, no.8, th.xxxiii, agustus, hal.36-43.

Jelic, R., Saadouni B. & Briston, R. 2001. Performance of Malaysian IPOs: Underwriters Reputation and Management Earnings Forecasts. Pacific-Basin Finance Journal, 9, pp.457-486

Jenkinson, T. & Ljungqvist, A. 2001. Going Public: The Theory and Evidence on How Companies Raise Equity Finance, Second Edition, Oxford University Press.

Keloharju, M. 1993. The Winner’s Curse, Legal Liability, and the Long-Run Price Performance of Initial Public Offerings in Finland. Journal of Financial Economics, 34, pp.251-277.

Kothari, S. & Warner, J. 1997. Measuring Long-Horizon Security Price Performance. Journal of Financial Economics, 43, pp.301-339.

Kunz, R.M. & Aggarwal, R. 1994. Why Initial Public Offerings Are Underpriced: Evidence from Switzerland. Journal of Banking and Finance, 18, pp.705-724.

Levis, M. 1993. The Long Run Performance of Initial Public Offerings: the UK Experience 1980-1988. Financial Management, Spring.

Loughran, Tim. 1993. NYSE vs NASDAQ Returns : Market Microstructure or the Poor Performance of Initial Public Offerings?. Journal of Financial Economics, 33, pp. 241-260.

Page 139: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 134

Loughran, T. & Ritter, J. R. 1995. The New Issue Puzzle. Journal of Finance, vol.50, pp.23-51.

Loughran, T. & Ritter, J. R. 2000. Uniformly Least Powerful Test of Market Efficiency. Journal of Financial Economics, vol.55, pp.361-389.

Lyon, J. D., Barber, B. M. & Tsai, C. 1999. Improved Methods for Tests of Long-Run Abnormal Stock Returns. Journal of Finance, vol. 54, no. 1, 165–201.

Manurung, A. H. & Soepriyono, G. 2006. Hubungan Antara Imbal Hasil IPO dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja IPO di BEJ. Usahawan, No.3, th. XXXV, maret, hal.14-26.

Martani, D. 2004. Pengaruh Manajemen Informasi dan Determinan Lain Terhadap Harga Saham, Initial Return, dan Kinerja Saham Jangka Panjang: Studi Empiris Perusahaan Go Public di BEJ. Disertasi, Program Pascasarjana Ilmu Manajemen, Universitas Indonesia, tidak publis.

Mitchell, M.L., & Stafford, E. 2000. Managerial Decisions and Long-Term Stock Price Performance. Journal of Business, vol.73, pp.287-329.

Page 140: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 135

Karakteristik Inovasi, Pengetahuan, Komunikasi Pemasaran, Persepsi Risiko Dan Stockout Dalam Keputusan

Penundaan Adopsi Inovasi.

Dyah Sugandini∗

Inovasi merupakan sebuah ide dan praktek, atau obyek yang dipersepsikan sebagai sesuatu yang baru oleh seorang individu atau unit adopsi yang lain. Penundaan terjadi ketika seorang individu memutuskan untuk menunda adopsi inovasi. Seorang postponer masuk ke dalam golongan non-adopter. Individu ini ada dalam kondisi aktif, menunggu waktu yang dianggapnya tepat untuk mengadopsi inovasi. Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji sebuah model yang menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi penundaan suatu produk inovatif yaitu LPG pada masyarakat miskin target konversi energi. Metode yang digunakan menggunakan pendekatan deduktif karena memfokuskan pada pengembangan hipotesis yang didasarkan pada suatu teori. Penelitian ini menggunakan survei karena memperhatikan sejumlah faktor yang menjelaskan keberadaan fenomena yang diteliti Data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh melalui observasi langsung, wawancara personal secara mendalam dan pengisian kuesioner. Alat analisis data menggunakan structural equation modeling (SEM). Hasil penelitian menunjukkan bahwa model penundaan adopsi dapat diterima. Kata kunci: Penundaan adopsi, karakteristik inovasi, stockout, informasi, pengetahuan, sikap menunda, dan niat menunda.

A. Latar Belakang

Isu penggunaan energi bahan bakar alternatif untuk menggantikan energi bahan bakar yang selama ini banyak dikonsumsi masyarakat merupakan isu lama. Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa energi bahan bakar konvensional seperti minyak semakin terbatas dan juga menghasilkan dampak polutif yang cukup tinggi. Isu ini dimanfaatkan oleh pemerintah namun dengan target yang lain yaitu untuk pengurangan subsidi hingga tercapai target akhir pemerintah yaitu penghapusan sepenuhnya subsidi bahan bakar minyak. Realisasi kebijakan pemerintah untuk efisiensi bahan bahar minyak dilakukan dengan menerapkan program peralihan konsumsi energi dari minyak tanah ke

∗ Mahasiswa Program Doktor Ilmu-ilmu Ekonomi Program Studi Manajemen FEB UGM dan staf pengajar UPN Veteran Yogyakarta.

Page 141: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 136

gas (LPG) atau yang populer dengan istilah konversi minyak tanah. Program yang ditujukan bagi masyarakat miskin pengkonsumsi minyak tanah yang "dipaksa" untuk beralih menggunakan gas, dengan cara membagikan kompor gas dan tabung gas ukuran 3 kg per KK.

Terdapat beberapa alasan yang mendukung keputusan konversi tersebut. Pertama, penggunaan minyak tanah oleh masyarakat, terutama sebagai sumber energi rumah tangga, memberi beban cukup besar pada anggaran pemerintah. Kedua, ketersediaan sumber energi minyak tanah – yang merupakan sumber energi tak-terbarukan – semakin sedikit. Ketiga, Indonesia telah menjadi net-importer minyak. Keputusan konversi dapat menghemat sediaan minyak dan pengeluaran pemerintah. Meskipun konversi penggunaan minyak tanah ke LPG ditujukan untuk memberikan manfaat bagi masyarakat luas, namun upaya konversi tersebut tidak terlaksana dengan lancar dan mudah. Terdapat beberapa faktor yang dapat menghambat adopsi masyarakat terhadap konversi minyak tanah ke LPG, yaitu faktor individu anggota masyarakat, faktor produk/teknologi, faktor risiko dan kepercayaan serta faktor komunikasi.

Karakteristik inovasi teknologi baru mempengaruhi kesediaan masyarakat dalam mengadopsi produk/teknologi baru tersebut. Produk/teknologi baru akan cepat diterima dan digunakan oleh masyarakat salah satunya jika masyarakat menilai bahwa produk/teknologi baru tersebut memiliki keunggulan relatif dibanding produk/teknologi yang lama. Keunggulan relatif suatu produk/teknologi baru ditentukan oleh dua faktor yaitu tingkat kemanfaatan dan kemudahaan menggunakan produk/teknologi (Malhotra dan Galletta, 1999). Semakin tinggi kemanfaatan suatu produk/teknologi baru dan semakin mudah menggunakan produk/teknologi baru maka semakin cepat produk/teknologi baru tersebut diterima dan digunakan oleh masyarakat. Ketersediaan produk/teknologi merupakan salah satu faktor yang menentukan kemudahan masyarakat dalam menggunakan produk/teknologi tersebut.

Pada dasarnya, upaya pemerintah mendorong masyarakat melakukan konversi penggunaan energi minyak tanah ke LPG merupakan proses dan kegiatan transfer teknologi rumah tangga dari pemasok (pemerintah/perusahaan penyedia) ke pengguna (individu/rumah tangga). Transfer teknologi memerlukan proses komunikasi untuk mendorong pembelajaran dan perubahan dari dua pihak, yaitu pemasok dan pengguna (Hsu dan Mesak, 2005). Produk/teknologi yang bermanfaat dan mudah digunakan, pemilihan sasaran

Page 142: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 137

pengguna yang tepat, komunikasi yang efektif, dan layanan pendukung yang dapat diandalkan akan mendorong konversi penggunaan minyak tanah ke LPG cepat terlaksana.

B. Tujuan Penelitian

1. Tujuan pertama penelitian ini adalah untuk mendefinisikan dan menguji konsep postponement dalam studi inovasi produk. Karena disadari bahwa penundaan adopsi inovasi dalam beberapa riset sebelumnya belum terdefinisikan secara baik dan belum banyak diteliti. Penelitian yang dilakukan selama ini hanya dilakukan pada seting adopsi, penolakan adopsi dan keputusan inertia.

2. Tujuan kedua penelitian ini adalah untuk menguji sebuah model yang menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi penundaan suatu produk inovatif, dengan memperluas model penundan adopsi yang sudah ada (ram, 1987; Ram dan Seth, (1989); Rogers, (1995) dan Joseph (2005). Faktor penundaan merupakan bagian dari konsep adopsi produk. Faktor-faktor yang menyebabkan penundaan adopsi dijelaskan oleh persepsi konsumen mengenai tingkat karakteristik inovasi yang meliputi relative advantage, compatibility, complexity, trialability, dan observability; pengetahuan konsumen yang meliputi pemahaman keberadaan produk baru, pemahaman cara kerja produk baru, dan pemahaman mengenai manfaat aktual produk baru; persepsi informasi komunikasi pemasaran integratif yang berasal dari pemerintah dan agen perubahan yaitu tokoh masyarakat; risiko yang dipersepsikan dan stockout yang merupakan aspek situasional yang langsung menjelaskan pembuatan keputusan penundaan adopsi inovasi.

3. Dengan demikian, model ini memiliki kekuatan untuk memahami suatu fenomena yang tidak hanya dipahami dari sisi internal konsumen tetapi juga eksternal. Pemahaman penundaan produk inovatif elpiji dari aspek komunikasi pemasaran dan aspek stockout konsumen dapat memberikan wawasan bagi pemerintah maupun distributor produk elpiji agar dapat memberikan pelayanan kepada konsumen dengan lebih baik. Jika program ini berhasil, manfaat keberhasilan program ini tidak hanya untuk pemerintah, tetapi juga seluruh masyarakat Indonesia.

Page 143: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 138

C. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Secara Teoretis

a. Studi ini diharapkan mampu mendefinisikan dan menguji konsep postponement (penundaan) secara lebih baik dalam studi inovasi produk.

b. Studi ini memberikan kontribusi secara teoritis tentang model penundaan adopsi inovasi yang dipengaruhi oleh persepsi karakteristik inovasi, komunikasi pemasaran, pengetahuan, risiko dan stockout.

c. Mayoritas riset adopsi inovasi yang ada menggunakan seting tempat bekerja, terkait dengan pengetahuan karyawan dan menggunakan pelajar atau mahasiswa sebagai subyek penelitian, studi ini fenomena pengambilan keputusan yang akan diteliti adalah di lingkungan rumah tangga yang mempunyai tingkat sosial ekonomi rendah atau yang tergolong miskin.

d. Proses adopsi inovasi biasanya dilakukan untuk objek yang memberi kesenangan baru, Studi ini menganalisis proses adopsi inovasi pada sisi sebaliknya, yaitu adopsi inovasi produk yang dianggap tidak menyenangkan bagi konsumennya.

2. Manfaat Secara Praktis

a. Secara ekonomi makro, hasil studi ini akan memberikan manfaat bagi keberlangsungan program konversi minyak tanah ke elpiji.

b. Penelitian ini juga memberikan sumbangan bagi masyarakat tentang sosialisasi sejak dini penggunaan produk elpiji. Fungsi sosialisasi merupakan pengenalan nilai-nilai baru pada kelompok tertentu yang bisa dilakukan oleh agen perubahan dan mass media. Bagi industri gas, penelitian ini diharapkan mampu memberikan pemahaman peran komunikasi pemasaran yaitu memberikan informasi yang tidak hanya bersifat menjelaskan, tetapi juga mendidik dan bisa mengubah pandangan dalam mempersepsikan produk elpiji sebagai produk inovatif.

c. Bagi distributor elpiji harus memahami bahwa kondisi stockout menyebabkan masyarakat sebagai konsumen merasa kecewa karena tidak mampu membeli produk elpiji.

Page 144: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 139

D. Tinjauan Pustaka

1. Innovation Resistance dan Penundaan Adopsi Inovasi

Ram, S (1987) mendefinisikan innovation resistance sebagai kondisi resistensi yang terjadi dalam diri konsumen terkait dengan perubahan yang terjadi karena inovasi. Definisi ini diperkuat oleh Zaltman dan Wallendorf (1983) yang menyebutkan resitensi inovasi merupakan perilaku untuk mempertahankan status quo dalam hubungannya dengan tekanan perubahan. Ram dan Seth (1989) menambahkan bahwa innovation resistance terjadi karena konsumen merasa bahwa inovasi akan mengubah kepuasan yang dia peroleh dengan mempertahankan status quo, dan inovasi itu sendiri berkonflik dengan struktur keyakinannya.

Ram dan Seth (1989) menyatakan bahwa konsumen yang resisten terhadap inovasi produk baru disebabkan karena dua hal, pertama inovasi produk baru akan mengakibatkan perubahan yang sangat besar atas keseharian yang dilakukan konsumen dan bahkan bisa merubah rutinitas yang telah dilakukan sebelumnya. Contohnya, adopsi kompor elpiji bagi masyarakat miskin telah menyebabkan perubahan yang sangat besar bagi penggunanya. Konsumen jenis ini merasakan bahwa pemakaian kompor elpiji membutuhkan pola pembelajaran yang lebih intensif karena kompor elpiji dianggap lebih berisiko, dan harus digunakan pada situasi dan kondisi yang baik. Cara pemakaian kompor elpiji yang jauh lebih rumit dibanding kompor minyak tanah juga menyebabkan konsumen enggan beralih ke kompor elpiji. Di samping itu, konsumen harus mengelola keuangannya dengan lebih baik supaya bisa menabung untuk membeli isi ulang gas elpiji. Keharusan menabung inilah yang dianggap sebagai pola perilaku baru yang sangat memberatkan bagi konsumen kelompok miskin. Karena mereka dihadapkan pada kondisi penghasilan yang pas-pasan untuk kehidupan sehari-hari, sehingga mengalokasikan uang untuk ditabung inilah yang menjadikan konsumen jenis ini merasa kesulitan. Sehingga, pada akhirnya mereka resisten untuk adopsi elpiji (Sugandini, 2007).

Kedua, inovasi produk baru dianggap berkonflik dengan keyakinan konsumen sebelumnya. Studi yang dilakukan Sugandini (2007) tentang adopsi produk elpiji, konsumen kelompok miskin target konversi energi, beranggapan bahwa kompor elpiji hanya pantas digunakan oleh orang-orang kaya yang mempunyai uang banyak, mempunyai dapur untuk memasak yang bersih dan mempunyai ruang khusus untuk menempatkan peralatan dan perlengkapan

Page 145: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 140

kompor gas elpiji. Sehingga, pada saat akan mengadopsi produk elpiji, konsumen miskin ini memilih untuk resisten terhadap adopsi elpiji, karena keyakinan dia mengatakan bahwa dia bukan golongan orang-orang yang pantas menggunakan produk kompor elpiji.

Untuk memperkuat pemahaman resistensi inovasi, Gatignon dan Robertson (1989) dan Szmigin &Foxall (1998) telah mempelajari perbedaan tipe penolakan inovasi. Terdapat tiga tipe resistensi inovasi, yaitu rejection, postponement dan opposition. Batas-batas ketiganya sangat kabur. Sehingga pengujian innovation resistance mempunyai arti yang sama dengan pengujian adoption innovation, karena keduanya menunjukkan hasil difusi inovasi. Rejection terjadi ketika seorang individu memproses informasi tentang inovasi dan memutuskan bahwa mereka tidak akan menggunakan inovasi tersebut, sehingga individu ini dapat digolongkan menjadi seorang active rejctor untuk sebuah inovasi. Postponement terjadi ketika seorang individu memutuskan untuk menunda adopsi inovasi. Seorang postponer masuk ke dalam golongan non-adopter. Individu ini ada dalam kondisi aktif, menunggu waktu yang dianggapnya tepat untuk mengadopsi inovasi. Opposition terjadi ketika adopter potensial secara aktual melakukan pengujian inovasi, dan pada akhirnya menolak inovasi tersebut.

Untuk mendukung pendapatnya, Szmigin et al. (1998), menguji adopsi inovasi dengan seting metode pembayaran, seperti credit card, debit card, dan store card dalam transaksi pembelian. Hasilnya menunjukkan bahwa resistensi terjadi karena adanya pengaruh faktor situasional dan psikologi. Meskipun faktor situasional dan psikologi mempunyai banyak kategori, namun keduanya dapat digunakan sebagai arahan ketika kita mencoba mencari akar penyebab penolakan inovasi. Satu tantangan yang dihadapi dalam mengidentifikasi penolakan/penundaan inovasi adalah karena penolakan tidak selalu dapat dilihat. Sehingga penggolongan perbedaan tipe penolakan inovasi bisa membantu untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, apalagi ketika fenomena penolakannya adalah multi-faceted.

Joseph (2005), yang menyatakan bahwa sebuah inovasi akan berhadapan dengan penolakan yang tinggi jika inovasi tersebut mengganggu pola perilaku normal yang dialami oleh individu. Dukungan diperoleh dari Rogers (1995), yang menyatakan bahwa inovasi secara umum akan memaksa seorang konsumen untuk berubah, dan biasanya konsumen yang dihadapkan dengan

Page 146: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 141

inovasi akan menolak untuk berubah. Ketika sebuah inovasi ditolak, maka inovasi dihadapkan pada kondisi menunda. 2. Hipotesis

a. Persepsi karakteristik inovasi dan sikap terhadap penundaan.

Tornatzky dan Keein (1982) dalam Moore dan Banbasat (1991)

mengidentifikasikan karakteristik yang berbeda dari Rogers. Hasil meta analisis

yang dilakukannya pada 100 jurnal diffusion of innovation menemukan adanya

sepuluh karakteristik yang sering digunakan dalam penelitian adopsi inovasi.

Karakteristik itu terdiri dari lima karakteristik teori diffusion of innovation

Rogers (1995) yaitu, competitive advantage, compatibility, complecity,

trialability, observability . Masing-masing aspek ini dijadikan sebagai patokan

dalam menerima atau menolak produk inovatif karena dianggap sudah mampu

mewakili semua aspek kemampuan konsumen dalam menerima produk inovatif.

Karakteristik inovasi yang dipersepsikan ini memiliki peran penting dalam

tahap persuasi, karena pada tahap persuasi seorang individu atau unit pengambil

keputusan lainnya membentuk sikap menyukai atau tidak menyukai suatu

inovasi dan berusaha untuk mengurangi ketidak pastian serta risiko inovasi

tersebut dengan cara mencari informasi yang terkait. Namun, hanya

kompleksitas yang mempengaruhi adopsi inovasi secara negatif karena semakin

kompleks suatu inovasi maka semakin kecil kemungkinan untuk diadopsi.

H1: Persepsi Karakteristik inovasi berhubungan dengan sikap menunda

adopsi produk elpiji

H1.a: Keunggulan Relatif berpengaruh terhadap sikap menunda adopsi LPG

H1.b: Compatibility berpengaruh terhadap sikap menunda adopsi LPG

H1.c: Complexityberpengaruh terhadap sikap menunda adopsi LPG

H1.d: Trialibilty berpengaruh terhadap sikap menunda adopsi LPG

H1.e: Observabilty berpengaruh terhadap sikap menunda adopsi LPG

Page 147: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 142

b. Pengetahuan konsumen dan sikap terhadap penundaan.

Pengetahuan merupakan konstruk yang penting bagi perilaku konsumen

karena berperan dalam pencarian informasi, proses adopsi inovasi, dan

mempelajari produk baru. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang

sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior). Hasil

studi empiris yang dilakukan Nayga (2000) dan Wood dan Lynch (2002)

menunjukkan bahwa konstruk pengetahuan tidak mampu memprediksi perilaku,

namun hal ini dibantah oleh Brucks (1985) yang menunjukkan bawa ada efek

positif pengetahuan terhadap perilaku. Perdebatan ini muncul karena adanya

perbedaan pengukuran konstruk pengetahuan yang sesungguhnya dimiliki

individu atau tingkat pengetahuan yang dirasakan dimiliki oleh individu.

Sehingga, meskipun pengukuran pengetahuan telah memasukkan dimensi

keberadaan, pemahaman proses kerja dan manfaat namun dimungkinkan

memberikan efek yang berbeda pada proses adopsi jika pengukuran dilakukan

dengan menggunakan pendekatan yang berbeda.

H2: Pengetahuan konsumen berhubungan dengan sikap penundaan adopsi

inovasi produk elpiji.

c. Persepsi informasi komunikasi pemasaran dan sikap sikap terhadap penundaan

Komunikasi pemasaran integratif merupakan suatu konsep yang mengintegrasi dan mengkoordinasi berbagai saluran komunikasi perusahaan untuk menyampaikan pesan yang jelas, konsisten, dan saling mendorong tentang organisasi dan produk-produknya. Berdasarkan konsep ini, setiap sumber komunikasi mengatakan tentang produk maupun jasa perusahaan, yang semuanya bertujuan mendukung suksesnya produk untuk dikenal oleh konsumen. Komunikasi pemasaran terintegrasi melibatkan identifikasi audien

Page 148: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 143

sasaran dan menghasilkan program promosi yang terkoordinasi dengan baik untuk memperoleh respon yang diinginkan.

Rogers dan Shoemaker (1971) mengatakan bahwa saluran interpersonal masih memegang peranan penting dibanding dengan media massa, terlebih-lebih di negara-negara yang belum maju di mana kurang tersedianya media massa yang dapat menjangkau khalayak terutama warga pedesaan, tingginya tingkat buta huruf dan tidak sesuainya pesan-pesan yang disampaikan dengan kebutuhan masyarakat. Lazarsfeld dalam Rogers dan Shoemaker (1971) mengatakan bahwa media massa hanya merupakan peliput ganda pesan dan penyebar ide secara mendatar dan penguat artinya hanya didengar apabila sependapat dengan pendapat komunikan. Jadi saluran interpersonal dipergunakan apabila kita mengharapkan efek perubahan tingkah laku (behavior change) dari komunikan.

Informasi komunikasi pemasaran integratif sendiri berkaitan dengan sikap konsumen. Sebagai suatu pendekatan umum, ide di belakang pengolahan informasi menekankan pada kompleksitas tentang bagaimana orang mendapatkan pengetahuan dan bagaimana mereka membentuk dan merubah sikap mereka. Menurut teori integrasi informasi yang dikemukakan oleh Anderson (1971, 1980 dalam Dharmmesta, 1998), sebagian besar sikap konsumen itu terbentuk dalam kaitannya dengan respon pada informasi yang mereka terima tentang obyek sikap. Selanjutnya dikatakan, bagaimana konsumen menerima dan mengkombinasikan informasi ini telah menjadi dasar struktur sikap. Hipotesis 3: Persepsi informasi komunikasi pemasaran berhubungan dengan sikap penundaan adopsi inovasi produk elpiji. d. Persepsi Risiko dan keputusan sikap terhadap penundaan.

Perceived risk menurut Allen (1993) dan Mitchen (1993) didefinisikan sebagai persepsi konsumen mengenai ketidak pastian dan konsekuensi-konsekuensi negatif yang mungkin diterima atas pembelian suatu produk/jasa. Definisi ini mirip dengan definisi dari Steve dan Gronhoug (1993), yang mendefinisikan persepsi risiko sebagai keyakinan subyektif individu atas beberapa probabilitas suatu hal yang tidak diinginkan dari suatu keputusan pembelian. Dari sudut pandang perspektif resistensi adopsi inovasi, atribut baru yang ada pada inovasi produk baru seperti kerumitan teknologi, harga mahal dan semua

Page 149: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 144

yang terlihat baru dengan sisi yang tidak dapat diprediksi oleh konsumen bisa menciptakan gangguan pada rutinitas konsumen yang ada (Ram dan Sheth, 1989; Sheth, 1981; Waddell dan Cowan, 2003). Hal ini bisa menimbulkan konflik dengan keyakinan konsumen sebelumnya dan berdampak pada penolakan adopsi. Pernyataan ini didukung oleh Mitchell et al.(1999); Zinkhan dan Karande (1991), dengan menunjukkan bahwa ketika konsumen menemui risiko produk baru, konsumen akan berhadapan dengan dilema konsekuensi yang diinginkan atau tidak diinginkan atas adopsi dan keputusannya yang seringkali berisiko. Forsythe dan Shi (2003); Weber dan Hsee (1998), menyimpulakan bahwa risiko yang dipersepsikan merupakan fungsi dari unexpected results dari adopsi dan outcome yang menyimpang dari harapan. Meskipun studi yang dilakukan Conchar et al. (2004) menyatakan bahwa risiko yang dipersepsikan bisa berpengaruh negatif terhadap adopsi produk baru, studi lain yang dilakukan oleh Mitchell and Harris (2005); DelVecchio dan Smith (2005) menyatakan bahwa efek negative ini belum jelas terbukti . Ketika diprediksi bahwa adopsi aktual merupakan fungsi consumer innovativeness, risiko yang dipersepsikan tidak cukup kuat mempengaruhi adopsi aktual. Persepsi risiko hanya terkait dengan pencarian informasi untuk memastikan dan mengurangi tingkat risiko atau untuk mengelola risiko yang dipersepsikan (Manning et al., 1995). Hipotesis 4: Persepsi risiko berhubungan dengan sikap penundaan adopsi inovasi produk elpiji e. Stockout dan sikap sikap terhadap penundaan.

Faktor lain yang tidak kalah penting dalam mempengaruhi penundaan adopsi adalah faktor situasional. Menurut Joseph (2005), faktor situasional ini mampu memberikan arahan mengapa seorang konsumen menolak atau menunda adopsi inovasi. Faktor situasional yang dipercaya dapat berpengaruh terhadap penolakan atau penundaan inovasi produk inovatif dalam hal ini elpiji adalah stockout atau kelangkaan. Survey awal yang dilakukan Sugandini (2008) menemukan bahwa kelangkaan merupakan faktor yang berpengaruh besar terhadap penundaan adopsi elpiji. Hasil survey awal ini didukung oleh riset yang dilakukan Fitzsimons (2000) yang menemukan bahwa respon negatif dari konsumen terhadap tidak sedianya barang akan membawa dampak buruk pada pembelian konsumen. Masalah out of stock items menjadi masalah yang sering

Page 150: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 145

dikeluhkan oleh banyak konsumen, sehingga akan berdampak pada perilaku penundaan konsumsi yang akan dilakukan konsumen. Teori sikap menyatakan bahwa seseorang yang memiliki sikap positif kearah perilaku akan lebih suka menunjukkan perilakunya. Sikap akan berdampak pada proses pencarian informasi, pembentukan niat dan tindakan. Dalam literatur inovasi, sikap akan meningkatkan perhatian pada obyek inovasi. Nelson (1990) dalam studi inovasinya menempatkan sikap sebagai variabel individual yang berhubungan dengan niat untuk berperlaku Hipotesis 5: Persepsi kelangkaan akan meningkatkan pengaruh sikap terhadap

keputusan penundaan adopsi inovasi produk elpiji. f. Sikap, niat dan penundaan adopsi produk Proses keputusan inovasi akan melibatkan evaluasi dan pembentukan sikap terhadap inovasi. Literatur tentang sikap bisa digunakan sebagai landasan teoritis untuk setiap riset inovasi dan bisa meningkatkan pemahaman tentang bagaimana sikap terhadap inovasi dibentuk untuk menentukan adopsi atau tidak mengadopsi inovasi. Sinergi diperoleh dengan mengkombinasikan teori sikap dengan teori difusi inovasi. Model sikap yang lebih luas ditunjukkan oleh Fishbein dan Ajzen (1976) dengan model Theory of Reason Action-nya, dan teori difusi inovasi dikembangkan oleh Rogers (1983). Theory of Reasoned Action pertama kali dicetuskan oleh Fishben dan Ajzen (1975). Teori ini disusun menggunakan asumsi dasar bahwa manusia berperilaku dengan cara sadar, rasional dan mempertimbangkan segala informasi yang tersedia. Dalam TRA ini, Ajzen (1980) menyatakan bahwa niat seseorang untuk melakukan suatu perilaku menentukan akan dilakukan atau tidak dilakukannya perilaku tersebut. Lebih lanjut, Ajzen mengemukakan bahwa niat melakukan atau tidak melakukan perilaku tertentu dipengaruhi oleh dua penentu dasar, yang pertama berhubungan dengan sikap (attitude towards behavior) dan yang lain berhubungan dengan pengaruh sosial yaitu norma subjektif (subjective norms). Hipotesis 6: Sikap berpengaruh pada niat menunda adopsi LPG Hipotesis 7: Niat menunda berpengaruh pada keputusan penundaan adopsi

LPG

Page 151: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 146

E. Model Penelitian Studi ini menguji beberapa faktor yang menyebabkan konsumen

mempunyai sikap menunda keputusan terkait dengan adopsi produk inovatif yaitu elpiji. Aspek-aspek yang dibahas secara rinci dijelaskan oleh (1) persepsi konsumen mengenai tingkat karakteristik inovasi (2) pengetahuan konsumen (3) persepsi informasi komunikasi pemasaran integratif; (4) risiko yang dipersepsikan (5) stockout yang merupakan aspek situasional sebagai konsep yang langsung menjelaskan pembuatan keputusan adopsi produk. Model teoretis yang diajukan dalam studi ini adalah sebagai berikut:

Gambar 1: Model teoretis

Masing-masing konsep yang diajukan dalam penelitian ini dijelaskan oleh konsumen dengan karakteristik pendapatan yang kecil, pendidikan yang rendah, memiliki risiko yang tinggi. Berdasarkan studi awal, subjek penelitian ini merupakan golongan masyarakat miskin yang tidak banyak memiliki akses untuk mendapatkan kemudahan produk (Sugandini, 2007, 2008). Kondisi ini berseberangan dengan karakteristik individu sebagai subjek penelitian yang ada dalam studi Robertson dan Wind (1980), yaitu individu yang memiliki pendapatan besar, pendidikan tinggi, memiliki mobilitas sosial, mau menanggung risiko, dan memiliki partisipasi sosial.

Pengetahuan produk

Sikap menun

Keputusan

Persepsi Informasi komunikasi

Risiko yang

compatibil

complexit

Observabi

Trialabili

Relative Advantage

Stocko

Niat menun

Page 152: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 147

F. Metode Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Studi ini menerapkan pendekatan deduktif karena memfokuskan pada pengembangan hipotesis yang didasarkan pada suatu teori. Penelitian ini menggunakan survei karena memperhatikan sejumlah faktor yang menjelaskan keberadaan fenomena yang diteliti (Lutz, 1991; Simonson, Carmon, Dhar, Drolet, & Nowlis, 2001). Data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh melalui observasi langsung, wawancara personal secara mendalam dan pengisian kuesioner. Observasi langsung digunakan untuk mengidentifikasi perilaku dan lingkungan fisik masyarakat yang menjadi sasaran konversi energi. Observasi langsung memiliki kelebihan dalam menangkap fenomena yang tidak terungkap melalui wawancara dan pengisian kuesioner.

Wawancara personal secara mendalam digunakan untuk mengeksplorasi tingkat pengetahuan, opini, dan sikap masyarakat terhadap penundaan adopsi elpiji. Pengetahuan, opini, dan sikap tidak mudah untuk diidentifikasi melalui observasi langsung. Kuesioner digunakan untuk memperoleh data yang bersifat umum dan yang telah dijelaskan oleh teori.

2. Pengambilan sampel dan responden

Unit sampel dalam penelitian ini adalah individu. Unit sampel diambil dengan metode purposive. Penelitian ini menggunakan metode pengambilan sampel secara purposive karena responden harus memenuhi kriteria sebagai individu yang terlibat di dalam proses pengambilan keputusan konversi energi di tingkat rumah tangga miskin yang menjadi sasaran program konversi energi. Karakteristikny adalah: responden ada pada posisi menunda adopsi, memiliki sikap positif terhadap program konversi energy, dan responden termasuk dalam kategori miskin seperti yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomer 104 tahun 2007 tentang distribusi elpiji program konversi. Responden dapat berperan sebagai inisiator, pemberi pengaruh, pengguna, atau pengambil keputusan konversi energi di tingkat rumah tangga.

Page 153: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 148

3. Definisi operasional variabel dan pengukuran variabel

a. Karakteristik Inovasi

Menurut Rogers (1995), karakteristik inovasi terdiri atas lima aspek yaitu relative advantage, compatibility, complexity, trialability, dan observability. Masing-masing aspek ini dijadikan sebagai patokan dalam penerimaan maupun penundan adopsi produk inovatif karena dianggap sudah mampu mewakili semua aspek kemampuan konsumen dalam menerima ataupun menunda produk inovatif. b. Keunggulan relatif.

Keunggulan relatif merupakan tingkat di mana inovasi dipersepsikan lebih baik dariyang digantikan (Davis, 1989). Keunggulan relatif dalam mengadopsi inovasi dipersepsikan sebagai tersedianya benefit yang lebih besar untuk mengadopsi inovasi dari pada mempertahankan status quo (Kwon and Zmud, 1987). Rogers (1995) mendefinisikan keunggulan relatif sebagai keunggulan sebuah inovasi dibandingkan ide sebelumnya atau ide-ide yang menjadi tandingannya. Keunggulan relative diukur menggunakan instrument penelitian yang diadopsi dari Adams; Nelson dan Peter Todd (1992) Instrumen penelitian tersebut terdiri atas: Work More Quickly, Job Performance, Increase Productivity, Effectiveness, efisiensi dan Makes Job Easier. Rentang pilihan jawaban berkisar dari 1 (sangat tidak setuju) sampai 5 (sangat setuju). c. Kesesuaian (Compatibility)

Konsep ini menunjukkan bahwa tingkat adopsi produk inovatif akan tinggi jika konsumen merasakan adanya kesamaan nilai-nilai atau keyakinan yang ditawarkan oleh produk inovatif (Gahtani, 2003). Kesesuaian adalah derajat dimana inovasi tersebut dianggap konsisten dengan nilai-nilai yang berlaku, pengalaman masa lalu dan kebutuhan pengadopsi (Rogers dan Shoemaker, 1971). Instrument untuk mengukur kesesuaian diadopsi dari Littler, 2001; Ram, 1987; Szmigin dan Bourne (1999), dan Saba dan Natale (2006). Istrumen tersebut meliputi fit with existing ways of doing things, fit with prevailing value and past experience, dan fit with beliefs. Rentang pilihan jawaban berkisar dari 1 (sangat tidak setuju) sampai 5 (sangat setuju).

Page 154: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 149

d. Kerumitan (Complexity)

Kerumitan adalah derajat sebuah inovasi dianggap sebagai suatu yang sulit untuk dipahami dan digunakan (Ram, 1987; Slyke, Loy dan Day, 2002). Konsep ini menunjukkan bahwa, tingkat adopsi produk inovatif akan tinggi jika konsumen merasakan adanya kemudahan penggunaan produk yang ditawarkan oleh produk inovatif (Marshall, Rainer dan Morris, 2003). Instrumen untuk mengukur kompleksitas inovasi diadopsi dari Adams; Nelson dan Todd (1992), Marshal et al., 2003; dan Schlindwein dan Ison, 2004. Instrumen tersebut adalah Easy to use, Easy to Learn, Clear and Understandable, Easy to Become Skillful, Easy to Use, Controllable, dan Flexible. Rentang pilihan jawaban berkisar dari 1 (sangat tidak setuju) sampai 5 (sangat setuju). e. Ketercobaan (Trialibility)

Konsep ini menunjukkan bahwa, tingkat adopsi produk inovatif akan tinggi jika konsumen merasakan adanya kemudahan untuk mencoba lebih dulu produk inovatif yang ditawarkan (Reiss dan Wacker, 2000). Instrumen untuk mengukur ketercobaan diadopsi dari Szmigin dan Bourne (1999); Gahtani, (2003). Istrumen tersebut adalah being able to try out a new product dan to find out how it works under one’s own condition. Rentang pilihan jawaban berkisar dari 1 (sangat tidak setuju) sampai 5 (sangat setuju). f. Keterlihatan (Observability)

Menurut Chauduri (1985), keterlihatan adalah kemampuan untuk diamati atau derajat suatu hasil inovasi dapat dilihat oleh orang lain. Konsep ini menunjukkan bahwa tingkat adopsi produk inovatif akan tinggi jika konsumen merasakan adanya kemudahan untuk melihat benefit atau atribut produk inovatif yang ditawarkan (Rogers, 1995; Karahanna, Straub dan Chervany, 1999). Instrumen untuk mengukur keterlihatan diadopsi dari Gahtani, 2003, yang terdiri atas Easily observed and communicated to others dan The other person models how the innovation works as well as the benefits of use. Rentang pilihan jawaban berkisar dari 1 (sangat tidak setuju) sampai 5 (sangat setuju). g. Pengetahuan konsumen

Antil (1988) berpendapat bahwa pengetahuan konsumen meliputi tiga tahapan. Pertama, konsumen mengetahui keberadaan produk inovasi yang diluncurkan oleh pemasar atau perusahaan. Kedua, konsumen memahami cara kerja produk inovasi. Ketiga, konsumen mengetahui manfaat yang nyata mengenai

Page 155: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 150

penggunaan produk inovasi. (a) Keberadaan Produk Inovatif, konsumen mengetahui keberadaan produk inovasi yang diluncurkan oleh pemasar atau perusahaan. Konsumen mengetahui produk inovasi dari komunikasi pemasaran yang bisa disebarkan melalui mass media. Kesadaran konsumen akan produk inovatif ini dimulai dari strategi pemasaran yang dibuat oleh pemasar. Jika konsumen tidak mengetahui produk inovatif, maka strategi pemasaran produk inovatif akan gagal. Keberadaan produk inovatif merupakan awal mula konsumen untuk bisa menyukai produk lebih lanjut. (b) cara Kerja Produk Inovatif, konsumen memahami cara kerja produk inovasi. Hal ini penting karena ini bisa memberikan informasi kepada konsumen cara menggunakan produk inovasi dengan benar serta mengetahui risiko-risiko penggunaan produk tersebut. seluler, makin tinggi kecenderungan konsumen memilih merek tersebut. Rentang pilihan jawaban berkisar dari 1 (sangat tidak setuju) sampai 5 (sangat setuju). h. Informasi Komunikasi Pemasaran Integratif

Komunikasi pemasaran adalah suatu proses pengolahan, produksi dan penyampaian pesan-pesan melalui satu atau lebih saluran kepada kelompok target audience, yang dilakukan secara berkesinambungan dan bersifat dua arah dengan tujuan menunjang efektivitas dan efisiensi pemasaran suatu produk, (Kotler, 2004). Komunikasi berperan untuk menyampaikan informasi, melakukan persuasi, mengingatkan dan mendorong perilaku pada pembeli potensial. Efektivitas komunikasi pemasaran dipengaruhi oleh kesesuaian format dengan target pemirsa, media, kategori produk, merek, kondisi dan kandungan pesan dalam iklan (Brunel dan Nelson, 2003). Dalam penelitian ini, persepsi komunikasi pemasaran diukur dengan instrumen-instrumen yang diadopsi dari Daft dan Lengel, (1986); Bailey and Pearson (1983) Belardo., et al (1982) dan Magal (1991). Instrument untuk mengukur persepsi informasi komunikasi pemasaran tersebut adalah: Kejelasan (clearity), kemudahan untuk diakses, mudah untuk dipahami, reliability dan completeness. Rentang pilihan jawaban berkisar dari 1 (sangat tidak setuju) sampai 5 (sangat setuju). i. Persepsi Risiko

Persepsi risiko didefinisikan sebagai persepsi konsumen mengenai ketidak pastian dan konsekuensi-konsekuensi negatif yang mungkin diterima atas pembelian suatu produk/jasa (Allen, 1993; Mitchen, 1993). Intrumen pengukuran persepsi risiko diperoleh dari Ram (1987); Pavlou (2003), dan

Page 156: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 151

Bearden dan Shimp (1982), yang terdiri atas:Risiko financial, mencakup outcome negatif secara financial yang diterima konsumen setelah mengadopsi produk. Performance risk terkait dengan kinerja produk yang tidak bekerja seperti yang diharapkan Physical risk merupakan persepsi bahwa produk akan membahayakan konsumen. Rentang pilihan jawaban berkisar dari 1 (sangat tidak setuju) sampai 5 (sangat setuju). j. Stockout

Stockout menunjukkan ketidakmampuan pemasar untuk menyediakan produk dalam jumlah yang cukup kepada konsumen ketika konsumen akan membelinya (Fitzimon, 2000). Instrumen pengukuran stockout diadopsi dari Fitzimon (2000) yang terdiri atas kemudahan mendapatkan, produk hilang dari pasaran dan produk langka. Rentang pilihan jawaban berkisar dari 1 (sangat tidak setuju) sampai 5 (sangat setuju). k. Sikap dan niat

Menurut Azjen (1985), sikap terhadap perilaku merupakan evaluasi positif atau negatif dalam melakukan perilaku. Sikap merupakan respon evaluatif, yang berarti dalam merespon sesuatu, individu didasari oleh proses evaluasi dalam dirinya sehingga responnya bisa berbentuk baik atau buruk, positif atau negatif, menyenangkan atau tidak menyenangkan, menolak atau menerimaSikap terhadap perilaku menunjukkan tingkatan dimana seseorang mempunyai evaluasi yang baik atau yang kurang baik tentang perilaku tertentu (Dharmmesta, 1998). Hawkins (1986) mendefinisikan sikap sebagai cara berfikir, merasa dan bertindak terhadap beberapa aspek. Sikap dapat mewakili perasaan senang atau tidak senang konsumen terhadap suatu objek (Peter dan Olson, 1999). Instrumen sikap diukur dari pertanyaan sebagai berikut: Saya tidak menyukai produk elpiji, Penggunaan elpiji bukan merupakan good idea, Penggunakan elpiji menyebabkan unpleasant dan Menggunakan elpiji banyak manfaatnya. Sedangkan niat diukur dengan 3 buah pertanyaan yaitu: niat untuk menunda, prediksi akan menunda dan harapan untuk menunda adopsi LPG. Rentang pilihan jawaban berkisar dari 1 (sangat tidak setuju) sampai 5 (sangat setuju). l. Perilaku penundaan adopsi produk

Perilaku penundaan adopsi produk terjadi ketika seorang individu memproses informasi tentang inovasi dan memutuskan bahwa mereka akan menunda

Page 157: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 152

penggunaan inovasi tersebut, sehingga individu ini dapat digolongkan menjadi seorang postponers atau rejectors untuk sebuah inovasi. Mahajan dan Wind (1986) menyatakan bahwa individu yang tidak mau mengadopsi inovasi akan menunjukkan tidak adanya komitmen dan tidak mau menggunakan produk dalam jangka waktu tertentu. Rogers, (1995) menyatakan bahwa penolakan individu untuk sebuah inovasi dibedakan menjadi penolakan aktif dan penolakan pasif. Penolakan aktif terjadi ketika individu pernah melakukan uji coba, namun kemudian memutuskan untuk menolak inovasi. Sedangkan penolakan pasif terjadi ketika individu menolak inovasi meskipun tidak pernah mempertimbangkan untuk mencoba melakukan inovasi tersebut. Perilaku penundaan adopsi diadopsi dari Brown (2005) dan Venkatesh (2005). Instrument tersebut adalah keputusan untuk menunda adopsi produk elpiji (delay to adopt) . Rentang pilihan jawaban keputusan menunda adalah 1 dan nol. Satu menunjukkan pilihan untuk menunda adopsi, dan nol menunjukkan tidak menunda adopsi/menggunakan elpiji.

4. Uji Validitas dan Reliabilitas.

Validitas menyangkut tingkat akurasi yang dicapai oleh sebuah indikator dalam menilai sesuatu atau akuratnya pengukuran atas apa yang seharusnya diukur. Sedangkan reliabilitas adalah ukuran mengenai konsistensi internal dari indikator-indikator sebuah konstruk yang menunjukkan derajad sampai dimana masing-masing-masing indikator itu mengindikasikan sebuah konstruk yang umum (Ferdinand, 2000 : 60). a. Uji validitas

Pengujian face validity dan content validity dilakukan terhadap konstruk-konstruk utama pada model penelitian. Face validity merupakan pengujian paling awal untuk indikator-indikator yang digunakan dalam mengukur konstruk pada model penelitian; sedangkan content validity merupakan keterwakilan indikator pengukuran suatu konstruk (Cooper dan Schindler, 2003). Pengujian indikator pengukuran dilakukan oleh para akademisi yang memiliki kompetensi dalam memberikan saran untuk perbaikan terhadap indikator-indikator pertanyaan dalam kuesioner penelitian. Pengujian validitas lainnya dalam penelitian ini meliputi pengujian validitas konstruk. Validitas konstruk menunjukkan kesesuaian antara penggunaan alat

Page 158: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 153

ukur dan teori. Validitas konstruk pada dasarnya terdiri atas dua macam pengujian, yaitu validitas konverjen dan diskriminan. Validitas konverjen menunjukkan nilai yang didapat dari butir-butir pertanyaan yang mengukur konsep sama memiliki korelasi tinggi; sedangkan validitas diskriminan menunjukkan nilai-nilai yang didapat dari butir-butir yang mengukur konstruk berbeda tidak saling berkorelasi. Konstruk-konstruk dalam studi ini diukur dengan satu metode. Pengukuran validitas konverjen dilakukan dengan melihat semua loading dari sebuah konstruk laten terhadap indikator-indikator yang berkorespondensi memiliki nilai statistik t>2 (Purwanto, 2002). Pengukuran validitas diskriminan dilakukan dengan melihat nilai korelasi rendah antar konstruk (Nunnally, 1978). b. Uji Reliabilitas

Tahap selanjutnya adalah melakukan pengujian reliabilitas. Pengujian ini bertujuan untuk menguji konsistensi indikator-indikator yang digunakan dalam penelitian. Indikator-indikator untuk semua variabel menunjukkan pengujian yang konsisten. Hal ini ditunjukkan oleh koefisien Cronbach’s alpha yang memiliki koefisien ≥ 0,7. Individu sebagai responden dalam penelitian ini harus memiliki konsistensi yang baik dalam memberikan jawaban pada masing-masing butir pertanyaan. Karena indikator multidimensi, maka uji validitas dari setiap latent variabel/ construct akan diuji dengan melihat loading faktor dari hubungan antara setiap observed variable dan latent variable. Konstruk reliablity akan diperoleh dengan rumus sebagai berikut: (Σstd. Loading)2

(Σstd. Loading)2 + Σεj Standardized factor Loading diperoleh langsung dari standarized loading untuk tiap-tiap indikator , dan εj adalah measurement error dari tiap indikator. Nilai batas yang digunakan untuk menilai sebuah tingkat reliabilitas yang dapat diterima adalah 0.70, walaupun angka itu bukanlah sebuah ukuran yang “mati”. Artinya bila penelitianyang dilakukan besifat eksploratori maka nilai yang dibawah 0.70 pun masih dapat diterima sepanjang disertai dengan alasan-alasan empiris yang terlihat dalam proses eksplorasi. Ukuran reliabilitas yang kedua adalah variance extracted, yang menunjukkan jumlah varians yang dari indikator-indikator yang diekstraksi oleh konstruk laten yang dikembangkan. Nilai variance extracted yang tinggi mewakili secara baik konstruk laten yang telah dikembangkan. Nilai variance extracted ini

Page 159: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 154

direkomendasikan pada tingkat paling sedikit 0,5 (Bentler, 1993). Nilai variance extracted dalam diperoleh melalui rumus berikut ini : Σstd. Loading2

Σstd. Loading2 + Σεj c. Metode Analisis Data Penelitian ini menggunakan teknik structural equation modeling (SEM). Studi ini menggunakan pendekatan SEM dua tahap, yaitu model pengukuran dan struktural. Model pengukuran ditujukan untuk mengkonfirmasi sebuah dimensi atau faktor berdasarkan indikator-indikator emprisnya. Model struktural adalah model mengenai struktur hubungan yang membentuk atau menjelaskan kausalitas antara faktor. 1. Pengujian Hipotesis Dan Hubungan Kausal

a) Pengaruh langsung (Koefisien Jalur) diamati dari bobot regresi terstandar, dengan pengujian signifikansi pembanding Nilai CR (Critical Ratio) yang sama dengan Nilai t hitung dengan t table apabila t hitung lebih besar daripada t table berarti signifikan.

b) Dari keluaran program AMOS 4 (Analysis of Moment Structure) juga akan diamati hubungan kausal antar variabel dengan melihat efek langsung dan efek tak langsung serta efek totalnya.

2. Penilaian Problem dan Identifikasi. Dalam model kausal persoalan yang sering dihadapi adalah masalah identifikasi (identification problem). Identification Problem pada prinsipnya adalah problem mengenai ketidakmampuan dari model yang dikembangkan untuk menghasilkan estimasi yang unik. Dalam progran AMOS solusi untuk mengatasi identification problem ini dengan memberikan konstrain pada model yang dianalisis diatasi. Konsekuensi dari pemberian konstrain ini akan mengeliminasi estimated coefficients yang berarti nilai critical ratio dan probability tidak muncul. Pemilihan letak konstrain dilakukan dengan mempertimbangkan dukungan teori dan nilai koefisien regresi yang signifikan melalui beberapa kali pengujian, sehingga mengasilkan model estimasi yang terbaik (Hair, 1998: 608-610). 3. Pengujian Model Pengujian terhadap model yang dikembangkan dengan berbagai kriteria Goodness of Fit.. Pengukuran goodness of fit sebuah model merupakan suatu

Page 160: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 155

kriteria relatif. Penggunaan beberapa indeks goodness of fit memungkinkan peneliti mendapatkan suatu penerimaan mengenai model yang diusulkan (Hair, Anderson, Tatham, dan Black, 1998). Pengukuran nilai goodness of fit yang dibagi menjadi tiga tipe, yaitu absolute fit measures, incremental fit measures, dan parsimonious fit measures. Absolute fit measures mengukur tingkat model yang secara keseluruhan memprediksi matriks kovarian. Dalam studi ini, pengujian absolute fit measures dilakukan dengan indeks chi-square statistics (χ2 atau CMIN), GFI, dan RMSEA.

Tabel 1. Indikator Goodness of Fit Model Indeks Goodness of Fit Cut off

ValueKeterangan

Absolute fit measures X2-Chi square ≥ 0,05 Baik Root Mean Square Error of Approximation

≤ 0,08 Baik

Goodness of Fit Index ≥ 0,90 Baik Incremental fit measures Adjusted Goodness of Fit Index ≥ 0,90 Baik Comparative Fit Index ≥ 0,95 Baik Tucker Lewis Index ≥ 0,95 Baik Parsimonious fit measures. CMIN/DF ≤ 2,00 Baik

Sumber : Hair (1992), Bentler (1983), Muller (1996), Arbukle (1997) 4. Intepretasi hasil

Melakukan intepretasi terhadap hasil pengukaran konstrak laten dengan berpedoman pada tingkat signifikansi loading factor atau koefisien lamda (λ) yang berpatokan pada nilai probability (p), dianggap signifikan apabila nilai p ≤ 0,05. Selanjutnya menguji model lengkap yang berasal dari seluruh konstruk dan indikator yang signifikan untuk mengkaji faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penundaan inovasi produk elpiji dengan mengamati koefisien jalur (regresi terstandar), baik arah, besaran, maupun signifikansi G. Hasil Penelitian Dan Pembahasan

1. Hasil Penelitian

Penelitian ini menggunakan data yang dikumpulkan dari 300 responden

yang masuk dalam kategori keluarga miskin. Namun data yang bisa diolah

Page 161: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 156

hanya sebanyak 280. Dua puluh diantarnya tidak mengisi secara lengkap atau

tidak sesuai dengan karakteristik responden yang ditetapkan..

2. Evaluasi terhadap model dengan SEM.

Hasil pengujian dengan model persamaan struktural (structural equation model) dengan program AMOS dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Model SEM Penundaan

Evaluasi terhadap hasil pengujian model tersebut dapat dilihat dalam tabel 2. Hasil evaluasi terhadap model yang diajukan ternyata dari seluruh kriteria yang digunakan sebagian besar menunjukkan adanya hasil yang baik, berarti model baik dan sesuai dengan data.

Tabel 2 Evaluasi Kriteria Goodness of Fit Indices

Kriteria Hasil Nilai Kritis *) Evaluasi Model Cmin/DF 3.565 ≤2,00 (ditoleransi sampai 5) Baik Probability 0,000 ≥0,05 Kurang Baik RMSEA 0,086 ≤0,08 Baik GFI 0,963 ≥0,90 Baik TLI 0,814 ≥0,95 kurang Baik CFI 0,946 ≥0,94 Baik

Sumber: Data primer yang diolah, *) Hair (1992), Arbuckle (1997), Muller (1996)

Pengetahuan produk

Niat menunda

Persepsi Informasi Risiko yang

dipersepsikan

Complexity

Compatibility

Relative Advantage

Observabilit

Stockout-.782

.0

.5

-1 11

1.0

-

- .455

-

.3 Perilaku menunda Sikap

menund.621

Trialability

Page 162: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 157

Untuk menguji hipotesis hubungan kausal antara konstruk yang membentuk

model berikut disajikan koefisian jalur yang menunjukkan hubungan kausal

antara variabel tersebut. Hubungan tersebut ditunjukkan dalam Tabel 3.

Tabel 3 Koefisien Jalur (Standardize Regression) antar Variabel

Jalur KoefisienJalur

CR Probability (p)

Keterangan

sikap <----------- PengetahuanProduk -0.952 -4.810 0.013 Signifikan sikap <----------- PersepsiInformasi -0.123 -2.568 0.000 Signifikan sikap <----------- RelativeAdvantage -0.782 -5.726 0.035 Signifikan sikap <--------------- Compatibility 0.032 0.183 0.108 Tidak

signifikan sikap <------------------ Complexity 0.530 5.415 0.012 Signifikan sikap <---------------- Trialability -1.117 -1.775 0.280 Tidak

signifikan sikap <--------------- Observability 1.041 2.198 0.201 Tidak

signifikan NiatMenunda <-------------- Stockout -1.039 -2.481 0.150 Tidak

signifikan NiatMenunda <---------------- Resiko 1.455 3.531 0.131 Tidak

signifikan NiatMenunda <----------------- sikap 0.345 3.099 0.002 Signifikan PerilakuMenunda <------- NiatMenunda 0.621 8.546 0.012 Signifikan

Sumber: Data Primer yang diolah (2009)

Pengujian hipotesis (alternatif) dilakukan dengan membandingkan nilai probability (p) dikatakan signifikan apabila nilai p ≤ 0.05. Dengan kriteria tersebut terlihat tidak semua jalur signifikan. Keunggulan relative berpengaruh negative signifikan terhadap sikap menunda, persepsi informasi pemasaran integrative berpengaruh negative signifikan terhadap sikap menunda, dan pengetahuan produk berpengaruh negative signifikan terhadap penundaan adopsi inovasi kompor LPG hasil konversi. Complexity juga berpengaruh negative signifikan terhadap sikap menunda. Sikap menunda dan niat menunda berpengaruh positif signifikan terhadap keputusan penundaan adopsi inovasi kompor LPG hasil konversi.

Page 163: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 158

3. Implikasi teoritikal Meskipun penelitian ini banyak keterbatasannya, namun hasil penelitian

ini dapat memberikan kontribusi dalam menambah pengetahuan yang telah ada tentang keputusan penundaan adopsi terutama dalam seting konversi energy. Secara khusus studi ini menunjukkan arti penting pengaruh pengetahuan produk, persepsi informasi, relative advantage, complexity, sikap dan niat menunda terhadap penundaan adopsi inovasi kompor LPG hasil konversi yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta. Implikasi teoritikal yang dapat disampaikan pada penelitian ini adalah sebagai berikut. a. Pengaruh pengetahuan produk terhadap Sikap Menunda.

Pengaruh pengetahuan produk terhadap penundaan konsumsi adalah negative. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tingkat pengetahuan masyarakat terhadap LPG rendah maka penundaan adopsinya akan meningkat. Dari survey responden ditemukan bahwa pengetahuan masyarakat miskin terhadap LPG yang dianggap produk inovatif masih rendah, sehingga sikap dia terhadap adopsi juga rendah, dan pada akhirnya sikap menunda adopsi LPG menjadi negative. Hal ini didukung oleh Roger yang menyatakan bahwa pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior). Semakin tinggi tingkat pengetahuan seseorang atas suatu inovasi, semakin positif sikap dia terhadap inovasi. Sebaliknya jika pengetahuan seseorang terhadap inovasi rendah maka sikap dia terhadap inovasi juga akan negatif. 1. Pengaruh Persepsi informasi komunikasi pemasaran integrative

Terhadap Sikap Menunda.

Pengaruh Persepsi informasi komunikasi pemasaran integrative terhadap penundaan konsumsi adalah negative. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat miskin mempersepsikan informasi pemasaran integrative terhadap produk LPG yang rendah sehingga sikap menunda adopsi LPG akan meningkat. Temuan ini konsisten dengan Anderson (1971, 1980 dalam Dharmmesta, 1998) yang menyatakan bahwa pengolahan informasi sangat berkaitan dengan sikap konsumen. Sebagai suatu pendekatan umum, ide di belakang pengolahan informasi menekankan pada kompleksitas tentang bagaimana, orang mendapatkan pengetahuan, dan bagaimana mereka membentuk dan merubah sikap mereka. Menurut teori integrasi informasi yang dikemukakan oleh

Page 164: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 159

sebagian besar sikap konsumen itu terbentuk dalam kaitannya dengan respon pada informasi yang mereka terima tentang obyek sikap. Selanjutnya dikatakan, bagaimana konsumen menerima dan mengkombinasikan informasi ini telah menjadi dasar struktur sikap 2. Pengaruh keunggulan Relatif terhadap Sikap Menunda.

Pengaruh keunggulan relatif terhadap penundaan konsumsi adalah negative. Hal ini menunjukkan bahwa semakin masyarakat miskin mempersepsikan bahwa LPG tidak lebih baik dari bahan bakar sebelumnya (minyak tanah) maka sikap dia terhadap adopsi juga akan negative dan ini akan berdampak pada meningkatnya sikap untuk menunda adopsi LPG. Dari survey responden ditemukan bahwa persepsi masyarakat miskin dari sisi keunggulan relatif LPG dibandingkan minyak tanah yang dianggap produk inovatif masih rendah, sehingga sikap dia terhadap adopsi juga rendah, dan pada akhirnya sikap menunda adopsi LPG menjadi meningkat. Hal ini didukung oleh pendapat Davis, 1989 yang menyatakan bahwa ketika konsumen mengetahui adanya manfaat baik dilihat dari sisi finansial dan ekonomis, konsumen akan memiliki memiliki sikap afektif pada produk inovatif, yaitu rasa suka terhadap produk. Ram juga menemukan bahwa semakin besar keunggulan relatif dirasakan oleh pengadopsi, semakin disukai inovasi tersebut. Konsep ini menunjukkan bahwa tingkat senang tidaknya adopsi produk inovatif ditentukan oleh persepsi konsumen tentang adanya keuntungan atau manfaat yang ditawarkan oleh produk inovatif. 3. Pengaruh Complexity terhadap Sikap Menunda.

Pengaruh persepsi kompleksitas produk LPG terhadap sikap menunda adalah positif. Hal ini menunjukkan bahwa semakin rumit penggunaan produk LPG yang dipersepsikan oleh masyarakat miskin, semakin negatif pula sikap masyarakat terhadap LPG dan sikap untuk menunda adopsi LPG semakin tinggi. Marshall, Rainer & Morris, 2003 menunjukkan bahwa, tingkat adopsi produk inovatif akan tinggi jika konsumen merasakan adanya kemudahan penggunaan produk yang ditawarkan oleh produk inovatif. Ketika konsumen mengetahui adanya penggunaan produk elpiji dan tidak memakan banyak waktu untuk mempelajarinya, konsumen akan menyukai produk elpiji. Jika konsumen merasakan produk elpiji memberi manfaat lebih besar daripada minyak tanah, maka konsumen akan menyukai produk elpiji. Begitu sebaliknya, jika konsumen merasakan produk elpiji menyulitkan dalam penggunaannya, maka

Page 165: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 160

konsumen akan memiliki sikap negatif atau tidak menyukai produk elpiji. Kerumitan adalah derajat dimana inovasi dianggap sebagai suatu yang sulit untuk dipahami dan digunakan (Ram, 1987; Slyke, Loy & Day, 2002). Temuan penelitian ini juga sejalan dengan Liang, 1987 yang menunjukkan bahwa beberapa inovasi tertentu ada yang dengan mudah dapat dimengerti dan digunakan oleh pengadopsi dan ada pula yang sebaliknya. Semakin mudah dipahami dan dimengerti oleh pengadopsi, maka semakin cepat suatu inovasi dapat diadopsi. Kompleksitas inovasi meliputi kompleksitas ide, terkait dengan kemudahan untuk dipahami, and kompleksitas dalam pelaksanaan, terkait dengan kemudahan untuk diimplementasikan. 4. Pengaruh Sikap Menunda terhadap niat menunda.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sikap menunda berpengaruh positif terhadap niat menunda. Hal ini menunjukkan bahwa semakin kuat sikap menunda adopsi LPG dari masyarakat miskin, semakin kuat juga niat untuk menunda adopsi LPG. Hal ini ditunjukkan oleh teori sikap menyatakan bahwa seseorang yang memiliki sikap positif kearah perilaku akan lebih suka menunjukkan perilakunya. Sikap akan berdampak pada proses pencarian informasi, pembentukan niat dan tindakan. Dalam literatur inovasi, sikap akan meningkatkan perhatian pada obyek inovasi. Sikap merupakan salah satu faktor internal yang cukup kuat pengaruhnya terhadap perilaku. Pada umumnya sikap dengan perilaku akan selaras, meskipun dibutuhkan faktor psikologis lainnya yang menjembatani yaitu minat/niat perilaku (Fishbein dan Ajzen, 1975). Komponen perilaku merupakan aspek kecenderungan berperilaku tertentu sesuai dengan sikap yang dimiliki oleh subyek. Studi empiris yang dilakukan oleh Winter et al., 1998 tentang sikap seseorang terhadap komputer, menemukan bahwa sikap dapat memprediksi perilaku untuk menggunakan komputer. Perwujudan dari komponen ini dapat bersifat verbal yaitu apa yang diucapkan atau dinyatakan dapat pula bersiat non verbal yaitu yang diekspresikan atau dilakukan oleh individu terhadap obyeknya. Dengan memahami fungsi sikap berarti memahami bagaimana sikap tersebut mempengaruhi individu. Temuan ini juga didukung oleh Nelson (1990) dalam studi inovasinya menempatkan sikap sebagai variabel individual yang berhubungan dengan niat untuk berperlaku. Dalam hubungan sikap ke niat berperilaku, Davis et al., 1989 menyatakan bahwa sikap positif seseorang akan mendorong niat yang positif kearah perilaku inovasi. Argumentasi ini sejalan

Page 166: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 161

dengan kerangka riset lain dalam teori perilaku seperti yang dikemukakan oleh Bagozzi, 1981. Lebih khusus lagi, hubungan sikap-niat-perilaku akan lebih kuat jika seseorang bebas untuk melakukan tindakan (free to act). 5. Pengaruh niat menunda terhadap perilaku menunda.

Pengaruh niat menunda terhadap perilaku atau keputusan menunda dalam penelitian ini adalah positif signifikan. Artinya bahwa semakin seseorang dalam hal ini adalah masyarakat miskin mempunyai niat untuk menunda maka perilaku dia kea rah penundaan adopsi LPG juga akan meningkat. Niat merupakan variabel antara yang menyebabkan terjadinya perilaku dari suatu sikap maupun variabel lainnya (Dharmmesta, 1998). Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada variabel niat, pertama bahwa niat dianggap sebagai perantara faktor motivasional yang mempunyai dampak pada suatu perilaku. Kedua, niat menunjukkan seberapa keras seseorang berani mencoba. Ketiga, niat menunjukkan sejumlah upaya yang direncanakan seseorang untuk dilakukan. Keempat, niat merupakan suatu kondisi yang paling dekat berhubungan dengan perilaku tersebut. Hasil penelitian ini konsisten dengan hasil penelitian Wicker, dalam Baron & Byme, 1991; Brannon et. al., 1973 dan DeFleur & Westie, 1958 dalam Allen, Guy, dan Edgley, 1980 yang menunjukkan adanya indikasi hubungan yang kuat antara niat dan perilaku dan sebagian menunjukkan lemahnya hubungan antara niat dengan perilaku.

Menurut teori sikap (Schiffman & Kanuk, 2004), sikap positif konsumen terhadap sesuatu akan diikuti oleh perilaku yang positif pula. Hal ini menunjukkan bahwa ketika konsumen memiliki keyakinan positif mengenai konsekuensi pilihan sesuatu, akan memutuskan untuk berperilaku sesuai dengan keyakinan. Perilaku seseorang itu mencerminkan sikapnya terhadap sesuatu obyek. Jika seseorang mempunyai sikap yang positif terhadap suatu obyek, maka dia akan berperilaku mendukung berlakunya/terjadinya obyek tersebut; sebaliknya jika sikapnya negatif, maka dia akan selalu mencoba menghalangi atau, paling tidak mengabaikan, berlakunya/terjadinya obyek tersebut. Daniel Katz (dalam Assael, 1987) mengemukakan fungsi kegunaan (The Utilitarian Function) dari sikap bisa mengarahkan seseorang kepada pemenuhan kebutuhan yang diinginkannya. Misalnya, konsumen yang mempertimbangkan aspek kemudahan dalam penggunaan bahan bakar, maka sikapnya akan mengarah kepada bahan bakar yang diyakininya dapat memenuhi kebutuhannya akan kemudahan dalam penggunaan. Demikian pula sebaliknya, sikap konsumen

Page 167: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 162

akan cenderung menghindari bahan bakar yang diyakininya tidak dapat memenuhi kriteria kebutuhannya. H. Kesimpulan Dan Saran

1. Kesimpulan

Penelitian ini menggunakan data yang dikumpulkan dari 280 responden yang masuk dalam kategori keluarga miskin dan berada pada posisi menunda adopsi LPG. Data diperoleh dengan menggunakan instrumen kuesioner yang dilengkapi dengan Indepth Interview dan Observasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang menunda adopsi LPG dipengaruhi oleh rendahnya keunggulan relatif LPG dibandingkan minyak tanah. Sebagian besar responden menyatakan bahwa LPG tidak lebih baik dari minyak tanah. Faktor lain yang menyebabkan penundaan adopsi LPG berasal dari pengetahuan produk yang relatif rendah. Persepsi komunikasi pemasaran integratif yang rendah juga menyebabkan penundaan adopsi menjadi meningkat. Responden mempersepsikan bahwa berbagai sumber pemberi informasi tidak sepenuhnya menyampaikan informasi tentang LPG sehingga pesan-pesan yang disampaikan tidak bisa diterima dengan baik oleh masyarakat miskin. Dari sisi persepsi risiko, hal penting yang paling mempengaruhi persepsi negatif penggunaan kompor LPG adalah kemungkinan ledakan yang dapat menimbulkan kebakaran bagi rumah tinggal masyarakat. Rumah bagi masyarakat miskin merupakan harta yang tidak ternilai, karena pada umumnya dibangun melalui proses yang panjang mulai dari rumah berdinding bambu dan sedikit demi sedikit dibangun menjadi rumah permanen. Proses ini menimbulkan kekhawatiran yang lebih besar atas kemungkinan terjadinya kebakaran pada rumah tinggal mereka. Sikap menunda dan niat menunda yang besar juga berpengaruh pada keputusan penundaan adopsi LPG. Secara stastistik pengaruh keunggulan relatif terhadap sikap menunda adalah sebesar 78,2%, pengaruh pengetahuan sebesar 95,2%, pengaruh informasi komunikasi pemasaran integratif sebesar 12,3%. Pengaruh persepsi risiko pada niat menunda sebesar 45,5%,. Pengaruh sikap menunda ke niat menunda sebesar 34,5%. Pengaruh niat menunda ke perilaku menunda sebesar 62,1%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengetahuan masyarakat miskin tentang LPG menjadi hal yang paling penting dalam adopsi inovasi kompor LPG, di samping keunggulan relatif, persepsi risiko dan informasi komunikasi pemasaran integratif.

Page 168: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 163

2. Saran

Berbagai temuan dalam studi mengindikasikan adanya perbedaan persepsi antara pemerintah dan masyarakat miskin yang relevan dengan pengembangan komunikasi adopsi konversi minyak tanah ke LPG. Perbedaan persepsi tersebut akan berpotensi menjadi kendala adopsi dan difusi konversi minyak tanah ke LPG, sehingga perlu untuk diperhatikan dalam program komunikasi dalam rangka melakukan edukasi masyarakat agar informasi yang akan disampaikan dapat diterima secara utuh oleh masyarakat target konversi.

Salah satu perbedaan persepsi tersebut adalah sumber informasi konversi minyak tanah. Pemerintah menggunakan media televisi dalam format iklan layanan masyarakat untuk mengenalkan konversi minyak tanah dengan keyakinan bahwa format dan sumber informasi tersebut kredibel sehingga dapat menumbuhkan sikap positif terhadap konversi minyak tanah. Namun demikian, bagi masyarakat format iklan hanyalah merupakan keinginan produsen untuk melakukan demo penggunaan peroduk guna mendorong terjadinya penjualan. Bagi masyarakat miskin, berita televisi merupakan sumber informasi yang diyakini kebenaranya, karena dinilai lebih independen dan objektif. Selain itu, sinetron juga merupakan salah satu format acara yang digemari khususnya kaum ibu. Dengan demikian, dimungkinkan penyampaian informasi melalui media televisi tersebut dilakukan melalui kedua format acara tersebut. Sumber informasi yang juga memiliki kredibilitas baik terutama di wilayah perdesaan adalah aparat pemerintah. Selama ini, fungsi aparat pemerintah pada level yang terendah yaitu tingkat kelurahan untuk menyampaikan informasi konversi belum dimanfaatkan secara maksimal baru terbatas pada pendataan keluarga miskin yang berhak mendapatkan bantuan perangkat kompor gas. Aparat pemerintah pada level tersebut tidak memiliki pengetahuan yang cukup untuk dapat menjawab berbagai pertanyaan maupun kegelisahan masyarakat yang berkembang seputar dengan konversi minyak tanah. Aparat pemerintah pada tingkat kelurahan maupun dusun perlu dilibatkan dalam kegiatan konversi ini terutama di daerah pedesaan, mengingat tingkat kepercayaan dan ’kepatuhan’ masyarakat cukup tinggi.

Pengetahuan masyarakat miskin tentang LPG juga perlu diperhatikan, karena penundaan terbesar adalah dari faktor pengetahuan yang rendah akan produk LPG. Pemerintah sebaiknya melakukan sosialisasi dan pemberian informasi yang lebih banyak tentang keunggulan LPG dari minyak tanah dan

Page 169: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 164

tentang risiko penggunaan LPG. Yang harus diingat oleh pemerintah bahwa masyarakat miskin ini sebagian besar adalah berpendidikan rendah. Sehingga, masyarakat miskin akan bisa merubah persepsi mereka tentang keburukan-keburukan LPG dan menjadikan LPG bisa dengan mudah diadopsi oleh kalangan miskin.

Dari sisi metodenya, penelitian ini mempunyai keterbatasan yaitu yang diamati adalah kelompok yang menunda adopsi LPG saja. Untuk riset berikutnya diharapkan seting penelitiannya bukan hanya pada masyarakat miskin yang menunda adopsi LPG tetapi pada masyarakat miskin yang sudah mau mengadopsi. Sehingga diharapkan ada komparasi hasil dari keduanya. Secara teoritis, diharapkan bahwa ada penelitian lanjutan tentang penundaan adopsi dengan seting yang lain untuk mengeneralisasi model penelitian ini dan variabel-variabel yang mempengaruhi perilaku penundaan adopsi.

DAFTAR PUSTAKA

Adams, D. A., Nelson, R.R, and Todd, P.A (1992), “Perceived Usefulness, Ease Of Use, and Usage Of Information Technology: A Replication,” MIS Quarterly (16:2), pp. 227-247

Allen, F (1993), “Dimensional Diagnosis Of Personality, Not Wheter, But When And Which,” Psycological Inquiry, Vol 4.p 110

Anderson, J.C and Gerbing, D.W (1982) “Some Methods For Respecifying Measurement Models To Obtain Unidimensional Construct Measurement,” Journal of Marketing Research, 19: pp. 453-460.

Antil, J.H (1988), “New Product Or Services Adoption: When Does It Happen,” Journal of Consumer Marketing, 5: 5-17.

Arbucle, J.L (1997), “ Amos User’s Guide Version 4.1,” Chicago, Smallwaters Corporation.

Assael, H (1998), Consumer Behavior and Marketing Action. 6th Edition. Ohio: South-Western College Publishing

Azjen, I and Fishben M (1980), “Understanding attitudes and predicting social behavior,” Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall

Azjen, I (1985), “ From Intentions To Actions: A Theory Of Planned Behavior,” In Action Control: From Cognition To Behavior. J, Kuhl and J. Beckmann (eds). Springers Verlag, New York. Pp 11-39

Azjen, I (1988), “Attitudes, Personality, and Behavior,” Dorsey Press, Chicago, IL, 1988.

Page 170: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 165

Bagozzi, R. P (1981. Attitudes, intentions and behavior: A test of some key hypotheses. Journal of Personality Social Psychology. 42(4) pp. 607-627.

Bagozzi, R.P (1981), “Evaluating Structural Equation Models With Unobservable Variables And Measurement Error: A Comment,” Journal of Marketing Research, 18: 375-381.

Bearden, W.D., Calcich, S.B and Netemeyer, R (1986), “An Exploratory Investigation Of Consumer Innovativeness and Interpersonal Influences,” Advances in Consumer Research, 13(1), pp 77-82.

Belk, R.W. 1975. Situational variables and consumer behavior. Journal of Consumer Research, 2: 157-174.

Brown S. A and Venkatesh V (2005), “Model of Adoption of Technology in Households: A Baseline Model Test and Extension Incorporating Household Life Cycle,” MIS Quarterly, 29(3):399–26

Brown, S. A., Venkatesh, V and Bala, H (2006), “Household Technology Use: Integrating Household Life Cycle and The Model of Adoption of Technology in Household,” The Information Society, 22: 205-218.

Brown, S. A and Venkatesh, V (2005), “Model of Adoption of Technology in Households: A Baseline Model Test and Extension Incorporating Household Life Cycle,” MIS Quarterly 29(3):399–26.

Brucks, M (1985), “The Effects of Product Class Knowledge on Information Search Behavior,” Journal of Consumer Research, 12 (June), 1-16.

Cater, L and Belanger, F (2004), “The Influence Of Perceived Characteristics Of Innovation On E-Government,” Electronic Journal of E-Governmen, Vol 2, pp 11-20.

Chauduri, A (1994), “The Diffusion of an Innovation in Indonesia,” Journal of Product and Brand Management, 3: 19-26.

Conchar, M.P., Zinkhan, G.M., Peters, C and Olavarrieta, S (2004), “An Integrated Framework for The Conceptualization of Consumers’ Perceived-Risk Processing”, Journal of the Academy of Marketing Science, Vol. 32 No. 4, pp. 418-36.

Conlon, E.G; Zimmer-Gembeck, Melanie J; Creed, P.A; Tucker, M, (2006), “Family History, Self-Perceptions, Attitudes and Cognitive Abilities Are Associated With Early Adolescent Reading Skills,” Journal of Research in Reading, Feb, Vol. 29 Issue 1, p11-32, 22p

Choudrie, J and Dwivedi, Y. K (2006), “Investigating Factors Influencing Adoption of Broadband in The Household,” Journal of Computer Information Systems.

Cooper, D.R and Schindler, P.S (2003), “Business Research Methods,” 8th ed Boston: McGraw-Hill. Companies

Page 171: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 166

Davis, F.D (1989), “Perceived Usefulness, Perceived Ease of Use, and User Acceptance of Information Technology,” MIS Quartely, 13. 319-339

Davis, F.D., Bagozzi. R.P and Warshaw. P.R (1989), “User Acceptance of Computer Technology: A Comparison of Two Theoretical Models. Management Science. (35). 982-1002.

Dholakia, U. M (2001), “A Motivational Process Model of Produk Involvement and Consumer Risk Perception,” European Journal of Marketing, Vol 35. No. 11/12, pp 1340-1360.

Dowling, G. R (1986), “Perceived Risk: The Concept and Its Measurement,” Psychology and Marketing, 3, 193-210.

Dowling. G. R and Staelin, R (1994), “A Model of Perceived Risk and Intended Risk-Handling Activity,” Journal of Consumer Research, 21, 119-135.

Dupagne, M (1999), “Exploring the Characterictics of Potential High-Definition Television Adopters. The Journal of Media Economics, 12 (1), 35-50.

Fitzsimons, G.J (2000), “Consumer Response To Stockouts,” Journal of Consumer Research, 27:249-266.

Gahtani, A.S (2003), ”Computer Technology Adoption in Saudi Arabia: Correlates of Perceived Innovation Attributes,” Information Technology for Development. 10 (2003) 57–69 57

Gatignon, H and Robertson, T.S (1985), “A Proportional Inventory for New Diffusion Research,” Journal of Consumer Research, 11: 849-867.

Hair, Jr., Anderson, R.E., Tatham, R.L and Black, W.C (1998), “Multivariate Data Analysis,” New Jersey: Prentice-Hall International, Inc.

Holness, D.A (2004), “The Discontinuance of Innovations in Pharmaceutical Labeling”, Dissertation, Huizenga Graduate School of Business and Enterpreneurship, Nova Southeastern University.

Jacoby, J and Kaplan, L.B (1972), “The Components of Perceived Risk,” In Venkatesan, M (ed). Proceeding of the Third Annual Conference of the Association for Consumer Research. pp. 382-393. College Park, MD: Association for Consumer Research.

Janes, P. L; Collison, Jim (2004), “Community Leader Perceptions of the Social and Economic Impacts of Indian Gaming,” Gaming Research and Review Journal, 2004, Vol. 8 Issue 1, p13-30

Joseph, R. C. (2005) An Examination of Non Adoption and Decision Inertia A Web Based Perspective, Dissertation, The City University of NewYork.

Kaharanna, E., Starub, D.W and Chervany, N.L (1999), “Information Technology Adoption Across Time: A Cross-Sectional Comparison of Pre-Adoption and Post-Adoption Beliefs,” MIS Quaterly, (23:2), pp. 183-213.

Katz, E (1961), “The Social Itinerary of Technical Change: Two Studies on The Diffusion of Innovation,” Human Organization, Vol 20, 1961, pp. 70-82.

Page 172: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 167

Kotler, P (2004), “Marketing Management,” New Jersey: Prentice Hall. Kwon., Tae, H and Robert Zmud, W (1987), “Unifying The Fragmented Models

of Information Systems Implementation, in Critical Issues in Information System Research,” R.J. Boland and R.A. Hirschheim (eds), Jhon Wiley and Sons Ltd., 1987, pp.227-251

Mahajan dan Wind (1986), “Innovation Diffusion Models of New Product Acceptance,” Ballinger Publishing Company, Cambridge, Massachusetts.

Manning, C. A., Bearden, W.O and Madden, J.J (1995), “Consumer Innovativeness and The Adoption Process,” Journal of Consumer Psychology, 4(4), 329-345

Martin, P.Y., Hamilton, V.E., Mc.Kimmie, B.M., Terry, D.J and Martin, R (2007), “Effects of Caffeine on Persuasion and Attitude Change: The Role Of Secondary Tasks in Manipulating Systematic Message Processing, European Journal of Marketing.

Mathieson, K (1991), “Predicting User Intentions: Comparing The Technology Acceptance Model With The Theory of Planned Behavior,” Information System Research, 2: pp. 173-191.

McCarthy., O’Reilly, S and O’Sullivan, C (1998), “An Investigation of The Effectiveness of The Domain Specific Innovativeness Scale in The Preidentification of First Buyers,” Agribsoness Discussion Paper, No. 22. Pp.2-37.

McCarthy, J.C (2005), “The State of Asia Pacific Technology Adoption and Govermance,” Springfield, Mo: Forrester Group.

Moore, G. C and Banbasat, I (1991), “The Development of an Instrument to Measure The Perceived Characteristics of Adopting an Information Technology Innovation,” Information Systems Research, (2:3), September. Pp. 192-222.

Pavlou, P.A (2003), “Consumer Acceptance of Electronic Commerce: Integrating Trust and Risk With The Technology Acceptance Model,” International Journal of Eletronic Commerce, Spring, Vol 7. No. 3, pp. 101-134.

Petty, R.A and Cacioppo, J.T (1981), “Attitude and Persuasion: Classic and Contemporary Approaches,” WM. C. Brown Company Publisher, Dubuque, Lowa.

Philippe, A and Ngobo, P. V (1999), ”Assessment of Consumer Knowledge and Its Consequences: A Multi Component Approach,” Advances in Consumer Reseach, Vol 26, pp. 569-575.

Purwanto, B.M (2002), “The Effect of Salesperson Stress Factors on Job Performance,” Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, 17: pp. 150-169.

Page 173: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 168

Ram, S (1987), “A Model of Innovation Resistance,” Advances in Consumer Research, 14: pp. 208-212.

Ram, S and Sheth, J.N (1989), “Consumer Resistance to Innovation: The Marketing Problem And Its Solutions,” Journal of Consumer Marketing, 6 (Spring), pp. 5-14

Robertson, T. S and Gatignon, H (1986) “Competitive Effects on Technology Diffusion”, Journal of Marketing, 50 (July) pp. 1-12

Robertson, T.S and Wind, Y (1980), “Organizational Psychographics and Innovativeness,” Journal of Consumer Research, vol. 7: pp. 24-31.

Rogers, E.M (1995), “Diffusion of Innovations,” 4th ed. Free Press, New York. Rogers, E.M and Shoemaker, F.F (1971), “Communication of Innovators: A

Cross-Cultural Approach,” New York: The Free Press. Saba. A and Di-Natale, R (2006), ”Attitudes, Intention and Habit: Their Role in

Predicting Actual Consumption of Fat and Oils,” Journal of Human Nutrition and Dietetics, Vol. 11. Pp. 21-32

Schiffman, L.G and Kanuk, L.L (2004), “Consumer Behavior, 8th Edition,” New Jersey: Prentice Hall International, Inc.

Sheppard, B.H., Hartwick, J and Warshaw, P.R (1988), “The Theory of Reason Action: A Meta Analysis of Past Research With Recommendations for Modifications and Future Research,” Journal of Consumer Research, (15:3). pp 325-343.

Sheth, J.N (1981), “Psychology of Innovation Resistance: The Less Developed Concept in Diffusion Research,” Research in Marketing, Jai Press. Vol.4. pp. 273-282.

Sheth, J.N (1974), “Models of Buyer Behavior: Conceptual, Quantitative and Empirical,” London: Harper and Row, Publisher.

Shih, E.C and Venkatesh, A (2004), “Beyond Adoption: Development and Application of A Use Diffusion Model,” Journal of Marketing, 68: 1: 59-72

Simonson, I., Carmon, Z., Dhar, R., Drolet, A and Nowlis, S.M (2001), “Consumer Research: In Search of Identity,” Annual Review Psychology, 54: 249-275.

Szmigin, I.T.D., & Bourne, H. 1999. Electronic cash: A qualitative assessment of its adoption. International Journal of Bank Marketing, 17: 192-202.

Sugandini, D ( 2007), “Studi Eksploratori Konversi Minyak Tanah Ke Gas”, Tidak dipublikasikan.

Sugandini, D (2008), “Studi Eksploratori Konversi Minyak Tanah Ke Gas,” Tidak dipublikasikan.

Venkatesh, V and Davis, F.D (1996), “A Model of The Antecedents of Perceived Ease of Use: Development and Test,” Decision Sciences, 27:3. pp. 451-478

Page 174: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 169

Venkatesh dan Brown, S.A (2001), “A Longitudinal Investigation of Personal Computers in Homes: Adoption Determinants and Emerging Challenges,” MIS Quarterly, Vol. 25 Issue 1, pp.71-102

Venkatesh, V., Morris M.G., Davis, G.B and Davis, F.D (2003), User Acceptance of Information Technology: Toward A Unified View,” MIS Quarterly. 27:3. pp.425-478

Page 175: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 170

Model Sikap Konsumen pada Kegiatan Causes-Brand Alliances

Singgih Santoso∗

Abstrak Saat ini konsep pemasaran sosial semakin popular, seiring dengan meningkatnya tuntutan konsumen agar kegiatan perusahaan juga berdampak positif bagi lingkungannya. Salah satu isu krusial saat ini adalah terjadinya pemanasan global, dengan dampak jangka panjang yang sangat merugikan kehidupan manusia. Salah satu kegiatan perusahaan dalam emmenuhi tanggung jawab sosialnya adalah lewat kegiatan cause related marketing; kegiatan pemasaran tersebut pada dasarnya mendonasikan sejumlah persentase tertentu dari penjualan produk untuk kegiatan sosial. Bentuk popular dari kegiatan cause related marketing adalah cause brand alliances, yakni kegiatan aliansi perusahaan dengan sebuah kegiatan sosial untuk memasarkan produk tertentu. Penelitian ini diharapkan memberi kontribusi pada pengembangan teori macromarketing, khususnya pada pemodelan perilaku konsumen atas produk-produk yang terkait dengan kegiatan cause brand alliances. Secara praktis, hasil riset dapat digunakan oleh pengambil kebijakan atau organisasi yang kompeten di bidang lingkungan; dengan mengetahui proses evaluasi konsumen atas merk yang mempunyai kepedulian pada kegiatan sosial, khususnya pelestarian lingkungan, untuk mengambil kebijakan yang mampu menggiatkan kampanye pelestarian lingkungan dan pengurangan pemanasan global. Sebuah model riset dikembangkan dengan memasukkan variabel sikap konsumen terhadap sebuah merk komersial, sikap konsumen terhadap sebuah organisasi yang bergerak pada bidang social, kesesuaian kategori produk dengan kegiatan social (product category fit), kesesuaian merk dengan nama kegiatan social (brand fit), sikap konsumen terhadap aliansi merk yang terjadi, serta niat beli konsumen pada merk aliansi tersebut. Sejumlah alat pengukuran dikembangkan untuk pengujian model riset tersebut. Keywords: cause related marketing, co-branding, cause brand alliances, attitude towards alliances

∗ Penulis adalah Mahasiswa Program Doktor FEB program studi manajemen UGM dan staf pengajar Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta.

Page 176: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 171

1. PENDAHULUAN Seiring dengan berkembangnya kepedulian akan pentingnya pencegahan

pemanasan global, upaya pelestarian lingkungan serta tuntutan masyarakat akan peran perusahaan dalam menangani masalah-masalah sosial, bidang ilmu pemasaran yang semula mengutamakan kepuasan konsumen dan akumulasi laba, menjadi bergeser kepada upaya kegiatan pemasaran yang memberi dampak positif kepada masyarakat di sekelilingnya. Kotler dan Keller (2007) mengemukakan istilah societal marketing concept, yang menekankan tugas perusahaan tidak hanya memuaskan keinginan pasar sasaran dengan lebih efisien dibanding kompetitor, namun juga memberi kontribusi positif bagi kehidupan sosial kemasyarakatan dalam jangka panjang. Menghadapi berbagai tantangan di bidang lingkungan saat ini, kemampuan untuk memelihara dan mempertahankan kehidupan yang layak secara berkelanjutan menjadi kepedulian banyak perusahaan dewasa ini. Konsep pemasaran sosial mendorong para pemasar untuk mempertimbangkan isu sosial serta etika dalam kegiatan pemasaran mereka, dengan menyeimbangkan perolehan laba, kepuasan konsumen dan kepentingan publik.

Salah satu isu krusial saat ini adalah terjadinya pemanasan global, yakni proses peningkatan suhu rata-rata atmosfer, laut dan daratan bumi, yang berdampak luas, mulai dari fenomena cuaca yang ekstrim di berbagai tempat, kerusakan lingkungan dan ekosistem, timbulnya penyakit serta bencana alam. Salah satu sebab pemanasan global adalah terjadinya deforestation. Dengan luas wilayah hutan tropis terbesar ketiga di dunia, deforestation di Indonesia tentu berdampak luas. Salah satu adalah terjadinya badai El Nino pada tahun 1987, 1991, 1994, dan 1997/1998 dengan dampak kebakaran hutan telah menyebabkan kerugian US$ 8 miliar. Data Badan Planologi tahun 2004 menyebutkan kerusakan hutan di kawasan hutan produksi mencapai 44,42 juta hektar, di kawasan hutan lindung mencapai 10,52 juta hektar, dan di kawasan hutan konservasi mencapai 4,69 juta hektar. Dengan laju kerusakan hutan Indonesia rata-rata 1,18 juta hektar per tahun, yang sebagian disebabkan praktek illegal logging, menempatkan Indonesia sebagai negara paling masif dalam laju kerusakan hutan (sumber http://indonesiancommunity.multiply.com, diakses Juni 2009).

Upaya yang dilakukan oleh perusahaan dalam keikut-sertaan mencegah gradasi lingkungan dapat berupa pengubahan perilaku masyarakat, baik dalam

Page 177: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 172

mengkonsumsi produk-produk perusahaan ataupun lewat upaya menumbuhkan kesadaran akan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan. Upaya lain yang ditempuh adalah menggandeng organisasi nirlaba untuk bersama-sama mempromosikan kegiatan yang berwawasan lingkungan. Sebagai misal, perusahaan penghasil anggur Southcorp melakukan aliansi dengan Australian Conservation Foundation untuk mengenai sejumlah isu lingkungan (Grundey, D. dan R.M. Zaharia 2008).

Kolaborasi antara perusahaan dengan organisasi nirlaba berkembang dengan pesat dalam dua puluh lima tahun terakhir ini, sejalan dengan berkembangnya minat perusahaan yang berorientasi profit untuk menjalin hubungan dengan sektor non profit. (Wymer dan Samu 2008; Varadarajan dan Menon 1988; Bronn dan Vrioni 2001). Pertumbuhan kegiatan cause-related marketing (CRM) ini tidak hanya ada di kawasan Eropa atau Amerika Utara, yang mencatat pertumbuhan tercepat, namun juga terjadi di negara yang sedang ada dalam tahap industrialisasi, seperti China (Wymer dan Samu, 2008). Sejalan dengan perkembangan tersebut, kegiatan CRM juga menjadi bervariasi, mulai dari kegiatan corporate philanthropy yang sederhana dan berjangka pendek, sampai kegiatan cause branding yang berjangka panjang dan menuntut komitmen tinggi dari perusahaan dalam mendukung sebuah kegiatan sosial.

2. PENGERTIAN CAUSE-RELATED MARKETING Secara umum, kegiatan CRM diartikan sebagai kerjasama antara sebuah

perusahaan dengan sebuah organisasi nirlaba lewat sebuah kegiatan komunikasi pemasaran. Pengertian tersebut masih luas dan dalam praktik banyak definisi yang dikembangkan untuk kegiatan ini. Berikut adalah beberapa definisi CRM (lihat Tabel 1).

Namun banyak periset yang menganggap sejumlah definisi CRM diatas masih sempit dan terbatas; beberapa kegiatan yang merupakan bagian dari kegiatan kerjasama dengan organisasi sosial, seperti kegiatan sponsorship, tidak tercakup dengan definisi-definisi diatas. Pendapat lain menyatakan adanya hubungan yang bersifat kontinum dalam kegiatan CRM, mulai dari hubungan komersial dalam jangka pendek pada satu kutub, sampai hubungan jangka panjang yang bersifat strategis pada kutub yang lain (Wymer dan Samu, 2008).

Untuk itu, Wymer dan Samu (2003) mengajukan tipologi kerjasama antara sebuah unit bisnis dengan sebuah organisasi sosial, yang memperhitungkan

Page 178: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 173

motivasi pelaku, tingkat komitmen pelaku dan resiko yang dihadapi baik oleh pelaku bisnis maupun pelaku sosial. Dalam tipologi itu disebutkan beberapa jenis aliansi. Pertama dan yang paling sederhana adalah corporate philanthropy, yang lebih mengutamakan dukungan pada kegiatan sosial dan (perusahaan) mempunyai komitmen paling rendah. Jenis aliansi lainnya yang mempunyai komitmen menengah serta motivasi bervariasi adalah kegiatan corporate foundation, licencing agreements dan sponsorships. Sedangkan cause-related marketing disebut sebagai aliansi berjenis transaction-based promotions; CRM mempunyai ciri kekuatan perusahaan lebih dominan dibandingkan kekuatan dari organisasi sosial yang berkolaborasi, tingkat kepentingan perusahaan lebih dominan dibandingkan kepentingan organisasi sosial, motivasi perusahaan lebih pada membina hubungan dengan pasar sasaran dan meningkatkan publisitas yang positif, sedangkan motivasi organisasi sosial lebih pada upaya mendapatkan dana dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan keberadaan dan tujuan organisasi tersebut.

3. PENGERTIAN CO-BRANDING DALAM KEGIATAN ALIANSI MERK Berbagai riset di bidang aliansi merk masih belum menunjukkan adanya

definisi yang baku tentang pengertian brand alliances. Definisi tentang aliansi merk masih bersifat longgar dan bervariasi (Cooke dan Ryan 2000), walaupun Erevelles et al. (2008) mengemukakan bahwa pada tingkat dasar, aliansi dibentuk sehingga merk-merk individu dapat bekerja-sama dalam kegiatan pemasaran untuk kepentingan bersama. Banyak terjadi kerancuan penggunaan istilah ‘brand alliances (aliansi merk)’ dan ‘co-branding’ serta beberapa istilah lainnya. Walchli (2007) mengemukakan cakupan cukup luas dari kegiatan co-branding, dari program jangka pendek seperti periklanan bersama, promosi bersama, kegiatan ingredient branding, sampai penggunaan dua merk yang bekerja-sama yang kemudian dikonotasikan sebagai satu produk. Demikian pula Simonin dan Ruth (1998) menghubungkan aliansi merk dengan kegiatan jangka pendek maupun jangka panjang dan dalam beragam bentuk kegiatan, seperti promosi bersama, penciptaan produk bersama atau bundled product.

Berikut beberapa definisi aliansi merk (lihat Tabel 2):

Page 179: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 174

Nama co-branding juga dipakai secara bergantian dengan nama brand alliances untuk pengertian yang sama (Walchli, 2007); ia juga menyatakan ingredient branding sebagai salah satu bentuk dari kegiatan co-branding.

Helmig et al. (2007) membagi berbagai macam kegiatan aliansi merk: Nama Strategi DefinisiJoint Sales Promotion

Kegiatan bersama promosi penjualan dari dua atau lebih perusahaan dengan tujuan peningkatan penjualan atau manfaat yang saling menguntungkan diantara partisipan.

Advertising Alliances

Dua merk dari kategori produk yang berbeda melakukan kegiatan periklanan secara bersama-sama.

Bundling Pemasaran dua atau lebih produk/jasa dalam satu paket/kemasan dengan harga tertentu.

Co-branding Kombinasi dua merk yang telah eksis untuk menciptakan sebuah nama merk komposit untuk sebuah produk baru.

Ingredient Branding

Atribut kunci dari satu merk dimasukkan dalam merk lain sebagai bahan.

Dual Branding Dua merk (biasanya restoran) membagi fasilitas yang sama kepada konsumen untuk menikmati salah satu atau keduanya.

Pembagian diatas menunjukkan kegiatan co-branding dapat diartikan salah satu bentuk aliansi merk, atau aliansi dua merk dengan ciri khusus yang dapat dibedakan dengan jenis aliansi merk lainnya.

Dari pengertian aliansi merk, berbagai jenis aliansi merk, serta ciri-ciri yang ada pada kegiatan co-branding, kegiatan co-branding dapat diartikan sebagai sebuah kegiatan aliansi merk, dimana dua atau lebih merk dari dua atau lebih perusahaan yang berbeda melakukan penawaran produk yang terintegrasi, berbeda dan unik, yang melibatkan kerja-sama penuh untuk kegiatan pemasaran merk aliansi ini, serta mementingkan atribut simbolik seperti citra dan reputasi dari masing-masing merk.

Definisi diatas menunjukkan beberapa ciri co-branding yang membedakannya dengan strategi aliansi merk lainnya: 1) Kedudukan yang sama diantara merk individu yang bekerja-sama

membentuk sebuah aliansi merk (Walchli, 2007). 2) Co-branding lebih mengarah pada penekanan pentingnya merk yang

beraliansi, dan tidak mengarah kepada natur dari aliansi, seperti pada kegiatan ingredient branding (Cooke dan Ryan, 2000).

Page 180: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 175

3) Memaksimalkan kekuatan dan prestise yang dimiliki setiap merk yang beraliansi, dengan efek psikologis bahwa merk yang ada mempunyai lebih dari yang sekarang ditawarkan (Ueltschy dan Laroche, 2000).

4) Perusahaan yang beraliansi melakukan kerja-sama dalam kegiatan pemasaran dari merk aliansi tersebut (Erevelles et al. 2008).

4. PENGERTIAN CAUSE BRAND ALLIANCES Cause brand alliances dipandang sebagai bagian dari kegiatan cause

related marketing yang berjangka panjang (Lafferty dan Edmonson, 2009); keduanya mempunyai karateristik adanya sejumlah donasi moneter kepada sebuah kegiatan sosial (cause) hanya ketika produk perusahaan terjual (Varadarajan dan Menon, 1988). Dalam penelitian ini, cause brand alliances diartikan sebagai bentuk kerjasama antara sebuah merk dengan sebuah kegiatan sosial (cause) secara strategis dan dalam jangka panjang untuk meningkatkan citra perusahaan. Dengan melakukan cause brand alliances, akan tercipta kesatuan antara merk produk dengan kegiatan sosial di pikiran konsumen, yang akan mengikat konsumen lebih dalam dengan merk produk (Davidson, 1997 dalam Lafferty et al. 2004).

5. TUJUAN PENELITIAN 1) Menjelaskan proses pembentukan sikap terhadap merk hasil aliansi dengan

melihat hubungannya dengan sikap terhadap sebuah merk individu (Attitude towards brand), sikap terhadap sebuah kegiatan sosial (cause), kecocokan kategori produk dan kegiatan sosial (category fit), kecocokan dua merk (brand fit) dalam sebuah aliansi antara sebuah merk dengan sebuah kegiatan sosial.

2) Menjelaskan proses pembentukan niat membeli merk hasil aliansi dengan melihat hubungannya dengan sikap terhadap merk hasil aliansi (attitude towards co-branding).

3) Menjelaskan peran gender dan tingkat pendidikan konsumen dalam memoderasi proses pembentukan sikap dan niat beli konsumen.

Page 181: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 176

6. PERTANYAAN PENELITIAN 1) Apakah sikap terhadap sebuah merk individu (Attitude towards brand)

berpengaruh pada sikap terhadap merk hasil aliansi dengan sebuah kegiatan sosial (attitude towards co-branding)?

2) Apakah sikap terhadap sebuah kegiatan sosial (Attitude towards cause) berpengaruh pada sikap terhadap merk hasil aliansi dengan sebuah kegiatan sosial (attitude towards co-branding)?

3) Apakah kecocokan kategori produk antara merk dengan kegiatan sosial yang beraliansi (category fit) berpengaruh pada sikap terhadap merk hasil aliansi?

4) Apakah kecocokan merk antara merk tertentu dengan kegiatan sosial yang beraliansi (brand fit) berpengaruh pada sikap terhadap merk hasil aliansi?

5) Apakah sikap terhadap merk hasil aliansi (attitude towards co-branding) berpengaruh pada niat beli konsumen (purchase intention)?

6) Apakah gender seseorang memoderasi proses pembentukan sikap dan niat beli konsumen?

7) Apakah tingkat pendidikan seseorang memoderasi proses pembentukan sikap dan niat beli konsumen?

7. LINGKUP PENELITIAN Model Penelitian Model penelitian berdasar pada rerangka penelitian hubungan antara sikap terhadap merk individu dan kaitannya dengan sikap terhadap merk aliansi serta niat beli konsumen, sesuai model dari Simonin dan Ruth (1998), Baumgarth (2004), Rodrigue dan Biswas (2004), Lafferty et al. (2004), Dickinson dan Barker (2007) dan Helmig et al. (2007). Pemilihan model didasarkan pada belum jelasnya hubungan variabel-variabel prediktor pada sikap konsumen terhadap aliansi merk dengan sebuah kegiatan sosial, serta kaitannya dengan niat beli konsumen. Obyek Penelitian Obyek yang akan diteliti adalah sebuah merk komersial dan sebuah kegiatan sosial yang akan melakukan aliansi. Pada riset ini, obyek adalah merk sebuah mobil dan makanan ringan yang akan beraliansi dengan sebuah kegiatan sosial yang berhubungan dengan pencegahan pemanasan global serta penghematan energi.

Page 182: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 177

Waktu Penelitian Riset dilakukan pada satu waktu tertentu (cross sectional), sehingga

permasalahan riset tidak menangkap perubahan fenomena yang terjadi karena perubahan waktu. Tempat Penelitian

Riset akan dilakukan di Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan pengambilan sampel sejumlah mahasiswa (student sample) dan pelajar yang berdomisili di Daerah Istimewa Yogyakarta. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data pada riset dilakukan dengan menggunakan laboratory experiment. Desain eksperimen ini dipilih karena ingin diketahui kausalitas antar variabel dengan penggunaan stimuli serta tercapainya validitas internal yang tinggi.

8. KAJIAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS Dalam kaitannya kegiatan co-branding, akan dipaparkan penggunaan teori

signalling untuk menjelaskan pembentukan sikap konsumen terhadap merk hasil co-branding.

Teori Signaling

Teori signalling berkaitan dengan bagan teoritis yang menguji komunikasi antara dua pihak, dimana sinyal atau isyarat ditransmisikan untuk membawa informasi lewat wahana yang dapat dilihat, didengar atau wahana lain yang dapat dideteksi (Alhabeeb, 2007). Teori ini berdasar pada konsep bahwa pembeli dan penjual yang ada dalam pasar mempunyai level dan informasi yang berbeda. Informasi yang asimetri tersebut menjadi masalah pada penjualan produk-produk yang membutuhkan pengalaman (experience product), dimana kualitas adalah hal yang tidak dapat diobservasi sebelum produk dibeli dan digunakan (Rao dan Ruekert, 1994); hal ini berbeda dengan produk-produk yang dibeli dengan proses pencarian (search product), seperti pada produk pakaian, dimana konsumen dapat mengobservasi kualitas produk sebelum dibeli. Pada produk yang mempunyai kualitas tersembunyi dan konsumen menginginkan kualitas produk yang bagus, kegiatan promosi dapat digunakan untuk memberi sinyal tentang kualitas yang tidak dapat diobservasi tersebut, karena konsumen diasumsi akan beranggapan sebuah perusahaan tidak akan

Page 183: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 178

menghamburkan anggaran secara sia-sia untuk hal itu. Pemberian garansi produk untuk jangka waktu tertentu dan dengan kondisi tertentu adalah bentuk lain dari sinyal yang diberikan oleh penjual untuk menyatakan kualitas superior dari produknya. Secara ringkas, sinyal dapat diartikan sebagai tindakan yang dilakukan penjual untuk membawa informasi secara kredibel tentang kualitas produk yang tidak dapat diobservasi kepada pembeli (Rao et al. 1999).

Ada beragam sinyal yang dapat digunakan untuk memberi informasi kepada konsumen, seperti harga produk, garansi yang diberikan, iklan produk, tampilan produk, reputasi ritel atau nama merk (Alhabeeb 2007). Rao et al. (1999) dan Wernerfelt (1988) juga menyatakan bahwa nama merk (brand name) dapat dipertimbangkan sebagai sebuah sinyal atas kualitas produk. Sebuah nama merk secara umum memberi informasi kepada konsumen siapa yang memproduksi merk tersebut, dan kepada siapa konsumen akan bereaksi negatif jika kinerja merk tidak sesuai dengan yang diharapkan. Jika sebuah merk yang telah dianggap mempunyai reputasi bagus dengan menghasilkan produk berkualitas, dan kemudian menghasilkan produk dengan kualitas jelek, maka konsumen dapat bereaksi dengan tidak membeli lagi merk tersebut, menyebarkan rumor jelek kepada konsumen lain, sampai melakukan gugatan secara hukum. Hal ini tentu merugikan perusahaan secara finansial dengan penurunan penjualan serta citra merk yang jelek; dengan demikian, perusahaan akan berusaha memberi informasi bahwa nama merk dengan reputasi bagus akan menghasilkan kualitas produk yang bagus. Di lain sisi, konsumen akan beranggapan bahwa produk bermerk akan lebih berkualitas dibanding produk tanpa merk, sehingga secara logis akan menerima klaim kualitas produk yang bagus dari produk bermerk (Rao et al. 1999).

Menurut teori signalling, ada dua kemungkinan sebuah brand signal akan bekerja (Rao dan Ruekert 1994). Pertama adalah adanya pengurangan resiko karena brand signal adalah indikator yang akan mengurangi kemungkinan keluaran yang buruk untuk konsumen, karena konsumen menganggap sinyal dari merk terkenal yang beraliansi dengan merk yang tidak dikenal, akan mempunyai variasi kecil dari rata-rata kualitas keduanya. Hal kedua adalah potensi kerugian dari perusahaan di masa mendatang jika konsumen menghukum perusahaan yang ternyata tidak tepat dalam merealisasi janji kualitas produknya. Bentuk hukuman tersebut adalah dengan tidak

Page 184: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 179

membeli lagi produk tersebut atau melakukan kegiatan word of mouth yang merugikan. Pengembangan Hipotesis

Pengembangan model penelitian pada riset brand alliance didasarkan pada model sikap konsumen pada aliansi merk yang telah dikembangkan oleh Simonin dan Ruth (1998) dan beberapa riset lainnya.

Model dari Simonin dan Ruth (1998) menjelaskan dampak aliansi dua merk pada sikap konsumen terhadap merk setelah merk tersebut beraliansi, serta sikap konsumen terhadap merk hasil aliansi tersebut. Model juga menggunakan variabel brand familiarity sebagai faktor pemoderasi hubungan diantara sikap konsumen terhadap merk sebelum aliansi, sikap konsumen terhadap aliansi merk, serta sikap konsumen terhadap merk setelah merk melakuka aliansi. Baumgarth (2004) melakukan replikasi terhadap model tersebut, dengan hasil yang menguatkan model dalam menjelaskan sikap konsumen terhadap kegiatan aliansi dua buah merk. Lihat Gambar 1 untuk model yang digunakan Simonin dan Ruth (1998) yang direplikasi oleh Baumgarth (2004):

Model dari Lafferty et al. (2004) menjelaskan juga dampak aliansi dua merk pada sikap konsumen terhadap merk setelah merk tersebut beraliansi, serta sikap konsumen terhadap merk hasil aliansi tersebut. Perbedaan utama dengan model Simonin dan Ruth (1998), model ini menggunakan aliansi sebuah merk komersial dengan sebuah kegiatan sosial (cause). Model juga menggunakan variabel brand familiarity sebagai faktor pemoderasi hubungan diantara sikap konsumen terhadap merk sebelum aliansi, sikap konsumen terhadap aliansi merk, serta sikap konsumen terhadap merk setelah merk melakuka aliansi.

(lihat gambar 2 untuk model Lafferty et al. 2004) Model dari Rodrique dan Biswas (2004) hasil pengembangan dari model

Simonin dan Ruth (1998), dengan menambahkan variabel moderasi dependency dan exclusivity pada hubungan sikap konsumen terhadap merk sebelum aliansi, sikap terhadap merk hasil aliansi dan sikap terhadap merk setelah merk beraliansi.

Selain itu, pada model juga ditambahkan hubungan antara sikap konsumen dengan tiga variabel yang berhubungan dengan keinginan beli konsumen, yakni variabel kualitas yang dipersepsi oleh konsumen (perceived quality), variabel keinginan untuk membayar produk pada harga premium (willingness to pay a premium price) dan variabel keinginan beli (purchase intention).

Page 185: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 180

Lihat Gambar 3 untuk model Rodrique dan Biswas (2004) Model Dickinson dan Barker (2007) juga menyajikan hubungan antara

sikap konsumen terhadap merk secara individu sebelum beraliansi dengan sikap konsumen terhadap merk hasil aliansi:

Lihat gambar 4 untuk model Dickinson dan Barker (2007). Berbeda dengan model Simonin dan Ruth (1998) yang menganggap variabel brand familiarity sebagai variabel moderasi, model ini menganggap variabel faniliarity sebagai salah satu faktor penyebab pembentukan kecocokan merk hasil aliansi yang dipersepsi konsumen (perceived co-brand fit). Model juga berbeda dengan tidak menghubungkan variabel pre-existing attitude dengan variabel post brand attitude seperti pada model Simonin dan Ruth (1998). Namun keduanya mempunyai kesamaan dalam menghubungkan antara sikap konsumen sebelum merk beraliansi dengan evaluasi konsumen terhadap merk hasil aliansi.

Helmig et al. (2007) juga mengembangkan model riset untuk sikap konsumen terhadap aliansi merk yang merupakan perluasan dari model Simonin dan Ruth (1998). Berbeda dengan model dari Simonin dan Ruth (1998) yang hanya meneliti pembentukan sikap konsumen, perluasan dilakukan dengan meneliti pengaruh sikap konsumen terhadap merk hasil aliansi pada keinginan membeli konsumen (lihat gambar 5).

Pada model dari Helmig et al. (2007) ini, variabel product fit dan brand fit yang ada pada model dari Simonin dan Ruth (1998) serta Baumgarth (2004) diganti menjadi satu variabel saja, yakni variabel fit atau congruency. Selain itu, model Helmig et al. (2007) juga mengganti variabel pemoderasi brand familiarity dengan tiga variabel eksogen yang berfungsi sebagai faktor potensial yang mempengaruhi keinginan beli konsumen. Ketiga variabel tersebut adalah kesadaran akan merk (brand consciousness), proses variasi pencarian dari konsumen (variety seeking) dan keterlibatan konsumen pada produk (product involvement). Selain itu, ada pengaruh pula dari variabel norma subyektif (subjective norm) pada keputusan beli konsumen.

Dari berbagai hal diatas akan dikembangkan berbagai hipotesis penelitian: Hubungan antara variabel sikap terhadap merk produk dan kegiatan cause dengan sikap terhadap merk aliansi

Riset-riset terdahulu juga menunjukkan bahwa sikap konsumen terhadap produk aliansi dipengaruhi oleh sikap konsumen sebelumnya terhadap merk-merk individu yang beraliansi (Simonin dan Ruth 1998), serta adanya dampak

Page 186: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 181

dari sikap terhadap sebuah merk individu terhadap merk yang lain. Fazio et al. (1989) menunjukkan bahwa produk (merk) hasil aliansi yang berasal dari merk-merk yang sudah dikenal oleh konsumen akan memudahkan dikenal dan disukai oleh konsumen. Riset Dickinson dan Heath (2006) menunjukkan bahwa semakin positif sikap terhadap merk individu akan berdampak semakin positif pula sikap konsumen terhadap merk hasil aliansi. Sikap konsumen yang positif pada salah satu merk bahkan dapat meningkatkan penilaian konsumen terhadap merk rekanan yang sebelumnya tidak begitu dikenal (Vaidyanathan dan Aggarwal 2000), sedangkan merk dengan reputasi sedang akan dapat meningkat penilaiannya jika beraliansi dengan merk yang sudah mempunyai ekuitas tinggi di benak konsumen (McCarthy dan Norris 1999). Riset dari Levin dan Levin (2000) pada kegiatan dual-branding menunjukkan aliansi merk akan meningkatkan kemungkinan kedua merk yang beraliansi dipersepsi konsumen mempunyai kesamaan dalam kualitas. Riset dari Lange (2005) menunjukkan bahwa merk yang dipersepsi bagus oleh responden dapat berkomplementer dengan merk yang dipersepsi tidak baik oleh konsumen.

Riset dari Lafferty et al. (2004) menunjukkan hubungan yang signifikan dari sikap terhadap merk serta sikap terhadap kegiatan cause dengan sikap konsumen terhadap aliansi keduanya; beberapa riset, seperti Wymer dan Samu (2008), Trimble dan. Rifon (2006) dan Hajjat (2003) mendukung hal itu.

Dari pembahasan diatas, dua hipotesis dapat dikemukakan: H1: Ada pengaruh positif variabel attitude toward brand pada variabel attitude toward cause-alliances. H2: Ada pengaruh positif variabel attitude toward cause pada variabel attitude toward cause-alliances.

Pengembangan variabel kesesuaian kategori produk (product category

fit) dan kesesuaian merk (brand fit) Variabel utama yang sering disebut dalam banyak riset tentang co-branding

adalah fit atau kesesuaian antara dua merk yang beraliansi (Hadjicharalambous 2006). Aaker dan Keller (1990) dalam risetnya tentang brand extension menyebut variabel fit antara produk awal dengan produk ekstensi sebagai salah satu faktor utama keberhasilan produk ekstensi di pasar, hal yang seharusnya dapat pula diaplikasikan pada kegiatan co-branding, yang merupakan bagian dari brand extension. Sedangkan Park et al. (1996) menunjukkan perlunya dua

Page 187: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 182

merk yang beraliansi saling berkomplementer, apalagi jika salah satu merk sudah dipersepsi dengan baik oleh konsumen. Keller (2003) menunjukkan bahwa persyaratan paling penting pada keberhasilan strategi co-branding adalah adanya logical fit antara dua merk yang beraliansi. Simonin dan Ruth (1998) dalam modelnya memberikan nama product fit dan brand fit untuk menilai kesesuaian diantara merk-merk yang beraliansi; hasil riset mereka menunjukkan bahwa semakin besar product fit dan brand fit, semakin positif pula sikap konsumen terhadap produk aliansi tersebut. Riset dari Baumgarth (2004) yang mereplikasi riset dari Simonin dan Ruth (1998) menunjukkan hasil yang sebagian besar konsisiten dengan temuan terdahulu. Hal ini menunjukkan bahwa dimensi fit memang berperan dalam membentuk sikap konsumen terhadap produk aliansi. Dalam riset ini akan digunakan dua variabel untuk mengukur kesesuaian diantara merk yang beraliansi, yakni product category fit dan brand fit. Kedua variabel tersebut pada dasarnya berasal dari riset-riset ekstensi merk serta riset tentang aliansi merk.

Untuk variabel product category fit, pengukuran diarahkan pada kesamaan diantara kategori produk yang mengacu pada masing-masing kategori produk dari masing-masing merk individu. Hal ini berhubungan dengan pemahaman product fit pada ekstensi merk, yakni adanya kesamaan diantara kategori produk awal dengan kategori produk ekstensi (Park et al. 1991), yang disebut sebagai product feature similarity.

Simonin dan Ruth (1998) mencoba membedakan pemahaman product fit mengartikan product fit pada kegiatan ekstensi merk dengan pada kegiatan aliansi merk. Pada ekstensi merk, kesesuaian produk lebih diartikan kepada seberapa jauh terdapat kesamaan antara kategori produk awal dengan kategori produk ekstensi. Dengan demikian, konsumen akan melihat sejauh mana perusahaan dapat melakukan transfer teknologi untuk membuat produk ekstensi. Sedangkan pada kegiatan aliansi merk, kegiatan transfer semacam itu tidak terjadi. Disini product fit dianggap sebagai perluasan dimana konsumen menganggap dua kategori produk tertentu bersifat kompatibel satu dengan yang lain. Ketika Baumgarth (2004) melakukan replikasi yang bersifat perluasan terhadap riset yang dilakukan Simonin dan Ruth (1998), ditemukan bahwa variabel product fit mempunyai hubungan yang positif dan signifikan terhadap variabel attitude toward brand alliance. Dickinson dan Hearth (2006) mengemukakan istilah category fit dengan sumber dari riset Aaker dan Keller

Page 188: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 183

(1990) pada ekstensi merk, dimana keduanya mengajukan istilah perception fit untuk kesamaan dua kelas produk. Model konseptual dari Helmig et al. (2007) menunjukkan hubungan yang positif antara variabel product fit dengan attitude toward buying co-branded products. Disini mereka mengkaitkan product fit dengan congruency diantara merk-merk yang beraliansi.

Selain mempertimbangkan kesesuaian jenis produk, dalam menilai aliansi merk, konsumen juga mempertimbangkan kekuatan citra merk dari masing-masing merk. Konsep brand consistency yang dikembangkan Park et al. (1991) pada riset tentang ekstensi merk dapat dikembangkan menjadi pengaruh citra pada riset tentang aliansi merk. Pada ektensi merk, merk dengan citra bagus akan dipersepsi bagus dan konsisten jika berekstensi pada kategori produk yang sama. Pada alinasi merk, jika merk tersebut beraliansi dengan merk lain yang juga dianggap mempunyai citra bagus, kedua merk dianggap konsisten atau kohesif satu dengan yang lain, dan akan mendorong konsumen bersikap positif pada merk aliansi tersebut.

Walchli (2007) mengajukan konsep between-partner congruity, yang membedakannya dengan konsep concept congruity yang ada pada kegiatan ekstensi merk. Pada ekstensi merk, merk hasil ekstensi akan mudah diterima oleh konsumen jika produk ekstensi mempunyai kesamaan dengan produk awalnya; pada aliansi merk, dimana dua merk yang berlainan beraliansi, komposisi dari pasangan merk yang beraliansi memperlihatkan bentuk yang dapat dinilai sebagai sama (congruity) atau tidak sama (incongruity), yang mempengaruhi evaluasi konsumen pada merk hasil aliansi tersebut.

Riset dari Laffety et al. (2004) dan riset dari Hamlin dan Wilson (2004) juga menyorot peran dari kedua variabel tersebut dalam menentukan sikap konsumen terhadap merk yang beraliansi dengan sebuah kegiatan sosial.

Dari pembahasan diatas, dapat dikemukakan hipotesis sebagai berikut: H3: Ada pengaruh positif variabel product category fit dengan variabel attitude toward cause-alliances. H4: Ada pengaruh positif variabel brand fit dengan variabel attitude toward cause-alliances.

Hubungan variabel Sikap Konsumen dengan variabel Purchase Intention (Keinginan Beli).

Selain itu, riset-riset juga menunjukkan adanya kaitan yang erat antara sikap konsumen dengan keinginan beli konsumen. Riset dari Min Han (1990) yang

Page 189: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 184

meneliti peran dari citra negara (country image) pada pembelian televisi dan mobil di tiga negara yang berbeda menunjukkan hubungan yang positif dan langsung antara variabel attitude dengan variabel purchase intention. Demikian pula riset dari Gill et al. (1988) tentang kaitan berbagai alternatif iklan dengan keterlibatan konsumen. komitmen konsumen dan sikap konsumen menunjukkan adanya hubungan yang signifikan dan positif antara variabel sikap konsumen dengan variabel keinginan beli dari konsumen, baik pada exposure yang bersifat subyektif dan obyek, ataupun pada exposure yang hanya bersifat subyektif.

Model konseptual yang dibangun Rodrigue dan Biswas (2004) menunjukkan kesamaan dengan model Simonin dan Ruth (1998). Hanya model kemudian dikembangkan dengan adanya variabel purchase intention yang dipengaruhi oleh variabel attitude toward brand alliances. Mereka menyatakan bahwa adanya aliansi merk akan meningkatkan persepsi konsumen terhadap kualitas produk hasil aliansi, termasuk mendorong keinginan beli konsumen.

Dari pembahasan tersebut, dapat dikemukakan hipotesis: H5: Ada pengaruh positif variabel attitude toward cause-alliances pada variabel purchase intention.

Faktor pemoderasi: variabel gender

Riset dari Berger et al. (1999) menunjukkan perbedaan sikap konsumen berdasar gender; wanita mempunyai sikap lebih positif dan lebih mempunyai keinginan membeli merk yang dalam promosinya mengkaitkan merk dengan sebuah kegiatan sosial. Demikian pula dengan riset dari Ross et al. (1992) yang mengupas peran gender, dengan temuan konsumen wanita cenderung lebih sensitif dengan adanya kegiatan sosial yang dilakukan perusahaan, sehingga mereka cenderung merespons lebih positif dibandingkan pria saat melihat sebuah promosi yang bersifat cause related marketing.

Riset dari Youn dan Kim (2008) menunjukkan peran signifikan dari beberapa faktor demografis, termasuk gender, pada sebuah kegiatan promosi perusahaan yang menggunakan kegiatan sosial didalamnya.

Dari pembahasan diatas, dapat dikemukakan dua hipotesis: H6: Wanita mempunyai sikap lebih positif daripada pria pada merk aliansi antara merk komersial dengan kegiatan sosial. H7: Wanita mempunyai keinginan beli lebih tinggi daripada pria pada merk aliansi antara merk komersial dengan kegiatan sosial.

Page 190: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 185

Berdasar penelusuran sejumlah riset dan pemaparan hipotesis, disusun sebuah model penelitian tentang perilaku konsumen terhadap sebuah merk aliansi berikut ini:

Produk dalam Eksperimen Dalam riset ini, eksperimen akan dilakukan terhadap dua kategori produk yang beraliansi, masing-masing adalah dua merk untuk produk komersial serta dua nama kegiatan sosial untuk cause.

Pemilihan Kegiatan Cause Pada dasarnya, ada empat jenis kegiatan cause (Lafferty, 2004), yakni kegiatan yang berhubungan dengan perlindungan binatang, kegiatan yang berhubungan dengan lingkungan, kegiatan yang berhubungan dengan kemanusiaan dan kegiatan yang berhubungan dengan kesehatan. Dalam riset ini, akan dipilih dua Yayasan fiktif. Yayasan pertama adalah yang berhubungan dengan tema riset, yakni yayasan yang bergerak dalam kegiatan lingkungan hidup, khususnya pelestarian hutan. Sedangkan yayasan kedua adalah yayasan yang berhubungan dengan perlindungan binatang. Pemilihan Produk Komersial Teori signalling yang digunakan dalam riset ini digunakan pada produk yang tidak dapat diobservasi kualitasnya terlebih dahulu, sehingga diperlukan sejumlah sinyal, diantaranya nama merk. Teori ini diawali oleh konsep economics of information (Stigler 1961), yang menguji peran kegiatan periklanan dalam mengurangi biaya pencarian konsumen, yang meliputi waktu dan tenaga untuk mendapatkan dan memproses informasi; konsumen mendapatkan keuntungan dari pencarian tersebut, yakni harga produk yang lebih rendah atau kualitas produk yang lebih bagus. Konsep dasar dari economics of information adalah seorang konsumen yang rasional akan melakukan pencarian hanya jika manfaat marjinal yang didapat melebihi biaya marjinal yang dikeluarkan. Nelson (1970) mengembangkan konsep economics of information tersebut dengan memasukkan kegiatan periklanan sebagai sumber informasi tentang kualitas produk secara umum, dimana manfaat dari mencari dan memproses informasi iklan dapat bervariasi, tergantung dari tipe produk atau atribut yang sedang diiklankan. Terkait dengan pengamatan konsumen atas kualitas produk, Nelson (1970) membagi produk menjadi search products, yakni produk dengan kualitas

Page 191: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 186

produk yang dapat dinilai sebelum pembelian dilakukan, serta experience products, yakni produk dengan kualitas produk yang tidak dapat dinilai sebelum pembelian dilakukan. Franke et al. (2004) mendefinisikan search product sebagai produk yang mempunyai atribut-atribut yang dapat dinilai dan diamati secara efektif oleh pembeli sebelum keputusan pembelian dilakukan; sedangkan experience product diartikan sebagai produk yang mempunyai atribut-atribut yang dapat dinilai dan diamati hanya setelah pembelian dilakukan. Search product adalah produk dengan informasi yang cukup tentang atribut-atribut produk tersebut dapat diperoleh lewat deskripsi produk yang obyektif dari penjual, seperti kandungan bahan dari produk, warna, bentuk atau ukuran, sebelum produk tersebut dibeli; atribut-atribut esensial dari search product dapat dengan mudah dievaluasi sebelum produk tersebut dibeli (Franke et al. 2004). Sedangkan experience product adalah produk dengan informasi yang cukup tentang produk tersebut hanya dapat diperoleh setelah produk tersebut dibeli; jika konsumen akan mengevaluasi atribut-atribut esensial dari produk tersebut, ia akan mengeluarkan banyak biaya dan waktu, sehingga pengalaman secara langsung dengan produk tersebut adalah cara terbaik untuk mengevaluasi atribut-atribut esensial tersebut. Beberapa contoh search products dan experience products dari riset Nelson (1970), yang kemudian direplikasi oleh Leahy (2005) adalah produk pakaian, permata dan berlian, produk mebel dan mainan anak untuk search products; sedangkan contoh untuk experience products adalah produk makanan dan minuman, produk peralatan rumah tangga, produk otomotif, elektronik serta obat-obatan. Produk yang termasuk pada experience shopping products adalah produk yang terkait dengan kendaraan (ban, onderdil mobil), produk professional and scientific instrument (seperti mesin fotocopi atau komputer), produk komunikasi dan hiburan (seperti televisi, radio, CD, teater rumah), dan lainnya; sedangkan contoh untuk experience convinience products adalah produk groceries (seperti makanan dan minuman, dan baterai), produk obat-obatan dan toilettris (seperti obat OTC, kosmetik, tisu dan perawatan kulit), produk rokok dan lainnya. Karena sulitnya memperoleh informasi tentang kualitas produk pada experience product, konsumen akan cenderung meragukan informasi yang berkaitan dengan kualitas produk yang disajikan dalam kegiatan periklanan. Karena itu, mereka akan menggunakan sumber informasi lain, seperti dari teman atau sumber terpercaya lainnya. Ketika konsumen membandingkan alternatif-

Page 192: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 187

alternatif pada produk yang termasuk dalam kategori search product, mereka cenderung percaya pada penilaian mereka sendiri terhadap sejumlah spesifikasi produk yang disampaikan oleh perusahaan; konsumen dapat langsung mengetahui adanya klaim yang berlebihan atau klaim tidak benar dari perusahaan dengan cara mengevaluasinya secara langsung. Namun pada experience product, terdapat kesulitan untuk menilai deskripsi produk yang disampaikan oleh perusahaan secara obyektif; dalam hal ini, konsumen cenderung untuk skeptis terhadap klaim-klaim tentang atribut-atribut produk yang ada pada iklan produk tersebut. Sebagai contoh, konsumen akan sulit mempercayai atribut kelezatan masakan, kenyamanan sebuah mobil, atau khasiat sebuah obat, sebelum mereka membeli dan menggunakannya. Tanda Intrinsik dan Tanda Ekstrinsik pada Produk Konsumen memperoleh informasi yang membentuk penilaian akan kualitas sebuah produk sebelum mereka membelinya dapat diklasifikasi ke dalam dua kategori, yakni tanda intrinsik dan tanda ekstrinsik (Chang dan Chen, 2009). Tanda (isyarat) intrinsik merepresentasikan informasi yang berkaitan dengan produk itu sendiri, seperti kandungan bahan atau properti yang ada pada produk, yang tidak dapat dimanipulasi tanpa mengubah pula properti dari produk tersebut. Sedangkan tanda ekstrinsik adalah karateristik produk yang bersifat non fisik, seperti merk, country of origin dan citra perusahaan (Richardson et al., 1994) Tanda intrinsik dan ekstrinsik tersebut ditentukan oleh nilai prediktif dan nilai kepercayaan konsumen. Nilai prediktif adalah cue yang dapat merepresentasikan kualitas dari produk (Richardson et al., 2004); sedangkan nilai kepercayaan berhubungan dengan keyakinan konsumen untuk dapat menilai dan menggunakan sebuah cue secara akurat. dengan demikian, produk dengan cue yang mempunyai nilai prediktif dan nilai kepercayaan yang tinggi menunjukkan proses penilaian kualitas produk yang akurat. Dalam hal ini, tanda intrinsik yang ada pada sebuah produk mempunyai nilai prediktif dan nilai kepercayaan yang lebih tinggi pada produk-produk yang masuk dalam kategori search product; sedangkan tanda-tanda ekstrinsik, seperti harga, nama merk, atau garansi, lebih kompatibel dengan experience product daripada tingkat kompatibilitas experience product dengan nilai-nilai intrinsik yang ada pada produk tersebut.

Page 193: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 188

Purchase frequency Karena sebuah produk yang masuk dalam kategori experience product harus dibeli terlebih dahulu sebelum dapat dievaluasi, dan semakin sering frekuensi pembelian produk akan memberi lebih banyak kesempatan kepada konsumen untuk menilai kualitas produk, experience product dibagi menjadi experience nondurables dan experience durables. Ciri dari experience nondurables adalah relatif tidak mahal, tersedia di banyak tempat, diperlukan sedikit upaya untuk dapat membelinya, serta dapat dikonsumsi dengan segera. Sedangkan ciri dari experience durables adalah mempunyai harga yang lebih mahal, daya tahan produk (durability) lebih lama, biaya perbaikan lebih tinggi, distribusi produk bersifat selektif, diperlukan banyak pertimbangan sebelum membelinya, serta dapat dikonsumsi dengan segera. Pada produk experience durables, sumber yang dekat dengan konsumen, seperti teman, keluarga, atau majalah-majalah komersial, dapat menjadi narasumber tambahan untuk membantu pengambilan keputusan konsumen. Riset-riset yang dilakukan pada cause brand alliances sebagian besar menggunakan produk yang masuk dalam kategori experience nondurable product . Untuk produk yang akan digunakan dalam riset ini, akan digunakan produk yang termasuk dalam kategori experience nondurable product. Penggunaan experience product didasarkan pada teori yang melandasi riset, yakni signalling theory. Teori tersebut berasumsi adanya informasi asimetris yang berhubungan dengan kualitas produk yang diterima oleh konsumen saat akan mengkonsumsi sebuah produk, khususnya experience product, yang mempunyai karateristik sejumlah atributnya tidak dapat diobservasi sebelum dibeli dan digunakan. Untuk itu, penjual menggunakan sejumlah sinyal untuk meyakinkan konsumen, diantaranya menggunakan nama merk yang sudah dikenal konsumen (lihat gambar 6 untuk model riset yang direncanakan).

9. METODE RISET 9.1. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode eksperimen. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sikap terhadap merk (Attitude toward brand), sikap terhadap kegiatan sosial (Attitude toward cause), variabel product category fit, variabel brand fit, sikap terhadap aliansi (Attitude toward cause alliances) dan variabel purchase intention. Dalam penelitian ini, juga akan

Page 194: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 189

diuji pengaruh variabel moderasi gender terhadap hubungan kausalitas yang ada pada model penelitian.

9.2. Produk dalam Eksperimen Kegiatan Cause Dalam riset ini, akan dipilih dua Yayasan fiktif. Yayasan pertama adalah yang berhubungan dengan tema riset, yakni yayasan yang bergerak dalam kegiatan lingkungan hidup, khususnya pelestarian hutan. Sedangkan yayasan kedua adalah yayasan yang berhubungan dengan penghematan energi. Produk dan Merk Komersial Dalam riset ini, digunakan produk yang termasuk dalam kategori experience non-durables product. 9.3. Manipulasi variabel Independen dan Treatment

Dalam eksperimen, ada dua variabel yang akan dimanipulasi, yakni variabel: 1. Product category fit, yang akan dimanipulasi berdasarkan konsistensi serta

tingkat komplementer antara dua kategori produk yang beraliansi, yakni tingkat komplementaritas tinggi dan rendah.

2. Brand fit, yang akan dimanipulasi berdasarkan konsistensi serta tingkat komplementer antara merk dan cause yang beraliansi, yakni tingkat kesesuaian tinggi dan tingkat kesesuaian rendah.

9.4. Cek Manipulasi Model Cek manipulasi bertujuan untuk mengetahui bahwa partisipan dapat

membedakan variasi dari product category fit dan brand fit yang menggunakan aliansi merk dengan persepsi kualitas yang berbeda. Tujuan selanjutnya adalah untuk mengetahui apakah aliansi merk yang terdiri dari merk komersial dan cause yang masing-masing dipersepsi bagus akan mendapatkan respon yang lebih baik dibandingkan dengan aliansi merk yang terdiri dari merk komersial dan cause yang masing-masing dipersepsi kurang bagus.

Untuk cek manipulasi ini, pada merk komersial dipilih merk A1 dan A2. Sedangkan untuk cause adalah kegiatan pelestarian hutan (B1) dan pengehematan energi (B2); untuk pelestarian hutan digunakan organisasi greenpeace yang berkolaborasi dengan Yayasan Lingkungan Hidup Indonesia yang bergerak pada kegiatan pelestarian hutan, dan untuk penghematan energi digunakan organisasi lokal yang mengkampanyekan gerakan hemat energi di Indonesia. Cek manipulasi dilakukan dengan membagikan materi stimulus yang

Page 195: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 190

berkaitan dengan aliansi merk dengan kegiatan cause kepada empat puluh partisipan yang telah mengenal masing-masing merk dan kegiatan sosial tersebut. 9.5. Disain dan Proses Eksperimen Disain eksperimen yang akan digunakan adalah factorial design, yakni pengujian brand fit, dengan disain 2 (merk komersial) x 2 (merk/kegiatan cause). Eksperimen dilakukan dengan between-subject.

Kegiatan eksperimen akan terdiri dari tahapan-tahapan berikut: 1. Mengetahui sikap partisipan terhadap merk secara individu sebelum terjadi

aliansi. Pada eksperimen ini, akan diukur sikap partisipan terhadap dua merk komersial (A1 dan A2) dan dua jenis kegiatan sosial (B1 dan B2).

2. Mengetahui penilaian partisipan terhadap kesesuaian kategori produk (product category fit) dan kesesuaian merk (brand fit) saat kedua produk akan beraliansi. Untuk itu, partisipan diberi materi stimulus yang menggambarkan aliansi antara sebuah merk dengan sebuah kegiatan sosial. Pada eksperimen ini, akan diukur penilaian partisipan terhadap product category fit antara: - Merk komersial A1 dengan jenis kegiatan sosial B1. - Merk komersial A1 dengan jenis kegiatan sosial B2. - Merk komersial A2 dengan jenis kegiatan sosial B1. - Merk komersial A2 dengan jenis kegiatan sosial B2.

3. Mengetahui penilaian partisipan terhadap kesesuaian merk merk (brand fit) saat kedua produk akan beraliansi. Untuk itu, partisipan diberi materi stimulus yang menggambarkan aliansi antara sebuah merk dengan sebuah kegiatan sosial. Pada eksperimen ini, akan diukur penilaian partisipan terhadap brand fit antara: - Merk komersial A1 dengan jenis kegiatan sosial B1. - Merk komersial A1 dengan jenis kegiatan sosial B2. - Merk komersial A2 dengan jenis kegiatan sosial B1. - Merk komersial A2 dengan jenis kegiatan sosial B2.

4. Mengetahui sikap partisipan terhadap merk hasil aliansi. Pada eksperimen ini, akan diukur sikap partisipan terhadap aliansi merk: a. Merk komersial A1 + jenis kegiatan sosial B1. b. Merk komersial A1 + jenis kegiatan sosial B2. c. Merk komersial A2 + jenis kegiatan sosial B1.

Page 196: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 191

d. Merk komersial A2 + jenis kegiatan sosial B2. 5. Mengetahui niat beli partisipan terhadap merk hasil aliansi. Pada

eksperimen ini, akan diukur niat beli partisipan terhadap aliansi merk: a. Merk komersial A1 + jenis kegiatan sosial B1. b. Merk komersial A1 + jenis kegiatan sosial B2. c. Merk komersial A2 + jenis kegiatan sosial B1. d. Merk komersial A2 + jenis kegiatan sosial B2.

6. Proses Single Blind Untuk mencegah partisipan berperilaku tertentu karena mengetahui semua

prosedur dan tujuan eksperimen, pada materi eksperimen akan disertakan sejumlah informasi dan stimulus yang tidak berkaitan langsung dengan hipotesis yang akan diuji. Materi yang bersifat masking tersebut antara lain iklan produk aliansi sebuah merk dengan sebuah kegiatan cause yang tidak terkait dengan produk yang diuji, informasi tentang lingkungan hidup yang tidak secara langsung terkait dengan pengujian hipotesis. 9.6. Pembentukan Kelompok Eksperimen

Kelompok eksperimen yang dikembangkan dalam penelitian ini pada dasarnya adalah kombinasi dari 2 (merk komersial) x 2 (kegiatan cause), sehingga terdapat empat kelompok eksperimen. Setiap partisipan akan mendapat materi stimulus tentang sebuah merk komersial, sebuah kegiatan sosial, serta aliansi sebuah merk dengan sebuah kegiatan sosial. 9.7. Partisipan Dalam penelitian ini akan digunakan student sample, dimana partisipan yang dipilih adalah sejumlah mahasiswa yang telah mengenal merk komersial yang akan beraliansi, serta dapat memahami organisasi sosial yang akan beraliansi.

Partisipan akan dipilih dengan menggunakan random assigment, dimana partisipan yang ada secara random akan dimasukkan ke dalam salah satu dari empat kelompok eksperimen yang ada. Jumlah partisipan ditentukan sebanyak seratus untuk setiap kelompok eksperimen; karena terdapat empat kelompok eksperimen, maka akan terkumpul empat ratus data. List of Participant

Untuk mendapatkan partisipan, akan ditentukan terlebih dahulu list of participant, yakni daftar semua calon partisipan yang berpotensi untuk ikut dalam kegiatan eksperimen. Daftar ini dapat diperoleh dari daftar mahasiswa aktif dari Perguruan Tinggi tempat partisipan akan direkrut.

Page 197: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 192

9.8. Materi Stimulus Disain dari materi stimulus bertujuan untuk mengembangkan kondisi yang mendekati kondisi riil (blind experiment), sehingga partisipan diharapkan akan memberikan penilaian yang obyektif, dan mengeliminasi presepsi negatif dari partisipan karena menganggap eksperimen dilakukan untuk eksploitasi demi kepentingan komersial peneliti.

Untuk itu, didisan beberapa materi stimulus: Iklan Materi stimulus pertama adalah iklan yang digunakan untuk menstimuli kesesuaian kategori produk (product category fit) dan kesesuaian nama merk (brand fit). Dalam riset stimuli berupa: □ Iklan produk merk A1 dan kegiatan sosial bernama B1 yang

menggambarkan aliansi dengan tingkat kesesuaian yang tinggi. □ Iklan produk merk A1 dan kegiatan sosial bernama B2 yang

menggambarkan aliansi dengan tingkat kesesuaian yang kurang kuat. □ Iklan produk merk A2 dan kegiatan sosial bernama B1 yang

menggambarkan aliansi dengan tingkat kesesuaian yang kurang kuat. □ Iklan produk merk A2 dan kegiatan sosial bernama B2 yang

menggambarkan aliansi dengan tingkat kesesuaian yang lemah. Setiap partisipan akan mendapat satu dari empat kemungkinan stimuli diatas. Brosur Materi kedua adalah brosur-brosur yang menjelaskan kegiatan komersial dari dua merk komersial A1 dan A2, serta misi dan kegiatan sosial dari Yayasan Sosial B1 dan B2. Setiap kelompok eksperimen akan mendapatkan brosur yang relevan dengan aliansi merk komersial serta kegiatan sosial yang ada pada iklan (materi stimulus pertama). 9.9. Definisi Operasional Variabel dan Alat Pengukuran Pengukuran sikap dan penilaian dari partisipan dilakukan dengan menggunakan kuesioner. Setiap pertanyaan yang diajukan diukur dengan menggunakan tujuh poin skala Likert, dengan skala tertinggi adalah 7 (Sangat Setuju) sampai skala terkecil adalah 1 (Sangat Tidak Setuju). Penjabaran dari setiap variabel yang ada dalam model riset: Variabel ATTITUDE TOWARD BRAND:

Page 198: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 193

Sikap terhadap merk didefinisikan sebagai predisposisi yang dapat dipelajari untuk merespon sebah obyek atau kelas obyek dalam sebuah penilaian suka atau tidak suka secara konsisten (Assael 1998). Pada riset ini, sikap terhadap merk diukur dengan empat atribut (Simonin dan Ruth 1998; Baumgarth 2004; Lafferty 2004): 1. Sikap terhadap kualitas produk. 2. Sikap terhadap kinerja produk. 3. Sikap terhadap citra produk. 4. Sikap terhadap produk secara keseluruhan.

Masing-masing atribut diukur dengan menggunakan skala Likert tujuh poin, dari ‘Sangat Setuju’ sampai ‘Sangat Tidak Setuju’ (Aaker dan Keller 1990). Variabel PRODUCT CATEGORY FIT:

Kecocokan di antara dua produk yang beraliansi didefinisikan sebagai persepsi konsumen terhadap konsistensi asosiasi dan kekohesifan citra merk dan kesesuaian produk dari merk-merk yang beraliansi (Dickinson dan Barker, 2007).

Pada riset ini, product category fit diukur dengan tiga atribut (Aaker dan Keller 1990; Simonin dan Ruth 1998; Lafferty 2004):

1. Kesesuaian (kompatibilitas) kedua kategori produk yang beraliansi. 2. Tingkat saling melengkapi (komplementaritas) kedua kategori produk yang

beraliansi. 3. Kelogisan hubungan dua kategori produk yang beraliansi.

Masing-masing atribut diukur dengan menggunakan skala Likert tujuh poin, dari ‘Sangat Setuju’ sampai ‘Sangat Tidak Setuju’ (Aaker dan Keller 1990). Variabel BRAND FIT:

Kecocokan secara keseluruhan diantara merk-merk yang beraliansi (brand fit) didefinisikan sebagai persepsi konsumen terhadap konsistensi asosiasi dan kekohesifan citra merk dan kesesuaian produk dari merk-merk yang beraliansi (Dickinson dan Barker, 2007).

Pada riset ini, overall fit diukur dengan tiga atribut (Aaker dan Keller 1990; Simonin dan Ruth 1998; Lafferty 2004):

1. Kesesuaian (kompatibilitas) dua nama merk yang beraliansi. 2. Kesamaan citra (asosiasi) yang bagus pada dua merk yang beraliansi. 3. Kelogisan hubungan dua merk yang beraliansi.

Page 199: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 194

Masing-masing atribut diukur dengan menggunakan skala Likert tujuh poin, dari ‘Sangat Setuju’ sampai ‘Sangat Tidak Setuju’ (Aaker dan Keller 1990). Variabel ATTITUDE TOWARDS BRAND ALLIANCE:

Sikap terhadap merk didefinisikan sebagai predisposisi yang dapat dipelajari untuk merespon sebah obyek atau kelas obyek dalam sebuah penilaian suka atau tidak suka secara konsisten (Assael 1998).

Pada riset ini, sikap terhadap merk aliansi diukur dengan empat atribut: 1. Sikap terhadap kualitas produk. 2. Sikap terhadap kinerja produk. 3. Sikap terhadap citra produk. 4. Sikap terhadap produk secara keseluruhan.

Masing-masing atribut diukur dengan menggunakan skala Likert tujuh poin, dari ‘Sangat Setuju’ sampai ‘Sangat Tidak Setuju’ (Simonin dan Ruth 1998; Baumgarth 2004; Lafferty 2004). Variabel PURCHASE INTENTION:

Niat beli (purchase intention) didefinisikan sebagai kecenderungan konsumen untuk membeli merk.

Pada riset ini, niat beli diukur dengan empat atribut (MacKenzie dan Spreng 1992; Dodds et al. 1991): 1. Kemungkinan membeli saat ini. 2. Kemungkinan membeli di masa mendatang 3. Kepastian membeli saat ini. 4. Kepastian membeli di masa mendatang

Masing-masing atribut diukur dengan menggunakan skala Likert tujuh poin, dari ‘Sangat Setuju’ sampai ‘Sangat Tidak Setuju’ (Simonin dan Ruth 1998; Baumgarth 2004; Lafferty 2004). 9.10. Alat Analisis Setelah eksperimen dilakukan dan sejumlah data didapat, maka akan dilakukan pengujian hipotesis dengan menggunakan Structural Equation Modelling (SEM). Brannick (1995) dalam artikel Kelloway (1995) mengemukakan model struktur kovarians dapat digunakan untuk menguji berbagai model teroi yang kompleks. Berbagai model riset pada kegiatan aliansi merk juga menggunakan SEM sebagai alat uji model, seperti ditunjukkan pada riset Simonin dan Ruth (1998), Baumgarth (2004) dan Lafferty (2004).

Page 200: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 195

Structural Equation Modelling adalah model statistik yang menjelaskan hubungan diantara sejumlah variabel, dengan menguji struktur dari hubungan diantara variabel-variabel tersebut, yang dinyatakan dalam bentuk sejumlah persamaan (Hair et al., 2006). Persamaan-persamaan tersebut menjelaskan hubungan diantara konstruk yang ada dalam analisis. Dalam pengujian model menggunakan SEM, hal itu sama dengan menggunakan alat analisis faktor dan analisis regresi dalam satu tahap pengujian. Kegiatan pengujian SEM mempunyai beberapa tahapan penting. Pertama adalah mendefinisikan konstruk yang ada, kemudian mengembangkan model pengukuran (measurement model). Setelah itu proses dilanjutkan dengan pengujian model pengukuran tersebut. Kemudian dilakukan spesifikasi model struktural (structural model) dan penilaian validitas model struktural tersebut. Karena ada pengujian pengaruh variabel moderasi terhadap model, analisis dengan SEM juga mencakup pengujian dengan multiple group untuk mengetahui pengaruh variabel moderasi gender.

REFERENSI

Aaker, David A. dan Kevin L. Keller (1990), “Consumer Evaluations of Brand

Extensions,” Journal of Marketing, Vol. 54: 27-41. Alhabeeb, M.J. (2007), “Consumers’ Cues For Product Quality: An Application

of The Signalling Theory,” Academy of Marketing Studies, Vol. 12:1-5. Assael, Henry (1998). Consumer Behavior and Marketing Action, 6 th edition.

Cinncinati, Ohio: South Western College Publishing. Baumgarth, Carsten (2004), “Evaluations of Co-brands and Spill-Over Effects:

Further Empirical Results,” Journal of Marketing Comunications, Vol. 10: 115-131.

Berger, Ida E., Peggy H. Cunningham dan Robert V. Kozinets (1999), “Consumer Persuasion Through Cause-Related Advertising,” Advances in Consumer Research Vol. 26: 491-497.

Bronn, Peggy S.. dan Albana B. Vrioni (2001), “Corporate Social Responsibility and Cause-Related Marketing: an Overview,” International Journal of Advertising Vol. 20: 207-222.

Page 201: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 196

Chang, Chia-Chi dan Chen Hui-Yun (2009), “I Want Products My Own Way, But Which Way? The Effects of Different Product Categories and Cues on Customer Responses to Web-based Customizations,” Cyberpsychology and Behavio Vol. 12: 7-14.

Cooke, Sinead dan Paul Ryan (2000), “Brand Alliances: From Reputation Endorsement to Collaboration on Core Competencies” Irish Marketing Review. Vol. 13: 36-40.

Dickinson, Sonia dan Alison Barker (2007), ”Evaluations of Branding Alliances Between Non-profit and Commercial Brand Partners: The Transfer of Affect,” International Journal of Nonprofit & Voluntary Sector Marketing, Vol. 12: 75-89.

Dickinson, Sonia dan Tara Heath (2005), “A Comparison of Qualitative and Quantitative Results Concerning Evaluations of Co-branded Offerings,” Brand Management, Vol. 13: 393-406.

Dodds, William B., Kent B. Monroe dan Dhruv Grewal (1991), “Effects on Brand, Price and Store Informationon Buyer’s Product Evaluations,” Journal of Marketing Research, Vol. XXVIII: 307-319.

Erevelles, Sunil, Veronica Horton dan Nobuyuki Fukawa (2008), “Understanding B2C Brand Alliances Between Manufacturers and Suppliers,” Marketing Management Journal (Fall): 32-46.

Fazio, Russell H,, Martha C. Powell dan Carol J. Williams (1989), “The role of attitude accessibility in the attitude-to-behavior process,” Journal of Consumer Research, Vol. 16: 280-288.

Franke, George R., Bruce A. Huhmann dan David L. Mothersbaugh (2004), “Information Content and Consumer Readership of Print Ads: A Comparison of Search and Experience Products,” Journal of the Academy of Marketing Science, Vol.32:20-31.

Gill James D., Sanford Grossbart dan Russell N. Laczniak (1988), “Influence of Involvement, Commitment and Familiarity on Brand Beliefs and Attitudes of Viewers Exposed to Alternative Ad Claim Strategies,” Journal of Advertising Vol. 17: 33-43.

Grundey, D. dan R.M. Zaharia (2008), “Sustainable Incentives in Marketing and Strategic Greening: the Cases of Lithuania and Romania,” Baltic Journal on Sustainability Vol 14: 130-143.

Page 202: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 197

Hadjicharalambous, Costas (2006), “A typology of Brand Extensions: Positioning Cobranding as A Sub-case of Brand Extensions,” The Journal of American Academy of Business, Vol. 10: 372-377.

Hajjat, Mahmood M. (2003), “Effect of Cause-Related Marketing on Attitudes and Purchase Intentions: The Moderating Role of Cayse Involvement and Donation Size,” Journal of Nonprofit and Public Sector Marketing, Vol. 1: 93-109.

Hamlin, Robert P. dan Wilson, T. (2004), “The Impact of Cause Branding on Consumer Reactions to Products: Does Product/Cause ‘Fit’ Really Matter?” Journal of Marketing Management, Vol. 20: 663-681.

Hair, Joseph F., William C. Black, Barry J. Babin, Raplh E. Anderson dan Ronald L. Tatham (2006), Multivariate Data Analysis, 6th ed. Upper Saddle River, New Jersey: Pearson Education, Inc.

Helmig, Bernd, Jan-Alexander Huber dan Peter Leeflang (2007), “Explaining behavioural intentions toward co-branded products.” Journal of Marketing Management Vol. 23: 285-304.

Keller, Kevin L. (2003), “Strategic Brand Management: Building, Measuring, and Managing Brand Equity,” Prentice Hall (second edition).

Kotler, Philip dan Kevin L. Keller (2007), Marketing Management: 13th ed., New Jersey: Pearson Education Inc.

Kelloway, E. Kevin (1995), “Structural Equation Modelling in Perspective,” Journal of Organizational Behavior, Vol 16: 215-224.

Lafferty, Barbara A., Ronald E. Goldsmith dan G. Tomas M. Hult (2004), “The Impact of the Alliance on the Partners: A Look at Cause-Brand Alliances,” Psychology & Marketing, Vol. 21: 409-531.

Lange, Fredrik (2005), “Do brands of a feather flock together? Some exploratory findings on the role of individual brands in brand constellation choice,” Journal of Consumer Behavior, Vol. 4: 465-479.

Leahy, Arthur S. (2005), “Searh and Experience Goods: Evidence from the 1960’s and 70’s”, The Journal of Applied Business Researh, Vol.21: 45-51.

Levin, Irwin P. dan Aron M. Levin (2000), “Modeling the Role of Brand Alliances in the Assimilation of Product Evaluations.” Journal of Consumer Psychology, Vol. 9: 43-52.

Page 203: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 198

Mackenzie, Scott B. dan Richard A. Spreng (1992), “How does motivation moderate the impact of central and peripheral processing on brand attitude and intentions?” Journal of Consumer Research, Vol. 18: 519-529.

McCarthy, Michael S. dan Donald G. Norris (1999), “Improving competitive position using branded ingredients,” Journal of Product and Brand Management, Vol. 8: 267-285.

Min Han, C. (1990), “Testing the Role of Country Image on Customer Choice Behaviour,” European Journal of Marketing, Vol. 24:6.

Nelson, Philip (1970), “Information and Consumer Behavior,” The Journal of Political Economy, Vol. 78: 311-329.

Park, C. Whan, Sung Y. Jun dan Allan D. Shocker (1996), “Composite branding alliances: an investigation of extension and feedback effects,” Journal of Marketing Research, Vol. XXXIII: 453-466.

Park, C. Whan, Sandra Milberg dan Robert Lawson (1991), “Evaluation of Brand Extensions: The Role of Product Feature Similarity and Brand Concept Consistency.” Journal of Consumer Research, Vol.18: 185-193.

Rao, Akshay R., Lu Qu dan Robert W. Ruekert (1999), “Signaling unobservable product qualitythrough a brand ally,” Journal of Marketing Research, Vol. XXXVI: 258-268.

Rao, Akshay R. dan Robert W. Ruekert (1994), “Brand Alliances as Signals of Product Quality,” Sloan Management Review (Fall) 87-97.

Richardson, Paul S., Alan S. Dick dan Arun K. Jain (1994), “Extrinsic and Intrinsic Cue Effects on Perceptions of Store Brand Quality,” Journat of Marketing Vol. 58: 28-36.

Rodrigue, Christina S. dan Abhijit Biswas (2004), “Brand Alliance dependency and exclusivity: an empirical investigation,.” Journal of Product and Brand Management Vol. 13: 477-487.

Ross, J.K., L.T. Patterson dan M.A. Stutts (1992), “Consumer Perceptions of Organizations That Use Cause-Related Marketing,” Journal of the Academy of Marketing Science Vol. 20: 93-97.

Santoso, Singgih (2008), “Pengaruh Brand Fit dan Sikap Konsumen pada Sebuah Merk Individu Terhadap Sikap Konsumen pada Aliansi Merk,” Laporan Research Project, Unpublished.

Page 204: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 199

Simonin, Bernard L. dan Julie A. Ruth (1998), “Is a Company Kniown by the Company It Keeps? Assesing the Spill Over Effects of Brand Alliances on Consumer Brand Attitudes,” Journal of Marketing Research Vol. 35: 30-42.

Stigler, George J. (1961), “The Economics of Information,” The Journal of Political Economy, Vol. 69: 213-225.

Trimble, Carrie S. dan Nora J. Rifon (2006), “Consumer Preceptions of Compability in Cause-Related Marketing Messages,” International Journal Nonprofit Voluntary Section Marketing Vol. 11: 29-47.

Ueltschy, Linda C. dan Michel Laroche (2000). “Co-Branding Internationally: Everyone Wins?” Journal of Applied Busines Research, Vol. 20:91-102.

Vaidyanathan, Rajiv dan Praveen Aggarwal (2000). “Strategic Brand Alliances: Implications of Ingredient Branding for National and Private Brands.” Journal of Product and Brand Management, Vol. 9: 214-228.

Varadarajan, P. Rajan dan Anil Menon (1988), “Cause-Related Marketing: A Coalignment of Marketing Strategy and Corporate Philanthropy,” Journal of Marketing Vol.52: 58-74.

Walchli, Suzanne B. (2007), “The Effect of Between-Partner Congruity on Consumer Evaluation of Co-Branded Products,” Psychology Marketing, Vol.24: 947-973.

Wernerfelt Birger (1988) , “Umbrella branding as a signal of new product quality: an example of signalling by posting a bond.” Journal of Economics Vol. 19: 458-466.

Wymer, Walter dan Sridhar Samu (2008), “The Influence of Cause Marketing Associations on Product and Cause Brand Value.” International Journal of Nonprofit and Voluntary Sector Marketing, Vol 14: 1-20.

Wymer, W. dan Sridhar Samu (2003), “Dimensions of Business and Nonprofit Collaborative Relationships,” Journal of Nonprofit and Public Sector Marketing, Vol 11: 3-22.

Youn, Seounmi dan HyukSoo Kim (2008), “Antecedents of Consumer Attitudes toward Cause-Related Marketing,” Journal of Advertising Research (March 2008): 123-136.

Page 205: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 200

LAMPIRAN Tabel 1. Definisi-definisi CRM:

Nama Periset dan

Tahun Publikasi

Definisi Keterangan

Varadarajan &

Menon (1988)

Proses formulasi dan implementasi

aktivitas pemasaran yang dicirikan dengan

penawaran dari perusahaan untuk

berkontribusi dalam jumlah tertentu pada

sebuah kegiatan sosial (cause) ketika

konsumen melakukan pertukaran yang

mendatangkan pendapatan bagi

perusahaan, dan memuaskan tujuan

organisasi maupun tujuan individu.

Diacu banyak

artikel, seperti

Chaney dan

Dolli, 2000;

Brink et al.,

2006;

Strahilevitz, M.,

2003; Ross et

al., 1992;

Jundong et al.,

2008; Webb dan

Mohr, 1998;

Lafferty et al.,

2004; Hajjat,

2003;

Barone et al. (2000) Strategi untuk mempromosikan

pencapaian dari tujuan pemasaran leat

dukungan perusahaan pada sebuah

kegiatan sosial.

Bronn dan Vrioni

(2001)

Proses formulasi dan implementasi

aktivitas pemasaran yang dicirikan dengan

kontribusi perusahaan untuk dalam jumlah

tertentu pada sebuah kegiatan non profit,

yang menyebabkan konsumen melakukan

Page 206: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 201

pertukaran yang mendatangkan

pendapatan bagi perusahaan.

Kotler dan Lee

(2005)

Mendonasikan sejumlah persentase

tertentu dari hasil penjualan merk untuk

suatu kegiatan sosial berdasar penjualan

produk dalam jangka waktu tertentu.

Wymer dan

Sargeant (2006)

Donasi dari perusahaan dalam bentuk

sejumlah uang, makanan atau peralatan

dalam proporsi langsung dengan hasil

penjualan –sering dalam batas tertentu-

untuk tujuan nirlaba.

Dikembangkan

dalam bentuk

tipologi

hubungan.

Brink et al. (2006) Aktivitas pemasaran spesifik dari

perusahaan yang menjanjikan kepada

konsumen untuk mendonasikan sumber-

sumber perusahaan pada sebuah kegiatan

sosial untuk setiap barang atau jasa yang

terjual.

Trimble, C.S. dan

N.J. Rifon (2006)

Kerjasama perusahaan dengan kegiatan

sosial tertentu, atau sebuah lembaga

nirlaba yang berafiliasi dengan kegiatan

tersebut, yang disertai dengan kegiatan

komunikasi pada konsumen tentang

kegiatan tersebut, dengan tujuan

meningkatkan kesadaran dan keinginan

berbagi dana dari konsumen pada kegiatan

tersebut, dan pada saat bersamaan juga

memberi keuntungan bagi perusahaan.

Page 207: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 202

Tabel 2: Definisi-definisi Aliansi Merk

Nama Periset dan

Tahun Publikasi Definisi

Nama Produk

yang beraliansi

Park et al. (1996) Kombinasi dari nama-nama merk yang

telah ada yang menciptakan nama merk

komposit untuk produk yang baru.

Composite

Brand Name

Kotler et al. (1999)

dalam Coke dan

Ryan (2000)

Kegiatan penggunaan nama-nama merk

yang telah eksis dari dua perusahaan

untuk produk yang sama.

Co-Branding

Kapferer (1999)

dalam Coke dan

Ryan (2000)

Kegiatan berpasangan dari dua nama

merk dari dua perusahaan dalam kegiatan

kolaborasi di bidang pemasaran

Co-Branding

Rao dan Ruekert

(1994), Simonin dan

Ruth (1998), dan

Rao, Qu dan Ruekert

(1999)

Semua keadaan dimana dua atau lebih

nama merk ditawarkan secara bersama

kepada konsumen. Bentuk aliansi dapat

berupa produk yang terintegrasi secara

fisik sampai multi merk yang berpromosi

secara bersama.

Brand Alliances

Desai dan Keller

(2002)

Kegiatan pemasaran dimana sebuah

bahan tertentu dalam penciptaan produk

disuplai oleh (merk) dari perusahaan lain.

Cobranded

Ingredient

Branding

Rodrigue dan

Biswas (2004)

Aliansi dua merk yang secara bersama-

sama membentuk penawaran produk

yang terpisah dan dapat dibedakan

dengan yang lainnya.

Brand Alliances

Dickinson dan Baker

(2006)

Asosiasi jangka pendek atau jangka

panjang di antara dua atau lebih merk

individu, produk, atau aset properti yang

Brand Alliances

Page 208: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 203

lain, dimana merk atau produk tersebut

dapat direpresentasikan secara fisik

(paket produk/bundled package dari dua

atau lebih merk) atau secara simbolik

(iklan) dengan asosiasi dari nama merk,

logo atau properti aset lain dari merk.

Walchli (2007) Kegiatan menciptakan produk yang

ditawarkan sebagai hasil dari aliansi

diantara dua merk, dengan kedudukan

yang sama dalam hubungan kerja-sama

tersebut.

Co-Branding

Gambar 1. Model Riset yang direncanakan

Sumber: Simonin dan Ruth (1998), Baumgarth (2004), Lafferty (2004), Rodrique dan Biswas (2004), Dickinson dan Barker (2007), James (2006), Helmig et al. (2007) dan Santoso (2008).

ATTITUTDE TOWARD BRAND

ATTITUTDE TOWARD CAUSE-ALLIANCES

PRODUCT CATEGORY

ATTITUTDE TOWARD CAUSE

PURCHASE INTENTION

GENDER

BRAND FIT

Page 209: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 204

MEASURING THE BEHAVIOR OF INDIVIDUAL AND GROUP PERFORMANCE: HIERARCHICAL LINIER MODELING

APPROACHES∗

Setyabudi Indartono∗∗

This study propose that the firms should optimized the performing stage of performance life cycle by increasing their willingness and ability to grow in order to reach higher competitive market structure and derive their own unique strategic posture in a hybrid strategic group competitions to get better future performance by directive management style i.e., clear goal setting, monitoring, strategic preparation, seeking innovative approaches, and empowering team members.

The background of this study was explained. Level of conflict/competition among firms within groups will effect on their performance (Ma, 1999). Although, in nature firms want to lead the competition, but sometimes they felt comfort within their present performance result (Alasdair, 2008). This comfortable and anxiety conditions would be motivation obstacles to lead (Yerkes, 1907; McCleland, 1953, Carnal, 1995, Handy, 1994). In order to face this situation, firms have to understand the subsequent through firms performance life cycle behavior (Fairhust, 2007, Alasdair, 2008)

Thus, this study try to investigate the behavioral aspect on firm that tried to optimize their hybrid strategic group position by accelerating their performing stage of their performance life cycle. Keyword: performance life cycle, hybrid strategic, hierarchical linier modeling

∗ This article was present on the preliminary proposal of PhD thesis titled “Optimize performing stage of performance life cycle to reach more hybrid strategic group advantages for better future performance” ∗∗ mahasiswa program PhD Business Administration National Central University Taiwan, Staf pengajar Jurusan Manajemen Universitas Negeri Yogyakarta

Page 210: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 205

Introduction Within Industrial competition, firms tend to compete more intensively

in group which is have similar strategic posture (Ferguson 2000). To win the market competition, firm try to applied unique strategic postures and reach more market structures (Cool et al, 1987). To reach competitive market structure and derive their own unique strategic posture, firms expand their strategies by recipes blend strategic from more than one pure strategic group (Desarbo, 2008)

Level of conflict/competition among firms within groups will effect on their performance (Ma, 1999). Although, in nature firms want to lead the competition, but sometimes they felt comfort within their present performance result (Alasdair, 2008). This comfortable and anxiety conditions would be motivation obstacles to lead (Yerkes, 1907; McCleland, 1953, Carnal, 1995, Handy, 1994). In order to face this situation, firms have to understand the subsequent through firms performance life cycle behavior (Fairhust, 2007, Alasdair, 2008). White split the cycles into three level of performance. In the first stage, there are three behavior related performance. Firstly, employee was unwilling to undertake the work and unable to do so because lack of knowledge and lack of skills. They work tend to focus on themselves rather than the team. Secondly was employee willing to attempt the work but still unable to do so as the skills are missing because the high conflict potential with team members. And finally Unwillingness was returns, possibly due to lack of self confidence in newly acquired skills, but they are able to do the work. Their work behavior was focus tends to be on rules and procedures, processes, and the ‘how’ of the work. Second stage was transition. Work characteristic of employee was willing and able to do the work and to act as an effective team. They have focus on changes to delivery of the objectives. Finally the third stage of performance behavior cycle was disengaging, seeking new comfort zone, needs new goals of performance.

In the level of firms, in the first stage, performance will felt comfort when the organization has no willingness and ability to do so. An effect of this condition made performance in a low level. This condition due to willingness and ability to change presented. After willingness and ability present, firms would ready to grow the performance. This growing process will settle towards any other comfort zone situation.

Page 211: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 206

Most of firm was fail to adapt on the transition stage. They have to prepare the performing optimally. Thus, they will face the consequences of this stage, adaptation. They will need strong leadership to direct the organization within clear goal setting, monitoring, articulates strategic preparation, seeking innovative approaches, and empowering team members. Few of study has investigate the individual performance phenomena related to reach the organizational performance objectives. This study propose that the firms should optimized the performing stage of performance life cycle by increasing their willingness and ability to grow in order to reach higher competitive market structure and derive their own unique strategic posture in a hybrid strategic group competitions to get better future performance by directive management style i.e., clear goal setting, monitoring, strategic preparation, seeking innovative approaches, and empowering team members.

Conceptual Background and hypothesis Dynamics of Strategic Group concept

Hunt, M. (1972) coined the term strategic group as degree of competitive rivalry by industry concentration ratios. Porter, M. (1980) also explained strategic groups in terms of what he called "mobility barriers". Because of these mobility barriers, companies get drawn into one strategic group or another. When Hodgkinson, G.P. (1997) explained the strategic group was variation in the competitive behavior and performance of firms. Strategic Group Analysis (SGA) aims to identify organizations with similar strategic characteristics, following similar strategies or competing on similar bases. Such groups can usually be identified using two or perhaps three sets of characteristics as the bases of competition. There are examples of characteristics; extent of product (or service) diversity, extent of Geographic coverage, number of Market segments served, distribution Channels used, extent of Branding, Marketing Effort, Product (or service) quality, and Pricing policy.

Strategic Group Analysis is useful in several ways. Helps identify who the most direct competitors are and on what basis they compete, raises the question of how likely or possible it is for another organization to move from one strategic group to another, strategic Group mapping might also be used to identify opportunities, and can also help identify strategic problems. Strategic

Page 212: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 207

Group Analysis was included data source, strategic identification, group formation, group structure validation, potency, and performance difference (Depika Nath and Thomas S Gruca, 1977).

Previous study found that in nature firm was become a single strategic group member. A strategic group was defined as a set of firms within an industry that are similar to one another and different from firms outside the group on one or more key dimensions of their strategy (Porter 1979) or a grouping of business within an industry that is separated from others grouping of business by mobility barriers, barriers to entry an exit (McGee and Thomas 1986, Mascarenhas 1989). Each situation has a different effect on performance. Previous finding showed that performance within strategic group is not different (Cool, 1988), performance within strategic group is different (McNamara, 2003), and performance within strategic group is different (B. Kabanoff and S. Brown, 2008). Hybrid Strategy

Further study on the strategic group was identified that firms was tend to receive more than a single strategy, known as a hybrid strategic group. Hybrid strategic group was defined as composed of firms that blend strategic recipes from more than one pure strategic group to derive their own unique strategic posture (Desarbo, 2008). Factor that urge the situation of hybrid strategic group occur was explained. In nature, the firms who have strictly adhere to the strategic group is core firms, but not to the secondary and solitary firms (Desarbo 2008), mean that support on cognitive psychology, core firms are more associate tightly with receipt of strategic group that represent to the pure strategic group firms, but members have less it's association and change from one to another strategic groups (Mc Namara 2003). Firms in nature also always try to derive their strategic posture uniquely on the competition among rivals (Desarbo, 2008) to provide opportunities for greater economic rents (Rumelt 1982), thus firms may need to maintain balance on competitive cusp between differentiation (Hybrid Strategic group) and conformity (pure Strategic groups).

Page 213: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 208

Performance life cycle In nature, firms try to win or lead the competition from their rivals.

They will compete more intensively within similar firm (Ferguson 2000, Desarbo, 2008) in a strategic group. The level and focus of the intensive strategies will be depended on what objectives of the firms that want to reach in the short, medium or the long runs. Each objective may have specifics intensity’s requirements. Firms i.e., will have different intensity of strategy at the stage of firms growth, mature, saturation and decline stage (Westkämper, E. 2000). These intensity was also may based on recent and future performance comfort zone (Alasdair, 2008).

Implementation of the strategy is not always consistent with the planned (dynamic situations). Some firm conditions would face mobility problems to operate the strategies, such as anticipate any barriers to entry for the competitions (McGee and Thomas 1986, Mascarenhas 1989). These problems may appear differently for each stage or zone. Thus, to manage the strategies on each stages or performance zone, manager have to look forward the entry barrier their faced. In this case, some opportunities may have on performance acceleration. Manager may expand the hybrid strategic group as unique strategic posture, optimally, especially to minimize these barriers. Performance life cycle was define that all performance will initially trend towards a steady state, particularly after a period of performance uplift, and that steady state will then develop a downward curve leading to a significant performance decline (Alasdair, 2008).

A dimension of industry structure could enrich traditional models of industrial organization in effects of competition among group on profitability (Dravone et al 1998). A set of firms which is adopt similar strategic posture and appear to posses similar strategic identities and compete each others more intensively (Ferguson 2000, Desarbo, 2008).

Hypothesis: optimizing the performing stage of performance life cycle

(PLC) was able to reach higher competitive market structure and derive their own unique strategic posture in a hybrid strategic group competition.

Page 214: DISERTASI

Y

M

dtm

rvp M

ifw

oa

mm

Yogyakarta, 11-12 D

FigurMode

Method In or

different levethe firm assesmodeling (H

Hierarelations occuvariation at phenomena u

MeasuremenPerfo

items based ofrom previouwith scale ansample questour job”. A Faveraged.

Compmeasured bameasured usi

Kolokium Nasional

Desember 2009

re 1 el of research

rder to analyel of variable ssment. Thus

HLM) as an marchical linierurring at each

each level. under study in

nt orming stage on Alasdair (us research. Rnchors rangingtion asked to Five-point like

petitive marsed on Desaing firm’s fina

Program Doktor 20

h

yze the hypomeasured. Inthis study wa

measurement ar modeling (Hh level and ac

It was foun much behav

of performa(2008). ItemsResponses weg from 1 (strothe participa

ert-type scale

rket structurearbo et al (20ancial reports

009

othesis, we fdividual meaas proposed uapproach (BryHLM) was abcross levels anund more hovioral and soci

ance life cycl were writtenere made on ongly disagreants was “Wee was used, an

e and uniqu008). Compes of market va

firstly have tsurement wasusing the hieryk, 2002). ble to pose hynd also assessomologous wial research.

le were measn by the auth

a 5-point Lie) to 5 (strone are willing nd the individ

ue strategic etitive marketalue ratios, ef

20

to separate ts different frorarchical lini

ypotheses abos the amount with the bas

sured using hors or obtainikert-type sca

ngly agree). Tand able to

dual items we

posture wet structure wfficiency ratio

09

the om ier

out of

sic

15 ned ale

The do ere

ere was os,

Page 215: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 210

and scale of operations (firm Size). The financial informations of market value ratios were, value of Tobin’s q, market to book, devidend yield, and price to earning. The financial informations of efficiency ratios were sales to total assest, net profit margin, Return to assets and sales per employee. The financial informations of Scale of operations (firm Size) were, Total assets, Gross loans, Total wordlwide deposite, Total interenst expense, Net income, Total borrowing and Number of employee.

Unique strategic posture was measured using firm’s financial reports of Liquidity and leverage ratios, product portofolio of loans, and product portofolio of deposit. The financial informations of Liquidity and leverage ratios were Current, Debt to equity, Total borrowing to total assets, and Internst expense to total assets. The financial informations of product portofolio of loans were gross loans to total securities and gross loans to total assets. The financial informations of product portofolio of deposit were total investment securities to total deposits, gross loans to total deposits, total borrowing to total deposits, and interest expense to total deposits.

HLM Modeling

Null Model Null model contains only a response variable and no explanatory

variables other than intercept. Null model is used as a baseline for estimation of explained versus unexplained variances. It provided an initial estimate for the intra class correlation.

Level-1 Model Yij = β0j + Rij Level-2 Model β 0j = γ00 + υ0j

Ancova (Analysis covariance) Ancova model contains a response variable and explanatory variables in

the level-1. Ancova model is used as an estimation of explained and unexplained variances. Ancova assumes that �1j = 0 mean that there is no different slope among groups.

Level-1 Model Yij = β 0j + β 1j + Rij

Page 216: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 211

Level-2 Model β 0j = γ00 + υ0j

β 1j = γ10 Random Coefficient model Random Coefficient model contains a response variable and

explanatory variables in the level-1 and used as an estimation of explained and unexplained variances. Random Coefficient model included �1j, mean that there is different slope among groups.

Level-1 Model Yij = β 0j + β 1j + Rij

Level-2 Model β 0j = γ00 + υ0j

β1j = γ10 + υ1j Intercept as an outcomes Intercept as an outcomes contains a response variable and explanatory

variables in the level-1. There is complex coefficient model included �1j, mean that there is different slope within individual.

Level-1 Model Yij = β 0j + Rij

Level-2 Model β 0j = γ00 + γ01+ υ0j Full Model Full Model contains variety of response variables and explanatory

variables in the level-1 and level-2. There is complex coefficient model included υ0jand υ1j, mean that there is able to explore different slope within individual and among groups, each level and across levels and also assess the amount of variation at each level.

Page 217: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 212

Level-1 Model Level-2 Model

Type-1 Yij = β 0j + β 1j + Rij β 0j = γ00 + γ01

β 1j = γ10 Type-2 Yij = β 0j + β 1j + Rij β 0j = γ00 + γ01 + υ0j

β 1j = γ10 + υ1j Type-3 Yij = β 0j + β 1j + Rij β 0j = γ00 + γ01

β 1j = γ10 + υ1j Type-4 Yij = β 0j + β 1j + Rij β 0j = γ00 + γ01 + υ0j

β 1j = γ10 Model Analysis Procedure

The model of this study was included several dimension for both individual variable and group variable. Confirmatory factor analysis (CFA) and high level of CFA (HCFA) or second order analysis was used to confirm the model. Structural equation model (SEM) was used on this procedure. CFA was used to confirm each construct model after investigate the traditional factor loading of SPSS. Single variable of task characteristics was investigated using HCFA. SEM was used to confirm the model overall of fit. Finally Interclass analysis (ICC) was used to figure out the individual level behavior and firms performance.

References

Alasdair, Antony Kenneth White (2008), From Comfort Zone to Performance Management Understanding development and performance

Bry, Anthony S., Raudenbush, Stephen W. (2002), Hierarchical linier models; application and data analysis methods, 2nd edition, sage publications.

Carnal (1995) Managing Change in Organizations, 1995, Prentice Hall Cool, K.O. and DE. Schendel (1988) Performance differences among strategic

group member, strategic management journal, 9(3) pp. 207-223

Page 218: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 213

Cool, K.O. and DE. Schendel (1987), strategic group formation and performance: the case of the U.S pharmaceutical industry 1963-1982, Management science, 33 pp. 1102-1124

Depika Nath and Thomas S Gruca (1977), Convergent across alternative methods for forming strategic groups, Strategic Management Journal V.18, 9, 745-760

Desarbo, wayne, s and Rajdeep, greewal (2008), Hybrid Strategic group, Strategic Management Journal, 29: 293–317

Dravone David, Peteraf margaret, shnley mark, (1998), Do strategic groups exist? An economic framework for analysis, strategic Management Journal; 19, 11 pg. 1029

Ferguson TD, Deephouse DL, Ferguson WL (2000) Do strategic groups differ in reputation? Strategic Management Journal 21(12): 1195–1214

Handy, C., (1994) The Empty Raincoat, Hutchinson Hunt, M. (1972), Competition in the major home appliance industry 1960-1970,

PhD Dissertation Harvard University Mascarenhas, B., Aaker, David A (1989), Mobility barriers and strategic

groups, , Strategic Management Journal, 10, 5, pg. 475 McClelland, D.C., Atkinson, J.W., Clark, R.A., & Lowell, E.L. (1953) – The

achievement motive, 1953, Princeton McGee and Thomas (1986), Strategic group: theory, research and taxonomy,

Academy management journal, 7(2), pp. 141-160 McNamara G, Deephouse DL, Luce RA. (2003) Competitive positioning within

and across a strategic group structure: the performance of core, secondary, and solitary firms. Strategic Management Journal 24(2): 161–181

Porter, M.E. (1979), The structure within industries and companies performance, Review of economics and statistics, pp. 214-227

Rumelt, R. P. (1982), theory, strategy and entrepreneurship. In D. Teece (ed) the competitive challenge. Balingger Cabridge, MA. Pp137-158

Porter, M. (1980) Competitive strategy, freepress, NY Yerkes, R., & Dodson, J. (1907) ‘The Dancing Mouse, A Study in Animal

Behavior’, Journal of Comparative Neurology & Psychology, Number 18, pp. 459-482

Page 219: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 214

Pengembangan dan Validasi Ukuran Iklim Keadilan Organisasional Pada Setting Kelompok Kerja

Joseph L. Eko Nugroho∗

Abstract

This paper describes the development and validation of a multidimensional measure of organizational justice climate (procedural justice climate and distributive justice climate) in the context of work unit decision making based on social justice model that had been studied by Fondacarro, Jackson dan Luescher (2002). This study examined the six scales and one anchor measure of procedural justice climate and the three scales and one anchor measure of distributive justice climate. A sample of 631 employees across 91 work units at 11 organizations completed the questionnaires. Based on the integration of three perspectives complementary (attraction-selection-attrition, social information processing, and social learning), the existence of organizational justice climate on work-unit setting examined. The two scales (accuracy and trust) and one anchor measure of procedural justice climate and the three scales (decision control, equality and need) and one anchor measure of distributive justice climate contain the measure had acceptable level of reliability and validity. The result of this study provide recommendations for other researchers to use and to assesment the scales of organizational justice climate in other studies. ____________________ Keywords: multidimensional measure, procedural justice climate,

distributive justice climate, anchor measure

∗ Penulis adalah mahasiswa Program Doktor Ilmu Ekonomi Program Studi Manajemen FEB UGM dan staf pengajar Universitas Surabaya. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Prof. Dr. Djamaludin Ancok, MA; Dr.T.Hani Handoko, MBA; Dr. B.M.Purwanto, MBA; Prof.Dr. Faturochman, MA; Dr. Harsono , M.Sc; Dr. Budi Santosa, M.Buss. atas semua kritik dan sarannya dalam rangka penulisan makalah ini.

Page 220: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 215

1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Iklim keadilan organisasional (organizational justice climate) telah menjadi bidang kajian yang semakin banyak diminati namun ukuran yang tersedia belum terkembang secara komprehensif. Perkembangan studi ini berawal dengan ketiadaan kerangka kerja (Mossholder et al., 1998). Kemajuan studi di bidang ini ditandai dengan adanya konseptualisasi iklim keadilan organisasional yang tervalidasi dan terdukung secara empiris dan berbasis pada sejumlah perspektif untuk menjelaskan eksistensinya pada setting kelompok (Naumann dan Bennett, 2000) bahkan beberapa peneliti mengkonseptualisasikan pula pada setting organisasi (Dietz et al., 2003). Di samping itu, konseptualisasi dan pemodelan iklim keadilan organisasional telah dikembangkan seperti halnya dengan kebanyakan studi tentang iklim organisasional (organizational climate). Studi-studi iklim organisasional cenderung menggunakan model di bidang perilaku organisasional, yaitu persepsian mengenai lingkungan tempat para karyawan yang bersangkutan bekerja (Rousseau, 1988). Oleh karena itu, pengembangan ukuran iklim keadilan organisasional tidak dapat dipisahkan dengan studi tentang iklim organisasional. Selama ini, pengembangan ukuran iklim keadilan organisasional masih terbatas pada penggunaan satu dimensi saja sehingga pemodelan pengukuran hanya dengan satu order secara reflektif terkait dengan indikator-indikator yang dicakup dalam konstruk tersebut (Naumann dan Bennet, 2000; Colquitt et al., 2002; Dietz et al., 2003; Ehrhart, 2004). Keterbatasan cakupan dimensi dalam konstruk ini menjadi salah satu motivasi utama untuk mengkaji ukuran iklim keadilan organisasional tersebut secara lebih komprehensif. Beberapa peneliti sebelumnya secara tegas menggunakan pendekatan pengagregasian untuk mengkonseptualisasikan iklim keadilan organisasional di tingkat kelompok sebagaimana disarankan Kozlowski dan Klein (2000) walaupun dalam penjustifikasian ukurannya mereka menggunakan pendekatan yang berbeda-beda (seperti misalnya, Ehrhart, 2004; Liao dan Rupp, 2005). Penelitian ini bermaksud mengkaji iklim keadilan organisasional sebagai konstruk multidimensi dengan pengembangan ukuran yang dimodelkan secara reflektif pada order pertama, dan pengukuran yang dimodelkan secara formatif pada order ke dua, serta memanfaatkan variabel anchor untuk

Page 221: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 216

mengintegrasikan dimensi-dimensi yang tercakup dalam konstruk tersebut. Ukuran yang dikembangkan dan divalidasi dalam studi ini adalah iklim keadilan prosedural (procedural justice climate) dan iklim keadilan distributif (distributive justice climate). 2. Berbagai Isu tentang Pengukuran Iklim Keadilan Organisasional 2.1. Iklim Keadilan Organisasional dan Keadilan Organisasional Pembahasan tentang iklim keadilan organisasional mengacu pada konsep keadilan organisasional (organizational justice) dan konsep iklim organisasional (organizational climate). Secara substantif konsep iklim keadilan organisasional dibangun dengan berbasis pada konsep keadilan organisasional. Studi tentang keadilan organisasional dikonseptualisasikan untuk menjelaskan fenomena pada tingkat analisis individu sedangkan studi tentang iklim organisasional dikonseptualisasikan untuk menjelaskan fenomena pada tingkat analisis yang lebih tinggi (kelompok atau organisasi). Dengan berbasis pada pendekatan-pendekatan tersebut, para penulis terdahulu mengembangkan konsep iklim keadilan organisasional. Oleh karena itu, dalam studi ini untuk pengembangan ukuran iklim keadilan organisasional pemahaman tentang konsep keadilan organisasional, tipologi keadilan organisasional, dan konsep iklim organisasional menyediakan landasan penting bagi pengembangan ukuran dan studi tentang iklim keadilan organisasional. Keadilan organisasional berkenaan dengan persepsi orang mengenai keadilan dalam setting organisasional. Penelitian-penelitian di bidang keadilan organisasional telah mengalami perkembangan, baik dari segi setting penelitian, model, hubungan yang signifikan antara konstruk keadilan organisasional dengan konstruk lainnya, tingkat analisis maupun dari segi perspektif yang digunakannya. Secara umum, tilikan literatur menunjukkan bahwa konsep keadilan organisasional telah berkembang dari waktu ke waktu mulai dari konstruk tunggal (keadilan distributif) hingga menjadi empat jenis konstruk, yaitu keadilan distributif, keadilan prosedural, keadilan interpersonal, dan keadilan informasional (Nowakowski dan Conlon, 2005). Di antara keempat konstruk keadilan organisasional tersebut, terdapat dua konstruk yang menjadi pusat perhatian studi para peneliti sebelumnya, yaitu keadilan prosedural dan keadilan distributif (seperti misalnya, Folger dan Konovsky, 1989; Ball, Trevino dan Sims, Jr., 1994; Ping Tang dan Sarsfield-Baldwin, 1996;

Page 222: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 217

Welbourne, 1998; Tremblay, Sire, dan Balkin, 2000; Masterson, Lewis, Goldman dan Taylor, 2000; Simons dan Roberson, 2003; Harvey dan Hainess, 2005; Kwon, 2006; Martin dan Bennet, 1996; Erdogan, Liden, dan Kraimer, 2006; Samad, 2006. Akhir-akhir ini, para peneliti banyak menaruh perhatian pada pengembangan konstruk keadilan organisasional pada tingkat analisis yang lebih tinggi (kelompok atau organisasi) dengan mengembangkan konsep iklim keadilan organisasional (organizational justice climate). Pengembangan konstruk pada tingkat analisis yang lebih tinggi tersebut sejalan pula dengan dikembangkannya beberapa pendekatan pengagregasian untuk menjustifikasi konstruk tersebut pada tingkat analisis yang lebih tinggi. Walaupun para peneliti sebelumnya telah banyak mengkaji dan membedakan keadilan prosedural dan keadilan distributif namun kebanyakan penelitian sebelumnya lebih tertarik untuk mengkaji satu tipe konstruk keadilan organisasional, yaitu keadilan prosedural. Demikian pula halnya pada studi iklim keadilan organisasional bahwa ukuran yang banyak dikembangkan adalah ukuran iklim keadilan prosedural (Mossholder et al., 1998; Naumann dan Bennet, 2000; Colquitt et al., 2002; Ehrhart, 2004) namun demikian sampai sejauh ini ukuran iklim keadilan distributif sampai saat ini belum dikaji. 2.2. Iklim Keadilan Organisasional Secara konseptual dan empiris, iklim keadilan prosedural sudah terdukung eksistensi dan pengaruhnya dalam menjelaskan perilaku individu di tempat kerja dan hasil-hasil organisasional (Naumann dan Bennet, 2000; Colquitt et al., 2002; Ehrhart, 2004). Dalam studi-studi tersebut pengembangan ukuran iklim keadilan prosedural didasarkan pada konsep keadilan prosedural sebagaimana dikemukakan dan divalidasi oleh Colquitt (2001). Di samping itu, berbasis pada beberapa jenis konstruk yang dikembangkan Colquitt (2001) beberapa peneliti telah mengembangkan dan mengkaji tiga jenis ukuran iklim keadilan organisasional, yaitu iklim keadilan prosedural, iklim keadilan informasional, dan iklim keadilan interpersonal (seperti misalnya, Liao dan Rupp, 2005). Kelemahan utama studi-studi itu adalah konstruk yang dikaji masih terbatas dan belum terintegrasi. Dalam studi-studi tersebut iklim keadilan organisasional belum melibatkan dimensi-dimensi atau sub skala-sub skala atau faktor yang komprehensif sehingga kemampuan untuk menjelaskan variabel

Page 223: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 218

criterion menjadi terbatas. Oleh karenanya ketika konstruk tersebut dikaji dalam hubungannya dengan konstruk-konstruk lainnya belum memberikan hasil sebagaimana yang diharapkan (seperti misalnya, Liao dan Rupp, 2005). Dengan demikian, terdapat kebutuhan untuk pengembangan ukuran iklim keadilan organisasional yang lebih komprehensif dan terintegrasi secara konseptual serta teruji secara empiris. Studi-studi empiris yang melibatkan konstruk iklim keadilan organisasional telah memberikan landasan pemahaman yang lebih luas tentang fenomena perilaku manusia yang mengarah pada hubungan-hubungan di antara individu-individu dan aspek-aspek lingkungan sosial yang lebih luas (dalam kelompok kerja dan/atau organisasi). Penjelasan ini sejalan dengan pemikiran para teoritisi yang berorientasi pada ekologi sosial (seperti misalnya, Bronfenbrenner, 1979; Moos, 1973). Pandangan terhadap fenomena tersebut juga sejalan pula dengan yang dikemukakan Tyler dan Lind (1992) bahwa model-model relasional tentang perilaku manusia semakin menjadi sentral bagi teori-teori kontemporer untuk mengkaji keadilan prosedural. Di samping itu, para peneliti di bidang keadilan distributif (Deutsch, 1975; Tornblom, 1992 dalam Fondacarro et al., 2002) sejak lama telah mengakui bahwa nilai-nilai dasar yang berakar dalam sistem makro pada akhirnya menyebar luas ke berbagai konteks mikro sosial dalam sebuah kultur. Dengan demikian, menyimak luasnya fenomena perilaku individu/individu dalam kelompok telah menimbulkan dorongan untuk mengembangkan ukuran iklim keadilan prosedural dan iklim keadilan distributif yang mencakup dimensi atau faktor yang lebih luas pada konstruk-konstruk yang dikaji agar dapat menangkap fenomenanya secara lebih komprehensif. Oleh karena itu, pertanyaan utama yang muncul adalah dimensi-dimensi atau faktor-faktor apa saja yang dicakup dalam iklim keadilan prosedural dan iklim keadilan distributif. 2.3. Dimensi atau Faktor Iklim Keadilan Organisasional Studi-studi yang ada mengenai iklim keadilan organisasional dikarakterisasikan dengan oleh ketiadaan dimensi atau faktor yang dicakup dalam konstruk tersebut. Seperti misalnya, Naumann dan Bennnett (2000) mengidentifikasi iklim keadilan prosedural sebagai konstruk yang terdiri atas sembilan indikator, Ehrhart (2004) dan Dietz et al., (2003) mengidentifikasi

Page 224: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 219

iklim keadilan prosedural sebagai konstruk yang terdiri atas empat indikator. Masing-masing indikator yang tercakup dalam konstruk tersebut didapatkan dari indikator-indikator yang telah dikembangkan dalam konstruk keadilan prosedural. Pendekatan yang serupa juga terjadi dalam studi Liao dan Rupp (2005) ketika mengkaji tiga jenis iklim keadilan organisasional. Walaupun jenis-jenis keadilan organisasional sebagaimana divalidasi Colquitt (2001) telah diacu banyak peneliti dan menjadi basis pengembangan ukuran iklim keadilan organisasional namun demikian konstruk tersebut belum dikembangkan secara komprehensif. Dalam beberapa dekade terakhir, para penulis di bidang keadilan sosial (social justice) mencatat tentang pengembangan faktor-faktor yang perlu dicakup dalam konstruk keadilan prosedural dan keadilan distributif yang telah dikembangkan secara lebih komprehensif. Beberapa catatan penting yang menggambarkan kemajuan dalam mengkonseptualisasikan konstruk keadilan organisasional telah dikemukakan beberapa penulis, yaitu berkenaan dengan pandangan bahwa: (a) orang menggunakan kriteria dan membuat judgments tentang keadilan prosedural (Tyler et al., 1997), (b) judgments yang dibuat mengenai kontrol, baik mengenai kontrol terhadap proses maupun kontrol terhadap hasil, masing-masing mempunyai peranan yang penting (Thibaut dan Walker, 1975), (c) terdapat enam kriteria penting untuk mengevaluasi keadilan prosedural: consistenscy, bias suppression, accuracy, correctability, representation, dan ethicality (Leventhal, 1980), (d) nilai kelompok dan model relasional juga memainkan peranan penting sebagai kriteria non kontrol dalam pengevaluasian keadilan prosedural, yaitu neutrality, standing, dan trust (Lind dan Tyler, 1988; Tyler dan Lind, 1992), (e) terkompilasikannya ukuran yang digunakan untuk menilai, baik berbasis pada kriteria keadilan prosedural maupun kriteria keadilan distributif (Tyler dan Lind, 1992), (f) terdapat tiga prinsip distribusi terkait dengan keadilan terhadap hasil, yaitu equity, equality, dan need yang menjadi fokus para peneliti keadilan sosial (Deutsch, 1975, 1985, Schwinger, 1980; Steil dan Makowski, 1989), (g) setiap prinsip distribusi pada dasarnya mempunyai konsekuensi interpersonal yang berbeda-beda, yaitu: equity menumbuhkan persaingan, equality menumbuhkan harmoni kelompok, dan need menumbuhkan perkembangan dan kesejahteraan pribadi (personal well-being).

Page 225: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 220

Berbasis pada gagasan-gagasan tersebut, Fondacarro et al., (2002) telah mengidentifikasi 10 faktor (sub skala) yang tercakup dalam konstruk keadilan prosedural dan lima sub skala yang tercakup dalam konstruk keadilan distributif. Sub skala atau faktor yang dicakup dalam konstruk keadilan prosedural, yaitu: process control, voice, consistency, neutrality, accuracy, correction, dignity/respect, standing/status recognition, trust, dan global procedural fairness. Di samping itu, faktor yang dicakup dalam konstruk keadilan distributif adalah decision control, equity, equality, need, dan global outcome fairness. Hasil analisis faktor pada sembilan faktor konstruk keadilan prosedural (tanpa melibatkan global procedural fairness) dengan menggunakan kriteria eigenvalue lebih besar satu menghasilkan lima faktor yang terekstraksi, yaitu process control, correction, dignity/respect, standing/status recognition, trust. Di pihak lain, analisis faktor pada empat faktor konstruk keadilan prosedural (tanpa melibatkan global distributive fairness) menghasilkan empat faktor yang terekstraksi, yaitu decision control, need, equality, dan equity. Dalam studi empirisnya Fondacarro et al. (2002) telah memvalidasi faktor-faktor keadilan prosedural dan keadilan distributif pada setting pengambilan keputusan keluarga, padahal dalam penelitian ini setting yang digunakan adalah lingkungan unit kerja organisasional. Karakteristik setting pengambilan keputusan di lingkungan kerja mempunyai kemiripan dengan karakteristik setting pengambilan keputusan di keluarga. Dalam setting keluarga, pengambilan keputusan menyangkut hubungan orangtua dengan anak-anaknya yang masih remaja, sedangkan dalam setting lingkungan unit kerja organisasional, pengambilan keputusan menyangkut hubungan kerja antara atasan langsung dengan para anggota unit kerjanya. Dengan demikian, permasalahan yang muncul adalah apa saja faktor-faktor keadilan prosedural dan keadilan distributif yang perlu dicakup dalam studi iklim keadilan prosedural dan iklim keadilan distributif pada setting lingkungan unit kerja organisasional. 2.4. Hubungan Iklim keadilan Organisasional dengan Hasil-hasil Kerja Studi-studi sebelumnya juga menunjukkan bahwa iklim keadilan organisasional (iklim keadilan prosedural) telah dikaji dan dihubungkan dengan berbagai hasil-hasil kerja organisasional. Hasil-hasil kerja organisasional tersebut, antara lain meliputi: kepuasan kerja dan komitmen organisasional

Page 226: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 221

(Mossholder et al., 1998), helping behaviors (Naumann dan Bennett, 2000), kinerja tim dan absensi tim (Colquitt et al., 2002), workplace aggresion (Dietz et al., 2003), perilaku kewargaan organisasional-kelompok (Ehrhart, 2004), komitmen pada organisasi, komitmen pada penyelia, kepuasan pada organisasi, kepuasan pada penyelia, perilaku kewargaan yang diarahkan pada organisasi, dan perilaku kewargaan yang diarahkan pada penyelia (Liao dan Rupp, 2005). Menyimak studi-studi tersebut, kemajuan-kemajuan yang ada dalam pengembangan ukuran iklim keadilan organisasional masih terbatas atau belum menyediakan akumulasi pengetahuan yang komprehensif. Masing-masing peneliti masih berupaya untuk meyakinkan adanya eksistensi iklim keadilan organisasional dengan menggunakan berbagai perspektif yang dipilihnya. Bahkan argumen-argumen yang ada untuk menjelaskan pengaruhnya pada berbagai hasil-hasil kerja organisasional masih menyisakan kelemahan-kelemahan yang terjadi. Hal ini terjadi karena setiap peneliti menggunakan pendekatan pengukuran yang berbeda-beda, dan masih banyak instrumen yang belum tervalidasi, dirancang secara terbatas, serta spesifikasi tingkat analisis yang belum meyakinkan banyak pihak atau menimbulkan perdebatan baru. 2.5. Ukuran Iklim Keadilan Organisasional Yang Sudah Dikembangkan Salah satu kelemahan utama dalam banyak ukuran iklim keadilan organisasional adalah tidak adanya basis teoritikal yang jelas. Ketiadaan kerangka kerja teoritis yang mendasari pengembangan ukuran tersebut mengakibatkan peneliti sebelumnya menggunakan indikator-indikator yang berbeda-beda dalam pengukuran iklim keadilan prosedural, Seperti misalnya, Ehrhart (2004) hanya menggunakan empat indikator dari tujuh indikator yang ada; Mossholder et al. (1998), menggunakan indikator yang dikembangkan berdasarkan aspek-aspek yang menjadi fokus kajiannya, yaitu facets of procedural and managerial aspects. Berawal dengan tidak adanya kejelasan kerangka kerja teoritis, para peneliti sebelumnya menggunakan pendekatan pengukuran iklim keadilan organisasional secara berbeda-beda, seperti misalnya, Mossholder et al. (1998) menggunakan pendekatan pengukuran sebagai penilaian terhadap sistem manajemen sumberdaya manusia dengan foci pada penyelia dan organisasi secara bersamaan, sedangkan Naumann dan Bennett (2000) mendekatinya dengan items wording yang mencerminkan a work group reference untuk

Page 227: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 222

setiap foci yang dikaji. Sementara itu, peneliti lainnya mendekati pengukurannya berdasarkan sudut pandang dan perasaan responden (Dietz et al., 2002). Ketiadaan konsistensi dalam mengkonseptualisasikan iklim keadilan organisasional juga ditunjukkan dalam studi-studi berikut. Seperti misalnya, Naumann dan Bennett (2000) mengkonseptualisasikan sebagai kognisi tingkat kelompok, Liao dan Rupp (2005) mengkonseptualisasikannya sebagai persepsian para anggota kelompok, sedangkan peneliti lainnya tidak mengkonseptualisasikannya secara jelas (Mossholdet et al., 1998; Colquitt et al., 2002; Ehrhart, 2004) Dua tipe ukuran keadilan organisasional, yaitu keadilan prosedural dan keadilan distributif telah menjadi tipe ukuran yang banyak dikaji pada tingkat analisis individual (seperti misalnya, Folger dan Konowski, 1989; Ping Tang dan Sarsfield-Baldwin, 1996) bahkan mereka dapat membedakan pengaruh masing-masing tipe keadilan organisasional (keadilan prosedural dan keadilan distributif) pada perilaku individu dan hasil-hasil organisasional. Namun demikian, studi-studi tersebut lebih berfokus pada satu tipe keadilan organisasional saja, yaitu keadilan prosedural. Oleh karena itu ketika para peneliti mengembangkan studi pada tingkat analisis yang lebih tinggi maka tipe iklim keadilan prosedural lebih banyak diminati (seperti misalnya, Mossholder et al., 1998; Naumann dan Bennett, 2000; Colquitt, 2002; Dietz et al., 2003; Ehrhart, 2004). Di samping itu, studi-studi yang ada selama ini mengkaji iklim keadilan organisasional sebagai konstruk reflektif hanya dengan mengandalkan pada satu faktor saja padahal melalui studi yang melibatkan banyak dimensi memampukan untuk mendapatkan hasil/penjelasan yang lebih spesifik ketika iklim keadilan organisasional dikaji dalam hubungannnya dengan konstruk lainnya. Dengan kata lain, penerapan pendekatan multidimensi memampukan untuk mengidentifikasi pengaruh factor-faktor iklim keadilan organisasional pada ukuran-ukuran hasil-hasil tertentu. 2.6. Pendekatan Pengagregasian Data Ketika iklim keadilan organisasional dikaji pada tingkat kelompok atau organisasi maka aspek-aspek yang perlu dipertimbangkan adalah berkenaan dengan rumusan konseptualisasi, rumusan definisi operasional, dan pendekatan

Page 228: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 223

untuk menjustifikasi data agregat. Di antara aspek-aspek tersebut aspek yang masih menjadi isu perdebatan adalah pendekatan pengagregasian. Para peneliti sebelumnya cenderung menggunakan indeks agregasi, yaitu rWG (seperti misalnya, Dietz et al., 2003; Ehrhart, 2004; Liao dan Rupp, 2005). indeks rWG mempunyai kelemahan bahwa spesifikasi yang tepat untuk null distribution masih menjadi perdebatan (Dunlap et al., 2003). Selain itu, isu lainnya yang masih berkaitan dengan pendekatan pengagregasian adalah pemodifikasian rumusan item yang digunakan untuk pengukuran. Kebanyakan peneliti memodifikasi rumusan item dari konstruk keadilan organisasional di tingkat individual tanpa menyebutkan model atau pendekatan yang dipilih. Liao dan Rupp (2005) secara jelas memilih model komposisi direct-consensus composition model sebagaimana disarankan Chan (1998). Penyusunan item wordings harus menjadi bahan pertimbangan pula dalam penentuan pilihan pendekatan pengukuran data agregat yang dapat menghasilkan agreement (Klein et al., 2001). Hasil studi sebelumnya dan gagasan yang dikemukakan Chan (1998) dan Klein et al.(2001) perlu dijadikan basis dalam penentuan model komposisi dan pilihan rumusan item wordings untuk mendapatkan data agregat. Secara keseluruhan isu-isu yang ada terkait dengan pengembangan ukuran iklim keadilan organisasional selama perlu dijadikan pertimbangan ketika hendak mengembangkan dan memvalidasi ukuran iklim keadilan organisasional secara lebih komprehensif. Oleh karena itu sesuai dengan permasalahan, isu yang dan maksud penelitian yang telah dirumuskan maka pengembangan ukuran iklim keadilan organisasional pada setting unit kerja perlu berbasis pada kerangka teoritis yang jelas. Oleh karena itu, penelitian ini membutuhkan data yang dikumpulkan dari berbagai unit kerja yang telah dispesifikasikan pada berbagai instansi. Selanjutnya, pada bagian berikut dibahas perspektif-perspektif yang dijadikan basis kerangka teoritis untuk mengkaji iklim keadilan organisasional (iklim keadilan prosedural dan iklim keadilan distributif) 3. Rerangka Teoritis 3.1. Integrasi Perspektif dan Hasil Studi Sebelumnya Untuk menghadapi masalah penentuan faktor-faktor yang dicakup dalam iklim keadilan organisasional dalam penelitian ini dilakukan dengan

Page 229: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 224

mengadopsi kerangka kerja teoritis dengan mengintegrasikan secara komplementer tiga perspektif, yaitu perspektif attraction-selection-attrition (ASA), social information processing (SIP), dan social learning theory (SLT) yang masing-masing telah dikemukakan oleh Schneider (1975); Salancik dan Pfeffer (1978); Bandura (1977). Secara garis besar, deskripsi masing-masing perspektif tersebut disajikan pada Tabel 1.1 sebagaimana tersaji dalam lampiran. Apapun pilihan kerangka kerjanya, suatu hal yang penting diperhatikan dalam pengembangan model pengukuran iklim keadilan organisasional adalah kebutuhan adanya anchor bagi ukuran iklim keadilan organisasional pada tingkat unit atau kelompok kerja. Ukuran anchor tersebut dimaksudkan sebagai suatu pendekatan analisis yang digunakan untuk mengintegrasikan dan menilai faktor-faktor iklim keadilan organisasional di tingkat unit kerja atau kelompok kerja. Selanjutnya, dengan memanfaatkan anchor ukuran tersebut maka tersedia pendekatan untuk mengkategorikan iklim keadilan organisasional dalam dua tipe, yaitu iklim keadilan prosedural dan iklim keadilan distributif. Pengintegrasian perspektif ASA, SIP, dan SLT diharapkan mampu menyediakan kerangka kerja yang mendasari eksistensi iklim keadilan organisasional di tingkat unit kerja atau kelompok kerja. Masing-masing dari ketiga perspektif tersebut menyediakan penjelasan teoritik yang saling melengkapi untuk mengkaji eksistensi iklim keadilan organisasional pada tingkat unit kerja atau kelompok kerja. Walaupun tidak semua perspektif tersebut (ASA, Social Information Processing Theory, Social Learning Theory) dikembangkan pada level of analysis yang sama namun ketiganya dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena eksistensi iklim keadilan organisasional setting kelompok kerja. Kelebihan utama pengintegrasian ketiga perspektif tersebut secara komplementer adalah selain menyediakan argumen-argumen teoritik untuk menjelaskan eksistensi iklim keadilan organisasional di tingkat unit kerja atau kelompok kerja namun juga dapat dijadikan dasar untuk mengkaji hubungan antara iklim keadilan organisasional dengan perilaku individu-individu yang menjadi anggota kelompok kerja yang bersangkutan. 3.2. Penelusuran Dimensi-dimensi Iklim Keadilan Organisasional

Page 230: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 225

Schneider (1975, 1990) pernah mengemukakan gagasan terkait dengan penentuan faktor-faktor yang dicakup dalam konstruk iklim organisasional. Ia berpendapat bahwa dimensi-dimensi iklim organisasional akan berbeda-beda tergantung pada maksud penelitian dan variabel criterion yang dikaji. Maksud penelitian ini adalah untuk mengembangkan dan memvalidasi ukuran iklim keadilan organisasional yang dapat mengidentifikasi faktor-faktor tertentu dalam cakupan iklim keadilan organisasional yang berperan dalam menjelaskan perilaku individu dalam setting unit kerja. Pendekatan yang diambil untuk memperluas faktor-faktor iklim keadilan organisasional didasarkan pada model keadilan sosial dan mempertimbangkan: (1) studi-studi sebelumnya yang telah mengidentifikasi dan mengkompilasikan dimensi-dimensi atau faktor-faktor keadilan organisasional secara lebih komprehensif, (2) kecukupan jumlah faktor yang valid dan reliabel untuk dapat dibangun guna menangkap fenomena eksistensi iklim keadilan organisasional, (3) luasnya cakupan dimensi-dimensi perilaku individu yang akan dijelaskan oleh keberadaan iklim keadilan organisasional tersebut, dan (4) kesamaan dan perbedaan karakteristik setting pada studi sebelumnya dengan karakteristik setting pada studi ini. Beberapa peneliti telah mengkompilasi dan mengkaji faktor-faktor yang yang valid dan reliabel dalam cakupan keadilan organisasional (seperti misalnya, Fondacarro et al., 2002). Sesuai hasil analisis faktor tersebut, semua faktor yang berhasil terekstraksi perlu dicakup dalam konstruk keadilan prosedural. Oleh karena itu, menyimak hasil pengembangan faktor-faktor ukuran yang telah didentifikasi Fondacarro et al., (2002) menunjukkan bahwa hasil kajian tentang faktor-faktor keadilan prosedural dan keadilan distributif memberikan cakupan yang lebih komprehensif bagi masing-masing dari kedua konstruk tersebut. Namun demikian, sejalan dengan gagasan Schneider (1975, 1990), hasil studi tersebut perlu dikaji lebih lanjut dari segi validitas isi faktor-faktor yang teridentifikasikan dengan karakteristik setting penelitian. Tabel 1.2 menyajikan faktor-faktor keadilan prosedural dan keadilan distributif yang dikaji dalam penelitian ini. Hasil studi Fondacarro et al. (2002) telah mengekstraksi faktor-faktor keadilan prosedural tersebut sehingga dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu faktor-faktor yang terkait dengan kriteria kontrol dan kriteria non kontrol. Faktor keadilan prosedural yang terkait dengan kriteria kontrol ada dua, yaitu

Page 231: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 226

process control (PC), dan correction (CO) sedangkan faktor yang terkait dengan kriteria non kontrol ada tiga, yaitu dignity/respect (DR), standing/status recognition (SR),dan trust (TR). Oleh karena itu untuk mendapatkan kecukupan dalam menangkap fenomena keadilan prosedural dalam setting pengambilan keputusan lingkungan unit kerja organisasional, faktor yang perlu ditambahkan dalam cakupan ukuran keadilan prosedural adalah faktor accuracy (AC). Faktor accuracy ini termasuk dalam kategori faktor kriteria kontrol Selanjutnya, faktor-faktor yang terekstraksi dari hasil analisis faktor keadilan distributif tidak dapat dilibatkan semuanya dalam setting pengambilan keputusan lingkungan unit kerja organisasional karena terdapat faktor yang tidak relevan dengan kondisi sistem mikro (unit kerja) di Indonesia, yaitu faktor equity. Di samping itu, faktor equity diputuskan untuk tidak dilibatkan dalam cakupan konstruk keadilan distributif karena faktor tersebut berperan menumbuhkan persaingan antara individu dalam setting unit kerja. Dengan demikian, dimensi-dimensi atau faktor-faktor yang dikaji dalam pengembangan ukuran iklim keadilan prosedural, yaitu process control, correction dignity/respect, standing/status recognition, trust, dan accuracy. Faktor-faktor yang dikaji dalam iklim keadilan distributif,yaitu decison control (DC), equality (EQ), dan need (NE). Di samping itu, anchor measure untuk iklim keadilan prosedural adalah global procedural fairness (GP), dan anchor measure untuk iklim keadilan distributif adalah global outcome fairness (GO). 3.3. Eksistensi Iklim Keadilan Organisasional Sebagai Faktor Kontekstual

di Tingkat Kelompok Kerja Eksistensi iklim keadilan organisasional yang terbentuk pada tingkat kelompok kerja menjadi determinan penting bagi hasil-hasil organisasional telah dikaji beberapa penulis sebelumnya dengan menggunakan perspektif dan fokus yang berbeda-beda (seperti misalnya, Naumann dan Bennett, 2000; Liao dan Rupp, 2005). Penelitian ini menerapkan perspektif-perspektif attraction-selection-attrition (ASA) (Schneider, 1975; 1987), pemrosesan informasi sosial (social information processing) (Salancik dan Pfeffer, 1978), dan pembelajaran sosial (social learning) (Bandura, 1977; 1986) secara komplementer sebagai basis untuk menjelaskan eksistensi iklim keadilan organisasional di tingkat kelompok kerja. Di samping itu, ketiga perspektif tersebut secara

Page 232: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 227

komplementer juga digunakan sebagai basis untuk memprediksikan pengaruh iklim keadilan organisasional pada perilaku individu. Kerangka kerja ASA menyarankan bahwa individu-individu dengan sikap, kognisi, persepsi dan perilaku yang serupa cenderung tertarik pada, diseleksi oleh, dan bertahan pada suatu lingkungan kerja (Schneider, 1987). Walaupun perspektif ASA ini terutama digunakannya pada tingkat analisis organisasi namun argumen ini menjelaskan proses yang sama pada tingkat analisis kelompok. Oleh karena itu, sesuai perspektif ASA, individu-individu yang menjadi anggota dan bekerja dalam suatu kelompok berupaya untuk beradaptasi dengan persepsi, sikap, dan perilaku rekan-rekan sekerjanya sedangkan individu-individu yang merasa tidak mampu beradaptasi akan meninggalkan organisasi sehingga individu-individu yang ada di dalam kelompok kerja tersebut seharusnya cenderung relatif homogin. Dengan demikian, individu-individu yang menjadi dalam kelompok kerja tersebut mempunyai persepsi yang sama mengenai perlakuan yang dialami dari pihak organisasi. Terdapat berbagai mekanisme proses ASA berfungsi untuk menghasilkan tingkat kesamaan (similarity) persepsi dalam kelompok-kelompok kerja. Seperti misalnya, dalam hal penempatan karyawan, pihak manajemen mungkin mencoba menempatkan karyawan baru pada suatu kelompok kerja yang dipandang cocok dengan karakteristik dan persepsi kelompok kerja tersebut; penilaian persepsi secara implisit tersebut akan mempengaruhi keputusan penempatan sehingga orang-orang yang nampak sama dalam hal karakteristik dan persepsi dikelompokkan secara bersama-sama. Kesamaan dalam hal persepsi juga terjadi ketika individu-individu merasa lebih tertarik (attracted) pada anggota-anggota suatu kelompok kerja yang mempunyai karakteristik dan persepsi yang sama sebagaimana dirinya. Individu-individu yang berada dalam kelompok kerja dengan karakteristik dan persepsi yang sama tersebut cenderung bertahan di dalam kelompok kerja tersebut. Sebaliknya, individu yang ditempatkan dalam kelompok yang tidak sama dengan karakteristik dirinya cenderung untuk meninggalkan kelompok kerja tersebut atau pindah pada kelompok kerja lainnya di dalam organisasi yang sama. Di samping itu, teori pemrosesan informasi sosial juga menjelaskan adanya kesamaan karakteristik dan persepsi di antara individu-individu dalam

Page 233: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 228

kelompok kerja karena ketika dalam kelompok kerja mereka saling saling berbagi informasi dan tanda-tanda sosial dengan rekan-rekan sekerjanya dalam kelompok. Informasi dan tanda-tanda sosial yang didapatkannya tersebut dijadikan basis untuk menginterpretasikan kejadian-kejadian yang ada dalam lingkungan sosialnya. Dengan menerapkan perspektif ini, dapat dikemukakan bahwa dari waktu ke waktu, individu-individu di dalam kelompok kerja tersebut akan mempunyai karakteristik dan persepsi yang cenderung semakin homogin mengenai perlakuan dari pihak organisasi sebagaimana dialaminya dan dialami rekan-rekan sekerjanya dalam kelompok. Argumen-argumen yang dikemukakan kedua teori tersebut juga konsisten dengan teori pembelajaran sosial namun demikian penjelasan yang diberikan teori pembelajaran sosial kurang eksplisit dibandingkan dengan kedua teori sebelumnya. Individu-individu yang ada dalam kelompok kerja menggunakan rekan-rekan sekerjanya sebagai model dalam berperilaku. Sejauh rekan-rekan sekerja yang dijadikan model peran menunjukkan kesamaan karakteristik dan persepsi maka anggota individual dalam kelompok yang bersangkutan akan memilih persepsi yang sama dengan rekan-rekan sekerjanya sebagai pencerminan norma-norma kelompok. Dengan demikian, secara keseluruhan individu-individu dalam kelompok kerja tersebut juga akan mempunyai kesamaan persepsi mengenai perlakuan dari pihak organisasi. Dengan menggunakan ketiga perspektif tersebut secara komplementer, individu-individu yang berada dalam kelompok kerja menganalisis lingkungan kerja mereka secara cermat atas informasi dan tanda-tanda sosial yang didapatkan untuk digunakan sebagai basis untuk menginterpretasikan perlakuan dari pihak organisasi, dan untuk basis penilaian ketepatan keyakinan, sikap, persespi yang dimilikinya dengan memanfaatkan rekan-rekan sekerjanya dalam kelompok yang bersangkutan sebagai model dalam berperilaku, dan dalam mempersepsi perlakuan pihak organisasi sebagaimana dialaminya. Secara keseluruhan, dari waktu ke waktu, perlakuan dari pihak organisasi sebagaimana dialami individu-individu dalam kelompok kerja akan membentuk persepsi kolektif yang semakin homogin. Dengan demikian, sesuai dengan penjelasan ketiga perspektif tersebut maka eksistensi iklim keadilan organisasional di tingkat kelompok terbentuk karena adanya kesamaan atau kesepakatan persepsi yang dipegang individu-individu dalam suatu kelompok kerja. Oleh karena itu, iklim keadilan organisasional dapat didefinisikan secara konseptual sebagai

Page 234: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 229

persepsian kolektif yang dipegang individu-individu dalam kelompok kerja secara keseluruhan mengenai aspek perlakuan dari atasan langsungnya dalam pengambilan keputusan di unit kerja yang dipimpinnya (kebijakan-kebijakan, praktik-praktik, dan prosedur-prosedur) sebagaimana dialami mereka di tempat kerja. Definisi konseptual iklim keadilan organisasional tersebut dapat dijadikan acuan dalam merumuskan definisi konseptual untuk iklim keadilan proseduran dan iklim keadilan distributif. Walaupun model dua faktor tentang keadilan organisasional banyak diminati para peneliti (seperti misalnya, Ball, Trevino, dan Sims, Jr., 1994; Tremblay, Sire, dan Balkin, 2000; Folger dan Konovsky, 1989; Martin dan Bennett, 1996; Moorman, 1991; Erdogan, Liden, dan Kraimer, 2006; Masterson, Lewis, Goldman, dan Taylor, 2000; Simons dan Roberson, 2003) namun perdebatan masih terjadi perdebatan berkenaan dengan kemampuan prediktif masing-masing tipe keadilan organisasional tersebut dalam memprediksikan sikap dan perilaku individu. Para peneliti sebelumnya berkesimpulan bahwa individu mempunyai reaksi yang berbeda terhadap kedua tipe keadilan organisasional (keadilan prosedural dan keadilan distributif) (Colquitt et al., 2001). Secara lebih spesifik, Moorman (1991) berkesimpulan bahwa keputusan individu untuk berperilaku kewargaan organisasional lebih merupakan hasil evaluasi positip umum tentang sistem organisasional, institusi, dan pihak berwenang yang diakibatkan oleh keadilan keadilan prosedural daripada evaluasi tentang masalah hasil-hasil yang spesifik. Keterikatan individu dalam berperilaku kewargaan organisasional lebih didorong oleh keadilan prosedural daripada didorong oleh keadilan distributif. Secara umum, reaksi individu terhadap masing-masing tipe keadilan organisasional (model dua faktor) dapat dibedakan. Oleh karena itu, reaksi individu yang berbeda terhadap fenomena keadilan prosedural dan keadilan distributif yang dialaminya membawa implikasi lanjut bahwa iklim keadilan prosdural dan iklim keadilan distributif juga dapat dibedakan oleh individu-individu dalam suatu unit kerja. Deskripsi tentang karakteristik peran fungsional kedua tipe keadilan organisasional tersebut telah mendorong para peneliti selama ini untuk lebih banyak mengkaji tentang peran fungsional keadilan prosedural dalam memprediksikan sikap dan perilaku individu. Selanjutnya, untuk dapat mengkonseptualisasikan iklim keadilan prosedural (IKP) dan iklim keadilan distributif (IKD) maka konseptualisasi

Page 235: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 230

keadilan organisasional sebagaimana telah dikemukakan para peneliti sebelumnya (Colquitt et al., 2001) dan konseptualisasi yang dikemukakan Lind dan Tyler (1988), Tyler et al. (1997) perlu dijadikan acuan untuk merumuskannya sesuai penjelasan-penjelasan teoritik yang berasal dari perspektif-perspektif ASA, pemrosesan informasi sosial, dan pembelajaran sosial. Masing-masing tipe iklim keadilan organisasional (iklim keadilan prosedural dan iklim keadilan distributif) tersebut perlu didefinisikan secara terpisah. Pemisahan masing-masing tipe iklim keadilan organisasional ini didasarkan pada pandangan dan kenyataan bahwa individu-individu berkemampuan untuk membuat penilaian yang berbeda terhadap masing-masing tipe keadilan organisasional tersebut (Colquitt, 2001; Colquitt et al., 2001), dan didasarkan pula pada pandangan bahwa individu memberikan reaksi yang berbeda terhadap masing-masing tipe keadilan organisasional tersebut (Colquitt et al., 2001; Moorman, 1991). Berbasis pada perspektif-perspektif dan pandangan-pandangan yang telah dikemukakan maka iklim keadilan prosedural (IKP) didefinisikan secara konseptual sebagai persepsi agregat para individu dalam kelompok kerja mengenai penilaian terhadap perilaku atasan langsung untuk bertindak adil dalam pengambilan keputusan kerja bagi individu-individu secara keseluruhan dalam kelompok kerja sedangkan iklim keadilan distributif (IKD) didefinisikan secara konseptual sebagai persepsi agregat individu-individu dalam kelompok kerja mengenai penilaian terhadap perilaku atasan langsung untuk bertindak adil dalam keputusan-keputusan pengalokasian hasil-hasil kerja yang diterimakan pada individu-individu secara keseluruhan dalam kelompok kerjanya. Selanjutnya, berbasis pada kerangka teoritis. ASA, pemrosesan informasi sosial, dan pembelajaran sosial hipotesis yang diajukan adalah terdapat faktor-faktor yang berpengaruh siginifikan pada eksistensi masing-masing tipe iklim keadilan organisasional (iklim keadilan prosedural dan iklim keadilan distributif). 4. Metode Penelitian Berbasis pada hasil studi Fondacaro et al., (2002) maka jumlah item yang dikaji pada setiap faktor yang tercakup dalam iklim keadilan prosedural dan iklim keadilan distributif adalah enam item per faktor. Oleh karenanya, secara keseluruhan terdapat 36 item untuk enam faktor, dan enam item untuk

Page 236: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 231

ukuran anchor yang terkait dengan iklim keadilan prosedural. Jumlah item per faktor yang terkait dengan iklim keadilan distributif ada 18 item untuk ketiga faktornya, dan enam item untuk ukuran anchor-nya. Item-item tersebut didapatkan berdasarkan hasil kompilasi dan hasil studi sebelum sebagaimana telah dilakukan Fondacarro et al. (2002). Setelah tahapan translation and back translation terlampaui dan mendiskusikan hasil penerjemahan item-item tersebut dengan para ahli perilaku organisasional, item-item yang akan digunakan untuk penelitian dimodifikasi dengan memadukan pendekatan konstruksi item wordings sebagaimana disarankan Klein et al. (2001) dan pendekatan referent-shift composition model yang disarankan Chan (1998). Dengan menggunakan kedua pendekatan tersebut item-item yang berasal dari konstruk keadilan organisasional disusun dengan pembahasaan rumusan kalimat pernyataan yang memudahkan para responden untuk memberikan respon dalam kuesioner dan skala yang ditetapkan sehingga dihasilkan desain kuesioner awal. Dalam studi pendahuluan tersebut kuesioner awal disebarkan kepada para perawat tetap yang mempunyai masa kerja enam tahun ke atas dan bekerja di berbagai instansi di kota Yogyakarta, Bantul dan Surakarta. Ketika instrumen pengukuran dinilai sudah tervalidasi dari segi pembahasaan dan persyaratan pengukuran pada setting unit kerja maka instrumen tersebut siap untuk digunakan dan disebarkan kepada para responden. Tahapan rancangan instrumen pengukuran dilanjutkan dengan penyusunan format kuesioner yang memuat pilihan skala dan rumusan instruksi tentang cara mengisi kuesioner yang mengarahkan responden dalam memberikan respon. Kuesioner disebarkan kepada 941 perawat tetap dan bermasa kerja minimal 5 tahun yang bertugas di 109 unit kerja pada berbagai instansi rumah sakit di propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Di antara 935 kuesioner yang dikembalikan ternyata kuesioner yang dinilai layak untuk diolah lebih lanjut sebanyak 631 kuesioner dengan 91 unit kerja. Unit kerja-unit kerja yang dikaji dalam penelitian ini minimal beranggotakan lima orang dan mereka bekerja secara tim yang dikoordinasikan oleh atasan langsungnya. Analsis faktor digunakan untuk menyelidiki hubungan-hubungan pada item-item yang berjumlah banyak dan untuk mereduksi item-item tersebut dalam jumlah yang lebih sedikit terkait dengan faktor yang bersangkutan.

Page 237: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 232

Dalam analisis tersebut, ekstraksi yang digunakan adalah principal component dan rotasi varimax. Patokan yang digunakan sebagai cut-off value adalah 0,4 ke atas sebagaimana direkomendasikan Nunnally dan Berstein (1994). Reliabilitas pengukuran dinilai dengan menggunakan nilai koefisien Cronbach alpha Penilaian reliabilitas skala digunakan patokan nilai sebesar 0,60 (Hair et al., 2006). Pengeksplorasian nomological network dilakukan dengan mengembankan model persamaan struktural untuk menilai dan mengidentifikasi faktor-faktor yang mempunyai hubungan struktural dengan konstruk laten yang dikaji. Dalam model persamaan struktural tersebut variabel anchor dilibatkan dalam proses analisis dengan menggunakan program AMOS 6. Nilai critical ratio di atas 2 dijadikan patokan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang layak dicakup dalam konstruk laten yang dikaji dalam tahapan analisis selanjutnya. Model persamaan regresi dikembangkan untuk menguji model pengukuran iklim keadilan prosedural dan iklim keadilan distributif. Dalam model tersebut faktor-faktor yang telah teridentifikasi sebelumnya dikaji pengaruhnya pada eksistensi iklim keadilan organisasional, iklim keadilan prosedural dan iklim keadilan distributif. Pengujian dilakukan dengan menggunakan program SPSS versi 11.5. 4.3. Hasil Analisis dan Pembahasan 4.3.1. Penilaian Validitas Tabel 4.1. menyajikan hasil analisis faktor untuk variabel iklim keadilan prosedural pada 1st order. Faktor-faktor yang dikaji dalam kaitannya dengan konstruk iklim keadilan prosedural terdiri atas enam faktor, yaitu process control (PC), accuracy (AC), correction (CO), dignity/respect (DR), status recognition (SR), trust (TR), dan global procedural fairness (GP). Faktor yang ke tujuh ini terdiri atas item-item yang bermuatan global-evaluative item. Hasil analisis faktor, menunjukkan bahwa item PC1 sampai dengan PC6 loading pada komponen ke 1 atau faktor process control. Demikian pula halnya dengan, item CO1 hingga CO6, dan item GP1 hingga GP6. Hampir semua item yang tersaji pada Tabel 4.1 tersebut mempunyai factor loading > 0,5, kecuali untuk item TR2 (0,468). Item TR2 tetap dipertahankan dengan

Page 238: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 233

pertimbangan: (1) item tersebut masih mempunyai nilai factor loading lebih dari 0,40 sebagaimana disarankan Hair et al. (2006), (2) keberadaan item tersebut menyediakan dukungan pada pengujian reliabiliitas ukuran variabel trust (TR). Tabel 4.2. menyajikan item-item yang tetap dipertahankan terkait dengan ukuran iklim keadilan distributif (IKD). Faktor-faktor yang dikaji dalam kaitannya dengan konstruk iklim keadilan distributif terdiri atas tiga faktor, yaitu decision control (DC), equality (EQ), dan need (NE) serta satu faktor yang disebut global outcomes fairness (GO). Faktor yang ke tujuh ini terdiri atas item-item yang bermuatan global-evaluative item. Hasil analisis untuk item-item yang mengukur faktor Global Outcomes Fairness (GO1 hingga GO5) menunjukkan bahwa kelima item ini tetap dipertahankan. 4.3.2. Penilaian Reliabilitas Konstruk Selanjutnya, setelah didapatkan item-item yang memenuhi persyaratan validitas konstruk maka dilakukan penilaian reliabilitas. Dalam melakukan pengujian reliabilitas, digunakan indeks Cronbach alpha. Ketika validitas dan reliabilitas dinilai mencukupi, pengolahan data dilakukan dengan menggunakan hasil perhitungan skor komposit. Ukuran komposit merupakan metode yang mengkombinasikan beberapa variabel yang mengukur konsep yang sama menjadi satu variabel tunggal untuk meningkatkan reliabilitas pengukuran melalui pengukuran multivariat. Oleh karena itu, untuk mendapatkan skor komposit bagi suatu variabel tunggal diperlukan nilai bobot skor komposit bagi tiap dimensi atau faktor yang dikaji. Nilai bobot skor komposit tersebut diperoleh melalui pemodelan hubungan antara indikator dengan variabel laten yang diestimasikan. Skor responden digunakan sebagai bahan penghitungan skor komposit dimensi atau faktor yang dikaji pada 1st order. Untuk pengolahan datanya digunakan program AMOS. Skor komposit dimensi atau faktor yang dikaji pada 1st order diperoleh melalui perhitungan hasil kali antara bobot-bobot skor komposit dengan skor responden. Hasil akhirnya digunakan untuk pemodelan skor komposit pada variabel ukuran konstruk pada 2nd order. Tabel 4.3 juga menunjukkan hail uji reliabilitas berdasarkan nilai Cronbach alpha. Dalam tabel tersebut, ditunjukkan bahwa semua hasil nilai uji reliabilitas ukuran faktor-faktor konstruk iklim keadilan prosedural di atas 0,6.

Page 239: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 234

Tabel 4.4 menyajikan hasil uji reliabilitas ukuran faktor-faktor konstruk iklim keadilan distributif. Hasil pengujian reliabilitas semua faktor tersebut di atas nilai patokan 0,6. Secara keseluruhan hasil-hasil pengujian validitas dan reliabilitas bagi semua faktor iklim keadilan prosedural dan iklim keadilan distributif mendukung kelayakan indikator-indikator yang bersangkutan dengan faktor-faktor yang dimaksudkan untuk diukur. Sesuai dengan hasil-hasil pengujian tersebut, maka item-item kuesioner yang valid tetap dipertahankan untuk analisis berikutnya. 4.4. Pendekatan dan Model Pengukuran 4.4.1. Statistik Deskriptif dan Korelasi Tabel 4.5. menyajikan nilai rerata, deviasi standar dan korelasi faktor-faktor iklim keadilan prosedural sedangkan Tabel 4.6. menyajikan nilai rerata, deviasi standar dan korelasi faktor-faktor iklim keadilan distributif. 4.4.2. Indikator Summated Scale pada 1st Order Setelah item-item yang valid dan reliabel didapatkan maka tahapan analisis berikutnya adalah melakukan pemodelan pengukuran variabel dimensi/faktor konstruk pada 1st order. Nilai bobot faktor skor didapat dengan cara mengolah data dengan menggunakan AMOS yang selanjutnya dihasilkan skor komposit dimensi/faktor dari konstruk laten yang dimaksudkan untuk diukur. Tabel 4.7 menyajikan nilai reliabilitas, lambda, epsilon dan deviasi standar variabel faktor-faktor yang tercakup dalam konstruk iklim keadilan prosedural (PC, AC, CO, DR, SR, TR, dan GP). Nilai lambda (0.5995) dan epsilon (0.0373) variabel global procedural fairness digunakan untuk tahapan analisis selanjutnya. Global procedural fairness merupakan variabel anchor yang dikaji dalam pemodelan pengukuran iklim keadilan prosedural Tabel 4.8. menunjukkan bahwa nilai reliabilitas komposit semua indikator yang tercakup dalam faktor-faktor konstruk iklim keadilan distributif (DC, EQ, dan NE) menunjukkan besaran di atas 0,6. Hasil nilai alpha ini berarti bahwa indikator-indikator yang tercakup dalam konstruk iklim keadilan distributif mempunyai konsistensi internal pula untuk mengindikasikan faktor-faktor yang berkaitan dengan iklim keadilan distributif. Nilai lambda (0,5027) dan epsilon (0,068) variabel global outcome fairness digunakan untuk tahapan

Page 240: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 235

analisis selanjutnya. Variabel global outcome fairness digunakan untuk penyusunan model pengukuran iklim keadilan distributif. 4.4.3. Pengukuran Konstruk pada 2nd Order Untuk menyaring faktor-faktor yang dicakup dalam konstruk yang dikaji, yaitu iklim keadilan prosedural dan iklim keadilan distributif maka dikembangkan model pengukuran variabel konstruk pada 2nd order. Seperti yang telah dikemukakan sebelum ini bahwa konstruk-konstruk utama yang dikaji dalam penelitian ini merupakan konstruk yang mempunyai dua order. Oleh karena itu, setelah mengkaji variabel konstruk pada order pertama maka kajian dilanjutkan pada pengukuran konstruk pada order ke dua. 4.4.4. Pendekatan Pengukuran Konstruk pada 2nd Order Berbeda halnya pada 1st order, pendekatan pengukuran yang dikembangkan pada konstruk iklim keadilan prosedural dan iklim keadilan distributif pada 2nd order dimodelkan secara formatif. Pemodelan pengukuran secara formatif pada 2nd order tersebut dimaksudkan untuk mengkaji validitas nomologikal faktor-faktor yang dicakup pada masing-masing tipe iklim keadilan organisasional. Tabel 4.9. menyajikan hasil eksplorasi nomological network faktor-faktor iklim keadilan prosedural (IKP), yang terdiri atas process control, accuracy, correction, dignity/respect, status, dan trust. Di antara keenam faktor tersebut hasil pemodelan pengukuran mengindikasikan bahwa faktor accuracy dan trust merupakan faktor yang dilibatkan untuk tahapan analisis berikutnya. Di samping itu, hasil olah data juga menyajikan nilai bobot skor komposit AC (0,034) dan TR (0,410) keduanya dalam arah yang positip dan untuk variabel anchor GP (1,263). Berbasis dengan hasil-hasil tersebut tahapan analisis dilakukan dengan mengkalkulasi skor komposit AC, TR, dan GP. Selanjutnya, hasil kalkulasi skor komposit digunakan untuk menemukan nilai beta bagi AC dan TR yang diregresikan pada GP. Nilai beta yang dihasilkan dan skor komposit AC dan TR digunakan untuk menghasilkan skor akhir variabel iklim keadilan prosedural. Tabel 4.10. menyajikan hasil eksplorasi nomological network faktor-faktor iklim keadilan distributif (IKD), yang terdiri atas decision control (DC), equality (EQ), dan need (NE). Ketiga faktor tersebut secara signifikan merupakan faktor-faktor yang menentukan eksistensi iklim keadilan prosedural

Page 241: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 236

dengan nilai GFI sebesar 0,919. Di samping itu, hasil olah data juga menyajikan nilai bobot skor komposit DC (0,503), EQ (0,431), NE (0,056), dan untuk variabel anchor GO (1,263). Berbasis dengan hasil-hasil tersebut tahapan analisis dilakukan dengan mengkalkulasi skor komposit DC, EQ, NE., dan GO. Ketiga faktor tersebut (DC, EQ, NE) mempunyai arah yang positip berhubungan dengan iklim keadilan distributif (IKD). Hasil kalkulasi skor komposit komposit pada tahapan tersebut digunakan untuk menemukan nilai beta bagi DC, EQ, dan NE yang dilakukan dengan cara meregresikannya pada GO. Nilai beta yang dihasilkan dan skor komposit DC, EQ, dan NE digunakan untuk menghasilkan skor akhir variabel iklim keadilan distributif. 4.5. Justifikasi Pengagregasian Justifikasi pengagregasian diperlukan untuk mendapatkan keyakinan bahwa ukuran-ukuran yang digunakan untuk mendeskripsikan variabel-variabel pada tingkat analisis kelompok menunjukkan indikator yang bermakna. Dalam penelitian ini digunakan tiga pendekatan. Pendekatan pertama, yaitu between-group analysis (ANOVA); pendekatan ke dua, yaitu nilai rwg sebagai indikator within-group agreement (James, Demaree, dan Wolf, 1984, 1993; George dan James, 1993). Pendekatan terakhir, yaitu hasil perbandingan antara besaran between-group mean square dengan within-group mean square. Tabel 4.11. menyajikan indeks rWG (mean), indeks interrater agreement (Average Deviation atau AD) untuk setiap faktor bagi variabel iklim keadilan prosedural dan iklim keadilan distributif sebagimana direkomendasikan Burke dan Dunlap (2002). Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa indeks rWG (mean) tidak dijadikan acuan utama dalam menjustifikasi pengagregasian karena masih terdapat perdebatan tentang nilai patokan signifikansinya (Dunlap et al., 2003). Oleh karena itu dalam penelitian ini justifikasi pengagregasian terutama menggunakan indeks AD (median), indeks AD (mean). Berbasis pada hasil perhitungan dengan menggunakan program yang direkomendasikan Dunlap et al. (2003). Hasil perhitungan dengan menggunakan program tersebbut diperoleh hasil indeks AD (median) dan AD (mean) di bawah 0,833 untuk faktor accuracy (AC), trust (TR), global procedural fairness (GP), decision control (DC), equality (EQ), need (NE), dan global outcomes fairness (GO) maka sesuai Smith-Crowe dan Burke (2003), faktor-faktor yang tercakup

Page 242: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 237

dalam iklim keadilan prosedural dan iklim keadilan ditributif dinyatakan signifikan secara praktikal. Tabel 4.12.menyajikan hasil uji ANOVA untuk variabel-variabel iklim keadilan prosedural (IKP), iklim keadilan distributif (IKD) yang dijustifikasi sebagai variabel pada tingkat analisis kelompok. Hasil pengujian ANOVA menunjukkan between-group differences yang signifikan untuk iklim keadilan prosedural (F= 2,499, p < 0,01), iklim keadilan distributif (F= 1,729, p< 0,01). Oleh karena itu, secara keseluruhan pengagregasian pada iklim keadilan prosedural dan pada iklim keadilan distributif telah terjustifikasi. 4.6. Hasil Pemodelan Pengukuran Iklim Keadilan Prosedural pada 2nd Order Hasil pemodelan pengukuran variabel faktor iklim keadilan prosedural pada 2nd order telah menghasilkan faktor-faktor iklim keadilan prosedural yang mempunyai hubungan yang signifikan dengan iklim keadilan prosedural, yaitu faktor accuracy dan trust. Di samping itu, pemodelan tersebut juga menghasilkan nilai bobot skor komposit untuk faktor-faktor yang berhubungan dengan iklim keadilan prosedural. Dengan demikian dapat diperoleh skor komposit yang dilibatkan dalam analisis berikutnya, yaitu variabel faktor accuracy, trust, dan variabel anchor (global procedural fairness) Dengan berdasarkan hasil-hasil perhitungan skor komposit variabel-variabel tersebut dikembangkan persamaan regresi untuk mengestimasikan nilai iklim keadilan prosedural dengan meregresikan variabel faktor accuracy, trust pada variabel variabel anchor (global procedural fairness) dengan pengolahan data menggunakan program SPSS. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa faktor accuracy dan trust menjelaskan secara signifikan variasi iklim keadilan prosedural. Tabel 4.13. menyajikan nilai koefisien beta yang signifikan untuk faktor accuracy dan trust. Sesuai dengan hasil tersebut, besaran nilai variabel iklim keadilan prosedural terutama ditentukan oleh variabel trust (0,735) sedangkan variabel accuracy mengestimasikan iklim keadilan prosedural hanya sebesar 0,124 dari nilai skor kompositnya masing-masing.

Page 243: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 238

4.7. Hasil Pemodelan Pengukuran Iklim Keadilan Distributif pada 2nd

Order Hasil pemodelan pengukuran variabel faktor iklim keadilan distributif pada 2nd order telah menghasilkan faktor-faktor iklim keadilan distributif yang mempunyai hubungan yang signifikan dengan iklim keadilan prosedural, yaitu faktor DC, EQ, dan NE. Di samping itu, pemodelan tersebut juga menghasilkan nilai bobot skor komposit untuk faktor-faktor yang berhubungan dengan iklim keadilan distributif. Dengan demikian dapat diperoleh skor komposit yang dilibatkan dalam analisis berikutnya, yaitu variabel faktor DC, EQ, NE dan variabel anchor GO (global outcome fairness) Dengan berdasarkan hasil-hasil perhitungan skor komposit variabel-variabel tersebut dikembangkan persamaan regresi untuk mengestimasikan nilai iklim keadilan distributif dengan meregresikan variabel faktor DC, EQ, NE pada variabel variabel anchor (global outcome fairness) dengan pengolahan data menggunakan program SPSS. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa decision control (DC), equality (EQ), dan need (NE) menjelaskan secara signifikan iklim keadilan distributif.. Tabel 4.14. menyajikan nilai koefisien beta yang signifikan untuk faktor decision control, equality, dan need. Sesuai dengan hasil tersebut, besaran nilai variabel iklim keadilan distributif terutama ditentukan oleh variabel equality sebesar 0,461, variabel decision control sebesar 0,299 dan variabel need sebesar 0,086 dari masing-masing skor kompositnya. 5. Simpulan Ukuran iklim keadilan organisasional telah dikembangkan secara lebih komprehensif dan teruji secara empiris dengan memanfaatkan sampel sebesar 631 karyawan tetap dalam keanggotaannya pada 91 unit kerja yang tersebar di 11 instansi rumah sakit. Hasil-hasil studi menunjukkan bahwa pada tingkat 1st order semua faktor yang dikaji dan tercakup, baik dalam iklim keadilan prosedural dan iklim keadilan distributif menghasilkan tingkat validitas dan reliabilitas yang dapat diterima. Hasil pemodelan pengukuran konstruk pada 2nd order ditemukan faktor-faktor yang mempunyai hubungan struktural yang signifikan untuk

Page 244: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 239

mengestimasikan iklim keadilan prosedural persepsian, yaitu faktor accuracy dan trust. Selanjutnya, faktor-faktor yang mempunyai hubungan struktural yang signifikan untuk mengestimasikan iklim keadilan distributif adalah faktor equality, decision control dan need. Sesuai dengan program lunak yang disediakan Dunlap et al (2002) dan rekomendasi penggunaan indeks yang dikemukakan Smith-Crowe dan Burke (2003) maka hasil perolehan nilai indeks AD (median) dan nilai indeks AD (mean) untuk faktor-faktor yang diobservasi. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai indeks AD (median) dan nilai indeks AD (mean) semua faktor yang menentukan iklim keadilan prosedural dan iklim keadilan distributif di bawah nilai patokan Average Deviation (AD) 0,833. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa faktor accuracy, trust, equality, decision control dan need terjustifikasi secara praktikal sebagai konstruk yang dikaji pada tingkat analisis kelompok. Hasil justifikasi pengagregasian sebagaimana dituangkan pada Tabel 4.12 menunjukkan bahwa nilai within-group mean square lebih kecil dibandingkan dengan between-group mean square untuk semua variabel yang dikaji. Hasil tersebut memberikan justifikasi lebih lanjut bahwa persepsian individu-individu mengenai iklim keadilan prosedural (IKP) dan iklim keadilan distributif (IKD) bersifat homogen pada tingkat unit kerja-unit kerja yang diteliti. Dengan kata lain, iklim keadilan prosedural persepsian dan iklim keadilan distributif persepsian secara kolektif eksis pada unit kerja-unit kerja yang diteliti. Semua hasil-hasil tersebut memberikan kesimpulan bahwa variabel IKP dan IKD mendapatkan dukungan atau terjustifikasi untuk diperlakukan sebagai variabel pada tingkat analisis kelompok. Selanjutnya, sesuai dengan hasil pemodelan pengukuran iklim keadilan prosedural yang dianalisis dengan analisis regresi pada setting unit kerja sebagaimana ditunjukkan pada signifikansi nilai koefisien regresinya (beta) dapat disimpulkan bahwa faktor yang berpengaruh secara signifikan pada eksistensi iklim keadilan prosedural persepsian adalah faktor accuracy dan faktor trust. Di antara kedua faktor tersebut, faktor trust memainkan peran yang lebih besar ketimbang faktor accuracy. Demikian pula halnya dengan hasil pemodelan pengukuran iklim keadilan distributif persepsian melalui analisis regresi didapatkan hasil bahwa ketiga faktor, yaitu decison control, equality, dan need berpengaruh signifikan pada eksistensi iklim keadilan distributif

Page 245: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 240

persepsian. Ditinjau dari nilai koefisen beta yang dihasilkan di antara ketiga faktor tersebut, secara berurutan dari nilai pengaruh yang terbesar hingga terkecil pada eksistensi iklim keadilan distributif persepsian, yaitu faktor equality, faktor decison control dan faktor need. Secara keseluruhan, hasil penelitian ini telah memberikan dukungan empiris bahwa iklim keadilan organisasional, khususnya iklim keadilan prosedural dan iklim keadilan distributif merupakan konstruk multidimensi. Oleh karena itu, implikasi teoritisnya bahwa perspektif-persepektif attraction- selection-attrition (ASA), social information processing (SIP) dan social learning theory (SLT) yang terintegrasi secara komplementer memberikan dukungan yang berarti pada studi, baik tentang akumulasi pemahaman eksistensi iklim keadilan prosedural dan iklim keadilan distributif pada setting unit kerja maupun pengaruh masing-masing tipe iklim keadilan organisasional tersebut pada perilaku individu yang menjadi anggota unit kerja yang bersangkutan. Secara metodologis, tersedia peluang studi yang menggunakan kerangka kerja teoritis lain untuk mengkaji lebih lanjut tentang ukuran iklim keadilan prosedural dan iklim keadilan distributif pada setting yang berbeda dan/atau pada tingkat analisis yang lebih tinggi. Hasil penelitian ini juga memberikan implikasi praktikal bahwa instrumen iklim keadilan organisasional yang dikembangkan dan divalidasi pada penelitian ini menyediakan materi bagi para peneliti lainnya untuk mengkaji lebih lanjut pada studi-studi lainnya yang menggunakan ukuran iklim keadilan prosedural dan iklim keadilan distributif. Secara ringkas, faktor-faktor yang dicakup dalam iklim keadilan prosedural terdiri atas enam faktor dan satu ukuran anchor dan faktor-fakor yang dicakup dalam iklim keadilan distributif terdiri atas tiga faktor dan satu ukuran anchor. Kelemahan penelitian ini terutama berkenaan dengan faktor-faktor yang teridentifikasi untuk mengestimasikan iklim keadilan prosedural terbatas hanya pada dua faktor saja. Selain itu, penelitian dilakukan dengan mengandalkan data cross sectional. Penelitian yang mengandalkan data longitudinal diharapkan akan menyediakan hasil yang lebih akurat.

Page 246: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 241

Lampiran -lampiran Tabel 1.1. Perbandingan Perspektif-perspektif Yang Digunakan

No Dimensi ASA Perspective Social Information Processing Theory

Social Learning Theory

1. Asumsi/Premis Dasar

Individu-individu menganalisis dan menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya

Individu-individu saling berbagi informasi sosial dalam lingkungan sosialnya

Individu-individu belajar dengan mengamati lingkungan sosialnya

2 Formula: Perilaku individu adalah

fungsi adaptasi fungsi pengaruh informasional dan shared beliefs

fungsi pemodelan perilaku

3 Motivasi berperilaku

Keanggotaan dan kebersamaan dalam lingkungan sosial

Keberterimaan dalam lingkungan sosial

Hasil-hasil masa mendatang yang dinginkan

4 Level of analysis Organisasi dan/ atau kelompok (unit kerja)

Kelompok (lingkungan sosial langsung)

Kelompok (lingkungan sosial langsung)

5 Mekanisme/ basis pengaruh

Attraction, Selection, Atrittion

Informasional Informasional tetapi samar-samar.

6 Dampak sosial Kesamaan (homogeneity)

Kesamaan (homogeneity)

Kesamaan (homogeneity)

7 Sifat konteks sosial

Mengatur individu (regulatory)

Mengatur individu (regulatory)

Tidak mengatur (self-regulatory)

Sumber: Bommer et al., (2003); George (1990); Pfeffer (1982); Robinson dan O´Leary- Kelly (1998); Schneider, Smith, Taylor, dan Flenor (1998).

Page 247: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 242

Tabel 1.2. Definisi Faktor-faktor Keadilan Prosedural dan Keadilan

Distributif Nama Faktor Deskripsi faktor

Process Control refers to a person’s control over the presentation of information or evidence

Accuracy refers to whether decision making is based on as much good information and informed opinion as possible

Correction refers to whether opportunities exist to modify and reverse decisions made at various points in the process

Dignity/Respect refers to whether the process is compatible with the fundamental moral and ethical values accepted by the individual

Standing/Status Recognition

refers the extent to which an authority figure treats a person as a valued member of the group

Trust refers to a person’s beliefs about the good intentions or motives of someone with decision making authority

Global procedural fairness

refers to an individual’s appraisal of the overall fairness of the decision making process

Decision Control refers to an individual’s control over the actual decision made Equality refers to whether the decision-making outcome is based on the

dividing resources equally, regardless of input Need refers to whether the decision making outcome is based on

meeting the needs the individuals involved Global outcome fairness

refers to whether, all in all, the outcome of the situation was fair

Sumber: Fondacarro, Jackson dan Luescher (2002)

Page 248: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 243

Studi Integrasi Pasar Modal Indonesia Dengan Modifikasi Asset Pricing

Cheung & Lee (1993)

Ignatius Roni Setyawan ∗

Abstrak

Usulan penelitian ini dimaksudkan untuk menganalisis suatu fenomena integrasi pasar modal di BEI yang memperlihatkan hasil studi beragam. Mulai dari Husnan dan Pudjiastuti (1994) sampai dengan Roida (2004) yang menyatakan bahwa pasar modal Indonesia cenderung tersegmentasi. Mereka berdua mengklaim karena korelasi antara return saham di BEI (dulu BEJ) dengan return saham Bursa Negara-Negara lain ternyata “lemah” maka tepatlah justifikasi segmentasi pasar modal Indonesia. Klaim mereka diperkuat oleh survey Roll (1995) yang selain mengatakan pasar modal Indonesia terkategori segmentasi juga menyatakan bahwa kondisi BEJ sangat menarik buat investor asing karena mereka akan memperoleh manfaat dari diversifikasi internasional. Namun kalau dikaji lebih jauh; justru semakin meningkatnya aktivitas investor asing di BEJ membuat IHSG rentan dipengaruhi faktor internasional yang sering dibawa oleh investor asing tersebut. Kondisi inilah yang justru membuat segmentasi pasar modal Indonesia mulai dipertanyakan. Apalagi dengan hasil studi Murtini dan Ekawati (2003) serta Surjawan (2007) yang menemukan fenomena kointegrasi di BEI pasca krisis moneter 1997.

Perkembangan berikutnya ada dua kelompok besar studi integrasi pasar modal (Yusof and Madjid, 2006). Kelompok pertama adalah statistical perspectives yang berfokus membuktikan integrasi atau segmentasi pasar modal dan kelompok kedua asset pricing yang berfokus mencari determinan integrasi pasar modal. Pada kelompok kedua penulis menemukan bahwa ternyata studi Cheung and Lee (1993) telah menemukan model ICAPM Rit = δ0(1 – βi

m) + δ1βi1 + βi

m Rmt + βi1 Fit + eit.

Selanjutnya untuk BEI dimodifikasi menjadi Rit = δ0 (1- βim) + δ1 βi1 + δ2 βi2 + δ3 βi3 + βi

m Rmt + βi1 Fit + βi

2NBS + βi3 CE + β1

4 D + β15 VOT + εit . Tujuan dari modifikasi

model tersebut adalah meng-cover 4 obyek permasalahan penelitian yakni: 1) Syarat integrasi/segmentasi; 2) Faktor Determinan yakni Net Foreign Fund Flow atau bisa disebut Net Buying Selling & Cost of Equity 3) Krisis moneter 1997 4) Volatilitas return saham.

Kata kunci: Integrasi; Segmentasi; Asset Pricing; Faktor Internasional, Net Foreign Fund Flow & Cost of Equity, Pasar Modal Indonesia

∗ Penulis adalah mahasiswa S3 FE Universitas Indonesia dan staf pengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanagara Jakarta.

Page 249: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 244

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Swastanisasi pasar modal Indonesia pada tahun 1992 membuat pasar

modal Indonesia mulai terbuka bagi investor asing (Husnan & Pudjiastuti, 1995). Menurut Roida (2004) dengan mulai terbukanya pasar modal Indonesia maka berbagai faktor eksternal positif dan negatif akan mulai memberikan pengaruh yang signifikan. Faktor eksternal positif berkenaan dengan makin meningkatnya arus dana dari luar negeri yakni dalam bentuk pembelian saham - saham di pasar modal Indonesia {sekarang lihat Bursa Efek Indonesia (BEI)} oleh para investor asing yang biasanya akan mendorong kenaikan IHSG (Roll, 1995; Wang, 2000 dan Frensidy, 2007). Sementara faktor negatif umumnya adalah makin melemahnya (terdepresiasinya) nilai tukar Rupiah dengan US Dollar yang berimbas pada persepsi negatif investor asing terhadap kondisi pasar modal Indonesia. Adanya persepsi negatif akan menimbulkan sentimen negatif dari mereka untuk melakukan penjualan terhadap saham - saham yang telah dimiliki; sehingga pada gilirannya membuat IHSG “anjlok”.

Jadi terbukanya pasar modal Indonesia bagi investor asing sejak 1992 (pada level 49%) dan hampir 100% pada periode 2002-an ternyata memang memiliki dampak positif dan negatif bagi perubahan IHSG (Murtini & Ekawati, 2003). Ketika investor asing memiliki sentimen positif; maka dampak positif terjadi yakni kenaikan IHSG seperti pada periode 2004 – 2007 (lihat Setyawan (2007); nilai IHSG saat itu pada kisaran 800 - 2600). Tetapi manakala sentimen negatif terjadi maka IHSG akan terkoreksi tajam. Pengalaman historis BEI (dulu Bursa Efek Jakarta) membuktikan saat krisis moneter Juli 1997, nilai IHSG berada pada level terendah yakni 200-an. Selain itu pada periode 2007 – 2008 akibat krisis subprime mortgage di Amerika Serikat dan krisis harga minyak dunia; maka IHSG terkoreksi dari kisaran 2600 - 2700 menjadi 2100 - 2200. Karena secara umum faktor pemicu dinamika IHSG memang berasal dari Amerika Serikat; maka tepatlah Naranjo & Aris (1997) menyatakan NYSE (New York Stock Exchange) merupakan barometer bursa dunia.

Jadi sebenarnya langkah swastanisasi pasar modal Indonesia yang mulai membuka diri terhadap eksistensi para investor asing memang cukup memberikan manfaat bagi negara kita. Karena dengan adanya keterbukaan bagi investor asing untuk “bermain” di BEI (dulu BEJ); pasar modal Indonesia

Page 250: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 245

mengalami dampak positif yakni kenaikan IHSG secara signifikan pada kurun waktu 1993 - 1996 dan 2002 - 2007. Meskipun pada sisi yang lain dengan adanya investor asing ini pula; pasar modal Indonesia pernah mengalami dampak negatif yakni berupa penurunan IHSG yang cukup tajam terutama saat krisis moneter 1997; saat peristiwa peledakan Bom oleh teroris (2002-2005) dan saat krisis instabilitas ekonomi internasional seperti sub-prime mortagage dan melonjaknya harga minyak dunia pada periode 2007-2008. Dengan demikian perkembangan pasar modal Indonesia sejak 1992 – 2008 tidak dapat dipisahkan dari partisipasi investor asing dan peristiwa internasional.

Situasi tersebut membuat pasar modal Indonesia berada dalam kondisi “mengambang” antara harus terintegrasi artinya membuka diri terhadap investor asing dan fenomena peristiwa ekonomi internasional ataukah tersegmentasi artinya menutup diri terhadap investor asing dan fenomena peristiwa ekonomi internasional. Namun oleh karena efek jangka panjang dari globalisasi ekonomi dan manfaat kenaikan IHSG yang sangat signifikan maka pasar modal Indonesia mestinya bersifat membuka diri atau disebut terintegrasi [Klemeier & Herald (2000)]. Tetapi melihat dampak negatif yang terjadi yakni penurunan IHSG yang cukup tajam pula; maka pasar modal Indonesia juga terkadang harus bersifat menutup diri dari pengaruh sentimen negatif investor asing dan ekses negatif dari globalisasi ekonomi.

Menurut pendapat penulis pasar modal Indonesia tidak serta - merta melakukan pemilihan antara harus terintegrasi atau tersegmentasi; tetapi justru tahu kapan saat yang tepat untuk melakukan integrasi dan bersegmentasi. Sejauh ini Korajczyk (1995) menyatakan variabel batasan prosentase kepemilikan asing terhadap saham - saham lokal yang menjadi instrumen efektif bagi pasar modal Indonesia untuk berintegrasi atau bersegmentasi. Namun dalam riset terkait seperti Gultekin, et.al. (1989), instrumen efektif tersebut bukan hanya prosentase kepemilikan melainkan juga cost of equity yang fungsinya juga sebagai batasan bagi investor asing. Sementara itu; secara akademik berbagai penelitian tentang topik integrasi dan segmentasi dalam pasar modal menunjukkan bahwa tidak ada pasar modal di dunia yang memiliki bentuk ekstrim apakah itu terintegrasi ataukah tersegmentasi secara utuh (sempurna) (Husnan & Pudjiastuti, 1994). Pada umumnya yang terjadi di pasar modal hanya ada cenderung ke arah segmentasi atau ke arah integrasi [Errunza & Losq (1985); Jorion & Schwatrz (1986) dan Cheung & Lee (1993)]. Studi

Page 251: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 246

Faff & Mittoo (1998) menunjukkan bahwa kecenderungan pasar modal ke arah segmentasi atau integrasi ditentukan oleh tolok ukur maju atau tidaknya suatu negara. Pada negara - negara maju; pasar modal cenderung akan terintegrasi sebab negara - negara maju memiliki basis ekonomi kuat untuk mengalirkan dana investasi ke negara berkembang dan memiliki kesiapan memadai untuk menanggung risiko investasi pasar internasional [Kearney & Lucey (2004) serta Bracker, et.al. (1999)].

Tetapi untuk negara-negara berkembang maka akan cenderung tersegmentasi oleh karena belum memiliki basis ekonomi yang kuat seperti nilai tukar mata uang yang belum stabil, GNP (Gross National Product) yang masih rendah serta sistem perbankan yang kurang kuat. Sehingga adalah bijak jika memperkuat terlebih dahulu basis ekonomi nasional terutama sebelum membuka pasar modal kepada investor asing. Menurut Stulz & Wasserfallen (1995) cara yang dapat ditempuh oleh negara berkembang tersebut antara lain (1) Membangun hambatan langsung dengan pengenaan tarif pajak investasi bagi perusahaan multinasional (2) Membangun hambatan tidak langsung dengan cara membatasi akses informasi baik bagi investor asing maupun juga investor domestik untuk saling berhubungan.

Lalu persoalannya adalah mengapa suatu pasar modal di negara berkembang ini cenderung tersegmentasi? Hasil studi Cheung & Lee (1993) menunjukkan bahwa negara berkembang perlu mempersiapkan dulu pasar modalnya sebelum membuka diri terhadap investor asing. Persiapan ini dimaksudkan untuk memperkuat basis daya saing dari investor domestik terhadap investor asing. Sebab biasanya investor asing memiliki sumber modal yang lebih besar dari investor domestik dan investor asing cenderung akan mengincar proyek - proyek investasi yang strategik seperti pertambangan minyak bumi, batu bara, emas, tembaga dan barang tambang lainnya. Sehingga bila pasar modalnya tersegmentasi maka akses bagi investor asing untuk memasuki sektor strategik ini menjadi sedikit terhambat, kesempatan untuk mengelola sektor ini akan didapati dulu oleh investor domestik. Potential benefit dari proyek tersebut akan dinikmati dulu oleh negara bersangkutan dan tidak lari ke luar negeri.

Selanjutnya, penelitian ini bermaksud melanjutkan studi yang dilakukan oleh Cheung & Lee (1993) yang menemukan bahwa pasar modal Korea adalah pasar modal yang tersegmentasi. Penelitian ini akan memakai model pengujian

Page 252: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 247

multifactor integrasi dan segmentasi pasar modal yang dikembangkan Jorion & Schwartz (1986) dan dipakai oleh Cheung & Lee (1993) (lebih dalam dibahas di bab 3) serta juga oleh Cadwell (1997). Penelitian ini berbeda dengan Cheung & Lee (1993) dalam hal penggunaan risiko investasi internasional dan periode penelitian. 1 2. Pokok Permasalahan dan Tujuan Penelitian

Ada dua pokok permasalahan penelitian ini yakni pertama; mengapa topik integrasi dan segmentasi pasar modal ini bisa muncul dan kedua; apa yang sebenarnya dapat dipelajari setelah topik integrasi dan segmentasi pasar modal muncul (mulai banyak dibicarakan) tidak hanya dalam manfaat ekonomis tetapi terutama dalam permodelan dan rancangan penelitian. Penulis beranggapan bahwa topik integrasi dan segmentasi pasar modal muncul karena fenomena globalisasi. Hardouvelis, et.al. (2006) menyatakan bahwa fenomena globalisasi yang muncul pada awal 1990-an adalah makin meningkatnya interaksi antara investor asing dan lokal karena proses swastanisasi pasar modal terutama di negara - negara berkembang. Dasar argumentasinya adalah semakin banyak investor asing yang eksis di pasar modal suatu negara, maka negara tersebut akan memperoleh kontribusi kemajuan ekonomi. Karena biasanya kenaikan indeks harga saham akan terkait juga dengan pertumbuhan GNP. Maka implikasi yang terjadi banyak penelitian tentang integrasi pasar modal karena para akademisi dan praktisi mulai banyak membicarakan topik integrasi.

Tetapi dengan adanya krisis ekonomi di Asia tahun 1997; maka banyak negara berkembang justru mulai berpikir tentang dampak negatif globalisasi. Secara riilnya adalah negara berkembang mulai menaruh kecurigaan yang mendalam terhadap investor asing [Jang & Sul (2002)]. Karena memang saat krisis di Asia; banyak investor asing yang mulai melakukan penarikan dana

1 Studi Cheung & Lee (1993) memakai tiga jenis risiko investasi internasional pasar

modal Asia Pasifik, Amerika Utara dan Dunia. Sedang penulis hanya risiko pasar modal Asia Pasifik dengan anggapan bahwa lokasi pasar modal Indonesia di kawasan Asia maka diduga jenis risiko investasi internasional Asia Pasifik yang paling dominan. Periode penelitian Cheung & Lee (1993) memakai waktu 1982 -1989; sementara penulis akan memakai periode waktu 1992 – 2008 dengan harapan bisa meningkatkan kualitas hasil analisis pengujian berbasis periode sampel observasi yang jauh lebih panjang.

Page 253: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 248

mengalihkan sebagian portofolio investasi ke pasar modal negara – negara maju. Kecurigaan negara berkembang diwujudkan dalam bentuk pembatasan bisa dalam makin tingginya pajak dan cost of equity yang semakin akan membuat keengganan investor asing “bermain” meningkat. Maka sejak krisis ekonomi 1997; topik pembicaraan mulai mengarah ke segmentasi [Lam & Pak (1993); Choi & Rajan (1997) dan Domowitz, et.al. (1997) serta Foster & Karolyi (1999)].

Perkembangan selanjutnya pada dekade 2000-an, justru mulai banyak negara berkembang menyadari potensi penting investor asing di pasar modal. Karena terbukti investor domestik ternyata belum mampu menggerakkan pasar modal negara bersangkutan. Fenomena yang terjadi adalah privatisasi BUMN negara – negara berkembang kepada investor asing yang ternyata cukup memberikan manfaat ekonomis bagi perkembangan pasar modal [Cha & Sekyung (2000)]. Jadi berdasarkan uraian fenomenal topik integrasi dan segmentasi tidaklah konklusif; maka penulis beropini bahwa memang perlu riset integrasi dan segmentasi pasar modal secara empirik. Karena akan terjawab mengapa dan kapan pasar modal negara terkondisikan integrasi ataukah segmentasi. Karena dari fenomena globalisasi; terindikasi kedua kondisi ini memiliki dampak positif sekaligus negatif. 2 Ada dua kelompok riset terkait yakni berbasis perspektif statisitik dan asset pricing [lihat Yusof dan Majid (2006)]. Untuk studi berbasis perspektif statistik pada umumnya memakai metodologi korelasi sampai kointegasi. Penulis melihat fokus kelompok studi perspektif statistik lebih ingin membuktikan kapan suatu pasar modal akan terintegrasi dan tersegmentasi.3 Sebagian besar kategori studi sudah dilakukan di level S2; maka penulis memutuskan lebih berkiblat pada basis asset pricing. 4

2 Dalam kondisi integrasi; investor asing memiliki potensi menggerakkan indeks pasar

ketika kondisi stabilitas ekonomi terpelihara; dan sebaliknya akan menurunkan indeks pasar ketika instabilitas ekonomi yang terjadi. Untuk kondisi segmentasi dampak positif yang timbul adalah proteksi terhadap investor domestik dari faktor risiko investasi internasional; namun saat yang sama akan terindikasi dampak negatif yakni pertumbuhan indeks pasar yang tidak menggembirakan.

3 Jadi bila korelasi antara return saham dalam banyak pasar modal tinggi maka disebut kondisi yang terjadi adalah integrasi; kalau korelasi rendah maka terindikasi kondisi segmentasi {lihat Roll (1995) untuk kasus Indonesia}. Sedangkan menurut Yusof & Majid (2006) untuk kointegrasi sudah demikian banyak riset memakai; kalau nilai unit root test baik Augmented Dickey Fuller dan Phillips Peron Tests signifikan, maka kondisi integrasi yang terjadi. Bahkan perkembangan terakhir banyak riset

Page 254: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 249

Secara umum kelompok studi ini memakai pendekatan ICAPM & IAPT yang berasumsi pada perfect market yakni investor memiliki kebebasan untuk melakukan diversifikasi internasional artinya bentuk – bentuk pembatasan dari pemerintah lokal mulai berkurang [Koutoulas & Kryzanowski (1994)], Jadi melalui model asset pricing ini, akan teridentifikasi faktor - faktor apa saja yang memiliki andil bagi teintegrasi atau tersegementasinya suatu pasar modal. Menurut Cheung & Lee (1993) dan Basak (1996); kalau bentuk pembatasan terhadap investor asing minimum dan eksistensi investor asing mulai banyak maka pasar modal suatu negara terkategori terintegrasi. Kalau pasar modal mulai mengurangi porsi kepemilikan asing dan meningkatkan bentuk hambatan misal cost of equity; maka pasar modal terkategori tersegmentasi

Sejauh penulis mengamati ada penelitian dari penulis asing terhadap dinamika pasar modal Indonesia di samping Roll (1995). Penulis asing itu adalah Wang (2000) yang menunjukkan bahwa di samping investor asing yang memang punya pengaruh terhadap makin membuka atau menutupnya pasar modal; beliau juga menyatakan bahwa karakter pasar modal Indonesia demikian dinamik (salah satunya ditandai dengan tingginya volatilitas return saham) justru yang membuat para investor asing ini “betah” bermain. Karena keberadaan mereka juga akan menjadi contoh oleh para investor lokal dalam menentukan portfolio investasi terkait. Jadi dugaan penulis; sementara adalah semakin tinggi volatilitas return saham; maka akan semakin terintegrasi pasar modal dengan basis argumen jika kondisi ekonomi stabil.

Berdasarkan uraian dua pokok permasalahan di atas maka tujuan utama penelitian ini adalah untuk memperoleh bukti empris tentang:

telah memakai pendekatan ECM (Error Correction Model) berbasis metodologi VAR (Vector Autoregressive) dari Engle - Granger Causality baik bivariat ataupun multivariat. Bahkan Bussetti & Manera (2003) sudah memakai teknik STAR-GARCH.

4 Basis asset pricing memiliki keunggulan dibandingkan dengan basis persepktif statistik. Sebab bukan hanya menawarkan beberapa aplikasi model ICAPM ataupun IAPT yang semakin koheren dengan faktor – faktor dinamik seperti volatilitas return saham dan dinamika ekonomi makro; tetapi basis asset pricing menjelaskan mengapa kondisi integrasi atau segmentasi pasar modal itu terjadi. Dan menurut penulis; level analisis integrasi atau segmentasi pasar modal dengan basis asset pricing cocok untuk kategori studi S3 [misal dari Basak (1996); Bekaert & Harvey (1995); Basak & Croitoru (2004) dan Bhamra (2002)].

Page 255: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 250

1. Pasar modal Indonesia merupakan pasar modal yang tersegmentasi ataukah terintegrasi dengan pendekatan asset pricing.

2. Dua faktor dominan yang mempengaruhi segmentasi atau integrasi pasar modal Indonesia dalah net buying (selling) investor asing dan cost of equity.

3. Pengaruh net buying (selling) investor asing dan cost of equity terhadap segmentasi pasar atau integrasi pasar modal Indonesia juga dikendalikan oleh krisis moneter 1997.

4. Pengaruh faktor tambahan seperti volatilitas return saham terhadap kondisi integrasi atau segmentasi pasar modal Indonesia di samping net buying (selling) investor asing dan cost of equity.

Sedangkan tujuan khusus penelitian adalah untuk: 1. Membuat model asset pricing dari kondisi integrasi atau segmentasi pasar

modal Indonesia berbasis pada studi Cheung & Lee (1993) dan bila perlu studi Basak (1996) dan Li & Primbs (2005) karena berbasis pada proses stokastik.

2. Mengidentifikasi dan memastikan bahwa memang net buying (selling) investor asing dan cost equity adalah faktor penjelas yang paling utama untuk kondisi integrasi atau segmentasi pasar modal Indonesia.

3. Mempelajari kontribusi pengaruh krisis moneter 1997 terhadap kondisi integrasi atau segmentasi pasar modal Indonesia melalui modifikasi model asset pricing yang dikembangkan pada tujuan khusus nomor 1.

4. Memperluas model asset pricing integrasi atau segmentasi pasar modal Indonesia dengan faktor volatilitas return saham dengan basis argumen salah satu ciri pasar modal Indonesia adalah dinamika pergerakan IHSG yang luar biasa berfluktuasi (lihat studi Wang, 2000).

3. Pertanyaan Penelitian 1. Apakah pasar modal Indonesia ini merupakan pasar modal yang

tersegmentasi dalam kurun waktu yang panjang yakni 1992 – 2008? 2. Apakah net buying (selling) investor asing dan cost of equity memiliki

pengaruh terhadap segmentasi pasar modal Indonesia? 3. Apakah kondisi tersegmentasi ataukah terintegrasinya pasar modal Indonsia

dikendalikan oleh efek krisis moneter 1997? 4. Apakah ada faktor-faktor lain di luar net buying (selling) investor asing dan

cost of equity seperti volatilitas return saham juga berpengaruh terhadap kondisi integrasi atau segmentasi pasar modal Indonesia?

Page 256: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 251

4. Kontribusi Penelitian 4.1. Kontribusi Akademik

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan bukti secara empirik kategori pasar modal Indonesia baik itu segmentasi ataupun integrasi. Pertimbangannya adalah belum banyaknya penelitian tentang pengujian integrasi versus segmentasi pasar modal di Indonesia yang berbasis asset pricing. Selama ini di Indonesia masih cukup didominasi pendekatan statistik perspektif seperti misalnya Roll (1995) dan Roida (2004) menyatakan pasar modal Indonesia terkategori segmentasi atau integrasi dalam periode data berbeda. Kalaupun ada satu pendekatan asset pricing masih relatif sederhana yakni Husnan & Pudjiastuti (1995) yang memakai one factor CAPM. Atapun juga dari Murtini & Ekawati (2003); Frensidy (2006) dan Setyawan (2007) yang meskipun menekankan pada model relasional net buying (selling) investor asing dan indeks pasar; tetapi pada dasarnya masih bergantung semata pada algoritma software EVIEWS (lihat menu analisis VAR dan ARCH/GARCH). Maka kelompok studi di atas masih terkategori sebagai basis riset perspektif statistik.

Guna mencapai harapan yakni perolehan model riset yang berbasis asset pricing; penulis bermaksud membuat modifikasi model Cheung & Lee (1993) dan bahkan Basak (1996). Karena model mereka berdua sudah lebih dinamik dalam arti mampu mengakomodasi faktor – faktor potensial yang belum di-cover di riset – riset sebelumnya dengan baik seperti net buying (selling) investor asing, cost of equity dan volatilitas return saham. 4.2. Kontribusi Praktik

Bagi kalangan investor dan pemerintahan, maka penelitian ini diharapkan akan dapat mengidentifikasi tipe strategi investasi dan regulasi dalam hal investasi di pasar modal Indonesia. Khususnya agar dapat membuat iklim investasi terutama investasi dari luar negeri tetap dapat tumbuh subur di Indonesia tanpa harus menimbulkan risiko kekuatiran bakal makin kuatnya kontrol investor asing terhadap perekonomian nasional, dengan demikian investor asing tetap memiliki persepsi positif terhadap iklim investasi di Indonesia. Karena keberadaan investor asing ini sering menjadi rujukan bagi investor domestik untuk tetap “tinggal” di pasar modal.

Page 257: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 252

TINJAUAN LITERATUR

1. Globalisasi Ekonomi di Asia dan Swastanisasi di Emerging Market Sejak dekade 1990-an, topik globalisasi ekonomi menjadi “hangat”

dibicarakan. Salah satu ciri khasnya adalah munculnya blok - blok perdagangan seperti MEE dan NAFTA di Eropa dan Amerika Utara yang punya efek kuat terhadap pasar modal. (Kleimeier & Herald (2000). Dalam perkembangan selanjutnya; di Asia mulai muncul blok perdagangan seperti forum APEC yang bertujuan membangun harmonisasi liberalisasi ekonomi melalui kerjasama ekonomi yang makin erat antara negara maju dan negara berkembang. 5

Dampak positif pembentukan forum APEC adalah pertumbuhan ekonomi negara dan juga kenaikan indeks harga saham. Maka wajar bila negara – negara Asia Timur seperti Korea dan Taiwan (di samping Jepang yang telah maju sebelum fenomena globalisasi terjadi) memiliki kemajuan ekonomi yang luar biasa. Sementara negara – negara seperti Malaysia, Thailand dan Indonesia (di samping Singapura yang telah lebih dulu maju) juga menikmati kemajuan ekonomi pada tahun 1993 -1996.

Pada saat negara – negara Asia Timur dan Tenggara mulai terlibat dalam liberalisasi ekonomi dan perdagangan; ada dua negara besar yakni India dan China yang belum terlibat secara langsung karena belum kuatnya daya saing negara tersebut di level internasional. Kalau dianalisis; mungkin cukup aneh karena ada kesan bahwa kedua negara menutup diri. Tetapi strategi India dan China terbukti tepat karena kalau mencermati pengalaman negara – negara Asia lain yang terbuka terhadap investor asing justru menerima efek negatif

5 Pada dekade 1980-an hingga 1990-an di Eropa dan Amerika Utara; kebanyakan

peneliti mengkaitkan integrasi pasar modal dengan liberalisasi ekonomi melalui blok-blok perdagangan. Seperti di Eropa dikenal dengan fenomena MEE (Masyarakat Ekonomi Eropa) yang sejak tahun 1999 terkenal dengan EURO; ataupun di Amerika Utara memiliki blok perdagangan NAFTA. Secara logis; bisa dibenarkan karena dengan makin menguatnya blok perdagangan maka negara - negara yang menjadi blok tersebut juga akan saling berinteraksi dalam bentuk transfer sumber daya dan akses informasi. bila proses interaksi berhasil maka masing - masing negara akan mendapatkan benefit yakni pertumbuhan GDP dan makin menguatnya pasar modal masing - masing melalui kenaikan indeks pasarnya.

Page 258: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 253

yakni kejatuhan ekonomi dan juga hancurnya pasar modal selama beberapa tahun hingga periode 2002 [Nath & Samanta (2005) dan Li & Primbs (2005)].

Walaupun demikian; setelah era 2002, pasar modal dari negara – negara berkembang mulai pulih. Hal ini ditandai dengan menguatnya kembali fundamental ekonomi masing – masing negara yang berdampak pada peningkatan indeks pasar. Seperti untuk kasus Indonesia, China dan India yang pertumbuhan indeks pasar termasuk tinggi di dunia pada kisaran 2002 – 2007 yang juga melebihi periode sebelum krisis ekonomi 1997. Dan yang unik hal ini karena keterbukaan terhadap investor asing yang makin besar bahkan hingga level mendekati 100%. Fenomena tersebut dapat disebut re-swastanisasi pasar modal yang dapat diartikan langkah swastanisasi kembali pasar modal karena pemerintah setempat sudah menyadari manfaat potensial dari keberadaan para investor asing yang akan sungguh - sungguh membuat kenaikan indeks harga saham secara signifikan. 6 2. Integrasi dan Segmentasi Pasar Modal

Pada bagian ini akan dijelaskan tentang pengertian integrasi dan segmentasi pasar modal dari tiga penelitian terdahulu yakni Cheung & Lee (1993); Stulz & Wasserfallen (1995) dan Li & Primbs (2005). Cheung & Lee (1993); dan Stulz & Wasserfallen (1995) membahas perbandingan definisi operasional dari integrasi atau segmentasi pasar modal; sedangkan Li & Primbs (2005) lebih menekankan bentuk segmentasi pasar modal. 2.1. Penelitian Cheung & Lee (1993)

Cheung & Lee (1993) menunjukkan perbedaan integrasi dan segmentasi pasar modal dari perspektif penilaian terhadap risiko investasi internasional. Untuk pasar modal yang tersegmentasi secara sempurna, hanya risiko pasar domestik yang seharusnya diperhitungkan. Risiko pasar global tidak relevan dan seharusnya tidak diperhitungkan sebagaimana investor domestik tidak dapat berpartisipasi dalam pasar modal luar negeri dan investor asing tidak dapat berpartisipasi di pasar domestik.

Sedangkan dalam pasar modal yang terintegrasi secara sempurna, tidak hanya risiko pasar domestik saja diperhitungkan tetapi juga risiko pasar global. Argumentasinya adalah pasar modal tersebut merupakan bagian integral dari 6 Di mana untuk kasus India dan China termasuk yang terbaik mengingat kedua negara

tersebut betul – betul dianggap sebagai kekuatan baru ekonomi di Asia.

Page 259: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 254

pasar modal global. Sehingga berbagai pengaruh eksternal dari pasar modal global akan mewarnai pasar modal yang bersangkutan. 2.2. Penelitian Stulz & Wasserfallen (1995)

Stulz & Wasserfallen (1995) menunjukkan perbedaan integrasi dan segmentasi pasar modal dari perspektif dominasi investor domestik terhadap investor asing. Dalam pasar modal tersegmentasi, seorang investor domestik memiliki peluang untuk menikmati hasil expected return melebihi investor asing sebab investor domestik memiliki kesempatan yang lebih besar untuk berinvestasi di proyek - proyek yang lebih strategik dibandingkan dengan investor asing karena porsi kepemilikan saham di proyek tersebut lebih besar. Pada tipe segmentasi, hampir boleh dikatakan investor domestik tidak menanggung risiko investasi internasional melainkan hanya risiko investasi domestik saja.

Untuk kasus pasar modal terintegrasi, seorang investor domestik akan mulai mendapatkan persaingan dari investor asing dalam memilih proyek - proyek yang strategik karena baik investor asing maupun domestik memiliki kesempatan yang hampir sama. Agar investor domestik dapat masih menikmati hasil expected return yang pantas, maka investor domestik perlu melakukan diversifikasi internasional untuk meminimalkan risiko investasi internasional yang akan ditanggung. 2.3. Penelitian Li & Primbs (2005)

Li & Primbs (2005) berhasil mengembangkan satu konsep segmentasi pasar modal dengan berasumsi pada tidak adanya proses arbitrage. Hal ini dikarenakan justru karena adanya proses arbitrage di pasar modal; para investor asing sering melakukan diversifikasi intrnasional untuk meminimumkan risiko fluktuasi kurs mata uang. Menurut Li & Primbs (2005) proses arbitrage di pasar modal internasional juga harus dibatasi. Ada satu definisi segmentasi yang luar biasa dari Li & Primbs (2005) yakni

Pasar modal disebut tersegmentasi apabila investasi dari kelompok investor dibatasi pada sekumpulan asset tertentu.

Pembatasan investasi dapat secara nyata dijatuhkan; misal dalam kasus saham A dan B di pasar modal China; atau pembatasan dari dalam diri investor untuk hanya mengambil saham – saham domestik (dalam behavioral finance disebut home bias).

Page 260: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 255

Gambar 1. Model sederhana segmentasi pasar modal dari Li (2005) Kontribusi utama dari Li & Primbs (2005) selain mampu

menggambarkan konsep segmentasi secara diagram seperti terlihat di gambar 1; ternyata juga mampu membuat model asset pricing ketika kondisi pasar modal tersegmentasi. Basis argumentasi adalah proses ortogonalisasi yang melibatkan unsur – unsur seperti formula faktor diskon stokastik; model beta dan model faktor untuk memaksimumkan CARA (Constant Absolute Risk Aversion) pada setting periode tunggal Gaussian.

3. Penelitian Terdahulu Yang Bersifat Empiris 3.1. Penelitian di Luar Negeri

Beberapa peneliti terdahulu yang membahas tentang isu segmentasi dan integrasi pasar modal antara lain: Sthele (1977); Jorion & Schwarz (1986); Errunza, et.al. (1992); Cheung & Lee (1993) dan Yusof & Majid (2006). Sthele (1977) merupakan peneliti pertama yang secara empirik menguji isu segmentasi versus integrasi. Dengan teknik Fama-McBeth (1973). Sthele tidak dapat menolak hipotesis segmentasi ataupun integrasi untuk pasar modal USA relatif pada pasar modal dunia. Memakai pendekatan yang lebih kuat yakni maximum likelihood, Jorion & Schwartz (1986) menemukan bahwa pasar modal Canada tergolong sebagai pasar modal yang terintegrasi dengan pasar modal Amerika Utara.

Isu integrasi versus segmentasi pada pasar modal Korea pernah diuji secara empirik oleh Errunza, et.al. (1992). Dengan jumlah sampel hanya 12 perusahaan Korea, mereka menemukan bahwa pasar modal Korea merupakan kandidat terbaik untuk pasar modal yang tersegementasi. Cheung & Lee (1993) melakukan pengujian integrasi versus segmentasi pada pasar modal Korea dan

Page 261: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 256

mendapatkan hasil bahwa pasar modal Korea adalah pasar modal yang tersegmentasi untuk ketiga pasar yakni Asia Pasifik; Amerika Utara dan Dunia.

Melalui metodologi Multivariate Vector Autoregressive; Yusof & Majid (2006) menunjukkan dominasi pengaruh pasar modal Jepang terhadap pasar modal Malaysia melebihi dominasi pengaruh pasar modal Amerika Serikat. Fenomena tersebut berlaku untuk periode pengamatan sebelum dan sesudah krisis moneter. Arti penting integrasi pasar modal yang terjadi adalah tidak adanya investor asing yang berhasil mendapatkan keuntungan dari selisih kurs melalui proses diversifikasi internasional. Hal yang dapat dipelajari adalah saat pasar modal terintegrasi, maka akan ada proses arbitrage yang memiliki efek cancel out untuk semua potensi keuntungan abnormal dari kegiatan investasi internasional. 3.2. Penelitian di Indonesia

Penelitian topik integrasi versus segmentasi di Indonesia antara lain dilakukan oleh beberapa kelompok peneliti dengan menggunakan market model CAPM dan juga non market model CAPM. Para pengguna non market model CAPM antara lain Roida (2004), Frensidy (2006) dan Setyawan (2007). Meskipun mereka bertiga mengunakan metodologi yang berbeda, tetapi mereka berhasil memperoleh kesamaan outcome studi yakni pasar modal Indonesia yang cenderung terintegrasi.

Sedangkan untuk kelompok studi market model CAPM seperti Husnan & Pudjiatusti (1995) dan Roll (1995) dengan dukungan data sebelum krisis ekonomi 1997; menemukan hasil pasar modal Indonesia yang tersegmentasi. Berdasarkan kedua kelompok studi; apakah ada kontradiksi antara non market model CAPM dan market model CAPM? Penulis berpandangan tidak; karena logis sebelum krisis moneter 1997 pasar modal Indonesia tersegmentasi hal ini karena masih adanya batasan kepemilikan saham oleh investor asing. Sementara setelah krisis moneter, begitu batasan minimum maka pasar modal Indonesia akan condong ke arah integrasi. 4. Pengembangan Hipotesis 4.1. Integrasi versus Segmentasi Pasar Modal Indonesia

Pada awal mula berdirinya tahun 1977, pasar modal Indonesia masih merupakan pasar modal yang kecil. Belum banyak perusahaan yang mendaftarkan diri sebagai emiten, karena memang pada tahun tersebut demam

Page 262: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 257

go-public belum begitu terasa di kalangan pebisnis. Mulai periode 80-an hingga 90-an, pasar modal Indonesia mengalami pertumbuhan yang tajam seiring dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sangat baik. Masyarakat pebisnis mulai menyadari manfaat yang besar dari berinvestasi di pasar modal, sehingga pada periode tersebut mulai banyak perusahaan yang listing di BEJ. Apalagi setelah terjadinya demam go-public pada awal tahun 90-an, membuat jumlah perusahaan yang menjadi emiten di pasar modal meningkat dengan tajam. Pada tahun 1992, pasar modal Indonesia mulai terbuka untuk investor asing, menyusul langkah swastanisasi pasar modal oleh pemerintah. Investor asing mulai diijinkan berpartisipasi dalam setiap perusahaan sampai dengan batas kepemilikan maksimum 49 %. Adanya investor asing membuat pasar modal berkembang pesat (Murtini & Ekawati, 2003).

Dari uraian di atas maka kita dapat melihat sebelum tahun 1992, pasar modal Indonesia belum terbuka untuk investor asing sementara setelah tahun 1992 pasar modal kita sudah terbuka untuk investor asing. Pada waktu pasar modal Indonesia belum terbuka untuk investor asing maka sebenarnya pasar modal Indonesia ini sudah tergolong ke arah bentuk pasar modal segmentasi. Pernyataan sementara ini dapat didukung dengan hasil penelitian Roll (1995) yang menyatakan bahwa korelasi antara pasar modal Indonesia dengan beberapa pasar modal negara-negara di kawasan Asia Pasifik cenderung negatif dan lemah (karena nilai p – value di atas 5%).

Sementara setelah tahun 1992; walaupun pasar modal kita mulai terbuka untuk investor asing tetapi itu bukan berarti bahwa pasar modal Indonesia mulai mengarah ke bentuk integrasi. Hal ini diakibatkan karena Indonesia ternyata masih mengenakan hambatan tarif pajak investasi bagi perusahaan multinasional dan juga adanya pembatasan-pembatasan terhadap jumlah kepemilikan bagi investor asing yang bersangkutan. Kondisi di Indonesia ini hampir sama dengan di Korea, yang walaupun pasar modalnya sudah terbuka untuk investor asing, tetapi hasil penelitian Cheung & Lee (1993) menunjukkan bahwa pasar modal Korea masih tergolong sebagai pasar modal yang tersegmentasi. Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik suatu hipotesis sebagai berikut: H1: Pasar modal Indonesia secara umum merupakan pasar modal yang tersegmentasi.

Page 263: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 258

4.2. Berbagai Faktor Penentu Segmentasi Pasar Modal Indonesia Ada dua faktor yang sedikitnya mempengaruhi suatu pola atau bentuk

pasar modal yakni net buying (selling) investor asing dan cost of equity. Net buying (selling) investor asing menunjukkan partisipasi investor asing terhadap perkembangan pasar modal suatu negara. Semakin besar partsipasi investor asing, maka akan semakin besar pengaruh investor asing dalam membawakan efek investasi internasional pada pasar modal suatu negara. Menurut Errunza (1999) dengan makin tingginya partisipasi investor asing akan semakin “membuka” pasar modal di suatu negara untuk memudahkan masukya berbagai akses informasi berkaitan dengan investasi internasional ke pasar modal yang bersangkutan.

Cost of equity menunjukkan biaya modal atas suatu proyek investasi. Semakin tinggi cost of equity maka akan semakin mahal suatu proyek investasi. Jika konteksnya adalah investasi internasional maka semakin tinggi cost of equity akan membuat enggan investor asing untuk menanamkan modalnya di negara yang bersangkutan (Stulz, 1995). Biasanya yang menyebabkan tingginya cost of equity adalah kondisi negara yang sedang buruk (ekonomi dan politik tidak stabil) sehingga country risk meningkat dengan tajam ataupun juga kebijakan pemerintah setempat yang sengaja menaikkan tarif pajak investasi sebagai salah satu komponen cost of equity dengan harapan akan membatasi jumlah investor asing (Stulz & Wassefallen, 1995).

Jika suatu pasar modal terintegrasi maka pasar modal tersebut akan terbuka bagi investor asing; net buying (selling) akan meningkat), karenanya nilai kapitalisasi pasar modal akan meningkat. Meningkatnya nilai kapitalisasi pasar akan memudahkan upaya pencarian sumber dana. Kondisi ini akan membuat cost of equity menurun. Hal yang sebaliknya berlaku untuk pasar modal tersegmentasi. Jika suatu pasar modal tersegmentasi maka pasar modal tersebut cenderung tidak terbuka bagi investor asing net buying (selling) akan berkurang karenanya nilai kapitalisasi pasar modal akan berkurang. Menurunnya nilai kapitalisasi pasar akan menyulitkan upaya pencarian sumber dana. Berdasarkan uraian di atas, maka selanjutnya dapat ditarik pula suatu hipotesis sebagai berikut: H2a: Net buying (selling) investor asing memiliki pengaruh negatif terhadap

segmentasi pasar modal Indonesia.

Page 264: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 259

H2b: Cost of Equity memiliki pengaruh positif terhadap segmentasi pasar modal Indonesia.

4.3. Integrasi vs. Segmentasi Pasar Modal Selama Krisis Ekonomi 1997

Melalui analisis korelasi sebelum krisis moneter, menurut Roll (1995) pasar modal Indonesia memiliki karakteristik tersegmentasi. Beliau menyatakan arah tanda negatif yang banyak ditemukan dalam studinya tidak menunjukkan kondisi segmentasi atau integrasi; melainkan pada derajat signifikansi korelasi yang jika di atas 5%, berarti mendukung kondisi tersegmentasi. Sementara itu Roida (2004) dengan analisis korelasi juga berhasil menunjukkan bahwa setelah krisis justru pasar modal Indonesia memiliki hubungan yang kuat dengan Korea, Malaysia, Philipina, Hongkong, Jepang dan Taiwan. Bukti hubungan yang kuat dapat ditelusuri dari nilai p-value masing - masing korelasi yang di bawah 5 %.

Dengan demikian Roida (2004) berhasil melakukan klaim bahwa setelah krisis moneter; pasar modal Indonesia cenderung terkategori terintegrasi. Dan bila dikaitkan dengan hasil studi Frensidy (2006) dan Setyawan (2007), memang setelah krisis moneter 1997 porsi permainan investor asing demikian meningkat tajam. Hal ini sekaligus menadai makin terbukanya pasar modal kita terhadap eksistensi investor asing dan pengaruh peristiwa ekonomi internasional. Berdasarkan uraian di atas, maka selanjutnya dapat ditarik pula suatu hipotesis sebagai berikut: H3: Krisis moneter 1997 membuat pergeseran pola segmentasi pasar modal

Indonesia menjadi kurang dominan dan bahkan hampir tidak dominan sehingga mengarah ke bentuk integrasi.

4.4. Kontribusi Volatilitas Return Saham pada Integrasi atau Segmentasi

Ada dua kajian riset penting tentang volatilitas return saham dan frekuensi perdagangan di pasar modal Indonesia yakni Neal, et.al. (1999) dan Wang (2000). Penulis akan condong memakai studi Wang (2000), karena beliau berhasil menunjukkan satu fenomena menarik yakni bahwa dengan semakin volatile pasar modal Indonesia justru membuat daya tarik pasar modal kita kepada investor asing makin meningkat. Hal ini bukan sekedar perilaku investor asing akan diikuti investor domestik yang menciptakan kondisi herding seperti diklaim Neal, et.al. (1999); tetapi justru eksistensi mereka yang

Page 265: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 260

mampu membuat pasar modal menjadi makin tumbuh dan berkembang. Karena menurut Bhamra (2002) makin tingginya eksistensi investor asing akan membuat rentang batas atas dan bawah indeks harga saham makin meningkat karena bermain saham dalam lot besar. Berdasarkan uraian di atas, maka selanjutnya dapat ditarik pula suatu hipotesis sebagai berikut: H4: Volatilitas return saham membuat pergeseran bentuk pasar modal

Indonesia dari tersegmentasi menuju ke arah integrasi.

METODE PENELITIAN

1. Unit Analisis & Prosedur Singkat Penelitian Definisi unit analisis dari penelitian ini adalah kelompok saham paling

aktif di Bursa Efek Jakarta (sejak akhir 2007 disebut BEI). Dengan menggunakan teknik purposive sampling; maka penulis memperkirakan ada minimum 5 saham paling aktif dan paling eksis selama 1992 – 20087. Kelima saham tersebut antara lain TLKM; INDF; ASII; UNVR dan HMSP.

Prosedur singkat penelitian meliputi: 1) Periode pengujian terbagi dua yakni 1992–1997 (sebelum krisis moneter) dan 1998-2008 (sesudah krisis moneter) 2) Pola pembentukan portofolio 2 saham dan pengurutan ranking menurut βi dan Size. Kalau nantinya ada 5 saham, berarti ada 10 kombinasi portofolio yakni TLKM-INDF; TLKM-ASII; TLKM-UNVR hingga UNVR-HMSP. 2. Definisi Operasional & Sumber Data Penelitian ini akan menganalisis beberapa variabel penelitian di antaranya: a) Return saham suatu perusahaan (Simbol: Rit) Level Data Mingguan

Didefinisikan sebagai hasil bagi antara selisih harga saham suatu periode t dan harga saham periode t-1 dengan harga saham periode t-1. Sumber data harga saham adalah Jakarta Stock Exchange Monthly dari Januari 1992 sampai dengan Desember 2008 ataupun juga dengan men-download dari www.idx.co.id pada bagian Trading Information.

7 Kriteria paling aktif adalah atas dasar kapitalisasi pasar selama periode 1992-2008

sementara kriteria paling eksis didasarkan atas mulai awalnya perusahaan-perusahaan tersebut listing di Bursa Efek Indonesia. Seperti halnya Cheung & Lee (1993), maka penelitian ini juga memakai kombinasi portofolio untuk memenuhi persyaratan jumlah observasi dalam model analisis (eq. 8 di hal. 16)

Page 266: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 261

b) Return pasar modal Indonesia (Simbol: Rmt) Level Data Mingguan Didefinisikan sebagai return indeks pasar dari saham – saham emiten di BEJ yang dihitung secara komposit. Sumber data indeks pasar adalah majalah mingguan Far Eastern Economic Review (FEER) tahun 1992 - 2008 yang memuat IHSG dalam konversi US $. Selain FEER; IHSG juga bisa diakses ke www.yahoo.finance.com dengan melihat pada bagian indices.

c) Return pasar modal dunia (Simbol: Rwt) Level Data Mingguan Didefinisikan sebagai hasil bagi antara selisih Pasific Index periode t dan indeks pasar Pacific Index periode t-1 dengan indeks pasar Pasific Index periode t-1. Sumber data Pasific Index adalah data base OSIRIS dari PPIM-UI atau PACAP Data Base dari PPA/MM-UGM. Nilai indeks pasar tidak dalam bentuk satuan moneter; oleh karena itu tidak dipengaruhi oleh nilai kurs mata uang. Data return pasar modal dunia selanjutnya digunakan untuk menghitung nilai Fit yang merupakan nilai residu dari model persamaan Rwt = λ0 + λ1 Rmt. Fit merupakan komponen inti model pengujian integrasi versus segmentasi pasar modal. Karenanya Fit harus teridentifikasi secara akurat lewat equation 2 di hal. 16.

d) Net Buying (Selling) Investor Asing (Simbol: NBS) Level Data Mingguan Didefinisikan sebagai hasil selisih pembelian atau penjualan saham oleh investor asing. Variabel ini memiliki kemiripan dengan porsi kepemilikan asing yang dipakai dalam studi Wang (2000). Tetapi menurut penulis; proxy kepemilikan asing yang dicatat dalam hardcopy publikasi BEJ masih belum “terperinci” ; maka penulis tetap memakai variabel NBS. Adapun sumber data NBS adalah www.bapepam.go.id pada bagian market summary.

e) Cost of Equity (Simbol: CE) Level Data Mingguan Secara implisit Cheung & Lee (1993) menyatakan definisi untuk CE adalah return on equity (ROE). Kalau ROE tetap dipakai maka penulis harus mencari data ROE mingguan yang tidak ada dalam www.idx.co.id. Karena memang tidak memungkinkan; maka penulis memakai proxy SBI.

Page 267: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 262

Sumber data SBI (Sertifikat Bank Indonesia) pada level data mingguan adalah www.bi.go.id.

f) Volatilitas Return Saham (Simbol: VOT) Level Data Mingguan Didefinisikan sebagai volatilitas return saham. Agar lebih efektif; penulis akan memakai tipe volatilitas Parkinson dan Garman-Klass seperti dikutip oleh Wang (2000). Return saham dihitung dengan menggunakan perubahan harga saham. Sumber data harga saham adalah Jakarta Stock Exchange Monthly dari Januari 1992 sampai dengan Desember 2008 ataupun juga dengan men-download dari www.idx.co.id pada bagian Trading Information.

3. Model Pengujian Hipotesis Penelitian ini akan menggunakan model multifactor pengujian integrasi

vs segmentasi pasar modal berbasis pengembangan model two-factor dari penelitian Cheung & Lee (1993).8 Model multifactor untuk hipotesis 1 dan 2a/b dapat disajikan sebagai berikut (Pembuktian secara lengkap tentang model multifactor dapat dilihat pada bagian persamaan 1-9): Secara umum akan nampak sbb.:

Rit = δ0 (1- βim) + δ1 βi1 + δ2 βi2 + δ3 βi3 + βim Rmt + βi

1 Fit + βi2NBS + βi

3 CE + εit (1) Keterangan: Rit return saham individu yang dianalisis dalam level portofolio Rmt return pasar modal Indonesia Fit ekstraksi faktor internasional antara Rmt dan Rwt βi

1; βi2; βi

3 ; βim factors loading yang akan hilang setelah running model

δ1; δ2; δ3 masing-masing koefisien faktor internasional; NBS dan CE δ0 konstanta H1 diterima bila δ1 = 0 (signifikan). Sementara H2a dan H2b diterima bila δ2 < 0 & δ3 > 0 yang masing-masing signifikan. Prosedur ekstrasi faktor internasional dengan model Cheung & Lee (1993) sebagai berikut: 8 Agar dapat bekerja secara optimal maka operasionalisasi model multfactor akan

dikerjakan dengan teknik factor analysis yang akan mengiterasi semua kompionen faktor dalam model tersebut hingga mencapai hasil iterasi yang sempuna (konvergen). Dasar pemilihan teknik factor analysis ini adalah karena sebenarnya teknik ini juga termasuk rumpun GLS.

Page 268: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 263

Fit = Rwt – (δ0 + δ1Rmt) (2) Keterangan: δ0 ; δ1 adalah koefisien regresi. Model (2) merupakan bagian penting bagi model 1. Sedang model 1 ada tahap-tahap estimasinya. Modifikasi Riset Jorion & Schwartz (1986): Rit = (Rit) + βi

m (Rmt - (Rmt)) + β11Fit + еit (3) 9

(Rit) = δ0 + δm βi

m + δ1βi1 (4a) Rit = δ0 + δ1Rmt – Fit (5a)

(Rmt) = δ0 + δm (4b) Fit = Rit - δ0 - δ1Rmt (5b)

Modifikasi RCheung & Lee (1993); substitusi persamaan (4a) s/d (5b) ke persamaan (3): Rit = δ0 + δm βi

m + δ1βi1 + βi

m (Rmt - δ0 - δm ) + βi1 Fit + eit

Rit = δ0 + δm βim + δ1βi

1 + βim Rmt - δ0 βi

m - δm βim + βi

1 Fit + eit

Rit = δ0 - δ0 βim + δ1βi

1 + βim Rmt + βi

1 Fit + eit

Rit = δ0(1 – βim) + δ1βi

1 + βim Rmt + βi

1 Fit + eit (6) Modifikasi penulis dengan cara ekspansi NBS dan CE dalam persamaan (6); ekspansi persamaan (2), substitusi persamaan (7) ke (6) sebagai berikut:

Rit = (Rit) + βi

m(Rmt - (Rmt)) + β11Fit + β1

2 NBS + β13CE + еit (7)

(Rit) = δ0 + δm βim + δ1βi

1+ δ2βi2 + δ3βi

3 (8) Rit = δ0 + δm βi

m + δ1βi1+ δ2βi

2 + δ3βi3 + βi

m Rmt - δm βim + βi

1 Fit + β12 NBS +

β13CE + еit

Rit = δ0(1-βim) + δ1βi

1+ δ2βi2 + δ3βi

3 + βim Rmt + βi

1Fit + β12NBS + β1

3CE + еit (9)

9 Merupakan ekstensi Black (1972) CAPM seperti dikutip Cheung & Lee (1993).

Page 269: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 264

Hipotesis pertama (H1) yakni bahwa pasar modal Indonesa merupakan pasar modal yang tersegmentasi akan diterima bila nilai dari δ1 = 0 artinya pengaruh dari return pasar modal internasional terhadap pasar modal Indonesia secara signifikan tidak ada. Sedangkan untuk hipotesis 2a (H2a) akan diterima apabila koefisien δ2 memberikan nilai negatif signifikan yang artinya membuktikan secara statistik bahwa dalam pasar modal tersegmentasi, NBS cenderung akan berkurang. Hipotesis 2b (H2b) akan diterima apabila koefisien δ3 dari variabel CE memberikan nilai positif secara signifikan artinya membuktikan secara statisitik bahwa dalam pasar modal tersegmentasi.

Untuk kepentingan pengujian hipotesis 3 dan 4 akan dilakukan transformasi model persamaan (9) menjadi masing-masing sebagai berikut: Rit = δ0(1-βi

m) + δ1βi1+ δ2βi

2 + δ3βi3 + δ4βi

4 + βim Rmt + βi

1Fit + β12NBS +

β13CE + β1

4 D + еit (10) Rit = δ0(1-βi

m) + δ1βi1+ δ2βi

2 + δ3βi3 + δ4βi

4 + βim Rmt + βi

1Fit + β12NBS +

β13CE + β1

4 VOT+ еit (11) Hipotesis ketiga (H3) dan keempat (H4) masing-masing diterima bila

nilai koefisien δ4 untuk D dan VOT bertanda positif terhadap Rit; artinya semakin mendukung pasar modal yang terintegrasi. Atau arah tanda koefisien D (dummy periode krisis; sebelum = 0 & sesudah = 1) dan VOT (volatilitas return saham) harus makin menaikkan NBS dan menurunkan CE.

REFERENSI

Basak, S. (1996), An Intertemporal Model of International Capital Market Segmentation, Journal of Financial and Quantitative Analysis, Vol. 31 No. 2, pp. 161 – 188.

Basak, S. & B. Croitoru (2005), International Good Market Segmentation and Financial Innovation, Working Paper from www.ssrn.com, pp. 1 - 31.

Bhamra, S.H. (2002), International Stock Market Integration: A Dynamic General Equilibrium Approach, Working Paper from www.ssrn.com, pp. 1- 79.

Page 270: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 265

Bekaert, G. & C.R. Harvey (1995), Time-Varying World Market Integration, Journal of Finance Vol. 50, pp. 403 - 444.

Bracker, K., S. Diane & D.K. Paul (1999), Economic Determinant of Evaluation in International Stock Market Integration, Journal of Empirical Finance Vol. 6, pp. 1 – 27.

Busetti, B. & M. Manera (2003), STAR-GARCH Models for Stock Market Interactions in the Pasific Basin Region, Japan & US, Working Paper from www.ssrn.com, pp. 1 – 34.

Cadwell, S.P. (1997), Integration versus Segmentation of The Canadian and US Stock Markets: A Multifactor Asset Pricing Model Approach, UMI Thesis Services, University of Michigan Ann Arbor, pp. 1 – 59.

Cha, B. & O. Sekyung (2000), The Relationship Between Developed Equity Market and the Pasific Basin’s Emerging Equity Markets, International Review of Economics and Finance Vol. 9, pp. 299 – 322.

Cheung, C.S. & J. Lee (1993), Integration versus Segmentation in the Korean Stock Market, Journal of Business, Finance & Accounting, 20 (2), pp. 267-273.

Choi, J.J. & M. Rajan (1997), A Joint Test of Market Segmentation and Exchange Risk Factor in International Capital Markets, Journal of International Business Studies Vol. 28 No.1, pp. 29 – 49.

Domowitz, I., J. Glen & A. Madhavan (1997), Market Segmentation and Stock Prices: Evidence from an Emerging Market, Journal of Finance Vol. 52 No. 3, pp. 1059 – 1085.

Errunza, V.& E. Losq (1985), International Asset Pricing Under Mild Segmentation: Theory & Test, Journal of Finance Vol. 40, pp. 105 – 124.

Errunza, V.; E. Losq & P. Padmanabahan (1992), Test of Integration, Mild Segmentation and Segmentation Hypothesis, Journal of Banking and Finance (September Edition), pp. 949 - 972.

Erunza, V. (1999), Foreign Portfolio Equity Investment in Economic Development, Working Paper from www.ssrn.com, pp. 1 – 40.

Errunza, V. & D. Miller (2000), Market Segmentation and the Cost of Capital in International Equity Market, Journal of Financial and Quantitative Analysis Vol. 35, pp. 577 – 600.

Faff, R.W. & U.R. Mittoo (1998), Capital Market Integration and Industrial Structure: The Case of Australia, Canada and The United States, Working Paper from www.ssrn.com, pp. 1 – 60.

Foster, S.R. & G.A. Karolyi (1999), The Effects of Market Segmentation and Investor Recognition on Asset Prices: Evidence from Foreign Stocks Listing in The U.S., Journal of Finance Vol. 54, pp. 981 – 1013.

Page 271: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 266

Frensidy, B. (2006), Pengaruh Net Foreign Fund Flow dan Perubahan Kurs Terhadap Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Jakarta, Proposal Riset untuk tugas Seminar on Behavioral Finance, Program Doktor Kekhususan Ilmu Manajemen Keuangan FE-UI, hal. 1-11.

Gultekin, M.N; N.B. Gultekin & A. Penati (1989), Capital Controls and International Capital Market Segmentation: The Evidence from Japanese and American Stock Market, Journal of Finance Vol. 44. No.4, pp. 849 – 869.

Hardouvelis, G.A., D. Malliaropulos & R. Priestley (2006), EMU & European Stock Market Integration, Journal of Business Vol. 79 No.1, pp. 365– 392.

Husnan, S. & E. Pudjiastuti (1995), Diversifikasi Internasional: Pengamatan Pada Beberapa Pasar di Asia Pasifik, Working Paper from UGM, pp.1–12.

Jang, H. & W. Sul (2002), The Asian Financial Crisis and the Comovement of Asian Stock Market, Journal of Asian Economics Vol. 13, pp. 94 – 104.

Jorion, P. & E. Schwartz (1986), Integration versus Segmentation in the Canadian Stock Market, Journal of Finance, 41 (3),pp. 603-612.

Kearney, C. & B.M. Lucey (2004), International Equity Market Integration: Theory, Evidence and Implications, International Review of Financial Analysis Vol. 13, pp. 571 – 583.

Kleimeier, S. & S. Herald (2000), Rationalization versus Globalization in European Financial Market Integration: Evidence from Cointegration Analysis, Journal of Banking & Finance Vol. 24, pp. 1005 – 1043.

Korajczyk, R. (1995), A Measure of Stock Market Integration for Developed and Emerging Markets, The World Bank Working Paper No. 1482, pp. 1 – 48.

Koutoulas, G. & L. Kryzanowski (1994), Integration or Segmentation of the Canadian Stock Market: Evidence based on the APT, Canadian Journal of Economics, Vol. 27 No. 2, pp. 329 – 351.

Lam, S.S. & H.S. Pak (1993), A Note on Capital Market Segmentation: New Tests and Evidence, Pasific Basin Finance Journal Vol. 1, pp. 263 – 276.

Li, Q. & J.A. Primbs (2005), Asset Pricing in Hierarchical Segmented Market, Working Paper from www.ssrn.com, pp. 1 – 41.

Mitchener, K.J. & M. Ohnuki (2007), Capital Market Integration in Japan, Monetary & Economic Studies November Edition; pp. 129 – 153.

Murtini, U. & E. Ekawati (2003), Integrasi Bursa Efek Jakarta dengan Bursa Efek di ASEAN (Setelah Penghapusan Batas Pembelian Bagi Investor Asing), Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, Vol.6, No.3, pp. 304 – 319.

Page 272: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 267

Naranjo, A. & P. Aris (1997), Financial Market Integration Tests: An Investigation Using US Equity Markets, Journal of International Financial Markets, Insitutions and Money Vol. 7, pp. 93 -135.

Nath, G.C. & G.P. Samanta (2005), Integration Between Forex and Capital Markets in India: An Empirical Exploration, Working Paper from www.ssrn.com, pp. 1-11.

Roida. H.Y. (2004), Integration versus Segmentation in the Asian Financial Market: The Prospect of Regionalism in Asia, Working Paper of UWM, hal. 1-10.

Roll, R. (1995), An Empirical Survey of Indonesian Equity 1985 -1992, Pasific Basin Finance Journal 3, pp. 159-192.

Setyawan, I.R. (2007), Pengaruh Net Buying (Selling) Investor Asing dan Perubahan Kurs Terhadap Pergerakan IHSG: Sampel Observasi 15 Mei 2006 – 22 Desember 2006, Jurnal Ekonomi Bisnis & Akuntansi Ventura, Vol. 10 No.3, hal. 75 -86.

Stulz, R.M. (1995), The Cost of Capital in Internationally Integrated Markets: The Case of Nestle, European Financial Management, Vol. 1 (March), pp. 11 - 22.

Stulz, R.M. & W. Wassefallen (1995), Foreign Equity Investment Restrictions, Capital Flight and Shareholder Wealth Maximization: Theory and Evidence, Review of Financial Studies, Vol. 8 (Winter), pp. 1019-1057.

Surjawan, A.G. (2007), Kajian Kointegrasi Nilai Investasi Investor Asing dan Domestik dengan LQ45, O/N JIBOR dan Nilai Tukar Dollar Amerika Serikat Terhadap Rupiah, Ringkasan Disertasi Program Doktor Kekhususan Ilmu Manajemen Keuangan FE-UI, hal. 1 - 77.

Wang, J. (2000), Foreign Trading and Market Volatility in Indonesia, Working Paper from UNSW, pp. 1 – 25.

Yusof, R.M. & M.S.A. Majid (2006), Who Moves The Malaysian Stock Market: The U.S. or Japan? Empirical Evidence from the Pre, During and Post-1997 Asian Financial Crisis, Gadjah Mada International Journal of Business Vol. 8 No. 3, pp. 367 – 406.

Page 273: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 268

DAMPAK KEBIJAKAN ENERGI TERHADAP PEREKONOMIAN DI INDONESIA: MODEL KOMPUTASI KESEIMBANGAN UMUM

Agus Sugiyono∗

Abstract

Energy has very important role in national economic development of Indonesia. As the increasing of national economic, the energy demand is also increasing. To fulfill the demand, the energy resources both fossil energy (oil, gas, and coal) and renewable energy (hydropower and geothermal) resources needs to be developed. However, the resource of fossil energy especially oil is going to limited, therefore, energy policy for oil diversification needs to be implemented. In the energy policy, utilization of alternative energy such as renewable energy is also need to be implemented. In the development of energy alternative, CGE model can be used for evaluating the impacts of energy diversification on the economic development. The model was developed based on Hosoe model by considering energy sector that added by recursived dynamic mechanism. Capital and labour growth is considered in the dynamic mechanism. The research uses Indonesian Social Accounting Matrix (SAM) for model calibration. Some sector in the SAM have been modified by conducting sector aggregated and disaggregated that suitable to the research objected. Keywords: energy policy, CGE, dynamic model.

1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Energi sangat penting peranannya dalam perekonomian Indonesia, baik sebagai bahan bakar untuk proses industrialisasi dan sebagai bahan baku untuk proses produksi maupun sebagai komoditas ekspor yang merupakan sumber devisa negara. Mengingat pentingnya peran tersebut maka proses pembangunan tidak dapat dipisahkan dengan pengembangan sektor energi. Permintaan energi terus meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi. Untuk memenuhi permintaan energi perlu dikembangkan sumber daya energi, baik yang berupa energi fosil yang tidak dapat diperbarui (minyak bumi, gas ∗ Kandidat doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi FEB UGM dan peneliti madya bidang teknik interdisiplin, BPPT

Page 274: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 269

bumi, dan batubara) maupun energi yang dapat diperbarui (energi air dan energi panas bumi). Mengingat sumber daya energi fosil di Indonesia, terutama minyak bumi sudah terbatas (Pangestu 1996, Prawiraatmadja 1997, dan Sari 2002:8-9) maka perlu melakukan penghematan dan pengoptimalkan penggunaannya. Pemerintah dalam rangka mengoptimumkan penggunaan sumber daya energi telah mengeluarkan kebijakan umum bidang energi yang meliputi kebijakan diversifikasi, intensifikasi, konservasi, harga energi, dan lingkungan (Bakoren 1998). Kebijakan ini terus mengalami perbaikan sesuai dengan kondisi saat ini. Kebijakan Energi Nasional (KEN) merupakan kebijakan umum bidang energi yang dikeluarkan oleh pemerintah pada tahun 2004. KEN diharapkan dapat menjadi kebijakan terpadu untuk mendukung pembangunan nasional berkelanjutan (DESDM 2004:1-2). Sejak awal tahun 1980 kebijakan diversifikasi energi sudah dicanangkan dengan strategi pengurangan penggunaan minyak dan menetapkan batubara sebagai bahan bakar utama pembangkit listrik. Kebijakan diversifikasi ini bertujuan untuk mengurangi laju pengurasan sumber energi minyak bumi, mengoptimalkan nilai tambah produksi dan pemanfaatan energi, meningkatkan keamanan dan menjaga kesinambungan pasokan energi, dan mendorong penggunaan sumber energi terbarukan. Salah satu kebijakan pemerintah dalam kaitannya dengan pengembangan energi terbarukan adalah Peraturan Presiden No.5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. KEN ini bertujuan untuk mengarahkan upaya-upaya dalam mewujudkan keamanan pasokan energi dalam negeri. Adapun sasaran dari KEN adalah: • Tecapainya elastisitas energi yang lebih kecil dari satu pada tahun 2025. • Terwujudnya energi primer mix yang optimal pada tahun 2025, yaitu

peranan masing-masing jenis energi terhadap konsumsi energi nasional: o minyak bumi menjadi kurang dari 20%, o gas bumi menjadi lebih dari 30%, o batubara menjadi lebih dari 33%, o bahan bakar nabati (biofuel) menjadi lebih dari 5%, o panas bumi menjadi lebih dari 5%, o energi baru dan terbarukan lainnya, khususnya biomasa, nuklir, tenaga

air, tenaga surya, dan tenaga angin menjadi lebih dari 5%, o batubara yang dicairkan (liquefied coal) menjadi lebih dari 2%.

Page 275: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 270

Disamping itu pemerintah melalui Tim Nasional Pengembangan Bahan Bakar Nabati pada tahun 2007 mengeluarkan blueprint pengembangan bahan bakar nabati (BBN) dan ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 23 tahun 2008 tentang mandatori pemakaian BBN. Chongpeerapien (1991) mengemukakan bahwa banyak kebijakan energi yang kurang berhasil. Kebijakan dapat terlaksana dengan baik bila ada institusi yang inovatif dan didukung oleh peran swasta, peneliti, dan kalangan akademi (Fee 1991). Kebijakan juga perlu dianalisis dampaknya supaya tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai. Model komputasi keseimbangan umum (CGE – Computable General Equilibrium) merupakan salah satu alat untuk analisis empiris maupun mengevaluasi kebijakan (Yang 1999) dan telah banyak digunakan baik di negara maju maupun negara berkembang (Devarajan dan Robinson 2002). Model CGE juga telah digunakan untuk mengevaluasi kebijakan lingkungan dengan lingkup regional (Saveyn dan Van Regemorter 2007). 1.2. Permasalahan Keterbatasan sumber daya energi terutama minyak bumi saat ini mendapat perhatian yang serius. Salah satu langkah pemerintah untuk mengatasi hal tersebut adalah tertuang dalam KEN yaitu kebijkan diversifikasi energi. Pemerintah akan mengurangi pangsa penggunaan minyak bumi dan meningkatkan pangsa penggunaan batubara dan gas bumi yang cadangannya relatif lebih banyak serta meningkatkan pangsa penggunaan energi terbarukan (energi air, energi panas bumi, biomas, energi surya dan energi angin) karena potensinya melimpah dan termasuk energi bersih. Batubara merupakan salah satu alternatif untuk substitusi minyak bumi yang telah banyak dilakukan dan sedang ditingkatkan penggunaannya. Untuk dapat memanfaatkan batubara sebagai bahan bakar harus melewati proses yang panjang mulai dari tambang, pengangkutan sampai ke pengguna akhir (Malyan 1992). Disamping itu diperlukan juga perencanaan yang matang dan terpadu. Kendala yang dihadapi untuk memanfatkan batubara secara besar-besaran sangat banyak, antara lain yaitu: batubara berbentuk padat sehingga sulit dalam penanganannya, banyak mengandung unsur sulfur dan nitrogen yang bisa menimbulkan polusi bila dibakar, dan adanya kandungan unsur karbon yang secara alamiah bila dibakar akan menghasilkan gas rumah kaca. Untuk

Page 276: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 271

mengurangi dampak pemanfaatan batubara tersebut dapat digunakan teknologi batubara bersih, diantaranya adalah menggunakan peralatan penyaring emisi (Sugiyono 2000), gasifikasi batubara (Panaka 1992), dan pencairan batubara (Artanto dan Yusnitati 2000). Penggunaan gas bumi untuk bahan bakar industri dan pembangkit listrik terus mengalami peningkatan. Gas bumi mempunyai karakteristik yang lebih baik dibandingkan dengan minyak bumi khususnya dalam hal dampak terhadap lingkungan. Energi terbarukan meskipun ramah lingkungan, penggunaan masih sangat terbatas karena biaya produksinya masih relatif mahal dibandingkan dengan penggunaan batubara, minyak, dan gas bumi. Sektor energi mulai dari penambangan, pengangkutan, konversi dan penggunaan akhir untuk rumah tangga, industri maupun transportasi merupakan penyumbang utama terhadap polusi udara. Bahan-bahan pencemar utama yang penting adalah karbon dioksida (CO2), karbon monoksida (CO), partikel, nitrogen oksida (NOX), sulfur dioksida (SO2), hidrokarbon (HC), dan berbagai bentuk logam berat (Bank Dunia 2003:9, Kleeman 1994:9). Polusi udara di beberapa kota besar sudah mencapai level yang kritis. Mekanisme substitusi energi dapat dilakukan melalui kebijakan harga energi dan pemberian insentif untuk pengembangan sumber energi yang masih kurang ekonomis. Substitusi energi yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah substitusi penggunaan minyak bumi dengan energi lainnya. 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini akan menggunakan model CGE untuk menganalisis interaksi antara kebijakan energi dengan perekonomian. Dengan menggunakan model tersebut akan dianalisis beberapa skenario kebijakan diversifikasi energi. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara empiris maupun kebijakan. Sumbangan empiris ditunjukkan melalui pengembangan model CGE dari model statis menjadi model dinamis serta melakukan disagregasi untuk sektor energi. Sumbangan empiris yang lain adalah adalah memberi gambaran mengenai kondisi sektor energi dewasa ini serta keterkaitannya dengan perekonomian. Pembahasan meliputi berbagai kebijakan diversifikasi energi yang sudah dilakukan dan berbagai permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan sektor energi dewasa ini yang perlu diketahui oleh para pengambil keputusan.

Page 277: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 272

Penelitian ini akan pengembangan berbagai skenario kebijakan diversifikasi energi melalui substitusi minyak bumi dengan bahan bakar lain seperti gas bumi, batubara maupun sumber energi terbarukan yang lain. Skenario dapat sesuai dengan target kebijakan pemerintah maupun melakukan simulasi yang memberikan dampak yang optimum terhadap perekonomian. Dengan skenario tersebut diharapkan dapat memberi sumbangan kebijakan yaitu memberikan rekomendasi untuk menyempurnakan kebijakan diversifikasi energi supaya dapat tetap mempertahankan pembangunan yang berkelanjutan dalam pengembangan sektor energi. 2. Rerangka Teoretis Penelitian tentang dampak kebijakan energi di Indonesia belum banyak dilakukan. Penelitian yang pernah dilakukan adalah kebijakan subsidi harga bahan bakar minyak (BBM) terhadap perekonomian dengan menggunakan model ekonometri (Hope dan Sigh 1995). Keterkaitan antara energi dan perekonomian sangat besar sehingga ada kecenderungan untuk menggunakan model multi-sektoral untuk menganalisis kebijakan. Model CGE merupakan salah satu bentuk model multi-sektoral yang sudah secara luas digunakan saat ini. Meluasnya penggunaan model CGE didukung oleh perkembangan teknologi komputasi dan juga oleh kenyataan bahwa model ini memungkinkan untuk menganalisis perbedaan dampak antar sektor produksi dan antar kelompok sosial ekonomi (Devarajan dan Robinson 2002). Saat ini model CGE sudah umum digunakan baik di negara maju maupun negara berkembang untuk menganalisis dampak external shock atau kebijakan ekonomi terhadap struktur perekonomian atau distribusi kesejahteraan. Berbagai kebijakan seperti: kebijakan perdagangan bebas, kebijakan integrasi regional, kebijakan deregulasi, kebijakan lingkungan dan kebijakan energi dapat dianalisis menggunakan model CGE. 2.1. Tinjauan Pustaka Model CGE merupakan evolusi yang panjang dari teori ekonomi, matematika ekonomi dan teknik komputasi. Fondasi teoritis dari model ini adalah Hukum Walras. Hukum Walras kemudian dikembangkan oleh Arrow dan Debrew menjadi model keseimbangan umum. Aplikasi secara numerik dan empiris dari model keseimbangan umum disebut model Applied General

Page 278: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 273

Equilibrium (AGE) atau model Computable General Equilibrium (CGE). Dalam disertasi ini untuk selanjutnya digunakan istilah model CGE atau model komputasi keseimbangan umum. Model CGE pertama kali dikembangkan oleh Johansen pada tahun 1960 yang merupakan model pertumbuhan multi-sektor untuk Norwegia (Bandara 1991, Pogani 1996, Hosoe 1999:4). Survei tentang penggunaan model CGE sudah banyak dilakukan, misalnya: Bandara (1991) untuk penggunaan model di negara-negara berkembang, Bergman (1988) untuk menganalisis kebijakan energi, Wajsman (1995) untuk mengevaluasi kebijakan lingkungan, Bergman dan Henrekson (2003) untuk kebijakan lingkungan dan manajemen sumber daya. Pembuatan model CGE secara rinci dibahas dalam Lofgren dkk. (2002) dan Hosoe dkk. (2004). Beberapa tahapan dalam pengembangan model CGE dibahas oleh Bandara (1991), Hulu (1995), serta Bergman dan Henrekson (2003). Secara umum pengembangan model CGE dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu: • Model Johansen

Johansen mengembangkan model CGE dalam bentuk model linier simultan. Model ini memfokuskan pada analisis pertumbuhan ekonomi dan perubahan struktural untuk jangka panjang. Model CGE untuk Australia dikembangkan berdasarkan model ini dan dinamakan Model Orani.

• Model Scarf Scarf mengembangkan algoritma yang disebut fixed point theorem untuk menyelesaiakan model CGE. Dengan algoritma ini Shoven dan Whalley berhasil membuat prosedur untuk menghitung keseimbangan umum untuk pajak pada tahun 1983. Tradisi dalam pengembangan model dari Scarf, Shoven dan Whalley lebih menekankan pada pengaruh kebijakan ekonomi terhadap efisiensi dan distribusi.

• Model Jorgenson Model yang dikembangkan oleh Jorgenson secara sistematis menggunakan metode ekonometri untuk mengestimasi parameter. Tidak seperti pada model CGE sebelumnya yang menggunakan cara kalibrasi dalam mengestimasi parameter. Meskipun pendekatan secara ekonometri mempunyai beberapa kelebihan tetapi ada beberapa kekurangannya. Pertama, data yang dibutuhkan merupakan data runtun waktu yang panjang sehingga kemungkinan tidak tersedia di negara-negara berkembang.

Page 279: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 274

Kedua, bentuk fungsi yang digunakan tidak terkontrol perilakunya sehingga model tidak dapat memperoleh solusi khususnya untuk model yang cukup besar.

• Model Adelman dan Robinson Model CGE yang dikembangkan oleh Adelman dan Robinson merupakan model dalam bentuk persamaan simultan nonlinier. Solusi yang diperoleh berupa harga bayangan (shadow price) yang dapat diinterpretasi sebagai harga dalam keseimbangan umum. Pengembangan model ini selanjutnya menjadi model standar yang banyak digunakan oleh World Bank.

Pembuatan dan penggunaan model ekonomi di sektor energi sudah menjadi tradisi yang panjang. Perencanaan operasi dan investasi dengan menggunakan model optimasi sudah banyak digunakan untuk industri kelistrikan maupun industri perminyakan. Seiring dengan makin meningkatnya perhatian masyarakat dalam hal kebijakan energi maka pada awal tahun 1970 mulai dikembangkan model yang dinamakan model sistem energi. Sebagai contoh yaitu model yang dikembangkan oleh Nordaus (1973) dan model Markal yang dikembangkan oleh International Energy Agency (Bergman 1988). Model ini merupakan model keseimbangan parsial untuk sektor energi dan dinyatakan dalam bentuk linier programming. Permintaan energi merupakan variabel eksogen sebagai masukan model dan variabel endogen, yang akan ditentukan berdasarkan optimasi, dapat berupa ekstraksi sumber energi, konversi dan distribusi energi. Optimasi biasanya dilakukan dengan fungsi obyektif meminimumkan total biaya sistem. Nordaus (1973) menggunakan model tersebut untuk menentukan alokasi yang efisien dari sumber energi untuk jangka panjang. Dalam model, dunia dibagi menjadi beberapa wilayah dengan ketersediaan sumber energi yang sesuai untuk masing-masing wilayah. Solusi optimal menunjukkkan bahwa pada tahun dasar harga energi sesuai dengan harga pasar kecuali untuk harga BBM. Model sistem energi tersebut di atas mempunyai representasi teknologi energi yang sangat rinci tetapi tidak mempunyai keterkaitan dengan perekonomian. Sehingga model tersebut tidak dapat digunakan untuk menganalisis dampak kebijakan energi di sisi penawaran terhadap harga maupun perekonomian secara nasional. Untuk mengatasi kelemahan ini dikembangkan model energi-ekonomi yang berdasarkan teori keseimbangan

Page 280: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 275

umum dan teori pertumbuhan ekonomi Neoklasik. Model dari Hudson dan Jorgenson (1975) dan model Eta-Macro (Manne dkk. 1979) merupakan pelopor pembuatan model ini. Model tersebut dapat dikategorikan sebagai model CGE. Struktur model CGE untuk analisis kebijakan energi tidak jauh berbeda dengan model CGE pada umumnya. Dalam model CGE energi, representasi dari substitusi antara beberapa input harus lebih mendapat perhatian yang lebih serius. Disamping itu, adanya kendala sumber daya energi dan kebijakan yang berorientasi pada penggunaan teknologi baru maka model harus bersifat intertemporal dan perilaku investasi secara umum maupun di sisi penawaran energi harus diperhatikan. Benjamin dan Devarajan (1985) menggunakan model CGE dengan fungsi produksi Cobb-Douglas untuk menganalisis dampak kenaikan penerimaan ekspor minyak bumi. Model dikalibrasi dengan menggunakan Tabel Input-Output tahun 1980 dan menunjukkan bahwa kenaikan ekspor minyak menjadi penyebab gagalnya pembangunan (Dutch Disease). Bergman (1990) menggunakan model CGE yang dikalibrasi dengan menggunakan social accounting matrix (SAM) tahun 1985 untuk Swedia. Model ini digunakan untuk menganalisis dampak penutupan PLTN (Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir) dengan mempertimbangkan emisi SO2 dan NOx. Hasil simulasi menunjukkan bahwa penutupan PLTN akan menurunkan PDB sekitar 3-4% serta diiringi dengan kenaikan harga listrik. Bohringer (1998) menggunakan model CGE dengan mempertimbangkan sektor energi secara rinci sebagai aktivitas bottom-up, sedangkan sektor lain dinyatakan sebagai aktivitas top-down. Model ini digunakan untuk menganalisis kenaikan harga bahan bakar untuk pembangkit listrik. Hasil menunjukkan bahwa kenaikan harga bahan bakar akan menurunkan permintaan dan penawaran serta terjadi efek substitusi antar bahan bakar. Model CGE dasar yang dikembangkan berdasarkan model Arrow-Debreu merupakan model statik karena tidak secara eksplisit memasukkan waktu. Model statik mempunyai kelemahan terutama untuk menganalisis kebijakan yang dampaknya akan berlangsung untuk periode yang cukup panjang. Beberapa model CGE dinamik telah dikembangkan. Secara umum ada dua mekanisme yang sering digunakan untuk membuat model CGE statik menjadi model dinamik, yaitu mekanisme rekursif dinamik dan mekanisme optimasi dinamik (Yang 1999). Dalam mekanisme rekursif dinamik, proses

Page 281: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 276

optimasi merupakan pengulangan dari model statik untuk tahun dasar. Model diselesaikan secara rekursif untuk setiap periode secara terpisah. Antar periode dihubungkan dengan variabel eksogen seperti pertumbuhan kapital dan tenaga kerja. Sedangkan mekanisme optimasi dinamik berdasarkan model pertumbuhan Ramsey yang mempertimbangkan pelaku ekonomi melakukan optimasi tidak hanya pada saat ini tetapi juga mempertimbangkan masa depan. Devarajan dan Go (1998) serta Yang (1999) menggunakan optimasi dinamik. Dengan mekanisme ini proses komputasi menjadi kendala dan model CGE yang dinamik dengan mekanisme ini masih dalam tahap pengembangan. Resosudarmo (2003) menggunakan mekanisme rekursif dinamik dengan memperimbangkan pertumbuhan kapital dan tenaga kerja. 2.2. Landasan Teori Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa model CGE secara teoritis berdasarkan teori keseimbangan umum dari Walras dan secara formulasi matematis menggunakan model yang dikembangkan oleh Arrow dan Debreu. Interaksi antar pasar merupakan dasar untuk formulasi model CGE. Model CGE yang sederhana mempunyai tiga komponen dasar yaitu: konsumen, produsen, dan pasar seperti dinyatakan pada Gambar 1. Konsumen (atau rumah tangga) menentukan permintaan komoditas dan penawaran endowment berdasarkan prinsip memaksimumkan utilitas. Produsen (atau perusahaan) menentukan permintaan input dan penawaran output berdasarkan prinsip memaksimumkan keuntungan. Keseimbangan antara permintaan dan penawaran dicapai berdasarkan perilaku optimisasi dari pelaku ekonomi yang menyebabkan terjadinya penyesuaian harga.

Penyesuaian harga untukmendapatkan keseimbangan antara

permintaan dan penawaran

Memaksimumkan utilitasdengan kendala

pendapatan

Memaksimumkankeuntungan dengan

kendala teknologi produksi

Pasar

Konsumen Produsen

Permintaan dan penawaran diturunkanberdasarkan optimasi pelaku ekonomi

Diadaptasi dari Hosoe dkk. (2004:5) Gambar 1. Struktur Perekonomian

Page 282: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 277

Model CGE secara teoritis merupakan model statis dengan asumsi bahwa pasar berkompetisi sempurna dan produksi bersifat constant return to scale. Untuk memahami kerangka dasar dari model CGE digunakan contoh model sederhana untuk negara kecil dengan perekonomian tertutup. Misalkan ada dua komoditas yaitu X1 dan X2 dan dua faktor produksi yaitu tenaga kerja dan modal. Setiap komoditas diproduksi oleh satu perusahaan dengan input tenaga kerja dan modal. Rumah tangga mengkonsumsi komoditas tersebut dengan memaksimumkan utilitas. Rumah tangga memperoleh pendapatan dari endowment berupa tenaga kerja dan modal yang digunakan oleh perusahaan. Harga dari semua komoditas dan faktor produksi dapat mudah menyesuaikan sehingga keseimbangan antara permintaan dan penawaran dapat tercapai. Pelaku ekonomi diasumsikan sebagai price taker yang tidak mempunyai kekuatan untuk menentukan harga pasar. Dalam model ini perdagangan internasional, investasi, dan intermediate input tidak diperhitungkan. Hubungan antara rumah tangga, perusahaan, dan pasar dirangkum dalam Gambar 2 dengan melihat aliran komoditas dan faktor produksi.

Utilitas

Cobb-Douglas

X1 X2

Z1 Z2

Cobb-Douglas

K2

Cobb-Douglas

L2K1 L1

Rumah Tangga

Pasar

Perusahaan

Diadaptasi dari Hosoe dkk. (2004:17)

Gambar 2. Struktur Model Sederhana

Page 283: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 278

2.3. Hipotesis Sektor energi terus berkembang seiring dengan terus meningkat konsumsi energi. Konsumsi energi final (termasuk penggunaan biomasa) meningkat dari sebesar 778 juta SBM (Setara Barel Minyak) pada tahun 2000 menjadi sebesar 916 SBM pada tahun 2007 atau meningkat rata-rata sebesar 2,3% per tahun. Pada tahun 2007 penggunaan terbesar adalah sektor rumah tangga dengan pangsa sebesar 34% diikuti oleh sektor industri 33%, transportasi 20%, komersial dan sebagai bahan baku masing-masing 3% dan sisanya sekitar 7% untuk penggunaan lainnya (Gambar 3).

Gambar 3. Pangsa Penggunaan Energi Final Tahun 2007

Penyediaan energi primer juga terus meningkat dari sebesar 978 juta SBM pada tahun 2000 menjadi sebesar 1.231 juta SBM pada tahun 2007 atau meningkat sekitar 3,3% per tahun. Pada tahun 2007 pangsa penyediaan energi yang terbesar adalah minyak bumi dengan pangsa 39% dan diikuti oleh batubara 21%, gas bumi 15%, tenaga air 2%, panas bumi 1% dan sisanya 22% adalah energi non-komersial biomasa untuk rumah tangga pedesaan (Gb. 4)

Gambar 4. Pangsa Penyediaan Energi Primer Tahun 2007

Lainnya7%

Bahan Baku3%

Industri33%

Rumah Tangga

34%

Komersial3%

Transportasi20%

Biomasa22%

Tenaga Air2%

Panas Bumi1%Gas

15%

Minyak dan BBM39%

Batubara21%

Page 284: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 279

Kondisi sumber daya energi di Indonesia yang tidak dapat diperbaharui, terutama minyak bumi, saat ini sudah cukup kritis. Laju penemuan cadangan minyak bumi lebih rendah dari pada laju konsumsinya. Bila tidak diketemukan cadangan baru, maka impor minyak bumi dan BBM akan semakin meningkat tajam. Data dari Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (DESDM) tahun 2007 menunjukkan bahwa cadangan minyak bumi sebesar 8,4 x 109 SBM. Cadangan gas bumi sebesar 165 TSCF (Tera Standard Cubic Feet). Sedangkan batubara mempunyai cadangan sebesar 18,8 x 109 TCE (Ton Coal Equivalent). Secara ringkas cadangan dan produksi untuk sumber energi fosil ditunjukkan pada Tabel 1. Bila dilihat dari rasio cadangan dibagi produksi (R/P Ratio) maka batubara masih mampu untuk digunakan selama 105 tahun. Sedangkan gas bumi dan minyak bumi mempunyai R/P Ratio masing-masing sebesar 55 tahun dan 17 tahun.

Tabel 1. Cadangan dan Produksi Sumber Energi Fosil

Cadangan (R) Produksi per tahun (P) R/P Minyak Bumi 8,4 x 109 BOE 0,5 x 109 BOE 17 Gas Bumi 165 TSCF 3 TSCF 55 Batubara 18,8 x 109 TCE 0,18 x 109 TCE 105

Sumber daya energi terbarukan yang mempunyai potensi dikembangkan untuk skala besar adalah tenaga air dan panas bumi. Potensi tenaga air di seluruh Indonesia diperkirakan sekitar 75.670 MW yang tersebar pada 1.315 lokasi. Potensi panas bumi yang mempunyai prospek untuk dikembangkan adalah sebesar 27.000 MW. Sektor energi perlu dikembangkan melalui kebijakan yang kondusif dan didukung oleh kemandirian finansial, teknologi dan sumber daya manusia. Dengan kebijakan ini diharapkan pengembangan sektor energi dapat mendukung pembangunan yang berkelanjutan. Makalah ini akan membahas pengaruh kebijakan energi terhadap perekonomian secara keseluruhan dengan menggunakan simulasi kebijakan dalam model CGE. Kebijakan energi yang akan dianalisis adalah substitusi dari penggunaan energi migas ke penggunaan energi lainnya. Hipotesis yang diajukan adalah:

Page 285: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 280

• Ada pengaruh yang positip dari substitusi penggunaan minyak bumi terhadap pendapatan nasional.

• Ada pengaruh positip dari substitusi penggunanaan minyak bumi terdapat distribusi pendapatan.

3. Metoda Riset Secara umum untuk pembuatan model CGE mengikuti langkah-langkah seperti pada Gambar 5. Pertama-tama membuat data set yang konsisten dengan kondisi perekonomian saat ini. Parameter model diperoleh berdasarkan prosedur kalibrasi sedangkan harga elastisitas dapat diperoleh berdasarkan studi literatur. Berdasarkan kalibrasi dilihat konsistensi model dengan keseimbangan dasar (benchmark) dalam perekonomian. Bila telah sesuai, langkah selanjutkan adalah membuat suatu skenario dengan kebijakan tertentu atau mengubah besaran parameter sehingga didapat keseimbangan perekonomian yang baru. Berdasarkan hasil ini dapat dianalisis pengaruh dari kebijakan atau perubahan salah satu parameter terhadap keseluruhan sistem perekonomian (lihat Gb. 5).

Model yang dikembangkan mempunyai dua modul yaitu model dasar yang merupakan model CGE statis dan model dinamik yang memasukkan faktor pertumbuhan pada model CGE statis. 3.1. Model Dasar Struktur model CGE yang akan digunakan untuk analisis empiris diperlihatkan pada Gambar 6. Indonesia diasumsikan sebagai negara kecil dengan perekonomian terbuka. Indonesia adalah sebagai price taker yang tidak dapat mempengaruhi harga dunia, baik dalam impor atau ekspornya.

Page 286: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 281

Latar belakang kebijakan

Landasan teori sebagai kunci dari mekanisme kebijakan

Data: Tabel IO, SAM, Pendapatan Nasional, pajak, dll.

1. P

erm

asa-

laha

n2.

Teo

ri3.

For

mul

asi

Mod

el4.

Sim

ulas

i K

ompu

ter

5. In

terp

reta

si

Pemilihan data elastisitas (survei literatur)

Pembuatan data yang konsisten dengan benchmark equilibrium

Pembuatan struktur model (dimensi, bentuk fungsi, perilaku institusi)

Kalibrasi: Menghitung nilai parameter dari data

benchmark

Simulasi:Menghitung keseimbangan dengan

kebijakan baru (counterfactual)

Pembuatan laporan dan interpretasi ekonomi dari hasil simulasi

HasilRobust ?

Replikasi benar?

Analisis sensitivitas

Kesimpulan dan rekomendasi kebijakan

Tidak

Ya

Tidak

Ya

Diadaptasi dari:- Bohringer, Rutherford and Wiegard (2003) - Peterson (2003)

Gambar 5. Analisis dengan Menggunakan Model CGE

Page 287: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 282

U

Cobb-Douglas

XVj XGj

Qj

CES

Mj Dj

Diadaptasi dari Hosoe dkk. (2004:98)

X1jXPj

Ej

Konsumsi Investasi Pemerintah Intermediate inputs

CET

Barangkomposit

AgregrasiArmington

Leontief

Yj X1j

Zj

Cobb-Douglas

Kj Lj

Utilitas

Impor Barangdomestik

Ekspor

Gross outputdomestik

Valueadded

Intermediate inputs

Energi Non-Energi

Xij

Xij

Gambar 6. Struktur Model CGE Energi

Page 288: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 283

Dalam aplikasi pembuatan model, bentuk fungsi seperti Leontief, Cobb-Douglas atau constant elastisity of substitution (CES) sudah umum digunakan. Setiap fungsi mempunyai sifat tertentu yang penting dalam menyatakan perilaku ekonomi. Bentuk fungsi yang dipilih harus cukup luwes sehingga mampu merepresentasikan perilaku ekonomi seperti yang diharapkan. Model empiris ini merupakan pengembangan dari model sederhana yang sudah dibahas sebelumnya. Model dikembangkan berdasarkan Hosoe dkk. (2004:97-133) dengan mempertimbangkan sektor energi. Formulasi matematik dari model dapat diturunkan seperti di bawah ini. a. Intermediate Input Perusahaan disamping menggunakan kapital dan tenaga kerja juga menggunakan intermediate input sebagai faktor produksi. Produksi dibagi menjadi dua tingkat. Pada tingkat atas gross output domestik merupakan fungsi Leontief dengan variabel value added dan intermediate input. Pada tingkat bawah fungsi produksi untuk value added adalah fungsi Cobb-Douglas dengan input kapital dan tenaga kerja. - Pada tingkat atas:

⎟⎠

⎞⎜⎝

⎛+−= ∑

iijijjjjj XpqYpyZps ZPmax

(1) dengan kendala:

⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛=

j

j

ij

ijj ay

YaxX

Z ,min

(2) dan: ZPj: keuntungan perusahaan j Zj: gross output unuk barang j Xij: intermediate input barang i yang digunakan oleh perusahaan j Yj: value added perusahaan j axij: koefisien minimum yang dibutuhkan intermediate input j untuk

memproduksi satu unit gross output ayj: koefisien minimum yang dibutuhkan value added untuk

menghasilkan satu unit gross output

Page 289: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 284

psj: harga penawaran barang j pqi: harga barang antara i, dan pyj: harga value added perusahaan j Persamaan 2 tidak dapat diturunkan dan untuk memperoleh kondisi optimal dianggap bahwa perusahaan bersifat kompetisi dan tidak dapat memperoleh excess profit. Sehingga kondisi optimal dicapai pada kondisi keuntungan ekonomi nol (zero profit): jijij ZaxX =

(3) jjj ZayY =

(4) ∑+=

iiijjjj pqaxpyayps

(5) - Pada tingkat bawah:

∑−=h

hjhjjj FrYpyYP max

(6) dengan kendala:

∏= hjhjjj FbY β

(7) dan: YPj: keuntungan perusahaan j pada tingkat bawah Fhj: faktor produksi yang berupa kapital atau tenaga kerja

Dengan menggunakan metode Lagrange maka kondisi optimal dicapai bila memenuhi persamaan di bawah ini.

jh

jhjhj Y

rpy

=

(8) b. Pemerintah Pemerintah diasumsikan hanya mengambil pajak langsung terhadap produksi berdasarkan kuantitas. Pajak penghasilkan ini digunakan untuk

Page 290: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 285

konsumsi publik dan tabungan. Secara matematik, perilaku ini dapat dirumuskan sebagai berikut: jjj ZT τ=

(9)

⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛−= ∑

jj

i

ii SGT

pqXG

μ

(10) dengan: XGi: konsumsi publik komoditas i Tj: pajak penghasilan untuk komoditas j τj: tingkat pajak untuk komoditas j dalam rupiah per unit SG: tabungan pemerintah μi: pangsa pengeluaran untuk komoditas i (0 ≤ μi ≤ 1, Σμi = 1) c. Investasi Model merupakan model dinamik sehingga investasi mempunyai peran yang penting. Pada tahun dasar perilaku investasi dinyatakan dalam persamaan di bawah ini.

( )SFSGSpq

XVi

ii ε

λ++=

(11) XVi: permintaan investasi untuk komoditas i S: tabungan masyarakat SF: tabungan dalam bentuk maya uang asing ε nilai tukar (mata uang rupiah per mata uang asing) λi: pangsa pengeluaran untuk komoditas i (0 ≤ λi ≤ 1, Σλi = 1) d. Keseimbangan Neraca Pembayaran Hubungan antara harga impor dan ekspor baik dalam mata uang rupiah maupun mata uang asing diperlihatkan pada persamaan di bawah ini. ii pwepe ⋅= ε

(12)

Page 291: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 286

ii pwmpm ⋅= ε (13) dengan: pei: harga ekspor komoditas i dalam rupiah pwei: harga ekspor komoditas i dalam mata uang asing (eksogen) pmi: harga impor komoditas i dalam rupiah pwmi: harga impor komoditas i dalam mata uang asing (eksogen) Neraca pembayaran dalam mata uang asing dinyatakan dalam persamaan sebagai berikut: i

iiii

iMpwmSFEpwe ∑∑ =+

(14) dengan: Ei: ekspor komoditas i Mi: impor komoditas i e. Asumsi Armington Barang impor, ekspor dan domestik diasumsikan merupakan barang substitusi (asumsi Armington). Pertama, barang impor dan domestik diagregasi sebagai barang komposit. Diasumsikan bahwa barang impor merupakan substitusi yang tidak sempurna terhadap barang domestik. Sehingga perilakunya dapat diturunkan berdasarkan optimasi berikut ini. ( )iiiiiii DpdMpmQpq QP +−=max (15) dengan kendala:

( ) iiiiiiiii DdMmQ ηηη δδγ

1

+= (16) dan: QPi: keuntungan barang komposit perusahaan i pqi: harga barang komposit i Qi: barang komposit i Di: barang domestik i γi: parameter produktivitas barang komposit i

Page 292: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 287

δmi, dan δdi: paramater pangsa barang komposit i ηi: parameter yang berkaitan dengan elastisitas substitusi σi: elastisitas substitusi Dengan menggunakan manipulasi matematika dapat diperoleh kondisi optimumnya sebagai berikut:

ii

iiii Q

pmpqm

Mii ηη δγ −

⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛=

11

(17)

ii

iiii Q

pdpqd

Dii ηη δγ −

⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛=

11

(18) Kedua, gross output domestik ditansformasikan menjadi barang impor dan barang domestik. Diasumsikan juga bahwa barang ekspor dan barang domestik merupakan barang substitusi yang tidak sempurna. Perilaku ini dapat dinyatakan dalam persamaan optimasi seperti ini. ( ) ( ) iiiiiiii ZpsDpdEpe +−+= τ ZPmax (19) dengan kendala:

( ) iiiiiiiii DdEeZ ΦΦΦ +=

1

ξξθ (20) dan: ZPi: keuntungan transformasi perusahaan i θi: parameter produktivitas fungsi transformasi perusahaan i ξei dan ξdi: parameter pangsa fungsi transformasi perusahaan i φi: parameter yang berhubungan dengan elastisitas transformasi ψ i: elastisitas transformasi Kondisi optimal dicapai bila:

( )

ii

iiiii Z

pepse

Eii Φ−Φ

⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛ +=

11

τξθ

(21)

Page 293: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 288

( )

ii

iiiii Z

pdpsd

Dii Φ−Φ

⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛ +=

11

τξθ

(22) f. Market Clearing Supaya diperoleh keseimbangan pasar maka harus memenuhi kondisi market clearing sebagai berikut. ∑+++=

jijiiii XXVXGXPQ

(23)

∑ =j

hhj FFF

(24) dengan FFh adalah total endowment yang diset sebagai variabel eksogen. g. Macro Closure Dari penurunan persamaan-persamaan tersebut di atas diperoleh sistem persamaan simultan. Dalam sistem jumlah variabel endogen melebihi jumlah persamaan sehingga perlu persamaan penutup yang disebut macro closure. ∑=

hhh FFrssS

(25) ∑=

jjTssgSG

(26) 3.2. Model Dinamik Model dasar dibuat dinamik dengan mekanisme rekursif dinamik yang mempertimbangkan pertumbuhan kapital dan tenaga kerja. Optimasi dilakukan berdasarkan tahun dasar 2000 dan kemudian dilakukan optimasi untuk tahun selanjutnya dengan nilai kapital dan tenaga kerja yang diperbarui seperti pada persamaan (27) dan (28). tititi DKdeprKK ,,1, )1( +−=+

Page 294: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 289

)1(1 rlLL tt +=+ dengan: depr : tingkat depresiasi DK : investasi baru rl : perumbuhan tenaga kerja 4. Pembahasan Banyak kebijakan energi di negara berkembang yang tidak dievaluasi dampaknya sehingga bisa muncul kebijakan yang bersifat kontradiktif. Kebijakan diversifikasi penggunaan energi di satu sisi dengan kebijakan subsidi harga BBM di sisi lain merupakan salah satu contoh kebijakan energi yang kontradiktif di Indonesia. Penelitian tentang dampak kebijakan energi di Indonesia di Indonesia belum banyak dilakukan. Danar (1994) dengan menggunakan analisis korelasi meneliti pengaruh kebijakan energi terhadap pertumbuhan ekonomi. Hasil menunjukkan bahwa sejak tahun 1975 kebijakan diversifikasi energi sudah menampakkan hasilnya. Lebih jauh Danar menyimpulkan bahwa pertumbuhan konsumsi energi mempunyai korelasi yang positip terhadap pertumbuhan ekonomi. Hope dan Singh (1995) meneliti dampak kenaikan harga energi terhadap rumah tangga, industri dan perekonomian makro di negera-negara berkembang termasuk Indonesia. Hasil untuk Indonesia menunjukkan bahwa kenaikan harga minyak diesel menyebabkan penurunan penggunaan minyak diesel di sektor industri. Kenaikan harga minyak tanah menyebabkan penurunan kesejahteraan di sektor rumah tangga dan secara ekonomi makro dengan kenaikan harga minyak maka target pendapatan nasional akan dapat tercapai. Baik studi Danar (1994) maupun Hope dan Singh (1995) menggunakan model ekonometri untuk menganalisis dampak kebijakan energi tersebut. Kleeman (1994:11-34) melakukan studi untuk membuat strategi perencanaan energi di Indonesia yang berwawasan lingkungan. Studi ini menggunakan model Markal (Market Allocation) yang berdasarkan optimasi dengan menggunakan persamaan simultan dalam bentuk linier programming. Model ini merupakan model keseimbangan parsial karena hanya memperhitungkan sektor energi. Dampak lingkungan dari penggunaan energi ditentukan berdasarkan emisi yang ditimbulkan dalam penggunaan energi yang berupa emisi partikel, nitrogen dioksida (NO2), volatile hydrocarbon (VHC)

Page 295: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 290

dan sulfur dioksida (SOx). Besarnya emisi dihitung berdasarkan faktor emisi untuk masing-masing jenis energi dan kemudian dilakukan analisis lebih lanjut dengan model dispersi dan deposisi emisi. Model ini membuat simulasi penyediaan energi dengan berbagai skenario. Hasil menunjukkan bahwa dengan skenario tanpa menggunakan teknologi bersih, polusi di daerah perkotaan di Pulau Jawa akan melampaui ambang batas sehingga perlu dilakukan langkah-langkah untuk mengurangi polusi akibat penggunaan energi. Marks (2003) menganalisis kenaikan harga energi terhadap berbagai sektor perekonomian dengan menggunakan Tabel Input-Output. Hasil studi menunjukkan bahwa kenaikan harga energi akan berpengaruh paling besar pada sektor transportasi. Analisis yang digunakan Marks hanya mempertimbangan keterkaitan statis antar sektor melalui matriks koefisien input-output. Penggunaan model keseimbangan umum merupakan pengembangan lebih lanjut dengan mempertimbangkan perilaku setiap pelaku perekonomian. Model keseimbangan umum dalam penerapan untuk studi empiris selanjutnya lebih dikenal dengan model computable general equilibrium (CGE). Penggunaan model CGE untuk mengalisis kebijakan harga energi di Indonesia telah dilakukan oleh Nikensari (2001), IUC-ES (2001), Said dkk. (2001), Clements dkk. (2003) dan Ikhsan dkk. (2005). Model CGE yang digunakan merupakan modifikasi dari model CGE yang digunakan untuk studi sebelumnya, kecuali model yang digunakan oleh Clements dkk. Nikensari (2001:8-9) memodifikasi model Lewis (1991) untuk menganalisis pengaruh pengurangan subsidi harga BBM terhadap sektor industri. IUC-ES (2001) memodifikasi model Indorani untuk menganalisis dampak kebijakan harga energi terhadap ekonomi makro dan sektoral. Model menggunakan Tabel Input-Output 1995 yang diperbarui untuk tahun 2000 untuk kalibrasi. Studi ini memberi gambaran yang rinci tentang aspek pembuatan model dan hasilnya digunakan sebagai dasar penyusunan studi dari Said dkk. (2001). Model CGE yang digunakan oleh Said dkk. selanjutnya disebut Indoceem (Indorani Comprehensive Energy-Economy Model). Clements dkk. (2003) mengembangkan model CGE yang dikalibrasi dengan menggunakan Tabel Input-Output tahun 1995 untuk menganalisis dampak liberalisasi harga BBM. Ikhsan dkk. (2005) mengintegrasikan Indoceem dan metodologi perhitungan kemiskinan untuk menganalisis dampak kenaikan harga BBM terhadap kemiskinan.

Page 296: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 291

Model CGE yang dijelaskan tersebut di atas merupakan model statis untuk satu periode analisis. Resosudarmo (2002, 2003) menggunakan model CGE yang dinamis untuk mengevaluasi kebijakan lingkungan di Indonesia. Kebijakan yang dievaluasi adalah penggunaan teknologi untuk mengurangi emisi maupun Program Langit Biru, yaitu program untuk pengendalian pencemaran udara. Model CGE yang digunakan berdasarkan SAM tahun 1990 dan untuk analisis kebijakan dari tahun 2000 sampai tahun 2020. Kebanyakan model CGE yang digunakan sebagai alat analisis saat ini sudah merupakan modifikasi dari model sebelumnya dan sudah menjadi terlalu rumit. Model CGE sering dikritik sebagai black box karena struktur model yang sangat komplek serta jumlah parameter dan persamaan sangat banyak, padahal dengan menggunakan model yang standar tidak menghasilkan perbedaan yang berarti (Hosoe 1999:1-3). Penelitian ini akan menggembangkan model CGE standar dari Hosoe dkk. (2004) dengan lebih memperhatikan struktur model dan lebih rinci dalam memformulasikan sektor energi. Sedangkan kebijakan energi yang akan disimulasikan dalam model adalah substitusi antara penggunaan energi minyak bumi dengan energi lainnya. Sebagai kalibrasi, digunakan SAM untuk tahun 2000 dengan memodifikasi sektor sesuai dengan tujuan penelitian. Karena substitusi ini hanya dapat dilaksanakan secara bertahap maka model dibuat bersifat dinamis dengan memasukkan aspek pertumbuhan untuk jangka panjang. SAM yang dikenal di Indonesia sebagai Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) memberi gambaran menyeluruh struktur produksi, faktor produksi, alokasi pendapatan, komposisi permintaan barang dan jasa, serta tabungan. SAM disajikan dalam bentuk matriks yang menggambarkan perilaku dari pelaku ekonomi. Neraca lajur ke samping (menurut baris) menunjukkan transaksi penerimaan, sedangkan lajur ke bawah (menurut kolom) menunjukkan transaksi pengeluaran. Beberapa sektor dalam SAM dimodifikasi dengan melakukan agregasi dan disagregasi yang disesuaikan dengan tujuan penelitian. Untuk disagregrasi digunakan Tabel Input-Output tahun 2000 yang dikeluarkan oleh BPS. Simulasi akan dilakukan berdasarkan keseimbangan dasar dengan mempertimbangkan rencana pemerintah untuk meningkatkan penggunaan batubara maupun energi lainnya. Dengan simulasi ini dapat buat beberapa skenario kebijakan diversifikasi energi yang sesuai dengan tujuan dari

Page 297: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 292

penelitian. Hasil simulasi diharapkan dapat untuk menguji hipotesis dan merekomendasikan kebijakan yang efektif untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan. Penelitian ini masih belum selesai dan sedang dikembangkan model CGE untuk energi sehingga hasilnya belum dapat ditampilkan dalam makalah ini. Dari hasil analisis sementara Tabel Input-Output tahun 2000 maka efek pengali output menunjukkan bahwa sektor energi fosil hanya memberikan kontribusi yang kecil terhadap pertumbuhan di sektor lainnya. Besaran dari efek pengali output dari sektor minyak bumi dan gas bumi lebih kecil dari pada sektor batubara. Sektor energi fosil ini kontribusinya kecil karena sebagian besar dari hasil sektor ini untuk kepentingan ekspor sehingga tidak banyak mempengaruhi pertumbuhan dari sektor lainnya. Berbeda dengan sektor energi listrik dan gas yang mempunyai besaran efek pengali yang besar sehingga memegang peranan penting dalam perkembangan dari sektor-sektor lainnya. 5. Penutup Model CGE merupakan sistem persamaan simultan tak-linier yang mensimulasikan perilaku optimal dari semua konsumen dan produsen yang ada di dalam suatu perekonomian. Dengan menggunakan model ini maka dapat disimulasikan berbagai kebijakan energi dan pengaruhnya terhadap sektor perekonomian secara umum. Dalam pembahasan sudah diturunkan persamaan matematis untuk model CGE energi yang akan dikembangkan. Model tersebut dikalibrasi dengan menggunakan SAM tahun 2000 dan supaya dapat menjawab tujuan penelitian maka perlu adanya disagregasi maupun agregasi sektor dalam SAM. Untuk keperluan disgaregasi sektor maka dapat digunakan data yang ada dalam Tabel Input-Output untuk tahun yang sama. Saat ini model masih dalam pengembangan dan diharapkan akan dapat diaplikasikan karena didukung adanya perangkat lunak GAMS (General Algebraic Modeling System). GAMS dapat digunakan untuk menyelesaikan persamaan simultan seperti model CGE yang dikembangkan dalam penelitian ini. GAMS dapat digunakan untuk melakukan optimasi dengan fungsi kendala dan fungsi obyektif tertentu (Brooke dkk, 1998). Persamaan simultan dalam model CGE ini merupakan persoalan nonlinear programming yang dapat diselesaikan dengan menggunakan modul Minos yang merupakan optimizer dari GAMS.

Page 298: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 293

Daftar Referensi

Artanto, Y. dan Yusnitati (2000) Pengujian Katalis Limonit Soroako dalam

Proses Konversi Batubara Banko Selatan Menjadi Minyak Sintetis, Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia, Vol.2, No.1, BPPT, Jakarta.

Bakoren (1998) Kebijaksanaan Umum Bidang Energi (KUBE), Badan Koordinasi Energi Nasional.

Bandara, J.S. (1991) Computable General Equilibrium Models for Development Policy Analysis in LDCs, Journal of Economic Surveys, Vol.5, No.1, p.3-69.

Bank Dunia (2003) Pemantauan Lingkungan Indonesia 2003, Bank Dunia Kantor Indonesia.

Benjamin, N.C. and S. Devarajan (1985) Oil Resources and Economic Policy in Cameroon: Result from a Computable General Equilibrium Model, Staff Working Paper, No. 745, World Bank.

Bergman, L. (1988) Energy Policy Modeling: A Survey of General Equilibrium Approaches, Journal of Policy Modeling, Vol.10, No.3, p.377-399.

Bergman, L. (1990) Energy and Environmental Constraints on Growth: A CGE Modeling Approach, Journal of Policy Modeling, Vo.12, No.4, p.671-691.

Bergman, L. and M. Henrekson (2003) CGE Modeling of Environmental Policy and Resource Management, Lecture Note, Stockholm School of Economics.

Bohringer, C. (1998) The Synthesis of Bottom-up and Top-down in Energy Policy Modeling, Energy Economics, Vol.20, p.233-248.

Bohringer, C., T.F. Rutherford, and W. Wiegard (2003) Computable General Equilibrium Analysis: Opening a Black Box, Discussion Paper No.03-56, Centre for European Economic Research.

Brooke, A., D. Kendrick, A. Meeraus, and R. Raman (1998) GAMS: A User's Guide, GAMS Development Corporation, USA.

Chongpeerapien, T. (1991) Development of the Energy Policy in Thailand, in Sharma, S. and F. Fesharaki (Eds.) Energy Market and Policies in ASEAN, Institute of Southeast Asian Studies, Singapore.

Clements,B., H. Jung, and S. Gupta (2003) Real and Distributive Effects of Petroleum Price Liberalization: The Case of Indonesia, IMF Working Paper No. WP/03/204, International Monetary Fund.

Danar, A. (1994) Pengaruh Kebijaksanaan Energi terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia, Prosiding Hasil-hasil Lokakarya Energi 1993, Pertamina dan KNI-WEC.

Page 299: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 294

DESDM (2004) Kebijakan Energi Nasional 2003-2020, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral.

Devarajan, S. and D.S. Go (1998) The Simplest Dynamic General-Equilibrium Model of an Open Economy, Journal of Policy Modeling, Vol.20, No.6, p.677–714.

Devarajan, S. and S. Robinson (2002) The Influence of Computable General Equilibrium Models on Policy, TDM Discussion Paper No. 98, International Food Policy Research Institute.

Fee, W.L. (1991) Malaysian Energy Policy: An Economic Assessment, in Sharma, S. and F. Fesharaki (Eds.) Energy Market and Policies in ASEAN, Institute of Southeast Asian Studies, Singapore.

Hope, E. and B. Singh (1995) Energy Price Increase in Developing Countries: Case Studies of Colombia, Ghana, Indonesia, Malaysia, Turkey and Zimbabwe, Worldbank Working Paper No. 1442.

Hosoe, N, K. Gasawa, and H. Hashimoto (2004) Handbook of Computible General Equilibrium Modeling. In Japanese, University of Tokyo Press, Tokyo, Japan.

Hosoe, N. (1999) Opening up the Black Box: Scrutinization of the Internal Structure of CGE Models, Unpublished PhD Dissertation, Osaka University.

Hudson, E.A. and D.W. Jorgenson (1975) U.S. Energy Policy and Economic Growth: 1975-2000, Bell Journal of Economics and Management Science, Vol.5, No.2, p.461-514.

Hulu, E. (1995) Topologi Model Komputasi Keseimbangan Umum, Ekonomi dan Keuangan Indonesia, Vo.XLIII, No.1.

Ikhsan, M., M.H. Sulistyo, T. Dartanto, dan Usman (2005) Kajian Dampak Kenaikan Harga BBM 2005 terhadap Kemiskinan, LPEM Working Paper, No. 10, Fakultas Ekonomi UI.

IUC-ES (2001) Study on Macroeconomic Impact and Adjustment of Energy Pricing Policy, Final Report, Inter University Center for Economic Studies, Gadjah Mada University.

Kleemann, M. (1994) Energy Use and Air Pollition in Indonesia, Avebury Studies in Green Research.

Lewis, J.D. (1991) A Computable General Equilibrium (CGE) Model of Indonesia, Development Discussion Paper No.378, Harvard University.

Lofgren, H, R.L. Harris, and S. Robinson (2002) A Standard Computable General Equilibrium (CGE) Model in GAMS, Microcumputer in Policy Research No.5, International Food Policy Research Institute.

Malyan, A. (1992) Masalah Lingkungan Pertambangan Batubara dan Aspek Pengendaliannya dalam Aspek Perencanaan, KNI-WEC, Jakarta.

Page 300: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 295

Manne, A.S., R.G. Richels, and J.P. Weyant (1979) Energy Policy Modeling: A Survey, Operations Research, Vo.27, No.1, p.1-36.

Marks, S.V. (2003) The Impact of Proposed Energy Price Increases on Prices Throughout the Indonesian Economy: An Input-Output Analysis, Technical Report, Partnership for Economic Growth Project, United States Agency for International Development.

MEMR (2008) Handbook of Energy and Economic Statistics of Indonesia, Center for Energy and Mineral Resources Data and Information, Ministry of Energy and Mineral Resources.

Nikensari, S.I. (2001) Pengaruh Perubahan Kebijakan Harga Energi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Sektor Industri di Indonesia: Suatu Model Analisa Keseimbangan Umum, Tesis Tidak Dipublikasi, Universitas Indonesia.

Nordhaus, W.D. (1973) The Allocation of Energy Resources, Brookings Papers on Economic Activity, No.3, p.529-570.

Panaka, P. (1992) Konversi Batubara dalam Kaitannya dengan Pemanfaatan Teknologi Batubara Bersih, KNI-WEC, Jakarta.

Pangestu, M (1996) Indonesian Energy Sector: Facing Globalization Challenges, Presented at National Symposium of Society of Indonesian Petroleum Engineers, Jakarta, 6th August 1996.

Peterson, S. (2003) CGE Models and Their Application for Climate Policy Analysis, Preparatory Lecture, International Workshop on Integrated Climate Model, ICTP, Italy, September 30th – October 3rd.

Pogany, P (1996) Computable General Equilibrium Models: An Historical Perspective, Working Paper No.96-09-B, U.S. International Trade Commission.

Prawiraatmadja, W. (1997) Indonesia’s Transisition to a Net Oil Importing Country: Critical Issues in the Downstream Oil Sector, Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol.33, No.2, p.47-71.

Resosudarmo, B.P. (2002) Indonesia’s Clear Air Program, Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol.38, No.3, p.343-65.

Resosudarmo, B.P. (2003) Computable General Equilibrium Model on Air Pollution Abatement Policies with Indonesia as a Case Study, The Economic Record, Vol.79, Special Issue, June, p.63-73.

Said, U., E. Ginting, M. Horridge, N.S. Utami, Sutijastoto dan H. Purwoto (2001) Kajian Dampak Ekonomi Kenaikan BBM, Laporan Akhir, USAID bekerja sama dengan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral.

Sari, A.P. (2002) Kehidupan Tanpa Minyak: Masa Depan yang Nyata, Makalah dimuat dalam Life After Oil: Energi untuk Mendukung Pembangunan yang Berkelanjutan, www.pelangi.or.id, diakses 23 Oktober 2002.

Page 301: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 296

Saveyn, B. and Van Regemorter, D. (2007) Environmental Policy in a Federal State: A Regional CGE Analysis of the NEC Directive in Belgium, Working Paper Series, No. 2007-01, Katholieke Universiteit Leuven.

Sugiyono, A. (2000) Prospek Penggunaan Teknologi Bersih untuk Pembangkit Listrik dengan Bahan Bakar Batubara di Indonesia, Jurnal Teknologi Lingkungan, Vol.1, No.1, hal.90-95, BPPT, Jakarta.

Wajsman, N. (1995) The Use of Computable General Equilibrium Model in Evaluating Environmental Policy, Journal of Environmental Management, Vol.44, p.127-143.

Yang, Z. (1999) A Coupling Algorithm for Computing Large-Scale Dynamic Computabel General Equilibrium Models, Economic Modelling, Vol. 16, p.455-473.

Page 302: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 297

Estimasi Pengaruh Kewirausahaan terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah: Pendekatan Teori Modal Kewirausahaan

(Studi Kasus Subosukasraten 1993-2005)

Hery Sulistio Jati Nugroho Sriwiyanto∗

Abstract

The first main aim of this study is to develop indicator of entrepreneurship on economic growth literature. The second aim of the study is to estimate the impacts of entrpreneurship on economic gowth. The entrepreneurship indicator is derived from standard Solow growth model with Harrod-neutral technological progress. This research will use new approach as entrepreneurship indicator. One of many definition of entrepreneurship is related to create a new type of business organization. By rearrange standard Solow Growth Model (SGM), this paper colapse the definition of entreprenesurship and SGM into one equation. This approach then use Small Medium Enterprises SME’s as its indicator. The model then is confirmed by empirical data to show that entrepreneurships have robusts and positive impacts on economic growth. The model then compare by other model which introduced by Thurik and Verheul to show how robust the indicator are. This analysis try to demonstrate that entrpreneurship has important role on economic growth. Keywords: entrepreneurship, economic growth,

A. Latar Belakang Pembentukkan usaha baru dan dorongan terhadap budaya

kewirausahaan merupakan isu sentral di banyak negara termasuk di Indonesia. Isu tersebut menjadi alternatif sumber pembangunan ekonomi suatu negara. Mobilitas investasi sektor riil yang tinggi mendorong suatu negara harus dapat melepaskan diri dari ketergantungan investasi asing dalam meningkatkan

∗ Sebelas Maret University and Student of Post-Graduate Program on Economics, Faculty of Economics University of Indonesia

Page 303: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 298

kesejahteraan masyarakat. Beberapa bukti juga menunjukkan bahwa pembentukkan bisnis baru melalui kewirausahaan berkontribusi terhadap penciptaan lapangan kerja, stabilitas politik dan sosial, inovasi dan pebangunan ekonomi (Schumpeter, 1934; OECD, 1998; Wennekers dan Thurik, 1999; Audretsch dan Thurik, 2001; Reynold dkk, 2002; Postigo, 2004).

Proses pembangunan ekonomi oleh sebagian besar ekonom dijelaskan melalui pertumbuhan ekonomi dari sudut pandang evolusi ekonomi (Todaro, 2000) serta pendekatan makroekonomi (Solow, 1956; Romer, 1990, Krugman, 1991). Selain dua pendekatan di atas pendekatan alternatif lain yang digunakan dalam menjelaskan pertumbuhan ekonomi tesebut adalah peran organisasi industri yang efisien dalam mengelola sumber daya yang terbatas (Schumpeter, 1934). Bahkan Dosi (1988) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa karakteristik aktivitas produksi ditentukan melalui distribusi beberapa perusahaan tertentu.

Determinan faktor dasar (underlying factors) struktur industri beberapa dekade lalu ditentukan oleh 2/3 konsentrasi perusahaan dalam industri (Chandler, 1990; Scherer dan Ross, 1990). Sehingga perubahaan teknologi bersama perubahan faktor lain dalam pada 2/3 perusahaan tersebut akan meningkatkan sumbangan perusahaan-perusahaan dalam pertumbuhan ekonomi. Namun, suatu penelitian terbaru menolak proposisi tersebut (Audretsch, Baumol dan Burke, 2002).

Beberapa penelitian terkini menunjukkan dua bukti tentang faktor-faktor yang mempengaruhi struktur industri dalam sumbangannya terhadap pertumbuhan ekonomi (Loveman dan Sengenberger, 1991; Acs dan Audretsch, 1993). Pertama, peningkatan peran industri mikro, kecil dan menengah (UMKM) dalam struktur industri yang berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi. Kedua, peran UMKM terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara berbeda di setiap negara. Heterogenitas yang identik pada setiap negara tersebut bergantung pada kebijakan masing-masing negara dalam mengembangkan UMKM.

Pengembangan UMKM tidak dapat dilepaskan dari pengembangan wirausaha (Audretsch dan Thurik, 2001). Kerangka pemikiran yang menghubungkan dua konsep tersebut adalah keunggulan kompetitif perusahaan dengan konsep wirausaha dalam ekonomi baru dimana kreativitas ide memegang peranan penting. Umumnya posisi perusahaan-perusahaan tersebut

Page 304: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 299

berada dalam kategori UMKM. Sementara itu, Romer (1990) dan Krugman (1991) menekankan bahwa kunci utama pertumbuhan ekonomi baru terletak pada efek pengganda kreativitas dan ide yang berasal dari wirausahawan. Oleh karena itu, UMKM menjadi salah satu jalan masuk hubungan antara kewirausahaan dengan pertumbuhan ekonomi. Meskipun demikian pertumbuhan UMKM belum dapat digunakan sebagai indikasi utama tingkat kewirausahaan dalam suatu perekonomian.

Seperti halya dengan di negara-negara lain, UMKM di Indonesia juga memegang peran sentral terhadap perekonomian. Peran ini semakin nyata pasca krisis ekonomi tahun 1997. Beberapa indikator menunjukkan UMKM memegang peranan penting dalam pemulihan ekonomi Indonesia pasca krisis. Terdapat tiga indikator penting yang dapat menunjukkan peran UMKM dalam perekonomian Indonesia yang menunjukkan peran penting UMKM dalam pemulihan ekonomi Indonesia pasca krisis. Tiga indikator tersebut antara lain yaitu: kontribusi UMKM terhadap nilai tambah industri, kontribusi UMKM terhadap sektor utama GDP, serta peran UMKM terhadap penyerapan tenaga kerja baru.

Peran penting UMKM di Indonesia ditunjukkan oleh besarnya jumlah UMKM. Secara total jumlah UMKM cukup besar di Indonesia dan terus tumbuh meskipun pertumbuhan ekonomi berada dalam tren negatif akibat krisis ekonomi. Pertumbuhan UMKM secara diikuti dengan pertumbuhan pembentukkan lapangan kerja. Tabel 1 menunjukkan rata-rata hanya terdapat sekitar 1,28 persen tenaga kerja bekerja pada industri besar. Hal tersebut menunjukkan bahwa UMKM memiliki kemampuan menyerap tenaga kerja lebih banyak dibandingkan dengan usaha besar. Sehingga pembentukkan UMKM melalui konsep wirausaha akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja baru secara masif. Penyerapan tenaga kerja oleh UMKM selama kurun waktu tahun 1997-2000 oleh UMKM ditunjukkan tabel di bawah ini.

Page 305: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 300

Tabel 1 Total Tenaga Kerja UMKM per Sektor 1997-2000 (orang)

No Sektor 1997 1998 1999 2000 1 Pertanian, Peternakan,

Kehutanan dan Perikanan

29.891.389

24.224.109

32.523.873

33.036.240 2 Pertambangan dan Penggalian

467.942

374.740

420.833

558.167 3 Industri Pengolahan

10.067.165

8.329.527

8.301.852

14.191.921 4 Listrik, Gas dan Air Bersih

134.615

112.810

82.701

174.728 5 Bangunan

1.012.215

705.586

637.159

985.860 6 Perdagangan, Hotel dan

Restoran

16.064.421

14.783.478

16.948.808

18.436.559 7 Pengangkutan dan

Komunikasi

2.662.379

2.146.424

2.323.475

2.570.734 8 Keuangan, Persewaan dan

Jasa Perusahaan

689.987

323.772

233.200

413.591 9 Jasa-jasa

4.218.843

3.313.127

3.250.436

3.995.178 Tenaga Kerja UMKM 65.208.956 54.313.573 64.722.337 74.362.978

Tenaga Kerja UMKM dan Usaha Besar

65.482.688 54.678.066 67.082.448 74.746.551

Sumber: Menegkop & UMKM

Sementara jika dilihat dari sumbangan terhadap PDB, UMKM memiliki peran yang lebih rendah dibandingkan dengan perannya terhadap penyerapan tenaga kerja. Dalam periode yang sama sumbangan produktivitas UMKM terhadap PDB nasional adalah 57,6 persen. Meskipun demikian jika dilihat dari sisi produksi lebih dari setengah produktivitas perekonomian nasional disumbangkan oleh UMKM. Tabel 2 menunjukkan sumbangan produktivitas UMKM terhadap PDB nasional.

Page 306: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 301

Tabel 2

Sumbangan UMKM per Sektor 1997-2000 berdasar harga konstan 1993 (juta Rp) No Sektor 1997 1998 1999 2000 1 Pertanian, Peternakan,

Kehutanan dan Perikanan 3.611.554 3.320.427 3.485.057 3.121.115

2 Pertambangan dan Penggalian 407.730 194.037 197.483 184.441 3 Industri Pengolahan 2.210.808 1.495.509 1.313.107 1.241.556 4 Listrik, Gas dan Air Bersih 26.478 18.375 19.531 18.431 5 Bangunan 886.674 678.419 706.002 678.507 6 Perdagangan, Hotel dan

Restoran 3.594.726 2.637.914 2.908.181 2.581.429

7 Pengangkutan dan Komunikasi

901.105 572.065 719.066 665.850

8 Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan

1.152.056 803.964 670.887 619.814

9 Jasa-jasa 868.661 590.537 638.884 554.844 PDB sumbangan UMKM 13.659.792 10.311.246 10.658.198 9.665.987

Persentase terhadap total PDB 57,7 58,2 57,7 56,8 Sumber: Menegkop & UMKM (diolah)

Dalam lingkup lebih mikro, berdasarkan nilai tambah subsektor industri rata-rata pertumbuhan nilai tambah yang disumbangkan oleh UMKM adalah 19,4 persen setiap tahun. Subsektor tekstil, garmen dan kuit merupakan subsektor dengan pertumbuhan nilai tambah yang paling rendah. Sementara UMKM yang bergerak dalam subsektor makanan dan rokok serta mesin dan produk mesin merupakan UMKM dengan pertumbuhan yang tinggi. Pertumbuhan UMKM di sektor makanan dan rokok adalah 26,82 persen sementara pada subsektor mesin dan produk mesin adalah 26,74 persen. Tabel 3 menunjukkan nilai tambah UMKM pada masing-masing subsektor pada sektor industri pengolahan.

Page 307: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 302

Tabel 3 Nilai Tambah Subsektor UMKM Berdasar Harga Nominal (juta Rp)

No Subsektor 1997 1998 1999 2000 2001 Rata-rata Pertum-buhan

1 Manufaktur Non Migas

53,501 74,547 85,265 95,591 110,072 20.24%

2 Makanan, dan Rokok 25,824 45,192 53,795 54,730 61,020 26.82% 3 Tekstil, garmen dan

kulit 8,306 8,292 7,980 9,355 11,047 7.85%

4 Kayu dan Produk Kayu

3,869 5,490 5,625 5,956 5,783 11.83%

5 Kertas, cetak dan Publikasi

1,820 2,356 2,754 3,155 3,654 19.18%

6 Kimia 5,338 5,676 6,812 9,929 11,842 22.84% 7 Produk Mineral Non

logam 2,318 2,805 3,041 4,089 4,876 20.78%

8 Baja Dasar dan Produk Baja

460 274 355 393 608 13.65%

9 Mesin dan Produk Mesin

4,733 3,821 4,268 7,358 10,457 26.74%

10 Manufaktur Lainnya 835 641 1,644 629 785 24.11% Sumber: Menegkop & UMKM (diolah)

Berdasarkan fakta-fakta di atas terlihat jelas peran UMKM dalam perekonomian nasional. Sebagai salah satu pintu masuk konsep kewirausahaan, UMKM dalam penelitian ini akan dilihat perannya dalam perekonomian. Meskipun demikian penelitian ini akan memberi kerangka alternatif dalam Selanjutnya, pertanyaan yang mengemuka kemudian apakah suatu pereknomian yang mampu mengembangkan bahwa budaya wirausaha akan menikmati pertumbuhan ekonomi yang lebih baik? Oleh karena itu, penelitian ini akan mencoba menjawab pertanyaan tersebut dalam lingkup Subosukawonosraten.

Penelitian ini menggunakan dua pendekatan untuk mempertajam analisis. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan studi terhadap UMKM dan pendekatan indikator kewirausahaan dalam teori pertumbuhan ekonomi. Untuk mencapai tujuan tersebut penelitian ini akan dilakukan dalam beberapa tahapan. Tahap pertama dilakukan dengan menginventarisasi peran UMKM dan

Page 308: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 303

kewirusahaan terhadap perekonomian Subosukawonosraten. Kedua, melakukan estimasi pengukuran alternatif indikator pengukuran kewirausahaan terhadap pertumbuhan ekonomi. Pengenalan beberapa definisi operasional baru akan digunakan sebagai media pengukuran tingkat kewirausahaan dalam suatu perekonomian. Pada tahap ketiga dalam penelitian ini akan dilakukan estimasi dampak kewirausahaan terhadap perekonomian Subosukawonosraten. Konsistensi temuan dua pendekatan ini selanjuntya akan berimplikasi bahwa semua kebijakan publik yang mendukung wirausaha akan menstimulasi pertumbuhan ekonomi suatu daerah.

B. Landasan Teori B.1. Definisi Kewirausahaan

Kewirausahaan didefiniskan sebagai seseorang yang mengorganisasi suatu kegiatan usaha dengan asumsi suatu risiko akan menghasilkan keuntungan yang tidak menentu (Cantillon, 1734). Pada abad berikutnya John Stuart Mill (1848) mempopulerkan dalam perkembangan teori ekonomi. Istilah tersebut populer dalam karya klasiknya Principlesof Political Economy. Selanjutnya konsep kewirausahaan tidak terlalu popler dalam ekonomi seiring penggunaan matematika dalam analisis ekonomi.

Joseph Schumpeter (1934) merivitalisasi konsep wirausaha dalam perekonomian dengan mendefinisikan wirausaha sebagai seorang yang melakukan kombinasi dan mengkreasi hal baru dalam bentuk produk baru, proses produksi baru, pasar baru, bentuk organisasi baru dan sumber penawaran baru. Teori ini selanjutnya berkembang sebagai teori inovasi dalam ekonomi. Sementara itu, dalam pengertian modern kewirausahaan didefinisikan sebagai suatu kegiatan membentuk suatu organisasi baru (Lambing dan Kuehl, 2003). B.2. Kewirausahaan dan Perkembangan Bisnis

Perkembangan perekonomian saat ini diiringi dengan pesatnya pertumbuhan perusahaan-perusahaan dalam sektor-sektor bisnis yang berbeda-beda. Meskipun demikian dalam perekembangannya terdapat bisnis yang tetap menjadi suatu bisnis kecil atau tumbuh lambat, namun terdapat pula bisnis yang kemudian tumbuh menjadi suatu bisnis yang besar. Sebagian besar peneliti memfokuskan perbedaan tersebut dalam perspektif pendiri perusahaan seperti aspek personalitas pendiri perusahaan, skill manajemen pendiri perusahaan, visi

Page 309: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 304

dan tujuan yang kuat dari pendiri perusahaan dan sebagainya (Lambing dan Kuehl, 2003).

Eagers dan Leahy (1995) mengidentifikasi pertumbuhan bisnis dalam beberapa tahap antara lain yaitu: tahap konsepsi bisnis, tahap bertahan, tahap stabilisasi, orientasi pertumbuhan, pertumbuhan cepat dan tahap kemantapan (maturity). Dalam riset tersebut Eagers dan Leahy menemukan salah satu faktor perubahan dari suatu tahapan ke tahapan lainnya adalah kemampuan dan gaya kepemimpinan pengusaha. Lambing dan Kuehl (2003) lebih lanjut mengidentifikasi bahwa titik kritis permaslahan usaha dalam tahapan-tahapan tersebut yang memerlukan kemampuan dan kepemimpinan pengusaha adalah manajemen sumber daya manusia dan manajemen keuangan. Di sisi lain, kemampuan pengorganisasian usaha menjadi aspek penting konsep kewirausahaan itu sendiri. Dengan kata lain, perkembangan bisnis tidak dapat dilepaskan dari aspek kewirausahaan.

Merrill dan Sedgewick (1994), dalam studi mereka berhasil memberikan rekomendasi bagaimana mengelola skala perusahaan kepada para entrepreneur. Beberapa rekomendasi tersebut antara lain yaitu: a. Craftperson: rekomendasi ini berlaku bila wirausahawan tidak dapat

mempercayai orang lain, sehingga bentuk perusahaan pribadi menjadi bentuk pilihan perusahaannya. Kelemahan dalam kondisi ini adalah skala perusahaan tersebut sulit berubah menjadi skala perusahaan yang lebih besar.

b. Koordinator: Pendekatan ini dilakukan dengan metode outsourcing, sehingga dapat meminimumkan sumber daya dalam pengelolaan perusahaan.

c. Manajemen Klasik Kewirausahaan: Pendekatan ini dilakukan dengan cara wirausahawan mengelola perusahaan dengan mempekerjakan beberapa orang sebagai pegawainya dengan struktur organisasi tertentu.

d. Kewirausahaan tim: Konsep ini menggunakan upaya pendelegasian wewenang kepada partnernya dalam pengelolaan perusahaan.

Penjelasan teori di atas disebut juga pandangan tradisiopnal siklus hidup model perkembangan bisnis. Beer (1995) dan Garrick (1998) mengembangkan konsep tradisional perkembangan bisnis tersebut dalam konsep yang lebih modern. Beer (1995) membagi tahapan perkembangan bisnis yang berbeda dengan pandangan tradisional perkembangan bisnis dalam

Page 310: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 305

tahapan berikut ini:1) tahap keberlanjutan aktivitas usaha; 2) tahap pertumbuhan usaha; 3) tahap pengurangan usaha (retrenchment); 4) Tahap krisis usaha; 5) tahap “sekarat” dan 6) tahap kehancuran usaha.

Garrick (1998) dalam pendekatan yang lebih komprehensif membagi tahapan perkembangan bisnis dalam perspektif struktural dan kultural. Secara kultural perbedaan tahapan ditinjau dari pengelolaan organisasi perusahaan. Aspek kepemimpinan dan gaya manajemen perusahaan merupakan faktor penting dalam aspek kultural tersebut. Sementara dari aspek struktural ditinjau dari sistem oraganiasasi perusahaan apakah organisasi perusahaan tersebut bersifat hirarki atau terdesentralisasi. Secara detiil aspek tersebut diterangkan oleh Garrick dalam tabel berikut ini. Kultural

Supervisi dan Pengawasan

Komunikasi dan Kerjasama

Partisipasi dan Demokrasi

Stru

ktur

al

Hierarki Perusahaan Efisien Perusahaan Berkualitas

Desentralisasi Perusahaan Fleksibel

Perusahaan Inovatif

Gambar 2.1. Siklus Hidup Organisasi Perusahaan

Kewirausahaan dalam proses pemantapan perusahaannya melakukan

beberapa proses perkembangan berdasarkan konsep struktural dan kultural di atas. Proses menuju perusahaan yang inovatif dalam proses kewirausahaan memerlukan waktu yang cukup panjang dalam pencapaiannya. Sejalan dengan pengertian Lambing dan Kuehl tentang konsep kewirausahaan yang menekankan pola pembentukkan organisasi perusahaan dalam proses kewirausahaan, Garrick menekankan bahwa proses kewirausahaan harus sampai pada siklus akhir dalam perspektif struktural dan kultural perusahaan yaitu terbentuknya suatu perusahaan yang inovatif. Suatu perusahaan yang secara kultural, organisasi perusahaannya bersifat partisipasi dan demokrats serta secara struktural bersifat desentralistis.

Page 311: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 306

B.3. Kewirausahaan dan UMKM Dalam definisi modern tentang kewirausahaan tersebut, pembentukkan

suatu organisasi usaha baru dalam lingkup besar, menengah, kecil maupun mikro akan berasosiasi dengan kewirausahaan. Terbentuknya organisasi usaha baru berasal dari kewirausahaan yang dimiliki oleh pelaku ekonomi. UMKM merupakan orgnisasi yang dibentuk oleh semangat kewirusahaan pelaku ekonomi. Senada dengan itu, Audretsch dan Thurik (2001) juga melihat UMKM sebagai sarana aktualisasi kewirausahaan pelaku ekonomi.

Dalam perkembangan teori UMKM, jenis UMKM yang digunakan sebagai rujukan adalah UMKM yang outputnya merupakan barang konsumsi dan bahan baku pendukung industri. UMKM memiliki diferensiasi produk dibandingkan dengan industri besar. Oleh karena itu, secara alamiah UMKM mampu menciptakan ceruk pasar bagi mereka (Tambunan, 2006). Kondisi ini khonsisten dengan hipotesis bahwa UMKM merupakan sarana aktualisasi kewirausahaan.

Snaith dan Walker (2002) membedakan UMKM dengan usaha besar berdasarkan bentuk organisasi yang terdapat dalam perusahaan. Umumnya bentuk organisasi UMKM bersifat organis sementara bentuk organisasi usaha besar berbentuk mekanis. Perbedaan bentuk organisasi tersebut sejalan dengan studi yang dilakukan oleh Litterer (1973) yang membagi bentuk organisasi menjadi organisasi organis dan mekanis. Gibb (1991) dalam artikelnya membedakan UMKM dan usaha besar dengan sebutan entrepreneurial untuk UMKM dan corporist untuk usaha besar.

B.4. Teori Pertumbuhan Ekonomi Baru

Teori pertumbuhan ekonomi pertama kali dikembangkan oleh Robert Solow (1956). Solow mengidentifikasi bahwa sumber pertumbuhan ekonomi adalah faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi perusahaan besar. Faktor produksi tersebut adalah faktor produksi modal dan tenaga kerja. Meskipun demikian beberapa ahli ekonomi pertumbuhan modern menemukan bahwa faktor produksi tidak cukup menjelaskan fenomena pertumbuhan ekonomi. Ekonom penganut teori pertumbuhan ekonomi baru atau yang s dikenal dengan teori pertumbuhan ekonomi endogen seperti Romer (1986), Lucas (1988 dan 1993) dan Krugman (1991), menunjuk faktor penting pertumbuhan ekonomi suatu perekonomian adalah perekembangan

Page 312: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 307

pengetahuan. Pengetahuan diukur melalui banyakya temuan yang dipatenkan, pembangunan SDM dan terdapatnya penelitian dan pengembangan dalam perekonomian tersebut.

B.5. Teori Kewirausahaan dalam Teori Pertumbuhan Baru

Hubungan antara kewirausahaan dan pertumbuhan ekonomi merupakan konsep baru dalam perkembangan ilmu ekonomi. Setelah secara sistematis konsep kewirausahaan “terlupakan” dalam perkembangan teori ekonomi, revolusi teori pertumbuhan ekonomi baru mampu mengakomodasi peran ide dan pengetahuan yang inheren dalam konsep kewirausahaan sebagai salah satu faktor utama pertumbuhan ekonomi. Teori pertumbuhan ekonomi baru yang dikembangkan oleh Romer (1986, 1990) berhasil mengidentifikasi peran sentral pengetahuan dan efek multiplier pengetahuan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Globalisasi ekonomi mengubah keunggulan komparatif dari faktor produksi tradisional seperti tenaga kerja dan SDA kepada faktor ide dan pengetahuan. Berdasarkan teori ini muncul konsep ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge economy). Kualitas pengetahuan inheren terhadap beberapa faktor seperti ketidakpastian, informasi asimetris dan biaya transaksi yang tinggi.

Kewirausahaan akan mentransfer ide dan pengetahuan menjadi sesuatu yang komersial yang selanjutnya akan berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi. Meskipun demikian terdapat keterbatasan dalam mengukur dampak kewirausahaan terhadap pertumbuhan ekonomi. Untuk mengatasi permasalahan tersebut Audretsch dan Thurik (2001) dalam penelitiannya terhadap negara-negara OECD menggunakan dua pendekatan utama untuk mengukur dampak kewirausahaan terhadap pertumbuhan ekonomi. Setiap pendekatan menggunakan dua pendekatan yang berbeda dalam mengukur kewirausahaan. Pendekatan pertama menggunakan konsep kewriausahaan dalam bentuk sumbangan relatif aktivitas ekonomi UMKM terhadap aktivitas ekonomi secara keseluruhan. Pendekatan kedua menggunakan ukuran indeks relatif kewirausahaan terhadap penyerapan tenaga kerja baru. Kedua ukuran inilah yang selanjutnya digunakan sebagai indikator pengukuran dampak kewirausahaan terhadap pertumbuhan ekonomi.

Page 313: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 308

C. Metodologi Penelitian C.1. Penentuan Ukuran Kewirausahaan dalam Perekonomian

Sebagian besar ekonom berpendapat bahwa pengukuran kewirausahaan dalam perekonomian merupakan hal yang sulit dilakukan (Storey, 1991). Meskipun demikian, OECD mengembangkan pengukuran kewirausahaan dengan beberapa pendekatan dalam perspektif data internasional. Sejalan dengan itu, penelitian ini juga berusaha memberikan alternatif pengukuran kewirausahaan dengan tetap memperhatikan beberapa aspek antara lain: 1) Ketercakupan; 2) kesederhanaan dan kemudahan; 3) kelayakan dan 4) dapat dibandingkan antar satu dengan yang lain (Briguglio dkk., 2006). C.2. Pendekatan Tingkat Aktivitas Kewirausahaan

OECD menggunakan rasio antara kepemilikan bisnis per jumlah tenaga kerja (tanpa sektor pertanian) sebagai salah satu pendekatan penyusunan indikator kewirusahaan. Rasio ini selanjutnya sebagai tingkat kewirausahaan. Indikator ini selanjutnya akan digunakan sebagai indikator tingkat aktivitas kewiraushaan di Subosukawonosraten. Meskipun telah memenuhi 4 syarat di atas, indikator ini tetap mengandung beberapa kelemahan. Audretsch dan Thurik (2001) mengidentifikasi kelemahan tersebut antara lain: 1) Asumsi dalam pengukuran ini memberlakukan seluruh sektor usaha sama rata, 2) Ukuran ini merupakan ukuran stok. Meskipun demikian Storey (1991) berargumen bahwa pendekatan ini merupakan salah satu alternatif pendekatan aktivitas wirausaha. Pendekatan ini selanjutnya akan digunakan oleh para ekonom penganut teori ekonomi baru sebagai salah satu tolok ukur terjadinya spillover ide dalam perekonomian melalui pembentukan usaha baru.

Ukuran tingkat kewirausahaan dikembangkan oleh beberapa ahli seperti yang tersebut di atas. Meskipun demikian terdapat beberapa cara mengidentifikasi tingkat kewirausahaan dalam suatu perekonomian. Studi yang dilakukan oleh Thurilk dan Verheul (2002) menghitung tingkat kewirausahaan berdasarkan angka rasio dalam persen antara jumlah kepemilikan bisnis terhadap jumlah tenaga kerja. Studi yang dilakukan oleh Thurik dan Verheul mengidentifikasikan tingkat kewirausahaan pada beberapa negara OECD seperti Spanyol, Amerika Serikat, Prancis, Belanda dan Jerman. Gambar di bawah ini menunjukkan tingkat kewiruausahaan di beberapa negara OECD tersebut.

Page 314: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 309

Gambar 4

Grafik Tingkat Kewirausahaan di Beberapa Negara OECD Meskipun penghitungan yang dilakukan oleh Thurik dan Verheul (2002) tersebut berhasil mengidentifikasi tingkat kewirausahaan, namun terdapat beberapa kelemahan yang coba diperbaiki dalam penelitian ini. Kelemahan mendasar dalam perhitungan tersebut adalah tidak membedakan secara spesifik antara tngkat kepemilikan usaha besar dan usaha kecil. Kondisi tersebut dapat dimaklumi karena aksesibilitas modal di negara-negara OECD terhadap usaha baru tidak sesulit jika terjadi di negara-negara berkembang. Kelemahan lain dari studi tersebut adalah tidak memasukkan perbedaan jumlah tenaga kerja pada masing-masing sektor usaha. Hal tersebut juga dapat dipahami karena faktor sektor usaha di negara maju khsusnya OECD relatif homogen dan cenderung berada pada sektor usaha industri. Kelemahan berikutnya dalam pendekatan tersebut adalah Thurik dan Verheul tidak memasukkan konsep keseimbangan umum pembentukkan suatu bisnis baru yang endogen dalam perekonomian dalam perhitungan ukuran tingkat kewirausahaan.

Page 315: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 310

Definisi kewirausahaan tidak membedakan antara usaha besar dan usaha kecil namun di negara berkembang seperti di Indonesia, tingkat kewirausahaan di negara berkembang seperti di Indonesia akan lebih tepat jika dasar asumsi perhitungannya disasar pada sektor industri kecil atau UMKM. Proses kreatifitas untuk membentuk organisasi bisnis lebih efektif jika diukur dengan dasar asumsi pada sektor UMKM. Banyaknya tantangan seperti rendahnya aksesibilitas modal dan beberapa hambatan biaya tinggi merupakan faktor tantangan tersendiri yang membuat proses kreatif dalam membuat organisasi bisnis yang baru relatif lebih sulit dibandingkan jika memulai membuat organisasi bisnis besar. Untuk menangkap fenomena serupa yang terjadi pada industri besar, studi ini coba menerangkannya dengan cara memisahkan antara industri kecil dan besar.

C.3. Estimasi dampak Kewirausahaan terhadap Perekonomian Daerah

Estimasi hubungan antara kewirausahaan terhadap pertumbuhan ekonomi dikembangkan pertama kali oleh Audretsch, Carree, van Steel dan Thurik (2000). Dalam penelitian tersebut dibangun sebuah assumsi penting berdasarkan teori pertumbuhan ekonomi baru serta teori struktur industri optimal yang dikembangkan oleh Viner (1932), Kaldor (1934) dan Lucas (1978). Efek pengganda pengetahuan yang disumbangkan oleh kewirausahaan merupakan deviasi dari suatu struktur industri yang optimal. Dalam suatu tingkat industri yang optimal dikontribusika juga oleh jumlah tingkat kewirausahaan yang optimal. Audretsch dan Thurik (2001) kemudian mendefiniskan deviasi antara tingkat kewirausahaan dari tingkat kewirausahaan yang optimal merupakan ukuran tingkat kewirausahaan suatu perekonomian.

Berbeda dengan metode yang dilakukan oleh Audretsch dan Thurik (2001), penelitian ini berusaha mengkuantifikasi variabel kewirausahaan berdasarkan definisi kewirausahaan yang dikenal saat ini. Guna memperoleh model tersebut penelitian ini tetap mendasarkan pada fungsi produksi neoklasik untuk menjaga konsistensi logika ilmu ekonomi dalam pengukuran dan estimasi variabel kewirausahaan dalam suatu model ilmu ekonomi. Lebih lanjut metode dan cara penelitian akan dijelaskan pada bagian lainnya.

Model estimasi yang digunakan menggunakan fungsi produksi agregat. Fungsi produksi agregat mengasumsikan bahwa dalam perekonomian terdapat dua jenis industri yaitu industri besar dan industri kecil. Dengan tujuan untuk

Page 316: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 311

simplifikasi diasumsikan bahwa teknologi serta peran tenaga kerja dan modal dalam perekonomian adalah identik antara UMKM dan industri besar. Situasi ini ditunjukkan oleh persamaan berikut ini:

( ) ( ) ( )1 1, , ,, ,

1b kb ki t i t i ti t i t

Y K AL K ALβ ββ βα α− −= + − ............ (1)

Yi,t adalah output perekonomian yang disumbangkan oleh industri besar dan sedang dengan kontribusi sebesar α dan kontribusi industri kecil dan UMKM sebesar (1- α). Teknologi (A) serta tenaga kerja (L) dan perannya dalam perekonomian sebesar (β) juga modal (K) dan perannya dalam fungsi produksi sebesar (1-β).

Guna mengadopsi definisi kewirausahaan sebagai variabel ekonomi yang terukur model di atas disesuaikan sebagai berikut:

( ) ( )1 1, , ,, ,

1 1

n nb kb k

z t i t i ti t i ti i

Y K AL K ALβ ββ β− −

= =

= +∑ ∑ ............ (2)

Tanda pangkat b merupakan representasi industri menengah dan besar sedangkan tanda pangkat k merupakan representasi industri kecil. Sehingga output dalam perekonomian daerah z merupakan penjumlahan dari output yang dihasilkan seluruh industri besar/sedang dan seluruh industri kecil/UMKM. Sifat perusahaan besar/sedang dan kecil/UMKM adalah stok perusahaan pada waktu t. Dengan mengurangi dengan Yz,t-1 maka diperoleh persamaan sebagai berikut

( ) ( )1 1, , ,, ,

1 1

n nb kb k

z t i t i ti t i ti i

dY d K AL d K ALβ ββ β− −

= =

= +∑ ∑ ............ (3)

Berdasarkan definisi kewirausahaan di atas, dinyatakan bahwa kewirausahaan adalah suatu kegiatan pembentukkan organisasi usaha baru dalam lingkup besar, menengah, kecil maupun mikro. Kegiatan pembentukkan usaha diukur melalui selisih jumlah perusahaan pada t terhadap jumlah perusahaan pada t-1. Kondisi ini selanjutnya diidentifikasi sebagai variabel kewirausahaan. Berdasarkan situasi ini maka akan dperoleh model estimasi yang ditunjukkan dalam persamaan berikut.

,z t b kdY E Eχ γ δ= + + ............ (4)

dimana ( ) 1, ,

1

nbb

b i t i ti

E d K AL ββ −

=

= ∑ dan ( ) 1, ,

1

nkk

k i t i ti

E d K AL ββ −

=

= ∑

Page 317: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 312

Estimasi persamaan model di atas dilakukan secara empiris dengan pendekatan kontinyu

, , ,ln ln lni t i t b k i tPDB D E Eα γ δ ε= + + + ............ (5)

,ln i td PDB = Produk Domestik Bruto dalam logaritma natural

tD = dummy krisis

kE = tingkat kewirausahaan industri kecil/UMKM (logaritma

natural)

bE = tingkat kewirausahaan industri besar/sedang (logaritma natural)

ti ,ε = eror

Variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini merupakan

hasil perhitungan berdasarkan indikator kewirausahaan melalui dua pendekatan teori di atas. Untuk memperkuat analisis, penelitian ini menggunakan pendekatan analisis regresi panel data sebagai teknik analisisnya. Dalam analisis panel data untuk daerah Subosukawonosraten variabel dummy (boneka) krisis digunakan untuk menyelidiki apakah terjadi perbedaan secara signifikan pada masa sebelum dan sesudah krisis. Selain itu, dalam panel data digunakan metode Seemingly Unrelated Regression dalam menganalisis panel data dengan fixed effect. Penggunaan pendekatan fixed effect bertujuan untuk melihat perbedaan karakteristik setiap propinsi di Indonesia. Metode SUR digunakan mengingat terdapat hubungan yang erat antara pertumbuhan ekonomi di daerah Subosukawonosraten.

C.4. Variabel dan Lingkup Data Penelitian

Lingkup data pada penelitian ini mencakup eks-keresidenan Surakarta yang terdiri dari enam kabupaten dan kota. Variabel penelitian ini menggunakan data dua indikator kewirausahaan berdasar pada dua pendekatan teori yaitu pendekatan teori UMKM dan toeri pertumbuhan ekonomi baru. Variabel pertumbuhan ekonomi didekati dengan pertumbuhan PDRB di setiap kabupaten/kota. Rentang waktu penelitian ini adalah 1980-2005. Meskipun demikian terdapat ketidaksamaan dalam keterseidaan data pada beberapa daerah

Page 318: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 313

di Surakarta, Sukoharjo, Klaten, Karanganyar, Boyolali dan Sragen atau Subosukasraten. Dalam rangka penyelesaian penelitian berikut ini diberikan kerangka kerja penelitian ini.

D. Analisis D.1. Perkembangan UMKM di Subosukasraten

Secara umum seiring dengan transformasi sektor industri yang terjadi dalam perekonomian Subosukawonosraten pada awal tahun 1990-an, Perkembangan jumlah perusahaan baik kategori industri besar maupun kecil di Subosukawonosraten meningkat cukup signifikan. Khusus pada sektor industri kecil, seiring dukungan kredit pemerintah terhadap industri kecil serta diberlakukannya UU No.9/1995 tentang industri kecil; perkembangan industri kecil menunjukkan peningkatan yang signifikan. Hal tersebut ditunjukkan oleh gambar di bawah ini.

Gambar 1

Grafik Perkembangan Industri Kecil di Subosukasraten Secara kuantitas, usaha kecil di Kabupaten Klaten dominan

dibandingkan dengan kuantitas usaha kecil di kabupaten/kota lainnya. Meskipun demikian penambahan jumlah industri kcil di Kabupaten Klaten

0

5000

10000

15000

20000

25000

30000

35000

40000

1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005

Ind Kecil BoyolaliInd Kecil SkhInd Kecil SurakartaInd Kecil KaranganyaInd Kecil SragenInd Kecil Klaten

Page 319: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 314

relatif rendah dibandingkan dengan Kabupaten Sukoharjo. Terjadi peningkatan pesat jumlah UMKM di Kabupaten Sukoharjo. Sementara perkembangan UMKM di Kota Surakarta selama kurun waktu tersebut cenderung stagnan, meskipun jika dilihat dari tren perkembangannya masih berada dalam leel yang positif. Gambar 1 menjelaskan secara detiil perkembangan UMKM di wilayah Subosukasraten. D.2. Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja UMKM di Subsukasraten

Secara umum sektor UMKM merupakan sektor yang menyerap tenaga kerja lebih banyak dibandingkan dengan sektor industri besar. Namun, kemampuan penyerapan sektor UMKM terhadap tenaga kerja di daerah yang memiliki struktur industri besar maju seperti di Kabupaten Sukoharjo, Karanganyar dan Boyolali relatif seimbang jika dibandingkan dengan daerah lainnya. Ilustrasi singkat digambarkan oleh dua kabupaten berikut ini yaitu Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Sragen. Gambaran tersebut ditunjukkan oleh grafik-grafik berikut ini.

Gambar 2

Penyerapan Tenaga Kerja Industri Besar dan UMKM di Kabupaten Sukoharjo

0%

20%

40%

60%

80%

100%

1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005

Industri BesarUMKM

Page 320: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 315

Gambaran grafik pada gambar 4.5 di atas menunjukkan bahwa peran sektor UMKM dalam penyerapan tenaga kerja di Kabupaten Sukoharjo relatif seimbang dengan kecenderungan dominasi sektor UMKM dibandingkan sektor industri besar. Lebih dari 50 persen tenaga kerja yang bergerak di sektor industri bekerja pada perusahaan UMKM. Kecenderungan ini menggambarkan peran penting sektor UMKM terhadap pembangunan ekonomi suatu daerah utamanya dalam aspek penyerapan tenaga kerja.

Gambar 3

Penyerapan Tenaga Kerja Industri Besar dan UMKM di Kabupaten Sragen

Penyerapan tenaga kerja di Kabupaten Sregen menunjukkan kondisi yang lebih ekstrim. Sebagain besar tenaga kerja yang berada di sektor industri di Kabupaten Sragen berada di sektor UMKM. Setidaknya rata-rata sekitar 80,92 persen tenaga kerja bergerak di sektor UMKM sementara sisanya atau kurang lebih sekitar 19,08 persen tenaga kerja bergerak di sektor industri.

Tidak berbeda dengan dua daerah di atas, jumlah tenaga kerja yang bergerak di sektor UMKM di Kabupaten Klaten adalah mayoritas dari jumlah tenaga kerja yang bergerak di sektor industri. Rata-rata persentase dari tenaga kerja yang bergerak di sektor industri besar hanya terdapat sekitar 10 persen dari tenaga kerja yang bergerak di sektor UMKM. Kondisi yang ditunjukkan secara detiil pada tabel di bawah ini tidak dapat dilepaskan dari basis perekonomian Klaten terutama dalam sektor industrinya yang didimonasi oleh industri kecil atau UMKM.

0% 50% 100%

1995

1996

1997

1998

1999

2000

2001

2002

2003

2004

UM KMIndustri Besar

Page 321: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 316

D.3. Ukuran Tingkat Kewirausahaan D.3.1. Ukuran Kewirausahaan Pendekatan Kreativitas (Thurik dan Verheul, 2002)

Terdapat dua pendekatan dalam merespon kelemahan penelitian yang dilakukan oleh Thurik dan Verheul. Pendekatan tersebut adalah memisahkan

industri besar dengan industri kecil selanjutnya menghitung tingkat keseimbangan umum proses penciptaan usaha baru dengan menggunakan

metodologi Hoddrick-Presscot. Konsep tingkat keseimbangan umum dalam hal ini serupa dengan tingkat full-employment pada ilmu ekonomi. Pada titik

keseimbangan umum pembentukkan usaha baru merupakan jumlah sektor usaha baru yang terbentuk endogen oleh perekonomian, sehingga tidak diperlukan upaya kreatif dalam membentuk suatu organisasi bisnis baru. Merujuk pada konsep bahwa kewirausahaan adalah suatu upaya kreatif membentuk unit organisasi bisnis baru, maka indikator kewirausahaan dalam peneltitian ini

diperoleh melalui deviasi antara jumlah sektor usaha besar dan UMKM terhadap keseimbangan umumnya. Penghitungan tingkat kewirausahaan pada

usaha besar di Subosukawonosraten ditunjukkan oleh gambar berikut ini.

Gambar 4

Grafik Tingkat Kewirausahaan Aktual dan Tingkat Keseimbangan Kewirausahaan Industri Besar di Subosukasraten

-12

-8

-4

0

4

8

12

1994 1996 1998 2000 2002 2004

ACTIBBOY

-4

-3

-2

-1

0

1

2

3

4

1994 1996 1998 2000 2002 2004

ACTIBSRG

-40

-30

-20

-10

0

10

20

30

40

1994 1996 1998 2000 2002 2004

ACTIBSKH

-40

-20

0

20

40

60

80

100

1994 1996 1998 2000 2002 2004

ACTIBSKA

-4000

-2000

0

2000

4000

6000

8000

10000

1994 1996 1998 2000 2002 2004

ACTIBKRA

-150

-100

-50

0

50

100

150

1994 1996 1998 2000 2002 2004

ACTIBKLT

110

112

114

116

118

120

122

124

126

1994 1996 1998 2000 2002 2004

IBBOYHP

40

80

120

160

200

240

1994 1996 1998 2000 2002 2004

IBKLTHP

-1000

0

1000

2000

3000

4000

5000

1994 1996 1998 2000 2002 2004

IBKRAHP

0

20

40

60

80

100

120

1994 1996 1998 2000 2002 2004

IBSKAHP

0

40

80

120

160

200

1994 1996 1998 2000 2002 2004

IBSKHHP

0

2

4

6

8

10

12

14

1994 1996 1998 2000 2002 2004

IBSRGHP

Page 322: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 317

Kondisi di atas meununjukkan bahwa tingkat kewirausahaan pada industri besar masih relatif rendah. Untuk kasus Boyolali misalnya selama kurun waktu penelitian hanya terdapat tambaha sekitar 10 perusahaan besar setiap tahunnya. Hal tersebut belum optimal jika dibandingkan dengan kemampuan perekonomian Boyolali dalam mengabsorbsi jumlah perusahaan besar dalam keseimbangan umum perusahaan industri besar yang mencapai kisaran 90-100 perusahaan per tahun. Fenomena menarik lain juga terjadi di Kabupaten Klaten. Keseimbangan umum Perusahaan besar pada Kabupaten ini berada dalam kondisi deminishing. Kondisi serupa juga terjadi pada jumlah aktual perusahaan besar yang semakin lama semakin menurun.

Kondisi di Surakarta pun setali tiga uang dengan Kabupaten Boyolali. Sementara kondisi serupa dengan Kabupaten Klaten terjadi di Kabupaten Sragen. Di Kabupaten Sragen terjadi fenomena deminishing pada tren industri besar. Meskipun demikian fenomena deminishing pada industri besar di Kabupaten Sragen masih dalam tahap awal. Dalam kondisi ini dapat dijelaskan telah ada potensi kejenuhan industri besar untuk melakukan ekspansi usaha baru di Kabupaten Sragen. Fenoneman postif dalam keseimbangan umum industri besar dalam gambar grafik di atas hanya terjadi di Kabupaten Karanganyar. Posisi keseimbangan umum absorbsi industri besar dalam perekonomian menggambarkan tren positif dan berpotensi naik terus. Namun secara aktual tren positif tersebut belum dapat direspon secara optimal oleh perekonomian Kabupaten Karanganyar. Fluktuasi perkembangan aktual industri besar menunjukkan hal tersebut.

Sementara itu pada sektor UMKM terjadi fenomena yang berbeda jika dibandingkan dengan yang terjadi pada sektor usaha besar. Di sektor UMKM hanya Kabupaten Klaten yang memiliki fenomena yang menurun. Keseimbangan umum perkembangan UMKM di Kabupaten Boyolali memiliki tren positif yang diikuti dengan tren kenaikan aktual jumlah UMKM di Kabupaten Boyolali. Kondisi tersebut juga terjadi di Kota Surakarta dan Kabupaten Sukoharjo. Keseimbangan umum dalam perekonomian masih memungkinkan secara endogen meningkatnya potensi kewirausahaan angkatan kerja melalui pendirian organisasi bisnis baru. Hal positif tersebut juga diikuti dengan kondisi aktualnya. Kondisi aktual jumlah peningkatan UMKM baru juga merespon positif potensi peningkatan kewirausahaan pada kondisi

Page 323: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 318

keseimbangan umum tersebut tersebut. Respon positif tersebut ditunjukkan oleh tingkat perkembangan UMKM di kedua daerah tersebut.

Khusus untuk Kabupaten Sragen dan Karanganyar gambaran kondisi keseimbangan umum menunjukkan potensi deminishing pada tingkat kewirausahaan pada UMKM di dua Kabupaten tersebut. Namun kondisi tersebut masih belum terjadi seiring dengan kondisi perkembangan yang memiliki kecenderungan stagnan dalam data kondisi UMKM aktual di kedua Kabupaten tersebut. Di sisi lain kondisi ini menggambarkan bahwa tingkat kewirausahaan di kedua Kabupaten tersebut telah berada dalam tahap yang full-employement. Secara detiil gambaran kondisi tersebut ditunjukkan oleh grafikdi Gbr. 5.

D.3.2. Ukuran Kewirausahaan Pembentukan Usaha Baru Pembentukan usaha baru bervariasi pada setiap daerah di daerah Subosukasraten. Terdapat pola yang berbeda pada kasus industri besar dan sedang dengan industri kecil/UMKM. Pada kasus UMKM setelah krisis tingkat kewirausahaan yang ditunjukkan oleh penambahan usaha baru menunjukkan variasi yang relatif tinggi. Secara umum, tingkat kewirausahaan sebagian besar daerah tersebut memiliki pola dengan tren yang menurun. Pasca krisis ekonomi tahun 1998 tingkat kewirausahaan di daerah-daerah tersebut sangat tinggi, namun pada tahun-tahun berikutnya pola tingkat kewirausahaan berada dalam tren menurun seakan konvergen menuju suatu titik keseimbangan. Pola rata-rata setiap daerah pun menunjukkan hal yang sama. Secara rata-rata di daerah Subosukasraten tingkat kewirausahaan pada jenis industri kecil dan UMKM mengalami penurunan dan menuju suatu titik keseimbangan. Proses krisis ekonomi pada tahun 1998 sampai dengan era pemulihan krisis ekonomi pada tahun 2000 tingkat kewirausahaan di daerah-daerah tersebut masih cukup tinggi, namun kondisi tersebut semakin menurun pada tahun 2001 sampai dengan tahun 2005. Secara detiil grafik tingkat kewirausahaan di Subosukasraten ditunjukkan dalam grafik pada Gbr. 6

Page 324: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 319

0

10000

20000

30000

40000

1994 1996 1998 2000 2002 2004

ACTIKKLT IKKLT

-1000

0

1000

2000

3000

4000

5000

6000

1994 1996 1998 2000 2002 2004

ACTIKSKA IKSKA

0

4000

8000

12000

16000

20000

1994 1996 1998 2000 2002 2004

ACTIKSRG IKSRG

Gambar 5

Grafik Tingkat Kewirausahaan Aktual dan Tingkat Keseimbangan Kewirausahaan UMKM di Subosukasraten

-2000

0

2000

4000

6000

8000

10000

12000

1994 1996 1998 2000 2002 2004

ACTIKBOY IKBOY

0

4000

8000

12000

16000

20000

1994 1996 1998 2000 2002 2004

ACTIKKRA IKKRA

-4000

0

4000

8000

12000

16000

20000

1994 1996 1998 2000 2002 2004

ACTIKSKH IKSKH

Page 325: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 320

Gambar 6

Grafik Tingkat Kewirausahaan Aktual Industri Kecil/UMKM di Subosukasraten Berbeda dengan industri kecil/UMKM pada industri besar/sedang,

tingkat kewirausahaan di jenis industri ini berada dalam pola yang stagnan dengan variasi meningkat yang terjadi di kota Surakarta, Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Sukoharjo. Sementara itu, di daerah lain seperti Kabupaten Boyolali, Kabupaten Sragen dan Kabupaten Klaten pola dengan tren stagnan dan menurun sangat mendominasi. Kabupaten Boyolali adalah daerah dengan tren penurunan tingkat kewirausahaan yang cukup signifikan. Di sisi lain, kabupaten Sragen dan kabupaten Klaten memiliki tingkat kewirausahaan yang stagnan dari waktu ke waktu. Secara umum kondisi ini ditunjukkan oleh grafik berikut ini.

-60

-40

-20

0 20 40 60 80

100 120 140

1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005

Boyolali SukoharjoSurakarta Karanganyar Sragen KlatenRata-rata Subosukasraten

Page 326: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 321

Gambar 7

Grafik Tingkat Kewirausahaan Aktual Industri Besar di Subosukasraten D.4. Estimasi Pengaruh Kewirausahaan terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah D.4.1. Tingkat Kewirausahaan Pendekatan Kreativitas

Hasil estimasi dampak kewirausahaan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di Subosukasraten menggunakan metode panel data tidak seimbang menunjukkan bahwa tingkat kewirausahaan pada industri kecil di Subosukasraten berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut. Faktor krisis ekonomi yang dimasukkan sebagai variabel boneka menunjukkan bahwa faktor krisis ekonomi pada tahun 1998 secara struktural telah mengubah kondisi kinerja UMKM di Subosukawonosraten. Secara umum 1 persen tingkat kewirausahaan dalam suatu daerah dapat ditingkatkan oleh pemerintah daerah setempat akan berdampak peningkatan pertumbuhan ekonomi sampai dengan 0.33 persen. Tingkat pertumbuhan ekonomi sebesar

-80 -60

-40 -20

0 20

40 60

80 100

1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005

Boyolali SukoharjoSurakarta KaranganyarSragen KlatenRata-rata Subosukasraten

Page 327: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 322

0,33 persen tersebut bersifat endogen dalam mendukung pertumbuhan ekonomi nominal aktual di Subosukasraten.

Kondisi sebaliknya terjadi pada sektor industri besar, peningkatan kewirausahaan pada industri besar tidak memiliki pengaruh pada peningkatan perekonomian Subosukawonosraten. Kondisi ini, tidak berarti secara nominal dalam pertumbuhan ekonomi tidak disumbangkan oleh industri besar, hanya saja kewirausahaan yang dikreasi oleh pengusaha industri besar tidak berdampak terhadap peningkatan potensi endogen pertumbuhan ekonomi di Subosukawonosraten. Hasil regresi dengan menggunakan metode fixed menunjukkan hasil estimasi tersebut.

Gambaran ini menunjukkan telah terdapat pondasi yang cukup kokoh dalam konsep pengembangan ekonomi kreatif di Subosukawonosraten. Meskipun demikian motor terbesar ekonomi kreatif atau entepreneural economy yang terjadi di Suboukawonosraten lebih banyak disumbangkan oleh sektor UMKM. Sebagian besar inovasi dalam pertumbuhan ekonomi di Subosukawonosraten sebagian besar disumbangkan oleh sektor UMKM. Di sisi lain, pengembangan industri besar yang terjadi di Subosukawonosraten masih memiliki inovasi yang lemah dibandingkan dengan sektor UMKM dalam mendorong pertumbuhan ekonomi secara endogen. Hasil estimasi persamaan (2) di atas ditunjukkan oleh data berikut ini.

Tabel 4 Data Estimasi Panel Data Tidak Seimbang Tingkat Kewirausahaan

terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Subosukasraten (Model Fixed Effect) Dependent Variable: LOG(GDP?) Method: Seemingly Unrelated Regression Total panel (unbalanced) observations: 56 Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. LOG(ACTIK?) 0.332267 0.046339 7.170295 0.0000 LOG(ACTIB?) -0.01489 0.018655 -0.798338 0.4322 DKRIS? 0.654247 0.07858 8.32588 0.0000 Fixed Effects BOY--C 11.40891 SKH--C 11.59601 SKA--C 12.01692 KRA--C 11.27194 SRG--C 10.71524 KLT--C 11.04377 R-squared 0.860473 Mean dependent var 14.51712

Page 328: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 323

Adjusted R-squared 0.815825 S.D. dependent var 0.553254 S.E. of regression 0.237433 Sum squared resid 1.409356 Durbin-Watson stat 1.348834

D.4.2. Tingkat Kewirausahaan Pendekatan Pembentukkan Usaha Baru Jika menggunakan pendekatan pembentukkan usaha baru sebagai tingkat kewirausahaan makan hanya variabel industri besar yang berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi di daerah Subosukasraten. Dengan menggunakan uji satu sisi positif dengan meyakini teori bahwa perkembangan industri akan berpengaruh postif terhadap pertumbuhan ekonomi maka pengaruh pertumbuhan industri kecil dapat diabaikan pengaruhnya dalam regresi ini. Oleh karena itu, hanya tingkat kewirausahaan industri besar yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di Subosukasraten. Dalam hal besaran (magnitude) pengaruh pertumbuhan industri besar terhadap pertumbuhan ekonomi mencapai 0,07 persen. Dalam hal ini, jika tingkat kewirausahaan di Industri besar meningkat sebesar 1 persen maka pertumbuhan ekonomi di keenam daerah tersebut akan meningkat sebesar 0,07 persen. Sementara itu, tingkat potensi pertumbuhan ekonomi tanpa tingkat kewirausahaan baik pada industri kecil/UMKM maupun industri besar/sedang secara rata-rata mencapai 14,22 persen. Secara detiil tabel 5 menggambarkan kondisi tersebut E. Kesimpulan

Secara umum, penelitian ini menghasilkan suatu fakta yang mendukung teori dan beberapa penelitian terdahulu seperti menunjukkan peran penting kewirausahaan terhadap pembangunan ekonomi daerah khususnya pertumbuhan ekonomi di daerah Subosukasraten. Selain temuan umum di atas, beberapa temuan khusus yang diperoleh melalui proses penelitian yang panjang ini adalah penggunaan suatu indikator nominal kewirausahaan dalam suatu analisis ekonomi. Indikator kewirausahaan dalam penelitian ini merupakan hasil inovasi yang dapat digunakan sebagai pendekatan alternatif dalam penyusunan indikator kewirausahaan berdasarkan basis data sekunder seperti yang telah dilakukan sebelumnya oleh Thurik dan Verheul (2002).

Indikator kewirausahaan yang digunakan dalam penelitian ini, pemisahan antara tingkat kewirausahaan pada industri besar dan kecil serta pengukuran yang menggunakan deviasi antara keseimbangan umum perkembangan usaha besar dan usaha kecil adalah beberapa inovasi sederhana dalam melakukan pengukuran terhadap tingkat kewirausahaan. Subosukasraten memiliki potensi

Page 329: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 324

ekonomi kreatif atau entepreneural economy yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi secara endogen dalam eksisiting struktur perekonomian saat ini.

Tabel 5 Data Estimasi Panel Data Tidak Seimbang Tingkat Kewirausahaan

terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Subosukasraten (Model Fixed Effect) Dependent Variable: LOG(GDP?)

Method: Seemingly Unrelated Regression Total panel (unbalanced) observations: 56

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

LOG(EK?) -0.03521 0.008151 -4.319918 0.0001 LOG(EB?) 0.073834 0.019668 3.753982 0.0005 DKRIS? 0.791894 0.098054 8.076073 0.0000 Fixed Effects BOY--C 14.21188 SKH--C 14.22073 SKA--C 14.3482 KRA--C 14.2332 SRG--C 14.01378 KLT--C 14.30443 R-squared 0.690887 Mean dependent var 14.82365 Adjusted R-squared 0.638272 S.D. dependent var 0.445396 S.E. of regression 0.267878 Sum squared resid 3.37266 Durbin-Watson stat 1.391669

Page 330: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 325

Daftar Pustaka

Acs, Z.J., D.B. Audretsch and M.P. Feldman (1992), “Real Effects of Academic Research”, American Economic Review, 82(1), pp. 363-367.

Anderson, Dennis, (1982), “Small-Scale Industry in Developing Countries: A discussion of the Issues” World Development

Audretsch, D., dan A.R. Thurik (2001), “Linking Entrepreneurship to Growth”, Organisation For Economic Co-operation dan Development

Audretsch, D., W. Baumol and A. Burke (2001), “Competition Policy in Dynamic Markets”, International Journal of Industrial Organization, 19(5), pp. 613-634.

Audretsch, D.B., M.A. Carree, A.J. van Stel and A.R. Thurik (2000), “Impeded Industrial Restructuring: The Growth Penalty”, Centre for Economic and Policy Research Discussion Paper

Briguglio, Lino. dkk. (2006), “Conceptualizing and Measuring Economic Resilience” Department of Economics University of Malta:Working Papers

Chandler, A.D. Jr. (1990), Scale and Scope: The Dynamics of Industrial Capitalism, Harvard University, Cambridge.

Dosi, G. (1988), “Sources, Procedures and Microeconomic Effects of Innovations”, Journal of Economic Literature 26, pp. 1120-1171.

Hoselitz, B.F. (1979), “Small Industry in Underdeveloped Countries” Journal of Economic History”, 19(1) (Reprinted in Ian Livingston (ed), Development Economics Policy: Readings, George Allen an Unwin)

Kaldor, N. (1934), “The Equilibrium of the Firm”, Economic Journal 44, March, pp. 60-76

Krugman, P. (1991), Geography and Trade, MIT Press, Cambridge. Loveman, G. and W. Sengenberger (1991), “The Re-emergence of Small-scale

Production: An International Comparison”, Small Business Economics 3, pp. 1-37.

Lambing, Peggy.A. Kuehl, Charles, R. (2003), “Entrpreneurship”. Prentice Hall: New Jersey

Lucas, R.E. (1978), “On the Size Distribution of Business Firms”, Bell Journal of Economics 9,pp. 508-523

Page 331: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 326

Menegkop & UKM (2001), “Statistik Pengusaha Kecil dan Menengah Tahun 2001”

Penandiker, Pai. D.H, (1996), “Status of SMEs in terms of their competitive strength” paper presented for the IX International Conference on Small and Medium Enterprises, New Delhi, 17-19 April WASME.

Piore, Michael J.dan Charles F Sobel, (1984), “The Second Industrial Divide”Basic Book, New York

Postigo, Sergio, (2004), “Fostering Entrepreneurship in Crisis Context: The Case of Argentina” Working Papers of Karel Steuer Chair of Entrperenesurship Universidad de San Andres

Reynolds, Paul D., David J. Storey and Paul Westhead (1994), “Cross National Comparison of the Variation on the New Firm Formation Rates”, Regional Studies 27, pp. 443-456

Romer, Paul M. (1986), “Increasing Return and Long-Run Growth”, Journal of Political Economy 94

Romer, Paul M. (1990), “Endogenous Technological Change”, Journal of Political Economy 98, pp. 71-101.

Schumpeter, J.A. (1934), “The Theory of Economic Development”. Cambridge, MA: Harvard Press

Scherer, F.M. and D. Ross (1990), Industrial Market Structure and Economic Performance, Houghton Mifflin Company, Boston, MA.

Tambunan, Tulus TH. (2006), “Development of Small & Medium Enterprises in Indonesia from the Asia-Pasific Perspective”

Viner, Jacob (1932), “Cost Curves and Supply Curves”, Zeitschrift fur Nationaloekonomie 3, pp. 23-46.

Wennekers, S. dan A.R. Thurik (1999), “Linking Entrepreneurship and Economic Growth”, Small Business Economics 13, pp. 27-55

Page 332: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 327

KETEGARAN UPAH NOMINAL PEKERJA PRODUKSI DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

Studi Kasus: Industri Kimia di Indonesia 1997-2005

Joko Susanto∗

Abstract This research analysis the nominal wage rigidity for the case of production workers in Indonesian chemical industries and analysis the factor that influence this rigidity by utilizing panel data for the period 1997-2005. The statistical data form BPS is used in this research. Making use of the condition that the employers who try to maximize their profit will pay a nominal wage as high as the marginal value product of labor, the first regression function is developed. This function regress nominal wage on the workers` productivity. The first regression function is estimated by GMM (Generalized Method of Moment) estimation method and common effects specification. Furthermore, the second function regress the downward nominal wage rigidity on the workers’ productivity, price of output, bill of worker union, and provincial minimum wage by sector. This function is estimated by logit method. The results of this study show that the nominal base wage of the production worker is rigid. The decreasing productivity of the workers does not lower the nominal base wage of the production workers. On the other hand, the nominal wage of the production workers is not rigid. The increasing of workers productivity and price of output lower the odds of the nominal wage decreasing, meanwhile the bill of worker union, and provincial minimum wage by sector don’t have impact.

Key words: worker’s productivity, nominal base wage, nominal total wage, production workers.

∗ Mahasiswa Program Doktor Ilmu-ilmu Ekonomi Program Studi Ilmu Ekonomi FEB UGM Yogyakarta dan staf pengajar di Univ. Pembangunan Nasional Yogyakarta

Page 333: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 328

1. Pendahuluan

Industri kimia berperan penting dalam penguatan dan pendalaman struktur industri terutama yang berbasis pada pengolahan sumber daya alam sehingga memperkukuh keterkaitan antara industri hulu dengan industri hilir (Bappenas 1998). Industri kimia meliputi berbagai jenis industri termasuk industri agrokimia, industri kimia organik, dan industri kimia anorganik. Sumbangan industri kimia bagi pertumbuhan ekonomi cukup besar. Industri kimia memiliki kaitan ke depan (forward linkage) yang relatif besar. Output industri ini, terutama kimia hulu, memiliki kaitan langsung yang sangat erat terhadap sektor-sektor perekonomian.

Pada umumnya industri kimia menggunakan teknologi maju dan bersifat padat modal. Bahan baku industri kimia sebagian besar harus diimpor sehingga import content industri ini relatif tinggi. Nilai import content menunjukkan persentase bahan baku impor terhadap keseluruhan bahan baku (Alessandria et al. 2008). Suatu industri dikelompokkan menjadi industri dengan import content tinggi apabila 70 persen atau lebih bahan bakunya harus diimpor (Flatters 2005).

Krisis moneter yang ditandai dengan kenaikan dan fluktuasi nilai tukar dollar Amerika Serikat (AS) terhadap rupiah menyebabkan kenaikan harga bahan baku impor dan selanjutnya berdampak pada industri yang memiliki import content tinggi termasuk industri kimia. Tingginya kandungan bahan baku impor pada industri kimia mengakibatkan kinerja industri ini sangat dipengaruhi oleh harga bahan baku impor. Kenaikan harga bahan baku impor berdampak pada kenaikan biaya produksi industri kimia. Agar tidak mengalami kerugian, maka produsen pada industri kimia menaikkan harga output (Tambunan 2000: 99). Kenaikan harga output akan menurunkan jumlah output yang diminta.

Pada sisi lain, krisis moneter mengakibatkan penurunan pendapatan konsumen sehingga mereka mengalihkan alokasi pengeluarannya dari konsumsi barang-barang mewah dan sekunder (termasuk output industri) ke konsumsi barang-barang kebutuhan pokok diantaranya makanan (Feridhanusetyawan dan kawan-kawan 2000: 57). Pengalihan alokasi pengeluaran konsumen dan kenaikan harga output mengakibatkan jumlah output industri yang diminta

Page 334: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 329

turun, termasuk output industri kimia. Penurunan jumlah output yang diminta menyebabkan penurunan pemanfaatan kapasitas terpasang industri kimia.

Penurunan jumlah output diminta mengakibatkan penurunan pemanfaatan kapasitas terpasang industri kimia. Pada masa sebelum krisis moneter (tahun 1996), pemanfaatan kapasitas terpasang industri kimia mencapai 76,04 persen. Nilai tersebut turun menjadi 70,09 persen pada tahun 1997, dan mencapai nilai terendah dengan pemanfaatan kapasitas terpasang setinggi 68,21 persen pada tahun 1998. Mulai tahun 2000 pemanfaatan kapasitas terpasang industri kimia meningkat. Selanjutnya pada tahun 2004, pemanfaatan kapasitas terpasang industri kimia sudah mendekati nilai pemanfaatan kapasitas terpasang pada masa sebelum krisis moneter (Tabel 1).

----- Tabel 1 di sini ----

Penurunan pemanfaatan kapasitas terpasang industri kimia

menunjukkan bahwa output yang dihasilkan relatif kecil dibandingkan dengan kemampuan industri tersebut untuk menghasilkan output. Penurunan pemanfaatan kapasitas terpasang berdampak pada penurunan produktivitas pekerja. Selanjutnya, tinggi rendahnya produktivitas pekerja akan berdampak pada tingkat upah. Perusahaan yang memaksimumkan laba akan membayar upah nominal setinggi nilai produk marjinal tenaga kerja (marginal value product of labor) yang merupakan perkalian antara produk marjinal tenaga kerja dengan harga output (McConnel et al 2003: 135).

Sementara itu, kenaikan harga bahan baku impor mengakibatkan kenaikan biaya produksi industri kimia sehingga kurva biaya marjinal bergeser ke kiri (Pindyck dan Rubinfeld 2001: 264). Hal ini berarti penawaran output industri kimia turun. Apabila permintaan output tidak berubah, maka penurunan penawaran output akan mengakibatkan kenaikan harga output. Kenaikan harga output menyebabkan kenaikan nilai produk marjinal tenaga kerja sehingga permintaan tenaga kerja juga mengalami kenaikan. Apabila penawaran tenaga kerja tetap, maka kenaikan permintaan tenaga kerja menyebabkan kenaikan upah.

Sebagian besar industri kimia (terutama kimia dasar), merupakan industri hulu yang menjual outputnya sebagai input bagi industri lain (hilir). Hal ini berarti permintaan terhadap output industri kimia bergantung pada jumlah

Page 335: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 330

output industri hilir. Berbeda dengan permintaan barang-barang kebutuhan pokok, permintaan terhadap output industri cenderung elastis. Kenaikan harga output industri menyebabkan penurunan penerimaan total (total revenue). Sementara itu, kenaikan harga input impor menyebabkan kenaikan biaya total. Penurunan penerimaan yang disertai dengan kenaikan biaya total mengakibatkan penurunan laba. Penurunan laba industri kimia menyebabkan penurunan kemampuan industri tersebut dalam memberikan balas jasa (upah) kepada pekerjanya.

Pekerja pada industri kimia terdiri dari pekerja produksi dan non-produksi. Pekerja produksi mencakup pekerja produksi di bawah mandor, mandor, satu tingkat di atas mandor, dua tingkat di atas mandor, tiga tingkat di atas mandor dan tenaga ahli. Sementara itu pekerja non-produksi meliputi manajer, sekretaris, akuntan, tenaga administrasi, sopir, satpam dan tenaga penjualan. Rasio jumlah pekerja produksi terhadap jumlah pekerja total pada industri kimia mencapai lebih kurang 80 persen. Selanjutnya, bagi industri kimia, biaya tenaga kerja merupakan komponen biaya terbesar kedua setelah biaya bahan baku. Apabila biaya tenaga kerja tidak dapat dikendalikan, maka akan menurunkan kinerja industri bersangkutan.

Di samping faktor mekanisme pasar, penentuan tingkat upah juga dipengaruhi oleh faktor kelembagaan. Wujud faktor kelembagaan ini diantaranya adalah undang-undang dan ketentuan upah minimum propinsi. Salah satu undang-undang dalam bidang tenaga kerja adalah Undang-undang Nomor 21 tahun 2000 tentang serikat pekerja. Pengesahan undang-undang tersebut menunjukkan perubahan sisi kelembagaan yang memberikan kemudahan bagi pekerja untuk membentuk serikat pekerja. Hal ini menyebabkan sistem hubungan industrial berubah dari sistem yang sangat terpusat dan dikendalikan penuh oleh pemerintah pusat ke sistem yang terdesentralisasi (Feridhanusetyawan dan Pangestu : 2004). Desentralisasi hubungan industrial memberikan kekuatan tawar lebih besar bagi serikat pekerja pada saat berunding dengan pengusaha.

Sementara itu, sebagaimana negara berkembang lainnya, Indonesia menghadapi masalah kelebihan jumlah pasokan tenaga kerja relatif terhadap permintaannya (labor surplus). Hal ini ditandai dengan adanya kelebihan jumlah pencari kerja di atas jumlah lapangan kerja yang tersedia (Tjiptoherijanto 1993: 417). Kelebihan pasokan tenaga kerja menyebabkan

Page 336: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 331

rendahnya upah nominal yang diterima pekerja. Untuk itu, pemerintah mengenakan ketentuan upah minimum dalam ujud Upah Minimum Propinsi (UMP) yang tingginya melebihi tingkat upah pasar (Suryahadi dan kawan-kawan 2003: 31).

Walaupun tingkat upah nominal yang terjadi sudah melebihi UMP, akan tetapi sering kali masih terjadi ketidakpuasan pekerja terhadap tingkat upah yang diterimanya. Untuk mengurangi ketidakpuasan pekerja, pengusaha mendesain sistem pengupahan yang memungkinkan pekerja untuk memperoleh pendapatan melebihi UMP dengan memberikan berbagai tunjangan. Upah nominal pekerja produksi terdiri dari upah pokok nominal dan berbagai tunjangan. Tunjangan pekerja produksi bersifat variabel yang besarnya berubah-ubah menurut kinerja perusahaan (SMERU 2001).

Penurunan produktivitas pekerja menimbulkan kesulitan dalam penentuan tingkat upah nominal. Tingkat upah nominal ditentukan antara lain berdasar produktivitas pekerja yang mencerminkan kemampuan pekerja untuk menghasilkan output dalam waktu tertentu. Penurunan produktivitas pekerja industri kimia menunjukkan penurunan sumbangan (kontribusi) pekerja dalam proses produksi. Penurunan produktivitas pekerja akan menjadi alasan bagi pengusaha untuk menurunkan upah.

Bagi pekerja, termasuk pekerja produksi, upah merupakan sarana untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja secara langsung. Tinggi rendahnya upah berpengaruh langsung pada kesejahteraan hidup pekerja (Tjiptoherijanto 1993: 412). Penurunan tingkat upah nominal akan menurunkan tingkat konsumsi pekerja. Jumlah barang dan jasa yang dapat dibeli pekerja berkurang sehingga utilitas pekerja dan keluarganya turun. Oleh sebab itu, pekerja produksi pada industri kimia akan melakukan berbagai upaya agar pada saat produktivitas pekerja turun, upah nominal yang diterimanya tidak turun.

Sementara itu, kenaikan harga input impor menyebabkan kenaikan biaya produksi sehingga harga output juga mengalami kenaikan. Kenaikan harga output menunjukkan kenaikan nilai produk marjinal tenaga kerja sehingga permintaan tenaga kerja juga mengalami kenaikan. Kenaikan permintaan tenaga kerja menyebabkan kenaikan upah. Hal ini berarti kenaikan harga output industri kimia akan menghalangi keinginan pengusaha untuk menurunkan upah. Di samping itu, pada umumnya pekerja industri kimia, termasuk pekerja produksi, memiliki keahlian tinggi dan berperan terhadap maju mundurnya

Page 337: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 332

perusahaan. Perusahaan akan berupaya memenuhi tuntutan pekerjanya, walaupun sedang mengalami kesulitan untuk mempertahankan apalagi meningkatkan pendapatannya (Manajemen 1998). Dengan demikian, upah nominal pekerja produksi pada industri kimia di Indonesia tegar untuk turun: kenaikan produktivitas pekerja diikuti kenaikan upah pokok dan upah total nominal pekerja produksi, tetapi penurunan produktivitas pekerja tidak diikuti penurunan upah nominal. Selanjutnya, penelitian ini dimaksudkan untuk menguji ketegaran upah pokok dan upah total nominal pekerja produksi untuk turun pada industri kimia di Indonesia tahun 1997-2005 dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi ketegaran tersebut.

2. Rerangka Teoritis dan Pengembangan Hipotesis

2.1. Teori Pasar Tenaga Kerja

Pemilihan tingkat output yang memaksimumkan laba juga mencerminkan pemilihan input yang menghasilkan tingkat output dimaksud. Permintaan input tidak dapat dipisahkan dari pilihan tingkat output sehingga permintaan tenaga kerja merupakan permintaan turunan (derived demand). Permintaan tenaga kerja bergantung pada permintaan output. Penurunan permintaan output akan menurunkan permintaan tenaga kerja, dan sebaliknya. Faktor yang menentukan permintaan tenaga kerja adalah produk marjinal tenaga kerja dan harga output (McConnell et al. 2003 : 127).

Penambahan seorang pekerja akan menambah output sebesar produk marjinal tenaga kerja. Pada pasar persaingan sempurna, nilai produk marjinal tenaga kerja adalah sebesar harga output dikalikan produk marjinal. Di sisi lain, penambahan seorang pekerja membebani biaya perusahaan sebesar upah nominal pekerja. Apabila nilai produk marjinal tenaga kerja lebih besar daripada upah nominal, maka perusahaan akan menambah jumlah pekerja, dan sebaliknya. Perusahaan yang memaksimumkan laba, akan memperkerjakan sejumlah pekerja sampai dicapai suatu keadaan yang ditandai adanya kesamaan antara upah nominal dengan nilai produk marjinal tenaga kerja (Branson 1989: 110).

Kurva nilai produk marjinal tenaga kerja menggambarkan permintaan tenaga kerja (Bosworth et al. 1996 : 98). Penambahan jumlah pekerja diikuti dengan penurunan nilai produk marjinal pekerja sehingga upah nominal juga

Page 338: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 333

mengalami penurunan. Hal ini berarti kurva permintaan tenaga kerja berlereng negatif. Kenaikan upah nominal mengurangi jumlah tenaga kerja yang diminta, dan sebaliknya.

Sementara itu, berdasar hubungan antara tingkat upah dengan jam kerja, dapat diturunkan kurva penawaran tenaga kerja individual yang menggambarkan kombinasi tingkat upah dengan jam kerja ditawarkan. Berdasar pendekatan ini dikembangkan kurva penawaran tenaga kerja agregat yang menunjukkan kombinasi antara tingkat upah dengan jumlah tenaga kerja yang bersedia bekerja (Bosworth et al. 1996: 13). Kurva penawaran tenaga kerja berlereng positif menunjukkan bahwa semakin tinggi upah nominal, semakin besar jumlah tenaga kerja yang bersedia bekerja. Pasar tenaga kerja merupakan pertemuan antara permintaan dengan penawaran tenaga kerja. Interaksi antara permintaan dan penawaran tenaga kerja akan menentukan tingkat upah dan tingkat employment (McConnell et al. 2003: 169). Keseimbangan pasar tenaga kerja tercapai pada saat kurva permintaan tenaga kerja berpotongan dengan kurva penawaran tenaga kerja. Pada kedudukan ini, jumlah tenaga kerja diminta sama dengan jumlah tenaga kerja yang bersedia bekerja. Apabila tidak ada campur tangan dari luar, maka tidak terdapat kecenderungan tingkat upah dan employment untuk berubah. 2.2. Penelitian Sebelumnya

Campbell dan Kamlani (1997: 759-789) melakukan survai terhadap sejumlah perusahaan tambang, konstruksi, manufaktur, dan jasa di Amerika Serikat dengan mengirimkan kuesioner kepada para manajer perusahaan tersebut. Survai ini menggunakan metode deskriptif dan memperoleh temuan bahwa perusahaan tidak menurunkan tingkat upah nominal pekerjanya selama masa resesi. Responden menyatakan bahwa penurunan upah nominal menyebabkan pekerja terbaik segera keluar dari perusahaan. Pertimbangan lain adalah karena penurunan upah nominal menyebabkan naiknya turn over pekerjanya yang selanjutnya berdampak pada kenaikan biaya perekrutan dan pelatihan.

Bewley (1998: 459-490) meneliti ketegaran upah nominal untuk turun dengan melakukan wawancara terhadap sejumlah pelaku bisnis pada bidang konstruksi, manufaktur dan jasa di Amerika Serikat. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dan memperoleh temuan bahwa pengusaha enggan untuk menurunkan upah nominal karena mereka yakin bahwa

Page 339: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 334

penurunan upah nominal akan menurunkan moral pekerja dan pada akhirnya menurunkan produktivitas pekerja. Penurunan upah nominal bukan solusi tepat untuk mengatasi resesi yang dihadapi perusahaan. Penurunan upah nominal tidak akan membuat perusahaan menjadi lebih baik. Perusahaan lebih memilih untuk mengurangi jumlah pekerja daripada menurunkan upah nominal. Penurunan moral pekerja akibat penurunan upah nominal lebih besar dibandingkan penurunan moral pekerja akibat pemberhentian pekerja.

Lebow et al. (1999) meneliti ketegaran upah nominal untuk turun di Amerika Serikat dengan menggunakan uji Lebow, Stockton dan Wilson (LSW) Asymmetry. Penelitian ini menggunakan data dari sejumlah perusahaan yang terdapat pada US Bureau of Labor Statistics (BLS). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa upah nominal tegar untuk turun. Perusahaan dapat menghindari ketegaran upah nominal untuk turun dengan melakukan variasi pada kompensasi pekerja. Kompensasi yang diterima pekerja terdiri atas upah nominal dan berbagai tunjangan. Ketegaran kompensasi untuk turun lebih lemah daripada ketegaran upah nominal untuk turun.

Oyer (2005) menguji ketegaran upah nominal untuk turun di AS berdasar data tahun 1953-1977. Data penelitian mencakup berbagai industri yang terdapat pada publikasi US Bureau of Labor Statistics (BLS). Penelitian tersebut menggunakan alat analisis ekonometri dengan metode estimasi ordinary least square (OLS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa upah nominal bersifat tegar untuk turun. Perusahaan mengalami kesulitan untuk menurunkan upah nominal termasuk pada saat kondisi perekonomian memburuk. Untuk itu, perusahaan menggunakan skema tunjangan. Perusahaan dapat menurunkan biaya tenaga kerja dengan cara menurunkan tunjangan.

2.3. Pengembangan Hipotesis 2.3.1. Respons Perusahaan Terhadap Kenaikan Harga Input

Perusahaan yang memaksimumkan laba akan menentukan tingkat output yang memenuhi kesamaan antara penerimaan marjinal dengan biaya marjinal (MR=MC). Untuk perusahaan yang berada di pasar persaingan sempurna, maka penerimaan marjinal sama dengan harga output (MR=P). Hal ini berarti perusahaan tersebut akan menentukan harga output setinggi biaya marjinal (P=MC).

Page 340: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 335

Perusahaan akan merespons perubahan harga input. Krisis moneter yang ditandai dengan kenaikan nilai tukar dollar AS terhadap rupiah akan meningkatkan harga input impor. Kenaikan harga input impor akan berdampak pada kenaikan biaya produksi perusahaan yang memiliki import content tinggi termasuk perusahaan kimia. Kenaikan biaya produksi menggeser kurva biaya marjinal ke kiri (Pindyck dan Rubinfeld 2001: 264).

Di tingkat perusahaan, kenaikan harga input menyebabkan pergeseran kurva biaya marjinal ke kiri sehingga penawaran output perusahaan tersebut turun. Selanjutnya pada tingkat industri, kenaikan biaya input juga berdampak pada semua perusahaan sejenis. Kenaikan harga input impor pada industri kimia menyebabkan penawaran output industri tersebut turun. Apabila permintaan output industri kimia tetap, maka hal tersebut akan menyebabkan kenaikan harga output industri kimia.

------ Gambar 1. Disini -----

Harga output merupakan salah satu penentu (determinan) terhadap

permintaan tenaga kerja (McConnell et al. 2003: 127). Kenaikan harga output menyebabkan kenaikan nilai produk marjinal tenaga kerja yang ditandai dengan pergeseran kurva nilai produk marjinal tenaga kerja ke kanan sehingga kurva permintaan tenaga kerja juga bergeser ke kanan. Apabila kurva penawaran tenaga kerja tetap, maka pergeseran kurva permintaan tenaga kerja ke kanan mengakibatkan kenaikan upah nominal. 2.3.2. Ketegaran Upah Nominal Untuk Turun

Teori ekonomi untuk menjelaskan ketegaran upah nominal adalah adanya money illusion. Pelaku ekonomi dengan berbagai alasan lebih menyukai penentuan upah dalam nominal daripada riil. Kahneman et al. (1986) menyatakan bahwa pekerja merespons secara berbeda terhadap penurunan upah riil yang disebabkan oleh kenaikan harga dan yang disebabkan oleh penurunan upah nominal. Penurunan upah riil yang terjadi ketika inflasi melebihi kenaikan upah nominal dinilai fair. Sebaliknya, penurunan upah riil akibat penurunan upah nominal dinilai tidak fair.

Kenaikan nilai tukar dollar AS terhadap rupiah (krisis moneter) menyebabkan kurva penawaran output bergeser ke kiri (Gambar 1). Pergeseran ini menunjukkan bahwa penawaran output berkurang sehingga permintaan

Page 341: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 336

tenaga kerja juga berkurang. Penurunan permintaan output akan menggeser kurva permintaan tenaga kerja ke kiri (McConnell et al. 2003: 149). Apabila penawaran tenaga kerja tetap, maka pergeseran kurva permintaan tenaga kerja ke kiri menyebabkan penurunan upah nominal.

Penurunan tingkat upah tidak disukai bukan saja oleh pekerja tetapi juga oleh pengusaha. Bagi pengusaha yang menerapkan prinsip upah efisiensi (seperti pada industri padat modal), maka tidak ada untungnya bila pengusaha menurunkan upah nominal. Upah rendah menjadikan pekerja malas dan selanjutnya akan berdampak negatif bagi kinerja perusahaan. Hal ini berarti akan lebih menguntungkan bagi pengusaha untuk mempertahankan tingkat upah nominal. Tingkat upah nominal bersifat tegar untuk turun (Bewley 2004 : 7). Penurunan permintaan output menggeser kurva permintaan tenaga kerja ke kiri. Akan tetapi, pergeseran kurva permintaan tenaga kerja ke kiri tidak menyebabkan penurunan upah nominal. Penurunan permintaan tenaga kerja direspons oleh pengusaha dengan cara mengurangi jumlah pekerja dan bukan dengan menurunkan upah nominal.

----- Gambar 2. di sini ----

2.3.3. Kontrak Antara Pekerja dengan Pengusaha

Salah satu alasan upah nominal tegar untuk turun selama masa resesi adalah adanya kontrak antara pekerja dengan pengusaha. Melalui kontrak tersebut disepakati bahwa perusahaan akan mempertahankan upah nominal kecuali terdapat hal-hal yang di luar kendali misalnya perusahaan bangkrut (McConnell 2003: 572). Pertimbangan perusahaan untuk mengadakan kontrak karena dirasakan lebih mahal bila pekerja di perusahaan tersebut sering berganti. Perusahaan harus menanggung biaya rekruitmen dan pelatihan pekerja baru. Perusahaan lebih suka untuk memperkerjakan pekerja selama waktu tertentu guna menghindari biaya transaksi dalam negosiasi tingkat upah (Boswoth et al. 272).

Adanya kontrak antara pihak pekerja dengan pengusaha menentukan tingkat upah nominal dan menjadikan negosiasi upah sulit untuk dilakukan. Upaya penyesuaian upah nominal memerlukan biaya transaksi. Semakin sering penyesuaian upah nominal dilakukan, semakin besar pula biaya transaksi yang diperlukan. Adanya biaya transaksi mendorong pekerja maupun pengusaha

Page 342: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 337

untuk menggunakan kontrak jangka panjang. Baik pekerja maupun pengusaha cenderung untuk mempertahankan kontrak yang telah dibuat.

Selanjutnya penelitian ini ingin menguji hipotesis berikut. 1. Upah pokok nominal pekerja produksi industri kimia di Indonesia diduga

tegar untuk turun. Kenaikan produktivitas pekerja diikuti kenaikan upah pokok nominal pekerja produksi, tetapi penurunan produktivitas pekerja tidak diikuti penurunan upah pokok nominal pekerja produksi.

Ketegaran upah pokok nominal pekerja non-produksi untuk turun dipengaruhi secara positif oleh produktivitas pekerja, harga output, undang-undang serikat pekerja dan upah minimum sektoral propinsi. Upah pokok nominal pekerja produksi akan semakin tegar untuk turun, bila terjadi (1) kenaikan produktivitas pekerja, (2) kenaikan harga output, (3) pengesahan undang-undang serikat pekerja dan (4) ketentuan upah minimum sektoral propinsi.

2. Upah total nominal pekerja produksi industri kimia di Indonesia diduga tegar untuk turun. Kenaikan produktivitas pekerja diikuti kenaikan upah total nominal pekerja produksi, tetapi penurunan produktivitas pekerja tidak diikuti penurunan upah total nominal pekerja produksi. Ketegaran upah total nominal pekerja produksi dipengaruhi secara positif oleh produktivitas pekerja, harga output, undang-undang serikat pekerja dan upah minimum sektoral propinsi. Upah total nominal pekerja produksi akan semakin tegar untuk turun bila terjadi (1) kenaikan produktivitas pekerja, (2) kenaikan harga output, (3) pengesahan undang-undang serikat pekerja dan (4) ketentuan upah minimum sektoral propinsi.

3. Metode Riset

3.1. Sumber Data dan Definisi Variabel Operasional

Penelitian ini menggunakan data sekunder dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 1997-2005. Untuk penelitian ini diambil sejumlah 15 (lima belas) industri kimia dengan import content tinggi (lihat lampiran). Dengan demikian data penelitian merupakan suatu data panel yang meliput 15 macam industri kimia selama periode 1997-2005. Data penelitian mencakup nilai riil barang dihasilkan, upah pokok dan upah total nominal pekerja produksi, produktivitas pekerja, indeks harga output dan upah minimum sektoral propinsi. Selanjutnya

Page 343: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 338

berdasar data yang diperoleh, dilakukan pengujian terhadap ketegaran upah nominal untuk turun dan penyebab ketegaran upah tersebut. Berikut ini dijelaskan definisi operasional dari masing-masing variabel. 1. Upah pokok nominal pekerja produksi (W1) adalah nilai nominal

pengeluaran untuk upah pekerja produksi industri besar dan sedang kimia dibagi jumlah pekerja produksi pada industri tersebut. Satuan yang digunakan adalah ribu rupiah per pekerja.

2. Upah total nominal pekerja produksi (W2) adalah upah pokok nominal pekerja produksi industri besar dan sedang kimia (W1) ditambah tunjangan per pekerja produksi. Satuan yang digunakan adalah ribu rupiah per pekerja.

3. Produktivitas pekerja (Y) adalah nilai riil barang yang dihasilkan oleh industri besar dan sedang kimia dibagi jumlah pekerja pada industri tersebut. Satuan produktivitas pekerja adalah ribu rupiah per pekerja.

Dalam penelitian empiris, konsep produk rata-rata sebagai proksi bagi produktivitas pekerja lebih banyak digunakan daripada konsep produk marjinal (Nicholson 1995: 314). Selanjutnya diasumsikan bahwa produk rata-rata pekerja mencapai nilai maksimum sehingga nilai produk rata-rata pekerja sama dengan nilai produk marjinal pekerja.

4. Ketegaran Upah Nominal Untuk Turun (RIGID) adalah perubahan upah nominal pada industri kimia pada suatu tahun tertentu. Variabel RIGID akan bernilai 1 bila upah nominal industri kimia pada suatu tahun tertentu mengalami penurunan. Sebaliknya variabel RIGID bernilai 0 bila upah nominal industri kimia pada suatu tahun tertentu tidak mengalami penurunan.

5. Harga Output (P) adalah indeks harga perdagangan besar barang industri kimia dasar dan kimia lainnya dengan menggunakan harga tahun 1993 sebagai tahun dasar (1993=100).

6. Undang-Undang Serikat Pekerja (UUSP) adalah pengesahan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2000 tentang serikat pekerja yang memberikan jaminan dan kemudahan bagi pekerja untuk membentuk serikat pekerja. Untuk variabel ini digunakan variabel dummy. Variabel UUSP bernilai 1 untuk periode 2001-2005, dan bernilai 0 untuk periode 1997- 2000.

7. Upah Minimum Sektoral Propinsi (UPMIN) adalah rata-rata upah minimum sektoral regional (propinsi) yang berlaku di propinsi tempat

Page 344: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 339

perusahaan kimia berlokasi. Apabila di propinsi tersebut belum berlaku upah minimum sektoral propinsi maka digunakan upah minimum propinsi. Untuk variabel ini diberikan bobot jumlah perusahaan kimia di tiap-tiap propinsi.

3.2. Alat Analisis Estimasi jangka pendek terhadap model persamaan upah nominal pekerja

produksi untuk turun dituliskan dalam model dinamis berikut.

∑∑∑=

−−==

− ++++=k

jitjitijjit

k

jij

k

jjitijiit DUMdYdYWdW

101*γβωα

ittij eECT +−1λ (1)

Dalam Persamaan (1), maka variabel Wit akan mencakup

W1it adalah upah pokok nominal pekerja produksi W2it adalah upah total nominal pekerja produksi

Koefisien ω dan β diharapkan bertanda positif, sedangkan koefisien γ

dan λ diharapkan bertanda negatif. Persamaan (1) diestimasi dengan metode GMM (Generalized Method of Moment). GMM merupakan estimator kokoh dan tidak memerlukan informasi yang pasti tentang distribusi data. Dengan melakukan estimasi terhadap persamaan ECM dengan lag yang tepat, maka koefisien parameter estimasi jangka pendek dapat diketahui. Nilai λ menunjukkan besarnya kecepatan nilai upah nominal menuju kondisi equilibrium.

Variabel DUM merupakan suatu vaiabel dummy. Variabel DUM akan bernilai 1 pada saat produktivitas pekerja turun dan berinilai 0 pada saat produktivitas pekerja tidak turun. Ketegaran upah nominal untuk turun diuji dengan menggunakan uji Wald berdasar penjumlahan koefisien β dan γ. Pengujian Wald mengikuti kaidah distribusi t. Apabila hasil pengujian Wald menunjukkan bahwa t hitung tidak signifikan, maka penjumlahan koefisien (β + γ) sama dengan nol. Hal ini berarti hipotesis yang menyatakan bahwa upah nominal tegar untuk turun tidak ditolak. Ketentuan sebaliknya berlaku bila t hitung signifikan Sementara itu, model analisis faktor-faktor yang mempengaruhi ketegaran upah nominal untuk turun diujudkan dalam model persamaan logit.

Page 345: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 340

Dalam persamaan ini, variabel RIGID bernilai 1 bila upah nominal turun dan bernilai 0 bila upah nominal tidak turun. Adapun koefisien φ , ω, β dan γ pada Persamaan (2) diharapkan bertanda negatif.

it

k

jjitijit

k

jijjit

k

jij

k

jitijiit udUPMINSPPQddYRIGID +++++= ∑∑∑∑

=−

=−

== 1011γβωφα

(2) Dalam persamaan di atas, variabel RIGIDit akan mencakup

RIGID1it adalah ketegaran upah pokok nominal pekerja produksi untuk turun RIGID2it adalah ketegaran upah total nominal pekerja produksi untuk turun

Selanjutnya, apabila koefisien regresi dalam Persamaan (2) bertanda negatif dan signifikan, maka kenaikan produktivitas, kenaikan harga output, pengesahan undang-undang serikat pekerja dan ketentuan upah minimum sektoral propinsi menyebabkan semakin kecilnya kemungkinan terjadinya penurunan upah pokok dan upah total nominal pekerja produksi. Dengan demikian upah pokok dan upah total nominal pekerja produksi semakin tegar untuk turun.

4. Analsis Data dan Pembahasan

4.1. Uji Akar-Akar Unit dan Derajat Integrasi Salah satu konsep penting dalam teori ekonometri adalah anggapan

stasioneritas variabel-variabel yang akan diestimasi. Apabila dua atau lebih variabel tidak stasioner, maka regresi yang menggunakan data tersebut menghasilkan estimator yang bias dan tidak konsisten. Untuk mengetahui stasioneritas variabel-variabel penelitian digunakan uji akar-akar unit dan derajat integrasi. Uji akar-akar unit dalam penelitian ini menggunakan model Im et al. (1997). Pengujian akar-akar unit Im et al. memiliki small sample properties yang lebih baik daripada pengujian Levin dan Lin pada saat N melebihi T (Im et al. 1997).

Hasil pengujian akar-akar unit model Im et al. (1997) menunjukkan bahwa semua variabel tidak stasioner pada level. Hasil uji akar-akar unit terhadap variabel W1i,t, W2i,t, Pit dan UPMINi,t menunjukkan nilai t-statistik yang bertanda positif. Dalam kasus ini proses autoregressive bersifat eksplosif sehingga nilai variabel-variabel tersebut cenderung berkembang tanpa batas

Page 346: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 341

(Patterson 2000 : 209). Variabel-variabel tersebut tidak memiliki kecenderungan untuk kembali menuju nilai rata-ratanya sehingga merupakan data yang non-stasioner pada level.

Beberapa variabel dalam model tidak stasioner pada level, sehingga uji akar-akar unit perlu dilanjutkan dengan uji derajat integrasi untuk mengetahui pada derajat integrasi ke berapa variabel-variabel tersebut stasioner. Hasil uji akar-akar unit model Im et al. (1997) menunjukkan bahwa seluruh variabel memiliki t-statistik bertanda negatif dengan nilai mutlak melebihi nilai kritis. Dengan demikian seluruh variabel telah stasioner pada derajat integrasi pertama. Penggunaan variabel stasioner dalam model regresi dapat menghindarkan dari masalah spurious regression. Regresi yang menggunakan data stasioner menghasilkan estimator yang tidak bias dan konsisten.

---- Tabel 2 di sini ----

4.2. Uji Kointegrasi Pengujian kointegrasi bertujuan untuk mengetahui apakah suatu set variabel berkointegrasi atau tidak. Pendekatan ini berkaitan dengan kemungkinan adanya hubungan keseimbangan jangka panjang antar variabel ekonomi seperti yang dikehendaki dalam teori ekonomi. Apabila terdapat hubungan kointegrasi, maka setidaknya terdapat hubungan kausalitas jangka panjang dalam satu arah di antara variabel-variabel dalam model. Selanjutnya pengujian kointegrasi dalam penelitian ini menggunakan model Pedroni (1999).

Hasil pengujian kointegrasi menunjukkan adanya penolakan terhadap hipotesis H0 yang menyatakan tidak adanya kointegrasi antar variabel untuk model panel Philips-Perron statistik dan panel ADF statistik, baik menurut pooling within dimension maupun between dimension. Hal ini berarti berdasar model statistik panel kointegrasi nomor 3, 4, 6 dan 7 dari model yang dibangun Pedroni (1999) menunjukkan adanya kointegrasi untuk keseluruhan model. Adanya kointegrasi menunjukkan bahwa untuk suatu set variabel dalam setiap model terdapat suatu kombinasi linier dari variabel-variabel tersebut yang stasioner. Residual yang dihasilkan dari estimasi setiap model adalah stasioner I(0). Dengan demikian variabel-variabel tersebut memiliki hubungan keseimbangan jangka panjang sesuai dengan teori ekonomi sehingga model yang diestimasi memiliki konsistensi dalam jangka panjang.

Page 347: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 342

---- Tabel 3 dan Tabel 4 di sini ---- 4.3. Penentuan Panjang Lag

Penentuan panjang lag menjadi isu penting karena lag terlalu pendek berisiko terjadi kesalahan spesifikasi model, sedangkan lag terlalu panjang banyak mengurangi derajat kebebasan. Untuk menghindari kesalahan spesifikasi, penentuan panjang lag dalam penelitian ini menggunakan kriteria Akaike (AIC). Hal ini dikarenakan kriteria Akaike (AIC) lebih unggul dibandingkan kriteria lain (Liew 2004 : 9). Nilai kriteria Akaike (AIC) yang lebih kecil menunjukkan model yang lebih baik.

Selanjutnya, berdasar hasil estimasi Vector Autoregressions (VAR), nilai AIC minimum terjadi pada saat panjang lag adalah 2 tahun. Estimasi VAR dengan panjang lag 2 akan terhindar dari kesalahan spesifikasi model dan masalah pengurangan derajat kebebasan. Estimasi VAR dengan panjang lag 2 merupakan parsimonious VAR. Dalam penentuan upah nominal, pelaku ekonomi mempertimbangkan variabel-variabel ekonomi pada tahun berjalan, satu tahun lalu, dan dua tahun lalu. 4.4. Pengujian Kausalitas Granger

Pengujian Kausalitas Granger dilakukan untuk mengetahui arah hubungan kausalitas sehingga dapat diketahui variabel endogen dan eksogen. Berdasar kriteria Akaike maka jumlah lag optimum sudah diketahui yaitu 2 tahun. Pengujian kausalitas Granger dilakukan pada variabel-variabel diferensi pertama dengan lag sebesar 2 (dua) dan mengikuti kaidah distribusi F.

Hasil pengujian kausalitas Granger menunjukkan bahwa perubahan variabel-variabel sisi kanan Persamaan (1) menyebabkan perubahan variabel upah pokok dan upah total nominal. Hal ini berarti variabel pada sisi kanan Persamaan (1) merupakan variabel eksogen. Selanjutnya, hasil pengujian kausalitas Granger pada model ketegaran upah nominal juga menunjukkan bahwa perubahan variabel-variabel sisi kanan Persamaan (2) menyebabkan perubahan variabel ketegaran upah nominal (RIGID), kecuali variabel upah minimum sektoral propinsi (UPMIN). Dengan demikian variabel-variabel sisi kanan model persamaan ketegaran upah nominal (RIGID) merupakan variabel eksogen. 4.5. Pengujian Poolability

Dalam analisis data panel, terdapat 2 (dua) kemungkinan yaitu parameter regresi sama untuk seluruh belah silang atau berbeda untuk setiap

Page 348: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 343

belah silang. Apabila parameter regresi sama untuk semua unit belah silang, maka unit belah silang yang ada dalam model dapat digabung, dan sebaliknya. Untuk mengetahui apakah unit-unit belah silang dalam model bisa digabung atau tidak bisa digabung dilakukan uji poolability. Pengujian ini mengikuti kaidah distribusi F.

Hasil pengujian poolability menunjukkan bahwa seluruh unit belah silang dalam model dapat digabung (poolable) sehingga model yang benar adalah model dengan paramater regresi yang sama untuk setiap unit belah silang. Seluruh unit belah silang pada penelitian ini merupakan industri kimia dengan kandungan bahan baku impor tinggi sehingga memiliki karakteristik sama. Karakteristik yang sama ditunjukkan oleh adanya kesamaan perilaku antar unit belah silang yang ditandai dengan kesamaan parameter regresi untuk seluruh unit belah silang. 4.6. Pengujian F- Terkendala (Restricted F Test).

Setelah diketahui bahwa paramater regresi sama untuk tiap-tiap unit belah silang, maka permasalahan berikutnya adalah apakah intercept tiap unit belah silang sama atau berbeda. Untuk memilih model yang baik apakah dengan intercept sama atau intercept berbeda-beda untuk tiap unit belah silang dilakukan pengujian F-terkendala (Restricted F test). Pengujian F terkendala dilakukan pada estimasi persamaan upah pokok dan upah total nominal (Persamaan 1), sedangkan pada model ketegaran upah nominal (Persamaan 2) tidak dilakukan uji F terkendala. Hal ini dikarenakan keterbatasan pada software sehingga estimasi logit dilakukan berdasar model common effets.

Hasil pengujian F terkendala menunjukkan nilai F-hitung yang tidak signifikan. Dengan demikian model yang baik adalah model dengan intercept sama untuk tiap unit belah silang. Hal ini berarti terdapat kesamaan karakteristik antar unit belah silang (Gujarati 2003 : 642). Kesamaan intercept mengindikasikan kesamaan kebijakan pengupahan pada seluruh industri kimia yang menjadi obyek penelitian. Selanjutnya, karena model yang baik adalah model dengan intercept sama untuk tiap unit belah silang (common intercept), maka tidak dilakukan pengujian Hausman. 4.7. Ketegaran Upah Pokok Nominal Pekerja Produksi Untuk Turun

Melalui estimasi model common effects dan reduksi terhadap paramater-paramater yang tidak signifikan diperoleh hasil estimasi yang sederhana (Tabel 5). Hasil pengujian redundant coefficient menunjukkan bahwa

Page 349: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 344

F hitung tidak signifikan sehingga model reduksi dapat digunakan sebagai dasar analisis. Hasil estimasi menunjukkan koefisien variabel ECT1i,t-1 signifikan dan bertanda negatif. Dengan demikian model upah pokok nominal pekerja produksi (W1) memiliki keseimbangan jangka panjang dan terdapat proses koreksi kesalahan menuju keseimbangan. Nilai koefisien ECT1i,t-1 sebesar -0,173, menunjukkan bahwa kecepatan penyesuaian (speed of adjustment) upah pokok nominal aktual pekerja produksi menuju ke kondisi keseimbangan adalah sebesar 173 rupiah per tahun.

---- Tabel 5 di sini ----

Berdasar nilai koefisien determinasi sebesar 0,292 maka diperoleh F

hitung sebesar 5,928 dan signifikan. Hal ini berarti variabel-variabel independen secara bersama-sama berpengaruh pada variabel dependen. Variabel produktivitas pekerja (DYi,t dan DYi,t-2), secara individual berpengaruh positif pada upah pokok nominal pekerja produksi. Dalam jangka pendek, kenaikan produktivitas pekerja sebesar 1 ribu rupiah per pekerja mengakibatkan perubahan upah pokok nominal pekerja produksi sebesar koefisien DYi,t dan DYi,t-2 (cetiris paribus). Sementara itu, dalam jangka pendek penurunan produktivitas pekerja sebesar 1 ribu rupiah per pekerja mengakibatkan perubahan upah pokok nominal pekerja produksi sebesar penjumlahan koefisien variabel DYi,t , DYi,t-2 dan DUM*DYi,t serta DUM*DYi,t-2 (cetiris paribus).

Guna mengetahui ketegaran upah pokok nominal pekerja produksi untuk turun, dilakukan pengujian terhadap penjumlahan nilai koefisien DYit, DYit-2, DUM*DYi,t dan DUM*DYi,t-2. Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan uji Wald. Hasil pengujian Wald menunjukkan t hitung yang tidak signifikan sehingga hipotesis 1 yang menyatakan bahwa upah pokok nominal pekerja produksi tegar untuk turun tidak ditolak

---- Tabel 6 di sini ----

Kenaikan produktivitas pekerja sebesar 1 ribu rupiah per pekerja, dalam

jangka pendek, akan meningkatkan upah pokok nominal pekerja produksi sebesar 1 rupiah (cetiris paribus). Sementara itu, penurunan produktivitas pekerja sebesar 1 ribu rupiah per pekerja, dalam jangka pendek, tidak

Page 350: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 345

mengakibatkan penurunan upah pokok nominal pekerja produksi (cetiris paribus). Upah pokok nominal pekerja produksi (W1) tegar untuk turun. Tingkat upah pokok nominal pekerja produksi tidak berubah walaupun pada saat bersamaan produktivitas pekerja mengalami penurunan.

---- Tabel 7 di sini ----

Sementara itu, hasil estimasi logit untuk mengetahui pengaruh faktor-

faktor yang diduga mempengaruhi ketegaran upah pokok nominal pekerja produksi untuk turun menunjukkan nilai LR statistik (setara dengan F hitung) sebesar 13,767 dan signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa secara serentak variabel-variabel sisi kanan persamaan yang meliputi produktivitas pekerja (DYi,t), harga output (Pit), undang-undang serikat pekerja (UUSPi,t ) dan upah minimum sektoral propinsi (DUPMINi ) berpengaruh pada upah pokok nominal pekerja produksi. Akan tetapi secara individual (uji z), variabel undang-undang serikat pekerja dan upah minimum sektoral propinsi tidak signifikan.

---- Tabel 8 di sini----

Koefisien regresi variabel produktivitas pekerja (DYi,t) bertanda negatif

menunjukkan bahwa kenaikan produktivitas pekerja menyebabkan semakin kecilnya kemungkinan penurunan upah pokok nominal pekerja produksi. Hal ini berarti kenaikan produktivitas pekerja menyebabkan upah pokok nominal pekerja produksi semakin tegar untuk turun. Parameter regresi dalam model logit bukan linier sehingga interpretasi koefisien regresi dilakukan berdasar nilai anti-ln dari koefisien regresi. Untuk variabel produktivitas pekerja, nilai mutlak koefisien regresi sebesar 0,001 sehingga nilai anti-ln dari koefisien tersebut sama dengan 1,001. Dalam jangka pendek, kenaikan produktivitas pekerja sebesar 1 ribu rupiah per pekerja (cetiris paribus), akan menurunkan kemungkinan terjadinya penurunan upah pokok nominal pekerja produksi sebesar 1,001 (e0,001). Hal ini berarti kenaikan produktivitas pekerja menjadikan upah pokok nominal pekerja produksi semakin tegar untuk turun.

Sejalan dengan pengaruh variabel produktivitas pekerja, maka variabel harga output (DPi,t-1) bertanda negatif dan signifikan. Di samping produktivitas pekerja, maka tingkat upah juga ditentukan oleh harga output. Kenaikan harga

Page 351: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 346

output menyebabkan kenaikan nilai produk marjinal tenaga kerja sehingga upah nominal tidak mengalami penurunan. Nilai mutlak koefisien regresi variabel harga output sebesar 0,126 sehingga nilai anti-ln dari koefisien tersebut sama dengan 1,134. Dalam jangka pendek, kenaikan harga output sebesar 1 satuan (cetiris paribus), mengurangi kemungkinan adanya penurunan upah pokok nominal pekerja produksi sebesar 1,134 (e 0,126).

Variabel kelembagaan (undang-undang serikat pekerja dan upah minimum sektoral propinsi) yang tidak signifikan menunjukkan bahwa faktor kelembagaan tidak berpengaruh pada ketegaran upah pokok nominal pekerja produksi untuk turun. Pengesahan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2000 tentang serikat pekerja dan ketentuan upah minimum sektoral propinsi tidak menjadikan upah pokok nominal pekerja produksi semakin tegar untuk turun. Desentralisasi hubungan industrial ini tidak dapat meningkatkan kekuatan tawar serikat pekerja. Jumlah serikat pekerja yang berlebihan dan tidak adanya kerja sama antar serikat pekerja menjadi kontra produktif bagi kepentingan perjuangan serikat pekerja itu sendiri. (www.apindo.co.id).

Selanjutnya, variabel upah minimum sektoral propinsi yang tidak signifikan diduga karena upah yang diberikan industri kimia telah melebihi upah minimum sektoral propinsi. Pengusaha telah memberikan upah yang besarnya melebihi tingkat upah minimum sekaligus melebihi tingkat upah pasar. Dengan demikian untuk variabel produktivitas pekerja dan harga output maka hipotesis 1 tidak ditolak, sedangkan untuk variabel pengesahan undang-undang serikat pekerja dan upah minimum sektoral propinsi hipotesis 1 ditolak.

Temuan ini mendukung hasil penelitian Campbell dan Kamlani (1997: 759-789) yang menyatakan bahwa perusahaan tidak menurunkan tingkat upah nominal pekerjanya selama masa resesi. Penurunan upah nominal menyebabkan pekerja terbaik segera keluar dari perusahaan. Pertimbangan lain adalah karena penurunan upah nominal menyebabkan naiknya turn over pekerjanya yang selanjutnya berdampak pada kenaikan biaya perekrutan dan pelatihan. Temuan ini juga mendukung hasil penelitian Bewley (1998:459-490) yang menyebutkan bahwa pengusaha enggan untuk menurunkan upah nominal karena hal tersebut akan mengakibatkan penurunan moral pekerja dan pada akhirnya menurunkan produktivitas pekerja. Penurunan upah nominal tidak akan membuat perusahaan lebih baik.

Page 352: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 347

4.8. Ketegaran Upah Total Nominal Pekerja Produksi Untuk Turun

Analisis ketegaran upah total nominal pekerja produksi untuk turun dilakukan berdasar hasil estimasi jangka pendek terhadap upah total nominal pekerja produksi. Hasil pengujian redundant coefficient menunjukkan nilai Fhitung yang tidak signifikan sehingga model reduksi dapat dipergunakan sebagai dasar analisis. Selanjutnya, koefisien ECT2i,t-1 signifikan dan bertanda negatif. Hal ini menunjukkan bahwa model upah total nominal pekerja produksi (W3) memiliki keseimbangan jangka panjang dan terdapat proses koreksi kesalahan menuju keseimbangan. Nilai Koefisien ECT2i,t-1 menunjukkan bahwa kecepatan penyesuaian (speed of adjustment) upah total nominal aktual pekerja produksi menuju ke kondisi keseimbangan adalah sebesar 221 rupiah per tahun.

---- Tabel 9 di sini ----

Nilai F hitung pada model regresi upah nominal pekerja produksi adalah

sebesar 5,828 dan signifikan sehingga secara bersama-sama variabel sisi kanan persamaan berpengaruh signifikan pada upah total nominal pekerja produksi. Akan tetapi, secara individual interaksi antara variabel produktivitas dan variabel dummy (DUM*DYi,t) tidak signifikan. Demikian pula variabel tingkat upah total nominal pekerja produksi tahun sebelumnya (DW2 i,t ) yang tidak signifikan.

Dampak perubahan produktivitas pekerja terhadap upah total nominal pekerja produksi ditunjukkan oleh koefisien produktivitas pekerja (DYi,t) dan interaksi variabel produktivitas pekerja dengan variabel dummy (DUM*DYi,t, dan DUM*DYi,t-2). Variabel DYi,t signifikan sehingga kenaikan produktivitas pekerja mengakibatkan kenaikan upah total nominal pekerja produksi sebesar koefisien variabel DYi,t. Sebaliknya penurunan produktivitas pekerja mengakibatkan perubahan upah total nominal pekerja produksi sebesar hasil penjumlahan koefisien DYi,t, DYi,t-2, DUM*DYi,t, dan DUM*DYi,t-2.

Guna mengetahui apakah upah total nominal pekerja produksi tegar untuk turun, maka dilakukan pengujian terhadap hasil penjumlahan koefisien DYi,t, DYi,t-2, DUM*DYi,t, dan DUM*DYi,t-2 dengan menggunakan uji Wald. Hasil pengujian Wald menunjukkan t-hitung yang besarnya melebihi t-tabel (

%)5=α sehingga hipotesis 2 ditolak. Dengan demikian upah total nominal

Page 353: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 348

pekerja produksi tidak tegar untuk turun. Kenaikan produktivitas pekerja sebesar 1 ribu rupiah per pekerja akan meningkatkan upah nominal pekerja produksi sebesar 2 rupiah (cetiris paribus). Sementara itu, penurunan produktivitas pekerja sebesar 1 ribu rupiah per pekerja mengakibatkan penurunan upah nominal pekerja produksi sebesar 1 rupiah. Tunjangan pekerja produksi bersifat variabel sesuai kinerja perusahaan. Salah satu indikator kinerja perusahaan adalah produktivitas pekerja. Penurunan produktivitas pekerja mengakibatkan penurunan tunjangan pekerja produksi sehingga upah nominal pekerja produksi juga mengalami penurunan

---- Tabel 10 dan Tabel 11 di sini ----

Walaupun upah total nominal pekerja produksi tidak tegar untuk turun,

namun terdapat faktor-faktor yang diduga dapat meningkatkan derajat ketegaran upah tersebut. Analisis pengaruh faktor-faktor yang diduga berpengaruh pada ketegaran upah total nominal pekerja produksi didasarkan pada hasil estimasi model ketegaran upah total nominal pekerja produksi dengan estimasi logit.

Nilai F hasil pengujian redundant coeficient tidak signifikan. Dengan demikian model reduksi dapat digunakan sebagai dasar analisis. Selanjutnya hasil estimasi logit menunjukkan nilai LR statistik sebesar 24,438 dan signifikan. Hal ini berarti variabel produktivitas pekerja, harga output, undang-undang serikat pekerja dan upah minimum sektoral propinsi secara serentak berpengaruh pada upah total nominal pekerja produksi. Selanjutnya berdasar uji z, maka secara individual variabel produktivitas pekerja dan harga output bertanda negatif dan signifikan, sedangkan variabel undang-undang serikat dan pekerja upah minimum sektoral propinsi tidak signifikan.

---- Tabel 12 di sini ----

Koefisien regresi variabel produktivitas pekerja (DYi,t) bertanda negatif

menunjukkan bahwa kenaikan produktivitas pekerja menyebabkan kemungkinan terjadinya penurunan upah total nominal pekerja produksi semakin kecil. Kenaikan produktivitas pekerja akan meningkatkan derajat ketegaran upah total nominal pekerja produksi untuk turun. Nilai anti-ln dari koefisien regresi variabel produktivitas pekerja tersebut sama dengan 1,001. Hal

Page 354: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 349

ini berarti kenaikan produktivitas pekerja sebesar 1 ribu rupiah per pekerja, (cetiris paribus), meningkatkan kemungkinan upah total nominal pekerja produksi tegar untuk turun sebesar 1,001 (e0,001 ).

Koefisien regresi variabel harga output (DPi,t-1) bertanda negatif menunjukkan bahwa kenaikan harga output menyebabkan semakin kecilnya kemungkinan terjadi penurunan upah total nominal pekerja produksi. Hal ini berarti derajat ketegaran upah total nominal pekerja produksi mengalami kenaikan. Kenaikan harga output menyebabkan kenaikan nilai produk marjinal tenaga kerja sehingga tingkat upah nominal tidak mengalami penurunan. Kenaikan harga output sebesar 1 satu satuan, (cetiris paribus), meningkatkan kemungkinan upah total nominal pekerja produksi tegar untuk turun sebesar 1,030 (e0,030 ).

Sementara itu, variabel undang-undang serikat pekerja (UUSPit) yang tidak signifikan menunjukkan bahwa pengesahan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2000 tentang serikat pekerja tidak meningkatkan derajat ketegaran upah total nominal pekerja produksi untuk turun. Desentralisasi hubungan industrial ternyata tidak dapat meningkatkan kekuatan tawar serikat pekerja. Jumlah serikat pekerja yang berlebihan menjadikan kerja sama antar serikat pekerja sulit diujudkan. Hal ini mengakibatkan efektivitas perjuangan serikat pekerja berkurang (www.apindo.co.id).

Selanjutnya, variabel upah minimum sektoral propinsi yang tidak signifkan menunjukkan bahwa kenaikan upah minimum sektoral propinsi tidak menyebabkan upah total nominal pekerja produksi semakin tegar untuk turun. Upah total nominal pekerja produksi terdiri dari upah pokok dan tunjangan. Tunjangan pekerja produksi bersifat variabel sesuai dengan kinerja perusahaan. Kenaikan upah minimum sektoral propinsi tidak berdampak pada besarnya tunjangan pekerja produksi sehingga juga tidak berdampak pada derajat ketegaran upah total pekerja poduksi untuk turun. Hal ini berarti untuk variabel produktivitas pekerja dan harga output maka hipotesis 2 tidak ditolak, sedangkan untuk variabel undang-undang serikat pekerja dan upah minimum sektoral propinsi hipotesis 2 ditolak.

Temuan ini sejalan dengan hasil penelitian Lebow et al., (1999) yang menyatakan bahwa ketegaran kompensasi untuk turun lebih lemah daripada ketegaran upah untuk turun. Perusahaan dapat menghindari ketegaran upah untuk turun dengan melakukan variasi pada kompensasi pekerja. Kompensasi

Page 355: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 350

yang diterima pekerja terdiri dari upah dan berbagai tunjangan. Tunjangan pekerja bersifat variabel sesuai dengan kondisi perusahaan. Pada saat kondisi perusahaan memburuk tunjangan ini dimungkinkan untuk diturunkan. Hasil penelitian ini juga mendukung temuan Oyer (2005) yang menunjukkan bahwa perusahaan cenderung menggunakan skema tunjangan. Pada saat kondisis perekonomian memburuk, perusahaan dapat menurunkan biaya tenaga kerja dengan cara menurunkan tunjangan.

5. Simpulan, Keterbatasan dan Implikasi

5.1. Simpulan

Penurunan produktivitas pekerja tidak mengakibatkan upah pokok nominal pekerja produksi turun. Hal ini berarti hipotesis 1 yang menyatakan bahwa upah pokok nominal pekerja produksi industri kimia di Indonesia diduga tegar untuk turun tidak ditolak. Ketegaran upah pokok nominal pekerja produksi untuk turun dipengaruhi secara positif oleh (1) produktivitas pekerja dan (2) harga output. Kenaikan produktivitas pekerja dan harga output menyebabkan kenaikan nilai produk marjinal tenaga kerja sehingga kemungkinan terjadinya penurunan upah pokok nominal pekerja produksi semakin kecil. Sementara itu, pengesahan undang-undang serikat pekerja dan peraturan upah minimum sektoral propinsi tidak berpengaruh pada ketegaran upah pokok nominal pekerja produksi.

Sementara itu, penurunan produktivitas pekerja mengakibatkan upah total nominal pekerja produksi turun. Hal ini berarti hipotesis 2 yang menyatakan bahwa upah total nominal pekerja produksi industri kimia di Indonesia diduga tegar untuk turun ditolak. Upah total nominal pekerja produksi tidak tegar untuk turun. Tunjangan pekerja produksi yang bersifat variabel menjadikan upah total pekerja produksi tidak tegar untuk turun. Derajat ketegaran upah total nominal pekerja produksi untuk turun dipengaruhi secara positif oleh (1) produktivitas pekerja dan (2) harga output. Kenaikan produktivitas pekerja dan harga output akan meningkatkan nilai produk marjinal tenaga kerja sehingga kemungkinan terjadinya penurunan upah total nominal pekerja produksi semakin kecil. Sementara itu, pengesahan undang-undang serikat pekerja dan peraturan upah minimum sektoral propinsi tidak berpengaruh pada ketegaran upah total nominal pekerja produksi.

Page 356: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 351

5.2. Keterbatasan

Penelitian ini hanya meliput pekerja produksi industri kimia, sedangkan pekerja pada industri tersebut terdiri dari pekerja produksi dan non-produksi. Walaupun demikian penelitian ini tetap memberikan hasil analisis yang akurat karena sebagian besar pekerja pada industri kimia adalah pekerja produksi. Keterbatasan lain adalah bahwa penelitian ini hanya meliput pekerja produksi secara keseluruhan. Sementara dalam kenyataannya pekerja produksi terdiri dari berbagai macam pekerja seperti pekerja produksi di bawah mandor, mandor, satu tingkat di atas mandor, dua tingkat di atas mandor, tiga tingkat di atas mandor dan tenaga ahli. Hal ini dikarenakan adanya keterbatasan data. Publikasi Statistik Industri dari Badan Pusat Statistik, tidak membagi pekerja produksi dalam unit-unit yang lebih spesifik. Untuk itu, penelitian berikut dapat melakukan analisis yang sama menurut unit pekerja yang lebih spesifik berdasar publikasi “Statistik Struktur Upah” yang mulai dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik. Penggunaan pekerja produksi dalam unit yang lebih spesifik sebagai dasar analisis akan dapat memberikan hasil analisis lebih akurat.

Selanjutnya, dalam penelitian ini produktivitas pekerja diukur dari jumlah barang yang dihasilkan dibagi jumlah pekerja. Sebenarnya masih terdapat output lain misalnya tenaga listrik yang dijual, jasa industri yang diberikan pihak lain, keuntungan dari barang yang dijual kembali, selisih nilai stok barang setengah jadi dan penerimaan lain dari jasa non-industri. Penggunaan variabel jumlah barang dihasilkan sebagai proksi terhadap nilai output dirasa tepat karena sebagian besar dari nilai output berasal dari nilai barang yang dihasilkan.

5.3. Implikasi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa upah pokok nominal pekerja produksi tegar untuk turun. Perusahaan tidak dapat menurunkan upah pokok nominal pekerja produksi walaupun produktivitas pekerja sedang mengalami penurunan. Biaya upah pokok pekerja produksi tidak akan berkurang. Untuk itu, perusahaan dapat mendesain sistem pengupahan agar pada saat skala produksi dan produktivitas pekerja mengalami penurunan, perusahaan tidak terlalu dibebani dengan biaya upah pokok pekerja produksi. Upah pokok nominal pekerja produksi cukup ditetapkan sama atau sedikit lebih tinggi dari Upah

Page 357: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 352

Minimum Sektoral Propinsi (UMSP) dan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) terutama bagi pekerja produksi di bawah mandor. Akan tetapi bagi perusahaan yang selama ini memberikan upah pokok nominal pekerja produksi melebihi UMSP dan KHL tidak dibenarkan untuk menurunkan tingkat upah nominalnya.

Selanjutnya, upah total nominal pekerja produksi tidak tegar untuk turun. Pada saat produktivitas pekerja mengalami penurunan, maka upah total nominal pekerja produksi juga turun. Dengan demikian biaya upah total nominal pekerja produksi juga mengalami penurunan. Tunjangan pekerja produksi yang bersifat variabel menjadikan upah total nominal pekerja produksi tidak tegar untuk turun. Perusahaan dapat menentukan skema pengupahan bagi pekerja produksi dengan cara memberikan bobot lebih besar pada tunjangan pekerja produksi. Dengan demikian pada saat skala produksi dan produktivitas pekerja mengalami penurunan, biaya tenaga kerja dapat dikurangi tanpa harus melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).

DAFTAR REFERENSI

Alessandria, G., Joseph Kaboski, Virgiliu Midrigan, 2008. “Inventories, Lumpy Trade, and Large Devaluations”, Working Paper, Federal Reserve Bank of Philadelphia.

Apindo, 2006. Serikat Pekerja : Perspektif Pengusaha, www.apindo.com. Badan Pusat Statistik, Statistik Industri, Jakarta, beberapa edisi. Bappenas, 1998, Garis-Garis Besar Haluan Negara, Jakarta. Bewley, T.F., 1998, “Why Not Cut Pay”, European Economic Review, 42:459-

90. Bewley, T.F., 2004. “Fairness, Reciprocity and Wage Rigidity”, IZA

Discussion Paper No. 1137. Bosworth, Derek, Peter Dawkins dan Thorsten Stromback. 1996, The

Economics of the Labor Market, Addison Wesley Longman. Branson, William, H., 1989. Macroeconomic Theory and Policy, Edisi 3,

Harper and Raw Publisher, New York. Campbell, C., dan K. Kamlani, 1997. “ The Reason for Wage Rigidity:

Evidence from a Survey of Firms,” Quarterly Journal of Economics, 112: 759-89.

Page 358: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 353

Flatters, Frank, 2005. “The Economics of MIDP and the South African Motor Industry”, Discussion Paper, Queen’s University, Canada.

Feridhanusetyawan, Tubagus, Haryo Aswicahyono, dan Titik Anas, 2000. “The Economic Crisis and the Manufacturing Industry: The Role of Industrial Networks”, Working Paper, CSIS, Jakarta.

Feridhanusetyawan, Tubagus, dan Mari Pangestu, 2004. “Indonesia in Crisis: An Macroeconomic Perspective”, Working Paper, CSIS, Jakarta.

Gujarati, D.N., 2003, Basic Econometric, McGraw-Hill, Inc. Im, K.S., S.C., Pesaran dan Y. Shin, 1997, “Testing for Unit Roots in

Heterogeneous Panel”, Working Paper, University of Cambridge. Kahneman, D, J.L. Knetsch dan R. Thaler, 1986. “Fairness as a Constraint on

Profit Seeking: Entitlement in the Market”, American Economics Review,76: 728-41.

Lebow, David, E., R.E. Saks dan B.A. Wilson, 1999, “Downward Nominal Wage Rigidity”, Working Paper, Federal Reserve Bank.

Liew, Venus Khim−Sen, 2004. "Which Lag Length Selection Criteria Should We Employ?." Economics Bulletin, 33:1−9

Manajemen, Nomor.121, September, 1998. McConnel, Champbell, R., Stanley L. Brue, dan David A. Macpherson, 2003.

Contemporary Labor Economics, McGraw-Hill, New York. Nicholson, 1995, Microeconomic Theory: Basic Principles and Extensions,

Sixth Edition, The Dryden Press Oyer, Paul, 2005. “Can Employee Benefits Ease the Effects of Nominal Wage

Rigidity?: Evidence from Labor Negotiations”, Working Paper, Stanford University Graduate School of Business.

Patterson, Kerry, 2000. An Introduction to Applied Econometrics : A Time Series Approach, Palgrave, New York.

Pedroni, Peter, 1999. “Critical Values For Cointegration Tests in Heterogeneous Panels with Multiple Regressors”, Oxford Bulletin of Economics and Statistics, Special Issues, 563-70.

Pindyck, Robert S., dan D. L. Rubinfeld, 2001, Microeconomics, Prentice Hall, New Jersey.

SMERU, 2001. “Wage and Employment Effects of Minimum Wage Policy in the Indonesian Urban Labor Market”, Research Report, Jakarta

Page 359: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 354

Suharyadi, Asep, Wenefrida Widyanti, Daniel Perwira dan Sudarmo Sumarto, 2003, “Minimum Wage Policy and Its Impact on Employment in the Urban Sector”, Bulletin of Indonesian Economic Studies, 39: 29-50

Tambunan, Tulus, 2000. “The Performance of Small Enterprises During Economic Crisis: Evidence from Indonesia”, Journal of Small Business Management; 93-101.

Tjiptoherijanto, Prijono, 1993. “Perkembangan Upah Minimum dan Pasar Kerja”, Ekonomi dan Keuangan Indonesia, 4: 409-424.

Page 360: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 355

LAMPIRAN Tabel 1

Perkembangan Pemanfaatan Kapasitas Terpasang dan Produktivitas Pekerja Industri Besar dan Sedang Kimia 1996-2005

Tahun Pemanfaatan Kapasitas Terpasang

(persen)

Produktivitas Pekerja (juta rupiah per pekerja)

1996 76,04 272,34 1997 70,09 268,94 1998 68,21 247,81 1999 70,91 198,23 2000 75,07 149,04 2001 71,57 153,21 2002 68,53 216,89 2003 71,13 168,13 2004 74,99 171,26 2005 75,99 174,40

Sumber : Badan Pusat Statistik, Statistik Industri, beberapa periode (diolah kembali)

Gambar 1

Biaya, Harga

P P=MR

O q1 q2 Output

MC2 = S2

MC1 = S1

Page 361: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 356

Gambar 2

Tabel 2 Hasil Uji Akar-Akar Unit dan Derajat Integrasi Berdasar Model Im, Pesaran dan Shin (1997)

Variabel Aras (level) Differensi Pertama

t-statistik Nilai Kritis (α=5%)

t-statistik Nilai Kritis (α=5%)

W1i,t 4,338 -1,645 -4,472)* -1,645 W2 i,t 3,804 -1,645 -5,614)* -1,645 Y i,t -0,899 -1,645 -7,167)* -1,645 P i,t 4,147 -1,645 -2,134)* -1,645

UPMIN i,t 8,562 -1,645 -1,862)* -1,645 *) signifikan pada tingkat (α=5% )

Upah

SL

EB EA WA

WB DLA DLB O LB LC LA Jumlah Pekerja

Page 362: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 357

Tabel 3 Hasil Uji Kointegrasi Pedroni Untuk Model Persamaan Upah Pokok dan

Upah Total Nominal Pekerja Produksi

Nomor Panel Statistik Model Upah Pokok Nominal Pekerja

Produksi

Model Upah Total Nominal Pekerja

Produksi

Nilai Kritis Pedroni

( %5=α ) 1. Panel V-stat 1,031 0,533 1,645 2. Panel Rho-stat -0,633 -0,379 -1,645 3. Panel PP-stat -2,463)* -2,458)* -1,645 4. Panel ADF-stat -3,544)* -3,708)* -1,645 5. Panel Rho-stat 1,454 1,679 -1,645 6. Panel PP –stat -1,706)* -1,737)* -1,645 7 Panel ADF-stat -3,099)* -3,099)* -1,645

*) signifikan pada (α = 5% )

Tabel 4 Hasil Uji Kointegrasi Pedroni Untuk Model Ketegaran Upah Pokok dan

Upah Total Nominal Pekerja Produksi

Nomor Panel Statistik Ketegaran Upah Pokok Nominal

Pekerja Produksi

Ketegaran Upah Total Nominal

Pekerja Produksi

Nilai Kritis Pedroni

( %5=α ) 1. Panel V-stat -1,831 -1,429 1,645 2. Panel Rho-stat 3,029 0,954 -1,645 3. Panel PP-stat -3,149)* -2,818)* -1,645 4. Panel ADF-stat -1,736)* -1,764)* -1,645 5. Panel Rho-stat 4,979 4,768 -1,645 6. Panel PP –stat -5,477)* -4,838)* -1,645 7 Panel ADF-stat -3,128)* -2,291)* -1,645

*) signifikan pada (α = 5% )

Page 363: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 358

Tabel 5. Hasil Estimasi Jangka Pendek Model Persamaan Upah Pokok Nominal

Pekerja Produksi (Common Effects)

Nomor. Variabel

Koefisien (ribu rupiah)

t-statistik t-tabel (α =5%)

1. C 155,293 5,424)* 1,645 2. DW1i,t-1 0,086 0,767 -1,645 3. DY i,t 0,001 4,490)* 1,645 4. DY i,t-2 0,001 0,658 1,645 5. DUM*DY i,t -0,001 -2,478)* -1,645 6. DUM*DY i,t-2 -0,001 -0,809 -1,645 7. ECT1i,t-1 -0,173 -2,730)* -1,645

Variabel dependen: DW1i,t R2 = 0,292 Fhitung = 5,928 *) signifikan pada (α=5%) Ftabel(5%) =2,254

Tabel 6

Pengujian Ketegaran Upah Pokok Nominal Pekerja Produksi Untuk Turun Dengan Menggunakan Uji Wald

Hipotesis 1 : Koefisien DYi,t + Koefisien DYi,t-2 + Koefisien DUM*DYi,t + Koefisien DUM*DYi,t-2 = 0 [Upah pokok nominal pekerja produksi tegar untuk turun]

Nilai Penjumlahan Koefisien Regresi

Kesalahan Standar t hitung t tabel (%)5=α

-0,000031 0,000306 -1,013 1,645 Kesimpulan Upah pokok nominal pekerja produksi tegar untuk turun

Page 364: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 359

Tabel 7 Dampak Kenaikan dan Penurunan Produktivitas Pekerja Pada Upah Pokok Nominal Pekerja Produksi Dalam Jangka Pendek

Dampak Pada

Kenaikan produktivitas pekerja sebesar 1 ribu rupiah

Penurunan produktivitas pekerja sebesar 1 ribu rupiah

Perubahan upah pokok nominal pekerja produksi

1 rupiah 0 rupiah

Tabel 8 Hasil Estimasi Jangka Pendek Model Ketegaran Upah Pokok

Nominal Pekerja Produksi (RIGID1)

No. Variabel

Koefisien (ribu rupiah)

z-statistik Nilai kritis (α =5%)

1. C -1,014 -1,173 -1,645 2. RIGID1i,t-1 -0,397 -0,482 -1,645 3. DYi,t -0,001 -1,919)* -1,645 4. DY1i,t-1 -0,001 0,961 1,645 5. DPi,t-1 -0,126 -1,679)* -1,645 6. DPi,t-2 0,067 0,645 1,645 7. UUSP i,t -0,326 -0,593 -1,645 8. DUPMIN i,t-1 0,089 1,599 1,645 9. DUPMIN i,t-2 -0,049 -0,586 -1,645

Variabel dependen : RIGID1i,t LR statistic = 13,767 )* )* signifikan pada (α=5%)

Tabel 9

Page 365: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 360

Hasil Estimasi Jangka Pendek Model Persamaan Upah Total Nominal Pekerja Produksi (Common Effects)

No. Variabel

Koefisien

(ribu rupiah) t-statistik t-tabel

(α =5%) 1. C 218,832 3,403)* 1,645 2. DW2i,t-1 -0,143 -0,457 -1,645 3. DY i,t 0,002 7,645)* 1,645 4. DY I,t-2 0,001 1,261 1,645 5. DUM*DY i,t -0,001 -1,693)* -1,645 6. DUM*DY i,t-2 -0,002 -1,826)* -1,645 7. ECT2 i,t- -0,221 -3,763)* -1,645

Variabel dependen: DW2i,t R2 =0,603 Fhitung = 18,009

*) signifikan pada (α=5%) Ftabel (5%) =2,097

Tabel 10 Pengujian Ketegaran Upah Total Nominal Pekerja Produksi Untuk Turun

Dengan Menggunakan Uji Wald

Hipotesis 3: Koefisien DYi,t + Koefisien DYi,t- 2 + Koefisien DUM*DYi,t + Koefisien DUM*DYi,t-2 = 0 (Upah total nominal pekerja produksi tegar untuk turun)

Nilai Penjumlahan Koefisien Regresi

Kesalahan Standar t hitung t tabel ( %)5=α

-0,001150 0,000594 -1,936)* -1,645 Kesimpulan Upah total nominal pekerja produksi tidak tegar untuk

turun *) signifikan pada ( %)5=α

Tabel 11

Page 366: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 361

Dampak Kenaikan dan Penurunan Produktivitas Pekerja Pada Upah Total Nominal Pekerja Produksi Dalam Jangka Pendek

Dampak Pada

Kenaikan produktivitas pekerja sebesar 1 ribu rupiah

Penurunan produktivitas

pekerja sebesar 1 ribu

rupiah Perubahan upah total nominal pekerja produksi

2 rupiah

1 rupiah

Tabel 12 Hasil Estimasi Jangka Pendek Model Ketegaran Upah Total

Nominal Pekerja Produksi (RIGID2)

No. Variabel

Koefisien (ribu rupiah)

z-statistik Nilai kritis (α =5%)

1. C -1,903 -1,811)* -1,645 2. RIGID2i,t-1 0,392 0,639 1,645 3. DYi,t -0,001 -2,193)* -1,645 4. DY1i,t-1 0,001 0,757 1,645 5. DPi,t 0,076 1,625 1,645 6. DPi,t-1 -0,030 -1,740)* -1,645 7. UUSP i,t 0,910 1,345 1,645 8. DUPMIN i,t-1 0,047 1,338 1,645 9. DUPMIN i,t-2 -0,011 -0,550 -1,645

Variabel dependen : RIGID2i,t R2

MCF = 0,222 LR statistik = 24,438 *) signifikan pada (α=5%)

Page 367: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 362

PERMINTAAN ENERGI LISTRIK RUMAH TANGGA (Studi Kasus pada Pengguna Kelompok Rumah Tangga

Listrik PT PLN (Persero) di Kota Medan)

Tongam Sihol Nababan∗

ABSTRACT The research is aimed to analyze the factors affecting the household

electricity energy demand for every stratum of tariff category which has different characteristics. The research was carried out in Medan City by interviewing 383 (household) respondents. The OLS was employed to analyze the data. The model is specified into basic-model and developed-model. The basic model consists of consumer’s income, WTP per KWh (kilowatt-hours), home appliances index, number of household members, number of rooms, price of other energy (fuel and gas), and ethnic variables. While, the developed-model composed by variables occupation of household (head), household member’s education, family activities, location, and PLN’s service quality.

The results showed that demand for electricity (by strata) in Medan City are influenced by income (significant at 10 % level), willingness to pay per KWh (1 %), home appliances index (5 %), number of household members (5 %), number of rooms (5 %), price of fuel (5 %), and family activities (10 %). While the demographic/household variables are only influenced for individual demand by its strata. Household member’s education (5 %) and PLN’s service quality (10 %) variables are only influenced for stratum 2200 VA and 1300 VA respectively. The variables of etnic (10 %), occupation of household (head) (5 %), and location (5 %) variables are only significantly different for stratum 1300 VA, 2200 VA, and 450 VA respectively. The study found that electricity at the moment is considered as a normal goods with inelastic in the demand character.

The research suggest that PLN’s consumers in Medan City could utilize the electricity more efficient with less in usage of appliances due to limited power supplied by PT PLN. Moreover, PT PLN should improve its management in some extents of electric power station, and favourable tariff to the customers.

∗ Alumni Program Doktor Ilmu Ekonomi UNDIP Semarang dan staf pengajar FE Universitas HKBP Nommensen Medan

Page 368: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 363

Keywords : household, electricity demand, strata, willingness to pay (WTP). I. PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

Pembangunan ketenagalistrikan dihadapkan pada berbagai tantangan dan permasalahan. Dalam RPJMN Tahun 2004-2009 dinyatakan bahwa tantangan tersebut antara lain kondisi geografis yang luas dan terdiri atas banyak kepulauan serta kondisi demografi dengan densitas yang sangat variatif antar berbagai wilayah sehingga sulit untuk mengembangkan sistem kelistrikan yang optimal dan efisien. Dalam RPJMN tersebut juga dikemukakan beberapa permasalahan ketenagalistrikan, yaitu : (1) keterbatasan kapasitas pembangkit, (2) keterbatasan kemampuan pendanaan, (3) kurangnya kemandirian industri ketenagalistrikan, (4) tingginya ketergantungan terhadap bahan bakar minyak, (5) rendahnya kinerja sarana dan prasarana, dan (6) belum tercapainya tingkat tarif yang ekonomis.

Sampai saat ini sumber pembangkit tenaga listrik di Indonesia masih didominasi oleh PT PLN (Persero) dengan kapasitas pembangkit sebesar 25.087 MW. Kapasitas terpasang tersebut sebagian besar (78 %) berada pada sistem Jawa Bali, sedangkan sisanya (22%) berada di luar sistem Jawa Bali. Pada sistem Jawa Bali, permintaan energi listrik pada beban puncak telah terpenuhi tetapi dengan reserve margin di bawah 5 %. Kondisi ini dianggap krisis, padahal reserve margin normal yang ditetapkan PLN sebesar 40 %. Apabila reserve margin dipertimbangkan, kekurangan daya akan lebih besar lagi. Pada sistem luar Jawa Bali, daya mampu tidak dapat mengimbangi permintaan beban puncak sebesar. Jika reserve margin dipertimbangkan, kekurangan daya pada sistim luar Jawa Bali akan lebih besar lagi (RUPTL 2006 – 2015). Hal ini menunjukkan bahwa secara umum permintaan energi listrik belum dapat dipenuhi oleh sisi penawaran (demand > supply).

Salah satu sistem kelistrikan luar Jawa Bali tersebut adalah sistem kelistrikan Sumatera dengan salah satu wilayah operasinya adalah PT PLN (Persero) Wilayah II Sumatra Utara. PT PLN (Persero) Wilayah II Sumatra Utara memiliki beberapa cabang, di antaranya adalah PT PLN Cabang Kota Medan. Sejak tahun 1995 hingga tahun 2005 tidak ada pertambahan mesin pembangkit yang signifikan. Kebutuhan masyarakat di Sumatra Utara terhadap penggunaan energi listrik dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang

Page 369: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 364

cukup tinggi. Tingkat pertumbuhan demand pada tahun 2005 mencapai 9,97 %. Hal ini tidak sebanding lagi dengan ketersediaan sumber energi listrik dari pembangkit PLN. Dengan kondisi normal saja pembangkit yang ada hanya mampu menghasilkan daya sebesar 950 MW. Sementara, kebutuhan masyarakat sudah mencapai 1047 MW. Ketidakseimbangan daya mampu PLN dengan kebutuhan pemakaian mengakibatkan PLN Sumatra Utara mengalami kekurangan pasokan energi listrik sebesar 100 MW hingga 120 MW. Kondisi inilah yang memaksa PLN melakukan pemadaman listrik secara bergilir di seluruh Provinsi Sumatra Utara (PT. PLN Regional Sumatra Utara, 2004). Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK) Medan memperkirakan bahwa kebutuhan energi listrik di Kota Medan terus meningkat selama periode lima tahun mendatang (2004–2009) dan diperkirakan pertumbuhan kebutuhan listrik rata-rata sebesar 2,45 % per tahun (RUTRK Medan 2003).

Fenomena-fenomena atau isu yang menunjukkan permintaan energi listrik yang melebihi penawaran atau penyediaan tenaga listrik oleh PT PLN menjadi sangat penting dan menarik untuk diteliti. Akan tetapi, penelitian ini hanya mengkaji dan menganalisis sisi permintaaan energi listrik serta faktor-faktor yang mempengaruhinya dengan alasan bahwa : (a) industri kelistrikan merupakan pengusahaan monopoli oleh negara (Kadir 1995), (b) karena sisi penawaran energi banyak diartikan sebagai keputusan atau kebijakan investasi pemerintah (Yusgiantoro 2000).

Banyak faktor yang mempengaruhi permintaan energi listrik. Pola dan besarnya penggunaan energi listrik akan berbeda untuk setiap kelompok konsumennya yang tergantung pada dua faktor, yaitu 1) untuk objek apa energi listrik tersebut digunakan, dan 2) waktu penggunaan (hours load) (Philipson dan Willis 1999). Fluktuasi permintaan tenaga listrik dari kelompok pelanggan, baik yang menyangkut besarnya daya, maupun yang menyangkut waktu, dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti (1) cuaca, (2) industri musiman dan daerah hiburan, 3) adanya kejadian-kejadian penting (Kadir 2000). Lebih luas lagi, faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan energi listrik adalah kondisi ekonomi, waktu pemakaian dalam hitungan harian maupun mingguan, kondisi cuaca, sikap terhadap konservasi, penduduk, penggunaan televisi, lingkungan peraturan, harga listrik, teknologi, energi alternatif, dan keadaan demografik (Nagurney dan Arneaux 1991). Secara umum, untuk semua kelompok konsumen energi listrik, faktor-faktor yang dapat mempengaruhi

Page 370: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 365

kebutuhan atau permintaan listrik adalah (1) pendapatan konsumen, (2) tarif atau harga listrik, (3) ketersediaan listrik, (4) harga energi substitusi, dan (5) kepemilikan peralatan, harga dan efisiensi penggunaan peralatan listrik (PT PLN Wilayah Sumut 2004).

Variabel utama paling mendasar yang berpengaruh pada permintaan energi listrik rumah tangga adalah pendapatan rumah tangga, harga (tarif) energi listrik, dan stok/jumlah peralatan listrik (stock of appliances) (Anderson 1973 ; Wilder dan Willenborg 1975 ; Acton et al.1980 ; Fujii dan Mak 1984 ; Jaffee et al. 1982 ; Terza 1986, Filippini 1995 ; Halvorsen dan Larsen 1999a, 1999b ; Matsukawa 2000 ; Langmore dan Dufty 2004). Selain variabel-variabel tersebut, beberapa penelitian lain memasukkan variabel-variabel karakteristik rumah tangga dan demografik dalam mengestimasi permintaan energi listrik rumah tangga, seperti yang dilakukan oleh Taylor 1979 ; Barnes et al. 1981 ; Archibald et al. 1982 ; Maddigan et al. 1983 ; Garbacz 1984 ; Reiss dan White 2001 ; Larsen dan Nesbakken 2002 ; Halvorsen et al. 2003. Beberapa peneliti lainnya juga telah memasukkan jenis energi lain seperti kayu bakar, bahan bakar minyak, dan gas dalam model permintaan energi listrik sebagai variabel substitusi (Maddigan et al. 1983 ; Halvorsen et al. 2003 ; Langmore dan Dufty 2004).

Uraian-uraian di atas menunjukkan belum lengkapnya faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan energi listrik rumah tangga. Beberapa perbedaan pendapat atau hasil temuan sebagai research gap pada penelitian ini, terutama mengenai hubungan karakteristik demografik/rumah tangga dan permintaan energi listrik rumah tangga perlu dikaji. Beberapa temuan sebagaimana diuraikan di atas menunjukkan bahwa faktor-faktor karakteristik demografik/rumah tangga merupakan hal yang sangat penting bagi determinan permintaan energi listrik rumah tangga. Penelitian ini dimaksudkan untuk memperjelas bagaimana faktor-faktor demografik/rumah tangga mempengaruhi permintaan energi listrik rumah tangga, sehingga diperoleh model permintaan energi listrik rumah tangga yang lebih baik.

Analisis permintaan energi listrik dalam penelitian ini, dibatasi hanya untuk daerah Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara, sebagai wilayah operasi PT PLN (Persero) Cabang Medan. Pelanggan energi listrik PLN di Kota Medan terdiri atas kelompok sosial, rumah tangga, bisnis, industri, publik, dan multiguna. Hanya saja, yang menjadi objek penelitian ini adalah kelompok rumah tangga,

Page 371: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 366

yang terbagi lagi dalam segmen-segmen berdasarkan strata golongan tarif yaitu: R-1/TR 450 VA, R-1/TR 900 VA, R-1/TR 1300 VA, R-1/TR 2200 VA, R-2/TR > 2200 VA s/d 6600 VA, dan R-3/TR > 6600 VA. Pemilihan kelompok rumah tangga didasarkan pada pertimbangan bahwa : 1) porsi terbesar pelanggan listrik PLN Kota Medan adalah rumah tangga (90,20 %), 2) pelanggan rumah tangga termasuk dalam kelompok pemakai terbesar energi listrik PLN di Kota Medan setelah kelompok industri, 3) sasaran program elektrifikasi adalah rumah tangga, 4) penggunaan alat-alat listrik lebih banyak dijumpai pada pelanggan rumah tangga, 5) pelanggan rumah tangga memiliki sensitivitas yang lebih tinggi terhadap kebijakan PLN dibanding dengan kelompok pelanggan lainnya. 1. 2 Perumusan Masalah

Permintaan energi listrik rumah tangga diprediksi akan terus meningkat pada tahun-tahun mendatang, seiring dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi, kegiatan ekonomi, pertumbuhan penduduk, dan harga barang-barang elektronika (appliances) yang semakin terjangkau oleh masyarakat. Dalam penelitian ini, energi listrik dalam rumah tangga adalah sebagai produk akhir. Permintaan energi listrik rumah tangga tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti faktor-faktor ekonomi, peralatan-peralatan listrik, karakteristik rumah tangga, karakteristik demografik, dan faktor-faktor lain yang relevan. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan energi listrik mencakup variabel dependen dan variabel independen. Variabel dependen terdiri atas permintaan energi listrik, sedangkan variabel independen terdiri atas (1) pendapatan, (2) harga yang diproksi dengan WTP, (3) indeks ala-alat listrik, (4) harga energi lain, (5), jumlah anggota keluarga, (6) jumlah ruangan, (7) tingkat pendidikan, (8) pekerjaan kepala keluarga, (9) kegiatan keluarga, (10) etnis, (11) lokasi, dan 12) pelayanan pihak PLN. Oleh karena itu, masalah penelitian adalah bagaimana mengeksplorasi faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan energi listrik rumah tangga serta bagaimana pemilihan model-model estimasinya sesuai dengan karakterisitik pelanggan listrik rumah tangga di Kota Medan.

Dari penelitian-penelitian terdahulu tentang permintaan energi listrik rumah tangga diketahui bahwa penelitian hanya menganalisis permintaan energi listrik secara keseluruhan. Penelitian-penelitian terdahulu belum diarahkan untuk menganalisis permintaan energi listrik untuk setiap strata golongan atau tarif.

Page 372: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 367

Karena dalam kenyataannya, di Indonesia kelompok konsumen rumah tangga (yang masih diklasifikasikan lagi ke dalam enam strata, yaitu : R-1/TR 450VA, R-1/TR 900VA, R-1/TR 1300VA, R-1/TR 2200VA, R-2/TR >2200VA-6600VA, R-3/TR > 6600VA.

Oleh karena itu, secara khusus dapat dikemukakan pertanyaan penelitian yang akan diteliti lebih lanjut, yaitu: 1. Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi permintaan energi listrik

untuk setiap strata golongan tarif dalam kelompok rumah tangga di Kota Medan ?

2. Bagaimanakah memodelkan estimasi permintaan energi listrik untuk setiap strata golongan tarif dalam kelompok rumah tangga di Kota Medan ?

1. 3 Orisinalitas Penelitian Orisinalitas atau keaslian penelitian ini yang membedakannya dengan

penelitian-penelitian sebelumnya terletak pada : 1. Estimasi dilakukan terhadap berbagai golongan tarif yaitu : R-1/TR 450VA,

R-1/TR 900VA, R-1/TR 1300VA, R-1/TR 2200VA, R-2/TR > 2200VA-6600VA, R-3/TR > 6600VA, yang belum pernah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Estimasi untuk setiap golongan tarif ini perlu dilakukan karena setiap golongan tarif pelanggan listrik rumah tangga memiliki daya listrik, harga listrik serta karakteristik-karakteristik rumah tangga yang berbeda terutama dalam hal kepemilikan (saturation), penggunaan (utilization), dan ketersediaan (stock) peralatan-peralatan listrik (appliances).

2. Penelitian ini menggunakan data primer atau data cross section dari setiap strata atau golongan tarif pelanggan rumah tangga, sedangkan peneliti-peneliti sebelumnya hanya menggunakan data-data time-series yang diperoleh dari data sekunder.

3. Penelitian ini diarahkan untuk memprediksi karakteristik-karakteristik rumah tangga yang dapat mempengaruhi permintaan energi listrik, yang sebelumnya belum pernah dilakukan oleh peneliti-peneliti terdahulu di Indonesia.

1. 4 Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini ada dua, yaitu : (1) menganalisis faktor-faktor yang

berpengaruh terhadap permintaan energi listrik untuk kelompok konsumen rumah tangga di kota Medan, (2) untuk membuat model permintaan energi listrik bagi pelanggan kelompok konsumen rumah tangga di Kota Medan. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat : (1) sebagai model alternatif dalam

Page 373: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 368

melakukan estimasi permintaan energi listrik kelompok rumah tangga, (2) untuk memberikan informasi bagi pihak manajemen PT PLN (Persero) dan perusahaan-perusahaan pengelola energi lainnya dalam merumuskan kebijakan pembangunan ketenagalistrikan, (3) sebagai bahan kajian dan informasi untuk penelitian-penelitian selanjutnya di bidang energi.

II. KERANGKA TEORITIS DAN HIPOTESIS

Model-model permintaan energi rumah tangga (residential/household energy demand) misalnya listrik, selalu berhubungan dengan estimasi utilitas permintaan, misalnya jasa-jasa energi (energy services) yang diinginkan oleh manusia untuk penerangan, pendingin, pemanas, peralatan-peralatan listrik (appliances) lainnya. Hubungan ini digambarkan sebagai hubungan input dan output energy. Input energy berhubungan dengan isi energi utilitas yang digunakan untuk end-uses categories (alat-alat pemanas, pendingin ruangan, lampu listrik, dalan peralatan-peralatan listrik lainnya). Sedangkan output energy berhubungan dengan muatan (load) yang memberikan energy services atau muatan jasa yang diberikan end-uses categories, seperti panas, dingin, terang, dan lain-lain (Guertin et al. 2003). Pemanfaatan energi untuk menghasilkan jasa-jasa energi dalam rumah tangga disebut dekomposisi residential end-uses (Bartel dan Fiebeg 2000 ; Meetamehra 2002 ; Larsen & Nesbakken 2002). Oleh karena itu, estimasi model permintaan energi listrik rumah tangga harus dilihat sebagai hubungan antara ketersediaan atau stok peralatan (capital stock, or stock of appliances, or stock of equipment) dan intensitas penggunaannya.

Secara umum, konsumsi energi listrik tergantung pada stok atau keberadaan/ketersediaan peralatan-peralatan listrik dan intensitas penggunaan peralatan-peralatan listrik tersebut dalam rumah tangga (Wilder & Willenborg 1975 ; Garbacz 1984). Oleh karena itu, dalam membuat estimasi fungsi permintaan energi listrik rumah tangga harus memasukkan unsur stok kapital atau stok peralatan-peralatan listrik dan tingkat penggunaannya, dengan asumsi bahwa dalam jangka pendek stok kapital dianggap tidak berubah atau tetap (Wilder & Willenborg 1975 ; Amarullah 1984 ; Silk dan Joutz 1997 ; Reiss dan White 2001). Namun, estimasi fungsi permintaan energi listrik rumah tangga tidak hanya memasukkan variabel-variabel yang menyangkut energi listrik itu sendiri seperti harga listrik, jumlah energi listrik, stok kapital alat-alat

Page 374: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 369

listrik, tetapi juga mempertimbangkan variabel-variabel lain yang dapat mempengaruhi fungsi utilitas permintaaan energi listrik seperti unsur-unsur demografi dan sosial tempat rumah tangga berada. Dengan demikian, secara umum, permintaan energi listrik rumah tangga dipengaruhi oleh pendapatan rumah tangga, harga atau tarif energi listrik, stok alat-alat listrik (appliances), karakteristik rumah tangga (household characteristics), karakteristik rumah (housing characteristics), dan variabel-variabel lain yang relevan.

Salah satu faktor yang paling penting dalam permintaan energi listrik rumah tangga adalah harga/tarif listrik. Namun dalam studi empirik, penggunaan proksi harga/tarif ini berbeda-beda, apakah menggunakan harga rata-rata atau harga marginal. Pilihan antara menggunakan harga rata-rata ataupun harga marginal merupakan isu metodologi yang penting dalam analisis permintaan energi listrik. Harga atau tarif listrik biasanya diasosiasikan dengan suatu struktur harga yang makin menurun (declining rate structure) ataupun struktur harga yang makin menaik (increasing rate structure).

Beberapa peneliti seperti Archibald 1982 ; Garbacz 1984 ; Henson 1984 ; Westley 1989 ; McKean & Winger 1992 menggunakan harga marginal (marginal price) sebagai variabel harga atau tarif energi listrik. Berbeda dengan peneliti sebelumnya, Wilder dan Willenborg 1975 ; Halvorsen 1975 ; Maddigan et a.l 1983 ; Amarullah 1983 ; Jung 1993 menggunakan harga rata-rata (average price). Begitu juga dengan Chang dan Chombo 2001 juga menggunakan harga rata-rata karena adanya tarif yang berbeda-beda untuk setiap pelanggan kelompok rumah tangga dan kelompok konsumen lainnya.

Dalam penelitiannya, Wilder dan Willenborg 1975 menggunakan harga rata-rata (average price) yang didasarkan pada rekening listrik bulanan, dengan alasan bahwa konsumen kurang mengerti tentang harga marginal. Alasan lain, sebagaimana dibuktikan oleh Halvorsen 1975 ; McKean dan Winger 1992 bahwa dalam bentuk log-linear baik untuk fungsi permintaan, maupun fungsi harga ; nilai elastisitas permintaan dengan menggunakan harga rata-rata tidak jauh berbeda dengan nilai elastisitas permintaan apabila menggunakan harga marginal.

Sehubungan dengan harga/tarif listrik, sampai saat ini di Indonesia harga listrik masih ditetapkan berdasarkan sudut pandang produsen saja, dalam hal ini PT PLN dan pemerintah. Penetapan harga belum sesuai dengan harga pasar

Page 375: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 370

karena harga listrik selalu ditetapkan oleh pemerintah (regulated) dengan alasan bahwa listrik adalah barang publik yang harus disubsidi untuk tujuan-tujuan keadilan dan sosial. Oleh karena itu, dalam penelitian ini harga/tarif listrik akan diproksi dengan variabel WTP (willingness to pay) dengan menggunakan metode CV (contingent valuation). Proksi harga/tarif dengan WTP melalui metode CV diartikan sebagai upaya untuk memperoleh langsung berapa kemauan/kesediaan konsumen untuk membayar terhadap harga/tarif listrik yang digunakan. Adapun format metode CV yang akan digunakan untuk memperoleh nilai WTP adalah closed-ended referendum format (pertanyaan tertutup).

Penggunaan variabel WTP sebagai proksi terhadap harga/tarif listrik dapat dimungkinkan dengan alasan 1) WTP konsumen dapat mengungkapkan nilai atau harga yang sebenarnya dari suatu barang atau jasa (Nam dan Son 2005), 2) sistem penetapan harga/tarif listrik di Indonesia berbentuk increasing block-rate pricing sehingga harga berbeda untuk setiap tingkat penggunaan dan strata golongan tarif (daya). Variabel harga yang sesuai dengan bentuk ini adalah harga marginal ataupun harga rata-rata, tetapi jika datanya adalah data runtut waktu (time series) (Amarullah 1984). Sedangkan dalam penelitian ini data yang digunakan adalah data cross section dari konsumen rumah tangga.

Pada penelitian-penelitan terdahulu, variabel-variabel lain telah dimasukkan dalam estimasi permintaan energi listrik rumah tangga. Di antaranya adalah (1) variabel musim (suhu atau cuaca) oleh Willen dan Willenborg 1975 ; Halverson 1975 ; Matsukawa et al. 2000 ; Akmal dan Stern 2001 ; Reiss & White 2001 ; Brown dan Koomey 2003, (2) variabel struktur perumahan (bentuk, ukuran, lokasi) oleh Willen dan Willenborg 1975, Wilder at al. 1992, Munley et al. 1990 ; Filippini 1999 ; Reiss dan White 2001 ; dan (3) variabel karakteristik rumah tangga (jumlah penduduk, jumlah anggota keluarga, usia) oleh Wilder dan Willenborg 1975 ; Amarullah 1983 ; Jung 1993 ; Munley et al. 1990 ; Filippini 1999 ; Reiss dan White 2001 ; Peterson 2002.

Estimasi model atau fungsi permintaan energi listrik rumah tangga dapat dispesifikasikan dalam bentuk persamaan tunggal dan persamaan simultan. Beberapa studi seperti yang dilakukan oleh Amarullah 1983 ; Wilder 1992 ; Jung 1993 menggunakan model permintaan energi listrik rumah tangga dalam bentuk persamaan tunggal dengan menggunakan Ordinary Least Square (OLS). Estimasi model atau fungsi permintaan energi listrik rumah tangga yang

Page 376: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 371

dispesifikasikan dalam bentuk persamaan simultan telah dilakukan antara lain oleh Wilder dan Willenborg 1975, Maddigan et al..1983 ; dan Garbacz 1984.

Sampai saat ini, penelitian tentang permintaan energi listrik di Indonesia masih terbatas. Amarullah 1984, Tarigan 1998, dan Tarigan dkk. 2002 masih mengestimasi permintaan atau kebutuhan energi listrik per kelompok secara keseluruhan tanpa memperhatikan karakteristik kelompok. Padahal setiap kelompok pelanggan masih diklasifikasikan lagi ke dalam beberapa strata berdasarkan daya tersambung dan tarif listrik yang setiap stratanya mempunyai karakteristik yang berbeda. Hal itu karena kelompok konsumen energi listrik di Indonesia masih dibagi lagi dalam beberapa strata berdasarkan daya tersambung dan tarif.

Dengan mengkaji model-model permintaan energi listrik rumah tangga sebagaimana diuraikan di atas, penelitian ini memfokuskan estimasi fungsi permintaan energi listrik untuk kelompok rumah tangga di Kota Medan, Sumatra Utara. Model estimasi dilakukan untuk setiap strata kelompok rumah tangga yang didasarkan pada daya tersambung dan tarif. Ada enam strata kelompok yaitu R-1/TR 450VA, R-1/TR 900VA, R-1/TR 1300VA, R-1/TR 2200VA, R-2/TR 2201VA-6600VA, R-3/TR > 6600VA. Setiap strata mempunyai pola permintaan energi listrik dan karakteristik yang berbeda-beda. Perlu diketahui bahwa sampai sejauh ini belum ada penelitian yang mengestimasi permintaan energi listrik rumah tangga berdasarkan strata.

Pembentukan model dalam penelitian ini didasarkan pada uraian-uraian teoritis dan penelitian-penelitian terdahulu. Secara teoretik, permintaan energi listrik rumah tangga dipengaruhi oleh berbagai variabel, seperti variabel ekonomi, stok alat-alat listrik, karakteristik rumah tangga, karakteristik bangunan rumah, dan variabel-variabel lain yang relevan. Variabel ekonomi yang mempengaruhi permintaan energi listrik rumah tangga terdiri atas (1) pendapatan (Halvorsen 1975 ; Halvorsen 1976 ; Barnes et al. 1981 ; Jung 1993 ; Naughton 1989 ; Filippini 1999 ; Bartels dan Fiebig 2000), (2) harga atau tarif listrik (Halvorsen 1975 ; Acton et al. 1980 ; Archibald 1982 ; Jaffee et al. 1982 ; Henson 1984 ; Terza 1986 ; Westley 1989 ; McKean dan Winger 1992 ; Reiss dan White 2001 ; Chang dan Chombo 2001 ; Matsukawa 2004), dan (3) harga barang lain (Acton et al. 1980 ; McKean dan Winger 1992 ; Larsen dan Nesbakken 2002).

Page 377: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 372

Variabel stok alat-alat listrik merupakan variabel utama yang mempengaruhi permintaan energi listrik rumah tangga karena jasa-jasa yang diberikannya (Hartman 1983 ; Bartel dan Fiebeg 2000 ; Meetamehra 2002 ; Larsen dan Nesbakken 2002, Guertin et al. 2003). Adapun jenis-jenis alat-alat listrik yang digunakan oleh rumah tangga adalah bola lampu, setrika, kipas angin, radio, tape recorder, VCD/DVD, televisi, ricecooker, pemanas air, alat masak, dispenser, pemanggang roti, hairdriyer, vacuum cleaner, kulkas, air conditioner (AC), pemanas ruangan, pompa air, komputer PC, komputer notebook, mesin cuci, dan lain-lain.

Variabel-variabel karakteristik rumah tangga yang mempengaruhi permintaan energi listrik rumah tangga terdiri atas 1) jumlah anggota keluarga, 2) usia anggota keluarga, 3) tingkat pendidikan, 4) ras, 5) lokasi atau wilayah, 6) variabel-variabel lain seperti jumlah anak, kategori usia anak, status keluarga (single familiy or married), jumlah orang yang bekerja dalam rumah tangga (fully single employed or multiple house worker household) (Anderson 1973 ; Barnes et al. 1981 ; Archibald et al. 1982 ; Sexton dan Sexton 1987 ; Jung 1993 ; Bartels dan Fiebig 2000 ; Reiss dan White 2001 ; Filippini dan Pachauri 2004 ; Larsen dan Nesbakken 2002 ; Petersen 2002 ; Damsgaard 2003). Variabel karakteristik bangunan rumah yang dapat mempengaruhi permintaan energi listrik rumah tangga terdiri atas (1) tipe bangunan rumah, (2) ukuran bangunan rumah, (3) bentuk banguna rumah, (4) aksessibilitas terhadap listrik (Barnes et al. 1981 ; Archibal et al. 1982 ; Sexton dan Sexton 1987 ; Nilagupta 1999 ; Bartels dan Fiebig 2000 ; Reiss dan White 2001 ; Larsen dan Nesbakken 2002 ; Peterson 2002 ; Damsgaard 2003 ; Guertin et al. 2003). Variabel-variabel lainnya yang dapat mempengaruhi permintaan energi listrik rumah tangga adalah cuaca atau musim, demand response seperti konservasi energi dan informasi (Murray et al. 1977 ; Archibald et al.1982 ; Fujii dan Mak 1984 ; Naughton 1989 ; Larsen dan Nesbakken 2002 ; Matsukawa 2004).

Jaffee et al. 1982 melakukan estimasi permintaan energi listrik rumah tangga dengan variabel dependen yaitu banyaknya penggunaan listrik tahunan yang diperoleh dari catatan rekening pelanggan listrik rumah tangga. Variabel independennya adalah stok alat listrik untuk pemanas, stok alat listrik untuk pendingin, jumlah alat-alat listrik lainnya, harga marginal listrik, harga inframarginal listrik, kegiatan konservasi energi, ukuran rumah, jumlah kamar yang tertutup selama musim dingin, penggunaan kayu bakar, tipe rumah, jumlah

Page 378: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 373

anggota keluarga, dan pendapatan keluarga. Pada awalnya, model permintaan diestimasi dengan persamaan tunggal dengan menggunakan OLS. Akan tetapi, karena adanya ketergantungan antar harga (inter-dependency) dengan jumlah pemakaian listrik sebagai akibat struktur harga dengan sistem blok (block pricing structure), kemudian model diestimasi secara simultan dengan menggunakan 2SLS.

Maddigan et al. 1983 melakukan estimasi dengan menggunakan dua bentuk persamaan, yaitu persamaan permintaan dan persamaan harga. Kedua persamaan tersebut dibuat dalam bentuk logarithmic dan diestimasi dengan persamaan simultan dengan menggunakan 2SLS. Pada persamaan permintaan, variabel dependennya adalah jumlah penjualan atau pemakaian energi listrik rumah tangga yang terdaftar sebagai anggota koperasi, sedangkan variabel independennya terdiri atas jumlah penjualan atau pemakaian tahun sebelumnya, harga rata-rata listrik, jumlah rumah tangga yang terdaftar sebagai anggota koperasi, pendapatan riel per kapita, ukuran rumah tangga, harga rata-rata energi gas, harga rata-rata bahan bakar di tingkat petani, suhu panas harian, suhu dingin harian, aktivitas pertanian, dan daerah atau lokasi tempat tinggal petani. Pada persamaan harga, variabel dependennya adalah harga rata-rata listrik dikurangi total biaya rata-rata, rasio pemakaian listrik dengan jumlah rumah tangga, jumlah rumah tangga, periode waktu, dan lokasi.

Garbacz 1984 melakukan estimasi permintaan energi listrik rumah tangga dengan menggunakan tiga model persamaan, yaitu 1) fungsi permintaan energi listrik, 2) fungsi harga energi listrik, dan 3) fungsi stok kapital alat-alat listrik. Ketiga model dibuat dalam bentuk log-linear dan diestimasi dengan persamaan simultan dengan menggunakan 2SLS. Pada persamaan (1) variabel dependennya adalah permintaan energi listrik dan variabel independen adalah pendapatan keluarga, harga marginal listrik, harga rata-rata energi alternatif, indeks stok kapital alat-alat listrik, dan suhu panas harian maupun suhu dingin harian. Pada persamaan (2) variabel dependennya adalah harga energi listrik dan variabel independennya adalah permintaan energi listrik, lokasi, dan daerah urbanisasi. Pada persaman (3) variabel dependennya adalah indeks stok alat-alat listrik, sedangkan variabel independenya adalah harga energi listrik, pendapatan keluarga, harga energi alternatif, suhu panas harian maupun suhu dingin harian, intensitas penggunaan alat-alat listrik, usia kepala keluarga, dan ras.

Page 379: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 374

Dalam penelitian ini, estimasi permintaan energi listrik rumah tangga hanya dispesifikasikan dalam bentuk persamaan tunggal, dengan variabel dependennya adalah permintaan energi listrik rumah tangga. Estimasi persamaan tunggal dalam penelitian ini dilakukan dengan membuat beberapa modifikasi. Adapun modifikasi-modifikasi tersebut adalah :

1. Estimasi permintaan energi listrik rumah tangga dimodelkan pada setiap strata pelanggan atau konsumen rumah tangga,

2. Model akan diestimasi dalam dua bentuk yaitu model dasar dan model pengembangan.

Model dasar akan menggunakan variabel-variabel independen pokok (dasar) yang meliputi variabel-variabel pendapatan, harga dengan proksi WTP, indeks alat listrik, jumlah anggota keluarga, jumlah ruangan/kamar dalam rumah, harga energi lain, dan etnis.

Khusus untuk variabel harga listrik yang diproksi dengan WTP dapat dimungkinkan dengan alasan (1) WTP konsumen dapat mengungkapkan nilai atau harga yang sebenarnya dari suatu barang atau jasa, (2) WTP dapat merupakan dasar dalam penentuan harga, (3) WTP masih dapat memenuhi asumsi model permintaan Marhallian, yaitu bahwa harga yang ditetapkan bukan (regulated) oleh pemerintah (Nam dan Son 2005 ; Turvey dan Anderson 1997). Namun, karena harga listrik yang digunakan dalam estimasi haruslah harga per KWh (kilowatt-hours), maka untuk mendapatkan harga per KWh tersebut, WTP responden rumah tangga harus dibagi dengan rata-rata jumlah permintaan energi listrik rumah tangga per bulan sehingga diperoleh WTP per KWh.

Dalam model pengembangan variabel-variabel independen akan ditambah dengan variabel-variabel lainnya, terutama variabel-variabel yang berhubungan dengan demografik/rumah tangga yang belum pernah diestimasi sebelumnya ataupun sudah pernah diestimasi, tetapi masih perlu dikembangkan. Variabel-variabel ini diduga kuat ikut mempengaruhi permintaan energi listrik rumah tangga. Variabel-variabel tersebut meliputi jenis pekerjaan kepala keluarga, tingkat pendidikan anggota keluarga, kegiatan-kegiatan keluarga, lokasi, dan tingkat pelayanan. Tujuan pengembangan model adalah untuk memperoleh model permintaan energi listrik yang lebih baik daripada model dasar.

Asumsi-asumsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Energi listrik termasuk dalam barang normal (Langmore dan Dufty 2004 ;

Maddigan et al.1983).

Page 380: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 375

2. Dalam jangka pendek stok alat-alat listrik rumah tangga dianggap konstan atau tidak berubah (Wilder dan Willenborg 1975 ; Amarullah 1984 ; Silk dan Joutz 1997 ; Reiss dan White 2001).

3. Karena model fungsi permintaan dalam penelitian ini menggunakan model fungsi permintaan Marshallian, berlaku asums-asumsi (a) semua rumah tangga konsumen listrik untuk setiap strata golongan tarif mempunyai selera yang identik selama periode observasi ; (b) pendapatan rumah tangga untuk setiap strata golongan tarif dianggap konstan selama periode observasi ; (c) harga barang energi lain dianggap konstan selama periode observasi.

Dengan demikian, model persamaan tunggal dalam penelitian ini terdiri atas variabel dependen yaitu permintaan energi listrik (PELRT), sedangkan variabel independen terdiri dari pendapatan (PENDPTN), harga/tarif yang diproksi dengan willingness to pay (WTP) per KWh (WTPKWH), indeks alat-alat listrik (INDALIST), jumlah anggota keluarga (JAKEL), jumlah ruangan/kamar (JUMRUANG), harga energi lain (HBLBBM dan HBLGAS), dan status kewarganegaraan (ETNIS), jenis pekerjaan kepala keluarga (PEKERJN), tingkat pendidikan anggota keluarga (TIPENDIK), kegiatan-kegiatan keluarga (KEKEL), lokasi/tempat tinggal rumah tangga (LOKASI), dan pelayanan pihak PT PLN (LAYANAN). Model permintaan energi listrik rumah tangga dibuat untuk setiap strata/golongan tarif yang terdiri atas strata R-1/450 VA, strata R-1/900 VA, strata R-1/1300 VA, strata R-1/2200 VA, strata R-2/ > 2200 VA s.d. 6600 VA) dan strata R-3/ > 6600 VA. Berdasarkan uraian di atas secara skematis, kerangka teoritis disajikan pada Gambar 1 (Lampiran 1).

Berdasarkan kerangka teoritis, dapat dikemukakan beberapa hipotesis sebagai berikut : Hipotesis 1 : Variabel pendapatan konsumen berpengaruh positif dan signifikan

terhadap permintaan energi listrik rumah tangga . Semakin tinggi jumlah pendapatan rumah tangga, semakin meningkat jumlah energi listrik yang dikonsumsi.

Hipotesis 2 : WTP per KWh berpengaruh negatif dan signifikan terhadap permintaan energi listrik rumah tangga. Semakin tinggi tuntutan WTP per KWh, semakin berkurang jumlah energi listrik yang dikonsumsi.

Page 381: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 376

Hipotesis 3 : Indeks alat-alat listrik rumah tangga (appliances) yang dinyatakan dalam jumlah, kapasitas (daya) dan intensitas penggunaannya berpengaruh positif dan signifikan terhadap permintaan energi listrik rumah tangga. Semakin tinggi indeks alat listrik, semakin meningkat jumlah energi listrik yang dikonsumsi.

Hipotesis 4 : Jumlah anggota keluarga berpengaruh positif dan signifikan terhadap permintaan energi listrik rumah tangga. Semakin banyak jumlah anggota keluarga, semakin meningkat jumlah energi listrik yang dikonsumsi.

Hipotesis 5 : Jumlah ruangan/kamar dalam rumah tangga berpengaruh positif dan signifikan terhadap permintaan energi listrik rumah tangga. Semakin banyak jumlah ruangan/kamar dalam bangunan rumah, semakin meningkat jumlah energi listrik yang dikonsumsi.

Hipotesis 6 : Harga barang energi lain (bahan bakar minyak dan gas) berpengaruh positif dan signifikan terhadap permintaan energi listrik rumah tangga. Bahan bakar minyak dan gas merupakan barang substitusi bagi energi listrik.

Hipotesis 7 : Permintaan energi listrik berbeda secara signifikan antara rumah tangga etnis pribumi dan non-pribumi.

Hipotesis 8 : Permintaan energi listrik berbeda secara signifikan antara rumah tangga dengan pekerjaan kepala keluarga sebagai PNS/Polri/ABRI/Pensiunan dan rumah tangga dengan pekerjaan kepala keluarga yang bukan PNS/Polri/ABRI/Pensiunan .

Hipotesis 9 : Tingkat pendidikan anggota keluarga berpengaruh positif dan signifikan terhadap permintaan energi listrik rumah tangga. Semakin tinggi tingkat pendidikan anggota keluarga, semakin meingkat jumlah energi listrik yang dikonsumsi.

Hipotesis 10 : Frekuensi kegiatan keluarga di luar kegiatan rutin berpengaruh positif dan signifikan terhadap permintaan energi listrik rumah tangga. Semakin tinggi frekuensi kegiatan keluarga, semakin meningkat jumlah energi listrik yang dikonsumsi.

Hipotesis 11 : Perilaku permintaan energi listrik berbeda signifikan antara rumah tangga di tengah kota dan di pinggir kota.

Hipotesis 12 : Tingkat atau fasilitas pelayanan pihak produsen energi listrik (PT. PLN) berpengaruh positif dan signifikan terhadap permintaan energi

Page 382: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 377

listrik rumah tangga. Semakin baik pelayanan yang diberikan produsen energi listrik, semakin meningkat jumlah energi listrik yang dikonsumsi oleh rumah tangga.

III. METODE PENELITIAN 3. 1 Populasi dan Sampel

Populasi penelitian adalah seluruh konsumen energi listrik kelompok rumah tangga yang berlangganan pada PT PLN (Persero) Cabang Kota Medan yang didasarkan pada penggolongan tarif dan batas daya yang terdiri atas R-1/TR 450 VA, R-1/TR 900 VA, R-1/TR 1300 VA, R-1/TR 2200 VA, R-2/TR 2201 s.d. 6600 VA, dan R-3/TR > 6600 VA. Populasi tersebut tersebar pada Rayon (Tengah Kota) dan Ranting(Pinggir Kota). Jumlah populasi per rayon dan per ranting dan golongan tarif terpilih disajikan pada Tabel 1 (Lampiran 2).

Penentuan sampel menggunakan metode Multistage Sampling. Purposive-nya adalah sampel rumah tangga yang hanya menggunakan energi listrik untuk keperluan konsumsi rumah tangga saja, di mana energi listrik sebagai produk akhir. Dalam pengambilan sampel clusternya adalah Rayon (Daerah Tengah Kota) dan Ranting (Daerah Pinggir Kota) serta stratanya adalah golongan tarif dari konsumen rumah tangga (Gambar 2, Lampiran 3). Penarikan sampel rumah tangga dilakukan secara random dengan sistematis pada setiap strata/golongan tarif dari lokasi (rayon dan ranting) terpilih. Distribusi jumlah sampel penelitian disajikan pada Tabel 2 (Lampiran 4).

Setelah semua data dikumpulkan, kemudian dilakukan pengeditan, ternyata tidak semua data (kuesioner) yang terkumpul dapat digunakan dalam penelitian ini. Jumlah responden atau sampel yang digunakan dalam penelitian ini menjadi sebanyak 383 sampel dengan distribusi : strata 450 VA sebanyak 143 sampel, strata 900 VA menjadi sebanyak 94 sampel, strata 1300 VA menjadi 47 sampel, strata 2200 VA menjadi 50 sampel, dan strata R-2 menjadi 49 sampel. 3. 2 Metode Pengumpulan Data dan Desain Willingness To Pay (WTP)

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer meliputi : (1) jumlah permintaan atau konsumsi energi listrik rata-rata rumah tangga selama tiga bulan terakhir dalam kurun periode waktu bulan Januari 2007 sampai dengan periode bulan September 2007 ; (2) rekening energi listrik selama tiga bulan terakhir selama tiga bulan terakhir dalam kurun periode waktu bulan Januari 2007 sampai dengan periode bulan

Page 383: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 378

September 2007 ; (3) stok-kapital alat-alat listrik dalam rumah tangga yang meliputi : jumlah alat-alat listrik dan daya kapasitas (watt) setiap alat listrik ; (4) pendapatan rumah tangga ; (5) WTP konsumen rumah tangga terhadap energi listrik diperoleh dengan metode contingent valuation dengan menanyakan kepada ayah, ibu, atau anak yang memahami tentang penggunaan energi listrik ; (6) karakteristik-karakteristik rumah tangga, seperti : jumlah anggota keluarga, usia anggota keluarga, tingkat pendidikan, pekerjaan kepala keluarga, kegiatan keluarga, etnis, lokasi, dan persepsi terhadap pelayanan listrik secara umum oleh PT PLN (Persero) ; (7) karakteristik-karakteristik bangunan rumah, seperti jumlah ruangan/kamar, ukuran/luas bangunan.

Data sekunder meliputi data-data kelistrikan Kota Medan yang diperoleh dari PT PLN (Persero) Cabang Medan. Pengumpulan data dilakukan selama periode bulan Januari 2007 sampai dengan periode bulan September 2007. Data WTP dalam penelitian ini diperoleh melalui metode Contingent Valuation (CV). Metode CV dilakukan dengan prosedur berikut (Nam dan Son 2005) : (1) memberntuk FGD (Focus Group Discussion) ; (2) mendesain dan menyempurnakan instrumen survey ; (3) melakukan pre-test ; (4) melaksanakan survei utama. 3. 3 Spesifikasi Model

Spesifikasi model permintaan energi listrik rumah tangga (PELRT strata

j) di Kota Medan diformulasikan dalam dua bentuk yaitu 1) model dasar, dan 2) model pengembangan :

1). Model Dasar : PELRTstrata j = f (PENDPTN, WTPKWH, INDALIST, JAKEL,

JUMRUANG, HBLBBM, HBLGAS, ETNIS). 2). Model Pengembangan :

PELRTstrata j = f (PENDPTN, WTPKWH, INDALIST, JAKEL, JUMRUANG, HBLBBM, HBLGAS, ETNIS, PEKERJN, TIPENDIK, KEKEL, LOKASI, LAYANAN).

Persamaan fungsi PELRT strata j dalam bentuk model dasar dan pengembangan model akan diestimasi dalam setiap strata golongan tarif.

Page 384: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 379

3. 4 Defenisi Operasional dan Pengukuran Variabel Untuk memudahkan pengenalan terhadap variabel-variabel dalam model,

baik variabel dependen maupun variabel independen, perlu diuraikan defenisi operasional serta pengukuran dari setiap variabel sebagaimana disajikan sebagai berikut :

Kode, Nama dan Defenisi Variabel No Kode dan Nama

Variabel Defenisi Variabel

1

PELRT

(Permintaan Energi Listrik Rumah Tangga)

Jumlah energi listrik rata-rata yang dikonsumsi/digunakan per bulan dari pelanggan kelompok rumah tangga untuk setiap strata/golongan tarif j selama 3 bulan terakhir. (dalam kilowatt-hours (KWh))

2

PENDPTN (Pendapatan Rumah Tangga)

Total pendapatan yang diperoleh anggota rumah tangga, baik dari kepala rumah tangga maupun anggota rumah tangga yang lain untuk setiap strata golongan tarif j yang memanfaatkan listrik selama 3 bulan terakhir (dalam Rp/bulan).

3

WTPKWH

(Willingness To Pay per KWh)

Kesediaan atau kemauan pelanggan rumah tangga pada strata j untuk membayar harga energi listrik yang digunakannya setiap bulan. WTPKWH yang diukur dalam Rp per KWh diperoleh dari hasil bagi antara WTP per bulan dengan rata-rata PELRT per bulan (Contoh instrumen pada Lampiran 5).

4

JUMRUANG (Jumlah Ruangan)

Jumlah ruangan (misalnya, kamar tidur, ruang tamu, dapur, dan lain-lain) yang dimiliki oleh rumah tangga pada strata j. (dalam unit per rumah tangga)

5

HBL (Harga Barang Lain)

Harga barang energi lain yang dikonsumsi oleh rumah tangga strata j, selain energi listrik yang dapat berfungsi sebagai substitusi, yaitu bahan bakar minyak (BBM : minyak lampu dan solar) dan gas selama 3 bulan terakhir. Variabel HBL terdiri atas variabel HBLBBM dan HBLGAS. (dalam Rp per liter dan Rp per tabung).

6

ETNIS (Kelompok etnis rumah tangga)

Jenis etnis konsumen rumah tangga di Kota Medan yang hanya dibatasi untuk dua kelompok yaitu rumah tangga pribumi dan rumah tangga nonpribumi. Varibel ETNIS adalah dummy variable.

Page 385: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 380

(1 = rumah tangga pribumi, 0 = rumah tangga nonpribumi)

7

PEKERJN (Pekerjaan Kepala Keluarga)

Status atau jenis pekerjaan kepala rumah tangga sebagai sumber pendapatan rumah tangga. Status atau jenis pekerjaan terdiri dari : pegawai negeri sipil (PNS) termasuk ABRI/POLRI dan pensiunan PNS, karyawan/pegawai swasta, wiraswasta, dan lainnya. Variabel PEKERJN adalah dummy variable. (1 = pegawai negeri sipil (PNS) , 0 = lainnya)

8

TIPENDIK (Tingkat Pendidikan)

Rata-rata tingkat pendidikan yang dimiliki oleh anggota keluarga yang terdiri atas kepala keluarga (ayah dan ibu), anak dan orang lain yang tinggal menetap di rumah. Variabel TIPENDIK diukur dengan jumlah tahun lamanya semua anggota keluarga mengikuti pendidikan dibagi dengan jumlah anggota keluarga yang diasumsikan tingkat SD = 6 tahun, tingkat SMP = 3 tahun, tingkat SMU/SMK = 3 tahun, dan Perguruan Tinggi = 4 tahun.

9

KEKEL (Kegiatan Keluarga)

Frekuensi atau kekerapan kegiatan-kegiatan atau acara-acara keluarga yang dilakukan oleh rumah tangga strata j, di luar kegiatan biasa, seperti pesta keluarga, acara dari tempat pekerjaan/kantor, dan lain-lain setiap bulannya yang dilakukan di dalam rumah. (diukur dalam berapa kali kegiatan dilakukan setiap bulannya selama tiga bulan terakhir)

10

LOKASI (Lokasi)

Tempat yang menunjukkan posisi strategis di rayon atau di ranting mana konsumen rumah tangga strata j berada atau bertempat tinggal. Varibel LOKASI adalah dummy variable. (1 = rumah tangga yang tinggal di pusat kota, 0 = rumah tangga yang tinggal pinggir kota)

11

LAYANAN (Pelayanan umum PT PLN)

Variabel yang menunjukkan bagaimana tingkat pelayanan PT. PLN Cabang Medan secara umum kepada konsumen rumah tangga pada setiap strata j. Variabel LAYANAN ini diukur dengan rating 1 sampai 10 yang menunjukkan tingkat ketidakpuasan sampai sangat puas.

Page 386: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 381

Metode Analisis Kedua bentuk model persamaan fungsi PELRT (model dasar dan

pengembangan model) di atas dianalisis dengan Regresi Linier Berganda. Bentuk matematis regresi linier berganda yang akan diestimasi dalam penelitian ini diformulasikan sebagai berikut : Model Dasar (Model I) : PELRTstrata j = β0 + β1PENDPTN + β2WTPKWH + β3 INDALIST + β4

JAKEL + β5 JUMRUANG + β6HBLBBM + β7HBLGAS + β8ETNIS + u

Model Pengembangan (Model II) : PELRTstrata j = β0 + β1PENDPTN + β2WTPKWH + β3 INDALIST + β4

JAKEL + β5 JUMRUANG + β6HBLBBM + β7HBLGAS + β8ETNIS + β9 PEKERJN β10TIPENDIK + β11KEKEL + β12LOKASI + β13LAYANAN + u,

dan β1, β2 , β3, β4, β5, β6, β7, β8, β9, β10, β11, β12, β13 adalah koefisien regresi masing-masing variabel independen. Adapun tanda koefisien yang diharapkan dari masing-masing model adalah : β1 > 0, β2 < 0, β3 > 0, β4 > 0, β5 > 0, β6 > 0, β7 > 0, β8 > 0 atau < 0, β9 > 0 atau <0, β10 > 0, β11 > 0 , β12 > 0 atau < 0 , β13> 0.

Untuk menentukan model mana yang lebih baik antara Model Dasar (Model I) dan Pengembangan Model (Model II) untuk setiap strata, digunakan Ramsey’s RESET (regression specification error) Test, t-statistik, jumlah variabel independen yang signifikan (Gujarati 2003 ; Susilowati 1998).. Untuk melihat apakah hasil estimasi sudah memenuhi asumsi dasar linier klasik atau belum (terpenuhinya asumsi-asumsi estimator OLS dari koefisien-koefisien regresi adalah BLUE (Best Linear Unbias Estimator), dilakukan uji diagnostik terdiri atas uji autokorelasi, uji heteroskedastisitas, dan uji multikolinearitas. Sedangkan untuk mengetahui dampak perubahan variabel-variabel independen maka digunakan analisis elastisitas. IV. ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN 4. 1 Estimasi Permintaan Energi Listrik Rumah Tangga

Model permintaan energi listrik rumah tangga (PELRT) diformulasikan dalam dua model : 1) Model Dasar (Model I) ; dan 2) Model Pengembangan (Model II). Kemudian, kedua model tersebut diestimasi untuk setiap strata yang

Page 387: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 382

terdiri dari : 1) strata gabungan, 2) strata 450 VA, 3) strata 900 VA, 4) strata 2200 VA, dan 5) strata R-2 ( > 2200 – 6600 VA). Secara umum, hasil estimasi menunjukkan bahwa untuk setiap strata, dari kemungkinan pilihan model dasar (Model I) dan model pengembangan (Model II) diketahui kalau Model II (Pengembangan Model) adalah model yang lebih baik, sebagaimana disajikan pada Tabel 3 (Lampiran 6). 4. 2 Analisis Elastisitas

Untuk mengetahui dampak perubahan variabel-variabel independen maka digunakan analisis elastisitas. Rangkuman hasil perhitungan elastisitas permintaan dari model terpilih untuk setiap strata disajikan pada Tabel 4 (Lampiran 7). 4. 3 Analisis Model Permintaan Energi Listrik Rumah Tangga

Analisis model permintaan energi listrik rumah tangga untuk setiap variabel independen adalah sebagai berikut. 4. 3. 1 Pendapatan (PENDPTN)

Estimasi untuk setiap strata menunjukkan bahwa hubungan antara variabel pendapatan (PENDPTN) dengan permintaan energi listrik rumah tangga (PELRT) adalah positif. Variabel pendapatan berpengaruh positif secara signifikan terhadap permintaan energi listrik rumah tangga. Dengan demikian, untuk setiap strata hipotesis 1 terbukti atau dapat diterima. Hasil temuan ini konsisten dengan studi Wilder dan Willenborg 1975 ; Jaffee et al. 1982 ; Matdigan et al. 1983 ; Garbacz 1984 ; dan Jung 1993 ; Akmal dan Stern 2001 yang menunjukkan bahwa hubungan antara pendapatan dan permintaan energi listrik adalah positif dan signifikan.

Elastisitas pendapatan untuk setiap strata adalah positif (0 < e < 1). Hal ini menunjukkan bahwa listrik adalah barang normal. Secara umum semakin besar daya terpasang listrik pada rumah tangga, elastisitas pendapatan semakin besar kecuali untuk strata R-2 yang justru memiliki nilai elastisitas pendapatan yang lebih rendah dibanding dengan strata 2200 VA. Namun, secara umum ini berarti bahwa untuk strata rumah tangga dengan daya listrik yang lebih besar (dengan pendapatan rata-rata lebih tinggi) memiliki pola konsumsi listrik yang lebih tinggi. Dari temuan ini dapat diprediksi bahwa permintaan energi listrik rumah tangga akan terus meningkat sehubungan dengan naiknya pendapatan dan bertambahnya jumlah penduduk. Temuan ini tidak jauh berbeda dengan

Page 388: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 383

temuan Wilder dan Willenborg 1975 dengan nilai elastisitas 0,34. Di Indonesia, Amarullah 1983 menemukan bahwa elastisitas pendapatan jangka pendek adalah 0,80 dan menunjukkan bahwa listrik adalah barang normal.

Rendahnya nilai elastisitas pendapatan untuk setiap strata berhubungan dengan daya kapasitas yang terbatas setiap strata. Artinya, penggunaan energi listrik untuk setiap strata dibatasi sampai daya tertentu. Oleh karena itu, walaupun pendapatan rumah tangga naik yang dapat meningkatkan pembelian alat-alat listrik, tetapi karena pemakaian listrik dibatasi sampai batas daya tertentu maka pengaruh kenaikan pendapatan tersebut terhadap perubahan permintaan listrik adalah kecil (rendah). Dengan demikian, jika pendapatan rumah tangga naik dan ingin meningkatkan permintaan listrik dengan menambah alat-alat listrik, maka konsumen rumah tangga harus terlebih dulu menambah kapasitas daya listriknya. Misalnya, untuk strata 450 VA kapasitas daya listriknya dapat dinaikkan menjadi 900 VA atau 1300 VA, dan seterusnya, begitu juga untuk strata-strata lainnya.

Jika diamati lebih lanjut, nilai-nilai elastisitas pendapatan di atas menunjukkan nilai-nilai yang semakin meningkat jika semakin tinggi strata/golongan tarif untuk strata 450 VA, 900 VA, 1300 VA dengan nilai masing-masing 0,154 ; 0,160 ; 0,431 ; namun elastisitas menurun kembali untuk strata 2200 VA dan strata R-2 dengan nilai 0,283 dan 0,197. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi pendapatan jumlah konsumsi listrik juga meningkat, atau sebaliknya. Tetapi untuk strata 2200 VA dan R-2 semakin rendah nilai elastisitasnya menunjukkan dampak perubahan pendapatan adalah rendah, dan bukan pendapatan dan konsumsi listriknya yang rendah. Temuan ini juga menunjukkan bahwa semakin tinggi strata/golongan tarif, persentase dari pendapatan yang digunakan untuk membayar listrik juga meningkat. Semakin tinggi pendapatan rata-rata maka persentase willingness to pay (WTP) untuk listrik dari pendapatan rata-rata semakin tinggi pula. Indikasi ini juga terjadi pada penggunaan energi listrik, yaitu semakin tinggi strata/golongan tarif dan pendapatan semakin tinggi, energi listrik semakin banyak digunakan juga semakin meningkat. Terutama untuk strata R-2 (rumah tangga besar) banyak menggunakan alat-alat listrik yang mewah, yang tentu saja akan menambah persentase pengeluaran dari pendapatan karena pada umumnya alat-alat listrik mewah ini mempunyai daya (watt) yang cukup tinggi.

Page 389: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 384

4.3.2 Harga Listrik dengan Willingness To Pay per KWh (WTPKWH) Untuk setiap strata, hubungan antara variabel WTPKWH dengan PELRT

adalah negatif. Variabel willingness to pay per KWh berpengaruh negatif secara signifikan terhadap permintaan energi listrik rumah tangga. Dengan demikian untuk setiap strata hipotesis 2 terbukti atau dapat diterima. Pada studi-studi terdahulu, penetapan variabel harga listrik berbeda-beda namun dalam estimasinya semua studi terdahulu tersebut menemukan bahwa hubungan antara harga listrik dengan permintaan energi listrik rumah tangga konsisten dengan teori yaitu hubungan negatif dan signifikan.

Dalam penelitian ini, ditemukan bahwa harga yang diproksi dengan WTP per KWh mempunyai hubungan negatif dengan permintaan energi listrik rumah tangga dan signifikan. Oleh karena itu, proksi harga dengan WTP konsisten dengan teori dan tidak berbeda dari penelitian-penelitian terdahulu dari segi tanda dan signifikansi. Elastisitas WTPKWH untuk setiap strata menunjukkan nilai elastisitas yang lebih kecil dari 1 (e < 1), yang berarti permintaan energi listrik adalah inelastis. Secara umum, hal ini menunjukkan bahwa energi listrik tidak banyak mempunyai barang pengganti (substitusi). Walaupun ada barang pengganti seperti lilin, petromaks, lampu teplok, lampu semporong dan batrei/dinamo namun kualitasnya rendah karena fungsinya hanya digunakan untuk pengganti penerangan saja atau untuk alat-alat listrik yang daya atau wattnya rendah. Sedangkan untuk alat-alat listrik lainnya seperti kulkas, AC, televisi, dan lain-lain harus menggunakan generator dan sumber energinya adalah bahan bakar minyak solar atau bensin. Padahal untuk menggunakan generator diperlukan investasi yang besar, yang belum tentu rumah tangga mampu untuk membelinya. Fakta lain yang mendukung adalah bahwa energi listrik masih merupakan barang monopoli, karena belum ada pihak lain yang secara bebas menjualnya.

Nilai-nilai elastisitas WTPKWH dari strata 450 VA, strata 900 VA, sstrata 1300 VA menunjukkan nilai-nilai yang semakin meningkat, masing-masing -0,232 ; -0,324 ; -0,667, namun menurun kembali untuk strata 2200 VA dan strata R-2 dengan nilai elastisitas -0,237 dan 0,228. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai elastisitas ketiga strata tersebut akan mengubah pola konsumsi listrik yang lebih tinggi, karena WTP yang lebih tinggi, atau sebaliknya. Tetapi untuk strata 2200 VA dan R-2 semakin rendahnya nilai

Page 390: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 385

elastisitas menunjukkan dampak perubahan WTPKWH adalah rendah, bukan WTP atau konsumsi listriknya yang rendah.

Untuk strata 1300 VA nilai elastisitasnya lebih tinggi (-0,667) dibandingkan dengan strata lainnya. Ini berarti dengan persentase perubahan harga yang sama, strata 1300 VA akan mengubah pola konsumsi listrik yang lebih banyak. Strata 1300 VA memiliki elastisitas WTP per KWh yang lebih tinggi dibandingkan dengan strata 450 VA, starat 900 VA, strata 2200 VA, dan strata R-2. Hal ini menunjukkan bahwa strata 1300 VA lebih peka terhadap perubahan WTP per KWh dibanding dengan strata lainnya.

Namun secara umum dapat dikatakan bahwa semua strata tidak terlalu peka terhadap perubahan WTP per KWh listrik. Dari temuan ini dapat diprediksi bahwa kelompok rumah tangga yang mempunyai rata-rata pendapatan dan WTP yang lebih tinggi akan terus meningkatkan penggunaan energi listrik. 4.3.3 Indeks Alat-alat Listrik (INDALIST)

Untuk setiap strata, hubungan antara variabel INDALIST dengan PELRT adalah positif. Variabel indeks alat-alat listrik berpengaruh secara signifikan terhadap permintaan energi listrik rumah tangga, yang berarti hipotesis 3 terbukti atau dapat diterima untuk semua strata. Pada penelitian-penelitian terdahulu, pengukuran variabel alat-alat listrik sangat bervariasi. Wilder dan Willenborg 1975 ; Jaffee et al. 1982 menggunakan stok kapital alat listrik yang dinyatakan dalam jumlah alat listrik yang dimiliki oleh rumah tangga. Garbacz 1984 dan Jung 1993 menggunakan indeks alat listrik yang merefleksikan jumlah alat listrik dan daya (watt)nya. Wilder et al. 1992 ; Reiss dan White 2001 menggunakan dummy yang menunjukkan pemilikan jenis alat-alat listrik. Namun, apa pun jenis pengukuran yang dilakukan, semua penelitian terdahulu tersebut konsisten dengan teori yang menunjukkan bahwa hubungan antara alat-alat listrik dengan permintaan alat-alat listrik adalah positif dan signifikan.

Wujud jumlah listrik yang digunakan oleh rumah tangga yang dinyatakan dalam KWh (kilowatt-hours) merupakan aktivitas dari penggunaan alat-alat listrik. Namun yang perlu dicermati adalah intensitas penggunaannya. Ada dua hal yang perlu diperhatikan : 1. Dalam kenyataannya, suatu rumah tangga bisa saja mempunyai banyak alat

listrik yang berarti indeks alat listriknya tinggi, tetapi jika intensitas penggunaannya rendah, jumlah Kwh terpakai juga rendah.

Page 391: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 386

2. Daya (watt) untuk setiap jenis alat listrik sangat berbeda-beda, ada dayanya yang rendah dan ada yang tinggi. Angka atau jumlah daya sangat menentukan dalam perhitungan indeks.

Dalam penelitian ini, secara umum ditemukan bahwa semakin tinggi daya kapasitas listriknya, indeks alat listriknya semakin tinggi, yang berarti semakin banyak jumlah alat listrik yang dimiliki dan secara langsung meningkatkan penggunaan listrik. Berbeda dengan strata 900 VA. Rata-rata jumlah alat listrik yang dimiliki oleh strata 900 VA lebih banyak dari rata-rata jumlah alat listrik yang dimiliki strata oleh 450 VA, tetapi indeks alat listrik strata 900 VA sebesar 18 lebih kecil dari indeks alat listrik strata 450 VA (20,07). Hal ini menunjukkan bahwa strata 900 VA menggunakan alat-alat listrik yang lebih hemat daya (watt) listriknya dibandingkan dengan strata 450 VA.

Nilai elastisitas INDALIST adalah rendah untuk setiap strata, masing-masing 0,204 ; 0,274 ; 0,517 ; 0,414 ; dan 0,474. Secara umum, hal ini mengindikasikan perubahan indeks kepemilikan alat-alat listrik tidak terlalu peka terhadap permintaan energi listrik. Nilai-nilai elastisitas INDALIST juga menunjukkan bahwa semakin tinggi strata atau kapasitas daya rumah tangga, maka intensitas pemakaian alat-alat listrik semakin tinggi dan juga jumlah alat-alat listrik yang dimiliki semakin banyak. 4.3.4 Jumlah Anggota Keluarga (JAKEL)

Hubungan antara variabel JAKEL dengan PELRT untuk setiap strata adalah positif. Variabel jumlah anggota keluarga berpengaruh secara signifikan pada permintaan energi listrik rumah tangga. Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis 4 terbukti atau dapat diterima untuk setiap strata. Temuan penelitian ini sesuai dengan studi Wilder dan Willenborg 1975 ; Jung 1993 ; Filippini 1998 ; dan Damsgaard 2003. Temuan serupa juga dikemukakan oleh Petersen 2002, tetapi variabel jumlah anggota keluarga dibatasi hanya untuk jumlah anak yang dibagi dalam 8 kelompok umur. Semua kelompok umur signifikan secara positif terhadap permintaan energi listrik rumah tangga pada signifikansi 5%. Akan tetapi, temuan Filippini dan Pachauri 2004 berbeda pada masyarakat India, yaitu bahwa jumlah anggota keluarga listrik tidak berpengaruh secara signifikan pada jumlah permintaan energi listrik rumah tangga.

Hasil studi Maddigan et al. 1983 berbeda lagi, dia menyimpulkan bahwa koefisien variabel ukuran (jumlah) anggota keluarga bisa positif bisa negatif. Alasannya adalah besarnya konsumsi listrik tergantung pada banyaknya alat

Page 392: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 387

listrik yang digunakan. Namun, dia juga sependapat bahwa jika ukuran keluarga semakin besar ada kecenderungan lebih banyak menggunakan energi listrik. Sedangkan Reiss dan White 2001 di California, USA menemukan bahwa jumlah anak berpengaruh secara signifikan hanya untuk alat-alat listrik load based (alat-alat listrik yang hanya digunakan untuk kegiatan-kegiatan pokok seperti memasak, mencuci, lampu, AC, dll).

Nilai elastisitas JAKEL rendah, masing-masing 0,225 ; 0,263 ; 0,277 ; 0,420 ; 0,301 ; dan 0,429. Hal ini berarti perubahan jumlah anggota keluarga tidak terlalu peka terhadap permintaan energi listrik. 4.3.5 Jumlah Ruangan/Kamar (JUMRUANG)

Untuk setiap strata, hubungan antara variabel JUMRUANG dengan PELRT adalah positif. Variabel jumlah ruangan/kamar berpengaruh secara signifikan pada permintaan energi listrik rumah tangga, berarti hipotesis 5 terbukti atau dapat diterima untuk setiap strata. Hasil penelitian ini sesuai dengan studi Jaffee et al. 1982 ; Reiss dan White 2001. Mereka menemukan bahwa jumlah kamar dan jenis bangunan berpengaruh signifikan dan positif pada penggunaan alat-alat listrik dan secara langsung mempengaruhi jumlah permintaan energi listrik rumah tangga. Berbeda dengan studi Jung 1993 di Korea. Dia lebih menekankan pada luas bangunan daripada jumlah kamar. Dia menemukan bahwa semakin besar (luas) kamar, semakin banyak penggunaan listrik.

Nilai elastisitas JUMRUANG lebih rendah pada strata 450 VA dan 900 VA yaitu 0,088 ; 0,388. Tetapi untuk strata 1300 VA, strata 2200 VA, dan strata R-2 elastisitanya lebih tinggi yaitu 0,688 ; 0,524 ; dan 0,629. Ini berarti untuk ketiga strata tersebut, perubahan jumlah ruangan/kamar lebih peka terhadap permintaan energi listrik. Secara umum, hal ini mengindikasikan bahwa pertambahan jumlah ruangan/kamar dalam rumah yang dapat meningkatkan permintaan energi listrik selalu dibatasi oleh kapasitas daya (watt). 4.3.6 Harga Barang Energi Lain (Bahan Bakar Minyak dan Gas)

(HBLBBM dan HBLGAS) Hubungan antara variabel HBLBBM dengan PELRT adalah positif, yang berarti setiap kenaikan harga BBM akan meningkatkan permintaan energi listrik rumah tangga. Varibel harga barang lain (bahan bakar minyak) berpengaruh secara signifikan terhadap permintaan energi listrik. Dengan demikian hipotesis 6 untuk harga bahan bakar terbukti atau dapat diterima untuk semua strata. Koefisien variabel HBLBBM bertanda positif menunjukkan bahwa bahan bakar

Page 393: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 388

minyak adalah barang substitusi bagi energi listrik. Peningkatan harga bahan bakar minyak (BBM) terjadi karena penggunaan bahan bakar minyak untuk generator listrik untuk menggantikan listrik PT PLN. Namun, secara umum telah menaikkan kembali penggunaan energi listrik rumah tangga.

Variabel HBLGAS hanya diestimasi untuk strata 2200 VA dan R-2. Hasil estimasi menunjukkan bahwa koefisien variabel HBLGAS adalah positif. Artinya, setiap kenaikan gas akan menaikkan permintaan energi listrik rumah tangga. Namun hasil estimasi menunjukkan baik untuk strata 2200 VA maupun strata R-2 variabel HBLGAS tidak berpengaruh secara signifikan. Dengan demikian, hipotesis 6 tentang gas tidak terbukti atau ditolak. Koefisien variabel HBLGAS bertanda positif menunjukkan bahwa gas adalah barang substitusi bagi energi listrik. Secara umum, untuk kedua strata, energi gas hanya digunakan untuk memasak.

Hasil studi terdahulu seperti temuan Maddigan et al. 1983 di lima wilayah koperasi kelistrikan di USA, menunjukkan bahwa bahan bakar minyak merupakan substitusi bagi energi listrik dan berpengaruh secara signifikan, sedangkan untuk gas tidak signifikan. Oleh karena itu, hasil penelitian ini sesuai dengan temuan Maddigan et al. 1983. Berbeda dengan studi yang dilakukan oleh Akmal dan Stern 2001 di Australia yang menemukan bahwa gas sangat signifikan berpengaruh terhadap listrik. Begitu juga dengan hasil penelitian Petersen (2002) di Denmark, variabel gas secara signifikan berpengaruh positif terhadap permintaan energi listrik rumah tangga dan merupakan barang substitusi.

Nilai elastisitas harga silang untuk setiap strata adalah positif, sekaligus menunjukkan bahwa BBM dan gas adalah barang substitusi untuk energi listrik. Nilai elastisitas harga silang BBM untuk masing-masing strata adalah 0,472 ; 0,583 ; 0,386 ; 0,783 ; dan 1,083. Secara umum dapat dilihat bahwa semakin tinggi strata atau kapasitas daya elastisitas HBLBBM semakin tinggi, karena strata yang lebih tinggi (strata 2200 VA dan strata R-2) sudah lebih banyak menggunakan BBM, misalnya untuk generator ; sedangkan untuk strata yang lebih rendah BBM hanya digunakan untuk penerangan saja. Di lain pihak, nilai elastisitas harga silang yang lebih rendah pada strata/golongan tarif yang lebih rendah juga menunjukkan tidak banyak pilihan terhadap barang substitusi karena dibatasi oleh pendapatan yang rendah. Begitu juga sebaliknya, nilai elastisitas harga silang akan semakin tinggi pada strata/golongan tarif yang lebih

Page 394: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 389

tinggi menunjukkan lebih banyak pilihan terhadap barang substitusi karena pendapatan yang lebih tinggi pula.

Elastisitas harga silang untuk bahan bakan minyak (HBLBBM) untuk strata 2200 VA dan R-2 ( > 2200 VA – 6600 VA) lebih elastis dibandingkan dengan strata lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa untuk kedua strata tersebut penggunaan bahan bakar minyak untuk generator bukan lagi hanya untuk penerangan, tetapi sudah digunakan untuk menghidupkan alat-alat listrik lainnya seperti kulkas, AC, dan lain-lain.

Nilai elastisitas HBLGAS untuk strata 2200 VA dan strata R-2 masing-masing 0,457 dan 0,160. Nilai elastisitas HBLGAS lebih peka pada strata 2200 VA dibanding dengan strata R-2. Hal ini dapat didukung oleh rata-rata tingkat penggunaan energi listrik yang berbeda pada strata 2200 VA adalah 381,32 KWh per bulan, lebih kecil dibandingkan dengan strata R-2 dengan rata-rata penggunaan energi listrik sebesar 633,86 KWh per bulan. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa kebutuhan gas relatif lebih besar untuk strata 2200 VA yang digunakan untuk memasak daripada menggunakan alat masak listrik ; sedangkan kebutuhan gas untuk strata R-2 relatif lebih sedikit untuk memasak, namun lebih banyak menggunakan alat masak listrik. 4.3.7 Kewarganegaraan (ETNIS)

Untuk strata 450 VA, strata 900 VA, strata 2200 VA dan strata R-2, Tabel 5. 8 menunjukkan permintaan energi listrik rumah tangga berbeda secara tidak signifikan antara rumah tangga etnis pribumi dan rumah tangga etnis non-pribumi. Hal ini berarti hipotesis 7 tidak terbukti atau ditolak untuk keempat strata tersebut. Akan tetapi, untuk strata gabungan dan strata 1300 VA, permintaan energi listrik variabel berbeda secara signifikan antara rumah tangga etnis pribumi dan rumah tangga etnis nonpribumi, dan hipotesis 7 terbukti atau dapat diterima pada kedua strata ini. Untuk setiap strata koefisien regresi variabel ETNIS adalah negatif. Hal ini mengindikasikan bahwa penggunaan rata-rata permintaan energi listrik untuk rumah tangga etnis pribumi lebih sedikit dibandingkan dengan rumah tangga etnis non-pribumi.

Temuan yang menunjukkan bahwa etnis nonpribumi lebih banyak menggunakan listrik dibanding etnis pribumi, hal ini diindikasikan oleh karena etnis non-pribumi lebih lama dan lebih banyak menggunakan alat-alat listrik rumah tangga yang memiliki daya (watt) yang lebih besar seperti AC, kulkas, vacuum cleaner, dan lain-lain. Kemudian etnis non-pribumi lebih banyak

Page 395: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 390

tinggal di rumah-rumah toko yang berimpit yang lebih banyak menggunakan alat penerangan dan alat pendingin.

Beberapa studi yang memasukkan variabel ras (etnis) dalam permintaan energi listrik rumah tangga adalah Wilder dan Willenborg 1975 ; Garbacz 1984. Hasil studi Wilder dan Willenborg 1975 di USA menunjukkan bahwa ras kulit putih secara signifikan berpengaruh terhadap penggunaan alat-alat listrik. Ras kulit putih lebih sedikit menggunakan listrik dibandingkan dengan ras kulit hitam. Hal yang sama juga ditemukan oleh Garbacz 1984 di USA bahwa ras secara signifikan mempengaruhi penggunaan alat-alat listrik. Ras kulit putih lebih sedikit menggunakan listrik dibandingkan dengan ras kulit hitam. 4. 2. 8 Pekerjaan (PEKERJN)

Untuk semua strata (gabungan, 450 VA, 900 VA, 1300 VA, dan R-2) kecuali strata 2200 VA permintaaan energi listrik berbeda secara tidak signifikan antara rumah tangga dengan pekerjaan kepala keluarga sebagai PNS/Polri/ABRI/Pensiunan dan rumah tangga dengan pekerjaan kepala keluarga yang bukan PNS/Polri/ABRI/Pensiunan. Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis 8 tidak terbukti atau ditolak untuk kelima strata tersebut. Tetapi untuk strata R-2 koefisien regresinya positif yang mengindikasikan bahwa penggunaan energi listrik untuk rumah tangga dengan pekerjaan kepala keluarga sebagai PNS/ Polri/ ABRI/ Pensiunan lebih banyak dibandingkan dengan rumah tangga dengan pekerjaan kepala keluarga yang bukan PNS/Polri/ABRI/Pensiunan. 4. 2. 9 Tingkat Pendidikan Anggota Keluarga (TIPENDIK)

Untuk semua strata (gabungan), strata 450 VA, strata 900 VA, strata 1300 VA, dan strata R-2 variabel TIPENDIK tidak berpengaruh secara signifikan terhadap PELRT, yang berarti hipotesis 9 tidak terbukti atau ditolak. Hal ini mengindikasikan bahwa untuk kelima strata tersebut variabel tingkat pendidikan tidak mempunyai dampak terhadap penggunaan listrik. Hal ini didukung oleh kesimpulan Jung 1993 yang menyatakan bahwa tidaklah relevan menyatakan bahwa suatu karakteristik demografik misalnya pendidikan selalu berpengaruh terhadap permintaan energi listrik rumah tangga. Namun lebih lanjut Jung 1993 menyatakan bahwa semakin tinggi pendapatan, semakin banyak jumlah anggota keluarga, semakin banyak jumlah ruangan/kamar dan semakin banyak jumlah alat listrik yang digunakan, cenderung meningkatkatkan permintaan energi listrik rumah tangga.

Page 396: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 391

Namun untuk strata 2200 VA, variabel TIPENDIK berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap PELRT. Hal ini menunjukkan bahwa untuk strata ini, semakin tinggi tingkat pendidikan anggota keluarga semakin banyak menggunakan listrik, yang berarti Hipotesis 9 terbukti atau dapat diterima. Studi Damsgaard 2003 di Swedia menemukan bahwa hubungan tingkat pendidikan dengan permintaan energi listrik adalah positif, tetapi tidak signifikan. Variabel pendidikan hanya diukur untuk anggota keluarga yang berpendidikan setara SMA dan perguruan tinggi saja, tidak mencakup tingkat pendidikan untuk semua anggota keluarga. 4. 2. 10 Frekuensi Kegiatan Keluarga (KEKEL)

Untuk semua strata (gabungan), strata 450 VA, strata 900 VA, strata 1300 VA, strata 2200 VA, dan strata R-2 hasil estimasi menunjukkan bahwa hubungan antara variabel KEKEL dengan PELRT adalah positif. Variabel kegiatan keluarga berpengaruh secara signifikan terhadap permintaan energi listrik. Artinya, semakin tinggi frekuensi kegiatan keluarga maka jumlah penggunaan atau permintaan energi listrik akan semakin meningkat. Dengan demikian, hipotesis 10 terbukti atau dapat diterima. Namun, nilai elastisitas frekuensi KEKEL untuk setiap strata adalah rendah. Secara umum dapat dikatakan bahwa perubahan frekuensi kegiatan keluarga dalam rumah tangga tidak terlalu peka terhadap intensitas penggunaan energi listrik.

Dari lima variabel demografik (PEKERJN, TIPENDIK, KEKEL, LOKASI, LAYANAN) yang ditambahkan pada model dasar (Model II) hanya variabel KEKEL ini yang berpengaruh secara signifikan terhadap PELRT untuk setiap strata. Hal ini mengindikasikan bahwa frekuesnsi kegiatan merupakan variabel utama yang mempengaruhi permintaan energi listrik rumah tangga. 4. 2. 11 Lokasi Rumah Tangga (LOKASI

Permintaan energi listrik berbeda secara signifikan antara rumah tangga yang tinggal di tengah kota dan yang tinggal di pinggir kota hanya untuk strata 450 VA. Ini berarti hipotesis 11 terbukti atau dapat diterima untuk strata 450 VA, sedangkan untuk strata-strata lainnya hipotesis ini tidak terbukti atau ditolak. Koefisien regresi positif pada strata 450 VA mengindikasikan bahwa permintaan energi listrik lebih banyak pada rumah tangga di tengah kota dibanding dengan rumah tangga di pinggir kota. Hal ini dibuktikan oleh tabulasi deskriptif yaitu bahwa rata-rata penggunaan listrik untuk rumah tangga di

Page 397: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 392

tengah kota sebanyak 114,84 KWh per bulan, sedangkan untuk rumah tangga di pinggir kota sebanyak 95,30 KWh per bulan.

Untuk strata 900 VA, strata 2200 VA, dan strata R-2 permintaan energi listrik berbeda tidak signifikan antara rumah tangga di tengah kota dan di pinggir kota. Untuk ketiga strata tersebut, koefisien regresinya adalah negatif yang mengindikasikan bahwa permintaan energi listrik lebih sedikit untuk rumah tangga yang tinggal di tengah kota dibanding dengan yang tinggal di pinggir kota. Temuan ini mengindikasikan adanya kecenderungan bahwa rumah tangga dengan strata/golongan tarif yang lebih besar dan mempunyai pendapatan yang lebih besar lebih suka atau lebih nyaman jika tinggal di pinggir kota, sehingga permintaan listrik di pinggir kota pun semakin tinggi.

Hasil penelitian ini berbeda dengan temuan Garbacz 1984. Menurutnya, permintaan energi listrik rumah tangga berbeda signifikan pada setiap lokasi rumah tangga di USA. Garbacz membagi wilayah USA dengan empat wilayah : Region North East, Region North Central, Region West dan Region South. 5. 2. 12 Pelayanan pihak PT PLN (LAYANAN)

Hasil estimasi menunjukkan bahwa untuk semua strata (gabungan, 450 VA, 900 VA, 2200 VA, dan R-2) kecuali strata 1300 VA variabel LAYANAN tidak berpengaruh secara signifikan terhadap PELRT. Ini berarti hipotesis 12 tidak terbukti atau ditolak. Hal ini mengindikasikan bahwa pelayanan yang diberikan oleh PT PLN (Persero) tidak direspons oleh konsumen rumah tangga, karena konsumen hanya dapat menerima saja apapun kebijakan pihak PT PLN. Hal ini terjadi karena energi listrik hanya dimonopoli oleh PT PLN. Pada saat penelitian ini dilakukan keadaan kelistrikan di daerah penelitian berada pada masa kritis dimana sering dilakukan pemadaman karena kurangnya suplai listrik dari PLN. Dalam situasi tersebut pihak PLN memberikan informasi pelayanan tentang gerakan penghematan penggunaan listrik dengan cara 1) mengganti alat-alat listrik dengan daya (watt) yang lebih rendah, 2) mengurangi pemakaian listrik pada beban puncak (pukul 17.00 s.d. 22.00 WIB). V. KESIMPULAN, KETERBATASAN, IMPLIKASI, DAN SARAN 5. 1 Kesimpulan

Untuk semua strata (gabungan) dan setiap strata (strata 450 VA, 900 VA, 1300 VA, 2200 VA, dan R-2/ >2200 VA – 6600 VA) permintaan energi listrik rumah tangga dipengaruhi secara positif dan signifikan oleh variabel-variabel

Page 398: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 393

pendapatan, indeks alat listrik, jumlah anggota keluarga, jumlah ruangan/kamar, harga bahan bakar minyak, dan kegiatan keluarga, serta dipengaruhi secara negatif dan signifikan oleh variabel willingness to pay (WTP) per KWh. Koefisien regresi masing-masing sesuai dengan teori.

Dari lima variabel demografik (PEKERJN, TIPENDIK, KEKEL, LOKASI, LAYANAN) yang ditambahkan pada model dasar (Model II) hanya variabel KEKEL atau kegiatan keluarga yang berpengaruh secara signifikan terhadap permintaan energi listrik rumah tangga untuk setiap strata. Hal ini mengindikasikan bahwa frekuesnsi kegiatan merupakan variabel utama yang mempengaruhi permintaan energi listrik rumah tangga.

Pada strata 2200 VA dan R-2 variabel harga gas tidak signifikan terhadap permintaan energi listrik rumah tangga walaupun tanda koefisiennya konsisten dengan teori. Selanjutnya, koefisien regresi bertanda positif pada variabel harga bahan bakar minyak dan harga gas menunjukkan bahwa bahan bakar minyak dan gas adalah sebagai sumber energi substitusi untuk energi listrik.

Untuk variabel etnis dapat disimpulkan bahwa permintaan energi listrik rumah tangga berbeda signifikan antara rumah tangga etnis pribumi dan non-pribumi hanya pada strata 1300 VA dan semua strata (gabungan). Namun untuk setiap strata, koefisien variabel etnis bertanda negatif, yang berarti permintaan energi listrik lebih sedikit bagi rumah tangga etnis pribumi dibandingkan dengan etnis non-pribumi. Temuan ini mengindikasikan bahwa pada umumnya etnis non-pribumi lebih banyak menggunakan alat-alat listrik.

Selanjutnya, untuk variabel pekerjaan, permintaaan energi listrik berbeda signifikan antara rumah tangga dengan pekerjaan kepala keluarga sebagai PNS/Polri/ABRI/Pensiunan dan rumah tangga dengan pekerjaan kepala keluarga yang bukan PNS/Polri/ABRI/Pensiunan hanya pada strata 2200 VA dengan tanda koefisien negatif. Hal ini mengindikasikan bahwa permintaan energi listrik untuk rumah tangga dengan pekerjaan kepala keluarga sebagai PNS/Polri/ABRI/Pensiunan lebih sedikit dibandingkan dengan rumah tangga dengan pekerjaan kepala keluarga yang bukan PNS/Polri/ABRI/Pensiunan.

Kemudian, untuk variabel lokasi, permintaan energi listrik berbeda signifikan antara rumah tangga di tengah kota dan di pinggir kota hanya pada strata 450 VA dan koefisiennya positif. Namun untuk strata lainnya, koefisien variabel lokasi bertanda negatif yang berarti permintaan energi listrik lebih sedikit untuk rumah tangga yang tinggal di tengah kota dibandingkan dengan

Page 399: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 394

yang tinggal di pinggir kota. Temuan ini mengindikasikan adanya kecenderungan bahwa rumah tangga dengan strata/golongan tarif yang lebih besar dan mempunyai pendapatan yang lebih besar lebih suka atau lebih nyaman jika tinggal di pinggir kota, sehingga permintaan listrik di pinggir kota semakin tinggi. Variabel pendidikan hanya berpengaruh positif dan signifikan pada strata 2200 VA, yang berarti semakin tinggi tingkat pendidikan anggota keluarga jumlah energi listrik yang dikonsumsi akan meningkat. Sedangkan variabel layanan (oleh PT. PLN) hanya berpengaruh signifikan untuk strata 1300 VA tetapi koefisien regresinya negatif.

Secara umum untuk setiap strata, nilai elastisitas pendapatan adalah positif. Hal ini menunjukkan bahwa listrik adalah barang normal. Nilai-nilai elastisitas pendapatan menunjukkan nilai-nilai yang semakin meningkat jika semakin tinggi strata/golongan tarif untuk strata 450 VA, 900 VA, 1300 VA ; namun elastisitas menurun kembali untuk strata 2200 VA dan strata R-2. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi pendapatan jumlah konsumsi listrik juga meningkat, atau sebaliknya. Tetapi untuk strata 2200 VA dan R-2 semakin rendah nilai elastisitasnya menunjukkan dampak perubahan pendapatan terhadap listrik adalah rendah, namun bukan pendapatan dan konsumsi listriknya yang rendah.

Elastisitas willingness to pay per KWh untuk setiap strata menunjukkan nilai elastisitas yang lebih kecil dari satu, yang berarti permintaan energi listrik adalah inelastis. Hal ini mengindikasikan bahwa barang substitusi untuk energi listrik masih terbatas dan produksi listrik masih dimonopoli oleh PT PLN (Persero). Adanya penggunaan generator masih terbatas hanya untuk strata yang tinggi (strata R-2). Namun secara umum dapat dikatakan bahwa semua strata tidak terlalu peka terhadap perubahan willingness to pay per KWh listrik. Dari temuan ini dapat diprediksi bahwa kelompok rumah tangga yang mempunyai rata-rata pendapatan dan willingness to pay yang lebih tinggi akan terus meningkatkan penggunaan energi listriknya.

Nilai elastisitas harga silang untuk setiap strata adalah positif. Ini menunjukkan bahwa sumber energi lain (bahan bakar minyak dan gas) adalah barang substitusi untuk energi listrik. Elastisitas harga silang untuk bahan bakar minyak untuk strata 2200 VA dan R-2 ( > 2200 VA – 6600 VA) lebih elastis dibandingkan dengan strata lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa untuk kedua strata tersebut penggunaan bahan bakar minyak untuk generator bukan

Page 400: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 395

lagi hanya untuk penerangan, tetapi sudah digunakan untuk menghidupkan alat-alat listrik lainnya seperti kulkas, AC, dan lain-lain. Nilai elastisitas harga gas lebih peka pada strata 2200 VA dibandingkan dengan strata R-2 ( > 2200 VA – 6600 VA). Hal ini mengindikasikan bahwa kebutuhan gas relatif lebih besar untuk strata 2200 VA dibandingkan dengan kebutuhan gas untuk strata R-2. 5. 2 Keterbatasan Penelitian

Beberapa keterbatasan penelitian ini adalah : (1) Belum mengestimasi permintaan energi listrik untuk rumah tangga yang kapasitas dayanya lebih besar (Strata R-3/ > 6600 VA) ; (2) Penelitian ini belum mengungkap faktor-faktor yang berhubungan atau yang mempengaruhi estimasi harga energi listrik dan estimasi stok kapital alat-alat listrik ; (3) Penelitian ini dilakukan dengan studi kasus di Kota Medan, sehingga kesimpulan hanya berlaku di Kota Medan ; (4) Penelitian ini hanya mengestimasi model permintaan energi listrik untuk kelompok pengguna rumah tangga saja ; (5) Penelitian ini hanya mengestimasi sisi permintaan energi listrik saja belum mengestimasi sisi penawaran atau produsen (PT PLN). 5. 3 Implikasi 5. 3. 1 Implikasi Kebijakan 1. Dari semua variabel-variabel yang dapat mempengaruhi permintaan energi

listrik rumah tangga, hanya variabel willingness to pay (WTP) yang dapat langsung memengaruhi kebijakan pihak PT PLN karena berhubungan dengan penetapan harga/tarif listrik, sedangkan variabel-variabel demografik lainnya tidak dapat dikontrol dan hanya dapat dianstisipasi terhadap utilitas penggunaan listrik suatu rumah tangga. Oleh karena itu, PT PLN (Persero) sudah perlu membebankan harga/tariff listrik dengan mempertimbangkan WTP konsumen.

2. Rendahnya elastisitas pendapatan dan elastisitas WTP terutama pada kelompok rumah tangga sederhana (strata 450 VA dan 900 VA) menunjukkan keterbatasan pendapatan yang pada gilirannya membatasi konsumsi listriknya. Namun untuk strata rumah tangga menengah dan besar (strata 2200 VA dan R-2), elastisitas pendapatan dan WTP yang rendah bukan menunjukkan karena rendahnya pendapatan atau WTP mereka, tetapi karena keterbatasan pihak PT PLN menyediakan listrik yang cukup sehingga perubahan pendapatan tidak terlalu peka terhadap penggunaan listrik. Dalam situasi seperti ini, rumah tangga strata menengah dan besar

Page 401: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 396

diindikasikan akan mudah beralih untuk menggunakan generator atau pembangkit sendiri. Berdasarkan fakta ini, diharapkan pihak PT PLN (Persero) Wilayah Sumut harus memperhatikan keseimbangan antara permintaan energi listrik dan pasokannya (suplai). PT PLN (Persero) Wilayah Sumut sudah perlu menggunakan mesin-mesin baru dengan sumber-sumber energi alternatif terbarukan seperti panas bumi, tenaga air, tenaga surya, tenaga angin, dan lain-lain.

3. Dalam penelitian ini disebutkan bahwa listrik untuk rumah tangga adalah produk akhir. Namun dalam kenyataannya banyak rumah tangga yang menggunakan listrik bukan sebagai produk akhir tetapi sebagai input untuk tujuan-tujuan produktif seperti industri rumah tangga, usaha jasa, usaha dagang, dan lain-lain. Oleh karena itu, pihak PT PLN harus mengawasi praktek-praktek seperti ini melalui peraturan-peraturan.

5. 3. 2 Kontribusi Terhadap Ilmu Pengetahuan 1. Estimasi permintaan energi listrik rumah tangga untuk setiap strata

konsumen, pengembangan model dengan menambah variabel-variabel demografik dan penetapan harga listrik dengan proksi WTP diharapkan merupakan kontribusi ilmiah (teori) penelitian ini.

2. Dengan memasukkan variabel-variabel demografik ke dalam estimasi, sekaligus mendukung pendapat Anderson 1973 dan Matsukawa 2004 yang menyatakan bahwa permintaan energi oleh suatu rumah tangga tidak hanya merefleksikan pendapatan dan biaya (harga), tetapi juga merefleksikan karakteristik-karakteristik demografik dan sosial di mana rumah tangga berada, karena hal ini dapat mempengaruhi fungsi utilitas rumah tangga tersebut.

3. Pada masa yang akan datang, variabel-variabel yang mempengaruhi permintaan energi listrik rumah tangga dapat berkembang lebih luas. Variabel-variabel tersebut dapat berkembang karena perubahan lingkungan tempat tinggal, bentuk-bentuk bangunan rumah, dan terutama karena perubahan teknologi. Model permintaan energi listrik rumah tangga dalam penelitian ini, tetap dapat digunakan karena perubahan-perubahan tersebut dapat mempengaruhi utilitas penggunaan listrik.

5. 4 Saran untuk Penelitian Berikutnya 1. Mengestimasi permintaan energi listrik untuk strata R-3 (> 6600 VA). Strata

R-3 adalah golongan tarif dengan sambungan tegangan rendah yang

Page 402: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 397

diperuntukkan keperluan rumah tangga mewah. Rumah tangga strata R-3 memiliki jumlah dan jenis alat-alat listrik yang lebih banyak dibandingkan dengan strata lainnya.

2. Memperluas cakupan penelitian dengan mengestimasi bukan hanya sisi permintaan energi listrik saja tetapi juga pada sisi penawaran untuk kelompok konsumen sosial, publik, bisnis, dan industri.

DAFTAR REFERENSI

Acton, J. P. ; B. M. Mitchell, dan R. Sohlberg. 1980. Estimating Residential Electricity Demand under Declining-Block Tariffs : An Econometric Study Using Micro-Data. Applied Economics, 12 : 145-161.

ADB (Asian Development Bank). 1999. Handbook for the Economic Analysis of Water Supply Projects, http://www.adb.org/ [30 Agustus 2006].

Akmal, M., dan D. I. Stern. 2001. Residential Energy Demand in Australia : An Application of Dynamic OLS. Department of Economics, Australian National University, Canberra, Oktober 2001, http://www. een.anu.edu.au/download-files/eep.0104.pdf [15 October 2004].

Amarullah, M. 1983. The Pricing of Electricity in Indonesia. Ph.D. dissertation. The Faculty of the Department of Economics, University of Houston, Texas.

Amarullah, M. 1984. Electricity Demand in Indonesia : An Econometric Analysis. Publikasi LMK. Jakarta : Pusat Penyelidikan Masalah Kelistrikan PLN.

Anderson, K. P. 1973. Residential Demand for Electricity : Econometrics Estimates for California and the United States. Journal of Business, 46, Iss. 4 (October 1973) : 526-532.

Archibald, R. B. ; D. H. Finifter ; dan C. E. Moody Jr. 1982. Seasonal Variation in Residential Electricity Demand : Evidence from Survey Data. Applied Economics, 14 : 167-181.

Barnes, R. ; R. G. ; dan R. Hagemann. 1981. The Short-run Residential Demand for Electricity. The Review of Economics and Statistics, 63 (November 1981) : 541-552.

Page 403: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 398

Bartels, R., dan D. G. Fiebig. 2000. Residential End-Use Electricity Demand : Results from a Designed Experiment. The Energy Journal, 21, No. 2 : 51-81.

Brown, R. E. dan J. G. Koomey. 2003. Electricity Use in California : Past Trends and Present Usage. Energy Policy, 31 (July) : 849 - 863.

Chang, Y., dan E. M.Chombo. 2003. Electricity Demand Analysis Using Cointegration and Error-Correction Models with Time Varying Parameters : The Mexican Case. Department of Economics-MS 22, Rice University, 6100 Main Street, Houston, TX 77005-1892. http://www. rnf.rice.edu/econ/papers/2003 papers/08 chang.pdf. [16 September 2004].

Damsgaard, N. 2003. Residential Electricity Demand : Effects of Behavior, Attitudes and Interest. Department of Economics, Stockholm School of Economics, http://www . damsgaard.com.files/demand.pdf. [24 September 2004].

Filippini, M. 1995. Electricity Demand by Time of Use : An Application of the Household AIDS Model. Energy Economics (ENG), 17, Iss. 3 (July) : 197-204.

Filippini, M., dan S. Pachauri. 2004. Elasticities of Electricity Demand in Urban Indian Households. Energy Policy, 32, Iss. 3 (February) : 429 - 441.

Filippino, M. 1999. Swiss Residential Demand for Electricity. Applied Economics Letters, 6 : 533-538.

Fujii, E. T., dan J. Mak. 1984. A Model of Household Electricity Conservation Behavior. Land Economics, 60, No. 4 (November) : 340-351.

Garbacz, C. 1984. A National Micro-Data Based Model of Residential Electricity Demand : New Evidence on Seasonal Variation. Southern Economic Journal, 51, Iss. 1 (July) : 235-249.

Guertin, C. ; S. C. Kumbhakar ; dan A. K. Duraiappah. 2003. Determining Demand for Energy Services : Investigating Income-Driven Behaviours. International Institute for Sustainable Development, 161 Portage Avenue East, 6th Floor Winnipeg, Manitoba, Canada, http://www. iisd.org/pdf/2003/energy determining-demand.pdf [15 Oktober 2004].

Gujarati, D. N. 2003. Basic Econometrics, 4th ed. New York : Mc-Graw Hill Inc.

Halvorsen, B., dan B. M. Larsen. 1999a. Factors Determining the Growth in Residential Electricity Consumption. Economic Survey, 3 : 33 - 42.

Page 404: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 399

____________________________. 1999b. Changes in the Pattern of Household Electricity Demand over Time. Discussion Papers No. 255 (June), Statistics Norway, Research Development, http://www.ssb.no/publikasjoner/DP/dp.255.pdf [14 Oktober 2004].

Halvorsen, B. ; B. M. Larsen ; dan R.Nesbakken. 2003. Possibility for Hedging from Price Increases in Residential Energy Demand. Discussion Papers No. 347 (April), Statistics Norway, Research Department, http://www. ssb.no/publiskasjoner/DP/dp. 347.pdf [14 Oktober 2004].

Halvorsen, R. 1975. Residential Demand for Electric Energy. The Review of Economics and Statistics, 57, Iss.1 : 12-18.

___________. 1976. Demand for Electric Energy in the United States. The Southern Economic Journal, 42 (April) : 610-625.

Hartman, R. S. 1983. The Estimation of Short-Run Household Electricity Demand Using Pooled Aggregate Data. Journal of Business & Economic Statistics, 1, No. 2 (April) : 127-135.

Henson, S. E. 1984. Electricity Demand Estimates under Increasing-Block Rates. Southern Economic Journal, 51, Iss. 1 (July) : 147-156.

Jaffee, B. L. ; D. A. Houston ; dan R. W. Olshavsky. 1982. Residential Electricity Demand in Rural Areas : The Role of Conservation Actions, Engineering Factors and Economic Variables. The Journal of Consumer Affairs, 16, No. 1 : 137-151.

Jung, T.Y. 1993. Ordered Logit Model for Residential Electricity Demand in Korea. Energy Economics, 15 : 205-209.

Kadir, A. 2000. Distribusi dan Utilisasi Tenaga Listrik, Jakarta : Penerbit UI Press.

Kadir, A.1995. Energi : Sumberdaya, Inovasi, Tenaga Listrik dan Potensi Ekonomi, Jakarta : Penerbit UI Press.

Langmore, M., dan G. Dufty. 2004. Domestic Electricity Demand Elasticities, Issues for the Victorian Energy Market. Working Papers, http://www . vinnies.org.au /files /vic./domestic.pdf. [22 September 2004].

Larsen, B. M., dan R. Nesbakken. 2002. How to Quantify Household Electricity End-use Consumption. Discussion Papers No. 346 (March), Statistics Norway, Research Department, http://www. ssb.no/publiskasjoner/DP/dp. 346.pdf [14 Oktober 2004].

Page 405: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 400

Maddigan, R. J. ; W. S. Chern ; dan C. G. Rizy. 1983. Rural Residential Demand for Electricity. Land Economics, 59, No. 2 (May) : 150-162.

Matsukawa, I. 2004. The Effects of Information on Residential Demand for Electricity. The Energy Journal, 25, No. 1 : 1-17.

Matsukawa, I. ; H. Asano ; dan H. Kakimoto. 2000. Household Response to Incentive Payments for Load Shifting : A Japanese Time-of-Day Electricity Pricing Experiment. The Energy Journal, 21, No. 1 : 73-86.

McKean, J. R., dan W. D. Winger. 1992. Simultaneous Equation Estimates of Electricity Demand for the Rural South : Revenue Projection when Prices are Administered. Journal of Forecasting, 11 : 225-240.

Meetamehra. 2002. Demand Forecasting for Electricity. Working Papers, http://www teriin.org/division/regdiv/docs/ft13.pdf. [17 September 2004].

Munley, V.G. ; L.W.Taylor ; dan J. P. Formby. 1990. Electricity Demand in Multi-Family, Renter-Uccupied Residences. Southern Economic Journal, 57 (July) : 178-194.

Nagurney, F. K., dan D. A.Arceneaux. 1991. A Model for Predicting Electrical Peak Demand. Journal of Business Forecasting (JBT) 10, Iss. 2 (Summer) : 5-7.

Nam, P. K., dan T. V. H. Son. 2005. Household Demand for Improved Water Services in Ho Chi Min City : A Comparison of Contingent Valuation and Choice Modelling Estimates. Research Report No. 2005-RR3 : 1-23, Economy and Environtment Program foe Southeast Asia (EEPSEA), Singapore, http://www.eepsea.org [9 Agustus 2006].

Naughton, M. C. 1989. Regulatory Preferences and Two-Part Tariffs : The Case of Electricity. Southern Economic Journal, 55, Iss. 3 : 743-758.

Nilagupta, P. 1999. Modelling Future Demand for Energy Resources : A Study of Residential Electricity Usage in Thailand, Ph. D. dissertation, Michigan State University, USA.

Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009, Jakarta : Penerbit CV. Eka Jaya.

Peterson, S. L. 2002. Micro Econometric Modelling of Household Energy : Testing for Dependence between Demand for Electricity and Natural Gas. The Energy Journal, 23, No.4 : 67-84.

Page 406: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 401

Philipson, L., dan L.Willis. 1999. Understanding Electric Utilities and De-Regulation, New York : Marcel Decker Inc.

PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatra Utara. 2004. Prakiraan Kebutuhan Tenaga Listrik Model DKL 3.01 .Materi Workshop (12 Mei 2004).

Reiss, P. C., dan M. W. White. 2001. Household Electricity Demand, Revisited. Working Papers. http://www.nberg.org/ [12 Mei 2004].

RUPTL (Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik) Tahun 2006 – 2015, http://www.pln.go.id.[24-3-2006].

RUTRK (Rencana Umum Tata Ruang Kota) Kota Medan, 2003. Sexton, R. D., dan T. A. Sexton. 1987. Theoritical and Methodological

Perspectives on Consumer Response to Electricity Information. The Journal of Consumer Affairs, 21, No. 2 : 238-257.

Silk, J. I., dan F. L. Joutz. 1997. Short and Long-run Elasticities in US Residential Electricity Demand : A Co-integration Approach. Energy Economics (ENG), 19, Iss. 4 (October) : 493-513.

Susilowati, I. 1998. Economics of Regulatory Compliance in the Fisheries of Indonesia, Malaysia, and Philippines. Ph. D. dissertation. Faculty of Economics and Management, Universiti Putra Malaysia.

Tarigan, B. 1998. Peramalan Kebutuhan Tenaga Listrik Kotamadya Medan Tahun 1998 – 2007. Tesis. Program Studi Teknik Elektro, Program Pascasarjana, Universitas Indonesia.

Tarigan, U. ; S. Hardi ; dan Siswarni. 2002. Analisis Kebutuhan Listrik Rumah Tangga : Studi Kasus Propinsi Sumatra Utara. Laporan Penelitian. Kerjasama Proyek Peningkatan Kualitas Sumberdaya Manusia, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi dan Fakultas Teknik Universitas Sumatra Utara.

Taylor, L. D. 1979. Time-of-Day and Seasonal Demand for Electric Power. Growth & Change, 10, Iss. 1 (January) : 105-110.

Terza, J. T., dan W. P. Welch. 1982. Estimating Demand Under Block Rates : Electricity and Water. Land Economics, 58, No. 2 (May) : 181-188.

Turvey, R., dan D. Anderson. 1997. Electricity Economics : Essay and Case Study. Working Papers. The International for Reconstruction and Development, The World Bank, The John Hopkins University Press.

Westley, G. D. 1989. Commercial Electricity Demand in A Central American Economy. Applied Economics, 21 : 1-17.

Page 407: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 402

Wilder, R. P., dan J. F. Willenborg. 1975. Residential Demand for Electricity : A Consusmer Panel Approach. Southern Economic Journal, 42, Iss. 2 (October) : 212-217.

Wilder, R. P. ; J. E. Johnson ; dan R. R. Glenn. 1992. Income Elasticity and Residential Demand for Electricity. The Journal of Energy and Development, 16 : 1-13.

Yusgiantoro, P. 2000, Ekonomi Energi : Teori dan Praktek, Jakarta : Penerbit Pustaka LP3ES.

Page 408: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 403

Lampiran 1 Gambar 1

Kerangka Pemikiran Teori

MODEL DASAR(MODEL I)

PENDPTN

WTPKWH

INDALIST

JAKEL

JUMRUANG

HBLBBM

HBLGAS

PENGEMBANGANMODEL

(MODEL II)

PENDPTN

WTPKWH

INDALIST

JAKEL

JUMRUANG

HBLBBM

HBLGAS

ETNIS

PEKERJN

TIPENDIK

KEKEL

LOKASI

LAYANAN

PERMINTAAN ENERGILISTRIK

RUMAH TANGGA(PELRT)

STRATA/GOLONGANTARIF

R-1/900 VA

R-1/1300 VA

R-1/2200 VA

R-2/2201 VA -6600 VA

R-3/ > 6600 VA

ETNIS R-1/450 VA

Page 409: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 404

Lampiran 2 Tabel 1

Populasi Konsumen Pada Rayon dan Ranting Terpilih Konsumen Energi Listrik Rumah Tangga PT. PLN Cabang Kota Medan

(unit rumah tangga)

Sumber : PT. PLN (Persero) Cabang Medan, 2006.

Golongan Tarif Tengah Kota (Rayon)

Pinggir Kota (Ranting)

Jumlah Populasi

Medan Kota

Medan Timur

Helvetia

Sunggal

R-1/TR 450VA R-1/TR 900VA R-1/TR 1300VA R-1/TR 2200VA R-2/TR 2201VA-6600VA R-3/TR > 6600VA

21611 16154 7119

10053 5768 922

33839 19818 5072 6950 1540 128

23167 16025 3356 2167 809 121

13132 10020 4276 4040 1155 107

91749 62017 19823 23210 9272 1278

Jumlah Populasi 61627 67347 45645 32738 207349

Page 410: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 405

Lampiran 3 Gambar 2

Sistematika Penarikan Sampel

STRATA : GOLONGAN TARIF/DAYA RUMAH TANGGA

R-1/ 450 VA, R-1/TR 900 VA, R-1/TR 1300 VA,R-1/TR 2200 VA, R-2/TR 2201 s/d 6600 VA,

R-3/TR > 6600 VA

POPULASI :Kelompok Konsumen Rumah Tangg PT. PLN Cabang Medan

Medan Kota Belawan Helvetia Sunggal MedanBaru Labuhan Medan

SelatanMedanTimur

CLUSTER

UNIT SAMPEL :Konsumen Rumah Tangga PLN

Yang terpilih Berdasarkan Strata GolonganTarif/Daya

Medan Kota Medan Timur Helvetia Sunggal

Justifikasi StatistikJustifikasiMetodologiPenelitian

Page 411: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 406

Lampiran 4 Tabel 2

Distribusi Sampel Penelitian Konsumen Energi Listrik Rumah Tangga PT. PLN Cabang Kota Medan

(unit rumah tangga)

Catatan : Rule of the thumb : distribusi jumlah sampel bila dipandang terlalu kecil (n < 15), jumlah sampel dapat dinaikkan menjadi 15 atau ½ dari sampel kecil (n = 30). *) Jumlah sampel berdasarkan hasil perhitungan formula **) Jumlah sampel berdasarkan kaidah statistik ***) Distribusi sampel berdasarkan kaidah statistik

Distribusi Sampel ***) Golongan/Strata

Tarif Jumlah

sampel *)Jumlah

sampel**)

Tengah Kota (Rayon)

Pinggir Kota (Ranting)

Medan Kota

Medan Timur

Helvetia

Sunggal

R-1/TR 450VA R-1/TR 900VA R-1/TR 1300VA R-1/TR 2200VA R-2/TR 2201 -6600VA R-3/TR > 6600VA

170 115 37 43 17

2

170 115 60 64 60 60

40 30 15 19 15 15

63 37 15 15 15 15

43 30 15 15 15 15

24 18 15 15 15 15

Jumlah 383 529 134 160 133 102

Page 412: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 407

Lampiran 5 CONTOH KUESIONER UNTUK MENGUNGKAP WTP KONSUMEN ENERGI LISTRIK RUMAH TANGGA

Dalam penelitian ini, untuk mendapatkan nilai WTP konsumen energi listrik rumah tangga, maka digunakan metode contingent valuation dengan closed ended referendum elicitation format (bidding game format) sebagaimana telah digunakan dan dikembangkan oleh lembaga-lembaga seperti : EEPSEA (Economy and Environment Program for Southeast Asia), ADB (Asian Development Bank), dan Bank Dunia (Whittington 1996 ; ADB 1999 ; Tapvong dan Kruavan 2000 ; Yaping 2000 ; Nam dan Son 2005). Dalam hal ini, metode contingent valuation dilakukan dengan membuat kuesioner yang berisikan : 1) latar belakang penelitian, 2) profil atau karakteristik sosial ekonomi responden, 3) penggunaan energi listrik rumah tangga, 4) closed ended referendum elicitation format untuk memperoleh WTP energi listrik rumah tangga.

Berikut ini adalah contoh pertanyaan atau kuesioner3) yang dapat dilakukan untuk mengungkap WTP konsumen energi listrik rumah tangga : Menanyakan keputusan terbaik dalam kemampuan membayar

Model pertanyaan ini dimodifikasi dari model kuesioner EEPSEA Project (Whittington 1996 ; Tapvong dan Kruavan 2000). Narasi kuesioner adalah sebagai berikut :

“Berdasarkan kondisi harga listrik saat ini sebagaimana diuraikan di atas

(atau berdasarkan rekening listrik Anda), pilihlah mana yang menjadi keputusan terbaik dari pernyataan-pernyataan berikut terhadap harga atau tarif listrik tersebut :

□ Mau membayar dan mampu □ Mau membayar, tetapi tidak mampu □ Mampu, tetapi tidak mau membayar □ Tidak mampu dan tidak mau membayar □ Lainnya, sebutkan : ...............................................................”

Page 413: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 408

Menanyakan berapa besarnya WTP

Model pertanyaan dimodifikasi dari model koesioner ADB (1999) dimana nilai atau skenario tawaran (bidding game) dimulai dari nilai tertinggi dan kemudian turun ke nilai yang lebih rendah. Tujuannya adalah untuk menghindari low starting point bias. Menurut ADB 1999, nilai atau angka awal dapat ditetapkan tidak melebihi dua kali dari biaya per unit dari produk/jasa yang ditawarkan. Dalam hal ini, karena harga pokok penyediaan (HPP) listrik per KWh secara nasional sebesar Rp 700,- maka dalam kuesioner ini nilai awal dimulai dari Rp 1500,-. Narasi kuesioner adalah sebagai berikut :

”Dengan keadaan kualitas listrik sekarang ini di Kota Medan (masih

adanya pemadaman bergilir dan dengan sistim pelayanan PLN yang anda terima selama ini), berapa nilai maksimum yang ingin/mau/bersedia Anda bayarkan untuk rekening listrik per bulan ?

Rp ................./bulan. (Lihat pilihan tawaran di bawah ini, isi tanda □ dengan tanda X ) 1. Di atas Rp 200.000,- per bulan : Jika Ya, sebutkan jumlahnya ; Rp ............../bulan ; jika ٱ Tidak, lanjut ke pertanyaan 2 2. Rp 200.000,- per bulan : Jika □ Ya, berhenti ; jika □ Tidak, lanjut ke tawaran 3 3. Rp 150.000,- per bulan : Jika □ Ya, berhenti ; jika □ Tidak, lanjut ke tawaran 4 4. Rp 100.000,- per bulan : Jika □ Ya, berhenti ; jika □ Tidak, lanjut ke tawaran 5 5. Rp 50.000,- per bulan : Jika □ Ya, berhenti ; jika □ Tidak, lanjut ke tawaran 6 6. Rp 40.000,- per bulan : Jika □ Ya, berhenti ; jika □ Tidak, lanjut ke tawaran 7 7. Rp 30.000,- per bulan : Jika □ Ya, berhenti ; jika □ Tidak, lanjut ke tawaran 8 8. Rp 20.000,- per bulan : Jika □ Ya, berhenti ; jika □ Tidak, lanjut ke tawaran 9 9. Rp 10.000,- per bulan : Jika □ Ya, berhenti ; jika □ Tidak, lanjut ke tawaran10 10. Di bawah Rp 10.000,- : Jika Ya, sebutkan jumlahnya : Rp ...................../bulan” (Catatan : Contoh kuesioner ini adalah untuk strata/golongan tarif rumah

tangga 450 VA. Hal yang sama dapat dibuat untuk strata/golongan tarif lainnya dengan menyesuaikan kemampuan bayar konsumen).

Selanjutnya, skenario-skenario lain dapat dibuat sebagai berikut :

”Andaikata kualitas listrik dari PLN dapat ditingkatkan pada tahun-tahun

mendatang (misalnya tidak ada lagi pemadaman bergilir dan sistim

Page 414: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 409

pelayanan PLN ditingkatkan), berapa nilai maksimum yang ingin/mau/bersedia Anda bayarkan untuk rekening listrik per bulan ?

Rp ................../bulan. (Lihat pilihan tawaran di bawah, isi tanda □ dengan tanda X)

1. Di atas Rp 300.000,- per bulan : Jika ٱ Ya, sebutkan jumlahnya ; Rp ............../bulan ; jika ٱ Tidak, lanjut ke tawaran 2 2. Rp 300.000,- per bulan : Jika □ Ya, berhenti ; jika □ Tidak, lanjut ke tawaran 3 3. Rp 250.000,- per bulan : Jika □ Ya, berhenti ; jika □ Tidak, lanjut ke tawaran 4 4. Rp 200.000,- per bulan : Jika □ Ya, berhenti ; jika □ Tidak lanjut ke tawaran 5 5. Rp 150.000,- per bulan : Jika □ Ya, berhenti ; jika □ Tidak, lanjut ke tawaran 6 6. Rp 100.000,- per bulan : Jika □ Ya, berhenti ; jika □ Tidak, lanjut ke tawaran 7 7. Rp 50.000,- per bulan : Jika □ Ya, berhenti ; jika □ Tidak, lanjut ke tawaran 8 8. Rp 25.000,- per bulan : Jika □ Ya, berhenti ; jika □ Tidak, lanjut ke tawaran 9 9. Di bawah Rp 25.000,- : Jika □ Ya, sebutkan jumlahnya : Rp ............../bulan”

”Jika kualitas listrik meningkat di masa yang akan datang, apakah Anda

bersedia meningkatkan kapasitas listrik Anda menjadi 900 VA ? □ Ya, bersedia □ Tidak bersedia, tetap pada 450 VA” ”Jika jawaban Ya, berapa nilai maksimum yang ingin/mau/bersedia Anda

bayarkan untuk rekening listrik per bulan ? Rp ................../bulan. (Lihat pilihan tawaran di bawah ini, , isi tanda □

dengan tanda X) 1. Di atas Rp 400.000,- per bulan : Jika Ya, sebutkan jumlahnya ; Rp ............../bulan ; jika Tidak, lanjut ke tawaran 2 2. Rp 400.000,- per bulan : Jika □ Ya, berhenti ; jika □ Tidak, lanjut ke tawaran 3 3. Rp 350.000,- per bulan : Jik □ Ya, berhenti ; jika □ Tidak, lanjut ke tawaran 4 4. Rp 300.000,- per bulan : Jika □ Ya, berhenti ; jika □ Tidak, lanjut ke tawaran 5 5. Rp 250.000,- per bulan : Jika □ Ya, berhenti ; jika □ Tidak, lanjut ke tawaran 6 6. Rp 200.000,- per bulan : Jika □ Ya, berhenti ; jika □ Tidak, lanjut ke tawaran 7 7. Rp 150.000,- per bulan : Jika □ Ya, berhenti ; jika □ Tidak, lanjut ke tawaran 8 8. Rp 100.000,- per bulan : Jika □ Ya, berhenti ; jika □ Tidak, lanjut ke tawaran 9 9. Rp 50.000,- per bulan : Jika □ Ya, berhenti ; jika □ Tidak, lanjut ke tawaran10

10. Di bawah Rp 50.000,- : Jika □ Ya, sebutkan jumlahnya : Rp ............../bulan”

Page 415: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 410

Social Desirability Bias: Apa, Penyebab, Konsekuensi dan Solusi?

Gancar Candra Premananto∗

Abstrak

Behavioral researches mostly have to face social desirability bias (SDB). Even it hard to eliminated, but the effort to it must do. This paper tried to explore what, why, when of

SDB issue and how to overcome. Some empirical examples given to make the techniques to eliminate SDB more clearly.

Salah satu isu penting dalam pengukuran variabel penelitian adalah berkaitan dengan kejujuran responden/partisipan dalam menjawab wawancara atau mengisi kuesioner penelitian. Beberapa permasalahan penelitian sering kali dianggap sensitif atau mengancam gambaran diri bagi responden/partisipan sehingga ia memberikan jawaban yang tidak sebenarnya. Bila hal tersebut terjadi maka tentu akan menimbulkan bias pada hasil penelitian. Hal ini yang kemudian memunculkan isu Social Desirability Bias (SDB). Artikel ini bermaksud untuk mengupas lebih dalam mengenai apa, kapan, konsekuensi dan solusi permasalahan SDB. Contoh pada penelitian berkaitan dengan pembelian impuls akan disajikan pada bagian selanjutnya untuk melengkapi gambaran mengenai SDB. Definisi Social Desirability Bias Seseorang dalam kehidupan sosial seringkali membutuhkan pengakuan bahwa ia orang yang mementingkan kepentingan orang lain dan lebih memiliki orientasi sosial dibanding keadaan yang sebenarnya. Hal ini seringkali terjadi dalam proses tes kepribadian, seleksi penerimaan karyawan atau dalam penelitian yang berkaitan dengan variabel yang sensitif. Social desirability {SD) dapat didefinisikan sebagai kecenderungan dari individu untuk menolak perilaku yang tidak diinginkan lingkungan sosial (social undesirable) dan mengakui perilaku yang diinginkan lingkungan sosial (social desirable) (Chung dan Monroe 2003). Seseorang akan cenderung ∗ Dosen Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga dan Dosen kelas Matrikulasi Program MSi Universitas Gadjah Mada.

Page 416: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 411

menyesuaikan perkataan dan perilakunya sesuai harapan lingkungan sosialnya, walaupun itu tidak sesuai dengan sikap dan perilaku yang sebenarnya dikerjakan. Dalam bahasa agama, kecenderungan ini telah disinyalir sebagai sifat orang munafik.

“Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang (munafik) yang berkata ‘Kami mendengarkan1,’ padahal mereka tidak mendengarkan.” (Al Anfaal 21, Al Quran digital). “Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: "Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah." Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta. Mereka itu menjadikan sumpah mereka sebagai perisai2…” (Al Munafiqun 1-2, Al Quran digital)

Dalam ayat di atas ditunjukkan bahwa seseorang melakukan kegiatan pengelabuan dengan tujuan tertentu, yakni untuk melindungi harta atau dirinya. Demikian juga dalam merespon suatu permasalahan, seseorang melakukan pengelabuan diri untuk melindungi imej dirinya di mata orang lain. Lebih lanjut Social Desirability Bias (SDB) merupakan istilah yang biasa digunakan dalam penelitian ilmiah (seringkali dalam riset psikologi atau ilmu sosial) untuk menggambarkan bias yang disebabkan oleh kecenderungan responden untuk merespon sesuai dengan harapan dari pihak lain. Kondisi yang terjadi adalah para responden/partisipan dapat melakukan overreporting perilaku yang dianggap baik atau underreporting perilaku yang dianggap negatif (www.wikipedia.org). Khusus untuk fenomena social undesirability, terdapat dua pengertian yang muncul. Pengertian yang pertama adalah seperti dikemukakan oleh Chung dan Monroe (2003), seseorang menolak mengakui melakukan perilaku yang tidak diinginkan lingkungan sosial. Dalam pengertian pertama ini tujuannya adalah sama yakni berupaya menunjukkan kesan positif dari orang lain. Untuk

1 Mereka mendengarkan tapi hati mereka mengingkarinya 2 Mereka bersumpah bahwa mereka beriman adalah untuk menjaga harta mereka, supaya jangan dibunuh atau ditawan.

Page 417: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 412

pengertian pertama ini Singh (1986, p 116) memberikan istilah bahwa orang tersebut berpura-pura baik (faking good). Pengertian kedua adalah seperti dikemukakan Singh (1986, pp 116-117) adalah berpura-pura untuk terlihat/terkesan negatif. (faking bad). Contoh yang diberikan Singh adalah seseorang anggota militer yang dengan tujuan agar bisa pulang ke rumah berupaya untuk memberikan kesan bahwa ia mengalami kelelahan mental dalam tes kepribadian dan psikologi.. Dengan demikian ia bahkan melakukan overreporting sesuatu yang negatif dengan tujuan untuk mendapatkan simpati, perhatian dan bantuan dari orang lain. Walaupun memiliki pengertian yang berbeda namun kesemua hal diatas memiliki kesamaan yakni adanya aktivitas mengelabui pihak lain untuk mendapatkan kesan diri yang sesuai dengan tujuannya. Faktor Kepribadian ataukah Karakteristik Item? Dari disiplin psikologi muncul 2 pendapat mengenai faktor yang memicu munculnya fenomena SDB dalam riset. Di satu sisi, ada yang berpendapat bahwa SDB adalah permasalahan kepribadian (personality) sedang di sisi lain ada yang berpendapat bahwa SDB adalah permasalahan karakteristik item/variabel yang diukur (Vinten 1995; Nancarrow et al. 2001). Isu kepribadian mengacu pada kondisi kecenderungan menyeluruh dari seseorang dalam merespon sesuai pola yang diinginkan. Upaya yang dilakukan adalah membuat skala pengukuran untuk konstruk social desirability, yakni dengan mencoba mengukur berbagai tingkat dari kebutuhan untuk diterima secara sosial (need for social approval, self-protection, social conformity, dan need for avoiding social criticism). Skala yang dikenal adalah skala Marlowe-Crowne. Kritik terhadap perspektif ini muncul diantaranya dari Vinten (1995) yang menyatakan bahwa hal tersebut lebih mengarah pada tes mini-personality dan melihat kecenderungan tersebut sebagai kondisi kepribadian yang stabil dibanding skala social desirability. Kritik terhadap perspektif kepribadian kemudian mengarahkan permasalahan SDB pada perspektif karakteristik item. Dengan kata lain SDB terjadi karena permasalahan dengan item/variabel yang akan diukur. Beberapa isu penelitian seringkali sensitif atau mengancam untuk ditanyakan. Dalam realitas, sangat sulit membedakan antara isu yang sensitif dan isu yang mengancam, namun yang terpenting adalah bahwa kedua hal tersebut dapat

Page 418: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 413

menjadikan seseorang menjawab dengan tidak jujur dengan tujuan untuk dapat memunculkan imej positif di mata interviewer. Beberapa isu yang telah diidentifikasi sensitif dan/atau mengancam serta dapat memunculkan kemungkinan responden/partisipan berbohong atau menghindar untuk menjawab antara lain: perilaku dan fantasi seksual; pendapatan yang diperoleh; patriotisme dan ethnosentrisme, tingkat religiusitas; pemberian donasi yang dilakukan; masalah rasial dalam voting politik (Bradley Effect3), perilaku illegal/melawan hukum seperti pengkonsumsian obat-obatan terlarang, kepemilikan senjata serta keikutsertaan dalam organisasi terlarang dll (wikipedia.org; Vinten 1995). Spesifik untuk disiplin pemasaran, permasalahan SDB akan sering ditemui peneliti, mengingat tren isu pemasaran saat ini adalah seputar pemanasan global, pemasaran beretika, pemasaran hijau (green marketing), pemasaran sosial, serta pemasaran dengan tanggung jawab sosial (corporate social responsibility) (Nancarrow et.al 2001). Lebih lanjut Vinten (1995) menyatakan bahwa aspek kepribadian dan karakteristik item dapat saling berhubungan, yang menjadikan kepribadian yang berorientasi pada lingkungan sosial sekitarnya (SD) sebagai kepribadian yang bersifat situasional dan tidak statis tergantung pada karakteristik item yang ditanyakan. Namun hubungan tersebut masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Studi empirik dari Chung dan Monroe (2003) memberikan dukungan bahwa ada korelasi antara SDB dengan aspek tema riset (etis-non etis) dan karakteristik subyek penelitian (tingkat relijiusitas dan gender). SDB semakin tinggi bila suatu tindakan yang dimunculkan dalam riset dipandang tidak etis. Individu yang memiliki tingkat relijiusitas tinggi juga cenderung memiliki skor SDB tinggi dibanding yang memiliki tingkat relijiusitas rendah. Adapun wanita memiliki skor SDB lebih tinggi dibanding pria.

3 Bradley effect or Wilder effect mengacu pada upaya untuk menjelaskan kemungkinan ketidakakuratan polling opini dalam kampanye politik di Amerika antara kandidat berkulit putih dan berkulit hitam atau berwarna. Para peneliti berargumentasi bahwa pemilih berkulit putih memberikan respon polling yang tidak akurat karena mereka takut bila menyatakan pilihan yang sesungguhnya akan tampak oleh orang lain sebagai orang yang rasis (racially prejudiced). Sumber www.wikipedia.org.

Page 419: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 414

. Alasan tambahan munculnya SDB dinyatakan oleh Snir dan Harpaz (2002) yang menyatakan bahwa SDB terutama terjadi ketika (a) adanya norma sosial yang menyatakan secara spesifik atas sikap yang diinginkan serta (b) adanya mayoritas orang yang memegang norma tersebut. Secara konseptual, Nancarrow et. al. (2001) menjelaskan beberapa teori yang diangggap mampu menjelaskan faktor yang secara fundamental memicu munculnya SD, yakni

a. Konsep ‘Impression management’ yakni bila fenomena SD muncul sebagai fungsi dari upaya untuk menampilkan kesan diri yang diharapkan pihak lain (pewawancara, peneliti atau pengamat).

b. Konsep “ego defence” atau “self-deception” yakni bila fenomena SD muncul sebagai upaya mempertahankan harga diri seseorang.

c. Konsep “instrumentation” yakni bila SD muncul sebagai sarana/alat bagi subyek untuk mempengaruhi para pengambil keputusan/kebijakan (pemerintah, perusahaan atau pengambil kebijakan lainnya). Contoh dalam hal ini misalnya adalah berkaitan dengan survei mengenai apakah seseorang akan ikut berpartisipasi dalam suatu program tertentu yang baik bagi kepentingan publik secara umum. Bisa jadi responden akan menjawab ia akan berpartisipasi aktif dalam program tersebut, walaupun pada kenyataannya ia tidak berminat untuk melakukannya.

Dari pembahasan pada bagian ini dapat dinyatakan bahwa subyek penelitian satu dengan yang lain dapat memiliki faktor dan tujuan tersendiri ketika melakukan pengelabuan, namun semuanya berdampak yang sama terhadap penelitian yang dilakukan yakni dapat menimbulkan bias. Konsekuensi Dari hasil review atas berbagai literatur yang berkaitan dengan pengukuran dan pengendalian atas SDB, Nederhof (dalam Snir dan Harpaz 2002) mengklaim bahwa SDB merupakan salah satu sumber bias yang paling umum terjadi yang dapat mempengaruhi validitas dari temuan penelitian baik untuk penelitian dengan survei maupun eksperimen. Bila responden/partisipan menjawab sesuatu tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya, maka hasilnyapun tentunya menjadi bias. Terdukung atau tidak terdukungnya hipotesis yang diajukan menjadi sesuatu yang tidak nyata.

Page 420: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 415

Lebih lanjut, bila hasil temuan riset bias, maka efek selanjutnya adalah bias pada kontribusi penelitian baik kontribusi konseptual maupun praktikal. Kesalahan penarikan kesimpulan dan preskripsi kemudian dapat terjadi. Mengingat dampaknya yang cukup signifikan, maka perhatian penuh terhadap upaya mengeliminasi kemungkinan terjadinya SDB harus dilakukan. Penggunaan kata eliminasi mengandung arti bahwa sangat sulit bagi peneliti untuk mengetahui secara pasti bahwa SDB tidak terjadi sama sekali, namun upaya ke arah itu harus dilakukan. Mengidentifikasi dan Mengeliminir SDB a. Metode mengidentifikasi SDB Ada beberapa cara untuk menilai apakah terjadi fenomena SDB dari permasalahan yang diajukan (Nancarrow et. al 2001) yakni: 1. Checking against known “facts”

Cara yang dapat dianggap paling jelas untuk menentukan apakah ada permasalahan SDB adalah mengecek apakah ada kesesuaian antara hasil penilaian diri (self report) dengan hasil observasi perilaku. Kesesuaian juga dapat dilakukan dengan melakukan wawancara dengan orang lain yang mengenal responden. Dengan kata lain untuk mendapatlkan hasil yang valid, pengukuran dapat dilakukan dengan beberapa cara (multi methods).

2. Checking whether there is a correlation with known measures of giving a socially desirable response.

Metode lain yang dapat digunakan untuk mengecek adalah mengukur kecenderungan seseorang untuk berperilaku SD. Beberapa skala untuk mengukurnya antara lain adalah skala Edwars (dikembangkan tahun 1957), skala Marlowe-Crowne (dikembangkan tahun 1960) dan skala Paulhus (dikembangkan 1991). Hasil dari skala tersebut kemudian dikorelasikan dengan permasalahan riset. Tingkat korelasi mengindikasikan adanya masalah SDB. Permasalahan dari cara ini adalah untuk melakukannya cukup membutuhkan waktu.

3. Rating the question for presence and degree of social desirability bias Responden diminta untuk menyatakan seberapa besar potensi SD dalam suatu pertanyaan dengan mengunakan skala 0-9. Semakin tinggi nilai skala menunjukkan permasalahan yang diajukan semakin SD. Namun permasalahan

Page 421: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 416

lain juga dapat muncul dalam hal ini yakni apakah pertanyaan kepada responden/partisipan yang diajukan juga terbebas dari permalahan SD.

4. Noting physiological manifestations of unease Pengamatan terhadap berbagai respon fisik juga dapat dilakukan seperti mengamati perubahan ukuran pupil mata, respons galvanik dari kulit atau pergerakan otot muka. Hal ini biasanya dilakukan dalam eksperimen di laboratorium, dengan alat-alat observasi khusus. Namun tentu saja alternatif ini memerlukan waktu dan biaya yang lebih besar.

5. Experiment involving SDB reduction technique versus no SDB reduction technique as control. Pilihan ini pada dasarnya lebih meneliti kepada penelitian ekseprimen tersendiri yakni dengan membuat kelompok kontrol dan kelompok yang dimanipulasi. Kedua kelompok tersebut kemudian dilihat ada atau tidaknya signifikansi perbedaan antara kedua kelompok untuk mengetahui ada atau tidaknya fenomena SDB.

b. Metode mengeliminir SDB Pada tahun 1980-an, ada metode yang cukup populer untuk mereduksi SDB yakni dengan tekhnik Bogus Pipeline (BPL). Menurut Nancarrow et. al (2001) tekhnik BPL biasanya dilakukan dalam eksperimen psikologi yang menghubungkan subyek penelitian dengan alat-alat detektor yang yang membuat subyek meyakini bahwa peneliti dapat mendeteksi kebenaran sikap dan perasaan subyek. Meskipun tekhnik ini cukup efektif dalam mendorong seseorang berkata sebenarnya untuk penelitian kualitatif dan kuantitatif, namun selain sangat memakan waktu juga muncul masalah etik yang menjadikan metode ini menjadi tidak populer lagi saat ini. Nederhof (1985) menyatakan bahwa untuk mencegah dan mengurangi SDB ada beberapa prosedur yakni, (a) Mengajukan pertanyaan tidak langsung (projective questions) berkaitan dengan apa dan bagaimana kebanyakan orang akan merespon atau bereaksi terhadap kondisi tertentu. Disisi lain peneliti juga harus hati-hati dalam memilih kata-kata dalam setiap pertanyaan yang diajukan. (b) Menggunakan efek pencerahan yakni dengan memberikan berbagai informasi yang dapat mengurangi kondisi psikologis tertentu.

Page 422: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 417

(c) Anonymitas dari responden, sehingga responden mau mengutarakan sesuatu dengan rasa aman, tanpa takut merasa dilacak. Vinten (1995) juga mengungkapkan beberapa pendekatan yang sekiranya mampu untuk mereduksi SDB secara praktis: (1) Reliability checks. Cara yang digunakan adalah dengan bertanya beberapa kali pertanyaan yang sama dalam interview yang dilakukan, dengan harapan bahwa mungkin dalam proses interview yang dilakukan seseorang mau mengakui sejujurnya perilakunya. Cara ini dapat menimbulkan risiko negatif adanya anggapan bahwa interviewer tidak mendengarkan jawaban interviewee atau interviewer tidak mempercayai interviewee yang tentnunya dapat mengganggu proses wawancara selanjutnya. (2) Embed the question, yakni dengan menempatkan pertanyaan yang mengancan atau sensitif di antara pertanyaan yang tidak mengancam atau sensitif. Cara lain yang cukup halus adalah dengan menyembunyikan konteks/tujuan riset yang sebenarnya dan menggantinya dengan konteks/tujuan yang netral atau positif dalam sudut pandang responden. (3) Adopt non-personal interview methods. Inti dari metode ini adalah menjadikan respon terhadap pertanyaan menjadi se-anonymous mungkin. Baik dengan kuesioner maupun dengan menggunakan komputer (computer-assist technique)dengan hasil print out yang tanpa identitas responden. (4) Use diaries and panels. Suatu even atau tindakan menjadi tidak begitu mengancam kondisi responden/partisipan apabila terjadi secara rutin dan berulang, dan tidak ada konsekuensi negatif yang terjadi, dan bahwa informasi yang muncul digunakan secara positif (5) Select an appropriate time-frame. Pertanyaan mengacu pada kondisi masa lalu, dan bukan kondisi masa kini. Namun permasalahan bias lain bisa muncul apabila responden ternyata tidak mengingat kejadian di masa lalu yang dimaksud. (6) Use open questions. Dengan pertanyaan terbuka, responden bebas memilih dan mengekspresikan jawaban yang dikehendakinya. Pertanyaan terbuka dapat menurunkan SDB, karena pertanyaan tertutup seringkali menggunakan pernyataan yang ekstrem yang sering dihindari responden. (7) Use familiar words. Responden dapat diminta mengungkapkan istilah yang lebih umum digunakan dan lebih bermakna. Kelompok-kelompok tertentu seringkali menggunakan istilah mereka sendiri ketika berkomunikasi.

Page 423: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 418

Penggunaan bahasa sesuai dengan karakteristik kelompok tentunya selain menjadikan wawancara menjadi lebih akrab juga dapat mengurangi kondisi yang dirasa mengancam responden. (8) Load the question. Metode ini tampak kontradiktif dengan prinsip menyusun kuesioner yang baik yakni menghindari pertanyaan yang mengarahkan (leading question), tapi dengan tujuan mereduksi SDB, metode ini cukup efektif. Dalam metode ini intinya adalah memberikan kalimat/pernyataan pengantar yang menjadikan pertanyaan yang diajukan menjadi tidak terlalu sensitif atau mengancam. Contohnya untuk masalah kesiagaan operator dalam menjalankan tugasnya, maka dapat diberikan pengantar seperti “Doctors state that it is impossible to concentrate on machine dials for 60 minutes an hour. For how many minutes per hour would you say you have lapses of concentration?” atau untuk masalah penggunaan seragam keselamatan “Many welders do not use protective clothing when in cramped conditions because they find it prevents their freedom of movement and ability to complete the task well. When were you last in such a situation? Did you wear protective clothing?” Metode diatas dapat digabungkan untuk menghasilkan hasil yang maksimal seperti dicontohkan oleh Sekaran (2000) yang menggabungkan metode memberi pertanyaan arahan yang mengawali dan memperhalus serta menggunakan jawaban terbuka untuk isu pemecatan karyawan yang telah berumur lanjut. Pertanyaan seperti ‘Do you think that older people should be laid off?”(Apakah menurut Anda karyawan yang telah berumur seharusnya diberhentikan dari pekerjaannya?’) dapat memunculkan respon ‘tidak’. Jawaban ‘ya’ untuk permasalahan tersebut tampak kurang etis, sehingga respon yang diberikan akan cenderung untuk akan disesuaikan dan menyembunyikan sikap yang sebenarnya. Untuk mengatasinya, pertanyaan dapat diubah menjadi ‘There are advantages and disadvantages to retaining senior citizens in the workplace. To what extent do you think companies should continue to keep the elderly on their payroll?’(‘Ada kelebihan dan kelemahan ketika mempensiunkan kelompok berumur lanjut di lingkungan kerja. Menurut Anda dalam kondisi apa perusahaan seharusnya dapat tetap dapat melanjutkan pekerjaannya?’). Pertanyaan kedua tampak lebih halus dan tidak secara langsung berkaitan dengan sikap subyek serta menghasilkan jawaban yang beragam yang dapat memberikan kesempatan kepada subyek untuk mengemukakan argumentasinya.

Page 424: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 419

c. Contoh mengatasi dari riset empirik 1. Metode pertanyaan tidak langsung dalam riset mengenai komitmen pekerja

dengan isu apakah karyawan berniat berhenti bekerja bila mendapat uang lotre yang cukup untuk seumur hidup. Snir dan Harpaz (2002) membandingkan penggunaan pertanyaan langsung dan tidak langsung (projective question) dalam mengukur variabel nonfinancial employment commitment. Pertanyaan langsung yang diajukan adalah, ‘If you won a lottery or inherited a large sum of money and could live comfortably for the rest of your life without working, what would you do about work?’ (Bila kamu menang lotre atau diwarisi uang yang sangat banyak yang dapat membuatmu hidup nyaman seumur hidupmu tanpa bekerja, apakah kamu akan lakukan dengan pekerjaanmu saat ini?’). Pertanyaan tersebut mewakili kondisi yang tinggi social desirability-nya. Adapun pertanyaan tidak langsung yang diajukan adalah ‘If someone won a lottery or inherited a large sum of money and could live comfortably for the rest of his–her life without working, what would most people do about work?’ (Bila seseorang menang lotre atai diwarisi sejumlah uang dalam jumlah besar yang dapat membuatnya hidup nyaman seumur hidup tanpa bekerja, apakah yang akan dilakukan orang tersebut dengan pekerjaannya saat ini?’). Pertanyaan tidak langsung tersebut mewakili kondisi social desirability yang rendah. Hasil dari studi yang dilakukan Snir dan Harpaz (2002) mendapatkan bahwa komitmen karyawan untuk kedua kondisi diatas berbeda secara signifikan. Pertanyaan yang mewakili kondisi social desirability yang rendah memunculkan persentase jawaban untuk keluar dari pekerjaan saat ini lebih besar dibanding pertanyaan yang mewakili kondisi social desirability yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pertanyaan tidak langsung terdukung dapat menurunkan terjadinya SDB. Ketika pertanyaan tidak terlalu sensitif atau mengancam, maka responden lebih banyak yang menyatakan niat untuk keluar dari pekerjaannya.

2. Metode menyembunyikan masalah sebenarnya dalam riset dalam isu pembelian impuls (impulse buying). Dari studi literatur yang dilakukan (Premananto 2005; 2007) didapatkan bahwa pembelian impuls seringkali dipandang oleh para peneliti dan akademisi sebagai aktivitas yang ‘mindless’, irasional, ‘minimum conscious deliberation’, ‘with little or no

Page 425: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 420

cognition’, ‘immaturity’, ‘weakness or lack of intelligence’, ‘lack of control’ dll. Adapun impulsivitas pembelian (buying impulsiveness/impulsivity) berkaitan dengan sifat konsumen yang dapat dikonseptualisasikan sebagai kecenderungan untuk membeli secara spontan (spontaneously), tanpa pemikiran mendalam (unreflectively), dengan segera (immediately) dan bersifat kinetis (kinetically). Isu penelitian yang diajukan pada dasarnya adalah berupaya untuk mengamati pengaruh aspek internal (sifat impulsivitas dan aspek eksternal (lingkungan toko) terhadap perilaku pembelian impuls. Untuk menghindari terjadinya SDB dalam field experiment yang dilakukan, Premananto (2007) menyatakan kepada partisipan bahwa penelitian yang dilakukan adalah berkaitan dengan penilaian terhadap lingkungan toko, dan tidak berkaitan dengan diri partisipan. Di kuesioner juga dituliskan secara jelas ‘Kuesioner ini ditujukan semata-mata untuk mengamati lingkungan belanja secara umum dan tidak spesifik pada Anda sebagai responden, namun apapun, kerahasiaan responden akan dijamin.” Jadi asumsi dan perhatian partisipan diarahkan bahwa penelitian lebih melihat aspek lingkungan toko dan bukan mengarah pada kondisi internal partisipan, khususnya pada sifat impulsivitas partisipan. Karena bisa jadi responden/partisipan menjadi malu bila terukur sifat impulsivitasnya tinggi, yang bisa dipersepsikan bahwa dia sering melakukan sesuatu tanpa berfikir panjang. Metode ini sesuai dengan metode yang dikemukakan Vinten (1995) mengenai metode menyembunyikan permasalahan yang sesungguhnya (embed the questions). Jaminan kerahasiaan yang tertulis di kuesioner dan diungkapkan peneliti, juga diharapkan dapat mendorong responden/partisipan untuk berlaku jujur, walaupun tidak dilakukan anonymitas. Anonymitas dalam riset tersebut tidak dapat dilakukan mengingat eksperimen dilakukan dengan desain within subject yang memerlukan perbandingan partisipan yang sama untuk lingkungan yang berbeda.

Penutup SDB merupakan fenomena yang kerap terjadi untuk isu riset yang sensitif. SDB harus diupayakan untuk dieliminasi agar hasil dan kontribusi yang diperoleh menjadi lebih bermakna. Namun bagaimanapun upaya yang dilakukan tidak ada satu hal pun yang bisa menjamin kesuksesan metode yang digunakan. Hal ini

Page 426: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 421

juga dinyatakan oleh Nancarrow et al. (2001, p 66) “There appears to be no certain way of totally eliminating or circumventing socially desirable responding if a question is thought to invite this type of response. The problem may be reduced in certain situations but there is no way of establishing how much has still taken place.” Eliminasi akan semakin sulit dilakukan bila SDB bukan hanya merupakan faktor karakteristik item atau aspek kepribadian semata, namun ada interaksi antara kedua aspek tersebut. Hanya Tuhan yang mampu mengetahui secara pasti tindakan pengelabuan dan maksud tersembunyi seseorang,

“…Mereka mengatakan dengan mulutnya apa yang tidak terkandung dalam hatinya. Dan Allah lebih mengetahui dalam hatinya. Dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka sembunyikan.” (Ali ‘Imran 167, Al Quran digital).

Namun mengingat konsekuensinya yang signifikan terhadap hasil penelitian maka upaya mengeliminasi mau tidak mau tetap harus dilakukan oleh peneliti kuantitatif agar peneliti dapat mendapatkan hasil risetnya seobyektif mungkin. Maka seperti lagu Peterpan, peneliti hanya dapat berharap responden jujur dalam menjawab.

“Tapi buka dulu topengmu, buka dulu topengmu... biar kulihat warnamu, biar kulihat warnamu...”

Referensi

Al Quran digital versi 2.0, www.alquran-digital.com. Chung, Janne and Monroe, Gary S. (2003), Exploring Social Desirability Bias,

Journal of Business Ethics 44, pp 291-302. Nancarrow, Clive; Brace, Ian; and Wright, Len Tiu (2001), Tell me Lies, Tell

me Sweet Little Lies: Dealing wirh Socilly Desirable Responses in Market Research, The Marketing Review, 2, pp 55-69.

Premananto, Gancar Candra (2005), Pemodelan Proses Pengambilan Keputusan Impulse Buying dengan Pendekatan Psikologi Lingkungan Mehrabian-Russel (1974) dan Rantai Kausalitas Kotler (1974), Proposal Disertasi, unpublished.

Premananto, Gancar Candra (2007) Lingkungan Toko dan Sifat Impulsivitas dalam Proses Pengambilan Keputusan Pembelian Impuls, Proposal Disertasi, Unpublished.

Page 427: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 422

Sekaran (2000), Research Methods for Business, A Skill-Building Approach, third edition, John Wiley & Sons, Inc.

Singh, Arun Kumar (1986), Test Measurements and Research Methods in Behavioral Sciences, Tata McGraw-Hill Publishing Co, New Delhi.

Snir, Raphael and Harpaz, Itzhak (2002), To Work or Not to Work: Nonfinancial Employment Commitment and the Sosial Desirability Bias, The Journal of Sosial Psychology, Vol. 142, No. 5, pp 635-644.

Vinten, Gerald (1995), The Art of Asking Threatening Question, Management Decision, Vol. 33, No. 7, pp. 35-39.

www.wikipedia.org/wiki/Social_desirability_bias, diakses 22 Mei 2008.

Page 428: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 423

Spesifikasi Model Pengukuran Formatif vs Reflektif untuk Konstruk Laten Need for Closure

Kuntari Erimurti∗

ABSTRACT Need for closure (NFC) is a multidimensional variable and measured by

reflective model specification. Empirical evidence shows that close mindendess and tendency toward decisiveness is reduced (DeBacker dan Crowson, 2006; Kosic, 2000). Other test with different sample disclose that close mindedness, tendency toward decisiveness and preference for predictability have low internal consistency and eliminated, therefore preference for order and structure and discomfort with ambiguity are remained scale (Erimurti, 2006). NFC is high correlated with personal need for structure (PNS) on preference for order and structure, preference for predictability and discomfort with ambiguity dimensions (Neuberg et al., 1997; Leone et al., 1999). Therefore, reflective model specification is doubted to be the adequate measurement for need for closure construct.

Theoritically, NFC is not prohibit positive, negative or null correlations among dimensions (Kruglanski et al., 1997), therefore each dimension is equal. This concept imply that NFC is a composite latent construct. In addition, Webster and Kriglanski (1994) treat the NFC scale as a common latent construct and measured by total score. This reflective model measurement is stimulated research, but the result is confusing, due to the ambiguous interpretation of aggregation of the result (Neuberg et al. 1997). This hybrid measurement produces model misspecification (MacKenzie et al. 2005). The composite latent construct of NFC should be measured by formative model.

This paper evaluates measurement model specification for composite latent construct of NFC and compare the goodness of fit of both formative and reflective model specifications. Kata kunci: spesifikasi model pengukuran, formatif, reflektif, need for closure ∗ Mahasiswa program Doktoral, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, UGM; Staf pengajar dan peneliti Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PPPPTK) Seni dan Budaya, Yogyakarta.

Page 429: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 424

LATAR BELAKANG Need for closure (selanjutya disebut dengan NFC) merupakan variabel

multidimensi dan diukur dengan menggunakan model pengukuran reflektif. Pengujian dengan model ini menunjukkan bahwa dimensi closed mindedness dan/atau tendency toward decisiveness mengalami reduksi (DeBacker dan Crowson, 2006; Kosic, 2000). Pengujian dengan sampel yang berbeda mengungkap bahwa dimensi closed mindedness, tendency toward decisiveness dan preference for predictability memiliki reliabilitas konsistensi internal yang sangat rendah dan di eliminasi dari skala pengukuran sehingga konstruk NFC hanya diukur melalui dimensi preference for order and structure dan discomfort with ambiguity (Erimurti, 2006). NFC juga berkorelasi tinggi dengan konstruk personal need for structure (PNS) pada dimensi preference for order and structure, preference for predictability dan discomfort with ambiguity (Neuberg et al., 1997; Leone et al., 1999). Dengan demikian model pengukuran reflektif untuk variabel NFC masih belum menunjukkan stabilitas konstruk latennya.

Teori NFC memperbolehkan terjadinya korelasi positif, nol atau bahkan negatif antar dimensinya (Kruglanski et al., 1997), sehingga masing-masing dimensi adalah setara (equal). Konsep ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa NFC merupakan konstruk laten komposit (composite latent construct), yang seluruh dimensinya merupakan pembentuk konstruk. Webster dan Kriglanski (1994) selanjutnya memperlakukan skala pengukuran NFC sebagai instrumen unidimensional. Cara pengukuran ini memang bisa merupakan cara termudah untuk menstimulasi penelitian tetapi hasilnya sering membingungkan karena temuan berdasar hitungan agregat akan mengakibatkan interpretasi yang ambigu (Neuberg et al. 1997) dan terjadi kesalahan spesifikasi model (MacKenzie et al. (2005). Pengukuran konstruk laten komposit ini seharusnya menggunakan model formatif bukan model reflektif.

Proses pengembangan skala pengukuran sikap dan kepribadian kebanyakan merekomendasikan bahwa item yang memiliki korelasi rendah dengan skor total harus di eliminasi dari skala untuk meningkatkan reliabilitas konsistensi internal. Rekomendasi ini hanya berlaku untuk model pengukuran reflektif karena seluruh item merupakan manifestasi dari domain yang sama. Jika rekomendasi ini diberlakukan untuk konstruk yang memiliki indikator atau dimensi formatif, maka eliminasi item atau dimensi akan mengakibatkan

Page 430: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 425

perbedaan makna konseptual konstruk laten kompositnya (MacKenzie et al., 2005).

Ketika konstruk NFC diukur secara reflektif maka (a) dimensi NFC tidak benar-benar mendefinisikan karakteristik konstruk, (b) perubahan pada level dimensi mengubah penjelasan konstruk NFC menjadi konstruk lain yaitu personal need for structure/PNS, (c) masing-masing dimensi NFC unik dan setara, Karakteristik konstruk ini memenuhi syarat sebagai konstruk formatif (Mac Kenzie et al., 2005). Dengan adanya kontroversi pengukuran konstruk NFC tersebut, paper ini mengevaluasi model pengukuran spesifikasi konstruk NFC dan mengidentifkasi model pengukuran yang lebih handal dengan membandingkan model pengukuran formatif dan reflektif.

NEED FOR CLOSURE A. Konsep, anteseden dan konsekuensi need for closure

Secara konseptual Need for Closure (NFC) didefinisikan sebagai hasrat untuk mendapatkan jawaban yang definitif dari suatu pertanyaan atau masalah (bukan ketidakpastian dan kebingungan). NFC mewakili dimensi perbedaan individu yang stabil, tidak hanya untuk kondisi yang muncul secara situasional saja (Kruglanski dan Webster, 1996). NFC juga sering diidentikkan dengan need for cognitive (closure), yang dapat memberikan wacana yang mendalam tentang bagaimana dan mengapa konsumen memproses informasi (Crowley dan Hoyer, 1989). Istilah need berarti kecenderungan atau keinginan dan secara tidak langsung menyatakan bahwa closure bisa tidak diinginkan di dalam semua situasi (Kruglanski dan Webster, 1996).

Berdasarkan perspektif psikologi behaviorisme, hasrat adalah ekspresi kehendak hati yang memiliki konsekuensi tindakan. Tindakan ini berupa akses epistemik terhadap alasan. Alasan melakukan tindakan adalah karena termotivasi (Darwall, 2003). Hasrat berkaitan dengan kecenderungan individu secara intrinsik. Gambar 1 menunjukkan konsep hasrat.

Gambar 1: Konsep hasrat Sumber: Darwall (2003)

DESIRES (Hasrat)

MOTIVASI EPISTEMIK

ACTING (Tindakan)

Page 431: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 426

Hasrat yang berkaitan dengan need for closure adalah hasrat terhadap pengetahuan yang disebut curiousity (keingintahuan) yaitu motiv dari hasrat terhadap pengetahuan (Reiss, 2004). Pada dasarnya “each basic desire is theoretically regarded as a continuum of potential motivation anchored by opposite values” (Reiss, 2004: 186). Kecenderungan individu yang memiliki informasi untuk menghasilkan dugaan (dan mencari informasi yang relevan untuk dugaannya) diasumsikan bergantung pada motivasi terhadap informasi sebagai suatu obyek. Berdasar teori hasrat (Reiss, 2004) dan teori lay epistemic1 (Kruglanski, 1990) motivasi epistemik tersebut diklasifikasi menjadi dua dimensi ortogonal, dari pencarian sampai menghindari closure, dan dari non-spesifik sampai spesifik. Klasifikasi tersebut menghasilkan tipologi empat orientasi motivasional yang ditandai dengan (1) need for non-specific closure, (2) need to avoid non-specific closure, (3) need for specific closure, dan (4) need to avoid specific closure (Kruglanski dan Webster, 1996). Tabel 1 menunjukkan dimensi ortogonal motivasi episemik.

Tabel 1: Klasifikasi dua dimensi ortogonal motivasi epistemik

Type of motivating closure

Disposition toward closure Avidance Seeking

Non-specific Need to avoid to non-specific closure

Need for non-specific closure

Specific Need to avoid to need for specific closure

Need for specific closure

Sumber: Kruglanski (1990)

Kontinum motivasional ini bisa dipersepsikan sebagai strong need for non-specific closure di ujung satu dan strong need to avoid closure di ujung yang lain. Non-specific closure mengacu pada informasi yang pasti tanpa

1 Teori lay-epistemic membahas proses membentuk dan memodifikasi informasi manusia, menekankan fungsi epistemik dalam menghasilkan dan memvalidasi dugaan. Untuk dapat menghasilkan dugaan, seseorang harus memiliki cukup informasi. Informasi didefinisikan dalam bentuk proposisi atau bodi proposisi dengan tingkat keyakinan tertentu. Definisi ini memiliki dua persyaratan fungsional pada pembentukan informasi yaitu (1) isinya proposisional, sehingga perlu proses agar dapat menghasilkan dugaan, dan (2) dugaan yang dihasilkan perlu memperoleh keyakinan, sehingga perlu tahap validasi dugaan.

Page 432: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 427

mempertimbangkan isi informasi secara khusus. Need for non-specific closure berimplikasi pada hasrat untuk memiliki jawaban apapun (Kruglanski dan Webster, 1996). Specific closure adalah informasi dengan properti khusus (Kruglanski, 1990; Houghton dan Grewal, 2000). Seseorang yang menginginkan informasi tertentu dikatakan memiliki need for specific closure yang secara tidak langsung menunjukkan hasrat untuk mengetahui jawaban tertentu untuk suatu pertanyaan. Orang yang berharap menghindari informasi dikatakan memiliki need to avoid a specific closure. Need for closure cenderung merupakan need for a specific closure (Kruglanski dan Webster, 1996). NFC dimotivasi oleh lima kondisi yaitu (1) adanya tekanan waktu, (2) adanya kesulitan, (3) ketika fisik dan mental merasa lelah, (4) ketika closure dihargai dan (5) ketika menilai atau membuat keputusan. Gambar 2 menunjukkan anteseden NFC.

Gambar 2: Anteseden Need for Closure Sumber: Webster dan Kruglanski (1994)

NFC memiliki konsekuensi dua kecenderungan umum yaitu (1) kecenderungan urgensi yang menunjukkan hasrat individu untuk mencapai closure secepat mungkin, dan (2) kecenderungan permanen yang menunjukkan hasrat individu untuk meneruskan closure dan menjadikannya dua keinginan yaitu (a) menyimpan, atau membekukan informasi masa lalu, dan (b) mengamankan/melindungi informasi untuk digunakan pada masa datang (Kruglanski dan Webster, 1996).

Need for Closure

Kondisi adanya tekanan waktu.

Kondisi yang mengakibatkan kesulitan proses, atau aversif.

Kondisi organismik seseorang.

Ketika closure di nilai oleh orang lain, karena memiliki closure bisa di apresiasi oleh orang lain.

Ketika diperlukan penilaian untuk suatu masalah.

Bising, ketika tugas tidak menyenangkan, atau ketika individu lelah.

Page 433: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 428

Kruglanski dan Webster lebih lanjut memberi istilah seizing untuk ungkapan “menangkap informasi secepat mungkin” dan freezing untuk ungkapan “membekukan informasi.” Implikasi langsung dari postulat seizing dan freezing ini adalah bahwa individu dengan NFC tinggi akan melakukan penilaian berdasar informasi yang diperoleh lebih awal daripada informasi yang datangnya kemudian.

Pengertian urgensi dan permanen sama-sama bergantung pada asumsi bahwa individu dengan NFC tinggi menolak informasi sebagai sifat keengganan, sehingga berharap mengakhiri kondisi tersebut secepat mungkin (kecenderungan urgensi) dan menjaga supaya tidak terjadi lagi (kecenderungan permanen) (Kruglanski dan Webster, 1996). Teori tersebut secara tidak langsung menunjukkan bahwa individu dengan NFC tinggi akan memproses lebih sedikit informasi (dibandingkan individu dengan NFC rendah) sebelum melakukan penilaian, menghasilkan lebih sedikit argumen, dan memberikan alasan hanya dengan data yang tersedia (Kruglanski dan Webster, 1996). Apabila data yang ada tidak mencukupi, individu dengan NFC tinggi akan menggunakan pengalaman dan pengetahuannya untuk meyakini keputusannya.

Fenomena seizing dan freezing hanya dipisahkan oleh titik yang disebut dengan titik kristalisasi. Menurut teori lay epistemic titik kristalisasi terjadi ketika keyakinan sudah mengkristal dan mengubah kemungkinan menjadi fakta yang obyektif (Kruglanski dan Webster, 1996). Individu yang berada pada titik kristalisai tidak lagi meragukan pendapat atau tindakannya karena sudah merasa yakin. Pada saat itu kristalisasi keyakinan sebuah pendapat atau tindakan sudah menjadi solid. Selama tahap pre-kristalisasi atau pembentukan informasi, individu dengan NFC tinggi akan mengalami suatu perbedaan antara kondisi yang senyatanya dan yang diinginkan. Kondisi seizing terjadi untuk menghilangkan perbedaan tersebut. Sebelum berada pada titik kristalisasi ada kemungkinan individu melakukan observasi. Pada saat itu perilaku seizing murni secara otomatis bisa terlihat, misalnya ketika kegiatan pencarian informasi meningkat. Seizing bisa membuat individu relatif terbuka terhadap persuasi karena bisa menyediakan closure yang diharapkan (dari berbagai pengalaman dan pengetahuan yang di milikinya). Sebagai contoh, seorang konsumen dengan NFC tinggi dapat memutuskan dengan cepat untuk membeli merk yang ditemukan pertamakali dan akan tetap setia pada merk tersebut tanpa mempertimbangkan pilihan lainnya.

Page 434: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 429

Kondisi yang menyusul segera setelah titik kristalisasi adalah freezing yaitu keengganan melanjutkan proses informasi. Pada kondisi ini, individu dengan NFC tinggi akan melakukan proses pembekuan informasi yang intensif. Pada tahap ini closure dapat dipenuhi dan karenanya tidak ada lagi perbedaan antara kondisi aktual dan kondisi yang diinginkan. Dalam konteks pengambilan keputusan individu dengan NFC tinggi akan meyakini pola pengambilan keputusan yang sudah di lakukan (setelah titik kristalisasi) dan pola ini akan digunakan untuk mengambil keputusan selanjutnya (Krglanski dan Webster, 1996, Vermeir, 2003).

Individu dengan NFC rendah tidak mengalami titik kristalisasi karena bisa menikmati ketidaktentuan dan enggan untuk melakukan komitmen dengan pilihan yang pasti. Dalam konteks pengambilan keputusan individu dengan NFC rendah tidak akan mengalami perbedaan pola pengambilan keputusan karena tidak mengalami titik kristalisasi. Meskipun demikian individu dengan NFC rendah diasumsikan bisa mengalami titik kristalisasi, yaitu ketika meyakini pola yang sama, dan menggunakan pola tersebut untuk pengambilan keputusan selanjutnya (Krglanski dan Webster, 1996, Vermeir, 2003). B. Kesetaraan antar dimensi

NFC merupakan konstruk multidimensi dan bersifat stabil dan situasional yang terdiri dari lima dimensi yaitu (1) Discomfort with ambiguity/A, (2) Close-mindedness/C, (3) Tendency toward decisiveness/D, (4) Preference for order and structure/O, dan (5) Preference for predictability/P (Webster dan Kruglanski, 1994). Gambar 3 menunjukkan model reflektif konstruk NFC.

Gambar 3: Model reflektif konstruk need for closure Sumber: Webster dan Kruglanski (1994)

Need for Closure/N

FC

Discomfort with

Ambiguity/ A

Preference for

Predictability/P

Close Mindedness/

C

Tendency toward

Decisiveness/D

Preference for Order and

Structure/ O

Page 435: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 430

Dimensi pertama adalah discomfort with ambiguity, mengukur persepsi terhadap rasa tidak nyaman dengan ketaksaan. Dimensi ini diadaptasi dari konstruk Intolerance of ambiguity/IA. NFC berkorelasi dengan IA pada dimensi yang menyatakan adanya toleransi seseorang pada situasi ambiguitas. Situasi yang tidak menentu akan memotivasi timbulnya frustrasi dan mendorong disposisi seseorang untuk mencapai closure secepat mungkin (seizing). Karena discomfort with ambiguity hanya merupakan satu dari beberapa indikator kuat pembentuk IA, maka korelasinya dengan IA rendah dan positif yaitu 0,2877 pada p<0,01 (Webster dan Kruglanski, 1994).

Dimensi kedua close mindedness mencerminkan perilaku seseorang yang menutup diri karena tidak lagi membutuhkan informasi lanjutan untuk meyakini keputusannya (desire for secure closure). Untuk mengamankan closure yang sudah diperoleh ia akan menghindari terjadinya konfrontasi dengan pendapat orang lain. Kondisi ini juga mendorong seseorang untuk segera menentukan pilihannya (seizing). Berdasarkan perspektif psikologi gestalt2 individu adalah open belief system sedangkan perpektif psikologi behaviorisme3 menyatakan bahwa individu adalah closed belief system. Tertutup atau terbukanya sistem kepercayaan seseorang diukur dengan menggunakan instrumen dogmatisme (Rokeach, 1960 di dalam Winch, 2000). NFC cenderung mengadaptasi closed belief system katena keterbukaan terhadap informasi yang tidak relevan akan mengancam status kognitif individu yang sudah pada posisi mencapai closure. Dengan demikian, korelasi dengan konstruk dogmatism rendah dan positif yaitu 0, 2870 pada p<0,01 (Webster dan Kruglanski, 1994).

Dimensi ketiga adalah tendency toward decisiveness menunjukkan bahwa orang dengan NFC tinggi akan sangat berhasrat untuk mencapai closure yang direfleksikan melalui keyakinannya terhadap penilaian dan pilihan. Dimensi ini diadaptasi dari Personal fear of invalidity/PFI (Webster dan Kruglanski, 1994; Neuberg et al., 1997). Instrumen PFI yang didasarkan pada teori lay epistemic digunakan untuk mengukur gaya pengambilan keputusan 2 Perspektif psikologi gestalt atau teori gestalt adalah teori tentang prinsip cara kerja otak dan pikiran secara holistik. 3 Perspektif psikologi behaviorsme adalah filosofi psikologi yang berbasis pada proposisi yang menyatakan bahwa segala sesuatu yang dikerjakan oleh organisme (termasuk bertindak, berpikir dan merasakan) harus di anggap sebagai perilaku (behavior).

Page 436: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 431

seseorang dan kekawatirannya dalam membuat kesalahan pada keputusannya. Seseorang yang sangat berhasrat untuk mencapai closure secepat mungkin (urgent desire to reach closure), akan memiliki kecenderungan untuk segera meyakini penilaian hanya dengan informasi yang datangnya paling awal (seizing). Karena dimensi ini hanya merupakan satu dari beberapa dimensi lain pembentuk PFI, maka NFC dan PFI rendah dan negatif yaitu -0,2109 pada p<0,05 (Webster dan Kruglanski, 1994).

Dimensi keempat menunjukkan bahwa orang dengan NFC tinggi akan memilih kehidupan yang teratur dan terstruktur (preference for order and structure). Dimensi ini diadaptasi dari konstruk Personal need for structure/PNS (Webster dan Kruglanski, 1994; Neuberg et al., 1997; Leone et al., 1999; Van Hiel dan Merveilde, 2003; Stalder, 2007). Seseorang yang berhasrat hidup teratur akan memilih kondisi yang teratur dan terstruktur. Pilihan ini berdampak pada penolakan terhadap situasi yang kacau (abhor chaos4 situation). Penolakan terhadap situasi yang kacau (saat ini) merefleksikan kondisi freezing.

Dimensi kelima menunjukkan bahwa orang dengan NFC tinggi memiliki hasrat untuk memperoleh pengetahuan yang stabil (preference for predictability). Ketika seseorang berhasrat untuk memiliki pengetahuan yang stabil dan konsisten dengan harapannya, ia akan memilih situasi yang dapat diprediksi dan sesuai dengan harapannya. Pilihan ini berdampak pada penolakan terhadap situasi yang tidak tentu (abhor uncertain5 situation). Penolakan terhadap situasi yang tidak tentu (di masa datang) merefleksikan kondisi freezing.

Teori NFC memprediksi bahwa “the need for cognitive closure is a unitary latent variable, potentially manifest in various ways. Thus we expected that confirmatory factor analysis would support a single factor model as the best fit to our data” (Webster dan Kruglanski, 1994: 1051). Teori ini menunjukkan bahwa model pengukuran NFC adalah model reflektif satu faktor dengan spesifikasi error yang saling terkorelasi, yang ditunjukkan dengan adanya varians yang tersebar di antara lima domain yang merupakan manifestasi konstruk NFC. Pernyataan ini sangat berlawanan dengan pernyataan Kruglanski et al. (1997) bahwa “a person may desire closure for more than one 4 Chaos: complete disorder; 5 Uncertain: not able to be accurately known or predicted (McLeod, 1987)

Page 437: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 432

reason, hence we conceived of the different facets as additive in their impact on the total need for closure. Moreover, there is nothing in need for closure theory that prohibits a degree of correlation between facets” (Kruglanski et al. 1997: 1009). Implikasi dari pernyataan ini bisa di maknakan bahwa teori NFC tidak melarang terjadinya korelasi positif, nol atau bahkan negatif antar dimensinya, atau setiap dimensi adalah setara dengan dimensi lainnya sehingga konstruk NFC memenuhi kriteria sebagai konstruk formatif. Gambar 4 menunjukkan perbedaan anteseden dan konsekuensi setiap dimensi NFC.

Gambar 4: Anteseden dan konsekuensi dimensi-dimensi need for closure Sumber: Disarikan dari pemikiran penulis

(SEIZING)

Hasrat menyimpan closure Menghindari

konfrontasiClose

Mindedness

Ketiadaan closure Absence of closure (high threat)

Frustrasi Frustrated

Discomfort with

Hasrat segera memperoleh closure Urgent desire to reach closure

Melakukan penilaian secara langsung Immediate judgment

Tendency toward

(FREEZING)

Hasrat terhadap aturan dan struktur yang pasti Desire for definite

Menolak situasi kacau saat ini

Preference for order and tructure (O)

Hasrat menyimpan pengetahuan Desire for secure knowledge

Menolak situasi tak tentu di masa datang Abhor uncertainty situation

Preference for

Page 438: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 433

Pernyataan Krglanski et al. (1997) selanjutnya sangat mendukung analisis kesetaraan dimensi dan dapat disimpulkan bahwa (1) lima dimensi NFC benar-benar mendefinisikan karakter NFC, (2) masing-masing dimensi tidak memiliki tema yang sama dan setiap dimensi NFC adalah unik, (3) dimensi-dimensi NFC tidak memiliki pola korelasi tertentu, dan (4) masing-masing dimensi tidak dapat dipertukarkan karena memiliki anteseden dan konsekuensi yang berbeda. Empat karakteristik dimensionalitas tersebut sangat memadai untuk mengarahkan pada pemahaman bahwa dimensi-dimensi NFC adalah formatif dan merupakan sumber kausal pembentuk konstruknya. Dengan demikian pengukuran konstruk NFC akan lebih akurat jika menggunakan metode pengukuran formatif. Gambar 5 menunjukkan konstruk laten komposit NFC.

Gambar 5: Konstruk laten komposit need for closure Sumber: Hasil pemikiran penulis C. Perdebatan dimensi need for closure

Studi yang dilakukan oleh Leone et al. (1999) menunjukkan bahwa preference for order and structure, preference for predictability merupakan dimensi dari PNS. Sedangkan menurut penelitian Neuberg et al. (1997) preference for order and structure, preference for predictability dan discomfort with ambiguity merupakan dimensi dari konstruk PNS. Studi Neuberg et al. (1997) menyimpulkan bahwa NFC terdiri dari dua faktor yaitu desire for decisiveness (D) dan personal need for structure (PNS). D berkaitan dengan kecenderungan untuk seizing dan PNS berkaitan dengan freezing. Lebih lanjut dikatakan bahwa “the place of the closed-mindedness sub-facets, owing to a

Preference for

Predictability/P

Need for Closure/

NFC

Close Mindedness/

C

Discomfort with

Ambiguity/ A

Tendency toward

Decisiveness/D

Preference for Order and

Structure/ O

Page 439: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 434

lack of psychometric coherence among its items, is unclear” (Neuberg et al., 1997: 1401). Kedua studi ini menunjukkan bahwa 2 sampai 3 dimensi yang merefleksikan konstruk NFC juga merupakan dimensi-dimensi yang merefleksikan konstruk PNS.

Studi Roets dan Van Hiel (2007) mengungkap bahwa item yang digunakan untuk mengukur tendency toward desiciveness mendeskripsikan kemampuan atau kekurangmampuan membuat keputusan secara cepat, bukannya kecenderungan untuk menemukan jawaban secepat mungkin. Perubahan item pengukuran dimensi ini meningkatkan Cronbach’s alpha NFC total, dari 0,85 menjadi 0,87 untuk sampel mahasiswa psikologi (N = 400), dan dari 0,82 menjadi 0,87 untuk sampel mahasiswa ilmu sosial (N = 434).

GFI konstruk NFC juga mengalami peningkatan yaitu dari 0,92 untuk model pengukuran dengan item lama dan menjadi 0,954 untuk Kode 1 pengkuran dengan item baru. Gambar 4 menunjukkan perdebatan dimensionalitas konstruk NFC.

Perdebatan dimensionalitas ini dapat dikonfirmasi dengan pengungkapan sejarah terbentuknya konstruk need for closure dan korelasinya dengan konstruk-konstruk lain yang relevan. Dimensi preference for order and structure dan preference for predictability merupakan dimensi NFC yang juga merefleksikan konstruk personal need for structure/PNS. Seperti diketahui, instrumen PNS didesain untuk mengukur hasrat seseorang terhadap aturan dan struktur organisasi lingkungan. Karena kuesioner PNS ini juga didasarkan pada teori lay epistemic (Kruglanski, 1990; Kruglanski et al., 1997), maka sangat mungkin konstruk PNS menyadap dua aspek NFC yaitu preference for order and structure dan preference for predictability. Orijinator kuesioner PNS adalah Megan Thompson dan Mike Naccarato. Dua orang ini mengikuti seminar tentang teori lay epistemic-nya Arie W. Kruglanski di University of Waterloo dan menulis tentang konstruk PNS dan personal fear of invalidity/PFI pada tahun 1992, tetapi tidak dipublikasikan (Neuberg et al. 1997). Ketika Webster dan Kruglanski (1994) mempublikasikan hasil-hasil pengujian validitas

4 Lihat: Roets, Arne and Van Hiel, Alain (2007) “Separating Ability From Need: Clarifying the Dimensional

Structure of the Need for Closure Scale,” Personality and Sociol Psychology Bulletin, Vol. 33, No. 2, pp. 266-

280.

Page 440: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 435

diskriminan konstruk NFC dengan berbagai konstruk kepribadian lain yang relevan (termasuk PNS dan PFI) menyatakan bahwa korelasi NFC dengan PNS adalah 0,2355 pada p<0,01 (Webster dan Kruglanski, 1994). Korelasi rendah ini dikuatkan karena adanya alasan perbedaan konsep closure dan structure. Konsep closure adalah proses subyektif untuk menutup kesenjangan persepsi, memori atau kegiatan atau melengkapi bentuk yang tidak komplit supaya membentuk satu kesatuan. Sedangkan structure adalah komposisi dan penyusunan komponen-komponen serta organisasi seluruh kompleksitas berdasarkan fungsi interdependen dari setiap komponen (McLeod, 1987). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa di dalam konsep closure terkandung konsep structure. Itulah sebabnya perspektif situasional preference for order and structure dan preference for predictability dari konstruk PNS, merupakan dimensi situasional yang cukup kuat membentuk konstruk NFC.

Page 441: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 436

Gambar 6: Perdebatan dimensionalitas konstruk NFC Sumber: Webster dan Kruglanski (1994), Leone et al. (1999) dan Neuberg et al. (1997)

Preference for order and structure (O)

Preference for predictability (P)

Tendency towards decisiveness

(D)

Discomfort with ambiguity (A)

Close mindedness (C)

Personal need for structure

Personal need for structure

Decisiveness

Leone et al. (1999)

Neuberg et al. (1997)

Webster dan Kruglanski (1994)

Need for closure

Decisiveness (ability)

Komposit (O) + (D)

Roets dan Van Hiel (2007)

Need for closure

Page 442: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 437

EVALUASI MODEL PENGUKURAN NEED FOR CLOSURE D. Instrumen pengukuran

Pengukuran baku NFC menggunakan kuesioner 42 item, dengan skala 1-6, 1 untuk sangat tidak setuju dan 6 untuk sangat setuju (Kruglanski, et al., 1993; Webster dan Kruglanski, 1994; Leone et al., 1999; Houghton dan Grewal, 2000; Klein dan Webster, 2000; Tarris, 2000; Van Kenhove et al., 2001; Van Hiel dan Merveilde, 2003; Nelson et al., 2003; Vermeir, 2003; Kossowska dan Van Hiel, 2003; Vermeir dan Geuens, 2004; dan Erimurti, 2005).

Rentang 1-6 tidak memiliki titik tengah untuk menjaga agar partisipan menempatkan responnya pada posisi yang cenderung menuju closure atau menghindari closure. Titik tengah akan cenderung mendorong partisipan untuk berada pada posisi netral sehingga kecenderungan disposisi mereka pada closure tidak akan dapat dideteksi. Namun, ketiadaan titik tengah ini mempunyai kelemahan pengukuran karena partisipan yang sesungguhnya berada pada posisi netral akan terdorong untuk berada pada posisi yang keliru (Kosic, 2002a; Vermeir, 2003) dan akan menghasilkan pengukuran yang tidak akurat. Dengan demikian, studi ini menggunakan skala rentang 1-7, dengan 1 untuk sangat tidak setuju dan 7 untuk sangat setuju.

Pengukuran NFC terdiri dari 10 indikator mengukur preference for order and structure, 8 indikator mengukur preference for predictability, 7 indikator mengukur tendency toward decisiveness, 9 indikator mengukur discomfort with ambiguity dan 8 indikator mengukur closed mindedness. 16 indikator negatif untuk mendeteksi kecenderungan menghindari closure.

E. Prosedur evaluasi Mengingat bahwa kesalahan spesifikasi pengukuran suatu konstruk bisa

berdampak serius pada validitas konstruk, maka prosedur evaluasi terhadap validitas konstruk harus diperhatikan dengan baik. Tabel 2 menunjukkan prosedur praktis untuk melakukan purifikasi model reflektif dan formatif.

Page 443: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 438

Tabel 2: Perbedaan dan persamaan prosedur purifikasi model reflektif dan formatif

PURIFIKASI MODEL REFLEKTIF PURIFIKASI MODEL FORMATIF

Estimasikan model CFA untuk konstruk reflektif (common latent construct)

Estimasikan model CFA untuk konstruk formatif (composit latent construct)

Evaluasi goodness of fit (mis.: GFI dan RMR)

Evaluasi goodnes of fit (mis.: GFI dan RMR)

Evaluasi validitas item (mis.: significant and magnitude factor loadings)

Evaluasi validitas item (mis.: potential of non-significant loadings)

Evaluasi reliabilitas item (mis.: item to total correlation)

Evaluasi reliabilitas item (mis.: test re-test reliability)

Eliminasi item yang memiliki validitas atau reliabilitas rendah

Eliminasi item yang memiliki validitas atau reliabilitas rendah

Evaluasi validitas konstruk (average variance explained)

Evaluasi validitas konstruk (korelasi dengan variabel criterion yang terkait dalam model penelitian)

Evaluasi reliabilitas konstruk (Cronbach alpha dan reliabilitas variabel laten)

Sumber: MacKenzie et al. (2005)

Setelah melakukan purifikasi model, langkah berikutnya adalah melakukan evaluasi validitas nomologi, diskriminan dan criterion related dengan cara (1) mengestimasikan model CFA yang cocok, termasuk konstruk yang diukur dan konstruk lain yang berlorelasi dengannya, (2) mengevaluasi interkorelasi konstruk untuk mengukur validitas diskriminan (interkorelasi < 1), (3) mengevaluasi interkorelasi konstruk untuk mengukur validitas nomologi (interkorelasi signifikan dan penting dalam model penelitian) dan (4) lakukan validitas silang (cross validation) dengan menggunakan data baru.

Page 444: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 439

Berdasarkan konsep awal, NFC dinyatakan sebagai konstruk yang memiliki spesifikasi model reflektif. Hasil analisis konseptual dimensi-dimensi NFC menunjukkan bahwa konstruk NFC memiliki spesifikasi model formatif. Untuk memberikan penjelasan yang lebih baik, paper ini menyajikan hasil evaluasi konstruk dengan menggunakan prosedur evaluasi reflektif maupun formatif berdasar metode MacKenzie et al., (2005).

Spesifikasi model pengukuran yang memiliki kebaikan yang sesuai dengan data membutuhkan persyaratan statistik. Hair et al. (1998) menggunakan cut off value untuk GFI (>0,90), AGFI (>0,90), CMIN/DF (1,0 – 2,0), RMR (0-perfect fit, ≤0,05-good fit, 0,05-0,1 adequate fit), RMSEA (<0,05-close fit, 0,05-0,08-reasonable fit). F. Evaluasi model pengukuran formatif

Model pengukuran formatif bertujuan untuk mengembangkan seperangkat pengukuran yang merepresentasikan elemen kunci dari suatu domain konseptual (Bollen dan Lennox, 1991 dalam MacKenzie et al., 2005). Model pengukuran formatif hanya menangkap keseluruhan domain konseptual sebagai satu grup. Variabel formatif tidak mensyaratkan korelasi antar dimensinya, sehingga untuk mengevaluasi kecukupan pengukuran model formatif tidak digunakan reliabilitas konsistensi internal tetapi harus menggunakan nomological validity dan/atau criterion-related validity (McKenzie et al., 2005). Error ditunjukkan pada level konstruk, bukan pada level dimensi. Error ini mengestimasikan kesalahan yang disebabkan oleh kesalahan pengukuran, interaksi diantara pengukuran dan/atau aspek dari konstruk yang tidak direpresentasikan oleh pengukurannya. Adanya error pada level konstruk ini juga mengingatkan bahwa pengukuran formatif tidak hanya sekedar mengkombinasikan pengukuran dimensi-dimensinya.

Model formatif mengasumsikan bahwa pengukuran secara bersama-sama mempengaruhi konstruk komposit yang bersifat laten. Makna konstruk laten komposit diturunkan dari pengukurannya. Pengertian ini memiliki dua implikasi. Pertama, karena pengukurannya tidak dihipotesiskan sebagai penyebab (atau penentu) oleh variabel komposit laten, maka model formatif tidak mengasumsikan adanya korelasi diantara ukurannya atau bisa dikatakan tidak ada korelasi antar dimensinya. Dengan demikian, reliabilitas konsistensi internal (Cronbach’s Alpha) bukan merupakan standard untuk mengevaluasi

Page 445: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 440

kecukupan pengukuran model formatif. Kecukupan model formatif menggunakan uji validitas nomologi dan/atau criterion related validity.

Kedua, konsekuensi mereduksi dimensi formatif dari model pengukuran akan berpotensi merusak makna konstruk. Tidak seperti pada model pengukuran reflektif, meski mereduksi satu dari dua dimensi yang sama-sama reliabel tidak akan mengubah makna konstruk, akan tetapi pada model pengukuran formatif mereduksi satu dimensi akan mengubah makna konstruk, karena masing-masing dimensinya unik. Selanjutnya, konstruk formatif merupakan komposit dari seluruh dimensi yang membentuknya. Secara tegas di jelaskan oleh MacKenzie et al. (2005: 712) bahwa:

This is true because unlike reflective measures that individually tap the entire conceptual domain, formative measures only capture the entire conceptual domain as a group. This suggests that for formative-indicator models, following the standard scale development procedures—that is, dropping the items that possess the lowest item-to-total correlations or the lowest factor loadings—may result in the removal of precisely those items that would most alter the empirical meaning of the composite latent construct.

Kutipan diatas menyatakan bahwa reliabilitas konsistensi internal tidak

bisa digunakan untuk mengevaluasi kecukupan pengukuran model formatif. Ada hal lain yang perlu diperhatikan pada model pengukuran formatif ini bahwa karena variabel laten dijelaskan oleh ukuran dalam model formatif, maka jika terjadi interkorelasi tinggi diantara dimensi formatif akan sulit membedakan apakah dampak interkorelasi tersebut berasal dari dimensi (first order construct) atau dari konstruk laten (second order construct). Hal ini bisa terjadi karena koefisien dimensi analog dengan koefisien yang diperoleh dari regresi berganda dari konstrk latennya dan stabilitas koefisien tersebut dipengaruhi oleh multikolinearitas dan ukuran sampel (Bollen dan Lennox, 1991 di dalam MacKenzie et al., 2005).

Kriteria terakhir dan perlu diperhatikan pada model pengukuran formatif adalah bahwa model ini mencakup error term. Namun demikian, tidak seperti pada model pengukuran reflektif, error pada model pengukuran formatif direpresentasikan pada level konstruk bukan pada level dimensi. Error pada

Page 446: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 441

model pengukuran formatif mengestimasi kesalahan yang disebabkan oleh (1) kesalahan pengukuran, (2) interaksi antar pengukuran, (3) dan/atau aspek dari domain konstruk yang direpresentasikan oleh pengukurannya, bukan ditujukan pada pengukuran dimensi secara individual. Terjadinya error pada level konstruk menunjukkan fakta bahwa model pengukuran formatif tidak hanya merupakan jalan pintas mengkompositkan ukuran saja.

Asumsi Mac Kenzie et al. (2005) menyatakan bahwa jika model berkepentingan menekankan perbedaan masing-masing faset (dimensi) suatu composite latent construct, dalam hal ini NFC, maka hanya dibutuhkan “single measure of each subdimension of the construct. And researcher might use the model (in Panel 2) with scale scores as single measure of each subdimension” ... “item-level measurement error terms fixed at 0” (Mac Kenzie et al. (2005: 714). Apabila model berkepentingan memfokuskan pada pengukuran konstruk latennya, maka setiap dimensi formatif diukur dengan skala ganda (multiscale). Skala ganda akan merepresentasikan perbedaan dimensi secara konseptual dan dapat menguji dan mengevaluasi konstruknya. Dalam model ini, error term yang tertangkap pada level indikator akan menyunjukkan invaliditas dan ketidak handalan ukuran indikator secara individual. Hal ini bisa disebabkan oleh kontaminasi konstruk atau faktor random. Error term yang berasosiasi dengan konstruk latennya akan menangkap invaliditas seluruh dimensinya. Invaliditas dimensi ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk invaliditas dari setiap dimensi atau invaliditas seluruh dimensi, karena memasukkan seluruh dimensi kedalam pengukuran konstruk (MacKenzie et al., 2005).

Untuk mengatasi in-determinan yang berkaitan dengan error term pada level konstruk, maka setiap konstruk dengan indikator formatif harus memiliki jalur (path) paling tidak dengan dua indikator atau variabel reflektif yang tidak berkorelasi dengan konstruk formatif yang sedang diukur. Indikator reflektif ini adalah indikator yang digunakan untuk mengukur keseluruhan NFC, yang diturunkan dari konsep hasrat terhadap pengetahuan (keingintahuan) yang disebut dengan curiousity6 (Reiss, 2004). Sedangkan variabel reflektif yang

6 Hasrat yang berkaitan dengan need for closure adalah hasrat terhadap pengetahuan yang disebut curiousity (keingintahuan) yaitu motif dari hasrat terhadap pengetahuan (Reiss, 2004).

Page 447: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 442

digunakan untuk mengukur model ini adalah variabel keyakinan memilih produk di internet.

Tahap selanjutnya adalah menentukan item dengan skor faktor >0,60 untuk setiap dimensi NFC dan variabel reflektif curiousity dan keyakinan. Uji model ini menggunakan 150 responden.

Tabel 3: Analisis faktor dimensi discomfort with ambiguity

A15 .531 Saya merasa kesal ketika menghadapi masalah yang membingungkan.

A21 .807 Saya mudah sekali memastikan mana pihak yang benar dan mana yang salah.

A3 .766 Saya tidak menyukai situasi yang tidak tentu. A31 .634 Saya selalu ingin tahu yang dipikirkan orang lain. A32 .678 Saya tidak menyukai pendapat yang bermakna ganda. A33 .667 Saya tidak menyukai orang yang tidak bisa membuat keputusan. A38 .605 Saya merasa tidak nyaman ketika bekerjasama dengan orang yang

memiliki tujuan yang tidak jelas. A42 Saya lebih suka menerima berita buruk daripada berada dalam

kondisi yang tidak tentu. A9 .784 Saya merasa tidak nyaman ketika menghadapi ketidakpastian.

Tabel 4: Analisis faktor dimensi close mindedness

C10 .819 Saya kesal ketika ada orang yang tidak setuju dengan pendapat saya.

C4 .640 Saya tidak menyukai jawaban yang tidak pasti. C44 Saya tidak membutuhkan saran dari orang lain. CR2 .844 Saya selalu ingin mempertimbangkan pendapat yang berbeda.* CR25 .764 Saya membutuhkan saran dari orang lain ketika hendak membuat

keputusan.* CR29 .825 Saya suka mempertimbangkan sebanyak mungkin pendapat yang

berbeda.* CR36 .572 Saya lebih memilih teman yang mempunyai gagasan yang

berbeda.* CR41 .646 Saya selalu menemukan berbagai solusi untuk mengatasi

masalah.*

Page 448: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 443

Tabel 5: Analisis faktor dimensi tendency toward decisiveness

D14 .844 Saya biasa menemukan solusi terbaik dengan sangat cepat. D17 .866 Saya biasa membuat keputusan penting dengan cepat dan

meyakinkan. DR12 .803 Saya adalah seorang peragu.* DR13 .740 Saya sulit memutuskan produk yang sebenarnya ingin saya beli.* DR16 .535 Saya cenderung membuat keputusan penting pada menit terakhir* DR23 .748 Saya sulit membuat keputusan.* DR40 .560 Saya sering melihat banyak pilihan yang justru membingungkan.*

Tabel 6: Analisis faktor dimensi preference for order and structure

O1 .646 Saya pikir mekanisme kerja yang jelas akan menentukan keberhasilan.

O11 .524 Saya tidak suka mengubah rencana. O24 .783 Kerapian adalah karakteristik yang paling penting bagi saya. O34 .695 Saya menyukai kegiatan rutin. O35 .831 Saya menikmati pola kehidupan yang teratur. O37 .756 Saya lebih suka jika barang-barang disimpan pada tempat yang

memang cocok untuknya. O6 .865 Saya menyukai kehidupan yang tertata baik. OR20 .676 Ruang kerja saya biasanya tidak rapi.* OR28 .735 Saya suka melakukan kegiatan yang kurang jelas tujuannya.* OR47 .696 Saya tidak menyukai rutinitas dalam kehidupan saya.*

Tabel 7: Analisis faktor dimensi preference for predictability

P26 .657 Saya tidak menyukai orang yang tindakannya tidak dapat saya prediksikan sebelumnya.

P27 .747 Saya lebih suka berteman dengan orang yang sudah saya kenal karena saya tahu persis sifat-sifatnya.

P30 Saya tidak suka bekerja tanpa tujuan yang jelas. P45 .698 Saya tidak suka situasi yang tidak dapat diprediksi. P8 .715 Saya lebih suka berkunjung ke tempat yang sudah saya kenal

sebelumnya. PR19 .624 Saya lebih suka mengubah rencana pada saat-saat terakhir.* PR5 .750 Saya lebih senang berteman dengan orang yang tidak bisa saya

perkirakan sebelumnya.* PR7 .852 Saya lebih memilih situasi yang tidak dapat diprediksi.*

Page 449: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 444

Tabel 8: Analisis faktor dimensi curiousity

CUR22 .808 Saya tidak memiliki motivasi untuk mencari informasi yang saya butuhkan.*

CUR46 .944 Saya tidak ingin mencari informasi yang lain selain pengetahuan yang sudah saya miliki.*

CURR18 .812 Saya termotivasi untuk mencari informasi yang saya butuhkan untuk memenuhi keingintahuan saya.

CURR39 .812 Saya termotivasi mencari informasi untuk bisa membuat keputusan yang akurat.

CURR43 .761 Saya selalu berhasrat mencari informasi untuk memenuhi keingintahuan saya.

Dimensi curiosity diukur secara reflektif dan digunakan untuk

mengukur konstruk NFC secara keseluruhan. Langkah selanjutnya adalah melakukan konfirmasi model formatif NFC dengan hasil berikut ini.

Model NPAR CMIN DF P CMIN/DF

Default model 71 560.985 335 0.000 1.675 Saturated model 406 0.000 0 Independence model 28 1886.380 378 0.000 4.990 Model RMR GFI AGFI PGFI Default model 0.173 0.795 0.752 0.656 Saturated model 000 1.000 Independencemodel0.430 0.373 0.326 0.347

Need for Closure <-------- Ambiguity 0.024 Need for Closure <------------ Close 0.332 Need for Closure <--------- Decisive 0.095 Need for Closure <------------ Order 0.559 Need for Closure <---------- Predict -0.133 a15 <--------------------- Ambiguity 0.509 a3 <---------------------- Ambiguity 0.674 a32 <--------------------- Ambiguity 0.582 a33 <--------------------- Ambiguity 0.586 a38 <--------------------- Ambiguity 0.554 a9 <---------------------- Ambiguity 0.788 cr2 <------------------------- Close 0.824 cr25 <------------------------ Close 0.702 cr29 <------------------------ Close 0.791 cr36 <------------------------ Close 0.523 cr41 <------------------------ Close 0.570

Page 450: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 445

dr12 <--------------------- Decisive 0.811 dr13 <--------------------- Decisive 0.636 dr23 <--------------------- Decisive 0.704 dr40 <--------------------- Decisive 0.345 o1 <-------------------------- Order 0.584 o11 <------------------------- Order 0.327 o24 <------------------------- Order 0.721 o34 <------------------------- Order 0.622 o35 <------------------------- Order 0.837 o37 <------------------------- Order 0.754 o6 <-------------------------- Order 0.871 p26 <----------------------- Predict 0.521 p27 <----------------------- Predict 0.617 p45 <----------------------- Predict 0.632 p8 <------------------------ Predict 0.606 curr18 <----------- Need for Closure 0.867 curr39 <----------- Need for Closure 0.675

eNeed for Closure 0.190 0.050 3.802 ea15 1.616 0.202 8.014 ea3 1.095 0.153 7.142 ea32 1.209 0.156 7.725 ea33 1.707 0.222 7.707 ea38 1.437 0.183 7.847 ea9 0.814 0.143 5.708 ecr2 0.562 0.105 5.346 ecr25 1.159 0.162 7.146 ecr29 0.654 0.109 6.004 ecr36 1.274 0.158 8.069 ecr41 1.241 0.157 7.912 edr12 0.924 0.222 4.171 edr13 1.405 0.200 7.021 edr23 1.180 0.191 6.174 edr40 1.736 0.208 8.334 eo1 0.535 0.065 8.182 eo11 1.617 0.190 8.528 eo24 0.776 0.101 7.678 eo34 1.327 0.164 8.081 eo35 0.442 0.068 6.530 e37 0.575 0.077 7.474 eo6 0.318 0.054 5.827 ep26 1.268 0.169 7.518 ep27 1.366 0.202 6.776 ep45 1.280 0.193 6.622 ep8 1.563 0.227 6.880 ecurr18 0.169 0.071 2.377 ecurr39 0.412 0.066 6.200

Page 451: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 446

selanjutnya, model dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7: Model formatif need for closure Sumber: Disarikan dari pemikiran penulis

Cur3

eNeed for

closure (0.050)

A3 C25 D12 P27

Need for Closure

Cur1

ecur39 (0.066)

ecur18 (0.071)

0.867 0.675

0.024 0.332 0.095 0.559 -0.133

A1 A3 A3 A9

Ambiguity

C2 C29 C36 C41 D23D13 D40 P26 P45 P8

Close Decisive Predict

A33 O1O1 O2 O3

Order

O3O3 O6

Page 452: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 447

G. Model pengukuran reflektif Tujuan model pengukuran reflektif adalah mengembangkan pengukuran

sampel representatif untuk suatu konstruk (Nunnaly dan Bernstein, 1990 dalam MacKenzie, 2005). Model pengukuran reflektif mengasumsikan bahwa kovariasi diantara pengukurannya dijelaskan oleh variasi yang mendasari faktor latennya. Dengan demikian, dimensinya merupakan dimensi yang merefleksikan konstruk laten yang dijelaskan (MacKenzie et al., 2005). Model pengukuran ini sering dijumpai pada pengukuran konstruk keperilakuan, dan pada umumnya masing-masing dimensi memiliki kesamaan dengan konstruk latennya atau disebut dengan common latent construct.

Ciri-ciri model pengukuran reflektif antara lain (1) arah kausalitas dari konstruk ke indikator pengukurnya, karena konstruk menjelaskan variasi pengukuran, (2) masing-masing indikator memiliki korelasi tinggi karena mereka merefleksikan konstruk yang sama, dan harus menunjukkan reliabilitas konsistensi internal yang tinggi, (3) semua dimensi bisa saling di pertukarkan karena setiap pengukuran merupakan sampel dari domain konsep yang sama, sehingga mereduksi salah satu dimensinya tidak akan mengubah makna konstruk, (4) error berkaitan dengan pengukuran dimensi, (5) karena pengukurannya merupakan refleksi konstruk, maka penjumlahan skor tidak akan mencukupi untuk merepresentasikan konstruk, penjumlahan skor akan mengakibatkan tejadinya estimasi korelasi yang tidak konsisten antara konstruk yang diukur dengan konstruk laten lainnya (MacKenzie et al., 2005).

Webster dan Kruglanski (1994) memposisikan NFC sebagai variabel laten unidimensi dan dimensi-dimensinya merupakan manifestasi konstruk (Kruglanski, et al., 1993; Webster dan Kruglanski, 1994; Leone et al., 1999; Houghton dan Grewal, 2000; Klein dan Webster, 2000; Tarris, 2000; Van Kenhove et al., 2001; Kosic, 2002a; Kosic, 2002b; Van Hiel dan Merveilde, 2003; Nelson et al., 2003; Vermeir, 2003; Kossowska dan Van Hiel, 2003; Vermeir dan Geuens, 2004; Moneta dan Yip, 2004; Erimurti, 2005; Erimurti, 2006; Roets et al., 2006; De Backer, 2007; Roets dan Van Hiel, 2007 dan Stalder, 2007), bahkan Neuberg et al., (1997) menegaskan bahwa penjumlahan skor ini tidak mempedulikan kepemilikan indikator terhadap dimensinya.

Ketika instrumen multidimensional diperlakukan sebagai instrumen unidimensional dengan menjumlahkan skor seluruh itemnya, memang bisa merupakan cara termudah untuk menstimulasi penelitian, tetapi hasilnya sering

Page 453: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 448

membingungkan sebab temuan berdasar hitungan agregat akan mengakibatkan interpretasi yang ambigu karena bisa mengubah makna konstruk yang sebenarnya ingin diukur (Neuberg et al. 1997). Beberapa peneliti telah melakukan validitas konstruk NFC dan menunjukkan hasil bahwa ada beberapa dimensi yang tidak valid mengukur konstruk NFC.

Houghton dan Grewal (2000) melakukan validasi konstruk NFC, dan mereduksi item kuesioner, dari 42 item menjadi 20 item. Dengan menggunakan kuesioner 20 item, reliabilitas konstruk tetap stabil pada Cronbach’s alpha 0,81, sedangkan reliabilitas sub-konstruk juga tidak banyak mengalami perubahan dibandingkan dengan hasil uji dengan 42 item. Houghton dan Grewal menyimpulkan bahwa pengukuran konstruk NFC dengan 20 item tetap stabil untuk jumlah sampel 128 responden.

Kosic (2002a) mengubah skala pengukuran dari rentang 6 menjadi rentang 5 skala Likert dengan alasan bahwa skala genap mendorong responden yang netral berada pada posisi yang keliru. Kosic (2002a) mereduksi dimensi tendency toward desiciveness dan hanya menggunakan empat dimensi lainnya (A, C, O dan P) sebagai alat ukur konstruk NFC. Hasil validitas dengan mengaplikasikan kuesioner berbahasa Italia (Kosic, 2002b) menunjukkan bahwa dimensi tendency toward decisiveness tidak berkorelasi secara signifikan dengan empat dimensi lainnya. Dua peneliti mengasumsikan bahwa item yang digunakan untuk mengukur tendency toward desiciveness mendeskripsikan kemampuan atau kekurangmampuan membuat keputusan secara cepat, bukannya kecenderungan untuk menemukan jawaban secepat mungkin dengan menangkap jawaban pertama yang paling memungkinkan (seizing) (Kosic, 2002a; Roets dan Van Hiel, 2007). Meskipun demikian, baik model pertama (kombinasi dari faktor pertama yang terdiri dari empat dimensi yaitu preference for order, preference for predictability, discomfort with ambiguity dan close mindedness) dan faktor kedua (tendency toward decisiveness) dan model kedua yang terdiri dari satu faktor saja yaitu NFC menghasilkan indeks goodness-of-fit yang sama yaitu 0,92. (Kruglanski et al., 1997).

Pierro et al. (2003) mengukur konstruk NFC menggunakan kuesioner berbahasa Inggris dan Italia. Kuesioner berbahasa Italia diterjemahkan dengan metode back translate. Jumlah sampel yang digunakan adalah 48. Hasil validitas menunjukkan bahwa dimensi preference for order and structure reliabel pada Cronbach’s alpha 0,67, preference for predictability dengan alpha

Page 454: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 449

0,71, discomfort with ambiguity dengan alpha 0,77 dan 0,55 untuk close mindedness. Sedangkan reliabilitas konsistensi internal untuk konstruk NFC adalah 0,89. Pierro et al. (2003) mereduksi dimensi tendency toward decisiveness.

Moneta dan Yip (2004) melakukan validitas NFC dengan menggunakan skala pengukuran kombinasi yang diterjemahkan ke dalam bahasa Cina untuk sampel mahasiswa psikologi Hong Kong. Skala kombinasi didasarkan pada analisis Neuberg et al., (1997) yang menyatakan bahwa NFC tumpang tindih dengan PNS dan PFI. Item kuesioner yang digunakan berjumlah 62 dengan urutan PFI (14 item), NFC (42 item) dan PNS (6 item). Hasil studi Moneta dan Yip menunjukkan bahwa reliabilitas konsistensi internal NFC adalah 0,770, preference for order and strcture (alpha 0,748), preference for predictability (alpha 0,736), tendency toward decisiveness (alpha 0,749), discomfort with ambiguity (alpha 0,477), close mindedness (alpha 0,443). Ketika standard ideal reliabilitas konsistensi internal untuk konstruk kepribadian adalah 0,85 sampai 0,90 dengan mean 0,77 (Charter, 2003) maka dimensi tendency toward decisiveness dan discomfort with ambiguity tidak handal mengukur konstruk NFC. Hasil selanjutnya menunjukkan bahwa korelasi antara NFC dan PNS adalah 0,82 pada p <0,01 dan korelasi NFC dan PFI adalah 0,008. Hasil uji ini menunjukkan bahwa NFC tidak terdiskriminasi dari PNS dan NFC benar-benar mengukur aspek yang berbeda dari PFI.

Van Hiel et al. (2004) menguji reliabilitas konstruk NFC dengan dua sampel mahasiswa psikologi tahun pertama di universitas di Belgia. Sampel 1 berjumlah 399 dan sampel 2 berjumlah 330. Hasil studi menunjukkan tiga dimensi valid mengukur konstruk NFC yaitu preference for order and structure (alpha 0,80/S1 dan 0,82/S2), preference for predictability (alpha 0,79/S1 dan 0,72/S2) dan tendency toward decisiveness (alpha 0,80/S1 dan 0,72/S2. Sedangkan dua dimensi berikut tidak reliabel mengukur konstruk NFC yaitu discomfort with ambiguity (alpha 0,53/S1 dan 0,41/S2) dan close mindedness (alpha 0,51/S1 dan 0,58/S2). Meskipun dua dimensi tereduksi, studi ini menggunakan reliabilitas komposit untuk mengukur korelasi dengan variabel reflektif lainnya.

Studi Federico et al. (2005) mengubah skala pengukuran konstruk NFC menjadi rentang 1-7, 1 untuk sangat tidak setuju dan 7 untuk sangat setuju. Federico et al. (2005) menggunakan 217 sampel mahasiswa dan hanya

Page 455: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 450

melaporkan reliabilitas konsistensi internal untuk komposit yaitu 0,85. Studi validitas konstruk NFC yang dilakukan oleh Erimurti (2006) menggunakan metode pengukuran reflektif dan melaporkan hasil bahwa hanya ada dua dimensi yang reliabel merefleksikan konstruk NFC yaitu preference for order and structure (alpha 0,7550) dan discomfort with ambiguity (alpha 0,6275), reliabilitas konsistensi internal NFC adalah 0, 7392 dengan GFI 0.919.

Penelitian DeBacker dan Crowson (2006) menunjukkan tiga dimensi saja yang valid mengukur NFC yaitu preference for order and structure (alpha 0,79), preference for predictability (alpha 0,89) dan discomfort with ambiguity (alpha 0,66) sedangkan dimensi closed mindedness dan tendency toward decisiveness mengalami reduksi.

Stalder (2007) mengkorelasikan NFC terutama dimensi tendency toward decisiveness dan preference for order and structure dan preference for predictability (PNS) dengan The Big Five Personality. sampai pada suatu kesimpulan bahwa pengukuran NFC versi empat dimensi tersebut merupakan skala unidimensi yang reliabel untuk sampel Eropa dan Amerika. Stalder tidak melaporkan hasil konsistensi internal setiap dimensinya. Tabel 2 menunjukkan hasil pengkuran dari berbagai penelitian sebelumnya.

Roets dan Van Hiel (2007) menguji bahwa tendency toward desiciveness mendeskripsikan kemampuan atau kekurangmampuan membuat keputusan secara cepat, bukannya kecenderungan untuk menemukan jawaban secepat mungkin. Perubahan item pengukuran dimensi ini meningkatkan Cronbach’s alpha NFC total, dari 0,85 menjadi 0,87 untuk sampel (1) mahasiswa psikologi (N = 400), dan dari 0,82 menjadi 0,87 untuk sampel (2) mahasiswa ilmu sosial (N = 434). Cronbach’s alpha NFC total meningkat menjadi 0,87 untuk sampel (1) dan 0,88 untuk sampel (2), ketika close mindedness tereduksi karena konsistensi internalnya sangat rendah.

Page 456: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 451

Tabel 9: Reliabilitas konsistensi internal konstruk dan dimensi need for closure

Reliabilitas Dimensi NFC

Peneliti Jumlah

Item Kuesioner

Jumlah Responden

Reliabilitas Konstruk

NFC 1 2 3 4 5

Webster dan 42 281 0,84 0,82 0,79 0,70 0,67 0,62 Kruglanski (1994) 42 172 0,84 0,77 0,72 0,79 0,80 0,62 Neuberg et al. (1997) c

42 452 - - - - - -

Leone et a.l (1999) 42 72 0,89 0,83 0,83 - - - Hougton dan 42 728 0,83 0,80 0,80 0,75 0,63 0,62 Grewal (2000) 20 724/128 0,81 0,80 0,72 0,73 0,63 0,62 Kosic (2002b) 42 146 0,84 - - - - - Vermeir (2003) 42 200 0,86 0,85 0,81 0,70 0,46 0,63 25 695 0,88 0,83 0.87 0,75 0,79 0,82 Nelson et al. (2003) 42 63 0,70 - - - - - 42 112 0,88 - - - - - Pierro et al. (2003) 42 48 0,89 0,67 0,71 - 0,77 0,55 Moneta dan Yip (2004)a

62 292 0,77 0,75 0,74 0,75 0,48 0,44

Van Hiel et al. (2004)

42 399 0,80 0,80 0,79 0,80 0,53 0,51

42 330 0,82 0,82 0,72 0,72 0,41 0,58 Federico et al. (2005)

42 217 0,85 - - - - -

Erimurti (2005) 42 225 0,79 0,74 0,56 0,63 0,50 0,51 Erimurti (2006) b 42 145 0.69 0.83 0.46 0.57 0.63 0.51 10 145 0.74 0.76 - - 0.63 - Stalder (2007) c 42 130 - - - - - - De Backer (2007) d 42 259 - 0,79 0,84 - 0,66 - Roets dan Van Hiel 42 400 0,88 e - - - - - (2007) 42 434 0,87 f - - - - -

Keterangan: (1) Preference for Order and Structure, (2) Preference for Predictability, (3) Tendency toward decisiveness, (4) Discomfort with Ambiguity, dan (5) Close mindedness. a skala NFC + PNS + OFI (total 62 item) b skala 1-7 c tidak melaporkan hasil uji reliabilitas konsisteni internal NFC dan dimensi-dimensinya d tidak melaporkan hasil uji reliabilitas konsistensi internal NFC

Page 457: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 452

e mengubah item tendency toward desiciveness (kecenderungan) dengan item yang digunakan untuk mengukur ability f total NFC (e) tanpa close mindedness Sumber: Webster dan Kruglanski (1994), Leone et al., (1999), Houghton dan Grewal (2000), Kosic (2002b), Vermeir (2003), Nelson et al., (2003), Erimurti (2005), Erimurti (2006), Moneta dan Yip (2004), Stalder (2007), Neuberg et al., (1997), De Backer (2007) dan Roets dan van Hiel (2007).

Selanjutnya, dilakukan identifikasi model pengukuran reflektif untuk

konstruk NFC, dengan hasil berikut ini. Model NPAR CMIN DF P CMIN/DF

Default model 57 530.488 294 0.000 1.804 Saturated model 351 0.000 0 Independence model 26 1710.717 325 0.000 5.264 Model RMR GFI AGFI PGFI Default model 0.202 0.789 0.749 0.661 Saturated model 0.000 1.000 Independence model 0.451 0.391 0.342 0.362

Ambiguity <------ Need for Closure 0.817 Close <---------- Need for Closure 0.322 Decisive <------ Need for Closure 0.187 Order <--------- Need for Closure 0.551 Predict <------- Need for Closure 0.789 a15 <------------------ Ambiguity 0.500 a3 <------------------- Ambiguity 0.680 a32 <------------------ Ambiguity 0.585 a33 <------------------ Ambiguity 0.587 a38 <------------------ Ambiguity 0.560 a9 <------------------ Ambiguity 0.781 cr2 <--------------------- Close 0.824 cr25 <-------------------- Close 0.699 cr29 <-------------------- Close 0.804 cr36 <-------------------- Close 0.528 cr41 <-------------------- Close 0.546 dr12 <----------------- Decisive 0.803 dr13 <------------------ Decisive 0.655 dr23 <------------------ Decisive 0.698 dr40 <-------------------Decisive 0.339

Page 458: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 453

o1 <----------------------- Order 0.562 o11 <---------------------- Order 0.323 o24 <---------------------- Order 0.716 o34 <-----------------------Order 0.630 o35 <---------------------- Order 0.842 o37 <---------------------- Order 0.754 o6 <----------------------- Order 0.876 p26 <-------------------- Predict 0.525 p27 <-------------------- Predict 0.609 p45 <-------------------- Predict 0.640 p8 <--------------------- Predict 0.597 eAmbiguity 0.181 0.095 1.907 eClose 1.065 0.195 5.451 eDecisive 1.678 0.353 4.752 eOrder 0.178 0.053 3.377 ePredict 0.181 0.091 1.981 ea15 1.637 0.204 8.033 ea3 1.079 0.153 7.062 ea32 1.201 0.156 7.690 ea33 1.701 0.222 7.678 ea38 1.424 0.182 7.806 ea9 0.836 0.145 5.774 ecr2 0.563 0.107 5.254 ecr25 1.169 0.164 7.143 ecr29 0.618 0.109 5.677 ecr36 1.266 0.157 8.046 ecr41 1.289 0.161 7.986 edr12 0.956 0.240 3.981 edr13 1.346 0.203 6.641 edr23 1.201 0.200 6.018 edr40 1.744 0.210 8.322 eo1 0.556 0.068 8.213 eo11 1.621 0.190 8.526 eo24 0.789 0.103 7.665 eo34 1.305 0.163 8.031 eo35 0.431 0.068 6.331 e37 0.573 0.077 7.409 eo6 0.307 0.055 5.547 ep26 1.262 0.169 7.462 ep27 1.388 0.204 6.797 ep45 1.258 0.195 6.465 ep8 1.591 0.230 6.911

Page 459: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 454

Gambar 8: Model reflektif need for closure Sumber: Disarikan dari pemikiran penulis

e (0.095)

C25 D12 P27

Need for Closure

0.817 0.322 0.187 0.551 0.789

C2 C29 C36 C41 D23D13 D40 P26 P45 P8

Close Decisive Predict

e (0.195)

e (0.353)

e (0.053)

e (0.091)

A32A15 A3 A38 A9

Ambiguity

A33 O11O1 O24 O34

Order

O37O35 O6

Page 460: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 455

Model reflektif teridentifikasi tidak fit terhadap data, ditunjukkan dengan CMIN/DF = 1,804, GFI = 0,789, AGFI=0,749 dan RMR= 0,202. Meskipun kedua model tidak fit terhadap data, namun model pengukuran formatif lebih unggul daripada model pengukuran reflektif. Tabel menunjukkan ikhtisar perbedaan kebaikan model formatif dan reflektif untuk konstruk NFC.

Tabel 10: Perbandingan kebaikan model reflektif dan formatif konstruk need for closure

MODEL CMIN/DF GFI AGFI RMR Reflektif 1.804 0.789 0.749 0.202 Formatif 1.675 0.795 0.752 0.173 PERBEDAAN 0.129 0.006 0.003 0.029

KESIMPULAN Teori NFC memperbolehkan terjadinya korelasi positif, nol atau bahkan

negatif antar dimensinya (Kruglanski et al., 1997), sehingga masing-masing dimensi adalah setara (equal). Konsep ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa NFC merupakan konstruk laten komposit (composite latent construct), yang seluruh dimensinya merupakan pembentuk konstruk. Dengan demikian spesifikasi model konstruk ini adalah formatif, namun Webster dan Kriglanski (1994) memperlakukan NFC sebagai konstruk unidimensional dan spesifikasi modelnya adalah reflektif. Cara pengukuran hibrid ini memang bisa merupakan cara termudah untuk menstimulasi penelitian tetapi hasilnya sering membingungkan karena temuan berdasar hitungan agregat akan mengakibatkan interpretasi yang ambigu (Neuberg et al. 1997) dan terjadi kesalahan spesifikasi model (MacKenzie et al. (2005).

Pengujian konstruk laten komposit NFC dengan model formatif secara statistik lebih unggul daripada menggunakan model reflektif. Keunggulan ini ditunjukkan dengan CMIN/DF untuk model formatif lebih kecil 0,129 daripada model reflektif. Artinya model formatif memliki distribusi penyampelan lebih luas daripada model reflektif. Meskipun model ini tidak fit dengan data, ditunjukkan dengan GFI kurang dari 0,9 (Hair et al., 1998), namun model formatif menunjukkan 0,006 lebih kuat daripada model reflektif.

Page 461: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 456

DAFTAR PUSTAKA Anderson, James C; Gerbing, David W and Hunter, John E (1987) “On the

Assesment of Unidimensional Measurement: Internal and External Consistency, and Overall Consistency Criteria,” Journal of Marketing Research, Vol. 24, pp. 432-437.

Bollen, K. A., and Lennox, R. (1991) “Conventional wisdom on measurement: A structural equation perspective,” Psychological Bulletin, Vol. 110, pp. 305–314 di dalam MacKenzie, Scott B., Podsakoff, Philip M., dan Jarvis. Cheryl Burke, (2005) “The Problem of Measurement Model Misspecification in Behavioral and Organizational Research and Some Recommended Solutions, “ Journal of Applied Psychology, Vol. 90, No. 4, pp. 710–730.

Charter, Richard A (2003) “A breakdown of reliability coefficients by test type and reliability method, and the clinical implications of low reliability,” The Journal of General Psychology, Vol. 13, No. 3, pp. 290-304.

Crowley, Ayn, E., and Hoyer, Wayne, D. (1989) “The relationship between need for cognition and other individual differences variables: A two-dimensional framework,” Advances in Consumer Research, Vol. 16, pp. 37-43.

Darwall, Stephen (2003) “Desires, reason, and causes,” Philosophy and Phenomenological Research, Vol. 67, No. 2, pp. 436-443.

DeBacker, Teresa K. and Crowson, H. Michael (2006) “Influences on cognitive engagement: Epistemological beliefs and need for closure,” British Journal of Educational Psychology, Vol.: 76, pp.: 535–551.

Diamantopoulos, Adamantios, dan Winklhofer, Heidi M., (2001) “Index Construction with Formative Indicators: An Alternative to Scale Development,” Journal of Marketing Research (JMR), Vol. 38, Issue 2

Erimurti, Kuntari (2005) “Pengaruh Need for Closure pada perilaku konsumen: Validasi konstruk Need for Closure,” Research Project, tidak dipublikasikan.

Erimurti, Kuntari (2006) “Studi pendahuluan: Analisis Pengukuran Need for Closure, Analisis Produk Dicari di Internet, Analisis Waktu Akses dan Analisis Keluasan Pop-up Windows,” tidak dipublikasikan.

Federico, Christopher M., Golec, Agnieszka and Dial, Jessica L. (2005) “The Relationship Between the Need for Closure and Support for Military Action Against Iraq: Moderating Effects of National Attachment,” Personality and Social Psychology Bulletin, Vol. 31, No. 5, pp. 621-632.

Federico, Christopher M., Golec, Agnieszka and Dial, Jessica L. (2005) “The Relationship Between the Need for Closure and Support for Military

Page 462: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 457

Action Against Iraq: Moderating Effects of National Attachment,” Personality and Social Psychology Bulletin, Vol. 31, No. 5, pp. 621-632.

Gerbing, David. W and Anderson, James, C. (1988) “An updated paradigm for scale development incorporating unidimensionality and its assesment,” Journal of Marketing Research, Vol. 25, pp. 186-191.

Hair, Joseph, E, Jr.; Anderson, Rolph, E.; Tatham, Ronald, L. and Black, William, C. (1998) Multivariate data analysis, 5th Ed., New Jersey, Prentice-Hall Inc.

Hoelter, Jon, W. (1986) “The Relationship Between Specific and Global Evaluations of Self: A Comparison of Several Models,” Social Psychology Quarterly, Vol. 49, No. 2, pp. 129-141.

Hougton, David, C. and Grewal, Rajdeep (2000) “Please, let’s get an answer – any answer: need for consumer cognitive closure,” Psychology and Marketing, Vol. 17, No. 11, pp. 911-934.

Jarvis, Cheryl, Burke; Mackenzie, Scott, B.; dan Podsakoff, Philip, M. (2003) :A critical review of construct indicators and measurement model misspecification in marketing and consumer research,” Journal of Consumer Research, Vol. 30, pp. 199-218.

Kardes, Frank, R. (2001). “In defense of experimental consumer psychology,” Journal of Consumer Psychology, Vol. 5, No. 3, pp. 279-296.

Kivetz, Ran and Simonson, Itamar (2000) “The effect of incomplete information on consumer choice,” Journal of Marketing Research, Vol. 37, No. 4, pp. 427-448.

Klein, Cynthia T. F., and Webster, Donna, M. (2000) “Individual differences in argument scrutiny as motivated by need for cognitive closure,” Basic and Applied Psychology, Vol. 22 No. 2, pp. 119-129.

Kosic, Ankica (2002a) “Acculturation attitudes, need for cognitive closure, and adaptation of immigrants,” The Journal of Social Psychology, Vol. 142, No. 2, pp. 179–201.

Kosic, Ankica (2002b) “Need for cognitive closure and coping strategies,” International Journal of Psychology, Vol. 37, No. 1, pp. 35–43.

Kossowska, Malgorzata, and Van Hiel, Alain (2003) “The relationship between Need for Closure and conservative beliefs in western and eastern europe,” Political Psychology, Vol. 24 No. 3, pp. 501-518.

Kruglanski, Arie W. and Webster, Donna M. (1996) “Motivated closing of the mind : ‘Seizing’ and ‘freezing’,” Psychological Review, Vol. 103, No. 2, pp. 263-283.

Kruglanski, Arie W.; Atash, M Nadir; DeGrada, Eraldo; Manneti, Lucia and Webster, Donna M (1997) “ Psychological theory testing versus psychometric nay-saying: Comment on Neuberg et al’s (1997) critique of

Page 463: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 458

the Need for Closure scale,” Journal of Peersonality and Social Psychology, Vol. 73, No. 5, 1005-1016.

Kruglanski, Arie, W,; Webster, Donna, M., and Klem, Adena (1993) “Motivated resistence and opennes in the presence or absence of prior information,” Journal of Personality and Social Psychology, Vol. 65. No. 5, pp. 861-876.

Kruglanski, Arie, W. (1990) “Lay-epistemic theory in social-cognitive psychology,” Psychology Inquiry, Vol. 1, No. 3, pp. 181-197.

Kruglanski, Arie, W. (2005) “Need for Closure scale, attitude, belief and experience survey,” Department of Psychology, University of Maryland, College Park, MD 20742, open source, http://www.umd.edu.

Leone, Christopher; Wallace, Harry M.; and Modglin, Kevin (1999) “ The Need for Closure and the need for structure: Interrelationships, correlates, and outcomes,” The Journal of Psychology, Vol. 133, No. 5, pp. 553-562.

MacKenzie, Scott B., Podsakoff, Philip M., dan Jarvis. Cheryl Burke, (2005) “The Problem of Measurement Model Misspecification in Behavioral and Organizational Research and Some Recommended Solutions, “ Journal of Applied Psychology, Vol. 90, No. 4, pp. 710–730.

McLeod, William, T. (1987) The collins modern English Dictionary, Glasgow, William Collins Sons & Co. Ltd.

Moneta, Giovanni B and Yip, Pelen P. Y. (2004) “Construct Validity of the Scores of the Chinese Version of the Need for Closure Scale,” Educational and Psychological Measurement, Vol. 64, No. 3, pp. 531-548.

Nelson, Donna, Webster; Klein, Cynthia T. F., and Irvin, Jennifer E. (2003) “Motivational antecedents of empathy: Inhibiting effects of fatigue,” Basic and Applied Social Psychology, Vol. 25, No. 1, pp. 37–50.

Neuberg, Steven, L.; West, Stephen, G. And Thompson, Megan, M. (1997) “On dimensionality, discriminant validity, and the role of psychometric analyses in personality theory and measurement: reply to Kruglanski et al’s (1997) defense of the need for closure scale,” Journal of Personality and Social Psychology, Vol. 73, No. 5, pp. 1017-1029.

Neuman, W. Lawrence (2000) Social Research Methods, qualitative and quantitative approaches, 4th Ed., MA, Allyn and Bacon.

Pierro, Antonio; Mannetti, Lucia; De Grada, Eraldo; Livi, Stefano and Kruglanski, Arie W. (2003) Autocracy Bias in Informal Groups Under Need for Closure, Personality and Social Psychology Bulletin, Vol. 29, No. 3, pp. 405-417.

Pierro, Antonio; Mannetti, Lucia; De Grada, Eraldo; Livi, Stefano and Kruglanski, Arie W. (2003) Autocracy Bias in Informal Groups Under

Page 464: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 459

Need for Closure, Personality and Social Psychology Bulletin, Vol. 29, No. 3, pp. 405-417.

Reiss, Steven (2004) “Multifaceted Nature of Intrinsic Motivation: The Theory of 16 Basic Desires,” Review of General Psychology, Vol. 8, No. 3, pp. 179–193.

Roets, Arne and Van Hiel, Alain (2007) “Separating Ability From Need: Clarifying the Dimensional Structure of the Need for Closure Scale,” Personality and Social Psychology Bulletin, Vol. 33 No. 2, pp. 266-280.

Roets, Arne and Van Hiel, Alain (2007) “Separating Ability From Need: Clarifying the Dimensional Structure of the Need for Closure Scale,” Personality and Social Psychology Bulletin, Vol. 33 No. 2, pp. 266-280.

Rokeach, Milton (1960), The open and closed mind: Investiations into the nature of belief systems and personality systems, Basic Book, New York, Northwestern University, in Winch, Robert, F., (2000) Review on Rokeach, Milton (1960), The open and closed mind: Investiations into the nature of belief systems and personality systems, Basic Book, New York, Northwestern University.

Sharma, S., 1996, Applied Multivariate Techniques, John Willey & Sons Inc., New York, USA.

Stalder, Daniel, R. (2007) Need for closure, the big five and public self-conciousness, The Journal of Social Psychology, Vol. 147, No. 1, pp. 91-94.

Van Hiel, Alain, and Merveilde, Ivan (2003) “The Need for Closure and the spontaneous use of complex and simple cognitive structures,” The Journal of Social Psychology, Vol. 143, No. 5, pp. 559-568.

Van Hiel, Alain; Pandelaere, Mario and Duriez, Bart (2004) “The Impact of Need for Closure on Conservative Beliefs and Racism: Differential Mediation by Authoritarian Submission and Authoritarian Dominance,” Personality and Social Psychology Bulettin, Vol. 30, No. 7, pp. 824-837.

Vermeir, Iris (2003) “The influence of Need for Closure on consumer behaviour,” Dissertation, open source, http://www.fetew.ugent.be.

Vermeir, Iris and Geuens, Maggie (2004) “Need for Closure and leisure of youngsters,” in press, Ghent University, Faculty of Economics and Applied Economics, Department of Marketing, Hoveniersberg 24, 9000 Gent, Belgium.

Webster, Donna, M., and Kruglanski, Arie, W. (1994) “Individual differences in need for cognitive closure,” Journal of Personality and Social Psychology, Vol. 67, No. 6, pp. 1049-1062.

Page 465: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 460

PENGUKURAN KONSTRUK KUALITAS LABA DAN ISU PENGUKURAN FAIR VALUE DALAM AKUNTANSI

MARGANI PINASTI∗

MEINARNI ASNAWI∗∗

ABSTRAK

Pengukuran variabel kualitas laba dalam riset-riset empiris sangat beragam. Makalah ini berusaha memaparkan berbagai proksi pengukur kualitas laba yang digunakan dalam riset-riset empiris, menyusun suatu kategorisasi atas ukuran-ukuran kualitas laba, dan menelaah bagaimana riset-riset empiris mensiasati adanya beragam ukuran kualitas laba. Makalah ini tidak dimaksudkan untuk bersifat exhaustive dalam memaparkan beragam proksi pengukur kualitas laba. Berdasarkan penalaran yang mendasari tiap-tiap proksi ukuran kualitas laba, dapat disusun suatu kategorisasi atas beragam ukuran kualitas laba.

Telaah terhadap artikel-artikel empiris tentang kualitas laba yang dipublikasikan sepanjang tahun 2005 sampai dengan 2008 menunjukkan bahwa dalam menghadapi adanya berbagai proksi ukuran kualitas laba, beberapa riset empiris memilih salah satu ukuran yang relevan dengan pertanyaan risetnya. Beberapa riset empiris lainnya menggunakan beberapa ukuran kualitas laba sekaligus dalam riset mereka, dan menganalisis berbagai ukuran kualitas laba tersebut secara terpisah. Analisis secara terpisah untuk tiap-tiap ukuran kualitas laba sampai sejauh ini merupakan solusi yang diambil dalam riset-riset empiris ketika menghadapi adanya berbagai proksi ukuran kualitas laba.

Selain masalah pengukuran kualitas laba, makalah ini juga memaparkan isu pengukuran fair value dalam akuntansi, dan mengkaitkannya dengan pendekatan pengukuran yang diadopsi profesi penilai properti.

Kata kunci: kualitas laba, pengukuran multidimensi, fair value

∗ Universitas Jenderal Soedirman ∗∗ Universitas Cendrawasih

Page 466: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 461

1. PENDAHULUAN

Kualitas laba merupakan karakteristik penting dari pelaporan keuangan (Francis et al., 2006). Berbagai pihak berkepentingan dengan kualitas laba, di antaranya adalah investor untuk kepentingan keputusan investasinya, pengguna laporan keuangan untuk kepentingan contracting, dan bahkan badan penyusun standar akuntansi juga memandang kualitas laba sebagai indikator tidak langsung atas kualitas standar pelaporan keuangan (Penman, 2003; Schipper & Vincent, 2003). Hal inilah yang menyebabkan banyaknya riset empiris yang melibatkan kualitas laba sebagai salah satu variabel penelitiannya. Kami menemukan tidak kurang dari 65 artikel dalam database EBSCO yang dipublikasikan sepanjang tahun 2005 hingga 2008, memasukkan variabel kualitas laba dalam tulisannya. Fenomena ini menunjukkan penting dan menariknya konsep kualitas laba.

Namun demikian, pengukuran variabel kualitas laba dalam riset-riset empiris sangat beragam. Francis et al. (2006) menyebut kualitas laba sebagai suatu konsep yang multi-dimensional. Beragamnya metoda pengukuran kualitas laba memotivasi penulisan makalah ini. Berdasarkan telaah atas berbagai literatur dan riset-riset empiris yang mengukur kualitas laba, makalah ini berusaha memaparkan berbagai konstruk dan metoda pengukuran kualitas laba, serta bagaimana solusi atas banyaknya ukuran kualitas laba tersebut. Makalah ini tidak dimaksudkan untuk bersifat exhaustive dalam memaparkan beragam proksi pengukur kualitas laba. Adanya beragam metoda pengukuran kualitas laba menjadi kesulitan tersendiri bagi para peneliti yang hendak memasukkan kualitas laba dalam variabel penelitiannya. Makalah ini juga memaparkan bagaimana penelitian-penelitian terdahulu mengatasi kesulitan pengukuran kualitas laba ini.

Selain masalah pengukuran kualitas laba, makalah ini juga akan membahas isu pengukuran fair value dalam akuntansi. Salah satu hal yang mendorong pentingnya isu fair value adalah terbitnya SFAC (Statement of Financial Accounting Concepts) No.7 tentang Using Cash Flow Information and Present Value in Accounting Measurements. Diterbitkannya SFAC No.7 ini oleh FASB pada tahun 2000 menunjukkan belum selesainya isu pengukuran dalam akuntansi. Hal lain yang juga mendorong perlunya pembahasan tentang pengukuran fair value dalam akuntansi adalah semakin berkembangnya profesi

Page 467: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 462

penilai properti yang mendasarkan penilaiannya pada beragam pendekatan selain historical cost. Oleh karena salah satu bagian dalam akuntansi adalah proses pengukuran (transaksi ekonomik), maka berkembangnya pendekatan pengukuran berbasis fair value ini perlu mendapat perhatian.

2. KONSTRUK KUALITAS LABA

Terdapat berbagai definisi atas konstruk kualitas laba yang dinyatakan dalam berbagai literatur akuntansi. Beberapa di antaranya dirangkum dalam tabel 1. Tabel 1. Berbagai Definisi Kualitas Laba

Penulis Definisi Kualitas Laba

Bricker et al. (1995) dalam Duncan (2002)

”reported earnings could be described as having the highest quality when they most accurately reflect underlying events and conditions.”

Hodge (2003) ”the extent to which net income reported on the income statement differs from true earnings.”

Schipper & Vincent (2003)

”the extent to which reported earnings faithfully represent Hicksian income ... the change in net economic assets other than from transactions with owners.”

Bellovary et al. (2005)

“the ability of reported earnings to reflect the company’s true earnings, as well as the usefulness of reported earnings to predict future earnings.”

Francis et al. (2006) ‘we consider earnings to be of high quality if they are precise with respect to an underlying construct that pertains to capital market decisions.”

Page 468: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 463

3. PENGUKURAN KUALITAS LABA

Riset-riset empiris tentang kualitas laba menggunakan beragam metoda pengukuran kualitas laba. Beberapa literatur mengembangkan metoda pengukuran kualitas laba yang digunakan dalam riset-riset empiris tersebut. 1. Kualitas akrual (accrual quality)

Kualitas akrual merupakan suatu ukuran kualitas laba yang dikembangkan oleh Dechow & Dichev (2002). Ukuran kualitas akrual ini didasari pandangan bahwa laba yang lebih mendekati arus kas merupakan laba yang lebih baik kualitasnya. Ukuran kualitas akrual diestimasi dari model yang dikembangkan Dechow & Dichev (2002) sebagai berikut:

tjtj

tjj

tj

tjj

tj

tjjj

tj

tj

AssetsCFO

AssetsCFO

AssetsCFO

AssetsTCA

,,

1,3

,

,2

,

1,10

,

, νϕϕϕϕ ++++= +− (1)

TCAj,t = total current accrual perusahaan j pada tahun t; TCAj,t = ΔCAj,t - ΔCLj,t - ΔCashj,t + ΔSTDEBTj,t Assetsj,t = total aktiva rata-rata perusahaan j untuk perioda tahun t dan t-1; CFOj,t = arus kas dari aktivitas operasional perusahaan j pada tahun t, yang

dihitung dari pengurangan laba bersih sebelum pos luar biasa dengan akrual total (TA). TAj,t = ΔCAj,t - ΔCLj,t - ΔCashj,t + ΔSTDEBTj,t – DEPNj,t.

ΔCAj,t = perubahan aktiva lancar perusahaan j antara tahun t-1 dan t; ΔCLj,t = perubahan kewajiban lancar perusahaan j antara tahun t-1

dan t; ΔCashj,t = perubahan kas perusahaan j antara tahun t-1 dan t; ΔSTDEBTj,t = perubahan kewajiban jangka panjang segera jatuh

tempo perusahaan j antara tahun t-1 dan t; DEPNj,t = biaya depresiasi dan amortisasi perusahaan j pada tahun t.

Untuk memperoleh ukuran kualitas akrual time-series, spesifik perusahaan, persamaan (1) diestimasi untuk beberapa perioda waktu, dan residual tj ,ν̂ spesifik perusahaan-tahun yang dihasilkan tiap-tiap estimasi

merupakan ukuran kualitas akrual spesifik perusahaan-tahun. Untuk memperoleh ukuran kualitas akrual cross-sectional, spesifik perusahaan, persamaan (1) diestimasi setiap tahun pada level industri, dan residual tj ,ν̂spesifik perusahaan-tahun yang dihasilkan tiap-tiap estimasi merupakan

Page 469: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 464

ukuran kualitas akrual spesifik perusahaan-tahun. Ukuran kualitas akrual spesifik perusahaan diperoleh dari deviasi standar residual-residual estimasian untuk perusahaan j = σ( tj ,ν̂ ).

Semakin kecil deviasi standar residual-residual estimasian untuk perusahaan j, σ( tj ,ν̂ ), menunjukkan semakin baik kualitas akrual, karena

semakin besar presisi pemetaan akrual saat ini terhadap arus kas saat ini, arus kas perioda sebelumnya, dan arus kas perioda setelahnya.

Francis et al. (2006) menyatakan bahwa salah satu kelemahan ukuran kualitas akrual ini adalah bahwa ukuran kualitas akrual (Dechow & Dichev, 2002) hanya memfokuskan pada salah satu bagian dari akrual total, yaitu pada current accrual, dan tidak mencakup non-current accrual. Namun demikian, Ecker et al. (2005) dalam Francis et al. (2006) menunjukkan bahwa ukuran current accrual dapat menjadi proksi yang layak untuk kualitas akrual total.

Banyak artikel yang menggunakan ukuran kualitas akrual ini untuk mengukur kualitas laba, antara lain Chen et al. (2008), Al-Attar et al. (2008), Francis et al. (2008), Lui et al. (2007), Kerstein et al. (2007), Francis et al. (2007), Chen et al. (2007), Machuga & Teitel (2007), Aboody et al. (2005), Francis et al. (2004).

2. Akrual abnormal (abnormal accruals)

Akrual abnormal merupakan suatu ukuran kualitas laba yang didasari pandangan bahwa akrual yang tidak dijelaskan dengan baik oleh fundamental-fundamental akuntansi (yaitu aktiva tetap dan pendapatan) merupakan ukuran terbalik (inverse measure) dari kualitas laba. Ukuran akrual abnormal ini pada umumnya diestimasi dengan menggunakan berbagai versi pendekatan Jones (1991) sebagai berikut:

tjtj

tj

tj

tj

tjtj

tj

AssetPPE

Assetv

AssetAssetTA

,1,

,3

1,

,2

1,1

1,

, Re1 εκκκ ++Δ

+=−−−−

TAj,t = total accrual perusahaan j pada tahun t; ΔRevj,t = perubahan pendapatan perusahaan j antara tahun t-1 dan t; PPEj,t = aktiva tetap (plant, property, equipment) perusahaan j pada

tahun t; Assetsj,t-1 = total aktiva perusahaan j pada tahun t-1.

Page 470: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 465

Estimasi parameter yang dihasilkan dari persamaan (2) digunakan untuk mengestimasi akrual normal (NA) spesifik perusahaan:

1,

,3

1,

,,2

1,1, ˆ

)Re(ˆ1ˆ

−−−

+Δ−Δ

+=tj

tj

tj

tjtj

tjtj Asset

PPEAsset

ARvAsset

NA κκκ

ΔARj,t = perubahan piutang usaha perusahaan j antara tahun t-1 dan t. Akrual abnormal (AA) pada tahun t dihitung sebagai berikut:

tjtj

tjtj NA

AssetTA

AA ,1,

,, −=

Ukuran kualitas laba diperoleh dari nilai absolut akrual abnormal (|AAj,t||). Akrual abnormal pada umumnya dipandang sebagai suatu ukuran yang menangkap diskresi manajemen atau keputusan manajemen atas pelaporan keuangan. Riset-riset empiris yang menggunakan ukuran akrual abnormal ini untuk mengukur kualitas laba lebih memfokuskan pada nilai absolut dari akrual abnormal, karena pertanyaan riset berkaitan dengan kualitas laba pada umumnya tidak berkenaan dengan arah (tanda) diskresi manajemen.

Sebagai proksi kualitas laba berbasis akrual, semakin besar nilai absolut dari akrual abnormal (|AAj,t||) semakin buruk kualitas akrual atau kualitas laba.

Francis et al. (2006) dan Schipper & Vincent (2003) membahas kelemahan akrual abnormal sebagai pengukur kualitas laba. Akrual abnormal dimaksudkan untuk merefleksikan pengaruh discretionary manajemen terhadap kualitas laba, dan bukan pengaruh faktor-faktor fundamental perusahaan (misalnya pendapatan, aktiva tetap, dan tipe bisnis). Ketepatan akrual abnormal sangat tergantung pada kelengkapan faktor-faktor fundamental yang digunakan untuk menentukan akrual normal. Francis et al. (2006) menunjukkan bahwa akrual abnormal yang diestimasi berdasarkan pendekatan Jones, tetap mengandung sejumlah akrual normal (yang dipengaruhi faktor-faktor fundamental perusahaan). Dengan kata lain, akrual abnormal tidak benar-benar ’bersih’ dari akrual normal. Oleh karena itu, Francis et al. (2006) menilai bahwa tidak tepat untuk menyatakan ukuran akrual abnormal hanya menangkap perilaku akrual diskresioner. Nilai absolut dari akrual abnormal (|AAj,t||) sebaiknya

Page 471: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 466

dipandang sebagai ukuran kualitas akrual total yang berbeda dari ukuran kualitas akrual Dechow & Dichev (2002).

Banyak penelitian empiris yang mengadopsi model Jones (1991) dan berbagai perluasannya untuk mengestimasi akrual abnormal sebagai pengukur kualitas laba. Beberapa artikel diantaranya adalah Platikanova (2008), Francis et al. (2008), Francis & Wang (2008), Jaffar et al. (2007), Kwon et al. (2007), Larcker et al. (2007), Blouin et al. (2007), Lee et al. (2007), Crutchley et al. (2007), Wang (2006), Aboody et al. (2005), Ghosh et al. (2005).

3. Persistensi (persistence) Persistensi merupakan suatu ukuran kualitas laba yang didasari

pandangan bahwa laba yang lebih sustainable merupakan laba dengan kualitas yang lebih tinggi. Dalam bentuknya yang paling sederhana, persistensi laba diukur dari estimasi koefisien (slope coefficient estimate), φ1j, dari suatu model autoregresif order satu (AR1) untuk laba per saham tahunan (Xj,t yang diukur dari laba bersih sebelum pos luar biasa perusahaan j pada tahun t dibagi dengan rata-rata tertimbang jumlah lembar saham yang beredar sepanjang tahun t):

tjtjjjtj XX ,1,10, νφφ ++= − (3

Persamaan (3) pada umumnya diestimasi secara time-series untuk tiap-tiap perusahaan. Estimasi φ1j yang dihasilkan menunjukkan persistensi laba perusahaan j. Nilai φ1j yang mendekati satu menunjukkan persistensi laba yang tinggi (atau kualitas laba tinggi), sedangkan nilai φ1j yang mendekati nol menunjukkan tingginya laba transitori (atau kualitas laba rendah).

Beberapa artikel empiris yang menggunakan persistensi laba sebagai ukuran kualitas laba, antara lain Krishnan & Parsons (2008), Machuga & Teitel (2007), Wang (2006), Anctil & Chamberlain (2005), Ghosh et al. (2005).

4. Prediktabilitas (predictability)

Prediktabilitas didefinisikan sebagai kemampuan laba untuk memprediksi dirinya sendiri (Lipe, 1990). Pandangan yang mendasari digunakannya prediktabilitas sebagai ukuran kualitas laba adalah: angka laba yang cenderung mengulang dirinya sendiri merupakan angka laba

Page 472: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 467

berkualitas tinggi (Francis et al., 2006). Angka laba yang berkualitas tinggi bersifat representatif (atau merupakan prediktor yang baik) atas laba yang akan datang.

Salah satu pengukur prediktabilitas laba diturunkan dari model spesifik-perusahaan yang sama dengan model yang digunakan untuk mengestimasi persistensi laba (persamaan (3)). Ukuran prediktabilitas laba yang pada umumnya digunakan adalah akar dari variansi residual dari persamaan (3).

)ˆ(Pr 2jjtasediktabili νσ=

Semakin besar nilai Prediktabilitas, semakin rendah kualitas laba; sebaliknya semakin kecil nilai Prediktabilitas, semakin tinggi kualitas laba.

Beberapa artikel empiris yang menggunakan prediktabilitas laba sebagai ukuran kualitas laba, antara lain Machuga & Teitel (2007), Sen (2005), Cheng (2005). Terdapat beberapa artikel empiris yang mengukur prediktabilitas laba berdasarkan kemampuan laba perioda saat ini untuk memprediksi arus kas perioda mendatang, yaitu Linck et al. (2007), Khurana et al. (2006).

5. Kehalusan (smoothness)

Kehalusan (smoothness) laba pada umumnya diukur relatif terhadap ukuran arus kas. Pengukuran ini menggunakan arus kas sebagai konstruk referensi untuk laba yang tidak diratakan (unsmoothed earnings), dan mengasumsikan bahwa arus kas tidak dimanipulasi (unmanaged). Sebagai suatu indikator kualitas laba, kehalusan laba merefleksikan gagasan bahwa manajer menggunakan informasi privat mereka tentang laba yang akan datang untuk meratakan fluktuasi transitori dan memperoleh suatu angka laba yang lebih representatif (yaitu dinormalkan). Jika laba yang diratakan tersebut, yang lebih representatif menggambarkan laba yang akan datang, merupakan laba yang berkualitas tinggi; maka laba yang lebih smooth mengindikasikan laba berkualitas tinggi. Akan tetapi, tidak semua peneliti menerima premis bahwa manajer menggunakan informasi privat mereka tentang laba yang akan datang untuk memanipulasi akrual dengan tujuan untuk memperoleh angka laba yang lebih representatif. Pandangan alternatif atas perataan laba, sebagaimana yang dinyatakan oleh Leuz et al. (2003),

Page 473: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 468

adalah: perataan laba merefleksikan seberapa jauh standar akuntansi memungkinkan manajer untuk secara artifisial mengurangi variabilitas laba, dengan tujuan untuk memperoleh manfaat berkenaan dengan aliran laba yang smooth. Berdasarkan pandangan ini, laba yang diratakan mengindikasikan kualitas laba yang buruk.

Dalam riset-riset empiris tentang kualitas laba, kehalusan (smoothness) laba diukur dengan beberapa cara yang berbeda, di antaranya: (a). Rasio deviasi standar laba bersih sebelum pos luar biasa perusahaan j

dibagi dengan total aktiva awalnya, terhadap deviasi standar arus kas aktivitas operasional dibagi dengan total aktiva awal (Francis et al., 2004).

)(/)( ,, tjtjj CFONIBESmoothness σσ=

NIBEj,t = laba bersih sebelum pos luar biasa perusahaan j dibagi total aktiva awal perusahaan j pada tahun t.

CFOj,t = arus kas aktivitas operasional perusahaan j dibagi dengan total aktiva awal perusahaan j pada tahun t.

Deviasi standar dihitung untuk suatu kisaran waktu tertentu (Francis et al., 2006, mendasarkan penghitungan deviasi standar NIBE dan CFO berdasarkan data runtun waktu selama 10 tahun). Nilai Smoothness yang besar mengindikasikan kecilnya perataan laba, sebaliknya, nilai Smoothness yang kecil mengindikasikan besarnya perataan laba.

(b). Rasio deviasi standar laba operasional perusahaan j yang diskala oleh aktivanya, terhadap deviasi standar arus kas aktivitas operasional yang diskala dengan aktiva juga (Leuz et al., 2003).

)(/)( ,, tjtjj CFOOISmoothness σσ=

OIj,t = laba operasional perusahaan j dibagi total aktiva perusahaan j pada tahun t.

Nilai Smoothness yang besar mengindikasikan kecilnya perataan laba, sebaliknya, nilai Smoothness yang kecil mengindikasikan besarnya perataan laba.

(c). Variabilitas ΔNI/ΔCFO (Machuga & Teitel, 2007; Lang et al., 2003; Krishnan & Parsons, 2008).

Page 474: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 469

Ukuran smoothness laba didasarkan atas dua persamaan regresi sebagai berikut: |ΔNIj,t| = α0j + α1jlog(TAj,t) + α2jTLj,t/SEj,t + α3j%Δrevj,t

+ α4j%ΔTLj,t + α5jrevj,t/TAj,t + ε1j,t

|ΔCFOj,t| = α0j + α1jlog(TAj,t) + α2jTLj,t/SEj,t + α3j%Δrevj,t + α4j%ΔTLj,t + α5jrevj,t/TAj,t + ε2j,t

TA menunjukkan total aset, TL menunjukkan total kewajiban, SE menunjukkan total ekuitas, dan Δrev menunjukkan perubahan pendapatan tahunan. Variabel-variabel tersebut merupakan variabel kontrol. Smoothness laba diukur dengan: variansi ε1/ variansi ε2.

6. Variabilitas laba (Earnings variability) Pada umumnya, variabilitas laba diukur dengan deviasi standar dari

laba (terskala). Francis et al. (2006) menyatakan bahwa variabilitas laba berhubungan erat secara statistis dan konseptual dengan smoothness laba dan kualitas akrual. Perbedaan antara variabilitas laba dan smoothness laba terletak pada ada tidaknya standardisasi oleh variabilitas arus kas.

Ukuran variabilitas laba pada umumnya diestimasi berdasarkan data time-series spesifik-perusahaan dari laba terskala. Dechow & Dichev (2002) mengukur variabilitas laba dengan deviasi standar dari laba bersih sebelum pos luar biasa yang diskala dengan total aktiva awal tahun.

)( ,, tjtj NIBEEarnVar σ=

NIBEj,t menunjukkan laba bersih sebelum pos luar biasa perusahaan j yang diskala dengan total aktiva awal tahun t. Semakin besar nilai EarnVar mengindikasikan variabilitas laba yang tinggi; sebaliknya, semakin kecil nilai EarnVar mengindikasikan variabilitas laba yang rendah.

Beberapa artikel yang menggunakan variabilitas laba sebagai ukuran kualitas laba, antara lain Machuga & Teitel (2007) dan Ewert & Wagenhofer (2005).

Page 475: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 470

7. Relevansi-nilai (value relevance) Relevansi-nilai sebagai suatu ukuran kualitas laba didasarkan pada

penalaran bahwa angka akuntansi seharusnya mampu menjelaskan informasi yang tertangkap dalam return saham. Relevansi-nilai didefinisikan sebagai kemampuan satu atau lebih angka akuntansi untuk menjelaskan variasi dalam return saham. Laba dengan kemampuan menjelaskan (explanatory power) yang lebih besar dianggap lebih disukai investor; atau dengan kata lain, laba yang mampu menjelaskan variasi yang lebih besar dalam return adalah laba berkualitas tinggi.

Pada umumnya, relevansi-nilai dalam riset-riset akuntansi (misalnya Collins et al., 1997; Francis & Schipper, 1999) diukur dengan explanatory power (yaitu adjusted R2) dari persamaan regresi return terhadap laba dan perubahan laba, sebagai berikut:

tjtjjtjjjtj EARNEARNRET ,,,2,,1,0, ζδδδ +Δ++= (4

Dalam mengestimasi persamaan regresi sebagaimana persamaan (4), peneliti memilih suatu ukuran laba dan perioda estimasi. Sebagai contoh: RETj,t = return saham perusahaan j selama 15 bulan yang berakhir pada

3 bulan setelah akhir tahun fiskal t; EARNj,t = laba sebelum pos luar biasa perusahaan j pada tahun t, diskala

dengan nilai pasar pada akhir tahun t-1. ΔEARNj,t = perubahan laba sebelum pos luar biasa perusahaan j pada tahun

t, diskala dengan nilai pasar pada akhir tahun t-1. Persamaan (4) dapat diestimasi secara time-series, cross-section, atau dengan data pooled time-series cross-section. Untuk memperoleh estimasi relevansi-nilai spesifik perusahaan, sampel dibatasi pada perusahaan-perusahaan dengan data time-series yang mencukupi untuk mengestimasi persamaan (4) pada level perusahaan.

Semakin besar nilai adjusted R2 dari persamaan (4), semakin relevan-nilai angka laba.

Beberapa artikel yang menggunakan relevansi-nilai laba sebagai ukuran kualitas laba, antara lain Mcnamara & Whelan (2006) dan Ewert & Wagenhofer (2005).

Page 476: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 471

8. Keinformatifan laba (earnings informativeness) Keinformatifan laba pada umumnya diukur dengan koefisien respon

laba (earnings response coefficient - ERC), yaitu koefisien estimasian dari laba atau perubahan laba atau gabungan keduanya, yang diestimasi dari persamaan regresi yang menghubungkan return saham (atau return abnormal saham) dengan laba dan perubahan laba (sebagaimana persamaan (4)). Variabel dependen dari persamaan regresi ini dapat berupa suatu ukuran return jangka panjang (misalnya return tahunan) atau suatu indikator reaksi pasar jangka pendek terhadap suatu kejadian (event), misalnya return abnormal di sekitar tanggal pengumuman laba. Penggunaan koefisien respon laba sebagai ukuran kualitas laba didasarkan pada pandangan yang menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara respon harga saham terhadap laba dengan presisi (ketepatan) signal laba (Francis et al., 2006). Pandangan ini menyatakan adanya hubungan positif antara kredibilitas informasi akuntansi dengan koefisien regresi return terhadap laba.

Beberapa artikel empiris yang menggunakan koefisien respon laba (keinformatifan laba) sebagai ukuran kualitas laba, antara lain Kwon et al. (2007), Linck et al. (2007), Wang (2006), Higgs & Skantz (2006), Ghosh & Moon (2005),

9. Ketepatwaktuan (timeliness)

Serupa dengan relevansi-nilai, ukuran ketepatwaktuan (timeliness) laba didasarkan pada konstruk referensi (reference construct) return saham dan diukur berdasarkan kemampuan menjelaskan (explanatory power) dari laba. Ketepatwaktuan menunjukkan kemampuan laba untuk merefleksikan berita baik (good news) dan berita buruk (bad news) yang tertangkap dalam return saham. Ketepatwaktuan ini diukur dengan kemampuan menjelaskan (explanatory power) dari regresi laba terhadap return saham. Penggunaan ketepatwaktuan laba sebagai suatu ukuran kualitas laba didasari pandangan yang sama yang mendukung relevansi-nilai sebagai ukuran kualitas laba.

Berdasarkan Ball et al. (2000), Francis et al. (2004) mengukur ketepatwaktuan laba berdasarkan persamaan regresi berikut ini:

tjtjtjjtjjtjjjtj RETNEGRETNEGEARN ,,,,2,,1,,1,0, . ξββαα ++++=

NEGj,t bernilai 1 jika RETj,t < 0 dan bernilai 0 untuk kondisi sebaliknya; variabel EARNj,t dan RETj,t telah didefinisikan sebelumnya.

Page 477: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 472

Ukuran ketepatwaktuan adalah adjusted R2 dari persamaan (5). Semakin kecil nilai adjusted R2 mengindikasikan laba yang kurang tepat waktu, atau laba yang berkualitas rendah.

Selain kesembilan ukuran kualitas laba yang telah dipaparkan

sebelumnya, terdapat beberapa ukuran kualitas laba lainnya yang menggunakan metoda yang berbeda dengan kesembilan ukuran kualitas laba tersebut, di antaranya adalah: (a). Wawancara atau survei atas persepsi investor tentang kualitas laba.

Barker et al. (2008) menggunakan pendekatan induktif untuk mengukur kualitas laba dalam risetnya. Barker et al. (2008) menggabungkan data wawancara terhadap analis investasi dengan content analysis atas laporan analis investasi tersebut. Wawancara dilakukan untuk memperoleh kategorisasi awal berdasarkan persepsi analis atas kualitas laba, sedangkan content analysis dilakukan untuk menguji lebih lanjut kategorisasi tersebut.

(b). Rating kualitas laba dari perusahaan-perusahaan rating dan analis investasi. Haber & Braunstein (2008) menggunakan rating kualitas laba yang dihasilkan oleh perusahaan rating (3D Ratings) untuk mengukur kualitas laba dalam risetnya. Bellovary et al. (2005) mereview beberapa model yang dikembangkan oleh analis investasi, diantaranya Merrill Lynch, S&P Core Earnings, Raymond James & Associates, UBS. Model-model pengukur kualitas laba ini dikembangkan berdasarkan kriteria-kriteria tertentu.

Kedua pengukuran kualitas laba ini dibahas secara terpisah dari kesembilan ukuran kualitas laba sebelumnya, karena adanya perbedaan dalam metoda pengukurannya.

4. KATEGORISASI ATAS BERBAGAI JENIS UKURAN KUALITAS LABA

Schipper & Vincent (2003), dan Francis et al. (2004) berusaha mengkategorisasikan berbagai jenis ukuran kualitas laba. Francis et al. (2004) mengidentifikasi tujuh ukuran kualitas laba (yang mereka sebut ’atribut laba’) yang telah banyak digunakan dalam riset-riset akuntansi. Francis et al. (2004) mengkategorikan ketujuh atribut laba tersebut sebagai ’atribut laba berbasis akuntansi’ atau ’atribut laba berbasis pasar’ berdasarkan asumsi-asumsi

Page 478: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 473

mengenai fungsi pelaporan keuangan, dan mereka menyatakan bahwa asumsi-asumsi ini akan mempengaruhi cara atribut tersebut diukur. Atribut atau kualitas laba berbasis akuntansi meliputi: kualitas akrual, persistensi, prediktabilitas, dan smoothness. Atribut-atribut ini menggunakan aliran kas atau laba (atau ukuran lain yang dapat diturunkan dari kas atau laba, misalnya akrual) sebagai konstruk acuan, dan atribut-atribut ini diestimasi menggunakan data akuntansi (bukan data pasar). Atribut-atribut laba berbasis pasar meliputi: relevansi-nilai, ketepatwaktuan, dan konservatisma. Atribut-atribut ini menggunakan return atau harga sebagai konstruk acuan, dan mendasarkan pengukurannya/estimasinya pada data akuntansi dan data return. Francis et al. (2004) menyatakan bahwa perbedaan dalam konstruk acuan didasarkan pada asumsi implisit maupun eksplisit mengenai fungsi dari laba. Ukuran-ukuran kualitas laba berbasis akuntansi mengasumsikan bahwa fungsi dari laba adalah untuk mengalokasikan arus kas ke dalam perioda-perioda pelaporan melalui akrual; sedangkan ukuran-ukuran kualitas laba berbasis pasar mengasumsikan bahwa fungsi dari laba adalah merefleksikan laba ekonomik sebagaimana yang direpresentasikan oleh return saham.

Schipper & Vincent (2003) mengklasifikasikan berbagai konstruk kualitas laba ke dalam empat kelompok, yaitu: (1) konstruk kualitas laba yang diturunkan dari properti time-series laba; (2) konstruk kualitas laba yang diturunkan dari hubungan antara laba, akrual, dan kas; (3) konstruk kualitas laba yang diturunkan dari konsep kualitatif dalam rerangka konseptual FASB; dan (4) konstruk kualitas laba yang diturunkan dari keputusan-keputusan implementasi. 1. Konstruk kualitas laba yang diturunkan dari properti time-series laba.

Schipper & Vincent (2003) menjelaskan bahwa konstruk time-series yang berhubungan dengan kualitas laba meliputi: persistensi, daya prediksi (predictive ability), dan variabilitas laba.

Persistensi dipaparkan dalam konteks sustainability laba. Laba yang berkualitas tinggi adalah laba yang sustainable. Schipper & Vincent (2003) menyatakan bahwa persistensi menangkap seberapa luas inovasi periode sekarang menjadi suatu bagian permanen dari serial laba (serial random walk bersifat sangat persisten, sedangkan serial mean-reverting tidak persisten).

Page 479: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 474

Daya prediksi (predictive ability) adalah kapasitas seluruh paket pelaporan keuangan, termasuk komponen-komponen laba dan disagregasi lainnya dari angka laba, untuk meningkatkan kemampuan pemakai laporan keuangan dalam memprediksi item-item yang diperlukan (Schipper & Vincent, 2003). Dalam riset-riset empiris, daya prediksi laba seringkali dioperasionalisasikan sebagai kemampuan laba masa lampau untuk memprediksi laba yang akan datang.

Variabilitas laba dikaitkan dengan laba yang smooth. Schipper & Vincent (2003) menyatakan bahwa smoothness (variabilitas laba yang rendah) seringkali diasosiasikan dengan laba berkualitas tinggi. Akan tetapi, Schipper & Vincent (2003) juga memaparkan bahwa perataan laba oleh manajemen (perataan laba artifisial) justru akan mengganggu daya informasi laba.

Permasalahan utama dari kelompok konstruk ini, menurut Schipper & Vincent (2003) adalah ketidaksesuaian dengan laba Hicksian (representational faithfulness), karena dipengaruhi oleh kondisi ekonomik bisnis riil perusahaan.

2. Konstruk kualitas laba yang diturunkan dari hubungan antara laba, akrual, dan kas. Pandangan yang mendasari konstruk pada kelompok ini adalah bahwa akrual, atau bagian dari akrual, cenderung mengurangi kualitas laba. Berbagai pengukuran dalam kelompok konstruk ini adalah:

Rasio arus kas operasi dengan laba. Ukuran ini didasari gagasan bahwa kedekatan dengan kas (closeness-to-cash) menunjukkan kualitas laba yang lebih tinggi. Menurut Schipper & Vincent (2003), ukuran ini mempunyai kelemahan, yaitu sensitif terhadap kemungkinan manipulasi arus kas operasi. Berbeda dengan ketiga ukuran lainnya dalam kelompok ini, ukuran rasio arus kas operasi dengan laba menggunakan total akrual sebagai pengukur kualitas laba. Ketiga ukuran lainnya (yang dibahas berikutnya) membedakan komponen akrual yang berkaitan dengan kualitas laba dan komponen akrual yang tidak berkaitan dengan kualitas laba (yaitu karena karakteristik bisnis perusahaan).

Perubahan total akrual

Page 480: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 475

Perubahan total akrual menunjukkan manipulasi manajerial, sepanjang suatu bagian tertentu dari akrual bersifat non-manipulasian dan cenderung konstan dari waktu ke waktu. Semakin besar perubahan total akrual, semakin rendah kualitas laba. Kelemahan dari ukuran ini, menurut Schipper & Vincent (2003) adalah adanya asumsi bahwa bagian akrual yang tidak dimanipulasi bersifat konstan dari waktu ke waktu.

Estimasi langsung atas akrual diskresioner (discretionary accruals) dengan menggunakan variabel-variabel fundamental akuntansi. Contoh pengukuran ini adalah model Jones (1991) yang menyatakan bahwa variabel-variabel fundamental akuntansi (yaitu pendapatan yang disesuaikan dengan piutang, aktiva-aktiva tetap – plant, property,and equipment) menentukan akrual normal/non-diskresioner (yaitu akrual yang tidak dimanipulasi). Nilai residual dari regresi total akrual terhadap variabel-variabel fundamental akuntansi tersebut menangkap komponen manajemen laba. Semakin besar nilai residual ini (akrual diskresioner), semakin rendah kualitas laba. Ukuran ini mengatasi asumsi konstan dari akrual non-diskresioner. Kelemahan dari ukuran ini, menurut Schipper & Vincent (2003) adalah identifikasi variabel-variabel fundamental akuntansi sebagai proksi akrual non-diskresioner, dan asumsi bahwa variabel-variabel fundamental tersebut tidak dimanipulasi.

Estimasi langsung atas hubungan akrual-kas. Ukuran ini dikembangkan oleh Dechow & Dichev (2002) berdasarkan hubungan antara akrual dengan realisasi arus kas. Dalam pendekatan Dechow & Dichev (2002), residual estimasian dari regresi (spesifik-perusahaan) perubahan modal kerja terhadap arus kas periode sekarang, periode yang lalu, dan periode yang akan datang, menunjukkan kesalahan estimasi akrual total (baik yang unintentional maupun yang bersifat manipulatif). Kesalahan estimasi akrual total ini mengukur kualitas akrual dan kualitas laba; semakin besar kesalahan estimasi akrual, semakin rendah kualitas laba. Dechow & Dichev (2002) menyatakan bahwa keunggulan ukuran yang dikembangkannya adalah tidak diperlukannya asumsi tentang variabel-variabel fundamental akuntansi yang bebas manipulasi (akrual non-diskresional). Kesalahan

Page 481: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 476

estimasi akrual mencakup kesalahan yang unintentional maupun yang intentional. Namun demikian, ukuran kesalahan estimasi akrual ini tidak ditujukan untuk membedakan kesalahan estimasi intentional dari kesalahan estimasi unintentional. Dechow & Dichev (2002) berpendapat bahwa kedua jenis kesalahan estimasi tersebut (intentional dan unintentional) mengimplikasikan kualitas akrual dan kualitas laba yang rendah.

3. Konstruk kualitas laba yang diturunkan dari konsep kualitatif dalam rerangka konseptual FASB. Rerangka konseptual FASB memfokuskan pada perspektif kegunaan-keputusan (decision-usefulness). SFAC No.2 menyatakan kriteria relevansi, reliabilitas, dan komparabilitas/konsistensi, sebagai kriteria-kriteria untuk menilai kualitas informasi akuntansi, termasuk laba. Operasionalisasi kriteria-kriteria ini dalam riset seringkali dihubungkan dengan variabel-variabel pasar saham. Cornell & Landsman (2003) menyebutkan dua metoda untuk mengukur kualitas laba dalam kategori ini, yaitu metoda pengujian relevansi-nilai dan metoda pengujian kandungan informasi.

4. Konstruk kualitas laba yang diturunkan dari keputusan-keputusan implementasi. Schipper & Vincent (2003) menyatakan bahwa konstruk kualitas laba yang diturunkan dari keputusan-keputusan implementasi memfokuskan pada insentif dan keahlian dari penyaji laporan keuangan (manajemen) dan auditor. Terdapat dua pendekatan dalam perspektif ini, yaitu:

Kualitas laba berhubungan terbalik dengan jumlah judgment, estimasi, dan peramalan yang diperlukan oleh penyaji laporan keuangan. Kualitas laba akan menurun dengan meningkatnya angka-angka laporan yang harus diestimasi oleh manajemen sebagai bagian dari implementasi standar pelaporan.

Kualitas laba berhubungan terbalik dengan tingkat oportunisme (preparers take advantage)- penyaji mengambil keuntungan dari pembuatan judgment, peramalan, dan estimasi yang diperlukan, sehingga bertentangan dengan tujuan standar pelaporan. Ukuran kualitas laba ini berhubungan dengan pengukuran manajemen laba.

Page 482: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 477

Schipper & Vincent (2003) menyatakan bahwa keempat kategori konstruk pengukur kualitas laba ini tidak mutually exclusive dan seringkali bersifat overlapping.

Berdasarkan kategorisasi ukuran kualitas laba yang dipaparkan oleh Francis et al. (2004) dan Schipper & Vincent (2003), dan berdasarkan pemahaman atas berbagai ukuran kualitas laba, kami menyusun kategorisasi berjenjang sebagai berikut: 1. Ukuran kualitas laba berbasis akuntansi:

1.1. Ukuran kualitas laba berdasarkan properti time-series laba: 1.1.1. Persistensi laba 1.1.2. Daya prediksi (prediktabilitas) laba 1.1.3. Variabilitas laba 1.1.4. Smoothness

1.2. Ukuran kualitas laba berdasarkan hubungan antara laba, akrual, dan kas:

1.2.1. Rasio arus kas operasi dengan laba 1.2.2. Perubahan total akrual 1.2.3. Akrual abnormal (model Jones dan modifikasiannya) 1.2.4. Kualitas akrual (model Dechow & Dichev)

2. Ukuran kualitas laba berbasis pasar 2.1. Relevansi-nilai laba 2.2. Keinformatifan laba (koefisien respon laba) 2.3. Ketepatwaktuan.

Ukuran kualitas laba berdasarkan rating dari perusahaan-perusahaan rating dan analis investasi, tidak dimasukkan dalam kategorisasi di atas, karena rating kualitas laba tersebut dibentuk dari perpaduan berbagai ukuran kualitas laba berbasis akuntansi maupun ukuran kualitas laba berbasis pasar. Pengukuran kualitas laba berdasarkan wawancara dengan investor dapat dikategorisasikan sebagai ukuran kualitas laba berbasis pasar.

5. PENGUKURAN KUALITAS LABA DALAM RISET-RISET EMPIRIS TERKINI

Kami melakukan telaah sederhana terhadap artikel-artikel tentang kualitas laba untuk memperoleh gambaran tentang pengukuran kualitas laba

Page 483: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 478

dalam riset-riset empiris terkini. Telaah tersebut didasarkan pada artikel-artikel terpublikasi dalam database EBSCO antara tahun 2005 sampai dengan 2008. Penyaringan artikel-artikel ini didasarkan pada kata kunci ’earnings quality’. Jumlah artikel empiris yang kami telaah adalah sebagai berikut:

Artikel-artikel terpublikasi antara tahun 2005 sampai dengan 2008, dengan kata kunci ’earnings quality’: 65 artikel

Artikel-artikel non-empiris (misalnya pengembangan model): 21 artikel

Artikel-artikel empiris: 44 artikel

Berdasarkan telaah terhadap 44 artikel empiris tersebut mengenai ukuran kualitas laba yang digunakan, diperoleh distribusi penggunaan berbagai jenis ukuran kualitas laba sebagaimana ditunjukkan dalam tabel 2 berikut ini. Tabel 2. Frekuensi Penggunaan Ukuran Kualitas Laba dalam Riset-Riset

Empiris Tahun 2005 sampai dengan 2008

Ukuran Kualitas Laba Jumlah Riset Empiris yang Menggunakan

Persentase Riset Empiris yang Menggunakan

Kualitas akrual 10 17% Akrual abnormal 14 24% Akrual 5 9% Persistensi 5 9% Prediktabilitas 5 9% Smoothness 2 3% Variabilitas laba 2 3% Relevansi-nilai 2 3% Keinformatifan laba 5 9% Ketepatwaktuan 0 0% Lain-lain 9 14% Total 59* 100% * jumlah total tidak sama dengan jumlah artikel yang ditelaah (yaitu 44 artikel),

karena terdapat artikel-artikel yang menggunakan beberapa (lebih dari satu) ukuran kualitas laba sekaligus.

Page 484: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 479

Tabel 2 menunjukkan bahwa riset-riset empiris menggunakan beragam ukuran kualitas laba. Dari ke-44 artikel empiris yang kami telaah, ukuran kualitas laba yang paling banyak digunakan dalam riset adalah akrual abnormal.

Kualitas laba merupakan suatu konsep multi-dimensional. Oleh karena itu, menurut Francis et al.(2006), pilihan atas ukuran kualitas laba tergantung pada pertanyaan riset yang diajukan (dimensi manakah dari kualitas laba yang relevan dengan pertanyaan riset), dan ketersediaan data. Beberapa pertanyaan riset relevan dengan ukuran kualitas laba yang berhubungan dengan persepsi investor atas laba. Misalnya, riset yang menguji relevansi-nilai laba memandang laba bermanfaat bagi sekelompok partisipan pasar (yaitu investor) yang pertimbangan dan keputusannya secara agregat teringkas dalam harga dan return saham. Sebaliknya, pertanyaan-pertanyaan riset yang lain memfokuskan pada pengukur langsung dari kualitas laba yang dibangun berdasarkan data akuntansi semata (tanpa mengacu ke harga atau return saham).

Bagaimana Riset-Riset Empiris Menghadapi Banyaknya Ukuran Kualitas Laba?

Beberapa riset menggunakan beberapa ukuran kualitas laba sekaligus dalam riset mereka untuk mengukur variabel kualitas laba. Dari 44 artikel empiris yang ditelaah, terdapat 8 artikel (18%) yang menggunakan beberapa proksi ukuran kualitas laba secara bersamaan untuk mengukur variabel kualitas laba dalam riset mereka (Francis et al., 2008; Francis & Wang, 2008; Krishnan & Parsons, 2008; Kwon et al., 2007; Linck et al., 2007; Machuga & Teitel, 2007; Wang, 2006; Aboody et al., 2005). Dalam kedelapan artikel tersebut, tiap-tiap ukuran kualitas laba dianalisis secara terpisah.

Penggunaan beberapa ukuran kualitas laba sekaligus dalam suatu riset dimaksudkan untuk memperoleh robustness atas hasil riset tersebut. Sampai sejauh ini, ketika dalam suatu riset empiris diadopsi beberapa ukuran kualitas laba, solusi yang diambil adalah analisis secara terpisah untuk tiap-tiap ukuran kualitas laba. Sepanjang pengetahuan kami, belum dijumpai suatu riset empiris yang mencoba mengintegrasikan berbagai proksi ukuran kualitas laba ini dalam suatu indeks tunggal.

Page 485: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 480

6. ISU PENGUKURAN FAIR VALUE

Penyajian informasi akuntansi dalam laporan keuangan tidak dapat dilepaskan dari masalah pengukuran item-item informasi akuntansi tersebut. Pengukuran informasi akuntansi diatur dalam rerangka konseptual akuntansi keuangan. Saat ini terdapat trend yang cukup jelas ke arah pengukuran akuntansi berbasis fair value. Hal ini terutama ditandai dengan terbitnya SFAC No.7 tentang penggunaan informasi arus kas dan nilai sekarang (present value) dalam pengukuran akuntansi.

Isu pengukuran fair value menjadi semakin penting sejak berkembangnya profesi penilai properti yang mendasarkan penilaiannya pada beragam pendekatan selain historical cost. Bagian berikutnya dari makalah ini berusaha memaparkan isu pengukuran fair value dalam akuntansi dan mendialogkannya dengan pendekatan pengukuran yang digunakan profesi penilai properti.

Fair Value: Definisi dan Estimasi

Financial Accounting Standard Board (FASB – Dewan standar akuntansi keuangan Amerika Serikat) mendefinisikan fair value sebagai berikut: “Fair value is the price that would be received to sell an asset or paid to transfer a liability in an orderly transaction between market participants at the measurement date.” International Accounting Standard Board (IASB – Dewan standar akuntansi internasional) mendefinisikan fair value sebagai berikut: “Fair value is the amount for which an asset could be exchange, or a liability settled, between knowledgeable, willing parties in an arm’s length transaction.” Kedua definisi dari FASB dan IASB ini secara mendasar ekuivalen.

Hitz (2007) menyatakan bahwa konsep fair value dari FASB dan IASB ini menyatakan suatu harga pasar hipotetik spesifik (specific hypothetical market price) dalam kondisi ideal. Lebih tepatnya, fair value merupakan harga pasar exit yang dihasilkan dari kondisi pasar yang mendekati ideal, dalam suatu transaksi antar pihak-pihak yang knowledgeable, independen, dan berhubungan secara ekonomik, yang berinteraksi berdasarkan set informasi identik atau informasi lengkap.

Estimasi fair value, menurut Hitz (2007), mengikuti suatu hirarki tiga tingkat, yaitu: (1) harga pasar (market prices); (2) harga pasar dari item yang sebanding (modified market prices of comparable items); dan (3) estimasi dan

Page 486: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 481

perhitungan internal. Prinsip utama atas estimasi fair value ini adalah keutamaan ukuran berbasis pasar (market-based measures), yang didasari pandangan bahwa harga pasar atau data pasar lebih informatif dan lebih dapat diandalkan dibanding estimasi internal. Jadi, harga pasar merepresentasikan estimasi terbaik atas fair value, jika kondisi pasar memenuhi definisi fair value. ‘Kualitas’ harga pasar yang relevan dinilai berdasarkan kriteria pasar aktif, yaitu bahwa perdagangan reguler atas item terkait pada suatu pasar yang cukup likuid disyaratkan agar harga pasar layak sebagai estimasi fair value. Jika harga pasar tidak menunjukkan kualitas yang cukup atau tidak tersedia, maka level kedua dari hirarki estimasi mensyaratkan untuk mempertimbangkan harga pasar (modifikasian) dari item-item sebanding, di mana komparabilitas secara natural merujuk kepada profil arus kas. Hanya jika kedua jenis harga pasar tersebut tidak dapat digunakan, maka marking-to-market gagal dan fair value harus diestimasi menggunakan estimasi dan perhitungan internal.

Fair Value sebagai Salah Satu Atribut Pengukuran dalam Akuntansi

SFAC No.5 tentang Recognition and Measurement in Financial Statements of Business Enterprises menyatakan lima atribut pengukuran aktiva (dan hutang) yang saat ini digunakan dalam praktik akuntansi, yaitu:

o Historical cost ⇒ aktiva dan hutang diakui sebesar jumlah kas, atau ekuivalennya yang dibayarkan untuk memperoleh aktiva. atau yang diterima saat terjadinya hutang, dan kemudian disesuaikan (setelah perolehan) untuk amortisasi atau alokasi lainnya.

o Current (replacement) cost ⇒ aktiva diakui sebesar jumlah kas, atau ekuivalennya, yang harus dibayar jika aktiva yang sama atau ekuivalen diperoleh sekarang.

o Current market value ⇒ aktiva diakui sebesar jumlah kas atau ekuivalennya yang akan diterima jika aktiva itu dijual.

o Net realizable (settlement) value ⇒ jumlah kas atau ekuivalennya yang tidak didiskonto di mana aktiva dan hutang diharapkan untuk dikonversi dengan jumlah tersebut di masa yang akan datang.

o Present (discounted) value of future cash flows ⇒ nilai arus kas masuk di masa datang yang didiskontokan yang akan digunakan sebagai dasar konversi aktiva dan hutang.

Page 487: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 482

Item-item yang dilaporkan dalam laporan keuangan diukur dengan atribut yang berbeda, tergantung sifat-sifat item, relevansi serta reliabilitas dari atribut yang diukur.

Pendekatan Pengukuran dalam Profesi Penilai Properti

Berdasarkan ‘Panduan Penerapan Penilaian Indonesia 5 (PPPI 5) – Penilaian Personal Properti’, dapat diidentifikasi beberapa pendekatan pengukuran dalam profesi penilai properti, sebagai berikut:

Pendekatan data pasar (sales comparison approach) Pendekatan data pasar merupakan suatu cara yang umum dilakukan untuk mengestimasi suatu indikasi nilai personal properti atau suatu kepemilikan atas personal properti dengan menggunakan satu metoda atau lebih yang membandingkan personal properti yang dinilai dengan properti yang sebanding atau kepemilikan atas properti yang sebanding. Pendekatan penilaian personal properti ini bergantung pada pengetahuan pasar penilai dan pengalaman seperti pengumpulan data pasar sebagai pembanding.

Pendekatan pendapatan (income capitalisation approach) Pendekatan pendapatan merupakan suatu pendekatan penilaian dengan mempertimbangkan pendapatan dan biaya yang berhubungan dengan properti yang dinilai dan mengestimasi nilai melalui proses kapitalisasi. Melalui pendekatan pendapatan, nilai properti ditentukan berdasarkan pada proses kapitalisasi dan diskonto terhadap proyeksi pendapatan dan pengeluaran pada masa mendatang dari properti yang dinilai.

Pendekatan biaya (cost approach) Pendekatan biaya merupakan suatu pendekatan penilaian properti atau aset lainnya dengan mempertimbangkan kemungkinan bahwa, sebagai substitusi dari pembelian suatu properti, seseorang dapat membuat properti yang lain baik berupa replika dari properti asli atau substitusinya yang memberikan kegunaan yang sebanding, tanpa ada biaya tambahan karena penundaan waktu. Estimasi penilai berdasarkan pada biaya reproduksi atau pengganti dari personal properti atau aset yang dinilai, dikurangi total depresiasi. Jadi, melalui pendekatan biaya, nilai properti dianggap merupakan pengganti atas biaya pembelian properti tersebut, kemungkinan pembuatan properti lain

Page 488: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 483

yang setara dengan aslinya atau sesuatu yang dapat memberikan kegunaan yang sebanding, tanpa ada biaya tambahan karena penundaan waktu.

Atribut Pengukuran Akuntansi dan Pendekatan Pengukuran Penilaian Properti: Suatu Dialog

Pendekatan-pendekatan pengukuran dalam profesi penilai properti dapat dihubungkan dengan atribut-atribut pengukuran akuntansi yang dinyatakan dalam SFAC No.5. Pendekatan data pasar bersesuaian dengan atribut current market value; pendekatan pendapatan bersesuaian dengan atribut present (discounted) value of future cash flows; dan pendekatan biaya bersesuaian dengan atribut current (replacement) cost. Jadi, atribut pengukuran akuntansi non-historical cost bersesuaian dengan pendekatan pengukuran penilaian properti.

Kesesuaian atribut pengukuran akuntansi non-historical cost dengan pendekatan pengukuran penilaian properti menunjukkan bahwa pendekatan-pendekatan pengukuran yang digunakan oleh profesi penilai properti sebenarnya telah ada dalam atribut pengukuran akuntansi. Pertanyaan yang menarik untuk dikaji adalah apakah perkembangan ke arah akuntansi fair value semakin mendekatkan pengukuran akuntansi (non-historical cost) dengan pengukuran penilai properti. Telaah mendalam diperlukan untuk dapat menjawab pertanyaan ini.

7. SIMPULAN

Kualitas laba merupakan suatu konsep multidimensional. Riset-riset empiris tentang kualitas laba mengadopsi beragam ukuran/proksi untuk mengukur kualitas laba, di antaranya: kualitas akrual, akrual abnormal, persistensi, prediktabilitas, smoothness, variabilitas laba, relevansi-nilai, keinformatifan laba, dan ketepatwaktuan. Berdasarkan penalaran yang mendasari tiap-tiap proksi ukuran kualitas laba, beragam ukuran kualitas laba tersebut dapat dikategorisasikan ke dalam dua kelompok besar, yaitu ukuran kualitas laba berbasis akuntansi dan ukuran kualitas laba berbasis pasar. Ukuran kualitas laba berbasis akuntansi dapat dibagi lagi ke dalam dua kelompok, yaitu ukuran kualitas laba berdasarkan properti time-series laba, dan ukuran kualitas

Page 489: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 484

laba berdasarkan hubungan laba, akrual, dan kas. Ukuran kualitas laba berdasarkan properti time-series laba meliputi: persistensi, prediktabilitas, smoothness, dan variabilitas laba. Ukuran kualitas laba berdasarkan hubungan laba, akrual, dan kas meliputi: rasio arus kas operasi dengan laba, perubahan total akrual, akrual abnormal (model Jones dan modifikasiannya), dan kualitas akrual (model Dechow & Dichev). Sedangkan ukuran kualitas laba berbasis pasar, meliputi: relevansi-nilai laba, keinformatifan laba, dan ketepatwaktuan.

Menghadapi adanya berbagai proksi ukuran kualitas laba, beberapa riset empiris (antara tahun 2005-2008) memilih salah satu ukuran yang relevan dengan pertanyaan risetnya. Beberapa riset empiris lainnya menggunakan beberapa ukuran kualitas laba sekaligus dalam riset mereka untuk mengukur variabel kualitas laba, dan menganalisis berbagai ukuran kualitas laba tersebut secara terpisah. Penggunaan beberapa ukuran kualitas laba sekaligus dalam suatu riset dimaksudkan untuk memperoleh robustness atas hasil riset tersebut. Analisis secara terpisah untuk tiap-tiap ukuran kualitas laba sampai sejauh ini merupakan solusi yang diambil dalam riset-riset empiris ketika menghadapi adanya berbagai proksi ukuran kualitas laba.

Isu pengukuran fair value dalam akuntansi semakin berkembang pada saat ini, terutama setelah diterbitkannya SFAC No.7 tentang penggunaan informasi arus kas dan nilai sekarang (present value) dalam pengukuran akuntansi. Berkembangnya profesi penilai properti yang mendasarkan penilaiannya pada beragam pendekatan selain historical cost, mendorong arti pentingnya pengukuran fair value. Atribut pengukuran akuntansi non-historical cost bersesuaian dengan pendekatan pengukuran penilaian properti. Pendekatan data pasar bersesuaian dengan atribut current market value; pendekatan pendapatan bersesuaian dengan atribut present (discounted) value of future cash flows; dan pendekatan biaya bersesuaian dengan atribut current (replacement) cost.

Page 490: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 485

REFERENSI

Aboody, D.; Hughes, J.; Liu, J. 2005. “Earnings Quality, Insider Trading, and Cost of Capital.” Journal of Accounting Research, Dec 2005, Vol. 43 Issue 5, p651-673.

Al-Attar, A.; Hussain, S.; Zuo, L.Y. 2008. ”Earnings Quality, Bankruptcy Risk and Future Cash Flows.” Accounting & Business Research, Vol. 38 Issue 1, p5-20

Anctil, R.M.; Chamberlain, S. 2005. “Determinants of the Time Series of Earnings and Implications for Earnings Quality.” Contemporary Accounting Research, Fall 2005, Vol. 22 Issue 3, p483-517.

Ball, R., S. P. Kothari, and A. Robin. 2000. “The effect of international institutional factors on properties of accounting earnings”. Journal of Accounting and Economics 29: 1–51.

Ball, R.; Shivakumar, L. 2006. “The Role of Accruals in Asymmetrically Timely Gain and Loss Recognition.” Journal of Accounting Research, May 2006, Vol. 44 Issue 2, p207-242.

Barker, R.; Imam, S. 2008. “Analysts' perceptions of 'earnings quality'.” Accounting & Business Research, Vol. 38 Issue 4, p313-329.

Bellovary, J.L.; Giacomino, D.E.; Akers, M.D. 2005. “Earnings Quality: It's Time to Measure and Report.” CPA Journal, Nov 2005, Vol. 75 Issue 11, p32-37.

Bennett, B.; Bradbury, M.E. 2007. ”Earnings Thresholds Related to Dividend Cover.” Journal of International Accounting Research, Vol. 6 Issue 1, p1-17.

Blouin, J.; Grein, B.M.; Rountree, B.R. 2007. “An Analysis of Forced Auditor Change: The Case of Former Arthur Andersen Clients.” Accounting Review, May 2007, Vol. 82 Issue 3, p621-650.

Chan, K.; Chan, L.K.C.; Jegadeesh, N.; Lakonishok, J. 2006. “Earnings Quality and Stock Returns.” Journal of Business, May 2006, Vol. 79 Issue 3, p1041-1082.

Chen, L.H.; Dhaliwal, D.S.; Trombley, M.A. 2008. “The Effect of Fundamental Risk on the Market Pricing of Accruals Quality.” Journal of Accounting, Auditing & Finance, Fall 2008, Vol. 23 Issue 4, p471-492.

Chen, S.; Shevlin, T.; Tong, Y.H. 2007. “Does the Pricing of Financial Reporting Quality Change Around Dividend Changes?” Journal of Accounting Research, Mar 2007, Vol. 45 Issue 1, p1-40.

Cheng, Q. 2005. “The Role of Analysts’ Forecasts in Accounting-Based Valuation: A Critical Evaluation.” Review of Accounting Studies, Mar 2005, Vol. 10 Issue 1, p5-31.

Collins, D., E. Maydew & I. Weiss. 1997. “Changes in the Value-relevance of Earnings and Book Values over the Past Forty Years”. Journal of Accounting and Economics 24, pp. 39-67.

Cornell, B., & Landsman, W.R. 2003. “Accounting Valuation: Is Earnings Quality an Issue?” AIMR, November/December, pp. 20-28.

Crutchley, C.E.; Jensen, M.R.H.; Marshall, B.B. 2007. “Climate for Scandal: Corporate Environments that Contribute to Accounting Fraud.” Financial Review, Feb 2007, Vol. 42 Issue 1, p53-73.

Page 491: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 486

Dechow, P.M., & Dichev, I.D. 2002. “The Quality of Accruals and Earnings: The Role of Accrual Estimation Errors.” The Accounting Review, Vol. 77, Supplement, pp. 35-59.

Desai, H.; Krishnamurthy, S.; Venkataraman, K. 2006. ”Do Short Sellers Target Firms with Poor Earnings Quality? Evidence from Earnings Restatements.” Review of Accounting Studies, Mar 2006, Vol. 11 Issue 1, p71-90.

Duncan, J.R. 2002. “Quality of Earnings and Accounting Estimates: A Case of Decision.” Issues in Accounting Education, Vol. 17, No. 4, pp. 401-409.

Ecker, F.; Francis, J.; Kim, I.; Olsson, P.M.; Schipper, K. 2006. “A Returns-Based Representation of Earnings Quality.” Accounting Review, Jul 2006, Vol. 81 Issue 4, p749-780.

Ewert, R.; Wagenhofer, A. 2005. “Economic Effects of Tightening Accounting Standards to Restrict Earnings Management.” Accounting Review, Oct 2005, Vol. 80 Issue 4, p1101-1124.

Figelman, I. 2007. “Interaction of Stock Return Momentum with Earnings Measures.” Financial Analysts Journal, May/Jun 2007, Vol. 63 Issue 3, p71-78.

Financial Accounting Standards Board (FASB). 1980. Statement of Financial Accounting Concepts No.2, Qualitative Characteristics of Accounting Information. Stamford, CT: FASB.

Financial Accounting Standards Board (FASB). 1984. Statement of Financial Accounting Concepts No.5, Recognition and Measurement in Financial Statements of Business Enterprises. Stamford, CT: FASB.

Financial Accounting Standards Board (FASB). 2000. Statement of Financial Accounting Concepts No.7, Using Cash Flow Information and Present Value in Accounting Measurements. Stamford, CT: FASB.

Francis, J. & K. Schipper. 1999. “Have Financial Statements Lost Their Relevance?” Journal of Accounting Research, Vol. 37, No. 2 (Autumn), pp. 319-352.

Francis, J.; Lafond, R.; Olsson, P.; Schipper, K. 2004. “Cost of Equity and Earnings Attributes.” The Accounting Review, Vol. 79, No.4, pp. 967-1010.

Francis, J.; Olsson, P.; Schipper, K. 2006. “Earnings Quality.” Foundations & Trends in Accounting, Vol. 1 Issue 4, p259-328.

Francis, J.R.; Ke, B. 2006. “Disclosure of fees paid to auditors and the market valuation of earnings surprises.” Review of Accounting Studies, Dec 2006, Vol. 11 Issue 4, p495-523.

Francis, J.; Lafond, R.; Olsson, P.; Schipper, K. 2007. “Information Uncertainty and Post-Earnings-Announcement-Drift.” Journal of Business Finance & Accounting, Apr/May 2007, Vol. 34 Issue 3/4, p403-433.

Francis, J.; Huang, A.H.; Rajgopal, S.; Zang, A.Y. 2008. “CEO Reputation and Earnings Quality.” Contemporary Accounting Research, Spring2008, Vol. 25 Issue 1, p109-147.

Francis, J.R.; Wang, D. 2008. “The Joint Effect of Investor Protection and Big 4 Audits on Earnings Quality around the World.” Contemporary Accounting Research, Spring 2008, Vol. 25 Issue 1, p157-191

Page 492: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 487

Ghosh, A.; Gu, Z.; Jain, P.J. 2005. “Sustained Earnings and Revenue Growth, Earnings Quality, and Earnings Response Coefficients.” Review of Accounting Studies, Mar 2005, Vol. 10 Issue 1, p33-57.

Ghosh, A.; Moon, D. 2005. “Auditor Tenure and Perceptions of Audit Quality.” Accounting Review, Apr 2005, Vol. 80 Issue 2, p585-612.

Gleason, C.A.; Jenkins, N.T.; Johnson, W.B. 2008. “The Contagion Effects of Accounting Restatements.” Accounting Review, Jan 2008, Vol. 83 Issue 1, p83-110.

Haber, J.; Braunstein, A. “Earnings Quality Ratings and Corporate Governance: A Comparison of Two Models.” Journal of Theoretical Accounting Research, Spring2008, Vol. 3 Issue 2, p44-56

Higgs, J.L.; Skantz, T.R. 2006. ”Audit and Nonaudit Fees and the Market's Reaction to Earnings Announcements.” Auditing, May 2006, Vol. 25 Issue 1, p1-26.

Hitz, J.M. 2007. “The Decision Usefulness of Fair Value Accounting – A Theoretical Perspective.” European Accounting Review, Vol.16, No.2, pp.323-362.

Hodge, F.D. 2003. “Investors’ Perceptions of Earnings Quality, Auditor Independence, and the Usefulness of Audited Financial Information.” Accounting Horizons, Supplement, pp. 37-48.

Jaffar, R.; Jamaludin, S.; Rahman, M.R.C.A. 2007. “Determinant Factors Affecting Quality of Reporting in Annual Report of Malaysian Companies.” Malaysian Accounting Review, Vol. 6 Issue 2, p19-42.

Jones, J. 1991. “Earnings Management during Import Relief Investigation.” Journal of Accounting Research, Vol. 29, No.2, pp. 193-228.

Kerstein, J.; Rai, A. 2007. “Working Capital Accruals and Earnings Management.” Investment Management & Financial Innovations, Vol. 4 Issue 2, p33-47.

Khurana, I.K.; Raman, K. K.; Wang, D. 2006. “Does the Threat of Private Litigation Increase the Usefulness of Reported Earnings? International Evidence.” Journal of International Accounting Research, Vol. 5 Issue 2, p21-40.

Koehn, D.; Ueng, J. 2005. “Evaluating the Evaluators: Should Investors Trust Corporate Governance Metrics Ratings?” Journal of Management & Governance, Jun 2005, Vol. 9 Issue 2, p111-128.

Krishnan, G.; Parsons, L. 2008. “Getting to the Bottom Line: An Exploration of Gender and Earnings Quality.” Journal of Business Ethics, Mar 2008, Vol. 78 Issue 1/2, p65-76.

Kwon, S.Y.; Lim, C.Y.; Tan, P.M. 2007. “Legal Systems and Earnings Quality: The Role of Auditor Industry Specialization.” Auditing, Nov 2007, Vol. 26 Issue 2, p25-55.

Lang, J. S. Raedy, and M. H. Yetman. 2003. “How representative are firms that are cross-listed in the United States? An analysis of accounting quality.” Journal of Accounting Research 41: 363– 386.

Larcker, D.F.; Richardson, S.A.; Tuna, İ. 2007. “Corporate Governance, Accounting Outcomes, and Organizational Performance.” Accounting Review, Jul 2007, Vol. 82 Issue 4, p963-1008.

Page 493: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 488

Lee, K.W.; Lev, B.; Yeo, G. 2007. ”Organizational Structure and Earnings Management.” Journal of Accounting, Auditing & Finance, Spring 2007, Vol. 22 Issue 2, p293-331.

Leuz, C., N. Dhananjay, and P. D. Wysocki. 2003. “Earnings management and investor protection: An international comparison”. Journal of Financial Economics 69: 505–527.

Li, J.; Lin, J.W. 2005. ”The Relation Between Earnings Management and Audit Quality.” Journal of Accounting & Finance Research, Apr 2005, Vol. 13 Issue 1, p1-11.

Linck, J.; Lopez, T.; Rees, L. 2007. “The valuation consequences of voluntary accounting changes.” Review of Quantitative Finance & Accounting, May 2007, Vol. 28 Issue 4, p327-352.

Lipe, R. 1990. “The relation between stock returns and accounting earnings given alternative information”. The Accounting Review 65: 49–71.

Lui, D.; Markov, S.; Tamayo, A. 2007. “What Makes a Stock Risky? Evidence from Sell-Side Analysts' Risk Ratings.” Journal of Accounting Research, Jun 2007, Vol. 45 Issue 3, p629-665.

Machuga, S.; Teitel, K. 2007. “The Effects of the Mexican Corporate Governance Code on Quality of Earnings and its Components.” Journal of International Accounting Research, Vol. 6 Issue 1, p37-55.

MAPPI. Panduan Penerapan Penilaian Indonesia 5 (PPPI 5) – Penilaian Personal Properti. Exposure Draft.

Mcnamara, R.; Whelan, C. 2006. “Sales Growth versus Cost Control: Audit Implications.” Journal of American Academy of Business, Cambridge, Sep 2006, Vol. 10 Issue 1, p14-20.

Penman, S.H. 2003. “The Quality of Financial Statements: Perspectives from the Recent Stock Market Bubble.” Accounting Horizons, Vol. 17, Issue 1, pp. 77-96.

Pergola, T.M. 2005. “Management Entrenchment: Can It Negate the Effectiveness of Recently Legislated Governance Reform?” Journal of American Academy of Business, Cambridge, Mar 2005, Vol. 6 Issue 2, p177-183.

Platikanova, P. 2008. “Long-Term Price Effect of S&P 500 Addition and Earnings Quality.” Financial Analysts Journal, Sep/Oct2008, Vol. 64 Issue 5, p62-76.

Schipper, K., & Vincent, L. 2003. “Earnings Quality.” Accounting Horizons, Supplement, pp. 97-110.

Sen, P.K. 2005. “Reported Earnings Quality Under Conservative Accounting and Auditing.” Journal of Accounting, Auditing & Finance, Summer 2005, Vol. 20 Issue 3, p229-256.

Singh, D.; Kohli, G. 2006. “Evaluation of Private Sector Banks in India.” Journal of Management Research, Aug 2006, Vol. 6 Issue 2, p84-101.

Sloan, R. G. 1996. “Do stock prices fully reflect information in accruals and cash flows about future earnings?” The Accounting Review 71: 289–315.

Vafeas, N. 2005. “Audit Committees, Boards, and the Quality of Reported Earnings.” Contemporary Accounting Research, Winter 2005, Vol. 22 Issue 4, p1093-1122.

Wang,D. 2006. “Founding Family Ownership and Earnings Quality.” Journal of Accounting Research, Jun 2006, Vol. 44 Issue 3, p619-656

Page 494: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 489

Data Pemakalah

NAMA PROGRAM STUDI S3 INSTANSI EMAIL

Meinarni Asnawi Akuntansi FEB UGM Univ. Cenderawasih Jayapura Papua

[email protected]

Monika Palupi Murniati Akuntansi FEB UGM di UNIKA Soegijapranata Semarang

[email protected]

Siti Djamilah MSDM FEB UGM Universitas Wijaya Kusuma Surabaya

[email protected]

Firman Pribadi Manajemen FEB UGM Universitas Islam Batik Surakarta

[email protected]

Suherman FE Universitas Padjadjaran

Universitas Negeri Jakarta [email protected]

Dyah Sugandini Manajemen FEB UGM UPN Veteran Yogyakarta [email protected] Singgih Santoso Manajemen FEB UGM Universitas Kristen Duta

Wacana Yogyakarta [email protected]

Setyabudi Indartono Business Administration National Central University Taiwan

Universitas Negeri Yogyakarta

[email protected]

Joseph L. Eko Nugroho Manajemen FEB UGM Universitas Surabaya [email protected] Ignatius Roni Setyawan FE Universitas Indonesia Univ. Tarumanagara Jakarta [email protected]

Page 495: DISERTASI

Kolokium Nasional Program Doktor 2009

Yogyakarta, 11-12 Desember 2009 490

Agus Sugiyono Ilmu Ekonomi FEB UGM BPPT Jakarta [email protected] Hery Sulistio Jati Nugroho Sriwiyanto

FE Universitas Indonesia Universitas Sebelas Maret (UNS)

[email protected]

Joko Susanto Ilmu Ekonomi FEB UGM UPN Yogyakarta [email protected]

Tongam Sihol Nababan Ilmu Ekonomi FE UNDIP HKBP Nommensen Medan [email protected] Gancar Candra Premananto

Manajemen FEB UGM Universitas Airlangga [email protected]

Kuntari Erimurti Manajemen FEB UGM PPPPTK Seni dan Budaya, Yogyakarta

[email protected]

Margani Pinasti Akuntansi FEB UGM Universitas Jenderal Sudirman

[email protected]