case app kronik
TRANSCRIPT
PRESENTASI KASUS
NN. D DENGAN NYERI PERUT KANAN BAWAH
PEMBIMBING:
DR. OKKY PARTAKUSUMA, SP.B
Disusun oleh:
Adil Sultani (030.08.005)
KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH
RUMAH SAKIT ANGKATAN LAUT DR. MINTOHARDJO JAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA
1
LEMBAR PENGESAHAN
Nama Mahasiswa : Adil Sultani
NIM : 030.08.005
Bagian : Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Bedah
FK Universitas Trisakti
Judul Kasus : Nn. D dengan nyeri perut kanan bawah
Pembimbing : dr. Okky Partakusuma, Sp.B
Jakarta, 2 Juli 2013
Pembimbing
dr. Okky Partakusuma, Sp.B
2
BAB I
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn. D
Umur : 16 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Jl. Pariaman dalan RT 1 / RW 02, Pasar Minggu
Status : Belum Menikah
Pekerjaan : Pelajar
Agama : Muslim
Suku : Jawa
II. ANAMNESIS
Dilakukan autoanamnesis pada Minggu, 23 Juni 2013 pukul 20.45 WIB
a. Keluhan Utama : Nyeri perut kanan bawah sejak 3 minggu sebelum masuk rumah
sakit
b. Keluhan Tambahan :
- Mual disertai muntah beberapa jam SMRS
- Demam (+)
- Konstipasi (+)
- Keluhan semua pada 3 minggu SMRS
c. Riwayat Penyakit Sekarang (RPS) :
Pasien datang ke Poli Bedah RS AL dengan keluhan nyeri perut menusuk di daerah perut
kanan bawah kurang lebih pada 3 minggu sebelum masuk rumah sakit. Awalnya nyeri di rasakan
di daerah sekitar pusar kemudian berpindah ke daerah perut kanan bawah. Nyeri dirasakan terus
menerus dan semakin lama semakin nyeri sehingga mengganggu aktivitas sehari-hari. Keluhan 3
tersebut di sertai dengan demam. Pasien merasa mual kemudian muntah. Tetapi pasien saat
pasien datang ke berobat keluhan sudah tidak dirasakan lagi. Pada saat pertama kali datang
berobat pasien menolak untuk dilakukan tindakan.
Pasien juga mengaku terdapat terdapat keluhan susah BAB sebelum terdapat keluhan nyeri
perut. Tidak terdapat gangguan BAK.
d. Riwayat Penyakit Dahulu (RPD) :
Pasien belum pernah mengalami hal yang sama sebelum keluhan pertama pada 3 minggu
sebelum masuk rumah sakit dirasakan. Riwayat hipertensi, diabetes mellitus, asma, trauma,
terapi radiasi, tumor, dan keganasan disangkal pasien.
e. Riwayat Penyakit Keluarga (RPK) :
Tidak ada keluarga pasien yang mengalami hal serupa. Keluarga pasien ada yang
memiliki riwayat hipertensi dan diabetes mellitus. Riwayat asma, tumor, dan keganasan tidak
pernah dialami keluarga pasien.
f. Riwayat Medikasi
Pasien mengkonsumsi obat untuk menghilangkan keluhan nyeri tersebut.
g. Riwayat Alergi
Pasien menyangkal adanya riwayat alergi terhadap makanan, obat, ataupun substansi lain.
h. Riwayat Kebiasaan
Pasien mengaku jarang mengkonsumsi sayur dan buah. Pasien juga jarang minum air
putih dan jarang berolahraga.
4
III. PEMERIKSAAN FISIK
- Keadaan Umum
Kesan Sakit : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Gizi : Cukup
- BB : 53 kg
- TB : 160 cm
- BMI : 20,7 kg/m2
- Tanda Vital
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 95 x/menit
Suhu : 36,8oc
Pernapasan : 20 x/menit
- Status Generalis
1. Kulit
Warna : sawo matang, tidak pucat, tidak ikterik, tidak sianosis,
tidak ada ruam, dan tidak terdapat hipopigmentasi maupun
hiperpigmentasi
Lesi : tidak terdapat lesi primer seperti makula, papul, vesikel,
pustul maupun lesi sekunder seperti jaringan parut
Rambut : lebat, berwarna hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut
Turgor : baik
Suhu raba : hangat
2. Kepala : normocephali, ubun-ubun besar cekung (-)
Mata
Bentuk : normal, kedudukan bola mata simetris
Palpebra : normal, tidak terdapat ptosis, lagoftalmus, oedema, perdarahan,
blepharitis
Gerakan : normal, tidak terdapat strabismus, nistagmus
Konjungtiva : tidak anemis
5
Sklera : tidak ikterik
Pupil : bulat, isokor, RCL +/+, RCTL +/+
Telinga
Bentuk : normotia
Liang telinga : lapang
Serumen : tidak ditemukan serumen pada telinga kanan maupun kiri
Nyeri tarik auricular : tidak ada nyeri tarik pada auricular kanan maupun kiri
Nyeri tekan tragus : tidak ada nyeri tekan pada tragus kanan maupun kiri
Hidung
Bagian luar : normal, tidak terdapat deformitas, tidak hiperemis, tidak ada sekret,
tidak ada nyeri tekan
Septum : simetris, tidak ada deviasi
Mukosa hidung : tidak hiperemis, konka nasalis tidak edema
Mulut dan tenggorok
Bibir : normal, tidak pucat, tidak sianosis
Gigi-geligi : hygiene baik, tidak ada gigi yang tanggal, gigi geraham belakang
belum tumbuh
Mukosa mulut : normal, tidak hiperemis, tidak halitosis
Lidah : normoglosia, tidak tremor, tidak kotor
Tonsil : ukuran T1/T1, tenang, tidak hiperemis
Faring : tidak hiperemis, arcus faring simetris, uvula di tengah
3. Leher :
Bendungan vena : tidak ada bendungan vena
Kelenjar tiroid : tidak membesar, mengikuti gerakan saat menelan
Trakea : di tengah
4. Kelenjar Getah Bening
Leher : tidak terdapat pembesaran di KGB leher
6
Aksila : tidak terdapat pembesaran di KGB aksila
Inguinal : tidak terdapat pembesaran di KGB inguinal
5. Thorax
Sela iga tidak melebar, tidak ada efloresensi yang bermakna
Paru-paru
o Inspeksi : simetris, tidak ada hemithoraks yang tertinggal
pada saat inspirasi, tipe pernapasan abdomino-thorakal
o Palpasi : vocal fremitus sama kuat pada kedua hemithoraks
o Perkusi : sonor pada kedua hemithoraks
o Auskultasi : suara nafas vesikuler, tidak terdengar ronkhi
maupun wheezing pada kedua lapang paru
Jantung
o Inspeksi : tidak tampak pulsasi ictus cordis
o Palpasi : terdapat pulsasi ictus cordis pada ICS V, + 1 cm
lateral dari linea midklavikularis sinistra
o Perkusi : -
o Auskultasi : bunyi jantung I & II regular, tidak terdengar gallop
maupun murmur
6. Abdomen
Inspeksi : datar, tidak terdapat striae dan kelainan kulit, tidak terdapat pelebaran
vena
Auskultasi : bising usus positif 3 x/menit
Palpasi : supel, hepar dan lien tidak teraba, tidak terdapat nyeri tekan di titik mc
burney, maupun nyeri lepas.
Perkusi : nyeri ketok (-)
7. Ekstremitas
Inspeksi : tidak tampak deformitas
Palpasi : akral hangat pada keempat ekstremitas, tidak terdapat oedema pada
keempat ekstremitas
7
- Status Lokalis
Regio Abdomen
Inspeksi : datar, tidak terdapat striae dan kelainan kulit, tidak terdapat pelebaran
vena
Auskultasi : bising usus positif 3 x/menit
Palpasi : supel, hepar dan lien tidak teraba, tidak terdapat nyeri tekan di titik mc
burney, maupun nyeri lepas.
Perkusi : nyeri ketok (-)
Rovsing sign (-), Blumberg sign (-), Psoas sign (-), Obturator sign (+)
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil pemeriksaan laboratorium pre-operasi pada tanggal 19 Juni 2013
Pemeriksaan Hasil Nilai normal
Leukosit 7.000/Ul 5.000 – 10.000/Ul
Eritrosit 4,35 juta/mm3 3,6 – 5,2 juta/mm3
Hemoglobin 12,7 g/dl 12 – 16 g/dl
Hematokrit 38 % 38 – 46 %
Thrombosit 431.000/mm3 150 – 400 ribu/mm3
Bleeding time 2 menit 00 detik 1 – 6 menit
Clotting time 10 menit 00 detik 10 – 16 menit
Urine lengkap
8
Warna Kuning jernih
Blood/Eritrosit - -/negatif
Glukosa - -/negatif
Leukosit - -/negatif
Bilirubin - -/negatif
Ketone - -/negatif
Berat Jenis 1.015 1.003 – 1.031
PH 6,0 4,5 – 8,5
Protein - -/negatif
Urobilinogen + +/positif
Nitrite - -/negatif
Sedimen
- Eritrosit/LPB - +/0-1/LPB
- Lekosit/LPB +/0-1 +/1-5/LPB
- Epitel + +/positif
- Bakteri - -/negatif
- Silinder/LPK - -/negatif/LPK
- Kristal - -/negatif
9
V. RESUME
Wanita, 16 tahun, datang dengan keluhan nyeri perut menusuk di daerah perut kanan bawah
kurang lebih pada 3 minggu yang lalu. Awalnya nyeri di rasakan di daerah sekitar pusar
kemudian berpindah ke daerah perut kanan bawah. Nyeri dirasakan terus menerus dan semakin
lama semakin nyeri sehingga mengganggu aktivitas sehari-hari. Demam (+), mual (+), muntah
(+), konstipasi (+), keluhan sekarang tidak ada, awalnya pasien menolak untuk dilakukan
tindakan. Pasien mengaku jarang mengkonsumsi sayur dan buah. Pasien juga jarang minum air
putih dan jarang berolahraga.
Regio Abdomen
Inspeksi : datar, tidak terdapat striae dan kelainan kulit, tidak terdapat pelebaran vena
Auskultasi : bising usus positif 3 x/menit
Palpasi : supel, hepar dan lien tidak teraba, tidak terdapat nyeri tekan di titik mc burney,
maupun nyeri lepas.
Perkusi : nyeri ketok (-)
Rovsing sign (-), Blumberg sign (-), Psoas sign (-), Obturator sign (-).
VI. DIAGNOSIS KERJA
PRE – OP : APPENDICITIS KRONIK
POST – OP : APPENDICITIS KRONIK POST APPENDIKTOMI
Tanda – tanda yang membedakan apendisitis dengan penyakit lain adalah :
1. Gastroenteritis
10
Pada gastroenteritis, mual-muntah dan diare mendahului rasa sakit. Sakit perut lebih
ringan dan tidak berbatas tegas. Hiperperistaltik sering ditemukan. Panas dan
leukositosis kurang menonjol dibandingkan dengan appendisitis.
2. Limfadenitis mesenterica
Biasanya didahului oleh enteritis atau gastroenteritis. Ditandai dengan nyeri perut
yang samar-samar terutama disebelah kanan, dan disertai dengan perasaan mual-
muntah.
3. Diverticulitis
Meskipun diverculitis biasanya terletak di perut bagian kiri, tetapi kadang-kadang
dapat juga terjadi di sebelah kanan. Jika terjadi peradangan dan ruptur pada
diverticulum gejala klinis akan sukar dibedakan dengan gejala-gejala appendisitis.
4. Batu ureter atau batu ginjal
Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalar ke inguinal kanan merupakan
gambaran yang khas. Hematuria sering ditemukan. Foto polos abdomen atau urografi
intravena dapat memastikan penyakit tersebut.
VII. PENATALAKSANAAN
Tindakan bedah apendiktomi
Non-medikamentosa
- Pro rawat inap untuk perbaikan keadaan umum dan persiapan operasi
- Edukasi pasien mengenai perjalanan penyakit serta penanganannya, persiapan operasi
dan tujuannya, serta tatalaksana berikutnya setelah hasil diketahui
- Post – operasi : Awasi tekanan darah, nadi, suhu dan pernapasan.
Puasa hingga flatus
11
Medikamentosa
- Infus RL dan Glukosa 1 : 3 28 tetes/menit
- Ceftriaxone 2x1gr
- Tramadol 3x1 amp
- Profeus sup 2x1
- Kompres luka dengan kassa steril dilembabkan dengan NaCL 0,9 persen, diganti
setiap hari
- 2 hari :
o Cefadroxil 2x1 mg
o Asam mefenamat 2x1 mg
VIII. PROGNOSIS
- Ad Vitam : ad Bonam
- Ad Fungsionam : ad Bonam
- Ad Sanationam : ad Bonam
FOLLOW UP POST OP H+1
Subjektif : Masih nyeri pada luka operasi, sudah bisa buang angin, tidak ada mual muntah.
Objektif : Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Nadi : 96 x/menit
Suhu : 36,3 0C
RR : 18 x/menit
Bising usus : (+)
Status Lokalis Regio Abdomen
12
Inspeksi : perut agak membuncit, terdapat luka bekas operasi di perut
bagian kanan bawah yang tertutup perban, tidak ada rembesan
darah di perban.
Palpasi : nyeri tekan (+) di daerah bekas operasi.
Assesment : Appendicitis kronik post op apendiktomi H+1
Planning :
- Myconazol cream
- Terapi lainnya lanjut
- Kontrol 1 minggu post op
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Apperndiks
Appendiks merupakan organ dengan struktur tubular yang rudimeter dan tanpa fungsi
yang jelas. Appendiks berkembang dari posteromedial caecum dengan panjang yang bervariasi
namun pada orang dewasa sekitar 5-15 cm dan diameter sekitar 0,5-0,8 cm. Appendiks
merupakan derivat bagian dari midgut yang terdapat di antara Ileum dan Colon ascendens.
Caecum terlihat pada minggu ke-5 kehamilan dan apppendiks terlihat pada minggu ke-8
kehamilan yaitu bagian ujung dari protuberans caecum. Dalam proses perkembangannya,
awalnya apendiks berada pada apeks caecum, tetapi kemudian berotasi dan terletak lebih medial
ekat Plica ileocaecalis. Lumen apendiks sempit dibagian proksimal dan melebar di bagian distal.
Ahmpir seluruh permukaan apendiks dikelilingi oleh peritoneum dan mesoapendiks (mesenter
dari appendiks) yang merupakan lipatan peritoneum yang berjalan kontinyu sepanjang appendiks
dan berakhir di ujung appendiks.
Gambar 1. Anatomi appendiks
14
Pada appendiks terdapat 3 taenia coli yang menyatu di persambungan caecum dan bisa
berguna dalam menandakan tempat untuk mendeteksi appendiks. Posisi apendiks terbanyak
adalah retrocaecal 65.28% baik intraperitoneal maupun retroperitoneal dimana appendiks
berputar ke atas di belakng caecum. Selain itu juga terdapat posisi pelvic (panggul) 31,01%
(appendiks menggantung ke arah pelvic minor), subcaecal ( dibawah caecum) 2,26% retroileal
(dibelakang usus halus) 0,4%, retrokolika, dan pre-ileal.
Gambar 2. Variasi Letak Appendiks
Vaskularisasi appendiks berasal dari arteri appendikularis yang berjalan di sepanjang
masoapendiks dan merupakan cabang dari arteri ileocolica dan yang merupakan cabang trunkus
mesenterik superior. Selaiin dari arteri apendikular yang memperdarahi hampir seluruh apendiks,
juga terdapat kontribusi dari arteri asesorius. Untuk aliran balik, vena apendiseal cabang dari
vena ileocoli berjalan ke vena mesentrik superior dan masuk ke sirkulasi portal.
Persarafan parasimpatis dari apendiks berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti
a. Mesenterica superior dan a. Apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari n.
Thorakalis X.
15
B. Fisiologi Appendiks
Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu secara normal dicurahkan ke
dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di muara appendiks
tampaknya berperan pada patogenesis appendicitis
Awalnya, apendiks dianggap tidak memiliki fungsi. Namun akhir-akhir ini, appendiks
dikatakan sebagai organ imunologi yang secara aktif mensekresikan Imunoglobulin A (IgA).
Walaupun appendiks merupakan komponen integral dari sistem Gut Associated Lymphoid Tissue
(GALT), imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi yaitu mengontrol
proliferasi bakteri, netralisasi virus, serta mencegah penetrasi enterotoksin dan antigen intestinal
lainnya. Namun, pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh sebab jumlah
jaringan sedikit sekali jika dibandingkan dengan jumlah di saluran cerna dan seluruh tubuh.
C. Histologi
Komposisi histologi serupa denan usus besar, terdiri dari empat lapisan yakni mukosa,
submukosa, muskularis eksterna, dan lapisan serosa. Permukaan dalam atau mukosa secara
ymym sama seperti mukosa colon, berwarna kuning muda dengan gambaran nodular, dan
komponen limfoid yang prominen. Komponen limfoid ini mengakibatkan lumen dari appendiks
seringkali berbentuk irreguler (stelata) pada potongan melintang.
16
Gambar 3. Potongan melintang appendiks vermiformis normal
D. Definisi
Appendisitis adalah peradangan pada organ appendiks vermiformis atau yang di kenal
juga sebagai usus buntu. Diklasifikasikan sebagai suatu kasus medical emergency dan
merupakan salah satu kasus akut abdomen yang paling sering ditemui. Obstruksi lumen
merupakan penyebab utama appendicitis. Erosi membran mukosa appendiks dapat terjadi karena
parasit seperti Entamoeba histolytica, Trichuris trichiura, dan Enterobius vermikularis.
Penelitian Collin (1990) di Amerika Serikat pada 3.400 kasus, 50% ditemukan adanya faktor
obstruksi. Obstruksi yang disebabkan hiperplasi jaringan limfoid submukosa 60%, fekalith 35%,
benda asing 4%, dan sebab lainnya 1%.
17
Gambar 4. Inflamasi Appendiks
E. Epidemiologi
Insidens apendisitis akut di negara maju lebih tinggi daripada di negara berkembang,
tetapi beberapa tahun terakhir angka kejadiannya menurun bermakna. Hal ini disebabkan oleh
meningkatnya penggunaan makanan berserat dalam menu sehari-hari. Apendisitis dapat
ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari satu tahun jarang dilaporkan. Insidens
tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu menurun. Insidens pada lelaki dan
perempuan umumnya sebanding, kecuali pada umur 20-30 tahun, insidens pada lelaki lebih
tinggi. Meskipun jarang, pernah dilaporkan kasus appendiks neonatal dan prenatal. Pasien
dengan usia yang lebih dari 60 tahun dilaporkan sebanyak 50% meninggal akibat apendisitis.
18
Gambar 5. Insiden Risiko Terjadinya Appendicitis Berdasarkan Usia
F. Etiologi
Appendisitis disebabkan karena adanya obstruksi pada lumen appendiks sehingga terjadi
kongesti vaskuler, iskemik nekrosis dan akibatnya terjadi infeksi. Appendisitis akut dapat
disebabkan oleh proses radang bakteria yang dicetuskan oleh beberapa faktor pencetus
diantaranya hiperplasia jaringan limfa, fekalith, tumor apendiks, dan cacing askaris yang
menyumbat.
Beberapa faktor yang mempermudah terjadinya radang appendiks, diantaranya :
a. Faktor sumbatan
Faktor obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis (90%)
yang diikuti oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh hiperplasia
jaringan limfoid submukosa,35% karena stasis fekal, 4% karena benda asing dan
sebab lainnya 1% diantaranya sumbatan oleh parasit dan cacing. Obstruksi yang
disebabkan oleh fekalith dapat ditemui pada bermacam-macam apendisitis akut
diantaranya : 40% pada kasus apendisitis kasus sederhana, 65% pada kasus
apendisitis akut gangrenosa tanpa ruptur dan 90% pada kasus apendisitis akut
dengan ruptur.
19
b. Faktor bakteri
Infeksii enterogen merupakan faktor patogenesis primer pada apendisitis
akut. Adanya fekalith dalam lumen apendiks yang telah terinfeksi memperburuk
dan memperberat infeksi, karena terjadi peningkatan stagnasi feses dalam lumen
apendiks. Pada kultur didapatkan terbanyak ditemukan adalah kombinasi antara
Bacteriodes fragilis dan E.coli, Splanchicus, Lacto-bacilus, Pseudomonas,
Bacteriodes splanicus. Sedangkan kuman yang menyebabkan perforasi adalah
kuman anaerob sebesar 96% dan aerob <10%.
c. Faktor konstipasi dan pemakaian laksatif
Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal yang berakibat timbulnya
sumbatan fungsional apendiks dan meningkatkan pertumbuhan kuman flora kolon
biasa sehingga mempermudah timbulnya apendisitis akut. Penggunaan laksatif
yang terus-menerus dan berlebihan memberikan efek merubah suasan flora usus
dan menyebabkan terjadinya hiperesi usus yang merupakan permulaan dari proses
inflamasi. Pemberian laksaif pada penderita apendisitis akan merangsang
peristaltik dan merupakan predisposisi terjadinya perforasi dan peritonitis.
d. Kecenderungan familiar
Hal ini dihubungkan dengan terdapatnya malformasi yang herediter dari
organ, appendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi yang tidak baik dan letaknya
yang mudah terjadi appendisitis. Hal ini juga dihubungkan dengan kebiasaan
makanan dalam keluarga terutama denga diet rendah serat dapat memudahkan
terjadinya fekalith dan mengakibatkan obstruksi lumen.
e. Faktor ras dan diet
20
Faktor ras berhubungan dengan keniasaan dan pola makan sehari-hari.
Bangsa kulit putih yang dulunya pola makan rendah serat mempunyai resiko lebih
tinggi dari negara yang pola makannya banyak serat. Namun saat sekarang,
kejadiannya terbalik. Bangsa kulit putih telah merubah pola makan mereka ke
pola makan tinggi serat. Justru negara berkembang, yang dulunya memiliki tinggi
serat kini beralih ke pola makan rendah serat, memiliki resiko appendisitis yang
lebih tinggi.
Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis ialah erosi
mukosa appendiks karena parasit seperti E. Histolytica. Ulserasi mukosa
merupakan tahap awal dari kebanyakan penyakit ini. Berbagai spesies bakteri
yang dapat diisolasi pada pasien apendisitis yaitu :
Bakteri aerob fakultatif Bakteri anaerob
Escherichia coli Bacteroides fragilis
Viridans streptococci Peptostreptococcus micros
Pesudomonas aeruginosa Bilophila species
Enterococcus Lactobacillus species
Tabel 1. Spesies bakteri yang dapat diisolasi
G. Klasifikasi/tipe appendisitis
Ada beberapa jenis apendisitis yang memiliki perubahan ayng berbeda berhubungan dengan
apendisitis, sehingga ada perbedaan gejala, pengobatan dan prognosis. Appendisitis
diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Appendisitis akut
21
a. Appendisitis akut sederhana ( Cataral Appendicitis)
Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mukosa disebabkan obstruksi.
Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen appendiks dan terjadi peningkatan tekanan
dalam lumen yang mengganggu aliran limfe, mukosa appendiks jadi menebal, edema,
dan kemerahan. Gejala diawali dengan rasa nyeridi daerah umbilikus, ,mual, muntah,
anoreksia, dan demam ringan. Pada appendisitis cataral terjadi leukositosis dan
appendiks terlihat normal, hiperemia, edema, dan tidak ada eksudat serosa.
b. Appendisitis akut purulent (Supurative Appendicitis)
Tekanan dalam lumen terus bertambah disertai edema menyebabkan
terbendungnya aliran vena pada dinding appendiks dan menimbulkan trombosis.
Keadaan ini memperberat iskemik dan edema pada apendiks. Mikroorganisme yang
ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding appendiks menimbulkan infeksi serosa
sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin. Pada appendiks dan
mesoappendiks terjadi edema, heperemia, dan di dalam lumen terdapat eksudat
fibrinopurulen.
Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan, nyeri lepas di
titik Mc Burney, defans muskuler, dan nyeri pada gerak aktif dan pasif. Nyeri dan
defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan tanda-tanda
peritonitis umum.
c. Appendisitis akut gangrenosa
Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai terganggu
sehingga terjadi infark dan gangren. Selain didapatkan tanda-tanda supuratif,
appendiks mengalami gangren pada bagian tertentu. Dinding appendiks berwarna
ungu, hijau keabuan atau merah kehitaman. Apada appendisitis akut gangrenosa
terdapat mikroperforasi dan kenaikan cairan peritoneal yang purulen.
2. Appendisitis infiltrat
22
Appendisitis infiltrat adalah proses radang appendiks ayng penyebarannya dapat dibatasi
oleh omentum, usus halus, sekum, kolon dan peritoneum sehingga membentuk gumpalan
massa flegmon yang melekat erat satu dengan yang lainnya.
3. Appendisitis abses
Terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah (pus), biasanya di fossa iliaka kanan,
lateral dari sekum, retrocaecal, sucaecal, dan pelvic.
4. Appendisitis perforasi
Adalah pecahnya appendiks yang sudah gangren yang menyebabkan pus masuk kedalam
rongga perut sehingga terjadi peritonitis umum. Pada dinding appendiks tampak daerah
perforasi dikelilingi oleh jaringan nekrotik.
5. Appendisitis kronis
Merupakan lanjutan appendisitis akut supuratif sebagai proses radang yang persisten
akibat infeksi mikroorganisme dengan virulensi rendah, khususnya obstruksi parsial
terhadap lumen. Diagnosis appendisitis kronis baru dapat ditegakkan jika ada riwayat
serangan nyeri berulang di perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang kronik
appendiks secara makroskopik dan mikroskopik. Secara histologi, dinding appendiks
menebal, sub mukosa dan muskularis propia mengalami fibrosis. Terdapat infiltrat sel
radang limfosit dan eosinofil pada sub mukosa, muskularis propia, dan serosa. Pembuluh
darah serosa tampak dilatasi.
H. Patogenesis
Sebagian besar appendiks disebabkan oleh sumbatan yang kemudian diikuti oleh infeksi.
Beberapa hal ini dpat menyebabkan sumbatan, yaitu hiperplasia jaringan limfoid, fekalith, benda
asing, striktur, kingking, perlengketan.
Bila bagian proksimal appendiks tersumbat, terjadi sekresi mukus yang tertimbun dalam
lumen appendiks, sehingga tekanan intra luminer tinggi. Tekanan ini akan mengganggu aliran
limfe sehingga terjadi edema dan terdapat luka pada mukosa, stadium ini disebut Appendisitis
23
Akut Ringan. Tekanan yang meninggi, edema dan disertai inflamasi menyebabkan onstruksi
aliran vena sehingga menyebabkan trombosis yang memperberat iskemi dan edema. Pada lumen
appendiks juga terdapat bakteri, sehingga dalam keadaan tersebut suasana lumen appendiks
cocok buat bakteri untuk diapedesis dan invasi ke dinding dan membelah diri sehingga
menimbulkan infeksi dan menghasilkan pus. Stadium ini disebut Appendisitis Akut Purulenta.
Proses tersebut berlangsung terus sehingga pada suatu saat aliran darah arteri juga terganggu,
terutama bagian ante mesenterial yang mempunyai vaskularisasi minimal, sehingga terjadi infark
dan gangren, stadium ini disebut Appendisitis Gangrenosa. Pada stadium ini sudah terjadi
mikroperforasi, karena tekanan intraluminal yang tinggi ditambah adanya bakteri dan
mikroperforasi, mendorong pus serta produk infeksi mengalir ke rongga abdomen. Stadium ini
disebut Appendisitis Akut Perforasi, dimana menimbulkan peritonitis umum dan abses
sekunder. Tapi proses perjalanan appendisitis tidak mulus seperti tersebut di atas, karena ada
usaha tubuh untuk melokalisir tempat infeksi dengan cara “Walling Off” oleh omentum,
lengkung usus halus, caecum, colon, dan peritoneum sehingga terjadi gumpalan massa plekmon
yang melekat erat. Keadaan ini disebut Appendisitis Infiltrate.
Appendisitis infiltrate adalah suatu plekmon yang berupa massa yang membengkak dan
terdiri dari appendiks, usus, omentum, dan peritoneum dengan sedikit atau tanpa pengumpulan
pus. Usaha tubuh untuk melokalisir infeksi bisa sempurna atau tidak sempurna, baik karena
infeksi yang berjalan terlalu cepat atau kondisi penderita yang kurang baik, sehingga
appendikular infiltrate dibagi menjadi dua :
a. Appendikuler infiltrate mobile
b. Appendikuler infiltrate fixed
Perforasi mungkin masih terjadi pada walling off yang sempurna sehingga akan terbentuk
abses primer. Sedangkan pada walling off yang belum sempurna akan terbentuk abses sekunder
yang bisa menyebabkan peritonitis umum.
Appendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan membentuk
jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan sekitarnya dan menimbulkan
obstruksi. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang di perut kanan bawah. Pada 24
suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan sebagai mengalami eksaserbasi
akut. Appendisitis terjadi dari proses inflamasi ringan hingga perforasi, khas dalam 24-36 jam
setelah munculnya gejala, kemudian diikuti dengan pembentukan abses setelah 2-3 hari.
25
Gambar 6. Patofisiologi Appendisitis
I. Manifestasi klinis
a. Nyeri abdominal
Karena adanya kontraksi appendix, distensi dari lumen appendix ataupun karena
tarikan dinding appendx yang mengalami peradangan. Mula-mula nyeri dirasakan
samar-samar, tumpul dan hilang timbul yang merupakan nyeri viseral di daerah
epigastrium atau sekitar umbilicus karena appendix dan usus halus mempunyai
persarafan yang sama. Setelah beberapa jam (4-6 jam) nyeri berpindah dan menetap
di abdomen kanan bawah (titik Mc Burney). Apabila terjadi inflamasi (>6 jam) akan
terjadi nyeri somatik setempat yang berarti sudah terjadi rangsangan pada peritoneum
parietal dengan sifat nyeri yang lebih tajam, terlokalisir serta nyeri akan lebih hebat
bila batuk ataupun berjalan kaki.
26
Selain gejala klasik, ada beberapa gejala lain yang dapat timbul sebagai akibat
dari apendisitis. Timbulnya gejala ini bergantung pada letak apendiks ketika
meradang. Berikut gejala yang timbul tersebut :
o Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, yaitu di belakang sekum
(terlindung oleh sekum), tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan
tidak ada tanda rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih ke arah perut kanan
atau nyeri timbul pada saat melakukan gerakan seperti berjalan, bernafas
dalam, batuk, dan mengedan. Nyeri ini timbul karena adanya kontraksi m.
psoas mayor yang menegang dari dorsal.
o Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada rektum, akan timbul
gejala dan rangsangan sigmoid atau rektum, sehingga peristaltik meningkat,
pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang (diare).
o Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada kandung kemih, dapat
terjadi peningkatan frekuensi kemih, karena rangsangan dindingnya.
b. Mual-muntah biasanya pada fase awal
Disebabkan karena rangsangan visceral akibat aktivasi nervus vagus. Timbul
beberapa jam sesudah rasa nyeri yang timbul saat permulaan. Hampir 75% penderita
disertai dengan vomitus, namun jarang berlanjut menjadi berat dan kebanyakan
vomitus hanya sekali atau dua kali.
c. Nafsu makan menurun (anoreksia)
Timbul beberapa jam sesudah rasa nyeri yang timbul saat permulaan. Keadaan
anoreksia hampir selalu ada pada setiap penderita appendisitis akut, bila hal in tidak
ada maka diagnosis appendisitis akut perlu dipertanyakan.
27
d. Obstipasi dan diare pada anak-anak.
Penderita appendisitis akut juga mengeluh obstipasi sebelum datangnya rasa nyeri
dan beberapa penderita mengalami diare. Hal tersebut timbul biasanya pada letak
appendix pelvikal yang merangsang daerah rektum.
e. Demam
Demam yang tidak terlalu tinggi, yaitu suhu antara 37,50 – 38,50C tetapi bila suhu
lebih tinggi, diduga telah terjadi perforasi.
Kelainan patologi Keluhan dan tanda
Peradangan awal
Apenditis mukosa
Radang di seluruh ketebalan dinding
Apendisitis komplet radang
peritoneum parietale appendiks
Kurang enak ulu hati/daerah pusat,
mungkin kolik.
Nyeri tekan kanan bawah
(rangsaganan automik).
Nyeri sentral pindah ke kanan bawah,
mual dan muntah.
Rangsangan peritoneum lokal
(somatik), nyeri pada gerak aktif dan
28
Radang alat/jaringan yang menempel
pada appendiks
Apendisitis gangrenosa
Perforasi
Pembungkusan tidak berhasil
Pembungkusan berhasil
Abses
pasif, defans muskuler lokal.
Genitalia interna, ureter, m.psoas
mayor, kantung kemih, rektum.
Demam sedang, takikardia,
mulai toksik, leukositosis.
Nyeri dan defans muskuler seluruh
perut.
Demam tinggi, dehidrasi,
syok, toksik
Massa perut kanan bawah, keadaan
umum berangsur membaik
demam remiten, keadaan umum toksik,
29
keluhan dan tanda setempat
J. Diagnosis
a. Anamnesis
Untuk menegakkan diagnosis pada apendisitis didasarkan atas anamnesis ditambah
dengan pemeriksaan laboratorium sarta pemeriksaan penunjang lainnya. Gejala
appendisitis ditegakkan dengan anamnesis, ada 4 hal penting yaitu :
o Nyeri mula – mula di epigastrium ( nyeri visceral ) yang beberapa waktu
kemudian menjalar ke perut kanan bawah.
o Muntah oleh karena nyeri visceral
o Demam
o Gejala lain adalah badan lemah dan kurang nafsu makan, penderita nampak
sakit, menghindarkan pergerakan pada daerah perut.
b. Pemeriksaan fisik
1) Inspeksi
Kadang sudah terlihat waktu penderita berjalan sambil bungkuk dan memegang
perut. Penderita tampak kesakitan. Pada inspeksi perut tidak ditemukan gambaran
spesifik. Kembung sering terlihat pada penderita dengan komplikasi perforasi.
Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada massa atau abses appendikuler.
2) Auskultasi
Peristaltik usus sering normal. Peristaltic dapat hilang pada ileus paralitik karena
peritonitis generalisata akibat appendisitis perforata.
30
3) Palpasi
Dengan palpasi di daerah titik Mc. Burney didapatkan tanda-tanda peritonitis
lokal yaitu:
o Nyeri tekan (+) Mc. Burney
Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan kuadran bawah atau titik Mc Burney
dan ini merupakan tanda kunci diagnosis.
o Nyeri lepas (+) karena rangsangan peritoneum
Rebound tenderness (nyeri lepas tekan) adalah rasa nyeri yang hebat (dapat
dengan melihat mimic wajah) di abdomen kanan bawah saat tekanan secara
tiba-tiba dilepaskan, setelah sebelumnya dilakukan penekanan yang perlahan
dan dalam dititik Mc Burney.
o Defens muskuler(+) karena rangsangan M.Rektus Abdominis
Defens muskuler adalah nyeri tekan seluruh lapangan abdomen yang
menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietal. Pada appendiks letak
retroperitoneal, defans muscular mungkin tidak ada, yang ada nyeri pinggang.
Pemeriksaan Rectal Toucher
Akan didapatkan nyeri pada jam 9-12. Pada apendisitis pelvika akan didapatkan
nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur.
4) Perkusi : nyeri ketuk (+)
c. Pemeriksaan khusus/tanda khusus
Rovsing sign
Penekanan perut kiri bawah terjadi nyeri perut kanan bawah, karena tekanan
merangsang peristaltic dan udara usus, sehingga menggerakkan peritoneum
sekitar appendix yang meradang (somatic pain)
Blumberg sign
31
Disebut juga dengan nyeri lepas. Palpasi pada kuadran kiri bawah atau kolateral
dari yang sakit kemudian dilepaskan tiba-tiba, akan terasa nyeri pada kuadran
kanan bawah karena iritasi peritoneal pada sisi yang berlawanan.
Psoas sign
Dilakukan dengan rangsangan muskulus psoas. Ada 2 cara memeriksa :
1. Aktif : Pasien telentang, tungkai kanan lurus ditahan pemeriksa, pasien
memfleksikan articulation coxae kanan, psoas sign (+) bila terasa nyeri perut
kanan bawah.
2. Pasif: Pasien miring kekiri, paha kanan dihiperekstensikan pemeriksa, psoas
sign (+) bila terasa nyeri perut kanan bawah.
Gambar 7. Cara melakukan Psoas Sign
Obturator sign
Dilakukan dengan menyuruh pasien tidur telentang, lalu dilakukan gerakan fleksi
dan endorotasi sendi panggul atau articulation coxae. Obturator sign (+) bila
terasa nyeri di perut kanan bawah.32
Gambar 8. Cara melakukan Obturator Sign
d. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan laboratorium
o Pemeriksaan darah : pada laboratorium darah terdapat leukositosi ringan
( 10.000 – 18.000/mm3) yang didominasi >75% oleh sel Polimorfonuklear
(PMN), netrofil (shift to the left) dimana terjadi pada 90% pasien. Hal ini
biasanya terdapat pada pasien dengan akut appendisitis dan apendisitis tanpa
komplikasi. Sedangkan leukosit >18.000/ mm3 meningkatkan kemungkinan
terjadinya perforasi apendiks dengan atau tanpa abses.
o Pemeriksaan urin : untuk melihat adanya eritrosit, leukosit, dan bakteri dalam
urin. Pemeriksaan ini sangat membantu dalam menyingkirkan diagnosis
banding seperti infeksi daluran kemih atau batu ginjal yang mempunyai gejala
klinis yang hampir sama dengan appendisitis.
33
o Pemeriksaan laboratorium lain yang mendukung diagnosa appendisitis adalah
C- reaktif protein. CRP merupakan reaktan fase akut terhadap infeksi bakteria
yang dibentuk di hepar. Kadar serum mulai meningkat pada 6-12 jam setelah
inflamasi jaringan. Tetapi pada umumnya, pemeriksaan ini jarang digunakan
karena tidak spesifik. Spesifitasnya hanya mencapai 50-87% dan hasil dari
CRP todak dapat membedakan tipe dari infeksi bakteri.
2) Foto polos abdomen
Radiologi polos tidak spesifik, umunya tidak efektif untuk biaya, dan dapat
menyesatkan dalam stuasi tertentu. Foto polos abdomen dapat digunakan untuk
menyingkirkan diagnosis banding. Pada appendisitis akut dapat terlihat abnormal
“gas pattern” dari usus, tapi hal ini tidak spesifik. Ditemukan fekalith dapat
mendukung diagnosis. Dapat ditemukan pula adanya local air fluid level,
peningkatan densitas jaringan lunak pada kuadran kanan bawah, perubahan
bayangan psoas line, dan free air (jarang) bila terjadi perforasi.
3) USG
Merupakan pemeriksaan yang akurat untuk menentukan diagnosis appendisitis.
Kriteria sonografi untuk mendiagnosis appendisitis akut adalah adanya
noncompressible appendiks sebesar 6 mm atau lebih pada diameter
anteroposterior, adanya appendicolith, interupsi pada kontinuitas lapisan
submukosa, dan cairan atau massa periappendiceal. Temuan perforasi appendisitis
termasuk cairan pericecal loculated, phlegmon ( sebuah definisi penyakit lapisan
struktur dinding appendiks) atau abses, lemak pericecal menonjol, dan kehilangan
keliling dari layer submukosa.
4) Barium enema
Yaitu suatu pemeriksaan X-Ray dengan memasukkan barium ke colon melalui
anus. Indikasi untuk apendisitis kronik, pemeriksaan ini dikatakan positif bila
menunjukkan appendiks yang non-filling dengan indentasi dari caecum
34
menunjukkan adanya appendisitis kronis. Hal ini menunjukkan adanya inflamasi
pericaecal.
5) CT Scan
Sangat berguna pada pasien yang dicurigai mengalami proses inflamasi pada akut
abdomen dan adanya gejala tidak khas untuk appendisitis.
e. Scoring appendisitis
Keterangan Alvarado score :
Dinyatakan appendicitis akut bila > 7 point
Modified Alvarado score (Kalan et al) tanpa observasi of Hematogram:
1 – 4 dipertimbangkan appendicitis akut
5 – 6 possible appendicitis tidak perlu operasi
7 – 9 appendicitis akut perlu pembedahan
Penanganan berdasarkan skor Alvarado :
35
1 – 4 : observasi
5 – 6 : antibiotic
7 – 10 : operasi dini
K. Diagnosis banding
Diagnosis banding appendisitis dapat bervariasi tergantung dari usia dan jenis kelamin :
- Pada anak – anak dan balita : intususepsi, diverkulitis dan gastroenteritis akut
- Pada anak – anak usia sekolah : gastroenteritis, konstipasi, infark omentum
- Pada pria dewasa muda : crohn’s disease, kolik traktur urogenitalis dan epididimitis.
- Pada wanita usia muda : pelvic onflammatory disease (PID), kita ovarium, infeksi
saluran kencing
- Pada uasia lanjut : keganasan dari traktus gastrointestinal dan saluran reproduksi,
diverkulitis, perforasi ulkus, dan kolesistitis.
L. Komplikasi
- Apendikular infiltrat : infiltrat atau massa yang terbentuk akibat mikro atau makro
perforasi dari appendiks yang meradang kemudian ditutupi oleh omentum, usus halus
atau usus besar.
- Apendikular abses : abses yang terbentuk akibat mikro atau makro perforasi dari
appendiks yang meradang kemudian ditutupi oleh omentum, usus halus atau usus
besar.
- Perforasi : gejalanya ialah nyeri berat dan demam >38,3 0C
- Peritonitis : peritonitis lokal dihasilkan dari perforasi gangren appendiks, yang
kemudian dapat menyebar ke seluruh rongga peritoneum. Gejalanya ialah :
peningkatan kekakuan otot abdomen, distensi abdominal dan demam tinggi.
36
M. Penatalaksanaan
Bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah apendektomi dan
merupakan satu-satunya pilihan yang terbaik. Pada apendisitis akut, abses, dan perforasi
diperlukan tindakan operasi apendiktomi cito. Tindakan ini dapat dilakukan melalui laparotomi
atau laparoskopi. Sebelum dilakukan tindakan pembedahan, pasien dianjurkan untuk tirah baring
dan diberikan antibiotik sistemik spektrum luas untuk mengurangi insidens infeksi pada luka
post operasi.
Indikasi appendiktomi diantara lain appendisitis akut, appendisitis kronik, periapendikular
infiltrat dalam stadium tenang, apendiks terbawa dalam operasi kandung kemih, dan apendisitis
perforata.
Teknik operasi apendiktomi :
1) Open Appendectomy
- Incisi Grid Iron (McBurney Incision)
- Lanz transverse incision
- Rutherford Morisson’s incision (insisi suprainguinal)
- Low Midline Incision
- Insisi paramedian kanan bawah
2) Laparoscopic Appendectomy
Teknik apendiktomi Mc Burney :
a) Pasien berbaring telentang dalam anestesi umum atau regional. Kemudian lakukan
tindakan asepsis dan antisepsis pada daerah perut kanan bawah.
b) Dibuat sayatan menurut Mc Burney sepanjang kurang lebih 10 cm dan dinding perut
dibelah menurut arah serabut otot secara tumpul, berturut – turut M. Oblikus abdominis
eksternus, M. Abdominis internus, sampai tampak peritonium.
37
c) Peritonium disayat cukup lebar untuk eksplorasi.
d) Sakum dan apendiks diluksasi keluar.
e) Mesoapendiks dibebaskan dan dipotong dari apendiks secara biasa, dari apendiks ke arah
basis.
f) Semua perdarahan dirawat.
g) Disiapkan tabac sac mengelilingi basis apendiks dengan sutra, basis apendiks kemudian
dijahit dengan catgut.
h) Lakukan pemotongan apendiks apikal dari jahitan tersebut.
i) Puntung apendiks diolesi betadine.
j) Jahitan tabac sac disimpulkan dan puntung dikuburkan dalam simpul tersebut.
Mesoapendiks diikat dengan sutera.
k) Dilakukan pemeriksaan terhadap rongga peritoneum dan alat – alat didalamnya, semua
perdarahan dirawat.
l) Sekum dikembalikan ke dalam abdomen.
m) Sebelum ditutup, peritoneum dijepit dengan minimal 4 klem dan didekatkan untuk
memudahkan penutupannya. Peritoneum dijahit jelujur dengan chromic cat gut dan otot –
otot dikembalikan.
n) Dinding perut ditutup lapis demi lapis, fasia dengan sutera, sub cutis dengan cat gut dan
akhirnya kulit dengan sutera.
o) Luka operasi dibersihkan dan ditutup dengan kasa steril.
38
N. Prognosis
Mortalitas adalah 0,1% jika appendisitis akut tidak pecah, dan 15% jika pecah pada orang
tua. Kematian biasanya dari sepsis, emboli paru, atau aspirasi. Prognosis membaik dengan
diagnosis dini sebelum perforasi dan antibiotik yang adekuat. Morbiditas meningkat dengan
ruptur dan usia tua.
BAB III
KESIMPULAN
Wanita, 16 tahun, datang dengan keluhan nyeri perut menusuk di daerah perut kanan
bawah kurang lebih pada 3 minggu yang lalu. Awalnya nyeri di rasakan di daerah sekitar pusar
kemudian berpindah ke daerah perut kanan bawah. Nyeri dirasakan terus menerus dan semakin
lama semakin nyeri sehingga mengganggu aktivitas sehari-hari. Demam (+), mual (+), muntah
(+), konstipasi (+). Pasien mengaku jarang mengkonsumsi sayur dan buah. Pasien juga jarang
minum air putih dan jarang berolahraga. Pada pemeriksaan fisik tidak didapatkan nyeri tekan di
titik mc burney (1/3 atas garis khayal yang menghubungkan SIAS dan umbilicus), maupun nyeri
lepas, nyeri ketok (-), Rovsing sign (-), Blumberg sign (-), Psoas sign (-), Obturator sign (-).
Pasien direncanakan dilakukan tindakan bedah apendiktomi. Selama persiapan operasi
apendiktomi , pasien mendapatkan terapi simptomatik untuk menghilangkan nyeri, rasa mual,
dan antibiotic untuk mengatasi infeksi. Prognosis pada pasien ini adalah dubia ad bonam karena
setelah operasi didapatkan appendiks tidak mengalami perforasi dan tidak terjadi komplikasi.
39
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. Shrestha, S. Anatomy of appendix and appendicitis.
http://medchrome.com/basic-science/anatomy/anatomy-appendix-appendicitis/. Accesed in
Juni,23,2013.
2. Faiz,O, balckburn,S, Moffat,D. Anatomy At A Glance. Edisi Ketiga. England : Oxford;2011. H
36.
3. urDocter. Anatomy and physiology of Appendix. Http://healthycase.com/articles/surgery/19-
anatomy-and-physiology-of-appendix. Accessed in Juni,23,2013.
4. Kevin P. Lally, Charles S. Cox JR. Dan Richard J. Andrassy. Appendix on Chapter 47 in
Sabiston Textbook of Surgery 17ed ebook. New york: Saunders; 2004.h 1381-1400
5. Addiss,D G. The epidemiology of appendicitis and appendectomy in the United States.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/2239906. Accessed in Juni,23,2013.
6. Brunicardi C, Anderson DK, Billiar T, Duhn DL, Hunter JG, Mathews JB, Pallock RC. 2010. The
Appendix on Chapter 30 in Schwartz’s Principles of Surgery 9ed ebook. New York: McGraw-
Hills.
7. Annonymmous. Appendicits Type. http://www.appendicitissymptoms.org.uk/appendicitis-
types.htm. Accessed in Juni,23,2013.
40
8. Old JL. Imaging for Suspected Appendicitis. Available at :
http://www.aafp.org/afp/2005/0101/p71.html#afp20050101p71-b15. Accessed in Juni,23,2013.
9. Vanjak D. Analysis of Scores in Diagnosis of Acute Appendicitis in women. Available at :
www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10356580. Accessed in Juni,23,2013.
10. Dudley H.A.F. apendisitis akut dalam Hamilton Bailey Ilmu Bedah Gawat Darurat edisi 11.
Gajah Mada Unv Press. 1992. Hal 441-452
11. Craig, Sandy. 2008. Appendicitis, Acut-Follw-Up. Available at :
http://emedicine.medscape.com/article/773895-followup. Accessed in Juni,23,2013.
41