blog.iain-tulungagung.ac.idblog.iain-tulungagung.ac.id/.../sites/84/2013/11/post-modernisme.docx ·...
TRANSCRIPT
ISLAM DALAM KONTEKSPEMIKIRAN POST – MODERNISME
(Telaah kritis terhadap “kritik nalar Islami” Mohammed Arkoun)Oleh : Ummu Iffah
Abstrak
This is study on Muhammed Arkoun, a moslem scholar who responded post modernis
thoughts. He is an Algerian scholar who studied in western countries. In this article, the
writer discusses and criticizes the idea of “ rasional criticism on Islam”. Additionaly, the
writer also reniew the influence of post modernism toward Arkoun.
PENDAHULUAN
Perbincangan mengenai post modernisme belakangan ini mulai banyak
direspon oleh kaum agamawan dan para peminat studi – studi agama meskipun baru
pada masa menjelang tahun 90-an. Respon ini menguat1, namun sebenarnya sejak tahun
1984 Harvey Cox telah memberikan indikasi tentang kemunculan suatu teologi post
modernisme, sebuah gerakan pembebasan yang didasari atas visi teologis dan aktivitas –
aktivitas komunitas kristen lokal di berbagai tempat misalnya di Amerika Latin2.
Salah satu persoalan menarik yang muncul dalam pembicaraan mengenai post
modernisme dan agama adalah bagaimana perspektif pemikiran post modern dapat
dipakai untuk melihat agama. Atau bagaimana post modernisme bisa digunakan sebagai
sebuah alat analisis atau sebuah strategi untuk melihat agama. Hal ini mungkin agak
riskan terutama karena sebagian orang menilai bahwa apa yang disebut sebagai
pemikiran post modernisme masih belum menemukan bentuknya yang jelas.
Namun persoalan penggunaan sebuah perspektif analisis atau strategi
tertentu untuk melihat agama, sesungguhnya bukan persoalan luar biasa, karena setiap
1 Hans Kung, misalnya pertama kali memasukkan debat post modern di dalam bukunya, theology for Third millennium : An Ecumenical View(New York : Doubleday, 1998) kemudian di dalam karyanya global Responsibility : In Search of a New World Etik (New York : Crossroad, 1991). Sementara itu Huston Smith juga telah mengarang sebuah buku berjudul Beyond the Post Modern. Juga tidak bias diabaikan karya Ernest Gellner, Post Modernism, Reason and Religion, 1992 dan karya Akbar S. Ahmed, Postmodernism and Islam : Predicament and promise, 1992.2 Harvey Cox, Religion in Secular City : Toward a Postmodern Theologi (New York : Simon and Schuster, 1984)
persoalan senantiasa dilihat dari perspektif tertentu, baik sosiologis, antropologis,
historis, fenomenologis dan sebagainya.
Salah satu pemikir Islam yang merespon pemikiran – pemikiran post
modernisme adalah Mohammed Arkoun, seorang pemikir Islam dari Aljazair yang
banyak mengenyam pendidikan di Barat. Tulisan di bawah ini akan mengkaji sekaligus
mengkritisi ide “kritik Nalar Islami” yang digulirkan Mohammed Arkoun dan juga
berusaha melihat seberapa jauh keterpengaruhan Arkoun terhadap pemikir post
modernisme.
Sketsa Biografis Mohammed Arkoun
Mohammad Arkoun dilahirkan pada 1 Pebruari 1928 di Tauriri-Mimoun
Grande Kabilia, Aljazair. Kabilia adalah sebuah pegunungan berpenduduk Berber.
Wilayahnya terbentang luas dari utara sampai selatan di bagian timur Aljazair. Kabilia
jadi koloni Perancis sejak tahun 1830 M. Perancis telah menjadikan daerah tersebut
sebagai pintu masuk Sahara, Wargala dan Mazb, daerah Afrika Utara3. Arkoun lahir
ketika Aljazair masih berada di bawah kekuasaan Perancis. Karenanya sejak awal, ia
terdidik dalam budaya dan sistem pendidikan Prancis.
Sebagai anak yang dilahirkan di Kabilia, Arkoun mengenal dengan baik bahasa
tak tertulis Kabilia dan bahasa Arab yang merupakan bahasa keagamaan tertulis serta
bahasa Perancis. Dari tiga macam bahasa itu, Arkoun sadar bahwa bahasa bukan hanya
sarana teknis untuk mengungkapkan diri. Lebih dari itu bahasa mempunyai latar
belakang dan nilainya sendiri. Karena inilah Arkoun kemudian menyadari pula akan
keterbatasan yang ada pada bahasa yang bersangkutan. Sebuah bahasa kadang –
kadang tidak mampu memuat makna bahasa lain. Hal ini dialami Arkoun ketika harus
menerjemahkankata mitos dalam bahasa Arab.
Arkoun merampungkan pendidikan pendidikan sekolah dasar di Kabilia dan
sekolah menengah di kota pelabuhan Oran. Setamat SMA, ia melanjutkn belajar di
Universitas Aljir dengan spesifikasi bahasa dan sastra Arab.
3 Muhammed Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern, terj Rahayu S. Hidayat (Jakarta : INIS, 1994), I
Pada saat pecah perang kemerdekaan, stabilitas politik dan ekonomi Aljazair
dalam keadaan tidak menentu lagi. Dalam kondisi itulah, imigrasi ke Perancis menjadi
impian dan harapan banyak orang – orang Aljazair yang masih berorientasi pada masa
depan. Mohammed Arkoun adalah salah satunya. Imigrasi ke Perancis dijadikan jalan
untuk melanjutkan studinya ke Universitas Sorbonne Noevele Paris. Pada tahun 1961,
Arkoun diangkat sebagai dosen di universitas tersebut. Tiga tahun kemudian (1969) ia
memperoleh gelar doktor dalam bidang sastra dengan desertasi ‘Humanisme Etis Ibnu
Miskawaih” (.1030 M)4.
Peta perpolitikan yang demikian membingungkan merupakan pijakan awal
Muhammed Arkoun dalam menatap realitas umat Islam ke depan. Tidak dapat
dipungkiri. Selain ia terpengaruh oleh gegap gempita perpolitikan ini, ia juga merasa
bahwa benturan antar budaya Kabilia, Islam dan Perancislah yang membuatnya
menyadari berbagai persoalan kebahasaan5.
Menurut hemat penulis, faktor yang mempengaruhi pemikiran Muhammed
Arkoun selain pergumulannya dalam bidang bahasa sehingga pemikirannya kental
dengan nuansa bahasa, juga karena pengembaraan intelektualnya. Dimulai dari
pendidikan tradisional di Kabilia, Arkoun meneruskan sekolah menengahnya di Aljir.
Perlu dicatat disini, bahwa sekolah menengah di Aljir ini merupakan perpanjangan
tangan dari kolonialis Prancis. Dengan kata lain merupakan wahana asimilasi
kebudayaan Perancis dengan negara jajahannya. Sehingga benturan kebudayaan yang
memicu ketegangan seringkali terjadi, terutama sebagai resistensi atas hegemoni
kolonialis Perancis. Dan Arkoun terlibat langsung dengan “konflik kebudayaan” tersebut.
Karir dan kegiatan intelektual Arkoun dimulai sebagai guru bahasa di SMA dan
dosen di Universitas Strasbourg dari tahun 1956 – 1959. Kemudian sejak tahun 1961,
Arkoun diangkat menjadi dosen pada Universitas Sorbone sampai 1969. Karir
kepengajarannya meluas ke hampir benua Eropa dan Amerika dari mulai doesn di
Universitas Lyon, Universitas of California, Princeton University, Temple University,
Universitas Katolik Louvain – La Neuve di Belgia, Berlin, Kolumbia, Denver di Amsterdam
Belanda dan Dunia Timur Tengah seperti di Aljir Tunis, Damaskus, Beirut dan Teheran.
4 Ibid, 15 John. L. Esposito, The Oxford Encyclopedy of Islamic Modern World, vol 11, 397
Arkoun bukan hanya aktif dan hidup dari kampus ke kampus. Ia adalah orang
yang engage, melibatkan diri dalam berbagai kegiatan dan aksi kemanusiaan seperti
anggota panitia untuk etika dan ilmu pengetahuan kehidupan dan kedokteran. Anggota
Majlis Nasional untuk AIDS dan lain – lain.
Meski demikian Arkoun bukanlah ilmuwan yang hanya mengandalkan bahasa
lisan. Banyak karya lahir dari “tangan dinginnya”. Karya – karyanya hampir semuanya
ditulis dalam bahasa Perancis dan jarang ditulis dalam Bahasa Arab atau Inggris.
Diantaranya karyanya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah
Nalar Islami dan Nalar Modern, pelbagai tantangan dan jalan baru, Rethinking Islam,
pemikiran Arab dan berbagai pembacaan Al-Qur’an. Sedangkan yang diterjemahkan ke
dalam bahasa Arab adalah : A-Fikr Al-Islam: Qira’ah Ilmiyyah, al-Fikr al-Islami: Naqd wa
latihad, al Islam Asalah wa Mumarasah dan lain – lain. Sedangkan artikel – artikelnya
tersebar di jurnal – jurnal Internasional seperti Arabica dan Islamo Christiana.
Akar Epistimologi Pemikiran Arkoun
Arkoun tumbuh pada saat pesatnya perkembangan science di dunia barat,
baik sosial-humaniora maupun ilmu – ilmu alam. Momentum ini tidak bisa disia – siakan
dan dibiarkan tanpa makna. Sehingga tidak aneh kalau dalam setiap tulisannya kental
dengan nuansa istilah – istilah ilmu barat modern tersebut. Karena itu salah satu kritik
pada pemikiran Islam menurutnya adalah miskinnya pemikiran tersebut dari
penggunaan atau pemanfaatan perkembangan ilmu itu. Menurutnya pemikiran Islam
belum membuka diri pada kemodernan dan karena itu pula pemikiran Islam tidak
mampu menjawab tantangan yang dihadapi masyarakat Islam kontemporer. Lebih jauh
ia menegaskan bahwa perkembangan mutakhir ilmu – ilmu Barat tersebut belum
diterima oleh kalangan kaum muslimin. Akibatnya pemikiran Islam masih bersifat naif6.
Dalam lingkungan Islam, memang ilmu – ilmu sosial modern masih dianggap sebagai
ilmu bantu, bukan ilmu inti dan inilah yang mernjadikan ilmu – ilmu Islam menjadi kering
nuansa dan lebih bersifat “melangit” dan seringkali bersifat utopis.
6 Seperti dikutip Johan Hendrik Meuleman dalam tulisannya ‘Nalar Islam dan Nalar Modern : Memperkenalkan Pemikiran Mohammed Arkoun dalam jurnal Ulumul Qur’an No 4 Vol VI, th. 1993, 97.
Berangkat dari keprihatinan itu maka tidak aneh kalau Arkoun banyak
menggunakan pendekatan dan metodologi berbagai cabang ilmu sosial yang ada, mulai
dari antropologi, sosiologi, sejarah, linguistik dan filsafat. Ia beranggapan bahwa ilmu –
ilmu tersebut telah memberi andil untuk memotret dan memetakan kembali kinerja
keilmuwan dan pengalaman manusia7. Ilmu – ilmu sosial tersebut menurutnya juga bisa
digunakan untuk memahami I’imaginare- endapan kesadaran dan keyakinan yang
mengatur perilaku masyarakat serta mencapai pembacaan realitas secara langsung dan
total8. Latar Belakang pemanfaatan terhadap ilmu tersebut bertitik tolak dari
paradigmanya bahwa : menggunakan akal guna mempertebal iman9.
Dari sekian banyak khasanah keilmuwan sosial Barat modern tersebut yang
kerap muncul dan dijadikan pisau analisis Arkoun berasal dari filsuf – filsuf Prancis,
seperti Paul Ricour, Michael Foucault, Jecques Derrida, Pierre Bourdieu dari Inggris, Jack
Goody (ahli bahasa Swis), Ferdinand de Saussure (ahli semiotika Perancis), Roland
Barthes dan ilmuwan kesusasteraan Kanada, Northrop Frye. Istilah – istilah yang mereka
gunakan dipakai oleh Arkoun untuk mengurai teks-teks (termasuk al-Qur’an) dan
produk-produk pemikiran islam lainnya.
Yang perlu dicatat disini adalah bahwa Arkoun tidak secara keseluruhan
mengambil ide-ide Barat tersebut. Ia terkesan hanya mencomot sebagian dan terkadang
memaknainya dengan pengertiannya sendiri. Dari Ricour melalui dua karyanya,
Philosophie de la volonte (filsafat kehendak) dan Del ‘interprelation (perihal interpretasi)
ia mengambil konsep mitos sebagai kelanjutan dari “pemungutannya” terhadap konsep
bahasa dan semiotika Barthens dan de Saussure.
Ricour mengemukakan konsep mitos setelah menguraikan simbol-simbol
dasar yang mengungkapkan penghayatan manusia terhadap kejahatan. Mitos
digunakannya untuk menjelaskan darimana asalnya kejahatan tersebut. Menurutnya,
mitos adalah simbol sekunder yang menjelaskan simbol primer. Karena menggunakan
simbol, maka mitos tidak sama dengan bahasa rasional. Bahasa mistis tidak pernah bisa
7 Seperti diuraikan Amin Abdullah dalam tulisannya, “Arkoun dan Kritik Nalar Islam” dalam Meuleman (penyunting), Tradisi, Kemodernan dan Metamodernisme (Yogyakarta: LKIS,1996),13 Elaborasi lebih lanjut mengenai ini baca Pengantar Meulaman untuk Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern, 128 Mohammed Arkoun, Berbagai Pembacaan Qur’an, terj. Machasin (Jakarta : INIS, 1997),489 Suadi Putro, Muhammed Arkoun tentang Islam dan Modernitas (Jakarta : Paradigma , 1998), 21 yang menjelaskan tentang keanehan Ibrahim dalam bentuk permohonan kepada Tuhannya untuk memperlihatkan bagaimana Dia menghidupkan orang mati. Baca QS Al- Baqarah 2:260. Dalam ayat itu dijelaskan bahwa bukannya Ibrahim tidak percaya tapi agar bertambah tetap hati saya. Ayat ini lebih jauh memberi pelajaran berharga bahwa keimanan agar kuat harus ditopang dengan ilmu
diganti begitu saja dengan bahasa rasional. Ia tidak mungkin diterjemahkan dengan
konsep-konsep. Meskipun demikian, mitos bukanlah khayalan yang tak bermakna. Ia
berperan dalam kehidupan manusia. Hanya menjadi tidak bermakna ketika itu maka
terjadilah apa yang menjadi penyembahan “idola-idola” atau berhala dan ketika itu
maka terjadilah apa yang disebutnya ‘pemistikan”. Sehingga yang harus ditiadakan
adalah salah pemahaman dan penyalahan mitos bukan mitosnya itu sendiri. Sebab, bila
ini terjadi maka mitos yang semula bersifat terbuka menjadi bersidat tertutup10.
Dari pandangan Ricour tersebut Arkoun menjelaskan bahwa mitos merupakan
salah satu unsur terpenting dari angan-angan sosial. Angan-angan sosial memegang
peranan penting untuk membentuk, melestarikan dan mengarahkan berbagai kelompok
sosial. Angan-angan sosial dibangun dari berbagai unsur : sejarah, realitis sosial dan
lingkungan yang bersangkutan. Salah satu unsur penting dari angan-angan sosial itu
adalah mitos yang berperan membentuk citra, cerita dan nilai. Dengan memperhatikan
hal-hal tersebut maka segala bentuk perkembangan pemikiran, baik masa lampau
maupun masa akan datang akan mudah dipahami. Dengan demikian mitos berfungsi
menjelaskan, menunjukkan dan membangun kesadaran kolektif pelakunya.
Pemahamannya tersebut kemudian diaplikasikan untuk baca al-Qur’an. Menurutnya, al-
Qur’an – sebagaimana teks-teks lainnya – juga bersusun mistis dan karenanya bisa
berubah menjadi motologi11, bila pemahaman terhadapanya tidak mengindahkan hal-hal
di atas.
Dari de Seussure dan Barthens, Arkoun mengambil semiotika12. Semiotika
adalah sains tentang tanda dan segala yang berhubungan dengannya : cara berfungsinya
(Sintaks semiotik), hubungan dalam tanda-tanda lain(semantiks esmiotik). Pengiriman
dan menerimaanya oleh mereka yang menggunakannya (pragmatik semiotik). Tanda,
menurut Seussure adalah kesatuan dari dua bidang yang tidak dapat dipisahkan, antara
penanda (signifer) dan petanda (signified) atau makna13. Yang pertama adalah unsur
10 K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX jilid 11 (Jakarta : Gramedia, 196), 254 – 278. dalam buku tersebut dijelaskan bahwa Ricour membagi mitos menjadi empat : mitos kosmis, mitos tragis, mitos tentang Adam dan mitos Orfis. Dari sini timbul pertanyaan, Arkon mengambil mitos yang mana dari yang empat tersebut, apakah diambil semua dan dianggap sama atau bagaimana?. Samapai sejauh ini belum ada yang menjelaskan.11 Meuleman, Nalar Islami, 9912 Semiotika modern memiliki dua orang bapak pendiri : Charles Sanders Pierce (1839 – 1914) dan Ferdinan de Saussure (1857 – 1913). Dalam hal-hal tertentu seperti peristilahan antara keduanya ada sedikit perbedaan. Arkoun tampaknya lebih memilih tokoh kedu. Tidak jelas mengapa, namun bila ia merujuk pada Saussure maka mestnya menggunakan semiologi bukan semiotik lebih jauh baca Art van zoest, serba-serbi semiotika (Jakarta : Gremidia, 1996), 1 - 213 Yasraf Amir Piliang, Hiper Realitas kebudayaan 9Yogyakarta : LKIS, 1996), 111
material dan yang kedua adalah unsur mental (anggita atau konsep). Penanda adalah
yang menandai dan pertanda adalah yang ditandai.
Menurut de Saussure, hubungan antara penanda dan petanda bersifat arbiter
(diada-adakan) dan stabil. Dikatakan arbiter sebab tidak ada keterkaitan logis antara
keduanya, misalnya antara kata rumah dengan rumah yang nyata. Sedangkan dikatakan
stabil, sebab sekali ia dinyatakan pohon misalnya, ia tetap pohon dalam konvensi
komunitas.
Dalam kajian selanjutnya Saussure memfokuskan pada kegiatan struktur yang
menopang bahasa itu sendiri. Ia masuk dalam aliran strukturalisme yaitu suatu aliran
pemikiran yang berupaya menyingkap struktur pemikiran, ungkapan dan tingkah laku
manusia. Dengan ini maka sebuah unsur hanya bermakna ketika ia dikaitkan dengan
peragkat unsur-unsur lain secara total. Disini jelas bahwa Saussure sangat menekankan
individu sebagai subyek yang bertindak sebagai pengguna kode-kode sosial yang sudah
ada. Karenanya ia tidak mengkaji bahasa dari sejarah perkembangan dan artikulasinya.
Intinya (1) strukturisme tidak menganggap penting kajian subyek sebagai
pencipta (tanda, kode), tapi melihatnya sebagai pengguna tanda dan kode yang telah
tersedia (2) tidak menaruh perhatian pada hubungan sebab akibat, tetapi pada relasi
struktur dan (3) tidak menganggap penting pertanyaan tentang sejarah, waktu dan
perubahan pada struktur. Tetapi pada kajian tentang sistem pada satu penggal waktu
tertentu. Dari sini kemudian Saussure menyatakan bahwa bahasa tidak hanya bisa dikaji
secara diakronik (perkembangan dan maknanya secara historis) tapi juga sinkronik (satu
hubungan diantara seerangkat unsur-unsur dalam wadah waktu yang historis).
Kemudian ia menjelaskan bahwa dalam kajian bahasa sinkronik, ada kata
kunci yang mesti diperhatikannya yakni langue dan parole. Langue adalah totalitas dari
sistem dan konvensi bahasa atau sistem kebahasaan, sedangkan parole adalah realitas
penggunaan bahasa atau pemakaian bahasa dalam ungkapan nyata. Langue merupakan
persyaratan bagi parole14.
Dalam pembahasannya, meskipun tidak dalam semuanya, Arkoun banyak
menggunakan analisis semiotik tersebut, meskipun akhirnya melampaui hal itu dan
meloncat pada persoalan makna, pembentukan dan perubahannya, penafsiran makna
dan perubahan dalam penafsiranya serta beralih ke Derrida dan Focoult. Menurutnya, 14 Ibid, 115 - 117
analisis semiotis berguna untuk melihat teks sebagai suatu keseluruhan dan sebagai
suatu sistem dari hubungan-hubungan intern. Dengan ini maka, menurutnya, dalam
mendekati teks seorang peneliti terlepas dari interpretasi tertentu sebelumnya atau
praanggapan lainnya15.
Selajutnya, analisis semiotik Arkoun didapatkan dari Derrida meskipun ia lebih
setuju dengan Saussure, sebab Derrida tidak mengakui adanya “pertanda
transendental” yang berarti kalau hal itu diterapkan pada teks al-Qur’an, maka akan
menafikan kebenaran Ilahi atau tidak mengakui Allah sebagai yang berada di belakang
teks.
Berikutnya, yang didapatkannya dari Derrida adalah konsep dekonstruksi.
Sebelumnya perlu dijelaskan bahwa konsepnya ini merupakan kritik terhadap tradisi
filsafat dan linguistik barat termasuk Saussure. Menurut Derrida, linguistik struktural
Saussure telah mengembangkan konsep oposisi biner antara ucapan dan tulisan, makna
dan bentuk, jiwa dan badan, transendental dan imanensi. Menurutnya, meskipun
keduanya hanyalah perantara atau representasi palsu dari kebenaran atau sesuatu yang
sudah tercemar dan berada di luar kawasan kebenaran yang ada pada hal pertama. Yang
pertama kemudian disebut logosentrisme.
Logosentrisme beranggapan bahwa “ada” adalah sama dengan kehadiran, dan
yang benar adalah lebih awal daripada pertanda.
Dekonstruksi adalah sebuah upaya penyangkalan terhadap oposisi tersebut
dan penolakan terhadap kebenaran logos itu sendiri. Bila dengan oposisi ucapan dan
tulisan merupakan pra kondisi dari bahasa dan ada sebelum ucapan oral. Karena itu
tidak benar kalau tulisan adalah representasi palsu atau topeng dari ucapan. Tulisan bisa
melepaskan diri dari ucapan. Tulisan bagaikan jejak tapak kaki yang mengharuskan kita
untuk mencari si empunya kaki itu. Berfikir, menulis dan berkarya adalah prinsip jejak
yang Derrida sebut dengan difference. Bila dikaitkan dengan logosentrisme Saussare,
maka prinsip difference adalah sebuah penolakan pada petanda atau makna absolut. Hal
ini terjadi karena selalu ada jarak menuju jejak. Pertanda absolut selalu berupa jejak
dibelakang jejak. Dengan itu maka selalu ada celah antara penanda dan pertanda atau
antara teks dan maknanya. Oleh karena itu pencarian makna absolut adalah mustahil16.
15 Meuleman, Nalar Islam, 16 - 1716 Piliang, Hipper, 79 – 80. di sana-sini tampak terdapt paradoks dalam diri Arkon. Karena itu hanya mencmot pemikiran tokoh-tokoh tersebut secara tidak utuh, sehingga pada satu sisi
Dengan dekonstruksi, aturan-aturan yang menyelimuti logosentrisme dapat
diungkap. Sesuatu yang semula dilupakan atau disingkirkan dapat ditemukan kembali.
Meskipun untuk mencapai makna absolut adalah tidak mungkin. Pada tataran inilah
kemudian Arkon menyebut istilah apa yang tak terpikirkan (unthinkable) dan yang tak
terpikir (unthought).
Pemikir Perancis berikutnya yang berpengaruh pada Arkoun mengambil
konsep Episteme dan wacana. Episteme adalah sistem pemikiran yang dengannya
manusia menangkap (memandang dan memahami) kenyataan. Sedangkan wacana
adalah cara manusia membicarakan kenyataan dalam penggolongan, analisis dan
sebagainya. Karena itu, setiap zaman atau orang, lingkungan sosial, kelompok keahlian
dan peradaban memandang, memahami dan membicarakan kenyataan dengan cara
yang berbeda. Masing-masing mempunyai episteme dan wacana. Dengan memahami
ini, maka adalah tidak aneh kalau dengan paham dan wacana ini akan sangat toleran
terhadap realitas heterogen dan plural, terutama dalam memahami teks. Untuk
menganalisis hal tersebut Foucault mengusulkan apa yang disebut arkeologi
pengetahuan17.
Dengan ini semua, Arkoun membangun teori dan pemikirannya dan kemudian
melakukan kritik terhadap seluruh bangunan pemikiran Islam. Bila melihat itu semua
maka yang ingin dibangun Arkoun adalah sebuah kritik terhadap bangunan Epistimologis
yang bertujuan bukan hanya mendekonstruksi tanpa ada tujuan. Dengan itu maka
tampak keterkaitan antara bahasa, pemikiran, ideology dan sejarah.
Dengan menempatkan seluruh bangunan keilmuan pemikiran pada tataran historis,
maka semuanya tidak ada yang sakral, bisa dikritik dan berubah serta dibongkar. dan
dengan demikian, ia menekankan perlunya mempertimbangkan aspek ruang dan waktu
misalnya, ia sepakat dengan Saussure dalam hal bahwa da pertanda transcendental. Berbeda dengan Derrida yang berpendapat sebaliknya, tapi pada saat yang sama ia memakai dekonstruksi atas logosentrismenya Saussure dan kembali mempertimbangkan enanda (bahasa lisan) dari pada bahasa tulis. Hal ini akan tampak ketika ia kemudian memakai “wacana dan episteme” Foucault. Karena itu memakai istilah logosentrisme, meskipun dengan definisi yang berbeda sepeeerti yang diddefinisikan Saussure. Dengan demikian Arkon memakai definisi logosentrisme yang dipakai Derida yang menyatakan bahwa manusia tidak bias mengungkapkan diri atau berfikir kecuali melalui bahasa, tradisi kebahasaan dan tradisi teks. Dengan itu maka ia kembali menggunggulkan kembali bahasa daripada bahasa tulis.17 Untuk lebih jauh memahami gagasan arkeologi pengetahuan tersebut baca Michel Fouctlt, The Archeology of Knowledge & the Diccourse on Language (New York, Harper Clophon Books, 1971)
dalam memahami produk pemikiran18. Historisitas menurutnya berperan untuk
merekontruksi makna lewat penghapusan relevansi antara teks dan konteks dan jika
metode ini diaplikasikan pada teks – teks keagamaan, maka makna baru yang secara
potensial bersemayam dalam teks – teks tersebut akan muncul.
Kritik Nalar Islami Mohammed Arkoun
Nalar Islami yang dimaksudkan oleh Arkoun adalah nalar ortodoksi,
epistimologi skolastik atau pemikiran Islam klasik19. Ide kritik nalar Islam yang digulirkan
oleh Arkoun itu merupakan respon terhadap kegelisahan intelektualnya terhadap
kestagninasian dan kejumudan ilmu – ilmu agama Islam, padahal kehidupan manusia
telah berubah sedemikian fantastisnya, baik dari segi kualitas maupun kuantitas, dari
segi intensitas maupun ekstensitasnya.
Dari sini Arkoun mulai mencoba menelaah kenyataan itu lewat disiplin ilmu
social post modernisme untuk memperoleh gambaran dan kejelasan sekaligus ingin
mengungkap dan membedah realitas yang menyelimuti ilmu – ilmu agama Islam
tersebut.
Dalam studi naskahnya, Arkoun secara teliti dan jujur menelaah bagaimana
sebenarnya proses teks – teks dan naskah – naskah keagamaan Islam klasik itu dahulu
disusun. Suatu pekerjaan yang sama sekali tidak mudah. Menurut telaah filosofis, teks –
teks apapun termasuk di dalamnya teks – teks keagamaan tidak muncul begitu saja dari
langit. Teks tidak muncul dari ruang hampa kebudayaan. Teks – teks dan naskah –
naskah keagamaan apapun bentuknya adalah dikarang, disusun, diciptakan oleh
pengarangnya sesuai dengan tingkat pemikiran manusia saat naskah – naskah tersebut
disusun dan tidak terlepas sama sekali dari pergolakan social politik dan sosial budaya
yang mengitarinya. Bahkan tidak jarang dipengaruhi oleh angan – angan sosial dari si
penyusun atau pengarang naskah itu sendiri dalam merespon tantangan zamannya.
Sering sekali juga terjadi suatu naskah keagamaan dikarang dan disusun oleh
pengarangnya atas campur tangan dan pesan sponsor penguasa dan kekuatan politik
yang dominan saat itu.
18 Mohammed Arkoun, Rethinking Islam Today (Washington : Center for Contemporary Arab Studies George Town University, t.th) 4-519 Mohammad Arkoun, Tarikhiyah al-Fikr al – Arabi al-Islami; terj Hasyim Saleh (Beirut, Markas al- Inma’ al-Qaumi, 1986), 22
Pergolakan dan pergumulan sejarah dalam dataran kehidupan sosial – empiris
baik yang berupa pertentangan kepentingan politik, dominasi kekuatan sosial tertentu,
dominasi mainstream pemikiran keagamaan, keinginan luhur penguasa untuk menjaga
stabilitas dan keamanan Negara , perlindungan terhadap kepentingan ekonomi
golongan masyarakat tertentu dan sebagainya ikut menentukan corak konsepsi, cara
berfikir, kebijakan, made of thought, suatu generasi yang hidup pada era penggal
sejarah tertentu. Konsepsi atau pemikiran keagamaan pada umumnya juga merupakan
cermin dari dinamika pergumulan realitas sosio-historis pada penggal sejarah tertentu
yang terumuskan, terkonsepsikan, dan terungkap dalam bahasa tertentu.
Karena latar belakang itulah concern Arkoun terfokus pada problematika
bahasa dalam pengertian yang luas, bukan hanya sekedar alat komunikasi. Hubungan
antara bahasa pemikiran sejarah, Persaingan antara berbagai jenis bahasa dan cara
berfikir, Menurut Arkoun bahasa mempunyai keterkaitan erat dengan masyarakat dan
pemikirannya. Artinya pembentukan rasio bukan hanya terjadi secara intrinsik, tetapi
juga ekstrinsik, yakni melalui faktor – faktor sosial politik dan relasi – relasi historis.
Dengan demikian tidak ada rasio transcendental yang universal. Yang ada hanyalah rasio
– rasio yang dibatasi determinan – determinan sejarah. Arkoun ingin memperlihatkan
bahwa kontruksi itu mempunyai fokus sosio – historisnya sendiri20. Dengan pemikiran itu
maka Arkoun pada hakekatnya telah melakukan kritik ideologi21.
Berpijak dari bahasa itulah Arkoun melakukan kritik Nalar Islami dan orientalis
barat dengan dekontruksi ala Derrida. Menurut Arkoun bangunan keilmuan islam yang
ada dan diwarisi sekarang, pada mulanya tidak bisa dilepaskan dari keterkaitan dengan
ideologi resmi atau ideologi perlawanan. Hal ini mengakibatkan pemikiran keagamaan
menjadi tertutup dan dibatasi dengan apriori ideologis.
Pada tataran inilah Arkoun melakukan kritik terhadap logosentrisme dalam
Islam. Hal tersebut dikarenakan oleh ; (1) Pemikiran Islam dikuasai oleh nalar yang
dogmatis dan sangat terkait dengan kebenaran abadi (Tuhan). Jadi lebih bersifat estetis
etis daripada ilmiah (2) nalar yang bertugas mengenali kebenaran telah menjadi sempit
dan hanya berkutat dalam wilayah tempat kelahirannya saja, (3) di dalam kegiatannya,
nalar hanya bertitik tolak dari rumusan – rumusan umum dan menggunakan metode
20 Ibid, 6521 Untuk elaborasi lebih lanjut tentang kritik ideology baca F. Budi Hardiman, kritik Ideologi (Yogyakarta : Kanisius, 1990)
analogi, implikasi dan oposisi, (4) peningkatan data – data empiris yang sederhana.
Sehingga berkaitan dengan dengan kebenaran transcendental (menjadi alat apologi) dan
(5) pemikiran Islam cenderung menutup diri dan tidak melihat matra kesejarahan, sosial,
budaya yang harus diikuti secara seragam dan memaksakan tindakan penirun buta (6)
pemikiran Islam lebih mementingkan suatu wacana lahir yang terproyeksikan dalam
ruang bahasa yang terbatas, sesuai kaedah – kaedah bahasa dan cenderung mengulang
suatu yang lama. Sedangkan wacana batin yang melampaui batas – batas logosentrisme
cenderung diabaikan22.
Lebih lanjut Arkoun menyatakan bahwa wacana – wacana logosentrisme telah
menutupi realitas dan menghambat dorongan – dorongan manusia yang kreatif dan
dalam Logosentris telah menafikan pluralitas dan perbedaan seperti perbedaan persepsi
dan bahasa, kesenjangan ekonomi kondisi sosial politik dan pertikaian antar umat serta
menghendaki keseragaman dan kebenaran universal terpusat tunggal23.
Sedangkan kritiknya terhadap tradisi orientalis barat adalah bahwa orientalis
tidak menjelaskan asal – usul naskah – naskah dan teks – teks keagamaan Islam secara
bahasa Arab klasik ke dalam bahasa Inggris, Prancis, Belanda, Jerman dan lain – lain.
Corak dan model kajian seperti itu menurut Arkoun sama sekali tidak menolong umat
Islam untuk mencari tahu bagaimana sebenarnya proses munculnya literatur keagamaan
Islam yang sedemikian melimpah yang seringkali dijejali angan – angan sosial yang hidup
saat itu dan kemudian dipaksakan untuk berlaku selamanya, tanpa mempertimbangkan
kesesuaian dengan waktu yang sebenarnya terbatas pada era tertentu saja24.
Arkoun ingin membangun pemikiran keagamaan yang terbuka, tanpa sikap
apriori teologis terhadap semua pengalaman keagamaan manusia dengan menggunakan
piranti keilmuan post modernisme
Berangkat dari itu semua, menurutnya jika kaum muslimin ingin mencari
kebenaran tentang dirinya, maka bukan hanya harus mengkaji ulang kebenaran wahyu,
tapi juga mengkaji ulang cara – cara khas yang dasarnya kebenaran itu dipahami,
dirasakan, dielaborasi, dijustifikasi, diberi wajah ortodoksi serta dihayati dalam konteks,
waktu dan ruang geografis tertentu. Hanya dengan cara ini setiap visi Islam bisa hidup,
22 Suadi, Mohammed Arkoun, 3823 Robert D.Lee Mencari Islam Autentik, terj Ahad Barquni (Badnung : Mizan 2000) 173-17424 Mohammed Arkoun Al Islam Autentik, terj Ahmad Barquni (Bandung :Mizan 2000), 173-174 Al-Qaumi,1990) 182
tidak membeku dan menjadi toleran terhadap setiap perbedaan serta mengeliminasi
adanya truth claim.
Catatan Kritis tentang Arkoun dan Kritik Nalar Islaminya
Dari paparan di atas tampak bahwa Arkoun dalam mengkaji pemikiran Islam
terwadahi dalam ide kritik nalar Islaminya, banyak dipengaruhi oleh sejumlah aspek dari
pemikiran yang sering disebut post modernisme. Pengaruh ini tampak terutama dalam
tekanan yang selalu diberikan Arkoun pada hubungan yang erat antara sejarah
pemikiran dan bahasa. Kemudian, dalam rangka itu, Arkoun membantah kedaulatan
subyek dalam proses pemikiran dan menggaris bawahi perbedaan yang radikal antara
berbagai episteme dan wacana. Dari sini tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa
Mohammed Arkoun adalah termasuk salah satu pemikir post modernis Islam.
Namun, perlu dicatat disini bahwa Arkoun tidak secara keseluruhan
mengambil ide post modernisme tersebut. Ia terkesan hanya mencomot sebagian dan
terkadang memaknainya dengan pengertiannya sendiri. Dari Ricour misalnya ia hanya
mengambil konsep mitosnya, sedangkan dari de Saussure dan Barthens, Arkoun
mengambil semiotika kemudia ia meloncat ke dekontruksi Derrida.
Pengetahuannya terhadap sejumlah besar cabang ilmu pengetahuan barat
mutakhir, membuat karya Arkoun sangat kaya akan rujukan teoritis. Pada prinsipnya
kemajemukan rujukan itu adalah suatu hal yang positif. Namun Arkoun ternyata tidak
selalu sadar akan ketegangan antara berbagai acuan itu atau antara unsure tertentu dari
sumber rujukannya dan dari pendiriannya sendiri.
Satu contoh yang menonjol berkaitan dengan pengaruh Derrida terhadap
Arkoun. Jika Arkoun banyak mengacu kepada Derrida, mengherankan bahwa dalam dua
hal ia justru mempunyai pendirian yang sangat bertentangan dengan visi Derrida.
Arkoun menganggap bahasa lisan lebih awal dan lebih asli daripada bahasa
tulis. Pendapatnya ini dipengaruhi oleh antropolog Britania Jack Goody. Sementara
Derrida justru mempunyai visi sebaliknya. Untuk menghindari salah faham mengenai
perbedaan pendirian Goody dan Derrida tentang hubungan antara bahasa lisan dan
bahasa tulis, perlu ditambahkan bahwa Goody membicarakan persoalan antropologis .
Sementara Derrida melihatnya dari sudut filosogis. Namun Arkoun mengaitkan
persoalan antropologis dengan mengacu kepada Goody dan persoalan filosogis mengacu
pada Derrida dan pengaitan itulah menimbulkan pertanyaan yang belum dijawab oleh
Arkoun.
Kemudian Arkoun tidak menolak anggitan petandan transendental. Dalam hal
inipun uraian Arkoun sangat bertentangan dengan anggapan Derrida.
Kritik selanjutnya yang patut ditujukan pada Arkoun adalah tentang bahasa
Arkoun. Tidak dapat dipungkiri bahwa Arkoun menggunakan bahasa yang serba rumit.
Sebagian hal itu bias dimaafkan dan dibenarkan sebagaimana dikemukakan Arkoun
sendiri, hampir mustahil mengungkapkan gagasan dalam bahasa bangsa yang belum
memikirkannya. Akan tetapi bagaimanapun Arkoun memang seolah – olah menggemari
gaya tulis yang serba rumit.
Salah satu aspek dari kesulitan bahasa Arkoun adalah kecenderungannya
memakai aneka istilah dan anggitan tanpa rumusan yang jelas atau dalam berbagai arti
yang berbeda. Satu contoh penggunaan istilah langue dan language yang termashyur
dari karya Ferdinand dan Saussure, tetapi oleh Arkoun dipakai dalam arti yang tidak atau
tidak selalu sama.
Aspek lain dari karya Arkoun yang kurang memuaskan adalah inkonsistenanya
dalam memegang ide, di satu sisi ia menghimbau para peneliti Islam agar melampaui
batas studi Islam yang tradisional dengan mendekati Islam melalui karya tertulis
berbagai tokoh klasik. Disisi lain Arkoun sendiri tampaknya memusatkan perhatian pada
berbagai teks dari tokoh besar klasik atau juga tokoh besar kontemporer yang mewakili
tradisi tertentu.
Demikian juga, Dekontruksi Nalar Islam yang digulirkan Arkoun tanpa disertai
penawaran dogma alternative atau doktrin tertentu untuk mengganti yang lama, ini
membuat orang yang mencari kemudahan suatu pegangan yang dengan jelas
memecahkan segala persoalan yang dihadapi untuk selamanya. Sebagaimana
ditawarkan oleh tradisionalisme atau juga oleh “Fundamentalisme” dalam Islam akan
dikecewakan Arkoun.
Disamping kelemahan – kelemahan pemikirannya, Arkoun dengan kritik nalar
Islaminya juga mempunyai kontribusi positif terhadap bangunan epistemology keilmuan
Islam. Dengan kritik nalar Islami, pemikiran umat Islam akan terbebaskan dari segala
macam citra dan gambaran yang sempit. Dan dengannya juga umat islam dapat
membedakan wahyu dengan sejarah, mengembalikan posisi wahyu transenden kepada
tempat semula. Pengembalian ini dilakukan karena wahyu setelah mengalami
pembauran dengan sejarah manusia (ideology, politik, serta kepentingan lainnya) telah
tereduksi oleh beberapa nilai yang dikandungnya, disinilah diperlukan sikap kritis
tersebut terhadap semua jenis teologisme Islam (termasuk semua cabang epistemology
seperti fiqh, tafsir, ilmu kalam, aqidah dan lain – lain) karena bagaimanapun semua itu
adalah ciptaan manusia juga dan kita berhak meletakkan di atas meja kritisisme.
PENUTUP
Pemikiran Arkoun dilatari oleh setting sosial, baik ketika dia masih berada di
Aljazair maupun di Prancis. Kesadaran kebahasan misalnya bermula dari benturan
kebudayaan Arab – Aljazair dan Prancis. Belajar dari situ, Arkoun Nampak sangat kaya
dengan khazanah klasik Islam, sekaligus dengan perkembangan disiplin ilmu modern di
Barat.
Ada beberapa catatan yang tidak lebih sebagai perajut ide dari pemikiran
Arkoun yang njelimet, Karena banyak inkonsistensi yang diperlihatkan oleh Arkoun. Hal
ini tampak sinkretisme dan eklektisme yang dilakukannya terhadap ide – ide Barat Post
Modern. Ada dilemma sehingga harus mengambil sana sini yang sesuai saja, belum lagi
pembacaan ide atau gagasan barat yang tidak tuntas, sehingga mengakibatkan
pengutipan terhadapnya salah
Meski demikian, Arkoun telah membuka cakrawala baru bagi pengkajian
khazanah Islam. Dan juga metodelogi pembaharuan yang ditawarkan, tetap layak di
apresiasikan.