muhammadiyah dalam konstelasi perpolitikan nasional (tugas)
DESCRIPTION
Al Islam dan KemuhamadiyahanTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Muhammadiyah adalah suatu organisasi islam yang didirikan oleh K.H.
Ahmad Dahlan pada tahun 1912 tepatnya di Jogjakarta. Organisasi ini didirikan
pertama kali dengan tujuan “memajukan pendidikan dan ilmu pengetahuan di
hindia belanda berdasarkan ajaran islam dan meningkatkan kehidupan beragama
diantara para anggotanya” (M. Rusli Karim : Kompas : 13)
Organisasi yang telah berumur 1 abad ini berkembang pesat sesuai dengan
perkembangan jaman. Muhammadiyah dikatakan sebagai organisasi islam
terbesar di Indonesia yang berpredikat modernis. Dalam gerakannya, organisasi
ini berkontribusi di berbagai bidang kehidupan, baik agama, sosial-politik,
pendidikan, ekonomi dan budaya. Banyak amal usaha yang didirikan untuk
kesejahteraan masyarakat, seperti sekolah untuk pendidikan, rumah sakit untuk
kesehatan, panti asuhan, perguruan tinggi dan lain-lain, telah jelas bahwa
muhammadiyah bergerak untuk kesejahteraan masyarakat.
Tidak hanya di bidang itu saja, walaupun dengan tegas muhammadiyah
menyatakan bertujuan untuk memelihara, memajukan agama juga kesejahteraan
masyarakat islam, dalam praktek dan kenyataannya, Muhammadiyah tidak pernah
bebas dan membebaskan organisasinya dari masalah politik. Dari orde lama
hingga orde reformasi, Muhammadiyah pun melahirkan banyak tokoh-tokoh yang
berpengaruh terhadap kondisi perpolitikan di Indonesia, dan secara tidak langsung
organisasi ini mengikuti dinamika dalam perpolitikan nasional.
Banyak kalangan yang berpendapat mengenai hubungan muhammadiyah dengan
dunia politik, pro-kontra mengenai hal ini terus bergulir, ada beberapa kalangan
berpendapat bahwa hubungan Muhammadiyah dengan politik sangatlah erat,
anggapan tersebut makin berkembang hingga menyimpulkan Muhammadiyah
tidak bisa lepas dari politik praktis atau Muhammadiyah harus mempunyai partai
politik sendiri yang resmi.
Berbagai macam persepsi dilontarkan dari masyarakat, akan tetapi yang
lebih mengetahui bagaimana posisi dan corak politak Muhammadiyah dalam
kancah perpolitikan nasional adalah organisasi tersebut. Sejak dilahirkan
Muhammadiyah telah mengerti politik, tetapi Muhammadiyah telah berkomitmen
tidak akan melakukan politik praktis. Arah utama Muhammadiyah adalah dakwah,
dakwah artinya membangun peradaban dan dakwah lebih besar dari politik. (M.
Sobary:Kompas:76)
Akan tetapi sejalan dengan semakin kompleksnya permasalahan yang
dihadapi oleh Negara Indonesia, mendorong Muhammadiyah untuk peka dan
peduli dengan realitas permasalahan yang dihadapi Negara ini, sehingga hal
tersebut mendorong Muhammadiyah untuk memiliki kemandirian politik.
BAB II
MEMAHAMI PERAN POLITIK MUHAMMADIYAH DALAM
KANCAH PERPOLITIKAN INDONESIA
2.1 Pengertian Khittah
Khittah artinya garis besar perjuangan. Khittah itu mengandung konsepsi
(pemikiran) perjuangan yang merupakan tuntunan, pedoman, dan arah perjuangan.
Hal tersebut mempunyai arti penting karena menjadi landasan berfikir dan amal
usaha bagi semua pimpinan dan anggota muhammadiyah. Garis – garis
perjuangan muhammadiyah tersebut tidak boleh bertentangan dengan asas dan
tujuan serta program yang telah disusun.
2.2 Lima Khittah Perjuangan Muhammadiyah, antara lain:
A. Khittah Muhammadiyah Tahun 1956-1959 (Khittah
Palembang)
Pada masa kepemimpinan Buya Sutan Mansyur,
Muhammadiyah berhasil merumuskan khittah
perjuangannya untuk periode 1956-1959.
1) Menjiwai pribadi para anggota terutama para pemimpin
Muhammadiyah dengan :
a) Memperdalam dan mempertebal ilmu tauhid
b) Menyempurnakan ibadah dengan khusu’ dan tawadu’
c) Mempertinggi akhlaq
d) Memperluas ilmu pengetahuan
e) Menggerakkan Muhammadiyah dengan penuh
keyakian dan rasa tanggung jawab, hanya
mengharapkan ridho dari Allah dan kebahagiaan umat
2) Melaksanakan uswatun hasanah
a) Muhammadiyah harus selalu dapat membimbing
pendapat di muka umum, sehingga mempunyai sifat
yang tetap maju membangun serta memperbaharui
agar dapat bergerak lincah dan progresif
b) Menegakkan agama Islam dengan menampakkan
kepada dunia tentang keindahan agama Islam,
mendidik mereka ke arah budi pekerti yang mulia
supaya aturan-aturan Islam dapat berlaku di
masyarakat
c) Membentuk rumah tangga bahagia menurut Islam dan
menjaga hubungan baik dalam bertetangga
d) Mengatur kehidupan bertetangga dan bermasyarakat
baik dalam hal perkawinan maupun kematian
sehingga dapat mewujudkan masyarakat Islami
e) Anggota Muhammadiyah harus menyesuaikan diri
dengan ke-Islamannya di masyarakat
3) Mengutuhkan organisasi dan merapikan administrasi
a) Dengan keutuhan dan kuatnya organisasi itu berarti
meminimalisir terjadinya fitnah
b) Memperbaharui dan mamadukan tenaga pengurus
denagn memindahkannya ke dalam beberapa tempat
dalam beberapa majelis
c) Penanamkan kesadaran berorganisasi
d) Pengaturan administrasi menggunakan aturan yang
telah ditetapkan
e) Melakukan pemeliharaan yang baik atas harta benda
dan kekayaan Muhammadiyah (inventarisasi yang
baik)
f) Mendaftar tenaga ahli yang ada dimiliki oleh keluarga
Muhammadiyah sehingga memudahkan terhadap
sesuatu yang dibutuhkan
4) Memperbanyak dan mempertinggi mutu amal
a) Memperbaiki dan melengkapkan amal usaha
Muhammadiyah sehingga dapat mendatangkan
manfaat kepada sesama manusia dari segala lapisan
dan golongan masyarakat
b) Menggiatkan kegiatan perpustakaan, karang
mengarang, penterjemahan, penerbitan, taman
bacaan, dan kutub knanah
c) Mendirikan asrama-asrama di tempat-tempat yang
ada sekolah-sekolah lanjutan dengan diberi pendidikan
jasmani dan rohani.
5) Mempertinggi mutu anggota dan membentuk kader
a) Menetapkan pengertian dan amalan yang minimum
tentang agama yang perlu dimiliki oleh tiap-tiap
anggota Muhammadiyah
b) Memberikan penghargaan terhadap setiap keluarga
Muhammadiyah dan anak Muhammadiyah pada
khususnya dan umat Islam pada umumnya, yang
berjasa, yang tua dihormati dan muda disayangi
c) Menuntun anggota keluarga menurut bakat dan
kecakapannya sesuai dengan ajaran Islam
d) Menempatkan pecinta dan pendukung Muhammadiyah
berjenjang naik, mulai dari simpatisan, calon anggota,
anggota biasa, dan anggota teras
e) Mengadakan kursus kemasyarakatan di daerah
6) Mempererat ukhuwah
a) Mempererat hubungan antar sesama muslimin menuju
arah kesatuan Islam
b) Mengadakan ikatan yang nyata, seperti berjama’ah,
himpunan berkala, dan takziyah
c) Mengadakan Badan Islah untuk :
i) Sebagai penghubung bilamana ada keretakan
ii) Mencegah hal-hal yang menimbulkan kerusakan
iii) Menghindarkan dan menjauhkan hal-hal yang dapat
menimbulkan perselisihan dan persengketaan
7) Menuntun penghidupan anggota
Membimbing keluarga Muhammadiyah yang meliputi
segenap persoalan, kesulitan penghidupan, pencarian
nafkah, dan menyalurkan kepada saluran yang menuju
kesempurnaan
B. Khittah Perjuangan Muhammadiyah Tahun 1969
(Khittah Ponorogo)
1) Pola dasar perjuangan
a) Muhammadiyah berjuang untuk mencapai suatu cita-
cita dan keyakinan hidup yang bersumber ajaran Islam
b) Da’wah Islam dan Amar Ma’ruf Nahi Munkar dalam arti
dan proporsi yang sebenar-benarnya sebagaimana
yang dituntunkan oleh Nabi Muhammad SAW adalah
satu-satunya jalan untuk mencapai cita-cita dan
keyakina hidup tersebut
c) Da’wah Islam dan Amar Ma’ruf Nahi Munkar seperti
yang dimaksud harus dilakukan melalui dua saluran
yaitu saluran politik kenegaraan dan saluran
masyarakat
d) Untuk melakukan perjuangan Da’wah Islam dan Amar
Ma’ruf Nahi Munkar seperti yang dimaksud di atas,
dibuat alatnya masing-masing yang berupa
organisasi : untuk saluran politik dengan partai politik
(politik praktis), untuk saluran masyarakat dengan
organisasi non partai
e) Muhammadiyah sebagai organisasi memilih dan
menempatkan diri sebagai “Gerakan Islam dan Amar
Ma’ruf Nahi Munkar dalam bidang masyarakat”.
Sedang untuk alat perjuangan dalam bidang politik
kenegaraan (politik praktis), Muhammadiyah
membentuk satu partai di luar organisasi
Muhammadiyah
f) Muhammadiyah harus menyadari bahwa partai
tersebut adalah merupakan objeknya dan wajib
membinanya
g) Antara Muhammadiyah dengan partai tidak ada
hubungan organisatoris, tepapi tetap mempunyai
hubungan ideologis
h) Masing-masing berdiri dan berjalan sendiri-sendiri
menurut caranya sendiri-sendiri, tetapi dengan saling
pengertian dan menuju tujuan yang satu
i) Pada prinsipnya tidak dibenarkan adanya perangkapan
jabatan, terutama jabatan pimpinan antara keduanya,
demi tertibnya pembagian pekerjaan.
2) Program dasar perjuangan
Dengan Da’wah dan Amar Ma’ruf Nahi Munkar dalam arti
dan proporsi yang sebenar-benarnya, Muhammadiyah harus
dapat membuktikan secara teoritis konsepsionil, secara
operasional, dan secara konkrit riil, bahwa ajaran Islam
mampu mengatur masyarakat dalam NKRI yang ber-
Pancasila dan UUD 1945 menjadi masyarakat adil dan
makmur serta sejahtera, bahagia, dan spiritual yang diridhai
Allah SWT
C. Khittah Muhammadiyah Tahun 1971 (Khittah Ujung
Pandang)
1) Muhammadiyah adalah Gerakan Da’wah Islam yang
beramal dalam bidang kehidupan manusia dan
masyarakat, tidak mempunyai hubungan organisatoris
dengan dan tidak merupakan afiliasi dari suatu partai
politik atau organisasi apapun
2) Setiap anggota Muhammadiyah sesuai dengan hak
asasinya, dapat tidak memasuki atau memasuki
organisasi lain, sepanjang tidak menyimpang dari
Anggaran Dasar, anggaran Rumah Tangga, dan
ketentuan-ketentuan lainnya yang berlaku dalam
Persyarikatan Muhammadiyah
3) Untuk lebih memantapkan Muhammadiyah sebagai
Gerakan Da’wah Islam setelah Pemilu 1971,
Muhammadiyah melakukan amar ma’ruf nahi munkar
secara konstruktifdan positif terhadap Partai Muslimin
Indonesia seperti halnya terhadap partai-partai politik dan
organisasi-organisasi lainnya
4) Untuk lebih meningkatkan partisipasi Muhammadiyah
dalam pelaksanaan pembangunan nasional,
mengamanatkan kepada Pimpinan Pusat Muhammadiyah
untuk menggariskan kebijaksanaan dan mengambil
langkah-langkah dalam pembangunan ekonomi, sosial,
dan mental spiritual.
D. Khittah Perjuangan Muhammadiyah Tahun 1978
(Khittah Surabaya)
1) Hakekat Muhammadiyah
Muhammadiyah sebagai gerakan, dalam mengikuti
perkembangan dan perubahan itu, senantiasa
mempunyai kepentingan untuk melaksanakan amar
ma’ruf nahi munkar, serta menyelenggarakan gerakan
dan amal usaha yang sesuai dengan lapangan yang
dipilihnya, ialah masyarakat; sebagai usaha
Muhammadiyah untuk mencapai tujuaannya : “
Menegakkan dan menjunjung tinggi agama islam
sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-
benarnya”.
Di dalam melaksanakan usaha tersebut, muhammadiyah
berjalan di atas prinsip gerakannya, seperti yang di
maksud di dalam “ Muatan dan Keyakinan cita-cita Hidup
Muhammadiyah (MKCHM)”.
2) Muhammadiyah dan masyarakat
Sesuai dengan khittahnya, Muhammadiyah sebagi
persyarikatan memilih dan menempatkan diri sebagai
Gerakan Islam Amar ma’ruf nahi munkar dalam
masyarakat, dengan maksud yang terutama ialah
membentuk keluarga dan masyarakat sejahtera sesuai
dengan Da’wah Jama’ah.
3) Muhammadiyah dan politik
Dalam bidang politik, Muhammadiyah berusaha sesuai
dengan khittahnya: dengan dakwah amar ma’ruf nahi
munkar dalam arti dan proporsi yang sebenar-benarnya.
Muhammadiyah harus dapat membuktikan secara teoritis
konsepsional, secara operasional, dan secara konkrit riil,
bahwa ajaran Islam mengatur masyarakat dalam Negara
Republik Indonesia yang ber-Pancasila dan UUD 1945
menjadi masyarakat yang adil dan makmur serta
sejahtera, material, dan spiritual yang dirishoi Allah swt.
4) Muhammadiyah dan Ukhuwah Islamiyah
Sesuai dengan kepribadiaanya, Muhammadiyah akan
bekerja sama dengan golongan Islam maupun juga dalam
usaha menyiarkan dan mengamalkan Agama Islam serta
membela kepentingannya.
Dalam melakukan kerjasama tersebut, Muhammadiyah
tidak bermaksud menggabungkan dan
mensubordinasikan oraganisasinya dengan organisasi
institusi lainnya.
5) Dasar program Muhammadiyah
Berdasarkan landasan serta pendirian tersebut di ats
dengan memperhatikan kemampuan dan potensi
Muhammadiyah dan bagiannya, perlu ditetapkan langkah
kebijaksanaan, sebagai berikut:
Memulihkan kembali Muhammadiyah sebagai
persyarikatan yang menghimpun sebagian anggota
masyarakat, terdiri dari muslimin dan muslimat yang
beriman teguh, taat beribadah, berakhlak mulia, dan
menjadi teladan yang baik di tengah-tengah masyarakat.
Meningkatkan pengertian dan kematangan anggota
Muhammadiyah tentang hak dan kewajiban sebagai
warga Negara Kesatuan Republik Indonesia
Menempatkan persyarikatan Muhammadiyah sebagai
gerakan untuk melaksanakan dakwah amar ma’ruf nahi
munkar ke segenap penjuru dan lapisan masyarakat.
Mengamanatkan kepada PP Muhammdiyah untuk
menyusun penjelasan Khittah Perjuangan Muhammadiyah
tersebut, agar tidak menimbulkan penafsiran ganda dari
kalangan anggota Muhammadiyah.
E. Khittah Muhammadiyah Dalam Kehidupan
Berbangsa dan Bernegara Tahun 2002 (Khittah
Denpasar)
1) Muhammadiyah meyakini bahwa politik dalam kehidupan
bangsa dan negara merupakan salah satu aspek ajaran
Islam dalam urusan keduniawian yang harus selalu
dimotivasi, dijiwai, dan dibingkai oleh nilai-nilai luhur
agama dan moral yang utama. Karena itu diperlukan
sikap dan moral yang positif dari seluruh warga
Muhammadiyah dalam menjalani kehidupan pilitik untuk
tegaknya kehidupan berbangsa dan bernegara
2) Muhammadiyah meyakini bahwa negara dan usaha-usaha
membangun kehidupan berbangsa dan bernegara, baik
melalui perjuangan politik maupun memalui
pengembangan masyarakat, pada dasarnya merupakan
wahana yang mutlak diperlukan untuk membangun
dimana nilai-nilai Illahiyah melandasi dan tumbuh subur
bersamaan dengan tegakknya nilai-nilai kebersamaan,
keadilan, perdamaian, ketertiban, keadaban untuk
terwujudnya “Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur”
3) Muhammadiyah memilih perjuangan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara melalui usaha-usaha
pembinaan atau pemberdayaan masyarakat guna
terwujudnya masyarakat madani yang kuat sebagaimana
tujuan muhammadiyah untuk mewujudkan masyarakat
Islam yang sebenar-benarnya. Sedangkan hal-hal yang
berkaitan dengan kebijakan kenegaraan sebagai proses
dan hasil dari fungsi politik pemerintahan akan ditempuh
melalui pendekatan-pendekatan secara tepat dan
bijaksana sesuai prinsip-prinsip perjuangan kelompok
kepentingan yang efektif dalam kehidupan negara yang
demokratis
4) Muhammadiyah mendorong secara kritis atas perjuangan
politik yang bersifat praktis dan berorientasi pada
kekuasaan untuk dijalankan oleh partai-partai politik dan
lembaga-lembaga formal kenegaraan dengan sebaik-
baiknya menuju terciptanya sistem politik yang
demokratis dan berkeadaban sesuai dengan cita-cita
luhur bangsa dan negara. Dalam hal ini perjuangan politik
yang dilakukan oleh kekuatan-kekuatan politik
hendaknya benar-benar mengedepankan kepentingan
rakyat dan tegaknya nilai-nilai utama sebagaimana yang
menjadi semangat dasar dan tujuan didirikannya NKRI
yang diprolkamasikan tahun 1945
5) Muhammadiyah senantiasa memainkan peran politiknya
sebagai wujud dari da’wah amar ma’ruf nahi
munkarbdengan jalan mempengaruhi proses dan
kebijakan negara agar tetap berjalan sesuai dengan
konstitusi dan cita-cita luhur bangsa. Muhammadiyah
secara aktif menjadi kekuatan perekat bangsa dan
berfungsi sebagai wahana pendidikan politik yang sehat
menuju kehidupan nasional yang damai dan berkeadaban
6) Muhammadiyah tidak berafiliasi ddan tidak mempunyai
hubungan organisatoris dengan kekuatan-kekuatan
politik atau organisasi manapun. Muhammadiyah
senantiasa mengembangkan sikap positif dalam
memandang perjuangan pollitik dan menjalankan fungsi
kritik sesuai dengan prinsip amar ma’ruf nahi munkar
demi tegaknya sistem politik kenegaraan yang
demokratis dan berkeadaban
7) Muhammadiyah memberikan kebebasan kepada setiap
anggota persyarikatan untuk menggunakan hak pilihnya
dalam kehidupan politik sesuai dengan hati nurani
masing-masing. Penggunaan hak pilih tersebut harus
sesuai dengantangguang jawab sebagai warga negara
yag dilaksanakan secara rasional dan kritis, sejalan
dengan misi dan kepentingan Muhammadiayah, demi
kemaslahatan bangsa dan negara
8) Muhammadiyah meminta kepada segenap anggotanya
yang aktif dalam politik untuk benar-benar melaksanakan
tugas dan kegiatan politik secara sungguh-sungguh
dengan mengedepankan tanggung jawab, akhlaq mulia,
keteladanan, dan perdamaian. Aktifitas polotik tersebut
harus sejalan dengan upaya memperjuangkan misi
persyarikatan dalam melaksanakan da’wah amar ma’ruf
nahi munkar.
2.3 Corak, Perkembangan, Serta Implikasi Politik Muhammadiyah
Telah dijelaskan dalam latar belakang bahwa Muhammadiyah adalah
organisasi Islam yang modernis, Muhammadiyah sejak awal berdirinya telah
mendeklarasikan sebagai gerakan pembaharu (gerakan tajdid). Terobosan-
terobosan yang dilakukan Muhammadiyah yang cukup Kontroversial pada
jamannya, menempatkan Muhammadiyah dalam garda depan gerakan modern
lainnya, seperti Budi Utomo dan Syarikat Islam. Dalam konteks sejarah reformasi
yang pertama dilakukan, Muhammadiyah menggeser tradisi-tradisi tradisional
yang kontra produktif terhadap kemajuan umat dan bangsa, tradisi ini diganti
dengan tradisi yang lebih modern. Karena alam pikiran tradisionalis telah
membelenggu kreatifitas dengan dogma-dogma yang irrasional dan anti kemajuan
sebagai sasaran pokok dengan berlandaskan pada pemikiran-pemikiran rasional.
(Amien Rais, dkk : 1999 : xvii).
Bapak Din Syamsudin mengatakan Muhammadiyah adalah gerakan sosial-
keagamaan yang memiliki serba wajah (dzu wujuh), baik pada sifat gerakan,
dataran kegiatan, maupun tataran aktualisasi dari pada aspek kehidupan
masyarakat. Muhammadiyah sendiri mengukuhkan tridimensi gerakannya, yaitu
keislaman, dakwah, dan pembaharuan (tajdid), tetapi juga melaksanakan kegiatan
dalam hampir semua aspek kebudayaan, seperti sosial, pendidikan, kesehatan,
ekonomi, tabligh, dan politik. Pada aspek tertentu kegiatan tersebut dilangsungkan
pada tataran berbeda, seperti dalam bidang politik walaupun hanya bersifat teoritis
diselenggaran dalam tingkat adiluhung atau high politics.
2.4 Corak Politik Muhammadiyah
Semua pihak mengetahui bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik
dan tidak pernah menjadi organisasi politik. Walaupun dalam Doktrin
Muhammadiyah menyebutkan bahwa “Muhammadiyah menghindari kegiatan
politik praktis” (Dr. Amien Rais : 1998: 48) dimensi politik dari gerakan
Muhammadiyah tidak dapat diabaikan. (Sudarnoto A H:kompas:83). Dalam tubuh
Muhammadiyah telah berkembang corak pemikiran yang cerdas tentang posisi
politik Muhammadiyah. Pikiran tersebut intinya menegaskan bahwa
Muhammadiyah tidak mengabaikan politik, tetapi tidak berarti bahwa
Muhammadiyah tidak mempunyai respon terhadap kondisi sosial pada masanya.
Pikiran ini pernah muncul dan diterapan pada periode awal Muhammadiyah, dan
dikemukakan kembali oleh Amien Rais (Ketua PP Muhammadiyah) waktu itu,
pada sekitar tahun 1997, dengan istilah baru: high politics atau politik adi luhung
(tingka tinggi).
Politik adiluhung adalah politik dimana Muhammadiyah tidak hanya peduli
dengan keagamaan tetapi juga peduli dengan realitas sosial yang terjadi.
Muhammadiyah harus sensitif dan perlu merespon berbagai isu-isu seperti: KKN,
kepemimpinan nasional, kemiskinan, ketidakadilan global, konflik dan berbagai
macam fenomena sosial di Indonesia. Sehingga Muhammadiyah dalam konteks
ini perlu memiliki kemandirian politik. Artinya organisasi Muhammadiyah lahir
adalah demi kepentingan umat, dan bukan pengabdian kepada para pemimpinnya.
Atau para elit Muhammadiyah harus tampil dalam pengabdian masyarakat tanpa
beban politik dan interest pribadi. Muhammadiyah secara konstitusi internal
organisasi mengedepankan prinsip politik untuk dakwah bukan dakwah untuk
politik, hal ini jelas tergambar dalam matan keperibadian Muhammadiyah,
disamping sebagai gerakan Islam dan gerakan Tajdid, Muhammadiyah
menekankan diri sebagai gerakan dakwah. Segala kegiatan dalam bidang
pendidikan, social, termasuk politik diselenggarakan untuk kepentingan dakwah.
Muhammadiyah memiliki slogan yang menarik “hidup hidupilah
Muhammadiyah, dan jangan mencari kehidupan di Muhammadiyah” ungkapan
KH.Ahmad dahlan ini memiliki arti yang sangat mendalam sesungguhnya bila
dikaitkan dengan isu kontemporer prinsip high politic yaitu politik tingkat tinggi
atau politik Adiluhung yang dicetuskan oleh Amien Rais sangat layak untuk
menangkal permasalahan-permasalahan intress politic dikalangan petinggi
Muhammadiyah saat ini.
2.5 Perkembangan dan Implikasi Politik Muhammadiyah
Untuk melihat perkembangan dan implikasi politik Muhammadiyah, kita
harus mengidentifikasi fenomena kemunculan Muhammadiyah hingga fase
perkembangannya hingga saat ini. Ada empat fase perkembangan
Muhammadiyah, empat fase perkembangan Muhammadiyah yaitu :
1. Fase Identifikasi Diri
Pada fase ini Muhammadiyah menampilkan dirinya sebagai gerakan
Islam Modern yang berbasis perkotaan dan menjanjikan perubahan. Dalam fase
ini Muhammadiyah secara bertahap telah berhasil memperoleh dukungan yang
cukup luas.
2. Fase Ideologi Politik
Pada fase ini basis massa yang terbangun atas dasar Islam ini merupakan
legitimasi terhadap kelibatan elite Muhammadiyah secara praktis dalam politik
sekaligus merumuskan Islam sebagai Ideologi politik. Catatan sejarah
mengungkapkan bahwa tuntutan kelompok ini ialah tegaknya satu bentuk
masyarakat sosial-ekonomi dan politik Indonesia modern yang didasarkan
kepada ajaran Islam, contohnya keterlibatan Muhammadiyah atau sejumlah
tokoh-tokohnya mendirikan PII, MIAI, Partai Masyumi dan Parmusi.
3. Fase Depolitisasi dan Deideologisasi
Tumbangnya komunis dan tegaknya orde baru sebenarnya memberikan
harapan termasuk bagi Muhammadiyah untuk melanjutkan perjuangan
politiknya. Akan tetapi peluang harus mengikuti logika restrukturisasi politik
orde baru dalam rangka stabilitas dan pembangunan nasional. Yang berarti
bahwa Muhammadiyah pada akhirnya harus menerima kenyataan bahwa
ideologi politik Islam sebagaimana yang selama ini diperjuangkan harus segera
dikubur. Karena dalam penyesuaian politik orde baru, pragmatism politik harus
menjadi satu-satunya pilihan sikap yang harus diambil oleh Muhammadiyah.
4. Fase Repotilisasi
Era depolitisasi dan deideologisasi Muhammadiyah ini semakin
memperoleh bentuknya, tentu sejak penerapan Pancasila sebagai satu-satunya
Azas. Di masa ini kebangkitan kultural islam mulai Nampak dan hal ini pula
yang mempersubur semangat repolitisasi di lingkungan warga Muhammadiyah
ini dibuktikan dengan dijumpainya banyak aktifis orsospol yang merupakan
tokoh Muhammadiyah atau partisipan, dan hal ini pula yang menyebabkan
faktor mobilisasi warga Muhammadiyah untuk melakukan “ittiba politik”
kepada para pembesar.
(Sudarnoto A.H : Kompas : 83-87)
2.6 Muhammadiyah dan Politik
Pada saat Muhammadiyah di hadapkan pada partai-partai
politik yang bermunculan pada era reformasi di Indonesia pasca
tahun 1998, sikap dasar Muhammadiyah sebenarnya tampak
tidak berubah. Sesuai dengan khittah dan kepribadiannya
Muhammadiyah tetap ingin memelihara jati dirinya sebagai
organisasi ( Perserikatan ) gerakan Islam dan dakwah Amar
Makruf Nahi Munkar yang tidak berafiliasi ke dalam dan tidak
merupakan bagian dari organisasi politik apapun.
Muhammadiyah sering dikatakan sebagai organisasi social-
keagamaan dan bukan merupakan organisasi politik serta tidak
“Berpolitik Praktis” . Posisi dan fungsi Muhammadiyah yang
seperti itu tidaklah berubah. Terlebih lagi sejak tahun 1971
(Muktamar di Ujung Pandang) telah menegaskan kembali
mengenai Khittahnya , setelah pada masa orde lama sempat
terlibat dalam percaturan “Real Politics” (Politik Praktis) melalui
Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dalam rentang
tahun 1945 sampai 1959 dan sempat membidani kelahiran partai
Muslimin Indonesia (Parmusi) pada masa awal orde baru.
2.7 Peran Politik Muhammadiyah
Sebagai gerakan Islam yang memilih focus gerakan social-
keagamaan non politik memang tepat untuk tidak terjun ke
dunia politik praktis baik dalam bentuk menjadi partai
politik ,berafiliasi dengan kekuatan politik tertentu maupun
melakukan kegiatan-kegiatan politik langsung sebagaimana
dilakukan oleh partai politik yang bersifat partisan. Dalam
kosakata orang-orang Muhammadiyah, bahwa persyarikatan ini
tidak boleh berubah dan harus tetap istiqomah sebagai gerakan
Islam dan dakwah Amar Makruf Nahi Munkar yang tidak
memasuki dunia politik praktis. Gegap gempita dunia politik
nasional di era reformasi tidak perlu memunculkan kekhawatiran
berlebihan bahwa Muhammadiyah akan berputar arah ke dunia
politik. Arus utama warga Muhammadiyah tetap berpijak pada
sikap dasar sebagaimana Khittah dan kepribadiaannya.
2.8 Peran Muhammadiyah dalam Perpolitikan Nasional.
Menurut HAMKA (1908-1981) ada tiga faktor yang mendorong lahirnya
gerakan ini, yang pertama adalah keterbelakangan dan kebodohan ummat islam
Indonesia dalam hampir semua bidang kehidupan. Kedua, suasana kemiskinan
yang parah yang diderita ummat dalam suatu negeri kaya seperti Indonesia.
Ketiga, kondisi pendidikan islam yang sudah sangat kuno, seperti yang terlihat
pada pesantren.
Pada saat ini kita sadari bahwa betapa compang-campingnya sistem sosial
kehidupan bangsa ini, kerusuhan terjadi dimana-mana, ketidakstabilan politik dan
ekonomi dan pemerintahan, para tokoh, institusi dari berbagai bidang dan
pemerintah semakin kehilangan legitimasinya sehingga tidak memilliki
kewibawaan untuk dapat ikut menyelesaikan permasalahan, masalah korupsi dan
yang lainnya membuat tatanan hidup bangsa semakin berantakan, hal ini pula
yang mendorong muhammadiyah untuk tidak dapat terlalu menjauh dengan dunia
politik, akan tetapi para fungsionaris perserikatan ini sering melontarkan
statement mengenai perlu dilakukannya usaha-usaha yang tegas untuk dapat
menjaga jarak dengan permainan politik praktis.
2.9 Kiprah Muhammadiyah dalam perpolitikan zaman Orde Lama
Kiprah politik muhammadiyah pada zaman orde lama sangatlah menarik,
mengingat organisasi islam ini senantiasa terlibat dalam konteks politik Indonesia
dari mulai merumuskan bentuk Negara dan dasar Negara di masa awal
kemerdekaan Indonesia, menjelang awal kemerdekaan ada dua kelompok
kekuatan yang saling bersaing untuk menentukan bentuk Negara. Dan akhirnya
dibentuklah panitia Sembilan yang merumuskan piagam Jakarta yang dimana
salah satu isi dari piagam tersebut menyebutkan bahwa “ ketuhanan, dengan
kewajiban menjalankan syariat islam bagi para pemeluknya menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Pernyataan tersebut akhirnya mengundang perdebatan dan dihapus dari Piagam
Jakarta karena dianggap mengandung diskriminasi terhadap kelompok non-
muslim, hal tersebut akhirnya membuat kelompok islam merasakan benar
kkebutuhan akan sebuah wadah dalam percaturan perpolitikan nasional. Dengan
alasan ini para tokoh islam pada tanggal 8 November 1945 dalam kongres umat
islam di Jogjakarta mendirikan Partai Majelis Syura Muslimin Indonesia
(Masyumi). Di dalam partai tersebut, Muhammadiah berperan aktif, ini dibuktikan
dengan di awal berdirinya, Masyumi dipimpin oleh Dr Sukiman Wirjosandjojo
dari Muhammadiyah, kepengurusan dalam Pimpinan Masyumi lebih banyak
didominasi oleh utusan Muhammadiyah yang mencapai lebih dari 50%. Setelah
NU memutuskan untuk keluar dari Partai Masyumi akibat tidak setujunya NU
terhadap kepemimpinan Natsir yang reformis, akhirnya membuat kepengurusan
Masyumi lebih didominasi oleh orang-orang Muhammadiyah.
Di pertengahan tahun 1960, Presiden Soekarno mengumumkan bahwa kabinet
gotong royong yang merupakan koalisi dari 4 partai utama, dan dengan tegas
sebagai perdana menteri, Masyumi dengan sengit menentang aksi Sukarno ini
karena Masyumi tidak bisa bekerja sama dengan PKI. Tidak lama setelah itu
angota-anggota Masyumi anti komunis mengadakan pemberontakan di Sumatra
dan Sulawesi menentang Pemerintah pusat, dan inilah yang menyebabkan
Presiden Soekarno di tahun 1960 membubarkan Masyumi.
2.10 Kiprah Muhammadiyah dalam Perpolitikan jaman Orde Baru
Perpolitikan dalam Muhammadiyah saat Orde Baru kembali diguncang,
Dengan dibubarkannya Masyumi kelompok Islam kembali tidak memiliki wadah
yang mewakili kelompoknya dalam pemerintahan, sejak itu kelompok Islam
termasuk Muhammadiyah kembali membuat sebuah Partai pengganti Masyumi
dan diberi nama dengan Parmusi. Parmusi sendiri terbentuk oleh SK Presiden,
akan tetapi Pemerintah mengajukan syarat pembentukan Partai tersebut yaitu tidak
adanya eks Masyumi yang masuk ke dalam anggota Parmusi. Orde Baru juga
memberlakukan kontrol yang ketat terhadap kegiatan maupun pembentukan
struktur kepemimpinan Partai ini. Dalam catatan lain, yaitu pemilu 1977 Parmusi
hanya mendapatkan 5,36% suara, hal ini berbanding terbalik dengan apa yang
dicapai oleh Masyumi dalam pemilu 1955 yang mendapatkan 20,9% suara. Ada
beberapa sebab yang melatarbelakanginya kekalahan Parmusi, yaitu terbentuknya
Parmusi berdasarkan SK Presiden dan kontrol ketat yang dijalankan oleh Presiden
kepada Parmusi, serta kekecewaan kaum modernis terhadap kinerja Parmusi.
Kegagalan ini yang membuat kecewa seluruh lapisan umat Islam termasuk
Muhammadiyah, karena Parmusi yang diharap menjadi pengganti Masyumi
malah kehilangan kewibawaan akibat kontrol yang ketat dari pemerintah. Sebab
itu banyak pendukung Parmusi yang mengalihkan keterlibatannya dengan terlibat
aktif kedalam lembaga dakwah, LSM, dan pergerakan Non-Politik lainnya.
Semenjak terjadinya kudeta Naro 1970, kepemimpinan Parmusi tidak
mengundang simpati umat, hal ini semakin membuat menjauhnya umat muslim
dan Muhammadiyah untuk mendukung Parmusi. Menurut Wertheim, kekalahan
Parmusi disebabkan banyaknya kantong-kantong pendukung Masyumi yang
berada di Jawa Barat beralih dukungannya kepada Golkar. Kemenangan Golkar
dalam merebut dukungan umat muslim adalah dengan mengangkat isu tentang
modernisasi dan pembangunan ekonomi. Sementara daerah Jawa Timur yang
basis besarnya adalah NU, malah sedikit yang mendukung Parmusi. Masyarakat
NU lebih banyak memilih Golkar. Golkar sendiri mendapat dukungan pada basis
ini berasal dari eks pendukung PNI dan PKI.
2.11 Kiprah Muhammadiyah dalam Perpolitikan Jaman Orde Reformasi
Setelah berakhirnya Era Orde Baru dengan kejatuhannya Soeharto, dan
berganti dengan Era Orde Reformasi yang dimana “Era Kebebasan” termasuk
didalamnya kebebasan berpolitik. Kebebasan ini ditandai dengan munculnya
berbagai macam partai-partai, padahal baru enam bulan Soeharto jatuh.
Menjamurnya partai yang beraliran Naisonalis hingga Agama, membuat
Muhammadiyah menjadi terbelah dua. Kalangan Muhammadiyah terbagi dua
dikarenakan adanya pemikiran K.H Ahmad Dahlan yang menghendaki
Muhammadiyah tetap konsisten dalam gerakan dakwah, sosial, dan tajdid.
Pemikiran ini tetap konsisten dengan menjalankan Muhammadiyah sebagai
gerakan sosial dan melepaskan dari masalah-masalah politik. Pemikiran kedua
adalah sudah saatnya Muhammadiyah berpartisipasi aktif dan peduli terhadap
persoalan-persoalan politik dalam rangka membina kehidupan berbangsa dan
bernegara. Muhammadiyah dituntut untuk terlibat aktif dan mendorong reformasi
dengan tetap berpegang teguh dengan “amar ma’ruf nahi munkar”.
Dari dua pemikiran tersebut memberikan dilema yang berat bagi Muhammadiyah,
di satu sisi derasnya gelombang reformasi membuat Muhammadiyah harus
menunjukkan sikap yang jelas terhadap perkembangan situasi politik di Indonesia,
di lain sisi Muhammadiyah juga terikat pada doktrin sejak berdirinya organisasi
ini untuk tidak berpolitik praktis. Saat bersamaan Pemuda Muhammadiyah
menginginkan Dr. Amien Rais untuk terjun langsung dalam politik praktis. Sidang
Tanwir Muhammadiyah tanggal 5-7 Juli 1998 membuahkan satu rekomendasi
kepada Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk melakukan itjihad politik. Bagi
kalangan lain rekomendasi ini ditafsirkan sebagai mendirikan partai politik,
sebagaimana yang disampaikan oleh Amien Rais. Menurut Ahmad Syafi’I
Ma’arif, partai yang akan diusulkan oleh Amien Rais nantinya bersifat terbuka,
berwawasan cinta terhadap tanah air dengan tujuan untuk memajukan proses
reformasi. Dengan kata lain tidak adanya hubungan antara partai yang didirikan
dengan Muhammadiyah baik secara organisator, kelembagaan hingga
Muhammadiyah bukan pendiri partai tersebut.
Pada tanggal 23 Agustus 1998 bertempat di Jakarta, Amien Rais dengan teman-
temannya mendeklarasikan berdirinya Partai Amanat Nasional (PAN). Langkah
Amien Rais itu sendiri untuk mengakomodir keinginan dan kepentingan warga
Muhammadiyah yang sejak lama berada dalam kungkungan Orde Baru.
Berdirinya PAN yang bersifat terbuka dan majemuk serta tidak membatasi
dukungan dari kalangan Muhammadiyah saja. Setidaknya ini adalah satu langkah
yang positif bagi kalangan Muslim untuk terbuka terhadap kalangan Non-Muslim,
dan langkah ini juga memberikan kesan positif dari pihak Non-Muslim yang
merasa PAN adalah partai Muhammadiyah. Meskipun secara Nasional perolehan
suara PAN berada di posisi 5 besar, namun Amien Rais (Ketua Umum PAN)
berhasil menggalang kekuatan partai-partai yang lain (PKB, PPP, Bulan Bintang,
serta PK) dalam wada “poros tengah” yang menghantarkan Abdurrahman Wahid
sebagai Presiden Republik Indonesia mengalahkan Megawati Soekaroputri.
http://celotehhatidanpikiran.blogspot.com/2011/01/muhammadiyah-dalam-konstelasi.html
BAB III
KESIMPULAN
Khittah artinya garis besar perjuangan. Khittah itu mengandung konsepsi
(pemikiran) perjuangan yang merupakan tuntunan, pedoman, dan arah perjuangan.
Ada empat fase perkembangan Muhammadiyah, empat fase perkembangan
Muhammadiyah yaitu :
1. Fase Identifikasi Diri
2. Fase Ideologi Politik
3. Fase Depolitisasi dan Deideologisasi
4. Fase Repotilisasi
Selain itu ada 3 zaman kiprah perpolitikan mohammadiyah diantaranya zaman
orde baru, zaman orde lama, dan orde reformasi.