bab i pendahuluan 1.1. latar...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Margaret Thatcher adalah wanita pertama yang memimpin Partai Konservatif
Inggris dan Kubu Oposisi Kanan di Parlemen Inggris, sehingga menjadi
pemimpin partai politik wanita pertama di dunia perpolitikan Barat. Dengan latar
konservatif, Thatcher dikenal sebagai figur populis otoriter yang memperhatikan
bidang pertahanan, hukum, peraturan, kendali organisasi perdagangan, anti-
camputangan pemerintah, dan pro-kepemilikan pribadi. Karakteristik tersebut
tercermin dari pernyataan-pernyataannya seperti dalam The West in the World
Today, The Burges Speech, dan wawancara dengan Charlton di BBC pada
Desember 1985 (Matulovic 2013; Drexler 2014; Fairclough 1989). Deskripsi
karakter Thatcher tersebut dipandang berkaitan dengan julukannya sebagai Iron
Lady.
Iron Lady asalnya merupakan subyek dalam judul artikel The Iron Lady
Sounds the Alarm yang ditulis Kapten Yuri Gavrilov pada 24 Januari 1976 di
koran militer Soviet Kresnaya Zvezda. Artikel tersebut merupakan respon
terhadap pernyataan publik yang disampaikan Thatcher pada 19 Januari 19761,
1 "Iron Lady",https://en.wikipedia.org/wiki/Iron Lady. Diakses pada 4 September
2015, pukul 21:35 WIB.
1
2
sehingga frase nomina the iron lady dipahami merujuk pada figur Margaret
Thatcher.
Terkait dengan subyek dalam judul tulisannya, Gavrilov menyatakan bahwa
Iron Lady berasosiasi dengan julukan Iron Chancellor milik Bismarck.2 Asosiasi
julukan Iron Lady dan Iron Chancellor terletak pada kesamaan yang dimiliki
Thatcher dan Bismarck, yaitu sebagai negarawan dengan ideologi konservatif,
anti-sosialis, dan sekutu kaum Liberal. Gavrilov menambahkan bahwa dirinya
sudah memahami Soviet mesti menghadapi perlawanan sengit dari Barat dalam
waktu dekat.
Satu di antara bentuk perlawanan tersebut disampaikan Thatcher dalam pidato
politik yang dinilai menyudutkan dan mengkritik Soviet, terkutip sebagai berikut.
The Russians are bent on world dominance, and they are rapidly acquiring
the means to become the most powerful imperial nation the world has seen.
The men in the Soviet politburo don’t have to worry about the ebb and flow
of public opinion. They put guns before butter, while we put just about
everything before guns.3
‘Rusia bertekad menguasai dunia, dan dengan cepat mendapatkan cara
menjadi bangsa imperial terkuat di dunia. Para elit politburo Soviet tidak
peduli dengan opini publik. Mereka lebih mengedepankan penggunaan
2 "Revealed: Red Army Colonel who dubbed Maggie the Iron Lady ... and
changed history",
https://www.washingtonpost.com/news/worldviews/wp/2013/04/08/iron-lady-
how-a-moscow-propagandist-gave-margaret-thatcher-her-famous-nickname.
Diakses pada 5 September 2015, pukul 10:00 WIB.
3 "Iron Lady", https://en.wikipedia.org/wiki/Iron Lady. Diakses pada 4 September
2015, pukul 21:35 WIB, dan diambil dari Margaret Thatcher Foundation, dalam
"Speech at Kensington Town Hall ("Britain Awake") (The Iron Lady)",
http://www.margaretthatcher.org/document/102939. Diakses pada 4 September
2015, pukul 21:37 WIB.
3
senjata untuk menghadapi dunia4, sedangkan kita menjadikan senjata
sebagai pilihan terakhir.’
Kalimat-kalimat di atas menjadi pernyataan kunci yang mendasari pemikiran
Gavrilov atau pihak Soviet menjuluki Thatcher Iron Lady ‘Wanita Besi’, karena
mencerminkan konservatisme Thatcher khususnya sikap-anti komunis.
Thatcher menyebutkan Rusia dan bukan Uni Soviet dalam kalimatnya untuk
mengindikasikan dominasi Rusia di Soviet. Pada tahun 1940 sampai 90-an, Soviet
merupakan 1 di antara negara adidaya dunia. Deskripsi tersebut kemudian
mengarah pada kehendak Rusia untuk kepenguasaan yang lebih besar, yaitu
menguasai dunia. Leksikon imperial nation menunjukkan bahwa Thatcher
menganggap Rusia sebagai kompetitor Inggris dalam hal menjadi bangsa imperial
terbesar dunia. Interpretasi ini dapat dikaitkan dengan pengalaman perseteruan
Kerajaan Inggris dan Tsar Rusia atas kepenguasaan kepentingan imperial di Asia
pada 1875 (Greenville, 1994).
Selain menyudutkan Rusia, Thatcher pun mengkritik para elit politburo Soviet
sebagai golongan yang bersikap masa bodoh, keras kepala, dan tak mau
mendengar. Deskripsi politburo Soviet tersebut memperlihatkan sikap Thatcher
yang tidak bersahabat dan berani terhadap Soviet. Thatcher berani menyebut
dewan eksekutif Partai Komunis tersebut dengan maksud menunjuk elit politburo
4 Pertimbangan metaforis, dan telah dikaji pemahamannya berdasarkan pandangan
Soviet: butter dapat merujuk pada dunia atau kehidupan dalam "Британия
скорбит", http://old.redstar.ru/index.shtml, diakses pada 4 September 2015, pukul
21:37 WIB.
4
Soviet sebagai kalangan yang berbahaya bagi dunia. Thatcher mengarahkan
pandangan publik tentang politburo, sehingga publik berpikir bahwa politburo
adalah otak dibalik keinginan dan pencapaian Rusia mendapatkan cara menguasai
dunia. Secara eksplisit Thatcher menyatakan bahwa Rusia menggunakan cara
paksa untuk mencapai tujuannya tersebut, yaitu dengan senjata.
Thatcher membandingkan Rusia dengan Inggris yang lebih mementingkan
pembangunan kehidupan dari pada senjata (militer). Selain itu, senjata atau cara
paksa yang ditampilkan Thatcher dengan istilah guns dinilainya juga berlaku
untuk mangatasi kendala-kendala dari sesuatu tak berkekuatan atau lemah seperti
rakyat atau negara-negara dunia ketiga yang referensi interpretasinya dapat
dirujukkan pada kata butter. Thatcher menekankan perbedaan Inggris dari Rusia
terletak pada cara Inggris yang kharismatik dengan kepemimpinan intelektual,
bermoral, dan politis (diplomasi, negosiasi, taktik), kemudian senjata dijadikan
pilihan akhir untuk mengatasi kendala-kendala serupa (Carr, 1954).
Kutipan pernyataan tersebut mewakili untuk memberikan dampak bagi citra
diri Thatcher sebagai Iron Lady yang berlaku permanen. Telah disebutkan di atas
bahwa Iron Lady muncul sebagai respon bagi pidato politik Thatcher yang dinilai
Gavrilov merefleksikan pandangan konservatisme Thatcher. Hal yang menarik
dan perlu dipahami mendalam adalah bentuk utuh pidato politik Thatcher
tersebut, karena melihat dampak yang diberikan secara pribadi (personal label).
Pidato politik tersebut dapat dipandang sebagai alat jitu yang membuka jalan dan
mengangkat Thatcher untuk terus populer dan diingat dunia.
5
Pernyataan Thatcher di atas tersampaikan melalui kalimat-kalimat yang
terdapat dalam pidato politik berjudul Britain Awake. Britain Awake adalah
bentuk pernyataan publik yang disampaikan Thatcher pada 19 Januari 1976 di
Kensington Hall, Chelsea, London Utara, Inggris.5 Britain Awake merupakan
bentuk kepandaian Thatcher membaca situasi yang berlangsung pada masa Perang
Dingin. Thatcher menjadikan Britain Awake sebagai bentuk tindakan
mempengaruhi masyarakat Inggris dan dunia dengan mengkritik lawan-lawan
politiknya di dalam dan luar negeri.
Britain Awake diproduksi dalam situasi menegangkan antara blok Barat dan
blok Timur yang kemudian diusahakan mengendur dengan Helsinki Final Act dan
pendekatan détente. Britain Awake menunjukkan sejarah hubungan Uni Soviet
dan Amerika Serikat setelah kejatuhan Nazi Jerman yang berujung pada Perang
Dingin antara keduanya.6 Unsur kekuasaan politik pun terkandung dalam Britain
Awake dengan tokoh sentral Margaret Thatcher sebagai pemimpin Partai
Konservatif dan pemimpin oposisi sayap kanan Pemerintah Inggris pimpinan
Partai Buruh. Di samping itu, ideologi turut berperan besar dalam produksi makna
dan ide dari satuan-satuan lingual pembentuk pernyataan-pernyataan dalam
Britain Awake.
5 Margaret Thatcher Foundation, dalam "Speech at Kensington Town Hall
("Britain Awake") (The Iron Lady)",
http://www.margaretthatcher.org/document/102939. Diakses pada 4 September
2015, pukul 21:37 WIB. 6 Office of the Historian, "Helsinki Final Act",
http://history.state.gov/milestone/1969-1976/helsinki. Diakses pada 6 September
2015, pukul 15:30 WIB.
6
Deskripsi karakteristik pidato Britain Awake tersebut selaras dengan
karakteristik wacana dalam paradigma kritis, yaitu wacana mengandung unsur
tindakan, konteks, sejarah, kekuasaan, dan ideologi (Eriyanto, 2001). Selain
karakteristik wacana kritis yang dimiliki, Britain Awake juga merupakan wacana
yang direspon oleh wacana The Iron Lady Sounds the Alarm. Artinya, Britain
Awake adalah 1 diantara wacana-wacana yang dapat ditinjau secara kritis
khususnya dari unsur kebahasaan yang menjadi penilaian penting terhadap
muatan wacana Britain Awake.
Sehubungan dengan isu kebahasaan tersebut, diketahui bahwa linguistik
memiliki cabang-cabang yang dapat menjadi alat bedah kasus kebahasaan untuk
bongkar muatan kekuasaan dan ideologi dalam bahasa yang berdampak pada citra
diri seperti Iron Lady untuk Margaret Thatcher. Telah disinggung sebelumnya,
cabang linguistik yang sesuai untuk penelitian unsur kebahasaan Britain Awake
adalah Analisis Wacana Kritis atau Critical Discourse Analysis (CDA). Cabang
linguistik ini merupakan perkembangan kajian wacana berdasarkan pada
paradigma kritis yang menganggap analisis wacana dengan paradigma positivisme
atau konstruksivisme masih belum mampu menganalisis faktor-faktor hubungan
kekuasaan dalam wacana yang kemudian memiliki peran pembentuk subyek
tertentu dengan perilaku-perilakunya (Eriyanto, 2001).
Analisis Wacana Kritis atau CDA merupakan upaya atau proses uraian yang
memberikan penjelasan dari sebuah teks sebagai realitas sosial (Darma, 2009).
Kajian ini memiliki 3 konsep utama untuk menguraikan suatu wacana, yaitu
kekuasaan, sejarah, dan ideologi (Wodak, 2005). Tujuan Analisis Wacana Kritis
7
adalah mengungkapkan ketidakjelasan dalam wacana yang memberikan masukan
pada hasil hubungan tidak seimbang antar peserta wacana, yaitu pengungkapan
ideologi yang terselubung dalam kata-kata yang digunakan (Eriyanto, 2001).
CDA mengungkapkan unsur kebahasaan Britain Awake dengan pendekatan
Critical Linguistics yang melihat unsur-unsur tatabahasa dapat membawa posisi
dan makna dari ideologi tertentu. Penyebutan Iron Lady bagi Thatcher disebabkan
penyampaian Britain Awake, oleh karena itu pokok yang diteliti adalah bentuk
wacana politik Thatcher tersebut sesuai dengan kerangka CDA.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian ini, maka masalah yang dikaji
dirumuskan sebagai berikut.
1. Bagaimanakah proses retorika dan persuasi yang dijalankan Thatcher dalam
penyampaian pesan pidato Britain Awake?
2. Bagaimanakah bentuk dan fungsi bahasa yang digunakan Thatcher, khususnya
dilihat dari fitur-fitur formal dalam pidato Britain Awake?
3. Bagaimanakah bahasa yang digunakan Thatcher dalam pidato Britain Awake
mencerminkan ideologinya?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka yang menjadi tujuan penelitian
ini adalah sebagai berikut.
8
1. Mendeskripsikan proses retorika dan persuasi yang dijalankan Margaret
Thatcher dalam penyampaian pesan pidato Britain Awake yang dilihat dari
struktur wacananya
2. Mendeskripsikan bentuk dan fungsi bahasa yang digunakan Margaret
Thatcher khususnya dilihat dari fitur-fitur formal dalam pidato Britain Awake
3. Mendeskripsikan bahasa yang digunakan dalam pidato Britain Awake dapat
merefleksikan ideologi Thatcher.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoretis dan
praktis.
1.4.1 Manfaat Teoretis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi berharga dan
bermanfaat bagi perkembangan teori linguistik atau sekurang-kurangnya
memperkaya khasanah teori Analisis Wacana Kritis khususnya wacana politik.
Selain itu, diharapkan menjadi bahan acuan atau pertimbangan bagi peneliti
lainnya di masa yang akan datang.
1.4.2 Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan deskripsi yang jelas mengenai
bahasa yang digunakan dalam pidato politik terutama dengan bahasa Inggris.
Selain itu, manfaat bagi masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan turut
memberikan informasi tentang pandangan dan gaya bahasa yang digunakan
9
Margaret Thatcher mengingat sosoknya sebagai wanita berpengaruh dan
mendunia.
1.5 Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka dalam penelitian ini didasarkan pada 2 aspek, yaitu disiplin
ilmu dan tokoh (obyek) penelitian. Hal ini dikarenakan Analisis Wacana Kritis
bukanlah topik baru dalam kajian linguistik dan obyek penelitian bersumber dari
tokoh dunia yang karyanya sering dikaji, Margaret Thatcher. Beberapa
diantaranya adalah milik Misran (2008), Horvath (2009), Wang (2010), Nugroho
(2013), Setyawan (2013), Matulovic (2013), Drexler (2014), Anwar dkk. (2015),
dan Wahyuni (2015).
Misran (2008) melakukan penelitian tentang penggunaan istilah-istilah bahasa
Arab di kalangan kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Daerah Istimewa
Yogyakarta dan ideologi yang terkandung di dalamnya. Metode yang
digunakannnya adalah kualitatif deskriptif dengan landasan teori Teun A. van
Dijk. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa terdapat keterkaitan antara ideologi
penggunaan istilah-istilah bahasa Arab dengan kognisi penggunanya. Istilah
ikhwan, akhwat, dan ikhwah mengandung makna ideologis inklusifitas
berdasarkan dikotomi penggunaan kepada dan untuk. Penggunaan istilah-istilah
tersebut menunjukkan pengaruh gerakan Islam nasional dan internasional
terhadap PKS.
Horvath (2009) mengkaji pidato inagurasi Obama dengan landasan teori milik
Fairclough tentang ideologi. Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif.
10
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa dalam pidato inagurasi Obama
komponen kunci ideologi berwujud pragmatisme, liberalisme, inklusivitas,
penerimaan perbedaan etnis dan agama, serta persatuan. Kata-kata yang sering
digunakan Obama dalam pidato inagurasinya adalah nation, new, dan America.
Wang (2010) mengkaji pidato kepresidenan Obama dengan landasan teori
Systemic Functional Grammar milik Halliday. Kajian Analisis Wacana Kritisnya
difokuskan pada pembahasan fungsi ideasional, interpersonal, dan tekstual dengan
tujuan mengungkapkan fitur-fitur formal dalam pidato Obama. Selain itu, Wang
juga menggali hubungan antara bahasa, ideologi, dan kekuasaan. Metode deskiptif
kualitatif kuantitatif digunakan dalam penelitian tersebut. Hasil yang diperoleh
adalah pidato Obama terdiri dari kata-kata sederhana, kalimat-kalimat pendek,
mudah dipahami, dan berbentuk kolokial. Transitivitas digunakannya untuk
meningkatkan kepercayaan diri rakyat Amerika terhadap Presiden dan
pemerintahannya untuk 4 tahun kedepan. Unsur modalitas digunakan untuk
mempermudah rakyat Amerika mengerti dan menerima pidato politiknya.
Nugroho (2013) mengkaji pidato presidential lecture Habibie dengan landasan
teori miliki van Dijk dan Roger Fowler. Pokok-pokok yang dibahas adalah
struktur wacana, bentuk dan fungsi bahasa, dan ideologi yang disampaikan dalam
presidential lecture Habibie. Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif.
Pengumpulan data dilakukan dengan metode simak atau penyimakan didukung
teknik rekam dan catat. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa Habibie
menggunakan struktur makro sebagai cara untuk mendukung tema utama, struktur
supra untuk mengendalikan struktur pesan, dan struktur mikro untuk
11
menunjukkan latar pencapaiannya. Kepentingan struktur makro dalam
presidential lecture Habibie adalah untuk mendukung tema besar, struktur supra
untuk mendapatkan simpati peserta seminar, struktur mikro yang berupa detil
untuk mengontrol informasi, dan praanggapan untuk menunjukkan optimisme.
Setyawan (2013) meneliti kesopanan tutur dalam rapat politik pada film The
Iron Lady. Dari hasil pengamatan dan analisis, ditemukan 4 fakta kebahasaan
penggunaan ketidaksopanan dan kesopanan. Pertama, prinsip ketidaksopanan
mendominasi pertuturan dari dan kepada Thatcher dalam rapat politik. Kedua,
prinsip ketidaksopanan berfungsi sebagai pernyataan, keluhan, penyalahan,
anjuran, penolakan, saran, dan sindiran berupa pujian. Prinsip kesopanan
berfungsi sebagai pernyataan, anjuran, penawaran, saran, nasehat, janji, ucapan
terimakasih, penyalahan, dan pujian. Fungsi prinsip ketidaksopanan dan
kesopanan dipengaruhi oleh konteks, latar belakang situasi, dan faktor sosial yang
meliputi kekuasaan, jarak, dan tingkat keseriusan.
Matulovic (2013) mengkaji pidato kepala pemerintahan negara-negara
anggota Uni Eropa khususnya Jerman dan Inggris. Pidato yang dijadikan data
penelitian adalah pidato kepala pemerintahan dari Partai Konservatif Jerman dan
Inggris, yaitu Kohl, Merkel, Thatcher, dan Cameron. Matulovic (2013) mengkaji
pidato-pidato tersebut dengan tujuan mengetahui perkembangan persepsi
pemimpin-pemimpin dari Partai Konservatif terhadap Uni Eropa, apakah
berpandangan supranationalism, intergovernmentalism, atau eurosceptism. Hasil
analisisnya menunjukkan bahwa kepala pemerintahan Jerman aliran konservatif
berpandangan supranationalism terhadap Uni Eropa, sedangkan Inggris
12
berpandangan euroskeptism dan intergovernmentalism. Pidato Thatcher yang
dikaji Matulovik adalah Speech to the College of Europe (The Bruges Speech).
Drexler (2014) mengkaji gaya penyampaian pidato Margaret Thatcher,
khususnya pidato berjudul The West in the World Today dengan Analisis Wacana
Kritis. Unsur-unsur linguistik yang dianalisis adalah kata ganti, koherensi, dan
modalitas. Kata ganti orang pertama jamak we digunakan Thatcher untuk
menekankan rasa persamaan diri dengan rakyat Inggris lainnya, serta memberikan
otoritas untuk menyuarakan kepentingan pihak yang diwakilinya. Untuk
menjelaskan konsep interdependensi, Thatcher menggunakan keterangan then dan
now secara paralel. Untuk sikap ideologi, Thatcher cenderung menunjukkan sikap
membela tradisi agama yang menetukan identitas kebangsaan atau mayarakat
sebagai sikap idelogi. Thatcher menggunakan modalitas must dan must not dalam
kalimat penutup pidatonya untuk meningkatkan rasa percaya diri rakyat Inggris
dan bersikap orientasi tindakan.
Anwar dkk. (2015) mengkaji pidato Quaid-e-Azam, pemimpin pergerakan
nasional Pakistan, pada Majelis Pemilih Utama di Pakistan dengan teori Analisis
Wacana Kritis milik Faircluogh. Data dianalisis secara kualitatif dengan
pendekatan analisis isi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam pidato Quaid-
e-Azam terselubung kenginginan ideologis bagi Pakistan untuk menjadi negara
liberal, demokratis, adil, dan menunjukkan kepedulian terhadap masalah-masalah
sosial, seperti hukum, korupsi, suap, pasar gelap, nepotisme, serta kecurangan atas
dirinya.
13
Wahyuni (2015) mengkaji tentang fitur-fitur tuturan perempuan yang
digunakan oleh Margaret Thatcher dalam wawancara TV selama menjabat
Perdana Menteri Inggris dengan teori Lakoff. Dari penelitiannya ditemukan
beberapa fitur-fitur tuturan perempuan dalam wawancara Thatcher, yaitu lexical
hedges, tag questions, rising intonation on declaratives, empty adjectives, precise
colour terms, intensifiers, super-polite forms, avoidance of strong swear words
dan emphatic stress. Fitur-fitur tuturan perempuan tersebut terdiri dari fungsi
melemahkan (hedging devices: lexical hedges, tag questions, rising intonation on
declaratives, super-polite forms) dan menguatkan (boosting devices: intensifiers
dan emphatic stress). Selain itu, Thatcher pun menggunakan fitur-fitur tuturan
laki-laki, yaitu direct forms dan swear words.
Pokok yang membedakan kajian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya
di atas adalah pada obyek penelitiannya, yaitu pidato politik Thatcher berjudul
Britian Awake dan fokus penelitian. Penelitian ini menggabungkan fokus-fokus
pada kajian sebelumnya, seeprti struktur wacana, fitur-fitur kebahasaan, dan
ideologi yang terkandung dalam wacana.
1.6 Landasan Teori
1.6.1 Analisis Wacana Kritis
Analisis Wacana Kritis atau Critical Discourse Analysis merupakan proses
memberikan penjelasan dari suatu teks (realitas sosial) yang hendak atau sedang
dikaji dengan kecenderungan tujuan tertentu untuk mencapai keinginan (Darma,
2009). Analisis Wacana Kritis mengkaji wacana berdasarkan paradigma kritis,
14
artinya tidak menerima sesuatu apa adanya (Nugroho, 2013). Dalam Analisis
Wacana Kritis, wacana dipandang sebagai wadah pertemuan bahasa dan ideologi,
sehingga analisis wacana menjadi analisis dimensi ideologis penggunaan bahasa
dan meterialisasi bahasa suatu ideologi (Wodak, 2005). Wacana pada dasarnya
dipahami sebagai hasil penyatuan kondisi praktek politik, sosial, dan linguistik
yang secara praktis menentukan tampilan subyek. Kress, melalui Wodak (2005),
menjabarkan beberapa asumsi dasar Analisis Wacana Kritis sebagai berikut.
a. Bahasa adalah fenomena sosial
b. Wacana tidak hanya dilihat secara individu, tapi juga institusi dan
pengelompokan sosial, serta memiliki maksud atau nilai khusus yang
diungkapkan dalam bahasa secara sistematis
c. Teks adalah unit bahasa yang relevan dalam komunikasi
d. Pembaca atau pendengar bukan penerima pasif dalam hubungannya dengan
teks.
Analisis Wacana Kritis memberikan perhatian khusus pada hubungan bahasa
dan kekuasaan, sehingga menjadi kajian bermacam ragam yang berorientasi pada
metodologi dan data berbeda, lazimnya didasarkan pada pendekatan tatabahasa
(Wodak, 2005).
1.6.2 Model Analisis van Dijk
Eriyanto (2001) menyatakan bahwa model analisis wacana milik van Dijk
adalah model yang paling banyak dipakai dan disebut kognisi sosial yang
merupakan dimensi penghubung elemen struktur sosial dengan elemen wacana
mikro. Kognisi sosial memiliki 2 fungsi, yaitu untuk menunjukkan proses teks
15
diproduksi dan menggambarkan keterserapan nilai-nilai masyarakat dalam teks.
Model analisis wacana van Dijk terdiri dari 3 dimensi, teks, kognisi sosial, dan
konteks (Eriyanto, 2001). Hal yang diteliti dalam dimensi teks adalah struktur
teks.
Pendekatan yang digunakan untuk analisis teks adalah analisis linguistik
tentang kosakata, kalimat, paragraf dengan tujuan menjelaskan dan memaknai
suatu teks. Berkenaan dengan struktur teks, Eriyanto (2001) mengintisarikan
rumusan van Dijk tentang struktur teks menjadi 3 tingkatan, yaitu struktur makro,
struktur supra, dan struktur mikro. Struktur makro mengkaji makna global dari
suatu teks yang dapat diamati dari topik atau tema yang diangkat oleh teks.
Struktur supra mengkaji kerangka suatu teks, seperti bagian pendahuluan, isi,
penutup, dan kesimpulan. Struktur mikro mengkaji makna lokal dari suatu teks
yang dapat diamati dari pilihan kata, kalimat, dan gaya yang dipakai dalam teks.
Berikut uraian elemen-elemen dalam masing-masing tingkatan struktur tersebut.
1.6.2.1 Struktur Makro
Struktur makro mengamati tema atau topik teks yang merujuk pada gambaran
umum teks, gagasan inti, ringkasan, atau yang utama dari suatu teks. Topik dalam
struktur makro menggambarkan apa yang hendak diungkapkan penulis atau
pembicara dalam wacana, dan menunjukkan konsep dominan, sentral, dan paling
penting dari isi suatu teks. Topik menggambarkan gagasan inti yang
dikedepankan penulis atau pembicara ketika memandang suatu peristiwa.
16
1.6.2.2 Struktur Supra
Struktur supra mengamati bagaimana bagian dan urutan teks dikemas menjadi
1 kesatuan utuh dengan memperhatikan skemanya. Skema atau alur memberikan
tekanan pada bagian yang didahulukan dalam teks, dan bagian yang kemudian
dapat menjadi strategi menyembunyikan informasi penting. Skematik adalah
strategi untuk mendukung topik tertentu yang ingin disampaikan dengan
menyusun bagian-bagian urutan tertentu.
1.6.2.3 Struktur Mikro
Struktur mikro mengamati makna yang ingin ditekankan dalam teks dengan
memperhatikan segi semantik (latar dan detil), segi sintaksis (bentuk kalimat dan
kata ganti), segi stilistik (leksikon), dan segi retoris (metafora). Berikut penjelasan
elemen-elemen tersebut.
1. Latar, dari segi semantik, merupakan bagian teks yang dapat mempengaruhi
arti yang ingin ditampilkan. Latar yang dipilih menentukan arah pandangan
khalayak. Latar umumnya ditampilkan di awal sebelum pendapat yang
sebenarnya muncul dengan maksud mempengaruhi dan mengesankan bahwa
pendapat sangat beralasan. Latar membantu menyelidiki bagaimana seseorang
memaknai suatu peristiwa. Latar teks merupakan elemen yang berguna,
karena dapat mengungkap maksud yang ingin disampaikan.
2. Detil, dari segi semantik, berhubungan dengan kendali informasi yang
ditampilkan. Pembicara atau penulis akan banyak menampilkan informasi
yang menguntungkan, dan sedikit bahkan tak perlu menampilkan informasi
yang merugikan. Detil merupakan strategi untuk mengekspresikan sikap
17
secara implisit. Hal yang harus diteliti dari elemen detil adalah keseluruhan
peristiwa yang diuraikan secara panjang lebar atau minim.
3. Bentuk kalimat, dari segi sintaksis, berhubungan dengan cara berpikir logis
dengan prinsip kausalitas. Bentuk kalimat menentukan apakah subyek
diekspresikan secara implisit atau eksplisit dalam teks. Bentuk kalimat
memiliki 2 struktur, yaitu aktif dan pasif.
4. Kata ganti, dari segi sintaksis, merupakan unsur yang digunakan untuk
menunjukkan posisi seseorang dalam wacana. Seseorang dapat menggunakan
kata ganti saya atau kami untuk mendeskripsikan sikap dalam keadaan resmi.
Ketika menggunakan kata ganti kita sikap yang ditampilkan adalah
kebersamaan dalam komunitas tertentu. Pemakaian kata ganti jamak seperti
kita atau kami berimplikasi menumbuhkan solidaritas, aliansi, perhatian
publik, serta mengurangi kritik dan oposisi terhadap diri.
5. Leksikon, dari segi stilistik, menandakan bagaimana penulis atau pembicara
memilih kata dari berbagai kemungkinan kata yang tersedia. Suatu fakta
umumnya terdiri atas beberapa kata yang merujuk pada fakta, misalnya kata
meninggal memiliki kata lain mati, tewas, gugur, terbunuh, mangkat,
berpulang, menghembuskan nafas terakhir, dan lain-lain. Pilihan kata-kata
yang dipakai menunjukkan sikap dan ideologi tertentu. Peristiwa yang sama
dapat digambarkan dengan pilihan kata yang berbeda.
6. Metafora, dari segi retoris, menjadi petunjuk utama memahami makna suatu
teks. Metafora digunakan secara strategis sebagai landasan berpikir, alasan
pembenaran atas pendapat atau gagasan tertentu kepada publik. Selain itu,
18
metafora dipahami sebagai ungkapan yang mendeskripsikan sesuatu dengan
merujuk pada sesuatu yang diyakini memiliki kesamaan sifat. Metafora dalam
hal ini dapat berupa ungkapan sehari-hari, peribahasa, pepatah, atau lainnya
untuk memperkuat pesan utama.
1.6.3 Model Analisis Halliday
Model analisis kajian wacana kritis oleh M.A.K Halliday bertumpu pada
tatabahasa sistemis dan fungsional, atau dikenal sebagai teori Systemic Functional
Grammar. Teori ini terdiri dari komponen sistemis dan komponen fungsional
yang tidak dapat dipisahkan sebagai kerangka teori linguistik karena memiliki
tujuan yang terkait. Tujuan tatabahasa sistemis adalah menjelaskan hubungan
internal dalam bahasa sebagai 1 jaringan kerja atau makna potensial. Tatabahasa
fungsional bertujuan untuk mengungkapkan bahwa bahasa merupakan maksud-
maksud interaksi sosial berdasarkan letak sistem dan bentuk bahasa yang
ditentukan oleh penggunaan atau fungsi yang disajikan (Wang, 2010).
Halliday (2014) menerangkan bahwa terdapat konsep dasar kajian bahasa
yang terdiri dari 5 dimensi, yaitu structure, system, stratification, instantiation,
dan metafunction, akan tetapi dalam kajian wacana kritis ini dimensi yang
difokuskan adalah dimensi metafunction. Istilah metafunction digunakan untuk
mendeskripsikann fungsi bahasa sebagai 1 komponen integral dalam teori secara
keseluruhan. Halliday (2014) mengklasifikasikan metafungsi bahasa menjadi
metafungsi ideasional, metafungsi interpersonal, dan metafungsi tekstual.
19
1.6.3.1 Metafungsi Ideasional
Bahasa menguraikan pengalaman manusia dengan menamai hal-hal,
menguraikannya menjadi kategori-kategori, kemudian menguraikan kategori-
kategori menjadi taksonomi, misalnya istilah houses dan cottages, garages dan
sheds yang merujuk pada jenis bangunan, istilah strolling dan stepping, marching
dan pacing yang merupakan cara berjalan, dan kata in, on, under, around yang
menunjukkan lokasi. Istilah-istilah tersebut berbeda dari 1 bahasa dengan bahasa
lainnya, sehingga dapat dikatakan bahwa kategori-kategori tersebut diuraikan
dalam bahasa. Unsur-unsur tersebut dikonfigurasikan menjadi pola tatabahasa
kompleks, misalnya marched out of the house, atau dapat dibangun menjadi
rangkaian terkait waktu. Bahasa menyediakan teori pengalaman manusia dan
sumber-sumber tertentu leksikogramar dari bahasa sehari-hari yang diperuntukkan
bagi fungsi tersebut. Hal Ini disebut sebagai metafungsi ideasional yang terdiri
dari 2 komponen, yaitu eksperiensial dan logis. Artinya, metafungsi ideasional
diwujudkan dari pengalaman atas fenomena kehidupan nyata, kesadaran individu,
reaksi, kognisi, persepsi, serta tindak kebahasaan berupa tuturan dan pemahaman.
Metafungsi ideasional bertujuan untuk menyampaikan informasi baru dan
mengkomunikasikan pesan yang tidak dipahami pendengar atau pihak yang
dibicarakan.
1.6.3.2 Metafungsi Interpersonal
Halliday (2014) menyatakan bahwa bahasa menampilkan hubungan personal
dan sosial dalam lingkungan sekitar. Klausa dalam tatabahasa bukan sekedar figur
yang mewakili proses yang sedang terjadi, tapi juga merupakan proposisi yang
20
menginformasikan, menanyakan, memberi perintah, membuat penawaran, dan
mengekspresikan penilaian dan sikap dari apa yang sedang dibicarakan. Artinya,
bahasa digunakan sebagai tindakan yang diistilahkan sebagai metafungsi
interpersonal, interaktif dan personal.
Metafungsi interpersonal mewujudkan kegunaan bahasa untuk
mengekspresikan hubungan sosial dan pribadi, termasuk beragam cara penutur
terlibat dalam situasi cakap dan melakukan tindak tutur (Wang, 2010). Terkait
dengan hal ini, Halliday (2014) telah mendeskripsikan matafungsi interpersonal
berdasarkan modus dan modalitas.
Modus adalah komponen khusus dari klausa yang diajukan dan diteruskan
dalam rangkaian pertukaran retoris (Halliday, 2014). Modus terdiri dari 2 sifat,
yaitu indikatif dan imperatif. Modus indikatif merupakan kategori gramatikal
yang secara khusus digunakan untuk menukar informasi. Modus indikatif
terkandung dalam kalimat deklaratif dan interogatif yang dapat berupa yes/no
question atau WH question. Di sisi lain, modus imperatif merupakan kategori
gramatikal yang digunakan untuk memberikan perintah dan terkandung dalam
kalimat imperatif yang dapat ditujukan pada you atau you and me.
Kategori berikutnya adalah modalitas. Modalitas mengacu pada rentang
menengah antara perbedaan positif dan negatif, dengan kata lain menafsirkan
daerah ketidakpastian antara iya dan tidak. Modalitas dapat mengekspresikan
penilaian terhadap topik dan menunjukkan hubungan peran sosial, skala
formalitas, dan hubungan kekuasaan. Modalitas terkait dengan proposisi dan
21
proposal. Proposisi bernilai indikatif, sedangkan proposal bernilai imperatif.
Modalitas dan proposisi terkait pada kepasatian iya dan tidak, sehingga
memunculkan kemungkinan, misalnya it is dan it isn’t menjadi it must be atau it
may be. Modalitas dan proposal juga terkait pada kepastian iya dan tidak, namun
memunculkan keterbatasan pilihan atau kewajiban, misalnya do dan don’t
menjadi you must do, you should do, atau you may do. Orientasi makna dengan
modalitas dapat bersifat subyektif atau obyektif tergantung pada cara
penyampaian ide, apakah secara implisit atau eksplisit.
Modalitas terdiri dari 2 elemen, yaitu modalisasi dan modulasi. Modalisasi
terkait pada kemungkinan dan kebiasaan, sedangkan modulasi terkait pada
kewajiban dan kecenderungan. Bahasa Inggris memiliki beberapa bentuk
modalitas, yaitu modalitas verba, adjektiva, kata keterangan, pronomina, dan kala
(Wang, 2010). Dari beberapa modalitas tersebut yang menjadi fokus penelitian ini
adalah modalitas verba dan kata keterangan. Hal ini berkaitan dengan sumber data
yang merupakan kritik dalam wujud pidato, sehingga fokus satuan-satuan
kebahasaan adalah pada bentuk kemungkinan, kewajiban, dan penekanan kritik
Thatcher dalam Britain Awake.
1.6.3.3 Metafungsi Tekstual
Halliday (2014) menyatakan bahwa tatabahasa menampilkan komponen
ketiga, yaitu metafungsi tekstual. Metafungsi tekstual didefinisikan sebagai
bentuk lain dari makna yang berhubungan dengan konstruksi teks. Metafungsi
tekstual digunakan sebagai fungsi yang memudahkan penguraian pengalaman dan
penampilan hubungan interpersonal. Metafungsi tekstual menunjukkan
22
kemampuan membangun urutan wacana, mengatur alur wacana, juga menciptakan
kohesi dan keberlangsungan. Penerapan metafungsi tekstual didasarkan pada tema
dan rema yang terkandung dalam klausa. Halliday (2014) mengartikan tema
sebagai apa yang terjadi, sedangkan rema sebagai setiap komponen dari kejadian.
Tema yang difokuskan dalam metafungsi tektual adalah tema tekstual yang
digunakan pembicara atau penulis untuk mengatur cara menghubungkan klausa
dengan wacana sekitar secara eksplisit. Tema tekstual terdiri dari kontinuatif
(continuative), konjungsi (conjunction), dan keterangan wacana (discource
adjunct).
Kontinuatif adalah 1 dari sejumlah kecil rangkaian kata-kata yang menandai
perpindahan dalam wacana, respon, dialog, atau perpindahan ke pokok berikutnya
jika penutur yang sama meneruskannya. Konjungsi adalah kata atau sekumpulan
kata yang menghubungkan (paratactic) atau mengikat (hypotactic) klausa dengan
klausa lainnya secara struktural dan mengatur hubungan perluasan atau
penonjolan ide secara semantik. Keterangan wacana terdiri dari sejumlah kata
keterangan dan frase preposisi yang menghubungkan klausa dengan teks
sebelumnya, misalnya then, in fact, atau in other word dalam Britain Awake.
Dua model analisis di atas dinilai mampu menjawab rumusan masalah
penelitian ini, sebab keduanya berhubungan untuk mengungkapkan dimensi
ideologis pengunaan bahasa dan materialisasi bahasa suatu ideologi, khususnya
kandungan ideologi dapat diungkap secara jelas dengan leksikon dari segi stilistik
dalam teori van Dijk yang ditunjang oleh fungsi ideasional dalam teori Halliday.
Artinya, kedua teori tersebut bersifat komplementer.
23
1.7 Metode Penelitian
Berdasarkan wujud data dan tujuan penelitian, penelitian ini merupakan kajian
kualitatif deskriptif. Stake (2001) menerangkan bahwa penelitian kualitatif
merupakan kajian berdasarkan pengalaman pribadi, intuisi, dan rasa ragu-ragu
yang mengiringi, serta interpretasi pribadi. Penelitian kualitatif sangat bergantung
pada persepsi dan pemahaman manusiawi. Metode penelitian ini menganalisis
data dengan kata-kata atau kalimat tanpa terlalu memperhatikan statistik. Artinya,
metode ini sesuai dengan pembahasan data secara deskriptif. Metode ini
mengandung langkah-langkah penting dalam penelitian, yaitu pengumpulan data,
analisis data, dan penyajian hasil analsis data (Sudaryanto, 1993).
1.7.1 Sumber dan Wujud Data
Sumber data penelitian ini adalah teks pidato Britain Awake (The Iron Lady),
dan wujud data berupa satuan-satuan lingual dalam pidato tersebut.
1.7.2 Metode Pengumpulan Data
Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data penelitian ini adalah
metode simak dengan penyimakan penggunaan bahasa secara tertulis (Mahsun,
2012). Peneliti menyimak pidato yang disampaikan oleh Margaret Thatcher
khususnya tentang struktur wacana, bentuk dan fungsi bahasa, serta refleksi
ideologi dalam bahasa yang digunakan. Metode simak diwujudkan dengan teknik
dasar dan teknik lanjutan. Teknik dasar metode ini adalah teknik sadap. Mahsun
(2012) menerangkan bahwa teknik sadap adalah penyadapan penggunaan bahasa
secara tertulis. Peneliti berhadapan dengan penggunaan bahasa berupa bahasa
24
tulis, teks pidato dalam penelitian ini. Teknik lanjutan dari teknik sadap adalah
teknik simak bebas libat cakap, maksudnya peneliti sama sekali tidak berperan
untuk menentukan pembentukan dan pemunculan calon data. Teknik simak bebas
libat cakap ini kemudian didampingi teknik catat. Peneliti mencatat beberapa
bentuk yang relevan bagi penelitian dari penggunaan bahasa secara tertulis.
1.7.3 Metode Analisis Data
Analisis Wacana Kritis atau analisis dengan paradigma kritis mendasarkan diri
pada penafsiran atau interpretasi terhadap teks (Eriyanto, 2001). Kata penafsiran
dimaksudkan agar peneliti dapat mendalami teks dan menampilkan makna teks
tersebut. Selain itu, metode intekstualitas juga diterapkan pada penelitian ini
dengan tujuan menentukan pernyataan kunci dan memperkuat interpretasi yang
dilakukan.
1.7.4 Metode Penyajian Hasil Analisis Data
Setelah analisis data, tahapan selanjutnya adalah menyajikan hasil analisis
data. Penyajian analisis dengan metode inventarisasi yang disajikan secara formal
dan informal. Inventarisasi dimaksudkan bahwa data yang ditampilkan bersifat
representatif dan data lengkap dapat dirujuk pada bagian lampiran. Penyajian
formal adalah dengan lambang tertentu, dalam penelitian ini adalah lambang ()
dan (‘ ’), dan penyajian informal merupakan perumusan dengan kata-kata biasa –
walaupun dengan terminologi yang teknis sifatnya, namun dapat dipahami dengan
seksama (Sudaryanto, 1993).
25
1.8 Sistematika Penyajian
Laporan penelitian ini disajikan dengan sistematika penyajian yang terdiri dari
5 bab. Bab I terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, motode penelitian, dan
sistematika penyajian. Bab II adalah deskripsi proses retorika dan persuasi yang
dijalankan Margaret Thatcher dalam penyampaian pesan pidato Britain Awake.
Bab III adalah deskripsi bentuk dan fungsi bahasa yang digunakan Thatcher
khususnya berdasarkan fitur-fitur bahasa dalam pidato Britain Awake. Bab IV
adalah deskripsi bahasa yang digunakan dalam pidato Britain Awake dapat
merefleksikan ideologi konservatisme Thatcher. Bab V adalah penutup yang
terdiri dari kesimpulan dan saran.