bab v

59
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Pengumpulan data dilaksanakan selama 3 minggu yang terhitung dari tanggal sampai dengan 27 April- 20 Mei 2011 pada RSP Jumpandang Baru Makassar. Data yang berhasil dikumpulkan sebanyak 40 responden. Pemilihan RSP Jumpandang Baru sebagai lokasi penelitian karena merupakan salah satu pelayanan kesehatan yang memiliki jumlah ODHA yang banyak. Sampel yang terpilih sebanyak 40 orang dengan pengambilan sampel dilakukan dengan cara accidental sampling dimana pasien HIV dan AIDS yang setiap hari datang di RSP Jumpandang Baru untuk mendapatkan terapi methadon bagi ODHA IDU’s dan ODHA yang mengambil obat ARV. Penelitian dilakukan dengan teknik wawancara langsung menggunakan kuesioner. Setelah dilakukan pengolahan data, hasil penelitian kemudian disajikan dalam bentuk distibusi frekuensi univariat dan tabulasi silang yang dapat diuraikan sebagai berikut:

Upload: fahmiarifmuhammad

Post on 22-Dec-2015

16 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

hasil dan pembahasan

TRANSCRIPT

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Pengumpulan data dilaksanakan selama 3 minggu yang terhitung dari tanggal sampai

dengan 27 April- 20 Mei 2011 pada RSP Jumpandang Baru Makassar. Data yang berhasil

dikumpulkan sebanyak 40 responden. Pemilihan RSP Jumpandang Baru sebagai lokasi

penelitian karena merupakan salah satu pelayanan kesehatan yang memiliki jumlah ODHA yang

banyak.

Sampel yang terpilih sebanyak 40 orang dengan pengambilan sampel dilakukan dengan

cara accidental sampling dimana pasien HIV dan AIDS yang setiap hari datang di RSP

Jumpandang Baru untuk mendapatkan terapi methadon bagi ODHA IDU’s dan ODHA yang

mengambil obat ARV. Penelitian dilakukan dengan teknik wawancara langsung menggunakan

kuesioner. Setelah dilakukan pengolahan data, hasil penelitian kemudian disajikan dalam bentuk

distibusi frekuensi univariat dan tabulasi silang yang dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Deskripsi Univariat

a. Karakteristik Umum Responden

Karakteristik umum responden adalah karakteristik demografi umum dari responden

yang meliputi umur, jenis kelamin, pendidikan terakhir, dan jenis pekerjaan.

i. Distribusi Responden Berdasarkan Umur

Distribusi frekuensi menurut umur responden di RSP Jumpandang Baru 2011 dapat

dilihat pada tabel 2 berikut:

Tabel 2 Distribusi Responden Berdasarkan Umur di RSP Jumpandang Baru Tahun 2011

Sumber : Data Primer, 2011

Tabel 2 menunjukkan bahwa sebanyak 31 responden (77.5 %) yang berumur 30- 49

tahun dan sebanyak 9 responden (22.5 %) yang berumur 24- 29 tahun.

ii. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

Distribusi frekuensi menurut jenis kelamin responden di RSP Jumpandang Baru 2011

dapat dilihat pada tabel 3 berikut:

Tabel 3 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin di RSP Jumpandang Baru Tahun 2011

Sumber : Data

Primer, 2011

Tabel 3 menunjukkan bahwa sebanyak 37 orang (92.5%) responden adalah berjenis

kelamin laki- laki dan hanya 3 orang (7.5%) orang yang berjenis kelamin perempuan. Jumlah

ODHA dalam penelitian ini lebih banyak laki- laki daripada perempuan.

Umur Responden (tahun) n %

24- 29 9 22.530-49 31 77.5

Jumlah 40 100

Jenis Kelamin n %

Laki- Laki 37 92.5

Perempuan 3 7.5

Jumlah 40 100

iii. Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir

Distribusi frekuensi menurut pendidikan terakhir responden di RSP Jumpandang Baru

2011 dapat dilihat pada tabel 4 berikut:

Tabel 4 Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir

di RSP Jumpandang Baru Tahun 2011

Sumber : Data Primer, 2011

Tabel 4 menunjukkan bahwa sebanyak 29 orang (72.5 %) yang pendidikan terakhirnya

hingga SMA, 4 orang (10%) yang tingkat pendidikan terakhirnya perguruan tinggi, sebanyak 3

orang (7.5%) yang masing- masing menamatkan pendidikan hingga SD dan SMP, dan 1 orang

(2.5%) yang menamatkan pendidikan hingga SD.

iv. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan

Distribusi frekuensi menurut jenis pekerjaan responden di RSP Jumpandang Baru 2011

dapat dilihat pada tabel 5 berikut:

Pendidikan Terakhir n %SD 3 7.5

SMP 3 7.5SMA 29 72.5D3 1 2.5S1 4 10

Jumlah 40 100

Tabel 5 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan di RSP Jumpandang Baru Tahun 2011

Sumber : Data Primer, 2011

Tabel 5 menunjukkan bahwa 18 orang (45%) masing- masing tidak memilki pekerjaan

dan pekerjaannya wiraswasta, sebanyak 2 orang (5%) yang bekerja sebagai karyawan swasta,

dan 1 orang (2.5%) masing- masing bekerja sebagai buruh dan mahasiswa.

b. Distribusi Responden Beradsarkan Jumlah CD4 Terakhir

Distribusi frekuensi menurut jumlah CD4 terakhir responden di RSP Jumpandang Baru

2011 dapat dilihat pada tabel 6 berikut:

Tabel 6 Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah CD4 Terakhir

di RSP Jumpandang Baru Tahun 2011

Sumber Data Primer, 2011

Tabel 6 menunjukkan bahwa sebesar 19 orang (47.5 %) yang memiliki jumlah CD4

terakhir antara 300- 499 sel/mm3, sebesar 13 orang (32.5 %) yang jumlah CD4 terakhir antara

Pekerjaan n %Tidak Bekerja 18 45

Mahasiswa 1 2.5Buruh 1 2.5

Wiraswasta 18 45Karyawan Swasta 2 5

Jumlah 40 100

Jumlah CD4 Terakhir (sel/mm3)

n %

< 100 1 2.5

100- 299 13 32.5

300- 499 19 47.5

≥ 500 7 17.5Jumlah 40 100

100- 299 sel/mm3, 7 orang (17.5 %) yang jumlah CD4 terakhirnya ≥ 500 sel/mm3, dan 1 orang

(2.5%) yang memiliki < 100 sel/mm3.

c. Distribusi Responden Berdasarkan Lama Terdiagnosa HIV

Distribusi frekuensi menurut lama responden mengetahui status HIV di RSP Jumpandang

Baru 2011 dapat dilihat pada tabel 7 berikut:

Tabel 7 Distribusi Responden Berdasarkan Lama Terdiagnosa HIV

di RSP Jumpandang Baru Tahun 2011

Sumber : Data Primer, 2011

Tabel 7 menunjukkan bahwa sebanyak 31 orang (77. 5%) yang terdiagnosa HIV selama

1- 5 tahun, 8 orang (20%) mulai mengetahui status HIV > 5 tahun, dan 1 orang (2.5%) yang

mengetahui status HIV < 1 tahun.

d. Distribusi Berdasarkan Jenis ARV yang Diterima

Distribusi frekuensi menurut jenis antiretroviral yang diterima responden di RSP

Jumpandang Baru 2011 dapat dilihat pada tabel 8 berikut:

Lama Mengetahui Status HIV (tahun)

n %

< 1 1 2.51-5   31 77.5> 5 8 20

Jumlah 40 100

Tabel 8 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis ARV yang Diterima

di RSP Jumpandang Baru Tahun 2011

Sumber: Data Primer, 2011

Tabel 8 menunjukkan bahwa ARV yang paling banyak dikonsumsi adalah duviral dan

efavirenz yaitu sebanyak 20 orang (50%), nevirapin dan duviral merupakan ARV terbanyak

kedua yang diterima 14 orang (35%), duviral, nevirapin, stavudine dikonsumsi oleh 2 orang

(5%).

e. Distribusi Gangguan Kecemasan

Distribusi frekuensi responden yang mengalami gangguan kecemasan di RSP

Jumpandang Baru 2011 dapat dilihat pada tabel 9 berikut:

Tabel 9 Distribusi Responden Berdasarkan Gangguan Kecemasan

di RSP Jumpandang Baru Tahun 2011

Gangguan Kecemasan n %

Ya 29 72.5

Tidak 11 27.5

Jumlah 40 100 Sumber: Data Primer, 2011

Jenis ARV yang diterima n %

Duviral dan Efavirenz 20 50

Duviral, Nevirapin, dan Stavudine 2 5

Efavirenz 1 2.5Nevirapin 1 2.5

Nevirapin dan Duviral 14 35

Staviral, Hiviral, dan Nevirapin 1 2.5

Staviral, dan Lamivudin 1 2.5

Jumlah 40 100

Tabel 9 menunjukkan bahwa dari 40 responden sebanyak 29 orang (72.5%) yang

mengalami gangguan kecemasan dan 11 orang (27.5%) yang tidak mengalami gangguan

kecemasan.

f. Distribusi Gangguan Depresi

Distribusi frekuensi responden yang mengalami gangguan depresi di RSP Jumpandang

Baru 2011 dapat dilihat pada tabel 10 berikut:

Tabel 10 Distribusi Responden Berdasarkan Gangguan Depresi

di RSP Jumpandang Baru Tahun 2011

Sumber: Data Primer, 2011

Tabel 10 menunjukkan bahwa dari 40 responden, sebanyak 11 orang (27.5%) yang

mengalami depresi dan 29 orang (72.5%) yang tidak mengalami gangguan depresi.

2. Distribusi Silang Variabel

a.Distribusi Gangguan Depresi Berdasarkan Gangguan Kecemasan

Distribusi responden yang mengalami gangguan depresi menurut gangguan kecemasan di

RSP Jumpandang Baru 2011 dapat dilihat pada tabel 11 berikut:

Gangguan Depresi n %

Depresi 11 27.5Tidak depresi 29 72.5

Jumlah 40 100

Tabel 11 Distribusi Gangguan Depresi Berdasarkan Gangguan Kecemasan

di RSP Jumpandang Baru Tahun 2011

Gangguan Kecemasa

n

Gangguan DepresiTotalDepresi Tidak depresi

n % n % n %Ya 5 17.2 24 82.8 29  100 

Tidak  6 54.5 5 45.5 11  100 Total 11  27.5  29  72.5  40  100 

Sumber: Data Primer, 2011

Tabel 11 menunjukkan bahwa sebanyak sebanyak 24 orang (82.8%) responden yang

mengalami tidak mengalami gangguan depresi namun mengalami gangguan kecemasan.

Sebanyak 5 orang (45.5%) responden yang tidak mengalami gangguan depresi dan kecemasan.

b. Distribusi Jumlah CD4 Terakhir Berdasarkan Jenis ARV yang Diterima

Distribusi jumlah CD4 terakhir responden berdasarkan jenis ARV yang diterima di RSP

Jumpandang Baru 2011 dapat dilihat pada tabel 12 berikut:

Tabel 12 Distribusi Jenis ARV yang diterima Berdasarkan Jumlah CD4 Terakhir

di RSP Jumpandang Baru Tahun 2011

Jenis ARV yang Diterima

Jumlah CD4 Terakhir (sel/mm3) Total

<100 100- 299 300- 499 ≥ 500

n % n % n % n % n %

Duviral, Efavirenz  1 5 7  35  7   35 5   25  20 100 

Duviral,Nevirapine, Stavudine

 0 0  1  50  0  0  1   50  1 100 

Efavirenz  0 0  0  0  0  0  1  100   2 100 

Nevirapine  0 0  1  100  0  0  0  0   1 100 

Nevirapine, Duviral

 0 0  3  21.4  11  78.6  0  0   14 100 

Staviral, Hiviral, Nevirapine

 0 0  1  100  0  0  0  0   1 100 

Staviral, Lamivudin

 0 0  0  0  1  100  0  0  1  100 

Total 1  2.5  13  32.5  19  47.5  7  17.5 40

100 

Sumber : Data Primer, 2011

Tabel 12 menunjukkan bahwa secara keseluruhan, sebanyak 20 orang mengkonsumsi

ARV jenis duviral dan efavirenz namun terdapat 11 orang (78.6%) responden yang

mengkonsumsi ARV jenis nevirapine dan duviral memiliki jumlah CD4 terakhir 300- 499

sel/mm3.

c. Distribusi Gangguan Kecemasan Berdasarkan Umur Responden

Distribusi frekuensi gangguan kecemasan menurut umur responden di RSP Jumpandang

Baru 2011 dapat dilihat pada tabel 13 berikut:

Tabel 13 Distribusi Gangguan Kecemasan Berdasarkan Umur di RSP Jumpandang Baru Tahun 2011

Umur (tahun)

Mengalami Gangguan Kecemasan Jumlah

Ya Tidak n % n % n %

24- 29 7 77.8 2 22.2 9 100

30- 49 22 71 9 29 31 100Jumlah 29 72.5 11 27.5 40 100

Sumber : Data Primer, 2011

Tabel 13 menunjukkan bahwa dari 29 responden yang mengalami gangguan kecemasan

sebanyak 22 orang (71%) yang berumur 30- 49 tahun dan juga pada umur tersebut 9 orang (29%)

tidak mengalami gangguan kecemasan.

d. Distribusi Gangguan Depresi Berdasarkan Umur Responden

Distribusi frekuensi gangguan depresi menurut umur responden di RSP Jumpandang

Baru 2011 dapat dilihat pada tabel 14 berikut:

Tabel 14Distribusi Gangguan Depresi Berdasarkan Umur di

RSP Jumpandang Baru Tahun 2011

Umur (tahun)

Gangguan Depresi Jumlah

DepresiTidak

Depresin % n % n %

24- 29 3 33.3 6 66.7 9 10030- 49 8 25.8 23 74.2 31 100Jumla

h 11 27.5 11 72.5 40 100 Sumber : Data Primer, 2011

Tabel 14 menunjukkan bahwa masing- masing responden yang berumur 30-49 tahun

tidak mengalami gangguan depresi sebanyak 23 orang (74.2%) dan juga sebanyak 8 orang

(25.8%) mengalami depresi.

e. Distribusi Gangguan Kecemasan Berdasarkan Jenis Kelamin Responden

Distribusi frekuensi gangguan kecemasan berdasarkan jenis kelamin responden di RSP

Jumpandang Baru 2011 dapat dilihat pada tabel 15 berikut:

Tabel 15Distribusi Gangguan Kecemasan Berdasarkan Jenis Kelamin

di RSP Jumpandang Baru Tahun 2011

Jenis Kelamin

Mengalami Gangguan Kecemasan Jumlah

Ya Tidak

n % n % n %

Laki- laki 28 75.7 9 24.3 37 100Perempuan 1 33.3 2 66.7 3 100

Jumlah 29 72.5 11 27.5 40 100 Sumber : Data Primer, 2011

Tabel 15 menunjukkan bahwa sebanyak 28 orang (75.7%) yang mengalami gangguan

kecemasan dan sebanyak 9 orang (24.3%) tidak mengalami gangguan kecemasan adalah berjenis

kelamin laki- laki. Dari 3 orang responden yang berjenis kelamin perempuan, yang mengalami

gangguan kecemasan hanya terdapat 1 orang (33.3%) dan yang tidak mengalami gangguan

kecemasan terdapat 2 orang (66.7%).

f. Distribusi Gangguan Depresi Berdasarkan Jenis Kelamin Responden

Distribusi frekuensi gangguan depresi menurut jenis kelamin responden di RSP

Jumpandang Baru 2011 dapat dilihat pada tabel 16 berikut:

Tabel 16 Distribusi Gangguan Depresi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

di RSP Jumpandang Baru Tahun 2011

Jenis kelamin

Gangguan Depresi Jumlah

Depresi Tidak Depresi n % n % n %

Laki- Laki 10 27 27 73 37 100Perempuan 1 33.3 2 66.7 3 100

Jumlah 11 27.5 29 72.5 40 100 Sumber: Data Primer, 2011

Tabel 16 menunjukkan bahwa dari 29 responden yang tidak mengalami depresi adalah

paling banyak responden laki- laki sebanyak 27 orang (73%) dan dari 11 responden yang

mengalami depresi paling banyak adalah juga berjenis kelamin laki- laki yaitu sebanyak 10

orang (27%). Dari 3 orang responden yang berjenis kelamin perempuan, yang tidak mengalami

gangguan depresi sebanyak 2 orang (66.7%) dan yang mengalami gangguan depresi hanya 1

orang (33.3%).

g. Distribusi Gangguan Kecemasan Berdasarkan Pendidikan Terakhir Responden

Distribusi frekuensi gangguan kecemasan berdasarkan pendidikan terakhir responden di

RSP Jumpandang Baru 2011 dapat dilihat pada tabel 17 berikut:

Tabel 17 Distribusi Gangguan Kecemasan Berdasarkan Pendidikan

di RSP Jumpandang Baru Tahun 2011

Pendidikan Terakhir

Mengalami Gangguan Kecemasan

Jumlah Ya Tidak

n % n % n %

SD 3 100 0 0 3 100SMP 3 100 0 0 3 100

SMA 19 65.5 10 34.5 29 100D3 1 100 0 0 1 100

S1 3 75 1 25 4 100Jumlah 29 72.5 11 27.5 40 100

Sumber : Data Primer, 2011

Tabel 17 menunjukkan bahwa dari 29 responden yang mengalami gangguan kecemasan

sebanyak 19 orang (65.5%) yang menempuh pendidikan terakhir hingga SMA dan juga untuk 10

orang (34.5%) yang tidak mengalami gangguan kecemasan menamatkan pendidikan hingga

SMA.

h. Distribusi Gangguan Depresi Berdasarkan Pendidikan Terakhir

Distribusi frekuensi gangguan depresi menurut pendidikan terakhir responden di RSP

Jumpandang Baru 2011 dapat dilihat pada tabel 18 berikut:

Tabel 18 Distribusi Gangguan Depresi Berdasarkan Pendidikan Terakhir

di RSP Jumpandang Baru Tahun 2011

Pendidikan Terakhir

Gangguan Depresi Jumlah

Depresi Tidak Depresi

n % n % n %

SD 0 0 3 100 3 100SMP 0 0 3 100 3 100

SMA 9 31 20 69 29 100D3 0 0 1 100 1 100S1 2 50 2 50 4 100

Jumlah 11 27.5 29 72.5 40 100 Sumber : Data Primer, 2011

Tabel 18 menunjukkan bahwa tingkat pendidikan SMA merupakan tingkat pendidikan

terakhir yang ditempuh responden baik yang tidak mengalami depresi yaitu sebanyak 20 orang

(69%) dan yang mengalami depresi sebanyak 9 orang (31%).

i. Distribusi Gangguan Kecemasan Berdasarkan Jenis Pekerjaan

Distribusi frekuensi gangguan kecemasan berdasarkan jenis pekerjaan responden di RSP

Jumpandang Baru 2011 dapat dilihat pada tabel 19 berikut:

Tabel 19 Distribusi Gangguan Kecemasan Berdasarkan Jenis Pekerjaan

di RSP Jumpandang Baru Tahun 2011

Jenis Pekerjaan

Mengalami Gangguan Kecemasan Jumlah

Ya Tidak

n % n % n %

Tidak Bekerja 16 88.9 2 11.1 18 100Buruh 1 100 0 0 1 100

Mahasiswa 0 0 1 100 1 100Wiraswasta 10 56.5 8 44.4 18 100Karyawan

Swasta 2 100 0 0 2 100Jumlah 29 72.5 11 27.5 40 100

Sumber : Data Primer, 2011

Tabel 19 menunjukkan bahwa sebanyak 16 orang (88.9%) yang mengalami gangguan

kecemasan tidak memiliki pekerjaan dan sebanyak 8 orang (44.4%) yang tidak mengalami

gangguan kecemasan bekerja sebagai wiraswasta. Pekerjaan wiraswasta dimiliki oleh 10 orang

(56.5%) yang mengalami gangguan kecemasan.

j. Distribusi Gangguan Depresi Berdasarkan Jenis Pekerjaan Responden

Distribusi frekuensi gangguan depresi menurut jenis pekerjaan responden di RSP

Jumpandang Baru 2011 dapat dilihat pada tabel 20 berikut:

Tabel 20 Distribusi Gangguan Depresi Berdasarkan Jenis Pekerjaan

di RSP Jumpandang Baru Tahun 2011

Jenis Pekerjaan

Gangguan Depresi Jumlah

Depresi Tidak Depresi

n % n % n %

Tidak Bekerja 1 5.6 17 94.4 18 100Buruh 1 100 0 0 1 100

Mahasiswa 1 100 0 0 1 100Wiraswasta 7 38.9 11 61.1 18 100Karyawan

Swasta 1 50 1 50 2 100Jumlah 11 27.5  29 72.5   40 100

Sumber : Data Primer, 2011

Tabel 20 menunjukkan bahwa dari 29 responden yang tidak mengalami depresi 17 orang

(94.4%%) yang tidak memiliki pekerjaan dan dari 11 responden yang mengalami depresi

sebanyak 7 orang (63.6%) yang bekerja sebagai wiraswasta. Pekerjaan wiraswasta dialami oleh

11 orang (61.1%) yang tidak mengalami gangguan depresi.

k. Distribusi Gangguan Kecemasan Berdasarkan Jumlah CD4 Terakhir

Distribusi frekuensi gangguan kecemasan berdasarkan jumlah CD4 terakhir responden di

RSP Jumpandang Baru 2011 dapat dilihat pada tabel 21 berikut:

Tabel 21 Distribusi Ganggaun Kecemasan Berdasarkan Jumlah CD4 Terakhir

di RSP Jumpandang Baru Tahun 2011

Jumlah CD4 Terakhir (sel/mm3)

Mengalami Gangguan Kecemasan Jumlah

Ya Tidak

n % n % n %

< 100 0 0 1 100 1 100100- 299 9 69.2 4 30.8 13 100

300- 499 16 84.2 3 15.8 19 100> 500 4 57.1 3 42.9 7 100

Jumlah 29 72.5 11 27.5 40 100 Sumber : Data Primer, 2011

Tabel 21 menunjukkan bahwa dari 29 responden yang mengalami gangguan kecemasan

sebanyak 16 orang (84.2%) yang memilki CD4 terakhir antara 300- 499 sel/mm3 dan dari 11

responden yang tidak mengalami gangguan kecemasan sebanyak 4 orang (30.8%) yang memilki

jumlah CD4 terakhir antara 100- 299 sel/mm3.

l. Distribusi Gangguan Depresi Berdasarkan Jumlah CD4 Terakhir Responden

Distribusi frekuensi gangguan depresi menurut jumlah CD4 terakhir responden di RSP

Jumpandang Baru 2011 dapat dilihat pada tabel 22 berikut:

Tabel 22 Distribusi Gangguan Depresi Responden Berdasarkan Jumlah CD4 Terakhir

di RSP Jumpandang Baru Tahun 2011

Jumlah CD4 Terakhir (sel/ mm3)

Gangguan Depresi Jumlah

Depresi Tidak Depresi

n % n % n %

< 100 1 100 0 0 1 100100- 299 4 30.8 9 69.2 13 100

300- 499 4 21.1 15 78.9 19 100> 500 2 28.6 5 71.4 7 100

Jumlah 11 27.5 29 72.5 40 100 Sumber : Data Primer, 2011

Tabel 22 menunjukkan bahwa sebanyak 15 orang (78.9%) yang jumlah CD4 terakhirnya

antara 300- 499 sel/mm3 tidak mengalami depresi dan sebanyak 4 orang (30.8% dan 21.1%)

yang mengalami depresi memiliki jumlah CD4 terakhir masing- masing antara 100- 299 sel/mm3

dan 300- 499 sel/mm3.

m. Distribusi Gangguan Kecemasan Berdasarkan Lama Terdiagnosa HIV

Distribusi frekuensi gangguan kecemasan berdasarkan lama responden mengetahui status

HIV di RSP Jumpandang Baru 2011 dapat dilihat pada tabel 23 berikut:

Tabel 23Distribusi Kejadian Kecemasan Berdasarkan Lama Terdiagnosa HIV

di RSP Jumpandang Baru Tahun 2011

Lama mengetahui Status HIV

(tahun)

Mengalami Gangguan Kecemasan Jumlah

Ya Tidak

n % n % n %

< 1 1 100 0 0 1 100 1- 5 20 64.5 11 35.5 31 100

> 5 8 100 0 0 8 100Jumlah 29 72.5 11 27.5 40 100

Sumber : Data Primer, 2011

Tabel 23 menunjukkan bahwa sebanyak 20 orang (64.5%) yang mengetahui status HIV

selama 1- 5 tahun mengalami gangguan kecemasan. Hal ini serupa dengan 11 orang (35.5%)

yang tidak mengalami gangguan kecemasan.

n. Distribusi Gangguan Depresi Berdasarkan Lama Terdiagnosa HIV

Distribusi frekuensi gangguan depresi menurut lama responden mengetahui status HIV di

RSP Jumpandang Baru 2011 dapat dilihat pada tabel 24 berikut:

Tabel 24 Distribusi Gangguan Depresi Berdasarkan Lama Terdiagnosa HIV

di RSP Jumpandang Baru Tahun 2011

Lama mengetahu

i Status HIV

(tahun)

Gangguan Depresi Jumlah

Depresi Tidak Depresi

n % n % n %

< 1 1 100 0 0 1 100 1- 5 9 29 22 71 31 100> 5 1 12.5 7 87.5 8 100

Jumlah 11 27.5 29 72.5 40 100 Sumber : Data Primer, 2011

Tabel 24 menunjukkan bahwa sebanyak 22 orang (87.5%) yang mengetahui statusnya

selama 1-5 tahun tidak mengalami depresi dan 9 orang (29%) yang mengalami depresi tahu

status HIV selama 1-5 tahun.

o. Distribusi Gangguan Kecemasan Berdasarkan Jenis ARV yang Diterima

Distribusi frekuensi gangguan kecemasan berdasarkan jenis antiretroviral (ARV) yang

diterima responden di RSP Jumpandang Baru 2011 dapat dilihat pada tabel 25 berikut:

Tabel 25 Distribusi Gangguan Kecemasan Berdasarkan Jenis ARV yang Diterima

di RSP Jumpandang Baru Tahun 2011

Jenis ARV yang diterima

Mengalami Gangguan Kecemasan Jumlah

Ya Tidak

n % n % n %

Duviral, Efavirenz 14 73.7 6 26.3  20 100Duviral, Nevirapin,

Stavudine 0 0 2 100 2 100

Efavirenz 1 100 0 0 1 100Nevirapine 1 100 0 0 1 100

Nevirapine, Duviral 11 78.6 3 21.4 14 100Staviral, Hiviral,

Nevirapine 1 100 0 0 1 100Staviral, Lamivudine 1 100 0 0 1 100

Jumlah 29 72.5 11 27.5 40 100 Sumber : Data Primer, 2011

Tabel 25 menunjukkan bahwa dari 29 responden yang mengalami gangguan kecemasan

sebanyak 14 orang (73.7%) yang menerima duviral, efavirenz dan dari 11 responden yang tidak

mengalami gangguan kecemasan sebanyak 6 orang (26.3%) juga menerima duviral, efavirenz

sebagai ARV.

p. Distribusi Kejadian Depresi Berdasarkan Jenis ARV yang Diterima

Distribusi frekuensi kejadian depresi menurut jenis antiretroviral (ARV) ayng diterima

responden di RSP Jumpandang Baru 2011 dapat dilihat pada tabel 25 berikut:

Tabel 26 Distribusi Gangguan Depresi Berdasarkan Jenis ARV yang Diterima

di RSP Jumpandang Baru Tahun 2011

Jenis ARV yang diterima

Gangguan Depresi Jumlah

DepresiTidak

Depresi n % n % n %

Duviral, Efavirenz 8 36.8 12  63.2 20 100Duviral, Nevirapin,

Stavudine 1 50 1 50 2 100

Efavirenz 0 0 1 100 1 100Nevirapine 0 0 1 100 1 100

Nevirapine, Duviral 2 14.3 12 85.7 14 100Staviral, Hiviral,

Nevirapine 0 0 1 100 1 100

Staviral, Lamivudine 0 0 1 100 1 100Jumlah 11 27.5 29 72.5 40 100

Sumber: Data Primer, 2011

Tabel 26 menunjukkan bahwa ARV duviral, efavirenz dan nevirapin, duviral merupakan

ARV yang paling banyak diterima masing- masing sebanyak 12 orang (63.2% dan 85.7%) dan

sebanyak 8 orang (36.8%) responden yang mengalami depresi menerima duviral, efavirenz

sebagai ARV.

B. Pembahasan

Hasil penelitian pada ODHA di RSP Jumpandang Baru pada bagian sebelumnya

memberikan acuan untuk membahas lebih lanjut mengenai gambaran epidemiologi gangguan

depresi dan kecemasan pada ODHA.

I. Analisis Univariat

1. Distribusi Reponden Berdasarkan Karakteristik Umum

Karakteristik umum merupakan identitas yang menggambarkan ciri seseorang.

Karakteristik umum yang ada pada penelitian ini adalah umur, jenis kelamin, pendidikan

terakhir, dan jenis pekerjaan.

a. Distribusi Responden Berdasarkan Umur

Umur sebagai salah satu karakteristik yang dipakai dalam studi epidemiologi merupakan

variabel yang sangat penting karena beberapa penyakit ditemukan saling berhubungan dengan

umur sehingga memberikan gambaran mengenai tentang karakteristik penyebab penyakit

tersebut.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di RSP Jumpandang Baru menunjukkan

bahwa dari 40 responden yang diwawancarai, terdapat 31 orang (77.5%) yang berumur 30- 49

tahun dan sebanyak 9 orang (22.5%) yang berumur 24- 29 tahun. Walaupun kedua kelompok

umur ini merupakan kelompok umur produktif, namun yang paling banyak adalah kelompok

umur 30- 49 tahun karena kelompok usia ini merupakan kelompok umur produktif dan aktif

melakukan berbagai macam aktivitas dan kontak dengan orang lain, tak terkecuali dengan orang

yang terinfeksi HIV. Selain itu, pada kelompok umur ini, produksi hormon seksual telah matang

sehingga aktivitas seksual yang tidak terkendali menyebabkan perilaku seksual yang

menyimpang sehingga dapat menjadi sumber penularan.

b. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis kelamin merupakan salah satu variabel yang dapat memberikan perbedaan angka

kejadian pada laki- laki dan perempuan. Perbedaan ini dapat terjadi akibat perbedaan anatomi,

fisiologi, dan berbagai fungsi tubuh lainnya. Karena itu, apabila terdapat perbedaan akibat jenis

kelamin perlu dipertimbangkan apakah perbedaan tersebut timbul akibat jenis kelamin atau

akibat faktor biologis maupun genetik.

Hasil penelitian diperoleh bahwa dari 40 responden terdapat 37 orang (92.5%) adalah

jenis kelamin laki- laki dan 3 orang (7.5%) adalah perempuan. Pada penelitian ini, kelompok

jenis kelamin laki- laki lebih tinggi salah satunya akibat laki- laki lebih cenderung berperilaku

berisiko sehingga rentan terinfeksi HIV dibanding perempuan. Hal ini dapat diketahui bahwa

sebagian besar responden adalah pengguna narkoba suntik dan perilaku seksual mereka yang

sering berganti- ganti pasangan. Responden perempuan sebanyak 3 orang dalam penelitian ini

dua diantaranya merupakan istri yang terinfeksi dari suaminya.

c. Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir

Pendidikan pada umumnya berguna dalam merubah pola pikir, pola bertingkah laku dan

pola pengambilan keputusan. Pendidikan merupakan proses pengembangan kepribadian dan

intelektual seseorang yang dilakukan secara sadar. Semakin tinggi pendidikan seseorang

biasanya tingkat pengetahuannya relatif baik sehingga gaya hidup dan perlakunya cenderung

lebih positif.

Hasil penelitian pada tabel 4 memeperlihatkan bahwa pendidikan terakhir yang

ditamatkan paling banyak adalah SMA sebanyak 29 orang (72.5%) dan yang paling sedikit

adalah D3 sebanyak 1 orang (10%). Banyaknya ODHA dengan tingkat pendidikan SMA

disebabkan karena rata- rata pendidikan tertinggi di Indonesia adalah SMA/ sederajat.

d. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan

Pekerjaan merupakan sesuatu yang dilakukan untuk mendapatkan nafkah atau

menghasilkan uang. Pekerjaan seseorang mempengaruhi pendapatan seseorang. Pada tabel 5

menunjukkan bahwa wiraswasta merupakan pekerjaan yang paling banyak ditekuni oleh ODHA

di RSP Jumpandang Baru yaitu sebanyak 18 orang (45%). Selain itu sebanyak 18 orang (45%)

juga belum memiliki pekerjaan.

Pekerjaan wiraswasta merupakan pekerjaan yang dilakukan oleh kelompok usia produktif

yang telah mampu membangun suatu usaha pekerjaan. Selain itu, rata- rata responden adalah

tamatan SMA sehingga pekerjaan yang memungkinkan untuk ditekuni adalah wiraswasta.

Wiraswasta merupakan salah satu jenis pekerjaan yang tidak tetap dalam arti penghasilan dari

usaha ini tergantung dari kemajuan mengembangkan usaha dan modal yang kuat. Bila lemah

dalam hal ini, maka kemajuan usaha sangatlah minim. Konsekuensinya mengarah pada gaya

hidup dan perilaku seks bebas karena belum mampu memikul tanggung jawab dalam hal

pendapatan.

2. Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah CD4 Terakhir

CD4 atau Cluster Differential Four merupakan marker untuk melihat sejauh mana

progress dari infeksi HIV dalam tubuh seseorang. Nilai CD4 sering mengalami fluktuasi dengan

adanya sindrom baru yang muncul dan psikologikal sehingga diperlukan beberapa kali tes.

Hasil penelitian tabel 6 memperlihatkan bahwa sebanyak 19 orang (47.5%) yang

memiliki jumlah CD4 terakhir antara 300- 499 sel/mm3 dan 1 orang (2.5%) yang memmiliki

jumlah CD4 terakhir < 100 sel/mm3. Setelah lama terinfeksi HIV, jumlah CD4 semakin

menurun. Jumlah CD4 dapat jatuh menjadi angka yang sangat rendah pada orang dengan HIV,

kadang kala menjadi nol. Ini menjadi tanda bahwa sistem kekebalan tubuh kita semakin rusak.

Semakin rendah jumlah CD4, semakin mungkin kita akan menjadi sakit. Orang yang

didiagnosa HIV 5 tahun lebih bila jumlah CD4 > 500 sel/mm3 tidak mengalami penurunan imun,

jumlah CD4 350- 499 sel/mm3 mengindikasikan mengalami penurunan imun ringan, CD4 200-

349 sel/mm3 penurunan umum sedang, dan CD4 < 200 sel/mm3 mengalami penurunan imun

yang berat. Jumlah CD4 dapat berubah karena dipengaruhi oleh reaksi antiretroviral dalam tubuh

yang dapat mencegah masuknya HIV ke dalam sel yang mempunyai reseptor CD4.

3. Distribusi Responden Berdasarkan Lama Terdiagnosa HIV

Diagnosis yang awal membuat pemberian ART lebih efektif untuk menekan sindrom

yang akan timbul. Tabel 7 memperlihatkan bahwa sebanyak 31 orang (77.5%) yang berkisar 1-5

tahun telah mengetahui dirinya terdiagnosa HIV dan 1 orang (2.5%) yang mengetahui status HIV

< 1 tahun.

Seseorang yang baru saja mengetahui statusnya, menjadi lebih tertutup sehingga

hubungan interpersonal menjadi terganggu dan menimbulkan stres berat dan kecemasan bagi

orang tersebut. Dukungan untuk ODHA yang tertutup dari statusnya dapat mengurangi efek

depresi dan stres yang dapat mempengaruhi sistem imun untuk melawan infeksi, meningkatkan

peluang infeksi.

Olley (2006) yang melakukan penelitian pada wanita menjalani pengobatan di RS

Tyerberg Afrika Selatan yang mengalami gangguan psikiatri seperti depresi mayor, gangguan

distmia, gangguan bunuh diri, gangguan stres pasca trauma, dan kecemasan umum ditunjukkan

setelah didiagnosis HIV 1 tahun lalu.

4. Distribusi Berdasarkan Jenis ARV yang Diterima

Tujuan utama dari terapi ARV yaitu mengurangi jumlah virus dalam darah sebanyak

mungkin dan meningkatkan jumlah CD4 sebanyak mungkin. Virus HIV tidak dapat dikurangi

secara sempurna, sehingga ODHA harus mengkonsumsi obat ini selamanya, bahkan jika gejala

mulai berkurang. Terapi ARV yang dikatakan berhasil apabila jumlah CD4 atau limfosit total

naik, berat badan naik, tenaga lebih kuat, pulih dari infeksi oportunistik.

Berdasarkan jenis ARV yang diterima ODHA di RSP Jumpandang Baru diperoleh bahwa

sebanyak 20 orang (50%) yang menerima duviral dan efavirenz sebagai ARV mereka. Obat

duviral dan efavirenz merupakan golongan first line regimen yang merupakan kombinasi obat

yang akan digunakan pada pasien yang tidak mempunyai riwayat ART sebelumnya. Pada

umumnya, obat- obat yang masuk dalam kelompok ini terdiri dari dua obat golongan NRTI

(Nuclease Reserve Transcriptase Inhibitors) dan satu golongan NNRTI (Non Nuclease Reserve

Transcriptase Inhibitors).

Duviral merupakan ARV kombinasi dari Zidovudin (AZT) dan Lamivudin (3TC) yang

merupakan golongan obat NRTI. Sedangkan efavirenz merupakan golongan obat NNRTI dan

merupakan obat yang paling banyak digunakan dari golongan ini. Rekomendasi kuat kelompok

regimen ART yang dimulai oleh ODHA salah satu diantaranya adalah duviral (AZT dan 3TC)

dan efavirenz (EFV) dan kedua adalah kombinasi duviral (AZT dan 3TC) dan lamivudin.

Rekomendasi sesuai dengan hasil penelitian pada tabel 8. Hal ini dapat menunjukkan bahwa

ODHA di RSP Jumpandang Baru masih menggunakan ARV lini pertama dan belum mendapat

efek samping yang berlebihan dari ARV yang dikonsumsi.

5. Distribusi Berdasarkan Gangguan Kecemasan

Pengalaman mengalami suatu penyakit akan membangkitkan berbagai perasaan dan

reaksi stres, frustasi, kecemasan, kemarahan, penyangkalan diri, rasa malu, berduka, dan

ketidakpastian dengan adaptasi terhadap penyakit. Kecemasan dapat timbul dari adanya ancaman

terhadap suatu penyakit sehingga penyakit tertentu dapat menjadi stresor bagi individu.

Kecemasan merupakan ketegangan, rasa tak aman dan kekhawatiran yang timbul karena

dirasakan akan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan, tetapi sumbernya sebagian besar tidak

diketahui dan manifestasi kecemasan dapat mengakibatkan perubahan somatik dan psikologik.

Dari hasil penelitian pada tabel 9 diperoleh bahwa dari 40 responden yang diwawancarai,

sebanyak 29 orang (72.5%) yang mengalami gangguan kecemasan dan sebanyak 11 orang

(27.5%) yang tidak mengalami gangguan kecemasan. Pada hasil ini diketahui bahwa ODHA di

RSP Jumpandang Baru lebih dominan mengalami gangguan kecemasan dibanding gangguan

depresi.

Gangguan kecemasan merupakan gejala awal sebelum mengalami gangguan depresi bila

tidak segera ditangani atau dapat dikatakan bahwa seseorang dapat mengalami gangguan depresi

yang bermula dari gangguan kecemasan bila tidak segera ditangani. ODHA yang mengalami

gangguan psikiatri lain seperti gangguan penyesuian, depresi, psikosis, atau penyalahgunaan zat

dapat juga mengalami gangguan kecemasan. Gejala kecemasan dapat dikembangkan karena

pasien tidak menegetahui dengan pasti mengenai infeksi HIV dan pengobatan karena isu yang

tidak berhubungan dengan HIV. Kecemasan ODHA dapat terjadi akibat perasaan menghadapi

kematian yang seakan- akan didepan mata sehingga ODHA merasa kesepian dan tidak jarang

muncul keinginan untuk bunuh diri.

6. Distribusi Berdasarkan Gangguan Depresi

Depresi merupakan salah satu faktor dari adanya penyakit kronis, seperti halnya HIV dan

AIDS. Beberapa teori serta penelitian yang menemukan bahwa gangguan depresi banyak

ditemukan dari ODHA yang diketahui akibat pikiran akan diri terdiagnosa HIV serta efek

samping dari pengobatan ARV.

Pada hasil penelitian, diperoleh bahwa dari 40 responden terdapat 11 orang (27.5%) yang

mengalami depresi dan 29 orang (72.5%) tidak mengalami gangguan depresi. Hal ini tidak sesuai

dengan teori dan penelitian yang ditemukan. ODHA yang memiliki dukungan informasi, emosi,

dan praktis memiliki tingkat depresi yang lebih rendah, dan dukungan informasi terlihat sebagai

faktor yang penting dalam menangani stress yang diasosiasikan dengan gejala- gejala yang

berhubungan dengan AIDS.

Banyaknya ODHA di RSP Jumpandang Baru yang tidak mengalami gangguan depresi

dikarenakan ODHA di pusat pelayanan ini menerima dukungan baik dari sesama ODHA dan

petugas kesehatan yang ada. Hal ini dapat dilihat bahwa ODHA yang datang bukan hanya datang

untuk berobat namun juga berinteraksi dengan ODHA lainnya dan petugas kesehatan.

Terjalinnya komunikasi yang baik membuat ODHA betah untuk datang di RSP Jumpandang

Baru.

II. Analisis Tabulasi Silang

1. Distribusi Gangguan Depresi Berdasarkan Gangguan Kecemasan

Gangguan depresi dan kecemasan merupakan gangguan yang sangat sulit dibedakan.

Seseorang yang mengalami gangguan kecemasan bila orang tersebut tidak dapat mengatasi

stressor psikososial yang dihadapinya. Depresi klinik sangat umum terlihat pada gangguan

kesehatan mental dikalangan penderita HIV. Gejala depresi berhubungan dengan perilaku

berisisko, ketidakpatuhan terhadap pengobatan, dan pendeknya harapan untuk bertahan. ODHA

tidak menjadi depresi dengan mudah karena kemajuan HIV dalam tubuh, walaupun itu

merupakan bagian yang penting untuk menyaring depresi selama titik krisis. Gejala klinik yang

muncul pada ODHA dapat menjadi kejadian permulaan mengalami kesedihan, dukacita, putus

asa, atau kemerosotan mental.

Hasil penelitian pada tabel 11 diperoleh bahwa dari 40 responden, gangguan kecemasan

dialami oleh 29 orang dan gangguan depresi dialami oleh 11 orang. Dari 29 orang yang

mengalami kecemasan, 24 orang (82.8%) yang tidak mengalami gangguan depresi dan hanya 5

orang (17.2) yang mengalami gangguan depresi. Begitupun dengan 11 responden yang

mengalami gangguan depresi, terdapat 5 orang (17.2%) yang mengalami gangguan kecemasan

dan 6 orang (54.5%) yang tidak mengalami gangguan kecemasan.

. Dari tabel ini menunjukkan bahwa gangguan kecemasan merupakan gangguan yang

paling banyak dialami. Seseorang yang mengalami depresi terjadi akibat gangguan kecemasan

yang lebih dahulu dialaminya. ODHA yang mengalami gangguan depresi dan kecemasan lebih

banyak akibat penyalahgunaan narkotika, alkohol, dan zat adiktif.

2. Distribusi Jumlah CD4 Terakhir Berdasarkan Jenis ARV yang Diterima

CD4 atau Cluster Differential Four merupakan marker untuk melihat sejauh mana

progress dari infeksi HIV dalam tubuh seseorang. CD4 secara perlahan akan menurun dalam

beberapa tahun dengan laju penurunan CD4 yang lebih cepat pada 1,5 – 2,5 tahun sebelum

pasien jatuh dalam keadaan AIDS. Pada fase akhir penyakit akan ditemukan jumlah CD4 < 200

sel/mm3 kemudian diikuti timbulnya infeksi oportunistik, berat badan turun secara cepat dan

muncul komplikasi neurulogis. Pada ODHA tanpa pengobatan ARV, rata – rata kemampuan

bertahan setelah CD4 turun < 200 sel/mm3 adalah 3,7 tahun (Depkes,2003). Memulai terapi

antiretroviral pada saat jumlah CD4 diatas 200 dapat mengurangi kejadian neuropati perifer,

anemia, dan gagal ginjal. Berbeda bila ODHA dengan jumlah CD4 dibawah 200, kejadian dari

toksisitas lebih berpengaruh.

Dari hasil penelitian pada tabel 12 memperlihatkan bahwa duviral dan efavirenz

merupakan jenis ARV yang paling banyak dikonsumsi oleh ODHA di RSP Jumpandang Baru

seperti yang diperoleh pada tabel 8. Tidak semua orang dengan HIV memerlukan antiretroviral.

Jenis ARV yang akan dikonsumsi diberikan atas beberapa pertimbnagan antara lain viral load

(laju pertumbuhan virus), jumlah CD4, gejala yang muncul, dan kesiapan dalam menjalani

terapi ini. Khusus bagi jumlah CD4, ARV akan diberikan bila jumlahnya dibawah 350 sel/mm 3

atau terdapat gejala akibat HIV misalnya kandidiasis.

Bila dikaitkan antara jumlah CD4 berdasarkan jenis ARV yang dikonsumsi dari hasil

penelitian pada tabel 12 diperoleh bahwa sebanyak 11 orang (78.6%) yang memiliki jumlah CD4

300- 499 sel/mm3 mengkonsumsi nevirapine dan duviral. Jumlah CD4 300- 499 sel/mm3

merupakan salah satu indikator ODHA berada dalam stadium klinis 2, dimana pada stadium ini

merupakan stadium ringan dari penurunan imunitas tubuh.

3. Distribusi Gangguan Kecemasan dan Depresi Berdasarkan Umur

Salah satu efek jangka panjang endemi HIV dan AIDS berdampak pada indikator

demografi salah satunya adalah indikator umur. Proporsi kelompok umur orang dengan HIV dan

AIDS paling banyak dikelompok umur muda, dimana kelompok umur ini berisiko untuk tertular

dan menularkan.

Pada hasil penelitian tabel 13 diperoleh bahwa gangguan kecemasan dialami pada

responden berumur 30- 49 tahun sebanyak 22 orang (71%). Menurut Kaplan, gangguan

kecemasan dapat terjadi pada semua usia, lebih sering pada usia dewasa dan sebagian besar

berada pada umur 21- 45 tahun. Umur ODHA antara 31- 40 tahun mengalami depresi (59%) dan

kecemasan (21%) (Vohith, 2008). Kematangan kepribadian seseorang tidak mutlak dipengaruhi

oleh usia. Kelompok umur 30- 49 tahun merupakan kelompok umur yang mampu dalam

pemikiran dan perilaku sehingga pola pikir telah berubah khususnya ODHA dalam memikirkan

kelangsungan kehidupan. Kehidupan yang penuh pikiran akan hidup kedepan membuat perasaan

gelisah, kuatir, dan cemas.

Pada gangguan kecemasan, kelompok umur 30- 49 tahun dialami oleh 23 orang. Hal ini

berbeda dengan gangguan depresi berdasarkan karakteristik umur yang digambarkan pada tabel

14. Sebanyak 23 orang (74.2%) yang berumur 30- 49 tahun tidak mengalami gangguan depresi.

Walaupun demikian sebanyak 8 orang (25.8%) dari 11 responden yang mengalami gangguan

depresi berumur 30- 49 tahun. Penelitian yang dilakukan Vohith (2008) menemukan bahwa 59%

ODHA mengalami depresi berumur 31- 40 tahun. Hasil penelitian Vohith juga didukung oleh

penelitian yang dilakukan Saragih (2005) di RS Haji Malik Medan yang menemukan bahwa

sindrom depresi terjadi pada kelompok umur 30- 39 tahun.

Depresi bukanlah bagian dari penuaan walaupun teori menunjukkan bahwa usia dewasa

lebih banyak mengalami depresi. Hal ini dikarenakan jika seorang dewasa mengalami depresi,

hal yang nampak dari luar akan berbeda, gejala yang kurang tampak, dan cenderung menjadi

pengalaman atau perasaan sedih seseorang.

4. Distribusi Gangguan Kecemasan dan Depresi Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis kelamin adalah perbedaan biologis antara pria dan wanita, yang meliputi perbedaan

komposisi kimia dan hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi, dan karakteristik biologis

lainnya, yang mempengaruhi sifat, tingkah laku, dan peranan seseorang. Dari hasil penelitian

pada tabel 15 diperoleh bahwa 28 orang (75.7%) yang mengalami gangguan kecemasan dan

hanya 1 orang (33.3%) yang berjenis kelamin perempuan. Pada dasarnya laki- laki dan

perempuan memiliki perbedaan yang jelas dalam karakteristiknya. Perbedaan inilah yang

kemudian mempengaruhi kecemasan yang dialami. Laki- laki yang mengalami gangguan

psikiatri seperti kecemasan disebabkan karena sifat dari laki- laki yang tertutup dibanding

perempuan yang terbuka. Sifat tertutup ini membuat laki- laki sulit dalam menceritakan apa yang

dialami, seperti stres, frustasi, kemarahan sehingga perasaan ini tertahan dan menimbulkan

kecemasan bagi laki- laki.

Untuk gangguan depresi, diperoleh jenis kelamin laki- laki merupakan kelompok yang

paling banyak mengalami gangguan kecemasan. Pada tabel 16 sebanyak 27 orang (73%)

responden berjenis kelamin laki- laki tidak mengalami gangguan depresi. Hasil ini berbeda

dengan penelitian yang dilakukan Saragih (2005) bahwa jenis kelamin pria lebih banyak

mengalami sindrom depresi dibanding wanita.

Walaupun demikian, hasil penelitian berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh

Olley (2004) yang menemukan bahwa wanita dengan HIV dan AIDS memiliki peningkatan

depresi yang lebih tinggi dibanding pria. WHO/UNAIDS menyebutkan bahwa wanita lebih

dominan mengalami depresi karena wanita 1.4 kali lebih mudah terinfeksi HIV dibanding pria

(Olisah, 2010). Begitu pula yang ditemukan oleh Morrison dkk (2002) yang memperlihatkan

bahwa gangguan depresi lebih tinggi terjadi pada wanita dengan HIV positif dibanding wanita

HIV negatif. Depresi klinik di kalangan wanita dengan HIV dan AIDS lebih tinggi dibanding

dengan pria HIV dan AIDS (Voss, 2007). Dari beberapa penelitian tersebut menunjukkan bahwa

wanita merupakan kelompok yang paling banyak mengalami depresi.

Depresi yang dirasakan oleh laki- laki berbeda dengan yang dirasakan perempuan. Laki-

laki yang mengalami gangguan depresi lebih merasa mendapat kelelahan, hilang semangat,

gangguan tidur, dimana jika perempuan lebih kepada merasa sedih, tidak berguna dan atau

bersalah sehingga pemahaman depresi pun berbeda.

5. Distribusi Gangguan Kecemasan dan Depresi Berdasarkan Pendidikan Terakhir

Tingkat pendidikan dilakukan secara sadar untuk mengembangkan kepribadian dan diluar

sekolah yang berlangsung seumur hidup, semakin tinggi pendidikan dasar yang diperoleh makin

banyak pengetahuan mengenai hidup yang sehat. Pendidikan merupakan faktor yang kuat

berhubungan dengan pendapatan dan peningkatan dampak kesehatan. Karena hasil pendidikan

ikut membentuk pola berpikir, pola persepsi, dan pengambilan keputusan seseorang. Tingkat

pendidikan juga mempengaruhi kesadaran dan pemahaman terhadap stimulus. Faktor-faktor

sosio demografi yang berhubungan dengan timbulnya kecemasan mencakup status pendidikan

yang rendah, status pernikahan (bercerai, janda, berpisah), dan status sebagai ibu rumah tangga

(Khan dkk, 2007).

Pada tabel 17 dari hasil penelitian, didapatkan bahwa pendidikan akhir yang paling

banyak ditamatkan oleh responden yang mengalami gangguan kecemasan yaitu tingkat SMA

sebanyak 19 orang (65.5%). Hasil ini tidak sesuai dengan teori yang menyebutkan bahwa tingkat

pendidikan berhubungan dengan kecemasan, yaitu gangguan kecemasan lebih sering terjadi pada

orang yang berpendidikan rendah. Semakin tinggi pengetahuan seseorang makin mempengaruhi

tingkat kecemasan. Responden dengan tingkat pendidikan SMA memiliki pengetahuan yang

cukup akan HIV dan AIDS sehingga gangguan kecemasan pun semakin tinggi, kecemasan akan

sindrom yang akan timbul, faktor perilaku berisiko yang harus dijaga, dan kecemasan akan

hubungan dengan orang lain. Pendidikan taraf SMA merupakan tahap dimana pergaulan yang

lebih banyak berperilaku berisiko walaupun pengetahuan yang dimilikinya cukup. Pergaulan

yang berisiko dalam penularan HIV dan AIDS paling banyak adalah lewat penyalahgunaan

narkoba khususnya narkoba suntik. ODHA di RSP Jumpandang Baru lebih banyak terinfeksi

HIV akhibat penularan ini dimana hampir 67.5% ODHA menerima terapi methadon sebagai

terapi subtitusi narkoba. Penelitian yang dilakukan oleh Applebaum dkk, 2010 yang menyatakan

bahwa kecemasan terjadi dikalangan ODHA pengguna jarum suntik yang menjalani pengobatan

methadon terlebih untuk ODHA yang lama menjalani terapi ini. Sehingga pendidikan SMA dan

pergaulan pada masa ini menjadi hal yang dapat memunculkan gangguan kecemasan bagi

ODHA.

Pada tabel 18 hasil penelitian diperoleh tingkat pendidikan terakhir yang ditamatkan oleh

29 responden yang tidak mengalami gangguan depresi adalah tingkat SMA yaitu sebanyak 20

orang (69%). Penelitian Gupta dkk (2010) bahwa dari 1.268 responden HIV positif 25.3%

wanita mengalami depresi dengan pendidikan yang rendah. Saragih (2005) dan Kandouw (2007)

menemukan bahwa gangguan depresi ditemukan pada pasien dengan tingkat pendidikan terakhir

SMA dengan prevalensi masing- masing 76.5% dan 50 %.

Adanya program pendidikan dasar 9 tahun yang dijalankan di Indonesia merupakan

pendidikan wajib dasar yang harus ditempuh oleh masyarakat. Pendidikan hingga SMA bukan

merupakan pendidikan rendah seperti SD dan SMP. Pada tahap pendidikan hingga SMA,

pengetahuan seseorang sudah dapat dikatakan cukup dalam memahami sesuatu sehingga pikiran-

pikiran yang berlebihan pun dapat diatasi apalagi bila didukung oleh adanya komunikasi yang

baik dengan orang lain.

6. Distribusi Gangguan Kecemasan dan Depresi Berdasarkan Jenis Pekerjaan

Pekerjaan merupakan suatu hal yang sangat penting bagi seseorang sehingga segala

pemenuhan kebutuhan dapat terpenuhi. Pendapatan seseorang dapat diukur dari pekerjaan yang

dilakukan sehingga hal ini menjadi perhatian bagi orang lain dalam mengukur keberadaan

seseorang. Distribusi kejadian depresi berdasarkan jenis pekerjaan responden yang dilihat pada

tabel 19 ditemukan bahwa sebanyak 16 orang (88.9%) yang mengalami gangguan kecemasan

merupakan kelompok yang tidak memiliki pekerjaan. Kecemasan yang berlebihan dapat

menyebabkan laki- laki menjadi mudah marah, gelisah, argumentatif, dan khawatir. Gangguan

ini dapat menyebabkan seseorang menjadi terbatas dalam apa yang mereka lakukan, sehingga

mereka tidak beraktivitas penuh dengan potensi mereka. Keadaan ini berpengaruh pada

produktifitas mereka baik dalam bekerja maupun dalam mencari pekerjaan.

Pengangguran menjadi masalah bagi Indonesia dimana angkanya terus meningkat,

terlebih pada usia yang produktif khususnya dikalangan ODHA sendiri. Pemenuhan kebutuhan

bagi ODHA terlebih dalam nutrisi menjadi hal yang penting dalam menjaga imunitas tubuh.

Kecemasan terhadap kondisi pengangguran meupakan keadaan tidak memiliki pekerjaan yang

dapat mengganggu fungsi mental dan hubungan sosial per individu. Implikasi dari pengangguran

menjadikan beban tersendiri bagi ODHA menimbulkan pikran yang gelisah, kekuatiran, dan

gelisah akibat tidak mampu memikul tanggung jawab dari sisi finansial terlebih bila ODHA telah

berkeluarga. Pikiran- pikiran seperti ini membuat ODHA menjadi stres dan takut yang

berkelanjutan pada kecemasan.

Pada tabel 20 menunjukkan bahwa sebanyak 17 orang (94.4%) yang tidak memiliki

pekerjaan tidak mengalami gangguan depresi. Hal ini tidak sesuai dengan penelitian yang

dilakukan Kandouw (2007) yang menyebutkan bahwa responden yang tidak memilki pekerjaan

justru mengalami gangguan depresi dengan presentasi sebesar 51.4%. Sedangkan pada penelitian

ini, hanya 1 responden yang mengalami depresi yang masuk dalam kelompok tidak bekerja.

7. Distribusi Gangguan Kecemasan dan Depresi Berdasarkan Jumlah CD4 Terakhir

Keganasan penyakit dinilai dari stadium klinis, jumlah CD4 yang rendah, kecepatan

pertumbuhan virus, ataupun jumlah gejala fisik juga berhubungan dengan peningkatan kematian,

depresi klinik, distimia, bunuh diri, dan kecemasan (Mast dkk, 2004; Olley 2006; Freeman dkk,

2007). Pada tabel 21 hasil penelitian diperoleh bahwa jumlah CD4 300- 499 sel/ mm3 merupakan

CD4 yang paling banyak dimiliki oleh ODHA yang tidak mengalami gangguan kecemasan yaitu

sebanyak 16 orang (84.2%). Bagi ODHA, jumlah CD4 menyediakan indikasi penting dari

kekuatan sistem imun, kemajuan HIV, dan indikator dalam memulai ART. Bila CD4 dibawah

350 sel/mm3, maka seseorang memiliki risiko tinggi akibat kemajuan HIV dan AIDS.

Dengan jumlah CD4 yang kurang membuat kecemasan tersendiri bagi ODHA. CD4 yang

kurang dari 50 sel/mm3 berpeluang 54.3% pada kematian, jumlah CD4 antara 50- 200 sel/mm3

berpeluang pada kematian 40% dan jumlah CD4 > 200 sel/mm3 memiliki peluang 5.7% pada

kematian. Rendahnya jumlah CD4 dipengaruhi oleh situasi psikologis dan biologis ODHA.

Akibat tekanan dari situasi ini mengganggu homeostatis pada regulasi sistem imun sehingga HIV

akan menunrunkan jumlah CD4.

HIV dikatakan sebagai penyebab depresi bila CD4 ODHA < 500 sel/mm3 yang disertai

dengan infeksi simptomatik, dan depresi bukan akibat dari HIV bila jumlah CD4 > 500 sel/mm 3

yang disertai dengan infeksi asimptomatik (Stern dan Herman, 2000). Penelitian Horberg dkk

(2007) pada 3359 pasien HIV yang ada dalam The Kaiser Permanente and Group Health

Cooperative di Amerika menemukan bahwa depresi berhubungan dengan penurunan jumlah

CD4 (< 500 sel/mm3). Tabel 22 menunjukkan bahwa responden yang memiliki jumlah CD4

terakhir 300- 499 sel/mm3 tidak mengalami gangguan depresi yaitu sebanyak 15 orang (78.9%).

Penelitian yang dilakukan oleh Saragih (2005) pada pasien ODHA di RSUP H.Adam Malik

Medan menemukan bahwa sindrom depresi sedang dialami oleh pasien dengan jumlah CD4 <

200 sel/ mm3. Hasil penelitian Saragih didukung oleh penelitian pada 765 wanita dengan HIV

dan AIDS di empat RS Pendidikan di Baltimore mengalami gangguan depresi dengan jumlah

CD4 < 200 sel/mm3 (Ickovics, 2001).

Jumlah CD4 antara 300- 499 sel/mm3 merupakan indikator dimana penurunan imunitas

ODHA masih termasuk ringan dan juga gangguan klinis yang terjadi dengan jumlah CD4 ini

berkurang sehingga bagi ODHA sendiri tidak terlalu memikirkan akan apa yang akan terjadi

selanjutnya. Selain itu bila dulunya jumlah CD4 menurun dan kemudian naik hal ini karena

ditunjang dengan keteraturan ODHA dalam mengkonsumsi ARV yang diberikan membuat

banyak perubahan secara klinis dalam tubuh sehingga ODHA memilki harapan untuk dapat

bertahan.

8. Distribusi Kejadian Depresi dan Kecemasan Berdasarkan Lama Terdiagnosa HIV

Diagnosis psikiatri yang muncul saat didiagnosis HIV antara lain gangguan akut

(gangguan penyesuaian dan stres), gangguan kronik (gangguan kecemasan, depresi, gangguan

penyalahgunaan zat, gangguan personalitas). Dari hasil penelitian diperoleh bahwa ODHA yang

mengetahui dirinya terdiagnosa HIV selama 1-5 tahun lebih banyak mengalami kecemasan yaitu

sebanyak 20 orang (64.5%). Jacobs (2010) menyebutkan 72% ODHA mengalami gangguan

depresi atau kecemasan pada awal tahun diagnosis, 32% dari ODHA tidak mendapat pengobatan

depresi atau kecemasan tersebut. Sedangkan penelitian yang dilakukan Lee (2001) pada orang

tua dengan HIV ditemukan bahwa orang tua yang lebih bertahan hidup lebih lama menunjukkan

gejala depresi dan kecemasan yang lebih tinggi dibanding orang tua yang lebih awal meninggal,

dengan 40% yang mendapat diagnosis HIV, 42% mendapat diagnosis AIDS dengan gejala

simptomatik, dan 18% yang diagnosis awalnya non AIDS dengan gejala simptomatik.

Kecemasan yang dialami ODHA yang walaupun telah lama mengetahui status HIV dapat terjadi

karena pikiran akan bertahan hidup, cemas akan kemungkinan kematian yang dihadapi karena

dari progresi HIV ataupun resistensi ARV yang dikonsumsi.

Pada tabel 24 hasil penelitian didapatkan bahwa sebanyak 22 orang (71%) yang tidak

mengalami gangguan depresi mengetahui status HIV selama 1- 5 tahun. Hasil penelitian ini

berbeda dengan penelitian yang dilakukan Yee, dkk (2009) dalam melihat hubungan tahun

diagnosis HIV dengan kejadian depresi pada ODHA yang berkunjung pada pusat klinik

Universitas Malaysia ditemukan bahwa ODHA yang mengalami depresi mengetahui dirinya

terinfeksi HIV selama 4,5 tahun. Selang waktu ini sudah menunjukkan gejala simptomatik dari

AIDS jumlah CD4 yang rendah (< 500 mm3) sehingga kemajuan dari infeksi HIV pun semakin

cepat.

Namun, Vance (2006) menemukan bahwa ODHA yang didiagnosis lebih awal

mengalami mengalami gejala depresi yang rendah. ODHA yang baru mengetahui statusnya dapat

mengalami depresi karena status baru atas dirinya dan perasaan akan penyakit yang berbahaya.

Namun, waktu selama 1- 5 tahun sejak didiagnosa menjadi waktu bagi ODHA dalam menjalani

pengobatan, konseling, dan dukungan dari ODHA lain sehingga ODHA dapat menjalani

kehidupannya layaknya orang biasa tanpa adanya beban dari diri sendiri.

9. Distribusi Gangguan Kecemasan dan Depresi Berdasarkan Jenis ARV yang Diterima

Seiring dengan perpanjangan harapan hidup ODHA dengan adanya ARV , risiko untuk

gangguan mental terjadi pun dapat dialami, khususya dalam hal kepatuhan mengkonsumsi ARV

dan juga efek dari ARV sendiri. Efek samping yang paling sering terjadi pada pemberian ARV

adalah mual dan rasa tidak enak. Pengaruh lain adalah sakit kepala, lelah, mual, dan diare.

Beberapa pengobatan seperti zidovudine, didanosine, nevirapine, abcavir, dan efavirens diteliti

memilki hubungan dengan gejala neuropsikiatri.

Kecemasan dapat disebabkan oleh zat seperti ekstasi, kafein, atau oleh obat- obatan yang

dikonsumsi untuk waktu yang lama dan salah satunya adalah ARV. Diantara ODHA yang

mendapat pengobatan, 20,3% ditemukan mengalami gangguan kecemasan, dengan proporsi

12,3% (emedicine, 2010). Hasil penelitian pada tabel 25 diperoleh bahwa jenis antiretroviral

(ARV) yang paling banyak diterima oleh responden yang mengalami gangguan kecemasan

adalah duviral dan efavirenz yaitu sebanyak 14 orang (73.7%). Efavirenz merupakan salah satu

ARV yang memiliki toksisitas yang sering terjadi pada ODHA yang mengkonsumsinya.

Toksisitasnya meliputi toksisitas sistem saraf pusat (SSP) yang bersifat persisten dan berat bila

dikonsumsi. Selain itu efek samping dari efavirenz adalah pusing, mengantuk, sukar tidur,

bingung, halusinasi, egitasi peningkatan kadar transminase dan juga ruam kulit. Beberapa efek

samping dari efavirenz ini mengakibatkan kecemasan pada ODHA. Bila ODHA kelompok

penasun yang sedang menjalani terapi ARV juga menerima terapi methadon sebagai subtitusi

pengganti opiat dalam mengubah perilakunya sehingga mengurangi risiko tertular dan

menularkan HIV dan AIDS. Kepatuhan dalam menerima methadon ditambah dengan pengobatan

ARV menimbulkan beban psikologis tersendiri bagi ODHA. Depkes menyebutkan bahwa

nevirapine, efavirenz, dan ritonavir dapat meunrunkan konsetrasi methadon melalui induksi

cytochrome dan menimbulkan gejala putus obat. Tanda dan gejala putus obat biasanya muncul

pada hari keempat hingga kedelapan setelah memulai terapi ARV. Gejala putus obat yang dapat

timbul pada ODHA yang mengikuti terapi methadon dan memulai terapi ARV tersebut antara

lain terasa panas, keringat, hipersekresi, muntah, diare, dan kram perut, lakrimasi, sakit kepala,

dan cemas.

Wood (2006) menemukan bahwa efek efavirenz terhadap afektif ODHA sehingga dapat

terjadi depresi. Hasil penelitian pada tabel 26 menunjukkan bahwa jenis antiretroviral yang

paling banyak diterima oleh ODHA yang tidak mengalami depresi adalah duviral, efavirenz dan

nevirapine, duviral yaitu masing- masing sebanyak 12 orang (63.2 % dan 85.7%). Duviral

(gabungan zidovudin dan lamivudin) dan efavirenz merupakan kombinasi obat yang saat ini

dikembangkan yaitu Highly Active Antiretroviral Therapy (HAART). HAART mencakup dua

obat dari golongan NRTI dan satu dari golongan NNRTI atau golongan protease inhibitor (PI).

Proporsi yang signifikan ODHA yang menerima pengobatan HAART mengalami depresi sebesar

14.2 % (Olisah, 2010). Lamivudine (3TC) ,mempunyai tosisitas yang rendah, namun untuk

zidovudine (ZDV/AZT) memiliki efek samping seperti animea, neutropenia, intoleransi

gastrointestinal, sakit kepala, sukar tidur, miopati.

Dalam Journal of Acquired Immune Deficiency Syndromes edisi maret 2008 dilaporkan

bahwa penelitian pada 3000 ODHA, diagnosis depresi dikaitkan dengan penuruan kepatuhan

terhadap terapi antiretroviral. Hal ini serupa dengan yang dikemukakan Vranceanu, dkk (2008)

dimana salah satu penyebab dari rendahnya kepatuhan pengobatan antiretroviral pada ODHA

adalah gangguan depresi. Namun, dari hasil observasi yang dilakukan selama penelitian dalam

melihat kepatuhan ART dapat dijelaskan bahwa ODHA di RSP Jumpandang Baru dapat

dikatakan cukup patuh dalam menjalani pengobatan ARV karena bila ODHA datang mengambil

obat ARV mereka selalu berdiskusi dengan petugas kesehatan mengenai ARV yang akan

diminum.