bab i,ii,iii,iv
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Fenomena yang terjadi saat ini di berbagai negara termasuk di Indonesia
adalah bertambahnya jumlah penduduk lanjut usia, yaitu prnduduk yang
berumur 60 tahun keatas. Di satu sisi hal ini merupakan fenomena yang
menggembirakan, karena merupakan salah satu indikator dari peningkatan
kesejahteraan hidup. Namun demikian jika hal tersebut tidak disikaprasi
dengan arif dari lansia, keluarga, masyarakat maupun pemerintah, dapat
menjadikan suatu ancaman karena kondisi pada masa lanjut usia yang semakin
rentan. Contoh kasus adalah banyaknya jumlah angka lansia yang menjadi
korban kekerasan.
B. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui bagaimana kekerasan terhadap lansia menurut segi
pandang kode etik keperawatan.
2. Untuk mengetahui bagaimana kekerasan terhadap lansia menurut segi
pandang hukum.
3. Untuk mengetahui bagaimana kekerasan terhadap lansia menurut segi
pandang budaya.
4. Untuk mengetahui bagaimana kekerasan terhadap lansia menurut segi
pelayanan kesehatan.
5. Untuk mengetahui bagaimana kekerasan terhadap lansia menurut segi Hak
Asasi Manusia.
1
BAB II
PERMASALAHAN
A. Masalah yang Dibahas
TKW INDONESIA TERTANGKAP KAMERA MENYIKSA LANSIA
Taoyuan – Seorang TKW asal Indonesia diperkerjaan untuk merawat
kakek berusia 80 tahun yang menderita penyakit parkinson, tidak diduga dapat
melakukan aksi kekerasan terhadap kakek tersebut. Setiap kali pihak keluarga
tidak berada di tempat, TKW tersebut menyiksa lansia tak berdaya itu. Aksi
kekerasan yang dilakukan berupa tinjuan ke arah kepala bagian belakang kakek,
dan tendangan kearah kaki kakek. Saat latihan berjalan, sang kakek dipaksa
berjalan tanpa dibantu (dibopong) sama sekali.
Kejadian penyiksaan tersebut terekam oleh kamera CCTV. Rekaman
CCTV tersebut memperlihatkan sang kakek jatuh beberapa kali dengan posisi
kepala bagian belakang terbentur ke tanah. Yang lebih mengenaskan adalah
setelah jatuh, TKW itu menarik dengan keras kedua tangan kakek hingga kembali
keposisi duduk kakek di kursi sebelumnya, baru saja duduk, kakek tersebut
langsung di serang dengan pukulan bertubi-tubi di kepala dan tendangan berkali
kali di bagian kaki.
Saat berita ini di tulis, kakek masih dalam posisi berbaring di rumah sakit
dengan posisi pendarahan pada bagian otak, serta jahitan 3 jarum di bagian
belakang kepala sang kakek,
Sumber : BMI Times, 11 Maret 2012
2
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kekerasan terhadap lansia menurut segi pandang kode etik
keperawatan?
2. Bagaimana kekerasan terhadap lansia menurut segi pandang hukum?
3. Bagaimana kekerasan terhadap lansia menurut segi pandang budaya?
4. Bagaimana kekerasan terhadap lansia menurut segi pelayanan kesehatan?
5. Bagaimana kekerasan terhadap lansia menurut segi Hak Asasi Manusia?
3
BAB III
TINDAK KEKERASAN TERHADAP LANSIA
Kekerasan dalam rumah tangga adalah kekerasan yang paling banyak
terjadi. Kekerasan dalam rumah tangga bisa terwujud dalam aneka bentuk. Nah,
pernahkah kita mendengar istilah kekerasan terhadap lansia? Jenis kekerasan ini
memang jarang dibicarakan, namun demikian kekerasan ini pun banyak terjadi di
sekitar kita.
Kekerasan pada lansia di tinjau dari berbagai segi :
A. Menurut Kode Etik Keperawatan
Beberapa prinsip etika yang harus dijalankan dalam pelayanan pada
penderita usia lanjut adalah (Kane et al, 1994, Reuben et al, 1996) :
1. Empati : istilah empati menyangkut pengertian : ”simpati atas dasar
pengertian yang dalam”. Dalam istilah ini diharapkan upaya pelayanan
geriatri harus memandang seorang lansia yang sakit denagn pengertian,
kasih sayang dan memahami rasa penderitaan yang dialami oleh penderita
tersebut. Tindakan empati harus dilaksanakan dengan wajar, tidak
berlebihan, sehingga tidak memberi kesan over-protective dan belas-
kasihan. Oleh karena itu semua petugas geriatrik harus memahami peroses
fisiologis dan patologik dari penderita lansia.
2. Yang harus dan yang ”jangan” : prinsip ini sering dikemukakan sebagai
non-maleficence dan beneficence. Pelayanan geriatri selalu didasarkan pada
keharusan untuka mngerjakan yang baik untuk pnderita dan harus
menghindari tindakan yang menambah penderita (harm) bagi penderita.
Terdapat adagium primum non nocere (”yang penting jangan membuat
seseorang menderita”). Dalam pengertian ini, upaya pemberian posisi
baring yang tepat untuk menghindari rasa nyeri, pemberian analgesik (kalau
perlu dengan derivat morfina) yang cukup, pengucapan kata-kata hiburan
merupakan contoh berbagai hal yang mungkin mudah dan praktis untuk
dikerjakan.
4
3. Otonomi : yaitu suatu prinsip bahwa seorang inidividu mempunyai hak
untuk menentukan nasibnya, dan mengemukakan keinginannya sendiri.
Tentu saja hak tersebut mempunyai batasan, akan tetapi di bidang geriatri
hal tersebut berdasar pada keadaan, apakah penderita dapat membuat
putusan secara mandiri dan bebas. Dalam etika ketimuran, seringakali hal
ini dibantu (atau menjadi semakin rumit ?) oleh pendapat keluarga dekat.
Jadi secara hakiki, prinsip otonomi berupaya untuk melindungi penderita
yang fungsional masih kapabel (sedanagkan non-maleficence dan
beneficence lebih bersifat melindungi penderita yang inkapabel). Dalam
berbagai hal aspek etik ini seolah-olah memakai prinsip paternalisme,
dimana seseorang menjadi wakil dari orang lain untuk membuat suatu
keputusan (mis. Seorang ayah membuat keuitusan bagi anaknya yang belum
dewasa).
4. Keadilan : yaitu prinsip pelayanan geriatri harus memberikan perlakuan
yang sama bagi semua penderita. Kewajiban untuk memperlakukan seorang
penderita secara wajar dan tidak mengadakan pembedaan atas dasar
karakteristik yang tidak relevan.
5. Kesungguhan Hati : yaitu suatu prinsip untuk selalu memenuhi semua janji
yang diberikan pada seorang penderita.
6. Kejujuran (Veracity) : Prinsip veracity berarti penuh dengan kebenaran.
Nilai ini diperlukan oleh pemberi pelayanan kesehatan untuk
menyampaikan kebenaran pada setiap klien dan untuk meyakinkan bahwa
klien sangat mengerti. Prinsip veracity berhubungan dengan kemampuan
seseorang untuk mengatakan kebenaran.
7. Menepati janji (Fidelity) : Prinsip fidelity dibutuhkan individu untuk
menghargai janji dan komitmennya terhadap orang lain. Perawat setia pada
komitmennya dan menepati janji serta menyimpan rahasia klien
5
B. Menurut Segi Hukum
Keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman, tenteram,
dan damai merupakan dambaan setiap orang. Dengan demikian, setiap orang
dalam lingkup rumah tangga dalam melaksanakan hak dan kewajiban harus
didasari oleh agama. Hal itu perlu terus ditumbuhkembangkan dalam rangka
membangun keutuhan rumah tangga.
Untuk mewujudkan keutuhan dan kerukunan tersebut, sangat tergantung
pada setiap orang dalam lingkup rumah tangga, terutama kadar kwalitas
perilaku dan pengendalian diri setiap orang dalam lingkup rumah tangga
tersebut.
Keutuhan dan kerukunan rumahtangga dapat terganggu jika kwalitas
pengendalian diri tidak dapat dikontrol, yang pada akhirnya dapat terjadi
kekerasan dalam rumah tangga sehingga timbul ketidakaman atau
ketidakadilan terhadap orang yang berbeda dalam lingkup rumah tangga
tersebut.
Untuk mencegah, melindungi korban, dan menindak pelaku kekerasan
dalam rumah tangga, Negara dan masyarakat wajib melaksanakan pencegahan,
perlindungan, dan penindakan pelaku sesuai dengan falsafah Pancasila dan
UUD 1945. Negara berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan, terutama
kekerasan dalam rumah tangga, adalah pelanggaran hak asasi manusia dan
kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk dikriminasi.
“ Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta
berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat
atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi” (vide Pasal 28 huruf G
ayat 1 UUD 1945).
Perkembangan dewasa ini menunjukkan bahwa tindak kekerasan secara
fisik, psikis, seksual, dan penelantaran rumah tangga pada kenyataannya terjadi
sehingga dibutuhkan perangkat hukum yang memadai untuk menghapus
Kekerasan dalam Rumah Tangga (disingkat KDRT).
Pembaharuan hukum yang berpihak pada kelompok rentan atau
tersubordinasi, khususnya perempuan, menjadi sangat diperlukan sehubungan
6
dengan banyaknya kasus kekerasan, terutama KDRT. Pembaharuan hukum
tersebut diperlukan karena undang-undang yang ada belum memadai dan tidak
sesuai lagi dengan perkembangan hukum masyarakat. Oleh karena itu,
diperlukan pengaturan tentang tindak KDRT secara tersendiri karena
mempunyai kekhasan, walaupun secara umum di dalam KUHP telah diatur
mengenai delik penganiayaan (vide pasal 351 KUHP), delik kesusilaan (vide
pasal 284 KUHP) serta delik penelantaran orang yang perlu diberikan nafkah
dan kehidupan (vide pasal 304 KUHP).
Undang-undang No.23 th 2004 tentang Penghapusan KDRT ini terkait
erat dengan beberapa peraturan perundang-undangan lain yang sudah berlaku
sebelumnya, antara lain UU No.1 thn 1946 tentang KUHP serta perubahannya,
UU Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP, UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, Undang-undang Nomor 7 tahun 1984 tentang pengesahan
Konvensi mengenai Penghapusan segala bentuk Diskriminasi terhadap Wanita
( Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts
Women), Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM.
Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 ini selain mengatur ihwal
pencegahan dan perlindungan serta pemulihan terhadap korban kekerasan
dalam rumah tangga, juga mengatur secara spesifik kekerasan yang terjadi
dalam rumah tangga dengan unsur-unsur tindak pidana yang berbeda dengan
tindak pidana penganiayaan yang diatur dalam KUHP. Selain itu undang-
undang ini juga mengatur ihwal kewajiban bagi aparat penegak hukum, tenaga
kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping atau pembimbing rohani untuk
melindungi korban agar mereka lebih sensitif dan responsif terhadap
kepentingan rumah tangga yang sejak awal diarahkan pada keutuhan dan
kerukunan rumah tangga.
7
Lingkup Kekerasan, meliputi :
a. Kekerasan fisik yaitu perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit
atau luka berat.
b. Kekerasan psikis yaitu perbuatan yang mengakibatkan ketakutan,
hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak. Rasa
tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
C. Menurut Segi Budaya
Tindakan kekerasan terhadap lansia dengan berbagai
perwujudannya sering kali tidak muncul di permukaan. Mengapa? Tentu
ada konteks yang menjadikannya demikian. Faktor terbesarnya adalah
faktor budaya. Budaya masyarakat cenderung menganggap tabu untuk
mengekspos hal-hal yang bersifat domestik. Urusan dalam rumah biarlah
selesai di dalam rumah. Urusan dalam rumah tidak perlu di bawa ke luar
rumah. Hal ini dilakukan untuk menjaga citra keluarga. Akibatnya, rahasia
yang terjadi dapat tersimpan sampai beberapa generasi atau bahkan tidak
terungkap selamanya. Selain itu, ada juga faktor dari pihak korban.
Kekerasan yang dialaminya dibiarkan begitu saja karena muncul
kekuatiran. Jika dilaporkan ke pihak luar, korban akan semakin mengalami
kekerasan berlipat sebagai efek dari dendam pelaku.
D. Menurut Segi Kesehatan
Secara garis besar, pelayanan kesehatan usia lanjut dibagi menjadi dua yaitu pelayanan berbasis rumah sakit dan berbasis komunitas.Pelayanan kesehatan usia lanjut mempunyai kekhususan tersendiri yaitu dilakukan pengkajian secara paripurna dan menyeluruh (comprehensive geriatric assesment ) dengan pendekatan interdisiplin (interdicipline approach).
Pengkajian paripurna dan menyeluruh pada pasien geriatri tidak saja meliputi masalah fisik dan penyakit,tetapi meliputi hal yang jauh lebih luas meliputi kajian masalah aspek kejiwa a n , gizi / nutrisi, aktivitas hidup sehari / status kemandirian, aspek sosial dan ekonomi terutama dari segi pembiayaan pasien dan tindak lanjut berikutnya. Pendekatan interdisiplin dilakukan ketika para dokter baik spesialis atau umum,
8
perawat, ahli fisioterapi, ahli gizi, farmasi dan pekerja sosial yang mempunyai kompetensi yang cukup sesuai dengan bidang masing-masing dengan disertai pengetahuan dasar ilmu geriatri.
Masing-masing menyadari perannya dan menyadari adanya tumpang tindih dari pengetahuan tersebut yang digunakan untuk saling mendukung dan melengkapi demi kepentingan pasien.Pada pendekatan ini setiap tenaga kesehatan akan saling berkomunikasi dengan erat satu sama lain untuk memberikan pengelolaan yang terbaik bagi pasien usia lanjut Pelayanan kesehatan berbasis rumah sakit ditujukan terutama bagi pasien usia lanjut yang sedang mengalami keadaan akut (acute care) dari sakitnya.
Pelayanan kesehatan ini lebih bersifat pengobatan (kuratif) dan rehabilitasi baik jangka pendek dan jangka panjang. Pelayanan berbasis rumah sakit ini terdiri atas rumah sakit (rawat jalan/ poliklinik, rawat inap, unit pendukung diagnostik dan pengobatan), rehabilitasi jangka pendek/short stay rehabilitation (kurang dari 1 bulan), rehabilitasi jangka panjang / long stay rehabilitation (kurang dari 6 bulan), perawatan dan tempat penitipan pasien sementara usia lanjut yang tidak mandiri atau mempunyai tingkat ketergantungan tinggi dengan orang lain atau demensia (pikun) derajat berat.
Pelayanan kesehatan berbasis masyarakat terdiri atas pusat pelayanan kesehatan rawat jalan untuk usia lanjut, perawatan untuk pasien dengan tingkat ketergantungan rendah dengan orang lain (low level care / hostel), dan perawatan untuk pasien dengan tingkat ketergantungan tinggi dengan orang lain (high level care / nursing home).
Di Indonesia saat ini terdapat empat rumah sakit yang mempunyai pelayanan geriatri yang cukup memadai walaupun belum seperti di negara – negara maju yaitu RS Cipto Mangunkusumo Jakarta, RS Karyadi Semarang, RS Sarjito Yogyakarta, dan RS Hasan Sadikin Bandung. Beberapa rumah sakit lain di Indonesia dalam waktu beberapa tahun ini juga sedang menyiapkan diri untuk dapat memberikan pelayanan geriatri dasar.
Tujuan utama pelayanan kesehatan usia lanjut adalah mempertahankan kualitas hidup sehingga seseorang dapat menjalani kehidupan di usia lanjut dengan bahagia dan sejahtera.Kualitas hidup yang baik akan menjadikan seorang usia lanjut tetap dapat menjalankan aktivitas hidup sehari secara normal baik dari segi fisik, kejiwaan/ mental, sosial, dan spritual.
9
E. Menurut Hak Asasi Manusia
1. Undang-Undang No. 13 Tahun 1998
“Kesejahteraan lansia”
a) Hak, kewajiban, tugas, serta tanggung jawab pemerintah,
masyarakat, dan kelembagaan
b) Upaya pemberdayaan
c) Upaya peningkatan kesejahteraan sosial lansia potensial dan tidak
potensial
d) Pelayanan terhadap lansia
e) Perlindungan sosial
f) Bantuan sosial
g) Koordinasi
h) Ketentuan pidana dan sanksi administrasi
i) Ketentuan peralihan
2. Pasal 42 (Ayat 2) No. 39 Tahun 1999
“Hak Asasi Manusia”
Setiap penyandang cacat, orang yang berusia lanjut, wanita hamil,
dan anak-anak berhak memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus
3. Pasal 42 No. 39 Tahun 1999
Setiap warganegara yang berusia lanjut, cacat fisik dan atau cacat
mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan dan
bantuan khusus atas biaya negara, untuk menjamin kehidupan yang
layak sesuai dengan martabat kemanusiaannya, meningkatkan rasa
percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
4. Pasal 8 No. 39 Tahun 1999
“Hak Asasi Manusia”
10
Pihak yang paling bertanggung jawab untuk melindungi dan
memenuhinya adalah pemerintah
5. Pasal 27 No. 39 Tahun 1999
“Hak Asasi Manusia”
Setiap orang/badan/lembaga yang dengan sengaja tidak
menyediakan aksesibilitas bagi lansia, sebagaimana diatur undang-
undang ini dapat dikenai sanksi administrasi, berupa teguran lisan,
tertulis, atau pencabutan izin.
11
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Lansia adalah seorang yang lemah secara fisik. Mereka memiliki
perasaan yang sensitif, oleh sebab itu, kita wajib memperlakukan mereka
sebagaimana mestinya sesuai dengan hak meraka. Kekerasan yang berefek
berat adalah kekerasan emosional. Kekerasan terhadap lansia dapat
berefek berat. Hal ini karena dapat menimbulkan luka batin yang
mendalam. Kondisi lansia yang secara fisik melemah sangat rentan dengan
jenis kekerasan emosional ini. Kekerasan ini bisa bermula dari
ketidaksadaran pelaku sehingga ia menuntut korban berlaku dan bertindak
sama seperti ketika mereka masih kuat. Ketika tuntutan itu tidak bisa
dilakukan, muncullah sikap-sikap yang bertendensi mempermalukan,
melecehkan, membuat stigma, dan tindakan lain yang sejenis. Ketika
seorang lansia merasa tidak muda lagi sehingga tidak bisa melakukan
aktifitas seperti dahulu, ia sudah merasa tertekan dan depresi. Situasi ini
akan menjadi semakin parah ketika ada pihak luar yang semakin
memojokkannya.
B. Saran
Kita harus memperlakukan lansia dengan baik, seperti:
1. Tidak berbicara terlalu kasar, kerena itu mengakibatkan lansia
mengalami luka batin yang mendalam. Hal ini dapat mengakibatkan
terganggunya kesehatan batin lansia tersebut.
2. Tidak melakukan kekerasan fisik terhadap lansia, karena hal ini
mengakibatkan kesehatan fisik yang terganggu.
3. Memberikan kasih sayang dan perhatian yang khusus terhadap lansia,
karena mayoritas lansia mengalami stress berat akibat penurunan fungsi
organ.
12