bab iii. dara
DESCRIPTION
freeTRANSCRIPT
BAB III
PENGHENTIAN VENTILASI MEKANIK UNTUK PERAWATAN
PASIEN KANKER STADIUM TERMINAL DI ICU
DITINJAU DARI ISLAM
3.1 Hidup dan Mati dalam Terminologi Islam
Pembahasan tentang penghentian ventilasi mekanik merupakan bagian
euthanasia pasif dan barkaitan erat dengan definisi dan batasan hidup, mati serta
tentang hukum berobat dalam Islam. Hidup dan mati sebagai “sesuatu yang jika
tidak hidup maka ia mati, demikian pula sebaliknya”. Hakikat mati, menurut dalil-
dalil dalam syariat Islam, didefinisikan ‘pisahnya ruh dari jasad (Zuhroni 2012) .
Pernyataan tersebut merujuk pada sejumlah dalil dalam Alquran, di
antaranya adalah:
Artinya : “lalu Kami tiupkan ke dalam (tubuh)nya ruh dari Kami” (Q.s.Al-Anbiya(21):91).
Artinya: maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari roh (ciptaan) Kami; (Q.s.Al-Tahrim (66):12).
39
Berdasarkan dua ayat di atas, kehidupan ada karena adanya tiupan ruh, hal
ini menunjukan dan disimpulkan bahwa mati terjadi dengan adanya perpisahan
antara ruh dan jasad.
Hakikat roh itu sendiri tidak diketahui oleh manusia, merupakan urusan dan
rahasia Allah, sebagaimana dinyatakan dalam Alquran:
Artinya: Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit” (Q.s.Al-Isra’(17):85).
Definisi hidup menurut syarak jika atau karena ia memiliki roh,
sebagaimana dinyatakan dalam ayat Alquran:
Artinya: Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh) nya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur (Q.s.As-Sajdah (32):9).
Kata ‘hidup’ kadang digunakan dalam berbagai maksud, diantaranya, untuk
‘potensi/daya tumbuh yang ada pada tumbuhan dan hewan’, seperti terdapat
dalam ayat:
Artinya: Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup (Q.s.Al-Anbiya’(21):30).
40
Kadang-kadang adanya roh ditunjukkan karena adanya potensi rasa, seperti
yang dimiliki oleh hewan. Kadang-kadang adanya pada potensi intelekstual
sebagaimana dimiliki oleh manusia, seperti terdapat dalam ayat:
Artinya: Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan” (Q.s.Al-An’am (6):122).
Tanda-tanda kehidupan nampak dengan adanya kesadaran, kehendak,
penginderaan, gerak, pernapasan, pertumbuhan, dan kebutuhan makanan. Hidup
merupakan kebalikan dari mati. Dalam Islam atau hukum apapun, masalah
kematian sebagai suatu keniscayaan (Zuhroni 2012).
Dalam akidah Islam, yang menentukannya adalah Allah semata,
sebagaimana dinyatakan dalam ayat Alquran:
Artinya: Tiap-tiap umat mempunyai ajal. Apabila telah datang ajal mereka, maka mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak (pula) mendahulukan (nya)” (Q.s. Yunus (10):49).
Pihak yang berhak mematikan dan menghidupkan manusia hanyalah Allah.
Manusia tidak diberi hak atau wewenang memberi hidup dan mematikannya,
sebagaimana dinyatakan dalam ayat:
41
Artinya: Dia-lah yang menghidupkan dan mematikan dan hanya kepada-Nya-lah kamu dikembalikan” (Q.s.Yunus (10):56).
Ada beberapa ayat menjelaskan, bahwa manusia akan mati ketika ruhnya ditahan
dan ketika jiwanya dipegang oleh Allah SWT:
Artinya: Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati diwaktu tidurnya; maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir”(Q.s. Az-Zumar (39):42).
Adapun HR. Muslim tentang indikasi meninggal menyatakan bahwa :
�ص�ر�٠٠٠ �ب �ع�هال �ب ت �ض� �ذ�قب إ �نالروح� ا ﴿رواهومسلم ﴾Artinya: “Sesungguhnya jika ruh dicabut, maka mata akan mengikutinya…” (HR. Muslim).
Pada saat akan dicabut ruhnya, seseorang akan mengalami sakaratul maut,
seperti dinyatakan dalam ayat Alquran:
Artinya: “ Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari dari padanya” (Q.s.Qaf (50):19).
42
Kendati banyak ayat Alquran dan hadits Nabi menyebutkan masalah kematian,
namun tidak menentukan titik waktu kapan terjadinya pencabutan ruh, penahanan
jiwa, dan berhentinya kehidupan. Hadits hanya menjelaskan indikasi mati,
misalnya, hanya disebutkan terjadi pada saat ruh dicabut yang akan diikuti oleh
pandangan mata.
3.2 Kedudukan Jiwa dalam Islam
Islam sangat menghargai jiwa, lebih-lebih terhadap jiwa manusia. Banyak
ayat al-Qur’an maupun hadits nabi yang mengharuskan untuk menghormati dan
memelihara jiwa manusia. Oleh karenanya, seseorang tidak diperkenankan
melenyapkan tanpa ada alasan syar’i yang kuat. Manusia dilarang memperlakukan
jiwa manusia dengan tidak hormat, Allah memberikan ancaman tegas bagi mereka
yang meremehkannya (Zuhroni, Nur, Nirwan 2003).
Tindakan menghilangkan jiwa hanya diberikan kepada lembaga pengadilan
sesuai dengan aturan Pidana Islam. Ini pun dilakukan dalam rangka memelihara
dan melindungi manusia secara keseluruhan, sebagaimana tergambar dalam
penegasan Allah dalam Alquran:
Artinya: … dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertaqwa (Q.s.Al-Baqarah (2):179).
Orang yang menghilangkan nyawa orang lain tanpa alasan syar’i yang
dibenarkan sama halnya dengan merusak tatanan kehidupan masyarakat
seluruhnya, sebagaimana dinyatakan dalam ayat Alquran:
43
Artinya:Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu Hukum) bagi Bani Israil, bahwa siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya (Q.s.Al-Maidah (5)-32).
Begitu besarnya penghargaan Islam terhadap jiwa, sehingga segala
perbuatan yang dapat merusak atau menghilangkan jiwa manusia diancam dengan
hukuman yang berat dan setimpal dalam bentuk qishash atau diyat. Dampak dari
kerusakan social sebagai akibat dari pembunuhan seperti digambarkan dalam ayat
diatas, menurut para ahli tafsir, tidak hanya berlaku bagi Bani Israil saja tetapi
juga bagi manusia seluruhnya (Zuhroni, Nur, Nirwan 2003).
3.3 Tanda-tanda Kematian Manusia
Kalangan ahli medis telah menetapkan bahwa matinya seseorang ditandai
dengan matinnya batang otak. Pendapat tersebut berdasarkan kesimpulan
ketetapan dari organisasi dokter di Prerancis pada tahun 1959. Selanjutnya diikuti
oleh Universitas Harvad di Amerika.
Pada saat membahas tentang jenazah, fukaha menyebutkan sejumlah tanda-
tanda telah matinya seseorang yang didasarkan pada pantauan lahiriah, visual
jasad orang, terdapat sejumlah indikasi telah terjadi perpisahan jasad dan rohnya.
44
Yusuf al-Qaradhawi menjelaskan, seseorang dianggap telah mati dan
diberlakukan semua hukum syarak yang berkenaan dengan kematian apabila telah
nyata adanya salah satu dari dua indikasi berikut ini: (Zuhroni 2012)
1. Jika denyut jantung dan pernapasannya sudah berhenti secara total, dan para
dokter telah menetapkan bahwa keberhentian tersebut tidak akan pulih
kembali.
2. Jika seluruh aktivitas otaknya sudah berhenti sama sekali, dan para dokter
ahli sudah menetapkan tidak akan pulih kembali, otaknya sudah tidak
berfungsi.
Dalam kondisi seperti itu, jika pasien menggunakan berbagai alat bantu, seperti
ventilasi mekanik, dan yang lain diperbolehkan melepasnya, meskipun sebagian
organnya, seperti jantungnya masih berdenyut karena kerja alat bantu tersebut.
3.4 Penghentian Ventilasi Mekanik Ditinjau dari Islam
Dengan pertimbangan dan uraian diatas, Islam memperbolehkan bagi pasien
yang telah lama menggunakan peralatan untuk membantu keberlangsungan
hidupnya, seperti ventilasi mekanik dan berbagai alat bantu lainnya yang tidak
membawa kemajuan sama sekali, bahkan jika para dokter yang merawatnya
menetapkan kesembuhannya tidak lagi dapat diharapkan, meneruskan penggunaan
peralatan tersebut sudah tidak ada manfaatnya, dan menjadikannya tampak hidup
adalah ketergantungan pada peralatan tersebut jika dilepas tidak lama lagi akan
meninggal, maka keluarganya diperbolehkan melepas peralatan tersebut dari
pasien dan membiarkannya menurut kemampuannya sendiri tanpa campur tangan
45
orang lain. Disebutkan keluarganya bukan pasien atau dokter, karena biasanya
pasien sudah sulit diajak komunikasi, dan dokter terikat oleh sumpah dan etika
komunikasi, dan dokter terikat oleh sumpah dan etika kedokteran yang harus
menghormati kehidupan insani sejak terjadi pembuahan hingga mati. Di samping
itu, karena hukum berobat ditujukan kepada pasien dan keluarganya, bukan
dokter. Tindakan ini tidak termasuk kategori eutanasia, sejauh tidak diniati agar
cepat mati. Disini tidak ada tindakan membunuhnya, yang dilakukan hanya
menghentikan pengobatan melalui peralatan buatan dan harus diniati dan
dialihkan menggunakan metode pengobatan yang lain, termasuk melalui doa,
sabar, tawakkal dan lain-lain. Tindakan menghentikan penggunaan peralatan itu
dari pasien yang keadaannya sudah demikian tidak lebih kecuali hanya sekedar
meninggalkan hal yang mubah. Bahkan sebagian ulama ada yang mewajibkannya
(Zuhroni 2012).
Untuk memperkuat pernyataan di atas, berdasarkan Komplikasi Hukum
Islam pada Muktamar Omman disebutkan: ‘ Seorang dinyatakan telah meninggal
dunia menurut hukum Islam dan berlaku segala hukum yang berlaku bagi
kematian di kala itu, bilama telah nyata adanya dua tanda, yaitu:
1. Apabila jantungnya telah berhenti dan tidak bernafas lagi secara sempurna
dan para dokter ahli telah memastikan bahwa berhentinya pernafasan itu
tidak dapat kembali lagi (irreversible).
2. Apabila seluruh organ otak telah tidak berfungsi lagi secara total (mati
batang otak) dan para dokter ahli telah memastikan tidak dapat kembali lagi
(irreversible).
46
Dalam keadaan demikian patut mengangkat (melepaskan) atau mencabut
ventilasi mekanik atau alat bantu medis lainnya dari pasien, meskipun sebagian
organnya, seperti jantung masih dapat bekerja dengan bantuan alat tersebut.
Dalam kondisi seperti digambarkan di atas, otak tidak berfungsi lagi tetapi
nafas masih ada. Nampaknya, pertimbangan adanya nafas, oleh sebagian kecil
ulama tetap dilarang mencabut alat bantu pernafasan yang dipasang meskipun
batang otaknya telah mati, yaitu pendapat Syeikh Abdul Aziz bin Baz yang
menyatakan tidak boleh melepas alat bantu yang dipasang pada pasien meski
dokter telah menyatakan organ otak telah mati. Tindakan itu masih dianggap
sebagai salah satu bentuk tidak menjaga kehidupan insani. Dalil yang digunakan
mengacu pada keharusan menjaga nyawa, Islam menekankan menjaga
dharuriyyah, sesuai firman Allah:
Artinya: Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seseorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan siapa yang membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (yang terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah, padahal
47
ia mukmin, maka (hendaklah pembunuh) memerdekakan hamba-hamba yang mukmin. Dan jika ia (yang terbunuh) kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah pembunuh) membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (yang terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Siapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara taubat kepada Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana (Q.s. An-nisa (4):92).
Artinya: Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar (Q.s. Al-An’am (6):151).
Sementara ulama yang lain membolehkannya. Menurut mereka, pada saat
pasien bernafas menggunakan, alat bantu tersebut bukan dalam arti bernafas
menurut arti sebenarnya, nafas tersebut dianggap sebagai nafas buatan. Dalam
kondisi demikian dianggap pasien tersebut sebagai mayat yang bernafas, dengan
alat bernafas buatan. Mereka menilai alat tersebut hanya sebagai alat untuk
memperpanjang sakit (Zuhroni 2012).
Lebih lanjut Yusuf al-Qaradhawi menegaskan bahwa ulama menetapkan
diperbolehkan melepas seluruh instrumen yang dipasang pada seseorang
meskipun sebagian organnya, seperti jantung masih berdenyut karena kerja alat
bantu pernafasan tersebut. Argumen kebolehan melepas alat-alat pengaktif organ
dan pernapasan dari pasien, karena tidak berguna lagi. Bahkan, sebagian ulama
mewajibkannya menghentikan penggunaan alat-alat itu, karena menggunakannya
bertentangan dengan syariah Islam dengan alasan tindakan itu berarti menunda
pengurusan jenazah dan penguburannya tanpa alasan darurat, menunda pembagian
warisan, menunda masa ‘iddah bagi istrinya (jika dengan seorang suami), dan
hukum-hukum lain yang terkait dengan kematian.
48
Juga berarti menyia-nyiakan harta dan membelanjakannya untuk sesuatu yang
tidak ada gunanya. Juga, memberi mudarat kepada orang lain dengan
menghalangi mereka memanfaatkan alat-alat yang sedang dipergunakan orang
yang telah mati batang otak dan sarafnya itu. Dalam ketentuan hukum Islam,
memberi mudarat kepada diri sendiri dan kepada orang lain dilarang, sesuai
dengan hadits Nabi :
ار� �ض�ر� و�ال ر� �ض�ر� ﴿رواهابنماجهواحمد،مالكال ﴾
Artinya: Dari ‘Ubadah bin al-Shamit, bahwa Rasulullah SAW mewajibkan agar tidak memberi mudarat kepada diri sendiri dan kepada orang lain “ (HR. Ibnu Majah, Ahmad, dan Malik).
3.5 Euthanasia Pasif
Eutanasia pasif atau memudahkan proses kematian dengan cara pasif
dengan cara penghentian pengobatan atau tidak memberikan pengobatan yang
didasarkan pada keyakinan dokter bahwa pengobatan atau obat-obatan yang
dilakukan itu tidak ada gunanya dan tidak memberikan harapan kepada pasien,
sesuai dengan sunnatullah dan hukum kausalitas (Jusuf dan Amri 2009, Zuhroni
2012).
Ada perbedaan pandangan tentang hukum euthanasia pasif dari perspektif
etika kedokteran dengan hukum Islam. Dari perspektif etika kedokteran,
nampaknya masih menimbulkan kontroversial. Merujuk pada isi Deklarasi
Lisabon 1981, euthanasia dari sudut kemanusiaan dibenarkan dan merupakan hak
49
bagi pasien yang menderita sakit yang tidak dapat disembuhkan. Namun dalam
praktisnya, dokter tidak mudah melakukan euthanasia, karena ada dua kendala.
Pertama, dokter terkait dengan kode etik kedokteran bahwa ia dituntut membantu
meringankan penderitaan pasien, tapi di sisi lain, dokter menghilangkan nyawa
orang lain yang berarti melanggar kode etik kedokteran itu sendiri. Kedua,
tindakan menghilangkan nyawa orang lain merupakan tindak pidana di negara
manapun (Jusuf dan Amri 2009, Zuhroni 2012).
Untuk menentukan hukum euthanasia pasif dari perspektif hukum Islam,
terlebih dahulu perlu dilihat keterkaitannya dengan hukum berobat. Hukum
berobat dalam perspektif Islam dapat dikategorikan dalam dua kondisi, hukum
asal (dasar) dan hukum situsional serta kondisional. Hukum asal berobat,
menurut para ulama berkisar antara sunah dan mubah. Sedangkan berdasarkan
situasi dan kondisinya, hukumnya dapat sunnah, wajib, mubah, makruh, atau
haram.
Jika tidak ada harapan sembuh sesuai dengan sunnatullah dan hukum
kausalitas, sesuai dengan diagnosis dokter ahli yang dapat dipercaya, dan hanya
menyusahkan berbagai pihak yang terkait maka tidak seorang pun yang
mengatakan sunnah apalagi wajib ( Zuhroni 2012).
Karena itu apabila pasien diberi berbagai macam cara pengobatan dengan
cara minum obat, suntikan, dan sebagainya atau menggunakan ventilasi mekanik
dan lainnya sesuai dengan teori kedokteran modern dalam waktu yang relatif lama
tetapi penyakitnya tetap saja tidak berubah maka melanjutkan pengobatan seperti
50
itu tidak wajib dan tidak pula sunnah, bahkan mungkin kebalikannya, tidak
mengobatinya adalah wajib atau sunnah.
Pelepasan berbagai alat bantu medis disini tidak ada tindakan aktif dokter,
dokter hanya meninggalkan sesuatu yang tidak wajib dan bisa juga tidak sunnah,
sehingga tidak dikenai sanksi. Penghentian pengobatan secara medis dalam
kondisi seperti di atas dinilai sebagai jaiz dan dibenarkan syarak, dokter
diperbolehkan melakukannya untuk meringankan beban pasien dan keluarganya
dan beralih pada pengobatan alternatif, seperti dengan cara doa, sabar, tawwakal,
ridha dan sebagainya atau mengobatinya dengan cara pengobatan non-medis
sepanjang dalam pelaksanaannya tidak berbenturan denfan akidah Islam
( Zuhroni 2012).
Tindakan menghentikan ventilasi mekanik atau alat bantu lainnya dari
pasien, yang menurut penilaian dokter pasien sudah dianggap mati atau mati
karena jaringan otak yang dengan itu seseorang dapat hidup dan merasakan
sesuatu yang telah rusak, dinilai tidak menyalahi syarak.
Tindakan yang dilakukan dokter hanya semata-mata menghentikan
pengggunaan alat bantu pengobatan, hal itu sama dengan hukum tidak
memberikan pengobatan. Cara seperti ini, menurut Yusuf al-Qaradhawi, berada di
luar wilayah batasan memudahkan kematian dengan cara aktif. Tindakan tersebut
dibenarkan oleh syarak, dan hukumnya tidak terlarang. Lebih-lebih jika dilihat
dari segi fungsinya, peralatan bantu medis tersebut hanya sekedar untuk
kehidupan lahiriah, yang tampak dalam pernapasan dan peredaran darah dengan
denyut nadi saja, padahal dilihat dari segi aktivitas pasien, sudah seperti orang
51
mati, tidak responsive, tidak dapat mengerti sesuatu dan tidak dapat merasakan
apa-apa, karena jaringan otak dan sarafnya sebagai sumber semua itu sudah rusak
( Zuhroni 2012).
Membiarkan pasien dalam kondisi demikian hanya akan menghabiskan
dana. Selain itu, juga berarti menghalangi penggunaan alat-alat tersebut bagi
orang lain yang membutuhkannya dan masih dapat memperoleh manfaat dari alat
tersebut. Di sisi lain, pasien yang sudah tidak dapat merasakan apa-apa itu hanya
menjadikan keluarganya dalam keadaan sedih dan menderita, yang mungkin
memakan waktu relatif lama (Zuhroni 2012).
3.6 Larangan Euthanasia
Secara normatif, memudahkan proses kematian (euthanasia) tidak
dibenarkan secara syarak. Sebab, berarti dokter melakukan tindakan aktif dengan
tujuan membunuh pasien dan mempercepat kematiannya.
Ulama sepakat mengharamkan euthanasia baik pasif maupun aktif, karena
termasuk tindakan mempercepat kematian, termasuk bentuk pembunuhan. Banyak
nash agama mengharamkan tindakan pembunuhan, diantaranya:
1. Bahwa urusan hidup dan mati hanya ada di tangan Allah SWT, seperti
disebutkan dalam ayat alquran, Q.s. Al-Mulk (67):1-2)
52
Artinya: “… dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu, Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya…” (Q.s. Al-Mulk (67):1-2).
2. Islam melarang bunuh diri dan membunuh orang lain kecuali yang hak,
seperti disebutkan dalam ayat, Q.s. Al-An’am (6):151) yang sudah dikutip
di atas.
3. Nabi SAW memerintahkan berobat dan melarang putus asa. Sabda
Rasulullah SAW.:
، �اد�ا ب �اع� �و� هللاي �ض�عد�اء�اال ي �م� ل و�ج�ل� ع�ز �د�او�و�اف�إنا ت هللاد�اء� �ر� ف�اء�غ�ي �هش� و�ح�د� ض�ع�ل
ام اله�ر� و�م�اهو�؟ق�ال� �نا׃ق�ال �ف�ظ�إ هللا�ف�ىل د�اء� �ز�ل �ن ي �م� ل�م�ه� ع�ل �م�هم�ن� ف�اءع�ل �هش� ل �ز�ل� ن
� �أ �ال ارواهمسلم �ه� ج�ه�ل �هم�ن� ﴿و�ج�ه�ل ﴾
Artinya : Nabi bersabda: “Hai hamba-hamba Allah! berobatlah ! Sesungguhnya Allah SWT tidak menciptakan penyakit, kecuali diciptakannya pula obat penyembuhannya, kecuali satu, apakah itu ya Rasulallah, Nabi menjawab: pikun/tua (HR. Al-Turmudzi, Abu Dawud, dan Ibnu Majah).
Berdasarkan dalil-dalil diatas, bahwa bunuh diri, melakukan sesuatu agar
mati atau membunuh seseorang sangat dilarang dalam syariat Islam, bagi
pelakunya diancam dengan sanksi berat, baik dilakukan secara sengaja dan
berencana atau tidak sengaja, sebagaimana dijelaskan dalam ayat, Q.s. Annisa
(4):29) yang sudah dikutip di atas.
Sanksi azab di akhirat bagi pelaku tindak bunuh diri, antara lain, disebutkan
dalam hadits Nabi:
53
� ك �مو�ت ي �الالرجل� هإ �غ�ف�ر� ي �ن� ا ع�س�ىا Dب� لذ�ن ك هللا� �ع�مGدFا Fامت مؤ�م�ن ل �ق�ت �و�الرجل� ي ا Fاف�ر
Artinya: “ Semua dosa itu kemungkinan masih dapat diampuni oleh Allah, kecuali dosa-dosa orang kafir atau yang membunuh mukmin yang sengaja” (H.R An-Nasai dan Al- Hakim).
Alquran tidak merinci hukuman bagi pelaku bunuh diri, berbeda dengan
sanksi hukuman yang diberikan kepada pelaku pembunuhan tanpa hak yang lain.
Sanksi azab terhadap pembunuh orang mukmin tanpa hak di akhirat, dijelskan
dalam sejumlah nash, akan dimasukkan dalam neraka Jahannam, seperti
disebutkan dalam ayat al-Quran:
Artinya: Dan siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasanannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya (Q.s. Annisa (4):93).
Sedangkan sanksi di dunia adalah qishash, seperti dijelakan dalam Alquran:
Artinya: Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (at-Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada kisasnya …(Q.s. Al-Maidah (5):45).
54
Menggunakan dalil maslahah untuk membenarkan tindakan euthanasia
tidak tepat, karena diantaranya syarat penggunaan maslahah sebagai dalil Syar’I
tidak boleh bertentangan dengan nash.
3.7 Pandangan Ulama Indonesia tentang Euthanasia
Euthanasia termasuk isu penting, termasuk di kalangan ulama Indonesia.
Namun demikian, meski termasuk isu penting, isu ini tidak cukup mendapatkan
respons dari kalangan lembaga fatwa di Indonesia. Respon ulama Indonesia,
antara lain dating dari Bahtsul Masail NU, diuputuskan pada Muktamar XXII
tahun 1989 yang mendapatkan pertanyaan tentang tindakan medis terhadap pasien
yang dinilai sudah sulit diharapkan hidupnya, dengan tujuan untuk berakibat
meninggalnya pasien secara perlahan-lahan. Dalam menjawab permasalahan
tersebut, tanpa menyebutkan alasan, Bahtsul Masail NU menjawabnya dengan
kalimat yang sangat pendek, bahwa tindakan medis demikian hukumnya haram
( Zuhroni 2012).
Fatwa tentang euthanasia pernah dikeluarkan oleh MUI Propinsi DKI
Jakarta pada tahun 2001, yang menetapkan bahwa menurut hukum Islam, hukum
euthanasia adalah haram, karena hak untuk menghidupkan dan mematikan
manusia hanya berada di tangan Allah SWT. Ditegaskan pula, bahwa euthanasia
merupakan suatu tindakan bunuh diri yang diharamkan. Pelakunya, akan menjadi
penghuni neraka.
55
Dasarnya, sejumlah ayat alquran yang menegaskan bahwa Allah sebagai
pemilik hak menghidupkan dan mematikan, diantaranya ayat:
Artinya: …Allah menghidupkan dan mematikan. Dan Allah melihat apa yang kamu kerjakan (Q.s. Ali-Imran (3):156).
Larangan melakukan tindakan bunuh diri, dalam Q.s.An-Nisa (4):29), dan
Q.s. Al-Anam (6):151, yang telah dikutip di atas. Juga berdasarkan Hadis riwayat
Al-Bukhari dari Abi Hurairah tentang balasan neraka bagi pelaku bunuh diri.
Dari fatwa-fatwa di atas, permasalahan utama yang dipersoalkan yang
menimbulkan pandangan berbeda, adalah adanya penghentian pengobatan atau
menghentikan penggunaan alat-alat bantu yang sesungguhnya tidak banyak
membantu. Jika tindakan tersebut dimaknai sebagai upaya pengobatan,
dikembalikan pada hukum berobat, dan memilih beralih menggunakan metode
alternatif, bukan hukum euthanasia yang konotasinya melakukan tindakan
mempercepat kematian, maka hukumnya sangat tergantung dari efektivitas usaha
pengobatan itu sendiri. Kepastian hukumnya tergantung pada hukum taklifi dapat
berlaku di sini, sejalan dengan situasi dan kondisi, serta niatnya, baik dari sisi
pasien maupun keluarganya. Jika dinilai agar cepat mati, maka termasuk yang
diharamkan, sama dengan pembunuhan dengan sengaja, namun jika maksudnya
hanya menghentikan pengobatan secara medis dan beralih kepada pengobatan
alternatif, termasuk dengan doa, sabar, atau tawakkal maka tidak termasuk yang
diharamkan, meskipun berdampak matinya pasien ( Zuhroni 2012).
56
Menghentikan penggunaan ventilasi mekanik dan alat-alat bantu lainnya
yang tidak membantu secara medis dapat dianggap sebagai tindakan
menghentikan pengobatan. Dilanjutkan atau dihentikannya proses pengobatan
dengan memperhatikan kondisi obyektif pasien, jika ternyata dapat diobati dan
semuanya serba memungkinkan, maka seharusnya diobati. Sementara jika sudah
dipastikan secara medis tak dapat disembuhkan atau diupayakan lebih baik, maka
lebih baik pengobatan dihentikan. Dengan demikian, hukum euthanasia
tergantung pada situasi dan kondisi dari pasien, di samping masalah kemampuan
finansial untuk pembeayaan pengobatan ( Zuhroni 2012).
Namun demikian, sekali lagi dalam kasus ini tidak dapat diterapkan
argumen atau dalil maslahah, meskipun unsur itu ada di dalamnya, sesuai dengan
ayat Alquran yang menyatakan bahwa hidup dan mati manusia berada di tangan
Allah (Q.s.Al-Mulk (68):2), larangan bunuh diri dan membunuh orang lain
kecuali dengan hak (Q.s. An-Nisa (4):29), perintah untuk berobat dengan
melarang putus asa (Q.s.al-A’nam (6):151) dan anjuran berobat dalam Hadis,
perintah agar sabar dan tawakkal menghadapi musibah (Q.s. Yusuf (12):17), Al-
Imran (3):135). Demikian pula tidak dibenarkan menggunakan qiyas (analogi
dengan nash Alquran atau hadits untuk membenarkan euthanasia karena belum
memenuhi keadaan darurat.
Terlepas dari masalah pro dan kontra dalam melakukan penghentian
ventilasi mekanik, dalam pandangan Islam di sini tidak ada tindakan
membunuhnya, jika niat melakukan tindakan tersebut hanya menghentikan
pengobatan melalui peralatan buatan dan harus diniati dan dialihkan
57
menggunakan metode atau mencari pengobatan yang lain, termasuk melalui doa,
sabar, tawakkal dan lain-lain. Tindakan menghentikan penggunaan ventilasi
mekanik dari pasien yang keadaannya sudah terminal berubah menjadi haram jika
niat seseorang melakukan tindakan tersebut untuk mempercepat proses kematian
pasien.
58