bab ii - nihl

27
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Upaya Pelayanan Kesehatan Kerja Salah satu upaya dalam rangka menjamin kesehatan tenaga kerja secara optimal adalah dengan memberikan pelayanan kesehatan sebaik mungkin terhadap tenaga kerja disertai pengelolaan lingkungan dan peralatan kerja yang baik. Karena tidak dapat disangkal bahwa kesehatan tenaga kerja sangat dipengaruhi oleh sistem pelayanan kesehatan yang diberikan dan kondisi tempat kerja serta cara atau proses kerja yang dihadapi tenaga kerja. Sesuai undang- undang yang berlaku (Permenakertrans No.: Per 03/Men/1982 tentang Pelayanan Kesehatan Kerja), poliklinik perusahaan sebagai salah satu bentuk pelayanan kesehatan kerja harus dibawah tanggung jawab seorang dokter yang telah memenuhi persyaratan antara lain telah mengikuti pelatihan hiperkes bagi dokter perusahaan, demikian juga paramedis di poliklinik perusahaan diwajibkan mengikuti pelatihan hiperkes. Hal ini dimaksudkan agar poliklinik perusahaan dapat melakukan pencegahan dan pengobatan penyakit umum dan penyakit akibat kerja. Poliklinik perusahaan harus melaksanakan aspek promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif sesuai kondisi dan karakterisktik perusahaan. 4

Upload: febrian-putra

Post on 29-Dec-2015

21 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Kedokteran

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II - NIHL

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Upaya Pelayanan Kesehatan Kerja

Salah satu upaya dalam rangka menjamin kesehatan tenaga kerja secara

optimal adalah dengan memberikan pelayanan kesehatan sebaik mungkin terhadap

tenaga kerja disertai pengelolaan lingkungan dan peralatan kerja yang baik. Karena

tidak dapat disangkal bahwa kesehatan tenaga kerja sangat dipengaruhi oleh sistem

pelayanan kesehatan yang diberikan dan kondisi tempat kerja serta cara atau proses

kerja yang dihadapi tenaga kerja.

Sesuai undang- undang yang berlaku (Permenakertrans No.: Per 03/Men/1982

tentang Pelayanan Kesehatan Kerja), poliklinik perusahaan sebagai salah satu bentuk

pelayanan kesehatan kerja harus dibawah tanggung jawab seorang dokter yang telah

memenuhi persyaratan antara lain telah mengikuti pelatihan hiperkes bagi dokter

perusahaan, demikian juga paramedis di poliklinik perusahaan diwajibkan mengikuti

pelatihan hiperkes. Hal ini dimaksudkan agar poliklinik perusahaan dapat melakukan

pencegahan dan pengobatan penyakit umum dan penyakit akibat kerja. Poliklinik

perusahaan harus melaksanakan aspek promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif

sesuai kondisi dan karakterisktik perusahaan.

Ada beberapa sistem pelayanan kesehatan terhadap tenaga kerja seperti

poliklinik sendiri dan dilaksanakan oleh pihak luar perusahaan seperti sistem asuransi

seperti Jamsostek, perusahaan jasa pelayanan kesehatan tenaga kerja, fasilitas

kesehatan umum (puskesmas, rumah sakit, balai pengobatan dan lain- lain). Di antara

sistem pelayanan tersebut, poliklinik perusahan merupakan salah satu pilihan yang

tepat. Poliklinik perusahaan dapat menjadi salah satu sub sistem dari manajemen

Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di perusahan sehingga dua aspek yaitu

pelayanan kesehatan tenaga kerja dan pengelolaan lingkungan kerja dapat dilakukan

bersama. Berbeda dengan sistem pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh pihak luar

yang hanya menekankan pada aspek pelayanan kesehatan di segi kuratif.

4

Page 2: BAB II - NIHL

5

Aspek promotif dan preventif dapat juga menekan angka kecelakaan dan

penyakit akibat kerja, sedang aspek kuratif dan rehabilitatif dapat menangani

kecelakaan dan penyakit akibat kerja tersebut secara cepat tepat sehingga kapasitas

kerja dapat dipulihkan atau dioptimalkan. Fungsi poliklinik perusahaan tidak akan

maksimal sesuai yang diharapkan tanpa adanya dukungan atau kaitan langsung dari

manajemen perusahaan dan kerjasamanya dengan subsistem lain dalam rangka

pelaksanaan manajemen K3 secara keseluruhan di perusahaan.

Adapun upaya klinik perusahaan antara lain sebagai berikut:

1. Upaya Preventif

Upaya kesehatan preventif di perusahaan sangat penting karena sangat

berpengaruh terhadap kinerja karyawan yang berkaitan dengan kualitas

produk dan produktivitas perusahaan. Dari segi ekonomi juga akan

menghemat keuangan perusahaan karena upaya preventif tidak akan menekan

angka kejadian penyakit dan cedera di tempat kerja, tetapi juga angka

kecelakaan kerja. Sedangkan penyakit, cedera dan kecelakaan kerja

memerlukan biaya yang tidak ringan untuk mengatasinya dan di sisi lain

produktivitas perusahaan akan terganggu. Upaya preventif antara lain

meliputi:

a. Pemeriksaan kesehatan awal terhadap calon tenaga kerja

Tujuannya antara lain memperoleh tenaga kerja dengan tingkat

kesehatan yang setinggi-tingginya, memperoleh tenaga kerja yang sesuai

dengan pekerjaannya, menghindari tenaga kerja dari penyakit menular

serta mempunyai data kesehatan semua tenaga kerja sewaktu mulai

bekerja. Pemeriksaan kesehatan awal meliputi pemeriksaan fisik lengkap,

rontgen toraks, laboratorium rutin dan untuk pekerjaan tertentu perlu

dilakukan pemeriksaan sesuai kebutuhan guna mencegah bahaya yang

mungkin terjadi.

b. Pemeriksaan kesehatan berkala pada semua karyawan

Tujuannya antara lain mempertahankan tingkat kesehatan karyawan

dan deteksi dini gangguan kesehatan akibat pekerjaannya. Pemeriksaan

Page 3: BAB II - NIHL

6

kesehatan berkala meliputi pemeriksaaan fisik lengkap, tes kesegaran

jasmani, rontgen toraks (bila perlu), laboratorium rutin dan pemeriksaan

lain sesuai indikasi.

c. Pemeriksaan kesehatan khusus

Tujuannya antara lain adalah menilai pengaruh pekerjaan tertentu

terhadap karyawan, menentukan ada tidaknya gangguan kesehatan pada

tenaga kerja yang diduga menderita gangguan kesehatan, memantau

tenaga kerja yang beresiko tinggi terhadap gangguan kesehatan akibat

pekerjaan misalnya usia lebih dari 40 tahun, karyawan pasca kecelakaan

atau sakit yang memerlukan perawatan yang lebih dari 2 minggu, tenaga

kerja wanita, tenaga kerja cacat, serta tenaga kerja usia muda yang

melakukan pekerjaan tertentu.

d. Melaporkan adanya penyakit akibat kerja yang ditemukan.

e. Penempatan dan pemindahan tenaga kerja pada tempat kerja yang sesuai

dengan kondisi kesehatannya.

f. Membuat laporan bulanan penyakit.

g. Pemantauan dan pengendalian lingkungan kerja dan alat-alat produksi.

h. Pemberian menu makanan sesuai kebutuhan kalori dan zat gizi.

2. Upaya Promotif

a. Pendidikan dan pelatihan tentang K3

Dilakukan secara berkala dengan materi disesuaikan dengan kondisi

perusahaan.

b. Safety talk

Diberikan oleh seorang supervisor atau ketua regu setiap akan memulai

pekerjaan, ini dilakukan terutama pada tempat atau jenis pekerjaan dengan

resiko kecelakaan kerja yang tinggi.

Page 4: BAB II - NIHL

7

3. Upaya Kuratif

a. Pemberian Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P3K)

Pelayanan P3K dilaksanakan secara langsung maupun tidak

langsung. Secara langsung poliklinik perusahaan memberikan pelayanan

P3K terhadap karyawan yang dibawa ke poliklinik. Secara tidak langsung

poliklinik harus memberikan pelatihan P3K terhadap beberapa atau semua

karyawan agar segera dapat memberikan pertolongan P3K kepada teman

yang mengalami kecelakaan kerja.

b. Pengobatan tenaga kerja yang sakit

Pengobatan dilakukan secara komprehensif dengan sedapat

mungkin mencari kausanya. Pengobatan dilakukan terhadap karyawan

berkunjung ke poliklinik maupun karyawan yang dideteksi menderita sakit

pada waktu pemeriksaan berkala atau pemeriksaan khusus.

4. Upaya Rehabilitatif

Upaya rehabilitatif dilakukan dengan tujuan pengobatan yang

dilakukan lebih tuntas dengan mengembalikan atau mengoptimalkan fungsi

atau kemampuan yang masih ada. Rehabilitasi yang dapat dilakukan antara

lain berupa pemberian protesa atau ortosa, fisioterapi dan konsultasi

psikologis. Selain hal-hal tersebut poliklinik perusahaan harus dapat

menganalisis permasalahan K3 di perusahaan dan didiskusikan dengan

departemen terkait untuk dirumuskan solusinya dan dilaporkan ke pihak

manajemen untuk ditindaklanjuti. Pola penyakit tenaga kerja di suatu

perusahaan akan berbeda pola penyakitnya tergantung potensi bahaya di

tempat kerjanya. Untuk itu diperlukan pengetahuan kesehatan kerja agar

dalam mengelola poliklinik perusahaan menggunakan pendekatan yang tepat

sesuai kondisi dan karakteristik lingkungan kerja yang ditangani.

Page 5: BAB II - NIHL

8

2.2 Noise Induced Hearing Loss (NIHL)

Gangguan pendengaran akibat bising (noise induced hearing loss) ialah

gangguan pendengaran yang disebabkan akibat terpajan oleh bising yang cukup keras

dalam jangka waktu yang cukup lama dan biasanya diakibatkan oleh bising

lingkungan kerja (tuli akibat kerja/occupational deafness). Sifat ketuliannya adalah

tuli sensorineural koklea dan umumnya terjadi pada kedua telinga. Orang dengan tuli

sensorineural koklea sangat terganggu oleh bising latar belakang (background noise),

sehingga apabila orang tersebut berkomunikasi di tempat yang ramai akan mendapati

kesulitan mendengar dan mengerti pembicaraan. Keadaan ini disebut cocktail party

deafness. Jadi seseorang dikatakan tuli sensorineural koklea apabila lebih mudah

berkomunikasi di tempat yang sunyi atau tenang.

Secara umum bising adalah bunyi yang tidak diinginkan. Secara audiologik

bising adalah campuran bunyi nada murni dengan berbagai frekuensi. Bising dengan

intensitas 85 desibel (dB) atau lebih dapat mengakibatkan kerusakan pada reseptor

pendengaran Corti di telinga dalam. Yang sering mengalami kerusakan adalah alat

Corti untuk reseptor bunyi yang berfrekuensi 3000 Hertz (Hz) sampai dengan 6000

Hz dan yang terberat adalah kerusakan alat corti untuk reseptor bunyi yang

berfrekuensi 4000 Hz.

Banyak faktor yang mempermudah seseorang dapat menjadi tuli akibat

pajanan bising, antara lain intensitas bising yang lebih tinggi, berfrekuensi tinggi,

lebih lama terpapar bising, mendapat pengobatan yang bersifat racun terhadapat

telinga (obat ototoksik) seperti streptomisin, kanamisin, garamisin (golongan

aminoglikosida), kina, asetosal dan lain-lain.

Seperti halnya dalam lingkungan industri, semakin tinggi intensitas

kebisingan, semakin lama pemaparan kebisingan yang dialami oleh pekerja maka

semakin berat gangguan yang ditimbulkan pada para pekerja tersebut.

Page 6: BAB II - NIHL

9

Secara umum pengaruh bising pada pekerja dapat dibedakan menjadi dua

macam yaitu:

1. Pengaruh auditorial berupa tuli akibat bising (NIHL) dan umumnya terjadi

dalam lingkungan kerja dengan tingkat kebisingan tingii.

2. Pengaruh non auditorial dapat bermacam-macam misalnya gangguan

kominikasi, gelisah, rasa tidak nyaman, gangguan tidur, peningkatan tekanan

darah dan lain sebagainya.

Gejala yang ditemukan seperti kurangnya pendengaran disertai tinitus

(berdenging di telinga) atau tidak. Bila sudah cukup berat disertai keluhan sukar

menangkap percakapan dengan kekerasan biasa dan dikatan sudah berat apabila

percakapan yang keraspun sukar dimengerti. Secara klinis pajanan bising pada organ

pendengaran dapat menimbulkan reaksi adaptasi, peningkatan ambang dengar

sementara (temporary threshold shift/TTS) dan peningkatan ambang dengar menetap

(permanent threshold shift/PTS). Lebih rinci gambaran klinis pajanan bising pada

organ pendengaran dijelaskan sebagai berikut:

1. Reaksi adaptasi merupakan respons kelelahan akibat rangsangan oleh bunyi

dengan intensitas 70 dB SPL atau kurang, keadaan ini merupakan fenomena

fisiologis pada saraf telinga yang terpajan bising.

2. Peningkatan ambang dengar sementara, merupakan keadaan terdapatnya

peningkatan ambang dengar akibat pajanan bising dengan intensitas yang cukup

tinggi. Seseorang yang pertama kali terpapar suara bising akan mengalami

berbagai perubahan, yang mula-mula tampak adalah ambang pendengaran

bertambah tinggi pada frekuensi tinggi. Pada gambaran audiometric tampak

sebagai notch yang curam pada frekuensi 4000 Hz, yang juga disebut acoustic

notch. Pemulihan dapat terjadi dalam beberapa menit atau jam. Jarang terjadi

pemulihan dalam satuan hari.

3. Peningkatan ambang dengar menetap, merupakan keadaan dimana terjadi

peningkatan ambang dengar menetap akibat pajanan bising dengan intensitas

sangat tinggi berlangsung singkat (explosive) atau berlangsung lama yang

Page 7: BAB II - NIHL

10

menyebabkan kerusakan pada berbagai struktur koklea, antara lain kerusakan

organ Corti, sel-sel rambut, stria vaskularis dan lainnya. Dikatakan bahwa untuk

merubah TTS menjadi PTS diperlukan waktu bekerja di lingkungan bising

selama 10-15 tahun, tetapi hal ini juga bergantung pada tingkat suara bising dan

kepekaan seseorang terhadap bising.

2.2.1 Klasifikasi bising

Ada beberapa jenis bising yang dapat menyebabkan ketulian dan penyakit

lainnya pada tenaga kerja, antara lain:

a. Bising kontinu dengan spektrum frekuensi luas

Bising jenis ini merupakan bising yang relatif tetap, dalam batas amplitudo

kurang lebih 5 dB untuk priode 0,5 detik berturut- turut. Contoh : dalam kokpit

pesawat, helicopter, gergaji sirkuler, katup mesin gas, kipas angin, suara dapur

pijar.

b. Bising kontinu dengan spektrum frekuensi sempit

Bising ini relatif tetap dan hanya pada frekuensi tertentu saja (5000, 1000 atau

400 Hz), misalnya suara katup gas, gergaji sirkuler.

c. Bising terputus-putus

Bising jenis ini sering disebut intermittent noise, yaitu kebisingan yang tidak

berlangsung secara terus menerus dan memiliki interval tanpa bising. Contoh:

suara lalu lintas, kebisingan di lapangan terbang.

d. Bising impulsif

Bising jenis ini memiliki perubahan tekanan suara melebihi 40 dB dalam waktu

sangat cepat dan biasanya mengejutkan pendengarnya. Contoh: suara ledakan

petasan, tembakan meriam.

e. Bising impulsif berulang- ulang

Sama seperti bising impulsif, tetapi terjadi berulang-ulang misalnya pada mesin

tempa.

Page 8: BAB II - NIHL

11

Bising yang dianggap lebih sering merusak pendengaran adalah bising yang

bersifat kontinu, terutama memiliki spektrum frekuensi lebar dan intensitas yang

tinggi. Di Indonesia intensitas bising di tempat kerja yang diperkenankan adalah

85 dB untuk waktu kerja 8 jam per hari, seperti yang diatur dalam surat edaran

Menteri Tenaga Kerja No. SE.01/Men/1987 tentang Nilai Ambang Batas (NAB)

untuk kebisingan di tempat kerja.

2.2.2 Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, riwayat pekerjaan, pemeriksaan

fisik dan otoskopi serta pemeriksaan penunjang untuk pendengaran seperti

audiometri. Dari anamnesis didapatkan riwayat pernah bekerja atau sedang bekerja di

lingkungan bising dalam jangka waktu yang cukup lama, biasanya lima tahun atau

lebih. Dari pemeriksaan otoskopi tidak ditemukan adanya kelainan. Pada pemeriksaan

audiologi, tes penala didapatkan hasil Rinne positif, Weber lateralisasi ke telinga

yang pendengarannya lebih baik dan Schwabach memendek. Kesan jenis ketulian

adalah sensorineural yang biasanya mengenai kedua telinga.

Pemeriksaan audiometri nada murni didapatkan tuli sensorineural pada

frekuensi antara 3000-6000 Hz dan pada frekuensi 4000 Hz sering terdapat takik

(notch) yang patognomonik untuk jenis ketulian ini. Dapat juga dilakukan

pemeriksaan audiologi khusus seperti SISI (short increment sensitivity index), ABLB

(alternate binaural loudness balance), MLB (monoaural loudness balance),

audiometri Bekesy, audiometri tutur (speech audiometry), dimana hasil menunjukan

adanya fenomena rekrutmen (recruitment phenomenon) yang patognomonik untuk

tuli sensorineural koklea.

Rekrutmen adalah suatu fenomena pada tuli sensorineural koklea, dimana

telinga yang tuli menjadi lebih sensitive terhadap kenaikan intensitas bunyi yang kecil

pada frekuensi tertentu setelah terlampaui ambang dengarnya. Sebagai contoh orang

yang pendengarannya normal tidak dapat mendeteksi kenaikan bunyi 1 dB bila

Page 9: BAB II - NIHL

12

sedang mendengarkan bunyi nada murni yang kontinyu, sedangkan bila ada

rekrutmen akan mendapat mendeteksi kenaikan bunyi tersebut.

Gambar 2.1 Pemeriksaan audiometric pada NIHL, pada frekuensi 400 Hz

sering terdapat takik (notch) yang patognomonik

2.3 Pencegahan

Jenis ketulian akibat terpapar bising adalah tuli sensorineural koklea yang

sifatnya menetap, dan tidak dapat diobati dengan obat maupun tindakan pembedahan,

maka prognosisnya kurang baik. Oleh karena itu yang terpenting adalah pencegahan

terjadinya ketulian.

Bising dengan intensitas lebih dari 85 dB dalam waktu tertentu dapat

mengakibatkan ketulian, oleh karena itu bising lingkungan kerja harus diusahakan

lebih rendah dari 85 dB. Hal ini dapat diusahakan dengan cara meredam sumber

bunyi, misalnya berasal dari generator dipisah dengan menempatkannya disatu

ruangan yang dapat meredam bunyi. Jika bising ditimbulkan oleh alat-alat seperti

mesin tenun, mesin pengerolan baja, kilang minyak atau bising yang ditimbulkan

Page 10: BAB II - NIHL

13

sendiri oleh pekerja seperti ditempat penempaan logam, maka pekerja tersebut yang

harus dilingungi dengan alat pelindung bising seperti sumbat belinga, tutup telinga

dan pelindung kepala.

Alat pelindung diri dari kebisingan wajib digunakan. Hal ini berdasarkan

Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Republik Indonesia No.

555.K/26/M.PE/1995 tahun 1995 Pasal 85 ayat (3) disebutkan bahwa pekerja yang

tak terlindung terhadap kebisingan yang melebihi nilai ambang batas harus memakai

alat pelindung pendengaran.11 Kita menggunakan 85 dB sebagai NAB, mengacu pada

Standar Nasional Indonesia SNI16-7063-2004 tentang Nilai Ambang Batas Iklim

Kerja (Panas), kebisingan,getaran tangan-lengan dan radiasi sinar ultraviolet di

tempat kerja.12 Alat pelindung pendengaran merupakan penghalang antara suara dan

telinga atau fungsinya menyerap gelombang suara sebelum memasuki telinga. Orang

dengan fungsi pendengaran normal selalu tetap bisa mendeteksi beberapa suara

sewaktu menggunakan alat pelindung pendengaran, karena tulang pada kepala juga

menghantar suara.

Ada tiga jenis alat pelindung pendengaran (hearing protection). Pertama, ear

plug  dimasukkan untuk memblokir saluran telinga. Ear plug berbentuk premolded

(preformed) atau moldable (busa). Ear plug umumnya dijual sebagai produk sekali

pakai (disposable) atau dapat digunakan kembali (reusable). Kedua, semi-insertear

plugs terdiri dari dua ear plug yang dipasang diujung head band. Ketiga, ear muff 

berupa penutup telinga yang terbuat dari bahan yang lembut yang dapat menurunkan

kebisingan dengan cara menutupi semua bagian telinga dan ditahan/dipegang oleh

head band.

Produsen memberikan informasi tentang kemampuan pengurangan kebisingan

dari alat pelindung pendengaran atau dikenal dengan NRR (Noise Reduction Rating).

Nilai NRR didasarkan pada pengurangan kebisingan yang diperoleh dalam kondisi

laboratorium. NIOSH merekomendasikan menggunakan data sesuai dengan subjek

berdasarkan ANSI S12.6-1997 untuk memperkirakan redaman kebisingan pelindung

Page 11: BAB II - NIHL

14

pendengaran. Jika data sesuai subjek tidak tersedia, NIOSH merekomendasikan de-

rating pelindung pendengaran dengan faktor yang sesuai dengan data yang tersedia.

Secara khusus, NIOSH merekomendasikan bahwa label NRRakan de-rated sebagai

berikut:

• Ear Muff – Kurangi 25% dari label NRR produsen

• Formable ear plug – Kurangi 50% dari label NRR produsen

• Semua jenis ear plug yang lain – Kurangi 70% dari label NRR produsen

Actual Noise Reduction Rating (NRR) juga dapat dihitung dengan rumus berikut:

Actual NRR  = (NRR – 7) / 2

Ketiga alat tersebut terutama melindungi telinga terhadap bising yang

berfrekuensi tinggi dan masing-masing mempunyai keuntungan dan kerugian. Tutup

telinga memberikan proteksi lebih baik daripada sumbat telinga, sedangkan helm

selain sebagai pelindung telinga terhadap bising juga sekaligus sebagai pelindung

kepala. Kombinasi antara sumbat telinga dan tutup telinga memberikan proteksi yang

terbaik.

Selain alat pelindung telinga terhadap bising dapat juga diikuti ketentuan

pekerja dilingkungan bising yang berintensitas lebih dari 85 dB tanpa menimbulkan

ketulian. Berikut intensitas kebisingan dengan lama paparan bising yang

diperkenankan pada suatu tempat kerja, dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Page 12: BAB II - NIHL

15

Tabel 2.1 Intensitas bunyi dan waktu paparan yang diperkenankan

Skala ukur waktu

Lama pajan/hariIntensitas dalam

dBJam 24 80

16 828 854 882 911 94

Menit 30 97

Detik

15 7,50 3,75 1,88 0,94 28,12 14,06 7,03 3,52 1,76 0,88 0,44 0,22 0,11

100103106109112115118121124127130133136139

Klasifikasi Kebisingan dan Tuli Akibat Kerja, menurut ISO adalah sebagai berikut:

Jika peningkatan ambang dengar antara 0- < 25 dB, masih normal

Jika peningkatan ambang dengar antara 26- 40 dB, disebut tuli ringan

Jika peningkatan ambang dengar antara 41- < 60 dB, disebut tuli sedang

Jika peningkatan ambang dengar antara 61- < 90 dB, disebut tuli berat

Jika peningkatan ambang dengar antara > 90 dB, disebut tuli sangat berat

Page 13: BAB II - NIHL

16

Gradasi gangguan pendengaran karena bising itu sendiri dapat ditentukan

menggunakan parameter percakapan sehari- hari sebagai berikut:

Tabel 2.2 Gradasi gangguan pendengaran berdasarkan parameter percakapan

sehari- hari

Gradasi Parameter

Normal Tidak mengalami kesulitan percakapan biasa (6 meter)

Sedang Kesulitan dalam percakapan sehari- hari mulai jarak > 1,5 meter

Menengah Kesulitan dalam percakapan keras sehari-hari mulai jarak > 1,5

meter

Berat Kesulitan dalam percakapan keras/ berteriak pada jarak > 1,5

meter

Sangat berat Kesulitan dalam percakapan keras/ berteriak pada jarak < 1,5

meter

Tuli total Kehilangan kemampuan pendengaran dalam berkomunikasi

2.4 Program Konservasi Pendengaran

Program Konservasi Pendengaran/ Hearing Conservation Programme (HCP)

adalah program formal sebuah perusahaan untuk mencegah terjadinya kehilangan

pendengaran akibat kebisingan pada pekerja (noise induced hearing loss/ NIHL).

Tujuan umum program konservasi pendengaran yaitu meningkatkan

produktivitas pekerja melalui pencegahan ketulian akibat bising di tempat kerja

dengan melaksanakan program konservasi pendengaran yang melibatkan seluruh

unsur perusahaan.

Tujuan khusus program konservasi pendengaran, yaitu:

Page 14: BAB II - NIHL

17

1. Mengetahui tingkat kebisingan di tempat kerja sesuai karakteristik

kegiatannya.

2. Meningkatkan upaya pencegahan ketulian akibat bising melalui upaya

mengurangi paparan terhadap pekerja, baik secara teknis maupun

administratif.

3. Deteksi dini adanya NIHL dan mencegah Temporary Threshold Shift (TTS)

yang timbul secara permanen.

4. Meningkatkan pengetahuan karyawan mengenai kebisingan dan pengaruh

terhadap kesehatan.

5. Meningkatkan disiplin dan kesadaran dalam menggunakan APD terhadap

kebisingan.

6. Menumbuhkan perubahan perilaku karyawan dan semua unsur terkait ke arah

yang mendukung program tersebut, melalui promosi kesehatan di tempat

kerja.

Aktivitas Program Konversi Pendengaran antara lain adalah melakukan

identifikasi sumber bising melalui survey kebisingan di tempat kerja (walk through

survey), melakukan analisis kebisingan dengan mengukur kebisingan menggunakan

Sound Level Meter (SLM) atau Octave Band Analyzer, melakukan control kebisingan

dengan berbagai cara peredaman bising, melakukan tes audiometri secara berkala

pada bekerja yang berisiko, menerapkan system komunikasi, informasi, dan edukasi,

serta menerapkan APD secara ketat dan melakukan pencatatan dan pelaporan data.

Program pencegahan yang dapat dilakukan meliputi hal-hal sebagai berikut:

1. Monitoring paparan bising

Tujuan utama dari melaksanakan penilaian kebisingan adalah:

a. Mendefinisikan area di mana pekerja akan terpapar kebisingan yang

melebihi ambang batas.

b. Memilih alat pelindung pendengaran yang sesuai berdasarkan

sumber/level/ atau lingkungan kerja dan pertimbangan lainnya.

2. Control engineering dan administrasi

Page 15: BAB II - NIHL

18

Kontrol engineering termasuk, tapi tidak terbatas pada pemeliharaan,

modifikasi atau penggantian peralatan; isolasi alat yang memiliki tingkat

kebisingan tinggi dari area sekitar; dan pengunaan material akustik. Kontrol

administrasi mencakup pemisahan proses kerja dan area bising;

penjadwalan/rotasi pekerjaan; dan kebijakan pembelian/desain peralatan tidak

melebihi batas kebisingan maksimal.

3. Tes audiometri dan evaluasi

Audiogram menghitung tingkat pendengaran pada frekuensi pembicaraan

sehari-hari, dan mampu mendeteksi kehilangan pendengaran sebelum terpapar

ke area dengan tingkat kebisingan tinggi.

4. Penggunaan APD

Ketika kontrol engineering dan administrasi tidak mampu mengurangi

paparan pekerja terhadap pekerja, maka alat pelindung pendengaran harus

digunakan. Pemilihan alat pelindung pendengar harus tepat dan layak yang

bergantung pada operasi, preferensi pekerja dan redaman yang dibutuhkan.

5. Pendidikan dan motivasi

Pekerja yang bekerja di lingkungan dengan kebisingan yang melebihi

batas OHSA harus mengikuti HCP. Pelatihan mencakup pengetahuan tentang

efek kebisingan, tujuan dan manfaat dari alat pelindung pendengaran dan

prosedur tes audiometri.

6. Evaluasi program

Program akan terus memantau rekam medis dari pekerja dengan

melaksanakan penilaian bahaya kebisingan dan tes audiometri.

7. Audit program

Program konservasi pendengaran dievaluasi paling tidak sekali dalam dua tahun dan diperbaharui apabila diperlukan.

2.5 Kerangka Teori Peningkatan Mutu

Page 16: BAB II - NIHL

19

Metode yang digunakan pada proyek peningkatan mutu ini melalui metode

Plan, Do, Check and Action (PDCA Cycle) yang didasari atas masalah yang dihadapi

(problem faced) kearah penyelesaian masalah (problem solving). Konsep PDCA ini

dikembangkan oleh Walter Shewhart, seorang pionir statistik yang mengembangkan

control process statistic di Bell Laboratories, USA pada tahun 1930 yang dikenal

dengan“ The Shewhart Cycle”. Konsep ini telah berkembang dan diperkenalkan

secara efektif sejak tahun 1950 oleh W. Edward Deming sehingga lebih dikenal

dengan “Deming Wheel”. Ada beberapa tahap yang dilakukan di PDCA yaitu:

a. Plan

1. Pengidentifikasian out put pelayanan, siapa pelanggannya dan harapan

pelanggan tersebut melalui analisis suatu proses tertentu

2. Mendeskripsikan proses yang dianalisis saat ini:

a. Pelajari proses dari awal hingga akhir, identifikasi siapa saja yang

terlibat dalam proses tersebut.

b. Teknik yang dapat digunakan: brainstorming

3. Mengukur dan menganalisis situasi tersebut

a. Menentukan data apa yang dikumpulkan dalam proses tersebut

b. Bagaimana mengolah data tersebut agar membantu memahami

kinerja dan dinamika proses

c. Teknik yang digunakan adalah observasi dan wawancara

4. Focus pada peluang peningkatan mutu

a. Pilih salah satu permasalahan yang akan diselesaikan

b. Kriteria permasalahan: menyatakan efek atas ketidakpuasan,

adanya gap antara kenyataan dengan yang diinginkan, spesifik dan

dapat diukur

5. Mengidentifikasi akar penyebab masalah

a. Menyimpulkan penyebab

b. Teknik yang digunakan : brainstorming

c. Alat yang digunakan: fish bone analysis ishikawa

Page 17: BAB II - NIHL

20

6. Menemukan dan memilih penyelesaian

a. Mencari berbagai alternatif pemecahan masalah

b. Teknik yang dapat digunakan: brainstorming

b. Do

a. Merencanakan suatu proyek uji coba

b. Merencanakan sumber dana

c. Merencanakan kegiatan

d. Melaksanakan pilot project, dilaksanakan dalam skala kecil dengan

waktu yang relatif singkat (1 hari)

c. Check

a. Evaluasi hasil project yang bertujuan untuk efektivitas proyek tersebut

b. Membandingkan target dengan hasil pencapaian proyek ( data yang

dikumpulkan dan teknik pengumpulan data harus sama)

c. Target yang ingin dicapai

d. Membuat kesimpulan proyek

e. Hasil menjanjikan namun perlu perubahan. Jika proyek gagal, cari

penyelesaian lain, jika proyek berhasil selanjutnya dibuat menjadi

rutinitas

d. Action

a. Standarisasi perubahan

b. Pertimbangkan area mana saja yang mungkin diterapkan

c. Revisi prose yang sudah diperbaiki

d. Modifikasi standar, prosedur dan kebijakan yang ada

e. Komunikasikan pada seluruh staf, pelanggan dan supplier atas

perubahan yang dilakukan

f. Lakukan latihan bila perlu

g. Mengembangkan rencana dengan jelas

h. Dokumentasikan proyek

i. Memonitor perubahan

j. Melakukan pengukuran dan pengendalian proses yang teratur

Page 18: BAB II - NIHL

21

k. Alat yang digunakan: kamera digital