azwa-nihl blok28

Upload: sayang3389

Post on 11-Jul-2015

286 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

NOISE INDUCED HEARING LOSS(NIHL)Siti Noradzuwa Binti Md Yusof 102008231 Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Ukrida Kristen Krida Wacana Jalan Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat [email protected]

SKENARIO: Seorang laki-laki berumur 45 tahun datang ke klinik perusahaan mengeluh kedua telinga berdenging sehabis bekerja sejak 3 bulan yang lalu. Ia berkerja di bagian pembangkit listrik(turbin), dengan system shift 2-2-2 libur dan menggunakan ear muff yang using. Ia tidak sedang minum obat paru atau minum obat lainnya. Riwayat merokok 1 bungkus kretek setiap hari dan tidak punya kebiasaan menggunakan earphone untuk mendengar music.

BAB I PENDAHULUAN Gangguan pendengaran akibat bising adalah Penurunan pendengaran tipe sensorineural, yang pada awalnya tidak disadari, karena belum mengganggu percakapan sehari-hari. Sifat gangguannya adalah tuli sensorineural tipe koklea dan umumnya terjadi pada ke dua telinga. Faktor risiko yang berpengaruh pada derajat parahnya ketulian ialah intensitas bising, frekuensi, lama pajanan perhari, lama masa kerja, kepekaan individu, umur dan faktor lain yang dapat berpengaruh. Berdasarkan hal tersebut dapat dimengerti bahwa jumlah pajanan energi bising yang diterima akan sebanding dengan kerusakan yang didapat. Gangguan pendengaran akibat bising sering dihubungkan denagn penyakit akibat kerja yang harus sesuai dengan syarat-syarat tertentu yang memenuhi kriteria tertentu supaya dapat diidentifikasikan sebagai gangguan pendengaran akibat kerja agar pasien dapat menuntut hak jaminan/kompensasi yang sewajarnya.

1

DEFINISI PENYAKIT AKIBAT KERJA: Penyakit Akibat Kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan, alat kerja, bahan, proses maupun lingkungan kerja. Dengan demikian Penyakit Akibat Kerja merupakan penyakit yang artifisial atau man made disease. DEFINISI GANGGUAN PENDENGARAN AKIBAT BISING: Gangguan pendengaran akibat bising (noise-induced hearing loss, NIHL) ialah gangguan pendengaran yang disebabkan akibat terpajan oleh bising yang cukup keras dalam jangka waktu yang cukup lama dan biasanya diakibatkan oleh bising lingkungan kerja. Sifat ketuliannya adalah tuli sensorineural koklea dan umumnya terjadi pada kedua telinga.1-5 Secara umum, bising adalah bunyi yang tak diinginkan. Secara audiologik, bising adalah campuran bunyi nada murni dengan berbagai frekuensi. Pajanan bising yang intensitasnya 85 desibel (dB) atau lebih secara terus menerus dapat mengakibatkan kerusakan pada reseptor pendengaran, yakni sel-sel rambut organ Corti di koklea (telinga dalam). Yang sering mengalami kerusakan adalah organ Corti untuk reseptor bunyi yang berfrekuensi 3000 Hz sampai dengan 6000 Hz, dan yang terberat kerusakan organ Corti untuk reseptor bunyi yang berfrekuensi 4000 Hz.5 Banyak hal yang mempermudah seseorang menjadi tuli akibat terpajan bising, antara lain intensitas bising yang lebih tinggi, lebih lama terpapar bising, serta mendapat pengobatan yang bersifat ototoksin seperti streptomisin, kanamisin, garamisin (golongan aminoglikosida), kina, dan lain-lain.2 TUJUAN: Tujuan makalah ini dibuat adalah bertujuan untuk berkongsi pengetahuan berhubung NIHL, supaya masyarakat umum lebih mengetahui apa yang dikatakan dengan penyakit ini. Dengan ini masyarakat khasnya pengusaha pabrik dan tenaga kerja yang terbabit akan mempunyai pengetahuan yang lebih berhubung cara mencegah risiko NIHL.

2

BAB II ISI 1. IDENTIFIKASI PENYAKIT AKIBAT KERJA: PENEDEKATAN EPIDEMIOLOGI(KOMUNITI) PENEDAKATAN KLINIS(INDIVIDU): 7 Langkah diagnosis kerja

2. PENATALAKSANAAN 3. PENCEGAHAN 4. PENGELOLAAN 5. PROGNOSIS 6. KESIMPULAN 1)IDENTIFIKASI PENYAKIT AKIBAT KERJA: PENDEKATAN EPIDEMIOLOGIS(KOMUNITAS):

Tuli akibat bising merupakan tuli sensorineural yang paling sering dijumpai setelah presbikusis. Lebih dari 28 juta orang Amerika mengalami ketulian dengan berbagai macam derajat, dimana 10 juta orang diantaranya mengalami ketulian akibat terpapar bunyi yang keras pada tempat kerjanya.4 Sedangkan Sataloff dan Sataloff ( 1987 ) mendapati sebanyak 35 juta orang Amerika menderita ketulian dan 8 juta orang diantaranya merupakan tuli akibat kerja.2 Oetomo, A dkk ( Semarang, 1993 ) dalam penelitiannya terhadap 105 karyawan pabrik dengan intensitas bising antara 79 s/d 100 dB didapati bahwa sebanyak 74 telinga belum terjadi pergeseran nilai ambang, sedangkan sebanyak 136 telinga telah mengalami pergeseran nilai ambang dengar, derajat ringan sebanyak 116 telinga ( 55,3% ), derajat sedang 17 ( 8% ) dan derajat berat 3 (1,4% ). Penelitian Epidemiologi di U. S. A. menunjukkan dan memutuskan bahwa kebisingan itu bebas berkembang dengan cepat dikota dan pelosok Negara. Penyelidikan di Swedia diantara pegawai-pegawai industri kelompok umur: 15 20 tahun,menunjukkan adanya kelainan pada pendengaran dan menyebabkan kecemasan pendengaran dengan prosentase 19.5% ditahun 1970. Yang ternyata lebih tinggi dua kali dibandingkan tahun1956. Beberapa gejala yang dirasakan akibat kebisingan pada manusia adalah akibat kebisingan dari tingkat decibel tinggi dengan mempengaruhi pada sistim cardiovasular,tachycardia, denyut jantung dan tekanan darah cepat dilanjutkan dengan3

konstriksi otot darah.Rythm dari pernapasan tidak normal dan mempengaruhi pada sistim digestive. Beberapa akibat lain yang serius adalah pengaruh pada sistim syaraf pusat dimana beberapa dokter mengatakan bahwa kebisingan mempengaruhi satu dari tiga penyebab neurosis, dan empat sakit kepala dari lima penyebab.

PENDEKATAN KLINIS(INDIVIDU):-

1. DIAGNOSIS KLINIS: A. ANAMNESIS a. Identitas pasien(lengkap): nama, alamat, tempat tinggal,jenis kelamin, agama, dan lain-lain. b. Riwayat penyakit dahulu dan sekarang : -Keluhan utama pasien - Apakah pernah menderita penyakit telinga sebelumnya? - Apakah pernah mengalami riwayat trauma akutik sebelumnya? - Gangguan pendengaran yang dialami sekarang datangnya mendadak atau perlahan-lahan? Derajat bunyi atau suara yang tidak dapat didengar? - Apakah mempunyai riwayat menggunakan bahan-bahan/ obat-obat toksik streptomisin? seperti

- Apakah mempunyai hobi yang berhubungan dengan bising? yaitu, menembak, musik keras dan lain-lain - Apakah turut mengalami gangguan keseimbangan? -Apakah mempunyai keluhan masalah gangguan pencernaan, gangguan tidur, hipertensi atau gejala-gejala lain. -Apakah mempunyai riwayat neuroma akustik? c. riwayat pendengaran dalam keluarga d. aktivitas di luar lingkungan kerja: -Apakah mempunyai hobi yang berhubungan dengan bising? yaitu, menembak, musik keras dan lain-lain e. Riwayat pekerjaan :

4

1. Apakah pernah atau sedang bekerja di tempat yang bising?(untuk NIHL, riwayat pernah bekerja atau sedang bekerja di lingkungan bising dalam jangka waktu yang cukup lama, biasanya lebih dari 5 tahun) 2. Apakah pernah mengalami ledakan keras dekat telinga ? 3. Apakah menggunakan alat pelindung telinga ? kalau ya jenis apa ? 4. Selama bekerja, apakah dilakukan pemeriksaan berkala, khususnya pendengaran ? 5. Lama bekerja di tempat bising perhari kerja dan lamanya masa kerja. 6. Apa yang dikerjakan setiap hari? bahan-bahan/alat yang dipakai, lingkungan sekitar tempat kerja dan lain-lain

B. PEMERIKSAAN FISIK 1. pemeriksaan tanda vital: tingkat kesadaran(baik/tidak) tekanan darah, nadi (bagi klinis non-auditorik: dapat terjadi hipertensi) respirasi, suhu(tergantung kondisi pasien) keadaan jasmani(pasien kelihatan capek/lemah) keadaan mental(jika terdapat gangguan psikologi: pasien dapat sangat sensitive dan cepat marah) status gizi(berat badan, tinggi badan, indeks massa tubuh, kurus, normal,gemuk)

2. pemeriksaan fisik umum: pengamatan umum: penampilan fizikal dan perilaku pasien Pemeriksaan antropometri: berat badan, tinggi badan Palpasi: perabaan arteri riadialis (denyut nadi-laju) Auskultasi: bunyi jantung dan bising usus

3. Pemeriksaan terlokalisir: Urutan pemeriksaan telinga dimulai dari daun telinga, liang telinga luar, dan test pendengaran dengan garputala. a. Daun Telinga5

Mula-mula dilihat keadaan dan bentuk daun telinga serta daerah belakang daun telinga(retro-artikuler). Apakah terdapat kelianan seperti : Kelainan congenital (microtia dan fistula) Kelainan infeksi(kista dan radang tulang rawan daun telinga) Kelainan lain(hematom,pseudo kista)

b. Liang Telinga Luar Untuk memeriksa liang telinga luar, pertama-tama pemeriksa harus membuka jalan saluran telinga yang membentuk huruf S hingga lurus sehingga dapat dilihat isi liang telinga luar. Untuk itu pemeriksa harus menarik daun telinga ke atas dan ke belakang, dan dipertahankan posisi tersebut. Kemudian isi liang telinga luar pasien dinilai, antara lain: i. Dinding liang telinga Apakah liang telinga luar pasien lapang. Apakah terdapat massa, seperti serumen dan benda asing. Perhatikan dinding liang telinga luar, apakah terdapat luka, peradangan, furunkel ii. Membran timpani Untuk memeriksa membrane timpani lebih baik gunakan otoskop agar gambaran membrane timpani lebih jelas. Perhatikan warna dari membrane timpani. Normal: berwrna seperti mutiara. Perhatikan adanya warna lain selain warna yang normal. Merah terdapat peradangan, kuning terdapat infeksi jamur, dan lainnya. Apakah membran timpani intak. Apakah ada cairan yang keluar dari liang telinga tengah melalui membran timpani.

6

c. Tes Berbisik Merupakan tes semikuantitatif Tujuan : menentukan derajat ketulian secara kasar Orang normal dapat mendengar bisikan dari jarak 6-10 meter Cara pemeriksaam: a. Ruangan cukup tenang, dengan panjang 6 meter b. Berbisik pada akhir ekspirasi c. Dimulai dari jarak 6 meter dan makin lama makin mendekat, maju tiap satu meter sampai dapat mengulangi tiap kata dengan benar d. Telinga yang tidak diperiksa ditutup, orang yang diperiksa tidak boleh melihat pemeriksa (pemeriksa berdiri di sisi telinga yang diperiksa) Interpretasi :

i.Normal : 5/6 sampai 6/6 ii.Tuli ringan bila suara bisik 4 meter iii. Tuli sedang bila suara bisik antara 2 - 3 meter iv.Tuli berat bila suara bisik antara 0 - 1 meter

d. Uji Pendengaran Uji pendengaran dilakukan dengan memakai garputala. Hasil pemeriksaan dapat diketahui jenis ketulian pasien, apakah tuli konduktif atau tuli sensorineural. Salah satu uji pendengaran yang dapat dilakukan adalah test penala, antara lain: Test Rinne7

Test Rinne

Test Weber Test Schwabach

Test Rinne adalah test untuk membandingkan hantaran melalui udara dan hantaran melalui tulang pada telinga pasien. Cara pemeriksaan: 1. Posisi pasien dan pemeriksa saling berhadapan. 2. Pemeriksa menggetarkan garputala dengan mengetuknya ke punggung tangan pemeriksa. 3. Ujung tangkai garputala ditempelkan pada tulang mastoid pasien. Pasien akan mendengar suara garputala dan minta pasien untuk memberi tanda bila sudah tidak mendengar suara dari tulang mastoid . Durasi saat pasien mulai mendengar sampai memberi tanda dicatat. 4. Setelah pasien memberi tanda, pemeriksa bergegas memindahkan tangkai garputala 1,5 inci menyamping dari meatus akustikus eksternus. Mintalah pasien memberi tanda lagi bila tidak mendengarnya dari udara. Hitung durasinya. 5. Lakukan pemeriksaan ini di kedua telinga pasien. Hasil: Normal: Konduksi udara > konduksi tulang Tuli konduksi: Konduksi udara tak terdengar Tuli saraf: konduksi udara terdengar( tuli perspektif)

Test Weber Test Weber adalah test pendengaran untuk membandingkan hantaran tulang telinga kiri dan kanan pasien. Cara pemeriksaan: 1. Posisi pasien dan pemeriksa saling berhadapan. 2. Pemeriksa menggetarkan garputala dengan mengetuknya ke punggung tangan pemeriksa. 3. Letakkan ujung tangkai garputala pada dahi pasien.8

4. Pasien dimina untuk membandingkan kuatnya bunyi garputala yang terdengar dikedua telinga pasien. Hasil : -Normal: Mendengar sama kuat -Tuli konduksi: Terdengar> di telinga sakit -Tuli saraf: Terdengar > di telinga normal

Test Schwabach Test Schwabach adalah test pendengaran untuk membandingkan hantaran tulang pasien dengan pemeriksa yang pendengarannya normal. Cara pemeriksaan: 1. Posisi pasien dan pemeriksa saling berhadapan. 2. Pemeriksa menggetarkan garputala dengan mengetuknya ke punggung tangan pemeriksa. 3. Ujung tangkai garputala diletakkan pada prosessus masoid pasien. Pasien akan mendengar suara garputala dan minta pasien untuk member tanda bila sudah tidak mendengar saura dari tulang mastoid. 4. Pemeriksa bergegas untuk memindahkan ujung tangkai garputala dari prosessus mastoid pasien ke prosessus mastoid pemeriksa. Dengarkan apakah suara dari garputala masih terdengar atau sudah menghilang. 5. Hal ini dilakukan pada kedua prosessus mastoid pasien dan pemeriksa (presessus mastoid kanan pasien diuji dengan prosesus mastoid kanan pemeriksa). Hal ini dilakukan sebaliknya, dengan menempelkan dahulu ujung tangkai garputala ke prosesus mastoid pemeriksa dan bila sudah tidak didengar pemeriksa maka langsung ditempelkan ke prosesus mastoid pasien. Hasil: Normal: Suara dari garputala sesuai dengan pemeriksa.

9

-

Memanjang: Pasien masih mendengar suara saat pemeriksa sudah tidak mendengar suara lagi pada garputala.

-

Memendek: Pemeriksa masih mendengar sauara saat pasien sudah tidak mendengar suara lagi dari garputala

Tabel 1: Kesimpulan hasil pemeriksaan garputala Test Rinne Positif Test Weber Tidak lateralisasi Negatif Lateralisasi telinga sakit Positif Lateralisasi telinga sehat ke Memendek Tuli sensorineural Tes Schwabach ada Sama pemeriksa ke Memanjang Tuli konduktif Diagnosis

dengan Normal

Untuk hasil pemeriksaan fisik NIHL: Pada pemeriksaan fisik, tidak tampak kelainan anatomis telinga luar sampai gendang telinga. Pemeriksaan dengan garpu tala (Rinne, Weber, dan Schwabach) akan menunjukkan suatu keadaan tuli saraf: Tes Rinne menunjukkan hasil positif, pemeriksaan Weber menunjukkan adanya lateralisasi ke arah telinga dengan pendengaran yang lebih baik, sedangkan pemeriksaan Schwabach memendek. C. PEMERIKSAAN PENUNJANG a. Audiometri Audiometri adalah sebuah alat yang digunakan untuk mengetahui level pendengaran seseorang. Dengan bantuan sebuah alat yang disebut dengan audiometer, maka derajat ketajaman pendengaran seseorang dapat dinilai. Dalam pemeriksaan ini, penting diketahui besaran apakah yang ditunjukkan oleh frekuensi dan intensitas. Pada tes audiometri tinggi rendahnya nada suatu bunyi disebut frekuensi dalam hertz (Hz), sedangkan keras lemahnya suatu bunyi disebut intensitas deciBell (dB). Terdapat tiga syarat untuk keabsahan pemeriksaan audiometric yaitu10

alat audiometer yang baik, lingkungan pemeriksaan yang tenang dan diperlukan keterampilan pemeriksa yang cukup handal. Syarat pemeriksaan audiometer; Orang yang diperiksa kooperatif, tidak sakit, mengerti instruksi, dapat mendengarkan bunyi di telinga, sebaiknya bebas pajanan bising sebelumnya minimal 12-14 jam, alat audiometer terkalibrasi. Pemeriksa mengerti cara penggunaannya, sabar dan terlatih. Ruangan pemeriksaan sebaiknya memiliki kekedapan suara maksimal 40 dB SPL. Pemeriksaan audiometri yang tepat bila dilakukan pada tingkat

kebisingan latar belakang rendah. Pada umumnya makin rendah frekwensi yang diuji, makin lebih mungkin dipengaruhi oleh suara lingkungan. Pemeriksaan dilakukan di ruang kedap suara. Untuk menilai keabsahan hasil pemeriksaan audiometri, dinilai dari cara pemeriksaan audiometri yang tidak dapat dilaksanakan oleh seseorang yang tidak terlatih dan belum berpengalaman. Untuk memperoleh hasil akurat untuk informasi klinik yang berguna, pemeriksa harus memiliki cukup pengetahuan yang memadai. Pada prosedur pemeriksaan audiometri nada murni, pemeriksa harus dapat memberikan instruksi dengan jelas dan mudah dimengerti, misalnya dengan menganjurkan mengangkat tangan/telunjuk bila mendengar bunyi nada atau mengatakan ada/tidak ada bunyi, atau dengan menekan tombol. Headphone dipasang pada orang yang akan diperiksa dengan benar, tepat dan nyaman. Pasien duduk di kursi, menghadap 30o dari pemeriksa sehingga tidak dapat melihat pemeriksaannya. Pemberian sinyal dilakukan selama 1-2 detik. Pemeriksa harus mengerti gambaran audiogram dan simbol-simbolnya, informasi yang terdapat dalam audiogram, memahami jenis-jenis ketulian, memahami bone conduction untuk menentukan jenis ketulian, serta mengerti prosedur rujukan dan peran teknisi audiometrik. Pemeriksaan audiometri sangat bermanfaat, berguna untuk pemeriksaan screening pendengaran, dan merupakan penunjang utama diagnostik fungsi pendengaran Pada NIHL, pemeriksaan audiometri nada murni didapatkan tuli sensorineural pada frekuensi 3000-6000 Hz dan pada frekuennsi 4000 Hz sering terdapat takik (notch) yang patognomonik untuk jenis ketulian tersebut. Pemeriksaan audiometri harus dilakukan dengan persiapan yang baik, bising latar belakang harus diperhatikan, pekerja yang akan diperiksa harus terhindar dari pajanan bising sebelum pemeriksaan dilakukan. Hal itu untuk menghindari peningkatan ambang dengar sementara temporary threshold shift /TTS

11

D.PEMERIKSAA TEMPAT KERJA Ada tiga cara atau metode pengukuran kebisingan di lokasi kerja. 1. Pengukuran dengan titik sampling Pengukuran ini dilakukan bila kebisingan diduga melebihi ambang batas hanya pada satu atau beberapa lokasi saja. Pengukuran ini juga dapat dilakukan untuk mengevalusai kebisingan yang disebabkan oleh suatu peralatan sederhana, misalnya Kompresor/generator. Jarak pengukuran dari sumber harus dicantumkan, misal 3 meter dari ketinggian 1 meter. Selain itu juga harus diperhatikan arah mikrofon alat pengukur yang digunakan.

2. Pengukuran dengan peta kontur Pengukuran dengan membuat peta kontur sangat bermanfaat dalam mengukur kebisingan, karena peta tersebut dapat menentukan gambar tentang kondisi kebisingan dalam cakupan area. Pengukuran ini dilakukan dengan membuat gambar isoplet pada kertas berskala yang sesuai dengan pengukuran yang dibuat. Biasanya dibuat kode pewarnaan untuk menggambarkan keadaan kebisingan, warna hijau untuk kebisingan dengan intensitas dibawah 85 dBA warna orange untuk tingkat kebisingan yang tinggi diatas 90 dBA, warna kuning untuk kebisingan dengan intensitas antara 8590 dBA. 3. Pengukuran dengan Grid Untuk mengukur dengan Grid adalah dengan membuat contoh data kebisingan pada lokasi yang di inginkan. Titik titik sampling harus dibuat dengan jarak interval yang sama diseluruh lokasi. Jadi dalam pengukuran lokasi dibagi menjadi beberapa kotak yang berukuran dan jarak yang sama, misalnya : 10 x 10 m. Kotak tersebut ditandai dengan baris dan kolom untuk memudahkan identitas I. Instrumen yang digunakan untuk mengukur kebisingan

12

1.Sound Level Meter(S L M ) Adalah instrumen dasar yang digunakan dalam pengukuran kebisingan. SLM terdiri atas mikropon dan sebuah sirkuit elektronik termasuka attenuator, 3 jaringan perespon frekuensi, skala indikator dan amplifier. Tiga jaringan tersebut distandarisasi sesuai standar SLM. Tujuannya adalah untuk memberikan pendekatan yang terbaik dalam pengukuran tingkat kebisingan total. Respon manusia terhadap suara bermacam-macam sesuai dengan frekuensi dan intensitasnya. Telinga kurang sensitif terhadap frekuensi lemah maupun tinggi pada intensitas yang rendah. Pada tingkat kebisingan yang tinggi, ada perbedaan respon manusia terhadap berbagai frekuensi. Tiga pembobotan tersebut berfungsi untuk mengkompensasi perbedaan respon manusia. Prosedur Pengukuran : -Posisikan sound level meter pada kedudukan yang merepresentasikan tingkat intensitas bising di tempat itu. -Aktifkan pengukuran dengan mengatur saklar geser pada kedudukan Lo atau Hi. Lo atau Low Intensity berada pada skala 40 s/d 80 dB, sedangkan Hi atau High Intensity berada pada skala 80 s/d 120 dB. -Pencatatan pada satu kedudukan akan terkait dengan pembacaan skala minimum dan skala maksimum. -Ambil jumlah titik kedudukan sebanyak yang diperlukan.

13

Metode Pengukuran & Perhitungan: Pengukuran, mengacu pada KepMenLH N0.49/MenLH/11/1996, 3 diantaranya adalah sebagai berikut: - Waktu pengukuran adalah 10 menit tiap jam ( dalam 1 hari ada 24 data) - Pencuplikan data adalah tiap 5 detik ( 10 menit ada 120 data) -Ketinggian microphone adalah 1,2 m dari permukaan tanah II. Octave Band Analyzer (OBA) Saat bunyi yang diukur bersifat komplek, terdiri atast o n e yang berbeda-beda, oktaf yang berbeda-beda, maka nilai yang dihasilkan di SLM tetap berupa nilai tunggal. Hal ini tentu saja tidak representatif. Untuk kondisi pengukuran yang rumit berdasarkan frekuensi, maka alat yang digunakan adalah OBA. Pengukuran dapat dilakukan dalam satu oktaf dengan satu OBA. Untuk pengukuran lebih dari satu oktaf, dapat digunakan OBA dengan tipe lain. Oktaf standar yang ada adalah 37,5 75, 75-150, 300-600,600-1200, 1200-2400, 2400-4800, dan 48009600 Hz

2. JENIS PAJANAN: Wavelength, Frequency, and Pitch

Intensitas kebisingan: Intensitas bising( dB ) Waktu paparanPer hari dalam jam14

85 87,5 90 92.5 95 100 105 110

8 6 4 3 2 1

Frekuensi kebisingan:

Pemeriksaan audiometri nada murni didapatkan tuli sensorineural pada frekuensi antara 30006000 Hz dan pada frekuensi 4000 Hz sering terdapat takik (notch) yang patognomonik untuk jenis ketulian ini.5 Gambaran takik ini dapat diamati pada ilustrasi di samping.5 Takik 4000 Hz yang khas ini diduga terjadi karena frekuensi resonansi dari liang telinga, refleks akustik yang melindungi telinga pada frekuensi yang lebih rendah, dan sel rambut luar pada bagian basal koklea lebih rentan. Frekuensi yang lebih rendah dan tinggi biasanya terkena setelah pajanan bising selama beberapa tahun, dan penurunan yang signifikan dari kemampuan mengenali kata akan timbul bila frekuensi 140 dB) dapat secara langsung merusak membran timpani, tulang-tulang pendengaran, membran telinga dalam, dan organ Corti. Pada trauma akustik ini, refleks akustik (refleks kontraksi muskulus stapedius sebagai respons terhadap bising >90 dB) tidak bekerja maksimal karena memerlukan waktu 25-150 ms setelah pajanan bising. Akibatnya, transmisi dari bising yang impulsif ini (contohnya ledakan), meski hanya sebentar, tidak mampu diredam dan menyebabkan ketulian secara cepat.3 II. Bukti Epidemiologi:

Bising lingkungan kerja merupakan masalah utama pada kesehatan kerja di berbagai negara. Sedikitnya 7 juta orang ( 35 % dari total populasi industri di Amerika dan Eropa ) terpajan bising 85 dB atau lebih. Ketulian yang terjadi dalam industri menempati urutan pertama dalam daftar penyakit akibat kerja diAmerika dan Eropa.

Di Amerika lebih dari 5,1 juta pekerja terpajan bising dengan intensitas lebih dari 85 dB. Barrs melaporkan pada 246 orang tenaga kerja yang memeriksakan telinga untuk keperluan ganti rugi asuransi, ditemukan 85 % menderita tuli saraf, dan dari jumlah tersebut 37 % didapatkan gambaran takik pada frekuensi 4000 Hz dan 6000 Hz. Di Polandia diperkirakan 600.000 dari 5 juta pekerja industri mempunyai risiko terpajan bising , dengan perkiraan 25 % dari jumlah yang terpajan terjadi gangguan pendengaran akibat bising. Dari seluruh penyakit akibat kerja dapat diidentifikasi penderita tuli akibat bising lebih dari 36 kasus baru dari 100.000 pekerja setiap tahun.21

Di Indonesia penelitian tentang gangguan pendengaran akibat bising telah banyak dilakukan sejak lama. Survai yang dilakukan oleh Hendarmin dalam tahun yang sama pada industri yang menggunakan teknologi mesin di Jakarta mendapatkan hasil terdapat gangguan pendengaran pada 50% jumlah karyawan disertai peningkatan ambang dengar sementara sebesar 5-10 dB pada karyawan yang telah bekerja terus-menerus selama 5-10 tahun. III. Pengamatan

-Kuantitatif: masa kerja-sistem kerja(shift 2-2-2libur), tempoh kerja -kualitatif: cara kerja, proses kerja, bagaimana lingkungan kerja Kuantitatif: Standar nilai ambang batas kebisingan yang telah ditetapkan oleh surat edaran menteri tenaga kerja, transmigrasi dan koperasi No.SE 01/MEN/1978, menyatakan intensitas tertinggi dan nilai rata-rata yang masih dapat diterima tenaga kerja tanpa mengakibatkan hilangnya daya denagar untuk waktu terus-menerus tidak lebih dari 8 jam sehari atau 40jam seminggu.1,3 Waktu maksimum bekerja adalah sebagai berikut: 82 dB: 16 jam per hari 85 dB: 8jam perhari 88 dB: 4jam perhari 91 dB: 2jam perhari 97 dB: 1jam perhari 100 dB: jam perhari

daripada hasil anmnesis, system kerja yang dipakai di perusahaan tempat pasien bekerja menggunakan sistem shift 2-2-2 libur. Ini bererti pasien bekerja selama (48jam) 6hari dalam 1 minggu. Ini bererti waktu pajanan pasien terhadap kebisingan ditempat kerjanya melebihi nilai ambang batas.

22

Menurut NIOSH tempoh kerja berhubungan dengan terjadinya NIHL, hasil penelitian ini menunjukkan risiko terjadinya NIHL pada pekerja dengan tempoh kerja >20 tahun 3,84 kali lebih besar dibandingkan terjadinya NIHL dengan masa kerja < 10 tahun (OR = 3,84; 95% CI = 1,45 - 10,36). Hasil ini tidak berbeda dengan penelitian yang dilakukan Alberti4 dan Olishifski. Menurut Alberti4 pajanan 90 dBA dalam 8 jam kerja dan 5 hari/minggu, maka 15% dari populasi terpajan berisiko menderita ketulian secara bermakna setelah terpajan selama 10 tahun. Demikian juga pada penelitian Sundari menunjukkan dengan masa kerja lebih dari 10 tahun dan Kertadikara mendapatkan tahun kesembilan pajanan bising merupakan batas terjadinya gangguan pendengaran secara bermakna.

Kualitatif: Kerja di bagian pembangkit listrik(turbin) adalah suatu kerja yang menggunakan mesin. Biasanya setiap mesin bermotor yang digunakan menghasilkan bunyi yang dapat merusak sistem pendengaran terutama apabila melebihi nilai ambang batas bagi setiap nilai intensitas bunyi yang dikeluarkan.1,2 Ini bererti lingkungan kerja di bagian pembangkit listrik(turbin) adalah suatu lingkungan kerja yang terdedah kepada kebisingan yang dapat mempengaruhi sistem pendengaran setiap tenaga kerja sekitarnya yang juga diperkuat oleh faktor-faktor tertentu yang berperan.

IV. Pemakaian alat pelindung (sesuai/tepat)-jumlah pajanan: data lingkungan, data monitoring biologis, hasil suveilance

Alat pelindung telinga adalah satu inisiatif/kebijakan yang digunakan pada lingkungan kerja yang terpajan dengan kebisingan/intensitas bunyi yang melebihi nilai ambang batas. Alat pelindung telingan dapat bermacam-macam yang disesuaikan mengikut indikasi tertentu. Daripada anamnesis, pasien menyatakan alat pelindung telinga(APT),telah disediakan oleh perusahaan namun tidak dilakukan pemantauan mengenai kualitas fungsi APT karena pasien menyatakan beliau telah menggunakan APT tetapi kondisi APTnya telah usang. Ini bermakna

23

APT yang digunakannya sepanjang tempoh kerjanya tidak berfungsi melindungi telinganya dari pajanan bising yang dapat merosak sistem pendengarannya.

5. FAKTOR INDIVIDU: a. Usia b. Riwayat kesehatan

USIA:

NIHL yang terjadi pada umur >40 tahun selain berhubungan dengan faktor bising, kemungkinan pula berhubungan dengan penurunan ambang pendengaran karena faktor usia/presbiacusis. Menurut Olishifski(16) melaporkan walaupun pengaruh usia terhadap pajanan bising masih dalam perdebatan, pada usia diatas 40 tahun terjadi penurunan ambang pendengaran 0,5 dBA setiap tahun, 20% dari populasi umum dengan usia 50-59 tahun mengalami kehilangan pendengaran tanpa mendapat pajanan bising industri.2,3

RIWAYAT KESEHATAN: Masalah NIHL dapat diperberat sekiranya pasien mempunyai riwayat neuroma akustik. Neuroma akustik adalah suatu tumor yang dapat menyebabkan tekanan pada telinga sehingga menyebabkan gangguan pendengaran, dering di telinga dan ketidakseimbangan.1,4 Juga dikenal sebagai schwannoma vestibular, neuroma akustik merupakan penyebab umum gangguan pendengaran. Neuroma akustik biasanya tumbuh lambat atau tidak sama sekali, tetapi dalam beberapa kasus mungkin tumbuh pesat dan menjadi cukup besar untuk menekan otak dan mengganggu fungsi vital.

Hasil dari anamnesis faktor individu yang sangat berperan pada pasien adalah hanya faktor usia karena pasien berusia 45 tahun. Dari pembahasan mengenai faktor usia, menjelaskan bahawa pada usia diatas 40 tahun terjadi penurunan ambang pendengaran 0,5 dBA setiap tahun, 20%.

6. FAKTOR LAIN DI LUAR PEKERJAAN:24

Identifikasi penyebab untuk menyingkirkan penyebab ketulian non industrial seperti riwayat penggunaan obat-obat ototoksik atau riwayat penyakit sebelumnya.

Obat-obat ototoksik

Tinitus gangguan pendengaran dan vertigo merupakan gejala utama ototoksisitas.Tinitus biasanya menyertai segala jenis tuli sensorineural oleh sebab apa pun,dan sering kali mendahului serta lebih mengganggu dari tulinya sendiri.Tuli akibat ototoksik yang menetap malahan dapat terjadi berhari-hari,berminggu-minggu atau berbulan-bulan setelah selesai pengobatan.Biasanya tuli bersifat bilateral,tetapi tidak jarang unilateral.Gangguan pendengaran yang berhubungan dengan ototoksisitas sangat sering ditemukan,oleh karena pemberian gentamisin dan streptomisin.Terjadinya secara perlahan-lahan dan beratnya sebanding dengan lama dan jumlah obat yang diberikan serta keadaan fungsi ginjalnya.

Mekanisme ototoksik Akibat penggunaan obat-obat yang bersifat ototoksik akan dapat menimbulkan gangguan fungsional pada telinga dalam yang disebabkan telah terjadi perubahan struktur anatomi pada organ telinga dalam.Kerusakan yang ditimbulkan oleh preparat ototoksik tersebut antara lain adalah : Degenerasi stria vaskularis.Kelainan patologi ini terjadi pada penggunaan semua jenis obat ototoksik. Degenerasi sel epitel sensori.Kelainan patologi terjadi pada organ corti dan labirin vestibular,akibat penggunaan antibiotika aminoglikosida sel rambut luar dalam,dan perubahan degeneratif ini terjadi dimulai dari basal koklea dan berlanjut terus hingga akhirnya sampai ke bagian apeks. Degenerasi sel ganglion.Kelainan ini terjadi sekunder akibat adanya degenerasi dari sel epitel sensori. Obat obat ototoksik 1. Aminoglikosida misalnya streptomisin,neomisin etc 2. Eritromisin 3. Loop diuretic 4. Obat anti inflamasi25

5. Obat anti malaria 6. Obat anti tumor 7. Obat tetes telinga

Penatalaksanaan Tuli yang diakibatkan oleh obat-obat ototoksik tidak dapat diobati.Bila pada waktu pemberian obat-obat ototoksik terjadi gangguan pada telinga dalam,maka pengobatan harus segera dihentikan.

Riwayat merokok Sebuah penelitian terhadap lebih dari 1.500 remaja AS yang berusia 12- 19 tahun menunjukkan bahwa merokok pasif berdampak langsung merusak telinga anak-anak muda. Semakin besar paparan, semakin besar kerusakan yang ditimbulkan. Pada beberapa kasus, kerusakan tersebut cukup mengganggu kemampuan seorang remaja untuk memahami pembicaraan. Demikian laporan studi tersebut, yang diterbitkan dalam jurnal khusus bedah leher dan kepala, Archives of Otolaryngology (7/2011).Asap rokok meningkatkan risiko infeksi yang menghalangi suplai darah halus ke telinga sehingga dapat menyebabkan kerusakan kecil tapi fatal. Namun, belum diketahui dari studi tersebut berapa banyak paparan asap rokok yang berbahaya dan kapan kerusakan dapat terjadi.

Pasien ditanyakan tentang riwayat cedera kepala,trauma akustik,riwayat infeksi telinga dan operasi telinga.

7. DIAGNOSIS OKUPASI: NIHL adalah Penyakit akibat kerja (PAK) Nilai ambang batas (NAB) kebisingan sebagai faktor bahaya di tempat kerja adalah standar sebagai pedoman pengendalian agar tenaga kerja masih dapat menghadapinya tanpa mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan dalam pekerjaan sehari-hari untuk waktu tidak melebihi 8 jam sehari dan 5 hari kerja seminggu atau 40 jam seminggu. Sebagaimana yang telah26

dinyatakan sebelumnya yang dimaksud dengan kebisingan dalam NAB ini adalah semua suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat proses produksi dan atau alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran. Laki-laki tersebut bekerja di bagian pembangkit listrik (turbin) di mana jenis kebisingan menetap berkelanjutan tanpa putus-putus dengan frekuensi yang lebar (steady state,wide band noise) misalnya bising mesin, kipas angin, dapur pijar dan lain-lain. Laki-laki tersebut memakai ear muff yang telah usang. Ear muff biasanya lebih efektif dari sumbat telinga dan dapat lebih besar menurunkan intensitas kebisingan yang sampai ke saraf pendengar. Alat-alat ini dapat mengurangi intensitas kebisingan sekitar 10-25 dB. Pajanan bising bersumberkan dari mesin pembangkit listrik (listrik) dan penggunaan ear muff yang usang menunjukkan ada hubungan antara pajanan dan penyakit yang terjadi.Noise induced hearing loss terjadi karena terjadi kerusakan sel sendorik atau bahkan kerusakan total organ Corti di dalam koklea disebabkan pajanan bising yang tinggi.NIHL adalah termasuk di dalam penyakit akibat kerja (PAK) mengikut ILO 1992 iaitu kelainan pendengaran yang disebabkan oleh kebisingan.

2. PENATALAKSANAAN: Sesuai dengan penyebab ketulian, penderita sebaiknya dipindahkan kerjanya dari linkungan bising.Bila tidak mungkin dipindahkan dapat dipergunakan alat pelindung telinga terhadap bising,seperti sumbat telinga (ear plug),tutup telinga (ear muff) dan pelindung kepala (helmet). Oleh kerana tuli akibat bising adalah tuli sensorineural koklea yang bersifat menetap,bila gangguan pendengaran sudah mengakibatkan kesulitan berkomunikasi dengan volume percakapan biasa,dapat dicoba pemasangan alat bantu dengar(ABD).Apabila pendengaran telah sedemikian buruk,sehingga dengan memakai ABD pun tidak dapat berkomunikasi dengan adekuat perlu dilakukan psikoterapi agar dapat menerima keadaannya.Latihan pendengaran agar dapat menggunakan sisa pendengaran dengan ABD secara efisien dibantu dengan membaca ucapan bibir (lip reading),mimik dan gerakan anggota badan,serta bahasa isyarat untuk dapat berkomuni8kasi.Di samping itu,oleh karena pasien mendengar suaranya sendiri sangat lemah,rehabilitasi sura juga diperlukan agar dapat mengendalikan volume,tinggi rendah dan irama percakapan.

27

Gambar 1 : Alat bantu dengar

Alat bantu dengar adalah suatu perangkat elektronik yang berguna untuk memperkeras (amplifikasi) suara yang masuk ke dalam telinga;sehingga si pemakai dapat mendengar lebih jelas suara yang ada di sekitarnya. Pada pasien yang telah mengalami tuli total bilateral dapat dipertimbangkan untuk pemasangan implan koklea.Implan koklea merupakan perangkat elektronik yang mempunyai kemampuan menggantikan fungsi koklea untuk meningkatkan kemampuan mendengar dan berkomunikasi pada pasien tuli saraf berat dan total bilateral.Indikasi pemasangan implan koklea adalah keadaan tuli saraf berat bilateral atau tuli total bilateral yang tidak/sedikit mendapat manfaat dengan alat bantu konvensional. Gambar 2 : Implan koklea

Cara kerja implan koklea Impuls suara ditangkap oleh mikrofon dan diteruskan menuju speech processor melalui kabel penghubung.Speech processor akan melakukan seleksi informasi suara yang sesuai dan28

mengubahnya menjadi kode suara yang akan disampaikan ke transmitter.Kode suara akan dipancarkan menembus kulit menuju receiver atau stimulator.Pada bagian ini kode suara akan diubah menjadi sinyal listrik dan akan dikirim menuju elektrode elektrode yang sesuai di dalam koklea sehingga menimbulkan stimulasi serabut-serabut saraf. 3. PENCEGAHAN: PROGRAM PENCEGAHAN/ PROGRAM KONSERVASI PENDENGARAN Program pencegahan yang dapat dilakukan meliputi hal-hal berikut (NIOSH, 1996): 1. Monitoring paparan bising 2. Kontrol engineering dan administrasi 3. Evaluasi audiometer 4. Penggunaan Alat Pelindung Diri (PPE) 5. Pendidikan dan Motivasi 6. Evaluasi Program 7. Audit Program

I. MONITORING PAPARAN BISING Tujuan monitoring paparan bising, yang sering juga disebut survei bising, bertujuan untuk : 1. Memperoleh informasi spesifik tentang tingkat kebisingan yang ada pada setiap tempat kerja. 2. Menetapkan tempat-tempat yang akan diharuskan menggunakan APD. 3. Menetapkan pekerja yang harus (compulsory) menjalani pemeriksaan audiometri secara periodik. 4. Menetapkan kontrol bising (baik administratif maupun teknis). 5. Menilai apakah perusahaan telah memenuhi persyaratan UU yang berlaku.

Prinsip monitoring paparan bising : Pengukuran dilakukan oleh pegawai yang mempunyai kualifikasi sebagai berikut : 1. SOP pengukuran harus ada dan jelas. 2. Hasil dikomunikasikan pada manajemen dan pegawai, - paling lama dalam waktu 2 minggu29

- untuk Jamsostek di Indonesia : 2 x 24 jam Ada 2 macam monitoring paparan bising : 1. Monitoring pendahuluan Pengukuran bising pendahuluan untuk menentukan masalah yang potensial berbahaya untuk pendengaran, berdasarkan lokasi tempat kerja. Survei ini dilaksanakan jika terdapat kesulitan dalam berkomunikasi, adanya keluhan pekerja bahwa telinga berdengung setelah bekerja. 2. Monitoring bising terperinci Dilakukan berdasarkan hasil monitoring bising pendahuluan, dengan menetapkan lokasi khusus yang memerlukan penelitian lebih lanjut. Pemeriksaan dilakukan secara terperinci di setiap lokasi. Monitoring bising terperinci dilakukan dalam tiga tahap : a. Pengukuran lingkungan kerja slow response dengan skala A (dB). Buat gambar peta bising (luas < = 93 meter). Bila hasil lebih dari 80 dB maka lingkungan tersebut cukup aman untuk bekerja, sedangkan bila antara 80- 92 dB perlu pengukuran dan tindakan lebih lanjut (skala b). b. Pengukuran di tempat kerja ( 85 dB 4. Saat pindah tugas keluar dari tempat bising 5. Saat pensiun/purna tugas Tipe audiogram : 1. Pre-employment/preplacement/Baseline 2. Annual monitoring 3. Exit Policy mengenai audiogram : 1. Base line atau data dasar : - dalam 6 bulan mulai bekerja di tempat bising (85 dBA) - untuk baseline 14 jam bebas bising, atau menggunakan APD 2. Annual audiogram Bagi yang TWA > 85 dBA 3. Evaluasi : - setiap tahun dibandingkan dengan base-line - bila STS (Significant Threshold Shift) > 10 dB (rata-rata pada 2000-3000-4000 Hz), maka disebut + (positif). Bila STS (+) maka yang dilakukan adalah : - pemeriksaan dokter - periksa tempat kerja - periksa data kalibrasi alat - komunikasikan dengan karyawan tersebut31

- jika karena penyakit, konsulkan ke dokter THT - periksa ulang dalam waktu 1 (satu) tahun Bila STS (+) karena pekerjaannya : - Bila belum menggunakan APD, diharuskan memakai - Bila sudah memakai, beri petunjuk ulang - Komunikasikan dengan pegawai dan atasan secara tertulis - Bila perlu, konsul THT Lakukan revisi baseline, bila STS persisten atau membaik

IV. PENGGUNAAN APD Beberapa faktor yang mempengaruhi penggunaan alat pelindung telinga : 1. Kecocokan; alat pelindung telinga tidak akan memberikan perlindungan bila tidak dapat menutupi liang telinga rapat-rapat. Nyaman dipakai; tenaga kerja tidak akan menggunakan APD ini bila tidak nyaman dipakai. Penyuluhan khusus, terutama tentang cara memakai dan merawat APD tersebut. Jenis-jenis alat pelindung telinga : 1. Sumbat telinga (earplugs/insert device/aural insert protector) Dimasukkan ke dalam liang telinga sampai menutup rapat sehingga suara tidak mencapai membran timpani. Beberapa tipe sumbat telinga : a. formable type b. custom-molded type c. premolded type Sumbat telinga bisa mengurangi bising s/d 30 dB lebih. 2.Tutup telinga (earmuff/protective caps/circumaural protectors) Menutupi seluruh telinga eksternal dan dipergunakan untuk mengurangi bising s/d 40- 50 dB frekuensi 100 - 8000 Hz. 3.Helmet/ enclosure Menutupi seluruh kepala dan digunakan untuk mengurangi maksimum 35 dBA pada 250 Hz sampai 50 dBApada frekuensi tinggi Pemilihan alat pelindung telinga : 1. Earplug bila bising antara 85- 200 dBA 2. Earmuff bila di atas 100 dBA

32

3. Kemudahan pemakaian, biaya, kemudahan membersihkan dan kenyamanan APD ini harus tersedia di tempat kerja tanpa harus membebani pekerja dari segi biaya, perusahaan harus menyediakan APD ini. Cara terbaik sebenarnya bukan penggunaan APD tetapi pengendalian secara teknis pada sumber suara.

V. PENDIDIKAN DAN MOTIVASI Program pendidikan dan motivasi menekankan bahwa program konservasi pendengaran sangat bermanfaat untuk melindungi pendengaran tenaga kerja, dan mendeteksi perubahan ambang pendengaran akibat paparan bising.1 Tujuan pendidikan adalah untuk menekankan keuntungan tenaga kerja jika mereka memelihara pendengaran dan kualitas hidupnya. Lebih lanjut penyuluhan tentang hasil audiogram mereka, sehingga tenaga kerja termotivasi untuk berpartisipasi melindungi pendengarannya sendiri. Juga melalui penyuluhan diharapkan tenaga kerja mengetahui alasan melindungi telinga serta cara penggunaan alat pelindung telinga.

VI. EVALUASI PROGRAM Evaluasi program ditujukan untuk mengevaluasi hasil program-program konservasi, dengan sasaran : 1. Review program dari sisi pelaksanaan serta kualitasnya, misalnya pelatihan dan penyuluhan, kesertaan supervisor dalam program, pemeriksaan masing-masing area untuk meyakinkan apakah semua komponen program telah dilaksanakan. 2. Hasil pengukuran kebisingan, identifikasikan apakah ada daerah lain yang perlu dikontrol lebih lanjut. 3. Kontrol engineering dan administratif. 4. Hasil pemantauan audiometrik dan pencatatannya; bandingkan data audiogram dengan baseline untuk mengukur keberhasilan pelaksanaan program. 5. APD yang digunakan.

VII. PROGRAM AUDIT 1. Audit Eksternal, dapat dilakukan program audit oleh pihak luar untuk mengetahui costeffectiveness dan cost-benefit dari program konservasi pendengaran.

33

2. QQ program (Quality Qontrol Program) dilakukan secara internal, terus menerus untuk menilai efektivitas program konservasi pendengaran.

4. PENGELOLAAN: 1. PEMERIKSAAN KESEHATAN (MCU) Tenaga kerja merupakan asset yang berharga bagi sebuah perusahaan, dimana kesehatan pekerja akan sangat mempengaruhi tingkat produktivitas perusahaan. Dalam penerapan program efisiensi dan efektifitas health cost perusahaan, maka diperlukanlah deteksi dini dan pencegahan penyakit secara komprehensif, dimana banyak sekali peraturan pemerintah yang berkaitan dengan kesehatan pekerja terutama yang berkaitan dengan Penyakit Akibat Kerja. Pemeriksaan kesehatan (Medical Check Up) adalah suatu prosedur yang dilakukan untuk mengetahui status kesehatan individu saat ini dan sebagai usaha untuk memelihara kesehatan secara berkala. Pemeriksaan kesehatan sebagai screening adalah suatu bentuk tindakan pencegahan dan sering digunakan untuk mendeteksi adanya suatu penyakit secara dini. Melalui pemeriksaan kesehatan yang tepat dan teliti dapat membantu dalam mendeteksi suatu penyakit yang tidak diketahui sebelumnya karena tidak menimbulkan keluhan pada individu yang bersangkutan. Penyakit dan gangguan kesehatan yang dapat dideteksi lebih dini tentu dapat mempermudah kontrol dan tindakan pengobatan sehingga mencegah penyakit berkembang menjadi lebih serius dan yang tidak kalah penting adalah tidak mengurangi kualitas hidup individu tersebut. Pemeriksaan kesehatan tenaga kerja sangat penting untuk meningkatkan derajat kesehatan dan produktivitas kerja serta mencegah terjadinya penyakit pada pekerja akibat dari kondisi kerjanya. Kapasitas dan produktivitas pegawai juga ditentukan oleh keadaan kesehatannya. Dimana hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor termasuk kebiasaan hidup sehari-hari dan kondisi lingkungan pekerjaan, yang pada akhirnya akan ikut menentukan kinerja masing-masing pegawai. Bersandar pada pengertian inilah maka penting untuk dilakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala kepada seluruh pegawai. Tujuan dari pemeriksaan kesehatan kepada pegawai adalah untuk memberi jaminan pegawai tersebut cocok untuk dipekerjakan dan tetap dalam keadaan bugar sepanjang masa kerja. Selain itu juga sebagai deteksi dini ( screening) d a n penanganan dari

penyakit akibat kerja/penyakit yang berhubungandengan pekerjaan. Pelaksanaan

pemeriksaan kesehatan pegawai juga memiliki landasan hukum yang mengatur, yaitu sesuai

34

dengan UU Kesehatan no.23 / 1992, pasal 23, ayat 2 : Kesehatan Kerja meliputi pelayanan kesehatan kerja, pencegahan penyakit akibat kerja dan syarat kesehatan kerja.

1.FungsiMedical Check Up: Untuk mendeteksi dini suatu penyakit, terutama penyakit akibat kerja. Bermanfaat dalam reimbursment system atau premiasuransi. Pembiayaan yang rasional dan efektif bagi health budgeting perusahaan. Untuk meningkatkan produktivitas kerja.

2.Sistem Yang harus Digunakan: Pengolahan data menggunakan software khusus(sehingga dapat memudahkan pihak HRD/HSE dalam membuat overview hasil medical check up). Hasil dapat disajikan dalam bentuk soft copy Report hasil dapat dikelompokkan berdasar kajian occupational health.

2. PELAYANAN KESEHATAN Jenis-jenis program/kegiatan yang dilaksanakan dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan kerja meliputi : A. Upaya Kesehatan Promotif : 1. Pembinaan kesehatan kerja 2. Pendidikan dan pelatihan bidang kesehatan kerja 3. Perbaikan gizi kerja 4. Program olah raga di tempat kerja 5. Penerapan ergonomi kerja 6. Pembinaan cara hidup sehat 7. Program pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS dan Narkoba di tempat kerja 8.Penyebarluasan informasi kesehatan kerja melalui penyuluhan dan media

KIE(Komunikasi, Informasi dan Edukasi), dengan topik yang relevan. B. Upaya Kesehatan Preventif :35

1. Melakukan penilaian terhadap faktor risiko kesehatan di tempat kerja (health hazard risk assesment) yang meliputi : a. Identifikasi faktor bahaya kesehatan kerja melalui : pengamatan, walk through survey, pencatatan/pengumpulan data dan informasi b. Penilaian/pengukuran potensi bahaya kesehatan kerja c. Penetapan tindakan pengendalian faktor bahaya kesehatan pekerja 2. Pemeriksaan kesehatan tenaga kerja (awal, berkala dan khusus) 3. Survailans dan analisis PAK dan penyakit umum lainnya 4. Pencegahan keracunan makanan bagi tenaga kerja 5. Penempatan tenaga kerja sesuai kondisi/status kesehatannya 6. Pengendalian bahaya lingkungan kerja 7. Penerapan ergonomi kerja 8. Penetapan prosedur kerja aman atau Standard Operating Procedure (SOP) 9. Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) yang sesuai 10. Pengaturan waktu kerja (rotasi, mutasi, pengurangan jam kerja terpapar faktor risiko dll); 11. Program imunisasi 12. Program pengendalian binatang penular (vektor) penyakit.

C. Upaya Kesehatan Kuratif : 1. Pengobatan dan perawatan 2. Tindakan P3K dan kasus gawat darurat lainnya 3. Respon tanggap darurat 4. Tindakan operatif 5. Merujuk pasien dll.

D. Upaya Kesehatan Rehabilitatif : 1. Fisio therapi 2. Konsultasi psikologis (rehabilitasi mental) 3. Orthose dan prothese (pemberian alat bantu misalnya : alat bantu dengar ,dll) 4. Penempatan kembali dan optimalisasi tenaga kerja yang mengalami cacat akibat36

kerja disesuaikan dengan kemampuannya. 5. Rehabilitasi kerja 3. PEMERIKSAAN LINGKUNGAN: Mengelola lingkungan kerja agar aman bagi pekerja adalah tugas atau tanggung jawab dari perusahaan atau pengusaha. Hal ini dilakukan untuk melindungi pekerja dari konsekwensi yang akan timbul akibat terlalu lama berada di area kerja tersebut. Sebagaimana diketahui bahwa jam kerja yang berlaku umum di perusahaan adalah 8 jam/hari, artinya seorang pekerja akan berada di sekitar lokasi tersebut selama 8 jam. Mengingat waktu terpaparnya seorang pekerja di area yang bising cukup lama, maka pengelolaan area kerja mutlak diperlukan Pengelolaan kebisingan dapat dilakukan dengan beberapa tahapan : 1. Mendeteksi tingkat kebisingan yang terjadi. Proses ini dilakukan dengan mengukur tingkat kebisingan di area kerja tersebut dengan menggunakan detector yang valid. Hal ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kebisingan di area tersebut. 2. Mencari penyebab kebisingan. Tahap ini diperlukan untuk menentukan penyebab timbulnya kebisingan. Kebisingan bisa saja timbul akibat kerusakan peralatan yang terdapat di sekitar area kerja tersebut, misalnya adanya bocoran steam, adanya kerusakan pada peredam suara, tidak optimalnya pengaturan kondisi operasi, dan lainnya. Jika ditemukan penyebab seperti itu, maka dengan perbaikan peralatan tersebut sudah bisa menurunkan tingkat kebisingan. Jika sumber kebisingan itu berasal dari peralatan atau mesin tidak bisa diperbaiki lagi atau permanent, maka perlu dibuatkan strategi untuk mengurangi kebisingan atau melindungi pekerja. 3. Menentukan cara pengelolaan yang terbaik. Setelah ditemukan penyebab kebisingan, buatkan rencana pengelolaan yang tepat. Misalnya perlu penambahan peredam suara, pekerja harus memakai alat pelindung diri37

untuk telinga seperti earplugs atau earmuff, dan mengatur waktu tinggal seseorang di lokasi tersebut baik dengan atau tanpa alat pelindung diri. 4. Implementasi Jika cara yang tepat untuk pengelolaan kebisingan sudah ditemukan, segera implementasikan. Selain melakukan apa yang menjadi rekomendasi tahap sebelumnya, hasil pemeriksaan terhadap kebisingan sebaiknya ditampilkan di lokasi tersebut, bisa berupa flyer, atau pamphlet, sehingga orang-orang yang berada di daerah tersebut mengetahui tingkat kebisingan di area itu dan bisa melakukan langkah-langkah untuk memproteksi dirinya dari paparan kebisingan tersebut. 5. Evaluasi Tahap akhir adalah melakukan evaluasi terhadap hasil implementasi yang sudah dilakukan. Evaluasi ini dibutuhkan untuk mengetahui efektifitas pengelolaan yang sudah dilakukan. Hal-hal yang dievaluasi antara lain, tingkat kebisingan diarea tersebut (berkurang atau bertambah), tingkat kesehatan telinga orang-orang yang terlibat atau terpapas di area tersebut. Selalu melakukan improvement guna mendapatkan tingkat kebisingan yang terbaik dan aman bagi pekerja.

5. PROGNOSIS: Pada pasien NIHL, pendengaran umumnya stabil bila pasien dijauhkan dari pajanan bising. NIHL tidak berkembang semakin buruk bila pasien sudah dijauhkan dari pajanan bising. Namun demikian, secara umum prognosis NIHL kurang baik. Hal ini dikarenakan ketulian sensorineural yang sudah terjadi sifatnya menetap dan tidak dapat diatasi dengan obat ataupun pembedahan. Untuk itu, yang terpenting adalah upaya pencegahan.3,5 6.KESIMPULAN: Kebisingan di tempat kerja dapat menimbulkan gangguan pendengaran dan gangguan sistemik yang dalam jangka waktu panjang dapat menimbulkan gangguan kesehatan dan penurunan produktivitas tenaga kerja. Oleh karena itu perlu dilakukan38

pemantauan dan deteksi dini untuk pencegahan karena kerugian yang harus dibayarkan akibat kebisingan ini cukup besar. Pemeriksaan gangguan pendengaran harus dilakukan secara teliti, cermat, dan hati-hati untuk menghindari kesalahan prosedur dalam memberikan kompensasi kepada tenaga kerja. Langkah-langkah yang seharusnya dilaksanakan oleh perusahaan ialah: 1. Memberikan pelatihan dokter-dokter perusahaan 2. Penerangan dalam bentuk ceramah, diskusi dan demonstrasi untuk pimpinan dan pekerjapekerja perusahaan 3. Pemeriksaan pendengaran sebelum diterima sebagai pekerja 4. Pemeriksaan pendengaran ulangan berkala, misalkan sekali setahun 5. Pengendalian sumber-sumber bising dan perambatannya 6. Perlindungan telinga dari para pekerja

DAFTAR PUATAKA: 1. Sulistomo A. Penyakit akibat kerja dan penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan (Bab 6). In: Aditama TY, Hastuti T, editors. Kesehatan dan Keselamatan Kerja. Jakarta: UI-Press; 2002. p. 64-71. 2. Agrawal SK, Schindler DN, Jackler RK, Robinson S. Occupational hearing loss (Chap. 58). In: Lalwani AK, editor. Current Diagnosis and Treatment Otolaryngology Head and Neck Surgery. 2nd ed. New York: McGraw-Hill; 2008. p. 732-43. 3. Sumamur. Aneka pendekatan keselamatan lain (Bab 19). In: Sumamur. Keselamatan Kerja dan Pencegahan Kecelakaan. Jakarta: Haji Masagung; 1999. p. 296-301. 4. Bashiruddin J, Soetirto I. Gangguan pendengaran akibat bising (Bab 2). In: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, editors. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. 6th ed. Jakarta: Gaya Baru; 2007. p. 49-52. 5. Sherwood L. The peripheral nervous system: afferent division; special senses (Chap. 6). In: Sherwood L. Human Physiology: From Cells to Systems. 5th ed. Belmont: Thomson Learning; 2004. p. 221.

39

40