bab ii landasan teori a. 1.sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/bab214111410011.pdfsama dalam...
TRANSCRIPT
-
6
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Kajian Teori
1. Masyarakat
a. Pengertian Masyarakat
Masyarakat merupakan wadah untuk membentuk kepribadian
diri setiap kelompok manusia atau suku yang berbeda satu dengan yang
lainnya. Selain itu masyarakat adalah kelompok manusia yang tinggal
menetap dalam suatu wilayah yang tidak terlalu jelas batas-batasnya,
berinteraksi menurut kesamaan pola tertentu, diikat oleh suatu harapan
dan kepentingan yang sama, keberadaannya berlangsung terus-menerus,
dengan suatu rasa identitas yang sama.
Dalam bahasa ingris masyarakat disebut society, yang berasal
dari kata Latin “socius” yang berarti: teman atau kawan. Kata masyarakat
berasal dari bahasa Arab “syirk” sama-sama menunjuk pada apa yang
kita maksud dengan kata masyarakat, yakni sekelompok orang yang
saling mempengaruhi satu sama lain dalam suatu proses pergaulan,
yang berlangsung secara berkesinambungan. Pergaulan ini terjadi karena
adanya nilai-nilai, norma-norma, cara-cara dan prosedur serta harapan
dan keinginan yang merupakan kebutuhan bersama. Hal-hal yang disebut
terakhir inilah merupakan tali pengikat bagi sekelompok orang yang
disebut masyarakat (Antonius Atosokhi Gea dkk, 2003 : 30-31).
Berikut beberapa pendapat dari para ahli mengenai konsep
masyarakat adalah sebagai berikut :
Menurut Horton dalam M. Zaini Hasan dkk, (1996 : 12-13)
mengatakan masyarakat adalah sekumpulan manusia yang relatif
mandiri, yang hidup bersama-sama dalam waktu relatif lama mendiami
kawasan tertentu, memiliki kebudayaan relatif lama, serta melakukan
aktivitas yang cukup lama pada kelompok tersebut. Lebih lanjut Horton
dalam M. Zaini Hasan dkk, (1996 : 247) mengatakan bahwa masyarakat
6
-
7
adalah sekelompok orang yang hidup dalam suatu wilayah tertentu, yang
memiliki pembagian kerja yang berfungsi khusus dan saling tergantung
(interdependent), dan memiliki sistem sosial budaya yang mengatur
kegiatan para anggota, yang memiliki kesadaran akan kesatuan dan
perasaan memiliki, serta mampu untuk bertindak dengan cara yang
teratur.
Menurut Bouman dalam M. Zaini Hasan dkk, (1996 : 12)
mengatakan bahwa “masyarakat adalah pergaulan hidup yang akrab
antara manusia, dipersatukan dengan cara tertentu oleh hasrat-hasrat
kemasyarakatan mereka”.
Menurut Maclver dalam Harsojo, (1999 : 127) mengatakan
masyarakat adalah “satu sistem dari cara kerja dan prosedur, dari otoritas
dan saling bantu-membantu yang meliputi kelompok-kelompok dan
pembagian sosial lain, sistem dan pengawasan tingkah laku manusia dan
kebebasan”.
Menurut Banks, Clegg dan Stewart dalam M. Zaini Hasan dkk,
(1996 : 79) mengatakan bahwa “masyarakat adalah suatu kelompok
hidup manusia disuatu wilayah tertentu, yang telah berlangsung dari
generasi ke generasi, dan sedikit banyak independen (self sufficient)
terhadap kelompok hidup lainnya”.
Menurut Koentjaraningrat dalam Usman Pelly dkk, (1994 : 29)
mengemukakan masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang
berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat
kontinu, dan yang terikat oleh rasa identitas bersama. Lebih lanjut
Koentjaraningrat (2002 : 144) mendefinisikan masyarakat adalah
memang sekumpulan manusia yang saling “bergaul”, atau dengan istilah
ilmiah, saling “berinteraksi”.
Menurut Kingsley Davis dalam Soerjono Soekanto, (1982 : 266)
mengatakan masyarakat adalah “sistem hubungan dalam arti hubungan
antara organisasiorganisasi, dan bukan hubungan antar sel-sel”.
-
8
Menurut Emile Durkheim dalam Soleman B. Taneko, (1984: 11)
bahwa masyarakat merupakan suatu kenyataan yang obyektif secara
mandiri, bebas dari individu-individu yang merupakan anggota-
anggotanya.
Dari beberapa pendapat para ahli di atas penulis mengambil suatu
kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat adalah
sekelompok manusia yang hidup bersama-sama untuk mendiami wilayah
tertentu dan saling bergaul serta mempunyai kebudayaan dan memiliki
pembagian kerja, dalam waktu relatif lama, saling tergantung
(interdependent), memiliki sistem sosial budaya yang mengatur kegiatan
para anggota serta memiliki kesadaran akan kesatuan dan perasaan
memiliki, mampu untuk bertindak dengan cara yang teratur dan bekerja
sama dalam melakukan aktivitas yang cukup lama pada kelompok
tersebut.
Masyarakat sebagai sekumpulan manusia didalamnya ada
beberapa unsur yang mencakup. Adapun unsur-unsur tersebut adalah:
1) Masyarakat merupakan manusia yang hidup bersama;
2) Bercampur untuk waktu yang cukup lama;
3) Mereka sadar bahwa mereka merupakan suatu kesatuan;
4) Mereka merupakan suatu sistem hidup bersama.
Menurut Emile Durkheim dalam Djuretnaa Imam Muhni, (1994:
29-31) keseluruhan ilmu pengetahuan tentang masyarakat harus didasari
pada prinsip-prinsip fundamental yaitu realitas sosial dan kenyataan
sosial. Kenyataan sosial diartikan sebagai gejala kekuatan sosial didalam
bermasyarakat. Masyarakat sebagai wadah yang paling sempurna bagi
kehidupan bersama antar manusia.
Dari beberap penjelasan para ahli di atas, penulis mengambil
sebuah kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat adalah
sekelompok manusia yang telah cukup lama hidup dalam suatu wilayah
tertentu dan saling bekerja sama, memiliki pembagian kerja sehingga
mereka dapat berorganisasi serta mempunyai kebiasaan-kebiasaan,
-
9
tradisi, sikap dan perasaan persatuan yang sama untuk mencapai suatu
tujuan tertentu.
b. Masyarakat Desa
Pada umumnya pengertian desa dikaitkan dengan pertanian, yang
sebenarnya masih bisa didefinisikan lagi berdasarkan pada jenis dan
tingkatannya. Masyarakat desa yaitu masyarakat yang ruang lingkupnya
berada di desa dan cenderung hidup secara tradisional serta memegang
adat istiadat. Menurut P.H Landis terdapat tiga definisi tentang desa yaitu
pertama desa itu lingkungan yang penduduknya kurang dari 2.500 orang,
kedua desa adalah suatu lingkungan yang penduduknya mempunyai
hubungan yang saling akrab serba informal satu sama lain, dan yang
ketiga desa adalah suatu lingkungan yang penduduknya hidup dari
pertanian.
Sedangkan menurut Koentjaraningrat desa adalah suatu
komunitas kecil yang menetap secara tetap di suatu tempat (Rahadjo,
2010 : 29), masyarakat desa itu sendiri mempunyai karakteristik seperti
yang dikemukakan oleh Roucek dan Warren mereka menggambarkan
karakteristik masyarakat desa sebagai berikut (Jefta Leibo, 1995:7).
1) Besarnya peranan kelompok primer
2) Faktor geografis menentukan dasar pembentukan kelompok atau
asosiasi
3) Hubungan lebih bersifat akrab dan langgeng
4) Homogen
5) Keluarga lebih ditekankan fungsinya sebagai unit ekonomi
6) Populasi anak dalam proporsi yang lebih besar
Karakteristik desa sangat diperlukan adanya pembagian desa
atau biasa disebut dengan tipologi desa. Tipologi desa itu sendiri akan
mudah diketahui jika dihubungkan dengan kegiatan pokok yang ditekuni
oleh masyarakat itu dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari,
adapun pembagiannya sebagai berikut (Jefta Leibo, 1995: 18):
1) Desa Pertanian
-
10
Pada jenis desa ini semua kegiatan masyarakatnya terlibat dalam
bidang pertanian.
2) Desa Industri
Pada jenis desa ini pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari lebih banyak bergantung pada sektor industri baik
industri kecil maupun industri besar.
3) Desa Nelayan atau Desa Pantai
Pada jenis desa ini pusat kegiatan dari seluruh anggota
masyarakatnya bersumber pada usaha-usaha di bidang perikanan
baik perikanan laut, pantai, maupun darat.
4) Desa Pariwisata
Pada jenis desa ini terdapat obyek wisata seperti peninggalan-
peninggalan kuno, keistimewaan kebudayaan rakyat, dan juga
terdapat keindahan alam.
Kebudayaan yang terdapat pada masyarakat desa masih tergolong
masuk dalam kategori yang belum maju dan masih sederhana.
Kebanyakan orang menganggap bahwa masyarakat desa khususnya
masyarakat petani masih dianggap secara umum yang mana mereka
dianggap seragam atau sama antara masyarakat petani yang satu dengan
yang lain.
Kebudayaan tradisional masyarakat desa merupakan suatu hasil
produk dari besar kecilnya pengaruh alam terhadap masyarakat yang
bergantung pada alam itu sendiri. Menurut P. H Landis besar kecilnya
pengaruh alam terhadap pola kebudayaan masyarakat desa ditentukan
sebagai berikut :
1) Sejauh mana ketergantungan mereka terhadap pertanian.
2) Sejauh mana tingkat teknologi yang mereka miliki.
3) Sejauh mana sistem produksi yang diterapkan.
Ketiga faktor diatas menjadikan faktor determinan bagi
terciptanya kebudayaan tradisional masyarakat desa yang artinya
kebudayaan tradisional akan tercipta apabila masyarakatnya sangat
-
11
tergantung pada pertanian, tingkat teknologi yang rendah dan
produksinya hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga (Rahardjo,
2010: 66).
c. Masyarakat Kota
Masyarakat perkotaan sering disebut juga urban community yaitu
masyarakat yang tidak tertentu jumlah penduduknya. Pengertian kota
sendiri adalah suatu himpunan penduduk masalah yang tidak agraris,
bertempat tinggal di dalam dan di sekitar suatu kegiatan ekonomi,
pemerintah, kesenian, ilmu pengetahuan dan sebagainya.
Kota merupakan suatu daerah yang memiliki ciri-ciri khusus yang
dapat membedakannya dengan daerah desa, seperti pemusatan jumlah
penduduk, pusat pemerintahan dan sarana prasarana penunjang aktivitas
manusia yang relatif lebih lengkap di bandingkan dengan daerah desa,
menurut Bintarto ( 1989 : 36 ):
“Kota ialah suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang di
tandai dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan diwarnai
dengan strata sosial ekonomi yang heterogen secara materialis serta
dapat pula diartikan sebagai bentang budaya yang ditimbulkan oleh
unsur alami dan unsur-unsur non alami dengan gejala-gejala
penduduk yang cukup besar dan dengan corak kehidupan yang
heterogen materialistis dibandingkan dengan daerah belakangnya”.
Kota besar merupakan tempat berlangsungnya peningkatan dan
pengembangan banyak dimensi kehidupan, serta tempat
berkonsentrasinya warga baru yang berdatangan setiap saat. Banyak
masalah yang dihadapi masyarakat kota besar, misalnya:
1) Skala jarak yang semakin besar memisahkan tempat kerja dengan
tempat tinggal yang membutuhkan waktu, energi dan biaya yang
besar pula.
2) Buruknya kondisi perumahan baik kualiatas maupun kuantitasnya,
penanganan limbah yang buruk, pencemaran udara, kebisingan dan
masalah-masalah lainnya yang meningkatkan biaya hidup warganya.
-
12
3) Keterbatasan fasilitas dan pelayanan publik, lapangan kerja, dan
persaingan yang ketat, gejala-gejala pengangguran, bentuk-bentuk
kejahatan dan perilaku-perilaku yang tidak layak lainnya.
Tanggung jawab perbaikan mutu kehidupan kota memang berada
ditangan pemerintah baik lokal, regional, maupun nasional akan tetapi
partisipasi warga kota ikut menentukan keberhasilan perbaikan
kehidupan kota yang bersangkutan. Oleh karena itu warga harus ikut
berperan dan berpartisipasi aktif untuk meningkatkan kualitas kehidupan
perkotaan.
Masyarakat kota sering dicirikan dengan masyarakat modern.
Adapun ciri-ciri masyarakat modern menurut Mutakin (2007:104), antara
lain :
1) Hubungan antar sesama nyaris hanya didasarkan pada pertimbangan
untuk kepentingan pribadi.
2) Hubungan dengan masyarakat lain berlangsung secara terbuka dan
saling mempengaruhi.
3) Menyakini bahwa iptek memiliki kemanfaatan untuk meningkatkan
kualitas hidupnya.
4) Masyarakat kota berdeferensi atas dasar perbedaan profesi dan
keahlian sebagai fungsi pendidikan serta pelatihan.
5) Tingkat pendidikan masyarakat kota relatif lebih tinggi bila
dibandingkan dengan masyarakat pedesaan.
6) Aturan-aturan atau hukum yang berlaku dalam masyarakat perkotaan
lebih berorientasi pada aturan atau huku formal yang bersifat
kompleks.
7) Tata ekonomi yang berlaku bagi masyarakat kota umumnya ekonomi
pasar yang berorientasi pada nilai uang, persaingan, dan nilai-nilai
inovatif lainnya.
8) Kehidupan keagamaannya berkurang, kadangkala tidak terlalu
dipikirkan karena memang kehidupan yang cenderung kearah
keduniaan saja.
-
13
9) Orang kota pada umumnya dapat mengurus dirinya sendiri tanpa
harus berdantung pada orang lain (Individualisme).
Sedangkan, beberapa ciri-ciri sosial kehidupan masyarakat kota,
antara lain:
1) Pelapisan Sosial Ekonomi
Perbedaan tingkat pendidikan dan status sosial dapat menimbulkan
suatu keadaan yang heterogen.
2) Individualisme
Perbedaan status sosial-ekonomi maupun kultural dapat
menimbulkan sifat “individualisme”.
3) Toleransi Sosial
Kesibukan masing-masing warga kota dalam tempo yang cukup
tinggi dapat mengurangi perhatiannya kepada sesamanya. Apabila
ini berlebihan maka mereka mampu akan mempunyai sifat acuh tak
acuh atau kurang mempunyai toleransi sosial. Di kota masalah ini
dapat diatasi dengan adanya lembaga atau yayasan yang
berkecimpung dalam bidang kemasyarakatan.
4) Jarak Sosial
Kepadatan penduduk di kota-kota memang pada umumnya dapat
dikatakan cukup tinggi. Biasanya sudah melebihi 10.000 orang/km2.
Jadi, secara fisik di jalan, di pasar, di toko, di bioskop dan di tempat
yang lain warga kota berdekatan tetapi dari segi sosial berjauhan,
karena perbedaan kebutuhan dan kepentingan.
5) Pelapisan Sosial
Perbedaan status, kepentingan dan situasi kondisi kehidupan kota
mempunyai pengaruh terhadap sistem penilaian yang berbeda
mengenai gejala-gejala yang timbul di kota. Penilaian dapat
didasarkan pada latar belakang ekonomi, pendidikan dan filsafat.
Perubahan dan variasi dapat terjadi, karena tidak ada kota yang sama
persis struktur dan keadaannya.
Bertambahnya penghuni kota baik berasal dari dari penghuni kota
maupun dari arus penduduk yang masuk dari luar kota mengakibatkan
-
14
bertambahnya perumahan-perumahan yang berarti berkurangnya daerah-
daerah kosong di dalam kota. Semakin banyaknya anak-anak kota yang
menjadi semakin banyak pula diperlukan gedung-gedung sekolah.
Bertambah pelajar dan mahasiswa berarti bertambah juga jumlah sepeda
dan kendaraan bermotor roda dua. Toko-toko. Warung makan atau
restoran bertambahnya terus sehingga makin mempercepat habisnya
tanah-tanah kosong di dalam kota. Kota terpaksa harus diperluas secara
bertahap menjauhi kota.
Masyarakat kota adalah masyarakat yang anggota-anggotanya
terdiri dari manusia yang bermacam-macam lapisan/tingkatan hidup,
pendidikan, kebudayaan dan lain-lain. Mayoritas penduduknya hidup
berjenis-jenis usaha yang bersifat non-agraris.
2. Interaksi Sosial dan Proses Sosial
a. Pengertian Interaksi Sosial
Sebagai makhluk individual manusia mempunyai dorongan atau
motif untuk mengadakan hubungan dengan dirinya sendiri, sedangkan
sebagai makhluk sosial manusia mempunyai dorongan untuk
mengadakan hubungan dengan orang lain. Dengan adanya dorongan atau
motif sosial pada manusia, maka manusia akan mencari orang lain untuk
mengadakan hubungan atau untuk mengadakan interaksi. Dengan
demikian maka akan terjadilah interaksi antara manusia satu dengan
manusia yang lain.
Interaksi sosial adalah hubungan antar individu satu dengan
individu lainnya. Individu satu dapat mempengaruhi yang lain begitu
juga sebaliknya. Pada kenyataannya interaksi yang terjadi sesungguhnya
tidak sesederhana kelihatannya melainkan merupakan suatu proses yang
sangat kompleks. Interaksi terjadi karena ditentukan oleh banyak faktor
termasuk manusia lain yang ada di sekitar yang memiliki juga perilaku
spesifik.
Di dalam interaksi sosial ada kemungkinan individu dapat
menyesuaikan dengan yang lain atau sebaliknya. Pengertian penyesuaian
-
15
di sini dalam arti yang luas yaitu bahwa individu dapat melebur diri
dengan keadaan di sekitarnya atau sebaliknya individu dapat mengubah
lingkungan sesuai dengan keadaan dalam diri individu, sesuai dengan apa
yang diinginkan oleh individu yang bersangkutan.
Pengertian Interaksi Sosial dikemukakan oleh Soerjono Soekanto,
Interaksi sosial adalah dasar dari proses sosial yang terjadi akibat adanya
hubungan-hubungan sosial yang dinamis, dalam hal ini mencakup
hubungan antarindividu, antarkelompok maupun yang terjadi antara
individu dan kelompok.
Menurut Bonner, Pengertian interaksi sosial adalah suatu
hubungan yang antara dua orang atau lebih individu, dimana kelakuan
dari individu saling mempengaruhi dan mengubah satu sama lainnya.
Thibaut dan Kelley mengemukakan pengertian interaksi sosial,
Interaksi Sosial merupakan peristiwa saling mempengaruhi satu sama
lain ketika dua orang atau lebih hadir secara bersamaan, mereka
menciptakan suatu hasil satu sama lain atau berkomunikasi antara satu
sama lain.
Pengertian Interaksi Sosial menurut pendapat Gillin, Interaksi
Sosial adalah hubungan-hubungan sosial yang dinamis, dimana
menyangkut hubungan antarindividu dan kelompok atau antarkelompok.
Di dalam hubungan sosial ini, individu maupun kelompok bekerja sama
atau yang berkonflik, melakukan interaksi baik itu formal atau tidak
formal yang dilakukan secara langsung atau tidak langsung.
Menurut Homans, Pengertian Interaksi Sosial ialah suatu proses
dimana aktivitas yang dilakukan oleh seseorang terhadap individu lain
diberikan ganjaran atau hukuman dengan menggunakan suatu tindakan
oleh individu lain yang menjadi pasangannya. Dalam hal ini, suatu
tindakan yang dilakukan oleh seseorang dalam interaksi merupakan suatu
reaksi balasan bagi tindakan individu lain yang menjadi pasangannya.
Dari pengertian interaksi sosial yang diungkapkan para pakar di
atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa interaksi sosial adalah suatu proses
-
16
sosial dimana terjadi hubungan antara individu yang satu dengan yang
lainnya, individu dengan kelompok maupun yang terjadi antara
kelompok dengan kelompok.
Bentuk umum dari proses sosial merupakan interaksi sosial.
Interaksi sosial adalah syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial.
Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa bentuk lain dari proses sosial hanya
merupakan bentuk-bentuk khusus dari interaksi sosial. Jadi, interasi
sosial adalah hubungan sosial yang dinamis dimana menyangkut
hubungan antara orang perorangan, antar kelompok-kelompok manusia,
maupun yang terjadi antara orang perorangan dengan kelompok manusia.
b. Syarat-syarat Terjadinya Interaksi Sosial
Berbicara mengenai syarat syarat terjadinya interaksi sosial, maka
suatu interaksi sosial tidak akan dapat terjadi apabila tidak memenuhi dua
syarat, yaitu :
1) Syarat terjadinya Interaksi Sosial adanya Kontak Sosial (Social
Contact)
Syarat terjadi interaksi sosial yang pertama adalah adanya
kontak sosial. Kontak sosial merupakan hubungan sosial yang terjadi
baik secara fisik maupun non fisik. Kontak sosial yang terjadi secara
fisik yaitu bertemunya individu secara langsung, sedangkan kontak
sosial yang terjadi secara non fisik yaitu pada percakapan yang
dilakukan tanpa bertemu langsung, misalnya berhubungan melalui
media elektronik seperti telepon, radio dan lain sebagainya.
Dalam interaksi sosial, kontak sosial juga dapat bersifat
positif atau negatif. Dalam hal ini, kontak sosial yang bersifat positif
mengarah pada suatu kerja sama, sedangkan kontak sosial yang
bersifat negatif mengarah pada suatu pertentangan atau bahkan sama
sekali tidak menghasilkan suatu interaksi sosial.
Dalam Interaksi Sosial, Kontak sosial dapat pula bersifat
primer dan sekunder. Kontak sosial primer terjadi apabila yang
mengadakan hubungan langsung bertemu dan berhadapam muka,
-
17
misalnya apabila orang-orang tersebut berjabat tangan, saling
senyum. Sebaliknya kontak sosial yang sekunder memerlukan suatu
perantara.
2) Syarat terjadinya Interaksi Sosial adanya Komunikasi
Syarat terjadinya interaksi sosial yang kedua adalah adanya
komunikasi. Komunikasi adalah memberikan tafsiran pada perilaku
orang lain (yang berwujud pembicaraan, gerak-gerak tubuh maupun
sikap), perasaan-perasaan apa yang ingin disampaikan oleh orang
tersebut. Individu yang bersangkutan kemudian memberikan reaksi
terhadap perasaan yang ingin disampaikan oleh individu lain
tersebut. Jadi komunikasi merupakan suatu proses dimana satu sama
lainnya saling mengerti maksud atau perasaan masing-masing, tanpa
mengerti maksud atau perasaan satu sama lainnya tidak dapat
dikatakan sebagai komunikasi.
Dari kedua syarat terjadinya interaksi sosial di atas, dapat
disimpulkan bahwa terjadinya interaksi sosial harus adanya kontak sosial
dan komunikasi. Jika salah satu syarat tidak dipenuhi, maka tidak dapat
dikatakan sebagai interaksi sosial. Adanya kontak sosial yang terjadi
tanpa adanya saling mengerti maksud atau perasaan masing-masing,
maka bukan merupakan proses interaksi sosial. Jadi disini Interaksi sosial
merupakan kontak sosial yang terjadi, dimana saling mengerti maksud
atau perasaan masing-masing.
c. Faktor-faktor Dasar Penyebab Interaksi Sosial
Faktor-faktor terjadinya interaksi sosial sosial sebagai berikut:
1) Faktor imitasi
Imitasi merupakan dorongan untuk meniru orang lain.
Menurut Tarde faktor imitasi ini merupakan satu-satunya faktor yang
mendasari atau melandasi interaksi sosial. Seperti yang dikemukakan
oleh Gerungan (1966:36), imitasi tidak berlangsung secara otomatis
melainkan dipengaruhi oleh sikap menerima dan mengagumi terhadap
apa yang diimitasi. Untuk mengadakan imitasi atau meniru ada faktor
-
18
psikologis lain yang berperan. Dengan kata lain imitasi tidak
berlangsung secara otomatis, tetapi ada faktor lain yang ikut berperan,
sehingga seseorang mengadakan imitasi. Bagaimana orang dapat
mengimitasi sesuatu kalau orang yang bersangkutan tidak mempunyai
sikap menerima terhadap apa yang diimitasi itu. Dengan demikian
untuk mengimitasi sesuatu perlu adanya sikap menerima, ada sikap
mengagumi terhadap apa yang diimitasi itu, karena itu imitasi tidak
berlangsung dengan sendirinya.
2) Faktor sugesti
Sugesti adalah pengaruh psikis yang diterima tanpa adanya kritik
Yang dimaksud dengan sugesti ialah pengaruh psikis, baik yang
datang dari diri sendiri, maupun yang datang dari orang lain, yang
pada umumnya diterima tanpa adanya kritik dari individu yang
bersangkutan. Karena itu segesti dapat dibedakan (1) auto sugesti,
yaitu sugesti terhadap diri sendiri, sugesti yang datang dari dalam diri
individu yang bersangkutan, dan (2) hetero sugesti, yaitu sugesti yang
datang dari orang lain. Misal sering seseorang merasa sakit-sakit saja,
walaupun secara obyektif yang bersangkutan dalam keadaan sehat-
sehat saja terapi karena auto-sugesti orang tersebut merasa tidak
dalam keadaan sehat, maka ia merasa tidak sehat.
3) Faktor identifikasi
Identifikasi adalah dorongan untuk menjadi identik (sama) dengan
orang lain. Identifikasi adalah suatu istilah yang dikemukakan oleh
Freud, seorang tokoh dalam psikologi dalam, khususnya dalam
psikoanalisis. Contoh anak-anak belajar norma-norma sosial dari hasil
identifikasinya terhadap orang tua mereka. Di dalam identifikasi anak
akan mengabil oper sikap-sikap ataupun norma-norma dari orang
tuanya yang dijadikan tempat identifikasi itu. Dalam proses
identifikasi ini seluruh norma-norma, cita-cita, sikap dan
sebagainyadari orang tua sedapat mungkin dijadikan norma-norma,
-
19
sikap-sikap dan sebagainya itu dari anak sendiri, dan anak
menggunakan hal tersebut dalam perilaku sehari-hari.
4) Faktor Simpati
Simpati merupakan perasaan tertarik kepada orang lain. Oleh karena
merupakan perasaan maka timbulnya atas dasar emosi. Dalam simpati
orang merasa tertarik pada orang lain yang seakan-akan berlangsung
dengan sendirinya, apa sebabnya tertarik sering tidak dapat
memberikan penjelasan lebih lanjut. Lawan dari simpati adalah
antipati yaitu merupakan penolakan atau bersifat negatif. Sedangkan
empati adalah kecenderungan untuk ikut merasakan segala sesuatu
yang sedang dirasakan orang lain (feeling with another person).
d. Bentuk-bentuk Interaksi Sosial
Bentuk-bentuk interaksi sosial dapat berupa kerja sama
(cooperation), persaingan (competition), dan bahkan dapat juga
berbentuk pertentangan atau pertikaian (conflict). Pertikaian mungkin
akan mendapatkan suatu penyelesaian, namun penyelesaian tersebut
hanya akan dapat diterima untuk sementara waktu, yang dinamakan
akomodasi. Ini berarti kedua belah pihak belum tentu puas sepenunya.
Suatu keadaan dapat dianggap sebagai bentuk keempat dari interaksi
sosial. Keempat bentuk poko dari interaksi sosial tersebut tidak perlu
merupakan suatu kontinuitas, di dalam arti bahwa interaksi itu dimulai
dengan kerja sama yang kemudian menjadi persaingan serta memuncak
menjadi pertikaian untuk akhirnya sampai pada akomodasi.
Gillin dan Gillin mengadakan penggolongan yang lebih luas lagi.
Menurut mereka, ada dua macam proses sosial yang timbul sebagai
akibat adanya interaksi sosial :
1) Proses-proses yang Asosiatif
a) Kerja Sama (Cooperation)
Suatu usaha bersama antara orang perorangan atau
kelompok manusia untuk mencapai suatu atau beberapa tujuan
bersama. Bentuk kerja sama tersebut berkembang apabila orang
-
20
dapat digerakan untuk mencapai suatu tujuan bersama dan harus
ada kesadaran bahwa tujuan tersebut di kemudian hari
mempunyai manfaat bagi semua. Juga harus ada iklim yang
menyenangkan dalam pembagian kerja serta balas jasa yang akan
diterima. Dalam perkembangan selanjutnya, keahlian-keahlian
tertentu diperlukan bagi mereka yang bekerja sama supaya
rencana kerja samanya dapat terlaksana dengan baik.Kerja sama
timbul karena orientasi orang-perorangan terhadap kelompoknya
(yaitu in-group-nya) dan kelompok lainya (yang merupakan out-
group-nya). Kerja sama akan bertambah kuat jika ada hal-hal
yang menyinggung anggota/perorangan lainnya.
b) Akomodasi (Accomodation)
Istilah Akomodasi dipergunakan dalam dua arti yaitu
menujuk pada suatu keadaan dan yntuk menujuk pada suatu
proses. Akomodasi menunjuk pada keadaan, adanya suatu
keseimbangan dalam interaksi antara orang-perorangan atau
kelompok-kelompok manusia dalam kaitannya dengan norma-
norma sosial dan nilai-nilai sosial yang berlaku dalam
masyarakat. Sebagai suatu proses akomodasi menunjuk pada
usaha-usaha manusia untuk meredakan suatu pertentangan yaitu
usaha-usaha manusia untuk mencapai kestabilan.
Menurut Gillin dan Gillin, akomodasi adalah suatu
perngertian yang digunakan oleh para sosiolog untuk
menggambarkan suatu proses dalam hubungan-hubungan sosial
yang sama artinya dengan adaptasi dalam biologi. Maksudnya,
sebagai suatu proses dimana orang atau kelompok manusia yang
mulanya saling bertentangan, mengadakan penyesuaian diri untuk
mengatasi ketegangan-ketegangan. Akomodasi merupakan suatu
cara untuk menyelesaikan pertentangan tanpa menghancurkan
pihak lawan sehingga lawan tidak kehilangan kepribadiannya.
-
21
Tujuan Akomodasi dapat berbeda-beda sesuai dengan
situasi yang dihadapinya, yaitu :
(1) Untuk mengurangi pertentangan antara orang atau kelompok
manusia sebagai akibat perbedaan paham
(2) Mencegah meledaknya suatu pertentangan untuk sementara
waktu atau secara temporer
(3) Memungkinkan terjadinya kerjasama antara kelompok sosial
yang hidupnya terpisah akibat faktor-faktor sosial psikologis
dan kebudayaan, seperti yang dijumpai pada masyarakat yang
mengenal sistem berkasta.
(4) mengusahakan peleburan antara kelompok sosial yang
terpisah.
c) Asimilasi (Assimilation)
Asimilasi merupakan proses sosial dalam taraf lanjut. Ia
ditandai dengan adanya usaha-usaha mengurangi perbedaan-
perbedaan yang terdapat antara orang-perorangan atau kelompok-
kelompok manusia dan juga meliputi usaha-usaha untuk
mempertinggi kesatuan tindak, sikap, dan proses-proses mental
dengan memerhatikan kepentingan dan tujuan bersama.
Faktor-faktor yang dapat mempermudah terjadinya suatu
asimilasi adalah :
(1) Toleransi
(2) Kesempatan-kesempatan yang seimbang di bidang ekonomi
(3) Sikap menghargai orang asing dan kebudayaannya
(4) Sikap tebuka dari golongan yang berkuasa dalam masyarakat
(5) Persamaan dalam unsur-unsur kebudayaan
(6) Perkawinan campuran (amaigamation)
(7) Adanya musuh bersama dari luar
Asimilasi menyebabkan perubahan-perubahan dalam
hubungan sosial dan dalam pola adat istiadat serta interaksi sosial.
Proses yang disebut terakhir biasa dinamakan akulturasi.
-
22
Perubahan-perubahan dalam pola adat istiadat dan interaksi sosial
kadangkala tidak terlalu penting dan menonjol.
2) Proses Disosiatif
Proses disosiatif sering disebut sebagai oppositional
proccesses, yang persis halnya dengan kerjasama, dapat ditemukan
pada setiap masyarakat, walaupun bentuk dan arahnya ditentukan
oleh kebudayaan dan sistem sosial masyarakat bersangkutan. Oposisi
dapat diartikan sebagai cara berjuang melawan seseorang atau
sekelompok manusia untuk mencapai tujuan tertentu. Pola-pola
oposisi tersebut dinamakan juga sebagai perjuangan untuk tetap
hidup (struggle for existence). Untuk kepentingan analisis ilmu
pengetahan, oposisi proses-proses yang disosiatif dibedkan dalam
tiga bentuk, yaitu:
a) Persaingan (Competition)
Persaingan atau competition dapat diartikan sebagai suatu
proses sosial dimana individu atau kelompok manusia yang
bersaing mencari keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan
yang pada suatu masa tertentu menjadi pusat perhatian umum
(baik perseorangan maupun kelompok manusia) dengan cara
menarik perhatian publik atau dengan mempertajam prasangka
yang telah ada tanpa mempergunakan ancaman atau kekerasan.
Persaingan mempunya dua tipe umum:
(1) Bersifat Pribadi : Individu, perorangan, bersaing dalam
memperoleh kedudukan. Tipe ini dinamakan rivalry.
(2) Bersifat Tidak Pribadi : Misalnya terjadi antara dua
perusahaan besar yang bersaing untuk mendapatkan
monopoli di suatu wilayah tertentu.
b) Kontraversi (Contravetion)
Kontravensi pada hakikatnya merupakan suatu bentuk
proses sosial yang berada antara persaingan dan pertentangan atau
pertikaian.
-
23
c) Pertentangan (Pertikaian atau conflict)
Pribadi maupun kelompok menydari adanya perbedaan-
perbedaan misalnya dalam ciri-ciri badaniyah, emosi, unsur-unsur
kebudayaan, pola-pola perilaku, dan seterusnya dengan pihak
lain. Ciri tersebut dapat mempertajam perbedaan yang ada hingga
menjadi suatu pertentangan atau pertikaian.
Faktor terjadinya pertentangan adalah :
(1) Perbedaan antara individu
(2) Perbedaan kebudayaan
(3) perbedaan kepentingan
(4) perubahan sosial.
3. Masyarakat Cirebon
Masyarakat Cirebon merupakan masyarakat pesisir yang sama
seperti halnya masyarakat pesisir di kota-kota lainya. Ciri khas dari
masyarakat pesisir adalah masyarakatnya yang beraneka ragam. Hal tersebut
terjadi karena biasanya masyarakat yang ada di kota pesisir adalah
pendatang, yang melakukan kegiatan dan hubungan dagang. Mereka datang
dari berbagai daerah baik lokal maupun internasional. Masyarakat yang
datang dari manca negara biasanya membentuk kampung-kampung sendiri
dan kampung tersebut pun diberi nama tersendiri berdasarakan negara-
negara masing-masing, daerah Cirebon memang ramai didatangi orang
Arab, Cina, dll (Depdikbud, 1998: 73). Contohnya Kampung Arab yang
penghuninya adalah orang-orang dari Arab, Kampung Pecinan yang
penghuninya adalah komunitas Cina, dll. Selain itu nama-nama kampung
juga di berikan berdasarkan profesi penghuninya. Misalnya Kauman adalah
tempat para orang yang berilmu atau para pemuka agama dan Ksatrian
adalah tempat tinggalnya para prajurit sedangkan Kademangan adalah
tempatnya para demang-demang kraton.
Cirebon juga terkenal dengan gaya bahasa masyarakatnya yang unik.
Bahasa yang di pakai orang-orang Cirebon adalah bahasa perpaduan antara
Jawa dan Sunda, yang melahirkan suatu gaya bahasa yang baru. Gaya
-
24
bahasa orang-orang Cirebon juga sering dikenal dengan “dialek
Cirebonan”. Selain dalam bidang komunikasi, perpaduan kebudayaan yang
kita lihat juga bukan hanya perpaduan antara Jawa dan Sunda saja, akan
tetapi pengaruh kebudayaan dari Cina dan Arab juga melengkapi
kebudayaan masyarat Cirebon. Hal di atas tercermin dalam lambang naga
yang menjadi khas kebudayaan Cina yang terdapat pada kereta pusakan,
motif hiasan panji dan batik yang bermotif mega. Arsitek bangunan masjid
mendapat pengaruh dari perpaduan antara Hindu dan Islam.
Sejak awal berdirinya, kota pelabuhan Cirebon menduduki posisi
yang sentral. Selanjutnya desa ini berkembang menjadi kota dengan nama
Cirebon yang sebelumnya bernama Lemahwungkuk yang menjadi pusat
kerajaan Cirebon. Pada zaman VOC kota Cirebon menjadi pusat perniagaan
Belanda di daerah antara Batavia dan Jepara. Kemudian pada zaman hindia
Belanda, Cirebon berkedudukan sebagai ibukota karesidenan, ibukota
kabupaten, dan sekaligus sebagai ibukota distrik. Bahkan pada tahun 1906
kota Cirebon dijadikan sebagai gementee (kotamadya).
a. Letak Geografis dan Asal Nama Cirebon
Kota Cirebon secara administratif termasuk wilayah Propinsi
Daerah Tingkat 1 Jawa Barat. kota Cirebon berada di bagian timur Jawa
Barat, tepatnya di pantai Laut Jawa. Kotamadya Cirebon sebelah barat
berbatasan dengan Banjir Kanal, Kabupaten Daerah Tingkat II Cirebon,
sebelah utara/barat laut berbatasan dengan Kabupaten Daerah Tingkat II
Indramayu, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Daerah
Tingkat II Kuningan, dan sebelah timur berbatasan dengan Laut Jawa dan
Kabupaten Brebes, Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Tengah.
Kota Cirebon terletak pada lintang 108º 35 BT dan 9º 30 LS.
Curah hujan rata-rata 1.963 mm/tahun, kelembaban udara mencapai
angka tertinggi pada bulan Mei yaitu 94% dan tercatat jatuh pada bulan
Juni, Juli, dan Agustus yaitu 48% iklim pada umumnya bersifat tropis
dengan temperatur nasional terjadi bulan September sampai Oktober
mencapai 32,5º C dan temperatur terendah pada bulan Juni sampai bulan
-
25
Juli mencapai 24º C sehingga suhu rata-rata 27º C evalasi sangat landai
dengan ketinggian tanah rata-rata kurang lebih 5 m di atas permukaan
laut.
Kota Cirebon menghubungkan daerah-daerah di Jawa Tengah dan
Jawa Timur. Ia juga menghubungkan Jawa Barat dengan Jakarta. Dengan
letak geografis yang strategis, tidak mengherankan apabila kota Cirebon
tumbuh dan berkembang sebagai kota pelabuhan, perdagangan, industri,
dan budaya pariwisata di Jawa Barat (Adeng: 9).
Berita tentang nama Cirebon menurut sumber Portugis yaitu
berita dari Tome Pires yang menyebut Cirebon dengan „Chorobon‟.
Menurut catatan Pires, Cirebon adalah sebuah pelabuhan yang indah dan
selalu ada empat sampai lima kapal yang berlabuh di sana. Menurut
sumber dari Belanda yang berkurun waktu abad 16 M awal, Cirebon
disebut sebagai „Charabaon‟, sedangkan dari sumber yang lebih muda
disebutnya dengan „Cheribon‟, atau Tjerbon (Adeng: 11).
Sedangkan menurut naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, yang
disusun oleh Pangeran Arya Carbon pada 1720 M, istilah Cirebon
asalnya dari kata „Caruban‟, kemudian „Carbon‟, dan akhirnya Cirebon.
Caruban berarti campuran, karena tempat itu (Cirebon) dahulunya
didiami oleh penduduk dari berbagai bangsa, agama, bahasa, dan tulisan
mereka menurut bawaannya masing-masing serta pekerjaan mereka
berlainan. Sedangkan, Carbon menurut para wali disebut „puser jagat‟
karena negara yang terletak di tengah-tengah pulau Jawa. Cirebon oleh
penduduk setempat disebut „Nagari Gede‟, lama kelamaan diucapkan
oleh orang kebanyakan menjadi „Garege‟, dan selanjutnya menjadi
Grage. Menurut orang tua setempat, ada yang memberi keterangan
bahwa kata „Grage‟ itu berasal dari „glagi‟, yaitu nama udang kering
untuk bahan membuat terasi. Istilah Cirebon secara kiratabasa
(Volksetymologi) berasal dari „Ci-rebon‟. Ci, bahasa Sunda berarti air
dan rebon, sejenis udang kecil, yang merupakan bahan untuk membuat
-
26
terasi. Jika dihubungkan dengan kenyataan, bahwa Cirebon dari dahulu
hingga sekarang ini merupakan penghasil udang dan terasi.
b. Gambaran Umun Cirebon Masa lalu
Kota Cirebon merupakan kota pantai yang terletak di ujung timur
pantai utara Jawa Barat. Pada zaman Hindu, Cirebon berada di bawah
kekuasaan kerajaan Galuh. Dibandingkan dengan pelabuhan-pelabuhan
lain di sekitarnay seperti Muarajati, Singapura dan Indramayu, Cirebon
yang baru berdiri yaitu pada masa akhir kerajaan Galuh justru dapat
berkembang dengan pesat mengalahkan pelabuhan lainnya terutama pada
masa awal berkembangnya agama Islam. Bahkan akhirnya pelabuhan-
pelabuhan yang lain mati kecuali Indramayu, sedangkan Cirebon
berkembang menjadi pelabuhan besar.
Masa awal perkembangan kota Cirebon mencakup periode awal
berdirinya sampai pada masa datangnya pengaruh kerajaan-kerajaan
pedalaman di Jawa Tengah. Pada periode ini kota Cirebon tumbuh
sebagai pusat pelayaran dan perdagangan.
Pada periode ini pedagang Islam menduduki posisi yang sentral di
kota Cirebon, bukan hanya di bidang ekonomi, tetapi juga di bidang
lainnya termasuk bidang politik. Di mana para saudagar Islam ini
berkuasa, para ulama dan pedagangnya Islam memperoleh martabat yang
tinggi.
Banyak peperangan yang dilakukan oleh Cirebon terhadap daerah
pedalaman seperti Galuh pada tahun 1528, Telaga tahun 1530, Babadan,
Luragung, Kuningan, Indramayu, dan Krawang. Peperanga ini dilakukan
dalam upaya memperbesar hegemoni Cirebon dibidang perdagangan dan
pelayaran melihat daerah yang dikuasainya adalah daerah penghasil
komoditi yang besar terutama beras. Pada pertengahan abad XVI di Jawa
Tengah muncul kerajaan Pajang yang menjadi cikal bakal kerajaan
Mataram. Mataram yang menganggap dirinya sebagai pewaris kerajaan
Majapahit berusaha memasukkan penguasa-penguasa daerah pesisir di
bawah genggamannya. Namun, kemudian setelah gagalnya Sultan agung
-
27
dalam invasi ke Batavia mengusir VOC gagal, Cirebon akhirnya mau
tidak mau harus tunduk di bawah kekuasaan kerajaan Mataram.
Hal ini menyebabkan terjadinya pergeseran-pergeseran dalam
orientasi kehidupan politik maupun ekonomi kerajaan Cirebon. Keraton
Cirebon semakin tenggelam dalam maslah politik dengan kerajaan
pedalaman, sedangkan di bidang perdagangan, VOC mulai menanamkan
dominasinya di pelabuhan Cirebon. Pada saat ini terjadilah proses
feodalisasi kerajaan pesisir di Jawa.
Ketika Cirebon mulai sibuk dengan masalah-masalah dengan
kerajaan-kerajaan pedalaman, VOC mulai menanamkan dominasinya di
Cirebon pada tahun 1681. Perjanjian yang dilakukan Cirebon dengan
VOC pada tanggal 7 Januari 1681 membolehkan VOC memonopoli
impor pakaian, kapas, opium, dan monopoli ekspor seperti lada, kayu,
gula, beras, dan produk yang lainnya yang dikehendaki oleh VOC
(Zuhdi: 121-124). Dengan adanya perjanjian tersebut, secara tidak
langsung Cirebon telah berada dalam kekuasaan Kompeni. Dala situasi
seperti ini, kesultanan semakin berorientasi kedalam dengan
mengembangkan kehidupan budaya dan ritual-ritual keraton. Sehingga
kota Cirebon terbagi menjadi dua yaitu kota Cirebon yang berpusat di
kraton sebagai pusat upacara-upacara keraton di adakan dan pusat bisnis
baru di sekitar pelabuhan yang pusatnya di benteng VOC. Dengan
munculnya pusat bisnis baru ini, maka kota Cirebon lama yang berpusat
di kraton semakin jauh dari aktivitas ekonomi perdagangan.
Setelah VOC bubar pada tahun 1799, kekuasaan politik Cirebon
beralih ke perintahan Hindia Belanda. Pada tahun 1906, kota Cirebon
ditetapkan oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai gementee atau
kotamadya dengan nama gementee Cirebon. Sejalan dengan pesatnya
gementee ini, akhirnya pemerintah pusat menetapkan untuk memberikan
otonomi yang lebih kepada gementee. Gementee ini di berikan kebebasan
untuk mengatur keuangan, sarana-sarana sosial seperti jalan, taman,
-
28
pasar, makam, dan sebagainya. Selain itu, gementee juga di beri
kewenangan untuk menentukan batas-batas kota.
c. Struktur Masyarakat Cirebon
Penggolongan masyarakat kota pada zaman pertumbuhan dan
perkembangan Kerajaan Islam di Cirebon abad ke-17 dapat dibagi tiga
golongan, (Adeng, dkk: 41) yaitu:
1) Golongan Atas
Golongan yang termasuk dalam golongan atas adalah para
kaum bangsawan tingkat atas, elit birokrasi (tradisional) dan elit
agama. Gelar raja pada awal mula perkembangan Islam masih tetap
dipergunakan, tetapi kemudian diganti dengan gelar sultan akibat
pengaruh Islam. Selain gelar sultan, terdapat juga Adipati, Senapati,
Pangeran, dan Panembahan.
Dalam Kerajaan Islam Cirebon, gelar Susuhunan Jati hanya
boleh dipakai oleh Sunan gunung Jati. Gelar Sunan, Tumenggung,
Panetep Panata Sama Rasul juga hanya boleh dipakai oleh Sunan
gunung Jati. Orang yang menjadi pemimpin Cirebon kemudian
diberi gelar Sultan atau Penembahan Ratu.
Kemudian menurut tradisi keraton, sebagai pengganti raja
ditetapkan putera laki-laki tertua atau satu-satunya putera laki-laki
dari raja dengan permaisuri (garwa padmi). Apabila permaisuri tidak
mempunyai putera laki-laki, maka putera laki-laki, maka putera laki-
laki tertua dari selir (garwa ampeyan) dapat di angkat saudara laki-
laki dari raja, paman, atau saudara tua dari ayah raja sebagai
pengganti. Penyimpangan dapat terjadi apabila calon yang berhak,
tidak memenuhi syarat sebagai raja (Adeng, dkk: 42).
Pergantian raja di Cirebon untuk pengganti Sunan gunung
Jati dipilih oleh Sunan sendiri. Dalam memilih penggantinya Sunan
sangat selektif, bukan hanya pengetahuannya yang dibutuhkan tetapi
seorang Sultan juga harus bijaksana. Bisa memimpin rakyat dengan
baik dan membawa kemajuan bagi kerajaan.
-
29
Hubungan antara raja dengan rakyat terbatas karena
tergantung pada peraturan adat istiadat dan kehendak raja. Begitu
pula keluarga raja yang tinggal di kompleks keraton tidak mudah
untuk berhubungan dengan rakyat dan orang-orang sekitar keraton.
Benteng yang mengelilingi kompleks keraton adalah pemisah antara
raja dengan lapisan masyarakat kerajaan.
2) Golongan Menengah
Golongan ini adalah golongan bangsawan tingkat menengah,
yang terdiri atas pegawai kerajaan tingkat menengah, pemuka
agama, syahbandar, dan lain-lain.
Syahbandar di Cirebon bukan hanya orang-orang pribumi
saja, tetapi ada juga orang Belanda. Dijadikannya sebagai
syahbandar karena mereka mempunyai pengetahuan dan pengalaman
mengenai perdagangan dan hubungan internasional, karena fungsi
dari syahbandar tidak sebatas pada masalah hubungan dengan orang-
orang asing.
3) Golongan Bawah
Golongan ini adalah mayarakat biasa atau masyarakat kecil
yang bekerja sebagai petani, pedagang tukang, nelayan, dan lainnya.
Kerajaan Cirebon yang letaknya di tepi pantai, tetapi sebagian besar
wilayahnya berada di pedalaman, jadi masyarakat Cirebon bukan
hanya merupakan kerajaan maritim, tetapi juga merupakan kerajaan
agraris (Adeng, dkk: 43).
Masyarakat Cirebon golongan bawah juga bermata
pencaharian sebagai menanam padi, kopi, tembakau, dan sebagainya.
Golongan ini merupakan tulang punggung bagi kehidupan
perekonomian Kerajaan Cirebon. Tanpa adanya masyarakat kecil
yang menjadi tukang, kemungkinan perekonomian akan berjalan
lancar. Oleh karena itu, Golongan bawah menjadi tulang punggung
bagi kehidupan perekonomian Kerajaan Cirebon.
-
30
d. Kondisi Sosial Masyarakat Cirebon
Masyarakat Jawa tradisional terklasifikasikan secara umum
menjadi beberapa golongan sebagai berikut, pertama, kelompok
penduduk desa inti yang disebut dengan sikep, baku, gogol atau pribumi.
Penduduk desa inti bermukim di suatu tempat sejak secara turun
temurun, memiliki tanah, rumah dan halaman, dan juga pekarangan
sempit untuk tanaman kebutuhan dapur atau kebun buah-buahan,
mempunyai kewajiban penuh sebagai warga desa terutama dalam
pelaksanaan pekerjaan perbaikan dan pemeliharaan komunal. Kedua,
Kelompok penduduk yang disebut dengan indung, hanya memiliki
sebidang tanah pertanian atau rumah halaman dan halaman, namun
mereka tidak memiliki keduanya (hanya salah satu), serta mempunyai
hak kewajiban komunal yang terbatas. Ketiga, yaitu kelompok penduduk
yang disebut dengan wuwungan, nusup, tlosor atau bujang. Mereka tidak
memiliki baik itu tanah pertanian maupun rumah dan halaman, namun
bertempat tinggal di halaman orang lain, dan bekerja sebagai penyewa
atau petani bagi hasil, atau bahkan mereka hidup menumpang dan
bekerja untuk pemilik rumah di mana dia tinggal.
Di dalam masyarakat pedesaan di Cirebon kekuasaan tertinggi
terletak pada peran kuwu, tugas kuwu tersebut adalah mengatur kerja
wajib secara bergiliran serta mengatur kehidupan sehari-hari di desa
dengan dibantu oleh beberapa aparat pemerintahan desa lainnya. Para
pejabat desa tersebut di antaranya adalah reksa bumi yang mempunyai
tugas menjaga batas desa, ngabehi dan ngalambang yang merupakan dua
orang wakil kuwu dalam menjalankan roda pemerintahan desa sehari-
hari, cap gawe tugasnya adalah mengatur hampir semua urusan desa yang
paling pokok di antaranya adalah urusan mengumpulkan masyarakat
desa, kabayan atau jurutulis desa, dan lebe yaitu ulama.
Kedudukan seorang kuwu dan bawahannya adalah bagian dari
priyayi (yayi = adik raja), yang merupakan penghubung antara pihak
kerajaan dengan rakyat (wong cilik). Kaum elit kerajaan dan priyayi
-
31
tersebut dibedakan statusnya dari rakyat biasa karena mereka dapat
menikmati hasil tanah tanpa harus mengerjakannya sendiri.
Selain adanya penguasa lokal yaitu para elit desa (priyayi), maka
di Keresidenan Cirebon terdapat pula gologan yang “dikuasai” yaitu
masyarakat desa tradisional yang terikat dalam suatu sistem yang
dinamakan cacah. Cacah merupakan suatu ikatan hubungan
ketergantungan antara keluarga petani pemilik dengan keluarga petani
yang tidak memiliki tanah. Tanpa banyak mengadakan perubahan sistem
dalam struktur tradisional, sistem cacah tersebut merupakan sistem
pengerahan tenaga kerja yang tetap dipertahankan oleh pemerintah. Di
dalam sistem cacah tersebut ternyata terdapat perbedaan kelas antar-
kaum petani yang didasarkan atas cara-cara petani tersebut menguasai
tanah.
Petani penguasa tanah disebut sikep yang merupakan kelas petani
penanggung beban atas tanah. Seorang sikep maksimal dapat menguasai
sekitar 22 cacah yang tidak memiliki tanah.
Selain sikep ada pula golongan tangkong yang merupakan
penduduk desa pemilik rumah dan pekarangan namun tidak memiliki
tanah kasikepan, dan mereka tidak mempunyai kewajiban dalam
melakukan kerja wajib yang menyangkut pertanian namun mereka tetap
mempunyai kewajiban untuk melakukan kerja wajib yang berkaitan
dengan kepentingan desa. Tangkong dapat disebut pula sebagai sikep
nomor dua. Istilah tersebut dapat pula berarti bahwa tangkong belum
sepenuhnya menjadi sikep. Di Cirebon Tangkong merupakan calon
utama pemegang hak atas tanah komunal apabila suatu ketika ada
pembagian tanah tersebut. Linck, menyebutkan bahwa setiap patok kecil
yang mereka terima dalam tanah komunal merupakan panjar untuk patok
komunal seutuhnya. Namun setelah terjadinya perombakan agraria di
Cirebon pada permulaan abad ke-20, maka fasilitas pembagian tanah
komunal seperti itu tidak terjadi lagi.
-
32
Oleh karena itu, pada saat itu para tangkong pun tidak lagi
mendapat kesempatan untuk memperbaiki status sosialnya untuk mejadi
sikep penuh.
Sikep mempunyai lapisan sosial yang berada di bawahnya yaitu
wuwungan atau yang disebut juga dengan bujang apabila belum
menikah. Biasanya mereka tinggal di dalam lingkungan keluarga sikep,
dan segala kebutuhan hidupnya menjadi kewajiban sikep. Sebagai
balasan atas perlindungan yang diperolehnya itu, biasanya kelompok
wuwungan akan dimanfaatkan tenaganya oleh sikep untuk melakukan
pengolahan tanah miliknya. Petani-petani wuwungan tidak mempunyai
kewajiban-kewajiban seperti pajak atau kerja wajib terhadap negara
melainkan hanya bekerja untuk sikep-nya. Terkadang sikep
menggunakan mereka untuk melakukan kerja wajib bagi pemerintah
kolonial Hindia Belanda, sebab semua kewajiban terhadap pemerintah
kolonial Hindia Belanda seperti pajak dan kerja wajib dibebankan kepada
kaum tani penguasa tanah.
Lapisan wuwungan terbagi menjadi dua macam yaitu pemaro dan
tani hamba, perbedaan di antara keduanya terletak pada kemandirian.
Petani pemaro mempunyai rumah sendiri walaupun biasanya berada di
lingkungan petani pemilik tanah, sedangkan petani hamba tinggal di
dalam rumah induk semangnya dan tetap bekerja sebagai orang suruhan.
Status petani bertanah dan tidak bertanah tersebut merupakan gambaran
dari hubungan “penghambaan” yang di masing-masing daerah
mempunyai sebutan yang beragam. Selain itu juga ada kemungkinan
sebutan-sebutan tersebut didasarkan atas status perkawinan mereka, yang
mana para anak-anak muda yang belum menikah (bujang) memulai
pekerjaan mereka dengan menjadi hamba sebelum menjadi wuwungan
(setelah menikah) pada keluarga (sikep) yang sama maupun yang lain.
Seorang sikep yang berpindah tempat tinggal ke suatu wilayah
baru karena alasan terbelit hutang ataupun masalah yang lain, dapat saja
menyerahkan jasanya sebagai wuwungan di tempat barunya tersebut.
-
33
Namun sebaliknya apabila seorang wuwungan berhasil mengumpulkan
modal dan membuka tanah di lahan baru dapat mengangkat dirinya
menjadi sikep dan bahkan dapat membangun cacah-nya sendiri. Selain
itu dapat dimungkinkan juga terjadinya mobilitas vertikal yang mungkin
dialami oleh wuwungan melalui jalan adopsi atau perkawinan sehingga
wuwungan menjadi golongan sikep.
Di samping berstatus sikep, mereka juga umumnya merupakan
cikal-bakal desa. Dalam kedudukan seperti itu mereka berhak dipilih
menjadi kuwu atau duduk di dalam pemerintahan desa. Kedudukan-
kedudukan seperti itu memiliki banyak keuntungan, yaitu dengan adanya
fasilitas tanah bengkok yang merupakan tanah gaji pejabat desa seluas
lima hektar untuk kuwu dan sekitar dua hektar untuk aparat desa yang
lainnya. Di samping adanya persentase Sistem Tanam Paksa dan hak
kerja wajib untuk tanah gaji mereka. Sementara itu pejabat-pejabat desa
merupakan pihak-pihak yang paling aktif dalam melakukan penguasaan
atas tanah dan kerja wajib bagi desa. Karena tanah yang dimiliki oleh
desa biasanya merupakan tanah yang memiliki kualitas terbaik, terlebih
apabila tanah tersebut merupakan tanah bengkok (tanah gaji).
Tekanan atas tanah dan tenaga kerja di Cirebon pada masa
pemberlakuan Sistem Tanam Paksa telah mengakibatkan perubahan-
perubahan yang terjadi atas posisi petani. Istilah petani sikep dalam arti
penduduk desa dengan hak atas tanah telah hilang dari lingkungan desa
dan bertransformasi menjadi kuli (coolie) sebuah istilah yang berarti
pekerja tanpa keahlian. Hal itu disebabkan karena semua penduduk desa
dengan hak-hak tanah diwajibkan untuk melakukan kerja wajib tanpa
kecuali. Transformasi tersebut merupakan gambaran peralihan orientasi
petani tradisonal dari pertanian sawah menjadi petani tanaman ekspor
pada masa Sistem Tanam Paksa dan akhirnya menjadi seorang kuli
industri setelah kehilangan tanah mereka.
Pada permulaan abad ke-20, ciri penting masyarakat tani di Jawa
yang terbagi ke dalam kelas-kelas yang didasarkan pada kepemilikan
-
34
tanah tetap berlaku di pedesaan. Masyarakat itu pada hakikatnya terbagi
menjadi dua golongan. Golongan pertama, yaitu golongan manyarakat
desa yang memiliki kesempatan untuk menjadi pemegang hak
penggarapan tanah komunal. Golongan itu umumnya disebut sebagai
sikep, kuli kenceng, kuli kendo, dan sebagainya. Golongan kedua yaitu
golongan yang tidak mempunyai hak apapun atas tanah. Umumnya
mereka itu disebut dengan wuwungan, bujang, tlosor, dan sebagainya.
B. Kajian Penelitian yang Relevan
1. Hambali. 2001. KONSEPSI TENTANG MASYARAKAT ISLAM
(Studi atas pemikiran Yusuf Al-Qardhawi). Skripsi, Program Studi
Perbandingan Agama, Fakultas Ushuludin, UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta.
Banyak aspek dari agama Islam yang saat ini perlu ditinjau
kembali, tetapi disini ada satu aspek yang perlu dan mendesak untuk
ditinjau ulang, yaitu mengenai masyarakat Islam. Kenyataan yang terjadi
saat sekarang ini adalah adanya berbagai gambaran yang tidak benar
mengenai potret masyarakat Islam. Adanya berbagai penelitian yang
dilakukan, baik oleh kalangan Barat maupun keuarga Muslim pada
masyarakat Islam telah memberikan gambaran yang buruk pada citra
masyarakat Islam yang diteliti. Hal ini dikarenakan para peneliti hanya
melihat masyarakat Islam hanya kulit luarnya saja dengan berpedoman
pada pendekatan sosiologis maupun antropologis dan melupakan atau
mengabaikan sisi-sisi yang paling mendasar yang ada dalam masyarakat
Islam.
Berdasarkan permasalahan diatas, penelitian ini ingin mencoba
mendeskripsikan tentang konsepsi masyarakat Islam yang dilontarkan oleh
Yusuf al-Qardhawi. Pemikiran al-Qardhawi mengenai permasalahan diatas
yang menjadi inti penulisan skripsi ini. Dalam penyusunan skripsi ini,
data-data yang disajikan merupakan hasil dari pemikiran al-Qardhawi
yang diperoleh dengan cara menyelidiki, menganalisis dan mengklasifikasi
-
35
pemikiran dan juga membandingkannya dengan pemikiran-pemikiran
yang lain serta pendekatan sosiologi pendektan agama yang digunakan
untuk mendekati data-data tersebut. Penelitian ini pada intinya ingin
memperoleh sebuah konsepsi tentang masyarakat Islam yang ada dalam
pemikiran al-Qardhawi. Dengan dua persoalan yang dimunculkan, yaitu:
pertama mengenai konstruksi masyarakat Islam dan kedua, mengenai
karakteristik masyarakat Islam yang ideal menurut al-Qardhawi. Dua
persoalan inilah yang akan menjadi pokok pembahasan dalam skripsi ini.
Adapun konsepsi tentang masyarakat Islam yang diuraikan oleh al-
Qhardawi merupakan bentuk masyarakat Islam yang seimbang dengan
karakteristiknya yang khas. Dengan berlandaskan argumen yang didukung
dalil-dalil aqli dan naqli, al-Qardhawi berusaha meluruskan persepsi
mengenai masyarakay Islam yang selama ini dinilai dan digambarkan
kebanyakan orang secara sepihak. Dengan berpedoman pada pemikiran
aliran pertengahan (moderat) al-Qardhawi ingin menunjukan bahwa
masyarakat yang dibangun oleh Islam bukanlah suatu masyarakat yang
autopis, tetapi suatu masyarakat yang realistis, sejalan dengan tuntutan
zaman dan tidak mengabaikan sendi-sendi ajaran Islam yang mendasar,
karena masyarakat Islam adalah masyarakat yang maju dan menyintai
kemajuan dalam arti kemajuan yang utuh, rohani dan jasmani, moral dan
bangunan pisik, dunia dan akhirat, ilmiah dan imaniah, dan tidak ada
pertentangan diantara semua ini melainkan keseimbangan dan keserasian
yang saling menopang. Jika semua itu bisa diwujudkan, maka cita-cita
untuk mewujudkan Baldatun Thoyyibatun wa Rabbun Ghofur (Negeri
Aman Sentosa dan Penuh Ampunan Tuhan) bisa tercapai.
Sumber: http://digilib.uin-suka.ac.id/9603/ (Diunduh tanggal
23/10/2014 pukul: 15.31)
Penelitian skripsi ini termasuk dalam penelitian studi kepustakaan
dan merupakan dara historis kualitatif. Adapun pendekatan yang
digunakan dalam penelitian ini pendekatan sosiologis, yang dalam hal ini
sosiologi agama. Dalam penelitian ini membahas tentang konsep
http://digilib.uin-suka.ac.id/9603/
-
36
masyarakat Islam yang dilontarkan oleh Yusuf al-Qardhawi. Berkaitan
dengan penelitian yang saya teliti yaitu meneliti tentang masyarakat, yang
mana Hambali meneliti tentang konsepsi masyarakat Islam brdasarkan
pada pemikiran Yusuf Al-Qardhawi, sedangkan peneliti disini meneliti
tetang kehidupan sosial masyarakat Cirebon berdasarkan pada pemikiran
Sunan Gunung Jati.
2. Darkum. 2007. PERANAN PANGERAN WALANG SUNGSANG
DALAM MERINTIS KESULTANAN CIREBON 1445 - 1529 M.
Skripsi, Program Studi Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial,
Universitas Negeri Semarang.
Penulis tertarik untuk mengkaji Peranan Pangeran
Walangsungsang Dalam Merintis Kesultanana Cirebon 1445-1529 M,
dikarenakan kesultanan Cirebon merupakan salah satu kerajaan Islam di
Pulau Jawa yang sampai saat sekarang ini masih eksis diperintah oleh
Sultan-sultan penerus.Walaupun sultan sudah tidak mempunyai kekuasaan
untuk memerintah secara mutlak masyarakat Cirebon. Sultan hanya
berfungsi sebagai penanggung jawab dan pelaksana adat saja. kesultanan
Cirebon pernah menjadi suatu Negeri berdaulat yang diakui oleh kerajaan-
kerajaan lain, baik kerajaan di Nusantara, maupun kerajaan dari
Mancanegara. Terbentuknya Kesultanan Cirebon tidak terlepas dari peran
pangeran Walangsungsang yang mampu memberdayakan daerah Cirebon,
baik dari segi ekonomi, sosial, maupun politik, sehingga menjadi salah
satu kesultanan besar di Nusantara.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peranan yang
dilakukan pangeran Walangsungsang, dalam upaya awal merintis serta
membentuk satu kerajaan Islam yang mampu berdaulat. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode historis atau metode sejarah.
Langkah-langkah dalam metode sejarah atau historis terbagi dalam empat
langkah yaitu, heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi.
Sedangkan tekhnik pengumpulan data yang digunakan adalah pengamatan
atau observasi, dan studi pustaka. Manfaat dari penelitian ini adalah,
-
37
secara teoritik memberikan penjelasan tentang perananperanan pangeran
Walangsungsang dalam merintis kesultanan Cirebon, mengungkap kan
fakta tentang usaha-usaha yang dilakukanya dalam merintis kesultanan
Cirebon, serta usahanya dalam menyiarkan agama Islam di daerah
Cirebon. Secara praktis manfaat yang diperoleh adalah, dapat dijadikan
sebagai pertimbangan, pemikiran, dan perbandingan dalam penelitian
selanjutnya, serta dapat memberikan pengetahuan baru dalam khasanah
sejarah lokal dan nasional mengenai proses Islamisasi dan terbentuknya
kesultanan Cirebon, baik terhadap pengajaran sejarah, maupun masyarakat
luas.
Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pangeran
Walangsungsang merupakan putra dari prabu Jaya Dewata yang bergelar
Sri Baduga Maharaja, penguasa dari kerajaan sunda pakuan Pajajaran.
Pangeran Walangsungsang terlahir dari seorang ibu yang bernama
Subanglarang. Beliau mempunyai dua saudara kandung yang bernama
Rara Santang dan raja Sengara. Peranan awal yang dilakukan oleh
pangeran Walangsungsang dalam mengembangkan daerah Cirebon yakni
pada saat beliau menjabat sebagai Pangraksa bumi. Beliau berhasil
mengembangkan ekonomi masyarakatnya dengan pemberdayaan hasil
laut, khususnya Rebon / Udang kecil menjadi terasi dan petis yang
mrupakan komoditas perdagangan yang banyak diminati oleh masyarakat
skitar Cirebon pada saat itu. Dalam bidang agama pangeran
walangsungsang berhasil menyiarkan agama Islam kepada penduduk
Cirebon dan sekitarnya, sehingga daerah Cirebon mampu menjadi salah
satu daerah pusat penyiaran agama Islam di tanah Jawa, khususnya daerah
tatar Pasundan / jawa Barat sekarang ini. Dalam proses syiar Islamnya
beliau menggunakan Istana Pakungwati menjadi tempat untuk
mengajarkan agama Islam kepada Santrinya. Disamping itu beliau
mendirikan mesjid yang diberi nama Mesjid Pejalagrahan, untuk kaum
muslim daerah Cirebon beribadat. Mesjid yang dibangun pangeran
Walangsungsang ini merupakan Mesjid pertama di daerah Cirebon.
-
38
Sumber:http://www.pustakaskripsi.com/perananpangeranwalangsu
ngsang-dalam-merintis-kesultanan-cirebon-1445-1529m-5632.html
(Diunduh tanggal 23/10/2014 pukul 13.13)
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
historis atau metode sejarah. Sedangkan tekhnik pengumpulan data yang
digunakan adalah pengamatan atau observasi, dan studi pustaka. Berkaitan
dengan penelitian skripsi yang peneliti teliti yaitu tetang penyebaran
agama Islam ditanah pasundan termasuk Cirebon dan merintis kesultanan
Cirebon yang mana Sunan gunung Jati berperan penting dalam penyebaran
agama Islam di tanah pasundan termasuk Cirebon dan juga dalam sejarah
membangun Cirebon. Sunan Gunung Jati juga merupakan salah satu
pemimpin yang memimpin kesultanan Cirebon.
C. Kerangka Pikir
Sunan Gunung Jati merupakan salah satu walisongo yang pernah
memimpin dan menyebarkan agama Islam di Jawa Barat dan Banten termasuk
Cirebon. Petatah-petitih dan ajarannya membawa pengaruh besar terhadap
perkembangan kehidupan sosial masyarakat Cirebon. Dengan masuknya
modernisasi dan westernisasi yang menjadikan kota Cirebon sebagai kota
besar dan memungkinkan masyarakat menjadi individualis.
Oleh karena itu, kerangka pemikiran yang saya angkat dalam proposal
penelitian ini ialah pemikiran Sunan Gunung Jati terhadap perkembangan
kehidupan sosial masyarakat Cirebon.
http://www.pustakaskripsi.com/perananpangeranwalangsungsang-dalam-merintis-kesultanan-cirebon-1445-1529m-5632.htmlhttp://www.pustakaskripsi.com/perananpangeranwalangsungsang-dalam-merintis-kesultanan-cirebon-1445-1529m-5632.htmlhttp://www.pustakaskripsi.com/perananpangeranwalangsungsang-dalam-merintis-kesultanan-cirebon-1445-1529m-5632.html
-
39
Gambar I. Alur Pikir Penelitian
Catatan :
Pokok-pokok pemikiran Sunan Gunung Jati sangat kompleks sekali dan
mengandung banyak nilai didalamnya. Nilai-nilai yang terkandung dalam
pokok pemikiran beliau yaitu meliputi ketaqwaan dan keyakinan,
kedisiplinan, kearifan dan kebijakan, kesopanan dan tata krama serta
kehidupan sosial. Melalui pokok pemikiran beliau yang begitu kompleks
dan mengandung banyak nilai, kontribusi pemikiran beliau terhadap
kehidupan sosial sangat besar sekali. Pokok pemikiran beliau sangat
banyak, tetapi yang akan diteliti oleh penulis dalam penelitian skripsi ini
ialah pokok pemikiran beliau yang berbunyi “Ingsung titip tajug lan fakir
miskin”. Karena dari pokok pemikiran beliau tersebut terdapat makna
yang sangat luas sekali. Pokok pemikiran tersebut terdapat dua subjek
yaitu tajug dan fakir miskin. Yang mana dua subjek tersebut sangat erat
sekali hubungannya dengan kehidupan sosial terutama kehidupan sosial
masyarakat Cirebon di era sekarang.
Ketaqwaan & Keyakinan
Kedisiplinan
Kearifan & Kebijakan
Kesopanan & Tata krama
Kehidupan Sosial
Kehidupan Sosial
Masyarakat Cirebon
Dimasa Sekarang
Pokok-Pokok Pemikiran
Sunan Gunung Jati