bab ii landasan teori 2.1. bullying 2.1.1. pengertian...
TRANSCRIPT
13
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Bullying
2.1.1. Pengertian Bullying
Istilah bullying diilhami dari kata bull (bahasa inggris) yang berarti “banteng”
yang suka menanduk, pihak pelaku bullying biasa disebut bully. Bullying adalah
sebuah situasi dimana terjadinya penyalahgunaan kekuatan/kekuasaan yang dilakukan
oleh seseorang atau sekelompok. Pihak yang kuat disini tidak berarti kuat dalam
ukuran fisik, tetapi juga kuat secara psikologis. Dalam hal ini sang korban tidak
mampu membela atau mempertahankan dirinya karena lemah secara fisik maupun
psikologis. Yang perlu dan sangat penting kita perhatikan adalah bukan sekedar
tindakan yang dilakukan, tetapi dampak tindakan tersebut bagi korban, misalnya
seorang siswa mendorong bahu temannya dengan kasar, bila yang didorong merasa
terintimidasi, apalagi tindakan tersebut dilakukan secara berulang-berulang, maka
perilaku bullying telah terjadi, (Yayasan Sejiwa, 2008).
Definisi bullying menurut Coroloso (2006), mengemukakan sebuah konsep
mengenai bullying yaitu bahwa adalah aktivitas sadar, disengaja dan keji yang
dimaksudkan untuk melukai, menanamkan ketakutan melalui ancaman agresi lebih
lanjutan, dan menciptakan teror yang dilakukan oleh seorang anak atau sekelompok
anak.
14
Definisi bullying menurut Mellor (2005), menjelaskan bullying terjadi ketika
seseorang merasa teraniaya oleh tindakan oranglain, dan ia merasa takut bila perilaku
buruk tersebut akan terjadi lagi, dan merasa tidak berdaya untuk mencegahnya.
Biden (2010), mengatakan bahwa bullying adalah kondisi ketika satu anak
atau sekelompok anak terus menyakiti anak-anak lain dengan kata-kata atau tindakan.
Bullying dilakukan dengan memukul, mendorong, menendang, menyebut nama
dengan sembarangan, trik kotor dalam bermain, menyebarkan desas-desus berita
bohong, meneror, membuat orang ketakutan, dan mempermalukan. Bullying terjadi
ketika satu orang (bully) memiliki emosional dan kekuatan fisik yang lebih banyak
daripada korban.
2.1.2. Aspek-Aspek Bullying
Ada beberapa jenis dan wujud bullying menurut Sejiwa (2008). Secara umum,
praktik-praktik bullying dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a. Bullying Fisik
Bullying fisik adalah jenis bullying yang kasat mata, siapapun dapat
melihatnya karena terjadi sentuhan fisik antara pelaku bullying dan
korbannya. Contoh-contoh bullying fisik antara lain: menarik baju,
menyenggol dengan bahu, menampar, menimpuk, menjewer, menjambak,
menginjak kaki, menjegal, meludahi, memalak, melempar dengan barang,
15
menghukum dengan berlari keliling lapangan, dan menghukum dengan
cara push-up.
b. Bullying Verbal
Bullying verbal adalah jenis bullying yang juga bisa terdeteksi karena
bisa tertangkap indra pendengaran. Contoh-contoh bullying verbal antara
lain: membentak, memaki, menghina, menjuluki, meneriaki,
mempermalukan di depan umum, menuduh, menyoraki, menebar gosip,
memfitnah, dan juga menolak.
c. Bullying Psikologis
Bullying psikologis adalah jenis bullying yang paling berbahaya
karena tidak tertangkap mata atau telinga kita jika kita tidak cukup awas
mendeteksinya. Praktik bullying ini terjadi diam-diam dan di luar radar
pemantauan. Contoh-contohnya: memandang dengan sinis, memandang
penuh ancaman, mempermalukan, mendiamkan, mengucilkan, meneror
lewat sms atau e-mail, memandang dengan merendahkan, memelototi, dan
mencibir.
2.1.3. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Bullying
Bullying di sekolah bisa terjadi karena beberapa faktor, diantaranya: Pertama,
karena kebanyakan guru kurang menghayati pekerjaannya sebagai panggilan profesi
16
sehingga cenderung kurang memiliki kemampuan mendidik dengan benar serta tidak
mampu menjalin ikatan emosional yang konstruktif dengan siswa (Mulyadi, 2006).
Kedua, dengan dalih demi kedisiplinan siswa, guru kerap kali kehilangan
kesabaran hingga melakukan hukuman fisik, atau melakukan tindakan-tindakan yang
tidak terpuji dan melanggar batas etika dan moralitas, seperti memukul, meninju, dan
menendang serta mengeluarkan kata-kata yang tidak mendidik, yang dapat
menyinggung perasaan siswa atau ucapan-ucapan yang dapat mendiskreditkan siswa,
misalnya: sindiran, perkataan seperti kalian anak yang bodoh, anak bandel, dan susah
diatur.
Ketiga, kurikulum terlalu padat dan kurang berpihak pada siswa, sehingga
mengakibatkan guru cenderung menjalankan tugasnya sekedar mengejar target
kurikulum. Ini tentu terkait dengan belum optimalnya upaya peningkatan kualitas dan
kesejahteraan siswa (Mulyadi, 2006).
Ada beberapa persepsi anak-anak menjadi bully, Sejiwa (2008) antara lain:
1. Karena pernah menjadi korban bullying.
2. Ingin menunjukkan eksistensi diri.
3. Pengaruh tayangan televisi yang negatif
4. Senioritas.
5. Suasana hati.
6. Menutupi kekurangan diri.
17
7. Mencari perhatian.
8. Balas dendam.
9. Sering diperlakukan kasar di rumah dan disekolah.
10. Ingin terkenal.
11. Ikut-ikutan.
Bullying tidak mungkin terjadi hanya dengan adanya pelaku bullying. Harus
ada korban yang menjadi sasaran penganiayaan dan penindasan. Beberapa ciri yang
bisa dijadikan korban bullying, antara lain:
a. Berfisik kecil, lemah
b. Berpenampilan lain dari biasa
c. Sulit bergaul
d. Siswa yang rendah kepercayaan dirinya.
e. Anak yang canggung (sering salah bicara/ bertindak/ berpakaian)
f. Anak yang memiliki aksen berbeda
g. Anak yang dianggap menyebalkan atau menantang bully
h. Cantik/ ganteng, tidak cantik/ tidak ganteng
i. Anak orang tidak punya/ anak orang kaya
j. Kurang pandai
k. Anak yang gagap
l. Dan anak yang dianggap sering argumentatif terhadap bully.
18
2.1.4. Karakteristik Pelaku Bullying
Tujuh tipe pelaku bullying yang dikemukakan oleh Coloroso (2006) adalah
sebagai berikut:
1. Pelaku bullying yang percaya diri. Pelaku bullying muncul secara sengaja,
memiliki ego yang besar, kebanggaan diri yang berlebihan, perasaan berhak
dan berkuasa, tidak memiliki empati pada targetnya. Teman-teman sebaya dan
guru kerap mengaguminya karena pelaku bullying memilki karakter
kepribadian yang kuat.
2. Pelaku bullying sosial, menggunakan desas-desus, gosip, penghinaan verbal
dan penghindaran untuk mengisolasi targetnya. Pelaku bullying cemburu pada
sifat positif orang lain dan memilki kebanggaan diri yang berlebihan, namun
pelaku bullying menyembunyikan perasaannya dalam kepercayaan diri dan
kehangatan yang berlebihan. Pelaku bullying manipulatif dan penuh tipu
muslihat.
3. Pelaku bullying bersenjata lengkap, biasanya bersikap dingin. Bully memiliki
tekad yang kuat untuk melaksanakan misi bullying. Pelaku bullying mencari
kesempatan untuk melakukan bullying ketika tidak ada satupun orang dewasa
yang melihat atau menghentikannya.
4. Pelaku bullying hiperaktif, memilki masalah akademis dan keterampilan sosial
yang buruk. Bully biasanya kurang memiliki kecakapan dalam belajar, sulit
mendapat teman dan mudah bereaksi agresif.
19
5. Pelaku bullying yang menjadi korban bullying adalah target sekaligus
penindas. Pelaku bullying biasanya tertindas dan disakiti oleh orang lain,
pelaku bullying menindas orang lain untuk mendapatkan obat bagi
ketidakberdayaan dan kebencian pada dirinya sendiri.
6. Kelompok pelaku bullying adalah sekumpulan teman yang secara kolektif
melakukan secara perorangan yang ingin mereka sakiti.
7. Gerombolan pelaku bullying adalah sekumpulan anak-anak menakutkan yang
berfungsi sebagai aliansi strategis dalam upaya menguasai, mengontrol,
mendominasi, menduduki, dan menjajah.
Meskipun cara dan tindakan bullying siswa berbeda-beda namun pada
dasarnya memiliki sifat-sifat yang sama, yaitu :
1) Suka mendominasi orang lain.
2) Suka memanfaatkan orang lain untuk mendapatkan apa yang diinginkan
oleh pelaku bullying.
3) Sulit melihat situasi dari sudut pandang orang lain.
4) Hanya peduli pada kebutuhan dan kesenangan bully sendiri.
5) Cenderung melukai anak-anak lain ketika tidak ada orang dewasa di
sekitar pelaku bullying.
6) Memandang rekan yang lebih lemah sebagai mangsa.
20
7) Menggunakan kesalahan, kritikan dan tuduhan-tuduhan yang keliru untuk
memproyeksikan ketidakcakapan pelaku bullying kepada targetnya.
8) Tidak mau bertanggungjawab atas tindakannya.
9) Tidak memiliki pandangan terhadap masa depan, yaitu tidak mampu
memikirkan konsekuensi dari tindakan yang dilakukan.
10) Haus akan perhatian.
2.1.5. Konsekuensi dari Bullying
Bullying yang terjadi di sekolah tidak hanya berkonsekuensi terhadap korban,
tapi juga terhadap pelaku bullying dan iklim sekolah yang pada akhirnya akan
berkonsekuensi terhadap reputasi sekolah. Berikut ini akan dijelaskan berbagai
konsekuensi yang mungkin timbul dari bullying (Yustiana, 2008).
1) Konsekuensi bagi Korban
Hasil studi yang dilakukan National Youth Violence Prevention Resource
menunjukkan bahwa bullying dapat menutun korban merasa cemas dan ketakutan,
mempengaruhi konsentrasi belajar di sekolah dan menuntun mereka untuk
menghindari sekolah. Bila bullying berlanjut dalam waktu yang lama, dapat
mempengaruhi self esteem siswa, meningkatkan isolasi sosial, memunculkan
perilaku menarik diri dan depresi serta rasa tidak aman. Dalam kasus yang lebih
21
ekstrem, bullying dapat mengakibatkan remaja berbuat nekat, membunuh atau
melakukan bunuh diri.
Coloroso (2006) mengemukakan bahayanya jika bullying menimpa korban
secara berulang-ulang, para korban yaitu korban akan merasa depresi dan marah,
korban marah terhadap diri sendiri dan terhadap pelaku bullying, terhadap orang-
orang di sekitarnya dan terhadap orang dewasa yang tidak dapat atau tidak mau
menolong korban. Hal tersebut kemudian mulai mempengaruhi prestasi
akademiknya.
Dari penelitian Riauskina, dkk (2005), ketika mengalami bullying, korban
merasakan banyak emosi negatif (marah, dendam, kesal, tertekan, takut, malu,
sedih, tidak nyaman, dan terancam) namun tidak berdaya menghadapinya. Dalam
jangka panjang emosi-emosi ini dapat berujung pada munculnya perasaan rendah
diri bahwa dirinya tidak berharga.
Terkait dengan konsekuensi bullying, penelitian Banks (dalam Yustiana 2008)
menunjukkan bahwa perilaku bullying berkontribusi terhadap rendahnya tingkat
kehadiran, rendahnya prestasi akademik siswa, rendahnya self esteem, tingginya
kenakalan remaja dan kejahatan orang dewasa. Dampak negatif bullying juga
tampak pada penurunan skor tes kecerdasan (IQ) dan kemampuan analisis siswa.
Berbagai penelitian juga menunjukkan hubungan antara bullying dengan
meningkatnya depresi dan agresi.
22
2) Konsekuensi bagi Pelaku
National Youth Violence Prevention mengemukakan bahwa pada umumnya
para pelaku memiliki rasa percaya diri yang tinggi dengan harga diri yang tinggi
pula, cenderung bersifat agresif dengan perilaku yang pro terhadap kekerasan,
tipikal orang yang berwatak keras, mudah marah dan impulsif, dan mudah
frustasi. Para pelaku bullying ini memiliki kebutuhan kuat untuk mendominasi
orang lain dan kurang berempati terhadap targetnya. Sesuai yang dikemukakan
oleh Coloroso (1980), mengungkapkan bahwa siswa akan terperangkap dalam
peran pelaku bullying, tidak dapat mengembangkan hubungan yang sehat, kurang
cakap untuk memandang dari perspektif lain, tidak memiliki empati, serta
menganggap bahwa dirinya kuat dan disukai sehingga dapat mempengaruhi pola
hubungan sosialnya di masa yang akan datang. Dengan melakukan bullying,
pelaku akan beranggapan bahwa mereka memiliki kekuasaan terhadap keadaan.
Jika dibiarkan terus menerus tanpa intervensi, perilaku bullying dapat
menyebabkan terbentuknya perilaku lain berupa kekerasan terhadap anak dan
perilaku kriminal lainnya.
3) Konsekuensi bagi siswa lain yang menyaksikan bullying
Jika bullying dibiarkan tanpa tindak lanjut, maka para siswa lain yang menjadi
penonton dapat berasumsi bahwa bullying adalah perilaku yang diterima di
sekolah. Dalam kondisi ini, beberapa siswa mungkin akan bergabung dengan
23
penindas karena takut menjadi sasaran tanpa melakukan apapun dan yang paling
parah mereka merasa tidak perlu menghentikannya.
4) Konsekuensi bagi Sekolah
Bagi sekolah, bullying dapat menciptakan iklim sekolah yang tidak aman yang
pada akhirnya akan berpengaruh pada reputasi sekolah itu sendiri. Selain itu,
bullying yang terjadi juga dapat membahayakan misi pendidikan yang ingin
dibawa oleh pihak sekolah.
2.1.6. Kebijakan Sekolah tentang Bullying
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan saat sekolah ingin membentuk
kebijakan sekolah antibullying. Menurut Mellor, pakar antibullying dari
Skotlandia, ada empat hal yang harus diperhatikan dalam pembentukan kebijakan
sekolah yang antibullying, yaitu: kejujuran, keterbukaan, pemahaman dan
tanggungjawab, Sejiwa (2008).
a) Kejujuran
Kejujuran dibutuhkan agar semua pihak yang terlibat bersedia untuk jujur
pada diri sendiri dan pada lingkungan seputar fenomena bullying yang ada.
Kejujuran pada diri sendiri bahwa mungkin selama ini kita tanpa disadari
telah melakukan bullying dan kejujuran lingkungan bahwa selama ini
24
perilaku-perilaku bullying telah dianggap sebagai suatu kebiasaan.
Ketidakjujuran akan mengarah pada situasi yang semakin tidak sehat.
b) Keterbukaan
Keterbukaan adalah salah satu hal yang mungkin selama ini kurang
dimiliki oleh sekolah. Sekolah kerap kali menutup-nutupi kasus bullying yang
terjadi karena menganggap itu sebuah aib dan akan berpengaruh pada reputasi
sekolah itu. Keterbukaan terhadap fakta-fakta yang ada, walaupun itu fakta
yang kurang mengenakkan bagi pihak sekolah tetap harus dijalankan.
c) Pemahaman
Apabila kita ingin menyusun sebuah kebijakan maka kita harus berangkat
dari dasar pemahaman yang sama mengenai bullying. Pemahaman yang sama
akan sangat membantu dalam pembentukan kebijakan sekolah, karena sudut
pandang setiap pihak bisa berbeda-beda.
d) Tanggung jawab
Tanggung jawab untuk pembentukan kebijakan sekolah yang antibullying
bukanlah semata-mata tanggung jawab sekolah. Semua pihak memiliki
tanggung jawab yang sama besar dalam pembentukan kebijakan itu.
Tantangannya adalah bagaimana rasa tanggung jawab ini didasarkan pada rasa
saling menghargai.
25
2.2. Permainan Peranan dengan Metode Psikodrama
2.2.1. Permainan Peranan
Dalam pelaksanaan bimbingan, permainan peranan diartikan sebagai sesuatu
yang berkaitan dengan pendidikan, dimana individu memerankan situasi yang
imaginatif dengan tujuan untuk membantu tercapainya pemahaman diri sendiri,
meningkatkan keterampilan-keterampilan, menganalisis perilaku atau menunjukkan
pada orang lain bagaimana perilaku seseorang atau bagaimana seseorang dapat
bertingkah laku, (Corsini dalam Romlah ,2001).
Permainan peranan merupakan salah satu teknik yang telah diteliti oleh para
ahli yang bekerja di bidang penyelenggaraan latihan-latihan. Mereka telah
membuktikan bahwa permainan peranan merupakan teknik latihan yang bermutu.
Teknik peranan ini telah dikenal sejak lama, yaitu ketika Moreno, seorang psikiatri
dari Vienna, pada tahun 1923 mengembangkan satu teknik yang disebutnya
psikodrama (Mclntyre,1982). Tetapi psikodrama tersebut digunakan untuk melatih
orang-orang yang mengalami gangguan kepribadian. Kemudian para ahli psikologi
perilaku menggunakan teknik tersebut untuk melatih ahli komunikasi atau ahli
hubungan antarpribadi dalam lingkungan pekerjaan. Pada saat ini permainan peranan
secara luas telah diterima sebagai teknik yang melatih berbagai macam hubungan
antarpribadi.
26
2.2.2. Dasar Teori Permainan Peranan
Seseorang dikatakan mempunyai penyesuaian diri yang baik apabila ia dapat
berperilaku sesuai dengan peranan yang dimilikinya baik sebagai makhluk individu
maupun makhluk sosial. Individu mempelajari peranan-peranan yang berbeda
tersebut mulai sejak lahir. Seseorang bayi dilahirkan dalam lingkungan masyarakat
tertentu, ia harus belajar bahasa dan perilaku yang dituntut dalam masyarakat itu.
Pada dasarnya seseorang dilahirkan dengan kemampuan untuk bereaksi terhadap
stimulus-stimulus diluar dirinya secara spontan. Pada dasarnya manusia itu spontan
dan kreatif, tetapi spontanitas dan kreativitas ini berkurang atau hilang karena
kesalahan dalam hubungan antarpribadi atau karena hambatan kebudayaan, (Moreno
dalam Romlah, 2001).
Permainan peranan merupakan suatu alat belajar yang dapat digunakan untuk
menambah kemampuan individu untuk menghadapi situasi yang terjadi “sekarang
dan disini”. Secara analogi, permainan peranan dalam hubungan antarpribadi
berusaha untuk menciptakan suasana spontanitas dan kreativitas dimana tekanan-
tekanan yang menghambat dihilangkan, dan individu mendapat kesempatan untuk
belajar dalam suasana yang bebas tanpa hambatan. Salah satu faktor penting yang
menentukan dalam permainan peranan yang akan menghasilkan perubahan perilaku
adalah pengurangan hambatan-hambatan. Hambatan-hambatan yang biasa timbul
adalah perasaan takut dikritik, takut dihukum, atau ditertawakan. Sebagai hasilnya
timbullah perasaan-perasaan yang baru, dan perasaan-perasaan lama dihayati dalam
27
konteks yang baru. Permainan peranan menyediakan kondisi yang dapat
menghilangkan rasa takut atau cemas, karena disini individu dapat mengekspresikan
dirinya secara bebas tanpa takut terkena “sanksi” sosial terhadap perbuatannya.
Perubahan perilaku atau perubahan sikap melalui permainan peranan terjadi
secara bertahap. Menurut (Lewin dalam Romlah, 2001) menggolongkan perubahan
itu dalam tiga tahap, yaitu pola-pola perilaku yang tidak kaku yang dimiliki sekarang,
perubahan kearah pola-pola perilaku yang baru, dan melaksanakan pola-pola perilaku
baru dalam kehidupan sehari-hari.
2.2.3. Pengertian Psikodrama
Psikodrama merupakan permainan peranan yang dimaksudkan agar individu
yang bersangkutan dapat memperoleh pengertian lebih baik tentang dirinya, dapat
menemukan konsep pada dirinya, menyatakan kebutuhannya-kebutuhannya, dan
menyatakan reaksinya terhadap tekanan-tekanan terhadap dirinya, (Corey dalam
Romlah, 2001). Dalam psikodrama individu yang bermasalah memerankan
masalahnya sendiri. Psikodrama dilaksanakan untuk tujuan terapi atau penyembuhan.
Didalam psikodrama klien memerankan situasi-situasi dramatis yang
dialaminya pada waktu lalu, sekarang, dan yang diantisipasi akan dialami pada waktu
yang akan datang, dengan tujuan untuk memperoleh pengertian yang lebih mendalam
mengenai dirinya dan melepaskan tekanan-tekanan yang dialami atau katarsis.
Kejadian-kejadian yang penting dimainkan kembali agar klien dapat mengenali
28
perasaan-perasaannya dan dapat mengungkapkan perasaannya sepenuhnya sehingga
terbuka jalan untuk terbentuknya perilaku yang baru.
Kelompok psikodrama memberikan kesempatan pada anggota kelompok
untuk menguji kenyataan, karena kelompok terdiri dari individu-individu dan situasi-
situasi kehidupan yang nyata. Anggota kelompok juga dapat memberikan saran-saran
pemecahan masalah yang dihadapi yang mungkin belum terpikirkan oleh individu
yang bermasalah. Selain tujuan terapi, psikodarama juga dapat dipakai sebagai
metode mengajar yang sangat bermanfaat bagi para mahasiswa dan orang-orang yang
bekerja di bidang kesehatan mental yang disebut Moreno sebagai psikodrama
didaktis, Corey (dalam Romlah, 2001). Dengan memerankan peranan klien tersebut
mereka akan dapat menghayati perasaan-perasaan kliennya. Anggota-anggota
kelompok lain dapat memberikan alternatif-alternatif bagaimana menghadapi klien-
klien yang sulit, dan memberikan balikan yang membantu memisahkan masalah klien
dengan proyeksi-proyeksi terapis.
2.2.4. Komponen-komponen Psikodrama
Komponen yang ada dalam teknik psikodrama dalam Romlah (2001)
diantaranya :
1. Panggung permainan
Panggung permainan mewakili ruang hidup peran utama psikodrama.
Panggung atau tempat permainan hendaknya cukup luas untuk memberi
29
ruang gerak yang cukup bagi pemeran utama, pemimpin, dan individu-
individu lain yang berperan dalam psikodrama tersebut.
2. Pemimpin psikodrama
Pemimpin psikodrama adalah terapis atau konselor. Menurut Corey
(dalam Romlah, 2001) pemimpin psikodrama memiliki tiga peranan,
yaitu sebagai produser, katalisator/fasilitator, dan pengamat atau
penganalisis. Pemimpin membantu pemilihan pemegang peran utama, dan
menentukan teknik yang mana yang paling tepat untuk mengeksplorasi
masalah individu tersebut, merencanakan pelaksanaannya, menyiapkan
situasi tepat, dan memperhatikan dengan cermat perilaku pemain utama
selama psikodrama berlangsung. Sebagai katalisator atau fasilitator
pemimpin membantu pemain utama (klien) dalam mengembangkan
adegan, membantu agar ia dapat mengungkapkan perasaannya dengan
bebas, dan membuat interpretasi untuk penyembuhannya, serta ia agar
memperoleh pemahaman baru mengenai masalahnya. Untuk dapat
menjadi pemimpin psikodrama yang efektif seseorang harus mempunyai
tiga sifat yang utama, yaitu kreativitas, keberanian, dan kharisma, Corsini
(dalam Romlah, 2001). Hal yang terbaik bagi seorang pemimpin
kelompok adalah menggunakan pengalaman-pengalaman pribadinya dan
model-model terapi yang dikembangkan sendiri untuk memahami ekspresi
pribadi dan komunikasi antarpribadi yang terjadi dalam kelompok.
30
3. Pemegang peran utama (protagonist)
Pemegang peran utama adalah individu yang dipilih oleh kelompok
dan pemimpin kelompok untuk memerankan kembali kejadian-kejadian
penting yang dialami mulai dari kejadian waktu lampau, apa yang terjadi
sekarang, dan situasi yang diperkirakan akan terjadi. Pelaku utama
menentukan kejadian dan masalah yang akan dimainkan. Dalam
memainkan kejadian itu ia didorong supaya melakukannya dengan
spontan, tidak terlalu banyak menggunakan kata-kata tetapi lebih banyak
mengungkapkan dalam bentuk gerakan dan perbuatan. Meskipun kejadian
masa lalu diperagakan, tetapi titik berat permainan adalah pada hal-hal
yang terjadi pada saat sekarang. Pemusatan perhatian pada apa yang
terjadi pada saat sekarang itu akan mengungkapkan perasaan-perasaan
yang dialami klien dalam berhubungan dengan orang-orang penting yang
berpengaruh pada masa lampau. Pemain utama biasanya memlilih
anggota-anggota kelompok yang akan menyertainya bermain yang
berperan sebagai orang-orang yang ada kaitannya dengan masalah yang
dialaminya. Pemilihan didasarkan pada sifat-sifat anggota kelompok yang
menyerupai orang-orang yang berkaitan dengan masalah pemain utama.
31
4. Pemeran pembantu (the auxiliary egos)
Pemeran pembantu atau pembantu terapis adalah siapa saja dalam
kelompok yang membantu pemimpin kelompok dan pemeran utama
dalam produksi psikodrama. Pemeran pembantu mempunyai dua fungsi.
Pertama mereka menggambarkan peranan-peranan tertentu yang
mempunyai hubungan dekat dengan pemeran utama dalam kehidupan
yang sebenarnya. Mereka dapat berupa orang yang sudah meninggal, yang
masih hidup, binatang piaraan, atau benda-benda yang menjadi
kesayangan pemeran utama. Kedua, pemeran-pemeran pembantu tersebut
berfungsi sebagai alat terapi, misalnya mereka dapat berfungsi sebagai
pemeran ganda mengungkapkan perasaan-perasaan yang diperkirakan
dialami oleh pemeran utama tetapi tidak diungkapkannya. Secara singkat
fungsi pemeran pembantu adalah mendorong pemeran utama agar terlibat
secara mendalam ke hal-hal yang terjadi pada saat ini. Dengan bantuan
yang efektif dari pembantu terapis, psikodrama dapat menjadi alat yang
efektif untuk mengubah perilaku.
5. Penonton
Penonton dalam psikodrama adalah anggota-anggota kelompok yang
tidak menjadi pemeran utama dan pemeran pembantu. Penonton
memberikan dukungan yang sangat bernilai dan memberikan balikan
32
kepada pemeran utama. Setelah permainan selesai diadakan diskusi, dan
penonton diminta untuk memberikan reaksinya secara spontan mengenai
apa yang dilihatnya dan memberikan pandangan dan sumbangan pikiran.
Berbagi reaksi dan sumbangan dari penonton tersebut akan membantu
pemeran utama memahami akibat perilakunya terhadap oranglain. Dengan
demikian proses pengujian kenyataan telah berlangsung.
2.2.5. Teknik-teknik dalam Psikodrama
Teknik-teknik dalam psikodrama menurut Fatimahnoor (2013) adalah:
a. Creative imagery, pembayangan kreatif merupakan teknik pemanasan
untuk mengundang peserta psikodrama membayangkan adegan dan
objek yang menyenangkan dan netral.
b. The magic shop, merupakan teknik pemanasan yang berguna bagi
protagonis yang tidak dapat memutuskan atau ragu tentang nilai dan
tujuannya.
c. Sculpting, anggota kelompok menggunakan metode nonverbal untuk
menyusun orang lain dalam kelompok konfigurasi seperti kelompok
orang yang signifikan yang sesuai dengan orang-orang dalam
keluarganya dan sebagainya. Penyusunan ini melibatkan postur tubuh
dan membantu konseli melihat, mengetahui persepsi mereka tentang
orang lain yang signifikan dengan cara yang lebih dinamis.
33
d. Teknik berbicara-sendiri (soliloquy), teknik ini melibatkan protagonis
(klien) menyajikan suatu monolog tentang situasi dirinya.
e. Monodrama (autodrama), teknik ini merupakan bentuk inti terapi
gestalt. Dalam teknik ini, protagonis memainkan semua bagian
peranan atau tidak menggunakan ego pembantu.
f. The double and multiple double technique. Teknik double adalah suatu
teknik yang sangat penting dalam psikodrama. Teknik ini terdiri atas
pengambilan peran aktor dari ego protagonis dan membantu protagonis
mengekspresikan perasaan terdalam yang sesungguhnya secara lebih
jelas. Jika protagonist memiliki perasaan ragu, maka teknik multiple
double dapat digunakan.
g. Role reverals (pemindahan peran). Dalam teknik ini protagonis
memindahkan peran dengan orang lain di pentas dan memainkan
bagian orang itu. Teknik ini mendorong ekspresi konflik-konflik
secara maksimum, dan merupakan teknik inti dari psikodrama.
h. Teknik cermin. Dalam aktivitas ini, protagonis memperhatikan dari
luar pentas, sementara cermin ego pembantu memantulkan kata-kata,
gerak tubuh, dan postur protagonis. Teknik ini dipakai pada fase
tindakan untuk membantu protagonis melihat dirinya secara lebih
akurat.
34
2.2.6. Langkah-langkah pelaksanaan Psikodrama
Pelaksanaan psikodrama terdiri dari tiga tahap dalam Romlah (2001) yaitu:
1. Tahap persiapan (The warm-up)
Tahap persiapan dilakukan untuk memotivasi anggota kelompok agar
mereka siap berpartisipasi secara aktif dalam permainan, menentukan tujuan-
tujuan permainan, dan menciptakan perasaan aman dan saling percaya dalam
kelompok. Corey (dalam Romlah, 2001) mengemukakan beberapa cara yang
dapat dipakai untuk menyiapkan kelompok sebagai berikut :
a. Pemimpin kelompok memberikan uraian singkat mengenai hakikat
dan tujuan psikodrama, dan anggota kelompok diminta untuk
mengajukan pertanyaan bila ada hal-hal yang belum jelas.
b. Pemimpin kelompok mewawancarai tiga anggota kelompok secara
singkat dalam situasi kelompok.
c. Anggota kelompok membentuk kelompok-kelompok kecil dan diberi
waktu beberapa menit untuk membicarakan konflik-konflik yang
pernah mereka alami yang ingin mereka kemukakan dalam permainan
psikodrama.
2. Tahap pelaksanaan (The action)
Tahap pelaksanaan terdiri dari kegiatan dimana pemain utama dan pemain
pembantu memperagakan permainannya. Dengan bantuan pemimpin
35
kelompok dan anggota kelompok lain pemeran utama memperagakan
masalahnya. Satu kejadian dapat diperagakan beberapa adegan. Adegan-
adegan dibuat berdasarkan masalah-masalah yang diungkapakan pemeran
utama. Psikodrama biasanya berkembang dari hal-hal yang bersifat
permukaan ke arah hal-hal yang lebih mendalam dan merupakan sumber
masalah klien. Lama pelaksanaan psikodrama berbeda-beda bergantung pada
penilaian pemimpin kelompok terhadap tingkat keterlibatan emosional pemain
utama dan anggota-anggota kelompok lain.
a) Protagonis dan peran pembantu memainkan peranannya dalam
kegiatan psikodrama.
b) Lama pelaksanaan tergantung pada penilaian pemimpin kelompok
terhadap tingkat keterlibatan emosional protagonist dan pemain
lainnya.
3. Tahap diskusi (The sharing)
Dalam tahap diskusi atau tahap bertukar pendapat dan kesan, para anggota
kelompok diminta untuk memberikan tanggapan dan sumbangan pikiran
terhadap permainan yang dilakukan oleh pemeran utama. Peranan pemimpin
kelompok pada tahap ini adalah memimpin diskusi dan mendorong agar
sebanyak mungkin anggota kelompok memberikan balikannya. Dalam
memberikan balikan supaya ditekankan pada saling berbagi perasaan dan
36
memberikan dukungan. Apabila anggota kelompok berusaha untuk
menganalisis dan memberikan pemecahan masalah, pemimpin kelompok
hendaknya menegur, misalnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan
seperti : “Bagaimana perasaan anda setelah melihat psikodrama tadi?”
Pemimpin kelompok mengamati perilaku pemeran utama pada waktu
mendapat balikan dari anggota kelompok, dan menetralisasi balikan yang
bersifat menyerang atau menjatuhkan pemeran utama. Hal ini penting sekali
karena setelah pemeran utama membuka diri mengungkapkan hal-hal pribadi,
ia membutuhkan dukungan kelompok agar mampu mengintegrasi pengalaman
yang baru saja dialaminya. Apabila tidak ada balikan dari anggota kelompok,
ia akan merasa ditolak dan kehilangan pegangan.
Tahap diskusi ini penting karena merupakan rangkaian proses perubahan
perilaku pemeran utama kearah keseimbangan pribadi. Menurut Blatnerr
(dalam Romlah, 2001). Ada tiga cara dalam proses pencapaian keseimbangan
pribadi pemeran utama, yaitu: mengembangkan pemahaman dan penguasaan
terhadap konflik dan masalah yang dihadapi, memperoleh dukungan dan
balikan dari kelompok, dan mengadakan latihan perubahan perilaku baru.
Setelah latihan dalam kelompok, individu yang bersangkutan dapat
melaksanakan perubahan perilakunya dengan orang-orang yang mempunyai
hubungan dekat dengannya diluar kelompok dan dapat menyesuaikan diri
lebih efektif. Berbagai cara dapat dilakukan dalam latihan perubahan perilaku.
37
Misalnya memerankan peran yang merupakan kebalikan dari peran yang
dimainkan sebelumnya yaitu teknik cermin, dan teknik lain yang diuraikan
diatas. Inti dari tahap terakhir ini (diskusi/sharing) adalah:
a) Pemimpin kelompok meminta para anggota kelompok untuk
memberikan tanggapan dan brainstorm terhadap permainan pemeran
protagonis.
b) Pemimpin kelompok memimpin diskusi dan mendorong sebanyak
mungkin anggota kelompok memberikan balikannya.
c) Pemimpin kelompok menetralisir balikan yang bersifat menyerang atau
menjatuhkan protagonis.
2.2.7. Kelebihan dan Kelemahan Metode Psikodrama
Kelebihan dari metode psikodrama menurut Fatimahnoor (2013):
a. Mengembangkan kreativitas siswa (dengan peran yang dimainkan siswa
dapat berfantasi).
b. Melatih berfikir cepat dan spontan dalam memainkan psikodrama.
c. Memupuk kerjasama antara siswa.
d. Menumbuhkan bakat siswa dalam seni drama.
e. Siswa lebih memperhatikan pelajaran karena menghayati sendiri.
38
f. Memupuk keberanian berpendapat di depan kelas.
g. Melatih siswa untuk menganalisa masalah dan mengambil kesimpulan
dalam waktu singkat.
Kekurangan dari metode psikodrama menurut Fatimahnoor (2013) :
a. Adanya kurang kesungguhan para pemain menyebabkan tujuan tidak
tercapai.
b. Pendengar (siswa yang tidak berperan) sering mentertawakan tingkah laku
pemain sehingga merusak suasana.
2.2.8. Penelitian yang Relevan
Menurut penelitian Siswanti dan Widayanti (2009) mengenai “Fenomena
Bullying di Sekolah Dasar Negeri di Semarang”, hasilnya menunjukkan 37,55%
siswa menjadi korban bullying, 42.5% siswa terluka karena bullying secara fisik dan
34,5% dari bullying non fisik. Dalam penelitiannya, penulis menyarankan bahwa
keterlibatan guru BK sangat penting untuk memperoleh informasi yang akurat
mengenai bullying sehingga dapat ditindaklanjuti dengan tepat, hal ini bertujuan
memutus rantai kekerasan.
Penelitian yang dilakukan Widiastuti (2010), bedasarkan hasil penelitian
tentang “Mengatasi Bullying Siswa Kelas IV Melalui Analisis Pengubahan Perilaku
di SDN Mangunsari 07 Salatiga”, setelah diberikan layanan melalui pendekatan
39
analisis pengubahan perilaku pada siswa kelas IV SD Negeri Mangunsari 07 Salatiga
menunjukkan bahwa nilai sign.2-tailed adalah 0,023 < 0,05. Mean rank pada
kelompok eksperimen pada saat pre-test adalah 19,13 kemudian pada saat post-test
turun menjadi 11,87. Dengan demikian ada penurunan skor yang signifikan pada
perilaku bullying siswa pada kelompok eksperimen setelah pemberian perlakuan
(treatment).
Pada penelitian yang dilakukan Astia (2011), berdasarkan hasil penelitian
tentang “Mengurangi frekuensi tindakan bullying melalui konseling kelompok
dengan model Sequentially Planned Integrative Counseling for Children (SPICC)
pada siswa kelas V SD Negeri Pasekan 03 Ambarawa menunjukkan sign.2-tailed
0,027 < 0,050. Mean rank pada kelompok eksperimen pada saat pre-test adalah 18,73
kemudian pada saat post-test 12,27. Dengan demikian ada pengurangan skor yang
signifikan pada frekuensi tindakan bullying siswa pada kelompok eksperimen setelah
pemberian perlakuan (treatment).
Sedangkan penelitian Zulaikah (2011), bedasarkan hasil penelitian tentang
“Perubahan Perilaku Bystander Bullying melalui Role Play Pada Siswa Kelas VIII E
SMP Negeri 8 Salatiga”, menunjukkan bahwa nilai sig.(2-tailed) 0.024 < 0.05,
sehingga ada perbedaan yang signifikan antara kelompok eksperimen dan kelompok
kontrol setelah kelompok eksperimen diberi bimbingan kelompok dengan metode
role play.
40
2.2.9. Hipotesis
Berdasarkan rumusan masalah yang telah diungkapkan sebelumnya, maka
penulis mengajukan hipotesis sebagai berikut:
“Metode psikodrama dapat mengurangi tindakan bullying secara signifikan
pada siswa kelas VI SD Negeri Bawen 03 Kabupaten Semarang”.