bab i pendahuluan -...

41
1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Sampai saat ini pengukuran beda tinggi yang paling teliti untuk mendapatkan tinggi orthometrik hanyalah menggunakan metode sipatdatar. Di Indonesia pengadaan jaring kontrol vertikal nasional (JKVN) dilaksanakan dengan metode sipatdatar. JKVN sebagai jaring kontrol vertikal pemetaan di Indonesia diklasifikasikan secara berjenjang dalam kelas dan orde pengukuran. Mulai dari jenjang jaring pengukuran yang paling tinggi orde L0 yang jarak spasi antara dua jalur pengukurannya sejauh 100-300 km dengan toleransi kesalahan sebesar 2mm sampai jaring pengukuran yang paling rendah pada orde L4 yang spasi antara dua jalur pengukurannya dibawah 10 km dengan toleransi kesalahan sebesar 18 mm . Pada kelas pengukuran LB sampai LAA dengan spasi antar titik-titik simpul lebih dari 30 km, diharuskan melakukan pengukuran gaya berat. Dikarenakan adanya perbedaan kondisi fisis antara dua titik pengukuran yang relatif cukup besar yang berpengaruh terhadap tinggi yang dihasilkan apabila tidak dilakukan koreksi. Sementara untuk kelas LC sampai LD, tidak perlu untuk melakukan pengukuran gaya berat. Dikarenakan perbedaan kondisi fisis antara dua titik pengukuran relatif kecil dan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap ketelitian tinggi yang dihasilkan. Meskipun secara teoritis metode pengukuran beda tinggi dengan menggunakan metode sipatdatar adalah terbukti memiliki ketelitian yang paling tinggi dibandingkan dengan metode yang lainnya, akan tetapi pada kondisi tertentu secara praktis seringkali ditemukan beberapa kelemahan dan keterbatasan. Daerah dengan kondisi tanah yang tidak stabil (rawa-rawa, lahan gambut, hutan), daerah dengan situasi jalan yang sangat ramai dan padat lalu lintasnya, serta tuntutan akan informasi mengenai tinggi yang cepat seringkali metode sipatdatar ini sulit untuk diterapkan.

Upload: vophuc

Post on 09-Mar-2019

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78041/potongan/S1-2014... · lebih dari 30 km, diharuskan melakukan pengukuran gaya berat. Dikarenakan

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Sampai saat ini pengukuran beda tinggi yang paling teliti untuk mendapatkan

tinggi orthometrik hanyalah menggunakan metode sipatdatar. Di Indonesia

pengadaan jaring kontrol vertikal nasional (JKVN) dilaksanakan dengan metode

sipatdatar. JKVN sebagai jaring kontrol vertikal pemetaan di Indonesia

diklasifikasikan secara berjenjang dalam kelas dan orde pengukuran. Mulai dari

jenjang jaring pengukuran yang paling tinggi orde L0 yang jarak spasi antara dua

jalur pengukurannya sejauh 100-300 km dengan toleransi kesalahan sebesar

2mm √ sampai jaring pengukuran yang paling rendah pada orde L4 yang

spasi antara dua jalur pengukurannya dibawah 10 km dengan toleransi kesalahan

sebesar 18 mm √ .

Pada kelas pengukuran LB sampai LAA dengan spasi antar titik-titik simpul

lebih dari 30 km, diharuskan melakukan pengukuran gaya berat. Dikarenakan adanya

perbedaan kondisi fisis antara dua titik pengukuran yang relatif cukup besar yang

berpengaruh terhadap tinggi yang dihasilkan apabila tidak dilakukan koreksi.

Sementara untuk kelas LC sampai LD, tidak perlu untuk melakukan pengukuran

gaya berat. Dikarenakan perbedaan kondisi fisis antara dua titik pengukuran relatif

kecil dan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap ketelitian tinggi yang

dihasilkan.

Meskipun secara teoritis metode pengukuran beda tinggi dengan menggunakan

metode sipatdatar adalah terbukti memiliki ketelitian yang paling tinggi

dibandingkan dengan metode yang lainnya, akan tetapi pada kondisi tertentu secara

praktis seringkali ditemukan beberapa kelemahan dan keterbatasan. Daerah dengan

kondisi tanah yang tidak stabil (rawa-rawa, lahan gambut, hutan), daerah dengan

situasi jalan yang sangat ramai dan padat lalu lintasnya, serta tuntutan akan informasi

mengenai tinggi yang cepat seringkali metode sipatdatar ini sulit untuk diterapkan.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78041/potongan/S1-2014... · lebih dari 30 km, diharuskan melakukan pengukuran gaya berat. Dikarenakan

2

Seiring perkembangan teknologi yang begitu cepat, muncullah teknologi

penentuan posisi dengan menggunakan satelit GNSS (Global Navigation Satellite

System). Saat ini teknologi ini telah memiliki ketelitian posisi horisontal hingga

fraksi milimeter. Sementara untuk posisi vertikalnya adalah 2 sampai 3 kali lebih

rendah dari ketelitian horizontalnya (Abidin, 2007). Hal ini tentunya merupakan

peluang untuk mengatasi kelemahan yang terdapat pada metode Sipatdatar. Dimana

teknologi GNSS ini tidak terpengaruh pada kondisi topografi yang berat bagi

pengukuran sipatdatar. Selain itu perolehan datanya juga dapat dilakukan relatif lebih

cepat dibandingkan dengan metode sipatdatar.

Meskipun teknologi GNSS memiliki kelebihan yang dapat mengatasi

kelemahan dari metode sipatdatar, akan tetapi tinggi yang dihasilkan oleh perangkat

GNSS adalah tinggi geometrik yang bereferensi pada elipsoid. Sementara untuk

keperluan praktis, digunakan tinggi yang bereferensi pada geoid atau tinggi

orthometrik. Untuk mendapatkan tinggi orthometrik dari pengukuran dengan GNSS,

perlu dikonversi terlebih dahulu terhadap nilai undulasinya. Di Indonesia, studi geoid

teliti (berskala nasional) ketersediaan dan distribusi datanya masih terbatas (Lestariya

& Ramdani, 2006). Salah satu cara yang dapat digunakan untuk pemanfaatan tinggi

elipsoid yang memungkinkan tanpa melibatkan data undulasi geoid adalah dengan

berfokus pada beda tinggi pada pengamatan GNSS.

I.2. Rumusan Masalah

Melihat keterbatasan metode sipatdatar dalam pengukuran beda tinggi yang

cukup banyak memakan waktu, biaya, tenaga, dan juga seringkali terkendala dengan

kondisi topografi dari daerah yang diukur. Sementara itu di dunia industri

memerlukan perolehan data ukuran beda tinggi yang cepat, murah dan mampu

menjangkau pada daerah yang sulit diterapkan dengan metode sipatdatar.

Berkembangnya metode GNSS secara differensial yang dapat digunakan untuk

penentuan tinggi dengan teliti menarik untuk dikaji dalam penentuan jaring kontrol

vertikal. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk pemanfaatan tinggi elipsoid

yang memungkinkan tanpa melibatkan data undulasi geoid adalah dengan berfokus

Page 3: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78041/potongan/S1-2014... · lebih dari 30 km, diharuskan melakukan pengukuran gaya berat. Dikarenakan

3

pada beda tinggi pada pengamatan GNSS. Sehingga rumusan masalah yang diajukan

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Apakah tinggi yang dihasilkan dari data pengamatan menggunakan metode

GNSS berbeda secara signifikan terhadap tinggi hasil pengukuran metode

sipatdatar?

2. Apakah jaring kontrol vertikal yang diperoleh dari pengamatan dengan

menggunakan metode GNSS telah memenuhi standar nasional jaring

kontrol vertikal kelas pengukuran LD?

I.3. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. mengetahui apakah tinggi yang dihasilkan dari pengamatan menggunakan

metode GNSS berbeda secara signifikan terhadap tinggi yang dihasilkan

dari pengukuran metode sipatdatar,

2. mengetahui apakah tinggi yang diperoleh dari pengamatan menggunakan

metode GNSS telah memenuhi kelas pengukuran jaring yang paling

minimal, yaitu kelas pengukuran LD.

I.4. Manfaat

Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah dapat memberikan

pertimbangan bagi para praktisi di lapangan dalam menentukan metode mana yang

dapat diterapkan menurut kondisi daerah pengukuran dan spesifikasi pengukuran

dalam pengukuran jaring kontrol vertikal.

I.5. Batasan Masalah

Penelitian ini memfokuskan pada masalah:

1. Data yang akan dibandingkan adalah tinggi antara hasil pengamatan dengan

perangkat GNSS Geodetik dengan tinggi hasil pengolahan data pengukuran

Sipatdatar tanpa melibatkan data undulasi lokal maupun global.

Page 4: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78041/potongan/S1-2014... · lebih dari 30 km, diharuskan melakukan pengukuran gaya berat. Dikarenakan

4

2. Daerah penelitian berlokasi di Desa Beluk, Kecamatan Bayat, Kabupaten

Klaten. Dengan lingkup penelitian yang relatif sempit dengan cakupan seluas

94 ha (1,28 km x 0,74 km). Selain itu, daerah penelitian ini juga memiliki

topografi yang relatif datar.

3. Dengan areal yang sempit maka diasumsikan bahwa undulasi geoid antar titik

pengukuran adalah seragam atau memiliki selisih yang kecil dan tidak

berpengaruh signifikan dalam perhitungan. Asumsi ini diperkuat dengan

pendekatan data undulasi dari Geoid calculator UNAVCO.

I.6. Tinjauan Pustaka

Lestariya dan Ramdani (2006) melakukan penelitian mengenai pemanfaatan

tinggi dengan teknologi GNSS tanpa melibatkan data undulasi Geoid yang teliti.

Dengan strategi pemanfaatan beda tinggi dari data hasil pengamatan GNSS. Pada

penelitiannya, diambil dua sampel jaringan GNSS-TTG dengan rentang base line

yang berebeda, yaitu Jaringan GNSS-TTG dengan rentang yang mencapai ratusan

kilometer di 10 titik yang tersebar di Lampug, Banten, dan Jawa Barat, serta jaringan

GNSS-TTG yang bersifat lokal dengan rentang beberapa kilometer di 16 titik di

Prigi-Jawa Timur. Lama pengamatan untuk jaring bersifat lokal adalah antara 3-6

jam. Sementara untuk jaring regional yang lebih besar pengamatan berlangsung

minimal 24 jam.

Dengan pengolahan data GNSS menggunakan perangkat lunak scientific

Bernesse versi 4.2 dengan informasi orbit precise ephemeris dari IGS, didapatkan

standar deviasi 3-8 mm untuk jaringan regional dan 15-60 mm untuk jaringan lokal.

Dari hasil perbandingan antara beda tinggi metode GNSS dengan data tinggi

orthometrik yang diperoleh dari pengukuran sipatdatar teliti, didapatkan bahwa untuk

jaring regional (Lampung-Banten-Jawa Barat) deviasi mencapai 1,9 hingga 33 meter.

Deviasi ini masih terlalu besar apabila dibandingkan dengan salah penutup jarak

pada orde yang paling kasar sekalipun (misalnya untuk jarak maksimal 300 km, salah

penutup jaraknya adalah beberapa puluh cm).

Page 5: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78041/potongan/S1-2014... · lebih dari 30 km, diharuskan melakukan pengukuran gaya berat. Dikarenakan

5

Jamil (2011) melakukan penelitian mengenai perbandingan tinggi GNSS

dengan metode Statik dan Real Time Kinematik (RTK) terhadap hasil pengukuran

menggunakan Sipatdatar dengan lokasi penelitian di Jembatan Penang, Semenanjung

Malaysia, dan Tanjung Malim, Perak. Pengamatan GNSS secara statik dilakukan di

daerah Jembatan Penang dan Semenanjung Malaysia dengan Receiver GNSS

Geodetic selama 5 sampai 8 jam untuk tiap sesi. Dan Pengamatan secara real time

kinematik (RTK) dilakukan di Tanjung Malim, Perak.

Dalam penelitian tersebut, tinggi geometrik (h) dari pengamatan GNSS

dikonversi menjadi tinggi orthometrik (H) dengan rumus H = h – N. Dimana

undulasi geoid (N) diperoleh dari MyGeoid yang merupakan kombinasi usaha survei

gaya berat menggunakan pesawat/airborne (dilaksanakan di Sabah, Serawak pada

tahun 2002 dan dilanjutkan di Semenanjung Malaysia pada tahun 2003 dan 2004)

dengan survei teristris, survei perairan, dan satelit altimetri yang kemudian

dicocokkan dengan BenchMark (BM) lokal untuk menghasilkan model geoid.

Hasil perbandingan dari tinggi orthometrik GNSS metode statik dengan

tinggi orthometrik hasil pengukuran dengan Sipatdatar adalah memiliki selisih yang

kurang dari 1 cm pada tiga titik pengamatan untuk daerah Jembatan Penang. Dan

untuk daerah Semenanjung Malaysia memiliki selisih seesar 10 sampai 18,8 cm.

Sementara untuk perbandingan Metode Real Time Kinematik (RTK) memiliki selisih

dengan tinggi orthometrik Sipatdatar sebesar 5 mm sampai 16,2 cm.

Dalam penelitian ini lebih difokuskan pada penentuan jaring kontrol vertikal

pada kategori kelas pengukuran LD menurut Standar Nasional Indonesia Jaring

Kontrol Vertikal (SNI JKV) dengan menggunakan metode differensial GNSS.

Penelitian dilakukan pada cakupan areal yang sempit 94 ha (1,28 km x 0,74 km),

dengan jarak antar titik pengamatan yang dekat, serta dengan kondisi topografi yang

relatif datar. Berdasarkan kondisi pengukuran tersebut diasumsikan bahwa nilai

undulasi geoid di daerah penelitian tersebut adalah relatif seragam. Hal ini dikuatkan

dengan melakukan perhitungan nilai undulasi geoid menggunakan geoid calculator

dari UNAVCO. Atas dasar asumsi tersebut, maka tinggi yang diperoleh dari

Page 6: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78041/potongan/S1-2014... · lebih dari 30 km, diharuskan melakukan pengukuran gaya berat. Dikarenakan

6

pengamatan menggunakan metode GNSS tidak berbeda secara signifikan terhadap

tinggi yang diperoleh dari metode sipatdatar.

I.7. Landasan Teori

I.7.1. Sistem Tinggi

Di dalam ilmu geodesi, tinggi suatu titik di Bumi didefinisikan sebagai jarak

terhadap suatu bidang referensi. Bidang referensi yang dipakai adalah bidang

equipotensial gayaberat (bidang nivo) yang diasumsikan berhimpit dengan muka air

laut rata-rata (mean sea level) yang tidak terganggu. Bidang tersebut dinamakan

bidang Geoid. Tinggi diukur sepanjang garis arah gaya berat (unting-unting)

berpotongan tegak lurus dengan bidang nivo. Bentuk bidang nivo tergantung pada

nilai gaya berat. Karena adanya kenyataan bahwa nilai gaya berat berbeda di setiap

titik tergantung distribusi massa batuan yang menyebabkan bidang nivo tidak sejajar

satu sama lain (tidak saling sejajar tapi tidak berpotongan karena saling melingkupi)

seperti Gambar I.1. Hal ini menyebabkan jarak antara dua bidang nivo menjadi tidak

tetap, dan inilah yang membawa komplikasi dalam pendefinisian sistem tinggi.

Gambar I.1. Bidang-bidang equipotensial gaya berat (Wellenhof & Moritz, 2005)

Di dalam geodesi, pengukuran tinggi atau beda tinggi dilakukan dengan cara

sipatdatar (levelling). Pengukuran sipatdatar pada dasarnya adalah mengukur jarak

antara bidang equipotensial gaya berat, maka pada setiap ukuran tinggi dengan

Page 7: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78041/potongan/S1-2014... · lebih dari 30 km, diharuskan melakukan pengukuran gaya berat. Dikarenakan

7

Sipatdatar seharusnya diukur juga gayaberat di sepanjang lintasan pengukuran

Sipatdatar. Hal ini sesuai dengan rekomendasi dari International Association of

Geodesy (IAG, 1950).

Sistem tinggi yang mendasarkan pada bidang equipotensial gayaberat

(geopotensial) biasa disebut sebagai sistem tinggi fisis. Dalam sistem tinggi fisis,

tinggi diukur dari permukaan geoid melalui garis unting-unting (garis gaya berat)

sampai ke titik di permukaan Bumi. Sistem tinggi fisis banyak digunakan baik untuk

keperluan praktis maupun keperluan ilmiah karena mempunyai beberapa kelebihan.

Kelebihan-kelebihan tersebut antara lain bidang acuannya memiliki realita fisik,

yang dapat dihubungkan langsung dari pengukuran di permukaan Bumi.

I.7.1.1. Tinggi orthometris. Suatu titik di permukaan Bumi dimana jarak yang

diukur di sepanjang garis unting-unting (arah gaya berat) dari geoid sampai ke titik

tersebut di permukaan Bumi. Jadi bidang geoid adalah bidang referensi untuk sistem

ketinggian ini. Untuk mendapatkan tinggi orthometris yang tepat, maka bilangan

geopotensial dibagi dengan suatu harga menengah gaya berat sepanjang garis unting-

unting antara titik yang bersangkutan dan geoid. Adapun ilustrasinya adalah pada

Gambar I.2 berikut :

Gambar I.2. Tinggi orthometris (H) (Wellenhof & Moritz, 2005).

Pada Gambar I.2 diatas, 0 dan P‟ terletak pada bidang equipotensial yang sama,

sehingga selisih potensial antara bidang potensial yang melalui titik 0 atau P‟ dengan

bidang equipotensial yang melalui P dan 0‟ adalah sama.

∫ ∫

.……………………………………………….……(I.1)

Page 8: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78041/potongan/S1-2014... · lebih dari 30 km, diharuskan melakukan pengukuran gaya berat. Dikarenakan

8

gp adalah nilai gaya berat rata-rata sepanjang garis gaya berat PP‟ , sehingga

persamaan menjadi :

∫ ∫

……………………………………..…………..…..(I.2)

Secara umum tinggi orthometris di suatu titik dapat ditulis dalam bentuk

persamaan berikut ini :

…………………………………………….……….(I.3)

atau,

.…………………………………………………….(I.4)

Dalam persamaan 1.2, notasi (gp) merupakan gaya berat di titik P, dH elemen

beda tinggi dan (gm) adalah gaya berat menengah di titik P. Nilai gaya berat

menengah yang dimaksud adalah nilai gaya berat rata-rata sepanjang garis unting-

unting (plumb-line).

I.7.1.2. Tinggi elipsoid. Bentuk fisik yang sebenarnya dari Bumi dapat didekati

dengan baik secara matematis dengan menggunakan model Bumi elipsoid.

Permukaan elipsoid yang rata memudahkan untuk dilakukan operasi perhitungan.

Hal inilah yang melandasi penggunaan elipsoid sebagai bidang referensi horisontal

bagi jaring geodetik.

Meskipun demikian, elipsoid kurang tepat apabila digunakan sebagai bidang

referensi vertikal atau ketinggian. Karena sistem referensi yang paling mendekati

kenyataan untuk bidang referensi ketinggian adalah dengan menggunakan geoid.

Terdapat perbedaan antara geoid dengan elipsoid yang disebut undulasi geoid (N).

Besarnya nilai undulasi tersebut tergantung pada elipsoid refernsi yang digunakan.

Pada elipsoid global, undulasinya adapat mencapai 100 m. Hubungan geometris

antara undulasi geoid (N) dengan tinggi elipsoid (h) serta tinggi ortometrik (H) yang

diperoleh dari pengukuran sipatdatar adalah sebagai berikut :

h = N + H …………………………………………….…………….(I.5)

Page 9: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78041/potongan/S1-2014... · lebih dari 30 km, diharuskan melakukan pengukuran gaya berat. Dikarenakan

9

Ilustrasi hubungan antara tinggi orthometrik yang bereferensi pada geoid

dengan tinggi geometrik yang bereferensi elipsoid adalah menurut Gambar I.3.

Gambar I.3. Hubungan antara elipsoid dengan geoid (Seeber, 2003)

1.7.2. Penentuan Tinggi dengan Metode Sipatdatar

Dalam ilmu geodesi, penentuan tinggi suatu titik ditentukan dengan melakukan

pengukuran beda tinggi dari titik yang telah diketahui tingginya. Adapun metode

yang lazim digunakan adalah metode sipatdatar. Alat sipatdatar ini adalah alat yang

paling teliti dalam melakukan pengukuran beda tinggi. Adapun konsep, metode, dan

pengolahan hasil pengukuran dari sipatdatar ini adalah sebagai berikut :

I.7.2.1. Konsep penentuan beda tinggi dengan sipatdatar. Istilah sipatdatar di

sini berati konsep menentukan tinggi antara dua titik atau lebih dengan garis bidik

mendatar atau horisontal yang diarahkan pada rambu-rambu yang berdiri tegak atau

vertikal. Sedang alat ukurnya dinamakan penyipat datar.

Gambar I.4. Prinsip penentuan beda tinggi dengan sipatdatar (Basuki, 2006)

a b

A

B

a b

h ab = a-b

Page 10: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78041/potongan/S1-2014... · lebih dari 30 km, diharuskan melakukan pengukuran gaya berat. Dikarenakan

10

Keterangan Gambar I.4 :

A dan B : Titik di atas permukaan Bumi yang akan diukur beda tingginya

a dan b : Bacaan rambu atau tinggi garis mendatar / garis bidik di titik A dan B

Ha dan Hb : Ketinggian titik A dan B di atas bidang referensi

Δhab : Beda tinggi antara titik A dan B

Beda tinggi antara titik A dan B dirumuskan sebagai berikut:

Δhab = a - b ............................................................................................(I.6)

Apabila (a-b) hasilnya positif (+), maka dari A ke B berarti kenaikan, atau B

lebih tinggi dari A. Sebaliknya, apabila (a-b) negatif (-), maka dari A ke B berarti

turun atau B lebih rendah dari A.

Pada satu kali kedudukan alat sipatdatar, jarak A dan B yang dapat dijangkau

adalah relatif pendek. Yaitu maksimum 200 m. Oleh sebab itu, bidang nivo yang

melalui titik A, titik B dan garis bidik alat sipatdatar dapat dianggap saling sejajar.

I.7.2.2. Metode pengukuran dengan sipatdatar. Dalam melakukan pengukuran

dengan alat sipatdatar, terdapat beberapa metode yang lazim digunakan berkenaan

dengan seberapa panjang jarak spasi antara titik-titik yang akan dilakukan

pengukuran. Dikarenakan keterbatasan alat sipatdatar yang tidak memungkinkan

untuk melakukan pengukuran beda tinggi antara dua titik yang relatif jauh. Adapun

metode yang digunakan adalah sebagai berikut :

1. Pengukuran beda tinggi antara dua titik. Jarak bidik optimum alat penyipat

datar berkisar antara 40 – 60 m. Sehingga apabila dua buah titik yang akan

diukur beda tingginya cukup dekat dan relatif datar, maka pengukuran dapat

dilakukan dengan beberapa kemungkinan seperti Gambar 1.5 di bawah.

Apabila alat didirikan di antara dua buah rambu, maka antara dua

buah rambu dinamakan slag yang terdiri dari bidikan ke rambu muka dan

rambu belakang. Selain garis bidik atau benang tengah (BT), pada

umumnya teropong dilengkapi dengan benang stadia yaitu benang atas (BA)

dan benang bawah (BB). Selain untuk pengukuran jarak optis, pembacaan

BA dan BB juga untuk kontrol pembacaan benang tengah (BT) dimana

Page 11: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78041/potongan/S1-2014... · lebih dari 30 km, diharuskan melakukan pengukuran gaya berat. Dikarenakan

11

seharusnya pembacaan BT = ½ (BA + BB). Apabila jarak antara dua buah

titik yang akan diukur beda tingginya relatif jauh, maka dilakukan

pengukuran berantai atau sipatdatar memanjang (differential levelling).

Gambar I.5. Pengukuran beda tinggi antara dua buah titik yang relatif dekat

(Basuki, 2006)

2. Pengukuran sipatdatar berantai. Jika jarak antar titik kontrol pemetaan

relatif jauh, pengukuran beda tinggi dengan penyipat datar tak dapat

dilakukan dengan satu kali berdiri alat. Oleh karena itu antara dua buah titik

kontrol yang berurutan dibuat beberapa slag dengan titik-titik bantu dan

pengukurannya dibuat secara berantai (differential levelling).

Seperti halnya pengukuran jarak dan sudut, pengukuran beda tinggi

juga tidak cukup dilakukan dengan sekali jalan. Tetapi dibuat pengukuran

pergi-pulang yang pelaksanaannya dapat dilakukan dalam satu hari

(dinamakan seksi), serta dimulai dan diakhiri pada titik tetap. Gabungan

beberapa seksi dinamakan trayek.

Gambar I.6. Pengukuran sipatdatar berantai (Basuki, 2006)

Page 12: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78041/potongan/S1-2014... · lebih dari 30 km, diharuskan melakukan pengukuran gaya berat. Dikarenakan

12

Keterangan Gambar I.6 :

A dan B : Titik tetap yang akan ditentukan beda tingginya

1,2,3,4, … : Titi-titik bantu pengukuran

m1,m2,m3,.. : Bacaan rambu belakang

b1,b2,b3,… : Bacaan rambu muka

Pada Gambar I.6, A dan B adalah titik yang akan ditentukan beda

tingginya. Karena jarak keduanya cukup jauh, maka dibuat beberapa slag.

Beda tingginya adalah kumulatif dari beda tinggi setiap slag, yaitu :

∆hA1 = b1 – m1

∆h12 = b2 – m2

∆h23 = b3 – m3

∆h3B = b4 – m4

-------------------------- +

∆hAB = ∑∆h = ∑a - ∑b ……...……….…………………..(I.7)

Dalam hal ini :

∑a : Jumlah pembacaan rambu belakang

∑b : Jumlah pembacaan rambu muka

∆h : Beda tinggi tiap slag

Karena data pembacaan cukup banyak, agar nantinya tidak menimbulkan

kesulitan perhitungan, data ditulis sistematis dalam buku ukur atau lembaran

formulir pengukuran. Selain dengan pengukuran pergi-pulang, pengukuran

sipatdatar berantai terkadang dilakukan dengan dua kali berdiri alat pada setiap

pengukuran beda tinggi tiap slag (double stand). Akan tetapi cara tersebut

tidaklah dianjurkan.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78041/potongan/S1-2014... · lebih dari 30 km, diharuskan melakukan pengukuran gaya berat. Dikarenakan

13

I.7.2.3. Kesalahan dalam pengukuran beda tinggi dengan sipatdatar. Dalam

pengukuran menggunakan sipatdatar (spirit levelling), walaupun sebelum

pengukuran peralatan telah dikoreksi dan syarat-syarat lain telah dipenuhi, namun

karena hal-hal lain yang tidak terduga sebelumnya, kesalahan-kesalahan yang lain

tetap dapat terjadi yang menurut sumbernya adalah sebagai berikut :

1. Kesalahan yang pertama adalah kesalahan karena garis bidik tidak sejajar

garis arah nivo. Akibat kesalahan ini, garis bidik akan menjadi miring. Pada

pengukuran satu slag pembacaan rambu belakang yang seharusnya terbaca

ao menjadi terbaca a1, demikian pula pembacaan rambu muka yang

seharusnya bo menjadi b1. Akibatnya, beda tinggi antara A dan B (∆hab)

yang seharusnya (a0-b0) menjadi (a1-b1). Pergeseran angka pembacaan

rambu belakang = (a1-a0) dan rambu muka = (b1-b0). Karena sudut

kemiringan garis bidik ke belakang dan ke muka sama besar, a1-a0 dengan

b1-b0 apabila jarak alat ukur ke rambu belakang sama dengan jarak alat

ukur ke rambu muka. Dengan kata lain, pengaruh garis bidik yang tidak

sejaajr dengan garis arah nivo akan hilang dengan cara membuat jarak alat

ukur ke rambu muka sama dengan jarak alat ukur ke rambu belakang.

Gambar I.7. Kesalahan garis bidik tidak sejajar garis arah nivo (Basuki, 2006)

2. Kesalahan titik nol rambu. Kesalahan ini bisa terjadi dari pabrik, namun bisa

pula terjadi karena alas rambu yang aus dimakan usia atau sebab yang lain.

Misal kedua rambu yang dipakai dalam pengukuran keduanya salah,

masing-masing sebesar δ1 bertanda negatif (misal karena aus) dan δ2

Page 14: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78041/potongan/S1-2014... · lebih dari 30 km, diharuskan melakukan pengukuran gaya berat. Dikarenakan

14

bertanda positif (misal karena pabrik). Sehingga pada pengukuran berantai,

dimana rambu akan dibuat berselang-seling dan kesalahan titik nol rambu

akan terjadi secara berselang-seling pada slag ganjil (slag pertama dan

seterusnya). Kesalahan titik nol rambu pengaruhnya akan hilang apabila

jumlah slag genap.

3. Kesalahan karena rambu tidak betul-betul vertikal. Kesalahan ini tidak dapat

dihilangkan. Untuk menghindari kesalahan ini, maka rambu harus betul-

betul vertikal dengan cara menggunakan nivo rambu atau unting-unting

yang digantungkan padanya.

4. Kesalahan karena penyinaran alat yang tidak merata. Sinar matahari yang

jatuh tidak merata pada alat ukur sipatdatar akan menyebabkan panas dan

pemuaian pada alat penyipat datar yang tidak merata pula, khususnya nivo

teropong. Sehingga pada saat gelembung seimbang, garis arah nivo tidak

mendatar dan garis bidik juga tidak datar. Untuk menghindari keadaan

semacam ini, sebaiknya alat ukur dipayungi agar tidak langsung terkena

sinar matahari.

5. Kesalahan karena kelengkungan permukaan Bumi. Bidang nivo adalah

bidang lengkung seperti halnya permukaan Bumi. Sedangkan garis bidik

sipatdatar adalah mendatar. Pada Gambar 1.8 tersebut, alat ukur berdiri di

titik A dan berdiri vertikal, demikian pula rambu di B. Garis CA dan EB

tegak lurus permukaan Bumi ke arah pusat Bumi P. Garis CD adalah bidang

nivo yang melalui C dan memotong rambu di D. Garis CE mendatar melalui

teropong memotong rambu di E. Jarak ED = ρ kesalahan karena

kelengkungan permukaan Bumi. Karena tinggi alat dan tinggi pembacaan

rambu sangat kecil bila dibandingkan dengan jari-jari Bumi rata-rata (6378

km), maka jarak CP dan DP dinamakan R = ½ (RA + RB). Dalam ∆ ECP

siku-siku di C, terdapat hubungan sebagai berikut :

EP2 = CP

2 + CE

2 …………………………………….…..(I.8)

atau

(ED + DP)2 = CP

2 + CE

2 ….………………………………(I.9)

atau

Page 15: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78041/potongan/S1-2014... · lebih dari 30 km, diharuskan melakukan pengukuran gaya berat. Dikarenakan

15

( ρ + R)2 = R

2 + s

2 ρ

2 + 2ρR + R

2 = R

2 + s

2 …………….(I.10)

Karena ρ2 kecil dan diabaikan, maka :

ρ =

...……...……………………………(I.11)

Gambar I.8. Kesalahan karena kelengkungan permukaan bumi dan refraksi

(Basuki, 2006)

Dari persamaan diatas terlihat bahwa pengaruh kelengkungan

permukaan Bumi sebanding dengan kuadrat jarak dua titik yang

bersangkutan. Karena jarak bidik optimum teropong penyipat datar kurang

dari 100 m, maka pengaruh kesalahan untuk pengukuran yang tidak teliti

sekalipun dapat diabaikan dan pengaruh kesalahan ini dapat dihilangkan

dengan membuat jarak rambu muka sama dengan rambu belakang.

6. Pengaruh refraksi sinar. Permukaan Bumi diselimuti dengan lapisan-lapisan

udara yang ketebalannya tidak sama karena suhu dan tekanan yang tidak

sama. Hal ini akan mengakibatkan sinar yang sampai pada teropong dari

obyek yang dibidik akan menjadi melengkung ke atas sehingga yang terbaca

menjadi terlalu besar. Oleh karenanya koreksi menjadi minus.

7. Kesalahan karena pengaruh undulasi. Pada tengah hari yang panas antara

pukul 11 sampai pukul 14 sering terjadi undulasi, yaitu udara di permukaan

Bumi yang bergerak naik karena panas (fatamorgana). Jika rambu ukur

didirikan di tempat yang demikian, maka apabila dibidik dengan teropong

Page 16: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78041/potongan/S1-2014... · lebih dari 30 km, diharuskan melakukan pengukuran gaya berat. Dikarenakan

16

akan kelihatan seolah-olah rambu tersebut bergerak bergelombang.

Sehingga sukar sekali untuk menentukan angka mana yang berimpit dengan

garis bidik atau benang silang. Sehingga apabila terjadi undulasi sebaiknya

pengukuran dihentikan.

8. Kesalahan karena kondisi tanah tidak stabil. Akibat kondisi tanah temmpat

berdiri alat atau rambu tidak stabil, maka setelah pembidikan ke rambu

belakang, pengamat pindah posisi untuk mengamat ke rambu muka

ketinggian alat atau statif akan mengalami perubahan sehingga beda tinggi

yang didaptkan akan mengalami kesalahan. Apabila kondisi semacam ini di

temapt berdiri rambu, maka pada saat rambu dibalik dari rambu muka

menjadi rambu belakang akan mengalami pula perubahan ketinggian.

I.7.2.4. Pengolahan data sipatdatar metode Bowditch. Hasil pengukuran

menggunakan sipatdatar adalah nilai beda tinggi dari titik-titik yang dilakukan

pengukuran. Data beda tinggi tersebut kemudian diolah lebih lanjut untuk

mendapatkan tinggi dari tiap titik yang diukur. Akan tetapi, karena dalam setiap

pengukuran selalu dihinggapi kesalahan tak terkecuali pada pengukuran beda tinggi

dengan alat sipatdatar yang dikenal sebagai alat yang paling teliti dalam pengukuran

beda tinggi maka dari itu dilakukan pengolahan lebih lanjut untuk mereduksi

kesalahan yang terjadi sehingga akan didapatkan nilai tinggi terkoreksi berikut

dengan ketelitian yang dihasilkan. Adapun metode pengolahan yang umum

digunakan dalam pengolahan data ukuran sipatdatar adalah sebagai berikut :

Perhitungan metode Bowditch pada sipatdatar prinsip utamanya adalah bahwa

semakin jauh jarak antar titik, maka kesalahan beda tingginya akan semakin besar.

Untuk mengkoreksi kesalahan beda tinggi antar titiknya (seksi), maka besar

koreksinya adalah sebesar jarak seksi dibanding dengan jarak total seluruh seksi

dalam pengukuran sipatdatar. Semakin jauh jarak antar titik, maka koreksinya

semakin besar. Adapun langkah pengolahan metode Bowditch adalah sebagai

berikut:

Page 17: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78041/potongan/S1-2014... · lebih dari 30 km, diharuskan melakukan pengukuran gaya berat. Dikarenakan

17

1. Pemeriksaan terhadap data pengukuran pergi dan pulang. Apabila

pengukuran beda tinggi pada satu slag/seksi diukur pergi-pulang dan

berbentuk tertutup (loop), akan didapat beda tinggi pergi (Δpg ) dan beda

tinggi pulang (Δpl ) yang pada umumnya besarnya tidak selalu sama. Selisih

dari padanya serta jarak antaranya akan menentukan apakah ukuran beda

tinggi tersebut diterima atau tidak. Angka atau besaran yang menyatakan

bahwa beda pengukuran pergi dan pulang suatu ukuran diterima atau tidak

disebut toleransi. Dalam standar nasioanl indonesia jaring kontrol vertikal

(SNI JKV), toleransi selisih beda tinggi pergi dan pulang untuk memenuhi

standar kelas pengukuran yang paling minimum yaitu kelas LD maka

toleransi yang digunakan adalah sebesar 18mm √ . Kemudian apabila data

pengukuran pergi dan pulang telah memenuhi toleransi, maka beda tinggi

definitifnya adalah rata-rata dari Δhpg dan Δhpl atau secara matematis:

Δh rata-rata atau (Δhr) =

...................................................(I.12)

2. Pemeriksaan terhadap kesalahan penutup beda tinggi. Setelah selisih nilai

beda tinggi antara pengukuran pergi dan pulang telah memenuhi toleransi,

maka langkah selanjutnya adalah melakukan pemeriksaan terhadap

kesalahan penutup beda tinggi rata-rata pergi dan pulang. Untuk pengukuran

tertutup (loop) terdapat syarat yang harus dipenuhi adalah jumlah beda

tinggi rata-rata jaring/loop tiap seksi harus sama dengan nol atau :

∑Δhrs = 0 …...........................................................................( I.13)

Apabila tidak sama dengan nol, maka besaran tersebut dinamakan

kesalahaan penutup beda tinggi atau fH. Apabila harga fH ini ≤ toleransi,

maka pengukuran diterima. Dengan nilai toleransi berdasarkan SNI JKV.

Sebagai contoh apabila harga fH ≤ 18mm √ , maka jaring pengukuran

tersebut telah memenuhi kelas pengukuran yang paling minimum yaitu

kategori kelas LD.

Page 18: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78041/potongan/S1-2014... · lebih dari 30 km, diharuskan melakukan pengukuran gaya berat. Dikarenakan

18

3. Koreksi terhadap nilai beda tinggi pengukuran. Dalam metode Bowditch,

untuk memenuhi syarat (I.13) maka beda tinggi rata-rata tiap seksi dikoreksi

sebesar :

εhi =

……...............................................................(I.14)

dimana :

εhi : Koreksi beda tinggi seksi ke I

Di : Jarak seksi ke i (jarak rata-rata pergi-pulang)

∑D : Jumlah jarak pengukuran tertutup

fh : Kesalahan penutup tinggi

I.7.2.5. Metode hitung peratan kuadrat terkecil. Hitung perataan kuadrat

terkecil adalah hitung perataan (adjustment) yang berbasiskan pada minimalisasi

jumlah kuadrat dari residual pengamatan. Pada pengolahan data ukuran beda tinggi

sipatdatar mengunakan hitung kuadrat terkecil, tahap pertama adalah dengan

melakukan hitungan perataan jaring terkendala minimal (minimum constraint) yaitu

dengan menetapkan minimal satu titik yang diketahui atau dianggap tetap. Adapun

pada penelitian ini, maka jaring sipatdatar yang digunakan adalah seperti pada

Gambar I.9.

Gambar I.9. Sketsa jaring pengukuran sipatdatar

Pada penelitian ini, titik BM1, BM2, BM3, dan BM4 adalah parameter yang

akan dicari tingginya. Titik TDT diasumsikan sebagai titik ikat yang tetap (Fixed

Point). Nilai ketinggian titik TDT (HTDT) didefinisikan sama dengan tinggi GNSS

BM1

BM4

TDT

BM2

BM3

∆h1

∆h1’

∆h2’

∆h2

∆h3

∆h3’

∆h4

∆h5

∆h4’

∆h5’

Keterangan :

: Pergi

: Pulang

Page 19: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78041/potongan/S1-2014... · lebih dari 30 km, diharuskan melakukan pengukuran gaya berat. Dikarenakan

19

(HGNSS). Jaring pengukuran sipatdatar diukur secara pergi dan pulang untuk setiap

seksi. Untuk mulai melaksanakan hitung perataan, maka langkah yang dilakukan

adalah sebagai berikut:

1. Menyusun model fungsional. Pengamatan merupakan fungsi dari parameter.

Dalam sebuah jaring sipatdatar pengukuran beda tinggi (∆h) merupakan

fungsi dari parameter tinggi (h).

L = F (X) ……………………………………………………(I.15)

Untuk i seksi pengukuran, maka :

Jumlah pengamatan = n = 2i

Jumlah parameter (tinggi titik yang belum diketahui) = u

Jumlah ukuran lebih = r = n – u

Sehingga dengan jumlah seksi pengukuran (i) = 5

Maka, jumlah pengamatan (n) = 10

Jumlah parameter (u) = 4

Jumlah ukuran lebih (r) = 10 – 4 = 6

Dengan :

H1 = BM1,

H2 = BM2,

H3 = BM3,

H4 = BM4.

Maka didapatkan persamaan observasi pengukuran pergi :

∆h1 = H2 - H1

∆h1 + V1 = H2 - H1

∆h2 = HTDT - H2

∆h2 + V2 = HTDT - H2

∆h3 = H3 - HTDT

∆h3 + V3 = H3 - HTDT

∆h4 = H4 - H1

∆h4 + V4 = H4 - H1

∆h 5 = H3 - H4

∆h 5 + V5 = H3 - H4 …………..…(I.16)

Page 20: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78041/potongan/S1-2014... · lebih dari 30 km, diharuskan melakukan pengukuran gaya berat. Dikarenakan

20

Persamaan observasi pengukuran pulang :

∆h1‟ = H1 - H2

∆h1‟ + V6 = H1 - H2

∆h2‟ = H2 - HTDT

∆h2‟ + V7 = H2 - HTDT

∆h3‟ = HTDT - H3

∆h3‟ + V8 = HTDT - H3

∆h4‟ = H1 - H4

∆h4‟ + V9 = H1 - H4

∆h 5‟ = H4 - H3

∆h 5‟ + V10 = H4 - H3 ….…………(I.17)

Sehingga, persamaan residu data pengukuran pergi sipatdatar :

V1 = H2 - H1 - ∆h1

V2 = HTDT - H2 - ∆h2

V3 = H3 - HTDT - ∆h3

V4 = H4 -H1 - ∆h4

V5 = H3 - H4 - ∆h5 ………………………………………..…….(I.18)

Dan persamaan residu data pengukuran pulang sipatdatar :

V6 = H1 - H2 - ∆h 1‟

V7 = H2 - HTDT - ∆h2‟

V8 = HTDT - H3 - ∆h3‟

V9 = H1 - H4 - ∆h4‟

V10 = H4 -H3 - ∆h5‟ ….……………………………….…………...….(I.19)

Apabila dituliskan dalam bentuk matriks maka disusun sebagai berikut

pada persamaan I.20.

nV1 = nAu uX1 + nL1 5V1 = 5A4 4X1 + 5L1 ……………………(I.20)

Dimana :

5A4 =

[

]

………………………..………..(I.21)

Page 21: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78041/potongan/S1-2014... · lebih dari 30 km, diharuskan melakukan pengukuran gaya berat. Dikarenakan

21

5V1 =

[

]

..……………………………..……….……..(I.22)

4X1 = [

] …………..…………..……………..……….(I.23)

Matriks L data pengukuran pergi,

5L1 =

[

]

……………………...……………..…(I.24)

Matriks L data pengukuran pulang,

5L1‟ =

[

]

…………………………………..…………(I.25)

Setelah matriks A dan L dibentuk, maka nilai parameter X, yaitu :

X = -(ATPA)

-1 A

TPL ……..…………………...…………………(I.26)

Dalam hal ini P adalah matriks bobot, yaitu :

…….…….....................................................(I.27)

Keterangan :

d = Jarak seksi pengukuran

= Varian apriori ( Nilai = 1)

Page 22: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78041/potongan/S1-2014... · lebih dari 30 km, diharuskan melakukan pengukuran gaya berat. Dikarenakan

22

5P1 =

[

]

……………………….….(I.28)

Keterangan :

di : Jarak seksi ke-i saat pengukuran pergi (km)

di‟ : Jarak seksi ke-i saat pengukuran pulang (km)

Setelah diperoleh nilai parameter X, dihitung residu pengukuran

(matriks V) dan nilai varians aposteriori , yaitu :

…...................................................................(I.29)

selanjutnya dihitung matrik varians-kovarians parameter dengan persamaan

berikut :

∑ …................................................(I.30)

∑xx =

[

]

……………………….….(I.31)

Sementara untuk menghitung varian kovarian dari residu ∑ ,

rumus yang digunakan adalah pada persamaan (I.32) berikut :

∑ ........................................................(I.32)

∑vv =

[

]

………………………….(I.33)

Page 23: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78041/potongan/S1-2014... · lebih dari 30 km, diharuskan melakukan pengukuran gaya berat. Dikarenakan

23

Untuk menghitung simpangan dari pengukuran terkoreksi ( ζLa ),

maka diperoleh dari matriks varian kovarian ukuran. Dengan rumus sebagai

berikut :

ΣLa = A (AT ΣL-1

A)-1

AT ………………………………...(I.34)

Dengan ΣL-1

adalah matriks varian kovarian pengukuran.

I.7.2.6. Uji statistik hasil hitung perataan kuadrat terkecil. Setelah hitung

perataan dilakukan, maka untuk menguji atau mengetahui apakah model

matematikanya yang disusun telah benar, pemberian bobot telah benar, dan juga

untuk mengetahui apakah terdapat kesalahan kasar didalam data ukuran adalah

dengan melakukan uji statistik. Uji statistik yang umum digunakan dalam hitung

perataan adalah sebagai berikut:

1. Uji global. Setelah hitung perataan pada sebuah jaring, tes global dilakukan

terlebih dahulu. Pada tes ini akan memperkirakan kesesuaian faktor varian

aposteriori ( ) dengan faktor varian apriori (

). Uji global menggunakan

hipotesis nol (Ho) yang dirumuskan untuk menguji kebenaran model bahwa

model matematikanya telah benar dan lengkap, proses linearisasi dengan

prinsip deret taylor telah benar, pemberian bobot ukuran telah benar

(widjajanti, 1992).

Sedangkan hipotesis tandingan (Ha) berlaku sebaliknya dari hipotesis Ho.

Pada uji global, nilai varian a posteori dibandingkan terhadap nilai varian

apriori dengan menerapkan uji Chi-square seperti pada persamaan (I.35).

….....................................................................................(I.35)

Ada dua cara pengujian apabila persamaan (I.35) memenuhi distribusi

dengan derajat kebebasan df, yaitu pengujian satu arah dan pengujian dua

arah. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:

a. Pengujian dua arah (two tailed). Hipotesis dirumuskan sebagai mana

pada persamaan (I.36) dan (I.37). Kriteria pengujian dirumuskan sebagai

persamaan (I.38).

Page 24: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78041/potongan/S1-2014... · lebih dari 30 km, diharuskan melakukan pengukuran gaya berat. Dikarenakan

24

……........................................................................(I.36)

........................................................................(I.37)

atau

….............................................(I.38)

Menolak hasil uji Ho apabila memenuhi persamaan (I.38). Dalam hal ini

nilai

dan

diperoleh berdasarkan fungsi probabilitas

distribusi dengan derajat kepercayaan 1 - α % dan df = n – u dari

Tabel , sedangkan dihitung dari hasil kuadrat terkecil sebagai

mana pada persamaan (I.35).

b. Pengujian satu arah (one tailed). Hipotesis dirumuskan sebagai

persamaan (I.39) dan (I.40). Kriteria pengujian dirumuskan sebagai

persamaan (I.41). Menolak hasil uji Ho apabila memenuhi persamaan

(I.39).

.......................................................................(I.39)

.......................................................................(I.40)

.......................................................................(I.41)

Arti dari menolak Ho pada pengujian tersebut berarti terdapat

indikasi bahwa model yang digunakan terdapat kesalahan atau kurang

lengkap, sebaliknya bila uji diterima berarti secara umum model telah

benar dan lengkap.

2. Uji blunder. Uji blunder dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya

kesalahan blunder pada data pengukuran. Anggapan yang umum diterima,

bahwa suatu residu pengukuran yang besarnya tiga kali kesalahan standar

pengukuran merupakan indikator adanya blunder pada pengukuran tersebut

(Soeta'at, 1996). Anggapan tersebut kurang tepat, karena residu bukan

hanya karena adanya blunder atau kesalahan pengukuran, tetapi juga

dipengaruhi oleh bentuk jaringan yang bersangkutan. Kriteria yang tepat

untuk mendeteksi kesalahan blunder menggunakan persamaan I.42

(Soeta'at, 1996).

Page 25: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78041/potongan/S1-2014... · lebih dari 30 km, diharuskan melakukan pengukuran gaya berat. Dikarenakan

25

|

|

……...............................................................(I.42)

Dalam hal ini,

Vi : Residu ukuran ke-i, elemen matriks residu baris ke-i.

: Simpangan baku residu ukuran ke-i, elemen matriks varian kovarian

residu (∑ , baris ke-i, kolom ke-i.

Nilai distribusi Fisher

untuk beberapa derajat kepercayaan bisa

didapatkan dari Tabel I.1 berikut :

Tabel I.1. Nilai distribusi F (Fisher)

α

0,001 10,80 3,29

0,010 6,66 2,58

0,050 3,84 1,96

0,100 2,72 1,65

I.7.2.7. Penentuan kelas pengukuran hasil pengolahan sipatdatar. Hasil

pengolahan sipatdatar adalah berupa nilai dari parameter tinggi titik-titik yang diukur

serta ketelitian atau standar deviasi dari nilai parameter tersebut. Untuk mengetahui

kelas pengukuran hasil pengukuran sipatdatar maka dapat diketahui dengan

membandingkan ketelitian hasil pengukuran dengan SNI JKV sebagai berikut:

Jaring Kontrol Vertikal (JKV) merupakan serangkaian titik kontrol vertikal

yang satu sama lainnya diikatkan dengan ukuran beda tinggi orthometrik mengacu

pada titik datum. Jaring kontrol vertikal ini diklasifikasikan menurut tingkat presisi

dan akurasi hasil survei. Fakta empiris yang diterapkan untuk dasar klasifikasi ialah

bahwa ketelitian pengukuran beda tinggi dengan metode sipatdatar memanjang

sebanding dengan akar jarak pengukuran.

Kelas JKV ditentukan oleh faktor-faktor desain jaringan, pelaksanaan

pengukuran, peralatan yang digunakan, teknik reduksi dan hasil hitung perataan

Page 26: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78041/potongan/S1-2014... · lebih dari 30 km, diharuskan melakukan pengukuran gaya berat. Dikarenakan

26

terkendala minimal (minimally constraint). Penempatan kelas JKV pada akhirnya

didasarkan pada hasil hitung perataan jaring terkendala minimal. Kriteria untuk

penempatan kelas adalah besarnya kesalahan maksimal r = c √ , dengan harga c

seperti pada Tabel I.2 sebagai berikut.

Tabel I.2. Penjenjangan kelas sipatdatar.

Sipatdatar memanjang

R (mm) = c √

Orde c (untuk 1σ)

L0 2

L1 4

L2 8

L3 12

L4 18

1.7.3. Penentuan Tinggi dengan Metode GNSS

GNSS (Global Positioning System) adalah sistem satelit navigasi dan

penentuan posisi yang dimiliki dan dikelola oleh Amerika Serikat. Sistem ini

didesain untuk memberikan posisi dan kecepatan tiga-dimensi serta informasi

mengenai waktu, secara kontinu di seluruh dunia tanpa tergantung waktu dan cuaca,

kepada banyak orang secara simultan. Pada saat ini, sistem GNSS sudah sangat

banyak digunakan orang di seluruh dunia. Di Indonesia pun, GNSS sudah banyak

diaplikasikan, terutama yang terkait dengan aplikasi-aplikasi yang menuntut

informasi tentang posisi.

1.7.3.1. Konsep penentuan posisi dengan GNSS. Pada dasarnya GNSS terdiri

atas tiga segmen utama, yaitu segmen angkasa, segmen sistem kontrol , dan segmen

pemakai. Ketiga segment GNSS ini digambarkan secara skematik di Gambar I.10.

Setiap satelit GNSS secara kontinu memancarkan sinyal-sinyal gelombang

pada 2 frekuensi L-band yang dinamakan L1 and L2. Sinyal L1 berfrekuensi 1575.42

MHz dan sinyal L2 berfrekuensi 1227.60 MHz. Sinyal L1 membawa 2 buah kode

biner yang dinamakan kode-P (P-code, Precise or Private code) dan kode-C/A (C/A-

Page 27: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78041/potongan/S1-2014... · lebih dari 30 km, diharuskan melakukan pengukuran gaya berat. Dikarenakan

27

code, Clear Access or Coarse Acquisation), sedangkan sinyal L2 hanya membawa

kode-C/A. Perlu dicatat bahwa pada saat ini kode-P telah dirubah menjadi kode-Y

yang strukturnya dirahasiakan untuk umum. Dengan mengamati sinyal-sinyal dari

satelit dalam jumlah dan waktu yang cukup, seseorang kemudian dapat memrosesnya

untuk mendapatkan informasi mengenai posisi, kecepatan, dan waktu, ataupun

parameter-parameter turunannya.

Gambar I.10. Sistem penentuan posisi global, GNSS (SNI JKH, 2002)

Pada dasarnya konsep dasar penentuan posisi dengan GNSS adalah reseksi

(pengikatan ke belakang) dengan jarak, yaitu dengan pengukuran jarak secara

simultan ke beberapa satelit GNSS yang koordinatnya telah diketahui. Posisi yang

diberikan oleh GNSS adalah posisi tiga dimensi (X,Y,Z ataupun L,B,h) yang

dinyatakan dalam datum WGS (World Geodetic System) 1984. Dengan GNSS, titik

yang akan ditentukan posisinya dapat diam (static positioning) ataupun bergerak

(kinematic positioning).

Posisi titik dapat ditentukan dengan menggunakan satu receiver GNSS

terhadap pusat Bumi dengan menggunakan metode absolute (point) positioning,

ataupun terhadap titik lainnya yang telah diketahui koordinatnya (monitor station)

dengan menggunakan metode differential (relative) positioning yang menggunakan

minimal dua receiver GNSS, yang menghasilkan ketelitian posisi yang relatif lebih

tinggi. GNSS dapat memberikan posisi secara instan (real-time) ataupun sesudah

pengamatan setelah data pengamatannya di proses secara lebih ekstensif (post

Page 28: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78041/potongan/S1-2014... · lebih dari 30 km, diharuskan melakukan pengukuran gaya berat. Dikarenakan

28

processing) yang biasanya dilakukan untuk mendapatkan ketelitian yang lebih baik.

Secara umum kategorisasi metode dan sistem penentuan posisi dengan GNSS

ditunjukkan pada Gambar I.11.

Gambar I.11. Metode dan sistem penentuan posisi dengan GNSS (Langley, 1998)

Ketinggian yang diberikan oleh GNSS adalah ketinggian titik di atas

permukaan elipsoid, yaitu elipsoid WGS‟84. Tinggi elipsoid (h) ini berbeda dengan

tinggi orthometrik (H) yang umum digunakan pada keperluan praktis sehari-hari

yang umumnya diukur dengan Sipatdatar. Tinggi orthometrik adalah Tinggi di atas

Geoid yang bereferensi pada bidang ekipotensial gayaberat (bidang nivo) yang

berimpit dengan muka air laut rerata (mean sea level) yang tidak terganggu.

Ilustrasinya adalah pada Gambar I.12 berikut:

Gambar I.12. Tinggi elipsoid dan tinggi orthometrik (Abidin, 2007)

Page 29: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78041/potongan/S1-2014... · lebih dari 30 km, diharuskan melakukan pengukuran gaya berat. Dikarenakan

29

Untuk dapat mentransformasikan tinggi elipsoid hasil ukuran GNSS ke tinggi

orthometrik maka diperlukan data undulasi Geoid di titik tersebut. Persamaan

matematis yang digunakan untuk mengkonversi tinggi elipsoid ke orthometrik

menurut persamaan (I.5).

Ketelitian dari tinggi orthometrik yang diperoleh akan tergantung pada

ketelitian dari tinggi GNSS serta undulasi geoid. Perlu dicatat bahwa penentuan

undulasi geoid secara teliti (orde ketelitian cm) bukanlah suatu pekerjaan yang

mudah. Disamping diperlukan data gaya berat yang detail, juga diperlukan data

ketinggian topografi permukaan Bumi serta data densitas material di bawah

permukaan Bumi yang cukup.

Untuk mengkonversi penentuan tinggi elipsoid GNSS ke tinggi orthometrik

(GNSS Heighting) yang tidak terlalu membutuhkan ketelitian yang tinggi, telah

tersedia model referensi global yaitu EGM96 (Earth Gravitational Model). EGM96

merupakan hasil kolaborasi antara US’s Defense Mapping Agency dengan NASA‟s

Goddard Space Flight Center dan The Ohio State University (OSU) yang

dikembangkan dan ditingkatkan untuk membentuk model harmonik sferis dari

potensial gaya berat Bumi sampai 360 derajat. Model ini merupakan gabungan dari

data pengkuran gaya berat teristris, turunan anomali gaya berat dari altimeter dari

ERS-1 dan dari GEOSAT Geodetic Mission (GM), extensive satellite tracking data,

termasuk juga Satellite Laser Ranging (SLR), Global Positioning System (GPS),

NASA’s Tracking and Data Relay Satellite System (TDRSS), French DORIS system,

dan US Navy TRANET Doppler tracking sytem yang sebaik rentang langsung

altimeter dari TOPEX/POSEIDON (T/P), ERS-1, dan GEOSAT. Solusi finalnya

bercampur antara kombinasi model derajat rendah sampai derajat 70, solusi blok

diagonal dari derajat 71 sampai 359, dan solusi quadrature pada derajat 360. Model

ini digunakan untuk menghitung undulasi geoid yang akurasinya lebih baik dari satu

meter (dengan pengecualian pada area hampa dari densitas dan akurasi data gaya

berat permukaan dan WGS84 sebagai refernsi tiga dimensi.

Dibawah aegis of the IAG‟s International Geoid Services, EGM96 telah diuji

oleh 16 kelompok diseluruh dunia untuk menemukan versi yang terbaik dan cocok

untuk tiap regional. Hasilnya disusun oleh sideris pada 1996 dan dipublikasikan pada

Page 30: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78041/potongan/S1-2014... · lebih dari 30 km, diharuskan melakukan pengukuran gaya berat. Dikarenakan

30

world wide web (http://www.ucalgary.ca/-sideris). Sehingga EGM96 dapat

digunakan untuk keperluan umum.

Untuk menentukan undulasi geoid pada suatu titik di permukaan Bumi dengan

memanfaatkan EGM96, dapat dilakukan dengan kalkulator tinggi Geoid dari

UNAVCO. Kalkulator tersebut digunakan untuk menghitung undulasi pada titik

lintang dan bujur yang ditentukan. Program ini menggunakan potensial model

EGM96 dan satu set koefisien harmonik bola dan koreksi konversi anomali

ketinggian undulasi geoid. Program ini dirancang untuk mengacu pada elipsoid

WGS‟84 yang digunakan oleh satelit GNSS.

Untuk mendapatkan hasil yang relatif teliti, transformasi tinggi GNSS ke tinggi

orthometrik umumnya dilakukan secara diferensial, seperti yang ditunjukkan pada

Gambar I.13 berikut :

Gambar I.13. Penentuan tinggi secara differensial (Abidin, 2007)

Pada penentuan tinggi dengan GNSS (GNSS Heighting) dikenal dua macam

tinggi. Yaitu tinggi absolut dan tinggi relatif. Tinggi absolut adalah tinggi yang

diperoleh dari pengamatan GNSS yang bereferensi terhadap elipsoid (h) yang

ditentukan oleh hanya satu titik pengamatan. Sementara tinggi relatif adalah tinggi

elipsoid yang diperolah dengan pengukuran secara diferensial antara dua titik

pengamatan. Tinggi relatif umumnya dinotasikan dengan ∆h.

Pada beberapa aplikasi khususnya pada keperluan drainase atau irigasi nilai

tinggi elipsoid “h” dan “∆h” tidak digunakan. Sehingga perlu dilakukan transformasi

Page 31: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78041/potongan/S1-2014... · lebih dari 30 km, diharuskan melakukan pengukuran gaya berat. Dikarenakan

31

dari tinggi elipsoid ke tinggi orthometrik. Dalam penentuan tinggi orthometrik

dengan GNSS, ditemukan bahwa ∆h dapat ditentukan lebih teliti dibandingkan

dengan h, dan ∆N dapat ditentukan lebih teliti dibandingkan dengan N. Dengan

kenyataan itulah maka penentuan tinggi orthometrik dengan GNSS dilakukan dengan

metode tinggi relatif. Dalam kata lain, tinggi orthometrik diperoleh dengan jalan

pengukuran beda tinggi dengan tinggi relatif hasil pengukuran dengan GNSS.

∆HAB = HB – HA ……………..…………………………..………………..(I.43)

∆hAB = hB – hA, dan ……………..…………………………………..………..(I.44)

∆NAB = NB - NA ……………..…………………………………………....(I.45)

Dengan asumsi bahwa tinggi orthometrik titik A (HA) diketahui dan

pangamatan GNSS dilakukan secara differensial di titik A dan B sehingga diperoleh

tinggi relatif (∆hAB) sedangkan data ∆NAB diperoleh dengan perhitungan dari

pengukuran gravimetri pada titik A dan B. Sehingga diperoleh persamaan sebagai

berikut :

HB = HA + ∆HAB, atau ………………………………..……….……(I.46)

HB = HA + HB – HA ……….……………………………………..(I.47)

Dari persamaan I.47 dapat disusun :

HB = HA + (hB – NB) + (hA – NA) ………………………………….……(I.48)

Disusun kembali sebagai berikut :

HB = HA + (hB – hA) - (NB – NA), atau …………………...……….……(I.49)

HB = HA + ∆hAB - ∆NAB …..………………………………………….(I.50)

1.7.3.2. Metode pengamatan dengan GNSS. Survei penentuan posisi dengan

pengamatan satelit GNSS (survei GNSS) secara umum dapat didefinisikan sebagai

proses penentuan koordinat dari sejumlah titik terhadap beberapa buah titik yang

telah diketahui koordinatnya, dengan menggunakan metode penentuan posisi

diferensial (differential positioning) serta data pengamatan fase (carrier phase) dari

sinyal GNSS.

Pada survei GNSS, pengamatan GNSS dengan selang waktu tertentu dilakukan

baseline per baseline dalam suatu jaringan dari titik-titik yang akan ditentukan

Page 32: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78041/potongan/S1-2014... · lebih dari 30 km, diharuskan melakukan pengukuran gaya berat. Dikarenakan

32

posisinya, seperti yang ditunjukkan pada Gambar I.14. Patut dicatat di sini bahwa

seandainya lebih dari dua receiver GNSS yang digunakan, maka pada satu sesi

pengamatan (observing session) dapat diamati lebih dari satu baseline sekaligus.

Gambar I.14. Penentuan posisi titik-titik dengan survei GNSS (SNI JKH, 2002)

Berkaitan dengan baseline, maka dalam survei dengan GNSS, pengertian

menyangkut baseline trivial dan non-trivial (bebas) cukup penting untuk dimengerti.

Pada perataan jaringan GNSS, hanya baseline-baseline bebas (non-trivial) saja yang

boleh diikut sertakan. Baseline trivial adalah baseline yang dapat diturunkan

(kombinasi linear) dari baseline - baseline lainnya dari satu sesi pengamatan.

Baseline yang bukan trivial dinamakan baseline non-trivial (baseline bebas). Dalam

hal ini, seandainya ada n receiver yang beroperasi secara simultan pada satu sesi

pengamatan maka akan ada (n-1) baseline bebas yang boleh digunakan untuk

perataan jaringan.

Pada prinsipnya akan ada beberapa kombinasi dari (n-1) baseline bebas

tersebut seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1.15. Dalam hal ini set dari (n-1)

baseline bebas yang digunakan akan mempengaruhi kualitas dari posisi titik dalam

jaringan yang diperoleh.

Gambar I.15. Contoh beberapa kombinasi dari baseline trivial dan non-trivial

Page 33: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78041/potongan/S1-2014... · lebih dari 30 km, diharuskan melakukan pengukuran gaya berat. Dikarenakan

33

Untuk kontrol kualitas dan menjaga kekuatan jaringan, baseline yang diamati

sebaiknya saling menutup dalam suatu loop (jaringan) dan tidak terlepas begitu saja

(radial) seperti Gambar I.16. Jika dikarenakan suatu hal pengamatan baseline harus

dilakukan secara terlepas (metode radial), maka sebaiknya setiap baseline diamati

minimal 2 kali pada 2 sesi pengamatan yang berbeda, sehingga ada mekanisme

kontrol kualitas.

Gambar I.16. Metode jaringan dan metode radial (SNI JKH, 2002)

Metode pengamatan yang umum digunakan dalam survei dengan GNSS,

metode yang umum digunakan adalah metode survei statik. Metode penentuan posisi

secara statik (Static Positioning) adalah penentuan posisi dari titik-titik yang statik

(diam). Penentuan posisi tersebut dapat dilakukan secara absolut maupun

differensial, dengan menggunakan data pseudorange dan/atau fase. Pada metode

statik sangat populer digunanakan untuk penentuan koordinat titik-titik kontrol untuk

keperluan pemetaan ataupun penentuan fenomena deformasi dan geodinamika.

Gambar I.17. Penentuan posisi titik-titik metode survei GNSS (Abidin, 2007)

Aplikasi tersebut umumya dilakukan dengan metode statik secara diferensial

dengan menggunakan data fase. Dimana pengamatan satelit dilakukan baseline per

Page 34: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78041/potongan/S1-2014... · lebih dari 30 km, diharuskan melakukan pengukuran gaya berat. Dikarenakan

34

baseline selama selang waktu tertentu dalam suatu jaringan dari titik-titik yag akan

ditentukan posisinya.

1.7.3.3. Kesalahan dan bias dalam pengamatan dengan GNSS. Dalam

perjalanannya dari satelit hingga mencapai antena di permukaan Bumi, sinyal GNSS

akan dipengaruhi oleh beberapa kesalahan dan bias seperti yang ditunjukkan pada

Gambar I.18 berikut. Kesalahan dan bias GNSS pada dasarnya dapat dikelompokkan

atas kesalahan dan biasyang terkait erat dengan:

1. Satelit, seperti kesalahan ephemeris, jam satelit, dan selective availability

(SA)

2. Medium propagasi, seperti bias ionosfer dan bias troposfer.

3. Receiver GNSS, seperti kesalahan jam receiver, kesalahan terkait dengan

antena, dan noise (derau)

4. Data pengamatan, seperti ambiguitas fase, dan cycle slips.

5. Lingkungan sekitar GNSS receiver, seperti multipath, dan imaging.

Gambar I.18. Kesalahan dan bias GNSS (Abidin, 2007)

Page 35: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78041/potongan/S1-2014... · lebih dari 30 km, diharuskan melakukan pengukuran gaya berat. Dikarenakan

35

1.7.3.4. Pengolahan hasil pengamatan GNSS. Dalam survei dengan GNSS,

pengolahan data GNSS dimaksudkan untuk menghitung koordinat dari titik-titik

dalam suatu jaringan berdasarkan data-data pengamatan fase sinyal GNSS yang

diamati di titik-titik tersebut. Pengolahan data GNSS sehingga mendapatkan

koordinat titik-titik yang memenuhi spesifikasi teknis adalah suatu proses yang

cukup ekstensif. Adapun langkah pengolahannya dijelaskan menurut langkah-

langkah seperti Gambar I.19 berikut ini.

Gambar I.19. Diagram alir perhitungan titik-titik jaring GNSS (SNI JKH, 2002)

1. Pemrosesan awal (Pre-Processing) data pengamatan GNSS. Pemrosesan

data pengamatan GNSS dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak.

Untuk survei pemetaan digunakan perangkat lunak komersial seperti SKI,

dan Geogenius. Sedangkan untuk keperluan yang menuntut ketelitian yang

lebih tinggi seperti survei geodetik dan studi geodinamika, digunakan

perangkat lunak ilmiah seperti Bernesse, GAMIT, dan DIPOP. Sebelum

dilakukan pengolahan data GNSS, dilakukan terlebih dahulu pemrosesan

awal (pre-processing) data GNSS yang mencakup sebagai berikut :

Page 36: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78041/potongan/S1-2014... · lebih dari 30 km, diharuskan melakukan pengukuran gaya berat. Dikarenakan

36

a. Transfer, kompresi, dan memformat kembali data (termasuk di dalamnya

pesan navigasi) dari receiver GNSS kedalam media penyimpanan

komputer. Melakukan konversi file pengamatan GNSS yang masih

berformat pabrikan dari receiver kedalam format RINEX (Receiver

Independent Exchange) sehingga dapat dibaca oleh perangkat lunak

pengolah data GNSS.

b. Menyiapkan data file ephemeris umum dari rekaman pesan navigasi atau

precise ephemerides dari sumber eksternal

c. Melakukan screening data dengan berdasarkan pada kualitas flags atau

satelit yang dibawah dari mask angle.

d. Menghasilkan solusi awal posisi dari titik yang diamat biasanaya melalui

pengolahan data pseudorange.

e. Menghasilkan perkiraan solusi dari baseline menggunakan data fase

triple difference.

f. Mendeteksi dan memperbaiki cycle slips dengan sejumlah metode.

2. Pengolahan Baseline. Pengolahan baseline pada dasarnya bertujuan

menghitung vektor baseline (dX,dY,dZ) menggunakan data fase sinyal

GNSS yang dikumpulkan pada dua titik ujung dari baseline yang

bersangkutan, yang diilustrasikan pada Gambar 1.20.

Gambar I.20. Pengolahan data baseline GNSS (SNI JKH, 2002)

Page 37: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78041/potongan/S1-2014... · lebih dari 30 km, diharuskan melakukan pengukuran gaya berat. Dikarenakan

37

Pada survei GNSS, pengolahan baseline umumnya dilakukan secara

beranting satu persatu (single baseline) dari baseline ke baseline, dimulai

dari suatu tetap yang telah diketahui koordinatnya, sehingga membentuk

suatu jaringan yang tertutup. Tapi perlu juga dicatat di sini bahwa

pengolahan baseline dapat dilakukan secara sesi per sesi pengamatan,

dimana satu sesi terdiri dari beberapa baseline (single session, multi

baseline).

Pada proses pengestimasian vektor baseline, data fase double-

difference digunakan. Meskipun begitu biasanya data pseudorange juga

digunakan oleh perangkat lunak pengolahan baseline sebagai data pembantu

dalam beberapa hal seperti penentuan koordinat pendekatan, sinkronisasi

waktu kedua receiver GNSS yang digunakan, dan pendeksian cycle slips.

Secara skematik, tahapan perhitungan suatu (vektor) baseline ditunjukkan

pada Gambar 1.21 berikut :

Gambar I.21. Tahapan perhitungan suatu baseline GNSS (SNI JKH, 2002)

Page 38: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78041/potongan/S1-2014... · lebih dari 30 km, diharuskan melakukan pengukuran gaya berat. Dikarenakan

38

Untuk memeriksa kualitas dari vektor baseline yang diperoleh, ada

beberapa indikator kualitas yang dapat dipantau, yaitu antara lain :

a. rms (root mean squares), harga minimum dan maksimum, serta standar

deviasi dari residual,

b. faktor variansi a posteriori,

c. matriks variansi kovariansi dari vektor baseline,

d. hasil dari test statistik terhadap residual maupun vektor baseline,

e. elips kesalahan relatif dan titik,

f. kesuksesan dari penentuan ambiguitas fase serta tingkat kesuksesannya,

g. jumlah data yang ditolak, dan jumlah cycle slips.

Disamping indikator-indikator kualitas di atas, kualitas suatu vektor

baseline juga akan bisa dicek pada saat perataan jaringan.

3. Perataan Jaringan. Pada perataan jaringan, vektor-vektor baseline yang telah

dihitung sebelumnya secara sendiri-sendiri, dikumpulkan dan diproses dalam

suatu hitung perataan jaringan (network adjustment) untuk menghitung

koordinat final dari titik-titik dalam jaringan GNSS yang bersangkutan.

Hitung perataan jaringan ini menggunakan metode perataan kuadrat terkecil

(least squares adjustment).

Perataan jaringan GNSS umumnya dilakukan dalam dua tahap, yaitu

perataan jaring bebas (free network adjustment) dan perataan jaring terikat

(constrained network adjustment). Perataan jaring bebas dilakukan dengan

hanya menggunakan satu titik tetap dan dimaksudkan untuk mengecek

konsistensi data vektor baseline, satu terhadap lainnya. Setelah melalui

tahapan perataan jaring bebas dan kontrol kualitasnya, selanjutnya vektor-

vektor baseline yang „diterima‟diproses kembali dalam perataan jaring

terikat. Pada perataan ini semua titik tetap digunakan, dan koordinat titik-titik

yang diperoleh dan sukses melalui proses kontrol kualitas akan dianggap

sebagai koordinat yang final.

Pada prinsipnya hitung perataan jaringan ini akan berguna untuk beberapa

hal, yaitu :

Page 39: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78041/potongan/S1-2014... · lebih dari 30 km, diharuskan melakukan pengukuran gaya berat. Dikarenakan

39

a. Untuk menciptakan konsistensi pada data-data ukuran vektor baseline ,

b. Untuk mendistribusikan kesalahan dengan cara yang merefleksikan

ketelitian pengukuran,

c. Untuk menganalisa kualitas dari baseline-baseline, serta

d. Untuk mengidentifikasi baseline-baseline serta titik-titik kontrol yang

perlu dicurigai.

Secara ilustratif, kegunaan dari perataan jaringan ditunjukkan pada

Gambar I.22. Pada Gambar ini ditunjukkan bahwa sebelum perataan jaringan

dilakukan, baseline-baseline belum terintegrasi secara benar dan konsisten,

dan koordinat titik-titik juga belum unik. Setelah hitung perataan, baseline-

baseline akan terintegrasi secara benar dan konsisten, titik-titik akan

mempunyai koordinat yang unik.

Gambar I.22. Perataan jaring GNSS (SNI JKH, 2002)

Untuk mengecek kualitas dari koordinat yang diperoleh dari hitung

perataan jaringan, ada beberapa indikator kualitas yang dapat dipantau, yaitu

antara lain :

a. RMS (Root Mean Squares), harga minimum dan maksimum, serta standar

deviasi dari residual, faktor variansi a posteriori,

b. Matriks variansi kovariansi dari koordinat,

Page 40: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78041/potongan/S1-2014... · lebih dari 30 km, diharuskan melakukan pengukuran gaya berat. Dikarenakan

40

c. Jumlah vektor baseline yang ditolak (outliers). Outliers adalah data

pengamatan yang secara statistik dianggap tidak sesuai (incompatible)

dengan data pengamatan lainnya dalam satu seri (Vanicek,1986).

d. Dimensi dari elips kesalahan relatif dan absolut,

e. Hasil dari test statistik terhadap residual maupun koordinat,

f. Perbedaan harga-harga statistik antara yang diperoleh dari hitung perataan

jaring bebas dan dari hitung perataan jaring terikat.

1.7.3.5. Penentuan kelas pengukuran hasil pengolahan data pengamatan GNSS.

Berdasarkan Standar Nasional Indonesia Jaring Kontrol Horizontal Nasional (SNI

JKHN) klasifikasi suatu jaring kontrol didasarkan pada tingkat presisi dan tingkat

akurasi dari jaring yang bersangkutan, yang tingkat presisi diklasifikasikan

berdasarkan kelas, dan tingkat akurasi diklasifikasikan berdasarkan orde.

Kelas suatu jaring titik kontrol horizontal ditentukan berdasarkan panjang

sumbu-panjang (semi-major axis) dari setiap elips kesalahan relatif (antar titik)

dengan tingkat kepercayaan (confidence level) 95% yang dihitung berdasarkan

statistik yang diberikan oleh hasil hitung perataan jaringan kuadrat terkecil

terkendala minimal (minimal constrained). Dalam hal ini panjang maksimum dari

sumbu-panjang elips kesalahan relatif 95% yang digunakan untuk menentukan kelas

jaringan adalah :

r = c ( d + 0,2 ) …………………………………………………....…..(I.51)

Keterangan :

r : Panjang maksimum dari sumbu panjang yang diperbolehkan, dalam mm;

c : faktor empirik yang mengGambarkan tingkat presisi survei;

d : jarak antar titik, dalam km.

Berdasarkan nilai faktor c tersebut, kategorisasi kelas jaring titik kontrol

horizontal yang diuslkan diberikan pada Tabel I.3 berikut:

Page 41: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78041/potongan/S1-2014... · lebih dari 30 km, diharuskan melakukan pengukuran gaya berat. Dikarenakan

41

Tabel I.3. Kelas pengukuran jaring kontrol horizontal

Kelas c (ppm) Jarak (km) Aplikasi tipikal

3A 0.01 1000 Jaring tetap (Kontinu) GNSS

2A 0.1 500 Survei geodetik berskala nasional

A 1 100 Survei geodetik berskala regional

B 10 10 Survei geodetik berskala local

C 30 2 Survei geodetik untuk perapatan

D 50 0,1 Survei pemetaan

I.8. Hipotesis

Mengingat cakupan areal penelitian yang sempit, yaitu seluas 94 ha (1,28 km x

0,74 km), jarak antar titik pengukuran yang pendek (477-682 m) serta kondisi

topografi yang relatif datar, maka nilai undulasi geoid di area ini diasumsikan relatif

seragam. Asumsi ini diperkuat dengan hasil perhitungan nilai undulasi geoid pada 5

titik kontrol utama yang dihitung dengan menggunakan perangkat lunak geoid

calculator dari UNAVCO. Hasil perhitungan undulasi geoid pada titik NBM1 =

25,325 m, NBM2 = 25,324 m, NBM3 = 25,321 m, NBM4 = 25,321 m, dan NTDT = 25,324

m. Terlihat bahwa beda undulasi antar titik sampel tersebut adalah berkisar antara 0-

3 mm. Atas dasar asumsi tersebut, maka hipotesis yang dipergunakan dalam

penelitian ini adalah tinggi titik-titik jaring kontrol vertikal hasil pengamatan metode

GNSS dan hasil pengukuran metode sipatdatar pada kelas pengukuran LD tidak

berbeda secara signifikan. Hal ini didasarkan pada asumsi pada kelas LD untuk

lokasi penelitian ketelitian toleransi tinggi yang diperbolehkan sebesar 47,754 mm.