bab i pendahuluan 1.1 latar belakang...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Indonesia adalah negara yang pernah dijajah sampai berabad-abad lamanya
oleh negara-negara penjajah Eropa, yaitu Portugis, Spanyol, Inggris, dan Belanda.
Selain itu, Indonesia juga pernah dijajah oleh salah satu negara Asia yakni negara
dengan julukan Negara Matahari Terbit, yaitu Jepang. Kemudian Portugis adalah
negara Eropa pertama yang mencapai negeri Indonesia, karena pada zaman itu,
Bangsa Portugis telah mencapai kemajuan-kemajuan di bidang teknologi tertentu
yang kemudian melibatkan bangsa Portugis dalam salah satu petualangan
mengarungi samudera (Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, 2005).
Kemerdekaan Republik Indonesia yang kita nikmati sekarang adalah hasil
dari sebuah proses perjuangan yang dilakukan oleh segenap Bangsa Indonesia.
Meskipun tidak ada data akurat mengenai perhitungan dari berapa banyak korban
di pihak Indonesia yang gugur dalam gerakan Perjuangan Kemerdekaan Republik
Indonesia. Perkiraan dari berbagai sumber bahwa militer dan laskar rakyat
Indonesia yang tewas dalam peperangan untuk Perjuangan kemerdekaan
Indonesia berkisar dari 45.000 jiwa sampai 100.000 jiwa lebih, dan rakyat sipil
diperkirakan meninggal dalam kisaran 25.000 atau mungkin mencapai angka
100.000 jiwa atau lebih. Selain itu tentara Inggris (Sekutu) yang berjumlah 1.200
diperkirakan dibunuh dan hilang di Jawa dan Sumatera antara tahun 1945 sampai
dengan tahun 1946 termasuk dua orang Jenderal yaitu Brigadir Jenderal Aubertin
2
Walter Southern Mallaby Komandan Brigade 49 Inggris dan Brigadir Jenderal
Robert Guy Loder Symons Komandan Detasemen Artileri Divisi 5 Inggris yang
gugur dalam Palagan 10 Nopember 1945 di Surabaya. Sedangkan untuk Belanda
sendiri sejumlah 5.000 jiwa lebih tentaranya kehilangan nyawa mereka di
Indonesia, korban meninggal dari pihak Belanda termasuk Jenderal Spoor yang
saat itu menjabat sebagai Komandan tertinggi tentara Belanda di Indonesia.
Jumlah tentara Jepang yang gugur juga besar, di area Bandung sendiri
diperkirakan tentara Jepang yang tewas dalam peperangan sebanyak seribu
personil lebih, separuhnya gugur dalam perang, sementara yang lainnya tewas
diamuk oleh rakyat Indonesia. Berbagai pertempuran dahsyat juga terjadi di
berbagai belahan penjuru tanah air sepanjang tahun 1945 sampai dengan tahun
1949 antara lain Pertempuran Medan Area, Pertempuran 5 hari di Palembang,
Perang Konvoi Sukabumi – Cianjur, Bandung Lautan Api, Palagan Ambarawa,
Serangan Umum 1 Maret di Yogyakarta, Pertempuran 5 hari di Semarang,
Palagan 10 Nopember di Surabaya dan sebagainya.
Hal tersebut di atas menggambarkan betapa besarnya pengorbanan baik
jiwa raga maupun harta benda Bangsa Indonesia dalam meraih dan
mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia. Kegigihan perjuangan dan
pengorbanan para Pejuang Kemerdekaan tersebut tersebar di seluruh Indonesia
bisa kita lihat dan rasakan keabadian kobaran api semangatnya di berbagai
Museum Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia.
Perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajah menjadi suatu tonggak
sejarah yang sampai saat ini menjadi salah satu tujuan wisata. Namun sampai saat
3
ini wisata sejarah masih relatif kurang diminati oleh para pengunjung
dibandingkan wisata modern yang saat ini sangat berkembang, seperti wisata
belanja, kuliner, dan wisata alam yang dikemas secara modern (Cristin dan Deny,
2007).
Saat ini Indonesia berupaya untuk mendorong para pelaku bisnis
pariwisata yang berbasis sejarah untuk menjalankan aktivitas bisnisnya sebaik
mungkin. Hal ini berarti Indonesia berupaya mendukung seoptimal mungkin para
pelaku bisnis pariwisata yang berbasis sejarah untuk menawarkan daya tarik
sumber dayanya kepada konsumen global, karena semakin banyak konsumen
global masuk pada suatu negara maka pemasukan devisa akan semakin tinggi.
Fulton (2010) dan Gooroochurn (2009) menyatakan bahwa daerah tujuan
wisata yang kompetitif merupakan suatu indikasi bagi kinerja bisnis pariwisata di
suatu negara. Misalnya Amerika Serikat, Swedia, Norwegia, Finlandia dan
Australia yang memiliki kinerja bisnis pariwisata berbasis sejarah tinggi menjadi
daerah tujuan pariwisata yang paling kompetitif, sementara Burkina Faso, Chad,
Benin, Ethiopia dan Kamboja yang memiliki kinerja bisnis pariwisata berbasis
sejarah yang rendah menjadi tujuan pariwisata yang paling tidak kompetitif.
Fulton dan Gooroochurn juga menyatakan bahwa daerah tujuan pariwisata
berbanding lurus dengan banyaknya objek wisata, sumber daya alam, dan sumber
daya budaya yang dimiliki oleh suatu negara. Sehingga apabila suatu negara
memiliki daerah tujuan pariwisata yang banyak, seharusnya pertumbuhan sektor
pariwisatanya akan tinggi, pendapatan dari wisatawan mancanegara tinggi, serta
investasi yang tinggi dalam sektor pariwisata. Namun pada kenyataannya negara-
4
negara yang memiliki objek wisata berbasis sejarah dan sumber daya budaya yang
banyak, seperti Indonesia, Philipina, Kamboja, Vietnam, Iran, Peru, dan Ekuador
justru kinerja bisnis pariwisatanya masih di bawah Chile, Latvia, Qatar, Taiwan,
dan Uruguay. Padahal negara-negara tersebut memiliki objek wisata berbasis
sejarah, sumber daya alam, dan sumber daya budaya yang relatif lebih sedikit.
Taylor, Rosemann, and Prosser (2000:43) menyatakan bahwa kinerja
bisnis suatu perusahaan akan meningkat apabila perusahaan mampu
meningkatkan daya saing bisnisnya. Daya saing bisnis pariwisata diukur dengan
Travel & Tourism Competitiveness Index yang didasarkan pada empat indikator
yaitu Enabling Environment, T&T Policy and Enabling Conditions,
Infrastructure, dan Natural and Cultural Resources. Enabling environment
mencakup penilaian atas business indicator, safety and security, health and
hygiene, human resources and labor market, dan ICT readiness. T&T Policy and
Enabling Conditions mencakup penilaian atas prioritization of travel & tourism,
international opennes, price competitiveness, dan environmental sustainability.
Infrastructure mencakup penilaian atas air transport infrastructure, ground and
port infrastructure, and tourist service infrastructure. Natural and cultural
resources mengukur penilaian atas aspek natural resources dan cultural resources
and business travel.
Daya saing pariwisata berbasis sejarah untuk negara-negara di dunia
menurut Travel & Tourism Competitiveness Report 2011, menilai bahwa dari 139
negara, Swiss, Jerman dan Perancis memiliki lingkungan yang paling menarik
untuk mengembangkan industri perjalanan dan pariwisata berbasis sejarah diikuti
5
oleh Austria, Swedia, Inggris, Amerika Serikat, Kanada, Spanyol, dan Singapura
yang berada di peringkat 10 besar. Amerika Serikat masuk di peringkat ke 6
dengan skor 5,3, disusul oleh Inggris di peringkat ke 7 dengan indeks yang sama
yaitu 5,3. Sementara Indonesia berada di peringkat 75 dengan indeks 3,96. Hal ini
menggambarkan bahwa daya saing pariwisata berbasis sejarah di Indonesia masih
ketinggalan jauh dibandingkan negara-negara maju, bahkan di kawasan Asia pun
masih kalah daya saingnya dibandingkan China dan Taiwan.
Negara-negara tersebut dapat dikelompokkan menjadi sebuah matriks
yang terdiri dari empat cluster, yaitu cluster A, B, C, dan D. Pengklasifikasian
cluster tersebut didasarkan pada median yang diperoleh dari indeks daya saing
yang terdapat dalam Travel & Tourism Competitiveness Index 2011. Dari data
tersebut didapatkan median untuk indeks daya saing adalah sebesar 4.14,
sementara median untuk indeks sumber daya manusia, budaya, dan alam adalah
sebesar 4,04. Matriks tersebut menggambarkan pengelompokan berdasarkan
ranking daya saing dibandingkan dengan potensinya. Pada Gambar 1.1 di
halaman berikut ini dijelaskan matriks dari beberapa negara.
6
Potensi Sejarah yang Dimiliki Suatu Negara
Cluster A
Inggris, Amerika Serikat,
Australia, Spanyol,China, Brasil,
Argentina, Rusia
Cluster B
Chile, Latvia, Qatar, Taiwan,
Uruguay
Cluster C
India, Indonesia, Vietnam,
Kamboja, Mesir, Iran, Peru,
Ekuador
Cluster D
Pakistan, Banglades, Burkina
Faso, Chad, Benin,
Ethiopia
Sumber : Diadaptasi dari Blanke & Chiesa, 2011 (dalam AB Susanto, 2013)
Gambar 1.1. Potensi dan Ranking Daya Saing Pariwisata berbasis sejarah
Beberapa Negara di Dunia
Gambar 1.1 memperlihatkan bahwa negara-negara yang tergabung pada
Cluster C ternyata memiliki potensi sejarah yang besar, seharusnya dapat
mencapai peringkat daya saing pariwisata berbasis sejarah yang tinggi, namun
pada kenyataannya justru memiliki peringkat daya saing yang rendah.
Berdasarkan Travel & Tourism Competitiveness Index 2017, Spanyol
menduduki peringkat teratas global TTCI untuk kedua kalinya, diikuti oleh
Prancis (2), Jerman (3), Jepang (4), Inggris (5), Amerika Serikat (6), Australia (7),
Italia (8), Kanada (9) dan Swiss (10). Eropa dan Eurasia merupakan wilayah
dengan kinerja daya saing T & T terkuat secara keseluruhan, dikarenakan
kekayaan budayanya, infrastruktur layanan pariwisata yang sangat baik,
R
A
N
G
K
I
N
G
D
A
Y
A
S
A
I
N
G
Besar Kecil
Tinggi
Rendah
7
keterbukaan internasional dan juga persepsi keamanan, meskipun terdapat
penurunan persepsi keamanan di Eropa Barat dan Selatan.
TTCI 2017 juga menemukan bahwa beberapa negara berkembang dan
emerging economy (negara dengan ekonomi rendah menuju ke level menengah
dalam pendapatan per kapita) telah berhasil meningkatkan skor kinerja mereka
secara signifikan dibandingkan tahun 2015. World Travel and Tourism Council
(WTTC) memperkirakan bahwa antara 2016 dan 2026, akan terdapat 10 tujuan
negara berkembang dan sedang berkembang yang akan memiliki pertumbuhan
tercepat untuk belanja pariwisata yaitu India, diikuti oleh Angola, Uganda,
Brunei, Thailand, Cina, Myanmar, Oman, Mozambik dan Vietnam. Berikut
adalah gambaran negara-negara yang paling maju dalam tabel berikut ini:
Tabel 1.1 Most-improved countries in the Travel & Tourism Competitiveness
Index2017
Country/Economi Global Rank Change in performance (%) Change in rank
2017 since 2015 since 2015
Japan 4 6,18 +5
Azerbaijan 71 5,98 +13
Tajikistan 107 5,01 +12
Vietnam 67 4,80 +8
Israel 61 4,79 +11
Algeria 118 4,68 +5
Bhutan 78 4,52 +9
Gabon 119 4,47 +5
Korea Rep. 19 4,33 +10
Egypt 74 4,32 +9
Peru 51 3,93 +7
India 40 3,86 +12
Mexico 22 3,86 +8
Chad 135 3,83 +6
Albania 98 3,81 +8
Sumber : Travel & Tourism Competitiveness Index 2017
8
Pada tabel tersebut, dapat dilihat negara-negara dengan pertumbuhan
tertinggi dalam peningkatan indeks daya saing pariwisata, dimana Indonesia tidak
termasuk ke dalam salah satu di antaranya. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia
dinilai belum menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam pertumbuhan
kinerja pariwisatanya.
Padahal pariwisata berperan dalam memperkuat perekonomian suatu
negara menyediakan lapangan kerja dan peluang pengembangan karir, mendorong
pembangunan, memberikan layanan bagi pelanggan, serta meningkatkan derajat
hidup orang banyak. Hal ini akan berdampak pada berkurangnya pengangguran
dan kemiskinan, mengingat pariwisata adalah industri yang bersifat padat karya
(Eugenio-Martin, Morales, dan Scarpa, 2004). Pengaruh bisnis pariwisata tidak
hanya terbatas pada sektor-sektor yang memiliki kaitan langsung, namun juga
pada sektor-sektor yang tidak terkait secara langsung (Kohli and Eizenga, 2011).
Dampak langsung bisnis pariwisata adalah perubahan yang berkaitan dengan
pengeluaran wisatawan (Pao, 2005). AB Susanto (2013) mencontohkan,
bertambahnya wisatawan yang menginap akan meningkatkan pendapatan industri
perhotelan. Selanjutnya hotel akan merekrut serta membayarkan gaji karyawan.
Sementara dampak tidak langsung mencakup penjualan, pendapatan, dan
penciptaan lapangan kerja sebagai hasil pembelian sekunder yang dilakukan
sektor perhotelan kepada sektor-sektor industri lain di sebuah wilayah.
Melanjutkan contoh sebelumnya, hotel membeli produk dari industri lain,
misalnya industri makanan, guna melayani pelanggannya. Penjualan produk-
produk yang dihasilkan oleh industri terkait ini serta pendapatan dan lapangan
9
kerja yang dihasilkannya berasal dari dampak tidak langsung. Demikian pula
dengan penjualan, pendapatan, dan lapangan kerja yang dihasilkan dari
pengeluaran rumah tangga sebagai hasil yang diperoleh dari pengeluaran
wisatawan. Karyawan hotel dan perusahaan katering, misalnya, akan
membelanjakan gaji yang mereka terima sehingga menghasilkan penjualan,
pendapatan, dan lapangan kerja baru. Demikian seterusnya, inilah yang dikenal
dengan istilah efek pengganda (multipliers effect), yang oleh Archer dalam
Hassan (2011) didefinisikan sebagai perubahan akhir dalam keluaran (output)
dalam perekonomian relatif terhadap perubahan awal dalam pengeluaran
wisatawan dan menjadi sentral bagi setiap pengukuran dampak pariwisata bagi
perekonomian.
Jika merujuk kepada Blanke dan Chiesa (2011), misalnya sektor pariwisata
Indonesia, dalam peraturan dan kebijakan, masih relatif belum memiliki
keunggulan prevalensi terhadap kepemilikan asing dibandingkan dengan Malaysia
dan Singapura, juga belum secara optimal menindaklanjuti keterbukaan dalam
perjanjian layanan udara bilateral. Kegiatan pemasaran yang dilakukan guna
menarik kunjungan wisatawan ke Indonesia ternyata juga masih relatif kurang
efektif dibandingkan kedua negara tetangga tersebut. Dalam hal transportasi
udara, tersedia tempat duduk dengan kapasitas yang memadai bagi para
wisatawan yang berangkat dari berbagai kota di Indonesia, namun pelayanan yang
diberikan masih di bawah pelayanan beberapa maskapai penerbangan asing,
misalnya Singapore Airlines, Cathay Pacific dan Royal Thai Airlines.
10
Sementara semakin banyak negara yang mengakui peran bisnis pariwisata
sebagai penggerak yang dinamis bagi kemajuan ekonomi dan sosial, sehingga
menarik untuk mengkaji aspek–aspek yang berpengaruh pada kinerja museum di
Indonesia, terutama dengan menggunakan pendekatan ilmiah.
Berdasarkan pernyataan di atas, disinyalir bahwa kinerja pariwisata
berbasis sejarah di Indonesia masih relatif rendah. Salah satu destinasi pariwisata
adalah museum sejarah perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Sehingga
dapat dikatakan bahwa kinerja museum sejarah masih belum optimal. Kondisi
demikian diduga disebabkan oleh permasalahan belum tingginya citra destinasi
wisata Museum jika dibandingkan dengan destinasi lainnya.
Citra yang efektif menurut Kotler & Keller (2009), akan melakukan tiga
hal, yaitu menyampaikan satu pesan tunggal yang memantapkan karakter produk
dan usulan nilai, menyampaikan pesan ini dengan cara yang berbeda sehingga
tidak dikelirukan dengan pesan serupa dari para pesaing, dan mengirimkan
kekuatan emosional sehingga membangkitkan hati maupun pikiran pembeli.
Sementara itu, masyarakat cenderung belum begitu tertarik untuk mengunjungi
destinasi museum dikarenakan kurangnya informasi mengenai event atau promosi
yang ditawarkan sehingga lebih tertarik untuk mengunjungi destinasi wisata
lainnya. Sementara itu, citra memiliki beberapa elemen, seperti yang dijelaskan
oleh Kotler & Keller (2009) yaitu meliputi lambang, ruang fisik, event dan media.
Berkaitan dengan citra museum, Ketua Departemen Arkeologi Fakultas
Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia yang juga seorang Museolog; Kresno
Yulianto (2012), menyatakan ada banyak aspek yang perlu disiapkan, mulai fisik,
11
manajemen, program, jaringan, hingga pencitraan. Pandangan statis tentang
museum ini harus diubah menjadi dinamis. Museum harus dicitrakan sebagai
rempat rekreasi reresentatif dan menyenangkan, di samping tempat menambah
ilmu pengetahuan.
Penelitian Alexander Joseph Ibnu Wibowo (2015) tentang layanan salah
satu museum di Jakarta menggambarkan bahwa citra museum belum tinggi di
masyarakat, sehingga Alexander Joseph Ibnu Wibowo (2015:33) berpendapat
bawah pengelola museum perlu membangun kembali citra negatif museum
menjadi positif. Museum yang sering dicitrakan dengan istilah “kuno, tua, kotor,
berdebu, dan panas” secara perlahan perlu digeser menjadi “modern, muda,
bersih, dan dingin”. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa promosi juga
berguna untuk membenahi citra museum menjadi “modern, muda, bersih, dan
dingin”, sehingga mampu memperbaiki persepsi kualitas layanan museum secara
keseluruhan, namun promosi yang dilakukan selama ini dinilai belum efektif,
sehingga banyak masyarakat yang belum menyadari keberadaan museum.
Pengelola museum sebaiknya sering meng-update foto-foto museum ke berbagai
media sosial dan mempromosikan museum melalui media, dan menyelenggarakan
berbagai event.
Di sisi lain, Ahmad Sartono (Budayawan Indonesia dan Narasumber pada
Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia) dalam suatu diskusi
bersama dengan Penulis (2017) mengatakan bahwa citra dan kreasi nilai sangat
berpengaruh terhadap kinerja museum. Selain itu, penelitian sebelumnya juga
menunjukkan bahwa citra berkaitan dengan dengan Kinerja museum. Penelitian
12
Pop dan Borza (2016) berkenaan dengan hubungan antara kualitas dan
keberlanjutan, menyimpulkan bahwa setiap perbaikan kualitas berdampak positif
pada keberlanjutan budaya dan sosial museum. Sementara itu, faktor-faktor yang
mempengaruhi kualitas museum dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori:
faktor yang menentukan kualitas museum dari sudut pandang klien / pengunjung
dan dari sudut pandang staf, dan faktor - faktor yang mempengaruhi kualitas
museum terlepas dari persepsi pengunjung atau staf. Dengan mempertimbangkan
komponen sosial keberlanjutan, serta fakta bahwa kualitas terkait langsung
dengan kepuasan konsumen, dapat disimpulkan bahwa setiap proses untuk
menilai keberlanjutan suatu museum harus mencakup, antara lain, pengukuran
kualitas produk, layanan dan pengalaman yang ditawarkan masing-masing
museum.
Permasalahan lain yang diduga berkaitan dengan belum tingginya kinerja
Museum Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Indonesia di Indonesia, adalah
berkenaan dengan implementasi penciptaan nilai yang belum optimal. Kotler dan
Keller (2012:79) berpendapat bahwa untuk mengelola peluang nilai, perusahaan
memerlukan keterampilan penciptaan nilai yang mencakup : pengidentifikasian
manfaat pelanggan berdasarkan sudut pandang pelanggan, kemudian
menggunakan kompetensi intinya yang berasal dari domain bisnisnya, dan
kemudian memilih dan mengatur mitra bisnis dari jaringan kolaborasinya. Untuk
menciptakan manfaat pelanggan, maka pemasar harus memahami apa yang
dipikirkan, diinginkan, dilakukan, dan dikhawatirkan oleh pelanggan dengan cara
meneliti siapa yang dibanggakan oleh pelanggan, dengan siapa mereka
13
berinteraksi, dan siapa yang mampu mempengaruhi mereka. Namun demikian,
fenomena menunjukkan tampaknya pihak Museum belum optimal dalam
mengembangkan domain bisnisnya, maupun dalam melakukan kerjasama dengan
pihak institusi pendidikan atau komunitas-komunitas di masyarakat yang concern
dengan aspek budaya dan sejarah.
Salah satu contoh masih kurangnya penciptaan nilai oleh pengelola
museum, tergambar pada hasil penelitian Alexander Joseph Ibnu Wibowo (2015)
(2015:27) tentang kondisi salah satu museum di Jakarta, dimana pengelola
museum tidak memasang papan penunjuk untuk menegaskan lokasi pembelian
tiket dan penitipan barang. Pengelolaan loket terlihat kurang profesional dan
terkesan seadanya. Bagian loket hanya dilengkapi sarana pendukung berupa
sebuah meja kayu sederhana dengan seorang petugas. Di samping loket, tempat
penitipan barang juga tidak dikelola secara profesional karena tidak menyediakan
rak (loker) penitipan barang. Pengelola museum hanya menyediakan area sempit
di belakang loket untuk penitipan barang di mana pengunjung dipersilakan
menaruh barang bawaannya di lantai. Akibatnya, tampak banyak tas titipan
pengunjung yang berserakan di lantai. Hal ini sangat tidak layak dan kontras
dengan bangunan gedung museum yang terkesan megah, kokoh, dan modern.
Pengunjung pun merasa tidak nyaman dan khawatir dengan keamanan barang-
barang mereka. Hal itu membuat rendahnya nilai yang diperoleh pengunjung dari
kunjungan ke museum tersebut.
Sementara itu, Anna Christy Naomi, Aktivis Kelompok Pecinta Museum
Indonesia (KPMI) juga dalam diskusi mengatakan kepada penulis bahwa jelas
14
dirasakan akan adanya pengaruh dari citra dan kreasi nilai terhadap kinerja
museum (2017). Penelitian lain juga menunjukkan adanya peranan penciptaan
nilai museum dalam mendukung kinerja organisasi. Hal itu seperti yang
dibuktikan dalam hasil penelitian Zorloni (2012) yang menyajikan kerangka
teoritis untuk menilai penciptaan nilai di sektor museum, bersamaan dengan bukti
kurangnya metode saat ini untuk mengevaluasi kinerja museum seni. Dengan
menggunakan data yang dikumpulkan dalam wawancara mendalam dengan para
eksekutif museum di London, New York dan Washington, diidentifikasi sembilan
area yang sangat penting bagi keberhasilan sebagian besar museum yaitu :
melestarikan koleksi, memperkuat penelitian, meningkatkan keterlibatan publik,
memaksimalkan kolaborasi, melayani misi melalui keunggulan organisasi,
menarik dan mengembangkan kapasitas staf, meningkatkan penelitian tentang
pesaing, memajukan tata kelola dan akuntabilitas museum, dan mengelola serta
meningkatkan dukungan finansial.
Aspek lain yang diduga berdampak pada belum optimalnya kinerja
Museum Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Indonesia adalah berkenaan dengan
kapabilitas unik yang belum dikembangkan dengan baik. Hassan (2011)
menyatakan bahwa apabila potensi yang dimiliki suatu negara berupa sejarah,
SDM, sumber daya budaya, dan sumber daya alam yang dimiliki suatu negara
dimanfaatkan dengan baik menjadi tujuan wisata pada negara tersebut, maka akan
meningkatkan peringkat daya saing pariwisata negara tersebut. Sementara itu,
menurut pendapat Pearce dan Robinson (2015:166), berdasarkan RBV, setiap
perusahaan berbeda secara fundamental karena memiliki sekumpulan sumber
15
daya yang unik yang terdiri dari aset berwujud, aset tidak berwujud, serta
kapabilitas organisasi untuk memanfaatkan aset – aset tersebut.
Upaya pemerintah untuk mengelola aset museum adalah dengan
menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2015 tentang Museum.
Namun demikian, Sumber Daya Manusia (SDM) permuseuman ternyata belum
memadai, ketersediaan tenaga ahli masih terbatas. Kasubdit Permuseuman Ditjen
Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Sri Patmiarsi
Retnaningtyas, M.Hum. dalam suatu diskusi bersama dengan penulis di ruang
meeting Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman tanggal 12
Februari 2018 menjelaskan bahwa tenaga ahli yang dibutuhkan bermacam-
macam; mulai dari bidang registrasi, kurator, konservator, edukator, penata
pameran, hingga promosi. Kenyataannya tidak semua museum memiliki SDM (di
enam bidang) itu, terutama museum di daerah, ada yang tidak punya humas
(promosi) dan kurator, padahal ini sangat penting. Selain itu, berkaitan dengan
anggaran pengelolaan, Pemerintah Daerah/ Pemerintah Provinsi, terutama di
daerah-daerah, yang masih memandang bahwa museum adalah satu tempat yang
memang membuang uang. Sementara di sisi lain pihak swasta tidak banyak yang
fokus membantu di bidang sejarah dan budaya.
Fenomena lain terungkap dalam hasil penelitian Alexander Joseph Ibnu
Wibowo (2015) yang meneliti tentang layanan salah satu museum di Jakarta, yang
mana lokasi museum sangat strategis karena berada di pusat kota Jakarta dan
berada dekat dengan monumen nasional (Monas), yang merupakan salah satu
objek wisata terkenal di Jakarta. Selain itu, museum ini berada tepat di samping
16
jalan raya utama, sehingga memberikan kemudahan bagi siapa pun yang ingin
berkunjung. Namun demikian, orang yang belum pernah mengunjungi mungkin
akan kesulitan menemukan museum ini karena tidak adanya petunjuk lokasi yang
jelas. Apalagi, museum tidak memasang nama museum di depan gedung museum
tersebut. Selain itu, pendingin ruangan juga kurang berfungsi dengan baik, lobi
yang hanya menyediakan sedikit tempat duduk, padahal banyak pengunjung yang
kelelahan dan ingin duduk santai setelah berjalan menelusuri berbagai koleksi
museum. Pengunjung yang berusia lanjut dan anak-anak sangat terganggu dengan
kekurangan layanan ini, akibatnya banyak pengunjung yang terpaksa duduk di
lantai untuk beristirahat.
Berkaitan dengan kapabilitas unik dari segi pembiayaan menunjukkan
masih adanya keterbatasan. Hasil penelitian Suraya Yoyok (2016:2) menunjukkan
bahwa museum milik negara pada umumnya, cenderung bersikap “pasif‟ dengan
mengandalkan anggaran pemerintah yang tentu saja terbatas pada kewajiban
terhadap perawatan dan penyimpanan koleksi berupa tinggalan materi yang
memiliki nilai budaya atau identitas bangsa sesuai dengan Undang- Undang No.
11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
Di sisi lain, Kohli and Eizenga (2011:3) menyatakan, sebuah industri akan
meraih keunggulan bersaing apabila lokasi tempat mereka menjalankan bisnisnya
memungkinkan terciptanya akumulasi aset dan keterampilan dengan cara yang
cepat, yang kadang-kadang dapat diwujudkan melalui komitmen yang besar serta
didukung oleh peluang yang ada.
Aspek lain yang diduga berkaitan dengan kondisi yang disampaikan di
17
atas, adalah berkaitan dengan belum optimalnya orientasi pasar yang
dikembangkan oleh pihak pengelola Museum Sejarah Perjuangan Kemerdekaan
Republik Indonesia. Adapun pengertian orientasi pasar menurut Slaver dan
Narver (1990:21) adalah budaya organisasi yang secara efektif mampu
menciptakan perilaku yang diperlukan untuk penciptaan nilai pelanggan yang
unggul dan kinerja bisnis yang berkelanjutan. Model konseptual dari orientasi
pasar mencakup tiga dimensi yaitu: 1) orientasi pelanggan; 2) orientasi pesaing;
dan 3) koordinasi antarfungsi. Orientasi pelangan dan orientasi pesaing mencakup
semua aktivitas yang dilibatkan dalam memperoleh informasi tentang pembeli dan
pesaing pada pasar yang dituju dan tersebar melalui bisnis. Koordinasi
antarfungsi didasarkan pada informasi pelanggan dan pesaing yang terdiri dari
usaha bisnis yang terkoordinasi. Sementara itu, hasil pengamatan menunjukkan
bahwa pihak pengelola kurang mampu merespons dengan baik potensi pasar
berbasis sejarah, dimana pengelola kurang berperan cukup kuat dalam
penyusunan kebijakan serta implementasinya. Seperti yang disampaikan
sebelumnya, Indonesia memiliki potensi sejarah yang besar, seharusnya dapat
mencapai peringkat daya saing pariwisata berbasis sejarah yang tinggi, namun
pada kenyataannya justru memiliki peringkat daya saing yang rendah yaitu
peringkat ke-74 di dunia menurut Travel & Tourism Competitiveness Report
2011.
Sementara itu, hasil penelitian Camarero & Garido (2008) menunjukkan
dukungan dari orientasi pasar terhadap kinerja museum. Mereka mengukur kinerja
museum berdasarkan dua dimensi yaitu kinerja sosial dan kinerja ekonomi.
18
Berdasarkan analisis empiris terhadap 182 museum di Spanyol, ditemukan bahwa
kinerja sosial museum berhubungan dengan kuat dengan orientasi pasar dan
orientasi produk, sementara kinerja ekonomi bergantung terutama pada hasil
sosial dan manajemen yang terkoordinir.
Atas dasar latar belakang tersebut di atas, menarik dikaji ke dalam suatu
penelitian mengenai pengaruh orientasi pasar dan kapabilitas unik terhadap
penciptaan nilai dan citra serta implikasinya pada kinerja Museum Sejarah
Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia di Indonesia.
1.2 Identifikasi, Pembatasan, dan Rumusan Masalah
1.2.1 Identifikasi Masalah
Saat ini Indonesia berupaya untuk mendorong para pelaku bisnis
pariwisata yang berbasis sejarah untuk menjalankan aktivitas bisnisnya sebaik
mungkin. Indonesia memiliki potensi sejarah yang besar, seharusnya dapat
mencapai peringkat daya saing pariwisata berbasis sejarah yang tinggi, namun
pada kenyataannya justru memiliki peringkat daya saing yang rendah. Peringkat
indeks daya saing pariwisata berbasis sejarah Indonesia, menurut Travel &
Tourism Competitiveness Report 2011, menempati peringkat ke 74 di dunia.
Padahal pariwisata berperan dalam memperkuat perekonomian suatu negara
menyediakan lapangan kerja dan peluang pengembangan karir, mendorong
pembangunan, memberikan layanan bagi pelanggan, serta meningkatkan derajat
hidup orang banyak. Sementara itu menurut Travel & Tourism Competitiveness
Report 2017, diantara negara-negara dengan pertumbuhan indeks daya saing
tertinggi, Indonesia juga belum termasuk salah satu di antaranya, sehingga
19
disinyalir bahwa kinerja pariwisata berbasis sejarah di Indonesia masih relatif
rendah. Salah satu destinasi pariwisata adalah museum sejarah perjuangan
kemerdekaan Republik Indonesia, sehingga dapat dikatakan bahwa kinerja
museum sejarah masih belum optimal.
Kondisi demikian diduga disebabkan oleh permasalahan belum tingginya
citra destinasi wisata Museum jika dibandingkan dengan destinasi lainnya.
Masyarakat cenderung belum begitu tertarik untuk mengunjungi destinasi
museum dikarenakan kurangnya informasi mengenai event atau promosi yang
ditawarkan sehingga lebih tertarik untuk mengunjungi destinasi wisata lainnya.
Disamping itu, penciptaan nilai belum optimal dikembangkan oleh pihak
museum. Pihak Museum belum optimal dalam mengembangkan domain
bisnisnya, maupun dalam melakukan kerjasama dengan pihak institusi pendidikan
atau komunitas-komunitas masyarakat yang concern dengan aspek budaya dan
sejarah.
Aspek lain yang diduga berdampak pada belum optimalnya kinerja
Museum Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia adalah berkenaan
dengan kapabilitas unik yang belum dikembangkan dengan baik dan belum
optimalnya orientasi pasar yang dikembangkan oleh pihak pengelola Museum
Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia. Selain itu, pihak pengelola
kurang mampu merespon dengan baik potensi pasar berbasis sejarah, dimana
pengelola kurang berperan cukup kuat dalam penyusunan kebijakan serta
implementasinya. Hal itu mengindikasikan belum optimalnya pengembangan
orientasi pasar oleh pihak pengelola museum.
20
Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, maka dapat diidentifikasi
permasalahan di mana fakta masalah adalah masih rendahnya kinerja Museum
Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia di Indonesia. Adapun
variabel penyebab fakta masalah tersebut diduga disebabkan karena belum
optimalnya penciptaan nilai dan citra. Kedua variabel tersebut tergolong ke dalam
kriteria variabel intervening, yaitu variabel yang secara teoretis mempengaruhi
hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen menjadi
hubungan tidak langsung dan tidak dapat diamati atau diukur (Trucman, 1988,
dalam Sugiyono, 2009:41).
Dugaan penyebab fenomena tersebut, juga dipengaruhi oleh masih belum
optimalnya pengembangan orientasi pasar dan kapabilitas unik. Kedua variabel
tersebut termasuk ke dalam kriteria variabel eksogen, yaitu variabel yang
mempengaruhi variabel endogen tetapi ia ditentukan oleh faktor-faktor yang
berada di luar teori tersebut (Syamsuddin Jafar,1993:71).
Sehingga dalam penelitian ini, patut diduga bahwa orientasi pasar dan
kapabilitas unik adalah eksogen yang mampu mempengaruhi kinerja Museum
Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia jika melalui penciptaan
nilai dan citra sebagai variabel intervening, sedemikian rupa sehingga formulasi
komposisi variabel dalam penelitian ini terdiri dari dua variabel eksogen (orientasi
pasar dan kapabilitas unik) dan dua variabel intervening (penciptaan nilai dan
citra) serta satu variabel endogen (kinerja Museum Sejarah Perjuangan
Kemerdekaan Republik Indonesia).
21
1.2.2. Pembatasan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah
meliputi aspek:
a. Variabel penelitian :
Orientasi pasar
Kapabilitas Unik
Penciptaan Nilai
Citra
Kinerja Museum Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia
b. Unit analisis dalam penelitian ini adalah Museum Sejarah Perjuangan
Kemerdekaan Republik Indonesia di Indonesia dengan unit pengamatan
adalah pihak pengelola dari Museum tersebut.
1.2. 3. Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah, maka terungkap rumusan masalah sebagai
berikut:
1. Apakah ada pengaruh Orientasi Pasar terhadap Penciptaan Nilai Museum
Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia di Indonesia?
2. Apakah ada pengaruh Kapabilitas Unik terhadap Penciptaan Nilai Museum
Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia di Indonesia?
3. Apakah ada pengaruh Orientasi Pasar terhadap Citra Museum Sejarah
Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia di Indonesia?
4. Apakah ada pengaruh Kapabilitas Unik terhadap Citra Museum Sejarah
Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia di Indonesia?
22
5. Apakah ada pengaruh Orientasi Pasar terhadap Kinerja Museum Sejarah
Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia di Indonesia?
6. Apakah ada pengaruh Kapabilitas Unik terhadap Kinerja Museum Sejarah
Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia di Indonesia?
7. Apakah ada korelasi antara Penciptaan Nilai dengan Citra Museum Sejarah
Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia di Indonesia?
8. Apakah ada pengaruh Penciptaan Nilai terhadap Kinerja Museum Sejarah
Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia di Indonesia?
9. Apakah ada pengaruh Citra terhadap Kinerja Museum Sejarah Perjuangan
Kemerdekaan Republik Indonesia di Indonesia?
10. Apakah ada pengaruh Orientasi Pasar terhadap Kinerja Museum Sejarah
Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia di Indonesia melalui
Penciptaan Nilai?
11. Apakah ada pengaruh Kapabilitas Unik terhadap Kinerja Museum Sejarah
Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia di Indonesia melalui
Penciptaan Nilai?
12. Apakah ada pengaruh Orientasi Pasar terhadap Kinerja Museum Sejarah
Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia di Indonesia melalui Citra?
13. Apakah ada pengaruh Kapabilitas Unik terhadap Kinerja Museum Sejarah
Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia di Indonesia melalui Citra?
23
1.3. Tujuan Penelitian
Atas dasar pengungkapan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis, menggali, dan mengkaji data dan informasi yang
berhubungan dengan hal-hal sebagai berikut:
1. Pengaruh Orientasi Pasar terhadap Penciptaan Nilai Museum Sejarah
Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia di Indonesia.
2. Pengaruh Kapabilitas Unik terhadap Penciptaan Nilai Museum Sejarah
Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia di Indonesia.
3. Pengaruh Orientasi Pasar terhadap Citra Museum Sejarah Perjuangan
Kemerdekaan Republik Indonesia.
4. Pengaruh Kapabilitas Unik terhadap Citra Museum Sejarah Perjuangan
Kemerdekaan Republik Indonesia.
5. Pengaruh Orientasi Pasar terhadap Kinerja Museum Sejarah Perjuangan
Kemerdekaan Republik Indonesia.
6. Pengaruh Kapabilitas Unik terhadap Kinerja Museum Sejarah Perjuangan
Kemerdekaan Republik Indonesia.
7. Korelasi antara Penciptaan Nilai dengan Citra Museum Sejarah Perjuangan
Kemerdekaan Republik Indonesia di Indonesia.
8. Pengaruh Penciptaan Nilai terhadap Kinerja Museum Sejarah Perjuangan
Kemerdekaan Republik Indonesia.
9. Pengaruh Citra terhadap Kinerja Museum Sejarah Perjuangan Kemerdekaan
Republik Indonesia.
24
10. Pengaruh Orientasi Pasar terhadap Kinerja Museum Sejarah Perjuangan
Kemerdekaan Republik Indonesia di Indonesia melalui Penciptaan Nilai.
11. Pengaruh Kapabilitas Unik terhadap Kinerja Museum Sejarah Perjuangan
Kemerdekaan Republik Indonesia di Indonesia melalui Penciptaan Nilai.
12. Pengaruh Orientasi Pasar terhadap Kinerja Museum Sejarah Perjuangan
Kemerdekaan Republik Indonesia di Indonesia melalui Citra.
13. Pengaruh Kapabilitas Unik terhadap Kinerja Museum Sejarah Perjuangan
Kemerdekaan Republik Indonesia di Indonesia melalui Citra.
1.4. Kegunaan Penelitian
1.4.1. Kegunaan Praktis
Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai
bahan masukan bagi pengelola Museum Sejarah Perjuangan Kemerdekaan
Republik Indonesia serta berguna bagi semua pihak yang bergerak dalam bisnis
praktis yang terkait dalam pemahaman Orientasi Pasar, Kapabilitas Unik,
Penciptaan Nilai, Citra, dan Kinerja Museum Sejarah Perjuangan Kemerdekaan
Republik Indonesia.
1.4.2 Kegunaan Teoretis (Kegunaan Akademik)
Diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap pengembangan ilmu
manajemen bisnis, khususnya dalam teori Manajemen Stratejik, dan diharapkan
juga dapat mendorong peneliti-peneliti berikutnya untuk dapat mengembangkan
lebih lengkap lagi terutama yang berhubungan dengan Orientasi Pasar,
Kapabilitas Unik, Penciptaan Nilai, Citra, dan Kinerja Museum Sejarah
Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia.