bab i pendahuluandocshare02.docshare.tips/files/26588/265887991.pdf · 2017. 1. 24. · bab ii...
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan suatu masalah kardiovaskular yang
utama karena menyebabkan angka perawatan rumah sakit dan angka kematian
yang tinggi. Banyak kemajuan yang telah dicapai melalui penelitian dan oleh
karenanya diperlukan pedoman tatalaksana sebagai rangkuman penelitian yang
ada.14
Penyakit kardiovaskular saat ini menempati urutan pertama penyebab
kematian di negara-negara maju dan diperkirakan akan menjadi penyebab
kematian utama di negara berkembang pada tahun 2020. Salah satu manifestasi
yang paling sering dari penyakit kardiovaskular adalah Penyakit Jantung Koroner
(PJK) yang memiliki angka morbiditas dan mortalitas tinggi.1 Di Indonesia,
berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2007, penyakit kardiovaskuler memiliki
prevalensi 7,2% dan PJK menjadi penyebab kematian terbanyak setelah stroke
dan hipertensi.2
Gambaran klinis PJK termasuk iskemia tanpa gejala, angina pektoris stabil,
angina tidak stabil, infark miokard, gagal jantung, dan kematian mendadak
(sudden death). Kejadian-kejadian yang bersifat akut dan memiliki risiko
kematian tinggi telah dikategorikan ke dalam Sindroma Koroner Akut (SKA).
Sindroma Koroner Akut (SKA) dapat dibedakan menjadi ST-segment Elevation
Myocardial Infarction (STEMI), Non ST-segment Elevation Myocardial
Infarction (NSTEMI), serta Unstable Angina Pectoris (UAP).1
Keluhan utama pada SKA adalah nyeri dada dan dengan gambaran
elektrokardiografi (EKG) digolongkan berdasarkan ada atau tidaknya elevasi
segmen ST. Sindroma Koroner Akut (SKA) tanpa elevasi segmen ST dibagi lagi
berdasarkan hasil pemeriksan enzim jantung. Jika terjadi peningkatan enzim
didiagnosis dengan NSTEMI dan jika tidak terjadi penningkatan enzim
didiagnosis dengan UAP.3 Non ST-segment Elevation Myocardial Infarction
(NSTEMI) dan UAP dianggap sebagai kondisi yang memiliki hubungan yang
erat, dimana patogenesa dan presentasi klinisnya sama namun berbeda dalam
derajat berat ringannya. Pada NSTEMI iskemia yang terjadi cukup berat untuk
mengakibatkan kerusakan miokard dan petanda kerusakan miokard tersebut dapat
diperiksa secara kuantitatif. Sedangkan pada UAP iskemia tidak mengakibatkan
kerusakan miokard.4 Dengan meluasnya iskemia miokard, UAP/NSTEMI dapat
berubah menjadi STEMI.5
Menurut Data Statistik American Heart Association (AHA) 2008, pada
tahun 2005 jumlah penderita yang menjalani perawatan medis di Amerika Serikat
akibat SKA hampir mencapai 1,5 juta orang. Dari jumlah tersebut, sebanyak 1,1
juta orang (80%) menunjukkan kasus NSTEMI, sedangkan 20% kasus tercatat
menderita STEMI.6 Dalam 20 tahun terakhir, angka mortalitas pasien STEMI
berkurang dengan adanya strategi diagnostik dan terapi yang baru. Namun, untuk
kasus NSTEMI angka mortalitasnya masih belum berubah.4 Kasus NTSEMI lebih
sering menyebabkan kematian dibanding STEMI karena kadang-kadang tidak
terdiagnosis pada saat pasien masuk rumah sakit.5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Sindroma Koroner Akut (SKA) atau Acute Caronary Syndrome (ACS)
adalah sindroma klinik yang mempunyai dasar fisiologi yang sama, yaitu adanya
erosi, fisura, ataupun robeknya plak atheroma sehingga menyebabkan trombosis
intravaskular yang menimbulkan ketidakseimbangan pasokan dan kebutuhan
oksigen miokard. Yang termasuk kedalam SKA adalah ST-segment Elevation
Myocardial Infarction (STEMI), Non ST-segment Elevation Myocardial
Infarction (NSTEMI), serta Unstable Angina Pectoris (UAP).7
2.2 EPIDEMIOLOGI
Sindrom koroner akut (SKA) merupakan masalah kesehatan publik yang
bermakna di negara industri, dan mulai menjadi bermakna di negara-negara
sedang berkembang. Di Amerika Serikat, sebanyak 1,36 juta penyebab rawat inap
adalah kasus SKA.8 Menurut The American Heart Association, lebih dari 6 juta
penduduk Amerika menderita penyakit jantung koroner (PJK) dan lebih dari 1 juta
orang yang diperkirakan mengalami serangan infark miokard setiap tahun.
Kejadiannya lebih sering pada pria dengan umur antara 45 sampai 65 tahun dan
tidak ada perbedaan dengan wanita setelah umur 65 tahun.1
Angka kematian akibat penyakit kardiovaskuler juga cukup tinggi. Menurut
data statistik WHO tahun 2008, penyakit jantung iskemik merupakan penyebab
utama kematian di dunia (12,8%), disusul oleh stroke dan penyakit
serebrovaskuler lainnya. Di Indonesia, berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2007,
penyakit kardiovaskuler yang dalam hal ini Penyakit Jantung Koroner (PJK),
menjadi penyebab kematian terbanyak setelah stroke dan hipertensi.2,6
2.3 PATOFISIOLOGI
Proses terjadinya plak aterosklerotik dipahami bukan proses sederhana
karena penumpukan kolesterol, tetapi disfungsi endotel dan proses inflamasi juga
berperan penting. Aterosklerosis merupakan proses pembentukan plak di tunika
intima arteri besar dan arteri sedang. Proses ini berlangsung terus selama hidup
sampai akhirnya bermanifestasi sebagai SKA. Proses aterosklerosis ini terjadi
melalui 4 tahap, yaitu kerusakan endotel, migrasi kolesterol LDL (low-density
lipoprotein) ke dalam tunika intima, respons inflamatorik, dan pembentukan
kapsul fibrosis.8
Jika endotel rusak, sel-sel inflamatorik terutama monosit, bermigrasi
menuju ke lapisan subendotel dengan cara berikatan dengan molekul adhesif
endotel. Jika sudah berada pada lapisan subendotel, sel-sel ini mengalami
differensiasi menjadi makrofag. Makrofag akan mencerna LDL teroksidasi yang
juga berpenetrasi ke dinding arteri, berubah menjadi sel foam dan selanjutnya
membentuk fatty streaks.7 Makrofag yang teraktivasi ini melepaskan zat-zat
kemoatraktan dan sitokin (misalnya monocyte chemoattractant protein-1, tumor
necrosis factor α, IL-1, IL-6, CD40, dan c-reactive protein) yang makin
mengaktifkan proses ini dengan merekrut lebih banyak makrofag, sel T, dan sel
otot polos pembuluh darah (yang mensintesis komponen matriks ekstraseluler)
pada tempat terjadinya plak. Sel otot polos pembuluh darah bermigrasi dari tunika
media menuju tunika intima, lalu mensintesis kolagen, membentuk kapsul fibrosis
yang menstabilisasi plak dengan cara membungkus inti lipid dari aliran pembuluh
darah. Makrofag juga menghasilkan matriks metalloproteinase (MMPs), enzim
yang mencerna matriks ekstraseluler dan menyebabkan terjadinya disrupsi plak.7,8
Stabilitas plak aterosklerosis bervariasi. Perbandingan antara sel otot polos
dan makrofag memegang peranan penting dalam stabilitas plak dan
kecenderungan untuk mengalami ruptur. LDL yang termodifikasi meningkatkan
respons inflamasi oleh makrofag. Respons inflamasi ini memberikan umpan balik,
menyebabkan lebih banyak migrasi LDL menuju tunika intima, yang selanjutnya
mengalami modifikasi lagi, dan seterusnya.9 Makrofag yang terstimulasi akan
memproduksi matriks metalloproteinase yang mendegradasi kolagen. Di sisi lain,
sel otot pembuluh darah pada tunika intima, yang membentuk kapsul fibrosis,
merupakan subjek apoptosis. Jika kapsul fibrosis menipis, ruptur plak mudah
terjadi, menyebabkan paparan aliran darah terhadap zat-zat trombogenik pada
plak. Hal ini menyebabkan terbentuknya bekuan. Proses proinflamatorik ini
menyebabkan pembentukan plak dan instabilitas. Sebaliknya ada proses anti
inflamatorik yang membatasi pertumbuhan plak dan mendukung stabilitas plak.
Sitokin seperti IL-4 dan TGF-β bekerja mengurangi proses inflamasi yang terjadi
pada plak. Hal ini terjadi secara seimbang seperti pada proses penyembuhan luka.
Keseimbangan ini bisa bergeser ke salah satu arah. Jika bergeser ke arah
pertumbuhan plak, maka plak semakin besar menutupi lumen pembuluh darah dan
menjadi rentan mengalami ruptur.8
Kebanyakan plak aterosklerotik akan berkembang perlahan-lahan seiring
berjalannya waktu. Kebanyakan akan tetap stabil. Gejala muncul bila stenosis
lumen mencapai 70-80%. Mayoritas kasus SKA terjadi karena ruptur plak
aterosklerotik. Plak yang ruptur ini kebanyakan hanya menyumbat kurang dari
50% diameter lumen. Setelah terjadi ruptur plak maupun erosi endotel, matriks
subendotelial akan terpapar darah yang ada di sirkulasi. Hal ini menyebabkan
adhesi trombosit yang diikuti aktivasi dan agregasi trombosit, selanjutnya
terbentuk trombus.8,9
Gambar 2.1 Patofisiologi SKA
2.4 FAKTOR RISIKO
Faktor risiko SKA dapat dikategorikan atas:5
1. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi
Merupakan faktor resiko yang tidak bisa dirubah atau dikendalikan, yaitu
diantaranya: usia, jenis kelamin (laki-laki ≥ 45 tahun; perempuan ≥ 55 tahun),
riwayat keluarga (MI pada ayah atau saudara laki-laki sebelum berusia 55 tahun
atau pada ibu atau saudara perempuan berusia 65 tahun).
2. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi
Merupakan faktor resiko yang bisa dikendalikan sehingga dengan intervensi
tertentu maka bisa dihilangkan. Yang termasuk dalam kelompok ini diantaranya:
merokok, peningkatan kadar lipid serum, hipertensi, diabetes mellitus, gaya hidup
yang tidak aktif, obesitas, dan peningkatan kadar homosistein.
2.5 DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Nyeri dada merupakan keluhan utama sebagian besar pasien dengan ACS.
Nyeri dada biasanya berlokasi retrosternal, sentral, atau di dada kiri, menjalar ke
rahang atau lengan atas.4 Gejalanya dapat bervariasi, dapat berupa gejala khas
angina, yaitu nyeri dada tipikal yang berlangsung selama ± 20 menit atau lebih
yang terasa seperti ditusuk-tusuk, ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, rasa
diperas dan terpelintir. Keluhan dapat pula berupa nyeri atipikal seperti nyeri
epigastrium, nyeri dada tajam, atau sesak nafas memberat.1
Pada beberapa pasien dapat ditemukan tanda-tanda gagal ventrikel kiri akut.
Gejala yang timbul seperti rasa lelah yang tidak jelas, nafas pendek, dan rasa tidak
nyaman di epigastrium. Mual muntah dapat terjadi terutama pada wanita,
penderita diabetes mellitus, atau pasien usia lanjut. Kecurigaan harus lebih besar
pada pasien dengan faktor risiko kardiovaskular multiple agar tidak terjadi
kesalahan diagnosis.4
2. Pemeriksaan Fisik
Temuan pada pemeriksaan fisik biasanya normal. Tujuan penting
pemeriksaan fisik adalah menyingkirkan penyebab nyeri dada non kardiak dan
kelainan jantung non iskemik.1 Pemeriksaan fisik juga penting untuk
mengidentifikasi faktor pencetus dan kondisi lain sebagai konsekuensi dari ACS.4
3. Elektrokardiografi
Pemeriksaan EKG 12 lead saat istirahat merupakan perangkat diagnostik
utama dalam penilaian pasien dengan dugaan ACS. Pada gambaran EKG normal,
gelombang T biasanya positif pada sadapan I, II, dan V3 sampai dengan V6,
terbalik pada sadapan aVR, bervariasi pada sadapan III, aVF, aVL, dan V1, jarang
didapatkan terbalik pada V2. Jika terjadi iskemia, gelombang T menjadi terbalik
(inversi), simetris, dan biasanya bersifat sementara (saat pasien simptomatik).3
Gambaran EKG secara spesifik berupa deviasi segmen ST merupakan hal
penting yang menentukan resiko pada pasien. Jumlah sadapan yang menunjukkan
depresi segmen ST berkorelasi dengan beratnya iskemia. Depresi segmen ST ≥
0,5 mm (0,05 mV) pada dua atau lebih sadapan berurutan dalam konteks klinis
yang sesuai sangat sugestif untuk UAP/NSTEMI, sedangkan untuk STEMI akan
tampak adanya gambaran elevasi pada segment ST. Akan tetapi, gambaran EKG
normal juga tidak menyingkirkan kemungkinan UAP/NSTEMI.1
Gambar 2.2 Perubahan EKG pada STEMI
Gambar 2.3 Depresi segmen ST
4. Biomarker
Sejak tahun 1960 pemeriksaan Creatine Kinase isoenzime MB (CK-MB)
telah diterima secara luas sebagai standard emas untuk penetapan diagnosis infark
miokard. Sampai saat ini CK-MB masih direkomendasikan sebagai protein
petanda infark miokard. CK-MB terlepas dalam sirkulasi setelah infark, paling
cepat terdeteksi 3-4 jam setelah onset gejala dan tetap meningkat kira-kira 65 jam
pasca infark.10
Cardiac Troponin T atau I (cTnT atau cTnI) merupakan petanda biokimia
yang lebih disukai untuk mendeteksi jejas miokard, karena hampir spesifik
absolut jaringan miokard dan mempunyai sensitivitas yang tinggi, bahkan dapat
menunjukkan adanya nekrosis miokard kecil yang tidak terdeteksi pada EKG
maupun oleh CK-MB.10 Pada pasien dengan infark miokard akut, peningkatan
awal troponin pada daerah perifer setelah 3-4 jam dan dapat menetap sampai 2
minggu. Pada NSTEMI peningkatan troponin minor biasanya membaik dalam 48-
72 jam.1 Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu aspartate aminotransferase
(AST), lactate dehydrogenase (LDH), myoglobin, carbonic anhydrase III (CA III),
dan myosin light chain (MLC). Pada UAP tidak terjadi peningkatan enzim
jantung.10
Gambar 2.3 Beberapa Biomarker Jantung
Secara ringkas alur diagnosis ACS dapat digambarkan pada bagan berikut
ini:1
Gambar 2.4 Alur Diagnosis ACS
2.6 PENATALAKSANAAN
Berikut merupakan penanganan chest pain dengan ACS di Unit Gawat
daraurat:1
1. Segera berikan oksigen 4L/mnt kanul nasal, pertahankan saturasi O2 >
90%2. Berikan aspirin 160-325 mg3. Nitrogliserin sublingual atau IV4. Morfin IV jika nyeri dada tidak berkurang5. Monitoring tanda vital dan evaluasi saturasi oksigen6. Pasang jalur IV7. Kaji EKG 12 sadapan8. Lakukan anamnesa dan pemeriksaan fisik9. Lakukan ceklis terapi fibrinolisis dan lihat kontraindikasi10. Lakukan pemeriksaan enzim jantung, elektrolit, dan evaluasi system
pembekuan darah11. Foto toraks
12. Target evaluasi harus difokuskan pada nyeri dada, tanda dan gejala
gagal jantung, riwayat sakit jantung, fator risiko SKA dan gambaran
riwayat untuk pemberian trombolisis13. Untuk pasien SKA STEMI, tujuan reperfusi adalah pemberian terapi
fibrinolisis dalam 30 menit setelah 30 menit sampai IGD atau PCI
dalam 90 menit setelah sampai.1
Tabel: Strategi terapi reperfusi (fibrinolisis atau invasif)
Terapi Fibrinolisis Terapi Invasif (PCI)
Onset < 3 jam Tidak tersedia pilihan invasif
terapi- Kontak doctor-baloon atau
door-baloon > 90 menit- (door-baloon) minus (door-
needle) lebih dari 1 jam. Tidak terdapat kontraindikasi
fibrinolisis
Onset > 3 jam Tersedia ahli PCI
- Kontak doctor-baloon atau
door baloon < 90 menit.- (Doorbaloon) minus (door-
needle) < 1 jam Kontraindikasi fibrinolisis,
termasuk resiko perdarahan
dan perdarahan intraserebral. STEMI resiko tinggi (CHF, Killip
≥ 3) Diagnosis STEMI diragukan.
Pengobatan lebih awal fibrinolisis (door-drug < 30 menit) dapat
membatasi luasnya infark, fungsi ventrikel normal, dan mengurangi angka
kematian. Ada beberapa jenis obat fibrinolitik, misalnya Alteplase recombinant
(Activase), Reteplase, Tenecplase, dan Streptokinase (Streptase). Di Indonesia
umumnya tersedia Streptokinase, dengan dosis pemberian sebesar 1,5 juta U,
dilarutkan dalam 100 cc NaCl 0,9% diberikan secara infus selama 1 jam.1
1. Obat-obatan anti-iskemik
Isosorbid mononitrat, diberikan sekali sehari dalam bentuk sediaan lepas
lambat untuk mencegah toleransi terhadap nitrat. Jika diperlukan, diberikan
bersama dengan gliseril trinitrat semprot.11
Calcium Channel Blocker (CCB, misalnya amlodipin, diltiazem). Diltiazem
dapat diresepkan untuk pasien yang tidak tahan beta‐blocker karena efek
sampingnya pada konduksi elektrik kardiak. Obat kerja pendek (misalnya
nifedipin) tidak digunakan karena efek sampingnya refleks takikardia yang umum
terjadi pada awal penggunaan dan dapat memperburuk gejala angina.1
Nicorandil dapat ditambahkan sebagai kombinasi dengan antiangina
lainnya. Pada semua antiangina, efek pusing/sakit kepala yang sangat merupakan
masalah yang sering dialami pasien. Jika hal ini berkaitan dengan dosis, maka
dosis harus disesuaikan sambil tetap menjaga tekanan darah.11
2. Obat-obatan antiplatelet
Semua pasien UAP/NSTEMI mendapat terapi aspirin 75 mg/hari dan
clopidogrel 75 mg/hari, dengan loading dose 300 mg yang diberikan saat gejala
muncul atau pertama dirawat. Manfaat penambahan clopidogrel pada terapi
aspirin standard, yaitu menurunkan 20% resiko kematian, infark miokard non‐
fatal dan stroke.11
Antagonis reseptor glikoprotein IIb/IIIa, misalnya tirofiban atau eptifibatide
merupakan inhibitor kuat agregasi platelet. Obat‐obat tersebut menghambat
pembentukan fibrinogen pada platelet. Walaupun antagonis reseptor glikoprotein
IIb/IIIa menghambat pembentukan thrombus, uji klinik menunjukkan bahwa
mereka hanya efektif untuk pasien UAP/NSTEMI resiko tinggi, atau untuk pasien
yang potensial mendapat PCI yang ditunda, jika digunakan bersama dengan
aspirin dan heparin/LMWH.4
3. Antikoagulan
LMWH lebih banyak digunakan daripada unfractionated heparin karena
untuk membatasi perluasan thrombosis koroner pada UAP/NSTEMI. Enoxaparin
1mg/kg 2 kali/hari lebih baik daripada unfractinated heparin. Biaya enoxaparin
lebih tinggi, tetapi mempunyai aktivitas anti‐faktor Xa lebih besar, tidak
memerlukan monitor terus menerus, dan dapat diberikan dengan mudah 2
kali/hari sehingga menjadi pilihan terapi yang cukup popular. Enoxaparin
diberikan terus sampai pasien bebas dari angina atau paling sedikit selama 24 jam.
Durasi terapi yang dianjurkan adalah 2‐8 hari. Jika pasien memiliki gangguan
fungsi ginjal, enoxaparin diberikan 1 mg/kg sekali sehari.1
2.7 PROGNOSIS
Prognosis ACS (STEMI, Non-STEMI/UAP) dapat diperkirakan dengan
melakukan penilaian risiko kuantitatif. Penilaian ini bertujuan untuk penentuan
keputusan klinis dan memprediksi risiko kejadian iskemik jangka pendek dan
menengah. Skor risiko yang paling banyak dipakai diantranya adalah
Thrombolysis in Myocardial Infarction (TIMI) risk score.12
Gambar 2.5 TIMI RISK SCORE untuk UAP/NSTEMI
Selain menggunakan skor TIMI, stratifikasi risiko pada UAP/NSTEMI
dapat dinilai dengan menggunakan Global Registry of Acute Coronary Events
(GRACE) score. Skor ini menyajikan stratifikasi risiko baik saat masuk, selama
perawatan, maupun saat keluar dengan lebih akurat.12
Gambar 2.6 GRACE SCORE
Sementara itu, untuk scoring TIMI pada kasus STEMI, criteria sedikit
berbeda, yaitu: (sebelumnya pertimbangkan tanda dan gejala berikut : nyeri dada
lebih dari 30 menit, ST elevasi, onset kurang dari 6 jam).
Gambar 2.7. TIMI RISK score untuk STEMI
1. DM, riwayat hipertensi atau riwayat angina (1 point).2. Tekanan darah sistolik kurang dari 100 mmHg (3point).3. Denyut nadi > 100 BPM (2 point).4. Kelas Killip II-IV (2 point).5. Berat badan kurang dari 67 kg (1 point).6. ST elevasi pada lead anterior atau terdapat LBBB (1 point).7. Waktu onset hingga penataksanaan lebih dari 4 jam (1 point).
Ditambah dengan criteria usia:1. Usia lebih dari atau sama dengan 75 tahun (3 point).2. 65-74 tahun (2 point).3. Kurang dari 65 tahun (0 point).
Skor ini memberikan informasi prediksi kematian dalam 30 hari sesudah
terjadi infark miokard sebagai berikut. 0 point: 0,8%. 1 point: 1,6%. 2 point: 2,2%. 3 point: 4,4%. 4 point: 7,3%. 5 point: 12%. 6 point: 16%.
7 point: 23%. 8 point: 27%. 9-14 point: 36%.
KILLIP Score :
KILLIP 1 : Pasien tanpa gejala klinis gagal jantung.
KILLIP 2 : Pasien dengan rales atau crackles di paru, bunyi S3(+), dan Tekanan
Vena Jugular meningkat.
KILLIP 3 : Pasien dengan edema pulmonary akut.
KILLIP 4 : Pasien dengan shok kardiogenik atau hipotensi ( tekanan darah sistol
<90 mmhg),dan terdapat vasokonstriksi peripheral (oliguria, sianosis
atau berkeringat lebih).
DAFTAR PUSTAKA
1. Hamm CW., Bassand JP., Agewall S., Bax J., Boersma E. 2011. ESCGuidelines for the Management of Acute Coronary Syndromes in PatientsPresenting Without persistent ST-segment Elevation. European HeartJournal. 2011; 32: 2999-3054.
2. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Laporan Hasil RisetKesehatan Dasar. Kementerian Kesehatan RI. 2007.
3. Myrtha R. Perubahan Gambaran EKG pada Sindrom Koroner Akut (SKA).CDK. 2011; 38: 541-2.
4. Theroux, Nanette K., Wenger PZ., Theodore GG., Lincoff AM., Peterson ED.,et al. 2012 ACCF/AHA Focused Update of the Guideline for the Managementof Patients With Unstable Angina/Non -ST-Elevation Myocardial Infarction(Updating Guidelines and Replacing the 2011 Focused Update) : A Report ofthe American Cardiology Foundation/American Heart Association Task Forceon Practice College of the 2007 Guideline. Circulation. 2012; 126:875-910.
5. Kabo P. Bagaimana Menggunakan Obat-Obat Kardiovaskular SecaraRasional. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia. Jakarta. 2012.
6. Oktarina R., Karani Y., Edward Z. Hubungan Kadar Glukosa Darah SaatMasuk Rumah Sakit Dengan Lama Hari Rawat Pasien Sindrom Koroner Akut
(SKA) Di RSUP Dr. M. Djamil Padang Jurnal Kesehatan Andalas. 2013; 2:94-7.
7. Majid A. Penyakit Jantung Koroner: Patofisiologi, Pencegahan, danPengobatan Terkini. Pidato Pengukuhan Guru Besar. Universitas SumateraUtara 2007.
8. Myrtha R. Patofisiologi Sindrom Koroner Akut. CDK. 2012; 39: 261-4.
9. Ramrakha, P., Hill, J., Oxford Handbook of Cardiology: Coronary ArteryDisease. 1st ed. USA: Oxford University Press. 2006.
10. Sargowo D., Samsu N. Sensitivitas dan Spesifisitas Troponin T dan I padaDiagnosis Infark Miokard Akut. Maj Kedokt Indon. 2007; 57: 363-70.
11. Fletcher G. terj. Lyrawati D. Sindrom koroner akut – Farmakologi. 2008; 1-7.
12. Pollack CV., Sites FD., Shofer FS. Application of the TIMI Risk Score forUnstable Angina and Non ST-Elevation Acute Coronary Syndrome toUnselected Emergency Department Chest Pain Population. ACAD EMERGMED. 2006; 13: 13-8.