bab 1
TRANSCRIPT
1
BAB 1
Tinjauan Pustaka
1. Anatomi dan Fisiologi Penglihatan Normal
Gambar 1 Struktur bagian mata kanan secara vertikal, dilihat dari bagian nasal
Mata secara optik dapat disamakan dengan kamera fotografi biasa mempunyai
kemampuan menghasilkan bayangan yang dibiaskan melalui media refraksi yaitu kornea, akuos
humor, sistem diafragma yang dapat berubah-ubah (pupil), lensa, dan korpus vitreus sehingga
menghasilkan bayangan terbalik yang diterima retina yang dapatdisamakan dengan film.
Susunan lensa mata terdiri atas empat perbatasan refraksi:(1) perbatasan antara permukaan
anterior kornea dan udara, (2) perbatasan antara permukaan posterior kornea dan udara, (3)
perbatasan antara humor aqueous dan permukaan anterior lensa kristalina, dan (4) perbatasan
antara permukaan posterior lensa dan humor vitreous. Masing-masing memiliki indeks bias yang
berbeda-beda, indek bias udara adalah 1, kornea 1.38, humor aqueous 1.33, lensa kristalinaa
(rata-rata) 1.40, dan humor vitreous 1.34.1
1
2
Gambar 2.2 indeks bias mata
Hasil pembiasan sinar pada mata ditentukan oleh media penglihatan yang terdiri atas
kornea, cairan mata, lensa, badan kaca, dan panjangnya bola mata. Pada orang normal susunan
pembiasan oleh media penglihatan dan panjangnya bola mata demikian seimbang sehingga
bayangan benda setelah melalui media penglihatan dibiaskan tepat di daerah makula lutea. Mata
yang normal disebut sebagai mata emetropia dan akan menempatkan bayangan benda tepat di
retinanya pada keadaan mata yang tidak melakukan akomodasi atau istirahat melihat jauh.2
Dikenal beberapa titik di dalam bidang refraksi, seperti Pungtum Proksimum merupakan
titik terdekat dengan akomodasi maksimum bayangan masih bisa dibias pasa retina. Pungtum
Remotum adalah titik terjauh tanpa akomodasi, dimana bayangan masih dibiaskan pada retina.
Akomodasi adalah kemampuan lensa mata untuk menambah daya bias lensa dengan
kontraksi otot siliar, yang menyebabkan penambahan tebal dan kecembungan lensa sehingga
bayangan benda pada jarak yang berbeda-beda akan terfokus di retina. Dikenal beberapa teori
akomodasi seperti :
1. Teori akomodasi Helmholtz: zonula Zinn mengendur akibat kontraksi otot siliar sirkular,
mengakibatkan lensa yang elastis mencembung.
2. Teori akomodasi Tscherning: dasarnya adalah bahwa nucleus lensa tidak dapat berubah
bentuk sedang yang dapat berubah bentuk adalah bagian lensa superficial atau kortex
lensa. Pada waktu akomodasi terjadi tegangan pada zonula Zinn sehingga nucleus lensa
terjepit dan bagian lensa superfisial menjadi cembung.
2
3
2.2 Definisi Hipermetropia
Hipermetropia juga dikenal dengan istilah hyperopia atau rabun dekat. Hipermetropia
adalah keadaan gangguan kekuatan pembiasan mata, di mana sinar sejajar jauh tidak cukup
dibiaskan sehingga titik fokusnya terletak di belakang retina.
A B
Gambar 2.3 A. Mata normal, cahaya fokus tepat pada retina
B. Hipermetropia, cahaya jatuh di belakang retina
2.3 Epidemiologi
Berdasarkan penelitian Stenstrom dari Uppsala, Swedia, prevalensi kelainan refraksi
adalah:
1. Miopia rendah (< 2 D) 29 %
2. Miopia sedang (2-6 D) 7 %
3. Miopia tinggi (> 6 D) 2.5 %
4. Emetropia dan hipermetropia 0 - 2 D 61%
5. Hipermetropia tinggi 0.5%
Sekitar 20 % orang antara usia 20 hingga 30 tahun memiliki kelainan bias melebih
+1D.7 Hipermetropia lebih umum dijumpai pada anak-anak, sebagian dikarenakan bola
mata anak yang lebih pendek. Ketika lahir, rata-rata anak memiliki hipermetropia +2D.
Hal ini kemudian berkurang sejalan dengan waktu di mana bola mata anak semakin
panjang dan menjadi semakin emetropia. Populasi Afro-Karibia memiliki prevalensi
3
4
hipermetropia yang tinggi, sementara populasi di Asia Timur memiliki prevalensi yang
rendah.
2.4 Etiologi Hipermetropia
Hipermetropia terjadi jika kekuatan yang tidak sesuai antara panjang bola mata dan
kekuatan pembiasan kornea dan lensa lemah sehingga titik fokus sinar terletak di belakang
retina. Hal ini dapat disebabkan oleh penurunan panjang sumbu bola mata (hipermetropia aksial),
seperti pada kelainan kongenital teretentu, atau penurunan indeks bias refraktif (hipermetropia
refraktif), seperti pada afakia.
Hipermetropia dapat disebabkan:
1. Hipermetropia aksial, merupakan bentuk yang paling umum. Pada kondisi ini, indeks
refraksi mata normal, namun terdapat pemendekan bola mata. Pemendekan 1 mm diameter
anteroposterior mata mengakibatkan hipermetropia + 3 D. Kondisi ini dapat terjadi karena
pemendekan panjang sklera, atau sklera terdorong ke depan karena massa retrobulbar atau
ablasio retina. Sebab lain pendeknya bola mata adalah karena mikroftalmus dan
nanoftalmus.
2. Hipermetropia kurvatur, kondisi di mana kurvatura kornea, lensa atau keduanya lebih datar
dari normal sehingga mengakibatkan berkurangnya kekuatan pembiasan mata. Sekitar 1
mm peningkatan radius kurvatura mengakibatkan hipermetropia + 6 D. Berkurangnya
kurvatura pada kornea lebih umum dijumpai ketimbang pada lensa. Sebab pendataran
kornea adalah: kornea plana, mikro kornea, mikroftalmus, setelah operasi dan setelah
trauma. Pendataran lensa dijumpai pada buftalmus.
3. Hipermetropia index, terjadi karena penurunan index refraksi lensa pada usia tua. Kondisi
ini juga didapatkan pada penderita diabetes dalam perawatan.
4. Hipermetropia posisional, diakibatkan oleh letak lensa kristalina yang lebih posterior., dapat
akibat trauma atau pun kongenital.
5. Tidak adanya lensa baik kongenital atau pun didapat menyebabkan afakia – kondisi dengan
hipermetropia tinggi.
4
5
2.4 Klasifikasi
3 tipe klinis hipermetropia :
1. Hipermetropia sederhana atau perkembangan, merupakan bentuk yang paling umum.
Bentuk ini diakibatkan oleh variasi biologis normal dalam perkembangan bola mata.
Bentuk ini termasuk hipermetropia axial dan kurvatur.
2. Hipermetropia patologik, dapat karena kongenital atau pun didapat, di mana bola mata
berada di luar variasi biologis perkembangannya. Bentuk ini termasuk:
1. Hipermetropia index : akibat sklerosis korteks yang didapat
2. Hipermetropia posisional : akibat subluksasi posterior lensa
3. Afakia kongenital atau pun didapat
4. Hipermetropia konsekutif : akibat koreksi miopia yang berlebihan secara bedah
5. Hipermetropia fungsional, diakibatkan oleh paralisis akomodasi. Hal ini dapat ditemukan
pada pasien dengan paralisis nervus III dan oftalmoflegia internal.
Klasifikasi hipermetropia berdasarkan derajat kelainan refraksi :
1. Hipermetropia rendah (< + 2 D)
2. Hipermetropia sedang (+ 2.25 D hingga + 5 D)
3. Hipermtropia tinggi (> + 5 D)
Berdasarkan akomodasi, hipermetropia dibedakan secara menjadi :
1. Hipermetropia total, seluruh jumlah hipermetropia laten dan manifes yang didaptkan
sesudah diberikan sikloplegia
2. Hipermetropia laten, jumlah hipermetropia (sekitar 1 D) yang normalnya dikoreksi oleh
musculus siliaris. Derajat hipermetropia laten tinggi pada anak-anak dan secara bertahap
menurun dengan bertambahnya usia. Hipermetropia laten hanya dapat diukur bila
diberikan sikloplegia.
5
6
3. Hipermetropia manifes, sisa dari hipermetropia total yang tidak dikoreksi oleh musculus
siliaris. Hipermetropia ini terdiri dari hipermetropia absolut dan fakultatif.
4. Hipermetropia fakultatif, merupakan bagian yang dapat dikoreksi dengan usaha
akomodasi pasien
5. Hipermetropia absolut, merupakan sisa hipermetropia manifes yang tidak dapat dikoreksi
dengan usaha akomodasi pasien
2.5 Manifestasi klinis
1. Gejala-gejala dan tanda-tanda hipermetropia adalah penglihatan dekat kabur, penglihatan
jauh pada usia lanjut juga bisa kabur
2. Strabismus pada anak yag megalami hipermetropia berat, gejala biasa berhubungan
dengan penggunaan mata untuk penglihatan dekat ( membaca,menulis,melukis),
dan biasanya hilang jika kerjaan itu dihindari, mata dan kelopak mata bisa menjadi merah
dan bengkak secara kronis, mata terasa berat bila ingin mulai membaca,
dan biasanya tertidur beberapa saat setelah mulai membaca walaupu tidak lelah,bisa
terjadi ambliopia
3. Tanda dan gejala orang yang terkena penyakit rabun dekat secara obyektif susah melihat
jarak dekat atau penglihatan pasien akan rabun dan tidak jelas. Sakit kepala frontal.
Semakin memburuk pada waktu mulai timbul gejala hipermetropi dan sepanjang
penggunaan mata dekat
4. Penglihatan tidak nyaman (asthenopia), lakrimasi, fotofobia, terjadi ketika harus fokus
pada suatu jarak tertentu untuk waktu yang lama
5. Akomodasi akan lebih cepat lelah terpaku pada suatu level tertentu dari ketegangan
6. Bila 3 dioptri atau lebih, atau pada usia tua, pasien mengeluh penglihatan jauh kabur
7. Penglihatan dekat lebih cepat suram, akan lebih terasa lagi pada keadaan kelelahan, atau
penerangan yang kurang
6
7
8. Sakit kepala biasanya pada daerah frontal dan dipacu oleh kegiatan melihat dekat jangka
panjang. Jarang terjadi pada pagi hari, cenderung terjadi setelah siang hari dan bisa
membaik spontan kegiatan melihat dekat dihentikan
9. Eyestrain
10. Sensitive terhadap cahaya
11. Spasme akomodasi, yaitu terjadinya cramp m. ciliaris diikuti penglihatan suram
intermiten
2.6 Diagnosis
1. Anamnesis
Orang tua dapat mencurigai anak mengalami gangguan panglihatan apabila mata anak
sering merah, teriritasi atau berair, kesulitan dengan ktajaman penglihatan, atau didapatkan mata
anak juling. Anak yang lebih tua dapat mengeluh pada orangtua atau guru mengenai gejala
visual, atau ditemukan saat skrining di sekolah atau dokter anak.
Kebanyakan pasien presbiopia mengeluh tentang bertambah sulitnya melihat dekat.
Meskipun kaburnya penglihatan dekat dan penglihatan yang tidak nyaman merupakan keluhan
yang paling sering ditemukan pada pasien hipermetropia, tidak ada keluhan yang secara spesifik
patognomonis untuk hipermetropia.
2. Pemeriksaan mata
1. Visual Acuity.
Pasien muda dengan hipermetropia fakultatif rendah sampai sedang secara umum
memiliki visual acuity yang normal, namun ketika kebutuhan penglihatan meningkat, mereka
dapat mengalami penglihatan kabur dan astenopia. Tes visual acuity pada pasien dengan
hipermetropia tinggi, meskipun pada pasien muda, dapat menunjukkan defisit penglihatan.
Visual acuity pada pasien dengan hipermetropia laten biasanya normal. Bagaimanapun, ketika
pasien kelelahan, akan didapatkan tingkat inkonsistensi penglihatan dekat dan terkadang jauh.
7
8
2. Refraksi.
Retinoskopi merupakan prosedur yang digunakan secara luas untuk menilai
hipermetropia secara objektif. Prosedur yang dilakukan meliputi static retinoscopy, subjective
refraction dan autorefraction.
1. Static retinoscopy
Pasien dengan hipermetropia signifikan, hipermetropia laten atau esotropia
akomodatif dapat menyembunyikan hipermetropianya dalam pemeriksaan
retinoskopip non sikloplegik. Hipermetropia laten dapat ditemukan dengan
menggunakan sikloplegik atau metode fogging. Dengan menilai warna, kecerahan dan
pergerakan reflek retinoskopik, dapat dinilai akomodasi pasien, fiksasi dan aspek
dinamis lain dari sistem penglihatan.
2. subjective refraction
Prosedur ini lebih disukai untuk menentukan koreksi refraktif yang diresepkan,
terutama untuk pasien dewasa dan anak yang lebih tua, karena langsung berdasarkan
penerimaan pasien. Namun, pasien dengan hipermetropia dan esotropia akomodatif
sering membutuhkan koreksi refraktif yang berbeda dari yang didapatkan pemeriksaan
refraksi refraktif saja. Pemeriksaan refraksi subjektif dapat diikuti oleh retinoskopi
sikloplegik.
3. Autorefraction
Pemeriksaan ini memiliki reliabilitas dan validitas yang lebih rendah dari refraksi
subjeketif. Masih sedikit instrumen yang ada yang dapat mengontrol akomodasi secara adekuat
pada anak-anak. Pemeriksaan autorefraksi non sikloplegik kurang akurat dalam menilai
hipemetropia.
4. Pergerakan Okuler, Pandangan Binokuler dan Akomodasi
Pemeriksaan ini diperlukan karena gangguan pada fungsi visual diatas dapat
menyebabkan terganggunya visus dan performa visual yang menurun.
5. Penilaian Kesehatan Okuler dan Skrining Kesehatan Sistemik
8
9
Kesehatan okuler harus dinilai untuk menyingkirkan atau mendiagnosis penyakit lain
yang dapat menyebabkan hipermetropia. Pemeriksaan ini dapat berupa respon pupil, uji
konfrontasi lapangan pandang, uji penglihatan warna, pengukuran tekanan intraokuler dan
pemeriksaan posterior bola mata dan adnexa.
2.7 Tatalaksana
Pegobatan hipermetropia adalah diberikan koreksi hipermetropia manifest , di mana
tanpa siklopegia didapatkan ukuran lensa positif maksimal yang memberikan tajam penglihatan
normal. Bila terdapat esotropia diberikan kacamata koreksi hipermetropia total. Bila terdapat
tanda eksoforia, maka diberikan kaca mata koreksi positif kurang.
Pada pasien dengan hipermetropia sebaiknya diberikan kacamata sferis positif terkuat
atau lensa positif terbesar yang masih memberikan tajam penglihatan maksimal. Pada pasien di
mana akomodasi masih sangat kuat , maka sebaiknya pemeriksaan dilakukan dengan
memberikan sikloplegia.
Pasie muda dengan hipermetropia tidak akan memberikan keluhan karena matanya masih
mampu melakukan akomodasi kuat untuk melihan benda dengan jelas. Pada pasien yang banyak
menggunakan mata, terutama pada usia lanjut akan memberikan keluhan kelelahan setelah
membaca. Keluhan tersebut berupa sakit kepala, mata terasa pedas dan tertekan. Pada pasien ini
diberikan kacamata sferis positif terkuat yang memberikan penglihatan maksimal.
Sejak usia 5 atau 6 tahun,tidak dilakukan koreksi kelainan refraksi mata terutama bila
mucul gejala belum muncul lagi. Dari usia 6 tahun atau 7 tahun hingga remaja dan berlanjut
hingga remaja dan berlanjut hingga waktu presbiop, hipermetropia dikoreksi dengan lensa positif
yang terkuat .
Koreksi kelainan refraksi
1. Lensa Kaca mata
2. Lensa kontak
3. Bedah keratorefraktif
4. Lensa intra okuler
9
10
2.8 Komplikasi
Komplikasi dari kelainan refraksi hipermetropia antara lain esotropia dan glaukoma.
Esotropia terjadi akibat pasien selamanya melakukan akomodasi. Glaukoma sekunder terjadi
akibat hipertrofi otot siliar pada badan siliar yang akan mempersempit sudut bilik mata.
10
11
BAB III
ILUSTRASI KASUS
Nama : Ny. M
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 57 tahun
Pekerjaan : IRT
Alamat : Padang
Keluhan Utama :
Mata kanan dan kiri kabur sejak ± 8 tahun yang lalu.
Riwayat Penyakit Sekarang :
1. Mata kanan dan kiri kabur sejak ± 8 tahun yang lalu, dan setiap tahun selalu berganti
kacamata.
2. Pertama kali memakai kacamata dengan S +0,50.00 D dan setiap tahun bertambah
dioptrinya.
Riwayat Penyakit Dahulu :
3. Pasien tidak pernah menderita penyakit mata sebelumnya.
4. Riwayat tekanan darah tinggi dan diabetes melitus tidak ada.
Riwayat Penyakit Keluarga :
5. Tidak ada keluarga yang menderita penyakit yang sama seperti pasien
Riwayat Pekerjaan, sosial ekonomi, kebiasaan :
6. Pasien adalah seorang ibu rumah tangga
Pemeriksaan Fisik :
Keadaan umum : sedang
Kesadaran : compos mentis cooperative
Tekanan Darah : 130/80 mmHg
Pernafasan : 20 x /menit
Nadi : 90x/menit
Suhu : afebris
Mata : status oftalmikus
11
12
Status Ophtalmikus
Status Ophtalmikus OD OS
Visus tanpa koreksi 5/10 5/7
Visus dengan koreksi 5/7 dengan koreksi S +0,75
C-0.50 (40)
5/5 F dengan koreksi S +1.00
Refleks fundus + +
Silia/supersilia Madarosis (-) trikiasis (-) Madarosis (-) trikiasis (-)
Palpebra superior
Palpebra inferior
Udem (-) Udem (-)
Aparat lakrimalis Normal Normal
Konjungtiva tarsalis
Konjungtiva fornik
Konjungtiva bulbi
Tidak ada papil dan folikel
Hiperemis (-)
Injeksi konjungtiva (-)
Injeksi siliar (-)
Tidak ada papil dan folikel
Hiperemis (+)
Injeksi konjungtiva (-)
Injeksi siliar (-)
Sclera Putih Putih
Kornea Bening Terdapat infiltrate dari endotel
Kamera okuli anterior Cukup dalam Cukup dalam
Iris Coklat, Rugae (+) Coklat, Rugae (+)
Pupil Bulat Ø 3mm Bulat Ø 3mm
Lensa Bening Bening
12
13
Korpus Vitreum Bening Bening
Fundus:
7. Media
8. Papil optikus
1. Pembuluh darah
2. Retina
3. Makula
Bening
Batas tegas,c/d 0,3- 0,4
Aa :Vv = 2 : 3
Perdarahan (-), eksudat (-)
Reflek Fovea (+)
Bening
Batas tegas,c/d 0,3- 0,4
Aa :Vv = 2 : 3
Perdarahan (-), eksudat (-)
Reflek Fovea (+)
Tekanan bulbus okuli N (palpasi) N (Palpasi)
Posisi bola mata Esophoria Esophoria
Gerakan bulbus okuli Bebas ke segala arah Bebas ke segala arah
Gambar
Diagnosis Kerja : Astigmat miopikus kompositus ODS
Hipermetropia ODS
Tatalaksana :
4. Kacamata S +1.00 OD S +0,75 OS
5. Roborantia 6x1 ODS
13
14
DAFTAR PUSTAKA
1. Wilson F. Practical ophthalmology. 5th ed. Singapore: American
Academy of ophthalmology. 2005. 65-6, 90-2
2. Ilyas S. Kelainan refraksi dan kacamata. 2nd ed. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI. 2006. 1-14, 35-48
3. Eva RP. Anatomi dan embriologi mata. In: Vaughan DG, Asbury T, Eva
RP, editors. Oftalmologi umum. 14th ed. Jakarta: Penerbit Widya
Medika. 2000. 7-15
4. Lang GK. Ophthalmology a short textbook. Stuttgart: Thieme. 2000.
117-9
5. Rabbets RB, Mallen EE. Accomodation and near vision the
inadequate-stimulus myopias. In: Rabbets RB, editor. Clinical visual
optics. 4th ed. Edinburgh: Elsevier. 2007. 129-31
6. American Academy of Ophthalmology. Optics, refraction, and contact
lenses. Section 3. American Academy of Ophthalmology. 2003. 118-9,
50
7. Schlote T, Rohrbach J, Grueb M, Mielke J. Pocket atlas of
ophthalmology. 2006. 135-7
8. Scheie HG, Albert DM. Textbook of ophthalmology. 9th ed.
Philadelphia: WB Saunders Company. 269-70, 72-73
14