antihistamin
DESCRIPTION
studyTRANSCRIPT
-
1
ANTIHISTAMIN
PENDAHULUAN
Antihistamin (AH) adalah zat yang digunakan untuk mencegah atau
menghambat kerja histamin pada reseptornya. Histamin sendiri berasal dari
bahasa Yunani yaitu histos yang berarti jaringan merupakan autakoid yang
berperan penting pada aktivitas organ tubuh baik pada proses fisiologis maupun
patologis.1,2,3,4
Aktivitas antihistamin H1 pertama kali diketahui pada tahun 1937 oleh
Bovet dan Staub pada sebuah rangkaian amin dengan fungsi eter fenolik. Senyawa
ini, 2-isopropil-5-metilfenoksietildietilamin, melindungi marmut dari berbagai
dosis letal histamin, menghambat spasme berbagai otot polos yang diinduksi oleh
histamin, dan menurunkan gejala-gejala renjatan anafilaksis. Obat ini terlalu toksis
untuk penggunaan klinis, tetapi pada tahun 1944, Bovet dkk telah
memperkenalkan pirilamin maleat yang hingga saat ini masih menjadi salah satu
antagonis histamin yang efektif,5 selanjutnya diikuti perkembangan AH di
Amerika yang bersifat kurang toksik seperti tripelenamin, difenhidramin dan
prometazin pada tahun 1945 dan 1946.3
Pada akhir tahun 1980 hingga tahun
1990, mulai diperkenalkan suatu generasi baru dari AH yang tidak menembus
sawar otak sehingga mengurangi efek sedasi yang sering mengganggu.
Antihistamin golongan ini sering disebut sebagai AH generasi kedua atau AH
non-sedatif.2
Terfenadin dan astemisol merupakan AH generasi kedua yang
pertama kali dikeluarkan, namun pada beberapa penelitian di Amerika, terfenadin
dan astemizol kini sudah ditarik dari peredaran karena memiliki bahaya interaksi
obat yang serius berupa pemanjangan interval QT yang berhubungan dengan
Torsades de pointes. Dengan adanya efek kardiotoksik itu maka dikembangkan
suatu AH yang non-sedatif dan non-kardiotoksik seperti desloratadin, levosetirisin
dan feksofenadin.1,2,6
-
2
Antagonis reseptor H2 pertama kali disintesis tahun 1969. Reseptor H2
terdapat pada pembuluh darah, jantung, kulit dan lambung , sedangkan reseptor
H3 pada manusia diyakini terdapat pada otak dan paru, tetapi tidak terdapat di
kulit. Reseptor histamin intraseluler dan reseptor H4 dilaporkan terdapat pada sel-
sel dan jaringan tubuh tetapi tidak pada kulit.1
Dalam bidang dermatologi, antihistamin secara luas telah digunakan
sebagai terapi, sehingga pemahaman mengenai farmakologi antihistamin
sangatlah penting.
Pada css ini akan dibahas mengenai klasifikasi, farmakologi, efek samping
maupun beberapa penggunaan klinis dari antihistamin terutama antihistamin H1
baik klasik/sedatif maupun non sedatif yang sering digunakan diantaranya
klorfeniramin, difenhidramin, hidroksisin, loratadin, cetirisin dan
feksofenadin.2,3,6,7,8
KLASIFIKASI DAN RUMUS BANGUN
1. Antihistamin H1
a. AH-1 generasi I (klasik/sedatif)
Yang termasuk golongan ini adalah:
Alkilamin (propilamin) : bromfeniramin maleat, klorfeniramin
maleat dan tanat, deksbromfeniramin maleat, deksklorfeniramin
maleat, dimentinden maleat, tripolidin hidroklorida, feniramin
maleat/pirilamin maleat
Etanolamin (Aminoalkil eter) :karbioksamin maleat, difenhidramin
sitrat dan hidroklorida, doksilamin suksinat, embramin
hidroklorida, mefenhidramin metilsulfat, trimetobenzamin sitrat,
dimenhidrinat, klemastin fumarat
-
3
Etilendiamin : mepiramin maleat, pirilamin maleat, tripenelamin
sitrat dan hidroklorida, antasolin fosfat
Fenotiazin : dimetotiasin mesilat, mekuitasin, metdilasin dan
metdilasin hidroklrida, prometasin hidroklorida dan teoklat,
trieprain tartrat
Piperidin : azatadin maleat, siproheptadin hidroklorida,
difenilpralin hidroklorida, fenindamin tartrat
Piperazin : hidroksisin hidroklorida dan pamoat1
Rumus bangun
Antihistamin pada umumnya
Difenhidramin Tripelenamin
Siproheptadin Hidroksisin
Klorfeniramin Prometasin
-
4
b. AH-1 non sedatif (AH-1 generasi II dan III )
Beberapa AH-1 yang diperkenalkan dalam 2 dekade terakhir
ditemukan dengan cara menyaring beberapa komponen dan secara
kimiawi berhubungan dengan AH-1 generasi lama. Sebagai contoh ialah
akrivastin berhubungan dengan tripolidin, setirisin adalah metabolit dari
hidroksisin, levocetirisin adalah enantiomer dari setirisin, desloratadin
adalah metabolik dari terfenadin.9
AH 1 generasi II
Yang termasuk golongan ini adalah:
- Akrivastin
- Astemisol
- Setirisin
- Loratadin
- Mizolastin
- Terfenadin
- Ebastin
Rumus bangun
Astemisol Loratadin
Terfenadin Setirisin
-
5
AH 1 generasi III
Yang termasuk golongan ini adalah:
- Levosetirisin
- Desloratadin
- Feksofenadin
Rumus bangun
Feksofenadin Desloratadin
Levosetirisin
2. Antihistamin tipe H2
Yang termasuk golongan ini adalah :
Simetidin
Ranitidin
Famotidin
Nizatidin
-
6
Rumus bangun
Simetidin Ranitidin
Famotidin Nizatidin
FARMAKOLOGI
1. Antihistamin H1 Klasik
Mekanisme kerja:
Antihistamin H1 bekerja sebagai competitif inhibitor terhadap histamin
pada reseptor jaringan, sehingga mencegah histamin berikatan pada reseptornya
serta mencegah aktivasi dari reseptor tersebut.1,2,4,7
Ikatan antara AH dan
reseptornya bersifat reversibel dan dapat digantikan oleh histamin dalam kadar
yang tinggi.1,7
Dengan menghambat kerja dari histamin, terjadi berbagai pengaruh
yang ditimbulkan histamin, yaitu menghambat vasodilatasi dan peningkatan
permeabilitas kapiler yang secara klinis berupa eritem, bentol (urtika) dan rasa
gatal. Obat ini lebih efektif jika diberikan sebelum terjadinya pelepasan histamin..3
Antihistamin klasik, juga memiliki aktivitas antikolinergik, efek anestesi lokal,
antiemetik, dan anti mabuk perjalanan.1,5
Beberapa obat golongan AH-1
-
7
mempunyai kemampuan untuk menghambat reseptor -adrenergik atau reseptor
muskarinik kolinergik, sedangkan obat lainnya seperti siproheptadin mempunyai
efek antiserotonin.1
Farmakodinamik dan Farmakokinetik
Setelah pemberian secara oral, AH-1 akan diabsorbsi dengan baik dalam
saluran cerna. Efeknya dapat terlihat dalam 30 menit, mencapai konsentrasi
puncak plasma dicapai dalam waktu 1-2 jam, dan dapat bertahan 4-6 jam,
sedangkan beberapa obat lainnya dapat bertahan lebih lama1,2,5,7,8
Antihistamin H1
generasi I mempunyai waktu paruh bervariasi antara 9-24 jam, hampir semua
diikat oleh protein dan dimetabolisme melalui sistem sitokrom P-450 (CYP) di
hepar. Waktu paruh ini akan memanjang pada penderita yang lebih tua atau yang
menderita sirosis hepatis. Hampir seluruh obat ini diekskresikan ke urin setelah
24 jam pemberian.1
Kegunaan klinis
Antihistamin tipe H1 klasik digunakan untuk menghilangkan pruritus pada
penderita dermatitis atopik, dermatitis kontak alergi dan bentuk lain dermatitis,
liken planus, gigitan nyamuk dan pruritus yang terjadi sekunder karena penyakit
lain atau yang bersifat idiopatik. Digunakan juga untuk pengobatan cold urticaria,
angioedema dan reaksi alergi kulit lainnya temasuk reaksi obat.1,3
Pada pemberian
awal, AH dapat mencegah edema dan pruritus selama reaksi hipersensitivitas,
sehingga banyak keuntungan yang didapat jika digunakan untuk pencegahan
urtikaria kronik idiopatik. Apabila salah satu dari kelompok antihistamin tipe H1
tidak efektif, maka dapat diganti dengan obat dari kelompok yang lain.1
Panduan penggunaan AH-1 pada wanita hamil terbatas. Sebagian besar
AH-1 untuk wanita hamil oleh United States of Food and Drug Administration
(FDA) digolongkan sebagai kategori B atau C.1,10
-
8
Kontra Indikasi
Bayi baru lahir atau bayi prematur3
Kehamilan3
Ibu menyusui3
Glaukoma sudut sempit3
Retensi urin3
Asma3
Efek samping:
Sifat lipofilik dari antihistamin tipe H1 klasik menyebabkan distribusi
jaringan yang luas. Obat ini dapat melewati sawar darah otak, plasenta dan air
susu ibu,3 karena itu dapat memberikan efek pada:
Sistem saraf pusat
Komplikasi yang sering terjadi pada orang dewasa adalah depresi SSP, sedasi
dan pusing. Pada anak-anak dan orang tua dapat berupa: kecemasan,
iritabilitas, insomia, tremor dan mimpi buruk. Bangkitan dapat terjadi,
walaupun jarang. Pernah dilaporkan terjadinya diskinesia wajah dan mulut
pada penggunaan kombinasi antihistamin-dekongestan.1,2,3,5,7,11
Gastrointestinal
Gejala yang terjadi dapat berupa mual, muntah, anoreksia, konstipasi dan
diare.1,2,3,5
Kardiovaskular
Takikardia, disritmia, hipotensi yang bersifat sementara.1,2
Difenhidramin
dapat menghambat potassium channels, memperpanjang interval QT, bahkan
menyebabkan aritmia ventrikular.10
Genitourinaria
Disuria, disfungsi ereksi, retensi urin2,4,11
Darah
Klorfeniramin dapat menyebabkan pansitopenia, agranulositosis,
trombositopenia, leukopenia dan anemia aplastik.1,3,5
-
9
Kulit
Reaksi kulit yang dapat terjadi berupa dermatitis, petekie, fixed drug eruption
dan fotosensitif.1
Efek samping lainnya
Terdapat efek antikolinergik yang dapat berupa muka merah, dilatasi pupil,
hipertermia, kekeringan pada membran mukosa dan penglihatan yang
buram.1,4,5,10
Antihistamin lain yaitu siproheptadin dapat menyebabkan peningkatan berat
badan3
Interaksi obat
Efek depresi SSP akan semakin meningkat apabila antihistamin H1
diminum bersamaan dengan alkohol atau obat lain yang bersifat depresif terhadap
SSP seperti diazepam. Antihistamin kelompok fenotiazin menghambat efek
vasopresor dari epinefrin. Efek antikolinergik dari AH-1 klasik akan lebih berat
dan lebih lama bila diberikan bersama obat golongan inhibitor monoamin
oksidase, seperti
isokarboksazid, nialamid, moklobemid, ranilsipromin, dan
fenelzim1,2
2. Antihistamin H-1 non sedatif / antihistamin H-1 generasi ke-2 dan ke-3
Mekanisme kerja
Antihistamin tipe H1 non sedatif merupakan antagonis dari histamin pada
reseptor H1, berikatan secara tidak kompetitif, tidak mudah diganti oleh histamin,
dilepaskan secara perlahan dan kerjanya lebih lama.1,2,3
Antihistamin H1 non
sedatif ini kurang bersifat lipofilik, sangat sedikit menembus sawar darah otak,
dan lebih mengikat reseptor H1 di perifer secara lebih spesifik.1,2,3,4
Walaupun
golongan ini sering dikatakan nonsedasi, obat-obat ini tetap dapat menyebabkan
efek sedasi, namun dalam banyak penelitian dikatakan insidensi sedasi jauh lebih
sedikit dibandingkan antihistamin H1 klasik, demikian pula efek antikolinergiknya
-
10
lebih jarang terjadi dibanding antihistamin H1 klasik.3 Salah satu penelitian yang
membandingkan efek sedasi dari 4 macam antihistamin nonsedatif yang berbeda,
yaitu loratadin, akrivastin, setirisin dan feksofenadin, didapatkan hasil loratadin
paling tidak menyebabkan sedasi, kemudian secara berurutan diikuti oleh
feksofenadin, akrivastin dan setirisin.12
Setirisin memiliki efek anti inflamasi
seperti hambatan aktivasi eosinofil, neutrofil, limfosit dan kemotaksis dengan
jalan menghambat:
- Adhesi leukosit ke endotel
- Efek kemotaksis sehingga terjadi migrasi melalui jaringan ke tempat
radang
- Aktivasi sel radang/ pelepasan mediator
- Ekspresi adhesi molekul oleh endotel/sel target
Farmakodinamik dan farmakokinetik:
Antihistamin tipe H1 non sedatif diabsorbsi dari saluran cerna dan
mencapai puncak konsetrasi plasma dalam 2 jam. Obat tersebut dapat
menghilangkan urtikaria dan reaksi eritema sekitar 1-24 jam. Terfenadin,
astemisol, loratadin, aktivastin, mizolastin, ebastin dan oksatomid dimetabolisme
di hepar melalui sistem enzim sitokrom P450 3A4 dalam hepar. Setirisin,
feksofenadin, dan desloratadin tidak dimetabolisme dalam hepar.1
Astemisol mempunyai efek jangka panjang dibandingkan dengan AH-1
yang lain. Astemisol mempunyai afinitas lebih besar terhadap reseptor H1
sehingga khasiat anti urtikaria masih dapat berlangsung 4 minggu setelah obat
dihentikan. Waktu paruh eliminasi setirisin dan feksofenadin pada anak-anak
sama dengan dewasa yaitu 7-8 jam.1,13
Kegunaan klinis
Antihistamin tipe H1 non sedatif digunakan terutama untuk pengobatan
rinitis alergi dan urtikaria kronis.3,7
-
11
Kontraindikasi
Kehamilan3
Ibu menyusui.3
Efek samping
Antihistamin ini memiliki efek sedasi dan antikolinergik yang sedikit,
sehingga memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan
antihistamin tipe H-1 klasik.1
Sistem saraf pusat
Dalam beberapa penelitian dikatakan tefenadin, astemizol dan loratadin
memiliki efek sedasi yang lebih rendah dibandingkan antihistamin H1 klasik.3
Kardiovaskular
Efek samping kardiovaskular berupa fibrilasi ventrikel, pemanjangan interval
QT serta aritmia ventrikular torsades de pointes yang berhubungan dengan
pemakaian astemizol dan terfenadin.14, 15
Kelainan ini dapat terjadi terutama
pada wanita dan penderita dengan kelainan jantung organik yang sebelumnya
telah ada (seperti iskemia, kardiomiopati), aritmia, ataupun penderita dengan
gangguan elektrolit (seperti hipokalemia, hipokalsemia dan hipomagnesemia)9
Hepar
Hepatotoksisitas jarang terjadi, namun dilaporkan adanya kasus hepatitis yang
berhubungan dengan penggunaan terfenadin selama 5 bulan. Peningkatan
serum transaminase dengan kadar ringan sampai sedang dapat terjadi.3
Kulit
Fotosensitivitas, urtikaria, erupsi makulopapular, eritema serta pengelupasan
kulit tangan dan kaki. Selain itu juga dilaporkan adanya reaksi fotoalergi dan
alopesia yang diduga berhubungan dengan penggunaan terfenadin. Dilaporkan
juga suatu kasus psoriasis yang mengalami eksaserbasi selama menggunakan
terfenadin.3
Efek samping lainnya
Dilaporkan adanya sakit kepala, mual, kekeringan pada mukosa mulut dan
beberapa efek antikolinergik lainnya, namun insidensinya sangat rendah.3
-
12
Karena terbatasnya penelitian pada manusia, penggunaan antihistamin non sedasi
pada wanita hamil dan ibu menyusui sebaiknya dihindari.3
Interaksi obat
Perpanjangan interval QT dapat terjadi pada penderita yang
mengkonsumsi terfenadin bersamaan dengan ketokonazol dan itrakonazol,
antibiotik makrolid, seperti eritromisin dan klaritromisin, troleandomisin,
lovastatin, protease inhibitor dan flavonoid, seperti naringin dalam grapefruit
juice.1,16,17
Obat-obatan lain yang dapat berpengaruh pada peningkatan kadar
antihistamin serum dan yang memiliki risiko kardiovaskular adalah Human
Immunodeficiency Virus-1 (HIV-1) protease inhibitors, Selective Serotonin
Reuptake Inhibitors (SSRI) antidepresant, seperti quinin, zileuton. 2
Obat-obat antihistamin yang sering digunakan
Klorfeniramin
Klorfeniramin merupakan antihistamin sedatif dari golongan alkilamin
yang paling poten dan stabil. Setelah pemberian dosis tunggal peroral,
klorfeniramin diabsorbsi dengan baik dan cepat pada saluran pencernaan,
mencapai kadar puncak plasma dalam waktu 30-60 menit, melalui metabolisme
pertama di hati dan di mukosa saluran pencernaan selama proses absorbsi,
kemudian didistribusikan secara luas ke seluruh tubuh termasuk susunan saraf
pusat.14
Sebanyak 50% dari dosis yang diberikan diekskresikan terutama melalui
urin dalam waktu 12 jam dalam bentuk asal dan metabolitnya.15
Lama kerja dari klorfeniramin adalah 4-6 jam.5 Dosis yang diberikan 4-6
mg peroral dapat diberikan 3-4x/hari, dengan dosis maksimal 24 mg per hari baik
pada anak-anak dan dewasa.4
-
13
Sediaan:
- Klorfeniramin eliksir, 2 mg/5ml: 120 ml, 480 ml.4
- Klorfeniramin tablet 2 mg dan 4 mg.4
- Klorfeniramin retard tablet 8 mg dan 12 mg.4
Difenhidramin
Difenhidramin adalah derivat etanolamin yang sering digunakan dalam
praktek sehari-hari, diabsorbsi dengan baik setelah pemberian per oral. Obat ini
mengalami metabolisme pertama di hati, dan hanya 40%-60% dari dosis
pemberian yang mencapai sirkulasi sistemik, didistribusikan secara luas ke
seluruh tubuh, termasuk sistem saraf pusat. Kadar puncak plasma dicapai dalam
waktu kurang lebih 1-5 jam dan bertahan selama 2 jam. Waktu paruh bervariasi
dari 2,4 sampai 10 jam.5,15
Difenhidramin tidak dapat diberikan secara subkutan, intradermal atau
perivaskular karena sifatnya yang iritatif dan dapat menyebabkan nekrosis
setempat pada pemberian secara subkutan dan intradermal. Difenhidramin tidak
dapat menembus jaringan kulit yang intak pada pemberian secara topikal, bahkan
dapat menyebabkan reaksi hipersensitivitas.15
Dosis pemberian adalah 25 mg-50 mg per oral, dosis maksimal 300
mg/hari, dengan lama kerja 4-6 jam.4,5
Pemberian 100 mg atau lebih dapat
menyebabkan hipertensi, takikardia, perubahan gelombang T dan pemendekan
dari diastol.4
Sediaan :
- Difenhidramin kapsul 25 dan 50 mg.4
- Difenhidramin eliksir (12,5 mg/5 ml): 120 cc, 480 cc.4
- Difenhiramin injeksi (50 mg/ml) : 1 ml ampul.4
- Difenhidramin semprot : 60 ml.4
-
14
Hidroksisin
Hidroksisin merupakan derivat dari piperasin, sering digunakan sebagai
transquilizer, sedatif, antipruritus dan antiemetik. Kadar plasma biasanya dicapai
dalam 2-3 jam setelah pemberian peroral, dengan waktu paruh 6 jam kemudian
diekskresikan ke dalam urin.15
Hidroksizin merupakan obat pilihan untuk
pengobatan dermatografisme dan urtikaria kolinergik, dapat digunakan sendirian
ataupun kombinasi dengan antihistamin lainnya untuk pengobatan urtikaria kronis,
urtikaria akut, dermatitis kontak, dermatitis atopik dan pruritus yang diinduksi
oleh histamin. Lama kerja dari obat ini adalah 6-24 jam dengan dosis pemberian
10 mg sampai 50 mg peroral, setiap 4 jam.4
Sediaan:
- Hidroksisin tablet 10 mg, 25 mg, 50 mg dan 100 mg.4
- Hiroksisin injeksi 25 mg/ml, 50 mg/ml.4
- Hidroksisin sirup 10 mg/5ml: 240 ml, 480 ml.4
Loratadin
Loratadin adalah trisiklik piperidin long acting yang mempunyai aktivitas
yang selektif dengan efek sedatif dan antikolinergik yang minimal pada dosis yang
direkomendasikan, merupakan antihistamin yang mempunyai masa kerja yang
lama. Metabolik utamanya, deskarboetoksi-loratadin, adalah biologikal aktifnya.1
Loratadin cepat diabsorbsi setelah pemberian dosis 10 mg, sekali sehari
dan cepat diabsorbsi setelah pemberian dosis 10 mg. Eliminasi waktu paruhnya
sekitar 8-11 jam, diekskresikan melalui urine 40%, feses 42% dan air susu
0,029%. Loratadin diindikasikan untuk rinitis alergi dan urtikaria kronik idiopatik
pada pasien diatas 6 tahun. Loratadin mempunyai efek terhadap fungsi dari
miocardial potassium channel tetapi tidak menyebabkan disritmia jantung.1
-
15
Loratadin merupakan antihistamin long acting dengan lama kerja 24 jam.5
Dosis yang direkomendasikan 10 mg dosis oral, pada anak-anak (< 30 kg) adalah
0,5 mg/kg BB dosis tunggal. Meskipun loratadin tidak mempunyai kontraindikasi
pada penderita hati dan ginjal kronis, disarankan untuk mengurangi dosis yang
diberikan.2,3
Sediaan:
- Loratadin sirup (1 mg/ml): 480 ml2,4
- Loratadin tablet 10 mg2,4
- Loratadin reditabs 10 mg2,4
Setirisin
Merupakan metabolit karboksil asid dari hidroksisin. Obat ini pada
manusia hanya mempunyai transformasi metabolik yang minimal menjadi bentuk
metabolit aktif dan obat ini terutama diekskresi lewat urin. Karena setirisin cepat
diabsorbsi dan sedikit yang dimetabolisme, dan juga diekskresi lewat urin, maka
dosis obat ini harus dikurangi pada pasien dengan gangguan ginjal.2
Kadar puncak plasma dicapai dalam 1 jam dan waktu paruh plasma sekitar
7 jam, diekskresikan dalam urine sebanyak 60% dan feses 10%.2 Setirisin dapat
menghambat eosinofil, netrofil dan basofil dan menghambat IgE serta
menurunkan prostaglandin D2. Setirisin diindikasikan untuk terapi urtikaria
kronik di Amerika Serikat. Beberapa studi kemudian mendukung khasiat cetirizin
untuk kondisi ini dan juga ditemukan khasiatnya untuk terapi cold urticaria.3
Dosis yang direkomendasikan untuk dewasa 10 mg/hari (maksimal 20 mg)
dosis tunggal, pada anak-anak adalah 0,3 mg/kgBB sedangkan pada pasien dengan
gangguan ginjal kronik dan hepar dosis yang diberikan adalah 5 mg/hari. Lama
kerja dari setirisin adalah 12-24 jam.5
-
16
Sediaan:
- Setirisin tablet 5 mg, 10 mg.4
- Setirisin sirup 5mg/ml: 120 ml.4
Feksofenadin
Feksofenadin, metabolit aktif utama dari terfenadin, merupakan reseptor
kompetitif antagonis H-1 yang selektif dengan sedikit atau tanpa efek samping
antikolinergik dan non sedatif, serta bersifat non kardiotoksik.2,3,4
Feksofenadin diabsorbsi cepat setelah pemberian dosis tunggal atau dua
kapsul 60 mg dengan waktu rata-rata mencapai konsentrasi plasma maksimum 1-3
jam setelah pemberian per oral. Feksofenadin terikat pada protein plasma sekitar
60-70%, terutama pada albumin dan 1-acid gylcoprotein. Waktu paruh
feksofenadin adalah 11-15 jam,2
diekskresikan sebanyak 80% pada urin dan 12%
pada feses.1,2
Feksofenadin diindikasikan pada penderita rinitis alergi dan urtikaria
idiopatik kronis.4,10
Pemberian feksofenadin bersama antibiotik golongan
makrolid dan obat anti jamur golongan imidazol tidak menunjukkan adanya
interaksi obat sehingga tidak terdapat pemanjangan interval QT.2
Sediaan :
- Feksofenadin kapsul 30 dan 60 mg4
- Feksofenadin tablet 60 mg, 120 mg dan 180 mg4
-
17
Antihistamin yang aman digunakan:
- Pada wanita hamil dan menyusui:
Antihistamin yang teraman untuk wanita hamil dan meyusui adalah
golongan klorfeniramin maleat, meskipun AH non sedatif sangat sedikit
menembus plasenta, namun penggunaannya sebaiknya dihindari karena
masih kurangnya penelitian AH non sedatif pada wanita hamil dan
menyusui.3
- Pada anak-anak:
Bromfeniramin maleat, klorfeniramin maleat, difenhidramin HCL,
loratadin, desloratadin, feksofenadin, setirisin.19
- Pada bayi:
Penggunaan antihistamin pada bayi sebaiknya dihindari, karena efek
samping antikolinergik dari obat-obatan AH yang dapat membahayakan.
Pada satu penelitian mengatakan AH yang aman digunakan adalah
desloratadin (clarinex), dapat digunakan pada bayi berumur 6 bulan
dengan gejala alergi dan urtikaria.20
-
18
RINGKASAN
Antihistamin adalah zat yang digunakan untuk mencegah atau
menghambat kerja histamin pada reseptornya. Terdapat 4 reseptor AH, namun
yang memiliki reseptor di kulit adalah AH-1 dan AH-2. Anti histamin tipe H1
banyak digunakan dalam bidang dermatologi, terbagi atas AH-1 sedatif dan AH-1
non sedatif.
Antihistamin sedatif bersifat lipofilik, sehingga dapat terdistribusi secara
luas terutama pada sistem saraf pusat dan dapat menyebabkan depresi SSP.
Antihistamin non sedatif kurang bersifat lipofilik dan sangat sedikit menembus
sawar darah otak, sehingga efek samping yang terjadi lebih sedikit bila
dibandingkan dengan AH-1 yang sedatif.
Terfenadin dan astemisol dapat menyebabkan perpanjangan interval QT,
aritmia dan takikardi ventrikular (torsades de pointes), penggunaannya dapat
digantikan oleh feksofenadin yang bersifat non kardiotoksik. Setirisin
berpengaruh pada perpindahan sel dalam kulit dan jaringan lainnya, pelepasan
atau pembuatan dan pelepasan mediator inflamasi serta ekspresi molekul adhesi.
Antihistamin yang sering digunakan diantaranya adalah: klorfeniramin,
difenhidramin, hidroksisin, loratadin, setirisin, dan feksofenadin.
-
19
KEPUSTAKAAN
1. Soter NA. Antihistamines. Dalam: Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI, penyunting. Fitzpatricks dermatology in general medicine. Edisi ke-6. New York: McGraw-Hill Incorporation; 2003.h.2420-6.
2. Greaves MW. Antihistamines. Dalam: Wolverthon SE, penyunting. Comprehensive dermatologic drug therapy. Edisi ke-1. New York: W.B.
Saunders Company; 2001.h.360-74.
3. Del Rosso JQ. Antihistamines. Dalam: Wolverthon SE, Wilkin JK, penyunting. Systemic drugs for skin diseases. Edisi ke-1. Philadelphia: WB
Saunders Company; 1991.h.285-321.
4. Arndt KA, Bowers KE. Manual of dermatologic therapeutics with essentials of diagnosis. Edisi ke-6. Philadelphia: WB Saunders Company; 2002.h.294-303.
5. Brown JN, Roberts LJ. Histamines, bradykinin, and their antagonists. Dalam: Wonsiewicz MJ, Morris JM, penyunting. Goodman & Gillmans the pharmacological basis of therapeutics. Edisi ke-6. New York: Mc Graw-Hill
Publisher; 2001.h.645-67.
6. Cotteril JA, Finlay YA.Sistemic therapy. Dalam: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C, penyunting. Rook textbook of dermatology. Edisi ke-7.
Oxford: Blackwell Scientific Publisher; 2004.h.72.5.-72.8.
7. Katzung GB, Julius DJ. Histamine, serotonin, and the ergot alkaloids. Dalam: Katzung BG, penyunting. Basic and clinical pharmacology. Edisi ke-6. San
Fransisco: Prentice-Hall International Incorporation; 1995.h.265-91.
8. Mycek MJ, Harvey RA, Champe PC. Pharmacology, autacoids and autacoid antagonists. Edisi ke-2. Philadelphia: Lippincott; 2000.h.419-27.
9. Simons FER. Advances in H1-antihistamines. The new England journal of medicine 2004;35:2203-15.
10. Greaves MW. Antihistamines in dermatology (diakses tanggal 24 Maret 2006). National Skin Centre, Singapore. Tersedia dari:
URL:http://www.karger.com.spp.
11. Simons FER, Simons KJ. The pharmacology and use of H-1 receptor antagonist drugs. The new England journal of medicine 1994;330:1-17.
12. Mann RD, Pearce GL, Dunn N, Shakir S. Sedation with non sedating antihistamines: four prescription-event monitoring studies in general practice.
BMJ; 2000: 320.h.1184-7.
-
20
13. Breathnach SM. Drug reactions. Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C, penyunting. Rook textbook of dermatology. Edisi ke-7. Oxford: Blackwell
Scientific Publisher; 2004.h.73.151-152.
14. Mastey V. Torsades de pointes in patients receiving terfenadin or astemizole (diakses tanggal 2 Juni 2006). Tersedia dari URL:http://www.hsph.harvard.edu
15. Murphy L. Antihistamines toxicosis. (diakses tanggal 17 Maret 1006). Tersedia dari: URL:http://www.Vetmedpub.com.
16. Benton RE, Honig PK, Zamani K, Cantilena LR, Woosley RL. Grapefruit juice alters terfenadine pharmacokinetics, resulting in prolongation of
repolarization on the electrocardiogram (Abstracts). Clin pharmacol ther
1997;61:401-9.
17. Rau SE, Arnold JMO, Tran LT, Spence JD, Bailey DG. Grapefruit juice terfenadine single dose interaction: Magnitude, mechanism, and relevance.
Clin Pharmacol Ther 1997;61:401-9.
18. Gelfand EW, Appajosyula S, Meves S. Anti-inflammatory activity of H1-receptor antagonists:review of research. (diakses tanggal 24 April 2006).
Tersedia dari: URL:http://www.medscape.com/viewarticle/466195
19. Scadding G. Predicting and establishing the clinical effeicacy of a histamine H-1 receptor antagonist. Clin Drug Invest 2005;25(3):153-64.
20. LD Jeanie. FDA OKs clarinex syrup for young children. (diakses tanggal 29 Juni 2006). Tersedia dari URL:http://www.webmd.com