analisis sosio-yuridis atas hak kebebasan beragama …

20
ANALISIS SOSIO-YURIDIS ATAS HAK KEBEBASAN BERAGAMA DAN BERKEPERCAYAAN MASYARAKAT SUNDA WIWITAN (MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA DALAM HAL PEMENUHAN HAK-HAK SIPIL) Jojor Yuni Artha Siahaan, Lidwina Inge Nurtjahyo, dan Iva Kasuma Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia [email protected] Abstrak Penelitian ini membahas mengenai hak kebebasan beragama dan berkepercayaan pada masyarakat penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan. Melalui UU No. 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama negara telah melakukan diskriminasi terhadap penghayat kepercayaan, karena hanya enam agama saja yang diakui oleh negara. Pada saat melakukan observasi di Cigugur, Jawa Barat, ditemukan dampak negatif atas pengaturan tersebut yang dialami oleh para penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan. Mereka kesulitan mengakses hak-hak sipilnya, seperti hak untuk memeluk agama dan melaksanakannya, hak atas pendidikan, hak atas pekerjaan, hak atas pelayanan publik (akta perkawinan, akta anak serta identitas hukum berupa KTP), dan hak atas bantuan hukum. Akibatnya timbul konflik vertikal antara penghayat kepercayaan dengan pemerintah serta konflik horizontal antara sesama masyarakat. Penelitian ini juga melihat langkah penyelesaian sengketa yang dipilih oleh penghayat keperacayaan untuk menyelesaian konflik/sengketa yang dialaminya. Maka saran dari penelitian ini adalah, negara tidak perlu membedakan antara pemeluk agama resmi dan penghayat kepercayaan. Hal ini sebagai bentuk kewajiban negara untuk menghormati, memenuhi dan melindungi hak warga negaranya. Tanpa pembedaan maka penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan dapat mengakses hak-hak sipilnya. Kata kunci: Hak Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan, Sunda Wiwitan, Akses Terhadap Keadilan, Konflik, Penyelesaian Sengketa THE ANALYSIS OF SOCIO-JURIDICAL OF THE RIGHT TO FREEDOM IN RELIGION AND BELIEF OF SUNDA WIWITAN COMMUNITY (DISPUTE RESOLUTION MECHANISM OF CIVIL RIGHTS COMPLIANCE) Abstrack Analisis Sosio ..., Siahaan, Jojor Yuni Artha, FH UI, 2017

Upload: others

Post on 02-Oct-2021

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: ANALISIS SOSIO-YURIDIS ATAS HAK KEBEBASAN BERAGAMA …

ANALISIS SOSIO-YURIDIS ATAS HAK KEBEBASAN BERAGAMA

DAN BERKEPERCAYAAN MASYARAKAT SUNDA WIWITAN

(MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA DALAM HAL

PEMENUHAN HAK-HAK SIPIL)

Jojor Yuni Artha Siahaan, Lidwina Inge Nurtjahyo, dan Iva Kasuma

Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia

[email protected]

Abstrak

Penelitian ini membahas mengenai hak kebebasan beragama dan berkepercayaan pada masyarakat penghayat

Kepercayaan Sunda Wiwitan. Melalui UU No. 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau

Penodaan Agama negara telah melakukan diskriminasi terhadap penghayat kepercayaan, karena hanya enam

agama saja yang diakui oleh negara. Pada saat melakukan observasi di Cigugur, Jawa Barat, ditemukan dampak

negatif atas pengaturan tersebut yang dialami oleh para penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan. Mereka

kesulitan mengakses hak-hak sipilnya, seperti hak untuk memeluk agama dan melaksanakannya, hak atas

pendidikan, hak atas pekerjaan, hak atas pelayanan publik (akta perkawinan, akta anak serta identitas hukum

berupa KTP), dan hak atas bantuan hukum. Akibatnya timbul konflik vertikal antara penghayat kepercayaan

dengan pemerintah serta konflik horizontal antara sesama masyarakat. Penelitian ini juga melihat langkah

penyelesaian sengketa yang dipilih oleh penghayat keperacayaan untuk menyelesaian konflik/sengketa yang

dialaminya. Maka saran dari penelitian ini adalah, negara tidak perlu membedakan antara pemeluk agama resmi

dan penghayat kepercayaan. Hal ini sebagai bentuk kewajiban negara untuk menghormati, memenuhi dan

melindungi hak warga negaranya. Tanpa pembedaan maka penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan dapat

mengakses hak-hak sipilnya.

Kata kunci: Hak Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan, Sunda Wiwitan, Akses Terhadap Keadilan, Konflik,

Penyelesaian Sengketa

THE ANALYSIS OF SOCIO-JURIDICAL OF THE RIGHT TO FREEDOM IN

RELIGION AND BELIEF OF SUNDA WIWITAN COMMUNITY (DISPUTE

RESOLUTION MECHANISM OF CIVIL RIGHTS COMPLIANCE)

Abstrack

Analisis Sosio ..., Siahaan, Jojor Yuni Artha, FH UI, 2017

Page 2: ANALISIS SOSIO-YURIDIS ATAS HAK KEBEBASAN BERAGAMA …

This research aims to discuss the right to freedom in religion and belief in Sunda Wiwitan community. According

to UU No.1 of 1965 about Prevention of Misuse and/or Blasphemy, the country has undertaken a discrimination

towards the instiller of faith, due to the fact that only six religions are recognized by the country. In the process

of observing in Cigugur, West Java, it was founded several negative impacts toward that regulation which is

experienced by Sunda Wiwitan community. They face some difficulties in accessing their civil rights as the

freedom of religion, education, employment, public service (marriage certificate, birth certificate and legal

identity in the form of KTP), and the right to legal aids. As a result, several vertical conflicts between the

instiller of faith and government and horizontal conflicts between the instiller of faith and the other communities

arise. The study also observed the solutions taken by the instiller of faith to solve the conflicts/ dispute.

Accordingly, the suggestion of this study is the country should distinguish between the official religion and the

instiller of faith. It is a form of country’s obligation to respect, fulfill and protect the rights of its community.

Without any discrimination, the instiller of faith in Sunda Wiwitan will be able to access their civil rights.

Keywords : The rights to freedom of religion and belief, Sunda Wiwitan, Access to justice, Conflict, Dispute

Resolution

Pendahuluan

Sebelum agama Budha dan Hindu masuk ke Indonesia pada abad ke-4 serta Islam dan

Kristen pada abad ke-71 melalui sistem perdagangan dan mulai melakukan penyebaran

agama, Indonesia sudah mengenal dan memiliki agama lokal yang dipeluk dan dijalankan

oleh masyarakatnya dari satu generasi ke generasi lainnya. Agama lokal adalah agama yang

berkembang dan dianut oleh komunitas di daerah tertentu. Identitas agama lokal umumnya

dilekatkan pada sistem kepercayaan yang didasarkan pada tradisi leluhur, pandangan hidup

(worldview) dan praktik persembahan yang dikenal dan dilakukan oleh masyarakat tertentu.2

Pada umumnya, masyarakat mewarisi agama lokal melalui proses pengalaman

bersama dengan generasi sebelumnya, walaupun kemudian ada beberapa pengaruh dari agama

lain (agama yang telah terlembaga) yang masuk ke dalam sistem kepercayaannya.3 Sebutan

agama lokal atau kepercayaan menjadi identitas pembeda dengan agama non-lokal atau

                                                                                                                         1 Adolf Heuken, “Chapter One: Christianity in Pre-Colonial Indonesia”, dalam Jan Aritonang dan Karel

Steenbrink (ed), A History of Christianity in Indonesia, (Leiden: Brull, 2008), hlm. 3-7. 2Achmad Fadillah, “Mengenal Sunda Wiwitan dan Variannya di Tanah Pasundan”, (Jumat, 4 Desember

2015), diakses dari https://www.selasar.com/budaya/mengenal-sunda-wiwitan-dan-variannya-di-tanah-pasundan

pada tanggal 12 April 2016. 3 Ibid.

Analisis Sosio ..., Siahaan, Jojor Yuni Artha, FH UI, 2017

Page 3: ANALISIS SOSIO-YURIDIS ATAS HAK KEBEBASAN BERAGAMA …

agama asing yang masuk ke Indonesia yang kemudian berkembang dan semkain banyak

pengikutnya.

Dalam realitas sosiologis, agama menurut Durkheim, seperti yang dikutip oleh

Musdah Mulia, didefinisikan sebagai sebuah sistem keyakinan dan ritual yang mengacu

kepada sesuatu yang dipercayai bersifat suci yang mengikat seseorang atau kelompok. Agama

juga didefinisikan sebagai rangkaian jawaban yang koheren pada dilema keberadaan manusia,

berupa kelahiran, kesakitan, dan kematian, yang membuat dunia bermakna, seperti

diterangkan oleh Marx Weber. Berbeda dengan pendekatan sosiologis, praktik empiris yang

terjadi di Indonesia adalah agama menurut pemerintah dan sebagian kelompok masyarakat

diperlakukan sebagai suatu sistem kepercayaan yang disusun berdasarkan kitab suci dan oleh

karena itu mengandung ajaran yang jelas.4 Definisi mengenai agama dan kepercayaan itu

sendiri tidak dimuat secara eksplisit dalam instrumen hukum internasional maupun instrumen

hukum nasional.

Ketiadaan definisi inilah yang menyebabkan seringkali terdengar pendapat yang salah

kaprah bahwa agama yang diakui pemerintah adalah agama-agama: Islam, Kristen, Katolik,

Hindu dan Budha.5 Lalu, sejak rezim order baru berakhir Indonesia dipimpin oleh K.H

Abdurrahman Wahid dan dimasa kepemimpinannya beliau menerbitkan Keputusan Presiden

No. 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden No. 14 Tahun 1967 Tentang Agama,

Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina yang berdampak diakuinya agama Khong Hu Cu di

Indonesia.

Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2015 melakukan sensus agama terhadap

237.641.326 jiwa penduduk, sebagai berikut:6

Tabel 1. Jumlah Penduduk Indonesia Pada Tahun 2015 berdasarkan Agama

atau Kepercayaan.

Agama Jumlah Penganut Jumlah Dalam Persen (%)

Islam 207.176.162 87,1 %

                                                                                                                         4 Siti Musdah Mulia, “Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Beragama” (makalah disampaikan pada acara

Konsultasi Publik untuk Advokasi terhadap RUU KUHP diselenggarakan oleh Aliansi Nasional Reformasi

KUHP, 4 Juli 2007 di Jakarta), hlm. 4. 5 Lihat Penjelasan Umum Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Pencegahan Penyalahgunaan

dan/atau Penodaan Agama. 6 Badan Pusat Statistik, Statistik Politik 2015, (Jakarta: Badan Pusat Statistik, 2015), hlm. 167.

Analisis Sosio ..., Siahaan, Jojor Yuni Artha, FH UI, 2017

Page 4: ANALISIS SOSIO-YURIDIS ATAS HAK KEBEBASAN BERAGAMA …

Kristen 16.528.513 6,9 %

Katolik 6.907.873 2,9 %

Hindu 4.012.116 1,6 %

Budha 1.703.254 0,7 %

Kong Hu Cu 117.091 0,04 %

Kepercayaan 299.617 0,12 %

(Sumber: BPS, Stastik Politik 2015)

Jumlah penganut agama atau kepercayaan lain ini menurut data Kementerian

Kebudayaan dan Pariwisata, kurang lebih sembilan juta jiwa.7 Data tersebut didapat melalui

catatan 248 organisasi berstatus pusat dan 980 organisasi berstatus cabang yang tersebar di 25

Propinsi di Indonesia.8 Adapun contoh kepercayaan lokal yang masih dipraktikkan sampai

saat ini adalah Parmalim pada suku Batak, Kaharingan pada suku Jawa dan Sunda Wiwitan

pada suku Sunda. Kepercayaan ini sudah terlebih dulu eksis dan memiliki pengikut jauh

sebelum agama-agama Samawi9 dari Timur Tengah dan Asia Selatan merambah Nusantara.

Negara Republik Indonesia merupakan negara yang menganut asas Ketuhanan Yang

Maha Esa, sebagaimana tercantum di dalam Pancasila, yakni pada sila pertamanya. Hal ini

mengimplikasikan bahwa semua warga negara secara tidak langsung diharuskan memiliki

agama atau kepercayaan tertentu.

Prinsip ketuhanan dan beragama ini diatur di dalam Pasal 28E dan Pasal 29 Undang-

Undang Dasar 1945 (untuk selanjutnya disebut dengan UUD 1945). Kebebasan untuk

memeluk suatu agama atau kepercayaan tertentu yang diyakininya adalah hak semua orang

sebagaimana diatur dalam Pasal 28E ayat (1) UUD 1945,

Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih

pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih

tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.                                                                                                                          

7 Direktorat Jendral Nilai Budaya, Seni dan Film, Kementerian Budaya dan Pariwisata Republik

Indonesia, Sarasehan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, (Jakarta: Kementerian Budaya

dan Pariwisata, 2011), hlm. 2. 8 Ibid. 9 Agama Samawi (Teo) adalah agama yang bersumber dari wahyu Tuhan, seperti Kristen, Islam dan

Yahudi; berciri-ciri pokok antara lain bersifat monoteis, disampaikan oleh utusan Tuhan, mempunyai kitab suci

dan bersifat dogmatis. Lihat Ira Indrawardana, “Sunda Wiwitan dalam Dinamika Zaman”, (makalah disampaikan

pada Konferensi Internasional Budaya Sunda II, Revitalisasi Budaya Sunda: Peluang dan Tantangan dalam

Dunia Global, Gedung Merdeka, 19-22 Desember 2011), hlm. 2.

Analisis Sosio ..., Siahaan, Jojor Yuni Artha, FH UI, 2017

Page 5: ANALISIS SOSIO-YURIDIS ATAS HAK KEBEBASAN BERAGAMA …

Hak yang sama juga dijamin dalam Pasal 29 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa,

Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-

masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Dalam dua pasal tersebut dapat dimaknai bahwa setiap orang berhak atas agama dan

kepercayaannya serta negara memiliki kewajiban dalam memberikan jaminan untuk

penduduknya dapat beribadah atau melaksanakan acara-acara keagamannya. Kewajiban

negara ini diatur dalam Pasal 71 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia yang menyatakan bahwa pemerintah, sebagai pemegang mandat mewakili negara,

mempunyai kewajiban dan bertanggung jawab untuk menghormati, melindungi, menegakkan

dan memajukan hak asasi manusia dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial dan budaya

dan hak asasi lainnya yang diterima oleh negara Indonesia.

Akan tetapi, hal yang diamanatkan oleh UUD 1945 di atas tidak sejalan dengan

Undang-Undang No. 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan

Agama (untuk selanjutnya disebut UU 1/1965 PNPS). Dalam penjelasan umum UU 1/1965

PNPS, negara secara eksplisit mengakui hanya ada enam agama yang boleh dianut oleh

masyarakat Indonesia, walaupun pada penjelasan selanjutnya tidak membatasi kepercayaan

lain asalkan tidak menyimpang dan tidak menodai ajaran agama-agama lainnya. Pengaturan

ini memiliki kecenderungan merugikan masyarakat penghayat kepercayaan atau agama-

agama lokal. Dengan diakuinya hanya enam agama oleh negara, secara tidak langsung

memberikan label kepada penghayat kepercayaan sebagai sebuah agama ilegal yang tidak

mendapatkan pengakuan dan jaminan dari negara. Hal ini berdampak terhadap pemenuhan

hak-hak sipil mereka, seperti hak untuk tidak didiskriminasi, hak untuk memeluk agama dan

beribadah sesuai keyakinannya, hak berkeluarga dan memiliki keturunan, hak atas pekerjaan

yang layak, dan hak atas pendidikan.

Pembatasan pengakuan agama bagi warga negara yang agama atau kepercayaannya tidak

diakomodir oleh negara, membawa dampak panjang bagi kehidupan masyarakat penghayat

kepercayaan. Dampaknya adalah tidak terpenuhinya hak-hak mereka terhadap pengakuan

pernikahan, status anak, pendidikan dan pekerjaan. Salah satu penghayat kepercayaan yang

masih eksis adalah Kepercayaan Sunda Wiwitan di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat. Sunda

Wiwitan adalah kepercayaan yang sudah lama hidup dalam kalangan masyarakat di Jawa

Barat, khususnya suku Sunda. Munculnya UU 1/1965 PNPS yang membatasi hanya enam

agama yang diakui di Indonesia dan tidak memberikan tempat bagi penghayat kepercayaan,

seperti Sunda Wiwitan. Salah satunya akibat pembatasan pengakuan agama adalah perlakuan

Analisis Sosio ..., Siahaan, Jojor Yuni Artha, FH UI, 2017

Page 6: ANALISIS SOSIO-YURIDIS ATAS HAK KEBEBASAN BERAGAMA …

diskriminatif dari negara dalam hal pembuatan KTP dan pendidikan agama di sekolah. Oleh

karena itu penulis ingin melihat dan menganalisis pembatasan negara mengenai agama dan

kepercayaan dan kaitannya dengan masyarakat Sunda Wiwitan dalam mengakses hak-hak

sipilnya.

Tinjaun Teoritis

Dalam melakuan analisis, penulis menggunakan beberapa teori yang menjadi pisau analisis

dalam penulisan skripsi ini.

1. Agama dan Kepercayaan

Agama dan kepercayaan dapat dilihat secara filosofis, secara sosiologis-antropologis

serta berdasarkan pendapat ahli. Secara filosofis, agama merupakan “perasaan ketergantungan

absolut” (the feeling of absolute dependence) kepada Dzat yang Sakral. Unsur dasar suatu

agama adalah: 1) Adanya keyakinan terhadap Dzat yang Maha Sakral, Maha Suci, yang

ditakuti tapi juga menjadi tumpuan manusia. 2) Memiliki ajaran yang dijadikan pedoman

hidup bagi pemeluknya yang terkodifikasi dalam kitab suci. Isi ajaran tersebut berkaitan

dengan aspek keyakinan, aspek ritual, dan relasi sosial; dan 3) Memberikan pengalaman

beragama kepada pemeluknya.10

Secara sosiologis-antropologis, agama pada dasarnya merupakan sistem kepercayaan

yang hidup dan berlaku serta diterima oleh masyarakat. Berdasarkan definisi ini, maka agama

dapat dimaknai sebagai 1) Ajaran tentang sistem keyakinan kepada Dzat yang biasanya

dinamai Tuhan; 2) Memiliki praktik keagamaan, seperti ritus, upacara keagamaan dan

peribadahan yang diikuti pemeluknya; 3) Memiliki etika relijius yang memuat kaidah

keagamaan yang mengatur tata kehidupan pemeluknya seperti kaidah ikhwal kesucian,

kebaikan, kesalehan dsb; dan 4) Adanya komunitas pemeluk yang berfungsi memelihara dan

mengembangkan ajaran dan tradisi keagamaan yang diajarkannya.11

Hal di atas sejalan dengan pemikiran Koentjaraningrat, bahwa suatu sistem religi

memiliki unsur yaitu: emosi keagamaan, sistem keyakinan, sistem upacara keagamaan dan

suatu umat yang menganut religi itu. 12 Adapun sistem kepercayaan dan gagasan, pelajaran,

                                                                                                                         10 Ridwan Lubis, “Agama dan Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa”, dalam Kepercayaan

Dalam Sebuah Realitas, (Jakarta: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, 2005), hlm. 61-62. 11 Ibid., hlm 63-64. 12 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009), hlm. 295.

Analisis Sosio ..., Siahaan, Jojor Yuni Artha, FH UI, 2017

Page 7: ANALISIS SOSIO-YURIDIS ATAS HAK KEBEBASAN BERAGAMA …

aturan agama, biasanya tercantum dalam suatu himpunan buku-buku yang biasanya juga

dianggap sebagai kesusasteraan suci.13

Sedangkan pengertian kepercayaan (berasal dari kata Sanskrit: percaya mengakui

kebenaran) adalah pengakuan terhadap kebenaran apa yang diceritakan atau disampaikan oleh

orang mengenai suatu kejadian atau keadaan. Sebagai suatu proses, dengan demikian,

kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dapat diartikan sebagai sebuah pengakuan

terhadap suatu kebenaran ajaran yang dibawa oleh seseorang “penerima wahyu” dari Tuhan

Yang Maha Esa.14

Menurut Mercia Eliade (1987: 250-254) sebagaimana dikutip oleh Ridawan Lubis,

pada dasarnya kepercayaan merupakan 1) faith as credo, sistem ajaran yang menyediakan

seperangkat ajaran tentang nilai dan norma kepada penghayatnya; 2) faith as faithfulness,

sistem yang menuntut kesetiaan penghayatnya untuk melestarikan dan memelihara ajarannya;

3) faith as obedience, memberikan basis praktik-praktik kedisiplinan moralitas dan

spiritualitas yang harus dipatuhi penghayatnya; 4) faith as dependence and as experience,

sistem yang mengajarkan pengalaman ketergantungan dan penyerahan diri kepada dzat yang

disakralkan; serta 5) as deposit of the faith, sistem yang membangun tradisi religius.15

Dari konsep dan ciri di atas jelas bahwa sangatlah tipis batas antara apa yang disebut

sebagai agama di satu sisi dan kepercayaan di sisi lain. Agama dan kepercayaan keduanya

merupakan sistem kepercayaan (belief system) yang menyediakan seperangkat ajaran serta

pengalaman dan pengetahuan keagamaan. Namun di Indonesia seringkali muncul pemikiran

bahwa orang yang menganut kepercayaan adalah orang yang menganut aliran sesat atau ilmu

gaib.

Ada suatu kerangka yang membedakan suatu agama atau kepercayaan dengan ilmu

gaib. Perbedaan dasarnya terletak dalam sikap manusia pada waktu ia sedang menjalankan

agama, manusia bersikap menyerahkan diri kepada Tuhan, kepada dewa-dewa, kepada roh

nenek moyang; pokoknya menyerahkan diri sama sekali kepada kekuatan tinggi yang

disembahnya itu. Dalam hal itu manusia biasanya terhinggap oleh suatu emosi keagamaan.

Sebaliknya, pada waktu menjalankan ilmu gaib manusia bersikap lain sama sekali. Ia

berusaha memperlakukan kekuatan-kekuatan tinggi dan gaib agar menjalankan kehendaknya

                                                                                                                         13 Ibid. 14 Ridwan Lubis, Agama dan Kepercayaan, hlm. 59. 15 Ibid.

Analisis Sosio ..., Siahaan, Jojor Yuni Artha, FH UI, 2017

Page 8: ANALISIS SOSIO-YURIDIS ATAS HAK KEBEBASAN BERAGAMA …

dan berbuat apa yang ingin dicapainya.16 Bahwa perbedaan kepercayaan dengan ilmu gaib

adalah proses penyerahan diri dan kontrol atas kuasa yang berlaku pada dirinya.

Dapat dilihat, bahwa pengertian agama dan kepercayaan tidak memiliki perbedaan

yang signifikan. Dalam instrumen internasional juga instrumen nasional, khususnya UU

1/1965 PNPS tidak mendefinisikan apa itu agama dan kepercayaan secara eksplisit. Hal yang

menjadi pembedaan umum antara agama dan kepercayaan adalah Tuhan yang disembah.

Penulis rasa perlu untuk menyamakan persepsi mengenai apa itu agama, kepercayaan dan

ilmu gaib. Sebagai dasar mengapa kepercayaan tidak mendapatkan tempat yang sama dengan

agama, yang menyebabkan penghayat kepercayaan kesulitan mengakses hak-haknya. Perlu

dipahami bahwa penggunaan frasa kepercayaan sama dengan penggunaan frasa agama dalam

tulisan ini.

2. Akses Terhadap Keadilan

Agama awalnya sebagai identitas sosial kemudian berkembang menjadi identitas

hukum yang perlu dicantumkan dalam berbagai identitas maupun dokumen hukum. Ketika

negara tidak mengakui suatu agama atau kepercayaan maka identitas mereka menjadi tidak

lengkap. Hal ini berdampak pada terhalangnya akses mereka terhadap hak-hak sipilnya.

Sehingga akses mereka untuk memperoleh keadilan pun tidak sepenuhnya dapat dipenuhi.

Teori akses terhadap keadilan (access to justice) adalah bagaimana masyarakat dapat

mengakses keadilan atas hak-hak dasar yang melekat pada dirinya.17 Hak beragama adalah

salah satu hak dasar yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Namun pengaturan di

Indonesia memberikan pembatasan terhadap hak beragama. Negara melakukan diskriminasi

dalam bentuk favoritism dengan memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap enam

agama. Agama dianggap sesuatu yang sakral dan perlu dicantumkan dalam Indentitas

Kependudukan, seperti akta lahir, akta perkawinan, kartu tanda penduduk, kartu pelajar, dan

beberapa identitas lainnya. Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi

Kependudukan (selanjutnya disebut dengan UU 23/2006 Adminduk) disebutkan bahwa

kepemilikan atas identitas hukum merupakan hak asasi bagi setiap orang yang berarti

kewajiban bagi negara untuk memenuhinya. Ketiadaan agama dalam suatu identitas hukum

akan memberikan dampak yang merugikan. Dalam pengaturannya, agama seharusnya

menjadi pilihan bebas tiap-tiap warga negara dan tidak menjadi rugi atas pilihannya tersebut.                                                                                                                          

16 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, hlm. 297. 17 Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional, Strategi Nasional Akses Terhadap Keadilan,

(Jakarta: Bappenas, 2009), hlm. 6.

Analisis Sosio ..., Siahaan, Jojor Yuni Artha, FH UI, 2017

Page 9: ANALISIS SOSIO-YURIDIS ATAS HAK KEBEBASAN BERAGAMA …

Pilihan agama atau kepercayaan ini tentu menjadi persoalan bagi penghayat

Kepercayaan Sunda Wiwitan, ketika kepercayaannya tidak diakui karena pembatasan oleh

negara, maka identitas hukum yang utamanya tercantum dalam akta lahir dan kartu tanda

penduduknya akan bermasalah. Apabila identitas hukum induknya bermasalah maka warga

negara tersebut akan sulit mendapat akses terhadap hak lainnya, yaitu pendidikan, pekerjaan,

kesehatan dll.

3. Mekanisme Penyelesaian Sengketa

Metode penyelesaian konflik/sengketa bermula dari penelitian yang dilakukan oleh

Laura Nader yang dinamakannya “Berkeley Village Law Project” yaitu mengenai kajian

komparatif disuatu pedesaan. Dalam penelitian ini Nader dan Todd melihat ada beragam cara

yang berkembang dalam kebudayaan-kebudayaan manusia untuk menampung, mengatasi,

atau menyelesaikan keluhan-keluhan atau perasaan diperlakukan tidak adil, antara lain:18  

1. Lumping it (membiarkan saja)

2. Avoidance (mengelak)

3. Coercion (paksaan)

4. Negotiation (perundingan

5. Arbitration (arbritasi)

6. Adjudication (Adjudikasi)

Konflik yang disebutkan di atas berkembang melalui beberapa tahapan. Pertama, Pada

tahap lumping it dan avoidance masih merupakan perseteruan monodic (sepihak), dimana

pihak yang merasa dirugikan belum mengungkapkan kepada pihak lawan, bahwa ada haknya

yang dirugikan. Pihak yang dirugikan memilih untuk mengabaikan masalah atau berusaha

menghindar. Tahap ini kemungkinan dilakukan oleh pihak yang tidak memiliki askes

terhadap hukum baik karena faktor pengetahuan hukum, ekonomi, dan relasi. Golongan ini

disebut sebagai The Haves Not atau One Shooter oleh Marc Galanter.19

Kedua, berkembang ke tahap dyadic (dua pihak), dimana pihak yang merasa dirugikan

sudah mulai menyatakan bahwa ia merasa dirugikan oleh pihak kedua dan meminta

pertanggungjawaban pihak kedua, yang baik didiskusikan secara damai melalui proses

negotiation maupun dengan cara melakukan kekerasan (coersion).

                                                                                                                         18 T.O. Ihromi, “Beberapa Catatan Megenai Metode Kasus”, hlm 210-211. 19 Marc Galanter, “Why the “Haves” Come Out Ahead: Speculations on the Limits of Legal Change”,

Law and Society Review vol. 9, (Dartmouth: Altershot, 1974).

Analisis Sosio ..., Siahaan, Jojor Yuni Artha, FH UI, 2017

Page 10: ANALISIS SOSIO-YURIDIS ATAS HAK KEBEBASAN BERAGAMA …

Ketiga, tahap triadic (melibatkan pihak ketiga), dalam tahap ini para pihak tidak dapat

menyelesaikan atau mencari jalan keluar bagi masalahnya, sehingga membutuhkan pihak

ketiga sebagai pengambil keputusan. Berbeda dengan monodic, para pihak yang melibatkan

pihak ketiga biasanya adalah orang-orang yang memiliki pengetahuan hukum, mapan secara

ekonomi, dan memiliki koneksi atau biasa disebut sebagai golongan The Haves atau Repeat

Player.

Pembatasan agama melalui peraturan negara cenderung menimbulkan berbagai

macam konflik di kalangan penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan. Teori penyelesaian

sengketa digunakan untuk melihat apa saja dampak yang timbul akibat pengaturan kebebasan

agama dan kepercayaan serta strategi pemecahan masalah apa yang diambil oleh penghayat

Kepercayaan Sunda Wiwitan. Teori ini juga melihat langkah penyelesaian sengketa seperti

apa yang paling tepat untuk menjawab permasalahan mereka.

Analisis Sosio ..., Siahaan, Jojor Yuni Artha, FH UI, 2017

Page 11: ANALISIS SOSIO-YURIDIS ATAS HAK KEBEBASAN BERAGAMA …

Gambar 1. Alur Berfikir

Penyelesaian Konflik

Hak atas Kebebasan Beragama dan

Berkepercayaan

Hukum  Internasional  

Konflik Sosial

Tidak Diakuinya Kepercayaan Sunda Wiwitan

Pembatasan Jenis Agama

 

Hukum Nasional

Tidak Dipenuhinya Hak-Hak Sipil

Penghayat Kepercayaan

Analisis Sosio ..., Siahaan, Jojor Yuni Artha, FH UI, 2017

Page 12: ANALISIS SOSIO-YURIDIS ATAS HAK KEBEBASAN BERAGAMA …

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan sosio legal20 yaitu pendekatan dengan

menggunakan ilmu perspektif hukum dengan meminjam metode dari ilmu sosial sebagai alat

bantu. Bentuk penelitian yang akan dipakai oleh penulis adalah bentuk penelitian yuridis-

empiris, yakni melakukan penelitian lapangan guna mendapat data primer dan studi pustaka

sebagai data sekunder. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yakni mendeskripsikan fakta-

fakta yang ada dilapangan atau menjelaskan suatu permasalahan yang ada secara rinci.

Metode yang dipakai adalah penelitian lapangan, yaitu berupa observasi dan wawancara juga

melalui studi pustaka. Metode yang dipakai adalah penelitian kualitatif, yaitu mengkaji secara

dalam suatu permasalahan (in-depth-analysis). Metode penelitian ini akan terdiri dari tiga

tahap, yaitu:21

Pertama, adalah studi dokumen. Penulis akan mengidentifikasi dan menganalisis

peraturan perundang-undangan mengenai kebebasan beragama dan berkepercayaan baik

peraturan internasional maupun peraturan nasional. Peraturannya antara lain adalah Deklarasi

Umum Hak Asasi Manusia, Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (International

Covenant on Civil and Political Right), Deklarasi Mengenai Penghapusan Semua Bentuk

Intoleransi Agama dan Diskriminasi Berdasarkan Agama dan Kepercayaan, Undang-Undang

Dasar 1945, Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-

Undang No. 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama,

serta peraturan terkait lainnya.

Kedua, studi lapangan untuk melakukan identifikasi dan analisis bagaimana hukum

bekerja dan berdampak pada penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan. Melalui pembatasan

agama yang ada saat ini, penulis ingin mencari tahu bagaimana mereka menyikapi persoalan

tersebut dan proses penyelesaian seperti apa yang mereka tempuh.

Ketiga, studi lapangan untuk mendapatkan data empirik mengenai pengalaman

penghayat Sunda Wiwitan mengenai bagaimana kehidupan sehari-hari mereka dengan adanya

pluralisme agama di sana, bagaimana mereka kemudian menyikapinya secara sosial.

Sebelumnya peneliti telah menelusuri beberapa laman mengenai apa itu Sunda Wiwitan,

                                                                                                                         20 Sulistyowati Irianto, Memperkenalkan Kajian Sosio Legal dan Implikasi Metodologisnya, (Jakarta:

Pustaka Larasan, 2012), hlm.2. 21 Sulistyowati Irianto, Praktik Penelitian Hukum: Persepektif Sosiolegal, hlm.14-15, diunduh dari

http://www.bphn.go.id/data/documents/materi_cle_8_prof_dr_sulistyowati_irianto_ full.pdf pada tanggal 2

November 2016.

Analisis Sosio ..., Siahaan, Jojor Yuni Artha, FH UI, 2017

Page 13: ANALISIS SOSIO-YURIDIS ATAS HAK KEBEBASAN BERAGAMA …

dimana wilayah pesebaran penghayat kepercayaannya, permasalahan apa yang sedang mereka

hadapi, dan beberapa hal terkait lainnya.

Hasil Penelitian

Hasil penelitian yang penulis dapatkan adalah sebagai berikut:

1. Tinjauan Yuridis Mengenai Kebebasan Agama dan Kepercayaan di Indonesia

Kebebasan beragama dan berkepercayaan adalah hak setiap orang tanpa pengecualian.

Dalam DUHAM, ICCPR dan Deklarasi 1981 disebutkan bahwa memiliki agama dan

kepercayaan adalah hak individu yang tidak dapat dipaksakan. Dijelaskan juga bahwa setiap

individu dapat berpindah agama sesuai dengan kehendaknya, menjalankan agama atau

kepercayaannya baik sendiri maupun bersama-sama, juga menjalankannya di tempat pribadi

dan di tempat umum.

Sementara dalam pengaturan hukum positif Indonesia, yaitu dalam UUD 1945 dan UU

39/1999 HAM tidak mengatur dengan rinci sebagaimana diatur dalam DUHAM, ICCPR dan

Deklarasi 1981. Dalam UUD 1945 hanya menyebutkan bahwa setiap orang bebas memeluk

agama atau kepercayaannya dan hal tersebut dijamin oleh negara. Isi pasal tersebut serupa

dengan yang tertulis dalam UUDS 1950 terdahulu. Kebebasan mengenai agama dan

kepercayaan ini justru diatur lebih rinci dalam konstitusi sebelumnya, yaitu Konstitusi RIS

yang hampir serupa dengan isi dalam ICCPR. Bahkan dalam Konstitusi RIS hak anak atas

agamanya juga disebutkan dengan rinci, bahwa anak seharusnya mendapat pendidikan agama

disekolah sesuai dengan yang dikehendaki orang tuanya. Dalam UU 39/1999 HAM

kebebasan memeluk agama atau kepercayaan sama dengan yang tertuang dalam UUD 1945.

Khususnya dalam UU 39/1999 HAM penulis menyayangkan bahwa UU ini tidak memuat

aturan lebih rinci mengenai kebebasan untuk dapat berpindah agama. Namun mengenai hak

anak UU 39/1999 HAM sudah lebih progresif, karena disebutkan bahwa anak dapat beribadah

sesuai dengan agamanya di bawah bimbingan orang tua atau wali, atau dapat dikatakan anak

dapat memiliki agama atau kepercayaan yang berbeda dengan orangtuanya. Berbeda dengan

Konstitusi RIS yang mengatakan bahwa anak menjalankan ibadah dan mendapat pendidikan

agama sesuai dengan yang dianut orang tuanya.

Dapat disimpulkan bahwa, apapun agama atau kepercayaan yang ada di Indonesia

haruslah diakui, karena berdasarkan aturan hukum yang diuraikan di atas mengatakan bahwa

memiliki agama dan kepercayaan adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi.

Analisis Sosio ..., Siahaan, Jojor Yuni Artha, FH UI, 2017

Page 14: ANALISIS SOSIO-YURIDIS ATAS HAK KEBEBASAN BERAGAMA …

 

2. Pemaknaan Masyarakat Sunda Wiwitan Terhadap Agama dan Kepercayaan

Secara antropologis dan filosofis agama memiliki ciri-ciri, Pertama, memiliki Tuhan

yang disembah. Sunda Wiwitan dalam hal ini memiliki Tuhan yang disebut sebagai Gusti

Sikang Sawji-wiji.

Kedua, memiliki ritual atau tata cara ibadah. Sunda Wiwitan memiliki ritual ibadah

yang disebut dengan Olah Rasa atau Samadi. Olah Rasa adalah bentuk penyerahan diri

kepada Tuhan. Hal ini juga memenuhi apa yang disebut sebagai agama dan kepercayaan oleh

Koentjaraningrat, yaitu menyerahkan diri dan merasa rendah di hadapan Tuhan, bukan merasa

dapat menempatkan kontrol dirinya lebih tinggi daripada Tuhan.

Ketiga, memiliki etika relijius atau ajaran yang dijadikan pedoman hidup. Etika relijus

Sunda Wiwitan adalah Pikukuh Tilu yang berisi mengenai Ngaji Badan, Tuhu/kukuh kana

tanah, dan Madep ka ratu raja 3-2-4-5 lilima 6. Apabila yang dimaksud dengan pedoman

hidup adalah pedoman yang tertulis dalam sebuah kitab suci, maka Sunda Wiwitan juga

memenuhi ciri agama. Mereka memiliki sebuah kitab suci –yang meskipun sampai saat ini

belum semua bagian kitab tersebut dapat dialih-bahasakan dari aksara Sunda Kuno menjadi

Bahasa Indonesia– yang mana pedoman hidup mereka tertulis di dalamnya.

Keempat, adanya pemeluk yang meneruskan. Sampai saat ini, masih ada penghayat

Kepercayaan Sunda Wiwitan yang mengamalkan dan mengimani ajaran Sunda Wiwitan

dalam kehidupan mereka.

Menurut Musdah Mulia22 dan Koentjraningrat,23 ciri agama yang keempat adalah

memiliki rumah ibadah. Paseban dapat dikatakan sebagai rumah ibadah, karena sebagai

tempat berkumpulnya penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan dan sebagai pusat perayaan

hari besar Kepercayaan Sunda Wiwitan.  

Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan, bahwa Sunda Wiwitan adalah agama

karena memenuhi ciri-ciri sebuah agama. Tidak diakuinya Sunda Wiwitan sebagai sebuah

agama resmi maka membawa dampak tidak dapat terpenuhinya akses penghayatnya terhadap

keadilan. Akses terhadap keadilan dimaksud adalah akses terhadap pendidikan, akses

terhadap pekerjaan, akses terhadap layanan publik dan akses terhadap bantuan hukum.

Pertama, Akses penghayat Sunda Wiwitan terhadap pendidikan tidaklah seutuhnya

dapat dipenuhi oleh negara. Hal ini terbukti dari tidak disediakannya guru agama sesuai

                                                                                                                         22 Siti Musdah Mulia, “Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Beragama”, hlm. 4. 23 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, hlm. 295.

Analisis Sosio ..., Siahaan, Jojor Yuni Artha, FH UI, 2017

Page 15: ANALISIS SOSIO-YURIDIS ATAS HAK KEBEBASAN BERAGAMA …

dengan agama yang mereka yakini, atau setidaknya mereka dapat memenuhi nilai atas

kebutuhan spiritual dan pendidikan moralnnya dengan guru yang seharusnya menilai mereka.

Dengan tidak disediakannya atau bahkan terjadi pemaksaan untuk mengikuti pelajaran agama

tertentu, sudah tentu melanggar hak atas pendidikan anak tersebut. Negara sudah melanggar

ruang-ruang khusus untuk kebebasan beragama dan berkepercayaan, yaitu seharusnya tidak

ada paksaan, tidak diskriminatif dan hak dari orang tua wali untuk menjamin pendidikan

agama dan moral bagi anaknya.

Kedua, Akses terhadap pekerjaan bagi Sunda Wiwitan menurut penghayatnya, dalam

seleksi masuk tidaklah masalah. Namun yang menjadi masalah adalah ketika hendak kenaikan

jabatan atau muncul persoalan sosial lainnya di lingkungan kantor. Hal demikian ini hanyalah

terjadi bagi mereka yang bekerja sebagai PNS atau lembaga pemerintahan, apabila mereka

bekerja di sektor swasta hal ini bukanlah suatu masalah. Menurut mereka pihak swasta lebih

menghormati akan adanya perbedaan agama.

Ketiga, Akses terhadap layanan publik ini seringkali bermasalah, khususnya

pembuatan KTP. KTP penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan seringkali diisi tidak sesuai

dengan kepercayaan mereka. Entah alasan teknis atau apapun itu, menandakan ada yang salah

pada sistem yang dibangun oleh pemerintah kita saat ini. Terkait akta perkawinan juga

mereka masih memiliki kendala karena tanpa adanya organisasi mereka tidak dapat

melangsungkan perkawinan di bawah nama Sunda Wiwitan.

Keempat, Akses terhadap bantuan hukum. Terbatasnya ekonomi membuat penghayat

Kepercayaan Sunda Wiwitan sulit mendapatkan bantuan hukum. Sering pula LBH yang

awalnya berniat membantu tidak menjalankan tugasnya sampai dengan selesai. Sebagaimana

yang dialami oleh penghayat Sunda Wiwitan dalam kasus sengketa tanah yang dialami.

Dapat disimpulkan bahwa akses penghayat kepercayaan terhadap keadilan masih

belum dapat terpenuhi, karena produk hukum yang ada tidak menjawab kebutuhan atas

pemenuhan hak-hak sipil masyarakat penghayat.

3. Proses Penyelesaian Sengketa Masyarakat Sunda Wiwitan dalam Menghadapi

Permasalahan Hukum

Cara penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh penghayat Sunda Wiwitan adalah sebagai

berikut:

a. Berdasarkan mekanisme hukum litigasi dan non-litigasi, kebanyakan dari penghayat

Kepercayaan Sunda Wiwitan menyelesaikan masalahnya di luar pengadilan dan

Analisis Sosio ..., Siahaan, Jojor Yuni Artha, FH UI, 2017

Page 16: ANALISIS SOSIO-YURIDIS ATAS HAK KEBEBASAN BERAGAMA …

seringnya tanpa melibatkan pihak ketiga sebagai pengambil keputusan permasalahan

yang mereka hadapi.

b. Berdasarkan teori Nader dan Todd, penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan cenderung

membiarkan masalahnya (lumping it) dan menghindarinya. Sunda Wiwitan adalah

kelompok yang tidak mau mencari masalah dan memilih damai, sehingga

penyelesaian mereka untuk masalah yang sedikit lebih kompleks akan diselesaikan

dengan bernegosiasi dengan pihak lawan.

c. Dilihat dari tipologi pihak bersengketa yang dirumuskan oleh Marc Galanter, penulis

melihat Sunda Wiwitan awalnya adalah One Shooter, karena secara ekonomi mereka

kebanyakan bekerja di sektor non-formal (petani), dan pengetahuan serta akses mereka

terhadap hukum cukup minim. Sehingga apabila terlibat konflik/sengketa mereka

cenderung tidak menyelesaikannya. Namun saat ini Sunda Wiwitan sedang melakukan

pembangunan pengetahuan kepada generasi tua maupun generasi muda, melalui forum

mingguan. Khususnya bagi generasi muda, mereka diajari mengenai akar budaya

Sunda Wiwitan serta pengetahuan hukum tentang hak-hak mereka sejak dini.

Akhirnya karena pengalaman mereka berperkara di pengadilan saat ini Sunda Wiwitan

menjadi Repeat Player, meskipun mereka tidak sering menyelesaikan permasalahan

melalui pengadilan, namun akses mereka terhadap hukum sudah luas. Saat ini sudah

memiliki link dengan orang-orang yang berpengetahuan hukum, yaitu Lembaga

Bantuan Hukum, Komnas Perempuan, Dosen, serta Mahasiswa.

d. Peradilan adat Sunda Wiwitan masih ada sampai pada saat ini, namun terbatas pada

permasalahan perdata atau perorangan saja. Keputusan dari Ais Pangampih yang tidak

mengikat membuat penyelesaian konflik ini tergantung pada para pihak yang

bersengketa. Sanksi yang dikenakan apabila tidak menaati keputusan yang telah

disepakati adalah sanksi sosial, yaitu didiamkan/dijauhi oleh masyarakat lainnya.

Pembahasan

Negara mengatur mengenai kebebasan memiliki agama dan kepercayaan di dalam

UUD 1945 serta UU 39/1999 HAM. Namun peraturan lain di bawahnya kontradiktif dengan

peraturan di atasnya. Salah satunya adalah UU No. 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan dan

Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang membatasi jenis agama yang diakui di

Indonesia, sehingga agama atau kepercayaan lain yang tidak diakui oleh Negara tidak

memiliki kedudukan hukum yang sama dengan agama yang diakui Negara.

Analisis Sosio ..., Siahaan, Jojor Yuni Artha, FH UI, 2017

Page 17: ANALISIS SOSIO-YURIDIS ATAS HAK KEBEBASAN BERAGAMA …

Akar permasalahan atas agama dan kepercayaan ini adalah yang dalam Penjelasan

Umumnya UU 1/1965 PNPS hanya mengakui adanya enam agama resmi di Indonesia.

Persoalannya adalah, tidak ada definisi mengenai apa itu agama dan kepercayaan, juga tidak

ada ciri-ciri khusus yang membedakan antara agama dan kepercayaan. Dalam penjelasan

umum UU 1/1965 PNPS hanya mengatakan bahwa enam agama tersebut memiliki bukti

sejarah masuknya ke Indonesia. Frasa “bukti sejarah” tersebut tidak dipaparkan lebih lanjut

dan pembuktian sejarah yang dimaksud juga tidak dibuktikan dengan referensi apapun.

Agama dianggap sesuatu yang sakral dan perlu dicantumkan dalam Indentitas

Kependudukan, seperti akta lahir, akta perkawinan, kartu tanda penduduk, kartu pelajar, dan

beberapa identitas lainnya. Pilihan agama atau kepercayaan ini tentu menjadi persoalan bagi

penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan, ketika kepercayaannya tidak diakui karena

pembatasan oleh negara, maka identitas hukum yang utamanya tercantum dalam akta lahir

dan kartu tanda penduduknya akan bermasalah. Apabila identitas hukum induknya

bermasalah maka warga negara tersebut akan sulit mendapat akses terhadap hak lainnya, yaitu

pendidikan, pekerjaan, kesehatan dll.

Menurut penulis negara gagal memenuhi hak-hak paling mendasar warga negaranya,

yaitu memiliki agama dan kepercayaan serta menjalankannya. Negara seharusnya hadir dalam

memenuhi hak-hak warga negaranya dengan tidak melakukan diskriminasi, terlebih tanpa

dasar dan alasan apapun. Negara seharusnya sadar bahwa masyarakat Indonesia hidup dalam

keberagaman agama. Sehingga negara tidak boleh memberikan pengakuan hanya kepada

enam agama saja. Tidak hadirnya negara dalam hal pemenuhan hak atas kebebasan beragama,

penulis khawatirkan lambat laun akan menimbulkan permusuhan antar-kelompok berdasarkan

agama. Dalam pengaturannya, agama seharusnya menjadi pilihan bebas tiap-tiap warga

negara dan tidak menjadi rugi atas pilihannya tersebut.

Sengketa atau konflik yang muncul akibat pembatasan jenis agama yang diakui negara

ni, dihadapi secara permisif oleh penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan. Hal ini disebabkan

karena mereka terbiasa hidup dalam damai dan cenderung menyelesaikan masalah secara

kekeluargaan. Cara penyelesaian yang permisif, apalagi dikaitkan dengan pemenuhan hak-hak

sipil mereka, perlu dihentikan. Apabila mereka diam saja maka akan eksistensi mereka secara

lambat laun akan menghilang.

Namun langkah yang permisif ini sudah mengalami perubahan. Sunda Wiwitan saat

ini cukup agresif. Ratu Dewi, dikenal sebagai Ksatria Sunda Wiwitan, saat ini sangat aktif

menyuarakan hak-hak masyarakat Kepercayaan Sunda Wiwitan yang seharusnya dipenuhi

oleh Negara. Perjuangan Ratu Dewi ini seharusnya diikuti oleh masyarakat Sunda Wiwitan

Analisis Sosio ..., Siahaan, Jojor Yuni Artha, FH UI, 2017

Page 18: ANALISIS SOSIO-YURIDIS ATAS HAK KEBEBASAN BERAGAMA …

lainnya. Keterbukaan masyarakat penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan terhadap orang

yang baru maupun pengetahuan yang baru adalah sebuah bentuk perlawanan yang positif.

Mereka sadar semakin banyak orang yang mengenal mereka, maka semakin banyak pula yang

mendengarkan suara perjuangan mereka. Sehingga eksistensi penghayat kepercayaan, baik

Sunda Wiwitan maupun kepercayaan lain akan semakin diketahui oleh masyarakat umum.

Simpulan

Berikut adalah kesimpulan yang dapat ditarik dari proses penelitian yang telah dilalui

oleh penulis sebagai jawaban atas rumusan masalah yang ada.

1. Bahwa peraturan perundang-undangan tingkat Internasional menjamin kebebasan hak

beragama dan berkepercayaan setiap individu. Permasalahannya adalah, adanya UU No.

1 Tahun 1965 tentang Pencegahan dan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang

dalam Penjelasan Umumnya hanya mengakui adanya enam agama resmi di Indonesia.

Sehingga agama atau kepercayaan lain yang tidak diakui oleh Negara tidak memiliki

kedudukan hukum yang sama dengan agama yang diakui Negara. Hal ini berdampak

pada tidak dipenuhinya hak-hak warga negara yang agama atau kepercayaannya tidak

diakui.

2. Pembatasan yang dilakukan Negara terhadap eksistensi keberagaman agama membawa

dampak pada sulitnya penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan untuk mengakses haknya.

Hak tersebut antara lain hak atas pendidikan, hak atas pekerjaan, hak atas perkawinan,

hak atas identitas hukum, serta hak atas bantuan hukum.

3. Akibat tidak dipenuhinya hak-hak penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan menimbulkan

adanya konflik, yaitu konflik penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan melawan

pemerintah dan konflik antar-kelompok masyarakat. Dilatarbelakangi minimnya

pengetahuan dan adanya ajaran untuk saling pengertian, maka mayoritas langkah

penyelesaian sengketa yang dipilih oleh penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan adalah

membiarkan masalah atau setidaknya berusaha bernegosiasi tanpa melibatkan pihak

ketiga.

Saran

Dari simpulan yang ada terlihat bahwa terdapat masalah-masalah dalam

penyelenggaraan peraturan mengenai hak atas kebebasan beragama dan berkepercayaan. Oleh

karena itu terdapat beberapa saran yang hendak diberikan oleh penulis.

Analisis Sosio ..., Siahaan, Jojor Yuni Artha, FH UI, 2017

Page 19: ANALISIS SOSIO-YURIDIS ATAS HAK KEBEBASAN BERAGAMA …

1. Negara mengakui Kepercayaan Sunda Wiwitan sebagai sebuah kepercayaan yang

dilindungi, karena pengakuan negara terhadap kepercayaan adalah salah satu bentuk

kewajiban negara. Sehingga Penghapusan kebijakan diskriminatif seperti UU No. 1

Tahun 1965 tentang Pencegahan dan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama juga

adanya peninjauan ulang mengenai Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan perlu dilakukan.

2. Pengelolaan agama dan kepercayaan dalam satu kamar, yaitu melalui Kementerian

Agama. Sehingga pelayanan publik terhadap kepercayaan sama dengan agama lain yang

diakui Negara. Untuk mengatur hal tersebut maka perlu ada kebijakan yang lebih

menjamin hak-hak penganut kepercayaan.

3. Untuk memudahkan kepengurusan administratif terkait pencatatan perkawinan dan akta

lahir anak, maka Sunda Wiwitan sebaiknya membentuk organisasi sebagaimana

disyaratkan dalam Pasal 81 Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2007. Hal ini dilakukan

agar mereka dapat mencatatkan perkawinan di bawah organisasinya sendiri dan tidak

perlu lagi melakukan perkawinan di bawah organisasi Kepercayaan Aji Dipa.

Daftar Referensi

Irianto, Sulistyowati. Memperkenalkan Kajian Sosio Legal dan Implikasi Metodologisnya.

Jakarta: Pustaka Larasan, 2012.

Ihromi, Tapi Omas. “Beberapa Catatan Megenai Metode Kasus Sengketa Yang Digunakan

Dalam Antropologi Hukum”, dalam Antropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai. Jakarta:

Yayasan Obor Indonesia. 2003.

Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT Rineka Cipta. 2009.

Lubis, Ridwan. Agama dan Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam Kepercayaan

Dalam Sebuah Realitas. Jakarta: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. 2005.

Heuken, Adolf. “Chapter One: Christianity in Pre-Colonial Indonesia”, dalam Jan Aritonang

dan Karel Steenbrink (ed), A History of Christianity in Indonesia. Leiden: Brull. 2008.

Galanter, Marc. “Why the “Haves” Come Out Ahead: Speculations on the Limits of Legal

Change”, Law and Society Review vol. 9. (Dartmouth: Altershot, 1974).

Analisis Sosio ..., Siahaan, Jojor Yuni Artha, FH UI, 2017

Page 20: ANALISIS SOSIO-YURIDIS ATAS HAK KEBEBASAN BERAGAMA …

Indrawardana, Ira. “Sunda Wiwitan dalam Dinamika Zaman.” Makalah disampaikan pada

Konferensi Internasional Budaya Sunda II, Revitalisasi Budaya Sunda: Peluang dan

Tantangan dalam Dunia Global, Gedung Merdeka, 19-22 Desember 2011.

Mulia, Siti Musdah. “Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Beragama.” Makalah disampaikan

pada acara Konsultasi Publik untuk Advokasi terhadap RUU KUHP diselenggarakan oleh

Aliansi Nasional Reformasi KUHP, Jakarta, 4 Juli 2007.

Fadillah, Achmad. “Mengenal Sunda Wiwitan dan Variannya di Tanah Pasundan”. (Jumat, 4

Desember 2015). Dalam https://www.selasar.com/budaya/mengenal-sunda-wiwitan-dan-

variannya-di-tanah-pasundan diakses pada tanggal 12 April 2016.

Irianto, Sulistyowati. Praktik Penelitian Hukum: Persepektif Sosiolegal. Dalam

http://www.bphn.go.id/data/documents/materi_cle_8_prof_dr_sulistyowati_irianto_full.pdf

diunduh pada tanggal 2 November 2016.

Analisis Sosio ..., Siahaan, Jojor Yuni Artha, FH UI, 2017