perlindungan negara terhadap hak kebebasan beragama …

25
42 Jurnal Hukum PRIORIS, Vol. 3 No. 3, Tahun 2013 1 Frans Sayogie adalah Dosen Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta (UIN), Email: [email protected] dan [email protected]. 2 Hal ini dikemukakan oleh Adi Sulistiyono dalam makalah yang berjudul “Kebebasan Beragama Dalam Bingkai Hukum” yang disampaikan dalam rangka Seminar Hukum Islam “Kebebasan Berpendapat vs Keyakinan Beragama ditinjau dari Sudut Pandang Sosial, Agama, dan Hukum”. Penyelenggara FOSMI Fakultas Hukum UNS, tanggal 8 Mei 2008. PERLINDUNGAN NEGARA TERHADAP HAK KEBEBASAN BERAGAMA: PERSPEKTIF ISLAM DAN HAK ASASI MANUSIA UNIVERSAL Frans Sayogie 1 ABSTRACT The implementation of religious freedom in Islam still has unresolved issues. Based on the perspective of the Madinah Charter, Islam can provide protection of free- dom of religion and give the rights of non-Muslims. Nowadays, however, in prac- tice, in some Islamic countries, there is actually a variety of aberrations that ob- scures the meaning and spirit of the Madinah Charter. In some Muslim countries, the formalization and formulation of syariah are still implemented in the public sphere. State does not remain neutral toward all religious doctrines and always strives to apply the principles of syariah as a policy or state legislation. This is also reflected in the Cairo Declaration that gives legitimacy to Muslim countries to maintain and run a syariah-based doctrine that emphasizes the protection of reli- gion rather than the protection of the fundamental rights of freedom of religion. Therefore, the need for the doctrine of separation of religion and state is intended to make state more independent and is expected to provide protection of the or- gans and institutions of the state against the abuse of power in the name of reli- gion. Right to freedom of religion can only be realized within the framework of the constitutional and democratic state based on the spirit of universal human rights. Key words: right to freedom of religion, state protection, universal human rights 1. Pendahuluan Kebebasan beragama dalam kacamata hak asasi manusia mempunyai posisi yang kompleks. Dalam konfigurasi ketata-negaraan, kebebasan beragama mempunyai posisi yang penting juga. Sejumlah besar kegiatan manusia dilindungi oleh pasal-pasal mengenai kebebasan beragama, kebebasan bereskpresi, dan kebebasan politik. 2 Kebebasan beragama muncul sebagai hak asasi manusia yang pal- ing mendasar dalam instrumen-instrumen politik nasional dan internasional, jauh

Upload: others

Post on 01-Oct-2021

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PERLINDUNGAN NEGARA TERHADAP HAK KEBEBASAN BERAGAMA …

42 Jurnal Hukum PRIORIS, Vol. 3 No. 3, Tahun 2013

Frans Sayogie - Perlindungan Negara Terhadap Hak Kebebasan Beragama: Perspektif Islam DanHak Asasi manusia Universal

1 Frans Sayogie adalah Dosen Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta (UIN), Email: [email protected] dan [email protected].

2 Hal ini dikemukakan oleh Adi Sulistiyono dalam makalah yang berjudul “Kebebasan Beragama DalamBingkai Hukum” yang disampaikan dalam rangka Seminar Hukum Islam “Kebebasan Berpendapat vsKeyakinan Beragama ditinjau dari Sudut Pandang Sosial, Agama, dan Hukum”. Penyelenggara FOSMIFakultas Hukum UNS, tanggal 8 Mei 2008.

PERLINDUNGAN NEGARA TERHADAPHAK KEBEBASAN BERAGAMA:

PERSPEKTIF ISLAM DAN HAK ASASI MANUSIAUNIVERSAL

Frans Sayogie1

ABSTRACT

The implementation of religious freedom in Islam still has unresolved issues. Basedon the perspective of the Madinah Charter, Islam can provide protection of free-dom of religion and give the rights of non-Muslims. Nowadays, however, in prac-tice, in some Islamic countries, there is actually a variety of aberrations that ob-scures the meaning and spirit of the Madinah Charter. In some Muslim countries,the formalization and formulation of syariah are still implemented in the publicsphere. State does not remain neutral toward all religious doctrines and alwaysstrives to apply the principles of syariah as a policy or state legislation. This is alsoreflected in the Cairo Declaration that gives legitimacy to Muslim countries tomaintain and run a syariah-based doctrine that emphasizes the protection of reli-gion rather than the protection of the fundamental rights of freedom of religion.Therefore, the need for the doctrine of separation of religion and state is intendedto make state more independent and is expected to provide protection of the or-gans and institutions of the state against the abuse of power in the name of reli-gion. Right to freedom of religion can only be realized within the framework of theconstitutional and democratic state based on the spirit of universal human rights.

Key words: right to freedom of religion, state protection, universal human rights

1. Pendahuluan

Kebebasan beragama dalamkacamata hak asasi manusia mempunyaiposisi yang kompleks. Dalam konfigurasiketata-negaraan, kebebasan beragamamempunyai posisi yang penting juga.Sejumlah besar kegiatan manusia dilindungi

oleh pasal-pasal mengenai kebebasanberagama, kebebasan bereskpresi, dankebebasan politik.2 Kebebasan beragamamuncul sebagai hak asasi manusia yang pal-ing mendasar dalam instrumen-instrumenpolitik nasional dan internasional, jauh

Page 2: PERLINDUNGAN NEGARA TERHADAP HAK KEBEBASAN BERAGAMA …

43Jurnal Hukum PRIORIS, Vol. 3 No. 3, Tahun 2013

- Frans SayogiePerlindungan Negara Terhadap Hak Kebebasan Beragama: Perspektif Islam Dan Hak Asasi manusia Universal

3 Lihat Ifdhal Kasim (ed.), Hak Sipil dan Politik: Esai-Esai Pilihan, (Jakarta: Lembaga Studi dan AdvokasiMasyarakat (ELSAM), 2001), hal. 238-239.

sebelum berkembangnya pemikiranmengenai perlindungan sistematis untuk hak-hak sipil dan politik.3

Namun demikian, kebebasanberagama menemukan jantung “persoalan”yang utama ketika berhadapan denganentitas negara. Di sini muncul perdebatangugus negara apa yang harus dibentuksupaya kebebasan beragama tidakteraniaya? Sejauh mana legitimasi moral danhukum bahwa negara boleh “mengelola”(baca: mengatur, membatasi, dan melarang)tindakan-tindakan yang bertolak tarikdengan kebebasan beragama? Bagaimanajuga kerangka yang bernurani untukmembaca kebebasan beragamaberhadapan dengan kekuasaan dankepentingan umum dalam tarikan nafas hakasasi manusia?4

Di sisi lain, menguraikan hubunganantara agama dan negara dalam perspektifIslam bukanlah pekerjaan mudah, walaupundalam konteks Islam, kebebasan beragamaadalah sesuatu yang inherent dan intrinsikdan diakui secara verbal dalam al-Qur’an.Kebebasan beragama disebutkan secarategas dalam al Qur’an, surat al Baqarah,ayat 256, bahwa “tidak ada paksaan dalam

agama”.5 Jalinan hubungannya ternyatabegitu rumit dan kompleks. Pokok soal initelah cukup lama memancing debat dansengketa intelektual, baik dalam pemikirankeislaman klasik maupun dalam kajianpolitik Islam kontemporer. Sejauh yangdapat ditangkap dari perjalanan diskursusintelektual dan historis pemikiran dan praktikpolitik Islam, ada banyak pendapat yangberbeda, beberapa bahkan salingbertentangan, mengenai hubungan yang pasantara agama dan negara.6

Dalam realitasnya, sebagian negara-negara muslim modern bukan saja telahmenerapkan konstitusi modern yangmemberikan jaminan hak-hak sipil danmemperlakukan secara sama warga negaradi depan hukum, bahkan mereka telahmeratifikasi ICCPR (International Cov-enant on Civil and Political Rights) yangmenyatakan bahwa hak-hak beragamawarga negara diberi jaminan kuat didalamnya. Alasan berikutnya, realitaskebanyakan negara-negara muslim masihmenerapkan sanksi pembekuan hak-haksipil dan hukuman mati bagi murtad. Haltersebut menjadi suatu paradoks, karenadalam Islam seluruh hak asasi merupakan

4 Hal tersebut kemudian dituangkan dalam DUHAM tentang kebebasan beragama dan keluar darikeimanannya untuk beralih ke iman dan agama lain. Hal itu bisa dibaca dalam pasal 18 Kovenan tentangHak Sipil dan Politik.

5 Lihat juga Piagam Madinah, Pasal 25 (dibuat pada Abad ke-7 oleh Muhammad saw.) yang terjemahannyaberbunyi “bagi orang-orang Yahudi agama mereka dan bagi orang-orang Islam agama mereka”. Lihat uraianini dalam Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945: Kajian Perbandingan tentangDasar Hidup Bersama dalam Masyarakat yang Majemuk, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI Press),1995), hal. 124-130.

6 Hal ini dikemukakan oleh Marzuki Wahid dan Abd Moqsith Ghazali dalam makalah yang berjudul “RelasiAgama Dan Negara: Perspektif Pemikiran Nahdlatul Ulama” yang disampaikan dalam Annual Conference onIslamic Studies (ACIS) Ke - 10 Banjarmasin, tanggal 1 – 4 November 2010.

Page 3: PERLINDUNGAN NEGARA TERHADAP HAK KEBEBASAN BERAGAMA …

44 Jurnal Hukum PRIORIS, Vol. 3 No. 3, Tahun 2013

Frans Sayogie - Perlindungan Negara Terhadap Hak Kebebasan Beragama: Perspektif Islam DanHak Asasi manusia Universal

kewajiban bagi negara maupun individuyang tidak boleh diabaikan. Oleh karena itu,negara bukan saja menahan diri darimenyentuh hak-hak asasi tersebut,melainkan juga mempunyai kewajiban untukmelindungi dan menjamin hak-hak tersebutyang melekat pada warga negaranya, baikmuslim maupun non-muslim.7

Sementara itu, memang adaperdebatan tentang standar universal hakasasi manusia, di samping ada problematikaserius berkaitan dengan penerapannya.Namun ini tidak berarti bahwa tidak adastandar universal yang mengikat, atauupaya penerapannya ditinggalkan. Tetapada standar universal tertentu tentang hakasasi manusia8 yang mengikat sesuai denganhukum internasional dan bahwa setiap upayaharus diarahkan pada penerapan dalampraktik. Sehingga prinsip yang menghormatidan melindungi hak-hak asasi manusia harusditaati oleh negara manapun.

B. Hak Kebebasan Beragama: HakAsasi Manusia Universal dan Is-lam

1. Hak Kebebasan Beragama dalamHak Asasi Manusia Universal

Pengaturan mengenai perlindungan

hak kebebasan beragama diartikulasikansecara tegas dalam pasal 18 baik dalamUDHR maupun ICCPR. Dengan masuknyahak kebebasan beragama dalam UDHR,berarti menunjukkan betapa serius danpentingnya hak kebebasan beragamatersebut. Dengan demikian hak kebebasanberagama dapat diasumsikan sebagai salahsatu hak yang paling fundamental.

Pengaturan mengenai hak kebebasanberagama dalam UDHR diatur dalam Pasal18. Pasal tersebut mengatur sebagai berikut:

“Setiap orang berhak ataskebebasan pikiran, hati nurani danagama, dalam hal ini termasukkebebasan berganti agama ataukepercayaan, dan kebebasan untukmenyatakan agama atau keperca-yaannya dengan cara mengajarkannya,memprak-tikkannya, beribadah danmentaatinya baik sendiri maupunbersama-sama dengan orang lain, danbaik di tempat umum maupun tersen-diri.”9

Pasal ini merupakan pasal utama dalampengaturan mengenai hak kebebasanberagama. Pasal ini memberikan pengertianmengenai hak kebebasan beragama. Hakkebebasan beragama dalam pasal tersebutmeliputi hak untuk beragama, hak untuk

7 Lihat uraian kebebasan beragama yang dinyatakan Piagam Madinah dalam Ahmad Sukardja, loc.cit.8 Dokumen-dokumen Hak Asasi Manusia PBB dan dokumen regional Eropa (yaitu perjanjian Masyarakat Eropa

tentang perlindungan Hak-hak Asasi Manusia dan Kebebasan Fundamendal tahun 1950), dokumen Amerika(yang berisi perjanjian Amerika tentang Hak-hak Asasi Manusia tahun 1969) dan Piagam Afrika (tentang Hak-hak Asasi Masyarakat dan Manusia pada tahun 1981), Dokumen Dewan Liga Arab (tentang Hak-hak AsasiManusia yang disahkan pada September 1987) selururuhnya memiliki premis yang sama, bahwa adastandar universal tentang hak-hak asasi manusia yang harus ditaati oleh seluruh negara di dunia, ataunegara-negara regional yang hubungannya dengan dokumen regional.

9 Lihat UDHR, Pasal 18.

Page 4: PERLINDUNGAN NEGARA TERHADAP HAK KEBEBASAN BERAGAMA …

45Jurnal Hukum PRIORIS, Vol. 3 No. 3, Tahun 2013

- Frans SayogiePerlindungan Negara Terhadap Hak Kebebasan Beragama: Perspektif Islam Dan Hak Asasi manusia Universal

berpindah agama, hak untuk beribadahsesuai dengan keyakinan, hak untukmengajarkan agamanya. Hak-hak tersebutdapat dilaksanakan baik secara individuataupun kelompok dan pelaksanaan haktersebut dapat dilakukan baik di tempatumum maupun tempat pribadi. Dengandemikian hak atas kebebasan beragamadan berkeyakinan pada dasarnya meliputidua dimensi individual dan kolektif.

Dimensi individual tercermin dalamperlindungan terhadap keberadaan spiri-tual seseorang (forum internum) termasukdi dalam dimensi ini adalah memilihmengganti, mengadopsi dan memelukagama dan keyakinan. Sedangkan dimensikolektif tercermin dalam perlindunganterhadap keberadaan seseorang untukmengeluarkan keberadaan spiritualnya danmempertahankannya di depan publik (fo-rum eksternum). Dengan kata lain Pasal18 membedakan kebebasan berkeyakinan,dan beragama atau berkepercayaan darikebebasan untuk menjalankan agama ataukepercayaannya. Pembedaan ini secara le-gal sangat penting untuk membedakan diwilayah mana negara diperbolehkan untukmembatasi dan wilayah mana negaradilarang untuk melakukan pembatasan.

Dalam pelaksanaan tanggungjawabnya, negara diperbolehkan untukmembatasi hak tertentu dengan dasarbeberapa klausul pembatasan. Hakberagama dan berkeyakinan termasukdalam non-derogable rights, sehingga tidakdapat dikurangi. Namun tidak semua aspek

hak dan kebebasan beragama danberkeyakinan berada dalam wilayah hakyang tidak dapat dikurangi dalam keadaanapa pun (non-derogable rights).

Negara sebagai entitas berdaulat ruangpublik dapat membatasi hanya pada ruanglingkup forum externum. Pembatasan danjuga campur tangan itu dibentuk dalamsebuah peraturan perundang-undangansebagai norma publik yang memungkinkanpublik (orang banyak) berpartisipasi dalammembentuk dan mengawasi pelaksa-naannya, dilakukan dengan tetap pulamemenuhi asas keperluan (necessity) danproporsionalitas. Dalam mengartikan ruanglingkup ketentuan pembatasan yangdiijinkan, Negara-Negara Pihak harusmemulai dari kebutuhan untuk melindungihak-hak yang dijamin oleh Kovenan,termasuk hak atas kesetaraan dan non-diskriminasi di bidang apa pun sebagaimanaditentukan di pasal 2, pasal 3, dan pasal 26Kovenan Hak Sipil dan Politik. Pemba-tasan-pembatasan dapat diterapkan hanyauntuk tujuan-tujuan sebagaimana yang telahdiatur serta harus berhubungan langsung dansesuai dengan kebutuhan khusus yang sudahditentukan. Pembatasan tidak bolehditerapkan untuk tujuan-tujuan yangdiskriminatif atau diterapkan dengan carayang diskriminatif.

Komentar Umum No. 22 selanjutnyamenjelaskan bahwa adanya kenyataanbahwa suatu agama diakui sebagai agamanegara, atau bahwa agama tersebutdinyatakan sebagai agama resmi atau tradisi,

Page 5: PERLINDUNGAN NEGARA TERHADAP HAK KEBEBASAN BERAGAMA …

46 Jurnal Hukum PRIORIS, Vol. 3 No. 3, Tahun 2013

Frans Sayogie - Perlindungan Negara Terhadap Hak Kebebasan Beragama: Perspektif Islam DanHak Asasi manusia Universal

atau bahwa penganut agama tersebut terdiridari mayoritas penduduk, tidak bolehmenyebabkan tidak dinikmatinya hak-hakyang dijamin oleh Kovenan, termasuk olehpasal 18 dan pasal 27 ICCPR, maupunmenyebabkan diskriminasi terhadappenganut agama lain atau orang-orang yangtidak beragama atau berkepercayaan.10

Komentar umum No. 22 juga menyatakanbahwa tidak satu pun pengamalan agamaatau kepercayaan dapat digunakan sebagaipropaganda untuk berperang atau advokasikebencian nasional, rasial, atau agama, yangdapat mendorong terjadinya diskriminasi,permusuhan, atau kekerasan.11

Dengan demikian, inti normatif dari hakasasi manusia atas kebebasan beragamaatau berkeyakinan dapat dielaborasikanmenjadi delapan elemen12:1. Kebebasan internal. Setiap orang

berhak atas kebebasan berpikir,berkesadaran dan beragama; hak inimencakup kebebasan untuk setiaporang memiliki, menganut,mempertahankan atau pindah agamaatau keyakinan.13

2. Kebebasan eksternal. Setiap orangmempunyai kebebasan, baik sendiriatau bersama-sama dengan orang lain,di tempat umum atau tertutup, untuk

menjalankan agama atau keperca-yaannya dalam kegiatan pengajaran,pengamalan, ibadah dan penaatan.14

3. Tanpa dipaksa. Tidak seorang pundapat dipaksa sehingga terganggukebebasannya untuk menganut ataumenetapkan agama atau keyakinannyasesuai dengan pilihannya.15

4. Tanpa diskriminasi. Negaraberkewajiban untuk menghormati danmenjamin hak kebebasan beragamaatau berkeyakinan bagi semua orangyang berada dalam wilayahnya danyang tunduk pada wilayah hukum atauyurisdiksinya, hak kebebasanberagama atau berkeyakinan tanpapembedaan apa pun seperti ras, warnakulit, jenis kelamin, bahasa, agamaatau keyakinan, politik atau pendapatlain, kebangsaan atau asal-usul lainnya,kekayaan, kelahiran atau statuslainnya.16

5. Hak orang tua dan wali. Negaraberkewajiban untuk menghormatikebebasan orang tua dan apabiladiakui, wali hukum yang sah, untukmemastikan bahwa pendidikan agamadan moral bagi anak-anak merekasesuai dengan keyakinan merekasendiri, selaras dengan kewajiban untuk

10 Lihat Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa Komentar Umum No. 22, Pasal 9, Tahun 1993.11 Ibid., Pasal 7.12 Tore Lindholm (eds.), Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan: Seberapa Jauh?, Sebuah Referensi tentang

Prinsip-Prinsip dan Praktek, terjemahan Rafael Edy Bosko dan M. Rifa’I Abduh, (Yogyakarta: PenerbitKanisius, 2010), hal. 20-21.

13 Lihat Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa Komentar Umum No. 22, Pasal 5, Tahun 1993.14 Lihat ICCPR, Pasal 18 ayat (1) dan ECHR, Pasal 9 ayat (1).15 Lihat ICCPR, Pasal 18 ayat (2).16 Lihat ICCPR, Pasal 2 ayat (1).

Page 6: PERLINDUNGAN NEGARA TERHADAP HAK KEBEBASAN BERAGAMA …

47Jurnal Hukum PRIORIS, Vol. 3 No. 3, Tahun 2013

- Frans SayogiePerlindungan Negara Terhadap Hak Kebebasan Beragama: Perspektif Islam Dan Hak Asasi manusia Universal

melindungi hak atas kebebasanberagama atau berkeyakinan setiapanak seiring dengan kapasitas anakyang sedang berkembang.17

6. Kebebasan korporat dankedudukan hukum. Komunitaskeagamaan sendiri mempunyaikebebasan beragama atauberkeyakinan, termasuk hak otonomidalam urusan mereka sendiri, sebagaisalah satu aspek dari kebebasanmemanifestasikan kepercayaan agamabukan hanya secara individual tetapibersama-sama dengan orang lain.18

7. Pembatasan yang diperbolehkanterhadap kebebasan eksternal.Kebebasan memanifestasikan agamaatau keyakinan seseorang hanya dapatdibatasi oleh ketentuan berdasarkanhukum, dan yang diperlukan untukmelindungi keamanan publik,ketertiban, kesehatan, atau moral atauhak-hak mendasar orang lain.19

8. Tidak dapat dikurangi. Negara tidakboleh mengurangi hak kebebasanberagama atau berkeyakinan, bahkandalam keadaan darurat publik.20

Delapan komponen hak kebebasanberagama ini dapat diidentifikasikan dariseperangkat norma-norma hak asasi

manusia yang kompleks, yang salingmendukung dan terkodifikasi secarainternasional. Saat diterapkan untuk kontekstertentu dan untuk tujuan-tujuan praktis,norma-norma ini mungkin membutuhkaninterpretasi dan eleborasi lebih lanjut.21

Jelaslah bahwa memfasilitasi hakkebebasan beragama tidak hanya secaraeksklusif terbatas lewat pemberianperlindungan perlindungan hukum bagidelapan komponen pokok yangdiidentifikasikan di atas. Lebih lanjut, untukkebebasan beragama, ada yang lebihsekedar perlindungan hak asasi manusia.Oleh karena itu, perlunya konfigurasiinstitusional dalam hubungan agama-negaramerefleksikan kompromi sejarah, budayadan politis yang beragam. Nilai-nilai pokokyang dilindungi di bawah naungankebebasan beragama atau berkeyakinanmembuka ruang bagi sejumlah besar pilihan-pilihan dalam artian bahwa negara-negarayang berbeda menstrukturisasi hubungandengan agama, komunitas keyakinan, danpara penganut individual.22 Bagaimanapunjuga, ada seperangkat pokok nilai-nilai yangmembentuk persyaratan-persyaratan mini-mum untuk sebuah masyarakat yang adildan untuk perlindungan hak universal bagikebebasan beragama.23

17 Lihat ICCPR, Pasal 18 ayat (4); dan Konvensi Hak-Hak Anak , Pasal 14.18 Lihat ICCPR, Pasal 18 ayat (1).19 Lihat ICCPR, Pasal 18 ayat (3).20 Lihat ICCPR, Pasal 4 ayat (2).21 Tore Lindholm (eds.), op.cit., hal. 21.22 Lihat Ifdhal Kasim, “Konvensi Hak-hak Sipil dan Politik Sebuah Pengantar”, Seri Bahan Bacaan Kursus HAM

untuk Pengacara X Tahun 2005, (Jakarta: ELSAM, 2005), hal. 1.23 Tore Lindholm (eds.), op.cit., hal. 23-24.

Page 7: PERLINDUNGAN NEGARA TERHADAP HAK KEBEBASAN BERAGAMA …

48 Jurnal Hukum PRIORIS, Vol. 3 No. 3, Tahun 2013

Frans Sayogie - Perlindungan Negara Terhadap Hak Kebebasan Beragama: Perspektif Islam DanHak Asasi manusia Universal

2. Hak Kebebasan Beragama dalamIslamDalam ajaran Islam, pengakuan

terhadap kebebasan seseorang untukmemilih suatu agama sudah sudah sejakawal dijelaskan. Bahkan, kebebasanmerupakan “slogan” yang menjadi haksetiap individu, karena salah satu pilar dasardalam yang mewujudkan keselamatanindividu dan masyarakat. Kebebasanberagama, berpolitik dan berfikirmerupakan bentuk penghargaan al-Qur’anyang telah dianugerahkan Allah SWTkepada manusia. Dengan demikian,persoalan kebebasan beragama dalam Is-lam bukan hal yang baru, akan tetapi sudahberafiliasi dengan pemikiran Islam seiringdinamika zaman.

Kebebasan beragama dalam konteksIslam menyiratkan bahwa non-muslim tidakdipaksa untuk masuk Islam, mereka jugatidak dihalangi untuk menjalankan rituskeagamaannya. Baik muslim dan non-muslim dapat mengembangkan agamanya,di samping melindunginya dari serangan ataufitnah, tak peduli apakah hal ini berasal darikalangan sendiri atau dari yang lain.24

Peristilahan kebebasan dalampemikiran Islam, tidak hanya menggunakanterminologi al-hurriyah, namun istilah al-ihkitiyar juga merupakan terminologi yangsangat identik dengan kebebasan. Karenaterminologi al-ikhtiyar sering diposisikan

kontras dengan terminologi al-jabr, yangberarti penafikan terhadap kebebasandalam diri manusia dan masyarakat. Juga,al-ikhtiyar didefenisikan sebagai “sikapseseorang, jika berkeinginan maka iakerjakan, jika tidak, maka ia tidak lakukan”.Tidak hanya itu, persoalan kebebasanberagama bahkan telah dijelaskan dalamkitab suci al-Qur’an, sebagai rujukan finalumat Islam. Dalam al-Qur’an tertulisbanyak sekali ayat yang secara jelasmengungkapkan tentang kebebasanbergama. Juga, tugas dan fungsi seorangRasul bukan memaksakan seluruh manusiauntuk memeluk Islam, akan tetapi hanyasebatas penyampai risalah Tuhan.25

Penegasan al-Qur’an terhadapkebebasan beragama merupakan buktibahwa pemaksaan terhadap seseoranguntuk memeluk Islam tidak dibenarkan. Halini telah dijelaskan dalam firman Allah SWT,artinya:

”Tidak ada paksaan untuk(memasuki) agama (Islam); sesung-guhnya telah jelas jalan yang benardaripada jalan yang sesat. Karena itu,barangsiapa yang ingkar kepadaThaghut dan beriman kepada Allah,maka sesungguhnya ia telah berpegangkepada buhul tali yang amat kuat yangtidak akan putus. Dan Allah MahaMendengar lagi Maha Mengetahui”26.

24 Mohammad Hashim Kamali, Kebebasan Berpendapat dalam Islam, terjemahan Eva Y. Nukman dan FathiyahBasri, (Bandung: Penerbit Mizan, 19960, hal. 120.

25 Lihat Hermanto Harun dalam makalah yang berjudul “Kebebasan Beragama di Indonesia: Mengurai kusutkebebasan beragama” dipresentasikan dalam acara Diskusi Nasional “Islam dan Kebebasan Beragama diIndonesia, Problem dan Solusinya” hari Kamis 8 Mei 2008 di Auditorium IAIN STS Jambi, Kampus Telanai Pura.

26 QS:al-Baqarah: 256

Page 8: PERLINDUNGAN NEGARA TERHADAP HAK KEBEBASAN BERAGAMA …

49Jurnal Hukum PRIORIS, Vol. 3 No. 3, Tahun 2013

- Frans SayogiePerlindungan Negara Terhadap Hak Kebebasan Beragama: Perspektif Islam Dan Hak Asasi manusia Universal

Selain ayat di atas, ayat lain yangsecara tegas menegasikan tindakanpemaksaan untuk memeluk Islam adalahfirman Allah SWT, artinya :

”Dan jikalau Tuhanmu menghen-daki, tentulah beriman semua orangyang di muka bumi seluruhnya. Makaapakah kamu (hendak) memaksamanusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?”27

Persoalan kebebasan beragama dalamIslam bahkan tidak sebatas membiarkanseorang manusia memilih terhadap suatuagama, namun lebih dari itu, memberikebebasan kepada pemeluk setiap agamauntuk melaksanakan ritual ajaran agamanya.Hal ini karena ‘tema’ keyakinan merupakanurusan ukhrawi yang nanti akandiperhitungkan oleh Allah SWT di harikiamat kelak. Dari itu, tidak seorangpunyang berhak menghukumi tentang pilihankeyakinan, kecuali jika seseorang tersebutdengan sengaja mengproklamirkankekufurannya. Jika kebebasan memilihagama diberikan kepada setiap orang,maka ada bebarapa konsekuensi logis daripemberian kebebasan tersebut.Diantaranya: 1). kebebasan melaksanakanibadah, baik secara terang-terangan atautersembunyi, individual maupunberkelompok. 2).kebebasan memilih modeyang selaras dengan kecenderunganagamanya, atau kebebasan melakukanpraktek keagamaan. 3). Kebebasan

memakai istilah, tanda dan syi’ar yangberbeda. 4). Kebebasan membangunkebutuhan rumah ibadah. 5). Kebebasanmelaksanakan acara ritual keagamaan. 6).Menghargai tempat yang mereka anggapsuci. 7). Kebebasan bagi seseorang untukmerubah dan berpindah keyakinan. 8).Kebebasan berdakwah untuk memelukagamanya.28 Dalam al-Qur’an secaragamblang diungkapkan tentang kebebasantersebut. Firman Allah SWT yang artinya:

”Katakanlah “hai orang-orangyang kafir, aku tidak akan menyembahapa yang kamu sembah. Dan kamubukan penyambah Tuhan yang akusembah. Dan aku tidak pernah menjadipenyembah apa yang kamu sembah. Dankamu tidak pernah (pula) menjadipenyembah Tuhan yang aku sembah.Untukmulah agamamu, dan untukkulahagamaku.”29

Ayat ini dengan sangat tegasmengungkapkan akan adanya perbedaanantara Islam dengan agama yang lainya,bahkan secara global mengungkapkanperbedaan yang tidak akan pernah bertemu,keragaman yang tidak akan pernah serupa,pisah yang tidak akan bersambung dancorak yang tidak akan pernah bercampur.Meskipun demikian, realitas keragamanagama merupakan fakta yang ada dan tidakmungkin untuk dinafikan. Karena, justrukeragaman agama merupakan sunnatullahyang sengaja diciptakan Allah SWT sebagai

27 QS: Yunus: 99.28 Jamaluddin Athiah Muhammad, Nahwa Fiqh Jadid li al-Aqalliyat, dalam Hermanto Harun, op.cit., hal. 10.29 Q.S. al-Kafirun: 1-6.

Page 9: PERLINDUNGAN NEGARA TERHADAP HAK KEBEBASAN BERAGAMA …

50 Jurnal Hukum PRIORIS, Vol. 3 No. 3, Tahun 2013

Frans Sayogie - Perlindungan Negara Terhadap Hak Kebebasan Beragama: Perspektif Islam DanHak Asasi manusia Universal

ujian untuk manusia. Keragaman manusiadalam memilih jalur ‘komunikasi’ menujutuhannya, juga telah dijelaskan dalamal-Qur’an. Firman Allah SWT, artinya:

”..untuk tiap-tiap umat diantarakamu, kami berikan aturan dan jalanyang terang. Sekiranya Allah meng-hendaki, niscaya kamu dijadikan-Nyasatu umat (saja), tetapi Allah hendakmenguji kamu terhadap pemberian-Nya.Kepadamu, maka berlomba-lombalahberbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, laludiberitahukan-Nya kepadamuapa yangtelah kamu perselisihkan itu.30

C. Perlindungan Negara terhadapHak Kebebasan Beragama dalamIslam

1. Perspektif Piagam MadinahPerlindungan negara terhadap hak

kebebasan dalam Islam dapat mengacupada konsep politik Islam yang secarahistoris pernah dipraktikkan pada masa awalpemerintahan Islam di bawah kendali NabiMuhammad saw. Realitas politik padamasyarakat awal Islam (masa al-salaf al-shalih), menurut Nurcholish Madjid,memiliki bangunan kenyataan politik yangdemokratis dan partisipatoris yangmenghormati dan menghargai ruang publik,

seperti kebebasan hak asasi, partisipasi,keadilan sosial, dan lain sebagainya. Wujudhistoris dari sistem sosial politik yangkemudian dikenal sebagai Piagam Madinahini merupakan prinsip-prinsip rumusankesepakatan mengenai kehidupan bersamasecara sosial-politik antara sesama kaumMuslim dan antara kaum Muslim dengankelompok-kelompok lain di kota Madinahdi bawah pimpinan Nabi Muhammadsaw.31

Pada periodisasi Madinah tersebut,telah terjalin hubungan yang baik daribeberapa kelompok non-Muslim dengankelompok Muslim. Pemerintahan Islam yangdipimpin Nabi Muhammad sawmenunjukkan toleransi kepada umat-umatberagama lain. Golongan minoritasmendapatkan perlindungan dari pemerintahIslam dan dapat menjalin hubungan denganmasyarakat Muslim dengan baik dalammelaksanakan berbagai aktivitasnya.Eksistensi pluralisme masyarakat Madinahmenuntut Nabi membangun tatanan hidupbersama yang mencakup semua golonganyang ada. Mula-mula, Nabi mem-persau-darakan antara kaum Muhajirin dan Anshar.Selanjutnya, membangun persaudaraanyang melibatkan semua masyarakatMadinah yang tidak terbatas kepada umatIslam saja.32

30 QS: al-Maidah: 48.31 Nurcholish Madjid,. Cita-Cita Politik Islam di Era Reformasi, (Jakarta: Yayasan Paramadina, 1999), hal. 24.32 Marzuki, “Kerukunan antarumat Beragama dalam Wacana Masyarakat Madani: Analisis Isi Piagam Madinah

dan Relevansinya bagi Indonesia”, makalah yang tidak diterbitkan (t.t.), hal. 5-9.

Page 10: PERLINDUNGAN NEGARA TERHADAP HAK KEBEBASAN BERAGAMA …

51Jurnal Hukum PRIORIS, Vol. 3 No. 3, Tahun 2013

- Frans SayogiePerlindungan Negara Terhadap Hak Kebebasan Beragama: Perspektif Islam Dan Hak Asasi manusia Universal

Dalam Piagam33 Madinah dirumuskanprinsip-prinsip dan dasar-dasar tatakehidupan bermasyarakat, kelompok-kelompok sosial Madinah, jaminan hak, danketetapan kewajiban. Piagam Madinah itujuga mengandung prinsip kebebasanberagama, hubungan antar kelompok,kewajiban mempertahankan kesatuanhidup, dan sebagainya. Insiatif dan usahaNabi Muhammad saw dalam mengorganisirdan mempersatukan pengikutnya dangolongan lain, menjadi suatu masyarakatyang teratur, berdiri sendiri, dan berdaulatyang akhirnya menjadi suatu negara dibawah pimpinan Nabi sendiri merupakanpraktek siyasah, yakni proses dan tujuanuntuk mencapai tujuan. prinsip kenegaraanyang diterapkan pada masyarakat Madinahdi bawah kepemimpinan Nabi Muhammadsaw. Masyarakat Madinah adalahmasyarakat plural yang terdiri dari berbagaisuku, golongan, dan agama. Islam datangke Madinah dengan bangunan konsepketatanegaraan yang mengikat aneka ragamsuku, konflik, dan perpecahan. 34

Pada saat sebelum terbentuknyaPiagam Madinah, Nabi Muhammadmemahami benar bahwa masyarakat yangdihadapi adalah masyarakat majemuk yang

masing-masing golongan bersikapbermusuhan terhadap golongan lain. Nabimelihat perlu adanya penataan danpengendalian sosial untuik mengaturhubungan-hubungan antar golongan dalamkehidupan sosial, ekonomi, politik, danagama. Karena itu, Nabi melakukanbeberapa langkah. Pertama, membangunmasjid. Lembaga ini, dari sisi agamaberfungsi sebagai tempai ibadah dan darisegi sosial berfungsi sebagai tempatmempererat hubungan dan ikatan di antaraanggota jamaah. Kedua, menciptakanpersaudaraan nyata dan efektif antara or-ang Islam Mekah dan Madinah. Kedualangkah tersebut masih bersifat internal danhanya ditujukan untuk konsolidasi umat Is-lam. Karena itu, langkah ketiga ditujukankepada seluruh penduduk Madinah. Nabimembuat perjanjian tertulis atau piagamyang menekankan pada persatuan yang eratdi kalangan kaum muslimin dan kaumYahudi, menjamin kebebasan beragamabagi semua golongan, menekankankerjasama dan persamaan hak dankewajiban semua golongan dalamkehidupan sosial politik dalam mewujudkanpertahanan dan perdamaian, danmenetapkan wewenang bagi Nabi untuk

33 W. Montgomery Watt menyebutnya dengan “The Constitution of Medina”, R.A. Nicholson “charter”, MajidKhadduri “treaty”, Philip K. Hitti “agreement”, Zainal Abidin Ahmad “piagam”. Kata al-shahifah adalah namayang disebut di dalam Piagam Madinah. Lihat Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar1945, op.cit., hal. 2.

34 Ibid., hal. 5. Para pihak yang mengikatkan diri atau terikat dalam Piagam Madinah yang berisi per-janjianmasya-rakat Madinah (social contract) ini ada tiga belas kelompok komu-nitas yang secara eksplisit disebutdalam teks Piagam. Ketiga belas komunitas itu adalah (i) kaum Mukminin dan Muslimin Muhajirin dari sukuQuraisy Mekkah, (ii) Kaum Mukminin dan Muslimin dari Yatsrib, (iii) Kaum Yahudi dari Banu ‘Awf, (iv) Kaum Yahudidari Banu Sa’idah, (v) Kaum Yahudi dari Banu al-Hars, (vi) Banu Jusyam, (vii) Kaum Yahudi dari Banu Al-Najjar,(viii) Kaum Yahudi dari Banu ‘Amr ibn ‘Awf, (ix) Banu al-Nabit, (x) Banu al-‘Aws, (xi) Kaum Yahudi dari Banu Sa’labah,(xii) Suku Jafnah dari Banu Sa’labah, dan (xiii) Banu Syuthaybah.

Page 11: PERLINDUNGAN NEGARA TERHADAP HAK KEBEBASAN BERAGAMA …

52 Jurnal Hukum PRIORIS, Vol. 3 No. 3, Tahun 2013

Frans Sayogie - Perlindungan Negara Terhadap Hak Kebebasan Beragama: Perspektif Islam DanHak Asasi manusia Universal

menengahi dan memutuskan segalaperbedaan pendapat dan perselisihan yangtimbul di antara mereka.35

Dalam Piagam Madinah, kataummah36 terulang dua kali, yaitu dalampasal 1 dan pasal 25. Rumusan pengertianummah oleh Syariati di atas—yang sejalandengan langkah Nabi untuk mempersatukanumat Islam—sesuai dengan muatan pasal 1Piagam Madinah, yang isinya innahumummatun wahidah min duni al-nas(sesungguhnya mereka adalah umat yangsatu, tidak termasuk golongan lain).Ketetapan (pasal 1) ini merupakanpernyataan yang mempersatukan orang-orang mukmin dan muslim yang berasal daridua golongan besar, Muhajirin dan Anshar,dari berbagai suku dan golongan sebagaiumat yang satu. Dasar yang mengikatmereka adalah akidah Islam, yangmembedakan mereka dari umat lain.

Ketetapan pada pasal 1 itu tidakberarti menunjukkan bahwa konsepummah yang dikehendaki oleh PiagamMadinah adalah umat Islam saja sebab dipasal lain kaum Yahudi dan sekutunyadisebut sebagai anggota umat. Hal inidibuktikan dalam pasal 25. Pasal 25misalnya menyatakan:

“Kaum Yahudi Bani ‘Auf bersamadengan warga yang beriman adalah satuumah. Kedua belah pihak, kaum Yahudidan kaum Muslimin, bebas memelukagama masing-masing. Demikian pulahalnya dengan sekutu dan diri merekasendiri. Bila di antara mereka ada yangmelakukan aniaya dan dosa dalam halini, maka akibatnya akan ditanggungoleh diri dan warganya”

Pasal 25 Piagam Madinah merupakanperwujudan jaminan kebebasan beragamadan beribadat menurut ajaran agamamasing-masing. Pada pasal 25 jugadinyatakan bahwa kaum Yahudi adalah satuumat bersama kaum mukminin. Penyebutandemikian, mengandung arti bahwa dilihatdari kesatuan dasar agama orang-orangYahudi merupakan satu komunitas yangparallel dengan komunitas kaum mukminin.Dalam kehidupan bersama tersebut,komunitas Yahudi bebas dalammelaksanakan agama mereka.37 Pasal 24pada Piagam Madinah itu telah memberijaminan kebebasan beragama bagi orang-orang Yahudi sebagai suatu komunitas danmewujudkan kerja sama yang erat dengankaum muslimin dan membuktikan bahwaIslam memiliki sikap toleran terhadap agamalain.

35 J. Suyuthi Pulungan, Prinsip-Prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau dari Pandangan al-Qur’an,(Jakarta: Rajawali Pers, 1996), hal. 64.

36 Ali Syari’ati mengartikan kata ummah dengan “jalan yang lurus”, yakni sekelompok manusia yang bermaksudmenuju “jalan” yang tidak lepas dari arti kata akarnya, amma. Kata ini ia artikan menuju dan berniat yangmengandung tiga arti, yaitu gerakan, tujuan, dan ketetapan kesadaran. Lihat Ali Syari’ati, Ummah wa al-Umamah,terj. M. Faishol Hasanuddin, (Jakarta: Penerbit Yapi, 1990), hal. 36-38.

37 Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945, op.cit., hal. 125. Di sini terlihat bahwa NabiMuhammad saw tidak memaksa rakyat Madinah untuk mengubah agama. Nabi hanya mendakwahkan Islamdengan seruan untuk mengesakan Allah. Soal konversi ke agama Islam tergantung pada kesadaran dan keinginanmasing-masing tanpa adanya paksaan.

Page 12: PERLINDUNGAN NEGARA TERHADAP HAK KEBEBASAN BERAGAMA …

53Jurnal Hukum PRIORIS, Vol. 3 No. 3, Tahun 2013

- Frans SayogiePerlindungan Negara Terhadap Hak Kebebasan Beragama: Perspektif Islam Dan Hak Asasi manusia Universal

Sementara itu, ketetapan pada pasal25 sampai pasal 35 itu dapat dikatakanbahwa organisasi umat yang dibentuk Nabibersifat terbuka. Beliau menghimpun semuagolongan penduduk Madinah. Perbedaankeyakinan mereka tidak menjadi alasanuntuk tidak bersatu dalam kehidupanbermasyarakat bernegara. Dalam hal iniberlaku konsep ummah yang bersifatumum.38 Dengan demikian, penggunaanistilah ummah dapat bersifat khusus, yaitupara penganut agama dan nabi tertentu, dandapat pula bersifat umum, yaitu setiapgenerasi manusia adalah umat yang satutanpa batasan agama.39

Selain itu, dalam Piagam Madinah,juga ditetapkan masalah perlindungan yangdisebutkan secara eksplisit yang ditentukanpada pasal 15. “Jaminan Allah adalah satu,”demikian disebutkan pada pasal 15. KataAllah di sini dimaksudkan untuk menyebutkekuasaan umum atau perlindungan olehnegara, sedang kata satu berarti meliputisemua orang yang harus dilindungi. Jadi,perlindungan negara diberikan kepadasemua warga atau rakyat tanpa melihatagama yang dianut.40

Dengan demikian, proses kelahirandan perkembangan Islam sejak zamanPiagam Madinah sudah menunjukkankemungkinan kerja sama dan saling

menghormati. Apalagi kalau perspektif yangdigunakan tidak memisahkan identitas Is-lam dari jalinan-eratnya dengan agama-agama lain sekalipun. Perspektif inilah yangtetap relevan untuk sekarang, ketika semuaumat beragama sudah hidup di dalam negarabangsa yang menerima asas kewarganegaraan, dengan sistem proteksi berbasiskonstitusi yang diberikan kepada semuawarganegara tanpa membedakan latarbelakangnya. Tak ada lagi Nabi yangmenjadi hakam, karena hakam sudahmengalami transformasi menjadi berbagaimekanisme dan lembaga di dalam negaradan masyarakat, baik dalam rangka proteksiwarganegara, penanganan konflik danpenyelesiaan sengketa, dan lain-lain.Idealnya, dalam istilah Piagam Madinah,negara adalah haram, tempat yangmendorong orang dari berbagai latarbelakang berbeda untuk bergaul danbekerja sama.41

2. Perspektif Deklarasi Kairo

Deklarasi Kairo (1990) merupakanistrumen pengaturan hak asasi manusia yangberlandaskan hukum Islam.Pengaturan mengenai hak kebebasanberagama dalam Deklarasi Kairo diaturdalam pasal khusus. Namun untukmemahami pengertian mengenai hak

38 Lihat Muhammad Latif Fauzi, “Konsep Negara dalam Perspektif Piagam Madinah dan Piagam Jakarta”, dalamJurnal Al-Mawarid Edisi XIII Tahun 2005, Yogyakarta, hal. 92-93.

39 J. Suyuthi Pulungan, Prinsip-Prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah, op.cit., hal. 129.40 W. Montgomery Watt, “Islamic Political Thought”, dalam Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-Undang

Dasar 1945, op.cit., hal. 69.41 Rizal Panggabean, ‘Kesepakatan Madinah dan Sesudahnya”, dalam Elza Peldi Taher (ed.), Merayakan Kebebasan

Beragama: Bunga Rampai Menyambut 70 Tahun Djohan Effendi, (Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi, 2011), hal.111.

Page 13: PERLINDUNGAN NEGARA TERHADAP HAK KEBEBASAN BERAGAMA …

54 Jurnal Hukum PRIORIS, Vol. 3 No. 3, Tahun 2013

Frans Sayogie - Perlindungan Negara Terhadap Hak Kebebasan Beragama: Perspektif Islam DanHak Asasi manusia Universal

kebebasan beragama dalam Deklarasi Kairoharus melihat bagian-bagian lain darideklarasi yang akan membantu pemahamantentang hak kebebasan beragama.

Pembukaan Deklarasi Kairo mengatursebagai berikut:

“Wishing to contribute to the effortsof mankind to assert human rights, toprotect man from exploitation and per-secution, and to affirm his freedom andright to a dignified life in accordance withthe Islamic Shari’ah.”42

Prinsip-prinsip Deklarasi Kairo yangdijabarkan dalam 25 pasal menegaskanbahwa hak-hak asasi dan kemerdekaanuniversal dalam Islam merupakan bagianintegral agama Islam dan bahwa tak seorangpun pada dasarnya berhak untukmenggoyahkan baik keseluruhan maupunsebagian atau melanggar atau menga-baikannya karena hak-hak asasi dankemerdekaan itu merupakan perintah sucimengikat yang termaktub dalam wahyu Al-lah SWT yang diturunkan melalui nabi-Nyayang terakhir.

Pembukaan Deklarasi Kairo menje-laskan bahwa tujuan dibentuknya DeklarasiKairo adalah untuk memberikan sumbanganterhadap perlindungan hak asasi manusiayang sesuai dengan syariat Islam. Hal inidapat dipahami sebab Deklarasi Kairodikeluarkan oleh OKI (Organisasi

Kerjasama Islam), yang merupakanorganisasi internasional antarnegara yangberanggotakan negara Islam ataupenduduknya mayoritas beragama Islam.

Deklarasi Kairo terbentuk dikare-nakan adanya satu perdebatan yangmendapatkan perhatian terjadi antara blokIslam dan blok lain tentang pasal 18Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia,yaitu tentang kebebasan beragama danberkeyakinan. Blok Islam pada awalnyamenentang pasal tersebut karena terdapatklausul “kebebasan berpindah agama” yangbertentangan dengan doktrin Islam tentangmurtad (apostasy), meski pada akhirnyahanya Saudi Arabia yang benar-benarmenentang pasal itu. Namun padaperkembangannya, Saudi Arabia mampumempengaruhi opini negara-negara Islamterutama di bawah organisasi OKI(Organisasi Kerjasama Islam) yang berpusatdi Jeddah, di mana Saudi Arabia sebagaituan rumah. Respon terhadap DeklarasiUniversal Hak Asasi Manusia terusmengalami perkembangan di dunia Islam.Pada tahun 1981 muncul UniversalIslamic Declaration of Human Rightsoleh beberapa tokoh pemikir Islamterkemuka dari berbagai negara. Padatahun 1990 lahir Deklarasi Kairo (CairoDeclaration of Human Rights in Islam)oleh negara-negara OKI43, yang

42 Lihat Pembukaan Deklarasi Kairo.43 Dari pertemuan Komisi Hak Asasi Manusia Organisasi Kerjasama Islam (IPHRC OIC) 20-24 Februari 2012 di

Jakarta diketahui bahwa negara anggota OKI banyak yang belum memiliki standar instrumen dalam kontekshak asasi manusia. Bahkan, beberapa negara tidak memiliki Komisi Nasional Hak Asasi Manusia di negaranya.Pertemuan tersebut memberi rekomendasi kepada dewan Menlu agar negara-negara anggota OKI jugameratifikasi isntrumen internasional hak asasi manusia dan bekerja sama menegakkan hak asasi manusia,dan menghasilkan beberapa kesepakatan. Kesepakatan tersebut berisi tugas-tugas yang harus dilakukan olehnegara anggota OKI. Lihat Republika co.id, “Negara OKI Harus Ratifikasi Aturan HAM”, Jumat, 24 Pebruari 201219:12 WIB, diakses Selasa, 4 Jumadil Awwal 1433 / 27 Maret 2012 | 20:27.

Page 14: PERLINDUNGAN NEGARA TERHADAP HAK KEBEBASAN BERAGAMA …

55Jurnal Hukum PRIORIS, Vol. 3 No. 3, Tahun 2013

- Frans SayogiePerlindungan Negara Terhadap Hak Kebebasan Beragama: Perspektif Islam Dan Hak Asasi manusia Universal

ditandatangani 54 negara anggota OKIpada 5 Agustus 1990. Inti dari deklarasitersebut adalah meskipun Islam menerimahak-hak asasi manusia, tetapi memilikibatasan dan tafsirnya sendiri dalam hal-haltertentu, salah satunya adalah tentangkebebasan beragama, khususnyakebebasan berpindah agama.44

Hak Asasi Manusia Islam, menurutDeklarasi Kairo, mengakui otoritas danperan Tuhan, dan karena itu tidak mentoleriranti-agama, ateisme, dan pindah agama(dari Islam). Misalnya, dalam pasal 1Deklarasi Kairo, dinyatakan:

“all human beings form one familywhose members are united by their sub-ordination to Allah and descent fromAdam. All men are equal in terms of ba-sic human dignity and basic obligationsand responsibilities, without any discrimi-nation on the basis of race, colour, lan-guage, belief, sex, religion, political af-filiation, social status, or other consid-erations. True faith is the guarantee forenhancing such dignity along the pathto human perfection.”

Di sini manusia diposisikan sejajartapi di bawah Tuhan. Sementara itu, padapasal 10 Deklarasi Kairo (Islam is the re-ligion of unspoiled nature. It is prohib-ited to exercise any form of compulsionon man or to exploit his poverty or igno-rance in order to convert him to another

religion or to atheism) juga memberikanpembatasan tentang kebebasan beragama.Pasal ini memisahkan diri dari DeklarasiUniversal 1948 khususnya Pasal 18, bahwasetiap orang memiliki hak berpikir,berkeyakinan, dan beragama, hak yangmencakup kebebasan mengganti agama ataukeyakinannya, dan kebebasan, sendiri ataudalam masyarakat, publik dan pribadi,untuk melaksanakan agamanya ataukepercayaannya dalam pengajaran,praktek, ibadah, dan pengamalan.45

Perlindungan kebebasan beragamadalam Deklarasi Kairo menjadi sangatterbatas bila diimplementasikan di negara-negara “Islam” yang ikut menan-datanganinya, karena adanya konsepsyariah yang dimasukkan dalam DeklarasiKairo, dan banyak diformalisasikan padanegara-negara timur tengah. Lebih jauh lagi,Deklarasi Kairo menegaskan bahwa hak-hak dasar fundamental dan kebebasan uni-versal di Islam adalah bagian integral yangharus dipatuhi dalam agama Islam. Olehkarena itu, tidak ada seorang pun yangberhak mengingkari atau bahkanmenghentikan untuk sementara waktuperintah Tuhan. Hal ini dikarenakan semuaajaran agama di dalam Islam bersifatmengikat seperti termaktub di dalam kitabsuci (al-Qur’an) yang telah diwahyukankepada nabi terakhirNya.46

44 Ahmad Suaedy (et.al), Islam, Konstitusi dan Hak Asasi Manusia: Problematika Hak Kebebasan Beragama danBerkeyakinan, op.cit., hal. 56.

45 Muhammad Ali, “Kebebasan Beragama”, dalam Elza Peldi Taher (ed.), Merayakan Kebebasan Beragama,op.cit., hal. 317-318.

46 Al Khanif, Hukum dan Kebebasan Beragama di Indonesia, (Yogyakarta: LaksBang Grafika, 2010), hal. 181.

Page 15: PERLINDUNGAN NEGARA TERHADAP HAK KEBEBASAN BERAGAMA …

56 Jurnal Hukum PRIORIS, Vol. 3 No. 3, Tahun 2013

Frans Sayogie - Perlindungan Negara Terhadap Hak Kebebasan Beragama: Perspektif Islam DanHak Asasi manusia Universal

D. Perlindungan Negara terhadapHak Kebebasan Beragama dalamHak Asasi Manusia Universal

Hak kebebasan beragama yangmerupakan hak sipil, seperti hak-haklainnya, sangat erat kaitannya dengankewajiban dan tanggungjawab negara. Adabeberapa hak sipil yang pada awalnyaadalah hak asasi, tetapi kemudian haktersebut mendapat jaminan dari ageneksternal. Hak beragama misalnya. Padaawalnya, hak model ini dikategorikansebagai hak dasar (natural rights), tetapipada perkembangannya tidak hanyamenjadi hak yang dilindungi secara pribadi,tetapi juga masuk dalam kategori sipil. Iniberarti bahwa peran negara dalammenjamin dan melindungi hak beragama danberkeyakinan sangatlah urgen.47 Untukmemenuhi tujuan negara sebagai pelindunghak-hak sipil dan politik, maka negaramemiliki kewajiban-kewajiban. Kewajibanyang utama adalah melindungi hak-hakdasar dari warga negara. Terhadap hal itu,maka negara memiliki core obligation(kewajiban inti) atas hak warga negara itu.Hal ini harus disepakati sebagai sebuahkesepakatan yang bersifat universal.

Dengan demikian, ada tigakewajiban negara yang mesti dipenuhi.Pertama, negara mempunyai kewajibanuntuk menghormati (to respect) hak asasimanusia. Dengan kata lain, negara harus

mengakui bahwa setiap orang memiliki hakyang melekat padanya, dan yurisdiksinegara tidak boleh membatasi hak ini.Kedua, negara berkewajiban melindungi (toprotect) hak asasi manusia. Secara teknis,kewajiban ini dapat dipenuhi misalnyadengan meratifikasi terhadap perjanjianinternasional tentang hak asasi manusiamenjadi hukum negara. Di sisi lain, negarajuga dapat menghapus aturan yangdiskriminatif sebagai perwujudan dariperlindungan negara terhadap hak asasimanusia. Ketiga, negara memiliki kewajibanuntuk memenuhi (to fulfill) hak asasimanusia. Pemenuhan merupakan langkahberikut setelah kehadiran aturan formal.Negara wajib untuk menyelenggarakanpemenuhan ini melalui tanggungjawab yangdiembannya.48

Selain memiliki kewajiban, negara jugamemiliki kaitan yang erat dengantanggungjawab yang dimilikinya. Secarasederhana, state responsibility munculketika negara mengingkari kewajibannya,yakni menghargai, melindungi, danmemenuhi hak asasi manusia. Kemungkinanakan terjadinya pelanggaran oleh negara itusangat besar karena dalam negara terdapatkekuasaan. Mekanisme pelanggaran yangdilakukan oleh negara dapat dilakukandalam tiga bentuk. Pertama, negaramelakukan kekerasan dengan tindakan(violence by commission). Kedua, negara

47 Lihat Tedi Kholiludin, Kuasa Negara atas Agama: Politik Pengakuan, Diskursus “Agama Resmi” danDiskriminasi Hak Sipil, (Semarang: RaSAIL Media Group, 2009), hal. 76.

48 Ibid., hal. 81-82.

Page 16: PERLINDUNGAN NEGARA TERHADAP HAK KEBEBASAN BERAGAMA …

57Jurnal Hukum PRIORIS, Vol. 3 No. 3, Tahun 2013

- Frans SayogiePerlindungan Negara Terhadap Hak Kebebasan Beragama: Perspektif Islam Dan Hak Asasi manusia Universal

membiarkan terjadinya pelanggaran yangterjadi (violence by omission). Ketiga,negara melakukan pelanggaran denganmembuat produk yang membatasi bahkanmelanggar hak asasi manusia (violence byjudicial). Terhadap hal tersebut makamutlak menjadi ranah pertanggungjawabannegara.49

Oleh karena itu, implementasi hak asasimanusia internasional sangat bergantungpada kepatuhan hukum suatu negara.Kepatuhan hukum tersebut sangat pentingkarena peratifikasian suatu instrumeninternasional tentang hak asasi manusia yangbersifat mengikat tidak menjaminberkurangnya atau tidak adanyapelanggaran hak asasi manusia di wilayahkedaulatan hukumnya. Oleh karena ituharus ada sinergi yang saling melengkapiantara kepatuhan hukum dan moralitas darisuatu negara.50 Pada kenyataannya, belumpernah selama ini hukum internasional danhukum konstitusi nasional berinteraksisecara kohesif. Karena, mekanismepenegakan antar pemerintahan yang efektif,

perlindungan hak asasi manusia internasionalmasih harus mengandalkan sistemperlindungan hak asasi manusia nasionalyang berfungsi baik. Transformasi standarhak asasi manusia internasional menjadihukum domestik hampir sepenuhnyadiserahkan pada konstitusi masing-masingnegara.51

Di dalam hukum internasional52,sebuah negara yang meratifikasi sebuahinstrumen internasional harus menunjukkankepatuhan hukum terhadap ketentuaninstrumen yang telah diratifikasinya. Selainitu, negara juga harus memperhatikan aturanhukum yang diatur oleh deklarasiinternasional yang telah menjadi norma-norma absolut53 yang tidak dapatditangguhkan dalam keadaan apapun juga.Norma yang menjadi jus cogens54 tersebutharus dijalankan sebagai bagian darikepatuhan negara terhadap moralitas yangdikandung di dalam hak tersebut.Berkenaan dengan hal tersebut, produkhukum dan institusi keadilan yangmendukung penegakan hukum dan hak asasi

49 Ibid., hal. 82-83.50 Al Khanif, Hukum dan Kebebasan Beragama di Indonesia, op.cit., hal. 210.51 Manfred Nowak, Pengantar pada Rezim HAM Internasional, terjemahan oleh Sri Sulastini, (Jakarta: Departemen

Hukum dan HAM Indonesia, 2003), hal. 37.52 Dalam hal ini menunjukkan bahwa masyarakat internasional secara relatif menerima prinsip intervensi

kemanusiaan.53 Norma-norma yang terkait dengan kebebasan beragama adalah: (1) norma-norma non diskriminasi (lihat Pasal

26 dan Pasal 27 ICCPR); (2) norma-norma yang melarang pengambilan keputusan yang sewenang-wenang (lihatPasal 18 ayat (3) ICCPR); dan (3) hak atas kompensasi/pemulihan yang efektif (lihat Pasal 2 ayat (3) ICCPR).

54 Menurut Konvensi Vienna, jus cogens merupakan inti sari dari hukum internasional karena diterima dan diakuioleh dunia internasional sebagai norma-norma yang tidak dapat dikurangi atau dibatalkan dengan alasanapapun juga.

Page 17: PERLINDUNGAN NEGARA TERHADAP HAK KEBEBASAN BERAGAMA …

58 Jurnal Hukum PRIORIS, Vol. 3 No. 3, Tahun 2013

Frans Sayogie - Perlindungan Negara Terhadap Hak Kebebasan Beragama: Perspektif Islam DanHak Asasi manusia Universal

manusia di suatu negara menjadi faktor kuncipenerapan hak asasi manusia.55

Ratifikasi yang dilakukan oleh suatunegara tidak berarti apa-apa jika negaraanggota tidak menerapkan aturan hukum disistem hukum nasional untuk mendukungimplementasi hak-hak yang diaturdidalamnya. Penerapan hak asasi manusiadapat efektif ketika negara anggotamenetapkan “kebijakan-kebijakan khusus”berdasarkan asas proporsionalitas untukmenerapkan aturan hukum di instrumenyang telah diratifikasinya. Oleh karena itu,sangat penting melihat apakah peraturanperundang-undangan di suatu negara sudahsesuai dengan semangat instrumeninternasional.56 Khusus untuk kebebasanberagama, penting juga untuk dilihat apakahmasih ada pengaruh agama terhadapperaturan perundang-undangan yang ada.57

Dalam dua Komentar Umum No. 3Pasal 13 Tahun 1991 dan No. 29 Pasal 3

Tahun 2004 dinyatakan bahwa NegaraPihak (State Parties) perlu menempuhsejumlah cara yang mencerminkanimplementasi ratifikasi kovenan.58 Caratersebut antara lain:1. Suatu inkorporasi sepenuhnya atau

sebagian

2. Mengubah atau mengkoreksi peraturanperundang-undangan yang ada agarsesuai dan konsisten dengan konvensi.

3. Mengikat semua cabang pemerintahanbaik legislatif, yudikatif dan eksekutifdan di semua tingkat pemerintahan,baik peraturan yang terkait dengansistem peradilan maupun peraturan lainyang terkait dengan masalahkebebasan dasar, perlindungankelompok minoritas dan rentan danterutama masalah diskriminasi.

4. Adanya prosedur yang menjaminperadilan yang fair, persamaan di

55 dan Ann Elizabeth Mayer, Islam and Human Rights Tradition and Politics, (Colorado: Westview Press, 1999),hal.19. Perjanjian-perjanjian hak asasi manusia internasional dipandang sebagai hukum nasional yang setaradengan atau lebih tinggi dari konsitusi suatu negara, berdasarkan atas perintah konstitusional negara tersebut,yang cenderung patuh karena bersandar pada teori monism dengan memberi preferensi pada hukuminternasional (misalnya Belanda), dengan syarat bahwa negara telah meratifikasi perjanjian tersebut dantelah dirumuskan dengan tepat. Sedangkan, dengan teori dualisme membedakan antara hukum internasionaldan hukum nasional (misalnya Inggris), mungkin tidak mentransformasikan perjanjian-perjanjian hak asasimanusia internasional ke dalam hukum nasional, kecuali atas perintah langsung dari badan pembuat undang-undang nasional.

56 Berkenaan dengan ratifikasi instrumen hak asasi internasional , Indonesia meratifikasi dua kovenaninternasional hak asasi manusia pada tahun 2005. Tepatnya pada tanggal 28 Oktober 2005, secara resmiIndonesia menjadi Negara Pihak (State Party) pada dua kovenan hak asasi manusia induk yakni ICCPR danICESCR. Dengan demikian dua kovenan ini berlaku efektif atau mengikat secara hukum (entry into force) bagiIndonesia. Ratifikasi ini ditetapkan setelah DPR mengesahkan dua kovenan itu menjadi undang-undang, yaituUndang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Economic, Social AndCultural Rights (ICESCR) dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenanton Civil and Political Rights (ICCPR). Dengan ratifikasi ini, Indonesia menjadi negara ke-161, yang meratifikasiICCPR dan negara ke-156 untuk ICESCR, dari total 192 negara anggota PBB. Lihat Ahmad Suaedy (et.al), Islam,Konstitusi dan Hak Asasi Manusia: Problematika Hak Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, op.cit., hal. 29.

57 Ibid. Dalam kaitan kebebasan beragama dan berkeyakinan, khususnya dalam Deklarasi Kairo, harus diakuiadanya konflik dan ketegangan antara Islam dengan hukum Internasional. Konflik itu pada posisi tertentu bisadicarikan jalan keluar, tapi pada saat yang lain hampir mustahil kecuali dengan menundukkan satu atas yanglain.

58 Lihat Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa Komentar Umum No. 3 Pasal 13 Tahun 1991 danNo. 29 Pasal 3 Tahun 2004.

Page 18: PERLINDUNGAN NEGARA TERHADAP HAK KEBEBASAN BERAGAMA …

59Jurnal Hukum PRIORIS, Vol. 3 No. 3, Tahun 2013

- Frans SayogiePerlindungan Negara Terhadap Hak Kebebasan Beragama: Perspektif Islam Dan Hak Asasi manusia Universal

depan hukum, perkawinan, keluargadan hak-hak politik.

5. Tindakan yang menjamin tidakterjadinya pelanggaran di tingkat hori-zontal, terkait dengan perbudakan,kebencian ras dan agama.

6. Suatu tindakan yang memberi efeklangsung bagi pemenuhan hak-haktersebut. Hal ini antara lain:a. Pembuatan standar penerapan

b. Koreksi atas sistem peradilanbaik delik kejahatan maupunprosedur peradilan yangmemelihara impunitas.

7. Perlu dikembangkan mekanisme ad-ministratif, khususnya yang langsungmemberi dampak pada kewajibanuntuk menyelidiki pelanggaran secaracepat, efektif dan mendalam melaluilembaga independen. Untuk inilembaga hak asasi manusia nasionalsepatutnya diberi kewenangan yangcukup untuk mendukung implementasikonvensi ini.

8. Perlunya dibuat kebijakan reparasibagi korban pelanggaran konvensi ini(effective remedy). Dan jika perlu,dengan menimbang pasal 9 ayat 5 danpasal 14 ayat 6, dilakukan tindakanrestitusi, rehabilitasi, permintaan maaf,jaminan tidak keberulangan,perubahan hukum dan praktek hukumyang relevan. Termasuk di sini

membawa pelaku pelanggaran hakasasi manusia ke pengadilan.

9. Usaha implementasi ini akan tidakberguna tanpa adanya tindakan-tindakan yang mencegahkeberulangannya. Diperlukan tindakanyang melampaui tindakan pemulihankhususnya pada korban yang memintaperubahan hukum dan praktek-praktek kelembagaanya.

10. Adanya kepastian untuk membawamereka yang bertanggungjawab ataspelanggaran konvensi ke depanpengadilan.Kegagalan menginvestigasidan menghukum segera menyeretnegara ke dalam pelanggaran ataskonvensi ini terutama pasal 6 hakhidup, pasal 7 penyiksaan.

11. Perlunya melakukan langkah langsungjika dipandang mendesak untukmenghentikan terus berlangsungnyapelanggaran dan memulihkan sedapatmungkin.

12. Kegagalan untuk membuat pemulihanyang tepat, sekalipun sudah dijaminsecara formal dalam sistem hukum,mungkin karena pelaksanaan tidakberfungsi secara effektif. Kendalaimplementasi pemulihan ini harusdimasukan dalam laporan periodik.59

Oleh karena itu, tanggung jawabnegara dalam konteks kewajiban yangtercakup dalam kovenan yang diratifikasi

59 Agung Putri, “Implementasi Konvensi Hak Sipil Politik dalam Hukum Nasional”, Makalah yang disampaikandalam Seminar Sehari “Perlindungan HAM Melalui Hukum Pidana” di Hotel Nikko Jakarta, 5 Desember 2007.

Page 19: PERLINDUNGAN NEGARA TERHADAP HAK KEBEBASAN BERAGAMA …

60 Jurnal Hukum PRIORIS, Vol. 3 No. 3, Tahun 2013

Frans Sayogie - Perlindungan Negara Terhadap Hak Kebebasan Beragama: Perspektif Islam DanHak Asasi manusia Universal

bersifat mutlak dan harus segeradilaksanakan. Singkatnya, hak-hak yangterdapat dalam kovenan ICCPR danICESCR bersifat justiciable. Inilah yangmembedakannya dengan tanggung jawabnegara dalam konteks memenuhi kewajibanhak ekonomi, sosial dan budaya (Ekosob)yang tidak harus dijalankan sepenuhnya,tetapi bisa secara bertahap (progressiverealization) dan karena itu bersifatnonjusticiable.60

Selanjutnya, perundang-undangan danpraktek negara berkenaan dengan lembagakeagamaan merupakan alat uji (penilaian)yang penting terhadap kebebasanberagama. Kebebasan beragama bukansesuatu yang dianugerahkan oleh negaraatau rezim negara yang sah, namunmerupakan sesuatu yang dimiliki olehindividu atau kelompok agama semata-semata karena mereka manusia. Secarafaktual, intervensi kebebasan beragamadimulai sejak manusia dilahirkan.

Oleh karena itu, bahwa legitimasinormatif kebebasan beragama sebagai hakasasi tidak tergantung pada bagaimana hakitu secara faktual diatur susunannya olehnegara. Demikian pula, hak atau statuskelembagaan tidak tergantung padakemungkinan diakuinya status kelembagaantersebut dalam kenyataannya dalam negara.Dalam dunia modern, suatu negara boleh

saja membatasi manifestasi agama ataukepercayaan, kalau dianggap berbahayaberdasarkan norma-norma hukum pidanaatau bentuk perizinan lainnya. Pembatasandalam bentuk apa pun hanya dibenarkansejauh diizinkan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang mengatur pembatasanseperti Pasal 18 ayat (3) ICCPR, Pasal 9ayat (2) ECHR dan Pasal 12 ayat (3)ACHR.61

Sebagaimana yang telah diuraikan diatas dapat disimpulkan bahwa perlindungannegara terhadap kebebasan beragamamasuk dalam dimensi kewajiban dantanggungjawab negara. Kebebasan untukmemanifestasikan agama baik secaraeksternal maupun internal merupakantatanan yang tidak dapat diintervensi olehnegara kecuali karena berbagai tujuan:kepentingan umum yang sah, perlindungankebebasan beragama dan hak asasi lainnyadari intervensi orang lain, dan juga untukperlindungan kepentingan lainnya yangkurang sah, termasuk mempertahankan hakatau kedudukan istimewa negara dan agamamayoritas, diskriminasi agama minoritas ataubahkan pemicuan kebencian dan kekerasanagama.

E. Konstruksi Konsep PerlindunganNegara terhadap KebebasanBeragama

60 Ifdhal Kasim, “Konvensi Hak Sipil dan Politik Sebuah Pengantar” dalam Ahmad Suaedy (et.al), Islam, Konstitusidan Hak Asasi Manusia: Problematika Hak Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, op.cit., hal. 35

61 W. Cole Durham, Jr., “Memfasilitasi Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan melalui Perundang-UndanganAsosiasi Keagamaan” dalam Tore Lindholm (eds.), Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan, op.cit., hal. 339-340.

Page 20: PERLINDUNGAN NEGARA TERHADAP HAK KEBEBASAN BERAGAMA …

61Jurnal Hukum PRIORIS, Vol. 3 No. 3, Tahun 2013

- Frans SayogiePerlindungan Negara Terhadap Hak Kebebasan Beragama: Perspektif Islam Dan Hak Asasi manusia Universal

Konstitusi yang demokratis tidaklahmenghalangi ekspresi dari sebuahpemahaman keagamaan. Oleh karena itu,konstitusi tersebut harus dapat diterima olehsetiap kelompok keagamaan. Jika dalamsebuah konstitusi tidak mengandung prinsipkebebasan dan kesetaraan, maka konstitusiitu belumlah dinamakan sebagai demo-cratic constitution. Konstitusi adalahwilayah publik, maka bahasa yangdigunakan adalah bahasa keagamaan yanguniversal, dan warga negara dapatmenempatkan ranah keagamaan secarauniversal, bukan partikular.62 Konsti-tusionalisme dan hak asasi manusia adalahalat yang penting untuk melindungi status danhak warga negara, tetapi fungsi tersebutdapat efektif justru karena peran warganegara sendiri. Karena itulah, prosesklarifikasi terhadap dasar dan implikasikonsep kewarganegaraan menjadi penting.Konsep-konsep tersebut dan institusi yangmenyertainya tergantung satu sama lain danharus saling berinteraksi jika inginmerealisasikan tujuannya masing-masing.63

Dengan kata lain, adalah pentinguntuk terus menjaga netralitas negaraterhadap agama secara tepat karenamanusia cenderung mengikuti pandanganpribadinya, termasuk agama. Tujuanpemisahan ini tidak bisa dicapai melaluiusaha menempatkan agama dalam ruangprivat, karena usaha seperti ini tidak penting,

pun tidak perlu. Malah, upaya pemisahanagama dan negara harus dilakukan dengantetap mengakui fungsi publik agama danpengaruhnya dalam pembuatan kebijakanpublik dan undang-undang. Keteganganseperti ini harus terus diselesaikan melaluiupaya pemunculan “public reason” dalamkerangka konstitusionalisme, hak asasimanusia dan kewarganegaraan. Perlunyamengklarifikasi pembedaan antara negaradan politik dan hubungannya dengankeharusan adanya “public reason”.64

Hubungan antara kehadiran agama diruang publik dengan demokrasi juga bisadijelaskan melalui konstruksi agama di ruangpublik yang dinyatakan oleh Habermas.Berbeda dengan kalangan sekuler yangmenyingkirkan sama sekali agama dansemua alasan religious dari ruang publik,Habermas mengusulkan model ruang publikpluralistik yang menerima berbagai aspirasi,termasuk aspirasi religious, tanpa harusdiblokir. Ia pun tidak menolak agama diruang publik. Pertama, aspirasi-aspirasireligius, terutama jika hendak dijadikankebijakan publik, harus dijelaskan secararasional dan diperlakukan sebagai wilayahrasional, sehingga memiliki status epistemisyang dapat diterima oleh warga yang sekuleratau berkeyakinan berbeda. Statusepistemis memunculkan pemahamanmeniadakan doktrin religius eksklusifmelainkan mengambil bentuk rasional

62 Tedi Kholiludin, Kuasa Negara atas Agama, op.cit., hal. 113.63 Abdullahi Ahmed An-Na’im, Islam dan Negara Sekular: Menegosiasikan Masa Depan Syariah, (Bandung:

Penerbit Mizan, 2007), hal. 145-146.64 Ibid., hal. 146-147.

Page 21: PERLINDUNGAN NEGARA TERHADAP HAK KEBEBASAN BERAGAMA …

62 Jurnal Hukum PRIORIS, Vol. 3 No. 3, Tahun 2013

Frans Sayogie - Perlindungan Negara Terhadap Hak Kebebasan Beragama: Perspektif Islam DanHak Asasi manusia Universal

inklusif. Sikap ini, menurut Habermas,memahami para anggota masyarakat sebagaiwarga negara bila hendak hidup bersamasecara politis di dunia ini.65

Habermas menggunakan logika hukumcommon law yang mengisyaratkan bahwasebuah kebijakan publik yang berlakusetelah melewati proses yang membuatnyadisepakati berbagai pihak. Kebijakan publikkeagamaan dalam hal ini harus terbuktimemenuhi prinsip resiprokalitas, diterimamenurut nalar publik. Kalangan pengusungagama yang hendak melakukan formalisasiagama harus melakukan persuasi, bukankoersi atau memaksa. Uji publik terhadapaturan formal yang bersumber dari nilaiagama harus melalui nalar, tidak cukuphanya karena suara mayoritas publikmenghendakinya. Aturan formal publik yangbersumber dari agama harus memenuhiprinsip inklusi, yang tidak meminggirkan ataumelanggar hak minoritas, dan harusmengandung prinsip keadilan sosial bagisemua pihak (memenuhi prinsip pluralitasdan hak asasi manusia). Ini berarti, tidakboleh ada kebijakan apa pun, meskiberdasarkan suara mayoritas, jikamengancam dan meminggirkan minoritas.66

Kedua, kepada warga sekuler atauyang warga yang beragama lain, menurutHabermas, perlu membuka diskursus isi

kebenaran normatif religius yang kerapremang-remang agar mencapai kompromidalam kontestasi agama di ruang publik.Komponen nilai-nilai harus disetarakan dandikomunikasikan untuk mencapaipemahaman secara intersubjektif antarkelompok agama dan keyakinan.67 Sebagaiaturan utama, negaranya biasanya berwataksekular dengan memisahkan dirinya dariruang-ruang spiritual penganut atauorganisasi agama. Meskipun negara daninstitusinya berbeda dengan masyarakat sipildan organisasinya, bahkan relatif otonomsatu sama lain, namun keduanya tetap salingmemberikan dukungan.68

Ketiga, sikap negara harus netral.Netralitas, dalam hal ini, bukan berartipemihakan atau diidentikkan dengansekularisme. Menurut Habermas, netralitaskekuasaan negara terhadap pandanganhidup yang menjamin kebebasan etis yangsama bagi setiap warga negara tidak dapatdisamakan dengan universalisasi politissebuah pandangan dunia sekular. Tugasnegara adalah melancarkan deliberasi publikdan mendorong terjadinya diskursusrasional, dan menjaga tatanan hukum.Tema-tema diskursus tidak dibatasi,sehingga tidak menindas pluralitas, termasukdalam keyakinan dan pemikirankeagamaan.69 Pengaturan negara dalam hal

65 Ibid., hal. 113. Lihat juga F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif: Menimbang ‘Negara Hukum’ dan ‘RuangPublik’ dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2009), hal. 158-159.

66 Ibid., hal. 114.67 Ibid., hal. 115-116. Lihat juga F. Budi Hardiman, op.cit., hal. 159-160.68 Abdullahi Ahmed An-Na’im, Islam dan Negara Sekular, op.cit., hal. 150.69 Lihat juga F. Budi Hardiman, loc.cit.

Page 22: PERLINDUNGAN NEGARA TERHADAP HAK KEBEBASAN BERAGAMA …

63Jurnal Hukum PRIORIS, Vol. 3 No. 3, Tahun 2013

- Frans SayogiePerlindungan Negara Terhadap Hak Kebebasan Beragama: Perspektif Islam Dan Hak Asasi manusia Universal

kehidupan beragama semata-mata dalamrangka memberikan perlindungan kepadawarga negara, bukan bentuk intervensiterhadap kebebasan berpikir danberkeyakinan.70 Dengan demikian,intervensi negara atau pihak luar lain dalamkebebasan beragama dapat dikategorikanmelanggar prinsip kedaulatan wilayah yangdimiliki negara. Otoritas sentral negaraberarti bahwa ia otonom. Hanya negarayang memiliki otoritas untuk membuat aturanyang mengatur cara kerjanya dan menjadisumber bagi seluruh otoritas politik lain.Meskipun fungsi terakhir ini mungkindiserahkan pada organisasi atau pihak lain.Sentralitas negara juga berarti bahwa negaraharus mengkoordinasikan fungsi dan aktifitasorgan dan institusinya, karena merekalahyang memapankan kekuasaan negara.71

Keempat, kelompok mayoritas agama,menurut Habermas, dalam demokrasi tidakboleh meniadakan potensi kebenaranargumentasi yang berasal dari kelompokminoritas, karena prosedur demokrasimemiliki kekuatan legitimasinya bukanhanya melalui inklusivitasnya, melainkan jugamelalui ciri deliberatifnya. Keterbukaanterhadap revisi dari pihak minoritas lewatdeliberasi publik akan menjamin rasionalitassuatu keputusan.72

Sementara itu, Abdullahi Ahmed An-Na’im menekankan pentingnya perankonstitusionalisme dan hak asasi manusiasebagai kerangka fikir dan jaring pengamanyang berguna untuk menegosisasikanhubungan antara agama (Islam), negara, danmasyarakat dalam konteks masyarakatIslam saat ini. Dengan demikian,mengamankan pemerintahan yangkonstitusional dan perlindungan hak asasimanusia tidak saja penting bagi kebebasanberagama umat Islam dan non-muslim yanghidup di sebuah negara.73 Perlunya adanyaketentuan untuk mengakui keragamanfenomena agama yang begitu besar yangdimiliki warga negara, yang harusdiperhitungkan dalam melindungi kebebasanberagama. Perundang-undangan asosiasikeagamaan perlu disusun denganmempertimbangkan realitas pluralisme,yang juga berlaku bagi kelompokminoritas74 dan tidak terbatas padaperlindungan “agama resmi” yang disukainegara, tetapi semua kelompok agama.75

Hal ini disebabkan, kelompok agamamayoritas seringkali melanggar kebebasanberagama karena mereka mempunyai akseske pemerintahan yang besar. Status agamaresmi pemerintah mengakibatkan kelompokmayoritas mempunyai alasan pembenar

71 Abdullahi Ahmed An-Na’im, Islam dan Negara Sekular, loc.cit.72 Amelia Fauzia (et.al.), op.cit., hal. 117. Lihat juga F. Budi Hardiman, op.cit., hal. 161.73 Ibid., hal. 209-210.74 Menurut Theodorson dan Theodorson, kelompok minoritas (minority groups) adalah kelompok-kelompok yang

diakui berdasarkan perbedaan ras, agama, atau sukubangsa, yang mengalami kerugian sebagai akibatprasangka (prejudice) atau diskriminasi. Lihat George A. Theodorson, and Achilles G. Theodorson, A ModernDictionary of Sociology, (New York, Hagerstown, San Francisco, London: Barnes & Noble Books, 1979), hal. 115-116 dan 258-259.

75 W. Cole Durham Jr., “Memfasilitasi Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan melalui Perundang-UndanganAsosiasi Keagamaan” dalam Tore Lindholm (eds.), Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan op.cit., hal. 341.

Page 23: PERLINDUNGAN NEGARA TERHADAP HAK KEBEBASAN BERAGAMA …

64 Jurnal Hukum PRIORIS, Vol. 3 No. 3, Tahun 2013

Frans Sayogie - Perlindungan Negara Terhadap Hak Kebebasan Beragama: Perspektif Islam DanHak Asasi manusia Universal

untuk menolak agama lainnya yang tidakresmi secara hukum. Keadaan inimenempatkan kelompok agama minoritaske dalam kelompok yang mengalamidiskriminasi.76

Oleh karena itu, konstitusi demokratisdan praktik negara merupakan instrumenpenilaian yang penting terhadapkemampuan negara tersebut dalammemfasilitasi kebebasan beragama danberkeyakinan dalam ruang lingkupkewargaan. Negara berkewajiban untukmelindungi kebebasan beragama yangmerupakan unsur pokok sistem demokrasi.Perlindungan atas hak kebebasan tersebutmerupakan kepentingan umum yang utamadan bukan semata-mata kepentinganindividu dan kelompok. Intoleransiberorientasi agama, di mana struktur legaldan konstitusional negara yang dirancangagar sesuai dengan perintah sebuah agamaakan menjauhkan negara dari praktikdemokrasi dan tidak bisa dikatakan sebagaisolusi yang memadai untuk menjaminkebebasan beragama.77

Dalam menjamin dan melindungi hakkebebasan beragama bagi warga negara,perlu adanya validasi publik yang mengambilbentuk justifikasi majemuk. Adanya norma-norma dasar dalam kebebasan beragamayang dapat diperdebatkan yang selaludiasumsikan sebagai bentuk yang diapresiasisebagai kepercayaan publik. Implementasipolitik dan hukum bagi norma-norma

tersebut akan dipahami atau dipandang telahmemperoleh legitimasi normatif yangmemiliki dasar kuat, tidak dipaksakan danditerima berbagai kelompok.

F. SimpulanImplementasi hak kebebasan

beragama dalam Islam masih memilikipermasalahan yang belum tuntas.Dikarenakan, masih adanya perdebatanyang mendasar seputar konsepsi hakkebebasan beragama dalam Islam danhubungannya dengan konsepsi hak asasimanusia universal serta bentuk perlindungannegara dalam melindungi hak kebebasanberagama.

Islam, berdasarkan realitas sejarah,tampak sekali melindungi hak kebebasanberagama dan memberikan hak-hak non-muslim, seperti dalam Piagam Madinah.Periodisasi Madinah merupakan bukti yangkuat, bahwa Islam sejak lahirnya selaluberkaitan dengan aspek kenegaraan dankemasyarakatan. Periodisasi Madinah inijuga memperhatikan hubungan pengakuanhak asasi manusia dan prinsip-prinsipperlindungan terhadap hak asasi manusia,hak-hak politik, kewargaan yangditekankan pada persamaan manusia,martabat manusia, dan kebebasan manusia.Namun, dalam praktiknya di beberapanegara negara mayoritas muslim dewasa ini,yang sering terjadi justru berbagaipenyimpangan yang mengaburkan makna

76 Al Khanif, Hukum dan Kebebasan Beragama di Indonesia, op.cit., hal. 196.77 Tore Lindholm (eds.), Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan ,op.cit., hal. 285-291.

Page 24: PERLINDUNGAN NEGARA TERHADAP HAK KEBEBASAN BERAGAMA …

65Jurnal Hukum PRIORIS, Vol. 3 No. 3, Tahun 2013

- Frans SayogiePerlindungan Negara Terhadap Hak Kebebasan Beragama: Perspektif Islam Dan Hak Asasi manusia Universal

serta semangat yang dikandung dalamPiagam Madinah itu sendiri.

Perlunya doktrin pemisahan agamadan negara yang bertujuan agar negara lebihindependen dan diharapkan dapatmemberikan perlidungan organ-organ daninstitusi-institusi negara terhadappenyalahgunaan kekuasaan atas namaagama. Hak kebebasan beragama hanyabisa direalisasikan dalam kerangka kerjanegara yang konstitusional dan demokratissebagai landasan hukum dan politis yangutama dari hak kebebasan beragama padasaat ini yang didasarkan oleh semangat yangdianut hak asasi manusia universal. Setiapnegara diharapkan meratifikasi instrumeninternasional hak asasi manusia dan bekerjasama menegakkan hak asasi manusia,khususnya dalam kebebasan beragama.(ARSID - AJIW)

DAFTAR PUSTAKA

A. BukuAl Khanif. Hukum dan Kebebasan

Beragama di Indonesia. Yogyakarta:LaksBang Grafika, 2010.

An-Na’im, Abdullahi Ahmed, DekonstruksiSyariah: Wacana Kebebasan Sipil, HakAsasi Manusia, dan HubunganInternasional dalam Islam. Yogyakarta:LKis, 2004.

An-Na’im, Abdullahi Ahmed, Islam dan NegaraSekular: Menegosiasikan Masa DepanSyariah. Bandung: Penerbit Mizan, 2007.

Kamali, Mohammad Hashim. KebebasanBerpendapat dalam Islam, terjemahan EvaY. Nukman dan Fathiyah Basri. Bandung:

Penerbit Mizan, 1996.

Kasim, Ifdhal (ed.). Hak Sipil dan Politik: Esai-Esai Pilihan. Jakarta: Lembaga Studi danAdvokasi Masyarakat (ELSAM), 2001.

Kasim, Ifdhal. “Konvensi Hak-hak Sipil dan PolitikSebuah Pengantar”, Seri Bahan BacaanKursus HAM untuk Pengacara X Tahun2005. Jakarta: ELSAM, 2005.

Kholiludin, Tedi. Kuasa Negara atas Agama:Politik Pengakuan, Diskursus “AgamaResmi” dan Diskriminasi Hak Sipil.Semarang: RaSAIL Media Group, 2009.

Lindholm, Tore (eds.). Kebebasan Beragamaatau Berkeyakinan: Seberapa Jauh?,Sebuah Referensi tentang Prinsip-Prinsipdan Praktek, terjemahan Rafael Edy Boskodan M. Rifa’I Abduh. Yogyakarta: PenerbitKanisius, 2010.

Madjid, Nurcholish. Cita-Cita Politik Islam diEra Reformasi. Jakarta: YayasanParamadina, 1999.

Mayer, Ann Elizabeth. Islam and Human RightsTradition and Politics. Colorado:Westview Press, 1999.

Nowak, Manfred. Pengantar pada Rezim HAMInternasional, terjemahan oleh Sri Sulastini.Jakarta: Departemen Hukum dan HAM In-donesia, 2003

Panggabean, Rizal. ‘Kesepakatan Madinah danSesudahnya”, dalam Elza Peldi Taher (ed.),Merayakan Kebebasan Beragama: BungaRampai Menyambut 70 Tahun DjohanEffendi. Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi,2011.

Pulungan, J. Suyuthi. Prinsip-PrinsipPemerintahan dalam Piagam MadinahDitinjau dari Pandangan al-Qur’an.Jakarta: Rajawali Pers, 1996.

Suaedy, Ahmad (et.al). Islam, Konstitusi dan HakAsasi Manusia: Problematika HakKebebasan Beragama dan Berkeyakinan.Jakarta: The Wahid Institute, 2009.

Page 25: PERLINDUNGAN NEGARA TERHADAP HAK KEBEBASAN BERAGAMA …

66 Jurnal Hukum PRIORIS, Vol. 3 No. 3, Tahun 2013

Frans Sayogie - Perlindungan Negara Terhadap Hak Kebebasan Beragama: Perspektif Islam DanHak Asasi manusia Universal

Sukardja, Ahmad. Piagam Madinah danUndang-Undang Dasar 1945: KajianPerbandingan tentang Dasar HidupBersama dalam Masyarakat yangMajemuk. Jakarta: Penerbit Universitas In-donesia (UI Press), 1995.

Syari’ati, Ali. Ummah wa al-Umamah, terj. M.Faishol Hasanuddin. Jakarta: Penerbit Yapi,1990.

Theodorson, George A., and Achilles G.Theodorson, A Modern Dictionary of So-ciology. New York, Hagerstown, San Fran-cisco, London: Barnes & Noble Books,1979.

B. Artikel/Makalah

Harun, Hermanto. Perdamaian dan PerangDalam Konsep Islam, Studi Analisis Buku‘Nizam al-Silm wa al-Harb fi al-Islam’,Thesis Pascasarjana IAIN Sunan AmpelSurabaya, 2005.

Mahfud MD, Moh. “Kebebasan Beragama DalamPerspektif Konstitusi”. Makalahdisampaikan dalam Konferensi TokohAgama ICRP: Meneguhkan KebebasanBeragama di Indonesia, MenuntutKomitmen Presiden dan Wakil PresidenTerpilih, yang diselenggarakan oleh Indo-nesian Conference on Religion and Peace(ICRP) pada Senin, 5 Oktober 2009 di RuangVanda II Wisma Serbaguna, Jakarta.

Marzuki. “Kerukunan antarumat Beragama dalamWacana Masyarakat Madani: Analisis IsiPiagam Madinah dan Relevansinya bagiIndonesia”. Makalah yang tidak diterbitkan(t.t.)

Putri, Agung, “Implementasi Konvensi Hak SipilPolitik dalam Hukum Nasional”, makalahyang disampaikan dalam Seminar Sehari“Perlindungan HAM Melalui HukumPidana” di Hotel Nikko Jakarta, 5 Desember2007.

Sulistiyono, Adi. “Kebebasan Beragama DalamBingkai Hukum”. Makalah disampaikandalam rangka Seminar Hukum Islam“Kebebasan Berpendapat vs KeyakinanBeragama ditinjau dari Sudut PandangSosial, Agama, dan Hukum”. PenyelenggaraFOSMI Fakultas Hukum UNS, tanggal 8 Mei2008.

Wahid, Marzuki dan Abd Moqsith Ghazali. “RelasiAgama Dan Negara: Perspektif PemikiranNahdlatul Ulama”. Makalah disampaikandalam Annual Conference on Islamic Stud-ies (ACIS) Ke - 10 Banjarmasin, tanggal 1– 4 November 2010.

C. Surat Kabar

Sihbudi, Riza, “Islam, Radikalisme danDemokrasi”. Republika, 23 September, 2004,hal. 5.

D. Peraturan Dasar dan Peraturan Perundang-undangan

Deklarasi Kairo Tahun 1990

Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa Komentar Umum No. 22, Pasal 9,Tahun 1993.

___________. Komentar Umum No. 3 Pasal 13Tahun 1991 dan No. 29 Pasal 3 Tahun 2004.

Mukadimah Deklarasi Universal Hak-hak AsasiManusia.

E. Internet

Republika co.id, “Negara OKI Harus RatifikasiAturan HAM”, Jumat, 24 Pebruari 201219:12 WIB, diakses Selasa, 4 Jumadil Awwal1433 / 27 Maret 2012 | 20:27.

1