analisis residu antibiotik tetrasiklin pada hati ayam...
TRANSCRIPT
ANALISIS RESIDU ANTIBIOTIK TETRASIKLIN
PADA HATI AYAM BROILER SECARA KCKT
KARYA TULIS ILMIAH
Diajukan sebagai syarat menyelesaikan Program Diploma III
Jurusan Farmasi
Disusun Oleh:
SITI NURJANAH
P17335112042
KEMENTERIAN KESEHATAN R.I
POLITEKNIK KESEHATAN BANDUNG
JURUSAN FARMASI
2015
v
Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:
Karya Tulis Ilmiah dengan judul
ANALISIS RESIDU ANTIBIOTIK TETRASIKLIN
PADA HATI AYAM BROILER SECARA KCKT
Disusun oleh :
SITI NURJANAH
P17335112042
Telah diperiksa dan disetujui untuk diujikan pada sidang
Karya Tulis Ilmiah
Pembimbing
Dra. Mimin Kusmiyati, M.Si
NIP. 196308111994032001
Mengetahui
Ketua Jurusan Farmasi
Dra. Mimin Kusmiyati, M.Si
NIP. 196308111994032001
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KESEHATAN BANDUNG
LEMBAR PERSETUJUAN
KARYA TULIS ILMIAH
iv
Karya Tulis Ilmiah ini telah diujikan pada sidang Karya Tulis Ilmiah
Program Pendidikan Diploma III Jurusan Farmasi
Politeknik Kesehatan Bandung
Tanggal 27 Juli 2015
ANALISIS RESIDU ANTIBIOTIK TETRASIKLIN
PADA HATI AYAM BROILER SECARA KCKT
Disusun oleh :
SITI NURJANAH
P17335112042
Penguji :
Tanda Tangan
Ketua : Dra. Mimin Kusmiyati, M.Si ( )
NIP. 196308111994032001
Anggota : Dra. Ganthina Sugihartina, M.Si., Apt. ( )
NIP. 1963062819900320p02
Anggota : Dra. Sri Redjeki, M.Si. ( )
NIP. 195110301977112001
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KESEHATAN BANDUNG
LEMBAR PENGESAHAN
KARYA TULIS ILMIAH
v
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-
orang yang diberi ilmu pengetahuan.”
(QS. Al-Mujadalah: 11)
Karya kecil ini kupersembahkan kepada:
Ibu dan Ayah sebagai ungkapan rasa hormatku atas kasih sayang dan
pengorbanan beliau untukku.
kakakku Lisna Iswantika dan adikku Tris Muhammad sebagai motivator dan
semangat hidupku
seluruh keluarga besarku dan para sahabat atas doa dan dukungan yang
diberikan
iv
ANALISIS RESIDU ANTIBIOTIK TETRASIKLIN
PADA HATI AYAM BROILER SECARA KCKT
Siti Nurjanah - P17335112042
ABSTRAK
Tetrasiklin ialah salah satu antibiotik yang umum digunakan di peternakan ayam
untuk pengobatan dan pencegahan penyakit sebagai zat tambahan pakan.
Penggunaan antibiotika yang berlebihan atau tidak tepat dosis dapat meninggalkan
residu antibiotik tetrasiklin dalam jaringan organ hewan ternak yang dikonsumsi
manusia, implikasi medisnya adalah reaksi alergi maupun resistensi. Residu
antibiotik dalam hati ayam broiler dapat dianalisis dengan Kromatografi Cair
Kinerja Tinggi dengan detektor UV pada panjang gelombang 269 nm. Hati ayam
broiler diekstraksi dengan larutan buffer McIlvaine-EDTA dan diendapkan
proteinnya dengan asam asetat lalu dimurnikan dengan ekstraksi fasa padat.
Residu antibiotik tetrasiklin selanjutnya dianalisis dengan KCKT menggunakan
kolom C18 dan fase gerak metanol:air (50:50) dengan laju alir 0,5 ml/menit. Uji
linearitas menghasilkan koefisien korelasi 0,9938. Hasil uji perolehan kembali
berdasarkan metode penambahan standar sebesar 90,35% dengan batas
penerimaan sebesar 80%-120%. Hasil uji presisi menunjukkan RSD lebih dari 2%
yaitu sebesar 6,44%. Batas deteksi untuk analisis tetrasiklin adalah sebesar 3,4
ppb dengan batas kuantitasi sebesar 11,4 ppb. Hasil uji analisis sampel hati ayam
yang berasal dari pasar tradisional Andir, Sederhana, dan Ciroyom menunjukkan
bahwa kadar residu antibiotik tetrasiklin berturut-turut sebesar 1,487; 1,025; 1,256
ppm. Berdasarkan ketentuan Joint of FAO/WHO Expert Committee on Food
Additives (JECFA) tentang residu obat hewan dipersyaratkan bahwa kandungan
maksimum residu tetrasiklin yang terdapat dalam jaringan hati ternak unggas
adalah 0,6 ppm. Hasil dari analisis kadar residu tetrasiklin menggunakan KCKT
menunjukkan bahwa ketiga sampel telah melebihi ambang batas tersebut.
Kata Kunci : Residu tetrasiklin, Hati ayam broiler, KCKT
v
ANALYSIS OF TETRACYCLINE RESIDUES IN BROILER CHICKEN
LIVER BY HPLC
Siti Nurjanah-P17335112042
ABSTRACT
Tetracycline is one of many kind antibiotics that have been widely used in poultry
farming to cure and prevent diseases by feed additives. Overusage of this
antibiotic may lead to the presence of its residues in animal organ tissues which is
consumed by human, clinic implications are allergy and specific of antibiotic
resistance. Tetracycline residue in broiler chicken liver can be analyzed HPLC
with UV detector on wavelength 269 nm. The meat was extracted with McIlvaine-
EDTA buffer solution and acetic acid to precipitate its proteins then purified by
solid phase extraction. Tetracyclines residues was further analyzed with HPLC by
using C18 column and eluen methanol:aquabidest (50:50) with flow rate 1
ml/min. The linearity test presented a correlation coefficient of 0,9938. Recovery
was 90,35% according to standard addition method with acceptable limit 80-
120%. The result of precision test show RSD more than 2%, it were 6,44% . The
limit of detection for tetracycline were 3,4 ppb and limit of quantitation 11,4 ppb.
The analysis of broiler chicken meat from Andir, Sederhana, dan Ciroyom
traditional markets showed the amount of tetracyclines residue were 1,487;
1,025; and 1,256 ppm. According to the Joint of FAO/WHO Expert Committee on
Food Additives (JECFA), the regulation of tetracycline maximum residue limit in
chicken liver tissues are 0,6 ppm. The result of analysis of tetracycline residue
using HPLC showed that these broiler chicken liver samples were over from
maximum residue limit.
Key Words : Tetracycline residue, Broiler chicken liver, HPLC
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya , Karya Tulis
Ilmiah yang berjudul: Analisis Residu Antibiotik Tetrasiklin Pada Hati Ayam
Broiler Secara KCKT dapat diselesaikan. Karya Tulis Ilmiah merupakan salah
satu syarat untuk menyelesaikan Program Studi D3 Farmasi di Poltekkes
Kemenkes Bandung.
Ketertarikan untuk mengambil topik ini karena maraknya penggunaan
antibiotik sebagai zat tambahan pakan ayam broiler secara berlebihan dan tidak
tepat dosis yang memungkinkan tertinggalnya residu pada jaringan organ ayam
tersebut dan terjadi efek samping bila dikonsumsi manusia yakni reaksi alergi
ataupun resistensi. Berdasarkan latar belakang tersebut dilakukan analisis
terhadap residu antibiotik pada hati ayam broiler dengan instrumen Kromatografi
Cair Kinerja Tinggi.
Penulis menyadari bahwa penyusunan Karya Tulis Ilmiah dapat terlaksana
dengan lancar berkat kerja sama, bantuan, pengarahan, dan dukungan dari
berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu pada
kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada:
1. Dra. Hj. Mimin Kusmiyati, M.Si. selaku Ketua Jurusan D3 Farmasi Poltekkes
Kemenkes Bandung dan pembimbing KTI untuk kesediaan meluangkan waktunya
membimbing penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini.
2. Seluruh dosen pengajar D3 Farmasi dan instruktur laboratorium atas semua
ilmu, didikan, dan pengalaman yang sangat berarti bagi penulis.
vii
3. Seluruh rekan-rekan mahasiswa Jurusan Farmasi Poltekkes Kemenkes
Bandung
4. Pihak lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu dan banyak
memberikan dukungan dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini.
Semoga bantuan serta kebaikan yang telah diberikan kepada penulis dapat
diterima oleh Allah SWT sebagai amal ibadah serta dibalas dengan kebaikan
berlipat ganda.
Dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari bahwa Karya Tulis
Ilmiah ini masih terdapat banyak kekurangan baik dalam penulisan maupun dalam
penyajian materi.
Akhir kata, penulis berharap semoga Karya Tulis Ilmiah bermanfaat bagi
penulis pada khususnya, dan bagi pembaca pada umumnya.
Bandung, Juli 2015
Penulis
viii
DAFTAR ISI
ABSTRAK .....................................................................................................iv
ABSTRACT .................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ....................................................................................vi
DAFTAR ISI ............................................................................................... viii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... xiii
DAFTAR TABEL ........................................................................................ xiv
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah ........................................................................ 5
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................ 5
1.4 Manfaat Penelitian .......................................................................... 5
1.4.1 Bagi Peneliti .......................................................................... 5
1.4.2 Bagi Institusi .......................................................................... 5
1.4.3 Bagi Masyarakat .................................................................... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 7
2.1 Tinjauan Pustaka ........................................................................... 7
2.1.1 Antibiotik Tetrasiklin ........................................................... 7
2.1.2 Hati Ayam Broiler ................................................................ 9
2.1.3 Residu Antibiotik Tetrasiklin .............................................. 10
2.1.4 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi ....................................... 13
ix
2.1.5 Validasi Metode Analisis .................................................... 14
2.1.5.1 Kecermatan (Akurasi) ............................................. 16
2.1.5.2 Keseksamaan (Presisi) ............................................ 17
2.1.5.3 Batas Deteksi dan Batas Kuantifikasi ...................... 18
2.1.5.4 Linieritas................................................................. 19
2.2 Kerangka Penelitian .................................................................... 19
2.3 Hipotesis ..................................................................................... 20
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ................................................... 21
3.1 Desain Penelitian ........................................................................ 21
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian ...................................................... 21
3.3 Populasi dan Sampel ................................................................... 21
3.3.1 Populasi.............................................................................. 21
3.3.2 Sampel ............................................................................... 21
3.4 Definisi Operasional.................................................................... 22
3.5 Cara Pengumpulan Data .............................................................. 24
3.5.1 Jenis Data ........................................................................... 24
3.5.2 Metode ............................................................................... 24
3.5.3 Prinsip ................................................................................ 24
3.5.4 Alat .................................................................................... 25
3.5.5 Bahan ................................................................................. 26
3.5.6 Cara Pemeriksaan ............................................................... 27
3.5.6.1 Pembuatan reagen ................................................... 27
3.5.6.2 Proses Ekstraksi Sampel ......................................... 30
x
3.5.6.3 Analisis menggunakan KCKT ................................. 31
3.5.6.4 Validasi Metode Analisis ........................................ 32
3.6 Rencana Pengolahan dan Analisis Data ....................................... 33
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .............................. 34
4.1 Hasil Penelitian ........................................................................... 34
4.1.1 Penentuan Panjang Gelombang Serapan Maksimum
Tetrasiklin .......................................................................... 34
4.1.2 Penentuan Fase Gerak ........................................................ 36
4.1.3 Uji Kesesuaian Sistem ........................................................ 37
4.1.4 Validasi Metode Analisis .................................................... 39
4.1.4.1 Linearitas ................................................................ 39
4.1.4.2 Akurasi ................................................................... 40
4.1.4.3 Presisi ..................................................................... 41
4.1.4.4 Batas Deteksi dan Batas Kuantifikasi ...................... 42
4.1.5 Penetapan Kadar Residu Tetrasiklin dalam Sampel Hati
Ayam Broiler ...................................................................... 42
4.2 Pembahasan ................................................................................ 46
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................ 54
5.1 Kesimpulan ................................................................................. 54
5.2 Saran ........................................................................................... 54
5.2.1 Bagi Peneliti lain ................................................................ 54
5.2.2 Bagi Institusi Terkait .......................................................... 55
5.2.3 Bagi Masyarakat ................................................................. 55
xi
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 57
LAMPIRAN ................................................................................................. 59
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Penentuan Panjang Gelombang SerapanMaksimumTetrasiklin
denganSpektrofotometer ................................................................ 59
Lampiran 2. KromatogramUjiKesesuaianSistem KCKT ..................................... 60
Lampiran 3. KromatogramUjiPresisiStandar 6 ppm ........................................... 61
Lampiran 4. KromatogramUjiAkurasi-Adisi 8 ppm............................................ 62
Lampiran 5. KromatogramUjiAkurasi-Adisi 10 ppm .......................................... 63
Lampiran 6. KromatogramUjiAkurasi-Adisi 12 ppm…………………………... 64
Lampiran 7. KurvaKalibrasi ............................................................................... 65
Lampiran 8. KromatogramSampel A .................................................................. 66
Lampiran 9. KromatogramSampel B .................................................................. 67
Lampiran 10. KromatogramSampel C ................................................................ 68
Lampiran 11. InstrumenKromatografiCairKinerjaTinggi .................................... 69
Lampiran 12. FasaGerak .................................................................................... 70
Lampiran 13. SampelHatiAyam ......................................................................... 71
Lampiran 14. Flat Bed Shaker............................................................................ 72
Lampiran 15. InstrumenSentrifugasi .................................................................. 73
Lampiran 16. HasilSentrifugasi .......................................................................... 74
Lampiran 17. SPE .............................................................................................. 75
Lampiran 18 Perhitungan ................................................................................... 76
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Struktur Kimia Tetrasiklin ............................................................ 8
Gambar 2.2 Skema Kerangka Penelitian ........................................................ 20
Gambar 3.1 Kerangka Konsep ....................................................................... 23
Gambar 4.1 Kurva Serapan Tetrasiklin Konsentrasi 10 ppm ........................... 35
Gambar 4.2 Kromatogram Tetrasiklin Standar ............................................... 36
Gambar 4.3 Kromatogram Uji Kesesuaian Sistem .......................................... 38
Gambar 4.4 Kurva Kalibrasi Tetrasiklin Standar ............................................ 39
Gambar 4.5 Kromatogram dan Kadar Sampel A ............................................ 43
Gambar 4.6 Kromatogram dan Kadar Sampel B ............................................. 44
Gambar 4.7 Kromatogram dan Kadar Sampel C ............................................. 45
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Spesifikasi Persyaratan Mutu Batas Maksimum Residu dalam Bahan
Makanan Asal Hewan (dalam satuan mg/kg) .................................................. 12
Tabel 3.1 Definisi Operasional ....................................................................................... 23
Tabel 4.1 Data Absorbansi dari Kurva Serapan Maksimum ............................................ 35
Tabel 4.2 Data KCKT Uji Kesesuaian Sistem ................................................................ 38
Tabel 4.3 Data KCKT Uji Perolehan Kembali ................................................................ 40
Tabel 4.4 Data KCKT Uji Presisi ................................................................................... 41
Tabel 4.5 Data KCKT Penetapan Kadar Sampel A ......................................................... 43
Tabel 4.6 Data KCKT Penetapan Kadar Sampel B ......................................................... 44
Tabel 4.7 Data KCKT Penetapan Kadar Sampel C ......................................................... 45
Tabel 4.8 Kadar Residu Tetrasiklin dalam Hati Ayam Broiler ........................................ 46
1
BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Pangan asal ternak sangat dibutuhkan manusia sebagai sumber protein.
Protein hewani menjadi sangat penting karena mengandung asam-asam amino
yang mendekati susunan asam amino yang dibutuhkan manusia sehingga akan
lebih mudah dicerna dan lebih efisien pemanfaatannya. Di antara bahan pangan
hewani yang tersedia di alam, unggas merupakan sumber makanan yang banyak
dikonsumsi. (Anjarsari, 2010)
Antibiotika adalah zat-zat kimia yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri
yang memiliki khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan kuman,
sedangkan toksisitasnya bagi manusia relatif kecil. (Tan&Kirana, 2010)
Pemakaian antibiotika tidak tepat dosis atau tidak sesuai dengan diagnosa
penyakitnya dapat menyebabkan residu dalam jaringan- jaringan atau organ ternak
yang cukup berbahaya bagi kesehatan manusia yang mengkonsumsinya, yaitu
dapat menyebabkan reaksi alergi atau resistensi. Jenis antibiotika yang digunakan
pada ternak yaitu antibiotika khusus untuk bidang kedokteran hewan, diantaranya
seperti penisilin, tetrasiklin serta antibiotika lain dengan preparat tertentu.
Sedangkan penggunaan jenis antibiotika lain yaitu antibiotika yang dapat
dipergunakan baik di bidang kedokteran hewan maupun untuk manusia.
(Yuningsih, 2004)
2
Tujuan lain pemakaian antibiotika sebagai zat tambahan pakan untuk
memacu pertumbuhan (growth promotor), sehingga dapat meningkatkan produksi
hasil ternak serta mengurangi biaya pakan. Antibiotika ditambahkan sebagai
tambahan pakan yang umum karena berpengaruh terhadap pertumbuhan
mikroorganisme perusak zat-zat gizi dalam pakan dan merangsang pertumbuhan
mikroorganisme pembentuk asam amino. (Yuningsih, 2004)
Dengan mengetahui profil farmakokinetik obat di dalam jaringan organ
akan diperoleh banyak informasi yang bermanfaat terutama untuk terapi penyakit
tertentu, menentukan drug of choice, managemen terapi dan analisis residu.
(Wijayanti dkk, 2007)
Berdasarkan gambaran proses farmakokinetik obat, senyawa induk
maupun metabolit sebagian akan dikeluarkan dari tubuh melalui air seni dan feses.
Sebagian lainnya tetap tersimpan dalam jaringan atau organ tubuh yang
selanjutnya disebut sebagai residu. Apabila pakan yang dikonsumsi ternak
terkontaminasi senyawa kimia maupun obat hewan maka residu dari senyawa
kimia atau obat tersebut akan terakumulasi dalam jaringan atau organ tubuh
dengan konsentrasi bervariasi antara jaringan (organ tubuh) yang satu dengan
yang lainnya. Dengan demikian, senyawa kimia (toksik) atau obat hewan yang
semula terdapat dalam bahan pakan atau ransum makanan ternak telah berpindah
(menyatu) pada produk asal ternak, sehingga dapat membahayakan kesehatan
masyarakat yang mengkonsumsinya. (Bahri, 2008)
Hampir semua pabrik pakan menambahkan obat hewan berupa antibiotik
ke dalam pakan komersial. Keadaan ini diperkuat oleh informasi bahwa sebagian
3
sampel pakan ayam dari Cianjur, Sukabumi, Bogor, Tangerang dan Bekasi positif
mengandung antibiotik golongan tetrasiklin dan sulfonamid (Bahri, 2008)
Tetrasiklin memiliki spektrum yang luas dan merupakan obat hewan yang
banyak digunakan termasuk di Indonesia karena harganya murah dan mudah
diperoleh. (Widiastuti dkk, 2010).
Hati ayam broiler merupakan organ bagian dalam yang menjadi salah satu
contoh produk hasil pemotongan ayam. Hati ayam broiler memiliki kemungkinan
yang besar untuk dapat diolah kembali menjadi produk yang memiliki nilai
ekonomis lebih tinggi. Vitamin utama yang banyak terdapat pada hati ayam
adalah vitamin A, vitamin B kompleks terutama vitamin B12 dan asam folat serta
zat besi. (Pramono dkk, 2013)
Pada tahap praproduksi, penggunaan obat hewan merupakan suatu
keharusan agar produktivitas ternak dapat dipertahankan atau ditingkatkan. Dari
pengamatan di lapangan, pemakaian antibiotik terutama pada peternakan ayam
pedaging dan petelur cenderung berlebihan tanpa memperhatikan aturan
pemakaian yang benar (Bahri dkk. 2008)
Produk pangan yang aman untuk dikonsumsi ditetapkan oleh Badan
Standarisasi Nasional (BSN) melalui batas maksimal residu (BMR) yang
tercantum dalam SNI 01-6366-2000. Batas cemaran residu antibiotik tetrasiklin
pada produk hewan ternak adalah 0.1 mg/kg pada daging, 0.05 mg/kg pada telur,
dan 0.05 mg/kg pada susu. (BSN, 2000)
Batas maksimum residu yang diperbolehkan untuk tetrasiklin sebagaimana
direkomendasikan oleh Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives
4
(2002) adalah 0.2 µg/g pada daging otot ayam, 0.6 µg/g pada hati ayam, 1.2 µg/g
pada ginjal ayam, dan 0.4 µg/g pada telur ayam. WHO juga menetapkan
Acceptable Daily Intake (ADI) untuk residu tetrasiklin dari obat hewan yang
terdapat dalam makanan yang dikonsumsi manusia sebesar 0-30 µg/kg Berat
Badan baik dalam bentuk tunggal ataupun campuran. Referensi metode analisis
yang direkomendasikan salah satunya adalah AOAC Official Method 995.09
tentang determinasi tetrasiklin dalam jaringan pangan hewani metoda
kromatografi cair. (FAO dan WHO, 2000)
Metode yang efisien dibutuhkan untuk memfasilitasi pengawasan residu
antibiotik dalam daging ayam, khususnya hati ayam broiler yang lebih mudah
tercemar oleh antibiotik golongan tetrasiklin. Metode deteksi residu antibiotik
golongan tetrasiklin meliputi analisis mikrobiologi dan analisis dengan instrumen
antara lain HPLC-MS, HPLC chemiluminescence detection, HPLC fluorescence
detection, dan HPLC-UV detection. Telah dilaporkan bahwa metoda HPLC-UV
sering digunakan untuk mendeteksi tetrasiklin, klortetrasiklin, dan oksitetrasiklin.
(Donghui, 2010)
Paparan di atas menjadi latar belakang dilakukannya penelitian ini yaitu
untuk mengetahui apakah hati ayam yang dijual di 3 pasar yang berbeda
mengandung residu tetrasiklin dengan metode analisis yang dapat diukur dan
dipertanggungjawabkan melalui validasi. Sampel diambil dari 3 pedagang daging
ayam dari 3 lokasi berbeda yaitu Pasar Andir, Pasar Ciroyom, dan Pasar
Sederhana.
5
1.2 Perumusan Masalah
Apakah pada hati ayam broiler yang dijual di pasar tradisional Kota
Bandung mengandung residu antibiotik tetrasiklin?
1.3 Tujuan Penelitian
Analisis kadar residu antibiotik tetrasiklin yang terdapat pada hati ayam
broiler dengan metode KCKT yang tervalidasi dan disesuaikan dengan
persayaratan batas maksimum residunya.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Peneliti
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat kepada peneliti agar
terampil dalam melakukan analisis terhadap kadar residu antibiotik tetrasiklin
yang terdapat pada hati ayam menggunakan KCKT.
1.4.2 Bagi Institusi Jurusan Farmasi Poltekkes Kemenkes Bandung
Validasi terhadap instrumen dan metode dalam analisis residu antibiotik
tetrasiklin yang terdapat pada hati ayam menggunakan KCKT.
6
1.4.3 Bagi Masyarakat
Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi informasi gambaran
mengenai keberadaan residu antibiotika dalam produk ternak, kemudian
langkah pengamanan oleh instansi terkait misalnya Dinas Peternakan ataupun
Dinas Pertanian dalam pengawasan pendistribusian pangan hewani yang aman
maupun pembinaan terhadap peternak setempat. Manfaat umum yang
diharapkan bagi masyarakat adalah untuk meningkatkan produksi peternakan
serta menambah wawasan para peternak mengenai cara pemberian dan
pemakaian macam antibiotika secara selektif dan sesuai dengan tujuan disertai
konsultasi para ahli peternakan.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Antibiotik Tetrasiklin
Senyawa tetrasiklin semula (1948) diperoleh dari Streptomyces aureofaciens
(klortetrasiklin) dan Streptomyces rimosus (oksitetrasiklin). Setelah tahun 1960,
zat induk tetrasiklin mulai dibuat secara sintetis seluruhnya, yang kemudian
disusul oleh derivat -oksi dan -klor serta senyawa long acting doksisiklin dan
minosiklin. Mekanisme kerjanya berdasarkan diganggunya sintesa-protein kuman.
Spektrum kerjanya luas dan meliputi banyak cocci Gram-positif dan Gram-negatif
serta kebanyakan bacilli, kecuali Pseudomonas dan Proteus (Tan dan Kirana,
2010)
Semua tetrasiklin berwarna kuning dan bersifat amfoter, garamnya dengan
klorida atau fosfat paling banyak digunakan. Larutan garam tersebut hanya stabil
pada pH < 2 dan terurai pesat pada pH lebih tinggi. Sediaan yang disimpan di
tempat panas dan lembab mudah terurai, terutama di bawah pengaruh cahaya.
Produk penguraiannya epi- dan anhidrotetrasiklin bersifat sangat toksis bagi
ginjal. (Tan dan Kirana, 2010)
Tetrasiklin ialah antibiotik yang umum digunakan sebagai obat-obatan
veteriner dan diisolasi dari bakteri Streptomyces sp. Penggunaan tetrasiklin
sebagai obat-obatan veteriner umumnya dicampurkan ke dalam pakan. Tetrasiklin
merupakan antibiotik yang bersifat bakteriostatik dan bekerja dengan jalan
8
menghambat sintesis protein kuman (Yuningsih, 2004). Tetrasiklin merupakan
serbuk hablur, kuning; tidak berbau; agak higroskopis. Stabil di udara tetapi pada
pemaparan terhadap cahaya matahari yang kuat dalam udara lembap menjadi
gelap. Dalam larutan dengan pH lebih kecil dari 2, potensi berkurang, dan cepat
rusak dalam larutan alkali hidroksida. (Farmakope Indonesia, edisi IV)
Gambar 2.1. Struktur kimia tetrasiklin
Tetrasiklin mempunyai potensi setara dengan kurang dari 975 µg
tetrasiklin hidroklorida per mg dihitung terhadap zat anhidrat. Rumus molekul
C22H24N2O8 dan memiliki nama IUPAC 4-(Dimetilamino)-1,4,4a, 5, 5a, 6, 11,
12a-oktahidro-3,6,10,12,12a-pentahidroksi-6-metil-1,11diokso-2-
naftasenakarboksamida [60-54-8] dengan bobot molekul 444,44 g/mol (Gambar
2.1).
Tertrasiklin sangat sukar larut dalam air; mudah larut dalam larutan asam
encer dan dalam larutan alkali hidroksida; sukar larut dalam etanol; praktis tidak
larut dalam kloroform dan dalam eter. (Farmakope Indonesia, edisi IV)
9
Setelah pemakaian oral, tetrasiklin akan diabsorpsi dengan cepat oleh usus
tetapi tak sempurna, sekitar 30% dibiotransformasi dan diekskresi baik melalui
empedu maupun urin. Distribusi (kecuali jaringan lemak) terjadi ke seluruh organ
akan tetapi kemampuan melewati sawar darah otak kecil. Dalam tulang, tetrasiklin
akan disimpan sebagai kompleks dengan kalsium. Karena menyebabkan
perubahan gigi yang irreversible berwarna kuning sampai coklat, hypoplasia
email gigi dan terkadang gangguan pertumbuhan, tetrasiklin tidak digunakan saat
kehamilan, pada bayi dan anak-anak sampai usia 8 tahun. (Mutschler, 1991)
2.1.2 Hati Ayam Broiler
Jenis ayam penghasil daging digolongkan menjadi dua jenis yaitu ayam
kampung dan ayam broiler. Ayam broiler merupakan salah satu komoditas
penghasil daging yang cukup potensial dari golongan unggas. Hal ini didukung
dengan perkembangan yang kuat dari rumah potong, farmasi, dan food
processing. Ayam pedaging atau broiler dipanen pada umur 31-33 hari dengan
berat rata-rata 1,67-2,10 kg/ekor. Pemeliharaan dan makanannya sangat
diperhatikan termasuk vaksinasi rutin terhadap penyakit-penyakit, sehingga
produksinya sangat tinggi (Anjarsari, 2010)
Hati ayam broiler merupakan organ bagian dalam yang menjadi salah atu
produk hasil ikutan dari pemotongan ayam. Hati ayam broiler memiliki potensi
besar untuk dapat diolah kembali menjadi prdouk yang memiliki nilai ekonomis
lebih tinggi. Vitamin utama yang banyak terdapat pada hati ayam adalah vitamin
10
A, vitamin B kompleks terutama vitamin B12 dan asam folat serta zat besi.
(Pramono dkk, 2013)
2.1.3 Residu Antibiotik Tetrasiklin
Semakin berkembangnya jenis antibiotika dalam bidang peternakan,
terutama untuk meningkatakan produksi peternakan, maka para peternak perlu
mengetahui cara- cara pemberian dan pemakaian macam antibiotika secara
selektif dan sesuai dengan tujuan, seperti:
a. Untuk pengobatan sehingga mengurangi resiko kematian dan
mengembalikan kondisi ternak yang dapat berproduksi kembali (normal),
juga mencegah tersebarnya mikroorganisme patogen ke ternak lainnya.
b. Untuk memacu pertumbuhan (growth promotor), sehingga dapat
meningkatkan produksi hasil ternak serta mengurangi biaya pakan.
Di dunia peternakan unggas, tetrasiklin efektif melawan bakteri penyebab
penyakit pullorum (Salmonella pullorum) yang menimbulkan gejala pada
unggas ditandai dengan adanya ekskreta yang bewarna putih (berak kapur),
dehidrasi dan unggas terlihat lemas (Shivaprasad dan Barrow, 2003). Penyebab
penyakit lainnya yaitu penyakit pernafasan kronis (Mycoplasma gallisepticum)
dengan gejala unggas mendengkur (Ley dan Kleven, 2003), kolera unggas
(Pasteurella multocida) dengan gejala diare kehijauan, rontok bulu, jengger
dan muka bengkak. (Glisson, dkk, 2003), dan penyebab penyakit korisa
(Avibacterium paragallinarum) dengan gejala adanya lendir atau kotoran
11
hidung seperti nanah, muka bengkak, mata berair lalu menutup, dan diare
(Blackall dan Soriano, 2003)
Untuk memacu pertumbuhan biasanya antibiotika ditambahkan sebagai
imbuhan pakan (feed additive) yang secara umum bermanfaat karena berpengaruh
terhadap pertumbuhan mikroorganisme perusak zat-zat gizi dalam pakan dan
merangsang pertumbuhan mikroorganisme pembentukan asam amino. Jenis
antibiotika yang digunakan pada ternak yaitu antibiotika khusus untuk bidang
kedokteran hewan, diantaranya seperti penisilin, tetrasiklin serta antibiotika lain
dengan preparat tertentu. Sedangkan penggunaan jenis antibiotika lain yaitu
antibiotika yang dapat dipergunakan baik di bidang kedokteran hewan maupun
untuk manusia (Yuningsih, 2004)
Penggunaan obat-obatan tersebut meningkat tajam khususnya bagi ternak
sapi pedaging dan ayam pedaging agar laju pertumbuhan badannya semakin cepat.
Antibiotik pada ternak juga diberikan dalam bentuk suntikan. Apabila hewan
ternak yang baru saja mendapatkan suntikan antibiotik atau ransum tersebut
segera dipotong, dapat meninggalkan residu obat-obatan di dalam daging ternak,
telur, susu atau produk ternak lainnya. (Suryani, 2009)
Dengan bahayanya efek residu terhadap kesehatan, maka ada ketentuan
nilai batas maksimum residu (BMR) dalam produk ternak untuk masing- masing
antibiotika yang berdasarkan standar nasional Indonesia (SNI). Pada ketentuan
SNI tertera daftar jenis antibiotika dan metabolitnya, serta diikuti dengan nilai
BMR dalam masing-masing produk ternak (daging, susu dan telur). Dengan
adanya ketentuan ini dapat mengetahui efek keberadaan residu dalam produk
12
ternak, apakah masih aman untuk dikonsumsi apabila dibawah nilai BMR atau
berbahaya bagi kesehatan manusia, apabila kandungan residu sudah melewati
nilai BMR.
Berdasarkan keterangan dari Subdirektorat Standarisasi Direktorat
Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian pada
bulan Maret tahun 2014, menyatakan bahwa SNI Non Komoditi untuk Batas
Maksimum Cemaran Mikroba dan Batas Maksimum Residu Dalam Bahan
Makanan Asal Hewan adalah SNI Nomor 01-6366-2000 mengenai Batas
Maksimum Cemaran Mikroba dan Batas Maksimum Residu Dalam Bahan
Makanan Asal Hewan spesifikasi untuk antibiotik tetrasiklin dinyatakan seperti
pada tabel 2.1.
Tabel 2.1. Spesifikasi Persyaratan Mutu Batas Maksimum Residu dalam
Bahan Makanan Asal Hewan (dalam satuan mg/kg)
No Jenis Residu dan Metabolit Daging Telur Susu
295. Tetrasiklin 0,1 0,05 0,05
Sumber : Badan Standarisasi Nasional
Batas maksimum residu yang diperbolehkan untuk tetrasiklin sebagaimana
direkomendasikan oleh Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives
(2002) adalah 0.2 µg/g pada daging otot ayam, 0.6 µg/g pada hati ayam, 1.2 µg/g
pada ginjal ayam, dan 0.4 µg/g pada telur ayam. WHO juga menetapkan
Acceptable Daily Intake (ADI) untuk residu tetrasiklin dari obat hewan yang
13
terdapat dalam makanan yang dikonsumsi manusia sebesar 0-30 µg/kg Berat
Badan baik dalam bentuk tunggal ataupun campuran. Referensi metode analisis
yang direkomendasikan salah satunya adalah AOAC Official Method 995.09
mengenai determinasi tetrasiklin dalam jaringan pangan hewani metoda
kromatografi cair. (JECFA, 2000)
Metode yang efisien dibutuhkan untuk memfasilitasi pengawasan residu
antibiotik dalam daging ayam, khususnya hati ayam yang lebih mudah tercemar
oleh antibiotik golongan tetrasiklin. Metode deteksi residu antibiotik golongan
tetrasiklin meliputi analisis mikrobiologi dan analisis dengan instrumen antara
lain HPLC-MS, HPLC chemiluminescence detection, HPLC fluorescence
detection, dan HPLC-UV detection. Telah dilaporkan bahwa metoda HPLC-UV
sering digunakan untuk mendeteksi tetrasiklin, klortetrasiklin, dan oksitetrasiklin.
(Donghui, 2010)
2.1.4 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi
Kromatografi merupakan teknik terpisahnya solut atau zat telarut oleh
perbedaan kecepatan elusi, dikarenakan solut-solut ini melewati suatu kolom
kromatografi. Pemisahan solut ini diatur oleh distribusi solut dalam fase gerak dan
fase diam. (Gandjar, 2012)
KCKT paling sering digunakan untuk menetapkan kadar senyawa-
senyawa tertentu seperti asam-asam amino, asam-asam nukleat, dan protein-
protein dalam cairan fisiologis; menentukan kadar senyawa-senyawa aktif obat;
produk-produk degradasi dalam sediaan farmasi; memonitor sampel-sampel yang
14
berasal dari lingkungan; memurnikan senyawa dalam suatu campuran;
memisahkan polimer dan menentukan distribusi berat molekulnya dalam suatu
campuran; kontrol kualitas; dan mengikuti jalannya reaksi sintetis. (Gandjar,
2012)
Keterbatasan metode KCKT adalah untuk identifikasi senyawa, kecuali
jika KCKT dihubungkan dengan spektrofotometer massa (MS). Kromatografi cair
kinerja tinggi (KCKT), merupakan suatu teknik kromatografi dengan fase gerak
cairan dan fase diam cairan atau padat. Parameter KCKT yang digunakan untuk
analisis kuantitatif ialah waktu retensi atau volume retensi. Perhitungan kuantitatif
didasarkan pada pengukuran tinggi puncak atau luas puncak suatu komponen zat.
Fase gerak atau eluen biasanya terdiri atas campuran pelarut yang dapat
bercampur secara keseluruhan berperan dalam daya elusi dan resolusi. Daya elusi
dan resolusi ini ditentukan oleh polaritas keseluruhan pelarut & fase diam, serta
sifat komponen sampel. Untuk fase normal (fase diam lebih polar daripada fase
gerak), kemampuan elusi meningkat dengan meningkatnya polaritas pelarut.
Sementara untuk fase terbalik (fase diam kurang polar daripada fase gerak),
kemampuan elusi menurun dengan meningkatnya polaritas pelarut. Fase gerak
yang paling sering digunakan untuk pemisahan dengan fase terbalik adalah
campuran larutan bufer dengan metanol atau campuran air dengan asetonitril.
(Gandjar, 2012)
Instrumentasi KCKT pada dasarnya terdiri atas delapan komponen pokok
yaitu: (1) wadah fase gerak, (2) sistem penghantaran fase gerak, (3) alat untuk
memasukkan sampel, (4) kolom, (5) detektor, (6) wadah penampung buangan fase
15
gerak, (7) tabung penghubung, dan (8) suatu komputer atau integrator atau
perekam. (Gandjar, 2012)
2.1.5 Validasi Metode Analisis
Validasi metode analisis adalah suatu tindakan penilaian terhadap
parameter tertentu, berdasarkan percobaan laboratorium, untuk membuktikan
bahwa parameter tersebut memenuhi persyaratan untuk penggunaannya. (Harmita,
2004)
Validasi metode menurut United States Pharmacopeia (USP) dilakukan
untuk menjamin bahwa metode analisis akurat, spesifik, reprodusibel, dan tahan
pada kisaran analit yang akan dianalisis.
Suatu metode analisis harus divalidasi untuk melakukan verifikasi bahwa
parameter-parameter kinerjanya cukup mampu untuk mengatasi problem analisis,
karenanya suatu metode harus divalidasi ketika:
a. Metode baru dikembangkan untuk mengatasi problem analisis tertentu
b. Metode yang sudah baku direvisi untuk menyesuaikan perkembangan
atau karena munculnya suatu problem yang mengarahkan bahwa
metode baku tersebut harus direvisi
c. Penjaminan mutu yang mengindikasikan bahwa metode baku telah
berubah seiring dengan berjalannya waktu
d. Metode baku digunakan di laboratorium yang berbeda, dikerjakan oleh
analis yang berbeda, atau dikerjakan dengan alat yang berbeda.
16
e. Untuk mendemonstrasikan kesetaraan antara 2 metode, seperti metode
baru dan metode baku.
Karakteristik analisis khas yang digunakan dalam validasi metode antara
lain: akurasi, presisi, spesifisitas, batas deteksi, batas kuantifikasi, linearitas,
rentang, dan ketahanan. (USP 30, 2007)
2.1.5.1 Kecermatan (akurasi)
Kecermatan adalah ukuran yang menunjukkan derajat kedekatan
hasil analis dengan kadar analit yang sebenarnya. Kecermatan dinyatakan
sebagai persen perolehan kembali (recovery) analit yang ditambahkan.
(Harmita, 2004)
Kecermatan ditentukan dengan dua cara yaitu metode simulasi
(spiked-placebo recovery) atau metode penambahan baku (standard
addition method).
Apabila tidak memungkinkan membuat sampel plasebo karena
matriksnya tidak diketahui seperti obat-obatan paten, atau karena analitnya
berupa suatu senyawa endogen misalnya metabolit sekunder pada kultur
kalus, maka dapat dipakai metode adisi. Metode adisi dapat dilakukan
dengan menambahkan sejumlah analit dengan konsentrasi tertentu pada
sampel yang diperiksa, lalu dianalisis dengan metode tersebut. Persen
perolehan kembali ditentukan dengan menentukan berapa persen analit yang
ditambahkan tadi dapat ditemukan. (Harmita, 2004)
17
Untuk mendokumentasikan akurasi, pengumpulan data dilakukan
dari 9 kali penetapan kadar dengan 3 konsentrasi yang berbeda (misal 3
konsentrasi dengan 3 kali replikasi). Data harus dilaporkan sebagai
presentase perolehan kembali. (Gandjar, 2012)
2.1.5.2 Keseksamaan (Presisi)
Keseksamaan adalah ukuran yang menunjukkan derajat kesesuaian
antara hasil uji individual, diukur melalui penyebaran hasil individual dari
rata-rata jika prosedur diterapkan secara berulang pada sampel-sampel yang
diambil daricampuran yang homogen. (Harmita, 2004)
Keseksamaan diukur sebagai simpangan baku atau simpangan baku
relatif (koefisien variasi). Keseksamaan dapat dinyatakan sebagai
keterulangan (repeatability) atau ketertiruan (reproducibility).
Keterulangan adalah keseksamaan metode jika dilakukan berulang
kali oleh analis yang sama pada kondisi sama dan dalam interval waktu
yang pendek. Keterulangan dinilai melalui pelaksanaan penetapan terpisah
lengkap terhadap sampel-sampel identik yang terpisah dari batch yang
sama, jadi memberikan ukuran keseksamaan pada kondisi yang normal.
Ketertiruan adalah keseksamaan metode jika dikerjakan pada kondisi
yang berbeda. Biasanya analisis dilakukan dalam laboratorium-laboratorium
yang berbeda menggunakan peralatan, pereaksi, pelarut, dan analis yang
berbeda pula. Analisis dilakukan terhadap sampel-sampel yang diduga
identik yang dicuplik dari batch yang sama. Ketertiruan dapat juga
18
dilakukan dalam laboratorium yang sama dengan menggunakan peralatan,
pereaksi, dan analis yang berbeda. Kriteria seksama diberikan jika metode
memberikan simpangan baku relatif atau koefisien variasi 2% atau kurang.
Akan tetapi kriteria ini sangat fleksibel tergantung pada konsentrasi analit
yang diperiksa, jumlah sampel, dan kondisi laboratorium. Percobaan
keseksamaan dilakukan terhadap paling sedikit enam replika sampel yang
diambil dari campuran sampel dengan matriks yang homogen. Sebaiknya
keseksamaan ditentukan terhadap sampel sebenarnya yaitu berupa campuran
dengan bahan pembawa sediaan farmasi (plasebo) untuk melihat pengaruh
matriks pembawa terhadap keseksamaan ini. (Harmita, 2004)
Presisi seringkali diekspresikan dengan SD atau standar deviasi
relatif (RSD) dari serangkaian data. Pada pengujian dengan KCKT, nilai
RSD antara 1-2% biasanya dipersyaratkan untuk senyawa-senyawa aktif
dalam jumlah banyak. Sedangkan untuk senyawa-senyawa dengan kadar
sekelumit, RSD berkisar antara 5-15% (Gandjar, 2012)
2.1.5.3 Batas Deteksi dan Batas Kuantifikasi
Batas deteksi adalah jumlah terkecil analit dalam sampel yang
dapat dideteksi yang masih memberikan respon signifikan dibandingkan
dengan blangko.
Batas kuantitasi merupakan parameter pada analisis renik dan
diartikan sebagai kuantitas terkecil analit dalam sampel yang masih dapat
memenuhi kriteria cermat dan seksama. (Harmita, 2004)
19
2.1.5.4 Linieritas
Linieritas merupakan kemampuan suatu metode untuk memperoleh
hasil-hasil uji yang secara langsung proporsional dengan konsentrasi analit
pada kisaran yang diberikan. (Gandjar, 2012)
Rentang metode dalam linieritas merupakan pernyataan batas
terendah dan tertinggi analit yang sudah ditunjukkan dapat ditetapkan
dengan kecermatan, keseksamaan, dan linearitas yang dapat diterima.
Linearitas biasanya dinyatakan dalam variansi sekitar arah garis regresi
yang dihitung berdasarkan persamaan matematika menggunakan data yang
diperoleh dari hasil uji analit dalam sampel dengan berbagai konsentrasi
analit. Persamaan dinyatakan dengan rumus y = a + bx, dengan a ialah
intersep, b ialah kemiringan garis dengan koefisien korelasi 0,9995. (Harmita,
2004)
2.2 Kerangka Penelitian
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan adanya residu antibiotik
tetrasiklin salah satunya adalah penambahan antibiotik sebagai imbuhan pakan
(feed additive) sehingga setelah dikonsumsi oleh ayam broiler dapat
meninggalkan residu antibiotik dalam jaringan hewan tersebut. Oleh karena itu
dilakukan analisis dan validasi metode analisis residu antibiotik golongan
tetrasiklin pada hati ayam broiler secara KCKT. Maka jika dihubungkan dalam
sebuah kerangka penelitian dalam bentuk skema seperti pada gambar 2.2
20
Gambar 2.2 Skema Kerangka Penelitian
2.3 Hipotesis
Analisis residu antibiotik tetrasiklin pada hati ayam broiler secara KCKT
menunjukkan adanya analit residu yang terkandung dalam sampel dan dinyatakan
dalam konsentrasi ppm.
Dijadikan feed
additive
Analisis residu antibiotik tetrasiklin pada hati
ayam broiler dengan metode KCKT
Tetrasiklin untuk
pengobatan dan
pencegahan penyakit
ayam broiler
Dosis dan
withdrawal time
tidak diperhatikan
Residu antibiotik
tetrasiklin pada
jaringan hati ayam
broiler
Beredar di pasar tradisional Kota Bandung
Kadar residu memenuhi
syarat: kurang dari 0,6 ppm
Kadar residu tidak memenuhi
syarat: lebih dari 0,6 ppm
21
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini bersifat deskriptif.
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan di laboratorium terpadu Politeknik Kesehatan
Kementerian Kesehatan Bandung dan Laboratorium Kimia Analisis Politeknik
Kesehatan Kementerian Kesehatan Bandung Jurusan Farmasi.
Waktu penelitian dilakukan pada bulan Mei sampai dengan Juni 2015.
3.3 Populasi dan Sampel
3.3.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah hati ayam broiler yang ada di
seluruh pasar tradisional Kota Bandung.
3.3.2 Sampel
Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah pengambilan
sampel representatif dan accidental sampling. Teknik sampling yang
22
dilakukan secara spontan berdasarkan subjek yang ditemukan di lokasi
penelitian Pemilihan sampel biasanya dibatasi dengan waktu atau
tempat dan besar sampel dapat dihitung ataupun tidak.
Sampel dalam penelitian ini adalah hati ayam broiler yang dibeli
dari 5 pedagang di Pasar Andir dengan sumber peternakan ayam broiler
di Ciparay, 5 pedagang di Pasar Sederhana dengan sumber peternakan
ayam broiler di Banjaran, dan 5 pedagang di Pasar Ciroyom dengan
sumber peternakan ayam broiler di Cicadas. Masing-masing sampel
dihaluskan dengan blender kemudian penimbangan sampel dilakukan
secara representatif dimana setiap populasi memiliki kemungkinan yang
sama untuk terpilih sebagai sampel. (Gandjar, 2012)
Sampel dikategorikan menjadi A, B, dan C, sesudah masing-
masing dihaluskan dan dihomogenkan kemudian ditaruh dalam wadah
berbeda dengan permukaan rata berbentuk persegi. Setiap hati yang
tersebar dalam wadah tersebut dibagi menjadi 4 bagian kemudian
diambil sebanyak 1 gram di bagian atas, bawah, kanan, kiri, dan tengah
untuk ditimbang total 5 gram tiap sampel kemudian sampel
dihomogenkan kembali.
3.4 Definisi Operasional
Variabel yang akan diteliti sesuai yang tertuang dalam kerangka penelitian
dipaparkan dalam definisi operasional pada tabel 3.1
23
Tabel 3.1 Definisi Operasional
Variabel Definisi
Operasional
Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala
Hati ayam
broiler
Sampel yang
dinalisis
secara
kualitatif
maupun
kuantitatif
mengenai
keberadaan
residu
tetrasiklin
Kromatografi
Cair Kinerja
Tinggi
(KCKT)
Menginjeksikan
sejumlah
volume sampel
dengan fasa
gerak, kolom,
dan parameter
yang sesuai,
Muncul
kromatogram
yang
disesuaikan
dengan
standar.
Rasio
Kadar
residu
antibiotik
tetrasiklin
Banyakya
residu
tetrasiklin
yang
terkandung
dalam sampel
yang telah
diekstraksi
dan dianalisis
KCKT Perhitungan
berdasarkan
luas area
ppm Ordinal
Hati ayam
Broiler
Kadar residu
antibiotik
tetrasiklin
Gambar 3.1 Kerangka Konsep
24
3.5 Cara Pengumpulan Data
3.5.1 Jenis Data
Data yang digunakan dalam penelitian merupakan data primer. Data
tersebut diperoleh dari analisis sampel dan pengujian validasi metode analisis
di laboratorium yang dilakukan oleh penulis.
3.5.2 Metode
Metode yang digunakan untuk pengumpulan data pada penelitian ini
adalah melalui pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan dilakukan dengan
analisis dan validasi metode penetapan kadar residu antibiotik golongan
tetrasiklin pada hati ayam broiler menggunakan KCKT.
3.5.3 Prinsip
Prinsip dari Kromatografi Cair Kinerja Tinggi adalah pemisahan analit
berdasarkan kepolarannya. Kromatografi merupakan teknik yang menunjukkan
adanya solut atau zat-zat terlarut terpisah oleh perbedaan kecepatan elusi,
dikarenakan solut-solut ini melewati suatu kolom kromatografi.
25
3.5.4 Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a) KCKT,
b) syringe KCKT,
c) kolom 5 μ C18-A 150 x 4,6 mm,
d) syringe kaca,
e) spektrofotometer UV-Vis
f) sentrifuge
g) flat bed shaker
h) vortex shaker,
i) neraca analitik,
j) syringe plastik 5 ml,
k) mikropipet,
l) tip mikropipet,
m) erlenmeyer,
n) gelas piala,
o) gelas ukur,
p) labu takar,
q) pipet tetes,
r) batang pengaduk,
s) vial kecil, dan
t) sudip.
26
3.5.5 Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini ialah:
a) hati ayam broiler,
b) baku standar tetrasiklin (sediaan kapsul tetrasiklin 500 mg produksi PT
Kimia Farma, nomor batch GC1270J)
c) asam oksalat dihidrat
d) asetonitril (HPLC grade),
e) asam asetat 20%,
f) asam sitrat monohidrat,
g) dikalium hidrogenfosfat dihidrat,
h) garam dinatrium EDTA,
i) metanol p.a,
j) membran penyaring 0,45 μm,
k) alumunium foil,
l) parafilm,
m) akuades, dan
n) akuabides
27
3.5.6 Cara Pemeriksaan
3.5.6.1 Pembuatan reagen
1) Pembuatan larutan asam asetat 20%
Asam asetat P diukur sebanyak 20 ml kemudian dimasukkan ke
labu ukur 100 ml. Volume digenapkan hingga tanda tera dengan
aquadest kemudain dikocok hingga larut larut dan homogen.
2) Pembuatan Larutan Bufer Mc Ilvaine-EDTA
Larutan bufer Mc Illvaine-EDTA merupakan larutan yang
digunakan untuk mengekstraksi sampel hati ayam broiler.
Pembuatan larutan bufer Mc Illvaine dilakukan dengan cara sebagai
berikut:
a) Ditimbang masing-masing bahan yang terdiri dari:
Sebanyak 14,2 g dinatrium hidrogenfosfat anhidrat
(Na2HPO4 p.a)
Sebanyak 10,5 g asam sitrat monohidrat dan
Sebanyak 30, 25 g garam dinatrium EDTA
b) Na2HPO4 p.a sebanyak 14,2 g dimasukkan ke labu ukur 500
mL dan dilarutkan dengan aquadest, genapkan volume hingga
tanda tera, kocok hingga homogen.
c) Sebanyak 10,5 g asam sitrat monohidrat dimasukkan ke labu
ukur 500 mL lainnya dan dilarutkan dengan aquadest
genapkan volume hingga tanda tera, kocok hingga homogen.
28
d) Campurkan 500 mL larutan asam sitrat monohidrat dengan
dengan 312,5 ml larutan Na2HPO4 di dalam labu ukur 1 L.
ukur pH dan sesuaikan hingga pH 4.0 ± 0.05 dengan
meneteskan baik 0,1 M HCl (8,3 ml HCl/L) atau 0,1 M NaOH
(4.0 g/L)
e) Dinatrium EDTA sebanyak 30,25 g ditambahkan ke dalam
larutan tersebut, kocok hingga larut dan homogen. (larutan
dibuat tiap minggu)
3) Pembuatan Larutan Baku
Larutan baku merupakan stok larutan baku yang nantinya akan
diencerkan menjadi larutan baku campuran, kemudian digunakan
sebagai larutan baku kerja. Larutan baku dapat dibuat dengan
langkah-langkah berikut:
a) Larutan persediaan baku tetrasiklin 1000 ppm dibuat dengan
cara menimbang 10 ± 0.1 mg, masukkan ke labu ukur 10 ml,
bilas dengan metanol. Larutkan dengan metanol hingga
volume terpenuhi. Kocok hingga larut dalam suhu ruangan.
b) Larutan persediaan baku tetrasiklin 100 ppm dibuat dengan
cara memipet 1 ml larutan standar tetrasiklin pertama ke
dalam labu ukur 10 ml. genapkan volume dengan metanol
pada suhu ruang, kocok hingga homogen.
29
c) Baku standar 10 ppm dan 14 ppm dibuat dengan cara memipet
0,1 ml dan 0,14 ml larutan persediaan baku tetrasiklin 1000
ppm ke dalam labu ukur 10 ml terpisah. Genapkan volume
dengan metanol pada suhu ruangan, kocok hingga homogen.
Larutan disimpan dalam lemari pendingin, disiapkan tiap
minggu.
d) Larutan persediaan baku tetrasiklin 0,5 ; 2, 4, 6 ppm dibuat
dengan memipet masing-masing 50, 200, 400, dan 600 µl
larutan standar 100 ppm ke dalam labu ukur terpisah volume
10 ml. Tambahkan metanol ke dalam setiap labu, genapkan
volume dengan aquadest pada suhu ruangan. Simpan larutan
di lemari pendingin. Larutan disiapkan setiap minggu.
4) Pembuatan Larutan Metanol Oksalat
Larutan metanol oksalat merupakan pelarut untuk elusi kolom
SPE, yang didalamnya sudah dilewatkan ekstrak sampel hati ayam
broiler. Larutan metanol oksalat dibuat dengan cara menimbang 1,297
g asam oksalat dan dilarutkan dengan metanol p.a kemudian dituang
ke labu ukur 100 ml dan volume digenapkan serta dikocok hingga
homogen.
30
3.5.6.2 Proses Ekstraksi Sampel
a. Sebanyak 5 g hati ayam yang telah digiling, ditempatkan dalam
erlenmeyer bertutup.
b. Setelah itu, ditambahkan 2 ml larutan asam asetat 20% kemudian
dikocok menggunakan Vortex Shaker selama 30 menit.
c. Sampel ditambahkan 20 ml larutan bufer Mc Ilvaine-EDTA
kemudian ditutup dan dihomogenkan selama 10 menit
menggunakan Flat Bed Shaker pada kecepatan tinggi. Pindahkan
ke tabung sentrifuga, bilas dengan larutan buffer Mc Ilvaine-
EDTA sebanyak 2 ml kemudian disentrifuga pada kecepatan
3.000 rpm selama 10 menit.
d. Larutan supernatan hasil sentrifus dipisahkan dari endapannya,
kemudian endapan ditambahkan 10 ml larutan bufer Mc Ilvaine-
EDTA dan dihomogenkan dengan Vortex Shaker. Pindahkan ke
tabung sentrifuga, bilas dengan larutan buffer Mc Ilvaine-EDTA
sebanyak 2 ml kemudian disentrifuga pada kecepatan 3.000 rpm
selama 10 menit. Ulangi prosedur ini ke dalam endapan ke 3
hingga terkumpul hasil 3 kali ekstraksi dan homogenkan.
e. Dilakukan ekstraksi fase padat terhadap sampel menggunakan
SPE sederhana dibuat dari syringe kaca yang diisi oleh lapisan
kapas dan dimasukkan silika sebanyak lebih kurang 2 gram dan
ditutup lagi dengan kapas. Prosedur SPE pada penelitian ini
dilakukan dengan tahap awal yaitu pengkondisian penjerap
31
dengan dialiri metanol 20 ml dan air 20 ml. Tahap selanjutnya
adalah retensi sampel dengan dimasukkannya sampel sebanyak 10
ml. Setelah sampel dijerap, dilakukan pembilasan dengan pelarut
non polar yaitu metilen klorida sebanyak 5 ml. Proses elusi
terakhir dilakukan dengan penambahan metanol oksalat sebanyak
6 ml. Uapkan sampel dan masukkan ke dalam sampel metanol
hingga 5 ml.
f. Sampel disaring dengan penyaring 0,45 micron kemudian
sebanyak 20 μl sampel dianalisis dengan KCKT .
3.5.6.3 Analisis menggunakan KCKT
Sampel sebanyak 20 μl diinjeksikan ke dalam KCKT Shimadzu
LC-20 AD dengan kondisi alat sebagai berikut:
Kolom : 5 μ C18-A 150 x 4,6 mm
Sistem : fase terbalik
Fase gerak : metanol: aquabidest (50:50, v/v)
Laju alir : 0,5 ml/menit
Detektor : UV, 269 nm
Tekanan : ± 184 kgf/cm2
32
3.5.6.4 Validasi Metode Analisis
1) Presisi: Keterulangan (Repeatability)
Larutan standar tetrasiklin konsentrasi 6 ppm sebanyak 20 μl
dianalisis dengan KCKT. Analisis dilakukan sebanyak enam kali
ulangan. Luas puncak yang diperoleh kemudian ditentukan
simpangan baku (SD) dan simpangan baku relatifnya (RSD).
2) Akurasi: Uji Perolehan Kembali (Recovery Test)
Sebanyak 5,0 gram sampel hati ayam dimasukkan ke dalam
tiga tabung sentrifus berbeda lalu ditambahkan masing-masing
400, 500, dan 600 μl larutan standar tetrasiklin konsentrasi 100
ppm dengan tujuan diperoleh sampel dengan adisi 8, 10, 12 µg/g
(ppm). Perlakuan selanjutnya sama seperti preparasi sampel.
Nilai % perolehan kembali (recovery) dihitung menggunakan
rumus:
{(Ct – Cu) / Cs} x 100%
Di mana Ct merupakan konsentrasi tetrasiklin,
oksitetrasiklin, dan klortetrasiklin total setelah penambahan
standar; Cu ialah konsentrasi tetrasiklin dalam larutan uji
(sampel); dan Cs ialah konsentrasi tetrasiklin standar.
3) Uji Linearitas
Untuk uji linearitas, dibuat larutan standar campuran
antibiotik tetrasiklin dengan konsentrasi 0,5; 2; 4; 6; dan 14 ppm.
Sebanyak 20 μl larutan dianalisis dengan KCKT. Linearitas
33
ditentukan menggunakan metode regresi kuadrat terkecil
sebanyak tiga kali ulangan untuk masing-masing konsentrasi.
Persamaan linearitas yang digunakan ialah y = a + bx, dengan a
adalah titik potong dan b adalah kemiringan.
4) Penentuan Batas Konsentrasi Terendah
Penentuan batas konsentrasi terendah dilakukan sebelum
mencari limit deteksi alat. Larutan standar 6 ppm sebanyak 20 μl
dianalisis dengan KCKT. Batas deteksi dan batas kuantifikasi
dihitung berdasarkan nilai noise yaitu 50 µV.
Batas deteksi atau LOD (Limit Of Detection) memiliki nilai
3xnoise atau 3x50 µV yaitu 150 µV, sedangkan batas
kuantifikasi atau LOQ (Limit Of Quantification) memiliki nilai
10 x nilai noise atau 10x50 µV yaitu 500 µV.
Batas deteksi dan batas kuantifikasi masing-masing dihitung
dengan rumus :
LOD =
x Konsentrasi yang diinjeksikan (ppm)
LOQ =
x Konsentrasi yang diinjeksikan (ppm)
3.6 Rencana Pengolahan dan Analisis Data
Data dihitung secara manual maupun melalui microsoft excel dengan
menggunakan metode validasi yang didalamnya meliputi uji linieritas, uji
presisi, uji akurasi, uji batas deteksi dan batas kuantifikasi.
34
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Penentuan Panjang Gelombang Serapan Maksimum Tetrasiklin
Penentuan panjang gelombang maksimum dilakukan terhadap baku
standar tetrasiklin yang akan digunakan dalam analisis menggunakan
instrumen spektrofotometer dengan rentang panjang gelombang 200-400 nm.
Berdasarkan literatur, daya serapan tetrasiklin dapat dihitung pada panjang
gelombang maksimum lebih kurang 280 nm Farmakope Indonesia ed IV),
308 nm (USP 30) dan 350 nm (AOAC official method 995.09). Hasil dari
pengukuran standar tetrasiklin HCl dengan konsentrasi 10 ppm diperoleh
puncak dengan serapan maksimum pada panjang gelombang 268,5 nm yang
mendekati tetrasiklin HCl berdasarkan literatur Farmakope Indonesia Edisi
IV yaitu 280 nm seperti yang tertera pada gambar 4.1.
35
Gambar 4.1 Kurva Serapan Tetrasiklin HCl Konsentrasi 10 ppm
Absorbansi yang dihasilkan pada pengukuran standar tetrasiklin
HCl menggunakan spektrofotometer pada rentang panjang gelombang
200-400 nm ditunjukkan pada tabel 4.1
Tabel 4.1 Data Absorbansi dari Kurva Serapan Maksimum
Serapan maksimum muncul pada panjang gelombang 268,5 nm
yaitu 0,39 mendekati panjang gelombang tetrasiklin HCl berdasarkan
Tetrasiklin HCl 268,5 nm
36
literatur Farmakope Indonesia edisi IV yaitu 280 nm. Panjang gelombang
yang digunakan untuk analisis menggunakan KCKT dibulatkan menjadi
269 nm
4.1.2 Penentuan Fase Gerak
Dalam KCKT komposisi fase gerak merupakan salah satu variabel
yang mempengaruhi pemisahan. Fase gerak terdiri atas campuran pelarut
yang dapat bercampur yang secara keseluruhan berperan dalam daya elusi
dan resolusi. Hasil penelitian menunjukan bahwa fase gerak metanol : air
dengan perbandingan 50:50 menghasilkan puncak yang simetris dan
terpisah seperti pada gambar berikut ini.
Gambar 4.2 Kromatogram Tetrasiklin Standar
37
4.1.3 Uji Kesesuaian Sistem
Bila memakai metode kromatografi, seperti KCKT umumnya
dikehendaki adanya kepastian kesesuaian dan keefektifan sistem
operasional yang digunakan. Perlu dicatat bahwa pencantuman spesifikasi
parameter tertentu dalam suatu monografi tidaklah berarti kondisi
operasional lain yang sesuai tidak dapat digunakan. Penyesuaian kondisi
operasional dapat dilakukan, agar diperoleh kondisi operasional dan
kromatogram yang baik. (FI IV, hal 1016)
Pada hakikatnya pengujian kesesuaian berdasarkan atas konsep
bahwa peralatan, zat uji, dan kondisi operasional analitik membentuk satu
sistem analitik tunggal yang dapat diuji fungsinya secara keseluruhan.
Data spesifik dikumpulkan dari penyuntikan ulang larutan uji atau larutan
baku. Kesesuaian sistem dilakukan dengan menginjeksikan larutan standar
tetrasiklin HCl kemudian hasil yang didapatkan dari penyuntikan dilihat
kesesuaiannya dengan persyaratan Farmakope Indonesia edisi IV. Berikut
ini merupakan kromatogram dari hasil uji kesesuaian sistem.
38
Gambar 4.3 Kromatogram Uji Kesesuaian Sistem
Tabel 4.2 Data KCKT Uji Kesesuaian Sistem
Berdasarkan ketentuan Farmakope Indonesia Edisi IV dinyatakan
bahwa untuk melakukan analisis tetrasiklin HCl menggunakan KCKT
dilengkapi dengan detektor 280 nm, kolom pelindung 4,6 mm x 3 cm
berisi bahan pengisi L7 (Oktilsilana terikat secara kimiawi pada partikel
silika yang berpori seluruhnya) diameter 5-10 µm. Nilai resolusi (R) tidak
kurang dari 1,2. Simpangan baku relatif pada penyuntikan ulang tidak
lebih dari 2%. (FI ed IV, 780)
Pada pelaksanaan penelitian di laboratorium terpadu, instrumen
KCKT yang digunakan memiliki kolom dengan tipe oktadesil silika
(ODS atau C18) bersifat non polar dengan mekanisme absorpsi partisi atau
Name Ret.Time Area Conc. Theoritical
plate Resolution
Tailing
Factor
Tetrasiklin 9,082 262430 6,000 328,284 1,860 1,335
39
fase terbalik. Nilai resolusi yang dihasilkan pada penyuntikan baku
tetrasiklin HCl memenuhi persyaratan kesesuaian sistemnya tidak kurang
dari 1,2 yaitu 1,860. Sedangkan nilai simpangan baku relatif dinyatakan
pada uji presisi.
4.1.4 Validasi Metode Analisis
4.1.4.1 Linearitas
Penentuan linearitas kurva kalibrasi tetrasiklin HCl dengan
konsentrasi 0,5;2;4;6;14 ppm dapat dilihat pada Gambar 4.2 sebagai
berikut.
Gambar 4.4 Kurva Kalibrasi Tetrasiklin Standar
40
Dari hasil pembuatan kurva kalibrasi tetrasiklin standar diperoleh
nilai koefisien korelasi (r) = 0,9938 dan persamaan regresi Y = 61392.8x-
59934.
4.1.4.2 Akurasi
Uji akurasi dilakukan dengan parameter persen perolehan kembali.
Data hasil perhitungan pengujian persen perolehan kembali dengan
metode penambahan baku konsentrasi 8, 10, dan 12 ppm dijelaskan pada
tabel 4.3.
Tabel 4.3 Data KCKT Uji Perolehan Kembali
Rentang
Spesifik
(%)
Konsentrasi (ppm)
Persen Perolehan
Kembali (%) Sampel Adisi Baku Sampel+Adisi
80
1,487 8 8,632 89,31
1,487 8 8,758 90,89
1,487 8 8,716 90,36
100
1,487 10 11,137 96,50
1,487 10 11,159 96,72
1,487 10 11,204 97,17
120
1,487 12 11,436 82,91
1,487 12 11,618 84,43
1,487 12 11,674 84,89
Rata-rata Perolehan Kembali (%) 90,35
41
4.1.4.3 Presisi
Uji presisi ditentukan dengan parameter RSD (Relative Standards
Deviation). Persen simpangan baku relatif (RSD) atau koefisian
kepercayaan didapat dari RSD x 100% = 0,0644 x 100% = 6,44 %
Maka didapat nilai presisi dari %RSD yaitu 6,44 % dan dinyatakan
tidak memenuhi syarat karena >2 %. Data yang diperoleh pada uji presisi
seperti tertera pada tabel 4.4.
Tabel 4.4 Data KCKT Uji Presisi
Replikasi Luas Area Konsentrasi (ppm)
1 262430 6,045
2 271810 6,054
3 300300 6,09
4 255781 5,902
5 257057 6,052
6 256778 6,046
Rata-rata 267359
SD 17212,5
RSD (%) 6,44
42
4.1.4.4 Batas Deteksi dan Batas Kuantifikasi
Batas deteksi dan kuantifikasi dapat dihitung secara statistik
melalui garis regresi linier dari kurva kalibrasi yang didapat dari uji
linieritas. Untuk mendapat nilai batas deteksi dan kuantisasi gunakan nilai
slope (b) dan luas area.
Diketahui : konsentrasi penginjekan = 6 ppm
Luas area = 262430
Nilai noise = 50
LOD = 3 x noise x konsentrasi injeksi (ppm)
LA
= 0,0034 ppm
LOQ = 10 x noise x konsentrasi injeksi (ppm)
LA
= 10 x 50 x 6
262430
= 0,0114 ppm
4.1.5 Penetapan Kadar Residu Tetrasiklin dalam Sampel Hati Ayam
Broiler
Hasil penetapan kadar tetrasiklin berupa kromatogram dapat dilihat
pada gambar 4.5, gambar 4.6, dan gambar 4.7.
43
Gambar 4.5 Kromatogram dan kadar sampel A
Tabel 4.5 Data KCKT Penetapan Kadar Sampel A
Pada penyuntikkan sampel A menghasilkan kromatogram dengan dua
puncak seperti pada gambar 4.7, yang disimpulkan sebagai puncak analit
tetrasiklin adalah puncak yang waktu retensinya sama dengan baku tetrasiklin
yaitu menit ke 9. Berdasarkan luas area yang dibaca oleh KCKT, konsentrasi
sampel A adalah 1,487 ppm.
Pada penyuntikkan sampel B terdapat dua puncak utama seperti pada
gambar 4.8, yang disimpulkan sebagai puncak analit tetrasiklin adalah puncak
yang waktu retensinya sama dengan baku tetrasiklin yaitu menit ke 9. Akan tetapi
Name Ret.Time Area Conc. Theoritical
plate Resolution
Tailing
Factor
Tetrasiklin 9,262 43747 1,487 445,763 2,413 1,664
44
puncak tersebut membelah dan penarikan garis integrasi untuk luas area dilakukan
di antara kedua ujung puncak tersebut.
Gambar 4.6 Kromatogram dan kadar sampel B
Tabel 4.6 Data KCKT Penetapan Kadar Sampel B
Name Ret.Time Area Conc. Theoritical
plate Resolution
Tailing
Factor
Tetrasiklin 9.275 20639 1.025 807.191 2.832 1.006
Berdasarkan luas area yang dibaca oleh KCKT, konsentrasi sampel B
adalah 1,025 ppm.
Pada penyuntikkan sampel C menghasilkan kromatogram dengan dua
puncak seperti pada gambar 4.7, yang disimpulkan sebagai puncak analit
tetrasiklin adalah puncak yang waktu retensinya sama dengan baku tetrasiklin
yaitu menit ke 9.
45
Gambar 4.7 Kromatogram dan kadar sampel C
Tabel 4.7 Data KCKT Penetapan Kadar Sampel C
Name Ret.Time Area Conc. Theoritical
Plate Resolution
Tailing
Factor
Tetrasiklin 9,447 32201 1,256 418,078 3,128 2,029
Berdasarkan luas area yang dibaca oleh KCKT, konsentrasi sampel
A adalah 1,256 ppm.
Dari hasil analisis residu tetrasiklin pada ketiga sampel
menggunakan KCKT, terukur kadar residu tetrasiklin dalam sampel yang
dipaparkan pada tabel 4.8.
46
Tabel 4.8 Kadar Residu Tetrasiklin dalam Hati Ayam Broiler
No. Sampel Kadar (ppm)
1 A 1,487
2 B 1,025
3 C 1,256
4.2 Pembahasan
Sebelum dilakukan penetapan kadar residu tetrasiklin HCl dalam hati
ayam broiler terlebih dahulu dilakukan optimasi kondisi analisis yang meliputi
penentuan panjang gelombang maksimum serta penentuan fase gerak agar
diperoleh kepekaan analisis yang maksimal. Penentuan panjang gelombang
maksimum dilakukan terhadap baku standar tetrasiklin HCl yang akan digunakan
dalam analisis. Baku standar tetrasiklin HCl dibuat dengan memurnikan sediaan
tunggal tetrasiklin HCl kapsul 500 mg. Penentuan panjang gelombang dilakukan
menggunakan instrumen spektrofotometer dengan rentang panjang gelombang
200-400 nm. Berdasarkan literatur, daya serapan tetrasiklin HCl dapat dihitung
pada panjang gelombang maksimum lebih kurang 280 nm Farmakope Indonesia
ed IV), 308 nm (USP 30) dan 350 nm (AOAC official method 995.09). Hasil dari
pengukuran standar tetrasiklin HCl dengan konsentrasi 10 ppm diperoleh puncak
pada panjang gelombang 268,5 nm yang mendekati tetrasiklin HCl berdasarkan
literatur Farmakope Indonesia Edisi IV yaitu 280 nm
Berdasarkan literatur Farmakope Indonesia edisi IV disebutkan bahwa
untuk melakukan analisis kadar tetrasiklin HCl fase gerak yang digunakan dibuat
dari campuran 680 ml ammonium oksalat 0,1 M, 270 ml dimetilformida P, dan 50
47
ml ammonium fosfat dibasa 0,2 M. Kemudian pH larutan penyangga tersebut
diatur hingga pH 7,6 sampai 7,7 menggunakan ammonium hidroksida 3 N atau
asam fosfat 3 N. Fasa gerak tersebut dilakukan terhadap KCKT dengan detektor
280 nm, kolom pelindung 4,6 mm x 3 cm berisi bahan pengisi L7 (Oktilsilana
terikat secara kimiawi pada partikel silika yang berpori seluruhnya) diameter 5-10
µm
Menurut AOAC official method 995.09 tentang penetapan residu antibiotik
golongan tetrasiklin dalam jaringan pangan hewani, digunakan alat KCKT dengan
kolom C8 (Oktasilan) dan detektor 350 nm. Fase gerak yang digunakan adalah
larutan asam oksalat, asetonitril, dan metanol dengan perbandingan 600:300:100
ml untuk kolom 5 µm dan perbandingan 700:200:100 ml untuk kolom 10 µm.
Perlu dicatat bahwa pencantuman spesifikasi parameter tertentu dalam
suatu monografi tidaklah berarti kondisi operasional lain yang sesuai tidak dapat
digunakan. Penyesuaian kondisi operasional dapat dilakukan, agar diperoleh
kondisi operasional dan kromatogram yang baik. (FI IV, hal 1016)
Dikarenakan spesifikasi alat yang berbeda dalam setiap penelitian, maka
pada pelaksanaan penelitian ini dilakukan optimasi fasa gerak menggunakan
metanol dan air dengan perbandingan 50:50. Hasil penyuntikan larutan standar
tetrasiklin HCl menunjukkan bahwa fase gerak metanol : air (50:50)
mengahasilkan puncak yang simetris dan terpisah dari pucak analit lain Pada
pelaksanaan penelitian di laboratorium terpadu, instrumen KCKT yang digunakan
memiliki kolom dengan tipe oktadesil silika (ODS atau C18) bersifat non polar
dengan mekanisme absorpsi partisi atau fase terbalik. Nilai resolusi yang
48
dihasilkan pada penyuntikan baku tetrasiklin HCl memenuhi persyaratan
kesesuaian sistemnya tidak kurang dari 1,2 yaitu 1,860. Sedangkan nilai
simpangan baku relatif dinyatakan pada uji presisi menurut FI IV tidak lebih dari
2%. Hasil uji presisi yang dilaksanakan adala 6, 44%, artinya tidak memenuhi
persyaratan nilai RSD. Matriks pembawa dari sediaan kapsul tetrasiklin yang
digunakan berpengaruh terhadap nilai keseksamaan (Harmita, 2004)
Menurut USP, dalam melakukan suatu analisis perlu dilakukan validasi
metode analisis untuk menjamin bahwa metode analisis akurat, spesifik, serta
resprodusibel. Selain itu validasi metode analisis juga harus dilakukan ketika
metode baku yang terdapat di literatur digunakan di laboratorium yang berbeda,
dikerjakan oleh analis yang berbeda, ataupun dikerjakan dengan menggunakan
alat yang berbeda. (Gandjar, 2007)
Validasi metode analisis yang dilakukan dalam penelitian meliputi
linearitas, limit deteksi dan limit kuantifikasi, akurasi, serta presisi. Linearitas
adalah kemampuan metode analisis yang memberikan respon yang secara
langsung, proporsional terhadap konsentrasi analit dalam sampel. Linearitas
merupakan ukuran seberapa baik kurva kalibrasi yang dapat menghubungkan
antara respon (y) dengan konsentrasi (x). Pada penelitian, linearitas dilakukan
dengan melakukan penyuntikan tunggal larutan standar tetrasiklin dengan
konsentrasi yang berbeda-beda. Sebagai parameter adanya hubungan linier
digunakan koefisien korelasi (r) pada analisis regresi linier Y = aX + b. Nilai a
atau juga disebut intersep menunjukan perpotongan kurva dengan sumbu x,
artinya pada kondisi konsentrasi tetrasiklin HCl dalam fase gerak metanol : air (x)
49
sama dengan 0 maka akan terdeteksi luas area sebesar nilai a. Sedangkan nilai b
menunjukan arah garis linear. Persamaan regresi dari kurva kalibrasi yang
diperoleh adalah Y = 61392.8x-59934. Nilai koefisien korelasi (r) yang dihasilkan
dari uji linearitas r = 0,9938 yang berarti linearitas tetrasiklin HCl baik karena
telah memenuhi persyaratan nilai koefisien korelasi r yaitu harus mendekati 1.
Parameter validasi yang kedua adalah batas deteksi dan batas kuantifikasi.
Untuk menghitung limit deteksi dan limit kuantifikasi dapat digunakan data dari
perhitungan dengan metode signal to noise ratio . Nilai batas deteksi yang
didapatkan yaitu 0,0034 ppm artinya alat dapat mendeteksi hingga 0,0034 ppm
jika lebih kecil dari 0,0034 mg/l maka tidak dapat dideteksi. Batas kuantifikasi
yang didapatkan adalah 0,0114 ppm artinya konsentrasi tersebut merupakan
konsentrasi analit terendah dalam sampel yang dapat ditentukan dengan presisi
dan akurasi yang dapat diterima pada kondisi operasional metode yang digunakan.
(Gandjar, 2012)
Uji akurasi dinyatakan dalam persen perolehan kembali (persen recovery)
sebagai banyaknya analit yang diperoleh kembali pada suatu pengukuran dengan
melakukan spiking pada suatu sampel. (Gandjar, 2012)
Hasil uji akurasi yang didapatkan adalah 90,35% menunjukan bahwa
metode yang digunakan memiliki ketepatan yang baik ditunjukan dengan nilai
perolehan kembali berada pada kisaran 80-120% sesuai dengan yang
dipersyaratkan. (Suryani, 2009)
Parameter validasi yang keempat adalah presisi. Uji presisi dilakukan
untuk mengetahui keterulangan metode analisis dan dinyatakan sebagai standar
50
deviasi relatif (RSD). Uji presisi dilakukan menggunakan larutan standar
tetrasiklin HCl dengan konsentrasi 6 ppm yang diinjeksikan sebanyak enam kali
kemudian dilihat luas area dan kadar yang dihasilkannya. Kadar yang diperoleh
digunakan untuk menghitung rata-rata luas area, nilai SD, dan RSD. Hasil dari uji
presisi yang dilakukan menunjukan bahwa RSD yang dihasilkan sebesar 6,44%
yang artinya tidak memenuhi persyaratan nilai RSD yaitu <2% (Gandjar, 2012).
Hasil uji presisi tersebut dipengaruhi oleh matriks pembawa dari sediaan kapsul
tetrasiklin yang dijadikan baku standar.
Beberapa faktor yang dapat meningkatkan ketidaktepatan dan
ketidaktelitian dalam pengukuran antara lain ekstraksi analit dari suatu matriks
yang tidak efisien, dalam hal ini pemurnian tetrasiklin yang digunakan sebagai
baku berasal dari sediaan kapsul yang kemungkinan pemurniannya tidak efisien.
Hal tersebut juga dapat menyebabkan kegagalan dalam menghilangkan gangguan
oleh bahan tambahan dalam pengukuran analit (Gandjar, 2012). Hal tersebut dapat
dilihat pada kromatogram hasil penyuntikan baku, terdapat beberapa puncak yang
muncul selain puncak dari retensi tetrasiklin.
Sampel yang digunakan dalam penelitian adalah hati ayam broiler segar
yang baru dikeluarkan dari ayam broiler diperoleh dari 3 pasar yang berbeda.
Masing-masing sampel dihaluskan dengan blender kemudian penimbangan
sampel dilakukan secara representatif dimana setiap populasi memiliki
kemungkinan yang sama untuk terpilih sebagai sampel. Sampel dikategorikan
menjadi A, B, dan C, sesudah masing-masing dihaluskan dan dihomogenkan
kemudian ditaruh dalam wadah berbeda dengan permukaan rata berbentuk
51
persegi. Setiap hati yang tersebar dalam wadah tersebut dibagi menjadi 4 titik
kemudian diambil sebanyak 1 gram di bagian atas, bawah, kanan, kiri, dan tengah
untuk ditimbang total 5 gram tiap sampel kemudian sampel dihomogenkan
kembali.
Pada proses preparasi sampel untuk memisahkan protein dari sampel hati
ayam broiler, digunakan asam asetat 20% sebanyak 2 ml. Setelah dihomogenkan,
warna sampel berubah dari merah tua menjadi coklat muda menandakan bahwa
protein dalam sampel telah menggumpal. Kemudian sampel hati ayam broiler
diekstraksi dengan larutan buffer McIlvaine-EDTA, ekstraksi dengan dapar pH 4
tersebut dimaksudkan agar tetrasiklin di dalam matriks sampel tidak rusak karena
tetrasiklin terurai pada pH kurang dari 2 dan pada pH basa (FI edisi IV). Sampel
diekstraksi dan dipisahkan antara supernatan dengan endapan protein yang
menggumpal menggunakan sentrifugasi dengan putaran 3000 rpm selama 10
menit.
Setelah diekstraksi dengan larutan dapar, sampel dimurnikan melalui
proses ekstraksi fase padat (SPE). SPE dilakukan pada sampel yang kotor, misal
sampel yang mempunyai kandungan matriks yang tinggi antara lain protein.
Proses SPE dalam penyiapan sampel di penelitian ini dimulai dari pengkondisian
penjerap (silika) dengan dialiri metanol 20 ml dan air 20 ml. Tahap selanjutnya
adalah retensi sampel dengan dimasukkannya sampel sebanyak 10 ml. Komponen
matriks yang tidak diharapkan akan mengalir melewati penjerap sedangkan analit
tertahan pada penjerap, akan tetapi masih ada komponen matriks yang tidak
diharapkan tertahan juga dalam penjerap. Oleh karena itu, dilakukan pembilasan
52
dengan pelarut non polar yaitu metilen klorida sebanyak 5 ml. Proses elusi
terakhir dilakukan dengan penambahan metanol oksalat sebanyak 6 ml. analit
yang termurnikan kemudian dipekatkan dengan penguapan dan siap dielusi lebih
lanjut dengan penambahan metanol hingga 5 ml.
Ketiga sampel dipreparasi dengan cara yang sama kemudian diinjeksi dan
didapat kadar dari tiap sampel. Setelah melalui keempat tahap validasi yang
meliputi linearitas, LOD dan LOQ, akurasi serta presisi diketahui bahwa sampel A
memiliki kadar sebesar 1,487 ppm, sampel B sebesar 1,025 ppm dan sampel C
sebesar 1,256 ppm Berdasarkan ketentuan Joint of FAO/WHO Expert Committee
on Food Additives (JECFA) tentang residu obat hewan dipersyaratkan bahwa
kandungan maksimum residu tetrasiklin HCl yang terdapat dalam jaringan hati
unggas adalah 0,6 ppm. Hasil dari analisis kadar residu tetrasiklin HCl
menggunakan KCKT menunjukan bahwa ketiga sampel telah melebihi ambang
batas tersebut.
Residu antibiotik dalam makanan dan minuman kemungkinan merupakan
salah satu penyebab resistensi kuman terhadap antibiotik sebagai bahan
pengobatan dan tambahan pakan ternak saat ini masih banyak dilakukan. Adanya
residu dalam daging ayam disebabkan ayam tersebut telah dipotong sebelum
dicapai waktu henti (withdrawal time) yakni lima hari. Sedangkan tempat
pemotongan ayam saat memasuki bulan ramadhan menerima banyak pesanan
ayam potong sehingga peternak memaksimalkan pendistribusian ayam dari
peternakan. Dikarenakan kebutuhan ayam dalam jumlah banyak di waktu yang
singkat, maka peternak tidak memperhatikan peraturan penghentian pemberian
53
obat atau pakan dengan tambahan antibiotika tetrasiklin. Kadar residu obat yang
melewati batas maksimum tersebut akan menyebabkan produk pangan tidak aman
dikonsumsi karena dapat mengakibatkan reaksi alergis, keracunan, ataupun
resistensi mikroba tertentu. (Suryani, 2009)
54
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Penelitian terhadap residu tetrasiklin pada sampel hati ayam broiler dari 3
pasar tradisional yang berbeda di Kota Bandung dengan Kromatografi Cair
Kinerja Tinggi menunjukkan bahwa sampel positif mengandung residu antibiotik
dengan kadar residu tetrasklin pada sampel A sebesar 1,487 ppm, sampel B
sebesar 1,025 ppm dan sampel C sebesar 1,256 ppm disertai yang berarti melebihi
batas yang ditetapkan yaitu 0,6 ppm.
5.2 Saran
5.2.1 Bagi Peneliti lain
Diharapkan untuk meneliti dengan jumlah sampel yang lebih banyak
dan juga menggunakan metode lain, seperti analisis dengan mikrobiologi
ataupun instrument lain seperti spektrofotometri. Pemilihan baku standar
murni juga lebih dianjurkan agar kromstogram yang dihasilkan tidak
terganngu oleh puncak matriks zat pembawa. Penelitian selanjutnya juga
dapat dilakukan pada pangan asal hewan lainnya seperti telur, susu, dll.
55
5.2.2 Bagi Instansi Terkait
Bagi pihak laboratorium Poltekkes Kemenkes Bandung diharapkan
menyediakan kebutuhan primer penelitian seperti : baku standar murni.
Disarankan juga untuk mendata ketersediaan bahan baku penelitian dan
mempubikasikannya ke mahasiswa sebeum penentuan judul sehingga
metoda penelitian yang dirancang lebih terarah dengan sarana dan prasarana
yang memadai.
Bagi instansi pemerintah terkait mengenai keamanan pangan asal
hewan, diharapkan secara rutin melakukan pemantauan dan pemeriksaan
residu antibiotika terhadap bahan pangan asal hewan khususnya ayam
broiler di pasar tradisional. Selain itu diharapkan untuk lebih berpartisipasi
langsung kepada peternak, misalnya melalui penyuluhan tentang bahaya
residu antibiotik, cara pemberian ransum yang baik agar pengetahuan
peternak semakin meningkat terutama di daerah Banjaran, Ciparay, dan
Cicadas.
5.2.3 Bagi Masyarakat
Peternak ayam broiler diharapkan mematuhi masa penghentian
penggunaan antibiotik (withdrawal time) yang tertera pada kemasan obat
atau berkonsultasi dengan dokter hewan maupun ahli farmasi. Penjualan
obat hewan khususnya antibiotik diharapkan dikelola oleh ahli farmasi agar
seluruh pemberian informasi obat tersampaikan dengan baik. Masyarakat
56
sebagai konsumen diharapkan lebih cermat lagi dalam pemilihan konsumsi
bahan pangan yang aman. Kenali sumber peternakan dan alangkah lebih
baik lagi bila bahan pangan berasal dari berternak sendiri ataupun memilih
peternakan terpercaya yang berseritifikat dan terawasi dinas terkait.
57
DAFTAR PUSTAKA
Anastasia, Yessy. 2011. “Teknik Analisis Residu Golongan Tetrasiklin dalam
Daging Ayam secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi”. Dalam Buletin
Teknik Pertanian. (Vol 16, No. 2, 2011:68-73). Bogor.
Anjarsari, Bonita. 2010. Pangan Hewani Fisiologi Pasca Mortem dan Teknologi.
Bandung: Graha Ilmu
Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2009.
Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Bahri, Sjamsul. 2008. Beberapa Aspek Keamanan Pangan Asal Ternak di
Indonesia. Bogor: 2008
Bahri, Sjamsul, dkk. 2005. Proses Praproduksi Sebagai Faktor Penting dalam
Menghasilkan Produk Ternak yang Aman untuk Manusia. Bogor: Balai
Penelitian Veteriner
Blackall, Pat J. and Edgardo V Soriano. 2003. Infectious Coryza and Related
Bacterial Infection. in: Disease of Poultry. Saif, Y.M. (Ed). 11th Edition.
Chapter 20: p 789. Iowa: Iowa State Press.
SNI. 2000. Cemaran Mikroba dan Batas Maksimum Residu dalam Bahan
Makanan Asal Hewan. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional.
D.H Ley and S.H Kleven. 2003. Mycoplasmosis. in: Disease of Poultry. Saif,
Y.M. (Ed). 11th Edition. Chapter 21: p 811. Iowa: Iowa State Press.
Donghui, chen and Zhang Haiying. 2010. A HPLC with UV Detection Method
For Determination of Tetracycline Residues In chicken Liver. Second
Conference on Enviromental Science and Information Application
Technology. Shanghai
Food and Agriculture Organisation and World Health Organization. 2000.
Procedures for Recommending Maximum Residu Limits of Veterinary
Drugs In Food. Rome: JECFA
Gandjar, Ibnu Gholib dan Abdul Rohman. 2007. Kimia Farmasi Analisis.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Glisson J.R, et. al. 2003. Fowl Cholera. in: Disease of Poultry. Saif, Y.M. (Ed).
11th Edition. Iowa: Iowa State Press.
58
Harmita. 2004. Petunjuk Pelaksanaan Validasi Metode dan Cara Perhitungannya.
Majalah Ilmu Kefarmasian 1(3):117-135.
Mutschler, Ernst. 1991. Dinamika Obat. Edisi ke-5. Terjemahan Mathilda B,
Widianto, dan Anna Setiadi Ranti. Bandung: Penerbit ITB
Pramono, Yoyok, dkk. 2013. Kadar Lemak, Kekenyalan dan Cita Rasa Nugget
Ayam yang Disubstitusi dengan Hati Ayam Broiler, Animal Agriculture
Journal. Vol. 2 (1) : 301-308
Shivaprasad, H.L and P.A Barrow. 2003. Pullorum Disease and Fowl Typhoid. in:
Disease of Poultry. Saif, Y.M. (Ed). 11th Edition. Chapter 16: p 619.
Iowa: Iowa State Press.
Suryani, Dedeh. 2009. Validasi Metode Analisis Residu Antibiotik Tetrasiklin
dalam Daging Ayam Pedaging secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi.
Bogor : FMIPA-IPB
The British Pharmacopeia Commission. 2009. British Pharmacopeia. Sixth
edition. London: The Department of Health
The United States Pharmacopeia Convention. 2007. United States Pharmacopeia-
National Formulary. United States.
Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja. 2007. Obat-Obat Penting. Edisi Keenam.
Jakarta: Elex Media Komputindo
Widiastuti, Raphaella, dkk. 2010. Residu Tetrasiklin pada Daging Ayam Pedaging
dari Wilayah Jakarta, Depok, dan Bekasi yang Dideteksi secara KCKT.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. 3-4 Agustus.
Bogor
Wijayanti, Agustina Dwi, dkk. 2007. Profil Farmakokinetik Oksitetrasiklin
Hidroklorid dalam Berbagai Jaringan Tikus Sprague Dawley, J Sain Vet.
Vol 25: 68-74
Yuningsih. 2004. Keberadaan Residu Antibiotika dalam Produk Peternakan (Susu
dan Daging). Di dalam: Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk
Peternakan. Bogor: Balai Penelitian Veteriner : 48-55.
59
Lampiran 1
Penentuan Panjang Gelombang Serapan Maksimum Tetrasiklin
dengan Spektrofotometer
60
Lampiran 2
Kromatogram Uji Kesesuaian Sistem KCKT
61
Lampiran 3
Kromatogram Uji Presisi Standar 6 ppm
62
Lampiran 4
Kromatogram Uji Akurasi-Adisi 8 ppm
63
Lampiran 5
Kromatogram Uji Akurasi-Adisi 10 ppm
64
Lampiran 6
Kromatogram Uji Akurasi-Adisi 12 ppm
65
Lampiran 7
Kurva Kalibrasi
66
Lampiran 8
Kromatogram Sampel A
67
Lampiran 9
Kromatogram sampel B
68
Lampiran 10
Kromatogram Sampel C
69
Lampiran 11
Instrumen Kromatografi Cair Kinerja Tinggi
70
Lampiran 12
Fasa Gerak
71
Lampiran 13
Sampel Hati Ayam
72
Lampiran 14
Flat Bed Shaker
73
Lampiran 15
Instrumen Sentrifugasi
74
Lampiran 16
Hasil Sentrifugasi
75
Lampiran 17
SPE
\
76
Lampiran 18
Perhitungan
A. Pembuatan larutan baku :
1. 100 ppm dari 1000 ppm
K1 x V1 = K2 x V2
100 ppm x 10 ml = 1000 ppm x V2
1000 ml = 1000 V2
V2 = 1000 ml
1000
V2 = 1 ml
2. 10 ppm dari 1000 ppm
K1 x V1 = K2 x V2
10 ppm x 10 ml = 1000 ppm x V2
100 ml = 1000 V2
V2 = 100 ml
1000
V2 = 0,1 ml
3. 0,5 dari 100 ppm
K1 x V1 = K2 x V2
0,5 ppm x 10 ml = 100 ppm x V2
5 ml = 100 V2
77
V2 = 5 ml
100
V2 = 0,05 ml
4. 2 ppm dari 100 ppm
K1 x V1 = K2 x V2
2 ppm x 10 ml = 100 ppm x V2
20 ml = 100 V2
V2 = 20 ml
100
V2 = 0,2 ml
5. 4 ppm dari 100 ppm
K1 x V1 = K2 x V2
4 ppm x 10 ml = 100 ppm x V2
40 ml = 100 V2
V2 = 40 ml
100
V2 = 0,4 ml
6. 6 ppm dari 100 ppm
K1 x V1 = K2 x V2
6 ppm x 10 ml = 100 ppm x V2
60 ml = 100 V2
78
V2 = 60 ml
100
V2 = 0,6 ml
7. 14 ppm dari 1000 ppm
K1 x V1 = K2 x V2
14 ppm x 10 ml = 1000 ppm x V2
140= 1000 V2
V2 = 140 ml
1000
V2 = 0,140 ml
B. Perhitungan Uji Akurasi
Sebelumnya dilakukan perhitungan kadar teoritis:
Konsentrasi sebenarnya (Cs) = Ci x Vs
Ms
Ci = konsentrasi standar adisi
Vi = Volume standar yang ditambahkan
Ms = bobot sampel
Konsentrasi sebenarnya (Cs) = 100 µg/ml x 0,5 ml
5g
= 50 µg
5 g
= 10 µg/g
Perolehan Kembali dihitung dengan cara:
% Perolehan Kembali = (CF-CA) x 100
C*A
Keterangan : CF : konsentrasi total sampel yang diperoleh dari
pengukuran
79
CA : konsentrasi sampel yang sebenarnya
C*A : konsentrasi analit yang ditambahkan
Dari data yang diperoleh dari pengukuran, perolehan
kembali dihitung berdasarkan rumus tersebut dengan hasil sebagai
berikut:
% Perolehan Kembali : 11, 159 – 1,487 x 100%
10
= 96,72%
C. Perhitungan LOD dan LOQ
Diketahui : konsentrasi penginjekan = 6 ppm
Luas area = 262430
Nilai noise = 50
LOD = 3 x noise x konsentrasi injeksi (ppm)
LA
= 0,0034 ppm
LOQ = 10 x noise x konsentrasi injeksi (ppm)
LA
= 10 x 50 x 6
262430
= 0,0114 ppm