repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · iv abstrak tarmizi...
Post on 17-Jan-2020
5 Views
Preview:
TRANSCRIPT
iv
ABSTRAK
Tarmizi Kabalmay. NIM 11150450000086. PERAN PEMERINTAH
DALAM PERLINDUNGAN PEKERJA MIGRAN INDONESIA (PMI)
TERPIDANA MATI DI ARAB SAUDI TAHUN 2018. Program Studi Hukum
Tata Negara (Siyasah), Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun 1440 H/ 2019 M.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui peran pemerintah khususnya
Kementerian Luar Negeri RI dalam melindungi Pekerja Migran Indonesia (PMI)
di Arab Saudi yang terancam hukuman mati sesuai dengan bunyi dari Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia
Pasal 21.
Penelitian ini menggunakan metode normatif-empiris. Yang terdiri atas
sumber data primer dan sekunder dengan mengumpulkan beberapa data melalui
wawancara, peraturan perundang-undangan, buku, jurnal, dan internet. Kemudian,
data tersebut diolah dan dianalisis secara sistematis, sehingga menghasilkan suatu
penelitian ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pertama, dalam melakukan
perlindungan hukum terhadap PMI yang terancam hukuman mati di Arab Saudi,
negara tidak berhak untuk mengambil alih tanggung jawab hukum yang dilakukan
oleh PMI, yang dilakukan negara hanyalah memastikan bahwa dalam proses
hukumnya para pekerja mendapatkan keadilan sesuai hukum yang berlaku.
Kedua, penanganan perlindungan PMI yang terancam hukuman mati di Arab
Saudi dapat berbeda-beda, hal ini disebabkan karena sistem hukuman mati di
Arab Saudi yang terdiri atas tiga kategori yaitu Ta’zir, Qishash, dan Hadd
Ghillah. Ketiga, Arab Saudi sering dikabarkan melakukan eksekusi mati terhadap
Pekerja Migran Indonesia tanpa pemberitahuan, dalam kenyataannya tidak ada
perjanjian Mandatory Consular Notification antara Indonesia-Arab Saudi. Selain
itu, Arab Saudi melakukan pemberitahuan namun sesudah eksekusi bukan
v
sebelum, Dan eksekusi tanpa pemberitahuan sebelum juga berlaku bagi Warga
Negara Saudi sendiri.
Kata Kunci: Pemerintah, Perlindungan, Pekerja Migran Indonesia, Pidana Mati,
Arab Saudi
Pembimbing: Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, S.H., M.Ag.
Daftar Pustaka: 1973 s.d. 2019
vi
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur tak hentinya terucap kepada Allah SWT, berkat,
anugerah, dan nikmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
“PERAN PEMERINTAH DALAM PERLINDUNGAN PEKERJA MIGRAN
TERPIDANA MATI DI ARAB SAUDI TAHUN 2018”
Shalawat serta salam penulis curahkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang
telah memimpin umat Islam menuju jalan yang diridhai Allah SWT. Dalam
menyelesaikan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan, arahan dan
bimbingan dari berbagai pihak, sehingga sudah sepantasnya dalam kesempatan ini
penulis mengucapkan terima kasih yang amat besar kepada:
1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc, M.Ag., Rektor
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang selalu menjadi
inspirator bagi penulis agar terus lebih baik lagi serta bermanfaat bagi
dunia.
2. Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, M.A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Para Wakil Dekan.
3. Sri Hidayati, M.Ag, Ketua Program Studi Hukum Tata Negara dan juga
kepada Masyrofah, S.Ag., M.Si. Sekretaris Program Studi Hukum Tata
Negara UIN Syarif Hidyatullah Jakarta.
4. Dr. H. Mujar Ibnu Syarif S.H., M.Ag., Dosen pembimbing yang telah
bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran serta kesabaran dalam
membimbing, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian skripsi ini
dengan tepat waktu.
5. Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag., dan Dr. Fuad Thohari, M.Ag., Dosen
Hukum Pidana Islam yang bersedia meluangkan waktu untuk
diwawancarai oleh penulis guna melengkapi penulisan skripsi ini.
6. Orang tua tercinta, Bapak Japri Kabalmay dan Ibu Siti Hendon yang selalu
vii
mendorong dan mendoakan penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi
ini.
7. Adik-adik penulis: Tuti Rahmalia Kabalmay, Taqiyudin Kabalmay,
Thahira Nurul Rahmah Kabalmay, Titin Nurul Riski Kabalmay, dan
Tamsid Nur Rahman Kabalmay yang selalu mendoakan penulis, semoga
kesuksesan menghampiri kalian.
8. Seluruh staf di Subdit Izin Tinggal Diplomatik dan Dinas Direktorat
Konsuler Kementerian Luar Negeri, karena telah membantu penulis dalam
memberikan beberapa bahan tertulis yang berguna dalam penulisan skripsi
ini.
9. Seluruh staf di Direktorat Perlindungan Warga Negara Indonesia dan
Badan Hukum Indonesia (PWNI-BHI), karena telah bersedia meluangkan
waktu untuk diwawancarai guna melengkapi skripsi ini.
10. Seluruh relawan Migrant CARE khususnya Ibu Ika Masruroh, Ibu Fitri
Lestari, dan Ibu Rara yang bersedia membantu penulis dalam melakukan
wawancara di Kantor Migrant CARE.
11. Teman-teman Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah) angkatan
2015 terkhusus: Azka dan Trini yang mau diajak untuk melakukan
magang bersama; Zahid, Riski, Ridwan dan Satibi yang selalu menjadi
teman ngopi di Triarga, dan teman-teman lain yang selalu memberikan
semangat kepada penulis, semoga silaturahmi di antara kita tetap terjalin.
12. Teman-teman di Kosan 1001 dan Kosan Kuning: Cakil, Rodi, Nurul, Ade
dan Jamus yang menjadi teman satu atap penulis selama menempuh
bangku kuliah dan selalu berbaik hati untuk berbagi di tanggal tua!
Ma’akum an-najah fii kulli umurikum.
13. Teman-teman di Syahida Fitness Center yang penulis anggap saudara
terkhusus: Bang Obi dan Bang Huluk, yang selalu memberikan masukan
mengenai penulisan skripsi; Bang Yusuf, yang selalu memberikan
semangat; Rayen, yang selalu siap untuk untuk diajak ngopi teman gabut
yang gak ada duanya; dan Adam Abimanyu yang sekarang jadi personal
trainer di Fitness First semoga kalian sukses dan semoga silaturahmi kita
viii
tetap terjalin.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi
penulis dan umumnya bagi pembaca.
Jakarta, 17 Juli 2019
Penulis
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ................................................. ii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................ iii
ABSTRAK ........................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ........................................................................................................ ix
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................ 1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Rumusan Masalah ..................................... 6
C. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 7
D. Manfaat Penelitian .................................................................................... 8
E. Review Studi Terdahulu ............................................................................ 8
F. Metode Penelitian...................................................................................... 10
G. Sistematika Pembahasan ........................................................................... 12
BAB II HUBUNGAN ANTAR NEGARA SEBAGAI ALAT
PERLINDUNGAN BAGI WARGA NEGARA ..................................... 14
A. Hubungan Diplomatik ............................................................................... 14
B. Hubungan Konsuler .................................................................................. 18
C. Fungsi dan Bentuk Perlindungan oleh Perwakilan RI di Luar
Negeri ........................................................................................................ 20
D. Perjanjian Internasional ............................................................................. 27
BAB III HUBUNGAN BILATERAL INDONESIA-ARAB SAUDI
DALAM PENGIRIMAN PEKERJA MIGRAN ..................................... 31
A. Sejarah Hubungan Bilateral Indonesia-Arab Saudi .................................. 31
B. Sistem Ketenagakerjaan di Arab Saudi ..................................................... 35
x
C. Sistem Hukum Pidana dan Acara Pidana di Arab Saudi........................... 39
D. Data Jumlah Kasus WNI/PMI selama Tahun 2018 .................................. 46
BAB IV BENTUK PELINDUNGAN PEMERINTAH INDONESIA
TERHADAP PEKERJA MIGRAN INDONESIA TERPIDANA
MATI DI ARAB SAUDI ........................................................................... 48
A. Bentuk Perlindungan oleh Pemerintah dalam Peraturan Perundang-
undangan ................................................................................................... 48
B. Upaya Perlindungan Kekonsuleran Pemerintah terhadap Ancam-
an Hukuman Mati Pekerja Migran Indonesia di Arab Saudi .................... 51
C. Perlindungan Diplomatik Pemerintah Indonesia terhadap Pekerja
Migran Indonesia Terpidana Mati di Arab Saudi ..................................... 59
D. Perjanjian Mandatory Consular Notification (MCN) sebagai
Alat Perlindungan WNI/PMI .................................................................... 62
BAB V PENUTUP ............................................................................................... 65
A. Kesimpulan ............................................................................................... 65
B. Saran .......................................................................................................... 67
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 68
LAMPIRAN ......................................................................................................... 73
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan bernegara, terciptanya hubungan yang baik dengan
negara lain adalah sangat penting. Hubungan ini disebutkan secara tegas dalam
hukum internasional, yang mana hubungan tersebut dirumuskan sebagai
hubungan antarbangsa dalam segala aspek yang dilakukan untuk mencapai
kepentingan nasional negara tersebut. Bahkan di awal terbentuknya suatu negara,
pengakuan dari negara lain sebagai salah satu syarat utama berdirinya negara
tersebut.
Hubungan Internasional merupakan hal yang mutlak dilakukan oleh
negara-negara di dunia. Hal ini berkesesuaian dengan kodrat Manusia sebagai
makhluk sosial yang harus mengadakan kerja sama dengan manusia lain sehingga
dalam hal ini dapat dianalogikan bahwa negara tidak akan berdiri dan berjalan
sebagaimana mestinya tanpa adanya bantuan atau hubungan yang baik dengan
negara lain. Hubungan kerja sama antarbangsa dan antarnegara ini menjadi
sedemikian penting karena masing-masing negara memiliki aturan, etika dan
budaya masing-masing. Namun yang utama adalah kesadaran untuk memelihara
hubungan tersebut.1
Dalam dunia hubungan internasional dewasa ini terjadi fenomena
hubungan antar negara yang saling tergantung dalam upaya pemenuhan
kepentingan nasionalnya. Terdapat berbagai cara untuk menjembatani
kepentingan-kepentingan setiap negara dalam hubungan internasional, yaitu salah
satunya dengan cara menjalin kerja sama antar dua negara dan diplomasi antar
1 Kementerian Luar Negeri Indonesia, “Diplomasi Indonesia 2010” diunduh dalam
bentuk PDF pada tanggal 12 November 2018.
2
bangsa, yang meliputi kerja sama di bidang politik, sosial, pertahanan keamanan,
kebudayaan, dan ekonomi, dalam bingkai pada politik luar negeri masing-masing.
Hubungan kerja sama antar dua negara atau yang disebut juga hubungan
bilateral, merupakan salah satu bentuk dari interaksi antar negara sebagai aktor
dalam hubungan internasional untuk memenuhi kepentingan nasionalnya masing-
masing. Dalam pelaksanaannya, terbukti bahwa tiap-tiap negara tidak mampu
memenuhi kepentingan nasionalnya tanpa bekerja sama dengan negara lain, baik
itu negara berkembang maupun negara maju sekalipun.
Indonesia memiliki hubungan luar negeri yang cukup lama dengan Arab
Saudi. Arab Saudi sendiri adalah sebuah negara yang berbentuk monarki atau
negara kerajaan. Kerajaan Arab Saudi (Kingdom of Saudi Arabia/Al-Mamlakah al
‘Arabiyah As-Su’udiyah), merupakan salah satu negara yang memiliki hubungan
yang erat dengan Indonesia. Hubungan bilateral pemerintah Arab Saudi dengan
pemerintah Republik Indonesia yang telah terjalin dari tahun 1947-an hingga saat
ini, dimaksudkan untuk mempererat kerja sama di bidang-bidang tertentu, dengan
prinsip saling menghargai, menghormati dan menguntungkan. Tujuan akhir dari
hubungan bilateral yang didasari prinsip-prinsip tersebut, adalah untuk
meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat bagi masing-masing
negara.2
Hubungan ini diperkuat dengan adanya hubungan agama, budaya, politik
selama bertahun-tahun. Indonesia dan Arab Saudi telah membentuk Sidang
Komisi bersama yang berfungsi sebagai forum bilateral yang membahas berbagai
masalah yang berkaitan dengan perkembangan terakhir antara kedua negara baik
2 Mustafa Abd Rahman, “Era Baru Arab Saudi Melirik ke Timur”, Harian Kompas, 1
Maret 2017, h. 8.
3
di bidang ekonomi, perdagangan dan investasi, perdagangan energi, sosial
budaya, dan ketenagakerjaan.3
Khusus di bidang ketenagakerjaan, Indonesia banyak berhubungan dengan
Arab Saudi terutama pada masalah Pekerja Migran Indonesia yang kerap menjadi
penyebab naik turunnya hubungan RI-Saudi. Duta Besar Indonesia kerap
dipanggil pulang akibat kasus hukuman mati terhadap Pekerja Migran Indonesia
(PMI) misalnya pada kasus Ruyati tahun 2011 dan Karni pada bulan April 2015.4
Dan yang terbaru adalah eksekusi mati terhadap Tuti Tursilawati pada Oktober
2018. Tercatat dalam kurun waktu 2011-2018 terdapat 103 WNI yang dijatuhi
hukuman mati. Dari jumlah tersebut, 85 orang berhasil dibebaskan dari ancaman
hukuman mati sedangkan 5 orang telah diekeskusi sehingga tersisa 13 WNI yang
masih diupayakan perlindungan hukumnya.5
Di Negara Arab Saudi sendiri terdapat tiga tingkatan hukuman mati, yaitu
Ta’zir sebagai tingkatan paling rendah yang diberikan apabila seseorang
melakukan perbuatan pidana yang tidak disebutkan secara jelas hukumannya
dalam al-Qur’an maupun Sunnah, Ta’zir sendiri bisa dimaafkan oleh Raja apabila
berkehendak; kemudian disusul Qishas yang diputuskan apabila terjadi kasus
pembunuhan di mana hukuman ini bisa dibatalkan apabila ahli waris korban
memaafkan si pelaku dan pelaku diharuskan untuk membayar diyat; dan
hukuman mati paling tinggi di Arab Saudi adalah hadd ghillah sebagaimana yang
dialami oleh Tuti Tursilawati, hukuman tersebut diberlakukan apabila pelaku
terbukti melakukan pembunuhan berencana, dalam hal ini raja atau ahli waris
korban tidak bisa memaafkan pelaku yang bisa memaafkan hanyalah Allah.
3 Kementerian Agama RI, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentang
Penyelenggaraan Ibadah Haji, (Jakarta: Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji Dan Umrah,
2010), h. 22
4 Metrotvnews.com, “Dubes Arab Saudi Kembali Dipanggil Kemlu untuk Sampaikan
Protes”, diakses dari http://internasional.metrotvnews.com/read/2015/04/16/387215/dubes-arab-
saudi-kembali-dipanggil-kemlu-untuk-sampaikan-protes pada tanggal 12 November 2018.
5 Kompas.com, “Kemenlu: 13 WNI Terancam Hukuman Mati di Arab Saudi”, diakses
dari https://nasional.kompas.com/read/2018/10/30/21452841/kemenlu-13-wni-terancam-hukuman-
mati-di-arab-saudi pada tanggal 08 Agustus 2019.
4
Menurut Lalu Muhammad Iqbal yang menjabat sebagai Direktur
Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Bantuan Hukum Indonesia (PWNI-
BHI) Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, bahwa Tuti Tursilawati
menerima jenis hukuman mati yang paling tinggi di Arab Saudi yaitu hadd
ghillah.6
Aspek perlindungan terhadap pekerja migran di luar negeri memiliki
keterkaitan dengan sistem pengelolaan dan pengaturan yang dilakukan berbagai
pihak yang terlibat pada pengiriman Pekerja Migran Indonesia ke luar negeri.
Untuk langkah penempatan tenaga kerja di luar negeri, Indonesia telah
menetapkan mekanisme melalui tiga fase tanggung jawab penempatan yakni fase
pra-penempatan, selama penempatan dan pasca penempatan. Pengaturan tentang
penempatan tenaga kerja Indonesia ke luar negeri adalah Undang-undang No. 39
Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di
Luar Negeri yang kemudian diubah menjadi UU No. 18 Tahun 2017 tentang
Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.
Negara wajib menjamin dan melindungi hak asasi warga negaranya yang
bekerja baik di dalam maupun di luar negeri berdasarkan prinsip persamaan hak,
demokrasi, keadilan sosial, kesetaraan dan keadilan gender, anti diskriminasi dan
anti perdagangan manusia. Dalam hal ini, penempatan Pekerja Migran Indonesia
di Arab Saudi merupakan suatu upaya untuk mewujudkan hak dan kesempatan
yang sama bagi setiap warga negara untuk memperoleh pekerjaan dan penghasilan
yang layak, yang pelaksanaannya dilakukan dengan tetap memperhatikan harkat,
martabat, hak asasi manusia dan perlindungan hukum serta pemerataan
kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan
nasional.7
6 Tempo.co, “TKI Tuti Tursilawati Terima Hukuman Mati Terberat Hadd Ghillah”,
diakses dari https://nasional.tempo.co/read/1141455 pada tanggal 12 November 2018.
7 Darwan Prints, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
2000), h. 55.
5
Dalam proses bertemunya penawaran dan permintaan pekerja migran dari
satu negara dengan negara lain tentu akan terjadi suatu transformasi nilai,
sehingga permasalahan sosial dan hukum sering dihadapi oleh tenaga kerja
pendatang. Berbagai permasalahan sering dihadapi oleh Pekerja Migran Indonesia
yang bekerja di Arab Saudi demikian ini baik yang terjadi pada fase pra-
penempatan, selama penempatan maupun pasca penempatan. Dalam setiap fase
tersebut selalu terlibat segitiga pola hubungan yaitu pekerja migran, pengusaha
penempatan tenaga kerja serta pemerintah selaku pembuat kebijakan. Khusus
untuk hak-hak pekerja migran yang penting adalah memperoleh jaminan
perlindungan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan atas tindakan
yang dapat merendahkan harkat dan martabatnya serta pelanggaran atas hak-hak
yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan selama penempatan
di luar negeri dan memperoleh jaminan perlindungan keselamatan dan keamanan
kepulangan Pekerja Migran Indonesia (PMI) ke tempat asal.
Untuk memperkecil problematika yang dihadapi para pekerja migran di
Arab Saudi serta melindungi harkat dan martabat pekerja migran tersebut maka
dibuatlah pengaturan tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia di luar
negeri dalam Undang-undang No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (UU PPTKILN) yang
kemudian telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang
Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI).8 Selain itu Pemerintah
Indonesia juga memiliki beberapa langkah untuk melindungi warganya yang
terancam hukuman mati di antaranya adalah melakukan kebijakan moratorium,
diplomasi bilateral, membentuk Satuan Tugas khusus penanganan kasus WNI atau
PMI yang terancam hukuman mati di Luar Negeri salah satunya melalui
Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2011 yang bekerja selama enam bulan sejak
8 Kementerian Luar Negeri Indonesia, “Diplomasi Indonesia 2010” diunduh dalam
bentuk PDF pada tanggal 12 November 2018.
6
disahkannya, menunjuk beberapa pengacara yang berasal dari Arab Saudi, seta
membantu terpidana mati untuk membayar diyat.9
Langkah-langkah Pemerintah Indonesia dalam melindungi warganya yang
terancam hukuman mati akan penulis bahas lebih lanjut dalam penelitian skripsi
yang berjudul:
“PERAN PEMERINTAH DALAM PERLINDUNGAN PEKERJA MIGRAN
INDONESIA (PMI) TERPIDANA MATI DI ARAB SAUDI TAHUN 2018”
B. Identifikasi, Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Upaya perlindungan yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia
terhadap PMI yang terlibat kasus hukum di negara mereka selama bekerja
terkadang mengalami kegagalan setelah terjadinya eksekusi mati tanpa
pemberitahuan yang dilakukan Pemerintah Arab Saudi. Adapun identifikasi
masalah yang penulis dapatkan dalam kajian ini antara lain:
a. Tidak adanya Perjanjian mandatory consular notification antara
Negara Indonesia dan Arab Saudi menyebabkan Arab Saudi tidak
memberitahukan terlebih dahulu mengenai eksekusi mati yang
dilakukan terhadap salah satu Warga Negara Indonesia.
b. Sistem hukuman mati yang ada di Arab Saudi yang terdiri dari tiga
tingkatan, yaitu ta'zir, qishas, dan hadd ghillah.
c. Perwakilan Pemerintah Indonesia yang tidak dapat dijadikan sebagai
instrumen untuk mengintervensi keputusan pengadilan dari Arab
Saudi sehingga terkadang gagal dalam memberikan perlindungan
terhadap para PMI.
9 Fitri Insani, “Upaya Indonesia Membebaskan Tenaga Kerja Indonesia Terpidana
Hukuman Mati di Arab Saudi (2011-2013)”, Jom FISIP Vol. 2 No. 1, 2015, h. 7.
7
2. Pembatasan Masalah
Untuk membatasi permasalahan, maka pembahasan dalam penulisan ini
hanya terbatas pada perlindungan PMI yang terancam hukuman mati di Arab
Saudi pada tahun 2018, substansi perlindungan hukum terhadap PMI selama
bekerja dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan
Pekerja Migran Indonesia, serta langkah-langkah Pemerintah dalam memberikan
upaya perlindungan bagi PMI yang terancam hukuman mati di Arab Saudi.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, maka dapat
dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:
a. Bagaimana bentuk perlindungan hukum Pemerintah Indonesia
terhadap Pekerja Migran Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2017 Tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia?
b. Bagaimana upaya perlindungan konsuler dan diplomatik Pemerintah
Indonesia terhadap Pekerja Migran Indonesia yang terancam hukuman
mati di Arab Saudi?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan
Dalam penelitian ini penulis memiliki tujuan di antaranya:
a. Menjelaskan Konsep Perlindungan Pekerja Migran Indonesia
khususnya mereka yang terancam hukuman mati melalui Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2017 Tentang Perlindungan Pekerja Migran
Indonesia.
b. Menjelaskan bagaimana implementasi Pemerintah khususnya
Kementerian Luar Negeri dalam membantu PMI yang terancam
hukuman mati di Arab Saudi.
8
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini dibagi dua yaitu manfaat yang
bersifat teoritis dan praktis, yaitu:
a. Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah untuk menambah literatur
keilmuan tentang peran Pemerintah dalam perlindungan PMI yang
terancam hukuman mati khususnya di Arab Saudi;
b. Sedangkan manfaat praktis dari penelitian ini adalah, sebagai bahan
pertimbangan bagi pejabat terkait untuk membuat kebijakan politik
dengan pemerintah Arab Saudi terkait dengan perlindungan PMI yang
terancam hukuman mati, selain itu penelitian ini bisa digunakan
sebagai pembelajaran bagi para calon PMI untuk mempelajari terlebih
dahulu sistem hukum negara yang akan dijadikan tujuan bekerja.
D. Review Studi Terdahulu
Beberapa penelitian terkait topik permasalahan ini telah banyak dilakukan
baik yang mengkaji secara umum maupun yang menyinggung secara spesifik.
Berikut paparan tinjauan umum atas sebagian karya penelitian tersebut.
Artikel Fitri Insani yang berjudul, “Upaya Indonesia Membebaskan
Tenaga Kerja Indonesia Terpidana Hukuman Mati di Arab Saudi (2011-2013)”,
dalam jurnal Jom FISIP volume 2 nomor 1 – Februari 2015.10 Fitri dalam
penelitian ini membahas tentang upaya perlindungan yang dilakukan pemerintah
terhadap TKI yang terancam pidana mati dalam kurun waktu 2011 sampai dengan
2013, dalam penelitian ini Fitri menggunakan metode penelitian normatif di mana
bisa dilihat dari sumber-sumber penelitian yang berasal dari buku-buku, jurnal,
artikel, dan media massa online. Selain itu fokus penulisan terletak pada kebijakan
politik luar negeri yang diambil Indonesia apabila terjadi hukuman mati, Fitri
10 Fitri Insani, “Upaya Indonesia Membebaskan Tenaga Kerja Indonesia Terpidana
Hukuman Mati di Arab Saudi (2011-2013)”, Jom FISIP Vol. 2 No. 1, 2015.
9
tidak membahas konsep perlindungan PMI yang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan.
Berbeda dengan penulis, objek penelitian dari penulis adalah dengan
melihat kepada peraturan perundang-undangan dan peran pemerintah dalam
melakukan perlindungan. Selain itu berbeda dengan saudari Fitri Insani, penulis
sendiri menggunakan metode normatif empiris yaitu penelitian kepustakaan
(library research) yang dilengkapi wawancara dengan pejabat terkait yang berada
di Direktorat PWNI BHI Kementerian Luar Negeri.
Skripsi Atika Fauziati yang berjudul, “Perlindungan Hukum Bagi Tenaga
Kerja Indonesia yang Terpidana Mati di Luar Negeri dalam Peraturan
Perundang-Undangan di Indonesia”,11 metode penelitian yang digunakan dalam
skripsi adalah metode penelitian normatif yang membahas konsep perlindungan
PMI dengan melihat pada peraturan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia, dan perlindungan dimaksud oleh Atika adalah perlindungan yang
berlaku secara umum di semua negara tujuan pengiriman PMI.
Berbeda dengan penulis sendiri, dalam penelitian yang dibahas, penulis
hanya memfokuskan pada perlindungan PMI yang berada di Arab Saudi saja.
Karena penulis merasa bahwa masing-masing negara yang menjadi tujuan kerja
para PMI mempunyai sistem hukum yang berbeda, khususnya negara Arab Saudi
yang berdasarkan syariat Islam dalam menjalankan hukum pidana di negara
tersebut. Maka konsep perlindungan yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia
bukan hanya dilihat dari peraturan perundang-undangannya saja tapi juga dari
praktik Perwakilan Republik Indonesia di Arab Saudi untuk melindungi para PMI
yang terancam hukuman mati di Arab Saudi.
11 Atika Fauziati, “Perlindungan Hukum Bagi Tenaga Kerja Indonesia yang Terpidana
Mati di Luar Negeri dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia,” (Skripsi S-1 Fakultas
Hukum, Universitas Brawijaya Malang, 2015).
10
Dengan melihat penelitian terdahulu di atas, maka penulis merasa perlu
melakukan penelitian lebih lanjut tentang peran Pemerintah RI dalam
perlindungan terhadap PMI terpidana mati di Arab Saudi.
E. Metode Penelitian
Untuk memudahkan penulis dalam melakukan penelitian skripsi ini, maka
penting bagi penulis untuk menyusun metode yang nanti akan digunakan sebagai
petunjuk dalam melakukan penelitian ini, dengan kata lain metode penelitian ini
meliputi prosedur dan alat yang digunakan dalam penelitian skripsi ini.12 adapun
metode penelitian yang digunakan adalah sebagai berikut.
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif empiris
yang menggunakan data primer dan sekunder yang berasal dari wawancara,
peraturan perundang-undangan , buku-buku, atau literatur hukum lainnya. Pada
dasarnya penelitian ini merupakan gabungan antara penelitian hukum normatif
yang berasal dari kepustakaan (library research) yang sumbernya berasal dari
peraturan perundang-undangan tentang perlindungan PMI di Luar Negeri dan
dilengkapi dengan penelitian hukum empiris berupa wawancara kepada pejabat
terkait tentang implementasi pemerintah dalam memberikan perlindungan kepada
para PMI yang terlibat kasus hukum.13
2. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer
dan data sekunder. Data primer pada penelitian ini berasal dari wawancara
yang dilakukan penulis secara pribadi dengan pejabat terkait di Direktorat
PWNI/BHI Kementerian Luar Negeri yaitu Ibu Marisa Febriana Wardani yang
menjabat sebagai Kasie Pengembangan Kebijakan dan Kerja Sama Bilateral
12 Hermawan Wasito, Pengantar Metodologi Penelitian, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 1993, Cet. Kedua), h. 24.
13 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 2015), h. 36
11
Bidang PWNI/BHI Kawasan III; Ika Masruroh dari Divisi Bantuan Hukum
Migrant CARE Jakarta; dan beberapa akademisi di bidang Hukum Pidana
Islam yaitu Bapak Dr. Fuad Thohari, M.Ag., dan Bapak Dr. H. M. Nurul Irfan,
M.Ag., selaku dosen tetap Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Adapun data sekunder yaitu semua data
yang memberikan penjelasan mengenai data primer, baik dalam bentuk
peraturan perundang-undangan, buku, artikel, maupun melalui informasi
media internet. Data sekunder tentang hukum pada penelitian ini dibagi dua
yaitu, bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
Pada penelitian ini, bahan hukum primer yang digunakan berupa
Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik, Konvensi Wina 1963
tentang Hubungan Konsuler, Undang-Undang No. 37 Tahun 1999 tentang
Hubungan Luar Negeri, Undang-Undang Nomor Nomor 18 Tahun 2017
Tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, Peraturan Ketenagakerjaan
Arab Saudi No. M/51 Peraturan Ketenagakerjaan Kerajaan Arab Saudi No.
M/51 Tanggal 23 Sya’ban 1426 H, Dekrit Kerajaan Arab Saudi No. M/38
tentang Hukum Acara Pidana, Peraturan Menteri Luar Negeri No. 05 Tahun
2018 tentang Perlindungan Warga Negara Indonesia di Luar Negeri, dan
Keputusan Menteri Luar Negeri Nomor : Sk.06/A/OT/VI/2004/01 tahun 2004
Tentang Organisasi dan Tata Kerja Perwakilan Republik Indonesia di Luar
Negeri.
3. Sifat Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif, yaitu
penelitian yang dilakukan melalui pemaparan secara lengkap, rinci, jelas, dan
sistematis tentang peran dari Pemerintah dalam hal ini Kementerian Luar
Negeri RI untuk melindungi WNI/PMI terpidana mati di luar negeri.
4. Pendekatan
12
Berdasarkan jenis penelitian hukum normatif empiris, Yaitu suatu
pendekatan yang mengkaji asas-asas hukum terhadap kebijakan publik dan
keterkaitan asas-asas doktrinal dengan hukum-hukum positif, maupun hukum
yang berlaku di masyarakat dan kemudian menghubungkannya dengan
kejadian nyata yang terjadi di lapangan.
5. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini metode yang digunakan dalam pengumpulan data
adalah metode wawancara, yaitu penulis bertanya secara langsung kepada
pejabat terkait di Kementerian Luar Negeri. Selain itu penulis akan
menggunakan metode dokumentasi, yaitu dengan mencatat dan menyalin data-
data tertulis yang berhubungan dengan masalah penelitian baik dari sumber
dokumen/buku-buku, koran, majalah, internet, dan lain-lain.
6. Metode Analisis Data
Data wawancara yang telah diperoleh kemudian diklasifikasikan
menurut pokok bahasan masing-masing, maka selanjutnya dilakukan analisis
data. Analisis data bertujuan untuk menginterpretasikan data yang sudah
disusun secara sistematis yaitu dengan memberikan penjelasan. Analisis data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif, yaitu
menguraikan data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur, runtun,
logis, tidak tumpang tindih, dan efektif, sehingga memudahkan interpretasi
data dan pemahaman hasil analisis.
F. Sistematika Pembahasan
Untuk mendapatkan gambaran jelas mengenai materi yang menjadi pokok
penulisan skripsi dan supaya memudahkan para pembaca dalam mempelajari
tata urutan penulisan ini, maka penulis menyusun sistematika penulisan ini
sebagai berikut.
13
BAB I Pendahuluan. Pada bab ini dibahas Latar Belakang, Pembatasan
dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Review Studi
Terdahulu, Metode Penelitian, dan Sistematika Pembahasan.
BAB II Hubungan Antar Negara Sebagai Alat Perlindungan Bagi Warga
Negara. Pada bab ini mengenai Hubungan Diplomatik, Hubungan Konsuler,
Fungsi dan Bentuk Perlindungan oleh Perwakilan RI di Luar Negeri, dan
Perjanjian Internasional.
BAB III Hubungan Bilateral Indonesia-Arab Saudi Dalam Pengiriman
Pekerja Migran. Pada bab ini dijelaskan mengenai Sejarah Hubungan Bilateral
Indonesia-Arab Saudi, Sistem Ketenagakerjaan di Arab Saudi, Sistem Hukum
Pidana dan Acara Pidana di Arab Saudi, serta Data Jumlah Kasus WNI/PMI
selama Tahun 2018.
BAB IV Bentuk Pelindungan Pemerintah Indonesia Terhadap Pekerja
Migran Indonesia Terpidana Mati Di Arab Saudi. Pada bab ini dijelaskan
mengenai Bentuk Perlindungan oleh Pemerintah dalam Peraturan Perundang-
undangan, Upaya Perlindungan Kekonsuleran Pemerintah terhadap Ancaman
Hukuman Mati Pekerja Migran Indonesia di Arab Saudi, Perlindungan
Diplomatik Pemerintah Indonesia terhadap PMI Terpidana Mati di Arab Saudi,
dan Perjanjian Mandatory Consular Notification (MCN) sebagai Alat
Perlindungan WNI/PMI.
BAB V Penutup. Pada bab ini disajikan kesimpulan masalah-masalah dari bab
satu serta memberikan saran atau masukan mengenai follow up tema yang
dibahas.
14
BAB II
HUBUNGAN ANTAR NEGARA SEBAGAI ALAT PERLINDUNGAN
BAGI WARGA NEGARA
A. Hubungan Diplomatik
Sudah menjadi tabiat dari manusia yang beradab untuk menyelesaikan
konflik di antara mereka dengan cara damai. Salah satu cara tertua yang sering
digunakan manusia untuk menyelesaikan konflik di antara mereka adalah melalui
jalan diplomasi. dewasa ini, banyak negara menggunakan metode diplomasi guna
meringankan hubungan antar negara yang tegang; mengurangi permusuhan;
membangun hubungan sosial, budaya, ekonomi, dan politik; serta melakukan
gencatan senjata dan konsolidasi perdamaian1.
Islam sebagai agama yang paripurna juga telah mengajarkan kepada
umatnya prinsip-prinsip dalam berhubungan Internasional, di antara prinsip dasar
hubungan internasional dalam Islam sebagaimana yang disebutkan oleh M. Abu
Zahrah dalam bukunya al-‘Alaqaatu al-Dawliyyatu fii al-Islaamiyyati adalah:
kehormatan manusia, manusia semuanya umat yang satu, kerjasama kemanusiaan
(ta’awun Insani), Toleransi (tasamuh), kemerdekaan (hurriyah), budi baik
(fadhilah), keadilan (‘adalah), perlakuan yang sama (al-mu’amalah bil misli),
memenuhi janji (wafa’ bii al-‘ahdi), kasih sayang (mawaddah) dan pencegahan
kerusakan (daf’u al-mafaasid).
Kata diplomasi secara bahasa berasal dari Bahasa Yunani yaitu diploma
yang berarti surat rekomendasi atau pengiriman surat izin resmi atau hak
istimewa. Secara historis asal-usul diplomasi muncul bersamaan dengan
1 Arshid Iqbal Dar dan Jamshid Ahmad Sayed, “Diplomacy in Islam”, Asian Journal of
Science and Technology, Vol. 8 No. 09, (September, 2017) h. 5616.
15
keputusan antar komunitas manusia pada zaman dahulu tentang batas teritorial
wilayah berburu mereka.2
Terdapat berbagai macam alat diplomasi dewasa ini seperti negosiasi,
pengiriman perwakilan tetap ke luar negeri, penandatanganan perjanjian dan
arbitrase3. Digunakannya alat diplomasi tersebut di atas dengan baik akan
memudahkan masing-masing negara untuk mencapai kepentingan nasionalnya.
Pengiriman perwakilan oleh suatu negara ke negara lain muncul
bersamaan dengan lahirnya negara-negara di dunia dan berkembangnya prinsip-
prinsip hukum internasional. Dalam hubungannya tersebut negara-negara
mengirim wakil-wakilnya untuk berunding dengan negara lain dalam rangka
memperjuangkan dan mengamankan kepentingannya masing-masing di samping
mengupayakan terwujudnya kepentingan bersama4.
Perwakilan negara atau yang biasa disebut dengan utusan sudah ada sejak
zaman Yunani Kuno. Seperti dikutip dari buku karangan Dr. Boer Mauna, bangsa
Yunani Kuno telah mengenal ketentuan-ketentuan terkait aturan-aturan perang
dan penghormatan terhadap utusan-utusan negara antar city-states di Yunani pada
saat itu. Namun perlu diketahui bahwa pengiriman utusan pada masa itu tidak
mempunyai status permanen, dalam arti bahwa ia diutus ke suatu negara hanya
untuk tugas tertentu dan kembali ke negerinya segera setelah tugasnya selesai.
Adapun praktik Diplomasi yang dilakukan pada masa awal Islam sama
seperti praktik negara-negara kuno pada umumnya, tidak dilakukan secara tetap.
Setiap negara penerima tidak ingin membahayakan keamanan negaranya dengan
mengizinkan utusan negara luar untuk menetap di wilayah mereka lebih lama.
2 Corneliu Bjola dan Markus Kornprobst, Understanding International Diplomacy:
Theory, Practice and Ethics, (Routledge, 2013), h. 11.
3 Arshid Iqbal Dar dan Jamshid Ahmad Sayed, “Diplomacy in Islam”, Asian Journal of
Science and Technology, h. 5617.
4 Boer Mauna, Hukum Internasional; Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global, (Bandung: Penerbit Alumni, 2001, cet. ketiga), h. 465.
16
Bahkan Khalifah Abu Bakar secara terang-terangan memberikan instruksi kepada
Yazid bin Abi Sufyan mengenai tenggang waktu bagi seorang utusan untuk
berada di wilayah Kaum Muslim, “Persingkat masa tinggal utusan negara luar di
wilayahmu! Sehingga ketika mereka keluar mereka tidak mengetahui suatu
rahasia dari wilayahmu. Jangan pula mereka melihat keadaan wilayahmu,
sehingga nantinya mereka akan mengetahui karakteristik dan kelemahan dari
wilayahmu.”5
Diplomasi dalam Islam tidak hanya digunakan sebagai alat untuk
mencapai perdamaian setelah terjadinya perang, tetapi sering juga digunakan
dalam keadaan damai. Contohnya adalah sebuah perjanjian yang ditandatangani
oleh Umat Islam dengan beberapa komunitas penduduk di Madinah disebut juga
Piagam Madinah, dan Perjanjian Hudaibiyyah antara Umat Muslim Madinah
dengan Penduduk Mekah dalam permasalahan haji6.
Pada masa awal munculnya Islam, Nabi Muhammad Sallallahu ‘alaihi
Wasallam pernah mengirim beberapa utusan untuk menyiarkan agama Islam
kepada beberapa kerajaan besar di Asia, Afrika dan Eropa. Mereka adalah Hatib
bin Abi Balta’ah yang menjadi utusan resmi Rasulullah kepada Muqawqis,
Gubernur Romawi di Mesir; Abdullah bin Hudzaifa kepada Raja Persia; Dihyah
bin Khalifah al-Kalbi kepada Heraclius, Kaisar Bizantium Romawi; Amar bin
Umayyah al-Damri kepada Ashamah bin Jabbar, Raja Ethiopia; Amr bin ‘Ash
kepada Raja-Raja Oman; Salit bin ‘Amr kepada Raja-Raja Yamamah; al-‘Ala bin
al-Hadrami kepada Raja Bahrain; Shuja bin Wahab al-Assadi kepada Raja
Ghassan; al-Muhajir bin Abi Umayya al-Makhzumi kepada Raja Himyar; Muadz
5 Muhammad Basheer A. Ismail, Islamic Law and Transnasional Diplomatic Law: A
Quest for Complementarity in Divergent Legal Theories, (Basingstoke: Palgrave Macmillan, 2016)
h.33.
6 Muhammad Basheer A. Ismail, Islamic Law and Transnasional Diplomatic Law: A
Quest for Complementarity in Divergent Legal Theories, h.34.
17
bin Jabbal kepada raja-raja di Yaman; dan Sa’ad bin Abi Waqqas yang dikirimkan
ke Cina7.
Sedangkan praktik pengiriman utusan perwakilan diplomatik sebagaimana
berlaku dewasa ini dimulai pada abad ke-15 di city-states Italia seperti Milan,
Venesia, Genoa, dan Florensia. Selanjutnya, praktik tersebut berkembang antar
negara-negara Eropa pada pertengahan abad ke-17 setelah Perjanjian Westphalia
pada tahun 1648. Tujuan dari dilembagakannya perwakilan tetap dan duta
besarnya adalah sebagai bentuk perwujudan agar sebuah hubungan diplomatik
dapat berjalan secara berkesinambungan.8
Pada mulanya ketentuan-ketentuan mengenai perwakilan diplomatik hanya
berasal dari hukum kebiasaan. Kodifikasi hukum kebiasaan tentang perwakilan
diplomatik menjadi hukum tertulis dimulai pada Kongres Wina 1815. Namun,
kongres ini dari isinya yang bersifat praktis tidak menambah sesuatu yang baru
terhadap praktik yang sudah ada sebelumnya selain menjadikannya sebagai
hukum tertulis9.
Pada tahun 1927 dalam kerangka Liga Bangsa-Bangsa diupayakanlah
kodifikasi yang sesungguhnya. Namun, hasil-hasil yang dicapai Komisi Ahli
ditolak oleh Dewan Liga Bangsa-Bangsa tersebut dengan alasan belum waktunya
untuk merumuskan kesepakatan global mengenai hak-hak istimewa dan kekebalan
diplomatik yang cukup kompleks10.
7 Muhammad Basheer A. Ismail, Islamic Law and Transnasional Diplomatic Law: A
Quest for Complementarity in Divergent Legal Theories, h.35.
8 Boer Mauna, Hukum Internasional; Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global, h. 466.
9 Boer Mauna, Hukum Internasional; Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global, h. 467.
10 Boer Mauna, Hukum Internasional; Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global, h. 467.
18
Adapun ketentuan-ketentuan tentang hubungan diplomatik dewasa ini
diatur dalam Konvensi Wina 1961. Konvensi ini diterima oleh 72 negara, tidak
ada yang menolak dan satu negara abstain. Dan pada tanggal 18 April 1961 wakil
dari 75 negara menandatangani konvensi tersebut, yang terdiri dari mukadimah,
53 pasal dan protokol. Hampir seluruh negara-negara di dunia telah meratifikasi
Konvensi tersebut termasuk Indonesia yang meratifikasinya dengan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1982 pada tanggal 25 Januari 1982.11
B. Hubungan Konsuler
Selain hubungan diplomatik, dalam hukum internasional dikenal juga
hubungan konsuler. Dua bentuk hubungan perwakilan tersebut secara sah diakui
oleh PBB dalam bentuk Konvensi, yaitu Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan
Diplomatik dan Konvensi Wina 1963 tentang Hubungan Konsuler.
Lain halnya dengan hubungan diplomatik yang mengandung aspek politik,
hubungan konsuler yang tumbuh dan berkembang sebelum lahirnya sistem
perwakilan diplomatik merupakan produk dari kegiatan-kegiatan perdagangan dan
pelayaran12.
Kegiatan-kegiatan perdagangan mulai berkembang di city-states Yunani
dan kota-kota lainnya di Timur Tengah sebelum lahirnya Islam. Pedagang-
pedagang yang datang dari kota atau negeri yang sama berkumpul dan hidup di
tempat yang sama dalam suatu kelompok masyarakat terpisah. Kelompok
masyarakat pedagang ini mendapatkan semacam otonomi dan terutama hak untuk
mempunyai hakim-hakim khusus yang pada abad ke-12 mulai dikenal sebagai
‘konsul’13. Pada abad ke 13 dan 14 sistem konsuler berubah, ‘konsul’ bukan lagi
11 Boer Mauna, Hukum Internasional; Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global, h. 468-469.
12 Boer Mauna, Hukum Internasional; Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global, h. 527.
13 Boer Mauna, Hukum Internasional; Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global, h. 528.
19
diangkat oleh para pendatang asing setempat di antara mereka tetapi dikirim oleh
masing-masing negara. Mereka bertugas untuk mengurus kegiatan-kegiatan niaga
dari warga negara mereka di tempat tersebut. Perwakilan konsuler di samping
mengurus kepentingan para warga pendatang tetapi mempunyai wewenang sipil
dan kriminal terhadap warga mereka. Konsul-konsul negara Barat di pelabuhan-
pelabuhan bagian Afrika Utara dan Timur Dekat (Syam) dari segala segi
mempunyai kekuasaan yang luas. Konsul-konsul di Timur Dekat misalnya
memperoleh hak-hak istimewa yang diberikan oleh raja-raja Islam untuk
mengadili sendiri warga mereka sesuai hukum Barat.14
Perkembangan pesat dalam bidang kekonsuleran terjadi pada periode abad
ke 16-17, ketika aturan-aturan konsuler pertama kali dipublikasikan oleh Jean-
Baptiste Colbert15 tahun 1681, yang disebut dengan Ordonnance de la Marine.
Ordonnance de la Marine menjadi perangkat penting untuk menentukan tarif
impor, sekaligus menjamin pasokan komoditas dagang utama ke Perancis. Colbert
telah mengeluarkan lebih dari 150 kebijakan untuk mengatur perdagangan luar
negeri, termasuk mengatur standar kualitas komoditas perdagangan. Jumlah dan
peran konsulat sebagai perwakilan semakin meningkat pada abad ke-19 dan abad
ke-20, yang membutuhkan kerangka hukum yang lebih kuat dan tepat untuk
pelayanan dan statusnya.
Sejalan dengan aktifitas sosial politik dan ekonomi, peran konsuler
semakin penting dengan tantangan baru yaitu perlindungan warga negara dan
kepentingannya. Upaya untuk memberikan landasan hukum internasional yang
14 Boer Mauna, Hukum Internasional; Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global, h. 528.
15 Jean Baptiste Colbert (1619-1683 M) adalah seorang politisi Perancis yang menjabat
sebagai Menteri Keuangan Perancis pada tahun 1665, dan sekretaris negara untuk angkatan laut
Perancis 1683 di bawah pemerintahan Raja Louis XIV. Dia juga yang membuat program
pembangunan ekonomi Perancis sehingga menjadikan negara ini sebagai salah satu negara terkuat
di Eropa. Diakses dari https://www.britanica.com pada tanggal 10 Juli 2018.
20
memadai mulai dilakukan melalui pembahasan di Liga Bangsa-Bangsa, namun
belum dicapai kesepakatan dan menjadi isu pending selama 20 tahun16.
Perkembangan penting negosiasi bidang kekonsuleran terjadi pada tahun
1949, ketika Komisi Hukum Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa
mempertimbangkan hubungan kekonsuleran dan kekebalan sebagai bagian
rencana kodifikasi. Pada konferensi PBB tentang Hubungan Kekonsuleran di
Wina, Austria, tahun 1963 disahkan Konvensi Wina tentang Hubungan Konsuler,
Protokol Opsional mengenai hal memperoleh Kebangsaan dan Protokol Opsional
tentang Penyelesaian Sengketa secara Wajib. Konvensi dan kedua Protokol
Opsional tersebut mulai berlaku pada tanggal 19 Maret 1967.17
Indonesia meratifikasi Konvensi Wina 1963 tentang Hubungan Konsuler
melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1982 beserta Protokol Opsionalnya
tentang Memperoleh Kewarganegaraan, kecuali Protokol Opsional tentang
Penyelesaian Sengketa Secara Wajib. Hal ini disebabkan karena Pemerintah
Republik Indonesia lebih mengutamakan penyelesaian sengketa melalui
perundingan dan konsultasi atau musyawarah antara negara-negara yang
bersengketa18.
C. Fungsi dan Bentuk Perlindungan oleh Perwakilan RI di Luar Negeri
Melihat banyaknya masalah hukum yang menimpa WNI/PMI maka salah
satu fungsi dari Perwakilan Indonesia di luar negeri adalah melakukan
perlindungan kepada para WNI tersebut.
Dalam hal ini salah satu fungsi dari Perwakilan Indonesia di luar negeri
yaitu memberikan perlindungan terhadap PMI di luar negeri berdasarkan hukum
nasional dari negara akreditasi serta hukum dan kebiasaan internasional. Fungsi
16 Direktorat Konsuler Dirjen Protokol dan Konsuler, Manual Konsuler 2015, (Jakarta:
Kemlu, 2015), h. i.
17 Direktorat Konsuler Dirjen Protokol dan Konsuler, Manual Konsuler 2015, h. i.
18 Direktorat Konsuler Dirjen Protokol dan Konsuler, Manual Konsuler 2015, h. ii.
21
perlindungan ini adalah salah satu fungsi tertua yang diemban oleh misi-misi
perwakilan di seluruh dunia. Begitu pentingnya fungsi perlindungan yang
dilakukan oleh seorang konsul, Openheim dalam bukunya International Law
menyebutkan bahwa hak seorang konsul untuk melindungi warga negaranya
sebagai “a very important task of consul.”19
Dalam Peraturan Perundang-undangan fungsi perlindungan yang
dilakukan oleh perwakilan tertuang dalam pasal 19 (b) Undang-Undang Nomor 37
Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri yang berbunyi, “Memberikan
pengayoman, perlindungan, dan bantuan hukum bagi warga negara dan badan
hukum Indonesia di luar negeri, sesuai dengan peraturan perundang-undangan
nasional serta hukum dan kebiasaan internasional.”20
Begitu juga dalam Pasal 21 dari Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999
tentang Hubungan Luar Negeri yang berbunyi, “Dalam hal warga negara
Indonesia terancam bahaya nyata, Perwakilan Republik Indonesia berkewajiban
memberikan perlindungan, membantu, dan menghimpun mereka di wilayah yang
aman, serta mengusahakan untuk memulangkan mereka ke Indonesia atas biaya
negara.”21
Dalam hukum internasional terdapat dua macam perlindungan yang dapat
diberikan oleh misi perwakilan dan negara, yaitu pelindungan diplomatik dan
perlindungan kekonsuleran. Setidaknya terdapat tiga perbedaan antara kedua
macam perlindungan tersebut, yaitu:22
1. Batasan yang terdapat pada aktivitas konsuler bila dibandingkan
dengan aktivitas diplomatik berdasarkan Konvensi Wina 1963.
19 Teguh Wardoyo, “Diplomasi Perlindungan Kerja di Luar Negeri”, Jurnal Diplomasi,
Vol. 2, No. 1 (Maret, 2010) h. 54.
20 Undang-Undang No 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri.
21 Undang-Undang No 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri.
22 Teguh Wardoyo, “Diplomasi Perlindungan Kerja di Luar Negeri”, h. 54.
22
2. Perbedaan level perwakilan antara bantuan kekonsuleran dengan
perlindungan diplomatik.
3. Sifat perlindungan kekonsuleran yang bersifat preventif dibandingkan
dengan sifat remedial dari perlindungan diplomatik.
Setidaknya antara perwakilan diplomatik dan konsuler terdapat beberapa
kesamaan dalam hal fungsi pelaksanaan tugas. Salah satunya adalah melindungi
kepentingan negara pengirim di negara penerima, fungsi ini yang menjadikan
pejabat diplomatik mempunyai tanggung jawab dalam melindungi WNI yang
terlibat kasus hukum di negara akreditasi. Namun terdapat perbedaan antara
fungsi perlindungan yang dilakukan oleh kedua perwakilan apabila dilihat dari
objek yang dilindungi.
Fungsi perlindungan yang dilakukan oleh perwakilan diplomatik lebih
bersifat umum, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 3 Konvensi Wina 1961
ayat 1 (b), “Protecting in the receiving State the interests of the sending State and
of its nationals, within the limits permitted by international law”.23
Sedangkan fungsi perlindungan yang dilakukan oleh perwakilan konsuler
lebih bersifat khusus lagi kepada perseorangan atau badan hukum di negara
akreditasi. Sebagaimana yang diatur dalam Konvensi Wina 1963 yang kemudian
telah diratifikasi oleh Republik Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun
1982. Di dalam Pasal 5 huruf (a) dari konvensi disebutkan, “Protecting in the
receiving State the interests of the sending State and of its nationals, both
individuals and bodies corporate, within the limits permitted by international
law”.24
Karena sifat perlindungan oleh perwakilan diplomatik yang bersifat umum
sebagaimana disebutkan di atas, maka perlindungan kekonsuleran selain dapat
23 Undang-Undang No. 2 Tahun 1982 Tentang Pengesahan Konvensi Wina mengenai
Hubungan Diplomatik 1961 dan Konvensi Wina mengenai Hubungan Konsuler 1963.
24Konvensi Wina 1963 Tentang Hubungan Konsuler PDF diunduh dari
http://legal.un.org/ilc/texts/instruments/english/conventions/9_2_1963.pdf.
23
dilakukan oleh perwakilan konsuler negara pengirim, dapat juga dilakukan oleh
perwakilan diplomatik dari negara pengirim. Wewenang perwakilan diplomatik
untuk melakukan perlindungan kekonsuleran juga disebutkan dalam Pasal 3
Konvensi Wina 1963, “Consular functions are exercised by consular posts. They
are also exercised by diplomatic missions in accordance with the provisions of the
present Convention”.25
Lebih rinci mengenai fungsi dan tugas kekonsuleran yang dilakukan oleh
perwakilan baik diplomatik dan konsuler disebutkan dalam Pasal 18 Keputusan
Menteri Luar Negeri Nomor : Sk.06/A/OT/VI/2004/01 tahun 2004 Tentang
Organisasi dan Tata Kerja Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri yang
berbunyi,“Pejabat Diplomatik dan Konsuler yang melaksanakan fungsi konsuler
mempunyai tugas pelayanan notariat, kehakiman dan jasa konsuler serta
perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia di Negara
Penerima”.26
Fungsi perlindungan kekonsuleran terhadap WNI yang terjerat kasus
hukum di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Luar
Negeri di atas terdiri dari:27
1. Pemberian pengayoman, perlindungan dan bantuan hukum kepada
Warga Negara Indonesia termasuk Pekerja Migran Indonesia, dan
Badan Hukum Indonesia dalam hal terjadi ancaman dan/atau masalah
hukum di Negara Penerima, sesuai dengan peraturan perundang-
undangan nasional, dengan memperhatikan hukum setempat, serta
hukum dan kebiasaan internasional;
25 Konvensi Wina 1963 Tentang Hubungan Konsuler.
26 Keputusan Menteri Luar Negeri Nomor : Sk.06/A/OT/VI/2004/01 tahun 2004 Tentang
Organisasi dan Tata Kerja Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri.
27 Keputusan Menteri Luar Negeri Nomor : Sk.06/A/OT/VI/2004/01 tahun 2004 Tentang
Organisasi dan Tata Kerja Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri.
24
2. penanganan pengaduan tentang permasalahan yang dihadapi oleh
Pekerja Migran Indonesia dengan majikan, pengguna, dan/atau dengan
pemerintah setempat; 3. pengidentifikasian masalah-masalah yang dihadapi oleh Pekerja
Migran dan pelayanan konsultasi dan informasi masalah-masalah
kekonsuleran; 4. pemberian nasehat dan pengupayaan bantuan hukum dalam hal terjadi
sengketa perburuhan antara pengguna jasa dengan Pekerja Migran,
Perusahaan Pengerah Jasa Pekerja Migran dan Perusahaan Pengerah
Jasa Pekerja Migran Asing, pemerintah setempat, maupun sesama
Pekerja Migran Indonesia; 5. pengembangan dan peningkatan jejaring kerja dengan berbagai pihak,
terutama dengan kalangan pemerintah dan swasta, termasuk kepolisian
dan aparat penegak hukum lainnya, kejaksaan, imigrasi, bea cukai,
otoritas pelabuhan, perusahaan penerbangan, perbankan, perhotelan,
masyarakat setempat dan Warga Negara Indonesia di Negara
Penerima; 6. pengamatan, analisis dan pelaporan sistem dan perkembangan hukum
setempat agar dapat diupayakan pemberian informasi yang cepat dan
akurat bagi Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia di
Negara Penerima; 7. penyiapan dan pembuatan perjanjian internasional; 8. pemberian rekomendasi kepada Pemerintah Pusat sebagai bahan
masukan bagi penyusunan kebijakan luar negeri, terutama yang
berkaitan dengan isu-isu kekonsuleran;
Dengan melihat fungsi-fungsi perlindungan kekonsuleran terhadap WNI
yang terjerat kasus hukum di luar negeri sebagaimana yang telah disebutkan,
maka perlindungan yang dapat dilakukan oleh perwakilan adalah berupa:28
28 Peni Susetyorini, Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri oleh Perwakilan
Republik Indonesia, Jurnal MMH Jilid 3 No. 1 (Maret, 2010), h. 70-71.
25
1. Perlindungan Teknis
Tindakan perlindungan teknis ini dapat berupa penyediaan rumah
singgah yang aman dan repatriasi serta apabila diperlukan maka Kedubes
RI dapat menjadi fasilitator dengan melakukan rehabilitasi terhadap PMI
yang bermasalah.
2. Perlindungan Yuridis
Maksud dari perlindungan yuridis kepada WNI yang terjerat kasus
hukum adalah pemberian konsultasi hukum oleh Perwakilan RI berupa,
kerjasama antara Perwakilan RI dengan pengacara dalam memberikan
informasi yang berkaitan dengan proses hukum. Meliputi, sistem hukum
negara setempat, hukum acara serta saran-saran mengenai sikap dan
perilaku selama menjalankan proses hukum yang akan berdampak pada
putusan pengadilan.
3. Perlindungan Politis
Perlindungan politis ini diberikan dengan cara pembuatan nota
kesepahaman (MoU) antara Pemerintah RI dengan negara penerima
mengenai penempatan dan perlindungan PMI. Perjanjian bilateral tentang
penempatan dan perlindungan PMI ini dapat dijadikan payung hukum bagi
Perwakilan RI dalam menyelesaikan masalah PMI.
Selain perlindungan kekonsuleran terdapat juga perlindungan diplomatik.
Perlindungan diplomatik merupakan salah satu hak tertua yang dimiliki oleh
sebuah negara dalam hukum internasional dan telah diterapkan oleh beberapa
negara. Berbeda dengan perlindungan konsuler, perlindungan diplomatik
dilakukan oleh negara dan tidak terlalu umum diterapkan karena kompleksitas
syarat-syarat penerapannya serta belum adanya kesepahaman mengenai batasan-
batasan perlindungan itu sendiri. Meskipun begitu perlindungan diplomatik ini
telah ditetapkan sebagai salah satu kebiasaan internasional, perlindungan ini dapat
26
berupa tuntutan hukum di pengadilan atau arbitrasi internasional, tekanan politik
atau ekonomi, penyelesaian sengketa secara damai dan sebagainya29.
Bentuk perlindungan diplomatik dapat dilaksanakan bila terpenuhi dua hal,
yaitu30:
1. Mekanisme nasional di negara penerima telah ditempuh total.
2. Perlindungan diberikan kepada individu yang memiliki
kewarganegaraan negara pemberi perlindungan.
Prinsip-prinsip umum perlindungan warga negara di luar negeri secara
diplomatik sebagaimana yang dikemukakan oleh J. G. Starke bergantung pada
terpeliharanya keseimbangan hubungan hak fundamental antara dua negara
yaitu:31
1. Hak suatu negara untuk menjalankan yurisdiksi di dalam wilayahnya
sendiri, bebas dari pengawasan oleh negara-negara lain.
2. Hak suatu negara untuk melindungi warga negaranya di luar negeri.
Berhubungan dengan dua hak fundamental sebagaimana yang disebutkan
di atas maka sering terjadi klaim oleh suatu negara terhadap negara lain yang
disebut dengan “denial of justice”. Istilah ini memiliki arti luas yaitu segala
kerugian yang timbul pada warga-warga negara di luar negeri dalam kaitannya
dengan pelanggaran keadilan internasional, baik yang dilakukan oleh oknum-
oknum di lembaga yudisial, legislatif, atau eksekutif, misalnya penganiayaan di
penjara atau pengambilalihan harta benda secara sewenang-wenang; sedangkan
dalam arti sempit dan lebih teknis, istilah tersebut mengandung makna perbuatan
yang tidak sepatutnya dilakukan oleh badan-badan peradilan suatu negara yang
29 Teguh Wardoyo, “Diplomasi Perlindungan Kerja di Luar Negeri”, h. 56.
30 Teguh Wardoyo, “Diplomasi Perlindungan Kerja di Luar Negeri”, h. 57.
31 J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional 1, Penerjemah Bambang Iriana
Djajaatmaja, Introduction to International Law, (Jakarta: PT Sinar Grafika, 2010), Cet ke-10, h.
410.
27
dituntut, atau meniadakan keuntungan-keuntungan dari proses hukum yang
semestinya kepada warga negara dari negara penuntut.32
“Denial of Justice” dapat dinyatakan apabila telah terjadi suatu
penyalahgunaan proses peradilan atau suatu pemberian keadilan yang tidak
selayaknya seperti penangkapan dan pemidanaan secara tidak sah, merintangi
akses-akses ke pengadilan, penundaan-penundaan yang tidak beralasan dalam
prosedur, suatu keputusan pengadilan yang jelas-jelas tidak adil, penolakan untuk
mendengar keterangan tergugat, atau suatu pemeriksaan pengadilan yang jelas-
jelas curang.33
D. Perjanjian Internasional
Selain Hubungan Diplomatik dan Konsuler yang baik yang harus dimiliki
oleh sebuah negara untuk melindungi warga negaranya, dalam hubungannya
sebuah negara juga memerlukan sebuah perjanjian baik yang bersifat bilateral,
regional, maupun multilateral dengan negara-negara tujuan penempatan untuk
mempermudah negara tersebut melakukan perlindungan kepada warga negaranya.
Dalam hukum internasional terdapat salah satu kaidah utama dalam
melakukan perjanjian yang disebut dengan asas pacta sunt servanda. Menurut
Dionisio Anzilotti (1867-1950), pacta sunt servanda adalah suatu kaidah hukum
di mana negara-negara harus menghormati perjanjian-perjanjian yang dibuat di
antara mereka34. Dalam pasal 26 Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian
disebutkan bahwa “Tiap-tiap perjanjian yang berlaku mengikat negara-negara
pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad baik atau in good faith”.35
32 J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional 1, h. 410.
33 J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional 1, h. 410-411.
34 J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional 1, h. 27.
35 Boer Mauna, Hukum Internasional; Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global, h. 135.
28
Senada dengan asas pacta sunt servanda, Islam juga memerintahkan
umatnya untuk menghormati dan menepati perjanjian yang dibuat di antara
mereka, baik perjanjian yang berlaku tetap maupun sementara. Oleh sebab itu al-
Qur’an menyerukan supaya memenuhi janji, dan menganggap janji itu sebagai
sebuah kekuatan dan mengingkarinya sebagai sumber kelemahan atau
malapetaka.36 Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman dalam al-Qur’an Surah an-
Nahl ayat 91-92:
هدتم ول تنقضوا ٱلين ب عد ت وكيدها وقد ج علتم وأوفوا بعهد ٱلله إذا ععليكم كفيلا إنه ٱلله ي علم ما ت فعلون, ول تكونوا كٱلهت ن قضت غزلا من ٱلله
نكم ب ي ثاا ت تهخذون أينكم دخلا ا أن تكون أمهة هى أرب من أمهة إنه ب عد ق وهة أنك
لوكم ٱلله بهۦ ولي ب ي ننه لكم ي وم ٱلقيمة -٩١ما كنتم فيه تتلفون )النحل: ي ب
٩٢)
Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah
kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang
kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpahmu itu).
Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. Dan janganlah kamu
seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal
dengan kuat, menjadi cerai berai kembali, kamu menjadikan sumpah
(perjanjian)mu sebagai alat penipu di antaramu, disebabkan adanya satu
golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain. Sesungguhnya
Allah hanya menguji kamu dengan hal itu. Dan sesungguhnya di hari kiamat akan
dijelaskan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan itu. (QS an-Nahl:
91-92).
Maksud dari firman Allah di atas tentang seorang perempuan yang
menguraikan benang setelah dipintal adalah sebagai perumpamaan, bahwa negara-
negara yang mengingkari perjanjian yang telah dibuat bagaikan seorang
perempuan bodoh yang menenun benangnya dengan kuat lalu menguraikannya
36 Muhammad Abu Zahrah, al-‘Alaaqatu al-Dawliyyatu fii al-Islaamiyyati, Penerjemah
Muhammad Zein Hasan, Hubungan-Hubungan Internasional dalam Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1973) h. 42.
29
kembali. Ayat ini menunjukkan bahwa menepati sebuah perjanjian yang telah
dibuat adalah sebuah kekuatan dan membatalkannya adalah sebuah kelemahan37.
Perjanjian Internasional memiliki peranan yang sangat vital dalam
mengatur hubungan antar negara. Tanpa perjanjian internasional dewasa ini, tiap
negara akan sulit untuk menggariskan dasar kerjasama, mengatur berbagai
kegiatan, dan menyelesaikan berbagai permasalahan demi kepentingan negara itu
sendiri38.
Sebuah perjanjian dinyatakan berlaku dalam suatu negara setelah negara
yang bersangkutan meratifikasi perjanjian internasional tersebut menjadi
peraturan perundang-undangan nasionalnya. Untuk mencapai tahap ini perjanjian
tersebut melalui beberapa tahap yaitu perundingan (negotiation) dan
penandatanganan (signature). Namun tidak semua perjanjian harus berlaku
dengan ketiga tahapan tersebut, ada perjanjian yang dapat segera berlaku hanya
melalui dua tahapan tanpa ratifikasi.39
Terdapat beberapa istilah perjanjian internasional yang sering kali
digunakan oleh negara-negara dewasa ini. Beberapa istilah yang sering didengar
adalah traktat (treaties), konvensi (convention), persetujuan (arrangement),
pertukaran nota (exchange of notes/exchange of letters).
Traktat secara terminologi dapat digunakan menurut pengertian umum dan
khusus. Yang dimaksud dengan pengertian umum adalah bahwa traktat sering
juga digunakan sebagai sebutan lain dari berbagai macam perjanjian internasional.
Sedangkan dalam arti khusus merupakan perjanjian yang paling penting dan
sangat formal dari semua perjanjian. Jenis-jenis perjanjian yang termasuk dalam
37 Muhammad Abu Zahrah, al-‘Alaaqatu al-Dawliyyatu fii al-Islaamiyyati, Penerjemah
Muhammad Zein Hasan, Hubungan-Hubungan Internasional dalam Islam, h. 42.
38 Boer Mauna, Hukum Internasional; Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global, h. 528.
39 Boer Mauna, Hukum Internasional; Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global, h. 83.
30
traktat adalah perjanjian yang mengatur masalah perdamaian, perbatasan negara,
delimitasi, ekstradisi dan persahabatan40.
Istilah konvensi sering digunakan untuk perjanjian-perjanjian yang
bersifat multilateral, baik oleh negara-negara maupun organisasi-organisasi
internasional, konvensi bersifat law making yang artinya merumuskan kaidah-
kaidah hukum bagi masyarakat internasional, sehingga konvensi sering
memberikan kesempatan secara luas kepada masyarakat untuk ikut
berpartisipasi.41
Istilah persetujuan (arrangement) merupakan sebuah instrumen yang
kurang formal dibandingkan traktat dan konvensi. Istilah ini juga sering
digunakan untuk perjanjian-perjanjian yang bersifat teknis atau administratif yang
ditandatangani oleh wakil-wakil kementerian pemerintah tanpa ratifikasi, selain
itu persetujuan hanya bersifat sementara untuk jangka waktu tertentu.42
Istilah pertukaran nota (exchange of notes/exchange of letters) adalah
merupakan kesepakatan saling pengertian antara negara-negara untuk
menjalankan suatu kewajiban tertentu di antara mereka. Pertukaran nota dilakukan
melalui wakil-wakil diplomatik atau militer negara-negara terkait. Istilah ini juga
sering diungkapkan dengan Memorandum of Understanding (MoU).43
Selanjutnya dibahas tentang hubungan bilateral Indonesia-Arab Saudi
dalam pengiriman tenaga kerja.
40 Boer Mauna, Hukum Internasional; Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global, h. 89-90.
41 Boer Mauna, Hukum Internasional; Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global, h. 91.
42 J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional 2, h. 587.
43 J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional 2, h. 589.
31
BAB III
HUBUNGAN BILATERAL INDONESIA-ARAB SAUDI DALAM
PENGIRIMAN PEKERJA MIGRAN
A. Sejarah Hubungan Bilateral Indonesia-Arab Saudi
Disebut sebagai wilayah yang paling terisolir di Timur Tengah pada
zaman dahulu kala, Arab Saudi muncul sebagai salah satu negara terkaya di
wilayah ini dengan sumber daya minyaknya yang melimpah1.
Negara yang diproklamasikan berdirinya pada tanggal 23 September 1932
oleh ‘Abdul Aziz bin Abdul Rahman as-Sau’ud tersebut menganut sistem
pemerintahan monarki absolut di mana pemimpinnya adalah seorang raja yang
berasal dari keluarga as-Sa’ud. Negara Arab Saudi memiliki konstitusi yang
disebut dengan an-Nizhom al-Asasiy yang dibentuk pada 27 Sya’ban 1412 H/ 2
Maret 1992, konstitusi yang terdiri dari 9 bab dan 83 pasal tersebut memuat
prinsip-prinsip negara yang menjadi sandaran Pemerintah Arab Saudi dalam
menjalankan roda pemerintahannya, selain itu disebutkan dalam konstitusi bahwa
sumber hukum Arab Saudi adalah berasal dari al-Qur’an dan Sunnah.2
Akar-akar terbentuknya kontrak sosial dan politik antara masyarakat Islam
Indonesia dengan Arab Saudi sering dijelaskan melalui aspek-aspek keagamaan.
Kenyataan bahwa Jazirah Arab yang mencakup tanah suci, pusat peribadatan,
sumber pemikiran di bidang keagamaan dan pusat pendidikan ulama bagi
masyarakat Muslim di dunia, hampir selalu dijadikan dasar analisa terhadap isu
seputar hubungan Indonesia-Arab Saudi3. Namun, terdapat faktor-faktor lain
1 “Saudi Arabia Profile, BBC News”, 24 September 2015,
https://www.bbc.com/news/world-middle-east-14703476 diakses pada tanggal 04 Mei 2019.
2 “Al-Nizhamu al-Asasiy li al-Hukmu”, Kementerian Luar Negeri Arab Saudi,
https://www.mofa.gov.sa/aboutKingDom/SaudiGovernment/Pages/BasicSystemOfGovernance248
87.aspx diakses pada 05 Mei 2019.
3 Laurence Husson, Indonesians in Saudi Arabia: Worship and Work, Studia Islamika
Vol. 4, No. 4. 1997, h. 109
32
selain faktor agama yang lebih menentukan hubungan antar Indonesia dengan
Negara-negara di kawasan Timur Tengah misalnya faktor ekonomi dan tenaga
kerja.4
Indonesia sebagai negara dengan jumlah Muslim terbesar di dunia, pada
kenyataannya telah memiliki hubungan dekat dengan seluruh dunia muslim.
Seperti contoh, Indonesia telah mempertahankan hubungannya yang dekat melalui
persaudaraan (tarikat) dengan komunitas Arab Hadramaut yang tinggal di
Kepulauan Nusantara, melalui pertukaran di tingkat universitas; meskipun begitu,
melalui haji dan pengiriman tenaga kerja yang membuat Indonesia jauh lebih
dekat dengan Negara-negara Timur Tengah5. Hubungan antara Indonesia dan
Arab Saudi telah mengakar sejak 700 tahun yang silam, yakni ketika pedagang
Arab datang ke Indonesia dalam masa penyebaran Islam. Sejak saat itu, hubungan
antara kedua negara ini terus berkembang dengan mantap dalam berbagai hal
seperti perdagangan, kegiatan pertukaran, kerjasama yang saling menguntungkan,
dll.6
Dalam beberapa laporan yang ditulis pada masa Kesultanan Aceh dan
Malaka menunjukkan bahwa pada abad ke-16 dan ke-17, sejumlah orang dari
kalangan terdidik dan pejabat pemerintah dari Sumatera dan Jawa mulai
menunaikan ibadah haji. Jumlah itu semakin meningkat setiap tahunnya, atau
menurun tajam karena alasan-alasan tertentu. Karena perkembangan inilah,
Pemerintah Hindia Belanda membuka Konsul Haji di Jeddah.7
Selain beberapa faktor di atas, Arab Saudi merupakan salah satu di antara
beberapa negara yang pertama kali mengakui kemerdekaan Indonesia pada tahun
4 Laurence Husson, Indonesians in Saudi Arabia: Worship and Work, h. 114.
5 Laurence Husson, Indonesians in Saudi Arabia: Worship and Work, h. 114.
6 Laurence Husson, Indonesians in Saudi Arabia: Worship and Work, h. 114.
7 Laurence Husson, Indonesians in Saudi Arabia: Worship and Work, h. 109.
33
19458. Hubungan Indonesia-Arab Saudi diinisiasi pertama kali pada tahun 1948
dengan didirikannya Kedutaan Besar Indonesia di Jeddah; dua tahun berikutnya,
Kantor Perwakilan Arab Saudi dibangun di Jakarta yang mana pada tahun 1955
status tersebut ditingkatkan menjadi sebuah kedutaan resmi9. Untuk terus menjaga
hubungan baik antara kedua negara, pada 24 November 1970 dibuatlah perjanjian
Treaty of Friendship between The Republic of Indonesia and The Kingdom of
Saudi Arabia yang ditandatangani di Jeddah oleh kedua pemerintah negara yang
bersangkutan, yang kemudian diratifikasi melalui UU No. 9 tanggal 18 September
1971.10
Dimulai pada tahun 1983, Pemerintah Indonesia mulai mengizinkan agen-
agen pribadi dari negara-negara di Timur Tengah untuk merekrut WNI yang akan
bekerja di luar negeri. Duta Besar Indonesia untuk Arab Saudi pada waktu itu
menyatakan antusiasmenya terhadap prospek pengiriman pekerja migran, karena
seperti yang dia lihat, dengan terbukanya lapangan pekerjaan di luar negeri berarti
terbukanya pekerjaan bagi warga negara yang pengangguran, dan yang tidak kalah
pentingnya adalah bertambahnya devisa negara11.
Di tahun pertama pengiriman PMI, 47.000 pekerja dengan dokumen
lengkap dikirimkan ke Arab Saudi, dan jumlah tersebut mengalami peningkatan
pada tahun selanjutnya.12 Dalam kurun waktu antara 1984-1989 tercatat jumlah
pekerja mencapai 223.579 dan bertambah menjadi 384.822 dalam lima tahun
berikutnya. Mayoritas (59%) Pekerja Migran Indonesia dalam kurun waktu antara
8 Sumanto al-Qurtubi dan Shafi Aldamer, Saudi-Indonesian Relations: Historical
Dynamic and Contemporary Development, Asian Perspective 42 (2018), h. 122.
9 Sumanto al-Qurtubi dan Shafi Aldamer, Saudi-Indonesian Relations: Historical
Dynamic and Contemporary Development, h. 122.
10 Fadhylatur Rizqah Isdah, “Hubungan Bliateral Arab Saudi-Indonesia di Era
Pemerintahan Raja Salman-Joko Widodo,” (Skripsi S-1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Hasanuddin, Makassar, 2018), h. 63.
11 Rachel Silvey, Transnational Domestication: State Power and Indonesian Migrant
Women in Saudi Arabia, Political Geoghraphy 23 (2004), h. 250.
12 Rachel Silvey, Transnational Domestication: State Power and Indonesian Migrant
Women in Saudi Arabia, h. 250.
34
1989-1994 memilih bekerja di Arab Saudi, dan 2/3 dari para pekerja tersebut
adalah perempuan yang sebagian besar diperkirakan bekerja pada sektor domestik
(PLRT)13.
Untuk mendukung peningkatan pengiriman pekerja migran pada sektor
domestik di luar negeri, beberapa lembaga pemerintahan membentuk program-
program yang secara agresif ikut mempromosikan gerakan pengiriman pekerja
domestik ke luar negeri.14
Meskipun begitu, hubungan antara Indonesia dan Arab Saudi sering
mengalami naik turun. Salah satu sektor yang menjadi penyebab naik turunnya
hubungan antara kedua negara adalah pada sektor ketenagakerjaan, sistem hukum
ketenagakerjaan Arab Saudi dan eksekusi mati tanpa pemberitahuan kepada para
Pekerja Migran Indonesia selalu menjadi penyebabnya. Adalah eksekusi mati
tanpa pemberitahuan sebelumnya yang dilakukan terhadap seorang pekerja
migran bernama Ruyati Binti Satubi pada tahun 2011. Akibat dari tindakan yang
dilakukan Pemerintah Arab Saudi tersebut, Pemerintah Indonesia atas desakan
dari berbagai kalangan masyarakat melakukan kebijakan moratorium pengiriman
PMI ke Arab Saudi. Langkah moratorium pengiriman PMI oleh Indonesia
tersebut mendapatkan serangan balik dari Kerajaan Arab Saudi dengan ditutupnya
akses visa dan izin tinggal bagi Pekerja Migran Indonesia dan Filipina khususnya
yang bekerja pada sektor informal.15
Selain kebijakan moratorium penempatan PMI di Arab Saudi yang
dilakukan pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pada
masa pemerintahan Presiden Joko Widodo juga dikeluarkan kebijakan berupa
13 Rachel Silvey, Transnational Domestication: State Power and Indonesian Migrant
Women in Saudi Arabia, h. 250.
14 Rachel Silvey, Transnational Domestication: State Power and Indonesian Migrant
Women in Saudi Arabia, h. 251.
15 Diana Fatmawati, Penandatanganan MoU antara Indonesia dan Arab Saudi Tahun
2014, Prosiding Interdisiplinary Postgraduate Student Conference I, Program Pascasarjana
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. h. 200.
35
penghentian pengiriman dan penempatan PMI pada sektor domestik ke 19 negara
di kawasan Timur Tengah salah satunya Arab Saudi, melalui Keputusan Menteri
Tenaga Kerja No. 260/2015.16 Hal ini disebabkan karena sistem kafala di negara-
negara Timur Tengah yang tidak menyertakan Pekerja Migran yang bekerja pada
perseorangan (domestik) di sistem hukum ketenagakerjaan mereka. Pengiriman
dan penempatan pekerja migran hanya dapat dilakukan apabila antara Indonesia
dan Arab Saudi telah terdapat perjanjian bilateral yang mengatur tentang status
hukum Pekerja Migran di sektor Informal.
B. Sistem Ketenagakerjaan di Arab Saudi
Secara umum, hukum ketenagakerjaan di kawasan Timur Tengah
khususnya Arab Saudi yang merupakan tujuan penempatan PMI belum
mencantumkan unsur perlindungan bagi tenaga kerja domestik. Sistem kafalah di
negara seperti Arab Saudi merupakan kendala utama dalam pelaksanaan
perlindungan PMI di kawasan ini17.
Sistem Kafalah yang diterapkan oleh negara-negara GCC (Gulf
Cooperation Council) pada tahun 1950 ini mengharuskan pekerja migran untuk
disponsori oleh warga negara atau lembaga pemerintahan negara setempat;
sponsor adalah satu-satunya cara bagi pekerja untuk mendapatkan visa masuk dan
izin tinggal. Sponsor mengambil tanggung jawab hukum dan keuangan untuk
pekerja migran selama masa kontrak. Karena hukum mensyaratkan karyawan
bekerja hanya untuk sponsor, maka banyak sponsor yang mengambil paspor
pekerja migran dan kartu identitas mereka, sehingga para pekerja migran tidak
akan pergi meninggalkan negara penempatan. Jika pekerja memutuskan untuk
meninggalkan sponsor mereka, maka hukuman lainnya akan menunggu mereka;
para pekerja harus segera meninggalkan negara dengan biaya sendiri alih-alih
16 Direktorat Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia, Safe
Travel: Arab Saudi, (Kementerian Luar Negeri RI, 2018).
17 Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kementerian Luar Negeri Republik
Indonesia, Kajian Upaya Peningkatan Kualitas Perlindungan dan Pelayanan TKI di Luar Negeri,
h. 41.
36
meminta majikan mereka menutupi biaya tiket pesawat pulang pada akhir kontrak
mereka.18
Hal tersebut di atas berpengaruh besar ketika PMI lari dari rumah majikan
karena bermasalah dan kemudian ditampung oleh Perwakilan RI, mereka tidak
dapat dengan mudah dan cepat di pulangkan kembali ke Indonesia, terkecuali
pihak majikan lamanya bersedia untuk melepaskan PMI tersebut sehingga exit
permit untuk kepulangan PMI ke tanah air dapat diurus.19
Disebutkan dalam BAB III Peraturan Ketenagakerjaan Kerajaan Arab
Saudi Pasal 32 bahwa suatu perusahaan yang akan mempekerjakan pekerja non-
Saudi harus melalui izin dan persetujuan dari Kementerian Ketenagakerjaan Arab
Saudi. Lebih lanjut dalam Pasal 34 disebutkan bahwa izin untuk bekerja oleh
Kementerian Ketenagakerjaan Arab Saudi tidak dapat digantikan dengan izin dari
instansi-instansi lain20. Namun demikian, dalam pasal 7 Peraturan Kerajaan ini,
disebutkan bahwa ketentuan hukum ini tidak berlaku bagi pekerja domestik dan
pekerjaan sejenisnya atau bagi mereka yang bekerja pada perseorangan seperti
Penata Laksana Rumah Tangga (PLRT). Hal inilah yang menjadi penyebab
adanya para pekerja sektor domestik yang bekerja secara ilegal tanpa memenuhi
persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan oleh Peraturan Ketenagakerjaan
RI.21
Sektor domestik dalam hal ini Penata Laksana Rumah Tangga (PLRT)
masih belum diatur dalam undang-undang ketenagakerjaan nasional dan peraturan
18 Heather E. Murray, Hope for Reform Springs Eternal: How the Sponsorship System,
Domestic Laws and Traditional Customs Fail to Protect Migrant Domestik Workers in GCC
Countries, Cornell International Law Journal, Vol, 45 No. 2 (2012), h. 467.
19 Teguh Wardoyo, “Diplomasi Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri”,
Jurnal Diplomasi, h. 52.
20 Peraturan Ketenagakerjaan Kerajaan Arab Saudi No. M/51, Tanggal 23 Sya’ban 1426
H; No. M/28, Tanggal 12 Jumadal Ula 1434 H; dan No. M/46, Tanggal 05 Jumadal Tsani 1436 H.
21 Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kementerian Luar Negeri Republik
Indonesia, Kajian Upaya Peningkatan Kualitas Perlindungan dan Pelayanan TKI di Luar Negeri,
h. 41.
37
keamanan sosial masih menjadi tantangan utama dalam pemberian perlindungan
kepada PLRT. Pemerintah Arab Saudi masih mengutamakan kepentingan warga
negaranya dan kurang bersungguh-sungguh dalam mengatasi diskriminasi yang
terjadi. Akses PLRT terhadap keadilan sangat terbatas ketika menghadapi
eksploitasi dan kekerasan karena masih dianggap urusan rumah tangga, sehingga
tidak dilindungi oleh peraturan ketenagakerjaan, di lain pihak juga tidak dapat
dianggap anggota keluarga oleh undang-undang yang mengatur hubungan
keluarga.22
Ketiadaan peraturan yang secara spesifik melindungi tenaga kerja asing di
sektor rumah tangga berdampak pada tidak adanya standar baku perlindungan
yang berlaku secara umum dan lemahnya mekanisme perlindungan terhadap para
pekerja asing tersebut.
Adapun peraturan nasional Arab Saudi yang terkait pengaturan
ketenagakerjaan antara lain23:
1. Dekrit Kerajaan No. M/51 yang dikeluarkan pada 27 September 2005
yang mengatur mengenai hubungan perburuhan antara pekerja dan
pengguna jasa, termasuk di dalamnya masalah kontrak, hak dan tanggung
jawab, hari libur, cuti, tunjangan, dan lain sebagainya.
2. Ministerial Council Decision No. 244, yang dikeluarkan pada 13 Juni
2009, yang merupakan ketentuan hukum untuk memerangi perdagangan
manusia.
3. Council Decision No. 166 yang diterbitkan pada 12 Juli 2000, mengatur
mengenai hubungan kerja antara majikan dan pekerja asing.
22 Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kementerian Luar Negeri Republik
Indonesia, Kajian Upaya Peningkatan Kualitas Perlindungan dan Pelayanan TKI di Luar Negeri,
h. 41.
23 Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kementerian Luar Negeri Republik
Indonesia, Kajian Upaya Peningkatan Kualitas Perlindungan dan Pelayanan TKI di Luar Negeri,
h. 42.
38
4. Minister of Labour and Social Affairs Decree No. 157 mengatur mengenai
asuransi.
Arab Saudi sendiri telah meratifikasi beberapa konvensi internasional yang
berkaitan dengan ketenagakerjaan, di antaranya adalah24:
1. ILO Convention on the Elimination on the Worst Form of Child Labour
(Konvensi ILO tentang Penghapusan Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk
Anak).
2. Convention on the Rights of Person with Dissabilities (Konvensi tentang
Hak Penyandang Disabilitas).
3. Arab Charter on Human Rights (Piagam Arab tentang HAM).
Selain meratifikasi konvensi-konvensi tersebut di atas, Pemerintah
Kerajaan Arab Saudi juga telah meratifikasi beberapa instrumen HAM yang di
antaranya adalah25:
1. Convention Against Torture and other Cruel Inhuman or Degrading
Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan
Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau
Merendahkan Martabat).
2. Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against
Women (Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan).
3. International Convention on the Elimination of All Forms of Racial
Discrimination (Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi Rasial).
24 Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kementerian Luar Negeri Republik
Indonesia, Kajian Upaya Peningkatan Kualitas Perlindungan dan Pelayanan TKI di Luar Negeri,
h. 44.
25 Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kementerian Luar Negeri Republik
Indonesia, Kajian Upaya Peningkatan Kualitas Perlindungan dan Pelayanan TKI di Luar Negeri,
h. 44.
39
C. Sistem Hukum Pidana dan Acara Pidana di Arab Saudi
Arab Saudi merupakan negara yang menggunakan syariat Islam sebagai
sumber hukum pidana. Dalam Kelembagaan Peradilan Saudi, syariat Islam yang
diturunkan lebih dari 14 abad yang lalu telah diimplementasikan sebagai sistem
hukum pidana dari negara ini. Sumber dari perundang-undangan Islam ini terdiri
dari dua jenis yaitu sumber dokumen tertulis yang berasal dari Kitab Suci Al-
Qur’an dan Sunnah dan hasil dari ijtihad para ulama terdahulu seperti Ijma, Qiyas,
Istihsan dan Maslahat al-Mursalah26.
Disebutkan dalam ketentuan umum Dekrit Kerajaan Arab Saudi No. M/38
Tentang Ketentuan Hukum Acara Pidana Pasal 1 bahwa:
“Pengadilan menerapkan ketentuan hukum syari’at Islam terhadap
perkara-perkara yang dilimpahkan kepadanya, sesuai yang telah
ditetapkan dalam al-Qur’an dan Sunnah, serta peraturan perundang-
undangan yang ditetapkan oleh Pemerintah yang tidak bertentangan
dengan al-Qur’an dan Sunnah, dan pelaksanaan tata cara
pemeriksaannya harus berpedoman pada ketentuan yang diatur
dalam Undang-undang ini”.27
Berdasarkan sumber-sumber yang telah disebutkan di atas, hukuman
pidana di Arab Saudi dapat dibedakan dalam empat kategori:28
1. Hudud, yaitu perbuatan terlarang yang secara jelas telah ditentukan
hukumannya oleh Allah SWT melalui Al-Qur’an maupun Sunnah.
2. Qishash, yaitu hukuman pembalasan bagi pelaku pembunuhan atau
penganiayaan.
3. Diyat, yaitu uang tebusan yang diberikan pelaku pembunuhan atau
penganiayaan kepada korban atau ahli waris korban. 100 unta bagi pelaku
26 Badr el-Din Ali, Islamic Law and Crime: The Case of Saudi Arabia, (Universitas
Louisville: 1985) International Journal Of Comparative And Applied Criminal Justice, Vol. 9, No.
2, h. 48.
27 Dekrit Raja Nomor M/38 Tentang Ketentuan Hukum Acara Pidana tanggal 28 Rajab
1422 H/16 Oktober 2001 Pasal 1.
28 Badr el-Din Ali, Islamic Law and Crime: The Case of Saudi Arabia, h. 48.
40
pembunuhan secara sengaja, dengan perincian 60 unta Jadz’ah (unta
betina 4-5 tahun) dan 40 unta khilfah (unta betina yang hamil) yang mana
harga-harga dari diyat unta tersebut ditentukan oleh Dekrit Kerajaan Arab
Saudi, diyat tersebut diberikan setengah apabila korban merupakan
seorang wanita atau pria non-Saudi dan diberikan setengah lagi bagi non-
Saudi dengan jenis kelamin wanita; 29
4. Ta’zir, hukuman yang tidak dinyatakan secara jelas dalam Al-Qur’an atau
Sunnah tapi berdasarkan kebijaksanaan hakim (ijtihad).
Adapun tindak kejahatan yang secara spesifik telah ditentukan hukumnya
secara pasti dan tetap adalah pencurian, perampokan di jalan, perzinaan, qadzf
(menuduh orang berbuat zina), pemabuk, murtad, dan usaha pemberontakan
(meskipun tiga perbuatan yang disebutkan terakhir masih menjadi perdebatan di
kalangan sarjana Islam). Spesifikasi hukuman untuk setiap pelanggaran yang
tersebut antara lain hukuman mati atau hukuman fisik seperti pemotongan anggota
tubuh tertentu, rajam, atau cambuk30. Tindak kejahatan lainnya yang secara
spesifik hukumannya adalah tindak kejahatan yang ditujukan terhadap individu
seperti pembunuhan atau penganiayaan yang menyebabkan cedera anggota tubuh
apakah perbuatan tersebut dilakukan secara sengaja atau karena kesalahan.
Perbuatan tersebut dikenakan hukuman berupa pembalasan yang sama (nyawa
dengan nyawa serta luka dengan luka) kecuali apabila korban atau ahli waris
korban (kasus pembunuhan) mengesampingkan hak pembalasan dengan syarat
pemberian uang oleh pelaku dengan jumlah tertentu31. Adapun pelanggaran yang
tidak spesifik ditentukan hukumannya dalam Al-Qur’an maupun Sunnah dapat
ditentukan oleh ijtihad hakim sendiri atau pemegang otoritas terkait, di antaranya
adalah semua tindakan terlarang selain tindak kejahatan yang menyebabkan
hukuman hudud atau qishas. Hukuman bagi pelanggaran-pelanggaran tersebut
29 M. Nurul Irfan, Dosen Hukum Pidana Islam Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, Wawancara Pribadi, Ciputat, 10 Juli 2019.
30 Badr el-Din Ali, Islamic Law and Crime: The Case of Saudi Arabia, h. 48.
31 Badr el-Din Ali, Islamic Law and Crime: The Case of Saudi Arabia, h. 48.
41
berbeda sesuai dengan tingkat kejahatannya, dan karena itu sanksi-sanksi yang
diberikan dapat berupa sanksi ringan seperti nasehat, kecaman, intimidasi, dan
denda; atau dapat berupa hukuman yang cukup berat meliputi deportasi, hukuman
penjara, cambuk, atau dalam kesempatan yang langka bisa berupa hukuman
mati.32
Selain beberapa kategori hukuman yang telah disebutkan di atas, di Arab
Saudi terdapat perkembangan hukuman bagi pelaku pembunuhan, yang mana
selain qishas pelaku juga dapat dikenakan hukuman hadd apabila terbukti
melakukan pembunuhan yang disebut dengan pembunuhan ghillah (qatlu al-
ghillah).33Diberlakukannya hukuman hadd bagi pelaku pembunuhan secara
ghillah ini ditetapkan oleh Hai’at Kibar al-Ulama, sebuah lembaga perkumpulan
ulama tertinggi di negara Arab Saudi.34
Kata ghillah yang secara bahasa jika dirangkaikan dengan kata al-qatlu
menjadi al-qatlu ghillatan memiliki arti pembunuhan yang diawali dengan
perencanaan/pembunuhan berencana, dilakukan dengan cara yang sangat halus di
mana korban tidak mengetahui kalau ia akan dibunuh, kemudian selain
membunuh si pelaku juga mengincar harta, aset-aset berharga yang dimiliki oleh
korban35. Menurut para fuqaha, ghillah adalah penipuan dan pembunuhan di suatu
tempat yang jauh dari keramaian sehingga orang-orang tidak dapat melihat
kejadian tersebut, atau pembunuhan secara sembunyi-sembunyi. Menurut Ibnu
Taimiyyah ghillah adalah: “pembunuhan terhadap seseorang untuk mengambil
hartanya”. Contoh, orang yang berada pada satu perkemahan dengan sekelompok
musafir lalu ketika terdapat seorang musafir yang terpisah dari kelompoknya,
32 Badr el-Din Ali, Islamic Law and Crime: The Case of Saudi Arabia, h. 48.
33 M. Nurul Irfan, Dosen Hukum Pidana Islam Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, Wawancara Pribadi, Ciputat, 10 Juli 2019.
34 Fuad Thohari, Dosen Perbandingan Madzhab dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, Wawancara Pribadi, Ciputat, 16 Juli 2019.
35 Fuad Thohari, Dosen Perbandingan Madzhab dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, Wawancara Pribadi, Ciputat, 16 Juli 2019.
42
orang itu kemudian membunuhnya; contoh lain, seperti pemilik rumah
mengundang tukang sapu atau dokter ke rumahnya, lalu sesampainya di
rumahnya, dokter atau tukang sapu itu dibunuh dan diambil hartanya.36
Pembunuhan secara ghillah termasuk dalam jarimah hudud dan memiliki
makna yang hampir sama dengan tindak kejahatan hirabah karena pada keduanya
terdapat unsur pembunuhan secara sengaja dan perampasan harta, sebagaimana
yang dikatakan oleh Ali bin Abdussalam, “Ghillah termasuk jenis dari hirabah,
yang berarti membunuh seseorang untuk merampas istri, anak, dan harta
darinya; atau menipu seseorang, baik tua atau muda, dan membawanya ke
tempat sepi untuk membunuhnya dan mengambil hartanya yang sangat
berharga”.37
Oleh karena sudah termasuk dalam kategori kejahatan hudud maka qatlu
al-ghillah tidak diperbolehkan di dalamnya pemaafan baik oleh keluarga korban
atau oleh penguasa tertinggi sekalipun. Imam Syafi’i, Mazhab Ahli Madinah dan
salah satu dari pendapat Imam Hanbali mengatakan, “pengampunan tidak boleh
diberikan pada jenis qatlu al-ghillah”, Ibnu Qayyim al-Jauziyaah bahkan
mengatakan bahwa, “qatlu al-ghillah mengharuskan pelakunya dijatuhi hukuman
hadd, sehingga hukumannya tidak gugur dengan adanya pengampunan dan tidak
dilihat lagi adanya kesetaraan”, seorang ulama Malikiyah bernama Ibnu Abi
Zaid mengemukakan pendapat bahwa, “tidak ada pemaafan bagi tindak
kejahatan ghillah, meskipun yang dibunuh itu seorang kafir dan yang membunuh
itu adalah seorang muslim”. Pendapat seperti Ibnu Abi Zaid ini juga oleh Imam
Syafii disebutkan dalam bukunya al-Umm, yang mana pada masa kekhalifahan
Umar bin Khattab, beliau pernah memerintahkan untuk membunuh seorang
36 Fuad Thohari, Dosen Perbandingan Madzhab dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, Wawancara Pribadi, Ciputat, 16 Juli 2019.
37 Fuad Thohari, Dosen Perbandingan Madzhab dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, Wawancara Pribadi, Ciputat, 16 Juli 2019.
43
Muslim yang telah membunuh secara ghillah seorang Nasrani yang berasal dari
Hiyrah38.
Adapun sistem Lembaga Peradilan di Arab Saudi muncul bersamaan
dengan dikeluarkannya Dekret Kerajaan oleh Raja Abdul Aziz pada tahun 1928.
Raja menetapkan kebijakan yang mengatur fungsi lembaga peradilan yang mana
menjadikan Raja sebagai lembaga peradilan tertinggi di negara ini. Namun
bagaimanapun juga tidak ada kekebalan hukum bagi Raja beserta keluarganya dan
Raja tunduk kepada ketetapan pengadilan syariah sama seperti masyarakat
lainnya.39
Mahkamah syariah di Arab Saudi adalah pengadilan yang bersifat umum,
yang mengadili perkara pidana maupun perdata. Struktur organisasi dalam
mahkamah syariah berbentuk piramida, dengan Raja sebagai puncak dari
piramida tersebut yang bertindak sebagai pengadilan banding terakhir dan
menjadi sumber pengampunan hukuman40. Bagaimanapun, Raja tidak akan
membatalkan hukuman tertentu yang berasal dari al-Qur’an dalam hal ini adalah
hukuman hudud jika perkara tersebut telah dibawa ke pengadilan41. Pemberian
pengampunan oleh raja terhadap seseorang yang terlibat dalam jarimah hudud
setelah perkaranya dibawa ke pengadilan dapat mengabaikan tugas utama seorang
hakim dan akan mengakibatkan kegagalan hukuman, dan akibat lain yang
ditimbulkan adalah memicu terjadinya tindak kejahatan lainnya.42
38 Fuad Thohari, Dosen Perbandingan Madzhab dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, Wawancara Pribadi, Ciputat, 16 Juli 2019.
39 Richter H. Moore, JR. Courts, Law, Justice, and Criminal Trials in Saudi Arabia,
(Appalachian State University: 1987), International Journal Of Comparative And Applied
Criminal Justice, Vol. 11, No. 1.h. 62.
40 Richter H. Moore, JR. Courts, Law, Justice, and Criminal Trials in Saudi Arabia, h. 62.
41 Richter H. Moore, JR. Courts, Law, Justice, and Criminal Trials in Saudi Arabia, h. 62.
42 Fuad Thohari, Hadis Ahkam: Kajian Hadis-hadis Hukum Pidana Islam (Hudud, Qisas,
dan Ta’zir), (Yogyakarta: Deepublish, 2016), h. 51.
44
Mahkamah al-Juziyyah (Pengadilan Negeri) yang merupakan pengadilan
tingkat pertama adalah bagian terbawah dari struktur peradilan syariah. Yuridiksi
Mahkamah al-Juziyyah ini meliputi semua jenis tindak pidana ta’zir, serta tidak
mencakup setiap tindak kejahatan yang berakibat pada dijatuhinya hukuman mati
atau pemotongan anggota badan. Meskipun begitu, pengadilan di tingkat pertama
ini tetap memiliki kewenangan dalam mengadili pelaku tindak pidana hudud
seperti pemabuk dan penuduh zina (qadzf), di mana dua tindak kejahatan tersebut
disebutkan secara jelas hukumannya bukan berupa hukuman mati atau
pemotongan anggota tubuh.43
Selain Mahkamah al-Juziyyah, di Arab Saudi juga terdapat Mahkamatu al-
‘Amm (Pengadilan Umum) yang berwenang memeriksa perkara yang tidak
menjadi wewenang dari Pengadilan Negeri, sebagaimana disebutkan di atas.
Pengadilan Umum juga berwenang untuk memeriksa dan mengadili perkara di
suatu wilayah yang mana tidak terdapat Pengadilan Negeri untuk memeriksa
perkara tersebut.44
Mahkamatu al-‘Amm memiliki yuridiksi dalam tindak kejahatan hudud
dan qishash45. Di Mahkamatu al-‘Amm, persidangan dipimpin oleh seorang hakim
kecuali dalam kasus yang memiliki unsur hukuman mati, rajam, atau amputasi;
maka diperlukan tiga orang hakim. Putusan pengadilan umum dapat diajukan
banding dalam kasus pidana kecuali dalam kasus-kasus di mana hukumannya
tidak lebih dari empat puluh kali cambukkan atau sepuluh hari penjara.46
Mahkamatu al-‘Amm tidak dibenarkan menjatuhkan hukuman mati secara ta’zir
kecuali atas keputusan bulat dari tiga orang hakim, dan apabila tidak ditemukan
keputusan yang bulat dari ketiga hakim tersebut maka Menteri Kehakiman dalam
43 Dekrit Raja Nomor M/38 Tentang Ketentuan Hukum Acara Pidana tanggal 28 Rajab
1422 H/16 Oktober 2001 Pasal 128.
44 Dekrit Raja Nomor M/38 Tentang Ketentuan Hukum Acara Pidana tanggal 28 Rajab
1422 H/16 Oktober 2001 Pasal 130.
45 Richter H. Moore, JR. Courts, Law, Justice, and Criminal Trials in Saudi Arabia, h. 63.
46 Richter H. Moore, JR. Courts, Law, Justice, and Criminal Trials in Saudi Arabia, h. 63-
64.
45
hal ini akan menambah dua orang hakim dalam majelis hakim tersebut untuk
kemudian putusan atas hukuman mati tersebut dapat dijatuhkan atau tidak.47
Pada tingkat selanjutnya terdapat Mahkamah Tamyiz (Pengadilan Tinggi)
yang merupakan pengadilan banding. Sama seperti Indonesia, dasar keputusan
dari Mahkamah Tamyiz adalah keputusan pengadilan di bawahnya. Dalam kasus
pidana terdapat hak absolut bagi seorang terpidana untuk melakukan upaya
hukum ketika hukuman Pengadilan Tinggi terdapat unsur hukuman mati, rajam,
atau pemotongan anggota tubuh.48 Putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah
Tamyiz berupa hukuman mati atau rajam atau amputasi atau qishash yang bukan
terhadap jiwa, belum berkekuatan hukum tetap, kecuali setelah melalui
pengesahan oleh Majlis Qadha’ A’la (Dewan Hakim Agung) dalam sidang yang
dihadiri oleh anggota tetapnya.49
Keputusan Mahkamah Tamyiz dapat ditinjau oleh Majlis Qadha’ A’la,
yang mana presidennya merupakan anggota dewan menteri. Majlis Qadha’ A’la
yang mengawasi keseluruhan sistem pengadilan syariah, meskipun berfungsi
sebagai badan pengadilan; namun, Dewan Kehakiman Tertinggi ini tidak
mempunyai wewenang untuk menjalankan fungsi untuk memutus sebuah perkara
sebagaimana pengadilan pada umumnya. Dewan tidak dapat mengubah putusan
pengadilan yang lebih rendah apabila terdapat kesalahan, namun hanya
mengembalikan kembali kasus tersebut kepada pengadilan yang dimaksud untuk
ditinjau kembali oleh majelis hakim yang berbeda.50
47 Dekrit Raja Nomor M/38 Tentang Ketentuan Hukum Acara Pidana tanggal 28 Rajab
1422 H/16 Oktober 2001 Pasal 129.
48 Richter H. Moore, JR. Courts, Law, Justice, and Criminal Trials in Saudi Arabia, h. 64.
49 Dekrit Raja Nomor M/38 Tentang Ketentuan Hukum Acara Pidana tanggal 28 Rajab
1422 H/16 Oktober 2001 Pasal 11.
50 Richter H. Moore, JR. Courts, Law, Justice, and Criminal Trials in Saudi Arabia, h. 64.
46
D. Data Jumlah Kasus WNI atau PMI selama Tahun 2018
Tercatat di Tahun 2018, terdapat 9.642 kasus di Arab Saudi yang ditangani
oleh Kementerian Luar RI melalui perwakilannya di dua tempat yaitu KBRI
Riyadh dan KJRI Jeddah. Kasus-kasus tersebut meliputi kasus ketenagakerjaan
(gaji dan/atau over kontrak), keimigrasian (overstayer) dan kasus pidana yang
terdiri dari kasus pidana ringan maupun pidana berat (sihir, zina, pencurian,
pembunuhan, dll)51.
Berikut adalah jumlah kasus yang ditangani oleh Perwakilan RI selama
tahun 2018:52
Kasus WNI/PMI di Arab Saudi Tahun 2018
Arab Saudi
Perwakilan Total Kasus Selesai On Going
KBRI Riyadh 819 426 393
KJRI Jeddah 8.823 7.638 1.185
Kasus di Arab Saudi 9.642 8.064 1.578
Kasus Hukum Pidana WNI/PMI di Arab Saudi 2018
Arab Saudi
Perwakilan Total Kasus Selesai On Going
KBRI Riyadh 40 8 32
KJRI Jeddah 79 29 50
51 Marisa Febriana Wardani, Kasie Pengembangan Kebijakan dan Kerja Sama Bilateral
Bidang PWNI/BHI Kawasan III Direktorat PWNI-BHI Kementerian Luar Negeri Republik
Indonesia, Wawancara Pribadi, Jakarta, 27 Mei 2019.
52 Data Direktorat Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia
(PWNI/BHI) Direktorat Jenderal Protokol dan Konsuler Kementerian Luar Negeri Republik
Indonesia.
47
Kasus di Arab Saudi 119 37 82
Dilihat dari data di atas kebanyakan kasus hukum baik perdata maupun
pidana WNI/PMI di Arab Saudi lebih banyak ditangani oleh KJRI Jeddah
dibandingkan dengan KBRI Riyadh, hal ini disebabkan karena jumlah WNI/PMI
yang berada di Kota Jeddah lebih banyak dibandingkan kota-kota lain di Arab
Saudi. Sampai tahun 2018 terdapat 13 WNI/PMI yang terancam hukuman mati di
Arab Saudi di mana kasus-kasus tersebut terjadi sebelum tahun 2018 bahkan
terdapat beberapa WNI/PMI yang sejak tahun 2002 masih diupayakan
pembebasannya oleh Pemerintah RI.53
Setelah membahas mengenai jumlah kasus WNI/PMI di Arab Saudi tahun
2018, selanjutnya akan dibahas pada BAB IV tentang bentuk pelindungan
Pemerintah Indonesia terhadap Pekerja Migran Indonesia terpidana mati di Arab
Saudi.
53 Marisa Febriana Wardani, Kasie Pengembangan Kebijakan dan Kerja Sama Bilateral
Bidang PWNI/BHI Kawasan III Direktorat PWNI-BHI Kementerian Luar Negeri Republik
Indonesia, Wawancara Pribadi, Jakarta, 27 Mei 2019.
48
BAB IV
BENTUK PELINDUNGAN PEMERINTAH INDONESIA TERHADAP
PEKERJA MIGRAN INDONESIA TERPIDANA MATI DI ARAB SAUDI
A. Bentuk Perlindungan oleh Pemerintah dalam Peraturan Perundang-
undangan
Perlindungan WNI/PMI oleh Perwakilan Negara Indonesia di luar negeri
tidak terlepas dari tujuan berdirinya Negara Republik Indonesia sebagaimana
yang diamanatkan dalam Paragraf Keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi, “Kemudian daripada itu
untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia...”.
Amanat tersebut diterjemahkan ke dalam bentuk UU No. 37 Tahun 1999
tentang Hubungan Luar Negeri yang memberikan mandat kepada Perwakilan RI
untuk melakukan perlindungan dan pengayoman kepada WNI di Luar Negeri
melalui bantuan hukum dan cara-cara lain yang sesuai dengan peraturan
perundang-undangan, antara lain UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri yang kemudian telah
diperbaharui dalam UU No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran
Indonesia dan Permenlu No. 05 Tahun 2018 tentang Perlindungan Warga Negara
Indonesia di Luar Negeri.1
Pembahasan mengenai perlindungan kekonsuleran terhadap PMI yang
terlibat masalah hukum berhubungan dengan upaya perlindungan yang dilakukan
oleh Pemerintah Indonesia terhadap PMI selama bekerja. Dalam UU No. 18
Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia Pasal 21 (1)
disebutkan bahwa pelaksanaan perlindungan kepada PMI selama bekerja meliputi:
1 Direktorat Informasi dan Media Kementerian Luar Negeri, Diplomasi Indonesia 2014,
(Jakarta: Kemlu 2015), h. 210.
49
1. Pendataan atau pendaftaran oleh atase ketenagakerjaan atau pejabat
dinas luar negeri yang ditunjuk.
2. Pemantauan dan evaluasi terhadap pemberi kerja, pekerjaan, dan
kondisi kerja.
3. Fasilitas pemenuhan hak Pekerja Migran Indonesia.
4. Pemberian layanan jasa kekonsuleran.
5. Pendampingan, mediasi, advokasi, dan pemberian bantuan hukum
berupa fasilitas jasa advokat oleh Pemerintah Pusat dan/atau
Perwakilan RI serta perwalian sesuai dengan hukum negara setempat.
6. Pembinaan terhadap Pekerja Migran Indonesia.
7. Pemberian fasilitas repatriasi.
Disebutkan pada ayat selanjutnya bahwa dalam melakukan perlindungan
hukum terhadap Pekerja Migran Indonesia selama bekerja dilakukan dengan tidak
mengambil alih tanggung jawab pidana dan/atau perdata para pekerja migran serta
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, hukum
negara tujuan penempatan, serta hukum dan kebiasaan internasional.
Selain UU No. 18 Tahun 2017 yang mengatur secara umum mengenai
perlindungan Pekerja Migran Indonesia selama bekerja di luar negeri, terdapat
juga Permenlu No. 05 Tahun 2018 yang di dalamnya diatur secara khusus
langkah-langkah pelayanan dan perlindungan kekonsuleran oleh Perwakilan
RI/Direktorat PWNI-BHI kepada WNI/PMI di luar negeri. Dalam Ketentuan
Umum dari Permenlu No. 05 Tahun 2018 disebutkan bahwa yang dimaksud
dengan perlindungan adalah segala upaya yang dilakukan untuk melayani dan
melindungi kepentingan Warga Negara Indonesia di luar negeri
Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Permenlu No. 05 Tahun 2018
dilakukan dengan prinsip: pertama, mengedepankan keterlibatan pihak yang
bertanggung jawab dan/atau berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan; kedua, tidak mengambil alih tanggung jawab pidana
50
dan/atau perdata WNI; dan ketiga, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan, hukum Negara Setempat, serta hukum dan kebiasaan internasional.
Untuk mewujudkan prinsip perlindungan seperti yang disebutkan di atas,
maka secara umum terdapat tiga langkah strategis atau sering disebut dengan tiga
lingkup upaya perlindungan WNI di luar negeri yang meliputi pencegahan
(prevention), deteksi dini (early detection), dan perlindungan secara cepat dan
tepat (immediate response) yang bertujuan untuk menekan terjadinya peningkatan
kasus-kasus yang terjadi di luar negeri.2
Disebutkan dalam Pasal 3 Permenlu No. 05 Tahun 2018 bahwa
pelaksanaan perlindungan WNI/PMI di luar negeri dilakukan oleh Negara, yang
dilaksanakan oleh Presiden sebagai Kepala Negara berdasarkan usulan Menteri;
Pemerintah Pusat dalam hal ini melalui Kementerian Luar Negeri; Perwakilan RI
yang berada dalam koordinasi dengan Kementerian Luar Negeri; dan
Lembaga/Badan, yang berada dalam koordinasi Kementerian Luar Negeri RI.
Adapun bentuk perlindungan yang dapat dilakukan oleh keempat unsur
sebagaimana yang telah disebutkan di atas terdiri dari perlindungan kekonsuleran
dan perlindungan diplomatik. Beberapa upaya perlindungan kekonsuleran
terhadap WNI/PMI yang terlibat kasus hukum di negara setempat sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 8 Permenlu No. 05 Tahun 2018 berupa:
1. Melakukan kunjungan ke penjara-penjara di Negara Setempat.
2. Mewakili WNI/PMI di depan pengadilan dan instansi lain di Negara
Setempat berdasarkan praktek dan tata cara yang berlaku di Negara
Setempat.
3. Mendapatkan notifikasi kekonsuleran dari Negara Setempat.
4. Melakukan pendampingan, mediasi, advokasi, dan pemberian bantuan
hukum berupa penyediaan jasa Advokat
2 Direktorat Informasi dan Media Kementerian Luar Negeri, Diplomasi Indonesia 2014,
h. 210.
51
Adapun Perlindungan Diplomatik yang merupakan upaya perlindungan
lebih bagi WNI/PMI yang dilakukan oleh Negara terhadap Negara Setempat dapat
dilakukan apabila perlindungan kekonsuleran telah diberikan secara maksimal
dan/atau terdapat pertimbangan khusus dari Presiden berdasarkan usulan Menteri
Luar Negeri RI sebagaimana disebutkan dalam Pasal 12 Permenlu No. 05 Tahun
2018 tentang Perlindungan WNI di Luar Negeri.
Upaya perlindungan WNI di luar negeri oleh perwakilan RI dikedepankan
dengan menggunakan pendekatan antara lain3:
1. Pendekatan hukum berupa mediasi dan konsiliasi, konsultasi hukum, dan
pengacara.
2. Pendekatan kemanusiaan berupa kunjungan rutin untuk Konsultasi,
pemberian bantuan awal, pendampingan rohani, penanganan kesehatan,
penampungan, pemulangan WNI ke Indonesia (Repatriasi) dan bantuan
dana pemulangan.
3. Pendekatan diplomasi seperti hubungan diplomasi antar pemerintah, orang
dengan orang seperti yang dilakukan antara pelaku dengan keluarga
korban, diplomasi antara pemerintah dengan organisasi non-pemerintahan,
kerjasama pemerintah dengan organisasi internasional, dan lain
sebagainya.
B. Upaya Perlindungan Kekonsuleran Pemerintah terhadap Ancaman
Hukuman Mati Pekerja Migran Indonesia di Arab Saudi
Dalam hal terjadinya kasus hukuman mati yang mengancam WNI/PMI di
Arab Saudi, Perwakilan RI di Arab Saudi akan melakukan beberapa akses
kekonsuleran untuk memastikan bahwa WNI/PMI diperlakukan secara adil sesuai
hukum yang berlaku.
3 Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kementerian Luar Negeri Republik
Indonesia, Peningkatan Kualitas Perlindungan dan Pelayanan Warga Negara Indonesia di Luar
Negeri, h. 52.
52
Negara Arab Saudi adalah salah satu negara yang tidak mengenal
pemberitahuan terlebih dahulu kepada keluarga/wali dari pelaku yang akan
dieksekusi hukuman mati, pemberitahuan hanya akan dilakukan setelah
dilaksanakannya eksekusi tersebut. Sehingga Perwakilan yang ada di KBRI
Riyadh atau KJRI Jeddah harus secara aktif melakukan pengecekan di penjara-
penjara.4 Kunjungan ke penjara-penjara di Arab Saudi, tidak dapat dilakukan
secara langsung di instansi-instansi terkait di Arab Saudi seperti kepolisian dan
pengadilan, tanpa terlebih dahulu mengirimkan nota diplomatik kepada
Kementerian Luar Negeri Arab Saudi. Hal tersebut yang menjadi kendala
Perwakilan untuk mencari informasi secara cepat mengenai WNI/PMI yang
terancam eksekusi mati. Maka sebagai alternatif Perwakilan akan mencari tahu
dari media masa atau media sosial mengenai adanya WNI /PMI yang terancam
hukuman mati atau sedang berada di dalam penjara.5
Setelah mendapatkan informasi tersebut, Perwakilan Indonesia di Arab
Saudi akan melakukan pendampingan selama proses hukum tersebut berlangsung.
Salah satu langkah perwakilan dalam melakukan pendampingan adalah
memastikan bahwa tersangka/pelaku telah mendapatkan bantuan hukum baik
pengacara maupun penerjemah berkompeten yang memiliki keberpihakan kepada
tersangka/pelaku.6
Permasalahan yang dihadapi Perwakilan RI dalam menyewa jasa
pengacara di luar negeri adalah keberpihakan pengacara dan biaya yang sangat
mahal, oleh karena itu, adanya kerja sama antara Perwakilan RI di Arab Saudi
dengan kantor pengacara setempat adalah sangat penting dalam pelindungan
4 Marisa Febriana Wardani, Kasie Pengembangan Kebijakan dan Kerja Sama Bilateral
Bidang PWNI/BHI Kawasan III Direktorat PWNI-BHI Kementerian Luar Negeri Republik
Indonesia, Wawancara Pribadi, Jakarta, 27 Mei 2019.
5 Marisa Febriana Wardani, Kasie Pengembangan Kebijakan dan Kerja Sama Bilateral
Bidang PWNI/BHI Kawasan III Direktorat PWNI-BHI Kementerian Luar Negeri Republik
Indonesia, Wawancara Pribadi, Jakarta, 27 Mei 2019.
6 Marisa Febriana Wardani, Kasie Pengembangan Kebijakan dan Kerja Sama Bilateral
Bidang PWNI/BHI Kawasan III Direktorat PWNI-BHI Kementerian Luar Negeri Republik
Indonesia, Wawancara Pribadi, Jakarta, 27 Mei 2019.
53
WNI/PMI yang terjerat kasus hukuman mati.7 Pemberian fasilitas bantuan hukum
berupa pengacara harus dilakukan dengan segera sebelum perkara PMI yang
terjerat kasus hukuman mati tersebut dibawa dan diproses di pengadilan. hal ini
dilakukan mengingat akan lebih sulit untuk memberikan bantuan hukum jika
perkara tersebut telah diproses di pengadilan.8
Selain biaya menyewa jasa pengacara yang mahal, konsep pengacara di
Arab Saudi baru muncul pada tahun 2011, sedangkan Bar Association (Asosiasi
Pengacara) di Arab Saudi muncul pada tahun 2014, hal ini menyebabkan kasus-
kasus PMI di bawah tahun tersebut sulit untuk ditangani. Meskipun di Negara
Arab Saudi terdapat pengacara pro bono (pengacara gratis yang disediakan oleh
pemerintah setempat), namun Perwakilan RI dalam hal ini tetap akan melihat
keberpihakan dari pengacara yang bersangkutan di samping keahliannya dalam
beracara.9
Penanganan kasus hukuman mati di Arab Saudi mempunyai tata caranya
masing-masing, hal ini disebabkan karena sistem hukuman di Arab Saudi yang
terdiri dari tiga kategori yaitu ta’zir, qishas, dan hudud. Yang perlu diketahui,
ketika Almarhumah Tuti Tursilawati dihukum mati pada tahun 2018, hakim
menjatuhkan vonis kepada yang bersangkutan dengan hukuman hadd ghillah
bukan qishas setelah yang bersangkutan terbukti melakukan pembunuhan
terhadap majikannya.
Meskipun Almarhumah Tuti Tursilawati dijatuhi vonis hukuman mati
kategori hudud yang dalam hal ini tidak dapat dimaafkan baik oleh Raja maupun
7 Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kementerian Luar Negeri dan Unit
Kajian Hukum Perlindungan Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Kajian Upaya Peningkatan
Kualitas Perlindungan dan Pelayanan TKI di Luar Negeri, (Jakarta: Kemlu, 2011).
8 Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kementerian Luar Negeri dan Unit
Kajian Hukum Perlindungan Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Kajian Upaya Peningkatan
Kualitas Perlindungan dan Pelayanan TKI di Luar Negeri.
9 Marisa Febriana Wardani, Kasie Pengembangan Kebijakan dan Kerja Sama Bilateral
Bidang PWNI/BHI Kawasan III Direktorat PWNI-BHI Kementerian Luar Negeri Republik
Indonesia, Wawancara Pribadi, Jakarta, 27 Mei 2019.
54
keluarga korban, namun Pemerintah RI selalu mengupayakan perlindungan
kekonsuleran kepada yang bersangkutan baik berupa upaya hukum di pengadilan
maupun perlindungan diplomatis berupa permohonan pembebasan terhadap
Kerajaan Arab Saudi. Upaya perlindungan hukum pemerintah dalam peringanan
hukuman Tuti adalah berupa 3 kali penunjukan pengacara Tuti dalam kurun
waktu 2011 sejak ditetapkannya vonis hukuman hadd ghillah oleh pengadilan
sampai dengan tahun 2018 yang bersangkutan dieksekusi; 3 kali permohonan
banding; dan 2 kali Peninjauan Kembali (PK), di mana Qadha al-‘Ala
menggantikan majelis hakim untuk memeriksa kembali kasus tersebut. Selain itu
Pemerintah juga memfasilitasi kunjungan Keluarga Tuti Tursilawati ke
penjaranya pada tahun 2012, 2015, dan 2018, dan kunjungan ke lembaga
pemaafan Lajnah ‘Afwu dan Kantor Walikota Thaif10.
Dalam hal ketika hakim memutuskan untuk menjatuhkan hukuman mati
berupa hadd ghillah, maka segala upaya untuk meringankan hukuman tersebut
tidak dapat dilakukan baik pemaafan oleh Raja melalui surat dari Presiden RI,
maupun permohonan pemaafan kepada keluarga korban (tanazul).11
Mengenai WNI/PMI yang mendapatkan hukuman qishas, maka
Perwakilan dalam hal ini akan memberikan beberapa upaya agar WNI/PMI yang
bersangkutan mendapatkan pemaafan dari keluarga korban. Pemaafan yang
didapatkan dari keluarga korban selanjutnya akan ditebus dengan dibayarkannya
10 Gridhot.id, “Berbagai Upaya Pemerintah Indonesia Ringankan Hukuman Tuti
Tursilawati Sebelum Akhirnya Dieksekusi Mati di Arab Saudi”, diakses dari
https://hot.grid.id/read/18966601/berbagai-upaya-pemerintah-indonesia-ringankan-hukuman-tuti-
tursilawati-sebelum-akhirnya-dieksekusi-mati-di-arab-saudi?page=all pada tanggal 09 Agusutus
2019.
11 Marisa Febriana Wardani, Kasie Pengembangan Kebijakan dan Kerja Sama Bilateral
Bidang PWNI/BHI Kawasan III Direktorat PWNI-BHI Kementerian Luar Negeri Republik
Indonesia, Wawancara Pribadi, Jakarta, 27 Mei 2019.
55
uang darah (diyat). Di Arab Saudi sendiri selain diyat syar’i yang telah disebutkan
di bab sebelumnya, terdapat juga diyat yang berasal dari permintaan keluarga12.
Diyat syar’i yang ketentuannya adalah seharga 100 ekor unta bagi korban
laki-laki dan 50 ekor unta bagi korban perempuan ditentukan harganya dalam
bentuk uang saat ini dalam Dekrit Raja. Sedangkan diyat yang berasal dari
permintaan keluarga, karena tidak ditentukan secara jelas dalam al-Qur’an dan
Sunnah oleh pengadilan setempat akan diberikan ketentuan harga dari diyat
tersebut kepada keluarga korban berdasarkan pada penghasilan korban selama
hidupnya.13
Untuk dapat menebus diyat yang memiliki harga milyaran Rupiah
tersebut, maka Perwakilan RI dapat meminta Kementerian Luar Negeri Indonesia
untuk mencari biaya tebusan, baik dari keluarga WNI/PMI bersangkutan maupun
dari Pemerintah RI atau dari para donatur yang bersimpati. Selain bantuan dari
Indonesia yang diberikan kepada para terdakwa, di Negara Arab Saudi terdapat
lembaga yang berperan dalam memberikan bantuan tebusan diyat bagi para
terdakwa yaitu Lajnah ‘Afwu14. Lajnah ‘Afwu adalah sebuah lembaga
pengampunan di Arab Saudi yang memiliki fungsi sebagai mediator antara
terdakwa yang dikenai hukuman qishas dengan korban/keluarga korban. Selain
berfungsi sebagai mediator, lembaga ini juga berperan dalam membantu para
terdakwa yang dinyatakan tidak mampu membayar diyat oleh pengadilan
12 Marisa Febriana Wardani, Kasie Pengembangan Kebijakan dan Kerja Sama Bilateral
Bidang PWNI/BHI Kawasan III Direktorat PWNI-BHI Kementerian Luar Negeri Republik
Indonesia, Wawancara Pribadi, Jakarta, 27 Mei 2019.
13 Marisa Febriana Wardani, Kasie Pengembangan Kebijakan dan Kerja Sama Bilateral
Bidang PWNI/BHI Kawasan III Direktorat PWNI-BHI Kementerian Luar Negeri Republik
Indonesia, Wawancara Pribadi, Jakarta, 27 Mei 2019.
14 Marisa Febriana Wardani, Kasie Pengembangan Kebijakan dan Kerja Sama Bilateral
Bidang PWNI/BHI Kawasan III Direktorat PWNI-BHI Kementerian Luar Negeri Republik
Indonesia, Wawancara Pribadi, Jakarta, 27 Mei 2019.
56
setempat dengan mencari para muhsinin (dermawan) yang secara sukarela
menebus diyat tersebut15.
Meskipun pemaafan dalam kasus hukuman qishas mengharuskan
dibayarkannya diyat, namun ada beberapa upaya pemaafan yang berhasil
dilakukan oleh Perwakilan RI tanpa mengeluarkan diyat satu rupiah sama sekali.
Tergantung dari kemampuan Perwakilan RI melakukan lobi dan kebaikan dari
ahli waris korban.16
Kendala yang dihadapi oleh Perwakilan RI/PWNI-BHI dalam penanganan
kasus hukuman mati di Arab Saudi adalah proses beracara di Pengadilan Arab
Saudi yang memakan waktu bertahun-tahun. Hal ini disebabkan karena sistem
hukum Arab Saudi yang berdasarkan pada syariah dan pengadilan di Arab Saudi
yang sangat memperhatikan proses beracara dan berhati-hati dalam pemberian
keputusan. Dalam kasus pembunuhan misalnya, ketika ingin dilakukan tanazul
dan terdapat ahli waris korban yang masih berada di bawah umur, maka proses
tanazul tersebut untuk sementara dihentikan sampai yang bersangkutan
dinyatakan memiliki tanggung jawab hukum. Hal tersebut yang menjadi alasan
lamanya penanganan kasus WNI/PMI terancam hukuman mati, bahkan kasus-
kasus yang telah ada sejak 2009, 2003 dan 2002 sampai saat ini masih belum
selesai penanganannya17.
Sebagai contoh di sini penulis akan memberikan salah satu contoh upaya
perlindungan kekonsuleran penyelesaian kasus hukuman qisas yang dilakukan
oleh Pemerintah RI terhadap salah satu pekerja migran yang tidak dapat
15 Marisa Febriana Wardani, Kasie Pengembangan Kebijakan dan Kerja Sama Bilateral
Bidang PWNI/BHI Kawasan III Direktorat PWNI-BHI Kementerian Luar Negeri Republik
Indonesia, Jakarta, 27 Mei 2019.
16 Tempo.co, TKI Tuti Tursilawati Terima Hukuman Mati Terberat Hadd Ghillah, diakses
dari https://nasional.tempo.co/read/1141455/tki-tuti-tursilawati-terima-hukuman-mati-terberat-
hadd-ghillah/ pada tanggal 19 Juni 2019.
17 Marisa Febriana Wardani, Kasie Pengembangan Kebijakan dan Kerja Sama Bilateral
Bidang PWNI/BHI Kawasan III Direktorat PWNI-BHI Kementerian Luar Negeri Republik
Indonesia, Wawancara Pribadi, Jakarta, 27 Mei 2019.
57
disebutkan identitasnya. Yang bersangkutan telah divonis hukuman mati kategori
qisas oleh putusan Pengadilan Umum di salah satu wilayah di Arab Saudi yang
kemudian disahkan oleh Mahkamah Banding Arab Saudi dan kemudian disetujui
oleh Mahkamah Agung Arab Saudi. Adapun langkah hukum yang dilakukan
Pemerintah RI dalam pembebasan pekerja migran tersebut berupa:
1. Penunjukan beberapa pengacara untuk memberikan pendampingan hukum
kepada yang bersangkutan serta memberikan pendampingan dalam setiap
persidangan.
2. Menghadiri persidangan sebelum vonis sebanyak empat kali dan setelah
vonis sebanyak 16 kali.
3. Melakukan penelusuran dan tindak lanjut kasus secara langsung ke aparat
hukum terkait lainnya, seperti kepolisian, kejaksaan, dan kantor Walikota
setempat sebanyak 16 kali.
4. Penyampaian Peninjauan Kembali ke Mahkamah Banding sebanyak 3
kali.
Sedangkan langkah non litigasi yang dilakukan oleh Pemerintah RI dalam
membebaskan pekerja migran yang bersangkutan dari vonis hukuman mati
berupa:
1. KJRI Jeddah berulang kali berupaya menemui ahli waris korban untuk
meminta pemaafan bagi pekerja migran tersebut.
2. Pendekatan kepada pemimpin dan tokoh-tokoh masyarakat setempat
khususnya kepada Lajnah ‘Afwu di wilayah tersebut sebanyak Enam kali.
3. Pendekatan secara formal kepada Walikota setempat (7 pertemuan) dan
Gubernur setempat (4 pertemuan) guna mendapatkan kemungkinan
bantuan mediasi serta rekomendasi tokoh terpandang yang dapat
membantu proses mediasi dengan ahli waris korban sebanyak Tujuh kali.
4. Memfasilitasi kunjungan keluarga pekerja migran sebanyak Tiga kali ke
penjara umum setempat guna memberikan bantuan moril serta
menyampaikan perkembangan penanganan kasus kepada pihak keluarga
58
sekaligus untuk bertemu dengan para ulama dan Ketua Lajnah Afwu di
wilayah tersebut.
5. Pihak KJRI Jeddah rutin melakukan kunjungan ke penjara di mana yang
bersangkutan ditahan. Di saat yang bersamaan Direktorat PWNI/BHI
Kementerian Luar Negeri RI secara intensif melakukan komunikasi
dengan pihak keluarga pekerja migran di Indonesia untuk menyampaikan
perkembangan kasus. Kunjungan pejabat KJRI Jeddah, KBRI Riyadh dan
Tim Pusat ke Penjara setempat terhitung sekitar 56 kali.
Apabila dilihat dari dua contoh kasus di atas secara umum peran
Pemerintah Indonesia dalam perlindungan WNI/PMI terpidana mati di luar negeri
sudah sangat besar. Bahkan dalam kasus Tuti Tursilawati yang secara hukum di
Arab Saudi sudah inkrah keputusannya dan tidak bisa lagi dilakukan pemaafan
baik oleh ahli waris maupun Raja oleh Pemerintah RI masih dilakukan
pendampingan dan perlindungan hingga detik-detik yang bersangkutan
dieksekusi18. Yang terpenting dalam melakukan perlindungan adalah Pemerintah
Indonesia tidak hanya terfokus pada upaya perlindungan hukum di depan
pengadilan atau litigasi, tetapi pendekatan ke keluarga korban, pemerintah daerah
setempat, dan/atau tokoh-tokoh masyarakat setempat merupakan hal terpenting
dari perlindungan tersebut mengingat vonis hukuman mati terhadap WNI/PMI di
Arab Saudi sebagian besar berasal dari kasus pembunuhan yang kemudian dikenai
vonis hukuman mati kategori qisas.19
Dalam hal ihwal keadaan yang sangat genting, akibat banyaknya eksekusi
mati yang menimpa para WNI/PMI maka Presiden dapat membentuk satuan tugas
(satgas) untuk menangani kasus warga negara yang terancam hukuman mati. Hal
ini pernah dilakukan pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono; melalui Keppres RI No. 17 Tahun 2011 tentang Satuan Tugas
18 Ika Masruroh, Div. Bantuan Hukum Migrant CARE, Wawancara Pribadi, Jakarta,15
Agustus 2019.
19 Ika Masruroh, Div. Bantuan Hukum Migrant CARE, Wawancara Pribadi, Jakarta,15
Agustus 2019.
59
Penanganan Kasus Warga Negara Indonesia/Tenaga Kerja Indonesia di Luar
Negeri yang Terancam Hukuman Mati, Presiden menunjuk Dr. Maftuh Basyuni,
S.H. sebagai ketua dari satgas tersebut dengan wakilnya yaitu Prof. Dr. Alwi
Shihab, Hendarman Supandji, S.H., M.H., C.N., dan Jend. Pol. (Purn) Drs. H.
Bambang Hendarso Danuri, M.M.
Satgas yang bekerja selama enam bulan sejak ditetapkannya melalui
Keppres pada tanggal 7 Juli 2011 tersebut memiliki tugas yaitu20:
1. Mencari informasi terkait permasalahan dan kasus-kasus Warga
Negara Indonesia/Tenaga Kerja Indonesia yang terancam hukuman
mati.
2. Melakukan advokasi dan memberikan bantuan hukum bagi Warga
Negara Indonesia/Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri yang sedang
menjalani proses hukum, khususnya yang terancam hukuman mati.
3. Melakukan evaluasi terhadap penanganan kasus hukum Warga Negara
Indonesia/Tenaga Kerja Indonesia, termasuk kasus-kasus yang
merugikan Tenaga Kerja Indonesia di negara-negara penempatan.
4. Memberikan rekomendasi kepada Presiden mengenai langkah-langkah
penyelesaian dan penanganan kasus-kasus hukum Warga Negara
Indonesia/Tenaga Kerja Indonesia di negara penempatan.
C. Perlindungan Diplomatik Pemerintah Indonesia terhadap Pekerja
Migran Indonesia Terpidana Mati di Arab Saudi
Di samping mengupayakan perlindungan kekonsuleran, Pemerintah
Indonesia juga aktif melakukan pendekatan diplomatik dalam melakukan
perlindungan terhadap WNI/PMI yang terancam eksekusi mati. Sebagaimana
disebutkan pada sub-bab sebelumnya bahwa Perlindungan diplomatik adalah
upaya perlindungan lebih bagi WNI yang dilakukan oleh Negara terhadap Negara
20 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2011 tentang Satuan Tugas
Penanganan Kasus Warga Negara Indonesia/Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri yang
Terancam Hukuman Mati.
60
setempat, perlindungan ini hanya dapat dilakukan apabila mekanisme hukum di
negara penerima dan segala upaya perlindungan kekonsuleran telah ditempuh oleh
Perwakilan RI/PWNI-BHI.
Hal yang mendasari dilaksanakannya perlindungan diplomatik setelah
segala upaya kekonsuleran dilakukan adalah karena masalah hukum yang terjadi
di Negara Arab Saudi adalah masalah antara warga negara dengan warga negara
bukan antara negara dengan negara ataupun negara dengan warga negara.
Sehingga, ketika terdapat WNI/PMI yang terlibat masalah hukuman mati maka
negara melalui Presiden tidak bisa secara spontan melakukan pengiriman surat
atau lobbying kepada Raja mengenai pembebasan atau peringanan hukuman
WNI/PMI bersangkutan.21
Selain itu perlindungan diplomatis yang dilakukan tanpa didahului upaya
perlindungan kekonsuleran terlebih dahulu secara terus menerus dapat berdampak
buruk baik kepada negara maupun warga negara, di antara dampak buruk dari hal
tersebut adalah:22
1. Indonesia oleh negara-negara lain dianggap merusak etika hubungan
internasional karena mengintervensi proses hukum di negara Arab
Saudi.
2. Para pengacara keluarga korban di Arab Saudi akan berpikiran untuk
menaikkan beban diyat karena para WNI/PMI yang secara langsung
dilindungi oleh Pemerintahnya, sehingga terjadilah yang dinamakan
makelar diyat.
3. Banyaknya WNI yang direkrut menjadi drug trafficker oleh sindikat
perdagangan narkoba luar negeri di negara-negara seperti Malaysia,
Singapura, dan China karena anggapan bahwa Pemerintah Indonesia
21 Marisa Febriana Wardani, Kasie Pengembangan Kebijakan dan Kerja Sama Bilateral
Bidang PWNI/BHI Kawasan III Direktorat PWNI-BHI Kementerian Luar Negeri Republik
Indonesia, Wawancara Pribadi, Jakarta, 27 Mei 2019.
22 Marisa Febriana Wardani, Kasie Pengembangan Kebijakan dan Kerja Sama Bilateral
Bidang PWNI/BHI Kawasan III Direktorat PWNI-BHI Kementerian Luar Negeri Republik
Indonesia, Wawancara Pribadi, Jakarta, 27 Mei 2019.
61
akan melakukan segala upaya untuk membebaskan warga negaranya
dari hukuman mati.
Ketika segala upaya perlindungan kekonsuleran tidak membuahkan hasil,
maka selanjutnya akan dilakukan perlindungan yang bersifat diplomasi, terdapat
beberapa langkah diplomatik yang sering dilakukan oleh Pemerintah Indonesia
untuk membebaskan WNI/PMI yang terjerat kasus hukuman mati, salah satunya
yang sering dilakukan adalah permohonan pembebasan melalui surat atau
permohonan langsung oleh Presiden kepada Raja dan keluarga korban23.
Sebagai contoh, penulis akan mencantumkan beberapa langkah
perlindungan diplomatik yang dilakukan oleh Negara Republik Indonesia dalam
pembebasan salah satu Pekerja Migran Indonesia yang telah divonis hukuman
mati kategori qisas, adapun upaya tersebut berupa:
1. Mengirimkan Surat Presiden RI kepada Raja Arab Saudi sebanyak 3 kali
(2 kali pada tahun 2011 dan 1 kali pada tahun 2016).
2. Mengirimkan Surat Dubes RI Riyadh dan Konjen RI Jeddah kepada
Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehakiman dan Putra Mahkota/Wakil
PMI Arab Saudi dan Gubernur setempat sebanyak 5 kali.
3. Mengirimkan nota diplomatik kepada Kemlu Arab Saudi untuk meminta
bantuan penyelesaian kasus tersebut sebanyak 38 kali.
4. Mengangkat kasus yang bersangkutan sebagai salah satu isu yang
disampaikan oleh Presiden RI langsung kepada Raja Arab Saudi dalam
pertemuan bilateral antara kedua negara pada tahun 2015 di Jeddah.
5. Memfasilitasi keluarga yang bersangkutan untuk mengirimkan surat
kepada Raja Arab Saudi sebanyak 1 kali, yang intinya meminta bantuan
Raja untuk membujuk keluarga korban untuk mengurangi jumlah uang
23 Marisa Febriana Wardani, Kasie Pengembangan Kebijakan dan Kerja Sama Bilateral
Bidang PWNI/BHI Kawasan III Direktorat PWNI-BHI Kementerian Luar Negeri Republik
Indonesia, Wawancara Pribadi, Jakarta, 27 Mei 2019.
62
diyat yang diminta atau meminta Raja untuk melengkapi kekurangan uang
diyat yang harus dibayarkan.
Yang perlu diperhatikan adalah tidak semua permohonan yang dilakukan
oleh Presiden secara serta merta dapat membebaskan PMI yang terjerat kasus
hukuman mati di Arab Saudi. Khususnya dengan melihat sistem hukuman mati di
Arab Saudi yang terdiri dari tiga tingakatan, apabila dilihat dari ketiga kategori
hukuman mati sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, hanya ta’zir lah
yang oleh Raja dapat diampuni, sedangkan dua hukuman lainnya yaitu qishas dan
hadd ghillah tidak dapat secara serta merta dimaafkan oleh Raja melalui
permohonan Presiden24.
D. Perjanjian Mandatory Consular Notification (MCN) sebagai Alat
Perlindungan WNI/PMI
Salah satu langkah preventive dalam perlindungan WNI/PMI di luar negeri
terutama di negara dengan sistem hukum di Arab Saudi adalah pembentukan
kerangka kebijakan bilateral antara kedua negara terutama yang berkaitan dengan
masalah kekonsuleran. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri
Indonesia dalam hal ini sering mendorong Kementerian Luar Negeri Kerajaan
Arab Saudi untuk menandatangani kesepakatan di bidang perlindungan
kekonsuleran khususnya yang berkaitan dengan Mandatory Consular Notification
(MCN) yang telah diatur dalam Konvensi Wina 1963 tentang Hubungan Konsuler
Pasal 36, hal ini mengingat banyaknya WNI/PMI yang terlibat kasus hukum
terutama hukuman mati di negara Arab Saudi.25
Meskipun secara hukum internasional semua negara yang telah
menandatangani dan meratifikasi suatu konvensi harus tunduk dan patuh terhadap
24 Tempo.co, TKI Tuti Tursilawati Terima Hukuman Mati Terberat Hadd Ghillah, diakses
dari https://nasional.tempo.co/read/1141455/tki-tuti-tursilawati-terima-hukuman-mati-terberat-
hadd-ghillah/ pada tanggal 19 Juni 2019.
25 Marisa Febriana Wardani, Kasie Pengembangan Kebijakan dan Kerja Sama Bilateral
Bidang PWNI/BHI Kawasan III Direktorat PWNI-BHI Kementerian Luar Negeri Republik
Indonesia, Wawancara Pribadi, Jakarta, 27 Mei 2019.
63
ketentuan pasal-pasal dari suatu konvensi, namun hal tersebut tidak dapat secara
serta-merta berlaku dalam Konvensi Wina 1963 tentang Hubungan Konsuler yang
di dalamnya juga mengatur tentang MCN. Konvensi Wina 1961 tentang
Hubungan Diplomatik maupun Konvensi Wina 1963 tentang Hubungan Konsuler
merupakan konvensi yang mengatur hubungan antara dua negara, di mana dalam
hubungan tersebut berlaku asas timbal balik. Sehingga, jika suatu negara telah
menandatangani atau meratifikasi 2 konvensi tersebut, maka ketentuan Pasal 36
Konvensi Wina tentang Hubungan Konsuler tidak secara otomatis berlaku bagi
negara penandatanganannya. Namun, dibutuhkan langkah-langkah lain yaitu
perundingan bilateral antara dua negara untuk menyepakati diberlakukannya
MCN bagi kedua negara yang bersangkutan26.
Demikian, disebabkan tidak adanya kesepakatan MCN antara Arab Saudi
dan Indonesia mengakibatkan Pemerintah Arab Saudi tidak memiliki tanggung
jawab MCN kepada Pemerintah Indonesia sebelum dilakukannya eksekusi mati,
begitu juga sebaliknya apabila terdapat WNA berkebangsaan Arab Saudi yang
tertangkap atau akan dieksekusi mati, maka Pemerintah Indonesia tidak memiliki
tanggung jawab MCN terhadap Pemerintah Arab Saudi27.
Kesepakatan MCN antara kedua negara hingga kini belum dapat
terlaksana dan menjadi penghambat perlindungan yang dilakukan oleh Perwakilan
RI terhadap WNI/PMI, hal itu disebabkan karena tidak adanya kemauan dari
Negara Arab Saudi untuk bersama-sama menyepakati hal tersebut; Indonesia
dalam hal ini juga tidak dapat memaksa Arab Saudi untuk melakukan hal tersebut
karena banyaknya WNI/PMI yang berada di Arab Saudi, karena hubungan
bilateral antara kedua negara adalah hubungan yang didasarkan pada hubungan
26 Binus University, Mengenal dan Memahami Mandatory Consular Notification (MCN),
diakses dari https://business-law.binus.ac.id/2018/12/31/mengenal-dan-memahamimandatory-
consular-notification-mcn/ pada tanggal 21 Juni 2019.
27 Marisa Febriana Wardani, Kasie Pengembangan Kebijakan dan Kerja Sama Bilateral
Bidang PWNI/BHI Kawasan III Direktorat PWNI-BHI Kementerian Luar Negeri Republik
Indonesia, Wawancara Pribadi, Jakarta, 27 Mei 2019.
64
saling menghormati, dan menghargai tanpa harus memaksakan.28 Oleh karena itu
penting bagi Pemerintah Indonesia untuk secara aktif menyampaikan dalam setiap
pertemuan bilateral tentang Perjanjian MCN dengan negara Arab Saudi29.
28 Marisa Febriana Wardani, Kasie Pengembangan Kebijakan dan Kerja Sama Bilateral
Bidang PWNI/BHI Kawasan III Direktorat PWNI-BHI Kementerian Luar Negeri Republik
Indonesia, Wawancara Pribadi, Jakarta, 27 Mei 2019.
29 Ika Masruroh, Div. Bantuan Hukum Migrant CARE, Wawancara Pribadi, Jakarta,15
Agustus 2019.
65
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, maka dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Bentuk Perlindungan terhadap PMI terpidana mati di Arab Saudi dalam
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran
Indonesia Pasal 21 (1) berhubungan dengan perlindungan terhadap PMI
selama bekerja yang terdiri atas:
a. Pemberian layanan jasa kekonsuleran;
b. Pendampingan, mediasi, advokasi, dan pemberian bantuan hukum berupa
fasilitas jasa advokat oleh Pemerintah Pusat dan/atau Perwakilan RI serta
perwalian sesuai dengan hukum negara setempat; dan
c. Pembinaan terhadap pekerja migran.
Selain itu disebutkan dalam ayat selanjutnya bahwa dalam melakukan
perlindungan hukum terhadap Pekerja Migran Indonesia selama bekerja
dilakukan dengan tidak mengambil alih tanggung jawab pidana dan/atau
perdata para pekerja migran serta dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan, hukum negara tujuan penempatan, dan hukum
dan kebiasaan internasional.
2. Adapun upaya perlindungan kekonsuleran yang dilakukan oleh Perwakilan RI
terhadap PMI yang terancam hukuman mati di Arab Saudi terdiri dari dua
pendekatan yaitu pendekatan litigasi dan non litigasi. Adapun pendekatan
litigasi tersebut berupa:
a. Pemberian jasa bantuan hukum berupa pengacara dan penerjemah yang
memiliki keberpihakan dan kompeten dalam bidangnya;
66
b. Bersama pengacara melakukan kunjungan kepada instansi terkait seperti
kepolisian, kejaksaan, dan kantor pemerintah daerah setempat untuk
melakukan penelusuran lebih lanjut terkait kasus-kasus tersebut;
c. Pendampingan dan pemberian konsultasi hukum oleh Perwakilan RI
terhadap pekerja migran selama proses beracara di pengadilan Arab Saudi;
dan
d. Membantu pekerja migran dalam melakukan upaya hukum baik upaya
banding di Mahkamah Tamyiz Arab Saudi maupun Peninjauan Kembali
(PK).
Adapun pendekatan non litigasi dari Pemerintah RI adalah sebagai berikut:
a. perwakilan RI melakukan kunjungan ke ahli waris korban untuk meminta
pemaafan bagi pekerja migran tersebut;
b. pendekatan kepada pemimpin dan tokoh-tokoh masyarakat setempat
khususnya kepada Lajnah ‘Afwu di wilayah di mana pekerja migran
tersebut dihukum;
c. pendekatan secara formal kepada Walikota dan Gubernur setempat guna
mendapatkan kemungkinan bantuan mediasi serta rekomendasi tokoh
terpandang yang dapat membantu proses mediasi dengan ahli waris
korban;
d. memfasilitasi kunjungan keluarga pekerja migran sebanyak ke penjara
umum setempat guna memberikan bantuan moril serta menyampaikan
perkembangan penanganan kasus kepada pihak keluarga sekaligus untuk
bertemu dengan para ulama dan Ketua Lajnah Afwu di wilayah tersebut;
serta
e. perwakilan RI rutin melakukan kunjungan ke penjara di mana yang
bersangkutan ditahan guna memberikan bantuan moril dan mengecek
kesehatan pekerja migran yang bersangkutan.
Upaya perlindungan diplomatik oleh Pemerintah RI untuk membebaskan PMI
yang terjerat hukuman mati dilakukan setelah segala upaya kekonsuleran telah
dilakukan. Adapun perlindungan diplomatik yang dilakukan oleh Pemerintah
67
RI berupa pengiriman surat atau permohonan langsung dari Presiden kepada
Raja mengenai pembebasan atau peringanan hukuman PMI yang bersangkutan.
B. Saran
Terdapat beberapa saran yang akan penulis berikan terkait dengan hasil
dari penelitian yang telah dilakukan:
1. Kepada Pemerintah Pusat agar lebih diupayakan lagi dalam membujuk
Pemerintah Kerajaan Arab Saudi untuk bersama-sama merumuskan MoU
dalam bidang kekonsuleran khususnya kesepakatan Mandatory Consular
Notification (MCN) mengingat banyaknya WNI/PMI yang berada di Arab
Saudi.
2. Kepada WNI dan/atau calon PMI yang akan melakukan perjalanan ke Arab
Saudi agar terlebih dahulu mengetahui sistem hukum dan adat kebiasaan di
Arab Saudi. Untuk mengetahui mengenai sistem hukum/adat kebiasaan
negara tersebut. WNI dapat mengunduh aplikasi Safe Travel dari Kementerian
Luar Negeri RI dan mendaftarkan perjalanan tersebut untuk mendapatkan
pemberitahuan mengenai kondisi keamanan, hukum, persyaratan
keimigrasian, pelayanan di KBRI/KJRI, dll.
68
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahan.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Dekrit Kerajaan Arab Saudi Nomor M/38 Tentang Ketentuan Hukum Acara
Pidana 28 Rajab 1422 H/16 Oktober 2001.
Keputusan Menteri Luar Negeri Nomor : Sk.06/A/OT/VI/2004/01 tahun 2004
Tentang Organisasi dan Tata Kerja Perwakilan Republik Indonesia di Luar
Negeri.
Peraturan Ketenagakerjaan Kerajaan Arab Saudi No. M/51, Tanggal 23 Sya’ban
1426 H; No. M/28, Tanggal 12 Jumadal Ula 1434 H; dan No. M/46,
Tanggal 05 Jumadal Tsani 1436 H.
Permenlu No. 05 Tahun 2018 tentang Perlindungan Warga Negara Indonesia di
Luar Negeri.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1982 Tentang Pengesahan
Konvensi Wina Mengenai Hubungan Diplomatik Beserta Protokol
Opsionalnya Mengenai Hal Memperoleh Kewarganegaraan (Vienna
Convention On Diplomatic Relations And Optional Protocol To The
Vienna Convention On Diplomatic Relations Concerning Acquisition Of
Nationality, 1961) Dan Pengesahan Konvensi Wina Mengenai Hubungan
Konsuler Beserta Protokol Opsionalnya Mengenai Hal Memperoleh
Kewarganegaraan (Vienna Convention On Consular Relations And
Optional Protocol To The Vienna Convention On Consular Relation
Concerning Acquisition Of Nationality, 1963).
Undang-Undang Republik Indonesia No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar
Negeri.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan
Pekerja Migran Indonesia.
Abd Rahman, Mustafa, “Era Baru Arab Saudi Melirik ke Timur”, Harian
Kompas, 1 Maret 2017.
Abu Zahrah, Muhammad, al-‘Alaaqatu al-Dawliyyatu fii al-Islaamiyyati,
Penerjemah Muhammad Zein Hasan, Hubungan-Hubungan Internasional
dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
Ali, Badr el-Din, “Islamic Law and Crime: The Case of Saudi Arabia”,
(Universitas Louisville: 1985) International Journal Of Comparative And
Applied Criminal Justice, Vol. 9, No. 2.
69
Al-Qurtubi, Sumanto dan Aldamer, Shafi, “Saudi-Indonesian Relations: Historical
Dynamic and Contemporary Development”, Asian Perspective, 42 (2018).
Atika Fauziati, “Perlindungan Hukum Bagi Tenaga Kerja Indonesia yang
Terpidana Mati di Luar Negeri dalam Peraturan Perundang-undangan di
Indonesia,” Skripsi S-1 Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya Malang,
2015.
Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kementerian Luar Negeri
Republik Indonesia, Kajian Upaya Peningkatan Kualitas Perlindungan
dan Pelayanan TKI di Luar Negeri, Jakarta: Kemlu, 2011.
Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kementerian Luar Negeri dan
Unit Kajian Hukum Perlindungan Fakultas Hukum Universitas Airlangga,
Kajian Upaya Peningkatan Kualitas Perlindungan dan Pelayanan TKI di
Luar Negeri, Jakarta: Kemlu, 2011.
Basheer A. Ismail, Muhammad, Islamict Law and Transnasional Diplomatic Law:
A Quest for Complementarity in Divergent Legal Theories, Basingstoke:
Palgrave Macmillan, 2016.
Bjola, Corneliu dan Kornprobst, Markus, Understanding International
Diplomacy: Theory, Practice and Ethics, Routledge, 2013.
Data Direktorat Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum
Indonesia (PWNI/BHI) Direktorat Jenderal Protokol dan Konsuler
Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia.
Direktorat Informasi dan Media Kementerian Luar Negeri, Diplomasi Indonesia
2014, Jakarta: Kemlu 2015.
Direktorat Konsuler Kementerian Luar Negeri, Manual Konsuler 2015, Jakarta:
Kemlu, 2015.
Kementerian Agama RI, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentang
Penyelenggaraan Ibadah Haji, Jakarta: Direktorat Jenderal
Penyelenggaraan Haji Dan Umrah, 2010.
Kementerian Luar Negeri Indonesia,“Diplomasi Indonesia 2010”, Jakarta:
Kemlu, 2010.Prints, Darwan, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia,
(Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000.
Mauna, Boer, Hukum Internasional; Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global, Bandung: Penerbit Alumni, 2001, cet. Ketiga.
E. Murray, Heather, “Hope for Reform Springs Eternal: How the Sponsorship
System, Domestic Laws and Traditional Customs Fail to Protect Migrant
70
Domestik Workers in GCC Countries”, Cornell International Law
Journal, Vol 45 Issue 2 (2012).
Fadhylatur Rizqah Isdah, “Hubungan Bliateral Arab Saudi-Indonesia di Era
Pemerintahan Raja Salman-Joko Widodo,” Skripsi S-1 Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin, Makassar, 2018.
Fatmawati, Diana, “Penandatanganan MoU antara Indonesia dan Arab Saudi
Tahun 2014”, Prosiding Interdisiplinary Postgraduate Student Conference
I, Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Husson, Laurence, “Indonesians in Saudi Arabia: Worship and Work”, Studia
Islamika, Vol. 4, No. 4. 1997.
Insani, Fitri, “Upaya Indonesia Membebaskan Tenaga Kerja Indonesia Terpidana
Hukuman Mati di Arab Saudi (2011-2013)”, Jom FISIP, Vol. 2 No. 1,
2015.
Iqbal Dar, Arshid dan Ahmad Sayed, Jamshid, “Diplomacy in Islam”, Asian
Journal of Science and Technology, Vol. 8 No. 09, September, 2017.
Moore JR., Richter H., Courts, “Law, Justice, and Criminal Trials in Saudi
Arabia”, Appalachian State University: 1987, International Journal Of
Comparative And Applied Criminal Justice, Vol. 11, No. 1.
Silvey, Rachel, “Transnational Domestication: State Power and Indonesian
Migrant Women in Saudi Arabia”, Political Geoghraphy, 23 (2004).
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 2015.
Susetyorini, Peni, “Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri oleh
Perwakilan Republik Indonesia”, Jurnal MMH Jilid 3 No. 1 Maret, 2010.
Thohari, Fuad, Hadis Ahkam: Kajian Hadis-hadis Hukum Pidana Islam (Hudud,
Qisas, dan Ta’zir), Yogyakarta: Deepublish, 2016.
Wardoyo, Teguh, “Diplomasi Perlindungan Kerja di Luar Negeri”, Jurnal
Diplomasi, Vol. 2, No. 1 Maret, 2010.
Wasito, Hermawan, Pengantar Metodologi Penelitian, Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 1993, Cet. Kedua.
Wawancara
Interview Pribadi dengan Fuad Thohari, Dosen Perbandingan Madzhab dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Ciputat, 16
Juli 2019.
71
Interview Pribadi dengan Ika Masruroh, Div. Bantuan Hukum Migrant CARE,
Jakarta,15 Agustus 2019.
Interview Pribadi dengan Marisa Febriana Wardani, Kasie Pengembangan
Kebijakan dan Kerja Sama Bilateral Bidang PWNI/BHI Kawasan III
Direktorat PWNI-BHI Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia,
Jakarta, 27 Mei 2019.
Interview Pribadi dengan Nurul Irfan, Dosen Hukum Pidana Islam Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Ciputat, 10 Juli 2019.
Website
“Al-Nizhamu al-Asasiy li al-Hukmu”, Kementerian Luar Negeri Arab Saudi,
https://www.mofa.gov.sa/aboutKingDom/SaudiGovernment/Pages/BasicS
ystemOfGovernance24887.aspx diakses pada 05 Mei 2019.
“Saudi Arabia Profile, BBC News”, 24 September 2015,
https://www.bbc.com/news/world-middle-east-14703476 diakses pada
tanggal 04 Mei 2019.
Binus University, Mengenal dan Memahami Mandatory Consular Notification
(MCN), diakses dari https://business-
law.binus.ac.id/2018/12/31/mengenal-dan-memahamimandatory-consular-
notification-mcn/ pada tanggal 21 Juni 2019.
Britanica.com, Jean Baptiste Colbert, diakses dari https://www.britanica.com
pada tanggal 10 Juli 2018
DetikNews, Jokowi 3 Kali Melobi, Zaini Tetap Dipancung Di Arab Saudi, diakses
dari https://news.detik.com/berita/d-3923868/jokowi-3-kali-melobi-zaini-
tetap-dipancung-di-arab-saudi pada tanggal 19 Juni 2019.
DetikNews, Pengiriman TKI Pengguna Perseorangan Ke Timteng Tetap
Dilarang, diakses dari https://news.detik.com/berita/d-
4259787/pengiriman-tki-pengguna-perseorangan-ke-timteng-tetap-
dilarang pada tanggal 21 Juni 2019.
Gridhot.id, “Berbagai Upaya Pemerintah Indonesia Ringankan Hukuman Tuti
Tursilawati Sebelum Akhirnya Dieksekusi Mati di Arab Saudi”, diakses
dari https://hot.grid.id/read/18966601/berbagai-upaya-pemerintah-
indonesia-ringankan-hukuman-tuti-tursilawati-sebelum-akhirnya-
dieksekusi-mati-di-arab-saudi?page=all pada tanggal 09 Agusutus 2019.
Kompas.com, “Pemerintah Ungkap Penyebab Tak Adanya Notifikasi Eksekusi
Mati Tuti Tursilawati”, diakses dari
72
https://nasional.kompas.com/read/2018/11/01/09221951/ pada tanggal 17
November 2018.
Liputan6, Indonesia-Arab Saudi Sepakati Sistem Satu Kanal Penempatan Pekerja
Migran, diakses dari
https://www.liputan6.com/news/read/3667966/indonesia-arab-saudi-
sepakati-sistem-satu-kanal-penempatan-pekerja-migran pada tanggal 21
Juni 2019.
Metrotvnews.com, “Dubes Arab Saudi Kembali Dipanggil Kemlu untuk
Sampaikan Protes”, diakses dari
http://internasional.metrotvnews.com/read/2015/04/16/387215/dubes-arab-
saudi-kembali-dipanggil-kemlu-untuk-sampaikan-protes pada tanggal 12
November 2018.
Pikiran Rakyat, “TKW Asal Majalengka dieksekusi Arab Saudi, Keluarga Baru
Terima Kabar”, diakses dari www.pikiran-rakyat.com/jawa-
barat/2018/10/30/ pada tanggal 12 November 2018.
Tempo.co “TKI Tuti Tursilawati Terima Hukuman Mati Terberat Hadd Ghillah”,
diakses dari https://nasional.tempo.co/read/1141455 pada tanggal 12
November 2018.
Tribun News.com, “Kronologi Kasus TKI Tuti Tursilawati yang dihukum Mati di
Arab Saudi, Tanpa Pemberitahuan ke RI”, diakses dari
https://m.tribunnews.com/amp/nasional/2018/10/30/ pada tanggal 12
November 2018.
Aplikasi
Direktorat Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia,
Safe Travel: Arab Saudi, Kementerian Luar Negeri RI, 2018.
73
Lampiran-lampiran
Transkrip Wawancara Skripsi
Peran Pemerintah dalam Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI)
Terpidana Mati di Arab Saudi
Nama : Marisa Febriana Wardani
Jabatan : Kasie Pengembangan Kebijakan dan Kerja Sama Bilateral Bidang
PWNI/BHI Kawasan III Direktorat PWNI-BHI Kementerian Luar
Negeri Republik Indonesia
Hari/Tanggal : Senin, 27 Mei 2019
Waktu : 10.00-10.45
Tempat : Direktorat PWNI-BHI Kementerian Luar Negeri RI
Pewawancara (P)
Narasumber (N)
N : Sebenarnya apa yang membuat kamu tertarik untuk membahas tentang
Perlindungan Hukuman Mati TKI di Arab Saudi?
P : alasan saya tertarik membahas tentang perlindungan hukuman mati TKI
di Arab Saudi adalah; karena pada Oktober 2018 ketika terjadi hukuman
mati kepada almarhumah Tuti Tursilwati, saya melihat beberapa masalah
yang ditulis oleh media massa dalam penjatuhan hukuman mati tersebut
seperti: eksekusi yang dijatuhkan kepada almarhumah tanpa pemberitahuan
kepada Perwakilan RI, dan sistem hukuman pidana Arab Saudi sendiri yang
terdiri dari 3 kategori yaitu ta’zir, qishas, dan hadd ghillah; di mana
almarhumah sendiri terlibat dalam kasus pembunuhan namun hukuman
yang dijatuhkan kepada beliau adalah hadd ghillah bukan qishash.
N : apa yang kamu pahami dari tiga kategori hukuman pidana tersebut?
74
P : seperti yang saya pelajari Bu, qishas adalah hukuman yang diberikan
kepada seseorang yang melakukan pembunuhan atau yang melukai sehingga
hukumannya adalah sama seperti apa yang dilakukan entah itu dibunuh
atau dilukai hukumannya sama seperti yang dilakukan; sedangkan ta’zir
adalah hukuman yang diberikan kepada pelaku yang melakukan kejahatan
di mana kejahatan itu tidak ditentukan hukumannya secara jelas
berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah tapi berdasarkan pada kebijaksanaan
hakim sendiri; sedangkan hadd yang saya ketahui adalah hukuman yang
berasal dari Allah yang telah jelas dalam al-Qur’an maupun Sunnah
terdapat 6 kejahatan yang dijatuhi hadd yaitu zina, qadzf, minum khamr,
mencuri, memberontak, merampok.
N : sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan. Tadi kan yang dipahami bahwa
hadd ghillah hanya untuk 6 hal, namun dari penanganan teman-teman di
perwakilan seperti di KJRI Jeddah, KBRI Riyadh dan teman-teman yang
menangani di sini (Indonesia) Sub-Dit 2 Arab Saudi (Direktorat PWNI-BHI;
mereka itu mempelajari bahwa hadd ghillah itu bukan jenis-jenis kejahatan yang
masuk dalam hadd; Tapi hadd ghillah itu konsepnya adalah sesuatu kejahatan
yang dilakukan oleh seseorang di mana dia telah melanggar hak Allah. Kalau
qishas dalam al-Qur’an, yang kita pahami an eye for an eye begitu kan? kalau ada
orang membunuh maka dibunuh, dan kalau mendapatkan kebaikan bisa melalui
diyat, kalaupun dilukai itupun lukanya macam-macam ada yang lukanya hanya di
kulit, ada yang sampai ke tulang, dll; dan hal itu bisa dihalalkan dengan
dibayarnya uang darah (diyat) tadi kan? Kalau ta’zir adalah yang tidak ada dalam
al-Qur’an tetapi kemudian dikasih solusinya berdasarkan ijtihad atau ijtima’
ulama dan hakim-hakim, misalnya kejahatan terorisme itu tidak ada dalam al-
Qur’an, karena bukan konteks perang. Kalau hadd ghillah, yang kita pahami
adalah suatu tindak kejahatan pembunuhan yang di mana yang dilanggar bukan
lagi hak sesama orang (dia mencabut nyawa orang) tapi adalah hak Allah, kenapa?
Karena dia mengganggu ketertiban umum, dia membuat onar di masyarakat atau
termasuk pembunuhan yang dilakukan terhadap orang yang harusnya dia lindungi.
75
Dalam hal ini, Almarhumah Tuti membunuh majikannya, orang yang berada
dalam satu rumah seharusnya saling melindungi, dan dalam hal ini juga ia telah
dianggap melanggar haknya Allah. Dalam hal ketika diputuskan vonisnya tersebut
sebagai hadd ghillah, maka pemaafan keluarga atau diyat itu tidak lagi menjadi
hal yang dapat membebaskan dia dari ancaman hukumannya itu. Almarhumah
Tuti divonisnya dalam kasus hadd ghillah karena dia membunuh orang yang
seharusnya dilindungi. maksudnya apa harus dilindungi? Pertama dalam satu
rumah sama-sama; kedua, anak-anak di bawah umur atau sudah sepuh, kan
majikannya sudah sepuh waktu itu. Maka dari itu, kita berupaya apapun untuk
minta maaf kepada Raja melalui surat dari Presiden itu tidak bisa, kenapa? Karena
itu statusnya sudah hadd ghillah. Tanazul atau saling memohonkan pemaafan juga
tidak bisa dilakukan, mediasi kalau dalam istilah kita. Jadi, dari situ baru kita
paham tidak semua hukuman mati penanganannya akan sama. Itu konsep pertama
yang ingin saya jelaskan.
Kedua, konsepnya seperti ini. Dalam hubungan diplomatik antar negara itu kan
konsepnya ada yang bilateral, regional, dan multilateral; nah dalam hal ini kita
berbicara mengenai hubungan bilateral kita dengan Arab Saudi. Mungkin sudah
diketahui ada Konvensi Wina yang secara multilateral disepakati bahwa hubungan
setiap negara berdasarkan Konvensi Wina baik itu 1961 dan 1963. Ada salah satu
istilah yaitu Mandatory Consular Notification (MCN) ini terkait dengan
pertanyaan tadi “kan katanya tidak dikabarkan ke kita” kalau masalah tidak
dikabarkan tidak juga, kita dikabarkan bukan sebelum tapi sesudah eksekusi dan
ketika dilakukan penangkapan ada informasi yang diberikan kepada perwakilan
kita di sana.
Yang perlu dipahami di sini adalah MCN walaupun terdapat dalam Konvensi
Wina, tetap saja tidak semua negara bisa serta merta memaksa negara lain untuk
mengikuti Konvensi ini, karena kesepakatan MCN itu disepakatinya secara
bilateral, Indonesia dan Arab Saudi sampai saat ini tidak memiliki kesepakatan
mengenai MCN, jadi mereka tidak wajib untuk memberitahu kita. Karena dalam
hal ini ada istilah kaidah berhubungan, contoh kalau kita sudah dekat banget
76
kemudian kita mengajak mereka “ayo dong kita bahas MCN ini” karena kita
punya kepentingan yang banyak dengan WNI yang banyak di Arab Saudi. Tapi
kita tetap tidak bisa memaksa dia, karena hubungan bilateral itu adalah hubungan
yang didasarkan pada hubungan saling menghormati, menghargai dan tidak
memaksakan, jadi kalau Indonesia getol minta “ayo bikin kesepakatan MCN”,
kalau Arab Saudi tidak mau maka kita tidak bisa paksa, dan karena tidak adanya
MCN ini alhasil kita tidak bisa menuntut Arab Saudi. Ibarat kamu Arab Saudi
saya Indonesia saya bilang “ayo dong bikin MCN ini, kalau ada MCN kita wajib
saling mengabarkan ini kalau misal ada warga kamu atau warga saya yang
terlibat masalah hukum,” namun selama MCN ini tidak ditandatangani secara
bilateral maka tidak ada kewajiban pemberitahuan antara kedua negara apabila
terdapat warganya yang terlibat masalah hukum, masing-masing Perwakilan
hanya berhak mengunjungi, dan melakukan fungsi kekonsuleran. Jadi kita tidak
bisa mengatakan “Arab Saudi telah mencederai hubungan, dll”, karena memang
kewajibannya tidak ada, maksudnya kewajiban di sini bukan dasar hukum tapi
hanya kesepakatan bilateral, kalaupun dilanggar hanya merusak hubungan
bilateral dan tidak dapat dikenai hukuman, karena hubungan kepentingan antara
kedua negara tinggi sekali. Maka, apabila MCN belum ada kesepakatannya maka
kita tidak dapat mengatakan bahwa “Arab Saudi ini kok gak ngasih tahu?”, itu hak
dari Arab Saudi mau memberikan pemberitahuan atau tidak, dan kenyataannya dia
memberikan pemberitahuan namun bukan sebelum eksekusi tapi sesudah
eksekusi. Dan eksekusi tanpa pemberitahuan juga bukan terjadi pada WNI/ warga
non-Saudi tapi terhadap warganya sendiri pun pemberitahuan itu diumumkan
setelah bukan sebelum. Jadi bukan karena masalah kewarganegaraannya tetapi
karena hukum acara yang berlaku di tempat tersebut.
P: Dalam kurun waktu 2014-2018 kasus siapa yang oleh PWNI-BHI dirasa
berat penanganannya?
N: Kita tidak tahu ukuran berat atau tidaknya suatu penanganan, karena intinya
semua penanganan berbeda-beda. Sebagaimana yang sudah disebutkan tadi ada
qishas, ta’zir, dan hadd ghillah tentu dari situ yang paling sulit adalah hadd gillah.
77
Jangan dibayangkan pengadilan di Arab Saudi sama dengan pengadilan di
Indonesia, di mana ada hakim, jaksa, dan pengacara. Tahu kan pengadilan dalam
Islam itu seperti apa? Ada hakim? Ada; apakah ada istilah pengacara? Tidak ada.
Konsep pengacara itu baru muncul di Arab Saudi sekitar 2011 ke atas, 2014
mereka baru mempunyai semacam Bar Association (asosiasi pengacara). Jadi,
penanganan kasus hukuman mati menjadi sangat unik di Arab Saudi karena hanya
orang-orang yang mengerti syariahlah yang bisa tahu, karena pengadilan di sana
tidak seperti di Indonesia yang setahun dua tahun selesai, Almh. Tuti sendiri
kasusnya lama sekali, bahkan ada yang dari 2009, 2003 dan 2002. Kenapa bisa
terjadi? Karena pengadilan sangat memperhatikan dan tidak ingin mengambil
keputusan yang salah. Misalnya qishas, pengadilan akan menunggu hingga semua
ahli waris dari korban menyatakan pendapatnya, karena qishas selalu terbuka
peluang untuk tanazul (pemaafan) yang mana hanya bisa dinyatakan oleh orang
yang sudah baligh, apabila ada beberapa orang yang sudah menyatakan untuk
pemaafan namun di antara mereka terdapat anak kecil di antara ahli waris
tersebut, pengadilan akan menunggu sampai anak tersebut baligh, kalau misalnya
anak tersebut tidak memaafkan maka lanjut lagi proses hukumnya. Jadi kalau
ditanya sulit yang mana? It depends, karena semuanya unik penyelesaiannya, dan
banyak juga sebenarnya kasus-kasus yang di mana kita betul-betul all out ke
keluarganya dan juga pendekatan ke sana sini kita coba, sampai kita juga
melakukan pengiriman surat dari Presiden kepada Raja.
P : Ketika PWNI-BHI/Perwakilan mendengar bahwa terdapat WNI/TKI
yang terlibat kasus hukum di Arab Saudi, secara umum apa langkah PWNI-
BHI/Perwakilan dalam melindungi WNI yang terlibat kasus hukum di
negara tersebut?
N : ya kita sudah punya prosedur tetapnya, secara umum langkah-langkah yang
dilakukan pertama kali adalah melakukan akses kekonsuleran. Maksudnya apa sih
akses kekonsuleran itu? Ya kita datangi. Konsepnya perlindungan oleh Negara itu
begini: “dalam perlindungan WNI di luar negeri, Negara tidak berwenang untuk
mengambil alih tanggung jawab pidana atau perdata”, itu konsep utama dalam
78
perlindungan WNI di luar negeri. Jadi, kalau ada orang kemudian terlibat masalah
hukum, yang kita pastikan itu bukan agar dia bebas, kalau memang dia terbukti
bersalah maka kita harus menghormati hukum setempat, karena kita tidak
bertujuan untuk mengintervensi hukum setempat, yang kita lakukan adalah
memastikan bahwa dalam proses hukumnya dia mendapatkan keadilan di mata
hukum.
Oleh karena itu orang yang ditempatkan di Arab Saudi kebanyakan harus
mengetahui hukum syariat, karena ketika mendampingi sidang mereka harus tahu
alur dari persidangan tersebut. Arab Saudi itu kan mempunyai lembaga yang
bernama Lajnah ‘Afwu yaitu suatu lembaga pengampunan, di mana ketika ada
orang yang dikenakan diyat namun tidak mampu untuk membayar maka orang
tersebut harus menyatakan bahwa dirinya bangkrut di depan pengadilan, sehingga
ketika pengadilan menyatakan bahwa yang bersangkutan bangkrut, maka
selanjutnya beban diyat tersebut diserahkan kepada muhsinin (filantropis). Jadi,
ada diyat-diyat yang mungkin bisa dibantu pembayarannya oleh muhsinin yang
dibantu dengan Lajnah ‘Afwu tadi. Lajnah Afwu juga yang melakukan tanazul
(mediasi). Jadi sebagaimana yang disebutkan tadi, tingkatan-tingkatan pengadilan
di sana itu tidak seperti pengadilan di sini, selesai di pengadilan, mereka ada
mediasi, dan Lajnah ‘Afwu, juga apabila ada yang keluarganya mau memaafkan
tapi dengan syarat bayar diyat. Dan diyat juga ada macam-macamnya, ada diyat
syar’i dan diyat yang diminta oleh keluarga, diyat syar’i tentu berdasarkan syariat,
seorang laki-laki Muslim yang menjadi korban itu dihargai seratus unta, dan ada
Dekrit Raja yang menyatakan harga dari 100 unta saat ini, dan bagi laki-laki Non
Muslim 25% dari 100 ekor unta tersebut, kalau perempuan 50 ekor unta dari 100
unta tersebut. Jadi, unta-unta tersebut sudah ada harganya yang ditetapkan
berdasarkan syariat, tapi keluarga boleh/sangat boleh untuk menyatakan, “ini
kepala keluarga saya, ini kalau hidup bisa menghasilkan uang....” istilahnya
kompensasi. Makanya diyat itu ada diyat syar’i yang berdasarkan al-Qur’an dan
ada juga yang berdasarkan keluarga, katakanlah diyat syar’i 400 ribu real, namun
yang selama ini kita dengar berapa juta real, hal tersebut terjadi karena keluarga
79
korban meminta seperti itu. Jadi itu hak keluarga untuk meminta lebih daripada
diyat yang ditetapkan oleh syariat. Namun dalam kasusnya Alm. Tuti tersebut dia
tidak bisa dikenakan diyat karena kasusnya adalah hadd ghillah.
P : Arab Saudi terdiri dari 13 Provinsi, provinsi mana yang paling sering
menjatuhkan hukuman mati terhadap WNI?
N : Wah! Kalau ini harus ditanyakan ke KJRI/KBRI ya, mungkin kalau bisa saya
usulkan pertanyaannya bukan provinsi mana yang sering menjatuhkan hukuman
mati, pernyataan seperti ini berarti tendensinya ke provinsi tersebut.
Kenyataannya, yang harus kita lihat adalah seberapa banyak sih WNI kita di
daerah-daerah tersebut. Kalau dilihat banyak WNI di Thaif yang dihukum mati,
kenapa? Karena konsentrasi WNI kita di sana banyak. Contohnya, di Indonesia
Muslimnya 90% dari 250 juta jiwa, terus dengan dasar itu kita memahami, oh!
Kalau ada pelaku kejahatan Muslim ya itu wajar, kenapa? Karena Muslimnya ada
90% di sini, kalau Muslimnya 90% di sini tapi dari semua penjahat itu
kebanyakan Kristen, itu yang harus dijadikan pertanyaan, itu berarti anomali. Jadi
ini pertanyaannya juga bukan provinsinya yang melakukan hukuman mati,
logikanya adalah karena di situ banyak WNI, jadi potensi WNI mendapat masalah
atau terancam hukuman mati menjadi lebih tinggi. Jadi kalau dibandingi antara
Riyadh dan Jeddah manakah yang lebih banyak hukuman mati terhadap WNI? Ya
lebih banyak Jeddah, karena WNI lebih banyak di Jeddah. Jadi, bukan masalah
pengadilan di sini atau pengadilan di situ yang aktif melakukan hukuman mati.
P : Dalam memberikan bantuan hukum Perwakilan RI sering kali menyewa
jasa pengacara dari Negara Arab Saudi, apa kriterianya? Siapa atau kantor
pengacara di Arab Saudi yang sering disewa oleh Perwakilan RI di Arab
Saudi?
N : Seperti yang saya bilang tadi, pengacara di Arab Saudi itu baru ada
sekitar 2011, Bar Association baru ada di tahun 2014, kriterianya tentu adalah
mereka yang kita pandang ahli, Dalam artian dia memang mempunyai reputasi
yang baik; juga memiliki keberpihakan kepada kita, sebenarnya ada pengacara
80
yang pro bono (gratis/disediakan pemerintah setempat), tapi kita akan melihat
keberpihakan dia. Karena penanganan WNI yang terancam hukuman mati di Arab
Saudi itu bukan cuma di persidangan, kita juga kadang mendatangi keluarganya
mencari tahu informasi yang diperlukan untuk menguatkan posisi WNI tersebut di
pengadilan, saat ini pengacara kita untuk di wilayah akreditasi KJRI Jeddah itu
adalah Mazein al-Khurdi.
P : Terhadap perlindungan TKI yang terkena hukuman mati, dikenal
perlindungan kekonsuleran dan perlindungan diplomatis, kapan
diberlakukan dua bentuk perlindungan tersebut?
N : perlindungan kekonsuleran sebagaimana yang sudah saya sebutkan di atas itu
ada di Wina Convention. Perlindungan diplomatis adalah upaya-upaya lebih yang
dilakukan perwakilan dan pemerintah dalam hal ini mengirim surat ke gubernur
atau raja. Sedangkan perlindungan kekonsuleran hanyalah bagaimana ia
mendapatkan akses terhadap keadilan. Kedua bentuk perlindungan telah
disebutkan dalam Permenlu No. 18 Tahun 2017 sebagai dasar kedua bentuk
perlindungan ini. Meskipun peraturannya baru ada di tahun 2017, tapi kita sudah
melaksanakannya sejak lama.
P : Ketika dibutuhkannya perlindungan kekonsuleran siapa yang berwenang
dalam perlindungan kekonsuleran? dan ketika dibutuhkannya perlindungan
diplomatis siapa yang lebih berwenang dalam melakukan perlindungan
diplomatis terhadap para TKI terpidana mati?
N : yang melakukan tentunya adalah semua pejabat kita di perwakilan, di KJRI
dan KBRI dan bersifat koordinatif. Jadi begini, kita harus melihat bahwa apabila
yang melakukan adalah seorang WNI maka ini adalah urusan antara warga negara
dengan warga negara. Ini yang harus dipahami, kalau kita masuk terlalu jauh
kemudian kita masuk atas nama negara, yang di sana (Warga Arab Saudi) pakai
nama negara tidak? Tidak, mereka tidak mengatasnamakan negara, ketinggian
maksudnya, seperti kita main catur kalau kita menggunakan pion ya pion saja, ada
waktunya kita menggunakan raja. Jadi, tidak semuanya itu secara serta merta
81
langsung dibikin Surat Presiden, sekali lagi tidak. Itu yang dinamakan
perlindungan kekonsuleran dan diplomatis, jadi ada jenjangnya. Jadi, tidak semua
urusan harus diselesaikan oleh yang tertinggi. Dampak buruk kalau kita
melakukan ini (Pengiriman Surat Presiden) terus menerus, maka pengacara-
pengacara keluarga korban di Arab Saudi akan berpikiran untuk menaikkan beban
diyat karena mereka (WNI) yang secara langsung dilindungi oleh pemerintahnya,
maka terjadilah yang namanya makelar diyat, jadi dia (pengacara korban) merasa
bahwa, “oh! Ini mereka orang Indonesia, dan pemerintahnya akan melakukan
apapun untuk menyelamatkan dia”, akhirnya mungkin saja ada orang-orang yang
akan memanfaatkan kondisi ini dan akhirnya meminta diyat yang sampai puluhan
juta real. Dalam hal lain bukan saja di Arab Saudi, tapi di negara-negara lain
seperti di Malaysia, Singapura dan China, ketika warga negara kita kemudian
dibodohi untuk menjadi drug trafficker, ada kemungkinan sindikat perdagangan
narkoba di luarnegeri memahami bahwa Pemerintah Indonesia akan melakukan
segala upaya untuk membebaskan warga negaranya dari ancaman hukuman mati,
akhirnya banyak yang merekrut warga negara Indonesia, mereka akan lepas
tangan abis itu kalau misalnya ada yang tertangkap dan terancam hukuman mati.
Jadi, di situlah bedanya.
P : Seperti yang sudah disebutkan tadi, pengadilan di Arab Saudi dikenal
tidak akan memberikan pemberitahuan sebelum eksekusi hukuman tapi
sesudah, Bagaimana Perwakilan mengetahui apabila ada WNI/TKI yang
terlibat kasus hukum atau akan dieksekusi?
N : Perwakilan akan melakukan pengecekan secara aktif, kita juga sering
melakukan kunjungan ke penjara atau terkadang melalui media massa. Secara
prosedur, Kementerian Luar Negeri Indonesia melalui perwakilan-perwakilannya
tidak serta merta langsung melakukan kunjungan ke kantor polisi di Arab Saudi,
karena kita adalah perwakilan negara asing maka hubungan kita adalah dengan
Kementerian Luar Negeri Arab Saudi. Kalau perwakilan berhubungan langsung
dengan Kepolisian Arab Saudi atau Imigrasi Arab Saudi maka perwakilan telah
melanggar etika hubungan diplomatik. Begitu juga halnya apabila hal tersebut
82
terjadi di Indonesia, perwakilan negara asing tidak serta merta dapat berhubungan
langsung tanpa melalui nota diplomatik kepada Kementerian Luar Negeri.
P : Dalam buku yang ditulis oleh Badan Pengkajian dan Pengembangan
Kebijakan Kemlu yang berjudul, “Kajian Upaya Peningkatan Kualitas
Perlindungan dan Pelayanan TKI di Luar Negeri,” tahun 2011, disebutkan
bahwa yang menjadi faktor penghambat perlindungan WNI oleh Perwakilan
RI di luar negeri adalah tidak adanya Perjanjian Bilateral antara kedua
negara, dan sebagaimana diketahui Indonesia dan Arab Saudi pada 2014
telah menandatangani MoU tentang Perlindungan dan Penempatan TKI.
Setelah ditandatanganinya MoU ini kenapa masih terjadi kasus hukuman
mati yang menimpa WNI/TKI?
N : sudah dijawab tadi, bahwa belum ada perjanjian bilateral antar kedua negara.
MoU yang ditandatangani 2014 ini adalah untuk penempatan TKI, di dalamnya
berisi perekrutan dan penempatannya. Hukuman mati itu di luar ketenagakerjaan,
hukuman mati adalah dampak dari adanya warga negara asing di suatu tempat,
contoh: Arab Saudi tidak mempunyai warga negara yang bekerja di Indonesia tapi
mungkin saja warga negara Arab Saudi ada yang melakukan pembunuhan di sini.
Keduanya adalah sesuatu yang berbeda, jadi tidak bisa dikatakan bahwa dengan
adanya MoU terus masih ada kasus hukuman mati. Yang satu adalah MoU
tentang bagaimana merekrut dan menyalurkan serta perlindungannya, maksud
dari perlindungan apa? Karena isunya adalah ketenagakerjaan maka yang
dimaksud adalah kontraknya sesuai, kalau tidak dibayar gaji mekanismenya
bagaimana, kalau eksploitasi ketenagakerjaan seperti apa, itu yang dibahas di
MoU; tapi kalau ada masalah hukuman mati itu hal lain, jadi yang harus dibahas
dalam MoU tentang hukuman mati sebenarnya adalah MCN, dan maksud dari
“yang menjadi faktor penghambat perlindungan karena tidak adanya perjanjian
bilateral antar kedua negara”, maksudnya di sini adalah MCN atau MoU di bidang
konsuler.
83
P : UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di
Luar Negeri, menurut bapak/ibu apa yang menjadi kekurangan dalam hal
perlindungan yang dirumuskan dalam UU ini?
N : UU ini sudah tidak berlaku lagi ya, UU tersebut sudah diganti dengan UU No.
18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.
P : Sebagaimana diketahui juga sedang dibahas di DPR-RI RUU Perubahan
UU No. 39 Tahun 2004, apakah PWNI-BHI ikut merumuskan RUU
tersebut? Kalau ada yang diperbaharui, apa yang menjadi fokus dari PWNI-
BHI dalam RUU ini khususnya dalam hal Perlindungan TKI?
N : lanjutan dari jawaban sebelumnya, yang diperbaharui adalah lebih condong ke
tata kelola perlindungan, tata kelola di dalam negeri maksudnya siapa yang
berwenang melakukan apa. Maksudnya, dalam hal ini pembagian tugas dan
kewajiban. Misalnya, Kewajibannya dan Kewenangan Kemnaker, BNPPTKI, dan
Kemlu. Kalau UU No. 39 Tahun 2004 lebih condong ke perekrutan serta tata
kerjanya, kalau UU No. 18 Tahun 2017 lebih kepada upaya perlindungannya,
selain itu sanksi yang diberikan dalam UU No. 18 Tahun 2017 itu lebih berat.
84
Nama : Ika Masruroh
Jabatan : Divisi Bantuan Hukum Migrant CARE
Hari/Tanggal : Kamis, 15 Agustus 2019
Waktu : 10.00-10.45
Tempat : Kantor Migrant CARE
Pewawancara (P)
Narasumber (N)
P: Bagaimana tanggapan Migrant CARE sendiri tentang perlindungan
Pemerintah terhadap Pekerja Migran Indonesia terpidana mati di Arab
Saudi?
N: di sini saya melihat beberapa kasus seperti kasus Zaini Misrin; Tuti
Tursilawati; terus seperti yang di Malaysia, Siti Aisyah yang dituduh membunuh
adik dari Kim Jong Un yaitu Kim Jong Nam yang kemudian sudah lolos dari
hukuman mati. Upaya Pemerintah di sini besar juga untuk melakukan
pembebasan-pembebasan terhadap PMI kita yang tersangkut masalah hukum di
luar negeri, kasus Zaini Misrin dan Tuti Tursilawati itu kan sudah sampai ke tahap
seperti Peninjauan Kembali, bahkan masih diusahakan di detik-detik terakhir dia
akan dieksekusi. Di Arab Saudi sendiri itu kan ada tiga jenis hukuman mati dan
pada kasus Tuti Tursilawati dia sudah divonis dengan hukuman kategori hadd,
yang sebenarnya dia tidak bisa dimaafkan entah membayar diyat atau dari
pengampunan Raja itu sudah tidak dapat dilakukan untuk membebaskan; tapi
upaya dari Pemerintah Indonesia sendiri masih tetap dilakukan meskipun
Pemerintah sendiri tahu keputusan ini sebenarnya sudah final, bagaimanapun
upayanya hukuman akan tetap dilaksanakan, namun begitu Pemerintah Indonesia
tidak tinggal diam. Berapa kali mereka (Pemerintah) rutin mengunjungi penjara
terus memfasilitasi keluarga yang di Indonesia untuk berkunjung ke Arab Saudi
itu kurang lebih 3 atau 4 kali dilakukan.
85
P: Tuti sendiri dari perekrutan apakah sudah sesuai prosedur perekrutan
yang ditentukan Negara?
N: Iya, dia berangkat ke sana itu sudah sesuai prosedur, cuma di sana (Arab
Saudi) ada namanya sistem kafalah yang umpamanya dia dianggap sebagai
budak, jadi kalau dia sudah masuk di rumah majikan, maka tergantung
majikannya dia di akan diperlakukan seperti apa oleh majikannya itu dan orang
luar rumah tidak bisa masuk untuk intervensi dan sebagainya ke dalam situ.
Makanya sampai sekarang Pemerintah Indonesia masih moratorium pengiriman
ke Timur Tengah.
P: kemarin saya sempat mewawancarai pihak PWNI-BHI terkait eksekusi
mati tanpa pemberitahuan yang mana faktanya Arab Saudi tidak mengenal
pemberitahuan sebelum eksekusi baik kepada Warga non-Saudi maupun
Warga Saudi sendiri, selain itu antara Indonesia dan Arab Saudi belum ada
perjanjian notifikasi antara kedua negara dikarenakan tidak ada keinginan
sendiri dari Arab Saudi untuk membentuk perjanjian tersebut. Menurut
Migrant CARE sendiri apa yang seharusnya dilakukan oleh Pemerintah
dalam menyikapi hal tersebut?
N: Jadi, beberapa kali memang WNI yang dieksekusi di Arab Saudi itu tidak ada
notifikasi itu dan sebelum Tuti itu juga seperti itu, yang nanti pada akhirnya
Pemerintah akan bilang kecolongan, dsb. Karena memang tidak ada surat
pemberitahuan ke KJRI, Kemlu, maupun ke keluarganya, jadi mereka biasanya
menginformasikan itu setelah terjadinya eksekusi ke Perwakilan yang di sana.
Harapan kami Pemerintah harus aktif entah itu Presiden atau Perwakilan
Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Arab Saudi selalu menyuarakan itu
untuk perlindungan kepada pekerja migran kita di sana, jadi memang besar juga
tantangan yang harus dihadapi. Bukan hanya dengan Indonesia, Arab Saudi juga
tidak memiliki perjanjian dengan negara-negara lain tentang kewajiban notifikasi
tersebut jika Arab Saudi mengeksekusi warga negara lain. Jadi memang tantangan
tersendiri, itu baru hukuman mati. Contoh lain adalah, teman-teman PMI yang ada
di rumah majikan yang kemudian disiksa, dsb; awalnya PMI tersebut masih bisa
86
komunikasi dan telepon ke KJRI melapor bahwa saya dipukuli dan sebagainya, itu
kan real ya maksudnya langsung dari PMI yang melapor; nah kalau misalnya ada
tim KJRI yang datang ke situ berkunjung ke rumah majikannya dan kemudian si
majikan tidak bersedia membuka pintu ya maka Perwakilan tidak bisa memaksa
meskipun kita mengajak pihak kepolisian di sana terus kemari sempat kita
(Migrant CARE) diskusi dengan Kemenaker juga kita tanya, “kenapa bisa seperti
itu?” mereka menjawab, “itu sudah aturan di sana, dan pihak KJRI/KBRI di sana
tidak bisa memanggil pihak majikan yang bermasalah di sana kecuali Perwakilan
kita yang di sana berkoordinasi dengan Kementerian Ketenagakerjaan Arab
Saudi”. Jadi, kalau misalnya ada pengaduan terkait majikan A, ke Perwakilan di
Jeddah/Riyadh maka Perwakilan tidak bisa memanggil langsung si majikan ini
tapi dia harus berkoordinasi dengan pihak Kemenaker Arab Saudi baru kemudian
pihak Kementerian di sana memanggil yang bersangkutan ini. Jadi, memang
prosesnya lama, itu baru kasus ketenagakerjaan seperti itu ya apalagi kasus
hukuman mati.
P: Bagaimana pendapat Migrant CARE sendiri terhadap Sistem
Penempatan Satu Kanal (One Channel System) yang telah disetujui antara
Pemerintah Indonesia dan Arab Saudi?
N: One Channel sendiri itu belum berjalan ya, masih tahap pendaftaran PPTKIS
(Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta) atau sekarang P3MI
(Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia). One Channel System itu
kayak di sini adalah perusahaan-perusahaan penempatan yang khusus mengirim
ke Timur Tengah itu dijadikan satu terus nantinya bekerja sama dengan Agency
yang ada di Arab Saudi itu. Alasan diadakannya One Channel ini adalah karena
ada perbaikan perlindungan PMI di Arab Saudi, tapi perbaikannya itu seperti apa
kalau kita lihat di Kepmenaker No. 291/2018 tidak ada penjelasannya perbaikan
di Arab Saudi itu seperti apa? Misalnya sistem kafalah dihapuskan itu tidak ada
disebutkan di situ cuma disebutkan sistem penempatan sudah lebih baik.
87
P: Tapi sistem tersebut menghapuskan Kepmenaker No. 260/2015 tentang
Kebijakan Moratorium Penempatan TKI di 21 Negara di Timur Tengah
atau tidak bu?
N: Tidak, soalnya perjanjian ini hanya untuk di Arab Saudi saja dan masih
percobaan, tapi kami mengkritik sistem ini soalnya kalau misalnya sistem ini
dijalankan harusnya yang moratorium itu dibatalkan atau dicabut, karena ini kan
saling bertentangan peraturan yang satu masih memberikan moratorium yang
satunya lagi masih memberikan peluang begitu. Jadi, kalau misalnya peraturan
tentang One Channel System ini dijalankan seharusnya yang Kepmenaker Tahun
2015 tersebut dihapuskan karena saling bertentangan. Selain itu, masih swasta
yang menempatkan harapan kita (Migrant Care) harusnya G to G (Government to
Government) kalau lewat swasta ya masih sama kaya yang dulu dong! Sekarang
saja meskipun moratorium tersebut belum dicabut PPTKIS yang nakal-nakal
masih mengirimkan ke Timur Tengah, dan itu mereka mengirimnya lewat jalur-
jalur non prosedural seperti menggunakan visa turis, visa kunjungan, dan visa
umrah.
P: Kalau misalnya begini bu, PMI tidak menggunakan visa kerja kemudian
diketahui oleh Pemerintah Setempat, oleh Pemerintah Setempat tidak bisa
dihukum ya bu?
N: Sejauh ini tidak ada ya kasus seperti itu. Jadi, memang banyak teman-teman
PMI yang di sana itu undocument, awalnya dia berangkat prosedural ada visa,
paspor, PK, pokonya persyaratan kerja itu lengkaplah. Tapi, setelah sampai di
sana masuk ke rumah majikan dokumen-dokumennya diminta, komunikasinya
dibatasi, gaji juga ditahan, dan seharusnya kontrak kerja itu selesai dalam setahun
tapi kemudian diminta perpanjang, perpanjangan di sini kebanyakan PMI tersebut
tidak mengetahui maksudnya apakah dokumen-dokumennya juga diurus misalnya
visa kerjanya begitu harusnya diurus perpanjangannya setahun sekali atau apakah
si majikan yang akan mengurusnya, kan kita juga tidak tahu. Nah itu yang
biasanya bisa mengakibatkan PMI itu statusnya overstay. Biasanya kalau
ketahuan seperti itu pihak imigrasi yang akan bertindak, PMI tersebut akan
88
diproses sesuai aturan imigrasi Arab Saudi di sana. Kalau misalnya ada PMI yang
ketahuan overstay mereka pasti akan dihukum, kemudian apabila telah selesai
hukuman maka mereka akan dideportasi kembali ke Indonesia. Tapi harus
menjalankan hukuman tersebut dulu di sana, itu yang ketahuan tapi kalau yang
gak ketahuan ya tidak bisa keluar dan tetap akan ditahan di rumah majikannya.
Para PMI ilegal ini kebanyakan mereka mengakalinya seperti turis begitu yang
ingin jalan-jalan ke luar negeri yang cuma pakai ransel dan itu oleh oknum agen-
agen di dalam negeri di ajarkan seperti itu. Juga mereka kadang ada koneksi
dengan oknum imigrasi yang ada di bandara sini, misalnya oleh agennya dibilang
“nanti kamu lewat sini ya! lewat lorong yang......!” terus kalau kita mau check in
biasanya diperlihatkan paspornya, tiketnya, dsb. waktu check in biasanya kalau
kita kan tinggal masuk sendiri, kalau teman-teman ini (PMI ilegal) tidak,
paspornya dikumpulkan dulu di satu agen nanti dia yang akan memberikan ke
oknum yang akan mengecek itu jadi sudah ada kongkalikong. Kita pada tahun
2015-2016 ada riset sih di bandara, jadi setelah adanya Kebijakan Moratorium
tersebut masih ada atau tidak pengiriman-pengiriman PMI ke Timur Tengah, dan
ternyata hasil riset tersebut membuktikan masih ada, baik yang baru dikirim
maupun yang baru pulang cuti kemudian berangkat lagi. Dan orang yang masih
ada kontrak kerja dengan majikannya meskipun sudah ada kebijakan moratorium
tetap masih harus bekerja.
P: Migrant Care sering memberikan pandangan bahwa untuk mencegah
eksekusi mati terhadap WNI atau Pekerja Migran di luar negeri harus
dimulai dari iktikad baik Pemerintah Indonesia untuk menghapus hukuman
mati di Indonesia, seberapa efektifkah langkah perlindungan sistem
hukuman mati di Arab Saudi sendiri yang memang berdasarkan syariat dan
keputusan pengadilan di Arab Saudi yang memang tidak bisa diganggu
gugat bahkan oleh Raja?
N: Itu kan bisa menjadi semacam tawar menawar begitu, “di Negara saya saja
tidak menerapkan hukuman mati, warga negara saya yang di sana tolong jangan
dihukum mati?”. Tapi kalau kita sendiri masih menerapkan, dan kemudian warga
89
kita di luar negeri masih banyak yang dihukum mati dan kita sendiri menentang
hukuman mati yang ditetapkan tidak relevan juga, dilema, dan semacam ada
tekanan moral. Seberapa efektifnya usulan ini di Arab Saudi sedangkan negara
tersebut menerapkan hukum syariat? Itu sesuai pengalaman teman-teman di
Kemlu, karena mereka yang aktif melakukan perlindungan, lebih banyak ke
pendekatan kekeluargaan. Jadi, kalau hukuman mati kan lebih banyak yang
menentukan ahli warisnya contohnya diyat, atau dimaafkan atau tidaknya itu kan
tergantung ahli warisnya yang menentukan ia dikenakan hukuman mati atau tidak.
Contoh pendekatan kekeluargaan itu seperti silaturahmi, atau mungkin apabila ada
ahli waris korban yang sakit biasanya pihak KBRI/KJRI di Arab Saudi sigap
datang membawa obat-obatan, panggil ambulans, nanti dibawa ke rumah sakit,
atau kadang juga ahli waris korban ada yang diajak main ke kedutaan atau rumah
salah satu staf perwakilan di sana untuk makan bersama itu kan juga nantinya
akan membuka pintu pemaafan dari ahli waris ini kan, tapi itu kan prosesnya juga
lama sih tidak sebentar, tapi paling tidak ada upaya untuk menyelamatkan WNI
yang bersangkutan. Terus ada juga keluarga yang tidak bisa dilakukan pendekatan
untuk pemaafan maka Perwakilan biasanya melakukan pendekatan dengan
Gubernur/Walikota setempat atau pendekatan ke ulama-ulama atau tokoh
masyarakat di situ. Jadi, tidak harus upaya hukum seperti pengadilan atau
diplomatik.
P: Sebagaimana yang diketahui pada tahun 2017 lalu telah direvisi UU
Perlindungan Pekerja Migran, menurut Migrant Care sendiri apakah UU
tersebut telah sepenuhnya memberikan jaminan perlindungan terhadap
para Pekerja Migran khususnya selama mereka bekerja di negara
penempatan?
N: ya, Undang-Undang ini sebenarnya sudah lebih bagus dari Undang-Undang
No. 39 Tahun 2004 sebelumnya, namun dalam praktiknya kita juga belum tahu
karena aturan turunannya juga belum ada padahal sudah sampai 2 tahun tapi
Peraturan Pemerintahnya ini belum ada, katanya sih Oktober 2019 ini akan keluar
tapi kita juga belum tahu. Jadi kurangnya ya itu belum adanya aturan turunan,
90
dalam kurun waktu 2 tahun ya termasuk lama untuk mengesahkan aturan
turunannya itu, dan baru 2 yang sudah disahkan itu pun cuma terkait PPTKIS
bukan spesifik ke perlindungan PMI malah yang mengatur terkait syarat-syarat
sebuah perusahaan pengiriman PMI. Terkait dengan hal perlindungan pun yang
seharusnya peran swasta dikurangi namun dalam praktiknya sepertinya masih
swasta yang berjalan, kemudian penyediaan BLK (Balai Latihan Kerja), kalau
BLK itu kan dalam Undang-Undang Daerah yang akan menyiapkan hal tersebut,
namun semakin kesini BLK tersebut yang menyiapkan malah swasta jadi
Pemerintah juga seakan menyarankan tidak hanya BLK milik Pemerintah saja tapi
swasta juga, hal ini juga nantinya yang dalam proses penempatan akan menjadi
masalah juga karena P3MI/PPTKIS tadi akan lebih mengutamakan teman-teman
PMI yang berasal dari BLK milik mereka untuk berangkat daripada teman-teman
PMI yang berasal dari BLK milik pemerintah.
91
Nama : Dr. Fuad Thohari, M.Ag.
Jabatan : Dosen Perbandingan Madzhab dan Hukum, Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Hari/Tanggal : Selasa, 16 Juli 2019
Waktu : 09.00-10.00
Tempat : Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
P : Pada Oktober 2018 lalu Pengadilan Arab Saudi melakukan
eksekusi mati terhadap Pekerja Migran Indonesia yang bernama Tuti
Tursilawati karena melakukan pembunuhan terhadap majikannya yang
sudah tua bernama yaitu Suud Mulhaq al-‘Utaibi. Menurut Direktur PWNI
BHI, Lalu Muhammad Iqbal; pengadilan Arab Saudi menjatuhkan
hukuman mati kepada Almh. Tuti Tursilawati yaitu berupa hukuman Hadd
Ghillah. Lanjutnya,di Arab Saudi terdapat 3 kategori hukuman mati, pada
tingkatan pertama terdapat Ta’zir, selanjutnya Qishas dan yang paling atas
adalah Hadd Ghillah yang di mana Raja ataupun Keluarga Korban tidak
dapat memaafkan karena ini merupakan hak Allah. Sebenarnya apa
pengertian dari ghillah?
N : sebelum menjelaskan pengertian tentang hadd ghillah kita perlu
mengetahui arti dari kata ghilah itu sendiri. Ghillah diartikan secara bahasa dan
dirangkaikan dengan kata al-qatlu atau al-qatlu ghillatan berarti membunuh yang
diawali dengan perencanaan/pembunuhan berencana, dengan cara yang sangat
halus di mana korban tidak mengetahui kalau ia akan dibunuh, kemudian selain
membunuh si pelaku juga mengincar harta, aset-aset berharga yang dimiliki oleh
korban. Atau juga bisa dikatakan, menipu dan membawa korban ke suatu tempat
yang tersembunyi asal itu dilakukan dengan perencanaan yang matang lalu
kemudian dibunuh, maka pembunuhan seperti ini dapat diistilahkan dengan al-
qatlu ghiilatan. Sedangkan ghillah menurut para fuqaha, ghillah adalah penipuan
dan pembunuhan di suatu tempat yang jauh dari keramaian sehingga orang-orang
tidak dapat melihat kejadian tersebut, atau pembunuhan secara sembunyi-
92
sembunyi. Lebih lengkapnya menurut Ibnu Taimiyyah ghillah itu adalah:
“pembunuhan terhadap seseorang untuk mengambil hartanya”, contoh orang
yang berada pada satu perkemahan dengan sekelompok musafir lalu ketika
terdapat seorang musafir yang terpisah dari kelompoknya, orang itu kemudian
membunuhnya; contoh lain, seperti pemilik rumah mengundang tukang sapu atau
dokter ke rumahnya, lalu sesampainya di rumahnya, dokter atau tukang sapu itu
dibunuh dan diambil hartanya. Maka hal tersebut sudah digolongkan dalam
pembunuhan ghillah. Jadi, posisinya lebih berat dan lebih sadis dibanding al-qatlu
‘amdan. Jadi, kalau bicara terkait hukum pidana Islam tentang pembunuhan,
dibagi tiga yaitu al-qatlu amdan, al-qatlu khataan, dan al-qatlu syibhu al’amdi.
Al-Qatlu ghilatan itu posisinya yang ‘amdan tapi ditambahi dengan perencanaan,
ditambahai dengan hubungan antara pembunuh dengan korban yang sangat dekat
sehingga korban tidak menyangka kalau dia akan diperlakukan seperti itu, selain
direncanakan ada motif incar sesuatu yang dimiliki korban, apakah yang diincar
itu sesuatu yang berbentuk harta atau yang diincar itu misalnya kehormatan diri
korban diperkosa misalnya. Jadi, pelaku pembunuhan seperti itu bisa laki-laki
yang bunuh perempuan, atau laki-laki yang dibunuh laki-laki, atau yang dibunuh
laki-laki korbannya perempuan setelah mengincar kehormatannya, dsb. Jadi posisi
al-qatlu ghilah itu kalau dikelompokkan menjadi 3 kategori pembunuhan itu dia
dikelompokkan menjadi al-qatlu ‘amdan yang ghilatan.
Kasus di Saudi, Saudi itu satu-satunya mungkin Negara Islam yang secara
konsisten menerapkan hukum pidana dasarnya menggunakan al-Qur’an atau
Hadis. Maka ketika terjadi kasus pembunuhan ghillah acuannya tentu berdasarkan
dalil nash yang kebetulan ini disebut di ayat tentang pembunuhan itu ada, atau
nanti dijelaskan dalam beberapa hadis tentang pembunuhan yang kemudian oleh
beberap ulama madzhab/fiqh ketika pembunuhan itu direncanakan dengan matang
yang mana seharusnya korban itu mendapatkan perlindungan tetapi justru
diperdaya untuk dibunuh sambil mengincar kehormatannya atau mengincar
hartanya maka sanksinya adalah qishas yang tidak bisa lagi diberikan pemaafan
dari pihak manapun, apakah dari pihak keluarga korban termasuk penguasa
93
tertinggi yang dalam konteks hukum lain dia bisa memberikan amnesti ini juga
tidak bisa diberikan amnesti sekalipun itu Raja.
P : kenapa hukuman bagi pelaku ghillah dijatuhi hukuman hudud
bukan qisas? kenapa seseorang yang melakukan suatu pembunuhan seperti
Tuti Tursilawati ini dikenakkan hukuman hadd ghillah?
N : Ya, Sebenarnya kalau bicara pembunuhan kelompok hukumannya
qishas. Qishas kan dibagi dua ada melukai seseorang dengan luka yang serius (al-
jarhu) dan al-qatlu. Yang menyebabkan dihukum qishas itu setahu saya bukan
qatlu khataan atau syibhu ‘amdin tapi al-qatlu ‘amdan. Sebatas al-qatlu tanpa
ghillah atau tanpa direncanakan, dan tidak ada hubungan keluarga yang dekat atau
yang mestinya mengayomi itu masih ada peluang untuk diberikan pemaafan oleh
keluarga terbunuh atau penguasa yang mempunyai otoritas untuk memberikan
amnesti dengan cara membayar diyat.
Apabila dihubungkan ghillah ini memiliki makna hampir sama dengan jarimah
hirabah. Hirabah itu ada empat kategori: pertama, menakut-nakuti, menakut-
nakuti dan merampas harta, menakut-nakuti kemudian membunuh tanpa
mengambil harta, dan mengambil harta sekaligus membunuh, yang mana pada
kategori keempat hukuman bagi pelaku adalah dibunuh dan disalib. Pembunuhan
ghillah ini disamakan dengan tindak pidana hirabah karena di dalamnya terdapat
unsur pembunuhan dan pengambilan harta, sedangkan perbedaannya kalau
hirabah dilakukan secara terang-terangan di jalanan sedangkan kalau pembunuhan
secara ghillah dilakukan di tempat yang sepi. Hal serupa dikatakan oleh beberapa
ulama seperti al-Lakhmi: “merampas harta seseorang dengan kejam kemudian
membunuhnya” dalam hal ini tindakan orang tersebut termasuk ghillah, dengan
syarat tindakannya dilakukan di tempat yang sepi, apabila tidak maka tindakannya
tidak termasuk ghillah, atau sebagaimana yang dikatakan oleh seorang hakim
bernama Ali bin Abdussalam: “Ghillah termasuk jenis dari hirabah, itu berarti
membunuh seseorang untuk merampas istri, anak, dan harta darinya; atau
menipu seseorang, baik tua atau muda, dan membawanya ke tempat sepi
untuk membunuhnya dan mengambil hartanya sangat berharga”. Konsepnya
juga sama seperti kejahatan hudud yang lain di mana hukuman tersebut
merupakan hak Allah yang tidak bisa diampuni.
94
Hukuman bagi pelaku pembunuhan secara ghillah sebelumnya bermacam-macam.
Sebagian ulama melihatnya sebagai Hak Allah sebagaimana status jarimah hudud
lainnya, sehingga wajib hukumnya untuk ditegakkan meskipun keluarga ahli
waris telah memaafkannya; dan sebagian ulama yang lain menganggap bahwa itu
adalah hak manusia, maka dari itu wajib dikenakan hukuman qishas bukan hadd.
Hukuman Hadd bagi pelaku ghillah secara pasti ditetapkan setelah Hai’atu Kibar
al-Ulama sebuah lembaga ulama tertinggi di Arab Saudi memutuskan untuk
menjatuhkan hukuman hadd bagi setiap tindak kejahatan ghillah ini.
Ghillah ini oleh mayoritas ulama dianggap sebagai pembunuhan secara sengaja
yang tidak dapat dimaafkan, para ulama Malikiyah, Imam Syafi’i, Mazhab Ahli
Madinah dan salah satu dari pendapat Hambali mengatakan, “pengampunan tidak
boleh diberikan pada jenis qatlu al-ghillah”, Ibnu Qayyim al-Jauziyaah bahkan
mengatakan bahwa “qatlu al-ghillah mengharuskan pelakunya dijatuhi hukuman
hadd, sehingga hukumannya tidak gugur dengan adanya pengampunan dan tidak
dilihat lagi adanya kesetaraan”, selain itu seorang ulama Malikiyah bernama
Ibnu Abi Zaid mengemukakan pendapat bahwa: “tidak ada pemaafan bagi tindak
kejahatan ghillah, meskipun yang dibunuh itu seorang kafir dan yang membunuh
itu adalah seorang muslim”. Pendapat seperti Ibnu Abi Zaid ini juga oleh Imam
Syafii disebutkan dalam bukunya al-Umm di mana pada masa kekhalifahan Umar
bin Khattab, yang mana beliau pernah memerintahkan untuk membunuh seorang
Muslim yang telah membunuh secara ghillah seorang Nasrani yang berasal dari
Hiyrah. Nanti, bisa dilihat di buku saya Hadits Ahkam dari halaman 198 ke atas di
situ sudah saya kutip perkataan-perkataan para ulama asli dari teks-teks karya
mereka.
suatu pembunuhan dihukum dengan hadd ghillah disebabkan karena pembunuhan
yang dilakukan terhadap orang yang mempercayainya atau dalam lindungannya
misalkan seorang suami membunuh istri atau sebaliknya, ayah membunuh
anaknya atau pembantu membunuh majikannya; atau juga bisa berdasarkan pada
tipu daya muslihat seperti membawa korban ke tempat yang sepi kemudian
membunuhnya lalu diambil hartanya. Nah, dalam kasus Tuti Tursilawati kenapa
diputuskan hukuman mati oleh pengadilan dengan hadd ghillah adalah karena
korban merupakan majikan dari pelaku ini, selain itu setelah melakukan
tindakannya tersebut pelaku membawa kabur harta dari korban. maka dari itu
pelaku dikenakan hukuman hadd ghillah.
95
P : Apa dalilnya yang mendasari seseorang yang melakukan
pembunuhan secara ghillah dihukum dengan hukuman hadd dan tidak
dapat dimaafkan?
N : dalil tentang hukuman hadd bagi pelaku ghillah ini terbagi atas dalil
yang bersifat umum dan khusus, dalil yang umum ini diambil oleh para ulama
madzhab yaitu Syafi’i, Hanafi, dan Hanbali, yaitu al-Qur’an Surah an-Nisa yang
berbunyi:
فيها وغضب الله عليه ولعنه وأعده ومن ي قتل مؤمناا مت عم داا فجزاؤه جهنهم خالداا ) ٩٣النساء: ( له عذاابا عظيماا
Dan barang siapa yang membunuh seorang yang beriman dengan sengaja, maka
balasannya ialah Neraka Jahanam, dia kekal di dalamnya. Allah murka
kepadanya dan melaknatnya serta menyediakan azab yang besar baginya (an-
Nisa: 93)
Sedangkan para ulama Maliki berdalil dengan dalil khusus yang menyatakan
tentang ghillah ini yang berasal dari sunnah yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi
bahwa Rasulullah SAW menolak untuk menerima alasan Harits bin Suwaid yang
melakukan pembunuhan ghillah terhadap Mujdzar bin Ziad. Dari sinilah kenapa
hadd ghillah itu tidak dapat dimaafkan bahkan oleh Raja sekalipun.
Selain itu terdapat dalil yang cocok sekali dihubungkan dengan kasus Tuti
Tursilawati yang membunuh majikannya tersebut: yaitu hadis yang diriwayatkan
oleh Anas bin Malik, yang mana pada waktu itu datang beberapa orang dari ‘Ukl
dan ‘Urainah kepada Nabi karena tidak tahan dengan kondisi iklim di Madinah
sehingga mereka sakit, lalu Nabi memerintah mereka untuk pergi ke kandang unta
untuk meminum dari unta tersebut air kencing dan susunya, setelah meminumnya
mereka pun sembuh. Namun, setelah itu mereka membunuh pengembala unta
tersebut dan membawa kabur unta-untanya, mendengar hal itu nabi pun
memerintahkan sebagian orang untuk mengejar orang-orang tersebut dan setelah
mereka ditangkap kemudian dibawa ke Nabi. Kemudian Nabi memerintahkan
mereka untuk dihukum dengan cara dipotong tangan dan kakinya dan diambil
matanya lalu kemudian dijemur di padang pasir yang panas sampai kemudian
mati.
96
Nama : Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag.
Jabatan : Dosen Hukum Pidana Islam, Wakil Dekan Fakultas Dirasat
Islamiyah Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Hari/Tanggal : Rabu, 10 Juli 2019
Waktu : 19.30-19.50
Tempat : Masjid al-Mughirah
P : Apa pengertian dari Hadd Ghillah sebagaimana yang diterapkan
peradilan di Arab Saudi dan apa yang membedakan dengan hukuman
Qishas?
N : saya juga baru baca yang sampean share itu, ternyata di Saudi ada
perkembangan pemahaman dari qishas, sehingga ada 3 kategori hukuman: ada
ta’zir (ringan), ada qishas (sedang), dan yang terberat (hadd ghillah) itu. Yang
namanya hadd ghillah itu merupakan perkembangan mutakhir sekarang ini. Kalau
zaman dahulu dalam teks-teks kitab tidak ada istilah hadd ghillah yang ada
hanyalah qishas, baik nanti implikasinya terhadap diyat maupun qishas. Kalau
ta’zir ya ringan bukan hanya pembunuhan, pelanggaran-pelanggaran ringan
masuknya ta’zir. Kalau yang qishas, itu perbedaannya dengan ghillah tampaknya
ada pada bisa tidaknya dimaafkan oleh pihak-pihak, Dalam hal qishas itu bisa
dimaafkan oleh keluarga dekat, dalilnya apa? Itu dalam al-Qur’an surah al-
Baqarah ayat 178: “wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu
berhukum dengan qisash dalam soal pembunuhan. Merdeka dengan merdeka,
hamba sahaya dengan hamba sahaya, wanita dengan wanita. Barang siapa yang
mendapatkan pemaafan dari saudaranya maka yang memberi maaf hendaklah
mengikuti dengan perbuatan baik dan yang diberi maaf harus segera membayar
diyatnya, itulah keringanan dan rahmat dari Tuhan kalian. Barang siapa yang
melampaui batas setelah demikian maka baginya siksa yang pedih”, itu dalil
tentang qishas. Dimaafkan oleh keluarga dekat (walinya atau siapa yang
berkaitan) maka orang tersebut tidak diqisash tetapi kewajibannya adalah
membayar diyat, dan diyatnya apabila masuk dalam pembunuhan yang berencana
97
atau sengaja disebut dengan diyat mughollazoh. Diyat mughollazoh adalah diyat
yang diperberat dengan membayar 100 ekor unta, dengan perincian 60 ekor unta
jadza’ah (yang besar) dan 40 ekor unta khilfah (unta yang sedang bunting). Lah,
sekarang di Saudi ada konsep lain yang kemudian disebut dengan hadd ghillah.
Ghillah saya lihat berasal dari kata ghalla yaghillu, bisa ghulul tapi dia tepatnya
sama dengan bunyi ayat al-Qur’an lebih tepatnya surah al-Hasyr ayat 10 yang
berbunyi: “wa laa taj’al fii quluubina ghillan”. Kata-kata ghillan pada ayat ini
berarti dengki, iri, dan dendam. Jadi, dalam kalimat tersebut saya melihat ada
istilah ghillah, ghillah itu berarti rasa dendam, makanya dalam al-Qur’an
dikatakan, “Ya Allah janganlah engkau jadikan dalam dada kami ini ghillan (rasa
dengki, iri, dan dendam) kepada orang-orang yang beriman”. Nah ghillah itu
pembunuhan yang dilakukan oleh seorang terutama secara berencana dan sengaja
pada saat dia tidak mendapatkan penyerangan, tapi dia sudah memiliki rasa
dendam yang berkepanjangan akibat kulminasi rasa berkecamuk dalam dada
karena berulang kali dilecehkan. Dalam kasus yang Anda teliti ini, yang
bersangkutan dilecehkan berulang kali sehingga merasa dilecehkan itulah dalam
dadanya berkecamuk “kalau ada kesempatan akan saya bunuh majikan saya,”
dalam suasana majikan sehabis shalat shubuh dan dia sedang tidak
dilecehkan/diperkosa dilakukanlah pembunuhan. Itulah akibatnya yang tidak
dimaafkan oleh keluarga korban dan akhirnya diberikan hadd ghillah sehingga
tidak ada hak untuk dimaafkan oleh siapapun keculi Allah. Itu kebijakan ulama
Saudi sekarang, kalau dari segi hukum sebenarnya harus didiskusikan karena itu
terjadi sebab-akibat ada hubungan kausalitas kenapa dilakukan? Karena selama ini
dilecehkan secara berulang-ulang sehingga terpaksa dilakukan pembunuhan.
Itulah yang membedakan antara qishas biasa dengan hadd ghillah, kalau qisash
masih ada upaya untuk dimaafkan karena ada unsur pembelaan diri ketika
dilecehkan, namun hadd ghillah tidak dapat dimaafkan karena dalam keadaan
sedang tidak dilecehkan. Itu yang saya pahami, jadi nanti silahkan dikembangkan
diteliti lebih lanjut, ini penemuan menarik karena dalam fiqh jinayah tidak pernah
disebut, hanya dalam al-Qur’an dikatakan ghillan tadi. Ada hadis lain juga yang
98
mengatakan “tasafahuu tadzhabuu al-ghillu ‘an qulubikum” yang artinya
bersalam-salamlah kalian nanti kedengkian, iri, dan dendam dari diri kalian akan
hilang. Kata-kata al-ghillu dan ghillah artinya sama, jadi dalam al-Qur’an surah
al-Hasyr ayat 10 tadi dikaitkan dengan anjuran jabat tangan akan menghilangkan
rasa dendam dan iri itu cocok. Nanti kamu harus menyebut bunyi ayat al-Qur’an
dan Hadis itu, wajib dikutip untuk menerangkan hubungannya dengan kata ghillah
tadi. Itu yang saya pahami nanti silahkan dikembangkan lagi.
99
Surat Menyurat
100
101
102
103
104
105
top related