bab i pendahuluan a. alasan pemilihan judul 1....
Post on 10-Mar-2019
228 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Alasan Pemilihan Judul
1. Aktualitas
Tidak terlalu sulit bagi kita untuk melihat perkembangan musik yang
saat ini mulai menjangkau seluruh segmen kehidupan. Banyak produk jadi
yang pengiklananannya mengandalkan musik, banyak misi sosial yang juga
menggunakan musik sebagai media propaganda, bahkan politik. Pemilihan
presiden RI 2014-2019 yang baru saja berakhir beberapa waktu lalu misalnya,
tidak sedikit di antara musisi dalam dan luar negeri yang terlibat dalam
kampanye. Musik rupanya juga telah dijadikan media penyampaian pesan-
pesan pencapresan ke dua pasang calon.
Slank dan beberapa musisi lain misalnya, tak ragu untuk menciptakan
“Salam Dua Jari” yang menyimbolkan dukungan mereka kepada Calon nomor
urut dua. Terlihat usahanya untuk mengemas Musik berikut liriknya untuk
mendeskripsikan kesederhanaan dan kebersahajaan sang calon. Begitu juga
dengan calon satunya, Ahmad Dhani pun melakukan hal yang sama. Lirik dan
musik rock yang mereka gunakan, seolah menggambarkan citra ketegasan dan
keberanian yang diangkat pasangan nomor urut satu. Artinya hari ini musik
sudah dipandang memiliki daya persuasi yang cukup kuat, dibalik posisi
sosial dan nama besar sang musisi tentunya.
Sebagai penikmat musik, penulis melihat terjadi pergesaran peranan
musik dewasa ini. Musik tak hanya sekedar didengar, tapi juga sebagai
kekuatan untuk menyampaikan nilai-nilai tertentu. Fakta sosial ini tentu
menjadi lahan kajian yang cukup menarik untuk ditelaah lebih dalam. Alasan
actual ini pula yang menjadi pendorong bagi penulis untuk memilih tema ini
pada kasus Navicula, salah satu band indie Indonesia yang juga memiliki misi
lain dalam bermusik, yaitu menyampaikan pesan lingkungan dan kemanusiaan
pada masyarakat luas.
2. Orisinalitas
Penelitian berkisar tentang musik yang digunakan sebagai instrumen
lahirnya sebuah gerakan sosial bukanlah suatu hal yang baru. Sejauh ini,
penelitian yang memiliki keterkaitan dengan tema besar yang penulis angkat
adalah penelitian yang dilakukan oleh Radianto1 (2011). Penelitian tersebut
dilakukan untuk melihat dan menemukan bagaimana dampak simbol dari
Tengkorak band terhadap penggemarnya.
Adapun penulis secara garis besar memilih tema gerakan sosial dalam
penelitian ini. Secara lebih spesifik, penulis mengangkat tema yang membalut
gerakan sosial dan musik, bagaimana penggunaan musik sebagai strategi
dalam gerakan sosial dapat dikategorikan dalam gerakan sosial baru. Singkat
kata, penelitian ini melihat bagaimana masyarakat mencoba menyelesaikan
permasalahan sosial dengan melakukan perubahan sosial menggunakan musik
sebagai salah satu strategi. Fokus penelitian tadi penulis wujudkan dalam
1 Untuk informasi lebih lanjut lihat http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/56558?show=full
sebuah penelitian yang berjudul “Musik Sebagai Gerakan Sosial
Pelestarian Lingkungan (Studi Terhadap Grup Musik Navicula)”.
Alasan rasional penulis memilih Navicula sebagai objek kajian lebih
dikarenakan band tersebut telah mengawinkan antara musik dan gerakan
sosial secara intim. Hal tersebut terlihat dari aktivitas-aktivitas mereka yang
tidak saja di atas panggung, akan tetapi hingga ke dalam kehidupan sehari-hari
mereka. Lebih lagi, aktivitas tersebut mereka lakukan telah begitu lama.
Artinya, mereka bukanlah “anak kemaren sore” dalam melakukan hal-hal
tersebut.
3. Relevansi dengan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
Ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan yang sebelumnya
bernama Ilmu Sosiatri merupakan cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari
kelainan-kelainan masyarakat dan bersamaan dengan itu berusaha melakukan
penyembuhan. Sifat Ilmu Sosiatri yang memberikan perhatian pada
pemecahan masalah-masalah sosial dan pembangunan masyarakat semakin
mengukuhkan bahwa Ilmu Sosiati sebagai ilmu sosial terapan (Mudiyono,
2002:16).
Berangkat dari deskripsi tersebut, ada sebuah keterkaitan yang begitu
erat antara Ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan dengan gerakan
sosial. Gerakan sosial merupakan salah satu upaya dalam menyembuhkan
patalogis-patalogis sosial, melalui perubahan atau mencegah perubahan sosial
yang dilakukan oleh masyarakat. Secara lebih khusus terkait topik penelitian,
Navicula dalam hal ini berusaha mencegah kerusakan lingkungan melalui
sebuah gerakan yang dilakukan dengan menggunakan musik sebagai alat.
B. Latar Belakang
Pada umumnya masyarakat mendambakan kondisi ideal yang
merupakan tatanan kehidupan yang diinginkannya. Kondisi tersebut
menggambarkan sebuah kehidupan yang di situ kebutuhan-kebutuhan dapat
terpenuhi, suatu kondisi yang tidak lagi diwarnai kekhawatiran hari esok,
kehidupan yang memberi iklim kondusif guna aktualisasi diri, dan untuk
terwujudnya proses relasi sosial yang berkeadilan. Apabila kondisi yang
diharapkan tersebut bertentangan dengan realitas, maka dapat dipastikan
masalah sosial sedang terjadi. Oleh karena itu, berbagai upaya pemecahan
selalu diusahakan untuk melakukan perbaikan dan perubahan terhadap realitas
masalah sosial (Soetomo, 2009:1).
Adapun salah satu pemecahan masalah sosial ialah gerakan sosial. Hal
ini dikarenakan gerakan sosial adalah proses perubahan (atau paling kurang,
perubahan yang diupayakan) (Mirsel, 2004:14). Kondisi yang dirasa tidak
sesuai dengan keinginan, diupayakan secara kolektif untuk dapat berubah
sesuai keinginan. Ini didasari karena usaha kolektif lebih mampu merubah
sebuah kondisi daripada jika harus melakukan secara individu. Artinya, setiap
individu mencari orang lain yang sepaham dan satu tujuan untuk menjadi
sebuah pergerakan massa yang dapat mempengaruhi pada perubahan yang
akan dilakukan.
Perubahan yang dilakukan oleh pergerakan massa bahkan sudah lama
ada dalam catatan sejarah umat manusia. Frank dan Fuentes (1987:1503)
mengungkapkan bahwa rekaman peristiwa gerakan sosial telah terjadi sejak
pemberontakan budak-budak Spartak di Roma, Perang Salib dan perang
agama yang tak terhitung jumlahnya, gerakan/perjuangan petani Jerman di
abad 16, konflik etnis dan negara di seluruh Eropa, serta gerakan perempuan
yang melepaskan diri dari berbagai bentuk represi. Bahkan, Frank dan Fuentes
(1987:1503) menambahkan sepanjang sejarah di Asia, dunia Arab dan
ekspansi Islam, Afrika dan Amerika Latin, gerakan sosial telah menjadi agen
perlawanan dan transformasi sosial.
Seiring perkembangan waktu, gerakan sosial semakin berkembang.
Berbagai peristiwa gerakan sosial yang sebelumnya telah disebutkan di atas
pada dasarnya adalah gerakan sosial yang masih menggunakan fitur-fitur
lama. Hal ini dikarenakan fitur-fitur baru yang kerap dianggap terminologi
dari gerakan sosial baru adalah gerakan lingkungan dan perdamaian (Frank
dan Fuentes, 1987:1503). Frank dan Fuentes (1987:1503) mengungkapkan
bahwa masuknya dua fitur tersebut dalam gerakan sosial lebih disebabkan
oleh respon terhadap kebutuhan sosial yang telah dihasilkan oleh
pembangunan global. Oleh karena itu, gerakan sosial yang menggunakan
fitur-fitur lama sama sekali tidak menyinggung isu-isu lingkungan dan
perdamaian.
Perbedaan antara gerakan sosial fitur lama dengan fitur baru tidak
menjadi penghalang bagi massa untuk melakukan perubahan. Dewasa ini
bahkan fitur-fitur tersebut telah bercampur baur satu sama lainnya. Artinya,
tidak menutup kemungkinan massa melakukan perubahan terkait ideologi
bersamaan dengan perubahan terkait perdamaian. Meskipun demikian,
terdapat satu benang merah penghubung antara gerakan sosial baru dan
gerakan sosial lama, yakni musik. Kedua gerakan sosial tersebut pada
dasarnya dapat dimanifestasikan dengan musik. Artinya, musik menjadi alat
propaganda menuju perubahan. Roy (2010:x) mengungkapkan bahwa dalam
sejarah gerakan sosial lama, musik telah memainkan peranan yang signifikan.
Hal ini dapat dilihat dari kasus keterlibatan musikolog Edward Small dalam
gerakan komunis pada 1930-an dan 1940-an serta Tia DeNora, sosiolog
musik, dalam gerakan hak sipil pada 1960-an, sedangkan dalam gerakan sosial
baru ialah musisi folk kelahiran Amerika Serikat, Pete Seeger. Pete Seeger
sepanjang hidupnya begitu aktif menentang perang Amerika Serikat di
Vietnam dan mengadvokasi isu-isu soal lingkungan.2
Berbagai fakta yang telah disebutkan tadi hanyalah sedikit dari
keterkaitan antara gerakan sosial dengan musik. Keterkaitan ini tentu bukanlah
sembarang keterkaitan, karena musik dan gerakan sosial telah banyak
dirayakan sebagai dua katalis yang dapat meningkatkan kondisi manusia
dengan meningkatkan semangat dan meruntuhkan subordinasi (Roy, 2010:x).
Artinya, musik bukan hanya sebuah dimensi sempit dari susunan nada-nada
indah yang dimainkan. Lebih dari itu, musik juga mampu menjadi pengikat
antara kehidupan manusia. Merriam (dikutip Sitowati, 2010:11) bahkan
menggambarkan musik memiliki fungsi sebagai media ekspresi emosi,
2 http://www.berdikarionline.com/suluh/20140125/inilah-10-musisi-folk-berpengaruh.html diakses
31 Juli 2014.
kenikmatan estetik, hiburan, alat komunikasi, simbol dalam masyarakat,
respon fisik, pengesahan institusi sosial dan agama, kontribusi untuk
pengembangan dan pelestarian kebudayaan, serta untuk integrasi masyarakat.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila musik merupakan bagian dari
potret kehidupan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari sejarah beberapa aliran
musik dalam kemunculannya. Beberapa di antaranya merupakan sebuah
simbol pergerakan dari kelompok masyarakat.
Adapun salah satu aliran musik tersebut ialah jazz. Dalam sejarahnya,
jazz adalah media perlawanan atas ketertindasan ras dan kelas sosial. Ras kulit
hitam yang secara kelas sosial pada saat itu dianggap lebih rendah
dibandingkan ras kulit putih melakukan perlawanan lewat media musik jazz.3
Pada masa itu, kaum kulit hitam memainkan musik jazz dengan improvisasi
dan spontanitas yang sangat sesuai dengan jiwa mereka. Alhasil, tidaklah
mengherankan bila nilai-nilai yang terkandung dalam musik jazz yang mereka
mainkan adalah suara tentang mempertahankan hidup.
Musik jazz yang dimainkan oleh kaum kulit hitam tersebut
diperkirakan muncul pada tahun 1890-an, ketika bar di Amerika memainkan
musik ragtime yang berkembang menjadi jazz di kemudian hari. Jenis musik
ini tumbuh dari penggabungan blues, ragtime, dan musik Eropa, terutama
musik band. Sebagai sebuah trend yang populer, jazz mulai digemari warga
Amerika pada tahun 1920-an hingga tahun 1930-an. Musisi seperti Duke
3 http://www.wartaJazz.com/opini-Jazz/2010/08/20/Jazz-media-perlawanan-atau-eksistensi diakses
pada 31 oktober 2013.
Ellington Big Band dan Louis Armstrong adalah tokoh jazz yang mendunia
pada periode tersebut.
Seiring dengan perkembangan industri dunia musik, jazz telah
mengalami perubahan. Teknik dan cara bermain jazz sekarang telah
berkembang menjadi banyak sub-aliran. Hal yang sama pun terjadi dengan
nilai-nilai jazz. Jika dahulu jazz merupakan musik perlawanan ras kulit hitam,
maka sekarang jazz telah dimainkan oleh multi ras. Dapat dipastikan bahwa
hampir seluruh negara di dunia kini telah memiliki penggemar jazz. Indonesia
pun tidak luput dari semakin membludaknya pecinta jazz. Hal ini terbukti dari
semakin banyaknya event jazz di Indonesia, mulai dari skala komunitas (Jazz
Mben Senen di Yogyakarta), nasional (Ngayog Jazz), hingga internasional
(Java Jazz). Alhasil perubahan yang terjadi pada musik jazz berdampak
terhadap semakin melencengnya semangat aliran musik ini dari sejarah awal
kemunculannya. Jazz sekarang ini bahkan lebih dikenal sebagai musik bagi
masyarakat menengah ke atas. Tidaklah mengherankan, sebagian pertunjukan
musik beraroma jazz pada akhirnya mematok harga yang tinggi untuk dapat
menikmatinya. Ironis tentunya, jika melihat akar sejarah jazz pada masa
lampau.
Selain musik jazz, jenis musik yang memiliki akar dan sejarah
pergerakan sosial adalah punk. Punk muncul sebagai bentuk reaksi
masyarakat, terutama kelompok anak muda, di pinggiran kota-kota Inggris
terhadap kondisi keterpurukan ekonomi sekitar tahun 1976-1977.4 Fenomena
4 http://www.pasarkreasi.com/news/detail/music/123/sejarah-kelahiran-Punk diakses 31 Oktober
2013.
tersebut berawal dari kebijakan perdana menteri Inggris waktu itu, Margareth
Thatcer, yang memperkenalkan perekonomian konservatif. Pilihan tersebut
diambil sebab Inggris mengalami semacam krisis moneter atau resesi
perekonomian. Namun, kebijakan yang diambil ternyata memiliki dampak
yang buruk. Tingkat pengangguran justru semakin tinggi dan peluang maju
bagi kaum muda sedikit sekali. Alhasil, kaum muda menyuarakan perlawanan
melalui musik. Lirik-lirik bermuatan sosial dan kritikan sarkas menjadi ciri
dari musik mereka. Lirik-lirik tersebut bahkan dinyanyikan dengan cara
berteriak, serta gitar yang dimainkan dengan bising dan tempo yang cepat.
Tidak ketinggalan, gaya hidup anti kemapanan dan gaya berbusana yang tidak
lazim juga bagian dari kritik mereka atas kondisi yang terjadi di Inggris.
Generasi awal band punk di Inggris kala itu adalah Sex Pistols dan The
Clash. Kedua band tersebut memiliki perbedaan walaupun sama-sama
memainkan musik punk. Sex Pistols memainkan punk dengan lirik-lirik kotor
dan musikalitas yang sederhana. Hal ini dapat dilihat dari salah satu lagunya
yaitu 'God Save the Queen' (Tuhan Selamatkanlah Sang Ratu), yang berlirik
"Tuhan selamatkanlah sang ratu dan rezimnya yang fasis...rezim itu bikin
rakyat tolol". Lagu tersebut merupakan sebuah hujatan terus terang dari suara
rakyat yang menjadi bagian dari rezim fasis kerajaan Inggris, seolah
menyindir dengan meminta Tuhan untuk menyelamatkan sang ratu. Adapun
The Clash memainkan punk dengan lirik yang dianggap lebih cerdas dalam
menyuarakan konten lirik dan teknik musikalitas yang tinggi untuk ukuran
punk. The Clash mencampurkan beberapa elemen musik dari aliran lain
seperti reggae, ska dan funk pada aransemen lagu mereka. Seiring dengan
perkembangan waktu, punk pun menyebar ke seluruh dunia. Alhasil, band
punk seperti Ramones, The Stooges, dan MC5 muncul di Amerika.
Perlahan tapi pasti, punk pun digunakan sebagai instrumen perlawanan
terhadap permasalahan yang lebih luas, yakni ekonomi, budaya, sosial, politik
serta hukum yang tidak menguntungkan kondisi masyarakat. Dalam
pergerakan tersebut, punk begitu identik dengan konsep Do It Yourself (DIY),
yang berarti mengerjakan sesuatu secara mandiri. Artinya, dalam kegiatan
yang berhubungan dengan punk, para penggiat musik punk melakukannya
secara mandiri, mulai dari merekam lagu, memproduksi, menjual, dan
mempertukarkan ide-ide antar sesama penggemar punk. Salah satu contoh
misalnya dengan memproduksi musik sendiri tanpa perlu meminta pada label
besar. Para pegiat musik punk lebih memilih untuk merekam, menjual, dan
membeli sebuah karya musik dari, oleh, dan untuk komunitas sendiri. Bagi
mereka, inti dari bermusik bukan materi dan penjualan album, akan tetapi
idealisme yang dapat disebar melalui sebuah karya.
Dalam konteks Indonesia, terdapat pula musik yang menjadi simbol
perlawanan dan pergerakan di masyarakat. Musisi yang paling populer saat ini
tentu saja Iwan Fals. Keterlibatan Iwan Fals dalam pergerakan dan perlawanan
masyarakat tidak perlu dipertanyakan. Selama Orde Baru berkuasa, Iwan Fals
begitu aktif menyurakan kondisi realitas masyarakat, mengkritisi
pemerintahan, dan mengajak masyarakat sadar akan cengkraman penguasa
yang diktator. Bahkan, Iwan Fals saat ini mulai merambah pada kegiatan-
kegiatan lingkungan.5
Selain Iwan Fals, grup musik Slank juga telah cukup lama dikenal
sebagai salah satu band yang terlibat dalam pergerakan di masyarakat. Lagu-
lagu mereka begitu syarat akan kritik-kritik sosial. Grup musik ini juga terpilih
sebagai Duta Anti Korupsi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tujuan
dari penunjukan tersebut adalah kampanye tentang anti korupsi bagi
masyarakat, terutama bagi penggemar Slank yang kebanyakan kaum muda,
untuk tidak melakukan tindakan korupsi. Salah satu di antara sekian banyak
lagu mereka yang berkaitan langsung dengan kampanye anti korupsi adalah
“Seperti Para Koruptor”, yang berceritakan tentang kehidupan koruptor yang
kaya harta namun miskin cinta. Tidak hanya itu saja, hal yang paling
fenomenal tentu saja bagaimana Slank mampu mengajak masyarakat untuk
tidak golput pada pemilihan presiden dan wakil presiden tahun 2014. Bahkan,
keberpihakan Slank untuk menggerakkan masyarakat memilih Jokowi-Jusuf
Kalla begitu jelas terlihat. Dalam kampanyenyan, Slank dan beberapa musisi
tanah air menyelenggarakan Konser Salam Dua Jari. Stadion Gelora Bung
Karno (GBK), sebagai tempat kegiatan, yang berkapasitas 88 ribu orang
akhirnya dipadati oleh pendukung massa pendukung Jokowi-Jusuf Kalla.6
5http://entertainment.kompas.com/read/2010/07/10/21031414/Iwan.Fals.Tanam.Pohon.di.Situ.Ged
e diakses tanggal 31 Juli 2014.
6http://www.tempo.co/read/news/2014/07/07/219591016/Slank-Salam-2-Jari-Konser-
Kemanusiaan-Terbesar diakses tanggal 30 Juli 2014.
Musisi lain yang menyuarakan realitas masyarakat secara konsisten
adalah Navicula. Navicula merupakan band beraliran grunge7 yang berasal
dari Bali. Berbeda dengan kebanyakan band grunge pendahulu yang
mempunyai lirik pengucilan diri dan sikap pesimistis, Navicula justru
berbicara tentang semangat, perdamaian, kelestarian bumi, dan lingkungan.8
Navicula sangat peduli pada isu lingkungan hingga mendapat sebutan Green
Grunge Gantleman mengacu pada aktivitas Navicula di bidang lingkungan.
Navicula memutuskan untuk konsisten mengangkat tema-tema sosial dan
lingkungan dan mengepakkan sayap untuk berkampanye dari panggung ke
panggung.9 Jika beberapa musisi atau artis menjadi duta lingkungan hidup
atau gerakan lingkungan hidup hanya sebagai simbol agar dapat disorot
media, maka Navicula berbuat lebih dari itu.
Navicula tidak jarang turun langsung dalam kegiatan menjaga
lingkungan. Keberadaan Navicula yang ada di Bali juga mempengaruhi cara
pandang Navicula, karena Bali merupakan titik temu banyak kebudayaan dari
seluruh dunia. Navicula banyak menyinggung isu lingkungan di lagu-lagu
mereka. Navicula memang bukanlah satu-satunya musisi yang aktif dalam
gerakan penyelamatan lingkungan. Dalam skala Internasional, ada misalnya
7 Musik grunge merupakan musik beraliran alternative rock yang lahir dan berkembang di Seattle,
Washington, Amerika Serikat. Aliran ini secara musikalitas dipengaruhi berbagai aliran seperti
punk, heavy metal, dan blues. Pada awalnya, grunge adalah istilah untuk menggambarkan musik
yang berkembang di Seattle. Istilah tersebut pertama kali diperkenalkan oleh Mark Arm, vokalis
band Mudhoney (Tarmawan, 2010:2).
8Pernyataan Putranto dalam youtube.com: Meet Navicula (http://www.youtube.com/watch?v=-
KQvnLhqrOc) diakses tanggal 20 oktober 2013.
9http://www.antaranews.com/print/338166/Navicula-membela-lingkungan-dengan-bahasa-rockn-
roll
Sting, eks vokalis The Police, bersama istri Trudy Stiler yang membuat
Yayasan Rainforest Foundation. Yayasan ini bergerak dibidang penyelamatan
hutan hujan di seluruh dunia. Salah satu aksi nyata dari Rainforest Foundation
adalah penyelamatan hutan hujan pada tahun 1993 dalam pengakuan hukum
dan penetapan batas wilayah lebih dari 27.359 kilometer persegi.10
Namun,
Sting memisahkan antara gerakan pelestarian lingkungan dengan musik,
Navicula jusru mengintegrasikan antara gerakan pelestarian lingkungan dan
musik satu sama lain. Artinya, Navicula bergerak seimbang untuk melakukan
keduanya secara bersama-sama.
Pada tahun 2012, Navicula merilis album kompilasi Kami No Mori,
yang dalam bahasa Jepang artinya hutan para dewa (Hidayat, 2013:58).
Album tersebut berisi 12 lagu bertema lingkungan dari album-album Navicula
sebelumnya dan beberapa materi baru seperti lagu Orang Utan dan Harimau!
Harimau!. Album Kami No Mori dirilis sebagai bentuk promosi tur Borneo.
Navicula diutus Imag Magazine untuk menuliskan tentang lingkungan, hutan
hujan dan Taman Nasional Gunung Leuser, sehingga Navicula memutuskan
untuk sekaligus melakukan tur di Kalimantan.11
Navicula merilis Album
“Kami No Mori” sebagai paket bagi mereka yang ikut berperan serta dalam
sebuah proyek Crowfounding melalui situs Kickstarter.com. Pada awalnya,
Navicula terbentur kendala dana untuk melakukan tur tersebut, akan tetapi
Navicula pada akhirnya bisa mengumpulkan dukungan US$ 3.154 untuk
10
http://www.rainforestfoundationuk.org/Who_we_are) diakses 25 november 2013
11 Pernyataan Robi dalam youtube.com: "MATA HARIMAU" Navicula-Borneo Tour
(http://www.youtube.com/watch?v=AX2hzGbDfU4) diakses 20 oktober 2013.
menggelar tur mandiri ke Kalimantan (Hidayat, 2013:56). Tur Kalimantan
dimulai 18 September 2012 setelah Navicula merampungkan tur di Kanada.
Di Kalimantan, Navicula melintasi 2500 km dalam 12 hari sepanjang
Kalimantan Tengah hingga berakhir di Pontianak, Kalimantan Barat.
Dalam tur Kalimantan, Navicula tidak sendiri, karena pada waktu yang
sama Greenpeace Indonesia juga sedang menggelar “Tour Kepak Sayap
Enggang, Tour Mata Harimau Seri Kalimantan” (Hidayat, 2013:56).
Rombongan dengan motor melintasi Kalimantan Barat dan Kalimantan
Tengah memotret kondisi alam dan masyarakat Kalimantan. Navicula
bersama rombongan Greenpeace yang bekerja sama dengan Wahana
Lingkungan Hidup (Walhi) dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
yang mengantarkan Navicula bersua dengan kelompok masyarakat yang
terpinggirkan dalam konflik dengan perusahaan tambang atau perkebunan
kelapa sawit (Hidayat, 2013:56). Masyarakat mengeluhkan pembabatan hutan
yang dilakukan oleh perkebunan kelapa sawit, karena bagi masyarakat sekitar,
hutan tersebut merupakan warisan bagi anak cucu mereka. Dampak
lingkungan yang ditimbulkan ialah kerusakan ekosistem lingkungan yang ada.
Jenis-jenis tanaman dan hewan akan kehilangan tempat tinggal. Contohnya
adalah Orang Utan yang semakin terancam punah akibat pembantaian yang
dilakukan oknum atas perintah pihak perkebunan kelapa sawit.
Berbagai hal keterlibatan Navicula yang telah dipaparkan pada bagian
sebelumnya, harus diakui telah mampu menempatkan Navicula sebagai salah
satu band yang mampu menjadi motor gerakan sosial. Navicula
mengupayakan perubahan pada kondisi lingkungan yang semakin hari
memburuk. Artinya, Navicula berupaya untuk mempengaruhi masyarakat
melalui musik yang mereka produksi dan kampanye yang mereka lakukan di
panggung-panggung. Adapun musik menjadi sebuah alat Navicula untuk
dapat menyuarakan gagasan-gagasan pelestarian lingkungan. Serangkaian
kegiatan tersebut sudah tentu bukanlah perkara mudah, mengingat jalur
independen merupakan sarana pilihan Navicula dalam merilis album.12
Berbeda halnya dengan setiap aktivitas yang dilakukan Iwan Fals maupun
Slank dalam merangkul masyarakat untuk menciptakan sebuah perubahan atau
menghambat perubahan, tentu tidaklah terlalu sulit. Pertimbangan tersebut
tidak dapat dilepaskan dari faktor popularitas mereka. Selain itu, baik Iwan
Fals dan Slank merupakan musisi yang berkarier di bawah payung label musik
besar. Oleh karena itu, perlu untuk mengetahui bagaimana Navicula
memaknai musik, pemahaman Navicula tentang lingkungan yang
diekspresikan dalam karya, serta motif di balik Navicula mengekspresikan
lirik bertema lingkungan dan apakah lantas aksi tersebut diikuti oleh fans
dalam aksi nyata.
C. Rumusan Masalah
Fenomena Navicula sebagai grup musik yang mendorong
pendengar musik Navicula untuk melakukan gerakan sosial dengan
menggunakan musik sebagai alat. Musik merupakan produk utama dari
12
Pada album keempat yang berjudul “Alkemis”, dirilis tahun 1994, Navicula sempat bergabung
dalam salah satu major label, yaitu Sony-BMG. Namun, major label tidak membuat Navicula
betah, sehingga pada album kelima yang berjudul “Beautiful Rebel”, Navicula kembali ke jalur
independen. Bahkan, vokalis Robi pernah sedikit skeptis waktu mencicipi major label ditahun
2005-2006 (Hidayat, 2013:57).
sebuah grup musik. Peneliti ingin mengetahui pemaknaan musik bagi
Navicula:
1. Bagaimana Navicula memahami musik?
2. Bagaimana pemahaman Navicula tentang lingkungan dan
diekspresikan dalam karya?
3. Apa motif dibalik Navicula mengekspresikan lirik bertema lingkungan
dan apakah aksi tersebut diikuti oleh fans dalam aksi nyata?
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah, dan rumusan masalah, maka
tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengetahui tingkat pemahaman musisi yang aktif dalam gerakan
sosial terhadap musik.
2. Mengetahui tingkat pemahaman musisi yang aktif dalam gerakan
sosial terkait permasalahan lingkungan.
3. Mengetahui motif musisi dalam gerakan sosial dan tindaklanjut dari
fans terhadap gerakan tersebut.
E. Manfaat Penelitian
Adapun penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan menyumbangkan pemikiran ilmiah bagi
perkembangan gerakan sosial, baik itu dalam proses belajar mengajar
di perkuliahan, diskusi, maupun pemahaman bagi penelitian
selanjutnya.
2. Manfaat Praktis
Diharapkan cerita dari Navicula yang penulis interpretasikan ini
dapat menjadi salah satu referensi bagi segenap kalangan yang ingin
melakukan gerakan sosial melalui musik. Selain itu, penelitian ini
diharapkan memberikan gambaran tentang pengaruh musik bagi
pendengar musik.
F. Tinjauan Pustaka
1. Gerakan Sosial
Sejarah perkembangan dunia tidak dapat dipisahkan dari gerakan
sosial, karena gerakan sosial dalam perkembangan sejarah umat manusia
telah digunakan untuk dapat memperjuangkan sebuah perubahan atau
sebuah usaha untuk menghambat perubahan di dalam masyarakat. Seperti
yang dikemukakan Markoff (2002:44) bahwa suatu gerakan sosial dapat
dikatakan terbuka apabila ada pernyataan yang secara eksplisit mengajak
ke arah perubahan. Titik pijak dari hal tersebut adalah kondisi yang dirasa
tidak sesuai dengan keinginginan, sehingga membuat adanya usaha secara
kolektif untuk dapat berubah menjadi sesuai keinginan. Menurut Robert
Mirsel (2004) bahwa gerakan kemasyarakatan adalah seperangkat
keyakinan dan tindakan yang tak terlembaga (noninstitutionalised) yang
dilakukan sekelompok orang untuk memajukan atau menghalangi
perubahan di dalam suatu masyarakat.Tidak terlembaga mengandung arti
mereka cenderung tidak diakui sebagai sesuatu yang berlaku umum secara
luas dan sah di dalam suatu masyarakat
Penekanan terhadap usaha kolektif dalam gerakan sosial sudah
tentu tidak dapat dilepaskan dari pertimbangan agar semakin terwujudnya
sebuah perubahan. Sudah bukan rahasia lagi bila usaha yang menyatu dari
tangan-tangan setiap individu lebih kuat dalam merubah suatu kondisi jika
dibandingkan dengan sepasang tangan individu. Setiap individu mencari
orang lain yang sepaham dan satu tujuan untuk menjadi sebuah pergerakan
massa yang dapat mempengaruhi pada perubahan yang akan dilakukan.
Hal ini sejalan dengan pernyataan Gidden (dikutip Suharko, 2006:3)
bahwa gerakan sosial sebagai upaya kolektif untuk mencapai tujuan
bersama, melalui tindakan kolektif (collective action) di luar lingkup
lembaga-lembaga yang mapan. Adanya aspek di luar lingkup lembaga-
lembaga yang mapan dalam pemaparan Gidden tentu saja tidak dapat
dilepaskan dari struktur dominan yang ingin dianggap
mengancam/merusak. Artinya, gerakan sosial bertujuan untuk mengatasi
masalah sosial yang ada di dalam masyarakat, baik itu yang sedang
berpotensi maupun yang sedang berjalan. Tarrow (dikutip Suharko,
2006:3) menyebut upaya perubahan tersebut dengan tantangan-tantangan
kolektif, sehingga aspek yang ada di dalamnya harus didasarkan pada
tujuan bersama dan solidaritas sosial, dalam interaksi yang berkelanjutan
dengan para elit, penentang dan pemegang wewenang.
Tarrow (dikutip Hasanuddin, 2011:62-63) menekankan bahwa
pada dasarnya gerakan sosial memiliki karakteristik: (a) menyusun aksi
disruptive melawan kelompok elite, penguasa, kelompok-kelompok lain,
dan aturan-aturan budaya tertentu; (b) dilakukan atas nama tuntutan yang
sama terhadap lawan, penguasa, dan kelompok elite; (c) berakar pada
solidaritas atau identitas kolektif; (d) terus melanjutkan aksi kolektifnya
sampai terjadi gerakan sosial.
Para ahli memahami bahwa gerakan sosial merupakan gejala yang
begitu kompleks. Pemahaman ini mengantarkan pentingnya pembahasan
yang bersifat komprehensif dan integral antara political opportunity
structure (SKP), resources mobilization theory, dan collective action
frames (McAdam, McCarthy, dan Zald, dikutip Hidayat, 2012:120).
Ketiga hal tersebut merupakan faktor dari muncul dan berkembangnya
suatu gerakan sosial.
Political opportunity structure (struktur kesempatan politik, SKP)
merupakan sebuah konsep yang menyatakan bahwa kondisi struktur
politik dalam hal tertentu memiliki pengaruh yang cukup signifikan
terhadap perkembangan suatu gerakan sosial. Jadi, suatu gerakan sosial
tergantung pada keadaan SKP itu sendiri. Dalam hal ini, SKP menjadi
ruang multidimensi yang gerakan sosial dan tindakannya bisa saja
dimudahkan (facilitated) atau bisa saja direpresi (dihambat), sehingga tak
bisa berkembang (repressed) (Oliver, dikutip Hidayat, 2012:120).
Secara umum, hambatan atau kesempatan politik bagi suatu
gerakan sosial dapat dipilah ke dalam dua kategori, yakni pola hubungan
tertutup dan pola hubungan terbuka. Pola tertutup menciptakan hambatan
bagi gerakan sosial, sedangkan pola terbuka membuka kesempatan bagi
munculnya gerakan akibat dari politik yang lebih kompetitif antara elite,
antara partai politik, dan juga antara kelompok kepentingan. Semakin
terbuka iklim politik, semakin memberikan kesempatan untuk muncul dan
berkembangnya gerakan sosial; dan sebaliknya, semakin tertutup iklim
politik, semakin tertutup kesempatan muncul dan berkembangnya suatu
gerakan sosial13
(Muhtadi; Kriesi dikutip Hidayat, 2012: 120-121).
Kondisi struktural yang kondusif tidaklah cukup bagi
perkembangan suatu gerakan sosial. Gerakan sosial juga memerlukan apa
yang disebut sebagai bagian dari pengemasan ideologi untuk dapat
diterima berbagai pihak. Inilah yang disebut collective action frames yang
merupakan bagian dari sebuah proses framing dalam gerakan sosial, yakni
semacam skema intepretasi yang merupakan sekumpulan beliefs and
meanings dan berorientasi pada aksi yang menginspirasi dan melegitimasi
aktivitas sebuah organisasi gerakan sosial. Dalam hal ini, kerangka (frame)
dibangun untuk memberikan makna dan menginterpretasi kejadian atau
kondisi tertentu, yang dimaksudkan untuk memobilisasi potensi pengikut,
serta untuk mendapatkan dukungan berbagai pihak (Benford dan Snow;
Snow, dikutip Hidayat, 2012:121).
13
Yang dimaksud sebagai iklim politik yang terbuka dan tertutup di sini adalah aksesibilitas
sistem politik yang ada secara insittusional. Semakin mudah diakses suatu sistem politik maka
semakin terbuka iklim politiknya dan sebaliknya (Kriesi, dikutip Hidayat, 2012:201)
Berkaitan dengan proses framing, Benford dan Snow (dikutip
Hidayat, 2012:121) menyebutkan tiga hal yang menjadi perhatian utama,
yang disebut core framing tasks. Pertama adalah diacnostic framing, yaitu
yang dikonstruksikan dalam sebuah gerakan sosial guna memberikan
pemahaman mengenai situasi dan kondisi yang sifatnya problematik.
Kondisi mengenai apa atau siapa yang disalahkan, sehingga membutuhkan
adanya suatu perubahan (Benford dan Snow, dikutip Hidayat, 2012:121).
Dalam level ini, aktor-aktor gerakan sosial mendefinisikan permasalahan-
permasalahan apa saja yang menjadi isu utama yang membuat mereka
menginginkan adanya perubahan (Hidayat, 2012:121).
Kedua, prognostic framing, yaitu artikulasi solusi yang ditawarkan
bagi persoalan-persoalan yang sudah diidentifikasikan sebelumnya. Dalam
aktivitas prognostic framingini gerakan sosial juga melakukan berbagai
penyangkalan atau menjamin kemanjuran dari solusi-solusi yang
ditawarkan (Benford dan Snow, dikutip Hidayat, 2012:121). Terakhir
adalah motivational framing, yaitu elaborasi panggilan untuk bergerak
atau dasar untuk terlibat dalam usaha memperbaiki keadaan melalui
tindakan kolektif (Hidayat, 2012:121-122).
Selanjutnya, setiap gerakan sosial tentunya membutuhkan sumber
daya untuk bisa menjalankan aktivitas kolektifnya. Dalam hal ini, gerakan
sosial memiliki beberapa tugas penting seperti memobilisasi pendukung,
mengorganisasi sumber daya, yang—dalam level yang lebih jauh—
berdampak pada munculnya simpati elite-elite dan masyarakat secara
umum terhadap cita-cita gerakan. Inilah konsep yang disebut resources
mobilization (Opp ; Jenkins, dikutip Hidayat, 2012:122). Konsep ini secara
mendasar berusaha mengetahui bagaimana sebuah kelompok
mengupayakan resources yang mereka miliki untuk bisa melakukan
perubahan sosial dan tercapainya tujuan kelompok (Edwards dan
McCarthy, dikutip Hidayat, 2012:122). Konsep ini berusaha melihat
dorongan upaya, baik secara kolektif maupun individual, yang muncul
sebagai bagian dari pencapaian tujuan yang dimiliki oleh gerakan sosial
(Hidayat, 2012:122).
Resources sendiri sebenarnya memiliki makna yang begitu luas.
Resources dapat terdiri dari kekuatan finansial, akses terhadap media,
dukungan simpatisan, loyalitas grup. Ia juga bisa terdiri dari kepemilikan
ruang/gedung, pengetahuan (stock of knowledge), dan skill (keahlian) yang
dimiliki oleh aktor (Opp dikutip Hidayat, 2012:122), termasuk di
dalamnya ideologi dan nilai gerakan (Hidayat, 2012:122).
Resources adalah “goods” dalam terminologi ekonomi. Hanya saja
hal itu dimaknai dalam arti yang lebih luas, yakni sesuatu yang memiliki
nilai manfaat (utility). Namun, tidak semua hal yang memiliki nilai
manfaat bisa disebut sebagai resources. Hal itu baru bisa disebut sebagai
resources ketika individu atau aktor kolektif bisa mengontrolnya dan
memanfaatkannya guna tercapainya tujuan gerakan (Hidayat, 2012:122).
Kerangka resources mobilization ini menjelaskan dua aspek
sekaligus. Pertama, mengenai sumberdaya fisik, non-fisik, ataupun
finansial yang dimiliki oleh sebuah gerakan seperti bangunan, uang,
pengetahuan, atau keahlian tertentu. Sumber daya tersebut bisa dikontrol
baik secara individual maupun kolektif oleh kelompok. Kedua, mobilisasi
merupakan suatu proses tak terpisahkan yang para aktornya berusaha
memanfaatkan sumber daya yang mereka miliki untuk mencapai tujuan
dari gerakan (Hidayat, 2012:122).
Dalam perkembangan kajian gerakan sosial, data tentang peluang
politik, struktur mobilisasi dan proses framing saja tidak cukup untuk
menjelaskan keberhasilan dan kegagalan gerakan. McAdam dkk (dikutip
Hasanuddin, 2011:70-71) mencatat bahwa keberhasilan dan kegagalan
gerakan sangat tergantung pada kemampuan organisasi gerakan
menghadirkan tiga faktor organisasional berikut.
Pertama, taktik mengganggu (disruptive tactics). Sejumlah studi
memberikan indikasi kuat bahwa taktik yang inovatif dan disruptif
memiliki kaitan dengan efektivitas gerakan sosial. Ini terjadi karena
gerakan sosial pada umumnya tidak memiliki sumberdaya yang memadai
seperti dana, suara dan akses, sehingga saluran-saluran yang masuk akal
(proper channels) tidak bisa dipergunakan. Studi McAdam menunjukkan
bahwa taktik seperti aksi duduk (the sit-ins), pawai kebebasan (freedom
rides), mampu menarik perhatian pihak-pihak lawan dalam gerakan
kebebasan sipil di AS (Hasanuddin, 2011:70-71).
Kedua, pengaruh sayap radikal (radical flank effects). Suatu
gerakan biasanya juga mampu memetik keuntungan dari adanya pengaruh
sayap radikal yakni pengaruh yang dibawa oleh kehadiran kelompok
ekstrimis di dalam gerakan bersama-sama dengan kelompok yang lebih
moderat. Pengaruh seperti ini misalnya dapat dilihat dalam aliansi antara
negara dan gerakan sosial. Dalam merespon suatu gerakan sosial, negara
biasanya hanya mau berhubungan dengan para pemimpin dan organisasi
yang berbicara atas nama gerakan yang dianggap bisa menjadi rekan
negosiasi yang terpercaya. Dalam situasi semacam ini kehadiran kelompok
'radikal' atau 'ekstrimis' bisa memberikan legitimasi dan memperkuat daya
tawar kelompok yang 'moderat' (Hasanuddin, 2011:71).
Ketiga, tujuan (goals). Dalam upaya membangun hubungan yang
berhasil dengan lingkungan politik dan organisasi yang lebih luas,
organisasi gerakan sosial mendasarkan pada tujuan organisasinya. Respon
dan reaksi dari pihak-pihak utama lain seperti negara, pihak lawan
gerakan, media, dan sebagainya, umumnya dibentuk oleh apa yang
dinyatakan dalam tujuan organisasi gerakan sosial. Apa yang dinyatakan
dalam tujuan bisa dipersepsikan sebagai ancaman terhadap kepentingan
sejumlah kelompok atau kesempatan untuk realisasi kepentingan bagi
kelompok lain. Karena itu, oposisi dan dukungan yang diperoleh oleh
organisasi gerakan sosial sebenarnya dibentuk oleh persepsi tentang
ancaman dan kesempatan yang melekat dalam tujuan kelompok gerakan
(Hasanuddin, 2011:71).
Robert Mirsel dalam buku teori pergerakan sosial membagi
gerakan sosial dalam dua periode. Periode pertama dan kedua digolongkan
dalam gerakan sosial lama dan periode ketiga termasuk dalam gerakan
dekonstruksi atau gerakan sosial baru. gerakan sosial pertama berkutat
pada gerakan-gerakan sosial yang terjadi pasca perang dunia pertama.
Studi yang dilakukan oleh mirsel pada periode ini berkutat pada individu
dalam gerakan. Periode pertama ditandai dengan adanya titik temu
bersama antara beberapa kekuatan, yakni pertama, pandangan yang negatif
mengenai gerakan kemasyarakatan dengan munculnya peranan Nazisme,
Fasisme, Stalinisme, dan McCartyhisme, serta perlawanan para ilmuwan
terhadap kerusuhan-kerusuhan berbau rasial, tindakan-tindakan main
hakim sendiri dan prasangka etnosentris; kedua pengaruh paradigm-
paradigma mikro dalam sosiologi; ketiga, psikoanalisis terhadap studi-
studi mengenai proses-proses interpersonal, dengan penekanan lebih lanjut
pada akar irasional dan tindakan manusia; dan keempat, bertumbuhnya
penelitian survei, yang memusatkan perhatian pada tingkah laku individual
sebagai obyek fundamental dari setiap studi tentang gerakan
kemasyarakatan (Mirsel 2004:32).
Gerakan sosial dalam periode pertama masih pada kelompok-
kelompok kecil sehingga keberhasilan dari gerakan tersebut belum dapat
dicapai. Kelompok kecil tersebut terdiri dari kelompok atas dasar
kekeluargaan, atau kedaerahan. Pada periode kedua fokus gerakan adalah
pada gerakan strukstural. Tujuan dari gerakan sosial adalah tujuan yang
bersifat rasional. Faktor utama didalam perilaku gerakan adalah Struktur
peluang politik (political opportunity structure), atau bentuk-bentuk
lembaga politik, yang bisa saja memaksa strategi gerakan untuk mengikuti
pola yang tergaris dan terstruktur (Mirsel 2004:57).
2. Musik dan Gerakan
Musik adalah suatu hasil karya seni berupa bunyi dalam bentuk
lagu atau komposisi yang mengungkapkan pikiran dan perasaan
penciptanya melalui unsur-unsur pokok musik yaitu irama, melodi,
harmoni, dan bentuk atau struktur lagu serta ekspresi sebagai suatu
kesatuan ekspresi (Jamalus, 1988:1). Hal yang hampir senada diungkapkan
oleh (Setyawan, 2013:189) bahwa musik adalah satu media ungkapan
kesenian yang di dalamnya terkandung nilai dan norma-norma yang
menjadi bagian dari proses enkulturasi budaya, baik dalam bentuk formal
maupun informal.
Penekanan Setyawan terhadap kata “media” menandakan bahwa
musik tidak dapat dilepaskan dari pemusik dan pendengar. Oleh karena
itu, dapat dikatakan bahwa sebuah musik merupakan hasil/karya dari
pemusik yang kemudian disampaikan kepada pendengar. Namun, musik
tidaklah seperti selongsong kosong. Penyampaian Setyawan terhadap nilai
dan norma bahkan ditegaskan oleh Bernstein & Picker (dikutip Setyawan,
2013:195). Bernstein & Picker (dikutip Setyawan, 2013:195)
mengungkapkan bahwa musik adalah suara-suara yang diorganisasikan
dalam waktu dan memiliki nilai seni dan dapat digunakan sebagai alat
untuk mengekspresikan ide dan emosi dari komposer kepada
pendengarnya. Artinya, dalam musik terdapat nilai seni yang diciptakan
pemusik dan disampaikan kemudian kepada pendengar.
Sanjaya (2013:186) mengungkapkan bahwa musik tercipta karena
ada pesan yang hendak disampaikan oleh pemusik. Pemusik mempunyai
ide, gagasan, atau pengalaman yang hendak disampaikan kepada orang
lain melalui musik. Sementara itu orang lain bisa menerima musik tersebut
bukan semata-mata karena musik tersebut sudah dibuat dan siap dinikmati,
akan tetapi lebih jauh lagi ada kebutuhan yang terpenuhi dengan
menikmati musik tertentu.
Sanjaya (2013:186) menambahkan bahwa ada beberapa fungsi
musik, yang pertama adalah mengungkapkan pengalaman fisik maupun
pengalaman emosional. Maka dari itu, tidak mengherankan jika sangat
banyak pemusik yang memasukkan tema cinta dalam liriknya. Cinta
adalah suatu yang sangat luas artinya dan berlaku universal. Setiap orang
pasti pernah mempunyai pengalaman cinta. Meskipun demikian, tidak
semua musik berasal dari pengalaman pribadi anggotanya. Banyak musik
yang timbul dari pengalaman orang lain, berdasarkan pengalaman tersebut
kemudian dituangkan menjadi sebuah musik yang utuh.
Fungsi yang kedua adalah mengungkapkan ide-ide, pemusik yang
bisa mengungkapkan ide-ide, biasanya adalah pemusik yang kritis. Pesan
dimunculkan dalam musik, karena ada sesuatu yang kurang benar yang
perlu diperbaiki. Ide bisa muncul dari keinginan untuk mengubah atau
memperbaiki sesuatu yang sudah ada atau bahkan memunculkan sesuatu
yang baru (Sanjaya, 2013:186).
Alhasil, sebuah muara yang mampu dapat dirangkum berdasarkan
hal di atas adalah musik dapat digunakan sebagai media komunikasi, baik
itu pengalaman emosional maupun ide-ide kritis. Musik sebagai
komunikasi mengutamakan aspek bahasa dari pada aspek musikalnya.
Bahasa (teks) adalah aspek yang paling mendukung dan paling menentukan
untuk memahami dan mengerti arti dan maksud musik tersebut. Pendengar
akan mengerti alam pikiran penyaji dari teks (bahasa) yang dinyanyikan suatu
musik (Jasahdin dikutip Setyawan, 2013:191). Oleh karena itu, tidaklah
mengherankan bila Gretchen (dikutip Setyawan, 2013:192) menyatakan
bahwa lagu dapat digunakan untuk memprovokasi atau sarana propaganda
untuk mendapatkan dukungan serta mempermainkan emosi dan perasaan
seseorang dengan tujuan menanamkan sikap atau nilai yang kemudian dapat
dirasakan orang sebagai hal yang wajar, benar dan tepat.
Dalam sebuah struktur kesempatan politik (SKP), musik sudah tentu
dapat menjadi pemicu gerakan sosial. Struktur politik, baik itu yang
dimudahkan maupun dihambat, tidaklah menjadi permasalahan. Artinya,
berkembangnya gerakan sosial sangatlah memungkinkan. Hal ini dikarenakan
dalam sebuah sistem yang represif, Tarrow (dikutip Suharko, 2006:5) justru
mengungkapkan bahwa gerakan sosial masih dapat hadir, akan tetapi lebih
condong disimbolkan dengan slogan, corak pakaian dan musik, atau
penamaan baru objek-objek yang familiar dengan simbol yang berbeda
atau baru. Musik dalam konteks tersebut hadir sebagai sarana propaganda,
sehingga tercipta sebuah solidaritas sosial bagi orang banyak.
Hubungan antara musik dan musisi dengan gerakan sosial
bukanlah sesuatu yang baru. Hubungan musik dan gerakan sosial tersebut
banyak bermula dari studi terkait bekas blok Soviet, dan musik serta
musisi berperan dalam memberikan perlawanan terhadap rezim yang
berkuasa dan bahkan mengorganisisir tindakan oposisi (Wicke; Ramet;
Cushman; Sheeran; Szemere; Steinbergh; Urban, dikutip Street et, al.
2008:273). Walaupun berbagai kajian tersebut berbeda dalam banyak hal,
kajian tersebut tetap cenderung pada fitur umum. Ini menjadi bukti bahwa
musik dapat digunakan sebagai alat ungkapan resistensi politik dan oposisi
yang terorganisir. Berbagai kajian tersebut harus diakui memang terbatas
pada negara-negara non demokratis. Meskipun demikian, bukan berarti
peran musik dalam negara-negara demokrasi sama sekali nihil. Sebagaian
besar peran musik di negara demokrasi difokuskan pada gerakan hak-hak
sipil (Ward; Saul, dikutip Street et, al. 2008:273), akan tetapi fokusnya
juga meluas pada gerakan kiri populer di Amerika Serikat (Denisoff;
Denning, dikutip Street et, al. 2008:273) dan kampanye perlucutan senjata
nuklir di Inggris (McKay dikutip Street et, al. 2008:273). Tidak
ketinggalan, ada survei yang lebih umum terkait penggunaan musik dalam
politik yang demokratis dan non demokratis (di antara yang paling baru
adalah Garofalo; Rosenthal; Fischlin dan Heble; Randall; Penddie, dikutip
Street et, al. 2008:273).
Berbagai kajian tersebut sudah tentu sangatlah berbahaya apabila
digeneralisasikan, karena ada jarak yang berbeda. Namun, fakta justru
menunjukkan bahwa ada sebuah asosiasi musik dengan penyebab dan
gerakan politik, mengidentifikasi musik tertentu yang terlibat, sentimen
yang terkandung dalam lirik, dan tujuan politik yang ingin dicapai. Oleh
karena itu, hal ini mengarah kepada salah satu dari dua pendekatan.
Pertama adalah penggunaan musik sebagai cara melihat kehidupan batin
partisipasi politik (Street et, al. 2008:273. Oleh karena itu, Ward (dikutip
Street et, al. 2008:273) menjelaskan bahwa dalam studinya tentang
hubungan musik dengan gerakan hak sipil di AS, bahwa musik
menawarkan gambaran sekilas keadaan kesadaran kaum kulit hitam dalam
perjuangan untuk menuntut kesetaraan. Pendekatan alternatif lainnya
adalah untuk menyajikan musik sebagai penyebab partisipasi. Ramet
(dikutip Street et, al. 2008:273) misalnya menjelaskan bahwa di Blok
Soviet, musik adalah kekuatan yang tidak terduga perubahan sosial dan
politik. Dia juga menambahkan bahwa musik membawa orang secara
bersama-sama dan membangkitkan orang bersama-sama pengalaman
emosional kolektif.
Roy (2010:x) mengungkapkan bahwa musik dan gerakan sosial
telah banyak dirayakan sebagai dua katalis yang dapat meningkatkan
kondisi manusia dengan meningkatkan semangat dan meruntuhkan
subordinasi. Bahkan, kegiatan yang berkaitan dengan gerakan jarang tanpa
adanya lagu kebebasan. Hampir semua gerakan menggunakan musik,
karena musik merupakan perekat solidaritas sosial, sirene memanggil
anggota baru, dan ekspresi kerinduan terhadap kebebasan dan kesetaraan
(Roy, 2010:181).
Lagu-lagu propaganda digunakan sebagai alat penyebarluaskan
opini yang bersifat simpel, tetapi implikasinya bersifat kompleks.
Pandangan ini berkaitan dengan teori yang menyatakan bahwa lagu-lagu
propaganda sebagai media komunikasi guna menyampaikan pesan tertentu
kepada massa untuk mengimbangi kekuatan propaganda musuh di dalam
ajang perang urat saraf (Sastropoetro dikutip Mintargo, 2003:105).
Sebagai sarana propaganda, kedudukan pemain dan peserta di dalam seni
pertunjukan ini terlibat seluruhnya, hingga bisa disebut sebagai Art of
Participation (Soedarsono dikutip Mintargo, 2003:105). Dalam hal ini,
lagu-lagu propaganda bertujuan untuk memberikan pemahaman terhadap
realitas yang sedang dihadapi ataupun dirasakan kepada khalayak ramai.
Tidak hanya itu, aktor-aktor yang menjadi penyebab permasalahan sosial
juga diwartakan kepada orang banyak. Harapannya, massa mengetahui
aktor yang ingin disasar, sehingga pemahaman dan tujuan yang sama
dapat tercipta. Dengan kata lain, musik ditempatkan sebagai diacnostic
framing guna terwujudnya gerakan sosial. Pada sisi lain, musik dapat juga
sebagai prognostic framing. Dalam sebuah lagu, tidak jarang solusi dari
sebuah permasalahan juga diwacanakan. Hal ini tentu sangat penting, agar
proses pemahaman dan tujuan yang telah dilakukan tidak tumpul. Hal
yang terakhir ialah musik dapat juga sebagai motivational framing. Proses
penyadaran terhadap masalah yang ada, aktor yang disasar, dan adanya
solusi yang ditawarkan, kemudian menggerakkan massa untuk terjun
dalam melakukan perubahan ataupun menghambat sebuah perubahan.
Meskipun demikian, peran musik dalam gerakan sosial sangatlah
bergantung kepada musisi yang mewacanakan sebuah isu. Lagu-lagu
propaganda yang disampaikan kepada pendengar tidak akan ada artinya
ketika musisi sebagai aktor penggerak tidak mampu untuk
mengontrol/mengelola resources yang dimiliki. Hal ini diungkapkan oleh
Opp maupun Jenkins (dikutip Hidayat, 2012:122), di mana setiap gerakan
sosial membutuhkan sumber daya untuk bisa menjalankan aktivitas
kolektifnya. Adapun fungsi dari sumber daya tersebut adalah memobilisasi
pendukung, mengorganisasi sumber daya, yang—dalam level yang lebih
jauh—berdampak pada munculnya simpati elite-elite dan masyarakat
secara umum terhadap cita-cita gerakan. Oleh karena itu, musisi yang
menjadi pemercik api dalam lagu propaganda harus mampu memobilisi
pengikutnya dalam melakukan perubahan, menciptakan ide-ide baru (baik
dalam lirik lagu maupun tindakan/aksi perubahan), menghimpun dana
ataupun mengelola dana dalam usaha melakukan perubahan, dan
sebagainya. Hidayat (2012:122) menyebutkan bahwa pada dasarnya
sumber daya tadi terdiri dari dua aspek sekaligus. Pertama, mengenai
sumberdaya fisik, non-fisik, ataupun finansial yang dimiliki oleh sebuah
gerakan seperti bangunan, uang, pengetahuan, atau keahlian tertentu.
Sumber daya tersebut bisa dikontrol baik secara individual maupun
kolektif oleh kelompok. Kedua, mobilisasi merupakan suatu proses tak
terpisahkan yang para aktornya berusaha memanfaatkan sumber daya yang
mereka miliki untuk mencapai tujuan dari gerakan.
3. Navicula Sebagai Gerakan Sosial Baru
Gerakan Sosial Baru (GSB) muncul sebagai respon terhadap
peralihan bentuk-bentuk gerakan sosial kontemporer di negara-negara
Barat yang berkaitan dengan berkembangnya suatu dunia pasca-modern
atau pasca industrial (Pichardo, dikutip Suharko, 2006:8). Para ahli
melihat bahwa gerakan sosial di Barat memiliki watak tampilan yang
berubah dari gerakan sosial sebelumnya (gerakan sosial
lama/klasik/tradisional). Gerakan sosial tradisional cenderung memiliki
tujuan ekonomis-materialis sebagaimana tercermin dari gerakan kaum
buruh. Adapun GSB lebih berpusat pada tujuan-tujuan non-material. GSB
biasanya menekankan pada perubahan-perubahan dalam gaya hidup dan
kebudayaan daripada mendorong perubahan secera spesifik dalam
kebijakan publik atau perubahan ekonomi, sebagaimana tercermin dari
gerakan lingkungan, anti-perang, perdamian, feminisme, dan sejenisnya
(Nash dikutip Suharko, 2006:8-9).
Seiring dengan perkembangan waktu, GSB ternyata terjadi juga di
negara berkembang, meskipun latar dan konteks perkembangan
masyarakatnya berbeda (Suharko, 2006:9). Merujuk pada Pichardo
maupun Singh (dikutip Suharko, 2006:9) ciri menonjol yang membedakan
gerakan sosial lama dengan GSB sebagai berikut.
Pertama, ideologi dan tujuan. GSB menanggalkan orientasi
ideologi kuat yang melekat pada gerakan sosial lama, sebagaimana sering
terungkap dalam ungkapan „anti kapitalisme‟, „revolusi kelas‟, dan
„perjuangan kelas‟. Dengan penekanan pada isu-isu spesifik yang non-
materialis, GSB tampil sebagai perjuangan lintas kelas. Singh (dikutip
Suharko, 2006:10) juga menambahkan bahwa GSB adalah respon terhadap
hadir dan menguatnya dua institusi yang menerobos masuk hampir ke
dalam relung kehidupan warga, yakni pasar dan negara. Oleh karena itu,
GSB membangkitkan isu pertahanan diri komunitas dari ekspansi aparat
negara dan pasar yang makin meningkat (Suharko, 2006:9-10).
Kedua, taktik dan pengorganisasian. GSB umumnya tidak lagi
mengikuti pengorganisasian serikat buruh industi dan model politk
kepartaian. GSB lebih memilih saluran di luar politik normal, menerapkan
taktik yang menggangu, dan memobilisasi opini publik untuk
mendapatkan daya tawar politik. Para aktivis GSB juga cenderung
menggunakan demontsrasi secara dramatis dan direncanakan matang
sebelumnya, lengkap dengan kostum dan representasi simboliknya
(Suharko, 2006:10).
Ketiga, struktur. GSB berupaya membangun struktur yang
merefleksikan bentuk pemerintah representatif yang mereka inginkan.
GSB mengorganisasi diri mereka dalam gaya yang mengalir dan tidak
kaku untuk menghindari bahaya oligarkisasi. Mereka berupaya merotasi
kepemimpinan, melakukan pemungutan suara untuk semua isu, dan
memiliki organisasi ad hoc yang tidak permanen. Mereka juga
mengembangkan fomat yang tidak birokratis sambil berargumen bahwa
birokrasi modern telah membawa kepada kondisi dehumanisasi.
Singkatnya, mereka menyerukan dan menciptakan struktur yang lebih
responsif terhadap kebutuhan-kebutuhan individu, yakni struktur yang
terbuka, terdesentralisasi, dan non-hirarkis (Suharko, 2006:11).
Keempat, partisipan atau aktor. Partsipan GSB melintasi berbagai
basis sosial, seperi gender, pendidikan, kelas. Artinya, mereka tidak
terkotak-kotakkan. Namun, ada kesan yang kuat bila partisan GSB adalah
kalangan kelas menengah baru, sebuah strata sosial yang muncul
belakangan yang bekerja di sektor-sektor ekonomi non-produktif
(baca:bukan ekonomi pabrikan). Mereka yang termasuk kelompok ini
umumnya tidak terikat pada motif-motif keuntungan korporasi dan tidak
tergantung pada dunia korporasi untuk kelangsungan hidup mereka.
Mereka umumnya bekerja di sektor-sektor yang bergantung pada belanja
negara, seperti kaum akademia, seniman, agen-agen pelayanan
kemanusiaan, dan mereka umumnya kaum terdidik (Pichardo, dikutip
Suharko, 2006:11-12)
Adapun aktor-aktor GSB sebagaimana dikemukakan oleh Offe
(Singh, dikutip Suharko, 2006:12) dicirikan secara jelas oleh penolakan
mereka terhadap basis identifikasi diri yang mapan, yang dalam bahasa
politik sering disebut „kiri‟ atau „kanan‟, „liberal‟ atau konservatif‟. Para
aktor GSB juga tidak dibatasi oleh gender, suku, umur, lokalitas, dan
sebagainya. Menurut Offe, aktor atau partisipan GSB berasal dari tiga
sektor: kelas menengah baru, unsur-unsur kelas menengah lama (petani,
pemilik toko, dan penghasil karya seni), dan orang-orang yang menempati
posisi pinggiran yang tidak terlibat dalam pasar kerja, seperti mahasiswa,
ibu rumah tangga, dan para pensiunan.
Dengan ciri-ciri tersebut, GSB menampakkan wajah yang plural.
Hal tersebut dapat diketahui dari bentuk-bentuk aksi GSB yang menapaki
banyak jalur, mencita-citakan banyak beragam tujuan, dan menyuarakan
beragam kepentingan. Medan atau area aksi GSB juga melintasi batas-
batas region, dari aras lokal hingga internasional, sehingga terbentuk
gerakan transnasional. Oleh karena itu, cara mobilisasi mereka juga
dilakukan bersifat global. Isu-isu yang menjadi kepedulian GSB melintasi
sekat-sekat bangsa dan masyarakat, bahkan melintasi dunia manusia
menuju dunia alami. Dalam hal ini, GSB menampakkan wajah trans-
manusia dengan mendukung kelestarian alam di mana manusia merupakan
salah satu bagiannya. Ini terpantul dari gerakan-gerakan anti nuklir,
lingkungan atau ekologi, perdamaian, dan sebagainya, yang
menghamparkan kebersamaan warga dari beragam nasionalitas,
kebudayaan, dan sistem politik (Singh, (dikutip Suharko, 2006:12).
Dalam konteks tujuan dari gerakan, Navicula bertujuan untuk
mempertahankan kelestarian alam dan berusaha untuk menghambat
kerusakan alam demi menjaga kehidupan yang berkelanjutan sesuai
dengan apa yang dikatakan Singh (2001:96) bahwa gerakan Sosial Baru
ditujukan untuk mempertahankan esensi dan memproteksi kondisi-kondisi
yang mendukung bagi kehidupan kemanusian yang lebih baik.
Dilihat dari isu-isu yang diangkat menurut Pichardo (1997)
gerakan sosial mengalami pergeseran dari isu-isu redistributif ke isu-isu
kualitas hidup dan pasca material. Jika pada gerakan sosial lama isu-isu
mengenai buruh, konflik antar kelas dan perebutan kekuasaan, maka pada
gerakan sosial baru isu-isu populer seperti feminism, antirasisme, dan
lingkungan. Navicula melakukan gerakan kebanyakan dengan mandiri dan
tidak berusaha mengumpulkan keuntungan. Navicula pun berusaha untuk
menyuarakan gerakan tentang lingkungan. Pelaku dari gerakan sosial lama
pun berbeda dengan gerakan sosial baru. Jika pada gerakan sosial lama
seperti yang dikemukakan Iwan Gardono Sujatmiko memfokuskan pada
isu yang berkaitan dengan materi dan biasanya terkait dengan satu
kelompok (misalnya, petani atau buruh).
Pelaku gerakan sosial lama berada dalam satu kelas sosial
sedangkan pelaku gerakan sosial baru berada dalam lintas kelas sosial
seperti yang dikemukakan Singh (2001: 98-105) partisipan di dalam
gerakan ini (GSB) berasal dari „kelas menengah baru‟ kaum terdidik,
sering kali bekerjad di sektor-sektor nonproduksi, seperti akademisi,
seniman, pekerja sosial kemanusiaan, LSM, dan kaum yang relative
terdidik lainnya. Navicula berusaha mengajak penggemar Navicula yang
kebanyakan berusia muda untuk peduli terhadap lingkungan. Latar
belakang dari penggemar bukan hanya dalam satu level kelas sosial dan
dari satu latar belakang karena yang menyatukan penggemar musik
dengan musisi adalah kecintaan pada musik.
Pada teori gerakan sosial Mirsel, Navicula dapat digolongkan
dalam gerakan sosial periode ketiga. Pada periode ketiga gerakan sosial
tidak lagi berbasis pada satu kelas sosial tertentu. Penggemar Navicula
merupakan kumpulan dari berbagai kelas sosial dengan pengikat adalah
kesukaan pada musik Navicula. Menurut Mirsel, gerakan periode ketiga
atau gerakan irasional, pada periode ini gerakan sosial mulai terorganisir.
Masuknya para aktor sosial dalam gerakan membuat gerakan pada periode
ini memiliki tujuan yang jelas. Robert Mirsel mengemukakan bahwa
Penekanan diberikan lebih pada gerakan sebagai organisasi yang memiliki
strategi yang rasional untuk mengubah kondisi-kondisi struktural tertentu
(2004;117). Gerakan structural seperti gerakan buruh tumbuh dengan
hadirnya serikat-serikat sehingga mampu memobilisasi massa. Mobilisasi
massa merupakan aktivitas utama untuk dijadikan alat dalam gerakan
sosial.
Dalam gerakan ini, tidak lagi organisasi-organisasi dan mobilisasi
massa oleh aktor sosial untuk menantang secara langsung menuju
perubahan. Menurut Mirsel (2004: 119) gerakan-gerakan kemasyarakatan
mesti dimengerti tidak hanya dalam kaitan dengan perilaku organisator
tetapi juga dalam kaitan dengan system kepercayaan, ideologi, dan
wacana-wacana yang berkembang. Navicula berusaha menanam benih
pemikiran untuk melakukan gerakan pelestarian lingkungan dengan
memberikan wacana-wacana terkait isu lingkungan.
Gerakan sosial yang dilakukan Navicula membutuhkan waktu yang
panjang untuk melihat hasilnya. Sesuai dengan gerakan sosial periode
ketiga, Robert Mirsel berpendapat bahwa untuk mengidentifikasi “sukses”
atau “gagal”-nya sebuah gerakan kemasyarakatan mesti juga mencakup
pembahasan keberlangsunganya dalam jangka waktu yang lebih panjang.
Navicula menyebarkan isu lingkungan bukan hanya melalui lagu, secara
konsisten Navicula berusaha mendorong isu dalam lagu melalui
propaganda di media sosial seperti twitter, facebook dan setiap penampilan
langsung.
Berdasarkan keseluruhan penjelasan sebelumnya dan jika melihat
sepak terjang Navicula selama ini, maka apa yang dilakukan Navicula
termasuk dalam gerakan sosial baru. Dalam konteks tujuan dari gerakan,
Navicula bertujuan untuk mempertahankan kelestarian alam dan berusaha
untuk menghambat kerusakan alam demi menjaga kehidupan yang
berkelanjutan. Navicula telah melakukan gerakan kebanyakan dengan
mandiri dan tidak berusaha mengumpulkan keuntungan. Navicula
menyebarkan isu lingkungan bukan hanya melalui lagu, secara konsisten
Navicula berusaha mendorong isu dalam lagu melalui propaganda di
media sosial seperti twitter, facebook, dan setiap penampilan langsung.
Artinya, Navicula telah berusaha menanam benih pemikiran untuk
melakukan gerakan pelestarian lingkungan dengan memberikan wacana-
wacana terkait isu lingkungan. Navicula sebagai pemicu dari sebuah
gerakan sosial juga tidak membuat sekat antara satu kelompok dengan
kelompok lainnya dalam upaya menyelamatkan lingkungan. Navicula
justru berusaha mengajak penggemarnya yang lintas kelompok untuk
peduli terhadap lingkungan. Latar belakang dari penggemar bukan hanya
dalam satu level kelas sosial dan dari satu latar belakang karena yang
menyatukan penggemar musik dengan musisi adalah kecintaan pada
musik.
top related