abu al a’la al maududi1 pemikiran politik islam...
TRANSCRIPT
30
BAB III
ABU AL A’LA AL MAUDUDI1,
PEMIKIRAN POLITIK ISLAM DAN KONSEP SYURA
A. Biografi Abu Al-A’la Al Maududi, Aktifitas, Zaman dan Karyanya
Nama lengkap pemikir besar Islam kontemporer dari anak benua India
itu adalah Abu Al-A’la Al Maududi, untuk selanjutnya kita sebut saja Al
Maududi.2 Al Maududi dilahirkan pada tanggal 3 Rajab 1321 H / 25
September 1903 M di Aurangabad, suatu kota terkenal dikesultanan
Myderabad (Deccan), sekarang dikenal dengan Andhra Prades di India.3
Ia adalah putra Ahmad Hasan Al Maududi (lahir, 1855), yang silsilah
ayah dan kakeknya sampai pada Nabi Muhammad saw. Sedangkan ibunya,
Sayyidah Ruqayyah, adalah keturunan bangsawan Turki. Keluarganya
mengakui keturunan langsung dari Qutbud Din Maudud (meninggal tahun 527
M), seorang pemimpin terkenal Tarekat Khitsi yang berkembang di India.4
Dia lahir dalam keluarga Syarif (keluarga tokoh muslim India Utara) dari
Delhi, yang bermukim di Deccan.5
1 Pada mulanya nama “Abu Al A’la” pernah menimbulkan permasalahan, karena “Abu Al
A’la” artinya ayah dari “Yang Maha Tinggi”, sedangkan “Yang Maha Tinggi” adalah salah satu atribut atau sifat Tuhan. Memang demikianlah yang didapatkan dalam sejumlah ayat-ayat Al Qur’an. Namun didalam pembelaannya Al Maududi mengutip dua ayat Al Qur’an, dimana atribut “Al-A’la” dan Al-A’launa”, diberikan kepada manusia, yaitu Nabi Musa, a.s dan orang-orang yang beriman. Munawir Sjadzali, Islam Dan Tata Negara : Ajaran, Sejarah dan Pemikiran Jakarta : UI Press, Cet. ke-1, 1990, hlm. 158
2 Ibid., hlm. 157-158 3 Departemen Agama RI, Ensiklopedi islam di Indonesia, Proyek peningkatan prasarana
dan sarana perguruan Tinggi Agama / IAIN Jakarta, 1992 / 1993, hlm. 731-732 4 Ensiklopedi Islam Indonesia, Ibid, hlm. 732. Artikel : Al Maududi 5 Ilyas Hasan, Para Perintis Zaman Baru Islam, Bandung : Mizan, Cet. ke-1, 1995, hlm.
102
31
Keluarga Al Maududi mempunyai tradisi lama sebagai pemimpin
agama, karena banyak dari nenek moyang maududi adalah syaikh-syaikh
tarekat sufi yang terkenal. Nenek moyang Maududi pindah ke anak benua
India di Chrishti pada ahir abad ke 9 H / abad 15 M. Orang pertama yang tiba
di anak benua adalah orang yang namanya sama dengan Abul A’la yaitu Abul
A’la Maududi (yang meninggal dunia pada 935 H).6
Al Maududi adalah anak yang paling dari tiga bersaudara. Setelah
memperoleh pendidikan dirumahnya, kemudian melanjutkan sekolah
menengah Madrasah Fawqaniyyah di Aurangabad, sebuah madrasah yang
menggabungkan sistem pendidikan modern barat dengan pendidikan Islam
tradisional.7 Dari sekolah tersebut ia memperoleh ijasah maulawi (sebuah
gelar akademik di India). Kemudian Al Maududi melanjutkan pendidikannya
di Perguruan Tinggi Darul Ulum, Hydrabad. Namun perkuliahannya hanya
diikuti selama enam bulan, karena ia harus merawat ayahnya yang sakit
hingga membawa kepada ajal kematiannya. Setelah itu pendidikan Al
Maududi terhenti secara formal.8
Al Maududi merupakan seorang otodidak yang berhasil. Dengan bekal
beberapa bahasa yang sudah dikuasainya sejak awal tahun 1920-an, seperti
Arab, Persia, dan Inggris, disamping bahasa Urdu, dia mampu mempelajari
segala macam ilmu yang diminatinya dengan sukses. Al Maududi mula-mula
dikenal sebagai seorang wartawan. Karir jurnalistiknya dimulai sejak usia 15
6 H.A. Mukti Ali, Alam Pikiran di India dan Pakistan, Bandung : Mizan, Cet. ke-1,
1993, hlm. 238 7 ibid, hlm. 238 8 Abul A’la Al-Maududi, Khilafah Dan Kerajaan ,Evaluasi Kritis Atas Sejarah
Pemerintahan Islam, Muhammad Al-Baqir (ed), Bandung : Mizan, Cet. ke-1, 1984, hlm. 7
32
tahun.9 Pada usia tujuh belas tahun, beliau menjadi redaktur harian Taj,
Jabalpur dan kemudian redaktur Al Jamai’at, Delhi – satu diantara surat kabar
muslim India abad ke 19/20 yang paling populer. Pada tahun 1929, dalam
usianya ke 26 tahun, beliau menerbitkan karyanya yang cemerlang dan
monumental, Al-Jihad Fi Al Islam (Perang suci dalam Islam). Karya ini belum
pernah terdapat sebelumnya dalam literature Islam dan tiada bandingannya,
sekalipun dalam bahasa Arab.10
Karya ini tidak sedikit mendapatkan pujian dari tokoh-tokoh muslim
kala itu, diantaranya Moh. Iqbal (wafat 1938 M), dan Maulana Moh Ali Jauhar
(wafat 1931 M), ia sebagai pemimpin dari gerakan khilafah dan kerajaan.11
Al Maududi kemudian pindah ke Hyderabad (Deccan). Disana pada
tahun 1932 menerbitkan sebuah majalah bulanan bernama Tarjuman Al
Qur’an. Dari majalah ini ia bisa menyampaikan pikiran-pikirannya, disamping
itu majalah tersebut telah mempunyai peranan yang penting dan baik sekali
dalam membangkitkan semangat serta kemajuan Islam di anak benua Indo-
Pakistan saat itu. Sehingga majalah Tarjuman Al Qur’an ini merupakan suatu
unsur yang tak dapat dipisahkan dari sejarah berdirinya dan perkembangan
Islam di anak benua itu.12
Kemampuan Al Maududi dalam menguasai berbagai ilmu agama dan
ilmu pengetahuan modern, yang ditopang oleh keahlian jurnalistiknya yang
9 Ensiklopedi Islam Di Indonesia, hlm. 732 10 Abul A’la Al Maududi, Hukum Dan Konstitusi Sistem Politik Islam, Drs. Asep Hikmat
(penj), Bandung : Mizan, Cet. ke-1, 1990, Dalam Abul A’la Maududi : Sketsa Biografi, Khursid Ahmad (ed)
11 H. A. Mukti Ali, Alam Pikiran.,hlm. 239 12 Abu Al A’la Al Maududi, Pokok-Pokok Pandangan Hidup Muslim, Alih Bahasa :
Osman Ralibi, Jakara : Bulan Bintang, 1967, hlm. 7
33
tinggi mewujudkan dirinya sebagai seorang pengarang yang produktif.
Karangannya mencakup pelbagai ilmu agama Islam seperti tafsir, hadits,
hukum, filsafat dan sejarah. Karangannya selalu membicarakan berbagai
masalah yang dihadapi umat Islam diantaranya bidang politik, ekonomi,
sosial, kebudayaan, theology dan sebagainya.13
Disela kesibukannya dalam jurnalistik, Al Maududi masih sempat
menyampaikan ceramah melalui radio Pakistan, yang ditujukan bukan saja
kepada rakyat Pakistan, melainkan juga kepada segenap masyarakat Islam
sedunia. Ceramah tersebut mencakup lima bidang pokok kehidupan umat
Islam, yaitu moral, politik, sosial, ekonomi, dan spiritual. Kemudian ceramah-
ceramah itu diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul Islamic Way Of Life
(jalan hidup muslim).14
Pertama-tama Al Maududi memusatkan perhatiannya untuk
menerangkan ide, nilai dan prinsip-prinsip dasar Islam. Lebih khusus lagi ia
memusatkan perhatiannya sekaligus membahas masalah-masalah yang timbul
dari pelbagai konflik antara pandangan Islam dan pandangan dunia barat
kontemporer. Disamping itu juga mengembangkan metodologi baru untuk
mempelajari masalah dalam konteks pengalaman barat dan dunia muslim,
yang dinilai melalui kriterium teoritis dari kebaikan dan keunggulan yang
sesuai dengan ajaran-ajaran Al Qur’an dan As Sunnah.
Selain merupakan penulis yang produktif, Al Maududi juga dalam
setiap bulannya menghasilkan beberapa puluh halaman. Dimana didalam
13 Ensiklopedi Islam Di Indonesia., hlm. 732 14 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 4, Jakarta : Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1996, hlm. 1155. Artikel Al Maududi
34
tulisannya tampak sekali nilai-nilai kecerdasan dan keilmiahannya, yang
mempersepsikan pentingnya ajaran-ajaran Al Qur’an dan As Sunnah,
demikian juga kesadaran kritis dari arah pikiran barat. Semua ini membawa
kesegaran dalam metode pendekatannya yang menyebabkan semua karya
tulisannya begitu menarik.15
Pada tahun 1938, Dr. Muhammad Iqbal mengundang Al Maududi ke
Punjab untuk bisa bekerja sama dalam merekonstrusi dan mengkodifikasi
hukum Islam. Dan mendirikan sebuah pusat akademis dan penelitian Dar Al
Islam.16
Dengan desakan Iqbal, Al Maududi pada bulan maret 1938 pindah ke
Punjab. Akhirnya disepakati untuk memimpin sebuah lembaga riset Islam
bernama Dar Al Islam.17
Pada tahun-tahun ketika gerakan Pakistan dibawah kepemimpinan liga
muslim menghimpun kekuatan, meski Al Maududi menyetujui adanya konsep
dua negara dan kaum muslim India harus diberi kebebasan guna
mengembangkan dalam pencapaian kesejahteraan dinegeri mereka sendiri.
Namun pada saat yang sama Al Maududi secara tegas menentang
komunalisme yang sama sekali tidak menghasilkan suatu apapun. Ia tidak
berhenti-hentinya mengkritik ideologi-ideologi baru yang mulai
mempengaruhi terhadap pikiran dan jiwa umat muslim. Demikian juga
berusaha untuk menunjukkan kekosongan ideologi-ideologi itu. Al Maududi
15 H. A. Mukti Ali, Alam Pikiran Islam., hlm. 240 16 Ensiklopedi Islam Di Indonesia., hlm. 733 17 H. Munawir Sjadzali, Islam Dan Tata Negara., hlm. 162
35
mengatakan bahwa nasionalisme sangat berpotensi untuk mengarah pada hal-
hal yang bersifat bahaya. Tapi semua itu dilihatnya dari perspektif Islam.18
Pada tahun 1920 ia sibuk dengan kegiatan politik praktis. Ia aktif
dalam gerakan khalifah dan berbagai gerakan lain yang memperjuangkan
kemerdekaan India. Dan pada tahun 1941 ia ikut mendirikan organisasi
Jama’at Al Islam di Lahore dan terpilih sebagai pemimpinnya sampai tahun
1972 ketika itu ia mengundurkan diri karena alasan kesehatan.19
Pada bulan maret 1948, Al Maududi dan jama’ahnya
menyelenggarakan pertemuan akbar (kongres) di Karachi untuk merumuskan
dan mengesahkan konsepsi kenegaraan yang diperjuangkan pada majlis
konstituante Pakistan : konsep ini dikenal dengan tuntutan empat butir, yang
berbunyi :
“Mengingat bahwa mayoritas rakyat Pakistan percaya kepada prinsip-prinsip Islam, semua bertujuan untuk perjuangan dan pengorbanan dalam mendirikan negara Pakistan, agar mereka dapat menghayati pola hidup sesuai prinsip yang mereka yakini, maka muslim di Pakistan menutut kepada majlis konstituante agar berdasarkan undang-undang Pakistan atas prinsip-prinsip berikut : 1. Sesungguhnya kedaulatan di Pakistan adalah di tangan Allah swt, karena
pemerintah sebagai pelaksana kedaulatan itu tidak boleh melampaui batas
yang ditentukan oleh pemilik kedaulatan (Allah)
2. Syari’at Islam merupakan hukum dasar negara Pakistan.
3. Pembatalan terhadap semua undang-undang yang ada dan yang
bertentangan dengan syari’at Islam, kemudian menangguhkan undang-
undang yang tidak sesuai dengan syari’at Islam.
18 H. A. Mukti Ali, Alam Pikiran Islam., hlm. 240 19 Ensiklopedi Hukum Islam., hlm. 1155
36
4. Pemerintah Pakistan harus mempergunakan kekuasaannya sesuai dengan
batas-batas yang telah di tetapkan dengan syari’at Islam.20
Al Maududi melewati kehidupan untuk masyarakat selama hampir 60
tahun. Selama tahun-tahun itu ia terus menerus aktif dan vokal dalam
bicaranya. Ia telah menulis lebih dari 120 buku dan pamflet, dan telah
memberikan ribuan pidato dan statemen disurat-surat kabar.21
Beliau di Lahore hampir 2 tahun menjabat sebagai Dekan Fakultas
Teologi Islamia Collega. Namun masih merasa kurang puas. Maka dari itu,
pada tahun 1941 ia mendirikan gerakan organisasi Islam dengan nama
Jama’ati Islami di Pathankot Punjab. Gerakan ini begitu konsekuen dalam
memperjuangkan dan mempertahankan nilai-nilai Islam. Dan bertujuan untuk
menegakkan kalimatullah di bumi ini. Akhirnya Al Maududi sendiri terpilih
sebagai pemimpinnya.22
Cita-cita Al Maududi untuk melaksanakan pembaharuan dalam hukum
Islam tidak pernah padam, bahkan semakin kuat setelah adanya kesepakatan
antara India dan Pakistan pada 3 juni 1947. Dengan itu berdirilah negara
Pakistan pada Agustus 1947, dan India pada 15 Agustus 1947. Sejak Agustus
1947 itulah Al Maududi pindah dan menetap di Pakistan. Namun dengan
berdirinya Pakistan, ternyata menimbulkan sejumlah permasalahan dalam
pelbagai aspek, yaitu ideologi, etnik, sosial, budaya dan agama. Dalam hal itu
muncullah tiga golongan. Pertama, sekularis, yang menginginkan negara
Pakistan menganut demokrasi liberal ala barat. Kedua, modernis, yang
20 H. Munawir Sjadzali, Islam Dan Tata Negara., hlm. 164 21 H. A. Mukti Ali, Alam Pikiran Modern., hlm. 242 22 Al Maududi, Pokok-Pokok Pandangan Hidup Mislim., hlm. 8
37
menghendaki Pakistan untuk menerapkan hukum-hukum barat, namun tidak
meninggalkan prinsip-prisip Islam. Ketiga, golongan ulama, kelompok ini
menginginkan negara Pakistan melaksanakan syari’at Islam dan berdasarkan
Islam. Al Maududi sendiri adalah termasuk golongan yang ketiga ini.23
Al Maududi mencanangkan gerakan konstitusi Islam dan jalan
kehidupan Islam. Dengan adanya hal itu, justru ia ditahan pada 4 Oktober
1948. Kemudian ia dibebaskan pada Mei 1950, setelah dua puluh bulan ia
hidup dalam penjara.
Pada tahun 1953 beliau divonis mati dengan tuduhan menulis
selebaran gelap yang sebenarnya tidak dilarang. Tulusan tersebut oleh
pemerintah dipandang menghasut dan memecah belah rakyat Pakistan. Judul
tulisan tersebut adalah masalah Qadiani (The Qadiani Problem). Ia membuka
tabir kepalsuan kenabian Mirza Ghulam Ahmad (1255 H / 1839 M-1326 H /
1908 M). Akan tetapi atas desakan dari berbagai pihak baik dari dalam
maupun luar negeri, hukuman itu diremisi menjadi hukuman seumur hidup,
yang berarti ketat selama empat belas tahun. Pada tanggal 28 April 1955
dengan keputusan MA beliau dibebaskan.24 Walaupun sebelumnya Al
Maududi sempat berkata kepada anaknya dan para sahabatnya :
"Jika ajal bagi saya telah datang, tidak seorangpun dapat mengelakkannya, akan tetapi bila memang ajal itu belum datang, mereka tidak akan dapat menggantung saya, walaupun mereka sampai menggantung diri mereka sendiri untuk dapat menggantung saya".25
23 Ensiklopedi Hukum Islam., hlm. 1156. Artikel Al Maududi 24 Ensiklopedi Hukum Islam., hlm. 1155 25 Amin Rais “kata pengantar”, dalam Al Maududi, Khilafah Dan Kerajaan, Alih Bahasa
: Muh. Al-Baqir, Bandung : Mizan, Cet. ke-4, 1993, hlm. 10
38
Al Maududi sepanjang hayatnya telah mengabdikan hidupnya untuk
agama dan untuk umat Islam dunia. Selama 60 tahun, Al Maududi tidak
pernah “pensiun” dari kegiatan-kegiatannya untuk menawarkan Islam sebagai
alternatif bagi umat manusia modern yang dirundung kebingungan ideologis,
falsafi dan sosio-politik. Pemikiran-pemikiran Islam dari sub-kontinen Indo-
Pakistan, Moh. Iqbal menjadi kecil bila dihadapkan dengan Al Maududi.
Menurutnya pemikiran-pemikiran Al Maududi dewasa ini telah langsung atau
tidak langsung menggerakkan semangat kebangunan Islam di dunia muslim.
Bahkan Sayyid Qutb, seorang mufassir modern terkemuka dari Al Ikhwan,
menyediakan beberapa halaman dalam kitab tafsir Fi Dzilal Qur’an untuk
mengabadikan pendapat-pendapat dan ijtihad Al Maududi tentang jihad
dengan sangat jelas.26
Al Maududi dalam kehidupannya selalu saja ada masalah dan
rintangan tetapi beliau tidak gentar menghadapinya. Karya-karya Al Maududi
memang banyak diterjemahkan kedalam pelbagai bahasa dunia seperti Arab,
Inggris, Perancis, Jerman, Turki, Persi, Tamil, Bengali, dan lainnya termasuk
bahasa Indonesia.27
Bagi Al Maududi, pintu ijtihad senantiasa terbuka bagi orang yang
mau untuk melakukannya, baik hukum Islam atau yang lain. Hukum yang
demikianlah yang pantas diterapkan dimana-mana dan di masa apapun. Ia
telah berjuang sepanjang hayatnya untuk merealisasikan cita-citanya baik
melalui diplomasi, tulisan, organisasi dan lain-lain. sampai ia menemui
26 ibid., hlm. 10 27 Ibid, hlm. 12
39
ajalnya pada tanggal 23 September 1979 disalah satu rumah sakit di New
York, Amerika Serikat dan kemudian dikebumikan di negara asalnya,
Pakistan.28
Adapun karya-karyanya yang dituangkan melalui tulisannya sekitar
138 judul buku antara lain 29:
1. Al-Jihad Fi Al-Islam (Jihad Dalam Islam)
2. Islamic Law And Its Introduction (Pengantar Hukum Islam)
3. Right Of Non-Muslims In An Islamic State (Hak-Hak Non Muslim Di
Negara Islam)
4. Economics Problems And Islamic Solution (Problem Perekonomian Dan
Solusi Islam)
5. Toward Understanding Islam (Menuju Kepada Pemahaman Islam)
6. The Islamic Law And Constitution (Konstitusi Dan Undang-Undang Yang
Islami)
7. Ar Riba (Riba)
8. Tafhim Al Qur’an (Pemahaman Al Qur’an)
9. Al Hadarah Al Islamiyah
10. Al Jihad Fi Sabilillah
11. Al Khilafah Wa Al Muluk
12. Al Hijab
13. Mujaz Tarikh Tajdid Al Din Wa Ihyaih
14. Al Islam Wa Al Jahiliyah
28 EnsiklopediHukum Islam, hlm. 1157 29 Ibid, hlm. 1155
40
15. Al Asas Al Akhlaqiyyah Li Al Harakah Al Islamiyyah
16. Islamic Way Of Life
17. First Principle Of Islamic State
18. A Short History Of The Revivalist Movements In Islam
19. The Process Of Islamic Revolution
20. The Laws Of Marriage And Devorce In Islam
21. Islam : A Historical Perspective
22. Human Right In Islam
23. Dan lain-lain
Demikian biografi Al Maududi, mulai dari kelahiran, pendidikan, latar
belakang keluarga hingga pada aktifitas baik dalam tulis-menulis maupun
dalam politik.
B. Faktor Sosio-Politik yang Mempengaruhi Konsep Syura Al-Maududi
Setelah penulis mendeskripsikan seputar kehidupan Al-Maududi,
baik pemikiran-pemikirannya, karya-karyanya maupun sosio-politik di
Pakistan, sehingga mempengaruhi untuk memunculkan pelbagai macam
aktivitas berupa bangunan ideologi dan gerakan organisasi sebagai upaya
pertahanan nilai-nilai Islam pada sebuah negara. Dalam hal ini, ketika
Zulfikar Ali Bhutto (berkuasa tahun 1971) yang mempunyai kecenderungan
kearah sosialisme yang merupakan bagian dari nasionalisasi dan land-reform
bagian dari rencana sosialisnya dengan slogan kerakyatan : roti, kapre,
makan (makanan, pakaian dan perumahan) yang ada di negara Pakistan.
41
Sosialisme Bhutto merupakan sebagai sosialisme Islam dan lebih
diidentifikasikan dengan kepercayaan dan praktek Islam normatif dari pada
dengan sosialisme Barat. Upaya yang dilakukan mereka adalah untuk
menemukan akar kebijaksanaan dalam periode sejarah "ideal" yang pertama
yaitu dengan perasaan sosidaritas dan persamaan (Musawat) Islamnya.
Namun justru dengan asas tersebut menimbulkan perlawanan dari kaum
kanan agama (Ulama Pakistan). Salah satu apapun yang paling keras
mengeluarkan kebijaksanaan adalah partainya Al-Maududi yaitu Jama'ati
Islami, dengan mengatakan bahwa hal ini bertentangan dengan Islam.30
Menurutnya, jika suatu pemerintahan di negara muslim tidak
dikontrol oleh kekuatan Islam, kemudian akan menjadikan negara itu
ditangani oleh kelompok kekuatan non-Islam. Maka dunia muslim terbentuk
sebagai nasionalisme yang sama sekali tidak mempunyai jiwa patriot ke
Islaman. Oleh karenanya, nasionalisme akan mengarah pada hal yang
bersifat chaos, anarkhi, perpecahan dan demoralisasi yang akan merusak tata
kehidupan di dunia.
Menurut hemat penulis, pembangunan politik di Pakistan dengan
pusat perhatiannya untuk menentukan dan menerapkan identitas Islam,
anggapan ini bahwa kebanyakan orang Pakistan menegaskan dan
mewujudkan sebagai rasion de etre.31 Sedangkan Al-Maududi sendiri untuk
membangun pemikirannya dalam bidang politik yaitu dengan merancang dan
30 John L. Esposito, Identitas Islam Pada Perubahan Sosial-Politik, Alih Bahasa: A.
Rahman Zainuddin, Jakarta: Bulan Bintang, Cet. ke-1, 1986, hlm. 228-229. 31 John L. Esposito, Islam d an Perubahan Social-Politik di Negara Sedang Berkembang,
Alih Bahasa: Wardah Hafidz, Yogyakarta: PLP2M, Cet. ke-1, 1985, hlm. 276.
42
mengatur konstitusi Islam terhadap negara Pakistan, kemudian
mempromosikannya melalui nilai-nilai Islam sekaligus memberikannya
kepada masyarakat agar berkehidupan secara Islami.
Al-Maududi termasuk tokoh lokal yang menyuarakan tentang negara
Islam ideal. Ia berkeyakinan bahwa sebuah negara Islam mesti melibatkan
pemerintahan-pemerintahan Tuhan di dalamnya sehingga keseluruhan apa
yang dikehendaki-Nya dalam sebuah negara bisa memberikan kepuasan,
kebahagiaan. Sebab dasarnya prinsip ketuhanan-kenegaraan akan
berkeadilan dan berkebijakan bagi semuanya. Dari sini, maka peran negara
benar-benar berada di bawah naungan panji-panji Islam.32
Secara politik kenegaraan, Al-Maududi berusaha mengembangkan
program komprehensif mengubah negara Islam Pakistan menjadi suatu
masyarakat Islam yang ideal.33 Kemudian mengelaborasikan teori politik
Islam dan menunjukkan bagaimana konstitusi Islam dapat dibangun atas
dasar pemikiran politik Islam.
Ada dua prinsip konstitusional menurut Al-Maududi yang sangat
penting, yaitu:
1. Status sebenarnya suatu negara Islam tidak terletak pada kedaulatan,
melainkan pada perwakilan (Khalifah).
2. Dalam suatu negara Islam, kekuasaan khalifah tidak terletak di tangan
perorangan atau keluarga atau kelompok, melainkan di tangan seluruh
32 Abdul Saini, Lintas Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern dalam Islam, , Raja
Grafindo Persada, Cet. ke-1, 1998, hlm. 180. 33 Ibid., hlm. 180.
43
komunitas muslim, sudah tentu jika mereka dikaruniai suatu negara
merdeka.34
Dalam prinsip konstitusional menurut Al-Maududi ada dua
kesuksesan pada dirinya untuk membangun konstitusi dasar dalam sosio-
politik negara Pakistan. Pertama, ketika ia menandatangani lembaga
konstitusi Pakistan. Kedua, sejumlah ulama Pakistan, memberi kesepakatan
bulan bahwa konstitusi Pakistan berdasarkan konstitusi Islam.
Dengan demikian, secara formal yuridis, Pakistan dapat
dikualifikasikan sebagai negara Islam, sebagaimana tercantum dalam
Undang-Undang Dasar (Tanggal 1 Maret 1962, kemudian diamandir tanggal
10 Januari 1964, Tanggal 23 Maret Juni 1964 dan terakhir tanggal 12 April
1973).35
Adalah sangat tampak bahwa yang mendorong timbulnya pemikiran-
pemikiran Al-Maududi di dataran Pakistan termasuk konsep syura, yaitu
bermula dari ketegangan dan krisis yang ada pada dunia Islam ketika itu.
Sebagai misal kompetisi secara kuat dari ideologi-ideologi sekuler berupa
nasionelisme, liberalisme, sosialisme dan komunisme yang semua itu produk
pemikiran Barat. Hal senada juga dihadapi oleh negara Islam lainnya seperti
Mesir, Iran, Turki dan lain-lain, dimana mereka disebut sebagai contoh-
34 Sayyid Abul A'la Maududi, Dasar-Dasar Konstitusi Islam dalam Beberapa
Pandangan Tentang Pemerintah Islam, Salim Azzam, , Mizan, anggota IKAPI, Bandung, Cet. ke-2, 1990, hlm. 93-94.
35 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, UI Press, Jakarta: , Cet. ke-1, 1990, hlm. 163.
44
contoh fundamentalisme Islam modern yang berbeda dengan jenis
tradisionalisme, sebagai contoh model negara Arab Saudi.36
Maka dari itu, bagi Al-Maududi Islam mempunyai nilai-nilai
demokrasi, sosialis dan ideologi tersendiri yang sangat berbeda dengan
ideologi-ideologi Barat. Tujuan dan pemerintah Islam adalah pertumbuhan
umat manusia yang membela dam keadilan, menyuruh orang berbuat baik
dan melarang berbuat jahat, atau lebih tepat dikatakan, umat manusia yang
bekerja untuk menciptakan dan memelihara keadaan sosial yang memberi
kemungkinan sebanyak-banyaknya kepada manusia yang hidup, baik moril
maupun fisik sesuai dengan hukum Ilahiyah dari Allah, yaitu Islam.37
Sementara itu menurut Al-Maududi, gagasan nasionalisme
merupakan sesuatu yang di impor dari barat yang tidak sesuai dengan ajaran
Islam, dan oleh karenanya tidak dapat dipergunakan sebagai dasar negara
Islam. Nasionalisme Islam, seperti halnya nasionalisme yang lain,
berpangkal pada prinsip kedaulatan rakyat dan bukan kedaulatan Tuhan dan
cenderung kepada sekulerisme dan pemisahan antara agama dan negara.38
Selain itu, sebuah negara tidak akan menjadi negara Islam, jika
mempromosikan dan menggunakan nilai demokrasi dan sekuler, karena
dalam politik negara itu tidak berdasar pada Tuhan melainkan supremasi
hukum pada rakyat.
36 Hard Enayat, Reaksi Politik Sunni dan Syi'ah: Pemikiran Politik Islam Modern
Menghadapi Abad ke-20, Alih Bahasa: Asep Hikmat, Bandung: Pustaka, Cet. ke-1, 1988, hlm. 130-131.
37 Mohammad Asad, Pemerintahan Islam dan Asas-Asasnya dalam Berbagai Pandangan Tentang Pemerintahan Islam., hlm. 74.
38 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara., hlm. 161.
45
Disamping pengaruh dari ideologi dunia Barat, juga persaingan
dalam formulasi tatanan agama antara kaum muslim dan hindu di dataran
anak benua India-Pakistan yang berpusat di Kashmir dan Punjab.
Selain dari hal ini, keinginan dikeluarkannya konstitusi Islam
sebenarnya merupakan bagian dari diterimanya pemikiran dan gagasan
Eropa, karena pemerintahan yang berdasarkan UUD (konstitusinonal).
Namun untuk dapat menghasilkan sebuah institusi yang selaras dengan
prinsip-prinsip dasar syari'ah adalah hal yang tidak mungkin, selama masih
ada UU yang dapat diterima dan dipenuhi baik oleh penguasa atau rakyat.
C. Garis Besar Pemikiran Al Maududi Tentang Politik Islam
1. Ekonomi
Al maududi mengemukakan bahwa Islam telah meletakkan
berbagai prinsip dan batas-batas tertentu dalam aktifitas ekonomi.
Sehingga bentuk produksi, pertukaran dan distribusi kekayaan dan
diserupakan dengan ukuran Islam dalam hal keadilan dan persamaan.
Tujuan Islam bahwa apapun bentuk dan mekanisme dari prinsip beserta
aktifitas dalam kehidupan umat manusia yang disesuaikan dengan situasi
dan kondisi zaman.39
Umat manusia memang diperintah Allah swt untuk mengelola
segala sesuatu yang ada dimuka bumi dan yang dapat diambil manfaat.
Dalam peletakan prinsip dasar, bahwa seseorang tidak berhak secara
39 Abul A’la Maududi, Pokok-Pokok Pandangan Hidup Muslim, hlm. 59
46
bebasmengambil dan mengeksploitasi sumber daya alam dengan
sekehendak hatinya, sebagaimana juga ia tidak berhak menentukan garis
pemisah antara hak dan bathil dengan seenaknya saja.
Menurut al maududi, skema ekonomi yang dikemukakan al qur’an
secara menyeluruh didasari ide pemikiran oleh individu segala bidang.
Tidak dijumpai didalamnya gagasan yang mengusulkan diadakannya
pemisahan antara barang-barang konsumsi dan produksi, bahw hanya
barang-barang konsumsilah yang belum menjadi milik pribadi, sedang
barang-barang produksi harus dinasionalisasikan. Tujuan akhir al qur’an
yang menyatakan dan memerintahkan kepada kita adalah untuk
menentukan tatanan aturan permanen dimasa yang akan datang.40
Dengan demikian, kata al maududi, yang menginterpretasikan al
qur’an selayaknya manusia membelanjakan harta bendanya dalam rangka
memenuhi kebutuhannya dan keluarganya secara sederhana, dipergunakan
dengan baik, tidak kikir, tidak boros dan sebagainya. Karena masih ada
kewajiban-kewajiban yang diperintah Allah yang harus dilakukan sebagai
misal zakat, shadaqah, infak, yang semua itu diamalkan secara ikhlas
semata-mata karena Allah.41
2. Konstitusi
Jika kita mengatakan bahwa negara ini harus memiliki suatu
undang-undang dasar Islam, janganlah hal ini kita artikan bahwa kita
memiliki undang-undang dasar negara Islam dalam bentuk tertulis dan
40 Abul A’la Al Maududi, Esensi Alqur’an: Filsafat, Politik, Ekonomi dan Etika, Ahmad Muslim (penj), Cet.ke-7, Bandung: Mizan, 1995, hlm. 74-76
41 Ibid., hlm. 74-76
47
satu-satunya hal yang harus kita lakukan adalah mengundangkannya. Apa
yang kita sebut dengan undang-undang dasar Islam dalam kenyataan
merupakan konstitusi yang tak tertulis. Ia tercantum dalam sumber-sumber
tertentu yang khas. Dari sinilah suatu undang-undang dasar yng tertulis
yang selaras dengan tuntunan negara dewasa ini. Didalam pembahasan ini
terfokus pada konsep Al Maududi tentang konstitusi.
Adapun pemikiran Al Maududi tentang konstitusi yaitu mengacu
pada sumber-sumber konstitusi Islam yang empat, yaitu : a) Al Qur’an b)
As Sunnah c) Konvensi Al Khulafa’ Al Rasyidun dan d) Doktrin atau
ketentuan para ahli hukum (fuqaha).42
Namun dalam pelbagai masalah untuk menyelesaikannnya, ada
saja kesulitan-kesulitan yang dipahaminya, antara lain : a) Kebaharuan
peristilahan, b) Penyuntingan yang ganjil, c) Kelemahan sistem
pendidikan, d) Kebodohan yang meraja lela.
Menurut Al Maududi, timbulnya pelbagai kesulitan diatas adalah
bahwa pernyataan tidak berdasar. Ada kemungkinan propaganda yang
gigih sehingga mengakibatkan kebingungan dalam diri orang-orang yang
tidak benar-benar memahami Al Qur’an dan As Sunnah. Oleh karenanya
semakin perlu kiranya mengutip ayat-ayat Al Qur’an untuk menepis
propaganda dan menunjukkan pada sebuah konstitusi berdasar sumber-
sumber Islam yang murni.43
42 Abul A’la Al Maududi, Hukum Dan Konstiusi Sistem Politik Islam., hlm. 226-228 43 Ibid, hlm. 278
48
Dalam tata kehidupan modern, kata konstitusi terdapat dua
pengertian. Pertama, digunakan untuk menggambarkan seluruh sistem
ketatanegaraan suatu negara, kumpulan peraturan-peraturan yang
mendasari dan mengatur atau mengarahkan pemerintah. Kedua, campuran
dari peraturan-peraturan dari sistem kenegaraan. Hampir disetiap negara
didunia, konstitusi dimaknai sebagai gambaran bukan seluruh kumpulan
peraturan, baik legal maupun non-legal, tetapi hasil seleksi dari peraturan-
peraturan yang terwujud dalam suatu dokumen atau dalam beberapa
dokumen yang terkait erat.
Boling Broke dalam esainya on parties : yang dimaksud konstitusi
adalah kumpulan hukum, institusi dan adat kebiasaan, yang ditarik dari
prinsip-prinsip rasio tertentu……..yang membentuk sistem umum, dengan
mana masyarakat setuju untuk diperintah. Tetapi, sejak dahulu orang
menganggap tepat dan perlu menuliskan prinsip-prinsip fundamental yang
akan menjadi dasar dan pedoman bagi pemerintahan mereka yang akan
datang dalam sebuah dokumen.44
Pada umumnya, di negara-negara modern abad dua puluh, patokan-
patokan dasar penyelenggaraan negara itu dirumuskan kedalam atau
undang-undang dasar yang bersifat tertulis. Dimuatnya aturan-aturan dasar
penyelenggaraan negara didalam konstitusi, dan bukan perincian-
perinciannya adalah suatu kesengajaan, bukan karena kealpaan para
perumus konstitusi. Para perumus konstusi menyadari bahwa masyarakat
44 K. C. Wheare, Konstitusi-Konstitusi Modern, Muhammad Hardani (penj), Surabaya :
API (Aliansi Penerbit Independen), 2003, hlm. 1-4
49
yang eksis dinegaranya bersifat dinamis dan terus berubah dari waktu ke
waktu. Secara teoritis, konstitusi dibedakan kedalam dua kategori, yaitu :
Pertama, konstitusi politik yaitu merupakan sebuah dokumen hukum yang
berisikan pasal-pasal yang mengandung norma-norma dasar dalam
penyelenggaraan negara, hubungan antara rakyat dan negara, lembaga-
lembaga negara dan sebagainya. Kedua, konstitusi sosial yaitu bukan
sekedar dokumen hukum tetapi lebih mengandung cita-cita sosial bangsa
yang menciptakannya, rumusan-rumusan filosofis tentang negara,
rumusan-rumusan sistem sosial dan sistem ekonomi, juga rumusan-
rumusan sistem politik yang ingin dikembangkan dinegara itu.
Walau bagaimanapun, konstitusi merupakan buah pikiran manusia
yang terbatas oleh ruang dan waktu. Oleh karena itu, konstitusi selalu
membuka peluang bagi amandemen, walaupun ada konstitusi yang
tergolong kaku terhadap perubahan. Disatu pihak, konstitusi memberikan
kerangka dasar tentang masalah-masalah fundamental dalam
penyelenggaraan negara, sedang dipihak lain pemahaman terhadap
konstitusi juga dipengaruhi oleh perkembangan masyarakat.45
Dalam hal itu, Al Maududi memberikan interpretasi ayat-ayat Al
Qur’an sebagai prinsip konstitusional yang dapat digali. Al Qur’an
menyatakan :
ر الناس لا يعلمون أمر ألا تعبدوا إلا إياه ذلك الدين القيم ولكن أكث
45 DR. Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tata Negara Indonesia Kompilasi Aktual
Masalah Konstutusi Dewan Perwakilan Dan Sistem Kepartaian, Jakarta : Gema Insani Press, 1996, hlm. 17-19
50
Artinya: “(Hak) perintah itu bukan milik siapapun kecuali Allah. Dia telah memerintahkan kamu untuk hanya menyembah kepada Allah. Itulah agama yang benar, namun kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. (Q. S. Yusuf: 40.46
Kemudian surat Ali Imran ayat 26 yang berbunyi :
اللهم مالك الملك تؤتي الملك من تشاء قل
Artinya: “Katakanlah : “Ya Allah! Pemilik kerajaan! Memberikan kerajaan kepada siapa yang engkau kehendaki” (Q. S. Ali Imran: 26.47
Dan surat Al Isra’ ayat 111 yang berbunyi :
لكي المف ريكش له كني لمو
Artinya: “Tiada sekutu bagi kedaulatan-Nya” (Q. S. Al-Isra’: 111)48
Dari sini sangatlah jelas, demikian kata Al Maududi, bahwa ayat-
ayat tersebut menunjukkan dan menyatakan bahwa wewenang merupakan
hak prerogatif Allah. Dari ayat-ayat tersebut diatas, bahwa suatu negara
menjadi Islam hanya jika negara tersebut mengakui sejelas-jelasnya
kedaulatan politik dan kedaulatan hukum dari Allah dan mengikat dirinya
untuk menaati-Nya serta mengakui-Nya sebagai kekuasaan tertinggi yang
perintah-perintah-Nya harus dijunjung tinggi apapun yang terjadi.49
46 Q. S. Yusuf (12) : 40 47 Q. S. Ali Imran (3) : 26 48 Q. S. Al Isra (17) : 111 49 Abul A’la Al Maududi, Hukum Dan Konstitusi., hlm. 280
51
Semua rasul pada umumnya dan Rasulullah s.a.w, pada khususnya
adalah wakil kedaulatan politik dan hakim dari Tuhan. Selaras dengan hal
ini, rasul-rasul diberi hak untuk mentaati orang-orang yang mengakui
kedaulatan Tuhan atas mereka. Oleh karena itu, setiap individu,
masyarakat serta bangsa yang yakin atas kedaulatan Tuhan, memiliki
kewajiban untuk pola-pola yang disusun oleh mereka.
Prinsip ini telah dicanangkan berkali-kali dalam Al Qur’an.
Beberapa kutipan ayat yang membuktikannnya adalah antara lain :
الله أطاع ول فقدسع الرطي نم
Artinya ; “Barang siapa menaati Rasul, maka ia menaati Allah” (Q. S. an-Nisa: 80)
الله بإذن طاعيول إلا لسر نا ملنسا أرمو
Artinya : “ Tidaklah kami utus Rasul itu kecuali untuk ditaati dengan izin Allah” (Q. S. an-Nisa : 64)
إن الله قوا اللهاتوا وهتفان هنع اكمها نمو ذوهول فخسالر اكما آتمو شديد العقاب
Artinya: “Apapun yang diberikan rasul kepadamu ambillah, sebaliknya, apapun yang dilarangnya, tinggalkanlah". (Q. S. Al-Hasyr : 7)
Dari ayat-ayat ini kita menggali prinsip dasar konstitusi Islam,
yaitu bahwa konstitusi Islam ini harus juga mengakui sunah rasul sebagai
sumber hukum dan harus mencantumkan pasal khusus untuk mengatur
bahwa baik pihak eksekutif, legislatif maupun yudikatif agar
52
mengeluarkan perintah atau menegakkan hukum-hukum yang
bertentangan dengan As Sunnah.50
Demikian sumber-sumber Islam yang dibuat dalam prinsip
konstitusional dalam pemerintahan Islam.
3. Khilafah
Khilafah berarti perwakilan. Menurut Islam, kedudukan manusia
yang sebenarnya adalah sebagai wakil Allah di muka bumi ini. Artinya,
dengan kekuasaan yang dilimpahkan tuhan kepadanya, ia dituntut untuk
menjalankan wewenang Tuhan di dunia ini, dalam batas-batas yang
ditentukan oleh-Nya.51
Menurut pandangan Al Maududi, khilafah merupakan bentuk
pemerintahan manusia yang benar. Menurut pandangan Al Qur’an ialah
adanya pengakuan negara akan kepemimpinan dan kekuasaan Allah dan
Rasul-Nya dibidang perundang-undangan, menyerahkan segala kekuasaan
legislatif dan kedaulatan hukum tertinggi kepada keduanya dan meyakini
bahwa khilafahnya itu mewakili sang hakim yang sebenarnya yaitu Allah
swt. Kekuasaan-kekuasaannya dalam kedudukan ini terbatas, baik
kekuasaan yang bersifat legislatif, yudikatif maupun eksekutif.52
Didalam Al Qur’an menyebutkan :
50 Ibid, hlm. 280-281 51 Abul A’la Maududi, Hak Asasi Manusia Dalam Islam, Bandung : Pustaka, Cet. ke-1,
1976, hlm. 3 52 Abul A’la Al Maududi, Khilafah Dan Kerajaan : Evaluasi Kritis Ata Sejarah
Pemerintahan Islam, Muhammad Al-Baqir (penj), Bandung : Mizan, 1978, hlm. 63
53
وأنزلنا إليك الكتاب بالحق مصدقا لما بين يديه من الكتاب ومهيمنا قالح نم اءكا جمع ماءهوأه بعتلا تو ل اللهزا أنبم مهنيب كمفاح هليع
ومنهاجالكل جعلنا منكم شرعة
Artinya: “Dan telah kami turunkan kepadamu Al Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya (yakni kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya) dan sebagai batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap umat diantara kamu sekalian, kami berikan aturan dan jalan yang terang..” (Q. S. Al-Maidah : 48)
ا دلا يو قاس بالحالن نيب كمض فاحي الأريفة فلخ اكلنعا جإن وداو
مله بيل اللهس نلون عضي ينإن الذ بيل اللهس نع لكضى فيوبع الهتت
ووا يسا نبم يددش ذاباب عسالح م
Artinya: “Hai Daud, sesungguhnya kami menjadikan kamu khilafah (penguasa) di bumi, maka berilah keputusan perkara antara manusia dengan adil, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya oreang-orang yang sesat dari jalan Alah, maka bagfi mereka azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan ". (Q. S. Shaad : 26)
Doktrin tentang khilafah yang disebutkan didalam Al Qur’an Al
Karim ialah bahwa segala sesuatu diatas bumi ini berupa daya dan
kemampuan yang diperoleh seorang manusia, hanya karunia Allah swt.
Dan Allah menjadikan manusia dalam kedudukan sedemikian sehingga ia
54
dapat mnenggunakan pemberian-pemberian dan karunia-karunia yang
dilimpahkan kepadanya didunia ini sesuai dengan keridhoan-Nya. Hal ini
manusia bukanlah penguasa atau pemilik dirinya sendiri, tetapi ia hanyalah
khalifah atau wakil sang pemilik yang sebenarnya.
Allah berfirman dalam surat Al Baqarah : 30
ربك للملائكة إني جاعل في الأرض خليفةقال وإذ
Artinya : “Ingatlah, ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat-malaikat; “sesungguhnya aku akan menjadikan seorang khalifah dimuka bumi”…(Q. S. Al-Baqarah : 30)
Al Qur’an menyebut tentang pemberian khalifah (vice gerency)
dari Tuhan kepada orang-orang yang beriman dan beramal shalih sebagai
berikut :
وعد الله الذين آمنوا منكم وعملوا الصالحات ليستخلفنهم في الأرض
م ينالذ لفختا اسكم هملقب ن
Artinya: “Aku telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan beramal shalih, bahwa ia akan memberikan khilafah (menggantikan penguasa-penguasa yang ada) kepada mereka dimuka bumi sebagaimana ia telah memberikan khilafah itu kepada orang-orang sebelum mereka” (Q. S. An-Nur : 55)
Ayat ini melukiskan dengan jelas teori Islam tentang politik atau
teori Islam tentang negara. Dari ayat ini terdapat dua masalah fundamental
yang dapat diambil, yaitu ; Pertama, Islam mengambil kata “khilafah”
sebagai kata kunci, bukan kedaulatan atau yang lain karena kedaulatan
55
sesungguhnya hanya milik Allah. Dalam hal ini, siapapun yang memegang
kekuasaan sesuai norma dan hukum Tuhan, maka dengan sendirinya ia
menjadi khalifah (pengganti). Kedua, kekuasasn untuk mengatur bumi,
untuk memakmurkannya, untuk mengelola negara dan untuk
menyejahterakan masyarakat bukan kepada seseorang atau kepada kelas
tertentu.53
Kedua masalah fundamental diatas merupakan fondasi demokrasi
dalam Islam. Paling tidak ada empat prinsip yang dapat diturunkan dari
dua pengertian fundamental tersebut. Pertama, suatu masyarakat yang
setiap orang menjadi khalifah dan menjadi partisipan sederajat dengan
khalifah, perbedaan kelas sosial didasarkan pada keturunan sama sekali
tidak dibenarkan. Kedua, dalam masyarakat seperti ini tidak ada satu orang
pun atau satu kelompok yang akan menderita karena diskriminasi
berdasarkan keturunan, status sosial atau profesi. Ketiga, Islam tidak
memberikan kesempatan bagi berlangsungnya suatu kediktatoran karena
setiap orang adalah khalifah Tuhan. Keempat, dalam masyarakat dan
negara yang mematuhi Islam, setiap muslim yang sehat jiwa dan raganya,
baik pria maupun wanita berhak sepenuhnya untuk mengemukakan
pendapatnya (freedom to express his or her opinion)54
Khilafah merupakan lembaga pemerintahan dalam Islam. Arti kata
khilafah ialah “perwakilan”, pengganti atau jabatan khilafah. Khilafah
53 Ibid, hlm. 32 54 Ibid, hlm. 33-35
56
merupakan istilah yang muncul dalam sejarah pemerintahan Islam sebagai
institusi politik Islam.
Beberapa pendapat dari ulama klasik maupun kontemporer
diantaranya Ibnu Khaldun, beliau seorang sejarawan dan sosiolog Islam
menyatakan ; khilafah adalah tanggung jawab umum yang sesuai dengan
tujuan sejarah (hukum Islam) yang bertujuan untuk mewujudkan
kemaslahatan (kepentingan) dunia dan akherat bagi umat. Imam Al
Mawardi, tokoh fiqh dan politikus madzhab Syafi’i, berpendapat bahwa
khilafah bertujuan untuk mengganti fungsi kenabian guna memelihara
agama dan mengatur masalah dunia.55
Sedangkan negara khilafah Islam adalah negara yang didasarkan
kepada Islam, menerapkan hukum-hukum Islam dan mengemban Islam
keseluruh penjuru dunia.56
Sejarah timbulnya istilah khilafah bermula sejak terpilihnya Abu
Bakar As-Shidiq sebagai pemimpin umat Islam menggantikan Nabi
Muhammad s.a.w, sehari setelah Nabi Muhammad s.a.w, wafat. Kemudian
berturut-turut terpilih Umar Bin Al Khattab, Utsman Bin Affan Dan Ali
Bin Abi Thalib. Dalam hal khilafah sebenarnya hanya ada dua masalah
pokok, yaitu (1) Prosedur pengangkatan mereka sebagai pengganti Nabi
Muhammad s.a.w, dalam memimpin umat Islam, sementara Al Qur’an dan
As Sunnah, Nabi tidak memberikan penjelasan yang rinci terhadap hal ini.
55 Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996,
hlm. 918 56 Faid Wadjali, Politik Luar Negeri Khilafah Islamiyah, Dalam Jurnal Justisia Fakultas
Syari’ah IAIN Walisongo, Edisi 28 Th XIII 2005, hlm. 110
57
(2) Wewenang dan kekuasaan yang diatributkan kepada para pengganti
Nabi Muhammad s.a.w, tersebut.57
Dalam persoalan yang fundamental diatas Al Maududi
mempersoalkan kalau nanti dalam memerintah dan atau kehilangan
kepercayaan rakyat, maka rakyat dapat memecatnya. Menurut Al
Maududi, kehidupan bernegara umat Islam semasa Al Khulafa Al
Rasyidin betul-betul ideal. Hubungan antara pola pelaksanaan
pemerintahan dan rakyat demikian harmonis, diliputi oleh semangat
persaudaraan. Budaya konsultasi dan musyawarah amat menonjol dan
kebebasan menyatakan pendapat terjamin. Namun hal tersebut tidak cukup
didukung oleh kenyataan sejarah.58
4. Demokrasi dan Teo-Demokrasi
Dasar pemikiran politik Al Maududi sebenarnya tidak berbeda
dengan Hasan Al-Banna : kedua tokoh ini ingin menyampaikan kebenaran
Islam kepada masyarakat. Mereka juga menolak gagasan tentang perlunya
nasionalisme dan batasan geografis. Al Maududi dan Al Banna meyakini
Islam sebagai agama yang mengajarkan tentang hubungan antara manusia
dengan Tuhan, serta manusia dengan sesamanya. Tidak ada satu aspek
kehidupan yang tidak tercakup oleh ajaran Islam ; karena Islam adalah
sebuah petunjuk yang lengkap bagi kehidupan dan perbuatan. Segala
sesuatu diselesaikan dengan Al Qur’an, sunnah dan akal pikiran. Sikap ini
57 Ibid, hlm. 919 58 H. Munawir Sjadzali, Islam Dan Tata Negara., hlm. 169-171
58
terlihat pada penolakannya terhadap gagasan nasionalisme, demokrasi
barat dan partisipasi wanita dalam politik.59
Sesungguhnya hakekat dari demokrasi – berbeda jauh dengan
definisi terminologi akademis – adalah bahwa rakyat memilih orang yang
akan memerintah dan menata persoalan mereka, tidak boleh dipaksakan
kepada mereka penguasa yang tidak mereka sukai atau rezim yang mereka
benci, mereka diberi hak untuk mengoreksi penguasa bila keliru, diberi
hak untuk mencabut atau menggantinya. Inilah demokrasi yang
sebenarnya.
Menurut Al Maududi, konsep demokrasi dan dasarnya merupakan
anti tesis bentuk pemerintahan teokratis, monarkhis dan kepausan. Karena
menurut konsep-konsep barat modern, demokrasi merupakan filsafat
organisasi politik yang didalamnya ada anggapan bahwa rakyat memiliki
kedaulatan mutlak. Dalam demokrasi sekular barat, pemerintahan dibentuk
dan diubah dengan pelaksanaan pemilihan umum. Demokrasi kita juga
memiliki wawasan yang mirip, tetapi perbedaaannya terletak pada
kenyataan bahwa kalau didalam sistem barat suatu negara demokratis
menikmati hak kedaulatan mutlak, maka demokrasi kita kekhalifahan
ditetapkan untuk dibatasi oleh batas-batas yang telah digariskan oleh
hukum Ilahi.60
59 Achmad Jainuri, “Pemikiran Al Maududi Tentang Negara Islam”, Dalam Islam
Berbagai Perspektif Didedikasikan Untuk 70 Tahun Munawir Sjadzal, Kata Pengantar : Hasan Mu’arif Ambary, Yogyakarta : LPMI, Cet. ke-1, 1995, hlm. 183
60 Abul A’la Al Maududi, Hukum Dan Konstitusi Sistem Politik Islam, Drs. Asep Hikmat (penj), Bandung : Mizan, 1990, Cet. ke-1, hlm. 243
59
Maka dari itu, sangat tidak setuju dengan model demokrasi.
Menurutnya bentuk negara yang paling tepat dalam syari’at Islam ialah
sistem pemerintahan Teo-Demokrasi (Demokrasi Ilahi) maksudnya adalah
tatanan yang menaungi kaum muslim untuk mengemban kedaulatan rakyat
secara terbatas dibawah pengawasan Tuhan. Lebih jelasnya, bahwa dalam
pemerintahan Teo-Demokrasi, eksekutif dibentuk berdasarkan kehendak
umum kaum muslim, demikian pula berhak membubarkannya. Semua hal-
hal yang belum diatur secara jelas dalam syari’at diselesaikan berdasarkan
mufakat bulat dan konsensus dikalangan kaum muslim. Setiap muslim
yang potensial dalam menyelesaikan masalah-masalah hukum Islam diberi
hak untuk menginterpretasikan hukum itu. Dalam pengertian ini politik
Islam dapat disebut sebagai demokrasi.61
Al Maududi juga setuju dengan model teokrasi62, namun bukanlah
model teokrasi model Eropa yang pernah jaya. Karena ketika itu kelompok
pendeta diyakini sebagai suatu kelompok masyarakat khusus yang
melakukan dominasi terlalu berlebihan dalam kekuasaan dan menegakkan
hukum sendiri serta mengklaim atas nama Tuhan, akhirnya memaksakan
keilahian mereka sendiri atas rakyat. Sistem pemerintahan seperti ini justru
lebih bersifat Syaitaniyah (satanic) dari pada Ilahiyah (divine). Sedangkan
teokrasi yang dibangun Islam tidaklah dikuasai oleh kelompok keagamaan
61 Ensiklopedi Hukum Islam., hlm. 1156 62 Teokrasi : suatu bentuk pemerintahan dimana Tuhan (atau dewa) dianggap sebagai raja
atau penguasa yang tidak dapat diganggu gugat, dan hukumnya dijadikan sebagai undang-undang dasar negara tersebut. Undang-undang ini umumnya diselenggarakan oleh tatanan pendeta sebagai mentri-mentri dan oleh karenanya – secara bebas – teokrasi merupakan sistem pemerintahan oleh tatanan sekerdotal yang mengaku sebagai para perantara Ilahi.
60
manapun kecuali seluruh masyarakat Islam dari segala kelompok. Seluruh
penduduk muslim menyelenggarakan pemerintahan sejalan dengan
kitabullah dan praktek Rasulullah s.a.w, yang kemudian sistem ini disebut
sebagai Teo-Demokrasi, yaitu suatu sistem pmerintahan demokrasi Ilahi,
karena naungannya kaum muslim yang diberi kedaulatan rakyat yang
terbatas dibawah pengawasan Tuhan.63
Dari pendapat dasar yang rasional bagi Al Maududi, bahwa
kedaulatan rakyat itu terbatas dan tidak mutlak. Rakyat harus tunduk pada
hukum yang lebih tinggi atau dengan maksud prinsip supremasi syari’ah
yang memang sudah diyakini secara mendasaar sekali oleh setiap
muslim.64
Namun dalam menjalankan kekuasaan ini kaum muslim harus
berpedoman pada kitab Allah dan sunnah Rasul.65
5. Eksistensi Perempuan
Menurut Al Maududi tentang eksistensi perempuan adalah bahwa
para wanita tidak dapat dipilih, baik sebagai kepala negara maupun
sebagai pembuat undang-undang, karena “sesuai dengan Islam, tugas
politik dan pemerintahan bukanlah lapangan kegiatan kaum hawa”. Hak
mereka untuk memilih pun “harus memenuhi syarat-syarat dan setidak-
tidaknya untuk saat ini dengan standar pendidikan tertentu”. Tetapi harus
ada majlis tersendiri yang terdiri atas wanita-wanita dan dipilih oleh
63 Abul A’la Al Maududi, Hukum Dan Konstitusi., hlm. 159 64 Munawir Sjadzali, Islam Dan Tata Negara., hlm. 173 65 Asghar Ali Engineer, Devolusi Negara Islam, Imam Muttaqin (penj), Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 1984, Cet. Ke-1, hlm. 190
61
wanita saja, yang memiliki juga “hak penuh untuk mengupas masalah-
masalah yang berhubungan dengan kesejahtaraan umum negara".66
Beberapa kaum fundamentalis Islam menyatakan bahwa ikatan-
ikatan moral dan etis yang mengatur hubungan antara laki-laki dan
perempuan harus ditegakkan. Perempuan dimata kaum fundamentalis
harus memiliki peranan yang berbeda dalam keluarga dan masyarakat.67
Hasan Al Banna, ideologi yang sebenarnya tidak begitu radikal,
menegaskan akan asal-usul alamiah pembagian kerja menurut jenis
kelamin. Ia menyatakan bahwa “tempat perempuan adalah dirumah, dan
peranan utamanya adalah sebagai ibu, istri dan penjaga rumah”.
Pembaruan sosial antara laki-laki dan perempuan dilarang. Abul Al A’la
Al Maududi, menegakan bahwa salah satu hak asasi manusia adalah
penghormatan terhadap kesucian perempuan ; untuk menjaga kesucian,
perempuan harus ditempatkan dirumah dan memakai cadar. Demikian
juga Khomeini, pada tahun 1962, menyatakan bahwa memberikan
perempuan persamaan hukum dalam hal waris serta perceraian serta
memberikan kesempatan bagi perempuan untuk menjadi hakim
bertentangan dengan ajaran-ajaran Al Qur’an. Ia juga menyerukan para
ulama agar menyatakan penolakan atas persamaan hak bagi perempuan
dan masuknya (dekhalat) perempuan dalam kehidupan publik, karena
menurutnya, tanpa terhindarkan akan menyebabkan kerusakan moral.
66 Edwar Mortimer, Islam Dan Kekuasaan, Bandung : Mizan, Cet. ke-1, 1984, hlm. 190 67 Nurun Nisa’, dalam Haiden Moghissi :Menolak Fundamentalisme ( Islam ) Yang Tidak
Ramah Perempuan, Dalam Jurnal Justisia, Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, Edisi 29 th XIV/2006, hlm. 120
62
Kaum fundamentalisme menjadikan Al Qur’an sebagai satu-
satunya landasan hidup mengabsahkannya dalam sebuah tata perundangan.
Atas dasar itu, perempuan dipinggirkan dan di nomor duakan tanpa merasa
melakukan kekeliruan atau ketidak adilan. Mereka berdalih bahwa
demikianlah kodrat perempuan dalam Islam. Dalam teks-teks selalu
menyebut keunggulan laki-laki atas perempuan bukan sebaliknya.
Afirmasi ini semakin kuat dengan dukungan riwayat para sahabat.68
Diantara dasar teologis yang dijadikan rujukan adalah Q. S. An
Nisa’ : 34 yang berbunyi :
ل اللها فضاء بمسلى النون عامال قوجا الربمض وعلى بع مهضعب
ظ اللهفا حب بميلغل ظاتافح اتقانت اتحالفالص همالوأم نفقوا مأن
واللاتي تخافون نشوزهن فعظوهن واهجروهن في المضاجع
ه كان عليا كبريا تبغوا عليهن سبيلا إن اللواضربوهن فإن أطعنكم فلا
Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian yang lain (laki-laki) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu, maka wanita yang shaleh adalah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri dibalik pembelakangan suaminya. Oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuz-nya, maka nasehatilh mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur dan pukullah mereka. Kemudin jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkanny. Sesugguhnya Alah Maha Tinggi dan Maha Besar. (Q. S. An Nisa’ : 34)
68 Ibid, hlm. 121
63
Para ahli tafsir memberi penjelasan beraneka ragam tentang kata
qawwamun. Al Tabari menjelaskan bahwa laki-laki bertanggung jawab
dalam mendidik dan membimbing istri agar menunaikan kewajibannya
kepada Allah maupun terhadap suami. Ibn Abbas mengartikan dengan
pihak yang memiliki kekuasan atau wewenang untuk mendidik wanita. Al
Zamakhsari mengartikan kaum laki-laki berkewajiban melaksanakan amar
ma’ruf nahi munkar kepada wanita sebagaimana penguasa kepada
rakyatnya. Rasyid Ridha mengartikan sebagai pemimpin tetapi cara yang
dipilih bukanlah pemaksaan, melainkan bimbingan dan penjagaan.
Sedangkan Muhammad Asad mengartikannya hampir sama dengan Rasyid
Ridha tetapi wujud penjagaan tersebut meliputi fisik maupun moral.69
Islam merupakan suatu konsep yang menginginkan perubahan
dibidang I’tikad dan akhlak serta berbagai kondisi masyarakat dan pihak
penguasa. Apabila kegiatan keagaamaan bisa dianggap sebagai kegiatan
sosial, maka hal itu tidak lain karena gerakannya hanya terbatasa antara
individu dalam masyarakat. Adapun jika kegiatannya berbenturan dengan
kebijakan pihak penguasa, lalu mengambil sikap oposisi, maka dalam
istilah itu dianggap sebagai kegiatan politik.70
Fredda Hasan membagi sejarah perkembangan pengikut Nabi
Muhammad s.a.w, kedalam dua periode yaitu sejarah Islam (Islamic
History) dan sejarah muslim (Moslem History) atau Islam semu (Islamic
69 Mohammad Harir Muzakki, Tafsir Wanita : Sebuah Tinjauan Histories, Dalam Jurnal
Kajian Hukum Dan Sosial Justisia ISLAMICA, Jurusan Syari’ah STAIN Ponorogo, Vol.2/No.1/Jan-Juni 2005, hlm. 72-73
70 Abdul Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita, Jakarta : Gema Insani Press, 1999, hlm. 491-492
64
Speudo). Menurutnya, sejarah Islam yang terjadi pada masa pewahyuan Al
Qur’an dan masa Muhammad s.a.w merupakan tampilnya modal
perempuan muslim saat itu. Sedangkan pada masa sejarah muslim atau
Islam semu yaitu Islam diformulasikan untuk melegitimasi kepentingan
elit penguasa. Tegasnya, pada saat ini Islam membolehkan institusi
membatasi hak-hak perempuan dan membungkam suara mereka demi
kepentingan kelas feodal.71
Perbincangan tentang perempuan pada saat ini sangat komplek dan
seolah tidak pernah kering dari tema. Mulai dari urusan rumah tangga
sampai pada urusan sosial politik. Agama Islam tidak mengenal istilah
“pembedaan” dalam ranah apapun, Islam hanya mengenal sebuah relasi
“perbedaan” dalam kehidupan. “Pembedaan” dan “perbedaan” adalah
dua kata kunci untuk menjelaskan tentang diskriminasi tentang hak politik
perempuan ini. Istilah “pembedaan” merujuk pada pola pikir dan aktivitas
yang membedakan secara tegas fungsi dan peran perempuan dan laki-laki
diwilayah politik. Laki-laki dan perempuan memang dicipta dalam kondisi
berbeda tetapi hal itu bukanlah untuk mengalahkan atau meletakkan yang
lain pada posisi subordinat, tetapi sebagai penyeimbang serta pelengkap
atas kekurangan masing-masing.72
Ayat Al Qur’an yang sering dijadikan dalil untuk mendiskreditkan
perempuan dalam ranah politik jika dilihat dari sudut pandang Q. S. An
71 Harir Muzakki, Tafsir Wanita : Sebuah Tinjauan Histories ., hlm. 80 72 Hj. Aminah Sahal, Marjinalisasi Perempuan Diwilayah Politik, Dalam Jurnal Kajian
Hukum Dan Sosial JUSTITIA ISLAMICA, Jurusan Syari’ah STAIN Ponorogo, Vol.2/No.1/Jan-Juni 2005, hlm. 85-87
65
Nisa’ : 34. sedangkan jika melihat penafsiran yang tidak diskriminatif
yakni penafsiran pandangan hidup Al Qur’an “pembebasan” maka,
perempuan bisa menjadi pemimpin sesuai dengan ayat yang lain seperti
surat Al Taubah : 71
والمؤمنون والمؤمنات بعضهم أولياء بعض يأمرون بالمعروف وينهون
ولهسرو ون اللهيعطيكاة وون الزتؤيلاة وون الصيمقيكر ونن المع
زيزع إن الله الله مهمحريس كأولئ يمكح
Artinya: “Dan orang yang beriman, laki-laki dan perempuan sebagian mereka adalah awliya’ bagi yang lain, mereka menyuruh mengerjakan yang baik dan mencegah yang tidak baik, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah, sesunguhnya Allah Maha Perkasa lagi maha Bijaksana". (Q. S. Al Taubah : 71)73
Setiap muslim yang menjadi warga masyarakat senantiasa
mempunyai kedudukan tertentu dan berperan menurut kedudukannya.
Kedudukan dan peranan tidak mungkin dipisah-diceraikan, karena peranan
adalah aspek dinamis dari kedudukan. Tidak ada peranan tanpa kedudukan
dan tidak ada kedudukan tanpa peranan yang memberikan hak dan
kewajiban kepada orang yang bersangkutan.74 Hal ini tentunya
bersangkutan dengan peran dan kedudukan antara laki-laki dan
perempuan.
73 Ibid., hlm. 93-96 74 Prof. H. Muhammad Daud Ali, S. H, dan Hj. Habibah Daud, S. H, Lembaga-Lembaga
Islam Di Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo Persada, Cet. ke-1, 1995, hlm. 197
66
Sebagai salah satu tujuan pencitraan manusia adalah untuk
menyembah kepada Allah sebagaimana disebutkan dalam Q. S. Al-
Dhariyat : 56
وندبعيإلا ل سالإنو الجن لقتا خمو
Artinya: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan mereka menyembah-Ku". (Q. S. Al Dhariyat : 56)
Hal ini, kapasitas manusia sebagai hamba, tidak ada perbedaan
antara laki-laki dan perempuan. Keduanya mempunyai peluang yang sama
untuk menjadi hamba yang ideal. Dalam Al Qur’an biasanya diistilahkan
dengan orang-orang yang bertaqwa (muttaqin) dan untuk mencapai derajat
ini tidak dikenal adanya perbedaan jenis kelamin.75
Dalam teks ke-kinian, persamaan prinsip hak antara laki-laki dan
perempuan sebagaimana terkandung dalam piagam PBB, mengakui bahwa
setiap orang mempunyai hak untuk mengambil bagian dalam
pemerintahan negaranya, secara langsung atau secara tidak langsung
melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas, dan mempunyai hak serta
akses yang sama pada pelayanan publik dinegaranya, dan dengan maksud
75 Mardiyah Yunus, Perempuan Dalam Perspektif Gender (Upaya Memberdayakan
Dalam Segala Bidang), Dalam Jurnal Menara Tebuireng, Lembaga Pusat Pengkajian, Penelitian Dan Pengabdian Pada Masyarakat (LP4M) Institut Keislaman Hasyim Asy’ari (IKADA) Tebuireng, Jombang, Vol.1 No.2 Th 1, Maret 2005, hlm. 103
67
untuk menyetarakan status laki-laki dan perempuan dalam memperoleh
dan menjalankan hak-hak politik.76
Untuk menganalisis kondisi perempuan di Indonesia adalah
menggunakan perspektif agama, budaya dan keluarga. Ketiga faktor
tersebut, mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan konstitusi
masyarakat yang meneguhkan ideologi gender bias. Doktrin agama sering
kali dijadikan legitimasi untuk membenarkan tindakan tidak adil dan
bahkan tindakan kekerasan terhadap perempuan. Doktrin agama dianggap
sebagai sesuatu yang baku dan tidak bisa ditafsiri, sehingga posisi
marginal perempuan dalam agama dianggap takdir yang tidak dapat
diubah. Allah membebaskan manusia, laki-laki dan perempuan untuk
menampakkan citranya dalam diri mereka masing-masing tanpa
memandang jenis kelamin. Budaya ini membentuk struktur keluarga
dengan menempatkan laki-laki sebagai pemimpinnya.77
Islam mempraktekkan perempuan dalam posisi yang tinggi.
Beberapa pranata sosial Arab Jahiliyah yang diskriminatif, bahkan
cenderung tidak menghargai perempuan. Dalam bidang politik, banyak
wanita muslimah yang ikut dalam kegiatan tersebut. Seperti dalam
pertempuran, Ummu Aiman dan ‘Aisyah tercatat sebagai anggota regu
penolong korban yang terluka dan menyiapkan kebutuhan makan dan
minum pasukan. Dalam sejarah, banyak pula para wanita yang memimpin
76 DR. Muhadjir M. Darwin, MPA, Negara dan Perempuan Reorientasi Kebijakan
Publik, Yogyakarta : Kerjasama Graha Guru dan Media Wacana, 2005, hlm. 71 77 A. Nunuk P. Murniati, Getar Gender ( Perempuan Indonesia Dalam Prespektif Agama,
Budaya, Dan Keluarga), Yogyakarta : Adikarya IKAPI Magelang, 2004, hlm. V
68
negara sebagai kepala negara. Diantaranya Sajarat Al-Dar (Mesir),
Padishah Khatun (Dinasti Mogol), Sultanat Taj Al-Alam Safiafaddin Shah
(Aceh), Ratu Balqis, dan Megawati (Indonesia).78
D. Pemikiran Al Maududi Tentang Syura
1. Lembaga Pemerintahan Legislatif, Yudikatif, Dan Eksekutif.
Setelah diatas penulis menguraikan beberapa pokok mengenai Al
Maududi dari masalah biografi, aktifitas sosial politik, hingga pada
pemikiran-pemikirannya, yang berkenaan dengan konstitusi, demokrasi
dan Teo-Demokrsi, khilafah dan eksistensi perempuan, maka berikut ini
penulis akan mendeskripsikan pemikiran Al Maududi tentang kosep syura
dalam politik Islam, yang memang menjadi pokok bahasan dari sebuah
penelitian ini.
Berdasarkan perkembangan kehidupan Al Maududi, maka ia
mengartikan syura sebagai pelaksanaan musyawarah untuk memutuskan
segala persoalan yang berkaitan dengan kemaslahatan umat dalam
menjalankan sebuah negara dan pemerintahan. Musyawarah tersebut dapat
dilaksanakan oleh orang-orang yang telah dipercayai umat tentang ilmu,
ketaqwaan, amanat dan kejernihan pikiran mereka serta keahlian mereka
diberbagai bidang.79 Hal ini dianjurkan dalam Al Qur’an sebagai berikut :
78 Dra. Hj. Sri Suhanjati Sukri, Perempuan Sebagai Kepala Negara, Dalam Pemahaman
Islam Dan Tantangan Keadilan Gender, Edisi II, Yogyakarta : Pusat Studi Jender (PSJ) IAIN WS Dengan Gema Media, hlm. 114
79 Al Maududi, Khilafah Dan Kerajaan., hlm. 215-216
69
مهرأمومهنيى بورش
Artinya: “Dan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka. (Q. S. Asy Syura : 38)80
Demikianlah semua urusan mereka selalu dimusyawarahkan
diantara mereka. Ini bersifat umum meliputi semua urusan, tidak terbatas
pada sistem pemerintahan saja, juga meliputi seluruh urusan kaum
muslim.81
Menurutnya, setiap muslim haruslah dipandang mempunyai hak
untuk menduduki jabatan apapun dalam pemerintahan negara Islam tanpa
memandang ras, warna kulit ataupun kelas sosialnya.82
Lebih jauh lagi, untuk menjalankan tugas-tugas pemerintahan, Al
Maududi menunjuk tiga lembaga pemerintahan yaitu legislatif, yudikatif
dan eksekutif. Dimana masing-masing lembaga memiliki kekuasaan serta
fungsi sendiri-sendiri, demikian pula operasional dilapangan.83
Al Maududi juga menyatakan bahwa pembentukan lembaga
legislatif atau konsultatif, merupakan bagian terpenting dan dalam hal ini
sangat diutamakan. Ia menyamakan antara lembaga legislatif yang ada
didunia modern dengan lembaga konsultatif pada masa Nabi dan para
80 Q. S. Asy Syura : 38 81 Hussain Bin Muhammad Bin Ali Jabir, M. A, Menuju Jama’atul Muslimin, Telaah
Sistem Jama’ah Dalam Gerakan Islam, Aunur Rafiq Shaleh Tamhid (penj), Jakarta : Robani Press, Cet. ke-1, 1990, hlm. 69
82 Abul A’la Maududi, Hak Asasi Manusia Dalam Islam, Bandung : Pustaka, Cet. ke-1, 1985, hlm. 10
83 Achmad Jaenuri “Pemikiran Al Maududi Tentang Negara Islam” Dalam Islam Berbagai Perspektif., hlm. 192. Tiga lembaga ini lazim disebut Trias Politika (legislatif, eksekutif dan yudikatif) yang hal tersebut merupakan produk politik barat dan bagian dari sistem demokrasi. Lihat Munawir sjadzali, Islam Dan Tata Negara., hlm. 174
70
Khulafa Al Rasyidin yang disebut syura (konsultasi). Ini menjelaskan
bahwa menurut istilah Islam, lembaga legislatif ini bisa disamakan dengan
Ahl Al-Hal Wa Al ‘Aqd.84
Selain itu, bentuk pemerintahan yang paling benar untuk umat
manusia menurut Al Qur’an adalah suatu pemerintahan yang didalamnya
negara menempatkan undang-undang dasarnya dibawah hukum-hukum
Allah dan Rasul-Nya. Serta meletakkan kepala negaranya (khalifah)
dibawah pengawasan Allah, penguasa yang maha adil. Sehingga didalam
Hal ini, semua kekuasaan legislatif, eksekutif maupun yudikatif dari suatu
negara harus ditempatkan pada batasan-batasan dan sunah rasul.85
Sekalipun para yuridis sunni dengan gigih mempertahankan teori
tentang pemilihan, mekanismenya tetap tidak jelas. Siapa sebenarnya Ahl
Al Hal Wa Al ‘Aqd, dalam hal ini para yuris berbeda pendapat. Secara
umum, definisi yang diberikan Abduh sedikit membantu kita memahami
konsep yang kabur ini. Menurutnya Ahl Al Hal Wa Al 'Aqd adalah para
amir (penguasa militer daerah), para hakim, ulama, komandan-komandan
militer, dan semua penguasa dan pemimpin yang dijadikan rujukan oleh
umat dalam masalah kebutuhan dan urusan publik mereka. 86
Para teoretisi sunni menekankan watak pemilihan jabatan khalifah
dan bahwa fungi khalifah hanya brtindak sebagai eksekutif puncak umat.
Sekalipun berbeda mengenai beberapa jumlah orang yang menjadi dewan
pemilih yang efektif untuk mengangkat seorang khalifah, mereka
84 Ibid, hlm. 193 85 Abul A’la Al Maududi, Esensi Al Qur’an., hlm. 87 86 Ahmad Syafi’i Ma’arif, Islam Dan Masalah Kenegaraan., hlm. 30
71
berpegang teguh pada prinsip pemilihan. Orang-orang yang dipercayai
untuk memilih dan menasehati khalifah pada umumnya adalah orang-
orang yang berpengaruh dan disegani dalam masyarakat. Mereka disebut
orang-orang yang melepaskan dan mengikat (Ahl Al Hal Wa Al ‘Aqd).87
Berdasarkan terminologi fiqh “Ahl Al Hal Wa Al ‘Aqd” disebut
sebagai “lembaga penengah dan pemberi fatwa”. Cukup jelas bahwa suatu
negara yang didirikan dengan dasar kedaulatan Dejure Tuhan tidak dapat
melakukan legislasi yang bertolak belakang dengan Al Qur’an dan As
Sunnah, sekalipun konsensus rakyat menuntutnya.88
Legislasi dalam negara Islam juga dibatasi dalam batas-batas yang
ditetapkan oleh syari’at. Perintah-perintah Allah dan Rasul-Nya harus
dijunjung tinggi dan dipatuhi, tak satupun lembaga-lembaga legislatif yang
boleh melakukan perubahan-perubahan didalamnya, atau membuat hukum
yang bertentangan dengan hukum Allah dan Rasul-Nya.89
Legislatif dalam suatu negara memiliki sejumlah fungsi yang harus
dilakukannya, fungsi tersebut antara lain :
a. Jika terdapat pedoman-pedoman yang tidak jelas dari Tuhan dan
Rasulullah s.a.w, meskipun legislatif tidak dapat mengubah atau
menggantinya, maka maka legislatiflah yang kompeten untuk
menegakkannya dalam susunan dan bentuk pasal demi pasal sampai
serinci-rincinya.
87 Fazlurrahman, Cita-Cita Islam., hlm. 167 88 Abul A’la Al Maududi, Hukum Dan Konstitusi., hlm. 245 89 Abul A’la Maududi, Hak Asasi Manusia Dalam Islam.,hlm. 13
72
b. Jika pedoman-pedoman Al Qur’an dan As Sunnah mempunyai
kemungknan interpretasi lebih dari satu, maka legislatif lah yang
berhak memutuskan penafsiran mana yang ditempatkan dalam undang-
undang dasar. Hal ini legislatif harus mengumpulkan orang-orang
terpelajar yang memiliki kemampuan dan kapasitas untuk menafsirkan
persoalan tersebut.
c. Jika tidak ada isyarat yang jelas dalam Al Qur’an dan sunnah,
fungsinya adalah untuk menegakkan hukum-hukum yang berkaitan
dengan masalah yang sama, tentunya tetap menjaga jiwa hukum Islam.
d. Jika dalam masalah apapun Al Qur’an dan sunnah tidak memberikan
pedoman yang sifatnya dasar sekalipun atau masalah ini tidak ada
dalam konvensi Al Khulafa Al Rasyidun, maka harus mengartikan
bahwa Tuhan telah membebaskan kita melakukan legislasi mengenai
masalah ini menurut apa yang terbaik.90
Selanjutnya kita sampai pada lembaga eksekutif. Dalam suatu
negara Islam, tujuan sebenarbnya dari lembaga eksekutif adalah untuk
menegakkan pedoman-pedoman Tuhan yang disampaikan melalui Al
Qur'an dan As Sunnah serta menyiapkan masyarakat agar mengakui dan
menganut pedoman ini untuk dijalankan dalam kehidupan mereka sehari-
hari.91
Adapun orang yang memegang kekuasan lembaga eksekutif adalah
para pemimpin wilayah, panglima militer, penarik pajak, pengatur
90 Abul A’la Al Maududi, Hukum Dan Konstitusi, hlm. 246-247 91 Ibid, hlm. 247
73
keamanan dan semua aparat pemerintahan. Pada waktu itu aktivitas dalam
pemerintahan Islam diatur tanpa prosedur yang jelas. Seperti Yahya Ibn
Aktam, pernah ditugaskan di pengadilan dan pasukan militer disebagian
peperangan dan penguasan menjaga keamanan diwilayah perang dan
didaerah yang rawan. Yang sangat terpengaruh dengan kerancuan
kekuasaan peradilan ini dalam membantu kekuasaan lembaga eksekutif
dalam bidang hukum adalah kewibawaan pada kepribadian seorang
hakim.92
Karakteristik lembaga eksekutif suatu negara muslim inilah yang
membedakan dengan negara non-muslim. Kata Ulul-Amri dan Umara
digunakan masing-masing didalam Al Qur'an dan hadits untuk
menyatakan lembaga eksekutif. Berdasarkan Al Qur'an dan hadits, kaum
muslim diperintahkan untuk menaatinya dengan syarat bahwa lembaga
eksekutif ini menaati Tuhan dan Rasul-Nya.93 Al Qur'an menjelaskan :
وه عباتكرنا وذ نع هاغفلنا قلب نم عطال تطااوفر هركان امو ه
Artinya: "Dan janganlah kamu mentaati orang yang hatinya telah kami alpakan dari mengingat kami, orang yang hanya menuruti hawa nafsunya saja! Orang yang demikian itu telah melampaui batas" (Q. S. Al-Kahfi : 28)
نيرفسالم روا أميعطلا تون . وحلصلا يض وي الأرون ففسدي ينالذ
92 Abdul Wahab Khallaf, Politik Hukum Islam., hlm. 37-38 93 Op cit, hlm. 247
74
Artinya: "Dan janganlah kamu manaati perintah orang-orang yang melewati batas, yang membuat kerusakan dimuka bumi dan tidak mengadakan perbaikan. (Q. S. asy-Syu'araa : 151-152)
Setelah kita membahas tentang lembaga legislatif, eksekutif maka
selanjutnya pembahasan lembaga yudikatif. Rung lingkup lembaga
yudikatif (dalam terminology hukum Islam dikenal sebagai "qadha") juga
disiratkan maknanya oleh pengakuan atas kedaulatan dejure dari Tuhan
Yang Maha Kuasa. Ketika Islam menegakkan negaranya sesuai dengan
prinsip-prinsip abadinya, Rasulullah s.a.w sendirilah yang menjadi hakim
pertama negara tersebut dan beliau melaksanakan fungsi ini dengan sangat
selaras dengan hukum Tuhan.94
Dalam Islam, kekuasaan yudikatif tidaklah diletakkan dibawah
pengawasan eksekutif. Ia langsung memperoleh wewenangnya langsung
dari syari'at, dan bertanggung jawab langsung hanya kepada Allah.
Hakim-hakim yang ditunjuk oleh pemerintah, jika seorang hakim sudah
menduduki jabatannya ia harus melaksanakan peradilan sesuai hukum
Allah dengan cara yang tidak memihak.95
Dalam menjalankan roda pemerintahan yang ideal maka hubungan
antar lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif berbeda peranannya.
Tetapi, dibawah kepala negara. Ketiga lembaga tinggi negara ini berfungsi
secara terpisah serta mandiri satu sama lainnya.
Lembaga yang disebut Ahl Al Hall Wa Al 'Aqd bertugas untuk
memberikan nasehat kepada kepala negara mengenai masalah-masalah
94 Abul A'la Al Maududi, Hukum Dan Konstitusi., hlm. 248 95 Abul A'la Maududi, Hak Asasi Manusis Dalam Islam., hlm. 14
75
hukum, pemeritahan dan kebijaksanaan negara merupakan kesatuan yang
terpisah. Kemudian pejabat eksekutif bekerja langsung dibawah khalifah.
Pejabat eksekutif tidak mengurus masalah-masalah yudisial yang diurus
secara terpisah dan mandiri oleh para hakim (qadhi)96
2. Pemilihan Majlis Syura Dan Kriterianya.
Dalam melaksanakan administrasi negara, majlis permusyawaratan
berdampingan dengan kepala negara dimana kepala negara untuk
melaksanakan urusan negara tentunya harus berkonsultasi dengan majlis
permusyawaratan tersebut dalam batas-batas yang telah ditetapkan oleh
syari'at. Sedangkan warga negara atau rakyat mempunyai hak untuk
mengkritik pemerintahan, jika tidak sesuai atau terjadi penyelewengan
dalam menjalankan pemerintahannya, sehingga mencapai pemerintahan
yang sehat dan bersih (clean government)97
Didalam memilih ulil amri, harus diperhatikan beberapa hal untuk
dapat melaksanakan tatanan negara. Mengenai cara pemilihan anggota
Dewan Permusyawaratan (majlis syura) bahwa ada kesimpulan yang
keliru bahwa pada zaman khalifah anggota-anggota majlis
permusyawaratan ini tidak dipilih melalui pemilihan umum yang
terorganisasikan, maka tidak ada tempat bagi pemilihan umum dalam
Islam, dan siapa saja yang diminta musyawarah adalah tergantung
sepenuhnya kepada para khalifah itu sendiri. Kekeliruan itu disebabkan
96 Op cit, hlm. 249-250 97 Al Maududi, Pokok-Pokok Pandangan Hidup Muslim., hlm. 70-71
76
karena adanya kenyataan bahwa preseden-preseden dizaman itu diterapkan
kepada zaman modern tanpa menunjuk kepada kondisi-kondisi yang pada
saat itu tegas berlaku. Yang benar adalah bahwa kita harus menerapkannya
dengan merujuk kepada situasi dan kondisi yang saat itu ada.
Islam bangkit di Makkah sebagai suatu gerakan ideologis. Dan
gambaran keideologisan adalah bahwa orang-orang yang pertama
mengakui gerakan tersebut dianggap sebagai sahabat-sahabat dan rekan
sejati sekaligus sebagai para penasehat para pemimpin gerakan ini. Oleh
karenanya didalam Islam, orang-orang yang pertama-tama sekali
bersekutu dengan Rasulullah s.a.w dan gerakan beliau, secara alamiah dan
otomatis menjadi para penasehat beliau yang perlu diajaknya
bermusyawarah dalam semua kasus jika Al qur'an tidak atau belum
mengungkapkan perintah atau petunjuk yang jelas dan pasti. Tetapi, jika
kemudian darah baru yang dipadukan dengan batang tubuh politik Islam
untuk perjuangan melawan kekuatan lawan meningkat, orang-orang
mengabdikan diri melalui pengorbanan-pengorbanan, wawasan dan
hikmahnya secara alamiah menjadi terkemuka tanpa mereka sadari
melakukan usaha untuk menjadi terkemuka. Oleh karenanya, pemilihan ini
terlaksana bukan dengan cara pemungutan suara tetapi melalui ujian
praktek dan pelaksanaan kerja yang tak pelak lagi menjadi metode alamiah
yang handal.
Jadi, ada dua jenis kelompok orang yang menjadi angota majlis
permusyawaratan ini, yaitu : a) Orang-orang yang bersekutu dengan
77
Rasulullah s.a.w, sejak permulaan sekali. b) Orang-orang yang kemudian
menjadi terkemuka karena wawasan serta kemampuan mereka.
Setelah wafatnya Rasulullah s.a.w, secara alamiah rakyat
menganggap Al Khulafa Al Rasyidin merupakan orang-orang yang paling
diandalkan dalam masalah-masalah tersebut. Jadi, kedua kelompok orang
tersebut juga terpilih melalui proses seleksi alamiah dan secara otomatis
termasuk dalam majlis permusyawaratan didalam Negara dimana
pemegang eksekutifnya adalah pengganti Rasulullah s.a.w. Konvensi-
konvensi konstitusional yang mengatur agar calon-calon baru dijadikan
anggota-anggota majlis permusyawaratan karena pengabdian, pengalaman
dan atribut intelektual mereka yang unggul secara otomatis menerima
persetujuan publik. Inilah kelompok orang yang dikenal dengan nama Ahl
Al-Hall Wa Al-'Aqd.98
Jadi jelas pada zaman itu, orang-orang yang disebut sebagai Ahl
Al-Hall Wa Al-'Aqd secara terus menerus memegang kedudukan yang
sangat dipercaya selama jangka waktu lama dan dengan demikian diberi
hak untuk mengambil keputusan-keputusan bersama mengenai semua
masalah penting yang menyangkut umat. Oleh karenanya tidak ada alasan
yang masuk akal yang mengajukan bahwa khalifah dapat mengundang
musyawarah dari siapapun yang dikehendakinya dan behwa siapa
sebenarnya yang bertindak sebagai Ahl Al-Syura yang diberi hak untuk
98 Abul A'la Al Maududi, Hukum Dan Konstitusi, hlm. 259-262
78
memberi saran-saran kepadanya mengenai masalah-masalah penting yang
mempengaruhi hajat orang banyak, tidak diketahui secara umum.99
Hal ini Al Maududi menegaskan, ada beberapa persyaratan dalam
memilih orang-orang yang bertanggung jawab. Sifat-sifat tersebut adalah :
a. Mesti percaya pada prinsip-prinsip, yang dalam prinsip tersebut harus
mengendalikan segala urusan negara. Jelas sekali bahwa dalam sebuah
sistem ideologi tidak dapat berjalan dengan baik apabila dikendalikan
oleh orang-orang yang tidak memegang prinsip ideologi.
كمنر مي الأمأولول وسوا الريعأطو وا اللهيعوا أطنآم ينا الذها أيي Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasulmu dan ulil amri diantara kamu…(Q. S. an-Nisa : 59) b. Bukan orang kafir, lalim, otoriter, bahkan sebaliknya harus
mempunyai sifat jujur, dapat dipercaya, shaleh dan bertakwa kepada
Allah dan Rasul-Nya.
99 Disini timbul pertanyaan : mengapa Ahl Al Hall Wa Al-'Aqd hanya berisi orang-orang
Madinah saja, meskipun tapal batas Negara Islam ini telah meluas melewati Arabia, sampai ke Afghanistan di timur serta Afrika Utara di barat. Selama periode Al Khulafa Al Rasyidin dan mengapa para wakil setia dari berbagai bagian Negara tersebut diundang untuk tujuan ini? Jawabannya adalah bahwa hal ini disebabkan oleh dua alas an yang sah, yaitu : a) Negara Islam bukan sekedar Negara-bangsa saja. Negara Islam tercipta dengan cara yang
unik. Dengan melalui propaganda ideology Islam dalam diri serta moral orang-orang, maka terbentuklah suatu masyarakat ideal yang kemudian menjadi suatu Negara cita-cita. Dalam Negara semacam ini, wajarlah jika kiranya poros semua pengabdian tertuju kepada orang yang telah mengorbankan dan kemudian menuntaskan revolusi tersebut. Sesudah itu, lembaga sahabat-sahabat serta tangan kakanya kemudian menjadi penampung semua kepercayaan umum. Dengan demikian kepemimpinan semacam ini menjadi sangat alamiah dan tidak satupun orang lain dari kalangan masyarakat yang memiliki kemungkinan untuk memperoleh kepercayaan masyarakat dalam peringkat yang lebih tinggi dari itu. Inilah tepatnya yang menjadi alas an mengapa dibalik kebebasan mengemukakan pendapat yang benar-benar bebas – sekalipun dizaman tersebut – tak seorang pun yang mengeluarkan suara menantang pemilihan rakyat hanya hanya didasarkan atas kalangan Madinah untuk dimasukkan sebagai anggota majlis permusyawaratan.
b) Kedua, dalam kondisi yang kemudian ada, tidaklah mustahil jika diselenggarakan pemilihan umum diwilayah sepanjang Afghanistan sampai ke Afrika Utara, dan sesudahnya mengharapkan bahwa semua anggota permusyawaratan terpilih untuk dapat mengikuti semua rapat dengar pendapat.
79
نيرفسالم روا أميعطلا تون . وحلصلا يض وي الأرون ففسدي ينالذ
Artinya: "Dan janganlah kamu manaati perintah orang-orang yang melewati batas, yang membuat kerusakan dimuka bumi dan tidak mengadakan perbaikan. (Q. S. asy-Syu'araa : 151-152).
c. Terdidik, cerdas, bijaksana da sehat baik jasmani maupun rohani untuk
mengendalikan negara
ينوي الذتسل يأولو قل ه ذكرتا يمون إنلمعلا ي ينالذون ولمعي
الألباب
Artinya: "…Katakanlah : "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui. Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran"(Q. S. az-Zumar : 9)
d. Bersikap tulus, mengutamakan hati nurani dan mendapatkan legitimasi
rakyat, sehingga rakyat dapat mempercayakan amanatnya dengan
aman.100
اهللانا أ يمكرام نتؤالو اادم نتاىل ا هلاه
Artinya: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya….(Q. S. an-Nisa : 58)101
Kemudian secara garis besar, menurut Al Maududi untuk menjadi
kepala negara (eksekutif) dan majlis permusyawaratan (legislatif), ada
empat syarat yang harus dipenuhi. Syarat tersebut adalah sebagai berikut :
a. Harus seorang muslim
100 Al Maududi, Esensi Al Qur'an : Filsafat, Politik, Ekonomi Dan Etika., hlm. 88-89 101 Al Maududi, Khilafah Dan Kerajaan.,hlm. 69-72
80
كمنر مي الأمأولول وسوا الريعأطو وا اللهيعأط
"Hai orang –orang yang beriman! Taatilah Allah dan Rasul-Nya…(Q. S. an-Nisa : 59)
b. Seorang laki-laki
الرجال قوامون على النسآء
"Laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita" (Q. S. an-Nisa : 34)
c. Dalam keadaan dewas serta sehat jasmani dan rohani
ولا تؤتوا السفهاء أموالكم التي جعل الله لكم قياما وارزقوهم فيها
واكسوهم وقولوا لهم قولا معروفا
"Dan janganlah kamu serahkan pada orang-orang yang belum sempurna akalnya harta (mereka yang ada dalam kekusaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. (Q. S. an-Nisa : 5)
d. Harus sebagai warga negara dari negara Islam.102
والذين آمنوا ولم يهاجروا ما لكم من ولايتهم من شيء حتى
يهاجروا
"Dan mereka yang telah masuk Islam tetapi tidak berhijrah (ke negara mereka), tidak memperoleh perlindunganmu sampai mereka berhijrah (Q. S. al-Anfal : 72)
102 Abul A'la Al Maududi, Hukum Dan Konstitusi., hlm. 266-267
81
Jadi secara hukum, keempat kualifikasi ini bisa menentukan kelayakan
seseorang untuk menduduki jabatan kepala negara Islam atau badan
pertimbangan atau permusyawaratan103.
Demikianlah pemikiran Al Maududi tentang konsep syura
(musyawarah) dalam tatanan politik Islam, yang sudah barang tentu
dipengaruhi oleh sosio-politik dinegaranya Pakistan.
103 Prof. DR. H. Hasan Muarif Ambary, Islam Berbagai Perspektif., hlm. 192