wilayatul hisbah sebagai lembaga pelaksana...
TRANSCRIPT
1
WILAYATUL HISBAH SEBAGAI LEMBAGA PELAKSANA AMAR
MA‘RUF NAHI MUNKAR; STUDI HISTORIKEL WILAYATUL HISBAH
DALAM ISLAM
Oleh: Hasbullah, S.Sos.I., MA
NIDN: 2101077601 DOSEN INSTITUT AGAMA ISLAM AL-AZIZIYAH SAMALANGA
ABSTRAK
Hisbah merupakan suatu tindakan secara sukarela mengajak manusia untuk
bebuat ma’ruf dan menjahui mukar. Kebiasaannya tindakan ini muncul dari sosok
pribadi yang memiliki tanggungjawab moral terhadap kebaikan umat Islam
lainnya. Tugas ini telah mulai muncul sejak di zaman Nabi SAW. Biarpun di
zaman Nabi SAW tugas hisbah ini masih sangat terbatas sekali; hanya pada
pengawasan pasar terhadap pedagang-pedagang yang melakukan kecurangan
dalam perdangannya. Tugas hisbah ini terus mengalami kemajuannya pada masa-
masa pemimpin Islam setelah Nabi SAW. Khususnya pada periode kekhalifihan
setelah Nabi SAW, hisbah ini mencapai kemajuan yang sangat pesat. Pada
periode ini hisbah sudah mencakup di seluruh sendi-sendi kehidupan manusia. Di
samping itu juga, pada periode kekhalifahan inilah hisbah ini sudah menjadi
lembaga resmi negara yang bergerak di bidang amar ma’ruf nahi mukar. Pada
periode selanjutnya; yaitu periode tabiin tugas hisbah ini semakin menjadi pusat
perhatian oleh setiap pemimpin-pemimpin negara Islam. Namun demikian,
mekipun tugas hisbah di awal-awal Islam menjadi perioritas utama bagi setiap
kepala negara Islam, tetapi pada akhirya tugas yang mulia ini semakin tidak
begitu populer seperti di masa-masa kejayaan Islam. Disebabkan oleh kejayaan
dan kemakmuran yang dicapai oleh umat Islam sehingga membuat mereka terlena
dengan kehidupan keduniawian, pada gilirannya tugas amar ma’ruf nahi munkar
tidak lagi menjadi tugas utama umat Islam.
A. Pendahulan
Persoalan Wilayatul Hisbah adalah merupakan masalah lama dalam dunia
Islam. Namun, masalah Wilayatul Hisbah merupakan hal yang baru di Aceh.
Pertama, dikatakan lama karena aktivitas hisbah atau pengawasan dari pihak
pemerintah terhadap pelanggaran yang dilakukan masyarakat yang tidak sesuai
dengan Syari‘at Islam sudah mulai diterapkan semenjak masa kepemimpinannya
Nabi Muhammad saw ketika mendirikan kota Madinah, walaupun hisbah pada
masa itu hanya pada pengawasan pasal.
1
Ketika itu, kasus-kasus hisbah langsung diselesaikan oleh Nabi
Muhammad saw, meskipun pelaksanaan eksekusi hukumannya kadang-kadang
didelegasikan oleh para sahabat.1 Rasulullah saw bersabda:2
رضي اهلل عنه آن رسول اهلل صلي اهلل عليه وسلم مرعلي صربة من طعام فآدخل يده يةهروعن آيب
فيها فنالت آصابعه بلال, فقال: ما هذا يا صاحب الطعام؟ قال آصابته السماء يا رسول اهلل, قال:
رواه مسلم((آفال جعلته فوق الطعام كي يره الناس؟ من غش فليس مين
Artinya: Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw memeriksa satu tumpukan
beras, lalu Rasulullah saw memasukkan tangannya ke dalam tumpukan beras
tersebut, maka Rasulullah saw menemukan beras itu pada bagian bawah dalam
keadaan basah, lalu Rasulullah saw menanyakan pada pemiliknya, kenapa engkau
lakukan ini wahai pulan, maka ia menjawab beras ini telah tertimpa hujan,
kemudian Rasulullah saw menanyakan lagi, kenapa tidak engkau taruhkan yang
basah itu di bagian atas saja supaya terlihat oleh manusia? Siapa saja yang
melakukan kecurangan dalam perdangannya, maka ia bukan dari golonganku.
(HR. Muslim ra).
Mengingat orientasi pelaksanaan hisbah pada masa itu hanya terpusatkan
kepada pengawasan pasar, penertiban harga barang, sehingga istilah hisbah pada
waktu itu lebih dikenal dengan panggilan ShÉhib al-sËq (pengawas pasar) atau al-
‘Ómil fi al-sËq (petugas pengawasan di pasar).3
Al-Hisbah adalah suatu tugas keagamaan, dengan misi untuk menjalankan
amar ma‘ruf nahi munkar, mengajak, memerintahkan manusia untuk mengerjakan
1Hasnul Arifin Melayu, “Eksistensi Wilayat al-Hisbah dalam Islam” dalam Soraya Devy,
dkk, Politik dan Pencerahan Peradaban, (Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2004), h. 53.
2Ibnu Hajar al ‘Asqalany, Bulughu al maram min adillati al ahkam, (Jakarta: DÉr al-
Kutub al- islÉmiyyat, tt, ttp), h. 150.
3Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Al-Islam 2, (Semarang: Pustaka Rizki Putra,
1998), h. 349.
2
perbuatan yang baik dan melarang manusia dari berbuat jahat atau munkar. Tugas
ini merupakan tanggung jawab pemerintah yang wajib untuk dilaksanakan. Dalam
hal ini pemerintah, untuk terlaksananya misi ini serta terbebas atas tanggung
jawabnya, maka harus mengangkat dan memilih pejabat yang bertugas dalam
bidang ini orang-orang yang mempunyai suatu komitmen penuh untuk
membumikan Syari‘at Islam dalam setiap sendi-sendi kehidupan masyarakat.
Pejabat-pejabat hisbah ini bukan dari unsur-unsur manusia yang mudah ternodai
dengan politik suap-menyuap, dan tidak ada pilih kasih dalam menjalankan
tugasnya, semua masyarakat dipandang sama di mata hukum. Kehadiran pejabat
hisbah dalam masyarakat adalah untuk memberi bantuan kepada orang-orang
yang merasa telah terzalimi atau tertindas dari pihak-pihak lain.4
Kedua, pengawasan dari pihak pemerintah atau penguasa seperti demikian
dikatakan baru untuk Provinsi Aceh, karena munculnya lembaga Wilayatul
Hisbah adalah sebuah konsekuensi dari keinginan penerapan Syari‘at Islam di
Provinsi Aceh, serta lembaga Wilayatul Hisbah merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari pemberlakuan Syari‘at Islam di Aceh.5
Wilayatul Hisbah berfungsi sebagai badan yang diberikan hak dan
kewenangannya oleh Pemerintah Provinsi Aceh untuk mengontrol dan mengawasi
pelaksanaan Syari‘at Islam di tengah-tengah kehidupan masyarakat Aceh. Dalam
hal ini Wilayatul Hisbah memiliki kewenangan untuk menegur/menasehati setiap
pelanggar terhadap qanun-qanun Syari‘at Islam. Di samping itu, Wilayatul Hisbah
mempunyai kewenangan pula untuk menyerahkan perkara pelanggaran qanun
Syari‘at Islam tersebut kepada aparat penyidik apabila upaya peneguran/nasehat
yang dilakukan tidak bermanfaat.6 Dari satu sisi kehadiran Wilayatul Hisbah
4A. Rahmat Rosyadi, M. Rais Ahmad, Formalisasi Syari‘at Islam Dalam Perspektif Tata
Hukum Indonesia, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2006), hlm. 61.
5Muhibbuththabary, Wilayat al-Hisbah di Aceh …, h. 80-81.
6Dinas Syari‘at Islam Aceh, Himpunan Undang-Undang, Keputusan Presiden, Peraturan
Daerah/Qanun, Instruksi Gubernur, Edaran Gubernur Berkaitan Pelaksanaan Syari‘at Islam,
3
sudah sangat tepat, namun di sisi lain masih memunculkan berbagai persoalan.
Persoalan itu meliputi masalah konsepsional dan teori hukum yang dianut dan
masalah aplikasinya,7 yaitu sampai sekarang belum ada sebuah rencana kongkrit
yang telah diambil pemerintah Provinsi Aceh mengenai badan Wilayatul Hisbah
ini.8
Secara teoritis kehadiran institusi Wilayatul Hisbah sudah sangat tepat
dalam rangka menegakkan amar ma‘ruf nahi munkar, namun secara praktis,
kenyataan-kenyataan riil di lapangan menunjukkan bahwa institusi Wilayatul
Hisbah belum mampu meminimalisir terhadap bermacam-macam praktek
pelanggaran qanun-qanun Syari‘at Islam.9
Kalangan ulama juga menilai pengawas Syari‘at Islam dalam hal ini
Wilayatul Hisbah belum berfungsi secara maksimal. Dengan kata lain penerapan
Syari‘at Islam masih terkesan lamban. Hal ini dapat diketahui dari hasil Rumusan
Muzakarah Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) se Aceh di Banda Aceh.
Dalam hal ini MPU Aceh menyatakan di bidang akhlak bangsa telah terjadi
kemerosotan yang ditandai dengan korupsi, pergaulan bebas, zina, perampokan,
dan perjudian. Kondisi ini terjadi akibat menurunnya keteladanan pemimpin
masyarakat, lemahnya penegakan hukum, tidak berfungsinya lembaga-lembaga
sosial seperti lembaga adat, lembaga Wilayatul Hisbah. Peran orang tua dalam
rumah tangga juga membawa akibat makin cepatnya kemerosotan akhlak
bangsa.10
Edisi ke Tujuh, (Banda Aceh: LITBANG dan Program Dinas Syari‘at Islam Aceh, 2009), h. 497-
498.
7Muhibbuththabary, Wilayat Al-Hisbah …, h. 4.
8Al Yasa‘ Abubakar, Bunga Rampai Pelaksanaan Syari‘at Islam, Pendukung Qanun
Pelaksanaan Syari‘at Islam, (Banda Aceh: Dinas Syari‘at Islam Aceh, 2009), hlm, 80-81.
9Juhari, “Peran Wilayatul Hisbah Dalam Menegakkan Dakwah Struktural di Kota Banda
Aceh” dalam Muslim Zainuddin, dkk, Agama dan Perubahan Sosial Dalam Era Reformasi di
Aceh, (Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2004), h. 120-121.
10Dokumentasi: Kantor Majelis Ulama Kota Banda Aceh (MPU).
4
Idealnya ketika masyarakat Provinsi Aceh memiliki wewenang untuk
menerapkan Syari‘at Islam dengan disahkan Undang-Undang Nomor 44 Tahun
1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh,
sebagai payung hukum untuk memberlakukan Syari‘at Islam11 di Aceh, bagi
pihak-pihak atau lembaga-lembaga yang mempunyai otoritas dalam penerapan
Syari‘at Islam di Aceh terutama sekali lembaga Wilayatul Hisbah, tidak
mendapat kendala apapun dalam mengimplementasikan butir-butir dari undang-
undang tersebut. Tetapi kenyataannya, Syari‘at Islam yang usianya sudah
mencapai sembilan tahun semenjak diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada
Provinsi Aceh ini pada tanggal 1 Muharram 1423 Hijriyah atau bertepatan dengan
Tanggal 14 Maret 2002, sampai saat ini belum nampak wujudnya secara
sempurna dalam tatanan kehidupan masyarakat Aceh.
Berangkat dari permasalahan-permasalahan itulah penulis tertarik untuk
meneliti suatu masalah tentang amar ma‘ruf dan nahi munkar ditinjau dari aspek
hak dan kewenangan yang dilimpahkan kepada Wilayatul Hisbah di Provinsi
Aceh.
B. Sejarah Wilayatul Hisbah Dalam Islam
11Syari‘at Islam secara etimologi bermakna jalan menuju mata air. Secara terminologi
Syari‘at Islam dipahami sebagai aturan Tuhan yang bersifat sakral yang termuat dalam al-Qur’Én
dan al-HadÊts. Syari‘at mengandung seperangkat aturan yang mengatur hubungan manusia dengan
Tuhan, hubungan manusia dengan sesama, dan hubungan manusia dengan alam dan
lingkungannya. Fazlurrahman memahami syari‘at dalam arti jalan kehidupan yang baik, berupa
nilai-nilai agama yang diungkapkan secara fungsional dalam makna yang kongkrit. Lihat Syahrizal
Abbas, Syari‘at Islam di Aceh, Ancangan Metologis dan Penerapannya, (Banda Aceh: Dinas
Syari‘at Islam Provinsi Aceh, 2009), h. 9.
Selain dari pengertian syari‘at yang telah dijelaskan di atas, ada tiga pengertian lainnya
yang terdapat dalam literatur hukum Islam. Pertama, syari‘at dalam artian sesuatu yang telah abadi
tidak berubah sepanjang masa. Kedua, syari‘at dengan maksud sumber hukum Islam baik yang
tidak berubah sepanjang masa maupun sumber hukum yang berubah. Ketiga, syari‘at dengan
makna hukum-hukum yang digali dari al-Qur’Én dan al-Sunnah yaitu hasil interprestasi manusia
dari nass. Lihat Hasan Basri Elbi, Metode Dakwah Islam, Kontribusi Terhadap Pelaksanaan
Syari‘at Islam di Provinsi NAD, (Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2006), h. 66.
5
Sebelum dijelaskan tentang sejarah Wilayatul Hisbah dalam Islam, maka
perlu digambarkan sedikit tentang sistem pemerintahan di fase-fase awal Islam,
karena tugas hisbah ini merupakan bahagian yang tidak terpisahkan dari sistem
pemerintahan Islam. Sistem pemerintahan yang terjadi fase-fase awal Islam
terbagi ke dalam beberapa periode, di antaranya sebagai berikut:
1. Periode Rasulullah saw
Sejarawan pada umumnya menyatakan bahwa Rasulullah saw mendirikan
pemerintahan ditandai dengan penerbitan piagam Madinah. Piagam Madinah ini
menurut para pakar Islam merupakan konstitusi modern tertua sepanjang
sejarah.12 Dari Komunitas keagamaan di Madinah inilah kemudian lahir sebuah
negara Islam yang lebih besar.13 Lahirnya Piagam Madinah yang diperkirakan
kurang dari dua tahun setelah Nabi tinggal di Madinah menurut Philip K. Hitti
seperti dikutip oleh Muh. Zuhri, membuktikan bahwa Nabi selain telah berhasil
mengadakan konsolidasi dan negosiasi dengan berbagai suku dan kelompok-
kelompok di Madinah, Ia juga sebagai pemimpin tunggal yang mengatur
kehidupan sosial politik mereka. Sejalan dengan itu Pickthal seperti dikutip Muh.
Zuhri menyatakan; Nabi Muhammad saw selain menjalankan fungsinya sebagai
nabi, ia juga seorang pemimpin, serta telah menetapkan dan mengatur
kepentingan umum sebagai undang-undang negara (the constitution of the state).14
Dari masyarakat inilah Nabi Muhammad saw menciptakan suatu kekuatan
sosial-politik dalam sebuah Negara Madinah. Hal yang pertama dilakukan oleh
Nabi saw di Madinah dalam rangka pembentukan sebuah negara adalah membuat
Piagam Madinah tersebut. Piagam yang berisi 47 pasal ini memuat peraturan-
12Muh. Zuhri, Potret Keteladanan Kiprah Politik Muhammad Rasulullah, (Yogyakarta:
LESFI, 2004), h. 69.
13Philip K. Hitti, History Of The Arabbs; From The Earliest Times To The Present, trj R.
Cecep Lukman & Dedi Slamet Riyandi, History Of The Arabs, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta,
2008), h. 151.
14Muh. Zuhri, Potret Keteladanan …, h. 43.
6
peraturan dan hubungan antara komunitas dalam masyarakat Madinah yang
majemuk.15
Pada masa ini, sistem administrasi pemerintahan yang diterapkan oleh
Nabi Muhammad saw sangat sederhana; tidak ada pemilihan atau pembagian
kekuasaan sebagaimana yang tergambar dalam lembaga yudikatif, eksekutif,
legislatif, dewan pertimbangan, dan lembaga pemeriksa keuangan negara seperti
yang terjadi di masa sekarang ini. Nabi Muhammad saw adalah penguasa tunggal,
di zaman Nabi Muhammad saw kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif
berada satu atap yaitu di bawah kekuasaan Nabi Muhammad saw secara mutlak.
Di masa itu pula belum pernah ada pembicaraan tentang batas masa jabatan
kepemimpinannya seseorang. Nabi Muhammad saw juga tidak pernah
mengangkat menteri untuk kabinet kekuasaannya.16
Dalam kaitannya dengan masalah Wilayatul Hisbah, pada masa Nabi
Muhammad saw pernah diangkat petugas yang secara khusus menjadi pengawas
bagi pasar Makkah untuk mencegah kecurangan-kecurangan yang dilakukan.17 Di
antara para sahabat yang pernah mendapatkan perintah tugas hisbah ini adalah
seperti Said al-‘As ibn ‘Umayyah untuk mengawasi kegiatan perniagaan di kota
Makkah setelah yawm al-futh (hari penaklukan Makkah), ‘Usman ibn al-‘As
untuk wilayah Thaif dan ‘Umar bin Khattab diberi kewenangan untuk memantau
dan mengawasi perniagaan di Madinah. ‘Ali bin Abi Thalib ditugaskan
menghancurkan seluruh berhala serta bangunan kuburan di Madinah. Rasulullah
saw juga pernah melantik seorang perempuan yang bernama Samra’ binti Nahik
al-Asadiyah untuk menjalankan aktivitasnya tentang hisbah ini.18
15Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah, Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Gaya
Media Pratama, 2007). h, 33.
16Muh. Zuhri, Potret Keteladanan …, h. 61.
17Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, Penegakan Syari‘at Dalam Wacana
dan Agenda, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), h. 57.
18Imam Muslim, Sahih Muslim, Bab al-Iaman, (Riyad: Dar al-Salam, 1998). h. 52.
7
Dari uraian di atas dapat dipahami tugas-tugas hisbah sudah di mulai sejak
kepemimpinan Rasulullah saw di Madinah. Hal ini dapat diketahui dengan adanya
penugasan-penugasan beberapa orang sahabat Nabi Muhammad saw untuk
mengawasi kecurangan-kecurangan yang terjadi di dalam perniagaan ke beberapa
daerah-daerah tertentu.
2. Periode Khulafa’h al-Rasyidin
Pada periode ini yang menjadi khalifah pertama setelah Nabi adalah Abu
Bakar. Sistem kepemerintahan Abu Bakar tidak jauh perbedaannya dengan sistem
pemerintahan di masa Nabi Muhammad saw.19 Dalam masa enam bulan pertama
pemerintahannya Abu Bakar melakukan perjalanan bolak-balik dari tempat ia
tinggal (al-Sunh) yang sederhana dengan isterinya, Habibah ke kota Madinah.
Abu Bakar walaupun sebagai pejabat tinggi negara tetapi tidak menerima gaji
sedikit pun dari negara. Semua urusan negara ia kerjakan di Serambi Masjid Nabi
saw dengan tanpa mengharap apa pun dari negara karena negara saat itu dalam
kondisi kosong dari pemasukan.20 Dengan demikian dapat dipahami sistem
pemerintahan pada masa Abu Bakar tidak jauh bedanya dengan sistem pemerintah
di masa Nabi Muhammad saw. Dengan kata lain, Abu Bakar di samping sebagai
kepala pemerintahan ia juga sebagai kepala urusan keagamaan.
Sistem ketatanegaraan seperti di atas mulai mempunyai banyak perubahan
ketika ‘Umar bin Khattab menjabat sebagai khalifah. Walaupun pada awal-awal
kekhalifahan ‘Umar bin Khattab masih juga mengikuti sistem kepemimpinan
yang telah diterapkan oleh Khalifah Abu Bakar. Namun, ketika ‘Umar bin
Khattab merasakan kondisi politik negara telah stabil, jumlah masyarakatnya pun
bertambah meningkat, maka pada saat itulah ‘Umar bin Khattab mulai merintis
19M. Hasbi Amiruddin, Republik ‘Umar bin Khattab, (Yogyakarta: Total Media, 2010), h.
50.
20Philip K. Hitti, History Of The …, h. 218.
8
kebijakan-kebijakan baru dalam pemerintahannya. Kebijakan-kebijakan ‘Umar ini
yang kemudiannya dikenal dengan sistem kenegaraan yang cenderung bersifat
republik.21
Di antara kebijakan-kebijakan ‘Umar adalah membuat pemisahan
kekuasaannya kepada tiga institusi; yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Ketiga-ketiga lembaga yang punya kekuasaan ini dalam teori politik modern
diistilahkan dengan Trias politica, yaitu kekuasan eksekutif; kekuasaan
menjalankan undang-undang; kekuasaan legislatif; kekuasaan untuk membuat
undang-undang; yang terakhir kekuasaan yudikatif; kekuasaan untuk mengadili
atas pelanggaran undang-undang.22 Salah satu bukti kongkrit keseriusan ‘Umar
bin Khattab dalam memunculkan lembaga peradilan ‘Umar telah mengangkat
Abu al- Darda’ sebagai qazdi (hakim) untuk kota Madinah, Syuraih sebagai hakim
Kufah, dan Abu Musa al-‘Asy‘ari hakim Basrah. Sedangkan untuk Mesir, setelah
negeri ini dibebaskan untuk kaum muslimin, ‘Umar mengangkat sebagai qazdi-
nya Qais bin al-‘As al-Sahmi. Tugas dari qazdi ini adalah memutuskan segala
perkara yang diajukan masyarakat kepadanya. Para hakim ini diberikan kebebesan
seluas-luasnya untuk memutuskan semua perkara menurut pertimbangan
pemikirannya masing-masing asalkan tidak keluar dari batas-batas Kitabullah dan
Sunnah RasulNya.23
Hal yang serupa pernah disebutkan oleh al-Imam Abu Yusuf dalam
kitabnya al-Kharraj, seperti dikutip oleh Yusuf al-Qardhawy; ‘Umar bin Khattab
ra pernah mengangkat Ammar bin Yasir sebagai imam salat dan sekaligus
komandan perang, kemudian mengangkat Abdullah bin Mas‘ud menjadi hakim
dan mengurus Baitul-mal, dan mengangkat ‘Utsman bin Hunaif menangani
pembagian tanah. Pada periode pemerintahan di bawah ‘Umar bin Khattab para
21M. Hasbi Amiruddin, Republik ‘Umar …, h. 50.
22M. Hasbi Amiruddin, Republik ‘Umar …, h. 49.
23Muhammad Husain Haekal, Al-Faruq ‘Umar, trj Ali Audah, ‘Umar bin Khattab,
(Bogor: Pustaka Lintera Antar Nusa, 2000), h. 667-668.
9
pegawai telah diberi gaji termasuk ketiga-ketiga pegawai pemerintahan ini
diberikan gaji atau honorium harian dalam bentuk seekor kambing yang diambil
dari Baitul-mal dengan pembagian sama rata ketiga-ketiganya.24
Di antara kebijakan ‘Umar yang sangat penting dalam sejarah perjalanan
fiqih politik ialah kebijakan terhadap orang-orang Nasrani Bani Taglib, suatu
kabilah yang jumlahnya sangat banyak dan sangat kuat di kalangan Bangsa Arab
waktu itu, dan mereka menolak untuk membayar jizyah,25 tetapi mau membayar
zakat. Sedangkan menurut ‘Umar mereka wajib membayar jizyah, kemudian
‘Umar mengajak mereka untuk bermusyawarah, lalu terjadilah kesepakatan
bersama antara ‘Umar dengan Bani Taglib, bahwa mereka harus membayar zakat
dengan nilai dua kali lipat.26
Dalam kebijaksanaan administrasi pemerintahan daerah, ‘Umar
menerapkan sistem desentralisasi yakni memberikan otonomi seluas-luasnya bagi
24Yusuf al-Qardhawy, al-Siyasat al-Syar‘iyyah trj Kathur Suhardi, Pedoman Bernegara
Menurut Perspektif Islam, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1999), h. 110.
25Jizyah adalah pungutan harta yang dikeluarkan atas setiap kepala. Kata jizyah itu
diambil dari kata al-jaza;balasan, yaitu dapat bermakna balasan atas kekafiran mereka dengan
mewajibkan jizyah itu bagi mereka sebagai penghinaan atas kekafiran mereka. Atau, sebagai
balasan atas keamanan yang kita berikan kepada mereka dengan mengambil jizyah tersebut dari
mereka secara senang hati. Lihat Yusuf al-Qardhawy, al-Siyasat …, h. 110.
Dasarnya adalah firman Allah swt,
وا آجلزية عن يد و هم قاتلوا الذين ال يؤمنون باهلل و الباليوم اآلخر و الحيرمون ما حرم اهلل ورسوله و ال يدينون دين احلق من الذين آتوا آلكتاب حيت يعط .صاغرون
Artinya,
Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula kepada hari
kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya,
dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan
al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam
keadaan tunduk. (QS, al-Taubah, 29). Lihat Imam al-Mawardi, al-Ahkam al-Sultaniyyah wa al-
Wilayat al-Diniyyah, (Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1996), h. 251.
26Yusuf al-Qardhawy, al-Siyasat …, h. 136-137.
10
pemerintahan daerah untuk mengatur, mengelola daerahnya masing-masing tanpa
interpensi pemerintah daerah, menetapkan dasar-dasar sistem pengelolaan negara
atau mengatur manajemen kenegaraan, sangat memperhatikan kemaslahatan
rakyat dan melindungi segala haknya. ‘Umar juga menanamkan semangat
demokrasi, baik dikalangan rakyat maupun para pejabat negara. Dari
kebijaksanaan politik yang dirintis ‘Umar ini dapat dikatakan bahwa masa
pemerintahan Umar adalah suatu masa di puncak kejayaan negara Madinah.27
Pada masa kekhalifahan ‘Umar banyak melakukan perubahan-perubahan
struktur pemerintahan, di antaranya adalah mendirikan lembaga-lembaga
pemerintahan yang mengurus kepentingan masyarakat. Lembaga-lembaga
tersebut dinamakan dengan diwan-diwan (departemen-departemen), salah satu
diwan yang dibentuk oleh ‘Umar adalah Diwan al-Hisbah. Untuk menjalan tugas
ini, ‘Umar mengangkat Sa’ib Ibn Yazid dan ‘Abdullah Ibn ‘Utbah sebagai
muhtasib di Madinah. Dalam menjalankan tugasnya, sÉhib al-suq (muhtasib)
diperbantukan oleh Diwan al-Ahdath (Departemen Kepolisian) yang tugas
utamanya adalah menjaga stabilitas keamanan. Ini menunjukkan bahwa
terbentuknya lembaga al-hisbah secara sistematis adalah di masa kekhalifahan
‘Umar.28 Karena perhatiannya yang besar terhadap masalah hisbah, ‘Umar ra
lebih terkenal dalam hal ini dibandingkan dengan khalifah lain, sehingga sebagian
orang mengira bahwa beliau orang yang pertama yang membahas tentang hisbah
ini.29 Memang benar tersistematika lembaga hisbah ini di masa kekhalifahan
‘Umar. Akan tetapi, badan ini baru terkenal di masa al-Mahdi (158-169 H).30
27Sirajuddin, Politik Kenegaraan Islam, Studi Pemikiran A. Hasjmy, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007), h. 43.
28Muhibbuththabary, Wilayat al-Hisbah …, h. 58-59.
29Jaribah bin Ahmad Al-Haritsi, al-Fiqh al-Iqtishadi li Amar al-Mukminin ‘Umar Ibn al-
Khatthab, trj Asmuni Solihan Zamakhsyari, Fikih Ekonomi ‘Umar bin al-Khathab, (Jakarta:
Khalifa, 2006), h. 587-588.
30Topo Santoso, Membumikan …, h. 57.
11
Masa kekhalifahan ‘Umar bin Khattab selain banyak melakukan inovasi-
inovasi diinternal pemerintahannya, Ia juga banyak mengambil kebijakan-
kebijakan yang bersifat eksternal, berupa penaklukan untuk menjalankan Syari‘at
Islam. Pada masa pemerintahan ‘Umar bin Khattab banyak daerah-daerah yang
dapat ditaklukkan oleh umat Islam, misalnya: (1) penaklukan Suriah (637 M). (2)
penaklukan Palestina (637 M), kedua kota tersebut masih dalam kekuasaan
kekaisaran Bizantium pada ketika itu, Kemudian serangan demi serangan terus
dilanjutkan sehingga dalam peperangan Yarmuk pasukan Arab dapat menguasai
Bizantium secara total. (3) penaklukan Damaskus (637 M), kota Damaskus ini
juga dalam tahun yang sama mengalami keruntuhan. (4) penaklukan Turki (637
M). (5) penaklukan Irak (637 M). Walaupun Irak telah mulai ditaklukkan sebelum
‘Umar bin Khattab, namun puncak kemenangan umat Islam diraih dalam masa
pemerintahan ‘Umar bin Khattab yaitu dalam petempuran Qadisiya yang
bertepatan dengan tahun 637 M. (6) penaklukan Iskandariah (639 M), Iskandariah
ini menyerah di bawah kepemimpinan ‘Umar bin Khattab dua tahun setelah
penaklukan Damaskus. (7) penaklukan Mesir (642 M). Pasukan Arab kian hari
semakin bertambah solid dan tangguh, sehingga bertepatan dengan tahun 639 M,
pasukan ini telah memasuki Mesir yang pada saat itu masih di bawah kekuasaan
Bizantium juga. Dengan kegigihan pasukan-pasukan Arab ini sehingga tiga tahun
kemudian Mesir (642 M) sudah berada dalam kekuasaan umat Islam.31
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, terdapat dua keunggulan
kebijakan politik kekhalifahan ‘Umar bin Khattab. Pertama, keunggulan kebijakan
politik dalam negeri. Keunggulan di bidang ini dapat diketahui dengan
terbentuknya badan pengawasan atau badan hisbah (badan pengontrol) terhadap
masyarakat dengan sistematis atau terorganisir. Kedua, keunggulan politik luar
negeri, dapat diketahui dengan banyaknya daerah-daerah yang dapat ditaklukkan
oleh pasukan Islam di masa kekhalifahan ‘Umar bin Khattab.
31M. Hasbi Amiruddin, Republik ‘Umar …, h. 29-30.
12
Sistem kepemimpinan ‘Umar ini kemudian dilanjutkan oleh Khalifah
‘Utsman bin ‘Affan. Dalam hal hisbah ‘Utsman juga melimpahkan tugas ini
kepada orang lain. Khusus di bidang pengawsan pasar ‘Utsman mengangkat al-
Harits Ibn al-‘Ash sebagai muhtasibnya. Demikian juga pada masa kekhalifahan
‘Ali bin Abi Thalib, wewenang hisbah ini dilimpahkan kepada pegawai-
pegawainya untuk pengawasan dalam traksaksi jual-beli di pasar-pasar Kota
Madinah ‘Ali bin Abi Thalib melantik Awrad Ibn Sa‘ad sebagai pengawasnya.32
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam periode Khulafa’h al-
Rasyidin paling banyak perubahan-perubahan atau kebijakan pemerintahan
tentang hisbah adalah pada masa khilafah ‘Umar bin Khattab. Karena dalam
struktur kepemerintahan Umar bin Khattab telah terjadi pemisahan antara
kekuasan eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
3. Periode Dinasti Umaiyah dan Dinasti Bani ‘Abbasiyah
Pada periode Dinasti Umaiyah tugas hisbah ini semakin mendapat
perhatian di hati khalifah, sehingga ketika Dinasti Bani Umaiyah ini dipimpin
oleh Khalifah Walid Ibn Abdul Malik sering ia sendiri yang melakukan inspeksi
ke pasar-pasar untuk memeriksa harga-harga barang. Tugas inspeksi pada masa
Dinasti Umaiyah ini terus dikembangkan dan ditingkatkan sehingga ketika Dinasti
Umaiyah dipimpin oleh Hisyam Ibn Abdul Malik sistem pengawasan pasar ini
semakin terorganisir dan terstruktur dengan rapi. Artinya tugas pengawasan pasar
di masa ini dilimpahkan kepada pihak lain, disamping dilaksanakan oleh khalifah
itu sendiri. Dalam hal ini Hisyam Ibn Abdul Malik mengangkat Daud Ibn ‘Ali Ibn
Abdullah sebagai pejabat pengawasan pasar di Iraq. Sejak masa inilah, istilah
shahib al-suq atau ‘amil fi al-suq berganti nama dengan al-hisbah (pengawasan)
dan muhtasib artinya petugas atau pengawas.33
32Muhammad Husain Haiekal, al-Faraq …, h. 668.
33Muhammad Abdul Qadir Abu Fariz, Sistem Politik Islam, (Jakrta: Rabbani Press, 2000),
h. 221-222.
13
Pengawasan dari pihak pemerintahan seperti ini terus dipertahankan
hingga kemasa kejayaan Bani ‘Abbasiyah; Khalifah Abu Ja‘far al-Mansur untuk
menjaga kelanggengan tugas hisbah ini melantik Abu Zakaria Yahya Ibn Adullah
Sulaiman al-Ahwal menjadi petugas hisbah kota Kufah.34
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, tugas hisbah atau pengawasan
dari pihak pemerintah terhadap anggota masyarakat yang melakukan kecurangan-
kecurangan sudah mulai terlihat di masa Nabi Muhammad saw, namun
pengawasan pada masa itu hanya terfokus pada pengawasan pasar. Tugas
pengawasan ini terus dilanjutkan dan dikembangkan oleh pemimpin-pemimpin
setelah Nabi Muhammad saw.
C. Dalil-Dalil Amar Ma‘ruf Nahi Munkar
Pelaksanaan amar ma‘ruf dan nahi munkar memiliki landasan yang sangat
kuat baik dalam Al-Qur`an maupun dalam al- Sunnah.
Allah swt berfirman: 35
و لتكن منكم آمة يدعون اىل اخلري ويآمرون باملعروف و ينهون عن املنكر وآوالئك هم املفلحون
Artinya: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma‘ruf dan mencegah dari yang munkar,
mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS. 3: 104).
Kata-kata min dari lafad minkum dalam ayat di atas mempunyai dua
makna, Pertama min li tajrid; artinya min yang tidak mempunyai makna apa-apa
(kosong dari mana). Berdasarkan makna min seperti demikian, maka jadilah
makna ayat di atas adalah: supaya kamu semua menjadi suatu umat yang menyeru
kepada kebaikan. Adapun makna min yang kedua li tab‘id; artinya sebagian, maka
ayat di atas mempunyai maknanya adalah: hendak adalah sebagian kamu satu
34Muhammad Ikbal, Fiqh SiyÉsah …, h. 60.
35Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum …, h. 265.
14
kelompok atau satu barisan yang kuat, berani, dan solid yang menyeru kepada
kebaikan, memerintahkan yang ma‘ruf dan mencegah dari yang munkar.36
Adapun menurut peneliti, makna min dalam ayat di atas lebih cenderung
kepada makna yang kedua (tab‘id), dikarenakan makna min yang kedua ini
makna dasar bagi kata-kata min.
Allah swt berfirman: 37
كنتم خري آمة آخرجت لناس تآمرون باملعروف وتنهون عن املنكر وتؤمنون بلله
Artinya: Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang ma‘ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman
kepada Allah swt. (QS. 3: 110).
Ungkapan Al-Qur`an di atas menunjukkan bahwa umat Islam tidak
dilahirkan ke alam ini untuk dirinya sendiri, melainkan ia dilahirkan untuk umat
manusia lainnya; untuk menunjuki manusia setelah ia mendapat petunjuk Allah
swt; memberi manfaat kepada manusia; memperbaiki manusia setelah ia baik
dengan iman dan amal salih dan mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada
cahaya.38 Oleh karena itu, umat terbaik dalam konteks pembahasan ini adalah
setiap umat Islam yang mempunyai kepedulian terhadap kebaikan manusia
lainnya.
Adapun Sunnah-Sunnah yang menyatakan tentang amar ma‘ruf nahi
munkar juga amat banyak, di antaranya hadis-hadis yang terdapat dalam al- Kutub
36Yusuf al-Qardhawy, Madkhal Lima’rifati al-Islam, Muqawwimatuhu, Khasaisuhu,
Ahdafhuhu, Mashadiruhu, trj Setiawan Budi Utomo, Pengantar Kajian Islam, Studi Analistik
Komprehensif Tentang Pilar-Pilar Subtansi, Karakteristik, Tujuan dan Sumber Acuan Islam,
(Jakarta: Pustaka al-Kausar, 2000), h. 341.
37Ibn Taimiyyah, al-Amr wa Nahy ‘an al- Munkar, trj Abu Ihsan Al-Atsari, Amar Ma‘ruf
Nahi Munkar, (Solo: At-Tibyan, 2002), h. 15.
38Yusuf Al-Qardhawi, Madkhal Lima’rifati al-Islam …, h. 340.
15
al- Sittah seperti dikutip oleh Sayyid Muhammad bin Muhammad al-ZabÊdiyyi,
pertama;39
؟ قال صلي اهلل عليه وسلم غا الر ر وكا اآل و ورد السالم قالوا و ما حق الطريق يا رسول اهلل
واآلمر باملعروف و النهي عن املنكر
Artinya: Mereka (para sahabat) bertanya; Apa sajakah hak jalan itu wahai
Rasulullah? Nabi menjawab; menahan pandangan, meniadakan gangguan,
menjawab salam, menyerukan yang ma‘ruf dan mencegah yang munkar. (HR.
Abu Sa‘id al- Khudri ra.
Dari hadis di atas dapat disimpulkan bahwa setiap umat Islam memiliki
tanggung jawab untuk mengajak umat Islam lainnya untuk mengerjakan
perbuatan ma‘ruf, dan mempunyai wewenang untuk mencegah munkar bila ia
mengetahuinya.
Kedua;40
و ال ينكرون منكرا و يرقي شرار الناس يف خفة الطري وآحالم السراع ال يعرفون معروفا
Artinya: Maka manusia-manusia jahat berada dalam keringanan burung
(kelicikan) dan impian binatang buas (kerakusan), mereka tidak mengenal yang
ma‘ruf dan tidak mengingkari yang munkar.
Dari hadis di atas dapat disimpulkan bahwa orang-orang yang menyia-
nyiakan tugas amar ma‘ruf dan nahi munkar adalah termasuk orang-orang yang
berada dalam kerugian.
Ketiga;41
ن املنكرليس منا من ال يرحم صغرينا و مل يوقر كررينا و يآمر باملعروف وينه ع
39Muhammad bin Muhammad al- ZabÊdiyyi, ’IttihÉf al-SÉdat al-MuttaqÊn, juz delapan,
(Beirut: DÉr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), h. 11.
40Sayyid Muham bin Muhammad al- ZabÊdiyyi, ’IttihÉf al-SÉdat …, h. 11
. 41Sayyid Muham bin Muhammad al- ZabÊdiyyi, ’IttihÉf al-SÉdat …, h. 15.
16
Artinya: Bukan dari golongan kami mereka yang tidak menyayangi anak-anak
kami dan tidak menghargai orang tua kami, serta tidak menyerukan kema‘rufan
dan tidak pula mencegah kemungkaran. (HR. ‘Abdullah Ibnu ‘AbbÉs) ra.
Dari hadis di atas dapat dipahami, agama Islam merupakan agama yang
sangat peduli terhadap orang lain. Oleh karena demikian, umat Islam mempunyai
tanggung jawab untuk memperbaiki saudaranya dari kesalahan yang mereka
lakukan, juga mempunyai tanggung jawab terhadap kemungkaran yang mereka
kerjakan. Umat Islam mempunyai wewenang untuk menegur, menasehati, dan
memerintahkan sesuatu perbuatan yang baik, juga memiliki kewenangan untuk
malarang perbuatan munkar yang dilakukan oleh umat Islam lainnya.
Allah swt menjadikan amar ma‘ruf dan nahi munkar sebagai pembeda
antara orang-orang beriman dan munafiq. Ini menunjukkan bahwa melakukan
amar ma‘ruf nahi munkar merupakan salah satu ciri-ciri khusus orang-orang yang
beriman. Inti dari amar ma‘ruf nahi munkar itu adalah mengajak orang lain untuk
memeluk agama Islam.42 Justeru karena misi inilah Allah mengutuskan para nabi.
Jika aktivitas amar ma‘ruf nahi munkar tidak ada orang yang memperdulikannya,
maka syiar kenabian akan hilang, agama pun akan hilang, kemaksiatan di mana-
mana, kesesatan membudaya, kebodohan akan merajalela, negeri akan rusak, yang
akhirnya masyarakat pun akan rusak secara keseluruhannya.43
Amar ma‘ruf nahi munkar selain dari salah satu bentuk misi kenabian,
konsep amar ma‘ruf nahi munkar ini juga sebagai salah satu tonggak penting
ajaran Islam. Sehingga oleh kelompok Mu‘tazilah memasukkan konsep ini dalam
salah satu pokok-pokok yang lima (al- Usul al-Khamsah). Sedangkan kelompok
Syi‘ah menggolongkannya sebagai bagian dari rukun Islam. Bagi mereka amar
ma‘ruf nahi munkar merupakan salah satu pembahasan pokok dalam kitab-kitab
fiqihnya. Adapun Ahlu al-Sunnah wa al-Jama‘ah walaupun tidak menjadikan
42Muhammad Ahmad ar-Rasyid, al-Muntalaq, trj Abu Sa‘id al- Falahi, Titik Tolak:
Landasan Gerak Para Aktivis Dakwah, (Jakarta: Robbani Press, 2005), h. 104-105.
43Al-Ghazali, IhyÉ’ ‘UlËm …, h. 265.
17
salah satu bahan pokok dalam kitab-kitab fiqihnya, namun kitab-kitab hadits
mereka mempunyai pembahasan khusus tentang masalah ini.44
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, salah satu dari cabang iman
adalah melaksanakan amar ma‘ruf dan nahi munkar. Dapat dikatakan umat Islam
yang mengabaikan tugas amar ma‘ruf dan nahi munkar adalah orang-orang yang
belum sempurna keimanannya. Selain itu, akan terjadi kerusakan di dalam dunia
Islam jika tugas amar ma‘ruf dan nahi munkar telah ditinggalkan oleh seluruh
umat Islam itu sendiri. Islam sangat memusuhi kepada penganut-penganutnya
yang tidak mementingkan kebaikan-kebaikan atau kepentingan orang lain. Islam
sangat membeci orang-orang yang hanya memikirkan kepentingan atau kebaikan
pribadinya sendiri.
Dengan demikian, Wilayatul Hisbah dalam konteks pelaksanaan Syari‘at
Islam di Aceh memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan amar ma‘ruf yaitu
menerapkan qanun Syari‘at Islam di bidang aqidah, ibadah, dan syi‘ar Islam.
Selain itu, Wilayatul Hisbah mempunyai kewenangan dalam aspek pada nahi
munkar yaitu untuk mencegah terjadinya pelanggaran-pelanggaran qanun Syari‘at
Islam di bidang khamar (minuman keras), maisir (perjudian), dan khalwat
(mesum).
D. Hukum dan Syarat-Syarat Amar Ma‘ruf Nahi Munkar
Amar ma‘ruf nahi munkar merupakan kewajiban yang harus dijalankan
oleh setiap umat Islam. Kewajiban disini maksudnya, setiap umat Islam
mempunyai tanggung jawab moral dan memiliki nilai amanah yang akan diminta
pertanggungjawaban kelak terhadap apa yang diperintahkan Allah, yaitu
44Muhammad Wahyuni Nafis (ed), Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam, (Jakarta,
Paramadina: 1996), h. 170-171.
18
tersebarnya ajaran Islam dan berkembangnya perbuatan ma‘ruf serta hilangnya
segala bentuk kemungkaran di tengah kehidupan manusia.45
1. Hukum amar ma‘ruf nahi munkar
Amar ma‘ruf nahi munkar diwajibkan bukan hanya kepada kaum laki-laki
saja, tetapi kaum perempuan pun tanpa terkecuali; mereka juga akan mendapat
celaan, ancaman orang-orang yang menyepelekan tugas amar ma‘ruf nahi munkar
ini. Namun syarat melaksanakan amar ma‘ruf nahi munkar bagi aktivis muslimah
adalah mereka yang mampu melaksanakannya. Adapun kemapuan ini mencakup:
a) Mereka paham dan mengerti terhadap apa saja yang mereka
perintahkan dan yang mereka larang, walaupun kepada mereka tidak
dituntut memahami syari‘at secara keseluruhan.
b) Mereka secara pasti sanggup melaksanakan amar ma‘ruf nahi munkar.
Artinya, mereka mampu memberi penerangan dan penerangannya
dapat mempengaruhi orang lain, serta di dukung oleh kondisi, dan
situasi terhadap aktivitas mereka.
c) Mereka melaksanakan amar ma‘ruf nahi munkar bagi kalangan mereka
sendiri. Karena terkesan kurang baik keberadaan kaum perempuan
sendirian dalam majelis laki-laki untuk menyuruh dan melarang
mereka. Kecuali dalam keadaan darurat yang membolehkannya.
d) Dalam melaksanakan amar ma‘ruf nahi munkar tersebut tanpa tujuan
apa-apa selain mengharap ridha Allah swt. Artinya, mereka harus
melapangkan dadanya ketika menghadapi bermacam-macam tantangan
dan cobaan daripada perjuangan mereka dalam menegakkan kebenaran.
e) Mereka agar mengetahui bahwa jika dalam melaksankan amar ma‘ruf
nahi munkar mendapat ancaman atau gangguan, maka dalam hal ini
sebahagian besar ulama berpendapat; bagi mereka diperbolehkan untuk
tidak melanjutkan tugasnya melaksanakan amar ma‘ruf nahi munkar.
45Alwahidi Ilyas, Manajemen Dakwah, Kajian Menurut Perspektif Al-Qur’Én, (Banda
Aceh: Pustaka Pelajar, 2001), h. 89-90.
19
Bagi mereka dalam kondisi seperti ini cukup hanya mencegah munkar
dalam hatinya saja, dan mereka ini tidak termasuk dalam golongan
orang-orang yang melalaikan tugas amar ma‘ruf nahi munkar, sebab
mereka selalu mencita-citakan kapan saja situasi dalam keadaan
normal, artinya mendukung untuk tugas yang mulia ini, mereka tetap
akan melanjutkannya.46
Sebahagian syarat-syarat yang harus dipahami dan tidak boleh dilanggar
oleh orang-orang yang mengingkari suatu perbuatan munkar adalah:
a) Seseorang tidak boleh mengingkari sesuatu perbuatan munkar yang
oleh para ulama belum sepakat perbuatan itu dinamakan munkar.
Maka seseorang tidak boleh dengan gegabah melakukan amar ma‘ruf
nahi munkar sebelum ia mempelajari benar hal itu perbuatan munkar.
b) Meyakini orang yang melakukan perbuatan munkar tersebut tidak akan
semakin bertambah suka atas kejahatannya yang ia lakukkan.
c) Tidak akan menimbulkan fitnah yang lebih besar dengan sebab peritah
dan larangan tersebut.
d) Tidak akan menimbulkan kemungkaran lain yang lebih besar dari
kemungkaran yang telah terjadi.
e) Seseorang yang melakukan amar ma‘ruf nahi munkar; menemukan
kemungkaran itu bukan dengan mencari-carikannya.47
2. Syarat-syarat amar ma‘ruf nahi munkar.
Sesungguhnya syarat pelaksanaan amar ma‘ruf nahi munkar mempunyai
empat syarat; pertama muhtasib (orang yang menjalankan tugas amar ma‘ruf nahi
munkar); kedua muhtasab ‘alayh (orang yang menjadi sasaran amar ma‘ruf nahi
46Ali Abdul Halim Mahmud, al-Mar’at al-Muslimah wa Fiqh al-Dakwah Ilallah, trj Ulis
Tofa, dan Hidayatullah, Fiqih Dakwah Muslimah, Buku Pintar Aktivis Muslimah, (Jakarta:
Robbani Press, 2003), h. 274.
47Sayyid Muhammad, al-Wahdat al-Islamiyyah, trj Ali Yahya, Persatuan Islam, (Jakarta:
Lentera Baristama, 1997), h. 51-52.
20
munkar); ketiga muhtasab fih (objek amar ma‘ruf nahi munkar); ke empat nafs al-
Ihtisab (kegiatan amar ma‘ruf nahi munkar).48
a) Muhtasib
Muhtasib adalah orang yang melakukan amar ma‘ruf nahi munkar, untuk
menjadikan seseorang muhtasib disyaratkan padanya orang mukallaf, muslim, dan
sanggup melaksanakan amar ma‘ruf nahi munkar.49
b) Muhtasab ‘alayhi
Muhtasab ‘alayhi yaitu sasaran tujuan amar ma‘ruf nahi munkar, yang
menjadi syarat utamanya adalah dia seorang manusia, dan tidak disyaratkan
mukallaf.50
c) Muhtasab fih
Muhtasab fih atau objek hisbah adalah perbuatan munkar yang sedang
terjadi; diketahuinya tanpa melalui pengintaian, dan perbuatan tersebut jelas
munkar tanpa memerlukan ijtihad untuk menjelaskan sisi kemungkarannya.51
d) Nafs al-Ihtisab
Maksud dengan nafs al-ihtisab adalah kegiatan amar ma‘ruf nahi munkar
itu sendiri.52 Ihtisab ini mempunyai tingkatan dan adab-adabnya tersediri.
Tingkatan ihtisab ini yang pertama sekali ta‘arruf artinya mencari tahu
kemungkaran, walaupun ta‘arruf ini dilarang, namun dibolehkan ta‘arruf kepada
orang yang adil untuk memberikan informasi tempat-tempat terjadi kemungkaran.
Kedua mengingatkan, karena terkadang orang yang mengerjakan munkar itu
48Al-Ghazali, Mukhtasar Ihya ‘Ulum al-Din, trj Irwan Kurniawan, Mutiara Ihya’ ‘UlËm
al-DÊn, (Bandung: Mizan, 1998), h. 176.
49Al-Ghazali, Mukhtasar Ihya …, hal. 270.
50Al-Ghazali, Mukhtasar Ihya…, h. 283.
51Muhammad bin Muhammad al-Zabidyyi, Ittihaf al-Sadat …, h. 69.
52Muhammad bin Muhammad al-Zabidyyi, Ittihaf al-Sadat …, h. 85.
21
dalam keadaan lupa. Ketiga melarangnya dengan cara menasehati, dan menimbul
rasa takut kepada kemarahan Allah. Keempat memaki dengan kata-kata yang
kasar, namun dalam hal ini dibolehkan tetapi apabila tidak ada cara lain kecuali
dengan cara tersebut, dan tidak boleh mengucapkan kata-kata dusta. Kelima,
merubah kemungkaran itu dengan tangannya, seperti memecahkan alat-alat
permainan, menumpahkan arak, dan lain-lain. Tingkat ini di benarkan apabila
tidak ada jalan lain untuk memaksakan pelaku munkar tersebut, dan jangan
melampaui batas kewajaran.53
3. Amar ma‘ruf nahi munkar oleh pemerintah atau penguasa
Pemerintah merupakan lembaga yang memiliki wewenang penuh untuk
melaksanakan amar ma‘ruf nahi munkar dengan tangannya, artinya dengan
kekuasaannya. Ia sebagai aparatur penegak hukum; penentu kebijakan, dan berhak
menindak dan memaksakan masyarakatnya untuk tegaknya amar ma‘ruf nahi
munkar di lingkungannya.
E. Metode Amar Ma‘ruf Nahi Munkar
Kemungkaran harus dilenyapkan di atas bumi ini, namun dalam
mengaplikasikannya tidak boleh dengan sikap-sikap arogan atau secara sekaligus,
tetapi sesuai dengan ketentuan-ketentuan ajaran Islam. Ada tiga cara menolak
kemungkaran. Hadis Rasulullah saw:54
من رآو منكم منكرا فليغريه بيده فان مل يستطع فرلسنه فان مل يستطع فرقلره و لك آضعا االميان
Artinya: Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran hendaknyalah ia
mengubah dengan tangannya. Jika ia tidak mampu hendaklah dengan lisannya.
Dan jika tidak mampu juga hendaklah dengan hatinya, dan demikian itu adalah
selemah-selemah iman. (HR. Muslim).
53Al-Ghazali, Ihya ‘Ulum …, h. 284-286.
54Al-MundhirÊ, Al-Targhib wa al-Tarhib, (Makkah: DÉr al-Baz, 1986), h. 223.
22
Mencegah munkar dengan tangan maksudnya dengan kekuatan hanya
dipundakkan atas orang-orang yang memiliki otoritas atau kewenangan untuk
melarang atau menyuruh sesuatu, dan mempunyai kewenangan untuk menindak
bila tidak mengindahkan perintah atau larangannya. Cara kedua mencegah
munkar dengan lisan; cara ini dikhususkan kepada ulama-ulama syari‘at; orang
yang mengetahui; memiliki pendapat yang kuat, dan kokoh pendiriannya serta
merasa aman atas dirinya, hartanya, dan keluarganya ketika melaksanakan tugas
mulia ini. Mencegah munkar dengan hati adalah kepada orang-orang yang tidak
berkemampuan seperti itu. Mereka harus menanamkan rasa benci dalam hatinya
terhadap kemungkaran yang ia ketahui ataupun ia lihat, meskipun cara ini
termasuk dalam selemah-lemah iman.55 Imam al-Ghazali menjelaskan beberapa
metode amar ma‘ruf dan nahi munkar, sebagai berikut:
a) Menjelaskan kebaikan dan kemungkaran. Tahap ini tidak perlu minta
izin kepada imam/pemimpin dan wakilnya.
b) Nasehat dengan tutur kata yang lembut. Tahap ini juga tidak butuh
minta izin kepada imam atau wakilnya.
c) Bersikap tegas. Artinya, berani menyalahkan orang yang berbuat
kemungkaran dan menganggap mereka sebagai orang yang sedikit
takutnya kepada Allah atau termasuk orang fÉsiq. Hal ini juga tidak
dibutuhkan izin kepada imam atau wakilnya, karena ini adalah
perkataan yang benar, dan kebenaran berhak untuk diutarakan. Perihal
boleh bersikap tegas kepada pelaku kemungkaran dengan tanpa harus
minta izin dulu kepada imam atau wakilnya ini, Imam al-Ghazali
beralasan; kebiasaan generasi salaf dalam melaksanakan amar ma‘ruf
nahi munkar kepada pemimpin mereka sendiri, membuktikan
kesepakatan mereka perihal tidak butuhnya meminta izin kepada
imamnya, bahkan bagi setiap penyeru kebaikan. Jika pemimpin rela
menerima usaha perbaikan, itu lebih baik; namun jika mereka menolak
55Sayyid Muhammad, Al-Wahdat …, h. 51.
23
perbaikan, maka penolakan tersebut adalah kemungkinan itu tersendiri
yang harus diingkari.
d) Mencegah dengan kekuatan. Artinya, mencegah pelaku kemungkaran
dari imam atau wakilnya, seperti orang yang mengambil baju curian
dari tangan perampas dan mengembalikan kepada pemiliknya.
e) Memukul pelaku kemungkaran sehingga dapat mencegah dirinya
dalam melakukan tindakan kemungkaran. Hal ini kadang biasa
menyulut peperangan dari kedua belah pihak, dan karena itu wajib
minta izin dahulu kepada imam atau wakilnya, sehingga tidak
terjerumus ke dalam fitnah permusuhan di antara manusia.56
Dalam menentukan batasan kemungkaran sebagian ulama syari‘at berkata;
kemungkaran yang harus dicegah adalah setiap kemungkaran yang jelas-jelas itu
kemungkaran tanpa perlu diteliti kembali, juga kemungkaran yang sedang terjadi
sekarang ini bukan kemungkaran-kemungkaran di masa yang lalu. Ungkapan
tersebut kalau kita pahami dengan cermat, mengandung empat syarat sehingga
perilaku munkar bisa dikatakan kemungkaran:
a) Kemungkarannya disebutkan atau dijelaskan oleh syari‘at;
b) Terjadi pada waktu sekarang. Artinya, tidak boleh mengingkari
kemungkaran yang telah lewat, atau kemungkinan belum terjadi;
c) Kemungkaran tersebut diketahui dengan jelas oleh orang yang
mengingkari, tanpa harus diselidiki. Oleh karena demikian
kemungkaran di dalam rumahnya yang tertutup misalnya, maka tidak
boleh diselidiki;
d) Kemungkaran itu jelas dan gamblang tanpa harus ijtihad dulu. Jika
masih ada peluang ijtihad para ulama, maka tidak boleh
mengingkarinya.57
56Al-Ghazali, Ihya al-Ulum …, h. 273.
57Ali Abdul Halim Mahmud, al-Mar’at al-Muslimah …, h. 278-279.
24
E. Wilayatul Hisbah Sebagai Lembaga Penegak Hukum
Al Yasa‘ Abu Bakar menjelaskan, ada tiga otoritas aparat penegak hukum,
yaitu:
Pertama, Wilayat al-qada’
Wilayat al-qada’ adalah lembaga resmi pemerintahan yang mempunyai
wewenang untuk menyelesaikan perselisihan antar sesama rakyat, untuk sekarang
ini dinamakan pengadilan atau lembaga arbitrase (usaha perantara dalam
meleraikan perkara.58
Kedua, Wilayat al-Mazalim
Wilayat al-Mazalim merupakan satu lembaga atau badan yang memiliki
wewenang menyelesaikan masalah-masalah perselisihan ketatausahaan negara
serta perselisihan antara pemerintah dengan rakyat dalam hal penyelewangan
kekuasaan atau jabatan yang dilakukan oleh pihak pemerintah, atau perdakwaan
antara kelompok bangsawan dengan rakyat biasa. Pada masa kekhalifahan
kewenangan ini berlaku dengan dua cara, pertama, kewenangan ini dipegang
langsung oleh khalifah sebagai kepala pemerintahan atau kepala negara. Kedua,
diserahkan wewenang ini kepada gubernur, kepala suku dsb.59
Ketiga, Wilayat al-Hisbah
Sedangkan Wilayat al-Hisbah adalah lembaga atau badan yang
berwewenang memberitahukan kepada masyarakat tentang peraturan-peraturan
yang sudah berlaku dan menyadarkan anggota masyarakat tersebut agar mematuhi
aturan-aturan tersebut supaya tidak dikenakan sangsi atau denda peraturan-
peraturan itu.60
58Al Yasa‘ Abu Bakar, Wilayatul Hisbah, Polisi Pamong Praja Dengan Kewenangan
Khusus di Aceh, (Banda Aceh: Dinas Syari‘at Islam Aceh, 2009), h. 22-23.
59 Al Yasa‘ Abu Bakar, Wilayatul Hisbah …, h. 22.
60Al Yasa‘ Abu Bakar, Wilayatul Hisbah …, h. 22.
25
Adapun tugas-tugas lembaga Wilayat al-Hisbah ini sangat banyak, di
antaranya seperti yang telah dipraktekkan oleh lembaga ini di masa yang lalu
adalah mengawasi, memeriksa, dan mengingatkan kepada pedagang-pedagang
dalam penggunaan alat-alat ukur atau alat timbang-menimbang.
Untuk ini mereka berhak menegur, mencegah dan melarang orang-orang
yang berbuat menyimpang dari ketentuan-ketentuan ini, supaya mereka terhindar
dari hukuman atau ganjaran. Selain bertugas menjalankan peraturan-peraturan
yang telah ada ketentuan-ketentuannya dalam hukum, lembaga ini juga bertugas
harus mengawasi, mengingatkan, dan menegur sejumlah masyarakat agar
berperilaku baik, berakhlak mulia, dan menghindari dari perbuatan tercela atau
perbuatan haram. Namun demikian lembaga ini tidak memiliki kewenangan untuk
memberikan hukuman kepada anggota masyaraktnya bila ada yang terbukti
melanggar dari norma-norma yang telah ada.
Hisbah merupakan sebuah institusi keagamaan di dalam pemerintahan
Islam yang menuntut manusia untuk bertanggung jawab dalam amar ma‘ruf nahi
munkar. Tujuan dari institusi ini hanya untuk mengawasi masyarakat dari
kesesatan, melindungi dan menjaga dari ha-hal yang dapat merusakkan aqidah
atau keimanan masyarakat, dan menjamin kesejahteraan kehidupan masyarakat.
Dengan kata lain, Institusi hisbah ini tugasnya sebagai lembaga pengawas
jalannya roda kehidupan baik masyarakat maupun pemerintahan dengan berpijak
pada semboyan amar ma‘ruf nahi munkar.61
Sistem pengawasan yang dijalankan lembaga ini pada dasarnya mencakup
empat bentuk, hal seperti itu disebutkan Auni bin Abdullah yang dikutip oleh
Hasnul Arifin Melayu. Pertama, pengawasan pribadi yaitu seseorang dituntut
untuk selalu mengontrol dan mengawasi diri sendiri dalam upaya menjalankan
perintah Allah dan menjauhkan segala larangannya, serta menciptakan rasa cinta
dan setia serta rasa tanggung jawab terhadap agamanya. Kedua, pengawasan Ilahi
yaitu pengawasan Tuhan; dimana segala sesuatu yang diperbuat oleh makhluknya
61Husnul Arifin, “Eksistensi Wilayat al-Hisbah Dalam Islam …, h. 41.
26
tidak luput dari pantauan Allah swt. Dengan demikian, akan muncul kesadaran
dari diri manusia untuk selalu taat terhadap perintah dan larangan Tuhannya.
Ketiga, pengawasan masyarakat yaitu diberikan kebebasan kepada seluruh
anggota masyarakat untuk memantau atau mengawasi pemimpin-pemimpin
mereka agar dalam segala kegiatannya harus berpijak kepada amar ma‘ruf nahi
munkar. Keempat pengawasan pemerintah, pengawasan ini merupakan tanggung
jawab pemerintah untuk selalu mengontrol jalannya roda pemerintahan harus
bertumpu pada kesejahteraan rakyat dan kemaslahatan masyarakat banyak.62
F. Kesimpulan
Pada bab ini penulis akan mengambil beberapa kesimpulan berdasarkan
uraian pada bab-bab sebelumnya. Salah satu dari ajaran Islam adalah saling
mengajak kepada jalan kebaikan dan mencegah dari perbuatan munkar, dengan
kata lain mereka saling memerintahkan kepada yang ma‘ruf dan mencegah dari
yang munkar, menghalalkan bagi mereka yang baik-baik dan mengharamkan atas
mereka yang tidak baik dan merusakkan.
Maksud Islam ini tidak akan tercapai bila tidak mempunyai kekuatan yang
didukung oleh semua pihak terlebih aparatur pemerintahan. Karena segala
kebijakan atau program dan kegiatan sangat tergantung erat di tangan pemerintah.
Bila dalam hal apa pun pemeritah mempunyai komitmen penuh maka sudah
barang tentu akan mencapai hasil yang memuaskan, sebaliknya bila pemerintah
tidak memiliki rasa tanggung jawab penuh terhadap amanah yang diembannya itu
maka kegiatan yang sedang dicanangkan itu tidak akan mencapai hasilnya secara
maksimal atau sempurna.
Khusus dalam hal pelaksanaan tugas amar ma‘ruf dan nahi munkar, bila di
kaji dalam berbagai literatur-literatur Islam maka akan di temukan apa yang
diistilahkan dengan hisbah dengan pengertian pengawas atau petugas penertiban
di dalam masyarakat. Istilah hisbah ini sudah mulai muncul sejak di zaman Nabi
62Husnul Arifin, “Eksistensi Wilayat al-Hisbah Dalam Islam …, h. 42.
27
saw, walaupun hisbah pada masa itu masih sangat terbatas pada penertiban pasar;
mengawasi pedagang-pedagang yang melakukan perbuatan keji dalam
perdangannya sekaligus menentukan harga mata barang. Tugas hisbah ini terus
dibudidayakan hingga ke masa-masa kepemimpinan setelah Nabi saw. Dari masa
ke masa tugas hisbah ini semakin menjadi pusat perhatian setiap kepala
pemerintahan, sekaligus terjadi pengembangan dan perluasan tugas-tugas hisbah
ini. Sehingga pada masa kekhalifahan ‘Umar bin Khattab kelembagaan hisbah ini
terformulasi dan tersistematisasi dengan sempurna.
Sebenarnya dengan izin penerapan Syari‘at Islam di Provinsi Aceh sangat
berpeluang untuk mengulangi kembali fungsi-fungsi hisbah ini seperti yang telah
terjadi pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, maksudnya penerapan Syari‘at
Islam akan menggema di seluruh Tanah Aceh. Akan tetapi cita-cita ini agaknya
belum memenuhi harapan. Gema Syari‘at Islam di Aceh semakin pudar dalam
masyarakatnya. Pudarnya Syari‘at Islam di Aceh bukan hanya disebabkan karena
pengawal Syari‘at atau Wilayatul Hisbah ini lemah, tetapi juga dipengaruhi oleh
beberapa hal lain. Salah satu di antaranya adalah pemerintah pusat tidak ikhlas
memberikan status istimewa untuk Aceh. Faktor lain adalah aparatur-aparatur
pemerintahan di Aceh sendiri pun belum serius untuk menjalankan Syari‘at Islam
di Bumi Serambi Makkah ini.
Tugas yang diberikan kepada pengawal Syari‘at Islam atau kepada
Wilayatul Hisbah sangat besar sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-
Undang No 44 Tahun 1999 Tentang penyelenggaraan keistimewaan yang meliputi
beberapa bidang, di antaranya bidang agama, budaya, pendidikan, dan peranan
ulama. Sementara wewenang yang dimiliki oleh lembaga atau organisasi
Wilayatul Hisbah sangat kecil atau sangat lemah. Petugas Wilayatul Hisbah hanya
memiliki wewenang untuk mengawasi, menasehati, dan mengingatkan anggota
masyarakat terhadap peraturan-peraturan yang harus diikuti, serta
memberitahukan masyarakat perbuatan-perbuatan yang semestinya tidak
dikerjakan atau dihindari.
28
Ditambah lagi Wilayatul Hisbah ini selain jumlah personilnya sangat
sedikit, dan anggota Wilayatul Hisbah pula tidak dilengkapi dengan alat
pengamanan diri. Di samping itu, penggabungan Wilayatul Hisbah dengan Satpol
PP pun menjadi kendala penerapan Syari‘at Islam di Aceh.
Daftar Pustaka
A. Rahmat Rosyadi, M. Rais Ahmad, Formalisasi Syari‘at Islam Dalam
Perspektif Tata Hukum Indonesia, Bogor: Ghalia Indonesia, 2006.
Al Yasa‘ Abubakar, Bunga Rampai Pelaksanaan Syari‘at Islam, Pendukung
Qanun Pelaksanaan Syari‘at Islam, Banda Aceh: Dinas Syari‘at Islam
Aceh, 2009.
Dinas Syari‘at Islam Aceh, Himpunan Undang-Undang, Keputusan Presiden,
Peraturan Daerah/Qanun, Instruksi Gubernur, Edaran Gubernur
Berkaitan Pelaksanaan Syari‘at Islam, Edisi ke Tujuh, Banda Aceh:
LITBANG dan Program Dinas Syari‘at Islam Aceh, 2009.
29
Hasan Basri Elbi, Metode Dakwah Islam, Kontribusi Terhadap Pelaksanaan
Syari‘at Islam di Provinsi NAD, Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2006.
Hasnul Arifin Melayu, “Eksistensi Wilayat al-Hisbah dalam Islam” dalam Soraya
Devy, dkk, Politik dan Pencerahan Peradaban, Banda Aceh: Ar-Raniry
Press, 2004.
Ibnu Hajar al ‘AsqÉlany, BulËghu al marami min adillati al ahkami, Jakarta: DÉr
al- Kutub al- islÉmiyyat, tt, ttp.
Imam Muslim, Sahih Muslim, Bab al-IÊmÉn, Riyad: Dar al-Salim, 1998.
Juhari, “Peran Wilayatul Hisbah Dalam Menegakkan Dakwah Struktural di Kota
Banda Aceh” dalam Muslim Zainuddin, dkk, Agama dan Perubahan
Sosial Dalam Era Reformasi di Aceh, Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2004.
M. Hasbi Amiruddin, Republik ‘Umar bin Khattab, Yogyakarta: Total Media,
2010.
Muh. Zuhri, Potret Keteladanan Kiprah Politik Muhammad Rasulullah,
Yogyakarta: LESFI, 2004.
Muhammad Husain Haekal, Al-Faruq ‘Umar, trj Ali Audah, ‘Umar bin Khattab,
Bogor: Pustaka Lintera Antar Nusa, 2000.
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah, Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2007.
Philip K. Hitti, History Of The Arabbs; From The Earliest Times To The Present,
trj R. Cecep Lukman & Dedi Slamet Riyandi, History Of The Arabs,
Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2008.
Syahrizal Abbas, Syari‘at Islam di Aceh, Ancangan Metologis dan Penerapannya,
Banda Aceh: Dinas Syari‘at Islam Provinsi Aceh, 2009.
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Al-Islam 2, Semarang: Pustaka Rizki
Putra, 1998), h. 349.
Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, Penegakan Syari‘at Dalam
Wacana dan Agenda, Jakarta: Gema Insani Press, 2003.
30
Yusuf al-Qardhawy, al-SiyÉsat al-Syar‘iyyah trj Kathur Suhardi, Pedoman
Bernegara Menurut Perspektif Islam, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1999.
al-Mawardi, al-AhkÉm al-Sultaniyyah wa al-Wilayat al-Diniyyah, Mesir: Mustafa
al-Babi al-Halabi, 1996.
Sirajuddin, Politik Kenegaraan Islam, Studi Pemikiran A. Hasjmy, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007.