whistle blower yang terkait kasus dan yang tidak terkait ... · blower yang terkait kasus dan yang...
TRANSCRIPT
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
i
KAJIAN TEORITIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP
WHISTLE BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK
TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF
PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk
Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1
Dalam ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Disusun Oleh :
TIARA RIZCKY AMMELLIA
E 1107078
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
PERNYATAAN
Yang bertandatangan dibawah ini:
Nama : Tiara Rizcky Ammellia
NIM : E1107078
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (Skripsi) berjudul:
KAJIAN TEORITIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WHISTLE
BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT
KASUS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI
INDONESIA adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya
dalam penulisan hukum ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar
pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya
bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi)
dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, Maret 2011
Tiara Rizcky Ammellia
NIM. E1107078
iv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
MOTTO
“Jenius adalah 1% inspirasi dan 99% keringat. Tidak ada yang menggantikan
kerja keras. Keberuntungan adalah sesuatu yang terjadi ketika kesempatan
bertemu dengan kesiapan”.
(Thomas Alfa Edison)
“Suatu kehidupan yang penuh dengan kesalahan tak hanya lebih berharga namun
juga lebih berguna dibandingkan hidup tanpa melakukan sesuatu apapun”.
(George Bernard Shaw)
“Yang terpenting di dalam kehidupan bukanlah suatu kemenangan melainkan
bagaimana bertanding dengan baik”.
(Barron Pierre De Coubertin)
“Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, maka apabila kamu telah
selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang
lain, dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap”
(Q.S Alam Nasyrah: 6-8)
”Kebahagiaan terbesar dalam hidup ini adalah bila kita berhasil melakukan apa
yang menurut orang lain tidak dapat kita lakukan”
(Walter Beganhot)
v
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
PERSEMBAHAN
Karya kecil ini penulis persembahkan kepada:
❧ Allah SWT yang telah memberikan kenikmatan tak terhingga
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan lancar.
❧ Nabi Muhammad SAW, sebagai ”Suri tauladan bagiku”.
❧ Bapak dan Bundaku tercinta, tersayang yang senantiasa
mendukung kuliah, memberikan doa dan nasihat, semangat, cinta
dan kasih sayang serta kerja keras, keikhlasan yang tak ternilai
harganya demi mewujudkan cita-citaku menjadi seorang Sarjana
Hukum dan membuatku lebih menghargai setiap waktu dan
kesempatan di dalam hidupku.
❧ Kakakku tersayang ”Tiri Prabowo”, serta si kembar ”Firdaus
Novandy Kurniawan” dan ”Anisa Novidia Kurniasari” yang selalu
menghiburku serta keceriannya yang selalu memberi semangat
kepadaku.
❧ Sahabat-sahabatku di rumah dan di Solo yang memberikan
percikan dan bumbu dalam kehidupanku selama kuliah.
❧ Dia yang ada di hati.
vi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
ABSTRAK
TIARA RIZCKY AMMELLIA. E1107078. 2011. KAJIAN TEORITIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WHISTLE BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA. FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET. Penulisan hukum ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan perlindungan hukum terhadap whistle blower yang terkait kasus dan perlindungan hukum terhadap whistle blower yang tidak terkait kasus dalam perspektif penegakan hukum pidana di Indonesia. Penulisan hukum ini merupakan penulisan hukum normatif yang bersifat preskriptif, menggunakan pendekatan undang- undang dan pendekatan konseptual. Penulisan ini menggunakan bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Metode dalam pengumpulan bahan hukum tersebut adalah studi kepustakaan. Bahan hukum yang telah terkumpul kemudian dianalisis dengan pendekatan Undang-Undang (statue approach). Berdasarkan hasil penelitian yang dituangkan dalam pembahasan ditarik kesimpulan, bahwa perlindungan hukum terhadap whistle blower yang terkait kasus dalam perspektif penegakan hukum pidana di Indonesia diatur dalam Pasal 10 ayat (2) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yaitu berupa pengurangan tuntutan yang berimplikasi pada pengurangan pidana yang dijatuhkan oleh hakim atas kesaksian yang diberikan olehnya dan diatur pula dalam Pasal 51 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dalam hal delik penyertaan yang menjadi dasar untuk dilakukan asas opportunitas oleh jaksa, sehingga saksi tersebut tidak dipidana. Perlindungan hukum terhadap whistle blower yang tidak terkait kasus dalam perspektif penegakan hukum pidana di Indonesia diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu pada Pasal 117 ayat (1), Pasal 118, Pasal 166, Pasal 173, Pasal 177, Pasal 178, Pasal 229 dan Pasal 98, dan perlindungannya diatur pula dalam Pasal 5 dan Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Kata Kunci : Perlindungan saksi, penegakan hukum pidana.
vii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
ABSTRACT
TIARA RIZCKY AMMELIA. E1107078. A THEORETICAL STUDY ON LAW PROTECTION FOR WHISTLE BLOWER RELATED AND UNRELATED TO THE CASE IN THE PERSPECTIVE OF CRIMINAL LAW ENFORCEMENT IN INDONESIA. LAW FACULTY OF SEBELAS MARET UNIVERSITY.
This research aims to find out the law protection for whistle blower is related and unrelated to the case in the perspective of criminal law enforcement in Indonesia.
This study belongs to a normative law research that is prescriptive in nature using statue and conceptual approaches. This research employed primary, secondary, and tertiary law materials. The method of collecting data used was library study. The law material collected was then analyzed using statue approach.
Considering the result of research put in the discussion, it can be concluded, that law protection for Whistle Blower related to the case in the perspective of criminal law enforcement in Indonesia is regulated in Article 10 clause (2) of Act Number 13 of 2006 about the Witness and Victim Protection imposed by the judge for the testimony given by the witness and also in Article 51 clause (1) Penal Code in the accompanying statement underlying the opportunity principle carried out by the judge, so that the witness is not condemned. The law protection for whistle blower unrelated to the case in in the perspective of criminal law enforcement in Indonesia is regulated in Criminal Procedural Law Code (KUHAP), in Articles 117 clause (1), 118, 166, 173, 177, 178, 229, and 98, and the protection is also regulated in Article 5 of Acts Number 13 of 2006 about the Witness and Victim Protection.
Keywords: Witness Protection, criminal law enforcement.
viii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Puji syukur penulis haturkan kehadapan Allah SWT yang Maha pengasih
dan Maha Penyayang yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan penyusunan penulisan hukum (skripsi) yang berjudul
“KAJIAN TEORITIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WHISTLE
BLOWER YANG TERKAIT KASUS DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS
DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”.
Penulis menyadari bahwa terselesaikannya laporan penulisan hukum
(skripsi) ini tidak terlepas dari bantuan serta dukungan baik meteriil maupun non
materiil yang diberikan oleh berbagai pihak. Dalam kesempatan ini, penulis ingin
menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak
yang telah memberi dukungan, semangat, doa, saran dan kritik serta sarana dan
prasarana bagi Penulis untuk menyelesaikan penulisan hukum ini, oleh sebab itu
dengan segala kerendahan hati, Penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Mohammad Jamin, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta;
2. Bapak Edy Herdiyanto, S.H., M.H., selaku dosen pembimbing serta Ketua
Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta;
3. Bapak Muhammad Rustamaji, S.H, M.H selaku pembimbing terima kasih
atas bantuan menyusun judul dan sumbangan pemikiran serta pencerahan
terhadap Penulis dalam penulisan hukum ini;
4. Bapak Harjono, S.H., M.H., selaku Ketua Program Non Reguler
terimakasih atas saran yang memberikan kemudahan-kemudahan bagi
penulis selama menempuh pendidikan strata satu ini, serta segala
dukungan dalam penulisan hukum ini;
5. Segenap Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum UNS yang telah memberi
dan membagikan ilmu pengetahuan dan pengalaman berharga kepada
penulis hingga menjadi seorang sarjana hukum yang dapat dijadikan bekal
ix
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
dalam penyelesaian skripsi ini serta menghadapi persaingan di lingkungan
masyarakat luas;
6. Bapak Dwi Samudji, S. H., M.Hum., selaku Kepala Kejaksaan Negeri
Sukoharjo yang telah memberikan banyak materi-materi mengenai hukum
dan kehidupan serta informasi dan petunjuk kepada penulis selama
Kegiatan Magang Mahasiswa di Kejaksaan Negeri Sukoharjo;
7. Kedua orang tua Penulis, Bapakku Sarjono Tercinta dan Bundaku Sri
Hastuti, terimakasih atas segala doa, cinta kasih, dukungan tanpa henti
baik moril maupun materiil, kesabaran, dan kepercayaan yang diberikan
kepada Penulis tanpa pamrih apapun, sehingga penulis dapat menghargai
setiap waktu dan kesempatan di dalam hidup.
8. Kakakku tersayang Tiri Prabowo, serta adik-adikku tersayang Firdaus
Novandy Kurniawan dan Anisa Novidia Kurniasari, atas kasih sayang, dan
pengertiannya untuk berbagi disemua sisi hidup dengan Penulis selama
proses penulisan ini;
9. Embah kakung, Embah Uti, Budhe, Pakdhe, Bulek, Paklek, Mas, Mbak,
Adik dan segenap saudara, yang tidak dapat Penulis sebutkan satu-persatu
atas segala dukungan doa yang telah diberikan pada Penulis selama proses
penulisan ini, sehingga semuanya dapat terselesaikan dengan baik.
10. Teman-teman mahasiswa Fakultas Hukum UNS angkatan 2007 Sylvi Ayu
Briliana “Besanku”, Novaenny Titik “Nupha”, Henggar “Marehot”, Ayu
Kusuma “Ayu Smada”, Pratiwi Suryadewi “Tiwi”, Mei , Elvira, Wawan,
Mahardika, Bibianus Hengky “Pengky”, Arifin Dwi S “Iypin”, Tannguh
Safridah K “Ganyout”, Mz Nunung Irawan “Nungsky” dan semua teman-
teman yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu atas dukungan yang
diberikan pada seminar proposal. Kalian adalah semangatku.
11. Sahabatku Sylvi Ayu Briliana “Besanku”, Achmad Mustajid “mas Ajid”,
Mbak Widya, Siti Aisah “Aisah”, Nunung Novianingsih “Nyingnying”,
Tunjung Genarsih “Mbak Njung”, Kumala Dewi “mbak Dewi”, Tiyok,
terimakasih atas doa, waktu, dan kesabarannya untuk mendengarkan
segala curahan hati Penulis selama masa perkuliah dan dikala segala
ix
x
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
proses ini terasa begitu berat. Terima kasih untuk semua kasih sayang,
dukungan dan hiburan yang kalian berikan bagi Penulis;
12. Teman Kos Rahyll, Mbak Nitha, Nyingnying, Mb Dyah, Dina, Putria
Rahmawati “Puput”, Lice, Anis, Tiwi, Sisca, Lia, Aissah, Mba Eni,
Nunung, Mba Noew, terimakasih buat persaudaraan, persahabatan, kasih
sayang dan perhatiannya selama ini, semoga menjadi kenangan terindah;
13. Anak-anak Sekarpace dan Solo Selatan, Mas Makruf, Mas Budi, Makruf
hafidzi, Dzul, Duta, Hilman, Bayu, Mas Edi, Mas Mail, Mas Eko, Mas
Tofa, Mas Ikhsan, Mas Irfan, Rusdi, Tamimi, Imam, Syamsu, Mba Choir,
Neny, Rini, Clara, Hasna, Putri, dek Dian, Okta, Shinta, Nova, Titik, Uut,
Wulan, Khusnul dan temen-temen semua yang belum disebut, terima kasih
banyak atas dukungan dan persahabatan dari kalian.
14. Semua pihak yang telah membantu terselesaikannya seluruh proses
penulisan hukum ini yang tidak dapat Penulis sebutkan satu-persatu.
Terimakasih atas dukungannya.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan hukum ini masih jauh dari
sempurna, baik dari segi materi maupun penulisannya baik dari segi materi
pembahasan maupun penulisannya, hal ini karena manusia tidak terlepas dari
kesalahan dan kekhilafan serta keterbatasan materi, waktu, pengetahuan, serta
kadar keilmuan dari Penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan masukan dan
saran yang menunjang kesempurnaan penulisan hukum ini.
Semoga penulisan hukum ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu
pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya, sehingga dapat
diamalkan dalam pengembangan dan pembangunan hukum nasional dan tidak
menjadi suatu karya yang sia-sia. Amin.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Surakarta, 25 Maret 2011
Penulis
xi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING................................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ........................................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN............................................................................. iv
MOTTO ................................................................................................................ v
PERSEMBAHAN ................................................................................................ vi
ABSTRAK ............................................................................................................ vii
KATA PENGANTAR ......................................................................................... ix
DAFTAR ISI ........................................................................................................ xii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xiv
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................... 4
C. Tujuan Penulisan ...................................................................... 4
D. Manfaat Penulisan .................................................................... 5
E. Metode Penulisan ..................................................................... 5
F. Sistematika Penulisan Hukum ................................................. 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 11
A. Kerangka Teori ........................................................................ 11
1. Tinjauan tentang Perlindungan Hukum .......................... 11
2. Tinjauan Tentang Whistle Blower .................................. 14
3. Tinjauan Tentang Penegakan Hukum Pidana ................ 25
xii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
B. Kerangka Pemikiran ................................................................ 29
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .............................. 31
A. Perlindungan hukum terhadap whistle blower yang terkait
kasus dalam perspektif penegakan hukum pidana ................. 31
1. Pengaturan penggunaan whistle blower yang terkait
kasus (saksi mahkota) ................................................... 31
2. Ketentuan hukum perlindungan whistle blower yang
terkait kasus (saksi mahkota)……………………….. 35
3. Kelembagaan yang melindungi saksi mahkota ……... 39
B. Perlindungan hukum terhadap whistle blower yang tidak
terkait kasus dalam perspektif penegakan hukum pidana...... 43
1. Kedudukan whistle blower yang tidak terkait kasus
(saksi kunci) .................................................................... 43
2. Ketentuan Hukum Perlindungan Saksi………………. 45
3. Kelembagaan perlindungan saksi…………………….. 53
BAB IV PENUTUP ......................................................................................... 58
A. Simpulan .................................................................................. 58
B. Saran ......................................................................................... 58
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xiii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Kerangka Pemikiran .......................................................................... 29
xiv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Beberapa waktu terakhir masyarakat Indonesia disuguhi oleh kasus tindak
pidana penggelapan pajak dan pencucian uang oleh Gayus Halomoan Tambunan
yang disidik oleh Mabes Polri. Susno Duadji mengekspos adanya keganjilan
proses penyidikan dan penuntutan serta persidangan kasus tersebut. Ia merasa
adanya indikasi peyimpangan karena uang bukti kejahatan sebesar Rp.
25.000.000.000,00 (dua puluh lima milyar rupiah) di rekening Gayus Tambunan
yang dibekukan pada masa Susno Duadji sebagai Kabareskrim telah dicairkan dan
Susno Duadji juga menduga vonis pengadilan pun terdapat unsur kaganjilan.
Ditenggarai ada makelar kasus yang menggarap kasus pidana ini. Pengungkapan
keterangan Susno Duadji tersebut tentu cukup menarik untuk diikuti, didengar dan
ditindak lanjuti karena sebagai mantan pejabat yang langsung menyidik kasus
tersebut, Susno Duadji mengetahui detail tentang dinamika kasus tersebut.
Fenomena pengungkapan makelar kasus oleh Susno Duadji ini menjadi pro dan
kontra dikarenakan saat ini Susno duadji sebagai pengungkap fakta (whistle
blower) ternyata justru dijadikan tersangka. (Lawskripsi. Perlindungan Hukum
Bagi Saksi Pengungkap Fakta (Whistleblower) Dalam Perkara Pidana (Analisis
Yuridis Terhadap Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan
Saksi Dan Korban.
http://www.lawskripsi.com/index.php?option=com_content&view=article&id=19
2&Itemid=192>(12 November 2010 pukul 11.00).
Hal ini menimbulkan polemik, bahkan Komisaris Jenderal Susno Duadji
mengajukan uji materil ke Mahkamah Konstitusi terkait Undang-undang Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Nomor 13 tahun 2006, khususnya Pasal
10 ayat 2, yaitu: "Seorang saksi yang juga terdakwa dalam kasus yang sama tidak
dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim
dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan”.
1
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
Ada beberapa alasan mengapa secara resmi Susno Duadji mengajukan
permohonan uji materi Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban ke
Mahkamah Konstitusi. Alasan Susno mengajukan judicial review adalah karena
telah kehilangan haknya dalam hukum dan pemerintahan dengan proses
penahanan dan penyelidikan. Sebagai seorang saksi, dalam Undang-undang LPSK
seharusnya Susno dilindungi dan tidak dilakukan penahanan serta dijadikan
seorang tersangka.
Kasus di atas kisah tragis sang pelapor (whistleblower) memberikan pesan
negatif bagi penegakan hukum di Indonesia dan memiliki satu kesamaan yakni
berbuah serangan balik dari pihak yang dilaporkan. Tidak banyak orang yang
bersedia mengambil resiko untuk melaporkan suatu tindak pidana jika dirinya,
keluarganya dan harta bendanya tidak mendapat perlindungan dari ancaman yang
mungkin timbul karena laporan yang dilakukan. Begitu juga dengan saksi
jikalau tidak mendapat perlindungan yang memadai, akan enggan
memberikan keterangan sesuai dengan fakta yang dialami, dilihat dan dirasakan
sendiri.
Menurut Mardjono Reksodipoetro, Sistem Peradilan Pidana adalah sistem
pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga : Kepolisian,
Kejaksaan, Pengadilan dan Pemasyarakatan terpidana. Sedangkan tujuan Sistem
Peradilan Pidana adalah :
a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.
b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa
keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana.
c. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak
mengulangi lagi kejahatannya.
(Wayan P Wijaya Kusuma. Sistem Peradilan Pidana Indonesia
http://wayanpwijayakusuma.blogspot.com/2009/11/sistem-peradilan-pidana-
indonesia.html)
Saksi memainkan peranan kunci utama dalam sistem pembuktian
hukum pidana sekalipun saksi (keterangan saksi) bukan satu-satunya alat
bukti, KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) menganut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
pendekatan pembuktian negatif berdasarkan perundang-undangan atau “Negatief
Wettelijk Overtuiging”. Adakalanya seorang saksi itu memang murni dalam
pengertian saksi yang tidak terkait kasus (saksi kunci), namun ada pula saksi
yang terkait kasus (saksi mahkota). Posisi yang sebagaimana disebutkan terakhir
ini tentunya terjadi pergulatan batin saksi yang juga sebagai pelaku dan sudah
sepatutnya pula hukum (aparat penegak hukum) memberikan perhatian dan
penghargaan yang setimpal pula atas keberaniannya mengungkapkan fakta
suatu kebenaran.
Hukum Acara Pidana Indonesia (Undang-Undang No. 8 Tahun 1981),
baik secara teoritis dan praktisnya tidak menaruh perhatian yang sangat serius
terhadap masalah perlindungan saksi sementara disisi yang lain saksi (keterangan
saksi) menempati peringkat utama dalam tata urutan alat bukti menurut pasal 184
KUHAP. Pasal 184 KUHAP berbunyi : Alat bukti yang sah ialah : a. Keterangan
saksi; b. Keterangan ahli; c. Surat; d. Petunjuk; e. Keterangan terdakwa;
Tentunya ada menjadi penyebab hingga pembuat undang-undang
(legislasi) menempatkan keterangan saksi pada posisi atau urutan pertama dari 5
(lima) alat bukti dalam KUHAP. Sudah barang tentu seorang atau beberapa
orang yang menjadi saksi yang kemudian menjadi alat bukti berupa
keterangan saksi memainkan peranan yang sangat penting untuk
membuktikan kesalahan tersangka atau terdakwa baik sejak di tingkat penyidikan
maupun di tingkat penuntutan. Seseorang yang menempati posisi sebagai
saksi dalam suatu tindak pidana berarti saksi tersebut adalah yang melihat
langsung dengan mata kepala sendiri bagaimana suatu perbuatan (tindak pidana)
tersebut dilakukan si tersangka atau terdakwa. Pemahaman saksi disini meliputi
saksi yang terkait kasus maupun saksi yang tidak terkait kasus, serta terdapat hal
yang menarik berupa bagaimana perlindungan hukumnya terhadap keduanya.
Berdasarkan permasalahan tersebut diatas serta masih sedikitnya penelitian
terhadap hal tersebut , penulis sangat tertarik untuk mengadakan penelitian dalam
rangka skripsi dengan judul “KAJIAN TEORITIS PERLINDUNGAN
HUKUM TERHADAP WHISTLE BLOWER YANG TERKAIT KASUS
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
DAN YANG TIDAK TERKAIT KASUS DALAM PERSPEKTIF
PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”.
B. Rumusan Masalah
Adapun hal-hal yang menjadi pertimbangan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap whistle blower yang terkait
kasus dalam perspektif penegakan hukum pidana di Indonesia?
2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap whistle blower yang tidak
terkait kasus dalam perspektif penegakan hukum pidana di Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
Dalam suatu kegiatan penelitian pasti terdapat suatu tujuan yang jelas yang
hendak dicapai. Tujuan penelitian ini adalah untuk memberi arah dalam
melangkah sesuai dengan maksud penelitian. Adapun tujuan yang ingin dicapai
oleh penulis dalam penelitian ini adalah:
1. Tujuan obyektif
a. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap whistle blower yang
terkait kasus dalam perspektif penegakan hukum pidana.
b. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap whistle blower yang
tidak terkait kasus dalam perspektif penegakan hukum pidana.
2. Tujuan subyektif
a. Untuk memperoleh bahan dan informasi sebagai bahan utama dalam
menyusun karya ilmiah guna memenuhi persyaratan yang diwajibkan
dalam meraih gelar kesarjanaan di bidang Ilmu Hukum pada Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
b. Untuk menambah, memperluas, mengembangkan pengetahuan dan
pengalaman penulis serta pemahaman aspek hukum di dalam teori dan
praktek lapangan hukum yang sangat berarti bagi penulis sendiri
khususnya dan dapat memberi manfaat bagi masyarakat pada umumnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
D. Manfaat Penelitian
Dalam penelitian tentunya sangat diharapkan adanya manfaat dan
kegunaan yang dapat diambil dalam penelitian tersebut. Adapun manfaat yang
didapat dari penelitian ini adalah:
1. Manfaat Teoritis
a. Untuk memberi sumbangan pikiran dan manfaat dalam mengembangkan
ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya.
b. Hasil penelitian ini dapat memberikan jawaban yang jelas mengenai
perlindungan hukum terhadap whistle blower dalam hukum acara pidana.
c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi suatu tambahan referensi,
masukan data ataupun literatur bagi penulisan hukum selanjutnya yang
berguna bagi para pihak-pihak yang berkepentingan.
2. Manfaat Praktis
a. Untuk memberikan jawaban atas permasalahan-permasalahan yang diteliti
oleh penulis yaitu mengetahui perlindungan hukum terhadap whisle
blower yang terkait kasus dan whistle blower yang tidak terkait kasus
dalam perspektif penegakan hukum acara pidana.
b. Dengan penulisan skripsi ini diharapkan dapat meningkatkan dan
mengembangkan kemampuan penulis dalam bidang hukum sebagai bekal
untuk terjun ke dalam masyarakat nantinya.
c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu memberi masukan dan
sumbangan pemikiran bagi pihak-pihak terkait dengan masalah yang
diteliti.
E. Metode Penelitian
Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum,
prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum
yang dihadapi. Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang
dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2005:35).
Dua syarat utama yang harus dipenuhi sebelum mengadakan penelitian
dengan baik dan dapat dipertanggung jawabkan adalah peneliti harus terlebih
dahulu memahami konsep dasar ilmunya dan metodologi penelitian disiplin
ilmunya (Johnny Ibrahim, 2006:26). Didalam penelitian hukum, konsep ilmu
hukum dan metodologi yang digunakan di dalam suatu penelitian memainkan
peran yang sangat signifikan agar ilmu hukum beserta temuan-temuannya tidak
terjebak dalam kemiskinan relevansi dan aktualitasnya (Johnny Ibrahim,
2006:28). Adapun metode penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Ditinjau dari sudut penelitian hukum itu sendiri, maka pada penelitian
ini penulis menggunakan jenis penelitian hukum normatif atau penelitian
hukum kepustakaan. Penelitian hukum normatif memiliki definisi yang sama
dengan penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu penelitian berdasarkan
bahan-bahan hukum (librabry based) yang fokusnya pada membaca dan
mempelajari bahan-bahan hukum primer dan sekunder (Johnny Ibrahim,
2006:44).
2. Sifat Penelitian
Sifat penelitian hukum ini tentunya sejalan dengan sifat ilmu hukum
itu sendiri. Ilmu hukum mempunyai sifat sebagai ilmu yang preskriptif.
Artinya sebagai ilmu yang besifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari
tujuan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum (Peter
Mahmud Marzuki, 2005:22).
Oleh sebab itu, dalam penelitian ini penulis akan memberikan
preskriptif mengenai perlindungan hukum terhadap whistle blower yang
terkait kasus dan whistle blower yang tidak terkait kasus dalam perspektif
penegakan hukum pidana di Indonesia.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
3. Pendekatan Penelitian
Sehubungan dengan tipe penelitian yang digunakan yaitu penelitian
normatif, maka terdapat beberapa pendekatan penelitian hukum antara lain
pendekatan Undang-Undang (statue approach), pendekatan kasus (case
approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif
(comparative approach), dan pendekatan konseptual (conseptual approach)
(Peter Mahmud Marzuki, 2005:93). Dari beberapa pendekatan tersebut,
penelitian ini menggunakan pendekatan Undang-Undang (statue approach)
yakni Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi
dan Korban.
4. Jenis dan Sumber Bahan Penelitian
Jenis data yang digunakan di dalam penelitian ini adalah bahan
sekunder. Dalam buku Penelitian Hukum karangan Peter Mahmud Marzuki,
mengatakan bahwa pada dasarnya penelitian hukum tidak mengenal adanya
data. Sehingga yang yang digunakan adalah bahan hukum, dalam hal ini
adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat
autoritatif, artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer
terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi, atau risalah
dalam pembuatan peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan
hakim (Peter Mahmud Marzuki, 2005:141). Bahan hukum primer dalam
penelitian ini adalah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban dan Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP)
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder berupa publikasi tentang hukum yang
bukan merupakan merupakan dokumen-dokumen resmi (Peter Mahmud
Marzuki, 2005:141). Bahan hukum sekunder sebagai pendukung dari
bahan yang akan digunakan di dalam penelitian ini yaitu buku-buku teks
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
yang ditulis para ahli hukum, jurnal hukum, artikel, internet, dan sumber
lainnya yang memuliki korelasi untuk mendukung penelitian ini.
5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian
ini adalah studi dokumen atau bahan pustaka. Peneliti mengumpulkan data
sekunder yang berhubungan dengan masalah yang diteliti untuk kemudian
dikategorikan, dibaca, dikaji, selanjutnya dipelajari, diklarifikasi dan
dianalisis dari buku-buku, literatur, artikel, karangan ilmiah, makalah, jurnal
dan sebagainya yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang dikaji.
Prosedur pengumpulan bahan hukum yang akan digunakan dalam
penelitian ini adalah studi kepustakaan yaitu pengumpulan data dengan jalan
membaca peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen reasmi
maupun literatur-literatur yang erat kaitannya dengan permasalahan yang
dibahas. Dari data tersebut kemudian dianalisis dan dirumuskan sebagai data
penunjang di dalam penelitian ini. Bahwa cara pengolahan bahan hukum
dilakukan secara deduktif, yaitu menarik kesimpulan dari suatu permasalahan
yang bersifat umum terhadap permasalahan kongkret yang dihadapi (Jonny
Ibrahim, 2006:393).
6. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum
Dalam penelitian ini akan dianalisis dengan menggunakan logika
deduktif. Dalam hal ini sumber penelitian yang diperoleh dengan
menggunakan intervariasi sekaligus mengkaji dari penelitian studi
kepustakaan, aturan perundang-undangan beserta dokumen-dokumen yang
membantu menafsirkan norma terkait. Kemudian sumber penelitian tersebut
diolah dan dianalisis untuk menjawab permasalahan yang diteliti.
Dalam penelitian hukum ini permasalahan hukum dianalisa oleh
penulis dengan metode deduksi. Menurut Philipus M. Hadjon sebagaimana
dikutip oleh Peter Mahmud Marzuki, metode deduksi sebagaimana silogisme
yang diajarkan oleh Aristoteles penggunaan deduksi berpangkal dari
pengajuan premis mayor (pernyataan bersifat umum). Kemudian diajukan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
premis minor (bersifat khusus) dari kedua premis itu ditarik suatu kesimpulan
atau conclusion (Peter Mahmud Marzuki, 2006:47). Didalam logika silogistik
untuk penalaran umum yang bersifat premis mayor adalah aturan hukum
sedangkan premis minornya adalah fakta hukum. Dihubungkan dengan
penelitian yang saya tulis, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban sebagai premis mayor sedangkan premis
minornya adalah perlindungan hukum terhadap whistle blower yang terkait
kasus dan perlindungan hukum terhadap whistle blower yang tidak terkait
kasus dalam perspektif penegakan hukum pidana.
F. Sistematika Penulisan Hukum
Untuk lebih mempermudah dalam melakukan pembahasan, penganalisaan,
serta penjabaran isi dari penelitian ini, maka penulis menyusun sistematika
penulisan hukum ini sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini penulis akan menguraikan tentang Latar
Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian,
Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, dan Sistematika
Penulisan Hukum.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Kajian pustaka ini terdiri dari Tinjauan tentang Perlindungan
Hukum, Tinjauan tentang Whistle Blower, Tinjauan tentang
Penegakan Hukum Pidana. Selain itu untuk memudahkan
pemahaman alur berpikir, maka di dalam bab ini juga disertai
dengan Kerangka Pemikiran.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini akan menguraikan hasil dari penelitian yang membahas
tentang perlindungan hukum terhadap whistle blower yang
terkait kasus dalam perspektif penegakan hukum pidana dan
perlindungan hukum terhadap whistle blower yang tidak terkait
kasus dalam perspektif penegakan hukum pidana.
BAB IV : PENUTUP
Dalam bab ini akan diuraikan simpulan dari hasil pembahasan
dan saran-saran mengenai permasalahan yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan tentang Perlindungan Hukum
a. Pengertian Perlindungan Hukum
Perlindungan hukum menurut Sudikno Mertokusumo adalah
adanya jaminan hak dan kewajiban manusia dalam rangka memenuhi
kepentingan sendiri maupun didalam hubungan dengan manusia lain
(Soedikno Mertokusumo,1991:9).
Dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak-hak
Asasi Manusia, perlindungan hukum adalah : “Segala daya upaya yang
dilakukan secara sadar oleh setiap orang atau lembaga pemerintah, swasta
yang bertujuan mengusahakan pengamanan, pnguasaan dan pemenuhan
kesejahteraan hidup sesuai dengan hak-hak asasi yang ada”.
Pada prinsipnya perlindungan hukum tidak membedakan terhadap
kaum pria maupun wanita. Perlindungan hukum tersebut akan melahirkan
pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia dalam wujudnya sebagai
makhluk individu dan makhluk sosial dalam wadah Negara kesatuan yang
menjunjung tinggi semangat kekeluargaan demi mencapai kesejahteraan
bersama. Berlakunya seorang manusia sebagai pembawa hak (subyek
hukum) dimulai saat berada dalam kandungan ibunya dan berakhir pada
saat ia meninggal dunia, hal ini berlangsung selama ia hidup.
b. Perlunya Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban
Menjadi saksi adalah wajib menurut undang-undang, yang berarti
pula bagi siapa saja yang tidak mengindahkannya akan dikenakan sanksi
(hukuman).
Seseorang yang menyaksikan peristiwa pidana terkadang enggan
untuk memberikan kesaksiannya, hal ini dikarenakan seseorang tersebut
takut untuk menjadi saksi. Apabila seseorang yang dapat diperkenankan
sebagai saksi, kemudian dengan pertimbangan dan alasan tertentu ia tidak
11
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
melaksanakan kewajibannya, maka dengan melihat apa yang tersirat
dalam Pasal 224 KUHP tentang kejahatan terhadap penguasa umum,
Pasal 242 KUHP tentang sumpah palsu dan keterangan palsu, dengan
pengecualian dibebaskan dari kewajiban memberikan sumpah pada Pasal
170-171 KUHAP, harus dianggap sebagai sesuatu kenyataan. Artinya,
harus dilihat hal-hal yang seharusnya dikontribusikan kepada saksi,
sehingga kenyataan tersebut dapat berubah. Perubahan tersebut dengan
cara memberikan perlindungan normatif yang berdimensi psikologis.
Perlindungan normatif diberikan oleh pembentuk undang-undang.
Pembentuk undang-undang harus memberikan jaminan kepada seorang
saksi, berupa ganti rugi yang dikeluarkan oleh saksi selama ia
memberikan kesaksiannya dalam setiap tahapan proses hukum. Seorang
saksi harus didampingi oleh penasehat hukum. Bahkan lebih dari itu,
dalam kasus-kasus tertentu, saksi harus mendapatkan pengawalan dari
aparat kepolisian.
Perlindungan psikologis perlu dilakukan karena bagi orang awam
belum dapat membedakan antara tersangka, terdakwa dan saksi. Proses
penghilangan perasaan rasa bersalah yang selanjutnya menimbulkan rasa
takut inilah yang mesti diantisipasi dengan jalan memberikan
perlindungan psikologis terhadap saksi.
Beberapa pasal dalam KUHAP yang dianggap memberikan
perlindungan pada saksi dan korban adalah Pasal 98, Pasal 117 ayat (1),
Pasal 118, Pasal 166, Pasal 177, Pasal 178, Pasal 229.
Pasal dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban yang mempertegas adanya perlindungan
saksi dan korban adalah pada:
1) Pasal 8 yaitu “Perlindungan dan hak Saksi dan Korban diberikan sejak
tahap penyelidikan dimulai dan berakhir sesuai dengan ketentuan
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini”.
2) Pasal 31 yaitu “LPSK wajib memberikan perlindungan sepenuhnya
kepada Saksi dan/atau Korban, termasuk keluarganya, sejak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
ditandatanganinya pernyataan kesediaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 30”.
3) Pasal 36 yaitu:
a) Dalam melaksanakan pemberian perlindungan dan bantuan, LPSK dapat bekerja lama dengan instansi terkait yang berwenang.
b) Dalam melaksanakan perlindungan dan bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), instansi terkait sesuai dengan kewenangannya wajib melaksanakan keputusan LPSK sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
Perlindungan saksi dan korban sangatlah penting karena tanpa
saksi dan korban, penegakan hukum tidak akan berjalan lancar dan
berkeadilan. Oleh karena itu, keberadaan undang-undang yang
melindungi saksi dan korban sangat dibutuhkan agar ada kepastian
hukum. Yang kemudian dibentuklah Undang-undang Nomor 13 Tahun
2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Pasal 4 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban, yang berbunyi: “Perlindungan Saksi dan
Korban bertujuan memberikan rasa aman kepada Saksi dan/atau Korban
dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana”.
Seorang Saksi dan Korban berhak memperoleh perlindungan atas
keamanan pribadinya dari ancaman fisik maupun psikologis dari orang
lain, berkenaan dengan kesaksian yang akan, tengah atau telah
diberikannya atas suatu tindak pidana.
c. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dibentuk
berdasarkan UU No 13 Tahun 2006 Bab III sampai Bab IV.
Salah satu amanat yang ada dalam Undang-Undang Perlindungan
Saksi dan Korban ini adalah pembentukan Lembaga Perlindungan Saksi
dan Korban (LPSK) yang dibentuk paling lambat setahun setelah UU
Perlindungan Saksi dan Korban disahkan. Dalam perkembangan
selanjutnya, LPSK dibentuk pada tanggal 8 Agustus 2008.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
Pasal 12 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban, yaitu: “LPSK bertanggung jawab untuk
menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada saksi dan korban
berdasarkan tugas dan kewenangan sebagaimana diatur dalam undang-
undang ini”.
LPSK mempunyai visi yaitu terwujudnya perlindungan saksi dan
korban dalam sistem peradilan pidana. Sedangkan, misi dari LPSK
adalah:
1) Mewujudkan perlindungan dan pemenuhan hak-hak bagi saksi dan korban dalam peradilan pidana;
2) Mewujudkan kelembagaan yang profesional dalam memberikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak bagi saksi dan korban;
3) Memperkuat landasan hukum dan kemampuan dalam pemenuhan hak-hak saksi dan korban;
4) Mewujudkan dan mengembangkan jejaring dengan para pemangku kepentingan dalam rangka pemenuhan hak saksi dan korban;
5) Mewujudkan kondisi yang kondusif serta partisipasi masyarakat dalam perlindungan saksi dan korban. (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. (http://www.lpsk.go.id/humas/index.php?option=com_content&view=article&id=48&Itemid=2)
Menurut pasal 28 UU No 13 Tahun 2006, alasan perlindungan dan
bantuan yang diberikan LPSK adalah:
1) sifat pentingnya keterangan saksi dan atau korban
2) tingkat ancaman yang membahayakan
3) hasil analisis medis/psikolog
4) rekam jejak kejahatan yang pernah dilakukan.
2. Tinjauan tentang Whistle Blower
a. Pengertian Whistle Blower
Whistle blower atau peniup peluit adalah orang yang menginisiasi
untuk mengungkap satu kasus yang terindikasi pidana. Atau dapat
dirumuskan atau didefinisikan sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
Whistle blower adalah istilah bagi karyawan, mantan karyawan atau pekerja, anggota dari suatu institusi atau organisasi yang melaporkan suatu tindakan yang dianggap melanggar ketentuan kepada pihak yang berwenang. Secara umum segala tindakan yang melanggar ketentuan berarti melanggar hukum, aturan dan persyaratan yang menjadi ancaman pihak publik atau kepentingan publik. Termasuk didalamnya korupsi, pelanggaran atas keselamatan kerja, dan masih banyak lagi. (Wikipedia bahasa Indonesia. Whistle Blower. http://id.wikipedia.org/wiki/Whistle_Blower)
Perlindungan para pengungkap fakta atau whistleblower di buat
dengan maksud untuk memberikan sebuah landasan hukum dan skema
perlindungan khusus bagi pengungkapan yang terkait dengan
penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, melanggar hukum, kelalaian yang
mempengaruhi kepentingan umum, bahaya terhadap kesehatan,
keselamatan umum dan termasuk bahaya terhadap lingkungan.
Perlindungan ini menanamkan rasa aman pada pegawai untuk
menyuarakan pikirannya.
Di dalam dunia nyata yang mengalami pelanggaran dalam hal
hukum tidak hanya terjadi didalam perusahaan atau institusi
pemerintahan yang dapat menimbulkan ancaman secara substansial bagi
masyarakat akibat dari tindakan Whistle Blowing. Salah satu tipe dari
whistle blower yang paling sering ditemukan adalah tipe internal Whistle
Blower yaitu seorang pekerja atau karyawan didalam suatu perusahaan
atau institusi yang melaporkan suatu tindakan pelanggaran hukum kepada
karyawan lainnya atau atasannya yang juga ada didalam perusahaan
tersebut.
Selain itu juga ada tipe external Whistle blower,yaitu pihak pekerja
atau karyawan didalam suatu perusahaan atau organisasi yang
melaporkan suatu pelanggaran hukum kepada pihak diluar institusi,
organisasi atau perusahaan tersebut.
Secara lengkapnya seorang whistle blower telah menyimpang dari
kepentingan perusahaan. Jika pengungkapan ternyata dilarang oleh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
hukum atau diminta atas perintah eksekutif untuk tetap dijaga
kerahasiannya maka laporan seorang whistle blower tidak dianggap
berkhianat.
Kondisi saksi tidak jauh berbeda dengan tersangka atau terdakwa, mereka sama-sama memerlukan perlindungan, karena: 1) Bagi saksi (apalagi orang awam), memberikan keterangan
bukanlah suatu hal yang mudah. 2) Bila keterangan yang diberikan ternyata tidak benar, ada
ancaman pidan baginya karena dianggap bersumpah palsu. 3) Keterangan yang diberikannya akan memungkinkan dirinya
mendapat ancaman, terror, intimidasi dari pihak yang dirugkan. 4) Memberikan keterangan membuang waktu dan biaya. 5) Aparat penegak hukum tidak jarang memperlakukan saksi
seperti seorang tersangka atau terdakwa. (Harkristuti Harkrisnowo, 2002:7)
b. Teori Pembuktian
Ditinjau dari perspektif sistem peradilan pidana maka perihal
pembuktian merupakan hal yang sangat determinan bagi setiap pihak
yang terlibat secara langsung dalam proses pemeriksaan perkara pidana,
khususnya dalam hal menilai terbukti atau tidak terbuktinya kesalahan
yang didakwakan kepada terdakwa (Lilik Mulyadi, 2007:49).
Pengertian pembuktian menurut Subekti yaitu yang dimaksudkan
dengan membuktikan ialah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil
atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan (R.
Subekti, 2007:1).
Dalam pembuktian terdapat empat teori pembuktian yang
digunakan untuk menilai kekuatan pembuktian dari masing-masing alat
bukti yang ada, yaitu sebagai berikut :
1) Sistem atau teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim belaka
(Conviction in time)
Teori didasarkan pada keyakinan hakim sendiri. Sehingga
pemidanaan dimungkinkan tanpa didasarkan kepada alat bukti dalam
Undang-Undang. Suatu sistem pembuktian untuk menentukan
bersalah atau tidaknya terdakwa semata-mata hanya berdasarkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
keyakinan hakim saja. Hakim hanyalah mengikuti hati nuraninya
saja dan semua tergantung kepada kebijaksanaan hakim.
2) Sistem atau teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim dengan
alasan yang logis (Conviction Raisonnee).
Teori ini mengutamakan keyakinan hakim sebagai dasar utama
menghukum terdakwa yang keyakinan hakim itu harus disertai
pertimbangan hukum yang nyata dan logis diterima akal pikiran yang
sehat. Dan keyakinan itu tidak perlu didukung alat bukti yang sah.
3) Sistem atau teori pembuktian menurut Undang-Undang positif
(Psitief Wettelijke Bewijstheorie).
Bersalah atau tidaknya terdakwa didasarkan pada ada atau
tidaknya alat bukti yang sah menurut Undang-Undang. Suatu sistem
pembuktian yang ditunjukkan untuk menentukan bersalah atau
tidaknya terdakwa harus berpedoman pada prinsip pembuktian
dengan alat-alat bukti yang ditentukan Undang-Undang.
Menurut D. Simons sebagaimana dikutip oleh Andi Hamzah,
sistem pembuktian menurut Undang-Undang positif ini berusaha
untuk menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim dan
mengikat hukum secara ketat menurut peraturan-peraturan
pembuktian yang keras. Hati nurani hakim tidak ikut hadir dalam
menentukan salah tidaknya terdakwa (D. Simons. Dalam Andi
Hamzah, 2001 :247).
4) Sistem atau teori pembuktian menurut Undang-Undang secara
negative (Negatief Wettelijke Bewijstheorie)
Menurut sistem atau teori pembuktian menurut Undang-
Undang secara negatif (Negatief Wettelijke Bewijstheorie) ini. Dalam
hal membuktikan kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana yang
didakwakan kepadanya, hakim tidak sepenuhnya mengandalkan alat-
alat bukti serta cara-cara yang ditentukan oleh Undang-Undang. Itu
tidak cukup, tetapi harus disertai pula keyakinan bahwa terdakwa
bersalah melakukan tindak pidana. Keyakinan yang dibentuk ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
haruslah didasarkan atas fakta-fakta yang diperoleh dari alat bukti
yang ditentukan dalam Undang-Undang. Jadi, kegiatan pembuktian
didasarkan pada 2 (dua) hal, ialah alat-alat bukti dan keyakinan yang
merupakan kesatuan tidak dipisahkan, yang tidak berdiri sendiri
(Adami Chazawi, 2008: 28).
c. Alat Bukti
Yang dimaksud dengan alat bukti adalah segala sesuatu yang ada
hubungannya dengan perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut,
dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan
keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah
dilakukan oleh terdakwa (Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003 : 11).
Alat bukti yang sah dan dapat dipergunakan di dalam pemeriksaan
di persidangan dijelaskan di dalam Pasal 184 Kita Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu sebagai berikut:
1) Keterangan Saksi
Pengertian saksi menurut pasal 1 angka 26 Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang menyatakan bahwa
:“Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna
kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu
perkara yang ia dengar, ia lihat dan ia alami sendiri”.
Sedangkan pengertian keterangan saksi berdasarkan Pasal 1
angka 27 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),
yaitu : “Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara
pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa
pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri
dengan menyebut alas an dari pengetahuannya itu”.
2) Keterangan Ahli
Dalam Pasal 1 angka 28 Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana yang menyatakan keterangan ahli, yaitu “Keterangan
ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang
suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.
Keterangan ahli adalah mengenai suatu penilaian mengenai
hal-hal yang sudah nyata ada dan pengambilan kesimpulan
mengenai hal-hal tersebut (Andi Hamzah, 2001 : 269).
3) Surat
Alat bukti surat diatur dalam Pasal 187 Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan bahwa
surat sebagaimana sebagaimana disebutkan dalam Pasal 184 ayat 1
huruf c Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),
dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah.
4) Petunjuk
Petunjuk menurut Pasal 188 ayat (1) Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah “perbuatan kejadian atau
keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan
yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri menandakan
bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya”. Dan
dalam ayat selanjutnya disebutkan bahwa petunjuk sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari keterangan
saksi, surat, atas keterangan terdakwa.
Mengenai penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu
petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim
dengan arif dan bijaksana setelah ia melakukan pemeriksaan
dengan cermat dan teliti. Kemudian permasalahan diserahkan pada
hakim, maka pengamatan hakim dapat dijadikan sebagai alat bukti
perkara.
5) Keterangan Terdakwa
Pengertian keterangan terdakwa tercantum dalam Pasal 189
ayat (1) KUHAP, yang berbunyi “keterangan terdakwa ialah apa
yang terdakwa nyatakan di persidangan tentang perbuatan yang ia
lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri”.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
Penempatan alat bukti terdakwa pada urutan terakhir dalam
Pasal 184 ayat (1) KUHAP, merupakan salah satu alasan yang
dipergunakan untuk menempatkan proses pemeriksaan keterangan
terdakwa dilakukan belakangan sesudah pemeriksaan keterangan
saksi. Berdasarkan pada ketentuan Pasal 189 ayat (4) KUHAP
yang menyatakan bahwa “keterangan terdakwa saja tidak cukup
untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang
didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti
yang lain”.
Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap
dirinya sendiri. Keterangan terdakwa saja seperti yang disebut di
atas, tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah
melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan
harus disertai dengan alat bukti yang lain.
d. Whistle Blower yang Terkait Kasus (Saksi Mahkota) dan Whistle
Blower yang Tidak Terkait Kasus (Saksi Kunci)
1) Whistle Blower yang Terkait Kasus (Saksi Mahkota)
Walaupun tidak diberikan suatu definisi otentik dalam
KUHAP mengenai saksi mahkota (kroon getuide), namun
berdasarkan perspektif empirik maka saksi mahkota didefinisikan
sebagai saksi yang berasal atau diambil dari salah seorang
tersangka atau terdakwa lainnya yang bersama-sama melakukan
perbuatan pidana, dan dalam hal mana kepada saksi tersebut
diberikan mahkota. Adapun mahkota yang diberikan kepada saksi
yang berstatus terdakwa tersebut adalah dalam bentuk ditiadakan
penuntutan terhadap perkaranya atau diberikannya suatu tuntutan
yang sangat ringan apabila perkaranya dilimpahkan ke pengadilan
atau dimaafkan atas kesalahan yang pernah dilakukan. (Lilik
Mulyadi, 2007:86).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
Saksi mahkota didefinisikan;
Saksi mahkota adalah saksi yang berasal dan atau diambil dari salah seorang atau lebih tersangka atau terdakwa lainnya yang bersama-sama melakukan perbuatan pidana dan dalam hal mana kepada saksi tersebut diberikan mahkota. Adapun mahkota yang diberikan kepada saksi yang berstatus terdakwa tersebut adalah dalam bentuk ditiadakan penuntutan terhadap perkaranya atau diberikan suatu tuntutan yang sangat ringan apabila perkaranya dilimpahkan ke pengadilan atau dimaafkan atas kesalahan yang pernah dilakukan saksi tersebut (M. Sofyan Lubis. Saksi mahkota dalam peradilan pidana. http://msofyanlubis.wordpress.com/2010/07/26/saksi-mahkota/)
Saksi mahkota ini hanya ada dalam perkara pidana yang
merupakan delik penyertaan. Pengaturan mengenai saksi mahkota
ini pada awalnya diatur di dalam pasal 168 KUHAP, yang
prinsipnya menjelaskan bahwa pihak yang bersama-sama sebagai
terdakwa tidak dapat didengar keterangannya dan dapat
mengundurkan diri sebagai saksi. Kemudian dalam
perkembangannya, maka tinjauan pemahaman tentang saksi
mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana diatur dalam
Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor: 1986 K/Pid/1989
tanggal 21 Maret 1990.
Dalam Yurisprudensi tersebut dijelaskan bahwa Mahkamah
Agung RI tidak melarang apabila Jaksa atau Penuntut Umum
mengajukan saksi mahkota dengan syarat bahwa saksi ini dalam
kedudukannya sebagai terdakwa tidak termasuk dalam satu berkas
perkara dengan terdakwa yang diberikan kesaksian. Dan dalam
Yurisprudensi tersebut juga ditekankan definisi saksi mahkota
adalah, teman terdakwa yang melakukan tindak pidana bersama-
sama diajukan sebagai saksi untuk membuktikan dakwaan
penuntut umum, yang perkaranya dipisah karena kurangnya alat
bukti.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
Penggunaan saksi mahkota dibenarkan didasarkan pada
prinsip-prinsip tertentu yaitu, 1) dalam perkara delik penyertaan;
2). terdapat kekurangan alat bukti; dan 3). diperiksa dengan
mekanisme pemisahan (splitsing);
Sebagai imbalan atas kesaksiannya, sesuai dengan Pasal 10
ayat 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban, saksi mahkota berhak
mendapatkan insentif hukum berupa keringanan hukuman.
Selengkapnya pasal tersebut berbunyi, "Seorang saksi yang juga
tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari
tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan
pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan
dijatuhkan".
2) Whistle Blower yang Tidak Terkait Kasus (Saksi Kunci)
KUHAP tidak memberikan suatu definisi otentik mengenai
saksi kunci, namun pengertian saksi kunci adalah sesuai dengan
pengertian saksi pada pasal 1 angka 26 KUHAP.
Menurut Pasal 1 angka 26 KUHAP “Saksi adalah orang
yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan,
penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia
dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”.
Tidak terkait kasus di sini bahwa saksi itu adalah orang
yang mendengar sendiri, melihat sendiri dan mengalami sendiri
suatu tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain dan dia tidak
melakukan suatu tindak pidana yang berhubungan dengan tindak
pidana yang sedang dimintakan kesaksian kepadanya.
Berpedoman kepada uraian tersebut di atas, keberadaan
seseorang akan menjadi kata kunci dari pengungkapan sebuah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
perkara pidana. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemberian
keterangan saksi adalah:
a). Unreliable witness
Saksi dipersuasi untuk memberikan keterangan yang
memperkuat posisi jaksa, terutama jika saksi menghadapi
ancaman pidana juga.
b). Witness as product of bullying and harassment
Metode tertentu penegak hukum dalam meminta keterangan,
missal : pertanyaan yang berulang-ulang tidak relevan dan
dalam jangka waktu panjang tanpa jeda yang layak.
c). Lying witness
Memberikan keterangan yang tidak sebenarnya walaupun
sudah disumpah baik karena disuap atau intimidasi pihak lain.
d) Silent witness
Saksi yang menolak memberikan jawaban yang sesungguhnya
karena khawatir akan menyudutkan dirinya.
e) Incompetent witness
Keterangan saksi tidak layak jadi alat bukti yang sah di
pengadilan karena infant, mental disease atau mental defect.
f) Turn coat witness
Saksi yang semula disuga akan membela terdakwa ternyata
melakukan sebaliknya, sesuatu yang diluar dugaan penasehat
hukum.
Jaminan yang dapat didapat oleh saksi mahkota atas
kesaksian mereka menurut Pasal 10 ayat 1 Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban adalah:
"Saksi, korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik
pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang,
atau telah diberikannya".
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
e. Perlindungan Hak-Hak Tersangka atau Terdakwa dalam Proses
Peradilan Pidana
Definisi di dalam KUHAP tentang tersangka dan terdakwa
terdapat pada pasal 1 butir 14, mengenai tersangka sebagai berikut:
“Tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau
keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku
tindak pidana”. Sedangkan butir 15 mengenai terdakwa ialah sebagai
berikut: “Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa
dan diadili di sidang pengadilan”.
Dalam penjelasan KUHAP dapat ditemukan 10 (sepuluh) asas
yang mengatur perlindungan KUHAP terhadap keluhuran harkat serta
martabat manusia, yaitu:
1) Perlakuan yang sama dimuka hukum, tanpa diskriminasi apapun;
2) Praduga tidak bersalah;
3) Hak untuk memperoleh kompensasi (ganti rugi) dan rehabilitasi;
4) Hak untuk mendapat bantuan hukum;
5) Hak kehadiran terdakwa dimuka pengadilan;
6) Peradilan yang bebas dan dilakukan dengan cepat dan sederhana;
7) Peradilan yang terbuka untuk umum;
8) Pelanggaran atas hak-hak warga Negara (penangkapan, penahanan,
penggeledahan, dan penyitaan) harus didasarkan pada undang-
undang dan dilakukan dengan surat perintah (tertulis);
9) Kepada seorang tersangka, sejak saat dilakukan penangkapan dan
atau penahanan selain wajib diberi tahu dakwaan dan dasar hukum
apa yang didakwakan kepadanya, juga wajib diberitahu haknya itu,
termasuk hak menghubungi dan minta bantuan penasihat hukum;
10) Kewajiban pengadilan untuk mengendalikan pelaksanaan putusan-
putusannya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
Menurut pendapat Mardjono dalam pidatonya yang dimuat dalam
buku karya Mien Rukmini, dia berpendapat bahwa:
Hak-hak yang diberikan oleh KUHAP bukan tertuju kepada tersangka/terdakwa sebagai pelanggar hukum, akan tetapi sebagai manusia yang mempunyai hak dan kewajiban, manusia sebagai obyek dan subyek anggota masyarakat. Jika seorang tersangka/terdakwa yang diperiksa karena kebenaran materiel sungguh-sungguh adalah pelaku delik, hal itu merupakan suatu resiko perbuatannya sendiri yang melanggar hukum itu. Akan tetapi seorang tersangka/terdakwa belum tentu sungguh-sunnguh bersalah seperti yang dilaporkan, diadukan atau didakwakan. Setiap orang dianggap tidak bersalah sampai ada keputusan hakim yang tetap bahwa ia bersalah (presumption of innocence) ( Mien Rukmini, 2003:91).
3. Tinjauan tentang Penegakan Hukum Pidana
a. Pengertian Penegakan Hukum Pidana
Menurut Satjipto Raharjo, penegakan hukum merupakan suatu
usaha untuk mewujudkan ide-ide dan konsep-konsep menjadi kenyataan.
Penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-
keinginan hukum menjadi kenyataan. Yang disebut sebagai keinginan
hukum di sini tidak lain adalah pikiran-pikiran pembuat undang-undang
yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum itu (Satjipto
Raharjo, 1983:24).
Secara konsepsional maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang dijabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantab dan mengejawentah dan sikap tindak sebagai rangkuman penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Penegakan hukum sebagai suatu proses yang pada hakekatnya merupakan diskresi menyangkut perbuatan keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi dan pada hakekatnya diskresi berada di antara hukum dan moral. (Soerjono Soekanto, 1983:5)
Penggunaan hukum pidana sebagai suatu upaya untuk mengatasi
masalah sosial atau kejahatan termasuk dalam bidang penegakan hukum
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
khususnya hukum pidana sehingga sering dikatakan bahwa politik atau
kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari penegakan hukum.
b. Aparat Penegak Hukum
1) Polisi
“Dalam UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia, Kepolisian diartikan sebagai segala hal-ihwal
yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan
peraturan perundang-undangan”.
Sifat dari tugas polisi adalah:
a) Preventif (sifat mencegah), yaitu menjaga jangan sampai terjadi
perbuatan atau kelalaian yang dapat mengganggu ketertiban
dan keamanan.
b) Represif (sifat memberantas) yaitu mencari dan menyelidiki
peristiwa-peristiwa yang telah mengganggu ketertiban dan
keamanan.
Pelaksanaan wewenang kepolisian didasarkan pada tiga asas
yakni:
a) asas legalitas;
b) asas plichmatigheid;
c) asas subsidiaritas
Asas legalitas adalah asas di mana setiap tindakan polisi harus
didasarkan kepada undang-undang atau peraturan perundang-
undangan. Asas plichmatigheid ialah asas di mana polisi sudah
dianggap sah berdasarkan atau bersumber kepada kekuasaan atau
kewenangan umum (Momo Kelana, 1994:10).
2) Jaksa Penuntut Umum
Menurut Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan Republik Indonesia, “Kejaksaan adalah lembaga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang
penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang”.
Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan. Di bidang pidana,
kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:
a) Melakukan penuntutan;
b) Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
c) Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana
bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas
bersyarat;
d) Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu
berdasarkan undang-undang;
e) Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat
melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke
pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan
penyidik.
Menurut Pasal 1 butir butir 1 KUHAP: “Jaksa adalah pejabat
yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak
sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.
Pasal 1 butir 2 KUHAP: “Penuntut Umum adalah Jaksa yang
diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk melakukan
penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim”.
Di dalam Pasal 14 KUHAP disebutkan bahwa tugas dan
wewenang Penuntut Umum adalah:
a) menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu;
b) mengadakan pra penuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
c) memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;
d) membuat surat dakwaan; e) melimpahkan perkara ke pengadilan; f) menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang
ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan;
g) melakukan penuntutan; h) menutup perkara demi kepentingan hukum; i) mengadakan tindakan lain dalam Iingkup tugas dan tanggung
jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini;
j) melaksanakan penetapan hakim.
3) Hakim
Menurut Pasal 1 butir 8 KUHAP, “hakim adalah Pejabat
pengadilan Negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk
mengadili”.
Adapun yang dimaksud mengadili adalah serangkaian tindakan
hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara pidana
berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang
pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-
undang. Wewenang hakim utamanya adalah mengadili yang meliputi
kegiatan-kegiatan menerima, memeriksa, dan memutus perkara
pidana.
Undang–undang telah menempatkan hakim pada kedudukan
yang terhormat. Diantara tolok ukurnya adalah Hakim diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden selaku kepala Negara (Bambang
Waluyo,2000:73).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
Tindak pidana
Pembuktian
tindak pidana
Pasal 184 ayat (1) KUHAP
Saksi Ahli Surat Petunjuk Keterangan terdakwa
Tidak terkait kasus
Terkait kasus
Saksi Kunci
Saksi Mahkota
PerlindunganHukum
B. Kerangka Pemikiran
Gambar 1.
Skema Kerangka Pemikiran
Keterangan:
Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum
yang mana larangan tersebut disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana
tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. Oleh karena itu bersalah
atau tidaknya seseorang haruslah melalui proses pembuktian. Sistem pembuktian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
yang berlaku di Indonesia adalah negatief wettelijk stelsel dimana salah tidaknya
seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan pada cara
dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut UU.
Alat bukti yang sah sebagaimana diterangkan dalam pasal 184 KUHAP,
yaitu yang dimaksud alat bukti yang sah adalah : (1). keterangan saksi; (2).
keterangan ahli; (3). surat; (4). petunjuk; dan (5). keterangan terdakwa.
Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang
berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar
sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari
pengetahuannya itu. Saksi di sini dapat merupakan saksi yang tidak terkait kasus
(saksi kunci) maupun saksi yang terkait kasus (saksi mahkota).
Pada dasarnya saksi kunci merupakan saksi sesuai dengan pengertian saksi
pada Pasal 1 angka 26 KUHAP. Sedangkan saksi mahkota adalah saksi yang
berasal dan atau diambil dari salah seorang atau lebih tersangka atau terdakwa
lainnya yang bersama-sama melakukan perbuatan pidana. Penggunaan saksi
mahkota dibenarkan didasarkan pada prinsip-prinsip tertentu yaitu, 1) dalam
perkara delik penyertaan ; 2). terdapat kekurangan alat bukti ; dan 3). diperiksa
dengan mekanisme pemisahan (splitsing);
Penegak hukum dalam mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak
pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana sering mengalami kesulitan
karena tidak dapat menghadirkan saksi dan atau korban disebabkan adanya
ancaman, baik fisik maupun psikis dari pihak tertentu. Sehubungan dengan
penegakan hukum, perlu dilakukan perlindungan hukum bagi saksi dan korban
yang sangat penting keberadaannya dalam proses peradilan pidana.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
BAB III.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Perlindungan Hukum terhadap Whistle Blower yang Terkait Kasus
dalam Perspektif Penegakan Hukum Pidana
1. Pengaturan Penggunaan Whistle Blower yang Terkait Kasus (Saksi
Mahkota)
Dalam kedudukannya sebagai instrumen hukum publik yang
mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materil
maka Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah memiliki rumusan sistem
pembuktian tersendiri. Adapun rumusan sistem pembuktian tersebut
tentunya untuk mendukung tujuan dari hukum acara pidana, yaitu untuk
mencari dan memperoleh kebenaran.
Dengan tercapainya kebenaran materiil maka akan tercapai pula
tujuan akhir hukum acara pidana, yaitu untuk mencapai suatu ketertiban,
ketentraman, keadilan dan kesejahteraan dalam masyarakat (Andi
Hamzah,2001:9).
Selain itu, untuk mendukung implementasi rumusan sistem
pembuktian tersebut tentunya harus berpedoman pada asas-asas yang
berlaku dalam proses peradilan pidana, seperti asas praduga tidak bersalah
(presumption of innocence), asas persamaan dihadapan hukum (equality
before the law) dan asas pemeriksaan akusator (Syamsul Bahri
Radjam,2006:273).
Salah satu bentuk dari adanya asas praduga tidak bersalah maka
terdakwa sebagai subjek dalam setiap tingkatan pemeriksaan tidak
dibebani dengan kewajiban pembuktian. Hal tersebut merupakan bentuk
hak asasi terdakwa sebagai konsekuensi dari dianutnya asas pemeriksaan
akusator dalam KUHAP. Oleh karena itu, sebagai subjek dalam
pemeriksaan maka tersangka atau terdakwa diberikan kebebasan untuk
31
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
melakukan pembelaan diri terhadap tuduhan atau dakwaan yang ditujukan
kepada dirinya (Darwan Prinst,1998:107).
Ditinjau dari perspektif sistem peradilan pidana maka perihal pembuktian merupakan hal yang sangat determinan bagi setiap pihak yang terlibat secara langsung dalam proses pemeriksaan perkara pidana, khususnya dalam hal menilai terbukti atau tidak terbuktinya kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa (Lilik Mulyadi,2007:49). Bagi penuntut umum, maka pembuktian merupakan faktor yang
sangat determinan dalam rangka mendukung tugasnya sebagai pihak yang
memiliki beban untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Hal tersebut
sesuai dengan prinsip dasar pembuktian sebagaimana yang dijelaskan
dalam Pasal 66 KUHAP yang menyatakan bahwa pihak yang
mendakwakan maka pihak tersebut yang harus membuktikan dakwaannya
(Adami Chazawi,2006:201).
Berbeda halnya dengan advokat dalam kapasitasnya sebagai
penasihat hukum, maka pembuktian merupakan faktor yang determinan
dalam rangka melakukan pembelaan yang optimal terhadap terdakwa
selaku kliennya.
Dalam kapasitasnya sebagai pihak yang memiliki kewenangan
untuk melakukan pemeriksaan pada tingkatan pengadilan maka perihal
pembuktian merupakan faktor yang juga sangat menentukan bagi hakim
dalam mendukung pembentukan faktor keyakinan hakim. Hal tersebut
sebagaimana yang tercantum dalam ketentuan Pasal 183 KUHAP yang
pada pokoknya menjelaskan bahwa hakim dalam menjatuhkan pidana
kepada terdakwa harus didasarkan pada minimal dua alat bukti yang sah
dan keyakinan hakim yang terbentuk didasarkan pada alat bukti yang sah
tersebut. Oleh karena itu, apabila ditinjau dari perspektif yuridis maka
dalam perihal pembuktian tersebut tentunya harus berisi ketentuan tentang
jenis alat bukti dan ketentuan tentang tata cara pembuktian yang dilakukan
secara benar dan tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang dengan
melanggar hak asasi terdakwa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
Seringkali dalam berbagai sidang pembuktian perkara pidana,
muncul alat bukti yang disebut dengan istilah saksi mahkota. KUHAP
sebagai hukum formil telah memiliki sistem pembuktian tersendiri yang
mengacu pada alat bukti yang sah sebagaimana diterangkan dalam pasal
184 KUHAP, yaitu yang dimaksud alat bukti yang sah adalah :
a).keterangan saksi ; b).keterangan ahli ; c). surat ; d). petunjuk dan e).
keterangan terdakwa.
Walaupun tidak diberikan suatu definisi otentik dalam KUHAP
mengenai saksi mahkota (kroon getuide), namun berdasarkan perspektif
empirik maka saksi mahkota didefinisikan sebagai saksi yang berasal atau
diambil dari salah seorang tersangka atau terdakwa lainnya yang bersama-
sama melakukan perbuatan pidana, dan dalam hal mana kepada saksi
tersebut diberikan mahkota. Adapun mahkota yang diberikan kepada saksi
yang berstatus terdakwa tersebut adalah dalam bentuk ditiadakan
penuntutan terhadap perkaranya atau diberikannya suatu tuntutan yang
sangat ringan apabila perkaranya dilimpahkan ke pengadilan atau
dimaafkan atas kesalahan yang pernah dilakukan (Lilik Mulyadi,2007:85).
Saksi mahkota menurut Loebby Loqman, yaitu “saksi mahkota
adalah kesaksian sesama terdakwa, yang biasanya terjadi dalam peristiwa
penyertaan” (Loebby Loqman,1995:11).
Pada awalnya, pengaturan mengenai saksi mahkota hanya diatur
dalam ketentuan Pasal 168 huruf (c) KUHAP, yang pada pokoknya
menjelaskan bahwa pihak yang bersama-sama sebagai terdakwa tidak
dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi.
Kemudian dalam perkembangannya, maka tinjauan pemahaman tentang
saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana diatur dalam
Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1986
K/Pid/1989 tanggal 21 Maret 1990.
Dalam yurisprudensi nomor 1986 K/Pid/1989 tanggal 21 Maret
1990 tersebut dijelaskan bahwa Mahkamah Agung tidak melarang apabila
jaksa penuntut umum mengajukan saksi mahkota di persidangan dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
syarat bahwa saksi ini dalam kedudukannya sebagai terdakwa tidak
termasuk dalam satu berkas perkara dengan terdakwa yang diberikan
kesaksian. Selain itu, dalam yurisprudensi tersebut juga telah diberikan
suatu definisi tentang saksi mahkota yaitu teman terdakwa yang
melakukan tindak pidana bersama-sama diajukan sebagai saksi untuk
membuktikan dakwaan penuntut umum, yang perkara diantaranya dipisah
karena kurangnya alat bukti.
Berdasarkan hal tersebut, maka pengajuan saksi mahkota sebagai
alat bukti dalam perkara pidana didasarkan pada kondisi-kondisi tertentu,
yaitu dalam hal adanya perbuatan pidana dalam bentuk penyertaan dan
terhadap perbuatan pidana bentuk penyertaan tersebut diperiksa dengan
mekanisme pemisahan (splitsing), serta apabila dalam perkara pidana
bentuk penyertaan tersebut masih terdapat kekurangan alat bukti,
khususnya keterangan saksi. Hal ini tentunya bertujuan agar terdakwa
tidak terbebas dari pertanggungjawabannya sebagai pelaku perbuatan
pidana.
Terhadap keterangan saksi mahkota ini ada perkembangan menarik
dari Mahkamah Agung RI. Di satu pihak Mahkamah Agung berpendirian
bahwa undang-undang tidak melarang jika jaksa/penuntut umum
mengajukan ''saksi mahkota'' di persidangan dengan syarat saksi ini dalam
kedudukannya sebagai terdakwa tidak termasuk dalam satu berkas perkara
dengan terdakwa yang diberikan kesaksian (Putusan Mahkamah Agung RI
Nomor: 1986 K/Pid/1989 tanggal 21 Maret 1990). Sedangkan di lain pihak
berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 1174 K/Pid/1994
tanggal 3 Mei 1995, Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 1590
K/Pid/1995 tanggal 3 Mei 1995 dan Putusan Mahkamah Agung RI
Nomor: 1592 K/Pid/1995 tanggal 3 Mei 1995 di mana secara yuridis
pemecahan terdakwa sebagai saksi mahkota terhadap terdakwa lainnya
adalah bertentangan dengan Hukum Acara Pidana yang menjunjung tinggi
prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung No. 1174K/Pid/1994 dan
No. 1592 K/Pid/1994 tidak membenarkan adanya penggunaan sanksi
mahkota Dalam pembuktian perkara pidana. Menurut Yurisprudensi ini,
saksi mahkota juga adalah pelaku yang diajukan sebagai terdakwa yang
dakwaanya sama dengan terdakwa yang diberikan kesaksian. Saksi yang
disumpah harus berkata benar tentang apa yang ia lihat, dengar, serta ia
alami sendiri kalau tidak dapat dipidana atas kesaksiannya tersebut. Disini
saksi mahkota mengalami tekanan psikis karena secara implisit
membuktikan perbuatan yang ia lakukan, disisi yang lain bahwa kesaksian
yang benar akan diancam pidana dalam kedudukannya sebagai terdakwa
yang tidak dapat mengingkari atau membela diri karena terikat dengan
sumpah saksi.
2. Ketentuan Hukum Perlindungan Whistle Blower yang Terkait Kasus
(Saksi Mahkota)
Whistle blower (peniup peluit) merupakan istilah yang dikenal di
Amerika Serikat bagi mereka yang melaporkan terjadinya tindak pidana.
Untuk itu, AS mengeluarkan Whistle Blower Protection Act untuk
melindungi para pegawai dari pembalasan dendam pegawai lain yang
dilaporkan karena melakukan kesalahan
(http://www.asmarsaleh.com/article-a-legal-opinion/55-apresiasi-terhadap-
saksi-mahkota.html>9 maret 2011 pukul 08.17).
Saksi mahkota adalah saksi yang berasal dan/atau diambil dari
salah seorang atau lebih tersangka atau terdakwa lainnya yang bersama-
sama melakukan perbuatan pidana dan dalam hal mana kepada saksi
tersebut diberikan mahkota.
Apabila dikaji secara implisit maka ketentuan Pasal 168 huruf b
KUHAP yang berbunyi: “Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama
sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang
mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa
sampai derajat ketiga”. Dalam pasal tersebut, secara implisit mengatur
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
tentang saksi mahkota. Dalam praktik peradilan, eksistensi jenis saksi ini
tampak apabila terdakwa yang sama-sama sebagai pelaku tindak pidana
tersebut kemudian perkaranya dipisakan menjadi berkas perkara tersendiri
(splitsling perkara) dalam hal ini keduanya satu sama lain saling menjadi
saksi. Kongkretnya, status mereka masing-masing adalah sebagai
terdakwa sekaligus sebagai saksi terhadap perkara lainnya.
Dari ketentuan pasal KUHAP yang mengatur secara implisit
tentang saksi mahkota apabila dikaji dari visi teoretik dan praktik
menimbulkan nuansa yuridis. Di satu sisi diajukannya saksi ini di depan
persidangan diharapkan dapat mengungkapkan kebenaran material suatu
tindak pidana yang dilakukan terdakwa, terlebih lagi terhadap tindak
pidana yang relatif cukup sulit pembuktiannya. Akan tetapi di sisi lainnya
penerapan jenis saksi ini akan berbenturan dengan aspek teoretik di mana
pengaturan saksi mahkota tidak ada diatur secara tegas dalam KUHAP.
Selain itu dari sudut pandang hukum pidana material akan menimbulkan
implikasi yuridis. Kongkretnya, pada dimensi praktik jenis saksi mahkota
dibutuhkan dalam rangka pengungkapan sebuah perkara. Sedangkan dari
dimensi lainnya pengaturan dan implikasi yuridis jenis saksi ini terlihat
dari aspek teoretiknya.
Menurut Lilik Mulyadi dalam bukunya Putusan Hakim dalam
Hukum Acara Pidana (Teori, Praktik, Teknik, Penyusunan, dan
Permasalahannya) pada hakikatnya saksi mahkota atau kroon getuige
adalah saksi yang diambil dari salah seorang tersangka/terdakwa di mana
kepadanya diberikan suatu mahkota. Dengan demikian berdasarkan visi
praktik maka dimensi saksi ini mempunyai anasir:
a. Saksi mahkota adalah seseorang yang dapat memberikan keterangan
guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu
perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat dan ia alami sendiri
(Pasal 1 angka 26 KUHAP).
b. Saksi mahkota diambil dari salah seorang terdakwa yaitu seorang yang
karena perbuatan atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
diduga sebagai pelaku tindak pidana (Pasal 1 angka 14 KUHAP) atau
terdakwa yaitu seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili
di sidang pengadilan (Pasal 1 angka 15 KUHAP). Saksi mahkota
hanya ada pada satu tindak pidana.
c. Saksi tersebut kemudian diberikan mahkota dalam artian saksi
mahkota diberikan kehormatan berupa perlakuan istimewa yaitu tidak
dituntut atas tindak pidana di mana ia sebenarnya merupakan salah
satu pelakunya atau ia dimaafkan atas kesalahannya.
Dalam praktik umumnya untuk kasus tertentu tak jarang dijumpai
bahwa penyidik sangat sulit, bahkan hampir tidak mungkin mendapatkan
saksi karena kuatnya para pelaku tindak pidana dalam menjaga
kerahasiaannya. Maka salah satu cara membongkar sindikat kejahatan
tersebut kemudian penyidik dapat memerintahkan anggotanya sebagai
penyelidik ikut bergabung dalam sindikat sebagai salah seorang pelaku
kejahatan atau mengambil salah seorang anggota sindikat untuk dijadikan
''saksi mahkota'' atas tindak pidana yang dilakukan sindikat bersangkutan.
Dengan demikian dalam praktik peradilan secara substansial
dikenal adanya dua macam gradasi saksi mahkota, yakni:
a. saksi mahkota adalah seorang petugas yang dengan sengaja
menjalankan perintah atasannya untuk melakukan tindak pidana;
b. saksi mahkota adalah orang yang betul-betul sebagai pelaku tindak
pidana.
Perlindungan pada saksi mahkota tersebut adalah:
a. Saksi mahkota yang merupakan seorang petugas yang sengaja
menjalankan perintah atasannya untuk melakukan tindak pidana.
Terhadap saksi mahkota yang merupakan seorang petugas yang
sengaja menjalankan perintah atasannya untuk melakukan tindak
pidana. maka dasar pemberian mahkotanya atau perlindungan
hukumnya adalah merujuk kepada ketentuan Pasal 51 ayat (1) Kitab
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu : ”Barang siapa
melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang
diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana”.
Ketentuan Pasal 51 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP) tersebut bermaksud bahwa seseorang yang melakukan
tindak pidana atas perintah atasan atau atas perintah dari penguasa
yang berwenang, maka terhadap orang tersebut tidak dipidana.
Ketentuan Pasal 51 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP) ini adalah sebagai alasan pemaaf karena petugas
bersangkutan melakukan perintah jabatan.
b. Saksi mahkota yang betul-betul sebagai pelaku tindak pidana.
Terhadap saksi mahkota yang betul-betul sebagai pelaku tindak
pidana, maka pemberian mahkotanya berupa pembebasan dari
tuntutan berdasarkan asas oportunitas (opportuniteitsbeginsel) oleh
penyidik dan penuntut umum.
Asas opportunitas adalah penuntut umum tidak wajib menuntut seseorang yang melakukan perbuatan pidana jika menurut pertimbangannya akan merugikan kepentingan umum asas opportunitas diakui dalam Pasal 35 huruf c Undang-Undang No 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia “ Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang menyampingkan perkara demi kepentingan umum” (Ramelan, 2006:10).
Perlindungan terhadap terdakwa yang memberikan kesaksian
tersebut sangat diperlukan. Informasi penting yang mereka berikan
membantu menyingkap kasus yang melibatkan mereka, terutama
mengungkap semua orang yang terlibat di dalamnya. Selain itu, adanya
jaminan perlindungan yang memadai membuat pelapor atau saksi lain
yang mengetahui sebuah tindak pidana, khususnya korupsi, terpicu
keberaniannya untuk memberi kesaksian.
Sebagai imbalan atas kesaksiannya, sesuai dengan Pasal 10 ayat (2)
UU Perlindungan Saksi, saksi mahkota berhak mendapatkan insentif
hukum berupa keringanan hukuman. Selengkapnya pasal tersebut berbunyi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
: "Seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat
dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan
hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan."
3. Kelembagaan yang Melindungi Saksi Mahkota
Di Indonesia penuntut umum disebut juga Jaksa (Pasal 1 butir a dan
b serta Pasal 137 dan seterusnya KUHAP). Wewenang penuntutan
dipengang penuntut umum sebagai monopoli, artinya tiada badan lain
yang boleh melakukan itu. Ini disebut dominus litis ditangan penuntut
umum atau jaksa. Hakim tidak dapat meminta supaya delik diajukan
kepadanya. Jadi hakim hanya menunggu saja penuntutan dari penuntut
umum (Andi Hamzah,1996:14).
Dalam hubungannya dengan hak penuntutan dikenal dua asas yaitu
yang disebut asas legalitas dan opportunitas (het legaliteits en het
opportuniteits beginsel) menurut asas yang tersebut pertama penuntut
umum wajib menuntut suatu delik.
Menurut asas yang kedua, penuntut umum tidak wajib menuntut
seseorang yang melakukan delik jika menurut pertimbangannya akan
merugikan kepentingan umum. Jadi demi kepentingan umum, seseorang
yang melakukan delik tidak dituntut (Andi Hamzah,1996:15).
Asas opportunitas adalah penuntut umum tidak wajib menuntut seseorang yang melakukan perbuatan pidana jika menurut pertimbangannya akan merugikan kepentingan umum asas opportunitas diakui dalam Pasal 35 huruf c Undang-Undang No 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia “ Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang menyampingkan perkara demi kepentingan umum” (Ramelan, 2006:10).
Menurut A.Z. Abidin Farid memberikan perumusan asas
opportunitas sebagai berikut. “ Asas hukum yang memberikan wewenang
kepada penuntut umum untuk menuntut atau tidak menuntut dengan atau
tanpa syarat seseorang atau korporasi yang telah mewujudkan delik demi
kepentingan umum (Abidin Farid dikutip Andi Hamzah, 2008:17).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
Dalam hukum acara pidana dikenal adanya suatu badan khusus
yang diberi wewenang untuk melakukan penuntutan ke pengadilan yang
disebut penuntut umum hal tersebut terlihat dalam Pasal 1 butir 6 no.a dan
b dan Pasal 137 KUHAP yang ditentukan sebagai berikut :
1) Pasal 1 butir a : Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh
Undang-Undang ini untuk bertindak sebagai Penuntut Umum serta
melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.
2) Pasal 1 butir b : Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi
wewenang oleh Undang-Undang ini untuk melakukan penuntutan
dan melaksanakan penetapan hakim.
3) Pasal 137 : Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan
terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana
dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke
pengadilan yang berwenang mengadili.
Sedangkan mengenai asas opportunitas diatur dalam Pasal 35c
Undang-Undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia dengan tegas menyatakan asas opportunitas itu dianut di
Indonesia. Pasal itu berbunyi sebagai berikut :“Jaksa Agung dapat
menyampingkan perkara berdasarkan kepentingan umum”.
Keberadaan asas opportunitas dipertegas lagi dalam penjelasan
Pasal 77 KUHAP yang berbunyi : ”yang dimaksud penghentian
penuntutan tidak termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan
umum yang menjadi wewenang jaksa agung”.
Yang dimaksud dengan “kepentingan umum” dalam pendeponeran
perkara itu, pedoman pelaksanaan KUHAP memberikan penjelasan
sebagai berikut : “.......Dengan demikian, kriteria demi kepentingan umum
dalam penerapan asas opportunitas di negara kita adalah didasarkan untuk
kepentingan negara dan masyarakat dan bukan untuk kepentingan
masyarakat”.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
Menurut Andi Hamzah, dengan berlakunya UUD 1945 maka Jaksa
Agung mempertanggungjawabkan pelaksanaan wewenang opportunitas
kepada presiden, yang pada gilirannya presiden
mempertanggungjawabkan pula kepada rakyat.
Hukum tidak terlepas dari nilai-nilai dalam masyarakat, dan bahkan
dapat dikatakan bahwa hukum itu merupakan pencerminan dan
konkretisasi daripada nilai-nilai yang pada suatu saat berlaku dalam
masyarakat. Hukum yang baik adalah hukum yang hidup dalam
masyarakat. Kepekaan para penegak hukum dalam menempatkan hukum
sebagai kebutuhan yang terjadi dalam masyarakat adalah kebutuhan
pokok. Begitu pula Penuntut umum dalam melakukan penuntutan. Harus
menghubungkan antara kepentingan hukum dan kepentingan umum
karena kedua soal ini saling mempengaruhi satu sama lain. Penuntut
umum tidak hanya melihat kejahatan dan mencocokannya dengan suatu
peraturan hukum pidana,akan tetapi mencoba menempatkan kejadian itu
dengan menghubungkan pada proporsi yang sebenarnya.
Karena kepentingan umum maka penuntut umum (Jaksa Agung)
dapat menyampingkan perkara. Adapun yang dimaksud dengan
kepentingan umum tidak ada batasan pengertian yang jelas dalam
peraturan perundang-undangan. Untuk itu permasalahannya harus kita
kembalikan pada tujuan hukum atau cita-cita hukum.
Di bawah ini dapat dibandingkan antara kepentingan negara dan
kepentingan mayarakat yang harus dilindungi dalam hubungannya dengan
pelaksanaan asas opportunitas yaitu:
1) Apabila tindak pidana itu menimbulkan kerugian bagi negara dan
tidak terhadap kepentingan masyarakat, sedangkan kerugian dari
akibat tersebut dirasakan tidak mempengaruhi jalanya
pemerintahannya, maka dapat perkara itu dikesampingkan.
2) Apabila tindak tindak pidana tersebut tidak merugikan bagi
kepentingan penyelenggara negara namun berakibat terganggunya
kehidupan masyarakat atau timbulnya ketidakadilan dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
masyarakat, maka perkara tersebut tidak dapat dikesampingkan
(Andi Hamzah:2006,158-159).
United Nations Convention Against Corruption (2003), di mana
Indonesia telah turut menandatangani Konvensi tersebut, memberikan
beberapa tipe/bentuk perlindungan hukum dalam kaitannya dengan tindak
pidana korupsi, yaitu :
1) Protection of Witnesses, Experts and Victims (Pasal 32);
2) Protection of Reporting Persons (Pasal 33);
3) Protection of cooperating Persons (Pasal 37).
Pasal 37 ini memiliki persamaan ide yang dikemukakan oleh Jaksa
agung RI.
Disebutkan Pasal 37 ayat 2 :
“Setiap Negara peserta wajib mempertimbangkan memberikan kemungkinan dalam kasus-kasus yang tertentu, mengurangi hukuman dari seorang tertuduh yang memberikan kerjasama yang substansial dalam penyelidikan atau penuntutan suatu kejahatan yang ditetapkan berdasarkan konvensi ini”.
Pasal 37 ayat 3 :
“Setiap negara peserta wajib mempertimbangkan kemungkinan, sesuai dengan prinsip-prinsip dasar hukum nasionalnya, untuk memberikan kekebalan (immunity) dari penuntutan bagi orang yang memberikan kerjasama yang substansial dalam penyelidikan atau penuntutan suatu kejahatan yang ditetapkan berdasarkan Konvensi ini”.
Jadi, perlindungan terhadap orang-orang yang bekerjasama dengan
penegak hukum dikategorikan dengan 2 macam, yaitu bagi seorang
terdakwa dengan pemberian pengurangan hukuman (mitigating
punishment), dan seorang terdakwa dengan pemberian kekebalan dari
penuntutan (immunity from prosecution).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
Perlindungan terhadap seorang terdakwa yang bekerjasama dengan
penegak hukum (saksi mahkota) ini dilindungi oleh Jaksa,yaitu sebagai
imbalan atas kesaksiannya, sesuai dengan Pasal 10 ayat (2) UU
Perlindungan Saksi, saksi mahkota berhak mendapatkan insentif hukum
berupa keringanan hukuman.
B. Perlindungan Hukum terhadap Whistle Blower yang Tidak Terkait Kasus
dalam Perspektif Penegakan Hukum Pidana
1. Kedudukan Whistle Blower yang Tidak Terkait Kasus (Saksi Kunci)
Saksi dalam peradilan pidana menempati posisi utama, sebagaimana
dalam penempatannya pada Pasal 184 KUHP. Sebagai alat bukti utama,
dampak penggunaan saksi ini akan terasa apabila dalam suatu perkara
tidak diperoleh saksi. Pentingnya kedudukan saksi dala proses peradilan
pidana telah dimulai sejak awal proses peradilan pidana. Terungkapnya
kasus pelanggaran hukum sebagian besar berdasarkan informasi dari
masyarakat. Begitu pula dalam proses selanjutnya, di tingkat Kejaksaan
sampai pada tingkat Pengadilan, keterangan saksi sebagai alat bukti utama
menjadi acuan hakim dalam memutus bersalah atau tidaknya terdakwa.
Saksi merupakan kontribusi yang besar dalam upaya menegakkan hukum
dan keadilan.
Saksi memerlukan perlindungan karena:
a. Bagi saksi (apalagi orang awam hukum), memberikan keterangan
bukanlah suatu hal yang mudah;
b. Bila keterangan yang diberikan ternyata tidak benar, ada ancaman
pidana baginya karena dianggap bersumpah palsu.
c. Keterangan yang diberikannya akan memungkinkan dirinya
mendapatkan ancaman, terror, intimidasi dari pihak yang dirugikan;
d. Memberikan keterangan membuang waktu dan biaya;
e. Aparat penegak hukum tidak jarang memperlakukan saksi seperti
seorang tersangka/terdakwa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
Dalam KUHAP, sebagai ketentuan hukum beracara pidana di
Indonesia, tersangka/terdakwa memiliki sejumlah hak yang diatur secara
tegas dan rinci dalam suatu bab tersendiri. Namun, saksi hanya ada
beberapa pasal dalam KUHAP yang memberikan hak pada saksi, tetapi
pemberiannya pun selalu dikaitkan dengan tersangka/terdakwa. Dengan
demikian, hak yang dimiliki oleh saksi dimiliki pula oleh
tersangka/terdakwa, tetapi banyak hak tersangka/terdakwa yang tidak
dimiliki oleh saksi.
Secara normatif, KUHAP khusus memberikan hak pada saksi yaitu
pada Pasal 229 ayat (1) KUHAP. Yaitu : “saksi atau ahli yang telah hadir
memenuhi panggilan dalam rangka memberikan keterangan di semua
tingkat pemeriksaan, berhak mendapat penggantian biaya menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Di Indonesia kehadiran Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban merupakan salah satu payung
hukum untuk memberikan perlindungan saksi. mengingat masih
banyaknya keluhan masyarakat mengenai perlu dan pentingnya
perlindungan saksi.
Perlindungan terhadap saksi dan korban harus diberikan bila
menginginkan proses hukum berjalan benar dan keadilan ditegakkan. Hal
ini dapat diperhatikan bahwa adanya fakta menunjukkan, banyak kasus-
kasus pidana maupun pelanggaran Hak Asasi Manusia yang tidak
terungkap dan tidak terselesaikan disebabkan adanya ancaman baik fisik
atau psikis maupun upaya kriminalisasi terhadap saksi dan korban ataupun
keluarganya yang membuat masyarakat takut memberi kesaksian kepada
penegak hukum.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
2. Ketentuan Hukum Perlindungan Saksi
Ada dua bentuk model perlindungan yang bisa diberikan kepada
saksi dan korban yaitu Pertama procedural rights model dan Kedua the
service model.
a. Procedural Rights Model
Model ini memungkinkan korban berperan aktif dalam proses
peradilan tindak pidana. “Korban diberikan akses yang luas untuk
meminta segera dilakukan penuntutan, korban juga berhak meminta
dihadirkan atau didengarkan keterangannya dalam setiap persidangan
dimana kepentingan korban terkait di dalamnya. Hal tersebut termasuk
pemberitahuan saat pelaku tindak pidana dibebaskan. Model ini
memerlukan biaya yang cukup besar dengan besarnya keterlibatan
korban dalam proses peradilan, sehingga biaya administrasi
peradilanpun makin besar karena proses persidangan bisa lama dan
tidak sederhana.
b. The Service Model
Model ini menentukan standar baku tentang pelayanan terhadap
korban yang dilakukan oleh polisi, jaksa dan hakim. Misalnya
pelayanan kesehatan, pendampingan, pemberian kompensasi dan ganti
rugi serta restitusi. Banyaknya pelayanan yang harus diberikan kepada
saksi dan korban menyebabkan efisiensi pekerjaan dari penegak
hukum tidak tercapai. Efek lain sulit memantau apakah pelayanan itu
benar-benar diterima saksi dan korban. Model yang bisa diterapkan di
Indonesia adalah kombinasi keduanya, karena di Negara Indonesia
paling susah adalah dalam hal koordinasi. Oleh karena itu, kedua
model itu harus disesuaikan dengan keadaan Indonesia, harus diukur
sejauh mana saksi dan korban bisa terlibat dalam proses peradilan.
Begitu pula tentang pemenuhan hak yang dapat diberikan kepada saksi
dan korban. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban telah memuat perlindungan yang harus
diberikan kepada saksi dan korban. Namun dalam hal ini harus ada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
ketentuan yang lebih rinci, seperti yang diatur dalam Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga,
misalnya tentang penanganan secara khusus berkaitan dengan
kerahasiaan korban. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban sebagai
lex specialis hendaknya ditentukan tentang bentuk dan cakupan kasus
yang dilindungi (Yenti. UU No. 13 Tahun 2006 LPSK tidak mengatur
perlindungan terhadap saksi dan korban secara spesifik. Sangat
tergantung pada anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban.http://hukumonline.com/detail.asp?id=17767&cl=Berita49k>1
1 Maret 2011).
Perlindungan bagi saksi dan korban pada prinsipnya harus
merupakan pemberian seperangkat hak yang dapat dimanfaatkan mereka
dalam posisinya pada proses peradilan pidana. Perlindungan ini
merupakan salah satu bentuk penghargaan atas kontribusi saksi dalam
proses ini.
KUHAP memang tidak mempunyai ketentuan yang secara khusus,
rinci dan lengkap tentang hak-hak saksi, termasuk saksi korban dalam
proses peradilan pidana. Akan tetapi bukan berarti dalam KUHAP tidak
ada ketentuan-ketentuan dalam hal tersebut. Adapun beberapa pasal dalam
KUHAP yang dianggap memberikan perlindungan pada saksi dan korban
adalah:
a. Pasal 117 ayat (1):
”Keterangan tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan
tanpa tekanan dari siapa pun dan atau dalam bentuk apapun”.
b. Pasal 118:
“(1) Keterangan tersangka dan atau saksi dicatat dalam berita acara
yang ditandatangani oleh penyidik dan oleh yang memberi
keterangan itu setelah mereka menyetujui isinya.
(2) Dalam hal tersangka dan atau saksi tidak mau membubuhkan
tanda tangannya, penyidik mencatat hal itu dalam berita acara
dengan menyebut alasannya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
c. Pasal 166:
“Pertanyaan yang bersifat menjerat tidak bolèh diajukan baik kepada
terdakwa, maupun kepada saksi”.
d. Pasal 173:
“Hakim ketua sidang dapat mendengar keterangan saksi mengenai hal
tertentu tanpa hadirnya terdakwa, untuk itu Ia minta terdakwa ke luar
dari ruang sidang akan tetapi sesudah itu pemeriksaan perkara tidak
boleh diteruskan sebelum kepada terdakwa diberitahukan semua hal
pada waktu ia tidãk hadir”.
e. Pasal 177:
“(1) Jika terdakwa atau saksi tidak paham bahasa Indonesia, hakim
ketua sidang menunjuk seorang juru bahasa yang bersumpah atau
berjanji akan menterjemahkan dengan benar semua yang harus
diterjemahkan.
f. Pasal 178:
“(1) Jika terdakwa atau saksi bisu dan atau tuli serta tidak dapat
menulis, hakim ketua sidang mengangkat sebagai penterjemah
orang yang pandai bergaul dengan terdakwa atau saksi itu.
(2) Jika terdakwa atau saksi bisu dan atau tuli tetapi dapat menulis,
hakim ketua sidang menyampaikan semua pertanyaan atau
teguran kepadanya secara tertulis dan kepada terdakwa atau
saksi tersebut diperintahkan untuk menulis jawabannya dan
selanjutnya semua pertanyaan serta jawaban harus dibacakan”.
g. Pasal 229:
“(1) Saksi atau ahli yang teIah hadir memenuhi panggilan dalam
rangka memberikan keterangan di semua tingkat pemeriksaan,
berhak mendapat penggantian biaya menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku”.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
h. Pasal 98:
“(1) Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu
pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri
menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang
atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk
menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara
pidana itu”.
Menurut Pasal 5 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban, bentuk perlindungan saksi adalah sebagai
berikut :
1) Perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga dan harta bendanya
serta bebas dari ancaman yang berkaitan dengan kesaksian yang akan,
sedang atau telah diberikan.
2) Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan
serta dukungan keamanan.
3) Memberikan keterangan tanpa tekanan.
4) Mendapat penerjemah.
5) Bebas dari pertanyaan yang menjerat.
6) Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasusnya.
7) Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan.
8) Diberitahu ketika terpidana dibebaskan.
9) Mendapatkan identitas baru.
10) Mendapatkan tempat kediaman baru.
11) Penggantian biaya transportasi.
12) Mendapatkan penasihat hukum.
13) Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu
perlindungan berakhir.
Dalam Pasal 8 Undang-Undang Perlindungan saksi dan korban
disebutkan: “Perlindungan dan hak saksi dan korban diberikan sejak tahap
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
penyelidikan dimulai dan berakhir sesuai dengan ketentuan sebagaimana
diatur dalam undang-undang ini”.
Sasaran perlindungan yang diberikan Undang-undang
Perlindungan Saksi dan Korban, terhadap saksi dan korban diatur dalam
Pasal 5 bahwa hak diberikan kepada saksi dan/atau korban tindak pidana
dalam kasus-kasus tertentu sesuai dengan keputusan Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban. Dalam Pasal 6 Undang-undang
Perlindungan Saksi dan Korban, korban dalam pelanggaran hak asasi
manusia yang berat, juga berhak untuk mendapatkan:
1) bantuan medis;
2) bantuan rehabilitasi psiko-sosial.
Dalam Pasal 7 Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban ,
korban melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban berhak
mengajukan ke pengadilan berupa:
1) hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang
berat;
2) hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab
pelaku tindak pidana.
Keputusan mengenai kompensasi dan restitusi diberikan oleh
pengadilan, dan ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian kompensasi
dan restitusi diatur dengan Peraturan Pemerintah. Perlindungan dan hak
saksi dan korban diberikan sejak tahap penyelidikan dimulai dan berakhir.
Saksi dan/atau korban yang merasa dirinya berada dalam ancaman
yang sangat besar, atas persetujuan hakim dapat memberikan kesaksian
tanpa hadir langsung di pengadilan tempat perkara tersebut sedang
diperiksa. Saksi dan/atau korban dapat memberikan kesaksiannya secara
tertulis yang disampaikan di hadapan pejabat yang berwenang dan
membubuhkan tanda tangannya pada berita acara yang memuat tentang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
kesaksian tersebut. Saksi dan/atau korban dapat pula didengar
kesaksiannya secara langsung melalui sarana elektronik dengan
didampingi oleh pejabat yang berwenang, hal ini diatur dalam Pasal 9
Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban.
Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban
menyebutkan : ‘Saksi, korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara
hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan,
sedang, atau telah diberikannya”.
Menurut Pasal 28 Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban,
bahwa perjanjian perlindungan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
terhadap saksi dan/atau korban tindak pidana diberikan dengan
mempertimbangkan syarat sebagai berikut:
1) sifat pentingnya keterangan saksi dan/atau korban;
2) tingkat ancaman yang membahayakan saksi dan/atau korban;
3) hasil analisis tim medis atau psikolog terhadap saksi dan/atau korban;
4) rekam jejak kejahatan yang pernah dilakukan oleh saksi dan/atau
korban.
Pasal 29 Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban
menyatakan bahwa Tata cara memperoleh perlindungan sebagai berikut:
1) Saksi dan/atau korban yang bersangkutan, baik atas inisiatif sendiri
maupun atas permintaan pejabat yang berwenang, mengajukan
permohonan secara tertulis kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban;
2) Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban segera melakukan
pemeriksaan terhadap permohonan;
3) Keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban diberikan secara
tertulis paling lambat 7 (tujuh) hari sejak permohonan perlindungan
diajukan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
Bagi saksi dan/atau korban yang menghendaki perlindungan dari
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, saksi dan/atau korban baik atas
inisiatif sendiri maupun atas permintaan pejabat yang berwenang,
mengajukan permohonan secara tertulis kepada Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban.
Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban lebih kongkrit
menegaskan bahwa dalam hal Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
menerima permohonan saksi dan/atau korban, saksi dan/atau korban
menandatangani pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan
perlindungan saksi dan korban. Pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan
ketentuan perlindungan saksi dan korban memuat:
1) kesediaan saksi dan/atau korban untuk memberikan kesaksian dalam
proses peradilan;
2) kesediaan saksi dan/atau korban untuk menaati aturan yang berkenaan
dengan keselamatannya;
3) kesediaan saksi dan/atau korban untuk tidak berhubungan dengan cara
apa pun dengan orang lain selain atas persetujuan Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban, selama ia berada dalam perlindungan
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban;
4) kewajiban saksi dan/atau korban untuk tidak memberitahukan kepada
siapa pun mengenai keberadaannya di bawah perlindungan Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban; dan
5) hal-hal lain yang dianggap perlu oleh Lembaga Perlindungan Saksi
dan Korban .
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban mempunyai kewajiban
memberikan perlindungan sepenuhnya kepada saksi dan/atau korban,
termasuk keluarganya, sejak ditandatanganinya pernyataan kesediaan
mengikuti persyaratan tersebut dalam Pasal 30. Perlindungan atas
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
keamanan saksi dan/atau korban hanya dapat diberhentikan berdasarkan
alasan-alasan seperti yang tercantum dalam Pasal 32 yaitu:
1) Saksi dan/atau korban meminta agar perlindungan terhadapnya
dihentikan dalam hal permohonan diajukan atas inisiatif sendiri;
2) atas permintaan pejabat yang berwenang dalam hal permintaan
perlindungan terhadap saksi dan/atau korban berdasarkan atas
permintaan pejabat yang bersangkutan;
3) Saksi dan/atau korban melanggar ketentuan sebagaimana tertulis
dalam perjanjian; atau
4) Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban berpendapat bahwa saksi
dan/atau korban tidak lagi memerlukan perlindungan berdasarkan
bukti-bukti yang meyakinkan.
Penghentian perlindungan keamanan seorang saksi dan/atau korban
harus dilakukan secara tertulis.
Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban juga mengatur
mengenai bantuan bagi saksi atau korban sebagaimana diatur dalam Pasal
33 sampai dengan Pasal 36, sebagaimana penulis jelaskan sebagai berikut
ini.
Bantuan diberikan kepada seorang saksi dan/atau korban atas
permintaan tertulis dari yang bersangkutan ataupun orang yang
mewakilinya kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dan
menentukan kelayakan diberikannya bantuan kepada saksi dan/atau
korban. Dalam hal saksi dan/atau korban layak diberi bantuan, Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban menentukan jangka waktu dan besaran
biaya yang diperlukan. Ketentuan lebih lanjut mengenai kelayakan serta
jangka waktu dan besaran biaya diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban mengenai
pemberian bantuan kepada saksi dan/atau korban harus diberitahukan
secara tertulis kepada yang bersangkutan dalam waktu paling lambat 7
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
(tujuh) hari kerja sejak diterimanya permintaan tersebut. Dalam
melaksanakan pemberian perlindungan dan bantuan, Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban dapat bekerja sama dengan instansi terkait
yang berwenang dan melaksanakan perlindungan dan bantuan, instansi
terkait sesuai dengan kewenangannya wajib melaksanakan keputusan
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
3. Kelembagaan Perlindungan Saksi
Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban melahirkan
lembaga baru sebagimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 3 yaitu
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban yang merupakan lembaga yang
bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain
kepada saksi dan/atau korban sebagaimana diatur dalam Undang--undang
ini. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, merupakan lembaga yang
mandiri dalam arti lembaga yang independent, tanpa campur tangan dari
pihak manapun. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban juga
berkedudukan di Ibu kota Negara Republik Indonesia dan mempunyai
perwakilan di daerah sesuai dengan keperluan.
LPSK sesuai dengan ketentuan Undang-undang No 13 tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban, memiliki tugas dan wewenang
yaitu memberikan perlindungan dan bantuan kepada saksi dan korban
serta pelapor, mengkoordinasikan fungsi dan peran perlindungan saksi dan
korban dalam sistem peradilan pidana, menentukan persyaratan dalam
permohonan perlindungan, memperoleh data dan informasi untuk
kepentingan perlindungan, menerima atau menolak permohonan
pemberian perlindungan, menentukan bentuk dan jenis perlindungan pada
saksi dan korban membuat sistem dan model-model pertanggungjawaban
dalam proses pemberian perlindungan/bantuan bagi para saksi dan korban
serta mengadakan kerjasama dengan instansi terkait.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban bertanggung jawab
untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada saksi dan
korban berdasarkan tugas dan kewenangannya, dan bertanggung jawab
kepada Presiden. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban membuat
laporan secara berkala tentang pelaksanaan tugas Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban kepada Dewan Perwakilan Rakyat paling sedikit sekali
dalam 1 (satu) tahun.
Anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban terdiri atas 7
(tujuh) orang yang berasal dari unsur profesional yang mempunyai
pengalaman di bidang pemajuan, pemenuhan, perlindungan, penegakan
hukum dan hak asasi manusia, kepolisian, kejaksaan, Departemen Hukum
dan Hak Asasi Manusia, akademisi, advokat, atau lembaga swadaya
masyarakat. Masa jabatan anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban adalah 5 (lima) tahun. Setelah berakhir masa jabatan, anggota
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dapat dipilih kembali dalam
jabatan yang sama, hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban terdiri atas Pimpinan dan
Anggota, Pimpinan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban terdiri atas
Ketua dan Wakil Ketua yang merangkap anggota. Pimpinan Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban dipilih dari dan oleh anggota Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban, ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pemilihan Pimpinan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban diatur
dengan Peraturan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.
Masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi
dan Korban selama 5 (lima) tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali
dalam jabatan yang sama, hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan
berikutnya. Dalam pelaksanaan tugasnya, Lembaga Perlindungan Saksi
dan Korban dibantu oleh sebuah secretariat yang bertugas memberikan
pelayanan administrasi bagi kegiatan Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban. Sekretariat Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dipimpin
oleh seorang Sekretaris yang berasal dari Pegawai Negeri Sipil. Sekretaris
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Sekretaris Negara. Ketentuan
lebih lanjut mengenai kedudukan, susunan, organisasi, tugas, dan
tanggung jawab sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Presiden. Peraturan Presiden ditetapkan dalam waktu
paling lambat 3 (tiga) bulan sejak Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban terbentuk.
Sehubungan dengan Undang-undang Perlindungan Saksi dan
Korban ini belum ada komponen hukum yang mendukung untuk
dilaksanakan, untuk pertama kali seleksi dan pemilihan anggota Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban dilakukan oleh Presiden, dan dalam
melaksanakan seleksi dan pemilihan Presiden membentuk panitia seleksi.
Panitia seleksi terdiri atas 5 (lima) orang, dengan susunan sebagai berikut:
1) 2 (dua) orang berasal dari unsur pemerintah; dan
2) 3 (tiga) orang berasal dari unsur masyarakat.
Anggota panitia seleksi tidak dapat dicalonkan sebagai anggota
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Susunan panitia seleksi, tata
cara pelaksanaan seleksi, dan pemilihan calon anggota Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban diatur dengan Peraturan Presiden. Panitia
seleksi mengusulkan kepada Presiden sejumlah 21 (dua puluh satu) orang
calon yang telah memenuhi persyaratan. Presiden memilih sebanyak 14
(empat belas) orang dari sejumlah calon untuk diajukan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat. Dewan Perwakilan Rakyat selanjutnya memilih dan
menyetujui 7 (tujuh) orang.
Dewan Perwakilan Rakyat memberikan persetujuan dalam jangka
waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pengajuan
calon anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban diterima. Dalam
hal Dewan Perwakilan Rakyat tidak memberikan persetujuan terhadap
seorang calon atau lebih yang diajukan oleh Presiden, dalam jangka waktu
paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diterimanya
pengajuan calon anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
Dewan Perwakilan Rakyat harus memberitahukan kepada Presiden disertai
dengan alasan, dan Presiden mengajukan calon pengganti sebanyak 2
(dua) kali jumlah calon anggota yang tidak disetujui. Dewan Perwakilan
Rakyat wajib memberikan persetujuan terhadap calon pengganti dalam
jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal
pengajuan calon pengganti diterima.
Presiden menetapkan anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban yang telah memperoleh persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat,
dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
tanggal persetujuan diterima Presiden. Anggota Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban diangkat oleh Presiden dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat. Untuk dapat diangkat menjadi anggota Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban harus memenuhi syarat:
1) warga negara Indonesia;
2) sehat jasmani dan rohani;
3) tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana
kejahatan yang ancaman pidananya paling singkat 5 (lima) tahun;
4) berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun dan paling tinggi 65
(enam puluh lima) tahun pada saat proses pemilihan;
5) berpendidikan paling rendah S 1 (strata satu);
6) berpengalaman di bidang hukum dan hak asasi manusia paling singkat
10 (sepuluh) tahun;
7) memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela; dan
8) memiliki nomor pokok wajib pajak.
Anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban diberhentikan
karena:
1) meninggal dunia;
2) masa tugasnya telah berakhir;
3) atas permintaan sendiri;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
4) sakit jasmani atau rohani yang mengakibatkan tidak dapat
menjalankan tugas selama 30 (tiga puluh) hari secara terus menerus;
5) melakukan perbuatan tercela dan/atau hal-hal lain yang berdasarkan
Keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban yang
bersangkutan harus diberhentikan karena telah mencemarkan
martabat dan reputasi, dan/atau mengurangi kemandirian dan
kredibilitas Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban; atau
6) dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan yang
ancaman pidananya paling singkat 5 (lima) tahun.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan dan
pemberhentian anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban diatur
dengan Peraturan Presiden. Keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat, dalam hal
keputusan tidak dapat dicapai, keputusan diambil dengan suara terbanyak.
Biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
BAB IV. PENUTUP
A. Simpulan
1. Perlindungan hukum terhadap whistle blower yang terkait kasus dalam
perspektif penegakan hukum pidana di Indonesia diatur dalam Pasal 10
ayat (2) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban yaitu berupa pengurangan tuntutan yang
berimplikasi pada pengurangan pidana yang dijatuhkan oleh hakim
atas kesaksian yang diberikan olehnya dan diatur pula dalam Pasal 51
ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dalam hal
delik penyertaan yang menjadi dasar untuk dilakukan asas opportunitas
oleh jaksa, sehingga saksi tersebut tidak dipidana.
2. Perlindungan hukum terhadap whistle blower yang tidak terkait kasus
dalam perspektif penegakan hukum pidana di Indonesia diatur dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu pada
Pasal 117 ayat (1), Pasal 118, Pasal 166, Pasal 173, Pasal 177, Pasal
178, Pasal 229 dan Pasal 98, dan perlindungannya diatur pula dalam
Pasal 5 dan Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
B. Saran
1. Dengan minimnya komponen hukum maupun mengenai pendanaan
dalam penegakkan perlindungan saksi hendaknya tidak menjadi
hukum itu lemah dan tidak efektif, demikian halnya pemerintah
sebagai pemegang mandat hendaknya ketika mandat itu telah diberikan
apapun mandat itu harus dilaksanakan selama tidak melanggar aturan
hukum yang berlaku.
2. Terkait dengan pelaksanaan perlindungan saksi dan korban, kelemahan
utama dari UU PSK ini adalah tidak mengatur kewenangan dari LPSK
tersebut. Pasal 12 UU PSK menentukan bahwa “LPSK bertanggung
58
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
jawab untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada
saksi dan korban berdasarkan tugas dan kewenangan sebagaimana
diatur dalam undang-undang ini”. Tugas LPSK dalam undang-undang
ini sangat umum, yaitu memberikan perlindungan dan bantuan kepada
saksi dan atau korban. Hingga pasal terakhir dari undang-undang ini
tidak ditemukan rincian tentang tugas dan kewenangan LPSK. Pasal-
pasal selanjutnya dalam undang-undang ini hanya mengatur tentang
tata cara pemilihan, pengangkatan dan pemberhentian anggota LPSK,
pengambilan keputusan dan pembiayaan, syarat dan tata cara
pemberian perlindungan dan bantuan, bahkan ketentuan pidana bagi
yang mengancam atau memaksa saksi.
3. Perlu pengaturan tentang perlindungan saksi (korban) setelah
pemeriksaan perkara selesai, karena dalam Undang-undang Nomor 13
tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban belum
mengaturnya. Hal ini dapat digunakan sebagai bahan amandemen
Undang-undang Perlindungan saksi dan Korban.