wene edisi i
DESCRIPTION
InvestasiTRANSCRIPT
Investasi di Papua, Mengancam Kesejahteraan
Masyarakat Lokal Investasi di Indonesia secara nasional meningkat, dan secara
khusus Papua sebagai salah satu daerah yang investasinya
cukup tinggi. Sebenarnya ini juga tidak lepas dari pandangan
atau pemahaman ekonomi secara nasional yang boleh dibilang
menganut paham neoliberalisme. Dimana mereka mempercayai
bahwa tingkat kesejahteraan rakyat berbanding lurus dengan
tingkat pertumbuhan ekonomi, dan tingkat pertumbuhan
ekonomi itu berbanding lurus juga dengan besar pertumbuhan
investasi yang akan masuk, tingkat konsumsi, dan eksport-
import. Karena itu tidak heran kalau pemerintah pusat maupun
Papua sangat gencar mengupayakan masuknya para pemodal
untuk berinvestasi di Indonesia dan Papua.
Dalam meningkatkan ekonomi di Papua dan Papua Barat
Bank Mandiri mempertemukan korporasi-korporasi besar
dengan para pemangku kepentingan di Papua dan Papua Barat
dalam sebuah acara bertajuk, “Papua Insvestement Day” yang
berlangsung di Jakarta, 8 Oktober 2009. Gubernur Papua
Barnabas Suebu, Gubernur Papua Barat Abraham O Ataruri,
Dirut Bank Mandiri Agus Martowardojo, dan Menteri PU
Djoko Kirmanto merupakan pembicara dalam pertemuan itu.
Dan beberapa investor yang berminat menanamkan modal di
bidang perkebunan antara lain, Sinarmas Group, Wings Group,
Sampoerna Agro, Medco Agro, Wilmar, Sungai Budi, BEST,
Harita, Union Sampoerna Triputra dan Bangun Cipta, Teladan
Resources, Taniti Group dan investor lainnya. Menurut Dirut
Bank Madiri, “pertemuan ini sangat penting untuk menciptakan
sinergi antara korporasi sebagai
investor dengan pemerintah dan
perbankan untuk menghilangkan
hambatan-hambatan berinvestasi di
provinsi paling timur di Indonesia
itu.”(baca:cepos,senin 12 oktober
2009).
Dalam sebuah acara bertajuk
„‟Papua Investement Day‟‟ Direktur
Utama Agus Martowardojo (Direktur utama Bank
Mandiri,Tbk) mengatakan , Realisasi penanaman modal asing
di propinsi Papua mencapai 112%, di propinsi Papua Barat
mencapai 129%. Sedangkan penanaman modal dalam negeri
hanya 2,6% di Propinsi Papua dan 12,8% di Propinsi Papua
Barat pada akhir 2008. Data pada 2008 penanaman modal da-
lam negeri sebesar Rp 5,7 triliun di Papua dan sekitar Rp 7,6
triliun di Papua Barat sedangkan penanaman modal asing men-
capai US$ 5 miliar di Papua dan sekitar US$ 246 juta di Papua
Barat. Papua memiliki potensi begitu besar dalam sumber daya
alam termasuk di sektor pertanian, perkebunan, energi, pertam-
bangan, perikanan, dan pariwisata. Bahkan sektor pertamban-
gan di Papua mencapai 12,7% lebih tinggi dibandingkan sektor
pertambangan nasional. "Potensi Papua yang besar diharapkan
bisa dilihat oleh 85 CEO Strategis apa yang kita lihat. Sudah
ada 104 pertemuan one by one dengan gubernur dan para bupa-
ti," kata Agus. Agus mengatakan kendala investasi di Papua
antara lain kondisi geografis Papua yang berupa perbukitan dan
gunung, masalah kelembagaan seperti pemekaran wilayah oto-
nomi khusus, proses perijinan konversi
lahan, pengembangan sumber daya
manusia dan pengelolaan stabilitas kea-
manan dan lingkungan. Ditambah paso-
kan listrik yang masih kurang untuk
industri dan sehari-hari serta permoda-
lan.
Dalam investasi Pembangunan Lis-
trik dari Gas, pertemuan Gubernur Pro-
vinsi Papua dengan Duta Besar Austria mengatakan Di Sorong
ada satu proyek listrik dari gas yang dibantu dari Austria, khu-
susnya pada teknologinya, termasuk juga membicarakan ten-
tang pembangunan listrik dari gas di Manokwari‟‟. Untuk Pro-
vinsi Papua membahas mengenai kemungkinan kerjasama da-
lam bidang energi yang terbaharukan, dari tenaga air, tenaga
matahari, tenaga angin dan juga dari gas(baca : cepos, 15 okto-
ber 2009).
Sampai saat ini, pembangunan perekonomian di Papua
masih terpusat pada eksploitasi sumber – sumber daya
alamnya. Hal ini dapat di pandang sebagai sesuatu yang
mengabaikan keinginan dan hak – hak dari masyarakat asli
Papua terhadap lahan tradisional mereka. Pengambil – alihan
Blog: http://gardapapua.blogspot.com Email: [email protected]
Buletin WENE Edisi O1, Januari-Februari 2010
Berani, Cerdas & Memihak Rakyat
GARDA-PGARDA-P
INVESTASI, MARGINALISASI, DAN MILITERISME DI PAPUA
’’Papua saat ini memiliki 31,5 juta hektar,
dimana 50 persennya adalah hutan
konversi, 20 persennya hutan produksi dan
sisanya 30 persen akan dikonversikan
untuk pengunaan multi-guna termasuk
perkebunan, pertanian, dan perumahan”
Dok. Nasta
untuk melaksanakan sebuah program ekonomi akan berujung
pada konflik antara pemilik hak ulayat dengan perusahaan dan
pemerintah setempat. Ketika konflik terjadi, pihak keamanaan
selalu berpihak pada kepentingan perusahaan atau
pemerintahan setempat.
Sejak akhir tahun 2006 pejabat – pejabat di Jakarta dan
Papua telah mempersiapkan jalan bagi Investasi mulai dari
pemilik modal raksasa yang mencari lahan bernilai jutaan dolar
untuk ekspansi perkebunan berskala industri, terutama untuk
kepala sawit dan produksi bubur kertas (pulp). Tinjauan sekilas
atas nama – nama dari pelaku utama yang terlibat dalam
perkembangan pesat perkebunan di Papua menunjukkan bahwa
individu – individu kaya yang mempunyai koneksi politik dan
perusahaan – perusahaan raksasa berlomba – lomba mengusai
areal yang luas dan bersiap – siap untuk meneguk milyaran
dollar. Dalam sebuah pertemuan dengan pedagang karbon,
Gubernur Barnabas Suebu menyatakan : ‟‟Papua saat ini
memiliki 31,5 juta hektar , dimana 50 persennya adalah hutan
konversi, 20 persennya hutan produksi dan sisanya 30 persen
akan dikonversikan untuk pengunaan multi-guna termasuk
perkebunan, pertanian, dan perumahan‟‟(Papua to Assess
Carbon Stocks,Jakarta Psot,14 mei 2008).
Indonesia mempunyai rekam jajak yang buruk terkait
dengan pengelolaan hutan dan pembalakan liar yang tak
terkendali. Dengan musnahnya hutan – hutan di Sumatera dan
Kalimantan sebagai akibat produksi yang melebihi jatah tebang
(over production), pembalakan liar dan korupsi, maka para
konglomerat usaha perkayuan yamg kadang tak tersentuh oleh
hukum ini, mulai mengalihkan perhatian mereka ke Papua.
Pada bulan mei 2008, Direktur Jendral Perkebunan pada
Departemen Pertanian Republik Indonesia, menyatakan
bahwa : ‟‟ Karena Pulau Sumatera dan Kalimantan sudah
terlalu padat untuk perkebunan kelapa sawit baru, maka lahan
yang masih tersedia adalah Papua‟‟(official,AFP.21 mei 2008),
Para pelaku usaha perkebunan yang mendengar penyataan ini
segera mengarahkan perhatian mereka ke hutan terakhir di
Papua untuk melakukan ekspansi mereka. Pada bulan Febuari
2009, Pemerintah Provinsi Papua menyatakan telah memberi
izin kepada 89 perusahaan perkebunan tetapi hanya 10
perusahaan yang telah memulai kegiatan di lapangan, hal ini
terjadi karena beberapa kendala – kendala terkait masalah
keuangan yang terjadi karena krisis global telah menciutkan
niat beberapa investor besar untuk menanamkan modalnya di
Papua dalam dua tahun terakhir, tetapi sejalan dengan
perkembangan perbaikan perekonomian Asia penundaan
investasi ini mungkin hanya bersifat sementara.
Areal utama yang di targetkan untuk perkebunan di Provinsi
Papua termasuk Merauke, Boven Digul dan Mappi, areal
sekitar Jayapura (Arso,Lereh,Keerom, dan sarmi(,Nabire ,
Mamberamo , Waropen, dan Mimika. Untuk Propinsi Papua
Barat, daerah perkebunan yang disukai termasuk sorong,
sorong selatan, Manokwari , Kaimana , dan Bintuni.
Perkebunan kepala sawit di Papua tidak membawa hasil
setidaknya tidak memberikan manfaat yang jelas bagi
Penduduk Asli Papua. Di Kabupaten Prafi , Provinsi Papua
Barat, berdiri sebuah perusahaan pemerintah, PT Perkebunan
Nusantara II (PTPN II), yang telah beroperasi sejak tahun 1980
dan mengusai lahan seluas 10.500 hektar yang di tanami kelapa
sawit. Baru pada tahun 2007, penduduk setempat menerima
pembayaran Rp. 1.000,- per kilogram buah kelap sawit, harga
HAL 2
Editorial
Pemekaran propinsi, kabupaten, dan kota jelas
memiliki kaitan erat dengan investasi yang mengalir ke tanah
Papua, dan tentu dapat mewujudkan kesejahteraan dan
kemakmuran bagi rakyat Papua. Sebab lapangan kerja akan
semakin terbuka lebar, dengan demikian tenaga produktif
akan semakin berkembang, apalagi jumlah penduduk
masyarakat asli Papua sangat sedikit. Dengan kata lain, mimpi
orang Papua untuk menjadi tuan di negeri sendiri akan
terwujud dengan masuknya investasi. Demikianlah janji-janji
manis yang biasa dikatakan oleh para bupati dan gubernur.
Kenyataannya kesempatan kerja (pada posisi yang
layak) justru semakin tertutup bagi orang Papua, pemiskinan
dan marginalisasi justru semakin jelas. Penghormatan dan
perlindungan atas hak-hak adat masyarakat, pemberdayaan,
proteksi, dan prioritas sebagai roh dari Otsus pun hampir tidak
terlihat. Orang Papua semakin hari semakin terjepit, sendi-
sendi kehidupan pun semakin rapuh berhadapan dengan
kepentingan ekonomi-politik para pemilik modal. Disisi lain,
tentu kita bisa saksikan bahwa grafik pelanggaran HAM justru
semakin memuncak, seiring dengan meluasnya struktur
komando teritorial TNI-Polri dengan alasan untuk membasmi
terorisme dan separatis.
Dewan Redaksi: Anggota KPP, Pemimpin Redaksi: Saren Reporter:
Saren, Nasta, Smadav, Kahar, Manwen, Manyori, Don, Bovit, Ete,
Gepe dan Elly. Biak: Sagoes, Sorong: Tawa,Tete, Distributor: Tong
S e m u a . E - m a i l : b u l e t i n _ w e n e @ g m a i l . c o m . B l o g
http://gardapapua.blogspot.com
Wene adalah sebuah kata dalam bahasa suku Dani,
Nduga dan beberapa suku serumpun, yang artinya
bicara atau khabar. Melalui buletin Wene, kita bicara
tentang masalah yang kita hadapi, jati diri kita, dan
bicara tentang apa kerja kita
Fokus
Memajukan Tenaga Produktif Papua Sebagai Landasan Pembebasan Nasional !
Pemerintah Segera Berikan Pasar Bagi Rakyat Papua Di Seluruh Tanah Papua !
Lindungi Hak Kami Untuk Hidup Di Tanah Kami !
ini jauh di bawah harga yang di janjikan sebelumnya. Dan para
pemilik hak ulayat menyatakan penyesalan mereka karena telah
menandatangani perjanjian pengalihan lahan. Pada tahun 1996,
PTPN II mendirikan perkebunan kelapa sawit lainnya di
kabupaten Keerom, Provinsi Papua. Pada tahun 2008 pemilik
hak ulayat hanya menerima sekitar RP. 300.000 (US$ 30) per
bulan karena kesulitan mengangkut buah kelapa sawit ke
pabrik pengolahannya.
Di Provinsi Papua Barat, Di kampung Malalis – Sorong para
pemilik tanah dari Marga Klasibin, Gilik dan Doo, bagaimana
pada awalnya PT Hendrison Inti Persada (HIP) mendekati
mereka pada tahun 2004, karena dijanjikan akan di bangunkan
sekolah, perumahan dan di berikan kendaraan dan beberapa
fasilitas lainnya, maka marga Klasibin, Gilik , dan Doo
bersedia untuk menyerahkan hutan seluas 830 hektar kepada
PT. HIP. Pada tahun 2005 , kedua marga masing – masing
hanya menerima Rp. 20 Juta (US$ 2.000) sebagai ‟‟uang sirih
pinang‟‟ untuk tanah yang telah di berikan(sumber, Telapak).
Di Klawana, seorang Mama Maryodi Malak, bagaiman PT.
HIP membujuk suaminya , Kefas Gifim dan Putranya Manu
Gisim, untuk melepaskan lahan hutan seluas empat hektar yang
mereka miliki. Pada saat itu putranya Manu Gisim, untuk
melepaskan lahan hutan seluas empat hektar yang mereka
miliki. Pada saat itu, putranya baru berusia empat tahun, jauh di
bawah usia legal untuk menandatangani sebuah kontrak. Mama
Malak mengatakan :‟‟ Anak saya harus menandatangani
kontrak tersebut walau ia baru berusia empat tahun. Perusahaan
itu telah menipunya‟‟. PT HIP mengatakan kepada mama
Malak bahwa mereka menginginkan putra dari seorang
pemimpin marga untuk mananda tangani dokumen penyerahan
tanah, sehingga apabila pada suatu saat Bapak meninggal,
maka akan ada bukti tertulis bahwa generasi berikutnya terlah
mengikat diri pada perjanjian selama 25 tahun yang dapat di
perpanjang selama 30 Tahun berikutnya. Mama Malak
menyatakan ia tidak pernah menerima salinan dari dokumen
yang di tanda tangani oleh cap jempol putranya, ia juga
menceritakan bahwa permintaannnya untuk menyisakan sebuah
areal kecil dari lahan hutan itu untu menghidupi keluargannya
tidak di tepati dan perusahaan bahkan telah membuka areal
lebih luas dari empat hektar sebagaimana dalam perjanjian.
Pemerintah setempat dengan gigih membela kepnetingan PT.
HIP dan sama sekali tidak berbuat apapun bagi kepentingan
HAL 3
masayarakat desa selama berlangsungnya perundingan dengan
perusahaan. Sampai April 2009 masyarakat Malalis,
Klamono ,dan Klawana mereka menyatakan bahwa janji
pemberian fasilitas- fasilitas tersebut belum di penuhi sampai
sekarang dan mereka menjadi resah (sumber, Telapak).
Di Provinsi Papua, di daerah Sisik, dekat lereh di Kabupaten
Kaureh, Jayapura. Para pemilik hak ulayat dan warga
menjelaskan bahwa orang tua mereka telah melepaskan hak
atas lahan mereka pada tahun 1991 kepada PT Sinar Mas.
Penduduk setempat menceritakan bahwa mereka meminta truk
untuk setiap marga sebagai imbalan untuk lahan yang mereka
berikan dan mereka juga di janjikan kompensasi yang setara
0,5 persen dari nilai minyak kelapa sawit dari perkebunan
setelah mulai berproduksi, para pemilik hak ulayat juga akan
menerima RP. 11 Juta (US$ 1.100) untuk setiap marga sebagai
pembayaran pelepasan hak tanah. Seperti sebelumnya janji
hanya di berikan secara lisan dan tidak ada kontrak yang
mengikat dengan pihak perusahaan. Bebrapa tahun lamanya
masyarakat menunggu janji dari PT. Sinar Mas tak kunjung
tiba, mereka tidak pernah menerima truk seperti yang
dijanjikan oleh PT. Sinar Mas. Pembayaran itu di mulai dari
tahun 2001, ketika masayarakat melakukan protes, masayarakat
hanya di bayar Rp. 500.000 (US$ 50) untuk setiap marga
selama tiga bulan. Walaupun pembayaran telah di naikkan
menjatu Rp. 1 juta (US$ 100) pada bulan Agustus 2009, tetapi
tetap saja tak ada jaminan bahwa kenaikan ini akan bersifat
permanen.(sumber : Telapak).
Hutan bagi Masyarakat adat Papua adalah sesuatu yang
tidak dapat di pisahkan dari kehidupan mereka sehari – hari.
Hutan bagi orang asli Papua adalah sesuatu yang sakral, hutan
sebagai mama dan hutan adalah hidup masyarakat, hutan
merupakan modal masyarakat adat Papua.
Sesuai dengan Amandamen UU 41/1999 tentang kehutanan
Agar :
1. Mengembalikan hutan adat kepada masyarakat adat yang
mewarisi dari leluhur
2. Memisahkan fungsi hutan dengan status penguasaan.
Dengan ini, apa peran masyarakat adat sudah di libatkan dalam
pengembangan investasi di Papua, Apakah Investasi ini
menjamin dalam meningkatkan Tenaga Produktif orang Asli
Papua di libatkan dalam peningkatan ekonomi yang sedang
bertumbuh di Papua? Mari kita berpikir. (Sasori86)
Terdapat sebuah hipotesa bahwa, daerah yang penuh dengan
sumber daya alam adalah daerah konflik, belajar dari sejumlah
pengalaman yang terjadi hampir di seluruh belahan dunia
bahwa hipotesis tersebut hamper pasti menjadi sebuah teori.
Sebut saja sierra leone (Africa) yang kaya akan berlian,
Ethiopia (Africa) yang kaya akan emas, sekarang telah menjadi
daerah miskin karena kekayaan mereka di keruk habis, dan
masyarakat hidup dalam konflik antara suku, sehingga waktu
untuk berkembang lebih maju dalam pembangun tidak terjadi,
akhirnya tidak pertumbuhan tenaga produktif.
Di papua misalnya, explorasi yang di lanjutkan exploitasi
oleh PT Freeport di Timika – Papua sejak 1974, pun
mengalami beberapa kegagalan permanen yang berbuntut pada
penghilangan Hak masyarakat adat.
Adapun beberapa kegagalan tersebut adalah:
Pertama: masuknya perusahaan ini tidak melalui sebuah
proses perjanjian yang tidak melibatkan masyarakat adat se-
tempat (pemilik Hak Ulayat), tetapi hanya pemerintah dan
pihak investor. Kedua: penguatan keamanan di sekitar areal
investasi, tujuan dari penguatan ini sekaligus sebagai bisnis
militer negara dan dengan dalih mengantisipasi gangguan kea-
maanan akibat rasa tidak puas masyarakat atas tidak terlibatan
masyarakat adat dalam hal kontrak karya. Ketiga: menciptakan
konflik antar masyarakat dengan berbagai dalih, sekedar men-
galihkan perhatian masyarakat, dengan demikian perusahaan
dengan leluasa melakukan exploitasi sumber daya alam. Keem-
pat: intervensi pihak investor dalam membentuk badan lemba-
ga adat, dan sekaligus duduk sebagai donator tetap, dengan
Masyarakat Adat Diantara Arus Modal
Fokus
demikian arah berfikir dapat di kontrol, sekaligus menjadi agen
kesadaran semu, yang kemudian mematikan semangat juang
akan kesadaran Hak atas tanah.
Hal-hal seperti ini terus di praktekan hingga dewasa ini,
misalnya masuknya coorporasi milik Arifin Panigoro di Merau-
ke, rencana pembukaan lahan kelapa sawit di sejumlah daerah
di Papua oleh PT Sinar Mas, yang bekerja sama dengan CNO-
OC dari China dan di dukung dana dari Jerman.
Masuknya coorporasi tersebut di percepat dengan adanya kebi-
jakan nasional Otonomi daerah yang mewajibkan daerah harus
mandiri dan mencari pembiayaan sendiri. Masing masing dae-
rah mulai berlomba mencari investor tampa memperdulikan
imbas terhadap masyarakat. Dalam hal ini ada beberapa cara
yang kerap di lakukan oleh pemerintah daerah:
Pertama: pemerintah membuka pintu seluas mungkin bagi
masuknya investasi, dalam rangka itu juga sejumlah hal yang di
anggap sebagai penghalang di bersihkan terlebih dahulu, mi-
salnya seperti membayar sejumlah kepala suku/ tua adat/ ka-
dang juga pimpinan gereja, atau siapa saja yang kemudian da-
pat mempengaruhi opini dalam masyarakat. Kedua: menge-
luarkan sejumlah uang dari kantung APBD guna membiayai
hal hal yang seharunya menjadi tanggung jawab perusahaan,
misalnya ganti rugi atas tanah, memjadi fasilitator antara peru-
sahaan dengan orang terpilih dalam masyarakat setempat. Keti-
ga: karena investasi asing yang masuk harus menggandeng
perusahaan local, maka di dorong sebuah perusahaan local
yang pada umumnya di pimpin oleh keluarga dekat lingkaran
pimpinan daerah, sebagai perusahaan papan nama(nepotisme).
Dengan memperhatikan keberpihakan pemerintah yang
lebih memilih lebih menjaga kepentingan pihak pemodal di
banding masyarakat setempat yang harus di lindungi. Sementa-
ra di lain sisi pihak keamaanan yang seharunya menjadi pelin-
dung rakyat, justru menjadi penjaga modal di banding penjaga
warga negara. Dengan demikian musuh rakyat tidak hanya
pihak invetor tetapi juga pemerintah yang melanggar hak kepe-
milikan rakyat atas sumber daya, dan pihak keamanan negara
yang menjaga mesin pembunuh rakyat di atas hak. Dua keada-
an ini menandakan tidak adanya kedaulatan rakyat dan negara
terhadap kedaulatanya sendiri, hal ini yang kemudian di kenal
dengan model penjajahan baru atas masyarakat adat dan identi-
tas serta seumber daya dan warisan budaya yang ada.
Semakin tidak ada gerakan rakyat yang menentang upaya
deligitimasi masyarakat adat, maka dengan itu pula penindasan
makin besar. Maka dengan itu ada beberapa hal yang perlu di
lakukan oleh gerakan rakyat yakni:
Pertama: Menolak segalah macam bentuk investasi yang tidak
melibatkan masyarakat pemilik hak ulayat dalam sebuah kon-
trak yang adil dan bermartabat.
Kedua: Perlu di lakukan pemetaan tanah adat atas nama komu-
nal, tidak atas nama seseorang yang kemudian mempermudah
proses negosiasi dengan pihak investor, dengan pemetaan atas
nama komunal ini, keputusan yang lahir adalah keputusan ber-
sama bukan sepihak oleh seseorang.
Ketiga: Mengingat tanah sebagai modal dan warisan pada anak
cucu maka, tanah ulayat tidak perlu di jual, melainkan di sewa-
kan dengan sejumlah jaminan kesejahteraan dengan memper-
timbangkan masa depan anak cucu.
Keempat: Menolak upaya peralihan dari tanah adat pada tanah
milik negara, dengan asumsi tanah dan masyarakat telah ada
lebih dahulu sebelum berdiri sebuah organisasi legal yang ber-
nama Negara.
Kelima: menolak kehadiran alat negara (TNI & POLRI) seba-
gai penjaga investor, melainkan mengembalika alat negara ini
pada fungsinya sebagai pelindung rakyat, sekaligu rasionalisasi
alat negara tersebut. (Gepe-gepe).
Politik dan Bisnis Serdadu, Eskses Kekerasan Di Papua
Pseudo Konstitusional dan Dwifungsi ABRI – Cuplikan
Aspek Histories
Di negara ini pernah berlaku demokrasi liberal (sistem
parlementer) saat UUDS 1950 berlaku. Yakni, saat supremasi
sipil dijunjung, dimana tentara sama sekali tidak bertaring diha-
dapan kekuatan demokratik, bahkan aktor politik sipil bisa
menginterfensi militer, dan memang sesuai dengan semangat
UU sementara tersebut. Namun situasi ini tentu tidak disukai
pihak militer kuhusnya Aangkatan Darat (AD), karena itu me-
reka terus berusaha dengan berbagai cara untuk mendapat legi-
timasi bermain di panggung politik, baik dengan taktik kudeta,
pengerahan massa untuk berdemonstrasi, agitasi-propaganda
untuk melemahkan kekuatan-kekuatan politik sipil pada waktu
itu dan sebaliknya meyakinkan kalangan militer sendiri akan
pentingnya tentara berpolitik. “… Tentara Indonesia dengan
demikian tidak ingin sekedar menjadi alat mati dari pemerintah
yang sedang berkuasa, “ kata Jenderal A H Nasution (waktu itu
Kepala Staf Aangkatan Darat/KSAD) saat berpidato di Akade-
mi Militer Nasional di Magelang, pada 11 November 1958 –
dikutip dari buku Coen Husain Pontoh “Menentang Mitos Ten-
tara Rakyat.”
Dalam buku ini dijelaskan bahwa percobaan kudeta
akhirnya gagal, dan tentara lebih memilih bermain cantik den-
gan memakai taktik „menyamarkan‟ tujuan utamanya dibalik
seruan, ajakan, propagandan-agitasi kepada rakyat agar kemba-
li menganut konstitusi (undang undang dasar) sebelumnya yak-
ni UUD 1945, apa yang sebenarnya merupakan pseudo-
Konstitusional – meminjam istilah George Junus Aditjondro.
Tentara memobilisasi (manipulasi) kelompok massa sipil ben-
tukan tentara sendiri, agar memuluskan apa yang menjadi siasat
tentara. Sebut saja mobilisasi massa berdemonstrasi menuntut
Presiden Soekarno untuk membubarkan Dewan Kontituante
dan mengeluarkan sebuah dekrit untuk kembali ke UUD 1945.
Ini merupakan langkah yang baru kemudian diambil, setelah
sebelumnya (tahun 1957), Jendral Nasution dipercayakan men-
jadi Penguasa Perang Pusat sesuai UU Keadaan Bahaya yang
diberlakukan Presiden melalui sebuah dekrit, atas usulan tiga
orang kepala staf angkatan bersenjata (termasuk Nasution sen-
diri). Dimana dengan posisi Nasution ini, pada waktu itu AD
mulai berubah menjadi kekuatan politik utama disamping Soe-
Fokus HAL 4
untuk berpolitik, dan berefek pada sangat dikuasainya seluruh
aspek kehidupan sipil, sehingga melahirkan penderitaan dan
kesengsaraan bagi rakyat. Demokrasi bahkan akan selalu
terancam selama dwifungsi masih dianut. “Dwifungsi ibarat
pedang Damocles yang sewaktu-waktu siap memancung leher
rezim demokrasi.” Lalu apa yang menyebabkan TNI tetap ingin
menganut doktrin ini? Pontoh mengatakan karena alasan
ekonomi. “Bahkan, menurut saya, inilah dasar utama
kepentingan militer di wilayah politik: penguasaan sumber
daya ekonomi.”
Perspektif Reformasi Sektor Keamanan
Dalam konteks isu Reformasi Sector Keamanan
(RSK), sebagai upaya membentuk tentara professional sesuai
semangat reformasi, kini telah ada legitimasi untuk melarang
tentara berbinsnis, sesuai UU No 34 Tahun 2004 Tentang
Tentara Nasional Indonesia (TNI). Dimana, pasal 2 (d) undang-
undang tersebut mengatakan bahwa, “tentara professional yaitu
tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak
berpolitik praktis, tidak berbisnis dan dijamin
kesejahteraannya…” Sedangkan Pasal 39 mengatakan,
“Prajurit dilarang terlibat dalam kegiatan bisnis.” – Seri 9
Penjelasan Singkat (terbitan Juni 2008 oleh Institute for
Defense Security and Peace Sudies/IDSPS). Pada terbitan ini
juga IDSPS memuat pengkategorian bisnis militer menurut
Pramodhawardani dan Lex Rieffel, yakni terdiri dari: Aktivitas
Formal. Misalnya, perusahaan yang beroperasi di bawah UU
Perusahaan, yayasan yang beroperasi dibawah UU Yayasan,
atau koperasi yang beroperasi di bawah UU Koperasi; Aktivitas
Informal. Misalnya, jasa keamanan, komersialisasi asset Nega-
ra, dan hubungan khusus dengan BUMN; Aktifitas Ilegal. Mi-
salnya, pengambilan sumber daya seperti pasir atau kayu, pen-
gumpulan bea (untuk pemindahan barang dan orang), perlin-
dungan, penyelundupan, terlarang atau perjudian atau prostitu-
si.
Tentara di Indonesia telah berbisnis sejak masa awal
institusinya dibentuk, dan hingga pertengahan tahun 2005 ada
kira-kira 1500 unit bisnis yang masuk dalam daftar inventarisa-
si militer (data dari Tim Suvervisi Transformasi Bisnis TNI,
dimuat pada terbitan IDSPS). IDSPS dalam terbitan ini juga
mengatakan bahwa meski Pasal 76 UU No 34 Tahun 2004 Ten-
tang Tentara Nasional Indonesia (TNI) mengamanatkan peme-
rintah untuk mengambil alih seluruh aktivitas bisnis TNI dalam
lima tahun terhitung sejak UU ini disahkan (2004-2009), na-
mun kalangan militer tentu tidak mau berhenti dari nikmatnya
berbisnis dengan backing kekuasaan. Singkatnya, tentara pro-
fessional dalam konteks RSK masih sebuah mimpi. Upaya
mendorong RSK tidak berjalan sesuai harapan, belum ada peru-
bahan signifikan dalam institusi TNI. Aktivitas bisnis masih
tetap dijalankan oleh institusi tersebut.
Peningkatan Jumlah TNI-Polri di Papua
Pernyataan tentang akan ada tambahan satu kodam di
Papua dan satu lagi di Kalimantan Barat, seperti yang
disampaikan oleh Letnan Jenderal George Toisutta di Markas
Besar TNI Angkatan Darat di Jakarta, Rabu (11/11/09) – seusai
menerima jabatan KSAD dari Jenderal Agustadi Sasongko
karno, dan telah mampu menggunting „kuku-kuku‟ dari partai
politik yang dianggap tidak sehaluan politik, melarang penerbi-
tan koran tertentu atau membredelnya, menagkap politisi yang
dianggap „berbahaya‟ termasuk anggota Konstituante, dan
akhirnya mendesak Soekarno membubarkan Dewan Kontituan-
te dan kembali ke UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli
1959. Mereka akhirnya berhasil ‘menggagahi’ demokrasi den-
gan konsebsi barunya yang disebut “jalan tengah” atau yang
dikenal sebagai Dwifungsi ABRI pada masa Orde Baru.
Kenapa harus kembali ke UUD 45 padahal saat itu
Konstituante sedang bersidang untuk menghasilkan sebuah
kontitusi yang baru? Tentu karena UUDS 1950 tidak memberi
kemungkinan bagi tentara untuk berpolitik praktis, dan kontitu-
si baru yang disiapkan pun pasti tidak. Cuplikan singkat dari
sejarah Indonesia ini perlu kita cerna kembali, sehingga bisa
memahami bagaimana actor keamanan, terutama tentara angka-
tan darat, menjadi sangat berkuasa dan menggapai puncaknya
pada massa Orde Baru. Tiga puluh tahun terkonsolidir dan ber-
kuasa cukup membuat TNI menjadi institusi yang matang dan
kuat. Lihat saja, meski demiliterisasi dalam bentuk isu “Cabut
Dwifungsi ABRI” juga diusung bersama tuntutan reformasi
lainnya, dan meski Soeharto berhasil dilengserkan ke prabon
(digulingkan), tentara hanya sempat ‘dipojokkan’ sementara
waktu oleh gelombang reformasi tanpa berhasil mencabut Dwi-
fungsi ABRI. Hingga kini dwifungsi tetap sebagai „ideologi‟
TNI, dan masih dipilari oleh fungsi hankam dan fungsi politik,
dimana seringkali keduanya bermuara pada kepentingan bisnis.
Keduanya saling berhubungan erat, dipengaruhi dan mempen-
garuhi, bagai dua sisi mata uang. Fungsi hankam tercermin
pada struktur komando territorial (Koter), sementara fungsi
politik tercermin pada keterlibatan TNI-Polri dalam soal politik
praktis, control terhadap sipil, dan peran-peran social lainnya.
Kini di DPR memang sudah tidak ada fraksi ABRI/TNI-Polri,
namun bukan berarti TNI-Polri telah menghapus fungsi poli-
tiknya, sebab dua fungsi itu adalah kepribadian tentara Indone-
sia. Pada sebuah kesempatan diskusi, George Junus Aditjondro
mengatakan bahwa setiap keputusan strategis di Negara ini
bagaimana pun juga harus dimasak pada tiga tungku, “Senayan,
Istana, dan Cilangkap.”
Coen Husain Pontoh (dalam bukunya tersebut), bah-
kan mengkritik para analis militer Indonesia yang mendukung
agar TNI tetap berpolitik, dengan mengatakan, “Mereka lupa,
ketika para pemangku senjata berpolitik pada saat bersamaan
demokrasi masuk keranjang sampah.“ Apa landasan kritik dari
aktivis Partai Rakyat Demokratik asal Sulawesi Utara ini?
Menurutnya, dwifungsi telah menjadi legitimasi bagi TNI
Dok. BUK
Fokus HAL 5
Purnomo – adalah tidak mengherankan. Menurut dugaan saya,
Toisutta yang adalah mantan Pangdam XVII/Cenderawasih dan
mantan Panglima Komando Cadangan Strategis Tentara
Nasional Indonesia Angkatan Darat (PangKostrad), sebenarnya
hanya berupaya melegalkan apa yang sudah menjadi „masakan‟
yang telah di rampungkan di „dapur‟ TNI AD. Kodam sebe-
narnya sudah siap didirikan, tinggal mencari legitimasi semata
dan momen yang tepat. Sebab, dengan alasan untuk mengatasi
masalah keamanan di Indonesia yang sangat luas wilayahnya,
dan dengan keterbatasan teknologi, Koter masih merupakan
alasan prinsip yang dipegang TNI-Polri, otomatis jumlah tenta-
ra dan polisi akan terus meningkat, ada perekrutan personil dari
tahun ke tahun, dan disisi lain struktur teritorial akan terus di-
perluas.
Apakah alasan itu memang semestinya atau tidak,
namun dari kaca mata supremasi sipil dalam konteks RSK
sebenarnya justru saat ini sedang didorong penghilangan kon-
sep Koter. Seri 10 Penjelasan Singkat dari IDSPS dengan judul
“Otonomi daerah Dan Sektor Keamanan”
mengatakan bahwa pengembangan Koter
TNI justru menjadi jalan bagi semakin
terlibatnya TNI dalam urusan keamanan
domestic (dalam negeri), dan berefek
pada perampasan peran antara TNI dan
Plri. Disisi lain dikatakan juga bahwa
supremasi sipil yang diperankan oleh
Bupati dan Gubernur tampaknya tidak
mendukung upaya untuk melakukan re-
formasih di tubuh TNI, terutama soal penghapusan Koter. Pe-
mekaran kabupaten dan provinsi memungkinkan pembentukan
strutur koter, “…biasanya atas permintaan para Bupati atau
Gubernur. Penambahan sturktur komando teritoril di suatu wi-
layah berarti mengundang TNI untuk terlibat dalam urusan
keamanan dalam negeri yang seharusnya, bersama-sama den-
gan fungsi penegakan hukum menjadi wewenang Polri.”
Meski beberapa kali pejabat militer lokal maupun di
pusat membantah bahwa pemekaran kabupaten dan provinsi
tidak otomatis diikuti perluasan struktur Koter, namun nyatan-
ya sebaliknya. Seiring dengan pemekaran wilayah kabupaten
dan provinsi, struktur TNI-Polri di Papua pun terus diperluas.
Counter insurgency (upaya mematahkan gerakan separatis ber-
senjata) dan terorisme adalah isu yang selalu diwacanakan ke
dalam kesadaran birokrat dan politisi sipil serta massa rakyat
untuk mendapat legitimasi. Dan dengan alasan kekurangan
personil, pasukan non organic selalu didroping ke Papua, tanpa
ada control berarti dari pihak sipil, dan tidak ada rasionalisasi
jumlah TNI-Polri di Papua. Celaknya, sampai kini pemerinta-
han sipil maupun LSM tidak memiliki data yang jelas berapa
jumlah seluruh personil TNI-Polri di Papua, meski tidak terlalu
sulit untuk menangkap dengan jelas bahwa ada peningkatan
jumlah personil TNI-Polri di Papua dalam beberapa tahun bela-
kangan ini. Indikator yang mudah mungkin dengan berpatokan
pada fakta bahwa ada penambahan battalion baru, Korem baru,
Kodim baru, Lantamal baru, dan pasukan non-organic yang
masuk terus ke Papua.
Kepolisian di Papua terdiri dari 1 Polda (Polda Papua)
yang membawahi 2 buah Polresta (Sorong dan Jayapura), dan
18 buah Polres: dalam lingkup Korem 171 yakni Polres So-
rong, Sorong Selatan, Fakfak, Kaimana, Manokwari, Bintuni,
dan Mimika; dalam lingkup Korem 172 yakni Polres Jayapura,
Sarmi, Keerom, dan Jayawijaya; dalam lingkup Korem 173
yakni Polres Biak Numfor, Supiori, Yapen Waropen, Nabire,
Paniai, dan Puncak Jaya; dalam lingkup Korem 174 yakni Pol-
res Merauke. Sedangkan 8 Polres persiapan yang baru dimekar-
kan seiring dengan pemekaran kabupaten adalah: Teluk Won-
dama, Tolikara, Yahukimo, Pegunungan Bintang, Waropen,
Boven Digoel, Mappi, dan Asmat. Mantan Kabid Humas Polda
Papua, AKBP Nur Habri, pernah mengungkapkan (09/04/2009)
bahwa dalam menghadapi Pemilu legislatif di Papua, Polda
Papua menerapkan Siaga I dan menerjunkan dua pertiga perso-
nilnya atau sekitar 8.892 anggota kepolisian
(www.detikhot.com). Artinya saat itu jumlah keseluruhan ang-
gota polisi di bawah Polda Papua adalah sebanyak 13.350 per-
sonil.
Sebuah lapora berjudul “TNI & POLRI FORCES IN
WEST PAPUA” yang ditulis oleh Matthew N. Davies (tahun
2006) mengatakan bahwa sampai dengan tahun 2019 akan ada
restrukturisasi dan droping pasukan ke Pa-
pua, sementara sampai dengan tahun 2006
saja sudah ada 23.500 anggota TNI-Polri
dengan rincian: TNI sebanyak 12.800 orang
dan Polisi (termasuk Brimob) sebanyak
10.700 orang - Angka ini ditulis dengan
merujuk pada sebuah analisis intelejen
(departemen pertahanan) Australia. Artinya,
jika satu divisi pasukan berkisar antara
15.000 personil maka diperkirakan ada dua
divisi lebih yang telah ditempatkan di Papua. Sebab selain itu,
Matthew juga mengatakan bahwa telah ada 10.000 pasukan
Kostrad yang ditempatkan di Sorong dan Jayapura sepanjang
tahun 2004-2006.
Saat ini struktur Koter TNI AD di Papua terdiri dari 1
buah Kodam (Kodam XVII/ Cenderawasih) bermarkas di Jaya-
pura, 4 buah Korem dan 10 buah Kodim. Keempat Korem itu
yakni: Korem 171/Praja Wira Tama di Kota Sorong, memba-
wahi Kodim 1704/Sorong, Kodim 1706/Fakfak, Kodim 1703/
Manokwari, dan Kodim 1710/Mimika; Korem 172/Praja Wira
Yakti di Kota Jayapura, membawahi Kodim 1701/Jayapura dan
Kodim 1702/Jayawijaya; Korem 173/ Praja Wira Braja di Biak,
membawahi Kodim 1708/Biak Numfor, Kodim 1709/ Yapen
Waropen, dan Kodim 1705/Nabire; Korem 174 Anim Ti Wa-
ninggap di Merauke membawahi Kodim 1707/Merauke.
Dan Papua kini telah memiliki 3 batalion baru yang
permanen, sehinga jumlah batalion organik di Papua (termasuk
Zipur 10) telah menjadi enam buah. Yakni: di Jayapura Raya
(Kota Jayapura, Abe, dan Sentani) terdapat 2 batalion, Batalion
Inf. 751 Sentani dan Zipur 10 Waena; di Sorong terdapat 1
batalion, Batalion 752 di Sorong, memiliki 4 kompi, 3 kompi
(A, B, D) berada di Sorong sedangkan kompi C berada di Arfai
-Manokwari; di Nabire terdapat 1 batalion, Batalion 753 di
Nabire dengan 5 kompi (A, B, C, D, E), kompi C berada di
Biak, Kompi B berada di Serui, dan sisanya berada di Nabire;
di Merauke terdapat 1 batalion, Batalion 755 Merauke dengan
4 kompi (A, B, C, D); di Timika terdapat 1 batalion, Yonif
Kostrad 754 Emeneme Kangasi Timika, dengan 4 kompi,
kompi A – D berada di Timika, sedangkan Kompi E berada di
Fakfak; di Wamena terdapat 1 batalion, Batalyon 756, berasal
dari Satgas Yonif 310 / Kujang Kencana Siliwangi Jawa Barat.
.......sampai dengan tahun 2019 akan
ada restrukturisasi dan droping pasu-
kan ke Papua, sementara sampai den-
gan tahun 2006 saja sudah ada 23.500
anggota TNI-Polri dengan rincian:
TNI sebanyak 12.800 orang dan Polisi
(termasuk Brimob) sebanyak 10.700
orang ........
Fokus HAL 6
Memang jumlah tentara di Papua saat ini belum bisa
dihitung secara pasti. Namum dalam pengamatan kami
(Agustus 2009) bahwa antara Abepura ke Yuruf, Distrik Web
Kab. Keerom, jumlah pos yang berada sepanjang rute 151 Km
tersebut – tidak termasuk pos-pos yang berada di sekitar lokasi
transmigrasi di Arso dan Arso Timur (Skou-Bewani) – ada
sekitar 14 pos pasukan non-organic, 2 pos permanen yang be-
lum ditempati, dan markas utama pasukan organik Kompi E
Yonif 751 yang terletak di Koya Karang. Sedangkan di sepan-
jang jalan raya antara Kabupaten Jayapura-Kota Kabupaten
Sarmi, terdapat sekitar 8 pos tentara, belum termasuk pos-pos
yang berada disebelah barat kota (Pantai Barat) dan di daerah
Tor Atas – beberapa pos TNI di Sarmi diketahui berada di seki-
tar areal kamp perusahaan kayu atau bahkan berpos di dalam
kamp-kamp perusahan. Sementara, George Junus Aditjondro
dalam sebuah makalah “Militerisme Pasca Soeharto dan Rele-
vansinya Bagi Orang Papua” mengatakan bahwa sekitar Maret
2009 di sepanjang Merauke-Waropko ada kira-kira 80 pos Sa-
tuan Kostrad dan Kopassus, dengan jarak antar pos kira-kira 5
Km, dimana setiap pos induk ada sekitar 30 orang personil se-
mentara tiap pos kecil dihuni oleh 12-19 personil, karena itu dia
mengkategorikan daerah itu termasuk dalam “kawasan-
kawasan KTT (kerapatan tentara tertinggi).”
Antara Profesionalisme, Bisnis, dan Kekerasan
Penempatan pos-pos pasukan TNI secara besar-
besaran di sepanjang perbatan RI-PNG, di areal penambangan
PT. Freeport, atau di sekitar daerah Pegunungan Tengah adalah
bagian dari realisasi prinsip Koter. Tapi bukan berarti semata-
mata untuk kepantingan menjaga keutuhan Negara ini, bisa jadi
ada kepentingan lain yang terselubung. Yang pasti, hampir di
semua tempat dimana pasukan ditempatkan, tidak sulit untuk
menunjukan bahwa ditempat tersebut ada bisnis yang
dijalankan. Atau ketika terjadi peristiwa kekerasan
(pelanggaran HAM), tidak jarang dilatarbelakangi konflik
penguasaan sumber daya alam. Apakah mungkin seperti pepata
yang berbunyi sambil menyelam minum air atau dimana ada
gula, disitu ada semut? Kecurigaan ini bukan tidak beralasan
karena banyak fakta kasus di Indonesia dan khususnya di Papua
telah mengindikasikan hal tersebut, dimana fungsi professional
TNI-Polri tenggelam diantara aktvitas bisnis dan main
„hajar‟saja.
Dalam uraian pada Seri 10 Penjelasan Singkat dari
IDSPS dikatakan bahwa secara intitusional actor keamanan
(TNI-Polri dan Intelejen) menyatakan tunduk pada hukum dan
prinsip HAM tetapi kekerasan dan penyalahgunaan kekuasaan
masih terjadi di daerah, yang menunjukan tidakadanya
signifikasi relasi secara positif antara perubahan pada level
legislasi, kebijakan institusional di lingkungan TNI, Polri, dan
Intelejen dengan penurunan angka kekerasan dan pelanggaran
kekerasan. Gambaran kekerasan baik yang bersifat langsung
maupun tidak langsung kapada masyarakat sipil terjadi dalam
berbagai bentuk dan banyak kasus, diantaranya: sengketa
agrarian; praktek bisnis TNI dan Polri di sektor pertambangan
dan perkebunan; penguasaan lahan rakyat untuk kebutuhan
instalasi militer; sulitnya perisinan untuk menyelenggarakan
kegiatan politik; backing perusahaan penebangan kayu liar;
konflik antara TNI dan Polri terkait dengan praktek bisnis dan
jasa keamanan; konflik sumber daya alam; penanganan
demonstrasi mahasiswa dan masyarakat; Penyerangan terhadap
masyarakat sipil; isu separatisme dan terorisme.
Dua contoh dari aktivitas bisnis yang berindikasi pada
keterlibatan individu maupun institusi TNI-Polri seperti
dimaksud di atas, khususnya yang telah diketahui public dan
dalam kurun waktu sejak disahkannya UU No 34 Tahun 2004
Tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah seperti
diurai di bawah ini:
Ketika masyarakat Nandalin-Sentani memprotes
aktivitas penggalian bahan tipe C yang dilakukan PT
Bintang Mas dikampungnya (9 Mei 2009), mereka
justru mendapat tantangan dari pihak kepolisian. Kepala
kampung yang melarang pengoperasian alat berat di
lokasi penggalian justru ditangkap dan ditahan di Polda
Papua serta dijerat dengan tuduhan perbuatan tidak
menyenangkan, Pasal 335 KUHP. Anehnya, aparat
polisi malah mengusir masyarakat yang hendak
mengumpulkan batu di lokasi yang adalah wilayah adat
mereka, bahkan ada yang disuruh merayap di atas batu-
batu kali. Pihak Polda mengatakan penahanan kepala
kampung ini sudah sesuai prosedur, tetapi Anu Afaa
Kampung Nandali dr. Jhon Managsang menanggapi
lain. “ Saya menilai kasus ini dilakukan secara parsial
oleh Polda Papua, kasus lain juga yang kami lihat tidak
sesuai adalah penerbitan surat ijin galian Golongan C
oleh pemerintah Kabupaten Jayapura, yang tidak
memihak kepada rakyat,” kata Manangsang. Sedangkan
Pemda Jayapura membantah bahwa pihaknya telah
mengeluarkan ijin penggalian. Papua Pos (12/05/09)
mencatat bahwa oknum dari satuan kepolisian di
lingkungan Polda Papua patut diduga dibayar karena
justru berpihak pada Bintang Mas – padahal masyarakat
telah dirugikan selama 18 tahun, sejak tahun 1990.
Satuan-satuan TNI-Polri, organic juga non-organic yang
ditempatkan di areal pertambangan PT. Freeport, selain
mendapat uang-keamanan, mereka juga mencari uang
dengan berbagai bentuk aktifitas bisnis lain. Misalnya
dengan memanfaatkan keberadaan pendulang
tradisional di sepanjang aliran sungai Ajigwa:
memungut semacam upeti dari pendulang, menjadi
pemasok bahan kebutuhan pendulang (ditukar dengan
emas), dan jasa transportasi bagi dari dan ke lokasi
pendulangan. Kasus ini mulai menjadi perhatian public,
setelah terjadi bentrokan antara pendulang tradisional
(masyarakat asli Papua) dengan taskforce (keamanan
Freeport) dan Brimob Polda Papua yang bertugas
disana. Juga setelah majalah Times melaporkan tentang
„uang Preman‟ yang dibayarkan Freeport ke tentara.
Saat terjadi peristiwa bentrokan ini dan sebelumnya,
Kostrad dan Brimob lah dua kesatuan yang selalu
diketahui bertugas antara Mil 32- Mil 74. Kostrad
biasanya di tempatkan (tetap) di Mil 74 dimana lokasi
pabrik emas berada dan Brimob (organic maupun non-
organic) selalu berpatroli. Namun kabarnya mulai Juli
2006 tugas pengamanan telah dipegang sepenuhnya
oleh satuan Kepolisian – berdasarkan Keputusan
Presiden (Kepres) No 63 Tahun 2004 tentang Pam
Ovitnas yang tidak lagi ditangani oleh TNI. (Kahar).
Fokus HAL 7
masyarakat tersebut, bahkan mereka juga menjadi alat
penyebar teror untuk menakuti masyarakat agar tidak
melawan perusahaan tersebut.
3. Neoliberalisme (dalam hal ini liberalisasi investasi)
yang rakus sehingga merugikan orang Papua.
Neoliberalisme ini kemudian mengeliminir (mengurangi
bahkan hingga mentiadakan) posisi negara untuk
melindungi kepentingan warganya. Sehingga persaingan
yang tidak seimbang antara kepentingan masyarakat dan
perusahaan sudah pasti dimenangkan oleh perusahaan,
dan masyarakat kemudian mengalami ketersingkiran,
marginalisasi, dan kemiskinan.
Kondisi tersebut tidak bisa kita biarkan begitu saja, tetapi harus
diubah dengan cara melawannya. Bagaimana cara kita
melawannya?
Hal pertama yang harus kita (orang Papua) sadari adalah
bahwa kondisi ini merupakan ancaman yang serius
terhadap kehidupan seluruh orang Papua, dan juga anak
cucu kita yang akan datang. Oleh karena itu tidak ada
jalan lain, selain melawan kondisi yang ada dan
mengubah kondisi tersebut menjadi kondisi yang lebih
adil bagi orang Papua.
Setelah sadar maka kita harus mulai melawan dengan
alat perlawanan yang modern yaitu organisasi.
Organisasi adalah alat perlawanan modern yang sudah
teruji ketangguhannya dalam mengubah kondisi suatu
masyarakat. Dari mana kita mulai membangun
organisasi? Organisasi dibangun dari kebutuhan/
program yang hendak di capai. Misalnya jika suatu
masyarakat adat yang menuntut hak ganti rugi tanah,
maka bisa dimulai dengan organisasi adat yang ada,
yaitu dengan mulai mendorong organisasi adat yang ada
untuk mulai memperjuangkan hak ganti rugi tanah
tersebut.
Bagaimana cara/strategi kita melawan? Kita melawan
dengan beberapa cara, yaitu: Melawan dengan tulisan
(terbitan, selebaran, dll); Melawan dengan membangun
front/koalisi/aliansi dengan organisasi atau kelompok
lain yang setuju dengan perlawanan yang sedang kita
lakukan; Melawan dengan melakukan diskusi-diskusi,
seminar-seminar di tengah-tengah masyarakat yang
belum sadar atau pun diskusi atau seminar untuk makin
menguatkan kesadaran perlawanan yang ada; Melawan
dengan melakukan aksi massa bersama-sama dengan
kelompok/organisasi lain yang setuju dengan isu aksi
massa (demonstrasi) yang kita lakukan. Baik aksi massa
serentak di beberapa kota atau beberapa kecamatan
secara bersama-sama, atau dengan melakukan aksi
massa di suatu tempat dengan memobilisir/mengerahkan
semua anggota/simpatisan aksi kita; Menjalankan
aktifitas organisasi secara rutin/reguler/terus menerus
dan teratur. (Smadav).
Viva Demokrasi!!!
Hidup Rakyat Papua!!!
Bersatu Untuk Pembebasan Nasional!!!
Menurut teori-teori ekonomi borjuis (teori-teori ekonomi
kapitalisme yang dalam prakteknya saat ini dikenal dengan
nama Neoliberalisme) dan juga menurut keyakinan banyak
pemimpin Papua bahwa investasi akan mensejahterakan orang
Papua. Ternyata justru memiskinkan, memarginalkan, dan
menyingkirkan orang Papua, serta menjadikan orang Papua
sebagai orang asing di negerinya sendiri. Tentu kita sadari
bahwa fakta-fakta tersebut bukanlah hal baru, bahkan dari
kerakusan dan kejahatan neoliberalisme terhadap kehidupan
masyarakat lain di belahan dunia ini, terutama di negara-negara
berkembang dan negara-negara terbelakang bisa menjadi
contoh bagi kita.
Fakta-fakta tentang pemiskinan, marginalisasi, dan
penyingkiran terhadap orang Papua semakin lebih telanjang
dipraktekan sejak Papua di kuasai (aneksasi) oleh pemerintah
Indonesia yang pro terhadap kebijakan-kebijakan kapitalisme-
neoliberalisme. Berangkat dari kondisi itulah kemudian
Gerakan Rakyat Demokratik Papua (Garda-P) didirikan dengan
tujuan mewujudkan masyarakat Papua yang demokratik,
merdeka (berdaulat), modern, adil (setara), sejahtera, bersih
(transparan) dan internasionalis. Tujuan itu kemudian di
turunkan menjadi program umum yaitu Memperjuangkan
pembebasan nasional dengan melawan imperialisme dan
pemerintahan NKRI agen imperialisme serta memperjuangkan
pembentukan Pemerintahan Persatuan Rakyat Papua yang
demokratik, progresif dan revolusioner, dan program
strategisnya yaitu Memajukan tenaga produktif dengan sumber
pembiayaan dari pengambilalihan dan penataan ulang industri
seperti: pertambangan, kehutanan, perkebunan, perikanan, dan
pertanian.
Cita-cita mewujudkan suatu tatanan masyarakat Papua
seperti yang ada pada tujuan Garda-P tersebut, dan kemudian di
turunkan (didetailkan) dalam program umum dan program
strategis Garda-P, tentu bukanlah hal yang mudah untuk
diwujudkan. Cita-cita itu masih jauh dari realitas (kenyataan)
yang ada saat ini. Namun cita-cita tersebut harus mulai
diperjuangkan dengan mulai menyingkirkan hambatan-
hambatan yang menghambat terwujudnya cita-cita tersebut.
Hambatan-hambatan tersebut antara lain:
1. Terbatasnya (bahkan sering tertutupnya) ruang
demokrasi. Ruang demokrasi dalam arti kebebasan
mengeluarkan pendapat, pikiran, ekspresi politik, dan
kebebasan berorganisasi sering terhambat bahkan sering
dilarang dan dibatasi dengan alasan-alasan formal dan
prosedural yang mengabaikan esensi demokrasi
tersebut.
2. Ancaman terhadap demokrasi dari militer. Bukan
rahasia lagi ketika militer (TNI dan POLRI) kemudian
menjadi bagian dari kegiatan bisnis (misalnya bisnis
kayu, dll) bahkan mem-backing (mendukung,
mengamankan) kegiatan-kegiatan bisnis ilegal.
Sehingga ketika ada benturan kepentingan antara
investor (pengusaha) tersebut dengan masyarakat
pemilik hak ulayat dimana suatu perusahaan berada,
maka para anggota TNI/POLRI tersebut kemudian
menjadi alat untuk membungkam protes (perlawanan)
BAGAIMANA MELAWAN INVESTASI YANG MENINDAS, DEMI PEMBEBASAN
Arah Juang H AL 8
Awal mula konflik yang mengakibatkan pelanggaran
HAM, ketidakadilan, penindasan, diskriminasi, marginalisasi
dan perampasan ha-hak adat penduduk pribumi di tanah Papua,
tidak terlepas dari sejarah masuknya wilayah dan Bangsa
Papua Barat sebagai bagian dari Negara Kesatuan Repubik
Indonesia (NKRI). Melalui Pepera 1969 yang tidak memenuhi
unsur demokrasi, HAM, juga hukum Internasional. Dalam
hemat saya, Pemerintah Indonesia yang saat itu sangat ambisi
untuk mengambil Papua, tentu tidak terlepas dari tujuan
penguasaan atas suber daya alam yang sangat berlimpah
dibumi cenderawasi ini. Selama 40-an tahun orang Papua
ditekan oleh penguasa negara ini, terutama dalam massa rezim
Orde Baru yang kapitalis-militeristik. Sejak 1960-an sampai
sekarang tercatat beberapa operasi militer yang dilakukan oleh
aparat keamanan seperti: operasi Wisnumurti I dan II; Operasi
Tumpas; Operasi Sadar I-IV; Operasi Wibawa I-IV; Operasi
Bharata Yudha; Operasi Pasca Pembebasan Sandera
Mapnduma; Operasi penyisiran masyarakat sipil seperi
Abepura 2000 dan Wasior 2001; serta beberapa operasi
intelijen. Akibat itu semua, orang Papua terus menjadi korban
pelanggaran HAM, dan tak satupun pelanggaran ini
diselesaikan secara adil di depan Hukum. Tidak pernah ada
keinginan dari pemerintah untuk memecahkan situasi ini
dengan sebuah solusi penyelesaian yang adil dan demokratis.
Menghadirkan militer untuk menumpas rakyat yang melakukan
perlawanan, atau mendatangkan transmigrasi sebanyak-
banyaknya untuk menguasai lahan kosong – sebagai siasat
membatasi gerilyawan Papua – di setiap wilayah adalah bagian
dari cara yang diyakini pemerintah, yang justru
memperpanjang dan memperburuk wajah persoalan Jakarta-
Papua.
Sebaliknya, meski berulangkali dibungkam, hingga
kini perbedaan pandangan terhadap proses penggabungan
wilayah Papua Barat ke NKRI yang penuh rekayasa ini terus
disuarakan oleh orang Papua. Fakta menunjukan bahwa
gerakan perlawanan justru tidak pernah bisa dipadamkan,
sekalipun sepanjang sejarah itu juga orang Papua tidak pernah
mendapat respon positif dari Pemerintah NKRI. Perlawanan
bersenjata yang dilakukan oleh Tentara Pembebasan Nasional-
Organisasi Papua Merdeka (TPN-OPM) terhadap praktek-
praktek ketidakadilan bahkan tak pernah surut walaupun telah
dijadikan alasan untuk menetapkan Papua sebagai Daerah
Operasi Militer (DOM). TPN-OPM telah memainkan peranan
kunci sebagai garda dan motor pergerakan, meski tidak sedikit
anggotanya yang gugur sebagai bunga bangsa.
Jenderal Umeki Kelly Kwalik adalah salah satu
diantara mereka yang telah memilih jalan hidupnya dengan
memanggul senjata demi pembebaskan rakyat dan negeri ini.
Sang Jenderal telah berjuang selama 37 tahun (1974-2009) dan
gugur tidak dalam suasana perang, melainkan dalam sebuah
operasi penyergapan yang dilakukan oleh Densus 88 Polri dan
satuan Brimob yang tergabung dalam Satgas Amole Timika.
Ada sejumlah hal yang perlu juga kita pertanyaan menyangkut
kematiannya di tangan Densus 88. Pertama. Dengan
keterlibatan Densus 88, apakah operasi ini telah direncanakan
(diarahkan) untuk mendapat pembenaran bahwa Jenderal
Kwalik adalah seorang teroris? Kedua. Jika memang benar
bahwa Jenderal Kwalik adalah pelaku dari serangkaian
penembakan di areal PT. Freeport antra 8 Juli 2009 –
November 2009, kenapa Beliau tidak diberikan kesempatan
untuk bersaksi di depan pengadilan Indonesia? Ketiga. Lalu
bagaimana dengan pernyataan Kapolda Papua Irjen Bagus
Ekodanto bahwa Jenderal Kwalik tidak terlibat dalam
rangkaian penembakan itu, dan bagaimana dengan kenyataan
bahwa sejumlah selongsong peluru yang ditemukan di TKP
adalah milik PINDAD yang adalah perusahan pembuat senjata
milik Indonesia? Keempat. Apa motif dibalik pembunuhan
Jenderal Kwalik? Kelima. Kenapa hingga kini pihak
kepolisisan belum bisa mengungkap siap sesungguhnya yang
melakukan serangkaian penembakan di areal penambangan PT
freeport tersebut, sehingga samapai saat ini masyarakat masih
terus bertanya-tanya? Keenam. Jika jawabannya untuk
menghentikan konflik maka, kapan konflik itu berakhir,
kenapa Jenderal Kwalik tidak ditembak saat ada pertemuan
antara pihak kepolisian dengannya, dan apakah Jenderal
Kwalik adalah sumber konflik antara orang Papua dengan
Pemerintah NKRI?
Sejumlah pertanyaan di atas bahkan bisa berubah
menjadi sebuah kesimpulan atau jawaban bagi sebagian orang
bahwa, pembunuhan Jenderal Kwalik merupakan selubung
dari drama perebutan jasa pengamanan PT. Freeport. Atau
dengan kata lain, bisa dibilang bahwa demi sebuah kepentingan
bisnis dari pihak-pihak tertentu, Jenderal Kwalik menjadi
korban. Namun bagi saya dan sebagian besar masyarakat Papua
yang menginginkan adanya sebuah perubahan di tanah ini,
pembunuhan terhadap Jenderal Kwalik adalah pembunuhan
terhadap sang pejuang yang setia membelah kebenarandan dan
keadilan. Pembunuhan ini penuh dengan konspirasi demi
kepentingan yang tidak berpihak pada rakyat. Pembunuhan ini
tidak akan mengakhiri konflik, dan apalagi akar permasalahan
yang sesungguhnya justru tidak disentuh. Pembunuhan Jenderal
Kwalik adalah bukti terbaru bahwa Pemerintah Indonesia tidak
pernah mau meyelesaiakn konfik antara bangsa Papua dan
Pemerintah Indonesia. Dan seribu kebencian baru justru lahir
dan mempertebal jurang kepercayaan masyarakat Papua
terhadap Pemerintah Indonesia. Kepergian yang mendadak dari
Jenderal Kwalik justru akan menjadi inspirasi dan energi baru
bagi perjuangan rakyat Papua. Selamat Jalan Pahlawan Bangsa.
Dasar Perjuangan Jenderal Kwalik Dan Selubung Pembunuhannya
Oleh: Saren
Hidup Atau Mati Adalah Urusan
Tuhan. Tetapi Hidup Dan Mati Demi
Melanjutkan Sebuah Kehidupan, Dan
Demi Memanusiakan Kehidupan
Manusia Adalah Sebuah Jalan Hidup
Yang Mulia
Opini HAL 9
Dok.. BUK
Filep Jacob Samuel Karma, memiliki sapaan akrab Filep. Lelaki Asal Biak Utara yang saat ini menjalani Masa Tahanan di Lapas kelas II A Abepura. Dulunya Ia adalah seorang pegawai negeri sipil di Lingkungan Pemerintah Provinsi Papua yang saat ini berusia 50 tahun. Ia mengenal perjuangan pada saat duduk di bangku kelas II SD,pada saat SMP ia memiliki cita – cita untuk masuk dalam bidang sosial politik ketika ada di bangku kuliah dan keinginannya tercapai ia memilih jurusan sosial politik di Universitas 11 Maret(Surakarta – Solo)pada tahun 1979 dan menyelesaikan studinya dengan meraih gelar sarjana sosial politik pada tahun 1987. Pada tahun 1997 ia pernah menjalani program Magister Development Management – Asian Institute of Management / Makati – Manila – Philipines, pada tahun 1997 dan selama 11 bulan menjalani program namun tidak berhak menyadang gelar magister. Filep di dakwa melakukan makar (pemberontakan) pada tanggal 01 Desember 2004. Pada saat itu ratusan mahasiswa berkumpul di kampus universitas setempat dan memulai long march sambil meneriakkan kata-kata "Papua" dan "Kemerdekaan!" Teriakan-teriakan mereka juga mencakup ajakan untuk menolak undang-undang otonomi khusus, dan meminta pemisahan Papua dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perayaan diadakan di Lapan-gan Trikora di Abepura, dan terdiri dari berbagai pidato, doa, dan tarian. Selama berjalannya perayaan tersebut be-berapa orang dalam kerumunan mengibarkan bendera Bin-tang Kejora. Setelah dari kejadian tersebut, pada tanggal 26 mei 2005 ia(filep karma-red) di putuskan bersalah dan di hukum selama 15 Tahun Penjara. Lelaki kelahiran 14 Agus-tus 1959 di Hollandia Binen (Abepura) ini sudah meng-habiskan masa hidupnya selama lima tahun di balik terali besi. Sebelumnya ia pernah menjalani masa tahanan di LP Biak saat kejadian pengibaran bendera bintang kejora pada 01 – 06 juli 1998 di Tower Air dekat pasar inpres biak, ia mengalami cedera pada saat kejadian karena di tembak(dilumpuhkan) oleh petugas dalam jarak dekat dengan pe-luru karet tepat di kaki sebelah kiri bagian tulang kering dan kaki sebelah kanan di bagian lutut dalam. Sekitar 2 minggu, cedera yang di alaminya tidak di tindak lanjuti. Tanggal 06 juli hingga 3 oktober tahun 1998 di tahan di Polres biak dan di pindah ke LP Biak. Kejadian tersebut ia divonis 6 tahun , 6 bulan. Namun, pada tanggal 20 Novem-ber 1999 ia bebas demi hukum, karena mengajukan kasasi dan tidak ada perpanjangan masa penahanan terhadapnya. Pemikirannya dahulu bahwa bangsa Papua adalah mere-ka yang ras melanesia. Namun, dengan melihat realita(kenyataan) saat ini apakah konsep ini masih tepat. Dalam era globalisasi ini apakah kita tidak bisa berpikir secara humanis, yang menerima ras atau etnis lain untuk mengakui sebagai bangsa Papua. Secara pribadi ia menginginkan bahwa bangsa Papua ke depan bangsa yang
Multi ras atau Multi etnis. Untuk menuju Pembebasan Nasional, ia tetap berjuang dengan cara damai secara demokratis dan bagaimana mengoptimalkan potensi – potensi yang di miliki oleh orang asli Papua sendiri untuk di gunakan sebagai alat dalam perjuangan. Strategi pembebasan nasional menurutnya bagaimana melakukan penyadaran/mengorganisir rakyat Papua untuk bersatu. Harapannya terhadap generasi Papua adalah tetap mempertahankan nasioanalisme Papua dan mengembangkannya dengan di landasi nilai – nilai kemanusiaan, serta mulai berpikir untuk mencari strategi pola perjuangan damai yang lain dan tetap mempertahankan hak – hak asli orang Papua. Menjalankan propaganda pembebasan nasional, yang positif secara ra-sional dan jujur. Tetap semangat dalam pembebasan jangan pernah putus asa, tetap yakin apa yang kita perjuangkan pasti akan tercapai. Seorang Bapak yang memiliki 2(dua) orang anak perem-puan ini sejak tanggal 18 Agustus 2009 mengalami kondisi kesehatan yang buruk sehingga ia harus di larikan ke Ru-mah sakit Dok II ketika di diagnosa ada batu kristal di gin-jal. Sampai saat ini pun belum ada kelanjutan dari Pihak Kalapas untuk Penanganan Pengobatan biaya lanjutan ke Jakarta, padahal surat izin dari dokter RSUD Dok II yang menangani beliau sudah ada. Dengan kondisi seperti ini, ketidakpedulian pihak Kalapas adalah amunisi bagi Per-juangan, baginya pada saat di tahanan sama sekali tidak di berikan kehidupan yang layak, obat – obatan tidak terpe-nuhi. Prinsip hidup filep adalah segala sesuatu yang kita lakukan, tetap dalam Yesus Kristus. Sebab, di luar Yesus Kristus kta bukan apa – apa dan bukan siapa – siapa. Apa yang kita la-kukan itu karena kekuatan dan nafas hidup dariNYA. Apa yang kita lakukan itu karena berkatNYA dan Kemura-hanNYA. (Sasori86)
Dok Pribadi
Filep Karma
”.......Untuk menuju Pembebasan Nasional, Bangsa Papua tetap berjuang dengan cara damai secara demokratis dan bagaimana mengoptimalkan potensi – potensi yang di miliki oleh orang asli Papua sendiri untuk di gunakan sebagai
alat dalam perjuangan. Strategi pembebasan nasional adalah bagaimana melakukan penyadaran/mengorganisir rakyat Papua....”
Tokoh HAL 10
Jangan…!!
Jangan paksa aku menikmati cerahnya mentari pagi dengan
senyuman
Ketika aku hanya ingin menikmati dinginnya kabut pagi untuk
mendinginkan hatiku yang gundah gulana diselimuti kabut
duka yang kelam…
Aku hanya ingin bergelung dalam diam, menangisi anak-
anakku yang kulahirkan dan kemudian kutemui dipantaiku
yang putih atau rimbaku yang lebat dengan tubuh tercabik dan
terpenggal-penggal
Kulahirkan mereka dari rahimku dengan tubuh utuh
Kunikmati saat-saat menatapnya tumbuh, namun kau
kembalikan dia padaku hanya sepotong-sepotong,
Dimana kau simpan bagian tubuhnya yang lain?
Aku masih ingat saat mereka kusapih, kusirami hidup mereka
dengan cinta dan kebahagiaan…Namun kau merampasnya
diriku dengan kebuasanmu,
Jangan…!!!
Jangan paksa aku menengadahkan wajahku memandang
kehidupan sedangkan anak-anakku terbujur kaku dan dingin
membeku karena kekejamanmu.
Jangan paksa aku menatap indahnya kelam malam yang pekat
berbintang dan dihiasi rembulan, ketika anak-anakku berada
dalam kegelapan yang pekat karena keserakahanmu.
Malam-malam indah kulalui dengan mereka penuh canda tawa
dan cinta
Hingga terkadang aku meminta pada-Nya agar aku hidup 1000
tahun lagi untuk menikmati tatapan penuh impian yang
terpancar dimata mereka.
Namun kini mata mereka tertutup rapat tanpa sinar kehidupan.
Kau pikir aku sanggup menatapnya??
TIDAK…!!!
Apa lagi yang harus kunikmati, sedangkan tunas-tunasku kau
patahkan satu persatu di depan mataku.
Kecerahan mentari sudah tak berarti lagi bagiku,
Aku hanya ingin berbaring disisi para buah hatiku karena tak
ada lagi yang bisa menahanku untuk menikmati indahnya
kehidupan.
Dukaku tak terhibur…
Aku tak kuat karena lelah menguras air mataku setiap hari
Hingga kini aku tak tahu lagi apa artinya air mata yang
mengalir di pipi
Sudah lama waktu berselang, ketika aku masih mampu
membedakan jenis air mata,
Kini aku hanya mampu terisak pelan tanpa air mata karena
rasa sakitnya hanya membuat hatiku bersimbah darah tak
henti..
Kau rampas anak, suami, ayah, ibu dan saudara-saudaraku
didepan mataku
Dan kini kau memintaku untuk tersenyum??
Melimpahiku dengan kemewahan untuk menghibur duka lara
hatiku?
Jangan..!!
Jangan menghiburku karena dukaku ini tak ingin dihibur !!!
Terus…, Teruslah angkat laras senapanmu dan bongkar
dadaku yang pernah menyusui para buah hatiku.
Kokang senjatamu dan cabik raga semuku jika itu bisa
meredam kegentaranmu.
Aku tahu, kau takut melihat tatapan penuh tekad dimata anak-
anakku..
Aku tahu kaupun takut melihat genggaman tangan mereka
yang kuat dan keras terkepal,
Aku juga tahu, kau takut melihat dada mereka yang terbusung
penuh kebanggaan dan keberanian untuk menantangmu.
Teruslah mengumbar nafsu serakahmu, karena akupun telah
bertekad untuk terus melahirkan anak dari rahimku untuk
meredam kebiadabanmu !
CUKUP sudah jasad-jasad kaku yang kukasihi terbujur diam
didepan mataku, walau hanya penggalan-penggalan semata.
Aku tak akan menangis dan berkubang dalam dukaku !!
Akan kulahirkan anak-anak pemberontak yang akan
menghadang langkahmu,
Jangan silahkan aku, karena kaulah penyebab semua ini,
Kau mendiamkan satu anakku, namun aku akan terus
melahirkan seribu anakku untuk menantangmu!
Aku takkan lari, sobat, aku masih disini !!
Ini duniaku, walu kau membuatnya suram untuk ku tinggali
Sekali lagi kuingin kau tahu bahwa aku takkan pergi pergi
kemanapun,
Disinilah, diatas tanah tempatku berpijak kau mendiamkan dan
membungkam anak-anakku dengan laras senapanmu,
Maka akupun tak akan pergi jauh untuk kau kejar
Akan kuhadapi keserakahan dan kebuasanmu walau aku harus
membayar mahal dengan milikku yang paling
berharga…..’Nyawaku !!
Itu sumpahku, untuk para buah hatiku yang tercecer dan
mengering tanpa kuusap dengan jemariku
Karena kaulah sebenarnya yang membuatku tegar dan kuat
meneruskan impian anak-anakku,
Dengar..!!!
“Aku takkan tinggal diam melihatmu merenggut anak-anakku
dariku”
20 Desember 2009
~~Ronda AuroRa~~
Budaya & Seni HAL 11
SELAMAT JALAN
TUAN JENDERAL BESAR TPN-PB
UMEKI KELETUS KELLY KULALOK
KWALIK
(Kelly Kwalik)
1955-2009
Selama 32 tahun aku bertahan di belantara, kutinggalkan
kehidupan normal dan keluarga-ku. Ku daki bukit dan
gunung, kulalui lembah-lembah dan rawa-rawa, ku
seberangi kali dan danau, sungai dan laut, ku tahan terik
panas matahari walaupun membakar kulit, kutahan
dingin dan bekunya tubuh ku karena salju abadi warisan
leluhur ku.
Lapar dan haus menjadi sahabat sejatiku ditengah
belantara hanya karena satu tekad yakni demi tegaknya
keadilan dan kebenaran, kasih dan perdamaian diatas
tanah leluhurku.
Kini dalam peristirahatanku yang terakhir, aku berdoa:
“ Tuhanku, bawalah pergi semua kekayaan alam
yang Kau taruh diatas tanah leluhurku, karena semua
itu hanya membuat rakyatku menjadi korban dari
tangan-tangan serakah. Biarlah semua milik kami
mereka bawa pergi dari tanah ini, asalkan rakyatku
tinggal dan hidup dalam kesederhanaan dan
kedamaian”.
Tubuh Dan Raga-Ku Boleh Kau
Musnakan
Tapi Semangat-ku Tetap Hidup
Gerakan Rakyat Demokratik Papua
(GARDA-P)
Air Mata Jiwa HAL 12
"Hari ini kita melepaskan tokoh besar yang dengan caranya sendiri mempersembahkan hidup bagi tanah
Papua. Kualitas hidup Kelly dibuktikan dengan kesetiaannya mempertahankan idealisme dan kecintaannya
terhadap tanah Papua......
Akan tetapi Kelly membuktikan perjuangannya melawan ketidakadilan, penindasan, perampasan hak
dengan dalih kepentingan bangsa, melawan pemiskinan dan penghancuran umat manusia."
Uskup Timika, Mgr John Philip Saklil Pr