wene edisi i

12
Investasi di Papua, Mengancam Kesejahteraan Masyarakat Lokal Investasi di Indonesia secara nasional meningkat, dan secara khusus Papua sebagai salah satu daerah yang investasinya cukup tinggi. Sebenarnya ini juga tidak lepas dari pandangan atau pemahaman ekonomi secara nasional yang boleh dibilang menganut paham neoliberalisme. Dimana mereka mempercayai bahwa tingkat kesejahteraan rakyat berbanding lurus dengan tingkat pertumbuhan ekonomi, dan tingkat pertumbuhan ekonomi itu berbanding lurus juga dengan besar pertumbuhan investasi yang akan masuk, tingkat konsumsi, dan eksport- import. Karena itu tidak heran kalau pemerintah pusat maupun Papua sangat gencar mengupayakan masuknya para pemodal untuk berinvestasi di Indonesia dan Papua. Dalam meningkatkan ekonomi di Papua dan Papua Barat Bank Mandiri mempertemukan korporasi-korporasi besar dengan para pemangku kepentingan di Papua dan Papua Barat dalam sebuah acara bertajuk, “Papua Insvestement Day” yang berlangsung di Jakarta, 8 Oktober 2009. Gubernur Papua Barnabas Suebu, Gubernur Papua Barat Abraham O Ataruri, Dirut Bank Mandiri Agus Martowardojo, dan Menteri PU Djoko Kirmanto merupakan pembicara dalam pertemuan itu. Dan beberapa investor yang berminat menanamkan modal di bidang perkebunan antara lain, Sinarmas Group, Wings Group, Sampoerna Agro, Medco Agro, Wilmar, Sungai Budi, BEST, Harita, Union Sampoerna Triputra dan Bangun Cipta, Teladan Resources, Taniti Group dan investor lainnya. Menurut Dirut Bank Madiri, “pertemuan ini sangat penting untuk menciptakan sinergi antara korporasi sebagai investor dengan pemerintah dan perbankan untuk menghilangkan hambatan-hambatan berinvestasi di provinsi paling timur di Indonesia itu.”(baca:cepos,senin 12 oktober 2009). Dalam sebuah acara bertajuk „‟Papua Investement Day‟‟ Direktur Utama Agus Martowardojo (Direktur utama Bank Mandiri,Tbk) mengatakan , Realisasi penanaman modal asing di propinsi Papua mencapai 112%, di propinsi Papua Barat mencapai 129%. Sedangkan penanaman modal dalam negeri hanya 2,6% di Propinsi Papua dan 12,8% di Propinsi Papua Barat pada akhir 2008. Data pada 2008 penanaman modal da- lam negeri sebesar Rp 5,7 triliun di Papua dan sekitar Rp 7,6 triliun di Papua Barat sedangkan penanaman modal asing men- capai US$ 5 miliar di Papua dan sekitar US$ 246 juta di Papua Barat. Papua memiliki potensi begitu besar dalam sumber daya alam termasuk di sektor pertanian, perkebunan, energi, pertam- bangan, perikanan, dan pariwisata. Bahkan sektor pertamban- gan di Papua mencapai 12,7% lebih tinggi dibandingkan sektor pertambangan nasional. "Potensi Papua yang besar diharapkan bisa dilihat oleh 85 CEO Strategis apa yang kita lihat. Sudah ada 104 pertemuan one by one dengan gubernur dan para bupa- ti," kata Agus. Agus mengatakan kendala investasi di Papua antara lain kondisi geografis Papua yang berupa perbukitan dan gunung, masalah kelembagaan seperti pemekaran wilayah oto- nomi khusus, proses perijinan konversi lahan, pengembangan sumber daya manusia dan pengelolaan stabilitas kea- manan dan lingkungan. Ditambah paso- kan listrik yang masih kurang untuk industri dan sehari-hari serta permoda- lan. Dalam investasi Pembangunan Lis- trik dari Gas, pertemuan Gubernur Pro- vinsi Papua dengan Duta Besar Austria mengatakan Di Sorong ada satu proyek listrik dari gas yang dibantu dari Austria, khu- susnya pada teknologinya, termasuk juga membicarakan ten- tang pembangunan listrik dari gas di Manokwari‟‟. Untuk Pro- vinsi Papua membahas mengenai kemungkinan kerjasama da- lam bidang energi yang terbaharukan, dari tenaga air, tenaga matahari, tenaga angin dan juga dari gas(baca : cepos, 15 okto- ber 2009). Sampai saat ini, pembangunan perekonomian di Papua masih terpusat pada eksploitasi sumber sumber daya alamnya. Hal ini dapat di pandang sebagai sesuatu yang mengabaikan keinginan dan hak hak dari masyarakat asli Papua terhadap lahan tradisional mereka. Pengambil alihan Blog: http://gardapapua.blogspot.com Email: [email protected] Buletin WENE Edisi O1, Januari-Februari 2010 Berani, Cerdas & Memihak Rakyat GARDA-P GARDA-P INVESTASI, MARGINALISASI, DAN MILITERISME DI PAPUA ’’Papua saat ini memiliki 31,5 juta hektar, dimana 50 persennya adalah hutan konversi, 20 persennya hutan produksi dan sisanya 30 persen akan dikonversikan untuk pengunaan multi-guna termasuk perkebunan, pertanian, dan perumahan” Dok. Nasta

Upload: garda-papua

Post on 27-Jun-2015

118 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Investasi

TRANSCRIPT

Page 1: Wene Edisi I

Investasi di Papua, Mengancam Kesejahteraan

Masyarakat Lokal Investasi di Indonesia secara nasional meningkat, dan secara

khusus Papua sebagai salah satu daerah yang investasinya

cukup tinggi. Sebenarnya ini juga tidak lepas dari pandangan

atau pemahaman ekonomi secara nasional yang boleh dibilang

menganut paham neoliberalisme. Dimana mereka mempercayai

bahwa tingkat kesejahteraan rakyat berbanding lurus dengan

tingkat pertumbuhan ekonomi, dan tingkat pertumbuhan

ekonomi itu berbanding lurus juga dengan besar pertumbuhan

investasi yang akan masuk, tingkat konsumsi, dan eksport-

import. Karena itu tidak heran kalau pemerintah pusat maupun

Papua sangat gencar mengupayakan masuknya para pemodal

untuk berinvestasi di Indonesia dan Papua.

Dalam meningkatkan ekonomi di Papua dan Papua Barat

Bank Mandiri mempertemukan korporasi-korporasi besar

dengan para pemangku kepentingan di Papua dan Papua Barat

dalam sebuah acara bertajuk, “Papua Insvestement Day” yang

berlangsung di Jakarta, 8 Oktober 2009. Gubernur Papua

Barnabas Suebu, Gubernur Papua Barat Abraham O Ataruri,

Dirut Bank Mandiri Agus Martowardojo, dan Menteri PU

Djoko Kirmanto merupakan pembicara dalam pertemuan itu.

Dan beberapa investor yang berminat menanamkan modal di

bidang perkebunan antara lain, Sinarmas Group, Wings Group,

Sampoerna Agro, Medco Agro, Wilmar, Sungai Budi, BEST,

Harita, Union Sampoerna Triputra dan Bangun Cipta, Teladan

Resources, Taniti Group dan investor lainnya. Menurut Dirut

Bank Madiri, “pertemuan ini sangat penting untuk menciptakan

sinergi antara korporasi sebagai

investor dengan pemerintah dan

perbankan untuk menghilangkan

hambatan-hambatan berinvestasi di

provinsi paling timur di Indonesia

itu.”(baca:cepos,senin 12 oktober

2009).

Dalam sebuah acara bertajuk

„‟Papua Investement Day‟‟ Direktur

Utama Agus Martowardojo (Direktur utama Bank

Mandiri,Tbk) mengatakan , Realisasi penanaman modal asing

di propinsi Papua mencapai 112%, di propinsi Papua Barat

mencapai 129%. Sedangkan penanaman modal dalam negeri

hanya 2,6% di Propinsi Papua dan 12,8% di Propinsi Papua

Barat pada akhir 2008. Data pada 2008 penanaman modal da-

lam negeri sebesar Rp 5,7 triliun di Papua dan sekitar Rp 7,6

triliun di Papua Barat sedangkan penanaman modal asing men-

capai US$ 5 miliar di Papua dan sekitar US$ 246 juta di Papua

Barat. Papua memiliki potensi begitu besar dalam sumber daya

alam termasuk di sektor pertanian, perkebunan, energi, pertam-

bangan, perikanan, dan pariwisata. Bahkan sektor pertamban-

gan di Papua mencapai 12,7% lebih tinggi dibandingkan sektor

pertambangan nasional. "Potensi Papua yang besar diharapkan

bisa dilihat oleh 85 CEO Strategis apa yang kita lihat. Sudah

ada 104 pertemuan one by one dengan gubernur dan para bupa-

ti," kata Agus. Agus mengatakan kendala investasi di Papua

antara lain kondisi geografis Papua yang berupa perbukitan dan

gunung, masalah kelembagaan seperti pemekaran wilayah oto-

nomi khusus, proses perijinan konversi

lahan, pengembangan sumber daya

manusia dan pengelolaan stabilitas kea-

manan dan lingkungan. Ditambah paso-

kan listrik yang masih kurang untuk

industri dan sehari-hari serta permoda-

lan.

Dalam investasi Pembangunan Lis-

trik dari Gas, pertemuan Gubernur Pro-

vinsi Papua dengan Duta Besar Austria mengatakan Di Sorong

ada satu proyek listrik dari gas yang dibantu dari Austria, khu-

susnya pada teknologinya, termasuk juga membicarakan ten-

tang pembangunan listrik dari gas di Manokwari‟‟. Untuk Pro-

vinsi Papua membahas mengenai kemungkinan kerjasama da-

lam bidang energi yang terbaharukan, dari tenaga air, tenaga

matahari, tenaga angin dan juga dari gas(baca : cepos, 15 okto-

ber 2009).

Sampai saat ini, pembangunan perekonomian di Papua

masih terpusat pada eksploitasi sumber – sumber daya

alamnya. Hal ini dapat di pandang sebagai sesuatu yang

mengabaikan keinginan dan hak – hak dari masyarakat asli

Papua terhadap lahan tradisional mereka. Pengambil – alihan

Blog: http://gardapapua.blogspot.com Email: [email protected]

Buletin WENE Edisi O1, Januari-Februari 2010

Berani, Cerdas & Memihak Rakyat

GARDA-PGARDA-P

INVESTASI, MARGINALISASI, DAN MILITERISME DI PAPUA

’’Papua saat ini memiliki 31,5 juta hektar,

dimana 50 persennya adalah hutan

konversi, 20 persennya hutan produksi dan

sisanya 30 persen akan dikonversikan

untuk pengunaan multi-guna termasuk

perkebunan, pertanian, dan perumahan”

Dok. Nasta

Page 2: Wene Edisi I

untuk melaksanakan sebuah program ekonomi akan berujung

pada konflik antara pemilik hak ulayat dengan perusahaan dan

pemerintah setempat. Ketika konflik terjadi, pihak keamanaan

selalu berpihak pada kepentingan perusahaan atau

pemerintahan setempat.

Sejak akhir tahun 2006 pejabat – pejabat di Jakarta dan

Papua telah mempersiapkan jalan bagi Investasi mulai dari

pemilik modal raksasa yang mencari lahan bernilai jutaan dolar

untuk ekspansi perkebunan berskala industri, terutama untuk

kepala sawit dan produksi bubur kertas (pulp). Tinjauan sekilas

atas nama – nama dari pelaku utama yang terlibat dalam

perkembangan pesat perkebunan di Papua menunjukkan bahwa

individu – individu kaya yang mempunyai koneksi politik dan

perusahaan – perusahaan raksasa berlomba – lomba mengusai

areal yang luas dan bersiap – siap untuk meneguk milyaran

dollar. Dalam sebuah pertemuan dengan pedagang karbon,

Gubernur Barnabas Suebu menyatakan : ‟‟Papua saat ini

memiliki 31,5 juta hektar , dimana 50 persennya adalah hutan

konversi, 20 persennya hutan produksi dan sisanya 30 persen

akan dikonversikan untuk pengunaan multi-guna termasuk

perkebunan, pertanian, dan perumahan‟‟(Papua to Assess

Carbon Stocks,Jakarta Psot,14 mei 2008).

Indonesia mempunyai rekam jajak yang buruk terkait

dengan pengelolaan hutan dan pembalakan liar yang tak

terkendali. Dengan musnahnya hutan – hutan di Sumatera dan

Kalimantan sebagai akibat produksi yang melebihi jatah tebang

(over production), pembalakan liar dan korupsi, maka para

konglomerat usaha perkayuan yamg kadang tak tersentuh oleh

hukum ini, mulai mengalihkan perhatian mereka ke Papua.

Pada bulan mei 2008, Direktur Jendral Perkebunan pada

Departemen Pertanian Republik Indonesia, menyatakan

bahwa : ‟‟ Karena Pulau Sumatera dan Kalimantan sudah

terlalu padat untuk perkebunan kelapa sawit baru, maka lahan

yang masih tersedia adalah Papua‟‟(official,AFP.21 mei 2008),

Para pelaku usaha perkebunan yang mendengar penyataan ini

segera mengarahkan perhatian mereka ke hutan terakhir di

Papua untuk melakukan ekspansi mereka. Pada bulan Febuari

2009, Pemerintah Provinsi Papua menyatakan telah memberi

izin kepada 89 perusahaan perkebunan tetapi hanya 10

perusahaan yang telah memulai kegiatan di lapangan, hal ini

terjadi karena beberapa kendala – kendala terkait masalah

keuangan yang terjadi karena krisis global telah menciutkan

niat beberapa investor besar untuk menanamkan modalnya di

Papua dalam dua tahun terakhir, tetapi sejalan dengan

perkembangan perbaikan perekonomian Asia penundaan

investasi ini mungkin hanya bersifat sementara.

Areal utama yang di targetkan untuk perkebunan di Provinsi

Papua termasuk Merauke, Boven Digul dan Mappi, areal

sekitar Jayapura (Arso,Lereh,Keerom, dan sarmi(,Nabire ,

Mamberamo , Waropen, dan Mimika. Untuk Propinsi Papua

Barat, daerah perkebunan yang disukai termasuk sorong,

sorong selatan, Manokwari , Kaimana , dan Bintuni.

Perkebunan kepala sawit di Papua tidak membawa hasil

setidaknya tidak memberikan manfaat yang jelas bagi

Penduduk Asli Papua. Di Kabupaten Prafi , Provinsi Papua

Barat, berdiri sebuah perusahaan pemerintah, PT Perkebunan

Nusantara II (PTPN II), yang telah beroperasi sejak tahun 1980

dan mengusai lahan seluas 10.500 hektar yang di tanami kelapa

sawit. Baru pada tahun 2007, penduduk setempat menerima

pembayaran Rp. 1.000,- per kilogram buah kelap sawit, harga

HAL 2

Editorial

Pemekaran propinsi, kabupaten, dan kota jelas

memiliki kaitan erat dengan investasi yang mengalir ke tanah

Papua, dan tentu dapat mewujudkan kesejahteraan dan

kemakmuran bagi rakyat Papua. Sebab lapangan kerja akan

semakin terbuka lebar, dengan demikian tenaga produktif

akan semakin berkembang, apalagi jumlah penduduk

masyarakat asli Papua sangat sedikit. Dengan kata lain, mimpi

orang Papua untuk menjadi tuan di negeri sendiri akan

terwujud dengan masuknya investasi. Demikianlah janji-janji

manis yang biasa dikatakan oleh para bupati dan gubernur.

Kenyataannya kesempatan kerja (pada posisi yang

layak) justru semakin tertutup bagi orang Papua, pemiskinan

dan marginalisasi justru semakin jelas. Penghormatan dan

perlindungan atas hak-hak adat masyarakat, pemberdayaan,

proteksi, dan prioritas sebagai roh dari Otsus pun hampir tidak

terlihat. Orang Papua semakin hari semakin terjepit, sendi-

sendi kehidupan pun semakin rapuh berhadapan dengan

kepentingan ekonomi-politik para pemilik modal. Disisi lain,

tentu kita bisa saksikan bahwa grafik pelanggaran HAM justru

semakin memuncak, seiring dengan meluasnya struktur

komando teritorial TNI-Polri dengan alasan untuk membasmi

terorisme dan separatis.

Dewan Redaksi: Anggota KPP, Pemimpin Redaksi: Saren Reporter:

Saren, Nasta, Smadav, Kahar, Manwen, Manyori, Don, Bovit, Ete,

Gepe dan Elly. Biak: Sagoes, Sorong: Tawa,Tete, Distributor: Tong

S e m u a . E - m a i l : b u l e t i n _ w e n e @ g m a i l . c o m . B l o g

http://gardapapua.blogspot.com

Wene adalah sebuah kata dalam bahasa suku Dani,

Nduga dan beberapa suku serumpun, yang artinya

bicara atau khabar. Melalui buletin Wene, kita bicara

tentang masalah yang kita hadapi, jati diri kita, dan

bicara tentang apa kerja kita

Fokus

Memajukan Tenaga Produktif Papua Sebagai Landasan Pembebasan Nasional !

Pemerintah Segera Berikan Pasar Bagi Rakyat Papua Di Seluruh Tanah Papua !

Lindungi Hak Kami Untuk Hidup Di Tanah Kami !

Page 3: Wene Edisi I

ini jauh di bawah harga yang di janjikan sebelumnya. Dan para

pemilik hak ulayat menyatakan penyesalan mereka karena telah

menandatangani perjanjian pengalihan lahan. Pada tahun 1996,

PTPN II mendirikan perkebunan kelapa sawit lainnya di

kabupaten Keerom, Provinsi Papua. Pada tahun 2008 pemilik

hak ulayat hanya menerima sekitar RP. 300.000 (US$ 30) per

bulan karena kesulitan mengangkut buah kelapa sawit ke

pabrik pengolahannya.

Di Provinsi Papua Barat, Di kampung Malalis – Sorong para

pemilik tanah dari Marga Klasibin, Gilik dan Doo, bagaimana

pada awalnya PT Hendrison Inti Persada (HIP) mendekati

mereka pada tahun 2004, karena dijanjikan akan di bangunkan

sekolah, perumahan dan di berikan kendaraan dan beberapa

fasilitas lainnya, maka marga Klasibin, Gilik , dan Doo

bersedia untuk menyerahkan hutan seluas 830 hektar kepada

PT. HIP. Pada tahun 2005 , kedua marga masing – masing

hanya menerima Rp. 20 Juta (US$ 2.000) sebagai ‟‟uang sirih

pinang‟‟ untuk tanah yang telah di berikan(sumber, Telapak).

Di Klawana, seorang Mama Maryodi Malak, bagaiman PT.

HIP membujuk suaminya , Kefas Gifim dan Putranya Manu

Gisim, untuk melepaskan lahan hutan seluas empat hektar yang

mereka miliki. Pada saat itu putranya Manu Gisim, untuk

melepaskan lahan hutan seluas empat hektar yang mereka

miliki. Pada saat itu, putranya baru berusia empat tahun, jauh di

bawah usia legal untuk menandatangani sebuah kontrak. Mama

Malak mengatakan :‟‟ Anak saya harus menandatangani

kontrak tersebut walau ia baru berusia empat tahun. Perusahaan

itu telah menipunya‟‟. PT HIP mengatakan kepada mama

Malak bahwa mereka menginginkan putra dari seorang

pemimpin marga untuk mananda tangani dokumen penyerahan

tanah, sehingga apabila pada suatu saat Bapak meninggal,

maka akan ada bukti tertulis bahwa generasi berikutnya terlah

mengikat diri pada perjanjian selama 25 tahun yang dapat di

perpanjang selama 30 Tahun berikutnya. Mama Malak

menyatakan ia tidak pernah menerima salinan dari dokumen

yang di tanda tangani oleh cap jempol putranya, ia juga

menceritakan bahwa permintaannnya untuk menyisakan sebuah

areal kecil dari lahan hutan itu untu menghidupi keluargannya

tidak di tepati dan perusahaan bahkan telah membuka areal

lebih luas dari empat hektar sebagaimana dalam perjanjian.

Pemerintah setempat dengan gigih membela kepnetingan PT.

HIP dan sama sekali tidak berbuat apapun bagi kepentingan

HAL 3

masayarakat desa selama berlangsungnya perundingan dengan

perusahaan. Sampai April 2009 masyarakat Malalis,

Klamono ,dan Klawana mereka menyatakan bahwa janji

pemberian fasilitas- fasilitas tersebut belum di penuhi sampai

sekarang dan mereka menjadi resah (sumber, Telapak).

Di Provinsi Papua, di daerah Sisik, dekat lereh di Kabupaten

Kaureh, Jayapura. Para pemilik hak ulayat dan warga

menjelaskan bahwa orang tua mereka telah melepaskan hak

atas lahan mereka pada tahun 1991 kepada PT Sinar Mas.

Penduduk setempat menceritakan bahwa mereka meminta truk

untuk setiap marga sebagai imbalan untuk lahan yang mereka

berikan dan mereka juga di janjikan kompensasi yang setara

0,5 persen dari nilai minyak kelapa sawit dari perkebunan

setelah mulai berproduksi, para pemilik hak ulayat juga akan

menerima RP. 11 Juta (US$ 1.100) untuk setiap marga sebagai

pembayaran pelepasan hak tanah. Seperti sebelumnya janji

hanya di berikan secara lisan dan tidak ada kontrak yang

mengikat dengan pihak perusahaan. Bebrapa tahun lamanya

masyarakat menunggu janji dari PT. Sinar Mas tak kunjung

tiba, mereka tidak pernah menerima truk seperti yang

dijanjikan oleh PT. Sinar Mas. Pembayaran itu di mulai dari

tahun 2001, ketika masayarakat melakukan protes, masayarakat

hanya di bayar Rp. 500.000 (US$ 50) untuk setiap marga

selama tiga bulan. Walaupun pembayaran telah di naikkan

menjatu Rp. 1 juta (US$ 100) pada bulan Agustus 2009, tetapi

tetap saja tak ada jaminan bahwa kenaikan ini akan bersifat

permanen.(sumber : Telapak).

Hutan bagi Masyarakat adat Papua adalah sesuatu yang

tidak dapat di pisahkan dari kehidupan mereka sehari – hari.

Hutan bagi orang asli Papua adalah sesuatu yang sakral, hutan

sebagai mama dan hutan adalah hidup masyarakat, hutan

merupakan modal masyarakat adat Papua.

Sesuai dengan Amandamen UU 41/1999 tentang kehutanan

Agar :

1. Mengembalikan hutan adat kepada masyarakat adat yang

mewarisi dari leluhur

2. Memisahkan fungsi hutan dengan status penguasaan.

Dengan ini, apa peran masyarakat adat sudah di libatkan dalam

pengembangan investasi di Papua, Apakah Investasi ini

menjamin dalam meningkatkan Tenaga Produktif orang Asli

Papua di libatkan dalam peningkatan ekonomi yang sedang

bertumbuh di Papua? Mari kita berpikir. (Sasori86)

Terdapat sebuah hipotesa bahwa, daerah yang penuh dengan

sumber daya alam adalah daerah konflik, belajar dari sejumlah

pengalaman yang terjadi hampir di seluruh belahan dunia

bahwa hipotesis tersebut hamper pasti menjadi sebuah teori.

Sebut saja sierra leone (Africa) yang kaya akan berlian,

Ethiopia (Africa) yang kaya akan emas, sekarang telah menjadi

daerah miskin karena kekayaan mereka di keruk habis, dan

masyarakat hidup dalam konflik antara suku, sehingga waktu

untuk berkembang lebih maju dalam pembangun tidak terjadi,

akhirnya tidak pertumbuhan tenaga produktif.

Di papua misalnya, explorasi yang di lanjutkan exploitasi

oleh PT Freeport di Timika – Papua sejak 1974, pun

mengalami beberapa kegagalan permanen yang berbuntut pada

penghilangan Hak masyarakat adat.

Adapun beberapa kegagalan tersebut adalah:

Pertama: masuknya perusahaan ini tidak melalui sebuah

proses perjanjian yang tidak melibatkan masyarakat adat se-

tempat (pemilik Hak Ulayat), tetapi hanya pemerintah dan

pihak investor. Kedua: penguatan keamanan di sekitar areal

investasi, tujuan dari penguatan ini sekaligus sebagai bisnis

militer negara dan dengan dalih mengantisipasi gangguan kea-

maanan akibat rasa tidak puas masyarakat atas tidak terlibatan

masyarakat adat dalam hal kontrak karya. Ketiga: menciptakan

konflik antar masyarakat dengan berbagai dalih, sekedar men-

galihkan perhatian masyarakat, dengan demikian perusahaan

dengan leluasa melakukan exploitasi sumber daya alam. Keem-

pat: intervensi pihak investor dalam membentuk badan lemba-

ga adat, dan sekaligus duduk sebagai donator tetap, dengan

Masyarakat Adat Diantara Arus Modal

Fokus

Page 4: Wene Edisi I

demikian arah berfikir dapat di kontrol, sekaligus menjadi agen

kesadaran semu, yang kemudian mematikan semangat juang

akan kesadaran Hak atas tanah.

Hal-hal seperti ini terus di praktekan hingga dewasa ini,

misalnya masuknya coorporasi milik Arifin Panigoro di Merau-

ke, rencana pembukaan lahan kelapa sawit di sejumlah daerah

di Papua oleh PT Sinar Mas, yang bekerja sama dengan CNO-

OC dari China dan di dukung dana dari Jerman.

Masuknya coorporasi tersebut di percepat dengan adanya kebi-

jakan nasional Otonomi daerah yang mewajibkan daerah harus

mandiri dan mencari pembiayaan sendiri. Masing masing dae-

rah mulai berlomba mencari investor tampa memperdulikan

imbas terhadap masyarakat. Dalam hal ini ada beberapa cara

yang kerap di lakukan oleh pemerintah daerah:

Pertama: pemerintah membuka pintu seluas mungkin bagi

masuknya investasi, dalam rangka itu juga sejumlah hal yang di

anggap sebagai penghalang di bersihkan terlebih dahulu, mi-

salnya seperti membayar sejumlah kepala suku/ tua adat/ ka-

dang juga pimpinan gereja, atau siapa saja yang kemudian da-

pat mempengaruhi opini dalam masyarakat. Kedua: menge-

luarkan sejumlah uang dari kantung APBD guna membiayai

hal hal yang seharunya menjadi tanggung jawab perusahaan,

misalnya ganti rugi atas tanah, memjadi fasilitator antara peru-

sahaan dengan orang terpilih dalam masyarakat setempat. Keti-

ga: karena investasi asing yang masuk harus menggandeng

perusahaan local, maka di dorong sebuah perusahaan local

yang pada umumnya di pimpin oleh keluarga dekat lingkaran

pimpinan daerah, sebagai perusahaan papan nama(nepotisme).

Dengan memperhatikan keberpihakan pemerintah yang

lebih memilih lebih menjaga kepentingan pihak pemodal di

banding masyarakat setempat yang harus di lindungi. Sementa-

ra di lain sisi pihak keamaanan yang seharunya menjadi pelin-

dung rakyat, justru menjadi penjaga modal di banding penjaga

warga negara. Dengan demikian musuh rakyat tidak hanya

pihak invetor tetapi juga pemerintah yang melanggar hak kepe-

milikan rakyat atas sumber daya, dan pihak keamanan negara

yang menjaga mesin pembunuh rakyat di atas hak. Dua keada-

an ini menandakan tidak adanya kedaulatan rakyat dan negara

terhadap kedaulatanya sendiri, hal ini yang kemudian di kenal

dengan model penjajahan baru atas masyarakat adat dan identi-

tas serta seumber daya dan warisan budaya yang ada.

Semakin tidak ada gerakan rakyat yang menentang upaya

deligitimasi masyarakat adat, maka dengan itu pula penindasan

makin besar. Maka dengan itu ada beberapa hal yang perlu di

lakukan oleh gerakan rakyat yakni:

Pertama: Menolak segalah macam bentuk investasi yang tidak

melibatkan masyarakat pemilik hak ulayat dalam sebuah kon-

trak yang adil dan bermartabat.

Kedua: Perlu di lakukan pemetaan tanah adat atas nama komu-

nal, tidak atas nama seseorang yang kemudian mempermudah

proses negosiasi dengan pihak investor, dengan pemetaan atas

nama komunal ini, keputusan yang lahir adalah keputusan ber-

sama bukan sepihak oleh seseorang.

Ketiga: Mengingat tanah sebagai modal dan warisan pada anak

cucu maka, tanah ulayat tidak perlu di jual, melainkan di sewa-

kan dengan sejumlah jaminan kesejahteraan dengan memper-

timbangkan masa depan anak cucu.

Keempat: Menolak upaya peralihan dari tanah adat pada tanah

milik negara, dengan asumsi tanah dan masyarakat telah ada

lebih dahulu sebelum berdiri sebuah organisasi legal yang ber-

nama Negara.

Kelima: menolak kehadiran alat negara (TNI & POLRI) seba-

gai penjaga investor, melainkan mengembalika alat negara ini

pada fungsinya sebagai pelindung rakyat, sekaligu rasionalisasi

alat negara tersebut. (Gepe-gepe).

Politik dan Bisnis Serdadu, Eskses Kekerasan Di Papua

Pseudo Konstitusional dan Dwifungsi ABRI – Cuplikan

Aspek Histories

Di negara ini pernah berlaku demokrasi liberal (sistem

parlementer) saat UUDS 1950 berlaku. Yakni, saat supremasi

sipil dijunjung, dimana tentara sama sekali tidak bertaring diha-

dapan kekuatan demokratik, bahkan aktor politik sipil bisa

menginterfensi militer, dan memang sesuai dengan semangat

UU sementara tersebut. Namun situasi ini tentu tidak disukai

pihak militer kuhusnya Aangkatan Darat (AD), karena itu me-

reka terus berusaha dengan berbagai cara untuk mendapat legi-

timasi bermain di panggung politik, baik dengan taktik kudeta,

pengerahan massa untuk berdemonstrasi, agitasi-propaganda

untuk melemahkan kekuatan-kekuatan politik sipil pada waktu

itu dan sebaliknya meyakinkan kalangan militer sendiri akan

pentingnya tentara berpolitik. “… Tentara Indonesia dengan

demikian tidak ingin sekedar menjadi alat mati dari pemerintah

yang sedang berkuasa, “ kata Jenderal A H Nasution (waktu itu

Kepala Staf Aangkatan Darat/KSAD) saat berpidato di Akade-

mi Militer Nasional di Magelang, pada 11 November 1958 –

dikutip dari buku Coen Husain Pontoh “Menentang Mitos Ten-

tara Rakyat.”

Dalam buku ini dijelaskan bahwa percobaan kudeta

akhirnya gagal, dan tentara lebih memilih bermain cantik den-

gan memakai taktik „menyamarkan‟ tujuan utamanya dibalik

seruan, ajakan, propagandan-agitasi kepada rakyat agar kemba-

li menganut konstitusi (undang undang dasar) sebelumnya yak-

ni UUD 1945, apa yang sebenarnya merupakan pseudo-

Konstitusional – meminjam istilah George Junus Aditjondro.

Tentara memobilisasi (manipulasi) kelompok massa sipil ben-

tukan tentara sendiri, agar memuluskan apa yang menjadi siasat

tentara. Sebut saja mobilisasi massa berdemonstrasi menuntut

Presiden Soekarno untuk membubarkan Dewan Kontituante

dan mengeluarkan sebuah dekrit untuk kembali ke UUD 1945.

Ini merupakan langkah yang baru kemudian diambil, setelah

sebelumnya (tahun 1957), Jendral Nasution dipercayakan men-

jadi Penguasa Perang Pusat sesuai UU Keadaan Bahaya yang

diberlakukan Presiden melalui sebuah dekrit, atas usulan tiga

orang kepala staf angkatan bersenjata (termasuk Nasution sen-

diri). Dimana dengan posisi Nasution ini, pada waktu itu AD

mulai berubah menjadi kekuatan politik utama disamping Soe-

Fokus HAL 4

Page 5: Wene Edisi I

untuk berpolitik, dan berefek pada sangat dikuasainya seluruh

aspek kehidupan sipil, sehingga melahirkan penderitaan dan

kesengsaraan bagi rakyat. Demokrasi bahkan akan selalu

terancam selama dwifungsi masih dianut. “Dwifungsi ibarat

pedang Damocles yang sewaktu-waktu siap memancung leher

rezim demokrasi.” Lalu apa yang menyebabkan TNI tetap ingin

menganut doktrin ini? Pontoh mengatakan karena alasan

ekonomi. “Bahkan, menurut saya, inilah dasar utama

kepentingan militer di wilayah politik: penguasaan sumber

daya ekonomi.”

Perspektif Reformasi Sektor Keamanan

Dalam konteks isu Reformasi Sector Keamanan

(RSK), sebagai upaya membentuk tentara professional sesuai

semangat reformasi, kini telah ada legitimasi untuk melarang

tentara berbinsnis, sesuai UU No 34 Tahun 2004 Tentang

Tentara Nasional Indonesia (TNI). Dimana, pasal 2 (d) undang-

undang tersebut mengatakan bahwa, “tentara professional yaitu

tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak

berpolitik praktis, tidak berbisnis dan dijamin

kesejahteraannya…” Sedangkan Pasal 39 mengatakan,

“Prajurit dilarang terlibat dalam kegiatan bisnis.” – Seri 9

Penjelasan Singkat (terbitan Juni 2008 oleh Institute for

Defense Security and Peace Sudies/IDSPS). Pada terbitan ini

juga IDSPS memuat pengkategorian bisnis militer menurut

Pramodhawardani dan Lex Rieffel, yakni terdiri dari: Aktivitas

Formal. Misalnya, perusahaan yang beroperasi di bawah UU

Perusahaan, yayasan yang beroperasi dibawah UU Yayasan,

atau koperasi yang beroperasi di bawah UU Koperasi; Aktivitas

Informal. Misalnya, jasa keamanan, komersialisasi asset Nega-

ra, dan hubungan khusus dengan BUMN; Aktifitas Ilegal. Mi-

salnya, pengambilan sumber daya seperti pasir atau kayu, pen-

gumpulan bea (untuk pemindahan barang dan orang), perlin-

dungan, penyelundupan, terlarang atau perjudian atau prostitu-

si.

Tentara di Indonesia telah berbisnis sejak masa awal

institusinya dibentuk, dan hingga pertengahan tahun 2005 ada

kira-kira 1500 unit bisnis yang masuk dalam daftar inventarisa-

si militer (data dari Tim Suvervisi Transformasi Bisnis TNI,

dimuat pada terbitan IDSPS). IDSPS dalam terbitan ini juga

mengatakan bahwa meski Pasal 76 UU No 34 Tahun 2004 Ten-

tang Tentara Nasional Indonesia (TNI) mengamanatkan peme-

rintah untuk mengambil alih seluruh aktivitas bisnis TNI dalam

lima tahun terhitung sejak UU ini disahkan (2004-2009), na-

mun kalangan militer tentu tidak mau berhenti dari nikmatnya

berbisnis dengan backing kekuasaan. Singkatnya, tentara pro-

fessional dalam konteks RSK masih sebuah mimpi. Upaya

mendorong RSK tidak berjalan sesuai harapan, belum ada peru-

bahan signifikan dalam institusi TNI. Aktivitas bisnis masih

tetap dijalankan oleh institusi tersebut.

Peningkatan Jumlah TNI-Polri di Papua

Pernyataan tentang akan ada tambahan satu kodam di

Papua dan satu lagi di Kalimantan Barat, seperti yang

disampaikan oleh Letnan Jenderal George Toisutta di Markas

Besar TNI Angkatan Darat di Jakarta, Rabu (11/11/09) – seusai

menerima jabatan KSAD dari Jenderal Agustadi Sasongko

karno, dan telah mampu menggunting „kuku-kuku‟ dari partai

politik yang dianggap tidak sehaluan politik, melarang penerbi-

tan koran tertentu atau membredelnya, menagkap politisi yang

dianggap „berbahaya‟ termasuk anggota Konstituante, dan

akhirnya mendesak Soekarno membubarkan Dewan Kontituan-

te dan kembali ke UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli

1959. Mereka akhirnya berhasil ‘menggagahi’ demokrasi den-

gan konsebsi barunya yang disebut “jalan tengah” atau yang

dikenal sebagai Dwifungsi ABRI pada masa Orde Baru.

Kenapa harus kembali ke UUD 45 padahal saat itu

Konstituante sedang bersidang untuk menghasilkan sebuah

kontitusi yang baru? Tentu karena UUDS 1950 tidak memberi

kemungkinan bagi tentara untuk berpolitik praktis, dan kontitu-

si baru yang disiapkan pun pasti tidak. Cuplikan singkat dari

sejarah Indonesia ini perlu kita cerna kembali, sehingga bisa

memahami bagaimana actor keamanan, terutama tentara angka-

tan darat, menjadi sangat berkuasa dan menggapai puncaknya

pada massa Orde Baru. Tiga puluh tahun terkonsolidir dan ber-

kuasa cukup membuat TNI menjadi institusi yang matang dan

kuat. Lihat saja, meski demiliterisasi dalam bentuk isu “Cabut

Dwifungsi ABRI” juga diusung bersama tuntutan reformasi

lainnya, dan meski Soeharto berhasil dilengserkan ke prabon

(digulingkan), tentara hanya sempat ‘dipojokkan’ sementara

waktu oleh gelombang reformasi tanpa berhasil mencabut Dwi-

fungsi ABRI. Hingga kini dwifungsi tetap sebagai „ideologi‟

TNI, dan masih dipilari oleh fungsi hankam dan fungsi politik,

dimana seringkali keduanya bermuara pada kepentingan bisnis.

Keduanya saling berhubungan erat, dipengaruhi dan mempen-

garuhi, bagai dua sisi mata uang. Fungsi hankam tercermin

pada struktur komando territorial (Koter), sementara fungsi

politik tercermin pada keterlibatan TNI-Polri dalam soal politik

praktis, control terhadap sipil, dan peran-peran social lainnya.

Kini di DPR memang sudah tidak ada fraksi ABRI/TNI-Polri,

namun bukan berarti TNI-Polri telah menghapus fungsi poli-

tiknya, sebab dua fungsi itu adalah kepribadian tentara Indone-

sia. Pada sebuah kesempatan diskusi, George Junus Aditjondro

mengatakan bahwa setiap keputusan strategis di Negara ini

bagaimana pun juga harus dimasak pada tiga tungku, “Senayan,

Istana, dan Cilangkap.”

Coen Husain Pontoh (dalam bukunya tersebut), bah-

kan mengkritik para analis militer Indonesia yang mendukung

agar TNI tetap berpolitik, dengan mengatakan, “Mereka lupa,

ketika para pemangku senjata berpolitik pada saat bersamaan

demokrasi masuk keranjang sampah.“ Apa landasan kritik dari

aktivis Partai Rakyat Demokratik asal Sulawesi Utara ini?

Menurutnya, dwifungsi telah menjadi legitimasi bagi TNI

Dok. BUK

Fokus HAL 5

Page 6: Wene Edisi I

Purnomo – adalah tidak mengherankan. Menurut dugaan saya,

Toisutta yang adalah mantan Pangdam XVII/Cenderawasih dan

mantan Panglima Komando Cadangan Strategis Tentara

Nasional Indonesia Angkatan Darat (PangKostrad), sebenarnya

hanya berupaya melegalkan apa yang sudah menjadi „masakan‟

yang telah di rampungkan di „dapur‟ TNI AD. Kodam sebe-

narnya sudah siap didirikan, tinggal mencari legitimasi semata

dan momen yang tepat. Sebab, dengan alasan untuk mengatasi

masalah keamanan di Indonesia yang sangat luas wilayahnya,

dan dengan keterbatasan teknologi, Koter masih merupakan

alasan prinsip yang dipegang TNI-Polri, otomatis jumlah tenta-

ra dan polisi akan terus meningkat, ada perekrutan personil dari

tahun ke tahun, dan disisi lain struktur teritorial akan terus di-

perluas.

Apakah alasan itu memang semestinya atau tidak,

namun dari kaca mata supremasi sipil dalam konteks RSK

sebenarnya justru saat ini sedang didorong penghilangan kon-

sep Koter. Seri 10 Penjelasan Singkat dari IDSPS dengan judul

“Otonomi daerah Dan Sektor Keamanan”

mengatakan bahwa pengembangan Koter

TNI justru menjadi jalan bagi semakin

terlibatnya TNI dalam urusan keamanan

domestic (dalam negeri), dan berefek

pada perampasan peran antara TNI dan

Plri. Disisi lain dikatakan juga bahwa

supremasi sipil yang diperankan oleh

Bupati dan Gubernur tampaknya tidak

mendukung upaya untuk melakukan re-

formasih di tubuh TNI, terutama soal penghapusan Koter. Pe-

mekaran kabupaten dan provinsi memungkinkan pembentukan

strutur koter, “…biasanya atas permintaan para Bupati atau

Gubernur. Penambahan sturktur komando teritoril di suatu wi-

layah berarti mengundang TNI untuk terlibat dalam urusan

keamanan dalam negeri yang seharusnya, bersama-sama den-

gan fungsi penegakan hukum menjadi wewenang Polri.”

Meski beberapa kali pejabat militer lokal maupun di

pusat membantah bahwa pemekaran kabupaten dan provinsi

tidak otomatis diikuti perluasan struktur Koter, namun nyatan-

ya sebaliknya. Seiring dengan pemekaran wilayah kabupaten

dan provinsi, struktur TNI-Polri di Papua pun terus diperluas.

Counter insurgency (upaya mematahkan gerakan separatis ber-

senjata) dan terorisme adalah isu yang selalu diwacanakan ke

dalam kesadaran birokrat dan politisi sipil serta massa rakyat

untuk mendapat legitimasi. Dan dengan alasan kekurangan

personil, pasukan non organic selalu didroping ke Papua, tanpa

ada control berarti dari pihak sipil, dan tidak ada rasionalisasi

jumlah TNI-Polri di Papua. Celaknya, sampai kini pemerinta-

han sipil maupun LSM tidak memiliki data yang jelas berapa

jumlah seluruh personil TNI-Polri di Papua, meski tidak terlalu

sulit untuk menangkap dengan jelas bahwa ada peningkatan

jumlah personil TNI-Polri di Papua dalam beberapa tahun bela-

kangan ini. Indikator yang mudah mungkin dengan berpatokan

pada fakta bahwa ada penambahan battalion baru, Korem baru,

Kodim baru, Lantamal baru, dan pasukan non-organic yang

masuk terus ke Papua.

Kepolisian di Papua terdiri dari 1 Polda (Polda Papua)

yang membawahi 2 buah Polresta (Sorong dan Jayapura), dan

18 buah Polres: dalam lingkup Korem 171 yakni Polres So-

rong, Sorong Selatan, Fakfak, Kaimana, Manokwari, Bintuni,

dan Mimika; dalam lingkup Korem 172 yakni Polres Jayapura,

Sarmi, Keerom, dan Jayawijaya; dalam lingkup Korem 173

yakni Polres Biak Numfor, Supiori, Yapen Waropen, Nabire,

Paniai, dan Puncak Jaya; dalam lingkup Korem 174 yakni Pol-

res Merauke. Sedangkan 8 Polres persiapan yang baru dimekar-

kan seiring dengan pemekaran kabupaten adalah: Teluk Won-

dama, Tolikara, Yahukimo, Pegunungan Bintang, Waropen,

Boven Digoel, Mappi, dan Asmat. Mantan Kabid Humas Polda

Papua, AKBP Nur Habri, pernah mengungkapkan (09/04/2009)

bahwa dalam menghadapi Pemilu legislatif di Papua, Polda

Papua menerapkan Siaga I dan menerjunkan dua pertiga perso-

nilnya atau sekitar 8.892 anggota kepolisian

(www.detikhot.com). Artinya saat itu jumlah keseluruhan ang-

gota polisi di bawah Polda Papua adalah sebanyak 13.350 per-

sonil.

Sebuah lapora berjudul “TNI & POLRI FORCES IN

WEST PAPUA” yang ditulis oleh Matthew N. Davies (tahun

2006) mengatakan bahwa sampai dengan tahun 2019 akan ada

restrukturisasi dan droping pasukan ke Pa-

pua, sementara sampai dengan tahun 2006

saja sudah ada 23.500 anggota TNI-Polri

dengan rincian: TNI sebanyak 12.800 orang

dan Polisi (termasuk Brimob) sebanyak

10.700 orang - Angka ini ditulis dengan

merujuk pada sebuah analisis intelejen

(departemen pertahanan) Australia. Artinya,

jika satu divisi pasukan berkisar antara

15.000 personil maka diperkirakan ada dua

divisi lebih yang telah ditempatkan di Papua. Sebab selain itu,

Matthew juga mengatakan bahwa telah ada 10.000 pasukan

Kostrad yang ditempatkan di Sorong dan Jayapura sepanjang

tahun 2004-2006.

Saat ini struktur Koter TNI AD di Papua terdiri dari 1

buah Kodam (Kodam XVII/ Cenderawasih) bermarkas di Jaya-

pura, 4 buah Korem dan 10 buah Kodim. Keempat Korem itu

yakni: Korem 171/Praja Wira Tama di Kota Sorong, memba-

wahi Kodim 1704/Sorong, Kodim 1706/Fakfak, Kodim 1703/

Manokwari, dan Kodim 1710/Mimika; Korem 172/Praja Wira

Yakti di Kota Jayapura, membawahi Kodim 1701/Jayapura dan

Kodim 1702/Jayawijaya; Korem 173/ Praja Wira Braja di Biak,

membawahi Kodim 1708/Biak Numfor, Kodim 1709/ Yapen

Waropen, dan Kodim 1705/Nabire; Korem 174 Anim Ti Wa-

ninggap di Merauke membawahi Kodim 1707/Merauke.

Dan Papua kini telah memiliki 3 batalion baru yang

permanen, sehinga jumlah batalion organik di Papua (termasuk

Zipur 10) telah menjadi enam buah. Yakni: di Jayapura Raya

(Kota Jayapura, Abe, dan Sentani) terdapat 2 batalion, Batalion

Inf. 751 Sentani dan Zipur 10 Waena; di Sorong terdapat 1

batalion, Batalion 752 di Sorong, memiliki 4 kompi, 3 kompi

(A, B, D) berada di Sorong sedangkan kompi C berada di Arfai

-Manokwari; di Nabire terdapat 1 batalion, Batalion 753 di

Nabire dengan 5 kompi (A, B, C, D, E), kompi C berada di

Biak, Kompi B berada di Serui, dan sisanya berada di Nabire;

di Merauke terdapat 1 batalion, Batalion 755 Merauke dengan

4 kompi (A, B, C, D); di Timika terdapat 1 batalion, Yonif

Kostrad 754 Emeneme Kangasi Timika, dengan 4 kompi,

kompi A – D berada di Timika, sedangkan Kompi E berada di

Fakfak; di Wamena terdapat 1 batalion, Batalyon 756, berasal

dari Satgas Yonif 310 / Kujang Kencana Siliwangi Jawa Barat.

.......sampai dengan tahun 2019 akan

ada restrukturisasi dan droping pasu-

kan ke Papua, sementara sampai den-

gan tahun 2006 saja sudah ada 23.500

anggota TNI-Polri dengan rincian:

TNI sebanyak 12.800 orang dan Polisi

(termasuk Brimob) sebanyak 10.700

orang ........

Fokus HAL 6

Page 7: Wene Edisi I

Memang jumlah tentara di Papua saat ini belum bisa

dihitung secara pasti. Namum dalam pengamatan kami

(Agustus 2009) bahwa antara Abepura ke Yuruf, Distrik Web

Kab. Keerom, jumlah pos yang berada sepanjang rute 151 Km

tersebut – tidak termasuk pos-pos yang berada di sekitar lokasi

transmigrasi di Arso dan Arso Timur (Skou-Bewani) – ada

sekitar 14 pos pasukan non-organic, 2 pos permanen yang be-

lum ditempati, dan markas utama pasukan organik Kompi E

Yonif 751 yang terletak di Koya Karang. Sedangkan di sepan-

jang jalan raya antara Kabupaten Jayapura-Kota Kabupaten

Sarmi, terdapat sekitar 8 pos tentara, belum termasuk pos-pos

yang berada disebelah barat kota (Pantai Barat) dan di daerah

Tor Atas – beberapa pos TNI di Sarmi diketahui berada di seki-

tar areal kamp perusahaan kayu atau bahkan berpos di dalam

kamp-kamp perusahan. Sementara, George Junus Aditjondro

dalam sebuah makalah “Militerisme Pasca Soeharto dan Rele-

vansinya Bagi Orang Papua” mengatakan bahwa sekitar Maret

2009 di sepanjang Merauke-Waropko ada kira-kira 80 pos Sa-

tuan Kostrad dan Kopassus, dengan jarak antar pos kira-kira 5

Km, dimana setiap pos induk ada sekitar 30 orang personil se-

mentara tiap pos kecil dihuni oleh 12-19 personil, karena itu dia

mengkategorikan daerah itu termasuk dalam “kawasan-

kawasan KTT (kerapatan tentara tertinggi).”

Antara Profesionalisme, Bisnis, dan Kekerasan

Penempatan pos-pos pasukan TNI secara besar-

besaran di sepanjang perbatan RI-PNG, di areal penambangan

PT. Freeport, atau di sekitar daerah Pegunungan Tengah adalah

bagian dari realisasi prinsip Koter. Tapi bukan berarti semata-

mata untuk kepantingan menjaga keutuhan Negara ini, bisa jadi

ada kepentingan lain yang terselubung. Yang pasti, hampir di

semua tempat dimana pasukan ditempatkan, tidak sulit untuk

menunjukan bahwa ditempat tersebut ada bisnis yang

dijalankan. Atau ketika terjadi peristiwa kekerasan

(pelanggaran HAM), tidak jarang dilatarbelakangi konflik

penguasaan sumber daya alam. Apakah mungkin seperti pepata

yang berbunyi sambil menyelam minum air atau dimana ada

gula, disitu ada semut? Kecurigaan ini bukan tidak beralasan

karena banyak fakta kasus di Indonesia dan khususnya di Papua

telah mengindikasikan hal tersebut, dimana fungsi professional

TNI-Polri tenggelam diantara aktvitas bisnis dan main

„hajar‟saja.

Dalam uraian pada Seri 10 Penjelasan Singkat dari

IDSPS dikatakan bahwa secara intitusional actor keamanan

(TNI-Polri dan Intelejen) menyatakan tunduk pada hukum dan

prinsip HAM tetapi kekerasan dan penyalahgunaan kekuasaan

masih terjadi di daerah, yang menunjukan tidakadanya

signifikasi relasi secara positif antara perubahan pada level

legislasi, kebijakan institusional di lingkungan TNI, Polri, dan

Intelejen dengan penurunan angka kekerasan dan pelanggaran

kekerasan. Gambaran kekerasan baik yang bersifat langsung

maupun tidak langsung kapada masyarakat sipil terjadi dalam

berbagai bentuk dan banyak kasus, diantaranya: sengketa

agrarian; praktek bisnis TNI dan Polri di sektor pertambangan

dan perkebunan; penguasaan lahan rakyat untuk kebutuhan

instalasi militer; sulitnya perisinan untuk menyelenggarakan

kegiatan politik; backing perusahaan penebangan kayu liar;

konflik antara TNI dan Polri terkait dengan praktek bisnis dan

jasa keamanan; konflik sumber daya alam; penanganan

demonstrasi mahasiswa dan masyarakat; Penyerangan terhadap

masyarakat sipil; isu separatisme dan terorisme.

Dua contoh dari aktivitas bisnis yang berindikasi pada

keterlibatan individu maupun institusi TNI-Polri seperti

dimaksud di atas, khususnya yang telah diketahui public dan

dalam kurun waktu sejak disahkannya UU No 34 Tahun 2004

Tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah seperti

diurai di bawah ini:

Ketika masyarakat Nandalin-Sentani memprotes

aktivitas penggalian bahan tipe C yang dilakukan PT

Bintang Mas dikampungnya (9 Mei 2009), mereka

justru mendapat tantangan dari pihak kepolisian. Kepala

kampung yang melarang pengoperasian alat berat di

lokasi penggalian justru ditangkap dan ditahan di Polda

Papua serta dijerat dengan tuduhan perbuatan tidak

menyenangkan, Pasal 335 KUHP. Anehnya, aparat

polisi malah mengusir masyarakat yang hendak

mengumpulkan batu di lokasi yang adalah wilayah adat

mereka, bahkan ada yang disuruh merayap di atas batu-

batu kali. Pihak Polda mengatakan penahanan kepala

kampung ini sudah sesuai prosedur, tetapi Anu Afaa

Kampung Nandali dr. Jhon Managsang menanggapi

lain. “ Saya menilai kasus ini dilakukan secara parsial

oleh Polda Papua, kasus lain juga yang kami lihat tidak

sesuai adalah penerbitan surat ijin galian Golongan C

oleh pemerintah Kabupaten Jayapura, yang tidak

memihak kepada rakyat,” kata Manangsang. Sedangkan

Pemda Jayapura membantah bahwa pihaknya telah

mengeluarkan ijin penggalian. Papua Pos (12/05/09)

mencatat bahwa oknum dari satuan kepolisian di

lingkungan Polda Papua patut diduga dibayar karena

justru berpihak pada Bintang Mas – padahal masyarakat

telah dirugikan selama 18 tahun, sejak tahun 1990.

Satuan-satuan TNI-Polri, organic juga non-organic yang

ditempatkan di areal pertambangan PT. Freeport, selain

mendapat uang-keamanan, mereka juga mencari uang

dengan berbagai bentuk aktifitas bisnis lain. Misalnya

dengan memanfaatkan keberadaan pendulang

tradisional di sepanjang aliran sungai Ajigwa:

memungut semacam upeti dari pendulang, menjadi

pemasok bahan kebutuhan pendulang (ditukar dengan

emas), dan jasa transportasi bagi dari dan ke lokasi

pendulangan. Kasus ini mulai menjadi perhatian public,

setelah terjadi bentrokan antara pendulang tradisional

(masyarakat asli Papua) dengan taskforce (keamanan

Freeport) dan Brimob Polda Papua yang bertugas

disana. Juga setelah majalah Times melaporkan tentang

„uang Preman‟ yang dibayarkan Freeport ke tentara.

Saat terjadi peristiwa bentrokan ini dan sebelumnya,

Kostrad dan Brimob lah dua kesatuan yang selalu

diketahui bertugas antara Mil 32- Mil 74. Kostrad

biasanya di tempatkan (tetap) di Mil 74 dimana lokasi

pabrik emas berada dan Brimob (organic maupun non-

organic) selalu berpatroli. Namun kabarnya mulai Juli

2006 tugas pengamanan telah dipegang sepenuhnya

oleh satuan Kepolisian – berdasarkan Keputusan

Presiden (Kepres) No 63 Tahun 2004 tentang Pam

Ovitnas yang tidak lagi ditangani oleh TNI. (Kahar).

Fokus HAL 7

Page 8: Wene Edisi I

masyarakat tersebut, bahkan mereka juga menjadi alat

penyebar teror untuk menakuti masyarakat agar tidak

melawan perusahaan tersebut.

3. Neoliberalisme (dalam hal ini liberalisasi investasi)

yang rakus sehingga merugikan orang Papua.

Neoliberalisme ini kemudian mengeliminir (mengurangi

bahkan hingga mentiadakan) posisi negara untuk

melindungi kepentingan warganya. Sehingga persaingan

yang tidak seimbang antara kepentingan masyarakat dan

perusahaan sudah pasti dimenangkan oleh perusahaan,

dan masyarakat kemudian mengalami ketersingkiran,

marginalisasi, dan kemiskinan.

Kondisi tersebut tidak bisa kita biarkan begitu saja, tetapi harus

diubah dengan cara melawannya. Bagaimana cara kita

melawannya?

Hal pertama yang harus kita (orang Papua) sadari adalah

bahwa kondisi ini merupakan ancaman yang serius

terhadap kehidupan seluruh orang Papua, dan juga anak

cucu kita yang akan datang. Oleh karena itu tidak ada

jalan lain, selain melawan kondisi yang ada dan

mengubah kondisi tersebut menjadi kondisi yang lebih

adil bagi orang Papua.

Setelah sadar maka kita harus mulai melawan dengan

alat perlawanan yang modern yaitu organisasi.

Organisasi adalah alat perlawanan modern yang sudah

teruji ketangguhannya dalam mengubah kondisi suatu

masyarakat. Dari mana kita mulai membangun

organisasi? Organisasi dibangun dari kebutuhan/

program yang hendak di capai. Misalnya jika suatu

masyarakat adat yang menuntut hak ganti rugi tanah,

maka bisa dimulai dengan organisasi adat yang ada,

yaitu dengan mulai mendorong organisasi adat yang ada

untuk mulai memperjuangkan hak ganti rugi tanah

tersebut.

Bagaimana cara/strategi kita melawan? Kita melawan

dengan beberapa cara, yaitu: Melawan dengan tulisan

(terbitan, selebaran, dll); Melawan dengan membangun

front/koalisi/aliansi dengan organisasi atau kelompok

lain yang setuju dengan perlawanan yang sedang kita

lakukan; Melawan dengan melakukan diskusi-diskusi,

seminar-seminar di tengah-tengah masyarakat yang

belum sadar atau pun diskusi atau seminar untuk makin

menguatkan kesadaran perlawanan yang ada; Melawan

dengan melakukan aksi massa bersama-sama dengan

kelompok/organisasi lain yang setuju dengan isu aksi

massa (demonstrasi) yang kita lakukan. Baik aksi massa

serentak di beberapa kota atau beberapa kecamatan

secara bersama-sama, atau dengan melakukan aksi

massa di suatu tempat dengan memobilisir/mengerahkan

semua anggota/simpatisan aksi kita; Menjalankan

aktifitas organisasi secara rutin/reguler/terus menerus

dan teratur. (Smadav).

Viva Demokrasi!!!

Hidup Rakyat Papua!!!

Bersatu Untuk Pembebasan Nasional!!!

Menurut teori-teori ekonomi borjuis (teori-teori ekonomi

kapitalisme yang dalam prakteknya saat ini dikenal dengan

nama Neoliberalisme) dan juga menurut keyakinan banyak

pemimpin Papua bahwa investasi akan mensejahterakan orang

Papua. Ternyata justru memiskinkan, memarginalkan, dan

menyingkirkan orang Papua, serta menjadikan orang Papua

sebagai orang asing di negerinya sendiri. Tentu kita sadari

bahwa fakta-fakta tersebut bukanlah hal baru, bahkan dari

kerakusan dan kejahatan neoliberalisme terhadap kehidupan

masyarakat lain di belahan dunia ini, terutama di negara-negara

berkembang dan negara-negara terbelakang bisa menjadi

contoh bagi kita.

Fakta-fakta tentang pemiskinan, marginalisasi, dan

penyingkiran terhadap orang Papua semakin lebih telanjang

dipraktekan sejak Papua di kuasai (aneksasi) oleh pemerintah

Indonesia yang pro terhadap kebijakan-kebijakan kapitalisme-

neoliberalisme. Berangkat dari kondisi itulah kemudian

Gerakan Rakyat Demokratik Papua (Garda-P) didirikan dengan

tujuan mewujudkan masyarakat Papua yang demokratik,

merdeka (berdaulat), modern, adil (setara), sejahtera, bersih

(transparan) dan internasionalis. Tujuan itu kemudian di

turunkan menjadi program umum yaitu Memperjuangkan

pembebasan nasional dengan melawan imperialisme dan

pemerintahan NKRI agen imperialisme serta memperjuangkan

pembentukan Pemerintahan Persatuan Rakyat Papua yang

demokratik, progresif dan revolusioner, dan program

strategisnya yaitu Memajukan tenaga produktif dengan sumber

pembiayaan dari pengambilalihan dan penataan ulang industri

seperti: pertambangan, kehutanan, perkebunan, perikanan, dan

pertanian.

Cita-cita mewujudkan suatu tatanan masyarakat Papua

seperti yang ada pada tujuan Garda-P tersebut, dan kemudian di

turunkan (didetailkan) dalam program umum dan program

strategis Garda-P, tentu bukanlah hal yang mudah untuk

diwujudkan. Cita-cita itu masih jauh dari realitas (kenyataan)

yang ada saat ini. Namun cita-cita tersebut harus mulai

diperjuangkan dengan mulai menyingkirkan hambatan-

hambatan yang menghambat terwujudnya cita-cita tersebut.

Hambatan-hambatan tersebut antara lain:

1. Terbatasnya (bahkan sering tertutupnya) ruang

demokrasi. Ruang demokrasi dalam arti kebebasan

mengeluarkan pendapat, pikiran, ekspresi politik, dan

kebebasan berorganisasi sering terhambat bahkan sering

dilarang dan dibatasi dengan alasan-alasan formal dan

prosedural yang mengabaikan esensi demokrasi

tersebut.

2. Ancaman terhadap demokrasi dari militer. Bukan

rahasia lagi ketika militer (TNI dan POLRI) kemudian

menjadi bagian dari kegiatan bisnis (misalnya bisnis

kayu, dll) bahkan mem-backing (mendukung,

mengamankan) kegiatan-kegiatan bisnis ilegal.

Sehingga ketika ada benturan kepentingan antara

investor (pengusaha) tersebut dengan masyarakat

pemilik hak ulayat dimana suatu perusahaan berada,

maka para anggota TNI/POLRI tersebut kemudian

menjadi alat untuk membungkam protes (perlawanan)

BAGAIMANA MELAWAN INVESTASI YANG MENINDAS, DEMI PEMBEBASAN

Arah Juang H AL 8

Page 9: Wene Edisi I

Awal mula konflik yang mengakibatkan pelanggaran

HAM, ketidakadilan, penindasan, diskriminasi, marginalisasi

dan perampasan ha-hak adat penduduk pribumi di tanah Papua,

tidak terlepas dari sejarah masuknya wilayah dan Bangsa

Papua Barat sebagai bagian dari Negara Kesatuan Repubik

Indonesia (NKRI). Melalui Pepera 1969 yang tidak memenuhi

unsur demokrasi, HAM, juga hukum Internasional. Dalam

hemat saya, Pemerintah Indonesia yang saat itu sangat ambisi

untuk mengambil Papua, tentu tidak terlepas dari tujuan

penguasaan atas suber daya alam yang sangat berlimpah

dibumi cenderawasi ini. Selama 40-an tahun orang Papua

ditekan oleh penguasa negara ini, terutama dalam massa rezim

Orde Baru yang kapitalis-militeristik. Sejak 1960-an sampai

sekarang tercatat beberapa operasi militer yang dilakukan oleh

aparat keamanan seperti: operasi Wisnumurti I dan II; Operasi

Tumpas; Operasi Sadar I-IV; Operasi Wibawa I-IV; Operasi

Bharata Yudha; Operasi Pasca Pembebasan Sandera

Mapnduma; Operasi penyisiran masyarakat sipil seperi

Abepura 2000 dan Wasior 2001; serta beberapa operasi

intelijen. Akibat itu semua, orang Papua terus menjadi korban

pelanggaran HAM, dan tak satupun pelanggaran ini

diselesaikan secara adil di depan Hukum. Tidak pernah ada

keinginan dari pemerintah untuk memecahkan situasi ini

dengan sebuah solusi penyelesaian yang adil dan demokratis.

Menghadirkan militer untuk menumpas rakyat yang melakukan

perlawanan, atau mendatangkan transmigrasi sebanyak-

banyaknya untuk menguasai lahan kosong – sebagai siasat

membatasi gerilyawan Papua – di setiap wilayah adalah bagian

dari cara yang diyakini pemerintah, yang justru

memperpanjang dan memperburuk wajah persoalan Jakarta-

Papua.

Sebaliknya, meski berulangkali dibungkam, hingga

kini perbedaan pandangan terhadap proses penggabungan

wilayah Papua Barat ke NKRI yang penuh rekayasa ini terus

disuarakan oleh orang Papua. Fakta menunjukan bahwa

gerakan perlawanan justru tidak pernah bisa dipadamkan,

sekalipun sepanjang sejarah itu juga orang Papua tidak pernah

mendapat respon positif dari Pemerintah NKRI. Perlawanan

bersenjata yang dilakukan oleh Tentara Pembebasan Nasional-

Organisasi Papua Merdeka (TPN-OPM) terhadap praktek-

praktek ketidakadilan bahkan tak pernah surut walaupun telah

dijadikan alasan untuk menetapkan Papua sebagai Daerah

Operasi Militer (DOM). TPN-OPM telah memainkan peranan

kunci sebagai garda dan motor pergerakan, meski tidak sedikit

anggotanya yang gugur sebagai bunga bangsa.

Jenderal Umeki Kelly Kwalik adalah salah satu

diantara mereka yang telah memilih jalan hidupnya dengan

memanggul senjata demi pembebaskan rakyat dan negeri ini.

Sang Jenderal telah berjuang selama 37 tahun (1974-2009) dan

gugur tidak dalam suasana perang, melainkan dalam sebuah

operasi penyergapan yang dilakukan oleh Densus 88 Polri dan

satuan Brimob yang tergabung dalam Satgas Amole Timika.

Ada sejumlah hal yang perlu juga kita pertanyaan menyangkut

kematiannya di tangan Densus 88. Pertama. Dengan

keterlibatan Densus 88, apakah operasi ini telah direncanakan

(diarahkan) untuk mendapat pembenaran bahwa Jenderal

Kwalik adalah seorang teroris? Kedua. Jika memang benar

bahwa Jenderal Kwalik adalah pelaku dari serangkaian

penembakan di areal PT. Freeport antra 8 Juli 2009 –

November 2009, kenapa Beliau tidak diberikan kesempatan

untuk bersaksi di depan pengadilan Indonesia? Ketiga. Lalu

bagaimana dengan pernyataan Kapolda Papua Irjen Bagus

Ekodanto bahwa Jenderal Kwalik tidak terlibat dalam

rangkaian penembakan itu, dan bagaimana dengan kenyataan

bahwa sejumlah selongsong peluru yang ditemukan di TKP

adalah milik PINDAD yang adalah perusahan pembuat senjata

milik Indonesia? Keempat. Apa motif dibalik pembunuhan

Jenderal Kwalik? Kelima. Kenapa hingga kini pihak

kepolisisan belum bisa mengungkap siap sesungguhnya yang

melakukan serangkaian penembakan di areal penambangan PT

freeport tersebut, sehingga samapai saat ini masyarakat masih

terus bertanya-tanya? Keenam. Jika jawabannya untuk

menghentikan konflik maka, kapan konflik itu berakhir,

kenapa Jenderal Kwalik tidak ditembak saat ada pertemuan

antara pihak kepolisian dengannya, dan apakah Jenderal

Kwalik adalah sumber konflik antara orang Papua dengan

Pemerintah NKRI?

Sejumlah pertanyaan di atas bahkan bisa berubah

menjadi sebuah kesimpulan atau jawaban bagi sebagian orang

bahwa, pembunuhan Jenderal Kwalik merupakan selubung

dari drama perebutan jasa pengamanan PT. Freeport. Atau

dengan kata lain, bisa dibilang bahwa demi sebuah kepentingan

bisnis dari pihak-pihak tertentu, Jenderal Kwalik menjadi

korban. Namun bagi saya dan sebagian besar masyarakat Papua

yang menginginkan adanya sebuah perubahan di tanah ini,

pembunuhan terhadap Jenderal Kwalik adalah pembunuhan

terhadap sang pejuang yang setia membelah kebenarandan dan

keadilan. Pembunuhan ini penuh dengan konspirasi demi

kepentingan yang tidak berpihak pada rakyat. Pembunuhan ini

tidak akan mengakhiri konflik, dan apalagi akar permasalahan

yang sesungguhnya justru tidak disentuh. Pembunuhan Jenderal

Kwalik adalah bukti terbaru bahwa Pemerintah Indonesia tidak

pernah mau meyelesaiakn konfik antara bangsa Papua dan

Pemerintah Indonesia. Dan seribu kebencian baru justru lahir

dan mempertebal jurang kepercayaan masyarakat Papua

terhadap Pemerintah Indonesia. Kepergian yang mendadak dari

Jenderal Kwalik justru akan menjadi inspirasi dan energi baru

bagi perjuangan rakyat Papua. Selamat Jalan Pahlawan Bangsa.

Dasar Perjuangan Jenderal Kwalik Dan Selubung Pembunuhannya

Oleh: Saren

Hidup Atau Mati Adalah Urusan

Tuhan. Tetapi Hidup Dan Mati Demi

Melanjutkan Sebuah Kehidupan, Dan

Demi Memanusiakan Kehidupan

Manusia Adalah Sebuah Jalan Hidup

Yang Mulia

Opini HAL 9

Page 10: Wene Edisi I

Dok.. BUK

Filep Jacob Samuel Karma, memiliki sapaan akrab Filep. Lelaki Asal Biak Utara yang saat ini menjalani Masa Tahanan di Lapas kelas II A Abepura. Dulunya Ia adalah seorang pegawai negeri sipil di Lingkungan Pemerintah Provinsi Papua yang saat ini berusia 50 tahun. Ia mengenal perjuangan pada saat duduk di bangku kelas II SD,pada saat SMP ia memiliki cita – cita untuk masuk dalam bidang sosial politik ketika ada di bangku kuliah dan keinginannya tercapai ia memilih jurusan sosial politik di Universitas 11 Maret(Surakarta – Solo)pada tahun 1979 dan menyelesaikan studinya dengan meraih gelar sarjana sosial politik pada tahun 1987. Pada tahun 1997 ia pernah menjalani program Magister Development Management – Asian Institute of Management / Makati – Manila – Philipines, pada tahun 1997 dan selama 11 bulan menjalani program namun tidak berhak menyadang gelar magister. Filep di dakwa melakukan makar (pemberontakan) pada tanggal 01 Desember 2004. Pada saat itu ratusan mahasiswa berkumpul di kampus universitas setempat dan memulai long march sambil meneriakkan kata-kata "Papua" dan "Kemerdekaan!" Teriakan-teriakan mereka juga mencakup ajakan untuk menolak undang-undang otonomi khusus, dan meminta pemisahan Papua dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perayaan diadakan di Lapan-gan Trikora di Abepura, dan terdiri dari berbagai pidato, doa, dan tarian. Selama berjalannya perayaan tersebut be-berapa orang dalam kerumunan mengibarkan bendera Bin-tang Kejora. Setelah dari kejadian tersebut, pada tanggal 26 mei 2005 ia(filep karma-red) di putuskan bersalah dan di hukum selama 15 Tahun Penjara. Lelaki kelahiran 14 Agus-tus 1959 di Hollandia Binen (Abepura) ini sudah meng-habiskan masa hidupnya selama lima tahun di balik terali besi. Sebelumnya ia pernah menjalani masa tahanan di LP Biak saat kejadian pengibaran bendera bintang kejora pada 01 – 06 juli 1998 di Tower Air dekat pasar inpres biak, ia mengalami cedera pada saat kejadian karena di tembak(dilumpuhkan) oleh petugas dalam jarak dekat dengan pe-luru karet tepat di kaki sebelah kiri bagian tulang kering dan kaki sebelah kanan di bagian lutut dalam. Sekitar 2 minggu, cedera yang di alaminya tidak di tindak lanjuti. Tanggal 06 juli hingga 3 oktober tahun 1998 di tahan di Polres biak dan di pindah ke LP Biak. Kejadian tersebut ia divonis 6 tahun , 6 bulan. Namun, pada tanggal 20 Novem-ber 1999 ia bebas demi hukum, karena mengajukan kasasi dan tidak ada perpanjangan masa penahanan terhadapnya. Pemikirannya dahulu bahwa bangsa Papua adalah mere-ka yang ras melanesia. Namun, dengan melihat realita(kenyataan) saat ini apakah konsep ini masih tepat. Dalam era globalisasi ini apakah kita tidak bisa berpikir secara humanis, yang menerima ras atau etnis lain untuk mengakui sebagai bangsa Papua. Secara pribadi ia menginginkan bahwa bangsa Papua ke depan bangsa yang

Multi ras atau Multi etnis. Untuk menuju Pembebasan Nasional, ia tetap berjuang dengan cara damai secara demokratis dan bagaimana mengoptimalkan potensi – potensi yang di miliki oleh orang asli Papua sendiri untuk di gunakan sebagai alat dalam perjuangan. Strategi pembebasan nasional menurutnya bagaimana melakukan penyadaran/mengorganisir rakyat Papua untuk bersatu. Harapannya terhadap generasi Papua adalah tetap mempertahankan nasioanalisme Papua dan mengembangkannya dengan di landasi nilai – nilai kemanusiaan, serta mulai berpikir untuk mencari strategi pola perjuangan damai yang lain dan tetap mempertahankan hak – hak asli orang Papua. Menjalankan propaganda pembebasan nasional, yang positif secara ra-sional dan jujur. Tetap semangat dalam pembebasan jangan pernah putus asa, tetap yakin apa yang kita perjuangkan pasti akan tercapai. Seorang Bapak yang memiliki 2(dua) orang anak perem-puan ini sejak tanggal 18 Agustus 2009 mengalami kondisi kesehatan yang buruk sehingga ia harus di larikan ke Ru-mah sakit Dok II ketika di diagnosa ada batu kristal di gin-jal. Sampai saat ini pun belum ada kelanjutan dari Pihak Kalapas untuk Penanganan Pengobatan biaya lanjutan ke Jakarta, padahal surat izin dari dokter RSUD Dok II yang menangani beliau sudah ada. Dengan kondisi seperti ini, ketidakpedulian pihak Kalapas adalah amunisi bagi Per-juangan, baginya pada saat di tahanan sama sekali tidak di berikan kehidupan yang layak, obat – obatan tidak terpe-nuhi. Prinsip hidup filep adalah segala sesuatu yang kita lakukan, tetap dalam Yesus Kristus. Sebab, di luar Yesus Kristus kta bukan apa – apa dan bukan siapa – siapa. Apa yang kita la-kukan itu karena kekuatan dan nafas hidup dariNYA. Apa yang kita lakukan itu karena berkatNYA dan Kemura-hanNYA. (Sasori86)

Dok Pribadi

Filep Karma

”.......Untuk menuju Pembebasan Nasional, Bangsa Papua tetap berjuang dengan cara damai secara demokratis dan bagaimana mengoptimalkan potensi – potensi yang di miliki oleh orang asli Papua sendiri untuk di gunakan sebagai

alat dalam perjuangan. Strategi pembebasan nasional adalah bagaimana melakukan penyadaran/mengorganisir rakyat Papua....”

Tokoh HAL 10

Page 11: Wene Edisi I

Jangan…!!

Jangan paksa aku menikmati cerahnya mentari pagi dengan

senyuman

Ketika aku hanya ingin menikmati dinginnya kabut pagi untuk

mendinginkan hatiku yang gundah gulana diselimuti kabut

duka yang kelam…

Aku hanya ingin bergelung dalam diam, menangisi anak-

anakku yang kulahirkan dan kemudian kutemui dipantaiku

yang putih atau rimbaku yang lebat dengan tubuh tercabik dan

terpenggal-penggal

Kulahirkan mereka dari rahimku dengan tubuh utuh

Kunikmati saat-saat menatapnya tumbuh, namun kau

kembalikan dia padaku hanya sepotong-sepotong,

Dimana kau simpan bagian tubuhnya yang lain?

Aku masih ingat saat mereka kusapih, kusirami hidup mereka

dengan cinta dan kebahagiaan…Namun kau merampasnya

diriku dengan kebuasanmu,

Jangan…!!!

Jangan paksa aku menengadahkan wajahku memandang

kehidupan sedangkan anak-anakku terbujur kaku dan dingin

membeku karena kekejamanmu.

Jangan paksa aku menatap indahnya kelam malam yang pekat

berbintang dan dihiasi rembulan, ketika anak-anakku berada

dalam kegelapan yang pekat karena keserakahanmu.

Malam-malam indah kulalui dengan mereka penuh canda tawa

dan cinta

Hingga terkadang aku meminta pada-Nya agar aku hidup 1000

tahun lagi untuk menikmati tatapan penuh impian yang

terpancar dimata mereka.

Namun kini mata mereka tertutup rapat tanpa sinar kehidupan.

Kau pikir aku sanggup menatapnya??

TIDAK…!!!

Apa lagi yang harus kunikmati, sedangkan tunas-tunasku kau

patahkan satu persatu di depan mataku.

Kecerahan mentari sudah tak berarti lagi bagiku,

Aku hanya ingin berbaring disisi para buah hatiku karena tak

ada lagi yang bisa menahanku untuk menikmati indahnya

kehidupan.

Dukaku tak terhibur…

Aku tak kuat karena lelah menguras air mataku setiap hari

Hingga kini aku tak tahu lagi apa artinya air mata yang

mengalir di pipi

Sudah lama waktu berselang, ketika aku masih mampu

membedakan jenis air mata,

Kini aku hanya mampu terisak pelan tanpa air mata karena

rasa sakitnya hanya membuat hatiku bersimbah darah tak

henti..

Kau rampas anak, suami, ayah, ibu dan saudara-saudaraku

didepan mataku

Dan kini kau memintaku untuk tersenyum??

Melimpahiku dengan kemewahan untuk menghibur duka lara

hatiku?

Jangan..!!

Jangan menghiburku karena dukaku ini tak ingin dihibur !!!

Terus…, Teruslah angkat laras senapanmu dan bongkar

dadaku yang pernah menyusui para buah hatiku.

Kokang senjatamu dan cabik raga semuku jika itu bisa

meredam kegentaranmu.

Aku tahu, kau takut melihat tatapan penuh tekad dimata anak-

anakku..

Aku tahu kaupun takut melihat genggaman tangan mereka

yang kuat dan keras terkepal,

Aku juga tahu, kau takut melihat dada mereka yang terbusung

penuh kebanggaan dan keberanian untuk menantangmu.

Teruslah mengumbar nafsu serakahmu, karena akupun telah

bertekad untuk terus melahirkan anak dari rahimku untuk

meredam kebiadabanmu !

CUKUP sudah jasad-jasad kaku yang kukasihi terbujur diam

didepan mataku, walau hanya penggalan-penggalan semata.

Aku tak akan menangis dan berkubang dalam dukaku !!

Akan kulahirkan anak-anak pemberontak yang akan

menghadang langkahmu,

Jangan silahkan aku, karena kaulah penyebab semua ini,

Kau mendiamkan satu anakku, namun aku akan terus

melahirkan seribu anakku untuk menantangmu!

Aku takkan lari, sobat, aku masih disini !!

Ini duniaku, walu kau membuatnya suram untuk ku tinggali

Sekali lagi kuingin kau tahu bahwa aku takkan pergi pergi

kemanapun,

Disinilah, diatas tanah tempatku berpijak kau mendiamkan dan

membungkam anak-anakku dengan laras senapanmu,

Maka akupun tak akan pergi jauh untuk kau kejar

Akan kuhadapi keserakahan dan kebuasanmu walau aku harus

membayar mahal dengan milikku yang paling

berharga…..’Nyawaku !!

Itu sumpahku, untuk para buah hatiku yang tercecer dan

mengering tanpa kuusap dengan jemariku

Karena kaulah sebenarnya yang membuatku tegar dan kuat

meneruskan impian anak-anakku,

Dengar..!!!

“Aku takkan tinggal diam melihatmu merenggut anak-anakku

dariku”

20 Desember 2009

~~Ronda AuroRa~~

Budaya & Seni HAL 11

Page 12: Wene Edisi I

SELAMAT JALAN

TUAN JENDERAL BESAR TPN-PB

UMEKI KELETUS KELLY KULALOK

KWALIK

(Kelly Kwalik)

1955-2009

Selama 32 tahun aku bertahan di belantara, kutinggalkan

kehidupan normal dan keluarga-ku. Ku daki bukit dan

gunung, kulalui lembah-lembah dan rawa-rawa, ku

seberangi kali dan danau, sungai dan laut, ku tahan terik

panas matahari walaupun membakar kulit, kutahan

dingin dan bekunya tubuh ku karena salju abadi warisan

leluhur ku.

Lapar dan haus menjadi sahabat sejatiku ditengah

belantara hanya karena satu tekad yakni demi tegaknya

keadilan dan kebenaran, kasih dan perdamaian diatas

tanah leluhurku.

Kini dalam peristirahatanku yang terakhir, aku berdoa:

“ Tuhanku, bawalah pergi semua kekayaan alam

yang Kau taruh diatas tanah leluhurku, karena semua

itu hanya membuat rakyatku menjadi korban dari

tangan-tangan serakah. Biarlah semua milik kami

mereka bawa pergi dari tanah ini, asalkan rakyatku

tinggal dan hidup dalam kesederhanaan dan

kedamaian”.

Tubuh Dan Raga-Ku Boleh Kau

Musnakan

Tapi Semangat-ku Tetap Hidup

Gerakan Rakyat Demokratik Papua

(GARDA-P)

Air Mata Jiwa HAL 12

"Hari ini kita melepaskan tokoh besar yang dengan caranya sendiri mempersembahkan hidup bagi tanah

Papua. Kualitas hidup Kelly dibuktikan dengan kesetiaannya mempertahankan idealisme dan kecintaannya

terhadap tanah Papua......

Akan tetapi Kelly membuktikan perjuangannya melawan ketidakadilan, penindasan, perampasan hak

dengan dalih kepentingan bangsa, melawan pemiskinan dan penghancuran umat manusia."

Uskup Timika, Mgr John Philip Saklil Pr