armaini.staff.gunadarma.ac.idarmaini.staff.gunadarma.ac.id/downloads/files/82749/m4... · web...
TRANSCRIPT
BAB IPENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai media massa, biasa memunculkan sebuah berita kasus-kasus
kekejaman, seperti pembunuhan, pemerkosaan, korupsi, bisnis kotor, pasar
gelap, dan masih banyak lagi. Seperti berita pembunuhan, media mengambil
gambar dalam adegan reka ulang, dan memfoto korban dalam keadaan yang
sangat mengerikan untuk ditonton. Teori normatif hadir sebagai
tanggungjawab sosial.
Dari sana, munculah pertanyaan-pertanyaan luas mengenai peran media
semacam ini berkaitan dengan isu yang menyangkut perilaku media-media
sehari-hari. Bagaimana seharusnya penataan kembali manajemen media dan
pekerjaan produksi? Standart etika dan moral seperti apa yang harus diikuti
para profesional di bidang media? Adakah keadaan yang dikatakan pantas dan
bahkan dikatakan perlu untuk menyerang ranah pribadi seseorang atau
beresiko menghancurkan reputasi mereka? Harsukah surat kabar mencetak
berita mengenai bisnis kotor, bahkan jika perusahaan tersebut merupakan salah
satu pengiklan terbesar? Dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan serupa.
Jawaban-jawaban atas pertanyaan semacam ini ditemukan dalam teori
normatif – jenis teori yang menggambarkan cara paling ideal untuk mengatur
dan menjalankan sistem media.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana teori normatif media?
2. Apa saja teori-teori normatif?
1
BAB IIPEMBAHASAN
A. Teori Normatif
Teori normatif tentang pers mengandung beberapa pandangan tentang
harapan masyarakat terhadap pers dan peran yang seharusnya dimainkan oleh
pers tersebut. Meskipun setiap bangsa cenderung menganut teori normatif
tersendiri yang khas dan rinci, namun masih terdapat beberapa prinsip umum
yang dapat digunakan untuk mengklasifikasi berbagai konsep khusus yang
dianut oleh berbagai bangsa. Setiap ragam utama teori normatif ini cenderung
dikaitkan dengan sistem politik/pemerintahan dimana pers tersebut menjadi
subsistemnya.
B. Asal Mula Teori Normatif Media
Bertentangan pandangan dan perdebatan peranan media massa telah
dikemukakan. Berada disatu kubu yang ekstrem adalah orang-orang yang
mendukung libertarianisme radikal. Mereka prcaya bahwa seharusnya tidak
ada aturan dari pemerintah untuk industri media. Mereka adalah penganut
Absolut First Amandement, yang menganut “kebebasan pers” secara harfiah,
yang berarti bahwa segala bentuk media bebas dari peraturan.1 Mereka
menganggap kontrol pemerintah yang otoriter cenderung dipraktikkan secara
sewenang-wenang dan sering berubah-ubah.2
Di kubu lawan adalah mereka yang percaya dengan pengaturan
langsung terhadap media, yang umumnya dilakukan pemerintah atau komisi.
Mereka yang mendukung kontrol teknokratik adalah orang-orang seperti
Harold Lasswell atau Walter Lipmann. Mereka berpendapat bahwa praktisi
media tidak dapat dipercaya untuk berkomunikasi secara bertanggung jawab
1 Stanley J. Baran dan Dannis K. Davis. Mass Communication Theory: Foundation, Ferment, and Future. UIC Building Singapore: Chengage Learning Asia Pte Ltd. Diterjemahkan oleh Afrianto Daud dan Putri Iva Izzati. 2010. Teori Komunikasi Massa: Dasar, Pergolakan, dan Masa Depan. Jakarta: Penerbit Salemba Humanika. Edisi ke 5 hlm: 1262 Ibid hlm: 128
2
atau menggunakan media secara efektif untk melayani kepentingan publik
yang vital, terutama selama masa-masa perang atau perubahan sosial.3
Para pendukung kontrol mendasarkan argumen mereka pada teori
propaganda. Ancaman yang dilakukan propaganda sangat besar sehingga
mereka percaya bahwa informasi yang dikumpulkan dan disiarkan haruslah
berada dibawah pengawasan orang-orang yang bijak, teknokrat yang dapat
dipercaya untuk bertindak berdasarkan kepentingan publik.
Pihak lain yang mendukung peaturan mendasarkan pada teori
masyarakat massa. Mereka merasa resah dengan kekuatan konten media yang
mulai melemahkan budaya elit dengan bentuk hiburan-hiburan dangkal.
Oleh karena itu, baik propaganda maupun teori masyarakat massa dapat
digunakan untuk melobi regulasi media. Kedua perspektif tersebut memandang
media sebagai kekuatan yang besar dan subversif yang harus berada di bawah
kontrol orang-orang yang benar, mereka yang dapat dipercaya untuk bertindak
atas nama kepentingan publik. Walaupun banyak penguasa yang percaya akan
kebutuhan untuk mengontrol media, mereka tidak dapat mencapai kesepakatan
mengenai siapa yang harus melakukan hal tersebut.
C. Teori-teori Pers
Dari dimensi sejarah, pertumbuhan dan perkembangan pers dunia,
maka kita mengenal beberapa macam teori atau konsep dasar tentang pers,
yang masing-masing mencerminkan sistem sosial dan sistem politik dimana
pers itu berkembang. Fred S. Siebert, Theodore Peterson dan Wibur Schramm
(1963), dalam Four Theories of the Press membedakan teori pers ke dalam:
Teori Pers Otoriter, Teori Pers Liberal, Teori Pers Komunis, Teori Pers
Tanggungjawab Sosial. Kemudian, McQuaill (1987) menambahkan lagi
dengan dua teori normatif pers. Yaitu: Teori Pers Pembangunan, dan Teori
Pers Demokratik-Partisipan.4
1. Teori Pers Otoriter (authorian)
Teori otoriter lahir pada abad kelima belas sampai keenam belas
pada masa bentuk pemerintahan bersifat otoriter (kerajaan absolut). Dalam
3 Ibid hlm 1264 Ibid hlm 154
3
teori ini pers berfungsi menunjang negara (kerajaan) dan pemerintah
dengan kekuasaan untuk memajukan rakyat sebagai tujuan utama. Oleh
karena itu pemerintah langsung menguasai dan mengawasi kegiatan pers.
Akibatnya sistem pers sepenuhnya berada di bawah pengawasan
pemerintah. Kebebasan pers sangat bergantung pada kekuasaan raja yang
mempunyai kekuasaan mutlak.
Dalam sistem ini, manusia adalah bagian dari masyarakat. Manusia
baru dapat berarti kalau ia hidup dalam kelompok. Sebagai individu,
kegiatannya sangat terbatas. Kelompok lebih penting dari individu.
Masyarakat tercermin dalam organisasi-organisasi, dan yang terpenting
adalah negara. Negara disebut sebagai tujuan akhir dari proses organisasi
masyarakat. Negara adalah pusat segala kegiatan. Pengetahuan dan
kebenaran dicapai melalui interaksi individu. Interaksi ini harus terkontrol
dan terarah, sehingga kepentingan akhir tidak dirugikan. Berdasarkan
asumsi di atas, teori ini cenderung membentuk satu sistem kontrol yang
efektif dan menggunakan pers sebagai alat penguasa.
Prinsip utama dari teori ini adalah sebagai berikut:
a. Pers seyogyanya tidak melakukan hal-hal yang dapat merusak wewenang
yang ada.
b. Pers selamanya (akhirnya) harus tunduk pada penguasa yang ada.
c. Pers seyogyanya menghindari perbuatan yang menentang nilai-nilai
moral dan politik atau dominan mayoritas.
d. Penyensoran dapat dibenarkan untuk menerapkan prinsip-prinsip ini.
e. Kecaman yang tidak dapat diterima terhadap penguasa, penyimpangan
dari kebijaksanaan resmi, atau perbuatan yang menentang kode moral
dipandang sebagai perbuatan pidana.
f. Wartawan atau ahli pers lainnya tidak memiliki kebebasan di dalam
organisasi persnya.
Sistem politik Indonesia pada jaman Orde Baru pernah menerapkan
teori ini. Abdul Muis (2005) mengatakan bahwa negara-negara yang
menganut teori pers otorian, seperti Indonesia di zaman Orde Baru,
menerapkan pemasungan terhadap kebebasan pers dengan memberlakukan
UU no 11 tahun 1966 juncto UU no 21 tahun 1982. Dalam dua undang-
4
undang tersebut, secara tersurat, memberi kewenangan yang sangat
signifikan kepada pemerintah untuk mengatur pola-pola komunikasi sistem
pers pada waktu itu.
2. Teori Pers Liberal
Sistem pers liberal ini berkembang pada abad ketujuh belas dan
kedelapan belas sebagai akibat timbulnya revolusi industri dan perubahan
besar di dalam pemikiran-pemikiran masyarakat di Barat pada waktu itu
yang lebih dikenal sebagai abad aufklarung (abad pencerahan).
Menurut teori ini, manusia pada dasarnya mempunyai hak-haknya
secara alamiah untuk mengejar dan mengembangkan potensinya apabila
diberikan iklim kebebasan menyatakan pendapat. Hal ini tidak mungkin
berlaku apabila terdapat kontrol dari pemerintah. Menurut paham
liberalisme, manusia pada hakekatnya dilahirkan sebagai makhluk bebas
yang dikendalikan oleh ratio atau akalnya. Kebahagiaan dan kesejahteraan
individu merupakan tujuan dari manusia, masyarakat, dan negara. Manusia
sebagai makhluk yang menggunakan akalnya untuk mengatur dunia
sekelilingnya dan dapat mengambil keputusan-keputusan yang sesuai
dengan kepentingannya. Oleh karena kemampuan yang dimilikinya ini,
maka manusia merupakan unsur utama dari dunia peradaban dan sekaligus
sebagai penggeraknya. Kedudukan istimewa yang diberikan kepada
individu dalam masyarakat libertarian ini, mengakibatkan timbulnya
anggapan bahwa fungsi dari masyarakat ialah untuk memajukan
kepentingan anggota-anggotanya secara individual. Mengenai hakekat
kebenaran dan pengetahuan, paham liberal memandang sebagai tidak
berasal dari kelompok kecil orang-orang yang berkuasa atau merupakan
monopoli mereka, akan tetapi harus ditemukan sendiri oleh manusia dengan
manfaatkan akalnya.
Mengenai kebebasan pers, teori libertarian beranggapan bahwa pers
harus mempunyai kebebasan yang seluas-luasnya untuk membantu manusia
dalam usahanya mencari kebenaran. Untuk mencari kebenaran, manusia
memerlukan kebebasan untuk memperoleh informasi dan pikiran-pikiran
yang hanya dapat secara efektif diterima ketika itu, apabila disampaikan
melalui pers.
5
Prinsip utama dari teori ini adalah sebagai berikut:
a. Publikasi seyogyanya bebas dari setiap penyensoran pendahuluan oleh
pihak ketiga.
b. Tindakan penerbitan dan pendistribusian seyogyanya terbuka bagi setiap
orang atau kelompok tanpa memerlukan izin atau lisensi.
c. Kecaman terhadap pemerintah, pejabat, atau partai politik (yang berbeda
dari kecaman terhadap orang-orang secara pribadi atau pengkhianatan
dan gangguan keamanan) seyogyanya tidak dapat dipidana, bahkan
setelah terjadinya peristiwa itu.
d. Seyogyanya tidak ada kewajiban mempublikasikan segala hal.
e. Publikasi ”kesalahan” dilindungi sama halnya dengan publikasi
kebenaran, dalam hal-hal yang berkaitan dengan opini dan keyakinan.
f. Seyogyanya tidak ada batasan hukum yang diberlakukan terhadap upaya
pengumpulan informasi untuk kepentingan publikasi.
g. Seyoyanya tidak ada batasan yang diberlakukan dalam impor dan ekspor
atau pengiriman atau penerimaan ”pesan” di seluruh pelosok negeri.
h. Wartawan seyogyanya mampu menuntut otonomi profesional yang
sangat tinggi di dalam organisasi mereka.
Sistem politik Indonesia, terutama pada tahun 1950 - 1959 dengan
berlakunya UUDS, pernah menerapkan teori pers liberal. Peraturan
perundangan tentang pers masih mengacu pada KUHP warisan kolonial.
Realitas kehidupan pers benar-benar menggambarkan penerapan teori pers
liberal. Namun, Pers pada masa itu cenderung tidak lagi dipergunakan
untuk perjuangan negara –masyarakat dan bangsa- namun dipergunakan
sebagai terompet partai/golongan. Banyak surat kabar yang beredar
merupakan organ dari partai politik pada sistem politik waktu itu (baca
Tribuana Said, 1988, Sejarah Pers Nasional dan Pembangunan Pers
Pancasila,). Pada waktu itu, Merdeka dan Indonesia Raya merupakan surat
kabar yang masih bisa disebut sebagai surat kabar yang netral
(memperjuangkan kepentingan bangsa).
3. Teori Pers Komunis
Teori ini berkembang pada awal abad kedua puluh sebagai akibat
dari sistem komunis di Uni Soviet. Sistem ini mendasarkan diri pada teori
6
Karl Marx tentang perubahan sosial yang diawali oleh teori Dialektika
Hegel. Sesuai dengan sejarah kelahirannya dan pertumbuhannya yang tidak
dapat dilepaskan dari sejarah ideologi komunis dan berdirinya negara Uni
Soviet, maka teori pers ini lebih sering disebut dengan istilah Pers Totalitar
Soviet atau Pers Komunis Soviet.
Dalam teori komunis ini, pers merupakan alat pemerintah (partai)
dan bagian integral dari negara. Ini berarti bahwa pers harus tunduk pada
perintah dan kontrol dari pemerintah atau partai. Tunduknya pers pada
partai komunis membawa arti yang lebih dalam, yaitusebagai alat dari
partai komunis yang berkuasa. Kritik diijinkan dalam pers, tetapi kritik
terhadap dasar ideologi dilarang. Pers melakukan apa yang terbaik menurut
pemimpin elit negara dan partai, dan apa yang terbaik bagi elit negara dan
partai. Yang dilakukan pers untuk mendukung komunis dan negara sosialis
mwerupakan perbuatan moral, sedangkan perbuatan membahayakan atau
merintangi pertumbuhan komunis adalah pembuatan immoral. Fungsi pers
komunis ditetapkan sebagai alat untuk melakukan indoktrinasi massa atau
pendidikan massa yang dilancarkan oleh partai. Bimbingan dan pendidikan
massa ini dilakukan melalui propaganda dan agitasi yang merupakan salah
satu aspek terpenting dari fungsi partai dan kegiatan formal negara.
Tunduknya pers secara total kepada partai komunis ini membawa
konsekuensi bahwa kebebasan dibatasi untuk menerbitkan berita-berita atau
pandangan-pandangan sendiri, demikian juga usahanya memanfaatkan
kebebasan untuk sedapat mungkin melayani kepentingan atau pendapat para
pembacanya.
Postulat teori ini dapat diikhtisarkan sebagai berikut:
a. Pers seyogyanya melayani kepentingan dari, dan berada di bawah
pengendalian, kelas pekerja.
b. Pers seyogyanya tidak dimiliki secara pribadi.
c. Pers harus melakukan fungsi positif bagi masyarakat dengan: sosialisasi
terhadap norma yang diinginkan; pendidikan; informasi; motivasi;
mobilisasi.
d. Di dalam tugas menyeluruhnya bagi masyarakat, pers seyogyanya
tanggap terhadap keinginan dan kebutuhan audiensnya.
7
e. Masyarakat berhak melakukan sensor dan tindakan hukum lainnya untuk
mencegah, atu menghukum setelah terjadinya peristiwa, publikasi anti
masyarakat.
f. Pers perlu menyediakan pandangan yang purna (complete) dan objektif
tentang masyarakat dan dunia, dalam batas-batas prinsip marxisme-
leninisme.
g. Wartawan adalah profesi yang bertanggung jawab dengan tujuan dan
cita-citanya, seyogyanya serupa dengan kepentingan terbaik masyarakat.
h. Pers hendaknya mendukung gerakan progresif di dalam dan di luar
negeri.
4. Teori Pers Tanggungjawab Sosial
Teori tanggung jawab sosial ini muncul pada permulaan abad kedua
puluh sebagai protes terhadap kebebasan yang mutlak dari teori lebertarian
yang mengakibatkan kemerosotan moral pada masyarakat. Dasar pemikiran
teori ini adalah kebebasan pers harus disertai tanggung jawab kepada
masyarakat. Teori ini merupakan hasil pemikiran para ahli pikir ketika itu
yang merasa bahwa teori lebertarian murni dan tradisional sudah tidak
sesuai lagi dengan keadaan zaman dan kebutuhan masyarakat pada waktu
itu. Teori ini sering dianggap sebagi bentuk revisi terhadap teori-teori
sebelumnya, yang menganggap bahwa tanggung jwab pers terhadap
masyarakat sangat kurang. Hal ini ingin ditekankan sebagai orientasi yang
utama dari pers. Penekanan tanggung jawab moral kepada masyarakat
dengan usaha untuk menghindari kemungkinan terjadinya keadaan yang
membahayakan kesejahteraan umum. Teori ini berasal dari dari sebagian
besar laporan ”Komisi Hutchins” yang diterbitkan pada tahun 1947. dari
laporan ini dikembangkan pendapat betapa pentingnya peran pers dalam
masyarakat modern seperti sekarang ini, menekankan pada keharusan akan
adanya tanggung jawab sosial dari setiap pers komunikasi.
Para pemilik pers pada teori tanggung jawab sosial yang tidak puas
terhadap fungsi pers dalam teori libertarian, berpendapat bahwa pers tidak
dapat menjalankan fungsinya secara sempurna. Dalam memberikan
pelayanan kepada sistem ekonomi, mereka mengharapkan agar tugas-tugas
yang dijalankan oleh pers tidak mendahului fungsi-fungsi pers yang lain,
8
seperti meningkatkan proses demokrasi dan pemberian penerangan kepada
masyarakat. Hiburan yang disajikan haruslah hiburan yang baik. Dalam
mencukupi keuangan pers-pers individu tertentu, hendaknya diberikan
kebebasan untuk mencari pasar.
Theodore Peterson (dalam Rachmadi, 1990) mengatakan bahwa
teori tanggung jawab sosial mendasarkan pada pandangannya kepada suatu
prinsip bahwa ”kebebasan pers harus disertai dengan kewajiban-kewajiban,
dan pers mempunyai kewajiban untuk bertanggungjawab kepada
masyarakat guna melaksanakan tugas-tugas pokok yang dibebankan kepada
komunikasi massa dalam masyarakat modern seperti sekarang ini”.
Prinsip utama teori tanggung jawab sosial adalah sebagai berikut:
a. Pers seyogyanya menerima dan memenuhi kewajiban tertentu kepada
masyarakat.
b. Kewajiban tersebut terutama dipenuhi dengan menetapkan standar yang
tinggi atau profesional tentang keinformasian, kebenaran, ketepatan,
obyektivitas, dan keseimbangan.
c. Dalam menerima dan menerapkan kewajiban tersebut, pers seyogyanya
dapat mengatur diri sendiri di dalam kerangka hukum dan lembaga yang
ada.
d. Pers sebaiknya menghindari segala sesuatu yang mungkin menimbulkan
kejahatan, kerusakan atau ketidaktertiban umum atau penghinaan
terhadap minoritas eynik atau agama. Pers secara keseluruhan hendaknya
bersifat pluralis dan mencerminkan kebhinekaan masyarakatnya, dengan
memberikan kesempatan yang sama untuk mengungkapkan berbagai
sudut pandang dan hak untuk menjawab.
e. Masyarakat dan publik, berdasarkan prinsip yang disebut pertama,
memiliki hak untuk mengharapkan standar prestasi yang tinggi dan
intervensi dapat dibenarkan untuk mengamankan kepentingan umum.
f. Wartawan dan pers profesional seyogyanya bertanggungjawab terhadap
masyarakat dan juga kepada majikan serta pasar.
Sejak sistem politik Indonesia mengundangkan UU no 40 tahun
1999, secara normatif, kita telah menganut teori Pers Tanggungjawab
Sosial. Berbeda dengan UU no 11 tahun 1966 juncto UU no 21 tahun 1982
9
yang memberi kewenangan pada pemerintah untuk mengontrol sistem pers,
UU no 40 tahun 1999 memberi kewenangan kontrol kepada masyarakat.
Penanda itu terletak antara lain pada pasal 15 dan 17 UU no 40 tahun 1999.
5. Teori Pers Pembangunan.
Titik tolak bagi teori pembangunan yang tersendiri tentang pers
ialah adanya fakta beberapa kondisi umum negara berkembang yang
membatasi aplikasi teori lain atau yang mengurangi kemungkinan
maslahatnya. Salah satu kenyataan adalah tiadanya beberapa kondisi yang
diperlukan bagi pengembangan sistem komunikasi massa: infrastruktur
komunikasi; ketrampilan profesional; sumber daya produksi dan budaya;
audiens yang tersedia. Faktor lain, yang berhubungan, adalah
ketergantungan pada dunia telah berkembang atas hal-hal yang menyangkut
produk teknologi, ketrampilan, dan budaya. Ketiga, masyarakat sedang
berkembang sangat gandrung menekankan pembangunan ekonomi, politik,
dan sosial sebagai tugas utama nasional, untuk mana semua lembaga lain
harus bermuara. Keempat, fakta semakin menunjukkan bahwa negara
sedang berkembang menyadari keserupaan jatidiri dan kepentingan mereka
dalam politik internasional.
Dari berbagai kondisi tersebut muncul seperangkat harapan dan
prinsip normatif tentang pers yang menyimpang dari hal-hal yang
tampaknya berlaku, baik di dunia kapitalis maupun di dunia komunis. Tentu
saja benar bahwa di kebanyakan negara yang dipandang sebagai negara
berkembang, pers diselenggarakan sesuai dengan prinsip-prinsip yang
berasal dari teori yang telah dikemukakan sebelumnya –teori otoriter,
liberal, tanggung jawab sosial, dan soviet komunis. Meskipun demikian,
perlu dikemukakan pernyataan sementara, khususnya dalam pandangan
tentang fakta bahwa kebutuhan negara sedang berkembang akan
komunikasi di masa lampau cenderung dinyatakan dalam hubungan dengan
pengaturan kelembagaan yang ada, dengan penekanan khusus pada peran
positif pers komersial untuk merangsang pembangunan atau pada kampanye
pers untuk mendorong timbulnya perubahan ekonomi ke arah model
masyarakat industri.
10
Satu hal yang paling menyatukan teori pers pembangunan adalah
penerimaan pembangunan ekonomi itu sendiri (yang karenanya perubahan
sosial), dan sering kali pembangunan bangsa (notion-building) yang
bersangkutan sebagai tujuan utama. Untuk mencapai tujuan tersebut,
kebebasan tertentu dari pers dan para wartawan tunduk pada tanggung
jawab mereka untuk membantu pencapaiannya. Pada saat saat yang sama,
yang ditekankan adalah tujuan kolektif dan bukan kebebasan individu.
Prinsip utama dari teori ini adalah sebagai berikut:
a. Pers seyogyanya menerima dan melaksanakan tugas pembangunan
positif sejalan dengan kebijaksanaan yang ditetapkan secara nasional.
b. Kebebasan pers seyogyanya dibatasi sesuai dengan (1) prioritas
ekonomi, dan (2) kebutuhan pembangunan masyarakat.
c. Pers perlu memprioritaskan isinya pada kebudayaan dan bahasa nasional.
d. Pers hendaknya memprioritaskan berita dan informasinya negara sedang
berkembang lainnya yang erat kaitannya secara geografis, kebudayaan,
atau politik.
e. Para wartawan dan karyawan pers lainnya memiliki tanggung jawab
serta kebebasan dalam tugas mengumpulkan informasi dan
penyebarluasannya.
f. Bagi kepentingan tujuan pembangunan, negara memiliki hak untuk
campur tangan dalam, atau membatasi, pengoperasian pers serta sarana
penyensoran, subsidi, dan pengendalian langsung dapat dibenarkan.
Rogers (1976) dalam Communication and Development: Critical
Perspective, menyatakan bahwa peranan pers dalam pembangunan dapat
efektif apabila:
a. Isi pers relevan dengan jenis-jenis pembangunan yang cocok dengan
masyarakatnya;
b. Isi pers relevan dengan perubahan struktur sosial yang diperlukan bagi
tercapainya tujuan pembangunan.
Konsep pembangunan pernah juga menjadi wacana (berlanjut
menjadi program) dalam kehidupan pers Indonesia. Misal, seperti yang
diputuskan dalam sidang Pleno XXV Dewan Pers di Surakarta pada 7-8
Desember 1984 yang tersurat sebagai berikut: ”Pers Indonesia adalah Pers
11
Pancasila dalam arti pers yang orientasi, sikap dan tingkah lakunya
berdasarkan pada nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. pers
Pembangunan adalah Pers Pancasila dalam arti mengamalkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 dalam pembangunan berbagai aspek
kehidupan dan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, termasuk
pembangunan pers itu sendiri.”. Begitu juga kebijaksanaan pemerintah di
bidang penerangan dan pers pada Repelita IV yang tersurat sebagai berikut:
a. Kegiatan penerangan dan komunikasi sosial dengan pendekatan budaya:
disini sasaran pokok adalah pengemangan pribadi manusia Indonesia
berdasarkan nilai-nilai Pancasila.
b. II. Kegiatan penerangan dan komunikasi sosial untuk mendukung
pembangunan ekonomi nasional: di sini sasaran pokok adalah kesadaran
masyarakat untuk melaksanakan pembangunan yang berwawasan
lingkungan hidup, wawasan menabung, wawasan produksi untuk ekspor
dan peningkatan penggunaan produksi dalam negeri.
c. Pengembangan informasi budaya politik Pancasila: sasaran pokoknya
adalah pembinaan kesadaran masyarakat akan modal dasar bangsa,
faktor-faktor dominan bangsa dan kesadaran politik yang menunjang
pemantapan Demokrasi Pancasila, dan kehidupan konstitusional,
demokrasi dan penegakan hukum.
d. Penerapan sistem penerangan terpadu: peningkatan koordinasi dan kerja
sama semua unsur penerangan bersama pers dan pers lainnya.
e. Pengembangan dan peningkatan kegiatan komunikasi timbal balik:
peningkatan peran serta masyarakat untuk ikut memikirkan dan
memecahkan masalah-masalah pembangunan.
f. Peningkatan arus penerangan ke daerah pedesaan dalam rangka
pemerataan informasi: peningkatan arus penerangan pembangunan ke
desa-desa, terutama daerah-daerah perbatasan, daerah terpencil dan
daerah transmigrasi.
6. Teori Pers Demokratik-Partisipan.
Seperti kebanyakan teori, teori ini muncul sebagai reaksi terhadap
teori lain dan pengalaman aktual dan sekaligus sebagai gerakan positif ke
arah bentuk baru lembaga pers. Lokasinya terutama dalam masyarakat
12
liberal yang telah berkembang tetapi ia bergabung dengan beberapa unsur
yang ada dalam teori pers pembangunan, khususnya penekanan pada basis
masyarakat, pada nilai komunikasi horisontal, dan bukan pada komunikasi
vertikal. Stimulus teori ini adalah reaksi terhadap komersialisasi dan
pemonopolian pers yang dimiliki secara pribadi dan terhadap sentralisme
dan birokratisasi lembaga siaran publik, yang diadakan sesuai dengan
norma tanggungjawab sosial.
Istilah demokratik-partisipan juga mengungkapkan rasa kecewa
terhadap partai politik yang ada dan terhadap sistem demokratik
parlementer yang tampaknya telah tercabut dari akarnya yang asli, sehingga
menghalangi ketimbang memudahkan keterlibatan dalam kehidupan politik
dan sosial. Teori pers bebas dipandang gagal karena subversinya
berdasarkan pasar dan teori, dan teori tanggung jawab sosial tidak memadai
sebagai akibat dari keterlibatan dalam birokrasi pemerintahan dan dalam
perswalayanan organisasi dan profesi pers. Pengaturan diri sendiri oleh pers
dan tanggung gugat (accountability) organisasi penyiaran besar tidak
mencegah pertumbuhan lembaga pers yang mendominasi dari pusat
kekuasaan masyarakat atau yang tidak berhasil dalam tugas mereka
memenuhi kebutuhan yang timbul dari pengalaman warga negara sehari-
hari.
Dengan demikian, titik sentral teori demokratik-partisipan terletak
pada kebutuhan, kepentingan, dan aspirasi ”penerima” dalam masyarakat
politik. Ini ada hubungannya dengan hak atas informasi yang relevan, hak
untuk menjawab kembali, hak menggunakan sarana komunikasi untuk
berinteraksi dalam kelompok maasyarakat yang berskala kecil, kelompok
kepentingan subbudaya. Teori ini menolak keharusan adanya pers yang
seragam, disentralisasi, mahal, sangat diprofesionalkan, dan dikendalikan
oleh pemerintah. Teori ini lebih condong pada keserbaragaman, skala kecil,
lokalitas, deinstitusionalisasi, pertukaran peran antara pengirim dengan
penerima, hubungan komunikasi horisontal pada semua tingkat masyarakat,
dan interaksi.
Ikhtisar rumusan prinsip teori ini dapat disajikan sebagai berikut:
13
a. Warga negara secara individu dan kelompok minoritas memiliki hak
pemanfaatan pers (hak untuk berkomunikasi) dan hak untuk dilayani
oleh pers sesuai dengan kebutuhan yang mereka tentukan sendiri.
b. Organisasi dan isi pers seyogyakan tidak tunduk pada pengendalian
politik yang dipusatkan atau pengendalian birokrasi negara.
c. Pers seyogyanya ada terutama untuk audiensnya dan bukan untuk
organisasi pers, para ahli atau nasabah pers tersebut.
d. Kelompok, organisasi, dan masyarakat lokal seyogyanya memiliki pers
sendiri.
e. Bentuk pers yang berskala kecil, interaktif, dan partisipasif lebih baik
ketimbang pers berskala besar, satu arah, dan diprofesionalkan.
f. Kebutuhan sosial tertentu yang berhubungan dengan pers tidak cukup
hanya diungkapkan melalui tuntutan konsumen perorangan, tidak juga
melalui negara dan berbagai lembaga utamanya.
g. Komunikasi terlalu penting untuk diabaikan oleh para ahli.
Teori pers demokratik-partisipan juga telah mewarnai kehidupan
pers Indonesia. Dengan diundangkannya Undang-Undang no 32 tahun
2003, kehidupan pers kita telah mempraktekkan teori ini. Pertumbuhan dan
berkembangnya penyiaran-penyiaran komunitas yang menerapkan
jurnalisme partisipasi merupakan suatu contoh penerapan dari teori pers
demokratik-partisipan.
14
BAB IIIPENETUP
A. Kesimpulan
Teori normatif tentang pers mengandung beberapa pandangan tentang
harapan masyarakat terhadap pers dan peran yang seharusnya dimainkan oleh
pers tersebut. Teori normatif muncul akibat perdebatan-perdebatan antara kubu
pendukung kebebasan pers dan kubu pendukung adanya kontrol dari penguasa.
Teori normatif menurut sejarah pers ada enam, yaitu teori pers otoriter, teori
pers liberal, teori pers komunis, teori pers tanggung jawab sosial, teori pers
pebangunan, dan teori pers demokratik-partisipan.
15
DAFTAR PUSTAKA
Baran, Stanley J. dan Dannis K. Davis. Mass Communication Theory: Foundation, Ferment, and Future. UIC Building Singapore: Chengage Learning Asia Pte Ltd. Diterjemahkan oleh Afrianto Daud dan Putri Iva Izzati. 2010. Teori Komunikasi Massa: Dasar, Pergolakan, dan Masa Depan. Jakarta: Penerbit Salemba Humanika. Edisi ke 5
http://kuliahonlinekomunikasi.blogspot.co.id/2011/12/teori-normatif-komunikasi-massa.htmldiakses pada tanggal 16 Oktober 2017
16
TEORI NORMATIF KOMUNIKASI MASSA
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata KuliahKomunikasi Massa
Dosen Pengampu: Dr. Ropingi el-Ishaq
Disusun oleh:Kelompok 5
Bittami Niamul Aziz (933504315) Fery Yustanto Prabowo (933508015) Abdul Hamid Bawayan (9335015) Rinda Indah Nirwana (933506715) Abidin (93350 )
JURUSAN USHULUDDINPROGRAM STUDI KOMUNIKASI ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KEDIRI2017
17