kajian kinerja investasi dan dampak pengetatan...
TRANSCRIPT
0
KAJIAN KINERJA INVESTASI DAN DAMPAK PENGETATAN INVESTASI
ASING DI SEKTOR PERTANIAN
I. LATAR BELAKANG
(1) Sejak awal pemerintahannya, JKW-JK bertekad memacu pertumbuhan
ekonomi nasional yang lebih tinggi, berkualitas dan berkesinambungan,
melalui peningkatan investasi dan surplus neraca perdagangan. Pemerintah
menyadari akan semakin melandainya pertumbuhan konsumsi dan belanja
pemerintah yang selama ini justeru menjadi sumber utama pertumbuhan
ekonomi nasional. Tidak heran kalau dalam setiap kesempatan, khususnya di
dalam Sidang Kabinet terbatas, RI-1 menekankan pentingnya menggenjot
kinerja investasi dan perdagangan (khususnya ekspor) sebagai sumber
pertumbuhan baru perekonomian nasional.
(2) Keinginan dan langkah untuk memacu pertumbuhan investasi telah beberapa
kali dilakukan, termasuk investasi di sektor pertanian. Langkah yang telah
dilakukan antara lain dengan merevisi Daftar Negatif Investasi (DNI), yakni
dengan cara membuka bidang usaha yang sebelumnya tertutup menjadi
terbuka dengan persyaratan dan mengurangi atau menghilangkan
persyaratan pada bidang usaha semula terbuka dengan persyaratan,
termasuk persyaratan batas maksimum kepemilikan modal asing (PMA).
Namun, Pemerintah masih tetap mencadangkan biidang-bidang usaha yang
terbuka hanya untuk Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dalam
negeri.
(3) Sudah sejak lama Pemerintah bertekad untuk meningkatkan investasi asing
langsung (Foreign Direct Investment-FDI) baik intra-ASEAN maupun dari luar
ASEAN. Namun tekad ini belum sepenuhnya terwujud, terlihat dari besarnya
nilai dan laju pertumbuhan investasi asing yang masuk ke Indonesia, dimana
masih dibawah Singapore dan Thailand, bahkan mulai disusul oleh Vietnam.
Situasi ini tidak hanya karena kebijakan investasinya yang cenderung tertutup
bagi PMA, tetapi juga ada faktor lain yang menghambat masuknya FDI.
Relatif rendahnya indeks dayasaing (Global Competitiveness Index) dan
indeks kemudahan berusaha (Ease for Doing Business Index) merupakan
indikator penjelas kecilnya realisasi investasi di Indonesia, baik investasi PMA
maupun PMDN.
(4) Khusus di subsektor hortikultura dengan adanya UU No 13 2010 tentang
hortikultura merupakan contoh nyata terjadinya perbedaan antara harapan
dengan kenyataan. Tekad dan keinginan pemerintah untuk memacu investasi
di sektor hortikultura harus menghadapi kenyataan adanya UU No 13 2010
1
yang mengamanatkan pemerintah untuk membatasi investasi dan
penguasaan kepemilikan modal asing (PMA) dalam usaha bidang hortikultura.
Pasal 100 ayat (3) dan Pasal 131 ayat (2) UU No 13/2010 mengatur
pembatasan penanaman modal asing (PMA), dengan maksimum kepemilikan
30 persen di sektor usaha holtikultura, termasuk bidang usaha perbenihan.
Ketentuan batas maksimum kepemilikan modal asing ini jauh lebih ‘restriktif’
disbanding ketentuan yang berlaku pada saat itu, yang tertuang dalam
Perpres No 36 tahun 2010. Untuk ini, pemerintah diberi mandat untuk
membuat aturan implementasi dari UU No 13 Tahun 2010.
(5) Kehadiran UU Hortikultura No 13 Tahun 2010 telah mengundang pro-kontra
khususnya terkait persyaratan kepemilikan modal asing (PMA) maksimum
30% dan pernah digugat ke MK untuk dilakukan uji materi. Pihak yang
merasa dirugikan telah mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK)
pada 17 Februari 2014, meskipun akhirnya MK memutuskan menolak
gugatan tersebut (19 Maret 2015).
(6) Peraturan Presiden (Perpres) No.39 Tahun 2014 merupakan perubahan atas
Peraturan Presiden No.36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha yang
Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang
Penanaman Modal atau biasa disebut Daftar Negatif Investasi (DNI).
Ketentuan batas maksimal modal asing di bidang usaha hortikultura dalam
Perpres No 39/2014 merupakan amanat UU Hortikultura No.13/2010.
(7) Pada tahun 2016, Pemerintah kembali melakukan revisi Perpres No 39/2014
melalui Perpres No 44/2016. Tujuan dan alasan utama diterbitkannya Perpres
44/2016, adalah untuk mengurangi hambatan/persyaratan investasi dan
menciptakan iklim usaha yang lebih kondusif agar Indonesia lebih menarik
bagi para penanam modal, khususnya PMA (Foreign Direct Investment-FDI)
di era pasar global dan pasar tunggal ASEAN (MEA) 2016.
(8) Mengacu kepada indeks daya saing global pada tahun 2016 (dari 140
negara), Indonesia berada dalam urutan 37, dibawah Singapore (2), Malaysia
(18), dan Thailand (32), meski berada di atas Philippines (47), Vietnam (56),
Laos PDR (83) dan Cambodia (90). Urutan daya saing Indonesia juga jauh di
bawah China yang berada pada urutan ke-28.
(9) Lebih merisaukan lagi, mengacu kepada indeks kemudahan berusaha dari
Bank Dunia (Ease of Doing Business Index dari 190) tahun 2016, Indonesia
menduduki urutan ke 91, jauh dibawah Singapore (2), Malaysia (23), Thailand
(46), Brunei (72), Vietnam (82), sedikit diatas Philippines (99). Situasi inilah
yang diperkirakan menjadi perhatian serius dan alasan kuat pemerintah untuk
terus berbenah menciptakan iklim investasi dan usaha yang kondusif agar
lebih berdaya saing.
2
(10) Namun langkah berbenah ini, secara politis, tidaklah mudah untuk dilakukan
karena selalu memicu pro-kontra. Kepentingan sektoral yang ditopang
kepentingan politik praktis jangka pendek seringkali menjadi penghambat
dalam melakukan perubahan dan deregulasi. Disamping itu, belum adanya
konsensus nasional dalam memaknai kedaulatan dan kemandirian, membuat
pemerintah tidak ‘satu suara’ dalam memaknai dan menyikapi keberadaan
modal asing (FDI) dalam perekonomian nasional.
II. TUJUAN DAN METODOLOGI
(11) Kajian ini bertujuan menilai dampak (positif-negatif) dari langkah deregulasi
dan perubahan kebijakan investasi terhadap perkembangan dan kinerja
investasi, baik PMDN dan PMA, di sektor pertanian dan perdagangan produk
pertanian. Untuk tujuan tersebut dilakukan pendekatan analisis sebagai
berikut: (i) review kebijakan investasi 2010-2017, (ii) analisa keterkaitan atau
dampak perubahan Prespres No.36/2010 menjadi Perpres No.39/2014 dan
Perpres No. 44/2016 terhadap kinerja investasi dan perdagangan di sektor
pertanian, dan (iii) interview dengan narasumber.
(12) Laporan hasil analisis mecakup uraian tentang: (1) Perubahan Perpres No
36/2010 menjadi Perpres No 39/2014 dan Perpres No 44/2016 Bidang Usaha
Pertanian, (2) Kinerja investasi terkait revisi selama 2010-2016, (3) Kinerja
perdagangan selama periode 2010-2016, dan (4) Kinerja investasi dan
perdagangan indonesia dalam perspektif ASEAN.
III. KEBIJAKAN INVESTASI: PERUBAHAN PERPRES 36/2010
MENJADI PERPRES 39/2014 DAN PERPRES 44/2016
BIDANG USAHA PERTANIAN
(13) Daftar Negatif Investasi (DNI) terdiri dari daftar (i) usaha yang tertutup untuk
penanaman modal, dan (ii) usaha terbuka dengan persyaratan. Adapun
persyaratan yang berlaku mencakup : (a) Dicadangkan untuk UMKMK (Usaha
Mikro, Kecil, Menengah dan Koperasi), (b) Kemitraan, (c) Kepemilikan modal
asing, (d) Lokasi tertentu, (e) Perizinan khusus, (f) Modal dalam negeri 100%,
(g) Kepemilikan modal asing serta lokasi, (h) Perizinan khusus dan
kepemilikan modal asing, (i) Modal dalam negeri 100% dan perizinan khusus,
(j) Persyaratan kepemilikan modal asing dan/atau lokasi bagi penanam modal
dari negara‐negara ASEAN.
3
(14) Di bidang usaha pertanian, revisi Perpres DNI No 36/2010 ke Perpres No
39/2014 tidak mengalami perubahan, kecuali perubahan yang terkait dengan
batas maksimal kepemilikan modal asing di bidang usaha hortikultura.
Kepemilikan asing untuk usaha hortikultura dari yang semula tidak diatur
secara khusus dalam Perpres 36/20101 menjadi maksimal 30% dalam
Perpres 39/2014, sesuai dengan amanat UU No 13/2010 tentang Hortikultura
(Lampiran 1 kolom 2 dan 3).
(15) Didorong keinginan pemerintah untuk meningkatkan laju pertumbuhan
ekonomi dan lapangan kerja, kembali pada tahun 2016, pemerintah
mengeluarkan paket kebijakan investasi dalam bentuk revisi DNI dari Perpres
No 39/2014 menjadi Perpres No 44/2016, yang perubahannya disajikan
dalam Lampiran 1 kolom 4. Investasi dalam bidang usaha tanaman pangan
pokok dengan luas lebih dari 25 ha, tidak lagi memerlukan rekomendasi
Menteri Pertanian dengan modal asing maksimal tetap sebesar 49%.
Rekomendasi Menteri Pertanian juga tidak lagi diperlukan dalam kegiatan
investasi di bidang usaha perkebunan dengan luas lebih dari 25 ha,
digantikan dengan kewajiban untuk mengembangkan kebun plasma sebesar
20%, dengan maksimum kepemilikan asing masih tetap 95%.
(16) Dampak perubahan kebijakan investasi dalam bentuk revisi DNI, yakni dari
Perpres 36/2010 menjadi Perpres 39/2014 dan yang terakhir Perpres
44/2016, akan dievaluasi dari kinerja sektor pertanian tanaman pangan dan
hortikultura, mencakup perkembangan investasi dan kinerja perdagangan
(ekspor-impor) selama periode 2010-2016.
IV. KINERJA INVESTASI SELAMA PERIODE 2010-2016
(17) Total investasi (PMDN dan PMA) di sektor primer, termasuk sektor pertanian,
masih tergolong kecil dibandingkan investasi di sektor sekunder (industri
pengolahan dan manufaktur) dan sektor tersier (bidang jasa). Selama periode
2010-2016, investasi di subsektor pertanian pangan, hortikultura dan
perkebunan rata-rata mencapai 7,2 persen dari total investasi, jauh lebih
rendah dibandingkan sektor pertambangan yang mencapai 12,6 persen dari
total investasi. Investasi langsung di subsektor peternakan sangat kecil, rata-
rata hanya 0,2 persen dari total investasi (Tabel 1). Mengingat investasi
merupakan salah satu sumber pertumbuhan sektoral, maka kecilnya investasi
di sektor pertanian, khususnya subsektor hortikultura dan peternakan,
seharusnya menjadi perhatian serius Kementerian Pertanian. Jika kedepan
1Dalam Perpres No 36/2010 bidang usaha hortikultura tidak diatur secara khusus .Jika hortikultura dimasukkan dalam bidang usaha tanaman pangan lain, maka modal asing maksimal ada lah 49%, sedangkan pa da Perpres No 39/2014 maksimal kepemilikan asing (sesuai UU Hortikultura No 13/2010) adalah 30%.
4
sektor pertanian diharapkan tumbuh dengan laju pertumbuhan lebih tinggi,
termasuk target untuk mencapai swasembada daging sapi, maka Kementan
harus berupaya keras untuk meningkatkan realisasi dan pertumbuhan
investasi, baik PMDN maupun PMA, di sektor pertanian, termasuk subsektor
hortikultura dan peternakan.
Tabel 1. Perkembangan Investari PMDN dan PMA di sektor pertanian, 2010-2016
Sektor/Subsektor Nilai investasi (USD juta) Growth
(%/thn) 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
1. Sektor Primer 4.383 6.706 8.039 8.582 8.319 7.473 6.565
Pangsa (%) 19,1 24,1 23,6 21,9 20,3 17,7 14,6 Growth (%/thn) 53,0 19,9 6,8 -3,1 -10,2 -12,2 9,0
Pangan, Horti, Kebun 1.722 2.255 2.598 2.146 3.228 2.945 3.153 Pangsa (%) 7,5 8,1 7,6 5,5 7,9 7,0 7,0
Growth (%/thn) 31,0 15,2 -17,4 50,4 -8,8 7,1 12,9 Peternakan 42 48 30 41 83 99 84
Pangsa (%) 0,2 0,2 0,1 0,1 0,2 0,2 0,2
Growth (%/thn) 14,3 -37,5 36,7 102,4 19,3 -15,2 20,0 Tambang 2.543 4.380 5.339 6.356 4.918 4.303 3.192
Pangsa (%) 11,1 15,7 15,7 16,2 12,0 10,2 7,1 Growth (%/thn) 72,2 21,9 19,1 -22,6 -12,5 -25,8 8,7
2. Sektor sekunder 6186 11039 16929 20057 17765 18218 24639
Pangsa (%) 26,9 39,6 49,6 51,3 43,2 43,1 54,7
Growth (%/thn) 78,5 53,4 18,5 -11,4 2,5 35,2 29,4
Industri makanan 2.850 1.980 2.938 3.355 4.715 3.300 4.500
Pangsa (%) 12,4 7,1 8,6 8,6 11,5 7,8 10,0 Growth (%/thn) -30,5 48,4 14,2 40,5 -30,0 36,4 13,2
3. Sektor tersier 12389 10111 9129 10493 14996 16594 13861
Pangsa (%) 54,0 36,3 26,8 26,8 36,5 39,2 30,8
Growth (%/thn) -18,4 -9,7 14,9 42,9 10,7 -16,5 4,0
Total Investasi 22.958 27.856 34.098 39.131 41.080 42.286 45.065 Growth (%/thn) 21,3 22,4 14,8 5,0 2,9 6,6 12,2
Sumber : BKPM (www.bkpm.go.id) Keterangan : Nilai pangsa merupakan persentase rasio investasi kelompok komoditas terhadap total
investasi
(18) Selama periode 2010-2016, dari total akumulatif investasi di Indonesia
sebesar USD 252 miliar, 70% (USD 176 miliar) merupakan PMA sedangkan
30% (USD 76 miliar) merupakan PMDN (Tabel 2). Data ini memperlihatkan
bahwa kontribusi PMA jauh lebih besar (lebih dari 2 kali lipat) dibandingkan
kontribusi PMDN. Hal ini berarti bahwa berbagai langkah dan keberpihakan
pemerintah untuk mendorong PMDN belum berhasil, para pemilik modal
belum tertarik untuk berinvestasi di Indonesia.
(19) Keberpihakan pemerintah kepada PMDN, lewat beberapa kali revisi DNI
(Perpres 36/2010, Perpres 39/2014 dan Perpres 44/2016) dengan cara
5
mencadangkan bidang usaha tertentu untuk UMKMK dan/atau membatasi
kepemilikan modal PMA belum berhasil meningkatkan PMDN secara nyata.
Kontribusi PMDN selama periode 2010-2016 fluktuatif berkisar antara 29%
tahun 2010, bahkan semakin menurun sampai hanya 26% tahun 2013, dan
paling tinggi 36% pada tahun 2016.
Tabel 2. Realisasi Investasi PMDN dan PMA di Indonesia, 2010-2016
Tahun
Investasi PMDN Investasi PMA Total Nilai
(USD juta) %
Nilai (USD juta)
% Nilai
(USD juta) %
2010 6.743 29,4 16.215 70,6 22.958 100
2011 8.381 30,1 19.474 69,9 27.856 100
2012 9.533 28,0 24.565 72,0 34.098 100
2013 10.514 26,9 28.618 73,1 39.131 100
2014 12.550 30,6 28.530 69,4 41.080 100
2015 13.009 30,8 29.276 69,2 42.286 100
2016 16.101 35,7 28.964 64,3 45.065 100
Total 76.831 30,4 175.641 69,6 252.472 100
Sumber : BKPM (www.bkpm.go.id)
(20) Jika situasi seperti ini terus berlangsung dan dibarengi dengan tumbuhnya
sentimen anti-asing lewat pembatasan PMA yang semakin ketat, dapat
dipastikan langkah pemerintah untuk memacu pertumbuhan investasi dan
target pertumbuhan ekonomi tinggi dan berkualitas tidak akan tercapai.
Demikian juga, target untuk menciptakan lapangan kerja baru tidak akan
tercapai dan akibatnya tingkat pengangguran akan meningkat. Kalau situasi
ini juga terjadi dan terus berlangsung di sektor pertanian, maka pertumbuhan
sektor pertanian juga terhambat dan akibatnya defisit neraca perdagangan
pertanian akan meningkat dan Indonesia akan semakin tergantung impor
produk pangan dan pertanian.
(21) Investasi di sektor pertanian (mencakup bidang usaha tanaman pangan,
hortikultura, perkebunan dan peternakan) relatif kecil dibandingkan investasi
di bidang usaha lainnya. Ada beberapa kemungkinan, antara lain, bahwa (i)
bidang usaha sektor pertanian tidak menarik bagi investor, baik PMDN
maupun PMA, (ii) sektor ini menarik akan tetapi aturan investasi yang berlaku
membuat investor lebih tertarik untuk investasi di bidang usaha sektor lain
(industri dan jasa), (iii) bagi PMA, lebih menarik dan menguntungkan
berinvestasi di negara ASEAN lain dibandingkan di Indonesia. Ketiga alasan
ini menjadi pertimbangan pemerintah untuk terus melakukan revisi aturan
investasi agar dapat memenangkan kompetisi dalam menarik FDI.
(22) Tidak hanya sentimen anti PMA, belakangan juga muncul sentimen anti
perusahaan swasta berskala besar (korporasi), sementara perusahaan skala
6
kecil dan menengah juga tidak kunjung hadir atau sangat lambat dalam
memanfaatkan peluang usaha yang telah lama dicadangkan oleh pemerintah.
Akibatnya, pertumbuhan sektor pertanian, termasuk hortikultura dan
peternakan berjalan sangat lambat sehingga tidak mampu merespon
pertumbuhan permintaan yang terus meningkat secara cepat.
(23) Kebijakan investasi lewat pencadangan bidang usaha tertentu untuk UMKMK
ternyata belum membawa hasil, terbukti masih rendahnya realisasi investasi
di bidang usaha tersebut. Jadi, kebijakan pencadangan saja tidak cukup,
harus disertai dengan kebijakan lain agar UMKMK dapat memanfatkan
peluang tersebut dan berinvestasi di bidang usaha yang dicadangkan,
misalnya dengan menyederhanakan prosedur untuk memperoleh Kredit
Usaha Rakyat (KUR) dan/atau dengan memberikan subsidi bunga KUR.
Dengan cara ini diharapkan UMKMK dapat berinvestasi di bidang-bidang
usaha yang telah dicadangkan oleh pemerintah, termasuk usaha budidaya
pertanian pangan, hortikultura, perkebunan dan perbenihan pertanian dengan
luas dibawah 25 ha. Sangat mustahil mengharapkan sektor pertanian dapat
tumbuh dengan laju lebih tinggi, berkualitas dan berkesinambungan bilamana
realisasi investasi di sektor ini dan laju pertumbuhannya rendah.
(24) Tabel 3 memperlihatkan bahwa investasi PMDN di subsektor pangan,
hortikultura, dan perkebunan selama periode 2010-2016 tumbuh dengan laju
23,4% lebih tinggi dibandingkan laju pertumbuhan investasi PMDN di industri
makanan (18,3%) dan sedikit lebih rendah dibandingkan total PMDN (23,8%).
Meskipun nilai investasi di subsektor peternakan relative kecil, namun
mengalami pertumbuhan cukup signifikan sebesar 57,1%. Pada tahun 2016,
investasi di subsektor tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan
mencapai Rp 21 triliun, hampir dua kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya
yang mencapai Rp 12 triliun. Realisasi investasi PMDN di sektor pertanian
tersebut diperkirakan lebih banyak terjadi di subsektor perkebunan. Pangsa
investasi di sektor pertanian selama periode 2010-2016 masih tergolong kecil,
baru mencapai9,8% lebih kecil dibandingkan sektor industri pengolahan
makanan yang mencapai 14,6%.
7
Tabel 3. Investasi PMDN di sektor pertanian dan industri makanan di Indonesia, 2010-2016
Bidang Usaha
Investasi PMDN (Rp miliar)
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 Growth
(%/thn)
Pangan, Horti, Kebun 8.727 9.367 9.632 6.588 12.707 12.041 20.999
Pangsa (%) 14,4 12,3 10,5 5,1 8,1 6,7 9,7
Growth (%/thn) 7,3 2,8 -31,6 92,9 -5,2 74,4 23,4
Peternakan 157 247 97 361 651 325 466
Pangsa (%) 0,3 0,3 0,1 0,3 0,4 0,2 0,2 Growth (%/thn) 57,3 -60,7 272,2 80,3 -50,1 43,4 57,1
Industri makanan 16.405 7.941 11.167 15.081 19.596 24.534 32.029
Pangsa (%) 27,1 10,4 12,1 11,8 12,6 13,7 14,8 Growth (%/thn) -51,6 40,6 35,0 29,9 25,2 30,5 18,3
Total PMDN 60.626 76.001 92.182 128.151 156.126 179.466 216.231
Growth (%/thn) 25,4 21,3 39,0 21,8 14,9 20,5 23,8
Sumber : BKPM (www.bkpm.go.id)
(25) Tabel 4 memperlihatkan total nilai investasi PMA meningkat dengan laju
sebesar 10% selama periode 2010-2016. Secara rinci laju pertumbuhan untuk
subsektor pangan, hortikultura, dan perkebunan sebesar 17%, sedangkan
untuk subsektor peternakan dan industri makanan masing-masing sebesar
37% dan 21%.
Tabel 4. Realisasi PMA di sektor pertanian dan industri makanan di Indonesia, 2010-2016
Bidang Usaha
Realisasi nilai investasi PMA (USD miliar)
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 Growth (%/thn)
Pangan, Horti, Kebun 801 1.265 1.642 1.628 2.268 2.222 1.687
Pangsa (%) 4,9 6,5 6,7 5,7 7,9 7,6 5,8
Growth (%/thn) 57,9 29,8 -0,8 39,3 -2,0 -24,1 16,7
Peternakan 25 21 20 11 31 75 49
Pangsa (%) 0,2 0,1 0,1 0,0 0,1 0,3 0,2
Growth (%/thn) -16,0 -4,8 -45,0 181,8 141,9 -34,7 37,2
Industri makanan 1.026 1.105 1.783 2.118 3.140 1.521 2.115
Pangsa (%) 6,3 5,7 7,3 7,4 11,0 5,2 7,3
Growth (%/thn) 7,7 61,4 18,8 48,3 -51,6 39,1 20,6
Total PMA 16.215 19.474 24.565 28.618 28.530 29.276 28.964
Growth (%/thn) 20,1 26,1 16,5 -0,3 2,6 -1,1 10,7
Sumber : BKPM (www.bkpm.go.id)
(26) Total investasi PMA selama periode 2010-2016 berfluktuasi, meningkat
hampir dua kali lipat dari USD 16,2 miliar pada tahun 2010 menjadi USD 28,6
miliar pada tahun 2013 atau tumbuh dengan laju rata-rata 21% per tahun
selama periode tersebut. Namun, pertumbuhan ini tidak berlanjut pada
periode 2013-2016, dimana laju pertumbuhan investasi tahun 2014 justru
menurun -0,31% dari USD 28,6 miliar pada tahun 2013 menjadi USD 28,5
miliar, sedikit tumbuh dengan laju 3% tahun 2015 menjadi USD 29,3 miliar.
Realisasi PMA tahun 2016 turun lagi (laju -1%) menjadi USD 28,9 miliar.
8
Penurunan laju pertumbuhan PMA selama 2013-2016 inilah yang
diperkirakan menjadi alasan pemerintah untuk kembali melakukan revisi
kebijakan DNI melalui Perpres No 44/2016.
(27) Realisasi investasi PMA di subsektor pertanian pangan, hortikultura dan
perkebunan berfluktuasi selama periode 2010-2016, meningkat cepat dari
USD 0,8 miliar pada tahun 2010 menjadi USD 1,6 miliar tahun 2012 atau
meningkat dengan laju 44% selama periode 2010-2012, tetapi kemudian
sedikit menurun tahun 2013 dan kembali meningkat dengan laju 39%
mencapai USD 2,3 miliar pada tahun 2014. Selanjutnya dalam periode 2014-
2016 realisai investasi menurun menjadi USD 2,2 miliar tahun 2015 dan USD
1,7 miliar atau dengan laju pertumbuhan negatif rata-rata 4,4% per tahun.
Menurunnya nilai investasi di subsektor pertanian pangan, hortikultura dan
perkebunan pada periode 2014-2016 seharusnya menjadi alasan yang
‘legitimate’ bagi pemerintah (dalam hal ini Kementerian Pertanian) untuk
menggulirkan revisi aturan investasi (DNI) kearah yang lebih longgar baik
untuk PMDN dan PMA, disertai kebijakan kredit/pembiayaan yang lebih
sederhana dan terjangkau.
(28) Selama periode 2010-2016, pangsa investasi PMA di subsektor pangan,
hortikultura dan perkebunan berkisar 5-8% dari total investasi PMA, pangsa
terbesar terjadi tahun 2014 mencapai USD 2,3 miliar atau 8% dari total PMA
sebesar USD 28,5 miliar. Dalam periode 2010-2016, total nilai investasi PMA
akumulatif di subsektor ini mencapai USD 11,5 miliar atau sekitar Rp 130,3
triliun, jauh lebih besar dibandingkan total nilai akumulatif PMDN yang hanya
mencapai Rp 80,1 triliun.
(29) Investasi PMA di subsektor peternakan juga fluktuatif selama periode 2010-
2016, dengan nilai investasi tertinggi sebesar USD 75 juta atau sekitar Rp 1
triliun, yang terjadi tahun 2015. Meskipun investasi PMA di subsektor ini
tergolong kecil, dengan total nilai akumulatif USD 232 juta atau sekitar Rp 2,8
triliun, tetapi jauh lebih besar dibandingkan investasi PMDN di sektor ini yang
total nilai akumulatifnya sebesar Rp 2,3 triliun.
(30) Jika Kementrian Pertanian menargetkan pertumbuhan sektor pertanian yang
lebih tinggi dan berkualitas di masa mendatang, maka relatif kecilnya pangsa
investasi PMDN di sektor pertanian dibandingkan pangsa investasi PMA
menjadi tantangan dan harus dicari penyebabnya. Sentimen anti korporasi
(perusahan swasta besar) harus dihilangkan dan digantikan dengan
kampanye untuk menarik dan memfasilitasi PMDN agar berinvestasi di sektor
ini.
(31) Di subsektor peternakan sapi perah, misalnya, pemerintah seharusnya
mendorong dan memfasilitasi berkembangnya peternakan sapi perah
9
berskala besar (mega dairy farms) seperti Green Fields. Agar tidak bersaing
dan akhirnya mematikan peternak sapi perah rakyat, peternakan sapi perah
berskala besar harus diarahkan untuk berkembang di luar Jawa. Kalaupun
ada yang terlanjur berkembang di Jawa, peternakan sapi perah berskala
besar harus bermitra dengan peternak sapi perah rakyat. Hanya dengan cara
ini target untuk mencapai swasembada susu (60%) tahun 2040 dapat dicapai.
Langkah yang sama juga perlu dilakukan untuk mencapai target swasembada
daging sapi. Investasi menjadi salah satu faktor penentu tercapainya target
pertumbuhan sektor pertanian yang lebih tinggi, berkualitas dan
berkesinambungan.
(32) Perkembangan realisasi investasi agregat 2010-2016 di sektor pertanian,
seperti diuraikan diatas, harus menjadi tantangan dan sekaligus alasan kuat
bagi pemerintah (dhi Kementan) untuk melakukan perubahan lebih mendasar
kebijakan investasi di sektor ini, khususnya di subsektor hortikultura dan
peternakan. Sudah saatnya pemerintah (dhi Kementan) mendorong PMDN
berskala menengah-besar berkiprah di kedua subsektor, tanpa harus
mengorbankan usaha rakyat dan UMKMK, mengingat terus meningkatnya
permintaan produk hortikultura dan ternak selama ini. Untuk bidang usaha
yang ‘sarat kapital dan teknologi’(capital intensive), seperi bidang usaha
perbenihan hortikultura, Kementan harus lebih terbuka terhadap PMA.
Demikian juga bidang usaha hortikultura dan peternakan skala besar untuk
tujuan ekspor perlu lebih terbuka bagi PMA, karena disamping membutuhkan
modal besar, harus mampu berproduksi secara efisien, berkualitas, dan
berdaya saing. Pola kemitraan antara usaha besar dengan UMKMK perlu
didukung dan difasilitasi.
(33) Singkatnya, deregulasi dan reformasi kebijakan investasi di sektor pertanian
mendesak (urgent) untuk dilakukan. Paket kebijakan DNI beberapa kali telah
dilakukan dengan terbitnya Perpres 36/2010, Perpres 39/2014 dan Perpres
44/2016, namun tidak terjadi perubahan yang mendasar di sektor
pertanian.Dalam Perpres 39/2014 bahkan terjadi kemunduran di subsektor
hortikultura karena justru terjadi pengetatan/pembatasan kepemilikan asing
(PMA) maksimum 30% sesuai mandat UU Hortikultura No 13/2010. Perlu
perubahan ‘mindset’ dan pemahaman bahwa, sebagaimana terjadi di
subsektor perkebunan, investasi menjadi sumber pertumbuhan dan penentu
proses modernisasi di sektor pertanian.Oleh karena itu, Kementan perlu
mendorong besarnya investasi khususnya subsektor hortikultura dan
peternakan baik untuk tujuan pertumbuhan maupun penciptaan lapangan
kerja.
10
V. KINERJA INVESTASI DALAM PERSPEKTIF ASEAN DAN GLOBAL
(34) Investasi merupakan salah satu sumber pertumbuhan ekonomi dan penciptaan
lapangan kerja. Oleh karenanya, semua negara termasuk negara anggota
ASEAN berlomba saling bersaing dan berlomba untuk menarik investasi asing
PMA sebanyak mungkin. Di ASEAN, dilihat dari data nilai total investasi,
Indonesia masih menjadi negara tujuan utama investasi asing langsung (Foreign
Direct Investment-FDI)2. Namun nilai FDI ke Indonesia, baik intra-ASEAN dan
FDI dunia, cenderung menurun 3 tahun terakhir (2014-2016) setelah mengalami
laju pertumbuhan positif selama periode 2010-2014.
(35) Pada periode 2010-2014, FDI intra-ASEAN ke Indonesia meningkat pesat dari
USD 5,9 miliar meningkat menjadi USD 7,6 miliar tahun 2012 dan USD 13,1
miliar tahun 2014, atau meningkat dengan laju 25,2% per tahun. Namun nilai FDI
ke indonesia terus menurun dan tahun 2016 turun menjadi USD 9,8 miliar atau
turun dengan laju pertumbuhan negatif -12,7% pertahun (Tabel 5). Situasi yang
sama juga dihadapi oleh Malaysia, yang meningkat dengan laju 104% per tahun
selama periode 2010-2014, tetapi kemudian menurun dengan laju pertumbuhan
negatif 4,8% per tahun 2014-2016. Situasi berbeda dihadapi oleh negara
ASEAN lain termasuk Philippines, Singapore dan Vietnam, yang terus menikmati
laju pertumbuhan positif selama periode 2010-2016, dimana masing-masing
menikmati laju pertumbuhan sebesar 104,6%, 11,7% dan 14,7% per tahun.
(36) Situasi yang sama terjadi untuk aliran FDI dunia ke Indonesia, dimana
mengalami peningkatan pesat periode 2010-2014 tetapi kemudian menurun atau
mengalami laju pertumbuhan negatif (Tabel 6). Pada tahun 2010, nilai FDI dunia
yang masuk ke Indonesia sebesar USD 13,8 miliar, meningkat menjadi USD
19,1 miliar tahun 2012 dan USD 21,8 miliar tahun 2014, atau meningkat dengan
laju pertumbuhan 13,2% per tahun selama periode 2010-2014. Situasi
pertumbuhan positif dari aliran FDI dunia juga dihadapi oleh negara anggota
ASEAN lain, kecuali Thailand.
2 Jika dibobot dengan jumlah penduduk, pada tahun 2016 Indonesia berada di urutan ke empat sebagai negara penerima investasi intra-ASEAN, yakni sebesar USD 38/kapita, jauh di bawah Singapore USD 1031/kapita, Malaysia
USD 65/kapita, dan Cambodia USD 42/kapita.
11
Tabel 5. Realisasi Nilai FDI Intra-ASEAN 2010-2016
Negara Nilai Investasi
(USD juta) Laju Pertumbuhan
(%/thn) 2010 2012 2014 2016 2010-2014 2014-2016
ASEAN 16.306 23.538 21.556 24.662 Growth (%/thn) 22,18 -4,21 7,20 9,0 7,2
Indonesia 5.904 7.588 13.084 9.770 Growth (%/thn) 14,26 36,22 -12,66 25,2 -12,7
Malaysia 526 2.814 2.284 2.065 Growth (%/thn) 217,49 -9,42 -4,79 104,0 -4,8
Philippines 40 145 137 534 Growth (%/thn) 131,25 -2,76 144,89 64,2 144,9
Singapore 5.715 11.695 4.636 5.776 Growth (%/thn) 52,32 -30,18 12,30 11,1 12,3
Vietnam 1.301 1.263 1.547 2.307 Growth (%/thn) -1,46 11,24 24,56 4,9 24,6
Sumber: ASEAN Secretariat-ASEAN FDI Database.
(37) Namun Indonesia tidak lagi mengalami pertumbuhan positif FDI dunia dalam
periode 2014-2016, seiring dengan penurunan nilai total FDI dunia yang masuk
ke ASEAN. Nilai FDI dunia yang masuk ke Indonesia tahun 2016 mencapai USD
USD3,5 miliar, turun drastis dibandingkan nilai FDI tahun 2014, atau turun
dengan laju 41,9% per tahun. Situasi yang sama juga dihadapi oleh Singapore
dan Thailand. Menurut ASEAN Investment Report 2017, penurunan FDI dunia
yang masuk ke Indonesia dan Singapore karena terkait dengan program
divestasi oleh perusahaan asing di kedua negara. Untuk Indonesia, program
divestasi ini merupakan konsekuensi dari beberapa UU sektoral, termasuk yang
terjadi di subsektor hortikultura dan sektor pertambangan.
Tabel 6. Realisasi Nilai FDI Dunia ke ASEAN 2010-2016
Negara
Nilai Investasi (USD juta) Laju Pertumbuhan (%/thn)
2010 2012 2014 2016 2010-2014 2014-2016
ASEAN 108.174 117.545 133.057 98.042 5,5 -13,2
Indonesia 13.770 19.138 21.810 3.521 13,2 -41,9
Malaysia 9.156 9.400 10.875 11.329 4,6 2,1
Philliphines 1.298 2.797 5.815 7.933 55,8 18,2
Singapore 57.214 60.872 77.482 53.912 8,4 -15,2
Thailand 14.747 12.899 3.720 2.553 -20,9 -15,7
Vietnam 8.000 8.368 9.200 12.600 3,6 18,5
Sumber: ASEAN Secretariat-ASEAN FDI Database.
12
(38) Penurunan secara drastis aliran FDI ke Indonesia yang terjadi 2014-2016, baik
FDI intra-ASEAN maupun FDI dunia, inilah yang menjadi alasan pemerintah
Indonesia menggulirkan paket kebijakan DNI 44/2016. Sayangnya, wacana yang
sempat berkembang untuk melonggarkan batas maksimum kepemilikan modal
asing di subsector hortikultura tidak dapat dilakukan karena UU Hortikultura
13/2010 masih berlaku3. Kecilnya nilai FDI yang masuk ke Indonesia, termasuk
di sektor pertanian, jelas tidak sejalan dengan keinginan dan target pemerintah
untuk memacu pertumbuhan pertumbuhan ekonomi nasional, meningkatkan
lapangan kerja untuk mengurangi pengangguran dan kemiskinan.
(39) Pertanyaan penting bagi Kementan adalah perlukah UU Hortikultura direvisi,
khususnya terkait dengan: pasal 100ayat 3 UU No. 13/2010 yang menyatakan
bahwa ‘maksimal modal asing untuk usaha hortikultura adalah 30 persen ’, dan
pasal 131 ayat 2 yang menyatakan ‘dalam waktu 4 tahun setelah penetapan UU
No. 13/2010 atau paling lambat tahun 2014 investor asing yang sudah
melakukan penanaman modal dan mendapatkan izin usaha hortikultura wajib
mengalihkan atau menjual sahamnya kepada investor domestik sehingga
kepemilikannya tinggal maksimal 30 persen’. Kalau UU Hortikultura 13/2010
tetap berlaku seperti saat ini, dikuatirkan subsektor hortikultura akan tumbuh
sangat lambat, tidak mampu mengimbangi permintaan produk hortikultura yang
meningkat cepat, dan akibatnya defisit neraca perdagangan produk hortikultura
akan semakin besar.
VI. KINERJA PERDAGANGAN TERKAIT REVISI PERPRES 36/2010 MENJADI
PERPRES 39/2014 DAN PERPRES 44/2016
(40) Perdagangan dan investasi tidak terpisahkan, satu mempengaruhi yang lain.
Perdagangan tidak akan tumbuh tanpa investasi dan sebaliknya, meskipun
pengaruhnya tidak langsung tetapi perlu tenggang waktu (time-lags) yang
bervariasi antar bidang usaha. Ada bidang usaha yang kegiatan investasinya
baru berdampak terhadap produksi dan ekspor setelah 1-2 tahun, tetapi ada
yang memerlukan waktu tenggang lebih lama. Oleh karena itu, analisis yang
dilakukan tidak ditujukan untuk melihat dampak langsung dari investasi terhadap
ekspor dan impor, tetapi lebih ditujukan untuk melihat apakah keduanya berjalan
seiring atau apakah kinerja ekspor-impor dapat menjelaskan terbitnya paket
kebijakan investasi (Perpres 39/2014 dan Perpres 44/2016). Hipotesa dalam
3 Sempat berkembang wacana Pemerintah akan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perpu)
Hortikultura agar tujuan untuk meningkatkan batas maksimum kepemilikan asing dapat dilakukan.
13
kajian ini adalah bahwa terbitnya paket kebijakan investasi (revisi kebijakan DNI)
didasari oleh (i) tujuan pemerintah untuk memacu pertumbuhan surplus neraca
perdagangan (ekspor-impor), dan/atau (ii) kekuatiran pemerintah karena terus
meningkatnya defisit neraca perdagangan.
(41) Analisis kinerja perdagangan (ekspor-impor) hanya dilakukan untuk komoditas
pertanian selama periode 2010-2016. Kecuali subsektor perkebunan yang
mengalami surplus, neraca perdagangan untuk subsektor tanaman pangan,
hortikultura dan peternakan selalu mengalami defisit selama periode tersebut.
Surplus neraca perdagangan sektor pertanian selama ini (2010-2016)
disebabkan oleh surplus perdagangan di sub sektor perkebunan, yang melebihi
deficit neraca perdagangan di sub sektor tanaman pangan, hortikultura dan
peternakan. Defisit neraca perdagangan untuk subsektor hortikultura bahkan
cenderung terus meningkat. Tabel 7 menyajikan perkembangan ekspor-impor
untuk masing-masing subsektor pertanian.
Tabel 7. Nilai Ekspor-Impor Produk Pertanian 2010-2016
Komoditas
(USD juta) Laju Pertumbuhan (%/thn)
2010 2012 2014 2016 2010-2012 2012-2014 2014-2016
Tan Pangan
Ekspor 478 162 206 142 -33,1 13,6 -15,5
Impor 3.894 7.786 7.812 6.499 50,0 0,2 -8,4
Neraca -3.416 -7.624 -7.606 -6.357 61,6 -0,1 -8,2
Hortikultura Ekspor 391 490 523 507 12,7 3,4 -1,5
Impor 1.293 1.608 1.645 1.780 12,2 1,2 4,1
Neraca -902 -1118 -1122 -1273 12,0 0,2 6,7
Peternakan Ekspor 952 573 588 543 -19,9 1,3 -3,8
Impor 2.768 2.644 3.814 3.191 -2,2 22,1 -8,2
Neraca -1.816 -2.071 -3.226 -2.648 7,0 27,9 -9,0
Perkebunan
Ekspor 30.703 32.451 29.721 25.536 2,8 -4,2 -7,0
Impor 6.028 4.279 4.090 4.373 -14,5 -2,2 3,5
Neraca 24.675 28.172 25.631 21.163 7,1 -4,5 -8,7
TotalPertanian
Ekspor 32.524 33.676 31.038 26.728 1,8 -3,9 -6,9
Impor 13.983 16.317 17.361 15.843 8,3 3,2 -4,4
Neraca 18.541 17.359 13.677 10.885 -3,2 -10,6 -10,2
Sumber: Basis Data Ekspor-Impor Komoditas Pertanian (www.pertanian.go.id)
(42) Nilai ekspor produk tanaman pangan cenderung menurun selama periode 2010-
2016, yakni dari nilai sebesar USD 478 juta pada tahun 2010 turun menjadi USD
142 juta tahun 2016. Sebaliknya, nilai impor produk tanaman pangan meningkat
14
secara nyata pada periode 2010-2012 dari USD 3,9 miliar menjadi USD 7,8
miliar, atau meningkat dengan laju 50% per tahun, meskipun kemudian menurun
menjadi USD 6,5 juta pada tahun 2016. Hal ini mengakibatkan meningkatnya
defisit neraca perdagangan produk tanaman pangan yakni dari defisit sebesar
USD 3,4 miliar pada tahun 2010 meningkat menjadi USD 7,6 miliar pada tahun
2014 dan USD 6,4 miliar tahun 2016.
(43) Selama periode 2010-2016, neraca perdagangan produk hortikultura mengalami
defisit yang terus meningkat, dari defisit sebesar USD 902 juta pada tahun 2010
meningkat menjadi USD 1,3 miliar pada tahun 2016. Situasi ini akibat dari
meningkatnya nilai impor produk hortikultura dengan laju peningkatan yang lebih
besar dibandingkan laju peningkatan nilai ekspornya.
(44) Situasi yang sama juga dihadapi subsektor peternakan, dimana impornya
cenderung terus meningkat sedangkan ekspornya cenderung menurun. Pada
tahun 2010 nilai defisit perdagangan produk peternakan tercatat sebesar USD1,8
miliar, naik menjadi USD 2,1 miliar tahun 2012 dan USD 3,2 miliar tahun 2014,
meskipun kemudian sedikit menurun menjadi USD 2,6 miliar pada tahun 2016.
(45) Hanya subsektor perkebunan yang mengalami surplus neraca perdagangan
selama 2010-2016. Namun harus diwaspadai karena nilai surplusnya mengalami
penurunan. Penurunan nilai surplus neraca perdagangan subsektor perkebunan
terutama akibat langsung dari menurunnya harga dunia minyak sawit dan
beberapa komoditas perkebunan lain yang diekspor Indonesia.
(46) Meningkatnya defisit neraca perdagangan produk tanaman pangan, hortikultura
dan peternakan, serta menurunnya surplus neraca perdagangan produk
perkebunan harus dicermati dan diantisipasi. Situasi ini jelas bertolak belakang
dengan target pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional
secara berkualitas dan berkelanjutan dengan memacu surplus neraca
perdagangan. Situasi ini sangat mungkin terjadi akibat relatif kecilnya nilai dan
laju pertumbuhan investasi langsung (PMDN dan PMA) di sektor pertanian.
Secara teoritis, kegiatan investasi akan meningkatkan kapasitas produksi
nasional (produksi, produktivitas dan kualitas) dan jika dibarengi dengan
peningkatan efisiensi dan kualitas maka akan meningkatkan volume dan nilai
ekspor. Sudah saatnya pemerintah dhi. Kementan menyikapi serius situasi ini
dan melakukan langkah kongkrit untuk memacu peningkatan investasi di sektor
pertanian, terutama subsektor hortikultura dan peternakan.
15
VII. KINERJA PERDAGANGAN INDONESIA DALAM PERSPEKTIF
ASEAN DAN GLOBAL
(47) Pertumbuhan ekonomi nasional selama ini masih bertumpu kepada pertumbuhan
konsumsi dan belanja pemerintah, belum memanfaatkan investasi dan
perdagangan sebagai sumber pertumbuhan ekonomi. Ada kekeliruan pandangan
yang mengatakan bahwa sebagai negara dengan penduduk terbesar dan pasar
terbesar di ASEAN, mengapa dan untuk apa Indonesia harus memikirkan
perdagangan di ASEAN dan dunia? Tidak heran kalau nilai perdagangan
Indonesia jauh lebih kecil dibandingkan nilai perdagangan negara anggota
ASEAN lain. Untuk membuktikannya, data berikut memperlihatkan kinerja
perdagangan Indonesia dalam perspektif ASEAN dan global.
(48) Tabel 8 memperlihatkan bahwa total nilai perdagangan (ekspor+impor) Indonesia
pada tahun 2010 (USD 80,5 miliar) menduduki peringkat ke-3 terbesar, setelah
Singapore (USD 182,6 miliar) dan Malaysia (USD 95,1 miliar), sedikit lebih besar
dibandingkan nilai perdagangan Thailand yang berada di peringkat ke-4 (USD
77,0 miliar). Namun selama periode 2012-2016, posisi Indonesia turun menjadi
peringkat ke-4, dibawah Singapore, Malaysia dan Thailand.
(49) Dari total nilai perdagangan intra-ASEAN sebesar USD 516 miliar pada tahun
2016, Indonesia menduduki ke-4 dengan nilai USD 68,6 miliar atau pangsa
13,3% dibawah nilai perdagangan Singapura USD 162,1 miliar (31,4%), Malaysia
USD 97,1 miliar (18,8%) dan Thailand USD 94,3 miliar (18,3%). Selama periode
2012-2016, nilai perdagangan intra-ASEAN dari Indonesia menurun dari USD
95,6 miliar pada tahun 2012, menjadi USD 90,6 miliar tahun 2014 dan USD 68,6
miliar tahun 2016, seiring dengan menurunnya nilai total perdagangan Intra-
ASEAN.
(50) Dari total ekspor intra-ASEAN tahun 2016 sebesar USD 276,2 miliar (Tabel
Lampiran 2), nilai ekspor Indonesia ke negara-negara ASEAN berada di urutan
ke-4 dengan total ekspor USD 33,8 atau dengan pangsa 12,2%, jauh dibawah
nilai ekspor Singapura sebesar USD 99,4 miliar (36,0%), Malaysia USD 55,7
miliar (20,2%) dan Thailand USD 54,7 miliar (19,8%), diatas nilai ekspor Vietnam
USD 17,3 miliar (6,3%). Sementara itu, dari total impor intra-ASEAN sebesar
USD 327,9 miliar, Indonesia berada di urutan ke-3 dengan total nilai impor USD
41,8 miliar atau dengan pangsa 12,8%, dibawah nilai impor Singapura USD
133,7 miliar (40,8%), Malaysia USD 60,9 miliar (18,6%), dan Thailand USD 56,7
miliar (17,3%), diatas Vietnam dengan nilai impor sebesar USD 17,1 miliar
(5,3%) seperti terangkum dalam Tabel Lampiran 3.
16
(51) Akhir-akhir ini tumbuh sikap anti impor di Indonesia, yang menyatakan impor
harus dihindari dan kalau perlu dilarang. Berbagai langkah ‘at all cost’ dilakukan
untuk menghindari impor, dan bahkan ‘tidak impor’ menjadi target capaian
pembangunan. Pandangan ini jelas keliru dan perlu diluruskan. Impor barang
modal tidak perlu dihindari atau dibatasi karena diperlukan dalam proses
produksi untuk menghasilkan barang/produk yang sebagian akan diekspor.
Membatasi secara ketat atau bahkan melarang impor jagung yang diperlukan
untuk pakan ternak, sementara produksi dalam negeri tidak mencukupi,
merupakan langkah yang keliru karena akan mengakibatkan kerugian besar atau
mematikan industri peternakan ayam nasional. Kesalahan yang sama juga bisa
terjadi dalam kasus pembatasan impor kedelai. Data perdagangan intra-ASEAN
dan ekstra-ASEAN memperlihatkan bahwa tingginya nilai ekspor beberapa
negara ASEAN ternyata juga disertai dengan tingginya nilai impor mereka.
Tabel 8. Total Perdagangan Intra-ASEAN, 2010-2016
2010 2012 2014 2016
Negara Nilai
(USD miliar) %
Nilai (USD miliar)
(%) Nilai
(USD miliar) (%)
Nilai (USD miliar)
(%)
Brunei 2.331 0,5 3.707 0,6 3.861 0,6 2.507 0,5
Cambodia 1.989 0,4 3.110 0,5 3.278 0,5 5.484 1,1
Indonesia 80.472 16,0 95.654 15,8 90.571 14,9 68.648 13,3
Lao PDR 2.640 0,5 2.589 0,4 4.877 0,8 4.603 0,9
Malaysia 95.113 18,9 115.816 19,1 118.965 19,6 97.092 18,8
Myanmar 6.175 1,2 8.392 1,4 11.454 1,9 9.258 1,8
Philippines 27.827 5,5 24.758 4,1 25.616 4,2 30.895 6,0
Singapore 182.597 36,3 213.958 35,3 205.969 33,9 162.108 31,4
Thailand 76.961 15,3 99.536 16,4 102.725 16,9 94.259 18,3
Viet Nam 26.758 5,3 37.947 6,3 40.798 6,7 41.159 8,0
ASEAN 502.864 100,0 605.468 100,0 608.114 100,0 516.013 100,0
Sumber: ASEAN Merchandise Trade Statistics Database
(52) Kinerja perdagangan ekstra-ASEAN Indonesia juga kurang menggembirakan,
berada jauh dibawah kinerja ekspor Singapore, Malaysia, Thailand dan Vietnam
(Tabel 9). Total nilai perdagangan ekstra-ASEAN tahun 2016 sebesar USD
1720,3 miliar, Indonesia menduduki urutan ke-5 dengan nilai USD 212,2 miliar
atau dengan pangsa (12,3%) jauh dibawah Singapura sebesar USD 467,9 miliar
(27,2%), Thailand USD 315,7 miliar (18,4%), Vietnam USD 310 miliar (18,0%)
dan Malaysia USD 260,7 miliar (15,2%). Nilai perdagangan ekstra-ASEAN
Indonesia tercatat meningkat tahun 2012, tetapi kemudian terus menurun selama
periode 2012-2016, dari USD 286,1 miliar turun menjadi USD 263,6 miliar tahun
2014 dan USD 212,2 miliar tahun 2016, seiring dengan menurunnya total
perdagangan ekstra-ASEAN.
17
(53) Dari total ekspor ekstra-ASEAN sebesar USD 874,3 miliar tahun 2016,
sebagaimana terangkum dalam Tabel Lampiran 4, Indonesia juga berada di
urutan ke-5 dengan total ekspor USD 111,4 miliar atau dengan pangsa 12,7%,
dibawah nilai ekspor Singapura USD 238,7 miliar (27,3%), Thailand USD 160,7
miliar (17.4%), Vietnam USD 159,3 miliar (18,2%) dan Malaysia USD 133,7 miliar
(15,3%). Sementara itu, dari total impor ekstra-ASEAN sebesar USD 846,1
miliar, Indonesia menduduki urutan ke-5 dengan nilai impor USD 100,8 miliar
atau dengan pangsa 11,9%, dibawah nilai impor Singapura USD 229,2 miliar
(27,1%), Thailand USD 155,1 miliar (18,3%), Vietnam USD 150,6 miliar (17,8%)
dan Malaysia USD 127,0 miliar (15,0%), seperti terangkum dalam Tabel
Lampiran 5.
Tabel 9. Total Perdagangan Ekstra-ASEAN, 2010-2016
Negara 2010 2012 2014 2016
Nilai (USD miliar) (%)
Nilai (USD miliar) (%)
Nilai (USD miliar) (%)
Nilai (USD miliar) (%)
Brunei 8.944 0,6 13.147 0,7 10.320 0,5 5.037 0,3
Cambodia 6.612 0,4 9.515 0,5 13.130 0,7 16.960 1,0
Indonesia 212.970 14,2 286.067 15,3 263.588 13,7 212.191 12,3
Lao PDR 1.106 0,1 1.605 0,1 2.148 0,1 2.628 0,2
Malaysia 268.122 17,9 308.126 16,4 323.813 16,8 260.715 15,2
Myanmar 5.692 0,4 8.781 0,5 15.803 0,8 17.947 1,0
Philippines 81.833 5,5 92.623 4,9 105.190 5,5 111.353 6,5
Singapore 483.721 32,3 587.474 31,3 587.324 30,5 467.885 27,2
Thailand 299.264 20,0 377.766 20,1 352.801 18,3 315.736 18,4
Viet Nam 130.317 8,7 189.846 10,1 252.979 13,1 309.879 18,0
ASEAN 1.498.579 100,0 1.874.952 100,0 1.927.095 100,0 1.720.330 100,0
Sumber: ASEAN Merchandise Trade Statistics Database
(54) Relatif rendahnya kinerja investasi dan perdagangan Indonesia dibandingkan
Singapore, Malayasia, dan Thailand (bahkan dibandingkan Vietnam untuk extra-
ASEAN trade) inilah yang nampaknya menjadi alasan kuat bagi pemerintah
untuk terus melakukan deregulasi aturan investasi dengan melonggarkan dan
mempermudah persyaratan investasi, baik bagi PMDN dan PMA, melalui revisi
Perpres DNI, mulai dari Perpres 36/2010, Perpres 39/2014 dan yang terbaru
Perpres 44/2016. Namun, melihat belum membaiknya kinerja investasi dan
perdagangan Indonesia, baik Intra-ASEAN maupun Extra-ASEAN, diperkirakan
pemerintah akan segera menerbitkan revisi Perpres DNI yang baru. Dalam
kaitan ini, Kementan perlu pro-aktif untuk mengusulkan revisi DNI sektor
pertanian agar sejalan dengan target pertumbuhan sektoral yang ingin dicapai.
18
VIII. DAMPAK PENGETATAN INVESTASI (DNI) DI SUBSEKTOR
HORTIKULTURA
(55) Sebagaimana diamanatkan di dalam UU Hortikultura 13/2010 dan tertuang di
dalam Perpres 39/2014 kepemilikan modal asing (PMA) dibatasi maskimal 30%
dan keharusan divestasi bagi perusahaan PMA yang ada. UU 13/2013 memicu
kontroversi dan pernah digugat ke Mahkamah Konstitusi oleh beberapa pihak
yang dirugikan yang dimotori oleh Asosiasi Perusahaan Benih Hortikultura
Indonesia (APBHI atau Hortindo). Setelah melewati persidangan panjang,
Mahkamah Konstitusi akhirnya menolak gugatan dan menyatakan UU
Hortikultura 13/2010 tetap berlaku. Bagaimana dampaknya terhadap kinerja
investasi di subsektor hortikultura, produksi, ekspor dan impor produk
hortikultura? Uraian berikut ini merupakan hasil analisis berdasarnya
data/informasi untuk menjawab pertanyaan tersebut.
(56) Sayangnya, rincian data investasi di subsektor hortikultura tidak tersedia,
sehingga dampak UU 13/2010 dan Perpres 39/2014 terhadap kinerja investasi
tidak dapat disajikan. Namun menurut informasi dari Ketua APBHI/Hortindo, dua
perusahaan benih asing (Nunhems dan Seminis) telah menutup usahanya di
Indonesia dan memindahkannya ke Thailand dan Vietnam. Kenyataan ini harus
disikapi dengan lebih arif agar tidak terjadi lagi dan industri benih hortikultura di
Indonesia dapat berkembang dan maju untuk menghasilkan benih unggul
dengan harga yang terjangkau. Kalau sentimen anti asing terus tumbuh,
dikuatirkan Indonesia tidak hanya menjadi pengimpor benih tetapi pada akhirnya
juga menjadi pengimpor produk hortikultura.
(57) Selama periode 2012-2016, Indonesia mengalami defisit perdagangan komoditas
hortikultura yang nilainya meningkat dari hanya USD 0,9 miliar tahun 2010
meningkat menjadi USD 1,3 miliar pada tahun 2016. Defisit neraca perdagangan
ini diperkirakan akan terus meningkat akibat permintaan/konsumsi yang juga
terus meningkat. Untuk mengurangi defisit neraca perdagangan produk
hortikultura tidak ada jalan lain kecuali meningkatkan kapasitas produksi melalui
investasi, baik PMDN maupun PMA. Kegiatan investasi di subsektor hortikultura
bisa berupa perluasan area, perbaikan jaringan irigasi sehingga meningkatkan
intensitas tanam bagi tanaman semusim, serta kegiatan R&D untuk
meningkatkan efisiensi, produktivitas dan kualitas produk hortikultura.
Pelarangan impor tidak mungkin dilakukan karena melanggar aturan WTO,
sedangkan pembatasan impor secara ketat akan meningkatkan harga dan
memicu inflasi.
19
(58) Tabel 10 memperlihatkan data impor benih beberapa jenis hortikultura periode
2010-2013 yang terus meningkat. Meningkatnya impor benih beberapa jenis
hortikultura ini perlu diantisipasi, khususnya benih hibrida. Bukan besarnya nilai
impor yang perlu dikuatirkan, tetapi ketergantungan Indonesia terhadap impor
benih hibrida yang lebih mengkuatirkan dan perlu segera diantisipasi.
Perusahaan benih, khususnya untuk menghasilkan varietas unggul baru dan
benih hibrida, sangat ‘sarat modal dan teknologi’ karena membutuhkan investasi
untuk R&D yang besar, yang tidak mungkin dilakukan oleh perusahaan kecil
apalagi para penakar benih. Untuk kegiatan perbenihan seperti ini, dimana
PMDN belum tertarik untuk masuk, diperlukan investasi.
(59) Ada kerancuan berpikir dari banyak pihak yang mengartikan ‘kemandirian benih’
adalah kemampuan Indonesia untuk meproduksi benih sendiri tanpa melibatkan
PMA, bahkan ada yang lebih sempit lagi yakni kemampuan petani untuk
memproduksi benih sendiri. Mereka tidak belajar dari pengalaman dan
kenyataan selama ini bahwa berkembangnya industri benih di Indonesia,
khususnya benih hortikultura hibrida, dimulai dan dilakukan oleh perusahaan
benih asing (PMA). Menurut informasi, sampai saat ini, Puslitbang/Balit
Hotikultura memutuskan untuk tidak menangani penelitian dan pengembangan
benih hortikultura hibrida karena sangat mahal dan dianggap belum dibutuhkan.
Keputusan ini perlu ditinjau kembali mengingat benih hibriba ternyata menjadi
pilihan petani karena terbukti meningkatkan produktivitas dan keuntungan petani.
Indonesia akan tergantung impor benih hibrida, jika teknologi hibrida tidak
dikembangkan.
Tabel 10. Impor Benih Kentang dan Bawang Merah 2011-2013 (USD juta)
Komoditas 2011 2012 2013 Total 2010-2013
Ekspor Impor Ekspor Impor Ekspor Impor Ekspor Impor
Kentang 3,1 7,1 0,2 10,2 0,2 20,4 Bawang Merah 9,6 3,1 8,2 0 20,9
Anggrek 0,3 0,3 0,4 0,2 0,6 0,4 1,3 0,9 Krisan 1,3 0,02 1,8 0,03 1,6 0,01 4,7 0,06
Sumber: Rencana Strategis Ditjen Hortikultura 2015-2019
(60) Pertanyaannya, setelah UU Hortikultura 13/2010 dan Perpres 39/2014
diterbitkan, apakah sudah ada perusahaan baru PMDN perbenihan yang berdiri
dan beroperasi? Menurut informasi ketua APBHI/Hortindo, sampai saat ini,
setelah 7 tahun UU Hortikultura No 13 2010 diberlakukan, tidak ada perusahaan
baru di bidang usaha perbenihan hortikultura. Yang tumbuh dan berkembang
20
hanya perusahaan perbanyakan benih dan penangkar benih di pedesaan
(APBHI).
(61) Selama periode 2012-2016, Indonesia mengalami defisit perdagangan komoditas
hortikultura yang nilainya meningkat dari hanya USD 0,9 miliar tahun 2010
meningkat menjadi USD 1,3 miliar pada tahun 2016. Defisit neraca perdagangan
ini diperkirakan akan terus meningkat akibat permintaan/konsumsi yang juga
terus meningkat. Untuk mengurangi defisit neraca perdagangan produk
hortikultura, tidak ada jalan lain kecuali meningkatkan kapasitas produksi melalui
investasi, baik PMDN maupun PMA. Kegiatan investasi di subsektor hortikultura
dapat berupa perluasan area, perbaikan jaringan irigasi (flooding atau springkle)
sehingga meningkatkan intensitas tanam bagi tanaman semusim, serta kegiatan
R&D untuk meningkatkan efisiensi, produktivitas dan kualitas produk hortikultura.
Pelarangan impor tidak mungkin dilakukan, karena disamping melanggar aturan
WTO, pembatasan impor secara ketat akan meningkatkan harga dan memicu
inflasi.
(62) Ada pertanyaan mendasar yang perlu dijawab: mengapa Indonesia menjadi
importir produk/komoditas hortikultura tropis dengan nilai sangat besar dan terus
meningkat? Mengapa Thailand bisa menjadi eksportir buah dan sayuran tropis
dunia sementara Indonesia tidak mampu dan puas sebagai pemain di kandang
sendiri? Apa kelebihan Thailand dan apa yang salah dengan Indonesia? Salah
satu penyebab tertinggalnya Indonesia dari Thailand (dan juga Vietnam) adalah
karena rendahnya investasi (R&D) dan inovasi di subsector hortikultura sampai
saat ini baik oleh pemerintah maupun pelaku usaha. Kebijakan investasi di
Thailand lebih terbuka terhadap investasi berskala besar (perusahaan swasta
dan korporasi), baik PMDN dan PMA, dibandingkan kebijakan investasi di
Indonesia.
(63) Pemerintah India telah menyatakan tekadnya untuk melakukan transformasi
pertanian dan beralih ke komoditas pertanian bernilai tinggi, termasuk
hortikultura dan peternakan. Untuk mencapai tujuan ini, pemerintah India
memulai dengan membangun industri perbenihannya, yang salah satunya
dengan cara menerbitkan aturan investasi yang membuka 100% kepemilikan
modal asing (Lampiran 6).
21
IX. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
(64) Pemerintah menargetkan investasi dan perdagangan menjadi sumber
pertumbuhan sektoral dan perekonomian nasional yang berkualitas dan
berkelanjutan. Untuk itu, pemerintah terus berupaya menciptakan iklim investasi
dan iklim berusaha yang kondusif untuk menarik investor, baik PMDN maupun
PMA, menanamkan investasi dan menjalankan usahanya di Indonesia.
(65) Kegiatan investasi dan perdagangan tidak dapat dipisahkan. Kemampuan untuk
meningkatkan ekspor produk pertanian sangat ditentukan oleh besarnya nilai dan
laju pertumbuhan investasi, dan sebaliknya. Jika kenyataan selama ini kinerja
PMDN di sektor pertanian masih sangat terbatas, maka PMA seharusnya dapat
menjadi alternatif untuk meningkatkan produksi, produktivitas dan daya saing
dari sektor ini. Disamping membantu meningkatkan produksi dan produktivitas,
PMA sangat berperan untuk melakukan kegiatan R&D dan mendorong alih
teknologi untuk dapat menghasilkan produk secara efisien, berkualitas dan
berdaya saing.
(66) Untuk bidang usaha yang ‘sarat kapital dan teknologi’ (capital intensive), seperi
bidang usaha perbenihan hortikultura, pemerintah harus lebih terbuka terhadap
PMA. Demikian juga bidang usaha hortikultura dan peternakan skala besar untuk
tujuan ekspor perlu lebih terbuka bagi PMA, karena disamping membutuhkan
modal besar, harus mampu berproduksi secara efisien, berkualitas dan berdaya
saing. Pola kemitraan antara usaha besar dengan UMKMK perlu didukung dan
difasilitasi.
(67) Secara umum, dibandingkan sektor lain, sektor pertanian mengalami ‘under-
investment’. Di sektor pertanian, subsektor selain perkebunan juga mengalami
‘under-investment’. Untuk dapat mencapai target pertumbuhan sektor pertanian
yang lebih tinggi, tidak ada jalan lain bagi pemerintah kecuali dengan memacu
investasi (dan perdagangan) di sektor ini. Secara politik langkah ini tidak mudah
karena melibatkan jutaan penduduk yang bekerja dan menggantungkan
hidupnya di sektor pertanian, tetapi urgen dan wajib dilakukan.
(68) Meningkatnya defisit neraca perdagangan produk tanaman pangan, hortikultura
dan peternakan, serta menurunnya surplus neraca perdagangan produk
perkebunan harus dicermati dan diantisipasi, karena bertolak belakang dengan
target pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional secara
berkualitas dan berkelanjutan. Situasi ini diduga terjadi akibat kecilnya nilai dan
laju pertumbuhan investasi di sektor pertanian. Sudah saatnya pemerintah (dhi.
22
Kementan) melakukan langkah konkrit untuk memacu peningkatan investasi di
sektor pertanian, terutama subsektor hortikultura dan peternakan.
(69) Selama periode 2012-2016, Indonesia mengalami defisit neraca perdagangan
komoditas hortikultura yang nilainya meningkat. Untuk mengurangi defisit neraca
perdagangan produk hortikultura, tidak ada jalan lain kecuali meningkatkan
kapasitas produksi melalui investasi, baik PMDN maupun PMA. Pelarangan
impor tidak mungkin dilakukan karena melanggar aturan WTO, sedangkan
pembatasan impor secara ketat akan meningkatkan harga dan memicu inflasi.
(70) Kegiatan investasi di subsektor hortikultura dapat berupa perluasan area,
perbaikan jaringan irigasi sehingga meningkatkan intensitas tanam bagi tanaman
semusim, serta kegiatan R&D untuk meningkatkan efisiensi, produktivitas dan
kualitas produk hortikultura.
(71) Pada saat ini, upaya untuk lebih melonggarkan persyaratan kepemilikan asing
(PMA) di bidang usaha hortikultura tidak dapat dilakukan, karena akan
bertentangan dengan perintah UU No. 13/2010 tentang Hortikultura. Namun
perlu disadari bahwa persyaratan ini menjadi dilematis karena dikuatirkan akan
menjadi penghambat pertumbuhan subsektor hortikultura yang berakibat
terjadinya stagnasi produksi, produktivitas dan nilai tambah produk hortikultura.
Jika dipandang perlu, pemerintah dapat menerbitkan Peraturan Pemerintah
Pengganti UU (Perpu).
(72) Banyak pihak mengartikan ‘kemandirian benih’ adalah kemampuan Indonesia
untuk memproduksi benih sendiri tanpa melibatkan PMA. Interpretasi ini jelas
tidak sesuai dengan pengalaman dan kenyataan yang terjadi, baik di Indonesia
maupun di negara lain. Data memperlihatkan bahwa berkembangnya industri
benih hortikultura, khususnya benih hibrida dan varietas unggul, dimulai dan
dilakukan oleh perusahaan benih asing multi-national (PMA). Oleh karena itu,
sikap anti-asing yang berlebihan justeru akan menjauhkan Indonesia dari target
mandiri benih dan sebaliknya akan membuat Indonesia tergantung kepada benih
impor.
(73) Situasi yang sama juga dihadapi subsektor peternakan, dimana impornya
cenderung terus meningkat sedangkan ekspornya cenderung menurun. Pada
tahun 2010 nilai defisit perdagangan produk peternakan tercatat sebesar USD1,8
miliar, naik menjadi USD 2,1 miliar tahun 2012 dan USD 3,2 miliar tahun 2014,
meskipun kemudian sedikit menurun menjadi USD 2,6 miliar pada tahun 2016.
Untuk mengurangi defisit neraca perdagangan ternak dan produk peternakan,
23
diperlukan langkah nyata untuk meningkatkan kapasitas produksi, terutama
melalui peningkatan nilai dan laju investasi, baik PMDN maupun PMA.
(74) Pada subsektor perkebunan, ketentuan kepemilikan modal asing sebesar 95%
dinilai sudah maksimal. Kinerja investasi di subsektor perkebunan telah berjalan
sesuai yang diharapkan. Kalaupun pemerintah ingin terus mendorong investasi
di subsektor ini dapat dilakukan dengan mempermudah persyaratan lain yang
berlaku, termasuk prosedur untuk memperoleh rekomendasi, dan perlu
diarahkan ke peningkatan produktivitas, efisien dan kualitas produksi melalui
pemberian insentif untuk kegiatan R&D dan inovasi.
(75) Dalam perspektif ASEAN dan global, kinerja investasi dan perdagangan
Indonesia berada di bawah kinerja Singapura, Malaysia, dan Thailand. Indonesia
kalah bersaing dengan ketiga negara tersebut dalam menarik investasi asing,
baik intra-ASEAN maupun ekstra-ASEAN. Jika tidak dilakukan pembenahan dan
perbaikan dalam iklim usaha, perdagangan dan investasi, diperkirakan nilai FDI
ke Indonesia akan terus menurun, defisit neraca perdagangan Indonesia akan
semakin membesar, dan akibatnya target untuk mencapai pertumbuhan ekonomi
nasional yang lebih tinggi (7-8%), perluasan kesempatan kerja dan pengurangan
kemiskinan akan sulit dicapai.
24
REFERENSI
1. Anonimous, 2013. Kebutuhan Benih Hortikultura Meningkat; Jumat, 04 Januari
2013.www.kontan.co.id
2. ASEAN Secretariat ASEAN Foreign Direct Investment Statistics Database as of
26 May 2017 (www.ASEAN.org)
3. ASEAN Secretariat ASEAN Merchandise Trade Statistics Database
(www.ASEAN.org)
4. ASEAN Secretariat, 2016. ASEAN Investment Report 2016 : Foreign Direct
Investment and MSME Linkage.
5. Badan Pusat Statistik. Statistik Indonesia, BerbagaiTahun. Jakarta.
6. Ditjen Hortikultura, 2015. Rencana Strategis Direktorat Jenderal Hortikultura
2015-2019. Jakarta.
7. Erwidodo, Rachmat M, Suryani E. 2016. Dampak Pengetatan Investasi Asing
terhadap Industri Perbenihan Hortikultura. Laporan Analisis Kebijakan, Pusat
Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.
8. Erwidodo, Rachmat M, Kustiari R, Kristyantoadi S, dan Dabukke FDM, 2015.
Kajian Revisi Perpres 39 tahun 2014. Laporan Analisis Kebijakan, Pusat Sosial
Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.
9. Perpres 44 tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang
Usaha yang Terbuka denganPersyaratan di Bidang Penanaman Modal.
10. Prepres 36 tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang
Usaha yang Terbuka denganPersyaratan di Bidang Penanaman Modal.
11. Perpres 39 tahun 2014 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang
Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di bidang Penanaman Modal.
12. World Bank Group.2016. Doing Bussiness Measuring Business Regulation. http//
www.doingbusiness.org/rankings.
13. World Economic Forum 2016. The Global Competitiveness Report 2014-2015.
25
Lampiran 1. Ketentuan Bidang Usaha dan Pemilikan Modal Asing Perpres 36/2010, Perpres 39/2014 dan Perpres 44/2016
Bidang Usaha Prepres 36/2010 Prepres 39/2014 Perpres 44/2016
A. Tanaman Pangan Pokok
1. Usaha perbenihan tanaman pangan kurang dari 25 ha Usaha Mikro Kecil Menengah
dan koperasi (MUKMK)
UMKMK UMKMK
2. Usaha perbenihan tanaman pangan lebih dari 25 ha Rekomendasi dari Mentan
Modal asing maksimal 49%
Rekomendasi dari Mentan
Modal asing maksimal 49%
Modal asing maksimal 49%
3. Usaha budidaya tanaman pangan kurang dari 25 ha UMKMK UMKMK UMKMK
4. Usaha budidaya tanaman pangan lebih dari 25 ha Rekomendasi dari Mentan
Modal asing maksimal 49%
Rekomendasi dari Mentan
Modal asing maksimal 49%
Modal asing maksimal 49%
5. Usaha perbenihan tan pangan lainnya lebih dari 25 ha Rekomendasi dari Mentan
Modal asing maksimal 49%
Rekomendasi dari Mentan
Modal asing maksimal 49%
Modal asing maksimal 49%
6. Budidya tanaman pangan lainnya lebih dari 25 ha Rekomendasi dari Mentan
Modal asing maksimal 49%
Rekomendasi dari Mentan
Modal asing maksimal 49%
Modal asing maksimal 49%
B. Perkebunan
1. Usaha perbenihan perkebunan kurang dari 25 ha UMKMK UMKMK UMKMK
2. Usaha perbenihan perkebunan lebih dari 25 ha Rekomendasi dari Mentan
Modal asing maksimal 95%
Rekomendasi dari Mentan
Modal asing maksimal 95%
Modal asing maksimal 95%
Kewajiban kebun plasma 20%
3. Usaha perkebunan kurang dari 25 ha UMKMK UMKMK UMKMK
4. Usaha budidaya perkebunan lebih dari 25 ha Rekomendasi dari Mentan
Modal asing maksimal 95%
Rekomendasi dari Mentan
Modal asing maksimal 95%
Modal asing maksimal 95%
Kewajiban kebun plasma 20%
C. Hortikultura
1. Usaha perbenihan hortikultura Tidak diatur Modal asing maksimal 30% Modal asing maksimal 30%
2. Usaha budidaya hortikultura Tidak diatur Modal asing maksimal 30% Modal asing maksimal 30%
3. Usaha industry pengolahan hortikultura Tidak diatur Modal asing maksimal 30% Modal asing maksimal 30%
4. Usaha penelitian hortikultura Tidak diatur Modal asing maksimal 30% Modal asing maksimal 30%
5. Usaha wisata agro hortikultura Tidak diatur Modal asing maksimal 30% Modal asing maksimal 30%
6. Usaha jasa hortikultura Tidak diatur Modal asing maksimal 30% Modal asing maksimal 30%
D. Peternakan
1. Pembibitan dan budidaya ayam buras serta persilangannya
UMKMK UMKMK UMKMK
E. Peneliian dan Pengembangan ilmu teknologi dan rekayasa
Modal asing maksimal 49%
Rekomendasi Mentan
Modal asing maksimal 49%
Rekomendasi Mentan
Modal asing maksimal 49%
26
Lampiran 2. Nilai Ekspor Perdagangan Intra-ASEAN 2010-2016 (USD juta)
Negara
2010 2012 2014 2016
Nilai % Nilai % Nilai % Nilai %
Brunei 1.096 0,4 2.104 0,6 2.093 0,6 1.217 0,4
Cambodia 313 0,1 345 0,1 362 0,1 870 0,3
Indonesia 33.348 12,6 41.831 12,8 39.668 12,0 33.830 12,2
Lao PDR 1.152 0,4 905 0,3 1.391 0,4 1.551 0,6
Malaysia 50.396 19,1 60.947 18,6 65.239 19,8 55.681 20,2
Myanmar 4.194 1,6 4.388 1,3 4.360 1,3 3.348 1,2
Philippines 11.558 4,4 9.804 3,0 9.212 2,8 8.401 3,0
Singapore 107.673 40,7 133.724 40,8 130.199 39,4 99.375 36,0
Thailand 44.318 16,8 56.730 17,3 59.426 18,0 54.657 19,8
Viet Nam 10.351 3,9 17.073 5,2 18.261 5,5 17.289 6,3
ASEAN 264.398 100,0 327.851 100,0 330.209 100,0 276.219 100,0
Lampiran 3. Nilai Impor Perdagangan Intra-ASEAN 2010-2016 (USD juta)
Negara 2010 2012 2014 2016
Nilai % Nilai (%) Nilai (%) Nilai (%)
Brunei 1.234 0,5 1.603 0,6 1.768 0,6 1.290 0,4
Cambodia 1.676 0,7 2.765 1,0 417 0,1 345 0,1
Indonesia 47.125 19,8 53.823 19,4 42.099 13,3 41.831 12,8
Lao PDR 1.488 0,6 1.685 0,6 1.040 0,3 905 0,3
Malaysia 44.717 18,8 54.869 19,8 56.098 17,8 60.947 18,6
Myanmar 1.981 0,8 4.003 1,4 4.499 1,4 4.388 1,3
Philippines 16.270 6,8 14.954 5,4 8.635 2,7 9.804 3,0
Singapore 74.925 31,4 80.234 28,9 133.868 42,4 133.724 40,8
Thailand 32.643 13,7 42.805 15,4 54.045 17,1 56.730 17,3
Viet Nam 16.408 6,9 20.875 7,5 13.583 4,3 17.073 5,2
ASEAN 238.466 100,0 277.617 100,0 316.018 100,0 327.851 100,0
27
Lampiran 4. Nilai Ekspor Perdagangan Ekstra-ASEAN 2010-2016 (USD juta)
Negara 2010 2012 2014 2016
Nilai (%) Nilai (%) Nilai (%) Nilai (%)
Brunei 7.741 1,0 11.076 1,2 8.491 0,9 3.657 0,4
Cambodia 3.512 0,4 4.814 0,5 6.386 0,7 9.203 1,1
Indonesia 124.432 15,9 148.201 15,9 136.312 14,1 111.356 12,7
Lao PDR 757 0,1 692 0,1 1.181 0,1 1.573 0,2
Malaysia 148.216 18,9 166.597 17,9 168.689 17,5 133.733 15,3
Myanmar 3.677 0,5 3.986 0,4 6.671 0,7 8.161 0,9
Philippines 39.874 5,1 42.191 4,5 52.890 5,5 47.912 5,5
Singapore 245.570 31,3 281.890 30,3 285.179 29,6 238.708 27,3
Thailand 148.980 19,0 172.799 18,6 168.148 17,4 160.670 18,4
Viet Nam 61.886 7,9 97.438 10,5 129.831 13,5 159.286 18,2
ASEAN 784.645 100,0 929.685 100,0 963.778 100,0 874.260 100,0
Lampiran 5. Nilai Impor Perdagangan Ekstra-ASEAN 2010-2016 (USD juta)
Negara 2010 2012 2014 2016
Nilai (%) Nilai (%) Nilai (%) Nilai (%)
Brunei 1.203 0,2 2.071 0,2 1.829 0,2 1.380 0,2
Cambodia 3.099 0,4 4.701 0,5 6.744 0,7 7.757 0,9
Indonesia 88.539 12,4 137.866 14,6 127.276 13,2 100.836 11,9
Lao PDR 349 0,0 913 0,1 966 0,1 1.055 0,1
Malaysia 119.905 16,8 141.529 15,0 155.124 16,1 126.981 15,0
Myanmar 2.015 0,3 4.795 0,5 9.132 0,9 9.786 1,2
Philippines 41.959 5,9 50.432 5,3 52.300 5,4 63.440 7,5
Singapore 238.151 33,4 305.584 32,3 302.145 31,4 229.176 27,1
Thailand 150.284 21,1 204.968 21,7 184.653 19,2 155.066 18,3
Viet Nam 68.431 9,6 92.408 9,8 123.148 12,8 150.593 17,8
ASEAN 713.934 100,0 945.267 100,0 963.317 100,0 846.070 100,0
28
Lampiran 6. Kebijakan perbenihan di India
• Indian seed industry has experienced extensive transformation, through increasing
the role of private seed company, a joint venture of Indian companies with
multinational seed companies with a focus on biotechnology and widespread
changes in the regulatory framework that is expected to boost research, marketing
and trade in the seed sector.
• In 2002 the Indian government announced a new policy which was aimed to
encourage the growth of private seed industry. In 2002 India allowed the entry of
major international seed companies into the Indian markets. Those companies were
supported by powerful marketing and advance technology.
• Investment policy: India is 100% opened for foreign investment.
• This policy encouraged India to be the one of main producer of tropical vegetable
seeds in Asia.
• As a result the spending in R&D has been growing rapidly. 50% of the increase is
the impact of government regulations that allow the entry of foreign companies into
the seed industry.