vii. kelembagaan pemberantasan illegal logging di ... · disebut sebagai aparatur hukum yang...
TRANSCRIPT
96
VII. KELEMBAGAAN PEMBERANTASAN ILLEGAL LOGGING
DI INDONESIA
7.1. Pendahuluan Kelembagaan Pemberantasan IL di Indonesia dapat digolongkan
kedalam 2 kelompok, yaitu yang pertama : merupakan bagian secara
structural pada departemen teknis (Departemen Kehutanan dan bagian
structural yang menjadi bagian pemerintahan daerah otonom, sedangkan
diluar jajaran itu merupakan kelompok penegak hukum pada Polri,
Kejaksaan dan Kehakiman. Tugas dan fungsi dari bagian structural
Departemen/Pemerintah maupun Dinas/Pemerintah Daerah Otonom
merupakan gerbang pertama dalam menegakkan hukum administrasi
(termasuk Hukum Lingkungan). Sedangkan kelompok yang ke 2 yang lazim
disebut sebagai aparatur hukum yang terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan dan
Kehakiman merupakan gerbang kedua manakala sanksi-sanksi yang bersifat
administratif antara lain sebagai akibat pelanggaran terhadap pemenuhan
syarat-syarat administratif telah tidak dipenuhi oleh para pelaku perbuatan
melawan hukum dan akibat sebagai dampak lanjutannya dapat diduga telah
dan atau dapat mengakibatkan kerugian berupa harta benda baik yang
diderita masyarakat umum maupun pemerintah (pelanggaran hukum
perdata), ataupun dampak pelanggaran yang bersifat administratif tersebut
telah dapat diduga dan atau telah mengakibatkan terancamnya keselamatan
jiwa manusia (sifat kepidanaan)
Praktek IL tidak disebabkan oleh faktor tunggal, tetapi dipengaruhi oleh
beragam faktor. Praktek IL yang terjadi bukan hanya menjadi ranah
kehutanan dan lingkungan, tetapi telah meluas masuk ke dalam ranah
ekonomi, sosial, politik, dan hubungan internasional. Sebagai contoh,
tingginya permintaan kayu tropis asal Indonesia telah mendorong sebagian
kelompok untuk menebang kayu secara ilegal di kawasan hutan dan dijual di
pasaran internasional. Selain itu ketimpangan antara kapasitas terpasang
industri berbasis hutan dengan pasokan bahan baku kayu juga mendorong
aktifitas ilegal dalam pembalakan hasil hutan kayu, baik dengan modus
menebang diluar konsesi yang telah diijinkan dan atau menebang di
97
kawasan hutan yang dilarang seperti di hutan lindung dan hutan konservasi.
Oleh karena itu untuk mempersempit ruang gerak pelaku IL dan jaringannya,
maka perlu dibangun sistem kelembagaan IL terutama berkaitan dengan
peranan dari masing-masing stakeholder.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peranan stakeholder dalam
pemberantasan IL di Indonesia.
7.2. Metode Analisis Kelembagaan Pemberantasan IL di Indonesia
a. Metode Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan
data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil kuisioner melalui
wawancara terstruktur dan pengisian kuisioner oleh stakeholders yang
berkaitan dengan perencanaan, perumusan, penetapan, dan
implementasi kebijakan pemberantasan IL di Indonesia, yaitu :
pemerintah, pemerintah daerah (dinas/instansi daerah yang mengurus
kehutanan), kepolisian, kejaksaan, pengadilan, LSM, akademisi, serta
tokoh masyarakat. Jumlah responden adalah 46 orang. Kuisioner dalam
penelitian ini memuat informasi tentang: identitas umum responden,
persepsi responden terhadap sistem kebijakan pemberantasan IL di
Indonesia, serta hak-hak, tanggung-jawab, manfaat yang akan
didapatkan, dan intensitas keterkaitan antar stakeholders dalam
pengendalian kebijakan IL di Indonesia.
Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari hasil
penelusuran data yang telah ada sebelumnya dan dipublikasikan. Data
sekunder yang diperlukan menyangkut tugas dan fungsi pokok dari
masing-masing stakeholders dalam kaitannya kegiatan pemberantasan IL
di Indonesia baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini
dikarenakan bahwa penanganan IL di Indonesia dengan cakupan luasan
areal dan dampak yang besar tidak mungkin dapat ditangani oleh satu
instansi/lembaga, tetapi harus didukung oleh semua pihak. Sebagai acuan
dalam menganalisis peranan masing-masing stakeholders dari instansi
atau lembaga pemerintah mengacu kepada Instruksi Presiden Nomor 4
98
Tahun 2005 yang telah ditetapkan. Sumber data sekunder diperoleh dari
beberapa instansi/lembaga yang berkaitan langsung dengan
pemberantasan IL di Indonesia, seperti pemerintah, pemerintah daerah
(dinas/instansi daerah yang mengurus kehutanan), kepolisian, kejaksaan,
pengadilan, LSM, akademisi, serta tokoh masyarakat. Selain bersumber
dari instansi/lembaga tersebut, penelusuran dilakukan pula dengan
menggunakan fasilitas internet.
b. Analisis Data
Peranan stakeholders dalam pemberantasan IL di Indonesia dianalisis
dengan menggunakan kerangka 4R (4Rs Framework). Kerangka 4R
dikembangkan oleh IIED (International Institute for Environment and
Development) sebagai alat untuk menilai peranan dan kekuatan stakeholders
untuk meningkatkan kolaborasi komunitas dalam pengelolaan SDA (Dubois,
1998). Kerangka 4R bertujuan untuk mendefinisikan peranan stakeholders
yang berkaitan dengan Rights (hak-hak yang dimiliki stakeholders),
Responsibilities (tanggung-jawab yang dimiliki stakeholders),
Revenue/Returns (hasil/manfaat yang didapatkan stakeholders), dan
Relationship (hubungan antar stakeholders) sebagaimana ditunjukkan pada
Gambar 25.
STAKEHOLDERS
ROLES
RESPONSIBILITIES
REVENUESRIGHTS
RELATIONSHIP
Gambar 25. Kerangka 4R untuk Mendefinisikan Peranan Stakeholders (Dubois, 1998).
99
Kerangka 4R ini membantu dalam menunjukkan permasalahan
(issues) kritis terkait keterlibatan stakeholders dan juga mengidentifikasi
poin-poin pengaruhnya terhadap suatu program atau kebijakan (Dubois,
1998). Tabel 16 menunjukkan struktur dasar dari Kerangka 4R. Khusus
untuk Relationship antar stakeholder dibuat dalam tabel tersendiri
sebagaimana disajikan pada Tabel 17. Tabel 16 mendeskripsikan
tanggung-jawab, hak-hak, serta hasil/manfaat dari masing-masing
stakeholder dalam merencanakan, merumuskan, menetapkan, dan
mengimplementasikan pemberantasan IL di Indonesia sebagai hasil
analisis dari data dan informasi yang diperoleh dari hasil wawancara,
kuisioner, dan penelusuran data sekunder. Tabel 17 mendeskripsikan
derajat Relationship diantara stakeholders yang terlibat dalam
pemberantasan IL di Indonesia yang terbagi ke dalam tiga kategori, yaitu
Baik, Cukup Baik, dan Buruk. Penilaian relationship dilakukan dengan
menganalisis bentuk hubungan (formal/informal), frekuensi kontak, dan
tingkat konvergensi (convergence) atau pertemuan dari pendapat
stakeholders. Relationship antar stakeholder juga dipengaruhi oleh
beberapa faktor, seperti : services (pelayanan/jasa), legal/contractual
(hukum/kontraktual), market (dinyatakan dengan demand and supply dari
barang dan jasa), information exchange (pertukaran informasi),
interpersonal (hubungan antar pribadi), dan power.
Tabel 16. Kerangka Dasar Pendekatan 4R
Stakeholders Responsibilities Rights Revenues
1
2
3
4
5
6
7
8
100
Tabel 17. Relationship Stakeholders dalam Pemberantasan IL di Indonesia
Stakeholder 1 2 3 4 5 6 7 8
1
2
3
4
5
6
7
8
7.3. Hasil dan Pembahasan Analisis Kelembagaan Pemberantasan IL di Indonesia
Kelembagaan pemberantasan IL di Indonesia dikaji dengan
menggunakan pendekatan 4Rs yang secara deskriptif menguraikan
tentang tanggung-jawab (responsibilities), hak dan kewajiban (rights),
manfaat (Revenues), dan hubungan antar stakeholders (relationship).
Namun sebelum keempat Rs tersebut dideskripsikan terlebih dahulu
dianalisis pendapat responden tentang pentingnya keberadaan masing-
masing stakeholders yang terkait dengan pemberantasan IL di Indonesia.
Gambar 26 menunjukkan bahwa keberadaan institusi penegak
hukum, yaitu kepolisian, kejaksanaan, dan pengadilan dianggap penting
dalam kegiatan pemberantasan IL di Indonesia. Hanya sebagian kecil
responden yang menganggap keberadaan penegak hukum kurang
penting atau tidak penting, tetapi hampir semuanya menganggap penting
keberadaan dari ketiga aparat hukum ini. Hal ini disebabkan bahwa
praktek IL dipersepsi sebagai kegiatan melanggar hukum, sehingga
keberadaan aparat penegak hukum menjadi penting. Oleh karena itu
kredibilitas, kapasitas, dan kompetensi institusi penegak hukum menjadi
bagian yang sangat penting dalam penegakan hukum di bidang
kehutanan. Konsistensi aparat dalam memutuskan perkara yang
memberikan efek jera terhadap pelaku IL dan masyarakat lainnya
101
diharapkan akan meningkatkan ketaatan masyarakat terhadap aturan
hukum kehutanan yang telah ditetapkan. Keselarasan interpretasi
terhadap pasal-pasal yang akan digunakan untuk memberantas praktek IL
perlu dilakukan, termasuk perlunya konsensus diantara aparat penegak
hukum untuk menetapkan hukuman minimal yang memberi efek jera bagi
pelaku IL di Indonesia.
98%
96%
93%
0%
2%
4%
2%
2%
2%
0% 20% 40% 60% 80% 100% 120%
Kepolisian
Kejaksaan
Pengadilan
Tidak Penting
Kurang Penting
Penting
Gambar 26. Pendapat Responden terhadap Keberadaan Aparat Hukum
Gambar 27. menunjukkan pendapat responden terhadap keberadaan
instansi pemerintah di tingkat pusat yang terkait dengan pemberantasan
IL di Indonesia. Keberadaan Departemen Kehutanan sebagai instansi
teknis yang diberikan tugas mengurus hutan di Indonesia dianggap paling
berkompeten dalam menyelesaikan IL di Indonesia. Selain itu karena IL
berdampak terhadap kualitas lingkungan, maka Kementerian Lingkungan
Hidup juga dianggap penting untuk dilibatkan dalam pemberantasan IL di
Indonesia.
102
91%
87%
78%
78%
78%
76%
73%
69%
62%
56%
51%
9%
9%
22%
13%
13%
24%
24%
22%
27%
33%
38%
0%
4%
0%
9%
9%
0%
2%
9%
11%
11%
11%
0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100
%
Departemen Kehutanan
Kantor Meneg Lingkungan Hidup
Kantor Menkopolkam
Departemen Keuangan
Departemen Dalam Negeri
Departemen Perdagangan
Departemen Perindustrian
Departem Hukum dan HAM
Badan Intelejen Negara (BIN)
Departemen Pertahanan
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Tidak Penting
Kurang Penting
Penting
Gambar 27. Pendapat Responden Terhadap Keberadaan Instansi Pusat
Dalam Kaitannya dengan Pemberantasan IL Di Indonesia
Pelaksanaan pemberantasan IL di Indonesia memerlukan koordinasi
diantara stakeholders, terutama instansi penegak hukum dan teknis
kehutanan yang lebih dianggap berkompeten. Kementerian Koordinator
Politik Hukum dan Ham (Polhukam) merupakan instansi yang dipandang
responden mampu melakukan koordinasi dalam pemberantasan IL di
Indonesia, selain tentunya terkait dengan Inpres Nomor 4 Tahun 2005
yang menunjuk Kementerian Polhukam sebagai koordinator dalam
percepatan pemberantasan IL di Indonesia.
Departemen Keuangan, khususnya Direktorat Jenderal Bea dan
Cukai memiliki peranan penting dalam memonitor dan mengawasi lalu
lintas barang, baik ekspor-impor maupun perdagangan antar pulau.
Aparat bea cukai berhak untuk memeriksa dokumen barang, termasuk
kayu, apakah barang yang masuk dan keluar pelabuhan memiliki
dokumen yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Monitoring dan pengawasan yang lemah serta adanya sikap
koruptif-kolutif berkontribusi terhadap meningkatnya kegiatan
penyelundupan kayu di Indonesia.
Keberadaan Departemen Dalam Negeri dalam pemberantasan IL di
Indonesia terkait dengan kewenangannya untuk mengevaluasi kebijakan
103
daerah, berupa keputusan kepala daerah (Gubernur atau Bupati/Walikota)
dan peraturan daerah yang dianggap tidak sesuai dengan peraturan di
atasnya. Keberadaan departemen ini penting terutama di era otonomi
daerah yang memberikan kewenangan lebih luas kepada daerah untuk
mengatur daerahnya sendiri. Banyak kebijakan daerah terkait sumberdaya
alam, termasuk hutan yang dipandang bertentangan peraturan
perundang-undangan di atasnya. Hal ini tidak terlepas dari motivasi
pengembangan kebijakan daerah yang lebih mengarusutamakan
pemanfaatan sumberdaya alam untuk kepentingan ekonomi daripada
pelestariannya. Peranan instansi lainnya adalah Departemen
Perdagangan dan Departemen Perindustrian yang memiliki kewenangan
dalam pengaturan arus perdagangan barang dan kegiatan produksi.
Perdagangan merupakan penggerak pertumbuhan ekonomi. Peningkatan
arus perdagangan menyebabkan peningkatan pendapatan masyarakat,
terutama pelaku usaha. Mekanisme perdagangan saat ini yang cenderung
mengarah ke perdagangan bebas dapat berdampak negatif atau positif
terhadap lingkungan. Kayu tropis khususnya yang berasal dari Indonesia
sejak lama memiliki nilai komersial tinggi di pasaran internasional. SCA
dan WRI (2004) menyebutkan bahwa hutan tropis Indonesia memiliki lebih
dari 4.000 spesies pohon, baru 40-50% yang dimanfaatkan secara
komersial, misalnya Meranti (Shorea sp.), Keruing (Dipterocarpus spp.),
dan Ramin (Gonystylus bancanus). Kayu tersebut menjadi bahan industri
kayu lapis (plywood) yang sampai akhir tahun 2000-an merajai pasaran
kayu lapis dunia, dengan tujuan ekspor ke Uni Eropa, Jepang, Korea, dan
Amerika Serikat. Tingginya nilai ekonomi kayu Indonesia menjadi daya
tarik pelaku IL untuk menebang hutan dan menyelundupkannya keluar
negeri.
Keberadaan stakeholders lainnya dalam pemberantasan IL di
Indonesia disajikan pada Gambar 28. Bupati dan Gubernur sebagai
kepala daerah dapat memberikan kontribusi besar terhadap efektifnya
pemberantasan IL di daerahnya bersama-sama dengan masyarakat, LSM,
dunia usaha, dan legislatif. Keberadaan dunia internasional dalam
104
pemberantasan IL yang lebih terkait dengan penegakan hukum dianggap
kurang penting. Namun demikian dukungan internasional terhadap
pemberantasan IL di Indonesia dapat dilakukan melalui upaya untuk lebih
mendorong peningkatan kapasitas masyarakat dan aparat serta
mendorong kepedulian konsumen internasional untuk menggunakan kayu
tropis yang sumbernya legal.
Keberadaan eksekutif dan legislatif di tingkat lapangan dapat
berkontribusi positif terhadap pemberantasan IL di wilayahnya atau
sebaliknya membiarkan kegiatan IL berjalan sebagai sumber
pendapatannya walaupun ilegal dan melanggar hukum. Kerumitan
pemberantasan IL di tingkat lokal akan meningkat apabila kepala daerah
dalam proses pemilihannya melibatkan pengusaha dan masyakat pelaku
IL sebagai tim pendukungnya. Politik balas budi terhadap pendukungnya
diwujudkan dengan pembiaran aktifitas IL di wilayahnya sepanjang
memberikan keuntungan ekonomi bagi kepentingan diri dan aktifitas
politiknya.
91%
87%
84%
80%
73%
71%
67%
60%
7%
13%
11%
20%
18%
20%
24%
36%
2%
0%
4%
0%
9%
9%
9%
4%
0% 20% 40% 60% 80% 100%
Bupati
Gubernur
Masyarakat
LSM
Dunia Usaha
DPRD Kabupaten
DPRD Provinsi
Dunia Internasional
Tidak Penting
Kurang Penting
Penting
Gambar 28. Pendapat Responden terhadap Keberadaan Stakeholders
dalam Kaitannya dengan Pemberantasan IL di Indonesia
Pemahaman terhadap kegiatan pemberantasan IL di Indonesia
dianggap menjadi salah satu kunci keberhasilan pemberantasan IL.
105
Pendapat responden menunjukkan bahwa pemahapan kepolisian
terhadap upaya pemberantasan IL lebih besar daripada kejaksaan dan
pengadilan. Belum selarasnya pemahaman terhadap penegakan hukum
IL diantara komponen penegak hukum dapat menyebabkan penegakan
hukam tidak efektif memberikan dampak jera dengan proses yang
berlangsung lama.
Responden menilai pemahaman instansi teknis di tingkat pusat
dalam pemberantasan IL di Indonesia lebih rendah tingkat
pemahamannya. Hal ini disebabkan bahwa permasalahan IL di Indonesia
kompleks, tidak hanya menyangkut teknis tetapi berkembang menjadi
masalah hukum, perdagangan, perbankan, bahkan pencucian uang.
Namun, lingkup yang diberantas adalah masalah pelanggaran hukum
kehutanan yang derivatif tindak hukumnya mencakup permasalahan di
luar kehutanan. Oleh karena itu, kepentingan dan pemahaman aparat
penegak hukum lebih menonjol daripada instansi teknis.
Di tingkat LSM yang bergerak di bidang lingkungan dipandang
memiliki pemahaman yang lebih tinggi dibanding dengan yang lainnya.
Perhatian yang besar juga diberikan oleh dunia internasional yang
memandang hutan tropis Indonesia penting untuk mendukung
keberlanjutan ekosistem global. Sejumlah inisiatif dan fasilitasi perumusan
kebijakan dan aksi pemberantasan IL di Indonesia didukung oleh lembaga
internasional, misalnya komisi Uni Eropa yang membetuk program FLEGT
(Forest Law Enforcement and Governance Trade) di Indonesia untuk
memfasilitasi pemberantasan IL di Indonesia.
Eksekutif dan legislatif dipandang memiliki pemahaman yang kurang
terhadap pemberantasan IL di wilayahnya. Sebagian diantara elit lokal
ada yang melihat bahwa pengurusan dan perlindungan kawasan hutan
merupakan kewenangan pusat (pemerintah). Hal ini terkait dengan trauma
masa lalu, dimana peranan daerah relatif kecil terhadap keputusan pusat
dalam menunjuk pengelola hutan di daerah. Namun dengan adanya
reformasi kebijakan termasuk di sektor kehutanan, maka peranan daerah
dalam kebijakan daerah signifikan, misalnya tanpa rekomendasi bupati
106
dan gubernur, Menteri Kehutanan tidak dapat lagi memberikan ijin konsesi
hutan alam dan hutan tanaman. Walaupun telah terjadi perubahan
kebijakan kehutan yang lebih terdesentralisasi, sebagian diawasi elit lokal
masih melihat hutan dalam kaca mata ekonomi kayu semata sebagai
sumber pemasukan pendapatan daerah.
67%
56%
47%
29%
38%
40%
4% 7%13%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
Kepolisian Kejaksaan Pengadilan
Tidak PahamKurang Paham
Paham
Gambar 29. Pendapat Responden terhadap Tingkat Pemahaman Aparat
Hukum dalam Kaitannya dengan Pemberantasan IL di Indonesia
60% 59% 57%52% 50%
45%39% 39% 39% 39% 36%
38%36%
34% 43%
39% 48%55% 57% 55%
45%55%
2% 5%9%
5%11%
7% 7% 5% 7%
16%9%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
Kan
tor M
eneg
Lin
gkun
gan
Hid
up
Dep
arte
men
Keh
utan
an
Kan
tor
Men
kopo
lkam
Dep
arte
m H
ukum
dan
HAM
Dep
arte
men
Dal
am N
eger
i
Bad
an In
tele
jen
Neg
ara
(BIN
)
Dep
arte
men
Ten
aga
Ker
ja d
an T
rans
mig
rasi
Dep
arte
men
Per
taha
nan
Dep
arte
men
Per
indu
stria
n
Dep
arte
men
Keu
anga
n
Dep
arte
men
Per
daga
ngan
Tidak Paham
Kurang Paham
Paham
Gambar 30. Pendapat Responden terhadap Tingkat Pemahaman Instansi
Pusat dalam Kaitannya Dengan Pemberantasan IL di Indonesia
107
Gambar 31. Pendapat Responden terhadap Tingkat Pemahaman
Stakeholders dalam Kaitannya dengan Pemberantasan IL di Indonesia
Setiap stakeholders yang menjadi responden memberikan pendapat
tentang right (hak dan kewajibannya) dalam pemberantasan IL di
Indonesia sebagaimana disajikan pada Tabel 18.
Tabel 18. Aspek Hak dan Kewajiban Stakeholders dalam
Pemberantasan IL di Indonesia.
No. Kategori Responden Rights
1. Instansi Pemerintah bidang Politik, Hukum, dan HAM.
Melakukan koordinasi program, langkah tindak, monitoring, dan evaluasi kegiatan dalam pemberantasan IL di Indonesia.
Memperoleh data dan informasi yang berkaitan dengan permasalahan pemberantasan hukum.
2. Aparat Penegak Hukum.
Memperoleh data dan informasi yang diperlukan dalam setiap tahapan proses penegakkan hukum pemberantasan IL;
Melakukan proses penindakan hukum terhadap setiap kegiatan IL yang terjadi;
Melakukan koordinasi dengan instansi terkait dalam kegiatan pemberantasan IL.
Melakukan berbagai upaya penegakkan hukum yang berkaitan dengan pemberantasan IL di Indonesia.
3. Instansi Teknis Kehutanan dan Lingkungan.
Melakukan operasi pemberantasan IL baik secara mandiri maupun gabungan dengan instansi lainnya, terutama dengan aparat penegak hukum.
108
No. Kategori Responden Rights
Melakukan penyidikan terhadap pelaku IL sebagai upaya penegakan hukum.
Melindungi pemegang izin pengusahaan kayu yang sah dari tindakan IL.
Memulihkan kondisi ekosistem hutan yang terdegradasi akibat IL.
4. Instansi Pemerintah di bidang Keuangan, Industri, dan Perdagangan.
Melakukan monitoring dan pengawasan lalu lintas perdagangan kayu, baik ekspor-impor dan perdagangan antar pulau.
Melakukan penegakan terhadap upaya penyelundupan kayu bekerjasama dengan aparat penegak hukum dan instansi terkait lainnya.
Melakukan penyidikan terhadapkayu yang masuk dan keluar serta diduga berasal dari sumber yang tidak sah.
Melakukan pengaturan dan restrukturisasi industri berbasis hasil hutan agar sesuai dengan kemampuan pasokan bahan baku yang tersedia. Dalam hal ini peminjaman terhadap ijin kapasitas industri disesuaikan dengan jumlah bahan baku hasil hutan yang tersedia.
5. Instansi Pemerintah di bidang Luar Negeri.
Meningkatkan kerjasama internasional dalam pemberan tasan IL, terutam berkaitan dengan perdaganan internasional yang ilegal. Kerjasama meliputi kerjasama multilateral maupun kerjasama bilateral perlu disepakati kesepahaman tentang penggunaan kayu yang legal.
Menggalang dukungan internasional terhadap upaya pemberantasan IL di Indonesia.
6. Lembaga Swadaya Masyarakat.
Membantu upaya-upaya pemerintah dan masyarakat dalam pemberantasan IL, misalnya dengan memfasilitasi program untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dalam berpartisipasi mencegah IL.
Mengumpulkan data dan informasi praktek IL dan melaporkannya kepada aparat yang berwenang.
7. Masyarakat (Adat) Menerapkan aturan-aturan adat untuk melindungi hutannya dari praktek IL.
Berpartisipasi dalam proses legislasi peraturan yang mengatur pengelolaan dan perlindungan hutan, termasuk penysusunan kebijakan pemberantasan IL.
Menjaga ekosistem hutan dari setiap aktivitas yang merusak dan menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungannya.
109
Tabel 19 menunjukkan bahwa right (hak dan kewajiban) yang dimiliki
dalam pemberantasan IL dapat dikategorikan ke dalam hak dan kewajiban
untuk:
a. Melakukan upaya-upaya penegakan hukum dalam pemberantasan IL;
b. Melakukan koordinasi dengan berbagai stakeholders serta
mendapatkan data dan informasi terkait pemberantasan IL;
c. Melakukan pengawasan yang lebih baik terhadap pengelolaan hutan
secara utuh, sejak proses perencanaan, pengelolaan, pemanenan hasil
hutan, pengelolalaan hasil hutan, dan pemasaran hasil hutan;
d. Meningkatkan kerjasama dan dukungan internasioanl terhadap upaya
pemberantasan IL di Indonesia;
e. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pemberantasana IL
dengan menumbuhkan kesadaran akan pentingnya upaya pengelolaan
dan pelestarian hutan sebagai penyangga kehidupan masyarakat;
Berkaitan dengan tanggung jawab (Responsibilities) dari setiap
lembaga yang diwawancarai menunjukkan bahwa setiap lembaga secara
umum cukup memahami tugas masing-masing dalam kaitannya dengan
pemberantasan IL, baik instansi penegak hukum, instansi terkait di pusat,
dan daerah, masyarakat, LSM, maupun lembaga internasional. Tanggung
jawab tersebut meliputi tanggung jawab untuk:
a. Melakukan koordinasi, monitoring, dan evaluasi kegiatan
pemberantasan IL;
b. Melakukan proses penegakan hukum, mulai tahap penyelidikan,
penyidikan dan pemberkasan, penuntutan, serta penjatuhan hukum
berupa hukuman badan dan atau denda;
c. Melakukan fasilitasi untuk meningkatkan kapasitas aparat pemerintah,
aparat penegak hukum, masyarakat, dan stakeholders lainnya dalam
mendorong percepatan pemberantasan IL di Indonesia.
d. Melakukan penyempurnaan hukum dan sinkronisasi diantara peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan pemberantasan IL di
Indonesia.
110
e. Mengimplementasikan tata kelola pembangunan kehutanan yang baik
dengn meningkatkan akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan
hutan di Indonesia;
f. Melakukan upaya pemulihan ekosistem hutan dan lingkungannya yang
mengalami degradasi akibat praktek IL;
g. Menerapkan aturan dan hukum adat terhadap kegiatan yang merusak
ekosistem hutan di wilayah adat sepanjang masyarakat adat tersebut
eksis kelembagaan sosialnya; dan
h. Melakukan penyuluhan dan pendidikan lingkungan akan pentingnya
hutan dalam mendukung kehidupan masyarakat.
i. Meningkatkan kegiatan perekonomian masyarakat yang berada di dal
am dan sekitar hutan agar tingkat pendapatannya meningkat;
j. Meningkatkan sarana dan prasarana perlindungan hutan.
Berkaitan dengan Revenues (manfaat) yang dapat diperoleh dari
pemberantasan IL, meliputi empat aspek yaitu: ekologi, sosial, ekonomi,
dan pemerintahan sebagaimana disajikan pada Tabel 19.
Tabel 19. Revenues (Manfaat) yang Dapat Diperoleh dari
Pemberantasan IL
No. Aspek Revenues
1. Ekologi. Terjaganya kelestarian lingkungan dan ekosistem.
Mengurangi dampak bencana akibat IL dan kerusakan lingungan lainnya.
Tutupan hutan yang optimal tetap terpelihara sebagai pelindung ekosistem dan sumber kehidupan masyarakat.
Kontribusi hutan tropis terhadap lingkungan global dapat dipertahankan dan meningkat.
2. Sosial. Menurunkan intensitas konflik, baik konflik
antar masyarakat, atau konlik antara masyarakat dengan hewan hutan yang selama praktek IL terganggu habitatnya.
111
No. Aspek Revenues
3. Ekonomi. Meningkatkan pemasukan negara dari hasil hutan.
Meningkatkan keseimbangan antara pasokan dan kebutuhan kayu.
Penyelundupan kayu dapat ditekan, sehingga pemasukan terhadap negara meningkat.
Meningkatkan jaminan keamanan insvestasi.
4. Pemerintah. Meningkatkan kredibilitas negara sebagai negara yang mampu menjaga hutannya dengan baik, sehingga dapat meningkatkan kepercayaan internasional.
Tingkat hubungan (Relationhship) antar stakeholders disajikan pada
Tabel 20. Tabel 20 menunjukkan bahwa hubungan diantara aparat
penegak hukum dalam pemberantasan IL cukup baik. Hubungan yang
cukup baik juga terjadi antara aparat penegak hukum dengan instansi
yang secara teknis mengurus pengelolaan hutan, dan instansi yang
mengkoordinasikan penangananan IL di Indonesia. Tingkat hubungan
yang kurang/lemah terjadi antara instansi teknis kehutanan dan
lingkungan dengan daerah. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan
pandangan dalam pengelolaan hutan. Masih banyak daerah yang melihat
hutan sebagai sumberdaya alam bernilai ekonomi yang dapat
memberikan masukan pendapatan daerah. Kondisi ini cenderung bagi
daerah yang dalam tahap proses pembangunan ekonomi. Untuk
mengembangkan kegiatan ekonominya, daerah membutuhkan dukungan
sumberdaya alam termasuk hutan sebagai sumber pendapatan
daerahnya. Tabel 20. juga menunjukkan bahwa pemberantasan IL belum
dipandang sebagai masalah bersama yang diindikasikan oleh relasi hanya
cukup baik dalam lingkup aparat penegak hukum dan instansi teknis yang
langsung mengurus pengelolaan hutan. Oleh karena itu, upaya untuk
meningkatkan koordinasi diantara stakeholders dalam pemberantasan IL
sangat diperlukan.
112
Tabel 20. Tingkat Hubungan (Relationhship) antar Stakeholders dalam
Pemberantasan IL Di Indonesia A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S T U V A 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 1 2 2 2 2 1 2 2 2 2 2 B 2 2 2 2 1 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 C 2 2 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 D 2 2 1 2 2 2 1 1 2 1 2 2 1 1 1 1 1 2 E 1 2 1 2 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 F 2 1 1 2 2 2 1 1 2 2 1 1 1 2 1 1 G 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 H 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 I 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 J 2 1 1 1 1 1 1 1 2 2 1 1 K 1 1 1 1 1 1 1 1 2 1 1 L 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 M 1 2 1 1 1 1 1 1 1 N 1 1 1 1 1 1 1 1 O 1 2 1 1 1 1 1 P 1 1 1 1 2 1 Q 1 1 1 1 1 R 1 1 1 1 S 1 1 1 T 1 1 U 2 Keterangan : A. Kepolisian I. Departemen Pertahanan M. Kantor Meneg LH B. Kejaksaan J. Departemen Perdagangan N. Badan Intelijen Negara (BIN) C. Pengadilan K. Departemen Perindustrian O. Gubernur
D. Kantor Menkopolkam L. Departemen Tenaga Kerja & Transmigrasi P. Bupati
E. Departemen Kehutanan M. Kantor Meneg LH Q. DPRD Tingkat Provinsi F. Departemen Keuangan I. Departemen Pertahanan R. DPRD Tingkat Kabupaten G. Departemen Dalam
Negeri J. Departemen Perdagangan S. Masyarakat
H. Departemen Hukum & HAM K. Departemen Perindustrian T. Dunia Usaha
L. Departemen Tenaga Kerja & Transmigrasi U. LSM
V. Dunia Internasional
7.4. Kesimpulan
Peranan stakeholders menjadi salah satu kunci dalam
pemberantasan IL di Indonesia. Praktek IL sulit diberantas karena
melibatkan jaringan yang luas dan dipengaruhi oleh sektor-sektor lainnya
di luar kehutanan, sehingga pemberantasan IL akan efektif dijalankan
apabila stakeholders baik aparat hukum, aparat instansi/lembaga
113
pemerintah dan pemerintah daerah, kelompok masyarakat dan lembaga
masyarakat, serta lembaga internasional mampu bersinergis sesuai
dengan peranan dan kewenangan yang dimiliki masing-masing. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa hampir semua stakeholders memiliki
pendapat yang sama bahwa praktek IL berdampak buruk terhadap
lingkungan, ekonomi, sosial, dan kredibilitas pemerintah. Namun
kesamaan pendapat tersebut belum menjadi jaminan bahwa kegiatan
pemberantasan IL akan efektif diberantas. Masih adanya perbedaan
kepentingan terhadap sumberdaya hutan dari sisi ekonomi dan ekologis
menjadi kendala membangun kebersamaan stakeholders dalam
pemberantasan IL di Indonesia. Relasi antar aparat penegak hukum
dalam pemberantasan IL di Indonesia adalah baik, sedangkan relasi antar
stakeholders diluar aparat penegak hukum berada pada tingkat cukup
baik dan kurang. Hal ini menunjukkan bahwa pemberantasan IL bagi
sebagian instansi/lembaga belum dianggap sebagai musuh bersama
(common enemy), sehingga curahan perhatian dan keterlibatannya masih
relatif kecil. Oleh karena itu langkah awal dalam merumuskan kembali
strategi pemberantasan IL di Indonesia adalah dengan menjadikan
praktek IL sebagai musuh bersama yang dapat merusak tatanan
kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara.