universitas indonesia dampak gangguan …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367253-sp-muhammad...

82
UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN PENGLIHATAN DAN PENYAKIT MATA TERHADAP KUALITAS HIDUP TERKAIT PENGLIHATAN (VISION-RELATED QUALITY OF LIFE) PADA POPULASI GANGGUAN PENGLIHATAN BERAT DAN BUTA DI INDONESIA SUBPENELITIAN STUDI VALIDASI DATA KEBUTAAN HASIL RISKESDAS 2013 DAN IDENTIFIKASI ETIOLOGINYA TESIS MUHAMMAD ASRORUDDIN 0906647305 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS ILMU KESEHATAN MATA JAKARTA, 2014 Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013

Upload: lengoc

Post on 07-Mar-2019

239 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367253-SP-Muhammad Asroruddin.pdf · glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma

UNIVERSITAS INDONESIA

DAMPAK GANGGUAN PENGLIHATAN DAN

PENYAKIT MATA TERHADAP KUALITAS HIDUP

TERKAIT PENGLIHATAN (VISION-RELATED QUALITY OF

LIFE) PADA POPULASI GANGGUAN PENGLIHATAN

BERAT DAN BUTA DI INDONESIA

SUBPENELITIAN STUDI VALIDASI DATA KEBUTAAN

HASIL RISKESDAS 2013 DAN IDENTIFIKASI

ETIOLOGINYA

TESIS

MUHAMMAD ASRORUDDIN

0906647305

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS

ILMU KESEHATAN MATA

JAKARTA, 2014

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013

Page 2: UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367253-SP-Muhammad Asroruddin.pdf · glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma

UNIVERSITAS INDONESIA

DAMPAK GANGGUAN PENGLIHATAN DAN

PENYAKIT MATA TERHADAP KUALITAS HIDUP

TERKAIT PENGLIHATAN (VISION-RELATED QUALITY OF

LIFE) PADA POPULASI GANGGUAN PENGLIHATAN

BERAT DAN BUTA DI INDONESIA

SUBPENELITIAN STUDI VALIDASI DATA KEBUTAAN

HASIL RISKESDAS 2013 DAN IDENTIFIKASI

ETIOLOGINYA

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Dokter Spesialis Ilmu Kesehatan Mata

MUHAMMAD ASRORUDDIN

0906647305

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS

ILMU KESEHATAN MATA

JAKARTA, 2014

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013

Page 3: UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367253-SP-Muhammad Asroruddin.pdf · glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma

HALAMAN PER}TYATAAI{ ORISINALITAS

Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : dr.Muhammad Asroruddin

NPM :0906647305

Tanda Tangan :

l (

\ \\$Qt"{V

Tanggal : Januari20l4

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013

Page 4: UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367253-SP-Muhammad Asroruddin.pdf · glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma

Tesis ini diaiukan oleh:

NamaNPMProgram StudiJudul Tesis

Ditetapkan di : JakOr{o

Tanggal : 16 Jonuo.i lortl

Ketua Program StudiIlmu Kesehatan Mata FKUI

HALAMAN PENGESAHAN

dr. Muhammad Asroruddin0906647305Program Dokter Spesialis Ilmu Kesehatan MataDampak Gangguan Penglihatan dan Penyakit Mataterhadap Kualitas Hidup (Vision-related Quality of Life)pada Populasi Gangguan Penglihatan Berat dan Buta diIndonesia; Subpenelitian Studi Validasi Data KebutaanHasil RISKESDAS 2013 dan ldentifikasi Etiologinya

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterimasebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar'Dokter Spesialis Mata' pada Program Studi Dokter Spesialis IImuKesehatan Mata. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

DEWAN PENGUJI

Pembimbing Tesis:

L dr.'llahjono D. Gondhowiardjo, SpM (K), PhD

2. dr.Tri Rahayu, SpM (K), FIACLE

3. dr.YeniDwi Lestari, SpM, MSc

4. dr.lwan Ariawan, MSPH

Kepala DepartemenIlmu Kesehatan Mata FKUI

J,i l l

dr.Yudisianil E. Kamal, SpM (K) Dr.dr.Widya Artini, SpM (K)

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013

Page 5: UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367253-SP-Muhammad Asroruddin.pdf · glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma

iv

KATA PENGANTAR/UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala nikmat dan karunia

yang telah dilimpahkan oleh-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tesis ini.

Tesis ini tidak mungkin dapat diselesaikan tanpa dukungan dari berbagai pihak

dalam bentuk pemikiran, tenaga, kerjasama, dana, dan segala bentuk dukungan

lainnya. Oleh karena itu saya ingin mengucapkan terima kasih saya yang sebesar-

besarnya kepada:

1. Dr.dr.Tjahjono D. Gondhowiardjo, SpM(K), PhD, selaku sosok inspiratif dan

pembimbing utama saya, yang di tengah-tengah kesibukannya masih dapat

meluangkan waktunya untuk dapat memberikan masukan dan dorongan

untuk penelitian ini.

2. dr.Tri Rahayu, SpM(K), FIACLE, selaku pembimbing dan pencetus ide

penelitian. Terima kasih atas kepercayaan dan kesabarannya dalam

membimbing saya menyelesaikan penelitian ini.

3. dr.Yeni Dwi Lestari, juga selaku pencetus ide dan pemberi jalan agar saya

mau dan berminat untuk mengikuti penelitian ini. Terima kasih atas

kesabaran membimbing saya dalam menyelesaikan penelitian di tengah-

tengah halangan yang banyak menghadang.

4. dr.Iwan Ariawan, MSPH, selaku pembimbing statistik saya, yang di tengah

kesibukannya mampu memberi saya bimbingan di Jakarta dan UI Depok.

5. Dr.dr.Widya Artini, SpM(K), dr.Elvioza, SpM(K), dr.Yudisianil, SpM(K),

dan dr.Tri Rahayu SpM(K), selaku Kepala Departemen, Ketua Program Studi

dan Sekretaris Program Studi Ilmu Kesehatan Mata FKUI yang terus

mendorong saya untuk dapat menyelesaikan pendidikan spesialisasi mata.

6. Prof.dr.Farida Sirlan, SpM(K) dan Dr.Julie D. Barliana, SpM(K), yang juga

mewakili PERDAMI selalu memberi saya semangat dan membuka jalan agar

penelitian dapat terselesaikan.

7. Rekan-rekan refraksionis, Bapak Buyung, Bapak Rudjito, dan Ibu Erni

Harsono yang telah meluangkan waktu menemani saya memeriksa responden

di seluruh wilayah Jakarta, dan rekan-rekan residen dan dokter mata di Jawa

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013

Page 6: UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367253-SP-Muhammad Asroruddin.pdf · glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma

v

Timur, Yogyakarta, Sumatra Barat dan Sulawesi Selatan yang telah dengan

senang hati membantu penelitian ini berjalan dengan lancar.

8. Seluruf staf pengajar Departemen Ilmu Kesehatan Mata yang telah menuntun

dan membekali pengetahuan dan pengalaman yang berharga.

9. Staf tata usaha S2 (Ibu Siti Kholidah dan Mbak Siti Mursidah), staf

perpustakaan, staf PERDAMI Jakarta dan PERDAMI Pusat, yang telah

memperlancar administrasi penelitian ini.

10. Seluruh rekan-rekan residen, terima kasih atas bantuannya dalam

pemeriksaan pasien penelitian.

11. Teman seperjuangan dalam penelitian ini, dr.Habsyiyah, dan teman

seangkatan saya: Utami Noor, Sita Paramita, Dian Eka Putri, dan Selvilia

Artanti. Terima kasih atas hubungan pertemanan, kekompakan, kerja sama

dan canda tawa selama menempuh pendidikan ini.

12. Orang tua saya, Ibu Hj.Kartini Andak, dan saudara-saudara tercinta, atas

segala doa dan pengorbananya selama ini.

13. Istriku tercinta Henni Febrianti, ST yang senantiasa setia, tulus dan sabar

dalam mendampingi dalam menyelesaikan penelitian ini, dan anakku Nailah

Amirah Khairunnisa. Kalian adalah inspirasi, pemberi motivasi dan

penyemangatku selama ini.

Akhir kata, saya ucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang terlibat dalam

penelitian ini yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu. Semoga penelitian ini

dapat bermanfaat bagi kita semua.

Jakarta, Januari 2014

Penulis

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013

Page 7: UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367253-SP-Muhammad Asroruddin.pdf · glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma

HALAMAN PERFTYATAAIi PERSETUJUAII PT'BLIKASI TUGAS AKHIR

tiNTUK KEPENTINGAI\I AKADEn/fl S

Sebagai sivitas akademika Universitas Indonesi4 saya yang bertanda tangan di

bawah ini:

Nama

NPM

Program Studi

Departemen

Fakultas

Jenis karya

dr.Muhammad Asroruddin

0906647305

Spesialis Mata

Ilmu Kesehatan Mata

Kedokleran

: Tesis

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui dan memberikan kepada

Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-*cclusive royalty-

Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:

Dampak Gangguan Penglihatan dan Penyakit Mata terhadap Kualitas Hidup

(Vision-related Quahy of Life) pada Populasi Gangguan Penglihatan Berat

dan Buta di Indonesia; Subpenelitian Studi Validasi Data Kebutaan Hasil

RISKESDAS 2013 dan ldentifikasi Etiologinya

Beserta perangkat yang ada (iika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non

ekseklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalih

media/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat dan

mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai

penulis dan pemilik hak cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Dibuat di : JakartaPada tanggal : Januari 2014

Yang menyatakan

vi

( dr.Muhammad Asroruddin)

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013

Page 8: UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367253-SP-Muhammad Asroruddin.pdf · glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma

vii Universitas Indonesia

ABSTRAK

Dampak Gangguan Penglihatan dan Penyakit Mata terhadap Kualitas

Hidup Terkait Penglihatan (Vision-Related Quality of Life) pada

Populasi Gangguan Penglihatan Berat dan Buta di Indonesia

1Muhammad Asroruddin,

1Tjahjono D Gondhowiarjo,

1Tri Rahayu,

1Yeni D Lestari,

2Iwan Ariawan

1Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/

Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, 2Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas

Indonesia

Tujuan: Mengevaluasi kualitas hidup terkait penglihatan berdasarkan tingkat

gangguan penglihatan dan penyakit mata penyebab gangguan penglihatan pada

populasi gangguan penglihatan berat dan buta di Indonesia.

Metode: Studi dilakukan di 5 provinsi di Indonesia dengan menggunakan teknik

cross sectional melalui pemeriksaan oftalmologis lengkap dan wawancara

terpimpin menggunakan kuesioner NEI-VFQ25 pada 134 responden studi validasi

kebutaan Riset Kesehatan Dasar 2013, yang berusia 18 tahun atau lebih dan visus

<6/60. Skor kualitas hidup total dan subskala dari kuesioner diperbandingkan

berdasarkan kelompok buta dan gangguan penglihatan berat, penyakit mata

penyebab, dan kisaran lama kebutaan.

Hasil: Kebutaan dan gangguan penglihatan ditemukan lebih tinggi pada

perempuan, usia lanjut, dan tingkat pendapatan dan pendidikan rendah, dengan

katarak sebagai penyebab utama. Skor kualitas hidup pada responden buta lebih

rendah secara bermakna dibanding gangguan penglihatan berat dalam skor total

(p=0,001), penglihatan dekat (p=0,002), dan penglihatan jauh (p=0,007). Tidak

ditemukan perbedaan bermakna pada skor kualitas hidup pada responden dengan

glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma

memiliki skor paling rendah. Perbedaan kualitas hidup juga tidak berbeda

bermakna berdasarkan kisaran lama gangguan penglihatan.

Kesimpulan: Terdapat perbedaan kualitas hidup terkait penglihatan berdasarkan

usia, jenis kelamin, dan tingkat gangguan penglihatan. Kualitas hidup tidak

berbeda bermakna berdasarkan penyakit mata penyebab dan lama gangguan

penglihatan.

Kata kunci: kualitas hidup terkait penglihatan, NEI-VFQ25, gangguan penglihatan

berat dan buta, penyakit mata.

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013

Page 9: UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367253-SP-Muhammad Asroruddin.pdf · glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma

viii Universitas Indonesia

ABSTRACT

Impact of Visual Impairment and Ocular Morbidity on Vision-Related

Quality of Life in Severe Low Vision and Blind Population in

Indonesia

1Muhammad Asroruddin,

1Tjahjono D Gondhowiarjo,

1Tri Rahayu,

1Yeni D Lestari,

2Iwan Ariawan

1Department of Ophthalmology Faculty of Medicine University of Indonesia/

Cipto Mangunkusumo Hospital, 2Faculty of Public Health University of Indonesia

Purpose: To evaluate vision-related quality of life in severe low vision and blind

population based on grade of vision loss and ocular morbidity in Indonesia.

Method: A cross-sectional study was conducted in five provinces in Indonesia by

ophthalmological examination and guided-interview using NEI-VFQ25

questionnaire in 134 respondents of Blind Validation Study of Basic Health Survey

2013, aged 18 years or more with presenting visual acuity <6/60. Comparison of

composite and subscale score of questionnaire was analyzed in blind and severe

low vision group, based on ocular morbidity, and onset (range) of impairment.

Result: Severe low vision and blind was mostly found in female, productive ages,

and low education level and income, with cataract as the leading cause. Composite

score of blind was statistically significant lower than severe low vision group

(p=0,001), also in distance act (p=0,007) and near act (p=0,002), and in almost all

subscale score. Total score of glaucoma respondents was the lowest other than

cataract and other ocular disease, include all subscale score. Quality of life score

and ocular diseases (p=0,052) and also onset (range) of visual impairment were not

significantly related.

Conclusion: Visual impairment had impact on vision-related quality of life in

blind and severe low vision based on age, sex, and visual impairment grade. No

significant difference of quality of life was found based on ocular morbidity and

onset of visual impairment.

Keyword: vision-related quality of life, NEI-VFQ25, severe vision loss and

blindness, ocular morbidity.

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013

Page 10: UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367253-SP-Muhammad Asroruddin.pdf · glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma

ix Universitas Indonesia

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ..........................................

HALAMAN PENGESAHAN..........................................................................

KATA PENGANTAR....................................................................................

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ......................

ABSTRAK .......................................................................................................

i

ii

iii

iv

vi

vii

DAFTAR ISI ……………............................................................................... ix

DAFTAR TABEL …………………………………………………………. xi

DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………..

DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………………

xii

xiii

BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................... 1

1.1. Latar Belakang ................................................................................ 1

1.2. Perumusan Masalah ............................................................................. 4

1.3. Hipotesis Penelitian .............................................................................. 4

1.4. Tujuan Penelitian ................................................................................ 5

1.4.1. Tujuan Umum ...................................................................................... 5

1.4.2. Tujuan Khusus .................................................................................... 5

1.5. Manfaat Penelitian ............................................................................ 5

1.5.1. Manfaat bagi institusi ........................................................................... 5

1.5.2. Manfaat bagi peneliti .......................................................................... 6

1.5.3. Manfaat bagi masyarakat ..................................................................... 6

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 7

2.1. Low Vision dan Kebutaan .................................................................... 7

2.2. Patofisiologi ........................................................................................ 9

2.2.1. Kekeruhan Media Refraksi (Cloudy Media) …………………….

2.2.2. Defisit Lapang Pandangan Sentral …………………………………

2.2.3. Defisit Lapang Pandangan Perifer .......................................................

9

9

10

2.3. Kualitas Hidup (Quality of Life) .......................................................... 10

2.4. Dampak Gangguan Penglihatan dan Kebutaan terhadap Kualitas

Hidup …………………………………………………………………

10

2.5. Penilaian Kualitas Hidup……………………………………………..

2.5.1. Manfaat Penilaian Kualitas Hidup …………………………………...

2.5.2. Penilaian Kualitas Hidup Terkait Penglihatan dengan Kuesioner

VFQ25 ………………………………………………………………

2.5.3. Panduan Pengisian Kuesioner VFQ-25 …………………………….

15

17

18

19

BAB 3 KERANGKA TEORI DAN KONSEP ............................................... 21

3.1. Kerangka Teori ................................................................................... 21

3.2. Bagan Kerangka Konsep ...................................................................... 22

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN .......................................................... 23

4.1. Desain Penelitian .................................................................................. 23

4.2. Tempat dan Waktu Penelitian .............................................................. 23

4.3. Subyek Penelitian ................................................................................ 24

4.3.1 . Populasi Target ................................................................................ 24

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013

Page 11: UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367253-SP-Muhammad Asroruddin.pdf · glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma

x Universitas Indonesia

4.3.2. Populasi Terjangkau ………………………………………………… 24

4.3.3. Sampel Penelitian ................................................................................ 24

4.3.4. Besar Sampel …………………………..……………………………. 25

4.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi ................................................................ 25

4.4.1. Kriteria Inklusi .................................................................................. 25

4.4.2. Kriteria Eksklusi ................................................................................ 25

4.4.3. Kriteria Drop Out................................................................................. 26

4.5. Definisi Operasional ........................................................................... 26

4.6. Cara Kerja Penelitian ......................................................................... 28

4.7. Alat dan Bahan ..................................................................................... 33

4.8. Pengumpulan Data .............................................................................. 34

4.9. Analisis Data ....................................................................................... 34

4.10. Bagan Alur Penelitian ......................................................................... 35

4.11. Etik Penelitian …………………………………………………......... 35

BAB 5 HASIL PENELITIAN

5.1. Jumlah Sampel dan Karakteristik Subyek …………………………. 36

5.2. Skor Kualitas Hidup ………………………………………………... 39

5.2.1. Perbandingan Skor Kualitas Hidup antara Kelompok Buta dan

Gangguan Penglihatan Berat ……………………………………….

40

5.2.2. Perbandingan Skor Kualitas Hidup antara Berbagai Penyakit Mata ... 41

5.2.3. Perbandingan Skor Kualitas Hidup antara Berbagai Penyakit Mata

Penyebab Kebutaan dengan visual acuity adjustment ……………..

43

5.3. Validitas Kuesioner NEI-VFQ25 …………………………………. 46

BAB 6 DISKUSI …………………………………………………………... 47

BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN ……………………………………. 55

7.1. Kesimpulan …………………………………………......................... 55

7.2. Saran ………………………………………………………………… 55

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………... 56

LAMPIRAN …………………………………………………………….. 59

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013

Page 12: UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367253-SP-Muhammad Asroruddin.pdf · glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma

xi Universitas Indonesia

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Kategori gangguan penglihatan berdasarkan ICD-10 ………. 8

Tabel 2.2. Aspek yang dinilai pada kuesioner VFQ-25 ………………... 20

Tabel 4.1. Tempat penelitian studi validasi RISKESDAS dan penilaian

kualitas hidup ………………………………………………..

23

Tabel 5.1. Karakteristik demografis subyek penelitian berdasarkan tingkat

gangguan penglihatan, lama gangguan, dan penyakit mata

penyebab ……………………………………………………….

37

Tabel 5.2. Skor kualitas hidup total berdasarkan jenis kelamin, kelompok

usia, dan kisaran lama kebutaan………………………………..

39

Tabel 5.3. Perbandingan rerata skor kualitas hidup total dan subskala

berdasarkan tingkat gangguan penglihatan ……………………

40

Tabel 5.4. Skor kualitas hidup total dan subskala pada berbagai penyakit

mata penyebab kebutaan ………………………………………

42

Tabel 5.5. Perbandingan skor kualitas hidup total dan subskala pada

katarak dan glaukoma ………………………………………….

42

Tabel 5.6. Perbandingan skor kualitas hidup total dan subskala pada

responden katarak dan glaukoma pada kelompok buta ………..

44

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013

Page 13: UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367253-SP-Muhammad Asroruddin.pdf · glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma

xii Universitas Indonesia

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Berbagai faktor yang saling berinteraksi terhadap kualitas

penglihatan ……………………………………………………

13

Gambar 5.1. Grafik perbandingan rerata skor kualitas hidup total dan

subskala pada kelompok buta dan gangguan penglihatan berat..

41

Gambar 5.2. Grafik perbandingan rerata skor kualitas hidup total dan

subskala pada kelompok katarak dan glaukoma ………………

43

Gambar 5.3. Grafik perbandingan rerata skor kualitas hidup total dan

subskala pada kelompok katarak dan glaukoma setelah

dilakukan adjustment terhadap tajam penglihatan …………….

45

Gambar 5.4. Grafik perbandingan rerata skor kualitas hidup total dan

subskala pada kelompok katarak, glaukoma, dan kelainan

refraksi pada kelompok buta …………………………………..

45

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013

Page 14: UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367253-SP-Muhammad Asroruddin.pdf · glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma

xiii Universitas Indonesia

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Persetujuan Etik (Ethical Approval) ………………………… 59

Lampiran 2 Formulir Studi Validasi Data Kebutaan RISKESDAS 2013

dan Identifikasi Etiologinya ………………………………….

60

Lampiran 3 Kuesioner Fungsi Penglihatan – NEI-VFQ25 ………………. 61

Lampiran 4 Informed Consent (Persetujuan Setelah Penjelasan) ………… 63

Lampiran 5 Tabel Induk Penelitian ………………………………………. 65

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013

Page 15: UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367253-SP-Muhammad Asroruddin.pdf · glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma

1 Universitas Indonesia

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Gangguan penglihatan (visual impairment) secara umum dapat diartikan sebagai

keadaan penurunan fungsi penglihatan secara menetap yang tidak dapat diperbaiki

dengan obat-obatan, pembedahan, atau kacamata, atau penyempitan lapang

pandangan bilateral yang diakibatkan oleh rusaknya sistem visual karena berbagai

sebab. Menurut International Classification of Disease-10, tingkat fungsi penglihatan

terbagi menjadi yaitu penglihatan normal, gangguan penglihatan sedang, gangguan

penglihatan berat, dan buta. Gangguan penglihatan sedang dan berat digolongkan ke

dalam low vision.1

Jumlah penyandang gangguan penglihatan termasuk low vision di seluruh dunia

menurut data World Health Organization (WHO) terbaru adalah sekitar 285 juta

orang, dengan sekitar 39 juta orang dari jumlah tersebut mengalami kebutaan.

Sebagian besar populasi tersebut (87%) hidup di negara berkembang.2 Proporsi

penyebab low vision dan kebutaan berbeda-beda di setiap negara. Di Amerika Serikat,

diperkirakan sebanyak 13,5 juta warga yang berusia di atas 45 tahun (17%)

mengalami low vision, yang disebabkan terutama oleh age-related macular

degeneration (AMD) sebesar 45%, kemudian oleh glaukoma dan retinopati

diabetik.1,3

Penyebab utama low vision di India adalah retinitis pigmentosa (19%),

penyakit makula termasuk AMD (17,7%), retinopati diabetik (13%), dan miopia

degeneratif (9%).4

Survei Kesehatan Indera tahun 1993-19965 menunjukkan sebanyak 1,5%

penduduk Indonesia mengalami kebutaan dengan penyebab utama adalah katarak

(0,78%), glaukoma (0,20%), kelainan Refraksi (0,14%), gangguan retina (0,13%),

dan kelainan kornea (0,10%). Dengan pendekatan penelitian yang berbeda, hasil riset

kesehatan dasar (RISKESDAS) Departemen Kesehatan tahun 2007 menyatakan

bahwa prevalensi kebutaan dan low vision di Indonesia adalah 0,9% dan 4,8%,

dengan penyebab terbesar adalah katarak. Prevalensi kebutaan dan low vision di

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013

Page 16: UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367253-SP-Muhammad Asroruddin.pdf · glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma

2

Universitas Indonesia

Provinsi DKI Jakarta adalah 0,5% dan 3,5% dengan penyebab utama adalah katarak

dan kelainan refraksi.6 Saw dkk

7 pada tahun 2003 menyatakan bahwa angka

prevalensi low vision bilateral di Indonesia adalah 5,8% dan angka kebutaan bilateral

sebesar 2,2%, dengan penyebab utama adalah katarak, gangguan refraksi, dan

ambliopia.

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa gangguan penglihatan dan kebutaan

dapat mengakibatkan menurunnya kualitas hidup (quality of life), yang terlihat dari

berkurangnya kemampuan seseorang untuk melakukan pekerjaan, mengisi waktu

luang, atau melakukan aktivitas harian (activities of daily living).1,8

Dampak lain yang

timbul adalah pasien akan terisolasi secara sosial, shock dan denial, depresi, dan

ketergantungan, serta tingginya risiko terjatuh, fraktur femur, kesalahan pengobatan,

dan penurunan status gizi pada orang tua.1,3,9-12

Beberapa faktor diduga berperanan dalam penurunan kualitas hidup pada

penyandang gangguan penglihatan. Faktor tingkat penurunan visus dan lapang

pandangan berkaitan dengan penurunan kualitas hidup. Penyebab kebutaan seperti

katarak, glaukoma dan gangguan refraktif, serta komorbiditas juga dapat menjadi

faktor yang mempengaruhi penurunan kualitas hidup. Beberapa penelitian berbasis

populasi menemukan bahwa faktor demografi dan sosioekonomi juga berperanan

penting dalam berkembangnya gangguan penglihatan yang menyebabkan penurunan

kualitas hidup. Tingkat sosioekonomi masyarakat penting untuk menghitung angka

kebutuhan untuk pelayanan dan penatalaksanaan rehabilitatif, untuk mendesain

edukasi kesehatan dan program skrining yang lebih inovatif dengan sasaran

kelompok subpopulasi tertentu, dan untuk mengidentifikasi ranah penelitian yang

diprioritaskan.13-15

Dampak gangguan penglihatan dan kebutaan umumnya dilakukan secara objektif

dengan pemeriksaan tajam penglihatan dan lapang pandangan. Namun, hal tersebut

belum dapat secara akurat atau menyeluruh menggambarkan dampak menyeluruh

akibat gangguan terkait penglihatan yang dialami oleh pasien. Penilaian yang bersifat

subjektif dari sudut pandang pasien seperti kualitas hidup juga diperlukan. Oleh

karena itu, kedua aspek penilaian tersebut sangat penting dan bermanfaat untuk

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013

Page 17: UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367253-SP-Muhammad Asroruddin.pdf · glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma

3

Universitas Indonesia

memberikan penilaian kesehatan mata yang lebih komprehensif. Penilaian kualitas

hidup bermanfaat untuk menentukan kebijakan penanganan yang lebih holistik

melalui program rehabilitasi untuk kelompok penyandang low vision dan buta.

Program ini akan memberikan dampak meningkatnya kualitas hidup penyandangnya

setelah rehabilitasi dilaksanakan.16-17

Berbagai instrumen telah banyak dikembangkan untuk menilai kualitas hidup

penyandang gangguan penglihatan dan buta. Instrumen yang saat ini lazim digunakan

adalah Visual Function Questionnaire (VFQ) yang dikembangkan oleh National Eye

Institute (NEI-VFQ25) yang banyak digunakan di seluruh dunia. Penilaian yang

dilakukan adalah kesehatan umum, penglihatan umum, nyeri pada mata, aktivitas

dengan penglihatan dekat, aktivitas dengan penglihatan jauh, fungsi sosial, kesehatan

mental, kesulitan berperan dalam masyarakat, ketergantungan, berkendaraan,

penglihatan warna, dan penglihatan perifer. Kuesioner yang disesuaikan dengan

kebutuhan tertentu, seperti untuk menilai perubahan kualitas hidup sebelum dan

setelah intervensi juga telah banyak dikembangkan.18-23

Penilaian skor quality of life (QoL) sangat bermanfaat untuk menentukan dampak

yang dialami pasien dengan gangguan penglihatan. Berbagai penelitian telah

membandingkan skor kualitas hidup berdasarkan penyakit mata penyebab gangguan

penglihatan, dan melihat tingkat kualitas hidup pada penyakit mata yang dapat

ditangani (avoidable blindness) seperti katarak, glaukoma, dan kelainan refraksi

sebagai penyebab utama. Selain gangguan visus sentral, lapang pandangan perifer

juga terganggu pada glaukoma sehingga hal ini diduga memperburuk kualitas hidup

pasien dibanding penyakit mata lainnya. Penelitian Broman dkk24

dan Lin dkk25

dengan kuesioner VFQ25 menunjukkan bahwa pasien glaukoma memiliki skor

kualitas hidup yang lebih rendah dibanding pasien katarak dan kelainan refraktif.

Oleh karena itu, penting untuk dilakukan studi lebih lanjut bagaimana kualitas hidup

berdasarkan jenis penyakit, untuk menjadi masukan bagi penanggulangan kebutaan.

Skor kualitas hidup juga penting untuk mengetahui pengaruh tindakan yang

dilakukan pada pasien seperti pada pasca penggunaan low vision aids atau pasca

operasi katarak. Penilaian kualitas hidup juga bermanfaat untuk membuat rencana

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013

Page 18: UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367253-SP-Muhammad Asroruddin.pdf · glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma

4

Universitas Indonesia

utama (master plan) penanggulangan kebutaan dan low vision yang melibatkan

berbagai pemangku kebijakan (stakeholder) di suatu wilayah termasuk negara sesuai

amanat WHO dan Millenium Development Goals (MDGs) yang tercantum dalam

Vision 2020: The Right to Sight.

1.2. PERUMUSAN MASALAH

Jumlah angka kebutaan dan gangguan penglihatan di Indonesia masih tinggi.

Gangguan penglihatan memiliki dampak penurunan kualitas hidup seseorang.

Dampak negatif yang muncul adalah terganggunya aktivitas harian yang memerlukan

fungsi penglihatan seperti mobilitas, keikutsertaan dalam kegiatan sosial, dan ranah

kualitas hidup (quality of life) lainnya. Dampak lain yang timbul adalah pasien juga

akan terisolasi secara sosial dan mengalami gangguan mental.

Penilaian kualitas hidup yang terkait kesehatan (health-related quality of life)

diperlukan untuk menilai tingkat penurunan kualitas hidup terkait penglihatan

(vision-related quality of life) terutama pada penyandang low vision dan buta. Tingkat

penurunan visus dan lapang pandangan, jenis penyakit mata yang dimiliki,

komorbiditas, serta faktor sosiodemografi dan sosioekonomi dapat mempengaruhi

kualitas hidup. Instrumen yang digunakan untuk penilaian kualitas hidup juga harus

bersifat valid dan dapat menggambarkan dimensi kualitas hidup yang diinginkan.

Selama ini sepengetahuan peneliti masih sangat sedikit penelitian yang menilai

kualitas hidup pada subjek dengan gangguan penglihatan dan buta yang berbasis

populasi dan berskala nasional, termasuk kualitas hidup berdasarkan penyakit mata

penyebab.

Berdasarkan permasalahan di atas dapat dirumuskan pertanyaan penelitian yaitu

apakah terdapat perbedaan kualitas hidup terkait penglihatan (vision-related quality of

life) pada penyandang gangguan penglihatan berat dan buta berdasarkan penyebab

penyakit mata yang mendasarinya seperti katarak, glaukoma, dan penyakit mata

lainnya? Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kualitas hidup penyandang

gangguan penglihatan berat maupun buta?

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013

Page 19: UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367253-SP-Muhammad Asroruddin.pdf · glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma

5

Universitas Indonesia

1.3. HIPOTESIS

Hipotesis penelitian ini adalah kualitas hidup pada penyandang gangguan penglihatan

berat dan buta karena glaukoma lebih rendah dibanding karena katarak, kelainan

refraktif, dan penyakit mata lainnya.

1.4. TUJUAN PENELITIAN

1.4.1. Tujuan Umum

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui perbedaan kualitas hidup

pada penyandang gangguan penglihatan berat dan buta berdasarkan penyebab

penyakit matanya seperti glaukoma, katarak, kelainan refraksi, dan penyakit mata

lainnya.

1.4.2. Tujuan Khusus

Penelitian ini secara khusus bertujuan untuk:

1. Mengetahui perbedaan kualitas hidup pada populasi dengan gangguan

penglihatan berat dan buta, baik skor total maupun skor subskala di 5 provinsi

di Indonesia.

2. Menilai karakteristik demografis penyandang gangguan penglihatan berat dan

buta.

3. Mengetahui penyakit penyebab gangguan penglihatan berat dan buta

4. Menilai hubungan gangguan penglihatan dan penurunan kualitas hidup pada

populasi gangguan penglihatan berat dan buta di Indonesia.

5. Menilai hubungan skor kualitas hidup pada penyandang gangguan penglihatan

dan buta dengan derajat penurunan visus, jenis penyebab penyakit, dan lama

terjadinya gangguan (onset).

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013

Page 20: UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367253-SP-Muhammad Asroruddin.pdf · glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma

6

Universitas Indonesia

1.5. MANFAAT PENELITIAN

1.5.1. Manfaat Untuk Institusi Pendidikan

Hasil penelitian ini dapat menyumbangkan informasi yang berharga bagi institusi

pendidikan untuk menjadi informasi dan rekomendasi kepada pemangku kebijakan

untuk melakukan langkah-langkah strategis penanggulangan kebutaan dan low vision

pada golongan dengan gangguan penglihatan berat dan buta.

1.5.2. Manfaat Untuk Peneliti

Penelitian ini akan menambah pengetahuan dan pengalaman melakukan penelitian

serta dapat menjadi salah satu dasar pertimbangan dalam mengembangkan penelitian

selanjutnya di kemudian hari.

1.5.3. Manfaat Untuk Masyarakat

Hasil penelitian ini dapat meningkatkan pelayanan kesehatan mata berbasis

komunitas terutama untuk gangguan penglihatan berat dan buta.

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013

Page 21: UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367253-SP-Muhammad Asroruddin.pdf · glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma

7

Universitas Indonesia

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Low Vision dan Kebutaan

Pada tahun 1980, WHO mengusulkan 4 istilah yang digunakan untuk

mendefinisikan impairment and disability, yang berkaitan pula dengan low vision,

yaitu (1) disorder, adalah deviasi anatomi dari normal dan dapat terjadi secara

kongenital atau didapat (akuisita), seperti AMD, retinopati diabetik, glaukoma, dan

katarak; (2) impairment, adalah hilangnya atau abnormalitas fungsi, baik secara

fisiologis maupun psikologis, seperti penurunan tajam penglihatan, penurunan

sensitivitas kontras, skotoma sentral, lapang pandang menyempit; (3) disability,

adalah halangan atau ketidakmampuan untuk melakukan tugas dengan cara normal,

seperti membaca koran, mengenali wajah, dan mengemudi mobil; dan (4) handicap,

adalah suatu kerugian yang menghambat atau membatasi seseorang dalam

menjalankan peranan tertentu yang dapat dilakukan oleh orang normal, seperti

ketidakmampuan untuk bekerja atau melakukan hobi, dan terhalang interaksi

sosialnya. Istilah tersebut saat ini sudah direvisi dan digunakan definisi dan kriteria

yang terbaru seiring dengan perkembangan pengetahuan.26

WHO kemudian membagi kriteria fungsi penglihatan menjadi 4 kelompok yaitu

penglihatan normal, gangguan penglihatan sedang, gangguan penglihatan berat, dan

buta. Gangguan penglihatan sedang dan berat disebut juga sebagai low vision. WHO

mendefinisikan buta legal (legal blindness) sebagai tajam penglihatan dengan koreksi

terbaik 20/200 (6/60) atau lebih rendah pada mata terbaik, atau lapang pandang 20°

atau lebih buruk pada mata terbaik. Low vision adalah keadaan seseorang yang

memiliki gangguan fungsi penglihatan setelah melakukan pengobatan dan/atau

koreksi refraksi standar, dan memiliki tajam penglihatan kurang dari 6/18 (20/60)

hingga light perception, atau luas lapang pandang kurang dari 10° dari titik fiksasi,

namun masih atau memiliki potensi untuk menggunakan penglihatannya untuk

merencanakan atau melakukan suatu pekerjaan.27

7

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013

Page 22: UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367253-SP-Muhammad Asroruddin.pdf · glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma

8

Universitas Indonesia

Menurut Revised International Statistical Classification of Diseases, Injuries,

and Causes of Death (ICD-10) WHO, gangguan penglihatan mencakup low vision

dan kebutaan¸ yang dikategorikan menjadi moderate visual impairment, bila tajam

penglihatan dengan koreksi terbaik (BCVA) kurang dari 20/60 (6/18) hingga 20/200

(6/60); severe visual impairment, bila tajam penglihatan kurang dari 20/200 (6/60)

hingga 20/400 (3/60) atau diameter lapang pandang 20° atau lebih rendah; dan buta,

bila tajam penglihatan/visus <3/60, atau hilangnya lapang pandangan kurang dari dari

10°, pada mata terbaik dengan koreksi terbaik yang memungkinkan.27

Menurut low vision Consensus Group28

, low vision adalah seseorang yang

mengalami kerusakan fungsi visual (impairment of visual function) yang

penatalaksanaannya tidak dapat dilakukan dengan pemberian kacamata konvensional,

lensa kontak atau intervensi lain dan menimbulkan halangan dalam kehidupan

seseorang sehari-hari. Pada tahun 1997, American Optometric Association

menambah kriteria low vision yaitu gangguan sensitivitas kontras, warna, dan ocular

motility.29

Tabel 2.1. Kategori gangguan penglihatan berdasarkan ICD-10

Kategori

gangguan penglihatan

Presenting visual acuity Atau lapang

pandangan sentral

Diklasifikasi

sebagai Maksimal kurang dari

Minimal sama atau lebih baik dari

1 6/12

0.50

20/40

6/18

0.33

20/60

Gangguan

penglihatan

ringan

2 6/18

0.33

20/60

6/60

0.1

20/200

Gangguan

penglihatan

sedang

3 6/60 0.1

20/200

3/60 0.05

20/400

20° atau kurang tapi

lebih dari 10°

Gangguan penglihatan

bert

4 3/60

0.05 20/400

1/60

0.02 5/300(20/1200)

10° atau

kurang tapi lebih dari 5°

Buta

5 1/60

0.02 5/300(20/1200)

Persepsi cahaya 5° atau kurang Buta berat

6 Tidak ada

persepsi cahaya

Buta total

9 Tidak spesifik Tidak spesifik

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013

Page 23: UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367253-SP-Muhammad Asroruddin.pdf · glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma

9

Universitas Indonesia

2.2. Patofisiologi

Patofisiologi penurunan fungsi visual pada gangguan penglihatan dan buta mencakup

tiga hal yang berhubungan dengan proses patologis dari status fungsional pasien,

yaitu kekekeruhan media refraksi (cloudy media), defisit lapang pandangan sentral,

dan defisit lapang pandangan perifer. Hal ini membantu memperkirakan keluhan dan

kesulitan pasien, dan membantu dokter memilih dan menerapkan strategi

rehabilitasi.1,30

2.2.1. Kekeruhan Media Refraksi (Cloudy Media)

Untuk membentuk keseluruhan bayangan objek yang jelas di retina, sumber cahaya

harus melewati media refraksi yaitu lapisan air mata, kornea, bilik mata depan, pupil,

lensa dan vitreous. Penyakit yang mengenai struktur tersebut biasanya menimbulkan

gangguan dalam kejelasan objek, sehingga menimbulkan pandangan kabur,

penurunan detil penglihatan, dan keluhan silau (glare) yang berarti, dan berkurangnya

sensitivitas kontras.1,30

Contoh kondisi di atas adalah tajam penglihatan yang tak terkoreksi pada

kelainan refraksi (refractive errors), penyakit yang mengenai epitel dan stroma

kornea (mata kering, distrofi, keratokonus, jaringan parut karena herpes simpleks),

midriasis traumatik, katarak, komplikasi bedah LASIK, perdarahan vitreous, dan

uveitis posterior.1,30

2.2.1. Defisit Lapang Pandangan Sentral

Kejelasan pembentukan bayangan objek sentral bergantung pada makula yang intak

dan jaras saraf yang mempersarafi pandangan sentral. Gejala yang timbul bergantung

dari jumlah, ukuran, lokasi, dan kepadatan skotoma dan dari kemampuan pasien

untuk menggunakan titik fiksasi eksentrik (eccentric fixation), yang disebut preferred

retinal locus.1,30

Penyakit-penyakit yang mengenai struktur ini menyebabkan skotoma relatif

atau absolut (blind spot) pada titik fiksasi atau fiksasi dekat dan/atau penurunan

sensitivitas kontras retina. Penyebab utamanya adalah karena age-related macular

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013

Page 24: UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367253-SP-Muhammad Asroruddin.pdf · glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma

10

Universitas Indonesia

degeneration (AMD). Penyebab lain adalah macular hole, diabetic macular edema,

myopic degeneration, toksoplasmosis dan histoplasmosis, fototoksisitas, reaksi toksik

obat, cecocentral scotoma, dan gangguan makula kongenital.1,30

Gejala yang biasa timbul adalah kesulitan dalam membaca, mengenali wajah

orang, dan melakukan setiap pekerjaan yang memerlukan penglihatan secara detil.

Kesulitan membaca berarti pandangan yang kabur atau distorted, huruf yang hilang,

atau perlunya cahaya lebih terang. Karena konsentrasi sel kerucut paling padat

ditemukan di makula, dapat pula terjadi penurunan ketajaman warna. 1,30

2.2.3. Defisit Lapang Pandangan Perifer

Lapang pandangan perifer sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Berbagai

macam kehilangan lapang pandang dapat disebabkan oleh penyakit-penyakit pada

retina, nervus optikus, dan sistem saraf pusat. Gejala yang khas timbul pada

gangguan ini adalah menabrak objek atau orang dan kesulitan menentukan arah pada

daerah yang tidak dikenali, terutama pada pencahayaan yang kurang atau pada saat

malam hari, serta kesulitan membaca. Pada gangguan dini tajam penglihatan tidak

terganggu, sehingga diperlukan pemeriksaan lapang pandangan dan sensitivitas

kontras. 1,30

Gangguan pada kategori ini ditemukan pada pasien retinitis pigmentosa, distrofi

retina, ablatio retina, proliferative diabetic retinopathy, glaukoma, neuropati optik

iskemik, stroke, trauma, dan tumor. Tindakan panretinal laser photocoagulation

dapat menyebabkan kehilangan lapang pandang iatrogenik dan penurunan sensitivitas

kontras yang secara bermakna akan membatasi kemampuan melihat pasien pada

malam hari.1,30

2.3. Kualitas Hidup (Quality of Life)

Quality of life (QoL) menurut WHO Instrument Group31

adalah adalah suatu persepsi

individu terhadap keberadaan atau posisinya dalam kehidupan dalam konteks budaya

dan sistem nilai di tempat mereka hidup dan berkaitan dengan tujuan, harapan,

standar, dan kepentingan masing-masing. Quality of life merupakan suatu konsep luas

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013

Page 25: UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367253-SP-Muhammad Asroruddin.pdf · glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma

11

Universitas Indonesia

yang terpengaruh secara kompleks oleh status kesehatan fisik seseorang, status

psikologis, tingkat kemandirian, hubungan sosial, dan hubungan mereka terhadap

lingkungan mereka yang penting.31

Quality of life memiliki 5 dimensi yang meliputi aspek vision (penglihatan), yang

meliputi gejala dan kondisi tertentu, aspek ekonomi yang meliputi biaya finansial dan

nonfinansial, aspek sosial (kontak sosial dan hubungan interpersonal), aspek

fungsional (self-care, mobilitas, tingkat aktivitas, activity of daily living), serta aspek

psikologis dan emosional (fungsi kognitif, kesejahteraan emosi). Meskipun masih ada

perbedaan pendapat para ahli mengenai definisi kualitas hidup, namun terdapat

konsensus bahwa kualitas hidup yang terkait kesehatan , atau health-related quality of

life (HRQOL) berkaitan dengan tingkat fungsi fisik, psikologis dan sosial, dan

termasuk kecakapan (ability), hubungan (relationship), perpepsi, kepuasan hidup, dan

kesejahteraan.32

Seiring berjalannya waktu, HRQOL secara subjektif telah diukur dengan

bermacam-macam cara. Istilah HRQOL menggambarkan perubahan atau pergeseran

yang telah terjadi pada 30 tahun terakhir dimana HRQOL sebelumnya hanya diukur

berdasarkan indikator klinis dari hasil (outcome) dari program rehabilitasi. Banyak

alat yang telah dikembangkan untuk membuka pandangan pasien sendiri tentang

HRQOL. HRQOL mengukur fungsi dan kesejahteraan aspek kesehatan fisik, mental,

dan sosial dari kehidupan seseorang, dan menggambarkan pengaruh kondisi

kesehatan yang sangat luas secara simultan. Penilaian HRQOL sangat penting untuk

dapat menilai kualitas hidup seseorang secara holistik, termasuk pasca program

rehabilitasi seperti pada pasca operasi katarak atau pasca pemberian low vision aids.

Selain itu, HRQOL juga diperlukan karena tumbuhnya minat dari pemerintah dan

perusahaan asuransi kesehatan melihat parameter kualitas pelayanan yang telah

dilakukan.31-33

2.4. Dampak Gangguan Penglihatan dan Kebutaan terhadap Kualitas Hidup

Kebutaan dan gangguan penglihatan merupakan masalah utama kesehatan

masyarakat di Indonesia. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa gangguan

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013

Page 26: UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367253-SP-Muhammad Asroruddin.pdf · glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma

12

Universitas Indonesia

penglihatan memiliki dampak negatif pada aktivitas harian yang memerlukan fungsi

penglihatan seperti mobilitas, keikutsertaan dalam kegiatan sosial, dan ranah kualitas

hidup lainnya. Hal ini mengakibatkan berkurangnya kemampuan seseorang untuk

melakukan pekerjaan, mengisi waktu luang, atau melakukan aktivitas harian

(activities of daily living). Dampak lain yang timbul adalah pasien akan terisolasi

secara sosial, shock dan denial, depresi, dan ketergantungan, serta tingginya risiko

terjatuh, fraktur femur, kesalahan pengobatan, dan penurunan status gizi pada orang

tua. 1,3,9-12

Gangguan penglihatan memiliki implikasi multidimensional seperti dampak fisik

(penurunan tajam penglihatan), fungsional (hambatan mengurus diri sendiri,

mobilitas, dan aktivitas harian), dampak sosial (kontak social dan hubungan

interpersonal), dan dampak psikologis (status emosional, kesejahteraan, kepuasan

hidup, dan kebahagiaan).32

Seberapa baik seseorang dengan low vision dapat melihat tidak sepenuhnya

ditentukan oleh tingkat kehilangan penglihatan. Beberapa faktor yang independen

terhadap fisiologi mata mempengaruhi kualitas penglihatan. Hal ini sesuai dengan

konsep WHO tentang definisi sehat yang menggunakan istilah biopsikososial untuk

menjelaskan keterkaitan faktor fisik, psikologis, dan social untuk menggambarkan

bagaimana low vision berdampak pada fungsional sehari-hari. Model yang

dikembangkan oleh International Classification of Functioning34

mencoba

menggambarkan berbagai faktor yang saling berinteraksi terhadap kualitas

penglihatan seperti terlihat pada Gambar 2.1.

Seseorang dengan penglihatan jauh yang terbatas memiliki kesulitan dalam

pembelajaran, seperti meniru, memahami komunikasi nonverbal, mengintegrasikan

fungsi indera (visual/auditory, visual/tactual, visual/olfactory, visual/gustatory),

gangguan mobilitas yang terkait kemandirian (menghindari rintangan di jalan dan

mengenai kendaraan bermotor, sepedam atau hewan yang bergerak, mengenali orang,

objek, atau tindakan; membaca marka jalan. Seseorang dengan gangguan penglihatan

dekat memiliki kesulitan dalam hygiene dan perawatan personal, menyiapkan

makanan, mengenakan dan menjaga pakaian, menenun, menjahit, mengukir, dan

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013

Page 27: UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367253-SP-Muhammad Asroruddin.pdf · glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma

13

Universitas Indonesia

membaca. Seseorang dengan gangguan lapang pandangan memiliki kesulitan dalam

menemukan objek dan adanya gangguan mobilitas secara mandiri.32

Gambar 2.1. Berbagai faktor yang saling berinteraksi terhadap kualitas penglihatan32

Low vision dapat memengaruhi mobilitas dan kemandirian. Meskipun

penyandang low vision telah mendapatkan informasi suara, penghidu, dan taktil

mengenai lingkungan fisik mereka, namun isyarat visual yang mereka terima

biasanya tidak sempurna atau buram. Kemampuan mereka untuk menggunakan

informasi ini secara efektif bergantung pada faktor penglihatan, personal, dan

lingkungan. Low vision juga secara tidak langsung mempengaruhi mobilitas dengan

meningkatnya risiko jatuh dan fraktur pinggul, dan menjadi terlalu berhati-hati karena

rasa takut jatuh. Aspek penglihatan yang mempengaruhi mobilitas termasuk

kegelapan, cahaya suram, perubahan tatacahaya, daerah tak dikenal, situasi ramai,

dan lingkungan seperti swalayan.32

Penelitian Laitinen13

di Finlandia menemukan hubungan penurunan tajam

penglihatan dengan dampak negatif pada aktivitas harian seseorang. Sekitar 80%

orang dengan visus 6/24 atau lebih rendah memiliki setidaknya satu keterbatasan

dalam melakukan aktivitas harian bila dibandingkan dengan orang dengan visus lebih

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013

Page 28: UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367253-SP-Muhammad Asroruddin.pdf · glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma

14

Universitas Indonesia

dari 6/7,5 yang ditemukan pada 48% orang. Peneliti juga menemukan bahwa visus

menjadi faktor independen yang kuat terhadap fungsi fisik pada orang yang berusia

55 tahun ke atas. Jika faktor-faktor selain penglihatan sudah dapat dikontrol

sebelumnya, orang dengan visus menurun, yaitu kurang dari 6/40 akan mengalami

peningkatan risiko terjadinya gangguan atau keterbatasan dalam melakukan aktivitas

harian sebesar 3 – 5 kali bila dibandingkan dengan orang dengan visus yang lebih

baik. Bila dibandingkan dengan orang yang memiliki visus normal, bahkan orang

dengan visus < 6/12 pun sudah memiliki keterbatasan ADL. Penelitian lain oleh

Lamoreux dkk15

juga menemukan bahwa penurunan visus berbanding lurus dengan

penurukan kualitas hidup.

Penelitian Langelaan33

di Belanda menemukan bahwa penurunan kualitas hidup

juga berkaitan dengan kelompok usia yang mengalami gangguan penglihatan.

Gangguan penglihatan jarang terjadi pada usia pekerja sehingga dampak secara

umum terlihat rendah, namun sebetulnya hal ini berdampak sangat besar pada

penderitanya di setiap aspek kehidupan, pendidikan, pekerjaan kehidupan social, dan

kehidupan keluarga. Kegiatan yang sebelumnya dapat dilakukan dengan baik menjadi

terhambat seperti berpakaian, makan, menulis, bepergian, dan komunikasi sederhana

atau berinteraksi dengan orang lain. Pada usia muda, gangguan penglihatan yang

dialami sangat berpengaruh dalam mengejar tujuan hidup, seperti berkeluarga dan

membangun karir jika dibandingkan dengan rekan sebaya mereka yang sehat.

Masalah kesehatan mental juga dapat terjadi pada kelompok ini, dengan risiko

cenderung lebih besar pada usia pekerja.33

Gangguan penglihatan juga berkaitan dengan beban ekonomi penting sepanjang

hidup. Biaya langsung yang berkaitan dengan hal tersebut adalah biaya untuk

tatalaksana penyakit mata, fasilitas khusus untuk pendidikan, dan ketidakamanan

social. Biaya tak langsung yang berkaitan adalah pengembangan diri yang terganggu,

pendapatan menurun, dan penuruan produktivitas pasien itu sendiri maupun orang

yang merawat mereka.33

Beberapa penelitian menemukan keterkaitan antara penurunan kualitas hidup

dengan penyakit penyebab kebutaan dan gangguan penglihatan. Katarak, glaucoma,

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013

Page 29: UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367253-SP-Muhammad Asroruddin.pdf · glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma

15

Universitas Indonesia

AMD, kelainan refraksi, dan retinopati diabetikum telah banyak diteliti berkaitan

dengan kualitas hidup para penderitanya. Dengan menggunakan instrumen yang

sesuai misalnya, pada pasien glaukoma akan tampak gangguan kualitas hidup terkait

penglihatannya dalam hal tajam penglihatan dekat, lapang pandangan, dan sensitivitas

kontras. Aspek kualitas hidup pada pasien dengan AMD yang terganggu adalah

general vision, dan kesulitan dalam melakukan pekerjaan yang memerlukan

penglihatan dekat dan jauh.24-25,35-36

Kesehatan mental pada penyandang gangguan penglihatan dan buta juga

mengalami gangguan yang secara subjektif didapatkan dari penilaian menggunakan

kuesioner. Cahill dkk35

menemukan bahwa skor kualitas hidup yang berkaitan dengan

kesehatan mental lebih rendah bila dibandingkan dengan penyebab gangguan

penglihatan lainnya. Peneliti ini juga menemukan orang yang mengalami low vision

atau buta lebih lama cenderung memiliki skor kualitas hidup lebih tinggi bila

dibandingkan dengan yang lebih singkat atau mendadak mengalami kebutaan.

Biaya untuk menyediakan program rehabilitasi low vision masih rendah. Namun

melalui program rehabilitasi, dukungan sosial, dan modifikasi lingkungan, banyak isu

mobilitas pada low vision dapat diatasi.13,33

2.5. Penilaian Kualitas Hidup

Kualitas hidup yang dipengaruhi kesehatan (health-related quality of life) adalah

istilah yang digunakan untuk menggambarkan kualitas hidup yang berkaitan dengan

pelayanan kesehatan. Konsep HRQOL digunakan pada ranah kesehatan masyarakat

dan kedokteran untuk mengacu pada persepsi seseorang atau kelompok terhadap

kesehatan fisik dan mental.31

Penilaian kualitas hidup yang berkaitan dengan kesehatan beberapa tahun

terakhir telah diterima sebagai cara untuk menilai hasil rehabilitasi. Gagal atau

berhasilnya rehabilitasi pada pasien low vision pada umumnya telah dinilai dengan

menggunakan pengukuran kemampuan fungsional yang lebih khusus, seperti

kecepatan membaca (reading speed) dan frekuensi dan jenis low vision aid yang

digunakan. Namun, penilaian ini tidak harus berkaitan dengan kesan subjektif yang

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013

Page 30: UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367253-SP-Muhammad Asroruddin.pdf · glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma

16

Universitas Indonesia

dialami oleh pasien yang telah direhabilitasi. Persepsi pasien tentang kualitas

hidupnya sendiri dapat menjadi salah satu representasi kesan subjektif pasien itu

sendiri.31

Kemampuan seseorang dengan gangguan untuk berfungsi secara mandiri sering

dinilai dengan melihat kemampuan mereka untuk melakukan tugas sehari-hari.

Aktivitas kehidupan sehari-hari (Activity Daily Living/ADL) dapat didefinisikan

sebagai pekerjaan yang dilakukan pada kondisi normal sehari-hari, termasuk

perawatan diri, aktivitas sosial, mobilitas, melakukan kegitan menyenangkan, dan

bekerja. Telah dibuat batasan antara ADL dasar, termasuk pekerjaan perawatan diri

yang perlu (seperti makan dan kebersihan diri) dan ADL instrumen (IADL) yang

tidak penting secara fundamental tetapi yang memfasilitasi kemandirian dan

berfungsi terintegrasi dalam lingkungan (melakukan pekerjaan rumah ringan,

menyiapkan makan, minum obat, dan mengurus keuangan pribadi).31

Selain gangguan fungsional berhubungan dengan kehilangan penglihatan,

semakin tampak jelas bahwa dampak psikososial dari gangguan penglihatan juga

besar. Insiden depresi pada lansia dengan gangguan penglihatan bervariasi. Cahill35

menemukan bahwa pasien dengan AMD memiliki tingkat ansietas yang lebih tinggi

bila dibandingkan dengan pasien dengan penyebab lain.

Pengukuran HRQOL dikelompokan menjadi pengukuran generik dan spesifik.

Pengukuran generik menunjuk populasi yang berbeda dan meliputi berbagai isu

kesehatan, sedangkan pengukuran spesifik terfokus pada aspek penting dari kualitas

hidup yang relevan terhadap subyek yang diteliti sedangkan. Terdapat beberapa alat

generik untuk menilai HRQOL seperti Sickness Impact Profile, Medical Outcomes

Shortform 36 (SF-36), dan EQ-5D yang sudah dipakai secara luas. Pengukuran QoL

spesifik penglihatan yang lain, termasuk kuesioner Low Vision Quality of Life

(LVQOL) dan National Eye Institute Visual Function Questionnaire (NEI-VFQ) telah

dikembangkan. Kuesioner ini sering mengkombinasikan jenis pengukuran QOL

generik dengan domain berhubungan dengan kemampuan fungsional yang terkait

penglihatan.31

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013

Page 31: UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367253-SP-Muhammad Asroruddin.pdf · glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma

17

Universitas Indonesia

Kuesioner dapat digunakan untuk mengumpulkan banyak data dengan cepat.

Kuesioner juga disebut dengan instrumen. Pertanyaan tunggal atau multipel di dalam

kuesioner disebut sebagai item. Pasien merespon tiap item dengan jawaban dikotom

(misalnya ya atau tidak, benar atau salah) atau dengan penilaian politomus (memilih

respon dari daftar kategori respon seperti derajat kesulitan atau kepentingan). Item

berhubungan yang menilai variabel yang sama sering dikelompokkan menjadi

domain, dimensi atau subskala. Kuesioner juga dapat mengukur dimensi tunggal atau

dimesi multipel HRQOL. Dimensi yang sering diukur meliputi fisik (gejala penyakit

dan tatalaksana), fungsi (perawatan diri, mobilitas, tingkat aktivitas, dan aktivitas

kehidupan sehari-hari), psikologis (fungsi kognitif, status emosi, kesejahteraan,

kepuasan hidup dan kebahagiaan) dan sosial (kontak sosial dan hubungan

interpersonal).31

2.5.1. Manfaat Penilaian Kualitas Hidup

Penilaian kualitas hidup sangat bermanfaat untuk melihat dampak dan besaran

masalah yang terkait gangguan penglihatan dan kebutaan. Penilaian kualitas hidup

juga berguna untuk melihat pengaruh rehabilitasi penglihatan sesuai dengan penyebab

gangguan penglihatan itu sendiri.

Penelitian Aravind Eye Study14

di India menemukan hubungan skor kualitas

hidup total dan subskala dengan tingkat tajam penglihatan, penyakit mata yang

mendasari, dan faktor demografi. Penyakit katarak, glaucoma, dan kelainan refraksi

berkaitan secara independen terhadap penurunan skor kualitas hidup. Peneliti juga

menemukan bahwa usia, tingkat pendidikan, dan pekerjaan berkaitan dengan skor

kualitas hidup, namun tidak berkaitan dengan jenis kelamin, hipertensi, diabetes, dan

AMD. Semakin buruk tajam penglihatan maka semakin tinggi defisit pada tiap-tiap

subskala skor kualitas hidup yang dinilai. Pasien glaukoma menunjukkan penurunan

skor di subskala general vision bila dibandingkan pasien katarak. Di sisi lain, semakin

meningkatnya usia akan menurunkan skor kualitas hidup. Selain itu, peningkatan

kualitas hidup ditemukan pada golongan dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi

dan yang memiliki pekerjaan.14

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013

Page 32: UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367253-SP-Muhammad Asroruddin.pdf · glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma

18

Universitas Indonesia

Penelitian Broman dkk24

dan Lin dkk25

di Taiwan menemukan bahwa pasien

glaukoma, AMD, dan retinopati diabetik memiliki skor total yang lebih buruk bila

dibandingkan dengan pasien dengan kelaian refraksi yang belum terkoreksi dengan

menggunakan kuesioner VFQ-25. Penurunan skor kualitas hidup juga berkaitan

dengan hipertensi, penyakit jantung, dan arthritis. Penelitian Simangunsong37

berbasis rumah sakit di RSCM menemukan ada perbedaan kualitas hidup antara

pasien dengan glaukoma tahap moderate dan lanjut.

Pada penelitian Saw dkk38

dalam Tanjong Pagar Survey, responden dengan low

vision memiliki skor visual function yang lebih rendah dibanding responden tanpa

low vision. Responden dewasa yang buta juga memiliki skor visual function yang

lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak buta, dan skor tersebut tetap berbeda

signifikan setelah dilakukan kontrol terhadap variabel usia, jenis kelamin dan

pendidikan.

Berbagai penelitian juga menggunakan indikator QoL untuk menilai dampak

program rehabilitasi terhadap peningkatan kualitas hidup termasuk kepuasan pasien.

Penelitian Fitriani39

dan Hapsari40

di daerah Lombok menemukan bahwa program

rehabilitasi gangguan penglihatan berupa operasi katarak dapat meningkatkan

kualitas hidup pasien dalam aspek self-care, mobilitas, mental, dan sosial. Oleh

karena itu, intervensi yang disease-specific penting dilakukan dalam rangka

menurunkan dampak negatif pada kehidupan sehari-hari.

2.5.2. Penilaian Kualitas Hidup Terkait Penglihatan dengan Kuesioner VFQ-25

National Eye Institute Visual Function Questionnaire 25 (NEI-VFQ25) adalah salah

satu kuesioner fungsi visual yang paling banyak digunakan. Berkurang dari format

asli versi 51 item, reliabilitas dan validitas NEI VFQ-25 dapat dibandingkan dengan

versi yang lebih panjang. Kuesioner ini telah digunakan dalam survey mata berbasis

populasi yang besar dan telah divalidasi dalam beberapa bahasa.18-20

Pengukuran HRQOL harus dilakukan sesingkat mungkin mengingat dampak

penelitian akan mempengaruhi tingkat partisipasi responden yang rendah. Sebelum

VF-25 diperkenalkan, pada awalnya digunakan VF-51 yang berusaha mengukur

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013

Page 33: UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367253-SP-Muhammad Asroruddin.pdf · glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma

19

Universitas Indonesia

pengaruh penglihatan pada berbagai dimensi HRQOL seperti kesejahteraan secara

emosional dan fungsi social. Namun, beberapa umpan balik dari pengguna

menyatakan bahwa versi yang lebih singkat sangat diperlukan untuk riset dan klinis.

NEI VFQ memiliki kandungan yang multidimensi, reliabilitas, dan validitas yang

baik dan dapat diselesaikan dalam waktu yang sesingkat mungkin.16,18-20

Dua puluh lima pertanyaan dalam NEI VFQ dikelompokkan dalam 12 subskala

(termasuk kesehatan umum, penglihatan umum, nyeri mata, aktivitas dekat, aktivitas

jauh, fungsi sosial, kesehatan mental, kesulitan peran, ketergantungan, mengemudi,

penglihatan warna, dan lapang pandang perifer). Tiap subskala dihitung berdasarkan

metode yang telah dijelaskan oleh pengembang NEI-VFQ dan dapat berkisar dari 0

sampai 100, dimana 0 adalah paling buruk dan 100 menunjukkan tidak ada

ketidakmampuan berhubungan dengan penglihatan.16,18-20

Mangione dkk18

melakukan pengukuran kualitas hidup dengan menggunakan

kuesioner VFQ-25, karena kuesioner ini akan memberikan data yang reproducible

dan sahih, terutama jika digunakan pada berbagai kondisi dengan berbagai tingkat

keparahan penyakit mata. NEI-VFQ25 sensitif terhadap pengaruh katarak senilis,

degenerasi macula, kehilangan lapang pandang dan low vision dengan berbagai

sebab. Kuesioner ini juga banyak dipilih karena spesifik.24,25,37

Kuesioner ini

memiliki validitas isi yang didapat dari berbagai penelitian dan dari hasil konsultasi

terhadap pasien dan ahli low vision. Kuesioner ini memiliki hal-hal (item) yang

berkaitan dengan aktivitas harian, fungsi social, dan cara mengatasi vision loss.

Kuesioner ini sudah pernah ditranslasikan dan telah divalidasi untuk kepentingan

penelitian yang serupa oleh Simangunsong37

.

2.5.3. Panduan Pengisian Kuesioner VFQ-25

Jenis variabel dan jumlah pertanyaan yang dinilai pada kuesioner VFQ-25 adalah

seperti berikut (kuesioner terlampir):

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013

Page 34: UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367253-SP-Muhammad Asroruddin.pdf · glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma

20

Universitas Indonesia

Tabel 2.2. Aspek yang dinilai pada kuesioner VFQ-25

Skala yang dinilai Jumlah pertanyaan Nomor pertanyaan

General Health 1 1

General Vision 1 2 Ocular pain 2 4,19

Near activities 3 5, 6, 7

Distance activities 3 8, 9, 14 Vision specific:

Social functioning 2 11, 13

Mental health 4 3, 21, 22, 25

Role difficulties 2 17, 18 Dependency 3 20, 23, 24

Driving 3 15c, 16, 16a

Color vision 1 12 Peripheral vision 1 10

Langkah pengisian kuesioner dan cara penghitungan skor tercantum di metodologi

penelitian.

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013

Page 35: UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367253-SP-Muhammad Asroruddin.pdf · glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma

21

Universitas Indonesia

BAB 3

KERANGKA TEORI DAN KERANGKA KONSEP

3.1. Kerangka Teori

1. Prevalensi gangguan penglihatan dan kebutaan di Indonesia cukup tinggi dan

meningkat setiap tahun bila dibandingkan negara lain di Asia.

2. Gangguan penglihatan dan kebutaan berdampak pada kualitas hidup yang lebih

rendah termasuk aktivitas harian, mental, dan social, bila dibandingkan dengan

derajat visus yang lebih baik.

3. Diperlukan program rehabilitasi gangguan penglihatan untuk meningkatkan

kualitas hidup seperti program operasi katarak dan pemberian low vision aids.

4. Penilaian kualitas hidup mencakup semua aspek secara komprehensif mulai

berkembang, termasuk penilaian subjektif atau sudut pandang pasien terhadap

kesehatan dan kesejahteraannya.

5. Jenis penyakit mata, komorbiditas, faktor sosiodemografi, faktor sosioekonomi

diduga berperan dalam penurunan kualitas hidup akibat gangguan penglihatan.

6. Penilaian kesehatan dan kecacatan fungsional menjadi bagian penting dalam

pelayanan kesehatan untuk menilai dampak pelayanan terhadap kualitas hidup.

7. Pengukuran HRQOL didesain secara komprehensif dan didalamnya terdapat

penilaian fungsi fisik, psikologis dan sosial serta kesehatan umum.

8. Pengukuran HRQOL dikelompokan menjadi generik atau spesifik.

9. Pengukuran QoL yang spesifik terhadap penglihatan telah banyak

dikembangkan, dan disesuaikan dengan kebutuhan.

10. Kuesioner HRQOL berupa Visual Function Questionnaire (NEI-VFQ) telah

dikembangkan dan telah banyak digunakan dalam menilai dampak gangguan

penglihatan terhadap HRQOL.

11. Penilaian melalui kuesioner bermanfaat untuk menilai dampak gangguan

penglihatan terhadap kualitas hidup, termasuk dampak setelah program

rehabilitasi dilaksanakan.

21

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013

Page 36: UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367253-SP-Muhammad Asroruddin.pdf · glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma

22

Universitas Indonesia

3.2. Bagan Kerangka Konsep

Variabel bebas

Variabel tergantung

Parameter yang dinilai

Parameter yang tidak dinilai

Variabel perancu

Populasi Gangguan

Penglihatan dan Buta:

Derajat gangguan

penglihatan

Penyakit mata

penyebab

Lama gangguan

Skor Kualitas

Hidup Kuesioner

NEI-VFQ25

Komorbiditas

Faktor

sosioekonomi

Skor total

Skor subskala:

Kesehatan umum

Kesehatan

penglihatan

Nyeri mata

Aktivitas dekat

Aktivitas jauh

Fungsi social

Kesehatan mental

Kesulitan peran

Ketergantungan

Penglihatan warna

Penglihatan

perifer

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013

Page 37: UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367253-SP-Muhammad Asroruddin.pdf · glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma

23

Universitas Indonesia

BAB 4

METODOLOGI PENELITIAN

4.1. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang (cross sectional) dengan metode

pemeriksaan oftalmologis lengkap dan wawancara menggunakan kuesioner.

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di 5 provinsi di Indonesia pada periode Juli – Desember

2013, yang meliputi DKI Jakarta, Sumatra Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa

Timur, dan Sulawesi Selatan, dengan mengikuti jadwal studi validasi kebutaan

RISKESDAS-PERDAMI. Kabupaten/kota yang dipilih adalah kabupaten yang

hampir semuanya pernah dilakukan survei kesehatan indera penglihatan pada tahun

1993-1996, dan kabupaten dengan proporsi kebutaan cukup tinggi di provinsi

masing-masing berdasarkan data Riskesdas 2007 dengan mempertimbangkan jumlah

Blok Sensus (BS) terbanyak seperti berikut:

Tabel 4.1. Tempat penelitian studi validasi RISKESDAS dan penilaian kualitas hidup

No Provinsi Kabupaten/Kota

1 DKI Jakarta Jakarta Selatan

Jakarta Timur Jakarta Barat

Jakarta Pusat

Jakarta Utara

2 Sumatra Barat Sijunjung

Pariaman

Solok

Tanah Datar

Lima Puluh Kota

3 DI Yogyakarta Bantul

Gunung Kidul

Sleman 4 Jawa Timur Surabaya

Malang

Jember

5 Sulawesi Selatan Bulukumba

Wajo

Pinrang

Bantaeng

23

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013

Page 38: UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367253-SP-Muhammad Asroruddin.pdf · glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma

24

Universitas Indonesia

Pemilihan kelima provinsi tersebut sebagai tempat dilaksanakan penelitian didasarkan

pada feasibility dan kesanggupan peneliti semata yang disesuaikan dengan jadwal

studi validasi. Teknik pengambilan sampel disesuaikan dengan teknik stratified

random sampling yang dilakukan oleh RISKESDAS.

4.3. Subyek Penelitian

4.3.1. Populasi Target

Populasi target pada penelitian ini adalah semua responden gangguan penglihatan

berat dan buta yang ditetapkan oleh enumerator RISKESDAS untuk mengikuti studi

validasi.

4.3.2. Populasi Terjangkau

Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah semua responden yang datang ke

tempat pemeriksaan studi validasi RISKESDAS

4.3.3. Sampel Penelitian

Sampel penelitian adalah responden gangguan penglihatan berat dan buta yang

memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, yang diambil secara purposive sampling.

Subjek penelitian adalah responden buta yang ditetapkan oleh enumerator Riskesdas

(enumerator R) dengan visus maksimal (presenting visual acuity) pada mata terbaik <

3/60 dengan pinhole, dan responden gangguan penglihatan berat dengan visus

maksimal pada mata terbaik ≥3/60 hingga <6/60 dengan pinhole dengan jumlah yang

sama dengan responden yang dinyatakan buta di semua kota/kabupaten terpilih.

4.3.4. Besar Sampel

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling sesuai

dengan jumlah responden dengan presenting visual acuity pada mata terbaik <3/60

dengan pinhole sebagai responden buta dan presenting visual acuity pada mata

terbaik ≥3/60 - <6/60 dengan pinhole sebagai responden gangguan penglihatan berat

sesuai hasil pemeriksaan enumerator R. Besar sampel dihitung berdasarkan rumus

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013

Page 39: UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367253-SP-Muhammad Asroruddin.pdf · glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma

25

Universitas Indonesia

dua kelompok tidak berpasangan. Besar sampel dihitung berdasarkan nilai simpangan

baku skor kualitas hidup dari beberapa penelitian yaitu 20, dan perbedaan skor

terkecil yang dianggap bermakna yaitu 10. Rumus yang digunakan seperti berikut:

2 n1=n2= 2 (Zα + Zβ ) S

x1-x2

Keterangan:

α : kesalahan tipe I yang masih dapat diterima, oleh peneliti ditetapkan α 5%

Zα : deviat baku α (dengan α 5%, nilai Zα dua arah 1.96)

Β : kesalahan tipe II yang dapat diterima, oleh peneliti ditetapkan β 20 %

Zβ : deviat baku β (dengan β 20%, nilai Zβ 0.84)

S : standar deviasi, nilai S = 20

X1 - X2 : selisih rerata skor kualitas hidup yang dianggap bermakna, yaitu 10.

Besar sampel minimal yang diperlukan adalah masing-masing 50 responden dengan

katarak dan 50 responden dengan glaukoma. Dengan memperhitungkan drop out

sebesar 10 persen, maka sampel yang dibutuhkan adalah masing-masing kelompok

sebesar 55 responden.

4.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

4.4.1. Kriteria Inklusi

Semua responden Riskesdas 2013 pada semua blok sensus (BS) terpilih di

kecamatan/kabupaten/kota pada 5 provinsi yang berusia 18 tahun ke atas pada

saat penelitian.

Responden yang memiliki tajam peglihatan < 6/60 dengan pinhole pada mata

terbaik pada pemeriksaan tumbling E oleh enumerator PERDAMI

(enumerator P).

4.4.2. Kriteria Eksklusi

Responden yang tidak kooperatif untuk dilakukan penilaian dengan kuesioner

dengan berbagai alasan.

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013

Page 40: UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367253-SP-Muhammad Asroruddin.pdf · glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma

26

Universitas Indonesia

4.4.3. Kriteria Drop Out

Responden dinyatakan drop out jika tidak dapat menyelesaikan penilaian

dengan kuesioner dengan berbagai alasan

4.5. Definisi Operasional

1. Visus adalah kemampuan melihat seseorang yang dinilai dan diinterpretasikan

dengan cara mengukur kemampuan melihat huruf atau simbol E dalam

berbagai ukuran (menggunakan kartu Snellen pada jarak 6 meter, dengan

sumber penerangan cahaya matahari atau penerangan yang sesuai pada tiap-

tiap mata.

2. Gangguan penglihatan berat adalah visus <6/60 tetapi lebih baik atau sama

dengan 3/60 pada mata terbaik dengan koreksi terbaik yang memungkinkan

(presenting visual acuity).

3. Buta adalah visus <3/60 hingga no light perception pada mata terbaik dengan

koreksi terbaik yang memungkinkan (presenting visual acuity).

4. Penyakit mata penyebab kebutaan atau gangguan penglihatan adalah penyakit

yang ditegakkan berdasarkan pemeriksaan oftalmologis lengkap dan

pemeriksaan penunjang bila tersedia.

5. Katarak adalah setiap kekeruhan lensa yang dinilai menggunakan kriteria

Buratto.

6. Glaukoma adalah suatu neuropati optik yang ditandai dengan defek lapang

pandangan yang berkesesuaian dengan peningkatan tekanan intraokuler

sebagai faktor resiko. Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan

tekanan intraokuler >21 mmgHg melalui tonometer Schiotz dan/atau aplanasi

Goldmann, dan gambaran papil glaukomatosa dengan cup disc ratio vertical

(CDR) >0,8 atau selisih asimetri CDR>0,3),7,41

dan/atau hasil pemeriksaan

perimetri dengan Humphrey (jika ada) menunjukkan defek lapang pandangan

yang berkesesuaian dengan glaukoma.

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013

Page 41: UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367253-SP-Muhammad Asroruddin.pdf · glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma

27

Universitas Indonesia

7. Degenerasi makula didefinisikan berdasarkan system klasifikasi oleh The

International ARM Epidemiologic Study Group.

8. Komorbiditas adalah setiap riwayat penyakit kronik yang dimiliki oleh

responden berdasarkan hasil wawancara oleh enumerator R, dan/atau hasil

pemeriksaan penunjang, seperti pengukuran tekanan darah dan kadar gula

darah. Komorboditas yang dimiliki dapat berupa diabetes, hipertensi, penyakit

jantung koroner, asma, stroke, dan lainnya.

9. Umur responden adalah usia responden yang berusia 18 tahun ke atas, dan

dikelompokkan menjadi usia produktif (15-64 tahun) dan usia nonproduktif

(>64 tahun) sesuai dengan Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan.

10. Jenis kelamin adalah laki-laki dan perempuan.

11. Tingkat pendidikan adalah jenjang pendidikan formal terakhir yang telah

dijalani responden. Pendidikan terbagi menjadi 5 yaitu tidak sekolah, sekolah

dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, dan sekolah tinggi.

12. Status pendidikan dinyatakan :

a. Rendah bila tidak sekolah atau tidak tamat SD atau yang sederajat

b. Sedang bila tamat sekolah dasar atau tamat sekolah menengah pertama

atau atas atau yang sederajat

c. Tinggi bila tamat sekolah tinggi (diploma, akademi, atau universitas)

13. Jenis pekerjaan dikelompokkan ke dalam 7 kelompok yaitu tidak bekerja

(termasuk ibu rumah tangga), pegawai (meliputi pegawai negeri sipil dan

swasta), Polri/TNI, sekolah/mahasiswa, wiraswasta, nelayan/buruh/petani, dan

lainnya.

14. Provinsi meliputi 5 provinsi di Indonesia yaitu DKI Jakarta, Daerah Istimewa

Yogyakarta, Jawa Timur, Sumatra Barat, dan Sulawesi Selatan.

15. Pendapatan

Pendapatan berupa uang adalah segala penghasilan berupa uang yang sifatnya

regular dan diterima biasanya sebagai balas atau kontra prestasi, sumbernya

berasal dari:

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013

Page 42: UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367253-SP-Muhammad Asroruddin.pdf · glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma

28

Universitas Indonesia

Gaji dan upah yang diterima dari gaji pokok, kerja sampingan, kerja

lembur dan kerja kadang-kadang.

Usaha sendiri yang meliputi hasil bersih dari usaha sendiri, komisi,

penjualan dari kerajinan rumah.

Hasil investasi yakni pendapatan yang diperoleh dari hak milik tanah.

Keuntungan serial yakni pendapatan yang diperoleh dari hak milik

Berdasarkan penggolongannya, BPS membedakan pendapatan penduduk

menjadi 4 golongan yaitu :

Golongan pendapatan sangat tinggi adalah jika pendapatan rata-rata lebih

dari Rp. 3.500.000,00 per bulan

Golongan pendapatan tinggi adalah jika pendapatan rata-rata antara Rp.

2.500.000,00 s/d Rp. 3.500.000,00 per bulan

Golongan pendapatan sedang adalah jika pendapatan rata-rata dibawh

antara Rp. 1.500.000 s/d Rp. 2.500.000,00 per bulan

Golongan pendapatan rendah adalah jika pendapatan rata-rata Rp.

1.500.000,00 per bulan.

16. Lama kebutaan/gangguan penglihatan adalah berapa lama gangguan yang

dialami yang dinyatakan dengan lama tahun dan bulan. Data kemudian akan

dikelompokkan ke dalam 3 kelompok yaitu < 1 tahun, 1-5 tahun, dan >5

tahun.

4.6. Cara Kerja Penelitian

Setelah melalui penjaringan responden RISKESDAS, akan diperiksa oleh enumerator

P dengan menggunakan tumbling E. Responden yang memenuhi kriteria inklusi akan

menjalani studi validasi dan penilaian kualitas hidup dengan cara kerja sebagai

berikut:

1. Pemeriksaan tajam penglihatan lanjutan

a. Petugas pemeriksaan tajam penglihatan lanjutan adalah seorang

refraksionis. Pemeriksaan tajam penglihatan lanjutan meliputi

pemeriksaan tajam penglihatan tanpa koreksi dan dengan koreksi,

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013

Page 43: UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367253-SP-Muhammad Asroruddin.pdf · glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma

29

Universitas Indonesia

menggunakan snellen chart, trial frame dan trial lens. Dilakukan

pengukuran jarak pupil dengan menggunakan penggaris dan senter

pada jarak 30 cm dengan mengarahkan cahaya ke glabela dan

responden melihat ke arah cahaya senter. Hasil jarak pupil yang

didapat dicantumkan pada kolom PD, dinyatakan dalam millimeter

(mm). Pemeriksaan dilakukan pada jarak 6 meter dengan pencahayaan

yang cukup (cahaya matahari) dengan posisi responden membelakangi

cahaya.

b. Tajam penglihatan dicatat dengan notasi 6 meter yakni: 6/6, 6/7.5, 6/9,

6/12, 6/15, 6/20, 6/30, 6/60, 3/60. Bila responden memiliki tajam

penglihatan kurang dari 6/60, maka tajam penglihatan akan dilakukan

dengan ‘hitung jari’ pada jarak 5, 4, 3, 2, dan 1 meter, sehingga notasi

akan ditulis berturut-turut sebagai berikut: 5/60, 4/60, 3/60, 2/60, dan

1/60. Hitung jari pada jarak kurang dari satu meter atau hanya bisa

melihat lambaian tangan akan dicatat sebagai ‘hand movement’ atau

1/300. Apabila responden hanya bisa melihat cahaya maka akan

dicatat sebagai light perception (LP), lalu ditentukan apakah

proyeksinya baik (good projection) atau tidak (wrong projection). Bila

responden tidak dapat melihat cahaya, maka akan dicatat sebagai ‘no

light perception (NLP)’ atau tajam penglihatan ‘nol’.

c. Tajam penglihatan tanpa koreksi mata kanan dan mata kiri yang

diperoleh dicatat pada kolom AV sc. Apabila terdapat koreksi lensa

maka dicatat sesuai jenis lensa yang digunakan. Apabila digunakan

lensa sferis positif maupun negatif, maka ditulis di baris S, dengan

didahului tanda + atau – sesuai dengan lensa yang digunakan. Apabila

digunakan lensa silinder, maka ditulis di kolom C didahului tanda –

didepan disertai axis yang didapat.

d. Setelah pemeriksaan tajam penglihatan selesai, refraksionis

memberikan tanda check pada lembar check list untuk baris

pemeriksaan tajam penglihatan lanjutan. Kemudian responden

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013

Page 44: UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367253-SP-Muhammad Asroruddin.pdf · glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma

30

Universitas Indonesia

diarahkan menuju ke meja pemeriksaan segmen anterior dan posterior

yang akan dilakukan oleh dokter spesialis mata.

2. Pemeriksaan tekanan intraokular, segmen anterior dan posterior mata

a. Petugas pemeriksaan tekanan intraokular, segmen anterior dan

posterior mata adalah perawat mahir mata.

b. Responden diperiksa tekanan intraokular dengan menggunakan

tonometri Schiotz pada kedua mata dan/atau aplanasi Goldmann.

Responden sebelumnya diberi obat tetes Pantocain 0,5% sebagai

anestesi topical. Responden diminta berbaring dengan posisi kedua

mata terbuka dan melihat lurus ke depan. Mata kanan terlebih dahulu

diperiksa. Tonometri schiotz yang sudah dikalibrasi diletakkan di atas

kornea responden. Hasil yang ditemukan di cantumkan didalam blok

F1 dalam satuan mmHg. Setelah itu pasien akan dilakukan pengukuran

ulang dengan tonometri aplanasi Goldmann. Setelah dilakukan

pemeriksaan tekanan intraokular, pemeriksa memberi tanda check

pada lembar check list untuk baris pemeriksaan tekanan intraokular.

c. Responden diarahkan menuju ke meja pemeriksaan biomikroskopi

menggunakan slit lamp untuk pemeriksaan segmen anterior.

Pemeriksaan dengan menggunakan slit lamp dapat menyebabkan silau

karena penyinaran oleh lampu slitlamp apabila responden melihat

langsung ke cahaya slit lamp. Setelah pemeriksaan segmen anterior,

pemeriksa memberi tanda check pada lembar check list baris

pemeriksaan segmen anterior.

d. Responden kemudian diberi obat tetes mydriasil 1% pada kedua mata,

kecuali pada responden yang memiliki tekanan intraokular lebih dari

21 mmHg dan terdapat kekeruhan kornea yang tidak memungkinkan

pemeriksaan segmen posterior. Setelah dilakukan penetesan mydriasil

1%, pemeriksa memberi tanda check pada lembar check list baris

penetesan mydriasil 1%.

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013

Page 45: UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367253-SP-Muhammad Asroruddin.pdf · glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma

31

Universitas Indonesia

e. Pemeriksaan segmen posterior dilakukan dengan menggunakan

funduskopi direk, di ruangan dengan pencahayaan redup atau gelap.

Setelah melakukan pemeriksaan segmen posterior, pemeriksa memberi

tanda check pada lembar check list baris pemeriksaan segmen

posterior.

f. Untuk blok E, kolom penyebab penurunan visus pada satu mata, jika

ditemukan lebih dari satu kelainan mata pada 1 mata yang sama, maka

penentuan penyebab utama penurunan penglihatan meliputi aturan

sebagai berikut :

i. Pilih kelainan mata yang dipercaya menyebabkan penurunan

tajam penglihatan. Contohnya, katarak grade 1 dengan PDR,

maka yang dituliskan sebagai penyebab adalah PDR. Contoh

lain, bila terdapat kekeruhan kornea sentral berat dan katarak

grade 2, maka penyebab penurunan tajam penglihatannya

adalah kekeruhan kornea sentral berat.

ii. Pilih penyebab utama/penyebab primer. Sebagai contoh bila

terdapat band keratopathy dan katarak sekunder karena uveitis,

maka penyebab utamanya adalah inflamasi (uveitis). Contoh

lain, mata anoftalmia karena riwayat tumor, maka yang

disebutkan adalah tumor.

iii. Jika 2 atau lebih kelainan mata yang dinilai sama sama

menyebabkan penurunan tajam penglihatan maka dipilih

penyebab yang paling bisa diobati.

iv. Jika tidak ada yang memenuhi kriteria diatas, pilih penyebab

yang terjadi paling terakhir.

Penyebab kedua penurunan tajam penglihatan dicantumkan pada

baris kedua kolom penyebab utama penurunan visus pada 1 mata.

g. Untuk penentuan penyebab utama penurunan visus pada individu, jika

terdapat perbedaan penyebab penurunan tajam penglihatan antara mata

kanan dan kiri, maka menggunakan kriteria sebagai berikut :

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013

Page 46: UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367253-SP-Muhammad Asroruddin.pdf · glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma

32

Universitas Indonesia

i. Dipilih yang paling mudah diobati. Misalnya mata kanan

katarak, mata kiri ablasio retina lama, maka dipilih katarak.

ii. Jika tidak ada yang memenuhi kriteria di atas, pilih penyebab

yang terjadi paling terakhir.

iii. Jika tidak diketahui kapan terjadinya, maka dipilih kelainan

pada mata yang paling baik visusnya.

h. Untuk kolom G, apabila ditemukan efek samping perlakuan yang

terjadi pada responden, maka dicantumkan pada kolom Ya dan

disebutkan apa efek sampingnya. Efek samping yang dapat terjadi

misalnya reaksi anafilaktik atau glaucoma akut setelah pemberian obat

tetes mydriasil 1%.

i. Pemeriksa (dokter spesialis mata) mencantumkan namanya, tanggal

pemeriksaan serta tanda tangannya pada kolom H.

j. Apabila menurut pemeriksa (dokter spesialis mata) perlu dirujuk maka

responden diberikan surat rujukan. Apabila di rujuk, pemeriksa

memberi tanda check pada lembar check list pada baris rujuk.

k. Responden diarahkan ke meja pengisian kuesioner.

3. Pengisian kuesioner Quality of Life (QoL)

a. Petugas : 1 orang petugas kuesioner yang telah mendapatkan training

untuk mengisi formulir QoL, yaitu kuesioner QoL VF-25. Kuesioner

sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh penerjemah

tersumpah dan sudah melalui uji validasi.

b. Responden yang telah diperiksa kemudian akan dibacakan kuesioner

oleh petugas kuesioner dan diisi sesuai jawaban responden

c. Petugas member tanda check pada lembar check list baris kuesioner

d. Setelah kuesioner terisi, responden diarahkan menuju ke meja

persetujuan tindakan.

4. Pemeriksaan akhir

a. Petugas persetujuan tindakan (residen A) memeriksa kelengkapan

berkas dan disesuaikan dengan lembar check list.

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013

Page 47: UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367253-SP-Muhammad Asroruddin.pdf · glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma

33

Universitas Indonesia

b. Petugas persetujuan tindakan (residen A) memberikan bahan kontak

(Rp.50.000,-) dan responden menandatangani tanda terima bahan

kontak

Pengisian skor dilakukan melalui tiga langkah:

Langkah pertama: responden menjawab pertanyaan dengan melingkari jawaban yang

tertera pada kuesioner. Dalam penelitian ini peneliti membacakan dan melakukan

wawancara untuk menjelaskan maksud dari masing-masing pertanyaan. Metode

wawancara dipilih karena sebagian besar responden memiliki latar belakang

pendidikan yang rendah (<9 tahun pendidikan dasar), sehingga persepsi yang sama

dari tiap pertanyaan didapatkan oleh masing-masing responden.

Langkah kedua adalah pemberian skor dari masing-masing jawaban. Untuk

pertanyaan nomor 1, 3, 4, maka jawaban 1 = skor 100, jawaban 2 = skor 75, jawaban

3 = skor 50, jawaban 4 = skor 25, dan jawaban 5 = skor 0. Sedangkan untuk

pertanyaan nomor 2, jawaban 1 = skor 100, jawaban 2 = skor 80, jawaban 3 = skor

60, jawaban 4 = skor 40, jawaban 5 = skor 20, jawaban 6 = skor 0. Untuk pertanyaan

nomor 5 – 14, maka jawaban 1 = skor 100, jawaban 2 = skoor 75, jawaban 3 = skor

50, jawaban 4 = skor 25, dan jawaban 5 = skor 0, jawaban 6 sebagai missing value.

Untuk pertanyaan nomor 17 – 25, maka jawaban 1 = skor 0, jawaban 2 = skoor 25,

jawaban 3 = skor 50, jawaban 4 = skor 75, dan jawaban 5 = skor 100.

Langkah ketiga adalah menjumlahkan dan menghitung nilai rerata hasil scoring yaitu

skor dari tiap-tiap pertanyaan dalam 1 subskala yang tidak berupa missing value

dijumlahkan kemudian dibagi jumlah pertanyaannya. Sebagai contoh, skala near

activities: pertanyaan 5 mendapat skor 25, pertanyaan 6 mendapat skor 100,

pertanyaan 7 mendapat skor 25, maka rata-rata skor menjadi (25+100+25)/3 = 50.

Kemudian seluruh skor tiap-tiap subskala masing-masing responden dijumlahkan

untuk menjadi skor total.

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013

Page 48: UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367253-SP-Muhammad Asroruddin.pdf · glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma

34

Universitas Indonesia

4.7. Alat dan Bahan

1. Tumbling E, snellen chart

2. Trial Frame dan Trial lens

3. Tonometri Schiotz

4. Portable slit lamp

5. Funduskopi direk

6. Foto fundus pupil kecil

7. Alat tulis

8. Data subjek yang akan datang ke kecamatan berdasarkan hasil dari

enumerator Riskesdas

9. Alat ukur berupa tali/meteran untuk mengukur jarak pemeriksaan tajam

penglihatan

10. Pen-light, flash-light, senter

11. Obat tetes midriasil 1%, pantocain 0,5%

12. Formulir laporan enumerator R ke sms center perdami (terkomputerisasi)

13. Formulir pemeriksaan Enumerator P

14. Kuesioner VF-25 1 berkas

15. Check list pemeriksaan

16. Daftar hadir responden

17. Alkohol swab

4.8. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan di provinsi DKI Jakarta, Sumatra Barat, DI Yogyakarta,

Sulawesi Selatan, dan Jawa Timur, mengikuti jadwal studi validasi yang telah

ditentukan. Kuesioner yang digunakan adalah kuesioner VFQ-25 asli berbahasa

Inggris yang telah dialihbahasakan ke dalam Bahasa Indonesia dan dialihbahasakan

kembali ke Bahasa Inggris untuk uji komparasi. Setelah uji komparasi, dilakukan uji

validasi dengan mengambil sampel ekstrim yaitu populasi dengan penglihatan normal

dan dengan gangguan penglihatan berat.

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013

Page 49: UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367253-SP-Muhammad Asroruddin.pdf · glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma

35

Universitas Indonesia

4.9. Analisis Data

Analisis data dimulai dengan melakukan rekapitulasi data hasil uji validasi

RISKESDAS 2013. Dilakukan pencatatan data identitas, data demografi, jenis

penyebab kebutaan, dan skor kualitas hidup. Data kemudian dipindahkan dalam data

induk penelitian dan diolah menggunakan program SPSS versi16.0. Data disajikan

dalam bentuk tabel, grafik, dan narasi. Perbedaan kualitas hidup antara kelompok

gangguan kualitas hidup dan kelompok buta diuji dengan membandingkan rerata skor

kualitas hidup masing-masing menggunakan uji statistik yang sesuai.

4.10. Bagan Alur Penelitian

4.11. Etik Penelitian

Penelitian ini telah lulus kaji etik dari Badan Penelitian dan Pengembangan

Kesehatan (BALITBANGKES) Kementerian Kesehatan berdasarkan nomor

LB.02.01/5.2/KE.402/2013.

Responden dengan usia >18 tahun

Visus maksimal mata terbaik < 3/60

dengan pinhole oleh enumerator P

Visus maksimal mata terbaik ≥ 3/60-

6/60 dengan pinhole oleh enumerator P

Pengolahan data

Pemeriksaan oftalmologis lengkap

oleh enumerator P

Penilaian kualitas hidup dengan

kuesioner VFQ-25 oleh enumerator P

yang sudah di-training

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013

Page 50: UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367253-SP-Muhammad Asroruddin.pdf · glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma

36

Universitas Indonesia

BAB 5

HASIL PENELITIAN

5.1. Jumlah Sampel dan Karakteristik Subyek

Penelitian dilakukan sejak bulan Juli – Desember 2013, bertempat di Provinsi DKI

Jakarta, Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta, Sumatra Barat, dan Sulawesi

Selatan. Dengan metode purposive sampling pada Studi Validasi Kebutaan

RISKESDAS 2013 Tahap I dan II, didapatkan sebanyak 145 responden yang masuk

dalam kriteria inklusi penelitian dari 353 responden yang dilakukan validasi

kebutaan, dari target sampel minimal sebanyak 110 responden. Sebanyak sebelas

responden dari jumlah total 145 responden, dieksklusi. Kesebelas responden tersebut

tidak dapat dilakukan wawancara terpimpin karena mengalami gangguan

pendengaran dan pemusatan perhatian sehingga dikhawatirkan mempengaruhi hasil

penelitian. Jumlah seluruh responden yang dapat dilakukan analisis adalah 134

responden.

Tabel 5.1 memperlihatkan perbandingan karakteristik subyek pada seluruh

responden secara demografis, yang dikelompokkan menjadi kelompok buta dan

gangguan penglihatan berat, dan karakteristik subjek berdasarkan karakteristik

penyakit penyebab gangguan penglihatan. Kelompok buta memiliki tajam

penglihatan (presenting visual acuity) kurang dari 3/60 (88 responden, 65,7%),

sedangkan kelompok gangguan penglihatan berat memiliki tajam penglihatan 3/60 -

<6/60 (46 responden, 34,3%).

Responden berjenis kelamin perempuan lebih banyak dibanding laki-laki,

yaitu 86 responden (64,2%) dan 48 responden (35,8%). Dari seluruh responden yang

mengalami kebutaan didapatkan 28 responden (31,8%) berjenis kelamin laki-laki,

atau mencapai 20,9% dari seluruh responden penelitian. Pada saat penelitian

berlangsung, sebagian responden laki-laki tidak dapat ditemui karena sedang bekerja

di luar rumah.

Rerata usia responden pada penelitian ini adalah 67,4±12,3 tahun. Usia

responden kemudian dikelompokkan lebih lanjut menjadi kelompok usia produktif

36

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013

Page 51: UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367253-SP-Muhammad Asroruddin.pdf · glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma

37

Universitas Indonesia

(15-64 tahun) dan usia non-produktif (<15 tahun dan lebih dari 64 tahun). Pada tabel

5.1 terlihat bahwa 46 responden (34,3%) dari seluruh subyek penelitian berada pada

kelompok usia produktif, dimana sebanyak 34 responden (73,9%) mengalami

kebutaan, atau 25,4% dari seluruh responden.

Tabel 5.1. Karakteristik demografis subyek penelitian berdasarkan tingkat gangguan

penglihatan, lama gangguan, dan penyakit mata penyebab (n=134) Variabel Total responden

(n=134) Buta

(n=88) Gangguan

Penglihatan

Berat (n=46)

Nilai p

n % n % n %

Jenis Kelamin Laki-laki 48 35,8 28 31,8 20 43,5 0,181

a

Perempuan 86 64,2 60 68,2 26 56,5

Rerata usia (tahun) 67,4 ± 12,3 69,5 (38-95) 67,5 (28-92) 0,173b

Kelompok Usia

18 – 64 tahun 46 34,3 34 38,6 12 26,1 0,232a

> 64 tahun 88 65,7 54 61,4 34 73,9

Tingkat Pendidikan Rendah 88 65,7 60 68,2 28 60,9 0,392

a

Sedang 43 32,1 26 29,5 17 36,9

Tinggi 3 2,2 2 2,3 1 2,2 Tingkat Pendapatan

Rendah 96 71,6 60 68,2 36 78,3 0,462a

Sedang 20 14,9 15 17,0 5 10,9 Tinggi 10 7,5 8 9,1 2 4,3

Sangat Tinggi 8 6 5 5,7 3 6,5

Lama gangguan (tahun) 6,4±10 2 (0,08-30) 3 (0,08-54) 0,104b

Kisaran lama kebutaan < 1 tahun 37 28,2 21 24,1 16 36,4

1 – 5 tahun 59 45,1 41 47,1 18 40,9

> 5 tahun 35 26,7 25 28,8 10 22,7

Jenis penyakit mata Katarak 99 73,9 63 71,6 36 78,3

Glaukoma 7 5,2 6 6,8 1 2,2

Kelainan refraksi 9 6,7 4 4,5 5 10,9 Kelainan kornea 5 3,7 5 5,7 0 0

AMD 2 1,5 2 2,3 0 0

Neuropati optik 7 5,2 4 4,5 3 6,5 Retinopati diabetik 1 0,7 0 0 1 2,2

Ablasio retina 2 1,5 2 2,3 0 0

Kelainan mata lain 2 1,5 2 2,3 0 0 aUji Chi square bUji Man Whitney

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013

Page 52: UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367253-SP-Muhammad Asroruddin.pdf · glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma

38

Universitas Indonesia

Tingkat pendidikan responden yang dibagi menjadi tiga kelompok,

menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki tingkat pendidikan rendah

(65,7%). Berdasarkan tingkat pendidikan ini, kebutaan terjadi pada 60 responden,

atau sekitar 45% dari total responden. Sebagian besar responden (71,6%) memiliki

tingkat pendapatan keluarga yang rendah, dengan 44,8% mengalami kebutaan.

Namun demikian, kebutaan dan gangguan penglihatan berat masih ditemukan pada

kelompok tingkat pendapatan sangat tinggi yang mencapai 6%.

Rerata lama kebutaan atau gangguan penglihatan yang dialami oleh responden

adalah 6,4±10 tahun/3(0,08-50 tahun), namun 3 responden tidak menyadari adanya

gangguan penglihatan. Kisaran lama kebutaan responden yang dibagi menjadi 3

kelompok terlihat bahwa sebagian responden mengalami kebutaan atau gangguan

penglihatan antara 1 – 5 tahun, dan sebagian besar termasuk dalam kelompok buta.

Selain itu, masih ditemukan responden yang mengalami lama kebutaan lebih dari 5

tahun yaitu sebanyak 25 responden, atau sekitar 19% dari seluruh responden.

Tergambar pula bahwa kisaran lama kebutaan yang dialami oleh responden selama

lebih dari 5 tahun lebih banyak ditemukan pada kelompok buta.

Katarak merupakan penyebab utama kebutaan pada penelitian ini (71,6%),

atau 47% dari total responden, dan gangguan penglihatan berat sebesar 26,8%.

Penyebab kebutaan dan gangguan penglihatan lainnya adalah kelainan refraksi

(6,7%) dan glaukoma (5,2%). Glaukoma merupakan penyebab kebutaan kedua (6%)

setelah katarak. Kelainan refraksi merupakan penyebab gangguan penglihatan berat

terbanyak kedua (3,7%) setelah katarak. Sebagian besar penyakit mata tersebut

(130/134, 97%) merupakan penyakit mata yang dapat ditangani (avoidable

blindness), dimana sebanyak 115 responden (85,8%) mengalami gangguan

penglihatan yang dapat direhabilitasi (treatable blindness).

Berdasarkan uji statistik antar berbagai variabel pada karakteristik demografis

dan lama gangguan penglihatan terlihat sebaran sampel yang homogen (p>0,05).

Tidak terdapat perbedaan karakteristik antara responden dengan gangguan

penglihatan berat dan buta..

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013

Page 53: UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367253-SP-Muhammad Asroruddin.pdf · glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma

39

Universitas Indonesia

5.2. Skor Kualitas Hidup

Skor kualitas hidup total (composite score) merupakan rerata dari 10 hingga 11 skor

subskala yang didapatkan dari rerata dari skor setiap pertanyaan di dalam kuesioner

kualitas hidup NEI-VFQ25 dalam penelitian ini. Nilai maksimal skor pada populasi

normal tanpa gangguan penglihatan adalah 100 (100%).

Tabel 5.2 memperlihatkan rerata skor total kualitas hidup berdasarkan

karakteristik jenis kelamin, kelompok usia produktif, dan kisaran lama kebutaan.

Rerata skor kualitas hidup total pada seluruh responden adalah 41,97 + 19,66, yang

berarti pada seluruh responden telah terjadi rerata penurunan kualitas hidup sekitar

58% dari nilai maksimal.

Tabel 5.2. Skor kualitas hidup total berdasarkan jenis kelamin, kelompok usia, dan

kisaran lama kebutaan.

Variabel Rerata (mean+SD) Median (min-maks) Nilai p

Rerata skor total 41,97 ± 19,66 39,82 (2,5-89,4)

Jenis kelamin

Laki-laki 43,4 ± 16,7 42,1 (15-84,6) 0,28a

Perempuan 41,2 ± 21,2 39,2 (2,5-89,4)

Kelompok usia

18-64 tahun 48,5 ± 20,5 45,7 (10,4-89,4) 0,007a

> 64 tahun 38,5 ± 18,4 33,7 (2,5-86,8)

Kisaran lama kebutaan

< 1 tahun 43,3 ± 18,4 39,0 (17,5-83,7) 0,71b

1 – 5 tahun 40,6 ± 20,3 39,8 (2,5-86,8)

> 5 tahun 42,9 ± 18,9 40,5 (10,4-89,4) a=Mann-Whitney test; b=Kruskal-Wallis test

Responden laki-laki memiliki rerata skor kualitas hidup total yang lebih baik

dibanding perempuan yaitu 43,4 ± 16,7 berbanding 41,2 ± 21,2. Namun, skor antara

kedua kelompok ini tidak ditemukan perbedaan nilai yang bermakna secara statistik

(p=0,28). Sementara itu, kelompok usia produktif memiliki skor kualitas hidup yang

lebih baik dibanding kelompok usia nonproduktif, dan perbedaan tersebut bermakna

secara statistik (p=0,007).

Untuk mengetahui pengaruh kisaran lama kebutaan yang dialami oleh

responden terhadap kualitas hidup, pada penelitian ini lama kebutaan dibagi menjadi

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013

Page 54: UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367253-SP-Muhammad Asroruddin.pdf · glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma

40

Universitas Indonesia

3 kelompok. Pada tabel 5.2 terlihat bahwa semakin lama seseorang mengalami

kebutaan atau gangguan penglihatan, skor kualitas hidup semakin meningkat. Namun

demikian, perbedaan skor di antara ketiga kelompok ini tidak bermakna secara

statistik (p=0,71).

5.2.1. Perbandingan Skor Kualitas Hidup antara Kelompok Buta dan Gangguan

Penglihatan Berat

Skor kualitas hidup total dan subskala pada kelompok buta dan gangguan penglihatan

berat tercantum dalam tabel 5.3. Rerata skor kualitas hidup total pada kelompok buta

lebih rendah dibandingkan kelompok gangguan penglihatan berat. Kedua perbedaan

rerata ini bermakna secara statistik (p = 0,001).

Rerata skor kualitas hidup subskala untuk kedua kelompok ini terdapat nilai

yang bervariasi. Pada kelompok buta didapatkan kecenderungan bahwa hampir

seluruh skor subskala lebih rendah dibandingkan dengan kelompok gangguan

penglihatan berat. Pada skor subskala kesehatan umum, nyeri mata, kesehatan mental,

dan ketergantungan tidak ditemukan perbedaan yang bermakna secara statistik.

Table 5.3. Perbandingan rerata skor kualitas hidup total dan subskala berdasarkan

tingkat gangguan penglihatan (n=134)

Variabel Skor

Gangguan penglihatan berat (n=46)

Buta (n=88)

Nilai p

Mean±SD Median Mean±SD Median

Skor total 49,8±19,2 49,7 (16,5-89,4) 37,8+18,8 33,5 (2,5-85,7) 0,001

Kesehatan umum 36,1±22,3 25,0 (0-100) 36,0±21,9 25,0 (0-100) 0,74

Kesehatan mata 33,8±13,4 40,0 (20-60) 24,4±15,8 20,0 (0-60) 0,003

Nyeri mata 68,5±21,6 62,5 (25-100) 74,7±23,7 75,0 (0-100) 0,098

Aktivitas dekat 46,7±30,4 50,0 (0-100) 26,2±24,5 25,0 (0-100) 0,000

Aktivitas jauh 46,6±26,6 50,0 (0-100) 25,9±25,5 20,8 (0-100) 0,000

Fungsi social 52,7±28,8 50,0 (0-100) 33,2±28,0 25,0 (0-100) 0,001

Kesehatan mental 53,6+21,5 50 (12,5-100) 48,7±21,4 50 (0-100) 0,21*

Kesulitan peran 44,4±24,06 37,5 (0-100) 35,7±25,2 25,0 (0-100) 0,009

Ketergantungan 49,2±26,7 50,0 (0-100) 36,5±26,7 33,3 (0-100) 0,08

Penglihatan warna 62,2±32,2 50,0 (0-100) 42,7±34,9 37,5 (0-100) 0,002

Penglihatan perifer 50,5±31,7 50,0 (0-100) 28,5±28,7 25,0 (0-100) 0,000

* = Independent T-test;

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013

Page 55: UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367253-SP-Muhammad Asroruddin.pdf · glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma

41

Universitas Indonesia

Grafik 5.1 di bawah ini memperlihatkan dengan lebih jelas perbedaan skor

subskala dan skor total pada kelompok buta dibandingkan dengan kelompok dengan

gangguan penglihatan berat.

Gambar 5.1. Grafik perbandingan rerata skor kualitas hidup total dan subskala pada

kelompok buta dan gangguan penglihatan berat

5.2.2. Perbandingan Skor Kualitas Hidup antara Berbagai Penyakit Mata

Tabel 5.4 memperlihatkan perbedaan rerata skor kualitas hidup total dan subskala

pada berbagai penyakit mata penyebab gangguan penglihatan. Penyakit glaukoma

memiliki skor total kualitas hidup terendah dibandingkan penyakit lainnya.

Mengingat jumlah sampel pada tiap penyakit penyebab sangat bervariasi,

maka perbandingan secara statistik hanya dilakukan pada tiga kelompok penyakit

yaitu glaukoma, katarak, dan kelainan refraksi. Penyakit mata juga digolongkan lebih

lanjut sebagaimana pada Tabel 5.4. Berdasarkan tabel tersebut tampak bahwa

responden dengan glaukoma cenderung memiliki skor kualitas hidup yang paling

rendah dibanding penyakit lainnya hampir di seluruh subskala.

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013

Page 56: UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367253-SP-Muhammad Asroruddin.pdf · glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma

42

Universitas Indonesia

Tabel 5.4. Skor kualitas hidup total dan subskala pada berbagai penyakit mata

penyebab kebutaan (n=134) Variabel Skor Katarak

(n=99)

Glaukoma

(n=7)

Kelainan

refraksi (n=9)

Kelainan

retina

(n=5)

Neuropati

optik

(n=7)

Kelainan

kornea

(n=5)

Skor total 40,5±19,2 33,1±9,0 62,4±19,8 52,3±24,8 45,0±16,2 49,0±19,6

Kesehatan umum 25 (0-75) 50 (25-100) 50 (25-100) 60±28,5 50 (0-50) 25,0±25,0

Kesehatan mata 20 (0-60) 20±16,3 40 (20-60) 32±30 20 (20-40) 40 (0-40)

Nyeri mata 72 (25-100) 74,8±17,8 71,3±25 72,5±20 76,8±16,8 74,9±23,5 Aktivitas dekat 25 (0-100) 20,7±18,2 57,8±29,4 41,6±27,6 28,5±19,8 54,9±28

Aktivitas jauh 25 (0-100) 8,3 (8-58,3) 55,2±32,4 48,3±36,9 41,6 (0-50) 44,9±30,4

Fungsi social 37 (0-100) 32±21,5 70,3±24,0 55±45 42,8±27,8 44,9±36

Kesehatan mental 50 (0-100) 40,2±9,4 64,1±27,5 60±27,1 58,9±11,3 56,25±22,1

Kesulitan peran 25 (0-100) 48,2±36 43,75±31,3 47,5±22,3 42,8±18,9 37,5±37,5

Ketergantungan 33,3 (0-100) 23,8±20,6 65,6±30,7 56,6±34,1 45,2±25,4 38,3±33,6

Penglihatan warna 50 (0-100) 25 (0-100) 92,3 (50-100) 65 (0-100) 71,4±22,5 70 (25-100)

Penglihatan perifer 25 (0-100) 10,7±13,4 68,7±29,1 45±51 28,6±22,5 50±25

Pada perbandingan skor kualitas hidup total antara kelompok katarak dan

glaukoma, ditemukan bahwa responden dengan glaukoma memiliki skor kualitas

hidup yang lebih rendah dibanding kelompok katarak. Demikian pula, pada hampir

seluruh skor subskalanya kecuali subskala kesulitan peran (role difficulties),

menunjukkan bahwa responden dengan glaukoma menunjukkan skor yang lebih

rendah daripada responden dengan katarak.

Tabel 5.5. Perbandingan skor kualitas hidup total dan subskala pada katarak dan

glaukoma (n=106)

Variabel Skor Katarak (n=99) Glaukoma (n=7)

Nilai p Mean±SD Median Mean±SD Median

Skor total 40,5±19,2 39,5 (2,5-86,8) 33,1±9,0 32,4 (22,9-51,3) 0,09

Kesehatan umum 33,2±18,6 25,0 (0-75) 53,6±22,5 50,0 (25-100) 0,02

Kesehatan mata 27,6±14,8 20,0 (0-60) 20,0±16,3 20,0 (0-40) 0,24

Nyeri mata 72,5±23,2 75,0 (25-100) 74,5±17,8 68,5 (50-100) 0,95

Aktivitas dekat 31,4±28,3 25,0 (0-100) 20,7±18,2 18,5 (0-50) 0,45

Aktivitas jauh 31,2±26,9 25,0 (0-100) 20,6±19,7 12,2 (8-58,3) 0,39

Fungsi social 37,3±28,5 37,0 (0-100) 32,0±21,5 25,0 (12-75) 0,70

Kesehatan mental 48,9+21,4 50,0 (0-100) 40,2+9,4 37,5 (31,25-50) 0,25* Kesulitan peran 37,7±23,4 25,0 (0-100) 48,2±36,4 50,0 (0-100) 0,42

Ketergantungan 39,7±25,9 33,3 (0-100) 23,8±20,6 20,8 (0-50) 0,18

Penglihatan warna 44,1±33,6 50,0 (0-100) 39,3±34,9 25,0 (0-100) 0,65

Penglihatan perifer 35,0±30,5 25,0 (0-100) 10,7±13,3 12,5 (0-25) 0,03

*=Independent t-test

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013

Page 57: UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367253-SP-Muhammad Asroruddin.pdf · glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma

43

Universitas Indonesia

Namun demikian, berdasarkan uji statistik yang sesuai, kedua perbedaan skor total

antara dua kelompok tersebut tidak menunjukkan perbedaan bermakna (p=0,09).

Pada aspek lainnya, kecuali aspek kesehatan umum (p=0,02) dan penglihatan perifer

(p=0,03), semua skor subskala juga tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna

secara statistik sebagaimana tercantum dalam Tabel 5.5.

Grafik 5.2 memperlihatkan dengan lebih jelas perbedaan skor subskala dan

skor total pada kelompok katarak dibandingkan dengan kelompok glaukoma. Tampak

bahwa penglihatan perifer responden dengan glaukoma lebih rendah secara bermakna

dibanding responden dengan katarak.

Gambar 5.2. Grafik perbandingan rerata skor kualitas hidup total dan subskala pada

kelompok katarak dan glaukoma

5.2.3. Perbandingan Skor Kualitas Hidup antara Berbagai Penyakit Mata

Penyebab Kebutaan dengan visual acuity adjustment

Skor kualitas hidup sangat dipengaruhi tingkat tajam penglihatan. Mengingat seluruh

responden pada penelitian ini terbagi menjadi kelompok buta dan gangguan

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013

Page 58: UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367253-SP-Muhammad Asroruddin.pdf · glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma

44

Universitas Indonesia

penglihatan berat, skor kualitas hidup kami analisis dengan adjustment pada tingkat

tajam penglihatan (visual acuity adjustment). mengingat pada penelitian ini tajam

penglihatan memiliki kisaran yang cukup lebar yaitu dari light perception hingga

<6/60.

Setelah dilakukan adjustment pada tajam penglihatan, jumlah responden yang

dapat dianalisis adalah hanya pada kelompok buta yaitu 63 responden dengan katarak

dan 6 responden dengan glaukoma. Kelompok gangguan penglihatan berat tidak

dapat dianalisis karena jumlah responden untuk penyakit glaukoma hanya 1 orang

sehingga tidak dapat dianalisis.

Tabel 5.6. Perbandingan skor kualitas hidup total dan subskala pada responden

katarak dan glaukoma pada kelompok buta (n=69)

Variabel Skor Katarak (n=63) Glaukoma (n=6)

Nilai p Mean±SD Median Mean±SD Median

Skor total 36,3±18,8 32,2 (2,5-85,6) 30,1±4,5 31,4 (22,9-35,5) 0,052*

Kesehatan umum 33,8±19,2 25,0 (0-75) 54,2±24,6 50,0 (25-100) 0,052

Kesehatan mata 24,8±15,2 20,0 (0-60) 16,6±15 20,0 (0-40) 0,26

Nyeri mata 75,6±24,0 81 (25-100) 72,75±18,5 68,5 (50-100) 0,65

Aktivitas dekat 23,6+23,6 16,6 (0-91,6) 20,0+19,8 18,5 (0-50) 0,86

Aktivitas jauh 24,4±25,4 16,6 (0-100) 14,3±11,5 8,3 (8-37) 0,55

Fungsi social 31,4±27,5 25,0 (0-100) 24,8±11,2 25 (12-37,5) 0,82

Kesehatan mental 47,1+22,4 43,75 (0-100) 41,7+9,4 43,75 (31,25-50) 0,58

Kesulitan peran 34,8±23,4 25,0 (0-100) 41,6±35 43,75 (0-100) 0,68

Ketergantungan 34,2+26,0 25 (0-100) 26,4+21,3 33,3 (0-50) 0,72

Penglihatan warna 37,9±33,2 25,0 (0-100) 29,2±24,6 25,0 (0-75) 0,62

Penglihatan perifer 27,0±29,1 25,0 (0-100) 12,5±13,7 12,5 (0-25) 0,31

*=Independent t-test;

Tabel 5.6 di atas menunjukkan bahwa setelah dilakukan adjustment terhadap

tajam penglihatan, skor total dan hampir semua skor subskala pada glaukoma lebih

rendah dibandingkan skor pada katarak, dan seluruhnya tidak bermakna secara

statistik. Gambaran lebih jelas antara dua penyakit ini terlihat pada Grafik 5.3.

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013

Page 59: UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367253-SP-Muhammad Asroruddin.pdf · glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma

45

Universitas Indonesia

Gambar 5.3. Grafik perbandingan rerata skor kualitas hidup total dan subskala pada

kelompok katarak dan glaukoma setelah dilakukan adjustment terhadap tajam

penglihatan

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100Katarak

Glaukoma

Refraksi

Gambar 5.4. Grafik perbandingan rerata skor kualitas hidup total dan subskala pada

kelompok katarak, glaukoma, dan kelainan refraksi pada kelompok buta

(n=73).

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013

Page 60: UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367253-SP-Muhammad Asroruddin.pdf · glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma

46

Universitas Indonesia

Grafik 5.4 memperlihatkan gambaran perbandingan kualitas hidup antara

responden dengan katarak, glaukoma, dan kelainan refraksi (n=73) setelah dilakukan

adjustment pada tajam penglihatan (kelompok buta saja). Dari grafik terlihat bahwa

antara ketiga kelompok tampak responden dengan kelainan refraksi umumnya

memiliki skor kualitas hidup total dan subskala yang lebih tinggi daripada responden

dengan glaukoma dan katarak (p=0,03). Tetapi untuk skor ocular pain dan kesehatan

mata relatif sama.

5.3. Validitas Kuesioner NEI-VFQ25

Banyak penelitian di berbagai negara membuktikan bahwa kuesioner NEI-VFQ25

sahih untuk menilai kualitas hidup terkait penglihatan. Walaupun alat ukur ini pernah

digunakan pada sampel berbasis rumah sakit, kuesioner ini belum pernah digunakan

untuk penelitian berbasis populasi di Indonesia.

Penelitian ini melibatkan lebih dari satu penilai (pewawancara), yang

berlangsung di lima provinsi. Setiap provinsi dan setiap responden memiliki

karakteristik lokal masing-masing termasuk adanya kesulitan dalam berbahasa

Indonesia, sehingga berpotensi menimbulkan bias. Pewawancara sudah dilakukan

pelatihan pengisian kuesioner. Untuk mengurangi bias pengukuran diperlukan

penilaian interobserver agreement dengan menggunakan nilai kappa. Namun,

penilaian tersebut tidak dapat dilakukan karena terkait pelaksanaan Studi Validasi

RISKESDAS dengan waktu yang terbatas di masing-masing provinsi.

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013

Page 61: UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367253-SP-Muhammad Asroruddin.pdf · glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma

47

Universitas Indonesia

BAB 6

DISKUSI

Kebutaan dan gangguan penglihatan masih menjadi masalah kesehatan global

tak terkecuali Indonesia. Dengan angka kebutaan yang mencapai 1,5%5, kebutaan

memerlukan penanganan serius dari seluruh pemegang kebijakan dan dilakukan

secara lintas sektoral. Tak hanya menjadi beban secara ekonomi baik domestik rumah

tangga maupun beban nasional, akibat yang ditimbulkan oleh kebutaan dan gangguan

penglihatan juga terbukti dapat menurunkan kualitas hidup individu. Kualitas hidup

yang baik merupakan aspek penting bagi individu untuk menjalani kehidupannya

sehari-hari agar lebih produktif dan tidak mudah bergantung kepada orang lain.

Produktivitas yang baik pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan individu dan

keluarga, dan akan mengurangi beban negara yang timbul akibat kebutaan.13-15

Besar sampel antara kelompok buta dan gangguan penglihatan berat maupun

berdasarkan jenis penyakit penyebab gangguan penglihatan melebihi target sampel

minimal, namun proporsi antara kedua kelompok tersebut tidak berimbang. Hal ini

dikarenakan penelitian ini merupakan subpenelitian RISKESDAS 2013 yang bersifat

cross-sectional dan telah ditentukan jumlahnya, sehingga dalam teknik pengambilan

sampel tidak dapat kami intervensi sepenuhnya. Dengan mengikuti kriteria inklusi

dan eksklusi penelitian, analisis sampel tetap dapat kami lakukan sesuai dengan

tujuan penelitian.

Gender dan kebutaan menjadi isu penting dalam penanggulangan kebutaan di

seluruh dunia. Laporan WHO dan berbagai studi menyebutkan bahwa 2/3 populasi

yang buta adalah kelompok perempuan, dengan 90% jumlah tersebut berada di

negara-negara berkembang.42

Pada penelitian ini kelompok perempuan mengalami

kebutaan yang lebih tinggi dibanding kelompok laki-laki, yaitu mendekati 2/3

responden. Hal ini dapat disebabkan karena pada saat penelitian berlangsung

responden laki-laki banyak yang sedang bekerja di luar rumah. Penyebab lainnya

adalah karena usia harapan hidup perempuan yang relatif lebih lama dibanding laki-

47

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013

Page 62: UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367253-SP-Muhammad Asroruddin.pdf · glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma

48

Universitas Indonesia

laki, dan kelompok perempuan kurang mendapatkan pelayanan kesehatan mata yang

optimal berkaitan dengan faktor sosiokultural masyarakat setempat yang cenderung

mengutamakan laki-laki (patriarki). Layanan kesehatan mata yang belum terjangkau

dan unaffordable juga dapat menyebabkan hal ini dimana sekitar 40% perempuan

yang mengalami kebutaan berada di wilayah desa pada penelitian ini. Political will

dan aksi sosial diperlukan untuk mengatasi ketidaksetaraan gender dalam pelayanan

kesehatan mata. Di lain pihak, laki-laki sebagai tulang punggung kesejahteraan

keluarga tetap menjadi perhatian dalam permasalahan kebutaan dan gangguan

penglihatan.

Kebutaan memiliki dampak negatif terhadap produktivitas dan menimbulkan

beban ekonomi publik yang signifikan bagi negara. Beban ekonomi ini secara

langsung berkaitan dengan pengeluaran negara yang tinggi untuk kesehatan, dan

secara tidak langsung berkaitan dengan hilangnya produktivitas warga dan

kesempatan menghasilkan pendapatan keluarga (income). Usia responden pada

penelitian ini dikelompokkan menjadi usia produktif (15-64 tahun), dan usia non-

produktif (<15 tahun dan lebih dari 64 tahun), sesuai dengan Undang-undang No. 13

Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Jumlah kebutaan usia produktif pada penelitian

ini mencapai 25% dari seluruh responden pada penelitian ini, sedangkan gangguan

penglihatan berat mencapai 9%. Beban ekonomi yang ditimbulkan oleh jumlah ini

dapat diperhitungkan. Beban global akibat kebutaan sekitar USD 42 milyar dengan

proyeksi kenaikan menjadi USD 110 milyar pada tahun 2020, atau menyerap sekitar

0,5% dari Produk Domestik Bruto (PDB) di negara-negara berkembang. Namun,

dengan program Vision 2020, diharapkan angka tersebut turun menjadi USD 53

milyar.43

Sebanyak 45% dari total subyek penelitian memiliki tingkat pendidikan

rendah. Pendidikan yang rendah ini merupakan salah satu barrier atau hambatan

dalam penyadaran masyarakat tentang penyakit mata termasuk katarak, tindakan

operasi, dan hasil yang akan didapatkan. Pendidikan rendah berkaitan dengan

tingginya angka buta huruf (illiteracy), sehingga responden tidak dapat menyerap

informasi dan mengalami ketidaktahuan dengan penyakit mata.14,38

Diperlukan

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013

Page 63: UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367253-SP-Muhammad Asroruddin.pdf · glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma

49

Universitas Indonesia

kegiatan promotif dan preventif yang disesuaikan dengan tingkat pendidikan

responden. Pada tingkat pendidikan tinggi masih ditemukan 3 responden yang

mengalami kebutaan. Pada ketiga responden ini, 2 di antaranya memiliki penghasilan

keluarga sangat tinggi (>3,5 juta per bulan), sedangkan 1 responden memiliki

penghasilan rendah (<1,5 juta per bulan). Semua responden ini juga pernah berobat

ke dokter mata, dan terdiagnosis katarak. Hambatan atau barrier dari responden ini

untuk memperbaiki kesehatan matanya perlu dieksplorasi lebih lanjut.

Dalam hal lain, sejumlah 71% responden yang mengalami gangguan

penglihatan memiliki tingkat pendapatan yang rendah, dimana yang mengalami

kebutaan mencapai 60 orang, atau mencapai 45% dari total responden. Pendapatan

yang rendah menjadi hambatan bagi responden untuk melakukan pemeriksaan mata

dan tindakan semisal operasi katarak.14,38

Operasi katarak bisa dilakukan dengan

biaya yang terjangkau melalui program bakti sosial atau dengan program Jaminan

Kesehatan Nasional yang tepat sasaran. Anggaran kesehatan untuk program ini harus

ditingkatkan mengingat tindakan operasi katarak atau treatable blindness lainnya

akan lebih cost-effective dalam meningkatkan taraf kesehatan dan produktivitas

masyarakat bila dibandingkan memfokuskan pada rehabilitasi penyakit-penyakit

degeneratif kronik lainnya. Tindakan seperti ini akan dengan cepat meningkatkan

skor kualitas hidup seseorang sehingga akan mampu produktif dengan cepat pula.

Rerata lama kebutaan pada penelitian ini memilik kisaran yang sangat lebar.

Namun jika dikelompokkan menjadi beberapa kisaran waktu, terlihat bahwa sebagian

besar responden mengalami lama kebutaan 1-5 tahun, dan 70%-nya tergolong buta.

Kebutaan yang berlangsung cukup lama (> 1 tahun) dapat disebabkan oleh tingkat

pengetahuan yang rendah mengenai penyakit mata khususnya katarak dan glaukoma,

sosialisasi tentang kesehatan mata yang belum optimal oleh pihak kesehatan, kendala

biaya untuk melakukan pemeriksaan dan tindakan yang belum terjangkau, dan akses

terhadap fasilitas kesehatan yang belum optimal. Perjalanan penyakit mata yang

umumnya degeneratif lambat juga dapat menjadi penyebab responden merasa

penyakitnya tidak terlalu berbahaya.13,33

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013

Page 64: UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367253-SP-Muhammad Asroruddin.pdf · glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma

50

Universitas Indonesia

Penyakit mata penyebab kebutaan dan gangguan penglihatan berat berjumlah

99 responden (73,9%), dengan proporsi buta sejumlah 2/3 dari responden tersebut.

Katarak dan glaukoma merupakan penyakit mata degeneratif yang terjadi sesuai

dengan perkembangan usia namun berbeda penanganannya dalam hal aspek

pencegahan dan penanganan penyakit. Katarak dan gangguan refraksi merupakan

penyakit mata yang dapat direhabilitasi (treatable blindness), sedangkan glaukoma

termasuk dalam preventable blindness. Walaupun jumlah responden dengan katarak

mendominasi, tetapi sesuai dengan karakteristik penyakitnya maka responden katarak

termasuk kelainan refraksi dapat memiliki peluang perbaikan penglihatan dan kualitas

hidup yang lebih baik dibanding glaukoma, AMD, kelainan retina, dan neuropati

optik. Penyakit glaukoma pun sebetulnya dapat dicegah dan dihambat perburukannya

jika responden memiliki pengetahuan yang baik.

Rerata skor kualitas hidup total pada seluruh responden mencapai 42 dari skor

maksimal yaitu 100 pada populasi normal. Hal ini berarti pada seluruh responden

dengan gangguan penglihatan dan buta telah terjadi penurunan kualitas hidup sekitar

58%. Berdasarkan jenis kelamin, walaupun skor pada kelompok laki-laki lebih tinggi

daripada kelompok perempuan, skor total antara kedua kelompok relatif sama dan

tidak bermakna secara statistik.

Skor kualitas hidup total kelompok usia produktif juga lebih baik bila

dibandingkan dengan usia nonproduktif secara bermakna. Hal ini terjadi

dimungkinkan karena kelompok usia nonproduktif (>64 tahun) memiliki

komorbiditas dan proses penuaan yang dapat mempengaruhi kualitas hidupnya.

Penelitian oleh Nispen dkk44

menyatakan bahwa penurunan kualitas hidup

dipengaruhi oleh komorbiditas, namun Aravind Eye Study14

menyatakan tidak

berkaitan termasuk hipertensi dan diabetes. Oleh karena itu, diperlukan penelitian

lebih lanjut untuk melihat pengaruh faktor komorbiditas dan elderly terhadap kualitas

hidup pada gangguan penglihatan.

Penurunan kualitas hidup pada usia produktif dapat mengganggu

produktivitas dan kemampuan menghasilkan pendapatan (income) untuk

meningkatkan kesejahteraan keluarga. Pada penelitian ini, rerata skor kualitas hidup

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013

Page 65: UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367253-SP-Muhammad Asroruddin.pdf · glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma

51

Universitas Indonesia

mencapai 45, yang berarti telah terjadi penurunan kualitas hidup umum sebesar 55%

dari nilai maksimal. Langelaan33

menyatakan bahwa walaupun dampak gangguan

penglihatan pada usia produktif terlihat rendah, namun sebetulnya hal tersebut

berdampak sangat besar pada penderitanya di setiap aspek kehidupan, pendidikan,

pekerjaan, kehidupan sosial, dan kehidupan keluarga. Oleh karena itu, akses

pelayanan kesehatan mata dan biaya pemeriksaan dan operasi yang terjangkau

menjadi suatu keharusan, terutama bagi kelompok usia produktif agar produktivitas

mereka dapat membaik.

Berdasarkan kisaran lama kebutaan yang dialami responden, skor kualitas

hidup terlihat linier antara berbagai kelompok, namun tak bermakna secara statistik.

Artinya, semakin lama seseorang mengalami kebutaan, kualitas hidup cenderung

relatif membaik. Mekanisme adaptasi terhadap kebutaan yang dialami dapat

menjelaskan gambaran tersebut. Pada tahap awal terjadinya peristiwa yang

mengganggu siklus kehidupan, seseorang cenderung merasa sangat terpukul yang

terlihat dari menurunnya kualitas hidup yang cukup tajam. Namun seiring berjalannya

waktu, seseorang akan mampu beradaptasi (coping index).33,45

Skor kualitas hidup antara kelompok buta dan gangguan penglihatan berat

berbeda secara bermakna. Responden dengan gangguan penglihatan berat, kualitas

hidupnya menurun hingga mencapat 60-70% bila dibandingkan kelompok buta yang

turun mencapai 50%. Perbedaan skor kualitas hidup lebih dari 10% dianggap

bermakna berdasarkan panduan NEIVFQ 25. Selain skor total, hampir semua skor

subskala dari kelompok buta juga menunjukkan penurunan yang cukup jauh

dibanding kelompok gangguan penglihatan berat. Terlihat bahwa karena perbedaan

tajam penglihatan yang signifikan, maka yang terganggu pada kelompok buta adalah

aktivitas dekat dan jauh, yang dibutuhkan untuk aktivitas harian. Laitinen13

dan

Lamoreux15

menyatakan bahwa penurunan visus menjadi faktor independen yang

kuat terhadap fungsi fisik seseorang, dan penurunan visus berbanding lurus dengan

penurunan kualitas hidup.

Berdasarkan aspek sosiokultural sebagai faktor lingkungan yang

memengaruhi kualitas hidup individu, fungsi sosial dan ketergantungan pada

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013

Page 66: UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367253-SP-Muhammad Asroruddin.pdf · glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma

52

Universitas Indonesia

kelompok buta juga menurun secara bermakna. Namun demikian, kesehatan mental

responden yang mencakup rasa cemas, takut, dan frustasi terhadap kondisi kesehatan

matanya relatif sama antara kedua kelompok. Faktor psikososial dan spiritualitas

diduga berperan pada gambaran ini.46-48

Skor subskala penglihatan warna dan penglihatan perifer juga jauh menurun

pada kelompok buta. Visus yang buruk menjadi penyebab utama terjadinya gangguan

ini. Pada grafik 1 terlihat pula bahwa terdapat ranah aktivitas harian (daily acitivities),

fungsi social, dan ketergantungan terdapat jurang pemisah yang cukup jauh. Hal ini

berarti produktivitas responden buta jauh terganggu dibandingkan dengan responden

dengan gangguan penglihatan berat.

Berdasarkan penyakit mata penyebab kebutaan, responden dengan kelainan

refraksi memiliki skor kualitas hidup yang paling tinggi bila dibandingkan dengan

penyakit lain seperti katarak dan glaukoma. Kebutaan karena kelainan refraksi dan

katarak merupakan kebutaan yang dapat ditangani. Kelainan refraksi dapat ditangani

dengan kacamata atau low vision aids lainnya. Beberapa studi menunjukkan bahwa

dengan hanya memberikan kacamata, kualitas hidup seseorang akan jauh meningkat

jika memang tidak ada komorbiditas lain di organ mata. Demikian pula, jika katarak

saja tanpa kelainan lain dapat ditanggulangi dengan operasi katarak, kualitas hidup

akan meningkat signifikan dan responden akan produktif lagi dalam waktu yang

relatif cepat. Fitriani39

dan Hapsari40

menemukan bahwa program rehabilitasi

gangguan penglihatan berupa operasi katarak dapat meningkatkan kualitas hidup

pasien dalam aspek self-care, mobilitas, mental, dan sosial. Intervensi yang disease-

specific penting dilakukan dalam rangka menurunkan dampak negatif pada kehidupan

sehari-hari. Mengingat kelainan refraksi dan katarak dapat ditangani secara sederhana

dan cepat, perlu ditingkatkan upaya kesehatan mata secara masal dengan skrining

penyakit mata dan penatalaksanaannya seperti pemberian kacamata dan operasi

katarak.

Responden dengan glaukoma memiliki skor kualitas hidup yang paling rendah

dibanding penyakit mata lain. Hampir semua aspek kualitas hidup menunjukkan

penurunan yang serupa terutama terhadap katarak dan gangguan refraksi. Hal ini

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013

Page 67: UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367253-SP-Muhammad Asroruddin.pdf · glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma

53

Universitas Indonesia

terjadi karena defisit yang terjadi pada glaukoma merupakan kombinasi dari

gangguan penglihatan sentral dan perifer seperti pada penelitian ini, meskipun

gangguan pada penglihatan perifer relatif sama. Selain itu, gangguan lapang

pandangan perifer yang terjadi pada glaukoma terjadi bahkan pada tingkat tajam

penglihatan yang lebih baik. Namun, pada glaukoma tingkat lanjut (advanced stage),

tajam penglihatan sentral juga memburuk. Hal ini yang memperparah penurunan

kualitas hidupnya. Glaukoma juga merupakan penyakit kronik irreversibel yang tidak

mudah terdeteksi oleh masyarakat awam.14,24,25,37,49

Panduan kuesioner VFQNEI25

juga tidak hanya memasukkan pegal dan nyeri dalam daftar pertanyaan untuk aspek

ocular pain, dan memasukkan rasa terbakar dan gatal dalam panduan pertanyaannya.

Hal ini menyebabkan kuesioner tidak bisa secara langsung membedakan apakah nyeri

yang dialami oleh responden glaukoma adalah gejala khas penyakitnya.

Oleh karena itu, mengingat glaukoma termasuk kelompok avoidable

blindness, deteksi dini glaukoma sangat diperlukan untuk kelompok-kelompok

masyarakat yang berisiko tinggi. Risiko glaukoma meningkat pada kelompok usia

lebih dari 40 tahun, penurunan ketebalan kornea, ras kulit hitam, dan riwayat keluarga

dengan glaukoma.50

Walaupun pada penelitian ini, jumlah responden dengan

glaukoma jauh lebih sedikit dibanding katarak, kecenderungan penurunan kualitas

hidup yang lebih tinggi pada responden glaukoma dapat terlihat.

Penelitian ini menyimpulkan bahwa hipotesis kelompok buta memiliki

kualitas hidup yang lebih rendah dibandingkan kelompok gangguan penglihatan berat

sudah terbukti pada skor total maupun hampir seluruh skor subskala. Tidak

ditemukan perbedaan skor kualitas hidup pada responden dengan glaukoma dan

katarak. Namun demikian, skor responden glaukoma memiliki skor kualitas hidup

paling rendah dibanding responden katarak dan gangguan refraksi. Penelitian lain

yang menyebutkan bahwa semakin lama kebutaan yang dialami membuat kualitas

hidup lebih baik belum terbukti, meskipun terdapat kecenderungan bahwa kualitas

hidup akan sedikit meningkat setelah lebih dari 1 tahun mengalami kebutaan. Tidak

terbuktinya hipotesis pada penelitian ini dapat disebabkan oleh proporsi sampel yang

tidak berimbang antara katarak dan glaukoma, serta penyakit lainnya. Item kuesioner

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013

Page 68: UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367253-SP-Muhammad Asroruddin.pdf · glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma

54

Universitas Indonesia

yang masih perlu dinilai validitas, reliabilitas, dan konsistensi internalnya juga dapat

mempengaruhi hasil penelitian ini. Bias pengukuran masih dapat ditemukan

mengingat kuesioner belum dilakukan penilaian secara statistik.

Namun demikian, hasil penelitian ini diharapkan akan menjadi masukan bagi

program Vision 2020 dalam rangka menurunkan angka kebutaan yang dapat dihindari

(avoidable blindness). Komitmen dari pemerintah dan pemegang kebijakan

diperlukan untuk mencapai keberhasilan program ini. Vision 2020 melakukan

pendekatan terintegrasi untuk menghilangkan penyebab utama kebutaan yang dapat

dihindari yang meliputi tiga strategi utama yaitu, pengembangan sumber daya

manusia, pengembangan infrastruktur, dan pengendalian penyakit. Perlu dilakukan

kegiatan promotif dan preventif untuk mencegah terjadinya gangguan penglihatan

dan kebutaan, sehingga tidak terjadi penurunan kualitas hidup masyarakat. Kualitas

hidup pada penderita glaukoma sebagai salah satu penyebab preventable blindness

paling rendah dibanding penyakit lain, maka pencegahan kebutaan karena glaukoma

juga menjadi prioritas pada program pencegahan gangguan penglihatan dan kebutaan

(PGPK) Indonesia, terutama di layanan kesehatan primer.

Penelitian ini memiliki beberapa kelebihan dan kelemahan. Jumlah besar total

sampel yang melebihi target dan penelitian multisenter merupakan kekuatan

penelitian ini. Namun demikian, dengan metode purposive sampling berbasis

populasi ini, peneliti sulit mendapatkan proporsi yang relatif seimbang antara

kelompok buta dan gangguan penglihatan berat. Kesulitan juga ditemukan dalam

menemukan proporsi sampel yang seimbang antara berbagai penyakit mata penyebab

kebutaan bila ingin mengikuti proporsi penyakit mata di populasi pada penelitian

terdahulu. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan sampel yang lebih

berimbang untuk mendukung hasil penelitian ini. Diperlukan sampel minimal sebesar

50 responden untuk mendapatkan hasil yang bermakna. Bias pengukuran

(interviewer) masih mungkin ditemukan pada penelitian ini mengingat penelitian

berlangsung di berbagai provinsi oleh interviewer yang berbeda dan adanya kesulitan

pada bahasa daerah setempat.

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013

Page 69: UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367253-SP-Muhammad Asroruddin.pdf · glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma

55

Universitas Indonesia

BAB 7

KESIMPULAN DAN SARAN

7.1. Kesimpulan

1. Tidak ditemukan perbedaan kualitas hidup pada responden dengan glaukoma

dibandingkan dengan katarak.

2. Penderita glaukoma memiliki skor total kualitas hidup paling rendah

dibanding katarak, kelainan refraksi dan penyakit mata lainnya.

3. Proporsi gangguan penglihatan berat dan kebutaan di masyarakat didominasi

oleh kelompok perempuan, golongan usia lanjut, tingkat pendidikan rendah,

dan tingkat pendapatan rendah, dengan jenis penyebab kebutaan utama adalah

katarak.

4. Belum dilakukan uji validitas, reliabilitas, dan item analysis pada alat ukur.

7.2. Saran

1. Diperlukan penelitian lanjutan dengan besar sampel yang berimbang antara

berbagai kelompok penyakit.

2. Diperlukan penelitian lanjutan berupa uji validitas, reliabilitas, dan item

analysis kuesioner NEI-VFQ 25, termasuk kesesuaian dengan situasi dan

kondisi setempat pada saat penelitian berlangsung.

3. Pada penderita gangguan penglihatan berat diperlukan tindakan yang bersifat

preventif, kuratif dan rehabilitatif untuk mencegah kebutaan karena penurunan

kualitas hidup berbanding lurus dengan buruknya tajam penglihatan.

55

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013

Page 70: UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367253-SP-Muhammad Asroruddin.pdf · glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma

56

Universitas Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

1. Staff AAO. Vision Rehabilitation. In: Clinical Optics. Basic and Clinical Science Course

Section 3. San Francisco: American Academy of Ophthalmology; 2009-2010. p. 283-30. 2. World Health Organization. Global data on visual impairment 2010. WHO Fact Sheet

No. 282. h�p://www.who.int/about/regions/en/index.htmlMay 2009, 2012.

3. Scheiman M, Scheiman M, Whittaker S. Low vision Rehabilitation: A Practical Guide

for Occupational Therapist. New Jersey: SLACK Incorporated; 2007. p. 4-22. 4. Khan SA. A retrospective study of low-vision cases in an Indian tertiary eye-care

hospital. Indian Journal of Ophthalmology 2000; 48(3): 201-7.

5. Survei Kesehatan Indera Penglihatan Tahun 1993-1996. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta; 1997.

6. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik

Indonesia. Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar 2007. Jakarta; Desember 2008.

7. Saw SM, Husain R, Gazzard GM, et al. Causes of low vision and blindness in rural Indonesia. Br J Ophthalmol 2003; 87:1075–8.

8. Ventocilla M, Wicker D. Low vision therapy. Available at: www.emedicine.com. Last

updated: May 18, 2010. 9. Dargent-Molina P, Favier F, Grandjean H, Baudoin C, Schott AM, Hausherr E, et al.

Fall-related factors and risk of hip fracture: the EPIDOS prospective study. Lancet

1996;348:145-9. 10. Lamoureux E, Gadgil S, Pesudovs K, Keeffe J, Fenwick E, Dirani M, et al. The

relationship between visual function, duration and main causes of vision loss and falls in

older people with low vision. Graefes Arch Clin Exp Ophthalmol 2010; 248:527–33.

11. Coleman AL, Stone K, Ewing SK, Nevitt M, Cummings S, Cauley JA, Ensrud KE, Harris EL, Hochberg MC, Mangione CM. Higher risk of multiple falls among elderly

women who lose visual acuity. Ophthalmology 2004;111:857–62.

12. Ivers RQ, Cumming RG, Mitchell P, Attebo K. Visual impairment and falls in older adults: the Blue Mountains Eye Study. J Am Geriatr Soc 1998; 46:58–64.

13. Laitinen A. Reduced visual acuity and impact on quality of life. Helsinki : National

Institute for Health and Welfare, 2009. 14. Nirmalan PK, Tielsch JM, Katz J, Thulasiraj RD, Krishnadas R, Ramakrishnan R, et al.

Relationship between Vision Impairment and Eye Disease to Vision-Specific Quality of

Life and Function in Rural India: The Aravind Comprehensive Eye Survey. Invest

Ophthalmol Vis Sci. 2005;46:2308-12. 15. Lamoureux EL, Chong EW, Thumboo J, Wee HL, Wang JJ, Saw SM, et al. Vision

impairment, ocular conditions, and vision-specific function: The Singapore Malay Eye

Study. Ophthalmology 2008;115:1973–81. 16. Mangione CM, Lee PP, Gutierrez PR, Spritzer K, Berry S, Hays RD. Development of

the 25-item National Eye Institute Visual Function Questionnaire. Arch Ophthalmol.

2001;119:1050–8.

17. Patrick DL, Chiang Y. Measurement of health outcomes in treatment effectiveness evaluations: conceptual and methodological challenges. Med Care 2000;38(Suppl.

II):14e25.

18. Mangione CM, Berry S, Spritzer K, et al. Identifying the content area for the 51-item National Eye Institute Visual Function Questionnaire: results from focus groups with

visually impaired persons. Arch Ophthalmol. 1998;116:227–33.

56

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013

Page 71: UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367253-SP-Muhammad Asroruddin.pdf · glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma

57

Universitas Indonesia

19. Mangione CM, Lee PP, Pitts J, Gutierrez P, Berry S, Hays RD. Psychometric properties

of the National Eye Institute Visual Function Questionnaire (NEI-VFQ). NEI-VFQ Field

Test Investigators. Arch Ophthalmol. 1998;116:1496–1504. 20. Suner IJ, Kokame GT, Yu E, Ward J, Dolan C, Bressler NM. Responsiveness of NEI

VFQ-25 to changes in visual acuity in neovascular AMD: validation studies from two

phase 3 clinical trials. Invest Ophthalmol Vis Sci 2009;50:3629–35.

21. Massof RW, Fletcher DC. Evaluation of the NEI visual functioning questionnaire as an interval measure of visual ability in low vision. Vision Res. 2001;41:397–413.

22. Lamoureux EL, Pesudovs K, Thumboo J, Saw SM, Wong TY. An evaluation of the

reliability and validity of the visual functioning questionnaire (VF-11) using Rasch analysis in an Asian population. Invest Ophthalmol Vis Sci. 2009;50:2607–13.

23. Stelmack JA, Stelmack TR, Massof RW. Measuring low-vision rehabilitation outcomes

with the NEI VFQ-25. Invest Ophthalmol Vis Sci. 2002;43:2859–68.

24. Broman AT, Munoz B, Rodriguez J, Sanchez R, Quigley HA, Klein R, et al. The

impact of visual impairment and eye disease on vision-related quality of life in a

Mexican-American population: Proyecto VER. Invest Ophthalmol Vis Sci.2002;

43:3393–8. 25. Lin J, Yu J. Assessment of quality of life among Taiwanese patients with visual

impairment. Journal of the Formosan Medical Association 2012: 111, 572-9.

26. World HealthOrganization. WHO terminology for impairment and disability. In: WHO.

International classification of impairments, diabilities, and handicaps: A manual of classification relating to the consequences of disease. Geneva: WHO; 1980

27. Center For Disease Control and Prevention. The International Classification of Disease,

10th Revision. Available at: www.cdc.gov.

28. Low vision Services Consensus Group. Recommendations for Future Low vision

Service Delivery in the UK. London: Royal National Institute for the Blind; 1999.

29. American Optometric Association. Optometric clinical practice guidelines care of the

patien with low vision . AOA Board of Trustees, 1997. p 1-52 30. Faye, EE. Low vision. In: Riordan-Eva P, Whitcher JP (editors). Vaughan & Asbury’s

General Ophthalmology 17th ed. New York: Mc Graw Hill Companies, 2007. p.401-408.

31. World HealthOrganization. WHOQOL: Measuring quality of life. WHO; 1997. 32. Stelmack JA, Rosenbloom AA, Brenneman CS, Stelmack TR. Patients’ perceptions of

the need for low vision devices. J Vis Impair Blind 2003, 97(9):521-35.

33. Langelaan M. Quality of Life of Visually Impaired Working Age Adults. Tesis. Vrije Universiteit. Vrije: PrintPartners Ipskamp, 2007.

34. World Health Organization (2001) International Classification of Functioning,

Disability and Health.

http://www3.who.int/icf/icftemplate.cfm?myurl=introduction.html%20&mytitle=Introduction. Akses terakhir: 5 Juni 2013.

35. Cahill MT, Banks AD, Stinnett SS, Toth CA. Vision-related quality of life in patients

with bilateral severe age-related macular degeneration. Ophthalmology 2005;112:152–8. 36. Nutheti R, Shamanna BR, Nirmalan PK, Keeffe JE, Krishnaiah S, Rao GN, et al. Impact

of impaired vision and eye disease on quality of life in Andhra Pradesh. Invest

Ophthalmol Vis Sci. 2006;47:4742–8

37. Simangunsong CO, Artini W, Mustafa S. Perbandingan kualitas hidup penderita glaucoma tahap moderate dan tahap lanjut. Tesis. Departemen Ilmu Kesehatan Mata,

Jakarta: 2009.

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013

Page 72: UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367253-SP-Muhammad Asroruddin.pdf · glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma

58

Universitas Indonesia

38. Saw SM, Foster PJ, Gazzard G, Seah S. Causes of blindness, low vision, and

questionnaire-assessed poor visual function in Singaporean Chinese adults, The Tanjong

Pagar Survey. Ophthalmology 2004;111:1161–8. 39. Fitriani DG, Gondhowiardjo TD. Tingkat kepuasan pasien setelah operasi katarak

dengan metode SICS di Lombok. Tesis. Program Studi Ilmu Kesehatan Mata. Jakarta,

2009.

40. Hapsari RU, Gondhowiardjo TD. Perubahan kualitas hidup dan pencapaian harapan pasien pasca operasi katarak di Lombok. Tesis. Program Studi Ilmu Kesehatan Mata.

Jakarta, 2009.

41. Foster PJ, Buhrmann R, Quigley HA, Johnson GJ. The definition and classification of glaucoma in prevalence surveys. Br J Ophthalmol 2002;86:238–42.

42. Abou-Gareeb I, Lewallen S, Bassett K, Courtright P. Gender and blindness: a meta-

analysis of population-based prevalence surveys. Ophthalmic Epidemiology 2001;8:39-

56. 43. Frick K, Foster A. The magnitude and cost of global blindness: an increasing problem

that can be alleviated. American J Ophthalmology 2003; 135: 471-6.

44. Nispen RMA, Boer MJ, Hoeijmakers J, Ringens PJ, van Rens. Co-morbidity and visual acuity are risk factors for health-related quality of life decline: five-month follow-up

EQ-5D data of visually impaired older patients. Health and Quality of Life Outcomes

2009, 7:7-18. 45. Boerner K, Meehan C. Vision loss, coping tendencies, and mental health. Final Report

to the National Institute of Mental Health. New York: Arlene R. Gordon Research

Institute of Lighthouse International, 2002.

http://www.lighthouse.org/research/archived-studies/coping/ Akses terakhir: 28 Desember 2013.

46. Brennan, M. (2004). Spirituality and religiousness predict adaptation to vision loss

among middle-age and older adults. International Journal for the Psychology of Religion 2004; 14 (3), 193-214.

47. Trillo AH, Dickinson CM. The impact of visual and nonvisual factors on quality of life

and adaptation in adults with visual impairment. Invest Ophthalmol Vis Sci. 2012;53:4234–41.

48. Brennan M. Religiousness and spirituality in vision impaired elders. Final progress

report submitted to the National Institute on Aging, National Institutes of Health,

Bethesda, MD. New York: Arlene R. Gordon Research Institute of Lighthouse International, 2000. http://www.lighthouse.org/research/archived-studies/religiousness/

Akses terakhir: 28 Desember 2013.

49. Wu SY, Hennis A, Nemesure B, Leske MC. Impact of glaucoma, lens opacities, and cataract surgery on visual functioning and related quality of life: The Barbados Eye

Studies. Invest Ophthalmol Vis Sci. 2008;49:1333–8. 50. Staff AAO. Vision Rehabilitation. In: Glaucoma. Basic and Clinical Science Course

Section 3. San Francisco: American Academy of Ophthalmology; 2011-2012. p. 7-12.

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013

Page 73: UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367253-SP-Muhammad Asroruddin.pdf · glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma

59

Universitas Indonesia

LAMPIRAN 1

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013

Page 74: UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367253-SP-Muhammad Asroruddin.pdf · glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma

60

Universitas Indonesia

LAMPIRAN 2

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013

Page 75: UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367253-SP-Muhammad Asroruddin.pdf · glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma

61

Universitas Indonesia

LAMPIRAN 3

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013

Page 76: UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367253-SP-Muhammad Asroruddin.pdf · glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma

62

Universitas Indonesia

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013

Page 77: UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367253-SP-Muhammad Asroruddin.pdf · glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma

63

Universitas Indonesia

LAMPIRAN 4

Informed consent

PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN

Judul Penelitian:

STUDI VALIDASI DATA KEBUTAAN HASIL RISKESDAS 2013 DAN

IDENTIFIKASI ETIOLOGINYA

Penjelasan Singkat Penelitian:

Penelitian ini melibatkan sejumlah responden yang mengalami gangguan penglihatan

berat dan atau kebutaan. Pada penelitan ini akan dilakukan beberapa pemeriksaan

spesialistik pada kedua mata responden yang meliputi pemeriksaan: tajam

penglihatan, tekanan bola mata, struktur anatomi mata dengan menggunakan alat

yang sesuai. Responden juga akan diminta menjawab pertanyaan yang berhubungan

dengan riwayat gangguan penglihatan yang dialaminya. Pada akhir penelitian, akan

diketahui penyebab gangguan penglihatan berat atau kebutaan pada responden dan

bila diperlukan kepada responden akan diberikan surat rujukan untuk penatalaksanaan

lebih lanjut di fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) yang ditunjuk.

Peneliti:

Prof. Dr. dr. Farida Sirlan, SpM(K)

Persatuan Dokter Spesialis Mata Indonesia

Tel : 081295916511

Fax : 021-3927516

Email : [email protected]

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013

Page 78: UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367253-SP-Muhammad Asroruddin.pdf · glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma

64

Universitas Indonesia

Saya, …………………………………………………………………….

Memberikan persetujuan atas nama saya sendiri/anak dalam perwalian saya untuk

terlibat dalam penelitian ini dan bersedia menjalani pemeriksaan mata, yang terdiri

dari pemeriksaan tajam penglihatan, tekanan bola mata, keadaan mata dan wawancara

kuesioner sesuai dengan data yang diperlukan untuk penelitian ini. Setelah mendapat

penjelasan yang rinci, saya mengerti akan tujuan penelitian ini. Saya juga mengerti

bahwa saya dapat menolak setiap saat tanpa mendapat sanksi apapun dan saat hasil

penelitian ini dipublikasikan atau dipresentasikan dalam seminar, maka identitas saya

akan dirahasiakan.

Tanda tangan responden/orang tua/wali*): Saksi

………………………………………… …………………………………….

Nama jelas………………………….… Nama jelas……………………….

Tanggal ……………………………

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013

Page 79: UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367253-SP-Muhammad Asroruddin.pdf · glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma

TABEL INDUK PENELITIAN QOL

Subj JK Usia Lama Pend Inc Buta Sebab Gen Vis Pain Near Dist Soc Ment Role Depend Drive Color Periph Total

1 P 82 1 thn 1 4 1 kat 25 20 75 12.5 16.6 12.5 18.75 12.5 16.6 50 25 25.86

2 L 61 1 bln 3 3 1 korn 0 40 100 41.6 33.3 75 56.25 25 33.3 75 75 50.40

3 P 80 1 thn 1 4 1 kat 50 60 100 37.5 25 50 75 62.5 25 0 75 50.91

4 L 70 4 thn 3 4 1 kat 25 20 100 16.6 25 25 56.25 25 16.6 25 25 32.68

5 P 63 1 thn 1 4 1 kat 50 40 100 16.6 16.6 25 43.75 25 33.3 25 25 35.03

6 P 54 54 thn 1 4 1 korn 50 40 62.5 100 91.6 87.5 93.75 100 91.6 75 75 81.70

7 L 65 4 thn 2 4 1 lain2 25 0 100 0 0 0 50 0 0 0 0 15.00

8 P 71 3 thn 2 1 1 kat 25 40 100 16.6 25 25 50 25 41.6 50 25 39.82

9 P 49 8 thn 5 3 1 papil 50 40 75 41.6 41.6 62.5 68.75 50 66.6 100 50 59.61

10 P 61 6 thn 2 4 1 kat 25 40 100 16.6 16.6 37.5 43.75 37.5 50 50 25 41.70

11 P 65 2 thn 2 4 1 kat 50 40 100 16.6 33.3 37.5 68.75 50 58.3 50 25 47.95

12 L 73 2 thn 4 3 1 kat 25 20 100 8.3 16.6 12.5 18.75 0 0 0 25 20.12

13 L 71 5 thn 4 3 1 kat 75 40 100 8.3 41.6 37.5 68.75 50 41.6 25 25 43.78

14 P 76 10 thn 2 3 1 glau 50 40 100 50 8.3 37.5 31.25 12.5 50 25 0 35.46

15 P 60 30 thn 2 4 2 ref 50 60 25 33.3 33.3 62.5 12.5 0 41.6 100 25 39.32

16 L 48 15 thn 3 3 2 ref 100 20 62.5 83.3 75 87.5 68.75 50 100 100 100 74.71

17 P 70 5 thn 1 2 1 kat 50 20 87.5 12.5 0 0 81.25 25 50 25 0 30.13

18 L 77 3 thn 2 2 1 kat 25 20 100 8.3 8.3 25 56.25 50 33.3 0 25 32.62

19 L 72 7 thn 2 3 1 kat 75 60 100 8.3 25 25 68.75 37.5 41.6 50 25 44.12

20 P 67 8 thn 3 3 1 glau 100 0 75 0 8.3 12.5 50 50 33.3 0 0 22.91

21 L 64 3 bln 5 4 2 DR 50 60 62.5 41.6 75 87.5 31.25 25 8.3 100 100 59.12

22 P 79 6 bln 1 4 1 kat 25 40 87.5 41.6 25 50 62.5 50 41.6 50 25 47.32

23 L 81 3 thn 2 4 1 kat 0 40 75 25 16.6 25 25 12.5 50 0 25 29.41

24 P 80 3 thn 1 4 2 kat 75 60 100 100 91.6 100 87.5 37.5 91.6 100 100 86.82

25 L 41 10 thn 2 4 1 kat 50 0 100 8.3 50 62.5 56.25 37.5 91.6 * 50 0 45.62

26 P 49 46 thn 1 4 1 korn 50 0 100 50 16.6 25 37.5 0 41.6 * 25 25 32.07

27 L 59 * 3 4 2 ref 25 40 100 91.6 100 100 81.25 75 83.3 * 100 75 84.62

28 P 54 2 thn 1 4 1 kat 25 40 87.5 37.5 33.3 87.5 93.75 75 83.3 * 100 25 66.29

29 P 51 1,5 thn 4 3 1 kat 0 0 87.5 58.3 12.5 62.5 6.25 25 50 * 100 75 47.71

30 P 63 1 thn 1 4 2 papil 0 20 50 25 8.3 12.5 43.75 37.5 0 * 50 0 24.71

31 L 65 3 thn 2 4 2 kat 25 40 100 66.6 66.6 62.5 56.25 62.5 41.6 * 100 50 64.61

32 P 28 28 thn 2 4 1 ref 50 40 75 12.5 8.3 50 56.25 37.5 50 100 50 47.96

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013

Page 80: UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367253-SP-Muhammad Asroruddin.pdf · glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma

33 L 32 10 thn 5 4 1 ret 100 0 100 33.3 25 12.5 68.75 50 50 * 25 0 36.46

34 P 70 6 bln 1 4 1 ref 50 40 100 66.6 87.5 62.5 56.25 37.5 0 * * 75 58.37

35 P 78 5 thn 4 4 1 kat 50 40 100 0 25 37.5 37.5 12.5 0 0 0 25.25

36 L 67 15 thn 5 4 2 papil 50 20 100 8.3 41.6 37.5 50 25 25 * 75 25 40.74

37 P 38 30 thn 3 4 2 ref 100 40 100 83.3 91.6 100 100 87.5 91.6 * 100 100 89.40

38 P 68 3 thn 1 4 1 kat 50 20 87.5 58.3 100 100 56.25 50 91.6 * 100 100 76.37

39 P 56 1 thn 1 4 2 kat 25 20 75 58.3 41.6 100 56.25 75 66.6 * 100 100 69.28

40 P 80 2 thn 5 1 1 glau 50 20 87.5 25 8.3 25 50 50 33.3 * 25 0 32.41

41 P 58 48 thn 2 4 1 ret 25 0 87.5 66.6 50 75 87.5 62.5 75 * 100 25 62.91

42 L 57 49 thn 3 4 1 ref 25 20 87.5 33.3 25 37.5 43.75 0 8.3 * 100 50 40.54

43 P 72 5 thn 1 3 1 kat 25 20 87.5 50 37.5 50 56.25 50 50 * 75 50 52.63

44 L 67 4 thn 5 2 1 papil 50 20 87.5 50 41.6 75 62.5 62.5 66.6 * 100 50 61.57

45 P 64 3 thn 1 4 2 glau 50 40 87.5 25 58.3 75 31.25 87.5 8.3 * 100 0 51.29

46 P 70 2 bln 1 3 2 ref 50 40 58.3 75 58.3 75 87.5 50 83.3 * 75 100 70.24

47 P 77 2 thn 3 4 2 kat 25 40 50 25 50 50 37.5 25 25 * 50 50 40.25

48 P 71 2 thn 3 4 2 kat 50 40 62.5 25 33.3 25 25 12.5 25 * 25 50 32.33

49 L 72 1 bln 4 4 2 kat 25 20 50 66.6 25 25 31.25 25 25 8.3 25 25 31.79

50 L 81 5 thn 3 3 2 papil 25 40 87.5 50 41.6 62.5 75 62.5 50 * 75 25 56.91

51 P 78 1 bln 1 4 2 kat 0 20 87.5 62.5 58.3 75 43.75 25 50 * 25 50 49.71

52 L 77 2 thn 2 4 2 kat 0 20 62.5 58.3 33.3 50 50 12.5 75 * 100 50 51.16

53 P 56 3 thn 3 4 1 kat 25 40 100 75 66.6 75 100 100 100 * 100 100 85.66

54 L 65 3,5 thn 3 4 1 kat 50 20 100 8.3 8.3 12.5 43.75 25 0 0 100 0 28.90

55 P 67 1 thn 2 2 2 kat 50 20 62.5 8.3 25 0 37.5 25 25 * 25 25 25.33

56 P 77 1 thn 4 2 1 kat 0 0 100 0 0 0 25 25 25 * 0 0 17.50

57 P 69 4 bln 1 3 1 lain2 0 20 0 16.6 25 25 18.75 0 25 * 25 25 18.04

58 P 75 2 thn 1 3 1 AMD 75 40 50 0 0 0 31.25 25 50 * 0 0 19.63

59 L 82 1 thn 6 1 2 kat 50 20 75 50 75 75 56.25 50 50 * 75 75 60.13

60 P 77 2 bln 4 1 2 kat 50 40 62.5 75 25 25 37.5 50 25 * 25 25 39.00

61 P 79 5 thn 1 4 2 kat 25 40 37.5 0 0 0 25 37.5 25 * 0 0 16.50

62 P 84 3 thn 2 4 1 kat 0 0 25 0 0 0 0 0 0 * 0 0 2.50

63 L 61 8 thn 3 4 1 kat 50 20 25 41.6 25 50 37.5 25 33.3 * 75 50 38.24

64 P 32 10 thn 4 4 1 kat 0 0 62.5 8.3 8.3 12.5 0 12.5 0 * 0 0 10.41

65 P 77 1 thn 2 4 2 kat 0 40 25 25 12.5 62.5 37.5 50 8.3 * 50 75 38.58

66 P 60 50 thn 3 4 1 korn 0 20 50 58.3 58.3 0 43.75 37.5 25 * 100 50 44.29

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013

Page 81: UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367253-SP-Muhammad Asroruddin.pdf · glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma

67 L 70 1 thn 2 4 1 kat 25 20 100 0 33.3 50 50 25 41.6 * 50 25 39.49

68 P 90 20 thn 2 2 2 kat 25 40 25 16.6 50 25 87.5 62.5 50 * 0 100 45.66

69 P 59 3 thn 3 1 1 kat 25 20 100 91.6 87.5 100 100 25 66.6 * 100 100 79.07

70 P 71 * 2 4 1 kat 25 20 50 0 0 0 37.5 12.5 33.3 * 0 0 15.33

71 P 67 1 bln 2 4 1 AMD 50 60 62.5 66.6 91.6 100 81.25 75 100 * 100 100 83.70

72 L 75 3 thn 3 4 2 kat 25 40 100 100 87.5 75 87.5 75 83.3 * 100 50 79.83

73 L 74 13 thn 2 4 2 kat 25 40 100 25 25 37.5 37.5 25 50 * 75 25 44.00

74 P 74 2 thn 1 4 1 glau 50 0 62.5 12.5 37.5 25 37.5 0 41.6 * 25 25 26.66

75 P 65 8 bln 3 4 2 kat 25 20 100 16.6 33.3 50 31.25 25 50 * 50 25 40.12

76 L 67 1 thn 2 4 2 kat 25 40 62.5 8.3 25 37.5 31.25 25 33.3 * 25 25 31.29

77 P 58 1 thn 2 4 1 kat 25 40 50 41.6 50 37.5 31.25 62.5 25 * 75 50 46.29

78 L 83 1 thn 2 1 1 kat 25 0 100 16.6 12.5 12.5 25 25 33.3 * 25 25 27.49

79 P 73 1 thn 2 4 1 kat 25 20 75 0 8.3 12.5 31.25 0 58.3 * 0 0 20.54

80 L 87 2 thn 3 3 2 kat 25 20 62.5 33.3 50 37.5 62.5 50 66.6 * 50 50 48.24

81 P 77 2 thn 1 3 1 kat 25 0 65.5 0 0 0 43.75 25 8.3 * 25 0 16.76

82 P 70 1 thn 1 4 1 kat 25 40 50 16.6 16.6 25 25 25 8.3 * 25 25 25.65

83 P 72 2 thn 1 4 1 kat 25 20 62.5 0 0 12.5 31.25 50 16.6 * 25 0 21.79

84 P 73 2 thn 2 4 1 kat 25 20 75 25 37.5 62.5 50 75 25 * 75 50 49.50

85 L 72 3 thn 3 4 1 kat 25 40 62.5 0 8.3 25 50 25 25 * 25 25 28.58

86 L 60 3 bln 3 4 2 kat 50 20 62.5 8.3 25 25 43.75 25 25 * 50 25 30.96

87 P 90 * 2 4 2 kat 25 20 62.5 0 8.3 25 50 25 25 * 25 25 26.58

88 P 64 1 thn 6 4 1 kat 0 20 75 16.6 0 12.5 50 50 0 25 0 0 22.65

89 P 82 1 thn 1 4 1 kat 25 20 50 33.3 25 37.5 31.25 37.5 33.3 * 50 25 34.29

90 L 70 30 thn 4 4 1 glau 25 20 62.5 0 8.3 12.5 50 100 0 * 25 25 30.33

91 P 86 10 thn 1 4 1 kat 25 40 62.5 33.3 25 25 62.5 50 25 * 50 25 39.83

92 L 52 10 thn 4 4 1 korn 25 40 62.5 25 25 37.5 50 25 0 * 75 25 36.50

93 P 79 4 thn 2 4 1 kat 25 20 25 25 16.6 0 62.5 0 0 * 25 25 20.37

94 P 49 1 thn 2 4 1 kat 25 40 75 25 16.6 25 68.75 25 0 * 25 25 31.85

95 L 42 10 thn 1 4 1 glau 50 20 50 33.3 16.6 37.5 31.25 37.5 0 16.6 75 25 32.73

96 P 95 8 bln 1 4 2 kat 25 20 62.5 25 16.6 25 25 25 16.6 * 50 75 33.25

97 P 70 2 thn 2 4 2 kat 0 60 37.5 0 0 0 50 25 33.3 * 25 0 20.98

98 L 53 3 thn 3 4 1 papil 0 20 62.5 0 0 0 62.5 12.5 41.6 * 50 0 22.65

99 P 71 2.5 thn 3 3 1 kat 50 20 37.5 25 0 12.5 37.5 25 25 * 50 0 25.68

100 P 66 4 thn 1 4 1 kat 0 0 25 33.3 0 12.5 37.5 12.5 25 * 25 0 15.53

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013

Page 82: UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20367253-SP-Muhammad Asroruddin.pdf · glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma

101 P 82 5 thn 1 4 1 kat 50 40 62.5 8.3 0 12.5 62.5 25 16.6 * 25 0 27.49

102 P 73 1 thn 2 4 2 kat 25 40 75 91.6 75 87.5 81.25 75 83.3 * 100 75 73.51

103 P 80 3 thn 2 4 1 kat 25 20 62.5 0 0 0 50 50 25 * 25 0 23.41

104 P 63 1 thn 1 4 2 kat 50 60 75 75 75 75 81.25 75 75 * 50 75 69.66

105 P 62 3 thn 1 4 1 kat 50 40 75 41.6 75 75 62.5 75 75 * 75 75 65.37

106 P 68 3 thn 1 4 2 kat 50 20 62.5 58.3 50 50 43.75 50 75 * 75 75 55.41

107 P 67 7 thn 1 4 2 kat 0 20 50 25 * 25 50 0 33.3 * * * 25.41

108 P 67 1 thn 1 3 2 kat 50 40 50 66.6 66.6 75 75 25 75 * 75 75 61.20

109 L 84 4 thn 6 1 1 kat 75 20 50 0 0 0 37.5 12.5 25 * 0 0 20.00

110 P 82 5 thn 1 2 1 kat 50 20 50 0 0 0 37.5 25 16.6 * 0 0 18.10

111 L 69 2 thn 1 4 2 kat 50 40 75 58.3 50 50 62.5 75 66.6 * 50 50 57.04

112 L 72 3 thn 1 4 2 kat 50 20 62.5 0 0 0 37.5 25 25 * 0 0 20.00

113 L 66 2 thn 2 3 1 kat 25 40 100 41.6 58.3 75 81.25 75 75 * 75 50 63.29

114 P 76 10 thn 3 4 2 kat 25 40 75 75 75 75 75 75 75 * 75 75 67.27

115 L 75 10 thn 3 1 2 kat 25 20 87.5 91.6 83.3 75 81.25 100 75 * 100 75 73.97

116 P 92 5 thn 2 4 1 kat 50 20 50 0 0 0 31.25 12.5 25 * 0 0 17.16

117 P 59 4 thn 2 4 1 kat 50 40 87.5 75 83.3 62.5 75 100 66.6 * 50 75 69.54

118 P 67 5 thn 1 4 1 papil 50 20 75 25 50 50 50 50 66.6 * 50 50 48.78

119 P 42 8 thn 1 4 1 kat 50 0 67.5 0 0 0 31.25 0 0 * 0 0 13.52

120 L 58 10 thn 1 4 1 kat 25 40 100 75 50 50 75 75 75 * 50 50 60.45

121 L 55 10 thn 1 4 1 kat 75 20 87.5 25 33.3 50 37.5 25 25 * 75 25 43.48

122 P 72 3 thn 3 2 1 kat 25 20 50 0 * * 31.25 37.5 25 * * * 26.96

123 P 77 6 thn 1 2 1 kat 50 20 37.5 0 0 0 25 12.5 0 * 0 0 13.18

124 L 50 10 thn 2 4 1 kat 25 20 50 25 25 25 43.75 25 25 * 25 25 28.52

125 L 62 1 thn 2 4 1 kat 50 20 100 0 0 0 31.25 25 25 * 0 0 22.84

126 P 79 3 thn 2 3 1 kat 50 20 50 41.6 50 50 43.75 37.5 50 * 50 50 44.80

127 L 49 2 bln 1 4 1 ref 50 40 62.5 50 50 50 62.5 50 66.6 33.3 50 50 52.87

128 P 67 3 bln 1 4 1 kat 25 20 50 50 50 50 50 50 50 * 50 50 45.00

129 L 62 3 thn 1 4 2 kat 25 20 62.5 50 50 50 50 37.5 58.3 * 50 50 45.75

130 P 57 2 thn 2 4 2 kat 50 20 37.5 41.6 41.6 50 43.75 25 66.6 * 50 50 43.28

131 L 60 3 thn 1 4 2 kat 50 40 87.5 75 50 50 62.5 25 50 * 50 25 51.36

132 L 67 4 thn 3 4 2 kat 25 40 75 50 41.6 50 50 62.5 33.3 * 100 25 50.22

133 P 57 9 thn 2 4 1 kat 50 0 87.5 25 8.3 12.5 6.25 37.5 8.3 * 0 0 18.54

134 P 40 1 thn 3 2 1 kat 87.5 62.5 50 66.6 * 100 100 51.26 66.6 * 100 100 77.44

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013