universitas indonesia analisis wacana kritis terhadap

117
UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap retorika hubungan Islam dan Amerika Serikat dalam pidato Susilo Bambang Yudhoyono di Universitas Harvard SKRIPSI PANDU WICAKSONO 0806356143 FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI INGGRIS DEPOK JULI, 2012 Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Upload: others

Post on 22-Nov-2021

15 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

UNIVERSITAS INDONESIA

Analisis wacana kritis terhadap retorika hubungan Islam dan

Amerika Serikat dalam pidato Susilo Bambang Yudhoyono di

Universitas Harvard

SKRIPSI

PANDU WICAKSONO 0806356143

FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA

PROGRAM STUDI INGGRIS DEPOK

JULI, 2012

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 2: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME

Saya yang bertanda tangan di bawah ini dengan sebenamya menyatakan bahwa

skripsi ini saya susun tenpa tindakan plagiarism sesuai dengan peraturan yang

berlaku di Universitas Indonesia.

Jika di kemudian hari temyata saya melakukan tindakan Plagiarisme, saya akan

bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh

Universitas Indonesia kepada saya.

Depok, 13 Juli 2012

Pandu Wicaksono

I I

,I,I

,I

h Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 3: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

I, HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah basil karya saya sendtrt,

dan semua sumber balk yang dikutip maupun dirujuk

teIah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Pandu Wicaksono

NPM : 0806356143

Tanda Tangan ~

Tanggal : 13 Juli 2012

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 4: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi yang diajukan oleh Nama : Pandu Wicaksono NPM : 0806356143 Program Studi : Inggris Judul : Analisis Wacana Kriris terhadap Retorika

Hubungan Islam dan Amerika Serikat dalam Pidato Susilo Bambang Yudhoyono di Universitas Harvard

ioi telah berhasil dipcrtahankan di hadapao Dewan Peoguji dan ditertma sebagai persayaratan yang diperlukan uotuk memperoleh gelar Sarjana Humaulora pada Program Studi Inggris, Fakultas Pengetabuan Umu Budaya, Universitas Indonesia

DEWAN PENGUJI

Pembimbing : Diding Fachrudin, M. A. (......... . : )

Penguji : Junaidi, M. A. (.......... ... . )

Penguji : Marti Fauziah, M. Hum. (.......... . ... . )

Ditetapkan di : \)e.~"lL Tanggal : 13 Juli 2012

oleh

Dekan .'"?' las Ilmu P@lletahuanBudaya

Un :rsl:::o~~a/'

_ " c>.. ~ . , ~ .- ­- .- .

.- ~'}I' 'I)i';~a~liang Wibawarta 8rf!~~ \'~"

NIP. 196510231990031002

iv

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 5: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

v  

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi rabbil alamin. Kalimat tersebutlah yang patut diucapkan

terlebih dahulu setelah menyelesaikan penelitian ini karena tanpa ridha Allah

SWT, saya tidak akan bisa sampai pada tahap ini. Tentunya dengan segala

kekurangan saya, penelitian ini masih jauh dari sempurna. Penelitian yang saya

lakukan ini melalui lima tahapan. Tiga tahapan pertama adalah tahap ditolak.

Tahap selanjutnya merupakan tahap disetujui dan tahap terakhir adalah tahap

pengerjaan. Saya memutuskan untuk menyusun skripsi dengan didasari oleh dua

hal. Pertama, keinginan saya untuk melanjutkan ke jenjang S2. Dasar kedua

adalah saya tergelitik melihat pidato presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)

di Bursa Efek Jakarta (BEJ) pada 3 Januari 2011. Pada pidato tersebut, SBY

menggunakan banyak campur kode yang bagi saya justru membuat alur pidato

menjadi kurang halus dan pesan yang ingin disampaikan menjadi sedikit kabur.

Dari sana saya terinspirasi untuk menelaah pidato kepala negara Indonesia,

terutama SBY. Awalnya tentu saya ingin mengkaji pidato SBY tersebut, namun

karena bukan pidato berbahasa Inggris, saya tidak dapat melanjutkan. Akhirnya,

pidato SBY di Universitas Harvard lah yang saya pilih.

Skripsi ini telah melewati tahapan yang mudah dan susah. Dengan adanya

penelitian-penelitian terdahulu yang sejenis memberikan kemudahan bagi saya

untuk menyelesaikan skripsi ini. Perasaan takut yang dominan bercampur sedikit

rasa malas menggelayuti saya ketika mencoba untuk menerapkan analisis wacana

kritis terhadap data yang saya miliki. Ketakutan itu cukup beralasan bagi saya

mengingat minimnya pengetahuan tentang teori pendamping untuk mengupas

pidato ini. Oleh karena itu, saya terus berusaha untuk menelaah data dengan

pendekatan analisis wacana. Akan tetapi, dosen pembimbing beberapa kali

menyarankan saya untuk menggunakan analisis wacana kritis dan membaca

penelitian-penelitian sejenis yang dilakukan oleh senior-senior saya. Alhasil, saya

menemukan suatu pencerahan bahwa ada suatu metode yang cukup sederhana

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 6: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

vi  

untuk melengkapi kekurangan dalam analisis wacana kritis yang saya gunakan,

yaitu dengan menggunakan teori struktur retorika.

Sudut pandang yang berbeda merupakan hal yang coba ditawarkan oleh

penelitian ini. Tentunya menarik untuk menelaah gagasan yang ditawarkan oleh

kepala negara dari sebuah negara yang berpengaruh, seperti Amerika, dan

dampaknya terhadap Indonesia atau negara lain. Di sisi lain, saya melihat hal

sebaliknya tidak akan kalah menarik. Oleh karenanya, saya bersikeras untuk

melanjutkan penelitian dengan data yang ada.

Manusia adalah makhluk sosial (walaupun belakangan cenderung menjadi

makhluk kapital). Oleh karena itu, segala dukungan dari berbagai pihak, mulai

dari yang terlihat sampai yang tidak terlihat, merupakan faktor penentu selesainya

penulisan skripsi ini. Dengan alasan tersebut, saya merasa perlu untuk

menyampaikan terima kasih kepada:

1. Pak presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan tim penyusun pidato

karena sudah membentuk pidato sedemikian rupa, sehingga bisa

ditelaah dengan analisis wacana kritis.

2. Pak rektor UI karena sudah membuat berbagai kebijakan yang

membuat mahasiswanya “terdorong untuk cepat lulus”.

3. Pak Diding Fachrudin sebagai dosen pembimbing yang bersedia sering

direpotkan di tengah kesibukannya oleh mahasiswanya yang kurang

mawas diri ini.

4. Pak Junaidi dan Bu Marti Fauziah sebagai dosen penguji yang bersedia

memberikan kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini.

5. Para dosen program studi Inggris yang menginspirasi saya untuk selalu

berbuat yang terbaik walaupun masih berstatus mahasiswa.

6. Bapak dan Ibu saya yang tidak pernah saya kabari tentang skripsi ini

tapi, saya yakin, tetap mendoakan saya agar penelitian ini lancar dan

tuntas dengan baik.

7. Kakak saya yang mengingatkan untuk cepat menyelesaikan skripsi

karena saya harus membantu pekerjaannya. Tidak lupa, adik saya yang

beberapa kali menemani mengerjakan skripsi sampai pagi.

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 7: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

vii  

8. Keluarga besar mahasiswa program studi Inggris UI, baik yang masuk

ke dalam Ikatan Mahasiswa Inggris (IKMI) maupun tidak karena telah

menjadi bagian dari keluarga saya selama 4 tahun terakhir. Mereka

adalah tempat saya belajar, berbagi, bermain, berkelahi, dan berjuang.

9. Keluarga besar Sekolah Dasar Negeri Bojong 5, Pameungpeuk, Garut

beserta masyarakat kampung Cikangkung, Cikuya, dan Cipalahlar,

khususnya keluarga Pak Endang dan siswa-siswi kelas 5 SDN Bojong

5 karena telah menjadi alasan terbesar saya untuk menyelesaikan

skripsi ini. Setiap saya kurang bersemangat, hanya dengan mengingat

merekalah saya ingin segera menuntaskan penelitian ini. Hadiah

terbesar bagi saya adalah bisa bertemu dengan mereka lagi. Oleh

karena itu, saya tidak bisa berlarut-larut dalam pengerjaan skripsi ini.

10. Geng Ular (Alfi, Adel, Seto, Ririn, dan Wirda) karena selalu membuat

saya malu dengan jiwa-jiwa muda mereka yang selalu bersemangat.

Perasaan itulah yang sudah mengembalikan jiwa muda saya dan

memberikan saya dorongan moral di manapun mereka berada.

11. Pak Cecep dan Istri selaku pengurus Rumah Singgah Bina Tulus Hati

di Kampung Lio serta siswa-siswi di sana yang berbaik hati

mendoakan saya ketika saya bepergian jauh dan menjalani ujian.

Anak-anak di rumah singgah turut menjadi alasan untuk menuntaskan

skripsi ini karena mereka mungkin akan kekurangan tambahan

pelajaran jika saya terlalu lama berurusan dengan tugas akhir.

12. Geng Shuffle (Ade Linna, Beta Golda Nisa, Faries Muchlisin, dan

Sekar Sejati serta Chintya, sebagai penasihat) atas kebersamaannya di

masa-masa galau mengerjakan skripsi dan atmosfer unik yang telah

diciptakan. Untuk inisial A, B, F, dan S diharapkan dapat sesegera

mungkin menyusul lulus.

13. Pembina Teater Sastra (Tesas), Mas Yudi, dan teman-teman di Tesas

karena tanpa mereka saya mungkin hanya akan menjadi robot dan

menjadi naif, atau robot naif.

14. Keluarga besar panitia dan pengajar Gerakan UI Mengajar batch 1

karena telah menjadi keluarga dalam pengalaman yang tak terlupakan,

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 8: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

viii  

memberikan semangat untuk saya, dan memberikan kesempatan yang

sangat berharga sebelum saya lulus kuliah.

15. Teman-teman kepanitiaan Desa Mandiri BEM UI 2012 yang membe-

rikan semangat di kala saya kewalahan mengerjakan tugas-tugas

sebagai Public Relation dan skripsi. Terutama Viola Almira yang

walaupun tidak banyak membantu saya, meminta untuk dimasukkan

namanya ke sini. Sayangnya dia sudah punya pacar, kalau belum

mungkin namanya minta dimasukkan ke hati saya.

16. Teman-teman FLAC (Future Leaders for Anti-Corruption) yang telah

memberikan saya kesempatan untuk tergabung dan ikut merasakan

kegiatan yang luar biasa di akhir-akhir masa perkuliahan saya.

17. Terakhir, namun bukan berarti paling tidak penting, para mantan

karena mereka telah menjadi faktor pembentuk karakter saya seperti

sekarang ini. Walaupun mereka mantan, mereka masih bersedia untuk

saya hubungi dan beberapa kali menanyakan perkembangan skripsi

saya. Terutama Imeh yang beberapa kali menemani saya mengerjakan

skripsi serta brain-storming ide dan konsep.

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 9: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUANl'qBLlKASI

TUGAS AKIIIR UNTIJK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di

bawah ini:

Nama : Pandu Wicaksnno

NPM : 0806356143 Program Studi : Inggris

Departemen : Lingnistik FakuItas : Ilmu Pengetahuan Budaya Jenis karya : Skripsi

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujni untuk memberikan kepada

Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Nonekslusif (Non-exclustve Royalty

Free Right) atas karya i1miah saya yang beIjudul:

Analisis Wacana Kritis terhadap Retorika Hubungan Islam dan Amerika Serikat

dalam Pidato Susilo Bambang Yudhoyono di Universitas Harvard

beserte perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti

Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, menga1ilunedial

formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan

memublikasikan tugas akhir saya selema tetap mencantumkan nama saya sebagai

penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hat Cipta.

Demikian pemyataan ini sayabuat dengan sebenamya,

Dibuat di : Depok Pada tanggal : 13 Juli 2012

Yang menyatakan

~b5Jb du Wicaksono)

ix

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 10: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

x Universitas Indonesia

ABSTRAK

Nama : Pandu Wicaksono Program Studi : Inggris Judul : Analisis wacana kritis terhadap retorika hubungan Islam dan

Amerika Serikat dalam pidato Susilo Bambang Yudhoyono di Universitas Harvard

Sebagai rangkaian kunjungannya ke Amerika Serikat, setelah menghadiri forum G-20, Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berpidato di Universitas Harvard. Salah satu tujuannya adalah merespons pidato pidato Barrack Obama di Kairo. Dalam pidato yang berjudul “Toward Harmony among Civilizations” tersebut, SBY menyampaikan sembilan langkah yang dapat diterapkan untuk mencapai keharmonisan antar peradaban. Selain penjabaran langkah-langkah tersebut, SBY juga membangun retorika hubungan komunitas Muslim, terutama Indonesia, dengan Amerika. Penelitian ini mencoba menjabarkan formasi retorika, strategi, serta motivasi yang dibangun oleh SBY. Dengan pendekatan analisis wacana kritis dengan didukung oleh teori benturan peradaban, penelitian ini menemukan adanya kecenderungan untuk memperkuat citra Indonesia di mata dunia alih-alih memposisikan Islam sebagai rekan Amerika dalam mencapai perdamaian dunia.

Kata kunci: Retorika, wacana, analisis wacana kritis, pidato

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 11: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

xi Universitas Indonesia

 

ABSTRACT

Name : Pandu Wicaksono

Study Program: English

Title : Analisis wacana kritis terhadap retorika hubungan Islam dan Amerika Serikat dalam pidato Susilo Bambang Yudhoyono di Universitas Harvard

After attending the G-20 forum, the president of Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) gave a speech in Harvard University as one of his activities in the United States of America. It is also a response to Barrack Obama’s speech in Cairo. Through his speech, which titled “Toward Harmony among Civilizations”, SBY presented nine imperatives to achieve harmony. Besides, he also built rhetoric of relationship between Muslim community, especially Indonesia, and America. This study aims to elaborate rhetoric formation, strategy, and motivation which are built by SBY. By using critical discourse analysis approach and clash of civilization theory, it discovers that there is a tendency to strengthen the image of Indonesia instead of arranging Islam as a partner of America to attain world’s peace.

Keywords: Rhetoric, discourse, critical discourse analysis, speech  

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 12: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

xii Universitas Indonesia

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………………………………………………………………i SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME…………………………...ii SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS……………………………………iii LEMBAR PENGESAHAN………………………………………………………iv KATA PENGANTAR…………………………………………………………….v LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH…………………..ix ABSTRAK………………………………………………………………………...x ABSTRACT………………………………………………………………………xi DAFTAR ISI………………………......................................................................xii BAB I PENDAHULUAN………………………………………...……………...1

1.1 Latar Belakang...……………..……………………… ……………….1 1.2 Rumusan Masalah……………………………………………………..9 1.3 Tujuan Penelitian…………….….……………………………….........9 1.4 Pembatasan Masalah……………….…………………………….......10 1.5 Hipotesis Penelitian…………….…………………………………….10 1.6 Metodologi Penelitian……………….……………………………….10 1.7 Manfaat Penelitian……………………..…………………………….11 1.8 Sistematika Penyajian……………………………..…………………12

BAB II LANDASAN TEORI……………………………….............................13 2. 1 Wacana………………………………………………………………13 2. 2 Analisis Wacana Versus Analisis Wacana Kritis……………………15

2. 2. 1 Analisis Wacana………………………………………………15 2. 2. 2 Analisis Wacana Kritis………………………………………..16

2. 2. 2. 1 Analisis Wacana Peristiwa Komunikatif…………..19 2. 2. 2. 2 Analisis Urutan Wacana……………………………22

2. 3 Fungsi Wacana………………………………………………………23 2. 4 Teori Struktur Retorika……………………………………………...28

2. 4. 1 Jenis-Jenis Relasi……………………………………………..30 2. 4. 2 Jenis-Jenis Skema…………………………………………….32 2. 4. 3 Nuklearitas……………………………………………………36 2. 4. 4 Klasifikasi Relasi……………………………………………..36 2. 4. 5 Aplikasi Skema……………………………………………….38 2. 4. 6 Teori Struktur Retorika Analisis Berganda…………………..39

2. 5 Benturan Peradaban…………………………………………………40 BAB III ANALISIS…………………………………………………………….42

3. 1 Struktur Pidato Susilo Bambang Yudhoyono………………………42 3. 2 Analisis Bagian Pembuka…………………………………………...46

3. 2. 1 Analisis TSR Bagian Pembuka……………………………….46 3. 2. 2 Analisis Wacana Kritis Representasi di Tingkat Klausa……..49 3. 2. 3 Analisis Wacana Kritis Representasi di Tingkat Kombinasi Klausa………………………………………………………………..52 3. 2. 4 Analisis Praktik Wacana……………………………………...55 3. 2. 5 Analisis Urutan Wacana………………………………………56

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 13: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

xiii Universitas Indonesia

3. 2. 6 Analisis Fungsi Wacana………………………………………57 3. 3 Analisis Bagian Isi…………………………………………………..58

3. 3. 1 Analisis TSR Bagian Isi………………………………………58 3. 3. 2 Analisis Wacana Kritis Representasi di Tingkat Klausa……..62 3. 3. 3 Analisis Wacana Kritis Representasi di Tingkat Kombinasi Klausa………………………………………………………………..64 3. 3. 4 Analisis Praktik Wacana……………………………………...67 3. 3. 5 Analisis Urutan Wacana………………………………………67 3. 3. 6 Analisis Fungsi Wacana………………………………………68

3. 4 Analisis Bagian Penutup…………………………………………….69 3. 4. 1 Analisis TSR Bagian Penutup………………………………...69 3. 4. 2 Analisis Wacana Kritis Representasi di Tingkat Klausa……...71 3. 4. 3 Analisis Wacana Kritis Representasi di Tingkat Kombinasi Klausa………………………………………………………………...73 3. 4. 4 Analisis Praktik Wacana……………………………………...74 3. 4. 5 Analisis Urutan Wacana………………………………………74 3. 4. 6 Analisis Fungsi Wacana………………………………………75

BAB IV TEMUAN DAN PEMBAHASAN……………………………………76 4. 1 Temuan Analisis Wacana Kritis……………………………………..76 4. 2 Temuan Analisis Fungsi Wacana…………………………………...81 4. 3 Temuan Analisis Teori Struktur Retorika…………………………...83 4. 4 Pembahasan dan Keputusan Hipotesis………………………………88

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN………………………………………..91 5. 1 Kesimpulan…………………………………………………….........91 5. 2 Saran…………………………………………………………………93

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 14: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

xiv Universitas Indonesia

Aku adalah kumpulan kertas, lahir di masa yang aneh Semua mata mendelik ke atas, semua lidah semakin nyeleneh

Aku adalah kumpulan kertas, lahir di masa yang aneh Semut sering menyantap ampas, lalat bergunjing sambil minum teh

Aku adalah kumpulan kertas, lahir saat dunia memuja kertas

Angka harus selalu menunjuk ke atas, angka selalu menjadi rating teratas Aku adalah kumpulan kertas, lahir saat dunia memuja kertas

Dua menangis karena kertas, dua tertawa karena kertas, dua takut kelipatannya kekurangan kertas

Kertas merajai dunia!

Batu hancur karenanya! Kerajaan runtuh olehnya!

Tapi, aku kertas. Kenapa sedikit yang mencintaiku?

Apa karena aku kertas?

Untuk Eyang

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 15: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

 

Universitas Indonesia

 

BAB I

PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang

Komunikasi adalah aktivitas harian yang biasa dilakukan manusia

untuk bertukar informasi. Selain untuk bertukar informasi, komunikasi

memiliki bentuk dan jenis tersendiri. Bentuk komunikasi bermacam-

macam, tergantung dari penerima pesan, arah pesan, dan medianya.

Dainty, Moore, dan Mooray (2006) membagi komunikasi ke dalam tiga

kategori berdasarkan penerima pesannya, yaitu komunikasi massa,

komunikasi kelompok, dan komunikasi perorangan.

1. Komunikasi massa merupakan komunikasi yang memiliki

sasaran pendengar atau penerima pesan dalam jumlah besar dan

umumnya tidak dikenal atau tidak saling mengenal. Contoh

komunikasi massa, yaitu media massa, radio, iklan, dan

sebagainya.

2. Komunikasi kelompok, yaitu komunikasi yang sasarannya

adalah sekelompok orang yang umumnya dapat dihitung atau

dalam jumlah yang dibatasi dan dikenal. Contoh komunikasi

kelompok, antara lain penyuluhan ibu-ibu PKK di Posyandu,

rapat koordinasi siskamling suatu kompleks perumahan,

sambutan ketua panitia dalam pembukaan pertemuan perdana,

kegiatan belajar mengajar di kelas, dan sebagainya.

3. Komunikasi perorangan adalah komunikasi yang melibatkan

dua individu. Contoh komunikasi perorangan, yaitu interaksi

antara dokter dan pasiennya di ruang periksa, dua orang yang

berbicara melalui telepon, dan sebagainya.

Di samping itu, menurut Dainty, Moore, dan Mooray (2006),

bentuk komunikasi juga dapat dikelompokkan berdasarkan arah pesan,

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 16: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

 

Universitas Indonesia

 

yaitu komunikasi satu arah dan komunikasi dua arah atau timbal balik.

Komunikasi satu arah, sesuai namanya, hanya memberikan kesempatan

pada pengirim pesan untuk menyampaikan pesannya kepada penerima

pesan tanpa memberi kesempatan adanya timbal balik dari penerima

pesan. Berita di media cetak dan televisi, iklan di spanduk dan baliho, dan

pidato di acara pemakaman merupakan beberapa contoh dari komunikasi

satu arah. Komunikasi dua arah, di sisi lain, memberikan kesempatan

adanya timbal balik dari pemberi pesan dan penerima pesan. Komunikasi

dua arah biasa terjadi di beberapa kesempatan, misalnya obrolan santai

pegawai kantor di jam istirahat, komunikasi melalui telepon, chatting, dan

sebagainya.

Bentuk komunikasi selanjutnya, menurut Dainty, Moore, dan

Mooray (2006), berdasarkan medianya terbagi menjadi dua: komunikasi

langsung dan tidak langsung. Komunikasi langsung dapat dikatakan

sebagai komunikasi yang tidak menggunakan alat atau perantara. Dengan

kata lain, pesan yang disampaikan oleh pengirim pesan langsung diterima

oleh penerima pesan saat itu juga tanpa perantara apa pun. Komunikasi ini

biasa ditemui pada percakapan sehari-hari antara individu atau kelompok

di tempat dan waktu yang sama, seperti di sekolah, pasar, dan kantor.

Sebaliknya, komunikasi tidak langsung membutuhkan perantara untuk

menyampaikan pesan. Iklan, media cetak, pengumuman, dan buku

petunjuk adalah beberapa contoh dari komunikasi tidak langsung.

Selain pengelompokan di atas, mengacu pada Dainty, Moore, dan

Mooray (2006) komunikasi juga terbagi menjadi dua jenis, yaitu

komunikasi verbal dan nonverbal. Komunikasi verbal menggunakan lisan

atau verbal sebagai media utama komunikasi, sedangkan komunikasi

nonverbal menggunakan media utama selain verbal untuk berkomunikasi.

Contoh komunikasi nonverbal adalah spanduk, poster, bahasa tubuh

manusia atau bahasa isyarat, dan sebagainya.

Komunikasi merupakan salah satu bentuk dari wacana. Oleh

karenanya, komunikasi tidak terlepas dari konteks situasi terjadinya

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 17: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

 

Universitas Indonesia

 

peristiwa komunikasi tersebut. Adapun wacana menurut Zaimar dan

Harahap (2009) merupakan kesatuan pesan yang mandiri dan

pemahamannya dipengaruhi konteks situasi. Di samping itu, Yuwono

(2005) memahami wacana sebagai kesatuan makna (semantis) antarbagian

di dalam sebuah bangun bahasa. Sebagai kesatuan pesan dan makna,

wacana memiliki unsur-unsur yang saling berhubungan dan terpadu. Oleh

karena itu, sebuah teks, seperti pidato, iklan, dan prosa baru dapat dikaji

secara wacana ketika memiliki bangun bahasa.

Adapun pidato, sebagai teks wacana, merupakan sebuah contoh

komunikasi yang cukup kompleks. Hal ini dikarenakan pidato adalah

komunikasi verbal yang jumlah sasaran penerima pesannya bisa sangat

banyak, sedangkan pengirim pesan hanya, satu orang. Dengan demikian,

pengirim pesan perlu memiliki strategi dan kemampuan berkomunikasi

yang matang untuk memastikan bahwa pesan diterima dengan baik oleh

penerima pesan. Terlebih lagi, media perantara dan arah pesan pidato

disesuaikan dengan kebutuhan. Untuk memberikan dampak yang besar,

pidato dapat berbentuk komunikasi langsung dan tidak langsung. Sebagai

contoh, dalam mengklarifikasi sebuah permasalahan, presiden Republik

Indonesia berpidato di istana negara. Pidato tersebut disaksikan secara

langsung oleh wartawan (komunikasi langsung) dan dapat diikuti pula

oleh rakyat Indonesia melalui layar kaca, radio, atau internet (komunikasi

tidak langsung). Hal lain yang perlu diperhatikan dalam pidato sebagai

komunikasi adalah arah pesannya, yaitu satu arah. Arah yang terbatas ini

membuat pengirim pesan seolah mendapatkan kebebasan untuk mengatur

jalannya pidato dan mengatur isi pidatonya sendiri. Terlebih lagi, tujuan

pidato pada umumnya, selain untuk memberi informasi, adalah

mempengaruhi penerima pesan.

Pidato, menurut Yuwono (2005) termasuk ke dalam jenis wacana

ekspresif, yaitu wacana yang sarana ekspresinya berasal dari ide penutur

atau penulis. Akan tetapi, bila sebuah pidato bertujuan untuk

mempengaruhi penerima pesan atau mitra tutur, maka pidato tersebut

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 18: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

 

Universitas Indonesia

 

berjenis wacana direktif. Penggolongan jenis wacana ini berdasarkan

fungsi-fungsi yang ditunjukkannya.

Fungsi wacana atau fungsi bahasa, meminjam istilah Zaimar dan

Harahap (2009), merupakan sistem klasifikasi wacana yang dikemukakan

oleh Jakobson (1985). Jakobson membagi fungsi wacana berdasarkan

elemen-elemen dalam komunikasi, yaitu: addressee, addresser, context,

message, code, dan contact. Dari keenam elemen tersebut, wacana

memiliki fungsi yang berbeda berdasarkan fokusnya. Fungsi wacana yang

dikemukakan oleh Jakobson ada enam:

a. Fungsi referensial (referential function).

b. Fungsi puitis (poetic function).

c. Fungsi ekspresif (self-expressive function).

d. Fungsi konatif (conative function), Johnstone (2002)

menggunakan istilah fungsi retorik (rhetoric function).

e. Fungsi fatik (phatic function).

f. Fungsi metalinguistik (metalingual function).

Johnstone (2002) dan Zaimar dan Harahap (2009) sependapat

bahwa klarifikasi ini tidak dapat secara kaku diterapkan pada sebuah teks

karena teks tersebut berkemungkinan besar menggunakan beberapa fungsi

wacana. Tentunya penggunaan beberapa fungsi wacana ini secara sadar

dilakukan oleh pengirim pesan untuk mencapai tujuan tertentu.

Berkaitan dengan tujuan pidato untuk mempengaruhi pendengar-

nya dan mencapai tujuan tertentu, dikenal istilah retorika. Disiplin ilmu

seperti linguistik dan komunikasi politik cukup akrab dengan istilah ini.

Menurut Lauren (1981) sebagaimana dikutip oleh Syahriyani (2011) dari

Annisa (2010), keterlibatan konteks tempat dibacakannnya pidato, konteks

pendengar pidato, dan konteks tujuan yang diinginkan pembaca pidato

merupakan suatu kesatuan linguistik yang ditelaah dalam kajian linguistik.

Syahriyani (2011) menambahkan bahwa retorika berfungsi sebagai sebuah

strategi untuk memengaruhi pendengar melalui sebuah pidato yang

bersifat persuasif atau digunakan sebagai alat untuk membangun wacana

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 19: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

 

Universitas Indonesia

 

dan meyakinkan pendengar akan kebenaran gagasan yang disampaikan

dalam ranah ilmu komunikasi kontemporer.

Dalam retorika, masalah yang kerap kali menjadi fokus utama

adalah kekuasaan dan pembagiannya. Terkait dengan kekuasaan, retorika

memiliki tiga level atau tingkat. Tingkat yang pertama adalah kekuatan

pribadi (personal power), yaitu segala sesuatu yang berkaitan dengan

kekuatan yang membuka jalan untuk mencapai tujuan (cita-cita,

kesuksesan, dan lain-lain) bagi diri sendiri. Tingkat kedua adalah kekuatan

psikologis (psychological power), yaitu segala yang berkaitan dengan

kekuatan atau kemampuan untuk membentuk cara berpikir orang lain.

Tingkat retorika yang terakhir adalah kekuatan politis (political power),

yaitu segala yang berhubungan dengan pengaruh dalam pengambilan

keputusan dan aturan dalam menentukan orang yang berpendapat serta

pesan yang ingin disampaikan. Dengan kata lain, retorika, ideologi, dan

kekuasaan sangat erat hubungannya. Oleh karena itu, ketika satu ideologi

berperan dominan di dalam masyarakat, suatu kelompok tertentu dapat

diperkuat posisinya oleh konsepsi retorika yang terbentuk. (Herrick, 2000:

19-20)

Berdasarkan hubungan antara wacana, ideologi, dan kekuasaan,

Norman Fairclough mengembangkan sebuah teori bernama Analisis

Wacana Kritis (AWK). Fairclough membangun kerangka pemikiran

berdasarkan analisis wacana sebagai praktik sosial. Konsep Fairclough

bermula dari pemikiran Foucault yang melihat wacana sebagai

representasi pengetahuan dan kekuasaan. Lebih lanjut Fairclough menilai

bahwa wacana tidak hanya dilihat sebagai sesuatu yang terbentuk, tapi

juga dibentuk. Bagi Fairclough, wacana merupakan bentuk praktik sosial

yang mengubah dan mereproduksi identitas, relasi sosial, dan relasi kuasa

(power relation). Selain itu, wacana turut dibentuk oleh praktik dan

struktur sosial yang lain. Oleh karena itu, wacana dan unsur-unsur atau

dimensi sosial memiliki hubungan yang bersifat dialektis. (Jorgensen dan

Philips 2002: 65)

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 20: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

 

Universitas Indonesia

 

Dalam Analisis Wacana Fairclough, aspek koherensi dan kohesi

sebuah teks diperhitungkan untuk menelaah pengertian yang terbentuk dari

susunan kata dan kalimat. Selain itu, teks tersebut dianalisis dengan

melihat pilihan kata, tatanan semantik, dan tata kalimat. Dimensi yang

dibahas dalam Analisis Wacana Fairclough mencakup teks, praktik

wacana, dan praktik sosial. (Eriyanto, 2001)

Penelitian mengenai retorika menggunakan AWK pernah

dilakukan oleh mahasiswi Program Studi Inggris FIB UI , yaitu

Febriannisa Mutiara dengan judul skripsi “Analisis Wacana Kritis

Terhadap Retorika Hubungan Islam dan Amerika dalam Pidato Obama di

Kairo, Mesir” pada tahun 2010 dan Alfi Syahriyani dengan judul skripsi

“Retorika Hubungan Amerika Serikat dan Indonesia dalam Pidato Obama

di UI: Sebuah Tinjauan Analisis Wacana Kritis ” pada 2011. Mutiara

melihat bahwa retorika Obama di Kairo, Mesir, memiliki sejumlah wacana

mengenai hubungan antara Amerika dan komunitas muslim. Dengan

menggunakan teori Analisis Wacana Kritis (AWK) Fairclough sebagai

teori utama, juga Teori Struktur Retorika (TSR) dan Benturan Peradaban

sebagai teori pendukung, Mutiara menemukan bahwa retorika Obama

memiliki indikasi pengalihfungsian relasi dialogis antara posisi pihak

penutur (AS) dengan audiens sasaran (komunitas Muslim). Penyajian

relasi dialogis tersebut sebaliknya memperkuat hegemoni pihak penutur

(AS) atas audiens sasarannya (komunitas Muslim). Namun demikian,

dalam studi yang dilakukan, Mutiara hanya membatasi penelitiannya pada

tiga wacana, yaitu isu ekstrimisme, isu konflik Israel dan Palestina, serta

isu pembangunan ekonomi, namun belum menjangkau semua wacana

yang disampaikan.

Tidak berbeda jauh dengan Mutiara, Syahriyani melihat adanya

tujuan untuk menguatkan hegemoni Amerika Serikat terhadap Indonesia

melalui pidato Obama di UI. Teori-teori yang digunakan Syahriyani

sebagai pendekatan dalam penelitiannya adalah teori AWK Fairclough

yang dikembangkan dari teori analisis wacana Foucault dan teori

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 21: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

 

Universitas Indonesia

 

hegemoni Gramsci yang bermula dari teori Marxisme Karl Marx. Dalam

penelitiannya, Syahriyani menemukan adanya strategi retorika oleh

Amerika Serikat yang terwujud dalam aspek kebahasaan, praktik wacana,

serta urutan wacana pidato yang mencerminkan relasi kuasa dan hegemoni

Amerika. Syahriyani juga tidak membahas keseluruhan wacana di dalam

pidato tersebut tetapi hanya tiga wacana yang memiliki episode yang

dominan.

Jika dibandingkan dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang

sejenis, penelitian ini menawarkan sudut pandang yang berbeda.

Penelitian-penelitian sebelumnya menitikberatkan pada retorika yang

dibangun oleh pemimpin negara lain, terutama dari peradaban Barat, dan

efeknya terhadap komunitas Muslim dunia dan Indonesia. Di sisi lain,

penelitian ini mencoba menjabarkan retorika yang dibangun dari sisi

Indonesia, termasuk perannya sebagai salah satu negara dalam komunitas

Muslim dunia, dan akibat yang mungkin ditimbulkan oleh retorika yang

dibangun terhadap peradaban Barat. Di samping itu, penelitian ini

menggabungkan dua pendekatan telaah, yaitu AWK dan TSR, untuk

menganalisis data. TSR yang digunakan berfungsi untuk menjabarkan

organisasi teks secara makro. Kemudian organisasi retorika dalam teks

yang ditemukan akan memberikan gambaran umum pola retorika yang

dibangun dan kecenderungan penggunaan strategi oleh penutur atau

penyusun pidato. Pada akhirnya, TSR akan memperkaya dan memperinci

analisis data. Dengan demikian, penelitian ini dapat menunjukkan

dinamika retorika dari sudut pandang yang berbeda dari penelitian-

penelitian sebelumnya yang sejenis dan menemukan adanya perbedaan-

perbedaan serta kesamaan-kesamaan dari pidato SBY dan Obama.

Retorika berperan penting dalam dunia perpolitikan modern, yaitu

untuk membangun wacana demi keberhasilan agenda politik. Karena

fungsi retorika yang persuasif, para pendengar seringkali tidak sadar

bahwa pola pikirnya sedang dikonstruksi. Dengan demikian, keutuhan teks

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 22: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

 

Universitas Indonesia

 

pidato sebagai wacana perlu diteliti karena melibatkan pemahaman dan

tujuan pengirim pesan dengan pemahaman penerima pesan.

Pidato SBY di Universitas Harvard merupakan rangkaian aktivitas

di Amerika setelah menghadiri pertemuan G-20 di Pittsburgh. Pidato yang

dihadiri oleh ratusan tamu undangan ini merupakan tanggapan kepada

pidato Obama di Kairo pada bulan Juni 2009. Pada kunjungannya tersebut,

Obama menyampaikan sebuah pernyataan politik melalui pidatonya.

Pernyataan ini tentunya menarik perhatian internasional karena Obama

mencoba meyakinkan dunia, terutama komunitas Muslim, bahwa Amerika

Serikat ingin memperbaiki hubungan dengan komunitas Muslim dunia dan

bekerja sama dengan semua pihak. Di samping itu, Obama juga

menegaskan bahwa musuh Amerika Serikat bukanlah Islam, melainkan

para teroris. Hal ini menjadi penting mengingat citra Amerika di mata

dunia internasional, terutama komunitas Muslim dunia, tidak terlalu baik,

seperti adanya invasi Amerika ke negara-negara berpenduduk mayoritas

Muslim dan kecenderungan untuk mendukung Israel dalam berbagai

konflik di Gaza. Sebagai tanggapan dari gagasan yang dikemukakan

Obama, SBY membicarakan tentang keharmonisan antar peradaban dalam

pidatonya. Berbeda dari pidato Obama, pidato SBY menjabarkan langkah-

langkah yang menurutnya bisa mengantar pada keharmonisan peradaban.

Selain itu, SBY juga menekankan peran penting Indonesia sebagai

jembatan antara dunia Islam dengan Barat. Hal ini didukung oleh kekuatan

Indonesia sebagai negara yang multikultural sekaligus memiliki banyak

penduduk beragama Islam. SBY berharap Indonesia dan Amerika dapat

menjadi rekan dalam membangun keharmonisan dunia internasional.

Kedua pidato kepala negara ini oleh Richard Greene, seorang ahli strategi

komunikasi Beverly Hills dan penasihat pidato, dianggap sebagai pidato

yang berpengaruh pada abad ini dan diangkat ke dalam bukunya yang

berjudul “Words that Shook the World: Addendum: The first decade of the

21st century.”

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 23: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

 

Universitas Indonesia

 

Pidato ini dipilih dengan mempertimbangkan beberapa hal.

Pertama, tema yang diangkat oleh pidato ini menarik, mengingat

keharmonisan antar peradaban dunia tidak jarang merenggang belakangan

ini. Kedua, pidato ini menawarkan sudut pandang lain dari hubungan

antara Islam dan Barat, khususnya Amerika Serikat. Kali ini, pihak Islam

yang mengajukan sebuah gagasan dan tawaran. Tentunya dengan alasan

bahwa Indonesia termasuk ke dalam bagian dari komunitas Muslim dunia.

Ketiga, terlihatnya dinamika retorika pada pidato ini. Tidak seperti

beberapa pidato SBY di beberapa kesempatan lain yang lebih terkesan

kaku dan kurang berwarna, pidato di Universitas Harvard ini memberikan

gambaran berbeda dari SBY ketika berpidato di negara lain.

1. 2 Rumusan Masalah

Penelitian ini mengkaji tiga pokok permasalahan, yaitu:

1. Bagaimana formasi retorika Susilo Bambang Yudhoyono di

Harvard University dibangun?

2. Bagaimana wacana retorika hubungan komunitas Muslim

(terutama Indonesia) dengan Amerika Serikat dipraktikkan?

3. Di manakah posisi Islam dan Amerika Serikat dalam konteks

pidato Susilo Bambang Yudhoyono?

1. 3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini, antara lain:

1. Menjabarkan formasi retorika SBY di Harvard University.

2. Menggambarkan strategi retorika yang dilakukan SBY melalui

pidatonya di Harvard University.

3. Menjabarkan motivasi kontekstual dan relasi dialogis yang

dibangun dalam pidato SBY di Harvard University.

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 24: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

10 

 

Universitas Indonesia

 

4. Mengetahui sasaran pendengar dari pidato SBY di Harvard

University.

1. 4 Pembatasan Masalah

Penelitian ini dibatasi oleh beberapa hal. Pertama, penelitian ini

merupakan penelitian tekstual yang berbasis pada transkripsi resmi yang

dikeluarkan oleh Biro Publikasi dan Media Kepresidenan Republik

Indonesia. Teks pidato yang akan dianalisis, yaitu pidato Susilo Bambang

Yudhoyono (SBY) di John F. Kennedy School of Government, Harvard

University, Boston tertanggal 30 September 2009. Elemen-elemen

suprasegmental seperti intonasi tidak akan dianalisis secara spesifik dalam

penelitian ini dikarenakan keterbatasan waktu penelitian.

1. 5 Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang dapat dibuat dalam penelitian ini, antara lain:

1. Wacana yang dibangun dalam pidato SBY memposisikan Islam

dan komunitas Muslim sebagai pihak yang patut

diperhitungkan oleh Amerika Serikat.

2. Terdapat kombinasi sejumlah fungsi wacana yang membangun

retorika hubungan Islam dan Amerika.

3. Retorika yang dibangun oleh SBY dipengaruhi oleh konteks

tempat dibacakannya pidato.

4. Retorika Islam pada pidato SBY berusaha memperbaiki citra

Indonesia sebagai salah satu negara komunitas Muslim terbesar

di dunia.

1. 6 Metodologi Penelitian

Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode

penelitian kualitatif deskriptif. Dengan demikian, penelitian ini bertujuan

untuk menjabarkan fenomena atau gejala sosial, dalam kasus ini linguistik,

yang ada atau pernah ada. Penelitian ini melalui empat tahap, yaitu tahap

pengumpulan data, analisis data, temuan, dan kesimpulan.

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 25: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

11 

 

Universitas Indonesia

 

A

Alur tahap analisis data

Pertama, dalam tahap pengumpulan data, penulis menggunakan

transkripsi resmi pidato SBY yang dipublikasikan oleh Biro Publikasi dan

Media Kepresidenan RI di presidenri.go.id. Sebagai data pendukung,

terutama dalam analisis praktik wacana (discourse practice) nantinya,

penulis mengambil rangkaian video dibacakannya pidato dari youtube.com

yang diunggah oleh Voice of America (VOA) Indonesia. Tahap kedua

adalah analisis data. Pada tahap ini, pidato tersebut akan dianalisis dengan

pendekatan analisis wacana kritis Norman Fairclough yang bermula dari

teori analisis wacana Foucault. Sebagai teori pendamping, penulis

menggunakan Teori Struktur Retorika (TSR) dari William Mann dan

Sandra Thompson, serta teori benturan peradaban (clash of civilization)

dari Samuel Huntington. Setelah melakukan analisis terhadap pidato

secara keseluruhan, penulis akan menyampaikan hasil penelitian atau

temuan analisis. Terakhir, penulis akan menarik kesimpulan untuk

mendapatkan tinjauan umum penelitian.

1. 7 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan tidak hanya memberikan implikasi yang

bersifat teoritis, tetapi juga bersifat praktis. Implikasi teoritis yang

diharapkan dari penelitian ini adalah penambahan pemahaman dalam

analisis wacana terutama analisis fungsi wacana dalam sebuah pidato. Di

samping itu, penelitian ini juga diharapkan dapat mendorong penelitian-

penelitian linguistik lainnya yang menggunakan tuturan atau fenomena

komunikasi dan sosial dari pihak otoritas, seperti pemerintah, sebagai

korpus penelitiannya.

Tahap 

Pengum

pulan 

Data 

Temuan Analisis 

Data  Kesimpulan  

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 26: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

12 

 

Universitas Indonesia

 

Di sisi lain, secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat

menunjukkan kelebihan dan kekurangan dari suatu teks, terutama pidato

kenegaraan, sehingga masyarakat mengetahui salah satu faktor yang perlu

diperhatikan dalam membuat teks pidato dan dapat mengambil pelajaran

dalam mempersiapkannya.

1. 8 Sistematika Penyajian

Skripsi ini terdiri dari lima bab. Bab I adalah pendahuluan yang

berisi tentang latar belakang penelitian, rumusan permasalahan, tujuan,

hipotesis penelitian, metode yang digunakan, manfaat penelitian, dan

sistematika penelitian. Bab 2 akan membahas kerangka teori yang

melandasi penelitian. Bab 3 adalah analisis teks pidato SBY di Harvard

University, Boston dengan menggunakan pendekatan Analisis Wacana

Kritis (AWK). Analisis mencakup dua tahapan. Pertama, analisis teks

pidato secara tekstual menggunakan pendekatan TSR untuk mengetahui

struktur wacana dan retorika yang dibangun secara umum. Kemudian data

dianalisis menggunakan pendekatan AWK dengan menganalisis peristiwa

komunikatif dan praktik wacana yang ada di dalamnya. Setelah melalui

analisis tekstual, data akan dianalisis dengan melihat aspek-aspek

kontekstual dan sosiokulturalnya. Kemudian, pada bab 4, akan dibahas

mengenai temuan dari analisis pada bab 3, juga keputusan terhadap

hipotesis. Terakhir, kesimpulan dan saran akan disampaikan pada bab 5.

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 27: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

13  

Universitas Indonesia

BAB II

LANDASAN TEORI

Pada bab ini akan diuraikan pendekatan yang digunakan peneliti dalam

menganalisis data penelitian. Teori utama yang digunakan dalam penelitian ini

adalah teori Analisis Wacana Kritis (AWK) Fairclough yang didasari teori wacana

Foucault. Di samping itu, penulis akan menggunakan teori fungsi wacana Roman

Jakobson dan pendapat-pendapat lain, seperti Zaimar dan Harahap (2009) dan

Johnstone (2002) yang berkaitan dengan fungsi wacana untuk memperkaya

pembahasan dalam penelitian ini. Sebagai teori pendukung lain, penulis akan

menggunakan Teori Struktur Retorika (TSR) dan teori benturan peradaban.

Sebelumnya, penulis akan menguraikan wacana dan analisis wacana berdasarkan

pendapat para ahli.

2. 1 Wacana

Di samping pengertian wacana dari beberapa ahli pada bab

sebelumnya, beragam definisi wacana dikemukakan oleh ahli-ahli lainnya.

Beberapa definisi wacana dari para ahli telah dirangkum secara rapi dan

padat oleh Baker dan Ellece (2011: 30-31) sebagai berikut:

a. Brown dan Yule (1983) memberikan definisi wacana dalam

bentuk paling umum. Mereka mengartikan wacana sebagai

‘language in use’ dalam keseharian.

b. Stubbs (1983) mengajukan definisi lain dari wacana, yaitu

‘language above the sentence or above the clause’. Stubbs juga

membedakan wacana dengan teks. Menurutnya, wacana bersifat

interaktif, sedangkan teks tidak interaktif atau monolog.

c. Foucault (1972) mengaitkan wacana dengan ideologi dan

mengartikannya sebagai ‘practices which systematically form

the objects of which they speak’

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 28: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

14  

Universitas Indonesia

d. Burr (1995) mengembangkan pengertian wacana yang diajukan

oleh Foucault sebagai berikut:

a set of meanings, metaphors, representations, images, stories,

statements and so on that in some way together produce a

particular version of events . . . Surrounding any one object, event,

person etc., there may be a variety of different discourses, each

with a different story to tell about the world, a different way of

representing it to the world. (Burr, 1995: 48 dalam Baker dan

Ellece, 2011: 31)

Selain para ahli yang telah dikutip oleh Baker dan Ellece, beberapa

ahli lain juga memiliki definisi sendiri tentang wacana, antara lain:

a. Yuwono (2005) mendefiniskan wacana sebagai “kesatuan makna

(semantis) antarbagian di dalam suatu bangun bahasa.”

b. Johnstone (2002) menganggap wacana sebagai sebuah contoh

realisasi komunikasi. Wacana juga diartikan oleh Johnstone

sebagai sumber pengetahuan umum tentang bahasa sekaligus

akibat-akibat yang dihasilkannya.

c. Zaimar dan Harahap (2009) memberikan definisi lain mengenai

wacana, yaitu satuan bahasa komunikatif yang sedang

menjalankan fungsinya, bersifat otonom, memiliki pesan yang

jelas, dan pemahamannya didukung oleh konteks situasinya.

d. Gee (2005) merumuskan wacana sebagai “bahasa +

pelengkapnya”. Pelengkap yang dimaksud oleh Gee di sini

adalah semua aspek yang terkait dengan bahasa itu, seperti nilai,

kepercayaan, simbol, tempat, interaksi, waktu, dan identitas.

e. Jorgensen dan Philips (2002) mendefinisikan wacana sebagai “a

particular way of talking about and understanding the world (or

an aspect of the world).”

Dari berbagai definisi wacana tersebut, empat hal yang mendasar

membuat sebuah aktivitas berbahasa tergolong dalam sebuah wacana

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 29: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

15  

Universitas Indonesia

adalah komunikasi, ide, bahasa atau simbol, dan konteks. Oleh karena itu,

wacana menjadi kesatuan bahasa yang lebih besar dari sebuah struktur

kalimat maupun paragraf karena sifatnya yang terikat pada faktor-faktor

eksternal tetapi tidak terikat pada batasan struktur.

2. 2 Analisis Wacana versus Analisis Wacana Kritis

Baik analisis wacana maupun Analisis Wacana Kritis (AWK)

merupakan pendekatan untuk menelaah sebuah teks. Akan tetapi, masing-

masing pendekatan memiliki cakupan, paradigma, dan tujuan tersendiri.

2. 2. 1 Analisis Wacana

Awalnya, analisis wacana secara sederhana didefinisikan sebagai

studi mengenai bahasa atau pemakaian bahasa. (Eriyanto, 2001). Hikam

(1996) sebagaimana dikutip oleh Eriyanto (2001: 4), membahas paradigma

yang terkandung dalam analisis wacana. Setidaknya ada tiga paradigma

dalam analisis wacana menurut Hikam, yaitu positivisme-empiris,

konstruktivisme, dan pandangan kritis. Pandangan pertama melihat bahasa

sebagai jembatan antara manusia dengan objek di luar dirinya. Penilaian

yang ditekankan oleh pandangan ini adalah kesesuaian dan

ketidaksesuaian suatu wacana dengan kaidah-kaidah semantik dan

sintaksis. Hal ini didasari pemisahan antara gagasan dan realitas dalam

berbahasa sehingga seseorang tidak terdorong untuk mengetahui ideologi-

ideologi yang mendasari suatu wacana atau pernyataan dan tidak terdorong

untuk mengetahui makna-makna tersirat yang mungkin ada di baliknya.

Dalam praktiknya, peneliti, yang menggunakan pendekatan analisis

wacana, menelaah sebuah teks dengan melihat aspek kohesi dan

koherensinya. Tentunya penelitian tersebut didasari oleh pandangan bahwa

wacana yang baik memiliki unsur-unsur yang kohesif dan koheren.

Koherensi atau keutuhan wacana menurut Zaimar dan Harahap (2009: 17)

merupakan

“keterkaitan antara unsur-unsur dunia teks… dan berkat hubungan-

hubungan yang menggarisbawahi tersebut, isi teks dapat dipahami dan

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 30: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

16  

Universitas Indonesia

relevan.” Sedangkan kohesi atau kepaduan wacana didefinisikan sebagai

keadaan di saat pemahaman suatu unsur dalam teks bergantung pada

unsur lain, sehingga dengan ketidakhadiran hubungan tersebut, teks tidak

dapat dipahami secara menyeluruh. (Halliday dan Hasan, 1976: 4)

Pandangan kedua dalam analisis wacana menurut Hikam adalah

konstruktivisme. Berbeda dari pemikiran pertama yang memisahkan antara

aspek-aspek yang mendasari sebuah wacana dengan wacana itu sendiri,

konstruktivisme menganggap bahasa dan subjeknya sebagai sebuah

kesatuan. Pandangan ini percaya bahwa penggunaan bahasa tidak terlepas

dari alasan-alasan dan gagasan-gagasan yang melatarbelakanginya.

Tentunya alasan dan gagasan tersebut tergantung dari penutur atau

pembuat wacana. Dengan demikian, menurut pemikiran ini, analisis

wacana selayaknya dapat menjabarkan maksud, tujuan, dan makna tertentu

dari sebuah wacana. Pemikiran kedua dapat dikatakan sudah mulai

mengaitkan wacana dengan aspek-aspek sosial, namun belum sedalam

AWK. Pemikiran yang ketiga, yaitu pandangan kritis merupakan

pandangan pada AWK. Oleh karena itu, penjabaran mengenai pemikiran

ini akan diberikan pada subbab selanjutnya.

2. 2. 2 Analisis Wacana Kritis

Analisis Wacana Kritis (AWK) merupakan pendekatan dalam

menganalisis teks dan hubungannya dengan praktik sosio-kultural

(Fairclough, 1995:7). Baker dan Ellece (2011: 26) mendefinisikan AWK

sebagai sebuah pendekatan dalam analisis wacana yang melihat bahasa

sebagai praktik sosial dan fokus pada hubungan ideologi dan kekuasaan

yang diekspresikan melalui bahasa. Bila AWK dihubungkan kembali

dengan pendapat dari Hikam di subbab sebelumnya, maka AWK berkaitan

dengan prinsip pandangan kritis. Fokus telaah AWK tidak terbatas pada

keberadaan aspek kohesi dan koherensi dalam wacana maupun tahap

penafsirannya. Bahasa dalam pandangan AWK tidak lagi menjadi

kesatuan yang dapat dilepaskan dari segala macam aspek yang

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 31: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

17  

Universitas Indonesia

menggunakannya, melainkan menjadi perwujudan ideologi dan gagasan

untuk mencapai tujuan penutur atau pembuat wacana.

Dalam praktiknya, AWK menggunakan bahasa dalam suatu teks

untuk dianalisis. Akan tetapi, adanya kata ‘kritis’ menunjukkan bahwa

analisis yang diterapkan tidak terbatas pada aspek-aspek kebahasaan,

melainkan juga mengaitkannya dengan konteks. Definisi konteks di sini

yaitu semua situasi dan hal yang berada di luar teks dan memengaruhi

pemakaian bahasa, seperti partisipan dalam teks, situasi tempat teks

diproduksi, dan fungsi yang dimaksudkan. Lebih jauh, konteks juga

berkaitan dengan aspek-aspek historis, sosial, budaya, politik, dan

ekonomi yang memengaruhi proses produksi serta penafsiran suatu teks.

Berkaitan dengan konteks, John Fiske1 menyatakan bahwa makna

tidak intrinsik di dalam teks, melainkan diproduksi lewat proses yang aktif

dan dinamis, baik dari sisi pembuat maupun khalayak pembaca. Teks dan

pembaca memiliki andil yang sama dalam mereproduksi pemaknaan.

Hubungan ini kemudian memposisikan seseorang dalam sistem nilai yang

lebih besar di kehidupan bermasyarakat. Pada titik inilah ideologi bekerja

(Eriyanto, 2001: 87).

Fairclough mempertegas hal ini dengan berpendapat bahwa bahasa

adalah bentuk material dari ideologi dan bahasa mengandung ideologi di

dalamnya (Fairclough, 1995:73). Dari pengertian tersebut, dapat dilihat

bahwa tujuan pembuat teks tersirat dalam bahasa. Bukan tidak mungkin,

hal yang disampaikan oleh pembuat teks mengandung ideologi tertentu

yang tidak disadari oleh pembaca. Dengan demikian, AWK bertujuan

untuk mengejawantahkan ideologi yang terkandung dalam suatu teks.

Ideologi dalam konteks ini dapat berupa pandangan, pernyataan sikap, atau

keberpihakan pembuat teks.

                                                            1 Seorang pakar media dan Profesor Communication Arts di University of Wisconsin–Madison. Area studinya meliputi budaya populer, budaya massa, dan kajian televisi.  

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 32: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

18  

Universitas Indonesia

Pendekatan Fairclough adalah bentuk analisis wacana berorientasi

teks yang menggabungkan tiga tradisi berikut:

1. Analisis tekstual yang terperinci dalam bidang linguistik

(termasuk teori functional grammar Michael Halliday)

2. Analisis makro-sosiologis praktik sosial (termasuk teori

Foucault yang tidak menyertakan metodologi untuk analisis

teks spesifik)

3. Analisis mikro-sosiologis (analisis mikro-sosiologis, tradisi

interpretatif dalam ilmu sosiologi, yang memandang kehidupan

sehari-hari merupakan produk dari tingkah laku manusia yang

mengikuti norma-norma dan prosedur yang secara umum

dianggap ”masuk akal”)

Selain model analisis Norman Fairclough, terdapat model AWK

lainnya yang dicetuskan oleh beberapa ahli, seperti Van Dijk serta Wodak

dan Van Leeuwen. Teun van Dijk melihat ideologi pada wacana secara

sosiokognitif, yaitu lebih menekankan pada bagaimana nilai-nilai yang ada

di masyarakat menyebar dan diserap oleh kognisi pembuat teks hingga

akhirnya digunakan untuk memroduksi sebuah teks (Eriyanto, 2001: 222).

Belakangan, kajian Van Dijk lebih fokus pada isu rasisme dan ideologi

(Van Dijk, 1998). Kemudian, model analisis wacana kritis lainnya digagas

oleh Wodak dan Van Leuwen. Dalam model analisisnya, Wodak

mengaitkan wacana dan aspek konteks historis dalam menafsirkan wacana.

Sementara itu, Van Leuweun berfokus pada cara aktor, baik individu

maupun kelompok, ditampilkan dalam sebuah pemberitaan.

Analisis Wacana Kritis memang bersifat subjektif. Akan tetapi,

subjektivitas dapat diminimalisir dengan bukti-bukti linguistik yang ada.

Teori AWK biasa diaplikasikan untuk menganalisis media, tetapi beberapa

poinnya relevan untuk menganalisis retorika. Dalam analisis retorika,

fokus AWK adalah bahasa sebagai praktik kekuasaan. Ada atau tidaknya

relasi kuasa antara penyusun teks, penutur teks, dan audiens. Pidato

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 33: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

19  

Universitas Indonesia

presiden juga bisa menjadi sarana dalam menampilkan ideologi secara

tersembunyi. Oleh karena itu, penulis memilih Analisis Wacana Kritis

Norman Fairclough untuk melihat praktik dan hubungan kekuasaan antara

pihak-pihak yang terlibat dalam pembentukan wacana. Secara umum,

tahapan analisis Fairclough terbagi dalam dua dimensi besar, yaitu

peristiwa komunikatif dan urutan wacana.

2. 2. 2. 1 Analisis Peristiwa Komunikatif

Dalam model analisis Fairclough, setiap contoh penggunaaan

bahasa adalah peristiwa komunikatif yang terdiri dari tiga dimensi, yaitu

teks (text) contohnya teks pidato, tulisan, citra visual atau kombinasi

kesemuanya; praktik wacana (discourse practice) yang meliputi produksi

dan konsumsi teks; dan praktik sosiokultural (sociocultural practice).

Selain itu, terdapat juga unsur-unsur lain seperti gambar, warna, dan

bentuk tulisan atau ortografi yang memengaruhi rancangan sebuah teks

tertulis.

Berdasarkan kerangka analisis Fairclough, teks dianalisis dengan

memperhatikan kosakata, semantik, tata kalimat, koherensi, dan

kohesivitas. Analisis linguistik dilakukan dengan melihat tiga unsur yang

terdapat di dalam teks, yaitu identitas sosial, relasi sosial, dan representasi.

Ketiga unsur tersebut didasarkan pada teori Halliday mengenai tiga fungsi

bahasa, yaitu fungsi ideasional (ideational) yang merepresentasikan dunia,

fungsi interpersonal (interpersonal) yang melahirkan relasi sosial, dan

fungsi tekstual (textual) yang mengorganisasikan pesan (Fairclough, 1995:

131; Halliday, 1994: 39). Dimensi teks dalam analisis bahasa juga

memperhatikan beberapa poin, yaitu:

1. Pilihan dan pola kosakata (contohnya kata dan metafora)

2. Tata Bahasa (contohnya penggunaan kalimat aktif dan pasif

dalam laporan pemberitaan; dan penggunaan kata kerja)

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 34: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

20  

Universitas Indonesia

3. Kohesi (contohnya yaitu konjungsi, penggunaan sinonim dan

antonim) dan struktur teks (contohnya pengambilalihan dalam

interaksi pembicaraan) (Simpson dan Mayr, 2010:54)

Selanjutnya, dimensi kedua adalah praktik wacana (discourse

practice) yang berkaitan dengan proses produksi dan konsumsi teks. Fokus

dari analisis ini adalah proses dari sebuah wacana diproduksi. Tentu saja,

baik pembuat teks, yang memproduksi, dan pembacanya, yang meng-

konsumsi, memiliki nilai-nilai ideologis yang mendasari teks tersebut.

Faktor pembentuk wacana dalam teks dapat berupa latar belakang

pengetahuan, interpretasi, dan konteks. Dalam penelitian retorika, yang

berperan dalam produksi teks adalah penyusun dan pembaca pidato,

sedangkan konsumennya adalah audiens. Terakhir, dimensi ketiga dari

model analisis Fairclough adalah praktik sosiokultural (sociocultural

practice), yaitu melihat pengaruh konteks sosial di luar teks terhadap

wacana. Dalam penelitian kali ini, konteks yang dimaksud dapat berupa

praktik institusi pembuat teks, yaitu Presiden dan para pembantunya, yang

dipengaruhi oleh politik, budaya, dan kondisi sosial masyarakat.

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 35: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

21  

Universitas Indonesia

Model Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough dapat

digambarkan sebagai berikut:

Bagan 2. 1

Model Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough

Sumber: Language and Power (Fairclough 1989:25)

Kerangka analisis Fairclough di atas merupakan langkah awal

dalam menganalisis bahasa dan kekuasaan pada setiap jenis teks yang

berbeda. Model di atas menggambarkan wacana sebagai teks, baik yang

ditulis maupun di dituturkan, sebagai praktik wacana dan praktik sosial.

Lapisan terluar (layer 3) dari model Fairclough tersebut membedakan

pendekatannya dengan pendekatan yang lain dalam melihat bahasa.

Konteks sosial yang dimaksud tidak hanya meliputi kondisi lokal di mana

orang berkomunikasi, tetapi juga meliputi iklim sosial, kultural, dan

politik. Hal yang perlu digarisbawahi dari model tersebut adalah relasi

kuasa yang berada di dalamnya. Kepentingan, nilai, dan kepercayaan

LAYER 3

Social Conditions of production

Social Conditions of Interpretation Context (situational, institutional, societal)

LAYER 2

Process of production

LLLL

  Process of Interpretation Interaction (ideology)

LAYER 1

Text

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 36: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

22  

Universitas Indonesia

mempertahankan adanya relasi tersebut (Lihat Clark dan Ivanic, 1997:

10—11).

Lapisan kedua (layer 2) pada model tersebut merupakan

interpretasi yang merepresentasikan praktik dan proses produksi, serta

penerimaan bahasa. Lapisan ini terdiri dari praktik penulisan otentik

(‘actual’ literacy practices) tempat pembuat teks berpegang terhadap

gagasan-gagasan yang ditulisnya. Lapisan ini juga menunjukkan adanya

proses kognitif dalam kepala pembuat teks, yaitu keputusannya tentang

bagaimana ia menyampaikan pesan dan menginterpretasi. Ideologi

pembuat teks dapat dilihat pada lapisan kedua karena fokus lapisan ini

adalah bagaimana proses produksi dan konsumsi teks. Bagian sentral

(layer 1) merupakan teks yang merujuk pada bidang sebenarnya dari

bahasa tertulis atau lisan yang muncul secara utuh. Relasi antara layer 1

dan layer 3 yaitu bahwa pembuat teks menghubungkannya dengan praktik

penulisan dan tipe wacana untuk memroduksi teks. Sementara itu, tanda

panah pada model di atas berarti bagaimana teks tersebut dibentuk dan

secara bersamaan membentuk interaksi sosial dan konteks sosial (ibid.).

Dengan demikian, Fairclough tidak hanya mengeksplor teksnya sendiri,

tetapi juga produksi dan interpretasi dalam konteks sosial yang lebih luas

(Simpson dan Mayr, 2010: 53).

2.2.2.2 Analisis Urutan Wacana

Istilah urutan wacana (order of discourse) berasal dari Michel

Foucault (Fairclough 1989:28). Urutan wacana adalah aspek semiotik dari

urutan sosial (social order) (Fairclough, 2001: 124). Fairclough melihat

bahwa ada kaitan antara persitiwa komunikatif dengan urutan wacana.

Keduanya bersifat dialektis. Peristiwa komunikatif tidak hanya

mereproduksi urutan wacana, melainkan mengubahnya melalui

penggunaan bahasa secara kreatif (Philips dan Jorgensen, 2002: 72)

Dalam analisis urutan wacana, Fairclough melihat bahwa ada dua

hal yang perlu diperhatikan, yaitu analisis hubungan pilihan (choice

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 37: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

23  

Universitas Indonesia

relations) dan analisis hubungan rantai (chain relations). Dua hal ini

memiliki dasar teori systemic functional grammar Halliday. Pilihan rantai

berhubungan dengan struktur kalimat, sedangkan pilihan kelas

berhubungan dengan sistem.

Berkaitan dengan analisis urutan wacana kritis, dalam menganalisis

urutan wacana di tingkat hubungan rantai, akan dilihat hubungan

antarwacana, alasan wacana tersebut diurutkan sedemikian rupa, serta

tujuan wacana tersebut digabungkan. Sementara itu, analisis hubungan

pilihan akan melihat pilihan wacana yang menempati slot. Kemudian,

setelah wacana-wacana tersebut dipilih dan diurutkan secara logis, pada

akhirnya pikiran pembaca teks akan terpengaruh dengan wacana yang

sudah disusun sedemikian rupa.

2. 3 Fungsi Wacana

Fungsi wacana merupakan warisan Roman Jakobson sebagai buah

dari penelitiannya mengenai komunikasi verbal. Dalam bukunya, “Verbal

Art, Verbal Sign, Verbal Time” Jakobson (1985: 143) mengklasifikasikan

faktor-faktor mendasar dalam komunikasi verbal, yaitu:

a. Addresser (speaker, encoder, emitter; poet, author; narrator).

b. Addressee (decoder, hearer, listener; reader; interpreter).

c. Code (system, langue).

d. Message (semelfactive parole, the given discourse, the text).

e. Context (referent).

f. Contact (“a physical channel and psychological connection

between speaker and addressee”)

Setiap faktor saling berhubungan dan saling mempengaruhi.

Sebagai contoh, ketika seorang mahasiswa berperan sebagai pembicara

(addresser) dalam sebuah seminar yang dihadiri oleh beberapa profesor

dan doktor (addressee), mahasiswa tersebut menggunakan tata bahasa

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 38: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

24  

Universitas Indonesia

(code) yang cenderung baku. Begitu pula dengan pesan dan cerita

(message) di dalam buku anak-anak, tentunya akan dibuat sesederhana dan

semenarik mungkin bagi anak-anak (addressee), berbeda dari cerita dalam

novel remaja. Jakobson menambahkan bahwa ketidakhadiran atau

ambiguitas dari salah satu faktor tersebut dapat memberikan dampak yang

beragam pada komunikasi. Jakobson memberikan contoh bahwa tidak

dapat dikatakan sebagai tindakan berkomunikasi ketika tidak ada pesan di

dalamnya.

Terkait dengan enam faktor komunikasi sebelumnya, penulis akan

menguraikan fungsi wacana yang dikemukakan Jakobson (1985) dengan

mengacu pada Zaimar dan Harahap (2009). Adapun fungsi-fungsi wacana

tersebut:

a. Fungsi referensial (referential function). Fungsi wacana ini

mengutamakan hal yang dibicarakan (context; Johnstone (2002)

menggunakan istilah content). Menurut Zaimar dan Harahap

(2009: 56), “dalam komunikasi, semua unsur bahasa yang

mengacu pada acuan tekstual maupun situasional menunjukkan

fungsi referensial.”

Contoh: “Angelina Sondakh hari ini resmi menjadi tahanan KPK.

Meskipun demikian, wanita yang pernah mendapatkan gelar putri

Indonesia ini tidak menunjukkan perasaan bersalah ketika

ditemui oleh para wartawan.”

b. Fungsi puitis (poetic function). Unsur pesan (message) dalam

komunikasi menjadi fokus utama fungsi ini. Unsur bahasa yang

termasuk dalam fungsi puitis adalah semua yang memberikan

nilai keindahan tertentu pada pesan, misalnya struktur teks, ritme,

permainan bunyi, intonasi, dan tekanan (Zaimar dan Harahap,

2009).

Contoh: “Lika-liku laki-laki”

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 39: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

25  

Universitas Indonesia

c. Fungsi ekspresif (self-expressive function). Fungsi wacana ini

menonjolkan faktor pengirim pesan (addresser). Dengan kata

lain, di dalam komunikasi tersebut, banyak mengandung

pendapat pemberi pesan tentang pesan yang disampaikan atau

justru pesan yang disampaikan berisi tentang pemberi pesan.

Zaimar dan Harahap (2009) berpendapat bahwa “dalam

komunikasi, semua unsur bahasa yang menunjukkan pribadi si

pengirim, mengandung fungsi ekspresif, termasuk kata seru yang

mengemukakan perasaan, komentar yang subjektif, intonasi

tertentu, dan lain-lain.”

Contoh: Seruan “Asyik, saya lulus ujian!” menggambarkan

kegembiraan atau sebuah ujaran saat wawancara, seperti “Saya

lahir di Bangka, tahun 1976. Pengalaman kerja saya belum

banyak.”

d. Fungsi konatif (conative function), Johnstone (2002)

menggunakan istilah fungsi retoris (rhetoric function). Penerima

pesan (addressee) menjadi fokus utama komunikasi yang

menunjukkan fungsi wacana ini. Fungsi ini biasanya terlihat

dalam komunikasi-komunikasi yang bertujuan untuk

mempengaruhi penerima pesan, seperti kampanye politik.

“Realisasi paling nyata dari fungsi konatif adalah bentuk

imperatif.” (Zaimar dan Harahap, 2009).

Contoh: “Cobloslah nomor 3!” atau “Keputusan terakhir

terserah Anda karena saya yakin Anda cukup bijak dan sangat

berpengaruh soal kebijakan perbankan.”

e. Fungsi fatik (phatic function). Fungsi wacana ini berpusat pada

saluran komunikasinya (contact). Menurut Zaimar dan Harahap

(2009) semua unsur bahasa dalam teks yang digunakan untuk

menjalin, mempertahankan, atau memutuskan hubungan antara

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 40: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

26  

Universitas Indonesia

pengirim dan penerima pesan (baik secara fisik maupun

psikologis), termasuk dalam fungsi fatik.

Contoh: Dalam obrolan sehari-hari, pertanyaan “Hai, ada waktu

sebentar tidak?” dapat digunakan untuk menjalin hubungan

komunikasi. Ujaran “Maaf, aku terima telepon dulu ya.”

berperan untuk mempertahankan komunikasi dan ujaran “Wah,

sudah jam 1, saya harus segera ke kelas. Nanti saya hubungi

lagi.” menjadi pemutus komunikasi.

f. Fungsi metalinguistik (metalingual function). Kode (code) atau

meminjam istilah dari Johnstone (2002), kaidah linguistik dan

wacana (linguistic and discourse conventions) adalah pusat dari

fungsi wacana ini. Zaimar dan Harahap (2009) berpendapat

bahwa “semua unsur bahasa yang di dalam teks, digunakan

untuk memberi penjelasan atau keterangan tentang kode yang

digunakan oleh pengirim, termasuk ke dalam fungsi

metalinguistik.” Di samping itu, menurut Johnstone (2002),

fungsi wacana ditunjukkan oleh teks yang menjelaskan tentang

sebuah teks lain atau bahkan menjelaskan teks itu sendiri.

Johnstone memberi contoh kamus dan cara seseorang

mengartikan ucapan orang lain sebagai bentuk teks yang

menunjukkan fungsi metalinguistik. Di sisi lain, Zaimar dan

Harahap memberi contoh tanya-jawab antara pengirim dan

penerima pesan dalam pelajaran bahasa dan ujaran untuk

memperjelas pesan, seperti “… yang saya maksud …” atau “…

artinya…” sebagai wacana yang memiliki fungsi metalinguistik.

Zaimar dan Harahap (2009: 57-58) memiliki catatan tersendiri

mengenai fungsi-fungsi wacana tersebut:

a. Keenam fungsi bahasa ini tidak dapat dikotak-kotakkan.

Bisa saja fungsi bahasa yang berbeda terdapat dalam teks

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 41: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

27  

Universitas Indonesia

yang sama, bahkan jarang sekali dalam satu teks hanya ada

satu fungsi bahasa saja.

b. Namun, harus diakui bahwa dalam suatu teks, salah satu

fungsi dominan, lebih penting dari yang lain, dan menjadi

kerangka dasar teks itu. Dengan demikian dapat disusun

suatu klasifikasi teks menurut fungsi bahasa.

c. Klasifikasi fungsi bahasa yang dikemukakan oleh

Jakobson ini diperdebatkan oleh para ahli bahasa. Ia dikritik

karena tak ada karakteristik linguistik yang menandai

masing-masing fungsi. Misalnya, kalimat: “Panas benar

udara hari ini”, bisa merupakan pernyataan perasaan, bisa

juga merupakan permintaan agar pembicara diberi minum.

Semua tergantung dari konteksnya.

d. Meskipun demikian, asalkan kita sadar bahwa berbagai

fungsi bahasa bisa bertumpang tindih dan saling berjalin

dalam satu teks, tampaknya klasifikasi ini banyak gunanya

untuk pembentukan dan analisis ujaran. Klasifikasi ini

memberikan cara yang relatif sederhana dan ketat untuk

menonjolkan unsur-unsur komunikasi yang hadir di dalam

teks, menentukan situasi komunikasi, dan dengan bantuan

pengetahuan tentang fungsi bahasa yang dominan, dapat

menentukan jenis pesannya.

Sebagai perangkum, Johnstone (2002) membuat sebuah diagram

berdasarkan klasifikasi Jakobson tentang fungsi-fungsi wacana yang

mencakup seluruh uraian dari fungsi-fungsi tersebut.

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 42: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

28  

Universitas Indonesia

ADDRESSER…………………………………………….ADDRESSEE

(Self-expressive function) (Rhetorical function)

Bagan 2. 2

Diagram Fungsi Wacana Barbara Johnstone

Sumber: Discourse Analysis (Johnstone, 2002:220)

2. 4 Teori Struktur Retorika

Teori Struktur Retorika (TSR) adalah sebuah pendekatan telaah

deskriptif tentang organisasi teks (Mutiara, 2010). Teori yang merupakan

hasil pemikiran Mann dan Thompson (1993) ditujukan untuk mengkaji

struktur relasi antar bagian teks. Analisis TSR menunjukkan asumsi bahwa

setiap teks memiliki elemen-elemen yang terhubung satu sama lain dalam

struktur hirarkis yang beroperasi dan fungsi tersebut menjadi sebuah

kesatuan untuk dimaknai oleh audiensnya. Struktur hierarkis tersebut

dibangun tidak hanya oleh elemen leksikal, tetapi juga elemen gramatikal,

seperti artikel, penanda transisi, modalitas, dan preposisi. Selain itu, TSR

juga mengidentifikasi relasi struktural teks berdasarkan logika bahasa saat

elemen gramatikal tidak secara eksplisit hadir dalam teks. Oleh karena itu,

analisis TSR menghasilkan deskripsi umum yang bersifat komprehensif

dan tidak parsial. Analisis TSR berupaya untuk mendeskripsikan

keterlibatan aspek literal dan non-literal yang melatarbelakangi produksi

komposisi struktur sebuah teks.

CONTACT (Phatic function)

LINGUISTIC AND DISCOURSE CONVENTIONS (Metalingual function)

CONTENT (Referential function)

MESSAGE (Poetic function)

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 43: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

29  

Universitas Indonesia

Secara umum, TSR bermanfaat untuk mengkaji permasalahan dan

fenomena linguistik dalam sebuah teks tertulis. Fungsi TSR menurut Mann

dan Thompson (1987), antara lain adalah sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan hubungan antar klausa untuk pemaknaan

konjungsi, kombinasi klausa, dan elemen parataksis tanpa

tanda.

2. Mendeskripsikan analisis karakter sebuah teks.

3. Menjadi analisis dasar dalam pengembangan kajian

perbandingan retorika dan kreasi wacana sebuah narasi,

termasuk untuk teks antar bahasa.

4. Alat untuk mengkaji struktur wacana naratif.

5. Alat untuk menganalisis motivasi atau proposisi di balik

produksi dan koherensi dari penulis atau penutur sebuah teks.

Analisis deskriptif TSR berawal dari identifikasi komposisi

struktur yang diproduksi oleh penulis atau penutur teks. Dari struktur yang

telah didapatkan tersebut, TSR akan menginterpretasi teks untuk

mengungkap relasi proposisi antara penulis dan atau penutur teks dengan

teks itu sendiri.

TSR berdasarkan Mann dan Thompson (1987) tidak menyebutkan

bahwa latar belakang penulis atau penutur teks mempengaruhi hasil

analisis, tetapi TSR menitikberatkan aspek konstekstual yang secara

implisit dimiliki struktur sebuah teks. Ini artinya TSR melihat aspek non-

literal seperti pragmatik dan karakterisasi yang diajukan penulis atau

penutur teks dan sasaran audiens menjadi bagian yang terintegrasi dalam

struktur retorika teks. Struktur gramatika bahasa, sebagaimana dijelaskan

Francis dan Kramer Dahl, bahwa fungsionalisasi dan kreativitas dalam

produksi bahasa tidak bertumpu pada aspek leksikogramar (Francis dan

Kramer-Dahl dalam Toolan, 1992: 56-90). Lebih lanjut, Halliday

mendefinisikan penggunaan 3 klasifikasi bahasa, yaitu ide/konseptual,

tekstual, dan interaksional yang tersusun dalam struktur teks. Klasifikasi

tersebut dinamakan juga sebagai Systemic (meta) Functional Grammar.

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 44: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

30  

Universitas Indonesia

Pertama, bahasa mengkomunikasikan ide/konsep melalui suatu struktur

dalam kondisi tertentu (Halliday dan Hasan (1976) dalam Toolan, 1992:

66-80). Selanjutnya, struktur teks tersebut menggunakan pilihan kata

tertentu yang bersifat tematis sesuai ide/konsep yang diinginkan penulis

atau penutur. Ketiga, interaksional menentukan tingkat kepastian dan

modus tertentu saat teks dikomunikasikan kepada sasaran audiensnya.

Sasaran audiens diklasifikasikan secara kontekstual (Fowler dkk,

1979: 196). Audiens sasaran lebih lanjut diklasifikasikan dalam dua

kelompok. Kategori pertama adalah Esoteris, yaitu yang mengacu pada

audiens yang memahami dan terlibat dalam kontekstualisasi kaidah teks.

Eksoteris, sebaliknya, mengacu pada audiens yang tidak terlibat dalam

kotekstualisasi kaidah struktur teks tetapi memahaminya (Myers (1989)

dalam Toolan, 1992: 39). TSR menjabarkan antisipasi penulis atau penutur

menghadapi berbagai jenis audiens melalui struktur teks. Hal tersebut

mencakup antisipasi baik secara eksplisit tercantum maupun indikasi

implisit dalam struktur retorika sebuah teks. Maka sebuah retorika dapat

disampaikan dalam struktur yang bervariasi antara satu teks dengan teks

yang lain tergantung pada relasi yang ingin dibangun berdasarkan agenda

penulis atau penutur kepada sasaran audiensnya.

Rangkaian struktur hierarkis menurut Mann dan Thompson (1987)

dibangun secara komprehensif dari kombinasi berbagai rangkaian dalam

sebuah teks. Relasi paling dasar diawali dengan menelusuri hubungan dua

rangkaian umum dari suatu teks. Penelusuran kemudian dilanjutkan

hingga tersisa pasangan minimal saja. TSR meyakini bahwa setiap skema

relasi secara umum terdiri dari dua bagian berjenjang, yaitu Nucleus dan

Satelit. Nucleus adalah tumpuan bagi satelit.

2. 4.1 Jenis-Jenis Relasi

TSR memiliki empat jenis penekanan skema relasi. Jenis pertama

menekankan pada Nucleus. Jenis relasi rangkaian kedua menekankan pada

satelit. Jenis rangkaian berikutnya menekankan pada kombinasi Nucleus

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 45: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

31  

Universitas Indonesia

dan Satelis. Jenis terakhir menekankan pada efek struktur teks dan

audiensnya. Penentuan proporsi Nucleus dan Satelit tidak diatur dalam

suatu kaidah yang tegas. Suatu waktu bisa dilakukan pembagian

berdasarkan klausa dan di waktu yang lain dapat dilakukan pada tataran

kalimat, atau tataran paragraf sejauh hal tersebut memungkinkan dan ide

dapat dipahami audiensnya secara utuh di tiap kategorinya dengan

mempertimbangkan koherensi struktur teks. Crothers mengklasifikasi

proporsi Nucleus dan Satelit dengan berpengang pada prinsip Plausible

Judgements yang sifatnya kontekstual (Crothers dalam Mann dan

Thompson, 1993: 246).

Circumstance

Solutionhood

Elaboration

Background

Enablement and Motivation

~ Enablement

~ Motivation

Evidence and Justify

~ Evidence

~ Justify

Relation of Cause

~ Volitional Cause

~ Non-Volitional Cause

~ Volitional Result

~ Non-Volitional Result

~ Purpose

Antithesis and Concession

~ Antithesis

~ Concession

Condition and Otherwise

~ Condition

~ Otherwise

Interpretation and

Evaluation

~ Interpretation

~ Evaluation

Restatement and Summary

~ Restatement

~ Summary

Other Relations

~ Sequence

~ Contrast

Tabel 2. 1

Klasifikasi proporsi nucleus dan satelit

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 46: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

32  

Universitas Indonesia

2. 4. 2 Jenis-Jenis Skema

TSR mendefinisikan skema sebagai abstraksi pola-pola relasi antar

rangkaian yang menyusun struktur keseluruhan teks. Skema memiliki fitur

yang kurang lebih sama dengan aturan tata bahasa. Penentuan pemilihan

jenis skema bersifat kontekstual yang dibangun oleh skema sebelum dan

kemungkinan skema setelahnya. Secara umum, terdapat dua kategori jenis

skema, yaitu skema multi Nucleus dan Nucleus tunggal. Lebih lanjut,

Mann dan Thompson (1987) menyatakan bahwa indikator suatu skema

relasi ditentukan ciri-ciri semantis dalam makna keseluruhan ide yang

dihadirkan dan ciri-ciri sintaksis yang terkait dengan format susunan

komponen-komponennya. Sebagian ide skema relasi yang bertumpu pada

Nucleus saja. Sebagian skema relasi lainnya merupakan hasil kombinasi

ide dari Nucleus-satelit. Kedua ciri-ciri ini adalah elemen wajib dari tiap

skema relasi TSR. Di samping itu, sejumlah skema relasi memperlihatkan

tingginya tingkat kepentingan/motivasi penulis/penutur terhadap audiens

sasarannya terlepas dari komposisi makna keseluruhan yang dimiliki

skema relasi tersebut.

Pertama, skema berpola Multi nuclear yang memiliki lebih dari

satu Nucleus. Ciri sintaksisnya adalah formula kombinasi yang dapat

ditukar satu sama lain tanpa terjadi perubahan makna (substansi semantis).

Ciri-ciri tersebut hadir dalam skema relasi Sequence, Joints, dan Contrast.

Sedikit berbeda, perubahan urutan sintaksis Nucleus tidak merubah makna

yang disampaikan dalam skema relasi Sequence. Akan tetapi, audiens

memiliki pengandaian untuk berpegang pada sistemtika yang dipaparkan

dalam rangka keberhasilan aksi yang diharapkan dari kombinasi makna

tersebut. (Mann dan Thompson, 1987: 6)

Nucleus tunggal adalah pola berikutnya dengan komposisi

rangkaian sederhana dengan satu Nucleus dan satu atau beberapa satelit.

Urutan Nucleus dan satelitnya menentukan kategorisasi skema relasi

secara sintaktis. Pertama adalah Nucleus yang memiliki urutan sintaksis

didahului oleh satelitnya. Urutan sintaktis tersebut bertujuan untuk

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 47: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

33  

Universitas Indonesia

mempersiapkan audiens pada ide atau substansi makna yang dipaparkan

penutur kemudian. Bentuk-bentuk ciri-ciri sintaksis demikian dapat

ditemukan pada skema relasi Circumstance, Condition, Solutionhood,

Antithesis, Background, Consession, dan Justify. Tiga skema relasi

pertama yang disebutkan terlebih dahulu memiliki satelit yang hadir untuk

memperkuat kelogisan paparan Nucleus. Skema relasi Circumstance

memiliki satelit yang memuat situasi tertentu. Situasi yang disampaikan

adalah situasi-situasi yang diketahui secara luas atau lazim. Dengan

pemahaman tersebut, audiens dapat mengungkap makna sebenarnya yang

diandaikan sebagaimana harapan penutur. Sebaliknya, skema relasi

Condition memiliki satelit dengan pemaparan situasi tertentu yang tidak

disadari oleh para audiensnya. Situasi tersebut adalah sebatas penyampaian

hipotesis penutur sehingga memiliki nilai subjektivitas yang lebih tinggi

dibandingkan skema relasi Circumstance. Dengan pemahaman tersebut,

audiens dapat mengungkap makna yang dipaparkan penutur dalam

Nucleus. Makna tersebut sifatnya mengantisipasi situasi yang ingin

disampaikan dalam satelit sebelumnya. Skema relasi Solutionhood sendiri

memiliki satelit yang memuat pernyataan bermakna permasalahan.

Nucleus dari skema relasi ini kemudian memuat pernyataan dengan makna

yang berupa tawaran solusi. Pemahaman audiens, pada masalah yang

disampaikan terlebih dahulu, dalam satelit menstimulasi mereka untuk

menerima bahkan mewujudkan tawaran solusi tersebut. Makna

keseluruhan dari ketiga skema relasi tersebut adalah hasil kombinasi

hubungan satelit dengan Nucleus. Ciri-ciri sintaksis serupa hadir pula

dalam skema relasi Consession. Akan tetapi, penekanan kombinasi satelit-

Nucleus skema relasi ini bukan pada makna keseluruhan tetapi kesan

positif secara keseluruhan dari audiens sasarannya. (Mutiara, 2010: 18-19)

Kehadiran satelit mendahului Nucleus dalam skema relasi

Antithesis, Background dan Justify tidak mengubah atau menambah makna

keseluruhan yang disampaikan dalam skema relasi tersebut. Satelit

sebaliknya malah memperkuat makna Nucleus. Skema relasi Antithesis

memiliki substansi semantis (ide) yang mempertentangkannya dengan

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 48: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

34  

Universitas Indonesia

Nucleus setelahnya. Pertentangan tersebut meningkatkan kesan positif

pada Nucleus. Skema relasi Background pun memposisikan satelit untuk

mendukung tersampaikannya makna Nucleus secara sempurna. Makna

Nucleus hadir cukup jelas dan semakin jelas dengan kehadiran satelit yang

mendahuluinya sehingga menutup kesempatan audiens menginterpretasi

sebagaimana dimungkinkan dalam skema relasi Circumstance. Skema

relasi Justify memberikan keterbatasan bagi audiens yang kurang lebih

serupa dengan skema relasi Background karena audiens hanya

diperkenankan untuk memberi penutur restu atas makna Nucleus yang

disampaikan. Akan tetapi, skema relasi Justify dan Circumstance

cenderung memiliki formasi sintaksis yang lebih fleksibel karena posisi

satelit memungkinkan untuk hadir baik sebelum atau sesudah Nucleus.

(Mutiara, 2010: 19)

Model kedua adalah skema relasi dengan formasi sintaksis Nucleus

yang diikuti oleh satelit atau multi satelit. Model demikian meliputi skema

relasi Elaboration, Enablement, Motivation, Evidence, Volitional Cause,

Non-Volitional Cause, Volitional Result, Non-Volitional Result, Purpose,

Otherwise, Interpretation, Evaluation, Restatement, dan Summary.

Keutuhan makna bagi skema-skema relasi tersebut ditentukan oleh

kombinasi makna Nucleus dan satelitnya. Skema relasi Elaboration terdiri

dari satu atau serangkaian satelit yang memuat pernyataan lanjutan yang

lebih detil dari Nucleus-nya. Pernyataan lanjutan tersebut dapat berupa

contoh, pemaparan bagian per bagian, pemaparan proses, atau pemaparan

secara spesifik. Kesesuaian/kompatibilitas Nucleus dengan satelitnya

menentukan kelogisan ide secara keseluruhan dari skema relasi ini.

Kesesuaian ini pun menjadi aspek penting dalam skema relasi Restatement

dan Summary. Kedua relasi tersebut berbeda secara sintaksis. Skema relasi

Summary dapa mengakomodasi rangkaian multisatelit yang tidak ada

dalam skema relasi Restatement. Strategi sintaksis serupa berlaku dalam

skema relasi Evidence. Walaupun demikian, skema relasi Evidence tidak

menekankan pada kelogisan ide tetapi lebih lanjut pada tingkat

keyakinan/kepercayaan audiens pada kebenaran kombinasi Nucleus-satelit

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 49: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

35  

Universitas Indonesia

yang disampaikan oleh penutur. Skema relasi Volitional dan Non-

Volitional cause/Result dibangun oleh hubungan sebab-akibat antara

Nucleus dengan satelitnya. Apabila kombinasi makna menunjukkan

adanya hubungan kausalitas pada makna keseluruhan, skema tersebut

merupakan bentuk aksi Volitional/berhubungan. Skema relasi Volitional

Cause adalah saat Nucleus yang memiliki ide sebagai akibat dari sebab

yang terdapat dalam satelit. Formasi akibat-sebab menandakannya sebagai

Skema Relasi Volitional Result. Suatu rangkaian subordiantif

diklalsifikasikan sebagai aksi Non-Volitional apabila kombinasi makna

tidak memperlihatkan hubungan kausalitas pada aspek semantis

keseluruhan. Kombinasi tersebut adalah bentuk upaya aktif

penutur/penulis mengkamuflase/merekayasa pemahaman audiens sasaran

seakan-akan ada hubungan dalam kombinasi keduanya. (Mutiara, 2010:

19)

Untuk skema relasi Purpose, secara sintaksis serupa dengan skema

relasi Enablement. Walaupun demikian, skema relasi Purpose

menekankan makna keseluruhan yang bertumpu pada kombinasi Nucleus-

satelit. Audiens sasaran melalui skema relasi tersebut diberi ruang untuk

mengolah keseluruhan aspek semantis yang ditampilkan sebagai kesatuan

aksi. Hal ini berbeda dengan ide skema relasi Enablement yang hanya

bertumpu pada Nucleus saja dengan satelit yang dapat meningkatkan

kemungkinan audiens sasaran mewujudkan ide tersebut. Serupa dengan

skema tersebut baik secara semantis maupun sintaksis adalah skema relasi

Motivation. Hanya saja tingkat kemungkinan audiens melakukan ide

dalam Nucleus lebih rendah karena kehadiran satelit hanya sebatas

meningkatkan keinginan audiens sasaran saja untuk melakukan ide

Nucleus saja. Skema relasi Otherwise bentuk kontras dari sinergi sintaksis

skema relasi Condition. Bentuk kontras lainnya hadir dalam skema relasi

Interpretation yang memiliki ciri-ciri semantis skema relasi Circumstance

tetapi merupakan formasi model kedua (Nucleus diikuti satelit). Skema

relasi Evaluation semantis serupa dengan skema relasi Volitional Cause

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 50: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

36  

Universitas Indonesia

yang kali ini memperlihatkan subjektivitas penilaian penutur melalui

Nucleus-nya. (Mutiara, 2010: 20-21)

2. 4. 3 Nuklearitas

TSR lebih lanjut mengenal fenomena struktur skematis teks baik di

tataran makro maupun mikro bernama Nuklearitas. Menurut Mann dan

Thompson (1987), Skema-skema tersebut membentuk relasi hierarki

asimetrik atau searah yang berpusat pada Nucleus. Rangkaian satelit atau

multi satelit tanpa kehadiran Nucleus bersifat Non-Sequintur atau tidak

memuat presuposisi untuk memenuhi kelogisan bahasa. Rangkaian

demikian tidak dapat berfungsi/sulit dipahami maknanya. Sebaliknya, hal

tersebut tidak berlaku pada rangkaian yang terdiri atas Nucleus tunggal

atau multi Nucleus. Kehadiran Nucleus saja setidaknya mampu

menjelaskan makna dalam pemahaman sederhana. Konsep Nuklearitas

menurut Mann dan Thompson, dapat diidentifikasi kehadirannya dalam

rangkaian teks melalui atau tanpa penanda gramatikal (tanda baca) yang

memisahkan satu klausa dengan klausa yang lain. Matthiesen dan

Thompson (1988) melakukannya dengan mengkaji kompatibilitas struktur

kombinasi hipotaksis atau aspek sintaksis umum antar klausa dalam teks

tersebut dengan logika bahasa audiens sasarannya (Matthiesen dan

Thompson, 1988 dalam Mann dan Thompson, 1993, 269-270).

Dengan memahami adanya fenomena Nuklearitas dalam

operasionalisasi bahasa, analis TSR dapat mengenali anomali yang terjadi

dan cara teks dikomunikasikan dalam rangka membangun memori ide

dengan audiensnya. Variasi posisi Nucleus dan Satelit antar level

tergantung kepentingan dan paradigm penulis dan atau penutur teks.

Sejauh ini TSR melihat Nuklearitas hanya sebagai fenomena-fenomena

dalam rangkaian struktur teks multi Nucleus seperti fenomena struktur

Genre dan fenomena paralelisme. (Mann dan Thompson, 1987: 31-32)

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 51: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

37  

Universitas Indonesia

2. 4. 4 Klasifikasi Relasi

Sebagaimana karakter berbagai skema relasi TSR telah dijelaskan

sebelumnya, semua skema relasi dapat diklasifikasikan lebih lanjut. Tipe

skema dan fungsi relasional dalam kategorisasi jenis-jenis relasi dalam

TSR secara umum dibagi dalam dua divisi besar. Pembagian ini

dipengaruhi elemen semantik dan pragmatik dari teks agar dapat dipahami

para audiens sesuai agenda penulis dan atau penutur (Van Dijk, 1997

dalam Mann dan Thompson, 1993: 257). Divisi pertama mencakup relasi-

relasi yang berfungsi untuk membentuk keutuhan ide/konsep yang logis

(subject matter) pada pemahaman audiens. Divisi kedua mencakup relasi-

relasi yang berfungsi untuk presentasi (Presentational) dan membangun

afeksi dengan audiens agar mereka bersepakat dengan penulis dan atau

penutur. Kategorisasi labih lanjut dapat dilihat pada bagan berikut

Subject Matter Presentational

Elaboration

Circumstance

Solutionhood

Volitional Cause

Volitional Result

Non-Volitional Cause

Non-Volitional Result

Purpose

Condition

Otherwise

Interpelation

Evaluation

Restatement

Summary

Motivation

(meningkatkan keinginan)

Antithesis

(meningkatkan kesan positif)

Background

(meningkatkan kemampuan)

Enablement

(meningkatkan kemampuan)

Evidence

(menambah keyakinan)

Justify

(meningkatkan pengertian)

Concession

(meningkatkan kesan positif)

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 52: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

38  

Universitas Indonesia

Sequence

Contrast

Tabel 2. 2

Klasifikasi Skema Relasi Berdasarkan Fungsi Semantik dan Pragmatik

Umumnya jenis skema relasi dalam divisi yang berfungsi semantis

diawali oleh Nucleus dan dilanjutkan oleh satelit, sedangkan untuk divisi

yang berfungsi untuk kepentingan pragmatis terdapat dua modus. Pertama,

diawali Nucleus kemudian satelit, seperti dalam skema relasi Motivation,

Enablement, dan Evidence. Modus yang kedua adalah satelit kemudian

Nucleus seperti dalam skema relasi Antithesis, Background dan Justify.

Lebih lanjut, relasi berbasis aspek semantis sebagian besar menekankan

pada Nucleus sedangkan relasi berbasis aspek pragmatis sebagian besar

menekankan pada satelit. Dari kedua divisi tersebut, sejumlah relasi

menekankan pada kombinasi Nucleus dan satelit seperti Solutionhood,

Circumstance, dan Concession. Aplikasi basis relasi skematis ini

bagaimanapun juga sekali lagi bergantung pada analisis konteks yang

komprehensif dengan mempertimbangkan keseluruhan teks. Demikian,

klasisfikasi ini dapat diaplikasikan secara bervariasi dan tidak mengikat

dalam memformulasikan struktur. (Mann dan Thompson, 2010: 8-9)

2. 4. 5 Aplikasi Skema

Mengacu pada Mann dan Thompson (1987: 6), TSR memiliki

variasi rangkaian skema yang terbagi dalam tiga kategori, yaitu:

1. Rangkaian acak: skema tidak memiliki batasan urutan Nucleus

atau satelit dalam rangkaian teks sehingga aplikasinya variatif.

2. Relasi tambahan: hal ini terjadi dalam skema multi relasi dengan

satu relasi utama.

3. Relasi berulang: relasi skema yang memiliki urutan rangkaian

cukup stabil dan khas untuk diidentifikasi

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 53: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

39  

Universitas Indonesia

Kehadiran indikator gramatikal secara eksplisit menentukan

proporsi dan aplikasi struktur skema sebuah teks karena dibutuhkan

pemahaman teks secara komprehensif dengan mempertimbangkan posisi

penulis atau penutur sebelum penentuan dilakukan agar tiap rangkaian

skema menjadi unik, koheren, dan utuh untuk dipahami sebagai sebuah

kesatuan struktur teks. (Mutiara, 2010: 23)

2. 4. 6 Teori Struktur Retorika Analisis Berganda

TSR mengakui fenomena ambiguitas tata bahasa yang

memungkinkan adanya perbedaan pemahaman teks dari analis satu dengan

analis lainnya walaupun menggunakan metode sejenis. TSR demikian

menegaskan bahwa hasil analisisnya adalah sebuah penafsiran struktur

deskriptif umum. Dengan melihat cara penentuan skema relasi dalam TSR,

sejumlah kemungkinan interpretasi tidak dapat dihindari. Diferensiasi ini

menjadi semakin kompleks apabila teks tersebut secara alamiah dibangun

dalam struktur yang ambigu. (Mutiara, 2010: 24)

Analisis berganda dapat pula terjadi dikarenakan faktor kesalahan

analis. Di satu sisi, beragam kategorisasi jenis-jenis skema relasi dalam

TSR mempengaruhi kecenderungan untuk melakukan kategorisasi sesuai

kategori yang ada. Terkadang suatu teks memiliki struktur teks yang

mereproduksi sejumlah jenis skema relasi dalam satu rangkaian dan

meningkatkan kompleksitas jenis rangkaian skema dalam TSR. Faktor

lainnya adalah murni kesalahan analisis yang kurang akurat. TSR ini

hampir dapat diaplikasikan pada semua jenis teks yang kita temukan

dalam kehidupan sehari-hari. Panjang atau pendeknya sebuah teks tidak

membatasi aplikasi TSR. Namun, di banyak kesempatan sejauh ini

diterapkan hanya dalam teks monolog. Untuk aplikasi di dalam teks

dialog/percakapan, Mann dan Thompson belum pernah melakukan hal

tersebut dan tidak menjelaskan kemungkinan tersebut lebih lanjut. (Mann

dan Thompson, 1987: 26-29)

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 54: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

40  

Universitas Indonesia

2. 5 Benturan Peradaban

Seorang analis politik bernama Samuel P. Huntington melalui

essaynya dalam jurnal Foreign Affair berjudul Clash of Civilization (1993)

dan dibukukan dengan judul Clash of Civilization and the Remaking of

World Order (1996) menawarkan sebuah argumen dan prediksi tentang

kondisi yang selama ini terjadi, terutama kondisi geopolitik dan sosial

dunia di abad 21. Dalam pandangannya, konflik yang selama ini terjadi

dan yang berpotensi terjadi dilatarbelakangi tidak lagi oleh kepentingan

kompetisi ideologis atau kepentingan ekonomi, tetapi benturan peradaban

dan identitas budaya satu bangsa dengan bangsa lainnya.

Huntington mengemukakan argumentasinya tentang kondisi

geososiopolitik dunia sebagai konstelasi multipolar yang dibangun oleh

sejumlah peradaban dominan. Perkembangan peradaban bangsa-bangsa di

dunia cenderung ditentukan oleh faktor kesamaan budaya dan pengalaman

historis yang semakin lama semakin menggeser tesis peradaban universal

(Huntington, 1996: 114-118). Dari kebangkitan peradaban budaya bangsa-

bangsa di dunia, China dan komunitas Muslim adalah peradaban yang

paling rentan untuk mengalami benturan peradaban dengan peradaban

Barat karena praktik peradaban Muslim, khususnya Islam di Timur

Tengah, dan China yang menganut nilai-nilai yang antagonistik

(Chomsky, 2003). Nilai-nilai tersebut antara lain terkait hak asasi manusia

(HAM), demokrasi, pemakaian senjata militer, dan imigrasi. Hubungan

masyarakat Barat dan non-Barat memiliki tingkat interaksi intensif yang

baru dimulai di sekitar abad 19. Salah satunya didukung karakter diaspora

masyarakat dari kedua peradaban tersebut. Dalam sejarah

perkembangannya, menurut Huntington, baik peradaban Islam maupun

China memiliki tingkat kerentanan konflik yang tinggi. Masing-masing

memiliki riwayat perang sekterian dan perang saudara selama berabad-

abad. Di samping itu, kedua peradaban ini dahulu memiliki pengaruh

kekuatan Komunisme semasa perang dingin.

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 55: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

41  

Universitas Indonesia

Interaksi antara Peradaban Islam dan Barat seringkali berbenturan

selama berabad-abad (Huntington, 2008). Sepanjang abad ke-9 hingga ke-

15, Peradaban Islam unggul dari Peradaban Kristen. Sebaliknya,

Peradaban Kristen di akhir abad ke-15 kembali unggul. Di abad ke-19,

Peradaban Islam di kawasan Timur Tengah kembali dikolonisasi oleh

sejumlah kerajaan di Eropa. Benturan peradaban antara Islam khususnya

dari komunitas Muslim fundamentalis dan Barat (AS dan Sekutu) secara

kontemporer berkisar isu sekularisme dan teokratis otoritarian. Hal yang

sama melatarbelakangi terorisme dan menyebarkan Islamophobia di AS

dan negara-negara sekutunya pasca serangan 9/11 di tahun 2001 yang

menghasilkan invasi Afghanistan di tahun 2003 dan Iraq di tahun 2005.

Interaksi AS dan Islam di banyak kesempatan berbasis kekerasan

seperti melalui peperangan, terorisme, dan tanpa agenda bersama.

Keduanya mempertahankan identitas kultural dan tegas pada sikap politik

masing-masing. Crockartt (2007) sebagaimana dikutip oleh Huntington

(1993) menilai tanpa hubungan dialogis antara keduanya, peradaban Islam

dan AS senantiasa berbenturan karena komunikasi di antara keduanya

selama ini dan akan terus dibangung melalui budaya kekerasan. Tentunya

hal ini ambivalen dengan karakter kultural peradaban Barat yang

mendukung perlindungan hak asasi manusia sedangkan kepemimpinan

peradaban Barat kontemporer dipegang oleh AS (Huntington, 1993).

Demi menjaga kelangsungan pengaruh peradaban Barat di dunia

dan menghadapi tantangan kebangkitan peradaban bangsa-bangsa non-

Barat, Barat dinilai perlu untuk meredefinisi ulang konteks peradaban di

dunia (Huntington, 1993). Peradaban dunia bukanlah sesuatu yang

universal, tetapi kesatuan peradaban bangsa-bangsa di dunia dengan

keunikannya masing-masing. Relasi antar multi peradaban bergantung

pada kebijakan para pemimpin dalam mengelola keanekaragaman yang

ada. Kebijakan tanpa mempertimbangkan kerja sama multi budaya

memicu instabilitas geopolitik berupa peperangan peradaban global.

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 56: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

42  

Universitas Indonesia

BAB III

ANALISIS

Dalam bab ini penulis ini akan melakukan analisis pada data penelitian

berupa transkrip pidato presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di

Universitas Harvard, Amerika Serikat yang secara resmi dikeluarkan oleh Biro

Publikasi dan Media Kepresidenan Republik Indonesia dan didukung dengan

video yang diunggah oleh VOA Indonesia ke situs youtube.com. Proses analisis

dilakukan dengan menggunakan Teori Struktur Retorika (TSR) dan Analisis

Wacana Kritis (AWK) yang telah dijabarkan pada bab sebelumnya.

3. 1 Struktur Pidato Susilo Bambang Yudhoyono

Mengingat tidak adanya kaidah resmi yang menentukan cara untuk

mengelompokkan data dalam teks asal yang mencakup aspek yang

membuatnya signifikan dengan data lainnya, penulis memilih untuk

mengelompokkan data berdasarkan episode. Episode adalah istilah yang

digunakan oleh van Dijk (1981) untuk menjabarkan dan mengidentifikasi

unit semantis di tingkat makro dalam sebuah teks (Johnstone, 2002: 78).

Sebuah episode memiliki rangkaian gagasan yang secara internal koheren

dan membentuk sebuah gagasan semantis pada tingkat makro dan dalam

wacana tertulis, permulaan sebuah episode dapat ditandai dengan baris

atau jarak spasi (Johnstone, 2002).

Keseluruhan teks pidato ini terdiri dari 82 episode. Teks ini terdiri

dari bagian pembuka, bagian isi, dan bagian penutup. Pada bagian

pembuka, penutur atau penyusun teks pidato ini menyampaikan apresiasi

atas kesempatan untuk berbicara di Universitas Harvard. Sebelum

menyampaikan agenda utamanya secara lebih serius, penutur memasukkan

beberapa gurauan dalam bagian pembuka untuk mencairkan suasana.

Gurauan yang diujarkan hanya seputar Universitas Harvard. Di samping

itu, penutur juga menyampaikan kejadian yang melatarbelakangi

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 57: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

43  

Universitas Indonesia

pidatonya di Universitas Harvard dan tujuan serta tema besar dari pidato

tersebut. Terakhir, penutur mengajukan sebuah pendapat dengan

menggunakan istilah “civilizational powerhouse” dan “multi-civilizational

global community” yang dipercaya sebagai salah satu kunci untuk

mencapai keharmonisan peradaban. Bagian pembuka ini disampaikan

dalam teks sebanyak sebelas episode.

Pada bagian isi, teks pidato terdiri dari 59 episode. Isu utama yang

disampaikan secara eksplisit adalah sembilan langkah penting dan

mendesak untuk mencapai keharmonisan antar peradaban. Bagian terakhir,

yaitu penutup, disampaikan sebanyak dua belas episode. Bagian ini berisi

tentang pendapat penutur mengenai peran Amerika dan Indonesia sebagai

rekan dalam menciptakan keharmonisan peradaban serta harapan-harapan

penutur terhadap kondisi dunia di masa depan.

Analisis teks pada data ini mencakup keseluruhan episode karena

sembilan langkah yang diajukan sudah mencakup isu-isu lainnya. Penulis

akan menganalisis lebih jauh retorika yang diwacanakan dalam bagian

pembuka, bagian isi, dan bagian penutup. Walaupun data akan dianalisis

berdasakan bagiannya, penulis akan mencoba untuk melakukan analisis

secara komprehensif agar tidak timbul kesan data tersebut berdiri sendiri-

sendiri. Tahap pertama analisis adalah analisis tekstual. Tahap ini

mencakup analisis struktur retorika, analisis fungsi wacana, dan analisis

pilihan kata, tata kalimat, koherensi, dan kohesi. Tahap kedua adalah

praktik wacana (discourse practice). Pada tahap ini, akan dilihat

kandungan nilai ideologis yang mendasari produksi dan konsumsi teks

tersebut. Pembentuk wacananya dapat berupa latar belakang pengetahuan,

interpretasi, dan konteks. Secara teknis, dari segi praktik wacana, penulis

akan menganalisis strategi retorika SBY berdasarkan tempat dibacakannya

pidato dan reaksi audiens yang terekam dalam video sebagai data

pendukung. Tahap terakhir berupa praktik sosiokultural. Analisis ini akan

melihat pengaruh konteks sosial di luar teks terhadap wacana.

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 58: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

44  

Universitas Indonesia

Bagan di bawah ini merupakan representasi analisis retorika SBY

di Universitas Harvard berdasarkan Analisis Wacana Kritis Norman

Fairclough:

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 59: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

45  

Universitas Indonesia

LAYER 3

Social conditions of production

Perubahan ideologi dan kebijakan pembangunan Indonesia di era global Perubahan sikap Amerika dan Indonesia terhadap demokrasi Perubahan sikap Amerika pada dunia muslim

Social conditions of interpretation Context (situational, institutional, societal)

LAYER 2 Process of production Produksi teks: kandungan paham multikulturalisme, postmodernisme, pluralisme, dan liberalisme dalam teks Process of interpretation Interaction Konsumsi teks: reaksi audiens yang terekam dalam video

LAYER 1 Text:

Pidato SBY Package:

Hubungan Amerika-Indonesia

 

Bagan 3.1

Kerangka analisis Retorika SBY berdasarkan model analisis Norman Fairclough

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 60: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

46  

Universitas Indonesia

Analisis tekstual dapat diaplikasikan terhadap lapisan atau tingkat

pertama. Lapisan selanjutnya, yaitu lapisan kedua akan secara lebih

mendalam dikaji melalui analisis praktik wacana. Terakhir, analisis

sosiokultural akan mencakup lapisan ketiga.

3. 2 Analisis Bagian Pembuka

3. 2. 1 Analisis TSR Bagian Pembuka

Berdasarkan TSR, bagian ini memiliki empat tingkat analisis.

Secara umum, relasi yang terbangun antar episode di bagian pertama ini

memperlihatkan skema relasi Concession. Hal tersebut diindikasikan oleh

episode 1 hingga 6. Rangkaian episode awal tersebut membawa pesan

yang selanjutnya dijabarkan melalui episode 7 hingga 11. Dalam skema

keseluruhan bagian pembuka, episode 1-6 berkedudukan sebagai satelit,

sedangkan episode 7-11 berkedudukan sebagai kesatuan nucleus. Satelit

yang disampaikan dalam konteks ini tidak memberikan penjelasan tentang

nucleus. Tanpa kehadiran episode 1-6, audiens tetap mampu memahami

konteks episode 7-11. Episode 1-6 memiliki peran pragmatis untuk

meningkatkan kesan positif terhadap nucleus, alih-alih memperkuat

pemahaman konseptual dari bagian pembuka pidato. Kesan positif menjadi

penting karena ide yang terdapat dalam nucleus dapat ditolak oleh

audiensnya dan menggagalkan tujuan yang ingin disampaikan melalui

pidato tersebut.

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 61: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

 

ber

Ell

sec

sej

the

epi

ked

lon

kei

pen

pen

I h

Kesan

rada pada

lwood, sela

cara keselu

jumlah kalim

e distinguis

isode 2, “I

dua episode

ng time” di

inginan pe

nyusun pid

nyisipan gu

hope you ar

Skem

n positif pe

episode 1,

aku Dekan,

uruhan. Se

mat, antara

hed faculty

am impress

e 2, dan “I

i kalimat ke

enyusun pid

dato. Kesan

urauan-gura

re NOT her

Bagan 3

ma relasi bagi

ertama yang

yaitu den

Profesor Jo

elanjutnya,

a lain “I am

y and stude

sed with the

must admit

etiga episod

dato agar

positif dala

auan di dala

re today as

3.2

ian pembuka

g terlihat d

ngan menye

ohn Thomas

kesan po

m honored to

nts of Harv

e turn-out th

t, I have wa

de kedua. I

audiensnya

am bagian

amnya, anta

an excuse t

Unive

dalam bagi

ebut nama

s, dan meny

ositif ditam

o be here to

vard Univer

his evening

anted to vis

Ini memper

a menerim

pembuka d

ra lain “… f

to skip clas

ersitas Indo

an pembuk

Profesor D

yapa para ha

mpilkan m

oday, to ad

rsity” pada

…” pada ka

sit Harvard

rlihatkan ad

ma maksud

diperkuat de

for the stud

ss.” pada ka

47 

onesia

ka ini

David

adirin

elalui

ddress

awal

alimat

for a

danya

baik

engan

dents,

alimat

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 62: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

48  

Universitas Indonesia

kedua di episode 2, “Don’t take this the wrong way: but I find it

interesting that I did not end-up working for people who went to Harvard;

it’s actually people who went to Harvard who ended-up working for me!”

di kalimat ketiga episode 3, “So now other than being a loyal soldier in the

Indonesian army, he is also another Harvard student working for me!”

pada kalimat kedua di episode 4, dan “I speak today at Harvard, the oldest

and most prestigious University in America. (And please do not tell people

in Princeton and Yale I said this.)” pada kalimat kedua di episode 6.

Kesan positif yang dibangun, terutama dengan menggunakan

gurauan, menjadi pengantar sebelum memasuki agenda yang lebih serius

pada bagian isi yang menyinggung tentang hubungan komunitas Muslim

dengan komunitas non-Muslim dan isu keharmonisan antar peradaban. Di

samping itu, penyampaian gurauan dalam pidato tersebut dapat menjaga

citra Indonesia sebagai bangsa yang ramah dan terbuka.

Skema relasi pada tingkat berikutnya mencakup episode 5-11 yang

menunjukkan skema relasi Background. Skema relasi Background tersebut

memiliki episode 5-6 sebagai satelitnya dan episode 7-11 berfungsi

sebagai nucleus. Rangkaian episode tersebut menjelaskan latar belakang

SBY untuk berpidato di tempat tersebut. Salah satunya sebagai respons

terhadap pidato Obama di Kairo. Bagian ini memang tidak secara

signifikan mempengaruhi pemahaman audiens tentang ide yang akan

disampaikan, namun latar belakang ini memberikan gambaran luas tentang

tema maupun topik yang akan dibicarakan, yaitu keharmonisan antar

peradaban khususnya antar umat beragama dan isu-isu mengenai Islam.

Kemudian, skema relasi yang dibentuk selanjutnya adalah

Elaboration. Pada skema relasi ini, episode 8-11 yang berfungsi sebagai

satelit memperjelas dan mempertegas maksud dari episode 7 yang

berfungsi sebagai nucleus. Menurut penutur atau penyusun pidato, G-20

merupakan contoh nyata dari keharmonisan antar peradaban. Dengan

demikian, secara tersirat penutur atau penyusun pidato menginginkan

keharmonisan antar peradaban yang seperti demikian, yaitu dapat

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 63: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

49  

Universitas Indonesia

berkomunikasi dengan baik tanpa mempermasalahkan isu-isu ras dan

agama. Pada tingkat terakhir, rangkaian episode 8-10 membentuk skema

relasi Justify. Pada episode 10, yang berfungsi sebagai nucleus, penutur

atau penyusun pidato mengemukakan sebuah gagasan atas peran G-20

dalam mempertahankan kondisi global. Di samping itu, peran episode 8-9

sebagai satelit turut memberikan alasan atau argumen untuk meyakinkan

audiens bahwa gagasan yang dikemukakan tersebut dapat diterima dan

memiliki dasar pemikiran yang jelas. Rangkaian-rangkaian episode

sisanya, yaitu episode 1-4, episode 5-6, episode 7-8, episode 8-9, dan

episode 10-11 tidak memiliki hubungan retorik. Oleh karena itu, skema

relasi yang dibangun hanya sebatas Joint, yaitu memberikan detil kepada

keseluruhan wacana tapi tidak menimbulkan dampak tertentu pada

penerima pesan.

3. 2. 2 Analisis Wacana Kritis Representasi di Tingkat Klausa

Pada tahapan ini, akan dianalisis pilihan-pilihan kata dan frase

yang digunakan oleh penutur dan atau penyusun teks pidato. Karena kata

dan frase memiliki hubungan sintaksis dan semantis, analisis keduanya

akan dilakukan secara bersamaan. Pilihan kata dan frase tersebut tentunya

akan memengaruhi penerimaan audiens terhadap informasi yang telah

disusun. Pilihan-pilihan tersebut mungkin saja mengindikasikan

representasi baik atau buruk, atau malah bersifat netral.

Pada bagian pembuka, penutur atau penyusun pidato cenderung

langsung kepada pokok pembicaraan tanpa banyak berbasa-basi. Dalam

bagian ini pula tidak ditemukan keinginan penutur atau penyusun pidato

menjadikan audiens atau Amerika Serikat sebagai bagian dari Indonesia.

Terkadang, penggunaan kata “we” yang mengikutsertakan audiens dapat

memberikan kesan yang demikian, namun hal ini tidak ditunjukkan pada

bagian pembuka. Di samping itu, ketiadaan pengikutsertaan audiens dalam

ide yang diajukan, menunjukkan sikap penyusun atau penutur pidato dari

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 64: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

50  

Universitas Indonesia

awal pidato yang memposisikan diri sebagai pembicara dan audiensnya

sebagai pendengar.

Akan tetapi, strategi “politeness” tetap digunakan oleh penutur atau

penyusun pidato tersebut. Politeness, menurut Johnstone (2002),

merupakan strategi seorang penutur untuk membuat nyaman lawan bicara.

Lakoff (1973) membuat tiga “rules of politeness” sebagaimana dikutip

oleh Johnstone (2002) sebagai berikut:

1. Formality (Distance): Do not impose on others; be sufficiently aloof.

2. Hesitancy (Deference): Allow the addressee options about whether

or not to respond and about how to respond.

3. Equality (Camaraderie): Act as if you and the addressee are equal;

make the addressee feel good

Beberapa frase atau kata yang menunjukkan politeness di bagian

ini berupa pujian maupun sanjungan, antara lain penggunaan frase “the

distinguished faculty and students of Harvard University” pada kalimat

pertama episode 2. Kemudian, penutur atau penyusun pidato juga

menggunakan klausa lain yang menunjukkan pujian seperti “fortunate to

study here” dalam kalimat kedua episode 3, “the prestigious Harvard

program” pada kalimat pertama di episode 4. Dengan menggunakan

strategi politeness ini, penutur atau penyusun pidato berusaha

memposisikan audiens dan tuan rumah di tempat yang terhormat walaupun

tidak berusaha menjadikan audiens bagian dari penutur atau penyusun

pidato dan tetap memposisikannya sebagai hubungan “pembicara” dan

“pendengar.”

Untuk memperkuat kesan positif audiens terhadap penutur atau

penyusun pidato, pujian juga ditujukan untuk presiden Amerika Serikat,

Barrack Obama. Hal ini terlihat dari penggunaan frase “a historic speech”

untuk merujuk pada pidato Obama di Kairo. Selain menunjukkan rasa

hormat penutur atau penyusun pidato terhadap Obama dan Amerika,

penggunaan frase tersebut juga menunjukkan sikap Indonesia terhadap

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 65: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

51  

Universitas Indonesia

pidato Obama, terutama gagasan-gagasan yang diajukan olehnya. Dengan

kata lain, Indonesia bersikap terbuka atas ajakan Obama untuk bekerja

sama dan menjalin hubungan baik antara dunia Islam dan dunia Barat.

Pada pidato ini, sebuah istilah baru juga diajukan, yaitu

“civilizational”. Secara kaidah bahasa, penggunaan istilah tersebut tidaklah

lazim. Akan tetapi, penggunaan istilah itu tentunya memiliki maksud dan

tujuan tersendiri. Secara morfologi, kata “civilizational” berasal dari kata

“civil” yang diberi akhiran (suffix) “-ization” dan “-al”. Akhiran “-ization”

berfungsi untuk membentuk kata benda, sehingga bentuk pertama yang

didapat adalah “civilization”. Arti kata civilization dalam bahasa Indonesia

secara umum diartikan sebagai peradaban. Ketika kata “civilization”

diberikan akhiran “-al” maka kata yang terbentuk merupakan kata sifat.

Kata “civilizational” secara umum dan singkat dapat diartikan “beradab”,

“berhubungan dengan rakyat atau peradaban”, atau “memiliki peradaban”.

Bila arti “civilizational” tidak jauh dari dari pengertian tersebut, maka

penutur atau penyusun pidato melakukan tindakan yang sia-sia atau

melakukan pemborosan dalam menggunakan kata-kata karena penutur

atau penyusun pidato dapat menggunakan kata “civil” atau “civilized”.

Akan tetapi, bila ditilik lebih jauh lagi, maka ada makna yang lebih luas

dari penggunaan kata tersebut.

Pertama, penutur atau penyusun pidato ingin menekankan

pentingnya kekuatan sumber daya manusia atau kekuatan sipil dalam

membangun sebuah negara. Bahkan, kekuatan tersebut dapat digunakan

untuk mencapai keharmonisan dan menjaga hubungan baik antar negara.

Oleh karena itu, kata “civilizational” disandingkan dengan kata

“powerhouse” yang memiliki arti “sebuah kelompok atau sebuah

organisasi yang kuat dan berpengaruh”. Kelompok atau organisasi yang

dimaksud adalah G-20. Dengan demikian, penutur atau penyusun pidato

bermaksud untuk menunjukkan bahwa kekuatan G-20 tidak hanya berasal

dari kekuatan ekonominya, tetapi juga dari kekuatan keberagaman budaya,

penduduknya, dan tentunya peradabannya. Kedua, penggunaan kata

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 66: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

52  

Universitas Indonesia

“civilizational” memberi kesan bahwa penutur atau penyusun pidato

sedang mengingatikan audiens dan dunia, pada umumnya, bahwa sebagai

bangsa yang beradab tidak sepantasnya hidup berdampingan secara tidak

harmonis. Terakhir, istilah ini dipakai sebagai sinyal bahwa selanjutnya,

isu yang dibicarakan terkait dengan peradaban (civilization).

3. 2. 3 Analisis Wacana Kritis Representasi di Tingkat Kombinasi Klausa

Dalam analisis ini, penulis akan menganalisis hubungan antara

klausa dan kalimat yang membuat beberapa ide di dalam wacana menjadi

saling berkaitan dan menghasilkan sebuah pengertian. Ide dan wacana

tersebut, sebagai kesatuan, tentunya dapat memperlihatkan tujuan atau

maksud penutur dalam menyampaikan pesan. Hal ini dikarenakan penutur

atau penyusun sebuah teks pidato dapat membentuk idealisme di dalam

teks sesuai dengan pandangannya sendiri.

Secara tata bahasa, analisisi di bagian ini terpusat pada kombinasi

klausa dalam kalimat, antar kalimat, dan antar episode. Keberadaan

koherensi, kohensi, dan tanda baca dalam teks juga diperhitungkan dalam

analisis ini. Secara spesifik, koherensi terdiri dari elaborasi (penjelasan),

ekstensi (penambahan), dan hubungan perluasan. Sementara itu, kohesi

terbagi ke dalam dua kategori, yaitu kohesi gramatikal dan kohesi leksikal.

Bentuk-bentuk kohesi yang termasuk ke dalam kohesi gramatikal menurut

Zaimar dan Harahap (2009) adalah referensi (terbagi menjadi eksofora dan

endofora), substitusi, ellipsis, dan konjungsi. Begitu pula dengan kohesi

leksikal, keduanya memasukkan repetisi, sinonim, hiponim dan hiperonim,

leksem generik, dan isotopi. Akan tetapi, pada bagian analisis ini dan

bagian analisis selanjutnya, tidak semua bentuk kohesi akan disajikan. Hal

ini tergantung pada fenomena-fenomena yang terlihat pada teks. Pada

analisis bagian pembuka, akan dilihat penggunaan koherensi dan kohesi

oleh penutur atau penyusun pidato dalam membentuk idealisme menurut

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 67: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

53  

Universitas Indonesia

pandangannya sendiri. Penggunaan koherensi dan kohesi secara tersirat

dapat mengungkap ideologi penutur atau penyusun pidato.

Pada bagian ini, strategi campur kode (code mixing) digunakan

untuk memulai pidato. Code mixing atau campur kode menurut Holmes

(2001) adalah perubahan dari satu bahasa ke bahasa lain dalam ujaran

yang sama. Holmes menambahkan, penggunaan campur kode oleh seorang

penutur dapat didasari oleh latar belakang, sikap penutur terhadap bahasa

tertentu, dan keterbatasan bahasa. Kata yang menunjukkan campur kode

adalah “Bismillahirrahmanirrahim” pada kalimat pertama di episode 1

yang artinya “dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha

Penyayang.” Kalimat ini biasa digunakan oleh umat Islam untuk memulai

kegiatan, misalnya makan, masuk kendaraan, dan pidato sebagaimana

yang dipraktikkan oleh SBY. Adanya campur kode di bagian awal dapat

menjadi petunjuk bahwa penutur atau penyusun pidato ingin

memperlihatkan identitas diri sebagai seseorang yang memeluk agama

Islam. Selain itu, penggunaan campur kode dapat digunakan sebagai

penegasan bahwa Indonesia merupakan salah satu komunitas Muslim

terbesar di dunia. Tidak adanya campur kode bahasa Arab, terutama yang

berhubungan dengan ritual keagamaan, tidak mengurangi pengetahuan

audiens mengenai Indonesia sebagai salah satu negara dengan penduduk

terbanyak yang memeluk agama Islam. Akan tetapi, penggunaan campur

kode di awal tetap penting untuk menunjukkan identitas ke-Islaman

Indonesia.

Penutur atau penyusun pidato menggunakan beberapa sinyal dalam

teks pidato tersebut. Sinyal yang pertama adalah kata “NOT” dalam

kalimat kedua episode 2. Huruf kapital tersebut menjadi tanda bagi

penutur untuk memberi penekanan pada kata tersebut. Hal ini juga

dikarenakan tujuan penyusun pidato untuk menyisipkan humor di awal

pidato. Kemudian, adanya tanda baca berupa tanda seru juga menjadi

sinyal pada bagian pembuka ini. Tanda seru ditemukan pada kalimat

terakhir episode 3 dan 4. Tujuan keduanya tidak jauh berbeda dengan

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 68: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

54  

Universitas Indonesia

sinyal sebelumnya yaitu untuk memberikan penekanan pada topik atau

kata tertentu. Di samping itu, episode 3 dan 4 juga berfungsi untuk

membangun kesan positif. Oleh karena itu, kedua tanda seru pada episode

tersebut membantu penutur pidato dalam menyampaikan humor kepada

audiens. Selain menjadi penanda penekanan dalam kata atau kalimat, tanda

seru tersebut menjadi penanda bagi penutur untuk berhenti sejenak. Bila

kesan positif yang dibangun sesuai dengan ekspektasi, maka melalui

gurauan tadi, audiens akan memberikan respons, bisa jadi tepuk tangan

atau tawa. Ketika audiens memberikan respons terhadap atmosfer yang

dibangun, seorang penutur disarankan berhenti sejenak agar pesan yang

disampaikan selanjutnya dapat diterima secara optimal.

Pada bagian pembuka ini, penutur atau penyusun pidato terlihat

hanya sekali menggunakan substitusi untuk menyebut G-20, yaitu pada

kalimat terakhir pada episode 8: “The G-20 grouping, comprising some 85

per cent of the world's GNP and 80 per cent of world trade, is not just an

economic powerhouse -- it is also a civilizational powerhouse.”. Dengan

demikian, kata “G-20” mengalami pengulangan atau repetisi. Repetisi

menurut Zaimar dan Harahap (2009) tidak hanya memberi penekanan pada

suatu teks atau gagasan atau memperkuat kohesi teks, tetapi juga

memberikan memberikan konotasi pada gagasan tersebut. Hal ini, dengan

kata lain, menunjukkan keinginan penutur atau penyusun pidato untuk

menonjolkan peran G-20. Tentu saja tindakan penutur atau penyusun

pidato tidak lepas dari isu yang sedang berkembang mengenai G-20.

Sebelum diadakannya pertemuan dan di hari diadakannya pertemuan G-20

di Pittsburgh, terjadi aksi protes dari berbagai kalangan, terutama

kelompok yang tidak setuju dengan praktik kapitalisme dan pasar bebas.

Dengan demikian, secara tidak langsung citra yang kurang baik dari G-20

turut mengurangi citra Indonesia. Oleh karena itu, repetisi yang

ditunjukkan pada bagian pembuka ini menekankan peran dan pentingnya

keberadaan G-20 sebagai wadah pemersatu berbagai negara sekaligus

memperbaiki citra Indonesia sebagai salah satu anggota G-20. Pencitraan

Indonesia melalui G-20 ini bersifat dua arah. Pertama, dukungan Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 69: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

55  

Universitas Indonesia

terhadap G-20 yang erat hubungannya dengan negara-negara kapitalis

mengindikasikan hubungan Indonesia yang condong kepada negara-negara

tersebut. Dengan demikian, Indonesia secara tidak langsung menunjukkan

dukungannya terhadap Amerika. Kedua, penutur atau penyusun pidato

berusaha mengalihkan isu terhadap G-20. Isu yang hangat

diperbincangkan mengenai G-20 adalah isu ekonomi dan geopolitik. Akan

tetapi, penutur atau penyusun pidato menunjukkan sisi lain dari G-20,

yaitu sisi multikultural. Sisi yang menurutnya positif. Hal ini menjadi

strategi untuk mengaajak audiens dan warga dunia untuk mendukung G-20

dengan cara mengesampingkan kekurangannya dan mendahulukan

kelebihannya.

3. 2. 4 Analisis Praktik Wacana

Mengingat teks ini merupakan transkrip pidato, praktik wacana

yang berlangsung cenderung monolog. Akan tetapi, tetap memungkinkan

adanya dialog, yaitu berupa respons dari audiesn. Transkrip resmi dari

presidenri.go.id tidak mencantumkan respons dari audiens. Oleh karena

itu, data dilengkapi oleh rekaman video pidato dari Voice of America

Indonesia. Respons yang terekam dalam video pidato merupakan respons

yang bersifat paralinguistik, yaitu tepukan tangan dan tawa. Secara garis

besar, respons bagian pembuka yang terekam adalah tepukan tangan dan

tawa. Respons tersebut hadir di akhir tuturan tertentu. Jumlah respons

yang terekam pada bagian pembuka adalah dua kali tawa yang diiringi

oleh tepukan tangan dan dua kali tawa tanpa iringan tepukan tangan.

Audiens hanya merespons saat penutur melontarkan gurauannya. Pada

bagian ini, tidak terlihat keinginan penutur atau penyusun pidato untuk

memancing respons dari audiens selain tepuk tangan dan tawa saat

dilontarkannya gurauan. Respons yang ditunjukkan oleh audiens menjadi

indikasi bahwa strategi mencairkan suasana dan membangun kesan positif

oleh penutur atau penyusun pidato berjalan cukup baik.

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 70: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

56  

Universitas Indonesia

3. 2. 5 Analisis Urutan Wacana

Analisis urutan wacana pada bagian pembuka ini dimulai dengan

menjabarkan terlebih dahulu jenis-jenis wacana yang tersurat. Selanjutnya,

dari penjabaran tersebut, hubungan dan koherensi satu wacana dengan

wacana yang lain akan dianalisis.

Pidato diawali dengan wacana pembukaan. Wacana ini berisikan

ucapan salam dan penghormatan yang ditujukan kepada tuan rumah

tempat pidato ini dibacakan dan audiens yang menyaksikan pembacaam

pidato ini. Kemudian, terdapat wacana historis yang menjelaskan sedikit

hubungan antara pidato SBY di Universitas Harvard dengan pidato Obama

di Kairo. Wacana terakhir yang dibangun oleh penutur atau penyusun

pidato pada bagian ini adalah wacana kekuatan. Wacana kekuatan

menjelaskan kekuatan dan peran yang dimiliki G-20 dalam konteks

keharmonisan.

Kehadiran wacana pembukaan di awal pidato dapat dikatakan

sebagai suatu keharusan untuk menunjukkan penghormatan penutur.

Wacana pembukaan dalam konteks pidato ini memperlihatkan bahwa

penghormatan yang disampaikan mencoba menempatkan audiens,

khususnya Amerika, pada tempat yang ideal, walaupun hanya sebatas

audiens. Tanpa kehadiran wacana pembukaan, kesan tidak tulus dan tidak

perduli akan timbul dari penutur. Dampaknya adalah berkurangnya citra

penutur (pemerintahan Indonesia) di hadapan audiensnya dan memicu

penolakan terhadap gagasan-gagasan yang dikemukakan oleh penutur

kemudian.

Kehadiran wacana historis selanjutnya menekankan penghormatan

penutur kepada audiensnya, terutama pemerintahan Amerika, dengan

mengaitkan pidato Obama di Kairo. Wacana ini juga berusaha

menunjukkan keinginan Indonesia dalam menjembatani kerja sama yang

ditawarkan oleh Amerika kepada komunitas Muslim dunia. Terakhir,

wacana kekuatan yang mengangkat kelebihan G-20 dalam hubungannya

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 71: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

57  

Universitas Indonesia

dengan keharmonisan antar peradaban, sangat terbantu dengan kehadiran

wacana-wacana sebelumnya. Ini dikarenakan kesan positif dan atmosfer

bersahabat yang ditunjukkan sebelumnya. Untuk menghindari timbulnya

resistensi dari golongan yang kurang setuju dengan G-20, audiens digiring

kepada atmosfer keterbukaan dan disuguhkan sebuah topik yang

seminimal mungkin memancing reaksi penolakan, yaitu keharmonisan.

Dengan demikian, walaupun timbul reaksi penolakan dari audiens yang

kontra terhadap G-20, mereka tidak akan membangun resistensi lebih jauh

karena wacana yang dibangun tidak banyak menyinggung masalah

perekonomian.

3. 2. 6 Analisis Fungsi Wacana

Pada bagian ini, episode-episode akan dianalisis untuk melihat

fungsi wacana yang digunakan. Pertama, pembatasan analisis berdasarkan

hubungan semantis dan koherensi antar episode. Dengan demikian, fungsi

wacana yang terlihat dapat dianalisis secara lebih mendetil dan tidak

secara umum saja. Walaupun suatu teks memang tidak harus memiliki satu

fungsi wacana, keberadaan fungsi-fungsi wacana yang berada dalam suatu

teks saling memperkuat dan mendukung satu fungsi wacana yang

dominan.

Fungsi wacana pertama yang ditunjukkan adalah fungsi wacana

retorik atau konatif pada episode 1. Bentuk penghormatan yang menjadi

ciri khas Indonesia tersebut berfungsi untuk mempengaruhi audiens.

Pengaruh yang diharapkan oleh penutur atau penyusun pidato tidak, atau

setidaknya belum, dalam bentuk mempengaruhi audiens untuk melakukan

sebuah tindakan, melainkan berupa usaha untuk mempengaruhi audiens

agar memperlakukan pembicara dengan seimbang dan mau mendengarkan

kelanjutan pidatonya. Selanjutnya, penutur atau penyusun pidato

menggunakan fungsi wacana ekspresif, yaitu yang berpusat pada pengirim

pesan. Fungsi wacana ini menunjukkan keinginan penutur untuk

memperkecil jarak antara audiens dan dirinya. Dengan kata lain, penutur

mencoba untuk meningkatkan kesan positif dengan menyampaikan

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 72: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

 

pen

ter

ref

pem

Ka

3. 3 Anali

3. 3. 1 An

keh

dib

pen

lan

ndapat-pend

rakhir yang

ferensial. Pa

mbicaraan

airo dan G-2

sis Bagian I

alisis TSR B

Bagian

harmonisan

bangun pad

nutur atau p

ngkah terseb

dapat pers

ditunjukka

ada bagian

pada hal-h

20.

Isi

Bagian Isi

n isi berisi

n antar per

da bagian

penyusun p

but.

Ske

onalnya te

an pada bag

ini penutur

al tertentu,

ikan tentan

radaban. Se

ini adalah

pidato secar

Bagema relasi b

entang tuan

ian pembuk

atau penyu

dalam kon

ng sembilan

ecara garis

h Elaborati

a umum ad

gan 3.3 bagian isi ba

Unive

n rumah.

ka ini adala

usun pidato

nteks ini, p

n langkah

besar, ske

on mengin

dalah menja

agian 1

ersitas Indo

Fungsi wa

ah fungsi wa

menitikber

pidato Obam

untuk men

ema relasi

ngat tujuan

abarkan sem

58 

onesia

acana

acana

ratkan

ma di

ncapai

yang

n dari

mbilan

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 73: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

59  

Universitas Indonesia

Bagan skema relasi bagian isi dibuat dalam dua bagan agar skema

relasi yang ada dapat terlihat secara efektif. Secara garis besar, skema

relasi yang dibangun pada bagian isi terdiri dari dua tingkat, yaitu umum

dan khusus. Skema relasi bersifat umum yang pertama adalah Background,

ditunjukkan pada rangkaian episode 12-24 sebagai satelit dan 25-70

sebagai nucleus. Skema relasi umum kedua adalah Concession. Episode

25-27 berfungsi sebagai satelit pada skema relasi Concession yang

memiliki episode 28-70 sebagai nucleus-nya. Terakhir, episode 28-70

merupakan satelit dari skema relasi bersifat umum Elaboration yang

bertugas untuk menjabarkan ide nucleus, yaitu episode 26 (lihat bagan

3.4). Tiga skema relasi di awal bagian isi ini memberikan gambaran umum

dan membangun kesan positif terhadap gagasan-gagasan yang akan

dikemukakan selanjutnya.

Selanjutnya, rangkaian episode 12-24 terdiri dari episode 15-24

sebagai satelit dan episode 12-14 sebagai nucleus yang menunjukkan

skema relasi Justify. Skema relasi ini bertujuan untuk mendukung ide yang

dikemukakan pada nucleus, yaitu ketidakyakinan penutur terhadap adanya

benturan antar peradaban sebagaimana dikemukakan oleh Samuel

Huntington. Untuk memperjelas ide yang ingin disampaikan, penutur atau

penyusun pidato mengkontraskan episode 12 dengan episode 13. Selain

itu, episode 15 dan episode 16 juga dikontraskan. Hal ini bertujuan untuk

menunjukkan kekuatan Indonesia sebagai negara yang berhasil

mempertahankan keharmonisannya dan menunjukkan bahwa Indonesia

bisa dijadikan contoh dalam hal keharmonisan dalam keberagaman.

Skema relasi yang dibangun oleh episode 13 dan 14 adalah

Enablement. Hubungan ini mengindikasikan adanya ajakan atau tujuan

persuasi dari penutur atau penyusun pidato untuk melakukan sesuatu.

Persuasi yang ditunjukkan berupa ajakan untuk mencegah benturan

peradaban, terutama bagi para pembuat kebijakan. Di samping

memberikan kesan positif terhadap teks dan ide yang diajukan, penutur

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 74: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

 

ata

seb

yan

Ca

epi

kek

kea

me

epi

nu

bah

me

Kr

ber

dih

neg

seb

con

ole

tid

ran

Jo

au penyusu

bagaimana

ng member

ause. Rangk

isode 19 s

kuatan Ind

adaan dun

emberikan k

isode 20-25

cleus bagi

hwa penut

enutup mat

risten. Tanp

rusaha mey

hantam gel

gara-negara

bagai pemb

ntoh negara

eh audiens.

dak memili

ngkaian-ran

int atau sali

un pidato j

terlihat di

rikan kesan

kaian episo

sebagai nuc

donesia saa

nia yang c

kesan posit

5 berperan

relasi ske

tur, mewak

ta bahwa p

pa menges

yakinkan au

ombang ko

a yang mu

belaan diri a

a demokras

Di sisi lai

iki hubung

ngkaian epi

ing berhubu

juga memb

episode 15-

n positif p

ode 16-18

cleus. Skem

at ini dipen

cukup kond

tif terhadap

sebagai sa

ma ini. Ep

kili Indone

pernah ada

sampingkan

udiensnya ba

onflik inter

ultikultural

agar ide ten

si dan mult

in, rangkaia

gan retorik

sode terseb

ungan, namu

Bagan 3

berikan kes

-16 sebelum

pada Indone

berfungsi

ma relasi i

ngaruhi ole

dusif. Selan

p Indonesia

atelit, sedan

pisode 20-2

esia, tidak

a konflik a

n konflik

ahwa Indon

rnal dan pa

lainnya. F

ntang Indon

tikultural, d

an episode

ka antar e

but hanya m

un hanya m

3.4

Unive

san positif

mnya. Skem

esia adalah

sebagai sa

ini membe

eh keadaan

njutnya, ske

a adalah Ju

ngkan epis

25 member

bermaksud

antara Islam

tersebut, p

nesia mamp

antas menja

Fungsi Justi

nesia yang b

dapat diterim

1-4, 5-6, 7

episode. Ol

menunjukk

enambah de

ersitas Indo

pada Indo

ma relasi la

h Non-Volit

atelit, sedan

ri kesan b

n Indonesia

ema relasi

ustify. Rang

ode 19 me

rikan penje

d sombong

m, Yahudi,

penyusun p

pu berdiri se

adi contoh

ify di sini

berhasil me

ma dengan

7-11, dan 2

leh karena

kan skema

etil wacana

60 

onesia

onesia

innya

tional

ngkan

bahwa

a dan

yang

gkaian

enjadi

elasan

g dan

, dan

pidato

etelah

bagi

juga

enjadi

n baik

20-25

a itu,

relasi

.

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 75: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

61  

Universitas Indonesia

Skema relasi bagian isi bagian 2

Pada tingkatan yang sama, rangkaian episode 28-70 membentuk

beberapa skema relasi. Skema relasi Summary dibangun oleh rangkaian

episode 28-32 yang berfungsi sebagai nucleus dan episode 33 yang

berfungsi sebagai satelit. Kemudian, episode 34 menjadi satelit bagi

skema relasi Restatement dengan episode 33 sebagai nucleus. Skema relasi

Elaboration dibangun oleh rangkaian episode 35-36, dengan episode 35

sebagai nucleus dan episode 36 sebagai satelit, dan episode 46-47, dengan

. 46 sebagai nucleus dan episode 47 sebagai satelit. Skema relasi Summary

ditunjukkan oleh rangkaian episode 41-44 dan 50-54. Pada rangkaian

pertama, episode 41-43 berfungsi sebagai nucleus, sedangkan episode 44

berfungsi sebagai satelit. Pada rangkaian, di sisi lain, kedua, episode 50-53

berfungsi sebagai nucleus, sedangkan episode 54 berfungsi sebagai satelit.

Skema relasi Concession cukup sering terlihat pada bagian ini. Hal ini

mengindikasikan keraguan penutur atau penyusun pidato atas diterima

atau tidaknya gagasan yang diberikan. Selain itu, ada kecenderungan

penutur atau penyusun pidato dalam membangun citra Indonesia dan

pemerintahannya. Skema relasi Concession dibangun oleh rangkaian

episode 59-62, rangkaian episode 63-65, dan rangkaian episode 66-68.

Skema realsi Concession yang pertama memiliki episode 59 sebagai

nucleus dan episode 60-62 sebagai satelitnya. Di samping itu, skema relasi

Concession yang kedua dibangun oleh episode 63-64 yang berfungsi

sebagai nucleus dan episode 65 yang berfungsi sebagai satelit. Skema

relasi lainnya yang terbentuk adalah skema relasi Motivation. Skema ini

dibangun oleh episode 44 sebagai nucleus dan episode 45 sebagai

satelitnya. Rangkaian episode lain yang juga membentuk skema relasi

Motivation adalah episode 54 yang berfungsi sebagai nucleus dan episode

55 yang berfungsi sebagai satelit. Di samping itu, episode 42-43

membangun skema relasi Antithesis dengan episode 42 sebagai nucleus

dan episode 43 sebagai satelitnya. Terakhir, episode 52-53 bersama

membangun skema relasi Enablement. Episode 52 berfungsi sebagai

nucleus, sedangkan episode 53 berfungsi sebagai satelit.

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 76: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

62  

Universitas Indonesia

Dapat dilihat bahwa skema relasi yang banyak dibangun pada

bagian isi adalah Elaboration dan Summary. Dari segi kuantitas, terlihat

bahwa strategi penutur atau penyusun pidato dalam mengajak audiens

menyetujui gagasannya adalah dengan pendekatan logika, yaitu dengan

menjabarkan alasan-alasan, sebab-sebab, atau akibat-akibat yang masuk

akal. Strategi ini juga diperkuat dengan formasi nucleus dan satelit. Secara

keseluruhan, posisi nucleus lebih banyak mendahului satelit. Dengan kata

lain, penutur atau penyusun pidato mengutarakan gagasannya terlebih

dahulu, lalu didukung dengan alasan atau penjelasan perlunya gagasan

tersebut disetujui atau setidaknya diberi respons positif. Selain itu,

keberadaan skema relasi Restatement, Antithesis, Enablement, Motivation,

dan, Concession lebih kepada pendukung dan pemberi tekanan terhadap

pesan yang disampaikan. Terutama Antithesis dan Concession yang

memang memiliki fungsi untuk meningkatkan pesan positif terhadap

nucleus atau pesan.

3. 3. 2 Analisis Wacana Kritis Representasi di Tingkat Klausa

Pada bagian ini, penutur atau penyusun pidato sering merujuk

kepada dirinya sendiri menggunakan kata ”I” dan “me”. Penggunaan ini

menekankan bahwa gagasan yang dikemukakan berasal dari penutur atau

penyusun pidato. Di samping itu, hal ini juga menunjukkan bahwa penutur

atau penyususn pidato bersikap terbuka, sehingga memberi kesan pujian

dan kritik siap diterima olehnya. Akan tetapi, banyaknya penggunaan kata

ganti orang pertama tersebut turut memberi kesan bahwa saat

menyampaikan sembilan langkah tersebut, penutur tidak sedang mewakili

Indonesia, tetapi sebatas mengemukakan ide dengan Indonesia sebagai

contohnya. Kemudian, terdapat penggunaan majas metafora pada bagian

ini, sebagaimana ditunjukkan pada episode 15. Penutur atau penyusun

pidato mengibaratkan isu-isu yang menantang kestabilan Indonesia

sebagai roller coaster. Dengan kata lain, Indonesia pernah berada di dalam

kondisi yang sangat menegangkan dan tidak stabil, terkadang naik,

terkadang turun. Penutur atau penyusun pidato tidak sering menggunakan

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 77: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

63  

Universitas Indonesia

majas metafota, bahkan tercatat hanya sekali menggunakannya. Hal ini

turut menguatkan kesan bahwa fokus penutur atau penyusun pidato adalah

menjabarkan suatu gagasan dan memberikan penjelasan atas gagasan

tersebut. Tentunya berbeda bila penutur atau penyusun pidato ingin lebih

memukau atau menarik perhatian audiens, maka penggunaan majas dan

gaya bahasa lain dapat ditingkatkan.

Untuk menekankan pentingnya langkah-langkah yang

dikemukakan, penutur atau penyusun pidato menggunakan kata

“imperative”. Berdasarkan segi bahasanya, “imperative” dapat diartikan

sebagai “sesuatu yang sangat penting dan butuh perhatian atau penanganan

segera” atau “perintah”. Dengan kata lain, penggunaan kata ini untuk

menguatkan posisi penutur dan sembilan langkah yang ditawarkan. Jika

penutur atau penyusun pidato hanya menggunakan kata “steps” atau

“ways” atau kata-kata lain yang tidak menunjukkan kesan mendesak, maka

audiens punya hak yang lebih besar untuk tidak memperdulikan gagasan

yang ditawarkan. Akan tetapi, dengan penggunaan kata “imperative”,

penutur atau penyusun pidato menempatkan gagasannya pada hierarki

yang lebih tinggi daripada kata-kata netral seperti “steps” dan “ways”.

Dengan demikian, audiens diharapkan akan memiliki kecenderungan lebih

besar untuk menerima gagasan yang diberikan. Di samping itu, secara

tidak langsung, dengan merujuk pada arti kata “imperative” yang lain,

yaitu “perintah”, penutur atau penyusun pidato secara tersirat memberikan

perintah kepada audiensnya untuk menerima, menyetujui, dan

melaksanakan langkah-langkah yang diberikan. Tentunya perintah secara

tersirat ini termasuk strategi politeness yang dipraktikkan. Efek yang

dihasilkan akan berbeda bila penutur atau penyusun pidato menggunakan

kata-kata yang memberi kesan memerintah secara langsung, misalnya “you

had better” atau “you must”. Sangat mungkin, respons dari audiens berupa

respons negatif dan bahkan dapat menimbulkan resistensi mengingat

penutur atau penyusun pidato tidak berhasil membuat dirinya atau

Indonesia berada pada level yang sama dengan Amerika.

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 78: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

64  

Universitas Indonesia

3. 3. 3 Analisis Wacana Kritis Representasi di Tingkat Kombinasi Klausa

Bagian isi dimulai dengan memberikan pertanyaan sebagai penarik

perhatian audiens dan fokus dari pembicaraan selanjutnya. Pertanyaan

yang diajukan merupakan pertanyaan retoris atau pertanyaan yang tidak

mengharapkan jawaban dari audiens. Pada pidato ini, pertanyaan retoris

yang berisikan masalah dilanjutkan dengan menawarkan solusi atas

masalah tersebut.

Dalam isu konflik Barat dan Islam, penutur atau penyusun pidato

berusaha untuk mengambil posisi netral walaupun ada kecenderungan

untuk lebih membela Barat, terutama Amerika. Berikut adalah rangkaian

episode yang membahas isu konflik antara Barat dengan Islam dengan

mengambil contoh konflik Israel-Palestina.

41. Today, some two out of three Muslim countries are in conflict

or face a significant threat of conflict. In contrast, only one out of

four non-Muslim countries face similar challenges. But despite

these very complex conflict situations, Muslims must be able to

differentiate between a conflict involving Muslims, and a “war

against Islam”. I do not believe that any of the civilizations –

Western, Hindu, Sinic, Buddhist, Japanese - are systematically and

simplistically engaged in a “war against Islam”. 42. Of all the world's conflicts, none has captured the passion of

Muslims more than the plight of the Palestinians. But this is not a

religious issue – there are Christians and Jews in Palestine, and

Muslims and Christians in Israel. Nonetheless, the establishment of

the much-awaited Palestinian state, in the framework of a two-

state solution where Palestine and Israel live side by side in peace,

would be widely hailed by Muslims worldwide. It would remove a

major mental barrier in their perception of the West, especially of

the United States. Currently, many Muslims fail to notice the

constructive role of the West in producing peace in Bosnia, and in

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 79: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

65  

Universitas Indonesia

Kosovo, but they would sure notice, and rejoice in, the resolution

of the Palestine dilemma.

43. But the Palestinians too have a moral and political

responsibility. It is difficult to attain and sustain statehood unless

there is unity among the Palestinian factions. In my meeting with

Palestinian leaders, I always told them very clearly that

Indonesian freedom fighters would have never won the war for

independence, if they had not united in spirit.

44. The bottom line is : we desperately need to end the vicious

cycle of conflict and violence.

45. The timely withdrawal of Western forces from Iraq and

Afghanistan would also alleviate Muslim fears of a Western

hegemony. And all these political solutions would help reduce

terrorism, as a crime that deviates from the true teaching of Islam

as a religion of peace. It would also turn the feelings of fear and

humiliation among some Muslims into hope and self-esteem.

Bagian ini dimulai dengan memberikan gambaran umum konflik

yang terjadi di dalam komunitas Muslim. Kemudian, penutur atau

penyusun pidato menunjukkan sikapnya terhadap adanya “war against

Islam”. Menurutnya, hal tersebut tidaklah ada. Dengan demikian citra

dunia Barat dan Amerika terangkat mengingat Barat, terutama Amerika

sering dituding sebagai pihak yang mendeklarasikan perang terhadap

Islam. Kesan netral juga ditunjukkan oleh penutur atau penyusun pidato

pada episode 42 dengan mendukung kedua belah pihak, yaitu Palestina

dan Barat. Penutur atau penyusun pidato menawakan sebuah kondisi

sebab-akibat, yaitu apabila konflik antara Israel dan Palestina dapat

diselesaikan dengan damai, besar kemungkinannya komunitas Muslim

dunia akan menunjukkan sikap positif terhadap Barat, terutama Amerika.

Hal ini juga secara tidak langsung mengimbau Amerika untuk berperan

aktif dalam mendamaikan keduanya, karena ada kecenderungan dukungan

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 80: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

66  

Universitas Indonesia

Amerika kepada Israel. Untuk menghindari adanya penolakan maupun

resistensi dari audiens dan pemerintah Amerika sekaligus menjadi

pendukung agar solusi yang ditawarkan dapat diterima, penutur atau

penyusun pidato menunjukkan peran dunia Barat, yang turut melibatkan

Amerika, dalam mendukung terciptanya perdamaian konflik, terutama

yang berhubungan dengan komunitas Muslim, seperti di Bosnia dan

Kosovo. Namun demikian, penutur atau penyusun sendiri menunjukkan

adanya keraguan dalam mengutarakan gagasannya. Keraguan ini

ditunjukkan dengan penggunaan modal “would” pada episode 42 kalimat 4

dan 5. Kesan ragu akan hilang bila penutur atau penyusun pidato

menggunakan kata “will”.

Selain itu, kesan membela Barat, terutama Amerika ditunjukkan

dengan dikontraskannya ide pada episode 42 dan episode 43. Dengan

mengontraskan antara gagasan ‘Amerika dapat berperan aktif dalam

terciptanya kedamaian antara Israel dan Palestina’ dan gagasan ‘Palestina,

terutama pemerintahnya, memiliki peran yang besar dalam menciptakan

perdamaian di negaranya sendiri’, timbul kesan bahwa kunci perdamaian

konflik antara Palestina dan Israel dipegang oleh Palestina sendiri. Dengan

kata lain, penutur atau penyusun pidato seolah mengesampingkan perlunya

peran Israel dalam mencapai perdamaian dan intervensi negara-negara

lain. Dalam isu ini, penutur atau penyusun pidato menolak untuk

menunjukkan alasan atau latar belakang konflik Islam dan Barat. Penutur

atau penyusun pidato hanya mengutarakan pendapatnya tentang tidak

adanya perang terhadap Islam dari peradaban manapun. Akan tetapi,

penyebab dari konflik antara Islam dan Barat tidak dikemukakan untuk

menjaga sikap netral.

Penekanan yang digunakan oleh penutur atau penyusun pidato

pada bagian isi terlihat dari penggunaan huruf besar dalam satu kata,

sebagaimana terlihat pada kata “NOT” di episode 26 dan kata “CAN” di

episode 53. Kata pertama, yaitu “NOT” berada di awal penjelasan

mengenai sembilan langkah menuju keharmonisan antar peradaban dan

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 81: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

67  

Universitas Indonesia

berdampingan dengan kata “utopia”. Kesan yang ditampilkan adalah

keseriusan dan optimisme dari penutur atau penyusun pidato. Kalimat

kedua pada episode 26, yaitu “It is a pragmatic vision.” tidak diberi kata

penghubung untuk menghubungkan ide pada kalimat pertama. Namun,

tidak adanya kata penghubung antara kedua klausa, tidak merubah makna

yang disampaikan. Sebaliknya, tidak adanya kata penghubung menguatkan

penegasan pada kedua ide.

3. 3. 4 Analisis Praktik Wacana

Berbeda dari bagian pidato yang lain, pada bagian isi tidak terekam

adanya respons audiens, baik itu berupa tepukan tangan, tawa, atau

respons paralinguistik lain. Hal ini tidak semata-mata menunjukkan sikap

negatif audiens terhadap gagasan-gagasan yang dikemukakan oleh

penutur. Salah satu penyebab tidak adanya respons dari audiens adalah

bagian isi pidato secara garis besar bersifat netral atau tidak memancing

emosi dari audiens. Dengan demikian, audiens tidak terpancing untuk

menanggapi dan hanya mendengarkan saja. Selain itu, bagian isi hanya

mengemukakan langkah-langkah atau cara-cara yang dapat digunakan

untuk mencapai keharmonisan antar peradaban. Dengan kata lain, teks

pidato bagian isi ini bersifat elaboratif, yaitu menjabarkan atau merinci,

sehingga hanya sedikit atau justru tidak ada wacana yang dapat

diperdebatkan atau memancing perdebatan.

3. 3. 5. Analisis Urutan Wacana

Secara garis besar, wacana yang ditawarkan dalam bagian isi

adalah wacana solusi dan wacana tersebut terdiri dari wacana-wacana yang

lebih spesifik. Wacana yang dikemukakan terlebih dahulu pada bagian isi

merupakan wacana kehamonisan. Kemudian dilanjutkan dengan wacana

keyakinan dan wacana demokrasi. Dalam penjabaran sembilan langkah

untuk mencapai keharmonisan, penutur atau penyusun pidato membangun

wacana soft power, wacana dialog, wacana hubungan Barat dan Muslim,

wacana moderat, wacana multikulturalisme dan toleransi, wacana

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 82: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

68  

Universitas Indonesia

globalisasi, wacana pengaturan global, wacana pendidikan, dan wacana

moral. Wacana terakhir yang dibangun merupakan wacana testimonial

yang berisikan pendapat-pendapat penutur terhadap sembilan langkah

yang diajukan.

Secara struktur dan urutan, wacana-wacana yang dibangun dimulai

dari wacana yang berisikan gagasan yang lebih luas terlebih dahulu dan

dilanjutkan oleh wacana-wacana dengan cakupan gagasan yang lebih

spesifik. Oleh karena itu, wacana-wacana yang bersifat spesifik tidak

digabungkan ke dalam kategori wacana yang lebih luas. Wacana

keharmonisan yang pertama dibangun merupakan gambaran luas

mengenai hal yang akan dijabarkan selanjutnya. Wacana yang dibicarakan

lebih merinci oleh penutur atau penyusun pidato dibandingkan yang lain

adalah wacana soft power, wacana hubungan Barat dan Muslim, dan

wacana globalisasi. Wacana soft power membicarakan kelebihan dari soft

power dan keuntungan dalam menerapkannya. Di samping itu, pada

wacana ini turut dijabarkan praktik soft power oleh Indonesia, khususnya

oleh pemerintahan SBY dalam menyelesaikan konflik di Aceh. Pada

wacana hubungan Barat dengan Islam, penutur atau penyusun pidato

mengambil sikap netral dengan tidak menganggap konflik Palestina-Israel

sebagai isu agama. Penutur atau penyusun pidato juga menyampaikan

harapannya terhadap Amerika untuk menarik mundur pasukannya di Irak

dan Afganistan agar ketegangan antara Amerika dan komunitas Muslim

dapat berkurang. Terakhir, wacana globalisasi diberikan penekanan untuk

membangun kepercayaan diri komunitas Muslim dunia.

3. 3. 6 Analisis Fungsi Wacana

Fungsi wacana yang dominan digunakan pada bagian ini adalah

fungsi wacana referensial mengingat penutur atau penyusun pidato

berusaha menjabarkan sembilan langkah yang telah disebutkan

sebelumnya. Akan tetapi, ada beberapa fungsi wacana lain yang terlihat,

seperti fungsi wacana ekspresif dan puitis. Episode 16-18 menunjukkan

kombinasi dari fungsi wacana ekspresif dan puitis. Fungsi wacana

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 83: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

69  

Universitas Indonesia

ekspresif yang menitikberatkan pada pembicara, dalam hal ini Indonesia

yang diwakilkan oleh SBY, digunakan untuk menunjukkan kekuatan

Indonesia dalam menghadapi tantangan konflik global. Selain itu, tentunya

untuk menunjukkan bahwa penutur, SBY, sebagai kepala pemerintahan

berhasil membangun dan menjaga kestabilan Indonesia. Kemudian, fungsi

wacana puitis dikombinasikan dengan fungsi wacana ekspresif untuk

memberi penekanan pada pesan yang disampaikan. Hal ini dapat dilihat

dari penggunaan kata “today we are not” di awal kalimat rangkaian

episode tersebut. Pengulangan yang membentuk pola di awal kalimat

tersebut memberi penekanan pada gambaran kondisi Indonesia saat ini.

Kata “today” juga dapat diartikan sebagai penekanan bahwa kondisi

Indonesia yang aman dan tentram, sebagaimana yang digambarkan oleh

penutur atau penyusun pidato, merupakan hasil jerih payah pemerintah

Indonesia saat ini, yaitu pemerintahan SBY. Dengan kata lain, ada

kecenderungan penutur atau penyusun pidato untuk membuat audiens

fokus pada saat ini dan mengesampingkan proses panjang pembangunan

Indonesia.

Selanjutnya, fungsi wacana ekspresif digunakan pada episode 62

pada saat penutur atau penyusun pidato menjabarkan langkah kedelapan,

yaitu mengenai pendidikan. Melalui fungsi wacana ini, pnutur atau

penyusun pidato berusaha membangun citra pendidikan Indonesia yang

multikultural bahkan plural. Dengan menunjukkan bahwa Indonesia

memiliki hari libur nasional berdasarkan hari raya tiap agama di Indonesia,

citra Indonesia yang terbentuk adalah Indonesia yang toleransinya tinggi

terhadap agama apa pun, walaupun mayoritas penduduknya beragama

Islam.

3. 4 Analisis Bagian Penutup

3. 4. 1 Analisis TSR Bagian Penutup

Analisis TSR pada bagian ini memiliki empat tingkat analisis.

Secara keseluruhan, bagian penutup menjadi perangkum wacana dalam

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 84: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

 

tek

Ind

itu

kar

Ba

epi

ran

ide

per

me

ske

nu

ks. Akan tet

donesia untu

u, ada kecen

rena perann

Pada

ackground

isode 73-8

ngkaian epi

e yang d

rpindahan t

emiliki hub

ema relasi

cleus, seda

tapi, hal yan

uk bekerjas

nderungan

nya dalam m

Ske

tingkat pe

dengan epi

2 sebagai

isode 73-82

disampaikan

topik atau b

bungan reto

Joint. Pada

angkan epis

ng paling te

sama dengan

untuk mem

menjembatan

Bagan 3ema relasi bag

ertama, sk

isode 71-73

nucleus. T

2 tidak mem

n. Akan t

bagian. Sec

rika. Oleh

a tingkat ke

sode 77 se

erlihat pada

n Amerika s

mbuat Indon

ni komunita

3.5 ian penutup

kema relas

3 yang ber

Tidak jauh

mpengaruhi

tetapi, keb

cara interna

karena itu,

edua, episod

ebagai sate

Unive

bagian ini a

sebagai part

nesia dipan

as Muslim d

si yang d

rfungsi seb

berbeda d

audiens da

beradaannya

al, episode

, keduanya

de 75-76 b

elitnya. Ske

ersitas Indo

adalah kein

tner. Di sam

dang oleh

dan Barat.

dibangun a

bagai satelit

dari sebelum

alam mema

a memper

71 dan 72

hanya mem

erfungsi se

ema relasi

70 

onesia

ginan

mping

dunia

adalah

t dan

mnya,

ahami

rhalus

tidak

miliki

ebagai

yang

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 85: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

71  

Universitas Indonesia

dibangun dari rangkaian episode ini adalah Summary. Peran episode 77 di

sini adalah memperkuat ide bahwa Amerika dan Indonesia memiliki

persamaan, yaitu keduanya memiliki peran yang penting dalam

menciptakan persatuan dan kedamaian dunia. Episode 75-76 tidak

memiliki relasi retorika, sehingga keduanya hanya memiliki hubungan

Joint. Kemudian skema relasi Background kembali ditunjukkan oleh

rangkaian episode 78-82. Episode 78 berfungsi sebagai satelit, sedangkan

episode 79-82 berfungsi sebagai nucleus. Skema relasi ini memberikan

gambaran perbedaan ide yang diajukan oleh Obama dan SBY. Obama

yakin bahwa abad 21 akan menjadi abad bagi Amerika, sedangkan SBY

percaya bahwa abad 21 mungkin saja menjadi abad bagi Asia. Tujuan

dibandingkannya gagasan kedua kepala negara ini bukan untuk

mengkontraskan keduanya, namun memperkuat pesan yang akan

disampaikan berikutnya pada nucleus, yaitu siapa pun dapat menjadi

pemilik abad 21.

Kemudian, dengan episode 77 yang berperan sebagai nucleus dan

episode 78-80 sebagai satelit, skema relasi yang terbangun berupa

Enablement. Skema relasi ini bertujuan untuk meningkatkan keinginan

audiens untuk melakukan suatu tindakan. Tindakan dalam bagian ini tidak

secara eksplisit disebutkan. Akan tetapi, kita dapat melihat bahwa tindakan

yang diinginkan oleh penutur atau penyusun pidato dari audiens adalah

berusaha untuk menjadikan abad ini sebagai abad bagi bangsanya dan

berusaha untuk membangun dan menjaga keharmonisan antar peradaban.

Tidak adanya relasi retorika pada rangkaian episode 77-78 dan 80-82

menyebabkan rangkaian-rangkaian episode tersebut hanya memiliki relasi

skema Joint. Dengan kata lain, secara TSR, rangkaian-rangkaian episode

tersebut hanya menambah detil.

3. 4. 2 Analisis Wacana Kritis Representasi di Tingkat Klausa

Kesan atau nuansa yang kuat dihadirkan oleh penutur atau

penyusun pidato pada bagian ini adalah optimisme. Nuansa ini dibangun

dengan mengontraskan antara kata-kata berkonotasi positif dengan negatif,

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 86: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

72  

Universitas Indonesia

seperti “conquest” versus “connectivity”, “clash” versus “confluence”,

“plenty” versus “poverty”, “hope” versus “fear”, “brotherhood” versus

“supreme”, dan “human progress” versus “ignorance”. Kata-kata tersebut

digunakan untuk membangun kesadaran audiens atas pilihan dalam sebuah

peradaban. Dengan penyajian secara paradoks, penutur atau penyusun

pidato berekspektasi dapat mengajak audiens untuk memilih yang positif

dan menyetujui ide yang ditawarkan.

Pada episode 75, berbicara tentang Amerika dan perannya dalam

membangun keharmonisan dunia, penutur atau penyusun pidato

menggunakan majas personifikasi. Penggunaan majas ini terlihat pada

perlakuan penutur atau penyusun pidato terhadap Amerika, yaitu

menganggap Amerika sebagai seseorang. Kemudian, penutur atau

penyusun pidato menggunakan substitusi yang juga untuk perorangan.

Amerika, di bagian ini, disubstitusi dengan kata ganti kepemilikan

feminim, yaitu “her”. Penggunaan kata ganti ini memiliki beberapa

maksud tersendiri. Pertama, penutur atau penyusun pidato ingin

membangun kesan berkerabat dengan Amerika. Penggunaan ini seolah

menjadikan Amerika seorang kawan bagi Indonesia. Kedua, maksud

digunakannya personifikasi tersebut adalah memberi penghormatan lebih

kepada Amerika. Audiens, terutama Amerika, diajak berimajinasi dan

memainkan logikanya. Posisi dan status manusia sebagai makhluk hidup

tentu lebih tinggi daripada benda mati. Ketiga, penutur atau penyusun

pidato berusaha menghindari penolakan dari kalangan wanita terutama

feminis bila menggunakan kata ganti kepemilikan “his”. Oleh karena itu,

kesan netral tetap dijaga dalam penggunaan kata ganti tersebut. Terakhir,

erat dengan adat dan kebiasaan Indonesia, wanita, terutama ibu, memiliki

peran penting dan posisi yang tinggi. Di samping menjadikan Amerika

sebagai kerabat, penggunaan personifikasi dengan kata ganti kepemilikan

feminim juga menunjukkan hubungan yang lebih erat lagi, yaitu seperti

ibu dan anak. Secara tersirat penutur atau penyusun pidato

mengungkapkan rasa hormatnya yang tinggi dan ketergantungannya

terhadap Amerika. Akan tetapi penutur atau penyusun pidato menunjukkan

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 87: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

73  

Universitas Indonesia

inkonsistensi dalam penggunaan kata ganti kepemilikan ini, sebagaimana

terlihat pada kalimat ke-4 di episode yang sama.

3. 4. 3 Analisis Wacana Kritis Representasi di Tingkat Kombinasi Klausa

Pada bagian penutup terlihat lagi adanya sinyal pada kata kunci,

yaitu “REINVENT A NEW WORLD” pada episode 73. Penulisan dengan

huruf kapital ini menjadi sinyal bahwa hal ini penting untuk diperhatikan

dan diberi penekanan. Di samping itu, gagasan “new world” ini didukung

dengan penjabaran kondisi dunia yang ideal menurut penutur atau

penyusun pidato. Untuk meyakinkan audiens agar mendukung gagasan

yang diutarakan, peranan dan posisi Amerika ikut dilibatkan. Pelibatan

Amerika dilakukan secara tidak langsung. Strategi tersebut terbagi menjadi

dua bagian penting. Pertama, penutur atau penyusun pidato menguraikan

kekuatan-kekuatan dan kelebihan-kelebihan Amerika dalam konteks

keharmonisan dunia. Uraian ini bertujuan untuk mengambil hati Amerika.

Dengan demikian, ketika audiens dan pemerintah Amerika ditawari bagian

kedua, yaitu gambaran dan saran tentang hal-hal yang dapat dilakukan

oleh Amerika, Amerika memiliki posisi yang sulit untuk menolak.

Pada akhir bagian penutup, penutur atau penyusun pidato kembali

menggunakan campur kode dengan bahasa Arab. Frase “insya Allah”

memiliki arti “seijin Allah”, “dengan restu Allah”, atau “bila Allah

mengijinkan”. Penggunaan campur kode tersebut di akhir bagian memiliki

beberapa fungsi tersendiri. Pertama, campur kode ini kembali menguatkan

identitas penutur sebagai seseorang yang beragama Islam. Tanpa

kehadiran frase ini, audiens tetap akan mengingat penutur sebagai seorang

Muslim dan Indonesia sebagai salah satu negara dengan penduduk Muslim

terbanyak di dunia. Akan tetapi, alasan di balik penggunaannya kuat

kemungkinannya terkait dengan fungsinya yang lain. Oleh karena itu, poin

yang akan dibahas berikutnya adalah fungsi kedua dari campur kode yang

digunakan, yaitu sebagai doa. Masyarakat Indonesia yang beragama Islam

terkadang menggunakan “insya Allah” setelah mengucapkan harapan-

harapan atau rencana yang akan dibangun ke depannya. Bagi umat Islam,

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 88: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

74  

Universitas Indonesia

dan mungkin juga bagi penutur atau penyusun pidato, segala yang telah

direncanakan manusia ditentukan berhasil atau tidaknya oleh Allah. Oleh

karena itu, penutur atau penyusun pidato bersikap rendah hati dengan tetap

mengingat kuasa yang tidak terlihat melalui praktik campur kode tersebut.

3. 4. 4 Analisis Praktik Wacana

Pada bagian penutup, hanya terdapat satu kali tepuk tangan yang

dilakukan dengan berdiri. Respons audiens tersebut terekam pada saat

penutur mengakhiri pidatonya. Respons tersebut merupakan sebuah

apresiasi dan penghormatan audiens terhadap penutur. Di samping itu,

respons tersebut juga dapat diartikan sebagai berhasilnya kesan positif

yang dibangun oleh penutur atau penyusun pidato dari awal pidato hingga

akhir. Tentunya, respons tersebut juga menunjukkan adanya kemungkinan

audiens mendukung gagasan yang dikemukakan penutur atau penyusun

pidato. Pada rekaman video tidak terlihat adanya respons negatif dari

audiens pada saat penutur menutup pidatonya, misalnya dengan cemoohan

atau menolak untuk memberikan apresiasi dengan berdiri.

3. 4. 5 Analisis Urutan Wacana

Dalam bagian penutup, terdapat dua wacana yang terbentuk.

Wacana yang pertama adalah kebersamaan. Wacana ini menampilkan

kesetaraan semua peradaban di dunia dalam kesempatan untuk menjadi

maju dan berpengaruh. Selain itu, persamaan lain yang coba dibangun

adalah peran Indonesia dan Amerika dalam membentuk keharmonisan

dunia. Kedua, wacana yang dibangun adalah wacana personal yang

berisikan harapan-harapan penutur atau penyusun pidato terhadap upaya

peningkatan keharmonisan antar peradaban, terutama antara dunia Islam

dengan dunia Barat.

Formasi wacana yang dibangun tentunya tidak terlepas dari

membentuk kesan positif terhadap penutur dan mengajak audiens untuk

mendukung gagasan yang dikemukakan penutur atau penyusun pidato.

Wacana personal ditempatkan setelah wacana kebersamaan agar

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 89: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

75  

Universitas Indonesia

optimisme yang ditunjukkan oleh penutur dapat mendukung gagasan

tentang persamaan peran dan kesempatan bagi tiap negara. Dengan kata

lain, penutur atau penyusun pidato berusaha untuk meyakinkan audiens

bahwa gagasan-gagasannya tentang keharmonisan antar peradaban

bukanlah sesuatu yang mustahil.

3. 4. 6 Analisis Fungsi Wacana

Fungsi wacana yang digunakan pada bagian ini, sesuai urutan

kehadirannya, adalah fungsi wacana referensial, retorik, dan ekspresif.

Fungsi wacana ekspresif di sini terlihat dominan mengingat bagian

penutup sebagian besar berisikan harapan dan pendapat personal penutur

atau penyusun pidato. Episode 71-74 menggunakan fungsi wacana

referensial. Hal ini terlihat dari fokus penutur atau penyusun pidato dalam

membicarakan kondisi dunia di abad 21. Episode 75 secara umum

menunjukkan penggunaan fungsi wacana referensial, karena

membicarakan tentang kekuatan dan peran Amerika dalam membangun

keharmonisan dunia. Akan tetapi, episode ini lebih tepat bila dikatakan

menggunakan fungsi wacana retorik. Alasannya adalah audiens di tempat

dibacakannya pidato mayoritas merupakan penduduk Amerika. Oleh

karena itu, maksud dari kata “Amerika” dalam episode itu tidak hanya

Amerika sebagai negara atau pemerintahan Amerika saja, tetapi juga

rakyat Amerika. Dengan dasar demikian, penyebutan kata Amerika di sini

menitikberatkan pada audiens, termasuk pemerintah Amerika Serikat.

Begitu pula dengan episode 76, tanpa melihat motif yang mungkin

mendasarinya, episode tersebut menggunakan fungsi wacana referensial.

Namun, mengingat penutur adalah seorang pemimpin pemerintahan

Indonesia, maka kata “Indonesia” pada episode tersebut mewakili penutur

pribadi dan rakyat Indonesia. Oleh karena itu, episode 76 lebih tepat

dikatakan menggunakan fungsi wacana ekspresif. Episode-episode

setelahnya menggunakan fungsi wacana ekspresif karena fokus kepada

pendapat penutur atau penyusun pidato.

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 90: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

76  

Universitas Indonesia

BAB IV

TEMUAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini akan menjabarkan hasil-hasil temuan setelah proses analisis data

yang dilakukan pada bab III. Hasil-hasil temuan tersebut kemudian akan dibahas

labih lanjut untuk mendapatkan gambaran umum dan keabsahan hipotesis yang

telah penulis buat sebelumnya.

Pidato SBY di Universitas Harvard merupakan rangkaian kunjungannya di

Amerika Serikat. Sebelum berpidato, SBY menghadiri forum G-20 di Pittsburgh.

Pidatonya tersebut merupakan sebuah respons atas pidato Obama di Kairo,

sekaligus menawarkan sembilan langkah penting untuk mencapai keharmonisan

antar peradaban. Dalam sembilan langkah yang ditawarkan, berbagai isu

disinggung dan diajukan penyelesaiannya, mulai dari politik, agama, pendidikan,

ekonomi, hingga budaya. Dari proses analisis yang telah dilakukan, tampak bahwa

tujuan lain dari pidato ini adalah meningkatkan citra Indonesia di mata dunia dan

mempererat hubungan bilateral Indonesia dan Amerika Serikat. Tujuan tersebut

didukung dengan formasi struktur dalam teks pidato yang disusun sedemikian

rupa untuk mengarahkan audiens agar mau bersikap terbuka dan menerima

gagasan yang ditawarkan.

4.1 Temuan Analisis Wacana Kritis

Berikut ini akan dijabarkan hasil temuan dari Analisis Wacana

Kritis (AWK) dalam tiga bagian teks SBY di Universitas Harvard. Pada

tiga bagian pidato Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Universitas

Harvard, dilakukan tiga tingkat analisis. Tingkat pertama adalah analisis

tingkat tekstual yang mencakup analisis struktur teks, analisis tingkat

klausa (pemilihan diksi, frase, dan tata bahasa), dan analisis kombinasi

klausa (praktik kohesi, koherensi, penggunaan kata ganti, modal, dan

susunan gramatikal). Kecenderungan struktur teks didasarkan pada temuan

umum Teori Struktur Retorika (TSR) dan fungsi wacana dalam tiap

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 91: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

77  

Universitas Indonesia

episode dalam teks. Tingkat kedua adalah praktik wacana. Temuan praktik

wacana berupa respons tepukan tangan dan tawa dari audiens. Tingkat

ketiga mencakup kondisi sosiokultural. Pembahasan tingkat ketiga

didasarkan pada keseluruhan temuan umum dalam pidato ini.

Berdasarkan hasil analisis, pilihan kata dan frase yang digunakan

dalam pidato SBY cenderung lugas, netral, dan berimbang. Pada dasarnya,

pilihan kata dan frase membangun pengandaian yang merepresentasikan

Indonesia secara tersirat dan tersurat. Pertama, pilhan kata dan frase yang

digunakan bertujuan untuk membangun nuansa keterbukaan, dan

persahabatan. Kedua, terdapat pilihan kata dan frase yang

merepresentasikan ketidaksetujuan terhadap suatu gagasan maupun

tindakan. Ketiga, terdapat pilihan kata dan frase mengindikasikan adanya

upaya validasi.

Dalam pidato, hanya tercatat dua kali penggunaan campur kode,

yaitu penggunaan “Bismillahirrahmanirrahim” pada bagian pembuka,

episode 1 dan “Insya Allah” pada bagian penutup, episode 82. Secara

kuantitas, sedikitnya penggunaan bahasa Arab, khususnya do’a, dalam

pidato mengindikasikan usaha penutur atau penyusun pidato untuk

bersikap netral atau tidak terlalu mengedepankan ke-Islamannya. Selain

itu, untuk menghindari resistensi dan penolakan dari audiens sekaligus

membangun posisi yang berimbang dengan audiens, tidak dengan

Amerika, penutur atau penyusun pidato merepresentasikan Indonesia

secara positif. Berikut daftar kata yang mengindikasikan adanya tujuan

tersebut.

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 92: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

78  

Universitas Indonesia

Pilihan Kata

dan Frase Episode ke- Tujuan

Honored 2 Membangun keterbukaan

Distinguished 2 Memberikan pujian

Prestigious 4/6 Memberikan pujian

Historic 5 Memberikan pujian

Tabel 4.1

Daftar kata dan frase yang berfungsi untuk membangun komunikasi dialogis

Di bagian lain, untuk merepresentasikan ketidaksetujuan terhadap

suatu gagasan atau tindakan, penutur atau penyusun pidato menggunakan

kata atau frase secara langsung. Berikut daftar kata yang menunjukkan

representasi tersebut.

Pilihan Kata

dan Frase Episode ke- Kalimat ke-

Counter-productive 13 1

Vicious 44 1

Terrorism 45 2

Extremists 47 2

Xenophobic fear 47 2

Confrontation and exclusion 47 2

Tabel 4.2

Daftar kata dan frase yang menunjukkan sikap kontra

Frase “counter-productive” pada episode 13 untuk menunjukkan

perbedaan pendapat terhadap gagasan Samuel Huntington. Kata lain

adalah “vicious” untuk menunjukkan sikap sangat tidak setuju atau

penolakan keras terhadap konflik dan kekerasan. Selain itu, untuk

menunjukkan sikap tidak sependapat dengan tindakan terorisme, penutur

atau penyusun pidato melekatkan kata-kata berkonotasi negatif pada

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 93: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

79  

Universitas Indonesia

tindakan terorisme, seperti extremists, extremism, xenophobic,

confrontation, dan exclusion.

Pada tingkatan kombinasi klausa dan rangkaian antarkalimat yang

disusun terdapat indikasi upaya Indonesia untuk memposisikan diri

sebagai negara yang berperan penting dalam menciptakan keharmonisan

antar peradaban. Hal tersebut dapat dilihat dari penggunaan kohesi yang

banyak menunjukkan hubungan penambahan. Kombinasi klausa tersebut

membangun gambaran bahwa Indonesia berhasil dan mampu melakukan

gagasan-gagasan yang disampaikan penutur. Konjungsi pertentangan juga

dimuat untuk menegaskan argumentasi penutur yang kontra terhadap

pendapat pihak-pihak yang tidak sejalan.

Kemudian, terdapat praktik strategi paralelisme yang dilakukan

oleh penutur, yaitu ekspresi yang dilakukan dengan memuat serangkaian

struktur gramatika yang sama. Strategi unu digunakan untuk menekankan

ide yang disampaikan dan meyakinkan audiens terhadap kebenaran

gagasan yang disampaikan. Ekspresi tersebut juga menyiratkan upaya

penutur dalam mengkonstruksi pola pikir audiens.

Modality turut memberikan signifikansi dalam membangun

keyakinan audiens terhadap gagasan yang dikemukakan penutur sekaligus

menampilkan karakter penutur. Penggunaan modality tidak menunjukkan

konsistensi optimisme penutur atau penyusun pidato terhadap gagasan

yang dikemukakan. Optimisme terlihat dalam mengemukakan

argumentasinya dan dilanjutkan dengan penggunaan modal keyakinan

‘can’ tetapi terlihat tidak yakin dengan penggunaan modal ‘would’.

Berikut akan dibahasa temuan-temuan analisis praktik wacana.

Terdapat tiga tepuk tangan dan empat reaksi tawa yang terekam dalam

video pidato SBY. Respons audiens yang paling reaktif terdapat dalam

bagian pembuka, yaitu dua tepuk tangan dan empat reaksi tawa. Faktor

yang menyebabkan adanya reaksi positif tersebut adalah penyisipan

gurauan pada bagian pembuka. Respons berupa tepuk tangan terakhir

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 94: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

80  

Universitas Indonesia

terekam pada saat penutur menutup pidatonya. Respons audiens yang

terekam dalam pidato kurang bisa merepresentasikan keberhasilan agenda

Indonesia dalam meningkatkan citra di mata dunia. Hal ini dikarenakan

letak respons hanya terdapat pada bagian pembuka dan penutup.

Berikut merupakan temuan dari hasil analisis wacana-wacana

dalam teks dan fungsi urutan wacana yang disusun:

Bagian Wacana-wacana

dalam Teks

Fungsi

Pembuka Wacana pembukaan

Wacana historis

Wacana argumentasi

Melakukan penghormatan

dan menarik afeksi pendengar

Meyakinkan audiens dengan

fakta di masa lalu

Meyakinkan audiens terhadap

peran positif G-20 dan Indonesia

Isi

Wacana historis

Wacana solusi

Meyakinkan audiens dengan

fakta di masa lalu dan gambaran

umum di masa ini

Menawarkan langkah-langkah

yang dapat dipraktikkan untuk

mencapai keharmonisan antar

peradaban melalui soft power,

dialog, perbaikan hubungan

Barat dan Muslim, penguatan

nilai-nilai moderat, penguatan

multikulturalisme dan toleransi,

globalisasi, keteraturan global,

pendidikan, dan moral.

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 95: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

81  

Universitas Indonesia

Penutup Wacana kebersamaan

Wacana personal

Menampilkan kesetaraan semua

peradaban di dunia

Memberikan kesan optimisme

penutur terhadap gagasan yang

dikemukakan

Tabel 4.3

Temuan wacana-wacana dalam teks dan fungsi urutan wacana

Urutan wacana pada setiap bagian pada dasarnya berupaya

merepresentasikan Amerika secara positif di hadapan audiens. Susunan

tersebut secara keseluruhan memberikan gambaran karakter penutur dalam

beretorika. Pertama, argumentasi penutur atau penyusun pidato disusun

dengan fakta historis untuk mendukung kebenaran pendapat. Kedua,

penutur tidak berargumentasi atau memberikan arahan tanpa memuat

wacana-wacana lain terlebih dahulu.

Akan tetapi, secara substansial, formasi wacana yang disusun

menunjukkan ketidakkonsistenan penutur atau penyusun pidato. Pada

bagian pembuka, penutur atau penyusun pidato menempatkan audiens

sasaran pada posisi yang seimbang, tetapi tidak menunjukkan upaya untuk

menyeimbangkan posisi dengan Amerika. Kemudian, pada bagian isi,

penutur atau penyusun pidato cenderung membela Amerika dalam hal

konflik dunia Barat dengan dunia Islam. Pada bagian penutup, penutur

atau penyusun pidato berupaya untuk menyamakan posisi Indonesia dan

Amerika dalam hal peran menciptakan kedamaian antar peradaban,

khususnya antara Barat dan Muslim.

4. 2 Temuan Analisis Fungsi Wacana

Berikut merupakan temuan analisis fungsi wacana yang terdapat

pada bagian-bagian teks pidato SBY di Universitas Harvard.

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 96: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

82  

Universitas Indonesia

Bagian Fungsi-fungsi wacana

dalam Teks

Pembuka Fungsi wacana retorik atau konatif

Fungsi wacana ekspresif

Fungsi wacana referensial

Isi

Fungsi wacana referensial

Fungsi wacana ekspresif

Fungsi wacana puitis

Penutup Fungsi wacana referensial

Fungsi wacana retorik

Fungsi wacana ekspresif

Tabel 4.4

Fungsi Wacana dalam Pidato SBY di Universitas Harvard

Secara struktural, fungsi wacana yang terdapat dalam pidato ini

terbagi secara merata namun tidak menunjukkan suatu konsistensi. Dengan

kata lain, pola penggunaan fungsi wacana tidak dapat ditentukan secara

pasti. Fungsi wacana yang paling banyak digunakan adalah fungsi wacana

referensial, ekspresif, dan retorik. Akan tetapi, secara proporsi, pada

bagian isi, fungsi wacana referensial lebih banyak digunakan.

Kecenderungan ini mendukung upaya penutur atau penyusun pidato dalam

mengeksplorasi logika audiens sasaran. Bagian pembuka dan penutup

berperan sebagai penyokong fungsi wacana pada bagian isi. Kedua bagian

ini juga memperkuat kesan positif audiens terhadap pihak penutur.

Penggunaan fungsi-fungsi wacana tersebut juga menunjukkan jenis pidato

yang ingin disampaikan, yaitu pidato yang bersifat elaboratif. Teks

semacam ini umumnya tidak memiliki agenda yang besar. Dengan

demikian, tidak diperlukan lebih banyak fungsi wacana dalam teks pidato

ini.

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 97: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

 

4. 3 Temu

bag

me

ber

ber

kla

yan

(pe

me

(pe

per

uan Analisis

Beriku

gian teks

emasangkan

rakhir pada

rsifat multi

asifikasi TS

ng mencak

embentukan

encakup sk

embentukan

rnyataan.

s TSR

ut adalah pe

pidato S

n suatu ran

a level deng

inucleus. T

SR pada Ba

kup skema-

n makna).

kema-skem

n persepsi)

Skem

emaparan sk

SBY di U

ngkaian ep

gan pasanga

emuan-tem

ab II. Kelom

-skema rela

Kelompok

ma relasi y

pada pende

Bagan 4

ma relasi bagi

kema relasi

Universitas

isode deng

an minimal

muan skema

mpok pertam

asi yang m

kedua ada

yang mene

engar atau p

4.1

ian pembuka

Unive

yang terda

Harvard.

gan rangkai

atau strukt

a relasi di s

ma adalah

menekankan

lah present

ekankan u

pembacany

ersitas Indo

apat pada ba

Analisis

ian lainnya

tur retorika

sini berdas

substansi m

unsur sem

tasi materi

unsur prag

a terhadap

83 

onesia

agian-

TSR

a dan

yang

arkan

materi

mantis

yang

gmatis

suatu

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 98: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

 

Skem

Skem

Bagan 4

ma relasi bagia

Bagan 4ma relasi bagia

4.2

an isi bagian 1

4.3 an isi bagian 2

Unive

ersitas Indo

84 

onesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 99: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

 

Bagian

Bagian Pe

Bagian Isi

n Pidato

embuka

i

Ske

Su

E

J

C

V

C

E

S

E

Bagan 4

ema relasi bag

ubstansi Ma

Elaboration

Joints

Contrast

Volitional c

Contrast

Elaboration

Summary

Elaboration

4.4

ian penutup

Klasifikas

ateri

n

cause

n

n

Unive

si Relasi

Presen

Con

Bac

Just

Bac

Con

Just

Ena

Just

Con

ersitas Indo

ntasi Materi

ncession

ckground

tify

ckground

ncession

tify

ablement

tify

ncession

85 

onesia

i

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 100: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

86  

Universitas Indonesia

Restatement

Summary

Elaboration

Summary

Elaboration

Joints

Concession

Antithesis

Motivation

Enablement

Motivation

Bagian Penutup Summary

Joints

Background

Background

Enablement

Tabel 4.5

Rekapitulasi Skema Relasi Pidato SBY di Universitas Harvard

Dalam tabel 4.2, proporsi klasifikasi relasi dalam pidato ini

cenderung terbagi secara berimbang. Dari tiga bagian yang diteliti, jumlah

skema relasi di masing-masing basis materi cenderung sama banyak.

Ketiga bagian tersebut memiliki struktur yang dibangun melalui kedua

basis skema relasi tersebut. Akan tetapi, presentasi materi menjadi fokus

bagi dua bagian pidato, yaitu bagian pembuka dan penutup. Artinya, pada

bagian awal dan akhir, penutur atau penyusun pidato menitikberatkan pada

sikap audiens, baik peningkatan kesan positif, peningkatan keinginan

untuk melakukan gagasan yang diajukan, atau menyetujui gagasan pada

nucleus. Di sisi lain, bagian isi menunjukkan basis substansi materi yang

sedikit lebih banyak daripada basis presentasi materi.

Temuan ini dapat diinterpretasi sebagai motif penutur atau

penyusun pidato untuk menghindari kesan bahwa langkah-langkah untuk

mencapai keharmonisan antar peradaban yang diajukan hanyalah sebatas

impian dan cita-cita penutur atau penyusun pidato. Langkah-langkah ini

justru dikonstruksi dengan mengeksplorasi logika ide-ide dan fakta-fakta

tentang alasan dan hasil dari langkah-langkah yang diutarakan. Hal ini

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 101: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

87  

Universitas Indonesia

menguatkan alasan struktur skema relasi umum bagian pembuka dan

penutup sama-sama berbasis presentasi materi.

Selain membangun citra Indonesia dan pemerintahan SBY, pidato

ini juga berupaya untuk mengalihkan wacana penolakan G-20. Dari G-20

yang dituding tidak transparan dan sarat dengan nilai-nilai kapitalisme

menjadi G-20 yang berperan dalam keharmonisan antar peradaban dan

menjadi contoh yang patut ditiru. Bagian pembuka dan penutup pidato ini

lebih berfungsi untuk menambah kesan positif pada keseluruhan pidato

dan meningkatkan kehendak audiens untuk melakukan gagasan yang

diajukan. Secara formasi struktur, pidato ini cukup mengakomodasi logika

audiens sasaran. Meskipun demikian, logika audiens dalam retorika pidato

ini diarahkan agar bias ke arah yang memperkuat pencitraan pihak

penutur.

Penggambaran positif Indonesia dalam pidato ini menjadi modus

yang hadir di setiap bagian dalam pidato ini. Pada bagian pembuka,

penggambaran tersebut tidak mendapat proporsi yang terlalu banyak, yaitu

pada saat memperkenalkan diri sebagai negara dengan penduduk

beragama Islam terbanyak. Tentunya dengan anggapan adanya

kemungkinan audiens tidak atau belum mengenal Indonesia. Pada bagian

isi, penggambaran positif Indonesia semakin terlihat. Terdapat beberapa

penggambaran Indonesia oleh penutur atau penyusun pidato, yaitu

Indonesia sebagai negara yang memiliki daya tahan terhadap konflik,

Indonesia sebagai negara yang plural dan toleran, Indonesia sebagai

negara yang sukses mempraktikkan soft power, dan Indonesia sebagai

negara yang menanamkan toleransi sejak dini. Pada bagian penutup pidato,

Indonesia digambarkan sebagai negara yang memiliki peran dalam

menjembatani dunia Islam dengan dunia Barat sekaligus kembali

digambarkan sebagai negara yang toleran dan mampu menyatukan nilai-

nilai demokrasi dengan nilai-nilai Islam. Melalui penggambaran positif

Indonesia yang secara konsisten disuguhkan oleh penutur atau penyusun

pidato ini, audiens sasaran dipaksa untuk mempercayai dan menyetujui

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 102: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

88  

Universitas Indonesia

kepentingan dan gagasan pihak penutur yang telah disampaikan dalam

pidato. Terlebih lagi dalam situasi audiens yang memiliki keterbatasan

ruang untuk merespons. Keterbatasan ini memberikan kuasa pada pihak

penutur untuk semakin mengedepankan penggambaran positif Indonesia.

Sikap diam pihak audiens sasaran dapat dilihat sebagai konfirmasi atas

penggambaran tersebut.

Meskipun berupaya untuk bersikap netral, keberpihakan penutur

atau penyusun pidato terhadap Amerika belum mampu dipisahkan dalam

pidato ini, baik secara tersurat maupun tersirat. Dengan kata lain, pihak

penutur masih memiliki bias pada pihak audiens sasaran. Dari skema relasi

yang ditunjukkan dan struktur yang dibangun, penutur atau penyusun lebih

cenderung menawarkan posisi Indonesia sebagai negara yang patut

diperhitungkan oleh dunia dan Amerika daripada menempatkan Indonesia

pada posisi yang sejajar dengan Amerika Serikat.

4.4 Pembahasan dan Keputusan Hipotesis

Ada empat hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini. Pertama,

wacana yang dibangun dalam pidato SBY memposisikan Islam dan

komunitas Muslim sebagai pihak yang patut diperhitungkan oleh Amerika

Serikat. Hipotesis ini tidak dapat dikatakan sepenuhnya terbukti benar.

Posisi komunitas Muslim sebagai pihak yang patut diperhitungkan

memang terbukti melalui penggambaran Indonesia sebagai negara dengan

penduduk beragama Islam terbanyak dan perannya dalam mewakili

komunitas Muslim sekaligus menjembatani dunia Islam dengan Barat.

Selain itu, dalam beberapa bagian, penutur atau penyusun pidato secara

lugas menyatakan kemampuan peradaban Islam untuk mencapai

kemakmuran dan menyaingi Amerika dan peradaban lain. Akan tetapi,

pernyataan Islam sebagai pihak yang patut diperhitungkan oleh Amerika

tidaklah sepenuhnya terbukti. Hal ini dikarenakan kecenderungan pihak

penutur untuk menunjukkan keberpihakan terhadap Amerika.

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 103: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

89  

Universitas Indonesia

Hipotesis kedua menyatakan bahwa terdapat kombinasi sejumlah

fungsi wacana yang membangun retorika hubungan Islam dan Amerika.

Hal ini terbukti benar. Tiap-tiap bagian pidato menggunakan tiga fungsi

wacana dan setiap fungsi wacana saling menguatkan dan mendukung satu

sama lain. Namun demikian, karena ketidakkonsistenan penutur atau

penyusun pidato dalam penggunaan fungsi wacana, pola penggunaannya

tidak dapat ditentukan.

Ketiga, Retorika yang dibangun oleh SBY dipengaruhi oleh

konteks tempat dibacakannya pidato. Hal ini terbukti benar. Pertama,

Universitas Harvard dipilih penutur karena merupakan wadah intelektual

yang memiliki signifikansi dalam pembangunan Amerika dan memiliki

hubungan personal dengan SBY karena salah satu anaknya sedang

mengenyam pendidikan di sana dan beberapa menteri dalam pemerintahan

SBY pernah kuliah di Universitas Harvard. Kedua, pujian-pujian yang

ditujukan kepada tuan rumah, Universitas Harvard dan Amerika Serikat,

memperlihatkan bahwa penutur berupaya sebisa mungkin menarik afeksi

audiens dengan pengetahuan yang dimilikinya. Hubungan Amerika dan

Indonesia dalam perekonomian global juga memengaruhi formasi pidato

yang ada.

Hipotesis terakhir menyatakan bahwa retorika Islam pada pidato

SBY berusaha memperbaiki citra Indonesia sebagai salah satu negara

komunitas Muslim terbesar di dunia. Hipotesis ini terbukti benar dilihat

dari adanya konsistensi penggambaran positif Indonesia yang dibangun

dalam susunan wacana pidato ini. Pada awalnya, penutur berupaya untuk

memposisikan audiens dan tuan rumah di posisi yang seimbang, namun

penutur atau penyusun pidato tetap memisahkan diri dengan memberi

kesan hubungan pembicara dan pendengar. Kemudian, dalam bagian isi

pidato, penggambaran Indonesia secara positif semakin padat. Bahkan

memberi kesan Indonesia memisahkan diri dengan komunitas Muslim

dunia dan cenderung lebih moderat, sehingga bisa menjadi jembatan

antara dunia Islam dengan Barat. Akan tetapi, retorika yang hadir

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 104: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

90  

Universitas Indonesia

sesungguhnya juga menguatkan posisi Amerika. Artinya relasi yang

dibangun masih menampilkan Amerika sebagai negara dominan alih-alih

memposisikan Indonesia sebagai negara yang sama kuat dengan Amerika.

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 105: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

91  

Universitas Indonesia

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5. 1 Kesimpulan

Berdasarkan proses analisis yang telah dilakukan, serta temuan yang

berhasil didapatkan, diperoleh enam poin kesimpulan. Pertama, audiens sasaran

pidato ini adalah masyarakat Amerika, terutama pemerintah Amerika Serikat. Hal

ini terlihat dari konsistensi penyebutan dalam transkrip pidato. Kedua, formasi

struktur retorika pidato ini tersusun atas tiga bagian. Bagian pertama adalah

pembukaan yang memuat wacana pembukaan, untuk menunjukkan penghormatan

dan menarik afeksi pendengar; wacana historis, untuk meyakinkan audiens

dengan fakta di masa lalu; wacana argumentasi untuk meyakinkan audiens

terhadap peran G-20 dan Indonesia. Bagian kedua merupakan bagian isi yang

lebih dominan memuat wacana solusi untuk mencapai keharmonisan antar

peradaban. Bagian ketiga adalah penutup yang memuat wacana kebersamaan dan

wacana personal untuk menampilkan solidaritas dan kesan optimisme. Bagian

pertama dan bagian ketiga berfungsi membangun afeksi audiens dalam penyajian

dialogis di antara kedua belah pihak.

Ketiga, kesimpulan yang didapat adalah konsistensi representasi positif

Indonesia yang hadir dalam setiap bagian pidato menjadi formula strategis yang

berusaha menanamkan konsep keunggulan Indonesia. Keempat, formasi tersebut

secara umum dibangun oleh pernyataan-pernyataan yang menstimulasi logika

audiens sasaran. Pernyataan-pernyataan yang dituturkan dalam pidato ini

cenderung didominasi oleh pilihan kata yang lugas, netral, dan denotatif.

Pernyataan ini didukung pula dengan urutan retorika yang dibangun, yaitu

menawarkan gagasan terlebih dahulu dan dilanjutkan dengan memberikan alasan-

alasan yang dibangun dari fakta-fakta aktual untuk mengeksplorasi logika

audiens. Formasi dan kehadiran pernyataan-pernyataan demikian mengarahkan

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 106: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

92  

Universitas Indonesia

audiens sasaran untuk fokus pada aksi dan menyetujui gagasan yang diajukan

penutur atau penyusun pidato.

Kelima, pihak penutur secara eksplisit memperlihatkan kesiapan dan

kesamaan pemahaman serta keterbukaannya pada beragam nilai-nilai peradaban

Barat. Salah satu caranya adalah dengan menekankan bahwa pihak penutur

memiliki toleransi beragama yang tinggi dan mendukung berkembangnya sikap

moderat. Dengan demikian pihak penutur memiliki daya tawar yang lebih besar

untuk bekerja sama dengan pihak audiens dalam berbagai hal, terutama dalam

terciptanya perdamaian dunia.

Terakhir, di saat yang bersamaan, penutur atau penyusun pidato

menunjukkan ketidakkonsistenan dalam menunjukkan optimisme. Penggunaan

modal dalam pidato ini menunjukkan hal tersebut. Meskipun begitu, ketidak-

konsistenan ini tidak memancing respons negatif dari audiens. Salah satu

penyebabnya adalah retorika hubungan kedua belah pihak tidak mengakomodasi

adanya pertukaran ide. Retorika yang mewacanakan hubungan dialogis antara

komunitas Muslim dengan Amerika Serikat dalam pidato ini tidak benar-benar

menawarkan terjadinya kerja sama antara kedua belah pihak. Posisi pihak penutur

pada wacana ini kurang kuat sehingga tawaran yang dapat diajukan belum mampu

melebihi kerja sama dengan pihak sendiri.

Dengan demikian, secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa retorika

hubungan Islam dan Amerika tercermin dari formasi yang disusun, strategi

retorika yang diwujudkan melalui aspek kebahasaan, praktik wacana, dan urutan

wacana yang dihadirkan. Dalam aspek representasi wacana-wacana yang hadir

dalam teks pidato ini, Amerika masih memiliki jarak terhadap komunitas Muslim.

Oleh karena itu, pihak penutur menawarkan diri sebagai jembatan antar

peradaban. Retorika hubungan Islam dan Amerika lebih cenderung hanya

mengakomodasi kepentingan pencitraan Indonesia untuk mendapatkan peran dan

posisi penting di tingkat dunia.

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 107: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

93  

Universitas Indonesia

5. 2 Saran

Setelah penelitian analisis wacana kritis terhadap retorika hubungan Islam

dengan Amerika Serikat dalam pidato SBY di Universitas Harvard dilakukan,

beberapa hal dapat dilakukan sebagai tindak lanjut. Salah satunya adalah

penelitian yang menganalisis respons audiens terhadap retorika yang ditawarkan

dalam pidato ini. Selain itu, penelitian yang menganalisis perbedaan-perbedaan

yang terjadi antara teks pidato dengan rekamannya juga dapat dilakukan.

Tentunya analisis suprasegmental seperti intonasi dapat dikaji lebih jauh. Harus

diakui, penelitian ini menitikberatkan pada aspek tekstual, sehingga aspek non-

tekstual tidak tersampaikan dalam penelitian ini.

Sebagai masukan kepada pidato SBY di Universitas Harvard, penting

untuk memberikan posisi seimbang terhadap kedua belah pihak dalam pidato ini,

yaitu komunitas Muslim dunia dan Amerika Serikat. Tentunya hal ini mengingat

Indonesia yang menawarkan diri sebagai jembatan antara keduanya. Selain

adanya sikap kurang seimbang dari pihak penutur, akan jauh lebih baik ketika

penutur atau penyusun pidato dapat meningkatkan kesan optimisme dalam pidato

yang menawarkan sebuah jalan keluar dari merengangnya keharmonisan dunia.

Akan tetapi, secara struktur dan padanan kata pidato ini sudah cukup baik.

Penyisipan gurauan di awal pidato merupakan strategi yang baik untuk

mencairkan suasana. Di samping itu, penekanan terhadap hal-hal yang dapat

dilakukan oleh pihak audiens dalam hal stabilitas keamanan dunia menjadi sisi

positif dari pidato ini untuk mengajak audiens mengikuti langkah-langkah yang

diajukan oleh penutur atau penyusun pidato.

Di samping itu, diharapkan semakin banyak penelitian linguistik terapan,

khusunya di bidang analisis wacana yang menggunakan pendekatan analisis

wacana kritis untuk menganalisis retorika pidato dalam bidang komunikasi

politik. Selain melatih daya kritis, penelitian semacam ini juga berguna bagi

pihak-pihak yang memiliki konsentrasi dalam bidang diplomasi, pertahanan

negara, maupun komunikasi publik.

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 108: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

  

Universitas Indonesia

Daftar Pustaka

Baker, P. & Ellece, S. (2011). Key Terms in Discourse Analysis. London:

Continuum International Publishing Group.

Chomsky, N. (2003). Hegemony or Survival: America’s quest for global

dominance. New York: Metropolitan Books.

Clark, R. & Ivanic, R. (1997). The Politics of Writing. New York: Routledge.

Dainty, A., Moore, D., & Murray, M. (2006). Communication in Construction:

Theory and practice. New York: Taylor & Francis.

Eriyanto. (2001). Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media.Yogyakarta:

PT Lkis Pelangi Aksara.

Fairclough, N. (1989). Language and Power. London: Longman.

. (1995). Critical Discourse Analysis: The Critical Study of

Language. London: Longman.

Gee, J. P. (2005). An Introduction to Discourse Analysis: Theory and method. (2nd

ed.). New York: Routledge.

Greene, R. (2010). Words that Shook the World: Addendum, the first decade of

the 21st century. Jakarta: Red & White.

Halliday, M. (1994). An introduction to Functional Grammar 2nd Ed. London:

Edward and Arnold.

Herrick, J. A. (2001). The History and Theory of Rhetoric. Massachussets: Allyn

and Bacon.

Holmes, J. (2001). An Introduction to Sociolinguistics. Edinburgh: Pearson

Education Limited.

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 109: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

 

Universitas Indonesia  

Huntington, S. P. (1991). The Third Wave: Democratization in the late twentieth

century. Oklahoma: University of Oklahoma Press.

. (1996). The Clash of Civilization and the Remaking of World

Order. New York: Simon & Schuster.

Jakobson, R. (1985). VerbalArt, Verbal Sign, Verbal Time. Pomorska, K. & Rudy,

S. (eds). Minneapolis: University of Minnesota Press.

Johnstone, B. (2002). Discourse Analysis. Massachucetts: Blackwell Publishers

Inc.

Mann, W. C. & Thompson, S. A. (1987). Rhetorical Structure Theory: A theory of

text organization. Dicetak ulang dari The Structure of Discourse. Marina

del Rey: Information Sciences Institute.

Mutiara, F. (2010). Analisis Wacana Kritis Terhadap Retorika Hubungan

Amerika dan Indonesia dalam Pidato Obama di Kairo, Mesir. Skripsi.

Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya.

Philips, L. & Jorgensen, M. W. (2002). Discouse Analysis as Theory and Method

(1st Edition ed.). London: Sage Publication Ltd.

Simpson, P. & Mayr, A. (2010). Language and Power. New York: Routledge.

Syahriyani, A. (2011). Retorika Hubungan Amerika Serikat dan Indonesia dalam

Pidato Obama di UI: Sebuah tinjauan analisis wacana kritis. Skripsi.

Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya.

Yuwono, U. (2005). Wacana. Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami

Linguistik. (pp.91-103). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Zaimar O. K. S. & Harahap A. B. (2009). Telaah Wacana: Teori dan

penerapannya. Depok: Komodo Books.

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 110: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

Universitas Indonesia

DAFTAR LAMPIRAN

1. Transkripsi Pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Universitas Harvard

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 111: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

 

                                   Universitas Indonesia  

Speech

Boston, 30-9-2009

"Towards Harmony Among Civilizations," Speech by SBY At The John F. Kennedy School Of Government, Harvard University

“TOWARDS HARMONY AMONG CIVILIZATIONS” SPEECH BY DR. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO PRESIDENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA AT THE JOHN F. KENNEDY SCHOOL OF GOVERNMENT HARVARD UNIVERSITY BOSTON, 29 September 2009 1<i>Bismillahirrahmanirrahim</i> Professor David Ellwood, Dean of the John F. Kennedy School of Government, Professor John Thomas, Faculty members, Students, Dear friends, 2. I am honored to be here today, to address the distinguished faculty and students of Harvard University. I am impressed with the turn-out this evening, and, for the students, I hope you are NOT here today as an excuse to skip class. (laughter) 3. I must admit, I have wanted to visit Harvard for a long time. Several of my Ministers, successful businessmen and military generals were fortunate to study here. Don’t take this the wrong way : but I find it interesting that I did not end-up working for people who went to Harvard; it’s actually people who went to Harvard who ended-up working for me ! (applause & laughter) 4. I am proud that my son, Captain Agus, was able to join this prestigious Harvard program - I think he is somewhere in this room. So now other than being a loyal soldier in the Indonesian army, he is also another Harvard student working for me ! (laughter) 5. Several months ago, President Barack Obama made a historic speech in Cairo, seeking to redefine relations between America and the Muslim world. As President of the country with the world''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''s largest Muslim population, I would like today to respond to that speech. 6. President Obama delivered his speech at Al Azhar University, one of the oldest and best Universities in the Islamic world. I speak today at Harvard, the oldest and most prestigious University in America. (And please do not tell people in Princeton and Yale I said this..) (applause & laughter) But our objective is the same: to take a hard look at relations between the West and the Islamic worlds, and to chart a new course forward. 7. It is fitting that I come here after the G-20 Summit in Pittsburgh. 8. For to me, the G-20 is one manifestation of the change taking place in global politics. The G-20 grouping, comprising some 85 per cent of the world''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''s GNP and 80 per cent of world trade, is not just an economic powerhouse -- it is also a civilizational powerhouse. 9. The G-20 for the first time accommodates all the major civilizations -- not just Western countries, but also China, South Korea, India, South Africa, and others, including significantly, three countries with large Muslim populations: Saudi Arabia, Turkey, and Indonesia. The G-7, the G-8, or even the

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 112: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

 

                                   Universitas Indonesia  

United Nations Security Council, does not boast this distinction. The G-20 is representative of a multi-civilizational global community. 10. Perhaps this is why the G-20 has been successful in arresting a global meltdown. The swift and coordinated actions of G-20 economies have started the stabilization of our financial systems and restored confidence, prompting today''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''s early signs of modest economic recovery. 11. We are very pleased that at the close of Pittsburgh, the G-20 has been institutionalized, and looks set to be the premier forum for international economic cooperation. This comes not a moment too soon, for the world''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''s civilizations should be properly represented in one defining forum. Civilizations. They at once define us, and divide us. 12. Is harmony between our civilizations truly elusive, so out of reach? can we just not get along? Sixteen years ago, the late Samuel Huntington, a son of this university, published an essay proposing that after the Cold War, civilizations, religions and cultures would become the defining feature of international relations and would constitute the primary cause of conflicts between and within nations. 13. To me, the term “clash of civilizations” itself is counter-productive. If they hear it often enough, some people may think that the world is such and accept it as reality. I don''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''t believe that civilizations are inherently incompatible and prone to conflict when they interact. This is what I saw firsthand at the G20, where nations of diverse cultural backgrounds joined hands to address a common challenge. We spoke different languages through our headphones, but we understood one another. 14. Huntington sought to understand post-Cold-War fault lines and warned us of potential turbulence. This is not a trivial reminder. Civilizational issues are rife in modern politics. As policy-makers, our job is to prevent such prognosis from becoming reality. 15. Indeed, Huntington’s warning has been relevant to Indonesia’s experience. In the roller coaster years following independence, Indonesia has suffered separatist threats, ethnic and religious conflicts, and Islamic insurgencies. 16 But we overcame these challenges. We adapted. And instead of failing, we have thrived. Today we are not a hotbed of communal violence; we are by and large an archipelago of peace. Today we are not at the brink of ''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''Balkanization''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''; we have instead fortified our national identity through three successful, peaceful national elections. 17. Today we are not a victim of past authoritarian, centralized governments, but a model of democracy and decentralization. 18. Today we are not paralyzed by financial crisis but forging ahead with sweeping reforms of our financial and industrial structure. And Indonesia today is a dynamic emerging economy, enjoying one of the highest growth rates in Asia after China and India. 19. Thus, no matter how deep and seemingly divisive the civilizational forces facing Indonesia -- the ethnic differences and religious conflicts -- we overcame them. This is despite the enormous challenges of democracy and development that still confront us. 20. Please do not misunderstand me. I am aware of the painful realities of our world. I am aware of the 4000 years of painful relations between Judaism, Islam and Christianity. 21. I am aware of a traumatic collective memory that is not easy to erase. 22. When dealing with matters of faith, we face basic human emotions that predated modern states. These emotions are complicated, stubborn, and will likely become more problematic as religiosity intensifies worldwide. According to some estimate, Islam will be the world''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''s largest religion by 2025, accounting for some 30 % of the world population, and indeed Islam is currently the fastest growing religion in the United States.

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 113: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

 

                                   Universitas Indonesia  

23. As religiosity increases, so will the politics of identity. And aided by globalization and technology, extremism and radicalism can only grow. As we transition from G8 to G20 and perhaps beyond, mutual exposure between civilizations will become the most intense humanity has ever seen. Perhaps we will even see the emergence of a "global civilization". 24. And democracy has gained immense ground, spreading in the Islamic world, including in Indonesia. There were only a handful of democracies at the turn of the 20th century. At the turn of the 21st century, there are some 89 full democracies. Even the Organization of Islamic Conference has adopted the historic Mecca Charter committing its members to the principles of democracy, human rights and governance. Indeed, more people now live under open pluralist societies, and under religious freedom, than at any other time in history. This trend can have only a positive impact on the global community. 25. It may be naive to expect that the world can be rid of conflict and hatred. But I believe that we can fundamentally change and evolve the way civilizations, religions and cultures interact. 26. This is NOT utopia. It is a pragmatic vision. I have seen it work in Indonesia. I have seen it work in many countries. The question is : can we make it work globally? As Robert F. Kennedy once said, quoting George Bernard Shaw, ‘I dream of things that never were, and ask, why not?” To highlight how I think this can possibly be achieved, let me outline 9 (nine) imperatives to achieve harmony among civilizations. 27. If you ask me “why 9 ?”, well, it is a bit personal, because 9 is always my lucky number. Let me now outline these imperatives. 28. The first imperative is to make the 21st century the century of soft power. Remember : The 20th century was the century of hard power. We saw two World Wars, several major wars and proxy wars, and a long Cold War which risked nuclear holocaust. One estimate suggests that some 180 million people died in the wars and conflicts of the last century. It is no wonder that the 20th century has been called the “age of conflict”. It has been the bloodiest Century in memory. 29. In contrast, the 21st century should and must be the century of soft power. 30. But there exists a large of “soft power deficit” that the world''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''s civilizations must fill. I believe that this ''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''clash of civilizations'''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''' is actually a clash of ignorance. We are weakest when we are alone. We are strongest when we join forces with one another. There are many examples of this power of exchange and connectivity. 31. In the 13th century, the Islamic civilization was the most sophisticated in the world because it had an enormous and indiscriminate thirst for knowledge and science, learning from all corners of the world. And this body of scientific knowledge from the Muslim world was later utilized by the Western Renaissance. Civilizations have built on each other''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''s knowledge and become enriched by them. 32. We have done the same in Indonesia, where we have built on our exposure to Eastern, Islamic, and Western influences, culminating in the open, pluralistic and tolerant society that we are today. 33. In short : the cross-fertilization of cultures can produce something wonderful, something good. 34. The more we exchange cultures and share ideas, the more we learn from one another, the more we cooperate and spread goodwill, the more we project soft power and place it right at the heart of international relations, the closer we are to world peace. 35. Experience has taught me that soft power is an effective weapon against conflict. Just ask the people of Aceh, Indonesia. 36. For 30 years, Aceh was rife with violence. Successive Indonesian governments opted for a rigid military solution, because a settlement seemed so elusive. When I assumed the Presidency, I pursued a new approach, one defined by goodwill and trust-building. I offered the separatists a win-win formula, promising them peace with dignity. Remarkably, we reached a permanent peace settlement in just 5 short rounds of negotiations. The peace agreement was fully in line with my

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 114: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

 

                                   Universitas Indonesia  

objective to defend our sovereignty and territorial integrity but in a civilized and democratic way. That was when my faith in soft power multiplied, and why I believe it holds the key to resolving many global problems. 37. The second imperative is to intensify the process of dialogue and outreach that now seems to be proliferating. We have seen many good initiatives. In 2001, the United Nations began the Dialogue among Civilizations. Spain and Turkey later launched the Alliance of Civilizations. The Asia Europe Meeting (ASEM) also took-up Inter-faith Dialogue. Recently, Saudi Arabia convened the Interfaith Conference at the UN. Indonesia and Norway also launched, since 2006, the Global Inter-Media Dialogue in the aftermath of the cartoon crisis. All this represents a fresh approach to link civilizations and religions. 38. We must deepen the quality of these dialogues, so that they produce specific actions that, as UN Secretary-General Ban Ki-moon points out, (and I quote) "change what people see, what they say and ultimately how they act” (end of quote). 39. These initiatives should not always be a meeting of like-minded moderates, although surely this is also important. They should also include disbelievers, for a dialogue should not be a reaffirmation, but an honest attempt to understand the concerns of the other side. The point is to listen, and not just talk. 40. A true dialogue must address age-old grievances and confront false stereotypes, without presumptions and preconditions. Indeed, the best dialogues are often respectful and honest, open-ended and constructive, intense, and solution-oriented. These were the quality of dialogues held in Indonesia between Muslims and Christians in conflict-zones in Poso and Maluku, which culminated in a commitment to peaceful reconciliation. The third imperative is the need to find a solution to burning political conflicts that have driven a wide wedge, specifically between the western and Muslim worlds. 41. Today, some two out of three Muslim countries are in conflict or face a significant threat of conflict. In contrast, only one out of four non-Muslim countries face similar challenges. But despite these very complex conflict situations, Muslims must be able to differentiate between a conflict involving Muslims, and a “war against Islam”. I do not believe that any of the civilizations – Western, Hindu, Sinic, Buddhist, Japanese - are systematically and simplistically engaged in a “war against Islam”. 42. Of all the world''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''s conflicts, none has captured the passion of Muslims more than the plight of the Palestinians. But this is not a religious issue – there are Christians and Jews in Palestine, and Muslims and Christians in Israel. Nonetheless, the establishment of the much-awaited Palestinian state, in the framework of a two-state solution where Palestine and Israel live side by side in peace, would be widely hailed by Muslims worldwide. It would remove a major mental barrier in their perception of the West, especially of the United States. Currently, many Muslims fail to notice the constructive role of the West in producing peace in Bosnia, and in Kosovo, but they would sure notice, and rejoice in, the resolution of the Palestine dilemma. 43. But the Palestinians too have a moral and political responsibility. It is difficult to attain and sustain statehood unless there is unity among the Palestinian factions. In my meeting with Palestinian leaders, I always told them very clearly that Indonesian freedom fighters would have never won the war for independence, if they had not united in spirit. 44. The bottom line is : we desperately need to end the vicious cycle of conflict and violence. 45. The timely withdrawal of Western forces from Iraq and Afghanistan would also alleviate Muslim fears of a Western hegemony. And all these political solutions would help reduce terrorism, as a crime that deviates from the true teaching of Islam as a religion of peace. It would also turn the feelings of fear and humiliation among some Muslims into hope and self-esteem. 46. The fourth imperative is to strengthen the voice of moderation in our communities. 47. By nature, moderates are open-minded, flexible and prone to an inclusive approach through

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 115: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

 

                                   Universitas Indonesia  

outreach and partnership. In contrast, extremists are driven by xenophobic fear, and bent on confrontation and exclusion. Because both moderation and extremism will grow in the 21st century, we must make sure the moderates are empowered, and take center stage in society. The moderates should no longer be a silent majority. They must speak up and defend their mainstream values in the face of opposition from the louder and more media-genic extremists. In this vein, I find it very encouraging that Western media have unanimously refused to show the very offensive film Fitna by provocative Dutch politician Geert Wilders. This shows the media''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''s improved sensitivity towards Islam. 48. The moderates also have to be more proactive and less reactive. And they must show, with reason and results, that being a moderate brings real success, peace and progress. Extremists will always capitalize on hopelessness and desperation. We must present a better alternative. The fifth imperative is multiculturalism and tolerance. The most welcome trend in the 21st century is multiculturalism and tolerance. You can not say this of America and many Western nations several decades ago. But today, racism is in serious decline, apartheid is gone, inter-racial marriages are common, and the market place picks talents without regard for color, religion or ethnicity. Even the family portrait of President Barack Obama reflects this healthy multiculturalism, with his Kenyan and Indonesian roots. 49. We must all work together to ensure that multiculturalism and tolerance become a truly global norm. And when we speak tolerance, it should be more than just to “tolerate” others. Tolerance implies a deeper meaning. Tolerance means a full respect for others, sincerely accepting their differences, and thriving on our mutual diversity. Only this type of tolerance can heal deeply seated hatred and resentment. The sixth imperative is to make globalization work for all. 50. I do not accept the precept that, as a rule, globalization produces winners and losers. Like peace, like development, globalization can be harnessed to make winners for all. Let us be clear on this. There can be no genuine harmony among civilizations as long as the majority of the world’s 1,3 billion Muslims feel left out, marginalized and insecure about their place in the world. They are part of the 2.7 billion people worldwide who live under two dollars a day. 51. These are the sad, hard facts. Out of 57 Muslim populated countries, 25 are classified as low-income countries, 18 lower middle-income, and 14 as upper middle income or high income. And even though 1 out of every 4 people in the world are Muslims, their economies constitute one tenth of the world economy. One in four people in Muslim countries live in extreme poverty. Almost 300 million Muslims aged 15 and above are illiterate. These statistics are, of course, unacceptable. 52. Muslims must take ownership in their destiny. Many Muslims reminisce too much about the glory days of centuries past, when Islam was on top of the world: politically, militarily, scientifically, economically. Muslims today must be convinced that Islam’s best years are ahead of us, not behind us. 53. The 21st Century CAN be the era of the second Islamic renaissance. A confident, empowered and resurgent Muslim world can partner with the West and other civilizations in building sustainable peace and prosperity. But to do this, Muslims must change their mind-set. Like the remarkable 13th century Muslims before them, they must be open-minded, innovative, and take risks. There are inspirational Muslims everywhere: Nobel laureate Muhammad Yunus, Orhan Pamuk, Muhammad Ali, Zidane, Hakeem Olajuwon, Fareed Zakaria and rapper: Akon. Countries like United Arab Emirates and Qatar have shown that with good governance, self esteem and a progressive worldview, they can change their nation’s fortune in one generation. And Indonesia has shown that Islam, modernity and democracy – plus economic growth and national unity - can be a powerful partnership. 54. In short, the world’s citizens, and children of all civilizations, must be equal partners and benefactors of globalization. 55. A recent survey in The Economist found that, for the first time, more than half of the world population can be loosely considered middle-class. If this is true, then we have a reasonable chance to reach “zero poverty” worldwide by the end of this century. With the emerging economic order that is now unfolding, getting from here to there would require intense inter-cultural and inter-

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 116: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

 

                                   Universitas Indonesia  

religious harmony. This should be the shared goal of all our nations. 56. The seventh imperative is to reform global governance. 57. Earlier, I talked about how the G20 Summit is more representative of today''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''s global dynamics. Unfortunately, this is the exception rather than the rule. 58. For example, the UN Security Council today still reflects the power balance of 1945 rather than 2009, with exclusive veto powers reserved for four Western nations and China. It is unfortunate that recent efforts to reform the UN Security Council have not been successful. This situation is unsustainable. The UN Security Council will need to be restructured to keep up with 21st century geopolitical realities. 59. Imperative number eight is education. 60. Politicians often overlook educational opportunities in both our homes and our classrooms. But the answers to the world''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''s problems are there, for it is also there that hatred and prejudice breeds. These are the real battlegrounds for the hearts and minds of future generations. 61. It is at these places that we must turn ignorance into compassion, and intolerance into respect. The foot soldiers here are parents, teachers and community leaders. We must inculcate in our school curriculum the culture of moderation, tolerance, and peace. We must help our children and our students develop a sense of common humanity which allows them to see a world of amity, not a world of enmity. 62. In Indonesia, elementary students are taught about respecting religious traditions. Exam questions ask Muslim students what they should do if their Christian neighbors invite them to celebrate Christmas. We are probably the only country in the world where each religious holidays – Islamic, Catholic, Protestant, Hindu, Buddhist - are designated as national holidays, even though Hindus and Buddhists account only 2.4 per cent of our population. Through education, we have sought to ensure that tolerance and respect for religious freedom becomes part of our trans-generational DNA. 63. Finally, the ninth imperative : global conscience. 64. It is not easy to describe this, but this is what I saw in Aceh during the tsunami tragedy. On 26 December 2004, giant tsunami waves crashed Aceh and Nias, and 200,000 people perished in half an hour. The whole nation was in grief. 65. But in this tragedy, we also found humanity. The whole world wept, and offered helping hands. Americans, Australians, Singaporeans, Chinese, Mexicans, Indians, Turks and other international volunteers worked hand in hand to help the Acehnese. I realized then … there exists a “powerful global conscience”. 66 One would think, that the enormous pain of World War 2 would usher in a new dawn of world peace. That is why the United Nations was formed. But the human race ended up with many more wars. 67 One would think the threat of the nuclear holocaust was enough to trigger nuclear disarmament, but the world saw more countries developing nuclear weapons. The question now is whether climate change would be able to foster a new global conscience. We are still not sure that it will. 68. But a “global conscience” could well help transcend whatever civilization, religious and cultural divides that has faced humanity. 69. So these are my NINE imperatives for harmony among civilizations that I offer to you today. 70. They will require a great deal of hard work. It will take the work of generations and decades. And it will require patience, perseverance, partnership and lots of thinking outside the box.

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Page 117: UNIVERSITAS INDONESIA Analisis wacana kritis terhadap

 

                                   Universitas Indonesia  

71. Eighteen years after the end of the Cold War ended, ten years into the 21st Century, we find ourselves at a crucial crossroads. In front of us may be the most progressive century mankind has ever known, a century where, as Fareed Zakaria says, more things will change in the next 10 years than in the past 100 years. 72. It can be the century of possibility and opportunity. 73 President Barack Obama spoke in Cairo of a “new beginning” between America and the Muslim world. Today, I say that we can “REINVENT A NEW WORLD”. 74 It will be a world not of conquest, but of connectivity. It will be a world defined not by a clash of civilizations, but by the confluence of civilizations. It will be a world marked by plenty, not by poverty. And it will be a vast empire of global minds breaking down centuries of civilizational collisions and hostilities. 75 America, with all the economic, social and technological resources at her disposal, has much to contribute to this new world. America’s role in helping to reform the international system, spread prosperity, empower the world’s poor, resolve conflicts, and share knowledge is a critical asset to a transforming world. Now is a golden opportunity for America to inundate the world with her soft power, not hard power. America should not worry about retaining its superpower status. America can help make the world anew -- what could be more powerful and definitive than that? 76 Indonesia too has a significant role to play. We can bridge between the Islamic and the western worlds. We can project the virtue of moderate Islam throughout the Muslim world. We can be the bastion of freedom, tolerance and harmony. We can be a powerful example that Islam, democracy and modernity can go hand in hand. And we will continue to advance Indonesia’s transformation through democracy, development and harmony. 77 This is why Indonesia and America are now evolving a strategic partnership. The world’s second and the third largest democracies. The most powerful Western country and the country with the largest Muslim population. Calibrated for the challenges of the 21st century, this partnership can strengthen regional stability, inter-civilizational unity and world peace. 78. In the final analysis, vast oceans separate our countries but our common search unites. We are both trying to redefine our place in the world. President Obama insists the 21st century can still be the American Century. I am convinced that this could well be Asia''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''s Century. 79 Then I thought, why can''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''t it be everybody''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''s century? It can be the American Century. It can be the Asian Century. It can be the European Century. It can be the African Century. And it can be the Islamic Century. 80 This can be an amazing century where hope prevails over fear, where brotherhood of man reigns supreme, where human progress conquers ignorance. 81 It can be a Century that not only brings us into a new millennium, but also elevates the bonds of humanity to greater heights. 82 In this Century, no one loses. And everybody wins. <i>Insya Allah!</i> I thank you. (applause)

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012