typus mance

36
Diskusi kasus TYPHUS ABDOMINALIS oleh : Maya Diyaswari G9911112094 KEPANITERAAN KLINIK UPF / LABORATORIUM FARMASI FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA 0

Upload: dayoe-thegunners

Post on 24-Sep-2015

39 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

gdvfjsdvfjdvshfjdsvfjvdshjfdsjfvhjdsfjdsbjfbvs

TRANSCRIPT

Referat

Diskusi kasusTYPHUS ABDOMINALIS

oleh :

Maya Diyaswari G9911112094

KEPANITERAAN KLINIK UPF / LABORATORIUM FARMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI

SURAKARTA

2012BAB I

PENDAHULUAN

Typhus abdominalis terdapat diseluruh dunia dan penyebarannya tidak bergantung pada keadaan iklim, tetapi banyak dijumpai di negara-negara sedang berkembang di daerah tropis. Hal ini disebabkan karena penyediaan air bersih, sanitasi lingkungan dan kebersihan individu kurang baik. Di Indonesia dapat ditemukan sepanjang tahun. Insidennya tertinggi didapatkan pada anak-anak terutama di daerah endemic.

Typhus abdominalis adalah suatu penyakit infeksi akut usus halus oleh Salmonella typhi. Typhus abdominalis atau demam tifoid merupakan suatu penyakit endemic di Indonesia. Kelompok penyakit ini mudah menular dan dapat menyerang banyak orang sehingga menimbulkan wabah. Ada 2 sumber penularan yaitu pasien dengan tifoid dan carrier. Untuk daerah endemic tranmisi melalui air yang tercemar. Sedangkan untuk daerah non endemik, penularan paling sering melalui makanan yang tercemar oleh carrier.

Penatalaksanaan typhus abdominalis meliputi non medikamentosa dan medikamentosa. Namun alangkah baiknya, jika dilakukan pencegahan dan pengendalian diantaranya dengan perbaikan sanitasi lingkungan termasuk pembuangan air limbah dan pemasokan air, sehingga akan menurunkan insiden dengan tajam.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Typhus abdominalis adalah suatu penyakit sistemik akut yang disebabkan oleh infeksi kuman Salmonella typhi9. Sedangkan menurut Gerald T. Keush typhus abdominalis adalah suatu infeksi demam sistemik akut yang nyata pada fagosit mononuclear dan membutuhakan tatanama yang terpisah6.

B. EPIDEMIOLOGI

Typhus abdominalis termasuk penyakit menular yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 6 tahun 1962 tentang wabah. Walaupun tercantum dalam undang-undang wabah dan wajib dilaporkan, namun data yang lengkap belum ada, sehingga gambaran epidemiologinya belum diketahui secara pasti. Di Indonesia, jarang dijumpai secara epidemic, tapi lebih sering bersifat sporadic, terpencar-pencar di suatu daerah dan jarang menimbulkan lebih dari satu kasus pada orang-orang serumah. Sumber penularan biasanya tidak dapat ditemukan. Ada 2 sumber penularan Salmonella typhi yaitu pasien dengan tifoid dan carrier.

Di daerah endemic, tranmisi terjadi melalui air yang tercemar dan makanan yang tercemar oleh carrier yang merupakan sumber penularn yang paling sering di daerah non endemik 5.

C. ETIOLOGI

Salmonella adalah basil gram negative, tidak berkapsul, hampir selalu motil dengan menggunakan flagella peritrikosa, yang menimbulkan dua atau lebih bentuk antigen H. Kuman ini meragikan glukosa, sehingga terbentuk dasar asam dan cekungan basa pada agar beri gula tripel ( TSI ). Umumnya menghasilkan H2S yang dapat terdeteksi sebagai produk reaksi hitam dan berfungsi awal untuk membedakan isolate dari Shigella, yang juga menimbulkan reaksi TSI basa / asam. Salmonella typhi penyebab utama demam tifoid atau typhus abdominalis. Beberapa salmonella sangat mudah beradaptasi pada manusia seperti S.typhi, S. paratyphi A, S. paratyphi B. sementara sebagian besar spesies beradaptasi pada hewan dan tidak menyebabkan kesakitan pada manusia. Yang lain menginfeksi baik manusia dan hewan tingkat rendah, sehingga menyebabkan gastroenteritis atau yang lebih jarang infeksi terlokalisir, atau septikemik6. D. PATOFISIOLOGI

Kuman S. typhi masuk tubuh manusia melalui mulut dengan makanan dan air tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan asam lambung. Sebagian lagi masuk ke usus halus dan mencapai jaringan limfoid plaque Payeri di ileum terminalis yang hipertropi. Di tempat ini komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal dapat terjadi. Kuman S.typhi kemudian menembus lamina propia masuk aliran limfe mesenterial, dan mencapai kelenjar limfe mesenterial, yang juga mengalami hipertropi. Setelah melewati kelenjar-kelenjar limfe ini, S.typhi masuk aliran darah melalui ductus thoracicus. Kuman-kuman S.typhi lain mencapai hati melalui sirkulasi portal dari usus. S.typhi bersarang di plaque Payeri, limpa, hati dan bagian-bagian lain system retikuloendotelial. Semua disangka demam dan gejala-gejala toksemia pada demam tifoid disebabkan endotoksemia. Tapi kemudian berdasar penelitian eksperimental disimpulkan bahwa endotoksemia bukan merupakan penyebab utama demam dan gejala-gejala toksemia pada typhus abdominalis. Endotoksin S.typhi berperan pada patogenesis, karena membantu terjadinya proses inflamasi local pada jaringan tempat S.typhi berkembang biak. Demam pada tifoid disebabkan karena S.typhi dan endotoksinya merangsang sintesis dan penglepasan zat pirogen olek leucosis pada jaringan yang meradang5.

E. MANIFESTASI KLINIS

Masa tunas berlangsung 10 14 hari. Gejala-gejala yang timbul amat bervariasi. Selain itu, gambaran penyakit bervariasi dari penyakit ringan yang tidak terdiagnosis sampai gambaran penyakit yang khas dengan komplikasi dan kematian.

Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya, yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, epistaksis. Pada pemeriksaan fisik didapatkan suhu badan meningkat.

Dalam minggu kedua, gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardia relative, lidah khas ( kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta tremor ), hepatomegali, splenomegali, meteorismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis, roseolae jarang ditemukan pada orang Indonesia5.

F. DIAGNOSIS

Biakan darah positif memastikan typhus abdominalis, tapi biakan darah negative tidak menyingkirkan typhus abdominalis. Biakan feces positif menyokong diagnosis klinis typhus abdominalis5. Biakan feces ini, 75% positif pada minggu ketiga.

Diagnosis serologis kurang dapat diandalkan dibandingkan biakan. Sebagian besar pasien dapat mempunyai antibody terhadap antigen O, H, dan Vi ( tes widal ). Jika tidak mendapatkan imunisasi yang baru, titer antibody terhadap antigen O ( > 1/ 640 ) adalah sugestif, tapi tidak spesifik selama salmonella serogrup. Peninggian antibody empat kali lipat pada sediaan berpasangan adalah criteria yang baik, untuk memastikan diagnosis typhus abdominalis selama 2 sampai 3 minggu5,6. Jadi pemeriksaan widal dinyatakan positif apabila :

Titer O widal I 1/ 320 atau

Titer O widal II naik 4 kali atau lebih dibandingkan titer O widal I atau

Titer O widal I ( - ) tapi titer O widal II ( + ) berapapun angkanya

Sedangkan pemeriksaan penunjang lainnya :

Darah perifer lengkap : leucopenia, limfositosis, aneosinofilia

Biakan empedu : tumbuh koloni Salmonella typhi9G. DIAGNOSIS BANDING

Infeksi virus

Malaria3,9

H. TERAPI

1. Bed rest total, sampai 7 hari bebas panas3. Maksudnya untuk mencegah terjadinya komplikasi yakni perdarahan usus atau perforasi usus. Mobilisasi pasien dilakukan secara bertahap, sesuai dengan kekuatan pasien 5.

2. Diet saring TKTP rendah serat, lunak sampai 7 hari bebas panas lalu ganti bubur kasar , dan setelah 7 hari ganti dengan nasi3. Pemberian bubur saring bertujuan untuk menghindari komplikasi perdarahan usus / perforasi usus, karena ada pendapat bahwa usus perlu diistirahatkan5.

3. Medikamentosa

a. Chloramphenicol

Masih merupakan obat pilihan utama di Indonesia, dosis untuk orang dewasa adalah 4 x 500mg sehari oral atau intravena, sampai 7 hari bebas demam5.

b. Tiamfenikol ( Urfamycin )

Dosis dan efektivitas sama dengan chloramphenicol5.

c. Cotrimoxazol ( Trimetroprim dan Sulfametoksazol )

Dosis untuk orang dewasa adalah 2 x 480 mg sehari, digunakan sampai 7 hari bebas demam5.

d. Amoxicillin

Dosis yang dianjurkan berkisar 75 150 mg / kgBB sehari, digunakan sampai 7 hari bebas demam5.

e. Cephalosporin generasi ketiga

Antara lain : cefoperazon, cefriaxon, dan cefotaxim efektif, tapi dosis dan cara pemberiannya belum diketahui secara pasti5.

I. PROGNOSIS

Terapi yang cocok, terutama jika pasien perlu dirawat secara medis pada stadium dini, sangat berhasil. Angka kematian dibawah 1%, dan hanya sedikit penyulit yang terjadi6.

BAB III

ILUSTRASI KASUS

A. IDENTITAS PENDERITA

Nama

: Tn WUmur

: 23 tahun

Jenis Kelamin: Laki-laki

Pekerjaan

: Mahasiswa

Alamat

: jebres, Surakarta

Agama

: Islam

No CM

: 699567Tanggal pemeriksaan: 17 Oktober 2012

B. ANAMNESIS

1. Keluhan Utama : Badan panas

2. Riwayat Penyakit Sekarang :

Sejak kurang lebih 7 hari SMRS, badan penderita panas. Panas diarasakan naik turun, dan naik terutama pada malam hari, sampai menggigil. Penderita meminum obat penurun panas (panadol) dan panasnya sempat turun tapi naik lagi setelah beberapa jam minum obat. Kepala penderita juga pusing terutama saat badan panas. Penderita mengeluhkan perutnya mual, tapi muntah tidak didapatkan, nafsu makan berkurang dan badan terasa lemah. Sudah 6 hari ini penderita tidak BAB. BAK tidak ada keluhan.

3. Riwayat Penyakit Dahulu :

Riwayat mondok karena penyakit serupa ( - )

Riwayat asma ( - )

Rawayat alergi obat, makanan, udara dingin (- )

4. Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat penyakit serupa ( - )

Riwayat asma ( - )

C. PEMERIKSAAN FISIK

1. Keadaan Umum : sakit sedang, compos mentis, gizi kesan cukup

2. Tanda Vital : T : 110 / 70 mmHgRr : 24 x / mnt

N : 88 x / mntS : 38,80 C

3. Mata

: CA ( -/- ), SI ( -/- )

4. Telinga : pendengaran baik, NT tragus ( -/- ), secret ( -/- )

5. Hidung : NCH ( -/- ), secret ( -/- ), epistaksis ( -/- )

6. Mulut : bibir kering ( - ), mucosa pucat ( -), lidah kotor ( + ), tepi lidah hiperemi ( + ), tremor ( + )

7. Tenggorokan : tonsil hiperemi ( -/- ), faring hiperemi ( -/- )

8. Leher

: JVP tidak menigkat

9. Thorax

Cor

: I : Ictus cordis tidak tampak

P: Ictus cordis tidak kuat angkat

P: Batas jantung kesan tidak melebar

A: Bunyi jantung I-II intensitas normal, regular, bising (-) Pulmo

: I : Pengembangan dada kanan = kiri

P : Fremitus raba kanan = kiri

P : Sonor / sonor

A : Suara dasar vesikuler ( +/+ ), suara tambahan ( -/- )

10. Abdomen: I : Dinding perut sejajar dinding dada

P : Supel, nyeri tekan ( - ), hepar dan lien tak teraba

P : Tymphani

A : Peristaltik ( + )

11. Ekstremitas: Oedem

Akral dingin

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG :

Darah Rutin

Hb: 12,1 g/dl

Gol darah: B

Hct: 42 %

Ur

: 20

AL: 4.000 / L

Cr

: 0,5

AT: 150.000 / L

Widal Test

Titer O

Titer H

S. typhi

1 / 320

1 / 400

S. paratyphi1 / 160

1 / 160

E. DIAGNOSIS

Typhus Abdominalis

F. PENATALAKSANAAN

1. Non Medikamentosa

Bed rest total sampai 7 hari bebas panas

(mobilsasi bertahap dari duduk sampai pulih kekuatan)

Diet TKTP lunak, rendah serat sampai 7 hari bebas panasKemudian diganti bubur kasar setelah 7 hari diganti nasi

2. Medikamentosa

Infus NaCl 0,9% Chloramphenicol 4 x 500mg

Penulisan Resep

Dr. Rika DiyaswariAlamat : Jl. Kabut SurakartaTelp : 916789SIP : 09076R / Infus NaCl 0,9% flab No II

Cum infuse set

No I

Abocath no 20

No I

Three way

No I

Simm

R / Chloramphenicol tab mg 500

No XXX

S 4 dd tab I

Pro : Nn. W ( 22 th )

BAB IV

PEMBAHASAN

A. Tindakan Umum

Tujuan pengobatan adalah untuk membasmi infeksi, mengurangi morbiditas dan mencegah komplikasi 2.

Untuk membasmi infeksi dan mencegah komplikasi, maka pemberian antibiotika yang tepat adalah hal yang terpenting dan menjadi inti farmakoterapi terhadap Typhus abdominalis. Antibiotik diberikan secara empiris bila bukti-bukti klinis menyokong diagnosa typhus abdominalis 2.

Untuk mengurangi morbiditas, pemberian glukokortikoid (Dexamethasone) dapat diberikan pada pasien yang mengalami demam toksemik yang berat 1,3. Pemberian harus dengan indikasi dan dosis yang tepat karena dapat menyebabkan perdarahan dan perforasi usus 3. Pemberian asam salisilat dan antipiretik lain tidak dianjurkan kaena dapat menyebabkan perdarahan dan perforasi usus 4 disamping memang tidak banyak berguna 3. Untuk mengurangi demam dapat dilakukan kompresw dengan air hangat3 .

B. Terapi Antibiotik

Terapi antibiotik merupakan inti dari farmakoterapi dan harus dimulai jika bukti klinis mendukung gambaran typhus abdominalis 2.

Sejak tahun 1960, telah muncul strain S.typhii yang resisten terhadap kloramfenicol dan pada tahun 1989, strain S. typhii Multi Drugs Resistance (MDR) yang kebal terhadap Chloramphenicol, amoxicillin dan cotrimoxazol muncul dan menyebar di anak benua India dan beberapa negara di Asia Tenggara. Untuk kasus typhus MDR ini maka obat pilihan utamanya adalah Flouoroquinolone dan Cepholosporin generasi ketiga karena kemanjuran serta rendahnya angka kasus relaps dan carrier 2.

Kloramphenicol terutama digunakan pada daerah-daerah dimana strain lokal masih sensitif 1,2. Pada kasus Typhus Abdominalis MDR pada anak, karena penggunaan quinolone tidak dianjurkan, maka cephalosporine generasi ke tiga menjadi pilihan utama 2.

C. Pembahasan Obat

Obat yang dipilih sebagai antibiotik pada kasus di atas adalah Chloramphenicol, dimana obat ini bekerja dengan cara berikatan dengan subunit ribosom 50 S bakteri dan menghambat pertumbuhan bakteri dengan menghambat sintesa protein 2. Efektif untuk bakteri gram positif dan negatif 2,7, namun jika ada antibiotik lain yang lebih aman, dianjurkan untuk tidak menggunakan kloramfenikol 7. Saat ini terutama digunakan untuk demam typhoid, infeksi Salmonella yang lain, serta H. influenzae 7.

Resorpsi dari usus lengkap dan cepat, dengan BA 75-90%. Distribusi ke jaringan rongga, dan cairan tubuh, kecuali empedu, baik sekali. Kadar dalam LCS tinggi sekali. PP kurang dari 50%, plasma-t -nya rata-rata 3 jam. Dalam hati, 90% dirombak menjadi glukoronid inaktif 8. Ekskresi melalui ginjal dalam bentuk inaktif dan hanya 10% dalam bentuk utuh 7.

Perbaikan klinis tampak pada hari kedua dan panas mulai turun pada hari ke 3-5 2,4. Diberikan secara peroral kecuali pasien mengeluh mual atau diare, dimana dapat diberikan per IV. Pemberian per IM haruslah dihindari karena menyebabkan penurunan panas yang lambat serta kadar obat dalam darah kurang memuaskan2.

Efek samping lain yang umum terjadi adalah gangguan lambung usus, neuropati optis dan perifer, radang lidah dan mulut 8. Efek samping yang lebih berat yaitu reaksi hematologik berupa depresi sumsum tulang yang reversibel dan anemia aplastik yang irreversibel 8. Angka kejadian reaksi hematologik ini adalah 1: 24.000-50.000 7.

Interaksi dengan obat lain :

1. Barbiturat : dapat menyebabkan peningkatan kadar serum barbiturat sedang kadar serum kloramfenikol menurun sehingga mengakibatkan toksisitas 2 di samping itu juga memperpendek waktu paruh kloramfenikol 8.

2. Sulfonil urea : hipoglikemia.

3. Rifampisin : kadar serum kloramfenikol turun.

4. Antikoagulan : peningkatan efek dari antikoagulan.

5. Hydantoin : meningkatkan kadar serum hydantoin.

Penggunaan pada ibu hamil (terutama pada trimester III (aterm atau dalam persalinan)) dan menyusui tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan sindrom Grey Baby 8. Sedang untuk ibu hamil Trimester I dan II dapat diberikan 3. Grey Baby Syndrome juga dapat terjadi pada pemberian kloramfenikol pada bayi prematur yang mendapat dosis tinggi. Dosis maksimal untuk bayi kurang dari 1 bulan adalah 25 mg/kgBB/hari 7.

D. Alasan pemilihan Kloramfenikol untuk kasus ini

1. Diharapkan adanya perbaikan keadaan klinis yang lebih cepat dibandingkan jika diberikan antibiotik lain (Amoxicillin, Amphicillin, Kotrimoxazol).

2. Harga lebih murah dibanding golongan Quinolon dan Cephalosporin generasi ketiga.

3. Pada pemeriksaan fisik tidak didapatkan adanya tanda kerusakan hepar.

4. Dapat diberikan peroral.

5. Masih merupakan obat pilihan utama untuk typhus abdominalis di Indonesia.

Pada pasien ini harus dilakukan pemantauan darah rutin (Hb, HCt, AL, AT). Jika terdapat penurunan dapat diganti dengan obat antibiotik lain.

E. Antibiotika alternatif untuk kasus ini

1. Thiamphenicol

Kelebihan Angka Carrier lebih sedikit pada bakteri yang benar- benar sensitif

Kekurangan Perbaikan klinis lebih lambat

Kasus relaps lebih banyak.

2. Golongan Penicillin

Nama obatAmoxicillin Mempengaruhi sintesis dinding sel mucopeptides selama multiplikasi aktif,menghasilkan aktivitas bakterisidal pada bakteri yang sensitif. Kurang efektif dibandingkan dengan Chloramphenicoldalam menurunkan panas dan kasus relaps. Angka Carrier lebih sedikit dibandingkan antibiotik lain pada bakteri yang benar- benar sensitif. Biasanya diberikan per oral dengan dosis harian 75-100 mg/kgBB untuk 14 hari.

Dosis dewasa1 g PO per 8 jam

Dosis anak20-50 mg/kg/hari PO dibagi setiap 8 jam selama 14 hari.

Kontra indikasiRiwayat hipersensitivitas terhadap golongan penicillin

Interaksi obatMengurangi kemanjuran kontrasepsi oral

PerhatianPenyesuaian dosisi pada pasien dengan kerusakan ginjal; dapat meningkatkan kemungkinan candidiasis

Kelebihan Angka Carrier lebih sedikit pada bakteri yang benar- benar sensitif

Kekurangan Perbaikan klinis lebih lambat

Kasus relaps lebih banyak.

3. Cotrimoxazol

Nama obatTrimethoprim and sulfamethoxazole Menghambat pertumbuhan bakteri dengan menghambat sintesis dari asam dihidrofolik. Aktivitas antibakteri dari TMP SMZ meliputi bakteri patogen saluran kemih kecuali Pseudomonas aeruginosa. Sama efektif seperti chloramphenicol dalam penurunan panas dan pencegahan relaps. Trimethoprim sendiri juga efektif pada kelompok kecil pasien.

Dosis Dewasa6.5-10 mg/kgBB/hari PO bid/tid; dapat diberikan per IV bila diperlukan; 160 mg TMP/800 mg SMZ PO setiap 12 jam selama 12-14 hari.

Dosis anak2 bulan: 15-20 mg/kgBB/hari, berdasarkan pada TMP, PO tid/qid untuk 14 hari

KontraindikasiPasien dengan riwayat hipersensitif terhadap obat ini; anemia megaloblastik pada pasien dengan defisiensi folat.

Interaksi ObatDapat meningkatkan Prothrombin Time ada pemberian bersama dengan heparin (lakukan tes koagulasi dan penyesuaian dosis bila diberikan bersamaan);pemberian dengan dapsone dapat meningkatkan kadar serum kedua obat; pemberian bersama dengan diuretik meningkatkan insiden trombositopenia purpura pada pasien geriatri; kadar serum phenytoin dapat meningkat pada pemberian bersama; dapat mempotensiasi efek dari methotrexate pada depresi sumsum tulang; respon hipoglikemik terhadap sulfonylureas dapat meningkat pada pemberian secara bersamaan; dapat meningkatkan kadar zidovudine.

PerhatianHentikan pada timbulnya rash kulit pertama kali atau tanda reaksi adverse: lakukan kotrol keadaan darah dengan pemeriksaan Hitung Datrah lengkap secara rutin, hentikan terapi jika timbul perubahan hematologis yang signifikan; goiter, diuresis, and hipoglikemia dapat terjadi pada terapi dengan sulfonamides; pemberian per IvV yang berkepanjangan atau dosis yang tinggi dapat menyebabkan depresi sumsum tulang (jika tanda- tanda muncul berikan leucovorin 5-15 mg/hari); perhatian pada defisiensi folat (contoh pada pasien alkoholisme, geriatri, pasien yang mendapat terapi antikonvulsan, atau pada pasien dengan sindroma malabsorbsi); hemoloisis dapat terjadi pada pasien dengan defisiensi G-6-PD; pasien dengan AIDS dapat tidak toleran atau merespon pemberian TMP-SMZ; perhatian pada pasien dengan kerusakan ginjal atau hepar (lakukan urinanalysis dan tes fungsi renal selama terapi); pemberian cairan untuk mencegah terbentuknya kristaluria dan batu saluran kemih.

Kelebihan Dapat digunakan pada pasien yang alergi terhadap Chloraphenicol, Thiamphenicol, dan golongan Penicillin

Kekurangan Perbaikan klinis lebih lambat

4. Golongan Quinolone (Flouroquinolone)

Nama obatCiprofloxacin -- Fluoroquinolone dengan aktivitas terhadap pseudomonas, streptococci, MRSA, Staphylococcus epidermidis, dan kebanyakan organisme gram negatif tapi tidak efektif untuk kuman anaerobe. Menghambat sintesa DNA bakteri dan juga pertumbuhannya. Terapi dilanjutkan setelah tanda dan gejala hilang selama sekurantg- kurangnya 2 hari (biasanya 7-14 hari). Terbukti sangat efektif untuk demem typhoid dan para typhoid. Panas turun pada hari ke 3- 5, dan angka kejadian relaps dan carrier jarang. Quinolone lain (seperti Ofloxacin, norfloxacin, pefloxacin) biasanya juga efekti. Jika pasien meneluh mual atau mengalami diare dapat diberikan per IV. Fluoroquinolone sangat efektif terhadap strain yang multiresistendan mempunyai aktivitas antibakteri intraselluler.Tidak dianjurkan diberikan pada anak dan wanita hamil karena potensial untuk menyebabkan kerusakan kartilago pada percobaan terhadap hewan. Tetapi arthropati tidak dilaporkan pada penggunaan asam nalidiksat (quinolon awal yang dikenal menyebabkan kerusakan sendi yang sama pada hewan muda) pada anak atau pada anak dengan fibrosis kistik yang memerlukan pengobatan dosis tinggi.

Dosis Dewasa20-30 mg/kgBB/hari bid untuk 14 hari, tapi jangka pengobatan yang lebih pendek dapat adekuat; 250-500 mg PO bid untuk 7-14 hari.

Dosis anak18 tahun: dosis sama dengan dewasa

KontraindikasiPasien dengan riwayat hipersensitivitas

Interaksi ObatAntasid, garam besi dan seng dapat menurunkan kadar serum; pemberian antasid 2-4 jam sebelum atau sesudah meminum flouruquinolone; cimetidine dapat mempengaruhi metabolisme dari fluoroquinolone; mengurangi efek terapi dari phenytoin; pemberian bersama dengan probenesid dapat meningkatkan konsentrasi serum; dapat mengingkatkan toksisitas dari theophylline, caffeine, cyclosporine dan digoxine (monitor kadar digoxine pada pemberian bersama); dapat meningkatkan efek dari koagulan (monitor PT)

PerhatianPada terapi yang jangka panjang lakukan evaluasi periodik terhadam fungsi sistem organ(seperti ginjal, hepar, dan hematopoetik); sesuaikan dosisi pada kerusakan fungsi renal; superinfeksi dapat terjadi pada terapi antibiotik yang berulang atau jangka panjang.

KelebihanAngka relaps dan carier lebih sedikit

Perbaikan klinis lebih cepat

Obat pilihan untuk kasus Typus abdominalis MDR

Kekurangan Tidak dapat diberikan untuk anak usia dibawah 18 tahun

Harga lebih mahal

5. Golongan Cephalosporine generasi ketiga

Nama obatCefotaxime (Claforan) menghentikan sintesis dinding bakteri, yang akan menghambat pertumbuhan bakteri. Merupakan cephalosporine dengan spektrum gram negatif. Kemanjuran terhadap bakteri gram positif kurang. Sangat baik terhadap S typhi In vitro dan salmonella lain dan kemanjuran untuk demam typhoid telah diterima. Hanya tersedia sediaan untuk injeksi per IV. Saat ini kemunculan infeksi Salmonella domestik yang resisten terhadap ceftriaxone telah ditemukan.

Dosis Dewasa2 g IV setiap 6 jam

Dosis anak200 mg/kgBB/hari pada dosis terbagi selama 14 haribayi dan anak- anak: 50-180 mg/kgBB/hari IV/IM dosis terbagisetiap 4- 6 jam>12 tahun: dosis sama dengan dewasa

KontraindikasiPasien dengan riwayat hipersensitivitas

Interaksi ObatProbenecid dapat meningkatkan kadar; pemberian bersama dengan furosemide dan aminoglykoside dapat meningkatkan toksisitas terhadap ginjal.

PerhatianSesuaikan dosis pada pasien dengan gagal ginjal; berhubungan dengan colitis yang parah.

Nama obatCeftriaxone -- Cephalosporin generasi ketiga dengan aktivitas spektrum luas terhadap gram negatif dan gram positif; aktivitas invitro sangat baik terhadap S typhi dan salmonella yang lain.

Dosis Dewasa1-2 g IV setiap 12 jam

Dosis anak>7 hari: 25-50 mg/kgBB/hari IV/IM; tidak melebihi 125 mg/hariBayi dan anak: 50-75 mg/kgBB/hari IV/IM terbagi setiap 12 jam; tidak melebihi 2g/ hari

KontraindikasiPasien dengan riwayat hipersensitivitas

Interaksi ObatProbenecid dapat meningkatkan kadar; pemberian bersama dengan ethacrynic acid, furosemide, and aminoglycoside dapat meningkatkan toksisitas terhadap ginjal.

PerhatianSesuaikan dosis pada pasien dengan gagal ginjal; pseudobiliary lithiasis; diare nonClostridium difficile ; ibu menyusui.

Nama obatCefoperazone -- Cephalosporin generasi ketiga dengan spektrum gram-negatif. Kurang efektif terhadap organisme gram positif.

Dosis Dewasa2-4 g/hari dibagi 2 kali sehari; tidak melebihi 12 g/hari

Dosis anakBelum dipastikan, disarankan 100-150 mg/kgBB/hari dosis terbagi setiap8- 12 jam; tidak melebihi 12 g/hari

KontraindikasiPasien dengan riwayat hipersensitivitas

Interaksi ObatProbenecid dapat meningkatkan kadar; pemberian bersama dengan furosemide dan aminoglykoside dapat meningkatkan toksisitas terhadap ginjal.

PerhatianSesuaikan dosis pada pasien dengan gagal ginjal; berhubungan dengan colitis yang parah.

Kelebihan Obat pilihan untuk kasus Typus abdominals MDR

Angka carrier dan relaps rendah

Perbaikan klinis lebih cepat

Kekurangan Tidak tersedia dalam sediaan oral

Harga lebih mahal

F. Infus NaCl: Dextose 5%

Pemberian infus pada kasus ini bertujuan untuk mencegah dehidrasi, sebagai tambahan nutrisi dan memudahkan masuknya obat secara intravena. BAB V

KESIMPULAN

Typhus abdominalis merupakan infeksi akut usus halus oleh Salmonellae typhii dan mudah menular. Adapun penularannya melalui pasien dengan typhoid dan carier. Manifestasi klinis bervariasi dari yang ringan sampai dapat menimbulkan kematian. Diagnosa pasti ditegakkan dengan biakan empedu yang ditandai dengan tumbuhnya koloni Salmonellae typhii.

Pada kasus diatas diberikan terapi non medikamentosa dan medikamentosa yang meliputi:

1. Bedrest total untuk mencegah komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus.

2. Diet saring TKTP rendah serat dan lunak untuk mengistirahatkan usus

3. Pemberian antibiotik untuk menghilangkan infeksi, mengurangi morbiditas dan mencegah komplikasi.

4. Pemberian infus RL dan D5% untuk mencegah dehidrasi dan nutrisi.

Pasien Typhus abdominalis harus segera ditangani karena jika tidak , endotoksin kuman akan meluas dan menyebabkan komlikasi bahkan kematian, sehingga penderita perlu dirawat. Dengan penanganan yang cepat maka reiko terjadinya komplikasi dan kematian dapat diminimalkan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Butterton, JR., Calderwood, SB., Acute Infectious Diarrheal Disease and Bacterial Food Poisoning. In Harrison Principles of Internal Medicine 15-Ed, McGraw- Hill, 2002: 83

2. Corales, R., Typhoid Fever , www.emedicine.com, 2004

3. Hermawan, AG. Bed Side Teaching Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-2. Yayasan Kesuma Islam Kedokteran. Surakarta. 19994. Hermawan, AG., Sumandjar, T., Penanganan penderita Demam Tifoid Dewasa Di RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Dalam: Protap IPD-FK UNS RSUD Dr. Moewardi, SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNS- RSUD Dr. Moewardi Surakarta. 2004 : 115-116 5. Juwono, R. Demam Tifoid. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke-3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 1999 : 435-441

6. Keusch, GT. Salmonellosis. Dalam : Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : EGC. 1999 : 755-7587. Setiabudy, I., Kunadi, R., Antimikroba. Dalam Farmakologi dan Terapi Edisi Ke-4, Jakarta: Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1995 : 651- 6538. Tjay, TH., Rahardja, K., Obat- Obat Penting: Khasiat, Penggunaan , dan Efek- Efek Sampingnya Edisi ke- 5. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. 2001: 64-82 9. Zulkarnain, I., Nelwan, RHH., Pohan, GT., Demam Tifoid. Dalam : Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2001 : 256-2590PAGE 23