tugas sbi - rumah gadang
TRANSCRIPT
RUMAH GADANG
1. Asal-Usul
Masyarakat Minangkabau, Sumatera Barat, Indonesia, menganut falsafah hidup “alam
takambang jadi guru”. Mereka menjadikan alam sebagai guru untuk membangun
kebudayaan mereka. Orang-orang Minangkabau menganut paham dialektis, yang
mereka sebut “bakarano bakajadian” (bersebab dan berakibat), sebagaimana dinamika
alam, yaitu selaras dan dinamis. Pengejawantahan dari paham tersebut salah satunya
dapat dilihat dari arsitektur rumahnya, Rumah Gadang. Gaya seni bina, pembinaan,
hiasan bagian dalam dan luar, dan fungsi rumah merupakan aktualisasi falsafah hidup
orang Minangkabau.
Harmonis dan dinamis sebenarnya merupakan konsepsi yang berlawanan. Harmonis
berkaitan dengan keselarasan, dan dinamis berkait dengan pertentangan. Hanya saja,
ketika harmonis dan dinamis dipahami dalam konteks “bakarano bakajadian”, maka
kedua hal tersebut menghasilkan sebuah kebudayaan yang menakjubkan. Bentuk badan
Rumah Gadang yang segi empat dan membesar ke atas (trapesium terbalik), atapnya
melengkung tajam seperti bentuk tanduk kerbau, sisinya melengkung ke dalam, bagian
tengahnya rendah seperti perahu, secara estetika merupakan komposisi yang dinamis.
Jika dilihat pula dari sebelah sisi bangunan (penampang), maka segi empat yang
membesar ke atas ditutup oleh atap berbentuk segi tiga yang melengkung ke dalam,
semuanya membentuk suatu keseimbangan estetis, harmonis.
Disebut Rumah Gadang (Gadang = besar), bukan karena bentuk fisiknya yang besar,
melainkan karena fungsinya. Sebagaimana diungkapkan dalam syair:
Rumah gadang basa batuah,
Tiang banamo kato hakikaik,
Pintunyo basamo dalia kiasannya,
Banduanyo sambah-manyambah,
Bajanjang naiak batanggo turun,
Dindiangnyo panutuik malu,
Biliaknyo aluang bunian.
Artinya:
Rumah gadang besar bertuah, Tiangnya bernama kata hakikat, Pintunya bernama dalil kiasan,Bendulnya sembah-menyembah, Berjenjang naik, bertangga turun, Dindingnya penutup malu,Biliknya alung bunian.
Rumah Gadang disamping sebagai tempat tinggal, juga sebagai tempat musyawarah
keluarga, tempat mengadakan upacara-upacara, pewarisan nilai-nilai adat, dan
representasi budaya matrilenial. Sebagai tempat tinggal, Rumah Gadang memiliki tata
aturan yang unik. Perempuan yang telah bersuami mendapat jatah satu kamar.
Perempuan yang paling muda mendapat kamar yang paling ujung dan akan pindah ke
tengah jika ada perempuan lain, adiknya, yang bersuami. Perempuan tua dan anak-anak
memperoleh tempat di kamar dekat dapur. Gadis remaja memperoleh kamar bersama
pada ujung yang lain. Sedangkan laki-laki tua, duda, dan bujangan tidur di surau milik
kaumnya masing-masing.
Rumah Gadang juga merupakan tempat bermusyawarah untuk mencari kata mufakat
antar anggota keluarga. Di tempat ini setiap persoalan dibicarakan dan dicarikan jalan
keluarnya. Dengan cara ini, keselarasan dan keharmonisan antar angggota keluarga
dibangun. Selain itu, Rumah Gadang merupakan tempat menjaga martabat. Di tempat
ini, penobatan penghulu dilakukan, perjamuan penting diadakan, dan para penghulu
menerima tamu-tamu yang dihormati.
Oleh karena itu, tidak heran jika Rumah Gadang sangat dimuliakan, bahkan dipandang
suci oleh masyarakat Minangkabau. Status Rumah Gadang yang begitu tinggi
melahirkan beragam tata aturan. Setiap orang yang hendak naik ke Rumah Gadang
terlebih dahulu harus mencuci kakinya di bawah tangga. Biasanya di bawah tangga
tersebut terdapat sebuah batu ceper yang lebar (batu telapakan), sebuah tempat air dari
batu (cibuk meriau), dan sebuah timba air dari kayu (taring berpanto).
Jika ada perempuan yang datang bertamu, sebelum masuk dan masih berada di halaman,
maka ia terlebih dahulu harus menanyakan apakah di rumah tersebut ada orangnya.
Kalau yang datang laki-laki, ia harus mendeham terlebih dahulu di halaman sampai ada
sahutan dari dalam rumah. Laki-laki yang boleh datang ke rumah itu bukan orang lain
tetapi keluarga penghuni rumah itu sendiri, mungkin mamak, orang semenda, atau laki-
laki yang lahir di rumah tersebut tetapi telah bertempat tinggal di rumah lain.
Jika yang datang bertamu itu tungganai, ia didudukkan di lanjar terdepan pada ruang
sebelah ujung di depan kamar gadis-gadis. Kalau yang datang itu ipar atau besan,
mereka ditempatkan di lanjar terdepan di depan kamar istri laki-laki yang menjadi
kerabat tamu itu. Kalau yang datang itu ipar atau besan dari perkawinan kaum laki-laki
di rumah itu, mereka ditempatkan di depan kamar para gadis di bagian lanjar tengah.
Kaum lelaki yang hendak membicarakan suatu hal dengan ahli rumah yang laki-laki,
seperti semenda atau mamak rumah, tidak lazim melakukannya di dalam Rumah
Gadang. Pertemuan antara laki-laki tempatnya di masjid atau surau, di pemedanan atau
gelanggang, di balai atau di kedai. Jika ada kaum laki-laki yang membawa tamu laki-
lakinya berbincang-bincang di dalam rumah kediamannya, maka ia dianggap tidak tahu
diri.
Aturan juga berlaku ketika anggota keluarga penghuni Rumah Gadang hendak makan.
Walaupun para anggota keluarga hidup dan tinggal dalam satu rumah, tetapi mereka
tidak makan bersamaan kecuali pada acara kenduri (upacara). Perempuan yang tidak
bersuami makan di ruangan dekat dapur. Para perempuan yang sudah bersuami makan
bersama suami masing-masing di depan kamarnya sendiri-sendiri. Kalau banyak orang
semenda di atas rumah, maka mereka akan makan di dalam kamar masing-masing.
Kalau ada ipar atau besan yang datang bertamu, mereka akan selalu diberi makan.
Waktu makan para tamu tidaklah ditentukan. Semua tamu harus diberi makan sebelum
mereka pulang ke rumah masing-masing. Yang menemani tamu pada waktu makan
ialah kepala rumah tangga, yaitu perempuan yang dituakan di rumah itu. Perempuan
yang menjadi istri saudara atau anak laki-laki tamu itu bertugas melayani. Sedangkan
perempuan lainnya duduk pada lanjar bagian dinding kamar menemani tamu tersebut.
2. Bahan dan Tenaga
Rumah Gadang Minangkabau merupakan rumah milik bersama sebuah kaum (keluarga
besar). Oleh karena itu, pembangunan rumah yang dibangun di atas tanah kaum ini
dilakukan secara bergotong-royong. Namun demikian, yang bertanggungjawab dalam
proses pembangunannya adalah tukang ahli. Tukang yang dikatakan sebagai tukang ahli
adalah tukang yang dapat memanfaatkan setiap bahan yang tersedia menurut kondisinya
atau biasanya disebut indak tukang mambuang kayu (tidak tukang membuang kayu).
Sebab, setiap kayu ada manfaatnya dan dapat digunakan secara tepat jika tukangnya
adalah tukang ahli.
Adapun bahan-bahan yang digunakan untuk membuat Rumah Gadang di antaranya
adalah:
Kayu. Kayu merupakan unsur terpenting untuk membangun Rumah Gadang,
khususnya untuk tonggak tuo. Oleh karena tonggak tuo merupakan penentu
kokoh tidaknya Rumah Gadang, maka kayu yang digunakan adalah kayu-kayu
pilihan yang pengadaannya selalu didasarkan pada adat-istiadat masyarakat.
Ijuk. Ijuk digunakan untuk membuat atap rumah.
Jerami. Selain ijuk, jerami juga digunakan untuk membuat atap rumah.
Bambu. Bambu digunakan untuk membuat dinding pada bagian belakang
rumah.
Papan. Papan merupakan kayu yang dibelah tipis sekitar 3-5 cm dan digunakan
untuk membuat dinding.
3. Pemilihan Tempat
Oleh karena Rumah Gadang dimiliki bersama oleh suatu kaum, maka tanah yang
digunakan adalah tanah kaum. Lokasi di mana tanah kaum berada, menentukan
arsitektur bangunan yang boleh dibangun, misalnya: Rumah Gadang bergonjong empat
atau lebih hanya boleh didirikan pada perkampungan yang berstatus nagari atau koto;
untuk ukuran dusun, hanya boleh bergonjong dua; dan di teratak tidak boleh didirikan
rumah bergonjong.
4. Tahapan Pembangunan Rumah Gadang
Pembangunan Rumah Gadang Minangkabau membutuhkan waktu yang cukup lama,
bertahun-tahun, bahkan kadang-kadang sampai belasan tahun. Adapun prosesnya adalah
sebagai berikut:
a. Persiapan
1) Musyawarah
Proses paling awal pembangunan Rumah Gadang adalah musyawarah, adok-adok,
antara sesama saudara pada suatu kaum, dan dilanjutkan musyawarah dengan seluruh
kaum dalam pesukuan itu. Dalam musyawarah ini, dikaji letak yang tepat, ukuran
rumah, dan kapan waktu untuk mulai mengerjakannya. Hasil musyawarah disampaikan
kepada penghulu suku. Kemudian penghulu suku menyampaikan rencana mendirikan
Rumah Gadang itu kepada penghulu suku yang lain (para ninik-mamak dalam nagari)
sampai ditemukan kata mufakat bahwa niat mendirikan rumah dapat diterima.
Persetujuan terhadap rencana pembangunan rumah biasanya tercapai karena telah
sesuai dengan adat istiadat yang berlaku di masyarakat, batuanglah tumbuh dimato (apa
yang telah diputuskan itu pada tempatnya).
2) Mengumpulkan bahan
Setelah terdapat mufakat antara ninik-mamak, maka proses selanjutnya adalah
pengumpulan bahan. Pengumpulan bahan merupakan tahap pembangunan yang paling
sulit dan membutuhkan waktu paling lama. Dalam mengumpulkan bahan harus
berpegang pada aturan adat yang berlaku, misalnya tidak boleh menebang kayu yang
sedang berbunga. Adapun prosesnya sebagai berikut:
1. Pengumpulan bahan diawali dengan mencari tonggak tuo (tiang tua) di hutan.
Ketika waktu yang telah ditentukan dalam musyawarah tiba, berangkatlah
orang-orang ke hutan. Namun sebelum berangkat, diadakan upacara yang
bertujuan agar tujuan ke hutan tercapai. Upacara tersebut diakhiri dengan makan
bersama.
2. Bila kayu yang dicari sudah didapat, maka kayu tersebut diberi tanda (dikatuah).
Tujuannya adalah untuk memberitahukan kepada kelompok lain bahwa kayu
tersebut sudah ada yang punya. Cara ini dilakukan karena belum tentu kayu
yang cocok dapat ditebang pada saat itu juga. Menurut pengetahuan lokal
masyarakat Minangkabau, menebang kayu untuk membangun rumah tidak boleh
dilakukan pada saat pohon itu sedang berbunga. Mereka berkeyakinan bahwa
setua apapun kayunya, jika ditebang pada saat berbunga, maka kayu tersebut
akan dimakan rayap.
3. Kemudian kayu tersebut dipotong-potong (ditarah) sesuai dengan kegunaannya.
4. Setelah itu, seluruh anggota kaum secara beramai-ramai membawanya ke tempat
di mana Rumah Gadang itu akan didirikan. Orang-orang dari kaum dan suku
lain akan ikut membantu sambil membawa alat bunyi-bunyian untuk
memeriahkan suasana. Sedangkan kaum perempuan membawa makanan.
Peristiwa ini disebut maelo kayu (menghela kayu).
5. Setelah tiba di kampung, kayu tersebut direndam ke dalam lunau atau lumpur
yang airnya mengalir. Demikian juga bambu dan ruyung yang akan digunakan.
Tujuannya agar kayu, bambu, dan ruyung tersebut awet, tidak mudah lapuk, dan
tahan rayap. Setelah kayu direndam, diadakan upacara syukuran dan diakhiri
dengan makan bersama.
6. Sedangkan papan (kayu yang dibelah atara 3-5 cm) dikeringkan tanpa kena sinar
matahari.
7. Tahap selanjutnya adalah mencari kayu-kayu lain (untuk tiang dan papan) yang
tidak lagi disertai dengan upacara-upacara.
b. Pembangunan
Apabila bahan-bahan yang dibutuhkan untuk mendirikan rumah sudah tersedia, maka
dimulailah tahap pengolahan kayu. Tahap pertama adalah mancatak tunggak tuo, yaitu
membuat tiang utama. Pembuatan tunggak tuo ini diawali dengan mengadakan kenduri.
Kenduri ini bertujuan agar pembangunan rumah berjalan dengan lancar dan rumah yang
dibangun memberikan ketentraman bagi penghuninya.
Setelah tunggak tuo selesai, maka para tukang mulai membuat bagian-bagian rumah
yang lain sesuai dengan keahliannya. Hanya saja yang perlu diperhatikan adalah bahwa
para tukang harus mempunyai kesadaran bahwa setiap kayu ada manfaatnya apabila
digunakan secara cermat dan tepat. Menurut sebuah ungkapan disebutkan:
Nan kuaik ka jadi tonggak,Nan luruih jadikan balabeh, Nan bungkuak ambiak ka bajak, Nan lantiak jadi bubuangan, Nan satampok ka papan tuai, Panarahan ka jadi kayu api, Abunyo ambiak ka pupuak.
Maksudnya:
Yang kokoh akan jadi tonggak, Yang lurus jadikan penggaris, Yang bungkuk gunakan untuk bajak, Yang lentik dijadikan bubungan, Yang setapak jadikan papan tuas, Penarahannya akan jadi kayu api, Abunya gunakan untuk pupuk.
Jika pembuatan bagian-bagian rumah telah selesai, maka dilanjutkan dengan
menegakkan dan merangkai bagian-bagian tersebut. Pekerjaan yang membutuhkan
banyak tenaga dilakukan secara gotong-royong, seperti ketika batagak tunggak
(menegakkan tiang), yaitu tahap menegakkan seluruh tiang dan merangkainya dengan
balok-balok yang tersedia. Proses batagak tunggak biasanya diawali dengan acara
kenduri dan diakhiri dengan makan bersama.
Setelah semua tunggak telah terangkai (tersambung) dengan bagian-bagian lain, maka
dilanjutkan dengan membuat bagian tengah rumah, diantaranya adalah pemasangan
lantai dan dinding. Kemudian dilanjutkan dengan membuat bagian atas Rumah Gadang.
Pembangunan bagian atas Rumah Gadang ditandai dengan manaikkan kudo-kudo
(menaikkan kuda-kuda). Pada saat manaikkan kudo-kudo, tuan rumah biasanya
mengadakan kenduri. Tujuan praktis dari pelaksanaan kenduri ini adalah
mengumpulkan orang-orang untuk melaksanakan gotong royong manaikkan kudo-kudo.
Pembangunan bagian atas Rumah Gadang diakhiri dengan pemasangan atap.
Apabila pembangunan rumah sudah selesai, maka pemilik rumah sebelum
menempatinya terlebih dahulu mengadakan kenduri manaiki rumah. Kenduri ini
dihadiri oleh semua orang yang terlibat dalam pembangunan rumah. Oleh karena
kenduri ini merupakan upacara syukuran dan tanda terima kasih kepada semua orang
yang telah membantu, maka dalam perjamuan ini semua tamu tidak membawa apa-apa.
5. Bagian-Bagian Rumah Gadang
Rumah gadang terbagi atas bagian-bagian yang masing-masing mempunyai fungsi
khusus. Seluruh bagian dalam merupakan ruangan lepas, kecuali kamar tidur. Bagian
dalam terbagi atas lanjar dan ruang yang dibatasi oleh tiang. Tiang itu berbanjar dari
muka ke belakang dan dari kiri ke kanan. Tiang yang berbanjar dari depan ke belakang
disebut lanjar yang jumlahnya tergantung kepada besarnya rumah. Sedangkan tiang dari
kiri ke kanan dibentuk sebagai ruang yang jumlahnya selalu ganjil.
Jika dilihat dari jumlah lanjarnya, terdapat tiga tipe Rumah Gadang, yaitu: pertama,
Rumah Gadang yang hanya mempunyai dua lanjar disebut Rumah Gadang Rajo
Babandiang. Rumah tipe ini dinamai rumah Lipat Pandan. Kedua, Rumah Gadang yang
mempunyai tiga lanjar disebut dengan Rumah Gadang bapaserek/surambi papek.
Rumah tipe ini dinamai rumah Belah Rebung. Ketiga, Rumah Gadang yang mempunyai
empat lanjar disebut dengan Rumah Gadang Gajah Maharam.
Pembagian dan fungsi ruang pada Rumah Gadang tipe Gajah Maharram adalah sebagai
berikut:
Lanjar belakang terletak pada bagian dinding sebelah belakang. Lanjar ini
biasanya digunakan untuk kamar-kamar. Jumlahnya tergantung pada jumlah
perempuan yang tinggal di dalam Rumah Gadang tersebut. Kamar-kamarnya
berukuran kecil, karena hanya berisi sebuah tempat tidur, lemari dan sedikit
ruangan untuk bergerak. Kamar memang digunakan untuk tidur dan berganti
pakaian saja. Kamar itu tidak mungkin dapat digunakan untuk keperluan lain,
karena keperluan lain harus menggunakan ruang atau tempat yang terbuka.
Lanjar kedua merupakan tempat khusus penghuni kamar. Misalnya, untuk
tempat mereka makan dan menanti tamu masing-masing.
Lanjar ketiga disebut juga lanjar tengah pada rumah berlanjar. Sebagai lanjar
tengah, ia digunakan untuk tempat menanti tamu penghuni kamar masing-
masing yang berada di ruang itu.
Lanjar tepi. Lanjar tepi terletak di bagian depan dinding depan, merupakan
lanjar terhormat yang lazimnya digunakan sebagai tempat tamu laki-laki bila
diadakan perjamuan.
Sedangkan menurut letak ruangannya, maka struktur Rumah Gadang tipe Gajah
Maharram adalah sebagai berikut:
Ruang depan. Ruangan ini merupakan ruang besar yang dipakai sebagai ruang
keluarga, tempat mengadakan musyawarah, menerima tamu, mengadakan
upacara, dan lain sebagainya.
Ruang tengah. Ruangan ini terdiri dari kamar-kamar yang digunakan sebagai
tempat tidur penghuni wanita bersama suaminya.
Ruang Anjungan. Lantai ruangan ini lebih tinggi dari ruang depan. Sisi kanan
dan sisi kiri ruangan ini digunakan untuk tempat tidur para wanita yang baru
menikah.
Ruang Belakang. Lantainya sejajar dengan ruang depan. Ruang ini berfugsi
sebagai dapur.
6. Pelengkap Rumah Gadang
Bagian-bagian pelengkap bangunan Rumah Gadang di antaranya adalah: tabuh
larangan, lesung, kincir, pancuran dan pedati. Halaman Rumah Gadang dilengkapi
dengan puding berwarna kuning, perak, hitam dan batang kemuning sebagai pagar
hidup.
Setiap Rumah Gadang biasanya dilengkapi dengan rangkiang atau lumbung padi.
Keberadaan bangunan ini berfungsi untuk menopang kehidupan sosial dan ekonomi
orang-orang yang hidup di Rumah Gadang. Rangkiang biasanya dibangun di depan atau
di samping Rumah Gadang.
Arsitektur rangkiang hampir sama dengan Rumah Gadang. Atapnya bergonjong dan
dibuat dari ijuk. Tinggi tiang penyangganya sama dengan Rumah Gadang. Pintunya
kecil dan terletak pada bagian atas dan salah satu dinding singkok (singkap). Tangga
untuk menaiki rangkiang dapat dipindah-pindahkan, dan bila tidak digunakan disimpan
di bawah kolong Rumah Gadang. Bentuk dan jenis rangkiang/lumbung padi ada empat
macam, yaitu:
Si tinjau lauik (si tinjau laut). Bangunan ini digunakan sebagai tempat
menyimpan padi yang akan dijual untuk keperluan bersama atau pos
pengeluaran adat. Rangkiang ini, berbentuk langsing, bergonjong dan berukir
dengan empat tiang penyangga, dan letaknya di tengah rangkiang yang lain.
Sibayau-bayau, yaitu tempat menyimpan padi yang akan digunakan untuk
makan sehari-hari. Tipenya gemuk dan berdiri di atas enam tiang. Letaknya di
sebelah kanan Rumah Gadang.
Si tangguang lapa (si tanggung lapar), yaitu tempat untuk menyimpan padi
cadangan yang akan digunakan pada musim paceklik. Tipenya bersegi dan
berdiri di atas empat tiangnya.
Rangkiang Kaciak (rangkiang kecil), yaitu tempat menyimpan padi abuan yang
akan digunakan untuk benih dan biaya mengerjakan sawah pada musim
berikutnya. Atapnya tidak bergonjong dan bangunannya lebih kecil dan rendah.
Ada kalanya bentuknya bundar.
7. Ragam Hias
Bagian-bagian dari Rumah Gadang biasanya dipenuhi oleh ukiran (hiasan). Sesuai
dengan ajaran falsafah Minangkabau yang bersumber dari alam, alam takambang jadi
guru, maka ukiran-ukiran pada Rumah Gadang juga merupakan simbolisasi dari alam.
Secara garis besar, ragam hias pada Rumah Gadang terdiri dari: motif flora, akar,
kombinasi (biasanya berbentuk binatang), dan pengganti:
a. Motif flora
Motif flora ada beberapa macam, yaitu:
Motif daun. Daun yang biasanya dijadikan motif ukiran di antaranya adalah:
daun sirih, sakek (anggrek), kacang, dan bodi.
Motif bunga. Bunga yang biasanya dijadikan motif ukiran adalah cengkih,
mentimun, lada, kundur, dan kapeh.
Motif buah. Buah yang biasanya dijadikan motif ukiran adalah buah manggis,
keladi, rumbia, dan rambai.
Motif baris. Ukiran berbentuk geometri bersegitiga disebut pucuk rebung atau si
tinjau lauik. Ukiran segi empat dinamakan siku. Ukiran segi empat jajaran
genjang disebut sayat gelamai karena bentuknya seperti potongan gelamai yang
disayat berbentuk jajaran genjang.
b. Motif akar
Nama dari motif akar biasanya disesuaikan dengan polanya. Misalnya akar yang
berjalin karena seperti alat penangkap hewan, maka disebut jala terkakar (terhampar),
jerat terkakar atau tangguk terkakar. Sedangkan akar yang saling berkaitan dinamakan
seluk laka. Pemberian nama pada motif akar biasanya terdiri dari dua kata, misalnya:
akar cina (akar terikat), akar berpilin, akar berayun, akar segagang, dan akar dua gagang
(kembang manis).
c. Motif Kombinasi
Ada juga ukiran yang merupakan kombinasi dari ukiran-ukiran tersebut di atas,
biasanya mengunakan nama hewan, seperti: tupai, kucing, harimau, kuda, ular dan
rama-rama. Nama hewan-hewan itu lazimnya ditambah dengan satu kata yang
melukiskan keadaan, seperti rama-rama bertangkap, kucing tidur, kijang balari, gajah
badorong, dan kelelawar bergayut.
d. Motif Pengganti
Motif pengganti merupakan motif yang digunakan sebagai pengganti motif utama.
Motif pengganti ada dua macam, yaitu motif perhiasan dan motif hewan. Motif
perhiasan digunakan sebagai pengganti motif bunga atau buah. Motif perhiasan yang
sering digunakan di antaranya adalah: manik, jambul, mahkota, tirai-tirai, bintang, dan
kipas. Sedangkan motif hewan digunakan sebagai pengganti motif daun. Hewan yang
sering dijadikan motif adalah: itik, tetadu, kumbang, dan bada (ikan).
Motif ukiran pada Rumah Gadang
7. Nilai-Nilai
Sebagai suku bangsa yang menganut falsafah alam sebagai guru, keberadaan Rumah
Gadang secara nyata merupakan pengejawantahan dari hasil pembelajaran dan
pemahaman masyarakat Minangkabau terhadap alam. Jika kita secara cermat
mengamati dan memahaminya, maka kita akan menemukan dan mengetahui samudra
kearifan lokal (local wisdom) masyarakat Minangkabau.
Secara fisik, arsitektur maupun bentuk Rumah Gadang menunjukkan keselarasan
adaptasi terhadap lingkungannya. Atapnya yang lancip merupakan adaptasi terhadap
kondisi alam tropis. Dengan alat lancip, maka niscaya air tidak akan mengendap. Oleh
karena itu, walaupun hanya terbuat dari ijuk yang berlapis-lapis, Rumah Gadang tidak
akan bocor. Demikian juga arsitektur rumah yang membesar ke atas. Tujuannya adalah
agar bagian dalam rumah tidak basah karena tempias air hujan yang dibawa angin.
Bentuk rumah yang berkolong juga tidak semata-mata untuk menghindar dari serangan
binatang buas, tetapi juga sebagai bentuk penyikapan pada kondisi alam tropis yang
panas. Kolong yang tinggi memungkinkan penghuninya mendapatkan hawa segar.
Selain itu, pembangunan Rumah Gadang yang memanjang dari utara ke selatan akan
menghindarkan penghuninya dari panas matahari dan hembusan angin secara langsung.
Dapat dikatakan bahwa arsitektur Rumah Gadang merupakan pengejawantahan kearifan
lokal masyarakat yang mengandung nilai-nilai kesatuan, kelarasan, dan keseimbangan
dengan alam.
Selain itu, Rumah Gadang merupakan media untuk mewariskan nilai-nilai adat
Minangkabau. Melalui Rumah Gadang, tindak-tanduk para kerabat diatur, seperti
kesopanan, tata pergaulan, cara makan, dan bagaimana melakukan interaksi dengan
anggota kaum ataupun pihak luar. Selain itu, fungsi utama dari Rumah Gadang adalah
sebagai simbol untuk menjaga dan mempertahankan sistem budaya matrilineal--sistem
kekerabatan dari garis ibu. Melalui Rumah Gadang inilah, orang-orang Minangkabau
menjamin lestarinya sistem matrilineal.
Pendapat Saya mengenai Rumah Gadang
Saya bependapat bahw sebenarnya, rumah gadang adalah salah satu bentuk kekayaan
budaya Indonesia yang patut dilestarikan. Rumah ini kaya filosofi serta karya seni, baik
pada arsitekturnya hingga pada ornamen-ornamen pada dinding rumah.
Ada beberapa hal yang hendak saya kritisi setelah membaca artikel di atas antara lain:
Pembangunan rumah gadang membutuhkan kayu yang sudah tua dan memiliki
diameter yang cukup, untuk digunakan sebagai tiang utama rumah, atau dalam
bahasa Minang disebut tonggak tuo. Pada jaman modern seperti sekarang, kayu
yang memenuhi syarat tonggak tuo sudah jarang ditemui, akibat maraknya
pembalakan liar. Maka, perlu dicarikan solusi pengganti tonggak tuo, apabila
kayu yang dimaksud tidak ditemukan. Misalnya, menggunakan beton.
Hampir semua bagian rumah gadang menggunakan bahan kayu, yang
merupakan bahan mudah terbakar. Jika terjadi kebakaran, kelihatannya rumah
gadang sulit untuk diselamatkan. Kita akan kehilangan bukan saja rumah itu
sendiri, namun nilai-nilai kebudayaan yang terkandung di dalamnya. Untuk itu,
perlu dicarikan solusi untuk meminimalisir bahaya kebakaran, di antaranya
menempatkan tabung pemadam kebakaran di sudut-sudut rumah, melapisi kayu
rumah dengan lapisan tahan api, serta menyediakan kolam di dekat rumah
sebagai sumber air apabila memang terjadi kebakaran.
Di depan rumah gadang terdapat rangkiang, yaitu lumbung padi. Menurut saya,
rangkiang ini sudah tidak aman lagi untuk menjadi tempat menyimpan beras di
jaman modern ini, karena letaknya yang di depan rumah, mudah dicuri orang di
malam hari. Lebih baik, rangkiang dijadikan elemen penghias dan pelengkap
saja.
Akhir kata, saya berpendapat bahwa rumah gadang perlu dilestarikan karena
mempunyai nilai historis yang amat tinggi. Cara pelestariannya adalah dengan
penggunaan teknologi modern, seperti contoh-contoh yang telah saya sebutkan di atas.
Meskipun agak bertentangan dengan tradisi yang ada, namun saya berpendapat bahwa
lebih baik tradisi yang agak dirubah, demi kelangsungan hidup tradisi itu sendiri.
Referensi:
”Alam Minangkabau”, dalam http://gusdiasdial.multiply.com/journal/item/68 ”Arsitektur”, dalam http://www.cimbuak.net/content/view/697/7 Elza Peldi Taher, ”Rumah Gadang: Riwayatmu Kini”, dalam
http://minang.rantaunet.org/pipermail/palanta_minang.rantaunet.org/2005-November/005913.htmlGufron, ”Rangkiang”, dalam http://ranah-minang.info/content.php?article.13.
“Rangkiang Pagaruyuang,” dalam http://priyatna.blogspot.com/2007/03/rangkiang.html
”Rangkiang”, dalam http://pipitpadi.blogspot.com/2006/09/rangkiang.html. ”Rumah Gadang dan Rangkiang”, dalam http://ukm.unit.itb.ac.id/index2.php?
option=com_content&do_pdf=1&id=11. ”Rumah Gadang”, dalam http://ms.wikipedia.org/wiki/Rumah_Gadang. ”Rumah Gadang”, dalam http://www.cimbuak.net/content/view/1031/7/. ”Rumah Gadang,” Simbol Budaya Minangkabau, dalam
http://www.cimbuak.net/content/view/498/36/.
TUGAS SEJARAH BUDAYA INDONESIA
“RUMAH GADANG”
Disusun oleh:
Hangga Ganiadi (42408126)
Dosen: Drs. Martinus Legowo, M.Si.
Fakultas Seni dan Desain
Jurusan Desain Komunikasi Visual
Universitas Kristen Petra
2008